Page 1
DISERTASI
DESAIN TERINTEGRASI TUNGKU, PENUKAR PANAS,
SIKLON SEPARATOR DAN RUANGAN BAHAN
UNTUK PENGASAPAN IKAN
AN INTEGRATED DESIGN OF FURNACE, HEAT EXCHANGER,
CYCLONE SEPARATOR, AND SMOKE CHAMBER
FOR FISH SMOKING
MUH. TAHIR
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
Page 2
ii
DESAIN TERINTEGRASI TUNGKU, PENUKAR PANAS,
SIKLON SEPARATOR DAN RUANGAN BAHAN
UNTUK PENGASAPAN IKAN
DISERTASI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Doktor
Program Studi
Ilmu Pertanian
Disusun dan diajukan oleh
MUH. TAHIR
Kepada
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
Page 4
iv
PERNYATAAN KEASLIAN DISERTASI
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Muh. Tahir
Nomor Pokok : P0100313403
Program Studi : Ilmu Pertanian
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa disertasi yang saya tulis ini benar-benar merupakan
hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang
lain. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau
keseluruhan disertasi ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas
perbuatan tersebut.
Makassar, 10 Maret 2018
Yang menyatakan,
Muh. Tahir
Page 5
iv
PRAKATA
Dengan segala kerendahan hati, penulis memanjatkan puji syukur ke
hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah‐Nya, sehingga
penulis dapat menyelesaikan penyusunan disertasi ini.
Disertasi ini menyajikan kegiatan desain, konstruksi dan pengujian sistem
pengasapan ikan metode tidak langsung yang menjadi rekomendasi FAO/WHO
dalam Joint Expert on Food Standards Programme 2008. Sistem pengasapan
tidak langsung memiliki makna penempatan bahan atau ikan yang diasapi tidak
satu ruangan dengan proses pembakaran biomassa untuk menghasilkan asap dan
panas. Dengan demikian sistem memiliki jalur asap dan panas yang panjang
sebelum memasuki ruang pengasapan. Sistem pengasapan terdiri atas desain
terintegrasi tungku pembakaran, penukar panas, siklon separator dan ruang
pengasapan bahan.
Atas terselenggaranya penelitian berjudul ”Desain terintegrasi tungku,
penukar panas, siklon separator dan ruangan bahan untuk pengasapan ikan”,
perkenankan penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada:
a. Tim Promotor/Penguji yang membimbing dan mengoreksi secara langsung,
b. Ketua Program Studi S3 Ilmu Pertanian yang memberikan arahan studi,
c. Dekan Sekolah Pascasarjana dan stafnya yang membantu administrasi studi,
d. Rektor Universitas Hasanuddin atas kebijakan terkait atmosfer studi di
kampus merah di mana saya memilih tempat untuk berkreasi mengkaji ilmu
teknik dalam nuansa perkuliahan yang lugas dan akomodatif.
Demikian pengantar disertasi ini semoga dapat bermanfaat khususnya
dalam bidang teknik desain peralatan pengolahan hasil pertanian, peternakan,
perikanan dan kelautan. Terima kasih tidak lupa diucapkan kepada semua pihak
yang telah membantu terlaksananya kegiatan ini meski tidak tersebutkan.
Makassar, 14 Nopember 2017
Wassalam,
Penulis
Page 6
v
ABSTRAK
Muh Tahir. Desain Terintegrasi Tungku, Penukar Panas, Siklon Separator dan
Ruangan Bahan untuk Pengasapan Ikan. (Dibimbing oleh Mursalim, Salengke dan
Metusalach)
Penelitian bertujuan mendesain sistem pengasapan ikan secara tidak
langsung. Pengasapan tidak langsung memiliki makna sistem pengasapan berupa
integrasi unit tungku, penukar panas, siklon separator dan ruang pengasapan
sehingga ikan tidak seruangan dengan proses pembangkitan asap. Desain
pengasapan dilengkapi siklon separator dan penukar panas untuk menghasilkan
ikan asap bersih melalui pemisahan partikel padat abu terbang dan tar sehingga
aman dari resiko karsinogen benzo[a]piren. Metode penelitian mencakup desain
dan konstruksi alat, uji performansi dan uji kadar nutrisi, syarat SNI dan
kandungan benzo[a]piren. Hasil menunjukkan bahwa desain pengasapan mampu
mencapai suhu internal daging ikan 68-80oC selama 30 menit lebih mengikuti
pola pengasapan ikan yang dikembangkan oleh The Three Pacipic Northwest
Universities. Kadar air ikan 52,9% (SNI ikan asap < 60%) tercapai dalam 13,2
jam pengasapan, nutrisi protein 40%, lemak 8,5%, abu 4,3%, garam 3,68% dan
fenol 61,32 µg/g. Efisiensi penukar panas mencapai 91% dengan koefisien
transfer panas keseluruhan 20,3 Watt/m2o
C dan efektivitas 63%. Efisiensi
pemisahan partikel padat oleh siklon separator mencapai 94,7% dengan diameter
abu 0,2-600 µm. Pemisahan kontaminan asap oleh siklon separator dan selubung
bersekat menyebabkan kadar rendah benzo[a]piren 1,29 µg/kg dari nilai yang
diperkenankan BPOM sebesar < 2,0 µg/kg. Kadar benzo[a]piren tersebut juga
memenuhi kriteria yang dipersyaratkan Uni Eropa dan FAO/WHO sebesar < 5,0
µg/kg.
Kata kunci : pengasapan, penukar panas, pemisah siklon, karsinogen, performansi
desain.
Page 7
vi
ABSTRACT
Muh Tahir. An integrated design of furnace, heat exchanger, cyclone separator
and smoke chamber for fish smoking. (Supervised by Mursalim, Salengke and
Metusalach).
The research was aimed at designing an indirect fish smoking system.
With this system, the fish smoking chamber is separated from biomass burning
furnace by a tubular heat exchanger and a cyclone separator. The smoking system
was equipped with the cyclone separator and heat exchanger to produce clean
smoked fish through the separation of the fly ash solid particle, tar and was free
from benzo[a]pyrene. The research procedure include the design and construction,
the smoking system performance test, nutrient content analysis and measurement
of benzo[a]pyrene content. The results showed that the smoking system can
provide the fish internal temperature of 68-80oC for at least 30 minutes following
the fish smoking pattern developed by the Three Pacific Northwest Universities.
Water content of smoked fish produced was 52.9% (SNI of smoked fish <60%)
which was achieved after 13,2 hours of smoking process. Nutrition contents were
protein 40%’, fat 8.5%, ash 4.3%, salt 3.68%, phenol 61,32 µg/g. The heat
exchanger efficiency reached 91% with overall heat transfer coefficient of 20.33
Watt/m2o
C and effectiveness of 63%. The solid particle separation efficiency by
the cyclone separator reaches 94.7% with the ash diameter of 0.2-600 μm. The
separation of smoke contaminant by the cyclone separator and the baffle within
the heat exchanger resulted in low benzo[a]pyrene content (1.29 µg/kg) which is
lower than the value permitted by BPOM RI of 2.0 µg/kg. The benzo[a]pyrene
content also meets the criteria required by European Union, FAO/WHO of 5.0
µg/kg.
Key words: fish smoking, heat exchanger, cyclone separator, carcinogens, design
performance.
