Top Banner
Refrat Bedah Anak Sub Divisi Onkologi – Urologi Bedah Anak Oleh: Nadifa Agil Pembimbing: dr. Bustanul Arifin, SpB, SpBA (K) Penelaah : dr. Dikki Drajat K. SpB, SpBA Penyangga : dr. Riski Diposarosa SpB., SpBA KLASIFIKASI DAN ALGORITME PENANGANAN DISORDERS OF SEX DEVELOPMENT PENDAHULUAN Perkembangan seks terdiri dari 2 komponen yaitu perkembangan fisik organ seksual (internal dan eksternal) dan perkembangan psikoseksual. Perkembangan fisik organ seksual meliputi sex determination dan sex differentiation pada organ genital dan sistem hormonal, 1,2 sedangkan perkembangan psikoseksual meliputi identitas gender seseorang, yang tampak dalam perilaku seseorang sehari-hari dalam masyarakat umum serta orientasi seksual. 3,4 Penyimpangan dapat terjadi pada kedua komponen ini. Penyimpangan klinis dari perkembangan seksual dikenal sebagai Disorders of sex development (DSDs). Insidens DSD antara 1:4.500 hingga 1:5.000. 5 Definisi DSD adalah kelainan perkembangan seks kongenital ditandai oleh perkembangan kromosomal, gonadal dan anatomi seksual yang atipikal. 3,5-7 Pada DSD terjadi 1
22

DSD

Aug 12, 2015

Download

Documents

referat DSD
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: DSD

Refrat Bedah Anak

Sub Divisi Onkologi – Urologi Bedah Anak

Oleh: Nadifa Agil

Pembimbing: dr. Bustanul Arifin, SpB, SpBA (K)

Penelaah : dr. Dikki Drajat K. SpB, SpBA

Penyangga : dr. Riski Diposarosa SpB., SpBA

KLASIFIKASI DAN ALGORITME PENANGANAN

DISORDERS OF SEX DEVELOPMENT

PENDAHULUAN

Perkembangan seks terdiri dari 2 komponen yaitu perkembangan fisik organ

seksual (internal dan eksternal) dan perkembangan psikoseksual. Perkembangan

fisik organ seksual meliputi sex determination dan sex differentiation pada organ

genital dan sistem hormonal,1,2 sedangkan perkembangan psikoseksual meliputi

identitas gender seseorang, yang tampak dalam perilaku seseorang sehari-hari

dalam masyarakat umum serta orientasi seksual. 3,4

Penyimpangan dapat terjadi pada kedua komponen ini. Penyimpangan klinis

dari perkembangan seksual dikenal sebagai Disorders of sex development (DSDs).

Insidens DSD antara 1:4.500 hingga 1:5.000.5 Definisi DSD adalah kelainan

perkembangan seks kongenital ditandai oleh perkembangan kromosomal, gonadal

dan anatomi seksual yang atipikal. 3,5-7 Pada DSD terjadi diskrepansi antara organ

genital interna dan eksterna.8 DSD menarik untuk ditangani, melihat manusia

seutuhnya tidak hanya sebatas memilih jenis kelamin namun bagaimana mencapai

identitas seksual yang optimal didukung dengan fungsi organ seksual dan

meminimalkan risiko pada fisik, psikis, mempertahankan fertilitas, memberi kualitas

dalam menikmati kehidupan seksual yang baik tanpa merasa dikucilkan dalam

masyarakat.5

1

Page 2: DSD

FISIOLOGI PERKEMBANGAN SEKSUAL

Perkembangan fisik organ seksual meliputi determinasi seks (sex

determination) dan diferensiasi seks (sex differentiation) pada organ genital dan

sistem hormonal.1,2 Perkembangan seksual janin sejak awal sudah ditentukan oleh

genetik seks saat fertilisasi. Hal ini tergantung pada kromosom yang dibawa oleh

sperma, apakah kromosom X atau Y. Pada tahap ini, embrio mengalami tahap

determinasi seks (sex determination) yang akan menentukan janin memiliki

konfigurasi kromosom seks XX atau XY. Tahap selanjutnya adalah diferensiasi seks

(sex differentiation) yang merupakan proses respon sex-specific jaringan terhadap

hormon yang diproduksi oleh gonad yang telah terdiferensiasi menjadi laki-laki atau

