JANUARI 2019 Pernyataan Naskah ini dimungkinkan dengan dukungan Rakyat Amerika melalui Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID). Isi dari naskah ini adalah tanggung jawab tim penulis dan tidak mencerminkan pandangan USAID atau Pemerintah Amerika Serikat DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN KONSERVASI
75
Embed
DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN …
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
JANUARI 2019
Pernyataan
Naskah ini dimungkinkan dengan dukungan Rakyat Amerika melalui Badan Pembangunan
Internasional Amerika Serikat (USAID). Isi dari naskah ini adalah tanggung jawab tim penulis dan
tidak mencerminkan pandangan USAID atau Pemerintah Amerika Serikat
DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK
TENURIAL DI KAWASAN KONSERVASI
ii
DRAFT RUMUSAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL
DI KAWASAN KONSERVASI
Tim Penulis:
1. Ronggo Bayu Widodo (Direktorat KK – KSDAE)
2. Hayu Wibawa (USAID – BIJAK)
3. Wahyu Faturrahman Riva (Praktisi Sertifikasi)
4. Budi Susetyo (Direktorat PIKA – KSDAE)
Kontributor penilaian lapangan:
1. Suwito (Kemitraan)
2. Yudi Iskandarsyah (STTA)
3. Gunawan (Direktorat KK – KSDAE)
4. Suswaji (Direktorat KK – KSDAE)
5. Adrea Faradika (Spesialis GIS Direktorat KK – KSDAE)
6. Andhika Cahya Arianto (Direktorat KK – KSDAE)
Disusun Bersama oleh:
Direktorat Kawasan Konservasi
Direktorat Jenderal Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistem
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Dan USAID – BIJAK
2019
Foto Sampul: Kanal di kawasan Taman Nasional Sebangau, Kalimantan Tengah (USAID BIJAK)
Rumusan ini masih bersifat draft dan memerlukan pembahasan lebih lanjut Bersama dengan
GugusTugas Multipihak KSDAE, kelompok keahlian resolusi konflik dan analisis spasial, serta
pencermatan dari Bagian Hukum dan Kerjasama Teknis Setditjen KSDAE.
iii
DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN .................................................................................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang .................................................................................................................................................... 1
1.2. Tujuan .................................................................................................................................................................. 1
1.3. Ruang Lingkup .................................................................................................................................................... 1
BAB II. METODOLOGI PENENTUAN TIPOLOGI .................................................................................................... 4
2.1. Metode Pengambilan Data .............................................................................................................................. 4
BAB III. PENILAIAN TIPOLOGI KONFLIK TENURIAL ............................................................................................ 5
3.1. Pemetaan Sosial (Social Mapping) ................................................................................................................. 5
Identifikasi pemangku kepentingan dilakukan untuk mengatahu peran dan pengaruh pihak tertentu
terhadap konflik tenurial yang terjadi pada kawasan konservasi. Penekanan signifikan pada peran
dan pengaruh pemangku kepentingan, didefinisikan sebagai pihak-pihak yang memiliki peran (mulai
dari nilai kecil sampai besar) dan pengaruh (mulai dari lemah sampai kuat) terhadap setiap
permasalahan konflik tenurial, baik pada tingkat internasional, nasional, regional (provinsi) maupun
lokal (mulai dari kabupaten/kota, kecamatan, desa, dusun atau RT dan RW). Semakin detail
mengidentifikasi pemangku kepentingan ini, baik pada tingkatan, peran maupun pengaruh, maka
akan semakin memudahkan pengambil kebijakan dalam mempertimbangkan dan memutuskan suatu
proses penyelesaian dari suatu konflik tenurial (Gambar 02).
Gambar 02. Konsep Analisis Pemangku Kepentingan pada Konflik Tenurial di Kawasan Konservasi.
Analisis pemangku kepentingan menjadi kebutuhan data dasar untuk merumuskan kebijakan dalam
penyelesaian konflik tenurial dan diperlukan sebagai langkah awal untuk mengetahui perkembangan
dari konflik tenurial dari aspek internal maupun eksternal yang terlibat – baik langsung maupun
tidak langsung – terhadap konflik tenurial yang terjadi di kawasan konservasi. Hal ini untuk melihat
PERAN
PENGARUH
KUAT
BESAR
LEMAH
KECIL
SK
AL
A
INTENSITAS
DAMPAK 1
STRATEGI PENYELESAIAN?
DAMPAK 2
STRATEGI PENYELESAIAN?
DAMPAK 4
STRATEGI PENYELESAIAN?
DAMPAK 3
STRATEGI PENYELESAIAN?
7
pihak mana saja yang terlibat dan pihak mana saja yang berpotensi terkena dampak dari adanya
konflik tenurial ini.
Sejumlah pertanyaan kunci akan dikembangkan sebagai pedoman awal diskusi dengan berbagai
pemangku kepentingan seperti lembaga inernasional, pemerintah pusat, pemerintahan daerah,
asosiasi, lembaga penelitian, lembaga swadaya masyarakat (LSM), masyarakat pengelola hutan,
lembaga donor, dan lembaga-lembaga yang relevan lainnya. Pertanyaan kunci ini bertujuan untuk
dapat menggali informasi mengenai kondisi, cakupan, manfaat, persepsi, jaringan, serta tantangan
terkait berbagai konflik tenurial di kawasan konservasi. Analisis kepentingan ini sebaiknya juga
mengidentifikasi serta menganalisis situasi politik, ekonomi, sosial dan budaya, baik pada tingkat
internasional, nasional maupun lokal. Tabel identifikasi pemangku kepentingan yang terkait dengan
konflik tenurial di kawasan konservasi disajikan pada tabel dibawah ini.
Tabel 01. Identifikasi Pemangku Kepentingan yang terkait dengan Konflik Tenurial di Kawasan Konservasi.
No Pemangku Kepentingan Peran Pengaruh
I Tingkat Internasional
1.1.
1.2.
II Tingkat Nasional
2.1.
2.2
III Tingkat Provinsi
3.1.
3.2
IV Tingkat Kabupaten/Kota
4.1
4.2
V Tingkat Kecamatan
5.1
5.2
VI Tingkat Desa
6.1
6.2
VII Tingkat Dusun/RW/RT
7.1
7.2
Didalam analisis pemangku kepentingan juga akan dilakukan analisis yang menguraikan pemangku
kepentingan utama yang mungkin terpengaruh, baik secara positif maupun negatif, secara langsung
atau tidak langsung, berkaitan dengan konflik tenurial di kawaan konservasi. Untuk setiap kelompok
pemangku kepentingan yang diidentifikasikan, akan dilakukan analisis tentang:
1. Bagaimana konflik tenurial dapat mempengaruhi secara positif atau negatif terhadap aspek
lingkungan dan sosial?