Page 8
vii
DAFTAR ISI
halaman
PRAKATA ............................................................................................................ iv
ABSTRAK ............................................................................................................ v
DAFTAR ISI ......................................................................................................... vi
DAFTAR TABEL ................................................................................................. ix
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ x
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
A. Latar Belakang .......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 7
C. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 8
D. Manfaat Penelitian .................................................................................... 8
E. Ruang Lingkup Penelitian......................................................................... 9
F. Defenisi dan Istilah ................................................................................. 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 12
A. Pengasapan .............................................................................................. 12
B. Pengasapan tipe konveksi paksa ............................................................. 14
C. Asap dan pengasapan panas .................................................................... 17
D. Pembangkit Panas dan Asap ................................................................... 22
1. Tungku Pembakaran ......................................................................... 23
2. Penukar Panas ................................................................................... 24
3. Siklon Separator ................................................................................ 28
4. Ruang Pengasapan ............................................................................ 31
E. Ikan Cakalang ......................................................................................... 33
F. Kerangka Pemikiran................................................................................ 34
BAB III METODE PENELITIAN........................................................................ 37
A. Rancangan Penelitian .............................................................................. 37
B. Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................. 44
Page 9
viii
C. Alat dan Bahan ........................................................................................ 45
1. Alat, komponen desain dan instrumen ............................................... 45
a. Perlengkapan bengkel ................................................................. 45
b. Blower Sentrifugal ...................................................................... 46
a. Termokopel dan peraga suhu digital ........................................... 46
b. Instrumen ukur kelistrikan .......................................................... 47
c. Instrumen ukur kecepatan dan tekanan udara ............................. 47
d. Instrumen ukur berat ................................................................... 47
e. Instrumen ukur kadar air bahan bakar ......................................... 48
f. Instrumen ukur suhu dan kelembaban udara ............................... 48
g. Instrumen ukur jarak desain penukar panas ................................ 48
2. Bahan .................................................................................................. 48
D. Pendekatan Desain dan Analisis ............................................................. 49
1. Siklon Separator ................................................................................ 49
2. Penukar panas ................................................................................... 55
a. Sisi pipa penukar panas ............................................................... 62
b. Sisi saluran penghubung ............................................................. 63
c. Sisi selubung penukar panas ....................................................... 64
3. Sistem Pengasapan ............................................................................ 65
4. Bahan bakar tempurung dan sabut kelapa ........................................ 67
5. Bahan ikan cakalang ......................................................................... 67
6. Konsumsi energi dan laju pengeringan bahan .................................. 70
7. Perhitungan kadar air bahan ............................................................. 71
8. Kadar Abu ......................................................................................... 72
9. Kadar Protein .................................................................................... 73
10. Kadar Lemak ..................................................................................... 73
11. Kadar garam ...................................................................................... 74
12. Kadar fenol ....................................................................................... 74
13. Analisa Formalin ............................................................................... 75
14. Analisa benzo[a]piren ....................................................................... 75
15. Analisa organoleptik ......................................................................... 76
16. Fungsi Psychrometric add ins........................................................... 76
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................... 78
Page 10
ix
A. Desain Fungsional ................................................................................... 78
1. Unit Ruang Pengasapan .................................................................... 78
2. Unit Kerangka Gantungan Ikan ........................................................ 79
3. Unit Penukar Panas ........................................................................... 80
4. Unit Siklon Separator dan Blower Sentrifugal ................................. 83
5. Unit Tungku ...................................................................................... 84
B. Desain Struktural .................................................................................... 86
1. Unit Ruang Pengasapan .................................................................... 86
2. Unit Kerangka Gantungan Ikan ........................................................ 87
3. Unit Penukar Panas ........................................................................... 88
4. Unit Siklon Separator ........................................................................ 92
5. Unit Tungku ...................................................................................... 94
C. Desain Terintegrasi ................................................................................. 95
1. Aliran Udara ..................................................................................... 96
2. Ikan dan Bahan lain .......................................................................... 97
3. Bahan bakar tempurung kelapa dan sabut ........................................ 98
D. Pengujian Desain .................................................................................. 100
1. Pengujian Terintegrasi Tanpa Beban .............................................. 100
2. Pengujian Terintegrasi dengan Beban Ikan Cakalang .................... 107
3. Aspek Suhu Sistem Pengasapan Ikan ............................................. 107
4. Aspek Penukaran Panas .................................................................. 121
5. Aspek Konsumsi Energi Sistem ..................................................... 133
6. Aspek Pemisahan dan Pengumpulan Partikel Abu dan Tar ........... 135
7. Aspek Penurunan Tekanan Statis Siklon Separator ........................ 142
E. Aspek Ikan Cakalang Asap yang Dihasilkan ........................................ 143
1. Uji Formalin dan Histamin ............................................................. 152
2. Mikrobiologi ................................................................................... 152
3. Kadar Garam ................................................................................... 153
4. Kadar Protein, Lemak dan Abu ...................................................... 154
5. Kadar Fenol ..................................................................................... 155
6. Benzo[a]piren .................................................................................. 157
7. Uji ALT, Kadar air sampel dan Organoleptik ................................ 160
8. Uji X-Ray Diffraction ..................................................................... 162
Page 11
x
F. Aspek Perbaikan pada Iterasi Pengujian ............................................... 168
1. Pengujian iterasi ke-1: .................................................................... 168
2. Pengujian iterasi ke-2: .................................................................... 171
3. Pengujian iterasi ke-3: .................................................................... 174
G. Aspek Kebaruan (Novelty) ................................................................... 178
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN............................................................. 180
A. Kesimpulan ........................................................................................... 180
B. Saran ..................................................................................................... 181
UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................................... 182
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 183
Page 12
xi
DAFTAR TABEL
Nomor halaman
1. Parameter blower suhu tinggi seri XYGR ..................................................... 46
2. Nilai parameter dalam SNI ikan asap ............................................................ 68
3. Dimensi, skala dan ukuran siklon .................................................................. 92
4. Dimensi penukar panas, ukuran dan satuan ................................................... 89
5. Dimensi rata-rata ikan cakalang belah ........................................................... 98
6. Kecepatan udara pada tiap unit integrasi ..................................................... 101
7. Suhu dan durasi proses pasteurisasi dan pematangan .................................. 121
8. Data sampel suhu pada ketiga pengujian ..................................................... 122
9. Ringkasan karakteristik transfer panas pipa besi galvanis ........................... 125
10. Daftar Analisa Performansi Penukar Panas ................................................. 127
11. Besaran tekanan statis desain sistem ............................................................ 132
12. Konsumsi energi sistem pengasapan............................................................ 133
13. Berat partikel padat hasil pemisahan siklon ................................................. 140
14. Tekanan statis siklon separator .................................................................... 143
15. Data teknis pengasapan ikan cakalang ......................................................... 144
16. Beberapa parameter hasil uji laboratorium ikan asap .................................. 151
17. Uji ALT, kadar air dan organoleptik ............................................................ 161
18. Senyawa teroksidasi pada sampel abu tempurung kelapa ........................... 164
Page 13
xii
DAFTAR GAMBAR
Nomor halaman
1. Tipikal suhu pusat ikan & ruangan dalam siklus pengasapan. ...................... 20
2. Penukar panas tipe selubung dan pipa ........................................................... 25
3. Konfigurasi laluan selubung dengan banyak pipa ......................................... 25
4. Profil suhu untuk jenis aliran melawan .......................................................... 27
5. Siklon separator: (a) geometri (b) skema aliran udara ................................... 29
6. Skema ukuran partikel padat dan proses pemisahan yang sesuai .................. 30
7. Ilustrasi perbandingan ukuran partikel dalam mikron ................................... 30
8. Profil temperatur untuk aliran berlawanan dan siklon ................................... 35
9. Diagram alur perencanaan desain pengasapan dan uji performansi .............. 38
10. Diagram alur desain penukar panas ............................................................... 39
11. Diagram alur desain penukar panas ............................................................... 40
12. Diagram alur desain siklon separator ............................................................. 41
13. Diagram alur desain unit ruang pengasapan .................................................. 42
14. Skema desain sistem pengasapan tidak langsung, aliran asap ....................... 43
15. Peta lokasi penelitian ..................................................................................... 45
16. Pembesaran skala kurva performansi ............................................................. 51
17. Kurva performansi siklon efisiensi tinggi ...................................................... 51
18. Faktor pressure drop siklon ............................................................................ 52
19. Tipikal suhu pengasapan yang dimodifikasi.. ................................................ 65
20. Susunan pola pipa segitiga 30º (Staggered) ................................................... 82
21. Sekat (baffle) dan potongan sekat (baffle cut) penukar panas. ...................... 82
22. Skema tungku biomassa ................................................................................. 86
Page 14
xiii
23. Ruang pengasapan berbentuk silinder............................................................ 87
24. Kerangka gantungan ikan ............................................................................... 87
25. Susunan pipa segitiga dan jarak antar pipa, clearance ................................... 88
26. Skema dasar penukar panas yang diperkaya sekat ......................................... 91
27. Skema aliran berlawanan pada penukar panas. .............................................. 92
28. Siklon separator dengan beberapa arah pandang ........................................... 93
29. Saluran hubung siklon separator dan penukar panas ..................................... 94
30. Tungku; (a) tampak samping, (b) tampak muka, (c) tampak atas, ................. 95
31. Desain terintegrasi sistem pengasapan ........................................................... 96
32. Pola ikan; (a) skema penampang, (b) skema memanjang ( Ti: termokopel
untuk ikan bagian dalam dan luar, Tr: termokopel bagian dalam dan luar). 101
33. Pola suhu ruangan terhadap waktu dari masing-masing berat tempurung
kelapa yang diumpan. .................................................................................. 103
34. Pola dan capaian suhu ruangan dan suhu prediksi ....................................... 105
35. Foto SEM partikel abu berukuran: (a) 20 µm, (b) 10 µm (c) ukuran 2 µm. 106
36. Profil suhu terhadap waktu pengasapan pengujian 1 ................................... 108
37. Profil suhu terhadap waktu pengasapan pengujian 2 ................................... 111
38. Profil suhu terhadap waktu pengasapan pengujian 3 ................................... 112
39. Pola suhu dan kelembaban udara terhadap waktu; (a) Suhu udara-asap dan
ikan, (b) Suhu dan kelembaban udara lingkungan, (c) Suhu dan kelembaban
udara ruangan. .............................................................................................. 114
40. Capaian suhu internal ikan cakalang dan durasinya pada (a) pengujian 1, (b)
pengujian 2 dan (c) pengujian 3. .................................................................. 120
41. Faktor koreksi LMTD (F) untuk operasi aliran berlawanan pada satu laluan
selubung dan multi laluan pipa genap. ......................................................... 129
42. Partikel padat yang terpisah, (a) Berat partikel padat tertimbang 17,54 g, (b)
Partikel padat berbentuk pipih hingga ukuran panjang 20 mm. .................. 136
Page 15
xiv
43. Distribusi ukuran partikel abu hasil pemisahan siklon 250 mm .................. 137
44. Efisiensi pemisahan siklon separator 250 mm ............................................. 138
45. Kecenderungan garis efisiensi dan dpc berdasarkan perubahan densitas
partikel. 139
46. (a) Dustbin transparan berisi tar dengan warna kehitaman, (b) Senyawa tar
konsentrasi tinggi sehingga tampak kental. ................................................. 141
47. (a) Pengaruh asap yang hitam pada kain masker, (b) Warna coklat/kuning
keemasan dan bersih pada permukaan ikan asap yang dihasilkan. .............. 142
48. Tingkat kadar air terhadap aw dan spesifikasi SNI ikan asap ...................... 148
49. Perhitungan lama pengasapan berdasarkan penurunan kadar air menggunakan
persamaan Nikitin. ....................................................................................... 149
50. Profil uji X-Ray Diffraction abu tempurung kelapa .................................... 163
51. Profil uji X-ray Diffraction kulit ikan cakalang asap ................................... 165
52. Metana hidrat berbentuk gumpalan salju dan terbakar ................................ 167
53. Pola susunan ikan dalam ruangan iterasi ke-1 ............................................. 169
54. Perubahan lengkungan rak pada iterasi ke-2 ................................................ 170
55. Pengamatan aspek ergonomi operator tungku ............................................. 172
56. Perubahan posisi operator yang lebih ergonomis ........................................ 174
57. Aliran asap keluar outlet ruang pengasapan ................................................ 175
58. Pengubahan konsumsi listrik dari kondisi penuh ke posisi daya 69,0 W
melalui instrumen penurun daya. ................................................................. 178
Page 16
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor halaman
1. Nilai aproksimasi transfer panas keseluruhan, U. ......................................... 191
2. Properti fisik padatan ................................................................................... 192
3. Thermal Properties of Metals ....................................................................... 193
4. Diagram Moody ............................................................................................ 194
5. Perhitungan dimensi ruang pengasapan ....................................................... 195
6. Perhitungan tinggi desain penukar panas ...................................................... 198
7. Perhitungan desain siklon separator ............................................................. 199
8. Perhitungan tinggi tungku dan pembagian ruangannya ................................ 203
9. Perhitungan energi untuk berat dasar pengumpanan bertambah.................. 204
10. Perhitungan efisiensi siklon separator 250 mm ............................................ 205
11. Kadar air tempurung kelapa .......................................................................... 206
12. Perhitungan analisis performansi penukar panas .......................................... 209
13. Perhitungan nilai organoleptik ...................................................................... 229
14. Perhitungan waktu pengasapan ..................................................................... 230
15. Senyawa aromatik dalam asap ...................................................................... 232
16. Gambar teknik desain sistem pengasapan ..................................................... 236
Page 17
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengembangan peralatan pengeringan dan pengasapan berlangsung
seiring dengan tuntutan performansi alat yang tinggi dengan berbagai faktor
pembatas seperti ketersediaan sumber energi, material, dan teknologi yang
mampu diaplikasikan. Jenis alat pengeringan dan pengasapan terutama dari
aspek bentuk akan sangat bervariasi dan bersifat lokal terkait dengan jenis
komoditas atau produk yang akan dikeringkan dan diasapi dengan sumber
energi yang tersedia. Penggunaan energi biomassa sebagai upaya
meningkatkan pangsa energi terbarukan dalam negeri sebagaimana peraturan
dan perundang-undangan yang terkait (Kamaruddin, 2007):
a. Kebijakan Energi Nasional-KEN, SK Menteri No. 0983/K/16/MEM/ 2004
yang menargetkan keharusan penggunaan energi terbarukan mencapai
minimal >5% dari total energi primer pada 2020.
