21
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Keragaman atau kemajemukan merupakan kenyataan sekaligus
keniscayaan dalam kehidupan di masyarakat. Keragaman merupakan
salah satu realitas utama yang dialami masyarakat dan kebudayaan di
masa silam, kini dan di waktu-waktu mendatang. Sebagai fakta,
keragaman sering disikapi secara berbeda. Di satu sisi diterima
sebagai fakta yang dapat memperkaya kehidupan bersama, tetapi di
sisi lain dianggap sebagai faktor penyulit. Kemajemukan bisa
mendatangkan manfaat yang besar, namun juga bisa menjadi pemicu
konflik yang dapat merugikan masyarakat sendiri jika tidak dikelola
dengan baik.
Setiap manusia dilahirkan setara, meskipun dengan keragaman
identitas yang disandang. Kesetaraan merupakan hal yang inherent
yang dimiliki manusia sejak lahir. Setiap individu memiliki hak-hak
dasar yang sama yang melekat pada dirinya sejak dilahirkan atau
yang disebut dengan hak asasi manusia. Kesetaraan derajat individu
melihat individu sebagai manusia yang berderajat sama dengan
meniadakan hierarki atau jenjang sosial yang menempel pada dirinya
berdasarkan atas asal rasial, suku bangsa, kebangsawanan ataupun
kekayaan dan kekuasaan.
Tidak dapat dipungkiri lagi, hampir semua wilayah (termasuk
kota) di Indonesia adalah wilayah dengan masyarakat multikultur.
Kondisi masyarakat Indonesia, yang berdimensi majemuk dalam
berbagai sendi kehidupan, seperti budaya, agama, ras dan etnis,
berpotensi menimbulkan konflik. Ciri budaya gotong royong yang
telah dimiliki masyarakat Indonesia dan adanya perilaku
musyawarah/mufakat, bukanlah jaminan untuk tidak terjadinya
konflik, terutama dengan adanya tindakan diskriminasi ras dan
etnis. Di Indonesia, berbagai konflik antar suku bangsa, antar
penganut keyakinan keagamaan, ataupun antar kelompok telah memakan
korban jiwa dan raga serta harta benda, seperti kasus Sambas,
Ambon, Poso, dan kalimantan Tengah. Masyarakat majemuk Indonesia
belum menghasilkan tatanan kehidupan yang egalitarian dan
demokratis. Kerusuhan rasial yang pernah terjadi tersebut
menunjukkan bahwa di Indonesia, pada sebagian warga negaranya masih
terdapat adanya diskriminasi atas dasar ras dan etnis, misalnya,
diskriminasi dalam dunia kerja atau dalam kehidupan sosial ekonomi.
Konflik antar ras dan etnis tersebut biasanya diikuti dengan
pelecehan, perusakan, pembakaran, perkelahian, pemerkosaan dan
pembunuhan. Konflik tersebut muncul karena adanya ketidakseimbangan
hubungan yang ada dalam masyarakat, baik dalam hubungan sosial,
ekonomi, maupun dalam hubungan kekuasaan.
Adanya dominasi sosial dimana semua kelompok manusia ditunjukkan
pada struktur dalam sistem hirarki sosial pada suatu kelompok. Di
dalamnya ditetapkan satu atau sejumlah kecil dominasi dan hegemoni
kelompok pada posisi teratas dan satu atau sejumlah kelompok
subordinat pada posisi paling bawah. Di antara kelompok-kelompok
yang ada, kelompok dominan dicirikan dengan kepemilikan yang lebih
besar dalam pembagian nilai-nilai sosial yang berlaku. Dominasi
sosial ini dapat mengakibatkan ketidak-seimbangan hubungan sehingga
konflik sosial menjadi lebih tajam.
Konflik yang terjadi tersebut tidak hanya merugikan
kelompok-kelompok masyarakat yang terlibat konflik tetapi juga
merugikan masyarakat secara keseluruhan. Kondisi itu dapat
menghambat pembangunan nasional yang sedang berlangsung. Hal itu
juga mengganggu hubungan kekeluargaan, persaudaraan, persahabatan,
perdamaian dan keamanan di dalam suatu negara serta menghambat
hubungan persahabatan antarbangsa.Konsitusi yang merupakan
cita-cita yang mendasari berdirinya NKRI yang dirumuskan oleh
pendiri bangsa, secara tegas menyatakan bahwa Indonesia adalah
negara yang berkesetaraan. Pasal 27 menyatakan: Setiap warga negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan adalah
rujukan yang melandasi seluruh produk hukum dan ketentuan moral
yang mengikat warga negara. Keberagaman bangsa yang berkesetaraan
merupakan kekuatan besar bagi kemajuan dan kesejahteraan negara
Indonesia. Negara yang beragam tetapi tidak memiliki kesetaraan dan
diskriminatif akan menghadirkan kehancuran.
Berdasarkan sejarah dan pengalaman kehidupan manusia Indonesia
itulah, guna menghilangkan diskriminasi ras dan etnis yang telah
mengakibatkan keresahan, perpecahan serta kekerasan fisik, mental,
dan sosial, sangat diharapkan adanya suatu langkah atau terobosan.
Melalui terobosan tersebut nantinya diharapkan falsafah Pancasila,
pandangan hidup bangsa Indonesia serta Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjunjung tinggi harkat dan
martabat manusia yang tercermin dalam sila kedua Kemanusiaan yang
adil dan beradab dapat terlaksana sepenuhnya di masyarakat. Pada
akhirnya amanat konstitusional bahwa bangsa Indonesia dapat
dijalankan dan segala bentuk diskriminasi ras dan etnis dapat
terhapuskan sepenuhnya.
