DRAFT PROGRAM KETAHANAN PANGAN DALAM PERSPEKTIF KEKESRAAN I. PENDAHULUAN 1. Kebutuhan Pangan 2. Ketahanan Pangan 3. Masalah-masalah Ketahanan Pangan II. PRODUKSI PANGAN 1. Produksi Pangan Dunia 2. Produksi Pangan Nasional 3. Produksi Pangan dan Kesejahteraan Masyarakat 4. Masalah-masalah Produksi Pangan III. DISTRIBUSI PANGAN 1. Pola Distribusi Pangan 2. Distribusi Pangan dan Kesejahteraan Masyarakat 3. Masalah-masalah Distribusi IV. DIVERSIFIKASI PANGAN V. AKSESIBILITAS PANGAN 1. Faktor-faktor yang Mempengaruri Aksesibilitas Pangan 2. Aksesibilitas Pangan dan Kesejahteraan Masyarakat 3. Masalah-masalah Aksesibilitas Pangan VI. PENYELESAIAN MASALAH KETAHANAN PANGAN 1. VII. KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL 1.
320
Embed
DRAFT - Directory UMM : Universitas …directory.umm.ac.id/Laporan/Laporan_WS/DRAFT BUKU/DRAFT.doc · Web viewNo. Tahun Impor Ekspor 1. 1970 956.13 - 2. 1980 2011.71 10,00 3. 1985
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
DRAFTPROGRAM KETAHANAN PANGAN DALAM PERSPEKTIF KEKESRAAN
I. PENDAHULUAN1. Kebutuhan Pangan2. Ketahanan Pangan3. Masalah-masalah Ketahanan Pangan
II. PRODUKSI PANGAN1. Produksi Pangan Dunia2. Produksi Pangan Nasional3. Produksi Pangan dan Kesejahteraan Masyarakat4. Masalah-masalah Produksi Pangan
III. DISTRIBUSI PANGAN1. Pola Distribusi Pangan2. Distribusi Pangan dan Kesejahteraan Masyarakat3. Masalah-masalah Distribusi
IV. DIVERSIFIKASI PANGAN
V. AKSESIBILITAS PANGAN1. Faktor-faktor yang Mempengaruri Aksesibilitas Pangan2. Aksesibilitas Pangan dan Kesejahteraan Masyarakat3. Masalah-masalah Aksesibilitas Pangan
VI. PENYELESAIAN MASALAH KETAHANAN PANGAN1.
VII. KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL1.
Bab 1PENDAHULUAN
1. KEBUTUHAN PANGAN DAN GIZI
Pangan merupakan kebutuhan dasar dan merupakan hak azazi bagi setiap
manusia. Oleh sebab itu, upaya pemenuhan kebutuhan pangan harus dilaksanakan
secara adil dan merata bagi seluruh penduduk Indonesia (Sawit, 2000 dalam
Widowati, 2003). Fakta menunjukkan bahwa bencana kelaparan pada suatu
negara dapat merambah ke ranah politik dan dapat menjadi penyebab jatuhnya
suatu rezim pemerintahan. Oleh karena itu upaya penyediaan bahan pangan harus
mendapatkan prioritas utama guna mewujudkan ketahanan pangan.
Berdasarkan definisi ketahanan pangan dari FAO (1996) dan UU RI No. 7
tahun 1996, yang mengadopsi definisi dari FAO, ada 4 komponen yang harus
dipenuhi untuk mencapai kondisi ketahanan pangan yaitu: 1) kecukupan
ketersediaan pangan, 2) stabilitas ketersediaan pangan tanpa fluktuasi dari musim
ke musim atau dari tahun ke tahun, 3) aksesibilitas/keterjangkauan terhadap
pangan, serta 4) kualitas/keamanan pangan.
Menurut Undang-Undang Pangan Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan,
Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang
diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman
bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan makanan, bahan baku pangan
dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan atau
pembuatan makanan atau minuman. Ketahanan pangan adalah kondisi
terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan
yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau.
Ketahanan pangan berkaitan dengan ketersediaan pangan, yaitu tersedianya
pangan dari hasil produksi dalam negeri atau sumber lainnya.
Dalam kurun waktu sepuluh tahun pola konsumsi pangan masyarakat
Indonesia berubah cenderung lebih banyak mengkonsumsi beras dan terigu.
Menurut data susenas telah terjadi peningkatan konsumsi terigu sebesar 3
kg/kap/thn dalam kurun waktu satu tahun (2006–2007). Terjadi perubahan pola
konsumsi ke arah beras dan terigu. Sementara cara pandang masyarakat terhadap
sumber pangan pokok dalam kurun waktu 25 tahun kebelakang seolah-olah
digiring kedalam pandangan yang lebih sempit bahwa sumber pangan pokok
masyarakat hanya beras. Buktinya seluruh pegawai pemerintah memperoleh
pembagian beras sebagai sumber bahan pangan pokoknya, tanpa memandang asal
daerah. Walaupu daerah tersebut memiliki bahan pangan pokok lokal selain beras
(Histifarina, 2008).
Data lain menujukkan bahwa sampai saat ini upaya pemenuhan konsumsi
kalori dan protein bangsa Indonesia masih didominasi oleh kelompok padi-padian,
sedangkan kelompok umbi-umbian dan kacang-kacangan masing-masing
kontribusinya masih sangat rendah. Pada tahun 2004 dari konsumsi 1986 kalori,
1024 kalori (51%) dipenuhi dari padi-padian, sedangkan umbi-umbian dan
kacang-kacangan hanya menyumbang 56 dan 64 kalori atau 3,36% dan 3,13%.
Demikian juga teradap konsumsi protein sebagian besar (44%) dipenuhi dari padi-
padian. Umbi-umbian hanya memberi sumbangan sebesar 0,9% dan 10,10%
(Kasno, Saleh, dan Ginting, 2006). Sampai saat ini upaya pemenuhan kalori bagi
masyarakat Indonesia masih didominasi beras (151,00 kg per kepala per tahun)
(Tabel 1). Angka tersebut menempatkan Indonesia sebagai negara dengan urutan
kedua setelah Bangladesh dalam konsumsi beras.
Tabel 1. Konsumsi padi-padian di beberapa wilayah dunia tahun 1997-1999 (dalam kg per kepala per tahun)
Wilayah Gandum Beras Jagung Sorgum Millet
Amerika Tengah dan Utara 70,90 10,80 40,10 1,20 0,00
Amerika Serikat 86,80 8,60 13,80 1,10 0,00
Amerika Tengah 37,10 9,40 112,10 1,80 0,00
Amerika Selatan 55,50 31,80 21,80 0,00 0,00
Brazil 47,40 39,50 18,00 0,00 0,00
Eropa Barat 97,60 4,80 5,80 0,00 0,00
Rusia 131,70 4,90 0,30 0,00 2,90
Afrika 46,30 17,80 41,40 19,50 12,90
Sekitar sahara 15,90 17,50 38,90 24,90 16,90
Asia 69,90 86,40 13,90 2,80 3,00
Cina 82,60 91,60 19,70 1,10 0,80
India 57,30 75,80 8,80 8,00 9,10
Indonesia 16,30 151,00 34,40 0,00 0,00
Bangladesh 19,00 161,00 0,30 0,00 0,40
Pasifik 66,90 15,20 3,40 0,60 0,00
Rata-rata Dunia 70,80 57,80 19,00 4,30 3,50
Sumber: Champagne (2003)Bila dilihat dari komposisi gizi, umbi-umbian terutama ubi jalar diketahui
memiliki nilai kalori dan protein yang setara dengan beras (Tabel 2). Bertolak
pada angka kecukupan gizi (AKG), maka sesungguhnya ubi jalar tersebut dapat
digunakan sebagai suplemen beras dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan
kalori.
Tabel 2. Komposisi energi, protein, lemak dan karbohidrat dari beragai macam tepung (dalam 100 g)
No. Jenis Tepung Energi (kkal)
Protein (g) Lemak (g)
Karbohidrat (g)
1. Beras 364 7,0 0,5 80,0
2. Singkong 359 2,9 0,7 84,9
3. Ubijalar putih 355 5,2 2,0 80,6
4. Ubijalar merah
363 5,3 2,1 83,3
5. Ubijalar ungu 337 4,9 1,9 76,4
6. Tales 186 3,6 0,4 45,0
7. Kacang hijau 389 23,7 1,3 45,0
8. Kacang 410 27,5 1,3 73,9
tunggak
9. Kedelai 40,0 20,0 35,0
Sumber: Marudut dan Sundari (2000) dalam Kasno, Saleh, dan Ginting (2006)
Upaya pemenuhan kebutuhan kalori yang hanya bertumpu pada beras dan
tepung terigu akan berdampak pada tingkat ketahanan pangan masyarakat yang
rentan, sehingga masalah ikutan dari rendahnya ketahanan pangan masyarakat
dapat menimbulkan masalah lain yang lebih serius. Selain itu juga dapat
menyebabkan negara kita masuk kedalam ”perangkap pangan” atau food trap
negara maju. Food Trap dapat menjadi salah satu faktor yang menggerogoti
devisa negara dan membawa bangsa ini menjadi pengimpor pangan terbesar di
dunia. Sebagai ilustrasi, semenjak Amerika Serikat memberikan bantuan gandum
dalam jumlah besar, dan diikuti dengan dibangunnya pabrik gandum terbesar
sedunia di Indonesia, kita menjadi bangsa yang terjajah oleh gandum. Mie dan roti
pun seakan tak lepas dari kehidupan kita sehari-hari. Padahal gandum sebagai
bahan dasar tepung terigu hingga saat ini belum bisa dibudidayakan secara
komersial di Indonesia.
Negara Indonesia dengan wilayah yang sangat luas diketahui memiliki
ketersediaan bahan pangan yang beragam, dari satu wilayah ke wilayah lainnya,
baik bahan pangan sumber karbohidrat, protein, lemak, vitamin maupun mineral.
Iklim tropis di Indonesia menjadikan wilayah Indonesia sangat kaya akan sumber
bahan pangan pokok selain beras. Misalnya, potensi umbi-umbian dan serealia
yang beragam sebagai sumber karbohidrat dapat tumbuh dengan subur dan
beragam jenisnya seperti; ubi jalar, ubi kayu, gembili, garut, ganyong dan lain-
lain. Apabila ditinjau dari segi nutrisi, tanaman umbi-umbian mempunyai nilai
nutrisi yang rendah dibandingkan dengan beras maupun kacang-kacangan,
terutama kandungan protein dan lemak, namun cukup tinggi pada kandungan
karbohidratnya. Oleh karena itu upaya pemenuhan kebutuhan pangan bagi
penduduk Indonesia yang hidup dalam lingkungan yang majemuk dan memiliki
anekaragam kebudayaan dan potensi sumber pangan spesifik, strategi
pengembangan pangan perlu diarahkan pada potensi sumberdaya pangan wilayah.
Penganekaragaman pangan (diversifikasi pangan) merupakan salah satu
jalan keluar yang cukup rasional untuk memecahkan masalah pemenuhan
kebutuhan pangan (khususnya sumber karbohidrat). Menurut Widowati (2003),
melalui penataan pola makan yang tidak tergantung pada satu sumber pangan,
memungkinkan masyarakat dapat menetapkan pangan pilihan sendiri,
membangkitkan ketahanan pangan keluarga masing-masing, yang berujung pada
peningkatan ketahanan pangan nasional.
Menurut Kasno, Saleh, dan Ginting (2006) salah satu indikator tingkat
kesejahteraan penduduk adalah tingkat kecukupan gizi yang lazim disajikan dalam
kalori dan protein. Berdasarkan Hasil Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi ke
IV (tahun 1998) ditetapkan patokan kecukupan konsumsi kalori dan
protein/kapita/hari masing-masing adalah 2050 kalori dan 44 g protein (BPS
1999). Pada tahun 2004, rata-rata nasional konsumsi kalori dan protein per kapita
per hari adalah 1.986 kalori dan 54,65 g protein (BPS 2004). Hal tersebut berarti
bahwa kebutuhan kalori masih berada di bawah batas kecukupan, sedangkan
proteinnya sudah di atas standar. Apabila kecukupan gizi tahun 2004 tersebut
dibandingkan dengan tahun 1996 (sebelum terjadi krisis ekonomi), maka terlihat
bahwa rata-rata konsumsi kalori tahun 2004 masih di bawah tahun 1996. Hal
tersebut menunjukkan bahwa dari sisi konsumsi kalori dan protein, hingga tahun
2004 krisis tersebut belum pulih sepenuhnya.
Menurut Budianto (2000) krisis moneter dan ekonomi yang melanda
Indonesia sejak 1997 mengakibatkan makin rapuhnya ketahanan pangan, karena
aksesibilitas pangan yang makin merosot. Hal ini disebabkan karena makin
meningkatnya jumlah pengangguran, penduduk miskin bertambah, pendapatan riil
masyarakat menurun dan terjadi peningkatan harga pangan di pasar.
Pembangunan pangan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan
produktivitas sumberdaya manusia merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
pembangunan nasional secara keseluruhan. Pemenuhan kebutuhan pangan harus
dilakukan mengingat pangan merupakan kebutuhan dasar manusia. Oleh karena
itu, upaya pemenuhan kebutuhan pangan harus dilakukan secara adil dan merata
buat kesejahteraan seluruh penduduk Indonesia (Sawit 2000). Pengkajian dan
penggalian peran bahan. Penurunan ketahanan pangan di Indonesia juga
diakibatkan oleh menurunnya kemampuan pemenuhan kebutuhan beras dalam
negeri karena berbagai hal. Jumlah penduduk yang kini mencapai 219,20 juta jiwa
dengan laju pertumbuhan 1,34% per tahun (BPS 2004) dan tingkat konsumsi
beras per kapita sebesar 151,0 kg merupakan tantangan yang tidak ringan.
Sementara produksi padi dihadapkan pada masalah penciutan lahan, penurunan
kualitas lahan, terjadi levelling-off dari peningkatan produktivitas dan berbagai
masalah lain (Budianto 2000).
Sejalan dengan upaya peningkatan produksi padi, penganekaragaman/
diversifikasi pangan merupakan alternatif yang paling rasional untuk memecahkan
permasalahan kebutuhan pangan (khususnya karbohidrat). Penataan pola makan
yang tidak tergantung pada satu sumber pangan (padi), memungkinkan
tumbuhnya ketahanan pangan pada masing-masing keluarga yang pada akhirnya
dapat meningkatkan ketahanan pangan nasional.
Umbi-umbian merupakan tanaman tradisional yang sudah dikenal
masyarakat sejak lama sebagai sumber pangan (karbohidrat) yang dapat
diandalkan sebagai komplemen dan suplemen kebutuhan akan beras. Akibat krisis
ekonomi sejak 1997 telah mengubah pola makan penduduk yang diindikasikan
dengan meningkatnya konsumsi ubi kayu dari 28,16 kalori/kapita/hari pada tahun
1996 menjadi 34,96 kalori/kapita/hari pada tahun 1999 (BPS 1999).
2. KETAHANAN PANGAN
Pentingnya penciptaan ketahanan pangan sebagai wahana penguatan
stabilitas ekonomi dan politik, jaminan ketersediaan pangan dengan harga yang
terjangkau dan menjanjikan untuk mendorong peningkatan produksi. Pemenuhan
pangan yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata dan
terjangkau oleh seluruh rumah tangga merupakan sasaran utama dalam
pembangunan ekonomi. Permintaan pangan yang meningkat seiring dengan
pertumbuhan penduduk, mendorong percepatan produksi pangan dalam rangka
terwujudnya stabilisasi harga dan ketersediaan pangan, sehingga ketahanan
pangan sangat terkait dengan kemampuan pemerintah untuk menjaga stabilisasi
penyediaan pangan serta daya dukung sektor pertanian.
Namun kepadatan penduduk yang diperkuat dengan penyusutan areal
tanam, khususnya penurunan luas lahan pertanian produktif akibat konversi lahan
untuk kepentingan sektor non-pertanian, serta kecilnya margin usaha tani yang
berkonsekuensi pada rendahnya motivasi petani untuk meningkatkan produksi,
serta adanya kendala dalam distribusi pangan sebagai akibat keterbatasan
jangkauan jaringan sistem transportasi, ketidaktersediaan produk pangan sebagai
akibat lemahnya teknologi pengawetan pangan, diperkuat lagi dengan kakunya
(rigid) pola konsumsi pangan sehingga menghambat upaya pencapaian
kemandirian/ketahanan pangan. Kondisi yang demikian tersebut makin
memperpanjang fenomena kemiskinan dan ketahanan pangan yang dihadapi.
Berdasarkan peta orang lapar yang dibuat oleh Food and Agricultural
Organization (FAO), hampir di seluruh wilayah Indonesia termasuk daerah rawan
pangan atau miskin. Sementara itu, Undang-undang No. 7 tahun 1996 tentang
Pangan, pada pasal 1 ayat 17, menyebutkan bahwa ketahanan pangan adalah
kondisi terpenuhinya pangan rumah tangga yang tercermin dari tersedianya
pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau.
Dalam UU ini, ketahanan pangan ditujukan kepada kebutuhan rumah
tangga, karena asumsi bahwa rumah tangga adalah bentuk kesatuan masyarakat
terkecil di Indonesia. Bandingkan definisi ini dengan pengertian food security
(ketahanan pangan) yang tertera dalam Rome Declaration and World Food
Summit Plan of Action, yaitu: “food security exists when all people, at all times,
have access to sufficient, safe and nutritious food to meet their dietary needs for
an active and healthy life”.
Dengan demikian, ketahanan pangan dihasilkan oleh suatu sistem ketahanan pangan yang terdiri tiga subsistem, yaitu: (1) ketersediaan pangan dalam jumlah dan jenis yang cukup untuk seluruh masyarakat, (2) distribusi pangan yang lancar dan merata, dan (3) keterjangkauan pangan setiap individu yang memenuhi kecukupan gizi dan kaidah kesehatan. Permasalahan dalam mencapai ketahanan pangan adalah ketidakseimbangan antara ketersediaan dengan keterjangkauan.
Kondisi saat ini, pemenuhan pangan sebagai hak dasar masih merupakan
salah satu permasalahan mendasar dari permasalahan kemiskinan di Indoensia.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004-2009 menggambarkan
masih terbatasnya kecukupan dan mutu pangan, yaitu belum terpenuhinya pangan
yang layak dan memenuhi syarat gizi bagi masyarakat miskin, rendahnya
kemampuan daya beli, masih rentannya stabilitas ketersediaan pangan secara
merata dan harga yang terjangkau, masih ketergantungan yang tinggi terhadap
makanan pokok beras, kurangnya diversifikasi pangan, belum efisiensiennya
proses produksi pangan serta rendahnya harga jual yang diterima petani, masih
ketergantungan terhadap import pangan.
Data yang digunakan MDGs dalam indikator kelaparan, hampir dua-
pertiga dari penduduk Indonesia masih berada di bawah asupan kalori sebanyak
2100 kalori perkapita/hari. Hal ini menunjukan bahwa permasalahan kecukupan
kalori, di samping menjadi permasalahan masyarakat miskin, ternyata juga
dialami oleh kelompok masyarakat lainnya yang berpendapatan tidak jauh di atas
garis kemiskinan.
Ditinjau dari ketersediaan dan keterjangkauan secara agregat penduduk Indonesia tampak tergolong tahan pangan, namun masih ditemukan rumah tangga rawan pangan di semua propinsi dengan proporsi yang relatif tinggi. Rumah tangga rawan pangan didefinisikan sebagai rumah tangga dengan
konsumsi energi (ekivalen orang dewasa) ≤ 80% dari angka kecukupan energi dan dengan pangsa pengeluaran pangan > 60% dari total pengeluaran rumah tangga. Berdasarkan data SUSENAS yang tertuang dalam Nutrition Map of Indonesia tahun 2006, jumlah penduduk rawan pangan terendah ada di propinsi Bali yaitu sebesar 4,8 persen, dan tertinggi di DIY yaitu mencapai 20,0 persen (Tabel 5). Proporsi penduduk rawan pangan di semua provinsi masih di atas 10 persen, kecuali di provinsi Sumbar, Bali dan NTB. Bahkan di semua propinsi yang merupakan sentra produksi pangan seperti propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Selatan, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan proporsi penduduk rawan pangannya cukup tinggi.
Pola konsumsi yang relatif sama antar individu, antar waktu, dan antar daerah, mengakibatkan adanya masa-masa defisit dan lokasi-lokasi defisit pangan. Mekanisme pasar dan distribusi pangan antar lokasi serta antar waktu dengan mengandalkan ‘stok’ akan berpengaruh pada keseimbangan antara ketersediaan dan keterjangkauan, serta pada harga yang terjadi di pasar.
Faktor keseimbangan yang terefleksi pada harga sangat berkaitan dengan daya
beli rumah tangga terhadap pangan. Dengan demikian, meskipun komoditas
pangan tersedia di pasar, namun apabila harga terlalu tinggi dan tidak terjangkau
daya beli rumah tangga, maka rumah tangga tidak akan dapat mengakses pangan
yang tersedia.
Dalam rangka melihat kemandirian pangan di Jawa Timur, maka
dilakukan peramalan sampai tahun 2030. Asumsi yang digunakan disajikan dalam
Tabel sebagai berikut:
Tabel 7Asumsi Dalam Peramalan Neraca Pangan Jawa Timur
Komoditi Produksi KonsumsiPadi Luas panen menurun setiap tahun 0.2 %/tahun
akibat adanya konversi lahan ke non pertanian. Produktifitas padi 5,34 ton/ha, konservasi padi ke
Jumlah penduduk meningkat dengan laju 0,83367 % pertahunKonsumsi beras 109,22 kg/kapita/tahun
beras 0,62418Jagung Luas panen menurun setiap tahun 0.237 %/tahun.
Produktifitas 3,645 ton/haJumlah penduduk meningkat dengan laju 0,83367 % pertahunKonsumsi 6.44 kg/kapita/tahun
Kedele Luas panen menurun setiap tahun 0.237 %/tahun. Produktifitas 1,3 ton/ha
Jumlah penduduk meningkat dengan laju 0,83367 % pertahunKonsumsi 10,93 kg/kapita/tahun
Ubikayu Luas panen menurun setiap tahun 0.2 %/tahun. Produktifitas 15,9 ton/ha
Jumlah penduduk meningkat dengan laju 0,83367 % pertahunKonsumsi 19,52 kg/kapita/tahun
Daging Produksi daging total naik dengan laju 5,296 %/tahun
Jumlah penduduk meningkat dengan laju 0,83367 % pertahunKonsumsi 2,4 kg/kapita/tahun
Telur Produksi telur naik dengan laju 5,296 %/tahun Jumlah penduduk meningkat dengan laju 0,83367 % pertahunKonsumsi 5,42 kg/kapita/tahun
Susu Produksi susu naik dengan laju 5, 748 % Jumlah penduduk meningkat dengan laju 0,83367 % pertahunKonsumsi 1,52 kg/kapita/tahun
Ikan Produksi ikan naik dengan laju 2, 589 % Jumlah penduduk meningkat dengan laju 0,83367 % pertahunKonsumsi 12,24 kg/kapita/tahun
Berdasarkan kondisi di atas beberapa skenario ke depan dilakukan dalam
upaya mewujudkan kemandirian pangan Jawa Timur. Secara rinci tingkat
kemandirian pangan Jawa Timur diuraikan sebagai berikut:
1. Beras
Jawa Timur merupakan propinsi penyangga beras nasional. Sejalan
dengan pertambahan jumlah penduduk akan meningkatkan konsumsi beras, di
sisi lain akan terjadi konversi lahan sehingga menyebabkan ketersediaan beras
akan semakin berkurang. Hasil peramalan di Jawa Timur disajikan dalam gambar
berikut.
Gambar 4Ramalan Kemandirian Beras di Jawa Timur
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2018
2019
2020
2021
2022
2023
2024
2025
2026
2027
2028
2029
2030
2031
ribu
ton
produksi Konsumsi
Gambar di atas menunjukkan bahwa produksi beras Jawa Timur terus
menurun sejalan dengan penurunan luas tanam, sementara konsumsi beras
terus meningkat. Jawa Timur diramalkan akan mengalami devisit beras pada
tahun 2028 jika tidak ada intervensi pemerintah. Usaha- usaha yang dapat
ditempuh untuk mengatasi keadaan demikian adalah: 1) Menekan laju konversi
lahan khususnya untuk areal pertanam,an padi; 2) Meningkatkan produktifitas
padi; 3)Melakukan diversifikasi pangan untuk menekan konsumsi beras yang
saat ini relatif cukup tinggi
2. Jagung
Jawa Timur termasuk pemasuk jagung pada daerah lain cukup besar.
Estimasi neraca pangan jagung di masa datang sebagaimana disajikan dalam
gambar berikut.
Gambar 5Ramalan Kemandirian Jagung di Jawa Timur
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
4000
4500
5000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2018
2019
2020
2021
2022
2023
2024
2025
2026
2027
2028
2029
2030
2031
ribu
ton
produksi konsumsi
Ramalan kemandirian Jagung di Jawa Timur relatif cukup mantap.
gambar di atas menunjukkan bahwa produksi jagung Jawa Timur relatif stabil,
begitu juga dengan konsumsinya. Produksi jagung jauh lebih besar dari
konsumsinya sehingga Jawa Timur terus akan terjadi surplus jagung. Oleh
karena itu usaha-usaha pengendalian harga serta usaha mencari pasar baru patut
dilakukan agar petani jagung dapat memanfaatkan dari hasil surplus jagung
yang terjadi.
3. Kedelai
Berbeda dengan jagung, ramalan kemandirian tentang kedele di Jawa
Timur justru akan terjadi defisit yang semakin meningkat. Gambar di bawah
menunjukkan bahwa produksi kedele Jawa Timur relatif terjadi penurunan,
sebaliknya konsumsinya terus mangalami peningkatan. Usaha-usaha yang dapat
ditempuh untuk mengatasi keadaan demikian adalah: (a) meningkatkan luas areal
tanam dan (b) meningkatkan produktifitas.
Gambar 6Ramalan Kemandirian Kedele di Jawa Timur
0
100
200
300
400
500
600
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2018
2019
2020
2021
2022
2023
2024
2025
2026
2027
2028
2029
2030
2031
ribu
ton
produksi konsumsi
4. Daging
Ramalan tentang neraca pangan untuk mengukur kemandirian daging di
Jawa Timur disajikan dalam gambar berikut. Jawa Timur tampaknya di masa
datang akan surplus daging. Hal ini terjadi karena konsumsi daging per kapita di
Jawa Timur sangat rendah. Yakni sebesar 2.4 kg/kapita/tahun.
Gambar 7Ramalan Kemandirian Daging di Jawa Timur
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
2002
2004
2006
2008
2010
2012
2014
2016
2018
2020
2022
2024
2026
2028
2030
ribu
ton
produksi konsumsi
Sebagai gambaran pada tahun 2000, konsumsi daging unggas penduduk
Indonesia hanya 3,5 kg/kapita/tahun, sedangkan Malaysia (36,7 kg), Thailand
(13,5 kg), Fhilipina (7,6 kg), Vietnam (4,6 kg) dan Myanmar (4,2 kg)
(International Poultry, 2003). Konsumsi daging unggas penduduk Indonesia hanya
10 gram/kapita/hari, sedangkan Malaysia 100 gram/kapita/hari. Oleh karena itu
usaha-usaha perbaikan gizi masyarakat melalui peningkatan konsumsi daging
harus dilakukan.
5. Telur
Ramalan yang ada ini pada kondisi normal, dimana tidak terjadi
permasalahan yang berkaitan dengan adanya kasus flu burung ataupun kasus lain
yang mengakibatkan terjadinya penurunan produksi. Kemandirian telur di Jawa
Timur dapat ditunjukkan bahwa produksi telur jauh lebih besar dari konsumsinya
sehingga Jawa Timur terus akan terjadi surplus telur.
Gambar 8Ramalan Kemandirian Telur di Jawa Timur
0
200
400
600
800
1000
1200
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2018
2019
2020
2021
2022
2023
2024
2025
2026
2027
2028
2029
2030
2031
ribu
ton
produksi konsumsi
Konsumsi telur per kapita di Jawa Timur sangat rendah yakni hanya
sebesar 5, 42 kg/kapita/tahun, sedangkan Malaysia 14,4 kg, Thailand 9,9 kg dan
Filipina 6,2 kg. Mengingat telur merupakan salah satu sumber protein dan lemah
yang cukup tinggi, maka usaha-usaha meningkatkan konsumsi telur patut
dilakukan.
Bab 2PRODUKSI PANGAN
1. PRODUKSI PANGAN DUNIA
Terdapat 3 (tiga) hal yang menjadi sebab mengapa masalah ketahanan
pangan perlu diperbincangkan. Pertama, bahwa pangan adalah hak azasi manusia
yang didasarkan atas 4 (empat) hal berikut:
1. Universal Declaration of Human Right (1948) dan The International
Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (1966) yang menyebutkan
bahwa “everyone should have an adequate standard of living, including
adequate food, cloothing, and housing and that the fundamental right to
freedom from hunger and malnutrition”.
