KONSEP SPIRITUAL QUOTIENT DALAM TAFSIR FÎ ZHILÂLIL QUR’ÂN KARYA SAYYID QUTHB DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM DISERTASI Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat guna memperoleh gelar Doktor (Dr.) pada Program Studi Pendidikan Agama Islam Konsentrasi Pendidikan Agama Islam OLEH ABDUL HALIM NIM. 31990415692 Promotor, Prof. Dr. H. Amril M., M.A. Co. Promotor Dr. Abu Bakar, M.Pd PASCASARJANA (Ps) UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SULTAN SYARIF KASIM RIAU 1443 H/ 2022
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
KONSEP SPIRITUAL QUOTIENT DALAM TAFSIR FÎ ZHILÂLIL
QUR’ÂN KARYA SAYYID QUTHB DAN IMPLIKASINYA
TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM
DISERTASI
Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat guna memperoleh gelar
Doktor (Dr.) pada Program Studi Pendidikan Agama Islam
Konsentrasi Pendidikan Agama Islam
OLEH
ABDUL HALIM
NIM. 31990415692
Promotor,
Prof. Dr. H. Amril M., M.A.
Co. Promotor
Dr. Abu Bakar, M.Pd
PASCASARJANA (Ps)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SULTAN SYARIF KASIM RIAU
1443 H/ 2022
i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah Swt. yang telah
memberikan kesadaran spiritual, rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulisan hasil
Research Disertasi dengan judul: “Konsep Spiritual Quotient Dalam Fî Zhilâlil
Qur’ân Sayyid Quthb dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Islam” dapat
diselesaikan secara baik dan benar. Sholawat beserta Salam kepada manusia agung,
manusia sempurna sepanjang zaman, junjungan Alam Nabi Besar Muhammad Saw,
yang telah menuntun dan menyatukan manusia dengan semangat kebahagiaan
dunia dan akhirat.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan disertasi ini tidak akan
terwujud secara baik tanpa adanya bimbingan dan dorongan dari berbagai pihak,
khususnya kedua orang tua; ayahanda tercinta M. Idris Bin Arbain (almarhum)
yang telah berkorban jiwa nan raga demi kesuksesan dan kebahagian ananda di
dunia dan akhirat. Semoga jerih payah, ketulusan penuh cinta dan semangat pantang
menyerah ayahanda tersayang dapat diteruskan dan menjadi amal jariah bagimu di
akhirat sana. Selanjutnya ucapan terimakasih dan do’a kepada ibunda tercinta
Nursidah Binti Abdul Wahab yang telah menghabiskan waktu dan tenaga bahkan
jiwa ia pertaruhkan demi tumbuh berakarnya nilai-nilai keimanan, kemanusiaan
dan kealaman melalui cucuran keringat, tetetasan air mata, kasih sayang, cinta,
rangkulan, perhatian, nasihat serta senantiasa mendo’akan ananda agar kelak
menjadi anak yang berguna bagi tegaknya pilar-pilar agama, keadilan, dan
ii
kebajikan. Semoga ibunda tersayang selalu diberikan keberkahan, kesehatan,
kekuatan dan kesabaran agar senantiasa membimbing ananda ke jalan yang di ridhai
Allah Swt. Amiin.
Kakanda tercinta Ardiansyah bin M. Idris beserta keluarga; Zulkarnain Bin
M. Idris beserta keluarga; Ayunda tersayang Mariana Binti M. Idris beserta
keluarga, dan seluruh keluarga besar, penulis ucapkan terimakasih yang tiada
terhingga atas dukungan, motivasi dan senantiasa mendo’akan serta menyalurkan
spiritnya dalam memupuk semangat kebaikan dan kebajikan untuk menulis,
berkarya dan mengabdi pada agama, sosial, masyarakat, bangsa dan negara.
Semoga Allah Swt. senantiasa menyatukan kita dalam kebenaran yang hakiki dan
menjadikan kita orang-orang beruntung di dunia dan akhirat kelak. Aamiin.
Berikutnya, penulis ingin menyatakan dengan penuh hormat ucapan
terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Rektor UIN Sultan Syarif Kasim Riau, Prof. Dr. H. Khairunnas,
M.Ag, telah memberikan kesempatan, fasilitas selama pendidikan dan
penelitian.
2. Bapak Direktur Program Pascasarjana UIN Sultan Syarif Kasim Riau, Prof. Dr.
H. Ilyas Husti, MA, telah memberikan kesempatan, fasilitas, bimbingan dan
motivasi selama pendidikan dan penelitian.
3. Wakil Direktur Program Pascasarjana UIN Sultan Syarif Kasim Riau, Dr.
Zaitun, M.Ag, telah memberikan kesempatan, fasilitas, bimbingan serta saran.
4. Ketua prodi pendidikan Agama Islam Pasca sarjana Universitas Islam Negeri
Sultan Syarif Kasim Riau, Dr. Zamsiswaya, M.Ag, yang telah memberi
kesempatan, bimbingan dan saran selama pendidikan dan penelitian.
5. Bapak Prof. Dr. H. Amril M., M.A. selaku Promotor yang telah banyak
meluangkan waktu dan memunculkan ide-ide gemilang, solutif, produktif,
prospektif, inspiratif, komunikatif dan aplikatif serta mengarahkan dan
membimbing dengan penuh ketulusan dan cinta demi terciptanya agen
iii
perubahan dalam melahirkan paradigma universal yang menyatu dalam agama,
kemanusiaan dan alam semesta.
6. Bapak Dr. Abu Bakar, M.Pd, selaku Co. Promotor yang telah banyak
meluangkan waktu dalam mengarahkan dan membimbing dengan penuh
kesabaran dan cinta demi menghasilkan karya ilmiah yang berkualitas, berguna
bagi agama, sosial, masyarakat, nusa dan bangsa.
7. Bapak Prof. Dr. H. Amroeni Drajat, M.Ag, selaku penguji eksternal yang telah
memberikan arahan, wawasan baru dan solusi sebagai perbaikan penelitian.
8. Bapak Dr. Afrizal Nur, S.TH.I, MIS, selaku penguji yang telah memberikan
catatan, wawasan dan solusi sebagai perbaikan penelitian.
9. Seluruh dosen dan Staf Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sultan
Syarif Kasim Riau.
10. Kepada guruku yang mulia ustadz Adli Azhari Nasution, telah medidik dan
membimbing ananda sehingga terus berjuang di jalan Allah Swt.
11. Kepada guruku ustadz Junaidi Jumua’ah, M.Pd.I, yang telah banyak
memberikan tunjuk ajarnya tentang pengetahuan, sehingga ananda dapat
menyelesaikan proses pendidikan dan penelitian ini.
12. Bapak Fauzi Hasan, S.Sos., MA, selaku motivator spiritual ananda yang telah
membimbing hingga sampai menyelesaikan S3 dan mudah-mudahan ananda
dapat melanjutkan perjuangan menuntut ilmu dan mengamalkannya dalam
3. Pendekatan teologis-qouliyah dalam perintah humanis-
insaniyah dan ekologis-kauniyah ........................................ 333
a. Pendekatan teologis-qouliyah melalui “nalar ‘irfani”
(penghayatan, pengalaman dan hikmah) ....................... 333
b. Pendekatan teologis-qouliyah melalui “nalar burhani”
(filosofik-saintifik, analitis-kritis dan dialogis) ............. 343
E. Paradigma Integrasi-Interkoneksi Metakosmos, Makrokosmos
dan Mikrokosmos Sebuah Implikasi Kecerdasan Spiritual (SQ)
Pemikiran Sayyid Quthb Terhadap Pendidikan Islam ................ 349
BAB V. PENUTUP ........................................................................ 371
A. Kesimpulan ................................................................................. 371
B. Saran-Saran ................................................................................. 372
C. Implikasi ..................................................................................... 372
DAFTAR KEPUSTAKAAN ......................................................... 374
LAMPIRAN-LAMPIRAN
KOMENTAR TOKOH TENTANG FÎ ZHILÂLIL QUR’ÂN
GLOSARIUM
BIODATA PENULIS
ix
DAFTAR SINGKATAN
Cet. Cetakan
Dkk Dan Kawan-Kawan
Ed Editor
H Hijriah
hlm Halaman
HR Hadis Riwayat
M Masehi
No Nomor
Prodi Program Studi
QS Qur’an Surah
SAW Shallallahu ‘alaihi wa sallam
SWT Subhanallahu wa Ta’ala
UIN Suska Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim
Vol Volume
SQ Spiritual Quotient
IQ Intellegence Quotient
EQ Emotional Quotient
x
PEDOMAN TRANSLITERASI
Pengalihan huruf Arab-Indonesia dalam naskah ini didasarkan atas Surat Keputusan
Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menterin Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia, tanggal 22 Januari 1988, No. 158/1987 dan 0543.b/U/1987,
sebagaimana yang tertera dalam buku Pedoman Transliterasi Bahasa Arab (Aguide
to Arabic Tranliterastion), INIS fellow 1992.
A. Kosonan
Arab Latin Arab Latin
Th ط a ا
Zh ظ B ب
‘ ع T ت
Gh غ Ts ث
F ف J ج
Q ق H ح
K ك Kh خ
L ل D د
M م Dz ذ
N ن R ر
W و Z ز
H ه S س
‘ ء Sy ش
Y ي Sh ص
Dh ض
B. Vokal, Panjang dan Diftong
Setiap penulisan bahasa Arab dalam bentuk tulisan latin vokal fathah ditulis
dengan “a”, kasrah dengan “i”, dlommah dengan “u”, sedangkan bacaan
panjang masing-masing ditulis dengan cara berikut:
Vokal (a) Â misalnya قال menjadi qâla
Panjang =
Vokal (i) î misalnya قيل menjadi qîla
Panjang
Vokal (u) Û misalnya دون menjadi dûna
Panjang
Khusus untuk bacaan ya’ nisbat, maka tidak boleh digantikan dengan “i”,
melainkan tetap ditulis dengan “iy” agar dapat menggambarkan ya’ nisbat
xi
diakhirnya. Begitu juga untuk suara diftong, wawu dan ya’ setelah fathah
ditulis dengan “aw”, dan “ay”. Perhatikan contoh berikut:
Diftong و‾ misalnya قول menjadi qawlun
(aw) =
Diftong ڃ misalnya خير menjadi khayrun
(ay) =
C. Ta’ Marbûthah
Ta’ marbûthah ditransliterasikan dengan “t”, jika berada ditengah kalimat,
tetapi apabila Ta’ marbûthah tersebut berada di akhir kalimat, maka
ditransliterasikan dengan menggunakan “h”, misalnya الرسالة للمدرسة menjadi
ar-risalat li al-mudarrisah, atau apabila berada di tengah-tengah kalimat yang
terdiri dari susunan mudlaf dan mudlaf ilayh, maka ditransliterasikan dengan
menggunakan t yang disambungkan dengan kalimat berikutnya, misalnya في
.menjadi fi rahmatillâh رحمة هللا
D. Kata Sandang dan Lafdh al-Jalâlah
Kata sandang berupa “al” (ال) ditulis dengan huruf kecil, kecuali terletak diawal
kalimat, sedangkan “al”, dalam lafadh jalâlah yang berada di tengah-tengah
kalimat yang disandarkan (idhafah) maka dihilangkan. Perhatikan contoh-
contoh berikut:
a. Al-Imâm al-Bukhâriy mengatakan ...
b. Al-Bukhâriy dalam muqaddimah kitabnya menjelaskan ...
c. Masyâ’ Allâh kâna wa mâ lam yasyâ’ lam yakun.
xii
ABSTRAK
Abdul Halim (2021): Konsep Spiritual Quotient Dalam Tafsir Fi Zhilalil
Qur’an Sayyid Quthb dan Implikasinya Terhadap
Pendidikan Islam
Kecerdasan spiritual (SQ) merupakan kemampuan inmaterial (ruh, jiwa, kalbu dan
akal) dalam mengaktifkan dan mengoneksikan fungsi nilai-nilai teologis-qouliyah
sebagai basis dan apresiasi nya pada nilai-nilai humanis-insaniyah dan ekologis-
kauniyah melalui keterpaduan sikap dan perilaku fundamental, sosial dan moralitas.
Penelitian ini merupakan penelitian Library Research dengan menggunakan
metode pengumpulan data study kepustakaan dalam menggali serta menganalisis
kecerdasan spiritual melalui pemikiran Sayyid Quthb yang meliputi sumber primer
dan sekunder untuk kemudian disimpulkan. Pendekatan yang digunakan yakni
kualitatif dan transdisiplin. Sementara analisis data menggunakan metode Content
Analysis dengan implikasi. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa; pertama,
kecerdasan spiritual (SQ) sebagai basis pendidikan Islam menurut Fî Zhilâlil
Qur’ân Sayyid Quthb merupakan kesadaran hubungan imaniyah (integratif tauhidik
quotient) dalam mengaktifkan dan mengoneksikan nilai-nilai teologis-qouliyah
sebagai upaya aktualisasi nya pada nilai-nilai humanis-insaniyah dan ekologis-
kauniyah melalui keterpaduan epistemik ruh, nafs, qalb dan ‘aql. Kedua,
kecerdasan spiritual (SQ) sebagai tujuan fundamental, sosial, dan moralitas dalam
pendidikan Islam menurut Fî Zhilâlil Qur’ân Sayyid Quthb adalah kematangan
fundamental (iman) yang mengupayakan kesadaran realisasi sikap dan perilaku
sosial (ibadah) dan moral (akhlak) sebagai basis pendidikan Islam, seyogianya akan
mengiringi dan seirama yang menjadi tolak ukur capaian tujuan dalam kinerja
pendidikan Islam. Ketiga, kecerdasan spiritual (SQ) sebagai strategi pendidikan
Islam menurut Fî Zhilâlil Qur’ân Sayyid Quthb meliputi; a) pendekatan teologis-
qouliyah dalam perintah humanis-insaniyah dan ekologis-kauniyah, b) pendekatan
humanis-insaniyah dalam perintah teologis-qouliyah, dan c) pendekatan ekologis-
kauniyah dalam perintah teologis-qouliyah. Keempat, paradigma integrasi
mikrokosmos, makrokosmos dan metakosmos sebagai implikasi pemikiran Sayyid Quthb terhadap pendidikan Islam merupakan keniscayaan relasi timbal balik yang
saling mengisi dan menguatkan serta sejalan antara perilaku mikrokosmos,
makrokosmos dan metakosmos dengan kesadaran sikap dan perilaku yang
seimbang pada tiga dimensi yakni fundamental (teologis), sosial (humanis-
ekologis) dan moralitas (akhlak).
Kata Kunci: Kecerdasan Spiritual, Implikasi, Pendidikan Islam
xiii
ABSTRACT
Abdul Halim (2021): The Concept of Spiritual Quotient in Fi Zhilalil Qur'an
Sayyid Quthb and Its Implications for Islamic Education
Spiritual Quotient (SQ) is an immaterial ability (spirit, soul, heart and mind) in
activating and connecting the functions of theological-qouliyah values as the basis
and appreciation for humanist-insaniyah and ecological-kauniyah values through
the integration of fundamental attitudes and behaviors, social, and morality. It was
a library research using library study data collection method in exploring and
analyzing spiritual intelligence through Sayyid Quthb's thoughts which included
primary and secondary sources to be concluded. The approaches used were
qualitative and transdisciplinary. Meanwhile, analyzing data was done by using
Content Analysis method with implications. The results of the discussion showed
that; first, SQ as the basis of Islamic education according to Fi Zhilalil Qur'an
Sayyid Quthb is an awareness of the faith relationship (integrative tauhidik
quotient) in activating and connecting theological-qouliyah values as an effort to
actualize humanist- insaniyah values and ecological-kauniyah through the
epistemic integration of the spirit, nafs, qalb and 'aql; second, SQ as a fundamental
goal, social, and morality in Islamic education according to Fi Zhilalil Qur'an
Sayyid Quthb is a fundamental maturity (faith) seeking to realize the realization of
attitudes and social behavior (worship) and morals as a basis of Islamic education
that ideally becomes a benchmark for achieving goals in the performance of Islamic
education; third, SQ as an Islamic education strategy according to Fi Zhilalil Qur'an
Sayyid Quthb includes; a) the theological-qouliyah approach in the humanist-
insaniyah and ecological-kauniyah orders, b) the humanist-insaniyah approach in
the theological-qouliyah orders, and c) the ecological-kauniyah approach in the
theological-qouliyah orders; fourth, the paradigm of microcosm, macrocosm and
metacosm integration as the implications of Sayyid Quthb's thoughts on Islamic
education is a necessity of reciprocal relations that complement, strengthen each
other, and in line with among microcosm, macrocosm and metacosm behavior, an
awareness of attitudes, and balanced behavior on three dimensions, namely
fundamental (theological), social (humanist-ecological), and morality (morals).
Salah satu dimensi yang mendasari krisis manusia dewasa ini ialah
krisis dimensi spiritual. Sebagaimana dinyatakan Viktor Frankl.1 Pudarnya
dimensi spiritual ini ditandai oleh keringnya upaya mencari makna dan nilai
hakiki dalam kehidupan, baik hakikat diri sendiri, kemanfaatan terhadap orang
lain, maupun kesadaran terhadap bukti-bukti realitas kebenaran dan keagungan
Ilahiah. Keringnya dimensi spiritual ini berdampak sangat mengerikan, dimana
membentur pada semua prinsipal kehidupan. Kehampaan akan memahami
hakikat diri menyebabkan manusia menjadi makhluk yang ‘tidak tercipta’,
kehampaan akan memahami kemanfaatan terhadap orang lain menyebabkan
manusia menjadi ‘tersisih’ bagi lainnya, sedangkan kehampaan memahami
kesadaran bukti-bukti kebenaran Ilahi menyebabkan manusia menjadi makhluk
antagonistik, lalai, terkekang, kaku, dogmatisasi dan tidak pandai bersyukur.
Sebagaimana Sayyed Hossein Nasr menyebutnya positivistic-
antroposentris.2 Dalam tinjauan psikologi sufistik nya, seorang filosuf mistik
dan syaikh Sufi agung (syaikh al-akbar) Ibnu al-‘Arabi tentang manusia
menyatakan bahwa:
1 Pernyataan Viktor Frankl dalam kutipan Danah Zohar & Ian Marshall, SQ: Spiritual
Intelligence the Ultimate Intelligence, Bloomsbury, London, 2000, hlm. 8, 18. 2 Seyyed Hossein Nasr, The Encounter of man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern
Man, George Allen and Unwin, Ltd., London, 1968, hlm. 19-20.
2
Manusia mencakupi dua transkripsi, (yakni) transkripsi lahiriah berkaitan
dengan makro kosmos (alam besar/ jagat raya) secara keseluruhan, sementara
transkripsi batiniah berhubungan dengan Allah.3
Menurut al-Syaibany, manusia meliputi tiga unsur yakni; badan, akal
dan ruh.4 Sementara Usman Najati, dalam diri manusia ada motif fisiologi,
psikologi (kejiwaan) dan spiritual (rohani).5 Sedangkan Mustamir Pedak,
menyebutkan bahwa dalam diri manusia terdapat potensi yang sangat luhur dan
bersih yakni potensi rohaniah yang mampu berhubungan dengan sang pencipta
dan menangkap sinyal-sinyal kebenaran dari tuntunan agama (religi).6
Menurut ar-Razi, sejatinya manusia adalah makhluk di samping
memiliki dimensi fisik material juga memiliki dimensi spiritual.7 Selain
diciptakan dari saripati tanah8 manusia juga diciptakan dari tiupan roh Tuhan,
sehingga bisa mendengar, melihat dan berpikir.9
Menurut al-Qur’an, manusia makhluk paling sempurna yang diciptakan
oleh Allah.10 Manusia Allah berikan banyak kelebihan ketimbang makhluk-
3 Dikutip oleh Saciko Murata dalam bukunya: The Tao of Islam,” yang diterjemahkan oleh
Rahmani Astuti dan Nasrulloh dengan judul: The Tao of Islam, Sebuah Kitab Tentang Relasi Jender
Dalam Pandangan Sufisme Kosmologi Islam, Mizan, Bandung, 1996, hlm. 10. 4 Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islami, Bulan Bintang,
Jakarta, 1979, hlm. 130. 5 Utsman Najati, The Ultimate Psychology; Psikologi Sempurna ala Nabi SAW, Pustaka
Hidayah, Bandung, 2008, hlm. 17 & 29. 6 Mustamir Pedak, Terapi Ibadah; Pengobatan Berbagai Penyakit dengan Rukun Islam,
Dahara Prize, Semarang, 2011, hlm. 14-15. 7 Muhammad ar-Razi Fakhr ad-Din Diya’ ad-Din ‘Umar, Tafsir al-Fakhr ar-Raziy, jilid
XIII, juz XXVI, Dar al-Fikr, Beirut, 1414 H,/1994 M., hlm. 229. 8 Kementerian Agama RI, Badan Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan
makhluk lainnya.11 Hal itu dinyatakan Nurcholish Madjid bahwa manusia
diciptakan Tuhan dengan keagungan dan penuh misteri yang disusun dari
perpaduan; segenggam tanah bumi dan roh Allah. Maka, siapa hanya mengenal
aspek tanahnya saja dan melalaikan aspek tiupan roh Allah, maka, dia tidak
akan mengenal jauh lebih dalam hakikat manusia.12
Maka itulah oleh Allah manusia diberi tugas mulia untuk menjadi
khalifah di muka bumi. Khalifah dalam artian mengemban misi menjadi wakil
Tuhan di dunia ini dalam rangka menciptakan ketenangan, kedamaian,
kesejahteraan dan kebahagiaan hidup selama di dunia dan akhirat. Sebagaimana
Allah jelaskan secara tegas di dalam al-Qur’an yakni:
فسد فيها من يعل ج
توا ا
رض خليفة قال
ا فى ال
ي جاعل
ة ان ملىك
ك لل رب
فيها ويسفك واذ قال
مون ا تعل
م ما ل
علي ا
ان ك قال
س ل مدك ونقد ح بح سب
ن ن ح
ماء ون ها ثم و ٣٠الد
لسماء ك
ادم ال
م ا
عل
نتم صدقين اء ان ك
ؤل سماء ه
ي با ون ـ ب ن
اة فقال
ملىك
ى ال
٣١عرضهم عل
30. “Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat,
sesungguhnya Aku akan menjadikan di bumi seorang khalifah. Para malaikat
berkata, “mengapa harus ada khalifah di bumi padahal mereka (kelak) akan
menumpahkan darah. (Padahal) kami selalu bertasbih dengan memuji-Mu dan
menyucikan-Mu? Allah menjawab, Aku lebih mengetahui (sedangkan) kamu
tidak mengetahui.” 31. “Lalu Allah mengajarkan kepada Adam nama-nama
semuanya. Kemudian Allah utarakan kepada para malaikat, Allah berfirman,
“coba sebutkan kepada-Ku nama-nama semua itu jika kamu benar.” Mereka
menjawab, “Maha suci Engkau kami tidak ada ilmu kecuali apa yang Engkau
telah ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana”.13
11 Ibid. Q.S. Al-Isra’/17: 70. 12 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Paramadina, Jakarta, 2000, hlm. 430. 13 Kementerian Agama RI, Badan Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan
Lihat juga Sayyid Quthb, Fî Zhilâlil Qur’ân, Jilid 1, Juz 1, Op. Cit., hlm. 67. 15 Moh, Roqib, Ilmu Pendidikan Islam: Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah,
Keluarga, dan Masyarakat, LKIS, Yogyakarta, 2009, hlm. 59.
5
Artinya: “(di antara mereka ada yang berdoa) Wahai Tuhan kami, berikanlah
kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan selamatkanlah kami dari
azab neraka”.16
Pada ayat lain surah al-Qashas Allah Swt. juga menjelaskan yakni:
حسن اما ا
حسن ك
نيا وا ا تنس نصيبك من الد
خرة ول
اار ال الد تىك الله
يك ﴿وابتغ فيما ا
ال لله
ا تبغ مفسدين ول
ب ال ا يح
ل رض ان الله
افساد فى ال
٧٧ال
“Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan
Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan
berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik
kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh Allah
tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan”.17
Tetapi surah al-Dhuha Allah Swt. menjelaskan bahwa walaupun dunia
(jasmani) itu penting, namun akhirat (rohani) jauh lebih penting. Allah
menyatakan:
ى ولاك من ال
خرة خير ل
ال ﴾ ٤﴿ول
“Dan sungguh yang kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang
permulaan”.18
Bahkan Allah memperingatkan secara tegas orang yang hanya
mementingkan kehidupan dunia (jasmani) sementara mengesampingkan
kehidupan akhirat (rohani). Al-Qur’an surah An-Naziat ayat 37-39 yakni:
ا من طغى منيا ٣٧﴿فا حيوة الد
ثر ال
وى ٣٨وا
مأجحيم هي ال
﴾ ٣٩فان ال
“Maka adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan
kehidupan dunia, maka sungguh neraka lah tempat tinggalnya”.19
Ilmu Tarbiyah “At-Tajdid”, Vol. 1, No. 2, Juli 2012, hlm. 200. 22 Elmi Bin Baharuddin dan Zainab Binti Ismail, “7 Domains of Spiritual Intelligence from
Islamic Perspective,” Procedia - Social and Behavioral Sciences 211, No. December (2015): 568–
77, https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2015.11.075.
7
penelitian para ahli, kesuksesan seseorang lebih banyak ditentukan kecerdasan
spiritual nya.23
Menurut Fritjof Capra,24 manusia seluruh dunia telah dihadapkan pada
krisis multidimensional, dan biang dari semua itu adalah penanganan yang
keliru terhadap science dan teknologi sebagai buah pemikiran kecerdasan
intelektual (IQ). Dalam rentang waktu dan sejarah yang panjang, manusia
pernah sangat mengagungkan kemampuan otak dan daya nalar IQ (kecerdasan
intelektual). Hampir satu abad lamanya dunia menjadikan IQ sebagai penentu
kesuksesan.
Menurut Institut Teknologi Carnegie Amerika, dari sepuluh ribu orang
yang sukses, 85% karena kemampuan intelektual, 15% karena faktor
kepribadian, dan IQ dianggap sebagai primadona. Pola pikir dan paradigma
yang demikian telah melahirkan generasi terdidik dengan IQ cerdas tetapi sikap,
perilaku dan pola hidup begitu kontras. Banyak orang yang cerdas secara
akademik tetapi gagal dalam pekerjaan dan kehidupan sosialnya. Mereka
memiliki kepribadian tidak utuh (split personality). Di mana antara otak dan
hati belum bersatu padu.25 Kondisi tersebut pada akhirnya memicu krisis multi-
dimensional yang sangat menakutkan.
23 Danah Zohar dan Ian Marsall, Spiritual Quotient, The Ultimate Intelligence, London,
2002. 24 DNN dan F. Capra, “The Web of Life: A New Scientific Understanding of Living
Systems,” Colonial Waterbirds, 1997 <https://doi.org/10.2307/1521798>; Fritjof Capra, “The
systems view of life a unifying conception of mind, matter, and life,” in Cosmos and History, 2015;
Fritjof Capra dan Pier Luigi Luisi, The Systems View of Life, 2014
<https://doi.org/10.1017/cbo9780511895555> 25 Ni Made Sri Agustini, “Tripusat Pendidikan Sebagai Lembaga Pengembangan Teori
Pembelajaran Bagi Anak,” Magistra: Media Pengembangan Ilmu Pendidikan Dasar dan Keislaman,
2018, https://Doi.Org/10.31942/Mgs.V9i2.2543; Nia Indah Purnamasari, “Konstruksi Sistem
8
Fenomena di atas telah menyadarkan para pakar bahwa kebahagiaan dan
kesuksesan seseorang tidak diukur pada kemampuan otak dan daya pikir
semata, malah lebih banyak ditentukan oleh kecerdasan spiritual (SQ).
Tentunya ada yang keliru pada pola pembentukan SDM selama ini, yakni terlalu
mengedepankan IQ (intelektual), mengabaikan EQ (emosional), terlebih SQ
(spiritual). Oleh karenanya, pendidikan Islam khususnya harus diterapkan
secara seimbang dengan memperhatikan dan memberi penekanan yang setara
kepada IQ (intelektual), EQ (emosional) dan SQ (spiritual).
