Page 1
BAB 1
PENDAHULUAN
Dalam usia reproduktif, perdarahan uterus abnormal dapat terjadi sekunder akibat dari
kehamilan, kelainan sistem hemostasis dan struktur patologis traktus genitalis atau
karena perdarahan uterus disfungsional. Perdarahan uterus disfungsional dapat terjadi
pada siklus ovulatorik maupun anovulatorik. Perdarahan uterus disfungsional
ovulatorik terjadi karena kelainan hemostasis lokal pada endometrium. Mekanisme
pada perdarahan disfungsional anovulatorik, umumnya bersifat sistemik karena
pengaruh endokrin terhadap kondisi endometrium. Estrogen menyebabkan terjadinya
hiperplasia endometrium dan kelainan mekanisme hemostasis lokal yang terjadi
sekunder karena tidak adanya produksi progesteron secara siklik dan berhubungan
dengan biosintesa endotelin-1, prostaglandin dan substansi lain yang berperan pada
hemostasis endometrium(9,27).
Perdarahan menstruasi yang banyak atau menoragia, merupakan masalah kesehatan
yang cukup penting di negara yang sedang berkembang terlihat dari laporan mengenai
indikasi terbanyak alasan kasus rujukan kepada ginekolog di negara berkembang
untuk penanganan bedah akibat kelainan haid pada usia di atas 40 tahun adalah
menoragia ( urutan pertama ), perdarahan intermenstrual yang persisten ( urutan
kedua ), kegagalan terapi medikamentosa ( urutan ketiga ) yang terakhir faktor-faktor
lain seperti biopsi yang abnormal serta dismenore berat. (26,30).
Secara obyektif menoragia didefinisikan sebagai hilangnya darah pada saat menstruasi
lebih dari 80 ml per bulan. Studi populasi menunjukkan bahwa 40 % wanita usia
reproduktif dengan perdarahan ≥ 80 ml, dan hampir sepertiga dari seluruh wanita
pernah mengalami keluhan menstruasi yang berlebihan(29).
Saat ini dalam hal pengobatan klinis paradigma evidence base medicine (EBM )
menitik beratkan aplikasi pengobatan yang paling efektif dan pentingnya alasan yang
rasional dalam penggunaan suatu obat dalam kerangka manajemen suatu penyakit. Di
Inggris lebih dari sepertiga dokter meresepkan noretisteron ( yang sebenarnya
merupakan pilihan pengobatan perdarahan uterus disfungsional yang paling tidak
efektif menurut EBM ) sebagai pengobatan lini pertama, dan hanya 1 dari 20 orang
yang meresepkan asam traneksamat (yang menurut EBM merupakan pengobatan lini
pertama perdarahan uterus disfungsional yang paling efektif ). Di New Zaland
ternyata penggunaan asam traneksamat juga sangat terbatas, 50 % ginekolog masih
Page 2
menggunakan progesteron sebagai pilihan utama dan kurang dari 10 % yang
menggunakan asam traneksamat(9,26,30).
Ada beberapa hal penting yang harus dievaluasi dalam penanganan perdarahan uterus
disfungsional secara rasional dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Menoragia karena perdarahan uterus disfungsional adalah masalah kesehatan
wanita yang penting
2. Meskipun sudah terdapat banyak bukti-bukti mengenai keefektifan pengobatan
secara evidence based ternyata pengobatan yang kurang tepat masih banyak
dilakukan
3. Adanya panduan pengobatan rasional untuk menoragia karena perdarahan
uterus disfungsional menurut evidence based
4. Pengobata yang tepat dan efektif akan meningkatkan kepuasan pasien
5. Keberhasilan terapi medikamentosa merupakan alternatif yang efektif untuk
menghindari tindakan bedah(30)
Pada kesempatan ini akan dibahas mengenai penggunaan antifibrinolitik, asam
traneksamat sebagai pilihan pengobatan lini pertama berdasarkan evidence based
medicine dalam penanganan menoragia karena perdarahan uterus disfungsional.
2
Page 3
BAB 2
PERDARAHAN UTERUS DISFUNGSIONAL
Dari semua hubungan hormonal dengan endometrium, endometrium paling stabil dan
fungsi menstruasi yang paling reproduktif dalam kualitas dan durasi perdarahan
karena estrogen dan progesteron pasca ovulasi. Dengan karakteristik gambaran
perjalanan yang khas. Setiap deviasi, durasi yang lebih panjang atau pendek,
perdarahan lebih banyak atau sedikit akan mempengaruhi perhatian pasien(10,27).
Menar, diikuti 5-7 tahun siklus awal yang lebih panjang, kemudian lebih teratur
dengan siklus lebih pendek seperti siklus usia reproduktif. Setelah usia 40 tahun siklus
menjadi lebih panjang lagi(10,27).
2.1. Definisi
Perdarahan uterus disfungsional adalah perdarahan abnormal dari uterus tanpa
ditemukan kelainan organik pada traktus genitalia maupun ekstra genitalia.
Perdarahan uterus disfungsional terjadi hanya akibat gangguan fungsi mekanisme
kerja poros hipotalamus, hipofise dan ovarium serta target organnya dalam hal ini
endometrium. Perdarahan uterus disfungsional dapat terjadi pada siklus ovulatorik
atau anovulatorik. Pendarahan abnormal terjadi pada frekuensi, jumlah, durasi atau
kombinasinya. Perdarahan yang bervariasi sebagai manifestasi siklus anovulasi, tanpa
kelainan medis atau patologis(4,27).
2.2. Epidemiologi
Perdarahan uterus disfungsional sering terjadi pada usia reproduktif. Prevalensi tinggi
pada adolesen dan premenopause. Prevalensi perdarahan uterus disfungsional 5 %
dari seluruh wanita menstruasi dilaporkan Wren tahun 1998. Dari semua kasus
ginekologi 15 – 20 % dengan perdarahan uterus disfungsional , 11 % berusia < 20
tahun, 50 % antara 20 – 40 tahun dan 39 % diatas 40 tahun(26,27).
Penelitian WHO tahun 1998, mendapatkan wanita dengan keluhan menoragia 1.011
dari 5.322 ( 19 % ) berdasarkan survey yang dilakukan di 14 negara yang berbeda(26).
2.3. Patofisiologi
Pada menstruasi normal terjadi pelepasan, pembentukan dan perbaikan lapisan
fungsional endometrium. Destruksi dan regenerasi endometrium dikendalikan oleh
faktor lokal yang tergantung pada estrogen dan progesteron. Prostaglandin dan
endotelin adalah substansi vasoaktif yang mengatur kehilangan darah menstruasi.
Konsentrasi endotelin jaringan bekerja sama dengan relaxing factor, seperti
nitricoxide, meningkatkan dan memperpanjang kehilangan darah menstruasi (10).
3
Page 4
Endometrium normal kaya akan fosfolipase yang dibutuhkan pada konversi asam
lemak prekursor asam arachidonat. Pada fase luteal akhir cyclo – oxygenase berperan
pada konversi asam arachidonat menjadi endoperoksidase, yang dibawah sintetase
spesifik berubah menjadi prostaglandin F2α ( vasokontriktor dan aggregator trombosit
lemah ), prostaglandin E2 ( vasodilator dan antiagregasi platelet ), prostaglandin D2
( aglutinasi inhibitor, prostaglandin I2 ( vasodilator dan antiagregasi platelet) dan
tromboxan A2 ( vasokontriktor dan platelet aggregator ). Pada mensruasi normal, rasio
prostaglandin F2α : prostaglandin E2 dalam cairan menstuasi 2 : 1(10,27,29).