perempuan.1,9 Rangkaian proses ini akan menyebabkan perkembangan saluran

genitalia interna dan eksterna serta menentukan fenotipe seks sebagai laki-laki atau

perempuan. Proses ini sempurna saat pubertas dengan adanya perkembangan dari

karakteristik seks sekunder.10

TAHAP DETERMINASI SEKSUAL1,9

Secara embriologis, gamet berasal dari jaringan primordial germ cells (PGCs)

yang dibentuk dalam epiblas pada janin berusia 2 minggu, kemudian bergerak ke

yolk sac. Selama minggu ke empat, sel-sel ini mulai bermigrasi dari yolk sac menuju

gonad yang sedang berkembang. Pada perjalanannya, sel-sel ini mengalami mitosis

dan meiosis serta diferensiasi untuk mencapai maturasi. Tiap sel memiliki 22

pasang kromosom autosom dan 1 pasang kromosom seks. Jika pasangan

kromosom seks terdiri atas XX, maka individu itu secara genetik adalah perempuan;

sedangkan jika pasangan kromosom seks terdiri atas XY, maka individu itu secara

genetik adalah laki-laki. Kromosom seks dari primordial germ cells (PGC) ini akan

menentukan perkembangan gonad bipotensial selanjutnya (Gambar 1)

2

Page 3: DSD

Gambar 1 Pengaruh primordial germ cell terhadap gonad bipotensial9

Kunci dismorfisme seksual ada pada kromosom Y, yang mengandung gen

SRY (sex-determining region on Y). Gen ini akan memproduksi protein yang

merupakan protein faktor transkripsi yang menginisiasi kaskade pembentukan gen

selanjutnya yang menentukan terbentuknya organ seksual. Protein SRY itu adalah

testis-determining factor yang mempengaruhi pertumbuhan menjadi laki-laki; tanpa

protein dari gen ini, akan terjadi perkembangan menjadi perempuan.

TAHAP DIFERENSIASI SEKSUAL1,4,9

Perkembangan Gonad

Gonad janin merupakan gonad bipotensial hingga mencapai usia 7 minggu

kehidupan. Gonad muncul pertama kali sebagai sepasang parit longitudinal yang

disebut genital atau gonadal ridges. Mereka dibentuk oleh proliferasi epitel dan

mesenkim di bawahnya. Sel-sel gamet baru akan tampak dalam parit ini pada

minggu ke enam. Jika sel-sel gamet ini gagal bermigrasi ke parit, maka gonad tidak

akan terbentuk. Dengan demikian, sel-sel primordial germ cells (PGC) memiliki

peranan penting dalam perkembangan gonad menjadi ovarium atau testis.

Perkembangan gonad bipotensial selanjutnya dipengaruhi oleh kromosom seks.

SRY adalah gen kunci pada perkembangan testis dan berpengaruh langsung

terhadap bakal gonad. SRY juga mempengaruhi sintesa steroidogenesis factor 1

(SF1), yang menginduksi diferensiasi sel Sertoli dan sel Leydig melalui pengaruh

faktor transkripsi SOX9. Sel Sertoli akan memproduksi mullerian inhibiting

3

Page 4: DSD

substance (MIS, juga disebut antimullerian hormone, AMH) yang menyebabkan

regresi duktus paramesonefron/ duktus mulleri. Sel Leydig memproduksi

testosteron, yang diubah dalam sel target menjadi dihidrotestosteron oleh enzim 5α

reductase.

Diferensiasi seksual pada perempuan selama ini diketahui hanya karena

ketiadaan kromosom Y, namun ternyata ada gen spesifik yang menginduksi

perkembangan ovarium. Contohnya, DAX1 yang berlokasi pada lengan pendek

kromosom X, berperan menekan aktivitas SF1 sehingga akibatnya mencegah

diferensiasi sel Sertoli dan Leydig. Growth factor WNT4 juga berperan dalam

diferensiasi ovarium. Determinasi gonad dan diferensiasi seksual dapat dilihat pada

gambar 2.11

Gambar 2 Gen yang mempengaruhi determinasi dan diferensiasi seksual4

Perkembangan Organ Genital Interna

Selanjutnya dibawah pengaruh hormon, terjadi diferensiasi organ seksual

interna dan eksterna selanjutnya. Pada laki-laki, testosteron dan dihidrotestosteron

berikatan dengan reseptor protein spesifik intrasel, membentuk kompleks dengan

DNA untuk regulasi transkripsi gen spesifik jaringan lain serta produk protein

lainnya. Kompleks reseptor testosterone akan memediasi virilisasi duktus

mesonefron sedangkan kompleks reseptor dihidrotestosteron akan memodulasi

diferensiasi genitalia eksterna laki-laki. Sedangkan pada perempuan estrogen akan

