BAB IGANGGUAN NEUROTIK
A. PENDAHULUANNeurotik adalah kelainan non psikotik yang kronis
atau berulang yang dikarakteristikkan terutama dengan kecemasan
yang diekspresikan secara langsung atau adanya perubahan pada
mekanisme difensif, yaitu yang tampak berupa gejala obsesi,
kompulsi, fobia, atau disfungsi seksual.Pada DSM-III, neurotic
disorder didefinisikan sebagai kelainan mental, dimana sebagian
besar gejala atau kelompok gejala berupa distress secara individual
dan dapat dikenali oleh penderita sendiri sebagai sesuatu yang
tidak dapat diterima dan alien (ego-dystonic), dan biasanya kontak
dengan realitas masih intact. Sikap dari penderita biasanya tidak
melanggar norma sosial secara aktif. Gangguan biasanya bersifat
berulang atau kronis tanpa terapi, dan tidak terbatas pada reaksi
terhadap stressor. Tidak ada ditemukannya faktor atau etiologi
organik pada kelainan iniDari beberapa definisi mengenai neurosis
dapat diidentifikasi beberapa pokok pengertian mengenai neurosis,
yaitu:1. neurosis merupakan gangguan jiwa pada tahap ringan2.
neurosis terjadi pada sebagian aspek kepribadian3. neurosis dapat
dikenali dari gejala-gejala yang menyertainya, yaitu terutama
berupa kecemasan4. penderita neurosis masih mampu menyesuaikan diri
dan melakukan aktivitas sehari-hariMenurut PPDGJ III suatu kelas
yang disebut gangguan neurotik, gangguan yang berhubungan dengan
stress, dan gangguan somatoform, yaitu : gangguan kecemasan fobik
gangguan kecemasan lain (termasuk gangguan panik, gangguan
kecemasan umum, dan gangguan kecemasan dan defresif bercampur),
gangguan obesesif komfulsif, gangguan penyesuaian gangguan
disosiatif (konversi) gangguan somatoform dan gannguan neurotik
lainnya
Istilah neurosis tidak digunakan dalam DSM-IV dan tidak ada
kelas diagnostik keseluruhan yang disebut neurosis, tetapi banyak
klinisi yang menganggap kategori diagnostik berikut ini sebagai
neurosis : gangguan panik dengan atau tanpa agorafobia, agorafobia
tanpa riwayat gangguan panik, fobia spesifik dan sosial, gangguan
obsesif kompulsif, gangguan stres pasca trauma, gangguan stres
akut, gangguan ansietas menyeluruh, gangguan ansietas akibat
keadaan medis umum, gangguan ansietas yang diinduksi zat, dan
gangguan ansietas yang tidak tergolongkan.
B. GANGGUAN PANIK DAN AGORAFOBIAB.1. DefinisiGangguan panik
adalah ditandai dengan adanya serangan panik yang tidak diduga dan
spontan. Serangan panik adalah periode kecemasan atau ketakutan
yang kuat dan relatif singkat (biasanya kurang dari satu tahun)
yang disertai oleh gajala somatik tertentu seperti palpitasi dan
takipnea. Gangguan panik sering disertai agorafobia, yaitu rasa
takut sendirian di tempat umum, terutama yang sulit untuk keluar
dengan cepat saat terjadi serangan panik. B.2. EtiologiGejala
gangguan panik dapat disebabkan oleh berbagai kelainan biologis di
dalam struktur otak dan fungsi otak. Penelitian yang telah
dilakukan menghasilkan hipotesis yang melibatkan disregulasi sistem
saraf perifer dan pusat di dalam patofisiologi gangguan panik.
Sistem saraf otonom pada beberapa pasien dengan gangguan panik
telah dilaporkan menunjukkan peningkatan tonus simpatetik,
beradaptasi secara lambat terhadap stimuli yang berulang, dan
berespon secara berlebihan terhadap stimuli yang berlebihan.Sistem
neurotransmiter utama yang terlibat adalah norepinefrin, serotonin,
dan GABA. Keseluruhan data biologis telah menyebabkan suatu
perhatian kepada batang otak, sistem limbik, dan korteks
prafrontalis.Faktor genetik juga dapat menjadi salah satu penyebab
dari gangguan ansietas. Beberapa data menunjukkan bahwa gangguan
panik dapat diturunkan. B.3. EpidemiologiStudi epidemiologi
melaporkan angka prevalensi seumur hidup 1,5 sampai 5 persen untuk
gangguan panik dan 3 hingga 5,6 persen untuk serangan panik.
Perempuan lebih mudah terkena dua hingga tiga kali daripada
laki-laki walaupun pengabaian diagnosis gangguan panik pada
laki-laki dapat berperan dalam distribusi yang tidak
sebenarnya.Gangguan panik paling lazim muncul pada dewasa muda
(rerata usia 25 tahun) tetapi gangguan panik dan agorafobia dapat
timbul pada usia berapapun. Gangguan panik dilaporkan terjadi pada
anak dan remaja, serta diagnosis gangguan ini mungkin kurang
terdiagnosis pada kelompok usia tersebut. Prevalensi seumur hidup
agorafobia berkisar antara 0,6 hingga 6 persen.B.4. Gambaran
KlinisB.4.a Gangguan PanikSerangan panik pertama sering kali
spontan, walaupun serangan panik kadang-kadang terjadi setelah
luapan kegembiraan, kelelahan fisik, aktifitas seksual, atau trauma
emosional sedang. Serangan sering dimulai dengan periode gejala
yang meningkat dengan cepat selama 10 menit. Gejala mental utama
adalah ketakutan yang kuat dan suatu perasaan ancaman kematian dan
kiamat. Pasien biasanya tidak mampu menyebutkan sumber
ketakutannya. Pasien merasa kebingungan dan sulit memusatkan
perhatian.Tanda fisik adalah takikardia, palpitasi, sesak napas,
dan berkeringat. Pasien seringkali meninggalkan situasi dimana ia
berada untuk mencari bantuan. Serangan biasanya terjadi selama 20
hingga 30 menit dan jarang terjadi lebih dari 1 jam.B.4.b
AgorafobiaPasien agorafobia secara kaku menghindari situasi dimana
akan sulit untuk mendapatkan bantuan. Mereka lebih suka disertai
teman atau keluarga di tempat-tempat tertentu seperti jalanan yang
sibuk, toko yang padat, atau ruangan tertutup. Pasien mungkin
memaksa bahwa mereka mungkin harus ditemani setiap kali keluar
rumah.B.4.c Gejala PenyertaGejala depresif seringkali ditemukan
pada serangan panik dan agorafobia, dan pada beberapa pasien dengan
gangguan depresif dapat ditemukan bersama-sama dengan gangguan
panik. Resiko bunuh diri pada orang dengan gangguan panik dan
agorafobia adalah lebih tinggi dibandingkan dengan orang tanpa
gangguan mental.B.5. Kriteria DiagnostikB.5.a Serangan PanikSuatu
periode tertentu adanya rasa takut atau tidak nyaman, dimana empat
(atau lebih) gejala berikut terjadi secara tiba-tiba dan mencapai
puncaknya dalam 10 menit.a) Palpitasi, jantung berdebar kuat.b)
Berkeringat.c) Gemetar atau bergoncang.d) Rasa napas sesak atau
tertahan.e) Perasaan tercekik.f) Nyeri dada atau perasaan tidak
nyaman.g) Mual atau gangguan perut.h) Perasaan pusing, bergoyang,
melayang, atau pingsan.i) Derealisasi atau depersonalisasi.j)
Ketakutan kehilangan kendali.k) Rasa takut mati.l) Parestesia.m)
Menggigil atau perasaan panas.B.5.b Gangguan Panik1. Gangguan Panik
Tanpa Agorafobiaa) Baik (1) dan (2):(1) Serangan panik rekuren yang
tidak diharapkan.(2) Sekurangnya satu serangan telah diikuti oleh
sekurangnya 1 bulan (atau lebih) berikut ini:(a) Kekhawatiran yang
menetap akan terjadi serangan tambahan.(b) Ketakutan tentang arti
serangan atau akibatnya(c) Perubahan perilaku bermakna berhubungan
dengan serangan.b) Tidak terdapat agorafobiac) Serangan panik bukan
karena efek fisiologis dari zat atau kondisi medis umum.d) Serangan
panik tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan mental lainnya.2.
