II.TINJAUAN PUSTAKA A. Minyak Daun Cengkeh Minyak daun cengkeh diperoleh dari penyulingan daun cengkeh (Syzigium aromaticum, Eugenia caryophyllata dan Syzigium caryophyllum). Metode yang umum digunakan yaitu penyulingan dengan uap air. Minyak daun cengkeh berwarna kuning muda. Minyak daun cengkeh digunakan sebagai bahan baku industri pangan, parfum, farmasi, dan bahan pembuatan vanilin sintetik (Ketaren, 1985). Minyak daun cengkeh pada umumnya mengandung jumlah eugenol lebih sedikit bila dibandingkan dengan minyak bunga cengkeh. Mutu minyak daun cengkeh terutama ditentukan oleh kandungan eugenol dan warna minyak (Ketaren, 1985). Tabel 1 memperlihatkan standar mutu minyak daun cengkeh berdasarkan Standar Nasional Indonesia. Tabel 1 Standar mutu minyak daun cengkeh menurut SNI 06-2387-1998 Karakteristik Nilai Bobot Jenis pada 15 o C 1,03 - 1,06 Indeks Bias pada 20 o C 1,52 - 1,54 Kadar eugenol minimal (%) 78 Minyak pelikan Negatif Minyak lemak Negatif Kelarutan dalam alkohol 70% Larut dalam dua volume Sumber : BSN, 1998 Minyak daun cengkeh mengandung dua kelompok komponen penyusun. Kelompok pertama adalah senyawa fenolat dengan eugenol (80- 85%) sebagai komponen terbesar. Kelompok kedua adalah senyawa non fenolat yang meliputi beta karyofilen, alfa kubeben, alfa kopaen, humulen, delta kadinen, dan kadina 1,3,5 trien dengan beta karyofilen sebagai komponen terbesar (Sastrohamidjojo, 2002). Minyak daun cengkeh umumnya dilakukan pengolahan lanjutan menjadi eugenol. Proses lanjutan ini dapat menggunakan destilasi fraksinasi atau ekstraksi secara kimiawi.
21
Embed
disertasi Edy Mulyono (F361030111) · Alan (1975) melaporkan ruthenium dapat digunakan sebagai katalis pada proses isomerisasi eugenol menjadi isoeugenol. Namun ... Unsur utama dari
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
II.TINJAUAN PUSTAKA
A. Minyak Daun Cengkeh
Minyak daun cengkeh diperoleh dari penyulingan daun cengkeh
(Syzigium aromaticum, Eugenia caryophyllata dan Syzigium caryophyllum).
Metode yang umum digunakan yaitu penyulingan dengan uap air. Minyak
daun cengkeh berwarna kuning muda. Minyak daun cengkeh digunakan
sebagai bahan baku industri pangan, parfum, farmasi, dan bahan pembuatan
vanilin sintetik (Ketaren, 1985).
Minyak daun cengkeh pada umumnya mengandung jumlah eugenol
lebih sedikit bila dibandingkan dengan minyak bunga cengkeh. Mutu minyak
daun cengkeh terutama ditentukan oleh kandungan eugenol dan warna minyak
(Ketaren, 1985). Tabel 1 memperlihatkan standar mutu minyak daun cengkeh
berdasarkan Standar Nasional Indonesia.
Tabel 1 Standar mutu minyak daun cengkeh menurut SNI 06-2387-1998
Karakteristik Nilai Bobot Jenis pada 15oC 1,03 - 1,06 Indeks Bias pada 20oC 1,52 - 1,54 Kadar eugenol minimal (%) 78 Minyak pelikan Negatif Minyak lemak Negatif Kelarutan dalam alkohol 70% Larut dalam dua volume
Sumber : BSN, 1998
Minyak daun cengkeh mengandung dua kelompok komponen
penyusun. Kelompok pertama adalah senyawa fenolat dengan eugenol (80-
85%) sebagai komponen terbesar. Kelompok kedua adalah senyawa non
fenolat yang meliputi beta karyofilen, alfa kubeben, alfa kopaen, humulen,
delta kadinen, dan kadina 1,3,5 trien dengan beta karyofilen sebagai
komponen terbesar (Sastrohamidjojo, 2002).
Minyak daun cengkeh umumnya dilakukan pengolahan lanjutan
menjadi eugenol. Proses lanjutan ini dapat menggunakan destilasi fraksinasi
atau ekstraksi secara kimiawi.
B. Eugenol
Eugenol dan non eugenol dari minyak daun cengkeh dapat dipisahkan
dengan cara penambahan larutan NaOH atau KOH dan membentuk larutan
natrium atau kalium eugenolat yang larut dalam air. Sedangkan komponen
lain dalam minyak daun cengkeh tidak larut dalam air sehingga akan tebentuk
dua lapisan cairan yang mudah dipisah. Cairan Na/K-eugenolat setelah
terpisah dapat dinetralkan dengan larutan asam sulfat.