4

Page 5: DSD

menstimulasi duktus mulleri untuk membentuk tuba uteri, uterus, serviks dan vagina

bagian atas. Estrogen juga berperan dalam mempengaruhi genitalia eksterna

membentuk labia mayora, labia minora, klitoris, dan vagina bagian bawah.(Gambar

3)

Gambar 3 Pengaruh hormon seks terhadap diferensiasi seksual9

Pada minggu ke tujuh intrauterin, janin telah memiliki primordium saluran

genitalia baik laki-laki maupun perempuan. Duktus műlleri akan membentuk duktus

fallopi, uterus, serviks dan 1/3 vagina bagian atas. Duktus Wolfii akan berkembang

menjadi epididimis, vas deferens, dan vesikula seminalis di bawah pengaruh

androgen dan menjadi sistem vas deferens (vas deferen, vesikula seminalis dan

duktus ejakulatorius). Bagian anterior dari duktis Wolfii berhubungan dengan tubulus

seminiferus dan bagian posterior membentuk vas deferen, vesikula seminalis.11

5

Page 6: DSD

Gambar 4. Perkembangan genitalia interna4

Perkembangan Organ Genital Eksterna

Pada usia 3 minggu, sel-sel mesenkim dari lipatan primitif bermigrasi ke

sekitar membran kloaka membentuk sepasang lipatan kloaka. Bagian kranial lipatan

ini bersatu membentuk tuberkel genital. Lipatan bagian kaudal terbagi atas 2 bagian

yaitu lipatan uretral di anterior dan lipatan anal di posterior. Dalam perkembangan,

tampak sepasang lipatan di kedua sisi lipatan uretral yang membentuk lipatan

genital sebagai bakal pembentuk skrotum pada laki-laki dan labia mayora pada

perempuan. (Gambar 5)

Gambar 5. Stadium indiferen genitalia eksterna. A. Kira-kira 4 minggu. B. Kira-kira 6

minggu9

Perkembangan genitalia eksterna bipotensial sampai minggu ke-8 kehamilan.

Di bawah pengaruh hormon andogen yang dihasilkan testis yaitu testosteron dan

dihidrotestosteron (DHT) serta reseptor androgen normal (Ars), anak laki-laki akan

tervirilisasi menjadi pria. Dengan DHT, tuberkel genital akan berdiferensiasi menjadi

6

Page 7: DSD

penis, dengan fusi slit urogenital untuk membentuk uretra, penis, dan dengan fusi

lipatan labioskrotal menjadi skrotum.12 Pada anak perempuan, di bawah pengaruh

hormon estrogen, terbentuk genitalia eksterna perempuan. (Gambar 6)

Gambar 6 Perkembangan genitalia eksterna4

KLASIFIKASI DISORDERS OF SEX DEVELOPMENT

Secara garis besar, DSDs dibagi atas 2 kelompok berdasarkan tahap

perkembangan seksual:

1. Abnormalitas determinasi seksual, umumnya disebabkan abnormalitas

kromosom seks atau gen yang mempengaruhi gonadogenesis, dan

2. Kelainan pada diferensiasi seksual, yang umumnya disebabkan defek genetik

dan faktor lainnya selama janin dalam kandungan.

Saat ini, telah ditemukan beberapa gen yang juga berperan terhadap proses

determinasi dan diferensiasi seks tahap awal maupun lanjut yang mengakibatkan

penyimpangan fenotipe.1

7

Page 8: DSD

Tabel 1. Mutasi gen yang berperan pada terjadinya Disorders of Sexual Development 1

Sebelumnya pengelompokkan beberapa kelainan gangguan perkembangan seks ini

menjadi 3 kelompok besar, yaitu: Masculinized females (female

pseudohermaphroditism), Incompletely masculinized male (male

pseudohermaphroditism), dan true hermaphrodite. Sejak tahun 2006, European

Society for Paediatric Endocrinology (ESPE) dan Lawson Wilkins Pediatrics

Endocrine Society (LWPES) telah mengeluarkan konsensus mengenai nomenklatur

baru dalam diagnosis DSD. Dalam konsensus ini, terdapat perubahan-perubahan

dalam penyebutan kelainan-kelainan DSD maupun klasifikasi dari DSD.

