-
MITOS DAN RITUS LABUH SESAJI DI TELAGA SARANGAN KECAMATAN
PLAOSAN KABUPATEN MAGETAN
(TELAAH STRUKTUR, MAKNA, DAN NILAI EDUKATIF)
Dwi Rohman Soleh
ABSTRACT
This study aims to understand: (1) the strucuture of Labuh
Sesaji myth at Sarangan
lake, (2) the meaning Labuh Sesaji myth at Sarangan Lake, (3)
the mechanism of Labuh
Sesaji myth at Sarangan Lake, (4) the correlation between myth
and mechanism of Labuh
Sesaji at Sarangan Lake, (5) educational value within the myth
and mechanism of Labuh
sesaji at Sarangan lake.
The study of myth and mechanism of Labuh sesaji at Sarangan lake
at Plaosan
subdistric, Magetan distric (the analysis of structure, meaning,
and educational value of labuh
sesaji) was categorized as qualitative sereach, due to the fact
that: (1) it had descriptive
characteristics, (2) the data that was collected dirrectly by
observation, interview, and
recorded data, (3) the researcher worked as the instrument as
well as the data collector.
The study described (1) the structure of Labuh sesaji myth that
included: (a) plot, it
has beginning, middle, and the ending plot, (b) character, it
included the main and secondary
character, (c) background. It included place, time and condition
background, and (d) and the
meaning. It had moral value that should be learned and applied
by the society. The value
stated that the disaster that hit the society surrounding
Sarangan lake was considered as the
realization of Kyai Pasir and Nyai Pasirs anger as the owners of
Sarangan Lake. Thus, the society held the Larung sesaji. (2) The
meaning of Larung sesaji myth at Sarangan Lake. it
showed that Kyai and Nyai Pasir was considered the doer of each
disaster at Sarangan Lake.
Thus, the disaster should be prevented by Larung Sesaji. (3).
The mechanism in Labuh sesaji
at Sarangan Lake included salutation ceremony and salamatan
ceremony. The salutation
ceremony aimed to respect Murcane Kyai and Nyai Pasir at Telaga
Sarangan. The salamatan
ceremony was aimed to prevent Sarangan society from the disaster
that was caused by the
anger of Kyai and Nyai Pasir. All of the needs of Labuh Sesaji
must be prepared well. It
included material, offering, goods, the doer, and the other
requirements needed. (4). The
meaning of Labuh sesaji at Sarangan Lake vertically meant to get
safety, gift to god and
ancestry (Kyai and Nyai Pasir) at Sarangan Lake. Yet,
horizontally, it supported the
interaction between people and government. (5) Educationally, it
had historical, moral, and
traditional values.
Key word: myth, mechanism (ritus), Labuh sesaji mechanism.
PENDAHULUAN
Dalam sistem budaya masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang
majemuk yang
terdiri beraneka ragam suku bangsa, ritus/upacara, merupakan
salah satu unsur budaya yang
mempunyai eksistensi fungsional. Upacara yang kita amati sebagai
wujud tradisi masa kini
sebenarnya berakar pada sejarah yang terjadi di masa lampau.
Suwardi Endraswara (2003:194), menggambarkan bagaimana mitos
mewarnai kehidupan
orang Jawa, kehidupan orang Jawa banyak dipengaruhi mitos, hal
ini tampaknya berkaitan
-
dengan paham kejawen yang mereka anut. Mitos di Jawa erat
kaitannya dengan keyakinan atau
kepercayaan. Menurut sejarahnya, mitos mengikuti dan berkaitan
erat dengan ritual. Mitos
adalah bagian ritual yang diucapkan, cerita yang diperagakan
oleh ritual. Ritus merupakan
fenomena budaya yang kaya akan lambang-lambang. Dalam ritus,
mengendap nilai-nilai,
norma-norma, aturan-aturan sebagai aspek ideal. Lambanglah yang
telah mengubah gagasan
manusia menjadi wujud riel kebudayaan. Kebudayaan pada
hakekatnya merupakan perangkat
lambang yang bermakna (Geertz, 1989:52).
Ritus sebagai fenomena budaya yang kaya akan lambang pada
hakekatnya bermakna
ganda. Di satu sisi merupakan kegiatan yang berfungsi religius
dan disisi lain mempunyai
fungsi sosial. Dikatakan bermakna religius karena berkaiatan
dengan aspek supranatural dan
dikatakan bermakna sosial karena kegiatan ritus tersebut
melibatkan masyarakat pendukung
kebudayaan. Ritus labuh sesaji di Telaga Sarangan sebagai salah
satu tradisi masyarakat
Sarangan yang dilaksanakan setahun sekali tepatnya pada hari
Jumat Pon bulan Ruwah. Labuh
sesaji ini dilakukan untuk memohon agar penunggu Telaga Sarangan
tidak marah sebab, bila
tidak dilakukan labuh sesaji, diyakini oleh masyarakat bahwa
penunggu Telaga Sarangan akan
marah sehingga membuat bencana alam di Sarangan khususnya.
Fungsi mitos menurut Mulyono (1989:28) ada tiga yaitu:
1. Fungsi Religius
Sebagai fungsi religius, mitos dianggap dapat memberikan
kesadaran kepada manusia
bahwa dalam alam semesta itu ada kekuatan gaib, dalam hal itu
manusia ikut
berpartisipasi dan ikut menghayati kekuatan gaib tersebut.
2. Fungsi Sosial
Dalam lingkup kehidupan sosial, manusia hidup sebagai mahluk
sosial tidak bisa terlepas
dari keterhubungan dan keterkaitan atau ketergantungan dengan
orang lain, mitos
berusaha membuat seolah-olah menghadirkan kembali
peristiwa-peristiwa yang dahulu
pernah terjadi sedemikian rupa, sehingga peristiwa-peristiwa
dari cerita yang dihadirkan
itu berfungsi sebagai pelajaran atau cerminan bagi kehidupan
sosial, bisa memberikan
jaminan dan perlindungan bagi kepentingan-kepentingan kehidupan
di masa kini.
3. Fungsi Filosofis
Mitos berusaha menjelaskan tentang alam semesta, kosmologi,
kosmogoni, yang
biasanya terangkai dalam cerita-cerita asal-usul dan sifat
terjadinya bumi dan langit.
Menurut Asep Yudha Wirajaya (2009), pada dasarnya mitos adalah
sebuah proses
komunikasi lintas generasi dalam tataran simbolis yang tertata
apik dan rapi untuk mengatasi
-
atau memecahkan berbagai kontradiksi empiris yang tidak
terpahami oleh nalar manusia
(deep structure) suatu masyarakat (http://asepyudha.
staff.uns.ac.id/2009/05/27/pelapisan-
sosial-dan-kekuasaan-dalam-mitoswatugunung-sebuah-telaah-ringkas-struktural-
antropologis-levi-strauss/).
Ritus adalah tata cara dalam upacara keagamaan (Dep.P dan K,
1988:75). Sedangkan
menurut Preusz (dalam Koentjaraningrat, 1985:32) menyatakan
bahwa ritus atau upacara
religi bersifat kosong tak bermakna, apabila tingkah laku
manusia di dalamnya di dasarkan
pada akal rasional dan logika, tetapi secara naluri manusia
memiliki suatu emosi mistikal
yang mendorongnya untuk berbakti kepada kekuatan tinggi yang
anehnya tampak kongkret di
sekitarnya dalam kaitan dengan alam.