2. Merekomendasikan cara untuk meningkatkan manfaat positif, atau mengurangi dampak negatif;
3. Merekomendasikan langkah-langkah untuk mendorong partisipasi pemangku kepentingan dalam
rangka menyelesaikan konflik tenurial.
4. Mengidentifikasi potensi dampak dari terjadinya konflik tenurial, konflik sosial dan aspek lain
yang terkait dengan pengelolaan kawasan konservasi.
Tabel 02. Hasil Analisis Pemangku Kepentingan pada Konflik Tenurial di Kawasan Konservasi.
Pengaruh Kuat Pengaruh Lemah
Peran Besar Pemangku Kepentingan? Pemangku Kepentingan?
8
Peran Kecil Pemangku Kepentingan? Pemangku Kepentingan?
Hasil analisis identifikasi pemangku kepentingan ini diharapkan dapat diintegrasikan dengan hasil
pemetaan sosial dan hasil analisis spasial penggunaan lahan yang telah diidentifikasi sebelumnya. Hal
ini untuk menyusun rumusan penyelesaian konflik tenurial secara komprehensif, baik pada aspek
permasalahan sosial, pemangku kepentingan serta kondisi lapangan berdasarkan analisis spasial
penggunaan lahan. Hal ini dimaksudkan agar semua pihak dapat berkontribusi dan mampu
memberikan solusi sertaterlibat aktif dalam dalam penyelesaian konflik tenurial.
Monitoring dan evaluasi juga perlu dilakukan untuk memastikan bahwa proses penyelesaian konflik
dapat berjalan sesuai dengan rencana dan target waktu penyelesaiannya. Sebagai organisasi pemangku
kawasan hutan memiliki wewenang untuk melakukan pengawasan terhadap kawasan yang
diembannya. Salah satu sistem pengawasan adalah dengan melaksanakan monitoring dan evaluasi
yang merupakan serangkaian kegiatan yang tidak berdiri sendiri. Monitoring merupakan kegiatan
yang berkaitan dengan pengumpulan data mulai dari kondisi awal suatu kegiatan hingga kegiatan
tersebut selesai dilaksanakan. Monitoring adalah kegiatan pemantauan terencana terhadap kinerja,
proses atau kemajuan suatu kegiatan yang dilakukan secara berkala untuk keperluan evaluasi,
pengawasan, pencarian umpan balik, kontrol dan lain sebagainya. Sedangkan evaluasi adalah
membandingkan kinerja, unjuk kerja, kemajuan suatu kegiatan/proses dengan standar capaian
tertentu. Hasil dari monitoring dan evaluasi ini menjadi bagian dari feedback atau umpan balik yang
bermanfaat untuk diintegrasikan kedalam rencana penyelesaian konflik pada tahun berikutnya
(Gambar 03).
Gambar 03. Integrasi dan Interaksi Pemangku Kepentingan dalam Konflik Tenurial di Kawasan Konservasi.
3.3. Tipologi Konflik Tenurial
Suatu konflik terjadi karena terdapat perbedaan cara pandang antara beberapa pihak terhadap
obyek yang sama, dan antara beberapa individu atau kelompok tersebut merasa memiliki tujuan
yang berbeda. Konflik menyangkut hubungan sosial antarmanusia baik secara individual maupun
kolektif. Semua hubungan sosial pasti memiliki tingkat antagonisme, ketegangan, atau perasaan
negatif. Hal ini merupakan akibat dari keinginan individu atau kelompok untuk meningkatkan
Identifikasi Pemangku
Kepentingan
Peran dan Pengaruh
Pemangku Kepentingan
Analisis Peran dan Pengaruh
Pemangku Kepentingan
Umpan Balik
Integrasi dengan
Pemetaan Sosial
Integrasi dengan
Analisis Spasial
Intervensi
Kebijakan
Rekomendasi
Penyelesaian
Konflik Tenurial
Monitoring dan
Evaluasi
9
kesejahteraan, kekuasaan, prestise, dukungan sosial, atau penghargaan lainnya (Sumartias dan
Rahmat, 2013)1.
Konflik penguasaan lahan kawasan hutan lebih banyak disebabkan karena kelemahan pengelolaan
hutan oleh pemerintah yang mengurangi fungsi kontrol atas hutan sebagai sumberdaya milik umum
(common pool resources-CPRs) (Ostrom, 2008)2, sehingga kawasan hutan menjadi open access dan rawan terhadap okupasi pihak lain yang tidak berhak. Konflik kawasan hutan berdasarkan jenis
kegiatan yang terjadi terdiri dari konflik perambahan hutan, illegal logging, konflik batas klaim,
kerusakan lingkungan, dan kebijakan alih fungsi lahan.
Menurut Ostrom (2008), hutan merupakan sumberdaya alam milik bersama (common pool resources) yaitu sebagai barang publik yang sulit untuk dilakukan pembatasan atas hak
pemanfaatannya. Ostrom dan Schlager (1996)3 mengidentifikasi 5 jenis hak yang paling relevan
dengan pemanfaatan sumberdaya alam milik bersama, yaitu: a) hak akses (right of access); b) hak
pemanfaatan (rights of withdrawal); c) hak pengelolaan (rights of management); d) hak pembatasan
(rights of exclusion); dan e) hak pelepasan (rights of alienation).
Tipologi konflik tenurial dilakukan dengan tujuan untuk mengidentidikasi dan mengklasifikasikan
tipe-tipe konflik tenurial yang berada dalam kawasan konservasi. Tipologi konflik tenurial perlu
disusun agar memudahkan pengelola kawasan konservasi untuk mengetahui secara pasti kondisi
dan sebaran serta proses penyelesaian yang akan dilakukan pada suatu konflik tenurial.