Ecosanoid yang diproduksi leukosit melalui kerja lipooxygenase pada asam
arachidonat. Jumlah perdarahan menstruasi sesuai dengan derajat infiltrasi leukosit. (27)
Progesteron withdrawal bleeding / perdarahan sinambung progesteron menyebabkan
hancurnya lysosom dan pelepasan fosfolipase A2. Ditandai dengan meningkatnya
plasminogen aktivator dan aktivitas fibrinolitik dalam darah menstruasi pada
perdarahan uterus disfungsional. Perdarahan uterus disfungsional primer terjadi
karena gangguan metabolisme ecosanoid dalam sistem fibrinolitik dan enzim
lisosomal endometrium(3,27).
Pada perdarahan uterus disfungsional dengan siklus ovulatorik, produksi
prostaglandin yang disekresi endometrium dengan perbandingan terbesar dari
prostaglandin F2α / prostaglandin E2 / prostaglandin D2 menjadi prostaglandin E2 /
prostaglandin D2 / prostaglandin F2α. Terjadi peningkatan sintesa prostaglandin I2
miometrium yang menmyebabkan dilatasi arteri radialis dan meningkatnya
perdarahan(11,20,28).
Pada perdarahan uterus disfungsional anovulatorik, kurangnya progesteron
menyebabkan berkurangnya rasio prostaglandin F2α : prostaglandin E2 dan terjadi
peningkatan relatif prostaglandin E2, yang merupakan vasodilator dan anti agregasi
platelet, menyebabkan bertambahnya perdarahan. Kontraksi uterus tidak terjadi dan
tidak nyeri adalah tanda dari siklus anavolusi(10,19,27).
Etiologi perdarahan uterus disfungsional yang paling sering adalah perdarahan karena
sinambung estrogen / estrogen withdrawal bleeding atau perdarahan lucut estrogen /
estrogen break through bleeding pada pasien dengan siklus anovulatorik(10,19,27).
Pada kasus progesteron negatif menyebabkan inhibisi sintesa DNA dan mitosis,
respon proliferatif estrogen menyebabkan pertumbuhan endometrium dengan
integritas matrik stroma yang lemah sehingga terjadi pelepasan spontan. Pada keadaan
4
Page 5
normal terjadi mekanisme kontrol yang membatasi menstruasi, perdarahan dapat
berkepanjangan dan eksesif pada keadaan tanpa progesteron(19,27).
2.3.1.Perdarahan uterus disfungsional ovulatorik
Perdarahan uterus disfungsional ovulatorik disebabkan oleh fase proliferasi abnormal
atau korpus luteum abnormal.
a.Fase proliferasi abnormal
Pada fase proliferasi abnormal dapat terjadi fase proliferasi yang panjang atau pendek.
Gangguan panjang siklus lebih sering dibandingkan dengan perdarahan yang banyak.
1. Fase proliferasi panjang
Gambaran normal pada menark, mungkin pada sindrom ovarium polikistik dengan
fase proliferasi panjang sehingga terjadi oligomenare. Pada wanita tua merupakan
petanda menopause.
2. Fase proliferasi pendek
Mengarah pada polimenore, ovulasi yang terjadi normal tetapi terjadi hipersensitif
ovarium.
b.Abnormalitas Korpus luteum
1. Insuffiensi Korpus luteum
Perkembangan korpus luteum yang inadekuat menyebabkan kurangnya produksi
progesteron dan kurangnya perubahan sekresi endometrium ditandai dengan
berkurangnya rasio prostaglandin F2α : prostaglandin E2 pada endometrium dan
darah haid. Terjadi premenstrual spotting dan / atau siklus pendek(3,9,18,26).
2. Persisten korpus luteum
Terjadi karena sekresi estrogen dan progesteron yang terus menerus. Tidak terjadi
penurunan tajam kadar hormon yang menyebabkan menstruasi terjadi(3,9,18,26).
Menyebabkan pelepasan fosfolipase A2 tidak adekuat dan pelepasan prostaglandin
tidak adekuat, dengan irregular shedding endometrium. Terjadi perpanjangan
menstruasi yang tidak normal dan fragmen endometrium ditemukan lebih dari 48
jam setelah onset menstruasi(19,27).
Perdarahan uterus ovulatorik tejadi karena kelainan hemostasis lokal endometrium.
Fisiologis, progesterone withdrawal sebagai pencetus perdarahan menstruasi. Melalui
rangsangan vasokontriksi arteri spiralis yang dimodulasi prostaglandin F2α dan
endotelin-1, yang ditemukan pada endometrium premenstruasi dan permukaan
miometrium. Prostaglandin dengan kerja vasodilator, prostaglandin E2 dapat diukur
5
Page 6
dari stroma endometrium dan prostaglandin I2 dari superfisial miometrium. Pada
menoragia rasio prostaglandin F2α : E2 menurun dan kadar prostaglandin I2 meningkat.
Nitrik oksida (NO) adalah vasodilator poten lain, dan penghambat agregasi trombosit
yang dapat ditemukan di kelenjar dan sel stroma endometrium. Nitrik oksida
mempengaruhi hemostasis menstruasi seperti kerja prostaglandin I2. Belum ada data
yang telah dipublikasikan tentang hubungan antara kadar nitrik oksida dengan volume
dan lama perdarahan menstruasi(10,19,27).
Mekanisme lain yang merangsang dan mengendalikan perdarahan menstruasi adalah
mediator sitokin. Matriks ekstraselular endometrium lepas karena pengaruh matriks
metaloproteinase (MMPs) dan enzim proteolisis lain yang dilepaskan sesuai dengan
penurunan kadar progesteron pada fase luteal. Produksi dan pelepasan matriks
metaloproteinase dengan mediator sitokin, termasuk interleukin 1 (IL-1) dan tumor
necrosing factor α (TNF α) yang disekresi sel mast dan sel lain yang bermigrasi ke
endometrium yang meningkat kemudian pada fase luteal(10,19,27).
2.3.2.Perdarahan uterus disfungsional anovulatorik
Perdarahan uterus disfungsional dengan siklus anovulatorik umumnya tejadi karena
abnormalitas endokrin.
1. Insufisiensi perkembangan folikel
Terjadi peningkatan progresif estrogen yang diikuti dengan turunnya sekresi
estrogen secara tiba-tiba karena umpan balik inhibisi dari hipofise, sehingga
proliferasi endometrium tidak diikuti proses iskemia. Dengan akibat, pelepasan
yang terjadi umumnya irregular, inkomplit dan berkepanjangan menyebabkan
perdarahan banyak. Siklus menjadi irregular. Pada thresthold bleeding, sekresi
estrogen meningkat tetapi titernya sekitar nilai ambang kritis, dibawah kadar yang
dapat memelihara endometrium. Sehingga terjadi perdarahan irregular dan asiklik.
2. Folikel ovarium persisten (metropatia hemoragik)
Tipe perdarahan uterus disfungsional klasik terjadi karena peningkatan sekresi
estrogen sangat lambat dan umpan balik inhibisi hipofise tidak terjadi. Stimulasi
endometrium yang lama oleh estrogen menyebabkan hiperplasia yang berlangsung
sampai estrogen turun atau bagian endometrium yang sedang tumbuh tidak
mendapat supply darah dan lepas. Siklus panjang dengan periode amenore yang
diikuti oleh pelepasan endometrium hiperplastik dan perdarahan banyak.
Pelepasan endometrium mungkin tidak komplit dengan akibat perdarahan terus
dan asiklik(10,19,27).
6
Page 7
Mekanisme perdarahan uterus disfungsional anovulatorik umumnya bersifat sistemik.
Kelainan mekanisme hemostsis local terjadi sekunder karena tidak adanya produksi
progesteron dan berhubungan dengan biosintesa endotelin-1, prostaglandin dan
substansi lain yang berperan pada hemostasis endometrium. Perdarahan uterus
disfungsional anovulatorik terjadi karena pengaruh endokrin terhadap kondisi
endometrium, estrogen menyebabkan terjadinya hiperplasia endometrium. Pada
keadaan anovulasi dapat terjadi perdarahan eksesif, karena pada keadaan tanpa
pelepasan progesteron dan tidak terjadi deskuamasi periodik maka tebal endometrium
menjadi abnormal tanpa struktur penyangga yang kuat. Vaskularisasi jaringan
meningkat, kelenjar bertambah tanpa matriks penyokong stroma yang kuat. Jaringan
ini fragil dan permukaannya akan mudah lepas dan berdarah. Tidak terjadinya ovulasi
menyebabkan perdarahan yang tidak dapat diprediksi(10,19,27).