b. Konsep energi hijau – SK Menteri No. 0002/2004; yang berisikan prioritas
pemanfaatan sumber-sumber energi terbarukan, pemanfaatan energi bersih
dan mempunyai efisiensi tinggi serta kegiatan konservasi energi.
c. PP No. 3, 2005 tentang kewajiban menggunakan energi setempat terutama
yang berasal dari sumber-sumber energi terbarukan.
Salah satu jenis pengeringan dan pengasapan yang berkembang dari
cara tradisional adalah pemanfaatan panas hasil pembakaran biomassa yang
disertai asap. Biomassa adalah salah satu bentuk bahan bakar yang dikenal dan
digunakan sejak awal peradaban memanfaatkan unsur api. Proses pengeringan
Page 18
2
dengan bahan bakar biomassa cenderung mengabaikan asap dan memandang
panas sebagai aspek utamanya. Pada konteks pengasapan, asap dan panas
yang sifatnya menyatu turut dipertimbangkan memiliki nilai manfaat pada
bahan pangan karena citarasa dan aromanya yang khas.
Pada konteks pengeringan modern, panas dipisah dari komponen asap
dan gas buang lainnya melalui prinsip penukaran panas. Prosesnya
berkembang sedemikian rupa hingga dewasa ini dan memandang bahwa
komponen asap, gas dan material buang lainnya adalah kontaminan bagi
bahan tertentu yang dikeringkan. Pemisahan panas dari asap, gas dan material
buang lainnya menjadi salah satu tonggak pemanfaatan peralatan penukar
panas. Sholahuddin dkk., (2002) menyatakan bahwa penggunaan penukar
panas terutama untuk mengatasi kendala asap pengeringan dari pembakaran
langsung disamping untuk mengefektifkan pengendalian suhunya. Penukar
panas jenis tertutup atau recuperator membuat fluida tidak saling bersentuhan.
Fluida yang dimaksud adalah media bersifat mengalir dalam wadah dapat
berupa fase gas, cair, gas-cair atau fase gas-padat. Fase gas-padat dalam kajian
ini adalah asap yang disertai partikel padat seperti abu, arang, jelaga dan tar
serta fase gas-cair berupa uap dalam asap yang disertai kandungan air atau tar
dalam bentuk uap.
Pada proses pembakaran biomassa, output berupa panas dan asap serta
arang yang tertinggal sebagai sisa dapat dirasakan dan dilihat. Pengamatan
seksama pada proses pembakaran terhadap lingkungan sekitarnya
menampakkan komponen terbang berupa jelaga dan partikel kecil melayang
berupa abu. Pengamatan lebih teliti dengan bantuan instrumen menunjukkan
Page 19
3
komponen berupa uap air, senyawa tar dan gas. Pemanfaatan asap dari
pembakaran langsung biomassa yang ditujukan untuk bahan pangan seperti
membakar ikan (barbeque) dan pengasapan (smoking) memiliki peluang
terkena abu, arang, jelaga dan senyawa tar. FAO dan WHO sejak 1961
mempublikasikan temuan terkait sejumlah arang hitam tertentu yang terbukti
mengandung cemaran senyawa 3,4-benzopyrene. Pangan asap mengandung
cemaran yang sama sekitar 1,9 – 10,5 g/kg dalam produk sosis dan 1,7 – 7,5
g/kg dalam produk ikan asap. Senyawa hidrokarbon bersifat karsinogen yang
ditemukan dalam makanan adalah akibat proses pengasapan dan kadang-
kadang konsentrasinya lebih tinggi jika terkontaminasi jelaga (soot). Fakta-
fakta tersebut menunjukkan pentingnya melakukan kajian pengolahan pangan
yang dapat memproteksi bahan pangan dari cemaran polycyclic aromatic
hydrocarbons (PAH) dengan indikator senyawa benzo[a]piren. Kajian
pengolahan pangan dapat berupa proses atau desain peralatan yang
mendukung sanitasi dan higienitas produk pangan.
Desain peralatan pengasapan yang ditujukan untuk pengolahan pangan
seperti dalam proses pengasapan ikan menjadi aspek yang penting dikaji.
Kajian dapat berupa proses pengasapan langsung menjadi tidak langsung dan
upaya memurnikan asap yang akan mengenai ikan. Pemurnian asap memiliki
makna upaya pemisahan komponen yang berpotensi sebagai cemaran seperti
abu, arang, jelaga dan tar. Pemisahan partikel padat dari aliran udara panas
dapat dilakukan dengan beberapa cara seperti siklon separator, pengendapan
bermuatan listrik (electrostatic precipitators), saringan (filters), cairan
perangkap (liquid scrubbers) dan ruang penyekat (settling chambers). Siklon
Page 20
4
separator merupakan salah satu mekanisme pemisah partikel padat dengan
ukuran sekitar 0,0012 mm hingga 1 mm (Elsayed, 2011). Siklon separator
memiliki kesesuaian dari segi karakteristik ukuran sehingga menjadi salah satu
pilihan. Struktur bangun dari siklon separator juga bersifat sederhana, tahan
dari suhu dan tekanan operasional yang tinggi.
Desain proses pengasapan yang dilengkapi pemisah partikel padat
dapat dibangun dari rangkaian unit tungku, penukar panas, siklon separator
dan ruang pengeringan bahan. Desain proses pengasapan secara spesifik
ditujukan untuk menghasilkan produk ikan asap. Desain dapat pula ditujukan
untuk pengeringan tanpa memperoleh faedah citarasa dan aroma asap jika
komoditasnya memiliki cangkang seperti kacang tanah. Komoditas lain
seperti kopra dapat pula dikeringkan hanya jika secara organoleptik, penilaian
mutunya dapat mengabaikan pengaruh asap.
Pengembangan desain pengasapan juga mempertimbangkan aspek
bahan bakar. Ketersediaan bahan bakar dan kemampuan menyediakan untuk
operasionalnya menjadi pertimbangan krusial. Oleh karena itu, desain
peralatan didasarkan pada keberadaan bahan bakar biomassa yang tersedia
diseluruh daerah di Indonesia. Bahan bakar biomassa merupakan sumber
energi terbarukan yang memiliki potensi besar untuk dimanfaatkan. Penelitian
untuk menghasilkan teknologi pengeringan dan atau pengasapan dari sumber
energi terbarukan telah banyak dilakukan di berbagai negara. Kamaruddin,
(2007) melakukan diseminasi pengering surya tipe green house effect (GHE)
di Indonesia memanfaatkan energi surya dan biomassa untuk mengeringkan
berbagai komoditas hasil pertanian dan perikanan. Berbagai rancangan
Page 21
5
berbiaya murah telah diujicoba di berbagai daerah dan diklaim dapat
beroperasi hingga di tempat terpencil sekalipun. Pengeringan model rak pada
jenis pengering efek rumah kaca dengan bahan bakar sabut dan tempurung
kelapa diujicoba untuk mengeringkan kopra dan kacang tanah di daerah
Gorontalo (Tahir dkk., 2013; 2014). Ujicoba jenis pengering memanfaatkan
energi panas surya dan biomassa ditujukan untuk memodernisasi jenis
pengering tradisional yang digunakan oleh petani kopra di sentra perkebunan
kelapa rakyat. Pengering tradisional berupa para-para yang disebut Porono
dengan bahan bakar sabut dan tempurung kelapa memiliki resiko kebakaran
yang merugikan. Oyerinde et al., (2013) mengembangkan kiln pengasapan
ikan tipe aliran silang (cross-flow) yang berbahan bakar biomassa dengan
tujuan memberikan solusi peralatan untuk mengatasi pengasapan ikan
tradisional di Nigeria yang bersifat terbuka dan menyebabkan polusi
lingkungan. Disamping dampak lingkungan, pengasapan tradisional tersebut
juga menghasilkan mutu ikan yang tidak seragam.
