INTERIM POLICY RESEARCH PAPER 1 A DECADE OF PERFORMANCE-BASED BUDGETING IN INDONESIA: POLICY RECOMMENDATION FOR IMPROVEMENT SATU DEKADE PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA DI INDONESIA: REKOMENDASI KEBIJAKAN UNTUK PERBAIKAN Tedy Jiwantara Sitepu; Bima Priya Santosa; Iin Mayasari 2 ; Muhamad Ikhsan dan Junaidi 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kejatuhan rezim Orba Soeharto telah menyediakan ruang bagi pertumbuhan demokrasi, dalam konteks lebih luas reformasi ekonomi dan reformasi manajemen keuangan publik. Demokrasi pasca Orba ditandai dengan tuntutan publik yang semakin nyata guna menghadirkan pelayanan yang semakin baik dari Pemerintah. Guna mendorong hadirnya pelayanan yang berkualitas, Pemerintah telah melakukan reformasi manajemen belanja publik. Manajemen belanja publik sewajarnya dikelola melalui prinsip akuntabilitas, transparansi, semangat profesionalitas dan adanya audit eksternal (Depkeu, 2002). Untuk itu, keinginan publik terhadap anggaran pemerintah mencerminkan value for money dan seirama dengan prioritas nasional. Dorongan publik bermuara pada lahirnya UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. 1 Mohon tidak mengkutip tanpa izin/korespondensi kepada para penulis, kertas kerja draft 1.0 2 Korespondensi kepada para penulis melalui: [email protected]dan [email protected]1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
INTERIM POLICY RESEARCH PAPER1
A DECADE OF PERFORMANCE-BASED BUDGETING IN INDONESIA:
POLICY RECOMMENDATION FOR IMPROVEMENT
SATU DEKADE PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA DI INDONESIA:
REKOMENDASI KEBIJAKAN UNTUK PERBAIKAN
Tedy Jiwantara Sitepu; Bima Priya Santosa; Iin Mayasari2;
Muhamad Ikhsan dan Junaidi
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kejatuhan rezim Orba Soeharto telah menyediakan ruang bagi
pertumbuhan demokrasi, dalam konteks lebih luas reformasi
ekonomi dan reformasi manajemen keuangan publik. Demokrasi
pasca Orba ditandai dengan tuntutan publik yang semakin nyata
guna menghadirkan pelayanan yang semakin baik dari Pemerintah.
Guna mendorong hadirnya pelayanan yang berkualitas, Pemerintah
telah melakukan reformasi manajemen belanja publik. Manajemen
belanja publik sewajarnya dikelola melalui prinsip
akuntabilitas, transparansi, semangat profesionalitas dan
adanya audit eksternal (Depkeu, 2002). Untuk itu, keinginan
publik terhadap anggaran pemerintah mencerminkan value for money
dan seirama dengan prioritas nasional. Dorongan publik
bermuara pada lahirnya UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara. 1 Mohon tidak mengkutip tanpa izin/korespondensi kepada para penulis, kertas kerja draft 1.02 Korespondensi kepada para penulis melalui: [email protected] dan [email protected]
Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM), dan Penganggaran Berbasis
Kinerja (PBK). Penelitian ini membahas mengenai implementasi
3 Selain UU 17/2003, Pemerintah Indonesia juga mengenalkan kerangka hukum baru terkait anggaran yaitu: UU 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan UU 15/2004 tentang Pemeriksaan Keuangan Negara (BPK)4 Penjelasan Atas UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Bagian I, nomor 6
2
penganggaran berbasis kinerja dan capaian PBK hingga saat ini
di Indonesia.
Pada Juni 2009, Kementerian Keuangan dan Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (Bappenas) menerbitkan buku panduan
mengenai pelaksanaan Peraturan 17/2003. Kelengkapan panduan
implementasi PBK ditandai dengan terbitnya Surat Edaran
Bersama Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala
Bappenas dan Menteri Keuangan No.0142/MPN/06/2009 dan No. SE-
1848/MK/2009 (selanjutnya disebut SEB). Sementara itu,
implementasi secara penuh penganggaran berbasis kinerja baru
terjadi pada tahun 2011. Hal ini dapat ditelusuri pada dokumen
anggaran seperti Rencana Kerja Anggaran Kementerian/Lembaga
(RKA-KL) yang telah memuat format baru indikator kinerja.
Selanjutnya, setiap tahun Menteri Keuangan menerbitkan
peraturan terkait dengan petunjuk penyusunan dan penelaahan
RKA-KL.
Kelima buku panduan ini berkaitan dengan reformasi manajemen
keuangan publik khususnya mengenai restrukturisasi program dan
aktivitas, panduan pelaksanaan anggaran berbasis kinerja,
kerangka kerja pengeluaran jangka menengah, format baru untuk
perencanaan anggaran tahunan, jadwal waktu untuk pelaksanaan.
Menurut panduan tersebut, perencanaan pelaksanaan panduan
tersebut dilakukan pada 2010, 2011, 2012 dan selanjutnya.
Pemerintah Indonesia sudah memiliki sejumlah kementerian untuk
pilot project. Yang termasuk dalam kementerian pilot project adalah
Kementerian Keuangan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
3
Bappenas, Kementerian Pertanian, Kementerian Kesehatan, dan
Kementerian Pekerjaan Umum
Tiga tujuan utama penerapan penganggaran berbasis kinerja yang
disebutkan oleh SEB adalah: pertama, menunjukan keterkaitan
antara pendanaan dan prestasi kinerja yang akan dicapai (directly
linkages between performance and budget). Kedua, meningkatkan
efisiensi dan transparansi dalam pelaksanaan
(operational efficiency). Ketiga, peningkatan fleksibilitas dan
akuntabilitas unit dalam melaksanakan tugas dan pengelolaan
anggaran (more flexibility and accountability).
1.2. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini untuk eksplorasi implementasi anggaran
berbasis kinerja, terutama dari aspek peraturan perundang-
undangan yang memayungi penerapan PBK serta kerangka kerja
pelaksanaan PBK selama kurun waktu satu dekade terakhir (2003-
2013). Selain itu, penelitian ini menganalisis hubungan
implementasi PBK terhadap kinerja institusi
Kementerian/Lembaga di Pemerintah Pusat, dan melakukan
komparasi penerapannya pada masing-masing kementerian pilot
project dan non-pilot project serta memberikan rekomendasi perbaikan.
Penelitian dilakukan melalui kombinasi pendekatan eksploratif
dan deskriptif, pPendekatan eksploratif ditujukan untuk
menjawab kerangka kerja pelaksanaan anggaran berbasis kinerja
di Indonesia. Data untuk menganalisis hal ini diambil melalui
penelusuran literatur maupun data sekunder berupa dokumen,
4
buku, maupun kertas kerja. Tujuan penelitian ini juga
melakukan pengujian hipotesis untuk analisis implementasi PBK
di level eselon 1 Kementerian/Lembaga. Pendekatan ini bersifat
deskriptif maupun eksploratif. Kinerja dianalisis melalui
tiga ukuran kinerja yaitu efisiensi, keefektifan, dan
akuntabilitas. Penelitian ini juga didukung oleh data
kualitatif melalui wawancara mendalam dengan masing-masing
personil di kementerian/lembaga serta inisiator UU Keuangan
Negara.
1.3. Perumusan Masalah
1) Bagaimana kerangka kerja pelaksanaan anggaran berbasis
kinerja di Indonesia?
2) Sejauh mana implementasi PBK di masing-masing Kementerian
sejalan dengan kerangka kerja pelaksanaan PBK?
3) Sejauh mana pelaksanaan anggaran berbasis kinerja pada
masing-masing Kementerian?
4) Apakah ada korelasi antara pelaksanaan anggaran berbasis
kinerja dan kinerja Kementerian?
5) Apakah ada perbedaan pada kementerian yang menjadi pilot
project dan non-pilot project?
6) Apakah rekomendasi yang diberikan bagi perbaikan
implementasi PBK di masing-masing Kementerian?
1.4. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini memiliki ruang lingkup yang terfokus kepada
beberapa aspek yaitu: (1). Regulasi yang menjadi fokus kajian
adalah UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. (2).
5
Kementerian/Lembaga yang menjadi lokus kajian adalah enam
Kementerian/Lembaga di Pemerintah Pusat, terutama dalam
konteks pelaksanaan tugas pokok dan fungsi masing-masing
selaku Bagian Anggaran yang mengelola dana publik dari APBN.
(3). Tahapan APBN yang menjadi fokus studi adalah tahapan
perencanaan dan penganggaran. Adapun, tahapan lain diantaranya
tahapan pengesahaan APBN, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban
APBN tidak secara khusus dibahas dalam penelitian ini.
1.5. Sistematika Penulisan
Hasil penelitian ini terbagi menjadi lima bagian. Bagian
pertama menjadi bagian pendahuluan berisikan latar belakang,
tujuan penelitian, perumusan masalah, ruang lingkup dan
sistematika penulisan. Bagian kedua adalah tinjauan literatur
terdiri dari Penganggaran Berbasis Kinerja, prinsip,
pengalaman Negara lain, Reformasi Keuangan Publik, teori
production model, dan Surat Edaran Bersama sebagai panduan
perencanaan PBK. Bagian ketiga adalah metode riset terdiri
atas pendekatan, unit analisis, pengukuran indiaktor, dan
limitasi penelitian. Bagian keempat adalah hasil analisis yang
memaparkan kerangka kerja pelaksanaan PBK, implementasi PBK di
K/L sampel, korelasi antara pelaksanaan PBK dan kinerja
Kemeterian, analisis variabel implementasi PBK terhadap 3
indikator kinerja, simpulan hasil serta komparasi antara pilot
dan non-pilot. Bagian kelima adalah penutup yang berisikan
capaian penerapan PBK juga tantangan dan rekomendasi
kebijakan.
6
2. TINJAUAN LITERATUR
2.1. Penganggaran Berbasis Kinerja (PBK)
PBK memiliki sejarah yang panjang dalam bidang keuangan
publik. Pada mulanya, PBK dimaksudkan untuk memberikan solusi
pada sistem anggaran tradisional. Di Amerika misalnya, Kongres
meloloskan Undang-Undang Chief Financial Officer pada tahun 1983 yang
meletakkan dasar untuk kekuatan legislatif melakukan reformasi
PBK (Rhee, 2009). Pengalaman pemerintah federal dalam
menggunakan informasi kinerja untuk mengalokasikan sumber daya
keuangan yang ada tidak cukup berhasil beberapa dekade lalu,
sehingga hal ini menginisiasi untuk memperbaiki evaluasi
kinerja. Inisiasi ini didorong oleh Komisi Hoover Pertama
melalui Planning Programming Budgeting System, Zero Base Budgeting, dan
Management by Objectives (Lee & Wang, 2009).
Evolusi praktik dan reformasi anggaran dapat ditelusuri pada
1966 ketika Allen Schick, Profesor dari Universitas Maryland
menulis buku yang berjudul “The Road to Programming Planning
Budgeting System: The Stages of Budget Reform” yang akhirnya menjadi
referensi utama. Pada tahun 1960-1980, perkembangan
pengeluaran publik di negara-negara OECD membutuhkan alat yang
lebih optimal untuk melakukan kontrol pengeluaran dan bukan
hanya sekedar anggaran program perencanaan. Sesudah periode
tersebut, pengukuran PBK mengalamai perkembangan. Sejak 1980,
konsepsi performance-based budgeting sudah banyak diadopsi oleh
banyak negara untuk meningkatkan aspek keefektifan dan
akuntabilitas program pemerintah.
7
Pada tahun 1990-an, antusiasme PBK mulai semakin optimal di
banyak negara maju (Robinson & Denhart, 2003). Inisiasi
penggunaan PBK khususnya telah menjadi bagian penting untuk
reformasi pengelolaan sektor publik agar dikelola dengan lebih
baik dan optimal. Anggaran kinerja sedapat mungkin bisa
digunakan untuk menilai kinerja kelembagaan pada sektor
publik khususnya sektor anggaran dan manajemen keuangan yang
tidak hanya ditujukan untuk perbaikan kinerja keuangan namun
juga keberlanjutan fiskal dalam jangka panjang.
Penerapan PBK mensyaratkan adanya partisipasi dari masyarakat
yang aktif. Masyarakat aktif ini bermakna adanya keterlibatan
dalam merumuskan perencanaan anggaran agar bisa menampung
aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Masyarakat dan seluruh
komponennya aktif terlibat dalam perkembangan dan pelaksanaan
kebijakan publik. Selain itu, pemerintah dianggap sebagai
aktor utama dalam memberikan pelayanan kepada publik meskipun
belum optimal dalam implementasinya. Eksistensi teknologi juga
telah memberikan peluang kepada masyarakat untuk mengetahui
proses publik (Denhart & Denhart, 2003).
Alasan untuk melaksanakan PBK juga menjadi orientasi untuk
memenuhi kebutuhan warga negara dengan baik. Pemerintah telah
memperhatikan masukan warga negara dalam penyusunan kebijakan
termasuk dalam PBK. Hal ini dikaitkan dengan tuntutan
pelaksanaan PBK sebagai cara memberikan pelayanan kepada
masyarakat (Denhart & Denhart, 2000) sebagai berikut.
8
1. Peran utama pemerintah adalah membantu warga negara dalam
mengartikulasi dan memenuhi kepentingannya.
2. Pengelola publik harus menciptakan suatu mekanisme untuk
memperhatikan tuntutan kebutuhan masyarakat sebagai
pemenuhan kepentingan bersama.
3. Kebijakan dan program diharapkan dapat memenuhi kebutuhan
publik dan dikelola secara efektif dan bertanggungjawab
melalui proses kolaboratif.
4. Kepentingan publik merupakan hasil dialog dan komunikasi
untuk berbagi kepentingan bersama bukan kepentingan
individu atau kelompok tertentu.
5. Pengelola publik harus memberikan perhatian lebih pada
kepentingan masyarakat, memberi respon pada nilai
komunitas, nilai politik, norma, dan nilai profesional.
6. Organisasi publik dan jaringan pemerintah lainnya akan
menunjukkan kinerja yang sukses apabila mereka bersatu
melalui proses kolaborasi dan memiliki kepemimpinan
bersama berdasarkan prinsip saling menghormati satu sama
lain.
2.2. Prinsip
Ada banyak definisi mengenai PBK. International Monetary Fund
mendefinisikan PBK sebagai prosedur atau mekanisme yang
ditujukan untuk menguatkan antara pendanaan yang ditujukan
untuk entitas sektor publik dan outcome atau output melalui
penggunaan informasi kinerja formal dalam pembuatan keputusan
alokasi sumber daya. OECD juga mendefinisi PBK sebagai bentuk
anggaran yang mengaitkan alokasi pendanaan dengan hasil yang
9
mampu diukur. US General Accounting Office mendefinisi PBK
sebagai konsep yang mengaitkan informasi kinerja dengan
anggaran (International Monetary Fund, 2005).
PBK adalah alat manajemen yang digunakan untuk mengalokasikan
sumber daya sesuai dengan tingkat kinerja untuk target
pelayanan yang sudah ditentukan sebelumnya. Tidak seperti
pendekatan anggaran berbasis lini yang tradisional, PBK
memfokuskan pada outcome, bukan pada input anggaran.
Pendekatan baru ini membantu mendefinisi standard ukuran
mengenai efisiensi dan keefektifan lebih baik, sekaligus
ukuran akuntabilitas. Ketiga ukuran tersebut yaitu efisiensi,
keefektifan, dan akuntabilitas merupakan elemen penting dalam
politik anggaran (Lewis & Hildreth, 2010).
Menurut Rodriguez (2003), metode anggaran menekankan
identifikasi output atau outcome dari target pelayanan dan
alokasi sumber daya yang didasarkan pada tingkat pencapaian
target pelayanan. Pengukuran kinerja mendorong proses yang
meliputi elemen yaitu 1) perkembangan perencanaan kinerja dan
identifikasi tujuan pelayanan; 2) kumpulan data komparatif
untuk mengukur pencapaian tujuan; dan 3) sistem yang
melaporkan sejauh mana pencapaian tujuan untuk pemenuhan
target pelayanan kepada publik.
Sejalan dengan pernyataan Rodriguez, Young (2003) berpendapat
bahwa PBK memiliki empat karakteristik.
10
1. PBK menentukan tujuan atau sejumlah tujuan yang dengan
mengaitkan alokasi anggaran.
2. PBK menyediakan informasi dan data kinerja masa lalu dan
mempertimbangkan pencapaian kinerja yang diharapkan dan
kinerja aktual.
3. Penyesuaian program disusun selama persiapan anggaran
agar tidak terjadi kesenjangan kinerja.
4. PBK memberikan ruang untuk penyesuaian.
PBK mengikuti rerangka logis dengan empat prinsip utama
sebagai berikut (Departemen Keuangan Republik Indonesia &
Bappenas, 2009; Sancoko et al, 2008).
1. Prinsip pertama-Money Follows Function, Function Follow Structure.
Ini berarti bahwa anggaran dialokasikan untuk mendanai
aktivitas yang didasarkan pada kewajiban dan fungsi dari
unit kerja.
2. Prinsip kedua-Let the Manager Manage. Ini berarti bahwa
manajer unit kerja diharapkan memiliki fleksibilitas pada
metode pelaksanaan supaya mencapai output dan outcome
yang ditentukan pada unit kerja dan aktivitas.
3. Prinsip ketiga-Accountability. Akuntabilitas merupakan aspek
yang dimiliki unit kerja untuk bertanggung jawab
pencapaian output dan pencapaian efisiensi dan
keefektifan indikator.
4. Prinsip keempat-The Link between Top-Down Planning & Bottom-Up
Implementation. Ini berarti bahwa kebijakan dan perencanaan
tujuan dicapai melalui delegasi otonomi aktivitas pada
unit kerja.