2. Rome Declaration on World Food Security and World Food Summit 1996
yang ditanda tangani oleh 112 kepala negara atau penjabat tinggi dari 186
negara peserta, dimana Indonesia menjadi salah satu di antara
penandatangannya. Isinya adalah pemberian tekanan pada human right to
adequate food (hak atas pemenuhan kebutuhan pangan secara cukup), dan
perlunya aksi bersama antar negara untuk mengurangi kelaparan.
3. Millenium Development Goals (MDGs) menegaskan bahwa tahun 2015 setiap
negara teramsuk Indonesia menyepakati menurunkan kemiskinan dan
kelaparan separuhnya.
4. Hari Pangan Sedunia tahun 2007 menekankan pentingnya pemenuhan Hak
Atas Pangan.
Kedua, kondisi obyektif Indonesia masih berkutat pada masalah gizi.
Masalah gizi tersebut berakar pada masalah ketersediaan, distribusi,
keterjangkauan pangan, kemiskinan, pendidikan dan pengetahuan serta perilaku
masyarakat. Dengan demikian masalah pangan dan gizi merupakan permasalahan
berbagai sektor dan menjadi tanggung jawab bersama pemerintah dan masyarakat.
Selain itu, jumlah penduduk Indonesia yang besar dan tersebar dalam bebagai
wilayah memerlukan penanganan ketahanan pangan yang terpadu. Penanganan
ketahanan pangan dimaksud memerlukan perencanaan lintas sektor dan dengan
sasaran serta tahapan yang jelas dan terukur dalam jangka menengah maupun
panjang.
Ketiga, perubahan kondisi global yang menuntut kemandirian. Perubahan
dimaksud tercermin dari: harga pangan internasional yang mengalami lonjakan
drastis dan tidak menentu, adanya kecenderungan negara-negara yang bersikap
egois; mementingkan kebutuhannya sendiri, adanya kompetisi penggunaan
komoditas pertanian (pangan vs pakan vs energi), terjadinya resesi ekonomi
global, dan adanya serbuan pangan asing (“westernisasi diet”). Perubahan kondisi
global tersebut sangat berpotensi menjadi penyebab gizi lebih dan meningkatkan
ketergantungan pada impor.
Memperbincangkan masalah pangan tidak dapat dipisahkan dari masalah
harga pangan sebagai salah satu aspek yang mencerminkan ketersediaan atau
produksi pangan sekaligus permintaan atau konsumsi pangan. Perkembangan
harga beberapa komoditas pangan dunia, yaitu: jagung, gandum dan beras, mulai
bulan Januari 2003 sampai dengan bulan Juli 2008 ditunjukkan melalui gambar 1.
Gambar 1. Perkembangan Harga Pangan Dunia(As of September 2008)
Source: Data from FAO 2008 and IMF 2008.
Berdasarkan gambar 1, tingkat harga pangan yang terdiri dari: jagung,
gandum dan beras memiliki kecenderungan yang semakin meningkat.
Peningkatan harga pangan tersebut cukup drastis pada bulan Juli 2008. Di antara
harga bahan pangan, harga beras umumnya lebih tinggi (lebih mahal)
dibandingkan dua bahan pangan lainnya. Bahkan kenaikan harga beras pada bulan
Juli 2008 melebihi kenaikan harga minyak. Hal ini mengindikasikan adanya
ketergantungan dunia terhadap beras yang semakin besar: peningkatan konsumsi
beras yang relatif lebih tinggi dibandingkan ketersediaannya.
Peningkatan harga bahan pangan tidak hanya mengindikasikan
ketergantungan terhadap beras yang semakin besar tetapi lebih lanjut juga
mencerminkan kenaikan tingkat konsumsi pangan yang melebihi ketersediaannya.
Secara umum, dalam dua dasa warsa terakhir, rasio atau perbandingan cadangan
pangan dunia terhadap penggunaan atau konsumsi pangan dunia semakin
menurun. Perkembangan rasio tersebut ditunjukkan melalui gambar 2.
Gambar 2. Stok Pangan Dunia Menurun
Source: United Nations World Food Programme,2008
Gambar 2 menunjukkan bahwa rasio stok terhadap konsumsi pangan dunia
mendekati 15% pada tahun 2008/2009 dari di atas 35% pada tahun 1986/1987.
Pada periode tersebut, cadangan pangan dunia semakin menurun atau (dengan
kata lain) jumlah penduduk dunia yang dijamin pangannya semakin sedikit.
Penurunan rasio tersebut disebabkan tidak adanya kenaikan dalam produksi
pangan sementara jumlah penduduk dunia selalu bertambah dari tahun ke tahun.
Jumlah produksi pangan dunia yang terdiri dari: gandum, beras dan butiran
lainnya sejak 1999 sampai dengan 2007 ditunjukkan dalam gambar 3.
Gambar 3. Produksi Pangan Dunia Tidak Meningkat
Source: Data from FAO 2003, 2005-07.
Gambar 3 menunjukkan bahwa jumlah produksi gandum, beras dan butiran
lainnya hampir tidak meningkat sepanjang 1999 sampai dengan 2007. Pada
periode tersebut, produksi beras tidak meningkat dan produksi gandum meningkat
hanya sedikit. Komoditas yang mengalami peningkatan dalam jumlah produksi
adalah butiran lainnya. Hal ini berarti bahwa cadangan pangan dunia lebih banyak
disokong dari produksi butiran dibandingkan dengan gandum dan beras. Lebih
lanjut, penduduk dunia yang dijamin oleh cadangan pangan (dalam jumlah kecil)
adalah mereka yang bergantung pada butiran sebagai makanan pokok. Sedangkan
mereka yang bergantung pada gandum dan beras sebagai makanan pokok tidak
dijamin oleh cadangan. Cadangan atau stok pangan dunia diperkirakan berupa
komodidas selain gandum dan beras.
Minimnya cadangan pangan dunia berpotensi menyebabkan krisis pangan di
beberapa kawasan. Negara-negara yang berisiko mengalami krisis pangan
ditunjukkan dalam gambar 4 sebagaimana yang telah disinyalir oleh Perserikatan
Bangsa Bangsa pada tahun 2008.
Gambar 4. Negara Berisiko Terkena Krisis Pangan Dunia
Source: United Nations World Food Programme,2008.
Negara-negara yang berisiko tinggi mengalami krisis pangan sebagian besar
berada kawasan di Asia Selatan dan beberapa negara di Asia Timur serta satu
negara di Asia Tenggara dan Amerika Latin. Kawasan tersebut juga menjadi
tempat negara-negara berisiko sedang mengalami krisis pangan. Selain itu,
kawasan Asia Tenggara (termasuk Indonesia) juga berisiko mengalami krisis
pangan sedang.
Secara lebih jelas, ketersediaan atau produksi pangan dan permintaan atau
konsumsi pangan, dapat disampaikan bahwa kondisi pangan dunia diperkirakan
akan mengalami ketidak seimbangan pada waktu-waktu mendatang. Ketidak
seimbangan tersebut dikarenakan jumlah permintaan akan pangan yang melebihi
jumlah produksinya. Perkiraan neraca pangan dunia tahun 2025 ditunjukkan
dalam tabel 1.
Tabel 1. Perkiraan Neraca Pangan Dunia 2025
Region Population 2025
Consumption/ Capita
Demand 2025
Production 2025
Balance 2025
South Asia 2021 237 549.7 524.6 -25.1
East and Southeast Asia 2387 338 1040.9 914.0 -126.9
Latin America 690 265 217.9 171.2 -46.7
Europe 799 634 506.5 619.4 112.9
North America 410 780 319.5 558.2 238.7
World 8039 363 3046.5 2977.7 -68.8Source: www.worldbank.org
Berdasarkan perkiraan neraca pangan dunia 2025, diperkirakan akan terjadi
ketidak seimbangan (krisis) pangan dunia dimana jumlah permintaan atau
konsumsi pangan melebihi jumlah ketersediaan atau produksi pangan. Surplus
pangan dan minus pangan yang terjadi di beberapa daerah akan menyebabkan
terjadinya aliran pangan dari negara-negara surplus pangan di Eropa dan Amerika
Utara ke arah negara-negara minus pangan di Asia Selatan, Asia Timur dan Asia
tenggara, serta Amerika Latin. Perkiraan krisis pangan tersebut menyebabkan
beberapa negara mengambil tindakan kebijakan untuk melindungi produksi serta
menjamin ketersediaan pangan di dalam negeri.
Beberapa kebijakan yang ditempuh beberapa negara terkait dengan
perlindungan terhadap produksi dalam negeri dan jaminan ketersediaan pangan,
antara lain: restriksi perdagangan, liberalisasi perdagangan, subsidi konsumen,
perlindungan sosial dan kebijakan peningkatan produksi atau penawaran.
Berbagai kebijakan perlindungan pangan yang ditempuh beberapa negara adalah
sebagaimana yang ditunjukkan tabel 2.
Tabel 2. Kebijakan Perlindungan Pangan yang Ditempuh Beberapa Negara
Region Trade Restriction
Trade Liberaliz
Consumer Subsidy
Social Protection
Increase Supply
Asia
Bangladesh X X X XChina X X X XIndia X X X X XIndonesia X X X XMalaysia X X XThailand X X XLatin AmericaArgentina X X X XBrazil X X XMexico X X XPeru X X XVenezuela X X X XAfricaEgypt X X X XEthiopia X X X XGhana X XKenya XNigeria X X XTanzania X X X
Source: IMF, FAO, and news reports, 2007-08.
Tabel 2 menunjukkan bahwa kebijakan subsidi konsumen dan peningkatan
produksi merupakan kebijakan yang paling populer dilaksanakan. Nampaknya,
harga jual pangan yang cukup tinggi diharapkan menjadi daya tarik bari petani
untuk memproduksi pangan dalam jumlah yang lebih banyak. Pada sisi lain,
subsidi konsumen ditujukan untuk mengurangi beban konsumen karena harga
pangan yang tinggi. Dua kebijakan yang dilaksanakan secara serentak tersebut,
didukung dengan kebijakan restriksi perdagangan dan perlindungan sosial
diperkirakan dapat memacu pertumbuhan produksi pangan di dalam negeri lebih
tinggi. Namun demikian, kebijakan liberalisasi perdagangan yang diupayakan
oleh negara-negara yang memiliki proses produksi pangan efisien dapat menjadi
kemandirian pangan di negara-negara dengan proses produksi tidak efisien.
Efisiensi berarti harga jual produk lebih rendah yang menyebabkan petani-petani
dengan proses produksi tidak efisien enggan berproduksi karena outputnya tidak
laku di pasar (internasional).
2. PRODUKSI PANGAN NASIONAL
Menurut Tim Penelitian Ketahanan Pangan dan Kemiskinan dalam Konteks
Demografi, Puslit Kependudukan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI),
stabilitas ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga diukur berdasarkan
kecukupan ketersediaan pangan dan frekuensi makan anggota rumah tangga
dalam sehari. Satu rumah tangga dikatakan memiliki stabilitas ketersediaan
pangan jika mempunyai persediaan pangan diatas cutting point (240 hari untuk
Propinsi Lampung dan 360 hari untuk Provinsi NTT) dan anggota rumah tangga
dapat makan 3 (tiga) kali sehari sesuai dengan kebiasaan makan penduduk di
daerah tersebut.
Dengan asumsi bahwa di daerah tertentu masyarakat mempunyai kebiasaan
makan 3 (tiga) kali sehari, frekuensi makan sebenarnya dapat menggambarkan
keberlanjutan ketersediaan pangan dalam rumah tangga. Dalam satu rumah
tangga, salah satu cara untuk mempertahankan ketersediaan pangan dalam jangka
waktu tertentu adalah dengan mengurangi frekuensi makan atau
mengkombinasikan bahan makanan pokok (misal beras dengan ubi kayu).
Penggunaan frekuensi makan sebanyak 3 kali atau lebih sebagai indikator
kecukupan makan didasarkan pada kondisi nyata di desa-desa (berdasarkan
penelitian PPK-LIPI), dimana rumah tangga yang memiliki persediaan makanan
pokok ‘cukup’ pada umumnya makan sebanyak 3 kali per hari. Jika mayoritas
rumah tangga di satu desa, misalnya, hanya makan dua kali per hari, kondisi ini
semata-mata merupakan suatu strategi rumah tangga agar persediaan makanan
pokok mereka tidak segera habis, karena dengan frekuensi makan tiga kali sehari,
kebanyakan rumah tangga tidak bisa bertahan untuk tetap memiliki persediaan
makanan pokok hingga panen berikutnya.
Lebih lanjut, kombinasi antara ketersediaan makanan pokok dengan
frekuensi makan (3 kali per hari disebut cukup makan, 2 kali disebut kurang
makan, dan 1 kali disebut sangat kurang makan) sebagai indikator kecukupan
pangan, menghasilkan indikator stabilitas ketersediaan pangan yang dapat dilihat
pada tabel berikut:
Tabel 1 : Penetapan Indikator Stabilitas Ketersediaan Pangan di Tingkat Rumah Tangga (dengan contoh Kabupaten di Provinsi Lampung dan NTT)
Kecukupan ketersediaan pangan
Frekuensi makan anggota rumah tangga
> 3 kali 2 kali 1 kali
> 240 hari
> 360 hari
Stabil Kurang stabil Tidak stabil
1 – 239 hari
1 – 364 hari
Kurang stabil Tidak stabil Tidak stabil
Tidak ada persediaan Tidak stabil Tidak stabil Tidak stabil
Ketersediaan pangan di Indonesia tidak terpisahkan dari keberadaan lahan
pertanian yang dipergunakan untuk bercocok tanam. Khusus beras, proses
produksinya dilakukan di sawah sehingga jumlah produksi beras sangat
dipengaruhi oleh luas areal sawah yang meliputi sawah irigasi dan sawah non
irigasi. Secara keseluruhan, yaitu 8,9 juta Ha luas sawah di Indonesia, sebagian
besar, yaitu 7,3 juta Ha atau 82,16% luas areal sawah merupakan sawah irigasi.
Sebagian kecil, yaitu 1,6 juta Ha atau 17,84% sisanya berupa sawah non irigasi.
Penyebaran luas sawah di Indonesia ditunjukkan dalam gambar 1.
Gambar 1. Penyebaran Luas Sawah di Indonesia
Sumber : Nuhfil Hanani AR, Ketahanan Pangan: Sub Sistem Ketersediaan, Makalah Workshop I Ketahanan Pangan di Jawa Timur, 2009.
Berdasarkan gambar 1, luas sawah di Indonesia terkonsentrasi di pulau
Jawa. Propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, DI Yogyakarta dan DKI
Jakarta. Pulau Jawa memiliki luas sawah 3,6 juta Ha atau 40,5% dari luas sawah
Indonesia. Sebagian besar, yaitu 3,1 juta Ha atau 85,6% dari luas sawah di pulau
Jawa tersebut berupa sawah irigasi dan sebagian kecil, yaitu 0,5 juta Ha atau
14,4% sisanya berupa sawah non irigasi.
Pulau dengan luas sawah terkecil adalah kepulauan Maluku yang terdiri
dari propinsi Maluku dan Maluku Utara. Kepulauan tersebut hanya memiliki luas
sawah 0,2 juta Ha atau 2,2% dari luas sawah Indonesia yang keseluruhannya
berupa sawah irigasi. Sempitnya luas sawah ini berpeluang menyebabkan
kepulauan Maluku menjadi tidak mandiri dalam memenuhi kebutuhan akan beras.
Dengan kata lain, kepulauan Maluku menjadi pasar bagi produsen beras nasional.
Luas sawah yang sebagian besar berada di pulau Jawa sebagaimana
diutarakan di atas menunjukkan penyebaran luas sawah yang tidak merata atau
terkonsentrasi di satu pulau, yaitu pulau Jawa. Hal ini berpengaruh terhadap
penyediaan beras nasional dimana pulau Jawa merupakan penghasil beras terbesar
dan menjadi supplier beras untuk daerah-daerah lainnya, misalnya kepulauan
Maluku. Penyediaan beras dari daerah surplus ke daerah minus dimaksud
menunjukkan arah arus distribusi beras. Arus distribusi beras dari daerah surplus
atau sentra produksi ke daerah minus atau defisit ditunjukkan dalam gambar 2.
Gambar 2. Arus Distribusi Beras dari Sentra Produksi ke Daerah DefisitSumber : Nuhfil Hanani AR, Ketahanan Pangan: Sub Sistem Ketersediaan,
Makalah Workshop I Ketahanan Pangan di Jawa Timur, 2009.
Tidak dapat dipungkiri bahwa bahan makanan pokok hampir seluruh
penduduk Indonesia sekarang adalah beras atau padi. Penduduk Indonesia pada
kenyataannya sekarang sudah sangat bergantung pada beras. Sebagian besar
penduduk Indonesia telah mengganti makanan pokoknya menjadi beras atau padi.
Masyarakat yang makanan pokoknya dahulu berasal dari bahan jagung, gaplek,
sagu, dan lain-lain, sekarang beralih kepada bahan padi.
Berkaitan dengan ketahanan pangan, dimana diversifikasi menjadi alternatif
untuk mengatasi masalah kelangkaan dan ketergantungan yang kuat terhadap
bahan pangan beras, maka dianggap perlu untuk diketahui perkembangan
produksi bahan pangan tersebut beserta bahan pangan pengganti (substitusi),
yaitu: jagung, ketela pohon dan ubi jalar. Informasi perkembangan produksi
bahan-bahan pangan tersebut memungkinkan untuk mengetahui kondisi pangan
pokok masyarakat beserta arah diversifikasi yang semestinya dilakukan.
Dengan menggunakan fungsi produksi trend kwadratik dan data sejak tahun
1970 sampai dengan 2007, dapat diketahui perkembangan (trend) produksi padi,
jagung, ketela pohon dan ubi jalar. Trend dimaksud berguna untuk membuat
perkiraan produksi di waktu mendatang. Perkembangan produksi masing-masing
bahan pangan tersebut ditunjukkan dalam gambar 3.
Gambar 3 menunjukkan bahwa trend produksi bahan pangan padi dan
jagung meningkat sejak tahun 1970 hingga 2007 dimana peningkatan produksi
padi lebih tinggi dibanding peningkatan produksi jagung. Sedangkan bahan
pangan ketela pohon dan ubi jalar memiliki trend menurun pada jangka waktu
yang sama. Hal ini menunjukkan ketergantungan masyarakat terhadap bahan
pangan padi (beras) semakin besar dan ketergantungan terhadap bahan pangan
lainnya semakin kecil. Masyarakat mengalami kesulitan untuk kembali ke
makanan pokok jagung, ketela pohon dan ubi jalar. Tiga bahan pangan yang
disebut terakhir ini biasanya hanya dimanfaatkan sebagai makanan ringan, bukan
makanan pokok. Khusus untuk jagung, produksi yang meningkat lebih disebabkan
pemanfaatannya untuk bahan makanan ternak.
Gambar 3. Perkembangan Produksi Padi, Jagung, Ketela Pohon dan Ubi Jalar
Sumber : Nuhfil Hanani AR, Ketahanan Pangan: Sub Sistem Ketersediaan, Makalah Workshop I Ketahanan Pangan di Jawa Timur, 2009.
Tanpa adanya perubahan faktor-faktor lain (cateris paribus) terutama
kebijakan pemerintah di bidang produksi dan konsumsi pangan, jumlah produksi
padi akan selalu melibihi jumlah produksi jagung serta produksi ketela pohon dan
ubi jalar lama-kelamaan akan menipis (habis). Dalam situasi seperti ini,
diversifikasi pangan tidak dapat terjadi dengan sendirinya melainkan
membutuhkan berbagai langkah kongkrit di bidang produksi, konsumsi dan
distribusi bahan-bahan pangan dimaksud.
Ketersediaan pangan nasional, jika ditinjau dari kuantitas produksi menunjukkan angka yang cenderung meningkat, baik karena kemajuan teknologi maupun bertambahnya luas panen. Deptan (2007) melaporkan produksi padi tahun 2005 mencapai 54,151 juta ton (setara 30,669 juta ton beras), jagung 12,523 juta ton, gula 1,735 juta ton, minyak goreng 5,437 juta ton, sementara produksi daging, telur, dan susu masing-masing 1,817 juta ton, 1,052 juta ton, dan 0,536 juta ton. Namun, produksi berbagai jenis pangan tidak dapat dihasilkan di semua wilayah dan tidak dapat dihasilkan setiap saat dibutuhkan.
Masalah produksi yang hanya terjadi di wilayah tertentu (utamanya Jawa) dan pada waktu-waktu tertentu, mengakibatkan konsentrasi ketersediaan di sentra-sentra produksi dan pada masa-masa panen (Tabel 1). Keterjangkauan tercermin dari jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi oleh rumah tangga. Data konsumsi pangan secara riil dapat menunjukkan kemampuan rumah tangga dalam mengakses pangan dan menggambarkan tingkat kecukupan pangan dalam rumah tangga. Perkembangan tingkat konsumsi pangan secara implisit juga merefleksikan tingkat pendapatan atau daya beli masyarakat terhadap pangan. Tingkat kecukupan pangan antara
lain dapat diindikasikan dari pemenuhan kebutuhan energi dan protein. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII (WNPG) tahun 2004 menganjurkan konsumsi energi dan protein penduduk Indonesia masing-masing sebesar 2000 kkal/kap/hari dan 52 g/kap/hari. Secara agregat, konsumsi energi dan protein tahun 2005 sudah lebih tinggi dari yang dianjurkan, yaitu masing-masing mencapai 2.150 kkal/kap/hari dan 60,84 g/kap/hari (Tabel 2). Jika dilihat dari kualitas konsumsi pangan dengan menggunakan skor Pola Pangan Harapan (PPH), konsumsi padi-padian aktual sudah lebih dari anjuran dan masih cenderung meningkat, sedangkan konsumsi kelompok pangan lain masih di bawah tingkat anjuran terutama umbi-umbian, pangan hewani, serta sayur dan buah (Tabel 3). Jika ditinjau dari struktur pengeluaran pangan, proporsi pengeluaran beras terhadap total pengeluaran pangan masih sangat dominan, terutama bagi rumah tangga rawan pangan (Tabel 4).
Khusus Indonesia, produksi bahan pangan yang terdiri dari: padi, jagung dan
ubi kayu meningkat selama 2003 sampai dengan 2008. Pertumbuhan rata-rata
komoditas tersebut masing-masing 0,47%; 1,12% dan 0,39% per tahun selama
periode tersebut. Akan tetapi, untuk bahan pangan ubi jalar mengalami penurunan
selama periode yang sama. Perkembangan produksi pangan tersebut beserta
produksi bahan nabati lainnya ditunjukkan dalam gambar 5.
Gambar 5. Produksi Pangan Nabati Indonesia
Sumber: Nuhfil Hanani AR, Indonesia Tahan Pangan dan Gizi 2015, Makalah Workshop II Ketahanan Pangan di Jawa Timur, 2009.
Produksi ubi jalar mengalami penurunan (pertumbuhan negatif) rata-rata
0,14% per tahun selama 2003 sampai dengan 2008. Berbeda dengan ubi jalar,
produk pangan nabati lainnya, yaitu: kedelai, kacang tanah, sayur, buah-buahan,
minyak sawit dan gula putih mengalami peningkatan dengan pertumbuhan rata-
rata 0,44% sampai 3,78% per tahun dalam periode tersebut. Begitu juga produk
pangan hewani, yaitu: daging sapi dan kerbau, daging ayam, telur, susu dan ikan,
produksinya meningkat antara 0,68% sampai 4,04% per tahun sepanjang 2003
sampai dengan 2008.
Gambar 6. Produksi Pangan Hewani Indonesia
Sumber: Nuhfil Hanani AR, Indonesia Tahan Pangan dan Gizi 2015, Makalah Workshop II Ketahanan Pangan di Jawa Timur, 2009.
Berdasarkan produksi nabati dan hewani sebagaimana diutarakan di atas,
Indonesia memiliki ketersediaan pangan yang semakin banyak dari tahun ke
tahun. Namun demikian, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik
(http://demografi.bps.go.id) laju pertumbuhan penduduk Indonesia rata-rata
1,49% per tahun selama 1990 sampai dengan 2000 dan rata-rata 1,31% per tahun
selama 2000 sampai dengan 2005. Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2005
sebesar 218.868.791 Jiwa dan diperkirakan menjadi 227.516.121 Jiwa pada tahun
2008. Dengan jumlah produksi padi 54.151.000 Ton di tahun 2005, maka rasio
antara jumlah produksi padi terhadap jumlah penduduk pada tahun 2005 adalah
247,4 Kg/Kapita/Tahun atau 0,7 Kg/Kapita/Hari. Pada tahun 2008, dengan jumlah
produksi padi sebesar 59.877.000 Ton maka rasio tersebut menjadi 263,2
Kg/Kapita/Tahun atau 0,7 Kg/Kapita/Hari. Perhitungan ini menjukkan bahwa
sebenarnya ketersediaan beras di Indonesia sampai dengan 2008 masih memadai.
Namun demikian, oleh karena semakin banyaknya alih fungsi lahan pertanian
menjadi lahan-lahan lain (perumahan, bisnis, dan lain-lain) menyebabkan rasio
tersebut menjadi terganggu.
Terganggunya rasio antara jumlah produksi padi terhadap jumlah penduduk
sebagaimana diutarakan di atas menyebabkan, pada tahun-tahun terakhir,
Indonesia tergantung pada impor. Bahan pangan yang di impor Indonesia, yaitu:
beras, jagung, kedelai, kacang tanah, ubi kayu, ubi jalar, sayur, buah-buahan,
minyak goreng, gula, daging sapi dan daging kerbau, daging ayam, telur, susu dan
ikan, selama tahun 2003 sampai dengan 2007 ditunjukkan pada gambar 7.
Pemasaran beras antar wilayah disebabkan oleh adanya perbedaan harga atau insentif bagi pelaku ekonomi untuk melakukan kegiatan distribusi komoditas yang diperdagangkan. Sedikitnya terdapat dua faktor penyebab perbedaan harga beras antar wilayah, yaitu: (1) Perbedaan segmentasi pasar yang direfleksikan oleh perbedaan daya beli dan preferensi konsumen terhadap beras berkualitas tinggi; dan (2) Perbedaan neraca ketersediaan dan konsumsi beras, sehingga terjadi aliran komoditas dari daerah surplus dengan tingkat harga rendah ke daerah defisit dengan tingkat harga yang lebih tinggi.
Dalam konteks yang lebih komprehensif, dengan cakupan 26 propinsi, analisis neraca ketersediaan dan kebutuhan beras yang dilakukan Natawidjaja (2001) menunjukkan beberapa hasil menarik sebagai berikut: (1) Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Barat merupakan daerah surplus yang selanjutnya menjadi pemasok bagi daerah defisit pada regional yang sama (pulau) atau diantar-pulaukan ke tempat lain; (2) Daerah propinsi yang memiliki surplus di atas 1,0 juta ton adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan, sedangkan daerah lainnya memiliki surplus sekitar 400 ton ke bawah; (3) Daerah yang membutuhkan pasokan beras cukup besar adalah DKI Jakarta (800 ribu
ton/tahun), dan Riau, Maluku, Sulawesi Utara dan NTT, masing-masing sekitar 100 – 200 ribu ton per tahun; (4) Secara regional, pulau Jawa tetap merupakan pensuplai beras nasional dengan pasokan sekitar 2,5 juta ton per tahun dan Sulawesi sebesar 1,0 juta ton per tahun yang dapat diperdagangkan antar regional atau antar pulau; (5) Maluku dan Papua merupakan daerah defisit (100 ribu ton/tahun).
Bahasan berikutnya mengenai struktur pasar gabah/beras akan mengungkap jalur pemasaran, marjin pemasaran dan faktor yang mempengaruhinya. Jalur pemasaran di tujuh kabupaten sentra produksi beras (Majalengka, Indramayu, Klaten, Kediri, Ngawi, Agam, dan Sidrap) sampai pada tingkat pedagang besar (kabupaten dan propinsi) adalah sama, dengan penjelasan sebagai berikut (Gambar 1): (1) Petani menjual gabah (di sawah/di rumah) kepada tiga pelaku pemasaran yaitu penebas, pedagang pengumpul dan KUD; (2) Kecuali KUD yang melakukan penjualan ke Dolog kabupaten, maka penebas dan pedagang pengumpul menjual gabah ke pedagang penampungan yang pada umumnya adalah RMU atau kontraktor Dolog kabupaten; (3) Pedagang penampungan ini dengan lokasi di tingkat kabupaten memproses gabah menjadi beras dan selanjutnya menjual ke Dolog dan pedagang besar kabupaten dan propinsi; (4) Dolog kabupaten dapat melakukan penyaluran/mobilitas beras antar kabupaten, propinsi dan antar pulau; dan (5) Pedagang besar kabupaten dapat menyalurkan/mensuplai beras kepada pedagang besar di tingkat propinsi.