Dalam tinjauan pendidikan Islam, keseimbangan pendidikan dapat
terlihat dari kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan manusia lahir dan
batin sekaligus, yakni bahagia (kebaikan) di dunia dan akhirat.26 Untuk
mencapai tujuan tersebut, pertama, pendidikan mempunyai tugas membina
manusia menjadi Abid dan Khalifah fi al-Ardh. Kedua, tugas yang diemban
manusia ini hanya bisa dicapai jika manusia memiliki iman dan ilmu
sekaligus.27
Pendidikan ialah upaya transformative untuk mewujudkan insani
menuju manusia yang berbudaya dan beragama.28 Dalam lingkup dimana ada
upaya mengubah perilaku individu baik jasmani dan rohani pada tatanan
Pendidikan Pesantren Tradisional Di Era Global: Paradoks Dan Relevansi,” El-Banat: Jurnal
Pemikiran dan Pendidikan Islam, 2016; Ibrahim Bafadhol, “Pendidikan Agama Islam (PAI) Di
Islamic Boarding School,” Jurnal Edukasi Islami Jurnal Pendidikan Islam, 2016; Yovi Anggi
Lestari dan Margaretha Purwanti, “Hubungan Kompetensi Pedagogik, Profesional, Sosial, dan
Kepribadian pada Guru Sekolah Nonformal X,” Jurnal Kependidikan, 2018. 26 Tafsir Kemenag RI, Op. Cit., Q.S. al-Qashash ayat 77. 27 Ibid. Q.S. Al-Mujadilah/58: 11. 28 Farid Hasyim, Kurikulum Pendidikan Agama Islam, Filosofis Pengembangan Kurikulum
Transformantif Antara KTSP dan Kurikulum 2013, Madani, Malang, 2015, hlm. 17.
9
individual, masyarakat, dan alam sekitarnya sehingga membentuk kemanusiaan
dalam cinta dan citra Tuhan.29 Sebagaimana Amril M.30
menyebutnya sebagai
aktualisasi sifat-sifat Allah yang sudah ada dalam diri manusia.31
Pendidikan Islam adalah upaya melatih perasaan dalam sikap hidup,
tindakan, keputusan dan pendekatan terhadap segala jenis pengetahuan,
berasaskan nilai spiritual dan sangat sadar akan nilai etis Islam.32 Dalam
Seminar Pendidikan Islam seluruh Indonesia tahun 1960, dirumuskan definisi
terminologi pendidikan Islam: “Bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan
jasmani menurut ajaran Islam dengan hikmah mengarahkan, mengajarkan,
melatih, mengasuh dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam.”33
Pendidikan Islam sejatinya merupakan proses pengembangan kepribadian
manusia secara integral dan holistik, sehingga potensi dalam diri manusia
mampu ter-eksplorasi dan berkembang secara berimbang.34
Sayangnya, pada tataran praktis, pendidikan Islam secara konseptual
belum terwujud sepenuhnya dalam proses pembelajaran. Di satu sisi,
pendidikan Islam era kontemporer ini terlihat lebih fokus mengembangkan
keilmuan hanya sebatas ilmu untuk ilmu (science for science), terjadi
29 Omar Muhammad al-Touny al-Syaebani, Falsafah Pendidikan Islam, Terj. Hasan
Langgulung, Bulan Bintang, Jakarta, 1979), hlm. 399. 30 Amril M., Etika dan Pendidikan, LSFK2P dan Aditya Media, Yogyakarta, 2005, Cet. 1,
hlm. 11. 31 Amril M., Akhlak Tasawuf, Meretas Jalan Menuju Akhlak Mulia, PT. Refika Aditama,
Bandung, 2015, Cet. ke-1, hlm. 3-7. 32 Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf, Krisis Pendidikan Islam, terj. Rahmani Astuti,
Risalah Gusti, Bandung, 1986, hlm. 2. 33 Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hlm. 13-14. 34 Ahmad Fathul Hakim, “Konsep Kecerdasan Spiritual Dalam Buku Berguru Kepada
Allah Karya Abu Sangkan dan Relevansi nya Bagi Pendidikan Islam,” Repository UIN Sunan
Kalijaga, Yogyakarta, 2013, hlm. 4.
10
penumpukan ilmu pada aspek kognisi. Pendidikan secara umum dan pendidikan
Islam khususnya, mungkin berhasil mencetak manusia-manusia cerdas,
terampil dan mahir. Namun, secara bersamaan keberhasilan berpretensi
melahirkan manusia yang berkepribadian pecah (split personality) dan
integritas (split integrity). Makanya, wajar belakangan ini beberapa isu dan
fenomena meresahkan sekaligus memecah persatuan umat, misalnya
dengan-gonggongan-anjing. Dikutip pada 27 Februari 2022 pukul 09.02 Wib di Pekanbaru. 36 https://m.detik.com/news/berita. Diakses pada tanggal 05/12/2020. 37 M. Amin Abdullah, Multidisiplin, Interdisiplin & Transdisiplin: Metode Studi Agama
dan Studi Islam Di Era Kontemporer, IB Pustaka, Yogyakarta, 2020, cet. Ke-II, hlm. 30-32. 38 Amril M., Epistemologi Integratif-Interkonektif Agama dan Sains, Rajawali Pers,
Jakarta, 2016, cet. Ke-1, hlm. 13.
11
lebih terbuka, dialogis, kritis dan berparadima integrasi interkoneksi dengan
pendekatan multidisiplin, interdisiplin, dan transdisiplin serta menekankan
contextual pada suatu realitas.39 Maka itulah sejatinya pendidikan Islam
dibangun atas dasar fitrah manusia yang tumbuh kepribadian, kepekaan
terhadap diri, masyarakat, dan realitas alam sekitarnya melalui latihan spiritual,
intelektual, rasionalisasi diri, perasaan dan kepekaan tubuh manusia.40
Optimalisasi kecerdasan spiritual (SQ) inilah yang menjadi
problematika pendidikan Islam dewasa ini. Kecerdasan spiritual (SQ) sebagai
basis pendidikan Islam belum menyatu, sehingga agama dipandang hanya
sebatas ritualistis ibadah dan prosedural teologis yang kering dari makna
spiritual. Padahal dimensi spiritualitas inilah yang sangat urgen terkait
kebutuhan kemanusiaan dewasa ini. Sebagaimana Said Hawa dalam kitab
Tarbiyatuna al-Ruhiyah menyebut dimensi ruhani (tasawuf) ialah “kebutuhan
manusia yang berhubungan dengan kesehatan hati, kesucian jiwa dan masalah
lain yang dibutuhkan.”41
Meskipun belakangan telah diterapkan sistem pendidikan yang
berorientasi pada ranah kognitif, afektif dan psikomotorik, namun di nilai masih
kurang atau belum menyentuh dimensi spiritual. Sehingga keimanan yang
seharusnya dicapai peserta didik kurang terpenuhi, atau bahkan tidak terpenuhi
samasekali. Alhasil, peserta didik kehilangan arah tidak memiliki benteng dan
39 M. Amin Abdullah, Op. Cit., hlm. 97-114. 40 Abdullah Idi & Toto Suharto, Revitalisasi Pendidikan Islam, Tiara Wacana,
Yogyakarta, 2006, hlm. 62. 41 Sa‘id Hawwa, Tarbiyah Ruhiyah, terj. Imam Fajarudin, Era Adicitra Intermedia,
Surakarta, 2010, hlm. 1-4.
12
batasan yang jelas, tidak memiliki akhlak (value) sebagai internalisasi ilmu
yang dipelajari, hilangnya eksistensi Tuhan dalam kehidupan, bahkan
mendorong lahirnya berbagai budaya menyimpang. Pada akhirnya akan
menjauhkan kebahagiaan dan melahirkan kegelisahan-kegelisahan manusia
dalam menjalani kehidupan. Sebagaimana Sayyid Quthb menegaskan
hilangnya spirit Ilahiyah sebagai basis dan orientasi pembelajaran umat Islam
telah memicu kehampaan jiwa manusia.42
Beberapa isu dan fenomena akhir-akhir ini menuntut renungan dan
kajian secara mendalam tentang problematika paradigma pendidikan Islam,
misalnya dalam trailer “film the santri” (2019),43 adegan santri membawakan
hadiah di sebuah perayaan gereja. Konsep ini berasaskan pada toleransi
beragama, dianggap baik dalam tatanan humanis dan sosiologis, namun
bertentangan secara syariat.44 Kasus Herry Wirawan yang memperkosa 20-
santriwati di Kota Bandung,45 kasus pria yang menendang sesajen di Gunung
Semeru Lumajang,46 kasus arogansi seorang Arteria Dahlan yang merendahkan
suku sunda,47 kasus penambangan yang menimbulkan kericuhan dan kerusuhan
42 Sayyid Quthb, “معالم في الطريق_.pdf” Darus Syuruq, Beirut, 1979, hlm. 16. 43 https://geotimes.co.id/op-ed/menakar-kontroversi-film-the-santri/. Dikutip pada tanggal
20 Desember pukul 06.20 Wib. 44 https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-5512863/sikapi-bom-makassar-gusdurian-
mendekam-di-rutan-dan-tak-dikunjungi-keluarga. Diakses pada 14 Februari 2022 pukul 05.40 Wib. 46https://www.tribunnews.com/regional/2022/01/20/penanganan-kasus-penendang-
sesajen-di-gunung-semeru-dilimpahkan-ke-polres-lumajang. Diakses pada 14 Februari 2022 pukul
kronologi-kasus-desa-wadas-purworejo-dari-sudut-pandang-ganjar-pranowo. Diakses pada 14
Februari 2022 pukul 06.16 Wib. 49 https://www.hidayatullah,com/artikel/tsaqafah/read/2019/08/01/168549/krisis-adab-
guru-dan-murid.html. Lihat Komisi Informasi banyak terima laporan kasus pendidikan
(sindonews.com). Lihat 84 Persen Siswa Indonesia Alami Kekerasan di Sekolah (kompas.com).
Lihat Semakin Banyak Sekolah Islam di Turki, sebab tindak amoral (voaindonesia.com). Diakses
pada senen 12 April pukul 06.05 Wib. 50 Siti Nurul Wachidah, “Konstruksi Pendidikan Islam Di Era Global Menurut
Azyumardi Azra,” CENDEKIA: Jurnal Ilmu Pengetahuan 1, no. 3 (2021), hlm. 177–86. 51 Ibid. 52 Kusnan, “Konsep Kecerdasan Makrifat Menurut Abdul Munir Mulkhan dan
Penerapannya Dalam Pendidikan Islam,” (Repository UIN Suska Riau, Pekan Baru, 2011), hlm. 5.
14
bersifat simbolik, ritualistik dan legal-formalistik. Kedua, pendidikan agama
masih bertumpu pada ranah kognitif (intelektual) dan kurang menggarap ranah
afektif (emosional) serta psikomotorik.53 Sebagaimana Jacques Derrida
menyatakan ada upaya dogmatisasi melalui berbagai institusi rasionalisasi yang
di dukung konsep rasio an sich berasas pada grand teori yang mapan hingga
menjelma dengan wajah logosentrisme oposisi biner.54
Pernyataan mengejutkan dilontarkan Zafarul Khan, penyandang gelar
PhD di Universitas Manchester yang dirilis Republika.co.id, Jakarta.55 Dalam
artikelnya “The Milli Gazette,” ia mengatakan, tidak ada Muslim yang hidup
hari ini akan menyangkal bahwa Muslim kontemporer dibenci, dihina dan
dianggap terbelakang, sebab umat Muslim telah mengubah Islam menjadi
sekadar ritual, dimana do’a, puasa, haji, umrah, zakat dan sedekah sebatas
rutinitas yang tidak bernyawa. Ketika berada di luar masjid atau saat kembali
dari Makkah dan Madinah, tidak ada perbedaan yang terlihat dalam karakter
Muslim.
Memang harus diakui bahwa pembelajaran pendidikan Islam era
kontemporer ini masih menyisakan kegelisahan khususnya pada tatanan
metodis menjadi perlu direkonstruksi mengiringi perkembangan globalisasi
53 Artikel berjudul “Gagalnya Pendidikan Agama,” oleh Haidar Bagir, terbit di harian
Kompas pada Jumat, 28 Februari 2003. http://ceremende.blogspot.com/2011/12/buku-
pelajaranpendidikan-agama-islam-1.html. Di akses tanggal 20 Desember 2020, pukul 07.15 wib. 54 Amril M., “Normative and Historical Islam (Factual): A Pilgrimage the Integrative-
Interconnected Epistemology in Education,” POTENSIA: Jurnal Kependidikan Islam 5, no. 1
Perkataan spiritual memiliki ikatan yang lebih kepada hal yang bersifat
kerohanian atau kejiwaan.76
Bensaid et al., kecerdasan spiritual ialah manifestasi iman yang mendalam serta
kepercayaan terhadap keesaan Allah yang melahirkan emosi, pemikiran dan
tindakan positif.77 Zainab et.al. mendefinisikan kecerdasan rohaniah sebagai
kemampuan untuk mempunyai tahap kecemerlangan hubungannya sesama
manusia khususnya dari segi al-amr bi al-ma’ruf wa nahy ‘an al-munkar.78
Menurut Elmi, kecerdasan rohaniah dalam Islam adalah merujuk kepada
ketenangan jiwa, berakal cerdas, mempunyai roh yang sejahtera, al-nafs
muthmainnah dan hati yang bahagia dengan iman serta takwa kepada Allah
SWT.79
Kecerdasan spiritual ialah domain keimanan, ibadah dan moralitas. Pendapat
ini didukung oleh Muhammad Abu D. For menyebutkan ranah kecerdasan
spiritual sebagai ketundukan yang berada di bawah ranah keimanan sekaligus
keikhlasan dalam beramal di bawah ranah moralitas. (While Muhammad D.
describes the spiritual intelligence is the domain of faith worship and morality.
Muhammad Abu D. supports this view. For the describes the domain of spiritual
intelligence as submission that is under the domain of faith as well as the
sincerity in doing charity work under the domain of morality)80
Berangkat dari konsep kecerdasan spiritual yang di gagas tokoh-tokoh
Islam di atas, penulis merasa perlu menelaah dan mendalami kembali konsep
kecerdasan spiritual, sehingga menjadi konsep yang sesuai dan terukur dalam
pendidikan Islam. Oleh sebab itu, pendalaman konsep kecerdasan spiritual
dapat ditelusuri melalui khazanah Islam berupa meneliti teks-teks al-Qur’an
maupun al-Hadis dan meneliti karya-karya para tokoh Muslim yang berkaitan
dengan masalah ini. Sayyid Quthb misalnya, secara kontekstual dalam
tulisannya mengandung isyarat filosofis tentang spiritual, yakni:
76 Aliah B. Purwakania Hasan, Psikologi Perkembangan Islam, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2006. 77 Shamsiah Banu Hanefar, Che Zarrina Sa’ari, dan Saedah Siraj, “A Synthesis of Spiritual
Intelligence Themes from Islamic and Western Philosophical Perspectives,” Journal of Religion and
Health 55, no. 6, 2016), hlm. 85. <https://doi.org/10.1007/s10943-016-0226-7> 78 Elmi Baharuddin & Zainab Ismail, “Hubungan Kecerdasan Rohaniah Warga Tua dengan
Amalan Agama di Rumah Kebajikan,” (Islamiyyat 35 (1), 2013), hlm. 19–28. 79 Suriani Sudi, Fariza Md Sham, Phayilah Yama, Op. Cit., hlm. 9. 80 Elmi Bin Baharuddin dan Zainab Binti Ismail, “7 Domains,” Op. Cit., hlm. 569.
21
“Hidup di bawah naungan al-Qur’an adalah berkah. Sebuah berkah yang hanya
dia yang telah mencicipinya yang tahu. Alhamdulillah Yang telah memberkati
saya dengan kehidupan yang dihabiskan di bawah naungan al-Qur’an ini ... di
mana saya telah merasakan berkah-Nya yang tidak pernah saya rasakan
sebelumnya dalam hidupku ... aku telah hidup untuk mendengar Tuhan ...
Alhamdulillah berbicara kepada saya, seorang budak yang rendah hati dan tidak
penting, melalui al-Qur’an ini.”
Life in the shade of the Qur’an is a blessing. A blessing that only he who has
tasted it (man dhaqaha) knows. Praise is to God, Who has blessed me with this
life spent in the shade of the Qur’an ... in which I have tasted (dhuqtu) such
from His blessing that I had never tasted before in my life… I have lived to hear
God ... Praise be to Him, speaking to me, a humble and insignificant slave,
through this Qur’an.81
Sayyid Quthb mengacu pada bahasa dhawq sebagai istilah yang
mengisyaratkan kemampuan spiritual atau dalam istilah Sufi dhawq sangat
dikenal sebagai perjalanan spiritual yakni pengalaman langsung (kesadaran
akan tuhan). Imam al-Ghazali menjadikan dhawq sebagai istilah sentral dalam
tulisan tasawuf Ihya ulumuddin.82 Hal ini diperkuat sebagaimana Salah ‘Abd
al-Fatah al-Khalidi dalam tulisan Arab nya membahas biografi Sayyid Quthb,
menangkap ini berbicara tentang tanda-tanda spiritual (al-Isharat) yang
diungkapkan kepadaku di penjara.83
Secara psikologis, beliau adalah tokoh Islam yang memiliki karakter
spirituality yang cerdas dalam kehidupannya. Terbukti dengan sikap nya yang
menentang kebijakan barat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, bahkan
81 Sayyid Quṭhb, Fi Ẓhilal, 3/1016-7, lihat juga Issa J. Boullatta. ‘Sayyid Qutb’s Literary
Appreciation of the Qur’an’ in Issa J. Boulata, ed. Literary Structures of Religious Meaning in the
Qur’an, (London, Curzon, 2000), hlm. 354-71. Lihat Josef Linnhoff, “Associating’ With God in
Islamic Thought: A Comparative Study of Muslim Interpretations of Shirk,” (Edinburgh, United
Kingdom, 2020), hlm. 169. 82 Eric Ormsby, Al-Ghazali: Kebangkitan Islam, Oneworld, Oxford, 2007, hlm. 104-5. 83 Catatan paling rinci tentang persidangan dan eksekusi Quthb ditemukan di al-Khalidi.
Sayyid Quṭhb; min al-Milad, 369.
22
Quthb rela mati di tiang gantungan demi kebenaran yang hakiki.84 Sayyid Quthb
telah menunjukkan kecerdasan dan kematangan spiritual dalam pikiran,
perilaku dan sikapnya. Sayyid Quthb merupakan penulis kontemporer yang
menampilkan kemurnian pemikiran nya dengan spirit yang istiqamah dan
kokoh dalam menjajaki jalan Rasulullah Saw. yang menginginkan terlahirnya
generasi yang tulus hatinya, jernih akalnya, orisinal konsepsinya dan bersih
kesadarannya.
منور . خالص الشعور . خالص التكوين يريد صنع جيل خالص القلوب . خالص العقل . خالص التص
أي مؤثر اخر غير المنهج االلهي ، الذى يتضمنه القران الكريم.85
Sayyid Quthb (1906-1966) merupakan ulama yang concern terhadap
penafsiran al-Qur’an, sebagaimana kitab tafsir Fî Zhilâlil Qur’ân yang
kemudian menjadi masterpiece diantara karya-karya lain yang dihasilkannya.
Kitab ini sangat diminati oleh kalangan intelektual karena dinilai kaya dengan
pemikiran sosial kemasyarakatan dan kealaman yang sangat dibutuhkan oleh
generasi Muslim kontemporer. Dalam kitab ini Quthb berusaha melakukan
analisis sosiologis yang kental dengan uraian signifikansi konteks ayat.86
Dikalangan aktivis Islam, Fî Zhilâlil Qur’ân memang mempunyai
tempat yang spesial, ia bukan hanya sederetan kata demi kata tentang tafsir al-
Qur’an, tetapi ia menjadi saksi nyata dari kehidupan mufassirnya yang
1992, hlm. 1. 85 Sayyid Quthb, “معالم في الطريق_.pdf” Darus Syuruq, Beirut, 1979, hlm. 13. Lihat Sayyid
Quthb, Ma’âlim Fî Ath-Thariq; Petunjuk Jalan Yang Menggetarkan Iman, Terj. Mahmud Harun
Muchtarom, Darul Uswah, Yogyakarta, 2009, hlm. 36. 86 Mahmud Arif, Wacana Naskah Dalam Tafsir Fî Zhilâlil Qur’ân, Tiara Wacana,
Yogyakarta, 2002, hlm. 110.
23
mengandung sisi pemikiran Sayyid Quthb, dimana karya ini merupakan
perpaduan dari hasil perenungan dan pengalaman seorang Sayyid Quthb dan
cukup laris pula dikutip serta di telaah para penulis.87
Ciri yang sangat menonjol pada tafsir Fî Zhilâlil Qur’ân adalah kuatnya
gambaran artistik yang menurut pendapat Sayyid Quthb menjadi ciri khas utama
uslub (ungkapan) al-Qur’an.88 Kecenderungan tafsir Fî Zhilâlil Qur’ân
menggunakan corak dakwah wal harokah yang berarti melangkah dan bergerak
secara kontinyuitas melalui taktik dan strategi yang sistematis dalam menyeru
manusia kepada Islam dengan hikmah dan nasihat kebaikan dan kebajikan,
sehingga mereka menjauhi thaghût dan beriman semata kepada Allah Swt.89
Ketertarikan pada tafsir Fî Zhilâlil Qur’ân; pertama, banyaknya
publikasi penelitian ilmiah tentang pendidikan Islam yang merujuk pada tafsir
ini, hanya dikaji dari sisi pendekatan tafsir saja, sehingga meninggalkan sisi
pemikiran (filosofis) Quthb terkait kecerdasan spiritual (SQ) yang holistik,
mendasar dan komprehensif. Sebagaimana beberapa penelitian berikut:
Pertama, Choirul Anam, e-journal, “Konsep Pendidikan Karakter Anak usia
Madrasah Ibtidaiyah Dalam Tafsir Fî Zhilâlil Qur’ân Karya Sayyid Quthb”.90
Kedua, Burhanudin, dalam tulisannya, “Konsep Pendidikan Keluarga Menurut
Sayyid Quthb (Kajian Surat Thaha Ayat 132 Dalam Tafsir Fî Zhilâlil Qur’ân).91
87 Makmun Nawawi, Paling Monumental Di Abad XX, http/www.google.com. 2003 88 Muhammad Chirzin, “Sayyid Quthb dan Al-Taswir Al-Fanni Fil Qur’an,” Jurnal Ilmu
Al-Qur’an dan Hadits, Vol 3, No 2, Januari 2003, hlm. 178. 89 Afrizal Nur, “Konsistensi Sayyid Qutb (1906-1966) dengan Corak Tafsir Al Adabiy Wal
Ijtima’iy dan Dakwah Wal Harakah,” Majalah Ilmu Pengetahuan dan Pemikiran Keagamaan
TAJDID 24, no. 1 (2021), hlm. 8. 90 http://ejournal.kopertais4.or.id/mataraman/index.php/tsaqofi/article/view/3713. 91 Burhanudin, “Konsep Pendidikan Keluarga Menurut Sayyid Quthb Kajian Surat Thaha
Ayat 132 Dalam Tafsir Fî Zhilâlil Qur’ân,” Prosiding Konferensi Nasional Ke-7, ISBN 978-602-
50710-7-2. Jakarta, 23-25 Maret 2018.
24
Ketiga, Suheri Sahputra Rangkuti, Nilai-Nilai Pendidikan Islam Dalam Tafsir
Ayat Jihad.92
Kedua, konsep dimensi spiritual yang begitu luas dalam pemaknaan
nya, tidak terbatas pada biologis dan sosiologis semata, namun ada penekanan
pada nilai transendental yang kuat sebagai penyeimbang bagi tumbuhnya
spiritual yang cerdas. Sebagaimana dalam Fî Zhilâlil Qur’ân dinyatakan bahwa
prioritas yang harus diberikan untuk pendidikan anak-anak diantaranya;
pendidikan iman (tauhid), ibadah (sosial) dan akhlak (moral) yang kesemuanya
ini merupakan komponen kecerdasan spiritual yang harus dimiliki seseorang
dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.93
Dari pemaparan di atas, penulis merasa tertarik untuk membahas dan
menelaah lebih jauh dalam sebuah Disertasi yang berjudul: “Konsep Spiritual
Quotient (SQ) Dalam Tafsir Fî Zhilâlil Qur’ân Sayyid Quthb dan
Implikasinya Terhadap Pendidikan Islam.”
B. Penegasan Istilah
Dalam mempermudah pemahaman agar tidak terjadi kesalahpahaman
terkait judul penelitian ini, maka, perlu adanya definisi istilah yakni:
1. Kecerdasan Spiritual (SQ)
Kecerdasan spiritual (SQ) adalah kemampuan ruh, nafs, qalb dan
‘aql dalam mengoneksikan dan mengapresiasi nilai-nilai teologis-qouliyah,
92 Suheri Sahputra Rangkuti, “Nilai-Nilai Pendidikan Islam Dalam Tafsir Ayat Jihad,”
Jurnal kependidikan Islam 4, no. 2, 2018, hlm. 184-201. 93 Sayyid Quthb, Tafsir Fî Zhilâlil Qur’ân; Di Bawah Naungan Al-Qur’an, Gema Insani,
Jakarta, 2008, cet. 3, hlm. 164-165.
25
humanis-insaniyah dan ekologis-kauniyah melalui langkah-langkah
tauhidik yang integritas (fundamental), sosial (ibadah) dan moralitas
(akhlak.94
2. Implikasi
Implikasi yang dimaksudkan dalam kajian ini adalah keterlibatan
atau hubungan timbal balik.95
3. Pendidikan Islam
Pendidikan Islam adalah upaya sadar untuk mentransfer
pengetahuan, nilai, sikap dan mengoptimalkan potensi otak manusia.
“Islamic education is a conscious effort to transfer knowledge, values,
attitudes and optimize the potential of the human brain.”96
4. Fî Zhilâlil Qur’ân
Fî Zhilâlil Qur’ân merupakan pemikiran tokoh kontemporer di
bidang penafsiran al-Qur’an yang fenomenal dan banyak dikaji dalam
penelitian ilmiah khususnya pendidikan Islam.97
94 Mohamad Erihadiana, Supiana, and Ahmad Hasan Ridwan, “Spiritual Intelligence of
Islamic Education Concepts,” Proceedings of the 5th Asian Education Symposium 2020, no. 566,
(AES 2020): 149–52, https://doi.org/10.2991/assehr.k.210715.031. Lihat Elmi Bin Baharuddin dan
Zainab Binti Ismail, “7 Domains of Spiritual Intelligence,” Op. Cit., hlm. 569. 95 https://kbbi.web.id/implikasi. Di kutip pada Rabu, 1 Desember 2021, pukul 14.39 Wib. 96 Suyadi, Zalik Nuryana, and Niki Alma Febriana Fauzi, “The Fiqh of Disaster: The
Mitigation of Covid-19 in the Perspective of Islamic Education-Neuroscience,” International
Journal of Disaster Risk Reduction 51 (2020): 6, https://doi.org/10.1016/j.ijdrr.2020.101848 97 Suheri Sahputra Rangkuti, “Nilai-Nilai Pendidikan Islam Dalam Tafsir Ayat Jihad (Studi
Atas Tafsir Fi Zhilal Al-Qur’an Karya Sayyid Quthb),” POTENSIA: Jurnal Kependidikan Islam 4,
no. 2 (2018), hlm. 184–201. Lihat juga Sobrun Jamil and Ali Yakub Matondang, “The Eduction
Thoughts of Sayyid Qutb in the Tafsir of Fi Zilal Al-Qur’an,” International Journal on Language,
Research and Education Studies 1, no. 1, (2017), hlm. 53–66. https://doi.org/10.30575/2017081203.
26
C. Identifikasi Masalah
Berangkat dari latar belakang di atas, penulis memandang perlunya
identifikasi masalah sebagai berikut:
1. Perlunya memahami pemikiran Sayyid Quthb dalam Fî Zhilâlil Qur’ân
tentang urgensitas kecerdasan spiritual (SQ).
2. Minimnya pemahaman yang holistik dan komprehensif terkait konsep
kecerdasan spiritual (SQ) sebagai basis pendidikan Islam menurut Fî
Zhilâlil Qur’ân Sayyid Quthb.
3. Perlunya pemahaman yang terpadu tentang kecerdasan spiritual (SQ)
sebagai tujuan fundamental, moralitas, dan sosial dalam pendidikan Islam
menurut Fî Zhilâlil Qur’ân Sayyid Quthb.