Konsensus ini telah mengganti istilah Female pseudohermaphroditism menjadi 46

XX DSD, male pseudohermaphroditism menjadi 46 XY DSD, sedangkan true

hermaphrodite menjadi Ovotesticular DSD.

Klasifikasi berdasarkan genotipe individu, DSD dapat dibagi atas 4 kategori: 5,8,13

a. 46, XX DSD (female pseudohermaphroditism)

8

Page 9: DSD

b. 46, XY DSD (male pseudohermaphroditism)

c. True Gonadal DSD

d. DSD kompleks atau undetermined

46, XX DSD (female pseudohermaphroditism ).

Individu dengan kromosom XX, perempuan, memiliki ovarium namun genital

eksterna nampak seperti laki-laki. Ini disebabkan karena janin perempuan terpapar

9

Page 10: DSD

oleh hormon laki-laki secara berlebih sebelum ia lahir. Labia mengalami fusi dan

klitoris membesar sehingga tampak seperti penis. Umumnya individu ini memiliki

uterus dan tuba Falopi yang normal. Keadaan ini juga disebut 46, XX dengan

virilisasi. Sebelumnya, kelainan DSD ini disebut dengan female

pseudohermaphroditism. Dari pemeriksaan fisik tampak pembesaran klitoris dan

gonad tidak teraba.

Beberapa kemungkinan etiologi 46, XX DSD:

Congenital adrenal hyperplasia (etiologi paling sering).

Hormon laki-laki (seperti testosteron) yang dikonsumsi ibu saat hamil.

Tumor penghasil hormon laki-laki pada ibu, paling sering pada tumor ovarium

Defisiensi aromatase. Hal ini baru akan terdeteksi saat pubertas. Enzim

aromatase berperan dalam mengkonversi hormon laki-laki menjadi hormon

perempuan. Kelebihan enzim akan menyebabkan kelebihan estrogen sedangkan

defisiensi enzim ini menyebabkan 46, XX DSD. Saat pubertas, anak XX yang

sudah dibesarkan sebagai anak perempuan, akan mulai menunjukkan fenotipe

laki-laki.

Rekonstruksi yang dilakukan berupa genitoplasti feminisasi yang meliputi

clitoroplasti, labioplasti dan vaginoplasti.

10

Page 11: DSD

46, XY DSD ( male pseudohermaphroditism).

Individu dengan kromosom XY/ laki-laki namun genital eksternanya tidak

terbentuk dengan sempurna, ambigus atau seperti genitalia perempuan. Secara

organ genital interna, testis dapat normal, mengalami malformasi atau vanishing

testis sindrome. Keadaan ini juga disebut 46, XY with undervirilization, dahulu

dikenal dengan istilah male pseudohermaphroditism. Manifestasi klinis anak lahir

dengan genetalia externa perempuan dan terdiagnosa saat pubertas, dimana

mengalami amenore primer atau saat operasi repair hernia inguinal ditemukan

testis, dengan kariotipe XY. Pemeriksaan radiologis dengan ultrasonografi tidak

ditemukan uterus dan ovarium di pelvis.

Beberapa etiologi 46, XY DSD:

Masalah pada testis. Testis merupakan penghasil hormon laki-laki. Jika testis

tidak terbentuk/ berfungsi dengan baik, maka individu mengalami

undervirilization. Hal ini dapat disebabkan XY pure gonadal dysgenesis.

Masalah pada pembentukan testosteron. Defisiensi enzim tertentu menyebabkan

kekurangan testosteron dan menyebabkan sindrom lain pada 46, XY DSD.

Kegagalan dari sel leydig ( leydig cell failure ) , tidak respon pada hormone

human chorionic gonadotropin (hCG) dan LH.