Gangguan Panik Dengan Agorafobiaa) Baik (1) dan (2):(1) Serangan
panik rekuren yang tidak diharapkan.(2) Sekurangnya satu serangan
telah diikuti oleh sekurangnya 1 bulan (atau lebih) berikut ini:(a)
Kekhawatiran yang menetap akan terjadi serangan tambahan.(b)
Ketakutan tentang arti serangan atau akibatnya(c) Perubahan
perilaku bermakna berhubungan dengan serangan.b) Terdapat
agorafobiac) Serangan panik bukan karena efek fisiologis dari zat
atau kondisi medis umum.d) Serangan panik tidak lebih baik
diterangkan oleh gangguan mental lainnya.B.5.c Agorafobia Tanpa
Riwayat Gangguan Panika) Adanya agarofobia berhubungan dengan rasa
takut mengalami gejala mirip panik (misalnya pusing atau diare).b)
Tidak pernah memenuhi kriteria untuk gangguan panik.c) Gangguan
bukan karena efek fisiologis dari zat atau kondisi medis umum.d)
Jika ditemukan suatu kondisi medis umum yang berhubungan rasa takut
yang dijelaskan dalam kriteria A jelas melebihi dari apa yang
biasanya berhubungan dengan kondisi.B.6. TerapiB.6.a
FarmakoterapiObat trisiklik dan tetrasiklik seperti clomipramine
dengan dosisi 10 mg per hari efektif dalam pengobatan gangguan
panik. Inhibitor monoamin oksidase seperti phenelzine juga efektif
mengatasi gangguan panik.Inhibitor ambilan kembali spesifik
serotonin (SSRI) seperti fluoxetin dan sertraline dapat pula
digunakan sebagai terapi pada gangguan cemas. Penggunaan
benzodiazepin dalam pengobatan gangguan panik adalah terbatas
karena permasalahan tentang ketergantungan, gangguan kognitif, dan
penyalahgunaan.B.6.b Terapi Kognitif PerilakuTerapi kognitif
perilaku adalah terapi yang efektif untuk gangguan panik. Terapi
kognitif adalah instruksi tentang kepercayaan salah dari pasien dan
informasi tentang serangan panik. Latihan pernapasan dilakukan
karena hiperventilasi yang bersamaan dengan serangan panik
kemungkinan disertai beberapa gejala, seperti rasa pening dan
pingsan sehingga pasien diharapkan dapat mengendalikan pernapasan
selama suatu serangan panik.
C. GANGGUAN ANSIETAS FOBIKC.1. DefinisiSuatu fobia adalah suatu
ketakutan yang tidak rasional yang menyebabkan penghindaran yang
disadari terhadap objek, aktivitas, atau situasi yang ditakuti.
Adanya atau diperkirakan adanya situasi fobik menimbulkan
ketegangan parah bagi orang yang terkena. Gangguan ansietas fobik
dapat menyebabkan suatu gangguan pada seseorang untuk dapat
berfungsi di kehidupannya. Disamping agorafobia, Diagnostic and
Statistical manual of Mental Disorder (DSM-IV) mencantumkan dua
fobia lainnya, yaitu fobia sosial dan fobia spesifik.C.2.
EtiologiBaik fobia spesifik maupun fobia sosial memiliki tipe dan
penyebab tepat dari tipe tersebut kemungkinan berbeda. Perkembangan
fobia spesifik dapat disebabkan dari pemasangan objek atau situasi
tertentu dengan emosi ketakutan dan panik. Berbagai mekanisme untuk
pemasangan tersebut telah didalilkan. Pada umumnya, suatu
kecenderungan tidak spesifik untuk mengalami kecemasan dan
ketakutan membentuk kelompok latar, jika suatu peristiwa spesifik
(misalnya mengemudi) dikaitkan dengan pengalaman emosional
(misalnya kecelakaan). Selain itu faktor genetik juga menjadi salah
satu penyebab pada gangguan ini. Mekanisme asosiasi lain antara
objek fobik dan emosi fobik adalah modeling, dimana seseorang
mengamati reaksi pada orang lain dan pengalihan informasi dimana
seseorang diajarkan atau diperingatkan tentang bahaya objek
tertentu. Pada fobia sosial, terdapat faktor neurokimiawi dan
faktor genetika yang dapat menjadi etiologi dari gangguan ini. C.3.
EpidemiologiFobia adalah gangguan mental yang sering ditemukan,
walaupun sejumlah orang tidak mengunjungi klinisi karena fobianya.
Fobia spesifik lebih sering ditemui daripada fobia sosial. Fobia
spesifik adalah gangguan mental yang paling sering pada wanita dan
nomor dua tersering pada pria. Prevalensi enam bulan fobia spesifik
adalah 5 sampai 10 per 100 orang. Sementara itu, prevvalensi fobia
sosial adalah kira-kira 2 sampai 3 orang per 100 orang. Dalam
penelitian epidemiologis, wanita lebih sering dibandingkan
laki-laki.C.4. Gambaran KlinisFobia adalah ditandai oleh kesadaran
akan kecemasan berat jika pasien terpapar dengan situasi atau objek
spesifik atau jika pasien memperkirakan akan terpapar dengan
situasi atau objek tersebut. Pasien dengan fobia, menurut
definisinya, mencoba untuk menghindari stimulus fobik. Misalnya
pasien yang lebih memilih menggunakan bus pada perjalanan jauh
untuk mengindari objek fobiknya yaitu pesawat terbang.Temuan utama
pada pemeriksaan status mental adalah ketakutan yang irasional dan
egodistonik terhadap situasi, aktivitas, atau objek tertentu.
Pasien dapat menggambarkan bagaimana mereka menghindar dari kontak
dengan situasi atau objek fobik. Depresi sering ditemukan pada
pemeriksaan status mental pasien fobia.C.5. Kriteria
DiagnostikC.5.a Fobia Spesifika) Rasa takut yang jelas dan menetap
yang berlebihan atau tidak beralasan, ditunjukkan oleh adanya atau
antisipasi suatu objek atau situasi tertentu.b) Pemaparan dengan
stimulus fobik hampir selalu mencetuskan kecemasan yang segera.c)
Orang menyadari bahwa rasa takut adalah berlebihan atau tidak
beralasan.d) Situasi fobik dihindari, atau jika tidak dapat
dihindari maka dihadapi dengan kecemasan dan penderitaan yang
kuat.e) Penghindaran, antisipasi kecemasan atau penderitaan dalam
situasi yang ditakuti secara bermakna mengganggu rutinitas orang
normal.f) Pada individu yang berusia kurang dari 18 tahun, durasi
sekurangnya adalah 6 bulan.g) Kecemasan, seragan panik, atau
penghindaran fobik berhubungan dengan objek atau situasi spesifik
yang tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan mental lain.C.5.b
Fobia Sosiala) Rasa takut yang jelas dan menetap terhadap satu atau
lebih situasi sosialb) Pemaparan dengan situasi sosial yang
ditakuti hampir selalu mencetuskan kecemasan.c) Orang menyadari
bahwa rasa takut adalah berlebihan atau tidak beralasan.d) Situasi
sosial yang ditakuti dihindari, atau jika tidak dapat dihindari
maka dihadapi dengan kecemasan dan penderitaan yang kuat.e)
Penghindaran, antisipasi kecemasan atau penderitaan dalam situasi
yang ditakuti secara bermakna mengganggu rutinitas orang normal.f)
Pada individu yang berusia kurang dari 18 tahun, durasi sekurangnya
adalah 6 bulan.g) Serangan panik bukan karena efek fisiologis dari
zat atau kondisi medis umum.h) Jika terdapat suatu kondisi medis
umum atau gangguan mental lain, rasa takut dalam kriteria A adalah
tidak berhubungan dengannya. C.6. TerapiC.6.a Fobia SpesifikTerapi
yang paling sering diberikan pada fobia spesifik adalah terapi
pemaparan. Ahli terapi mengajari pasien tentang berbagai teknik
untuk menghadapi kecemasan, termasuk relaksasi, kontrol pernapasan
dan pendekatan kognitif terhadap gangguan. Pendekatan kognitif
adalah termasuk mendorong kenyataan bahwa situasi tersebut pada
dasarnya adalah aman.C.6.b Fobia SosialInhibitor monoamin oksidase,
khususnya phenelzine efektif untuk mengobati fobia sosial. Obat
lain yang dilaporkan efektif antara lain adalah alprazolam dan
clonazepam. Psikoterapi untuk fobia sosial biasanya melibatkan
suatu kombinasi metoda perilaku dan kognitif, termasuk latihan
ulang kognitif, desensitasi, sesion selama latihan dan tugas
pekerjaan rumah.D. GANGGUAN OBSESIF KOMPULSIFD.1. DefinisiObsesi
adalah pikiran, perasaan, ide, atau sensasi yang mengganggu
(intrusive). Kompulsi adalah pikiran atau perilaku yang disadari,
dilakukan dan direkuren, seperti menghitung, memeriksa atau
menghindari. Obsesi meningkatkan kecemasan seseorang, sedangkan
konpulsi menurunkan kecemasan seseorang. Tetapi, jika seseorang
memaksa untuk melakukan suatu kompulsi, kecemasan adalah meningkat.