Pada jalur berikutnya terdapat variasi antar kabupaten sebagai berikut: (1) Pedagang besar kabupaten di empat wilayah di Jawa (Indramayu, Majalengka, Klaten dan Kediri), disamping memasok pasar propinsi, adalah pensuplai beras ke Pasar Induk
Cipinang; (2) Pedagang besar di tiga kabupaten lainnya (Ngawi, Agam dan Sidrap), disamping pemasok pasar propinsi, adalah memasok pedagang antar pulau; (3) Ketiga jenis pelaku pemasaran terakhir ini (pedagang propinsi, pedagang antar pulau dan Pasar Induk Cipinang) memasok toko/kios pengecer yang selanjutnya melayani konsumen setempat. Pelaku pemasaran yang memegang peranan sentral dalam perdagangan adalah pedagang penampungan yang melakukan kegiatan penampungan, pengeringan, pengolahan gabah dan perdagangan beras. Disamping peran/fungsi pemasaran yang cukup kompleks, pelaku pemasaran ini juga melakukan penanganan volume perdagangan gabah/beras yang cukup besar, dengan kisaran 75–85 persen. Peran RMU yang berfungsi sebagai kontraktor Dolog adalah sekitar 10–20 persen. Peran KUD dalam pembelian/pemasaran dan perdagangan gabah/beras kaitannya dengan pemasaran umum atau pengamanan harga dasar (kaitannya dengan Dolog) adalah relatif kecil (5%). Peran pelaku pemasaran di luar “pedagang penampung” ini adalah relatif terbatas yaitu terkait dengan aspek penyimpanan dan distribusi antar kabupaten, propinsi, dan antar pulau. Sebagian RMU di tingkat kabupaten juga melakukan perdagangan beras sampai ke pasar propinsi atau Pasar Induk Cipinang (Jakarta).
Analisis marjin pemasaran beras sampai dengan di pasar eceran di tingkat ibukota kabupaten disajikan pada Tabel 6. Disadari bahwa proporsi alokasi beras untuk memenuhi pasar beras di tingkat kabupaten ini relatif kecil (15%), dengan kisaran 10% (Indramayu, Ngawi dan Sidrap) sampai dengan 25% di Kabupaten Agam. Kisaran harga (setara beras) yang diterima petani adalah Rp 1.850/kg (Agam) – Rp 1.909/kg (Kediri) atau sekitar 81,8% dari harga rataan eceran beras di pasar kabupaten
yang besarnya Rp 2.134/kg. Jadi marjin perdagangan beras adalah relatif kecil (Rp 422/kg), yaitu 18,2% terhadap rataan harga eceran. Dari marjin perdagangan sebesar itu, sejumlah 4,19% (Rp 97/kg) dialokasikan untuk biaya pengolahan, 7,35% (Rp 170/kg) untuk biaya transportasi, dan sisanya (6,66%) atau Rp 154/kg adalah profit marjin.
Menarik untuk dibahas imbangan keuntungan dan biaya pada setiap pelaku pemasaran beras ini. Keuntungan yang diterima pedagang pengumpul desa relatif terhadap biaya pemasaran adalah 109%, RMU 10,91%, untuk pedagang besar di pasar kabupaten 51,22%, dan untuk pedagang pengecer sebesar 98,4%. Walaupun marjin pemasaran relatif kecil, namun secara relatif (kecuali RMU) tingkat keuntungan yang diperoleh cukup besar, yaitu jauh di atas tingkat suku bunga di pasar modal. Tingkat keuntungan semakin berarti mengingat waktu transaksi yang relatif cepat. Dikaitkan dengan volume perdagangan yang ditangani oleh keempat pelaku pemasaran ini, tampak bahwa keuntungan yang diterima RMU dan pedagang besar relatif kecil, namun volume komoditas yang ditangani lebih besar dibandingkan dengan yang ditangani oleh pedagang pengumpul desa atau pedagang pengecer.
Hasil analisis marjin pemasaran ini tidak jauh berbeda dengan analisis yang sama yang dilakukan satu tahun sebelumnya (tahun 2000) di lima kabupaten, yaitu Klaten, Kediri, Agam, Majalengka, dan Sidrap (Mardianto dkk., 2005). Pada saat itu harga gabah (GKP) di tingkat petani di lima kabupaten produsen utama padi adalah berkisar antara Rp 800/kg – Rp 1.160/kg, atau setara dengan Rp 1.455 – Rp 2.000/kg beras. Kisaran harga eceran beras di tingkat konsumen di pasar kabupaten adalah Rp 1.700/kg di Kediri sampai dengan Rp
2.500/kg di Agam, Sumatera Barat. Pasar gabah/beras relatif kompetitif dan petani dengan mudah memasarkan gabah karena jumlah pedagang dan RMU relatif banyak yang beroperasi di pedesaan. Pemasaran beras dinilai cukup efisien yang diindikasikan oleh bagian harga yang diterima petani relatif besar dengan kisaran 73,57% di Klaten dan 85,59% di Kediri. Rataan biaya pemasaran mencapai Rp 434/kg atau 20,97% terhadap harga eceran, dengan komposisi 10,92% untuk biaya pengolahan, penanganan, transportasi, dan sisanya 10,05% adalah keuntungan pedagang (Tabel 7).
Hasil studi Natawidjaja (2001) menunjukkan bahwa para pelaku pemasaran di sebagian besar propinsi-propinsi penghasil beras utama nasional mampu meningkatkan marjin keuntungan yang diterimanya pada saat terjadi kenaikan harga di pasar konsumen dengan cara menangguhkan kenaikan harga yang diterima pada harga yang seharusnya di bayar ke petani. Sebaliknya, pelaku pemasaran ini juga mampu menjaga marjin keuntungan yang sama walaupun pada saat harga di tingkat konsumen sedang turun, dengan cara mempercepat penurunan harga beli pada petani sehingga risiko pasar dibebankan seluruhnya pada petani (Tabel 8).
Perilaku pedagang tersebut menunjukkan adanya kekuatan monopsonistik karena mereka memiliki aksesibilitas dan informasi yang cepat ke pasar konsumen dengan penguasaan pasar ini, para pelaku pemasaran dapat meneruskan risiko-risiko fluktuasi harga pasar pada tingkat di bawahnya dan akhirnya sampai ke petani sebagai penerima residual dari risiko tersebut tanpa memiliki kemampuan untuk menolak atau menghindari. Keadaan ini memperlihatkan adanya keterpisahan petani dari pasar, karena pemain pasar sesungguhnya adalah pedagang
yang berhadapan langsung dengan konsumen. Pada kondisi demikian, insentif dan usaha untuk menyejahterakan petani akan lebih banyak dinikmati pedagang.
Beberapa implikasi yang dapat ditarik dari berbagai hasil kajian tersebut adalah kelancaran arus distribusi dan perdagangan beras antar wilayah akan berperan besar dalam mengatasi defisit atau kelangkaan beras di dalam negeri. Konfigurasi surplus/defisit beras akan mengalami perubahan sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah dan kebebasan bagi petani untuk menanam komoditas yang lebih menguntungkan. Struktur pasar dan jalur pemasaran beras sudah berjalan cukup baik dan cukup efisien dilihat dari besar dan distribusi marjin pemasaran. Posisi petani yang relatif lemah terutama disebabkan terutama oleh masalah internal petani (khususnya permodalan), karakteristik komoditas yang perlu penanganan cepat, dan lemahnya sistem informasi pasar.
2. DISTRIBUSI PANGAN DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
3. MASALAH-MASALAH DISTRIBUSI PANGAN
Bab 4DIVERSIFIKASI PANGAN
1. DIVERSIFIKASI BERBASIS LOKAL
Untuk mewujudkan ketahanan pangan yang tangguh, maka langkah penting
yang cukup rasional yang perlu ditempuh adalah dengan melakukan diversifikasi
pangan berbasis pangan lokal guna mencegah terjadinya krisis pangan. Bila tidak
maka negara kita berpotensi menghadapi krisis sosial, ekonomi dan politik yang
sangat serius dimasa-masa yang akan datang. Krisis pangan dunia yang terjadi
pada tahun 2008 yang lalu bukan tidak mungkin akan terjadi di masa-masa yang
akan datang. Apabila terjadi krisis pangan dunia, bisa dipastikan negara kita akan
tekena dampaknya, mengingat beberapa jenis komoditi masih harus import,
seperti gandum, jagung, kedelai, dll.
Terdapat banyak faktor yang dapat menyebabkan terjadinya krisis pangan
dunia, yaitu (i) Jumlah penduduk dunia yang terus bertambah. Pada tahun 2000
jumlah penduduk dunia mencapai 6,1 milyar, dan pada tahun 2025 diperkirakan
menjadi 8,0 milyart, sehingga akan makin meningkatkan permintaan bahan
pangan. (ii) Makin meningkatnya berbagai produk hasil pertanian yang dikonversi
menjadi biofuel sebagai akibat tingginya harga minyak mentah dunia. Pada
awalnya biofule ini diproduksi dari limbah hasil pertanian, akan tetapi dengan
semakin melambungnya harga minyak mentah dunia dan semakin meningkatnya
permintaan biofule, maka kini biofule diproduksi dengan menggunakan jagung,
gandum, dan beberapa jenis biji-bijian lainnya, yang mestinya digunakan bahan
pangan untuk konsumsi manusia. (iii) Bencana alam. Karena cuaca dan bencana
alam, panen padi turun di Vietnam dan India dan membuat pemerintah mereka
membatasi impor beras dari dua negara tersebut untuk cadangan dalam negeri.
Akibatnya pasokan beras di pasar komodiiti dunia pun menurun. Bahkan Filipina
yang dulu dikenal sebagai pengekspor beras beberapa tahun terakhir beralih
menjadi negara pengimpor beras terbesar karena penurunan produksi padi mereka.
Walaupun negara Indonesia adalah negara agraris, akan tetapi bila terjadi
krisis pangan dunia juga berpotensi berimbas pada krisis pangan di negara kita.
Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab, antara lain adalah:
1. Ketahanan pangan yang rapuh
Walaupun Negara kita adalah Negara agraris dan lebih dari 40%
penduduknya hidup di sektor pertanian, akan tetapi sesungguhnya sejak merdeka,
negara kita sesungguhnya memiliki sejarah ketahanan pangan yang rapuh Hal ini
disebabkan karena untuk pemenuhan kebutuhan bahan pangan, Negara kita masih
mengandalkan impor. Untuk memenuhi kebutuhan beras misalnya, sejak tahun
1961 Indonesia telah mengimpor beras dalam jumlah yang cukup besar (Tabel 3)
dan merupakan pengimpor gandum terbesar kelima, dengan volume impor
gandum mencapai 4,5 juta ton (Tabel 4).
Tabel 3. Impor dan ekspor beras Indonesia (juta ton)
No. Tahun Impor Ekspor
1. 1970 956.13 -
2. 1980 2011.71 10,00
3. 1985 33.85 258,71
4. 1990 49.58 1,91
5. 1995 3157.70 0,01
6. 2000 1355.04 1,19
7. 2001 642.17 3,95
8. 2002 1798.50 4,15
9. 2003 1625.75 0,70
10. 2004 390.83 0,91Sumber: www.faostat.2006
Tabel 4. Sepuluh Negara terbesar eksportir dan importir gandum di dunia
No. Ekspor Impor
Negara Jumlah (Juta Ton) Negara Jumlah
(Juta Ton)
1. Amerika Serikat 30,2 Mesir 6,8
2. Kanada 13,5 Uni Eropa 6,3
3. Rusia 10,6 Brasilia 6,1
4. Uni Eropa 9,9 Jepang 5,1
5. Argentina 9,3 Indonesia 4,5
6. Kazkhstan 8,9 Algeria 3,7
7. Australia 6,5 Maroko 3,3
8. Cina 2,3 Meksiko 3,3
9. Pakistan 1,5 Nigeria 2,8
10 Ukrania 1,4 Korea Selatan 2,8
Sumber: BBC News, 2008
2. Meningkatnya konsumsi terigu dan menurunnya konsumsi ubi dan ubi jalar.
Pada tahun 1990, jumlah orang yang mengkonsumsi jagung dan ubi kayu
masing-masing adalah 9,3% dan 32,1% di kota, serta 19,0% dan 49,6% di desa.
Pada tahun 1999, jumlah tersebut menurun, masing-masing menjadi 4,8% dan
28,6% di kota dan 10,1% dan 39,8% di desa. Sebaliknya gandum dan produk
olahannya, seperti mie mempunyai tingkat partisipasi konsumsi yang terus
meningkat, bahkan lebih besar daripada jagung dan ubi kayu, sementara untuk
jagung dan ubi kayu terus menurun. Selama tahun 1990-1999, laju perubahan
jumlah penduduk Indonesia yang mengkonsumsi mie di kota mencapai 56,4% di
kota dan 67,0% di desa (Anonymous, 2003).
Berdasarkan fakta tersebut, maka diversifikasi pangan perlu mendapatkan
perhatian yang serius dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan keluarga
menuju ketahanan pangan nasional yang tangguh. Diversifikasi produksi pangan
bermanfaat bagi upaya peningkatan pendapatan petani dan memperkecil resiko
berusaha. Diversifikasi produksi secara langsung ataupun tidak juga akan
mendukung upaya penganekaragaman pangan (diversifikasi konsumsi pangan)
yang merupakan salah satu aspek penting dalam ketahanan pangan. Menurut
Suryana (2005), ada dua bentuk diversifikasi produksi yang dapat dikembangkan
untuk mendukung ketahanan pangan, yaitu:
1. Diversifikasi horizontal; yaitu mengembangkan usahatani komoditas unggulan
sebagai “core of business” serta mengembangkan usahatani komoditas lainnya
sebagai usaha pelengkap untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya
alam, modal, dan tenaga kerja keluarga serta memperkecil terjadinya resiko
kegagalan usaha.
2. Diversifikasi regional; yaitu mengembangkan komoditas pertanian unggulan
spesifik lokasi dalam kawasan yang luas menurut kesesuaian kondisi agro
ekosistemnya, dengan demikian akan mendorong pengembangan sentra-sentra
produksi pertanian di berbagai wilayah serta mendorong pengembangan
perdagangan antar wilayah.
2. KENDALA DIVERSIFIKASI PANGAN
Upaya untuk melakukan diversifikasi pangan dengan memanfaatkan umbi-
umbian dan buah-buahan sebagai sebagai sumber karbohidrat jauh lebih kompleks
dibandingkan dengan serealia (beras). Hal ini disebabkan karena beberapa faktor
yang pada akhirnya menghambat upaya diversifikasi pangan berbasis pangan
lokal, yaitu:
1. Pada umumnya masyarakat Indonesia masih memiliki ketergantungan yang
tinggi pada beras untuk dimasak menjadi nasi. Hal ini mudah dimengerti
karena dibandingkan sumber karbohidrat lain, nasi dari beras lebih mudah
disiapkan, lebih luwes dengan beragam lauk pauk dan memiliki kandungan
kalori dan protein yang cukup tinggi. Walaupun demikian sebenarnya
berbagai jenis bahan pangan, seperti ubi jalar tidak saja sebagai sumber
karbohidrat, akan tetapi diketahui banya mengandung antioksidan dan
merupakan prebiotik yang dapat memberikan efek yang menyehatkan bagi
yang mengkonsumsinya.
2. Ada anggapan dari sebagian masyarakat Indonesia yang menganggap belum
makan bila belum makan nasi, walaupun kecukupan kalori dan protein dapat
dipenuhi dari sumber karbohidat lain non beras.
3. Selama ini umbi-umbian dan buah-buahan kaya karbohidrat belum
dibudidayakan secara maksimal, seperti halnya petani menanam padi.
Tuntutan untuk mengoptimalkan produksi umbi-umbian belum ada karena
demand di pasaran juga belum muncul. Apalagi, selama ini umbi-umbian
hanya dikenal sebagai snack, kecuali di pedalaman Papua yang konsumsi
utama masyarakatnya adalah ubi jalar. Hal ini disebabkan karena kebijakan
pengembangan komoditas pangan, termasuk teknologinya hanya terfokus pada
beras, dan telah mengabaikan potensi sumber-sumber pangan karbohidrat
lainnya.
4. Pangan lokal diberbagai wilayah sehingga belum dapat dikembangkan dalam
skala industri. Disaping itu berbagai hasil olahan pangan lokal yang ada,
dilihat dari sisi mutu dan keamanan pangan masih rendah, kurang
memperhatikan aspek sanitasi dan higiens dalam pengolahan serta
penyajiannya.
5. Ketidak seragaman produk dan cita rasa serta kandungan gizi yang kadang-
kadang kurang seimbang.
6. Kurang terbentuknya citra produk yang menarik dalam persepsi konsumen
karena kurang memperhatikan tampilan dan kepraktisan dalam penyajian.
7. Kurang memperhatikan aspek pemasaran, penyimpanan dan promosi.
Masalah lainnya yang perlu diperhatikan dalam pemanfaatan umbi-
umbian dan buah-buahan sebagai sumber karbohidrat (Widowati, 2003) adalah
(i) harga per unit volume, bila dibandingkan dengan beras lebih rendah. Hal ini
menyebabkan biaya penanganan, transportasi dan penyimpanan relatif lebih
mahal bila dibandingkan dengan beras. (ii) Umbi-umbian dan buah-buahan
umumnya memiliki kadar air tinggi (60-80%), sehingga mudah rusak, dan
beaya pengeringannya relatif mahal. (iii) Produksi umbi-umbian dan buah-
buahan lebih banyak tergantung musim. Hal ini menyebabkan fluktuasi harga
tinggi. (iv) Institusi pemasaran dan jasa penunjang bagi produk palawija,
termasuk buah-buahan tidak sebaik yang tersedia pada beras.
Bab 5AKSESIBILITAS PANGAN
4.1. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI AKSESIBILITAS PANGAN
4.2. AKSESIBILITAS PANGAN DANKESEJAHTERAAN MASYARAKAT
Salah satu paradigma baru pembangunan pangan setelah diberlakukannya
Undang-Undang otonomi daerah adalah perencanaan penyediaan pangan yang
semula sentralistik dan lebih dominan pada pertumbuhan ekonomi menjadi
desentralistik dengan pertimbangan yang lebih komprehensif, sehingga tujuan-
tujuan pemantapan Ketahanan pangan dan perbaikan gizi masyarakat lebih
terakomodasi. Untuk itu sangat diperlukan pemahaman dan penyediaan data
Neraca Bahan Makanan (NBM) dan Pola Pangan Harapan (PPH) di masing-
masing daerah. Penyusunan NBM dan PPH Jawa Timur sudah dilaksanakan sejak
tahun 1984 sampai sekarang, dimana dari hasil analisis NBM dan PPH ini
menjadi bahan pertimbangan dalam perencanaan pangan dan gizi di tingkat
wilayah.
Tabel 4Ketersediaan dan Konsumsi Pangan Strategis di Propinsi Jawa Timur
Tahun 2005 dan 2006
No KomoditasTahun 2005 Tahun 2006*)
Ketrsdiaan Konsumsi Plus/ Minus Ketersediaan Konsumsi Plus/ Minus
Sumber : Badan Ketahanan Pangan Propinsi JatimKeterangan: *) Angka Ramalan II: Beras, Jagung, Kedele, Ubikayu, Ubijalar, Kacang Tanah,Kacang hijau
Konsumsi energi penduduk Jawa Timur mencapai sebesar 1900
kkal/kap/hr atau mencapai 95,0 % dari anjuran Angka Kecukupan Energi (AKE)
berdasarkan Widyakarya Pangan dan Gizi VIII tahun 2005 sebesar 2000
kkal/kap/hr. Konsumsi energi tahun 2005 sebesar 1900 kkal/kap/hr atau 95,0 %
dari AKE lebih tinggi dari dari konsumsi energi tahun sebelumnya sebesar 1889
kkal/kap/hr atau 85,9 % dari AKE. Konsumsi energi penduduk didukung oleh
konsumsi energi penduduk perkotaan dan pedesaan sebesar 11902 kkal/kap/hr dan
1901 kkal/kap/hr. Konsumsi energi penduduk perkotaan sebesar 1902 kkal/kap/hr
meningkat dari tahun sebelumnya sebesar 1889 kkal/kap/hr, kecenderungan yang
sama terjadi pada konsumsi energi penduduk pedesaan sebesar 1901 kkal/kap/hr
meningkat dari tahun sebelumnya sebesar 1893 kkal/kap/hr. Nampak bahwa
konsumsi energi penduduk perkotaan relatif sama dengan konsumsi energi
penduduk pedesaan.
Tabel 5Rata-rata Konsumsi Energi Penduduk tahun 2002 dan 2005
No. Uraian
2002 2005Energi
(kkal/kap/hr)
% AKE(kkal/kap/
hr)
Energi(kkal/kap/
hr)
% AKE(kkal/kap/hr)
1 Perkotaan 1889 85,8% 1902 95,1%2 Perdesaan 1893 86,1% 1901 95,0%3 Jawa Timur 1889 85,9% 1900 95,0%Sumber data : Angka Susenas 2002 dan 2005 Jawa Timur, BPS (diolah BKP Propinsi Jatim 2006)Keterangan : Angka Kecukupan Energi (AKE) rata-rata tahun 2002 = 2200 Kkal/Kap/Hari
Angka Kecukupan Energi (AKE) rata-rata tahun 2005 = 2000 Kkal/Kap/Hari
Ditinjau dari Tingkat Konsumsi Energi (TKE) yang mengacu pada standar
yang ditetapkan Departemen Kesehatan tahun 2006, ternyata konsumsi energi
penduduk Jawa Timur tahun 2005 mencapai sebesar 95,0 % yang berarti
tergolong normal karena berada pada kategori Tingkat Konsumsi Energi (TKE)
90-119%.
Sedangkan konsumsi protein penduduk Jawa Timur mencapai sebesar
62,30 gr/kap/hr atau meningkat sebesar 2,20 gr/kap/hr atau 3,66 % dari konsumsi
protein tahun sebelumnya sebesar 60,10 gr/kap/hr. Konsumsi protein tersebut
ternyata melampaui 10,30 gr/kap/hr (19,61% ) dari angka kecukupan protein yang
dianjurkan 52 gr/kap/ hr. Konsumsi protein tersebut didukung dengan peningkatan
konsumsi protein penduduk pedesaan yang cukup besar dari konsumsi protein
penduduk pedesaan tahun sebelumnya. Konsumsi protein penduduk perkotaan
dan pedesaan mencapai sebesar 60.70 gr/kap./hr dan 64,5 gr/kap./hr.
Konsumsi protein penduduk perkotaan sebesar 60,7 gram/kap/hr menurun
sebesar 6,7 gram/kap/hr atau 9,95 % dari tahun sebelumnya sebesar 67,4
gram/kap/hr. Sedangkan, konsumsi protein penduduk pedesaan sebesar 64,5
gram/kap/hr meningkat 6,3 gram/kap/hr atau 10,82 % dari tahun sebelumnya
sebesar 58,20 gram/kap/hr. Peningkatan konsumsi protein penduduk pedesaan
dikarenakan adanya peningkatan konsumsi pangan hewani berupa: ikan, daging
ruminansia, telur dan susu. Oleh karena itu, upaya percepatan gerakan
penganekaragaman diarahkan di daerah perkotaan yang difokuskan pada
keanekaragaman konsumsi pangan nabati non beras/tepung terigu beruapa umbi-
umbian, sayur dan buah, kacang-kacangan, serta konsumsi pangan hewani yang
berigizi dan berimbang.
Tingkat dan kualitas konsumsi pangan semakin baik dibandingkan dengan
tahun sebelumnya. Hal ini ditunjukkan oleh keragaman konsumsi pangan
penduduk dengan skor PPH 77,8 lebih tinggi dibandingkan dengan Skor PPH
tahun sebelumnya sebesar 71,0. Meskipun kesadaran dan kepedulian masyarakat
terhadap kualitas konsumsi pangan semakin meningkat, namun masih terdapat
asupan gizi dari beberapa kelompok bahan makanan berada dibawah rekomendasi
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Hampir semua kelompok pangan
dikonsumsi dalam jumlah yang belum memadai, kecuali kelompok padi-padian.
Sumbangan energi kelompok padi-padian terhadap Angka Kecukupan Gizi
(AKG) pada tahun 2005 cukup besar mencapai 57,9 %, sedangkan proporsi
idealnya sebesar 50 %. Sumbangan energi kelompok pangan yang masih jauh
dari proporsi idealnya adalah : kelompok pangan hewani, kelompok sayur dan
buah, serta kelompok umbi-umbian. Hal ini menggambarkan bahwa pola
konsumsi pangan penduduk Jawa Timur belum memenuhi kaidah kecukupan gizi
yang dianjurkan dan konsep pangan yang beragam, bergizi dan berimbang.
Tabel 6Rata-rata Konsumsi Pangan Tingkat Rumah Tangga
pangan, dan (3) Peningkatan bisnis pangan berbasiskan sumberdaya lokal. Secara
rinci arah opengembangannya disajikan dalam Gambar sebagai berikut.
Gambar 3. Arah Pengembangan Diversifikasi Pangan di Jawa Timur
Strategi Diversifikasi konsumsi pangan
Dalam rangka mewujudkan pengembangan diversifikasi pangan, maka
strategi yang digunakan adalah melalui strategi jalur suplai dan jalur dalam sisi
permintaan. Secara rinci diuraikan sebagai berikut :
Gambar Arah Pengembangan Diversifikasi pangan di Jawa Timur
1. Dalam sisi suplai, strateginya adalah penyediaan suplai pangan dengan
mengembangkan sumberdaya lokal, yang dilakukan melalui : (a)
pengembangan pemanfaatan pekarangan, (b) pengembangan pangan lokal, dan
(c) pengembangan makanan tradisional.
2. Dalam sisi permintaan, srateginya adalah perubahan perilaku dalam
mengkonsumsi. Hal ini dapat dilakukan melalui : (a) peningkatan KAP
(Knowledge, Attitude, Practice) melalui gerakan tentang konsumsi pangan
yang beragam dan gizi seimbang serta aman dan pemberdayaan kelembagaan
lokal, dan (b) usaha-usaha peningkatan pendapatan masyarakat melalui
pengembangan bisnis pangan.
Program
Berdasarkan strategi tersebut, maka program yang bisa dilakukan dalam
mewujudkan diversifikasi pangan adalah :
1. Pengembangan pemanfaatan pekarangan
2. Pengembangan pangan lokal,
3. Pengembangan makanan tradisional
4. Peningkatan kap (knowledge, attitude, practice) melalui gerakan tentang
konsumsi pangan yang beragam dan gizi seimbang
Pengembangan Pekarangan
Upaya pengembangan pekarangan, yaitu : (1) Intensifikasi pekarangan, (2)
penguatan kelompok wanita dalam Intensifikasi pekarangan, (3) peningkatan
pengetahuan gizi wanita pedesaan
1. Intensifikasi pekarangan
Intensifikasi pengakarangan ditujukan untuk peningkatan penyediaan
pangan berbasiskan pada sumberdaya yang dimiliki. Sasaran yang ingin dicapai
adalah mengembangkan penganekaragaman makanan sekaligus untuk
meningkatkan pendapatan masyarakat pedesaan.
Kegiatan yang dilaksanakan adalah : (1) penyusunan paket teknologi
pekarangan, (2) penyuluhan tentang paket teknologi pekarangan baik budifaya
mauun pengolahan; dan (2) percontohan desa intensif pekarangan, Indikator
keberhasilan kegiatan ini adalah : (1) tersedianya paket teknologi pekarangan, (2)
semakin intensifnya usaha pekatangan, dan (3) meningkatnya pendapatan
masyarakat pedesaan
2. Penguatan Kelompok Wanita dalam Intensifikasi Pekarangan
Penguatan kelompok wanita dalam Intensifikasi pekarangan ditujukan untuk
mendorong masyarakat berperan aktif dalam upaya pengembangan diversifsikasi
makanan sesuai dengan potensi sumberdaya dan nilai budaya setempat. Sasaran
yang ingin dicapai adalah meningkatnya peran kelembagaan wanita dalam rangka
mengembangkan penganekaragaman makanan
Kegiatan yang akan dilaksanakan adalah (1) pemberdayaan, (2)
pendampingan, dan (3) penguatan modal bagi kelompok wanita dalam
pengembangan pekarangan. Indikator keberhasilan kegiatan ini adalah
meningkatnya jumlah kelompok wanita dalam mengembangkan usaha
pekarangan.
3. Peningkatan pengetahuan gizi wanita pedesaan dan bisnis pangan
Peningkatan pengetahuan gizi wanita pedesaan dan bisnis pangan ditujukan
untuk mendorong masyarakat agar mempunyai pengetahuan tentang nilai gizi dari
sumberdaya pangan yang ada di pedesaan. Sasaran yang ingin dicapai.
Kegiatan yang akan dilaksanakan adalah (1) penyuluhan pangan beragam
dan bergizi seimbang, (2) lomba menu makanan dari hasil pekarangan, (3)
pengembangan depot desa dengan menu makanan berbasiskan sumberdaya
pedesaan.
Indikator keberhasilan kegiatan ini adalah (1) meningkatnya pengetahuan
masyarakat tentang beragam dan bergizi seimbang, (2) meningkatnya ragam menu
makanan dari hasil pekarangan, (3) meningkatnya depot desa dengan menu
makanan berbasiskan sumberdaya pedesaan.
