1 Sistem Informasi Kesehatan Hewan Nasional Terpadu Sistem Informasi Kesehatan Hewan Direktorat Kesehatan Hewan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Tim Redaksi: Penanggung Jawab: drh. Makmun, M.Sc Kontributor: drh. M. M. Hidayat, M. Sc; AIPEID; Ausvet Penyunting: drh. Albertus T. Muljono, M. Sc Penerjemah: drh. Sarai Silaban Desain Grafis: Nanda Aprilia Fotografi: Dokumentasi AIPEID Daftar Isi Volume 1 | Januari 2018 e-Buletin iSIKHNAS Gedung C Lantai 9, Kementerian Pertanian, Ragunan. Jakarta Selatan - Indonesia Telp: +62 21 7815783 Email: [email protected]http://keswan.ditjenpkh.pertanian.go.id/ Sekapur Sirih 1 Berita Terkini 3 Kewaspadaan Dini Penyakit Hewan Menular Strategis 4 Program Percepatan Peningkatan Populasi Ternak Sapi dan Kerbau (SIWAB) 7 Pemotongan Ternak di RPH 8 Analisis Data iSIKHNAS 9 • Pengobatan apa yang diberikan pada hewan di Kabupaten Serdang Bedagai pada 2016? 9 • Bagaimana tingkat keberhasilan inseminasi buatan sapi di Kabupaten Subang? 10 • Bagaimana karakteristik populasi sapi di Kabupaten Asahan? 11 • Apa yang dimaksud dengan cakupan vaksinasi untuk Bruselosis? 12 • Apakah penggunaan antibiotik untuk pengobatan hewan di Sulawesi Selatan sudah tepat? 13 • Risiko penyakit apa yang berkaitan dengan pemasukan hewan ke Kota Palembang? 15 Sekapur Sirih Puji Syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas rahmat dan hidayah- Nya sehingga Buletin iSIKHNAS edisi perdana dapat diterbitkan. iSIKHNAS merupakan Sistem Informasi Peternakan dan Kesehatan Hewan yang diinisiasi melalui program kemitraan Australia dan Indonesia (Australia–Indonesia Partnership for Emerging Infectious Diseases/AIPEID) pada tahun 2012. Keberadaan iSIKHNAS saat ini telah mampu memenuhi kebutuhan data dan informasi di Sektor Peternakan dan Kesehatan Hewan di seluruh Indonesia. Data tersebut antara lain: penyakit hewan, pengobatan, konfirmasi laboratorium, produksi ternak, lalu lintas dan pemotongan ternak, serta data terkait peternakan dan kesehatan hewan. iSIKHNAS telah banyak menampung data, namun pemanfaatan dan sosialisasinya masih belum maksimal. Dengan hadirnya buletin ini, diharapkan data yang telah terkumpul dapat dimanfaatkan sebagai tolok ukur keberhasilan suatu program pemerintah, khususnya di sektor peternakan dan kesehatan hewan, yang kemudian dijadikan dasar bagi pemerintah dalam membuat kebijakan dan peraturan. Pembangunan subsektor peternakan dan kesehatan hewan akan dapat terwujud dengan baik apabila didukung oleh basis data yang benar dan akurat. Buletin iSIKHNAS ini menggambarkan berita terkait kegiatan pengembangan iSIKHNAS, status dan situasi penyakit hewan bulanan, program SIWAB, pemotongan ternak, serta hasil analisis data dari iSIKHNAS. Semoga buletin ini dapat memberi dampak positif kepada pemangku kebijakan dan masyarakat luas tentang informasi terkait kegiatan dan situasi yang terekam dalam iSIKHNAS. Drh.I Ketut Diarmita,MP. Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
16
Embed
e-Buletin iSIKHNAS · Buletin ini menyediakan informasi singkat mengenai kegiatan dan juga laporan yang masuk ke dalam Sistem Informasi Peternakan dan Kesehatan Hewan (iSIKHNAS) selama
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
Sistem Informasi Kesehatan Hewan Nasional Terpadu
Sistem Informasi Kesehatan HewanDirektorat Kesehatan Hewan
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Tim Redaksi:
Penanggung Jawab: drh. Makmun, M.ScKontributor: drh. M. M. Hidayat, M. Sc; AIPEID; AusvetPenyunting: drh. Albertus T. Muljono, M. ScPenerjemah: drh. Sarai SilabanDesain Grafis: Nanda ApriliaFotografi: Dokumentasi AIPEID
Daftar Isi
Volume 1 | Januari 2018
e-Buletin iSIKHNAS
Gedung C Lantai 9, Kementerian Pertanian, Ragunan. Jakarta Selatan - IndonesiaTelp: +62 21 7815783Email: [email protected]://keswan.ditjenpkh.pertanian.go.id/
Sekapur Sirih 1
Berita Terkini 3
Kewaspadaan Dini
Penyakit Hewan Menular Strategis 4
Program Percepatan Peningkatan Populasi
Ternak Sapi dan Kerbau (SIWAB) 7
Pemotongan Ternak di RPH 8
Analisis Data iSIKHNAS 9
• Pengobatan apa yang diberikan pada hewan di Kabupaten
Serdang Bedagai pada 2016? 9
• Bagaimana tingkat keberhasilan inseminasi buatan sapi
di Kabupaten Subang? 10
• Bagaimana karakteristik populasi sapi di Kabupaten
Asahan? 11
• Apa yang dimaksud dengan cakupan vaksinasi untuk
Bruselosis? 12
• Apakah penggunaan antibiotik untuk pengobatan hewan
di Sulawesi Selatan sudah tepat? 13
• Risiko penyakit apa yang berkaitan dengan pemasukan
hewan ke Kota Palembang? 15
Sekapur SirihPuji Syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga Buletin iSIKHNAS edisi perdana dapat diterbitkan.