2.4. Patologi Endometrium
Hubungan antara gambaran histologi endometrium dengan jumlah dan tipe
perdarahan sangat sedikit. Variasi yang lebar dari endometrium ditemukan pada
perdarahan uterus disfungsional, banyak kasus perdarahan uterus disfungsional
dengan sekresi endometrium normal (60 %).
Endometrium pada siklus ovulasi
a. Pematangan endometrium irregular, 15 – 25 kasus dengan menoragi ovulasi.
Endometrium dengan perubahan proliferatif dan sekretorik.
b. Pelepasan irregular
Terjadi maldesisualisasi endometrium dengan aktivitas sekresi glandula yang
berkepanjangan. Terjadi perubahan sel stroma dari nukleus yang besar bulat
menjadi sel pipih, pertanda fase proliferasi.
Endometrium pada siklus anovulasi
a. Proliferasi endometrium
Tipe ini ditemukan pada wanita dewasa dan sebelum menopause.
b. Hiperplasi endometrium
Diagnosa umum (30%) abnormalitas perdarahan uterus disfungsional.
Bervariasi dari penyimpangan ringan fase proliferasi (atipik) petanda
pertumbuhan adenokarsinoma endometrium. Struma dan glandula bertambah
dan dilatasi, dengan bentuk tipikal swiss cheese appearance. Terjadi
vaskularisasi vena pada permukaan endometrium. Terjadi infark dan trombosis
7
Page 8
pembuluh darah dengan nekrosis dan pelepasan lapisan superfisial endometrium
sehingga terjadi menoragia.
Hiperplasia endometrium mungkin mengalami pertumbuhan progresif dari
bentuk jinak menjadi hiperplasi adenomatous bahkan carninoma(19,27).
Endometrium Atropik
Sering pada perdarahan uterus post menopause. Dilatasi vena pada permukaan
endometrium yang tipis, jika ruptur menyebabkan perdarahan banyak(19,27).
Apoptosis endometrium
Penemuan baru oleh Stewart (1999). Proses rutin, hematoxylin dan eosin untuk
pengecatan biopsi endometrium terhadap 26 pasien, dengan gangguan menstruasi
abnormal umumnya menoragia, dan 24 kontrol. Hasil biopsi fase proliferasi dengan
batas normal. Apoptosis dan mitosis ditemukan pada minimal 100 potongan
melintang kelenjar endometrium. Dari 16 biopsi (12 kasus dengan perdarahan uterus
disfungsional dan 4 kontrol) gambaran apoptosis diidentifikasi pada sebagian besar
kontrol 5,6 /100 kelenjar, terjadi peningkatan apoptosis pada biopsi pasien dengan
perdarahan uterus disfungsional 13,9 /100 kelenjar(10).
Tidak terdapat perbedaan gambaran mitotik. 20-25 % apoptosis tipikal tidak dapat
ditandai. Apoptosis glandula endometrium tampak pada sebagian besar biopsi fase
proliferasi dan tampak meningkat pada perdarahan uterus disfugsional. Meningkatnya
apopotosis merupakan penanda morfologis perkembangan endometrium
abnormal(10,27).
Ovarium
Ukuran ovarium bervariasi tergantung umur dan perubahan endokrinologis. Pada
pubertas tampak kista folikular dengan > 3 cm tanpa korpus luteum baru/lama.
Ovarium pada usia reproduktif adalah normal disertai persisten korpus luteum.
Ovarium premenopouse dengan kista multipel dengan ukuran bervariasi dengan
ukuran bervariasi berhubungan dengan hiperplasia endometrium(10,27).
Normal Withdrawal Bleeding/Menstruasi
Dari semua hubungan hormonal-endometrium, endometrium paling stabil dan fungsi
menstruasi yang paling reproduktif dalam kualitas dan durasi perdarahan karena
estrogen progesteron post ovulasi. Dengan karakteristik gambaran perjalanan yang
khas (10,27).
Ada 3 alasan selflimited dari perdarahan withdrawal estrogen-progesteron
8
Page 9
1. Kejadian endometrium yang umum, karena onset dan timbulnya menstruasi
berhubungan dengan hormonal, sehingga perubahan menstruasi terjadi secara
simultan diseluruh segmen endometrium.
2. Lapisan endometrium yang dipengaruhi estrogen-progesteron dengan struktur
stabil dan terhindar dari lepasnya jaringan secara acak atau fragil/ kelemahan
jaringan. Terjadi disintegrasi iskemik endometrium yang sering dan progesif
berhubungan dengan lamanya vasokontriksi.
3. Saat mulainya menstruasi, fungsional setelah estrogen-progesteron
withdrawal . Diawali vasokontriksi kemudian terjadi iskemia. Stasis pembuluh
darah, terjadi vasokontriksi lama dan kollaps endometrium menyebabkan
faktor pembekuan menutupi daerah yang berdarah. Dapat dilihat adanya
aktivitas estrogen(27).
Estrogen Withdrawal Bleeding
Kategori perdarahan ini terjadi pada penderita setelah ooforektomi bilateral, radiasi
folikel matur atau pemberian estrogen kemudian terapi dihentikan. Perdarahan terjadi
karena penghentian estrogen eksogen. Perdarahan pertengahan siklus terjadi sekunder
karena estrogen tiba-tiba dihentikan(27).
Estrogen Breakthrough Bleeding
Terdapat hubungan semikuantitatif antara stimulasi estrogen pada endometirum
dengan tipe perdarahan. Dosis estrogen yang relatif rendah menimbulkan perdarahan /
spotting intermitten yang berkepanjangan, tetapi secara umum jumlah perdarahan
sedikit. Di lain pihak kadar estrogen yang tinggi dan menetap menyebabkan periode
amenore yang kemudian diikuti perdarahan akut, profuse dengan kehilangan darah
yang banyak(27).
Progesteron Withdrawal Bleeding
Pelepasan korpus luteum menyebabkan deskuamasi endometrium. Secara
farmakologis, kejadian yang sama dapat terjadi dengan pemberian kemudian
penghentian pemberian progesterone atau sebuah nonestrogenik progestin sintetis.
Progesterone withdrawal bleeding terjadi jika endometrium awalnya telah mengalami
proliferasi karena pengaruh estrogen endogen atau estrogen eksogen. Jika terapi
estrogen dilanjutkan dengan progesterone, progesterone with drawal bleeding tetap
terjadi. Hanya jika kadar estrogen meningkat 10-20 kali maka progesterone
withdrawal bleeding akan terhambat(27).
9
Page 10
Progesteron Breakthrough Bleeding
Progesteron breakthrough bleeding terjadi pada rasio progesteron : estrogen tinggi.
Pada keadaan tanpa estrogen, terapi progesteron terus menerus akan menyebabkn
perdarahan intermitten dengan durasi bervariasi. Terjadi pada penggunaan progestin
jangka panjang seperti Norplant, Depo Provera(27).
2.5. Presentasi Klinik
Perdarahan uterus disfungsional dievaluasi berdasarkan kelompok umur dan
gambaran perdarahan / menogram.