Pengembangan Pangan Lokal
1. Pengembangan Pemanfaatan Sumberdaya Lokal.
Pengembangan pemanfaatan sumberdaya Lokal ditujukan untuk
peningkatan mutu dan penganekaragaman pangan. Sasaran yang ingin dicapai
adalah tergalinya potensi pangan lokal dalam memenuhi kebutuhan konsumsi
pangan yang bermutu, beragam dan terjangkau di tingkat rumah tangga.
Kegiatan yang akan dilaksanakan meliputi (1) Identifikasi potensi pangan
lokal sesuai kondisi daerah; (2) Pemetaan sumber daya lokal nabati dan hewani
pada tingkat wilayah ; (3) promosi pengembangan pangan lokal; (4) Sosialisasi
dan pelatihan produksi, dan pemasaran; (5) Pembinaan/pendampingan,
pemantauan dan evaluasi.
Indikator keberhasilan kegiatan ini adalah (1). Tergalinya potensi dan
pemanfaatan sumber daya lokal; (2). Meningkatnya mutu dan keragaman pangan
lokal; (3). Meningkatnya kesadaran masyarakat untuk memanfaatkan pangan yang
ada di wilayahnya.
2. Peningkatan Teknologi dan industri pengolahan Pangan skala kecil RT
Peningkatan teknologi dan industr pengolahan pangan skala rumah tangga
dan kecil diarahkan untuk memberdayakan masyarakat dalam meningkatkan nilai
tambah bahan pangan lokal melalui pemanfaatan, penguasaan dan penerapan
teknologi pengolahan pangan serta mendorong kelembagaan pelayanan dan
lembaga swadaya masyarakat untuk mewujudkan industri pengolahan bahan
pangan berskala rumah tangga yang kokoh dan mandiri. Sasaran yang ingin
dicapai dalam program ini adalah peningkatan teknologi pangan dan kelembagaan
dalam rangka pengembangan bahan pangan lokal.
Kegiatan yang dilaksanakan meliputi antara lain : (1) Pemberdayaan
masyarakat dalam pengolahan bahan pangan lokal sebagai sumber karbohidrat
dan protein untuk meningkatkan daya tarik pangan lokal non beras; (2)
Pemasyarakatan teknologi pengolahan pangan yang berbasis spesifik daerah serta
memperhatikan keamanan pangan; (3) Penemuan paket teknologi pengolahan
bahan pangan non beras; (4) Peningkatan peran masyarakat profesi atau asosiasi,
LSM dan dunia usaha untuk mengembangkan aneka tepung dan aneka bahan
pangan hewani; (5) Meningkatkan kemitraan antara industri rumah tangga dengan
industri berskala menengah dan besar dalam memanfaatkan bahan pangan lokal;
serta (6) Mengembangkan pengolahan bahan pangan nabati dan hewani yang
berasal dari pangan asli.
Indikator keberhasilan dari kegiatan ini adalah: (1) tersedianya paket
teknologi pengolahan pangan(2) teradopsinya teknologi pengolahan pangan oleh
masyarakat; (3) Meningkatnya ragam mutu bahan pangan lokal.
Pengembangan Makanan Tradisional.
Bertitik tolak dari permasalahan dan peluang yang ada dalam
pengembangan makanan tradisional, maka dirancang 3 (tiga) upaya
pengembangan makanan tradisional, yaitu : (1) Pengembangan sumberdaya
makanan tradisional; (2) Peningkatan motivasi dan partisipasi masyarakat dalam
pengembangan makanan tradisional dan (3) Peningkatan Teknologi dan
Kelembagaan Pangan.
1. Pengembangan sumberdaya makanan tradisional.
Pengembangan sumberdaya makanan tradisional ditujukan untuk
mengidentifikasi, menginventarisasi, menggali dan mengkaji sumberdaya
makanan tradisional dalam peningkatan penganekaragaman penyediaan pangan.
Sasaran yang ingin dicapai adalah mengembangkan potensi dan spesifikasi (ke
khas an) makanan tradisional unggulan; melalui peran serta masyarakat bersama
Perguruan Tinggi dan Pemerintah.
Kegiatan yang dilaksanakan adalah : (1) Identifikasi dan inventarisasi
makanan tradisional sesuai potensi daerah; (2) Pemetaan/penyusunan profil
makanan tradisional unggulan tingkat wilayah; (3) promosi pengembangan
makanan tradisional; (4) Sosialisasi dan pelatihan (tata boga, menu dan
pengembangan resep makanan, mutu gizi pangan, citarasa serta sanitasi); (6)
Pembinaan, pendampingan, pemantauan dan evaluasi.
Indikator keberhasilan kegiatan ini adalah : (1) Tergalinya potensi dan
kekhasan makanan tradisional unggulan; (2) meningkatnya mutu tradisional (baik
fisik, mutu gizi, citarasanya serta sanitasi); (4) meningkatnya nilai ekonomi
makanan tradisional dan (5) Penumbuhan sentra-sentra makanan tradisional.
2. Peningkatan Motivasi Citra Makanan Tradisional.
Peningkatan motivasi dan partisipasi dalam pengembangan makanan
tradisional ditujukan untuk mendorong masyarakat berperan aktif dalam upaya
pengembangan, pelestarian dan peningkatan citra makanan tradisional sesuai
dengan potensi sumberdaya dan nilai budaya setempat. Sasaran yang ingin dicapai
adalah meningkatnya peran serta dan partisipasi masyarakat dalam upaya
pengembangan, pelestarian dan peningkatan citra makanan tradisional.
Kegiatan yang akan dilaksanakan adalah (1) Promosi makanan tradisional
dan memperluas “Aku Cinta Makanan Indonesia”; (2) Peningkatan Peran aktif
swasta (usaha jasa boga, perhotelan dan industri makanan rumah tangga ),
assosiasi, organisasi masyarakat (PKK, Dharma Wanita), Perguruan Tinggi, LSM
dan Media masa dalam mengembangkan potensi, mengangkat citra dan
melestarikan makanan tradisional; (3) Pemberdayaan kelompok wanita tani di
perkotaan dan perdesaan dalam mengembangkan potensi, mengangkat citra dan
melestarikan makanan tradisional; dan (4) Mendorong industri pangan tradisional
untuk mengembangkan usahanya diberbagai segi agar mampu bersaing dengan
pangan impor; (5) Penyelenggaraan Festival dan Lomba Makanan Tradisional.
Indikator keberhasilan kegiatan ini adalah (1) Tersusunnya rancangan
strategi pemberdayaan masyarakat; (2) Tersosialisasinya upaya pengembangan
potensi, pelestarian dan peningkatan citra makanan tradisional diberbagai
tingkatan; (3) Meningkatnya peran serta dan apresiasi masyarakat dalam upaya
pengembangan potensi, pelestarian dan peningkatan citra makanan tradisional; (4)
meningkatnya kesadaran masyarakat untuk mengurangi ketergantungan pada
makanan modern dan impor.
3. Peningkatan Teknologi dan Kelembagaan Pangan.
Aspek teknologi memegang peranan penting dalam pengembangan pangan
tradisional, karena factor inilah yang nantinya menentukan makanan tersebut
diterima atau tidak oleh konsumen. Peningkatan teknologi dan kelembagaan
pangan diarahkan untuk memberdayakan masyarakat dalam meningkatkan
pemanfaatan, penguasaan dan penerapan teknologi olahan pangan serta
mendorong kelembagaan pelayanan dan swadaya masyarakat dalam
pengembangan potensi makanan tradisional. Sasaran yang ingin dicapai adalah
peningkatan teknologi olahan, penyajian dan pengemasan makanan tradisional
serta peningkatan peran kelembagaan dalam rangka pengembangan makanan
tradisional.
Kegiatan yang dilaksanakan antara lain : (1) Pemberdayaan masyarakat
dalam pengembangan produk olahan makanan tradisional untuk meningkatkan
daya tarik, cita rasa dan citra makanan tradisional; (2) Penelitian dan
pengembangan menu serta teknologi olahan makanan tradisioanl yang
memperhatikan mutu gizi dan keamanan pangan; (3) Pemasyarakatan teknologi
pengolahan, pengemasan dan penyajian dalam penerapan teknologi maju, spesifik
wilayah serta memperhatikan mutu gizi dan keamanan pangan.
Indikator keberhasilan kegiatan ini adalah : (1) Teradopsinya teknologi
pengolahan, pengemasan dan penyajian makanan tradisional oleh masyarakat; (2)
Terciptanya teknologi pengolahan, pengemasan dan penyajian makanan
tradisional yang mudah didistribusikan, mudah dikonsumsi. mudah disajikan dan
menarik. serta memperhatikan mutu dan keamanan pangan dan ; (3) Terciptanya
standardisasi makanan tradisional unggulan; (4) Meningkatnya ragam mutu
makanan tradisional.
Peningkatan KAP (Knowledge, Attitude, Practice) Konsumen
Peningkatan KAP diarahkan untuk merubah perlaku masyarakat dalam
mengkonsumsi gar tidak tergantung pada konsumsi beras. Sasaran yang ingin
dicapai dalam program ini adalah berkurangnya konsumsi beras melalui pola
pangan beragam dan bergizi seimbang.
Kegiatan yang dilaksanakan meliputi antara lain : (1) pembuatan modul dan
leaflet tentang pola makan beragam dan bergizi seimbang, (2) promosi pangan
beragam dan bergizi seimbang melalui media cetak dan elektronik secara
kontinyu, (3) pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) yang tepat berbasis
sumber daya lokal, (4) memberikan makanan tambahan anak sekolah (PMT-AS)
yang tepat berbasis sumber daya lokal, (5) pengembangan warung sekolah
berbasiskan makanan tradisional, (6) mensosialisasikan Gerakan Makanan
Beragam, dan gizi seimbang masyarakat yang dari instansi pemerintah, (7)
promosi pengembangan makanan tradisional pada hotel-hotel
Indikator keberhasilan dari kegiatan ini adalah: (1) tersedianya modul dan
leaflet diversifikasi pangan, (2) adanya promosi diversifikasi pangan secara rutin
di media cetak dan elektronik, (3) berkembangnya warung sekolah, (4) adanya
budaya makanan tradisonal pada instansi pemerintah dan hotel.
Tahapan dan Target
Pengembangan diversikasi pangan dilakukan secara bertahap sesuai dengan
kondisi sumberdaya yang dimiliki, serta peluang pengembangnnya. Tahapan
pengembangan beserta indikator utama disajikan dalam Gambar sebagai berikut :
Sedangkan target pemenuhan Angka Kecukupan Energi untuk
masingmasing kelompok bahan makanan disajikan dalam grafik berikut:
Kegiatan
Program pengembangan pekarangan, dilakukanmelali sub program : (1)
intensifikasi pekarangan, (2) penguatan kelompok wanita dalam intensifikasi
pekarangan, (3) peningkatan pengetahuan gizi wanita pedesaan dan bisnis pangan.
Progam pengembanan pangan lokal dilakukan melalui : (1) pengembangan
pemanfaatan sumberdaya lokal, dan (2) peningkatan teknologi dan industri
pengolahan pangan skala kecil RT.
Program pengembangan makanan tradisional, maka dirancang 3 (tiga)
upaya pengembangan makanan tradisional, dilakukan melali sub progra : (1)
pengembangan sumberdaya makanan tradisional; (2) peningkatan motivasi dan
partisipasi masyarakat dalam pengembangan makanan tradisional dan (3)
peningkatan Teknologi dan Kelembagaan Pangan.
Peningkatan KAP (Knowledge, Attitude, Practice) Konsumen dilaksanakan
melalui: (1) pembuatan modul dan leaflet tentang pola makan beragam dan bergizi
seimbang, (2) promosi pangan beragam dan bergizi seimbang melalui media cetak
dan elektronik secara kontinyu, (3) pemberian makanan pendamping ASI (MP-
ASI) yang tepat berbasis sumber daya lokal, (4) memberikan makanan tambahan
anak sekolah (PMT-AS) yang tepat berbasis sumber daya lokal, (5)
pengembangan warung sekolah berbasiskan makanan tradisional, (6)
mensosialisasikan Gerakan Makanan Beragam, dan gizi seimbang masyarakat
yang dari instansi pemerintah, (7) promosi pengembangan makanan tradisional
pada hotel-hotel.
Secara rinci masing-masing progam tersebut dijabarkan dalam kegiatan
yang disajikan dalam Tabel sebagai berikut:
VI. LANGKAH OPERASIONAL PEMBERDAYAAN KELOMPOK
PEDESAAN DALAM PENGEMBANGAN DIVERSIFIKASI PANGAN
Tahapan dalam pemberdayaan kelompok pedesaan dalam pengembangan
diversifikasi disajikan dalam Gambar berikut . Secara umum pemeberdayaan
kelompok dibagi dalam 3 tahap, yakni :
1. Penguatan kelembagaan pemerintah (Badan Ketahanan Pangan, Dinas Sosial,
dan Dinas Kesehatan)
2. Penumbuhan kelembagaan pedesaan ( PKK dan Posayandu) dalam
diversifikasi pangan
3. Optimalisasi peran kelembagaan perdesaan melalui pengembangan kapasitas
Gambar 4. Tahapan Pemberdayaan Kelompok Pedesaandalam Pengembangan Diversifikasi Pangan
Sedangkah langkah operasional untuk untuk masing-masing kebijakan
diversifikasi pangan disajikan dalam model fishbone sebagaimana disajkan dalam
Gambar berikut.
Gambar 5. Model Fishbone Pengembangan Pekarangan
Gambar 6. Model Fishbone Pengembangan Pangan Lokal
Gambar 7. Model Fishbone Pengembangan Makanan Tradisional
Gambar 7. Model Fishbone Pengembangan Makanan Tradisional
Gambar 8. Model Fishbone Peningkatan KAP
VII. PENUTUP
Roadmap diversifikasi pangan ini diharapkan dapat meningkatkan
koordinasi pembangunan diversifikasi pangan secara terpadu untuk
diimplementasikan. Sasaran roadmap diversifikasi pangan ini adalah : (1)
pencapaian konsumsi pangan AKG sebesar 2000 kkal dan menurunnya kelompok
masyarakat yang rawan pangan, (2) pencapaian Pola Pangan Harapan dengan
skore 100 dengan menurunannya konsumsi beras sampai 90 gram perkapita/hari
dan meningkatnya konsumsi protein minimal 52 gram/kapita per hari, (3)
berkembangnya bisnis pangan berbasiskan sumberdaya pangan lokal dan
teknologi pangan yang tepat guna Akhirnya semoga Roadmap ini memberikan
manfaat bagi semua pihak yan terkait.
5.2. KEBIJAKAN OPERASIONAL KETAHANAN PANGAN JAWA TIMUR 2007-2008
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pengaturan tentang pangan tertuang dalam Undang-undang No.7 Tahun
1996, yang menyatakan juga bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar manusia
yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat Pemenuhan pangan dan gizi
untuk kesehatan warga negara merupakan investasi untuk peningkatan kualitas
sumber daya manusia. Bank Dunia (2006) menyatakan bahwa perbaikan gizi
merupakan suatu investasi yang sangat menguntungkan. Setidaknya ada tiga
alasan suatu negara perlu melakukan intervensi di bidang gizi. Pertama, perbaikan
gizi memiliki ‘economic returns’ yang tinggi; kedua, intervensi gizi terbukti
mendorong pertumbuhan ekonomi; dan ketiga, perbaikan gizi membantu
menurunkan tingkat kemiskinan melalui perbaikan produktivitas kerja,
pengurangan hari sakit, dan pengurangan biaya pengobatan.
Pemenuhan hak atas pangan dicerminkan pada definisi ketahanan pangan
yaitu : “kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari
tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan
terjangkau”. Definisi ketahanan pangan ini secara luas, diartikan bahwa : (1)
terpenuhinya pangan dengan kondisi ketersediaan yang cukup, yang diartikan
dengan ketersediaan pangan dalam arti luas, mencakup pangan yang berasal dari
tanaman, ternak, dan ikan untuk memenuhi kebutuhan atas karbohidrat, protein,
lemak, vitamin dan mineral serta turunannya, yang bermanfaat bagi pertumbuhan
kesehatan manusia, (2) terpenuhinya pangan dengan kondisi yang aman, diartikan
bebas dari cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu,
merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia, serta aman dari kaidah
agama, (3) terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata, yang diartikan
bahwa pangan harus tersedia setiap saat dan merata di seluruh tanah air, (4)
114
terpenuhinya pangan dengan kondisi terjangkau, yang diartikan pangan mudah
diperoleh rumah tangga dengan harga yang terjangkau.
Upaya-upaya untuk menjamin kecukupan pangan dan gizi serta kesempatan
pendidikan tersebut akan mendukung komitmen pencapaian Millenium
Development Goals (MDGs), terutama pada sasaran-sasaran: (1) menanggulangi
kemiskinan dan kelaparan; (2) mencapai pendidikan dasar untuk semua; (3)
menurunkan angka kematian anak; dan (4) meningkatkan kesehatan ibu pada
tahun 2015. Komitmen global lain sebagai landasan pembangunan pangan dan
gizi adalah: The global Strategy for Health for All 1981, The World Summit for
Children 1990, The Forty-eight World Health Assembly 1995, World Food
Summit 1996 dan Health for All in the Twenty-first Century 1998.
Sejalan dengan sistem otonomi, pemerintah propinsi, pemerintah
kabupaten/kota dan atau pemerintah desa sesuai kewenangannya, menjadi
pelaksana fungsi-fungsi inisiator, fasilitator dan regulator atas penyelenggaraan
ketahanan pangan di wilayahnya masing-masing. Selanjutnya, penyelenggaraan
ketahanan pangan di daerah mengacu pada arah kebijakan, strategi, dan sasaran
ketahanan pangan nasional serta pedoman, norma, standart dan kriteria yang telah
ditetapkan pemerintah pusat.
Pembangunan ketahanan pangan di wilayah Jawa Timur harus dipandang
sebagai bagian tidak terlepaskan dari wawasan ketahanan pangan nasional.
Keberhasilan Ketahanan Pangan di Jawa Timur sebagai wilayah yang surplus
pangan telah menjadi tolok ukur keberhasilan ketahanan Pangan nasional. Oleh
karena itu pemerintah Jawa Timur harus terus berupaya memacu pembangunan
ketahanan pangan melalui program-program yang benar-benar mampu
memperkokoh ketahanan pangan sekaligus meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
Pembangunan ketahanan pangan yang berdimensi pembangunan Jawa
Timur secara menyeluruh di setiap sektornya akan dapat terlaksana dengan efektif
manakala memiliki arah yang jelas dan terukur kinerjanya. Program-program
dalam rangka pembangunan ketahanan pangan harus terpadu (integrated), terukur
keberhasilannya (measureable) dan berkesinambungan (sustainability). Dengan
115
demikian setiap pelaksanaan program-program pembangunan dalam rangka
ketahanan pangan dapat diarahkan dengan benar, dapat dipantau
perkembangannya dan selanjutnya dapat dievaluasi keberhasilannya. Berdasarkan
kenyataan ini penyusunan Kebijakan operasional ketahanan pangan (KOKP) perlu
dilakukan dan dijadikan dokumen operasional yang secara terpadu menyatukan
pembangunan ketahanan pangan dalam rangka mewujudkan SDM berkualitas
sebagai modal sosial pembangunan bangsa dan negara. Dokumen KOKP disusun
sebagai acuan pelaksanaan program ketahanan pangan bagi semua pihak,
termasuk pemerintah dan masyarakat, yang memiliki tanggung jawab melakukan
upaya perbaikan ketahanan pangan rumah tangga
1.2. Tujuan Penyusunan
Tujuan umum.
Kebijakan operasional ketahanan pangan Propinsi Jawa Timur disusun
untuk menjadi panduan dan arahan serta acuan bagi stakeholders (instansi
pemerintah, swasta, BUMN/ BUMD, perguruan tinggi, petani, nelayan, industri
pengolahan, pedagang, penyedia jasa) serta masyarakat pada umumnya untuk
berperan serta meningkatkan kontribusi yang optimal dalam upaya mewujudkan
ketahanan pangan di wilayah Jawa Timur.
Tujuan khusus
1. Untuk meningkatkan pemahaman seluruh stakeholders terkait dan masyarakat
dalam peran sertanya untuk pemantapan ketahanan pangan daerah.
2. Meningkatkan kemampuan menganalisis perkembangan situasi pangan dan
gizi di setiap wilayah agar: (i) mampu menetapkan prioritas penanganan
masalah pangan dan gizi; (ii) mampu memilih intervensi yang tepat sesuai
kebutuhan lokal; dan (iii) mampu membangun dan memfungsikan lembaga
pangan dan gizi; dan (iv) mampu memantau dan mengevaluasi pembangunan
pangan dan gizi.
3. Meningkatkan koordinasi pembangunan ketahanan pangan secara terpadu
untuk diimplementasikan karena terinci dengan jelas untuk membangun
sinergi, integrasi dan koordinasi yang baik mulai dari perencanaan,
116
implementasi dan evaluasi atas pelaksanaan bidang tugas masing-masing
dalam rangka mencapai tujuan yaitu mewujudkan ketahanan pangan yang
berkelanjutan pada propinsi Jawa Timur dan pemerintah Kabupaten/kota.
1.3. Ruang Lingkup dan Kerangka Kerja
Kebijakan Opresonal Ketahanan Pangan ini meliputi startegi dan langkah
konkrit yang akan dilakukan untuk mewujudkan ketahanan pangan dan
meningkatkan status gizi masyarakat, yang tercermin pada tercukupinya
kebutuhan pangan baik jumlah, keamanan, dan kualitas gizi yang seimbang di
tingkat rumah tangga. KOKP ini, komitmen pencapaian MDGs, serta dokumen-
dokumen kebijakan pembangunan nasional lain di bidang pangan dan gizi seperti
Kebijakan Umum Ketahanan pangan nasional 2005 – 2009 dan juga Rencana
Pembangunan Jangka Menengah daerah (RPJMD) Propinsi Jawa Timur 2006 –
2008, arahan presiden pada April 2006 serta komitmen seluruh Gubernur pada
pada desember 2006.
Substansi dasar yang diuraikan dalam dokumen ini adalah pembahasan
tentang konsep dasar ketahanan pangan, Keragaan Ketahanan Pangan di Jawa
Timur, masalah strategis pembangunan ketahanan pangan yang meliputi potensi,
permasalahan, peluang dan tantangan pembangunan ketahanan pangan propinsi
jawa Timur, Kebijakan Ketahanan pangan yang berisi arah, tujuan, sstartegi
umum dan kebijakan umum. Selanjutnya dirumuskan kebijakan operasional dan
rencana aksi ketahanan pangan jawa Timur 2007 – 2009 yang dilengkapi matrik
yang berisi kegiatan, target serta indikator keberhasilannya.
1.4. Proses Penyusunan
Penyusunan Kebijakan operasional ketahanan pangan dilakukan oleh Tim
Dewan Ketahanan Pangan Jawa Timur. Konsep awal dokumen ini dibahas dalam
berbagai diskusi yang melibatkan unsur lembaga pemerintah, perguruan tinggi,
swasta, organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat dan organisasi
kemasyarakatan lainnya. Tahap terakhir proses penyusunan Kebijakan operasional
ketahanan pangan propinsi Jawa Timur adalah diskusi internal instansi pemerintah
117
yang terlibat dalam proses pembentukan formal dokumen ini menjadi suatu
kebijakan operasional ketahanan pangan di propinsi Jawa Timur.
II. KONSEP DASAR KETAHANAN PANGAN
2.1. Landasan Hukum Ketahanan Pangan
Landasan hukum penyusunan Kebijakan operasional ketahanan pangan Jawa
Timur adalah :
1. UU NO. 7 TAHUN 1996 tentang Pangan
2. PP No 68 tahun 2002 tentang ketahanan pangan
3. PP 28 2004 tentang keamanan, mutu dan gizi pangan
4. Perpres No 83 tahun 2006 tentang Dewan ketahanan pangan
5. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2005 – 2009
6. Rencana Pembangunan Jangka Menengah daerah (RPJMD) Propinsi Jawa
Timur 2006 - 2008
7. Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (pencanangan oleh Presiden
tanggal 11 Juni 2005), termasuk Kebijakan dan Program pembangunan
Ketahanan Pangan
8. Kebijakan umum Ketahanan Pangan 2006-2009
9. Arahan peresiden pada rapat pleno Dewan Ketahanan Pangan tanggal 18 April
2006
10. Komitmen Gubernur pada 20 Novevember 2006
11. PP No 3 tahun 2007 tentang pertanggungan jawab Gubernur, bupati/walikota
12. PP No 38 tahun 2007 bahwa Ketahanan pangan menjadi urusan wajib
pemerintah propinsi, kab/kota.
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1996 mengamanatkan pembangunan
pangan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, dan pemerintah bersama
masyarakat bertanggung jawab untuk mewujudkan ketahanan pangan. UU Nomor
7 tahun 1996 menjelaskan tentang konsep ketahanan pangan, komponen serta
pihak yang berperan serta dalam mewujudkan ketahanan pangan. Undang-Undang
tersebut telah dijabarkan dalam beberapa peraturan pemerintah (PP) antara lain :
(i) PP Nomor 68 tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan yang mengatur tentang
118
ketahanan pangan yang mencakup aspek ketersediaan pangan, cadangan pangan,
penganekaragaman pangan, pencegahan dan penanggulangan masalah pangan,
peran pemerintah pusat dan daerah serta masyarakat, pengembangan sumberdaya
manusia dan kerjasama internasional; (ii) PP Nomor 69 tahun 1999 tentang Label
dan Iklan Pangan yang mengatur pembinaan dan pengawasan di bidang label dan
iklan pangan dalam rangka menciptakan perdagangan pangan yang jujur dan
bertanggungjawab; dan (iii) PP Nomor 28 Tahun 2004 yang mengatur tentang
keamanan, mutu dan gizi pangan, pemasukan dan pengeluaran pangan ke wilayah
Indonesia, pengawasan dan pembinaan serta peran serta masyarakat mengenai
hal-hal di bidang mutu dan gizi pangan.
Disamping mengacu pada berbagai dokumen hukum nasional tersebut,
pelaksanaan pembangunan ketahanan pangan juga mengacu pada komitmen
bangsa Indonesia dalam kesepakatan dunia. Indonesia sebagai salah satu anggota
PBB (United Nation Organisation) menyatakan komitmen untuk melaksanakan
aksi-aksi mengatasi kelaparan, kekurangan gizi serta kemiskinan dunia.
Kemiskinan tersebut antara lain tertuang dalam Deklarasi World food Summit
1996 dan ditegaskan kembali dalam World food Summit: five years later 2001,
serta Millenium Development Goals tahun 2000, untuk mengurangi angka
kemiskinan ekstrim dan kerawanan pangan dunia sampai setengahnya di tahun
2015.
Beberapa konvensi internasional yang memuat komitmen bangsa Indonesia
terhadap pembangunan di bidang pangan, gizi dan kesehatan antara lain adalah :
(i) Deklarasi universal tentang hak asasi manusia (Universal Declaration of
Human Rights) tahun 1948 yang menyatakan bahwa hak atas pangan adalah
bagian yang tidak terpisahkan dari hak asasi manusia; (ii) Konvensi Internasional
tentang ekonomi, sosial dan budaya (ECOSOC) tahun 1968, yang mengakui hak
setiap indvidu atas kecukupan pangan dan hak dasar (asasi) untuk terbebas dari
kelaparan; (iii) Konvensi tentang hak anak (International Convention on the Right
of Child) yang salah satu itemnya menyatakan bahwa negara anggota mengakui
hak asasi dari setiap anak kepada standart kehidupan yang layak bagi
119
perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial anak, juga mengakui hak
anak untuk emndapatkan gizi yang baik.
Mengacu pada berbagai dokumen hukum serta kesepakatan nasional
maupun internasional, maka pemerintah Indonesia menyusun Rencana
pembangunan jangka menengah (RPJM) 2005 - 2009 yang dituangkan dalam
Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005, serta dokumen revitalisasi pertanian,
perikanan dan kehutanan (RPPK) yang telah dicanangkan Presiden pada tanggal
11 Juni 2005. Kedua dokumen hukum tersebut memuat kebijakan dan program
pembangunan nasional, termasuk ketahanan pangan. Peraturan pemerintah PP No
3 tahun 2007 tentang pertanggungan jawab Gubernur, bupati/walikota dimana
Gubernur, bupati/walikota wajib melaporkan tentang pembangunan ketahanan dan
PP No 38 tahun 2007 bahwa Ketahanan pangan menjadi urusan wajib pemerintah
propinsi, kab/kota. Berdasarkan kedua peraturan pemerintah tersebut jelas secara
tegas bahwa Ketahanan pangan menjadi urusan wajib bagi pemerintah propinsi,
kabupaten/kota.
2.2. Sistem Ketahanan Pangan
Undang-Undang Pangan No.7 Tahun 1996 memberikan definisi ketahanan
pangan sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan bagi rumah tangga yang
tercermin dari tersedianya pangan secara cukup, baik dari jumlah maupun
mutunya, aman, merata dan terjangkau. Sementara USAID (1992) mendefinisikan
ketahanan pangan sebagai : ”A condition when all peoples at all times have the
physical and economical access sufficient to meet their dietary needs in order to
lead a healthy and productive life”. Perbedaan mendasar dari dua definisi
“ketahanan pangan” tersebut adalah: pada UU No. 7/1996 menekankan pada
ketersediaan, rumah tangga dan kualitas (mutu) pangan. Sedangkan pada definisi
USAID menekankan pada konsumsi, individu dan kualitas hidup.