Produk ikan asap berdasarkan Pigott, (1981) memiliki 4 spektrum
yakni ikan asap yang dikonsumsi sebagai produk segar (ikan asap langsung
konsumsi dengan kadar air masih tinggi), ikan asap yang dibekukan
(mengalami proses thawing sebelum diolah untuk konsumsi), ikan yang
diasapi hingga kering (agar produk awet disimpan pada suhu ruang hingga
periode waktu tertentu) dan ikan asap yang dikalengkan. Dalam pengolahan
ikan asap, spektrum ikan asap segar yang diasapi hingga kadar air memenuhi
syarat (Standar Nasional Indonesia, 2009) menjadi pilihan agar fungsi
pengasapan dan penguapan airnya dapat diamati sekaligus.
Page 22
6
Citarasa asap (smoky taste) bahan pangan yang diolah dengan metode
pengasapan, seperti ikan asap, digemari banyak konsumen pada berbagai
kalangan. Disamping kelezatannya, ikan asap diduga dapat menimbulkan
permasalahan kesehatan terkait metode pengolahan yang dapat menyisakan
residu bersifat karsinogen. Senyawa polycyclic aromatic hydrocarbons
(PAH); benzo(a)pyrene merupakan indikator tercemarnya produk asap yang
jika dirunut dapat bersumber dari bahan bakar yang digunakan, metode
pembakaran dan pengasapan. FAO dan WHO merekomendasikan berbagai
upaya pengurangan senyawa benzo[a]piren. Upaya tersebut mencakup jenis
bahan bakar yang digunakan, teknik pembakaran yang memicu terbentuknya
senyawa benzo[a]piren, desain ruang pengeringan atau pengasapan serta
peralatan lain yang terkait dengan proses pengeringan dan pengasapan (Codex
Alimentarius Commission, 2008).
Berdasarkan uraian sebelumnya maka dalam penelitian ini didesain
sistem pengasapan yang memanfaatkan siklon separator untuk memisahkan
partikel padat dalam aliran udara panas dan asap. Pada aspek teknik, partikel
padat umumnya menjadi penyumbat terhadap aliran udara di sela pipa penukar
panas. Pada aspek produk asapan, partikel padat berupa abu, arang dan jelaga
mengurangi nilai tampilan dan citarasa serta sanitasi produk yang diasapi.
Pada aspek keamanan pangan, senyawa semipadat berupa tar jika terbentuk
adalah indikasi sumber kontaminan karena pembakaran dapat menghasilkan
tar dan senyawa lain termasuk PAH. Pemanfaatan asap dalam desain
meningkatkan efisiensi termal karena udara panas buangan bercampur asap
tetap dapat dimanfaatkan baik untuk tujuan pengasapan maupun pengeringan.
Page 23
7
Komoditas yang sesuai untuk proses pengasapan adalah ikan menjadi produk
ikan asap pada berbagai tingkat kadar air yang diharapkan.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang tersebut di atas, beberapa permasalahan
yang terkait dengan desain sistem pengasapan adalah:
1. Belum tersedianya teknologi pengasapan yang memanfaatkan sumber
energi murah dan terbarukan melalui desain yang mengintegrasikan
tungku pembakaran biomassa, penukar panas dan siklon separator serta
ruang pengasapan.
2. Belum tersedianya pembangkit panas dan asap yang mengintegrasikan
siklon separator pada penukar panas sehingga udara panas yang akan
terbuang dapat diubah menjadi media pengasapan. Dengan demikian
desain mengakomodasi sistem pengasapan tidak langsung dengan jalur
asap yang panjang, melewati saluran bersekat untuk mengurangi
kontaminan.
3. Belum tersedia teknologi pemurnian asap yang memisahkan partikel padat
seperti abu, arang, jelaga dan tar sehingga udara panas yang memiliki
kondisi kotor berubah menjadi udara bersih untuk mengurangi potensi
pengotoran pada produk dan penyumbatan atau fouling pada sela pipa
penukar panas.
4. Tuntutan mutu SNI ikan asap dan aturan keamanan pangan terkait
pengurangan kandungan benzo(a)piren yang dapat muncul pada produk-
produk yang diasapi.
Page 24
8
C. Tujuan Penelitian
Beberapa tujuan atau sasaran yang dicapai dalam kegiatan penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1. Menghasilkan desain sistem pengasapan panas tidak langsung dengan
capaian suhu yang mendukung proses pasteurisasi dan kematangan ikan.
2. Mendesain sistem pengasapan ikan yang dilengkapi unit pemisah
kontaminan berupa partikel padat dan tar.
3. Menghasilkan prototipe alat pengasapan untuk menghasilkan produk ikan
asap yang memenuhi kriteria yang dipersyaratkan dalam SNI ikan asap
dan aspek keamanan pangan dari kandungan benzo[a]piren.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari kegiatan penelitian ini antara lain :
1. Berkembangnya kemampuan desain dan konstruksi peralatan berupa
sistem pengasapan sebagai bagian dari kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
2. Teknologi pengasapan yang mengintegrasikan siklon separator pada unit
tungku dan penukar panas untuk mengubah udara buangan menjadi udara
masukan bersih yang akan dipanaskan menjadi media pengasapan.
3. Perbaikan efisiensi sistem penukar panas dari pemanfaatan udara panas
bercampur asap yang tadinya terbuang menjadi energi berguna.
Page 25
9
4. Adanya solusi pengurangan aktifitas pengotoran dan penyumbatan pada
aliran udara di sela pipa penukar panas yang sangat umum terjadi,
khususnya dalam desain unik ini.
5. Adanya peningkatan sanitasi dan higienitas produk ikan asap yang
dihasilkan baik dari sisi proses produksi maupun keamanan pangan.
6. Terbentuknya hasil desain sistem pengasapan (dapat berfungsi sebagai
pengeringan) yang menjadi salah satu opsi bagi masyarakat luas sebagai
upaya perbaikan proses pengolahan pangan baik hasil pertanian,
perkebunan, peternakan, perikanan dan kelautan.
E. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian mencakup aspek desain yang
mengintegrasikan unit tungku biomassa, unit penukar panas, unit siklon
separator, unit ruang pengasapan serta bahan yang diasapi. Tungku dan jenis
bahan bakar berupa sabut dan tempurung kelapa mencakup dimensi dan
volume ruang untuk pembakaran sejumlah bahan. Parameter pengamatan pada
unit tungku adalah suhu udara pembakaran, kecepatan udara masuk tungku
dan massa bahan bakar yang diumpan. Proses pembakaran menghasilkan
udara panas, asap dan partikel padat seperti abu, arang, jelaga dan tar yang
selanjutnya masuk ke siklon separator dan penukar panas. Panas dan asap
menjadi komponen berguna dalam proses pengasapan sedangkan partikel
padat akan dipisahkan melalui unit siklon separator. Pemisahan partikel padat
dilakukan melalui identifikasi distribusi partikel abu dari bahan tempurung
kelapa untuk menentukan dimensi unit siklon separator dan diameter partikel
yang akan terpisah dengan efisiensi 50% (D50).
Page 26
10
Penukar panas meliputi bentuk dan dimensi bertujuan menukarkan
panas dari fluida panas ke fluida dingin. Fluida panas dalam hal ini adalah
output pembakaran tungku yang terdiri atas udara panas, asap dan partikel
padat serta tar. Udara dan asap setelah terpisah dari partikel padat pada unit
siklon separator akan bertindak sebagai fluida dingin yang akan menerima
panas pada ruang selubung. Parameter yang diamati pada unit penukar panas
mencakup laju aliran udara dan suhu udara asap. Lokasi pengamatan antara
lain suhu udara tungku yang masuk ke pipa penukar panas, suhu udara keluar
pipa yang masuk ke siklon separator, suhu udara keluar siklon separator yang
masuk ke selubung penukar panas serta suhu udara keluar penukar panas yang
masuk ke ruang pengasapan. Suhu tersebut menjadi dasar untuk perhitungan
efisiensi penukar panas.
Siklon separator meliputi bentuk, dimensi dan fungsi memisahkan
partikel padat seperti abu, arang, jelaga dan tar. Partikel padat yang terkumpul
pada wadah pengumpul atau dustbin akan dianalisa distribusinya untuk
menghitung efisiensi dan diameter cutoff nya. Pemisahan tar ke dalam wadah
pengumpul atau dustbin akan diamati secara visual demikian pula senyawa
yang diassosiasikan sebagai senyawa polisiklik aromatik hidrokarbon akan di
tracing pada partikel padat terpisah dan yang sampai ke permukaan ikan.
Uji performansi desain sistem pengasapan dilakukan dengan bahan
berupa ikan cakalang. Pengujian dilakukan 3 kali dengan beban sekitar 30 kg
ikan setelah dibelah dan dibersihkan. Parameter pengamatan meliputi kadar
air, kadar abu, garam, lemak, protein, fenol, formalin dan histamin, cemaran
senyawa benzo[a]piren dan cemaran mikrobiologi termasuk jumlahnya. Uji
Page 27
11
sensori ditujukan untuk menilai produk ikan cakalang asap yang dihasilkan
sebagai bagian dari parameter uji SNI No. 2725-1-2009 tentang mutu ikan
asap. Kriteria cemaran benzo[a]piren mengacu ke aturan Kepala Badan POM
Tahun 2011 terkait batas kandungan yang diperkenankan.
F. Defenisi dan Istilah
Biomassa : Sumber energi terbarukan yang mengacu pada bahan
organik dari suatu organisme hidup terutama tumbuhan.
Pembakaran : Dekomposisi kimia bahan organik dengan pemanasan
baik bereaksi dengan atau tanpa oksigen menghasilkan
energi panas, uap, asap dan partikel padat lainnya.