Eugenol dapat diisolasi dengan penambahan NaOH. Jumlah NaOH
yang direaksikan harus proporsional dengan kandungan eugenol dalam
minyak daun cengkeh. Eugenol akan bereaksi dengan NaOH membentuk Na-
eugenolat yang larut dalam air. Setelah reaksi berlangsung akan diperoleh dua
lapisan. Lapisan atas merupakan senyawa atau komponen dalam minyak
cengkeh selain eugenol. Eugenol dapat diperoleh dengan menetralkan larutan
eugenolat dengan menambahkan HCl hingga pH 3. Pada akhir reaksi terjadi
dua lapisan, dimana lapisan atas mengandung eugenol (Sastrohamidjojo,
2002). Spesifikasi eugenol dalam perdagangan disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Spesifikasi eugenol dalam perdagangan
Karakteristik Nilai Bobot jenis pada 25o 1,064 – 1,070 Indeks bias pada 20oC 1,540 – 1,542 Kemurnian Eugenol, min. 99% Penampakan dan warna Cairan bening sampai kuning muda Kelarutan dalam etanol 70% 1 : 2 Aroma aroma cengkeh
Sumber : Anonim, 2006b
Wirawan (1982) melaporkan isolasi eugenol menggunakan larutan
NaOH 4%, 5%, dan 6% dengan nisbah minyak daun cengkeh dengan larutan
NaOH 1 : 5 menunjukkan bahwa konsentrasi NaOH yang dipergunakan dalam
isolasi eugenol dari minyak daun cengkeh berpengaruh nyata terhadap
kemurnian eugenol serta berpengaruh sangat nyata terhadap sifat fisiko-kimia
dan rendemen eugenol yang diperoleh. Pada penelitian di atas juga dilakukan
isolasi eugenol menggunakan larutan NaOH 7% dengan nisbah minyak daun
cengkeh dan larutan NaOH 1 : 5, dari hasil percobaan ternyata terjadi
penyabunan setelah minyak daun cengkeh direaksikan dengan larutan NaOH
7%. Rendemen eugenol yang tertinggi diperoleh dari perlakuan dengan larutan
NaOH dengan konsentrasi 4% pada suhu 45oC. Selanjutnya untuk
memisahkan komponen non eugenol atau komponen bukan asam, komponen
diekstrak dengan eter, sedangkan natrium eugenolat larut dalam air dan
pereaksinya. Eugenol ini kemudian dimurnikan dengan penguapan atau
penyulingan. Menurut Sumangat et.al. (2003)., isolasi eugenol menggunakan
NaOH 6% dan nisbah minyak daun cengkeh terhadap NaOH 1:7 sudah dapat
meningkatkan rendemen dan kemurnian eugenol yang diperoleh. Wahyudin,
(2007)., melaporkan isolasi eugenol menggunakan NaOH 10% dapat
menurunkan larutan NaOH yang digunakan tetapi masih dapat menghasilkan
produk isolasi dengan kemurnian dan rendemen yang cukup tinggi.
Dari berbagai kegunaan eugenol yang telah diketahui (pengobatan
gigi, parfum, flavor) salah satunya adalah sebagai bahan dasar produksi
isoeugenol untuk pembuatan vanilin. Di Indonesia penggunaan eugenol
sebagai bahan baku vanilin masih belum dikembangkan, walaupun potensi
sumber bahan baku eugenol dari minyak daun cengkeh cukup besar.
Eugenol termasuk senyawa yang mengandung beberapa gugus
fungsional yaitu alil (alkena), fenol dan eter dan merupakan cairan tidak
berwarna atau kekuning-kuningan, dan berubah menjadi coklat bila kontak
dengan udara. Sifat fisiko-kimia eugenol antara lain disajikan dalam Tabel 3.
Tabel 3 Sifat fisiko-kimia eugenol
- Rumus molekul C10H12O2 - Rumus bangun
- Titik leleh (oC) -9 - Titik didih (oC) 254 - Bobot jenis 1,066 - Kelarutan Sedikit larut air ( <1 mg/ml ), larut dalam eter,
alkohol, kloroform, asam asetat dan larutan basa - Indeks bias 1,5410
Sumber : http://www.chemicalland21.com/specialtychem/perchem/EUGENOL.htm
C. Isoeugenol
Isoeugenol dapat dijumpai di alam antara lain dalam minyak cengkeh,
ylang-ylang, dan cempaka (West, 1949). Komponen tersebut umumnya sangat
sedikit sehingga isolasi isoeugenol dari bahan alam tersebut tidak efisien.