4. Pentingnya strategi pendidikan kecerdasan spiritual (SQ) sebagai
pendekatan baru dalam pendidikan Islam menurut Fî Zhilâlil Qur’ân
Sayyid Quthb.
5. Perlunya paradigma integrasi-interkoneksi metakosmos, makrokosmos dan
mikrokosmos sebagai implikasi kecerdasan spiritual (SQ) terhadap
pendidikan Islam menurut Fî Zhilâlil Qur’ân Sayyid Quthb.
6. Perlunya pendalaman konsep kecerdasan spiritual (SQ) melalui komparasi
pemikir Muslim kontemporer dan klasik.
7. Minimnya implementasi nilai-nilai kecerdasan spiritual (SQ) dalam ruang
pendidikan Islam.
8. Perlunya meninjau kembali tentang konsep kecerdasan spiritual (SQ) dalam
perspektif pendidikan Islam.
27
9. Minimnya penerapan nilai-nilai kecerdasan spiritual (SQ) yang terpadu
dalam wilayah pendidikan Islam.
10. Perlunya formulasi tentang aspek-aspek kecerdasan spiritual (SQ) dalam
kurikulum pendidikan Islam kontemporer.
11. Pentingnya menguji substantif filosofis dan epistemologis metodologis
terkait konsep kecerdasan spiritual (SQ) sebagai mitra pendidikan Islam.
12. Pentingnya memahami konsep kecerdasan spiritual (SQ) dalam tinjauan al-
Qur’an dan al-Hadis.
13. Minimnya analisis kecerdasan spiritual (SQ) dalam pendidikan Islam
menurut Fî Zhilâlil Qur’ân Sayyid Quthb.
D. Batasan Masalah
Agar kajian ini fokus dan tidak melebar ke mana-mana, penulis
memandang perlunya dibuatkan batasan. Kajian ini hanya membahas: “Konsep
Spiritual Quotient (SQ) dalam Fî Zhilâlil Qur’ân Sayyid Quthb dan
implikasinya terhadap pendidikan Islam.”
E. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kecerdasan spiritual (SQ) sebagai basis pendidikan Islam
menurut Fî Zhilâlil Qur’ân Sayyid Quthb?
2. Bagaimana kecerdasan spiritual (SQ) sebagai tujuan fundamental, moralitas
dan sosial dalam pendidikan Islam menurut Fî Zhilâlil Qur’ân Sayyid
Quthb?
28
3. Seperti apa strategi pendidikan kecerdasan spiritual (SQ) dalam pendidikan
bahwa cerdas berarti “kemampuan belajar dari pengalaman dan kecakapan
beradaptasi terhadap lingkungan dengan penekanan pada aspek berfikir.”102
Sederhananya, ukuran kecerdasan akan berbeda sesuai dengan kebutuhan
dan kesepakatan setempat.
Sementara spirit berasal dari “spiritus” berarti napas dan “spairare”
berarti untuk bernapas, sehingga memiliki napas berarti memiliki spirit.
Menjadi “spiritual” berarti lebih mengarah kepada sifat kerohanian atau
kejiwaan dibanding sifat fisik atau material.103 Spiritualitas merupakan
kebangkitan atau pencerahan diri dalam mencapai tujuan dan makna
hidup.104 Dalam kamus Inggris-Indonesia, spiritual berasal dari “spirit”
berarti roh, jiwa dan semangat. Kata spirit lebih menekankan semangat
yang berkaitan dengan jiwa atau roh manusia.105
Dalam banyak literatur disebutkan bahwa “spiritual” adalah sesuatu
yang memberikan kehidupan atau vitalitas. Senada dengan Aliah B.
Purwakania Hasan and Hendri Tanjung yang menyatakan bahwa dimensi
spiritual sangat esensi dalam hidup.106 Spiritualitas ini bukan label
seseorang yang diterima atau diberikan oleh pihak luar, melainkan kapasitas
bawaan dalam otak manusia. Artinya, semua manusia terlahir sudah
102 Zhida Shang, “A Concept Analysis on the Use of Artificial Intelligence in Nursing,”
Cureus 13, no. 5 (2021), https://doi.org/10.7759/cureus.14857 103 Aliah B. Purwakania Hasan and Hendri Tanjung, “Islamic Religious Based Mental
Health Education: Developing Framework for Indonesia Mental Health Policy Analysis.” 127, no.
Icaaip 2017 (2018), hlm. 21, https://doi.org/10.2991/icaaip-17.2018.5 104 Ibid. 105 John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 2005, hlm. 546. 106 Aliah B. Purwakania Hasan and Hendri Tanjung, “Islamic Religious,” Loc. Cit.
33
dibekali kapasitas di dalam otaknya untuk mengakses sesuatu yang paling
fundamental tentang kehidupan.107
Kapasitas yang berfungsi untuk mengakses sesuatu yang paling
fundamental inilah yang kemudian mendapat sebutan ilmiah kecerdasan
spiritual (SQ), heart intelligence (HI), kecerdasan transendental dan istilah
lainnya.108 Spiritualitas secara luas berhubungan dengan spirit. Sesuatu
yang spiritual memiliki kebenaran abadi yang berhubungan dengan tujuan
hidup manusia. Manusia yang memiliki spiritual tinggi akan semakin kuat
hubungannya dengan Allah dan akan menampilkan kepandaiannya dalam
berinteraksi dengan manusia.109
Dari sini menandakan bahwa spiritual merupakan kesadaran
manusia terhadap potensi dirinya yang bersifat inmateri dalam
membangkitkan semangat hidup secara totalitas melalui sentuhan
transendental. Kematangan spiritualitas akan meniscayakan relasinya
fundamental dalam perilaku kehidupan sosial, masyarakat, budaya, dan
agama.
107 Mohamad Erihadiana, Supiana, and Ahmad Hasan Ridwan, “Spiritual Intelligence of
Islamic Education Concepts,” Proceedings of the 5th Asian Education Symposium 566, (2021), hlm.
149–52, https://doi.org/10.2991/assehr.k.210715.031. 108 E Wahyuningsih, “The Effect of Intelligence Quotient, Emotional Quotient, and
Spiritual Quotient on the Ethical Attitude of Accounting Students at Islamic Universities in
Pekanbaru (Empirical Study on Riau Islamic University and State Islamic University Sultan Syarif
Kasim,” International Journal of Engineering and Technology (UAE) 7, no. 2 (2018), hlm. 446–50,
https://doi.org/10.14419/ijet.v7i2.30.13796. 109 Mas Udik Abdullah, meledakkan IESQ dengan langkah takwa dan tawakal, Dzikrul
Hakim, Jakarta, 2005, hlm. 181. Lihat Mutakalim, “Integrasi Sikap Spiritual dan Sikap Sosial dalam
Pendidikan Islam,” AL-ISHLAH Jurnal Pendidikan Islam, 18 (2), 2020, hlm. 211–231. Lihat juga
Ardhian Indra Darmawan and Shanti Wardhaningsih, “Peran Spiritual Berhubungan dengan
Perilaku Sosial dan Seksual Remaja,” Jurnal Keperawatan Jiwa 8, no. 1 (2020), hlm. 75,
https://doi.org/10.26714/jkj.8.1.2020.75-82.
34
Adapun kecerdasan spiritual (SQ) merupakan kemampuan
fundamental yang dengannya dapat memecahkan masalah makna dan nilai,
menempatkan tindakan atau suatu jalan hidup pada konteks yang lebih luas,
kaya dan bermakna. Kecerdasan spiritual (SQ) adalah landasan yang
diperlukan untuk memfungsikan kecerdasan intelektual (IQ) dan
kecerdasan emosional (EQ) secara efektif.110 Bahkan menurut Danah Zohar
kecerdasan spiritual (SQ) merupakan kemampuan tertinggi manusia.111
Istilah kecerdasan spiritual (SQ) pertama kali dipopulerkan ilmuan
barat oleh Danah Zohar dan Ian Marsall.112 Konsep ini bermula dari teori
intelegence William Sterm, psikologi jerman yang mengacu pada teori
Alfred Binnet dan Theodoe simon, menyatakan IQ sebagai ukuran
kecerdasan.113 Sementara Paul Eggen, IQ = Takdir. Kemudian muncullah
istilah emotional Quotient (EQ) oleh Joseph De Louch yang kemudian
dipopulerkan Danial Goleman untuk membantah konsep IQ sebagai
110 Ari Ginanjar Agustian, ESQ (Emotional Spiritual Question), Rahasia Sukses
Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual, Arga, Jakarta, 2004, Cet. Ke-15, hlm. 57. 111 Danah Zohar dan Ian Marshall, SQ: Spiritual Intelligence, The Ultimate Intelligence
Siswanto Masruri, “Shifting Paradigm: From Intellectual Quotient, Emotional Quotient, and
Spiritual Quotient toward Ruhani Quotient in Ruhiology Perspectives,” Indonesian Journal of Islam
and Muslim Societies 11, no. 1 (2021), hlm. 143, https://doi.org/10.18326/IJIMS.V11I1.139-162. 112 Ibid. 113 Aries Musnandar, “The Instructional Management on Soft Skills in Islamic Perspective:
A Multi-Case Study at Sekolah Karakter Indonesia Heritage Foundation (IHF) and Brawijaya Smart
School (BSS),” Khatulistiwa 10, no. 1 (2020): 132–50,
https://doi.org/10.24260/khatulistiwa.v10i1.1701
35
penentu kesuksesan seseorang.114 Setelah itu muncullah konsep Spiritual
Quotient (SQ).115
Menurut Danah Zohar dan Ian Marshall, SQ sebagai The Ultimate
Intelligence (puncak kecerdasan).116 Hakikat sejati SQ disandarkan pada
The soul’s intelligence, kecerdasan Jiwa dan hati yang menjadi intisari SQ.
Sebab itu menurut Sukidi “pekik” SQ adalah suara hati.117 Begitu pun
Michal Levin menyatakan SQ sebagai ikatan rasa kasih sayang dalam hati
yang terhubung dengan kekuatan mentalitas.118
Sejatinya konsep kecerdasan spiritual (SQ) itu telah awal dibahas
oleh ilmuwan Muslim dengan makna yang lebih luas dan dalam, tidak
terpaku pada ukuran biologis dan sosiologis sebagaimana konsep ilmuwan
yang dimunculkan Barat. SQ berhubungan langsung dengan substansi ruh
atau spirit.119 Najati dalam bukunya al-Qur’an wa ‘Ilm al-Nafs dan al-Hadis
al-Nabawi wa ‘Ilm al-Nafs menyatakan kecerdasan spiritual sebagai
kematangan emosi, sosial, menjalani hidup penuh ridha, bahagia dan
114 Boyd, K., A Qualitative Analysis of Emotional Intelligence among Leaders at the Army
Logistics University. ProQuest Dissertations and Theses. Northcentral University, (2020), Retrieved
from https://www.proquest.com/dissertations-theses/qualitative-analysis-emotional-intelligence-
raniry.ac.id/index.php/substantia/article/view/2881. 135Jalaludin Rahmat, SQ Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual Dalam Berfikir
Integralistik, Holistic Untuk Memaknai Hidup, Mizan, Bandung, 2002, hlm. 4. Lihat Mohamad
Erihadiana, Supiana, and Ahmad Hasan Ridwan, “Spiritual Intelligence of Islamic Education
Concepts,” Op. Cit., hlm. 147.
39
dengan Ari Ginanjar Gustian mengartikan kecerdasan spiritual (SQ)
sebagai kemampuan memaknai ibadah terhadap sikap dan perilaku serta
kegiatan melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah
menuju manusia yang seutuhnya (hanif), dan memiliki pola pemikiran
tauhidik (integritas) serta berprinsip hanya kepada Allah SWT.136
Wahyudi Siswanto menyatakan kecerdasan spiritual sebagai
kecakapan transendental, menyadari arti penting kehidupan, berbudi luhur
dan mengupayakan hubungan baik dengan Tuhan, sesama manusia dan
alam.137 Adapun Dimitri Mahayana menunjukkan beberapa ciri orang yang
ber-SQ tinggi, diantaranya; memiliki prinsip dan visi yang kuat, mampu
melihat kesatuan dalam keragaman, mampu memaknai setiap sisi
kehidupan, mampu mengelola dan bertahan dalam kesulitan atau
penderitaan.
Sementara Marsha Sinetar memberi makna kecerdasan spiritual
sebagai pikiran yang menerima tuntunan inspirasi, dorongan efektifitas,
keadaan atau realisasi ketuhanan dalam penataan beragam kehidupan
manusia.138 Sedangkan Khalil Khavari memaknai kecerdasan spiritual
berupa “ruh” yakni fakultas dimensi nonmaterial manusia.139 Menurut Tony
136 Ibid. 137 Wahyudi Siswanto, Membentuk Kecerdasan Spiritual Anak, Amza, Jakarta, 2010, Cet.
Ke-1, hlm. 11. 138 M. Sinetar, Spiritual Intelligence. New York: Orbis Books, 2000, hlm. 69. Lihat
Mohamad Erihadiana, Supiana, and Ahmad Hasan Ridwan, “Spiritual Intelligence of Islamic
Education Concepts,” Op. Cit., hlm. 149. 139 K. Khavari, Spiritual Intelligence. Ontario: White Mountain Publication, 2000. Lihat
Mohamad Erihadiana, Supiana, and Ahmad Hasan Ridwan, “Spiritual Intelligence of Islamic
Education Concepts,” Loc. Cit.
40
Buzan140 kecerdasan spiritual tumbuh dan berkembang secara alami
berdasarkan potensi manusia (pengetahuan, apresiasi dan pemahaman
tentang diri sendiri), melalui kesadaran sosial (pengetahuan, apresiasi dan
pemahaman orang lain), hingga apresiasinya pada semua aspek kehidupan
termasuk alam semesta. Kemestian relasi pemahaman dan apresiasi
terhadap alam semesta sebagai aspek utama bagi pengembangan
kecerdasan spiritual manusia.141 Menurutnya, kecerdasan spiritual adalah
roh yang memurnikan bagi terciptanya kualitas vital energi, antusiasme,
keberanian, dan tekad dalam diri manusia.142 Secara sederhana Tony Buzan
menyatakan bahwa kecerdasan spiritual merupakan kemampuan ruh yang
terhubung dalam pemahaman diri manusia dan sosial dan alam semesta.
Sejatinya kecerdasan spiritual (SQ) merupakan kecakapan yang
melibatkan potensial fitrah dengan kecenderungan jiwa yang mencakup
semua aspek kehidupan yang bermakna dan sejahtera. Di sinilah letak
perbedaan basis spiritualitas psikologi modern yang mengabaikan kekuatan
fundamental sebagai kebutuhan mendasar sikap dan perilaku manusia.
Kemestian nilai-nilai kepercayaan, moral dan kerohanian dalam psikologi
modern dianggap sebatas wacana asing dan aneh.143
140 Penemu Mind Maps yang terkenal di dunia dan penulis buku terlaris. Dia kuliah di
seluruh dunia dan memberi nasihat kepada bisnis internasional, pemerintah, otoritas pendidikan
serta atlet Olimpiade. Karyanya telah diterbitkan di 100 negara dan 30 bahasa. 141 Tony Buzan, The Power of Spiritual Intelligence: 10 Ways To Tap Into Your Spiritual
Genius, (American: Thorsons, 2001), hlm. xix. 142 Ibid. 143 Nor Faizah Abdullah, “Perbandingan Konsep Kecerdasan Spiritual Perspektif Islam dan
Barat,” Jurnal Tajulashikin Jumahat Institute of Education International Islamic University
Malaysia (IIUM), Kementerian Pelajaran Malaysia, hlm. 660.
41
Berangkat dari beberapa konsep di atas, menandakan bahwa
kecerdasan spiritual (SQ) sebagai kesadaran iman dalam memaknai
kehidupan dengan nilai ibadah (sosial) yang dimunculkan melalui sikap dan
perilaku akhlak (moralitas) secara seimbang dan sempurna. Inilah
kecerdasan spiritual (SQ) yang diharapkan dan diupayakan khususnya
dalam kinerja pendidikan Islam yang selama meninggalkan esensi dan
eksistensinya pada pembelajaran. Padahal pendidikan Islam menjadikan al-
Qur’an dan al-Hadis sebagai rujukan dan modelnya, hal ini tentu sangat
relevan menjadikan kecerdasan spiritual (SQ) sebagaimana dimaksud
sebagai mitra dialogis nya.
2. Macam-Macam Kecerdasan (Intelligence)
Secara umum kecerdasan dikaitkan dengan akal (intelektual),
namun, kecerdasan intelektual belum cukup menjamin ketepatan
keputusan, sehingga berjalan waktu mulailah orang membicarakan tentang
kecerdasan lain, yakni kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual.144
Pada mulanya kecerdasan hanya terkait dengan kemampuan struktur akal
dalam menangkap gejala, sehingga kecerdasan hanya terfokus pada aspek-
aspek kognitif saja, dalam dinamika berikutnya mulailah muncul
pemahaman struktur kalbu yang perlu mendapat perhatian untuk
menumbuhkan dimensi afektif, seperti; kehidupan moral, emosional,
spiritual dan agama. Karena itu jenis kecerdasan seseorang sangat
bermacam-macam,145 IQ (Intelligence Quotient), EQ (Emotional Quotient),
SQ (Spiritual Quotient), ketiganya membentuk hierarki kecerdasan yang
dimiliki secara utuh oleh setiap individu.146
a. Intelligence Quotient (IQ)
Tahun 1844 Sir Francis Galton sepupu Charles Darwin yang
terkenal dengan teori evolusinya mengawali usaha untuk mengukur
taraf kecerdasan manusia. Ia berpandangan bahwa orang kaya lebih
cerdas daripada orang miskin dengan hipotesa kecerdasan terkait
dengan tingkat status sosial seseorang dan hasilnya Galton gagal
membuktikan hipotesa tersebut.147
Pada tahun 1904 Alfred Binet148 (ilmuwan Perancis) bersama
Theodore Simon tertarik untuk meneliti taraf kecerdasan manusia dan
berpendapat bahwa kemampuan manusia dalam memecahkan
persoalan berkembang selaras dengan peningkatan usia seseorang.
Skala yang dikembangkan oleh Binet kemudian disempurnakan oleh
Lewis Terman149 dari Universitas Stanford California tahun 1916.
145 Abdul Mujib, Yusuf Mudzakir, Op. Cit., hlm. 318. 146 Omar, “Teachers’ Job Performance: The Relationship between Intellectual, Emotional
and Spiritual Quotients,” Journal of Advanced Research in Dynamical and Control Systems 11, no.
5 (2019), hlm. 1095–99, https://api.elsevier.com/content/abstract/scopus_id/85071955069. 147 Monty P Satiadarma, Fedelis E. Waruwu, Mendidik Kecerdasan (Pedoman Bagi Orang
Tua dan Guru Dalam Mendidik Anak Cerdas), Pustaka Populer Obor, Jakarta, 2003, hlm. 3-4. 148 Helio A.G. Teive et al., “Alfred Binet: Charcot’s Pupil, a Neuropsychologist and a
Pioneer in Intelligence Testing,” Arquivos de Neuro-Psiquiatria 75, no. 9 (2017): 673–75,
https://doi.org/10.1590/0004-282X20170097. 149 Russell T. Warne, “An Evaluation (and Vindication?) Of Lewis Terman: What the
Father of Gifted Education Can Teach the 21st Century,” Gifted Child Quarterly 63, no. 1 (2019),
hlm. 3, https://doi.org/10.1177/0016986218799433.
43
Terman berupaya mengkualifikasikan kemampuan seseorang dengan
memunculkan istilah IQ.
William Stern, psikolog Jerman, mengacu pada teori intelegensi
Alfred Binnet dan Theodore Simon yang membuat ukuran kecerdasan
dan kunci kesuksesan hanya bertumpu pada nilai-nilai IQ (nilai rapor,
IP).150 Itulah sebabnya IQ oleh Paul Eggen dianggap sebagai takdir,
bahwa baik buruk nasib seseorang kelak ditentukan oleh IQ-nya.151
Kata intelektual menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti
cerdas, berakal, dan berpikiran jernih berdasarkan ilmu pengetahuan
atau mempunyai kecerdasan tinggi atau totalitas pengertian atau kesa-
daran, terutama yang menyangkut tentang pemikiran dan
pemahaman.152
Dalam Lisanul Arab, akal diartikan sebagai berikut; Akal:
kekangan atau larangan, lawan dari kata kebodohan, jamaknya adalah
-juga berarti teliti dalam berbagai urusan. Al (العقل) uquul. Al-‘aql عقول
‘aql (العقل) juga berarti qolb القلب, dan qolb قلب juga berarti ‘aql. عقل
disebut akal karena mencegah pemiliknya terjerumus dalam
kebinasaan. Al-‘aql العقل artinya mengetahui (secara mutlak), atau
150
Taufik Pasiak, Revolusi IQ/ EQ/ SQ antara Neurosains dan Al-Qur’an, Mizan,
Bandung, 2005, hlm. 120. 151 Rus’an, “Spiritual Quotient (SQ): The Ultimate Intelligence,” Lentera Pendidikan, Vol.
16 No. 1 Juni (2013), hlm. 91-100. 152 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta, 2001, Edisi 3, Cet. 1, hlm. 437.
44
mengetahui sifat-sifat benda, baik dan buruknya, sempurna dan
kekurangannya.153
Sedangkan dalam istilah psikologi, IQ adalah kemampuan
seseorang untuk mengenal dan merespons alam semesta yang tercermin
dalam matematika, fisika, kimia, biologi, dan bidang eksakta serta
teknik, tetapi belum merupakan pengetahuan untuk mengenal dan
memahami diri sendiri dan sesamanya. IQ lebih mengarahkan pada
objek-objek diluar manusia. IQ adalah cermin kemampuan seseorang
dalam memahami dunia luar.154
Menurut J.P Chaplin, intelegensi adalah kemampuan
menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap situasi baru secara cepat
dan afektif atau kemampuan menggunakan konsep abstrak secara
afektif atau kemampuan memahami pertalian dan belajar dengan cepat
sekali.155 Sementara Ibnu Sina, filosuf Muslim, menyebut kecerdasan
sebagai kekuatan intuitif (al-hads).156 Abdul Rahman Saleh dan
Muhbib Abdul Wahab berpendapat bahwa kecerdasan atau intelegensi
adalah kemampuan yang dibawa sejak lahir yang memungkinkan
seseorang untuk berbuat sesuatu dengan cara tertentu atau kemampuan
yang bersifat umum yang meliputi berbagai jenis psikis seperti abstrak,
153 Sayyid Muhammad Az-Zabalani, Pendidikan Remaja Antara Islam dan Ilmu Jiwa,
Gema Insani, Jakarta, 2007, hlm. 46. 154 Suharsono, Melejitkan IQ, IE, dan IS, Inisiasi Press, Depok, 2005, hlm. 83. 155 J.P. Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi (terj). Kartono Kartini, Edisi 1, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2001, Cet. 8, hlm. 253. 156 Yusuf, Murad, Mabadi’ ‘Ilm An-Nafs Al-’Am, Dar al Ma’arif, Mesir, t.t., hlm. 318-319.
45
berpikir, mekanis, matematis, memahami, mengingat bahasa, dan lain-
lain.157
William Stern, dikutip oleh Crow and Crow mengemukakan
bahwa intelegensi berarti kapasitas umum dari seorang individu yang
dapat dilihat pada kesanggupan pikirannya dalam mengatasi
kebutuhan-kebutuhan baru, keadaan ruhaniah secara umum yang dapat
disesuaikan dengan problema-problema dan kondisi-kondisi yang baru
di dalam kehidupan.158 Sementara itu Intelligence Quotient (IQ) ialah
satu indeks tingkat relatif kecemerlangan anak setelah ia dibandingkan
dengan anak-anak lain yang seusia.159
Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa kecerdasan
akal (IQ) adalah kematangan pikiran manusia dalam mengatasi
kebutuhan-kebutuhan mendasar yang dapat disesuaikan dengan
problematika dan kondisi-kondisi terkini dalam kehidupan melalui ber-
pikir, mekanis, matematis, memahami, mengingat dan lainnya.
b. Emotional Quotient (EQ)
Semenjak dipublikasikan nya buku Emotional Intelligence oleh
Daniel Goleman tahun 1995 banyak masyarakat yang terpengaruh
dengan pendapat Goleman tersebut.160 Emosional menurut Kamus
157 Abdul Rahman Saleh, Muhbib Abdul wahab, 8 Psikologi (Suatu Pengantar Dalam
Perspektif Islam), Kencana, Jakarta, 2004, hlm. 179. 158 Lester D Crow, Alice Crow, Educational Psychology. (Terj). Z. Kasijan Psikologi
Pendidikan, Bina Ilmu, Surabaya, 1984, hlm. 205. 159 Ibid. 160 Daniel Goleman, Emotional Intelligence. (terj) Hermaya, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 1999, hlm. 410.
46
Besar Bahasa Indonesia adalah menyentuh perasaan yang berkembang
dan surut di waktu singkat atau keadaan reaksi psikologis dan fisiologis
seperti kegembiraan, kesedihan, keharuan, kecintaan, keberanian yang
bersifat subjektif.161
Salovey dan Mayer menggunakan istilah kecerdasan emosi
untuk menggambarkan sejumlah kemampuan mengenali emosi diri
sendiri dengan tepat, memotivasi diri sendiri, mengenali orang lain, dan
membina hubungan dengan orang lain.162 Ciri utama pikiran emosional
adalah respons yang cepat tetapi lebih mendahulukan perasaan dari
pemikiran, realitas simbolik yang seperti kanak-kanak, masa lampau
diposisikan sebagai masa sekarang, dan realitas yang ditentukan oleh
keadaan, yang kemudian lebih dikenal dengan insting.163 Menurut Mc.
Dougall sebagaimana dikutip oleh Ali Abdul ‘Adzim bahwa insting
merupakan potensi berfikir yang mendorong seseorang bergerak dan
bertingkah laku jika menghadapi sikap dan situasi tertentu pula.164
Dari uraian di atas dapat diambil suatu pengertian bahwa
kecerdasan emosional (EQ) adalah sejumlah kemampuan mengenali
emosi diri sendiri dengan tepat, memotivasi diri sendiri, mengenali
orang lain, dan membina hubungan dengan orang lain.
161 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Op. Cit., hlm. 298. 162 Luk Luk Nur Mufida, “Op. Cit., hlm. 200. 163 Daniel Goleman, Emotional Intelligence, Op. Cit., hlm. 411. 164 Ali Abdul Adzim, Falsafah Al Ma’rifat Fil Qur’an Al Karim. (terj) Kalilullah Ahmad
Masykur Hakim, Epistemologi dan Aksiologi Ilmu Perspektif Al Qur’an, CV. Rosda, Bandung,
1989, hlm. 134.