Asap : Fase gas berupa suspensi partikel padat, cair dan uap
dengan ukuran partikel umumnya berkisar 0,2-0,4 m (
atau dalam selang lebih luas 0,05-1 m (CAC, 2008)).
Penukar panas : Peralatan pindah panas yang memiliki cara kerja
menukar panas dari suatu media yang berbeda derajat
panasnya.
Siklon separator : Alat yang digunakan untuk memisahkan partikel padat
dari aliran gas dengan memanfaatkan gaya setrifugal
aliran dan gaya gravitasi bumi.
Pengasapan : Proses produksi dan aplikasi asap serta penyerapan
beragam senyawa kimia dari komponen asap oleh
bahan yang diasapi.
Page 28
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengasapan
Fellows, (2017) menyatakan bahwa pengasapan adalah proses kuno
yang telah lama digunakan mengawetkan makanan kaya protein untuk
penyimpanan pada suhu ruang selama masa paceklik seperti musim dingin
dan musim kemarau. Sekarang ini, tujuan pengasapan lebih cenderung ke
aspek mengubah citarasa dan warna produk pangan dari pada aspek
pengawetan. Dinyatakan pula bahwa pengasapan adalah suatu operasi yang
mahal untuk meningkatkan ragam produk bagi konsumen dan produsen atau
pengolah pangan asap menambahkan nilai ke produk pangan tersebut.
Pada proses pengasapan panas atau hot smoking, panas menjadi
kombinasi dari asap yang menyebabkan proses denaturasi protein (Sikorski
and Kołakowski, 2010), menyebabkan bahan pangan matang (cooked) dan
mematikan mikroorganisme yang menjadi kontaminan (Fellows, 2017).
Bahan pangan yang paling sering diasapi adalah ikan seperti tuna, salmon,
mackerel, cod dan trout, kerang-kerangan dan daging serta keju. Bahan
pangan lainnya termasuk sayuran seperti chipotles (smoked jalapeno
peppers), kacang-kacangan, teh lapsang souchong, sari gandum yang
digunakan dalam pembuatan wiski dan bir asap Jerman (Fellows, 2017).
Berhubung banyaknya variabel di dalam proses pengasapan, produksi bahan
atau produk pangan asap secara tradisional, umumnya dianggap oleh banyak
orang sebagai kerajinan atau seni dari pada sains (Ruhlman et al., 2013).
Page 29
13
Demikian halnya prosedur pengasapan yang sangat beragam digunakan baik
dalam industri maupun pengolah daging asap yang disebut sebagai perajin,
pengolah atau seniman (artisan). Mereka menghasilkan karakteristik sensori
yang sangat berbeda dan masa simpan produk yang beragam. Pada prosedur-
prosedur tersebut, pengaruh pengeringan, pemanasan dan perlakuan asap
menyebabkan kualitas produk yang dapat berbeda (Sikorski and Kołakowski,
2010).
Proses pengasapan yang berkembang dari proses kuno (praktek dan
kebiasaan) menyebabkan batas defenisi seperti barbeque, smoking, hot
smoking, warm smoking dan cold smoking tidak begitu jelas. Tidak jelas
perbedaan konsentrasi asap diantara bakar-bakar (barbeque) dan pengasapan
(smoking). Demikian pula defenisi pengasapan panas (hot smoking),
pengasapan hangat (warm smoking) dan pengasapan dingin (cold smoking)
memiliki batasan suhu yang saling tindih (overlapping) dan perbedaan karena
pengaruh iklim di masing-masing wilayah pelaku/perajin/seniman (artisan)
pengasapan. Sebagai contoh adalah suhu 12-25oC (Sikorski and Sinkiewicz,
2014) yang diterapkan dalam pengasapan dingin di wilayah eropa menjadi hal
biasa, dan berbeda dengan pengasapan dingin yang disarankan pada suhu
kurang dari 30oC (Ahmad, 2003; Hall and Köse, 2014). Demikian halnya
pengasapan panas (hot smoking) yang dinyatakan dalam batasan suhu 40-
90oC (Sikorski and Sinkiewicz, 2014), sedangkan artisan lainnya menyatakan
batas suhu paling tidak 80oC dan kadang-kadang mencapai 100
oC (Ahmad
2003; Hall and Köse 2014). Perbedaan batasan suhu pada defenisi
pengasapan dingin dan pengasapan panas di antara pelaku/perajin/seniman
Page 30
14
(artisan) tersebut maka defenisi pengasapan hangat dengan batasan suhu 25-
45oC (Sikorski and Sinkiewicz, 2014) juga akan berbeda pada
pelaku/perajin/seniman (artisan) yang lain. Fakta ini memberikan gambaran
tentang banyak dan beragamnya variabel seperti halnya batasan suhu pada
istilah pengasapan. Gambaran tersebut juga membuka kemungkinan variasi
lain dari pelaku/perajin/seniman (artisan) untuk mengungkapkan ciri khasnya
masing-masing berdasarkan fakta yang diperolehnya.
Perkembangan teknologi pengasapan terus berlangsung dalam fase
dasar yakni gas berupa campuran udara dan asap. Perkembangan
teknologinya mengarah ke aspek media pengasapan atau ruang yang dikenal
dengan rumah asap atau smokehouse. Ahmad, (2003) mengelompokkan
rumah pengasapan menjadi tiga tipe berdasarkan aliran udara-asap yakni; (1)
sirkulasi udara-asap secara alami, (2) aliran udara-asap terkondisikan atau
konveksi paksa dan (3) sirkulasi udara-asap kontinyu. Modifikasi dari ketiga
tipe rumah pengasapan tersebut dapat ditemukan di berbagai tempat tetapi
memiliki kecenderungan dimana tipe sirkulasi udara-asap alami digantikan
dengan tipe aliran udara-asap terkondisikan atau melibatkan peralatan
konveksi paksa seperti blower.
B. Pengasapan tipe konveksi paksa
Hilderbrand, Jr., (1992) menyatakan bahwa metode tradisional
pengawetan pangan memiliki salah satu ciri yakni produknya asin karena
kadar garam yang tinggi dengan kadar air yang rendah. Produk ini biasanya
tidak disenangi oleh konsumen sehingga pihak pengolah harus bisa mengatur
pengolahannya untuk menurunkan kadar garam dan tingkat kandungan air
Page 31
15
yang sesuai dengan tuntutan pasar. Salah satu dampak perubahan dari praktek
pengolahan tersebut adalah perlunya standar proses pengolahan, pengawasan
dan dokumentasi sehingga potensi munculnya racun bahkan yang mematikan
dari produk pangan dapat dieliminasi. Hal ini khususnya berlaku untuk
produk-produk perikanan yang dapat mengandung racun mikroba dari
lingkungan asalnya dan lebih sulit dikontrol dibandingkan dengan mikroba
pangan dari daratan. Salah satu contohnya adalah mikroba Clostridium
botulinum tipe E adalah yang paling berbahaya dari mikroba laut dan paling
mendapat perhatian dalam pengolahan asap agar racun yang dihasilkannya
dapat dieliminasi. Pengetahuan yang luas dan dalam tentang proses
pengasapan diperlukan agar dapat menentukan kondisi optimum pengasapan
untuk menghasilkan produk yang baik dan pada saat yang sama level suhu
yang cukup tercapai untuk inaktivasi spora Clostridium botulinum tipe E.
(Chan et al., 1975).
Hilderbrand, Jr., (1992) juga menyatakan bahwa pengasapan hasil
laut dan perikanan biasanya melibatkan metode pengasapan dingin dan atau
pengasapan panas. Peralatan pengasapan dingin memiliki satu fungsi dasar
yakni mengaplikasikan asap ke bahan. Sedangkan peralatan pengasapan
panas memiliki dua fungsi yakni mengaplikasikan asap dan panas sekaligus.
Berhubung pengawetan ikan biasanya membutuhkan pengurangan kandungan
air, sistem pengasapan dingin dan pengasapan panas ikan didesain memiliki
fungsi dehidrasi atau pengurangan air. Dengan demikian peralatan modern
dalam pengasapan ikan biasanya didesain menghasilkan asap baik metode
Page 32
16
dingin atau panas dan dilengkapi aliran udara untuk membawa sejumlah besar
air dari bahan yang diasapi dan membuangnya keluar sistem.
Lebih lanjut dinyatakan oleh Hilderbrand, Jr., (1992) bahwa sirkulasi
udara pada sebuah rumah pengasapan adalah sangat mendasar dalam
mengaplikasikan asap dan panas serta pemindahan air dari bahan. Jika rumah
asap tradisional menggunakan sirkulasi asap secara gravitasi, rumah asap
modern menggunakan gaya mekanis untuk menghasilkan konveksi paksa.
Konveksi udara paksa dapat diaplikasikan ke bahan baik arah horisontal
maupun vertikal. Pergerakan aliran udara horisontal berfungsi sangat baik
pada bahan yang ditempatkan di dalam rumah asap pada rak berkawat kasa
(screened) untuk irisan daging atau ikan teri. Pergerakan aliran udara vertikal
bekerja baik pada bahan yang menggantung pada troli di dalam rumah asap
untuk bahan seperti ikan utuh atau belah. Meski demikian, desain rumah asap
yang terbaik untuk jenis ikan memiliki aliran udara horisontal yang
digerakkan berdasarkan konveksi paksa.
Ikan merupakan produk atau bahan pangan utama yang diproses
dengan metode pengasapan panas (Fellows, 2017). Pengasapan dalam arti
kombinasi perlakuan asap, garam dan pengeringan ditujukan untuk
menurunkan kadar air dibawah aktivitas air bahan, memberi aksi antioksidan
pada bahan dari komponen kimia yang terkandung di dalam asap,
pemusnahan mikroorganisme dan enzim dengan panas, aksi antimikroba
bahan yang berasal dari beberapa komponen asap seperti fenol dan sifat
antimikroba bahan dari perlakuan garam yang digunakan (Fellows, 2017).