Berdasarkan hasil asesmen dan pengumpulan data lapangan dari Taman Nasional Gunung Leuser di
Provinsi Sumatera Utara, Suaka Margasatwa Dangku di Provinsi Sumatera Selatan, Taman Nasional
Rawa Aopa Watumohai di Sulawesi Tenggara, Taman Nasional Bogani Nani Wartabone
Kotamobagu di Sulawesi Utara dan Taman Nasional Sebangau di Kalimantan Tengah, maka
dirumuskan rekomendasi, dalam penyusunan tipologi konflik tenurial di kawaan konservasi
didasarkan pada beberapa faktor penting sebagai berikut:
1. Zona atau Blok
Pembagian zona atau blok untuk setiap kawasan konservasi dikelompokkan sesuai dengan
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.76/Menlhk-Setjen/2015 tentang
Kriteria Zona Pengelolaan Taman Nasional dan Blok Pengelolaan Cagar Alam, Suaka
Margasatwa, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam.
2. Pelaku Konflik
Pelaku konflik tenurial di kawasan konservasi dapat dibagi menjadi 3 kriteria pelaku, yaitu:
a. Pelaku yang tinggal di dalam kawasan dan melakukan aktivitas di dalam kawasan;
b. Pelaku yang tinggal di luar kawasan, namun melakukan aktivitas di dalam kawasan;
c. Pelaku yang tinggal di luar kawasan, namun berperan sebagai pemodal. Dalam konteks ini
pelaku dapat berupa individu/perseorangan, lembaga, atau korporasi.
3. Sejarah atau Waktu Konflik
Sejarah atau waktu terjadinya konflik dapat dibagi menjadi 3 durasi, yaitu:
1. Durasi konflik berlangsung < 5 tahun
2. Durasi konflik berlangsung antara 5 – 10 tahun
3. Durasi konflik berlangsung > 10 tahun
4. Luas Areal Konflik
Luas areal konflik tenurial yang terjadi dapat dibagi menjadi 3, yaitu:
1. Luas areal < 2 hektar
1 Sumartias dan Rahmat. 2013. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konflik Sosial. Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran,
Bandung. 2 Ostrom, E. 2008. Private and Common Property Right. Indiana University Bloomington, School of Public & Environmental Affairs
(SPEA). Department of Political Science. 3 Ostrom, E. and Schlager, E. 1996. The formation of property rights dalam Suharjito, D. 2009. Devolusi Pengelolaan Hutan di
Indonesia: Perbandingan Indonesia dan Philipina. Pemikiran Konseptual. JMHT Vol. XV, (3): 123–130, Desember 2009. ISSN:
2087-0469. Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor. Indonesia.
10
2. Luas areal 2 – 10 hektar
3. Luas areal > 10 hektar
5. Orientasi Penguasaan
Orientasi penguasaan lahan dalam konflik tenurial dapat dibagi menjadi 2 penguasaan, yaitu:
a. Subsisten
b. Komersil
6. Klasifikasi Penggunaan Lahan
Klasifikasi penggunaan lahan dapat dibagi menjadi beberapa tipe yaitu:
a. Lahan budidaya yang terdiri atas:
- Perambahan pertanian lahan kering
- Perambahan pertanian campur semak
- Perambahan sawah
- Tambak
- Penggembalaan
b. Perkebunan, yang terdiri atas:
- Hutan tanaman/monokultur/seumur
- Perkebunan
c. Pertambangan tanpa ijin
d. Permukiman yang terdiri atas:
- Fasilitas umum
- Permukiman dan transmigrasi
e. Klaim lahan yang terdiri atas:
- Klaim adat
- Tata batas (tumpang tindih)
7. Rekomendasi Penyelesaian
Rekomendasi penyelesaian konflik tenurial dilakukan sesuai dengan skala dan intensitasnya
yaitu:
a. Mediasi dengan mengacu pada Perdirjen PSKL No. P.4/PSKL/SET/PSL.1/4/2016.
Mediasi merupakan tahapan paling awal setelah tipologi konflik tenurial berhasil
dirumuskan. Alternatif penyelesaian konflik tenurial melalui mekanisme mediasi merupakan
alternatif penyelesaian wajib yang harus ditempuh pada setiap tipologi konflik tenurial di
kawasan konservasi. Mediasi paling awal dilakukan oleh UPT (KSDA/TN) selaku pemangku
kawasan konservasi, sebelum proses mediasi dilakukan dengan melibatkan pihak luar
sebagai mediator.
b. Penegakan hukum dengan mengacu pada UU No. 5 Tahun 1990.
Penyelesaian konflik tenurial pada hutan konservasi melalui skema Penegakan hukum
dilakukan dengan prinsip kehati-hatian dan mengikuti peraturan perundang-undangan.
Penyelesaian konflik melalui penegakan hukum harus mempertimbangkan :
1. Kemampuan dan kemauan aparat penegak hukum lainnya dan pemerintah daerah untuk
terlibat dalam upaya penegakan hukum.
2. kemungkinan terburuk yang terjadi sebagai akibat upaya penegakan hukum harus sudah
diukur dan diprediksi, termasuk skenario-skenario penanganannya beserta semua pihak
terkait.
3. Apabila dalam perkembangannya upaya penegakan hukum tidak dapat dilaksanakan atau
pelaksanaanya menemui kendala sehingga tidak berjalan dengan baik, maka tahapan-
tahapannya secara runtut dan jelas secara kronologis dituangkan dalam suatu bentuk
dokumen/laporan yang menjadi bukti bahwa rekomendasi penyelesaian konflik tersebut
telah dilaksanakan namun menemui kendala/permasalahan.
11
c. Kemitraan dalam rangka pemberdayaan masyarakat dan dalam rangka pemulihan ekosistem
mengacu pada Pedirjen KSDAE No. P.6/KSDAE/SET/KUM.1/6/2018
1. Dalam hal konflik tenurial berada dalam zona inti taman nasional atau cagar alam, maka
skema penyelesaian konflik tenurial melalui kemitraan konservasi tidak berlaku.
2. Untuk konflik tenurial yang terjadi pada zona/blok pengelolaan yang belum diatur
secara jelas dalam peraturan perundang-undangan yang terkait penanganan konflik
tenurial, maka alternatif-alternatif rekomendasi penyelesaian konflik tenurial dapat
mengacu pada lampiran Matriks 01 s/d Matriks 05.
.
d. Resettlement mengacu pada Perpres No. 88 Tahun 2017.
1. Penyelesaian konflik tenurial dengan resettlement dilakukan pada bidang tanah yang
dikuasai atau dimanfaatkan setelah bidang tanah tersebut ditunjuk sebagai kawasan
hutan dengan fungsi konservasi.
2. Penyelesaian konflik tenurial dengan resettlement dilakukan dengan hati-hati dan sesuai
peraturan perundang-undangan.