iSIKHNAS merupakan Sistem Informasi Peternakan dan Kesehatan Hewan yang diinisiasi melalui program kemitraan Australia dan Indonesia (Australia–Indonesia Partnership for Emerging Infectious Diseases/AIPEID) pada tahun 2012. Keberadaan iSIKHNAS saat ini telah mampu memenuhi kebutuhan data dan informasi di Sektor Peternakan dan Kesehatan Hewan di seluruh Indonesia. Data tersebut antara lain: penyakit hewan, pengobatan, konfirmasi laboratorium, produksi ternak, lalu lintas dan pemotongan ternak, serta data terkait peternakan dan kesehatan hewan.
iSIKHNAS telah banyak menampung data, namun pemanfaatan dan sosialisasinya masih belum maksimal. Dengan hadirnya buletin ini, diharapkan data yang telah terkumpul dapat dimanfaatkan sebagai tolok ukur keberhasilan suatu program pemerintah, khususnya di sektor peternakan dan kesehatan hewan, yang kemudian dijadikan dasar bagi pemerintah dalam membuat kebijakan dan peraturan. Pembangunan subsektor peternakan dan kesehatan hewan akan dapat terwujud dengan baik apabila didukung oleh basis data yang benar dan akurat.
Buletin iSIKHNAS ini menggambarkan berita terkait kegiatan pengembangan iSIKHNAS, status dan situasi penyakit hewan bulanan, program SIWAB, pemotongan ternak, serta hasil analisis data dari iSIKHNAS.
Semoga buletin ini dapat memberi dampak positif kepada pemangku kebijakan dan masyarakat luas tentang informasi terkait kegiatan dan situasi yang terekam dalam iSIKHNAS.
Drh.I Ketut Diarmita,MP.Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Sistem Informasi Kesehatan Hewan Nasional Terpadu
e-Buletin iSIKHNASVolume 1 | Januari 2018
2
Buletin ini menyediakan informasi singkat mengenai kegiatan dan juga laporan yang masuk ke dalam Sistem Informasi Peternakan dan Kesehatan Hewan (iSIKHNAS) selama Desember 2017. Untuk Informasi lebih lengkap, silakan akses www.isikhnas.com menggunakan akun anda.
3 Sistem Informasi Kesehatan Hewan Nasional Terpadu
Perluasan Fungsi iSIKHNASPemerintah Indonesia telah mengakui iSIKHNAS sebagai sistem pemantauan kesehatan hewan yang efektif dan hal ini telah mendorong penggunaan system ini secara lebih luas. Sejak Januari 2017, sistem tersebut telah mampu menangkap segala data yang terkait kesehatan hewan dan produksi ternak
Perluasan fungsi iSIKHNAS ini dilakuan dengan mempertimbangkan kebutuhan yang berbeda dari para pemangku kepentingan yang terlibat. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Dirjen PKH) memiliki kepentingan untuk melihat penggunaan iSIKHNAS dalam program kesehatan hewan dan juga dalam pengelolaan data reproduksi ternak untuk program SIWAB, sementara AIPEID berfokus pada kesehatan hewan. Salah satu pemangku kepentingan yang ingin menggunakan iSIKHNAS untuk mengelola data produksi dan reproduksi ternak mereka adalah Kelompok Ternak.
Dengan perluasan fungsi iSIKHNAS ini, kelompok ternak yang telah terdaftar dapat mengirim dan menerima informasi dari sistem yang akan membantu mereka dalam mengelola peternakan mereka. Informasi tersebut antara lain yang berkaitan dengan produksi ternak (Berat Badan, Pengukuran Hewan, dan Kondisi Tubuh), manajemen reproduksi (laporan birahi, kelahiran, penyapihan, dan perkawinan alam) serta pelaporan penyakit.