Page 33
17
C. Asap dan pengasapan panas
Secara umum, asap adalah udara dan beberapa gas serta uap yang
mengandung campuran dari partikel kecil hidrokarbon yang berbeda-beda
ukurannya. Komponen kimia penting dari asap di antaranya adalah nitrogen
oksida, senyawa fenol, furan, senyawa karbonil, asam-asam karboksil
alipatik, senyawa polisiklik aromatik hidrokarbon (PAH) dan senyawa tar
(Council of Europe 1992; Fellows, 2017). Woolcock and Brown (2013)
melakukan klassifikasi senyawa aromatik antara lain senyawa aromatik yang
terkait secara erat dengan tar yakni golongan heterosiklik aromatik berupa tar
yang mengandung hetero atom terutama yang larut dengan air seperti
pyridine, phenol, quinoline, isoquinoline, dibenzophenol dan cresols.
Senyawa aromatik atau hidrokarbon ringan (1 cincin) seperti toluene,
ethylbenzene, ylenes dan styrene. Senyawa polisiklik aromatik hidrokarbon
ringan (2-3 cincin) dapat mengembun pada suhu rendah meskipun
konsentrasinya rendah seperti indene, napthalene, methylnapthalene,
biphenyl, acenaphthalene, fluorene, phenanthrene dan anthracene. Senyawa
polisiklik aromatik hidrokarbon berat (4-7 cincin) mengembun pada suhu
tinggi meskipun konsentrasinya rendah seperti fluoranthene, pyrene,
chrysene, perylene dan coronene. Senyawa aromatik yang lebih lengkap
dimuat pada Lampiran 15, sedangkan senyawa polisiklik aromatik
hidrokarbon yang bersifat karsinogenik antara lain benzo[a]anthracene,
benzo[b]fluoranthene, benzo[c]phenanthrene, benzo[j]fluoranthene, benzo[k]
fluoranthene, benzo[a]pyrene, benzo[e]pyrene dibenzo[a,h]acridine,
dibenzo[a,j]acridine, dibenz[ac]anthracene, dibenzo[a,h]anthracene, dibenzo
Page 34
18
[aj]anthracene, 7H-dibenzo[c,g]carbazole, dibenzo[a,e]pyrene, dibenzo[a,h]
pyrene, dibenzo[a,i]pyrene, dibenzo[a,l]pyrene, chrysene, fluoranthene
phenanthrene, triphenylene (Guille´n et al., 2000; Mahardini dkk., 2007).
Kamaruddin dkk., (1998) menyatakan bahwa pembakaran atau
pirolisis adalah penguraian (lysis) bahan biomassa karena panas (pyro).
Proses reaksinya menggunakan karbon yang terkandung dalam biomassa
bereaksi dengan oksigen melalui bantuan panas berupa api. Terdapat dua
jenis proses pembakaran jika diamati melalui reaksi fisik dan kimia tersebut.
Pembakaran sempurna terjadi jika ketersediaan oksigen dan panas mencukupi
bagi sejumlah karbon dalam bahan biomassa untuk melangsungkan reaksinya.
Pembakaran tidak sempurna terjadi jika volume oksigen dan panas yang
dibutuhkan kurang dalam reaksinya. Terdapat dua tingkatan dalam
hubungannya dengan proses pembakaran atau pirolisis tersebut yakni pirolisis
primer dan pirolisis sekunder. Pirolisis primer adalah proses pembakaran
terhadap bahan biomassa sedangkan pirolisis sekunder adalah proses
pembakaran terhadap partikel atau gas dan uap hasil pirolisis primer. Pirolisis
sekunder inilah yang menyebabkan gejolak api karena menambah volume
pembakaran melalui partikel, gas dan uap hasil pirolisis primer.
Berdasarkan uraian Kamaruddin dkk., (1998) tersebut di atas, pada
pembakaran biomassa untuk menghasilkan asap bagi proses pengasapan
maka proses pembakarannya sebaiknya dilakukan dengan mengurangi
oksigen agar pembakaran yang terjadi hanya pada tingkat pirolisis primer
terhadap bahan baku sedangkan komponen gas, partikel hidrokarbon dan uap
dari hasil pirolisis primer terkonversi menjadi asap yang mengandung
Page 35
19
sejumlah komponen bermanfaat. Pengaturan suplai oksigen melalui aliran
udara adalah faktor penting untuk menghasilkan asap dan atau panas yang
dibutuhkan tersebut.
Demikian pula dinyatakan bahwa pembakaran secara umum terjadi
pada suhu lebih dari 150oC dan proses pirolisis primer terjadi pada suhu
kurang dari 600oC. Proses pembakaran pada pirolisis primer dapat dibedakan
atas pirolisis primer lambat yakni terjadi pada laju pemanasan lambat suhu
150-300oC. Sedangkan pirolisis primer cepat terjadi pada suhu lebih dari
300oC dan berada pada reaksi dekomposisi selulosa dan lignin bersamaan
dengan terbentuknya uap, arang dan air. Uap dalam konteks ini adalah gas
yang dapat terkondensasi pada suhu kamar dan menjadi larutan yang disebut
primary pyrolisis oil (PPO). Minyak pirolisis ini mengandung ratusan
senyawa monomer, oligomer, monomer penyusun selulosa dan lignin
(Kamaruddin dkk,. 1998). Dekomposisi bahan biomassa berdasarkan
perubahan suhu dapat dibedakan atas penguapan air yang terjadi pada suhu
150oC hingga sekitar 170
oC, dekomposisi selulosa dan hemi-selulosa yang
intensif pada suhu 270-280oC dan dekomposisi lignin yang intensif pada suhu
350-450oC. Oleh karena itu disarankan untuk membatasi suhu pembakaran
biomassa 425oC pada zona dekomposisi karbon dan 325
oC pada zona
oksidasi untuk produksi asap yang ditujukan pada pengasapan pangan
(Kowalski et al., 2010).
Referensi yang lebih detail mengenai pola suhu pengasapan
dikemukanan oleh Rasco, (2009); Hilderbrand, Jr., (1988) bahwa pada
metode pengasapan panas, diperlukan dua rangkaian proses yakni pengasapan
Page 36
20
diikuti pemasakan (cooking). Lama waktu pengasapan tergantung citarasa dan
tingkat kadar air yang diinginkan. Pengasapan menyebabkan citarasa dan
aroma bahan pangan terbakar yang matang karena pendidihan air yang ada
dalam daging ikan. Proses pengasapan awal berlangsung hingga 2 jam pada
suhu sekitar 90oF dan secara berangsur ditingkatkan hingga pusat daging ikan
mencapai suhu minimal 150oF (paling baik 160
oF) dan memasaknya selama
30 menit. Penempatan termokopel ke dalam pusat daging ikan yang paling
tebal (mewakili) memungkinkan suhu tinggi yang cukup terpantau meskipun
ruang pengasapan tertutup. Suhu pengasapan yang tidak mencapai 200-225oF
mengharuskan proses pemasakan lanjut di dapur dalam kurun waktu 2 jam
setelah proses pengasapan tersebut. Jeda waktu lebih lama menyebabkan
kerusakan berbahaya karena pertumbuhan bakteri. Suhu pusat daging ikan
yang paling tebal dipertahankan minimal 150oF selama 30 menit (Gambar 1).
Gambar 1. Tipikal suhu pusat ikan & ruangan dalam siklus pengasapan.
Reproduksi atas ijin dari Rasco, (2009). Copyright 2009
Washington State University Extension.
Page 37
21
Pada metode pengasapan panas yang menggunakan bahan biomassa,
batasan suhu pembakaran dalam tungku menjadi aspek yang harus
diperhatikan terkait dengan pembentukan senyawa PAH. Senyawa PAH
terdiri atas beberapa senyawa yang bersifat karsinogen yang ditandai dengan
benzo[a]piren sebagai indikator senyawa paling karsinogenik (Mahardini
dkk., 2007). Hal tersebut didukung oleh fakta bahwa rasio kandungan
benzo[a]piren terhadap senyawa PAH lainnya terlihat konstan (Stołyhwo and
Sikorski, 2005). Disamping kemunculan senyawa benzo[a]piren yang
disebabkan oleh suhu, jenis biomassa yang digunakan juga menjadi faktor
penentu lain. Jenis kayu lunak adalah sumber terbentuknya senyawa
benzo[a]piren dengan kadar yang tinggi. Oleh karena itu dianjurkan
menggunakan jenis kayu keras sebagai sumber asap untuk diaplikasikan ke
bahan pangan (Maga and Fapojuwo, 1986). Kayu besi atau kayu ulin, jati,
bakau, ampas tebu, sabut dan tempurung kelapa adalah beberapa jenis bahan
biomassa di daerah tropik yang dapat dijadikan sumber panas dan asap.
Faktor lain yang menjadi pertimbangan keamanan pangan dari sisi
terbentuknya senyawa PAH adalah desain sistem pengasapan panas yang
digunakan. Upaya mengontrol pembentukan senyawa PAH dapat dilakukan
melalui batasan suhu pembakaran, jenis kayu yang digunakan dan desain
sistem pengasapan tidak langsung. Sistem pengasapan langsung yang
memiliki makna bahwa bahan yang diasapi kontak langsung dengan asap dan
bara api dalam satu ruangan memiliki peluang yang sangat tinggi untuk
terjadi kontaminasi. Kontaminasi yang dapat terjadi lebih luas jika ditinjau
dari aspek higienitas dan sanitasi sistem pengasapan. Kontaminasi tersebut
Page 38
22
dapat terjadi dari abu, jelaga dan tar yang berasal dari hasil pembakaran
biomassa, kandungan senyawa ikan yang menetes ke bara api menyebabkan
peluang terbentuknya senyawa PAH dengan lebih mudah. Disamping
memiliki peluang terkontaminasi senyawa PAH secara lebih mudah, produk
juga menjadi kotor karena abu dan fraksi kecil arang serta jelaga. The joint
FAO/WHO expert committe on Food Additives (JECFA) merekomendasikan
untuk mengganti sistem pengasapan langsung seperti yang banyak digunakan
pada pengasapan tradisional dengan sistem pengasapan tidak langsung
(JECFA, 2006). Lebih lanjut disarankan untuk menyalurkan asap ke ruang
bersekat (baffles) yang dilengkapi dengan alat pendingin untuk menuang tar
sebelum asap mencapai ruang pengasapan (Codex Alimentarius Commission,
2008).