47
Emosi lahir dari peristiwa-peristiwa yang dialami manusia akan
dapat merespons jiwa dengan menyenangkan dan membahagiakan.165
Kecerdasan emosional bukanlah lawan IQ, namun keduanya
berinteraksi secara dinamis baik pada tingkatan konseptual maupun di
dunia nyata. Kecerdasan emosional menjadikan seseorang mampu
mengenali, berempati, mencintai, termotivasi, berasosiasi, dan dapat
menyambut kesedihan dan kegembiraan secara tepat.166 Kecerdasan
emosional yang tinggi ditunjukkan dengan kemampuan mengendalikan
emosi negatif dan selalu memunculkan emosi positif. Sehingga terlihat
optimis, dan bersemangat dalam berbagai aspek kehidupan.167
c. Spiritual Quotient (SQ)
Zohar dan Marshall, pada awal tahun 2000 memperkenalkan
istilah spiritual quotient (SQ) atau kecerdasan spiritual yang disebut
sebagai puncak kecerdasan (The Ultimate Intelligence).168 Jika IQ
bersandar pada nalar atau rasio, dan EQ bersandar pada kecerdasan
emosi dengan memberikan kesadaran atas emosi-emosi kita serta
emosi-emosi orang lain, maka SQ berpusat pada ruang spiritual
(Spiritual Space) yang memberi kemampuan pada kita untuk
memecahkan masalah dalam konteks nilai penuh makna, sehingga SQ
165 Sayyid Muhammad Az-Zabalawi, Pendidikan Remaja Antara Islam Dan Ilmu Jiwa,
b. Memberikan jalan dalam mengantarkan kepada kesuksesan hidup dunia
dan akhirat, sehingga menjadikan manusia mempunyai semangat
kompetitif, berjuang, pantang menyerah dan memandang jauh ke depan
dalam meraih kesuksesan gemilang.183
c. Terciptanya hubungan yang kuat dengan Allah Swt., sesama manusia
dan lingkungan sekitarnya.184
d. Membimbing manusia dalam meraih kebahagiaan hidup hakiki.185
e. Mengarahkan hidup pada konteks kebermaknaan dan bernilai baik di
mata manusia maupun tuhannya.186 Sebagaimana Danah Zohar dan Ian
Marshall memberi gambaran orang yang cerdas spiritual senantiasa
mampu bersikap fleksibel, beradaptasi secara spontan dan aktif,
mempunyai kesadaran tinggi, sabar menghadapi penderitaan, rasa sakit,
prospektif yang luwes, mempunyai prinsip dan komitmen serta
bertindak penuh tanggung jawab.
f. Memberikan tuntunan manusia dalam menentukan pilihan-pilihan dan
mengambil keputusan yang tepat demi kepentingan sosial dan
masyarakat.187
g. Menjadi landasan yang diperlukan dalam memfungsikan IQ dan EQ
secara efektif.188
183 Mas Udik Abdullah, Op. Cit., hlm. 24. 184 Mas Udik Abdullah, Meledakkan IESQ dengan Langkah Takwa, Op. Cit., hlm. l8l. 185 Sukidi, Op. Cit., hlm. 103. 186 Monty P, Satiadarma & Fidelis E, Waruwu, Mendidik Kecerdasan, Op. Cit., hlm. 48. 187 Ari Ginanjar Agustian, ESQ (Emotional Spiritual Question), Op. Cit., hlm. 162. 188 Danah Zohar dan Ian Marshall, SQ Memanfaatkan Kecerdasan Memaknai Kehidupan,
Terjemahan Rahmi Astuti-Ahmad Nadjib Burhani, Kronik Indonesia Baru, Bandung, 2001, cet. Ke-
1, hlm. 20.
53
Kecerdasan spiritual (SQ) sangat diperlukan bagi manusia sebagai
kemampuan menyadari hakikat tuhan, manusia dan alam semesta dalam
satu kesatuan yang utuh. Kecerdasan spiritual (SQ) berfungsi
mengembangkan diri secara utuh dan komprehensif. Kecerdasan spiritual
(SQ) menjadi pedoman diri tatkala di ujung masalah yang paling mendesak
dalam hidup. Kecerdasan spiritual (SQ) memungkinkan manusia untuk
menyatukan hal-hal yang bersifat intrapersonal dan interpersonal serta
menjembatani kesenjangan antara diri sendiri dan orang lain.
5. Aspek-Aspek Kecerdasan Spiritual (SQ)
a. Aspek Ruh
Ruhani merupakan aspek yang berkaitan dengan jiwa
seseorang.189 Menurut al-Ghazali dan Toto Tasmara, domain al-ruh
adalah kekuatan internal yang dipancarkan ruh Tuhan yang tidak
terlihat oleh indera manusia dan tidak terikat oleh dimensi atau ukuran
material. Al-Zuhayli mengemukakan arti al-ruhi sebagai nurani.190
Sedangkan al-Razi menyatakan bahwa al-ruh adalah penyebab
bagi kehidupan manusia. Diskusi al-ruh sebagai domain yang terdapat
pada tubuh manusia telah lama dibahas oleh al-Mahalli dan al-Suyuti,
Abu Hayyan, Hijaz, semua pandangan didasarkan pada Qs. al-Isra’ ayat
85 yakni domain al-ruh adalah rahasia Allah dan hanya Allah yang tahu
189 Utsman Najati, Belajar EQ Dan SQ Dari Sunah Nabi, Op. Cit., hlm. 4. 190 Elmi Bin Baharuddin dan Zainab Binti Ismail, “7 Domains,” Op. Cit., hlm. 570.
54
tentang sifat al-ruh, Sayyid Quthb, manusia hanya dapat membuktikan
keberadaan roh dalam tubuhnya dengan melihat ke dalam dirinya.191
b. Aspek Jiwa
Jiwa adalah sebuah fasilitas pembantu yang diciptakan Allah
pada diri manusia agar mampu memiliki kekuatan yang dibutuhkan
dalam membangun karakter-karakter yang bersifat dinamis. Domain al-
nafs merupakan elemen yang menampung hasil yang dibuat oleh hati
yang kemudian menampilkan dirinya dalam bentuk tindakan nyata di
depan manusia lain.192
Domain al-nafs juga dapat diartikan sebagai amarah dan
tekanan nafsu pada diri manusia dan unsur halus (al-Latifah). Said
Hawwa membagi makna al-nafs menjadi dua makna, al-nafs sebagai
kekuatan atau kekuatan kemarahan dan keinginan dalam diri manusia
dan al-nafs sebagai rahasia atau al-latifah yang lembut. Artinya unsur
al-nafs dalam kecerdasan spiritual dapat dibagi menjadi dua indera
yaitu jiwa yang tercela dan jiwa luhur.193 Untuk memiliki kedamaian
wilayah al-nafs, Allah memerintahkan orang-orang yang beriman
bersamanya untuk selalu mengingat-Nya (zikr Allah).
Pernyataan ini dengan jelas dinyatakan dalam Qs. al-ra’d ayat
28. Menurut al-Mawardi, menggambarkan hati orang-orang beriman
191 Ibid. 192 Ibid. hlm. 572. 193 Ibid.
55
kepada Allah. Hati mereka akan menjadi tenang ketika dzikir Allah
dengan empat pendekatan mengingat Allah saat mengamalkan,
mengingat nikmat yang telah diberikannya, mengingat janjinya kepada
umat dan selalu menghargai Alquran.194
Singkatnya, al-nafs dalam kecerdasan spiritual memiliki
kemampuan untuk berbuat baik dan taat pada hukum Allah atau buruk
dan tidak taat pada hukum Allah. Hal ini karena dalam diri manusia
terdapat tiga ranah al-nafs, yaitu al-nafs al-ammara bi al-su’, al-nafs al-
lawwamah dan al-nafs al-Mutmainnah. Untuk menghindari al-nafs al-
ammara bi al-su’ dan al-nafs al-lawwamah dan mencapai al-nafs al-
Mutmainnah, seorang Muslim individu harus membersihkan domain al-
nafs untuk mematuhi hukum Allah, meninggalkan larangan Allah,
amalkan dzikir Allah dan hargai perilaku terpuji dalam kehidupan
sehari-hari.
c. Aspek al-Qalb
Domain al-qalb memiliki dua pengertian, yaitu al-qalb fisik dan
al-qalb spiritual. Pengertian fisik al-qalb adalah ruh dari daging yang
berada di sisi kiri daging dengan makna khusus (bersifat fisik) di mana
lubang hitam berisi darah, sedangkan al-qalb makna spiritual adalah
unsur halus yaitu ketuhanan (latifah rabbaniyah ruhaniyyah).195 Said
Hawwa membagi makna al-qalb menjadi dua pengertian al-qalb
194 Ibid. hlm. 573. 195 Ibid. hlm. 572.
56
sebagai hati duniawi dan hati halus (latifah). Hati jasmani adalah
potongan daging lembut berbentuk hati fisik, yang memiliki rongga di
mana darah mengalir dan ada di dada kiri, sedangkan hati halus (latifah)
adalah rahasia spiritual berbentuk hati halus (latifah) dan sifat
rabbaniyyah dan ruhaniyyah.196
Domain al-qalb dalam kecerdasan spiritual adalah hati yang
halus, rabbaniyyah dan ruhaniyyah seperti kata Allah dalam Alquran,
Qaf ayat 37. Menurut al-Mawardi menunjukkan bahwa al-qalb dapat
diartikan sebagai masuk akal dan dapat juga diartikan sebagai al-nafs
dan al-qalb sebagai tempat akal sehat dan al-nafs pribadi manusia.
Selain itu, al-qalb juga menjadi titik tolak pembentukan keyakinan atau
prinsip apakah akan berbuat baik atau jahat.197
Singkatnya spiritual hati adalah otak yang bertemu dengan
pertengahan dalam diri manusia. Selain itu, hati adalah alat yang
menangani semua anggota tubuh dan melalui organ lain mengambil
contoh atau model, baik dalam ketaatan maupun ketidaktaatan.
d. Aspek al-aql
Said Hawwa menyatakan bahwa domain al-aql mempunyai dua
makna, yaitu domain al-aql sebagai unsur yang menyadari fakta yang
menjadi ekspresi hakikat ilmu yang tempatnya berada di hati (al-qalb)
dan al-aql sebagai ilmu untuk dapat mengetahui berbagai ilmu dan
196 Ibid. 197 Ibid.
57
bersifat al-latifah. True menyatakan domain al-aql sebagai pikiran yang
mampu mereview, menelaah berbagai isu dan peristiwa, mengambil
hikmah dari masalah tertentu dan menarik kesimpulan dari masalah
tertentu. Menurut Najati, kemampuan domain al-aql inilah yang
menyebabkan orang diserahi tugas menjalankan ibadah. Selain itu, Said
Hawwa juga mengkategorikan domain al-aql menjadi dua istilah, yaitu
al-aqlal-taklifi dan al-syar’i al-aql.198
Pandangan Said Hawwa ini relevan dengan pandangan al-
Ghazali yang pemaknaan al-aql terbagi menjadi dua yaitu ilmu tentang
hakikat sesuatu dan untuk mengetahui serta memahami hakikat ilmu
atau ilmu yang ada. Selain itu, al-Ghazali meyakini al-aql adalah hati
fisik (al-qalb fisik) yang terletak di dada dan kodrat manusia (al-‘alimah
al-latifah). Secara umum, al-Ghazali dan Toto Tasmara menyatakan
bahwa domain al-aql dikaitkan dengan elemen untuk menangkap
semua gejala yang terlihat di dunia nyata dan memikirkan fakta
pandangan luar yang dilihat oleh pikiran.199
Artinya, melalui domain al-aql seseorang dapat mengukur
kecerdasan spiritual nya, apakah ia memikirkan sesuatu di dunia ini
untuk kebaikan atau keburukan, untuk dirinya sendiri atau orang lain,
personal atau komunal, individual atau sosial dan memuliakan Allah
atau sebaliknya.
198 Ibid. hlm. 573. 199 Ibid.
58
e. Aspek Biologis
Aspek Biologis berkaitan dengan kesehatan seseorang.
Terbebas dari penyakit, tidak cacat, membentuk konsep positif terhadap
fisik, menjaga kesehatan, tidak membebani fisik kecuali batas
kemampuannya.200
f. Aspek Sosial
Aspek sosial berkaitan dengan hubungan terhadap sesama
manusia, mencintai kedua orang tua, mencintai anak, membantu orang
yang membutuhkan, berani mengungkap kebenaran, menjauhi hal-hal
yang menyakiti orang lain, jujur, mencintai pekerjaan dan mempunyai
tanggung jawab. Manusia adalah makhluk sosial. Sejak lahir seorang
anak hidup dalam lingkungan keluarga yang diikat oleh perasaan cinta,
kasih sayang, jujur, loyal, ikhlas, dan dia merasakan kebahagiaan
mereka.201
Secara sosial, cinta sangat menentukan dalam membentuk
hubungan-hubungan yang harmonis, cintailah yang mendorong untuk
saling tolong menolong, saling menguatkan dan mengikatkan ikatan
solidaritas sosial.202
Sesungguhnya sikap saling mencintai dan menyayangi diantara
manusia akan memperkuat hubungan sosial mereka serta
memperkokoh kesatuan dan kestabilan masyarakat. Persatuan manusia
dalam masyarakat ibarat bangunan, jika hubungan terlepas dan putus
karena kebencian dan permusuhan, maka masyarakat akan tercerai
berai dan runtuh sebagaimana bangunan ambruk sebab komponennya
terlepas.203
Inilah bagian kecerdasan spiritual (SQ) yang perlu di apresiasi
dan diupayakan dalam setiap manusia, sehingga perilaku yang
dimunculkan tidak sebatas bagi dirinya, melainkan kepentingan orang
banyak. Baginda Rasulullah sungguh menyadari hakikat itu berkat
kecerdasan dan hikmahnya dengan menguatkan aspek ruhani dan
mengendalikan kesadaran fisiologis manusia.
B. Bukti Saintifik Kecerdasan Spiritual (SQ)
Pada hakikatnya kecerdasan spiritual (SQ) merupakan kemampuan
yang sudah ada dalam diri seseorang, namun selama ini belum banyak orang
yang menyadarinya. Adanya SQ ini selain dapat dilihat dari fenomena
kehidupan, juga telah dibuktikan para neurolog, psikolog, dan antropolog.
Menurut Zohar dan Marshall, segala sesuatu yang berhubungan dengan
kecerdasan diarahkan dan dikendalikan oleh otak hingga meluas sarafnya ke
dalam tubuh.204
203 Roisatun Nisa, Op. Cit., hlm. 47. 204 Zohar, D. & Marshall, Spiritual intelligence: The ultimate intelligence. Bloomsbury,
London, 2000, hlm. 39.
60
Aaron Smith menulis artikel tentang ilmu saraf pengalaman spiritual,
melihat pencitraan saraf dan pengalaman spiritual, studi meditasi gelombang
otak dan implikasi serta pertanyaan yang belum terselesaikan seputar bukti
ilmiah saraf tentang spiritualitas. Smith menyimpulkan bahwa beberapa bentuk
do’a dan meditasi yang intents dapat merangsang perasaan kesatuan mistik,
kedamaian dan kesatuan, serta kehadiran Tuhan.205 Penelitian Newberg dan
Waldman menyebutkan bahwa otak dapat terhubung kembali buah hasil dari
meditasi jangka panjang. Smith mengamati pengalaman spiritual bermula dari
otak, namun ditafsirkan pada kondisi budaya, sebab itu pengalaman spiritual
mungkin ada dalam pikiran dan Tuhan dalam budaya.206
Sementara Newberg dan d’Aquili berpendapat bahwa ilmu otak tidak
bisa membuktikan atau menyangkal keberadaan gagasan mistik dengan
jawaban sederhana, tetapi ilmu saraf menunjukkan bahwa pengalaman spiritual
yang dijelaskan oleh mistik adalah sah. Ini menegaskan legitimasi pengalaman
spiritual.207 Newberg dan d’Aquili juga mengatakan bahwa lobus temporal dan
struktur limbik di dalam otak tidak hanya bertanggung jawab atas kompleksitas
dan keragaman pengalaman religius dan spiritual, tetapi juga area asosiasi yang
berbeda di otak (asosiasi visual), asosiasi orientasi, asosiasi perhatian dan area
asosiasi verbal/ konseptual) berkontribusi pada pengalaman tersebut.208
205 Andries P Kilian, Op. Cit., hlm. 84. 206 Newberg, A. & Waldman, M.R. How God changes the brain, Ballantine Books, New
York, 2009, hlm. T.tt. 207 Andries P Kilian, Op. Cit., hlm. 85. 208 Hyde, B., “Lifeworld existentialist: Guides to reflection on a child’s spirituality,”
Journal of Religious Education, 51 (3) 2003, hlm. 27-33.
61
1. Organisasi saraf di otak
Salah satu jenis organisasi saraf yakni IQ memungkinkan pemikiran
logis dan terikat aturan yang berguna dalam memecahkan masalah rasional
dan melakukan tugas-tugas tertentu. Fungsi Otak mampu berjalan sebab
jenis kabel saraf yang dikenal saluran saraf yang diperlukan untuk
pemikiran serial atau linier. Biasanya sering disebut “berpikir” dengan
kepala.209 Keuntungan utama dari pemikiran serial dan IQ adalah bahwa
keduanya akurat, tepat dan dapat diandalkan. Namun, oleh Zohar dan
Marshal, pemikiran seperti ini tidak mentolerir nuansa atau ambiguitas.
Zohar dan Marshall mengajukan jenis pemikiran lain, yakni EQ
yang memungkinkan pemikiran asosiatif, terikat kebiasaan, dan mengenali
pola. Menurut Mc Geachy,210 EQ di dasarkan pada jaringan saraf asosiatif
dengan interaksi yang jauh lebih kompleks daripada IQ. Premis penting dari
EQ bahwa kesuksesan dalam hidup mengandaikan kesadaran yang efektif,
kontrol dan pengelolaan emosi seseorang dan orang lain.211 Faktanya,
Bowell menyebut EQ sebagai “berpikir” dengan hati.212 Sehingga EQ
terkait erat dengan konsep cinta dan spiritualitas sekaligus membawa kasih
sayang dan kemanusiaan untuk bekerja serta fakta bahwa setiap orang
memiliki nilai.
209 Bowell, R.A., The seven steps of spiritual intelligence, Brealey, London, 2004, hlm. 12. 210 Mc Geachy, C. Spiritual intelligence in the workplace, Veritas, Dublin, 2001, hlm. 62. 211 Goleman, D. Emotional intelligence, Bantam Books, New York, 1995, hlm. 32. 212 Bowell, R.A. The seven steps of spiritual intelligence, Brealey, London, 2004, hlm. 17.
Sementara SQ ialah jenis organisasi saraf ketiga yang
memungkinkan untuk terlibat dalam pemikiran yang kreatif, universal dan
intuitif sebagai aturan. Menurut Zohar dan Marshall, jenis pemikiran ini
merupakan “pemikiran yang bersatu” sebab holistik dan mampu memahami
konteks keseluruhan yang terhubung pada komponen. Biasa disebut
“berpikir dengan jiwa.”213
Menurut Koch, kualitas pemersatu dari bentuk kecerdasan inilah
yang memberikan individu rasa dan konteks makna sebagai dasar
kehidupan kualitatif seseorang.214 Selain itu, Koch menegaskan bahwa
remaja dengan IQ numerik yang sangat tinggi seringkali tidak dapat
menunjukkan rasa kasih sayang, keadilan atau kebaikan. Hal ini pada
gilirannya menimbulkan pertanyaan, seberapa berharganya bentuk
kecerdasan itu? Di sisi lain, remaja dengan IQ yang sangat rendah mampu
menunjukkan “hati” dan karakter yang luar biasa serta potensi untuk
bertindak sebagai manusia seutuhnya.
Karenanya, penulis memahami bahwa penciptaan nilai dan moral
akan mudah dicapai melalui pengembangan SQ dalam proses pembelajaran
peserta didik saat ini. Sebagaimana ungkapan Mc Geachy SQ adalah
ramuan yang lebih efektif bagi seorang guru dalam teknik menyampaikan
dan SQ tinggi jelas penting dalam tatanan pendidikan kontemporer ini.
213 Cheryl Ferreira, Op. Cit., hlm. 31-32. 214 Koch, B. “Spiritual intelligence (SQ): What teachers should truly promote,” 2010
(Online) Available at http://www.bensten.wordpress.com.spiritual intelligence/htm, Accessed on
26/04/21.
63
2. Perspektif Kecerdasan dan Sains Spiritual
Danah Zohar dan Ian Marshall mengemukakan beberapa bukti
ilmiah adanya kecerdasan spiritual (SQ) dengan makna, tujuan dan nilai
sebagai faktor kunci dalam perkembangan dan kelangsungan hidup
manusia. Terence Deacon215 misalnya merujuk pada pencarian makna yang
mengarah adanya kebutuhan manusia untuk mengembangkan bahasa.
Victor Frankl216 juga membahas pentingnya makna secara psikologis. Ia
mengembangkan “terapi logo” sebagai fasilitas proses pemaknaan terapi
existential.
Pertama, penelitian yang dilakukan oleh neoropsikolog, michael
Persinger di awal tahun 1990-an dan yang lebih baru adalah penemuan
neurolog V.S. Ramachandran bersama timnya di universitas California
mengenai adanya “titik Tuhan”, (God Spot) dalam otak manusia.217 Pusat
spiritual yang terpasang ini diantara cuping-cuping temporal otak. Melalui
pengamatan terhadap otak dengan topografi emisi positron, area dimaksud
akan bersinar manakala subjek penelitian diarahkan untuk mendiskusikan
topik spiritual dan agama.218 Penelitian Ramachandran ini membuktikan
bahwa otak manusia memiliki perangkat untuk menanyakan hal-hal yang
215 Andries P Kilian, Op. Cit., hlm. 80. 216 Grollman, E.A. “Logotherapy of Victor Frankl: A search for the authentic self,”
Judaism, 14 (1196), hlm. 22-38. 217 Andries P Kilian, Op. Cit., hlm. 79. 218 Danah Zohar dan Ian Marshall, SQ Memanfaatkan Kecerdasan Memaknai Kehidupan,
Op. Cit., hlm. 10.
64
prinsip berkaitan makna dan nilai, baik yang berhubungan dengan agama
maupun tidak berkaitan.
Kedua, di tahun 1990-an, neurolog Australia, word singer tentang
“problem ikatan,” membuktikan adanya proses saraf dalam otak yang
dicurahkan untuk menyatukan dan memberikan makna pada pengalaman
manusia, semacam proses yang benar-benar mengikat pengalaman.
Sebelum penelitian Singer terkait penyatuan dan keharmonisan osilasi saraf
di seluruh saraf otak, para ilmuwan dan neurolog hanya mengakui dua
bentuk orfanisasi saraf otak. (a) Hubungan saraf serial yang menjadi dasar
kecerdasan intelektual (IQ), (b) organisasi jaringan saraf dimana ikatan-
ikatan sekitar seratus ribu neuron dihubungkan dalam bentuk yang tidak
beraturan dengan ikatan lain yang sangat banyak. Jaringan tersebut menjadi
dasar bagi (EQ) yang merupakan kecerdasan diarahkan oleh emosi untuk
mengenali pola dan membentuk kebiasaan.219
C. Bukti Teologis Kecerdasan Spiritual (SQ)
Dalam bahasan ini, penulis memandang perlu untuk memahami secara
mendalam tentang keterkaitan dua prinsipal yang berbeda, terkadang dimaknai
oleh beberapa peneliti secara terpisah. Misalnya De Klerk-Weyer & Le Roux
dan Goleman yang memandang kecerdasan spiritual (SQ) sebagai bagian
kecerdasan emosional dan bukan kecerdasan mandiri yang dapat diukur. Danah
Zohar justru memandang kecerdasan spiritual (SQ) tidak ada kaitannya dengan
219 Ibid. hlm. 11.
65
keberagamaan. Maka, menjadi penting memunculkan bukti teologis kecerdasan
spiritual melalui isyarat pemikiran tokoh-tokoh lain. Misalnya Richard Foster,
Dallas Willard, Alister McGrath Ted W Engstrom, Sue Monk Kidd dan John
Ortberg. Dimana teolog ini mengatakan kecerdasan spiritual berkaitan dengan
keberadaan tuhan (Ilahiyah).220 Berikut beberapa isyarat teologis sebagai bukti
kecerdasan spiritual dari pandangan teolog dimaksud:
Dallas Willard menyebutkan bahwa isi iman berkontribusi signifikan
terhadap kecerdasan spiritual (SQ) untuk menjangkau makna hidup dalam
tuntutan dan panggilan tuhan.221 Menurut Foster, Willard adalah pendukung
utama spiritualitas dan ini didukung oleh para teolog seperti Alister McGrath
Ted W Engstrom, Sue Monk Kidd dan John Ortberg.222 John Ortberg
mempresentasikan seri DVD dengan Dallas Willard dimana dia membuat
pernyataan berikut tentang Willard:
“Apa Warren Buffet adalah uang, Dallas Willard adalah untuk kehidupan
spiritual, kesehatan dan pertumbuhan.”223
Frank MacHovec dalam Spiritual Intelligence, the Behavioral Sciences
and the Humanities, dia menyebutkan bahwa teori baru tentang kepribadian
yang mengidentifikasi transenden spiritual sebagai tujuan akhir umat manusia.
Menurut MacHovec, kecerdasan spiritual bersifat universal dan ditemukan
220 According to Foster, Willard is a leading proponent of spirituality and theologians such
as Alister McGrath Ted W Engstrom, Sue Monk Kidd and John Ortberg. Lihat Andries P Kilian,
Op. Cit., hlm. 99 221 Dallas Willard, The Spirit of the Disciplines: Understanding How God Changes Lives,
Harper Collins Publishers, San Francisco, 1988, hlm. XI. 222 Andries P Kilian, Op. Cit., hlm. 100. 223 Senior Pastor at Menlo Park Presbyterian Church, writer, speaker.
66
buktinya dalam teks-teks suci agama serta dalam humaniora pada umumnya.224
MacHovec juga mengembangkan teori tentang kepribadian berdasarkan
Kecerdasan Spiritual (SQ).
Persinger dan Ramachandran telah mengungkap sinyal kecerdasan
spiritual terkait dengan pengalaman religius atau spiritual sebagai “tempat
Tuhan” atau “modul Tuhan.”225 Neurotheology, metode yang menggunakan
teknik pencitraan otak untuk mempelajari kontemplatif spiritual telah
mengamati bahwa doa dan meditasi dapat membawa perubahan dalam aktivitas
otak yang terkait dengan pengalaman terpadu seperti “kehadiran Tuhan” dan
“kesatuan dengan alam semesta.”226
Aaron Smith menyebutkan bahwa beberapa bentuk do’a dan meditasi
yang intents dapat merangsang perasaan kesatuan mistik, kedamaian dan
kesatuan serta kehadiran Tuhan.227 Smith mengamati pengalaman spiritual
bermula dari otak, namun ditafsirkan pada kondisi budaya, sebab itu
pengalaman spiritual mungkin ada dalam pikiran dan Tuhan dalam budaya.228
Sementara Newberg dan d’Aquili berpendapat bahwa ilmu otak tidak
bisa membuktikan atau menyangkal keberadaan gagasan mistik dengan
jawaban sederhana, tetapi ilmu saraf menunjukkan bahwa pengalaman spiritual
224 Frank MacHovec, Spiritual Intelligence, the behavioral sciences, and the humanities,
Lewiston, New York, 2002, hlm. 291. Lihat Andries P Kilian, Op. Cit., hlm. 74. 225 Persinger, M., “Feelings of past lives as expected perturbations within the
neurocognitive processes that generate the sense of self: Contributions from limbic lability and
vectoral hemisphericity,” Perceptual and Motor Skills, 83 (31) T.tt, hlm. 1110. 226 Cheryl Ferreira, Op. Cit., hlm. 34. 227 Andries P Kilian, Op. Cit., hlm. 84. 228 Newberg, A. & Waldman, M.R. How God changes the brain, hlm. T.tt.
67
yang dijelaskan oleh mistik adalah sah. Ini menegaskan legitimasi pengalaman
spiritual.229
Sementara itu, bukti teologis kecerdasan spiritual (SQ) lebih awal
dimunculkan oleh ilmuwan dan pemikir Muslim klasik maupun kontemporer
dalam terminologi yang berbeda, namun pada ontologis filosofis nya memiliki
kesamaan. Sebagaimana penulis telah paparkan beberapa pemikiran dimaksud,
misalnya Abdul Aziz menyebutkan kecerdasan spiritual sebagai keseimbangan
antara fungsi-fungsi jiwa.230
Al-Ghazali mengistilahkan dengan nafs al-mutmainnah yang mencakup
al-qalb, al-ruh al-nafs, dan al-‘aql.231 Dalam kitabnya ihya ulumuddin dan
minhajul Abidin al-Ghazali lebih khusus menyebutnya raja’ dan khauf, kedua
istilah ini memiliki tujuan kecenderungan atau dorongan mendekat dan
menjauh. Raja’ (harapan) terhadap keberkahan pahala dari Allah semata dan
keindahan janji-Nya dari berbagai keutamaan yang membangkitkan semangat
untuk mengabdi dan taat kepada Allah. Sementara khauf merupakan pemicu
semangat untuk menjauhkan diri dari kemaksiatan dan hal-hal yang dilarang.232
Istilah ini substansi nya mengisyaratkan tentang konsep kecerdasan spiritual
(SQ).
229 Andries P Kilian, Op. Cit., hlm. 85. 230 Abdul ‘Aziz al-Qusi, 1952. Usus al-Sihah al-Nafsiyyah, Maktabah al-Nahdhah al-
meaning transformation,” The British Journal of Medical Psychology, 72 (2), 1999, hlm. 143.
