A
48
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Berpikir Kritis
Berpikir kritis bukan merupakan hal yang baru dalam studi
perkembangan kognisi. Menurut Maxwell (2008a), sekitar 2400 tahun
yang lalu Socrates sudah memulainya dengan mengajar siswa-siswanya
melalui pertanyaan-pertanyaan, dialog, dan debat untuk menemukan
berbagai definisi filosofi seperti kebahagiaan, keadilan,
kebajikan, dan lain-lain. Percakapan-percakapan yang dilakukan
Socrates dengan siswa-siswanya tersebut dicatat oleh Plato, salah
seorang siswa kesayangan Socrates, dan diterbitkan dalam buku
Gorgias, Euthyphro, Apology, dan Republic. Dalam dialog-dialognya
tersebut Socrates memberi pertanyaan-pertanyaan yang menguji
keyakinan pemikiran siswanya dan kemudian dikonfrontir dengan
pemikiran siswa lain. Socrates memimpin debat bukan untuk menemukan
jawaban sesungguhnya melainkan untuk membuat siswa bingung dengan
pemikirannya sendiri. Socrates, dengan sikap yang rendah hati dan
ragu-ragu, memposisikan dirinya sebagai siswa yang ingin mengetahui
kebenaran jawaban dari gurunya.
Saat ini studi tentang berpikir kritis sudah menghasilkan banyak
definisi tentang berpikir kritis. Bagi Ennis (Fisher, 2001),
berpikir kritis adalah berpikir yang masuk akal, reflektif, dan
difokuskan pada pengambilan keputusan. Dengan kata lain,
pengambilan keputusan diambil setelah dilakukan refleksi dan
evaluasi. Sementara menurut Scriven dan Paul (Halpern, 1999)
berpikir kritis merupakan proses kognitif yang aktif dan disiplin
serta digunakan dalam aktivitas mental seperti melakukan
konseptualisasi, menerapkan, menganalisis, mensintesis, dan atau
mengevaluasi informasi. Sementara itu The Delphy Report (Facione,
1990) merinci keterampilan-keterampilan yang digolongkan sebagai
keterampilan berpikir kritis, yaitu melakukan interpretasi,
analisis, evaluasi, pengambilan kesimpulan dan menjelaskan. Ketiga
definisi ini pada dasarnya sama, yaitu melakukan evaluasi. Evaluasi
dilakukan untuk merefleksi semua proses yang telah dilakukan
sebelumnya untuk kemudian membuat keputusan yang tepat berdasarkan
evaluasi tersebut. Hal ini sejalan dengan pendapat Halpern (2003)
yang mengatakan bahwa pada saat kita berpikir kritis sebenarnya
kita melakukan evaluasi terhadap proses berpikir kita sendiri
maupun orang lain untuk kemudian mengambil keputusan terhadap
masalah yang kita hadapi.
Adanya evaluasi dalam berpikir kritis menjadikan jenis berpikir
ini sebagai jenis berpikir tingkat tinggi karena untuk dapat
mengevaluasi seseorang harus mampu memahami masalah yang ada, lalu
mengumpulkan data atau informasi yang dibutuhkan, dan kemudian
menganalisis data yang diperoleh. Aktivitas-aktivitas ini
membutuhkan pemikiran yang mendalam, disiplin, dan logis agar dapat
menghasilkan keputusan yang tepat.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas maka kemampuan berpikir
kritis yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kompleks dalam aktivitas mental
seperti interpretasi, analisis, evaluasi, dan pengambilan
keputusan.
Oleh karena tergolong berpikir tingkat tinggi maka pada sebagian
besar masyarakat kemampuan berpikir kritis sering dikaitkan dengan
kecerdasan seseorang. Pada umumnya, orang menganggap bahwa hanya
orang-orang dengan kecerdasan tinggi saja yang mampu berpikir
kritis. Padahal dari beberapa penelitian internasional diperoleh
fakta yang membantah anggapan tersebut. Salah satunya adalah
penelitian kolaboratif Izawa dan Hayden (Halpern, 2003) yang
mendapatkan hasil mencengangkan ketika melakukan penelitian
perbandingan kemampuan berpikir antara siswa-siswa USA dengan
siswa-siswa Jepang di tahun 1993. Dari hasil penelitian tersebut
diperoleh kesimpulan bahwa siswa-siswa terbaik di USA nemiliki
nilai yang lebih buruk dibandingkan siswa-siswa terburuk di Jepang
dalam hal pemecahan masalah. Hasil ini merupakan sebuah ironi
sekaligus bukti bahwa kemampuan berpikir kritis tidak hanya
dimiliki oleh siswa-siswa yang pandai secara akademik saja.
Menurut Paul (The Critical Thinking Community, 2009b) ada dua
hal krusial yang perlu diketahui mengenai berpikir kritis, yaitu:
1) berpikir kritis bukan hanya sekedar berpikir, tapi berpikir
dengan mendatangkan peningkatan kualitas diri; 2) peningkatan ini
datang dari keterampilan dalam penggunaan standar-standar berpikir.
Standar-standar berpikir yang dimaksud Paul adalah: jelas
(clarity), cermat (precision), tegas (specificity), teliti/akurat
(accuracy), relevan (relevance), konsisten (consistency), logis
(logicalness), mendalam (depth), lengkap (completeness), bermakna
(significance), adil (fairness), cukup (adequacy (for purpose) ).
Jadi, berpikir yang baik berarti mendatangkan disiplin dan
pengendalian diri pada berpikir itu sendiri, melalui
standar-standar intelektual, agar dapat meningkatkan kemampuan
berpikir kita menuju kemampuan berpikir kritis yang lebih baik.
Jika kita mengaitkan pendapat Paul dengan hasil penelitian Izawa
dan Hayden di atas, ada kemungkinan bahwa siswa-siswa di USA (pada
tahun 1993) memenuhi lebih sedikit standar berpikir dibandingkan
siswa-siswa di Jepang. Mereka bisa saja pandai secara akademik tapi
tidak biasa menghadapi masalah yang menuntut mereka untuk berpikir
lebih mendalam. Mereka tidak terlatih untuk mengeksplor
kemampuan-kemampuan berpikir mereka melalui standar-standar
berpikir yang baik.
Seorang pemikir kritis memiliki ciri khas tersendiri yang
membedakannya dengan yang lain. Beberapa ahli sudah mencoba merinci
karakter-karakter yang harus dimiliki oleh seorang yang memiliki
kemampuan berpikir kritis. Salah satu hasil yang disajikan di sini
adalah hasil kerja Paul et all. (1990) yang telah membuat daftar
dari 35 dimensi berpikir kritis. Ke-35 dimensi tersebut terbagi
atas tiga kelompok strategi yaitu strategi afektif, strategi
kognitif dengan kemampuan makro, dan strategi kognitif dengan
kemampuan mikro. Strategi afektif terdiri dari 9 sikap yang
menunjang seseorang untuk dapat mengembangkan kemampuan berpikir
kritisnya. Sikap-sikap tersebut antara lain adalah berpikir secara
mandiri, melatih kebebasan berpikir, mengembangkan kerendahan hati
intelektual, membangun keberanian intelektual, dan mengembangkan
ketekunan intelektual. Kesembilan sikap tersebut mengarah pada
sesuatu yang oleh peneliti lain dinamakan disposisi berpikir
kritis.
Sementara itu, strategi kognitif dengan kemampuan makro memuat
15 kemampuan dan strategi kognitif dengan kemampuan mikro memuat 9
kemampuan. Perbedaan kedua strategi ini terletak pada penggunaan
kemampuan-kemampuan tersebut. Kemampuan-kemampuan makro digunakan
pada saat seseorang melakukan aktivitas berpikir untuk
menyelesaikan sebuah masalah. Sedangkan kemampuan-kemampuan mikro
digunakan saat seseorang melakukan aktivitas berpikir dalam
menganalisis suatu informasi (tidak berujung pada pengambilan
keputusan).