Menurut Roberston (dalam Koentjaraningrat, 1985:32), ada tiga
gagasan penting untuk
menambah pengertian ritus, yaitu mengenai asas-asas dari religi
dan agama pada umumnya.
Pertama, bahwa di samping sistem keyakinan dan doktrin, sistem
upacara juga penting.
Dalam agama upacaranya itu tetap, walaupun latar belakang,
keyakinan, maksud, dan
doktrinnya berubah. Kedua, bahwa upacara religi atau ritus
biasanya dilakukan oleh banyak
warga masyarakat pemeluk religi atau agama yang bersangkutan
bersama-sama, maupun
fungsi sosial untuk mengintensifkan solidaritaskan masyarakat.
Ketiga, fungsi ritus yaitu
pada dasarnya sebagai suatu aktifitas untuk mendorong rasa
solidaritas dengan apa yang
diyakini (Smith dalam Koentjaraningrat,1985:24).
Wujud dari ritus biasanya berbentuk aktifitas sebagai wujud
adanya emosi keagamaan,
seperti pendapat Koentjaraningrat (1985:44) bahwa sistem ritus
dan upacara dalam suatu
religi berwujud aktivitas dan tindakan manusia dalam
melaksanakan kebaktiannya terhadap
Tuhan, dewa-dewa, roh nenek moyang, mahkluk halus, dan dalam
usahanya untuk
berkomunikasi dengan Tuhan dan penghuni gaib lainnya. Ritus atau
upacara religi biasanya
berlangsung berulang-ulang, baik setiap hari, setiap musim, atau
kadang-kadang saja. Jadi
dapat disimpulkan ritus adalah perilaku dan sikap yang bisa
berwujud upacara, pemujaan,
ziarah, doktrin, larangan, pantangan, bersujud, berkorban, dan
sebagainya dengan tujuan
untuk memperoleh atau mendapatkan sesuatu yang diharapkan dan
menghindari sesuatu yang
tidak diinginkan dengan berdasarkan pada kepercayaan atau
keyakinan yang ada. Ritus
memiliki sifat turun temurun dari generasi ke generasi
berikutnya.
Strukturalisme berasal dari konsep yang dikemukakan oleh
antropologi Claude Levi-
Strauuss (dalam Shri Ahimsa-Putra, 2001:67) memiliki sejumlah
asumsi dasar. Pertama,
dalam strukturalisme ada anggapan bahwa aktivitas sosial dan
hasil, seperti dongeng,
upacara-upacara, sistem-sistem kekerabatan dan perkawinan, pola
tempat tinggal, pakaian,
-
dan sebagainya, secara formal semuanya dapat dikatakan sebagai
bahasa-bahasa, atau lebih
tepatnya merupakan perangkat tanda dan simbol yang menyampaikan
pesan-pesan tertentu.
Kedua, para pengamat strukturalisme beranggapan bahwa dalam diri
manusia terdapat
kemampuan dasar yang diwariskan secara genetis, sehingga
kemampuan ini ada pada semua
manusia yang normal. Adanya kemampuan ini membuat manusia
(seolah-olah) melihat
struktur di balik berbagai macam gejala. Gejala dipandang
memiliki strukturnya sendiri-
sendiri, yang disebut sebagai surface structure atau struktur
permukaan struktur luar. Struktur
yang ada pada sebuah mitos, suatu sistem kekerabatan, sebuah
kostum, sebuah ritual, tata
cara memasak, dan sebagainya merupakan struktur-struktur
permukaan.
Menurut Shri Ahimsa-Putra (2001-92), analisis struktural
Levi-Strauss atas mitos
sebenarnya juga diilhami oleh teori informasi atau lebih tepat
teori komunikasi. Dalam
perspektif teori ini mitos bukan hanya dongeng pengantar tidur,
tetapi merupakan kisah yang
memuat sejumlah pesan, yang diasumsikan bahwa pengirim pesan
adalah orang-orang dari
generasi terdahulu, para nenek moyang, dan penerimanya adalah
generasi sekarang. Jadi di
situ ada komunikasi anatara dua generasi, tetapi bersifat satu
arah.
Dengan dasar beberapa pandangan di atas, Levi-Strauss (dalam
Ahimsa-Putra, 2001:94)
menetapkan landasan analisis struktural terhadap mitos sebagai
berikut. Pertama, bahwa jika
mitos dipandang sebagai sesuatu yang bermakna, maka makna ini
tidaklah terdapat pada
unsur-unsurnya yang berdiri sendiri, yang terpisah satu dengan
yang lain. Cara
mengkombinasikan unsur-unsur mitos inilah yang menjadi tempat
bersemayamnya sang
makna. Kedua, walaupun mitos termasuk kategori bahasa, namun
mitos bukanlah sekedar
bahasa. Artinya, hanya ciri-ciri tertentu saja dari mitos yang
bertemu dengan ciri-ciri bahasa.
Menurut Ahmadi dan Uhbiyati (1991) bahwa nilai dalam sastra
dapat menuntun segala
kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka sebagai
manusia dan sebagai anggota
masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang
setinggi-tingginya. Dalam
teori di atas, tersirat pengertian bahwa pendidikan merupakan
usaha untuk membentuk nilai
hidup, sikap hidup, kepribadian, dan intelektualitas seseorang.
Diyakini bahwa di dalam
cerita rakyat terkandung nilai-nilai pendidikan yang cukup
banyak.
Metode
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif.
Penelitian lebih menekankan
proses dan makna. Dalam penelitian ini informasi yang bersifat
kualitatif dideskripsikan
secara teliti dan analitis. Pendeskripsian meliputi struktur
mitos, makna mitos, serta unsur
ritus, urutan ritus atau deskripsi ritus, makna ritus, dan nilai
edukatif.
-
Sebagai penelitian kualitatif, penelitian ini memiliki
karakteristik seperti yang dikatakan
Bogdan Biklen (dalam Aminudin, 1990:14), yaitu (1) natural
setting sebagai sumber data
langsung dan instrumen kuncinya adalah peneliti sendiri, (2)
bersifat deskriptif, (3) lebih
mengutamakan proses daripada hasil, (4) analisis data secara
induktif, dan (5) makna atau
meaning merupakan perhatian utama.
Sesuai dengan jenis penelitian, yakni penelitian kualitatif,
maka penelitian ini
menggunakan metode deskriptif. Penelitian sastra yang
menggunakan metode seperti ini
tidak hanya terbatas pada pengumpulan dan penyusunan data,
tetapi meliputi analisis dan
interpretasi data (Surakhmad, 1982:139).
Data penelitian ini berupa paparan kebahasaan yang berbentuk
informasi verbal lisan
mengenai cerita asal mula terjadinya telaga Sarangan dan asal
mula labuh sesaji. Data
penelitian yang berupa tuturan lisan ini ditranskripsikan
menjadi paparan/tuturan tertulis.
Data lain berupa hasil observasi dalam bentuk catatan langsung
terutama perilaku-perilaku
ritus yang dijalankan.