11
2.3. Pengalaman di Negara Lain
Perlu ditambah pengalaman Negara lain melalui buku
Politt, buku BPPK dan makalah OECD
Beberapa hasil penelitian terkait dampak implementasi
penganggaran berbasis kinerja di berbagai negara menunjukkan
hasil yang beragam. Hasil implementasi penganggaran berbasis
kinerja umumnya beragam tergantung pada komitmen pimpinan
negara, keterlibatan legislatif, dukungan sistem manajemen,
keterbukaan dan partisipasi publik, dan kemampuan manajerial
aparatur birokrasi. Di tengah hasil implementasi yang beragam
tersebut, umumnya, para peneliti menyebutkan bahwa investasi
untuk pengembangan pengukuran dan informasi kinerja memberikan
potensi peningkatan kualitas efisiensi alokasi dan
produktivitasnya.
Salah satu hasil penelitian yang perlu diperhatikan adalah
hasil assessment penerapan PBK di Amerika, Taiwan, dan China
(Lee dan Wang, 2009:S60). Lee dan Wang menemukan bahwa
walaupun secara prinsip utama dan tujuan sama, implementasi
PBK berbeda di masing-masing negara tersebut dalam banyak hal.
Perbedaan implementasi di masing-masing negara tersebut
sebagai berikut:
Tabel 2Perbandingan Implementasi Penganggaran Berbasis Kinerja di America, Taiwan
dan Provinsi Guandong
12
Amerika Taiwan ProvinsiGuandong
Desain
Tujuan Utama Akuntabilitaskinerja,pengendalianbelanja
Efisiensimanajemen,pengendalianbelanja
Efisiensimanajemen dankeefektifan
DoronganPerubahan
Legislatordanadministrator
Administrator Eksekutif/administrator
Perundangan Ada Ada Tidak Ada
Lingkup Semua agensi Semua agensi Sebagianagensi
Implementasi
KomitmenPimpinanEksekutif
Kuat Kuat Moderat
Pendidikan danTraining
Kuat
Sejak 1993
Kuat
Sejak 2001
Moderat
Sejak 2003
Evaluasi
Hasil KinerjaDikaitkan denganKeputusanPendanaan
SecaraModeratTerkait
Secara KuatTerkait
SecaraModeratTerkait
Hasil KinerjaDikaitkan denganPerbaikanManajemen danPelayaan
Secara KuatTerkait
Secara KuatTerkait
Secara KuatTerkait
Sumber: Lee dan Wang (2009)
13
Hasil penelitian Lee dan Wang juga menemukan bahwa PBK
berhasil memengaruhi spending behavior masing-masing pengelola
program. Di Amerika, PBK telah menjadi alat yang esensial
dalam administrasi pemerintahan. Hingga saat penelitian
dilakukan (2009), data yang diolah Lee dan Wang menunjukkan
penerapan PBK belum mampu memangkas pertumbuhan anggaran
belanja pemerintah. Walaupun demikian, PBK memungkinkan
pemerintah federal membuat keputusan yang lebih hati-hati.
Dari penelitian lainnya, upaya manajemen kinerja di Amerika
mulai menunjukkan hasil penting. Pada tahun 2010, di masa
Administrasi Presiden Barrack Obama, reformasi manajemen
kinerja berhasil menghemat USD 17 Milyar dari program yang
tidak bagus maupun yang gagal. Di tahun 2011, jumlah
penghematan tersebut meningkat hingga USD 23 Milyar (Joyce,
2011)
Di Taiwan, penerapan PBK telah mencapai tujuannya. Hasil
penelitian Lee dan Wang menunjukkan adanya korelasi terbalik
antara penerapan PBK dengan tingkat pertumbuhan anggaran
belanja. PBK menempatkan batasan yang ketat pada belanja
pemerintah. Di samping itu, PBK memberikan insentif pada upaya
pembatasan pengeluaran.
Di Guandong, PBK diterapkan sebagai bentuk pilot project di
beberapa institusi. Hasil penelitian Lee dan Wang menunjukkan
bahwa tidak ada dampak dari penerapan tersebut pada tingkat
pertumbuhan anggaran belanja.
14
Penerapan penganggaran kinerja menurut Wahyuni (2006) dimulai
dari Australia dan New Zealand pada akhir tahun 1980-an,
diikuti oleh Canada, Denmark, Finlandia, Perancis, Belanda,
Swedia, Inggris, dan Amerika Serikat pada awal sampai
pertengahan decade 1990-an. Selanjutnya pada akhir tahun 1990-
an sampai awal tahun 2000-an penganggaran kinerja mulai
diterapkan di Austria, Jerman, dan Switzerland. Meskipun
sebagian besar Negara-negara tersebut telah memasukkan
informasi non keuangan dalam dokumen anggaranya, kenyataan
hanya sedikit yang benar-benar melaksanakan anggaran kinerja
dalam arti mengaitkan pengeluaran dan hasil, melaporkan
kinerja atas target-target dan menggunakan informasi kinerja
untuk pengambilan keputusan alokasi anggaran pada masa
mendatang, seperti Australia dan New Zealand (Sancoko et al,
2008).
Perubahan menuju penganggaran kinerja memang merupakan proses
yang kompleks karena berkaitan dengan perubahan yang mendasar
dalam sistem, manajemen, maupun perilaku manusia pengelola
anggaran. Selain itu, penganggaran kinerja membutuhkan
dukungan sistem manajemen kinerja, sistem akuntanis
pemerintahan dan perhitungan biaya. Ada tiga pendekatan untuk
penyusunan anggaran berbasis kinerja (Sancoko et al, 2008:41-42)
sebagai berikut:
1) Penyusunan anggaran berbasis kinerja yang bersifat
langsung. Dalam pendekatan ini terdapat hubungan bersifat
langsung dan sering kali didasarkan atas suatu formula.
Sehingga alokasi anggaran untuk sebuah program didasarkan
15
atas kinerja program yang diukur dari keluaran (output)
dan hasil (outcome). Misalnya pendanaan universitas yang
didasarkan atas jumlah lulusan dari setiap bidang
keilmuan.
2) Penyusunan anggaran berbasis kinerja yang bersifat tidak
langsung. Hal ini adalah bentuk umum dari penyusunan
anggaran berbasis kinerja. Indormasi pemantauan dan
temua-temuan evaluasi tentang hasil-hasil program menjadi
salah satu masukan, tetapi hanya merupakan salah satu
masukan bagi keputusan alokasi anggaran sebuah program.
Prioritas kebijakan pemerintah juga mempengaruhi alokasi
anggaran.
3) Penyusunan anggaran berbasis kinerja yang bersifat
penyajian. Pemerintah menggunakan informasi pemantauan
dan temuan-temuan evaluasi untuk melaporkan kinerja
aktual di masa lalu atau kinerja yang diharapkan pada
masa mendatang dalam dokumen anggaran yang dikirimkan
kepada Legislatif. Informasi ini mungkin saja tidak
berpengaruh pada pembuatan keputusan menyangkut anggaran
dan merupakan bentuk paling lemah dari penyusunan
anggaran berbasis kinerja.
2.4. Reformasi Keuangan Publik Indonesia: Penganggaran
Terpadu, Penganggaran Berbasis Kinerja dan Kerangka
Pembangunan Jangka Menengah
Dalam kasus Reformasi Anggaran Indonesia, Undang-Undang
17/2003 memfokuskan tiga isu utama: Penganggaran Terpadu,
16
Penganggaran Berbasis Kinerja, dan Kerangka Pembangunan Jangka
Menengah (KPJM). Melalui buku putih yang dikeluarkan oleh
Menteri Keuangan (2002) menjelaskan beberapa permasalahan
berkaitan dengan manajemen keuangan publik Indonesia. Ada tiga
hal dalam buku putih itu yang patut mendapat perhatian karena
mendeskripsikan kelemahan mendasar kerangka institusi bagi
manajemen kebijakan publik yang kredibel. Pertama, adanya
kewenangan anggaran dobel antara Departemen Keuangan dan
Bappenas yang bermuara pada sulitnya koordinasi yang baik
dalam perencanaan dan eksekusi anggaran. Bukti nyata
pernyataan pertama adanya Daftar Isian Kegitan dan Daftar
Isian Program dalam dokumen perencanaan dan penganggaran masa
itu. Kedua, sistem informasi keuangan pemerintah yang
terintegrasi dan handal saat itu masih dalam pengembangan.
Ketiga, tumpang tindihnya fungsi anggaran dan perbendaharaan
dalam tubuh Direktorat Jenderal Anggaran membawa akibat bagi
tidak berkembangnya kompetensi anggaran dan manajemen
perbedaharaan bersama-sama.
Seturut dengan semangat perubahan medasar bagi perbaikan
manajemen keuangan public, Blondal et al. (2009) menunjukkan
adaptasi KPJM untuk pengelolaan anggaran. Tujuan adanya KPJM
adalah bertujuan untuk transparansi alokasi sumber daya
anggaran yang lebih baik (allocative efficiency); meningkatkan
kualitas perencanaan penganggaran (Improving the quality of planning);
fokus yang lebih baik terhadap kebijakan prioritas (best
policyoption); meningkatkan disiplin fiskal (fiscal dicipline); dan
menjamin adanya kesinambungan fiskal (fiscal sustainability);
17
meningkatkan manfaat dana yang dianggarkan merupakan
meningkatnya efisiensi alokasi(allocative efficiency) dalam proses
penganggaran.
Pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 21
tahun 2004 yang menegaskan bahwa rencana kerja dan anggaran
yang disusun menggunakan tiga pendekatan, yaitu: (1) anggaran
implementasi PBK tersebut ditandai dengan terbitnya Surat
Edaran Bersama Menteri Negara Perencanaan Pembangunan
Nasional/Kepala Bappenas dan Menteri Keuangan
No.0142/MPN/06/2009 dan No. SE-1848/MK/2009 (selanjutnya
disebut SEB).
Hal ini terdiri atas lima buku panduan berkaitan dengan
reformasi manajemen keuangan publik khususnya mengenai
restrukturisasi program dan aktivitas, panduan pelaksanaan
anggaran berbasis kinerja, kerangka kerja pengeluaran jangka
menengah, format baru untuk perencanaan anggaran tahunan,
jadwal waktu untuk pelaksanaan. Dalam panduan tersebut,
dielaborasi lebih lanjut mengenai aspek input, proses, dan
output. Aspek-aspek tersebut meliputi input, proses dan output
sebagai berikut.5 Penggunaan SEB terutama 7 variabel bebas (independen) sebagai operasionalisasi konsep penerapan PBK kami pilih dikarenakan riset ini tidak murni bersifat akademis, melainkan suatu riset kebijakan yang sedapatmungkin memberikan rekomendasi kebijakan bersifat kongkrit. Guna menyajikansisi lain penerapan PBK, kami melakukan analisis indikator kuantitatif anggaran sebagai metode penjelas implementasi PBK yang lain.
24
1. Input dalam PBK terdiri atas sosialisasi dan pelatihan
PBK.
2. Proses PBK terdiri atas perencanaan strategis, KPJM,
restrukturisasi program, sistem biaya (cost refinement),
evaluasi kinerja.
3. Output PBK terdiri atas kinerja yaitu efisiensi,
keefektifan, dan akuntabilitas serta bentuk atau format
baru.
2.56.1. Sosialisasi PBK
Sosialisasi adalah proses yang memberikan kesempatan kepada
anggota dalam suatu sistem untuk mempelajari dan memahami pola
atau nilai yang baru untuk dijalankan. Sosialisasi berkaitan
dengan anggaran berbasis kinerja dan merupakan suatu nilai
kerja bagi karyawan baru dan karyawan yang lama untuk
mempelajari penerapan anggaran berbasis kinerja yang dianggap
penting untuk untuk menjelaskan perubahan dan manfaat dalam
penerapan anggaran. Sosialisasi ini berkaitan dengan cara,
prosedur, evaluasi anggaran agar mencapai efisiensi
pelaksanaan, keefektifan kerja dan tanggung jawab terhadap
penggunaan anggaran.
Sosialisasi anggaran berbasis kinerja dapat berkaitan dengan
pelaksanaan program kerja yang dilaksanakan dalam unit
kerja/kementerian. Program kerja ini membutuhkan penganggaran
dan pencapaian kinerja. Karyawan dituntut untuk memahami cara
pengelolaan anggaran dan evaluasi penerapan anggaran.
Evaluasi ini juga menjelaskan mengenai perlu adanya reward dan
25
consequences. Pelatihan mengenai pengelolaan program,
penganggaran, dan pencapaian kinerja perlu dilakukan untuk
memfasilitasi karyawan agar mampu merencanakan program,
melaksanakan dan mengevaluasinya.
2.56.2. Perencanaan Strategis
Perencanaan strategis adalah proses untuk mengembangkan
perencanaan jangka panjang dan mengarahkan organisasi dengan
berpedoman pada misi yang dinyatakan dengan jelas, tujuan, dan
sasaran. PBK dikaitkan dengan perencanaan strategis menjadi
sangat penting. Melalui perencanaan strategis, pengembangan
kebijakan multi-year dapat dikaitkan dengan situasi saat ini
yang berorientasi pada masa depan. Proses perencanaan
strategis memudahkan pengelola atau unit di kementerian
memahami dengan jelas kondisi kinerja. Perencanaan strategis
menjelaskan tentang visi, misi, tujuan, sasaran, keluaran,
dampak, dan implikasi, serta sumber daya yang digunakan
termasuk manusia, uang, teknologi, fasilitas, data dan
informasi.
Dalam perencanaan strategis, perlu dilakukan pemetaan
kebutuhan para pemangku kepentingan melalui mekanisme
partisipatif. Pendekatan inovatif ini bertujuan untuk
melibatkan partisipasi masyarakat. Kepemimpinan diharapkan mau
menyampaikan misi, arah strategi, visi kepada karyawan.
2.56.3. Format Baru
26
Berdasarkan buku petunjuk pelaksanaan anggaran berbasis
kinerja yang dikeluarkan oleh Menteri Keuangan dan Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional, bentuk anggaran baru adalah
dikategorikan berdasarkan informasi kinerja eselon 1.
Informasi pengeluaran dan penerimaan ditempatkan pada lembar
yang berbeda. Kinerja yang dicapai oleh kementerian didasarkan
pada visi, misi, dan perencanaan kerja.
Berdasarkan temuan studi awal, bentuk anggaran pemerintah
pusat pada 2009 dan 2010 disusun dalam format anggaran lini.
Oleh karena itu, dokumen anggaran untuk tahun berjalan tidak
menggambarkan informasi kinerja. Sebaliknya, perubahan
mendasar terjadi pada tahun 2011 dan 2012, dengan ditunjukkan
pelaporan PBK. Anggaran 2011 dan 2012 sudah mengadopsi
kerangka pengeluaran berjangka menengah dan ada estimasi
aktivitas yang direncanakan ke depan.
2.56.4. Restrukturisasi Program
Keterkaitan antara program dan perencanaan pembangunan
diharapkan ada sebuah formulasi. Program restrukturisasi
menyediakan keterkaitan antara program dan arahan
institusi/kementerian. Dalam merumuskan program, prioritas
program dipertimbangkan. Jika ada keterbatasan anggaran,
program yang relatif kurang penting bisa ditunda. Alokasi
anggaran diutamakan pada program yang diprioritaskan. Target
yang ditentukan dalam tahun berjalan harus diinisiasi oleh
setiap lapisan eselon. Dalam program restrukturisasi, tahapan
selanjutnya adalah memeriksa secara detail mengenai
27
ketersediaan anggaran. Semua program dipertimbangkan
berdasarkan tingkat kepentingan dan “urgency”. Program
ditampilkan dalam bentuk aktivitas, sub-aktivitas, prioritas,
alokasi, dan kuantitas secara lebih terperinci.
2.56.5. Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah
Kerangka Pengeluaran Jangka menengah (KPJM) dilakukan dengan
menggunakan petunjuk atau arahan yang dikeluarkan oleh
Kementerian Keuangan dan Badan Perencana Pembangunan Nasional.
Hal ini penting untuk memperbaiki arsitektur program aktivitas
sehingga memberikan keterkaitan antara struktur organisasi,
sruktur anggaran, struktur perencanaan kebijakan, dan struktur
manajemen kinerja.
KPJM digunakan untuk mengelola anggaran pemerintah dan
kebijakan selama periode beberapa tahun, biasanya 3 sampai 5
tahun. Mekanisme ini dimaksudkan untuk menunjukkan implikasi
kebijakan dan pengeluaran pemerintah. Hal ini juga digunakan
untuk menentukan efek penyesuaian kebijakan dan anggaran yang
membutuhkan beberapa tahun dalam pelaksanaannya. Selain itu,
KPJM ini juga mempertimbangkan adanya realitas makroekonomi,
dan kebutuhan sejumlah sektor yang perlu disesuaikan. Proses
ini bertujuan untuk meningkatkan disiplin dalam perencanaan
pengeluaran pemerintah dan mengurangi ketidakseimbangan antara
pertimbangan makro ekeonomi, estimasi penerimaan, dan
kewajiban pemerintah serta program sektor yang mencapai tujuan
kebijakan. Anggaran berbasis kinerja diajukan untuk
menciptakan keterkaitan antara pembiayaan sumber daya dan
28
output serta outcome yang diharapkan sekaligus efisiensi dari
output dan outcome yang dihasilkan.
2.56.6. Perbaikan Standar Biaya
Standar biaya dari PBK menerapkan sistem bergulir. Standar
biaya termasuk memiliki standar biaya acuan dan parameter
pengukuran. Ada mekanisme penyesuaian angka dasar dan anggaran
tambahan untuk inisiatif baru. Selain itu, terdapat
klasifikasi standar biaya umum dan khusus. Adanya baseline bagi
standar biaya.