Sementara itu The Delphi Report (Facione, 1990) merumuskan
beberapa karakteristik berpikir kritis melalui kemampuan kognitif
dan disposisi afektif. Kemampuan kognitif terdiri dari kemampuan
utama kognitif dan subkemampuan kognitif. Kemampuan utama kognitif
terdiri dari: 1) interpretasi (melakukan katagorisasi, menjelaskan
arti), 2) analisis (meneliti ide-ide, mengidentifikasi dan
menganalisis argumen), 3) evaluasi (menilai pendapat), 4)
pengambilan kesimpulan (mencari bukti dan alternatif, membuat
kesimpulan), 5) menjelaskan (menyatakan hasil, membenarkan
prosedur, dan menyajikan argumen), dan 6) pengaturan diri
(pemeriksaan diri dan koreksi diri).
Untuk sisi afektif The Delphi Report merumuskannya dalam dua
buah pendekatan, yaitu 1) pendekatan untuk hidup dan tinggal dengan
masyarakat umumnya, dan 2) pendekatan untuk menghadapi isu-isu,
pertanyaan-pertanyaan, atau masalah khusus. Pendekatan pertama
menekankan kepada sikap-sikap positif sebagai makhluk sosial,
seperti: rasa ingin tahu dengan masalah di sekitarnya, percaya diri
pada proses berpikir yang benar, bersikap fleksibel, terbuka, dan
adil terhadap pendapat orang lain, mencoba memahami pemikiran orang
lain, dan rendah hati secara intelektual. Sementara pendekatan
kedua lebih fokus pada sikap-sikap positif yang diperlukan saat
seseorang menghadapi suatu masalah, seperti berusaha mencari
kejelasan masalah yang dihadapi, rajin, tekun, sistematis, dan
fokus pada penyelesaian masalah.
Jika dibandingkan dengan karakteristik pemikir kritis yang
disusun Paul dan kawan-kawan, maka karakter kemampuan utama yang
disusun The Delphi Report merupakan rangkuman dari
kemampuan-kemampuan makro dan mikro. Sementara untuk sisi afektif,
karakter yang disusun oleh The Delphi Report lebih rinci dan tegas
dibandingkan karakter yang disusun Paul dan kawan-kawan.
Berdasarkan hasil di atas, tampak bahwa sisi afektif pun turut
mempengaruhi seseorang untuk memiliki karakter sebagai pemikir
kritis. Sisi afektif tersebut dinamakan disposisi berpikir kritis
yang akan dibahas dalam subbab tersendiri.
Cottrell (2005) menjabarkan beberapa keuntungan yang akan
dirasakan seseorang apabila memiliki karakter sebagai pemikir
kritis. Keuntungan-keuntungan tersebut adalah: 1) dapat
meningkatkan perhatian dan pengamatan, 2) lebih fokus dalam
membaca, 3) dapat meningkatkan kemampuan untuk mengidentifikasi
penting atau tidak pentingnya sebuah informasi, 4) meningkatkan
kemampuan untuk merespon sebuah informasi, 5) memiliki kemampuan
menganalisis sesuatu objek dengan baik.
Keuntungan-keuntungan yang dijabarkan di atas, dapat membuat
para pemikir kritis lebih mudah memilih informasi utama dan
mangabaikan informasi yang kurang relevan berdasarkan perhatian dan
pengamatannya. Pentingnya kemampuan untuk memilih informasi utama
tersebut akan membuat seseorang mampu menyelesaikan suatu masalah
dengan analisis yang tepat. Dengan demikian, keputusan-keputusan
yang diambil pun akan berakhir dengan penyelesaian masalah yang
baik.
Salah satu model berpikir kritis yang dikenal saat ini adalah
model yang disusun oleh Richard Paul. Menurut Moseley, D. et
al.(2005) model berpikir kritis dari Richard Paul terdiri atas
empat bagian yaitu 1) elemen-elemen penalaran (sering juga
dinamakan elemen-elemen berpikir); 2). Standar-standar berpikir
kritis; 3) kemampuan-kemampuan intelektual; dan 4) karakter
intelektual. Tiga bagian pertama fokus pada hal-hal penting yang
diperlukan untuk berpikir kritis sementara bagian keempat fokus
pada apa yang diperlukan untuk menjadi pemikir kritis.
Model Richard Paul lebih mengarah kepada cara-cara berpikir yang
benar untuk diaplikasikan ke dalam elemen-elemen berpikir. Hasil
akhir yang dituju adalah untuk mengembangkan karakter-karakter
intelektual. Model ini tidak secara rinci memberikan
langkah-langkah dalam berpikir sementara penelitian ini membutuhkan
model berpikir kritis dengan langkah-langkah yang jelas dalam
pembelajaran.
Halpern (2003) mengungkapkan bahwa pada umumnya manusia berpikir
dalam langkah-langkah metode ilmiah, yaitu dalam pengujian
hipotesis. Langkah-langkah tersebut merupakan langkah-langkah
berpikir seseorang untuk memperoleh kesimpulan atau jawaban akan
suatu masalah yang dihadapinya.
Sejauh ini peneliti belum menemukan referensi mengenai
penelitian berpikir kritis yang menggunakan metode ilmiah sebagai
model dalam berpikir. Pada umumnya model yang ada dalam
penelitian-penelitian berpikir kritis tersebut adalah model
pembelajaran. Model-model pembelajaran tersebut tidak secara
spesifik merinci langkah-langkah berpikir kritis atau membuat
hubungan dengan indikator-indikator berpikir kritis yang diukur.
Akibatnya, keterkaitan antara model atau metode pembelajaran dengan
kemampuan berpikir kritis tidak dapat dijelaskan secara logis.
Untuk keperluan penelitian ini, peneliti menyusun model berpikir
kritis dengan mengikuti langkah-langkah metode ilmiah yang
dikemukakan oleh Dye (2007), yaitu 1) merasakan suatu masalah
(wonder); 2) membuat dugaan-dugaan (hipotesis); 3) melakukan
pengujian; 4) menerima hipotesis yang dianggap benar. (Langkah yang
dilakukan bisa kembali ke langkah (3) jika akibat-akibat yang
diprediksi tidak muncul melalui eksperimen); 5) melakukan tindakan
yang sesuai.
Tabel 2.1 menampilkan langkah-langkah berpikir kritis yang
digunakan dalam penelitian ini yang dikaitkan dengan
langkah-langkah metode ilmiah dari Dye serta dugaan mengenai
kemampuan dan disposisi berpikir kritis yang muncul.
Tabel 2.1
Langkah-Langkah Berpikir Kritis serta Kaitannya dengan
Kemampuan Berpikir Kritis (KBK) dan Disposisi Berpikir Kritis
(DBK)
Langkah-Langkah dalam Metode Ilmiah menurut James
DyeLangkah-Langkah Berpikir Kritis dalam PenelitianKBK yang Mungkin
MunculDBK yang mungkin muncul
1. Merasakan suatu masalah (wonder)1. Fokus pada suatu masalah
atau situasi kontekstual yang dihadapi InterpretasiRasa ingin
tau
Lanjutan dari Tabel 2.1
Langkah-Langkah dalam Metode Ilmiah menurut James
DyeLangkah-Langkah Berpikir Kritis dalam PenelitianKBK yang Mungkin
MunculDBK yang mungkin muncul
2. Membuat dugaan-dugaan atau hipotesis2. Membuat pertanyaan
akan penyebab dan penyelesaiannyaInterpretasi dan analisisAnalitis,
sistematis, berpikir terbuka.
3. Melakukan pengujian3. Mengumpulkan data atau informasi dan
membuat hubungan antar data atau informasi tersebut. Membuat
analisis dengan pertimbangan yang mendalamAnalisisPencarian
kebe-naran, berpikir terbuka, analitis, sistematis, perca-ya
diri
4. Menerima hipotesis yang dianggap benar (Langkah yang
dilakukan bisa kembali ke langkah (3) jika akibat-akibat yang
diprediksi tidak muncul melalui eksperimen)4. Melakukan penilaian
terhadap hasil pada langkah 3.