Kelompok Umur:
a. Perimenar :
Penyakit organik dan keganasan sangat jarang dan perdarahan abnormal
sebagian besar karena disfungsional. Perdarahan uterus disfungsional pada
perimenar karena imaturitas hipotalamus dan umpan balik positif yang tidak
adekuat dan sering disertai menstruasi irregular karena kegagalan ovulasi atau
ovulasi terhambat, 40-50% kasus terselesaikan setelah 2 tahun. Prognosis lebih
baik dibandingkan dengan perdarahan uterus disfungsional yang terjadi pada
periode menstruasi normal dibandingkan dengan perdarahan uterus
disfungsional pada menar.Gangguan perdarahan harus disingkirkan dan
sebagian besar kasus ditangani dengan medikamentosa.
b. Dewasa
Sebagian besar perdarahan uterus disfungsional pada wanita usia reproduktif
dengan siklus ovulasi dan masalah dapat diatasi dengan spontan.
c. Perimenopause:
Perdarahan sebagian besar disfungsional. Singkirkan kelainan organik seperti
fibromioma, karsinoma endometrium sebelum diagnosa perdarahan uterus
disfungsional ditegakkan. Perdarahan diluar siklus dan lebih dari 50 % kasus
disertai hiperplasia endometrium(2,3,27).
Gambaran perdarahan / menogram
a. Perdarahan siklik berulang
Menoragia mungkin berhubungan dengan mioma atau penyakit radang
panggul mungkin juga perdarahan disfungsi ovulasi prognosis favorable.
b. Perdarahan irregular / diluar siklus
Mungkin disertai kelainan organik traktus genitalia bisa suatu perdarahan
anovulasi.
10
Page 11
Prognosis kurang baik, pada perimenopause harus diambil sampling
endometrium.
c. Perdarahan diantara siklus mentruasi / metrogia
Polip serviks dan endometrium, mioma sub mukus dan karsinoma serviks,
dapat menyebabkan perdarahan banyak.
Perdarahan pertengahan siklus, regular terjadi pada perdarahan uterus
disfungsional ovulasi kerena turunnya sekresi estrogen(3,10,27).
2.6. Diagnosa
Diagnosa perdarahan uterus disfungsional adalah diagnosa eksklusi. Kesulitan utama
diagnosis adalah memutuskan pemeriksaan apa yang dibutuhkan untuk
menyingkirkan kelainan organik di uterus(3,4,11,27).
Anamnesa
Umur, paritas, fertilitas, jumlah, durasi dan gambaran perdarahan. Gejala menstruasi
yang menyertai, gejala berkaitan dengan penyakit organik dan endokrin.
Kontrasepsi, hamil, stres emosional, gangguan psikiatri, latar belakang sosial dan
personal(3,4,26,27).
Pemeriksaan
Pemeriksaan untuk mengetahui kondisi umum pasien dan pemeriksaan abdominal dan
pelvis. Tujuan pemeriksaan untuk mengetahui kelainan yang menyebabkan
perdarahan uterus disfungsional, eksklusi penyakit intra uterin dan kelainan yang
berhubungan dengan perdarahan.
- Hematologi : darah lengkap, blood smear, profil koagulasi seperti bleeding
time, cloting time, trombosit count, protrombin time, APTT (activated partial
thromboplastin time).
- Transvaginal sonografi untuk menyingkirkan massa pelvis dan
komplikasinya. Endometrium bersifat dinamis, respon cepat terhadap stimulasi
ovarium sesuai dengan stimulasi hormonal endogen dan eksogen. Respon itu
tampak dari ketebalan, echogenitas, tekstur endometrium. Transvaginal
sonografi tidak bisa membedakan kelainan intracavitas
- Saline infusion sonography, infus salin dalam cavum uteri, jarak cavum
uteri diukur dan untuk melihat lesi cavum uteri, sangat nyeri pada pasien syok.
- Dilatasi dan kuretasi
Umum dikerjakan dan menggantikan pemeriksaan histeroskopi. Dilatasi dan
kuretasi, pengambilan sampel untuk pemeriksaan histologi, untuk mengetahui
11
Page 12
kelainan organik intrauterin seperti hiperplasia endometrium, carcinoma
endometrium, tuberkulosis. Dilatasi dan kuretasi merupakan prosedur
diagnostik tetapi tidak banyak membantu pada perdarahan banyak dan tidak
mengurangi perdarahan pada siklus berikutnya.
- Histeroskopi
untuk mengevaluasi area yang mengalami kelainan. Untuk rencana terapi dan
mengurangi pembedahan yang tidak diperlukan. Sensitivitasnya 98 %
sehingga menggantikan dilatasi dan kuretasi.
- Pap smear, FSH dan LH, T3/T4, dan TSH(1,8,27,29).
12
Page 13
BAB 3
PENANGANAN PERDARAHAN UTERUS DISFUNGSIONAL
Pilihan terapi perdarahan uterus disfungsional sangat lebar, termasuk penggunaan
nonsteroid anti inflammatory drugs ( NSAID ), anti fibrinolitik, hormonal dan
penanganan bedah. Sangat banyak pilihan obat yang efektif tetapi gejala akan muncul
lagi pada saat terapi dihentikan. Terapi jangka panjang mungkin dibutuhkan sehingga
berat dan frekuensi efek samping harus diperhitungkan(26,30).
Tujuan terapi perdarahan uterus disfungsional adalah :
1. mengendalikan perdarahan akut.
2. mencegah kekambuhan secara episodik / berulang.
3. mencegah komplikasi(26,30).
Menurut evidence-based pengobatan yang efektif untuk perdarahan uterus
disfungsional adalah :
- Asam traneksamat
- NSAID
Selanjutnya adalah :
- Kontrasepsi oral kombinasi
- Progesteron siklik ( hari ke-21 )
- Hormonal IUD
Dengan demikian yang rasional berdasarkan patofisiologi penyakit untuk mengatasi
kelainan yang terjadi diharapkan dapat meningkatkan efektivitas terapi, kepuasan
pasien dan alternatif bagi tindakan bedah(9,26,30).
3.1.Penanganan medikamentosa
Perdarahan uterus disfungsional dapat terjadi dengan keluhan kronis, perdarahan
irregular, berkepanjangan atau perdarahan di luar siklus haid yang tidak mengancam.
Tetapi pasien dengan perdarahan uterus disfungsional dapat juga mengalami
perdarahan banyak dan harus mendapat penanganan secepatnya. Penderita dengan
perdarahan akut dan banyak memerlukan terapi intensif(9,26,27,30).
Beberapa peneliti membagi perdarahan uterus disfungsional kedalam beberapa
kategori berdasarkan kadar hemoglobin yaitu perdarahan uterus disfungsional ringan
jika kadar hemoglobin > 11 gr/dl, sedang jika hemoglobin 9-11 gr/dl, berat jika
hemoglobin < 9gr/dl Konsentrasi hemoglobin yang rendah secara obyektif dapat
dipakai untuk memprediksi perdarahan yang terjadi(11).
13
Page 14
Kandidat terapi medikamentosa adalah wanita tanpa lesi organik, yang mengalami
perdarahan uterus disfungsional dan menghindari pembedahan serta berharap
mempertahankan fertilitas. Terapi medikamentosa dibagi menjadi terapi hormonal dan
non hormonal(9,23,26,27).
3.1.1. Terapi hormonal
Penggunaan terapi hormonal kurang tepat untuk mengatasi penyebab perdarahan
uterus disfungsional karena defek hormonal tidak ditemukan. Terapi hormonal untuk
mengandalikan siklus menstruasi secara eksternal sehingga perdarahan eksesif dapat
dihindarkan. Terapi hormonal tergantung pada karakteristik endometrium(6,9,20,27).
3.1.1.1. Progestin
Terapi dengan progestin ditujukan pada keadaan anovulasi, fungsi korpus luteum
tidak adekuat atau durasi korpus luteum yang tidak adekuat yang ditandai dengan
episode oligomenore yang diikuti perdarahan eksesif. Frekuensi anovulasi tinggi pada
adolesen dan pada dekade dekat menopause(27).
Progestin merupakan anti estrogen jika diberikan dalam dosis farmakologis. Progestin
menstimulasi kerja 17 β hydroxysteroid dehydrogenase dan sulfotransferase yang
berperan dalam perubahan estradiol menjadi estron sulfat. Progestin juga menghambat
efek estrogen di di sel target dengan menghambat kerja reseptor estrogen. Progestin
menghambat transkripsi onkogen dengan mediator estrogen(27).