Informan penelitian yang dipilih dalam penelitian ini adalah
seseorang yang dapat
memberikan informasi secara lengkap dan akurat, yaitu sesepuh
desa Sarangan, kepala desa,
dan informan dari dinas Pariwisata Kabupaten Magetan.
Lokasi atau tempat yang ditetapkan dalam penelitian ini cerita
Kyai Pasir dan Nyai
Pasir di Telaga Sarangan. Penelitian ini pengumpulan data
dilakukan langsung ke tempat-
tempat sumber data yang sudah ditentukan.
Perekaman dilakukan untuk merekam semua pernyataan informan. Hal
ini dilakukan
pada saat wawancara antara informan dan peneliti. Perekaman
digunakan untuk menjaring
data cerita asal mula Labuh Sesaji di Telaga Sarangan dan
masyarakat pendukung ritus.
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
deskriptif kualitatif.
Analisis data merupakan proses mencari dan mengatur secara
sistematis transkrip
wawancara, catatan lapangan dan bahan-bahan dokumentasi untuk
tujuan pemahaman bahan-
bahan tersebut, sehingga memungkinkan dapat dilaporkan hasil
penelitian ini pada pihak lain.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Struktur Mitos
Struktur mitos Telaga Sarangan ini akan diuraikan, yaitu tentang
alur, tokoh, latar,
dan amanatnya. Adapun keterangannya diuraikan sebagai berikut
:
a. Alur Mitos Telaga Sarangan
Dalam penelitian ini alur dibagi menjadi alur awal, tengah, dan
akhir.
-
1) Alur Awal
Pada cerita legenda Telaga Sarangan ditemukan alur awal yaitu
pada bagian
cerita bahwa, hidup sepasang suami istri yang tidak diketahui
dari mana asalnya dan
membangun sebuah pondok di lereng timur Gunung Lawu, tepatnya di
Ngelo, yaitu
sebelah utara lingkungan Sarangan sekarang. Bertahun-tahun
mereka hidup
berdampingan tidak dikaruniai anak, akhirnya mereka bersemedi
meminta kepada
Hyang Widhi agar dikaruniai anak dan akhirnya dikaruniai anak
laki-laki.
2) Alur Tengah
Cerita selanjutnya ditemukan alur tengah yaitu pada bagian
cerita berikut;
Pasangan suami istri yang menyebutkan diri, Kyai dan Kyai Pasir.
Kemudian
Kyai Pasir pergi bertapa di tempat yang sepi. Dalam semedinya,
Kyai Pasir
mendapat wangsit bahwa cita-citanya akan terwujud bila dapat
menemukan dan
memakan telur di dekat ladangnya. Dengan senangnya sebutir telur
yang dicari dan
didapatkan tersebut dibawa pulang. Sesampainya di rumah lalu
diberitahukan
kepada istrinya, lalu direbus oleh Nyai Pasir. Setelah telur
masak kemudian dibagi
menjadi dua, separuh dimakan Kyai Pasir dan separuhnya lagi
dimakan Nyai Pasir.
3) Alur Akhir
Di akhir cerita bahwa ditemukan data sebagai berikut;
Melihat niat jahat kedua orang tuanya itu, semedi Djoko Lilung
semakin kuat
dengan maksud agar niat jahat Kyai dan Nyai Pasir tidak
diteruskan. Semedi
Djaililung diterima dan cekungan yang dibuat Kyai dan Nyai Pasir
belum dalam,
sudah timbul kesadarannya/insyaf bahwa niatnya itu buruk, maka
diurungkannya niat
jahat tersebut. Mereka berdua akan kembali ke Sarangan malu dan
akhirnya murco
(menghilang) di cekungan yang baru tadi.
b. Tokoh Mitos Labuh Sesaji
Dalam mitos labuh sesaji ini digolongkan menjadi dua yaitu tokoh
utama dan tokoh
bawahan.
1) Tokoh Utama
Dalam cerita mitos di Telaga Sarangan, tokoh utamanya Kyai Pasir
dan Nyai
Pasir.
2) Tokoh Bawahan
Dalam mitos di Telaga Sarangan, tokoh bawahannya adalah Djoko
Lilung
anak dari Kyai dan Nyai Pasir.
c. Latar Mitos Labuh Sesaji
Dalam cerita ini latar yang pertama adalah latar tempat, ini
dikuatkan dengan
kutipan cerita berikut.
-
Dalam semedinya, Kyai Pasir mendapat wangsit bahwa cita-citanya
akan terwujud
bila dapat menemukan dan memakan telur di dekat ladangnya.
d. Amanat Labuh Sesaji
Dalam cerita mitos Telaga Sarangan tersebut kita dapat menemukan
pada cerita
bahwa seorang anak yang mau mendoakan orang tuanya yang
mempunyai niat jahat
untuk tidak meneruskan niat jahatnya. Seorang anak dengan
tekadnya yang kuat akan
kepercayaan untuk memohon kepada Sang Pencipta agar orang tuanya
diberikan
kesadaran akan tindakannya yang salah.
2. Struktur Ritus
a. Alur Labuh Sesaji di Telaga Sarangan
Dalam penelitian ini alur dibagi menjadi alur awal, tengah, dan
akhir.
1) Alur Awal
Labuh sesaji dimulai dengan mempersiapkan semua yang diperlukan
dalam
labuh sesaji yaitu berupa penyediaan bahan, alat, pakaian atau
busana, dan panitia
(pelaku) baik panitia yang membuat sesaji maupun panitia pada
waktu pelaksanaan.
2) Alur Tengah
Pada bagian ini labuh sesaji pada kegiatan pelaksanaan atau
prosesi. Setelah
semua sesaji siap, lalu dikumpulkan menjadi satu di balai desa
kemudian dibawa ke
punden. Sesampainya di punden, sesaji dibacakan doa oleh sesepuh
desa yaitu Mbah
Parto Sentono.
3) Alur Akhir
Setelah sesaji dibacakan doa oleh sesepuh desa maka, semua
sesaji dibawa ke
tengah telaga dengan perahu untuk dilarungkan.
b. Tokoh Labuh Sesaji di Telaga Sarangan
1) Tokoh Utama
Dalam labuh sesaji di Telaga Sarangan, Kepala Desa digambarkan
sebagai
seseorang yang tinggal di sekitar Telaga Sarangan. Mereka
tinggal disana dengan
berbagai kesibukan dalam mengatur rumah tangganya
sendiri-sendiri maupun rumah
tangga pemerintahan.
2) Tokoh Bawahan
Dalam labuh sesaji Telaga Sarangan, tokoh prajurit, pengapit
sesepuh, dan
pembawa penarung adalah sekelompok orang yang mempunyai tugas
membantu
kepala desa untuk mengadakan upacara labuh sesaji.
-
c. Latar Labuh Sesaji di Telaga Sarangan
Latar labuh sesaji di Telaga Sarangan diklasifikasikan menjadi
tiga macam,
yaitu (1) latar ruang (tempat), (2) latar waktu, dan (3) latar
suasana.
d. Amanat Labuh Sesaji di Telaga Sarangan
Amanat yang terdapat di labuh sesaji, yakni masyarakat
Sarangan
beranggapan bahwa bencana alam yang menimpa masyarakat Sarangan
diakibatkan
oleh penghuni Telaga Sarangan yang marah (Kyai Pasir dan Nyai
Pasir), sehingga
kejadian semacam itu tidak boleh dibiarkan saja, maka perlu
ditindak-lanjuti dengan
wujud memberi sesaji yang dilarungkan ke Telaga Sarangan.