Sebelum penerapan PBK, Kementerian dan Lembaga hanya mengenal
pencatatan aktivitas berbasis input (input based costing) setelah
penerapan PBK dimana Kementerian dan Lembaga didorong untuk
mempunyai kriteria apa yang hendak dicapai (kinerja) maka
aktivitas pencatatan pun berubah menjadi sistem pencatatan
berbasis aktivitas (activity based costing).
2.56.7. Sistem Evaluasi Kinerja
Ketersediaan kriteria kinerja dan review pencapaian program
perlu dikelola. Ada identifikasi dan analisis kelemahan
program dan rekomendasi untuk perbaikan. Evaluasi kinerja
program adalah proses pencapaian tujuan yang menunjukkan
bahwa perumusan dan pelaksanaan kebijakan mencapai efisiensi
dan keefektifan.
29
2.56.8. Kinerja
Pengukuran kinerja mendorong proses yang meliputi penyusunan
rencana kinerja, identifikasi tujuan pelayanan, pengumpulan
data komparatif untuk mengukur pencapaian tujuan dan sistem
yang memberikan informasi mengenai sejauh mana tujuan yang
ditetapkan tercapai.
Efisiensi
Efisiensi mengkur biaya unit dari output yang dihasilkan.
Efisiensi juga merupakan rasio input per output. Input juga
didefinisi sebagai sumber daya yang digunakan untuk
menghasilkan jasa. Output didefinisi sebagai hasil barang dan
jasa yang dihasilkan oleh sebuah unit kerja.
Keefektifan
Keefektifan merupakan indikator yang mengukur apakah pelayanan
yang ditargetkan tercapai atau tidak. Pengukuran yang baik
memfokuskan pada hasil atau outcome dan berorientasi pada
konsumen/pengguna. Ada keterkaitan antara pengukuran dan
program. Keefektifan juga merupakan rasio antara output/outcome.
Outcome didefinisi sebagai pengukuran dampak aktual, hasil
atau manfaat publik.
Akuntabilitas
Akuntabilitas menunjukkan bahwa unit kerja bertanggung jawab
atas tercapainya output dan mencapai efisiensi dan keefektifan
sesuai indikator yang sudah ditentukan. Akuntabilitas terkait
dengan otonomi dan tanggung jawab terhadap pelaksanaan
30
program.Akuntabilitas mencerminkan pula aspek bottom up dari
rencana kebijakan.
31
3. METODE RISET
3.1. Pendekatan
Penelitian ini merupakan kombinasi pendekatan eksploratif dan
deskriptif. Pendekatan eksploratif ditujukan untuk menjawab
rerangka kerja pelaksanaan anggaran berbasis kinerja di
Indonesia. Data untuk menganalisis hal ini diambil melalui studi
literatur. Untuk tujuan penelitian yang kedua adalah melakukan
pengujian korelasi masing-masing variabel dengan kinerja.
Pendekatan ini bersifat deskriptif. Kinerja dianalisis melalui
tiga aspek yaitu efisiensi, keefektifan, dan akuntabilitas.
Penelitian ini juga didukung oleh data kualitatif melalui
wawancara mendalam dengan masing-masing personil di kementerian
dengan sejumlah pertimbangan.
3.2. Unit Analisis
Unit analisis ini adalah individu yang bekerja dalam perencanaan
anggaran dan pelaksanaannya pada Kementerian yang dipilih sebagai
sample. Daftar kementerian memiliki informasi yang cukup untuk
dijadikan pilihan sample, khususnya Kabinet Bersatu Kedua yang
dilantik pada 22 Oktober 2009. Penelitian menggunakan nonprobability
sampling melalui purposive sampling dalam memilih masing-masing
kementerian. Sampel yang dipilih adalah:
a. Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional dipilih karena
berperan dalam perencanaan pembangunan;
b. Kementerian Keuangan dipilih karena perannya dalam mengelola
dan mengoordinasi anggaran negara dan keuangan publik;
32
c. Kementerian Pendidikan dipilih karena memiliki alokasi
anggaran negera sebesar 20%.
d. Kementerian Kehakiman dan HAM dipilih karena perannya dalam
pelayanan publik dan penegakan hukum.
e. Kementerian Perhubungan berkaitan dengan pelayanannya pada
publik.
f. Kementerian Sosial berkaitan dengan pelayanannya pada
publik.
3.3. Pengukuran Indikator
Elemen indikator didasarkan pada Surat Edaran Bersama dari
Menteri Keuangan dan Bappenas pada Juni 2009 sebagai cara untuk
melaksanakan Undang-Undang 17/2003. Ada sembilan elemen yang
dijadikan variabel dalam penelitian untuk menganalisis
korelasinya dengan kinerja pada kementerian.
1. Sosialisasi dan pelatihan 2. Perencanaan strategis 3. Implementasi format baru 4. Program restrukturisasi 5. Kerja pengeluaran berjangka menengah 6. Sistem evaluasi kinerja 7. Pengukuran efisiensi8. Pengukuran keefektifan9. Pengukuran akuntabilitas
Pengukuran indikator masing-masing elemen belum dikembangkan.
Dalam penelitian ini, peneliti melakukan pengembangan indikator
berdasarkan literatur PBK yang dilakukan dengan wawancara
mendalam oleh beberapa ahli pakar. Indikator menggunakan tipe
33
data perseptual. Skala pengukuran menggunakan skala pengukuran
mirip Likert, namun dengan adanya modifikasi.
1= tidak mengetahui
2=sangat tidak setuju
3=tidak setuju
4=setuju
5=sangat setuju
6=tidak mengerjakan
Sesudah penetapan indikator pengukuran masing-masing variabel,
studi ini juga melaksanakan pilot study dengan menggunakan 33
responden. Pelaksanaan pilot study diawali dengan melakukan
audiensi pada kementerian untuk menjelaskan tujuan melakukan
survei. Survei dilakukan dengan cara menyebar kuesioner. Dalam
menyebarkan kuesioner, peneliti ikut serta membantu dalam
menjelaskan cara mengisi agar memudahkan responden untuk mengisi.
Beberapa pertanyaan diajukan karena responden membutuhkan
pemahaman lebih lanjut mengenai makna pertanyaan.
3.4. Limitasi Penelitian
Beberapa keterbatasan penelitian ini adalah sebagai berikut:
o Unit analisis dalam penelitian ini berada pada eselon 1
sebagai penanggung jawab program, walaupun responden yang
mengisi kuesioner mayoritas adalah eselon 3 dan 4 sehingga
34
dimungkinkan gambaran yang sangat detail terkait pelaksanaan
PBK.
o Walaupun UU Keuangan Negara telah berusia satu decade, namun
pelaksanaan Penganggaran Berbasis Kinerja baru diawali sejak
penandatanganan SEB 2009, maka tahapan pelaksanaan PBK masih
di tahap awal yang bisa jadi membuat hasil penelitian ini
terlalu dini dari sisi penerapan PBK
o Keenam Kementerian/Lembaga yang dipilih sangat bervariasi
dari aspek struktur organisasi, tugas pokok dan fungsi serta
besaran anggaran yang dialokasikan. Pemilihan sampel yang
bervariasi ini menimbulkan keterbatasan dalam membahas
detail bila sampel terbatas.
o Selain variasi Kementerian/Lembaga yang dipilih,
Kementerian/Lembaga yang termasuk pilot project dengan tugas
pokok dan fungsi yang lebih terukur sekaligus pelayanan yang
diberikan lebih berdampak luas seperti Kementerian
Kesehatan, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Pelayanan
Umum. Tidak seluruh Kementerian/Lembaga pilot dikarenakan
peneliti bermaksud melakukan komparasi antara Kementerian
Pilot dan Kementerian Non-pilot.
Berikut kami menyajikan Operasionalisasi Konsep masing-masing
variabel penelitian yaitu:
35
Variabel Elemen Indikator
Sosialisasi dan Pelatihan
- Kegiatan sosialisasi.- Kegiatan pelatihan.
1. Kementerian telah melaksanakan pelatihan (workshop-training) penganggaran berbasis kinerja.
2. Unit kerja pernah mengikuti penjelasan (sosialisasi)tentang anggaran berbasis kinerja.
3. Unit kerja pernah mengikuti pelatihan anggaran berbasiskinerja.
4. Unit kerja menerapkan seluruh proses penerapan anggaranberbasis kinerja pada Program/Kegiatan yangdirencanakan.
5. Unit kerja melaksanakan mekanisme anggaran berbasiskinerja pada Program/Kegiatan.
6. Unit kerja telah menerapkan penganggaran berbasiskinerja sejalan antara teori (sosialisasi-pelatihan) danpelaksanaan.
Perencanaan Strategis
- Identifikasi kebutuhan stakeholder.
- Keterlibatan masyarakat.- Identikasi program, aktivitas, dan output.
- Penilaian internal dan eksternal.
- Penentuan visi, misi, tujuan, sasaran.
- Pendefinisian output dan outcomes.
- Ada peran kepemimpinan.
1. Unit kerja memahami visi-misi Kementerian dengan jelas,sebagai pertimbangan menyusun anggaran.
2. Pejabat dari Kementerian memberikan arahan pada prosespenyusunan anggaran.
3. Unit kerja mengetahui Rencana Strategis (Renstra) dariKementerian di mana saya bekerja.
4. Unit kerja memiliki Renstra Eselon I.5. Unit Kerja menyusun alokasi anggaran berdasarkan Renstra
Kementerian setiap tahun.6. Unit Kerja menyusun anggaran sesuai visi-misi
Kementerian.7. Unit Kerja menyusun anggaran sesuai target yang
ditetapkan dalam Renstra Kementerian.8. Unit Kerja mengidentifikasi kebutuhan pemangku
kepentingan dalam penyusunan anggaran.9. Unit Kerja melibatkan pihak ketiga dalam penyusunan RKA-
36
Variabel Elemen IndikatorKL.
10. Unit Kerja menentukan rencana kegiatan sesuai denganRencana kerja (Renja).
11. Unit Kerja menentukan jenis keluaran (output) sesuaidengan Renja.
12. Unit Kerja menentukan volume output kegiatan sesuaidengan Renja.
13. Penyusunan anggaran menentukan capaian hasil (outcome)kegiatan sesuai dengan Renja.
Format baru
- Penggunaan format RKA-KLbaru. .
- Penggunaan proses baru.- Peran eselon 1.
1. Penyusunan format RKA-KL terbaru sudah mencerminkanpenganggaran berbasis kinerja.
2. Penyusunan RKA-KL sudah memperhatikan Rencana KerjaKementerian.
3. Penyusunan RKA-KL sudah memperhatikan KerangkaPengeluaran Jangka Menengah (Medium Term ExpenditureFramework/MTEF).
4. Penyusunan RKA-KL sudah memperhatikan RestrukturisasiProgram.
5. Penyusunan indikator kinerja di RKA-KL sudah mengadopsiindikator kinerja utama untuk Program.
6. Penyusunan indikator kinerja di RKA-KL sudah mengadopsiindikator kinerja kegiatan untuk kegiatan.
Restrukturisasi program
- Kaitan antara program dan Rencana Pembangunan.
- Kaitan antara program dan mandat institusi.
- Identifikasi prioritas program.
- Kejelasan tujuan
1. Unit Kerja telah melakukan restrukturisasi program.2. Setelah restrukturisasi program memiliki keterkaitan
yang jelas antara Program dan Kegiatan.3. Setelah restrukturisasi program memiliki keterkaitan
yang jelas antara Program dan sasaran nasional.4. Unit Kerja melakukan peringkat prioritas terhadap
rencana kegiatan yang akan diajukan.
37
Variabel Elemen Indikator
program.- Kejelasan desain program.
5. Dalam kondisi dana yang tersedia tidak mencukupi untuksemua rencana kegiatan, Unit Kerja mengajukan kegiatandengan prioritas yang lebih tinggi.
6. Dalam menyusun anggaran Unit Kerja menetapkan dampakyang diharapkan dari kegiatan yang diajukan.
7. Dalam menyusun anggaran Unit Kerja menetapkan hasil yangdiharapkan dari kegiatan yang diajukan.
8. Dalam menyusun anggaran Unit Kerja menetapkan keluaranyang diharapkan dari kegiatan yang diajukan.
9. Dalam menyusun anggaran Unit Kerja menetapkan input darikegiatan yang diajukan.
Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah
- Koordinasi program dan strategi organisasi.
- Input, aktivitas, output,outcome, dan impact yang jelas.
- Integrasi KPJM dengan proses kesatuan anggaran
1. Penyusunan anggaran di Unit Kerja memperhitungkankebutuhan pendanaan dalam jangka waktu tiga tahun kedepan.
2. Penyusunan anggaran membedakan kegiatan operasional danserta non-operasional maupun prioritas nasional.
3. Unit Kerja mengajukan estimasi kebutuhan anggaran tigatahun kepada Kementerian.
4. Unit Kerja mengajukan estimasi kebutuhan anggarantahunan kepada Kementerian.
5. Dalam penyusunan anggaran Unit Kerja pernah mengajukanusul tambahan anggaran untuk inisiatif baru.
6. Unit kerja telah menerapkan sistem anggaran bergulirdalam rangka mencapai pelaksanaan anggaran.
7. Unit kerja telah menetapkan angka dasar dalam penyusunananggaran kegiatan program.
8. Unit kerja melakukan penyesuaian angka dasar denganparameter ekonomi dalam penyusunan anggaran.
9. Unit kerja melakukan penyesuaian angka dasar denganparameter non ekonomi dalam menyusun anggaran.
38
Variabel Elemen Indikator
Sistem Biaya
- Ada standar biaya sebaga referensi input dan output program.
- Ada klasifikasi biaya.- Ada dasar pembiayaan.- Ada ruang untuk
inisiasi.
1. Dalam penyusunan anggaran, unit kerja menentukan standarbiaya masukan sebagai acuan perhitungan kebutuhananggaran.
2. Dalam penyusunan anggaran, unit kerja menentukan standarbiaya keluaran sebagai acuan perhitungan kebutuhananggaran.
3. Pengalokasian anggaran Program/Kegiatan didasarkan padatugas fungsi unit kerja yang dilekatkan pada strukturorganisasi.
4. Ketentuan jenis belanja yang digunakan dalam penyusunanRKA-KL telah berpedoman pada Badan Akuntansi Standar.
5. Unit kerja menggunakan sistem pembiayaan berbasis input(input based costing) sekarang ini.
6. Unit kerja menggunakan sistem pembiayaan berbasisaktivitas (activity based costing) sekarang ini.
7. Selama kurun waktu tiga tahun terakhir, unit kerja telahmengubah sistem pembiayaan berbasis input menjadi sistempembiayaan berbasis aktivitas.
Evaluasi Kinerja
- Ketersediaan kriteria kinerja.
- Review prestasi program.- Identifikasi dan analisis kelemahan program.
- Rekomendasi perbaikan.
1. Unit kerja telah memiliki kriteria untuk menilaitercapainya pelaksanaan anggaran.
2. Unit kerja telah melakukan monitoring secara berkalaterhadap pelaksanaan anggaran setiap triwulan.
3. Unit kerja telah melakukan evaluasi pencapaian outputanggaran.
4. Unit kerja telah melakukan evaluasi pencapaian outcomeanggaran.
5. Unit kerja telah menggunakan hasil evaluasi sebagaiumpan balik untuk perbaikan kinerja secaraberkelanjutan.
39
Variabel Elemen Indikator6. Terdapat rekomendasi untuk perbaikan dalam penyusunan
anggaran di masa yang akan datang.
Efisiensi
Persepsi rasio inputterhadap output.
Prestasi optimalkinerja.
Alokasi anggaran tahunini sama dengan tahunlalu dan memilikikinerja yang lebihbaik.
1. Biaya kegiatan yang dianggarkan dapat mencapai outputyang ditetapkan dalam perencanaan.
2. Biaya program yang dianggarkan dapat mencapai outcomeyang ditetapkan dalam perencanaan.
3. Untuk kegiatan dengan biaya yang dianggarkan tetapseperti tahun sebelumnya, mampu menghasilkan kenaikanoutput.
4. Unit kerja membandingkan biaya dengan unit kerja lainpada kegiatan yang sejenis.
5. Untuk kegiatan dengan biaya yang dianggarkan tetapseperti tahun sebelumnya, mampu menghasilkan kenaikanoutput
6. Untuk kegiatan dengan biaya yang dianggarkan turun daritahun sebelumnya, ternyata mampu menghasilkan kenaikanoutput.
7. Unit kerja telah menggunakan standar biaya yangditetapkan sebagai acuan perhitungan kebutuhan anggaran.
Keefektifan Persepsi rasio output terhadap outcome.
1. Unit Kerja menjalankan kegiatan memiliki tanggung jawab(responsibilitas) terhadap kesuksesan pelaksanaankegiatan.
2. Unit Kerja dalam menjalankan kegiatan memilikitanggung jawab (responsibilitas) terhadap kesuksesanpelaksanaan program.
3. Unit kerja mengadopsi masukan-masukan dari MusyawarahRencana Pembangunan dalam melakukan prioritasi kegiatan.
4. Auditor eksternal telah melakukan audit kinerja di unitkerja.
5. Setiap program yang telah dilaksanakan, telah dievaluasisecara berkala oleh auditor eksternal.
6. Unit kerja berhasil memperoleh kualifikasi wajar olehauditor eksternal.
7. Unit kerja telah menggunakan evaluasi kinerja untukmengetahui konsistensi perencanaan dan implementasi.
8. Unit kerja telah menggunakan evaluasi kinerja untukpenilaian capaian sasaran kinerja.
9. Unit kerja telah menggunakan evaluasi kinerja untukpenilaian realisasi penyerapan anggaran.
41
4. HASIL ANALISIS
4.1. Kerangka Kerja Pelaksanaan Anggaran Berbasis Kinerja di
Indonesia
Pendekatan eksploratif ditujukan untuk menjawab rerangka kerja
pelaksanaan anggaran berbasis kinerja di Indonesia. Data untuk
menganalisis hal ini diambil melalui studi literatur. Berdasarkan
studi literatur dengan menganalisis dokumen yang tersedia, ide
mengenai PBK memiliki kronologi waktu perkembangan. Beberapa
dokumen yang diperoleh guna studi eksploratif diantaranya: The
White Paper Kementerian Keuangan (2002), Rancangan Undang-Undang
Bidang Keuangan Negara (Mei 2001), Prinsip Keuangan Negara dalam
Paket Rancangan Undang-Undang Bidang Keuangan Negara (Agustus
2001).