74
psikolog untuk memasukkan dan mengintegrasikan spiritualitas ke dalam
pekerjaan mereka karena itu memang ada.253
Sementara David G. Benner menyatakan pentingnya memahami
hubungan dimensi spiritual dan psikologis seseorang dalam memberikan
perawatan jiwa. Dia berbicara tentang dinamika psiko-spiritual merupakan
jalinan dalam kehidupan batin seseorang. Namun, sangat sulit membedakan
antara dinamika spiritual dan psikologis dari kehidupan batin.254
Ketika Carl Jung menyebut Tuhan sebagai bagian diri manusia, ini tidak
boleh dianggap sebatas pernyataan teologis melainkan sebagai isyarat
psikologis.255 Jung dengan refleksi psikologis lainnya menggambarkan
pengalaman manusia tentang Tuhan dan bukan deskripsi tentang Tuhan seperti
yang dilakukan para teolog.
Benner menjelaskan bahwa psikologi dan spiritualitas memiliki
kepentingan yang serupa dalam memecahkan persoalan manusia dan jika
dipahami secara baik, maka meniscayakan sebuah mitra dalam solusi dimaksud.
Benner menyimpulkan bahwa spiritualitas tidak perlu berdiri di luar ranah
psikologi, sebab kerinduan spiritual berdiri di dalam hati pribadi dan kerinduan
tersebut dapat dipelajari secara psikologis.256
Dari uraian beberapa ahli psikologis di atas, menandakan bahwa bukti
psikologis kecerdasan spiritual (P-SQ) sebuah keniscayaan yang terhubung satu
253 Andries P Kilian, Op. Cit., hlm. 23. 254 David G. Benner, Care of Souls, Baker Books, Grand Rapids, 1998, hlm. 65-86. 255 Carl Jung, Psychology and religion, Yale University Press, 1938, hlm. 857-866. 256 Andries P Kilian, Op. Cit., hlm. 32.
75
dan lainnya dalam diri manusia. Lebih lanjut penulis munculkan beberapa
definisi kecerdasan spiritual (SQ) oleh psikolog barat maupun Islam sebagai
penguat isyarat bukti-bukti psikologis kecerdasan spiritual (SQ) yang
memadukan keduanya dalam relasi harmonis.
Bagi psikoanalisis, kecenderungan berperilaku manusia ialah untuk
memuaskan dorongan atau kebutuhan yang bersumber pada dimensi id. Isi
pokok id ialah libido sexual, maka cenderung utama manusia juga untuk
memenuhi kebutuhan libido sexual tersebut.257 Behaviorisme menilai
kecenderungan manusia berperilaku ialah upaya penyesuaian diri terhadap
lingkungan fisik maupun sosial. Hal ini adalah konsekuensi logis dari cara
pandang terhadap manusia umumnya yakni budak dari lingkungan yang di dikte
oleh perilaku dan lingkungan.258 Selain itu tingkah laku manusia dipengaruhi
pula oleh prinsip hedonisme yakni keinginan untuk memuaskan kesenangan
dan menghindari yang tidak mengenakkan. Maka muncullah konsep operant
conditioning259 dan konsep reinforcement260 baik yang positif maupun negatif.
Perspektif humanistic psikologis, manusia merupakan makhluk yang
senantiasa berada dalam ketidakpuasan sebab kebutuhan yang tidak ada
habisnya. Inilah keinginan bertingkat yang wajib terpenuhi. Kebutuhan
257 Karl Mannheim at all, Sigmund Freud; an Introduction, Roudledge & Kigan Pall Ltd.,
London, 1950, hlm. 9-14. 258 Zalyana AU Op. Cit., hlm. 53. 259 Ratna Wilis Dahar, Teori-teori Belajar dan Pembelajaran, Erlangga, Jakarta, 2011,
hlm. 19. 260 Reinforcement bermula dari konsep BF Skinner dalam kelompok Behaviorism. Istilah
reinforcement bermakna penguatan suatu reaksi dengan upaya menambah suatu peningkatan
kebiasaan. Lihat; Zalyana AU Loc. Cit.
76
tertingginya self–actualizations need. 261 Kebutuhan ini menjadi dasar dorongan
utama manusia berperilaku.
Konsep kecenderungan perspektif psikologi psikoanalisa dan
behaviorisme serta humanistik sebagaimana di atas, hanya sebatas pemenuhan
kebutuhan satu dimensi semata, tidak tersentuh bagi dimensi yang teramat
penting yakni spiritual. Dari sinilah psikologi modern tampaknya mulai sadar
akan pentingnya dimensi kecerdasan spiritual atau dengan menyebut spiritual
quotient (SQ). Sehingga muncullah konsep psikologi transpersonal, dimana
agama (spiritualitas) mulai ditekankan sebagai salah satu lingkup kajiannya,
hingga pendekatan baru ini sangat diminati oleh ilmuwan-ilmuwan yang juga
merasakan kehadiran spiritual yang bermuara dalam dirinya. Psikologi
Transpersonal dalam pencarian ilmiahnya menyimpulkan bahwa di luar alam
kesadaran biasa terdapat ragam dimensi lain yang besar potensinya. Hal ini
diperkuat oleh seorang neuropsikiater dari Wina Austria, Viktor E.Frankl yang
mengakui secara tegas adanya dimensi spiritual di samping dimensi somatis dan
dimensi psiko-sosial dalam diri manusia.262
Lebih lanjut Frankl menambahkan bahwa dimensi spiritual ini
mengejawantah ke alam sadar dan benar-benar dapat dirasakan serta disadari
manusia, meskipun sebagian besar belum teraktualisasikan atau potensinya
261 Self-actualization (aktualisasi diri) adalah kecenderungan pokok manusia berperilaku
menurut Abraham Maslow. Hal ini menjadi kebutuhan tertinggi bagi diri manusia, meliputi; aktifitas
berupa kualitas dan potensi, pengembangan dan pemenuhan potensi. Duane P. Schultz & Sydney
Ellen Schultz, Sejarah Psikologi Modern, Terj. Nusa Media, Bandung, 2014, Cet. Ke-I, hlm. 561. 262 Viktor E. Frankl, the Doctor and the Soul, Hazell Watson & Viney Ltd. Great Britain,
belum disadari. Dimensi spiritual ini tidak terletak pada alam tak sadar dalam
artian konvensional-psikoanalisis, namun bertempat di atas sadar dalam artian
supraconsciousness, sebagai kelanjutan dari alam sadar (theconsciousness).263
Kaitannya dengan kecerdasan spiritual (SQ), Barry McWaters
mengutarakan delapan tingkat kesadaran manusia, yakni fisik, emosi, intelek,
integrasi pribadi, intuisi, psikis, mistik dan integrasi transpersonal melalui
penjelasan serta metode-metodenya dalam pengembangan diri secara personal
maupun transpersonal.264 Dari sini terlihat bahwa psikologi transpersonal
berupaya memperluas dimensi kajian psikologis dari kawasan ragawi dan
kejiwaan menuju kawasan ruhani atau kesatuan psikofisik-spiritual. 265
Pandangan spiritual beberapa aliran di atas sepintas terlihat sama
dengan perspektif Islam apabila ditinjau dari unsur ruh (spiritual) di samping
raga dan jiwanya. Sayangnya, ruh sebagai unsur Tri determinan manusia yang
dianut oleh aliran-aliran tersebut nyatanya berbeda dari ruh yang dimaksud
dalam Islam. Istilah ruh perspektif Islam ialah ruh yang dianugerahkan sang
khalik kepada manusia sebagai ruh yang suci dan sangat luhur serta bermuatan
Ilahiyah: “ruhku, ruh (ciptaan) Ilahi”.266
263 Bastaman, “Antropo-sentris ke- Antropo-Religious-Sentris, Telaah Kritis atas
Psikologi Humanistik Dalam Membangun Paradigma Psikologi Islami, Sipress, Yogyakarta, 1994,
hlm. 82-83. 264 Zalyana AU Op. Cit., hlm. 56. Lihat; McWaters, R. J., the New Physics of Financial
Services Understanding how artificial intelligence is transforming the financial ecosystem, (World
Economic Forum, 2018, hlm. 167. Retrieved from
http://www3.weforum.org/docs/WEF_New_Physics_of_Financial_Services.pdf. 265 Perilaku manusia yang didasari akal (kognisi), perasaan (afeksi), kehendak (konasi),
dan ketajaman hati nuraninya (spiritual). Lihat; Haryanto, Manusia Dalam Terminologi Al-Qur’an,
(Spektra: Jurnal Kajian Pendidikan Sains, 3, 2017), hlm. 63 https://doi.org/10.32699/spektra.v3i1.24 266 Samad, “Konsep Ruh dalam Perspektif Psikologi Pendidikan Barat dan Islam,”
Sementara maksud spiritual oleh psikologi transpersonal tidak memuat
makna agama. Sebab itu Victor Frankl mengartikan spiritual sebagai inti
kemanusiaan dan sumber makna hidup serta potensi beragam kemampuan yang
luar biasa.267 Dalam aliran ini spiritual dipahami hanya sebatas aspirasi manusia
untuk hidup bermakna dan sumber dari kualitas-kualitas insani.
Berbeda dari perspektif psikologi Islami, manusia memiliki ruh raga
dan jiwa. Manusia merupakan makhluk integral, berdiri atas semua aspek.
Psikologi kontemporer barat meniadakan satu aspek penting pada diri manusia
yakni ruh (soul) sebagai pengendali semua dimensi dalam diri manusia. Ruh
perspektif psikologi Islami dimaksudkan sebagai aspek spiritual, di samping
qalb (afektif), aql (kognitif), dan iradah (konatif). Sebagaimana Ibnu Sina
menyatakan bahwa sejatinya manusia dikendalikan oleh ruh (soul), yakni
sebuah substansi yang menjadi pusat kesadaran manusia.268
Dari uraian di atas, menunjukkan bahwa kecerdasan spiritual (SQ)
memiliki hubungan erat (terjalinkelindan) dalam pemaknaan nya sebagai
isyarat penting bukti psikologis. Kecerdasan spiritual (SQ) sebagai upaya
psikologis meniscayakan kemurnian, kejernihan, dan kebenaran nilai-nilai yang
267 Tajulashikin Jumahat & Nor Faizah Abdullah, “Perbandingan Konsep Kecerdasan
Spiritual dari Perspektif Islam dan Barat: Satu Penilaian Semula,” International Conference on
Arabic Studies and Islamic Civilization ICasic 2, 2014, hlm. 4–5. (Retrieved from
https://worldconferences.net/proceedings/icasic2014/toc/papers_icasic2014/I 160). Lihat; Abbas, S.
A., “Studi Tentang Persamaan dan Perbedaan Makna Islam Adalah Agama Wahyu yang
Mengandung Ajaran yang Bersifat Universal Serta Mencakup Seluruh Aspek Kehidupan,” Ash-
Shahabah: Jurnal Pendidikan dan Studi Islam 6 (1), 2020, hlm. 1–10. 268 Ibnu Sina sebagai filosuf Muslim yang popular mendalami psikologi dan banyak
tulisannya tentang psikologi. Kajiannya tentang jiwa terdapat dalam buku asysyifa’. Pandangannya
terkait jiwa banyak dipengaruhi oleh pandangan Al-Farabi, namun, kajian Ibnu Sina lebih
mendalam, padat, dan terinci. Lihat; Muhammad Utsman Najati, Jiwa Dalam pandangan Filosuf
Muslim, hlm. 142-14
79
tidak hanya perilaku humanis, biologis, dan sosiologis semata, melainkan nilai-
nilai luhur, suci, dan agung berupa kemampuan transendental (Ilahiyah) sebagai
upaya pencarian nilai-nilai teologis dalam diri manusia. Inilah sesungguhnya
kecerdasan spiritual (SQ) yang dimaksudkan oleh psikologi Islami sekaligus
membedakan letak dan ukuran pemaknaan dari psikologi barat yang
meninggalkan esensi agama dalam pencariannya.
E. Kecerdasan Spiritual (SQ) Sebagai Basis Pendidikan Islam
Sebagaimana dimaksudkan di atas, kecerdasan spiritual (SQ)
merupakan kemampuan dalaman (intuisi) seseorang yang meniscayakan
terciptanya relasi harmonis bagi IQ, dan EQ guna mengakses nilai-nilai
ketuhanan (iman) yang dimanifestasikan dalam sosial, alam jagad (ibadah) dan
diwujudkan dalam prilaku arif dan bijaksana (akhlak). Beragam konsep
kecerdasan spiritual (SQ) dimunculkan para ahli sebagaimana paparan sub
bahasan di atas, kaitannya dalam penelitian ini, penulis akan memfokuskan
pada makna kecerdasan spiritual (SQ) yang sejalan dengan konteks dan tujuan
penelitian ini.
Faiz M. misalnya memaknai kecerdasan spiritual sebagai kekuatan yang
mengatur kehidupan.269 Emmons menyatakan bahwa kecerdasan spiritual
memiliki potensi baik untuk menyelesaikan masalah spiritual dan
keagamaan.270 Pandangan ini diperkuat oleh penelitian Genia bahwa ada
269 Elmi Bin Baharuddin dan Zainab Binti Ismail, Op. Cit., hlm. 568. 270 Emmons, Robert A., “Is spirituality an intelligence? Motivation, cognition, and the
psychology of ultimate concern,” The International Journal for the Psychology of Religion 10 (1),
2000, hlm. 3-26.
80
dampak penilaian kecerdasan spiritual yang dilakukan pada sekelompok
siswa.271 Oman dan Thoresen memandang bahwa kecerdasan spiritual sebagai
elemen penting yang sering tereliminir dalam kehidupan beragama.272
Berbeda halnya Jain dan Purohit merujuk pada pandangan Troycross
yang menyatakan bahwa setiap orang memiliki spiritual, bukan berarti
seseorang itu memiliki kesadaran religius.273 Pandangan ini dipertegas Elmi dan
Zainab et al., yang menyatakan adanya relasi antara pengetahuan agama
terhadap aktivitas keagamaan pada lansia.274 Elmi dan Zainab dalam
penelitiannya menambahkan bahwa pengetahuan lansia merupakan salah satu
indikator yang dapat menentukan kecerdasan spiritual seseorang.275 Sehingga
Elmi Baharuddin mendefinisikan kecerdasan spiritual (SQ) sebagai kekuatan
batin manusia yang bermuara pada jiwa, hati, perasaan, kedalaman iman,
ketekunan amalan berdasarkan petunjuk Allah dan akhlak yang baik.276
Kesepakatan pemahaman tentang makna kecerdasan spiritual (SQ)
sebagai basis pendidikan Islam, sebuah kemestian untuk memahami secara
holistik dan komprehensif terkait konsep kecerdasan spiritual (SQ) yang pada
akhirnya memiliki relasi dan berkesesuaian terhadap pendidikan Islam. Jika
271 Genia, Vicky, “Evaluation of the Spiritual Well-Being Scale in a Sample of College
Students,” The International Journal for the Psychology of Religion 11 (1), 2001, hlm. 25-33. 272 Oman & Thoresen, “Spiritual Modeling: A Key Spiritual and Religious Growth?” The
International Journal for the Psychology of Religion 13 (3), 2003, hlm. 149-165. 273 Jain Madhu & Purohit Prema, “Spiritual Intelligence: A Contemporary Concern with
Regard to Living Status of the Senior Citizens,” Journal of the Indian Academy of Applied
Psychology, Vol. 32, No 3, 2006, hlm. 227-233. 274 Elmi Baharuddin & Zainab Ismail, “Hubungan Kecerdasan Rohaniah Warga Tua Op.
Cit., hlm. 19-28. 275 Elmi Bin Baharuddin dan Zainab Binti Ismail, “7 Domains,” Op. Cit., hlm. 569. 276 Ibid.
81
tidak, tentulah konsep kecerdasan spiritual (SQ) akan bertolak belakang dan
sulit untuk diterapkan terlebih dikembangkan dalam formulasi pendidikan
Islam.
Menurut Zulkifli et al., spiritual merupakan kata yang bernuansa non-
material yang meliputi; ruh (al-ruh) dan jiwa (al-nafs) yang bersumber langsung
dari Allah Swt.277 al-Ghazali menyebutkan ada empat ranah spiritual manusia
yakni al-ruh (ruh), al-qalb (hati), al-nafs (jiwa) dan al-aql (akal).278
Muhammad D. menjelaskan kecerdasan spiritual sebagai domain keimanan,
ibadah dan moralitas.279 Sebagaimana Muhammad Abu D. For menegaskan
bahwa kecerdasan spiritual sebagai ketundukan di bawah ranah keimanan
sekaligus keikhlasan dalam beramal di bawah ranah moralitas.280
Sementara al-Dzaki menggambarkan kecerdasan spiritual sebagai
kemampuan mengenal Tuhan, merasakan kehadiran dan pengawasan Tuhan,
bersyukur kepada Allah dan merasa malu melakukan perbuatan dosa.281 Khalil
Khavari mengartikan kecerdasan spiritual sebagai fakultas dari dimensi
nonmaterial yaitu roh manusia. Inilah intan yang belum terasah yang semua
manusia memilikinya.282 Al-Nawawi memaknai kecerdasan spiritual adalah
277 Ibid. 278 Al-Ghazali, Rawdah al-Talibin wa Umdah al-Salikin, Maktabah Syamilah Beirut, hlm.tt. 279 Muhammad D. Sensa, QQ: Membentuk Kecerdasan Daripada Quran, Hikmah, Jakarta,
2004, hlm. 30. 280 Elmi Bin Baharuddin dan Zainab Binti Ismail, “7 Domains,” Op. Cit., hlm. 569. 281 Dzaki, Hamdani Bakran, Prophetic Intelligence: Kecerdasan Kenabian Menumbuhkan
Potensi Hakiki Insani Melalui Pengembangan Kesehatan Ruhani, Islamika, Yogyakarta, 2005. 282 Syahrul Akmal Latif, dan Alin el Fikri, Super Spiritual Quotient (SSQ): Sosiologi
Berpikir Qur’ani dan Revolusi Mental, PT Elex Media Komputindo, Jakarta, 2017, hlm. 107.
82
penguasaan pemahaman dasar ibadah kemampuan memahami Islam secara
praktis dan mengamalkan Islam dalam kehidupannya.283
Muhammad Wahyu menggambarkan kecerdasan spiritual sebagai
kesabaran, rasa syukur dan memiliki tawadhu’ dalam dirinya. Selain itu,
Bagheshahi et al. memaknai kecerdasan spiritual sebagai penyesuaian pada
praktik yang mencakup; berpikir kritis, menghasilkan makna pribadi, kesadaran
spiritual, dan perkembangan kesadaran.284 Demikian pula Drakulevski &
Veshoska menjelaskan kecerdasan spiritual adalah sekumpulan kapasitas
mental yang berkontribusi pada kesadaran, integrasi, aspek penyesuaian dari
materi non-materi dan keberadaan spiritual dari orang itu sendiri.285
Lebih lanjut Pargament memaknai dimensi spiritualitas sebagai
perjalanan seseorang untuk menemukan dan menyadari jati diri esensial dan
aspirasi tingkat tinggi yang bersifat sakral.286 Kemampuan spiritualitas juga
bermakna sebagai orientasi internal individu terhadap realitas transenden yang
mengikat segala sesuatu menjadi suatu harmoni yang kompak.287 Kapuscinski
dan Masters menyebutkan bahwa persekutuan dengan yang sakral, atau
283 Muhy al-Din Abu Zakariyya Yahya Sharif, Cerdas Beribadah Bersama Imam Nawawi
(Fatawa al-Imam al-Nawawi), Terj. Irwan Kurniawan, Jakarta, Hikmah, 2002. 284 Bagheshahi, et al., “Explain the Relationship between Spiritual Intelligence and
Demographic Characteristics of Effective Manager,” Indian Journal of Fundamental and Applied
Life Sciences 4 (1) 2014, hlm. 387-397. 285 Drakulevski, L. & Veshoska, A. T., “The influence of spiritual intelligence on ethical
behavior in Macedonian organization,” Referred proceeding of the Business system Laboratory,
(2014), hlm. 23-24. 286 Cassandra Vieten et al., “Spiritual and religious competencies for psychologists,”
Psychology of Religion and Spirituality 5, no. 3, (2013), hlm. 130.
<https://doi.org/10.1037/a0032699> 287 Dy-Liacco et al., “Spirituality and Religiosity as Crosscultural Aspects of Human
Experience,” Psychology of Religion and Spirituality 1, (2009), hlm. 35–52.
<doi:10.1037/a0014937>
83
pencarian yang sakral dimasukkan 67% bermakna kematangan spiritualitas.288
Kata sakral paling sering merujuk pada Tuhan atau yang transenden. Sementara
Mohammad Sanagoei Zadeh dkk mempopulerkan istilah kesehatan spiritual289
dalam tulisannya yang dimaknai sebagai tingkat kognitif, emosi dan perilaku
dengan empat komponen yakni kesabaran, kepastian, keadilan dan jihad.290
Lebih khusus makna kecerdasan spiritual sangat berkaitan terhadap
pendidikan juga diisyaratkan para ahli, seperti Salovey dan Mayer misalnya,
kecerdasan spiritual diartikan kemampuan memandu aktivitas dan keberadaan
manusia untuk memenuhi kebutuhan indra yang lebih luas, terutama dalam
mengevaluasi dan melakukan tindakan yang lebih substantif daripada yang
lain.291 Goleman menyatakan bahwa tingkat kecerdasan spiritual yang tinggi
mendorong seseorang lebih berhasil dan matang menghadapi semua masalah
sosial di sekitarnya.292 Sedangkan Wiggles Worth memaknai kecerdasan
288 Kapuscinski and Masters, “The Current Status of Measures of Spirituality: A Critical
Review of Scale Development,” Psychology of Religion and Spirituality 2, (2010), hlm. 191–205.
<doi:10.1037/a0020498> 289 Kali pertama dimunculkan oleh David O’Moberg tahun 1971 yang didefinisikan dalam
dua dimensi vertikal dan horizontal. Lihat Moberg DO, “Assessing and Measuring Spirituality:
Confronting Dilemmas of Universal and Particular Evaluative Criteria,” Journal of Adult
Development 9 (1), 2002, hlm. 47-60. <https://doi.org/10.1023/A:1013877201375> 290 Mohammad Sanagoei Zadeh et al., “An Exploration of the Knowledge Components of
Spiritual Health Based on the Quran and Hadiths: A Qualitative Research,” Journal of
Ecophysiology and Occupational Health 19, no. 3&4 (2019), hlm. 144
<https://doi.org/10.18311/jeoh/2019/24619> 291 Salovey, P. & Mayer, J. D., “Emotional Intelligence Imagination,” (Cognition
Personality 9 (3), 1990), hlm. 185-211. <https://doi.org/10.2190/DUGG-P24E-52WK-6CDG> 292 Mafuzah Mohamad et al., “Lurking on the Essential Attributes Required in Industrial
Revolution 4.0.”, Global Business & Management Research 12, no. 4, (2020), hlm. 570.
mengendalikan, mengarahkan dan mendorong sikap dan perilaku progresif,
transformatif dan emansipatoris. Keduanya akan saling menyapa melalui
dialogis integratif konfirmatif berdasarkan prinsip-prinsip dasar fundamental
yang orientasinya meniscayakan kedamaian, ketentraman dan kepatutan bagi
seluruh makhluk di alam jagat. Adapun isyarat pendidikan Islam ini
dimaksudkan sebagaimana pandangan para ahli pendidikan, misalnya Samsul
Nizar mengistilahkan pendidikan Islam secara umum mengacu pada al-
tarbiyyah al-ta’dib, dan al-ta’lim. 296 Al-tarbiyyah diartikan; 1) Menjaga dan
memelihara fitrah anak hingga balig, 2) Mengembangkan seluruh potensi, 3)
Mengembangkan seluruh fitrah dan potensi anak menuju kebaikan dan
kesempurnaan yang layak baginya, 4) Melaksanakan proses pendidikan secara
bertahap.297
Sementara al-Ta’lim dimaknai sebagai proses transmisi berbagai ilmu
pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu.298
Sedangkan at-Ta’dib ialah pengenalan dan pengakuan yang ditujukan kepada
manusia tentang kelayakan tempat-tempat dalam lingkup ciptaannya yang
beragam, sehingga keniscayaan dalam membimbing ke arah pengenalan dan
296 Nizar, S., “Pendidikan Islam Di Era Masyarakat Ekonomi Asean,” (Akademika, Jurnal
Pendidikan Dan Keagamaan 11 (6), 2016), hlm. 7–25. Retrieved from
http://journalbengkalis.ac.id/index.php/akademika/article/view/1. Lihat juga Ma’zumi, M., dkk,
“Pendidikan Dalam Perspektif al-Qur’an dan al-Sunnah: Kajian Atas Istilah Tarbiyah, Taklim,
Tadris, Ta’dib dan Tazkiyah, Tarbawy,” (Indonesian Journal of Islamic Education 6 (2), 2019), hlm.
193–209. <https://Doi.Org/10.17509/T.V6i2.21273> 297 Bunyamin, B., “Konsep Pendidikan Islam Perspektif Mahmud Yunus,” Jurnal
Pendidikan Islam 10 (2), 2019, hlm. 114–132. <https://doi.org/10.22236/jpi.v10i2.3964> 298 Ibid.
86
pengakuan kekuasaan dan keagungan Tuhan di dalam tatanan wujud dan
keberadaannya secara berangsur-angsur.299
Abdurahman An-Nahlawi mengartikan pendidikan Islam sebagai
pengembangan akal pikiran, menata perilaku, emosional, hubungan peran
manusia terhadap dunia ini, sekaligus mendayagunakan sumber alam dunia ini
guna meraih pengakuannya.300 Ashraf mendefinisikan pendidikan Islam
sebagai upaya pelatihan kepekaan siswa sedemikian rupa terhadap segala jenis
pengetahuan yang didasari nilai-nilai etika Islam secara mendalam. Kinerja
pendidikan Islam diharapkan memperoleh pengetahuan tidak hanya untuk
memuaskan keingintahuan intelektual atau kecenderungan duniawi melainkan
tumbuh kesadaran sebagai makhluk rasional, benar dan kemampuan
mewujudkan kesejahteraan spiritual, moral serta fisik baik keluarga,
masyarakat dan umat manusia. Sikap dan perilaku didasari iman yang
mendalam kepada Tuhan dan penerimaan sepenuh hati atas kode moral yang
diberikan Tuhan.301
Al-Ghazali dikutip dalam al-Taftazani menekankan makna pengetahuan
sebagai bagian dalam pendidikan Islam, yakni memberi penekan bahwa
pengetahuan saja tidak mendukung, meskipun seseorang membaca seratus ribu
mata pelajaran ilmiah dan mempelajarinya tetapi tidak menindaklanjuti nya,
pengetahuannya tidak akan berguna baginya, karena manfaatnya hanya terletak
pada penggunaannya.302 Dalam konferensi dunia tentang pendidikan Islam tahun
1977–1982, menyatakan bahwa siswa Muslim harus “berpikir secara tepat dan
logis tetapi membiarkan pikiran mereka diatur oleh realisasi spiritual dari
kebenaran seperti yang dimaksudkan al-Qur’an dan as-Sunnah sehingga
kecerdasan dipandu dalam jalur yang tepat dan tidak tersesat.”303
Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf memaknai pendidikan Islam
sebagai upaya latihan perasaan dalam sikap, perilaku, dan keputusan terhadap
299 Muhammad Ridwan, “Konsep Tarbiyah, Ta’lim dan Ta’dib Dalam al-Qur’an,”
Nazhruna: Jurnal Pendidikan Islam I, no. 1, (2018), hlm. 26–44,
<https://doi.org/10.31538/nazhruna.v1i1.97> 300 Aghnaita, A., & Maemonah, M., “Early Childhood Education according to
Abdurrahman An-Nahlawi and Maria Montessori,” Al-Athfal: Jurnal Pendidikan Anak 6 (2), 2020,
hlm. 121-134. <https://doi.org/10.14421/al-athfal.2020.62-03> 301 J. Mark Halstead, “An Islamic concept of education,” Comparative Education 40, No.
4, (2004), hlm. 519. <https://doi.org/10.1080/0305006042000284510> 302 Al-Taftazani, A. W., “Islamic Education: Its Principles and Aims,” Muslim Education
Quarterly 4 (1), 1986, hlm. 70. 303 Charlene Tan dan Azhar Ibrahim, “Humanism, Islamic Education, and Confucian
Education” Religious Education, 2017, hlm. 10, https://doi.org/10.1080/00344087.2016.1225247.
Lihat Erfan, N., and A.V. Zahid, “Education and the Muslim world: Challenges and Responses,”
Leicestre Islamabad: The Islamic Foundation and Institute of Policy Studies, 1995, hlm. 35.