UjicobaUntuk memastikan bahwa sistem ini dapat menangani kebutuhan penggunanya dan berfungsi secara optimal, dibutuhkan untuk melakukan ujicoba sekaligus mensosialisasikan modul dan aplikasi iSIKHNAS berbasis android (AIM/Animal Identification Management) bagi semua tingkat pengguna. Ujicoba penggunaan iSIKHNAS dengan menggunakan semua fitur ini akan dilakukan di beberapa kabupaten untuk mendemonstrasikan berbagai macam manfaat system ini yang dapat menjadi percontohan bagi kabupaten lain di seluruh Indonesia.
Kabupaten pertama yang dipilih untuk uji coba ini adalah kabupaten Penajam Paser Utara di Kalimantan Timur. Sebagai bagian dari kegiatan ujicoba, tim AIPEID bersama staf Dirjen PKH mengunjungi Kalimantan Timur pada tanggal 20 November sampai 1 Desember 2017 untuk mensosialisasikan dan menunjukkan fungsi baru iSIKHNAS di tingkat provinsi dan kabupaten dan menguji coba pelaporan SMS melalui kelompok tani untuk mendukung kebutuhan informasi petani dalam mengelola peternakannya.
Berita TerkiniUJICOBA PELAPORAN iSIKHNAS MELALUI KELOMPOK TERNAK
AIPEID mendukung pengembangan sistem lebih lanjut dan peningkatan kemampuan pengguna untuk mempromosikan penggunaan informasi iSIKHNAS secara efektif dan berkelanjutan untuk berbagai tujuan penggunaan yang praktis. AIPEID juga telah memberikan bantuan teknis yang signifikan untuk peningkatan sistem, peningkatan pelatihan dan untuk mendukung Pemerintah Indonesia dalam memperkuat upaya penggunaan data iSIKHNAS di semua tingkat.
iSIKHNAS bukan hanya sebatas peningkatan pengelolaan data.
Keberhasilannya sangat bergantung pada orang-orang yang bekerja di akar
rumput di wilayah-wilayah pedesaan Indonesia
Sistem Informasi Kesehatan Hewan Nasional Terpadu
e-Buletin iSIKHNASVolume 1 | Januari 2018
4
RABIESLaporan Kasus Positif Laporan Dugaan Kasus Positif
Provinsi Kabupaten Kabupaten
Kalimantan Barat Sambas Bengkayang, Landak
Kalimantan Tengah Palangka Raya
Riau Dumai
Bali Badung, Bangli, Buleleng, Gianyar, Jembrana, Karang Asem, Klungkung, Tabanan
Riau Bengkalis, Kampar, Pelalawan, Siak
Sulawesi Selatan Luwu Utara
Sumatra Barat Pariaman, Solok Selatan, Tanah Datar
Kewaspadaan DiniPenyakit Hewan Menular StrategisKolom ini menyediakan laporan dari gejala klinis, diagnosis banding, maupun diagnosis definitif dari petugas lapangan. Laporan dari petugas lapangan ini dapat dijadikan sebagai kewaspadaan dini dari setiap kabupaten/kota dan provinsi.
(Laporan iSIKHNAS No. 1 dan No. 26)
5
BRUCELLOSISLaporan Kasus Positif Laporan Dugaan Kasus Positif
Provinsi Kabupaten Kabupaten
Sumatera Barat Solok
Sistem Informasi Kesehatan Hewan Nasional Terpadu
AVIAN INFLUENZA - HPAILaporan Kasus Positif Laporan Dugaan Kasus Positif
Provinsi Kabupaten Kabupaten
Kalimantan Selatan Tanah Laut
DI Yogyakarta Yogyakarta
Jawa Tengah Klaten, Purbalingga
Jawa Timur Batu
Sistem Informasi Kesehatan Hewan Nasional Terpadu
e-Buletin iSIKHNASVolume 1 | Januari 2018
6
ANTHRAXLaporan Kasus Positif Laporan Dugaan Kasus Positif
Provinsi Kabupaten Kabupaten
NIHIL
HOG CHOLERALaporan Kasus Positif Laporan Dugaan Kasus Positif
Provinsi Kabupaten Kabupaten
NIHIL
7
Catatan: Data di atas merupakan perbandingan antara data yang dilaporkan melalui iSIKHNAS dan aplikasi WhatsApp. Belum semua provinsi melaporkan datanya melalui iSIKHNAS. 0 pada data iSIKHNAS merupakan (-), yaitu tidak ada laporan.
Program Percepatan Peningkatan Populasi Ternak Sapi dan Kerbau (SIWAB)Laporan iSIKHNAS No. 337 dan Laporan WhatsApp periode Jan-Des 2017
Propinsi Inseminasi Buatan Pemeriksaan Kebuntingan Kelahiran
Jumlah dan komposisi ternak besar dipotong di RPH.