2. Makna Mitos Labuh Sesaji di Telaga Sarangan
Setiap terjadi bencana alam di Sarangan yang berupa angin topan,
hujan lebat,
kabut tebal yang datang secara tiba-tiba dan berlangsung
berhari-lari, sesepuh Desa
Sarangan pada malam hari melihat cahaya terang dari pohon
rindang di tepi telaga
tempat naga menghilang itu. Bencana alam baru dapat reda apabila
cahaya terang itu
sudah menghilang. Oleh sebab itu, sesepuh Desa Sarangan
menyarankan untuk
membuat penolak balaknya yaitu dengan membuat sesaji.
3. Ritus Labuh Sesaji di Telaga Sarangan
Dari peristiwa-peristiwa yang melanda keluarga Kyai dan Nyai
Pasir, akhirnya
masyarakat sekitar menyakralkan peristiwa tersebut dengan cara
membuat sesaji yang
diletakkan di punden yang letaknya di pinggir telaga. Ini
dilakukan setiap selapan hari
(35 hari) sekali tepatnya hari Kamis Pahing malam Jumat Pon dan
juga dilarungkan ke
Telaga Sarangan.
1. Deskripsi Pelaksanaan Labuh Sesaji di Telaga Sarangan
a. Sesaji dan Perlengkapan Lainnya
a) Sesaji yang dipersembahkan
1) Cok Bakal
Cok bakal terdiri dari :
(a) Sirih yang dilipat/digulung kemudian diikat dengan benang,
(b) Jenang
merah, (c) Jenang putih, (d) Uang gobog, (e) Cabai merah 1 buah,
(f) Telur
ayam mentah 1 butir, (g) Takir dari daun pisang.
2) Kemenyan madu gondo arum
Kemenyan madu gondo arum Yaitu kemenyan yang harum baunya.
3) Sekar telon gondo wangi
-
Sekar telon gondo wangi terdiri dari tiga macam bunga yaitu:
(a) bunga melati, (b) bunga kanthil, (c) bunga kenanga
4) Panggang ayam tulak rojo muko/panggang tumpeng Panggang
tumpeng
terdiri dan: (a) panggang ayam 1 buah, (b) nasi tumpeng dengan
lauk-pauk
dan sayur-mayur
5) Pisang ayu apupus cindhe
Pisang ayu apupus cindhe terdiri dari 2 macam pisang yaitu:
(a) pisang rojo
(b) pisang ambon hijau
6) Jenang sapto warno
Sesuai dengan namanya jenang ini terdiri dari 7 macam jenis
warna yaitu :
(a) jenang merah, (b) jenang putih, (c) jenang kuning, (d)
jenang hitam,
(e) jenang merah yang bagian tengahnya diberi sedikit jenang
warna kuning,
(f) jenang putih yang bagian tengahnya dan beri sedikit jenang
warna
hitam, (g) jenang putih yang bagian tengahnya diberi sedikit
jenang warna
merah.
7) Arang-arang kambang
Arang-arang kambang berupa dawet ketan yang dilengkapi dengan
juruh.
8) Asahan bekti pertiwi
Asahan bekti pertiwi terdiri dari senampan nasi dengan
bermacam-macam
lauk pauk.
9) Golong hangesti tunggal
Golong hangesti tunggal berupa nasi golong yang dibuat
bulat-bulat, yang
jumlahnya sembilan.
10) Pudak ripih widodari
Pudak ripih widodari terdiri dari 17 macam makanan yaitu;
(a) panggang ayam, (b)u dari minyak tanah (lampu ublek) 2 buah,
(c) pisang
godog, (d) pisang yang sudah masak, (e) kelapa tua 2 buah yang
sudah
dikupas kulitnya, (f) mayang 2 buah ditaruh diatas piring,
(g)jajanan, (h) mie
goreng, (i) kupat-lepet 2 piring, (j) kendi (tempat air dari
tanah liat yang
kecil) 2 buah, (k)botok tawon, (1) botok tempe, (m) botok asren,
(n) nasi 2
piring, (o) wawa 2 bongkeh yang ditaruh di atas layah, (p)
ngantenan (orang-
orangan yang dibuat dari jenang merah), (q) gorengan
11) Rojo tetukulan
-
Rojo tetukulan ini semua hasil pertanian yang ada di Desa
Sarangan. Semua
sesaji tersebut di atas dijadikan satu, dinamakan Sesaji
Agung.
b) Prosesi
Prosesi dimulai dari dari Balai Kelurahan Sarangan. Dari tempat
ini prosesi
diawali dengan barisan yang diatur sesuai dengan formasi yang
telah dijelaskan di
atas. Prosesi ini dilakukan dengan berjalan kaki kecuali pasukan
berkuda yang
berjumlah empat orang naik kuda dengan jarak kurang lebih 0,5 km
dan berhenti
di punden sebelah timur telaga.
b. Pakaian / Busana
Dalam acara Labuh Sesaji di Telaga Sarangan, untuk pakaian tidak
ada ketentuan
khusus pakaian yang harus dikenakan pada setiap rangkaian
kegiatan sejak mulai
persiapan, maupun pelaksanaan. Artinya, bahwa tidak ada
keharusan untuk memakai
pakaian tertentu dalam pelaksanaan ritus tersebut. Walaupun
demikian, dari tradisi
pelaksanaan ritus yang sudah berjalan dari tahun ke tahun
nampaknya memunculkan
kebiasaan mengenai jenis pakaian yang sering digunakan dalam
pelaksanaan Ritus
Labuh Sesaji di Telaga Sarangan. Berikut ini diuraikan jenis
pakaian yang biasa
dikenakan dalam penyelenggaraan kegiatan tesebut.
a) Sesepuh Desa
Untuk sesepuh desa memakai pakaian Jawa lengkap dengan blangkon,
memakai
keris. Pakaian atas berwarna gelap atau hitam sedangkan pakaian
bawah
mengenakan jarik.
b) Prajurit Berkuda
Untuk prajurit berkuda dengan jumlah empat orang mengenakan ala
penganten
Jawa laki-laki pakai kuluk.
c) Subo Manggolo (Cucuk Laku)
Pakaian Subo Manggolo mengenakan pakaian Jawa lengkap dengan
blangkon,
memakai keris, dan berkalungkan bunga melati putih.
d) Pembawa Penarung
Pembawa penarung mengenakan pakaian Jawa lengkap.
e) Pengapit Sesepuh Desa
Pakaian pengapit sesepuh desa mengenakan pakaian Jawa lengkap
dengan
blangkon
f) Kepala Kelurahan
Bapak Lurah dan istri mengenakan pakaian ala pengantin Jawa.