87
segala jenis pengetahuan, berasaskan nilai spiritual dan sangat sadar akan nilai
etis Islam.304 Dalam Seminar Pendidikan Islam seluruh Indonesia tahun 1960,
terminologi pendidikan Islam menyebutkan: “Bimbingan terhadap
pertumbuhan rohani dan jasmani menurut ajaran Islam dengan hikmah
mengarahkan, mengajarkan, melatih mengasuh dan mengawasi berlakunya
semua ajaran Islam.305
Pendidikan Islam itu lebih banyak ditujukan kepada perbaikan sikap
mental yang terwujud dalam amal perbuatan, baik keperluan bagi diri sendiri
maupun orang lain. Pendidikan Islam juga tidak hanya bersifat teoretis saja,
tetapi juga praktis. Ajaran Islam tidak memisahkan antara iman dan amal saleh.
Oleh karena itu, pendidikan Islam adalah sekaligus pendidikan iman dan
pendidikan amal.306 Pendidikan Islam mempunyai beberapa fungsi,
diantaranya; menumbuhkan dan memelihara Iman, membina dan
menumbuhkan akhlak mulia, membina dan meluruskan ibadah menggairahkan
amal dan melaksanakan ibadah mempertebal rasa dan sikap keberagamaan,
serta mempertinggi solidaritas sosial.307 Pendidikan Islam selalu mengakui
nilai-nilai spiritual dan moral sebagai elemen penting dalam membangun
manusia yang “seimbang”.308
304 Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf, Krisis Pendidikan Islam, terj. Rahmani Astuti,
Risalah Gusti, Bandung, 1986), hlm. 2. 305 Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hlm. 13-14. 306 Zakiyah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 2011, hlm. 28. 307 Anis Maulida Fitriyana, Op. Cit., hlm. 50. 308 Tengku Sarina Aini Tengku Kasim dan Yusmini Md Yusoff, “Active teaching methods:
Personal experience of integrating spiritual and moral values,” Religious Education 109, No. 5,
F. Kecerdasan Spiritual (SQ) Sebagai Tujuan Fundamental, Sosial, dan
Moralitas Dalam Pendidikan Islam
Sebagaimana dimaksud bahwa kecerdasan spiritual merupakan
kemampuan fundamental meniscayakan kematangan realisasi sikap dan
perilaku sosial dan akhlak (moral) sebagai basis pendidikan Islam, seyogianya
akan mengiringi dan seirama yang menjadi tolak ukur capaian tujuan dalam
kinerja pendidikan Islam. Relasi berkesinambungan ini bukan tanpa dasar
semata, melainkan pendidikan Islam sebagai tujuan fundamental, sosial, dan
moralitas akan senantiasa merujuk pada dasariyah nilainisasi Islam yakni al-
Qur’an dan al-Hadis. Sebagaimana al-Qur’an dan al-Hadis banyak
mengisyaratkan tentang sikap dan perilaku yang baik dan bajik sebagai
tuntunan hubungan manusia dengan manusia (humanis-mikrokosmos),
manusia dengan alam sekitarnya (ekologis-makrokosmos) dan manusia dengan
Tuhannya (teologis-metakosmos).321
Secara definisional, pendidikan setidaknya memiliki dua peran, yakni
ranah upaya pembaruan dari seluruh struktur kebudayaan umat manusia secara
berkelanjutan dan ranah proses transfer skill, seni dan pengetahuan. Maka itu,
substansi pendidikan merupakan upaya transfer kebudayaan non-fisik melalui
pembelajaran.322 Kinerja pendidikan kebudayaan non-fisik itu dalam berbagai
321 Haris, M., “Spiritualitas Islam dalam Trilogi Kosmos,” Ulumuna 17 (2), 2017, hlm.
323–346. https://doi.org/10.20414/ujis.v17i2.165. 322 Amril M., Op. Cit., hlm. 64.
95
ragamnya, misalnya diupayakan melalui seni, kemampuan dan ilmu
pengetahuan senantiasa dibalut dengan nilai kebaikan dan kebajikan.
Dari sini menunjukkan bahwa inti sekaligus orientasi kinerja pendidikan
seharusnya bukan terletak pada pewarisan reproduktif fisik semata dari sebuah
kebudayaan dinamis, melainkan menembus ranah fisik menuju non-fisik yang
menyentuh sisi kematangan spiritual melalui kebudayaan yang diupayakan dari
generasi ke generasi secara berkelanjutan.
Pada konteks inilah pendidikan dapat dipahami secara konsepsional
sebagai bentuk social continuity of life yang menuntun realisasinya dalam era
kontemporer saat ini. Sebagaimana Amril M. menegaskan bahwa betapa
pendidikan itu sama sekali tidak dapat terlepas dari kondisional realitas
kehidupan masyarakat dan sosial yang termuat nilai-nilai luhur di dalamnya, di
manapun pendidikan itu berlangsung.323 Oleh sebab itu, kinerja metodologis
pendidikan Islam khususnya menimbang kembali dalam upaya
mengikutsertakan dalam merumuskan pendidikan dengan segala turunannya,
tentunya mencakup nilai-nilai yang dibutuhkan dalam masyarakat di samping
mengupayakan self-realization bagi peserta didiknya.
Lebih lanjut dinyatakan pula bahwa kinerja pendidikan yang
diupayakan era kontemporer ini, keniscayaan yang tidak lagi sebatas tanggung
jawab konservatif, yakni menjaga dan melindungi nilai-nilai budaya, kemudian
ditransferkan kepada peserta didik, melainkan lebih memerankan tanggung
323 Ibid.
96
jawab progresif.324 Demikian itu menjadikan kinerja pendidikan dengan varian
nya mengorientasikan seluruh kinerjanya; baik substantif filosofis maupun
metodologis epistemologis menuju perbaikan perilaku baik dan bajik dalam
kehidupan masyarakat pada masa mendatang. Kinerja pendidikan yang tidak
saja dalam wilayah fisik semata, tetapi juga wilayah spiritual, tidak saja kognisi,
tetapi juga afeksi, tidak saja pengetahuan, tetapi juga nilai (value), tidak saja
eksoteris, tetapi juga esoteris, tidak saja subjektif, tetapi juga objektif,325 tidak
saja individual, tetapi juga sosial.326
Keterjalinkelindan pendidikan terhadap dinamika sosial sebuah
keniscayaan yang tidak boleh terabaikan begitu saja, bahkan dua entitas ini
sesungguhnya saling berdialogis konfirmatif dalam kinerja praktisnya, dimana
sekolah sebagai wujud konkrit dari pendidikan diperdayakan untuk masyarakat,
sebaliknya masyarakat membutuhkan sekolah sebagai kelangsungan kehidupan
individual, kelompok, masyarakat, sosial, ekonomi, politik, teologis dan
lainnya.327
Relasi pendidikan dan masyarakat seperti ini secara akademis telah
dimunculkan dan diisyaratkan oleh beberapa pemikir pendidikan, terutama
filsuf pendidikan, sebut saja Plato dalam republik-nya, Aristoteles dengan
politic-nya, Dewey dengan Democracy and education-nya, kesemuanya ini
324 Ibid. hlm. 65. 325 M. Amin Abdullah, Op. Cit., hlm. 235-236. 326 Amril M., Pendidikan Nilai Akhlak, Op. Cit., hlm. 65. 327 Ibrahim, Abd. L. F., & Fannani, B., “Perubahan Sosial dan Pengaruhnya Terhadap
Perubahan Kurikulum Pendidikan,” El-HARAKAH 2 (1), 2018, hlm. 57.
https://doi.org/10.18860/el.v2i1.4740.
97
mengindikasikan relasi yang dialogis konfirmatif antara pendidikan dan
dinamika sosial sekaligus politik.328 Hal serupa setidaknya juga disinggung oleh
badan pendidikan PBB UNESCO bahwa pendidikan itu semestinya tidak hanya
terpaku pada pengembangan dimensi kognitif (to know), pembekalan
keterampilan (to do), dan tidak lagi cukup jika hanya berujung pada upaya
memperbaiki moralitas dan integritas subjektif (to be). Meskipun hal ini juga
dinilai penting dalam pencapaian pendidikan, namun kinerja pendidikan harus
memunculkan paradigma baru yang dikembangkan sesuai dengan kebutuhan
sekaligus berorientasi secara global dan universal.329
Kinerja pendidikan yang mengupayakan terhubung nya dua unsur di
atas akan semakin lengkap dan sempurna lagi tatkala dipadukan dengan nilai-
nilai akhlak dan moralitas masyarakat sebagai perilaku konkrit tujuan
fundamental dalam menuntun pembentukan interaksi sosial dan interpersonal
yang mapan, elegan, damai, dan konstruktif di tengah dinamika sosial.
Isyarat pendidikan sebagaimana dimaksud di atas sangat afirmatif dan
relevan terhadap kinerja konsep dasar yang diupayakan pendidikan Islam. Ali
Ashraf misalnya mengungkapkan bahwa betapa pendidikan yang berorientasi
pada upaya ke arah terciptanya kematangan sikap yang kuat dalam berperilaku
328 Amril M., Pendidikan Nilai Akhlak, Op. Cit., hlm. 66. 329 Galuh, B., UNESCO Akui Batik sebagai Warisan Dunia dari Indonesia pada 2 Oktober
of Educational Concepts Based on Syed Ali Ashraf and Education in Malaysia,” Advances in
Natural and Applied Sciences 7 (2), 2013, hlm. 111–116. 331 J. Mark Halstead, “An Islamic concept of education,” Op. Cit., hlm. 520. 332 Ibn Khaldun, The Muqaddimah, F. Rosenthal, Trans., original work published 1381,
vol. 3, Princeton, NJ, Princeton University Press, (1967), hlm. 354. 333 Charlene Tan dan Azhar Ibrahim, Op. Cit., hlm. 6. 334 Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, terj. Bustami
Ahmad Ghani dan Djohar Bahri, Bulan Bintang, Jakarta, 1970, hlm. 15. Lihat Masrizal, Marzuki,
99
Islam merupakan tujuan fundamental yang mengalir dalam bingkai sosial
masyarakat dan menjelma dalam sikap dan perilaku akhlak dan moralitas
seseorang. Sebagaimana tujuan pendidikan Islam menurut al-Ghazali sebagai
berikut:335
1. Mendekatkan diri kepada Allah Swt. yang wujudnya adalah kemampuan
dan kesadaran diri melaksanakan ibadah wajib dan sunnah.
2. Menggali dan mengembangkan potensi atau fitrah manusia.
3. Mewujudkan professionalisms manusia untuk mengemban tugas keduniaan
dengan sebaik-baiknya.
4. Membentuk manusia yang berakhlak mulia, suci jiwanya dari kerendahan
budi dan sifat-sifat tercela.
5. Mengembangkan sifat-sifat manusia yang utama sehingga menjadi insan
yang manusiawi.
Abudin Nata juga menegaskan bahwa secara umum tujuan pendidikan
Islam berupaya merealisasikan misi ajaran Islam melalui menyebarkan dan
menanamkan ajaran Islam pada jiwa manusia, dorongan untuk menghadirkan
nilai-nilai al-Qur’an dan as-Sunnah menciptakan pola interaksi kemajuan hidup
dalam menyejahterakan pribadi dan masyarakat, dan meningkatkan derajat dan
Awali, S., Yudha, A., Ulfa, M., & Aida, N., “Code of Ethics for Teachers in Islamic Education
Perspective Muhammad Athiyah Al-Abrasyi,” Britain International of Linguistics Arts and
Education (BIoLAE) Journal 1 (2), 2019, hlm. 199–209. <https://doi.org/10.33258/biolae.v1i2.87> 335 Mahadhir, M. S., “Pendidikan Islam Menurut Al-Ghazali,” Raudhah Proud to Be
martabat manusia secara keseluruhan.336 Selain itu, Fazlur Rahman menyatakan
secara tegas bahwa tujuan pendidikan Islam sebagai upaya menanamkan
komitmen-komitmen nilai melalui tarbiyah (pendidikan moral) dan
mendialogiskan pengetahuan ilmiah melalui Ta’lim (pengajaran), serta
memunculkan nilai-nilai agama dalam materi-materi ilmu-ilmu umum,
sehingga tidak terjadi dikotomis keilmuan yang mengarah pada pribadi yang
terpecah-pecah (split personality).337
Dari beberapa kutipan di atas menunjukkan bahwa pendidikan Islam
berorientasi pada upaya terciptanya kecakapan dan kematangan sikap dan
perilaku yang tidak hanya untuk kebaikan dirinya, tetapi bersinergitas pada
segala kemaslahatan di luar dirinya, seperti; keluarga, masyarakat, sosial, alam
jagad raya dan Tuhannya. Kecakapan dan kematangan sikap dan perilaku yang
diperankan peserta didik melalui kinerja pendidikan Islam akan terlihat dari
kemampuan menyikapi tantangan kehidupan, menentukan pilihan-pilihan arif
dan tindakan dalam aktivitasnya serta pendekatannya terhadap semua jenis
pengetahuan yang dipelajarinya atas dasar keyakinan dan kecerdasan yang
dalam terhadap nilai-nilai Islam.338
Pendidikan Islam selain meletakkan nilai-nilai Islam sebagai dasar dan
orientasi kinerjanya, juga tujuan yang hendak diraih ialah melahirkan generasi-
generasi yang berkepribadian cerdas dan cakap yang berintegritas serta
336 Saihu, S., “Konsep Pembaharuan Pendidikan Islam Menurut Fazlurrahman,”
Andragogi: Jurnal Pendidikan Islam dan Manajemen Pendidikan Islam 2 (1), 2020, hlm. 90.
<https://doi.org/10.36671/andragogi.v2i1.76> 337 Ibid. hlm. 96. 338 Amril M., Pendidikan Nilai Akhlak: Loc. Cit.
101
akuntabilitas bagi kebermaknaan dirinya, keluarga, masyarakat, sosial
lingkungan sekitar, dan terlebih tuhannya (fundamental).339 Implikasi tujuan
pendidikan Islam dilihat dari perspektif nilai (values) akhlak dan moral, maka,
pendidikan Islam merupakan kinerja dasar bagi keniscayaan nilai akhlak dan
moral dalam pembelajaran. Hal serupa juga dimaksudkan Charlene Tan dan
Azhar Ibrahim bahwa penanaman akhlak menjadi tujuan pokok pendidikan
Islam dan merupakan bagian adab yang melingkupi berbagai cabang ilmu
humanistik, ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan. 340
Pendidikan Islam sebagai orientasi bagi pendidikan nilai akhlak dan
moral setidaknya terbuktikan dari karakteristik pendidikan Islam itu sendiri,
yakni menempatkan nilai-nilai Islam sebagai bagian yang senantiasa diikutkan
dalam setiap pembelajaran berbagai ilmu pengetahuan dan aktivitas kinerja
pendidikan. Semestinya produk pendidikan Islam yang dihasilkan
mengupayakan eksisnya peserta didik yang berkepribadian matang antara
dirinya, orang lain atau masyarakatnya, alam jagad raya secara keseluruhan, dan
Tuhannya.341
Mengingat kemampuan akhlak dan moral Ilahiyah sebagai basis utama
kinerja pendidikan Islam, maka, dinamika masyarakat meliputi kematangan
sosial merupakan bagian yang saling terhubung dalam perspektif Islam. Dalam
339 Martono, M., “Pemikiran Pendidikan Islam KH, Hasyim Asy’ari; Perspektif
Epistemologis Sosial Keagamaan dan Konsep Pendidikan Islam Bagi Guru dan Peserta Didik,” AL-
FIKR: Jurnal Pendidikan Islam 6 (1), 2020, hlm. 40–45. <https://doi.org/10.32489/alfikr.v6i1.68> 340 Charlene Tan dan Azhar Ibrahim, Op. Cit., hlm. 6. 341 Nurhasanah, M., “Konsep Pendidikan Menurut Islam,” Al-Lubab: Jurnal Penelitian
Pendidikan dan Keagamaan Islam, Vol. 6, pp., (2020), hlm. 81–82. <Retrieved from
batiniah manusia dalam mengakses kekuatan iman, ketekunan amalan
berdasarkan petunjuk Allah dan akhlak yang baik.352 Muhammad D.
menjelaskan kecerdasan spiritual merupakan domain keimanan, ibadah dan
moralitas.353 Begitupun Muhammad Abu D. For menyatakan kecerdasan
spiritual sebagai ketundukan atas keimanan serta ikhlas beramal di bawah ranah
moralitas.354 Al-Nawawi juga memaknai kecerdasan spiritual sebagai
penguasaan dasar ibadah kemampuan memahami dan mengamalkan Islam
dalam kehidupannya.355
Sedangkan Mohammad Sanagoei Zadeh dkk mengistilahkan kesehatan
spiritual356 yang dimaknai sebagai tingkat kognitif, emosi dan perilaku yakni;
kesabaran, kepastian, keadilan dan jihad.357 Goleman juga menyatakan
kecerdasan spiritual mendorong seseorang lebih berhasil dan matang
menghadapi semua masalah sosial di sekitarnya.358 Senada Amril M.
menyebutkan kecerdasan spiritual sebagai kemampuan memahami pesan-pesan
nilai teologis-metakosmos, ekologis-makrokosmos dan humanis-mikrokosmos
yang tidak terikat oleh ruang dan waktu.359 Elmi Bin Baharuddin dan Zainab
352 Elmi Bin Baharuddin dan Zainab Binti Ismail, “7 Domains,” Op. Cit., hlm. 569. 353 Muhammad D. Sensa, Op. Cit., hlm. 30. 354 Elmi Bin Baharuddin dan Zainab Binti Ismail, “7 Domains,” Loc.Cit., hlm. 569. 355 Muhy al-Din Abu Zakariyya Yahya Sharif, Op. Cit., hlm. 150. 356 Kali pertama dimunculkan oleh David O’Moberg tahun 1971 yang didefinisikan dalam
dua dimensi vertikal dan horizontal. Lihat Moberg DO, “Assessing and Measuring Spirituality:
Confronting Dilemmas of Universal and Particular Evaluative Criteria,” Journal of Adult
Development 9 (1), 2002, hlm. 47-60. <https://doi.org/10.1023/A:1013877201375> 357 Mohammad Sanagoei Zadeh et al., “An Exploration of the Knowledge Components,”
(perilaku sosial; historisitas perilaku sosial keagamaan) dalam tatanan
kehidupan yang nyata.367
Sebagaimana M. Amin Abdullah menyebutnya dengan istilah nalar
Irfani yaitu kemampuan mengupas dan menyelami sisi kedalaman (ruh-ruhani)
atau insight dari keberagamaan Islam dalam relasi nya dengan peran hati nurani
(voice of the heart). Aksentuasi nya mengindikasikan ‘arif sebagai wujud nalar
irfani.368 Kecakapan sosial (social skil; socio-emotional skills) yang bermuara
pada sumber mata air ‘irfani adalah sangat berguna bagi kehidupan masyarakat.
Kemampuan ‘irfani merupakan perkembangan epistemologis nalar berfikir
yang sebelumnya dimulai dari Ihsan369 masa kenabian menuju tasawuf370 masa
pertengahan. Kesatuan dari ihsan, tasawuf dan ‘irfani biasa M. Amin Abdullah
menyebutnya intersubjektif.371
Keterjalinkelindan ketiganya yakni ihsan, tasawuf dan ‘irfani akan
menjadi menuntun terciptanya sikap unity in diversity (kesatuan dalam
perbedaan), sympathy dan emphaty terhadap orang dan kelompok lain yang
berseberangan. Perpaduan ini pun akan menjadi modal dasar sebagai kinerja
metodologis pendidikan Islam untuk memahami keberadaan kelompok
“penafsir” lain yang berbeda, baik ras, suku, puak, etnis, kelas, gender maupun
(organisasi) agama, tanpa harus meninggalkan kepercayaan dan identitas agama
367 M. Amin Abdullah, Multidisiplin, Interdisiplin & Transdisiplin, Op. Cit., hlm. 227. 368 Ibid. hlm. 233-234. 369 Spiritualitas ketuhanan yang melekat pada pribadi-pribadi manusia. Ibid. 370 Spiritualitas yang menekankan cinta antar sesama tanpa syarat apapun. Ibid. 371 Spiritualitas ihsan yang berkemajuan yang membuka diri, bersedia untuk share dengan
berbagai tradisi spiritualitas. Ibid. hlm. 235.
111
dan kepercayaan sendiri.372 Global ethics (etika universal) dan multikulturalitas
era kontemporer hanya bisa ditopang dengan tradisi ihsan, tasawuf dan ‘irfani
dalam pemikiran Islam yang genuine dengan diikuti pola, metode, dan
pendekatan atan pendidikan agama Islam yang terus menerus disempurnakan.
Dari sini tampaklah bahwa kecerdasan spiritual dimaksudkan menuntun
manusia memahami esensial dan eksistensi fundamental yang tidak hanya
terkukung dalam individual semata, melainkan mengalir bak mata air yang
menghiasi aktualisasi nya dalam interaksi sosial dan masyarakat (ibadah) serta
menampilkan sikap dan perilaku ‘arif (moral) dalam segala aktivitasnya.
Sebagaimana M. Amin Abdullah menyatakan bahwa kemampuan intersubjektif
(saling menembus) merupakan kombinasi dan sinergitas spiritualitas
pemahaman yang subjektif (imaniyyah) dan objektif (‘ilmiyyah) yang
berkemajuan, global ethnics, dan multikulturalitas.373
Hal ini menegaskan pula bahwa potensial kecerdasan spiritual erat
kaitannya terhadap kehidupan sosial dan alam jagat raya ini. Namun, sungguh
sayang fakta yang dijumpai tidak demikian halnya. Sifat-sifat Tuhan dan Rasul
Nya seperti; Al-Rahman (Yang Maha Pengasih) dan Al-Rahim (Yang Maha
Penyayang), Al-Latief (Yang Maha Halus), Al-Ghafur (Yang Maha
Pengampun) tertindih dan dikalahkan oleh sifat-Nya yang AL-Oahhar (Yang
Maha Pemaksa), Al-Mudzillu (Yang Maha Menghinakan , Al-Muntaqim (Yang
372 Yulanda, A., “Epistemologi Keilmuan Integratif-Interkonektif M. Amin Abdullah dan
Implementasinya Dalam Keilmuan Islam,” TAJDID: Jurnal Ilmu Ushuluddin 18 (1), 2020, hlm. 79–
spiritual.html. Dikuti pada selasa, 1 Juni 2021 pukul 17.42 Wib. 408 Elmi Bin Baharuddin dan Zainab Binti Ismail, “Spiritual Intelligence,” Op. Cit, hlm.
390–400.
135
kecerdasan spiritual (SQ) merupakan produk pemikiran yang muncul dari
kajian saintis, filosofis dan ilmiah. Islam dalam hal ini tentunya memiliki
worldview fundamental sendiri yang menjadi pembeda dirinya dengan
konsep yang lain. Artinya, penekanan kecerdasan spiritual (SQ) pada
ontologis sangat menentukan dan menjadi rujukan sekaligus tuntunan yang
berkorelasi pada kajian epistemologis dan aksiologis.
Kecerdasan spiritual (SQ) yang worldview dalam Islam
sesungguhnya tidak akan pernah terlepas dari dimensi Ilahiyah. Dimana
tauhidik (ahkam syari’ah) sebagai dimensi fundamental nya secara
mendasar menjadi power view dalam setiap upaya pencarian dan
pengembangan kemampuan spiritual (makarim syari’ah) dan aplikasinya.
Isyarat ini sangat berkesesuaian dengan makna kecerdasan spiritual (SQ)
yang ditawarkan pemikir-pemikir Muslim kontemporer, misalnya; Toto
Tasmara menyebut kecerdasan spiritual (SQ) sebagai kecerdasan rohani
yaitu kemampuan mendengarkan hati nurani atau bisikan kebenaran dari
Allah.409 Sementara Mujib & Mudzakir memaknai kecerdasan spiritual
(SQ) sebagai kecerdasan kalbu yang berhubungan dengan kualitas batin
seseorang,410 yakni kemampuan yang lebih manusiawi, memiliki nilai-nilai
luhur dan mencapai tingkat rohani tertinggi yang kembali pada asal
fitrahnya.411
409 Elmi Bin Baharuddin dan Zainab Binti Ismail, “7 Domains,” Op. Cit., hlm. 570. 410 Etep Rohana, Op. Cit., hlm. 168. 411 Kemil Wachidah et al., “The Harmonization of Spiritual and Intellectual,” Op. Cit., hlm.
144–50.
136
Lebih lanjut Bensaid et al., memaknai kecerdasan spiritual sebagai
manifestasi iman yang mendalam serta keyakinan terhadap keesaan Allah
yang menampilkan emosi, pemikiran dan tindakan positif.412 Muhammad
D. menjelaskan kecerdasan spiritual (SQ) sebagai domain keimanan, ibadah
dan moralitas.413 Sebagaimana Muhammad Abu D. For juga menegaskan
kecerdasan spiritual (SQ) sebagai ketundukan atas keimanan dan
keikhlasan dalam beramal yang berwatak moralitas. (While Muhammad D.
describes the spiritual intelligence is the domain of faith worship and
morality. Muhammad Abu D. supports this view. For the describes the
domain of spiritual intelligence as submission that is under the domain of
faith as well as the sincerity in doing charity work under the domain of
morality)414
Dari sini menunjukkan bahwa kecerdasan spiritual (SQ) dalam
pandangan Islam mempunyai roh sebagai ikatan fundamental yang tidak
bebas nilai sebagaimana dimaksud di atas. Implikasi metodis strategis
pendidikan Islam tentunya mengisyaratkan apa pun pencarian dan
pengembangan kecerdasan spiritual (SQ) terhadap sosial, ilmu, sains dan
teknologi tidak boleh terlepas dari spektrum dan dimensi tauhidik ini.
Berbeda halnya dengan kecerdasan spiritual (SQ) perspektif pemikir
kontemporer Barat yang melepaskan diri dari sentuhan dan tuntunan
412 Shamsiah Banu Hanefar, Che Zarrina Sa’ari, dan Saedah Siraj, “A Synthesis of Spiritual
Intelligence,” Op. Cit., hlm. 85. 413 Muhammad D. Sensa, Op. Cit., hlm. 30. 414 Elmi Bin Baharuddin dan Zainab Binti Ismail, “7 Domains,” Op. Cit., hlm. 569.
137
dimensi fundamental nya, sehingga konsep ini akan bertolak belakang
terhadap kinerja pendidikan Islam khususnya.415
Dalam konteks pemahaman demikian dapat dikatakan bahwa Tuhan
merupakan bagian yang senantiasa mengiringi dan menuntun dari setiap
pengembangan ilmu pengetahuan. Bahkan keyakinan bahwa semua realitas
termasuk ilmu pengetahuan di dalamnya merupakan pencarian Ilahiyah
sebagaimana diungkap dalam bahasa mistis-teosofis benar adanya, yang
sekaligus juga merupakan dimensi ontologis sebagai worldview kecerdasan
spiritual (SQ) perspektif Islam.416
Aksentuasi nya worldview kecerdasan spiritual (SQ) dalam
perspektif Islam akan senantiasa mengikutsertakan dimensi Ilahiyah
sebagai basis kekuatannya, tidak semata pada posisi dasariah bagi ilmu,
sains dan teknologi, juga sebagai orientasi pengembangan dan pemanfaatan
dari ilmu, sains dan teknologi itu sendiri. Ini berarti bahwa penguatan dan
penanaman nilai-nilai Ilahiyah tentulah berwatak sui generis dan reason de
entre pada ilmu, sains dan teknologi dalam wilayah ontologi merupakan
sesuatu yang tidak dapat ditawar dan dilalaikan apalagi ditiadakan.417
Begitu pun kajian epistemologis sebagai wilayah yang berupaya
menjawab pertanyaan semisal bagaimana dan sarana apa serta kualitas akan
kevaliditasan instrumen yang digunakan dalam mendapatkan dan
415 Zahid, E. S. B. M., “Pembangunan Spiritual: Konsep dan Pendekatan dari Perspektif
Islam,” E-Journal of Islamic Thought and Understanding Volume 2, (2019), hlm. 64–87. 416 Amril M., Epistemologi Integratif-Interkonektif, Op. Cit., hlm. 152. 417 Ibid.