Seseorang dengan gangguan obsesif-konpulsif biasanya menyadari
irasionalitas dari obsesi dan merasakan bahwa obsesi dan kompulsi
sebagai ego-distonik. Gangguan obsesif-konpulsif dapat merupakan
gangguan yang menyebabkan ketidakberdayaan, karena obsesif dapat
menghabiskan waktu dan dapat mengganggu secara bermakna pada
rutinitas normal seseorang, fungsi pekerjaan, aktivitas social yang
biasanya atau hubungan dengan teman dan anggota keluarga.D.2.
EtiologiFaktor Biologis: Neurotransmitter dari banyak penelitian
didapatkan hipotesis bahwa suatu disregulasi serotonin adalah
terlibat di dalam pembentukan gejala obsesi dan kompulsi dari
gangguan. Data menunjukkan obat serotonergik adalah lebih efektif
dibandingkan obat yang mempengaruhi system neurotransmitter
lainnya. Tetapi, apakah serotonin terlibat di dalam penyebab
gangguan obsesif-konpulsif adalah tidak jelas pada saat ini.
Penelitian klinis telah mengukur konsentrasi metabolic serotonin
sebagai contoh, 5-hydroxyindoleacetic acid (5-HIAA) di dalam cairan
serebrospinalis, dan afinitas serta jumlah tempat ikatan trombosit
pada pemberian imipramin (yang berkaitan dengan tempat ambilan
kembali serotonin) dan telah melaporkan berbagai temuan pengukuran
tersebut pada pasien dengan gangguan obsesif kompulsif. Penelitian
pencitraan otak dari berbagaipenelitian pencitraan otak fungsional
contohnya, Tomografi Emisi Positron (PET, Positron Emission
Tomography)- telah menemukan peningkatan aktivitas (sebagai contoh,
metabolism dan aliran darah) di lobus frontalis, ganglia basalis
(khususnya kaudata), dan singulum pada pasien dengan gangguan
obsesif-konpulsif. Baik Tomografi computer (CT) dan pencitraan
resonansi magnetic (MRI) telah menemukan adanya penurunan ukuran
kaudata secara bilateral pada pasien dengan gangguan
obsesif-konpulsif. Genetic penurunan gangguan obsesif-konpulsif
memiliki suatu komponen genetika yang bermakna. Penelitian
kesesuaian pada anak kembar untuk gangguan obsesif-konpulsif telah
secara konsisten menemukan adanya angka kesesuaian yang lebih
tinggi secara bermakna pada kembar monozigot dibandingkan kembar
dizigotik. Penelitian pada keluarga pasien obsesif konpulsif telah
menemukan bahwa 35% sanak saudara derajat pertama pasien gangguan
obsesif konpulsif jug menderita gangguan. Data biologis lainnya
penelitian elektrofisiologis, penelitian elektroensefalogram (EEG)
tidur, dan penelitian neuroendokrin telah menemukan data yang
menyatakan adanya kesamaan antara gangguan depresi dan gangguan
obsesif konpulsif.Factor Perilaku objek dan pikiran yang sebelumnya
netral menjadi stimuli yang terbiasakan yang mampu menimbulkan
kecemasan atau gangguan. Kompulsi dicapai dalam cara yang berbeda
tindakan tertentu menurunkan kecemasan yang berkaitan dengan
pikiran obsesional. Jadi, strategi menghindari yang aktif dalam
bentuk perilaku konpulsi atau ritualistic dikembangkan untuk
mengendalikan kecemasan. Secara bertahap, karena manfaat perilaku
tersebut menurunkan dorongan sekunder yang menyakitkan (kecemasan),
strategi menghindar menjadi terfiksasi sebagai pola prilaku
konpulsif yang dipelajari.Factor Psikososial: Factor kpribadian
sebagian besar pasien gangguan obsesif konpulsif tidak memiliki
gejala konpulsif pramorbid; dengan demikian, sifat kepribadian
tersebut tidak diperlukan atau tidak cukup untuk perkembangan
gangguan obsesif-konpulsif. Hanya kira-kira 15-35% pasien gangguan
obsesif-konpulsif memiliki sifat obsesional pramorbid. Factor
psikodinamik Sigmund Freud menjelaskan 3 mekanisme pertahanan
psikologis utama yang menentukan bentuk dan kualitas gejala dan
sifat karakter obsesif-konpulsif; isolasi, meruntuhkan (undoing)
dan pembentukan reaksi. Isolasi mekanisme pertahanan yang
melindungi seseorang dari afek dan impuls yang mecetuskan
kecemasan. Jika terjadinya isolasi, afek dan impuls yang didapatkan
adalah dipisahkan dari komponen ideasional dan dikeluarkan dari
kesadaran. Jika isolasi terjadi sepenuhnya, impuls dan afeks yang
terkait seluruhnya terepresi, dan pasien secara sadar hanya
menyadari gagasan yang tidak memiliki afek yang berhubungan
dengannya. Meruntuhkan (undoing) suatu tindakan konpulsif yang
dilakukan dalam usaha untuk mencegah atau meruntuhkan akibat yang
secara irasional akan dialami pasien akibat pikiran atau impulse
obsesional yang menakutkan. Pembentukan reaksi menyebabkan
pembentukan sifat karakter, bukannya gejala. Pembentukan reaksi
melibatkan pola prilaku yang bermanifestasi dan sikap yang secara
sadar dialami yang jelas berlawanan dengan impuls dasar. Sering
kali pola yang terlihat oleh pengamatan adalah sangat
dilebih-lebihkan dan tidak sesuai. Factor psikodinamika lainnya
jika pasien dengan obsesif-konpulsif merasa ternacam oleh kecemasan
tentang pembalasan dendam atau kehilangan objek cinta yang penting,
mereka mundur dari posisi oedipaldan beregresi ke stadium emosional
yang sangat ambivalen yang berhubungan dengan fase anal.