3. Biaya penyelesaian dengan resettlement menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah.
4. Areal baru/lokasi untuk penempatan dalam rangka resettlement diusulkan oleh
Pemerintah Daerah dan diupayakan tidak jauh dari akses kelolanya dan akses pelayanan
publik untuk mendapatkan persetujuan Menteri
e. TORA/pelepasan mengacu pada Perpres No. 88 Tahun 2017.
1. Tanah Obyek Reforma Agraria atau TORA adalah tanah yang dikuasai oleh negara
dan/atau tanah yang telah dimiliki oleh masyarakat untuk diredistribusi atau dilegalisasi.
2. Penyelesaian konflik tenurial dengan skema TORA diawali dengan kajian area konflik
terhadap peta Indikatif TORA yang merupakan hasil usulan dari Pemerintah Daerah.
3. Penyelesaian konflik tenurial pada hutan konservasi melalui skema TORA hanya dapat
dilakukan dengan pemanfaatan tanah.
4. Penyelesaian konflik tenurial dengan Skema TORA dilakukan dengan prinsip kehati-
hatian berdasarkan peraturan perundang-undangan.
5. Dalam hal konflik tenurial berada dalam zona inti taman nasional atau blok
perlindungan, maka skema penyelesaian konflik tenurial melalui TORA tidak berlaku.
f. Review zona/blok mengacu pada PermenLHK No. P.76/Menlhk-Setjen/2015.
Beberapa kriteria yang digunakan dalam hal rekomendasi penyelesaian konflik tenurial
melalui review zona/blok pengelolaan meliputi :
1. Rekomendasi perubahan zona/blok menjadi zona/blok khusus hanya dapat digunakan
untuk mengakomodasi permukiman, fasilitas sosial, dan fasilitas umum yang telah
berada dalam hutan konservasi sebelum dilakukan penunjukkan/penetapan sebagai
hutan konservasi.
2. Keberadaan permukiman, fasilitas sosial, dan fasilitas umum yang berada dalam hutan
konservasi hanya dapat dimasukkan dalam zona/blok pengelolaan apabila terbukti dan
terverifikasi memang telah ada sebelum penunjukan/penetapan sebagai hutan
konservasi.
g. Koordinasi Direktorat Jenderal KSDAE - Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata
Lingkungan mengacu pada regulasi terkait pengukuhan kawasan.
h. Koordinasi Direktorat Jenderal KSDAE - Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan
Kemitraan Lingkungan mengacu pada PermenLHK No. P.32/Menlhk-Setjen/2015 dan
Perdirjen PSKL No. P.1/PSKL/SET/KUM.1/2/2016.
12
Gambar 04. Alur Perumusan Tipologi Konflik Tenurial di Kawasan Konservasi.
Berdasarkan hasil asesmen dan pengumpulan data lapangan dari Taman Nasional Gunung Leuser di
Provinsi Sumatera Utara, Suaka Margasatwa Dangku di Provinsi Sumatera Selatan, Taman Nasional
Rawa Aopa Watumohai di Sulawesi Tenggara, Taman Nasional Bogani Nani Wartabone
Kotamobagu di Sulawesi Utara dan Taman Nasional Sebangau di Kalimantan Tengah, dihasilkan
matriks rumusan tipologi konflik dan arahan penanganan konflik, yang disajikan di Bab V laporan
ini.
13
BAB IV. POLA PENANGANAN KONFLIK TENURIAL
4.1. Konsep Penanganan Konflik Tenurial berdasarkan Prinsip Plan, Do,
Check dan Act (PDCA)
Mekanisme penyelesaian konflik tenurial dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan plan
(rencanakan), do (kerjakan), check (cek), dan act (tindak lanjuti).
1. Plan (Rencana). Tahap ini merupakan langkah awal untuk meletakkan sasaran dan proses
yang dibutuhkan untuk memberikan hasil yang sesuai dengan kebutuhan. Pada tahap ini perlu
disusun perencanaan yang sistematis dan matang sebagai pedoman dalam melaksanakan
kegiatan yang menjadi prioritas kerja atau program. Pada tahap ini juga disusun langkah-langkan
teknis dan strategis untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
2. Do (Kerjakan). Pada tahap ini melakukan kegiatan atau program yang telah direncanakan
pada tahap sebelumnya. Proses kerjanya berdasarkan jadwal atau time frame yang telah
disusun dan disepakati atau disetujui bersama. Didalam pelaksanaannya, kegiatan atau program
ini dapat melibatkan instansi atau orang yang terkait dengan permasalahan yang akan
diselesaikan.
3. Check (Cek). Tahap ini merupakan proses pemantauan dan evaluasi terhadap kegiatan atau
program yang telah dijalankan. Pemantauan dan evaluasi ini dilakukan berdasarkan hasil yang
telah dicapai terhadap sasaran yang telah direncanakan dan implementasinya pada tahap
sebelumnya. Pada tahap ini juga dilakukan pengujian hasil perbaikan yang telah dikerjakan,
apakah hasil yang diraih telah sesuai dengan target perencanaan atau masih perlu ada yang
diperbaiki atau ditingkatkan lagi.
4. Act (Tindak lanjuti). Pada tahap ini dilakukan standarisasi berdasarkan hasil perbaikan
sehingga dapat digunakan secara berkelanjtan atau berkesinambungan. Tahap ini merupakan
dasar untuk melakukan perbaikan secara terus menerus (continual improvement) dari suatu
kegiatan atau program. Hasil dari Act ini juga dapat dijadikan sebagai acuan dalam
memperbaiki proses perencanaan sehingga bermanfaat dalam proses-proses selanjutnya.
Pendekatan PDCA ini dapat menjadi solusi untuk menyusun mekanisme penyelesaian konflik
tenurial. Jika proses penyelesaian konflik tenural dapat menggunakan pendekatan ini maka
diperlukan upaya yang secara terus menerus atau berkesinambungan dan konsisten dalam
menerapkannya. Pendekatan PDCA dapat mengulangi siklus ini dengan kembali pada tahap awal
(Plan) dan mengulang semua tahap ini secara berurutan agar sistem yang telah disusun dan
diimplementasikan dapat mencapai kestabilan dan mengalami peningkatan secara terus menerus.