Pemerintah sudah membentuk dua belas tim untuk reformasi hukum
kolonial yang dikenal sebagai Indische Comptabiliteitswet (ICW-
1925), Indische Bedrijvenwet (IBW-1925) dan Reglement voor het
Administratief Beheer (RAB-1933) (Haryanto, 2004; Menteri
Keuangan, 2001). Tantangan untuk merevisi ICW oleh tim tersebut
diantarnya. Pertama, bukanlah hal mudah untuk menghasilkan hukum
atau undang-undang yang komprehensif dan mampu untuk mengelola
sejumlah keuangan anggara, manajemen bendahara, dan audit negara.
Kedua, pengelolaan anggaran relatif cukup sensitif untuk
pengelola kepentingan misalnya Presiden, parlemen, anggota
kabinet, Kementerian Keuangan, Bapenas dan kementerian lainnya.
42
Krisis ekonomi 1997/1998 menjadi pemicu pemerintah untuk
melaksanakan reformasi di bidang hukum. Soesastro (2003)
berpendapat bahwa krisis merupakan sebuah bentuk “anugerah” yang
menghasilkan urgensi untuk memperbaiki kondisi ekonomi. Blondal
et al (2009) menyebut istilah reinventing budgeting untuk mengatasi
masalah krisis politik dan ekonomi tersebut. Ada tiga
transformasi utama sesudah krisis:
1. Penerbitan kerangka hukum dengan sejumlah perubahan yaitu UU
17/2003; Undang-Undang Perbendaharaan I/2004; Undang-Undang
Perencanaan Negara 25/2004; Undang-Undang 15/2004
Pemeriksaan Keuangan. Detail perkembangan kerangka hukum
pada Tabel 4 Ringkasan Kerangka Hukum Penganggaran Berbasis
Kinerja
2. Anggaran komprehensif terpadu.
3. Desentralisasi fiskal secara masif misalnya Undang-Undang No
17/2003; Undang-Undang Pemerintah Daerah 32/2004 dan Undang-
Undang Perimbangan Keuangan Pusat Daerah 33/2004. Penggunaan
PBK ditandai dengan pengesahan UU Nomor 17/2003. Segera
setelah UU tersebut disahkan, UU dan peraturan lainnya
diterbitkan untuk melaksanakan amanat UU Nomor 17/2003
tersebut. Tahapan terbitnya berbagai produk hukum yang
memayungi PBK dapat digambarkan sebagai berikut.
Tabel 4.1 Ringkasan Kerangka Hukum PBKNo Dokumen Bahasan1 PASAL 23 UUD 1945 Mengamanatkan terbuka dan bertanggung jawab
43
No Dokumen Bahasan(Amdemen Ke-III 2001) untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat.
2 UU No 17/2003 tentangKeuangan Negara
Memberikan dasar pendekatan penyusunananggaran harus berdasarkan prestasi kerja yangakan dicapai.
3 UU No 1/2004 tentangPerbendaharaan Negara
Memberikan arahan bahwa dokumen pelaksanaananggaran berisi uraian sasaran yang hendakdicapai, fungsi, program, dan rinciankegiatan, dan anggaran yang disediakan untukmencapai sasaran tersebut.
4 UU No. 25/2004 tentangSistem PerencanaanPembangunan Nasional
Memberikan arahan tentang Rencana KerjaPemerintah, Rencana Kerja Kementerian/Lembaga,Program, Progran Lintas Kementerian/Lembaga,serta tujuan Sistem Perencanaan PembangunanNasional.
5 PP 20/2004 tentangRencana KerjaPemerintah
Memberikan panduan tentang program dankegiatan yang disusun pemerintah disususndengan berbasis kinerja, kerangka pengeluaranjangka menengah, dan penganggaran terpadu.
6 PP 21/2004 tentangRencana Kerja AnggaranKementerian Lembaga(RKA-KL)
Memberikan panduan dalam penyusunan anggaranberbasis kinerja diperlukan indikator kinerja,standar biaya, dan evaluasi kinerja darisetiap program dan jenis kegiatan.
7 PP 39/2006Tata Cara Pengendaliandan EvaluasiPelaksanaanRencana Pembangunan
Memberikan panduan-panduan tentang kriteriaefisiensi, kefektifan, kemanfaatan, keluaran(output), dan hasil (outcome).
8 PP 40/2006Tata Cara PenyusunanRencana PembangunanNasional
Memberikan panduan teknis penyusunanperencanaan pembangunan nasional yangberdasarkan kinerja.
9 PP 90/2010 tentangRKA-KL perubahan PP21/2004
Memberikan panduan yang lebih fokus terhadappenerapan KPJM, penguatan proses penelaahan,evaluasi kebijakan, pengukuran dan evaluasikinerja anggaran serta sistem informasi yangterintegrasi.
10 UU No 17/2007 tentangRPJPN 2005-2025
Memberikan kerangka rencana pembangunan jangkapanjang
•SEB M ENEG PPN & M ENKEU (0142/2009 & SE.1848/2009)Pedom an Reform asi Perencanaan Penganggaran
•INPRES 7/1999AKIP
1999 2010
•PP 90/2010Penyusunan RKA-KL
2011
•PM K Nom or 93/PM K.02/2011 Pedom an Penyusunan RKA-KL
2012
•PERPRES 70/2012PBJP•PM K Nom or 112/PM K.02/2011 Petunjuk Penyusunan RKA-KL
2007
•UU 17/2007RPJPN 2005-2025
mereka mulai (reformasi penganggaran). Setelah hampir 6 tahun
vakum tanpa suatu kebijakan kongkrit, SEB menandai babak baru
kerjasama Bappenas dan Kementerian Keuangan. Selanjutnya, setiap
tahun Menteri Keuangan menerbitkan peraturan terkait dengan
petunjuk penyusunan dan penelaahan rencana kerja dan anggaran
kementerian/lembaga.
Berdasarkan panduan pada Buku 5, SEB tentang Jadwal Pelaksanaan
dan Penerapan menyatakan bahwa penerapan PBK diterapkan pada
tahun 2011. Buku 5 tersebut juga menjelaskan langkah-langkah
penerapan agar pendekatan sebagaimana amanat UU Nomor 17/2003
dapat diwujudkan dengan benar. Tahun 2009 hingga tahun 2010 diisi
dengan berbagai kegiatan penyiapan panduan, pelatihan dan
sosialisasi, uji coba, serta perubahan berbagai format dokumen.
Sesuai dengan jadwal tersebut, tahun 2011 dicanangkan sebagai
awal penerapan PBK secara penuh. Uji coba tersebut meliputi 3
Kementerian yang menjadi pilot project yaitu Kementerian Keuangan,
Bappenas, dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Selama program restrukturisasi dalam tahun 2010, Kementerian
Keuangan menyusun 620-640 program dalam Kementerian Negara dan
mengalami penurunan hanya 422 program pada 2011 dan 426 program
dalam 2012. Esensi restrukturisasi program sejalan dengan PBK.
Oleh karena itu, tidak memungkinkan untuk satu program
dilaksanakan oleh dua atau lebih eselon 1. Masing-masing eselon 1
hanya memiliki tugas dan fungsi sesuai dengan program yang
48
spesifik. Guna melakukan pendalaman terhadap dampak
restrukturisasi program pada tahun 2010 maka survey kepada para
pengelola program di level eselon I masing-masing unit analisis
akan memberi gambaran riil tentang persepsi manajer program atas
status terkini serta capaian inisiatif restrukturisasi program.
Pada dasarnya restrukturisasi program akan berkaitan erat dengan
prinsip “value for money” mengapa demikian? Karena UU 17/2003
menganut peran kontekstual dan tanggung jawab Kementerian Negara
Departemen/Non Departemen dan Kementerian Keuangan terpisah
dengan delegasi kewenangan dan pencairan anggaran. Hubungan
antara masing-masing Kementerian Negara dan Kementerian Keuangan
didesain dapat diasosiasikan dengan hubungan antara Chief Operating
Officer (COO) dan Chief Financial Officer (CFO) yang bertanggung jawab
kepada seorang Chief Executive Office Republik Indonesia yaitu
Presiden (Kementerian Keuangan, 2002).
Gambar 4.2 Delegasi Kewenangan dalam Pelaksanaan Anggaran
49
Presiden
(CEO)
Menteri (COO) Menteri Keuangan
(CFO)
KepalaSatker Dirjen
Perbedaharaan
Sumber: Menteri Keuangan (2002, 28)
Berdasarkan Gambar diatas, jelas bahwa Pemerintah Indonesia
berusaha untuk meningkatkan akuntabilitas sementara pelaksanaan
anggaran dilakukan. Usaha ini juga didukung oleh Kementerian
Keuangan dalam prosesnya. Pelaksanaan PBK di level nasional,
sudah diupayakan juga mengenai perencanaan dan rerangka kerjanya
sebagai berikut.
1) Pemerintah menargetkan tujuan dalam prioritas dalam periode
tahunan yang dinyatakan dalam Perencanaan Pemerintah
Tahunan. Hasil ini diharapkan sejalan dengan mandat
konstitusional.
2) Berdasarkan tujuan tersebut, pemerintah menyusun aktivitas
pada masing-masing Kementerian Negara didasarkan pada
indikator kinerja dan output. Pemerintah menghitung jumlah
anggaran yang disesuaikan dengan kesediaan anggaran negara.
3) Pemerintah mendelegasikan perannya kepada Kementerian Negara
dan Eselon 1 dan Eselon 2. Program Kementerian Negara
diharapkan sejalan dengan tugas dan fungsinya.
4) Selain itu, pemerintah menyiapkan action plan untuk
melaksanakan PBK di tingkat kementerian. Proses dimulai dari
pengembangan perencanaan strategis pada masing-masing
50
BendaharaSatker
Delegasi Kewenangan Eksekusi ProgramDelegasi Kewenangan Fungsi Perbedaharaan
kementerian termasuk program, indikator kinerja untuk
masing-masing program dan kegiatan.
Gambar 4.3 Alur Kerangka Implementasi PBK di Indonesia
51
PBB Implementation Framework
Budget allocationstructure
Performance informationstructure
Annual GovernmentPlan
1st
Priority
2nd
Priority
3rd
Priority
Focus Priorities
Activities to achieve priorities
Spending Ministries
Echelon1
Echelon1
Echelon1
Outputs
(Activity Performance Indicators)
Ministry Outcomes
(Key Performance Indicators)
National Outcomes
Government Outcomes
Dari telaah literatur yang dilakukan, diperoleh gambaran awal
tentang pencapaian penerapan PBK hingga akhir tahun 2012.
Beberapa capaian tersebut adalah sebagai berikut.
1) Identifikasi Kelengkapan Dasar Hukum dan Petunjuk Teknis
Analisis oleh tim peneliti PPPI menunjukkan bahwa ada
identifikasi kelengkapan dasar hukum dan petunjuk teknis untuk
implementasi penganggaran berbasis kinerja. Perundangan yang
mengatur penganggaran berbasis kinerja yang telah disiapkan
meliputi undang-undang, peraturan pemerintah, surat edaran,
hingga peraturan menteri keuangan. Dengan demikian, secara legal
formal payung hukum pelaksanaan telah tersedia secara memadai.
Namun demikian, secara substansi perlu dikaji lebih lanjut
tentang harmonisasi antar masing-masing peraturan tersebut.
Dari sisi dokumen APBN tahun 2009, 2010, 2011, dan 2012, Tim
Peneliti telah menemukan adanya perubahan format dokumen. Pada
dokumen APBN 2009 dan 2010, informasi kinerja berupa indikator
kinerja dan output dari kegiatan instansi belum dapat ditemukan.
Pada dokumen APBN 2011 dan 2012 informasi kinerja tersebut telah
tersedia. Perbandingan dokumen APBN tahun 2009-2010 dan 2011-2012
dapat dilihat sebagai berikut.
52
One echelon one program
Several activities
Tabel 4.2. Perbandingan Format RKA-KL
Deskripsi RKA-KL 2009 and 2010
(Pra SEB)
RKA-KL 2011 and 2012
(Pasca SEB)
Format Line Budget Performance-Based Budget
Framework Organisasi Target, IndikatorKinerja, Output
Informasi Informasipengeluaranberdasarkaninput/sumber daya
Informasi pengeluaran berdasarkan input/sumberdaya
Informasi KinerjaTersedia:
Output
Volume
Indikator
Jangka Waktu Tidak Tersedia Jangka waktu 3 tahun
Sumber: Telaah Tim Peneliti PPPI (2013)
2) Pelaksanaan Anggaran Terpadu (Unified Budget)
Penyusunan anggaran terpadu sudah dilakukan sejak tahun 2005
yaitu dengan mengintegrasikan Dafitar Isian Program (DIP) yang
adalah belanja pembangunan dan Daftar Isian Kegiatan (DIK) yang
adalah belanja rutin. Integrasi ini dimaksudkan agar tidak
53
terjadi duplikasi dalam penyediaan dana untuk K/L, baik dana
untuk investasi pembangunan maupun biaya operasional kegiatan
Kementerian/Lembaga. Dengan pendekatan ini, kemudian Satuan Kerja
menjadi satu-satunya entitas akuntansi yang bertanggung jawab
terhadap aset dan kewajiban yang dimilikinya, serta adanya akun
untuk satu transaksi sehingga dipastikan tidak ada duplikasi
dalam pengunaannya.
3) Pelaksanaan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (Medium Term
Expenditure Framework)
Pendekatan ini adalah penyusunan anggaran berdasarkan kebijakan,
dengan pengambilan keputusan yang menimbulkan implikasi anggaran
dalam jangka waktu lebih dari satu tahun anggaran. Dalam kerangka
penganggaran jangka menengah, tingkat ketidakpastian ketersediaan
alokasi anggaran di masa mendatang dapat dikurangi, baik dari
sisi penyediaan kebutuhan dana untuk membiayai pelaksanaan
berbagai inisiatif kebijakan prioritas baru maupun untuk
terjaminnya keberlangsungan kebijakan prioritas yang tengah
berjalan. Dengan demikian, perancangan kebijakan dapat menyajikan
perencanaan penganggaran yang berorientasi kepada pencapaian
sasaran secara utuh, komprehensif dan dalam konteks yang tepat,
sesuai dengan perencanaan kebijakan yang telah ditetapkan.
4) Pelaksanaan Penganggaran Berbasis Kinerja
Anggaran berbasis kinerja disusun berdasarkan program dan
kegiatan yang mencerminkan tugas pokok dan fungsi Kementerian dan
Lembaga atau penugasan tertentu dalam kerangka prioritas
54
pembangunan nasional. Dalam format baru ini, anggaran juga
disusun berdasarkan rumusan indikator kinerja program dan
indikator kinerja kegiatan. Indikator inilah yang menjadi tanda-
tanda keberhasilan program/kegiatan yang telah dilaksanakan
beserta output/outcome yang diharapkan.
Capaian-capaian tersebut di atas, pada hemat peneliti, adalah
suatu langkah maju dalam upaya reformasi keuangan negara dan
dalam melaksanakan mandat UU Nomor 17/2003 tentang Keuangan
Negara. Capaian tersebut juga perlu dipandang sebagai suatu
investasi besar dalam sistem pengelolaan keuangan negara. Semua
capaian tersebut akan menjadi fondasi awal bagi penyempurnaan di
masa-masa mendatang. Saat ini periode pelaksanaan PBK adalah
tahap pemantapan mulai tahun 2010 sampai dengan tahun 2014, mulai
tahun 2015 dan selanjutnya adalah periode pemantapan. Dalam pada
itu, hasil penelitian ini terutama hasil survei seyogyanya
menjadi masukan penting bagi penanggungjawab reformasi
penganggaran di Kementerian Keuangan.
4.2. Implementasi PBK di Kementerian/Lembaga Sampel Penelitian
dengan Kerangka PBK
1.2. Hasil Survei
Tujuan penelitian ini juga melakukan pengujian hipotesis
untuk menguji variasi anggaran berbasis kinerja. Pendekatan ini
bersifat deskriptif. Kinerja dianalisis melalui tiga aspek yaitu
efisiensi, keefektifan, dan akuntabilitas.
55
1.2.1. Untuk memahami implementasi PBK, Prosedur survei
Ppelaksanaan survei diawali dengan melakukan audiensi pada
kementerian untuk menjelaskan tujuan melakukan survei. Survei
dilakukan dengan cara menyebar kuesioner. Dalam menyebarkan
kuesioner, peneliti ikut serta membantu dalam menjelaskan cara
mengisi agar memudahkan responden untuk mengisi. Beberapa
pertanyaan diajukan karena responden membutuhkan pemahaman lebih
lanjut mengenai makna pertanyaan. Durasi pengisian kuesioner
kurang lebih sekitar 20 menit.
Tabel deskriptif berikut ini secara umum menyatakan persepsi
para responden terhadap pelaksanaan PBK. Semua responden
memberikan jawaban setuju pada semua pernyataan kuesioner.