Ambivalensi adalah dihubungkan dengan menyelesaikan fusi yang halus
antara dorongan seksual dan agresif yang karakteristik dari fase
oedipal. Adanya benci dan cinta secara bersama-sama kepada orang
yang sama menyebabkan pasien dilumpuhkan oleh keragu-raguan dan
kebimbangan.Satu ciri yang melekat pada pasien dengan gangguan
obsesif-konpulsif adalah derajat di mana mereka terpaku dengan
agresi dan kebersihan, baik secara jelas dalam isi gejala mereka
atau dalam hubungan yang terletak dibelakangnya. Ambivalensi akibat
langsung dan perubahan dalam karakteristik kehidupan impuls. Hal
ini adalah cirri yang penting pada anak normal selama fase
perkembangan analsadistik; yaitu anak merasakan cinta dan kebencian
kepada sesuatu objek. Pikiran magis regresi yang mengungkapkan cara
piker awal, ketimbang impuls; yaitu fungsi ego, dan juga fungsi id,
dipengaruhi oleh regresi. Yang melekat pada pikiran magis adalah
pikiran kemahakuasaan.D.3. EpidemiologiPrevalensi seumur hidup OCD
pada populasi umum diperkirakan 2 3 persen. Sejumlah peneliti
memperkirakan bahwa gangguan ini ditemukan pada sebanyak 10 persen
pasien rawat jalan di klinik psikiatri. Gambaran ini membuat OCD
menjadi diagnosis psikiatri keempat terbanyak setelah fobia,
gangguan zat terkait, dan gangguan depresif berat. Diantara orang
dewasa, laki laki dan perempuan sama-sama cenderung kena, tetapi
diantara remaja, laki-laki lebih lazim terkena daripada
perempuan.D.4. Gambaran KlinisObsesif dan kompulsi memiliki ciri
tertentu secara umum yaitu:a. Suatu gagasan atau impuls yang
memaksakan dirinya secara bertubi-tubi dan terus menerus ke dalam
kesadaran seseorang.b. Suatu perasaan ketakutan yang mencemaskan
yang menyertai manifestasi sentral dan sering kali menyebabkan
orang melakukan tindakan kebalikan melawan gagasan atau impuls
awal.c. Obsesi dan kompulsi adalah asing ego (ego-elian); yaitu dia
dialami sebagai asaing bagi pengalaman seseorang tentang dirinya
sendiri sebagai makhluk psokologis.d. Tidak peduli bagaimana jelas
dan memaksanya obsesi atau konpulsi tersebut, orang biasanya
menyadarinya sebagai mustahil dan tidak masuk akal.e. Orang
menderita akibat obsesi konpulsi biasanya merasakan sesuatu
dorongan yang kuat untuk menahannya.Tetapi, kira-kira separuh dari
semua pasien memiliki pertahanan yang yang kecil terhadap konpulsi.
Kira-kira 80% dari semua pasien percaya bahwa konpulsi adalah
irasional. Kadang-kadang obsesi adalah kunpulsi menjadi pegangan
(overvalued) bagi pasien sebagai contoh, pasien mungkin bertahan
bahwa kebesihan konpulsi adalah benar secara moral, kendatipun
mereka kehilangan pekerjaan karena waktu yang digunakan untuk
membersihkan.Gejala pasien individual mungkin bertumpang tindih dan
berubah dengan berjalannya waktu, tetapi gangguan obsesif konpulsif
memiliki empat pola gejala utama.Pertama : suatu obsesi akan
kontaminasi, iikuti oleh mencuci atau disertai oleh penghindarann
obsesif terhadap objek yang kemungkinan terkontaminasi. Walaupun
kecemasan adalah respons emosional yang paling sering terhadap
objek yang ditakuti, rasa malu dan kejijikan yang obsesif juga
sering ditemukan. Pasien dengan obsesif kontaminasi biasanya
percaya bahwa kontaminasi adalah ditularkan dari objek ke objek
atau orang ke orang oleh kontak ringan.Kedua : obsesi
keragu-raguan, diikuti oleh pengecekan yang konpulsi. Obsesi
seringkali melibatkan suatu bahaya kekerasan (seperti lupa
mematikan kompor, atau tidak mengunci pintu). Pasien memiliki
keragu-raguan terhadap diri sendiri (self-doubt) yang obsesional,
saat mereka selalu merasa bersalah karena melupakan atau melakukan
sesuatu.Ketiga : pola dengan semata-mata pikiran obsesional yang
mengganggu tanpa suatu konpulsi. Obsesi tersebut biasanya berupa
pikiran berulang akan suatu tindakan seksual atau agresi yang
dicela oleh pasien.Keempat : kebutuhan akan simetrisitas atau
ketepatan, yang dapat menyebabkan perlambatan konpulsi. Pasien
secara harfiah menghabiskan waktu berjam-jamm untuk makan atau
mencukur wajahnya.D.5. Kriteria DiagostikCriteria diagnosis menurut
DSM-IVA. Salah satu obsesi atau kompulsiObsesi seperti yang
didefinisikan oleh (1), (2), (3), dan (4):(1.) Pikiran, impulse
atau bayangan-bayangan yang recurrent dan persisten yang dialami,
pada suatu saat selama gangguan, sebagai intrusive dan tidak
sesuai, dan menyebabkan kecemasan dan penderitaan yang jelas.(2.)
Pikiran, impulse atau bayangan-bayangan tidak semata-mata
kekhawatiran yang berlebih tentang masalah kehidupan yang
nyata.(3.) Orang berusaha untuk mengabaikan atau menekan pikiran,
impuls, atau bayangan-bayangan tersebut untuk menetralkannya dengan
pikiran atau tindakan lain.(4.) Orang menyadari bahwa pikran,
impuls, atau bayangan-bayangan obsesif adalah keluar dari
pukirannya sendiri (tidak disiapkan dari luar seperti penyisipan
pikiran).Kompulsi seperti yang didefinisikan oleh (1) dan (2)(1.)
Perilaku (misalnya mencuci tangan, mengurutkan atau memeriksa) atau
tindakan mental (misalnya berdoa, menghitung, mengurangi kata-kata
dalam hati) yang berulang yang dirasanya mendorong untuk
melakukannya sebagai respons terhadap suatu obsesi, atau menurut
dengan aturan yang harus dipatuhi secara kaku.(2.) Perilaku atau
tindakan mental ditujukan untuk mencegah atau menurunkan
penderitaan atau mencegah sesuatu kejadian atau situasiyang
menakutkan, tetapi perilaku atau tindakan mental tersebut tidak
dihubungkan dengan cara yang realistic dengan apa mereka anggap
untuk menetralkan atau mencegah, atau jelas berlebihan.B. Pada
suatu waktu selama perjalanan gangguan, orang telah menyadari bahwa
obsesi atau konpulsi adalah berlebihan atau tidak beralasan.
Catatan : tidak berlaku untuk anak-anak.C. Obsesi atau konpulsi
menyebabkan penderitaan yang jelas; menghabiskan waktu
(menghabiskan lebih dari 1 jam sehari); atau secara bermakna
mengganggu rutinitas normal orang, fungsi pekerjaan (atau
akademik), atau aktivitas atau hubungan social yang biasanya.D.
Jika terdapat gangguan Aksisi I lainnya, isi obsesi atau konpulsi
tidak terbatas padanya (misalnya preokupasi dengan makanan jika
terdapat gangguan makan; menarik rambut jika terdapat
trikotilomania; permasalahan pada penampilan jika terdapat gangguan
dismorfik tubuh; preokupasi dengan obat jika terdapat suatu
penyakit serius yang jika terdapat hipokondriasis, preokupasi
(dengan dorongan atau fantasi seksual jika terdapat parafilia; atau
perenungan bersalah jika terdapat gangguan depresif berat).E. Tidak
disebabkan oleh efek langsung suatu zat (misalnya, obat yang
disalah gunakan, medikasi) atau kondisi medis umum.Sebutkan
jika:Dengan tilikan buruk : jika selama sebagian besar waktu selama
episodeTerakhir, orang tidak menyadari bahwa obsesi dan konpulsi
adalah berlebihan atau beralasan.