Syndrome persisten duktus mullerian

Primary testicular failure ( vanishing testis syndrome )

11

Page 12: DSD

Efek hormone eksogen

Masalah pada penggunaan testosterone dengan testis normal.

o Defisiensi 5-alpha-reductase. Individu dengan defisiensi 5-alpha-reductase

mengalami kekurangan konversi testosteron menjadi dihidrotestosteron

(DHT).

o Androgen insensitivity syndrome (AIS). Ini adalah etiologi 46, XY DSD paling

umum. Hormon pada AIS normal namun reseptor hormon tidak berfungsi

dengan baik. AIS juga disebut sebagai testicular feminization.

Manajemennya dengan pemberian hormonal replacement, gonadektomi karena

resiko terjadinya keganasan. Gonadektomi dilakukan saat pre atau post pubertas

masih controversial, kalau dilakukan sebelum pubertas diperlukan hormonal

replacement untuk perkembangan normal pubertas.

Ovo testicular DSD (True Gonadal DSD).

Pada kelainan ini, individu memiliki kedua jaringan ovarium maupun testis. Ini

mungkin terdapat pada satu gonad (ovotestis), atau seseorang dapat memiliki satu

ovarium dan satu testis. Individu ini mungkin memiliki kromosom XX, kromosom XY

atau keduanya. Genital eksterna dapat tampak ambigus, atau seperti laki-laki

maupun perempuan. Keadaan ini dulu dikenal dengan istilah true hermaphroditism.

Etiologi true gonadal DSD belum diketahui, namun pada beberapa studi terhadap

binatang, kemungkinan berhubungan dengan pestisida.

12

Page 13: DSD

DSD kompleks atau undetermined.

Banyak konfigurasi kromosom di luar 46, XX atau 46, XY yang dapat menyebabkan

terjadinya DSD. Contoh DSD kompleks antara lain sindrom Turner 45, XO (hanya memiliki

kromosom X), dan sindrom Klinefelter (47, XXY), atau 47, XXX – dengan kromosom seks

ektra, baik kromosom X atau Y.

Tabel 2 Klasifikasi Disorders of Sexual Development 4

I. Disorders of Gonadal Differentiation

A. Seminiferous tubule dysgenesis (Klinefelter syndrome)

B. Syndrome of gonadal dysgenesis and its variants (Turner syndrome)

C. Complete and incomplete forms of XX and XY gonadal dysgenesis

D. True hermaphroditism

II. Female Pseudohermaphroditism

A. Androgen-induced

1. Congenital virilizing adrenal hyperplasia

2. CYP19 (P450arom) aromatase deficiency

3. Glucocorticoid receptor gene mutation

4. Androgens and synthetic progestagens transferred from maternal circulation

B. Other teratologic factors (non–androgen-induced) associated with malformations of intestine and

urinary tract

13

Page 14: DSD

III. Male Pseudohermaphroditism

A. Testicular unresponsiveness to hCG and LH (Leydig cell agenesis or hypoplasia due to hCG/LH

receptor defect)

B. Inborn errors of testosterone biosynthesis

1. Enzyme deficits affecting synthesis of both corticosteroidsand testosterone (variants of

congenital adrenal hyperplasia)

a. StAR deficiency (congenital lipoid adrenal hyperplasia)

b. Side-chain (P450scc) cleavage deficiency heterozygote

c. 3_-Hydroxysteroid dehydrogenase/_4,5-isomerase type 2 (3_-HSD-2) deficiency

d. CYP17 (P450c17 [17_-hydroxylase/17,20 lyase]) deficiency

e. Smith-Lemli-Opitz syndrome: 7-dehydrocholesterol reductase deficiency

2. Enzyme defects primarily affecting testosterone biosynthesis by the testes

a. CYP17 (P450c17 [17,20 lyase]) deficiency

b. 17_-Hydroxysteroid dehydrogenase type 3 (17_-HSD 3) deficiency

C. Defects in androgen-dependent target tissues

1. End-organ resistance to androgenic hormones

a. Syndrome of complete androgen resistance and its variants (testicular feminization

and its variant forms)

b. Syndrome of incomplete androgen resistance and its variants (Reifenstein’s syndrome)

c. Androgen resistance in phenotypically normal males (infertile and fertile)