Isoeugenol banyak digunakan dalam industri parfum, penambah aroma, dan
industri farmasi sebagai antiseptik dan analgesik, serta banyak digunakan
sebagai bahan baku vanilin.
Isoeugenol atau dengan nama lain orto metoksi fenol atau 2-metoksi-4-
(1-propenil) fenol merupakan isomer struktur dari eugenol dengan rumus
molekul C10H12O2. Isoeugenol komersial merupakan campuran dari isomer
cis- dan trans- yang memiliki struktur molekul seperti disajikan pada Gambar
1. Secara fisik, isoeugenol merupakan cairan kental dengan aroma cengkeh
namun lebih lunak dan berwarna kekuning-kuningan. Sifat fisiko-kimia
isoeugenol disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Sifat fisiko-kimia isoeugenol
Karakteristik Nilai
Rumus molekul C10H12O2 Warna kuning jernih Bobot jenis (g/ml) 1,077 Indeks bias 1.5760 Titik didih (oC) 266 – 268 Titik leleh (oC) - 10 Kelarutan dalam air agak larut Bobot molekul (g/mol) 164,20
Sumber : http://www.coleparmer.com/catalog/Msds/19038.htm 2005)
Gambar 1 Struktur molekul isoeugenol (Kadarohman dkk. 1999)
OCH3 OCH3
OH
H
H
OH
H H
Trans-
Cis-
Sebagian besar isoeugenol diperoleh melalui isomerisasi eugenol,
karena isolasi isoeugenol dari bahan alam tidak efisien. Beberapa faktor yang
mempengaruhi reaksi isomerisasi eugenol menjadi isoeugenol yaitu jenis
katalis, pelarut, suhu, nisbah molar (konsentrasi katalis), dan adanya air
(Cerveny et al., 1987).
Isomerisasi eugenol menjadi isoeugenol merupakan suatu reaksi
katalitik, antara lain NaOH/KOH (Moestafa et al.,1990; Baby, 1997),
rhutenium (Alan, 1975; Sharma et al., 2006), dan rhodium (III) klorida
(Givaudan, 1977; andrieux et al., 1977, Cerveny et al.,1987). Penggunaan
katalis tersebut menghasilkan isoeugenol dengan rendemen tinggi, namun
terdapat perbedaan dalam kemudahan proses dan waktu reaksi yang
diperlukan (Cerveny et al., 1987).
Baby (1997) menyatakan isomerisasi eugenol menjadi isoeugenol
dengan katalis KOH pada konsentrasi 4 M, pelarut alkohol (etanol dan
gliserol), dan suhu pemanasan 130-150oC dapat mengkonversi eugenol
menjadi isoeugenol sebanyak 95-98%. Penggunaan pelarut gliserol lebih
menguntungkan dibandingkan dengan etanol karena waktu reaksi yang
diperlukan lebih singkat (0,75 jam) dibandingkan dengan etanol (5 jam).
Namun demikian, penggunaan katalis KOH tersebut memiliki kelemahan
yaitu produk yang dihasilkan sangat kental, dan memadat pada keadaan
dingin, serta memerlukan jumlah pelarut yang cukup banyak (Cerveny et al.,
1987). Baby (1997) juga membandingkan pemanasan konvensional (refluks)
dan gelombang mikro pada isomerisasi eugenol menjadi isoeugenol dengan
katalis alkalin (KOH). Pemanasan menggunakan gelombong mikro ternyata
dapat mempercepat waktu reaksi 13,2 kali lebih cepat dibandingkan dengan
pemanasan konvensional (refluks). Hasil penelitian Kurniawan (2005),
menunjukkan bahwa konversi eugenol menjadi isoeugenol pada isomerisasi
dengan pemanasan gelombang mikro pada tingkat warm mencapai 92,44%,
dengan komposisi 0,02% trans- dan 94,97% cis-isoeugenol.
Alan (1975) melaporkan ruthenium dapat digunakan sebagai katalis
pada proses isomerisasi eugenol menjadi isoeugenol. Namun demikian,
penggunaan katalis ini kurang efisien karena memerlukan suhu dan
konsentrasi katalis yang tinggi.
Penggunaan rhodium (III) klorida sebagai katalis isomerisasi, memiliki
keunggulan dibandingkan dengan katalis alkalin dan ruthenium. Salah satu
keunggulan katalis rhodium, yaitu penggunaan katalis dengan konsentrasi
yang sangat rendah (Alan, 1975). Menurut Alan, (1975), penggunaan katalis
rhodium dengan konsentrasi 87 ppm pada suhu 25-160oC dapat menghasilkan
isoeugenol dengan rendemen 90-98%.