Penilaian dapat terus dievaluasi dengan kembali ke langkah
3.EvaluasiBerpikir terbuka, analitis, sistema-tis, pencarian
kebenaran
5. Melakukan tindakan yang sesuai5. Mengambil keputusan akan
penyelesaian masalah yang terbaikPengambilan KeputusanPercaya
diri
Langkah-langkah metode ilmiah yang dikemukakan Dye tidak sama
dengan langkah-langkah metode ilmiah murni. Dalam metode ilmiah
murni, peneliti bekerja untuk mendeskripsikan sesuatu bukan
mengevaluasi (Kosso, 2011). Selain itu, menurut Kosso, penarikan
kesimpulan atau pengambilan keputusan dalam langkah-langkah metode
ilmiah murni diperoleh melalui prediksi. Menurut peneliti,
langkah-langkah dalam metode ilmiah yang dikemukakan Dye merupakan
pengembangan dari metode ilmiah murni yang dapat digunakan dalam
lingkup pembelajaran.
B. Disposisi Berpikir Kritis
Menurut Ritchhart (2002) pengertian disposisi itu sendiri
merupakan perkawinan antara kesadaran, motivasi, inklinasi, dan
kemampuan atau pengetahuan yang diamati. Sementara itu Gavriel
Salomon (Tishman dan Andrade, 2009) mendefinisikan disposisi
sebagai kumpulan sikap-sikap pilihan dengan kemampuan yang
memungkinkan sikap-sikap pilihan tadi muncul dengan cara
tertentu.
Definisi-definisi di atas menunjukkan bahwa disposisi merupakan
suatu kecenderungan untuk bersikap, bertindak, atau bertingkah laku
terhadap suatu perlakuan tertentu. Kecenderungan-kecenderungan
tersebut secara alami membentuk pola-pola sikap atau tingkah laku
tertentu pada diri seseorang yang dapat menjadi atribut untuk orang
tersebut. Misalnya, seseorang yang cenderung marah atau tersinggung
apabila padanya diberi suatu kritik maka akan memberi gambaran pada
orang lain mengenai disposisinya yang cepat marah atau tersinggung
meskipun ia tidak dalam kondisi tersebut atau ia tidak sedang
dikritik.
Sementara itu, Ennis (1987) mendefinisikan sebuah disposisi
berpikir sebagai sebuah kecenderungan untuk melakukan sesuatu dalam
kondisi tertentu. Berdasarkan pengertian dan definisi yang
diberikan Ennis di atas, dapat disimpulkan bahwa disposisi berpikir
kritis adalah sebuah kecenderungan untuk bersikap, bertindak, atau
bertingkah laku menuju pola-pola khusus dari tingkah laku berpikir
kritis jika diberikan suatu kondisi atau perlakuan tertentu.
Ada beberapa hasil pelacakan yang merumuskan karakteristik dari
disposisi berpikir kritis, antara lain disusun oleh: Ennis, The
Delphi Report (Facione, 1990), serta Peter A. Facione dan
kawan-kawan. Jika dilihat keterhubungan dari ketiga pendapat ahli
tersebut, maka tampak bahwa ada persamaan persepsi dalam istilah
yang berbeda yang digunakan oleh ketiga sumber tersebut. Agar lebih
jelas, keterhubungan ketiga pendapat tersebut dirangkum dalam tabel
di bawah ini.
Tabel 2.2
Pengelompokan indikator-indikator disposisi berpikir kritis
dari
Facione, Ennis, dan The Delphy Report
Peter Facione dkkRobert EnnisThe Delphy Report
Pencarian Kebenaran
Selalu berusaha mendapat-kan informasi yang benar
Berusaha mencari alternatif lain
Teliti
Fleksibel dalam mempertimbang-kan pendapat atau opini lain
Jujur dalam menilai pemikiran sendiri yang bias, penuh
pra-sangka buruk dengan kecen-derungan yang egosentris.
Kesedian untuk memikirkan kem-bali dan memperbaiki pendapat
pribadi apabila telah dilakukan refleksi secara jujur
Adil dalam menilai setiap pena-laran
Teliti
Berpikiran Terbuka
(mencoba memahami pendapat orang lain)Berpikiran terbuka
Peka terhadap perasaan, tingkat pengetahuan, dan pengalaman
orang lain Berpikiran terbuka dan meng-hargai pendapat yang
berbeda
Memahami pendapat orang lain
Analitis
(Ketekunan dalam menghadapi kesulitan-kesulitan yang muncul)
Fokus pada masalah utama
Tekun dalam mencari penjelasan dari suatu ke-simpulan atau
pertanyaan
Tekun dalam menalarMemilih dan menggunakan kriteria dengan
alasan yang tepat
Fokus pada masalah utama
Tekun dalam menghadapi kesu-litan yang muncul
Sistimatis
Tertib dalam bekerjaRajin dalam mencari in-formasi atau alasan
yang relevan
Jelas dalam menyatakan suatu pertanyaan atau suatu objek
perhatianTertib dalam bekerja
Rajin mencari informasi yang relevan
Lanjutan Tabel 2.2
Peter Facione dkkRobert EnnisThe Delphy Report
Kepercayaan diri dalam Berpikir Kritis
Menggunakan sumber-sumber yang dapat dipercayaPercaya diri pada
proses inkuiri yang diyakini benar
Percaya diri pada penalaran orang lain yang diyakini benar
Rasa Ingin Tahu
Mencoba menggunakan hasil berpikir orang lain
Menunjukkan rasa ingin tahu terhadap sesuatu atau isu yang
berkembang
Kedewasaan dalam Pengambilan Keputusan
Bersedia mengubah pendapat pribadi jika terbukti salahSelalu
siap dalam menggu-nakan kemampuan berpikir kritis
Santun dalam memberi peni-laian terhadap pendapat orang lain
Pemikir kritis yang baik harus memiliki kemampuan dan disposisi
berpikir kritis yang baik juga. Disposisi berpikir kritis memegang
kendali seseorang untuk menjalani kemampuan berpikir kritisnya.
Menurut Cottrell (2005) pemikiran seseorang akan sulit akurat jika
kondisi afektifnya kurang baik. Sikap atau disposisi yang kurang
baik akan mempengaruhi kemampuan-kemampuan untuk mengamati dan
menganalisis dengan cermat. Akibatnya, keputusan yang diambil pun
kurang tepat.
Secara teori ada hubungan antara kemampuan dan disposisi
berpikir kritis. Akan tetapi tidak semua individu pemikir kritis
memiliki keduanya. Ricketts (2004) menemukan bahwa kemampuan
berpikir kritis memiliki hubungan yang lemah dengan salah satu
indikator disposisi berpikir kritis, yaitu kedewasaan dalam
pengambilan keputusan. Menurut Ricketts rendahnya hubungan tersebut
diduga karena rendahnya level pencapaian yang menggunakan penilaian
dikotomi. Berdasarkan penelitian Ricketts tersebut penelitian ini
tidak menyertakan indikator kedewasaan dalam pengambilan keputusan
dalam pengukuran. Alasan ini peneliti ambil mengingat kondisi
psikis siswa SMA yang masih labil dan belum sepenuhnya dewasa dalam
pengambilan keputusan.C. Pembelajaran Berpikir Kritis
John Dewey (Johnson, 2002) mengatakan bahwa di atas segalanya
sekolah seharusnya mengajarkan siswa untuk berpikir. Sekolah bukan
hanya semata tempat guru mentransfer ilmu yang dimilikinya akan
tetapi, lebih dari itu, juga merupakan tempat dengan siswa
mengembangkan kemampuan berpikirnya secara maksimal.
Saat ini studi tentang berpikir kritis menjadi topik penting
dalam pendidikan modern. Hampir semua ahli pendidikan tertarik
untuk mempelajari, meneliti, dan mengembangkannya dalam berbagai
bidang pendidikan. Tuntutan dan kebutuhan akan studi ini membawa
perubahan paradigma pembelajaran konvensional menuju pembelajaran
berpikir.
