Diverse Sides YANTI HANDIA
Diverse Sides
YANTI HANDIA
2
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002
Tentang Hak Cipta
Lingkup Hak Cipta
Pasal 2:
1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan Pidana
Pasal 72:
1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagai dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
3
Diverse Sides
Penulis:
Yanti Handia
Penerbit
Nulisbuku.com ILP Center Lt. 3-01
Jalan Raya Pasar Minggu No. 39A
Pancoran, Jakarta Selatan 12780
Telp: (021) 7981283
Website: www.nulisbuku.com
E-mail: [email protected]
Twitter: @nulisbuku
Desain Sampul:
Tim Nulisbuku dan Yanti Handia
Diterbitkan melalui:
www.nulisbuku.com
Copyright © 2014 by Yanti Handia
4
Terima Kasih:
1. Allah, pemberi kelancaran dalam penyelesaian
tulisan ini.
2. Nulisbuku, penjembatani mimpi-mimpi penulis
pemula di negeri ini; ibu kandung yang melahirkan
novel ini.
3. Nulisbuku Club Palembang, tempat berbagi ilmu
yang bermanfaat; pemberi ruang untuk launching
novel ini.
4. Masayu Rizka Damayanti, sumber inspirasi hingga
novel ini menjadi bukti, bahwa perjuangan tidak
ada titik berhenti.
5. Ayah, penyemangat tersembunyi. Diam-diam sudah
mempromosikan novel ini.
6. Windy, Sunita, Arindah, penyokong semangat hidup
untuk terus berkreasi dengan mimpi.
7. Adit, konsultan dadakan yang mau ikut repot soal
sampul novel ini.
8. Dosen dan teman-teman kampus, pemberi
semangat yang tulus hingga terbitlah novel ini.
5
1
Tidak ada yang bisa dengan jelas menggambarkan apa itu kehilangan, kecuali
hunusan pedang yang menghunjam jantung hingga berdarah.
Hiruk-pikuk ibu kota begitu bising di telinga. Suara-
suara riuh pedagang pun bermunculan dari bawah
jembatan Ampera. Gadis berjilbab itu dengan letihnya
menelusuri trotoar di dekat Monpera. Berjalan setapak
demi setapak.
Dia berdiri di persimpangan bundaran air mancur;
pusat kota, menunggu angkutan umum jurusan Tanggo
Buntung. Matanya mengitari keadaan sekitar, menoleh
ke kanan-kiri, tangannya memeluk erat tas hitam yang
sudah semakin pudar.
6
Hari ini dia mengajar di bimbel Gama yang
lokasinya terhitung cukup jauh jika dijangkau dengan
menumpang angkot dari rumah. Sudah hampir satu
tahun ini Nina, begitu gadis itu dipanggil, mengajar di
sana, tepatnya setelah menamatkan SMA.
Sepuluh menit Nina berdiri di depan monumen,
namun angkutan umum yang ditunggu tidak kunjung
datang. Hari semakin sore, langit mulai gelap. Dari
roman awan yang menghitam, bisa dipastikan hujan
akan segera turun.
***
Gemuruh langit bernyanyi dengan lantangnya,
hingga hampir memecah gendang telinga. Dada Nina
semakin tidak karuan, seperti diremat-remat. Dia takut
Ibu khawatir, pantaslah dahinya mengernyit rapat
saking gusarnya.
Di rumah tidak ada yang punya HP, jadi sulit untuk
mengabari Ibu, HP miliknya sekarang pun didapat dari
menyisihkan hasil mengajar selama lebih dari enam
bulan. Itu pun hanya HP bekas yang sudah dipakai satu
tahun.
Duh, pasti Ibu cemas. Aku harus gimana, nih?
Gerutu Nina dalam hati. Masih mematung di depan
monumen dengan wajah lusuh.
7
Yang Boket yang Boket yang Boket 1 ...
Ayo, Dek. Masih kosong2 ...
Teriakan kondektur memecah lamunanya. Satu
angkutan umum sudah bertengger di depan mata, tapi
bukan jurusan yang dia tuju. Tak urung dia
mendengus lelah, harapannya hampir pupus saking
lamanya menunggu.
Bulir-bulir hujan sudah mulai turun, diiringi petir
yang saling bersahutan. Langit sudah terlihat gelap
pekat. Sudah hampir magrib, Nina masih saja
menunggu sembari terus berpikir: harus menghubungi
siapa supaya Ibu tidak khawatir?
Dia menepi ke satu halte yang letaknya tidak jauh
dari monumen, lebih dekat ke arah kantor pos. Tidak
ada seorang pun di halte itu. Hanya ada besi yang
bercakap dengan sepi, lalu bercengkerama dengan
angin yang numpang lewat sejak tadi.
Nina memilih duduk saja di kursi besi yang catnya
sudah mengelupas dan mulai berkarat itu, lalu
merogoh tas. Tangannya terampil mengais isi di
dalamnya untuk mengambil HP. Ditelusurinya satu per
satu daftar kontak.
“Mbak Titin, beda lorong.”
1 Yang Bukit yang Bukit yang Bukit.
Bukit: Salah satu wilayah/daerah tempat tinggal di Palembang.
8
“Mimi, beda gang.”
“Mira, dekat terminal.”
“Mona. Nova. Um?”
Kepalanya menggeleng, tidak ada yang bisa
dijadikan perantara penyampai informasi untuk Ibu,
pikirnya. Tangannya kembali menekan tombol scroll
down. Seketika bola matanya berhenti bergerak,
bibirnya menarik senyum.
“Mang Udin. Iya, Mang Udin!”