Progestin bersifat antimitotik, mencegah hiperplasia endometrium, membatasi
pertumbuhan endometrium post ovulasi. Perdarahan eksesif sering terjadi karena
pelepasan yang irregular dari endometrium yang tumbuh secara berlebihan. Pada
wanita dengan siklus anovulasi, progestin membuat siklus menjadi ovulasi dan
menstruasi yang terjadi siklik(6).
Norethisteron dan medroxy progesteron asetat efektif untuk penanganan perdarahan
uterus disfungsional anovulatorik. Tidak efektif untuk perdarahan ovulatorik jika
diberikan dengan dosis rendah selama 5-10 hari pada fase luteal. Norethisteron dapat
untuk terapi menoragia ovulasi jika diberikan dengan dosis yang lebih tinggi selama 3
minggu ( 5 mg tiga kali sehari mulai hari 5 sampai hari 26 ) (6,9,13).
a. Pemberian sesuai siklus
Pada kasus dengan hiperplasia endometrium, diberi norehisteron asetat 5 mg/hr atau
medroxy progesteron asetat 10 mg/hr dari hari 5 sampai 25 selama 3 siklus(3,19,26,27).
14
Page 15
b. Pemberian sistemik terus menerus
Progestin diberikan terus menerus untuk menangani menoragia ovulatorik.
Norethisteron untuk terapi menoragia ovulatorik diberikan selama tiga minggu dengan
dosis 5 mg 3 kali sehari mulai hari 5 sampai hari 26 menstruasi. Depo-provera 80%
membuat amenore dalam 1 tahun dan mungkin 50 % dengan perdarahan iregular
dalam 1 tahun (3,19,26,27).
c. Pemberian lokal terus menerus
Progestin diberikan melalui impregnated IUD mengurangi perdarahan menstruasi.
Kadang-kadang diberikan sementara pada pasien yang akan dihisterektomi. Terapi
efektif untuk menoragia (kategori A), mengurangi perdarahan sampai 90 % dan
efektif sebagai kontrasepsi(9,12,26).
Levonorgestrel intrauterine system ( LNG IUS, Mirena, Shering health ), sistem ini
melepaskan 20 µg levonorgestrel setiap 24 jam dalam formulasi pelepasan tetap, dan
kedaluwarsa dalam 5 tahun. Pemberian progesterone secara langsung ke dalam cavum
uteri mengurangi absorpsi sistemik(9,12,26).
Penelitian awal pada 20 wanita yang mengalami menoragia menunjukkan jumlah
perdarahan berkurang dari yang rata-rata sebelum terapi 176 ml menjadi 24 ml setelah
3 bulan dan 5 ml setelah 12 bulan. Dan 7 wanita ( 35 % ) mengalami amenore pada
akhir penelitian(26).
Efektivitas levonorgestrel intra uterine system untuk terapi menoragia telah
dibandingkan dengan noresthisteron oral dan reseksi endometrium. 44 wanita dengan
menoragia diberi noresthisteron 5 mg tiga kali sehari dari hari 5 sampai hari 21 atau
dengan levonorgestrel. Perdarahan menstruasi yang diukur sebelum dan setelah 3
siklus berkurang mencapai batas normal pada kedua group. Tidak terdapat perbedaan
yang bermakna tentang efek samping diantara kedua kelompok, spotting diluar siklus
53 % pada levonorgestrel dan 13 % pada progesteron oral. 80% memutuskan untuk
melanjutkan levonorgestrel dan 20 % noresthirenon(12).
Penelitian lain melibatkan 70 wanita premenopause dengan perdarahan uters
disfungsional secara random dibandingkan penggunaan levonorgestrel atau reseksi
endometrium. Perdarahan diukur secara semiobyektif dengan kuisioner kesehatan
umum yang diselesaikan setelah 12 bulan. Perkiraan perdarahan berkurang 79 % pada
kelompok levonorgestrel dan 89 % pada reseksi endometrium(29).
Efek yang tidak diinginkan dari penggunaan levonorgestrel intra uteri adalah
terjadinya perdarahan lucut irregular dan spoting, terutama beberapa bulan setelah
15
Page 16
insersi. Sebanyak 20 % akan mengalami amenore dalam 1 tahun pemakaian. Angka
ekspulsi spontan sekitar 3,3-5,9 % dalam 12 bulan(9,12,26).
3.1.1.2. Estrogen
Pada perdarahan akut dan banyak, dapat digunakan estrogen dosis tinggi yaitu 25 mg
Conjugated estrogen intravena setiap 4 jam sampai perdarahan berkurang atau dalam
24 jam.Estrogen memicu penyembuhan dengan mekanisme kerja stimulasi proses
pembentukan klot di tingkat kapiler endometrium. Jika perdarahan yang terjadi
sedang/tidak banyak dapat diberikan 1,25 mg Conjugated estrogen atau 2 mg
estradiol secara oral setiap 4 jam selama 24 jam diikuti dengan dosis tunggal selama
7-10 hari. Setiap terapi dengan estrogen harus diikuti dengan pemberian progestin dan
akan terjadi perdarahan withdrawal(27).
3.1.1.3. Kombinasi estrogen dan progesteron
Oral kontrasepsi sangat popular digunakan untuk mengatasi perdarahan uterus
disfungsional ovulasi dan anovulasi. Kombinasi estrogen dan progesteron mengurangi
perdarahan menstruasi sekitar 50 %. Mekanisme kerjanya melalui supresi
endometrium. Wanita yang menggunakan pil kombinasi sebagai kontrasepsi
perdarahan menstruasinya akan berkurang. Karena dengan pil kombinasi akan terjadi
pelepasan regular dari endometrium yang tidak tebal(2,27,29.
Iyer tahun 2001 melakukan penelitian random seperti yang dikutip oleh Surendra
tahun 2002, perdarahan menstruasi berkurang 43 % dengan penggunaan pil kombinasi
seefektif penggunaan asam mefenamat, naproxen dan danasol(28).
Terapi dengan mengatur siklus serta mengurangi perdarahan diberikan pada usia
reproduktif dan perimenopause. Pil kombinasi kurang popular karena efek samping
tromboemboli dan kelainan arteri terutama pada wanita di atas 35 tahun(29).
16
Page 17
(30)
3.1.1.4. Danazol
Danasol adalah androgen sintetik dengan kerja antiestrogen dan anti progesteron.
Bentuk sintetik isoxazole derivatif 17 alpha ethinyl testosteron. Danazol menghambat
pelepasan gonadotropin. Aktivitas androgenik, menekan ovulasi, mengurangi
produksi 17 β estradiol ovarium dan efek langsung pada reseptor estrogen
endometrium(26,27).
Dosis 200 – 800 mg / hr, Danazol dapat mengurangi perdarahan secara bermakna dan
terjadi amenore pada dosis 400 mg atau lebih per hari.Danazol sering digunakan
untuk terapi sementara pada preoperative untuk atrofi endometrium sebelum
dilakukan reseksi endometrium(29).
Efek samping berat badan meningkat, jerawat, kulit berminyak, suara parau,
pertumbuhan rambut meningkat(27,29).
3.1.1.5.GnRH agonis
Penggunaan GnRH analog pada perdarahan uterus disfungsional melalui desensitisasi
hipofise dan terjadi hambatan aktivitas siklik ovarium. Keadaan hipogonadotropik
yang reversibel. Diberi dalam bentuk depot. Akan terjadi supresi ovarium dan
amenore dengan masalah hipoestrogenism seperti hot fluses, kekeringan vagina dan
kehilangan densitas mineral tulang. Panggunaan GnRH analog memerlukan add back
terapi dengan estrogen/progesteron(27,29).
3.1.2. Terapi non hormonal
Senyawa antifibrinolitik dan antiprostaglandin hanya bermanfaat apabila digunakan
pada saat menstruasi dan sangat bermanfaat untuk pasien-pasien yang tidak
menginginkan terapi hormonal atau membutuhkan kontrasepsi(20,29).