Laporan iSIKHNAS No. 122 dan 213
24
32272
197769507
14841335
663
9
Analisis Data iSIKHNAS
HASIL DAN INTERPRETASI
Jumlah kejadian penyakit yang dilaporkan per bulan hanya menunjukkan sedikit variasi selama kurun waktu satu tahun (Gambar 1). Rata-rata sebanyak 78% dari kasus mendapatkan satu jenis pengobatan. Proporsi pengobatan bervariasi pada setiap bulannya, mulai dari 68% di bulan Oktober hingga 91% di bulan Februari 2016.
METODOLOGI
• Data diperoleh untuk Kabupaten Serdang Bedagai melalui laporan iSIKHNAS nomor 339. Data yang tersedia merupakan laporan pelayanan petugas kesehatan hewan pada Januari hingga Desember 2016, yang dilaporkan secara elektronik.
• File CSV diunduh pada setiap jenis pengobatan yang tersedia di laporan 339. Semua berkas CSV tersebut disatukan dalam berkas XLS yang sama.
• Data yang sudah ada diolah dengan fungsi grafis dan penjumlahan pada Ms. Excel, sehingga didapatkan data statistik yang bersifat deskriptif dan tampilan jumlah kasus yang ditangani pada setiap jenis obat yang digunakan. Tampilan kasus diurutkan berdasarkan jumlah pengobatan yang diberikan.
Gambar 1. Jumlah kasus dan jumlah pengobatan pada tahun 2016.
Selama 2016, iSIKHNAS mencatat lebih dari 6900 kejadian penyakit di Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatra Utara. Sebagian besar kasus penyakit terjadi pada sapi, kambing, dan domba. Kajian ini menunjukkan jumlah kasus yang mendapatkan pengobatan per periode waktu, serta urutan penggunaan obat-obatan utama di daerah ini.
Pada Gambar 2, dapat dilihat urutan jenis obat yang digunakan berdasarkan jumlah penggunaannya. Tidak ada perbedaan yang signifikan pada pola penggunaan dari masing-masing obat selama kurun waktu satu tahun. Jenis penanganan yang paling sering diberikan adalah suplemen (76,2%), antibakteri (42,5%), dan antelmintik (32%). Suplemen seperti vitamin B kompleks atau B12 diberikan pada 76% kasus yang membutuhkan penanganan. Sedangkan antibakteri digunakan pada 43% kasus. Antibakteri utama yang digunakan adalah oksitetrasiklin (74% dari total antibakteri yang digunakan), sulfonamid, dan fluorokuinolon. Terakhir adalah pemberian antelmintik pada 32% kasus. Sebagian besar antelmintik yang digunakan berasal dari jenis oksfendazol (41% dari total antelmintik yang digunakan), albendazol, atau ivermektin. Secara keseluruhan, 3 jenis pengobatan yang paling banyak diberikan di Kabupaten Serdang Bedagai pada periode Januari – Desember 2016 adalah oksitetarasiklin, dipiron, dan vitamin B kompleks.
Rekomendasi: • Laporan yang intensif ke iSIKHNAS
akan menghasilkan analisa yang komprehensif. Maka, diharapkan setiap pelaporan pengobatan dapat dilaporkan ke iSIKHNAS.
Gambar 2. Jumlah dan persentase kasus yang diobati per jenis obat yang digunakan, dari seluruh kejadian penyakit yang paling tidak
menerima satu jenis pengobatan.
1. Pengobatan apa yang diberikan pada hewan di Kabupaten Serdang Bedagai pada 2016?
jumlah kasus jumlah pengobatan
Sistem Informasi Kesehatan Hewan Nasional Terpadu
Sistem Informasi Kesehatan Hewan Nasional Terpadu
e-Buletin iSIKHNASVolume 1 | Januari 2018
10
Berkaitan dengan pelaksanaan program nasional UPSUS SIWAB, saat ini sedang dilakukan kegiatan inseminasi buatan secara intensif di beberapa provinsi di Indonesia. Setiap kegiatan inseminasi buatan dan pemeriksaan kebuntingan direkam dalam iSIKHNAS beserta dengan identitas hewan dan pemiliknya. Data ini dapat menjadi sumber informasi untuk menilai hasil kinerja inseminator dan melihat proporsi sapi yang bunting. Selanjutnya dengan menggunakan data ini, perhitungan calving rate dan indikator reproduksi penting lainnya dapat dilakukan. Kajian ini terbatas pada daerah Kabupaten Subang, Jawa Barat.
Gambar 1. Ketepatan perkiraan umur kebuntingan sapi.
2. Bagaimana tingkat keberhasilan inseminasi buatan sapi di Kabupaten Subang?
METODOLOGI
• Data diperoleh dari laporan iSIKHNAS No. 238 dengan perincian semua kegiatan inseminasi buatan yang dilakukan di Kabupaten Subang pada bulan Februari – Maret 2017 beserta pemeriksaan kebuntingan pada hewan terkait hingga 28 Mei 2017.