Soesanto (2006), melakukan isomerisasi eugenol menggunakan katalis
rhodium (III) klorida hidrat dengan pemanasan menggunakan gelombang
mikro. Pada penelitiannya diamati mengenai pengaruh konsentrasi katalis
RhCl3.3H2O (0,08 %, 0,16 %, dan 0,24 %) dan lamanya waktu pemanasan
dengan gelombang mikro (10 menit, 15 menit, dan 20 menit) terhadap
karakteristik produk isoeugenol yang dihasilkan. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa kadar isoeugenol meningkat secara nyata dengan
semakin lamanya waktu pemanasan sampai dengan 15 menit, namun
perpanjangan waktu pemanasan dari 15 menit sampai 20 menit tidak
meningkatkan kadar isoeugenol secara nyata dan bahkan terjadi sedikit
penurunan. Penggunaan katalis RhCl3.3H2O menghasilkan nisbah cis dan
trans yang lebih baik dibandingkan dengan katalis KOH.
Menurut Alan (1975), pelarut yang digunakan dalam isomerisasi
eugenol menjadi isoeugenol dengan katalis rhodium (III) klorida sebaiknya
pelarut alkohol yang memiliki titik didih rendah dengan atom karbon 1-4.
Hasil penelitian Cerveny et al., (1987) menunjukkan bahwa pelarut etanol
lebih efektif dibandingkan dengan isopropranol karena waktu reaksinya yang
lebih cepat. Keberadaan air dalam isomerisasi eugenol menjadi isoeugenol
dengan katalis rhodium memberikan pengaruh negatif. Hasil penelitian
Kadarohman (2009), menunjukkan bahwa adanya air dalam reaksi isomerisasi
ini menyebabkan konversi menjadi rendah.
D. Vanilin
Vanilin atau 4-hidroksil-3-metoksilbenzaldehida dengan rumus
molekul C8H8O3, mempunyai gugus fungsional aldehida, metoksil, dan
hidroksil (Gambar 2). Secara fisik, vanilin merupakan kristal putih atau sedikit
berwarna kuning yang mempunyai bau, aroma, dan rasa yang khas. Vanili
banyak dipakai sebagai pengharum makanan, minuman, parfum dan obat-
obatan. Sifat fisiko-kimia vanilin disajikan pada Tabel 5.
Gambar 2 Struktur molekul vanilin (Kadarohman dkk. 1999)
Tabel 5 Sifat fisiko-kimia vanilin
Karakteristik Nilai
- Rumus molekul C8H8O3 - Warna putih atau sedikit kuning - Bobot jenis (g/cm3) 1,056 (padat) - Titik didih (oC) 285 - Titik leleh (oC) 80-81 - Kelarutan dalam air (25oC) 1 g/100 ml - Bobot molekul (g/mol) 152,14
Sumber : http://www.chemicalland21.com, 2005.
Secara alami, vanili terdapat sebagai komponen utama buah vanili. Tanaman
penghasil buah vanili yaitu Vanilla planifolia, V. pompana, dan V. tahitensis,
namun tanaman yang banyak dibudidayakan yaitu V. planifolia.
Vanilin dapat diisolasi dari buah vanili, namun kadar vanilin terdapat
dalam buah vanili sangat kecil yaitu berkisar 1,5-3%. Unsur utama dari polong
vanili adalah vanilin, asam vanilat, p-hidroksibensaldehid dan p-asam
hidroksibensoat (Smith, 1964; Archer, 1989; Ranadive, 1992 di dalam Peter,
2004)
Disebabkan oleh mahalnya ekstrak vanilin alami dan ketersediaannya
yang terbatas, maka telah lama dilakukan pembuatan vanilin sintesis. Proses
produksi vanilin alami dari tanaman vanila berlangsung lama dan melelahkan.
OCH3
OH
O
Proses penyerbukannya memerlukan bantuan tangan manusia selanjutnya
pemeraman selama 1- 6 bulan daari saat polong vanila hijau dipanen. Produksi
1 kg vanili membutuhkan sekitar 500 kg polong vanili, yang setara dengan
penyerbukan 40.000 bunga. Saat ini, hanya 0,25% (40 ton dari 16.000) dari
vanilin yang berasal dari polong vanili yang dapat dijual setiap tahun
selebihnya berasal dari lignin, terutama dari guaiacol (Hansen, et. all., 2009).
Sementara sebagian besar sisanya disintesis secara kimia dari lignin atau
hidrokarbon fosil, khususnya yang mengandung guaiacol.