-
g) Pengapit Kepala Kelurahan
Pakaian pengapit kepala kelurahan mengenakan pakaian Jawa
lengkap
h) Pembawa Sosong Agung
Untuk pembawa sosong agung dilakukan oleh seorang wanita yang
cantik dengan
pakaian basahan.
i) Domas Putra dan Putri
Untuk putra dengan jumlah sepuluh orang dengan mengenakan
pakaian Jawa
lengkap.Sedangkan domas putrinya berjumlah empat belas dengan
perincian
sepuluh mengenakan pakaian kebaya ala Jawa.
j) Pembawa Tumpeng Agung
Pembawa tumpeng agung memakai pakaian hitam-hitam, memakai udeng
kepala.
k) Pembawa Sesaji Hasil Pertanian
Para pembawa sesaji hasil pertanian mengenakan pakaian
hitam-hitam dan
memakai udeng kepala.
1) Unit Kejawen
Sesuai dengan namanya unit kejawen ini mengenakan pakaian Jawa
lengkap
pakai blangkon, memakai keris.
m) Unit Kesenian
Untuk pakaian unit kesenian disesuaikan dengan kesenian yang
didatangkan oleh
panitia.
n) Unit Perangkat/RT dan RW
Untuk para perangkat mengenakan pakaian Jawa lengkap.
c. Penetapan Waktu
Waktu pelaksanaan ritus labuh sesaji ditentukan menurut
penanggalan Jawa yang
jatuh pada hari Jumat Pon bulan Ruwah, tetapi penanggalan ini
tidak bisa dipastikan
karena kadang-kadang bulan Ruwah tidak ada hari Jumat Pon-nya.
Kemudian panitia
labuh sesaji mengambil kebijaksanaan dengan mempertimbangkan
pendapat sesepuh
desa yaitu dengan mengajukan pada bulan Rejeb.
d.Personalia
Personalia pelaksana Ritus Labuh Sesaji di Telaga Sarangan
sangat tergantung pada
perekrutan kepanitiaan, kendatipun demikian di dalamnya tetap
mencerminkan
berbagai unsur perwakilan. Unsur perwakilan yang dimaksud antara
lain; a) unsur
masyarakat (sesepuh desa),b) unsur aparat desa dan kecamatan, c)
unsur dari Pemda.
-
e. Syarat khusus yang harus dipenuhi
Dalam Ritus Labuh Sesaji di Telaga Sarangan ini tidak ada
pantangan atau sesuatu
yang harus dijauhi. Menurut Mbah Parto (Sesepuh Desa) bahwa yang
harus dipenuhi
adalah tentang kelengkapan sesaji. Kalau sesaji yang telah
ditetapkan sudah
terpenuhi atau lengkap maka sudah cukup dan labuh sesaji bisa
dilaksanakan.
f. Prosesi
a) Awal prosesi
Pemberangkatan dimulai dari Ba1ai Kelurahan Sarangan, kurang
lebih 500 meter
dari Telaga Sarangan. Dalam perjalanan dari Balai Kelurahan
Sarangan, peserta
yang membawa sesaji dilakukan dengan berjalan kaki kecuali,
empat pasukan
berkuda dengan naik kuda.
b) Upacara
Upacara Labuh Sesaji dipusatkan di punden desa tepatnya sebelah
timur telaga, di
tempat inilah para pejabat Kabupaten, Muspika, para perangkat
desa, sesepuh, dan
tokoh masyarakat serta para warga masyarakat berkumpul untuk
mengadakan
sesaji. Setelah semua sesaji diterima oleh sesepuh desa, maka
Mbah Parto
membakar menyan serta membaca doa. Setelah pembacaan doa selesai
sesaji
dibawa ke telaga untuk dilarungkan kecuali, sesaji yang berisi
nasi tumpeng yang
berukuran kecil, panggang, cok bakal, dan setakir bunga telon
ditinggal di bawah
pohon beringin yang ada di punden desa.
c) Pelarungan Sesaji Agung Labuh Tumpeng Gono Bahu
Pelarungan dilakukan setelah sesaji Agung Labuh Tumpeng Gono
Bahu
dikumpulkan menjadi satu di punden dan dibacakan doa oleh
sesepuh Desa
Sarangan.
B. Pembahasan
1. Struktur Mitos
Struktur mitos dalam labuh sesaji di Telaga Sarangan ini akan
diuraikan, yaitu
tentang alur, tokoh, latar, dan amanatnya. Adapun keterangannya
diuraikan sebagai
berikut :
a. Alur Labuh Sesaji di Telaga Sarangan
Dalam penelitian ini alur dibagi menjadi alur awal, tengah, dan
akhir.
1) Alur Awal
Labuh sesaji dimulai dengan mempersiapkan semua yang diperlukan
dalam labuh sesaji
-
yaitu berupa penyediaan bahan, alat, pakaian atau busana, dan
panitia (pelaku) baik
panitia yang membuat sesaji maupun panitia pada waktu
pelaksanaan. Untuk penentuan
waktu pelaksanaan sudah ditentukan yaitu pada hari Jumat Pon
bulan Ruwah.
2) Alur Tengah
Pada bagian ini labuh sesaji pada kegiatan pelaksanaan atau
prosesi. Setelah semua
sesaji siap, lalu dikumpulkan menjadi satu di balai desa
kemudian dibawa ke punden.
Sesampainya di punden, sesaji dibacakan doa oleh sesepuh desa
yaitu Mbah Parto
Sentono.
3) Alur Akhir
Setelah sesaji dibacakan doa oleh sesepuh desa maka, semua
sesaji dibawa ke tengah
telaga dengan perahu untuk dilarungkan. Mereka meyakini bahwa
dengan melarungkan
di tengah telaga semua sesaji akan dimakan Kyai dan Nyai Pasir
yang berada di dasar
telaga.
b. Tokoh Labuh Sesaji
1) Tokoh Utama
Dalam labuh sesaji di Telaga Sarangan, Kepala Desa digambarkan
sebagai seseorang
yang tinggal di sekitar Telaga Sarangan. Mereka tinggal disana
dengan berbagai
kesibukan dalam mengatur rumah tangganya sendiri-sendiri maupun
rumah tangga
pemerintahan. Jadi dapat disimpulkan bahwa tokoh tersebut
merupakan tokoh utama
karena tokoh kepala desa banyak berperan dan banyak mengambil
tindakan dalam
peristiwa labuh sesaji.
2) Tokoh Bawahan
Dalam labuh sesaji Telaga Sarangan, tokoh prajurit, pengapit
sesepuh, dan pembawa
penarung adalah sekelompok orang yang mempunyai tugas membantu
kepala desa
untuk mengadakan upacara labuh sesaji.
c. Latar Labuh Sesaji di Telaga Sarangan
Seperti sudah dijelaskan dalam kajian pustaka, latar cerita
adalah tempat, waktu,
peristiwa, dan benda-benda tertentu yang berfungsi melogiskan
peristiwa. Mengacu pada
pengertian tersebut, latar labuh sesaji di Telaga Sarangan dapat
diklasifikasikan menjadi tiga
macam, yaitu (1) latar ruang (tempat), (2) latar waktu, dan (3)
latar suasana.