• Data diolah menggunakan Ms. Excel untuk menghitung conception rate ( jumlah sapi yang bunting dibagi dengan jumlah inseminasi yang dilakukan) dan melihat keakuratan perkiraan umur kebuntingan.
• Waktu perkiraaan umur kebuntingan terbaik dihitung dari jumlah bulan antara tanggal pelaksanaan inseminasi dengan tanggal pemeriksaan kebuntingan. Jumlah bulan ini dibandingkan dengan tahap kebuntingan (dalam bulan) yang dilaporkan oleh inseminator di iSIKHNAS.
Sebagai kesimpulan, data yang tersedia di iSIKHNAS dapat menunjukkan nilai conception rate program inseminasi buatan di Kabupaten Subang. Namun, nilai tersebut masih bias dan tidak akurat karena sebagian besar sapi yang diinseminasi tidak memiliki catatan pemeriksaan kebuntingan.
HASIL DAN INTERPRETASI
Selama periode kajian, telah dilakukan sebanyak 1.636 inseminasi buatan pada 1.500 sapi di Kabupaten Subang. Jumlah pelaksanaan inseminasi dapat dilihat pada Tabel 1.
Jumlah Pelaksanaan inseminasi 1 2 3 4 Total
Jumlah sapi yang diinseminasi 1.373 120 5 2 1.500
Sebanyak 231 sapi (dengan jumlah total inseminasi sebanyak 247) telah diperiksa kebuntingannya sampai batas waktu kajian (28 Mei 2017), dan 221 sapi di antaranya dinyatakan bunting. Jika hanya dilihat dari data tersebut, akan didapatkan nilai conception rate sebesar 89%. Namun, karena 2 bulan sebelum batas waktu kajian masih terdapat 579 sapi yang telah diinseminasi dan tidak memiliki catatan pemeriksaan kebuntingan, nilai conception rate tersebut bukanlah nilai yang akurat. Untuk dapat menghitung nilai conception rate secara akurat, perlu diketahui status kebuntingan semua sapi yang diinseminasi.
Gambar 1 menunjukkan perbandingan antara perkiraan umur kebuntingan oleh inseminator yang dilaporkan melalui iSIKHNAS (sumbu horizontal), dengan perhitungan rentang waktu antara pelaksanaan IB dan pemeriksaan PKB terakhir (sumbu vertikal). Garis berwarna biru menunjukkan perkiraan waktu paling tepat yang ditunjukkan melalui kesamaan nilai pada kedua sumbu. Sebagian besar titik-titik pada Gambar 1 berada dekat dengan garis biru yang mengindikasikan bahwa perkiraan koresponden terhadap umur fetus mendekati umur yang sebenarnya. Sedangkan titik-titik yang berada jauh dari garis biru mungkin terjadi karena sapi tersebut sudah terlebih dahulu bunting (sebelum inseminasi).
Tabel 1. Jumlah pelaksanaan inseminasi per jumlah sapi.
Rekomendasi:• Setiap kegiatan inseminasi diikuti
dengan pemeriksaan kebuntingan minimal 2 bulan pasca inseminasi.
11
3. Bagaimana karakteristik populasi sapi di Kabupaten Asahan?
HASIL DAN INTERPRETASI
Pada 1 Juni 2017, sebanyak 20.052 ekor sapi di Kabupaten Asahan telah diidentifikasi secara individual melalui iSIKHNAS. Distribusi sapi menurut ras dapat dilihat pada Gambar 1. Sapi Ongol, baik ras murni maupun persilangan, merupakan ras dengan jumlah sapi yang paling banyak, yaitu 49% dari populasi sapi, diikuti oleh sapi Brahman (17%), dan sisanya tidak teridentifikasi (10%). Tercatat hanya sekitar 5% dari populasi sapi yang merupakan ras Simental, Aceh, Limousin, Madura, dan Bali. Sapi Angus dan Pesisir lebih jarang lagi ditemukan di dalam populasi.
Gambar 1. Jumlah sapi menurut ras yang didaftarkan secara individual di
Kabupaten Asahan pada bulan Juni 2017.
Sejak awal 2017, telah dilakukan upaya keras untuk mengidentifikasi sapi secara individu. Dalam studi ini, informasi yang diperoleh akan digunakan untuk menggambarkan karakteristik ras, jenis kelamin, dan umur pada populasi sapi yang terletak di Kabupaten Asahan, Sumatra Utara.