FAO (1997) mendefinisikan ketahanan pangan sebagai situasi dimana
semua rumah tangga mempunyai akses baik fisik maupun ekonomi untuk
memperoleh pangan bagi seluruh anggota keluarganya, dan dimana rumah tangga
tidak beresiko mengalami kehilangan kedua akses tersebut. Hal ini berarti konsep
120
ketahanan pangan mencakup ketersediaan yang memadai, stabilitas dan akses
terhadap pangan-pangan utama. Determinan dari ketahanan pangan dengan
demikian adalah daya beli atau pendapatan yang memadai untuk memenuhi biaya
hidup (FAO, 1996).
Pengertian dan konsep tersebut di atas maka beberapa ahli sepakat bahwa
ketahanan pangan minimal mengandung tiga unsur pokok yaitu ”ketersediaan
pangan, distribusi, dan konsumsi “, dimana unsur distribusi dan konsumsi
merupakan penjabaran dari aksessibilitas masyarakat terhadap pangan”. Salah satu
unsur tersebut tidak dipenuhi maka suatu negara belum dapat dikatakan
mempunyai ketahanan pangan yang baik. Walaupun pangan tersedia cukup di
tingkat nasional dan regional, tetapi jika akses individu untuk memenuhi
kebutuhan pangannya tidak merata, maka ketahanan pangan masih dikatakan
rapuh. Akses terhadap pangan, ketersediaan pangan dan resiko Dewan terhadap
akses dan ketersediaan pangan tersebut merupakan determinan yang esensial
dalam ketahanan pangan.
Tabel 2.1. Perubahan paradigma pemantapan ketahanan panganPendekatan Paradigma lama Paradigma baru
1. Pendekatan Pemantapan ketahanan Pemantapan ketahanan pengembangan pangan pada tatanan pangan rumah tangga
makro/agregat 2. Pendekatan Pola sentralistik Pola desentralistis
manajemen pembangunan
3. Pendekatan utama pembangunan
Dominasi pemerintah Dominasi peran masyarakat
4. Fokus pengembangan komoditas pangan
Bertumpu pada beras Pengembangan komoditas pangan secara keseluruhan
5. Upaya mewujudkan Pengadaan pangan Peningkatan daya beli keterjangkauan rumah tangga atas
murah
pangan Sumber : Dewan Ketahanan Pangan, 2001
Masalah ketahanan pangan pada kenyataannya adalah sangat komplek mulai
dari aspek penyediaan jumlah pangan yang cukup untuk memenuhi permintaan
121
pangan yang meningkat karena pertumbuhan penduduk, perubahan komposisi
penduduk maupun akibat peningkatan penduduk, aspek pemenuhan tuntutan
kualitas dan keanekaragaman bahan pangan untuk mengantisipasi perubahan
preferensi konsumen yang semakin peduli pada masalah kesehatan dan
kebugaran, aspek tentang pendistribusian bahan-bahan pangan pada ruang dan
waktu dan juga aspek keterjangkauan pangan (food accessibility) yaitu
ketersediaan bahan pangan (jumlah, kualitas, ruang dan waktu) harus dapat
dijangkau oleh seluruh masyarakat.
Dampak krisis ekonomi yang berkepanjangan disertai dengan tuntutan
lingkungan strategis baik domestik maupun internasional mendorong adanya
perubahan paradigma pembangunan nasional termasuk pembangunan pertanian.
Perubahan paradigma pembangunan tersebut antara lain tercermin dari
dirumuskannya paradigma baru dalam pemantapan ketahanan pangan. Paradigma
baru pembangunan ketahanan pangan lebih menekanakan pada pemantapan
ketahanan pangan rumah tangga yang didukung dengan daya beli dan
keberdayaan masyarakat. Paradigma baru ketahanan pangan tersebut adalah
sebagaimana Tabel 2.1. Sedangkan kerangka sistem ketahanan pangan secara
umum diuraikan dalam Gambar sebagai berikut :
KERANGKA SISTEM KETAHANAN PANGAN
122
Sistem ketahanan pangan dan gizi secara komprehensif meliputi empat sub-
sistem, yaitu: (i) ketersediaan pangan dalam jumlah dan jenis yang cukup untuk
seluruh penduduk, (ii) distribusi pangan yang lancar dan merata, (iii) konsumsi
pangan setiap individu yang memenuhi kecukupan gizi seimbang, yang
berdampak pada (iv) status gizi masyarakat. Dengan demikian, sistem ketahanan
pangan dan gizi tidak hanya menyangkut soal produksi, distribusi, dan penyediaan
pangan ditingkat makro (nasional dan regional), tetapi juga menyangkut aspek
mikro, yaitu akses pangan di tingkat rumah tangga dan individu serta status gizi
anggota rumah tangga, terutama anak dan ibu hamil dari rumah tangga miskin.
Meskipun secara konseptual pengertian ketahanan pangan meliputi aspek mikro,
namun dalam pelaksanaan sehari-hari masih sering ditekankan pada aspek makro
yaitu ketersediaan pangan. Agar aspek mikro tidak terabaikan, maka dalam
dokumen ini digunakan istilah ketahanan pangan dan gizi.
Konsep ketahanan pangan yang sempit meninjau sistem ketahanan pangan
dari aspek masukan yaitu produksi dan penyediaan pangan. Seperti banyak
diketahui, baik secara nasional maupun global, ketersediaan pangan yang
melimpah melebihi kebutuhan pangan penduduk tidak menjamin bahwa seluruh
penduduk terbebas dari kelaparan dan gizi kurang. Konsep ketahanan pangan
yang luas bertolak pada tujuan akhir dari ketahanan pangan yaitu tingkat
kesejahteraan manusia. Oleh karena itu, sasaran pertama Millenium Development
Goals (MGDs) bukanlah tercapainya produksi atau penyediaan pangan, tetapi
menurunkan kemiskinan dan kelaparan sebagai indikator kesejahteraan
masyarakat. MDGs menggunakan pendekatan dampak bukan masukan.
United Nation Development Programme (UNDP) sebagai lembaga PBB
yang berkompeten memantau pelaksanaan MDGs telah menetapkan dua ukuran
kelaparan, yaitu jumlah konsumsi energi (kalori) rata-rata anggota rumah tangga
di bawah kebutuhan hidup sehat dan proporsi anak balita yang menderita gizi
kurang. Ukuran tersebut menunjukkan bahwa MDGs lebih menekankan dampak
daripada masukan. Oleh karena itu, analisis situasi ketahanan pangan harus
dimulai dari evaluasi status gizi masyarakat diikuti dengan tingkat konsumsi,
123
persediaan dan produksi pangan; bukan sebaliknya. Status gizi masyarakat yang
baik ditunjukkan oleh keadaan tidak adanya masyarakat yang menderita kelaparan
dan gizi kurang. Keadaan ini secara tidak langsung menggambarkan akses pangan
dan pelayanan sosial yang merata dan cukup baik. Sebaliknya, produksi dan
persediaan pangan yang melebihi kebutuhannya, tidak menjamin masyarakat
terbebas dari kelaparan dan gizi kurang.
Tujuan dari ketahanan pangan harus diorentasikan untuk pencapaian
pemenuhan hak atas pangan, peningkatan kualitas sumberdaya manusia, dan
ketahanan pangan nasional. Berjalannya sistem ketahanan pangan tersebut sangat
tergantung pada dari adanya kebijakan dan kinerja sektor ekonomi, sosial dan
politik. Kebijakan pemerintah dalam aspek ekonomi, sosial maupun politik sangat
perpengaruh terhadap ketahanan pangan. Pemerintah
2.2.1. Subsistem Ketersediaan dalam Sistem Ketahanan Pangan
Ketersediaan pangan mengisyaratkan adanya rata-rata pasokan pangan yang
cukup tersedia setiap saat. Stabilitas distribusi pangan didefinisikan sebagai
kemampuan meminimalkan kesenjangan ketersediaan pangan terhadap
permintaan konsumsi pangan, khususnya pada tahun atau musim sulit.
Aspek ketersediaan mencakup tingkat nasional, wilayah dan rumah tangga.
Ketersediaan diharapkan sampai tingkat rumah tangga minimal 2200
kkal/kapita/hari dan protein 57 gram/kapita/hari. Aspek ketersediaan dapat
dipenuhi tidak hanya dari potensi domestik saja tetapi juga dari perdagangan antar
daerah maupun impor dalam perdagangan luar negeri. Namun demikian akan
sangat berbahaya jika suatu wilayah hanya menggantungkan aspek ketersediaan
dari impor. Hal ini dikarenakan perdagangan pangan merupakan residual atas
terpenuhinya kebutuhan domestiknya, sehingga berimplikasi pada pasar pangan
yang cenderung bersifat thin market.
Bahan pangan tersedia dalam jenis yang bermacam-macam baik itu berupa
padi-padian, jagung, kedelai, umbi-umbian, hasil ternak, hasil perikanan dan
lainnya. Beraneka ragam bahan pangan merupakan potensi yang sangat baik bagi
suatu wilayah untuk melakukan diversifikasi pangan. Hal ini dimaksudkan untuk
124
menghindari konsumsi pangan pada satu jenis bahan pangan tertentu saja,
misalnya beras, karena dapat berimplikasi pada rentannya aspek ketersediaan
beras, baik itu berkaitan dengan impor yang meningkat tajam karena tekanan
jumlah penduduk, ataupun berkaitan dengan fluktuatifnya ketersediaan beras/
gabah karena pengaruh musiman dari produksi pertanian.
Dalam aspek ketersediaan yang tidak kalah pentingnya adalah masalah
cadangan pangan. Dalam masalah cadangan pangan yang perlu diperhatikan
adalah pengembangan cadangan pangan untuk mengantisipasi kondisi darurat,
mengatasi berfluktuasinya produksi yang melimpah pada suatu waktu dan
kekurangan pada waktu yang lain, cadangan pangan dalam arti buffer stock juga
menghindari fluktuasi harga yang merugikan, disamping itu pengembangan
cadangan pangan hidup melalui pengembangan pekarangan patut juga
dikembangkan.
2.2.2. Subsistem Distribusi Pangan dalam Sistem Ketahanan Pangan
Subsistem distribusi memegang peranan yang sangat strategis dalam rangka
pemerataan pangan yang dapat diakses sampai tingkat rumah tangga. Distribusi
pangan dibutuhkan diantaranya berkenaan dengan sifat proses produksi pertanian
yang spesifik lokasi sehingga dapat ditemukan wilayah yang merupakan sentra
produksi (surplus produksi) dan daerah yang defisit dalam produksi pangannya.
Distribusi pangan yang lancar perlu didukung adanya infrastruktur
transportasi dan komunikasi yang memadai. Dengan kondisi ini maka fungsi
distribusi akan dapat dijalankan dan dapat mengurangi fluktuasi harga antar
daerah karena tekanan permintaan (excess demand).
Efisiensi distribusi merupakan hal penting yang harus diperhatikan untuk
mempertahankan tingkat harga yang wajar dan masih terjangkau masyarakat.
Efisiensi distribusi dapat di artikan sebagai efisiensi pemasaran karena fungsinya
yang meliputi fungsi fisik yaitu pemindahan barang dari satu empat ke tempat
lain, terkait pula dengan fungsi transfer kepemilikan atas barang yang
diperdagangkan juga berkaitan dengan fungsi fasilitasi yaitu kegiatan yang
memperlancar fungsi fisik dan fungsi transaksi atau transfer.
125
Sistem distribusi yang efisien berarti pula harga di konsumen yang relatif
lebih rendah sehingga diharapkan masih dalam batas yang dapat dijangkau
masyarakat dalam jumlah dan kualitas yang sesuai. Keterjangkauan sendiri dapat
diartikan sebagai kemampuan secara fisik dan ekonomi untuk memperoleh pangan
yang dikaitkan dengan kemampuan berproduksi atau kemampuan membeli
pangan. Harga pangan harus terjangkau oleh daya beli masyarakat.
Dengan demikian faktor yang sangat sensitif mempengaruhi ketahanan dan
keamanan pangan di tingkat rumah tangga adalah daya beli atau keterjangkauan
komoditi pangan. Golongan masyarakat yang sangat rentan terhadap perubahan
ini adalah angkatan kerja yang bekerja pada sector informal dengan kualitas dan
produktivitas tenaga kerja yang masih rendah. Kondisi ini diperparah oleh
terbatasnya jangkauan terhadap penguasaan lahan pertanian dan asset produktif
lainnya. Upaya meningkatkan kinerja ketahanan pangan melalui subsistem
distribusi pangan meliputi tidak hanya aspek fisik dari sarana prasarana
transportasi dan komunikasi, identifikasi daerah surplus dan defisitpangan tetapi
juga atas aspek kelembagaan yang menjalankan fungsi-fungsi distribusi ini
termasuk didalamnya adalah regulasi pemerintah daerah.
2.2.3. Subsistem Konsumsi Pangan dalam Sistem Ketahanan Pangan
Subsistem konsumsi berfungsi dalam pemanfaatan pangan yang memenuhi
kecukupan gizi, keamanan dan halal dalam upaya untuk menjaga kesehatan dan
meningkatkan produktifitas. Subsistem ini memperhatikan baik aspek informasi
kandungan gizi bahan makanan (kecukupan energi dan protein) dan juga pola
pangan yang tentunya akan berdampak pada tingkat kesehatan masyarakat
masyarakat. Faktor lain yang sangat berpengaruh dalam hal ini adalah ibu rumah
tangga yang berperan dalam pola makan keluarga dan pola asuh anak. Infratruktur
kesehatan juga sangat berperan penting disuatu wilayah.
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII pada tahun 2004 merumuskan
bahwa Angka Kecukupan Energi (AKE) rata-rata orang Indonesia pada tingkat
konsumsi sebesar 2.000 Kkal per orang per hari maka Angka Kecukupan Protein
(AKP) sebesar 52 gram per kapita per hari. Sedangkan pada tingkat ketersediaan
126
energi sebesar 2.200 Kkal maka AKP adalah sebesar 57 gram per kapita per hari.
Apabila angka tersebut tidak dapat dicapai oleh suatu rumah tangga, maka rumah
tangga tersebut berpotensi mengalami rawan pangan.
Penilaian terhadap pengembangan pola konsumsi pangan tingkat nasional
dan regional dilaksanakan dengan pendekatan Pola Pangan Harapan (PPH),
menggunakan data Survai Sosial Ekonomi Nasional ( SUSENAS ). Pola Pangan
harapan (PPH) adalah suatu komposisi pangan yang seimbang untuk dikonsumsi
guna memenuhi kebutuhan gizi penduduk. PPH dapat dinyatakan: (1) dalam
bentuk komposisi energi (kalori) anekaragam pangan dan/atau (2) dalam bentuk
komposisi berat (gram atau kg) anekaragam pangan yang memenuhi kebutuhan
gizi penduduk. Pola pangan harapan mencerminkan susunan konsumsi pangan
anjuran untuk hidup sehat, aktif dan produktif.
PPH (desirable dietary pattern), diperkenalkan pertama kali oleh
FAORAPA dalam pertemuan konsultasi FAO-RAPA di Bangkok pada tahun
1989. PPH disarankan untuk digunakan bagi setiap negara dikawasan Asia Pasifik
yang dalam penerapannya perlu diadaptasi sesuai pola konsumsi pangan dan
kebutuhan gizi setempat.
PPH berguna (1) sebagai alat atau instrumen perencanaan konsumsi pangan,
ketersediaan pangan dan produksi pangan; (2) sebagai instrumen evaluasi tingkat
pencapaian konsumsi pangan, penyediaan pangan dan produksi pangan, baik
penyediaan dan konsumsi pangan; (3) dapat pula digunakan sebagai basis
pengukuran diversifikasi dan ketahanan pangan; (4) sebagai pedoman dalam
merumuskan pesan-pesan gizi.
Upaya menjadikan PPH sebagai instrumen dan pendekatan dalam
perencanaan pangan di suatu wilayah atau daerah diperlukan kesepakatan tentang
pola konsumsi energi dan konsumsi pangan anjuran dengan mempertimbangkan
(1) pola konsumsi pangan penduduk saat ini; (2) kebutuhan gizi yang dicerminkan
oleh pola kebutuhan energi (asumsi : dengan makan anekaragam pangan,
kebutuhan akan zat gizi lain akan terpenuhi); (3) mutu gizi makanan yang
dicerminkan oleh kombinasi makanan yang mengandung protein hewani, sayur
dan buah; (4) pertimbangan masalah gizi dan penyakit yang berhubungan dengan
127
gizi; (5) kecenderungan permintaan (daya beli); (6) kemampuan penyediaan
dalam konteks ekonomi dan wilayah.
Mempertimbangkan hal tersebut pada pertemuan yang diselenggarakan oleh
Badan Urusan Ketahanan Pangan, disepakati untuk menyempurnakan komposisi
PPH untuk target perencanaan penyediaan konsumsi pangan untuk dikonsumsi
penduduk pada tingkat nasional seperti disajikan pada Tabel 2.2 PPH 2020
maksudnya PPH yang akan dicapai secara nasional tahun 2015 yang perlu
diterjemahkan pada perencanaan nasional dan daerah secara bertahap tahun demi
tahun dan target demi target.
Tabel 2.2. Susunan Pola Pangan Harapan (PPH) Nasional
Prinsip-prinsip ini diharapkan dijadikan standard dalam perencanaan
penyediaan konsumsi pangan tingkat kabupaten dan kota. Artinya prinsip
perhitungannnya disepakati untuk digunakan bersama, sedangkan komposisinya
akan bervariasi antar daerah sesuai kemampuan dan permasalahannya.
PPH merupakan komposisi atau pola pangan dalam bentuk persentase
konsumsi energi yang dianjurkan (harapan) untuk hidup sehat, tanpa memandang
apakah pangan tersebut berasal dari produksi lokal (dalam negeri) atau
didatangkan dari negara/daerah lain (impor). Oleh karena itu angka-angka yang
disajikan baru sebatas kebutuhan untuk konsumsi manusia atau penduduk. Untuk
perencanaan pangan perlu dipertimbangkan faktor koreksi atau jumlah yang
digunakan untuk ekspor (dibawa kedaerah lain), pakan ternak, kebutuhan industri
128
(bukan untuk makanan penduduk setempat), benih atau bibit, cadangan dan
kehilangan.
2.2.4. Kerawanan Pangan dan Kemiskinan
Secara rinci hubungan ketahananan pangan dengan kemiskinan dapat dilihat
dalam Gambar 1. Kemiskinan dan ketahanan mempunyai peranan yang sanga
erat.
Sumber : Modifikasi dari Martorell 1992
Bank Dunia (2006) menyatakan bahwa perbaikan gizi merupakan suatu
investasi yang sangat menguntungkan. Setidaknya ada tiga alasan suatu negara
perlu melakukan intervensi di bidang gizi. Pertama, perbaikan gizi memiliki
‘economic returns’ yang tinggi; kedua, intervensi gizi terbukti mendorong
pertumbuhan ekonomi; dan ketiga, perbaikan gizi membantu menurunkan tingkat
kemiskinan melalui perbaikan produktivitas kerja, pengurangan hari sakit, dan
pengurangan biaya pengobatan. Pada kondisi gizi buruk, penurunan produktivitas
perorangan diperkirakan lebih dari 10 persen dari potensi pendapatan seumur
hidup; dan secara agregat menyebabkan kehilangan PDB antara 2-3 persen.
129
Konferensi para ekonom di Copenhagen tahun 2005 (Konsensus Kopenhagen)
menyatakan bahwa intervensi gizi menghasilkan keuntungan ekonomi (‘economic
returns’) tinggi dan merupakan salah satu yang terbaik dari 17 alternatif investasi
pembangunan lainnya. Konsensus ini menilai bahwa perbaikan gizi, khususnya
intervensi melalui program suplementasi dan fortifikasi zat gizi mikro
(memperbaiki kekurangan zat besi, vitamin A, yodium, dan seng) memiliki
keuntungan ekonomi yang sama tingginya dengan investasi di bidang liberalisasi
perdagangan, penanggulangan malaria dan HIV, serta air bersih dan sanitasi.
Behman, Alderman dan Hoddinot (2004) dalam Bank Dunia (2006)
mengungkapkan bahwa Rasio Manfaat-Biaya (benefit-cost ratio) berbagai
program gizi, khususnya program suplementasi dan fortifikasi adalah sangat
tinggi, berkisar antara 4 hingga 520.
Dari berbagai faktor penyebab masalah gizi, kemiskinan dinilai memiliki
peranan penting dan bersifat timbal balik, artinya kemiskinan akan menyebabkan
kurang gizi dan individu yang kurang gizi akan berakibat atau melahirkan
kemiskinan. Masalah kurang gizi memperlambat pertumbuhan ekonomi dan
mendorong proses pemiskinan melalui tiga cara. Pertama, kurang gizi secara
langsung menyebabkan hilangnya produktivitas karena kelemahan fisik. Kedua,
kurang gizi secara tidak langsung menurunkan kemampuan fungsi kognitif dan
berakibat pada rendahnya tingkat pendidikan. Ketiga, kurang gizi dapat
menurunkan tingkat ekonomi keluarga karena meningkatnya pengeluaran untuk
berobat. Ketiga hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
Tingkat dan kualitas konsumsi makanan anggota rumah tangga miskin tidak
memenuhi kecukupan gizi sesuai kebutuhan. Dengan asupan makanan yang tidak
mencukupi anggota rumah tangga, termasuk anak balitanya menjadi lebih rentan
terhadap infeksi sehingga sering menderita sakit. Keluarga miskin dicerminkan
oleh profesi/mata pencaharian yang biasanya adalah buruh/pekerja kasar yang
berpendidikan rendah sehingga tingkat pengetahuan pangan dan pola asuh
keluarga juga kurang berkualitas. Keluarga miskin juga ditandai dengan tingkat
kehamilan tinggi karena kurangnya pengetahuan Keluarga Berencana dan adanya
anggapan bahwa anak dapat menjadi tenaga kerja yang memberi tambahan
130
pendapatan keluarga. Namun demikian, banyaknya anak justru mengakibatkan
besarnya beban anggota keluarga dalam sebuah rumah tangga miskin.
Keseluruhan faktor ini dapat menyebabkan gizi kurang pada setiap anggota
rumah tangga miskin yang dapat berakibat pada: (i) menurunnya produktivitas
individu karena kondisi fisik yang buruk serta tingkat kecerdasan dan pendidikan
yang rendah; (ii) tingginya pengeluaran untuk memelihara kesehatan karena
sering sakit. Sebaliknya, kedua hal ini pun menyebabkan kemiskinan pada
individu tersebut.
Adanya hubungan kemiskinan dan gizi kurang sering diartikan bahwa upaya
penanggulangan masalah gizi kurang hanya dapat dilaksanakan dengan efektif
apabila keadaan ekonomi membaik dan kemiskinanan dapat dikurangi. Pendapat
ini tidak seluruhnya benar. Secara empirik sudah dibuktikan bahwa mencegah dan
menanggulangi masalah gizi kurang tidak harus menunggu sampai masalah
kemiskinan dituntaskan. Banyak cara memperbaiki gizi masyarakat dapat
dilakukan justru pada saat masih miskin. Dengan diperbaiki gizinya, produktivitas
masyarakat miskin dapat ditingkatkan sebagai modal untuk memperbaiki
ekonominya dan mengentaskan diri dari lingkaran kemiskinan – gizi kurang –
kemiskinan. Semakin banyak rakyat miskin yang diperbaiki gizinya, akan
semakin berkurang jumlah rakyat miskin. Perlu disadari bahwa investasi
pembangunan di bidang gizi tidak mudah dan tidak cepat, seperti membangun
gedung dan prasarana fisik lainnya. Perbaikan gizi memerlukan konsistensi dan
kesinambungan program dalam jangka pendek dan jangka panjang.
Pada tahun 2006, tingkat kemiskinan penduduk di Indonesia sekitar 17,8
persen atau sekitar 40 juta jiwa. Dari jumlah penduduk miskin tersebut, sekitar 68
persen tinggal di pedesaan, dan umumnya bekerja pada sektor pertanian atau
berbasis pertanian. Data tersebut tidak jauh berbeda dengan data di tingkat Dewan
Ketahanan Pangan Jawa Timur 18 dunia, yaitu setengah dari kelompok miskin ini
adalah petani kecil, dan seperlima dari kaum miskin tersebut adalah para buruh
tani yang tidak mampu memproduksi bahan pangan untuk kebutuhan keluarganya
sendiri. Kelompok miskin inilah yang seharusnya menjadi fokus perhatian dalam
pembangunan di bidang ketahanan pangan dan perbaikan gizi.
131
Banyak intervensi gizi telah dilakukan dengan sasaran utama masyarakat
miskin dan gizi kurang, terutama anak-anak, wanita usia subur (WUS), dan ibu
hamil. Mereka mendapatkan pendidikan dan penyuluhan gizi seimbang, termasuk
pentingnya ASI bagi bayi; penyuluhan tentang pengasuhan bayi dan kebersihan;
dan layanan penimbangan berat badan bayi dan anak secara teratur setiap bulan di
Posyandu. Di samping itu juga mendapatkan suplemen berupa: zat besi untuk ibu
hamil, vitamin A untuk anak balita dan ibu nifas, MP-ASI untuk anak 6 - 24
bulan, dan makanan untuk ibu hamil yang kurus. Secara terintegrasi intervensi
gizi tersebut ditunjang dengan pelayanan kesehatan dasar seperti imunisasi,
pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, serta pelayanan kesehatan
lainnya di Puskesmas.
Apabila dipadukan dengan upaya-upaya penanggulangan kemiskinan yang
dapat meningkatkan ketahanan pangan rumah tangga, intervensi gizi untuk orang
miskin akan mempunyai daya ungkit yang besar dalam meningkatkan kesehatan,
kecerdasan, dan produktivitas. Upaya tersebut dapat meningkatkan akses rumah
132
tangga miskin kepada pangan yang bergizi seimbang, pendidikan terutama
pendidikan perempuan, air bersih, dan sarana kebersihan lingkungan. Untuk
mengantisipasi terjadinya fluktuasi ketahanan pangan rumah tangga yang
berpotensi menimbulkan kerawanan pangan, dilakukan pemantauan terus menerus
terhadap situasi pangan masyarakat dan rumah tangga, serta perkembangan
penyakit dan status gizi anak dan ibu hamil yang dikenal sebagai Sistem
Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG).
III. KERAGAAN KETAHANAN PANGAN JAWA TIMUR
3.1. Ketersediaan Pangan
Ditinjau dari ketersediaan pangan per kapita pe hari dengan ukuran 2200
kcal/kapita/ per hari dengan data tahun 2002 secara agregat hampir diseseluruh
kabupaten sudah melebihi standard yang dianjurkan. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa ketersediaan pangan di Jawa Timur tidak menghadapi
permasalahan serius.
133
Ditinjau dari kinerja untuk masing-masing komoditas pangan di Jawa Timur
sebgaimana diuraikan sebagai berikut :
a. Produksi pangan
Ketersediaan pangan merupakan salah satu indikator ketahanan pangan
suatu wilayah. Jawa timur merupakan salah satu propinsi yang berperan sangat
vital dalam menjaga ketersediaan pangan nasional.
Tabel 1. Luas panen komoditas pangan Jawa Timur
Tabel 2. Produktifitas komoditas pangan Jawa Timur
134
Tabel 3. Produksi komoditas pangan Jawa Timur
Berdasarkan analisis 10 propinsi dengan luas panen padi terbesar di
Indonesia menunjukkan bahwa Jawa Timur adalah terbesar kedua setelah Jawa
Barat dengan luas areal panen padi sebesar 1,69 juta ha.
Gambar 3. Sembilan propinsi dengan luas panen padi terbesar di Indonesia, 2005
Luas areal panen yang dimiliki Jawa Timur juga ditunjang dengan
produktifita yang relatif masih tinggi yaitu 5,3 ton per ha. Namun demikian,
produktifitas ini masih lebih rendah dibanding dengan produktifitas padi yang
dihasilkan oleh propinsi Bali yaitu 5,48 ton per ha.
Produktifitas selain dipengaruhi oleh perbaikan teknik budidaya berkenaan
dengan kemampuan mengalokasikan input secara optimal juga ada faktor
135
manajemen produksi yang berpengaruh baik itu menekan kehilangan hasil pasca
panen, handling produk (misalnya penyimpanan) maupun dalam aspek pengaturan
tata guna air.
Gambar 4. Sembilan propinsi dengan produktifitas terbesar, 2005
Produksi padi secara nasional masih didominasi dari Jawa barat, Jawa Timur
dan Jawa tengah masing-masing sebesar 9,33 juta ton, 8,38 juta ton, dan 9 juta
ton. Dengan posisi Jawa Timur yang sangat penting dalam suplai pangan nasional
ini maka jawa Timur perlu mengambil langkah-langkah penyelamatan
sumberdaya pertanian dalam rangka menjaga keberlanjutan ketersediaan pangan
daerah dan nasional serta memberikan arahan yang jelas dalam pembangunan
sistem pangan sehingga memiliki dampak yang lebih luas
(multiplier effect).