Tetangga yang tinggal di samping rumahnya itu
mungkin bisa dimintai tolong.
Nomor yang Anda tuju sedang sibuk, silakan coba
sesaat lagi!
“Duh... pakai acara sibuk segala, nih, Mang Udin.”
Nina berdecak ringan, kepalanya mengulang gelengan.
Jemarinya sibuk menekan ulang nomor yang sama.
Setengah menggesek kaki ke lantai. Kali ketiga, telepon
tersambung. Berat suara Mang Udin mulai terdengar.
“Iya. Halo, Nina. Maaf, tadi Mamang lagi teleponan
sama saudara Mamang yang di Jakarta. Ada apa, Nin?”
“Oh, iya. Nggak apa-apa kok, Mang. Ini, Nina cuma
mau minta tolong Mamang sedikit,” katanya, sedikit
lega.
2 Ayo, Dik. Masih kosong.
9
“Iya. Tolong apaan, Nin?” Ramah terdengar suara
Mang Udin di ujung telepon.
“Gini, Mang. Nina sekarang masih di halte,
nungguin angkot lewat. Dari tadi angkotnya belum
datang juga. Nina pengin minta tolong Mang Udin buat
kasih tahu Ibu kalau Nina masih di sini, supaya Ibu
nggak khawatir, Mang.” Bibir bawahnya sedikit digigit.
Merasa merepotkan Mang Udin.
“Oh, iya, iya... kalau begitu, nanti Mamang
sampaikan ke ibu kamu ya, Nin. Kamu hati-hati, ya.
Kalau ada apa-apa, telepon aja Mamang.”
Lembut dan penuh kasih, perhatian Mang Udin
selayaknya seorang ayah.
“Iya, Mang. Makasih banyak, ya.”
Sudut mata Nina terasa basah. Perasaan haru
bercampur bahagia berpesta pora.
“Iya, Nin. Sama-sama,” tutup Mang Udin,
mengakhiri obrolan.
***
Tanggo Bontong, Dek...
10
Ayok... yang Bontong, yang Bontong3...
Detak ratusan detik pun berlalu. Angkutan umum
yang sedari tadi ditunggu, akhirnya datang juga.
Bangku-bangku di dalamnya terlihat lengang. Hanya
ada seorang pak tua dan sepasang anak muda
seumuran Nina duduk di bangku tengah. Dari roman-
romannya, mereka sepertinya pacaran.
Nina sengaja memilih duduk di bangku bagian
belakang, sendirian. Matanya menyipit memandangi
bulir-bulir hujan, pikirannya menerawang jauh menuju
keadaan beberapa tahun silam, ketika hidupnya baik-
baik saja. Ketika Ayah masih mendekapnya hangat di
kala dingin menerpa seperti ini.
Semua nostalgi itu masih mengabadi dalam hati
dan kepalanya. Hanya senyum simpul mengutas di
bibir Nina, melihat binar bahagia kedua pemuda yang
tengah kasmaran itu cukuplah membuat dadanya
ikutan dipenuhi kupu-kupu dan bunga.
***
3 Tanggo Buntung: Salah satu wilayah/daerah tempat tinggal di Palembang.
11
“Kiri, Mang.” Nina turun, lalu mengulurkan tangan
pada kondektur. “Ini, Mang.” Dia lantas membayar
ongkos.
Sedikit bergegas, langkahnya tampak begitu gesit
berjalan menuju rumah. Ditapakinya aspal yang tidak
begitu ramah menyambut jejakan kaki. Lubang-lubang
terisi penuh oleh genangan air hujan barusan, yang
menyisakan tetes-tetes kecil mengiringinya.
Jilbabnya basah dijatuhi bulir hujan. Rok panjang
yang dipakainya juga ikutan basah karena percikan
derap langkahnya. Sepatu tepleknya yang sederhana
pun lembap.
“Assalamu ’alaikum, Bu.”
“Wa ’alaikum salam, tunggu sebentar, ya, Nak.”
Mendengar suara Ibu, hati Nina mendadak tenang.
“Ya ampun, kamu kehujanan, Nak? Ayo cepat
masuk. Nanti Ibu siapkan air panas buat kamu mandi,
habis itu salat dan istirahat. Besok kamu, kan, mau tes.
Jadi, harus sehat. Nggak boleh sakit.”
Wanita dengan sebagian rambut didominasi
warna putih itu beranjak menuju dapur. Menyiapkan
air panas untuk Nina. Kepalanya menggeleng, “Kasihan
gadisku,” katanya lirih. Mengusap sudut mata yang
digenangi air.
12
Kadang, hatinya seperti disambar pilu yang
menderu. Dia ingin Nina berfokus merawat diri supaya
ketika bertemu dengan jodohnya, Nina akan menjadi
sebaik-baiknya istri bagi suaminya. Menjadi ibu rumah
tangga yang mulia bagi anak-anaknya.
“Iya, Bu. Makasih, ya.” Nina menyahuti dari sudut
kamarnya yang mungil.
Tahu-tahu, pandangannya diganggu oleh sosok
yang tengah mengintip dari pintu kamar sebelah. Bulu
kuduknya bergidik. Air mata menetes begitu saja, bak
semburan selang yang mengucuri tanaman hias di
taman rumah.
Wajah itu sungguh membuatnya merasa sedih.
Ada sosok seorang ayah dalam diri laki-laki itu. Ingin
menjerit meratapi nasib, tapi dia tahu betul, apa pun
yang dilakukannya tidak akan mengubah kondisi yang
ada tanpa restu dari pemilik alam semesta.
***