1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka
dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1) Apakah diskriminasi dan konflik itu?
2) Faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya konflik dari
diskriminasi di Indonesia serta dampak yang ditimbulkannya?
3) Bagaimanakah bentuk-bentuk perilaku diskriminasi di
Indonesia?
4) Bagaimanakah keterkaitan perilaku diskriminasi tersebut
dengan kemajemukan/keragaman yang dimiliki bangsa Indonesia?
5) Apa saja penyelesaian atau terobosan yang diharapkan untuk
diterapkan guna menghapuskan diskriminasi di masyarakat Indonesia
sepenuhnya?1.3.Tujuan PenulisanTujuan penulisan makalah ini adalah
sebagai berikut:
1) Untuk menambah pengetahuan di Bidang Ilmu Sosial dan Budaya
Dasar tentang diskriminasi dan konflik serta problematikanya di
masyarakat Indonesia.2) Melalui pengetahuan yang didapat tersebut,
pembaca diajak untuk menjauhkan diri dari perilaku diskriminasi
karena banyaknya dampak negatif yang ditimbulkan.BAB II
PEMBAHASAN2.1.Diskriminasi & KonflikKata diskriminasi
berasal dari bahasa Belanda discriminatie artinya pemisahan atau
perbedaan. Kata diskriminasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
Edisi III artinya perbedaan perlakuan terhadap sesame warga Negara.
Kata diskriminasi juga berasal dari bahasa Inggris disebut
discrimination artinya perbedaan perlakuan. Kata diskriminasi yang
berasal dari bahasa Arab disebut tafriq dan merupakan sifat tercela
yang harus dihapus.
Menurut UU RI No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Bab 1
pasal 1 menjelaskan kata diskriminasi adalah setiap pembatasan,
pelecehan, atau pengucilan yang langsung atau tidak langsung
didasarkan pada perbedaan manusia atas alasan agama, suku, ras,
etnik, kelompok, jenis kelamin, bahasa, keyakinan, politik, yang
berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan,
pelaksanaan, penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dalam
kehidupan, baik individu atau kolektif dalam bidang politik
ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lain.Menurut
Theodorson & Theodorson, diskriminasi adalah perlakuan yang
tidak seimbang terhadap perorangan, atau kelompok, berdasarkan
sesuatu, biasanya bersifat kategorikal, atau atribut-atribut khas,
seperti berdasarkan ras, kesuku-bangsaan, agama, atau keanggotaan
kelas-kelas sosial. Istilah tersebut biasanya untuk melukiskan
suatu tindakan dari pihak mayoritas yang dominan dalam hubungannya
dengan minoritas yang lemah sehingga dapat dikatakan bahwa perilaku
mereka itu bersifat tidak bermoral dan tidak demokrasi. Dalam arti
tersebut, diskriminasi adalah bersifat aktif atau aspek yang dapat
terlihat (overt) dari prasangka yang bersifat negatif (negative
prejudice) terhadap seorang individu atau suatu kelompok.
Diskriminasi juga diartikan sebagai tindakan yang melakukan
pembedaan terhadap seseorang atau sekelompok orang berdasarkan ras,
agama, suku, etnis, kelompok, golongan, status, kelas sosial
ekonomi, jenis kelamin, kondisi fisik, usia, orientasi seksual,
pandangan ideologi, dan politik serta batas negara dan kebangsaan
seseorang. Definisi yang dikemukaan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa
(PBB) berbunyi: Diskrimasi mencakup perilaku apa saja yang
berdasarkan perbedaan yang dibuat berdasarkan alamiah atau
pengkategorian masyarakat yang tidak ada hubungannya dengan
kemampuan individu atau jasanya (merit).
Perlu kiranya dicatat di sini, bahwa dalam arti tertentu
diskriminasi mengandung arti perlakuan tidak seimbang terhadap
sekelompok orang, yang pada hakekatnya adalah sama dengan kelompok
pelaku diskriminasi. Obyek diskriminasi tersebut sebenarnya
memiliki beberapa kapasitas dan jasa yang sama. Apakah diskriminasi
dianggap illegal tergantung dari nilai-nilai yang dianut masyarakat
bersangkutan atau kepangkatan dalam masyarakat.
Konflik berasal dari kata kerja latin configere yang berarti
saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu
proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok)
dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan
menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa
individu dalam suatu interaksi. Perbedaan-perbedaan tersebut di
antaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan,
adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan
dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik
merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu
masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya
atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang
bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Konflik bertentangan dengan sosial" integrasi. Konflik dan
Integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik
yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. Sebaliknya, integrasi
yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.
2.2.Faktor-faktor Penyebab Diskriminasi dan Konflik
Komunitas Internasional telah mengakui bahwa diskriminasi masih
terjadi di berbagai belahan dunia, dan prinsip non diskriminasi
harus mengawali kesepakatan antar bangsa untuk dapat hidup dalam
kebebasan, keadilan, dan perdamaian. Pada dasarnya diskriminasi
tidak terjadi begitu saja, akan tetapi karena adanya beberapa
faktor penyebab antara lain:
1) Persaingan yang semakin ketat dalam berbagai bidang
kehidupan, terutama ekonomi. 2) Adanya tekanan dan intimidasi yang
biasanya dilakukan oleh kelompok yang dominan terhadap kelompok
atau golongan yang lebih lemah. 3) Ketidak-berdayaan golongan
miskin akan intimidasi yang mereka dapatkan membuat mereka terus
terpuruk dan menjadi korban diskriminasi.