Kisaran skor adalah 2 sampai 5. Skor 2 menunjukkan sangat tidak
setuju; 3 tidak setuju; 4 setuju dan 5 sangat setuju. Rerata
partisipan menyampaikan argumen bahwa mereka memberikan
kesepakatan mengenai pemahaman pelaksanaan PBK pada tahapan
sikap atau persepsi. Hasil juga menunjukkan bahwa secara umum,
partisipan penelitian mengetahui manfaat pelaksanaan anggaran
berbasis kinerja sehingga pada tahap tertentu mampu meningkatkan
efisiensi, keefektifan, dan akuntabilitas.
No Variabel Rerata
1 Sosialisasi 3,9007
2 PerencanaanStrategis
4,0782
56
3 Penggunaan FormatBaru
3,8871
4 Restrukturisasi 4,0700
5 KPJM 3,9235
6 Sistem Biaya 4,1179
7 Evaluasi 3,9201
8 Efisiensi 3,7308
9 Keefektifan 4,0340
10 Akuntabilitas 3,8503
Pernyataan masing-masing responden mengenai pelaksanaan PBK
secara lebih detail menunjukkan variasi jawaban responden.
Meskipun koefisien mean atau rerata menunjukkan hampir sebagian
responden menunjukkan pernyataan setuju pada setiap indikator
dalam PBK, data mengenai jumlah persentase jawaban responden yang
mengatakan tidak setuju mengenai pelaksanaan PBK cukup
signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua individu yang
menjadi responden dari masing-masing kementerian menyatakan
setuju dalam setiap pelaksanaan PBK.
Keseluruhan 147 responden dalam penelitian ini memberikan
jawaban berkisar antara sangat setuju, setuju, tidak setuju, dan
sangat tidak setuju. Berkaitan dengan aspek sosialisasi PBK,
sebanyak 16,3% responden menyatakan bahwa unit kerja tidak
menetapkan seluruh proses PBK pada program atau kegiatan yang
direncanakan. 25% responden menyatakan bahwa unit kerja dalam
57
kementerian belum menerapkan PBK yang sejalan dengan teori dalam
sosialisasi dan pelaksanaan.
Perencanaan strategis juga menjadi aspek dalam penentu
pelaksanaan PBK. Sebanyak 8%, unit kerja dalam kementerian tidak
mengetahui renstra dari kementerian tempat responden bekerja
bekerja. Sebanyak 15% responden berpendapat bahwa unit kerja
dalam kementerian tidak mengidentifikasi kebutuhan pemangku
kepentingan dalam penyusunan anggaran. Berkaitan dengan
penggunaan format baru, sebanyak 16,3% responden berpendapat
bahwa penyusunan format RKA-KL terbaru belum mencerminkan PBK.
15,3% responden menyatakan bahwa penyusunan RKA-KL belum
memperhatikan KPJM serta 15,6% responden berpendapat bahwa
penyusunan RKA-KL belum mengadopsi indikator kinerja utama untuk
program.
Restrukturisasi program diharapkan dapat memangkas kegiatan
yang tidak memberikan implikasi positif pada kebutuhan
masyarakat. Sebanyak 14,9% responden menyatakan bahwa setelah
restrukturisasi program belum memiliki keterkaitan yang jelas
antara program dan sasaran nasional. Selain itu, 10,8% responden
juga berpendapat bahwa, dalam menyusun anggaran, unit kerja dalam
kementeriannya belum menetapkan dampak yang diharapkan dari
kegiatan yang diajukan.
KPJM diharapkan dapat mengoptimalkan pemanfaatan dana pada
beberapa tahun ke depan agar bisa optimal dalam pelaksanaannya.
Secara lebih detail, indikator-indikator dalam KPJM banyak
memberikan informasi mengenai ketidaksepakatan jawaban responden
58
terhadap pernyataan kuesioner. Sebanyak 15,6% responden
berpendapat bahwa penyusunan anggaran di Unit Kerja kementerian
belum memperhitungkan kebutuhan pendanaan dalam jangka waktu tiga
tahun ke depan. Sebanyak 17,6% responden berpendapat bahwa, Unit
Kerja kementerian belum mengajukan estimasi kebutuhan anggaran
tiga tahun kepada Kementerian. Sebanyak 15,6% responden
menyatakan bahwa dalam penyusunan anggaran Unit Kerja, belum
pernah mengajukan usul tambahan anggaran untuk inisiatif baru.
Sebanyak 14,2% responden berpendapat bahwa, unit kerja
kementerian belum melakukan penyesuaian angka dasar dengan
parameter ekonomi dalam penyusunan anggaran. Selain itu, sebanyak
17,6% responden berpendapat bahwa unit kerja kementerian belum
melakukan penyesuaian angka dasar dengan parameter non-ekonomi
dalam menyusun anggaran.
Berkaitan dengan sistem pembiayaan, 20% responden menyatakan
bahwa unit kerja belum menggunakan sistem pembiayaan berbasis
input (input based costing) sekarang ini. Evaluasi atau review
kegiatan sebagai bagian dari PBK juga penting dilakukan untuk
memastikan pencapaian kinerja dengan baik. Hal ini perlu
diupayakan agar menunjang pelaksanaan PBK berjalan dengan lancar.
Namun, menurut 19,7% responden menyatakan bahwa unit kerja belum
melakukan evaluasi pencapaian outcome anggaran dan unit kerja
belum menggunakan hasil evaluasi sebagai umpan balik untuk
perbaikan kinerja secara berkelanjutan.
Kinerja yang dioperasionalisasikan ke dalam bentuk
efisiensi, keefektifan, dan akuntabilitas memberikan informasi
59
menarik untuk dianalisis lebih lanjut. Indikator-indikator
berkaitan dengan ketiga aspek kinerja tersebut, menunjukkan bahwa
kinerja dalam masing-masing kementerian belum sepenuhnya bisa
dicapai dengan optimal. Terkait dengan aspek efisiensi, sebanyak
13,6% responden menyatakan bahwa biaya program yang dianggarkan
belum mencapai outcome yang ditetapkan dalam perencanaan.
Sejalan dengan hal tersebut, 29,9% responden menyatakan bahwa
untuk kegiatan dengan biaya yang dianggarkan tetap seperti tahun
sebelumnya, belum mampu menghasilkan kenaikan output. Sebanyak
27,8% responden menyatakan bahwa unit kerja belum membandingkan
biaya dengan unit kerja lain pada kegiatan yang sejenis. Sebanyak
38% responden juga menyatakan bahwa, untuk kegiatan dengan biaya
yang dianggarkan tetap seperti tahun sebelumnya, belum mampu
menghasilkan kenaikan output
Informasi paling menarik mengenai pernyataan efisiensi adalah
57,8% responden menyatakan bahwa untuk kegiatan dengan biaya yang
dianggarkan turun dari tahun sebelumnya, ternyata belum mampu
menghasilkan kenaikan output.
Selain efisiensi sebagai ukuran kinerja, aspek keefektifan
juga menjadi ukuran kinerja yang sama penting. Sebanyak 18,3%
responden berpendapat bahwa unit kerja belum mampu merealisasikan
semua rencana kegiatan yang terdapat dalam anggaran dan sebanyak
9% responden berpendapat bahwa kegiatan yang dilaksanakan belum
dapat menghasilkan pelayanan publik yang berkualitas.
Berkaitan dengan aspek akuntabilitas sebagai aspek tanggung
jawab pelaksanaan PBK, sebanyak 13,6% unit kerja belum mengadopsi
60
masukan-masukan dari Musyawarah Rencana Pembangunan dalam
melakukan prioritasi kegiatan. Selain itu, sebanyak 9% responden
menyatakan bahwa setiap program yang telah dilaksanakan, belum
dievaluasi secara berkala oleh auditor eksternal dan sebanyak
10,2% responden menyatakan bahwa unit kerja belum menggunakan
evaluasi kinerja untuk mengetahui konsistensi perencanaan dan
implementasi.
61
No Variabel Indikator Jumlah Respondenyang Sangat TidakSetuju & Tidak
Setuju
Persentase SangatTidak Setuju & Tidak
Setuju
1 Sosialisasi Unit kerja saya menetapkanseluruh proses penerapan berbasis kinerja pada program/kegiatan yang direncanakan.
24 16,3%
Unit kerja saya melaksanakan mekanisme anggaran berbasis kinerja pada program/kegatan.
18 12,2%
Unit kerja saya telah menerapkan PBK sejalan dengan teori dalam sosialisasi dan pelaksanaan.
38 25%
2 Renstra Unit kerja saya mengetahuirenstra dari kementerian
13 8%
62
No Variabel Indikator Jumlah Respondenyang Sangat TidakSetuju & Tidak
Setuju
Persentase SangatTidak Setuju & Tidak
Setuju
di mana saya bekerja.
Unit kerja saya mengidentifikasi kebutuhanpemangku kepentingan dalampenyusunan anggaran.
22 15%
Unit kerja saya melibatkanpihak ketiga dalam penyusunan RKA-KL.
72 49%
3 Format Baru Penyusunan format RKA-KL terbaru sudah mencerminkanPBK.
19 16,3%
Penyusunan RKA-KL sudah memperhatikan KPJM.
23 15,6%
Penyusunan RKA-KL sudah mengadopsi indikator kinerja utama untuk
21 15,6%
63
No Variabel Indikator Jumlah Respondenyang Sangat TidakSetuju & Tidak
Setuju
Persentase SangatTidak Setuju & Tidak
Setuju
program.
4 Restrukturisasi Program & Kegiatan
Setelah restrukturisasi program memiliki keterkaitan yang jelas antara program dan sasarannasional.
22 14,9%
Dalam menyusun anggaran, unit kerja saya menetapkandampak yang diharapkan dari kegiatan yang diajukan.
16 10,8%
5 KPJM Penyusunan anggaran di Unit Kerja saya memperhitungkan kebutuhan pendanaan dalam jangka waktu tiga tahun ke depan.
23 15,6%
64
No Variabel Indikator Jumlah Respondenyang Sangat TidakSetuju & Tidak
Setuju
Persentase SangatTidak Setuju & Tidak
Setuju
Unit Kerja saya mengajukanestimasi kebutuhan anggaran tiga tahun kepadaKementerian.
26 17,6%
Dalam penyusunan anggaran Unit Kerja saya pernah mengajukan usul tambahan anggaran untuk inisiatif baru.
23 15,6%
Unit kerja saya melakukan penyesuaian angka dasar dengan parameter ekonomi dalam penyusunan anggaran.
21 14,2%
Unit kerja saya melakukan penyesuaian angka dasar dengan parameter non-ekonomi dalam menyusun
26 17,6%
65
No Variabel Indikator Jumlah Respondenyang Sangat TidakSetuju & Tidak
Setuju
Persentase SangatTidak Setuju & Tidak
Setuju
anggaran.
6 Sistem Pembiayaan
Unit kerja saya menggunakan sistem pembiayaan berbasis input (input based costing) sekarang ini.
30 20%
7 Review Unit kerja saya telah melakukan evaluasi pencapaian outcome anggaran.
29 19,7%
Unit kerja saya telah menggunakan hasil evaluasisebagai umpan balik untuk perbaikan kinerja secara berkelanjutan.
21 14,2%
8 Efisiensi Biaya program yang dianggarkan dapat mencapaioutcome yang ditetapkan
20 13,6%
66
No Variabel Indikator Jumlah Respondenyang Sangat TidakSetuju & Tidak
Setuju
Persentase SangatTidak Setuju & Tidak
Setuju
dalam perencanaan.
Untuk kegiatan dengan biaya yang dianggarkan tetap seperti tahun sebelumnya, mampu menghasilkan kenaikan output.
44 29,9%
Unit kerja saya membandingkan biaya denganunit kerja lain pada kegiatan yang sejenis.
41 27,8%
Untuk kegiatan dengan biaya yang dianggarkan tetap seperti tahun sebelumnya, mampu menghasilkan kenaikan output
56 38%
Untuk kegiatan dengan 85 57,8%
67
No Variabel Indikator Jumlah Respondenyang Sangat TidakSetuju & Tidak
Setuju
Persentase SangatTidak Setuju & Tidak
Setuju
biaya yang dianggarkan turun dari tahun sebelumnya, ternyata mampumenghasilkan kenaikan output.
9 Keefektifan Unit Kerja saya mampu merealisasikan semua rencana kegiatan yang terdapat dalam anggaran.
27 18,3%
Kegiatan yang dilaksanakandapat menghasilkan pelayanan publik yang berkualitas.
14 9%
10 Akuntabilitas
Unit kerja saya mengadopsimasukan-masukan dari Musyawarah Rencana Pembangunan dalam melakukan prioritasi
20 13,6%
68
No Variabel Indikator Jumlah Respondenyang Sangat TidakSetuju & Tidak
Setuju
Persentase SangatTidak Setuju & Tidak
Setuju
kegiatan.
Setiap program yang telah dilaksanakan, telah dievaluasi secara berkala oleh auditor eksternal.
14 9%
Unit kerja saya telah menggunakan evaluasi kinerja untuk mengetahui konsistensi perencanaan dan implementasi.
15 10,2%
69
Pernyataan masing-masing responden mengenai pelaksanaan PBKyang belum optimal tersebut sebenarnya juga bisa didukung olehdata-data sekunder. Data Wordwide Governance Indicators (Kaufmann etal., 2010) juga menunjukkan dukungan mengenai keefektifanpemerintah atau government effectiveness. Berdasarkan survei yangdilakukan pada 200 negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia,terdapat indikator-indikator kinerja pemerintah yang meliputiVoice and Accountability, Political Stability and Absence of Violence/Terrorism,Government Effectiveness, Regulatory Quality, Rule of Law, dan Control of Corruption.Indikator-indikator ini diperoleh dari survey dengan 31 sumberdata, data NGO, informasi bisnis komersial, dan sektor publik.Terkait dengan aspek kinerja dalam PBK, dimensi governmenteffectiveness (GE) memberikan dukungan terhadap pernyataan pararesponden dalam penelitian ini. GE adalah persepsi mengenaikualitas pelayanan publik, kualitas pelayanan pada masyarakat,kualitas formulasi dan pelaksanaan kebijakan, dan kredibilitaskomitmen pemerintah dalam menjalankan pelayanan publik. Kisaranjawaban adalah -2,5 sampai 2,5. Koefisien -2,5 menunjukkankorelasi yang lemah dan koefisien 2,5 menunjukkan korelasi yangluat. Berdasarkan survey WGI ini, diketahui bahwa dari tahun 1996sampai 2012, indikator mengenai GE menunjukkan hasil yang tidakefektif secara terus-menerus. Data menunjukkan bahwa tahun 1996,indikator menunjukkan koefisien -0,42; tahun 1998 dengankoefisien -0,60; tahun 2000 dengan koefisien -0,27; tahun 2004dengan koefisien -0,38; tahun 2009 dengan koefisien -0,28; tahun2010 dengan koefisien -0,20; tahun 2011 dengan koefisien -0,25;dan tahun 2012 dengan koefisien -0,29.
4.3. Korelasi antara Pelaksanaan Anggaran Berbasis Kinerja dan
Kinerja Kementerian
70
4.3.1. Uji Validitas
Sebelum melakukan analisis korelasi, analisis validitas
dilakukan dalam penelitian ini dengan menggunakan exploratory factor
analysis. Tujuan analisis validitas ini adalah untuk menguji
masing-masing indikator memiliki korelasi kuat antar indikator
dan mampu mengukur konsep yang akan diukur. Pengukuran
indikator-indikator ini belum memiliki pengukuran yang standard.
Pengembangan indikator diperoleh dari hasil tinjauan pustaka dan
wawancara dengan para ahli. Berdasarkan hasil uji validitas
beberapa indikator setiap variabel tidak valid. Cut off dalam
menentukan indikator dikatakan valid atau tidak adalah 0,03 (Hair
et al., 2010). Indikator dengan angka tebal menunjukkan koefisien
yang valid. Indikator yang tidak valid tidak digunakan lebih
lanjut dalam analisis selanjutnya.
No Variabel Indikator Koefisien
1 Sosialiasi sosial1 0,155
sosial2 0,366
sosial3 0,346
sosial4 0,774
sosial5 0,777
sosial6 0,631
2 Renstra renstra1 0,360
renstra2 0,518
71
No Variabel Indikator Koefisien
renstra3 0,801
renstra4 0,750
renstra5 0,841
renstra6 0,852
renstra7 0,401
renstra8 0,096
renstra9 0,449
renstra10 0,672
renstra11 0,441
renstra12 0,185
3 Format Baru format1 0,614
format2 0,781
format3 0,618
format4 0,634
format5 0,263
format6 0,717
4 RestrukturisasiProgram
restruktur1 0,342
restruktur2 0,412
restruktur3 0,206
restruktur4 0,467
72
No Variabel Indikator Koefisien
restruktur5 0,713
restruktur6 0,626
restruktur7 0,638
restruktur8 0,531
restruktur9 0,238
5 KPJM kpjm1 0,735
kpjm2 0,309
kpjm3 0,657
kpjm4 0,348
kpjm5 -0,094
kpjm6 0,211
kpjm7 0,211
6 Sistem Biaya cost1 0,762
cost2 0,769
cost3 0,507
cost4 0,225
cost5 0,123
cost6 0,117
cost7 0,180
7 Evaluasi review1 0,235
73
No Variabel Indikator Koefisien
review2 0,194
review3 0,522
review4 0,501
review5 0,492
review6 0,422
4.3.2. Uji Reliabilitas
Hasil uji validitas dengan Cronbach Alpha menunjukkan bahwa
masing-masing variabel dalam Surat Edaran Bersama memiliki
koefisien lebih dari 0,07. Hal ini menunjukkan bahwa para
responden penelitian yang melakukan pengisian kuesioner terbukti
konsisten dalam menjawab setiap pertanyaan dalam kuesioner. Hasil
pengujian reliabilitas variabel dalam penelitian sangat
ditentukan oleh aspek situasional ketika responden mengisi
kuesioner. Adapun strategi yang dilakukan dalam penelitian untuk
mendukung uji reliabilitas yang baik sebagai berikut.