Apakah dalam pembelajaran konvensional, khususnya matematika,
tidak ada aktivitas berpikir? Tentu saja ada. Hanya saja dalam
pembelajaran konvensional guru matematika merasa sudah cukup dengan
mengajarkan rumus-rumus matematika dan dilanjutkan dengan meminta
siswa menghapalnya dan mengerjakan soal-soal rutin. Menurut Peter
Appelbaum (Kincheloe dan Weil, 2004), sebagian besar guru
matematika sudah merasa memberlakukan pembelajaran berpikir kritis
di kelas mereka. Pendapat guru-guru tersebut bisa saja benar karena
pada kenyataannya dengan mempelajari matematika siswa menjadi aktif
berpikir. Matematika yang bersifat rasional, sistematis, jelas,
memiliki bahasa yang ringkas, memiliki asumsi-asumsi, dan memiliki
berbagai teknik pengambilan keputusan memang menuntut siswa untuk
berpikir menyelesaikan masalah yang diberikan. Oleh karena itu,
para guru merasa sah-sah saja jika senantiasa memberikan soal-soal
rutin kepada siswa mereka. Mereka merasa hal itu sudah teramat
cukup untuk membuat siswa mereka berpikir keras.
Pendapat di atas sudah jelas keliru. Siswa yang pandai
menyelesaikan soal-soal rutin belum bisa dinamakan seorang pemikir
kritis. Menurut Lau & Chan (2009), seseorang yang memiliki
ingatan yang baik dan mengetahui banyak fakta belum tentu baik
dalam berpikir kritis. Sejalan dengan itu, Adam & Hamm (1994)
mengatakan bahwa, berpikir kritis muncul saat siswa mengkonstruksi
makna melalui interpretasi, analisis, dan manipulasi informasi
dalam merespon sebuah masalah atau pertanyaan yang membutuhkan
lebih dari sebuah aplikasi jawaban tunggal yang benar dan langsung
dari pengetahuan yang lebih dahulu diketahui. Berdasarkan dua
pendapat terakhir, dapat dikatakan bahwa untuk bisa dinamakan
pemikir kritis, siswa harus dilatih atau dihadapkan dengan
masalah-masalah atau pertanyaan-pertanyaan kompleks dalam aktivitas
mental seperti pemecahan masalah, menganalisis, mengevaluasi,
pengambilan keputusan, inkuiri, dan lain-lain. Siswa harus mampu
menyelesaikan masalah-masalah tersebut dengan ide dari dirinya
sendiri.
Pembelajaran berpikir kritis dapat dilaksanakan oleh guru di
mana saja berada. Menurut Noddings (2006) pembelajaran berpikir
kritis dapat dilaksanakan dengan cara mendengarkan, berpikir, dan
membicarakan isu-isu kontroversial yang ada di sekitar siswa. Siswa
diharapkan dapat mengembangkan kemampuan dan disposisi berpikir
kritis mereka melalui dialog-dialog kritis dan atraktif yang
dipimpin oleh guru.
Cottrell (2005) mengatakan bahwa salah satu cara terbaik yang
dapat membuat siswa memahami sesuatu adalah dengan memberi
kesempatan pada siswa untuk melakukan observasi dan menemukan atau
mengonstruksi konsep dengan caranya sendiri. Pemahaman mendalam
yang datang dari pengalaman langsung akan lebih mudah diterima dan
diingat siswa apabila dilakukan bersama-sama teman-temannya. Kerja
sama yang baik dalam kelompok dapat membuat siswa yang kurang
pandai lebih termotivasi untuk belajar sementara siswa yang lebih
pandai dapat mengembangkan disposisi berpikirnya dengan lebih
baik.
Pendapat Noddings dan Cortnell di atas menunjukkan bahwa
pentingnya siswa diberi pengalaman langsung untuk mengonstruksi
pengetahuan. Penting juga mengajak siswa untuk berdialog
membicarakan isu-isu kontroversial yang terkait dengan pembelajaran
mereka. Dialog yang disajikan tidak bertujuan hanya untuk mencari
kebenaran semata akan tetapi juga untuk membuka wawasan berpikir
siswa tentang pemikiran orang lain di luar dirinya. Bahkan menurut
Paul (Costa, 2001) dialog yang sehat dan interaktif dapat
meningkatkan kemampuan berpikir kritis seseorang.
Dalam pembelajaran berpikir kritis, guru pun sebaiknya
menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang terstruktur dan sistematis
untuk menggiring pemahaman siswa menuju konsep yang diinginkan.
Pertanyaan-pertanyaan seperti Bagaimana kita mengetahui bahwa, atau
Mengapa kita mempercayai dapat membuat siswa berpikir lebih kritis
dan maju. Pertanyaan-pertanyaan open-ended semacam itu dapat
menghasilkan jawaban yang berbeda-beda dari siswa yang memungkinkan
siswa untuk berdialog dalam memahami perbedaan pendapat yang
muncul. Pertanyaan-pertanyaan semacam itu pun memicu kemampuan
berpikir siswa untuk menentukan pendapat yang bisa diterima dan
logis. Guru dapat mengkombinasikan bentuk-bentuk pertanyaan kritis
tersebut dalam kegiatan-kegiatan pembelajaran lainnya seperti
demonstrasi, eksperimen, diskusi, scaffolding, dan lain-lain.
D. Fungsi-Fungsi Pertanyaan dalam Pembelajaran
Dari sekian banyak keterampilan mengajar yang dimilik guru
tampak bahwa keterampilan bertanyalah yang paling banyak dipakai
dalam semua level kelas dan semua kegiatan pembelajaran. Guru
banyak menggunakan pertanyaan untuk berbagai tujuan.
Adapun fungsi-fungsi pertanyaan dalam pembelajaran di kelas
adalah sebagai berikut:
a. Merangsang Aktivitas Berpikir
Menurut Burns (1985) memberi pertanyaan merupakan bagian penting
dari kemampuan guru untuk menghasilkan atmosfer kelas yang kondusif
untuk mengembangkan kemampuan berpikir matematika. Selain itu,
menurut Dilon (1982) dan Wilen (1992) pertanyaan-pertanyaan guru
dapat menstimulasi pemikiran siswa, memfasilitasi diskusi-diskusi
kelas, membangkitkan ekspresi, dan menyelidiki proses berpikir
sebaik mungkin. Hal ini penting sekali untuk siswa-siswa muda yang
memiliki aktivitas mental yang sangat dependen. Wilen (1992)
mengatakan bahwa sebuah pertanyaan dapat menumbuhkan rasa ingin
tahu dan merangsang aktivitas mental siswa. Dalam menjawab
pertanyaan-pertanyaan guru, siswa harus membuat penggunaan
operasi-operasi berpikir mereka, seperti membandingkan,
menkontraskan, atau mengelompokkan, dan lain-lain. Sesudah siswa
memberikan jawaban mereka, Bulgar, et al. (2002) menyarankan agar
guru menggunakan pertanyaan-pertanyaan responsif untuk mendapatkan
penjelasan-penjelasan, untuk menolong siswa mengembangkan kebenaran
(justifikasi) yang sesuai, dan untuk mengalihkan perhatian mereka
saat mereka terlibat dalam penalaran yang salah. Selain itu, hal
tersebut digunakan untuk membantu siswa menguji ide-ide mereka dan
ide-ide orang lain. Kedalaman proses elicit ini, menurut Wilen
(1992), sangat bermakna untuk para siswa. Dengan demikian, menurut
Sund & Carin (1978), memberi pertanyaan merupakan sesuatu yang
berguna untuk menjelaskan dan memperluas pemikiran.
Pertanyaan-pertanyaan dapat menjadi sebuah katalisator yang mampu
memotivasi siswa untuk melakukan penilaian terhadap ide-ide mereka
sendiri dan menjelaskan ide-ide tersebut kepada siswa lain. Hal
ini, pada gilirannya, memiliki pengaruh dalam mengembangkan
pemikiran yang lebih dalam mengenai ide-ide yang termuat dalam
situasi-situasi masalah.
b. Memfasilitasi Komunikasi
Melalui pertanyaan-pertanyaan, guru dapat mengkomunikasikan
elemen-elemen pelajaran dengan siswa mereka. Dengan menjawab
pertanyaan-pertanyaan guru, siswa harus mampu meningkatkan
pandangan mereka, mengatur ekspresi mereka, menunjukkan hasil
belajar mereka, dan memainkan pemikiran logis mereka. Sebagai
tambahan, melalui ide-ide yang didiskusikan, siswa dapat belajar
melalui teman-teman mereka. Martini & Maher (1999) dan Kon-ming
(2003) menganjurkan agar siswa diberi kesempatan untuk memainkan
peran yang lebih aktif dalam pembelajaran mereka dan siswa lain.