Secara umum, manfaat dari pendekatan PDCA dalam proses penyelesaian konflik adalah:
1. Untuk memudahkan pemetaan wewenang dan tanggung jawab dari sebuah unit organisasi;
2. Sebagai pola kerja dalam perbaikan suatu proses atau sistem di sebuah organisasi;
3. Untuk menyelesaikan serta mengendalikan suatu permasalahan dengan pola yang sistematis
dan terukur;
4. Untuk kegiatan continuous improvement dalam rangka memperpendek alur kerja;
5. Meningkatkan produktivitas kerja agar lebih efektif dan efesien.
Gambar 05. Alur Pendekatan Plan, Do, Check, dan Act.
14
4.2. Konsep Penyelesaian Konflik Tenurial Secara Bertahap
Mekanisme penyelesaian konflik tenurial tidak dapat dilakukan secara terburu-buru dan dibatasi
dengan waktu yang sempit dan pasti. Dinamika masyarakat dilapangan sangat beragam dengan
berbagai variasi permasalahan yang dihadapi. Untuk itu, pendekataan mekanisme penyelesaian
secara bertahap bisa menjadi salah satu opsi dalam penyelesaian konflik tenurial.
Mekanisme penyelesaian konflik tenurial secara bertahap ini dapat dilakukan melalui beberapa
tahap (Gambar 06), yaitu:
1. Tahap 1. Tahap ini dapat dilakukan pada rentang waktu mulai 0 – 1 tahun (T0 – T1). Pada
tahap ini dilakukan penilaian awal terhadap semua permasalahan yang terjadi yaitu dengan
mengumpulkan, mengolah dan menganalisis semua data sekunder dan data primer dengan
menggunakan pendekatan pemetaan sosial (social mapping), pemetaan pemangku kepentingan
(stakeholder mapping) dan merumuskan tipologi konflik tenurial yang terjadi di kawasan
konservasi. Hasil pada tahap ini akan menjadi acuan dalam merumuskan perencanaan,
pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dari konflik tenurial yang terjadi.
2. Tahap 2. Tahap ini akan melakukan pemantauan dan evaluasi kegatan atau program yang telah
dilaksanakan selama tahun pertama (T1). Hasil dari pemantauan dan evaluasi ini akan menjadi
bahan utama dalam melakukan perbaikan atau peningkatan pada tahap berikutnya atau tahun
kedua (T2).
3. Tahap 3. Tahap ini akan melakukan pemantauan dan evaluasi yang telah berjalan selama tahun
kedua (T2). Hasil dari pemantauan dan evaluasi ini akan menjadi bahan utama dalam
melakukan perbaikan atau peningkatan pada tahap berikutnya atau tahun ketiga (T3).
4. Tahap 4. Tahap ini akan melakukan pemantauan dan evaluasi yang telah berjalan selama tahun
ketiga (T3). Hasil dari pemantauan dan evaluasi ini akan menjadi bahan utama dalam
melakukan perbaikan atau peningkatan pada tahap berikutnya atau tahun keempat (T4).
5. Tahap 5. Tahap ini akan melakukan pemantauan dan evaluasi yang telah berjalan selama tahun
keempat (T4). Hasil dari pemantauan dan evaluasi ini akan menjadi bahan utama dalam
melakukan perbaikan atau peningkatan pada tahap pertama atau sebagai evaluasi menyeluruh
selama 5 tahun kegiatan atau program yang telah dijalankan.
Namun demikian, batasan atau target waktu penyelesaian konflik tenurial ini akan disesuaikan
dengan skala dan intensitas konflik yang terjadi. Pada skala dan intensitas yang relatif rendah atau
kecil, kemungkinan waktunya dapat lebih pendek dibandingkan dengan konflik yang terjadi pada
skala cukup luas dan intensitas yang tinggi.
Gambar 06. Alur Pendekatan Mekanisme Penyelesaian Konflik Tenurial secara Bertahap.
T1 T2 T3 T4 T5 T0
Proses
Identifikasi
dan
Penilaian
Awal
Proses
penyusunan
workplan
Evaluasi
Tahun ke-1,
Implementasi
Tahun II
Evaluasi
Tahap Akhir
Penilaian awal dan
penyusunan workplan
Implementasi
workplan
Tahun I
Implementasi
workplan
Tahun II
Implementasi
workplan
Tahun III
Implementasi
workplan
Tahun IV
Evaluasi
Tahun ke-2,
Implementasi
Tahun III
Evaluasi
Tahunan ke-3,
Implementasi
Tahun IV
15
16
4.3. Alur proses penaganan konflik tenurial pada Kawasan konservasi
Telaah Usulan Penanganan Konflik
Tenurial
• Perorangan
• Badan Hukum/Usaha
• Masyarakat/MHA
• Pemda
• Pihak lainnya
Usulan Penanganan Konflik Tenurial
Penyelesaian Penanganan
Konflik Tenurial
Monitoring dan Evaluasi Penanganan Konflik
Tenurial
Umpan balik
UPT
DIREKTORAT TEKNIS
DIRJEN
Permohonan Usulan Penanganan
Konflik Tenurial
Asesmen Konflik
Tenurial
Tidak dapat
dilanjutkan
Laporan Identifikasi Konflik
oleh UPT
Dapat
dilanjutkan
17
Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom
Penyelesaian : Dalam hal konflik tenurial berada dalam zona inti taman nasional atau cagar alam, maka skema penyelesaian konflik tenurial melalui kemitraan konservasi tidak berlaku
1. Mediasi Dalam hal konflik tenurial berada dalam zona inti taman nasional atau blok perlindungan, maka skema penyelesaian konflik tenurial melalui TORA tidak berlaku
2. Penegakan Hukum
3. Kemitraan Konservasi
4. Resettlement / TORA
5. Review Zona/Blok
2-10 Ha > 10 Ha
Pelaku (Tinggal di Luar, Lahan di Dalam)
< 5 Tahun 5-10 Tahun > 10 Tahun
< 2 Ha 2-10 Ha > 10 Ha < 2 Ha
2-10 Ha > 10 Ha <= 2 Ha 2-10 Ha
2-10 Ha > 10 Ha
< 2 Ha > 10 Ha <= 2 Ha
2-10 Ha
5-10 Tahun
< 2 Ha
2-10 Ha > 10 Ha < 2 Ha
Pemodal
< 5 Tahun 5-10 Tahun > 10 Tahun
2-10 Ha > 10 Ha
Rekomendasi perubahan zona/blok menjadi zona/blok khusus hanya dapat digunakan untuk mengakomodasi permukiman, fasilitas sosial, dan fasilitas umum yang
telah berada dalam hutan konservasi sebelum dilakukan penunjukkan/penetapan sebagai hutan konservasi.