Piramida populasi menurut umur sapi dapat dilihat pada Gambar 2. Populasi sapi terdiri atas 95% sapi betina. Sapi betina yang paling tua berumur 15 tahun sedangkan sapi jantan tertua berumur 6 tahun. Rasio jenis kelamin pada semua kelompok umur didominasi oleh sapi betina, bahkan di antara sapi pedet (57% dari jumlah sapi pedet yang berumur kurang dari satu tahun adalah betina). Pada piramida populasi dapat dilihat rendahnya jumlah sapi betina pada kategori umur 1 tahun. Penyebab penurunan mungkin dapat ditemukan dari catatan dari tahun sebelumnya, apakah misalnya terdapat penurunan jumlah kelahiran sapi, atau peningkatan jumlah kematian sapi pedet pada tahun pertama kehidupan. Apabila ini tidak terjadi, piramida akan memiliki bentuk yang teratur dengan kelompok umur-jenis kelamin terbesar adalah sapi betina produktif umur 5 dan 6 tahun.
Rekomendasi• Untuk mendapatkan data
populasi sapi yang lebih akurat, diperlukan pendaftaran seluruh hewan ternak, baik jantan maupun betina.
Gambar 2. Piramida Populasi Sapi Menurut Umur.
METODOLOGI
Data identifikasi sapi di Kabupaten Asahan, Sumatra Utara diperoleh dari data laporan iSIKHNAS No. 153 dan 240 yang diolah menggunakan Ms. Excel.
jantan betina
Sistem Informasi Kesehatan Hewan Nasional Terpadu
Sistem Informasi Kesehatan Hewan Nasional Terpadu
e-Buletin iSIKHNASVolume 1 | Januari 2018
12
4. Apa yang dimaksud dengan cakupan vaksinasi untuk Bruselosis?
HASIL DAN INTERPRETASI
Tingkat cakupan vaksinasi regional (beserta yang lainnya) dapat digunakan untuk mengetahui perkembangan pengendalian dan pemberantasan Bruselosis.
<50 persen
50-80 persen
>80 persen
• Karena hewan ternak mungkin melakukan kontak dengan hewan ternak lain yang berada di luar daerah, cakupan vaksinasi yang tinggi saja tidak akan menjamin perlindungan daerah tersebut.
• Vaksinasi hanya akan menjadi satu bagian dari strategi pengendalian penyakit.
• Jika data mengenai jumlah sapi yang divaksinasi atau jumlah sapi tidak ada, tingkat cakupan vaksinasi tidak akan akurat.
• Jika tingkat cakupan vaksinasi yang dicapai rendah, penyebabnya perlu diselidiki lebih lanjut.
• Bruselosis adalah penyakit menular penting yang umum terjadi di banyak daerah di Indonesia.
• Penyakit ini menyerang beberapa spesies dan menjadi penyebab kerugian ekonomi serta penurunan produksi terbesar pada peternakan sapi.
• Bruselosis dapat dicegah melalui vaksinasi .
• Tingkat cakupan vaksinasi harus mencapai nilai yang tinggi untuk dapat mengendalikan penyakit bruselosis.
• Jika cakupan vaksinasi diketahui, target pencapaian dapat ditentukan dan dipantau perkembangannya.
METODOLOGI
Cakupan vaksinasi pada sebuah populasi dapat dihitung jika diketahui jumlah hewan ternak yang divaksinasi dan jumlah populasi hewan ternak; sebagai contoh: Untuk menghitung tingkat cakupan vaksinasi Bruselosis pada daerah ‘X’ selama tahun 2016 :
• Gunakan laporan iSIKHNAS No. 29 untuk mendapatkan jumlah sapi yang divaksinasi pada daerah ‘X’ selama 2016.
• Gunakan laporan iSIKHNAS No. 230 untuk mendapatkan jumlah sapi daerah ‘X’ selama 2016.
• Gunakan rumus berikut untuk menghitung cakupan vaksinasi regional.
Cakupan vaksinasi regional = Jumlah sapi yang divaksinasi x 100
Jumlah total sapi
Rekomendasi• Pastikan vaksinasi Bruselosis di
wilayah anda mencapai lebih dari 80%.
13
5. Apakah penggunaan antibiotik untuk pengobatan hewan di Sulawesi Selatan sudah tepat?
Antibiotik adalah kunci untuk penanganan yang efektif terhadap infeksi berbagai bakteri. Namun, ada kekhawatiran mengenai perkembangan resistensi antimikroba dan penggunaan antibiotik yang tepat. Kajian ini akan menggunakan data iSIKHNAS untuk menjawab beberapa pertanyaan terkait penggunaan antimikroba di Sulawasi Selatan pada Januari 2016 – April 2017.
Catatan: Sulawesi Selatan adalah contoh untuk laporan ini dan akan menarik jika analisis yang sama dilakukan pada provinsi dan kabupaten lainnya.
Gambar 1. Antibiotik yang digunakan untuk mengobati hewan di Sulawesi Selatan pada Januari 2016 – April 2017.
Apa saja antibiotik yang digunakan untuk mengobati hewan di Sulawesi Selatan?