Hal ini akan membangun komunitas kelas yang mendatangkan
partisipasi aktif siswa, kepercayaan diri siswa, dan kemajuan dalam
belajar .
Jika pertanyaan itu dimunculkan oleh siswa, maka siswa belajar
untuk memberi pertanyaan yang baik dan menerima umpan balik dari
pertanyaan-pertanyaan tersebut Menurut Brain (1998) seorang siswa
yang memberikan sebuah pertanyaan terkait dengan pelajarannya,
berarti sudah menempatkan dirinya sebagai seorang peneliti.
Pendapat Brain bisa diterima mengingat pekerjaan awal seorang
peneliti adalah mengidentifikasi masalah. Selama mengidentifikasi
masalah akan muncul pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan
jawaban.
Komunikasi kelas yang sehat dapat dijembatani oleh
pertanyaan-pertanyaan guru yang sesuai dan tepat waktu. Itulah yang
membuat Hunkins (1976) menegaskan bahwa untuk memperoleh
ketertarikan-ketertarikan dan perasaan-perasaan senang siswa dalam
belajar, guru dapat mengawali pembelajaran melalui
pertanyaan-pertanyaan kognitif level rendah.
c. Memperkuat Konseptualisasi
Jika sebagai guru kita mengetahui apa yang sudah dipahami siswa
maka menurut Vace (1993) kita dapat menolong mereka menggunakan
pemahaman yang mereka miliki tersebut untuk membentuk pengetahuan
baru. Ini merupakan langkah pertama untuk menolong siswa membentuk
konsep pembelajaran baru dengan mengidentifikasi pengetahuan awal
mereka melalui pertanyaan-pertanyaan ingatan. Kon-ming (2003)
mengatakan bahwa selama proses pembelajaran, guru harus mengalihkan
pertanyaan-pertanyaan untuk mendapatkan lebih banyak respon,
menggali pertanyaan-pertanyaan untuk mendapatkan respon yang lebih
baik, dan memeriksa pertanyaan-pertanyaan untuk pemahaman yang
benar. Jawaban-jawaban yang bersifat ingatan dapat dipandang
sebagai sebuah batu loncatan untuk bentuk pemahaman yang lebih
tinggi. Menurut Wilen (1992), melalui bertanya guru dapat
mengevaluasi kesiapan, pengembangan konsep pendukung, memperkuat
pemahaman, dan meminta siswa untuk teliti. Selanjutnya,
pembelajaran afektif sama pentingnya dengan pembelajaran kognitif.
Oleh sebab itu, pertanyaan-pertanyaan guru harus terstruktur dan
sistematis agar dapat menolong siswa bekerja memahami suatu nilai,
misal menolong siswa menjelaskan seberapa kuat keyakinannya
terhadap sebuah nilai.
d. Menilai Pembelajaran
Menurut Brain (1998) pertanyaan-pertanyaan akan memberitahu guru
bahwa siswa-siswanya dapat memahami dan memikirkan tentang apa yang
dikatakan guru. Ini merupakan hal yang umum dilakukan guru untuk
menilai hasil pembelajaran melalui pertanyaan-pertanyaan formal
maupun informal. Diagnosa tingkat penguasaan siswa diperoleh
berdasarkan jawaban-jawaban mereka. Yang harus diperhatikan,
menurut Brain (1998), jika pertanyaan guru terlalu tinggi melebihi
level pengetahuan siswa, maka siswa akan berhenti untuk berpikir
serta tidak ingin bertanya lebih lanjut. Selain hal-hal di atas,
pertanyaan-pertanyaan yang diberikan guru akan memberi tahu guru
bahwa siswa-siswanya tengah tidur atau terjaga.
E. Metode Socrates
Menurut Maxwell (2008a), Metode Socrates dinamakan demikian
untuk mengabadikan nama penciptanya. Socrates (469-399 BC)
merupakan filsuf Yunani, yang tinggal di Athena selama masa
kejayaan Yunani. Ayahnya adalah Sopronicus, seorang pemahat batu,
dan ibunya adalah Phaenarete seorang bidan.
Socrates dikenal di Athena pada saat dia berusia empat puluhan
tahun karena kebiasaannya terlibat dalam percakapan filosofi di
lingkungan publik maupun swasta. Subjek percakapan yang sering
diperbincangkan bergulir sekitar mendefinisikan hal-hal seperti,
keadilan, keindahan, keberanian, kesederhanaan, persahabatan, dan
kebaikan. Pelacakan definisi difokuskan pada kebenaran alami dari
sifat subjek melalui pertanyaan dan tidak hanya pada bagaimana kata
tersebut digunakan dengan benar dalam kalimat. Gaya percakapan
Socrates sendiri melibatkan penolakan/penyangkalan pengetahuan.
Dalam percakapan-percakapan tersebut, Socrates bersikap sebagai
siswa dan lawan bicaranya dianggap sebagai guru. All I know is that
I know nothing. Itulah salah satu filosofi Socrates.
Dalam pembelajaran, Jones, Bagford, dan Walen (1979)
mendefinisikan Metode Socrates sebagai sebuah proses diskusi yang
dipimpin guru untuk membuat siswa mempertanyakan validitas
penalarannya atau untuk mencapai sebuah kesimpulan. Sementara
Maxwell (2008a) mendefinisikan Metode Socrates sebagai a process of
inductive questioning used to successfully lead a person to
knowledge through small steps.
Dari definisi-definisi di atas, dapat ditarik suatu gambaran
mengenai Metode Socrates, yaitu:
i). Metode Socrates merupakan sebuah metode yang memuat dialog
atau diskusi yang dipimpin oleh guru. Pentingnya guru dalam
memimpin dialog atau diskusi ini karena hanya gurulah yang tahu
tujuan pembelajaran yang akan dicapai.
ii). Metode Socrates memuat pertanyaan-pertanyaan induktif,
dimulai dari pertanyaan-pertanyaan sederhana sampai kompleks, yang
digunakan untuk menguji validitas keyakinan siswa terhadap suatu
objek.
iii) Metode Socrates merupakan metode yang konstruktif bagi
siswa.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Metode
Socrates adalah metode yang memuat dialog atau diskusi yang
dipimpin oleh guru melalui pertanyaan-pertanyaan induktif untuk
menguji validitas keyakinan siswa akan suatu objek dan membuat
kesimpulan yang benar akan objek tersebut secara konstruktif.
Seluruh percakapan dalam Metode Socrates merupakan percakapan
yang bersifat konstruktif dan menggunakan pertanyaan-pertanyaan
Socrates. Menurut Permalink (2006), Richard Paul telah menyusun
enam jenis pertanyaan Socrates dan memberi contoh-contohnya. Keenam
jenis pertanyaan tersebut adalah pertanyaan klarifikasi,
asumsi-asumsi penyelidikan, alasan-alasan dan bukti penyelidikan,
titik pandang dan persepsi, implikasi dan konsekuensi penyelidikan,
dan pertanyaan tentang pertanyaan. Jenis-jenis pertanyaan Socrates,
contoh-contoh pertanyaan, serta kaitannya dengan kemampuan dan
disposisi berpikir kritis dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2.3
Jenis-Jenis Pertanyan Socrates serta Kaitannya dengan
Kemampuan dan Disposisi Berpikir Kritis
NoTipe PertanyaanContoh PertanyaanKemampuan Berpikir Kritis yang
mungkin munculDisposisi Berpikir Kritis yang mungkin muncul
1.KlarifikasiApa yang anda maksud dengan .?
Dapatkah anda mengambil cara lain?