Beberapa cara sintesis vanilin yang telah diketahui antara lain :
a. Sintesis vanilin dari coniferin, yaitu suatu glukosida yang diperoleh
dalam getah dari kambium coniferin. Sintesis dilakukan melalui
oksidasi dengan asam kromat menghasilkan glukovanilin yang akan
terurai oleh asam menjadi vanilin dan glukosa.
b. Sintesis vanilin dari guaiakol, yaitu suatu senyawa yang diperoleh dari
tar kayu guaiakol. Sintesis vanilin ini melibatkan formilasi
(formylation) guaiakol oleh formaldehida, yang dikenal dengan reaksi
Reimer-Tiemann. Proses ini merupakan salah satu jalur sintesis vanilin
yang cukup murah, dan banyak digunakan sebelum berkembangnya
penggunaan lignin dari limbah pabrik kertas, dan bila harga minyak
cengkeh mahal (Kerkar, 2005).
c. Sintesis vanilin dari lignin, yaitu melalui proses oksidasi lignin (asam
lignosulfonat) dari limbah cair pabrik kertas pada kondisi alkalin
(Kerkar, 2005). Vanilin yang diperoleh dari bahan ini berkisar 5-10 %.
Kelayakan teknologi ini tergantung pada hasil yang diperoleh. Selain
dengan cara kimia, sintesis vanilin dari lignin dapat dilakukan melalui
proses biologis menggunakan beberapa jenis bakteri seperti Bacillus sp.
dan Pseudomonas sp. (Furukawa et al., 2003).
d. Sintesis vanilin dari eugenol, yaitu melalui proses isomerisasi eugenol
menjadi isoeugenol yang dilanjutkan dengan oksidasi untuk membentuk
vanilin. Keuntungan penggunaan eugenol sebagai bahan vanilin, yaitu
bahan baku tersedia secara kontinyu, dan jalur reaksinya yang
sederhana.
BB-Pascapanen (2006) dan Cisadesi (2007) melaporkan bahwa vanilin
dapat disintesis melalui eugenol dari minyak daun cengkeh seperti disajikan
pada Gambar3.
Gambar 3. Sintesis vanilin dari eugenol
Reaksi oksidasi isoeugenol menjadi vanilin disajikan pada Gambar 4.
Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan proses oksidasi isoeugenol
menjadi vanilin, yaitu jenis oksidator, katalis, suhu dan lama reaksi, dan
nisbah mol oksidator dengan isoeugenol.
Produk mengkristal pada suhu kamar
Eugenol
Perlakuan konsentrasi katalis dan lama reaksi
+ Katalis RhCl3. 3H2O dalam etanol
Gelombang mikro
Perlakuan daya dan lama reaksi
Perlakuan nisbah mol dan lama reaksi
Refluks 130oC Nitrobenzena/ DMSO/KOH
Pendinginan
HCl
Pendinginan
Isoeugenol
Ekstraksi dengan dietil eter
Penguapan pelarut
Vanilin
Isoeugenol Vanilin
Gambar 4 Oksidasi isoeugenol menjadi vanilin
Jenis oksidator yang telah diketahui dapat digunakan dalam oksidasi
isoeugenol menjadi vanilin diantaranya nitrobenzen (Sastrohamidjojo, 2002),
KMnO4 dengan katalis 18-crown eter-6 (Setiyatno, 1991), dan H2O2 dengan
katalis methyltrioxorhenium (MTO) (Herrmann et al., 2000).
Menurut Sastrohamidjojo (2002), oksidasi menggunakan oksidator
nitrobenzen pada suhu 130oC selama 3 jam dapat menghasilkan vanilin
sebanyak 53,8% pada pemanasan dengan cara konvensional. Pada pemanasan
dengan gelombang mikro vanilin yang dihasilkan sebanyak 86,10% (Suwarso,
2005). Rendemen vanilin yang dihasilkan pada oksidasi dengan KMnO4 dan
katalis 18-crown eter-6 lebih rendah dibandingkan dengan nitrobenzen, yaitu
sebesar 22.9%. Menurut Cisadesi (2007), pada sintesis vanilin dengan nisbah
penggunaan oksidator nitrobensen maupun KOH terhadap isoeugenol pada
jumlah yang sangat sedikit, tidak dapat menghasilkan rendemen maupun
kemurnian produk vanilin yang tinggi.
Herrmann et al., (2000), telah melakukan oksidasi isoeugenol menjadi
vanilin dengan oksidator H2O2 dan katalis methyltrioxorhenium (MTO).
Rendemen vanilin yang dihasilkan cukup tinggi (64-75%). Metode ini
menggunakan suhu reaksi yang lebih rendah (60oC) dan waktu reaksi yang
lebih singkat (2 jam), namun masalah utamanya yaitu ketersediaan katalis
MTO dan harganya yang tinggi.