1) Latar ruang (tempat)
Latar ruang (tempat) merupakan keterangan tentang ruang (tempat)
terjadinya peristiwa
Telaga Sarangan yang kemudian untuk memperingati peristiwa
tersebut diadakannya
labuh sesaji. Pada labuh sesaji di Telaga Sarangan yang paling
dominan adalah ruang
-
alam bebas yakni Telaga Sarangan itu sendiri (tempat
menghilangnya Kyai dan Nyai
Pasir).Dari pernyataan di atas, dapat kita simpulkan bahwa
gambaran ruang (tempat)
labuh sesaji di Telaga Sarangan terdiri atas tempat nyata.
2) Latar Waktu
Dalam labuh sesaji di Telaga Sarangan, latar waktu labuh sesaji
tampak jelas, yakni
dieksplisitkan sama (tidak berubah) dengan labuh sesaji pada
waktu dulu yang dilakukan
setiap selapan hari (35 hari), hari Kamis Pahing malam Jumat
Pon.
3) Latar Suasana
Latar suasana merupakan keterangan tentang suasana
berlangsungnya peristiwa labuh
sesaji di Telaga Sarangan. Adapun latar suasana dalam labuh
sesaji di Telaga Sarangan
dapat diuraikan sebagai berikut :
1) Suasana cemas, tergambar pada saat prosesi upacara
dilaksanakan, karena sesepuh
desa merasa cemas dan takut apabila sesaji yang dipersembahkan
kepada Kyai Pasir
dan Nyai Pasir (diyakini penguasa Telaga Sarangan ) tidak
diterima.
2) Suasana sakral, tergambar pada saat upacara berlangsung di
punden yang diiringi
dengan pembacaan doa yang ditujukan kepada-Nya dan pelarungan
sesaji tengah
telaga, agar warga Sarangan diberi rezeki dan keselamatan dari
berbagai bencana
alam yang disebabkan oleh penghuni Telaga Sarangan yang
marah.
d. Amanat Labuh Sesaji di Telaga Sarangan
Amanat labuh sesaji di Telaga Sarangan, yang mengandung ajaran
budi pekerti
yang patut dicontoh dan dikerjakan, juga mengandung falsafah
hidup yang patut
direnungkan dan dilaksanakan.
2. Makna Mitos Labuh Sesaji di Telaga Sarangan
Setiap terjadi bencana alam di Sarangan yang berupa angin topan,
hujan lebat, kabut tebal
yang datang secara tiba-tiba dan berlangsung berhari-hari.
Kejadian yang mengerikan ini
tidak lain adalah ulah Kyai dan Nyai Pasir yang sedang marah.
Oleh sebab itu, sesepuh
desa Sarangan membuat penolak balaknya yaitu dengan membuat
sesaji.
3. Ritus Labuh Sesaji di Telaga Sarangan
Dari peristiwa-peristiwa yang melanda keluarga Kyai dan Nyai
Pasir, akhirnya masyarakat
sekitar menyakralkan peristiwa tersebut dengan cara membuat
sesaji yang diletakkan di
punden yang letaknya di pinggir telaga. Ini dilakukan setiap
selapan hari (35 hari) sekali
tepatnya hari Kamis Pahing malam Jumat Pon dan juga dilarungkan
ke Telaga Sarangan.
Hal ini biasanya dilakukan setahun sekali, tepatnya hari Jumat
Pon bulan Ruwah.
Seperti lambang dalam wujud upacara, yang besar sekali
pengaruhnya terhadap tata
-
kehidupan masyarakat dan akan selalu diingat sampai akhir
hayatnya.
1. Cok Bakal
Cok Bakal yaitu yang terdiri dari sirih yang diikat dengan
benang, jenang merah,
jenang putih, uang gobog/kuno, cabal merah, telur ayam mentah 1
buah. Semua ditata
dan dimasukkan ke dalam kotak (takir: bahasa Jawa) yang dibuat
dari daun pisang.
Perlengkapan itu semua mempunyai arti sebagai berikut :
a) Sirih
Sirih berguna untuk menebus atau dalam bahasa Jawa dikenal
istilah tebusan apa
yang menjadi maksud atau tujuannya.
b) Jenang merah
Jenang merah melambangkan darah bapak.
c) Jenang putih
Jenang putih melambangkan darah ibu
d) Uang gobog/kuno
Uang gobog/kuno merupakan pelengkap tebusan pada sirih yang
diikat diatas.
e) Cabai merah
Cabai merah menggambarkan sikap manusia dilambangkan dengan rasa
pedas
dengan arti sikap manusia yang berani
f) Telur ayam mentah 1 butir
Telur ayam mentah dimaksudkan untuk dipersembahkan pada danyang
yang
menguasai suatu tempat.
2. Kemenyan madu gondo arum
Kemenyan madu gondo arum yaitu kemenyan yang harum baunya.
Kemenyan
merupakan sarana permohonan pada waktu orang mengucapkan
permintaan berupa doa
atau mantra.
3. Sekar telon gondo wangi
Sekar telon gondo wangi berupa tiga macam bunga yaitu bunga
melati, kanthil dan
kenanga. Sekar telon gondo wangi melambangkan asal manusia yaitu
dari tri tunggal
yang maksudnya bersatunya (manunggaling) Tuhan-bapak-ibu. Juga
melambangkan
kehidupan manusia, berkenaan dengan sifat hidup dan kodrat
menghidupi, yang
membuat hidup. Adapun kodrat manusia terdiri dari tiga yaitu
lahir, berkembang biak
dan mati.
4. Panggang tumpeng
Panggang tumpeng yaitu perpaduan antara ayam yang dipanggang
dengan tumpeng.
-
a) Panggang yaitu ayam yang dipanggang
Panggang atau juga disebut dengan ingkung mempunyai makna atau
arti suatu
pengorbanan secara tulus yang diperuntukkan kepada Tuhan maupun
kepada leluhur
yang telah memberikan keselamatan dan perlindungan selama ini.
Oleh karena itu,
ada suatu kewajiban manusia untuk berterima kasih kepada Tuhan
maupun kepada
leluhurnya.
b) Tumpeng yaitu nasi putih yang dibentuk kerucut dan tanpa lauk
pauk. Tumpeng
dibentuk seperti gunung mempunyai arti atau makna sebagai tempat
tinggal para dewa
yang dihormati atau dipuja oleh masyarakat pendukungnya dan
mempunyai maksud
bahwa segala permohonan ditujukan kepada Tuhan, dengan harapan
agar apa yang
dimohon atau diharapkan oleh umatnya dapat dikabulkan oleh
Tuhannya.
5. Pisang apupus cindhe
Pisang apupus cindhe yaitu berupa pisang raja dan pisang ambon
hijau. Sesaji ini
mempunyai makna persembahan untuk Suryo Condro yaitu matahari
dan rembulan
yang menyinari bumi siang dan malam.
6. Jenang sapto warna
Jenang sapta warna ini sesuai dengan namanya, jenang ini terdiri
dan 7 jenis warna
yaitu:
a) Jenang merah
Jenang merah melambangkan darah bapak.
b) Jenang putih
Jenang putih melambangkan darah ibu.
c) Jenang kuning
Jenang kuning melambangkan kelemahan manusia.
d) Jenang hitam
Jenang hitam melambangkan sifat manusia yang angkara murka.
e) Jenang merah yang bagian tengahnya diberi sedikit jenang
warna kuning. Jenang
ini melambangkan warna merah mempunyai makna sikap manusia yang
berani dan
warna kuning menunjukkan sikap manusia yang temah dan suci.
t) Jenang putih yang bagian tengahnya diberi sedikit jenang
warna hitam
Jenang ini disebut juga jenang sengkala maksudnya agar terhindar
dari godaan
syetan.
g) Jenang putih yang bagian tengahnya diberi sedikit jenang
warna merah
7. Arang-arang kambang
-
Arang-arang kambang berupa dawet ketan dilengkapi dengan juruh.