Dari kajian yang dilakukan terhadap berbagai kasus disintekrasi
bangsa dan hancurnya sebuah negara, dapat disimpulkan adanya enam
faktor utama yang sedikit demi sedikit bisa menjadi penyebab utama
yaitu:
1) Kegagalan kepemimpinan 2) Krisis ekonomi yang akut dan
berlangsung lama 3) Krisis politik 4) Krisis sosial 5)
Demoralisasi
6) Interfensi asingAgus Dwiyanto (2001) menyebutkan ada tiga
faktor utama yang menjadi penyebab diskriminasi dalam pemberian
pelayanan publik di Indonesia. Pertama, faktor struktural yaitu
adanya ssstem paternalisme dalam birokrasi. Paternalisme adalah
sistem yang menempatkan atasan sebagai pihak yang sentral dalam
birokrasi. Orientasi aparat birokrasi dalam memberikan pelayanan
lebih ditujukan kepada kepentingan pejabat atasan dibanding ke
masyarakat pengguna jasanya. Kedua, faktor kultural yaitu adanya
ikatan kekerabatan untuk mendahulukan lingkungan terdekat yakni
saudara terdekatnya atau sesama etniknya. Budaya nepotisme ini
turut memberikan sumbangan terhadap perlakuan diskriminatif dalam
pelayanan publik. Ketiga, faktor ekonomi. Rendahnya tingkat
penghasilan seorang petugas pelayanan memaksa petugas untuk mencari
alternatif sumber penghasilan yang lain dengan jalan memberikan
pelayanan lebih cepat kepada pengguna jasa dengan imbalan
tertentu.
Ketiga faktor penyebab di atas cocok untuk menjelaskan
diskriminasi dalam pelayanan publik yang berdasarkan alasan status
sosial ekonomi. Dalam pemberian pelayanan publik juga berlaku
diskriminasi yang tidak disadari sebagai bentuk ketidakadilan yakni
diskriminasi karena karakteristik fisik seperti cacat tubuh, ras,
dan jenis kelamin.Menurut Novi (2010), diskriminasi diawali dari
proses keragaman dengan faktor-faktor penyebab sebagai berikut:1)
Terjadinya segmentasi ke dalam kelompok-kelompok yang seringkali
memiliki kebudayaan yang berbeda.
2) Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam
lembaga-lembaga yang bersifat non komplemeter.
3) Kurang mengembangkan konsesus diantara para anggota
masyarakat tentang nilai-nilai sosial yang bersifat dasar.
4) Secara relatif sering kali terjadi konflik diantara kelompok
yang satu dengan yang lainnya.
5) Secara relatif intergrasi sosial tumbuh di atas paksaan dan
saling ketergantungan didalam bidang ekonomi.
6) Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok terhadap kelompok
yang lain.
Secara umum konflik dapat terbentuk akibat:
1) Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan
perasaan.
Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang
memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan
lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau
lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik
sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak
selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung
pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap
warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena
berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.
2) Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk
pribadi-pribadi yang berbeda.
Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola
pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang
berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang
dapat memicu konflik.
3) Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok.
Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang
kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang
bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan
yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang
sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda. Sebagai contoh,
misalnya perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan. Para
tokoh masyarakat menanggap hutan sebagai kekayaan budaya yang
menjadi bagian dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan
tidak boleh ditebang. Para petani menbang pohon-pohon karena
dianggap sebagai penghalang bagi mereka untuk membuat kebun atau
ladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan kemudian
kayunya diekspor guna mendapatkan uang dan membuka pekerjaan.
Sedangkan bagi pecinta lingkungan, hutan adalah bagian dari
lingkungan sehingga harus dilestarikan. Di sini jelas terlihat ada
perbedaan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya
sehingga akan mendatangkan konflik sosial di masyarakat. Konflik
akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang
politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Begitu pula dapat terjadi
antar kelompok atau antara kelompok dengan individu, misalnya
konflik antara kelompok buruh dengan pengusaha yang terjadi karena
perbedaan kepentingan di antara keduanya. Para buruh menginginkan
upah yang memadai, sedangkan pengusaha menginginkan pendapatan yang
besar untuk dinikmati sendiri dan memperbesar bidang serta volume
usaha mereka.
4)Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam
masyarakat.Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi,
tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak,
perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial.
Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses
industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab
nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak
pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat
industri. Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai
kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah
yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan
bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi
formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi
individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang
cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas
seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri.
Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak,
akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan
akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena
dianggap mengacaukan tatanan kehiodupan masyarakat yang telah
ada.2.3.Dampak Diskriminasi
Perilaku diskriminasi yang terjadi dalam masyarakat akan
cenderung menimbulkan konflik pada masyarakat itu sendiri. Ada
beberapa teori yang menyatakan munculnya konflik dalam masyarakat
antara lain:
1) Teori hubungan masyarakat, memiliki pandangan bahwa konflik
yang sering muncul ditengah masyarakat disebabkan polarisasi yang
terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan di antara kelompok
yang berbeda, perbedaan bisa dilatarbelakangi SARA bahkan pilihan
ideologi politiknya. 2) Teori identitas yang melihat bahwa konflik
yang mengeras di masyarakat tidak lain disebabkan identitas yang
terancam yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau
penderitaan masa lalu yang tidak terselesaikan 3) Teori
kesalahpahaman antar budaya, teori ini melihat konflik disebabkan
ketidakcocokan dalam cara-cara berkomunikasi di antara budaya yang
berbeda. 4) Teori transformasi yang memfokuskan pada penyebab
terjadi konflik adalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang
muncul sebagai masalah sosial budaya dan ekonomi.