1) Dalam menyebarkan kuesioner, peneliti ikut turut serta
menyebarkan kuesioner. Sebelum menyebarkan kuesioner,
peneliti melakukan audiensi dengan para individu di
setiap kementerian. Dengan demikian, informasi awal
mengenai tujuan penelitian disampaikan dengan baik kepada
para individu yang memiliki wewenang di masing-masing
biro atau kementerian.
74
2) Sesudah melakukan audiensi, peneliti melakukan penyebaran
kuesioner. Pada beberapa penyebaran kuesioner, peneliti
diberikan kesempatan untuk menyebarkan kuesioner pada
waktu dan tempat yang telah disediakan oleh para individu
di setiap kementerian. Peneliti menunggu pengisian
kuesioner sekaligus memberikan penjelasan pengisian
kuesioner apabila responden merasa kesulitan. Di samping
itu, peneliti juga menitipkan kuesioner kepada individu
yang sudah hadir pada audiensi.
No Variabel Cronbach Alpha
1 Sosialisasi 0,817
2 Perencanaan
Strategis
0,844
3 Penggunaan Format
Baru
0,901
4 Restrukturisasi 0,887
5 KPJM 0,834
6 Sistem Biaya 0,750
7 Evaluasi 0,797
8 Efisiensi 0,789
9 Keefektifan 0,787
75
10 Akuntabilitas 0,805
4.3.3. Analisis Secara Keseluruhan
Analisis data dalam penelitian ini menunjukkan bahwa masing-
masing individu memberikan pernyataan secara persepsional.
Artinya, bahwa setiap individu sebagai responden memiliki
keyakinan bahwa masing-masing variabel yang ada dalam Surat
Edaran Bersama diyakini mampu menunjukkan korelasi atau pengaruh
pada variabel kinerja yang terdiri atas efisiensi, keefektifan
dan akuntabilitas. Meskipun dalam data deskriptif yang berupa
persentase responden mengatakan tidak setuju terhadap sejumlah
indikator dalam kuesioner, penjelasan berikut ini merupakan
analisis bahwa masing-masing variabel diyakini mampu memberikan
korelasi pada pencapaian masing-masing kinerja. Apabila masing-
masing indikator dijalankan dengan baik dalam pelaksanaannya,
maka kinerja yang akan dicapai benar-benar akan optimal tidak
hanya pada tataran perseptual, namun juga dalam tataran realita
yang ada.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai F hitung sebesar
9,091 dan nilai signifikansi (pvalue) sebesar 0,000, dengan
menggunakan derajat signifikansi sebesar 10% (α = 0,1). Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa variabel sosialisasi,
perencanaan strategis, penggunaan format baru, restrukturisasi
program, KPJM, sistem biaya, evaluasi kinerja berkorelasi atau
76
berpengaruh signifikan terhadap variabel efisien sebagai kinerja.
Variabel-variabel dalam Surat Edaran Bersama dianggap oleh
responden mampu memiliki korelasi atau pengaruh pada efisiensi
sebagai variabel dependen secara bersama-sama.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai F hitung sebesar
19,151 dan nilai signifikansi (pvalue) sebesar 0,000, dengan
menggunakan derajat signifikansi sebesar 10% (α = 0,1). Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa variabel sosialisasi,
perencanaan strategis, penggunaan format baru, restrukturisasi
program, KPJM, sistem biaya, evaluasi kinerja berkorelasi atau
berpengaruh signifikan terhadap variabel keefektifan sebagai
kinerja. Variabel-variabel dalam Surat Edaran Bersama dianggap
oleh responden mampu memiliki korelasi atau pengaruh pada
keefektifan sebagai variabel dependen secara bersama-sama.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai F hitung sebesar
7,428 dan nilai signifikansi (pvalue) sebesar 0,000, dengan
menggunakan derajat signifikansi sebesar 10% (α = 0,1). Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa variabel sosialisasi,
perencanaan strategis, penggunaan format baru, restrukturisasi
program, KPJM, sistem biaya, evaluasi kinerja berkorelasi atau
berpengaruh signifikan terhadap variabel akuntabilitas sebagai
kinerja. Variabel-variabel dalam Surat Edaran Bersama dianggap
oleh responden mampu memiliki korelasi atau pengaruh pada
akuntabilitas sebagai variabel dependen secara bersama-sama.
77
4.3.4. Analisis Variabel dalam Surat Edaran Bersamaimplementasi PBK terhadap Kinerja Efisiensi
4.3.4.1. Analisis R2
Hasil analisis R2 menunjukkan koefisien sebesar 0,314. Hal
ini menunjukkan proporsi variabel efisiensi sebagai variabel
dependen mampu dijelaskan oleh variabel sosialisasi, perencanaan
strategis, penggunaan format baru, restrukturisasi program, KPJM,
sistem biaya, evaluasi kinerja sebesar 31,4%. 68,6% variabel
efisiensi dalam kinerja dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang
tidak dijelaskan dalam penelitian ini.
4.3.4.2. Analisis Variabel
Analisis per variabel ini menunjukkan informasi mengenai
persepsi responden terhadap pernyataan dalam kuesioner. Masing-
masing variabel dipersepsi memiliki korelasi terhadap kinerja
efisiensi.
No Variabel Unstandardi
zed
Koefisien t Signifikan
si
Partial
Correlat
ion
1 Sosialisasi
*
0,143 1,803 0,074 0,151
2 Perencanaan -0,120 -1,132 0,260 -0,096
78
Strategis
3 Format Baru 0,053 0,729 0,467 0,062
4 Restrukturi
sasi*
0,203 2,039 0,043 0,170
5 KPJM 0,159 1,614 0,109 0,136
6 Standar
Biaya*
0,195 2,350 0,020 0,195
7 Evaluasi -0,014 -0,161 0,872 -0,014
Variabel sosialisasi memiliki korelasi positif terhadap variabel
efisiensi dengan koefisien sebesar 0,151 dan nilai signifikansi
sebesar 0,074 dengan α 10%. Koefisien t hitung sebesar 1,803
menunjukkan pengaruh positif variabel sosialisasi terhadap
variabel efisiensi secara signifikan. Sosialisasi berkaitan
dengan anggaran berbasis kinerja dan merupakan suatu nilai kerja
bagi karyawan baru dan karyawan yang lama untuk mempelajari
penerapan anggaran berbasis kinerja yang dipersepsi penting untuk
untuk menjelaskan perubahan dan manfaat dalam penerapan anggaran.
Sosialisasi ini berkaitan dengan cara, prosedur, evaluasi
anggaran agar mencapai efisiensi pelaksanaan, keefektifan kerja
dan tanggung jawab terhadap penggunaan anggaran.
Variabel perencanaan strategis memiliki korelasi negatif
terhadap variabel efisiensi dengan koefisien sebesar -0,096 dan
79
nilai signifikansi sebesar 0,260 dengan α 10%. Koefisien t
hitung sebesar -1,132 menunjukkan pengaruh negatif variabel
perencanaan strategis terhadap variabel efisiensi namun tidak
signifikan. Perencanaan strategis yang negatif tidak signifikan
memberikan bukti bahwa perencanaan strategis yang telah dimiliki
masing-masing Unit Eselon 1 di 6 K/L perlu mendapat perhatian
serius berupa revitalisasi fungsi perencanaan strategis bagi
perbaikan kinerja efisiensi di masa mendatang
Variabel format baru memiliki korelasi positif terhadap
variabel efisiensi dengan koefisien sebesar 0,062 dan nilai
signifikansi sebesar 0,467. dengan α 10%. Koefisien t hitung
sebesar 0,729 menunjukkan pengaruh positif variabel format baru
terhadap variabel efisiensi namun tidak signifikan. Format baru
Variabel restrukturisasi program memiliki korelasi positif
terhadap variabel efisiensi dengan koefisien sebesar 0,170 dan
nilai signifikansi sebesar 0,043 dengan α 10%. Koefisien t
hitung sebesar 2,039 menunjukkan pengaruh positif variabel
restrukturisasi terhadap variabel efisiensi secara signifikan.
Program restrukturisasi merupakan bentuk keterkaitan antara
program dan arahan institusi/kementerian. Dalam merumuskan
program, prioritas program dipertimbangkan sehingga diharapkan
dapat menghemat biaya yang dikeluarkan dan tercipta efisiensi
biaya. Jika ada keterbatasan anggaran, program yang relatif
kurang penting bisa ditunda. Alokasi anggaran diutamakan pada
program yang diprioritaskan. Target yang ditentukan dalam tahun
berjalan harus diinisiasi oleh setiap lapisan eselon. Dalam
80
program restrukturisasi, tahapan selanjutnya adalah memeriksa
secara detail mengenai ketersediaan anggaran. Semua program
dipertimbangkan berdasarkan tingkat kepentingan dan “urgency”.
Program ditampilkan dalam bentuk aktivitas, sub-aktivitas,
prioritas, alokasi, dan kuantitas secara lebih terperinci.
Variabel KPJM memiliki korelasi positif terhadap variabel
efisiensi dengan koefisien sebesar 0,136 dan nilai signifikansi
sebesar 0,109 dengan α 10%. Koefisien t hitung sebesar 1,614
menunjukkan pengaruh positif variabel KPJM terhadap variabel
efisiensi namun tidak signifikan.
Variabel standar biaya memiliki korelasi positif terhadap
variabel efisiensi dengan koefisien sebesar 0,195 dan nilai
signifikansi sebesar 0,020 dengan α 10%. Koefisien t hitung
sebesar 2,350 menunjukkan pengaruh positif variabel standar
biaya terhadap variabel efisiensi secara signifikan. M engenai
penerapan sistem biaya, di Indonesia tidak seperti dengan negara-
negara OECD yang tidak menggunakan sistem biaya sebagai mekanisme
penghubung. Namun kasus di Indonesia, sistem biaya (refinement cost)
dipersepsi memiliki peran penting dalam penyusunan anggaran pada
setiap kementerian. Pemerintah sudah menentukan sistem biaya
sebagai alat untuk mengukur efisiensi selama dalam transisi dari
anggaran berbasis input ke anggaran berbasis output. Selain
sistem biaya berperan sebagai dalam alat ukur efisiensi, sistem
81
biaya juga dipersepsi berperan sebagai standar pengukuran
perbandingan input dan output.
Variabel evaluasi memiliki korelasi negatif terhadap
variabel efisiensi dengan koefisien sebesar -0,014 dan nilai
signifikansi sebesar 0,872 dengan α 10%. Koefisien t hitung
sebesar -0,161 menunjukkan pengaruh negatif variabel evaluasi
terhadap variabel efisiensi namun tidak signifikan.
4.3.5. Analisis Variabel dalam Surat Edaran Bersamaimplementasi PBK terhadap Kinerja Keefektifan
4.3.6. 4.3.6.1. Analisis R2
Hasil analisis R2 menunjukkan koefisien sebesar 0,491. Hal
ini menunjukkan proporsi variabel keefektifan sebagai variabel
dependen mampu dijelaskan oleh variabel sosialisasi, perencanaan
strategis, penggunaan format baru, restrukturisasi program, KPJM,
sistem biaya, evaluasi kinerja sebesar 49,1%. 50,9% variabel
keefektifan dalam kinerja dipengaruhi oleh faktor-faktor lain
yang tidak dijelaskan dalam penelitian ini.
4.3.6.2. Analisis Variabel
82
Analisis per variabel ini menunjukkan informasi mengenai
persepsi responden terhadap pernyataan dalam kuesioner. Masing-
masing variabel dipersepsi memiliki korelasi terhadap kinerja
keefektifan.
No Variabel Unstandardi
zed
Koefisien t Signifikan
si
Partial
Correlat
ion
1 Sosialisasi
*
0,099 1,752 0,082 0,147
2 Perencanaan
Strategis*
0,153 2,036 0,044 0,170
3 Format Baru -0,015 -0,297 0,767 -0,025
4 Restrukturi
sasi
0,071 1,013 0,313 0,086
5 KPJM* 0,177 2,533 0,012 0,210
6 Standar
Biaya
0,036 0,605 0,546 0,051
7 Evaluasi* 0,214 3,545 0,580 0,288
Variabel sosialisasi memiliki korelasi positif terhadap
variabel keefektifan dengan koefisien sebesar 0,147 dan nilai
signifikansi sebesar 0,082 dengan α 10%. Koefisien t hitung
83
sebesar 1,752 menunjukkan pengaruh positif variabel sosialisasi
terhadap variabel keefektifan secara signifikan.
Variabel perencanaan strategis memiliki korelasi positif
terhadap variabel keefektifan dengan koefisien sebesar 0,170 dan
nilai signifikansi sebesar 0,044 dengan α 10%. Koefisien t
hitung sebesar 2,036 menunjukkan pengaruh positif variabel
perencanaan strategis terhadap variabel keefektifan secara
signifikan.
Variabel format baru memiliki korelasi negatif terhadap
variabel keefektifan dengan koefisien sebesar -0,025 dan nilai
signifikansi sebesar 0,767 dengan α 10%. Koefisien t hitung
sebesar -0,297 menunjukkan pengaruh negatif variabel format
baru terhadap variabel keefektifan namun tidak signifikan.
Variabel restrukturisasi memiliki korelasi positif terhadap
variabel keefektifan dengan koefisien sebesar 0,086 dan nilai
signifikansi sebesar 0,313 dengan α 10%. Koefisien t hitung
sebesar 1,013 menunjukkan pengaruh positif variabel
restrukturisasi terhadap variabel keefektifan namun tidak
signifikan. Secara teoretis, isu pencapaian kinerja keefektifan
berkaitan dengan restrukturisasi program, namun kenyataannya,
restrukturisasi program tidak memiliki korelasi dengan kinerja
keefektifan. Sebenarnya, restrukturisasi program sudah selesai
2010. Selain itu, variabel perencanaan strategis juga diprediksi
memiliki korelasi, namun hasil menunjukkan lain. Basyir (2010)
melakukan elaborasi mengenai road map pelaksanaan PBK dan
84
pencapaiannya, mengenai kemungkinan belum tercapainya perencanaan
strategis secara optimal.
1) Periode antara 2005-2009 merupakan fase perkenalan. Ada lima
aktivitas dan prestasi termasuk urgensi pentingnya untuk
memperbaiki program dan aktivitas di setiap kementerian agar
sejalan dengan karakteristik PBK.
2) Periode 2010-2014 merupakan fase kelanjutan yang
mengutamakan program dan aktivitas baru sesudah
restrukturisasi.
3) Periode sesudah 2015 merupakan fase perbaikan. Fase ini
dijadwalkan sesudah administrasi baru sesudah pemilihan
presiden.
Variabel KPJM memiliki korelasi positif terhadap variabel
keefektifan dengan koefisien sebesar 0,210 dan nilai signifikansi
sebesar 0,012 dengan α 10%. dengan α 10%. Koefisien t hitung
sebesar 2,533 menunjukkan pengaruh positif variabel KPJM
terhadap variabel keefektifan secara signifikan. Meskipun KPJM
baru dikenalkan pada 2011, perencanaan mengenai penerapannya
sudah digunakan dan dipersepsikan akan mampu memberikan korelasi
pada kinerja keefektifan yaitu tercapainya semua program yang
direncanakan secara optimal. Kerangka Pengeluaran Jangka
menengah (KPJM) dilakukan dengan menggunakan petunjuk atau arahan
yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan dan Badan Perencana
Pembangunan Nasional. Hal ini penting untuk memperbaiki
85
arsitektur program aktivitas sehingga memberikan keterkaitan
antara struktur organisasi, sruktur anggaran, struktur
perencanaan kebijakan, dan struktur manajemen kinerja. Dengan
demikian, proses ini dipersepsi bisa menciptakan keefektifan
kinerja.
KPJM digunakan untuk mengelola anggaran pemerintah dan
kebijakan selama periode beberapa tahun, biasanya 3 sampai 5
tahun. Mekanisme ini dimaksudkan untuk menunjukkan implikasi
kebijakan dan pengeluaran pemerintah. Hal ini juga digunakan
untuk menentukan efek penyesuaian kebijakan dan anggaran yang
membutuhkan beberapa tahun dalam pelaksanaannya. Selain itu, KPJM
ini juga mempertimbangkan adanya realitas makroekonomi, dan
kebutuhan sejumlah sektor yang perlu disesuaikan. Proses ini
bertujuan untuk meningkatkan disiplin dalam perencanaan
pengeluaran pemerintah dan mengurangi ketidakseimbangan antara
pertimbangan makro ekeonomi, estimasi penerimaan, dan kewajiban
pemerintah serta program sektor yang mencapai tujuan kebijakan.
Anggaran berbasis kinerja diajukan untuk menciptakan keterkaitan
antara pembiayaan sumber daya dan output serta outcome yang
diharapkan sekaligus efisiensi dari output dan outcome yang
dihasilkan.
Variabel standar biaya memiliki korelasi positif terhadap
variabel keefektifan dengan koefisien sebesar 0,051 dan nilai
signifikansi sebesar 0,546 dengan α 10%. Koefisien t hitung
86
sebesar 0,605 menunjukkan pengaruh positif variabel standar
biaya terhadap variabel keefektifan namun tidak signifikan.
Variabel evaluasi memiliki korelasi positif terhadap
variabel keefektifan dengan koefisien sebesar 0,288 dan nilai
signifikansi sebesar 0,580 dengan α 10%. Koefisien t hitung
sebesar 3,545 menunjukkan pengaruh positif variabel evaluasi
terhadap variabel keefektifan secara signifikan.
