MINGGU 22 JUNI 2014 20 S eperti akrobat, tangan Eric Kayser dengan cekatan menguleni adonan roti. Dia meng- ambil sejumput adonan yang sudah mengembang, menaburinya dengan tepung, kemudian meng- gulungnya.Dari adonan berbentuk oval sepanjang 20 sentimeter, koki roti asal Prancis itu membentuk- nya menjadi baguette—roti yang menjadi ikon Prancis—sepanjang setengah meter. Voila! kurang dari lima menit, dia sukses membuat satu loyang baguette berisi enam roti siap panggang. Eric Kayser merupakan pemi- lik Maison Kayser, ataupun Eric Kayser Artisan Boulanger, yang telah beroperasi di 23 negara. Senin, 16 Juni lalu, dia mampir ke Jakarta untuk meresmikan gerai perdananya di Indonesia. “Saya selalu hadir di setiap pembukaan gerai pertama di setiap negara,” ujar Kayser, 54 tahun, kepada Tempo di Plaza Senayan. Kayser pertama kali membu- ka tokonya pada 1996 di rue de Mongue, Latin Quarter, Paris, dengan nama Maison Kayser. Kini, dia punya 23 cabang di seluruh penjuru Paris dan kurang-lebih 100 gerai di seluruh dunia. Bisa dibilang, Maison Kayser menja- di salah satu ikon Paris. Selain pernah dinobatkan sebagai pem- buat baguette terbaik di Paris, dengan hadiah menjadi pemasok roti utama Istana Kepresidenan Prancis Champ du’ Elyses selama satu tahun, baguette Kayser juga dinobatkan sebagai yang terbaik di Tokyo, New York, dan bela- kangan Singapura. Kayser juga menjadi pemasok roti resmi untuk pertemuan peja- bat negara tingkat tinggi G-8 di Tokyo, dan pernah menjadi pema- sok roti untuk Presiden Amerika Serikat Barack Obama.“Saya per- tama kali mencicipinya di Dubai,” kata Komisaris Kayserindo Kuliner Indonesia Sigit Nugroho. Sigit, yang kebetulan juga pencin- ta sajian kuliner, kemudian ber- pikir untuk membawa Maison Kayser ke Jakarta. Gerai perdana di Plaza Senayan itu punya nama resmi Eric Kayser Le Restaurant du Boulanger. Artinya, gerai perdana Eric Kayser di Indonesia ini bukan hanya menjual roti. Mereka juga menjual makan siang dan makan malam ala Prancis. “Nanti kami juga akan meluncurkan menu sarapan,”ujar Kayser yang beram- but merah ini. Adonan yang sudah mengem- bang dan sudah dibentuk oleh Kayser kemudian ditaruh di atas loyang berlapis kertas minyak. Sebelum dimasukkan ke oven, ada ritual khusus yang dilakukan oleh Kayser dengan sebuah pisau kecil yang mirip pisau cukur. “Ini merupakan sesuatu yang wajib dilakukan oleh setiap baker,” kata Kayser. Dia menorehkan lima goresan pada setiap roti baguette sebagai “tanda tangannya”. Kayser juga membagi pengeta- huannya untuk mengenali berba- gai jenis roti Prancis, dari baguet- te, croissant, batard, boule, sampai brioche. Ada pula kue-kue manis, seperti madeleine, eclair, tarte au pommes, dan financier. Selain roti tradisional, ada beberapa jenis roti yang merupakan kreasi baru, seperti pain au curcuma (roti rasa kunyit), ekmek (roti berbentuk oval yang berasal dari Turki), ataupun roti dengan potongan buah kurma di dalamnya. “Untuk Indonesia, kami berencana melun- curkan roti dengan campuran santan dan rendang. Tapi kami masih butuh waktu dua pekan lagi untuk menyiapkannya,” kata Kayser. Khusus untuk baguette, Kayser punya kriteria ketat. “Baguette harus renyah dan punya gradasi warna cokelat keemasan serta putih di bagian yang diberi gores- an,” kata Kayser, sambil menun- juk bagian roti yang dia maksud. Untuk membuktikan baguette- nya cukup, Kayser mematahkan roti itu menjadi dua bagian, hing- ga terdengar bunyi “kres” yang garing. “Anda bisa tahu baguette ini bagus atau tidak dengan men- cium aroma dari lubang-lubang pada roti ini. Ada bau dari pro- ses fermentasi yang terjadi pada roti,” kata Eric. Baguette dengan wijen, misalnya, memang sangat harum. Saat digigit pun rasanya renyah. Di sinilah perbedaan standar tekstur roti ala Eropa dengan roti yang dikenal luas di Indonesia. Sebagian besar masya- rakat Indonesia—seperti pada umumnya orang Asia—mengenal jenis roti asal Italia yang lembut dan manis. Roti ini jauh berbeda dengan french bread yang lebih renyah, keras, dan mengandung lebih sedikit gula. Keunggulan Kayser terletak pada olahan roti tradisional Prancis. Kayser merupakan gene- rasi keempat perajin roti alias boulanger. Buyut, kakek, dan ayahnya, seluruhnya, merupakan pembuat roti. “Dulu mereka punya toko sendiri, tapi saya tidak sem- pat melihatnya,” kata dia. Nama Kayser moncer setelah menemu- kan mesin fermentolevain bersa- ma rekannya, Patrick Castagna, pada 1994. Fermentolevain meru- pakan mesin yang tetap menjaga keberlangsungan emulsi levain, si biang roti. Temuan Kayser dan Castagna merupakan terobosan baru dalam mempertahankan levain. Bagi artisan boulanger, kata Kayser, penggunaan levain merupakan elemen penting. “Fermentasi yang baik adalah kunci sukses adonan roti,” ujar lulusan Institut National de la Boulangerie Patisserie ini. Di kampus yang sama, Kayser juga pernah mengajar selama seki- tar 10 tahun. Menurut Kayser, levain yang baik nantinya akan membuat adonan roti elastis dan mudah dibentuk. Adonan pun akan mengembang lebih baik dibanding bila menggunakan ragi produksi pabrik. “Emulsi dengan konsep serupa seperti levain ini juga digunakan dalam fermentasi anggur dan bahan lainnya. Ini sudah dilakukan ratusan tahun lamanya,” ujar Kayser. Sore itu, Kayser juga meminta kami mencicipi levain. Dia meng- edarkan mangkuk kecil berisi emulsi kental, yang berbentuk seperti krim yoghurt. “Saya minta Anda semua mencoleknya sedikit, mencicipinya di lidah, dan kemu- dian mengoperkannya ke rekan sebelah Anda,” Kayser memandu kami. Ibarat komuni Katolik yang kudus, mangkuk itu pun diedar- DUTA BESAR ROTI PRANCIS Ada banyak cerita di balik sepotong baguette Eric Kayser. Mempertahankan tradisi roti di tengah melorotnya konsumsi baguette di Prancis. Subkhan [email protected] Eric Kayser membuat baguette. TEMPO/DIAN TRIYULI HANDOKO