Pedoman Diagnosis menurut PPDGJ III Untuk menegakkan diagnosis
pasti, gejala-gejala obsesif konpulsif atau tindakan konpulsif,
atau kedua-duanya, harus ada hampir setiap hari selama sedikitnya 2
minggu berturut-turut. Hal tersebut merupakan sumber penderitaan
(distress) atau mengganggu aktivitas penderita. Gejala-gejala
obsesif harus mencakup hal-hal berikut: Harus disadari sebagai
pikiran atau impuls diri sendiri. Sedikitnya ada satu pikiran atau
tindakan yang tidak berhasil dilawan, meskipun ada lainnya yang
tidak lagi dilawan oleh penderita. Pikiran untuk melakukan tindakan
tersebut diatas bukan merupakan hal yang member kepuasan atau
kesenangan (sekedar perasaan lega dari ketegangan atau anxietas,
tidak dianggap sebagai kesenangan seperti dimaksud diatas).
Gagasan, bayangan pikiran, atau impuls tersebut harus merupakan
pengulangan yang tidak menyenangkan (unpleasantly repetitive). Ada
kaitan erat antara gejala obsesif, terutama pikiran obsesif, dengan
depresi. Penderita gangguan obsesif konpulsif sering kali juga
menunjukkan gejala depresif, dan sebaliknya penderita gangguan
depresi berulang dapat menunjukkan pikiran-pikiran obsesif selama
episode depresifnya.Dalam berbagai situasi dari kedua hal tersebut,
meningkat atau menurunnya gejala depresif umumnya dibarengi secara
parallel dengan perubahan gejala obsesif.Bila terjadi episode akut
dari gangguan tersenut, maka diagnosis diutamakan dari
gejala-gejala yang timbul lebih dahulu.Diagnosis gangguan
obsesif-konpulsif ditegakkan hanya bila tidak ada gangguan depresif
pada saat gejala obsesif kompulsif tersebut timbul.Bila dari
keduanya tidak ada yang menonjol, maka lebih baik menggenggam
depresi sebagai diagnosis primer. Pada gangguan menahun, maka
prioritas diberikan pada gejala yang paling bertahan saat gejala
yang lain menghilang. Gejala obsesif sekunder yang terjadi pada
gangguan skizofrenia, sindrom Tourette, atau gangguan mental
organic, harus dianggap sebagai bagian dari kondisi
tersebut.Gangguan obsesif konpulsif ini dibagi menjadi 3
yaitu:F42.0 Predominan Pikiran Obsesif atau PengulanganPedoman
Diagnostik Keadaan ini dapat berupa: gagasan, bayangan pikiran,
atau impuls (dorongan perbuatan), yang sifatnya mengganggu (ego
alien). Meskipun isi pikiran tersbut berbeda-beda, umumnya hampir
selalu menyebabkan penderitaan (distress).F42.1 Predominan Tindakan
Kompulsi [Obsessional Rituals]Pedoman Diagnostik Umumnya tindakan
konpulsif berkaitan dengan: Kebersihan (khususnya mencuci tangan),
memeriksa berulang untuk meyakinkan bahwa suatu situasi yang
dianggap berpotensi bahaya tidak terjadi, atau masalah kepribadian
dan keteraturan.Hal tersebut dilator-belakangi perasaan takut
terhadap bahaya yang mengancam dirinya atau bersumber dari dirinya,
dan tindakan ritual tersebut merupakan ikhtiar simbolis dan tidak
efektif untuk menghindari bahaya tersebut. Tindakan ritual
konpulsif tersebut menyita banyak waktu sampai beberapa jam dalam
sehari dan kadang-kadang berkaitan dengan ketidak-mampuan mengambil
keputusan dan kelambanan.F42.2 Campuran Pikiran dan Tindakan
Obsesif Kebanyakan dari penderita obsesif konpulsif memperlihatkan
pikiran obsesif serta tindakan konpulsif. Diagnosis ini digunakan
dimana kedua hal tersbut sama-sama menonjol, yang umumnya memang
demikian. Apabila salah satu memang jelas dominan, sebaiknya
dinyatakan dalam diagnosis dua diatas. Hal ini berkaitan dengan
respons yang berbeda terhadap pengobatan. Tindakan konpulsif lebih
respon terhadap terapi perilaku.F42.8. Gangguan Obsesif-Konpulsif
LainnyaF42.9. Gangguan Obsesif-Konpulsif YTTD.6. TerapiDalam
mentatalaksana pasien dengan obsesif konpulsif dilakukan dengan
beberapa cara yaitu:a. Farmakologis untuk pengobatan farmakologi
obat yang biasa digunakan adalah Chlomipramine atau obat golongan
SSRI.b. Terapi perilakuc. PsikoterapiE. GANGGUAN STRES
PASCATRAUMAE.1. DefinisiGangguan stres pasca trauma (post traumatic
stress disorder PTSD) adalah suatu sindrom yang timbul setelah
seseorang melihat, terlibat di dalam, atau mendengar stresor
traumatik yang ekstrim. Seseorang berekasi terhadap pengalaman
tersebut dengan rasa takut dan tidak berdaya, secara menetap
mencoba kembali menghidupkan peristiwa tersebut, dan mencoba
menghindari mengingat hal tersebut.Untuk menegakkan diagnosis,
gejala harus bertahan lebih dari satu bulan dari peristiwa dab
harus mempengaruhi area penting kehidupan secara signifikan,
seperti keluarga dan pekerjaan. Edisi keempat Diagnostic and
Statistical manual of Mental Disorder (DSM-IV-TR) mendefinisikan
gangguan yang serupa dengan PTSD sebagai stres akut yang
berlangsung lebih dini dari PTSD (dalam 4 minggu setelah peristiwa)
dan membaik dalam waktu 2 hari hingga 4 minggu.. jika gejala
tersebut bertahan, maka diagnosis PTSD diperlukan. E.2.
EtiologiStresor, faktor psikodinamika dan faktor biologis merupakan
penyebab dari gangguan PTSD. Menurut definisinya, stresor adalah
faktor penyebab utama dtres pasca traumatik. Walaupun stresor
diperlukan sebagai pencetus, namun stresor saja tidak cukup untuk
menyebabkan gangguan. Faktor biologis, psikososial, dan peristiwa
yang terjadi setelah trauma harus tetap dipertimbangkan.
E.3. EpidemiologiPrevalensi seumur hidup PTSD adalah
diperkirakan sekitar 8 persen untuk populasi umum ditambah 5 hingga
15 persen dapat mengalami bentuk subklinis dari ganggguan ini.
Prevalensi sumur hidup pada perempuan berkisar 10 hingga 12 persen
dan pada laki-laki berkisar 5 hingga 6 persen. Walaupun PTSD dapat
muncul pada usia berapapun, gangguan ini paling prevalen pada
dewasa muda karena mereka cenderung lebih terpajan dengan dituasi
penginduksi.E.4. Gambaran KlinisGambaran klinis utama suatu PTSD
adalah mengalami kembali suatu peristiwa yang menyakitkan, suatu
pola menghindari dan mematikan emosi, serta keadaan yang terus
terjaga yang cukup konstan. Gangguan ini dapat tidak timbul sampai
berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun setelah peristiwa tersebut.