E. Katalis
Katalis adalah suatu senyawa kimia yang mampu menyebabkan suatu
reaksi lebih cepat mencapai kesetimbangannya tanpa terlibat langsung secara
OCH3
OH
O
Oksidator
Panas
OCH3
OH
permanen dalam reaksi (Keenan, 1992). Fungsi katalis adalah untuk
menurunkan energi suatu reaksi sehingga laju reaksi dapat meningkat.
Secara garis besar, katalis dikelompokkan menjadi tiga jenis: katalis
homogen, katalis heterogen, dan katalis enzim. Katalis homogen adalah katalis
yang mempunyai fasa yang sama dengan substrat atau interaksi antara substrat
dan katalis berada pada fasa yang sama. Katalis heterogen adalah katalis yang
yang mempunyai fasa yang berbeda dengan substrat atau interaksi antara
substrat dan katalis berada pada fasa yang berbeda. Sedangkan katalis enzim
merupakan molekul protein dengan ukuran koloid, memiliki fasa yang berada
di antara katalis homogen dan heterogen (chem-is-try.org, 2006).
Katalis RhCl3.3(H2O) merupakan katalis dari logam transisi yang
sering digunakan dalam proses reaksi sintesis senyawa kimia. RhCl3.3(H2O)
mempunyai berat molekul 293.28, berwarna merah tua dengan bentuk kristal,
bersifat higroskopis. RhCl3.3(H2O) dihasilkan dari reaksi HCl terhadap
Rhodium (III) Oxida (Swan et al., 1974). Reaksi isomerisasi yang dikatalisis
oleh logam terdiri atas dua mekanisme (Chiu, 2002), yaitu: 1) mekanisme
eliminasi-adisi hidrida logam, dimana mekanisme ini memerlukan hidrogen
eksternal (Gambar 5) dan 2) mekanisme π-allyl kompleks atau pergeseran
atom hydrogen 1,3 (Gambar 6). Menurut Sharma et al. (2006), kunci dari
mekanisme π-allyl kompleks yaitu pengaktifan –C-H pada posisi β yang
merupakan tahap yang melibatkan penyusunan tiga atom karbon pada ikatan π
terhadap logam.
Gambar 5. Mekanisme eliminasi-adisi hidrida logam
Gambar 6 Mekanisme π-allyl kompleks
α γ β
F. Perancangan Proses Produksi Vanillin
Perancangan merupakan proses kreatif dan berdisiplin untuk memecahkan
masalah yang mencakup pendefinisian dan penyelesaian masalah dengan
mengunakan prinsip metode ilmiah dan seni, imformasi teknis dan imajinasi
menentukan struktur, mesin, proses atau sistem baru yang memenuhi fungsi yang
diinginkan dengan nilai ekonomis dan efisiensi tinggi (Johnston et al. 2000).
Proses perancangan pada intinya merupakan kegiatan yang berurutan secara
sistematis dan terpadu dalam bentuk sintesis yaitu bagaimana suatu masalah yang
sulit dan komplek diurai menjadi beberapa masalah yang lebih mudah kemudian
dilanjutkan dengan menggabungkan dari masing-masing pemecahannya menjadi
pemecahan masalah aslinya (Johnston et al. 2000). Skema proses perancangan
menurut Roy dan Cross dalam Johnston et al. (2000) disajikan pada Gambar 7
berikut.
Gambar 7 Model proses perancangan (Roy and Cross 1983 diacu dalam Johnston et al. 2000)
Invensi
Sketsa model/pola
Pengembangan percobaan
Spesifikasi dan disain prototip
Pengembangan manufacturing
Rancangan produk dan peralatan
Produksi
Pematangan
Penurunan /penggantian
Pengembangan bertahap
Inovasi tambahan dan pengembangan
rancangan
Engineering design
Pemasaran
Inovasi Science
Sumber ide: • Kreativitas
individu/tim • Penelitian pasar • Masukan konsumen • Produk pesaing • Komponen/material
baru • Penelitian dasar • Masalah yang harus
diselesaikan • Tantangan • Kemampuan
teknologi, pengetahuan, material termasuk ketrampilan
Engineering science
Dua teknik dasar dalam sintesis proses adalah teknik heuristik dan
algoritma. Teknik algoritma adalah analisis sederhana untuk menganalisis
masalah komplek dengan cara pengamatan susunan terstruktur, sedangkan teknik
heuristik adalah teknik pemilihan proses berdasarkan logika dan informasi dasar
(Rudd dan Watson 1973). Sintesis proses secara heuristic merupakan pengambilan
keputusan berdasarkan teori dan penyelesaian yang dapat dipercaya: rule of
thumb, spekulasi, dan subyektif (Seider at al. 1999). Teknik heuristik dalam
sintesis proses adalah proses penjabaran sejumlah langkah praktis untuk mencapai
tujuan kegiatan.