Dapatkah anda memberikan saya sebuah contoh?Interpretasi,
analisis, evaluasi
Pencarian Kebenaran, . Berpikiran Terbuka, Analitis, Sistimatis,
Rasa Ingin Tahu
2.Asumsi-asumsi Penye-lidikanApa yang anda asumsikan?
Bagaimana anda bisa memilih asumsi-asumsi itu?Interpretasi,
analisis, evaluasi, pengambilan keputusanPencarian Kebenaran, .
Berpikiran Terbuka, Analitis, Kepercayaan Diri dalam Berpikir
Kritis, Rasa Ingin Tahu
Lanjutan Tabel 2.3
NoTipe PertanyaanContoh PertanyaanKemampuan Berpikir Kritis yang
mungkin munculDisposisi Berpikir Kritis yang mungkin muncul
3.Alasan-alasan dan bukti Pe-nyelidikanBagaimana anda bisa
tahu?
Mengapa anda berpikir bahwa itu benar?
Apa yang dapat mengubah pemikiran anda?Evaluasi,
analisisPencarian Kebenaran, Berpikiran Terbuka Analitis,
Sistimatis, Kepercayaan Diri dalam Berpikir Kritis, Rasa Ingin
Tahu
4.Titik pandang dan persepsiApa yang anda bayangkan dengan hal
tersebut?
Efek apa yang dapat diperoleh?
Apa alternatifnya?Analisis, evaluasiBerpikiran Terbuka,
Analitis, Kepercayaan Diri dalam Berpikir Kritis, Rasa Ingin
Tahu
5. Implikasi dan Konsekuensi PenyelidikanBagaimana kita dapat
menemukannya?
Apa isu pentingnya?
Generalisasi apa yang dapat kita buat?AnalisisAnalitis
Sistimatis, Kepercayaan Diri dalam Berpikir Kritis
6.Pertanyaan tentang pertanyaanApa maksudnya?
Apa yang menjadi poin dari per-tanyaan ini?
Mengapa anda berpikir saya bisa men-jawab pertanyaan
ini?Interpretasi, analisis, pengambilan keputusanPencarian
Kebenaran, . Berpikiran Terbuka, Analitis Sistimatis, Rasa Ingin
Tahu
Menurut Maxwell (2008a), bekerjanya Metode Socrates untuk
kemampuan berpikir kritis meliputi dua daerah dampak, yaitu The
Safety Factor dan The Preference Factor.Kedua daerah dampak
tersebut mempengaruhi kesehatan psikologi manusia yang terkait
dengan kemampuan mereka untuk berpikir kritis.
The Safety Factor (Faktor Keselamatan)Kita tidak dapat
mengembangkan kemampuan berpikir kritis tanpa mengembangkan
kemampuan bertanya tentang sesuatu dan segala sesuatu. Orang-orang
yang takut untuk bertanya sering tidak mampu untuk berpikir kritis.
Untuk itu faktor keselamatan atau keamanan siswa harus menjadi
perhatian guru.
Ketika menjawab atau mengajukan pertanyaan, siswa harus memiliki
rasa aman dan nyaman yang dijamin oleh guru. Guru, melalui sikap
yang ditampilkan dan pertanyaan yang diajukan, harus mampu
meyakinkan siswa bahwa mereka tidak dalam proses intimidasi. Dengan
demikian, siswa akan lebih mudah mengeksplor kemampuan berpikir
kritisnya dengan baik karena merasa tidak ada tekanan atau paksaan
yang menakutkan mereka.
The Preference Factor (Factor yang Lebih Disukai)Berpikir kritis
bukanlah suatu keterampilan yang dapat diterapkan untuk segala hal.
Seseorang dapat berpikir sangat kritis pada suatu isu tetapi tidak
pada isu lain. Seseorang dapat membangun kapasitas yang luar biasa
untuk tetap berpikir kritis jika isu yang dibicarakan merupakan
sesuatu yang mereka suka atau mereka kenal dengan baik. Untuk itu,
guru harus mampu menyusun pertanyaan-pertanyaan yang memuat suatu
kejadian atau isu yang diketahui dengan baik oleh seluruh
siswa.
Ada dua hal pokok yang membedakan Metode Socrates dengan metode
tanya-jawab lainnya. Pertama, Metode Socrates dibangun di atas
asumsi bahwa pengetahuan sudah berada dalam diri siswa dan
pertanyaan-pertanyaan atau komentar-komentar yang tepat dapat
menyebabkan pengetahuan tersebut muncul ke permukaan (Jones,
Bagford, dan Walen, 1997; Wenger, 2004). Hal ini menunjukkan, bahwa
sebenarnya siswa sudah memiliki pengetahuan yang dimaksud hanya
saja belum menyadarinya. Adalah tugas guru atau tutor untuk menarik
keluar pengetahuan tersebut agar dapat dirasakan keberadaannya oleh
siswa. Sebagai contoh, ketika guru hendak menjelaskan pengertian
serta perbedaan antara permutasi dan kombinasi, sebaiknya guru
memberikan banyak eksperimen dan pertanyaan yang dapat membantu
siswa mengonstruksi pengertian dan perbedaan antara permutasi dan
kombinasi secara mandiri.
Kedua, pertanyaan-pertanyaan dalam Metode Socrates digunakan
untuk menguji validitas keyakinan siswa mengenai suatu objek secara
mendalam (Jones, Bagford, dan Walen, 1997 ; Ross, V., 2003). Hal
ini menunjukkan jawaban yang diberikan siswa harus dipertanyakan
lagi sehingga siswa yakin bahwa jawabannya benar atau salah. Guru
tidak boleh berhenti bertanya sebelum yakin bahwa jawaban siswa
sudah tervalidasi dengan baik. Pertanyaan-pertanyaan lanjutan
tersebut dapat berupa:
Mengapa anda yakin dengan jawaban itu?
Bagaimana jika ?
Apa yang menjadi landasan atau dasar jawaban anda?
Menurut anda, apa yang membuat ini tidak berlaku?
Dengan demikian, apakah anda masih yakin dengan jawaban pertama
anda tadi?
Melalui pertanyaan-pertanyaan Socrates di atas, siswa dituntut
untuk menggali dan menganalisis sendiri pemahamannya sehingga ia
sampai pada suatu kesimpulan bahwa jawabannya benar atau salah. Hal
ini menunjukkan bahwa pertanyaan-pertanyaan Socrates yang kritis
serta diajukan secara sistematis dan logis secara nyata mampu
mengeksplor seluruh kemampuan berpikir kritis siswa untuk
mendapatkan hakikat kebenaran suatu objek.
F. Kontribusi Teoritis Metode Socrates terhadap Kemampuan dan
Disposisi Berpikir Kritis
Bagaimana pertanyaan-pertanyaan Socrates dapat meningkatkan
kemampuan berpikir kritis tidak hanya pada siswa melainkan juga
pada guru? Untuk itu pandanglah contoh soal di bawah ini.
Lima orang pelari cepat, namakan: A, B, C, D, dan E akan
memperebutkan juara I, II, III, dan Harapan I. Pelari A sesumbar
dengan mengatakan bahwa dirinya akan menjadi pemenang I. Sementara
B yakin bahwa ia akan selalu mendahului A.
(a). Informasi apa yang anda tangkap melalui cerita di atas?
(b). Jika anda harus memilih, pendapat siapakah (A atau B) yang
berpeluang
besar untuk terbukti?
(c). Jika A pelari berpengalaman sementara yang lain tidak,
saran apakah yang
anda berikan ke panitya agar permainan fair.
Coba perhatikan pertanyaan (a). Secara implisit, pertanyaan
tersebut bertujuan untuk menggali interpretasi siswa terhadap makna
soal. Jika siswa belum mampu menjawabnya, guru dapat mengganti
pertanyaan tersebut dengan pertanyaan-pertanyaan ringan sebagai
berikut:
Guru: Ada berapa orang yang mengikuti lomba dan berapa posisi
yang
diperebutkan? Andi.
Andi: Ada lima orang peserta dan empat posisi, Bu.
Guru: Ya. Menurut kalian, 5 peserta dengan 4 posisi yang berbeda
itu
menunjukkan kejadian apa? Mirna.