Keberadaan permukiman, fasilitas sosial, dan fasilitas umum yang berada dalam hutan konservasi hanya dapat dimasukkan dalam zona/blok pengelolaan apabila
terbukti dan terverifikasi memang telah ada sebelum penunjukan/penetapan sebagai hutan konservasi.
Matriks 01. Rekomendasi Penyelesaian Konflik Tenurial Pada Zona Inti, Zona Rimba dan Blok Perlindungan
Tipologi Konflik Tenurial
Tipologi Konflik Tenurial
Tipologi Konflik Tenurial
> 10 Ha
Pelaku (Tinggal di Dalam, Lahan di Dalam)
> 10 Tahun
< 2 Ha 2-10 Ha > 10 Ha
< 5 Tahun
< 2 Ha
BAB V. MATRIKS RUMUSAN REKOMENDASI PENANGANAN KONFLIK TENURIAL
18
Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom
<= 2 Ha 2-10 Ha > 10 Ha <= 2 Ha 2-10 Ha > 10 Ha <= 2 Ha
> 10 Ha<= 2 Ha 2-10 Ha > 10 Ha <= 2 Ha 2-10 Ha
Tipologi Konflik Tenurial
Tipologi Konflik Tenurial
Rekomendasi perubahan zona/blok menjadi zona/blok khusus hanya dapat digunakan untuk mengakomodasi permukiman, fasilitas sosial, dan fasilitas umum yang
telah berada dalam hutan konservasi sebelum dilakukan penunjukkan/penetapan sebagai hutan konservasi.
Keberadaan permukiman, fasilitas sosial, dan fasilitas umum yang berada dalam hutan konservasi hanya dapat dimasukkan dalam zona/blok pengelolaan apabila
terbukti dan terverifikasi memang telah ada sebelum penunjukan/penetapan sebagai hutan konservasi.
Pemodal / Korporasi / Lembaga
< 5 Tahun 5-10 Tahun > 10 Tahun
< 5 Tahun 5-10 Tahun > 10 Tahun
Pelaku (Tinggal di Luar, Lahan di Dalam)
2-10 Ha > 10 Ha
<= 2 Ha
Matriks 02. Rekomendasi Penyelesaian Konflik Tenurial Pada Zona dan Blok Pemanfaatan
Tipologi Konflik Tenurial
> 10 Ha<= 2 Ha 2-10 Ha > 10 Ha
< 5 Tahun 5-10 Tahun > 10 Tahun
Pelaku (Tinggal di Dalam, Lahan di Dalam)
<= 2 Ha 2-10 Ha > 10 Ha <= 2 Ha 2-10 Ha
19
Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom
2-10 Ha > 10 Ha> 10 Ha <= 2 Ha 2-10 Ha > 10 Ha <= 2 Ha
<= 2 Ha 2-10 Ha > 10 Ha
<= 2 Ha 2-10 Ha
2-10 Ha > 10 Ha <= 2 Ha
< 5 Tahun 5-10 Tahun > 10 Tahun
2-10 Ha > 10 Ha<= 2 Ha
5-10 Tahun > 10 Tahun
< 5 Tahun 5-10 Tahun > 10 Tahun
> 10 Ha <= 2 Ha 2-10 Ha > 10 Ha
Tipologi Konflik Tenurial
Matriks 03. Rekomendasi Penyelesaian Konflik Tenurial Pada Zona dan Blok Tradisional
Rekomendasi perubahan zona/blok menjadi zona/blok khusus hanya dapat digunakan untuk mengakomodasi permukiman, fasilitas sosial, dan fasilitas umum yang
telah berada dalam hutan konservasi sebelum dilakukan penunjukkan/penetapan sebagai hutan konservasi.
Keberadaan permukiman, fasilitas sosial, dan fasilitas umum yang berada dalam hutan konservasi hanya dapat dimasukkan dalam zona/blok pengelolaan apabila
terbukti dan terverifikasi memang telah ada sebelum penunjukan/penetapan sebagai hutan konservasi.
Tipologi Konflik Tenurial
Pelaku (Tinggal di Dalam, Lahan di Dalam)
<= 2 Ha 2-10 Ha > 10 Ha <= 2 Ha 2-10 Ha
Tipologi Konflik Tenurial
Pelaku (Tinggal di Luar, Lahan di Dalam)
Pemodal / Korporasi / Lembaga
< 5 Tahun
20
Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom
2-10 Ha > 10 Ha> 10 Ha <= 2 Ha 2-10 Ha > 10 Ha <= 2 Ha
<= 2 Ha 2-10 Ha > 10 Ha
<= 2 Ha 2-10 Ha
2-10 Ha
2-10 Ha > 10 Ha
<= 2 Ha
Tipologi Konflik Tenurial> 10 Ha <= 2 Ha 2-10 Ha > 10 Ha <= 2 Ha
< 5 Tahun 5-10 Tahun > 10 Tahun
2-10 Ha > 10 Ha> 10 Ha <= 2 Ha
Tipologi Konflik Tenurial
Matriks 04. Rekomendasi Penyelesaian Konflik Tenurial Pada Zona dan Blok Rehabilitasi
Rekomendasi perubahan zona/blok menjadi zona/blok khusus hanya dapat digunakan untuk mengakomodasi permukiman, fasilitas sosial, dan fasilitas umum yang
telah berada dalam hutan konservasi sebelum dilakukan penunjukkan/penetapan sebagai hutan konservasi.
Keberadaan permukiman, fasilitas sosial, dan fasilitas umum yang berada dalam hutan konservasi hanya dapat dimasukkan dalam zona/blok pengelolaan apabila
terbukti dan terverifikasi memang telah ada sebelum penunjukan/penetapan sebagai hutan konservasi.