Pemeriksaan status mental sering mengungkapkan rasa bersalah,
penolakan, dan cemoohoan. Pasien juga dapat menggambarkan keadaan
disosiatif dan serangan panik, serta ilusi dan halusinasi dapat
timbul. Uji kognitif menunjukkan bahwa pasien memiliki hendaya
memori dan perhatian. Gejala terkait dapat mencakup agresi,
kekerasan, kemdali impuls yang buruk, depresi dan gangguan terkait
zat.E.5. Kriteria DiagnostikKriteria diagnosis DSM IV untuk PTSD
merinci bahwa gejala mengalami, menghindari, dan terus terjaga
telah ada lebih dari 1 bulan. Untuk pasien yang gejalanya ada tapi
kurang dari 1 bulan, diagnosis yang sesuai adalah gangguan stres
akut.a) Orang tersebut tersebut terpajan dengan peristiwa traumatik
dan kedua hal ini ada:(1) Orang tersebut mengalami,menyaksikan,
atau dihadapka dengan peristiwa yang melibatkan kematian atau
cedera serius yang sebenarnya atau mengancam, atau ancman terhadap
integritas fisik dirinya atau orang lain.(2) Respons orang tersebut
melibatkan rasa takut yang intens, rasa tidak berdaya, atau
horor.b) Peristiwa traumatik secara terus-menerus dialami kembali
pada satu (atau lebih) cara berikut ini:(1) Mengingat kembali
peristiwa secara berulang dan mengganggu yang menimbulkan distres,
termasuk bayangan , pikiran, atau persepsi.(2) Mimpi berulang
mengenai peristiwa tersebut yang menimbulkan penderitaan.(3)
Bertindak atau merasakan seolah-olah peristiwa tersebut kembali.(4)
Penderitaan psikologis yang intens pada pajanan terhadap sinyal
internal atau eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai aspek
peristiwa traumatik.(5) Reaktifitas fisiologis pada pajanan sinyal
internal atau eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai aspek
peristiwa traumatik.c) Penghindaran persisten stimulus yang
berkaitan dengan trayma serta membuat kebas responsivitas umum,
seperti yang ditunjukkan dengan tiga (atau lebih) gejala berikut
ini:(1) Upaya menghindari pikiran, perasaan, atau pembicaraan yang
berkaitan dengan trauma.(2) Upaya menghindari tempat, orang, atau
aktivitas yang membangkitkan ingatan tentang trauma.(3)
Ketidakmampuan mengingat kembali aspek penting trauma.(4) Minat
atau pertisipasi berkurang nyata pada aktivitas yang signifikan.(5)
Perasaan lepas atau menjadi asing bagi orang lain.(6) Kisaran afek
yang terbatas.(7) Rasa masa depan yang memendek.d) Meningkatnya
keadaan terjaga, seperti ditunjukkan dengan dua (atau lebih) hal
berikut ini:(1) Sulit tidur atau sulit tetap tidur.(2) Iritabilitas
atau ledakan kemarahan.(3) Sulit berkonsentrasi.(4)
Hypervigilance.(5) Respon kaget yang berlebihan.e) Durasi gangguan
(kriteria a, b, c, dan d) berlangsung lebih dari 1 bulan.f)
Gangguan ini menimbulkan penderitaan yang secara klinis bermakna
atau gangguan di dalam area fungsi sosial, pekerjaan atau area
fungsi penting lain.E.6. TerapiE.6.a FarmakoterapiSSRI seperti
sertraline atau paroksetin dipertimbangkan sebagai terapi lini
pertama pada PTSD karena efektivitas, tolerabilitas, dan tingkat
keamanannya. SSRI mengurangi gejala semua kelompok gejala PTSD yang
khas, tidak hanya gejala yang serupa dengan depresi atau gangguan
ansietas lain.E.6.b PsikoterapiPsikoterapi psikodinamik dapat
berguna dalam terapi pada banyak pasien PTSD. Di sejumlah kasus,
rekonstruksi peristiwa traumatik dengan abreaksi dan katarsis dapat
bersifat teraupetik, tetapi psikoterapi harus diindividualisasi,
karena mengalami kembali trauma dapat terlalu berat bagi pasien.F.
GANGGUAN KECEMASAN MENYELURUHF.1. DefinisiGangguan ansietas
menyeluruh adalah ansietas dan kekhawatiran yang berlebihan
mengenai beberapa peristiwa atau aktivitas hamoir sepanjang hari
selama sedikitnya 6 bulan. Kekhawatiran ini sulit dikendalikan dan
berkaitan dengan gejala somatik sperti otot tegang, iritabilitas,
sulit tidur, dan gelisah. Ansietas tidak berfokus pada gambaran
gangguan axis 1 lain, tidak disebabkan penggunaan zat atau keadaan
medis umum, serta tidak hanya terjadi selama gangguan mood atau
psikiatri. Ansietas ini sulit dikendalikan, secara subjektif
menimbulkan penderitaan, dan mengakibatkan hendaya pada area
penting kehidupan seseorang. Orang yang tampaknya cemas patologis
mengenai hampir semua hal cenderung digolongkan memiliki gangguan
cemas menyeluruh. F.2. EtiologiSeperti sebagian besar gangguan
mental, penyebab gangguan kecemasan umum tidak diketahui. Diduga
faktor biologis dan psikososial berperan dalam gangguan ini. Dua
bidang pikiran utama yang tentang faktor psikososial yang
menyebabkan gangguan kecemasan umum adalah bidang kognitif perilaku
dan bidang psikoanalitik. Bidang kognitif perilaku menghipotesiskan
bahwa pasien dengan gangguan kecemasan umum adalah berespon secara
tidak tepat terhadap bahaya yang dihadapi. Bidang psikoanalitik
menghipotesiskan bahwa kecemasan adalah suatu gejala konflik bawah
sadar yang tidak terpecahkan.F.3. EpidemiologiGangguan cemas
menyeluruh adalah suatu keadaan yang lazim, perkiraan yang masuk
akal untuk prevalensi 1 tahun berkisar antara 3 hingga 8 persen.
Rasio perempuan dibanding laki-laki pada gangguan ini sekitar 2
banding 1 tetapi rasioperempuan dibanding laki-laki untuk pasien
yang dirawat inap di rumah sakit untuk gangguan ini adalah sekitar
1 banding 1. Prevalensi seumur hidupnya adalah berkisar 45
persen.F.4. Gambaran KlinisGejala utama gangguan ansietas
menyeluruh adalah ansitas, ketegangan motorik, hiperaktivitas
otonom, dan kesiagaan kognitif. Ansietasnya berlebihan dan
mengganggu aspek kehidupan lain. Ketegangan motorik paling sering
tampak sebagai gemetar, gelisah, dan sakit kepala. Hiperaktivitas
otonom sering tampak sebagai napas pendek, keringat berlebihan,
palpitasi, dan berbagai gejala gastrointestinal. Kesiagaan kognitif
terlihat dengan adanya iritabilitas dan mudahnya pasien merasa
terkejut.F.5. Kriteria Diagnostika) Ansietas dan kekhawatiran
berlebihan, terjadi hampir setiap hari selama sedikitnya 6 bulan,
mengenai sejumlah kejadian atau aktivitas.b) Orang tersebut merasa
sulit mengendalikan kekhawatirannya.c) Ansietas dan kekhawatiran
dikaitkan dengan tiga (atau lebih) dari keenam gejala berikut:(1)
Gelisah atau merasa terperangkap atau terpojok(2) Mudah merasa
lelah(3) Sulit berkonsentrasi atau pikiran kosong(4) Mudah marah(5)
Otot tegang(6) Gangguan tidurd) Fokus dari anasietas dan
kekhawatiran tidak terbatas hanya pada gambaran gangguan aksis I.e)
Ansietas, kekhawatiran, atau gejala fisis menyebabkan distres yang
secara klinis bermakna atau hendaya sosial, pekerjaan, atau area
lainnya.f) Gangguan tidak disebabkan oleh efek fisiologis langsung
dari suatu zat dan tidak terjadi hanya selama gangguan mood,
gangguan psikotik,atau gangguan perkembangan pervasif.F.6.
TerapiF.6.a Farmakoterapi Karena gangguan bersifat jangka panjang,
suatu rencana terapi harus dilakukan dengan teliti. Tiga obat utama
yang harus dipertimbangkan untuk terapi gangguan ansietas meyeluruh
adalah buspiron, benzodiazepin, dan SSRI. Obat lain yang berguna
contohnya adalah trisiklik, antihistamin, dan antagonis
adrenergik.F.6.b Psikoterapi35
Pendekatan psikoterapi utama untuk gangguan ansietas menyeluruh
adalah terapi perilaku-kognitif, suportif, dan psikoterapi
berorientasi tilikan. Teknik perilaku-kognitif memiliki efek jangka
pendek maupun jangka panjang. Pendekatan kognitif secara langsung
ditujukan pada distorsi kognitif pasien yang didalilkan dan
pendekatan perilaku ditujukan pada gejala somatik langsung dengan
teknik relaksasi dan biofeed26
BAB IIGANGGUAN SOMATOFORMA. PENDAHULUANIstilah somatoform
berasal dari bahasa Yunani soma artinya tubuh dan gangguan
somatoform adalah kelompok penyakit yang luas dan memiliki tanda
serta gejala yang berkaitan dengan tubuh sebagai komponen utama.