Mirna: Kombinasi, Bu.
Guru: Bagaimana kamu bisa yakin kalau itu kombinasi?
Mirna: Karena berbeda posisi berbeda hadiahnya, berbeda
perasaannya.
Guru : Baiklah. Coba ingat kembali eksperimen-eksperimen yang
kita lakukan kemarin, terutama tentang pemilihan pegawai. Ada
pemilihan empat orang office boy dan ada pemilihan empat orang
masing-masing sebagai direktur, wakil direktur, manajer, dan
satpam. Menurutmu, soal yang kita hadapi hari ini memiliki
karakteristik yang sama dengan eksperimen yang mana?
Mirna : Ooo... Sama dengan pemilihan direktur, wakil direktur,
manajer, dan satpam, bu.
Guru : Bagaimana kamu yakin bahwa keduanya memiliki
karakteristik yang sama?
Mirna : Karena orang yang terpilih sebagai direktur berbeda
perasaan senang dan gajinya jika dibandingkan dengan orang yang
terpilih sebagai wakil direktur, manajer, atau satpam. Hal ini sama
dengan terpilihnya seseorang menjadi Juara I, II, atau III.
Guru : Nah, eksperimen tentang pemilihan direktur, wakil
direktur, manajer, dan satpam itu kemarin tergolong kejadian
apa?
Mirna : Permutasi, bu
Guru : Kalau begitu, contoh soal kita hari ini tergolong
kejadian apa?
Mirna : Permutasi, bu
Guru : Kamu yakin dengan jawabanmu?
Mirna : Yakin, bu.
Guru : Apa yang membuatmu yakin?
Mirna : Bahwa kejadian-kejadian permutasi adalah
kejadian-kejadian pemilihan objek yang urutannya diperhatikan.
Perbedaan urutan akan menyebabkan perbedaan makna. Melihat dari
contoh soal hari ini, jelas bahwa perbedaan urutan juara akan
menyebabkan perbedaan hadiah dan rasa bangga.
Guru: Ya, benar.
Begitu seterusnya sampai siswa bisa mengambil kesimpulan atas
pertanyaan yang dimaksud.
Perhatikan, bahwa ketika siswa sulit memahami maksud soal, guru
harus mengubah bentuk pertanyaan menjadi lebih sederhana dan mudah
dipahami siswa. Dalam hal ini, menurut Mason (2002), guru harus
peka (sensitif) dalam mengamati (noticing) masalah yang dialami
siswa-siswanya. Kepekaan atau sensitivitas guru, menentukan
kualitas profesionalismenya dalam menyelesaikan masalah di kelas.
Selanjutnya, berdasarkan pengamatan tersebut guru dapat menandai
(marking) beberapa prilaku kognitif siswa yang mungkin dapat
menghambat atau memperlancar dialog atau diskusi kelas. Kata-kata
seperti bagus, atau baik, atau oh ya? merupakan sinyal pengamatan
guru dalam menandai proses berpikir seorang siswa yang juga bisa
disimak dan diterjemahkan oleh siswa lain. Siswa lain dapat
mengomentari, menambahkan, bahkan menyangkal pernyataan sebelumnya
berdasarkan sinyal-sinyal yang diberikan oleh guru. Guru pun
sebaiknya melakukan rekaman (recording) terhadap dialog yang
terjadi untuk dianalisis atau dikembangkan lebih lanjut. Maxwell
(2008a) menjelaskan, bahwa pada saat dialog berlangsung guru harus
selalu berusaha memberi pertanyaan yang mampu dijawab siswa. Jika
siswa belum bisa menjawab karena belum memahami maksud soal atau
karena belum tahu jawaban yang sebenarnya, maka guru harus berusaha
mengubah bentuk pertanyaan menjadi lebih sederhana. Guru tidak
diperkenankan bergerak maju menuju konsep lain jika konsep yang
ditanyakan ke siswa belum bisa dijawab atau belum dipahami
sepenuhnya oleh siswa.
Untuk mengatasi hal di atas guru harus melakukan proses
asimilasi, yaitu proses pemasukan informasi yang sesuai dengan
skema yang dimiliki siswa (Leonard, 2002). Gagasan yang dilakukan
guru tersebut juga berlaku umum di antara para peneliti di
lapangan, seperti yang dinyatakan oleh Skemp (Ben-Hur, 2006), bahwa
untuk memahami sesuatu dalam matematika adalah dengan melakukan
asimilasi ke dalam skema yang sesuai.
Tidak menutup kemungkinan bahwa guru pun melakukan proses
akomodasi, yaitu proses pemasukan informasi yang tidak sesuai
dengan skema yang dimiliki siswa (Leonard, 2002). Jelas akan
terjadi ketidakseimbangan (disequilibrium) dalam perubahan struktur
kognitif siswa. Akan tetapi, melalui latihan-latihan dan
contoh-contoh soal di kelas diharapkan siswa segera beradaptasi
sehingga kondisi seimbang (equilibrium) struktur kognitif siswa
segera tercapai. Proses asimilasi dan akomodasi, sebagaimana yang
diteorikan oleh Jean Piaget (Leonard, 2002), dapat digunakan
bergantian sesuai dengan kebutuhan dan tingkat perkembangan
kognitif siswa.
Langkah-langkah guru dalam memberi pertanyaan-pertanyaan yang
konstruktif dapat dipandang sebagai bentuk scafolding. Bentuk
scafolding di atas sangat bersesuaian dengan Teori Vigotsky
terutama mengenai Zone of Proximal Development (ZPD) siswa, yang
mengatakan bahwa dalam taraf pembelajaran anak dibantu oleh orang
dewasa secara bertahap untuk kemudian dihilangkan (Slavin, 2006).
Pada akhirnya, siswa diduga dapat mengkonstruksi sendiri
pengetahuannya melalui sistematika berpikir kritis yang
diperolehnya melalui pertanyaan-pertanyaan Socrates.
Penggunaan Safety Factor dan Preference Factor dalam metode ini
ternyata mendekatkan Metode Socrates pada pendidikan humanisme.
Menurut Maslow (Rachmana, 2008) dalam proses belajar-mengajar
misalnya, guru harus memperhatikan kebutuhan-kebutuhan siswa agar
memiliki motivasi yang kuat dalam belajar. Sejalan dengan itu, Carl
Rogers (Rachmana, 2008) juga berpendapat bahwa terdapat
prinsip-prinsip belajar yang humanistik, yang meliputi hasrat untuk
belajar, belajar yang berarti, belajar tanpa ancaman, belajar atas
inisiatif sendiri, dan belajar untuk perubahan, yang mempengaruhi
aspek kognitif dan afektif siswa. Pendapat-pendapat yang
dikemukakan Maslow maupun Carl Rogers menegaskan bahwa siswa akan
senang belajar jika kebutuhan atau hasrat dalam dirinya sudah
terpenuhi dengan baik. Guru tidak perlu menyalahkan siswa jika
tidak bisa menunjukkan performa yang baik dalam belajar. Guru harus
terlebih dulu mengatasi masalah yang dihadapi siswa dalam belajar
sebelum melanjutkan pelajaran.
Jika dikaitkan dengan kebutuhan akan kemampuan dan disposisi
berpikir kritis, maka pendapat Maslow maupun Carl Rogers sangat
memenuhi kebutuhan tersebut. Siswa yang siap belajar akan mampu
mengembangkan seluruh kemampuan kognitif dan afektifnya dengan
baik. Pembelajaran matematika dengan menggunakan Metode Socrates
secara teoritis diyakini mampu meningkatkan kemampuan dan disposisi
berpikir kritis siswa. Di dalam pembelajaran tersebut, siswa
dibimbing melalui pertanyaan-pertanyaan Socrates untuk
mengkonstruksi pengetahuan barunya secara kritis. Selain itu ada
dialog yang cukup kondusif dan dinamis antara guru dan siswa
sehingga tercipta suasana belajar yang menyenangkan dan
membangkitkan semangat untuk terus menerus belajar. Yang lebih
penting adalah, ada ruang kebebasan bagi setiap anak didik untuk
bertanya, berpendapat, dan memberikan masukan terhadap setiap
materi yang disampaikan oleh pendidik. Ada manfaat lain yang
mungkin tidak terpikirkan sebelumnya. Ternyata, dengan
membelajarkan siswa untuk memiliki kemampuan dan disposisi berpikir
kritis secara tidak langsung ikut membelajarkan guru untuk memiliki
kemampuan dan disposisi tersebut. Mason (2002) menegaskan ini
dengan mengatakan bahwa bahwa semua kegiatan mengajar juga
merupakan kegiatan belajar. Guru yang terlibat dalam dialog
Socrates secara tidak langsung ikut berpikir kritis untuk membantu
siswa memahami materi. Selain itu, guru pun harus banyak bersabar
dan menahan diri untuk tidak marah jika siswa mengalami kesulitan
dalam belajar. Hal terakhir ini mampu menumbuhkan disposisi
berpikir kritis yang baik pada guru.