<= 2 Ha 2-10 Ha
Pelaku (Tinggal di Dalam, Lahan di Dalam)
Tipologi Konflik Tenurial
Pelaku (Tinggal di Luar, Lahan di Dalam)
Pemodal / Korporasi / Lembaga
< 5 Tahun 5-10 Tahun > 10 Tahun
< 5 Tahun 5-10 Tahun > 10 Tahun
21
Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom Sb Kom
2-10 Ha > 10 Ha> 10 Ha <= 2 Ha 2-10 Ha > 10 Ha <= 2 Ha
<= 2 Ha 2-10 Ha > 10 Ha
<= 2 Ha 2-10 Ha
2-10 Ha > 10 Ha <= 2 Ha
< 5 Tahun 5-10 Tahun > 10 Tahun
2-10 Ha > 10 Ha<= 2 Ha
5-10 Tahun > 10 Tahun
< 5 Tahun 5-10 Tahun > 10 Tahun
> 10 Ha <= 2 Ha 2-10 Ha > 10 Ha
Tipologi Konflik Tenurial
Matriks 05. Rekomendasi Penyelesaian Konflik Tenurial Pada Zona / Blok Khusus dan Religi Budaya Sejarah
Rekomendasi perubahan zona/blok menjadi zona/blok khusus hanya dapat digunakan untuk mengakomodasi permukiman, fasilitas sosial, dan fasilitas umum yang
telah berada dalam hutan konservasi sebelum dilakukan penunjukkan/penetapan sebagai hutan konservasi.
Keberadaan permukiman, fasilitas sosial, dan fasilitas umum yang berada dalam hutan konservasi hanya dapat dimasukkan dalam zona/blok pengelolaan apabila
terbukti dan terverifikasi memang telah ada sebelum penunjukan/penetapan sebagai hutan konservasi.
Tipologi Konflik Tenurial
Pelaku (Tinggal di Dalam, Lahan di Dalam)
<= 2 Ha 2-10 Ha > 10 Ha <= 2 Ha 2-10 Ha
Tipologi Konflik Tenurial
Pelaku (Tinggal di Luar, Lahan di Dalam)
Pemodal / Korporasi / Lembaga
< 5 Tahun
22
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil penilaian lapangan di Taman Nasional Gunung Leuser,
Sumatera Utara;
Lampiran 2. Hasil penilaian lapangan di Taman Nasional Rawa Aopa
Watumohai, Sulawesi Tenggara;
Lampiran 3. Hasil penilaian lapangan di Taman Nasional Bogani Nani
Wartabone, Sulawesi Utara;
Lampiran 4. Hasil penilaian lapangan di Suaka Margasatwa Dangku, Sumatera
Selatan;
Lampiran 5. Hasil penilaian lapangan di Taman Nasional Sebangau, Kalimantan
Tengah
23
Lampiran 1. Laporan Survei Lapangan (Groundcheck) TN. Gunung
Leuser
Gugus Tugas Multipihak Penyelesaian Permasalahan Lahan, Perambahan
dan Usulan Wilayah Adat di Kawasan Konservasi
Taman Nasional Gunung Leuser
28 Mei – 2 Juni 2018
I. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) merupakan salah satu Kawasan Konservasi sudah ditetapkan
sebagai salah satu warisan dunia yang memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi yang mewakili
type hutan hujan dataran tinggi sampai dengan dataran rendah Sumatera yang dihuni oleh satwa kunci
sumatera seperti Orang Utan, Badak, Harimau serta Badak. Seiring dengan pesatnya pembangunan
telah memberikan tekanan yang sangat menghawatirkan terhadap keberadaan Kawasan tersebut.
Tekanan berupa perambahan, penguasaan lahan baik oleh masyarakat maupun korporasi sampai
dengan pemukiman di dalam Kawasan.
Tahun 1999/2000, tingkat kerusakan semakin bertambah luas dengan masuknya para pengungsi asal
Aceh Timur (akibat kondisi yang tidak kondusif) yang mendiami kawasan di Dusun Damar Hitam,
Dusun Sei Minyak, dan Barak Induk (Dusun V Aman Damai). Perambahan hutan, disebabkan adanya
kebutuhan lahan, pembukaan kebun, lemahnya penegakan hukum, persoalan batas yang tidak jelas,
keberadaan ex-pengungsi asal Aceh, ketergantungan ekonomi pada sector perkebunan/pertanian.
Hasil penafsiran Citra Landsat di Kawasan TNGL tahun 2002 menunjukkan total kerusakan seluas
±43.623 Ha termasuk adanya tutupan lahan non hutan seluas ±20.688 Ha. Tahun 2005, luas
kerusakan hutan mencapai ± 22.000 ha.
Dengan adanya tantangan tersebut, merujuk kepada tugas dan fungsinya, Balai Besar TNGL
merupakan institusi yang berkewajiban untuk melakukan pengelolaan Kawasan untuk menjaga
keberadaan keanekaragaman hayati dan keamanan Kawasan. Dengan berubahnya paradigma birokrasi
dibidang pengelolaan hutan maka berbagai terobosan telah dilakukan agar tercapainya tujuan “Hutan
Lestari Masyarakat Sejahtera”. Salah satu pendekatan untuk mewujudkan paradigma tersebut adalah
melalui pendekatan pengelolaan Kawasan konservasi melalui kemitraan dengan masyarakat. Selain
pendekatan kemitraan yang menyasar kepada masyarakat di sekitar Kawasan, ancaman terhadap
perambahan maupun perusakan Kawasan perlu dikaji lebih lanjut, sehingga permasalahan perambahan
dan juga konflik tenurial di dalam Kawasan konservasi dapat dipetakan, yang mencakup kesejarahan,
tipologi dan juga aktornya. Pemetaan konflik ini akan menjadi rujukan di dalam menentukan pola
penanganan yang tepat yang dapat diukur keberhasilan penananganannya dalam janga pendek,
menengah dan Panjang.
1.2. Ruang Lingkup
Dalam pelaksanaan kegiatan, tim gugus tugas penyeleisaian permasalahan lahan dan perambahan,
memiliki tugas meliputi:
1. Membangun basisdata spasial dan non spasial permasalahan tenurial di Kawasan konservasi;
2. Merumuskan tipologi permasalahan konflik tenurial yang ditemukan di Kawasan konservasi;
3. Merumuskan rekomendasi pola penanganan efektif permasalahan konflik tenurial sesuai dengan
tipologi permasalahan.
1.3. Dasar Pelaksanaan
Keputusan Dirjen KSDAE No. SK.184/KSDAE/SET/REN.2/5/2018 tentang Penunjukan Gugus Tugas
Multipihak Penyelesaian Permasalahan Lahan, Perambahan dan Usulan Wilayah Adat di Kawasan
Konservasi.