Arang-arang
kambang ini disebut juga `jenang sewu' mempunyai maksud untuk
persembahan
saudara manusia yang seribu yang berada dimana-mana.
8. Asahan bekti pertiwi
Asahan bekti pertiwi ini terdiri dari senampan nasi dengan
bermacam-macam lauk
pauk. Sesaji ini diperuntukkan kepada saudara atau nenek moyang
yang menjadi cikal
bukal sudah meninggal.
9. Golong hangesti tunggal
Golong hangesti tunggal berupa nasi yang dibuat bulat-bulat yang
jumlahnya 9 dengan
maksud nasi yang dibuat bulat-bulat, ini mempunyai makna agar
orang itu mempunyai
tekad yang bulat, maka segala cita-citanya akan lekas
tercapai.
10. Pudhak ripih widodaren
Pudhak ripih widodaren yaitu berupa bermacam-macam ubarampe
sebagaimana
pudhak ripih pada acara temanten.
11. Rojo tetukulan
Rojo tetekulan merupakan hasil pertanian yang ada di desa
Sarangan. Ini merupakan
perwujudan syukur pada Tuhan yang telah memberikan pada semua
masyarakat
Sarangan dan sekitarnya.
4. Hubungan antara Mitos dan Ritus Labuh Sesaji di Telaga
Sarangan
Bagi masyarakat Desa Sarangan kegiatan bersih desa merupakan
suatu tradisi turun-
temurun yang memiliki nilai-nilai sakral yang tinggi. Mereka
yakin bahwa tidak
melakukan bersih desa atau lebih dikenal dengan labuh sesaji,
akan membawa akibat
buruk bagi nasib mereka, yaitu bencana alam atau membuat Kyai
Pasir dan Nyai Pasir
marah. Bersih desa atau labuh sesaji merupakan sesuatu yang
harus dilakukan, masyarakat
juga harus memperhatikan betul kelengkapan sesaji.
Untuk lebih mempermudah mengetahui makna ritus labuh sesaji
dibedakan menjadi tiga
yaitu :
a. Makna Secara Vertikal
Secara vertikal makna labuh sesaji yaitu selain memperingati
murcane (hilangnya)
Kyai dan Nyai Pasir yang berwujud ular naga, mengandung maksud
untuk mohon
berkah, ngalap berkah, memohon rezeki, dijauhkan dari
malapetaka, meminta
keselamatan di dunia dan akhirat, yang lebih utama adalah usaha
untuk meningkatkan
Manunggaling Kawulo Gusti yaitu sebuah konsep religi yang
berpusat pada
pemahaman tentang hubungan kesatuan dan keesaan antara Al Khalik
dan makhluk-
-
Nya.
b. Makna Secara Horisontal
Dengan mengacu pendapat Santoso (dalam Moertjipto dkk, 1997:101)
fungsi
upacara tradisional pada masyarakat pendukungnya, mempunyai 4
tujuan yaitu sebagai
: (1) norma sosial, (2) pengendali sosial, (3) media sosial, (4)
pengelompokan sosial.
Seperti diketahui bahwa dalam upacara tradisional terdapat
simbol-simbol yang
bermakna positif dan mengandung nilai-nilai atau norma-norma
sosial.
Ditinjau dari segi horisontal, labuh sesaji di Telaga Sarangan
lebih bermakna untuk
membangun solidaritas sosial antara sesama masyarakat Sarangan
dan dengan para
pejabat pemerintah. Dalam kondisi seperti ini stratifikasi
sosial bukan lagi hal yang
ditonjolkan, maka ini merupakan kesempatan yang baik untuk
memupuk semangat
persatuan, menumbuhkan jiwa gotong-royong serta tenggang rasa
antara sesama warga
masyarakat.
5. Nilai Edukatif dalam Mitos dan Ritus Labuh Sesaji di Telaga
Sarangan
a. Nilai Moral
Dalam mitos dan ritus labuh sesaji ini, ditemukan nilai moral
pada cerita Djoko
Lelung melihat bahwa kedua orang tuanya berubah menjadi ular dan
ingin membuat
genangan air sebanyak-banyaknya untuk menenggelamkan gunung
Lawu.
Mengetahui niat jahat kedua orang tuanya itu, Djoko Lelung
bersemedi agar orang
tuanya tidak meneruskan niat jahatnya untuk menenggelamkan
gunung Lawu. Di
situlah letak bahwa sikap seorang anak mengingatkan dan
mendoakan orang tuanya
yang menyimpang dan berniat jahat akan merugikan orang banyak
dan orang tuanya
pun insyaf bahwa niatnya itu buruk.
b. Nilai Adat (Tradisi)
Nilai adat (tradisi) yang terdapat dalam mitos dan ritus labuh
sesaji ini adalah
fungsi upacara tradisional pada masyarakat pendukungnya,
mempunyai empat
tujuan yaitu sebagai : (1) norma sosial, (2) pengendali sosial,
(3) media sosial, (4)
pengelompokan sosial. Ritus labuh sesaji di Telaga Sarangan
lebih bermakna untuk
membangun solidaritas sosial antara sesama masyarakat Sarangan
dan dengan para
pejabat pemerintah. Dalam kondisi seperti ini stratifikasi
sosial bukan lagi hal yang
ditonjolkan, maka ini merupakan kesempatan yang baik untuk
memupuk semangat
persatuan, menumbuhkan jiwa gotong-royong serta tenggang rasa
antara sesama
warga masyarakat Sarangan khususnya.
-
c. Nilai Sejarah (Historis)
Sebagaimana diketahui bersama bahwa ritual labuh sesaji sangat
mungkin
bermuatan kisah masa silam. Oleh karena itu, kisah masa silam
dalam ritual labuh
sesaji merupakan rekaman fakta sejarah yang sesungguhnya. Pada
dasarnya ritual
labuh sesaji merefleksikan kehidupan masyarakat.
Kejadian-kejadian atau peristiwa-
peristiwa pada masa lampau pada mitos dan ritus labuh sesaji
dapat ditelusuri
kembali melalui tradisi memberikan sesaji setiap hari Jumat Pon
di Telaga Sarangan
tepatnya sekarang menjadi punden desa, yang tempat tersebut
dipercayai penunggu
Telaga Sarangan itu berada. Melalui cerita mitos dan ritus labuh
sesaji setidaknya
dapat dirunut kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang
pernah terjadi masa
lampau. Masyarakat mempercayai bahwa dengan memberikan sesaji
pada penunggu
telaga Sarangan, masyarakat tidak akan mendapatkan bencana yang
ditimbulkan
oleh penunggu Sarangan.