17
Page 18
3.1.2.1.Pengobatan dengan senyawa antiprostaglandin
Sesuai dengan rekomendasi berdasarkan evidence based medicine NSAID efektif
untuk mengurangi perdarahan menstruasi banyak ( Grade A ) . Prostaglandin
endometrium meningkat pada menstruasi yang eksesif. Mekanisme kerja utama
NSAID mengurangi produksi prostaglandin endometrium dengan menghambat enzim
cycloxygenase yang berperan pada perubahan asam arachidonat menjadi
prostaglandin. Endometrium kaya akan prostaglandin F2α dan prostaglandin E2, dari
penelitian diketahui konsentrasi prostaglandin endometrium meningkat pada wanita
menoragia. NSAID mengurangi konsentrasi prostaglandin dengan menghambat kerja
enzim cyclo-oxygenase. NSAID merupakan terapi medikamentosa lini pertama pada
penanganan menoragia, NSAID mengurangi perdarahan menstruasi sekitar 20-50%
jika digunakan selama menstruasi. Pemakaian NSAID ini sangat dianjurkan terutama
pada penderita yang memiliki kontra indikasi terhadap pemakaian hormon estrogen
maupun progesteron(9,26,30).
Pemberian asam mefenamat peroral dengan dosis 3 kali 500 mg per hari. Obat ini
mencapai kadar puncak plasma setelah 30-60 menit dan memiliki waktu paruh di
serum 1-3 jam. Asam mefenamat dapat mengurangi perdarahan sampai 25 % pada ¾
wanita dengan menoragia. Efektif pada perdarahan ovulasi. Perdarahan mentruasi
berkurang 24 % pada wanita dengan perdarahan uterus disfungsional ovulatorik yang
diberi asam mefenamat dibandingkan 20 % dengan yang diberi norhisteron(13,26,30).
Pada penggunaan danazol yang dibandingkan dengan asam mefenamat, didapatkan
perdarahan berkurang 22 % pada kelompok danazol dibandingkan dengan 56 % pada
yang menggunakan asam mefenamat(8).
Pemberian Naproxen atau Ibuprofen 600 – 1200 mg/hr dimulai hari pertama haid
dilanjutkan selama 5 hari atau sampai haid berhenti(21).
Efek samping berupa diare dan nyeri abdomen. Asam mefenamat sebagai terapi
inisial lebih baik karena tidak mahal dan efek samping minimal(26,30).
Asam mefenamat, flurbiprofen, asam meclopenamat, ibuproven, naproxen dan
sodium diclopenak yang diberikan selama menstruasi semuanya efektif. Tidak ada
bukti perbedaan efektivitas diantara NSAID yang tersedia. NSAID juga membantu
wanita dengan keluhan dismenore dan 70 % rasa nyeri dapat diatasi(9,26,30).
18
Page 20
3.2. Penanganan Bedah
Penanganan bedah dilakukan jika tidak berrespon atau refrakter dengan terapi
medikamentosa atau dengan kontrindikasi atau intoleran terhadap efek samping. Ada
4 prosedur bedah yang dapat diikuti :
- kuretasi
- histerektomi
- embolisasi arteri uterin
- ablasi endometrium(1,13,20,26).
3.2.1. Kuretasi
Dalam kurun waktu yang cukup lama kuret dianggap sebagai terapi perdarahan uterus
disfungsional. Tidak pernah ada laporan tentang efektifitas kuretasi dalam
penanganan perdarahan uterus disfungsional dan kuretasi bukan merupakan terapi
yang efektif sehingga untuk saat ini tidak direkomendasikan(20,26).
3.2.2. Histerektomi
Penyembuhan total dan mengangkat setiap patologi. Wanita diatas 40 tahun,
histerektomi dianjurkan pada semua kasus dengan perdarahan persisten atau berulang
dan respon terapi medis tidak komplit. Pilihan terakhir pada wanita reproduktif(19,25).
Varol dkk. Tahun 2001, melalui penelitian prosfektif multisenter mendapat angka
morbiditas histerektomi per abdominal dan transvaginal 44,0 % dan 27,3 % dengan
angka mortalitas histerektomi pada kelainan jinak ginekologi 15/10.000 kasus(20).
Morbiditas laparoskopi histerektomi yang dilaporkan oleh Garry dan Phillips sekitar
15,6 %. Lama rawat inap lebih singkat(20).
Karena komplikasi tindakan histerektomi termasuk perlengketan, trauma vesika
urinaria dan usus, infeksi, perdarahan post operasi dan woud dehiscens, maka dalam
perkembangannya histerektomi mulai ditinggalkan dalam penanganan perdarahan
uterus disfungsional(9,25).
3.2.3. Embolisasi arteri uterina
Tehnik bedah vascular dengan bantuan flouroskopi, dilakukan obstruksi pembuluh
darah yang mensupply darah ke uterus dengan mikropartikel sintetik melalui
kateterisasi arteri femoralis. Salah satu pilihan terapi jika pembedahan sulit. Operasi
dilakukan dengan anestesi lokal atau regional dan sedasi. Efektivitas jangka panjang
dan keamanan tehnik bedah ini masih dalam tahap penelitian(20,29).
20
Page 21
3.2.4. Ablasi endometrium
Ablasi endometrium mulai diperkenalkan dalam praktek klinik pada akhir tahun
1980an sebagai alternatif terapi yang kurang invasive pada penanganan perdarahan
uterus disfungsional, dibandingkan dengan histerektomi. Karena biaya, resiko dan
komplikasi histerektomi dan kenyataan bahwa 20 % uterus tanpa kelainan patologis,
validitas histerektomi dipertanyakan(20,26).
Penghancuran selektif endometrium dan uterus masih dipertahankan, terapi jangka
panjang. Pada awalnya tehnik ablasi endometrium menggunakan fotokauter atau
elektrokauter, dengan menghancurkan ketebalan endometrium dengan bimbingan
visualisasi histeroskopi dan irigasi cairan. Baku emas ablasio endometrium adalah
hyteroscopically directed thermal ablation. Luas digunakan, efektif dan tahan lama.
Tehnik ablasi endometrium ini dengan risiko komplikasi perforasi dan absorpsi cairan
yang banyak(26,31).
Kemudian dikembangkan tehnik baru, untuk menghancurkan endometrium tanpa
risiko perforasi dan absorpsi cairan dengan pemakaian intra uterin elektroballon
endometrial ablation. Tehnik ini membutuhkan skill yang lebih baik dan sangat
sedikit data publikasinya(20,29,31).
Prospek terapi bedah pada penanganan perdarahan uterus disfungsional diteliti secara
random trial oleh dengan membandingkan ablasi endometrium dengan histerektomi,
¼ wanita dengan ablasi endometrium mengulangi ablasi atau histerektomi untuk
mengatasi perdarahan uterus disfungsional. Hasil ablasi dapat lebih baik dengan
supresi endometrium selama 4 – 6 jam dengan pemberian progentin, GnRH atau
Danazol(29,31).
Beberapa teknik ablasio endometrium :
1. Hot water thermal ballon
2. Radio frequency thermal ballon
3. Hydrothermal ablation
4. Bipolar three dimentional device
5. Microwave 9,2 GHz applicator
6. Laser interstitial hyperthermy
7. Cryo-ablation(29,31).
21
Page 22
BAB 4
PENGGUNAAN ASAM TRANEKSAMAT
PADA PERDARAHAN UTERUS DISFUNGSIONAL
Penanganan medikamentosa perdarahan menstruasi banyak sangat bervariasi,
termasuk NSAID ( asam mefenamat, naproxen ), antifibrinolitik ( asam traneksamat ),
hormon ( norethisteron, danazol, kontrasepsi oral, obat intrauterine ( progestogen-
releasing intrauterine system ). Gejala akan timbul berulang setelah terapi dihentikan,
sehingga untuk terapi jangka panjang harus dipertimbangkan berat dan frekuensi efek
samping(26).