Ketergantungan pada satu jenis pangan akan sangat berbahaya bagi
ketahanan pangan dalam jangka panjang. Sehingga diversifikasi pangan perlu
mendapatkan perhatian dalam pembangunan pangan. Selain bahan pangan dari
padi/ beras, Jawa Timur juga memiliki potensi yang besar dalam pangan utama
lainnya seperti jagung, ubikayu, dan jenis bahan pangan lainnya, termasuk juga
potensi yang besar dalam tanaman hortikultura.
136
Gambar 5. Sembilan propinsi dengan produksi padi terbesar, 2005
Gambar 6. Sembilan propinsi dengan luas panen jagung terbesar, 2005
Berdasarkan produktifitas komoditas jagung di Jawa Timur adalah tebesar
keempat setelah Jawa Barat, Sumatera Barat dan Jawa Tengah. Hal ini tentunya
menjadi bahan pemikiran untuk meningkatkan kemampuan produksi jagung di
Jawa Timur. Dengan luas panen jagung terbesar di Indonesia maka perbaikan
sistem produksi jagung yang berimplikasi pada perbaikan produktifitas di Jawa
137
Timur akan memberikan dampak yang ebsar pada peningkatan produksi jagung di
Jawa Timur.
Dalam rangka diversifikasi pangan akan sangat baik bila pangan lokal
dikembangkan kembali dan diupayakan dibangkitkan dari potensi lokal sehingga
mengurangi ketergantungan pada beras. Fortifikasi pangan atas pangan lokal
dapat dikenalkan teknologinya sehingga masyarakat dapat mengakses peluang
usaha produktif baru dan dapat dikembangkan sebagai sumber income keluarga
(agroindustri pedesaan). Namun yang perlu diingat adalah bahwa kegiatan
produksi ini harus bersifat market driven dan mendasarkan pada preferensi
konsumen.
Gambar 6. Sembilan propinsi dengan produktifitas jagung terbesar ,2005
Di uraian sebelumnya bahwa potensi produksi jagung di Jawa Timur adalah
sangat besar bahkan dari sisi areal panen adalah tertinggi di Indonesia. Secara
jelas dari 10 propinsi dengan produksi terbesar di Indonesia dapat di sajikan
dalam gambar grafik berikut.
138
Gambar 7. Sembilan propinsi dengan produksi jagung terbesar, 2005
Potensi komoditas non-pangan yang diusahakan petani di Jawa Timur
menunjukkan kinerja yang relatif tinggi pula. Hal ini menunjukkan potensi
pertanian di jawa Timur yang sangat besar dan merupakan sumber income bagi
sebagian besar masyarakat di jawa Timur. Dengan demikian dukungan
penyediaan infrastruktur pertanian dan kewilayahana untuk memperlancar sistem
distribusi dan pemasaran hasil pertanian akan sangat membantu meningkatkan
income petani.
Jawa Timur mempunyai peran yang sangat besar terhadap penyediaan
pangan nasional. Diperkirakan jawa Timur merupakan propinsi yang secara nyata
menyumbang pangan nasional 20-30 persen kebutuhan aneka ragam pangan
nasional. Ditinjau dari penggunaan sumberdaya dalam rangka produksi pertanian
telah melebihi dari kebutuhan domestik masyarakat Jawa Timur. Surplus pangan
utama baik itu padi maupun jagung merupakan potensi perdagangan bagi Jawa
Timur.
139
Tabel 1. Peran Jawa Timur dalam Ketersediaan Pangan Nasional
Tabel 2. Potensi produksi dan konsumsi tanaman pangan di Jawa Timur
Sumber : Dinas Pertanian Propinsi Jawa Timur, Tahun 2004
140
b. Kemandirian Pangan Jawa Timur
Kebutuhan pangan di Jawa Timur memang hampir dapat dipenuhi semua
dari potensi domestik, kecuali untuk komoditas kedelai yang masih mengalami
defisit sebesar 110.648 ton. Sedangkan untuk beras, jagung, kacang maupun ubi
mengalami surplus. Surplus pangan di jawa Timur selain didukung sumberdaya
alam yang sesuai, juga potensi sumberdaya manusia dan adanya dukungan
infrastruktur ekonomi yang lebih baik. Kemandirian pangan di Jawa Timur dari
sisi ketersediaan ini dapat diketahui lebih rinci dari tabel berikut ini.
Selain mempertimbangkan ketersediaan dan konsumsi komoditi pangan
utama yaitu beras, jagung, kedelai, kacang-kacangan dan umbi-umbian, Jawa
Timur juga merupakan sumber bahan pangan lainnya yang bersumber dari ternak
dan ikan yaitu beberapa jenis bahan makanan lainnya seperti daging, telur, susu
dan ikan.
Tabel 3. Perkembangan Ketersediaan dan Konsumsi Bahan Pangan di Jawa Timur tahun 2004
Sumber : Badan ketahanan Pangan jawa Timur, 2005
Potensi produksi jenis komoditas ini (bersumber dari ternak dan ikan) relatif
lebih besar dibandignkan kebutuhan konsumsinya sehingga dapat menciptakan
surplus bahan pangan tersebut. Potensi produksi yang relatif besar tersebut perlu
mendapatkan perhatiian sehingga dapat memiliki daya saing yang lebih baik.
Secara lebih lengkap hal ini disajikan dalam tabel berikut ini.
141
Tabel 4. Perkembangan Ketersediaan dan Konsumsi Bahan Pangan di Jawa Timur tahun 2004
3.2. Distribusi pangan
a. Sarana dan Prasarana
Perkembangan infrastruktur dengan pembangunan ekonomi mempunyai
hubungan yang sangat erat dan saling ketergantungan satu sam lain. Perbaikan
infrastruktur pada umumnya akan dapat meningkatkan mobilitas penduduk,
terciptanya penurunan ongkos pengiriman barang-barang, terdapat pengangkutan
barang-barang dengan kecepatan yang lebih tinggi, dan perbaikan dalam kualitas
dari jasa-jasa pengangkutan tersebut.
Secara lebih rinci, peranan penyediaan infrastruktur terhadap pembangunan
ekonomi adalah :
a. Mempercepat dan menyediakan barang-barang yang dibutuhkan; tersedianya
infrastruktur akan memungkinkan tersedianya barang-barang kebutuhan
masyarakat dengan biaya yang lebih murah
b. Infrastruktur yang baik dapat memperlancar transportasi yang pada gilirannya
merangsang adanya stabilisasi dan mengurangi disparitas harga antar daerah
(pengamanan harga); dengan adanya kemudahan transportasi maka barang-
barang dapat dialirkan ke tempat-tempat yang kekurangan (defisit) akan suatu
barang sehingga akan tercapai kestabilan harga.
c. Infrastruktur yang memperlancar transportasi berfungsi meningkatkan nilai
tambah barang dan jasa, banyak daerah yang letaknya jauh dari pasar dan
ongkos yang mahal; tersedianya transportasi yang baik dan murah
memungkinkan hasil produksi daerah tersebut dapat diangkut dan dijual ke
pasar, atau dengan kata lain dapat menjangkau konsumen.
142
d. Infrastruktur yang memperlancar transportasi turut mempengaruhi
terbentuknya harga yang efisien; transportasi yang baik dan murah akan
menurunkan biaya transaksi.
e. Infrastruktur yang memperlancar transportasi dapat menimbulkan spesialisasi
antar daerah; transportasi murah dengan mudah akan mendorong pembagian
kerja dan spesialisasi secara geografis.
Pengembangan distribusi pangan dilakukan dengan perbaikan sistem
distribusi menjadi lebih efesien dan efektif dan dapat meningkatkan kelancaran
arus barang dan jasa antar wilayah. Perbaikan sistem distribusi juga diharapkan
dapat mendorong tersedianya barang dan jasa dipasar dengan harga yang layak
bagi produsen dan terjangkau oleh daya beli rakyat banyak dengan kata lain dapat
membantu meningkatkan kesejahteraan rakyat baik sebagai produsen maupun
konsumen akhir, disamping juga dapat ditekan serendah mungkin adanya
perbedaan harga yang disebabkan oleh adanya perbedaan waktu dan daerah
(untuk melindungi kepentingan produsen dan konsumen).
Berdasarkan data dari Dinas Bina Marga Propinsi Jawa Timur status Jalan
Nasional pada Tahun 2000 dengan panjang 1.783,56 Km naik menjadi 1.899,21
Km pada Tahun 2003. Jalan Propinsi tahun 2000 1.948, 25 Km turun menjadi
1.439,18 Km. Jalan Kabupaten 21.887 Km, Jalan Kota 931,44 Km dan Jalan Tol
63,73 Km panjangnya tetap.
Kondisi jalan aspal sepanjang 25,92 Km pada tahun 2000 yang mengalami
peningkatan pada tahun 2001 menjadi 117,37 Km. Jika jalan aspal mengalami
peningkatan maka jalan hotmix pada tahun 2001 justru mengalami penurunan
menjadi 1.321,81 Km padahal pada tahun 2000 sepanjang 1.922,33 Km.
Sedangkan jumlah jembatan yang ada di Jawa Timur pada tahun 2002 mengalami
penurunan sekitar 15% dari tahun 2001 dan berkurangnya jumlah jembatan
tersebut diikuti dengan berkurangnya panjang jembatan dimana pada tahun 2001
adalah 13.109,90 M menjadi 10.546,95 M kemungkinan ini disebabkan oleh
adanya beberapa jembatan yang roboh karena terkena banjir.
143
Tabel 6. Sarana Infrastruktur Perhubungan di Jawa Timur
Sumber : Dinas Binamarga dan Dinas Pengairan Propinsi Jatim, tahun 2004
Selanjutnya, dengan semakin lancarnya pengadaan bahan baku dan
penolong akan menjamin kelangsungan produksi, dan meluasnya pasar dalam
negeri akan mendorong lebih lanjut kegiatan di bidang produksi. Adanya
distribusi yang baik, komoditi yang dikendalikan semakin berkurangnya,
kegoncangan harga yang semakin jarang, kebutuhan yang semakin terjamin, serta
tercapainya kemampuan lembaga yang lebih dinamis.
Sedangkan kondisi akses jalan untuk desa dengan ukuran persentase desa
yang tidak bisa dilalui kendaraan roda empat disajikan dalam gambar sebagai
berikut:
144
b. Kelembagaan Pengendalian Harga Gabah dan Pangan Lainnya
Ditingkat Petani
Salah satu kebijakan Pemerintah Propinsi Jawa Timur, untuk menjaga dan
mengendalikan harga gabah dan bahan pangan lain yang layak dan tidak
berfluktuasi secara tajam terutama pada saat terjadi panen raya, maka
dilaksanakan kegiatan strategis pembelian gabah/bahan pangan lainnya.
Disamping itu, tujuan lainnya dari kegiatan strategis ini yaitu meningkatkan
kesinambungan penyediaan pangan, meningkatkan efektifitas dan efisiensi
distribusi pangan antar daerah dan antar waktu; serta mengembangkan
kelembagaan pangan di pedesaan. Sampai dengan tahun 2006, APBD Propinsi
yang dialokasikan untuk membiayai kegiatan strategis ini sebesar Rp.
44.600.000.000,- dan dimanfaatkan oleh 168 lembaga pembeli gabah yang
berlokasi di 24 kabupaten. Disamping itu, dialokasikan pula dana dekonsentrasi
APBN berupa Dana Penguatan Modal untuk Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan
145
(DPM - LUEP) sebesar Rp. 54.450.000.000,-, yang dimanfaatkan oleh 187
lembaga pembeli gabah yang berlokasi di 24 kabupaten.
Realisasi pembelian gabah dan bahan pangan lainnya sampai dengan 20
Nopember 2006 yang difasilitasi APBD Propinsi mencapai sebesar Rp.
412.678.032.417,- atau mencapai 9,25 kali putaran dengan rincian pembelian sbb:
- Gabah : 174.892,377 ton Senilai Rp. 337.072.559.915,-
- Beras : 21.083,462 ton Senilai Rp. 66.745.970.321,-
- Jagung : 5.949,702 ton Senilai Rp. 8.255.956.881,-
- Kedele : 208,735 ton Senilai Rp. 603.545.300,-
Realisasi pembelian gabah/beras yang difasilitasi APBN mencapai sebesar
Rp.558.013.343.897,- atau mencapai 10,25 kali putaran dengan rincian pembelian
adalah
Berdasarkan tabel diatas menggambarkan bahwa sebagian besar petani telah
melakukan tunda jual dimana dari hasil panennya tidak seluruhnya langsung
dijual namun gabahnya dikeringkan terlebih dahulu dan disimpan, selanjutnya
pada suatu saat dijual. Namun demikian, masih sangat sedikit petani produsen
yang memproses sendiri gabahnya menjadi beras. Kegiatan strategis pembelian
gabah dan bahan pangan lain pada tahun 2006 ini merupakan kelanjutan dan
penyempurnaan dari pelaksanaan kegiatan tahun sebelumnya. Dengan demikian
secara analisa makro , kegiatan strategis ini telah memberikan dampak positif baik
dilihat dari sisi ekonomi maupun sosial.
a. Dampak Ekonomi
146
· Memberikan sentimen positif pasar, sehingga harga tidak dipermainkan oleh
para tengkulak, dan petani mendapatkan harga jual gabahnya secara layak
sesuai dengan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) dan tunai.
· Memberdayakan (mengembangkan kemampuan) lembaga sosial ekonomi
pedesaan dengan penambahan modal dari keuntungan pembelian gabah
b. Dampak Sosial.
· Mengembalikan kepercayaan petani terhadap lembaga perekonomian
pedesaan (KUD/Koptan/RMU)
· Meningkatkan pemberdayaan kelembagaan pedesaan khususnya kelompok
tani.
· Menumbuhkembangkan kepercayaan dan kegairahan petani dalam berusaha
tani padi.
Menumbuhkembangkan kerjasama saling menguntungkan antara lembaga
perekonomian desa dengan kelompok tani.
Perkembangan harga bahan pangan pokok di Jawa Timur sebagaimana
dalam tabel di bawah ini menunjukkan bahwa koefisien variasi yang tinggi
ditunjukkan untuk komoditas hortikultura seperti cabai rawit, cabai merah dan
juga bawang merah. Variasi harga antar waktu ini juga sangat dipengaruhi oleh
pola tanam petani yang tidak mendasarkan pada perwilayahan komoditas dan
pengaturan sistem produksi pertanian. Elastisitas demand yang rendah dari produk
pertanian menyebabkan ekses suplai cenderung sulit terserap oleh pasar dan
menekan harga lebih besar pada keseimbangan pasar.
147
Tabel 4. Perkembangan Harga Pangan Pokok dan Strategis di Jawa Timur
Sumber : Badan Ketahanan Pangan Jawa Timur, 2005
c. Pengembangan sistem Tuda Jual
Disamping itu telah dilaksanakan pula model pengembangan sistim tunda
jual yang dikembangkan secara berkelompok, merupakan salah satu model
peragaan dalam penerapan waktu dan strategi pemasaran, yang didukung dengan
peningkatan kualitas melalui pengolahan dan penyimpanan produksi sehingga : a)
posisi tawar petani meningkat, b) kualitas produksi dan nilai jual komoditas petani
meningkat c) stok pangan untuk kebutuhan kelompok dan keluarga meningkat dan
tetap tersedia sepanjang waktu. Pengembangan sistem tunda jual dilaksanakan
melalui tahapan kegiatan meliputi : identifikasi kelompok, penandatanganan
kontrak pinjaman, pemberian pinjaman modal, embinaan, dan pemantauan. Upaya
pemberdayaan kelompok sistim tunda jual yang dimulai sejak tahun 2002-2006
sebanyak 51 kelompok.
3.3. Konsumsi, Status Gizi dan Keamanan Pangan
Salah satu paradigma baru pembangunan pangan setelah diberlakukannya
Undang-Undang otonomi daerah adalah perencanaan penyediaan pangan yang
semula sentralistik dan lebih dominan pada pertumbuhan ekonomi menjadi
desentralistik dengan pertimbangan yang lebih komprehensif, sehingga tujuan-
148
tujuan pemantapan Ketahanan pangan dan perbaikan gizi masyarakat lebih
terakomodasi. Untuk itu sangat diperlukan pemahaman dan penyediaan data
Neraca Bahan Makanan (NBM) dan Pola Pangan Harapan (PPH) di masing-
masing daerah.
Penyusunan NBM dan PPH Jawa Timur sudah dilaksanakan sejak tahun
1984 sampai sekarang, dimana dari hasil analisis NBM dan PPH ini menjadi
bahan pertimbangan dalam perencanaan pangan dan gizi di tingkat wilayah.
Tabel 5. Ketersediaan dan Konsumsi Pangan Strategis di Propinsi Jawa Timurtahun 2005 dan 2006.
Konsumsi energi penduduk Jawa Timur mencapai sebesar 1900 kkal/kap/hr
atau mencapai 95,0 % dari anjuran Angka Kecukupan Energi (AKE) berdasarkan
Widyakarya Pangan dan Gizi VIII tahun 2005 sebesar 2000 kkal/kap/hr.
Konsumsi energi tahun 2005 sebesar 1900 kkal/kap/hr atau 95,0 % dari AKE
lebih tinggi dari dari konsumsi energi tahun sebelumnya sebesar 1889 kkal/kap/hr
atau 85,9 % dari AKE. Konsumsi energi penduduk didukung oleh konsumsi
energi penduduk perkotaan dan pedesaan sebesar 11902 kkal/kap/hr dan 1901
kkal/kap/hr. Konsumsi energi penduduk perkotaan sebesar 1902 kkal/kap/hr
149
meningkat dari tahun sebelumnya sebesar 1889 kkal/kap/hr, kecenderungan yang
sama terjadi pada konsumsi energi penduduk pedesaan sebesar 1901 kkal/kap/hr
meningkat dari tahun sebelumnya sebesar 1893 kkal/kap/hr. Nampak bahwa
konsumsi energi penduduk perkotaan relatif sama dengan konsumsi energi
penduduk pedesaan.
Tabel 6 : Rata-rata Konsumsi Energi Penduduk tahun 2002 dan 2005.
Sumber data : Angka Susenas 2002 dan 2005 Jawa Timur, BPS (diolah BKP Prop.Jatim,2006)
Keterangan : Angka Kecukupan Energi (AKE) rata-rata tahun 2002 = 2200 Kkal/Kap/Hari
Angka Kecukupan Energi (AKE) rata-rata tahun 2005 = 2000
Kkal/Kap/Hari Ditinjau dari Tingkat Konsumsi Energi (TKE) yang mengacu pada
standar yang ditetapkan Departemen Kesehatan tahun 2006, ternyata konsumsi
energi penduduk Jawa Timur tahun 2005 mencapai sebesar 95,0 % yang berarti
tergolong normal karena berada pada kategori Tingkat Konsumsi Energi (TKE)
90-119%.
Sedangkan konsumsi protein penduduk Jawa Timur mencapai sebesar 62,30
gr/kap/hr atau meningkat sebesar 2,20 gr/kap/hr atau 3,66 % dari konsumsi
protein tahun sebelumnya sebesar 60,10 gr/kap/hr. Konsumsi protein tersebut
ternyata melampaui 10,30 gr/kap/hr (19,61% ) dari angka kecukupan protein yang
dianjurkan 52 gr/kap/ hr. Konsumsi protein tersebut didukung dengan peningkatan
konsumsi protein penduduk pedesaan yang cukup besar dari konsumsi protein
penduduk pedesaan tahun sebelumnya. Konsumsi protein penduduk perkotaan
dan pedesaan mencapai sebesar 60.70 gr/kap./hr dan 64,5 gr/kap./hr.
150
Tabel 4. Rata-rata Konsumsi Protein Perkapita Perhari dan Skor PPH Jawa Timur tahun 2002 dan 2005.
Sumber: Angka Susenas 2002 dan 2005 Jawa Timur, BPS (diolah BKP Prop.Jatim, 2006)
Keterangan: (….)% dari anjuran WKNPG VII tahun 2002, 50 Gram/Kap/Hari (….)% dari anjuran WKNPG VIII tahun 2005, 52 Gram/Kap/Hari
Konsumsi protein penduduk perkotaan sebesar 60,7 gram/kap/hr menurun
sebesar 6,7 gram/kap/hr atau 9,95 % dari tahun sebelumnya sebesar 67,4
gram/kap/hr. Sedangkan, konsumsi protein penduduk pedesaan sebesar 64,5
gram/kap/hr meningkat 6,3 gram/kap/hr atau 10,82 % dari tahun sebelumnya
sebesar 58,20 gram/kap/hr. Peningkatan konsumsi protein penduduk pedesaan
dikarenakan adanya peningkatan konsumsi pangan hewani berupa : ikan, daging
ruminansia, telur dan susu. Oleh karena itu, upaya percepatan gerakan
penganekaragaman diarahkan di daerah perkotaan yang difokuskan pada
keanekaragaman konsumsi pangan nabati non beras/tepung terigu beruapa umbi-
umbian, sayur dan buah, kacang-kacangan, serta konsumsi pangan hewani yang
berigizi dan berimbang.
Tingkat dan kualitas konsumsi pangan semakin baik dibandingkan dengan
tahun sebelumnya. Hal ini ditunjukkan oleh keragaman konsumsi pangan
penduduk dengan skor PPH 77,8 lebih tinggi dibandingkan dengan Skor PPH
tahun sebelumnya sebesar 71,0. Meskipun kesadaran dan kepedulian masyarakat
terhadap kualitas konsumsi pangan semakin meningkat, namun masih terdapat
asupan gizi dari beberapa kelompok bahan makanan berada dibawah rekomendasi
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Hampir semua kelompok pangan
dikonsumsi dalam jumlah yang belum memadai, kecuali kelompok padi-padian.
Sumbangan energi kelompok padi-padian terhadap Angka Kecukupan Gizi
151
(AKG) pada tahun 2005 cukup besar mencapai 57,9 %, sedangkan proporsi
idealnya sebesar 50 %. Sumbangan energi kelompok pangan yang masih jauh dari
proporsi idealnya adalah : kelompok pangan hewani, kelompok sayur dan buah,
serta kelompok umbi-umbian. Hal ini menggambarkan bahwa pola konsumsi
pangan penduduk Jawa Timur belum memenuhi kaidah kecukupan gizi yang
dianjurkan dan konsep pangan yang beragam, bergizi dan berimbang.
Tabel 5. Rata-rata Konsumsi Pangan Tingkat Rumah Tangga Tahun 2002 dan Tahun 2005
Sumber: Angka Susenas 2002 dan 2005 Jawa Timur, BPS (diolah BKP Prop.Jatim, 2006)
Keterangan: *) Angka Kecukupan Energi (AKE) = 2200 Kkal/Kap/Hari**) Angka Kecukupan Energi (AKE) = 2000 Kkal/Kap/Hari
Konsumsi pangan kelompok padi-padian didominasi oleh beras, dan
ternyata konsumsi beras masih cukup tinggi yaitu sebesar 94,35 kg/kap/thn (data
diolah dari Susenas 2005) meningkat sebesar 0,89 kg/kap/thn dibandingkan
dengan konsumsi beras tahun sebelumnya sebesar 93,46 kg/kap/thn (data diolah
dari Susenas 2002). Demikian pula, konsumsi terigu masih cukup tinggi mencapai
sebesar 8,43 kg/kap/thn meningkat sebesar 1,60 kg/kap/thn dibandingkan dengan
konsumsi terigu tahun sebelumnya sebesar 6,83 kg/kap/thn. Peningkatan
konsumsi beras dan terigu nampaknya mempengaruhi konsumsi tepung umbi-
umbian. Konsumsi umbi-umbian hanya mencapai sebesar 19,52 kg/kap/thn
menurun sebesar 5,70 kg/kap/thn dibandingkan Dewan Ketahanan Pangan Jawa
152
Timur 40 dengan konsumsi tahun sebelumnya sebesar 25,22 kg/kap/thn. Hal ini
merupakan tantangan yang harus menjadi fokus penanganan secara sistematis dan
berkesinambungan dalam upaya percepatan penganekaragaman pangan di Jawa
Timur . Karena selain dari beras, sebenarnya sumber karbohidrat dapat diperoleh
dari berbagai bahan pangan pokok lainnya yaitu serealia selain beras (jagung,
sorghum), umbi-umbian (singkong/ubi kayu, ubi jalar, kentang, bentul, talas, uwi,
garut, ganyong dan sebagainya), buah-buahan (sukun, pisang).
Tabel 6 : Konsumsi Pangan Penduduk Jawa Timur Menurut Kelompok Pangan
153
Sumber : Angka Susenas 2002 dan 2005 Jawa Timur
Berdasarkan data yang diolah dari Susenas 2005, bahwa peningkatan konsumsi beras secara total sebesar 94,35 kg/kap/thn dari tahun sebelumnya sebesar 93,46 kg/kap/thn, disebabkan karena peningkatan konsumsi padi-padian (beras ketan, tepung beras, lainnya padi-padian), serta makanan dan minuman jadi (kue basah, nasi campur/rames, nasi goreng, nasi putih dan lontong sayur). Konsumsi padi-padian sebesar 0.79 kg/kap/thn meningkat dari tahun sebelumnya sebesar 0,63 kg/kap/thn. Konsumsi makanan dan minuman jadi sebesar 6,51 kg/kap/thn meningkat dari tahun sebelumnya sebesar 5,28 kg/kap/thn. Sedangkan konsumsi beras secara langsung (tanpa melaui proses olahan) ternyata masih cukup tinggi yaitu sebesar 86,97 kg/kap./thn, namun menurun dari tahun sebelumnya sebesar 87,44 kg/kap./th.
Tabel 7. Konsumsi Beras Penduduk Jawa Timur berdasarkan jenis pangan tahun 2002 dan 2005 (sesuai pengelompokan dalam Susenas)
Keterangan : *) Pengelompokan Pangan Berdasarkan SUSENAS.
Salah satu kelompok masyarakat yang sangat sensitif terhadap
masalahketahanan pangan adalah balita. Gizi kurang pada balita dapat dilihat
berdasarkan berat badan dan tinggi badan menurut umur. Situasi kemanan pangan
yang tedeteksi selama dua tahun terakhir menunjukkan masih banyak dijumpai
kejadian atau kasus ketidakamanan pangan. berbagai kasus gangguan kesehatan
154
manusia akibat konsumsi pangan yang tidak aman oleh pencemaran kimia,
biologis yaitu berbagai mikroba termasuk yang membawa penyakit, serta cemaran
fisik telah terjadi di beberapa daerah.
Kasus-kasus pangan hewani yang terkena wabah penyakit antraks, penyakit
flu burung, beredarnya bahan makanan dan minuman olahan tanpa izin beredar
dan melanggar ketentuan batas kadaluarsa, serta penggunaan bahan tambahan
pangan terlarang yang dapat membahayakan kesehatan, atau bahkan dapat
meyebabkan kematian perlu mendapatkan perhatian serius dalam penanganan ke
depan.
3.5. Kemiskinan dan Tingkat Kerawanan Pangan
Kerawanan pangan adalah suatu kondisi ketidakcukupan pangan yang
dialami daerah, masyarakat atau rumah tangga pada waktu tertentu untuk
memenuhi standart kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan
masyarakat. Kerawanan pangan dapat terjadi secara berulang-ulang pada waktu-
waktu tertentu (kronis), dan dapat pula terjadi akibat keadaan darurat seperti
bencana alam maupun bencana sosial (transien).
Kondisi kerawanan pangan dapat disebabkan karena : tidak adanya akses
secara ekonomi bagi individu/ rumah tangga untuk memperoleh pangan yang
cukup, tidak adanya akses secara fisik bagi individu/ rumah tangga untuk
memperoleh pangan yang cukup, tidak tercukupinya pangan untuk kehidupan
produktif individu/ rumah tangga, tidak terpenuhi pangan secara cukup dalam
jumlah, mutu, ragam, keamanan serta keterjangkauan harganya.
Kerawanan pangan dan kelaparan berpeluang besar terjadi pada petani skala
kecil, nelayan, dan masyarakat sekitar hutan yang menggantungkan hidupnya
pada sumberdaya alam yang miskin dan terdegradasi. Kerawanan pangan sangat
dipengaruhi oleh daya beli masyarakat yang ditentukan tingkat pendapatannya.
Rendahnya tingkat pendapatan memperburuk konsumsi energi dan protein.
155
Tingkat kesejahteraan rumah tangga dapat digunakan sebagai salah satu
indikator aksesabilitas rumah tangga terhadap pangan. Hal ini juga berkorelasi
dengan kemampuan dan daya beli rumah tangga itu sendiri. Oleh karena itu,
penciptaan lapangan pekerjaan perlu dikembangkan agar masyarakat mampu
meningkatkan pendapatannya. Selain itu, walaupun daya beli rumah tangga
mencukupi, apabila terdapat kelangkaaan pangan akibat distribusi yang tidak
lancar maka akses rumah tangga secara fisik akan terganggu bahkan menjadi lebih
buruk.