Gangguan ini mencakup interaksi pikirantubuh. Di dalam interaksi
ini, dengan cara yang masih belum diketahui, otak mengirimkan
sinyal yang mempengaruhi kesadaran pasien dan menunjukkan adanya
masalah serius di tubuh.DSM IV memasukkan lima kelompok gangguan
somatoform spesifik, yaitu gangguan somatisasi, gangguan konversi,
hipokondriasis, gangguan dismorfik tubuh, dan gangguan nyeri.
B. GANGGUAN SOMATISASIB.1. DefinisiGangguan somatisasi ditandai
dengan banyak gejala somatik yang tidak dapat dijelaskan dengan
adekuat berdasarkan pemeriksaan fisik dan laboratorium. Gangguan
ini biasanya dimulai sebelum usia 30 dan dapat berlanjut hingga
tahunan. Gangguan somatisasi berbeda dengan gangguan somatoform
lainnya karena bayaknya keluhan dan banyaknya sistem organ yang
terlibat. Gangguan ini bersifat kronis dan disertai penderitaan
psikologis yang signifikan, hendaya fungsi sosial dan pekerjaan,
serta perilaku mencari bantuan medis yang berlebihan.B.2.
EtiologiPenyebab gangguan somatisasi tidak diketahui. Rumusan
psikososial tentang penyebab gangguan melibatkan interpretasi
gejala sebagai suatu tipe komunikasi sosial, hasilnya untuk
menghindari kewajiban. Penelitan yang telah dilakukan menunjukkan
bahwa pasien yang memiliki gangguan somatisasi memiliki gangguan
perhatian dan kognitif yang dapat menyebabkan persepsi dan
penilaian yang salah terhadap masukan somatosensorik. B.3.
EpidemiologiStudi epidemiologi melaporkan angka prevalensi seumur
hidup gangguan somatisasi adalah berkisar 0,1 sampai 0,2 untuk
populasi umum. Perempuan yang terkena gangguan somatisasi jumlahnya
melebihi laki-laki 5 hingga 20 kali. Gangguan ini berbanding
terbalik dengan posisi sosial dan sering terjadi pada kelompok
pasien dengan tingkat sosial ekonomi dan pendidikan rendah.
Gangguan somatisasi didefinisikan muncul sebelum usia 30 tahun dan
pasling sering dimulai pada masa remaja.B.4. Gambaran KlinisPasien
dengan gangguan somatisasi memiliki banyak keluhan somatik dan
riwayat medis yang rumit dan panjang. Mual dan muntah, kesulitan
menelan, nyeri di lengan dan tungkai, napas pendek tidak berkaitan
dengan olah raga, dan amnesia adalah gejala yang paling sering
ditemui. Pasien sering meyakini bahwa mereka telah sakit selama
sebagian besar hidup mereka. Dapat pula terdapat gejala
pseudoneurologis seperti gangguan koordinasi atau keseimbangan,
paralisis atau kelemahan fokal, kesulitan menelan atau benjolan di
tenggorok, afonia, retensi urin, halusinasi, hilangnya sensasi raba
atau nyerim oengelihatan ganda, buta tuli, kejang, atau hilang
kesadaran.B.5. Kriteria Diagnostika) Riwayat banyak keluhan fisik
sebelum usia 30 tahun yang terjadi selama suatu periode beberapa
tahun dan menyebabkan pencarian terapiatau hendaya fungsi sosial,
pekerjaan, atau area penting lainnya.b) Masing masing kriteria
berikut ini harus dipeuhi dengan setiap gejala terjadi pada waktu
kapanpun selama perjalanan gangguan:(1) Empat gejala nyeri: riwayat
nyeri berkaitan pada sedikitnya empat tempat atau fungsi yang
berbeda.(2) Dua gejala gastrointestinal selain nyeri.(3) Satu
gejala seksual selain nyeri.(4) Satu gejala pserudoneurologis yang
tidak terbatas pada nyeri.c) Baik (1) maupun (2):(1) Setelah
penelitian yang sesuai, setiap gejala kriteria B tidak dapat
dijelaskan secara utuh dengan keadaan medis umum yang diketahui
atau efek langsung dari zat.(2) Jika terdapat gangguan medis umum,
keluhan fisik, atau hendaya sosial dan pekerjaan yang diakibatkan
jauh melebihi yang diperkirakan dari ananmnesis, pemeriksaan fisik,
dan temuan laboratorium.d) Gejala yang dihasilkan tanpa disengaja
atau dibuat-buat.B.6. TerapiGangguan somatisasi paling baik
diterapi ketika pasien memiliki satu dokter yang diketahui sebagai
dokter utamanya. Ketika lebih dari satu klinisi terlibat, pasien
tersebut memiliki kesempatan untuk mengekspresikan keluhan
somatiknya. Psikoterapi menurunkan pengeluaran untuk perawatan
kesehatan pribadi hingga 50 persen. Pada lingkungan psikoterapi,
pasien dibantu beradaptasi dengan gejalanya, mengekspresikan emosi
yang mendasari dab membangun strategi alternatif untuk
mengekspresikan perasaannya.Memberikan obat psikotropik ketika
gangguan somatisasi timbul bersamaan dengan gangguan mood atau
gangguan ansietas selalu memiliki resiko, tetapi juga diindikasikan
terapi psikofarmakologis dan psikotreaupetik pada keluhan yang
muncul bersamaan. Obat harus diawasi karena pasien dengan gangguan
somatisasi cenderung menggunakan obatnya tidak teratur.
C. HIPOKONDRIASISC.1. DefinisiHipokondriasis didefinisikan
sebagai preokupasi seseorang mengenai rasa takut menderita, atau
yakin memiliki penyakit berat. Rasa takut ini muncul ketika
seseorang salah menginterpretasikan gejala atau fungsi tubuh.
Hipokondriasis terjadi akibat interpretasi yang tidak realistik
atau tidak akurat mengenai gejala atau sensasi fisik, walaupun
tidak ada penyebab medis yag ditemukan. Preokupasi pasien
mengakibatkan distres yang signifikan pada mereka dan mengganggu
kemampuan mereka berfungsi dalam peran pribadi, sosial, maupun
pekerjaan.C.2. EtiologiDalam DSM IV dinyatakan bahwa gejala
hipokondriasis mencerminkan misinterpretasi gejala-gejala tubuh.
Data tubuh yang cukup menyatakan bahwa orang hipokondrial
meningkatkan atau membesarkan sensasi somatiknya dan memiliki
ambang toleransi yang rendah terhadap gangguan fisik.Teori kedua
menyatakan bahwa hipokondriasis dipandang sebagai keinginan untuk
mendapat peranan sakit oleh seseorang yang menghadapi masalah yang
tampaknya berat dan tidak dapat dipecahkan. Teori ketiga menyatakan
bahwa penyebab hipokondriasis adalah bahwa gangguan ini merupakan
varian dari gangguan mental lainnya. Gangguan yang paling sering
dihipotesiskan berhubungan dengan hipokondriasis adalah gangguan
depresif dan gangguan kecemasan.
C.3. EpidemiologiPrevalensi 6 bulan hipokondriasis sebanyak 4
hingga 6 persen di populasi klinik medis umum. Laki-laki maupun
perempuan setara dalam mengalami hipokondriasis. Gejala awitan
dapat muncul pada usia berapapun, meskipun paling lazim timbul pada
usia 20 30 tahun. Keluhan hipokondriasis dilaporkan terjadi pada
sekitar 3 persen mahasiswa kedokteran pada 2 tahun pertama, tetapi
umumnya terjadi hanya sementara.