Aktivitas fibrinolitik yang hebat terjadi pada wanita dengan menoragia. Proses ini
terjadi akibat adanya aktivitas enzimatik dari plasmin atau plasminogen sehingga
terjadi degradasi fibrin, fibrinogen, faktor V, faktor VII dan beberapa protein lainnya.
Plasminogen adalah senyawa tidak aktif yang kemudian menjadi bentuk aktif berupa
plasmin karena pengaruh aktivator jaringan seperti urokinase, tripsin, dan
streptokinase. Proses aktivasi plasminogen ini ternyata dapat dihambat oleh asam
aminokaproat dan asam traneksamat. Telah terbukti bahwa kedua jenis asam ini
berhasil mengurangi perdarahan pada perdarahan uterus disfungsional.
Antifibrinolitik merupakan lini pertama untuk menoragia usia muda.Dosis yang
diberikan adalah 1 gram per hari, dibagi dalam 4 kali pemberian selama 4-7 hari dan
dapat diulang setiap siklus. Asam traneksamat adalah padanan dari asam
aminokaproat(9,26,30).
Asam traneksamat adalah asam amino, derivat lisin sintetik yang memiliki efek
antifibrinolitik yang menghambat ikatan lisin pada plasminogen dan mencegah
degradasi fibrin. Asam traneksamat diproduksi pertama kali di Swedia tahun 1969.
Struktur kimia asam traneksamat :
Tranexamic-stereo isomer 1,4, amino methycyclohexane carboxylic acid.
Formula C8H15NO2
Molekular Wt-157.
Mekanisme kerja asam traneksamat :
- Menghambat konversi plasminogen menjadi plasmin, mencegah lepasnya
bekuan darah.
- Meningkatkan sintesa kolagen yang mempertahankan matriks fibrin dan
meningkatkan kekuatan bekuan darah.
- Membantu stabilisasi bekuan darah(28).
22
Page 23
Asam traneksamat difiltrasi glomerulus dan diekskresi melalui ginjal(7).
Pada penelitian klinis terhadap wanita dengan menoragia idiopatik, pemberian asam
traneksamat 2-4,5 gr / hari selama 4-7 hari dapat mengurangi perdarahan menstruasi
sekitar 34-59 % dalam 2-3 siklus dan bermakna secara signifikan dibandingkan
dengan plasebo, asam mefenamat, flurbiprofen, etamsilat dan noresthisteron oral fase
luteal(8).
Dengan asam traneksamat 1,5 gr tiga kali / hari selama 5 hari juga bermakna dalam
mengurangi perdarahan menstruasi pada wanita yang menggunakan IUD yang
mengalami menoragia dibandingkan dengan sodium diklofenak 150mg tiga kali / hari
pada hari 1 dilanjutkan 25 mg tiga kali / hari pada hari 2-5 atau jika dibandingkan
dengan plasebo(10).
Agen antifibrinolitik seperti asam traneksamat merupakan terapi yang rasional dan
efektif, dapat mengurangi perdarahan menstruasi sampai 50 %. Studi komparatif
membandingkan asam traneksamat lebih baik dalam mengurangi jumlah perdarahan
dibandingkan inhibitor sintesa prostaglandin 56 % dan 44 % setelah pemberian asam
traneksamat serta 21% dan 24 % setelah pemberian flubiprofen dan sodium
diklofenak(9,26,31).
Pada penelitian yang lebih besar oleh Wellington tahu 2003, dengan studi non
komparatif, non blinding didapatkan data bahwa 86 % wanita yang mendapat 3-6 gr
asam traneksamat selama 3-4 hari per siklus selama 3 siklus mengalami jumlah
perdarahan 94 % dibandingkan dengan yang tidak diobati(31).
23
Page 24
Lakhani dkk. tahun 2002, melakukan penelitian untuk mengetahui efek asam
traneksamat terhadap resistensi vascular uterus pada wanita yang mengalami
perdarahan uterus disfungsional. Studi prospektif longitudinal melibatkan wanita
premenopause dengan keluhan menoragia, dengan umur rata-rata 38,8 tahun, USG
normal, histeroskopi dan biopsi endometrium normal. Tanpa oral kontrasepsi atau
obat lain yang dapat mempengaruhi resistensi vaskular uterus. Semua wanita itu
dengan fungsi koagulasi dan tirod normal. Dengan penggunaan asam traneksamat, 30
% perdarahan berkurang sekitar 210,0-137,6 ml. Asam traneksamat bermakna
mengurangi resistensi vaskular arteri uterine pada wanita dengan perdarahan uterus
disfungsional(19).
Joseph Y. Lee tahun 2000 di Kanada melakukan penelitian untuk mengevaluasi
efektivitas asam traneksamat pada penanganan menoragia. Wanita yang berusia 18-45
tahun dengan perdarahan menstruasi banyak diberikan asam traneksamat 1 gr per oral
setiap 6 jam dari hari 1-3 setiap menstruasi. Rata-rata darah menstruasi berkurang
47,4 %. Efek samping mayor tidak ada yang dilaporkan. Dari penelitian itu
disimpulkan asam traneksamat efektif, ditoleransi dengan baik dan dapat dipakai
sebagai terapi lini pertama untuk menoragia(17).
Efek samping yang terjadi karena inhibisi plasminogen aktivator berupa trombosis
intravaskular, hipotensi, miopati, diare, vomiting, nause dan dispepsia. Obat ini tidak
boleh diberikan pada pasien dengan disseminated intravascular coagulation karena
potensi cloting yang berlebihan(9,10,27).
Efek samping tergantung dari dosis, ⅓ dengan keluhan gastrointestinal dengan dosis
terapi 3-6 gram asam traneksamat setiap hari. Karena jumlah perdarahan 90 % hilang
pada hari 1-3 menstruasi, efek samping dapat dikurangi dengan pembatasan hari
pemberian antara 3-4 hari pertama haid(10,27).
Efek samping penggunaan asam traneksamat adalah tromboemboli. Studi histokimia
gagal membuktikan supresi fibrinolisis vena superfisialis pada wanita yang
menggunakan 3-4 gr asam traneksamat per hari selama 3 bulan. Di Skandinavia
dimana asam traneksamat digunakan sebagai lini pertama terapi menoragia sejak awal
tahun 1970, tidak dijumpai bertambahnya insiden tromboemboli pada wanita usia
reproduktif. Tidak ada bukti meningkatnya risiko trombosis pada wanita yang
menggunakan asam traneksamat, kecuali ada riwayat trombofili(27).
Total insiden efek samping yang timbul dari penggunaan asam traneksamat pada
perdarahan uterus disfungsional sebesar 12 % yang diperoleh dari penelitian double
24
Page 25
blind yang dilakukan Carl tahun 1996. Dengan pemberian 1 gr empat kali sehari
selama 2 siklus tidak bermakna perbedaannya dibandingkan dengan plasebo(9).
25
Page 26
BAB 5
RINGKASAN
Perdarahan uterus disfungsional adalah perdarahan abnormal dari uterus tanpa
ditemukan kelainan organik pada traktus genitalia maupun ekstra genitalia.
Perdarahan uterus disfungsional terjadi hanya akibat gangguan fungsi mekanisme
kerja poros hipotalamus, hipofise dan ovarium serta target organnya dalam hal ini
endometrium. Perdarahan uterus disfungsional dapat terjadi pada siklus ovulatorik
atau anovulatorik. Prevalensi tinggi pada adolesen dan premenopause.
Tujuan terapi perdarahan uterus disfungsional adalah :
1. mengendalikan perdarahan akut.
2. mencegah kekambuhan secara episodik / berulang.
3. mencegah komplikasi.