Beberapa teknik heuristic dalam sintesis proses dikembangkan oleh Rudd
dan Watson (1973), Douglas (1988) dan Sieder et al. 1999). Sintesis proses
menurut Rudd dan Watson (1973) meliputi: (1) pemilihan jalur reaksi proses, (2)
alokasi bahan atau pereaksi, (3) pertimbangan teknik pemisahan atau proses hilir,
(4) pemilihan operasi pemisahan dan, (5) integrasi atau pemaduan rancangan satu
sampai empat. Sedangkan menurut Douglas (1988) sintesis proses meliputi: (1)
teknik reaksi /proses, (2) analisis input-output, (3) pengalokasian output dan, (4)
operasi pemisahan dan jaringan penukar panas. Sintesis proses menurut Seider at
IRR tingkat investasi adalah tingkat suku bunga ( disccount rate) yang
menunjukkan nilai sekarang netto (NPV) sama dengan jumlah keseluruhan
investasi proyek. Nilai IRR yang Iebih besar dibandingkan dengan tingkat suku
bunga yang berlaku menunjukkan proyek layak untuk dilaksanakan (Horne,1977).
Secara matematis IRR dirumuskan sebagai berikut :
n ∑ (Bt - Ct)/(1+IRR)t = 0 ……………………………… (2) t= 1
dengan: n = Umur ekonomi
Bt = Penerimaan kotor tahun ke-t
Ct = Biaya kotor tahun ke-t
Net B/C merupakan perbandingan antara nilai total sekarang dan
pendapatan bersih pada periode saat pendapatan bersih bernilai positif dengan
nilai total sekarang pendapatan bersih pada periode saat pendapatan bersih
negatif. Jika nilai Net B/C Iebih besar dari satu maka proyek atau industri
dinyatakan layak. Rumus perhitungan B/C adalah sebagai berikut (Blank dan
Tarquin, 2002) :
n Net B/C = ∑ {B t/(1+i)t} / {C t/(t+i)t} ………………………..(3) t=o
dengan: n = Umur ekonomi
Bt = Penerimaan kotor tahun ke-t
Ct = Biaya kotor tahun ke-t
i = Tingkat suku bunga
PBP adalah waktu yang diperlukan untuk mengembalikan sejumlah dana
yang telah diinvestasikan (Thuesen dan Fabricky, 1993). Satuan dalam
perhitungan PBP yang digunakan adalah dalam tahun atau bulan. Semakin
pendek PBP, semakin kecil resiko yang dihadapi investor. Rumus perhitungan
PBP (Pay Back Period) adalah sebagai berikut :
PBP = ………….………….. (4)
initial investment annual cash flow
Perhitungan BEP merupakan cara yang paling sering digunakan untuk
mengetahui tingkat penjualan dan produksi dalam keadaan seimbang (tidak
untung maupun rugi). Variabel yang sangat menentukan adalah biaya dan
penerimaan total. Kondisi usaha dikatakan baik jika total penjualan tinggi
sehingga nilai titik impas atau BEP rendah. BEP dirumuskan sebagai berikut :
BEP = ………….. (5)
1. Analisis Sensitivitas
Analisa kepekaan bertujuan untuk rnengetahui pengaruh berbagai
faktor eksternal dan internal terhadap kemampuan proyek mencapai jumlah
hasil penjualan dan keuntungan. Faktor eksternal misalnya perkembangan
harga produk sejenis di pasar. Contoh faktor internal adalah biaya pokok
produk yang akan dihasilkan (Sutojo, 2000). Dengan analisisa di atas akan
diketahui sejauh mana proyek akan tetap layak jika terjadi perubahan-
perubahan pada faktor-faktor tersebut. Dalam analisa sensitivitas setiap
kemungkinan harus dicoba, yang berarti bahwa, tiap kali harus diadakan
analisa kembali. Ini perlu sekali karena analisa proyek didasarkan pada
proyeksi-proyeksi yang banyak mengandung ketidakpastian tentang apa yang
akan terjadi di waktu yang akan datang (Kadariah et aI., 1976). Pada bidang
pertanian, proyek sensitif berubah-ubah akibat empat masalah utama. Keempat
masalah tersebut adalah adanya perubahan harga, keterlambatan pelaksanaan,
kenaikan biaya dan adanya kesalahan dalam perkiraan hasil (Gittinger, 1986).