Gambar 1 merupakan hasil pengolahan data laporan iSIKHNAS No. 221 menggunakan Ms. Excel, dengan tujuan memilih antibiotik yang digunakan pada sepuluh kasus atau lebih. Antibiotik lini pertama seperti oksitetrasiklin, sulfonamida, turunan penisilin dan streptomisin digunakan lebih dari 99% kasus yang meresepkan antibiotik, sedangkan antibiotik lini kedua seperti enrofloksasin (Neo Medril) hanya digunakan kurang dari 0,5% kasus.
Apakah pola penggunaan antibiotik telah berubah seiring berjalannya waktu?
Gambar 2 diperoleh dari laporan iSIKHNAS No. 339, dengan memilih lokasi Sulawesi Selatan dan jenis pengobatan adalah antibakteri. Selama 16 bulan terakhir, sekitar 270 hewan diobati setiap bulannya menggunakan antibiotik. Walaupun terlihat tren proporsi kasus yang sedikit menurun, rata-rata sekitar 50% dari total kasus yang tertangani diobati dengan antibiotik.
Gambar 2. Antibiotik relatif digunakan setiap bulan pada semua kasus yang ditangani di Sulawesi Selatan.
Penyakit apakah yang paling sering ditangani menggunakan antibiotik?
Gambar 3 merupakan hasil pengolahan data laporan iSIKHNAS No. 278 menggunakan Ms. Excel sehingga mendapatkan data 25 diagnosis diferensial terbanyak yang diobati dengan antibiotik. Hal yang menarik untuk dicermati adalah sering kasus yang didiagnosis bukan sebagai penyakit infeksi bakteri ditangani menggunakan antibiotik, seperti kasus Bovine Ephemeral Fever, Helmintiasis, Bovine Viral Diarrhoea, dan Bali Ziekte. Melalui data ini, dapat diindikasikan bahwa antibiotik banyak digunakan untuk menangani kasus infeksi sekunder, atau bahkan pada kasus yang tidak memerlukan pemberian antibiotik.
Gambar 3. Jenis penyakit (berdasarkan diagnosis diferensial) yang ditangani menggunakan antibiotik di Sulawesi Selatan pada Januari
2016 – April 2017.
Sistem Informasi Kesehatan Hewan Nasional Terpadu
Sistem Informasi Kesehatan Hewan Nasional Terpadu
e-Buletin iSIKHNASVolume 1 | Januari 2018
14
Bagaimana laporan hasil penggunaan antibiotik pada sapi yang diduga terkena Bovine Ephemeral Fever?
Tabel 1 adalah data yang diperoleh dari laporan iSIKHNAS No. 149 dengan memilih lokasi Sulawesi Selatan, Penyakit BEF, dan jenis obat antibakteri. Tabel ini menunjukkan bahwa tidak ada hasil yang signifikan pada penggunaan antibakteri pada hewan yang diduga terkena BEF.
Penggunaan antibiotik
pada kasus BEF
Jumlah hewan yang
sembuh (%)
Jumlah hewan yang
mati (%)
Odds ratio (Rentang
kepercayaan 95%)
Tidak 153 (98) 2 (2)0,86 (0,18–4,17)
Ya 624 (98) 7 (2)
Tabel 1: Hasil penggunaan antibiotik pada kasus Bovine Ephemeral Fever di Sulawesi Selatan.
Siapa saja yang menangani kasus BEF dengan antibakteri?
Perincian data mengenai laporan pengobatan diperoleh dari laporan iSIKHNAS No. 278. Selama periode Januari 2016 – April 2017, sebanyak 62 petugas kesehatan hewan menggunakan antibiotik untuk menangani 949 kasus terduga BEF di Sulawesi Selatan, dengan sebanyak 650 kasus (68%) ditangani oleh 10 petugas dan 537 kasus (57%) ditangani oleh 5 petugas.
Ringkasan dan Kesimpulan
Kajian ini menggambarkan beberapa informasi yang dapat disediakan oleh iSIKHNAS mengenai penggunaan antibakteri, yaitu:
• Antibakteri digunakan pada sekitar 50% kasus penyakit.• Antibiotik lini pertama seperti oksitetrasiklin, sulfonamida,
turunan penisilin dan streptomisin digunakan lebih dari 99% penanganan kasus.
• Penggunaan antibiotik yang tidak tepat masih sering terjadi pada penanganan hewan yang diduga terinfeksi virus (BEF dan BVD), endoparasit (kecacingan) atau keracunan akibat tanaman (Bali Ziekte).
• Data yang tersedia menunjukkan bahwa tidak ada peningkatan signifikan terhadap tingkat kesembuhan hewan terduga BEF yang diobati menggunakan antibiotik.