Menurut Novi (2010), jika masalah diskriminasi tidak
diselesaikan dengan baik ada beberapa masalah lanjutan yang akan
timbul yaitu:1) Disharmonisasi, adalah tidak adanya penyesuaian
atas keragaman antara manusia dengan dunia lingkungannya.
2) Kesenjangan dalam berbagai bidang yang tentu saja tidak
menguntungkan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
3) Eksklusivisme, rasialis, bersumber dari superioritas diri,
alasannya dapat bermacam-macam, antara lain keyakinan bahwa secara
kodrati ras/sukunya kelompoknya lebih tinggi dari ras/suku/kelompok
lain.
2.4. Bentuk-bentuk Diskriminasi di Indonesia
Diskriminasi adalah perbuatan zalim dan tercela karena akan
mendatangkan kerugian kepada orang yang diperlakukan diskriminatif.
Secara umum diskriminasi bisa terdapat dalam kehidupan berkeluarga,
bertetangga, bermasyarakat dan bernegara.
1) Orangtua yang membeda-bedakan perlakuan terhadap anak-anaknya
adalah contoh perilaku diskriminasi dalam kelusarga .
2) Islam mengajarkan agar dalam berkehidupan bertetangga, antara
satu tetangga dengan tetangga lainnya saling menghormati dan
menghargai, tanpa membedakan suku bangsa, agama, status sosial, dan
sebagainya.
3) Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,
perilaku diskriminasi itu misalnya jika pemerintah hanya melindungi
golongan tertentu. Padahal pemerintah wajib melindungi seluruh
rakyatnya tanpa kecuali.
Berdasarkan ras, suku, warna kulit, perlakuan diskriminasi
antara lain adalah:
1) Diskriminasi kelamin, yaitu pembedaan sikap dan perlakuan
terhadap orang berdasarkan jenis kelamin. Di kota Mekkah pada masa
Jahiliah, kaum perempuan berkedudukan sangat rendah.
2) Diskriminasi ras, yaitu pembedaan berdasarkan asal bangsa
yang menganggap bahwa tras yang satu lebih hebat daripada ras yang
lain.
3) Diskriminasi sosial, yaitu berdasarkan status sosialnya,
seperti kaya dan miskin, bangsawan dan rakyat jelata, atau suatu
agama dengan agama lain.
4) Diskriminasi warna kulit (apartheid) yaitu berdasarkan warna
kulit, orang yang berkulit putih dianggap lebih terhormat.Di
Indonesia terdapat berbagai bentuk diskriminasi. Beberapa bentuk
diskriminasi yang disebutkan di bawah ini adalah segelintir kasus
yang sering beredar di masyarakat. Permasalahan diskriminasi yang
paling umum misalnya adalaha dalam jenis kelamin, permasalahan
utama yang dihadapi adalah kuatnya pandangan sebagian masyarakat
yang menempatkan laki-laki lebih tinggi daripada perempuan.
Pandangan demikian tidak hanya terdapat pada kaum laki-laki, tetapi
juga banyak perempuan yang mempunyai pandangan bahwa perempuan
secara kodrati memang merupakan subordinasi dari laki-laki. Apabila
seseorang yang berpandangan demikian berada di posisi pembentuk
peraturan perundang-undangan atau pembuat kebijakan publik, potensi
terjadinya kebijakan yang diskriminatif menjadi lebih besar. Di
samping itu, kurangnya perhatian para pembentuk peraturan
perundang-undangan dalam mematuhi asas kesamaan kedudukan dalam
hukum dan pemerintahan juga berperan besar bagi lahirnya peraturan
perundang-undangan yang diskriminatif.
Di beberapa daerah, kebijakan yang bersifat diskriminatif masih
sering terjadi, antara lain dengan dibentuknya peraturan daerah
(perda) yang mengatur tentang tata cara berpakaian dan batas ruang
gerak perempuan di ruang publik serta melarang perempuan keluar
malam tanpa muhrim.
Disamping itu, sejak diberlakukannya UU Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga, laporan terhadap terjadinya tindakan kekerasan
terhadap perempuan malah semakin meningkat, sedangkan catatan
terjadinya kekerasan terhadap laki-laki tidak tersedia. Sistem
sosial belum memungkinkan hal tersebut dilakukan. Komisi Nasional
Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat bahwa
pada tahun 2005 terjadi 20.392 kasus kekerasan terhadap perempuan.
Angka tersebut meningkat menjadi 22.512 kasus pada tahun 2006.
Selain itu, Indonesia sebagai negara yang juga meratifikasi
berbagai konvensi, salah satunya adalah meratifikasi Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan
(Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination
Against Women/CEDAW) melalui UU Nomor 7 Tahun 1984, tetapi dalam
tataran pelaksanaan ketentuan yang ada dalam konvensi tersebut
belum sepenuhnya dijadikan acuan bagi aparat penegak hukum dalam
penyelesaian kasus-kasus yang berhubungan dengan tindakan
diskriminasi khususnya diskriminasi terhadap perempuan.
Dalam konteks kesenjangan ekonomi, diskriminasi pada tingkat
kebijakan juga terjadi pada kelompok masyarakat kurang mampu. Dalam
kaitan itu, beberapa peraturan perundang-undangan, terutama pada
tingkat operasional, menetapkan berbagai persyaratan tertentu yang
mengakibatkan sulitnya kelompok masyarakat kurang mampu untuk
memperoleh pelayanan publik hampir pada semua bidang. Hal itu
antara lain tercermin dari tingginya biaya pendaftaran perkara
perdata pada pengadilan tingkat pertama, sehingga menyulitkan
kelompok masyarakat yang kurang mampu untuk memperoleh pelayanan
publik di bidang hukum atau memperoleh keadilan. Kendala yang sama
juga dialami oleh kelompok masyarakat kurang mampu dalam memperoleh
pelayanan publik pada bidang kehidupan lainnya.