2. Harga
Pada setiap proyek pertanian, harus diteliti apa yang akan terjadi bila
asumsi mengenai harga juaI produk proyek pertanian tersebut ternyata keliru.
Untuk maksud itu, dibuat asumsi alternatif lain mengenai harga jual pada
masa yang akan datang dan dikaji pengaruhnya terhadap manfaat sekarang
neto yang akan diterima oleh proyek. Pengaruh perubahan harga jual
dipertimbangakan terhadap tingkat pengembalian secara nilai finansial atau
ekonomi, atau terhadap nisbah perbandingan manfaat dan investasi neto (net
benefit-investment ratio, yang seringkali disingkat menjadi N/K nisbah).
biaya tetap per tahun {1-(biaya variabel / nilai penjualan)}
Analisis sensitivitas terhadap perubahan harga output yang dihasilkan
oleh proyek tersebut perlu, terutama bagi proyek-proyek dengan umur
ekonomis yang panjang dan dalam ukuran besar. Hal tersebut disebabkan
kemungkinan besar dengan adanya proyek, penawaran barang di pasar akan
bertambah, dan harga relatif (dibanding dengan tingkat harga umum) akan
menjadi lebih rendah (Kadariyah et al., 1976).
H. Analisis Nilai Tambah
Nilai tambah merupakan salah satu kriteria dalam perancangan atau
pengembangan suatu produk. Menurut Gittinger (1985), nilai tambah (added
value) adalah jumlah nilai ekonomi yang ditimbulkan oleh kegiatan yang
diselenggarakan di dalam masing-masing satuan produksi dalam
perekonomian, sedangkan menurut Gumbira-Sa’id dan lntan (2000), nilai
tambah adalah nilai yang tercipta dari kegiatan mengubah input pertanian
menjadi produk pertanian atau yang tercipta dari kegiatan mengolah hasil
pertanian menjadi produk akhir.
Keunggulan kompetitif produk agroindustri dapat diciptakan dengan
menerapkan konsep peningkatan nilai tambah pada produk yang dihasilkan.
Peluang peningkatan nilai tambah sumberdaya alam dengan melakukan
diversifikasi produk dari alam sangat besar. Semakin rumit teknologi yang
digunakan untuk melakukan diversifikasi produk dan bahan baku hasil
panenan, maka semakin tinggi pula nilai tambah produk diversifikasi tersebut
serta mempunyai harga yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga
komoditi awalnya (Gumbira-Sa’id, 2001). Penghitungan nilai tambah salah
satu diantaranya dapat dilakukan dengan menggunakan metode Hayami dan
Kawagoe (1993).
Pengukuran nilai tambah dengan menggunakan metode Hayami dan
Kawagoe (1993) dilakukan dengan menghitung nilai tambah produk yang
diakibatkan oleh pengolahan dan tidak memasukkan penggunaan tenaga kerja
dan faktor produksi yang lain. Jika faktor tenaga kerja dimasukkan maka nilai
yang didapatkan adalah keuntungan perusahaan dan bukan nilai tambah dari
suatu proses. Perhitungan nilai tambah dalam penelitian ini menggunakan
metode Hayami dan Kawagoe (Tabel 6), karena dengan nilai tambah yang
diperoleh lebih mewakili besarnya nilai tambah yang diterima dari kegiatan
pengolahan.
Tabel 6 Model perhitungan nilai tambah dari Hayami dan Kawagoe (1993)
No Variabel Perhitungan I. Output, input dan harga 1 Output (kg/th) a 2 Bahan baku (kg/th) b 3 Tenaga kerja (HOK/th) c 4 Faktor konversi (1:2) d = a/b 5 Koefisien tenaga kerja (HOK/kg) e = c/b 6 Harga output (Rp/kg) f 7 Upah rata-rata tenaga kerja (Rp/HOK) g II. Pendapatan dan Keuntungan 8 Harga bahan baku (Rp/kg) h 9 Sumbangan input lain (Rp/kg) i 10 Nilai output (Rp/kg) j = dxf 11 a. NiIai tambah (Rp/kg) k = j-i-h b. Nisbah nilai tambah (%) I(%) = k/j x 100% 12 a. Imbalan tenaga kerja (Rp/kg) m = exg b. Bagian tenaga kerja (%) n(%) = m/k x 100% 13 a. Keuntungan (Rp/kg) o = k-m b. Tingkat keuntungan (%) p(%) = o/j x 100%
Ill. Balas Jasa Pemilik Faktor Produksi 14 Marjin Keuntungan (Rp/kg) q = j-h a. Pendapatan tenaga kerja (%) r(%) = m/q x 100% b. Sumbangan input lain (%) s(%) = i/q x 100% c. Keuntungan perusahaan (%) t(%) = o/q x 100%