138
menghasilkan suatu ilmu pengetahuan. Dalang perspektif strategis metodis
pendidikan Islam berbasis kecerdasan spiritual (SQ) tentunya tidak bisa
dilepaskan dari dimensi agama dan nilai-nilai moral dan etika, termasuk
nilai Ilahiyah di mana Tuhan sebagai ‘alim dan manusia sebagai subjek,
kemudian alam jagat raya dengan segala fenomena nya sebagai objek
pencarian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Relasi ketiganya secara
epistemologis bergerak dalam suatu tatanan gerak organik dan interrelasi,
yakni sebuah tatanan gerak yang satu sama lain memberikan stimulus dan
respons bagi yang lainnya dalam bentuk ketertataan hubungan sirkuler dan
organik. Sebaliknya bukan dalam bentuk tatanan hubungan yang
mekanistik dan kausalistik yang mana amat niscaya yang satu akan
mendominasi yang lainnya, bahkan mengeliminasi dan menafikan yang
lainnya.
Selanjutnya juga didukung dengan memberdayakan instrumen
epistemic yang telah dianugerahkan Allah Swt. kepada manusia dalam
mengembangkan kemampuan spiritual, yakni akal, indra/pengalaman dan
intuisi. Kesemuanya ini sudah semestinya mendapat perhatian yang
seimbang dan saling menguatkan dalam upaya strategis metodis pendidikan
Islam berbasis kecerdasan spiritual (SQ). Sementara kajian epistemologis
Barat semisal rasionalisme yang menempatkan akal sebagai satu-satunya
instrumen yang valid dengan mengesampingkan epistemic lainnya,
sesungguhnya telah membawa pereduksian dan subordinasi nilai pada
kemauan dan keinginan subjektivitas manusia sebagai pusat kebenaran
139
segala-galanya, termasuk kebenaran nilai moral dan etika, dengan
meniadakan nilai moral dan etika. Demikian pula epistemologi empirisme
yang menempatkan indra/pengalaman semakin mempercepat
pengeliminasian dan pereduksian nilai kepada fakta, yang berakhir
peniadaan sama sekali akan nilai spiritual terhadap sikap dan perilaku.418
Dalam strategis metodis pendidikan kecerdasan spiritual (SQ)
sebagai elemen fundamental pendidikan Islam, tentunya ketiga instrumen
epistemic sebagaimana dimaksudkan harus diupayakan,” selanjutnya ditata
dalam suatu kinerja yang saling melengkapi sehingga terjalin dalam bentuk
hubungan tatanan kerja yang organis-sirkuler. Muhammad Iqbal misalnya
seorang filsuf Muslim kontemporer mengatakan bahwa akal dan Indra
hendaknya didampingi oleh fuad/qalb dalam hal ini disebut juga dengan
intuisi.419
Pentingnya relasi ketiga alat epistemologis ini dalam upaya strategis
pendidikan kecerdasan spiritual (SQ) disebabkan dalam akal hanya bekerja
pada penangkapan tataran lahiriah semata, sementara untuk penangkapan
tataran batiniah yakni hubungan langsung dengan sesuatu sebagaimana
keberadaan dirinya sendiri dibutuhkan intuisi. Tiga kekuatan epistemologi
ini memang diakui memiliki lahan kajian yang berbeda, misalnya akal
dengan Indra hanya mampu menangkap sesuatu (kebenaran) secara parsial,
418 Ibid. hlm. 153 419 Herlini Puspika Sari, “Muhammad Iqbal’s Thoughts on Reconstructionism In Islamic
Education,” Jurnal Al Fikra 19, no. 1, (2020), hlm. 129–43.
<https://doi.org/10.24014/af.v19.i1.10076>
140
sedangkan intuisi mampu menangkap sesuatu (kebenaran) secara total.
Begitu pula bila akal dan Indra hanya mampu menatap aspek
kesementaraan, sedangkan intuisi mampu menatap aspek keabadian. Oleh
karena itu, ketiga kemampuan ini diupayakan saling mengisi sehingga
melahirkan sintesa-sintesa ke arah pencarian akan sesuatu kebenaran.420
Demikian pula pada wilayah aksiologis sebagai bagian ketiga yang
bekerja untuk menjawab sekitar pertanyaan apa manfaat yang dapat
diperoleh umat manusia dari kemampuan spiritual ini. Dalam hubungan
aksiologis inilah banyak dijumpai akan betapa pentingnya hubungan
kecerdasan spiritual (SQ) terhadap agama dan nilai yang mesti terikut di
dalamnya. Agama dan nilai sebagai bagian yang tak terpisahkan dari
kecerdasan spiritual (SQ) baik ontologi maupun epistemologi
sesungguhnya berakar dari implikasi terhadap dimensi Ilahiyah yakni akan
keberadaan ilmu, sains dan teknologi itu dalam kehidupan manusia baik
sebagai produser maupun konsumen. Oleh karena itu, sungguh merupakan
kekeliruan besar bila menempatkan ilmu, sains dan teknologi merupakan
suatu entitas yang berdiri sendiri, terlepas dari agama dan nilai-nilai moral
dan etika sebagai bagian yang tak terpisahkan dari eksistensialitas
manusia.421
Dari uraian di atas menunjukkan bahwa pentingnya strategis
metodis pendidikan kecerdasan spiritual (SQ) dalam pendidikan Islam,
420 Nasution, H, S., “Hubungan antara Akal, Pengindraan, Intuisi dan Wahyu dalam
Bangunan Keilmuan Islam,” Almufida I, (2016), hlm. 70–84. 421 Amril M., Epistemologi Integratif-Interkonektif, Op. Cit., hlm. 156.
141
dimana kecerdasan spiritual (SQ) sebagai basis dan orientasi pendidikan
Islam akan melahirkan sikap dan perilaku peserta didik yang humanis-
insaniyah dan ekologis-kauniyah sebagai tuntutan teologis-qouliyah.
Upaya yang sistematis, terprogram dan metodis bagi strategis
pendidikan kecerdasan spiritual (SQ) sangat dibutuhkan dalam kinerja
pendidikan Islam, terlebih lagi upaya seperti ini sangat menuntut aplikasi
nyata sehingga agama dan nilai-nilai moral dan etika yang diinginkan untuk
ditumbuhkembangkan dari pendidikan kecerdasan spiritual (SQ) benar-
benar ditampilkan dalam perilaku senyatanya.
Sehubungan dengan hal di atas, tentu pendidikan Islam merupakan
lembaga yang paling siap dan kondusif untuk menjawab keinginan seperti
dikemukakan di atas. Hal ini dikarenakan bukankah substansialitas
pendidikan atau pembelajaran itu sesungguhnya usaha
penumbuhkembangan nilai-nilai moral dan etika, hampir semua para
pemikir dan praktisi pendidikan dan pembelajaran sekolah
menyepakatinya.
H. Paradigma Integrasi Metakosmos, Mikrokosmos, dan Makrokosmos
Sebagai Implikasi Pendidikan Islam
Sebagaimana dimaksudkan di atas, bahwa kecerdasan spiritual (SQ)
ditinjau dalam pendidikan Islam merupakan relasi dialogis harmonis nilai-nilai
teologis-qouliyah, nilai-nilai humanis-insaniyah dan nilai-nilai ekologis-
kauniyah sebagai basis dan orientasi baik secara subtastantif filosofis maupun
142
metodologis epistemologis. Dalam konteks kinerja pendidikan Islam tentunya
hubungan yang dimaksud merupakan relasi timbal balik yang saling
menguatkan dan sejalan antara perilaku metakosmos, makrokosmos dan
mikrokosmos. Bukan hubungan sebab akibat, juga bukan hubungan dalam
pemikiran carterianims422 yakni subjek lebih mendominasi objek, sehingga
memunculkan perilaku terkekang, terpaksa, dan terpisah dalam relasi
metakosmos, makrokosmos dan mikrokosmos.
Melainkan hubungan yang menampilkan perilaku yang seimbang pada
tiga dimensi yakni metakosmos, makrokosmos dan mikrokosmos. Sebagaimana
hal ini juga ditampilkan Amril M. bahwa dalam perspektif Islam manusia
sebagai subjek dan alam jagat raya sebagai objek sejatinya merupakan dua
bagian yang saling menguatkan dan tidak terpisahkan terutama dalam kinerja
metodis pendidikan Islam.423 Hal ini menunjukkan bahwa betapa pentingnya
peran sentral pembaruan kinerja metodis pendidikan Islam yang mengupayakan
perilaku metakosmos, makrokosmos dan mikrokosmos melalui sentuhan
kecerdasan spiritual (SQ) yang holistik dan komprehensif sebagai mitra dialogis
harmonis sebuah isyarat dari implikasi pendidikan Islam yang diharapkan.
Dimaksudkan demikian itu bukan tanpa dasar, hal ini merujuk pada
isyarat Amril M. yang menegaskan bahwa kecerdasan spiritual (SQ) merupakan
kemampuan manusia dalam memahami pesan-pesan nilai ideal moral dari
422 Amril M., Sains Islam: (Relasi Tripatrik Mikrokosmos, Makrokosmos Dan
Metakosmos), http://amrilmansur.blogspot.com/2010/01/sains-islam.html. Diakses pada Sabtu, 17
Juli 2021 pukul 10.51 Wib. 423 Ibid. hlm. 135.
143
sebuah kebenaran yang diterima atau sebuah perilaku dan pengalaman yang
berorientasi pada nilai teologis-metakosmos, ekologis-makrokosmos dan
humanis-mikrokosmos yang tidak terikat oleh ruang dan waktu.424 Begitu pun
Elmi Bin Baharuddin dan Zainab Binti Ismail juga memaknai kecerdasan
spiritual (SQ) sebagai kemampuan menghadirkan kepribadian Muslim dalam
menjaga hubungan baik dengan Tuhan, sesama manusia dan alam. Elmi dan
Zainab menyebut kecerdasan spiritual (SQ) sebagai kepribadian ulul albab.425
Konsep yang demikian itu juga dimunculkan pemikir-pemikir Muslim
kontemporer, misalnya;426 Faiz M, Oman dan Thoresen, Elmi Baharuddin,
Muhammad Abu D. For, al-Dzaki, Al-Nawawi, Bagheshahi et al., Drakulevski
& Veshoska, Mohammad Sanagoei Zadeh Salovey dan Mayer, Goleman,
Arbabisarjou, Raghib, Moayed, dan Rezazadeh M. Amin Abdullah Toto
Tasmara, Mujib & Mudzakir, Bensaid et al., dan masih banyak lainnya.
Pada intinya pemikir-pemikir kontemporer di atas menawarkan dan
memberi isyarat tentang pentingnya kecerdasan spiritual (SQ) sebagai mitra
dialogis pemikiran studi Islam dan studi ilmu-ilmu keislaman khususnya kinerja
pendidikan Islam. Kecerdasan spiritual (SQ) yang meniscayakan hubungan
teologis-metakosmos, ekologis-makrokosmos dan humanis-mikrokosmos
merupakan kebutuhan mendesak di era kontemporer ini, dimana kecerdasan
spiritual (SQ) sebagai implikasi pendidikan Islam sangat memungkinkan
424Amril M., meraih-kecerdasan-spiritual. Op. Cit. 425 Elmi Bin Baharuddin dan Zainab Binti Ismail, “Spiritual Intelligence,” Op. Cit., hlm.
390–400. 426 Sudah dibahas definisinya pada sub bahasan sebelumnya.
144
terciptanya sikap dan perilaku peserta didik yang berwawasan worldview,
sehingga akan tercapai lah tujuan pendidikan Islam yang menuntun dan
membuka ruang dialogis yang harmonis, santun, damai, solutif, dan produktif.
Berbicara tentang relasi metakosmos, makrokosmos dan mikrokosmos
sebagai elemen terpadu dalam kinerja pendidikan Islam, sebaiknya dipahami
dahulu tentang apa dan bagaimana sesungguhnya hubungan metakosmos,
makrokosmos dan mikrokosmos itu. Sebagaimana telah disinggung di awal
bahwa relasi yang dimaksudkan bukanlah hubungan sebab akibat yang
memungkinkan salah satunya mendominasi dari yang lainnya, dimana subjek
lebih memainkan peran tanpa memberi kesempatan objek untuk apa adanya,
kinerja pendidikan Islam dalam hal ini lebih mengupayakan relasi timbal balik
yang seimbang dan saling menguatkan antara metakosmos, makrokosmos dan
mikrokosmos sebagai tuntutan fundamental, sosial dan moralitas.
Dimaksudkan dengan mikrokosmos ialah manusia selaku subjek,
sedangkan makrokosmos adalah alam jagat raya dan segala fenomena di
dalamnya serta yang mengitari nya selaku objek. Sementara metakosmos ialah
hal-hal yang berada di balik mikrokosmos dan makrokosmos.427 Dalam
hubungan tripatrik ini menunjukkan bahwa mikrokosmos sebagai pelaku dan
makrokosmos sebagai objek yang berkembang sudah ditetapkan (Sunnah
Allah) atau digariskan metakosmos. Sebagaimana perspektif Islam dinyatakan
The Wold Book Encyclopedia International, Chicago, Illinois: World Book Inc, 1994,
hlm. 476.
154
2. Pendekatan Sosiologis
Sosiologi berasal dari latin “socius”, berarti teman, dan “logos”,
ilmu pengetahuan. Secara terminologi, sosiologi adalah ilmu yang
mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial termasuk perubahan-
perubahan sosial. Adapun objek kajian sosiologi adalah masyarakat yang
dilihat dari sudut hubungan antar manusia dan permasalahan yang timbul
diantaranya. Sedangkan tujuannya adalah meningkatkan keharmonisan
hubungan diantara banyak perbedaan manusia.448
Pada dasarnya sosiologi dapat dipahami sebagai ilmu yang
mempelajari kehidupan sosial manusia dalam tata kehidupan bersama. Ilmu
ini memusatkan telaahnya pada kehidupan kelompok dan tingkah laku
sosial lengkap dengan produk kehidupannya. Sosiologi tidak tertarik pada
masalah-masalah yang sifatnya kecil, pribadi, dan unik. Sebaliknya, ia
tertarik pada masalah-masalah yang sifatnya besar dan substansial serta
dalam konteks budaya yang lebih luas.449
Dalam studi Islam, pendekatan sosiologis yang dipakai adalah
sosiologi agama, yang mencakup cara pandang sosiologi terhadap agama,
hubungan agama dengan keteraturan atau ketidakteraturan sistem sosial
menjadi garapan utama sosiologi agama. Dari sini dapat dipahami bahwa
obyek material sosiologi agama adalah masyarakat beragama, sedangkan
448 A. Samad, S. A., “Kajian Hukum Keluarga Islam dalam Perspektif Sosiologis di
Indonesia,” El-USRAH: Jurnal Hukum Keluarga 4, 1, (2021), hlm. 138.
https://doi.org/10.22373/ujhk.v4i1.9899. 449 Miftahuddin, “Studi Islam Untuk Kemanusiaan: Pendekatan Sosiologis,” SHAHIH:
Journal of Islamicate Multidisciplinary 5, no. 2, (2020), hlm. 37.
155
obyek formalnya adalah fenomena empiris sosiologis dari fenomena
agama.450
Sosiologi agama klasik memandang agama dan masyarakat
mempunyai hubungan timbal-balik, dimana agama mempengaruhi
perubahan masyarakat dan sebaliknya. Sosiologi klasik di dominasi oleh
dua sosiolog terkenal Emile Durkheim (1858-1917) dan Max Weber (1864-
1920). Sedangkan sosiologi agama modern memandang hubungan agama
dan masyarakat linier dan searah, dimana agama mempengaruhi keteraturan
maupun konflik masyarakat. Dari sini terlihat bahwa sesungguhnya
pendekatan sosiologis menjadi penting dalam menemukan titik temu antara
problematika agama dan budaya pada tatanan masyarakat dan sosial.
3. Pendekatan Filosofis
Istilah filsafat berasal dari “philo”, berarti cinta kepada kebenaran,
ilmu, dan hikmah.451 Dalam KBBI, Poerwadarminta mengartikan filsafat
sebagai pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai sebab-
sebab, asas-asas, hukum dan sebagainya terhadap segala yang ada di alam
semesta ataupun mengenai kebenaran dan arti adanya sesuatu.452
450 Ibid. 451
Nabilah, W., Rizal, D., & Warman, A. B., “Persecutory and Defamation as Barriers to
Inheritance (Review of Maqâṣid Shari’ah in a Compilation of Islamic Law),” Al Hurriyah : Jurnal
Hukum Islam 6 (1), 2021, hlm. 49. https://doi.org/10.30983/alhurriyah.v6i1.3274. 452 Hidayat, T., Syahidin, & Syamsu Rizal, A., “Filsafat Metode Mengajar Omar
Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany dan Implikasinya Dalam Pembelajaran Pendidikan Agama
Islam di Sekolah Dasar,” Jurnal Pendidikan Dasar Nusantara 6 (2), 2021, hlm. 94–115.
https://doi.org/10.29407/jpdn.v6i2.14002.
156
Berpikir secara filosofis penting diupayakan dalam memahami
ajaran agama dengan maksud agar hikmah, hakikat atau inti agama dapat
dipahami secara mendasar dan holistik. Secara tradisional agama dipahami
sebagai sesuatu yang sakral, suci, dan agung.453 Sementara Philosophy of
religion adalah pemeriksaan filosofis tema sentral dan konsep yang terlibat
dalam tradisi agama. Kajian ini mencakup; metafisika, epistemologi,
logika, etika dan teori nilai, filsafat bahasa, filsafat ilmu, hukum, sosiologi,
politik, sejarah, dan sebagainya. Philosophy of religion juga meliputi
penyelidikan atas makna keagamaan peristiwa sejarah dan fitur umum
kosmos (misalnya, hukum alam, munculnya kehidupan sadar, kesaksian
luas makna keagamaan, dan sebagainya).454
Secara khusus dapat diidentifikasi lima posisi utama hubungan
filsafat dan agama; filsafat sebagai agama, filsafat sebagai pelayan agama,
filsafat sebagai pembuat ruang keimanan, filsafat sebagai suatu perangkat
analitis bagi agama, filsafat sebagai studi tentang penalaran yang digunakan
dalam pemikiran keagamaan.455 Dalam perkembangannya, ada tiga model
pendekatan filsafat kontemporer dalam studi Islam (Islamic studies)
sebagaimana disebutkan amali Sahrodi, yaitu pendekatan hermeneutika,
pendekatan teologi-filosofis, dan pendekatan tafsir falsafi. Kemestian
453 Benny Kurniawan, “Studi Islam Dengan Pendekatan Filosofis,” SAINTIFIKA
filsafat dengan model-model tersebut akan memberikan ruang dialogis
antara agama dan filsafat dalam hubungan yang harmonis.
4. Pendekatan Psikologis
Psikologi berasal dari kata Yunani, “psyche” berarti jiwa dan
“logos” berarti nalar, logika, atau ilmu.456 Secara harfiah psikologi diartikan
dengan “ilmu jiwa”, secara istilah psikologi diartikan ilmu yang
mempelajari tentang jiwa, baik mengenai macam-macam gejalanya,
prosesnya maupun latar belakangnya.457 Dalam bahasa Inggris psychology
yang dalam istilah lama disebut “ilmu jiwa”.458
Psikologi Islam menekankan aspek kesadaran ilmu dalam
mengungkap rahasia sunatullah yang bekerja pada diri manusia dengan
menggunakan akal budi dan metodologi yang tepat. Kajian-kajian telah
banyak dilakukan para ahli dalam wilayah psikologi agama, misalnya;
James A. Leuba (Psychology Study of Religion, 1912), Bernard Spilka (The
Psychology of Religion, 1945), Gordon Allport (The individual and his
religion, 1950), Raymond Polutzian (Invitation to the Psychology of
Religion, 1983), dan David Wulff (Psychology of Religion: Classic and
Contemporary , 1991).459
456 Achmad Fadil, “Pendekatan Etnografis dan Psikologis Dalam Studi Islam,” Tafhim Al-
‘Ilmi 12, no. 1, (2020), hlm. 20, https://doi.org/10.37459/tafhim.v12i1.4025. 457 Ibid. 458 Mukhoyyaroh, M., Falahi, K., & Mukhlisin, M., “Penerapan Humanis Religius Dalam
Pembelajaran PAI (Studi Pada Universitas Pamulang),” Jurnal Kajian Agama Hukum dan
Pendidikan Islam (KAHPI), 3 (1), (2021), hlm. 1. https://doi.org/10.32493/kahpi.v3i1.p1-10.12956. 459 Afista, Y., Sumbulah, U. & Hawari, R., “Pendidikan Multikultural Dalam Transformasi
Lembaga Pendidikan Islam Di Indonesia,” Journal Evaluasi 5 (1), 2021, hlm. 128.
https://doi.org/10.32478/evaluasi.v5i1.602.
158
Dari beberapa ahli di atas dapat dijadikan contoh salah satunya
adalah David Wulff dengan karyanya Psychology of Religion. David Wulff
menjelaskan perihal perkembangan kajian psikologi agama baik era klasik
maupun kontemporer, meskipun demikian, dari semua ahli beserta
karyanya belum ada yang secara khusus membahas persoalan-persoalan
yang spesifik dalam keberagamaan Muslim.
5. Pendekatan Historis
Pendekatan historis adalah suatu ilmu yang di dalamnya dibahas
berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, objek, latar
belakang, dan pelaku dari peristiwa tersebut. Menurut ilmu ini, segala
peristiwa dapat dilacak dengan melihat kapan peristiwa itu terjadi, di mana,
apa sebabnya, siapa yang terlibat dalam peristiwa tersebut.460
Menurut Azyumardi Azra, sejarah berasal dari “syajarah” yang
berarti pohon. Selanjutnya, sejarah dipahami mempunyai makna yang sama
dengan “tarikh”, “istoria” (yunani), history atau geschichte (jerman), yang
secara sederhana berarti kejadian-kejadian menyangkut manusia pada masa
silam.461
Pendekatan historis sangat dibutuhkan dalam studi agama, karena
agama itu sendiri turun dalam situasi yang konkret bahkan berkaitan dengan
460 Abdul Qadri, “Upaya Pengembangan Kajian Islam Melalui Pendekatan Sejarah,” El-
Hikmah: Jurnal Kajian Dan Penelitian Pendidikan Islam 14, no. 1, (2020), hlm. 115. 461
Azyumardi Azra, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan antara Disiplin Ilmu,
Pusjarlit, Bandung: 1998, hlm. 119. Lihat SH. MH, W., “Pendekatan Sejarah Dalam Studi Islam,”
Tahkim: Jurnal Peradaban dan Hukum Islam 2, (2019), hlm. 1.
https://doi.org/10.29313/tahkim.v2i1.4147.
159
kondisi social kemasyarakatan. Ketika mempelajari al-Qur’an
menunjukkan pada dasarnya kandungan al-Qur’an itu terbagi menjadi dua
bagian. Pertama, berisi konsep-konsep, dan kedua, berisi kisah-kisah
sejarah dan perumpamaan.
J. Pembaruan Metode Tafsir al-Qur’an Kontekstual-Progresif
Setiap umat beragama mempunyai kitab suci sebagai pedoman hidup.
Al-Qur’an misalnya, merupakan kitab suci umat Islam yang menjadi pegangan
hidup dan sentralitas dalam kehidupan. Meskipun al-Qur’an dikatakan
sepenuhnya bersifat divine (Ilahiyyah; ketuhanan), namun ia sesungguhnya
juga menggunakan media bahasa manusia, maka keterlibatan budaya sudah
pasti terikutkan di dalamnya. Oleh karena Bahasa adalah fenomena budaya.462
Sakralitas al-Qur’an sangat luar biasa di pegang teguh bagi umat Islam.
Keterikatan manusia menjadikan al-Qur’an sebagai literasi dan tuntunan dalam
seluruh elemen kehidupan, baik agama, sosial, budaya, ekonomi, politik dan
ragam dinamika zaman dan waktu. Mengingat begitu penting dan sentralnya
peran dan fungsi al-Qur’an dalam kehidupan beragama umat Islam, maka wajar
ketika al-Qur’an dijadikan sumber patokan, pedoman dan inspirasi atau biasa
disebut sebagai pusaka abadi. Sebagaimana kenyataan ini memunculkan istilah
al-ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah sebagai adagium spirit untuk kembali pada
al-Qur’an dan al-Sunnah di era kontemporer ini.463
berpandangan untuk menjadi Sufi, seseorang tidak harus menjadi anggota
tarekat yang dalam praktiknya bercorak guru sentris.474
3. E. C. Van Den Dool, (2012) e-Journal of Management, Spirituality and
Religion, “The spirituality of Soelles liberation theology in social
innovation: Empirical research into a via transformativa for organizations,”.
473 Elmi Bin Baharuddin dan Zainab Binti Ismail, “7 Domains,” Op. Cit., hlm. 568–577. 474 Biyanto, “The typology of Muhammadiyah Sufism: Tracing its figures’ thoughts and
exemplary lives,” Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies 7.2 (2017), hlm. 221–49.
168
Berdasarkan analisis kualitatif wawancara dengan lima pelopor inovatif
sosial Belanda, kami menemukan bahwa ada kecocokan yang signifikan
antara tindakan dan pengalaman para pionir dan spiritualitas teologi
perpustakaan Soelle. Mempelajari proses aktual dari inovasi sosial dalam
organisasi dari perspektif teologi pembebasan Dorothee Soelle dengan
demikian dapat memberikan berbagai masalah untuk memicu
perkembangan mistik. Konseling mistis yang di ilhami oleh teologi
pembebasan Soelle dapat membantu organisasi untuk memperdalam
pemahaman mereka tentang proses inovasi sosial tempat mereka terlibat.475
Dari sini terlihat betapa hubungan spiritualitas dengan fakta sosial dalam
kehidupan manusia yang menjadikan agama sebagai spirit nya.
4. Neville Symington, (2004) International Journal of Applied Psychoanalytic
Studies, “The spirituality of natural religion.”
Spiritualitas Revealed Religion membawa ajaran Tuhan ke dalam urat
paling halus dari proses mental internal individu. Spiritualitas memasukkan
prinsip-prinsip agama ke dalam forum jiwa. Esensinya dapat ditemukan
dalam ketaatan kepada perintah Tuhan. Bagi para psikoanalisis memahami
bahwa ini merupakan perwujudan luar superego yang menuntut. Agama
tetap berperan seperti biasanya, yakni memiliki kekuatan motif utama,
jantung kehidupan manusia, tanpa agama seperti tampa hati, tidak ada
kehidupan yang rasional.476
5. Muborakshoeva, Marodsilton, (2013 the International Journal of Religion
and Spirituality in Society, “Islamic Scholasticism and Traditional
Education and Their Links with Modern Higher Education and Societies.”
Berdasarkan literatur dan temuan empiris dari lapangan, penelitian ini
membahas peran skolastisisme dan pendidikan tradisional dalam
masyarakat Muslim dan pelajaran yang dapat diambil oleh struktur
pendidikan tinggi saat ini. Berdasarkan analisis penelitian yang solid serta
temuan dari pekerjaan lapangan menunjukkan bahwa pertama, pendekatan
dan pemahaman yang sempit tentang skolastik akan mengurangi kekayaan
dan keragaman tradisi pendidikan tinggi yang diterapkan di kalangan
Muslim. Kedua, skolastik Islam didefinisikan secara luas, sebagian besar
475 E. C. Van Den Dool, “The Spirituality Of Soelles Liberation Theology In Social
Innovation: Empirical Research Into A Via Transformativa For Organizations,” Journal of
Management, Spirituality and Religion, 9.1 (2012), hlm. 49–65.
<https://doi.org/10.1080/14766086.2012.641097> 476 Neville Symington, “The spirituality of natural religion,” International Journal of
links-with-modern-higher-education-and-societies?category_id=cgrn&path=cgrn%2F262%2F263) 478 Ojiambo, Peter Otiato (2014) “Education as a Spiritual Journey: The Hidden Story
behind the Evolution and Growth of Starehe Boys Centre and School, Kenya,” The International
Journal of Pedagogy and Curriculum 20 (1): 43-54. doi:10.18848/2327-7963/CGP/v20i01/48948.
education?category_id=common-ground-publishing&path=cgrn%2F225%2F226). 480 Aziz, N., “The Interpretation of Sayyid Quthb Regarding to the Word Al-Haq Which
Means God’s Name in Al-Qur’an,” Turkish Online Journal of Design, Art & Communication, V. 7,
P. 1426, 2017. http://resources.perpusnas.go.id:2069. Acesso em: 13 januari 2021.
171
9. Vivian Miu Chi Lun dan Michael Harris Bond (2013), Psychology of
Religion and Spirituality 5, “Examining the relation of religion and
spirituality to subjective well-being across national cultures.”