Pada tingkat pelaksanaan, permasalahan utama terletak pada
kurangnya pemahaman masyarakat termasuk para penyelenggara negara
dan aparat penegak hukum akan pentingnya kesamaan cara pandang
dalam upaya penghapusan diskriminasi dalam berbagai bentuk,
misalnya terminologi kekerasan dalam rumah tangga yang sering
dipahami secara sempit sebagai kekerasan fisik, padahal peraturan
perundang-undangan memberikan arti luas, antara lain meliputi
kekerasan ekonomi (penelantaran ekonomi) dan kekerasan psikis.
Hal yang perlu mendapat perhatian khusus berkaitan dengan upaya
penghapusan diskriminasi dalam berbagai bentuk ialah dalam
penyelenggaraan pelayanan umum. Keluhan masyarakat terhadap kinerja
pelayanan publik merupakan isu yang sering kita dengar dari
masyarakat. Secara umum yang menjadi permasalahan adalah kelambanan
proses pelayanan terhadap kelompok masyarakat yang kurang mampu
dibandingkan dengan kelompok yang secara ekonomis lebih mampu.
Pada kenyataannya, beberapa contoh yang telah tersebut di atas
belumlah mewakili kasus-kasus diskriminasi di Indonesia. Mengingat
bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang sangat majemuk,
kemajemukan yang besar tersebut akan semakin besar potensinya dalam
memunculkan kasus-kasus diskriminasi lain jika tidak ditangani
secara baik dan tepat.
2.5.Keragaman Bangsa Indonesia
Berdasarkan teori kultur dominan, masyarakat multikultur di
Indonesia dalam lingkup provinsi dapat dikategorikan menjadi empat:
1) Kelompok etnis tertentu menjadi dominan di wilayah
teritorialnya. Beberapa provinsi yang termasuk dalam kategori ini
antara lain adalah lima provinsi di Jawa (Jawa Tengah, DIY, Jawa
Timur, Jawa Barat), Bali, Gorontalo, Kalimantan Selatan, Sumatera
Barat, Bangka Belitung, Nusa Tenggara Barat, Nangroe Aceh Darusalam
2) Kelompok etnis tertentu menjadi dominan di luar wilayah
teritorialnya. Untuk kategori ini hanya terjadi di propinsi
Lampung, dimana orang Jawa menjadi mayoritas (61,89%) diikuti
dengan Orang asli Lampung (Peminggir, Pepadun, Abang Bunga Mayang)
justru menjadi minoritas. 3) Beberapa etnis memiliki jumlah yang
berimbang, dapat dikateorikan lagi menjadi:
Perimbangan jumlah etnis dengan jumlah etnis asli lebih besar
Kategori ini kebanyakan berasal dari etnis diaspora seperti Batak,
Bugis, Melayu, Minahasa, dan Buton di wilayah teritorialnya. Selain
itu, etnis Banten juga paling banyak jumlahnya meskipun tidak
dominan. Beberapa provinsi yang termasuk dalam kategori ini antara
lain adalah: Banten, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi
Utara, Jambi, Riau, Sumatera Selatan, dan Sulawesi Tenggara.
Perimbangan jumlah etnis dengan jumlah etnis pendatang lebih
besar Kategori ini kebanyakan terjadi di wilayah dimana para
pendatang yang justru membangun wilayah di perantauan, terutama DKI
Jakarta, Kalimanatan Timur, Kalimantan Tengah, dan Bengkulu. Di
ketiga propinsi ini orang Jawa merupakan etnis yang jamlahnya
terbesar.
4) Beberapa etnis memiliki jumlah yang berimbang, namun yang
terbanyak adalah kumpulan beberapa etnis (kelompok lain-lain),
yaitu Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Sulawesi Tengah. Pemahaman
terhadap multikultural sendiri sebenarnya tidak dapat dilepaskan
dari pengertian kebudayaan. Karena kata kebudayaan itulah, yang
menjadi kunci pemahaman konsep multikulturalisme. Kebudayaan
merupakan sekumpulan nilai moral untuk meningkatkan derajat manusia
dan kemanusiaan.
Multikulturalisme adalah sebuah paham yang mengakui adanya
perbedaan dalam kesetaraan, biak secara individual maupun secara
kelompok dalam kerangka kebudayaan. Heterogenitas kekayaan Negara
Indonesia ini terekatkan dalam bhineka tunggal ika. Dengan kata
lain, kekayaan budaya dapat bertindak sebvagai faktor pemersatu,
yang sifatnya majemuk dan dinamis. Tidak ada kebudayaan Indonesia,
bila bukan terbentuk dari kebudayaan masyarakat yang lebih
kecil.
Sebagai sebuah konsep, mutikulturalisme manjadi dasar bagi
tumbuhnya masyarakat sipil yang demokratis demi terwujudnya
keteraturan sosial. Dengan demikian, bisa menjamin rasa aman bagi
masyarakat dan kelancaran tata kehidupan masyarakat.