Simpulan
Berdasarkan pemaparan data di atas maka, dapat ditarik
simpulan:
1. Struktur mitos labuh sesaji di Telaga Sarangan
Alur labuh sesaji di Telaga Sarangan adalah (a) alur awal yang
dimulai dimulai
dengan mempersiapkan semua bahan, alat, sesaji, pakaian, dan
personalia yang
diperlukan dalam labuh sesaji, (b) alur tengah ini pada
pelaksanaan atau prosesi, (c) alur
akhir yaitu saat sesaji dibawa ke tengah telaga untuk
dilarungkan.
Tokoh-tokoh labuh sesaji di Telaga Sarangan terdiri dari tokoh
utama dan tokoh
bawahan. Tokoh utamanya yaitu Kepala Desa dan sesepuh desa.
Sedangkan tokoh
bawahannya adalah prajurit, pembawa penarung, subo manggolo,
pengapit sesepuh desa,
pembawa sosong agung, domas putra putri, pembawa tumpeng agung,
pembawa sesaji
dan masyarakat sekitarnya.
Latar labuh sesaji yaitu latar ruang (tempat), latar waktu, dan
latar suasana. (1)
Latar ruangnya (tempat) adalah ruang alam bebas yakni telaga
Sarangan itu sendiri
(tempat menghilangnya Kyai dan Nyai Pasir). (2) Latar waktu
labuh sesaji dieksplisitkan
sama labuh sesaji pada waktu dulu yang dilakukan setiap "selapan
hari" (35 hari), hari
Kamis Pahing malam Jum'at Pon. (3) Latar suasana dalam labuh
sesaji di Telaga
Sarangan. Pertama, suasana cemas yakni pada saat prosesi upacara
dilaksanakan. Kedua,
suasana sakral yakni tergambar pada saat upacara berlangsung di
punden yang diiringi
dengan pembacaan doa yang dilakukan oleh sesepuh adat. Amanat
dalam labuh sesaji di
Telaga Sarangan mengandung ajaran budi pekerti yang patut
dicontoh dan dikerjakan,
-
juga mengandung falsafah hidup.
2. Makna mitos labuh sesaji di Telaga Sarangan
Setiap terjadi bencana alam di Sarangan, maka penduduk Sarangan
menganggap bahwa
yang melakukan adalah Kyai dan Nyai Pasir. Oleh sebab itu, para
orang dulu berpikiran
bahwa kejadian semacam ini perlu ditangkal, dengan wujud sesaji
yang tujukan kepada
Kyai dan Nyai Pasir agar tidak mengganggu dan diyakini dapat
melancarkan rezeki
warga Sarangan.
3. Ritus labuh sesaji di Telaga Sarangan
Ritus yang sampai ini saat ini dilaksanakan oleh masyarakat
Sarangan dan sekitarnya
berupa upacara penghormatan dan upacara selamatan. Dalam ritus
labuh sesaji di Telaga
Sarangan perlu dipersiapkan segala sesuatunya baik yang
menyangkut bahan, sesaji,
peralatan, personalia maupun waktu penyelenggaraan dan
syarat-syarat yang harus
dipenuhi. Dalam ritus labuh sesaji di Telaga Sarangan ini sesaji
merupakan unsur pokok
yang harus dipenuhi dibuat lengkap.
4. Hubungan mitos dan ritus labuh sesaji di Telaga Sarangan
Secara vertikal makna ritus labuh sesaji di Telaga Sarangan
mengandung maksud untuk
memohon keselamatan, memohon rezeki kepada Tuhan dan para
leluhur (Kyai dan Nyai
Pasir) di Sarangan. Secara horisontal labuh sesaji di Telaga
Sarangan mempunyai makna
sebagai suatu wadah interaksi sosial yang dapat membina
solidaritas sosial antara sesama
masyarakat Sarangan dan dengan pejabat pemerintah tanpa
menonjolkan stratifikasi
sosial masing-masing.
5. Nilai Edukatif
a. Nilai Moral
Seorang anak mengingatkan dan mendoakan orang tuanya yang
menyimpang dan
berniat jahat akan merugikan orang banyak dan orang tuanya pun
insyaf bahwa
niatnya itu buruk.
b. Nilai Adat (Tradisi)
Nilai adat (tradisi) yang terdapat dalam mitos dan ritus labuh
sesaji ini adalah fungsi
upacara tradisional pada masyarakat pendukungnya, yaitu sebagai
: (1) norma sosial,
(2) pengendali sosial, (3) media sosial, (4) pengelompokan
sosial.
c. Nilai Sejarah (Historis)
Ritus labuh sesaji sangat bermuatan cerita masa silam. Oleh
karena itu, kisah masa
silam dalam ritus labuh sesaji merupakan rekaman fakta sejarah
yang sesungguhnya.
Peristiwa-peristiwa pada masa lampau pada mitos dan ritus labuh
sesaji dapat
-
ditelusuri kembali melalui tradisi memberikan sesaji setiap hari
Jumat Pon di Telaga
Sarangan tepatnya tempat yang dipercayai penunggu Telaga
Sarangan itu berada.
Melalui cerita mitos dan ritus labuh sesaji setidaknya dapat
dirunut kejadian-kejadian
atau peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi masa lampau
Saran
1. Saran untuk penelitian selanjutnya
Penelitian terhadap folklor di masyarakat hendaknya menjadi
perhatian yang serius dan
penelitian folklor di Indonesia masih relatif sedikit jumlahnya.
Oleh sebab itu penelitian
folklor perlu ditingkatkan kuantitas dan kualitasnya.
2. Saran untuk Departemen Pendidikan Nasional
Departemen Pendidikan Nasional sebagai lembaga pemerintah yang
menangani
pendidikan di Indonesia, sudah waktunya untuk memanfaatkan
cerita-cerita legenda di
daerah sebagai mata pelajaran di sekolah-sekolah. Hal ini
bertujuan agar para siswa lebih
mengenal, memahami budaya sendiri, sehingga tidak mudah kena
pengaruh budaya asing
yang bersifat negatif.
DAFTAR PUSTAKA
Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2001. Strukturalisme Levi-Strauss
Mitos dan Karya Sastra.
Yogyakarta: Galang Press.
Ardianto, Deny Tri, dan Asep Yudha Wirajaya. 2006. Ritus-Mitos
Dhukutan sebagai Aset
Pengembangan Pariwisata di Daerah Lawu, Karanganyar. Surakarta:
Laporan
Penelitian - Univeristas Sebelas Maret.
Asep Yudha Wirajaya. 2003. Penggalian Potensi Folklor sebagai
Aset Pengembangan
Pariwisata Budaya di Daerah Lawu. Surakarta: Laporan Penelitian
- Univeristas
Sebelas Maret.
Clifford Geertz. 1989. Work and Lives: the antropologist as
author. Stanford, California:
Stanford University Press.
Depdikbud.1985-1986. Upacara Tradisional Daerah Jawa Timur.
Surabaya: Direktorat
Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan
Dokumentasi Kebudayaan
Daerah.
Koentjaraningrat. 1985. Ritus Peralihan di Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka
Moertjipto dkk. 1996. Wujud Arti dan Fungsi Puncak puncak
Kebudayaan lama dan asli
bagi Masyarakat Pendukungnya. Semarang: Depdikbud
Suwardi Endraswara. 2003. Falsafah Hidup Jawa. Yogyakarta:
Cakrawala