24
1.4. Tujuan
1. Mendiskripsikan data-data spasial dan non spasial terkait penanganan konflik tenurial di TN
Gunung Leuser;
2. Mendiskripsikan tipologi dan rumusan strategi penyelesaian konflik tenurial yang relevan.
II. Metodologi
2.1. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan melalui:
a. Pengumpulan data Primer (langsung) dari lapangan dengan :
1. Observasi Lapangan
2. Interview langsung
3. Focus Group Diskusi
b. Kajian Data Sekunder
c. Analisa Deskripsi dan Spatial
2.2. Areal Pengamatan
Areal pengamatan difokuskan pada tiga lokasi permasalahan lahan yang berada di wilayah SPTN
Wilayah VI TN Gunung Leuser, yang meliputi:
a. Kelompok Tani Hutan Konservasi “Cinta Makmur”, Desa PIR ADB, Kecamatan Besitang;
b. Kelompok Barak Induk, Desa Harapan Maju, Kecamatan Sei Lepan;
c. Kelompok Sei Bamban, Desa PIR ADB, Kecamatan Besitang.
2.3. Waktu Pelaksanaan
Kegiatan survei lapangan dilakukan pada tanggal 28 Mei – 2 Juni 2018.
III. Survey dan Pengamatan Lapangan
3.1. Sejarah Kawasan TN Gunung Leuser
Sebagai Kawasan Pelestarian Alam, Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) berfungsi utama sebagai
sistem penyangga kehidupan dengan fokus pengelolaan untuk mempertahankan perwakilan ekosistem
Leuser yang unik dan memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi serta habitat penting bagi
keberadaan beberapa spesies lambang/kebanggaan (flagship species). Namun demikian, TNGL juga
merupakan hotspot keterancaman degradasi keanekaragaman hayati yang tinggi, yang disebabkan oleh
illegal logging, perambahan kawasan, kebakaran, dan aktivitas vandalisme lainnya.
Secara yuridis formal keberadaan TNGL untuk pertama kali dituangkan dalam Pengumuman Menteri
Pertanian No. 811/Kpts/Um/II/1980 tanggal 6 Maret 1980 tentang peresmian 5 (lima) TN di Indonesia,
yaitu; TN. Gunung Leuser, TN. Ujung Kulon, TN. Gede Pangrango, TN. Baluran, dan TN. Komodo.
Berdasarkan Pengumuman Menteri Pertanian tersebut, ditunjuk luas TN. Gunung Leuser adalah
792.675 ha. Pengumuman Menteri Pertanian tersebut ditindaklanjuti dengan Surat Direktorat Jenderal
Kehutanan No. 719/Dj/VII/1/80 tanggal 7 Maret 1980 yang ditujukan kepada Sub Balai KPA Gunung
Leuser dengan isi penting yaitu pemberian status kewenangan pengelolaan TNGL kepada Sub Balai
KPA Gunung Leuser. Sebagai dasar legalitas dalam rangkaian proses pengukuhan kawasan hutan telah
dikeluarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 276/Kpts-II/1997 tentang Penunjukan TNGL seluas
1.094.692 hektar yang terletak di Provinsi Daerah Istimewa Aceh (sekarang Provinsi Aceh) dan
Provinsi Sumatera Utara.
Merujuk pada Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional, Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2004 dan Peraturan Menteri Kehutanan No. 41 Tahun
2008 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan
Pelestarian Alam, maka pengelolaan TNGL harus didasarkan atas perencanaan jangka panjang, jangka
menengah, dan jangka pendek dengan mengakomodasikan aspirasi Publik serta pelibatkan para pihak
dan pakar untuk menjaring pendapat berbagai sektor dan disiplin ilmu untuk pengkayaan materi.
Pengelolaan TNGL didesain untuk mampu memberikan manfaat ekologi, ekonomi, sosial, dan budaya
secara optimal dan menjamin legitimasi keberadaannya secara jangka panjang dengan semangat
25
perubahan demokratis, transparan dan bertanggung-gugat (accountable), serta tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance).
3.2. Perbandingan Perambahan
1. Perkembangan area terbuka (open area).
Berdasarkan Data Citra Landsat 1995 – 2015, menunjukan telah terjadi perkembangan
terhadap areal terbuka atau open akses yang disebabkan oleh berbagai kegiatan masyarakat baik
yang berada di dalam, disekitar maupun diluar areal BBTNGL, terutama di wilayah Besitang.
Gambar 01. Perkembangan open area menurut citra landsat 1990-2016 (TNGL, 2017)
Gambar 02. Series open area per tahun (TNGL, 2017)
26
Gambar 03. Peta open area di daerah Besitang (merah), yang berada di dalam Kawasan konservasi.
3.3. Upaya Penanganan Balai Besar TNGL
Beberapa upaya yang dilakukan oleh Balai Besar TNGL terhadap permasalahan tenurial yang terjadi,
meliputi:
1. Balai TNGL melakukan operasi gabungan diberbagai lokasi rawan kegiatan perambahan & illegal
logging di kab. Langkat.
2. Balai TNGL melakukan serangkaian sosialisasi, pemantauan dan tindakan hukum serta
mempersiapkan proses Relokasi pengungsi Aceh
3. Dengar pendapat dengan Komisi I dan IV DPRD Kabupaten Langkat yang intinya bahwa DPRD
Kabupaten Langkat mendukung upaya pengosongan pengungsi dan penggarap lainnya dari
kawasan TNGL
4. Rapat koordinasi dengan Pemda Sumatera Utara dimana diputuskan bahwa kawasan TNGL harus
kosong dari kegiatan perambahan dan penanganan terhadap pengungsi agar dikoordinasikan
dengan Pemda Kabupaten Aceh Timur
5. Rapat Koordinasi dengan DPRD Kab.Langkat, Komisi I dan Wakil Bupati Langkat. Disepakati
untuk melakukan cek batas lapangan secara bersama-sama. Upaya ini tidak dilanjutkan & pihak
DPRD sepakat terhadap batas yang telah ada saat ini.
6. Rapat Koordinasi dengan DPRD Kab.Langkat, Polres Langkat, BPKH I Medan, Balai TN.Gunung
Leuser. Batas kawasan TN.Gunung Leuser tetap mengacu pada batas lama (batas Suaka
Margasatwa) pada jaman Belanda
7. Koordinasi dengan Menko Kesra yang dihadiri oleh Ketua BRA, Polda Sumut, jajaran Pemda
Kab.Langkat (Dinas Sosial, Dinas Transmigrasi, Polres Langkat), Kakanwil BPN Sumut, wakil dari