Indikator yang sangat dekat menggambarkan daya beli masyarakat adalah
berkenaan dengan kemiskinan masyarakat Jawa Timur. Tingkat kemiskinan di
Jawa Timur masih berkisar sebesar 20 persen. Namun demikian walaupun ada
perubahan yang kecil nampaknya ada trend mengalami penurunan dari tahun
ketahun, dimana pada tahun 2001 mencapai 20.39 persen, namun pada tahun 2004
turun menjadi 19.34 persen.
156
Tabel 8. Persentase Kemiskinan di Jawa Timur 2001 - 2004
Ketersediaan pangan secara makro tidak sepenuhnya menjamin ketersediaan
pada tingkat mikro. Masalah produksi yang hanya terjadi di wilayah tertentu dan
pada waktu-waktu tertentu mengakibatkan konsentrasi ketersediaan di sentra-
sentra produksi dan pada masa-masa panen. Pola konsumsi yang relatif sama
antar-individu, antar- waktu, dan antar-daerah mengakibatkan adanya masa-masa
defisit dan lokasi-lokasi defisit pangan. Dengan demikian, mekanisme pasar dan
distrubusi antar lokasi serta antar waktu dengan
mengandalkan ’stok’ akan berpengaruh pada keseimbangan antara
ketersediaan dan konsumsi yang berpengaruh pada harga yang terjadi di pasar.
Faktor keseimbangan yang tereflekasi pada harga sangat berkaitan dengan daya
beli rumah tangga terhadap pangan. Dengan demikian, meskipun komoditas
pangan tersedia di pasar namun apabila harga terlalu tinggi dan tidak terjangkau
daya beli rumah tangga, maka rumah tangga tidak akan dapat mengakses pangan
yang tersedia. Kondisi seperti ini dapat menyebabkan kerawanan pangan.
Penduduk rawan pangan didefinisikan sebagai mereka yang rata-rata tingkat
konsumsi energinya antara 71–89 persen dari norma kecukupan energi.
Sedangkan penduduk sangat rawan pangan hanya mengkonsumsi energi kurang
dari 70 persen dari kecukupan energi. Dengan menggunakan kriteria tersebut pada
tahun 2005 terdapat sekitar 25 persen dari penduduk perkotaan yang rawan
pangan dan sebesar 37,0 persen dari penduduk perdesaan yang mengalami rawan
pangan. Di samping itu masih terdapat sekitar 2-4 persen rumah tangga yang
sangat rawan pangan atau kelaparan. Mereka adalah rumah tangga miskin yang
tingkat pengeluarannya tidak lebih dari Rp 150 ribu per bulan.
Kondisi rumah tangga rawan pangan masih terjadi di Jawa Timur
dibandingkan dengan propinsi lain berdasarkan data SUSENAS yang tertuang
dalam Nutrition Map of Indonesia tahun 2006 disajikan dalam Tabel berikut.
157
Tabel 9. Jumlah Penduduk Rawan Pangan Menurut Propinsi
*) Tidak dilakukan survey totalSumber : Gizi dalam Angka (2005) dan Nutrition Map of Indonesia, 2006
Jumlah anak balita dengan status gizi buruk dan gizi kurang di relative
masih tinggi masih tinggi. Tingginya proporsi rumah tangga rawan pangan dan
anak balita kurang gizi menunjukkan bahwa ketahanan pangan tidak selalu berarti
bahwa tingkat ketahanan pangan di rumah tangga dan individu juga terpenuhi.
Masalah-masalah distribusi dan mekanisme pasar yang berpengaruh terhadap
harga, daya beli rumah tangga yang berkaitan dengan kemiskinan dan pendapatan
158
rumah tangga, dan tingkat pengetahuan tentang pangan dan gizi sangat
berpengaruh kepada konsumsi dan kecukupan pangan dan gizi rumah tangga.
Hubungan tentang kerawanan pangan dengan tingkat pendapatan relatif
cukup erat baik ditinjau dari kecukup[an energi maupun kualitas pangan. Pada
gambar berikut ditunjukkan bahwa semakin rendah pendapatan seseorang maka
akan menyebabkan rendahnya kecukupan energi maupun skor PPHnya.
Grafik 1 Tingkat Konsumsi Energi Provinsi Jawa Timur Tahun 2005
Grafik 2 Skor PPH Provinsi Jawa TimurSumber : Badan Ketahanan Pangan jawa Timur, 2006
159
IV. MASALAH STRATEGIS KETAHANAN PANGAN JAWA TIMUR
Pembangunan ketahanan pangan di wilayah Jawa Timur harus dipandang
sebagai bagian tidak terlepaskan dari wawasan ketahanan pangan nasional.
Sebagai wilayah potensial pangan yang penting, keberhasilan Ketahanan Pangan
di Jawa Timur sebagai wilayah yang surplus pangan telah menjadi tolok ukur
keberhasilan ketahanan Pangan nasional. Oleh karena itu pemerintah Jawa Timur
berupaya terus memacu pembangunan ketahanan pangan melalui program–
program yang benar-benar mampu memperkokoh ketahanan pangan sekaligus
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
4.1. Permasalahan dan Tantangan
Upaya pemantapan ketahanan pangan sampai saat ini masih menjadi
prioritas pembangunan di Propinsi Jawa Timur. Permasalahan pembangunan
ketahanan pangan yang harus dipecahkan secara mendesak dan berkelanjutan
pada tahun mendatang adalah :
1. Masalah kemiskinan dan kelaparan di Jawa Timur masih masih cukup tinggi
baik untuk tingkat kemiskinan maupun kelaparan dengan ukuran AKE kurang
1700 kkal/kapita/hari berkisar sebesar 19 persen. Usaha ini harus dipecahkan
secara bertahap melalui usaha peningkatan pendapatan masyarakat karena
merupakan faktor kunci dalam meningkatkan akses pangan masyarakat
menuju gizi yang cukup untuk hidup sehat.
2. Masalah pemantapan ketersediaan Pangan. Pola peningkatan produksi pangan
khususnya padi cenderung melandai dan terjadi pula peningkatan alih fungsi
lahan yang cukup besar ± 10.000 Ha/Th. Hal ini membutuhkan konsumsi
beras yang cukup besar yaitu 3.478.994 ton tahun 2007 dan cenderung
meningkat setiap tahunnya, padahal pola peningkatan produksi beras
cenderung melandai. Pertambahan penduduk yang cukup besar akan
berdampak pada peningkatan kebutuhan konsumsi dan juga peningkatan
kebutuhan fasilitas sosial ekonomi yang mengakibatkan peningkatan alih
fungsi lahan. Oleh karena itu propinsi Jawa Timur sebagai daerah lumbung
160
pangan disamping meningkatkan produksi pangan juga harus
mengembangkan penganeka ragaman pangan.
3. Tantangan dalam aspek penganeka ragaman pangan terjadi karena sampai saat
ini konsumsi pangan kelompok padi-padian didominasi oleh beras, dan
ternyata konsumsi beras masih cukup tinggi yaitu sebesar 94.35 kg/kap/thn
(Susenas 2005), sementara terjadi peningkatan jumlah penduduk dari tahun
1998-2005 sebesar 1,2% setiap tahun (BPS, 2005).
4. Tantangan dalam cadangan pangan masyarakat terjadi karena sifat komoditas
pangan yang bersifat musiman sementara pendapatan masyarakat umumnya
sangat rendah. Usaha ini dapat dilakukan dengan memberdayakan
kelembagaan masyarakat seperti melalui lembaga pembeli gabah (lpg) dan
lembaga usaha ekonomi pedesaan , lumbung, dan pengembangan cadangan
gan hidup (pekarangan, lahan desa, lahan tidur, tanaman bawah tegakan
perkebunan
5. Usaha perlindungan kepada petani khususnya pada musim panen akibat
kelebihan produksi harus diantisipasi melalui pengendalian harga di tingkat
produsen. Produksi padi masih sangat dipengaruhi iklim, dimana ± 55,98%
dari pertanaman padi dipanen pada bulan Januari s/d April 2006.
Keadaan ini menyebabkan produksi gabah menumpuk pada bulan-bulan
tersebut, sehingga harga jual di tingkat petani cenderung menurun. Oleh
karena itu, program stabilisasi komoditas pangan menjadi sangat penting
dilakukan. Kebijakan stabilisasi komoditas pangan ini akan menjadi
rangsangan bagi petani untuk berproduksi, serta dapat menjadi stabilitas
inflasi. Berdasarkan kenyataan ini, maka menjadi penting untuk dilakukan
program stabilisasi produksi dan harga komoditas pangan. Hal ini bisa
dilakukan apabila dilakukan usaha pembinaan untuk pengembangan tunda
jual, serta kebijakan pembelian produkm petani pada waktu panen pada
komoditas strategus (gabah, beras, jagung dan kedele)
6. Masalah keamanan pangan sampai saat ini merupakan permasalahan yang
cukup serius. Hal ini disebabkan karena masih kurangnya pengetahuan dan
kepedulian masyarakat konsumen terhadap keamanan pangan, yang ditandai
161
merebaknya kasus keracunan pangan baik produk pangan segar maupun
olahan di sisi lain masih cukup banyak digunakan bahan tambahan pangan
(penyedap, pewarna pemanis, pengawet, pengental, pemucat dan anti gumpal)
yang beracun atau berbahaya bagi kesehatan yang harus diantisipasi melalui
usaha-usaha pembinaan menurut standar SNI, FMP DAN HACCP. Sementara
itu belum ada sangsi yang tegas terhadap pelanggaran peraturan keamanan
pangan. Oleh karena itu usaha-usaha untuk pencegahan dan pengendalian
keamanan pangan harus dilakukan
7. Berdasarkan hasil Pemetaan Kerawanan Pangan dengan indikator Food
Insecurity Atlas (FIA) bahwa terdapat 123 kecamatan termasuk kategori agak
rawan pangan sampai rawan pangan atau 38,44 % dari sebanyak 320
kecamatan yang tersebar di 16 kabupaten, dengan rincian yaitu : kategori
sangat rawan (prioritas 1) sebanyak 11 kecamatan, kategori rawan (prioritas 2)
sebanyak 20 kecamatan, dan kategori agak rawan (prioritas 3) sebanyak 92
kecamatan. Upaya ini bisa dilakukan melalui program pemberdayaan
masyarakat melalui program Aksi Desa Mandiri Pangan serta pengendalian
rawan pangandalam rangka mewujudkan ketahanan pangan agar masyarakat
dapat memenuhi kebutuhan pangannya.
8. Tantangan lainnya yang cukup penting adalah permasalahan sistem informasi
pangan. Sampai saat ini penanganan masalah ketahanan pangan seringkali
menghadapi kendala sistem informasi pangan yang kurang akurat dan cepat.
Oleh karenanya di masa datang pengembangan sistem informasi pangan
berbasiskan teknologi informasi untuk tujuan diteksi dini untuk antisipasi
mutlak harus dilakukan. Sistem informasi yang perlu dikembangkan adalah :
pengembangan sistem informasi ketersediaan dan kebutuhan pangan (neraca
pangan), sistem informasi kerawanan pangan, dan sistem informasi distribusi
dan pasar
9. Semakin membanjirnya pangan olahan impor dengan berbagai promosi yang
cukup gencar dan menarik, sedangkan kesadaran dan kecintaan masyarakat
untuk mengkonsumsi pangan lokal masih cukup rendah. Oleh karena itu
162
diperlukan untuk pengembangan pangaan olahan dengan bahan baku lokal
yang mampu bersaing
10. Gaya mengkonsumsi pangan cepat saji (fast food) menggunakan bahan impor
dan kurang menggunakan bahan pangan lokal telah menjadi bagian dari
perilaku sebagian besar anak dan remaja di berbagai kota besar, serta
diperkirakan cenderung semakin meningkat setiap tahunnya. Oleh karemna itu
diperlukan usaha –usa penyadaran mayarakat untuk penganekaragaman
menuju pangan yang beragamn dan gizi seimbang
11. Masalah dalam pelestararian sumberdaya lahan dan air. Dampak adanya
reformasi dan otonomi daerah telah menyebabkan pelestarian sumberdaya
lahan dan air semakin memburuk. Kalau hal ini dibiarkan terus akan
menyebakan sumber air akan semakin tergradasi yang pada gilirannya akan
mengancam produksi pangan di jawa Timur
12. Akses petani terhadap permodalan dan sarana produksi perla dipandang
menjadi permasalahan yang harus diantisipasi sejak dini. Hal ini dikarenakan
petani di Jwa Timar umumnya dalam skala yang sempit sehingga untuk
melindungi petani dan sekaligus meningkatkan pendapatan aspek peningkatan
akses permodalan dan sarana produksi pertanian harus terus dilakukan.
13. Pengembangan Infrastruktur pertanian dan pedesaan di Jawa Timur walaupun
cukup memadai namur perla terus dikembangkan. Usaha peningkatan
infrasttur ini perla dilakukan melalui pembangunan bersifat padat karya karena
mempunyai manfaat ganda yakni disamping meningkatkan perekonomian
pedesaan juga berfungsi meningkatkan serapan tenaga verja yang pada
gilirannya akan meningkatkan akses pangan
14. Meskipun kelembagaan ketahanan pangan di pemerintahan propinsi Jawa
Timur telah mantap, namun ditingkat kabupaten/kota masih memperihatinkan,
Dewan ketahanan pangannya umumnya masih belum aktif. Usaha-usaha
untuk meningkatkan kelembagaan fungsional (DKP) maupun kelembagaan
struktural harus dilakukan. Hal ini disebabkan karena dengan keluarnya
peraturan PP No 3 tahun 2007 tentang pertanggungan jawab Gubernur,
bupati/walikota dimana Gubernur, bupati/walikota wajib melaporkan tentang
163
pembangunan ketahanan dan PP No 38 tahun 2007 bahwa Ketahanan pangan
menjadi urusan wajib pemerintah propinsi, kab/kota. Berdasarkan kedua
peraturan pemerintah tersebut jelas secara tegas bahwa Ketahanan pangan
menjadi urusan wajib bagi pemerintah propinsi, kabupaten/kota. Konsekuensi
dari keadaan ini menuntut adanya pemantapan kelembagaan pangan
4.2. Potensi dan Peluang
4.2.1. Ketersediaan
Potensi pengembangan sistem ketahanan pangan di Jawa Timur memang
sangat besar. Sebagai suatu sistem pembangunan ketahanan pangan perlu
didukung tidak hanya dari aspek infrastruktur dan SDM tetapi juga
suprastrukturnya yaitu kebijakan pemerintah yang memberikan lingkungan
kondusif bagi pengembangan ketahanan pangan di Jawa Timur.
Berkaitan dengan aspek ketersediaan, dapat dikaitkan dengan aspek
sumberdaya alam. Sumberdaya alam merupakan potensi yang besar di Jawa
Timur, bila potensi ini diberi sentuhan teknologi, informasi dan juga transportasi
maka akan memiliki efek yang luas. Dan pandangan ini berarti melihat potensi
dari sisi suplai (supply side).
Bila dilihat potensi sumberdaya ini dalam upaya untuk menyediakan bahan
pangan dan hasil pertanian pada umumnya bagi konsumen maka potensi dapat
dilihat dari sisi demand (demand side). Dari sisi demand maka potensi sektor
pertanian ini perlu adanya pasar, sarana prasarana transportasi dan juga
komunikasi. Dengan terpadunya elemen-eleman ini maka potensi akan memiliki
spektrum luas dalam upaya pembangunan wilayah. Garis besarnya adalah dalam
aspek ketersediaan, potensi di Jawa Timur yang sangat besar merupakan kekuatan
untuk melakukan pembangunan yang lebih terarah. Kekuatan ini masih muncul
karena keunggulan komparatif yang dimiliki oleh Jawa Timur sehingga
diperlukan adanya upaya lebih giat lagi mentransformasi keunggulan komparatif
(comparative advantage) menuju pada keunggulan kompetitif (competitive
advantage) yang lebih baik dengan wilayah atau negara lain.
164
Potensi sumberdaya alam yang merupakan keunggulan komparatif
memerlukan manajemen sehingga pemanfaatan sumberdaya melalui perencanaan
yang layak dengan memperhatikan aspek sustainabilitas, welfare, dan kemerataan.
Pelaksanaan pengelolaan sumberdaya juga harus mengacu pada prinsip-prinsip
pengelolaan yang efektif dan efisien dan berwawasan keberlanjutan. Akhirnya,
evaluasi terus dilakukan untuk menjaga agar penyimpangan atas perencanaan
dapat ditangani untuk mendapatkan output yang ditetapkan.
4.2.2. Distribusi Pangan
Ditinjau dari aspek infrastruktur ekonomi dan akses wilayah di Jawa Timur
sudah relatif baik. Prasarana jalan dan sarana transportasi sudah menjangkau
setiap wilayah dan juga layanan komunikasi menjadi daya dorong untuk aliran
informasi yang baik. Walaupun disadari pula bahwa dengan perbaikan fasilitas
publik ini (prasarana jalan beraspal) seringkali mendorong pula berlakunya
hukum location rent, sehingga berdampak pula pada laju konversi lahan yang
semakin tinggi. Namun demikian dis-economic exsternality ini terkompensasi atas
multiplier efek yang lebih besar dari perbaikan akses wilayah.
Infrastruktur wilayah berupa prasarana transportasi adalah salah astu
komponen yang sangat berperan dalam memperlancar fungsi pemasaran
komoditas pangan dari satu wilayah ke wilayah lain. Selain aspek fisik
infrastruktur wilayah juga terdapat aspek kelembagaan dan keamanan serta
kenyamanan dalam melaksanakan kegiatan pendistribusian komoditas pertanian.
Kelembagaan dalam hal distribusi komoditas pertanian dapat berupa
kelembagaan formal maupun non-formal. Kelembagaana formal yang dimaksud
adalah lembaga distribusi yanag dibentuk pemerintah terutama menangani
masalah pangan strategis seperti beras. Lembaga non-formal terkait dengan
kegiatan distribusi adalah lembaga pemasaran baik itu pedagang perantara,
pedagang pengumpul, pedagang besar, pengecer yang berperan mendistribusikan
hasil pertanian dari titik produsen ke titik konsumen.
Ketahanan pangan dalam era globalisasi dan otonomi daerah merupakan isu
strategis yang patut mendapat perhatian karena menyangkut hajat hidup orang
165
banyak dan berkaitan dengan hak asasi manusia. Potensi Jawa Timur untuk
meningkatkan efisiensi distribusi sangat mungkin dilakukan mengingat akses
wilayah yang mudah, perhatian pemerintah terhadap distribusi pangan, dan juga
skala produksi yang relatif besar di Jawa Timur. Penataan kelembagaan pangan
juga menjadi sangat penting untuk membentuk ketahanan pangan di Jawa Timur.
Termasuk juga upaya meningkatkan pemberdayaan masyarakat, dengan jalan
memberikan fungsi fasilitasi dan layanan informasi untuk akses pasar hasil
produksi pertanian.
4.2.3. Konsumsi
Sumberdaya manusia di Jawa Timur memiliki arti penting dalam
pembangunan ketahanan pangan. Potensi SDM tak terlepas dari fungsinya dalam
pengelolaan sumberdaya sehingga mampu menghasilkan output yang memiliki
nilai tambah dan nilai ekonomi yang lebih tinggi dengan tingkat teknologi yang
semakin berkembang. SDM yang berkualitas akan sangat tanggap atau cepat
merespon perubahan-perubahan yang terjadi baik itu berkenaan dengan teknologi
produksi maupun berkaitan dengan perubahan perilaku konsumsi.
Besarnya potensi produksi bahan pangan dan pertanian secara umum
memberikan peluang bagi tumbuh berkembangnya agroindustri yang melakukan
pengolahan dari produk primer hasil pertanian. Beberapa nilai penting dari
agroindustri adalah meningkatkan nilai ekonomi produk pertanian, meningkatkan
dispersi penggunaan produk primer hasil pertanian, meningkatkan elastisitas
produk pertanian, mengurangi fluktuasi harga akibat ekses suplai dan pola
musiman proses produksi pertanian.
Peluang yang lain berkenaan dengan upaya meningkatkan ketahanan pangan
adalah berkaitan dengan diversifikasi pangan. Berbagai macam jenis bahan
pangan yang dapat dihasilkan dari potensi domestik merupakan kekayaan yang
dapat dimanfaatkan untuk mendukung ketahanan pangan. Dengan diversifikasi
pangan maka diharapkan akan mengurangi ketergantungan pada produk pangan
tertentu seperti beras. Peningkatan nilai gizi dan performence pangan lokal
166
merupakan alternatif yang dapat dilakukan untuk mewujudkan diversifikasi
pangan ini.
Berkenaan dengan perilaku konsumsi pangan perlu mendapatkan perhatian
mengingat ketersediaan gizi yang berimbang dan makanan yang aman dikonsumsi
menjadi aspek kritis dalam upaya membentuk sumberdaya manusia yang sehat
dan produktif. Asupan gizi pada tubuh sangat dipengaruhi oleh pola makan di
keluarga. Dengan demikian, peran dan pengetahuan ibu rumah tangga berkaitan
dengan pola asuh dan pola makan keluaraga menjadi sangat penting.
Kesadaran akan gizi yang berimbang, aman dikonsumsi akan berimplikasi
lebih jauh pada kesehatan balita, harapan hidup dan juga tingkat kematian bayi
pada suatu wilayah. Peran prasarana dan sarana kesehatan di sini juga sangat
menentukan bagi kesehatan masyarakat. Di Jawa Timur terdapat berbagai institusi
(infrastruktur sosial) di tingkat lokal (kecamatan atau bahkan desa) yang dapat
menjadi mitra kerja pemerintah dalam rangka perbaikan konsumsi dan gizi
masyarakat. Beberapa contoh institusi lokal tersebut adalah posyandu, PKK,
organisasi sosial masyarakat non formal seperti majelis taklim, dan sebagainya.
Instiitusi ini dapat berperan dalam mendeteksi masalah serta memfasilitasi upaya-
upaya peningkatan kualitas konsumsi dan perbaikan gizi.
V. KEBIJAKAN OPERASIONAL KETAHANAN PANGAN JAWA TIMUR
Perwujudan ketahanan pangan disuatu wilayah tidak hanya memenuhi aspek
ketersediaan pangan yang merata di suatu wilayah, namun juga dapat diakses oleh
masyarakat dengan daya beli yang dimilikinya sehingga dapat mencukupi
kebutuhan gizi secara berimbang, aman, terjadi peningkatan kesehatan dan
produktifitas di masyarakat. Implisit dalam uraian ini adalah adanya keterjaminan
pangan yang dapat diakses masyarakat untuk hidup sehat dan produktif secara
terus menerus. Dengan demikian dimensi ketahanan pangan sebenarnya adalah
tidak hanya pembentukan pondasi ekonomi yang mantap di suatu wilayah untuk
tumbuh dan berkembang namun juga memiliki dimensi pembangunan wilayah
secara utuh.
167
Perhatian pada ketahanan pangan juga tidak dapat dilihat dari aspek makro
atau agregat saja, tetapi harus menggunakan unit analisis yang lebih kecil sampai
tingkat rumah tangga. Keterjaminan pangan sampai tingkat rumah tangga menjadi
sangat penting untuk dipantau dari waktu ke waktu. Sistem pendataan yang tertata
menjadi kunci keberhasilannya. Pembangunan ketahanan pangan disadari tidak
hanya menjadi kewajiban pemerintah tetapi juga masyarakat luas, sehingga
partisipasi masyarakat dalam
upaya pembangunan ketahanan pangan menjadi sangat penting. Pemerntah
sebagai fasilitator dan dinamisator ekonomi wilayah diperlukan dukungannya
dalam menciptakan iklim yang kondusif untuk kegiatan produksi dan pemasaran
produk pangan dan pertanian pada umumnya, baik dengan paket deregulasi
investasi pertanian maupun penataan kelembagaan pertanian. Partisipasi
masyarakat dalam upaya pembangunan ketahanan pangan dapat berbentuk
mendukung upaya peningkatan kapasitas produksi pangan dan pertanian secara
umum, aseptabilitas yang tinggi terhadap perbaikan teknologi baru, penghargaan
terhadap produk pangan domestik atau lokal, dan berkehendak untuk
meningkatkan wawasan tentang pola pangan yang baik sesuai harapan sehingga
asupan gizi mencukupi untuk tubuh yang sehat dan produktif. Penyediaan
prasarana dan sarana kesehatan menjadi sangat penting pula untuk diperhatikan
dalam upaya menajaga kesehatan masyarakat.
5.1. Arah Kebijakan
Sesuai dengan perkembangan era globalisasi dan liberalisasi perdagangan,
beberapa komoditas pangan telah menjadi komoditas yang semakin strategis,
karena dinamika ketidakpastian dan ketidakstabilan produksi nasionalnya,
sehingga tidak senantiasa dapat mengandalkan pada ketersediaan pangan di pasar
dunia. Oleh karena itu, sebagian besar negara-negara menetapkan Sistem
Ketahanan Pangan untuk kepentingan dalam negerinya, termasuk Indonesia.
Pembangunan ketahanan pangan di wilayah Jawa Timur harus dipandang
sebagai bagian tidak terlepaskan dari wawasan ketahanan pangan nasional.
Sebagai wilayah potensial pangan yang penting, keberhasilan Ketahanan Pangan
168
di Jawa Timur sebagai wilayah yang surplus pangan telah menjadi tolok ukur
keberhasilan ketahanan Pangan nasional. Oleh karena itu pemerintah Jawa Timur
berupaya terus memacu pembangunan ketahanan pangan melalui program–
program yang benar-benar mampu memperkokoh ketahanan pangan sekaligus
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam rangka mencapai tujuan program
ketahanan pangan Jawa Timur maka arah kebijakan ketahanan pangan sebagai
berikut :
1. Pemantapan penanganan kelaparan dan kemiskinan ditujukan untuk
mengurangi jumlah penduduk yang kelaparan, kemiskinan dan
penanggulangan gizi buruk.
2. Pemantapan ketersediaan pangan
(1) menjamin kelangsungan produksi pangan sebagai penyangga pangan
nasional,
(2) meningkatkan daya saing produk dan produktifitas, serta meningkatkan
nilai tambah produksi pangan melalui penanganan pasca panen dan
agroindustri dalam rangka peningkatan kesejahteraan petani,
(3) mengembangkan kemampuan penataan kelembagaan cadangan pangan
yang lebih baik,
(4) meningkatkan kualitas lingkungan dan kualitas sumberdaya alam dan air,
serta menjaga kelestariannya dalam rangka mempertahankan ketahanan
pangan.
3. Pemantapan distribusi pangan
(1) mengembangkan sarana dan prasarana distribusi pangan untuk
meningkatkan efisiensi pemasaran,
(2) mengembangkan kelembagaan pemasaraan di pedesaan untuk
meningkatkan efisiensi dan efektifitas distribusi
(3) meningkatkan efisiensi pemasaran, mengembangkan informasi pasar dan
stabilisasi harga untuk kesejahteraan petani
4. Pemantapan konsumsi
169
(1) menjamin pemenuhan pangan sampai tingkat rumah tangga dalam jumlah
dan kualitas yang memadai sehingga aman dikonsumsi dan bergizi
seimbang,
(2) mengembangkan dan memanfaatkan pangan lokal
(3) mendorong, mengembangkan dan membangun serta memfasilitasi peran
masyarakat dalam pemenuhan pangan,
(4) meningkatkaan pengetahuan masyarakat tentang hidup sehat dan makanan
beragam dan gizi seimbang,
(5) meningkatkan peran kelembagaan dimasyarakat ,
(6) menjaga keamanan pangan bagi konsumen.
5.2. Tujuan pembangunan Ketahanan Pangan
Berdasarkan kenyataan ini maka pembangunan Ketahanan Pangan di Jawa
Timur ditujukan untuk :
1. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mengurangi kemiskinan dan
kelaparan
2. Meningkatkan produksi pangan secara berkelanjutan terhadap sumber pangan
karbohidrat dan protein menuju kemandirian pangan
3. Meningkatkan ketersediaan pangan sampai tingkat rumah tangga minimal
2200 kkal/kapita/hari dan protein 57 gram/kapita/hari
4. Meningkatkan dan memantapkan sistem cadangan pangan yang lebih baik
5. Meningkatkan keanekaragaman dan kualitas konsumsi pangan masyarakat
untuk mencapai tingkat konsumsi 2000 kkal/kapita/hari dan 54
gram/kapita/hari menuju Pola Pangan Harapan
6. Meningkatkan konsumsi pangan non-beras dan menurunkan konsumsi beras
7. Memantapkan pola distribusi pangan yang mampu menjamin keterjangkauan
pangan oleh masyarakat secara fisik dan ekonomi serta menjamin stabilitas
harga
8. Mengembangkan sistim kelembagaan pangan dan gizi masyarakat yang
partisipatif dalam menangani kerawanan pangan;
170
9. Meningkatkan keberdayaan dan kemandirian masyarakat dalam peningkatan
ketahanan pangan rumah tangga
10. Meningkatkan produksi dan kualitas pangan seiring dengan peningkatan
pendapatan para petani dan pelaku agribisnis lainnya
11. Mengembangkan industri dan bisnis pangan
12. Meningkatkan kemampuan dalam mengenali, mengantisipasi dan menangani
secara dini serta melakukan tanggap darurat terhadap masalah kerawanan
pangan
5.3. Strategi Umum
Pembangunan ketahanan pangan di wilayah Jawa Timur harus dipandang
sebagai bagian tidak terlepaskan dari wawasan ketahanan pangan nasional.