Dye (2007) telah menyusun langkah-langkah Socrates yang terkait
dengan metode ilmiah. Langkah-langkah yang disusun Dye tersebut
disajikan dalam Tabel 2.5. Untuk kebutuhan penelitian ini, peneliti
melakukan modifikasi dari langkah-langkah yang disusun Dye karena
terkait dengan interaksi siswa yang peneliti bangun dalam
kelas.Jika dikaitkan dengan model berpikir kritis dalam penelitian
ini maka akan terlihat hubungan sebagai berikut:
Tabel 2.4
Keterkaitan Langkah-Langkah Metode Socrates dengan
Langkah-Langkah Berpikir Kritis
Langkah-Langkah dalam Berpikir KritisLangkah-Langkah Metode
Socrates dalam PenelitianLangkah-Langkah Metode Socrates menurut
James Dye
1.Fokus pada suatu masalah atau situasi kontekstual yang
dihadapi.Menanyakan suatu fenome-na, informasi, atau objek tertentu
dengan: Apakah..? atau Mengapa...? atau Apa yang
terjadi?Memunculkan pertanyaan dalam bentuk Apakah ini?
2.Membuat pertanyaan akan penyebab dan penyelesaiannyaMengajak
siswa memikirkan dugaan jawaban yang benar dengan pertanyaan
Bagaimana...? Membuat hipotesis.
Memunculkan kemungkinan-kemungkinan yang masuk akal
3.Mengumpulkan data atau informasi dan membuat hubungan antar
data atau informasi tersebut. Membuat analisis dengan pertimbangan
yang mendalamMelakukan pengujian atas jawaban-jawaban siswa dengan
counter examples melalui pertanyaan-pertanyaan seperti, Mengapa
bisa begitu?, Bagaimana jika...?Melakukan uji silang atau counter
examples
4.Melakukan penilaian terhadap hasil analisis yang telah
dilakukan. Penilaian dapat terus dievaluasi dengan kembali ke
langkah 3a. Melakukan penilaian atas jawaban siswa mela-lui
pertanyaan-pertanya-an seperti,Apakah anda yakin ...? atau Apa
alasan ..? (proses bisa kembali ke langkah (3)Menerima hipotesis
untuk sementara waktu. Kembali ke langkah 3 jika anda merasa
jawaban yang diberikan tidak sempurna
Lanjutan Tabel 2.4.
Langkah-Langkah dalam Berpikir KritisLangkah-Langkah Metode
Socrates dalam PenelitianLangkah-Langkah Metode Socrates menurut
James Dye
b. Menyusun hasil anali-sis siswa di papan tulis dan meminta
siswa lain melakukan penilaian. Guru menguji jawaban siswa penilai
dengan langkah (3) dan (4.a).
5.Mengambil keputusan akan penyelesaian masalah yang terbaika.
Guru menyusun rangkaian analisis siswa dan meminta siswa mengoreksi
kembali urutan rangkaian tersebut. Dalam tahap ini rangkaian
analisis yang ditulis merupakan jawaban yang benar. Guru memberi
bingkai untuk jawaban yang benar dan atau menghapus jawaban lain
yang salah.Melakukan tindakan yang sesuai
b. Pengambilan kesimpulan atau keputusan dengan pertanyaan, Apa
kesim-pulan anda mengenai ...? atau Apa keputusan anda?
Langkah-langkah yang peneliti susun di atas terkait erat dengan
proses berpikir siswa, interaksi guru-siswa, serta penggunaaan
papan tulis dalam menyajikan rangkaian analisis yang telah
dilakukan.
Menurut Maxwell (2008b), agar berhasil melaksanakan pembelajaran
dengan Metode Socrates, ada beberapa sikap yang harus dimiliki
guru. Sikap-sikap tersebut adalah: 1) sikap terbuka guru dalam
menerima kesalahan dan kekurangan diri sendiri; 2) sikap untuk
tidak menerima begitu saja jawaban siswa; 3) sikap rasa ingin tahu
yang tinggi; 4) sikap tekun dan fokus dalam penyelidikan. Jika
menilik keempat sikap yang diajukan Maxwell, maka dapat disimpulkan
bahwa guru hendaknya memiliki disposisi berpikir kritis untuk dapat
melaksanakan Metode Socrates dengan baik.
Selain memiliki disposisi berpikir kritis, guru pun harus
melaksanakan beberapa strategi agar pembelajaran dengan Metode
Socrates dapat berjalan dengan baik. Peneliti menyusun strategi
dalam pembelajaran dengan Metode Socrates berdasarkan pengalaman
dalam penelitian dan mengkombinasikannya dengan berbagai sumber.
Strategi-strategi yang dimaksud adalah:1) menyusun pertanyaan
sebelum pembelajaran dimulai; 2) menyatakan pertanyaan dengan jelas
dan tepat; 3) memberi waktu tunggu; 4) menjaga diskusi agar tetap
fokus pada permasalahan utama; 5) menindaklanjuti respon-respon
siswa; 6) melakukan scafolding; 7) menulis kesimpulan-kesimpulan
siswa di papan tulis; 8) melibatkan semua siswa dalam diskusi; 9)
tidak memberi jawaban Ya atau Tidak melainkan menggantinya dengan
pertanyaan-pertanyaan yang menggali pemahaman siswa; 10) memberi
pertanyaan yang sesuai dengan tingkat kemampuan siswa.
G. Hipotesis Penelitian
1. Kemampuan Berpikir Kritis Matematis (KBKM) Siswa
a.Terdapat pengaruh interaksi antara metode pembelajaran dengan
level sekolah terhadap KBKM siswa.
b.Terdapat pengaruh faktor metode terhadap KBKM siswa
c.Pembelajaran dengan Metode Socrates memberi pengaruh yang
lebih baik terhadap KBKM siswa dibandingkan pembelajaran
konvensional
d.Terdapat pengaruh faktor level sekolah terhadap KBKM siswa
e.Terdapat pengaruh faktor level sekolah terhadap KBKM siswa
dalam kelompok eksperimen
f.Terdapat pengaruh interaksi metode dengan TKAM terhadap KBKM
siswa.
g.Terdapat pengaruh faktor TKAM terhadap KBKM siswa
h.Terdapat pengaruh faktor TKAM terhadap KBKM siswa dalam
kelompok eksperimen
2. Disposisi Berpikir Kritis Matematis (DBKM) Siswa
a.Terdapat pengaruh interaksi antara metode pembelajaran dengan
level sekolah terhadap DBKM siswa.
b.Terdapat pengaruh faktor metode terhadap DBKM siswa
c.Pembelajaran dengan Metode Socrates memberi pengaruh yang
lebih baik terhadap DBKM siswa dibandingkan pembelajaran
konvensional
d.Terdapat pengaruh faktor level sekolah terhadap DBKM siswa
e.Terdapat pengaruh faktor level sekolah terhadap DBKM siswa
dalam kelompok eksperimen
f.Terdapat pengaruh interaksi metode dengan TKAM terhadap DBKM
siswa.
g.Terdapat pengaruh faktor TKAM terhadap DBKM siswa
h.Terdapat pengaruh faktor TKAM terhadap DBKM siswa dalam
kelompok eksperimen