Agama dan spiritualitas sering dikaitkan pada kesejahteraan subjektif
individu yang lebih tinggi, tetapi penyimpangan dalam hubungan ini juga
telah dicatat melalui penelitian sebelumnya. Penelitian ini menggunakan
Survei Nilai Dunia (Asosiasi Survei Nilai Dunia, 2009, Survei Nilai Dunia:
1981–2008. Agregat Resmi, Versi 20090901, ASEP/ JDS, Madrid,
Spanyol, http://www.wvsevsdb. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kepuasan hidup dan kebahagiaan adalah hal yang positif terkait dengan
banyak ukuran agama dan spiritualitas, kecuali untuk praktik spiritual
dalam konteks nasional yang berbeda. Dalam budaya nasional dimana
sosialisasi keyakinan religius lebih umum, praktik spiritual secara positif
terkait dengan kesejahteraan subjektif, sedangkan dalam budaya dimana
sosialisasi keagamaan kurang lazim, hubungan antara praktik spiritual dan
kesejahteraan subjektif dibalik. Di negara-negara dimana permusuhan
sosial terhadap kelompok-kelompok agama lebih kuat, hubungan positif
antara kepercayaan pada otoritas pemimpin agama dan kesejahteraan
subjektif lebih kuat daripada di negara-negara di mana permusuhan tersebut
lebih lemah. Oleh karena itu, ukuran agama dan spiritualitas yang berbeda
memiliki hubungan yang berbeda dengan ukuran kesejahteraan subjektif
dalam konteks nasional yang berbeda.481
10. Cassandra Vieten et al., (2013) Psychology of Religion and Spirituality,
“Spiritual and religious competencies for psychologists.”
Perspektif masyarakat secara umum memandang agama dan spiritualitas
penting dalam kehidupan kebanyakan orang. Selain itu, spiritual dan
religius menjadi semakin beragam, dan semakin banyak orang yang
mengidentifikasi diri mereka sebagai spiritual, tetapi tidak religius. Agama
dan spiritualitas secara empiris dikaitkan dengan sejumlah kesehatan
psikologis dan hasil kesejahteraan, dan terdapat bukti bahwa klien lebih
suka spiritualitas dan agamanya dibahas dalam psikoterapi. Namun,
masalah agama dan spiritual sering tidak dibahas dalam psikoterapi dan
tidak dimasukkan dalam penilaian atau perencanaan perawatan. Meskipun
kajian psikologi telah merumuskan agama dan spiritualitas dalam sebagian
definisi multiculturalism, tetapi masih sangat minim dalam kajian
psikoterapi atau bahkan tidak ada pelatihan dalam masalah agama dan
481 Vivian Miu Chi Lun dan Michael Harris Bond, “Examining the relation of religion and
spirituality to subjective well-being across national cultures,” American: Psychology of Religion and
dan bagaimana rezim Partai Keadilan dan Pembangunan telah mencoba
untuk mengubahnya. Untuk itu, ia menyelidiki uraian tarekat sufi serta
tasawuf dalam buku teks yang dipelajari sebagai bagian dari mata kuliah
wajib Budaya dan Moral Agama dari awal tahun 1982 hingga sekarang.484
13. Paul J. Mills et al., (2015), Spirituality in Clinical Practice 2, “The role of
gratitude in spiritual well-being in asymptomatic heart failure patients.”
Kerohanian dan syukur dikaitkan dengan kesejahteraan. Sedikit, jika ada
penelitian peran syukur pada pasien gagal jantung (HF) atau mekanisme
spiritualitas yang dapat memberikan efek baik pada kesehatan fisik dan
mental dalam populasi klinis ini. Studi ini meneliti hubungan antara rasa
syukur, kesejahteraan spiritual, tidur, suasana hati, kelelahan, efikasi diri
khusus jantung, dan peradangan pada 186 pria dan wanita dengan HF
asymptomatic Stadium B (usia 66,5 tahun ± 10). Dalam analisis
korelasional, rasa syukur dikaitkan dengan tidur yang lebih baik (r = -.25, p
<.01), suasana hati yang kurang tertekan (r = -.41, p <.01), lebih sedikit
kelelahan (r = -.46, p < .01), dan self-efficacy yang lebih baik untuk
mempertahankan fungsi jantung (r = .42, p <.01). Pasien yang
mengungkapkan lebih banyak rasa syukur juga memiliki tingkat biomarker
inflamasi yang lebih rendah (r = -.17, p <.05). Kami lebih jauh
mengeksplorasi hubungan di antara variabel-variabel ini dengan memeriksa
jalur yang diduga untuk menentukan apakah spiritualitas memberikan efek
menguntungkan melalui rasa syukur. Hasil menunjukkan bahwa rasa
syukur sepenuhnya me mediasi hubungan antara kesejahteraan spiritual dan
kualitas tidur (z = -2.35, SE = .03, p = .02) dan juga hubungan antara
kesejahteraan spiritual dan suasana hati yang tertekan (z = -4.00, SE = .075,
p <.001). Syukur juga me mediasi sebagian hubungan antara kesejahteraan
spiritual dan kelelahan (z = -3.85, SE = .18, p <.001) dan antara
kesejahteraan spiritual dan kemanjuran diri (z = 2.91, SE = .04, p = 0,003).
Sederhananya bahwa rasa syukur dan kesejahteraan spiritual terkait dengan
suasana hati dan tidur yang lebih baik, lebih sedikit kelelahan, dan lebih
banyak kemanjuran diri, dan bahwa rasa syukur sepenuhnya atau sebagian
menengahi efek menguntungkan dari kesejahteraan spiritual pada titik akhir
ini. Upaya untuk meningkatkan rasa syukur dapat menjadi pengobatan
untuk meningkatkan kesejahteraan dalam kehidupan pasien gagal jantung
dan memiliki nilai klinis yang potensial.485
484 Manami Ueno, “Sufism and Sufi orders in compulsory religious education in Turkey,”
Turkish Studies 19, no. 3 (2018), hlm. 381–99, https://doi.org/10.1080/14683849.2018.1438194. 485 Paul J. Mills et al., “The role of gratitude in spiritual well-being in asymptomatic heart
failure patients,” American: Spirituality in Clinical Practice 2, no. 1, (2015), hlm. 5–17,
https://doi.org/10.1037/scp0000050.
174
14. Benaouda Bensaid, Salah Ben Tahar Machouche, dan Fadila Grine, (2014),
Religions Article 5, “A Qur’anic framework for spiritual intelligence,”.
Kajian ini membahas perspektif al-Qur’an tentang kecerdasan spiritual
(SQ) dalam memahami landasan, makna dan hakikatnya, serta memperoleh
indikatornya, dan mengembangkan kriteria berbasis kompetensi. Kajian ini
mengacu pada beberapa ilustrasi yang secara efektif menyoroti perspektif
al-Qur’an tentang subjek kecerdasan spiritual (SQ). Hasil kajian
menunjukkan bahwa kecerdasan spiritual (SQ) berkembang sesuai dengan
kerangka al-Qur’an yang memasukkan kesadaran spiritual ke dalam sistem
keyakinan, ibadah moralitas dan tanggung jawab sosial. Pemahaman
tentang perspektif al-Qur’an membantu mengungkap beberapa prinsip dan
nilai teoretis yang mendasari luas dari kecerdasan spiritual (SQ) Islam yang
membentuk sebagian besar usaha spiritual Muslim dalam kaitannya dengan
spektrum interaksi yang lebih luas dengan kelompok-kelompok agama dan
masyarakat; secara efektif mengembangkan model evaluasi dan
pengembangan kapasitas yang lebih inklusif dalam masyarakat multi-
agama kontemporer.486
15. Shamsiah Banu Hanefar, Che Zarrina Sa’ari, dan Saedah Siraj, (2016),
Journal of Religion and Health 55, “A Synthesis of Spiritual Intelligence
Themes from Islamic and Western Philosophical Perspectives,”
Kecerdasan spiritual (SI) ialah istilah baru yang muncul dan didiskusikan
serta diterima secara luas sebagai salah satu komponen pokok yang
memiliki peran dalam memecahkan banyak masalah kehidupan. Meskipun
demikian, tidak ada studi khusus yang dilakukan untuk menyintesis tema
kecerdasan spiritual dari perspektif filosofis Barat dan Islam. Penelitian ini
bertujuan untuk mengidentifikasi tema-tema kecerdasan spiritual yang
umum dari kedua perspektif tersebut dan menjelaskan isinya dari
pandangan dua cendekiawan Islam ternama; al-Ghazali dan Hasan
Langgulung. Hasil penelitian menunjukkan tujuh tema kecerdasan spiritual
diidentifikasi melalui analisis tematik, yakni makna/ tujuan hidup,
kesadaran, transendensi, sumber spiritual, penentuan nasib sendiri,
pemurnian jiwa refleksi dan mengatasi rintangan spiritual. Temuan ini
akan menjadi dasar untuk teori terpusat dari tema kecerdasan spiritual yang
menyintesis perspektif filosofis Islam dan Barat. Diharapkan penelitian ini
dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pengembangan tema
486 Benaouda Bensaid, Salah Ben Tahar Machouche, dan Fadila Grine, “A Qur’anic
framework,” Loc. Cit.
175
kecerdasan spiritual yang valid dan reliabel di luar batas sosial dan
Methods: Personal Experience of Integrating Spiritual and Moral Values,” New England, Religious
Education 109, no. 5, (2014), hlm. 554–70, https://doi.org/10.1080/00344087.2014.956560. 489 Francisco Vargas Herrera dan Loreto Moya Marchant, “Analyzing the Concept of
Spiritual Development Based on Institutional Educational Projects from Schools Located in
176
18. Cheryl Ferreira dan Salome Schulze, (2016), International Journal of
Children’s Spirituality 21, “Cultivating spiritual intelligence in adolescence
in a divisive religion education classroom: a bridge over troubled waters.”
Pendidikan Agama merupakan bagian kurikulum sekolah umum di Afrika
Selatan. Namun, kurangnya keyakinan para guru bagaimana menghadapi
pluralitas agama yang memecah belah di ruang kelas multikultural. Oleh
karena itu, tujuan penelitian ini adalah untuk menggambarkan bagaimana
penerapan program kecerdasan spiritual (SQ) dapat secara konstruktif
mendorong interaksi yang bermakna diantara siswa di ruang kelas di
sekolah menengah. Dalam kurun waktu tiga bulan, program untuk
menstimulasi SQ dilaksanakan melalui studi kasus kualitatif dengan
sepuluh siswa kelas 11 dari berbagai keyakinan agama. Artikel ini
melaporkan dampak program sehubungan dengan kesadaran diri, serta
kesadaran universal dan keterhubungan sebagai karakteristik utama SQ.
Pengumpulan data meliputi kegiatan reflektif, wawancara percakapan
informal, diskusi kelompok fokus, catatan observasi lapangan, dan jurnal
refleksi diri. Temuan menunjukkan bagaimana program tersebut
merangsang interaksi yang berarti dan peluang untuk menangani pluralitas
agama di sekolah RE.490
19. Rohana Hamzah et.al., (2010), Journal of Islamic and Arabic Education 2,
“Spiritual Education Development Model.”
Mengembangkan dan menghasilkan individu yang holistik telah menjadi
perhatian utama sistem pendidikan Malaysia. Maka itu, sistem pendidikan
Malaysia dibentuk berdasarkan misinya dalam menghasilkan individu yang
seimbang dan holistik berupa potensi fisik, emosi, spiritual dan intelektual
yang didasarkan pada teguh keyakinan dan pengabdian kepada Tuhan.
Namun, tampak kesenjangan antara praktik saat ini dalam pendidikan dan
filosofi pendidikan Malaysia terutama dalam domain pengembangan
spiritual. Sementara pengembangan diri dari potensi spiritual ialah
kebutuhan dasar setiap manusia karena mendorong perilaku manusia yang
baik dan upaya mereka merespons situasi lingkungan. Pada prinsipnya
manusia adalah kesatuan berupa jiwa dan raga, maka manusia juga
memiliki dua kecenderungan yaitu kecenderungan menjadi baik
Valparaiso, Chile,” Francis Group: The official journal of the Religious Education Association 115,
no. 2, (2020), hlm. 201–14, https://doi.org/10.1080/00344087.2019.1677986. 490 Cheryl Ferreira dan Salome Schulze, “Cultivating Spiritual Intelligence In Adolescence
In A Divisive Religion Education Classroom: A Bridge Over Troubled Waters,” Francis Group:
International Journal of Children’s Spirituality 21, no. 3–4, (2016), hlm. 230–42,
https://doi.org/10.1080/1364436X.2016.1244518.
177
(dimotivasi oleh jiwa rasional) dan buruk (dimotivasi oleh jiwa hewani).
Maka itu, proses pengembangan spiritual adalah tentang latihan
berkelanjutan dari sub-ordinasi jiwa hewani untuk memperbudak dirinya
sendiri dalam penyerahan pada kekuatan jiwa rasional. Adapun tujuan dari
penelitian ini adalah untuk menggali filosofi di balik pengembangan diri
dari aspek spiritual dan mengembangkan model konseptual untuk proses
pengembangan spiritual.491
20. Aswati Hamzah Mohd Zailani Mohd Yusoff, dan Nordin Abd Razak,
(2011), International Journal for Cross-Disciplinary Subjects in Education
2, “Investigating IQ, EQ and SQ Components of Malay Muslim Moral
Structure in the Course of Psychological Dilemma.”
Penelitian ini fokus bahasan pada kajian yang mengeksplorasi komponen
Intelligent Quotient (IQ), Emotional Quotient (EQ) dan Spiritual Quotient
(SQ) yang tertanam pada struktur moral Muslim Melayu yang disajikan
dalam rangkaian dilema moral. Data diambil dari sudut pandang psikologi
kognitif melalui proses penilaian menggunakan pendekatan kuantitatif dan
kualitatif guna mengetahui kesesuaian dilema yang disajikan, serta
representasi unsur moral yang melekat pada setiap dilema yang menembus
konteks budaya Melayu, sistem kepercayaan. Hasil keseluruhan ini disorot
dengan penekanan besar diberikan pada kekuatan dan kelemahan
menggunakan peristiwa hipotetis dalam menilai penalaran moral siswa
serta menggambarkan proses yang melibatkan integrasi komponen IQ, EQ
dan SQ dalam pencarian makna moral dalam hidup seseorang. Maka itu,
hal ini mengarahkan kami pada penerapan dilema psikologis dari perspektif
kognisi moral untuk memberi manfaat pada praktik pedagogis dalam
mempromosikan pengembangan moral siswa Muslim Melayu.492
21. Raymond F. Paloutziana dan Crystal L. Parkb, (2015), Religion, Brain and
Behavior 5, “Religiousness and spirituality: The psychology of multilevel
meaning-making behavior.”
491 Rohana Hamzah et.al., “Spiritual Education Development Model,” Journal of Islamic
and Arabic Education 2, no. 2, (2010), hlm. 1–12, https://scholar.google.com/scholar?
Hl=id&as_sdt=0%2C5&q=Spiritual+Education+Development+Model&btnG=. 492 Aswati Hamzah, Mohd Zailani Mohd Yusoff, dan Nordin Abd Razak, “Investigating
IQ, EQ and SQ Components of Malay Muslim Moral Structure in the Course of Psychological
Dilemma,” International Journal for Cross-Disciplinary Subjects in Education 2, no. 3, (2011), hlm.
Jenis penelitian library research. Teknik pengumpulan data dokumentasi
dan literatur. Analisis data menggunakan konten analisis. Hasil penelitian;
Islam dan Barat sepakat bahwa individu yang memiliki kecerdasan yang
tinggi merupakan individu yang berpikiran positif, mempunyai visi, berani
mengambil risiko dan tidak mudah berputus asa, namun Islam memandang
kecerdasan spiritual lebih luas, dengan mengaitkan konsep tauhid uluhiyyah
dan konsep manusia sebagai ahsan al-taqwim. Individu yang cerdas
spiritual menurut Islam adalah individu yang memiliki sifat sabar yang
tinggi, memandang jauh ke hadapan, syukur dan ridha dengan ketentuan
Allah. Ia juga adalah individu yang mempunyai semangat dan kekuatan
dalaman, Qalb, al-nafs, roh dan akal yang sihat.499
28. Iskandar (2012), e-Journal, “Lokus Kecerdasan spiritual dalam Perspektif
Al-Qur’an (Kajian Tematik atas Peran Sentra Qalbu).”
Jenis penelitian library research. Teknik pengumpulan data dokumentasi
dan literatur. Analisis data menggunakan konten analisis. Hasil penelitian;
kecerdasan spiritual dipahami dari Al-Qur’an adalah sebuah sistem
keberfungsian hati manusia secara maksimal, yaitu sebagai sentra
pendengaran, penglihatan, dan sekaligus pemahaman. Menurut al-Qur’an,
orang yang cerdas secara spiritual berarti juga cerdas dalam beragama.
Demikian pula sebaliknya, orang yang lemah dalam beragama berarti lemah
secara spiritual. Di sinilah signifikansi nilai Al-Qur’an jika diperhadapkan
498 Luk Luk Nur Mufidah, Loc. Cit. 499 Suriani Sudi, Fariza Md Sham, dan Phayilah Yama, Loc. Cit.
181
dengan pendekatan psikologi modern yang kini "terlanjur" dikenal dengan
gagasan spiritual intelligence-nya.500
29. Smartt (2014) Doctoral Dissertation Liberty University, “The Relationship
of Spiritual Intelligence to Achievement of Secondary Students.”
Sembilan puluh siswa mengikuti survei SISRI-24 dengan tujuh puluh enam
orang menyelesaikan ACT. Hasilnya dianalisis menggunakan statistik
regresi berganda sekuensial (hierarki). Analisis menunjukkan kekuatan
hubungan antara variabel prediktor dan kontrol kecerdasan spiritual, usia,
dan jenis kelamin, dan variabel kriteria pencapaian (ACT). Hasil penelitian
menemukan hubungan terbalik kecil antara kecerdasan spiritual siswa yang
dilaporkan sendiri (SISRI-24) dan prestasi peserta (ACT) yang tidak
signifikan secara statistik. Variabel demografis usia dan jenis kelamin
adalah prediktor pencapaian sedangkan SISRI-24 tidak. Analisis
menunjukkan kekuatan hubungan antara variabel prediktor dan kontrol
kecerdasan spiritual, usia, dan jenis kelamin, dan variabel kriteria
pencapaian (ACT). Hasil penelitian menemukan hubungan terbalik kecil
antara kecerdasan spiritual siswa yang dilaporkan sendiri (SISRI-24) dan
prestasi peserta (ACT) yang tidak signifikan secara statistik. Variabel
demografis usia dan jenis kelamin adalah prediktor pencapaian sedangkan
SISRI-24 tidak. Analisis menunjukkan kekuatan hubungan antara variabel
prediktor dan kontrol kecerdasan spiritual, usia, dan jenis kelamin, dan
variabel kriteria pencapaian (ACT). Hasil penelitian menemukan hubungan
terbalik kecil antara kecerdasan spiritual siswa yang dilaporkan sendiri
(SISRI-24) dan prestasi peserta (ACT) yang tidak signifikan secara statistik.
Variabel demografis usia dan jenis kelamin adalah prediktor pencapaian
sedangkan SISRI-24 tidak.501
30. D’Brot, J. E. (2017) Doctoral Dissertation Pontificia Universidad Catolica
del Peru, “Spiritual intelligence and mindfulness as sources of
transformational leadership.”
Tingkat transfer pelatihan kepemimpinan transformasional dianggap
marjinal; diperkirakan kurang dari 30% pemimpin yang berpartisipasi
dalam pelatihan mengubah perilaku mereka setelah kembali ke tempat
kerja. Jenis penelitian kuantitatif, berbasis survei, cross-sectional ini,
menguji efek kecerdasan spiritual dan kesadaran pada pola perilaku
500 Iskandar, Op. Cit., hlm. 37-50. 501 Smartt, The Relationship of Spiritual Intelligence to Achievement of Secondary
Students, (Doctoral Dissertation: Liberty University, 2014), Retrieved from
(http://digitalcommons.liberty.edu/doctoral/820).
182
kepemimpinan transformasional diantara sampel 542 pemimpin di Peru,
hasil penelitian menunjukkan bahwa mindfulness secara parsial memediasi
efek kecerdasan spiritual pada kepemimpinan transformasional.
Berdasarkan temuan ini, kami mengusulkan bahwa memperkenalkan
pelatihan kecerdasan dan kesadaran spiritual sebagai bagian dari kurikulum
tradisional untuk pelatihan kepemimpinan transformasional akan
meningkatkan transfer pengetahuan kepada para pemimpin.502
31. Galadari, A. (2013) Doctoral Dissertation University of Aberdeen,
“Spiritual ritual: esoteric exegesis of Hajj rituals.”
Agama memiliki pesan spiritual yang tertanam, karena tujuannya adalah
membangun hubungan antara dunia dan akhirat. Penelitian ini merupakan
upaya untuk menjawab pertanyaan mengapa ibadah haji dilakukan dengan
cara tertentu? Metodologi penelitian melalui penggunaan etimologis dari
terminologi secara tekstual dan intertekstual antara Kitab Suci, termasuk
Al-Qur’an dan Alkitab. Penelitian ini mencoba mengeksplorasi sifat
polysemous dari kata-kata dasar dan untuk membangkitkan makna batin
yang dapat dipastikan dari akarnya. Studi ini memperkenalkan metodologi
baru untuk hermeneutika Alkitab, sambil membandingkan metode yang
digunakan oleh para sarjana Alkitab dan Al-Qur’an. Setelah metodologi
ditetapkan, kemudian diterapkan untuk meningkatkan pemahaman makna
batin ritual haji yang menggambarkan perjalanan jiwa yang mati dari
kematian, pengorbanan ego, kebangkitan ke dalam kehidupan, dan
menyebarkan benih dan Air kehidupan ke orang mati lainnya, jiwa yang
mencoba melawan ego mereka dan, membangkitkan mereka ke dalam
hidup.503
32. Fisher, J. (2008) Doctoral Dissertation University of Ballarat, “Reaching
the heart: Assessing & nurturing spiritual well-being via education.”
Beberapa ukuran kuantitatif kesejahteraan spiritual dikembangkan bersama
siswa dan guru sekolah dasar dan menengah serta mahasiswa pendidikan
universitas, yaitu pengukuran kesehatan spiritual dan orientasi hidup,
perasaan baik, kehidupan menjalani, dan survei pengaruh kualitas hidup.
502 D’Brot, J. E., Spiritual intelligence and mindfulness as sources of transformational
leadership, (Doctoral Dissertation: Pontificia Universidad Catolica del Peru, 2017), Retrieved from
(http://tesis.pucp.edu.pe/repositorio/handle/123456789/9729). 503 Galadari, A., Spiritual ritual: esoteric exegesis of Hajj rituals, (Doctoral Dissertation:
University of Aberdeen, 2013), Retrieved from (http://ethos.bl.uk/orderdetail.do?uin=uk.bl.ethos).
183
Disonansi spiritual terungkap dengan membandingkan cita-cita responden
dengan pengalaman hidup dalam empat domain kesejahteraan spiritual.504
33. Kilian, A. P. (2015) Doctoral Dissertation Universitas Stellenbosch
“Spiritual intelligence and the content of faith: a post-foundational,
interdisciplinary and hermeneutical dialogue between Danah Zohar and
Dallas Willard.”
Penelitian ini ingin mengajukan pertanyaan tentang integrasi bertanggung
jawab isi iman dalam konstruksi kecerdasan spiritual. Proses integrasi ini
penting untuk menambah makna dan kesadaran dalam masyarakat yang
seringkali hidup dengan kebutaan makna. Dalam menemukan integrasi isi
iman, diperlukan percakapan antara Teologi dan kecerdasan spiritual.
Danah Zohar adalah pendukung kecerdasan spiritual dan Dallas Willard
adalah pendukung Teologi. Metodologi penelitian adalah dialog post-
foundation dan interdisipliner. Proses penelitian ini merupakan dialog
antara Teologi dan Sains dalam rangka mencari ilmu bersama. Teologi
Praktis adalah tentang praktik iman serta perubahan dan transformasi dalam
praksis iman. Kecerdasan spiritual dapat memberdayakan individu dan
kelompok untuk lebih sadar akan isi iman mereka dan menjalani hidup yang
lebih terintegrasi, sehingga membantu praksis iman dan transformasi.
Penelitian ini mempresentasikan literatur terbaru Danah Zohar dalam
karyanya dan Dallas Willard dalam teologisnya tentang kecerdasan
spiritual yang digunakan dalam menemukan pengetahuan baru dan bersama
terkait isi iman dalam kecerdasan spiritual. Dialog yang difasilitasi sebagai
dialog hermeneutis tersebut memberikan “ruang tengah” melalui peleburan
cakrawala kedua disiplin ilmu. Penelitian ini menghadirkan Spiritual
Intelligence sebagai konstruk untuk menjembatani dikotomi antara
eurobiologi dan spiritualitas serta integrasi dasar keimanan dalam arti citra
Tuhan, citra diri dan antropologi serta pandangan dunia. Sehingga
menghasilkan kecerdasan spiritual sebagai jiwa dan kebijaksanaan. Hal ini
dapat membuat orang memiliki hubungan yang lebih baik dan lebih sadar
dengan Tuhan, diri mereka sendiri, dan dunia.505
504 Fisher, J., Reaching the heart: Assessing & nurturing spiritual well-being via education,
(Doctoral Dissertation: University of Ballarat, 2008), Retrieved from
(http://researchonline.ballarat.edu.au:8080/vital/acces/handleresolver/1959.17/46478). 505 Kilian, A. P., Spiritual intelligence and the content of faith, Op. Cit.
184
34. Zalyana AU (2020), Disertasi, “Pemikiran Muhammad Utsman Najati
Tentang Motivasi Spiritual dan Implikasinya Terhadap Pembentukan
Karakter Islami Di Sekolah.”506
Jenis penelitian adalah penelitian pustaka (Library Research), yaitu
penelitian yang dilaksanakan dengan menggunakan literatur atau
kepustakaan, baik berupa buku, catatan, jurnal, disertasi dan hasil laporan
peneliti sebelumnya. Teknik analisa data menggunakan content analisys.
Hasil penelitian; motivasi spiritual menurut Muhammad Usman Najati
yaitu dorongan yang terkait dengan dimensi spiritual manusia. Motivasi ini
terdiri dari motivasi keimanan, motivasi ketaqwaan dan motivasi ibadah.
Ketiga ini merupakan unsur penting dalam memantapkan spiritual
seseorang. Motivasi spiritual berimplikasi terhadap pembentukan karakter
Islami seperti: sabar, tawakkal, disiplin, toleransi, ikhlas, cinta terhadap
sesama, jujur, dan lain-lain, yang akhirnya akan membentuk karakter
mu’min, muttaqin, dan muhsin.507
35. Ferreira, C. (2011) Masters Thesis University of South Africa, “Educating
adolescents towards spiritual intelligence.”
Evaluasi kritis pernyataan kurikulum nasional (NCS) dilakukan untuk
mengungkap strategi untuk menanamkan nilai-nilai di seluruh kurikulum
nilai-nilai yang dapat memfasilitasi pengembangan kecerdasan spiritual
(SQ) pada remaja. Sebuah studi literatur dilakukan untuk menentukan
apakah SQ dapat dimanfaatkan untuk menumbuhkan nilai-nilai dalam
konteks pendidikan. Selain itu, perkembangan moral dan spiritual pada
masa remaja dieksplorasi dan kasus dibuat untuk pendidikan nilai.
Investigasi empiris dilakukan dengan menggunakan desain penelitian
kualitatif dan wawancara semi-terstruktur. Sampel purposif digunakan yang
terdiri dari 14 spesialis pendidikan, kepala sekolah dan guru orientasi hidup
dari enam sekolah menengah di provinsi Gauteng dan Mpumalanga.
Penemuan yang paling penting adalah fakta bahwa pendidikan nilai di NCS
bermasalah.508
506 Novi Nur’aini, “Konsep Sabar Menurut al-Ghazali Relevansinya dengan Kecerdasan
Spiritual (Tinjauan Paedagogis)”, (Semarang: Journal Tarbiyah, 2005). 507 Zalyana AU “Pemikiran Muhammad Utsman Najati Tentang Motivasi Spiritual, Op.