Salah satu produk olahan ikan yang terkontaminasi dengan senyawa
PAH dengan konsentrasi tinggi adalah ikan kayu (katsuobushi). Produk ini
dihasilkan dari proses pengasapan berulang-ulang selama beberapa jam pada
suhu 80-120oC dan dilanjutkan dengan pengeringan sepanjang malam.
Lapisan tar yang menempel pada permukaan ikan mencapai 3% dari berat
ikan dengan kandungan benzo[a]piren sekitar 20-40 kali dari kandungan
benzo[a]piren pada lapisan daging di dalamnya (Kikugawa et al., 1986;
Stołyhwo and Sikorski 2005).
D. Pembangkit Panas dan Asap
Pembangkit panas dan asap atau generator adalah unit yang
difungsikan sebagai tempat pembakaran atau pirolisis bahan biomassa untuk
menghasilkan panas sekaligus asap. Panas yang dihasilkan harus dapat
Page 39
23
memenuhi tingkat suhu yang dibutuhkan pada ruang pengasapan untuk
kriteria pengasapan panas yakni dapat mencapai 100oC atau lebih. Demikian
halnya produksi asap harus dapat memberi citarasa dan aroma yang khas agar
dapat diterima konsumen. Pembangkit panas dan asap dapat didesain dalam
bentuk sederhana hingga kompleks dengan fungsi tambahan seperti
memisahkan partikel padat seperti abu sebelum asap mengenai bahan,
memuat sistem dehumidifier agar kelembaban udara pengasapan tertentu
dapat dicapai. Dalam banyak kejadian, kelembaban udara 60% dan suhu
udara 160oF akan menghasilkan deposit asap maksimum pada beberapa
spesies ikan (Hilderbrand, Jr. 1992).
1. Tungku Pembakaran
Inti dari pembangkit panas dengan menggunakan bahan biomassa
adalah tungku pembakaran. Tungku dimaksudkan untuk membakar berbagai
jenis bahan atau briket kayu. Bagian terpenting adalah material baja atau besi
dengan ketebalan 5 – 8 mm (Malatak et al., 2007).
Kamaruddin dkk., (1998) menyatakan untuk pembakaran jenis
biomassa, semakin panjang jalur konversi yang ditempuh maka makin kecil
efisiensinya menjadi energi. Konversi biomassa menjadi energi panas dengan
cara pembakaran langsung dalam tungku dapat mencapai efisiensi sekitar
40%. Bentuk biomassa dimana makin besar kandungan zat arang per satuan
bobotnya, makin baik fungsi bahan tersebut sebagai bahan bakar. Akan tetapi
besar kecilnya energi pembakaran dipengaruhi pula oleh beberapa faktor lain:
sempurna atau tidaknya pembakaran berlangsung; artinya semua zat arang
dan oksigen bereaksi menjadi CO2 dan terjadinya pembakaran habis dimana
Page 40
24
bahan bakar terbakar habis tetapi zat oksigen yang diperlukan untuk
pembakaran tidak semuanya bereaksi menjadi CO2.
Oleh karena itu sebuah tungku disamping memperhatikan aspek
dimensi juga sangat menekankan aspek kebutuhan oksigen melalui jalur
suplai udara dan efek kecepatan udara bagi proses pembakaran yang terjadi.
Aspek ini dapat diwujudkan melalui saluran udara yang bukaannya dapat
diatur luas penampangnya sedemikian rupa.
(Tahir, 2009) menguji tungku tipe hisap dengan penempatan pada
sudut ruangan bagian belakang dari pengering tanpa dilengkapi penukar
panas. Panas yang dihasilkan dari tungku berbahan bakar arang tempurung
kelapa selanjutnya dihembuskan ke ruangan bahan melalui ruang plenum dan
menimbulkan efek pengotoran terhadap bahan yang dikeringkan. Laju
pengumpanan arang 0,8 kg/jam mampu menyuplai dan mempertahankan
panas pada suhu 60,7oC dalam bak pengering.
(Tahir dan Purnama, 2010) menguji penggunaan tungku biomassa tipe
hisap untuk menyuplai panas bagi pengeringan benih dengan sistem kontrol
on/off pada setting suhu 40oC. Penetapan suhu 40
oC untuk menghindari
kerusakan benih sebagai perlakuan suhu untuk memecah dormansi benih.
Hasil menunjukkan bahwa dormansi sampel benih dapat dipatahkan pada
suhu sekitar 40oC yakni pada selang 38-41
oC dibandingkan dengan sampel
yang tidak mendapat perlakuan.
2. Penukar Panas
Penukar panas diaplikasikan dalam kaitan transfer-energi pada sebuah
sistem terintegrasi antara sumber pembangkit panas dengan unit pemanfaatan
Page 41
25
panas. Penukar panas jenis tertutup atau recuperator memiliki aliran fluida
panas dan aliran fluida dingin yang tidak saling bersentuhan secara langsung
melainkan dipisahkan oleh dinding tabung. Klasifikasi recuperator dibedakan
dari konfigurasi dan jumlah laluan yang dibuat untuk setiap aliran fluida
melewati penukar panas (Welty et al., 2004). Penukar panas laluan tunggal
dapat berupa aliran paralel dan aliran searah atau cocurrent, aliran melawan-
arus atau counter-current dan aliran-silang atau crossflow jika kedua aliran
fluida mengalir saling tegak lurus. Jenis lain berupa laluan ganda dari salah
satu atau kedua fluida untuk mendapatkan sebanyak mungkin transfer energi
dalam sekecil mungkin ruang yang tersedia.
Gambar 2. Penukar panas tipe selubung dan pipa
Gambar 3. Konfigurasi laluan selubung dengan banyak pipa
Page 42
26
Identifikasi beda suhu rata-rata aritmetika (Arithmetic Mean
Temperature Differensial, AMTD) pada Gambar 2 berkaitan dengan beda
suhu rata-rata logaritmik (Logarithmic Mean Temperature Differensial,
LMTD) melalui persamaan (Fakheri, 2007);
( AMTD ) F ( LMTD ) ................................................................. (1)
: Efisiensi penukar panas, %
AMTD : Beda temperatur rata-rata aritmetika, oC
F : Faktor koreksi penukar panas, %
LMTD : Beda temperatur rata-rata logaritmik, oC
LMTD selalu didefenisikan pada aliran melawan dan pada kasus
tertentu pengaturan alirannya murni berlawanan sehingga nilai F=1.
Sedangkan pada aliran yang tidak persis sama dengan aliran yang
digambarakan tersebut maka nilai F<1. Secara umum dalam desain
penukar panas, nilai F tidak dikehendaki lebih rendah dari 0,75 karena
akan berdampak pada kebutuhan luas bidang penukaran panas
(Anonimous, 2015).
AMTD adalah kondisi penukar panas dibawah perbedaan rata-rata
suhu antara fluida panas dan fluida dingin secara aritmetika. Laju
penukaran panas pada kondisi AMTD dengan produk UA yakni koefisien
transfer panas keseluruhan pada suatu luasan merupakan laju optimum.
Sedangkan laju transfer panas pada sebuah penukar panas dengan produk
UA dan AMTD selalu lebih kecil dari nilai transfer panas optimumnya.
Hal inilah yang dinyatakan dalam konsep efisiensi penukar panas dimana
nilainya lebih kecil atau sama dengan satu, ( 1 ), (Fakheri, 2007).
Page 43
27
Pada sisi lain analisis penukar panas, metode efektivitas number
transfer unit atau -NTU menyajikan identifikasi terhadap kapasitas panas
dari fluida panas maupun fluida dinginnya. Kapasitas panas minimum atau
Cmin adalah nilai dari salah satu kapasitas panas fluidanya dengan nilai
yang lebih rendah. Hal ini terjadi sehubungan bahwa satu fluida
mengalami perubahan suhu atau temperatur total yang lebih besar
dibandingkan yang lain. Dengan demikian fluida yang mengalami
perubahan suhu atau temperatur yang lebih besar adalah fluida yang
mempunyai koefisian kapasitas yang lebih kecil (Cmin). Jika CH = Cmin
seperti dalam Gambar 4, dan jika terdapat luas infinit yang digunakan
untuk transfer energi, maka suhu atau temperatur keluaran dari fluida
panas akan sama dengan suhu atau temperatur masukan fluida dingin.
CC > CH , CH = Cmin
Gambar 4. Profil suhu untuk jenis aliran melawan
NTU selanjutnya didefenisikan sebagai rasio dari produk UA terhadap
kapasitas panas minimumnya. Efektivitas penukar panas didefenisikan
sebagai rasio antara laju panas aktual terhadap produk Cmin dengan selisih
suhu udara masuk pada kedua fluidanya yakni laju panas maksimum.
Dalam persamaan matematika dinyatakan, (Zainuddin dkk., 2005):
TC i
TH o
TH i
TC o
Page 44
28
........................................................................ (2)
Dengan ekspresi Number Transfer Unit (NTU) sebagai UA/Cmin dan CR
sebagai Cmin/Cmaks maka efektivitas dinyatakan dengan persamaan
berikut ini yang diturunkan dari kondisi Cc = Cmin, (Welty et al., 2004).