C.4. Gambaran KlinisPasien dengan hipokondriasis yakin kalau
mereka mengalami penyakit berat yang belum terdeteksi dan mereka
tidak dapat dibujuk sebaliknya. Mereka mempertahankan keyakunan
bahwa mereka mengalami penyakit tertentu, seiring waktu berjalan,
mereka dapart merubah keyakinan mereka pada penyakit lain.
Pendirian mereka bertahan walaupun hasil laboratorium menunjukkan
negatif. C.5. Kriteria Diagnostika) Preokupasi dengan rasa takut
atau gagasan bahwa seseorang memiliki penyakit serius berdasarkan
pada kesalahan interpretasi seseorang terhadap gejala tubuh.b)
Preokupasi tetap ada meskipun telah dilakukan evaluasi dan
penjelasan medis yang sesuai.c) Keyakinan pada kriteria (a) tidak
memiliki intensitas waham dan tidak terbatas pada kekhawatiran
terbatas mengenai penampilan.d) Preokupasi ini menimbulkan
penderitaan yang secara klinis bermakna atau hendaya dalam fungsi
sosial, pekerjaan, dan area penting lainnya.e) Durasi gangguan
sedikitnya 6 bulan.f) Preokupasi ini tidak lebih mungkin disebabkan
oleh gangguan ansietas menyeluruh, gangguan obsesif kompulsif,
gangguan panik gangguan depesif berat, ansietas perpisahan atau
somatoform lain.C.6. TerapiPasien dengan hipokondriasis biasanya
resisten terhadap terapi psikiatri, walaupun beberapa pasien
menerima terapi ini jika dilakukan dalam lingkup medis dan berfokus
pada pengurangan stres dan edukasi untuk menghadapi penyakit
kronis. Psikoterapi kelompok sering menguntungkan bagi pasien
seperti ini, karena psikoterapi kelompok memberikan dukungan sosial
dan interaksi sosial yang membantu mengurangi
ansietasnya.Pemeriksaan fisik yang rutin dan terjadwal berguna
intuk meyakinkan pasien bahwa dokter tida mengabaikan mereka dan
keluhan mereka dianggap serius. Meskipun demikian, prosedur
diagnostik dan teraupetik yang invasif hanya dilakukan bila bukti
objektif mengharuskannya. Farmakoterapi meringankan gejala
hipokondriasis hanya jika pasien memiliki gejala yang berespon
terhadap obat yang mendasarinya, misalnya gangguan ansietas dan
gangguan depresif.
BAB IIIGANGGUAN PENYESUAIANA. DEFINISIGangguan penyesuaian
merupakan reaksi maladaptif jangka pendek terhadap apa yang disebut
orang awam sebagai bencana pribadi tetapi istilah di dalam
psikiatri disebut sebagai stresor psikososial. Gangguan penyesuaian
diharakan pulih segera setelah stresor berhenti atau, jika menetap,
diperoleh suatu tingkat adaptasi baru.Menurut revisi keempat
Diagnostic and Statistical manual of Mental Disorder (DSM-IV-TR),
gejala harus tampak dalam 3 bulan sejak onset stressor. Sifat dan
keparahan stressor tidak dirinci. Meskipun demikian, stresor lebih
sering merupakan peristiwa sehari-hari dan muncul dimana-mana,
misalnya kehilangan orang yang dicintai, pergantian pekerjaan atau
keuangan. Gejala-gejala gangguan ini biasanya pulih dalam 6 bulan,
meskipun dapat berlangsung kebih lama bila ditimbulkan oleh stresor
kronis atau jika dengan akibat yag berlangsung lama.B.
ETIOLOGIGangguan pemyesuaian dicetuskan oleh satu atau lebih
stresor. Beratnya stresor tidak menggambarkan keparahan gangguan
penyesuaian yang terjadi. Stresor dapat berupa kejadian tunggal
seperti perceraian, kehilangan pekerjaan, atau kematian orang yang
dicintai. Stresor dapat pula berupa kejadian multipel yang terjadi
bersamaan. Stadium perkembangan tertentu, seperti awal masuk
sekolah, menikah, menjadi orang tua, juga seringkali disertai
dengan gangguan penyesuaian.C. EPIDEMIOLOGIPrevalensi gangguan ini
adalah diperkirakan sekitar 2 hingga 8 persen untuk populasi umum.
Perempuan didiagnosis dua kali lebih sering daripada laki-laki.
Perempuan lajang umumnya memiliki resiko dua kali lebih besar.
Gangguan dapat terjadi pada usia berapapun, namun lebih sering pada
usia remaja. Faktor stresor yang lazim adalah masalah sekolah,
perceraian orang tua, serta pindah ke lingkungan baru.D. GAMBARAN
KLINISGangguan ini dapat terjadi pada usia berapapun dengan gejala
yang beragam. Depresif, cemas, dan ciri campuran paling lazim
ditemukan pada orang dewasa. Gejala fisik paling lazim pada
anak-anak dan lansia tetapi dapat terjadi pada kelompok usia
berapapun. Manifestasinya juga dapat mencakup perilaku menyerang
dan menyetir dengan ceroboh, minum alkohol berlebihan, melalaikan
tanggung jawab hukum, penarikan diri, tanda vegetatif, insomnia,
serta perilaku bunuh diri.E. KRITERIA DIAGNOSTIKMeskipun menurut
definisi, gangguan penyesuaian terjadi setelah suatu stresor,
gejala tidak selalu dimulai segera. Jarak antara stresor hingga
munculnya gejala dapat berlangsung 3 bulan. Gejala tidak selalu
berkurang setelah stresor hilang, jika stresor berlanjut, gangguan
dapat menjadi kronis.a) Timbulnya gejala emosional atau perilaku
sebagai respon terhadap stresor yang dapat diidentifikasi dalam
waktu 3 bulans etelah onset stresor.b) Gejala atau perilaku ini
secara klinis bermakna seperti yang terlihat dari hal berikut:(1)
Penderitaan yang nyata dan berlebihan dari apa yang diperkirakan
terjadi akibat pajanan dari stresor.(2) Hendaya bermakna fungsi
sosial atau pekerjaan.c) Gangguan terkait stres tidak memenuhi
kriteria gangguan Aksis I spesifik lainnya dan bukan hanya
perburukan dari gangguan Aksis I dan II yang telah ada
sebelumnya.d) Gejala tidak menunjukkan berkabung.e) Ketika stresor
(atau akibat stresor) berakhir, gejala tidak berlangsung selama
lebih dari 6 bulan lagi.
F. TERAPIF.1. FarmakoterapiSeorang pasien dapat memberikan
respon pada anti ansietas atau anti depresan. Pasien dengan
ansietas berat yang hampir panik dapat memperoleh keuntungan dari
ansiolitik seperti diazepam. Mereka yang menarik diri atau berada
dalam keadaan inhibisi dapat dibantu dengan obat psikostimultan
untuk suatu periode yang pendek. Obat antipsikotik dapat digunakan
jika terdapat tanda-tanda dekompensasi atau psikosis yang akan
terjadi. SSRI diketahui memiliki efek mengobati gejala berkabung
traumatik. Terdapat pula peningkatan penggunaan antidepresan pada
pasien dengan gangguan penyesuaian.F.2. PsikoterapiPsikoterapi
tetap merupakan terapi pilihan untuk gangguan penyesuaian. Terapi
kelompok terutama dapat berguna untuk pasien yang mengalami stres
yang sama. Psikoterapi individual dapat menawarkan kesempatan untuk
menggali arti stresor bagi pasien sehingga trauma yang lebih dini
dapat diatasi.
DAFTAR PUSTAKA
Kaplan, Harold., dkk, 2010, Sinopsis Psikiatri: Ilmu Pengetahuan
Perilaku Psikiatri Klinis. Edisi 7, Jilid I, Jakarta: Binarupa
Aksara.
Maramis, Willy, 2009, Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, Ed 2.
Surabaya. Airlangga University Press.
Maslim, Rusdi, 2003, Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa. Jakarta:
Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.