4.3.7. Analisis Variabel dalam Surat Edaran Bersaimplementasi PBK ma terhadap Kinerja Akuntabilitas
4.3.8. 4.3.8.1. Analisis R2
Hasil analisis R2 menunjukkan koefisien sebesar 0,272. Hal
ini menunjukkan proporsi variabel akuntabilitas sebagai variabel
dependen mampu dijelaskan oleh variabel sosialisasi, perencanaan
strategis, penggunaan format baru, restrukturisasi program, KPJM,
sistem biaya, evaluasi kinerja sebesar 27,2%. 72,8% variabel
akuntabilitas dalam kinerja dipengaruhi oleh faktor-faktor lain
yang tidak dijelaskan dalam penelitian ini.
4.3.8.2. Analisis Variabel
Analisis per variabel ini menunjukkan informasi mengenai
persepsi responden terhadap pernyataan dalam kuesioner. Masing-
87
masing variabel dipersepsi memiliki korelasi terhadap kinerja
akuntabilitas.
No Variabel Unstandardi
zed
Koefisien t Signifikan
si
Partial
Correlat
ion
1 Sosialisasi -0,029 -0,327 0,744 -0,028
2 Perencanaan
Strategis*
0,200 1,728 0,086 0,145
3 Format
Baru*
0,165 2,080 0,039 0,174
4 Restrukturi
sasi
0,035 0,317 0,751 0,027
5 KPJM 0,050 0,459 0,647 0,039
6 Standar
Biaya
-0,014 -0,152 0,879 -0,013
7 Evaluasi* 0,272 2,904 0,004 0,239
Variabel sosialisasi memiliki korelasi negatif terhadap
variabel akuntabilitas dengan koefisien sebesar -0,028 dan nilai
signifikansi sebesar 0,744 dengan α 10%. Koefisien t hitung
sebesar -0,327 menunjukkan pengaruh negatif variabel
88
sosialisasi terhadap variabel akuntabilitas namun tidak
signifikan.
Variabel perencanaan strategis memiliki korelasi positif
terhadap variabel akuntabilitas dengan koefisien sebesar 0,145
dan nilai signifikansi sebesar 0,086 dengan α 10%. Koefisien t
hitung sebesar 1,728 menunjukkan pengaruh positif variabel
perencanaan strategis terhadap variabel akuntabilitas secara
signifikan.
Variabel format baru memiliki korelasi positif terhadap
variabel akuntabilitas dengan koefisien sebesar 0,174 dan nilai
signifikansi sebesar 0,039 dengan α 10%. Koefisien t hitung
sebesar 2,080 menunjukkan pengaruh positif variabel format
baru terhadap variabel akuntabilitas secara signifikan.
Variabel restrukturisasi memiliki korelasi positif terhadap
variabel akuntabilitas dengan koefisien sebesar 0,027 dan nilai
signifikansi sebesar 0,751 dengan α 10%. Koefisien t hitung
sebesar 0,317 menunjukkan pengaruh positif variabel
restrukturisasi terhadap variabel akuntabilitas namun tidak
signifikan.
Variabel KPJM memiliki korelasi positif terhadap variabel
akuntabilitas dengan koefisien sebesar 0,039 dan nilai
signifikansi sebesar 0,647 dengan α 10%. Koefisien t hitung
sebesar 0,459 menunjukkan pengaruh positif variabel KPJM
terhadap variabel akuntabilitas namun tidak signifikan.
Variabel standar biaya memiliki korelasi negatif terhadap
variabel akuntabilitas dengan koefisien sebesar -0,013 dan nilai
89
signifikansi sebesar 0,879 dengan α 10%. Koefisien t hitung
sebesar -0,152 menunjukkan pengaruh negative variabel
standar biaya terhadap variabel akuntabilitas namun tidak
signifikan.
Variabel evaluasi memiliki korelasi positif terhadap
variabel akuntabilitas dengan koefisien sebesar 0,239 dan nilai
signifikansi sebesar 0,004 dengan α 10%. Koefisien t hitung
sebesar 2,904 menunjukkan pengaruh positif variabel evaluasi
terhadap variabel akuntabilitas secara signifikan.
1.2.2. Statistik Deskriptif
Analisis Skor Rata-Rata
Tabel berikut ini menunjukkan rata-rata variabel. Semua
responden memberikan jawaban setuju pada semua pernyataan
kuesioner. Kisaran skor adalah 2 sampai 5. Skor 2 menunjukkan
sangat tidak setuju; 3 tidak setuju; 4 setuju dan 5 sangat
setuju. Rata-rata partisipan menyampaikan argumen bahwa mereka
memberikan kesepakatan mengenai pemahaman pelaksanaan PBK pada
tahapan sikap atau persepsi. Hasil juga menunjukkan bahwa secara
umum, partisipan penelitian mengetahui manfaat pelaksanaan
anggaran berbasis kinerja sehingga pada tahap tertentu mampu
meningkatkan efisiensi dan keefektifan.
90
Tabel 4.3. Statistik DeskriptifNo Variabel Rata-Rata
1 Sosialisasi 4,0388
2 Perencanaan Strategis 4,0578
3 Penggunaan Format Baru 4,0361
4 Restrukturisasi 4,0499
5 KPJM 3,9957
6 Sistem Biaya 4,0326
7 Evaluasi 4,0529
8 Efisiensi 3,8438
9 Keefektifan 4,0821
10 Akuntabilitas 4,1311
Sumber: Hasil pengolahan data riset PPPI (2013)
1.3. Analisis Efisiensi
Tabel 4.4. ini menunjukkan bahwa korelasi antar masing-masing
variabel pada kinerja efisiensi. Hanya sistem biaya dan KPJM yang
memiliki korelasi positif pada efisiensi.Variabel KPJM memiliki
korelasi positif terhadap kinerja efisiensi sebesar 0,157
sedangkan sistem biaya (refinement cost system) memiliki korelasi
positif terhadap kinerja efisiensi 0,274. Berkaitan dengan aspek
pengaruh, variabel KPJM memiliki pengaruh pada kinerja efisiensi
dengan α 10% dan tingkat signifikansi 0,063; sedangkan variabel
91
sistem biaya memiliki pengaruh pada kinerja efisiensi dengan
tingkat signifikansi 0,001.
Meskipun KPJM baru dikenalkan pada 2011, perencanaan mengenai
penerapannya sudah digunakan. Selain itu, mengenai penerapan
sistem biaya, di Indonesia tidak seperti dengan negara-negara
OECD yang tidak menggunakan sistem biaya sebagai mekanisme
penghubung. Namun kasus di Indonesia, sistem biaya (refinement cost)
memiliki peran penting dalam penyusunan anggaran pada setiap
kementerian. Pemerintah sudah menentukan sistem biaya sebagai
alat untuk mengukur efisiensi selama dalam transisi dari anggaran
berbasis input ke anggaran berbasis output. Selain sistem biaya
berperan sebagai dalam alat ukur efisiensi, sistem biaya juga
berperan sebagai standar pengukuran perbandingan input dan
output.
Tabel 4.4. Hasil Analisis Kinerja Efisiensi
No Variabel Unstandardiz
ed
Coefficie
nt t
Significan
ce
Partial
Correlat
ion
1 Sosialisasi 0,065 0,699 0,486 0,059
2 Perencanaan
Strategis -0,078 -0,614 0,540 -0,052
3 Format Baru 0,013 0,118 0,906 0,010
4 Restrukturi -0,035 -0,337 0,737 -0,029
92
sasi
5 KPJM* 0,235 1,876 0,063 0,157
6 Standar
Biaya* 0,381 3,353 0,001 0,274
7 Evaluasi 0,171 1,700 0,091 0,143
*signifikan pada level kepercayaan 10%
Sumber: Hasil pengolahan data riset PPPI (2013)
1.4. Analisis Keefektifan
Tabel 4.5. ini menunjukkan korelasi masing-masing variabel pada
implementasi anggaran berbasis kinerja keefektifan. Evaluasi
kinerja dan KPJM memiliki korelasi positif pada
keefektifan.Variabel KPJM memiliki korelasi positif terhadap
kinerja keefektifan sebesar 0,181; sedangkan evaluasi kinerja
memiliki korelasi positif terhadap kinerja keefektifan 0,363.
Berkaitan dengan aspek pengaruh, variabel KPJM memiliki pengaruh
pada kinerja keefektifan dengan α 10% dan tingkat signifikansi
0,031; sedangkan variabel evaluasi kinerja memiliki pengaruh
pada kinerja keefektifan dengan tingkat signifikansi 0,000.
Secara teoretis, isu pencapaian kinerja keefektifan berkaitan
dengan restrukturisasi program, namun kenyataannya,
restrukturisasi program tidak memiliki korelasi dengan kinerja
keefektifan. Sebenarnya, restrukturisasi program sudah selesai
93
2010. Selain itu, variabel perencanaan strategis juga diprediksi
memiliki korelasi, namun hasil menunjukkan lain Basyir (2010)
melakukan elaborasi mengenai road map pelaksanaan PBK dan
pencapaiannya, mengenai kemungkinan belum tercapainya perencanaan
strategis secara optimal.
4) Periode antara 2005-2009 merupakan fase perkenalan. Ada lima
aktivitas dan prestasi termasuk urgensi pentingnya untuk
memperbaiki program dan aktivitas di setiap kementerian agar
sejalan dengan karakteristik PBK.
5) Periode 2010-2014 merupakan fase kelanjutan yang
mengutamakan program dan aktivitas baru sesudah
restrukturisasi.
6) Periode sesudah 2015 merupakan fase perbaikan. Fase ini
dijadwalkan sesudah administrasi baru sesudah pemilihan
presiden.
Tabel 4.5 Hasil Analisis Kinerja Keefektifan
No Variabel Unstandardiz
ed
Coefficie
nt t
Significa
nce
Partial
Correlatio
n
1 Sosialisasi 0,017 0,244 0,807 0,021
2 Perencanaan
Strategis 0,011 0,119 0,906 0,010
3 Format Baru 0,118 1,402 0,163 0,118
4 Restrukturi 0,007 0,094 0,925 0,008
94
sasi
5 KPJM* 0,204 2,174 0,031 0,181
6 Standar
Biaya 0,112 1,323 0,188 0,112
7 Evaluasi* 0,346 4,590 0,000 0,363
*signifikan pada level kepercayaan 10%
Sumber: Hasil pengolahan data riset PPPI (2013)
1.5. Analisis Akuntabilitas
Tabel 4.6 ini menunjukkan korelasi masing-masing variabel dengan
kinerja akuntabilitas. Hanya format baru dan evaluasi atau
review memiliki korelasi positif pada akuntabilitas.Variabel
format baru dan evaluasi review memiliki korelasi positif
terhadap kinerja akuntabilitas. Variabel format baru memiliki
korelasi pada kinerja akuntabilitas sebesar 0,290; sedangkan
evaluasi kinerja memiliki korelasi positif terhadap kinerja
akuntabilitas 0,480. Berkaitan dengan aspek pengaruh, variabel
format baru dan review memiliki pengaruh pada kinerja
akuntabilitas dengan α 10%. Variabel format baru memiliki
pengaruh pada kinerja akuntabilitas dengan tingkat signifikansi
0,000; sedangkan variabel evaluasi kinerja memiliki pengaruh
pada kinerja akuntabilitas dengan tingkat signifikansi 0,000.
Implementasi format baru mengidentifikasi peran kementerian dan
peran Eselon 1. Penggunaan format baru menandakan adanya tanggung
95
jawab dalam melaksanakan program. Variabel evaluasi kinerja
berkaitan dengan identifikasi keunggulan dan kelemahan-masing
program yang relevan dengan masing-masing kementerian yang
menjalankan program.
Tabel 4.6. Hasil Analisis Kinerja Akuntabilitas
No Variabel Unstandardi
zed
Coefficien
t t
Significa
nce
Partial
Correlat
ion
1 Sosialisas
i -0,046 -0,687 0,493 -0,058
2 Perencanaa
n
Strategis-0,139 -1,505 0,135 -0,127
3 Format
Baru* 0,294 3,568 0,000 0,290
4 Restruktur
isasi 0,067 0,883 0,379 0,075
5 KPJM 0,088 0,960 0,339 0,081
6 Standar
Biaya 0,054 0,652 0,516 0,055
7 Evaluasi* 0,474 6,450 0,000 0,480
4.4. Simpulan Hasil
96
Departemen Keuangan Republik Indonesia & Kementerian Negara
Perencanaan Pembangunan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
(2009) menyimpulkan implementasi penganggaran berbasis kinerja
dan penganggaran dalam kerangka jangka menengah selama 5 tahun
ini belum mencapai hasil yang optimal karena tidak ada
keterkaitan antara dokumen perencanaan dan dokumen anggaran. Hal
ini juga ditunjukkan dari hasil penelitian ini bahwa variabel
restrukturisasi program tidak dipersepsikan memiliki korelasi
dengan variabel kinerja keefektifan. Program-program yang ada
dalam RKA-KL 2010 masih menggunakan line-item (rincian belanja) dan
bukan dalam bentuk kegiatan yang berorientasi pada keluaran
(output), sehingga kurang terlihat keterkaitan dengan hasil
outcome) yang diharapkan.
Program yang digunakan oleh beberapa K/L dilaksanakan tanpa
pembagian kerja dan indikator yang jelas sehingga tidak dapat
diukur pencapaian dan akuntabilitas kinerja program.
Pendefinisian program terlalu sempit sehingga kinerja program
(outcomes) sama dengan atau lebih rendah dari kinerja kegiatan
(output). Program tidak terkait secara langsung dengan kegiatan-
kegiatannya. Program untuk menampung biaya pengelolaan
administrasi K/L (overhead cost) masih beragam. Sebagai langkah
awal, diperlukan upaya penyempurnaan struktur Program dan
Kegiatan Kementerian Negara/Lembaga. Hasil dari restrukturisasi
Program dan Kegiatan tersebut diimplementasikan dalam penyusunan
RPJMN 2010‐2014 dan Rencana Strategis K/L 2010‐2014. Pada tahun
2011, penyusunan rencana anggaran sudah menggunakan informasi
97
kinerja lebih lengkap yaitu output, volume dan indikator. Dengan
demikian, diprediksi bahwa waktu dua tahun terhitung sejak 2011
sampai sekarang belum cukup menguatkan argumen bahwa
restrukturisasi program dengan menampilkan informasi lebih detail
belum cukup berkorelasi dengan kinerja yang meliputi efisiensi,
keefektifan, dan akuntabilitas.
Meskipun Departemen Keuangan Republik Indonesia &
Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (2009) berpendapat bahwa kebijakan
prioritas yang ditetapkan oleh pemerintah melalui RKP tidak jelas
kerangka waktu (timeframe) penyelesaiannya dan setiap tahun selalu
berubah sesuai dengan tema yang ditetapkan sehingga mengakibatkan
proses penganggaran selalu kembali ke nol seperti model zero based
budgeting, dan penerapan KPJM pada saat ini baru sebatas
mencantumkan prakiraan maju tiga tahun ke depan, namun hasil
penelitian ini menunjukkan temuan yang berbeda. Penelitian ini
juga menunjukkan hasil bahwa variabel KPJM dan standar biaya
memiliki korelasi positif pada variabel kinerja keefektifan.
Hasil studi ini mengonfirmasi argumen. Robinson & Brumby (2005)
bahwa Perencanaan dan Penganggaran Berjangka Menengah dan
Berbasis Kinerja merupakan mekanisme dalam meningkatkan manfaat
dana yang dianggarkan ke sektor publik terhadap outcomes dan
output, melalui informasi kinerja format yang terkait dengan tiga
hal yaitu pengukuran kinerja, pengukuran biaya untuk menghasilkan
output dan outcomes serta penilaian keefektifan dan efisiensi
pengeluaran/belanja dengan berbagai alat analisis.
98
KPJM merupakan cara memperhitungkan konsekuensi putusan
terhadap anggaran pada tahun berikutnya sehingga bisa menciptakan
PBK yang optimal. KPJM diyakini bisa memperhitungkan kebutuhan
pendanaan dalam jangka waktu tiga tahun ke depan. Penyusunan
anggaran dalam KPJM mampu membedakan kegiatan operasional dan
non-operasional maupun prioritas nasional. Dengan adanya
pengajuan mengajukan estimasi kebutuhan anggaran tiga tahun
kepada Kementerian, diharapkan dapat berkorelasi pada pencapaian
kinerja efisiensi dan keefektifan.
Berkaitan dengan buku petunjuk pelaksanaan PBK yang
dikeluarkan oleh Menteri Keuangan dan Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional, bentuk anggaran baru adalah dikategorikan
berdasarkan informasi kinerja eselon 1. Informasi pengeluaran dan
penerimaan ditempatkan pada lembar yang berbeda dalam bentuk
format baru. Kinerja yang dicapai oleh kementerian diharapkan
disesuaikan dengan visi, misi, dan perencanaan kerja. Format
baru sebagai bagian variabel penelitian ini, memiliki korelasi
positif pada kinerja akuntabilitas. Hal ini sejalan dengan asumsi
bahwa format baru memiliki kaitan dengan akuntabilitas karena
dalam format baru menjelaskan peran personil yang bertanggung
jawab pada setiap program dan kegiatan yang diajukan.
Variabel evaluasi kinerja dalam penelitian memiliki korelasi
positif dengan variabel kinerja akuntabilitas. Secara definitif,
evaluasi kinerja adalah proses pencapaian tujuan yang
menunjukkan bahwa perumusan dan pelaksanaan kebijakan mencapai
efisiensi dan keefektifan. Penelitian ini menunjukkan bahwa
99
variabel evaluasi tidak memiliki korelasi dengan variabel kinerja
efisiensi namun berkorelasi dengan variabel kinerja keefektifan
dan akuntabilitas. Dalam evaluasi kinerja berkaitan dengan
kegiatan yaitu penentuan kriteria untuk menilai tercapainya
pelaksanaan anggaran, melakukan monitoring secara berkala
terhadap pelaksanaan anggaran setiap triwulan, evaluasi
pencapaian output anggaran, dan evaluasi pencapaian outcome
anggaran serta menggunakan hasil evaluasi sebagai umpan balik
untuk perbaikan kinerja secara berkelanjutan. Aspek-aspek
tersebut berkorelasi dengan indikator dengan kinerja
akuntabilitas yang berkaitan dengan masalah tanggung jawab
(responsibilitas) terhadap kesuksesan pelaksanaan kegiatan dan
evaluasi kinerja untuk mengetahui konsistensi perencanaan dan
implementasi.