Menurut evidence-based pengobatan medikamentosa yang efektif untuk perdarahan
uterus disfungsional adalah :
- Asam traneksamat
- NSAID
Selanjutnya adalah :
- Kontrasepsi oral kombinasi
- Progesteron siklik ( hari ke-21 )
- Hormonal IUD
Aktivitas fibrinolitik yang hebat terjadi pada wanita dengan menoragia. Proses ini
terjadi akibat adanya aktivitas enzimatik dari plasmin atau plasminogen sehingga
terjadi degradasi fibrin, fibrinogen, faktor V, faktor VII dan beberapa protein lainnya.
Proses aktivasi plasminogen ini ternyata dapat dihambat oleh asam aminokaproat dan
asam traneksamat. Asam traneksamat adalah asam amino, derivat lisin sintetik yang
memiliki efek antifibrinolitik yang menghambat ikatan lisin pada plasminogen dan
mencegah degradasi fibrin. Mekanisme kerja asam traneksamat :
- Menghambat konversi plasminogen menjadi plasmin, mencegah lepasnya
bekuan darah.
- Meningkatkan sintesa kolagen yang mempertahankan matriks fibrin dan
meningkatkan kekuatan bekuan darah.
- Membantu stabilisasi bekuan darah.
Efek samping yang terjadi karena inhibisi plasminogen aktivator berupa trombosis
intravaskular, hipotensi, miopati, diare, vomiting, nause dan dispepsia. Obat ini tidak
26
Page 27
boleh diberikan pada pasien dengan disseminated intravascular coagulation karena
potensi cloting yang berlebihan.
27
Page 28
DAFTAR PUSTAKA1. Alicia M.W., Gynecology : Abnormal Vaginal Bleeding, Menstrual Problems
and Secondary Amenorhea, University of Iowa Family Practice Handbook, Fourth Ed., Chapter 13, Departement of Family Medicine, Univ. Iowa College of Medicine and Hospitals and Clinics, 2002.
2. Barbara W. dkk., V.T.S. Swaansea Bay, SA 28QA, www. Primarycare-wales.org.uk/vt/schemes/swensea, July 2004.
3. Baziad,Pengobatan Perdarahan Uterus Disfungsional dalam Endokrinologi Ginekologi, ed 2, hal. 61-70, Media Aesculapius Jakarta, 2003.
4. Berek j.s. dkk, Novak’s Gynecology, twelfth ed., 336-349, Wiliams & Wilkins,USA, 1996.
5. Beth A.C., dkk., Cyclic Perimenopause Pain and Discomfort ; The Scientific Basis for Practice, JOGNN, 31, 637-649, The Assosiation of Women Health, Obstetry and Neonatal Nurses, Washington DC, 2002.
6. Bongers M. dkk., Current Treatment of Dysfunctional Uterine Bleeding , Maturitas, Mar 15 ; 47 (3) 159-74, 2004.
7. Bonnar J. and Sheppard B.L., Treatment of Menorrhagia during Menstruation : Randomised Controlled Trial of Ethamsylate, Mefenemic Acid and Tranexamide Acid, BMJ 313 : 579-587, Dublin, Sept 1996.
8. Carl E.W., Menorrhagia : a Clinical Update, MJA; 165 : 510-514, 1996.9. Cooke I., Lethaby A., Farquhar C., Antifibrinolitics for Heavy Menstrual
Bleeding ( Cohrane Review ), In : The Cochrane Library, Issue 3, 2000, Oxford : Update Software.
10. Desai P. dan Bhatt JK., Dysfunctional Uterine Bleeding in Clinical and Advance Endocrinology in Reproductive Endocrinology, 2nd ed., 331-342, Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd, New Delhi , 2001.
11. Friedman dkk., Menoragia pada Sari Skema Diagnosis dan Penatalaksanaan Ginekologi, ed. Kedua, 78-79, Bina rupa aksara, 1998.
12. Hickey M. dan Fraser I.S., Surface Vascularization and Endometrial
Appearance in Women with Menorrhagia or Using Levonorgestrel
Contraceptive Implants. Implications for The Mechanisms of Breakthrough
Bleeding, Human Reproduction, Vol.17, No.9, 2428-2434, European Society
of Human Reproduction and Embryology, Sept 2002.
13. Jared C.R., Therapies for The Treatment of Abnormal Uterine Bleeding, Current Women Health Reports : 196-201, 2001.
14. Johnson K., Antifibrinolitic First Line for Teen Menorrhagia, Toronto Articles Obgyn News, August 2001.
15. Johnson & Johnson, Dysfunctional Uterine Bleeding, Gynaecare, Women’s Health, Womenone.Org, 2004.
16. Joseph Y.L. dkk., Treatment of Menorrhagia with Tranexamic Acid, J.Soc. Obstet. Gynaecol ; 22 (10) : 794-8, Canada 2000.
17. Khurd S., Dysfunctional Uterine Bleeding in Clinical Dilemmas and Work up in Reproductive Endocrinology, 2nd ed., 421- 426, Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd, New Delhi , 2001.
18. Lakhani dkk., Uterine Artery Blood Flow Parameters in Woman with Dysfunctional Uterine Bleeding and Uterine Fibroid, The Effect of Tranexamic Acid, Ultrasound in Obgyn, Vol 11 Issue 4: 283-285, Des 2002.
28
Page 29
19. Latha V., Dysfunctional Uterine Bleeding in Practical Management of Gynecological Problems, Ed. Sulochana Gunasheela, Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd, New Delhi , 2002.
20. Malcom G.M., Dysfunctional Uterine Bleeding : Advances in Diagnosis and
Treatment, Current Opinion in Obgyn, 13 : 475-489, Dept. Obgyn UCLA
School of, Medicine, Lippincott Williams & Wilkins, California USA, 2001.
21. Martha H. dkk., Update on Treatment of Menstrual Disorders, MJA ; 178 (12) : 625-629, 2003.
22. Mary E.R., Dysfunctional Uterine Bleeding, Pediatric Review, Vol. 23 No.7; 227-233, July 2002.
23. National Medicine Information Centre and Trinity College Dept. of Therapeutic, Management of Menorrhagia in Therapeutic To day, St. James Hospital, No. 4, Dublin, April 2004.
24. Oesman F. dan Setiabudy R., Fisiologi Hemostasis dan Fibrinolisis dalam Hemostasis dan Trombosis, Ed. Kedua, Balai penerbit FK UI, Jakarta 1992.
25. Olive D.,dkk, Medical Management of Endometriosis, Uterine Fibroid, and Dysfunctional Uterine Bleeding : Does Histerectomy Still Have a Place in Modern Management ? The First World Conggres on Controversies in Obstetry Gynecology and Infertility, Praque, Czech Republic, 1999.
26. Royal College of Obstetricians & Gynaecologists. The initial Management of Menorrhagia. Evidence-based Clinical Guidelines No. I. London : RCOG Press, February 1998 : 1-43 ( ISBN : I 900364 14 X ).
27. Speroff L., dkk., Regulation of the Menstrual Cycle in Clinical Gynecologic Endocrinology and Infertility, sixth ed., 201 -238, Lippincott Wiliams & Wilkins,USA, 1999.
28. Surendra N.P., Tranexamic Acid in Gynaecology & Obstetrics, Dept. Obgyn MKCG Medical College, Benhampur, Des 2002.
29. Tod C.A. dkk., Dysfunctional Uterine Bleeding, e Medicine, Last Update : July 21, 2003.
30. Tono D., Perananan Antifibrinolitik dan NSAID pada Perdarahan Uterus Disfungsional Menurut Evidence-based, Dexa media No. 1 Vol. 17, 24-29, Januari – Maret 2004.
31. Wellington K. dkk., Tranexamic Acid : a Review of Its Use in The Management of Menorrhagia, Adis International Limited, Vol. 63 No. 13, pp 1417-1433, New Zeland, 2003.
32. Vilos G.A. dkk, Guidelines for The Management of Abnormal Uterine Bleeding,SOGC Clinical Practice Guidelines, No. 106, August 2001.
29