2. Defects in testosterone metabolism by peripheral tissues; 5_-reductase-2 (SRD5A2)

deficiency pseudovaginal perineoscrotal hypospadias

D. Dysgenetic male pseudohermaphroditism

1. XY gonadal dysgenesis (incomplete)

2. XO/XY mosaicism,structurally abnormal Y chromosome, SRY mutation

3. Denys-Drash syndrome (WT1 mutation)

4. Frasier syndrome (mutation of WT1 splice site junction mutation-deleting KTS)

5. WAGR syndrome (WT1 deletion)

6. Campomelic dysplasia (SOX9 mutation)

7. SFI mutation

8. DAX1 (duplication)

9. WNT4 (duplication)

10. 9p_ (DMRT1 deletion)

11. 10q_

12. ATRX syndrome (XH2 mutation)

13. Testicular regression syndrome

E. Defects in synthesis,secretion, or response to antimüllerian hormone: persistent müllerian duct

syndrome (female genital ducts in otherwise normal men; herniae uteri inguinale)

F. Maternal ingestion of progestagens

G. Environmental chemicals (endocrine disrupters)

14

Page 15: DSD

IV. Unclassified Forms of Abnormal Sexual Development

A. In males

1. Hypospadias

2. Ambiguous external genitalia in XY males with multiple congenital anomalies

B. In females,absence or anomalous development of the vagina, uterus,and uterine tubes (Rokitansky-

Kuster syndrome)

Dengan pemahaman DSD yang begitu kompleks, diharapkan penatalaksanaan yang

cermat dan menyeluruh untuk seorang individu, baik dari aspek klinis maupun psikososial

untuk mencapai hasil yang optimal. Berikut bagan alur evaluasi bagi seorang anak dengan

DSD:

Gambar 8 Langkah diagnosis DSD pada bayi dan anak 4

Dibutuhkan kerjasama tim multidisipliner seperti endokrinologis anak, bedah anak,

ginekologi anak, konselor genetik hingga pekerja sosial agar dapat memberi penanganan

seutuhnya dan terbaik. 14,15

15

Page 16: DSD

DAFTAR PUSTAKA

1. MacLaughlin DT, Donahoe PK. mechanisms of disease: Sex Determination and Differentiation. n engl j med 350;4 www.nejm.org january 22, 2004

2. Achermann JC. Molecular and phenotypic features of disorders of sex development (DSD) in humans. Endocrine Abstracts (2006) 12 S22

3. Houk CP, Hughes IA, Ahmed SF, Lee PA. Summary of Consensus Statement on Intersex Disorders and Their Management Committee for the International Intersex Consensus Conference Participants. Pediatrics 2006;118;753-757.

4. Grumbach MM, Hughes IA, Conte FA. Disorders of Sex Differentiation

5. Warne GL, Raza J. Disorders of sex development (DSDs), their presentation and management in different cultures 2008 Rev Endocr Metab Disord. DOI 10.1007/s11154-008-9084-

6. Lee PA, Houk CP, Ahmed SF, Hughes IA, Consensus statement on management of intersex disorders. Pediatrics, 2006;118:e488-e500.

7. Koyama E. Frequently Asked Questions about the "DSD" Controversy. Diunduh pada 11 Desember 2009. Tersedia dari http://www.intersexinitiative.org/articles/dsdfaq.html

8. Kaneshiro NK, Intersex. Diunduh pada 11 Desember 2009. Tersedia dari http://www.umm.edu/ency/article/001669.htm

9. Sadler TW. Langman’s Medical Embryology edisi 9. (http://connection.LWW.com/go/sadler)

10. Saenger PH. Physiology of sexual determination and differentiation. Dalam: Brook CD, Hindmarsh PC. Clinical pediatric endocrinology. Edisi ke-4.2001; London: Oxford. h. 60-72

11. Styane DM. Disorders of sexual differentiation dalam pediatric endocrinology. 2004. Philadelphia; Lippincott williams & wilkins:. H.134-56

12. Misra M, Lee MM. Intersex disorder. Dalam: Moshang T. Pediatric Endocrinology. 2005; Philadelphia: Mosby. h.103-22.

13. Silbernagl S, Lang F, Color Atlas of Pathophysiology © 2000 New York: Thieme 2000. h 278-9.

14. Bahlburg M. Treatment guidelines for children with disorders of sex development. Neuropsychiatrie de l’Enfance et de l’Adolescence 2008; 56:345-349.

15. SEX DEVELOPMENT IN CHILDHOOD. Consortium on the Management of Disorders of Sex Development edisi pertama. Intersex Society of North America. 2006

16