Melihat kemajemukan Indonesia yang begitu luasnya terdiri dari
sedikitnya 500 suku bangsa, maka mutikulturalisme hendaknya tidak
hanya sekedar retorika, tetapi harus diperjuangkan sebagai landasan
bagi tumbuh dan tegaknya proses demokrasi, pengakuan hak asasi
manusia, dan akhirnya bermuara pada kesejahteraan masyarakat. Upaya
itu harus dilakukan jika melihat berbagai konflik yang terjadi di
sejumlah daerah di tanah air beberapa waktu lalu. Konflik itu
mengindikasikan belum tuntasnya penbentuka masyarakat mutikultural
di Indonesia. Munculnya konflik antar suku misalnya, menunjukkan
belum dipahaminya prinsip mutikulturalisme yang mengakui perbedaan
dalam kesetaraan. Pemahaman nilai-nilai kesetaraan dalam perbedaan
itulah yang senantiasa dilakukan secara aktif baik oleh tokoh
masyarakat, tokoh partai, maupun lembaga swadaya masyarakat. Dengan
demikian, pemahaman bahwa bangsa Indonesia merupakan masyarakat
yang terdiri dari berbagai kebudayaan harus menjadi bagian tak
terpisahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kesetaraan setiap warga masyarakat dan dijaminnya hak masyarakat
tradisional merupakan unsur dasar dari prinsip demokrasi yang
terkandung dalam pengakuan terhadap kesetaraan dan toleransi
perbedaan dalam kemajemukkan.Tuntutan kesetaraan mungkin belum
beberapa abad terakhir ini dimulai oleh manusia. Tentunya seruan
dengan suara kecil malah yang hamper tidak terdengar, pada ribuan
tahun yang lalu suda ada. Tingkatanya rakyat jelata, tetapi
berkeinginnan agar menjadi seapadan dengan para bangsawan, dengan
para orang kaya serta berkuasa bahkan memjadi anggota kalangan sang
bagianda raja. Kalau seandainya setiap orang mau memikirkan
matang-matang keinginan untuk setara itu, biasanya dan selalu
datang dari pihak yang kurang beruntung untuk menyamai kaum yang
sedang atau sudah beruntung.
Sudah adakah yang sebaliknya? Mungkin saja pernah ada dan
contohnya bisa kita ambil misalnya saja seorang raja yang ingin
hidup seperti rakyat biasa, seorang pemimpin atau khalifah yang
amat merakyat. Mungkin yang dijalani oleh Umar bin Abdul Aziz
adalah seperti itu. Presiden Iran, Mahmoud Ahmadinejad adalah
contoh lain yang paling mengena. Seorang penguasa seperti dia masih
hidup di rumahnya yang kecil sejak dia masih dosen, tidur bukan di
atas temapat tidur, tetapi di atas kasur yang digelar dilantai,
kalau bersembahyang di dalam masjid, dia duduk dimana saja, di
tengah jamaah lain, tidak menuju shaf paling depan seperti presiden
lainnya yang selalu begitu.
Kalau sekarang ini ada yang meneriakkan kesetaraan mungkin
sekali adalah karena jurang yang memisahkan kaum yang merasa
dirinya tidak setara dengan kaum yang ingin disetarai, semakin
suram dan semakin lebar saja. Kesetaraan ini tidak akan muncul dan
berkembang dalam susunan masyarakat yang didirikan diatas paham
dominasi dan kekuasaan satu kelompok terhadap kelompok yang lain.
Republik yang sudah berumur tua untuk ukuran manusia, 65 tahun saja
tidak ada keadilan dalam kehidupan berbangsa. Keadaan adil dan
makmur yang menjadi idaman seluruh rakyat Indonesia tidak pernah
datang sampai sekarangdan kemungkinan besar di masa yang akan
dating nanti.
Untuk mencapai kesetaraan itu sebaiknya dengan cara menaikkan
derajat, peringkat, kondisi serta kemampuan setiap perorangan
ketingkat yang diingininya dengan upaya sendiri-sendiri untuk tahap
awal. Ini adalah satu-satunya jalan. Jangan mengajak teman sejawat
terlebih dahulu hanya untuk membentuk mass forming. Mass forming
seperti ini akan menjadi utuh kalau para pemebentuknya memang
memiliki peringkat yang setara. Kalau isi para pembentuknya tidak
sama kemampuannya, visinya dan tugasnya maka masa yang dibentuknya
akan tidak utruh serta mudah tercerai-berai. Yang memilukan adalah
bahwa setiap orang yang menpunyai ambisi untuk menggerakkan massa
untuk mencapai kesetaraan, kurang mengamati sekelilingnya
sendiri.
Dengan identitas pluralis dan multikulturalis itu bangunan
interaksi dan relasi antara manusia Indonesia akan bersifat setara.
Paham kesetaraan akan menandai cara berfikir dan perilaku bangsa
Indonesia, apabila setiap orang Indonesia berdiri di atas realitas
bangsanya yang plural dan multikultural itu. Identitas kesetaraan
ini tidak akan mucul dan berkembang dalam susunan masyarakat yang
didirikan di atas paham dominasi dan kekuasaan satu kelompok
terhadap kelompok yang lain. Kesetaraan merupakan identitas
nasional Indonesia.