4.5. *signifikan pada level kepercayaan 10%Sumber: Hasil pengolahan data riset PPPI (2013)
Analisis Secara KeseluruhanDepartemen Keuangan Republik Indonesia & Kementerian Negara
Perencanaan Pembangunan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2009) menyimpulkan implementasi penganggaran berbasis kinerja dan penganggaran dalam kerangka jangka menengah selama 5 tahun ini belum mencapai hasil yang optimal karena tidak ada keterkaitan antara dokumen perencanaan dan dokumen anggaran. Hal ini juga ditunjukkan dari hasil penelitian ini bahwa variabel perencanaan strategis dan restrukturisasi program tidak dipersepsikan
100
memiliki korelasi dengan variabel kinerja efisiensi, keefektifan maupun akuntabilitas. Program-program yang ada dalam RKA-KL 2010 masih menggunakan line-item (rincian belanja) dan bukan dalam bentuk kegiatan yang berorientasi pada keluaran (output), sehingga kurang terlihat keterkaitandengan hasil outcome) yang diharapkan.
Program yang digunakan oleh beberapa K/L dilaksanakan tanpa pembagian kerja dan indikator yang jelas sehingga tidak dapat diukur pencapaian dan akuntabilitas kinerja program. Pendefinisian program terlalu sempit sehingga kinerja program (outcomes) sama dengan atau lebih rendah dari kinerja kegiatan (output). Program tidak terkait secara langsung dengan kegiatan-kegiatannya. Program untuk menampung biaya pengelolaan administrasi K/L (overhead cost) masih beragam. Sebagai langkah awal, diperlukan upaya penyempurnaan struktur Program dan Kegiatan Kementerian Negara/Lembaga. Untuk itulah Pedoman Penyusunan Program dan Kegiatan ini disusun. Hasil dari restrukturisasi Program danKegiatan tersebut diimplementasikan dalam penyusunan RPJMN 2010‐2014 dan Rencana Strategis K/L 2010‐2014. Pada tahun 2011, penyusunan rencana anggaran sudah menggunakan informasi kinerja lebih lengkap yaitu output, volume dan indikator. Dengan demikian, diprediksi bahwa waktu dua tahun terhitung sejak 2011 sampai sekarang belum cukup menguatkan argumen bahwa restrukturisasi program dengan menampilkan informasi lebih detail belum cukup berkorelasi dengan kinerja yang meliputi efisiensi, keefektifan, dan akuntabilitas.
Meskipun Departemen Keuangan Republik Indonesia & Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Badan Perencanaan PembangunanNasional (2009) berpendapat bahwa kebijakan prioritas yang ditetapkan oleh pemerintah melalui RKP tidak jelas kerangka
101
waktu (timeframe) penyelesaiannya dan setiap tahun selalu berubah sesuai dengan tema yang ditetapkan sehingga mengakibatkan proses penganggaran selalu kembali ke nol seperti model zero based budgeting, dan penerapan KPJM pada saat ini baru sebatas mencantumkan prakiraan maju tiga tahunke depan, namun hasil penelitian ini menunjukkan temuan yangberbeda. Penelitian ini juga menunjukkan hasil bahwa variabel KPJM dan standar biaya memiliki korelasi positif pada variabel kinerja efisiensi. Hasil studi ini mengonfirmasi argument Robinson & Brumby (2005) bahwa Perencanaan dan Penganggaran Berjangka Menengah dan BerbasisKinerja merupakan mekanisme dalam meningkatkan manfaat dana yang dianggarkan ke sektor publik terhadap outcomes dan output, melalui informasi kinerja format yang terkait dengan tiga hal yaitu pengukuran kinerja, pengukuran biaya untuk menghasilkan output dan outcomes serta penilaian keefektifan dan efisiensi pengeluaran/belanja dengan berbagai alat analisis.
KPJM merupakan cara memperhitungkan konsekuensi putusan terhadapanggaran pada tahun berikutnya sehingga bisa menciptakan PBKyang optimal. KPJM diyakini bisa memperhitungkan kebutuhan pendanaan dalam jangka waktu tiga tahun ke depan. Penyusunananggaran dalam KPJM mampu membedakan kegiatan operasional dan non-operasional maupun prioritas nasional. Dengan adanyapengajuan mengajukan estimasi kebutuhan anggaran tiga tahunkepada Kementerian, diharapkan dapat berkorelasi pada pencapaian kinerja efisiensi dan keefektifan.
Berkaitan dengan buku petunjuk pelaksanaan PBK yang dikeluarkan oleh Menteri Keuangan dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, bentuk anggaran baru adalah dikategorikan berdasarkan informasi kinerja eselon 1. Informasi pengeluaran dan penerimaan ditempatkan pada lembar yang
102
berbeda dalam bentuk format baru. Kinerja yang dicapai oleh kementerian diharapkan disesuaikan dengan visi, misi, dan perencanaan kerja. Format baru sebagai bagian variabel penelitian ini, memiliki korelasi positif pada kinerja akuntabilitas. Hal ini sejalan dengan asumsi bahwa format baru memiliki kaitan dengan akuntabilitas karena dalam format baru menjelaskan peran personil yang bertanggung jawab pada setiap program dan kegiatan yang diajukan.
Variabel evaluasi kinerja dalam penelitian memiliki korelasi
positif dengan variabel kinerja akuntabilitas. Secara definitif, evaluasi kinerja adalah proses pencapaian tujuanyang menunjukkan bahwa perumusan dan pelaksanaan kebijakan mencapai efisiensi dan keefektifan. Penelitian ini menunjukkan bahwa variabel evaluasi tidak memiliki korelasidengan variabel kinerja efisiensi dan keefektifan, namun berkorelasi dengan variabel kinerja akuntabilitas. Dalam evaluasi kinerja berkaitan dengan kegiatan yaitu penentuan kriteria untuk menilai tercapainya pelaksanaan anggaran, melakukan monitoring secara berkala terhadap pelaksanaan anggaran setiap triwulan, evaluasi pencapaian output anggaran, dan evaluasi pencapaian outcome anggaran serta menggunakan hasil evaluasi sebagai umpan balik untuk perbaikan kinerja secara berkelanjutan. Aspek-aspek tersebutberkorelasi dengan indikator dengan kinerja akuntabilitas yang berkaitan dengan masalah tanggung jawab (responsibilitas) terhadap kesuksesan pelaksanaan kegiatan dan evaluasi kinerja untuk mengetahui konsistensi perencanaan dan implementasi.
Berkaitan dengan variabel sosialisasi dan training sebagai salah satu variabel dalam penelitian ini, hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel tersebut tidak berkorelasi denganvariabel kinerja baik efisiensi, keefektifan, maupun
103
akuntabilitas. Hal ini dimungkinkan dengan sudah terlaksananya sosialisasi dan training pada tahun 2009, sehingga diasumsikan bahwa kegiatan tersebut sudah berlangsung. Oleh karena itu, implikasi sosialisasi dan training tidak begitu mengena pada kinerja yang ditetapkan.
Analisis Komparasi Pilot dan Non-Pilot
Untuk melengkapi analisis korelasi diatas, kami menelaah jawaban
responden terhadap pernyataan survey dengan analisis deskriptif
melalui Tabel 4.7 di bawah. Temuan komparasi melengkapi analisis
korelasi variabel implementasi PBK terhadap kinerja Kementerian
Lembaga (efisiensi, keefektifan, akuntabilitas)
Tabel 4.7 Komparasi Persentase Jawaban Responden
Terhadap Beberapa Pernyataan Survei
StatusPelaksanaan PBK
Telahmelaksanakanmekanisme ABK
padaProgram/Kegiatan
Telahmenerapkan
PBKsejalanantara
teori danpelaksanaa
n
PenyusunanRKA-KL sudahmemperhatikan
MTEF
Penyusuna RKA-KLsudah
memperhatikanrestrukturisasiProgram/Kegiatan
Persentase Jawaban Responden yang setuju dan sangat setuju
Pilot Project
o Kemenkeuo Kemdikbudo Bappenas
81 68 74 72
Non Pilot Project
o Kemenkumhamo Kemenhubo Kemensos
89 68 76 80
104
StatusPelaksanaan PBK
Telahmelaksanakanmekanisme ABK
padaProgram/Kegiatan
Telahmenerapkan
PBKsejalanantara
teori danpelaksanaa
n
PenyusunanRKA-KL sudahmemperhatikan
MTEF
Penyusuna RKA-KLsudah
memperhatikanrestrukturisasiProgram/Kegiatan
Perbedaan 8 0 2 8
Sumber: Hasil pengolahan data riset PPPI (2013)
Beberapa deskripsi yang disajikan melalui tabel di atas terbagi
dalam dua kategori.Kategori pertama, dalam penilaian responden
baik pilot maupun non pilot K/L, tidak terdapat perbedaan persepsi
responden terkait pernyataan “telah menerapkan Penganggaran Berbasis
Kinerja sejalan antara teori (saat pelatihan dan sosialisasi) dan pelaksanaan” serta
penyataan “Penyusunan Rencana Kerja Anggaran Kementerian/Lembaga sudah
memperhatikan Medium Term Expenditure Framework”. Berdasarkan jawaban
responden maka penerapan PBK telah sejalan antara teori dan
pelaksanaan dan RKA-KL telah memperhitungkan KPJM dalam
penyusunannya.
Kategori lain, adalah penilaian respoden berbeda cukup besar
terkait penyataan “telah melaksanakan mekanisme Anggaran Berbasis Kinerja
pada Program/Kegiatan” serta pernyataan “penyusunan Rencana Kerja Anggaran
Kementerian/Lembaga (RKA-KL) sudah memperhatikan restrukturisasi
Program/Kegiatan”.Kementerian non-pilot project menganggap telah
melaksanakan mekanisme ABK pada setiap program dan kegiatan dan
105
penyusunan RKA-KL telah memperhatikan restrukturisasi Program dan
Kegiatan.
Berikut ini merupakan Tabel 4.8 berisikan tabel komparasi
persentase jawaban responden terhadap beberapa pernyataan survei
KAP yang lain dengan tingkat perbedaan yang besar dibandingkan
(new budget format)danKerangka Pengeluaran Jangka Menengah
(Medium Term Expenditure Framework) yang ditujukan untuk
memperbaiki pelayanan publik.
5. Tahap pemantapan implementasi PBK setelah tahun 2014
memerlukan tuntasnya restrukturisasi program dan kegiatan
termasuk rumusan hasil dan keluaran, penyempurnaan format
dokumen perencanaan dan penganggaran, pengembangan sistem
Informasi Teknologi dalam pengelolaan keuangan Negara, dan
penerapan reward punishment bagi Kementerian Lembaga yang
berhasil dan gagal menjalankan tugas pokok dan fungsinya.
DAFTAR PUSTAKA
Agus, Puji. 2012. Bagaimana Penganggaran Berbasis Kinerja danKerangka Pengeluaran Jangka Menengah mempengaruhi EfisiensiOperasional pada Satuan Kerja. [How Performance BasedBudgeting and MTEF impact operational efficiency in workingunit]. Paper Balai Diklat Keuangan, Cimahi.
Basyir, Syafril. 2010. Konsep dan Roadmap Implementasi SistemPerencanaan dan Penganggaran. [Concept and Roadmap Reform ofPlanning and Budgeting System]. Paper Proceeding SeminarImplementation of Performance Based Budgeting in Law, Judiciary and HumanRight Sector. Jakarta.
Basyir, Syafril. 2010. Konsep dan Roadmap Implementasi ReformasiSistem Perencanaan dan Penganggaran. [Concept and Roadmap
113
reform of planning and budgeting system]. Paper proceeding PublicSeminar on Implementation of Performance Based Budgeting for Law, Judiciaryand Human Right Sector. Jakarta
Brinkerhoff, D. W. 2000. Democratic governance and sectoralpolicy reform: Tracing linkages and exploring synergies. WorldDevelopment, 28(4): 601-615.
Blondal, Jon R, Ian Hawkesworth and Hyun-Deok Choi. 2009.Budgeting in Indonesia. OECD Journal on Budgeting Volume 2/2009: 1-31.
Denhardt, R,B. & Denhart, J.D. 2000. The new public service:Serving rather than steering. Public Administration Review 60(6):249-259.
Denhardt, R.B. & Denhart, J.V. 2003. The new public service: Anapproach to reform. International Review of Public Administration 3.
Department of Human Services. 1999. Office of the Legislative Fiscal Analyst.Performance Based Budgeting. Division of Child And FamilyServices.
Departemen Keuangan Republik Indonesia & Kementerian NegaraPerencanaan Pembangunan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.2009. Pedoman Penganggaran Berbasis Kinerja.
Dose,J.J. 1997. Work values: An integrative framework andillustrative application to organization. Journal of Occupationaland Organizational Psychology, 70: 219.
Hair, Jr., Anderson, R.E., Tatham, R.L., & Black, W.C. 2010.Multivariate Data Analysis. New Jersey: Prentice-Hall International,Inc.
Hair, J.F., Bush, R.P and Ortinau, D.J. 2009. Marketing Research.McGraw-Hill.
114
Indonesia Infrastructure Initiative and Australia IndonesiaPartnership. 2010. Expenditure Planning and Performance-Based Budgeting: InThe Directorate General Of Highways.
Kaufmann, D., Kraay, A., Mastruzzi, M. 2010. The WorldwideGovernance Indicators: Methodology and Analytical Issues. The World BankDevelopment Research Group Macroeconomics and Growth Team
Kelly, J. M. & Rivenbark, W. 2003. Performance Budgeting for State andLocal Government. M.E. Sharpe.
Lee, J. Y.J. & Wang, X. 2009. Assessing the Impact ofPerformance-Based Budgeting: A Comparative Analysis across theUnited States, Taiwan, and China. Public Administration Review,December.
Lewis, Carol W & W Bartley Hildreth. 2010. Budgeting Politics andPower. Oxford University Press, North Carolina.
Lewis, Carol W & W Bartley Hildreth. 2010. Budgeting Politics andPower. Oxford University Press, North Carolina.
Ministry of Finance. 2001. Prinsip Keuangan Negara dalam Paket RancanganUndang-Undang Bidang Keuangan Negara. [State Finance Principle inthe Bill of State Finance]. Jakarta.
Ministry of Finance. 2002. The White Paper Reform of Public FinancialManagement System in Indonesia: Principles and Strategy. PublicationSeries 2002/KPMK/VII/MK/003
Ministry of Finance and Bappenas. 2009. Pedoman PenerapanPenganggaran Berbasis Kinerja. [Principles of Performance BasedBudgeting Enactment]. Jakarta
Ministry of Finance and Bappenas. 2009. Pedoman RestrukturisasiProgram and Kegiatan. [Principles of Program and ActivitiesRestructuring]. Jakarta
Mercer, J. 2002. Performance Budgeting at Federal Agencies: A Framework.
Nordiawan, Deddi. 2006. Akuntansi Sektor Publik. Penerbit SalembaEmpat, Jakarta.
Rhee, Dong-.Young. 2009. Performance-Based Budgeting: Reality Or Rhetoric?Dissertation submitted to the Graduate School Newark Rutgers,The State University of New Jersey. Dissertation submitted toGraduate School-Newark Rutgers, The State University of NewJersey.
Robinson, M. & Brumby, J. 2005. Does performance budgeting work?An analytical review of the empirical literature. IMF WorkingPaper SeriesIMF Working Paper Series
Rodriguez, A. & Bijotat, F. 2003. Performance measurement,strategic planning, and performance-based budgeting inIllinois Local and Regional Public Airports. Public WorksManagement & Policy, 8: 132-145.
Sancoko, Bambang, Djang Tjik A.S, Noor Cholis Madjid, Sumini danHery Triatmoko. 2008. Kajian Terhadap Penerapan PenganggaranBerbasis Kinerja di Indonesia. Hasil Riset Empiris Badan Pendidikan danPelatihan Keuangan, Jakarta
Young, R.D. 2003. Performance-based budget systems. Public Policy &Practice, January 2003 17
The Performance Based Management Handbook. 2001. Establishing andMaintaining a Performance Based Management Program. Training Resources
116
and Data Exchange Performance-Based Management SpecialInterest Group.
Van, Doreen, Bouckaert, G., and Halligan, J. 2010.PerformanceManagement in the Public Sector. Routledge, New York.
Wahyuni, Trisacti. 2006. Penganggaran Berbasis Kinerja pada Kementerian/Lembaga: Masih Harus Banyak Berbenah. http://www.bpkp.go.id/warta
LAMPIRAN
Profil Responden
Responden diklasifikasi ke dalam pria dan wanita. Jumlah
responden pria adalah 102 orang; sementara jumlah responden
wanita adalah 45 orang. Umur responden berkisar antara 25 tahun
sampai 55. Umur responden yang kurang dari 25 adalah 1orang; umur
yang berkisar antara 25-30 adalah 33 orang; umur yang berkisar
antara 31-35 adalah 15 orang; umur yang berkisar 36-40 adalah 18
orang; umur yang berkisar 41-45 adalah 21 orang; umur yang
berkisar antara 46-50 adalah 32 orang dan umur yang berkisar
51-55 adalah 22 orang dan lebih dari 55 tahun ada 5 orang.