• Sejumlah kecil petugas kesehatan hewan bertanggung jawab terhadap sebagian besar kasus hewan terduga BEF yang ditangani dengan antibiotik. Petugas tersebut disarankan untuk mengikuti pelatihan mengenai penyakit yang disebabkan oleh virus pada sapi dan penggunaan antibiotik yang tepat. Hal ini menjadi cara yang paling efisien untuk mendorong penggunaan antibiotik yang bertanggung jawab dan mengurangi potensi resistensi antibiotik.
Rekomendasi• Mengingat adanya potensi resistensi
antimikroba akibat penggunaan antibiotik yang tidak sesuai, maka perlu adanya:
1. Peningkatan biosekuriti untuk mencegah masuknya penyakit; 2. Vaksinasi untuk daerah endemis; 3. Penguatan kapasitas diagnosis dan pemberian obat yang sesuai.
15
Informasi mengenai lalu lintas hewan dicatat oleh petugas kesehatan hewan setempat melalui penerbitan SKKH. Informasi ini dirangkum dan digunakan untuk menganalisis asal hewan dan potensi risiko penyakit terkait dengan lalu lintas hewan. Kajian ini difokuskan pada Kota Palembang, Sumatra Selatan.
Gambar 1. Jumlah hewan yang diimpor berdasarkan kelompok hewan.
6. Risiko penyakit apa yang berkaitan dengan pemasukan hewan ke Kota Palembang?
METODOLOGI
Kajian ini menggunakan data dari laporan iSIKHNAS No. 69 dan 251. Melalui kedua laporan ini, diperoleh laporan terperinci mengenai semua hewan yang masuk ke Kota Palembang selama 2016. Data lain yang diperlukan adalah daftar diagnosis definitif dari penyakit infeksius yang terjadi di lokasi asal pengiriman hewan selama periode kajian, namun data tersebut tidak ditemukan di iSIKHNAS. Karakteristik lalu lintas (asal dan jenis hewan) dirangkum dan penyakit yang terdeteksi dibandingkan dengan daerah lain menggunakan Ms. Excel. Peta lokasi asal pengiriman hewan didapatkan dari Laporan iSIKHNAS No. 154.
HASIL DAN INTERPRETASI
Pada 2016, sebanyak 99,7% dari jumlah hewan yang masuk ke Kota Palembang adalah unggas sedangkan sisanya didominasi oleh burung hias dan babi. Dari 99,7 % unggas yang masuk, sebanyak 74% DOC, 24% ayam hidup, dan 1% telur ayam tetas (Gambar 1). Sebagai perbandingan, beberapa kabupaten/kota lainnya mengimpor sebagian besar stok unggasnya dalam bentuk telur tetas.
Sebagian besar hewan yang dimpor berasal dari pulau Sumatra (99,6%, Gambar 2 dan 3). Lebih spesifik lagi, sebagian besar hewan berasal dari provinsi tetangga seperti Lampung, Bangka Belitung, dan Jambi. Semua telur dan sebagian besar DOC berasal dari Lampung.
Sebagian besar hewan yang dilalulintaskan di Palembang adalah unggas. Pada tahun 2016, kejadian penyakit HPAI dilaporkan terjadi di sebagian besar provinsi asal pengiriman hewan sehingga sangat memungkinkan jika patogen HPAI juga telah ada di Kota Palembang. Kota Palembang memiliki kemungkinan yang tinggi terpapar HPAI melalui lalu lintas atau kendaraan pengangkutan unggas yang terinfeksi. Beberapa penyakit prioritas lainnya seperti brucelosis dan antraks juga dilaporkan terjadi di provinsi asal pengiriman hewan, namun kemungkinan masuknya penyakit ini ke Kota Palembang sangat kecil karena terbatasnya jumlah mamalia yang diimpor. Namun, hal ini dapat menjadi penting jika penyakit-penyakit tersebut memang tidak ada di Kota Palembang. Dalam kajian ini, tidak ditemukan data penyakit yang tersedia di iSIKHNAS untuk Kota Palembang sehingga membatasi hasil intepretasi. Selain itu, kajian ini hanya memperhitungkan lalu lintas legal berdasarkan data lalu lintas/SKKH yang tersedia di iSIKHNAS.
Sistem Informasi Kesehatan Hewan Nasional Terpadu
4.097 30.391 381. 693 1.157.170
Rekomendasi• Setiap hewan yang dilalulintaskan
harus disertai dengan Sertifikat Veteriner/SKKH yang didaftarkan di iSIHKNAS, sehingga analisis risiko menyebarnya penyakit dari satu daerah ke daerah lain dapat dilakukan.
Sistem Informasi Kesehatan Hewan Nasional Terpadu
e-Buletin iSIKHNASVolume 1 | Januari 2018
16
Provinsi Jumlah hewan yang dilalulintaskan
% TotalPenyakit yang dilaporkan di
provinsi asal pengiriman hewan (periode 2016)
Jenis hewan yang dilalulintaskan
Lampung 3.811.038 77,70%High Pathogenic Avian Influenza (HPAI),