2.6.Solusi Penyelesaian Masalah Diskriminasi
Dalam menghapus permasalahan diskriminasi ini sangat diharapkan
partisipasi berbagai pihak. Untuk itu penulis menawarkan beberapa
solusi pada setiap sisi yang terlibat antara lain:
1) Keagamaan
Dengan dasar Al-Quran:
Artinya: Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu
disisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Mengenal (Q.S. Al
Hujurat:13)Maka diskriminasi dapat dihilangkan dengan cara-cara
berikut:
a) Gemar bersilaturahmi
b) Menumbuhkan semangat persatuan dan kesatuan
c) Bersikap toleransi (tasamuh) terhadap sesama umat beragama
dan tidak memaksakan keyakinan agama kepada orang lain.
d) Aktif dalam kegiatan yang tujuannya mengahapus
diskriminasi.
e) Tidak menimpakan kesalahan kepada orang lain.
f) Tidak menghina, berburuk sangka , bahakn memfitnah orang
lain.
g) Selalu beribadah kepada Allah dan tidak menyukutukan-Nya,
serta berbuat baik kepada sesama.
2) Pemerintahan
Berdasarkan pandangan dan pertimbangan, undang-undang yang
dibuat oleh pemerintah hendaklah harus mengenai aspek berikut:
a) Asas dan tujuan penghapusan diskriminasi ras dan etnis
b) Tindakan yang memenuhi unsur diskriminatif
c) Pemberian perlindungan kepada warga negara yang mengalami
tindakan diskriminasi ras dan etnis
d) Penyelenggaraan perlindungan terhadap warga negara dari
segala bentuk tindakan diskriminasi ras dan etnis yang
diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat,
serta seluruh warga negara
e) Pengawasan terhadap segala bentuk upaya penghapusan
diskriminasi ras dan etnis oleh Komnas HAM
f) Hak warga negara untuk memperoleh perlakuan yang sama dalam
mendapatkan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya
g) Kewajiban dan peran serta warga negara dalam upaya
penghapusan diskriminasi ras dan etnis
h) Gugatan ganti kerugian atas tindakan diskriminasi ras dan
etnis
i) Pemidanaan terhadap setiap orang yang melakukan tindakan
berupa perlakukaan pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau
pemilihan berdasarkan pada ras dan etnis, yang mengakibatkan
pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan, atau pelaksanaan
hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di
bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Di samping itu pemerintah juga harus mempercepat penyusunan RUU
Anti-Diskriminasi Ras dan Etnik yang saat ini sedang dilakukan
pembahasan antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai
salah satu upaya untuk menghapuskan diskriminasi dalam berbagai
bentuk terutama diskriminasi rasial. Dengan demikian, diharapkan
RUU itu dapat segera disahkan dalam waktu dekat. Serta meratifikasi
International Covenant on Economic, Social and Culture Rights
(ICESCR) dan I (ICCPR) melalui UU No. 11 dan UU No.12 Tahun 2005,
saat ini sedang dilakukan proses harmonisasi berbagai peraturan
perundang-undangan untuk mewujudkan kepastian hukum di bidang
tersebut.
Penghapusan diskriminasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik
juga harus terus dilakukan melalui berbagai penyederhanaan
persyaratan, prosedur serta peningkatan transparansi. Dalam rangka
mendukung peningkatan investasi telah dilakukan pendelegasian
wewenang kepada 33 Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM serta
peningkatan kualitas pelayanan melalui proses sistem informasi
penyusunan prosedur, standardisasi, persyaratan pelayanan jasa
hukum.
3) PendidikanSudah saatnya memikirkan pendidikan multikultur
yang mengembangkan konsep toleransi, saling menghargai, saling
menghormati dan saling menyadari tentang sebuah perbedaan. Para
pendidik harus bekerja keras untuk melakukan reorientasi
pembelajaran agama kepada para peseta didik dengan tetap
mensosialisasikan nilai-nilai dan norma agama dari masing-masing
agama yang diajarkan tetapi dengan mengembangkan konsep
multiculturalism education/learning. Karena dengan begitu mekanisme
manajemen konflik akan bisa dilaksanakan.Dalam buku laporannya ke
UNESCO, Jacques Delors pada tahun 1996 mengemukkan bahwa ada empat
buat sendi/pilar pendidikan, yaitu: a) Learning to know (belajar
untuk mengetahui)
Yaitu memadukan pengetahuan umum yang cukup luas dengan
keseempatan untuk mempelajari secara mendalam pada sejumlah kecil
mata pelajaran. Pilar ini juga berarti juga learning to learn
(belajar untuk belajar) sehingga memperoleh keuntungan dari
kesempatan-kesempatan pendidikan yang disediakan sepanjang hayat.b)
Learning to do (belajar untuk berbuat)
Yaitu untuk memperoleh bukan hanya suatu keterampilan kerja
tetapi juga lebih luas sifatnya, kompetensi untuk berurusan dengan
banyak situasi dan bekerja dalam tim. Ini juga belajar berbuat
dalam konteks pengalaman kaum muda dalam berbagai kegiatan sosial
dan pekerjaan yang mungkin bersifat informal, sebagai akibat
konteks lokal atau nasional, atau bersifat formal melibatkan
kursus-kursus, program bergantian antara belajar dan bekerja.
c) Learning to live togather, learning to live with others
(belajar untuk hidup bersama)
Yaitu dengan jalan mengembangkan pengertian akan orang lain dan
apresiasi atas interdependensi melaksanakan proyek-proyek bersama
dan belajar mengatur konflik dalam semangat menghormati nilai-nilai
kemajemukan, saling memahami dan perdamaian.
d) Learning to be ( belajar untuk menjadi seseorang)
Yaitu mengembangkan kepribadian lebih baik dan mampu bertindak
mandiri, membuat pertimbangan dan rasa tanggung jawab pribadi yang
semakin besar, ingatan, penalaran, rasa estetika, kemampuan fisik,
dan keterampilan berkomunikasi.4) KebangsaanSolusi yang pantas
untuk dikembangkan lainnya adalah pembangunan karakter dan semangat
kebangsaan atau nation and character building (NCB). Dalam hal ini,
karakter kebangsaan merupakan pengembangan jati diri bangsa
Indonesia yang (pernah) dikenal sebagai bangsa yang ramah, sopan,
toleran, dan sebagainya. Sedangkan semangat kebangsaan adalah
keinginan yang amat mendasar dari setiap komponen masyarakat untuk
berbangsa.