Keberhasilan Ketahanan Pangan di Jawa Timur sebagai wilayah yang surplus
pangan telah menjadi tolok ukur keberhasilan ketahanan Pangan nasional. Oleh
karena itu pemerintah Jawa Timur harus terus berupaya memacu pembangunan
ketahanan pangan melalui program–program yang benar-benar mampu
memperkokoh ketahanan pangan sekaligus meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Pembangunan ketahanan pangan di Jawa Timur merupakan suatu
proses yang terus-menerus dan diupayakan membawa dampak yang luas pada
seluruh sektor pembangunan. Harapan ini memang obyektif mengingat aspek
yang diamati dalam ketahanan pangan tidak hanya aspek ketersediaan tapi juga
aspek-aspek lainnya, seperti distribusi dan akses pangan yang mengarah pada
upaya peningkatan pendapatan masyarakat, juga konsumsi/penyerapan pangan
yang mengarah pada pembangunan sumberdaya manusia yang sehat dan
produktif.
Pembangunan ketahanan pangan di Jawa Timur dilakukan melalui Twin
track strategy (strategi jalur ganda), yakni : (1) pembangunan ekonomi berbasis
pertanian dan pedesaan dan (2) pembangunan dengan memprioritaskan bagi
kelompok masyarakat miskin. Strategi umum ini diuraikan sebagai berikut :
Strategi Khusus Penurunan Tingkat Kelaparan & Kemiskinan
171
1. Peningkatan Kesempatan (creating opportunities), melalui pengembangkan
bisnis dan kesempatan kerja
2. Pemberdayaan Masyarakat (Community Empowerment) melalui
pemberdayakan sehingga mampu akses terhadap sumberdaya ekonomi, sosial
dan hak-hak politik dan keterlibatan
3. Peningkatan Kapasitas & pembangunan sumberdaya manusia (Capacity
Building and Human Resource Development), melalui peningkatan
kemampuan yang berkaitan dengan sasaran peningkatan pelayanan
pendidikan, kesehatan, pangan, perumahan agar masyarakat makin produktif
4. Perlindungan Sosial (Social Protection): Perlindungan sosial yang berkaitan
dengan sasaran pemberian jaminan kehidupan bagimasyarakat yang
mengalami kecacatan, fakir miskin, keterisolasian, konflik sosial, kehilangan
pekerjaan sehingga berpotensi menjadi miskin
5. Prioritas pada daerah rawan pangan (pusat daerah miskin)
Strategi Khusus Pemantapan Ketersedian Pangan
1. Perwilayahan komoditas pangan sesuai dengan potensi
2. Pemantapan Infrastruktur produksi
3. Pengembangan Teknologi spesifik lokasi
4. Penyediaan modal dan sarana produksi
5. Kelestarian sumberdaya
6. Pemantapan Kelembagaan petani
Strategi Khusus Pemantapan Diversifikasi Konsumsi Pangan
1. Penyediaan suplai pangan dengan mengembangkan sumberdaya lokal
(unggulan wilayah)
2. Pengembangan agroindustri pangan dengan kemasan “modern”
3. Peningkatan KAP (Knowledge, Attitude, Practice ) melalui gerakan tentang
konsumsi pangan yang beragam dan gizi seimbang serta aman
4. Peningkatan income
5. Pemberdayaan kelembagaan lokal
Strategi Khusus Pemantapan Distribusi Pangan
1. Penetapan harga pembelian pemerintah
172
2. Intervensi pemerintah terhadap pasar
3. Penguatan posisi tawar petani
4. Pengembangan sarana dan prasarana pasca panen dan infra strukturdistribusi
5. Kemitraan petani
5.4. Kebijakan Umum
Kebijakan umum ketahanan pangan diharapkan menjadi panduan bagi
pemerintah, swasta dan masyarakat untuk bersama-sama berpartisipasi dalam
mewujudkan ketahanan pangan di Jawa Timur. Kebijakan umum Ketahanan
pangan di Jawa Timur adalah :
1. Penurunan kemiskinan dan kelaparan. Kebijakan Penanggulangan kelaparan
dan kemiskinan ditujukan untuk mengatasi kerawanan pangan dan gizi
masyarakat. Sasaran yang hendak dicapai adalah berkurangnya jumlah
penduduk yang kelaparan, kemiskinan dan penanggulangan gizi kuran
pangan, (5) peningkatan dana talangan pemerintah (propinsi dan
208
kabupaten/kota) dalam menstabilkan harga komoditas pangan strategis,
(6) peningkatan peranan Lembaga pembeli gabah dan Lembaga usaha
ekonomi pedesaan, (7) pengembangan sistem tunda jual, (8)
pengembangan sistem informasi dan monitoring produksi, konsumsi,
harga dan stok minimal bulanan
4. Peningkatan efisiensi dan efektivitas intervensi bantuan
pangan/pangan bersubsidi kepada masyarakat golongan miskin
(misalnya Raskin) dan mengembangkan pangan bersubsidi bagi kelompok
khusus yang membutuhkan terutama anak-anak dan ibu hamil yang bergizi
kurang
C. Strategi Peningkatan kuantitas dan kualitas konsumsi pangan menuju
gizi seimbang berbasis pada pangan lokal
1. Pengembangan dan percepatan diversifikasi konsumsi pangan berbasis
pangan lokal melalui pengkajian berbagai teknologi tepat guna dan
terjangkau mengenai pengolahan pangan berbasis tepung umbi-umbian
lokal dan pengembangan aneka pangan lokal lainnya
2. Pengembangan bisnis pangan untuk peningkatan nilai tambah ekonomi,
gizi dan mutu ketersediaan pangan yang beragam dan bergizi seimbang
melalui penguatan kerjasama pemerintah-masyarakat-dan swasta;
3. Pengembangan materi dan cara ajar diversifikasi konsumsi pangan dan
gizi sejak usia dini melalui jalur pendidikan formal dan non formal
4. Penguatan pola konsumsi pangan lokal yang didaerah dan kelompok
masyarakat tertentu telah beragam;
5. Pengembangan aspek kuliner dan daya terima konsumen, melalui berbagai
pendidikan gizi, penyuluhan, dan kampanye gizi untuk peningkatan citra
pangan lokal, serta peningkatan pendapatan dan pendidikan umum.
6. Pengembangan program perbaikan gizi yang cost effective, diantaranya
melalui peningkatan dan penguatan program fortifikasi pangan dan
program suplementasi zat gizi mikro khususnya zat besi dan vitamin A;
209
D. Strategi Peningkatan status gizi masyarakat, melalui
1. Peningkatan pelayanan gizi dan kesehatan kepada masyarakat miskin yang
terintegrasi dengan program penanggulangan kemiskinan dan keluarga
berencana, dalam rangka mengurangi jumlah penderita gizi kurang,
termasuk kurang gizi mikro (kurang vitamin dan mineral) yang diprioritas
pada kelompok penentu masa depan anak, yaitu, ibu hamil dan calon ibu
hamil/remaja putri, ibu nifas dan menyusui, bayi sampai usia dua tahun
tanpa mengabaikan kelompok usia lainnya;
2. Peningkatan komunikasi, informasi dan edukasi tentang gizi dan kesehatan
guna mendorong terbentuknya keluarga dan masyarakat sadar gizi yang
tahu dan berperilaku positif untuk mencegah gangguan kesehatan karena
kelebihan gizi seperti kegemukan dan penyakit degeneratif lainnya
3. Penguatan kelembagaan pedesaan seperti Posyandu, PKK, dan Dasa
Wisma dalam promosi dan pemantauan tumbuh kembang anak dan
penapisan serta tindak lanjut (rujukan) masalah gizi buruk;
4. Peningkatan efektivitas fungsi koordinasi lembaga-lembaga pemerintah
dan swasta di pusat dan daerah, dibidang pangan dan gizi sehingga
terjamin adanya keterpaduan kebijakan, program dan kegiatan antar sektor
di pusat dan daeah, khususnya dengan sektor kesehatan, pertanian,
industri, perdagangan, pendidikan, agama, serta pemerintahan daerah
untuk promosi keluarga sadar gizi, pencegahan dan penanggulangan gizi
kurang dan gizi buruk secara dini dan terpadu.
F. Strategi Peningkatan mutu dan keamanan pangan, melalui:
1. Peningkatan pengetahuan dan kesadaran tentang keamanan pangan di
tingkat rumahtangga, industri rumahtangga dan UKM serta importir,
distributor dan ritel serta pemahaman tentang implikasi hukum
pelanggaran peraturan keamanan pangan yang berlaku;
2. Penguatan pengawasan dan pembinaan keamanan pangan dengan
melengkapi perangkat peraturan perundang-undangan di bidang mutu dan
210
keamanan pangan, law enforcement bagi produsen, importir, distributor
dan ritel yang melakukan pelanggaran terhadap keamanan pangan;
3. Peningkatan kesadaran dan perlindungan konsumen terhadap keamanan
pangan
Tugas dan Peran Bulog
Beras memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia dipandang dari aspek ekonomi, tenaga kerja, lingkungan hidup, sosial, budaya dan politik. Dalam sejarah perberasan di Indonesia tidak pernah lepas dari peranan pemerintah yang secara sengaja turut serta dalam mengatur ekonomi perberasan nasional. Peranan beras yang sangat khusus merupakan salah satu alasan penting campur tangan pemerintah terhadap perberasan masih dilakukan. Campur tangan pemerintah dalam ekonomi perberasan dilakukan melalui lembaga pangan yang disebut Badan Urusan Logistik (Bulog) yang didirikan pada tahun 1967.
Sesuai PP No. 7/2003 tentang Pendirian Perum Bulog, Bulog melaksanakan tugas-tugas tertentu yang diberikan pemerintah dalam pengamanan harga pangan pokok, pengelolaan cadangan pangan pemerintah dan distribusi pangan pokok kepada golongan masyarakat tertentu, khususnya pangan pokok beras dan pangan pokok lainnya yang ditetapkan oleh pemerintah dalam rangka ketahanan pangan. Tugas yang diberikan kepada Bulog merupakan implementasi kebijakan harga seperti yang diusulkan Affif dan Mears tahun 1969 yang meliputi (1) menyangga harga dasar yang cukup tinggi untuk merangsang produksi, (2) perlindungan harga maksimum yang menjamin harga yang layak bagi konsumen, (3) perbedaan harga yang layak antara harga dasar dengan harga maksimum agar
211
merangsang perdagangan, (4) hubungan harga yang wajar antara harga domestik dengan harga internasional.
Efektivitas pengendalian harga produsen dan stabilitas harga konsumen sampai tahun 1998 sangat baik. Penelitian yang dilakukan oleh David Dew (1999), selama 20 tahun (1973-1997) menunjukkan bahwa hanya 10 kali dalam 240 bulan (4 persen) harga gabah yang jatuh dibawah harga. Sebagai perbandingan, di Philipina jumlahnya mencapai 72 kali dalam 279 bulan (26 persen). Untuk mengamankan harga dasar, antara tahun 1985-1997, Bulog melakukan pembelian hasil petani sekitar 5,8 persen dari produksi nasional. Di daerah produsen utama seperti Jawa dan Sulsel penyerapan tersebut mencapai sekitar 6,6-11,9 persen dari produksi setempat. Penyerapan hasil panen petani oleh Bulog, sebagai suatu firm, merupakan yang paling dominan dibanding penyerapan yang dilakukan oleh masing-masing firm
seperti pedagang atau penggilingan secara individu. Lembaga ini menjadi satu-satunya firm yang mampu membeli beras dalam jumlah banyak dengan kapasitas dan distribusi gudang yang cukup memadai serta menyebar di berbagai propinsi di Tanah Air. Total kapasitas gudang mencapai 3,8 juta ton, 52% diantaranya berada di wilayah produsen padi di Jawa, 18% di Sulawesi, 13% di Sumatera, dan 11% di Bali dan Nusatenggara.
Pada masa panen raya, petani selalu menghadapi persoalan klasik berupa meningkatnya jumlah suplai hasil panen musiman yang mendorong harga produsen turun. Tanpa ada tambahan penyerapan hasil panen melalui pengadaan, yang sekaligus sebagai instrumen harga dasar, harga produsen akan semakin tertekan. Dalam pasar beras yang tertutup, maka harga dasar atau harga pembelian beras oleh Bulog merupakan harga patokan bagi pedagang, karena apabila harga beli pedagang
212
tidak menguntungkan bagi petani mereka dapat menjual ke Bulog pada harga dasar.
Penyerapan Bulog tidak dibatasi sepanjang persyaratan kualitas memenuhi. Disisi lain, stabilitas harga konsumen juga terjaga. Pada periode 1985-2001 fluktuasi harga beras juga dapat dikendalikan dan jauh lebih rendah dari fluktuasi harga beras dunia yaitu koefisien variasinya sekitar 5,54% di pasar domestik dan sekitar 8,63% di pasar dunia. Perhitungan tersebut masih sejalan dengan analisis yang dilakukan oleh David Dew (1999) yang menunjukkan stabilitas harga beras domestik antara 1972-1996, mencapai 4 kali lebih stabil dari dunia yaitu fluktuasinya hanya 6 persen dibanding 22% di pasar dunia.
Dalam perspektif jangka panjang, perkembangan harga beras domestik juga mengikuti perkembangan harga beras dunia. Fluktuasi harga beras domestik yang lebih besar dari harga dunia pada tahun 1998-2001 terutama disebabkan oleh fluktuasi nilai tukar rupiah yang sangat besar bersamaan dengan pembukaan pasar beras domestik dari pasar beras dunia. Dalam kurun waktu 1985-2001, harga nominal beras domestik ratarata mencapai Rp 1.017 per kg, sedang harga paritas impor sekitar Rp 1.024 per kg. Artinya stabilitas yang dilakukan dalam pasar domestik tidak menyebabkan distorsi harga yang berlebihan dan tidak merugikan konsumen.
Penyediaan beras antar daerah juga berhasil dilaksanakan oleh Bulog sehingga akses masyarakat terhadap beras secara fisik dan ekonomi di seluruh daerah terpenuhi. Pada tahun 1985-1997, jumlah penyaluran beras Bulog di daerah defisit di luar Jawa dan Sulsel mencapai 9,8 persen dari produksi setempat. Bahkan untuk daerah-daerah tertentu seperti NTT, Irja dan
213
Maluku sebagian besar kebutuhan berasnya banyak berasal dari beras Bulog.
Keberhasilan pengendalian harga di tingkat produsen dan konsumen, serta penyediaan stok beras yang cukup antar waktu dan antar daerah memberikan kontribusi yang besar dalam pertumbuhan ekonomi secara langsung maupun secara tidak langsung akibat stabilitas ekonomi dan stabilitas sosial yang diciptakan. Kontribusi sektor perberasan dalam pertumbuhan ekonomi memang mengalami penurunan sejalan dengan membesarnya kontribusi sektor lain. Namun peranannya dalam menciptakan stabilitas ekonomi dan sosial masih akan tetap besar untuk waktu yang masih lama.
Operasi Pasar Khusus
Menyadari sulitnya akses penduduk miskin terhadap beras yang disediakan melalui pasar bebas, mulai Juli 1998 pemerintah menerapkan kebijakan baru berupa targeted price subsidy yang dikenal dengan operasi pasar khusus (OPK). Dalam kebijakan ini, keluarga miskin yang rawan pangan diberikan jatah beras murah dengan harga Rp 1.000,- per kg, atau 54 persen dari harga pasar saat itu. Beras tersebut tidak disalurkan melalui pasar bebas karena bukan untuk tujuan stabilisasi, tetapi langsung diantar oleh petugas Dolog ke titik distribusi di desa atau kelurahan tempat keluarga miskin tersebut berada. Setiap keluarga miskin mendapat jatah 20 kg per bulan. Jumlah ini sekitar 40 persen kebutuhan beras mereka dengan asumsi konsumsi beras perkapita 10 kg per bulan dan jumlah anggota keluarga 5 orang.
Pada awal masa krisis ekonomi 1997, targeted price subsidy
dengan OPK masih berjalan bersama dengan general price subsidy
dengan operasi pasar karena Bulog masih bertanggung jawab
214
penuh menjaga stabilitas harga di tingkat konsumen. Namun dengan menurunnya harga beras domestik dalam tahun-tahun berikutnya, serta dibukanya pasar beras domestik, maka operasi pasar yang ditujukan untuk mengendalikan harga konsumen tidak dilakukan dan bergeser menjadi penyediaan pangan bagi keluarga miskin melalui OPK yang merupakan tugas baru bagi Bulog.
Perubahan kebijakan dari general price subsidy kepada targeted
price subsidy memberikan konsekuensi perubahan operasi Bulog yang semakin langsung bersentuhan dengan konsumen keluarga miskin yang jumlahnya mencapai 39,10 juta orang atau 17,7% dari jumlah penduduk (Deptan, 2007). Pada awal pelaksanaan OPK banyak pihak yang meragukan apakah Bulog mampu melaksanakan tugas tersebut karena selama ini Bulog tidak dirancang untuk melakukan pendistribusian secara langsung ke masyarakat. Untuk itu, uji coba OPK dilakukan lebih dahulu di Jabotabek dengan cakupan keluarga sasaran sekitar 275 ribu.
Hasil uji coba dilakukan evaluasi dan direkomendasikan agar OPK diperluas daerahnya. Pada awalnya disepakati hanya di 15 propinsi mulai Agustus 1998. Namun karena dampak krisis yang luas, mulai September 1998 OPK telah menjangkau seluruh propinsi. Saat ini OPK menjangkau sekitar 10 juta keluarga miskin pada 45.000 titik distribusi di perdesaan dan kelurahan. Dengan OPK, Bulog telah membangun sistem dan jaringan baru yang sangat luas antara petugas Dolog langsung dengan masyarakat di seluruh titik distribusi. Sistem dan jaringan ini merupakan modal baru yang dapat dimanfaatkan bagi pelaksanaan tugas Bulog yang akan datang. Program OPK ini dipandang sebagai usaha transfer pendapatan dalam bentuk natura beras bagi kelompok miskin yang rawan pangan.
215
Pelaksanaan program ini secara cepat dan meluas di Tanah Air dimungkinkan karena luasnya jaringan dan infrastruktur logistik yang dikuasai Bulog. Penelitian tentang dampak ekonomi makro akibat program ini telah dilakukan oleh Tabor dan Sawit (1999). Hasil penelitian menyimpulkan bahwa program ini telah mampu meningkatkan permintaan agregat kelompok miskin. Setiap Rp 1 trilyun yang dikeluarkan pemerintah untuk program OPK akan meningkatkan hampir Rp 2 trilyun pendapatan nasional, karena pengaruh fiskal multiplier sebesar 1,9. Program ini juga telah mengerem laju penurunan konsumsi energi dan protein bagi kelompok miskin sebesar antara 8-12%. Program ini juga telah meningkatkan produktivitas program JPS lainnya seperti kesehatan dan pendidikan, karena pesertanya tidak serius kekurangan energi dan protein. Oleh karena itu, program ini layak dilanjutkan menjadi program permanen, bahkan bisa diperluas untuk bahan pangan lain seperti gula dan minyak goreng. Dengan program seperti ini dapat menghindari alasan pemerintah untuk menekan harga beras demi kepentingan konsumen umum dan penduduk kota.
3. PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN
1. Mempertahankan produksi pangan nasional.
Produksi pangan yang kontinyu di dalam negeri dibebankan kepada pada
petani yang berdasarkan data statistik, rata-rata memiliki lahan di bawah 0,5
hektar. Oleh karena itu, kontinuitas produksi pangan yang bermutu menjadi suatu
dilema pada petani kecil seperti ini karena di satu pihak petani kecil harus
memenuhi kebutuhan keluarganya sementara di lain pihak petani harus
216
menggunakan dananya untuk membeli sarana produksi bagi proses usahatani
berikutnya. Tanpa bantuan pihak luar (dalam hal ini pemerintah), petani kecil
akan terus menghadapi dilema seperti ini, mereka tetap ada dalam lingkaran setan
kesejahteraan yang rendah.
Pemerintah perlu memutus lingkaran setan kesejahteraan ini dengan dua
opsi utama, yaitu :
1. Opsi memutus siklus kesejahteraan petani yang menurun dengan mengurangi
pembelanjaan sarana produksi. Dengan demikian pemerintah telah membantu
beberapa hal, yaitu : mengurangi pembiayaan sarana produksi di satu proses
usahatani saat itu dan proses usahatani berikutnya.
2. Opsi memutus siklus kesejahteraan petani yang menurun dengan mengurangi
pembelanjaan untuk kepentingan kesejahteraan keluarga petani dari kebutuhan
sekunder petani.
Dua opsi memutus siklus kesejahteraan petani yang menurun ini dirinci
(breakdown) sebagai berikut :
1. Program menjaga kontinuitas produksi pangan dengan memutus siklus
penurunan kesejahteraan petani dengan cara mengurangi pembiayaan sarana
produksi, antara lain :
Melanjutkan program subsidi pupuk bagi petani yang lebih tepat
sasaran dengan lebih mengakuratkan, data riil petani per desa, data luas
lahan petani, dan data komoditas yang dibudidayakan.
Memberikan pelatihan pada petani tentang pembuatan beberapa
jenis pupuk alternatif berbahan baku lokal seperti pelatihan
pembuatan kompos dan pembuatan pupuk organik lainnya. Hal ini
dilakukan dengan tujuan mengurangi ketergantungan petani pada pupuk
subsidi dengan melakukan substitusi secara mandiri.
Memberikan penghargaan (award) kepada petani yang menjadi
pioneer atau telah melakukan usahatani/usahaternak/usahaikan dengan
menggunakan prinsip-prinsip pertanian berkelanjutan tanpa terlalu
bergantung kepada input produksi yang disubsidi (misalnya pupuk).
217
Memberikan bantuan benih bermutu pada petani sesuai dengan
komotitas yang dibudidayakan.
Memberikan bantuan mekanisasi pertanian untuk pengolahan tanah
dan pemanenan sehingga petani dapat mengurangi biaya untuk investasi
usahataninya. Bantuan seperti ini amat penting karena menstimuli
petani untuk terus memproduksi pangan bagi kepentingan nasional.
Bantuan mekanisasi yang dimaksud adalah hand tractor, cultivator,
pompa air, dan alat perontok padi/jagung. Bantuan seperti ini perlu
diikuti dengan pelatihan pengoperasian dan maintenance untuk
menghindari technological lag pada petani yang menerima bantuan.
Memberikan kredit usahatani dengan bunga rendah dan persyaratan
administrasi yang tidak rumit serta pembayaran pengembalian pinjaman
setelah panen.
2. Opsi memutus siklus kesejahteraan petani yang menurun dengan mengurangi
pembelanjaan untuk kepentingan kesejahteraan keluarga petani dari kebutuhan
sekunder petani. Opsi ini pada dasarnya mengurangi pembelanjaan jangka
panjang petani seperti :
Memberikan bantuan perbaikan rumah petani agar lebih sehat
sehingga petani dapat lebih bersemangat dan kuat dalam bekerja
memproduksi pangan.
Memberikan jaminan kesehatan bagi petani dengan tujuan petani
yang sehat akan mampu mengelola usahatani dengan baik untuk
mempertahankan produksi pangan.
Memberikan beasiswa di luar BOS pada anak petani untuk pembelian
alat tulis dan peralatan sekolah lainnya sampai tingkat SMP (sesuai
dengan wajib belajar 9 tahun).
Memberikan petalatihan pengolahan produk pertanian bagi putra-
putri petani yang tinggal di desa.
2. Mengefektifkan distribusi pangan.
218
Suatu kenyataan bahwa Indonesia adalah produsen bahan pangan tetapi
faktanya fluktuasi harga pangan dapat mengancam ketahanan pangan. Baik
konsumen pangan maupun petani produsen pangan dapat mengalami kekecewaan,
di satu sisi konsumen kecewa karena pada saat tertentu harga pangan tinggi dan di
sisi yang lain petani produsen pangan mendapatkan harga rendah saat panen raya.
Untuk mengatasi hal ini diperlukan beberapa tindakan berikut ini :
1. Stabilisasi ketersediaan pangan : dengan cara memberikan bantuan
pendanaan bagi pembeli gabah seperti pedagang gabah, koperasi
petani/pertanian, dan gapoktan untuk membeli gabah petani dan
menjualnya pada pelaku stok nasional dalam hal ini BULOG/DOLOG.
Selain itu dapat juga dengan memberikan bantuan peningkatan kapasitas
giling dan pergudangan beras/jagung/kedele.
2. Stabilisasi ketersediaan pangan dan stabilisasi harga panen produk
pangan (khususnya beras) dengan membuka WARUNG
PADI/TANI/DESA bagi lembaga-lembaga pedesaan untuk membeli gabah
petani dari petani kecil dengan harga beli gabah bersubsidi untuk
selanjutnya dibeli oleh BULOG/DOLOG. Program ini dapat
meningkatkan posisi tawar petani dalam rantai pemasaran produk pangan.
WARUNG PADI/WARUNG TANI/WARUNG DESA juga dapat
difungsikan sebagai lembaga penyalur beras warga miskin (RASKIN)
untuk program raskin yang sedang berjalan (saat ini masih melalui
DESA/KELURAHAN DAN RT).
3. Stabilisasi harga pangan : dengan cara melakukan operasi pasar khusus
(raskin).
4. Memberikan stimuli pengembangan kelembagaan tunda jual bagi
petani : dengan cara memberikan bantuan gudang kecil untuk kelayakan
menyimpan bahan pangan produksi petani. Program ini dapat dikaitkan
dengan program WARUNG PADI/TANI.
5. Mempermudah transportasi pengangkutan bahan pangan antar
daerah baik darat, laut, dan udara.
219
6. Mengembangkan kemampuan penggunaan teknologi pasca panen :
dengan cara memberi bantuan alat pasca panen seperti mesin serba guna
untuk tepung beras, tepung jagung, tepung ketan, tepung tapioka, dan
sebagainya.
3. Peningkatan kualitas konsumsi pangan
Untuk mewujudkan diversifikasi pangan berbasis pangan lokal, maka
perlu langkah-langkah yang strategis, yaitu:
10. Dengan bekerjasama dengan Pemerintah Daerah, perlu dilakukan kajian
sosiologis untuk mengetahui persepsi masyarakat tentang beras, terigu dan
jenis makanan pokok spesifik lokasi tertentu. Melalui kajian tersebut
diharapkan diperoleh metode untuk merubah paradigma bahwa beras/terigu
bukan merupakan satu-satunya sumber karbohidrat untuk memenuhi
kebutuhan kalori masyarakat.
11. Intervensi mengenalkan diversifikasi pangan pada anak-anak sejak usia
dini, ibu rumah tangga dan masyarakat dengan tidak menjadikan beras/terigu
sebagai satu-satunya sumber karbohidrat bagi penduduk Indonesia, akan tetapi
mendukung pemanfaatan sumber karbohidrat lainnya sebagai sumber energi
sebagaimana yang telah berkembang di masyarakat. Sebagai contoh, sagu di
Maluku dan Papua, jagung di Madura, umbi-umbian di Jawa, dan singkong di
Lampung. Yang perlu ditekankan adalah angka kecukupan gizi (AKG). Cara
yang sama juga perlu dilakukan terhadap kalangan pers agar memiliki
memahaman yang komprehensif tentang pentingnya diversifikasi pangan
dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan rumah tangga dan ketahanan
pangan nasional.
12. Melakukan gerakan dan promosi secara komprehensif untuk mendorong
masyarakat untuk lebih mengoptimalkan pemanfaatan ubi-ubian sebagai
sumber tepung untuk berbagai produk olahan pangan dan secara bertahap
mengurangi ketergantungan terhadap tepung terigu.
13. Fasilitasi pengembangan pangan lokal dan pengembangan industri pangan
dengan bahan bahan pangan lokal.
220
14. Sosialisasi dan penerapan standart mutu keamanan pangan pada UKM
pangan berbasis pangan lokal.
15. Mengembangkan kredit mikro, bantuan dana bergulir serta memfasilitasi
kemitraan yang saling menguntungkan antara perusahaan besar-menengah
dengan perusahaan kecil dan rumah tangga yang mengolah berbagai produk
pangan berbasis pangan lokal.
16. Mengoptimalkan peran Perum Perhutani dan LMDH (lembaga masyarakat
desa hutan) dalam penyediaan lahan untuk penanaman berbagai jenis umbi-
umbian potensial dalam rangka penyediaan bahan pangan lokal.
17. Penyediaan permodalan bagi UKM pengolahan produk pangan, terutama
yang berbasis sumber pangan lokal (umbi-umbian).
18. Pemberian insentif khusus bagi industri pangan yang menggunakan bahan
baku lokal (bukan import).
19. Memberikan penghargaan (award) kepada tokoh ketahanan pangan bidang