Karakter dan semangat kebangsaan seperti itu akan berkembang,
baik secara natural maupun kultural, menuju tercapainya persatuan
dan kesatuan bangsa. Dalam konteks NCB, bangsa itu adalah satu dan
tidak terpisah-pisahkan. Pada akhirnya persatuan dan kesatuan
merupakan konsekuensi logis pengembangan jati diri dan keinginan
mendasar untuk berbangsa. BAB III
PENUTUP3.1.Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah disampaikan sebelumnya, ada beberapa
kesimpulan yang dapat diambil yaitu:
1) Diskriminasi merupakan tindakan pembatasan, pelecehan, atau
pengucilan yang langsung atau tidak langsung didasarkan pada
perbedaan manusia yang menyebabkan ketidakseimbangan terhadap
perorangan atau kelompok.
2) Suatu konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang
dibawa individu dalam suatu interaksi, dimana perbedaan-perbedaan
tersebut di antaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian,
pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya.3)
Perilaku diskriminasi dapat terbentuk dari berbagai hal atau
faktor. Faktor yang paling berpengaruh dalam terbentuknya adalah
terbentuknya segementasi dan stratifikasi yang tidak seimbang atau
disalahartikan. 4) Konflik yang berkepanjangan merupakan dampak
dari perilaku diskriminasi.5) Dengan keragaman yang dimiliki bangsa
Indonesia, sangatlah penting untuk memahami, menghargai, mengakui
dan menerima keberagaman yang sudah menjadi realitas sosial.
6) Penyelesaian diskriminasi dan konflik dapat ditempuh melalui
tindakan-tindakan yang solutif di bidang keagamaan, pemerintahan,
pendidikan dan kebangsaan.
3.2.Saran
Berdasarkan analisa dan pengamatan yang dilakukan penulis,
saran-saran yang pantas untuk dilakukan antara lain:
1) Setiap orang adalah sama di hadapan Allah SWT, hanya taqwa
yang membedakannya.
2) Biasakanlah hidup dengan nilai-nilai keagamaan dan rasa
cukup, syukur serta tidak berlebihan.
3) Mulailah untuk membentuk rasa sosial dan saling toleransi
serta buanglah keangkuhan.
4) Teruslah belajar dan belajar dan menerapkan apa yang didapat,
karena dengan hal tersebut orang-orang akan menjadi semakin baik
seiring berjalannya waktu.DAFTAR PUSTAKA
Andarimsa, Wenaldy, 2010, Pluralisme Indonesia, Hubungan
Internasional Unikom, Diakses dari www.google.com pada 3 Mei 2015
pukul 20.26 WIB.
Anonimus, 2011, Kemajemukan Indonesia dan Konflik Sosial.doc,
Diakses dari www.google.com pada 3 Mei 2015 pukul 20.35 WIB.
Anonimus, 2011, Penghapusan Diskriminasi dalam Berbagai Bentuk:
Bab 9 dan Bab 10.doc, Diakses dari www.google.com pada 3 Mei 2015
pukul 20.42 WIB.
CWGI, 2007, Implementasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) di Indonesia.pdf,
Jakarta.
Danandjaja, James, Prof, Dr, MA., Diskriminasi Minoritas
Merupakan Masalah Aktual sehingga Perlu Ditangani Segera.pdf.
Diakses dari www.google.com pada 3 Mei 2015 pukul 21.00 WIB.
Febriyanti, Novi, dkk., 2011. Makalah Ilmu Sosial Budaya Dasar:
Manusia, Keragaman dan Kesetaraan.pdf, Jurusan Teknik
Elektro-Fakultas Teknik, Palembang, Universitas Sriwijaya.
Muttaqin, Tatang, 2006, Strategi dalam Membangun Masyarakat
Multikultur.doc, Diakses dari www.google.com pada 3 Mei 2015 pukul
21.07 WIB.
Nitibaskara, T.R.R, 2002, Paradoks Konflik dan Otonomi Daerah:
Sketsa Bayang-bayang Konflik Dalam Prospek Maasa depan Otonomi
Daerah, Peradaban, Jakarta.
Septianingrum, Herwinda, dkk., 2010, Proposal Ilmu Sosial Budaya
Dasar: Keragaman Etnis dan Ras di Indonesia.pdf, Program Studi
Teknik Informatika-Fakultas Teknik, Malang, Universitas
Muhammadiyah Malang.
Sudiadi, Dadang, 2011, Menuju Kehidupan Harmonis Dalam
Masyarakat Yang Majemuk: Suatu Pandangan Tentang Pentingnya
Pendekatan Multikultur dalam Pendidikan di Indonesia.doc. Diakses
dari www.google.com pada 3 Mei 2015 pukul 22.00 WIB
Syamsuri, Drs. H., 2007, Pendidikan Agama Islam, Jakarta,
Erlangga.
Theodorson, G. A. dan Theodorson A. G., 1979, A Modern
Dictionary of Sociology, London, Barnes & Noble Books.
Yuliani, Sri, Waria: Warga Negara yang Tersisihkan dalam
Pelayanan Publik.doc, Program Studi Administrasi Negara FISIP UNS,
Diakses dari www.google.com pada 3 Mei 2015 pukul 22.25 WIB.