CR-1NTU-exp CR-1
CR-1NTU-exp1 ............................................................ (3)
Persamaan selanjutnya dalam hubungannya dengan perpindahan panas q
dalam penukar panas adalah (Welty et al., 2004):
)TT(C q icihmin ............................................................................. (4)
3. Siklon Separator
Siklon memiliki prinsip dasar memisahkan partikel padat dari
aliran gas dengan memanfaatkan gaya setrifugal aliran dan gaya gravitasi
bumi. Penggunaannya dalam industri misalnya untuk memisahkan partikel
debu seperti serbuk gergaji, debu semen dan pada industri pangan seperti
pemisahan kotoran biji-bijian. Siklon cocok digunakan pada temperatur
tinggi dan kondisi bertekanan karena desainnya yang kokoh dan pemilihan
material komponennya yang fleksibel. Efisiensi pengumpulan siklon dapat
mencapai lebih dari 99% untuk partikel yang sangat halus dan dapat
dioperasikan pada beban debu yang sangat tinggi.
Secara geometri sebuah siklon memiliki parameter seperti pada
Gambar 5. Pada Gambar 5(a) memuat parameter geometri sebuah siklon
Page 45
29
yang terdiri atas diameter tabung siklon (D), diameter pipa buangan (do),
diameter kerucut abu (Bc), tinggi pipa pemisah (S), tinggi tabung siklon
(h), tinggi kerucut (hc), tinggi total siklon (ht), tinggi inlet siklon (a), dan
lebar inlet siklon (b).
Pada Gambar 5(b) aliran gas berupa udara panas dan asap yang
mengandung partikel padat dengan berbagai ukuran masuk secara
tangensial pada saluran masuk. Aliran masuk yang terbentuk akan
menghasilkan aliran swirling partikel yang terbawa dan bergerak ke arah
dinding karena gaya sentrifugal. Sedangkan pengaruh gaya gravitasi massa
pada partikel tersebut menyebabkan gerakan dalam bentuk spiral ke arah
bawah dan terkumpul pada kotak abu pada bagian bawah siklon. Aliran
udara akhirnya bergerak ke dalam membentuk secondary swirling dan
bergerak ke arah atas selanjutnya keluar melalui pipa buangan di ujung
atas siklon.
Gambar 5. Siklon separator: (a) geometri (b) skema aliran udara
Page 46
30
Siklon separator merupakan salah satu mekanisme pemisahan
partikel padat dengan ukuran sekitar 0,0021 mm hingga 1,2 mm. Bentuk
pemisahan partikel lainnya adalah pengendapan bermuatan (electrostatic
precipitators), saringan (filters), cairan perangkap (liquid scrubbers) dan
ruang penyekat (settling chambers) sebagaimana skema ukuran partikel
padat pada Gambar 6 (Elsayed, 2011).
Gambar 6. Skema ukuran partikel padat dan proses pemisahan yang sesuai
(Elsayed, 2011).
Gambar 7. Ilustrasi perbandingan ukuran partikel dalam mikron (Pentz,
2012; Department of Ecology, State of Washington 2012).
Page 47
31
Ukuran mikron atau 1 m setara dengan 10-6
m dan 1 meter setara
dengan 1000 mm. Pemahaman dalam dimensi ini dapat dilakukan dengan
perbandingan ukuran diameter partikel asap; 0,05 – 1 m terhadap debu
halus atau fine dust; < 10 m, debu yang melayang di udara atau airborne
dust; < 30 m, diameter rambut manusia; 30-70 m dan diameter pasir
pantai yang halus; 90 m (Pentz, 2012; Department of Ecology, State of
Washington 2012).
Pada desain siklon separator terdapat empat faktor yang sangat
berpengaruh yakni diameter pipa buangan (the vortex finder), lebar inlet
siklon, tinggi inlet siklon serta tinggi tabung dan kerucut siklon. Elsayed,
(2011) dalam pengamatan secara komputasi menggunakan Reynolds Stress
Turbulence Model (RSM) pada lima jenis siklon memperoleh fakta
mengenai kecepatan maksimum tangensial. Peningkatan dimensi inlet
siklon menyebabkan penurunan kecepatan maksimum tangensial dan
pressure drop-nya. Perubahan lebar inlet siklon (b) lebih signifikan dari
pada tinggi inlet (a) dimana rasio optimalnya (b/a) antara 0,5 – 0,7. Lebih
lanjut dinyatakan bahwa perubahan tinggi total siklon juga berpengaruh
pada kecepatan maksimum tangensial dan pressure drop-nya. Perubahan
performansi setelah h/D = 1,8 kecil pada hc konstan dan peningkatan
performansi siklon berhenti setelah hc/D = 4,0 dan ht/D = 5,5.
4. Ruang Pengasapan
Ruang pengasapan memiliki peranan penting sebagai tempat
terjadinya kontak antara udara panas dan asap dengan bahan berupa ikan.
Page 48
32
Pada kontak inilah udara panas melakukan penetrasi ke dalam ikan dan
menyebabkan difusi cairan ke permukaan bahan. Pada tahap awal aliran
udara pengering akan menyebabkan penguapan pada molekul air yang
terdapat pada permukaan ikan dan menyebabkan perbedaan tekanan
dengan bagian dalam. Suhu udara yang tinggi tidak diperlukan pada tahap
ini agar lapisan bahan tidak mengalami pengerasan mendadak atau case
hardening. Sejalan dengan pengasapan, citarasa daging ikan akan menjadi
lebih baik karena penurunan rasa amis dan proses pematangan melalui
pendidihan air yang terkandung pada daging ikan. Proses ini berlangsung
sekitar dua jam di awal pada temperatur 32,2oC dan secara berangsur
ditingkatkan hingga titik tengah daging ikan mencapai suhu 65,6-71,1oC
selama 30 menit sehingga terjadi proses pematangan. Pada proses
pematangan ini sangat perlu di desain peralatan yang mampu menyuplai
suhu udara ruang pengasapan pada suhu 93,3-107,2oC agar daging ikan
matang dan tidak perlu dimasak lagi di dapur (Rasco, 2009). Hubungan
antara tingkat suhu internal daging dengan kematangan secara umum dapat
dibedakan dalam 5 kriteria (Dwayne, 2015) yakni:
(1) Setengah matang, suhu internal daging harus berkisar 52-55oC
(2) Antara setengah matang dan matang; suhu internal berkisar 55-60oC
(3) Matang; suhu internal daging harus berkisar 60-65oC
(4) Antara matang dan matang sempurna; suhu internal berkisar 65-69oC
(5) Matang sempurna; suhu internal daging harus berkisar 71-100oC.
Kriteria kematangan daging seperti yang diuraikan di atas lebih
menekankan segmen waktu pematangan dengan lama minimum 30 menit.
Page 49
33
Lama waktu tersebut tidak mencakup keseluruhan waktu proses yang lebih
panjang dari saat awal memanaskan bahan. Secara khusus untuk proses
pengasapan, lama waktu pengasapan dapat diduga melalui sebuah
persamaan. Pendugaan lama waktu proses pengasapan ikan dalam
kaitannya dengan kadar air akhir ikan asap yang diinginkan dapat didekati
secara lebih tepat menggunakan persamaan semi-empirik Nikitin (Doe et
al. 1998; Heruwati, 2002) sebagai berikut:
............................................................................... (5)
..................................... (6)
t = Waktu pengasapan (menit)
k = Konstanta laju pengasapan (1/jam)
cf = Kadar lemak ikan (%)
v = Kecepatan aliran udara (m/detik)
a = Kelembaban relatif (%)
T = Temperatur asap (oC).
Wo = Kadar air awal (kg/kg bobot kering)
We = Kadar air ekuilibrium (kg/kg bobot kering)
Wt = Kadar air akhir (kg/kg bobot kering)
E. Ikan Cakalang
Ikan cakalang merupakan jenis ikan laut yang termasuk dalam famili
scombridae, genus katsuwonus dan spesies katsuwonus pelamis. Dalam famili
tersebut, ikan cakalang memiliki kemiripan dengan ikan tuna dan ikan
tongkol. Ikan cakalang memiliki bentuk tubuh bulat memanjang (fusiform),
ekor kuat dan terdapat garis lateral berwarna kehitaman pada sisi sampingnya.
Page 50
34
Berat tubuhnya berkisar 0,5–11,5 kg dan memiliki panjang 30-80 cm atau
lebih. Suhu perairan yang disukai berkisar 17-31°C sehingga ikan cakalang
umumnya ditemui sepanjang pantai tropis yang hangat pada kedalaman
penangkapan 0-400 meter (Wikipedia, 2017).
Perikanan tangkap Indonesia dari 2012-2016 menunjukkan volume
yang terus meningkat dari 5,44 juta ton – 6,4 juta ton dan tahun 2017
volumenya sekitar 6,8 juta ton. Pada sisi lain, peranan produk domestik bruto
industri pengolahan kelautan dan perikanan terhadap PDB Indonesia tahun
2012 tercatat kecil sebesar 0,22% dari total peranan PDB usaha kelautan dan
perikanan (Sidatik, 2017; Marta, 2017). Peningkatan volume tangkap
perikanan tersebut mestinya dibarengi dengan tekad meningkatkan upaya
pengolahan ikan termasuk penciptaan sarana dan teknologi peralatan
pengasapan.
F. Kerangka Pemikiran
Penelitian ini dilakukan untuk melihat aspek fungsi dan performansi
desain sistem pembangkit panas dan asap untuk pengasapan ikan. Sistem
pembangkit panas dan asap terdiri atas unit tungku pembakaran biomassa, unit
penukar panas dan unit siklon separator yang terintegrasi satu sama lain.
Desain pengasapan secara khusus memanfaatkan asap yang terbentuk pada
proses pembakaran biomassa dilakukan dengan terlebih dahulu memisahkan
partikel padat seperti abu, arang, jelaga dan tar melalui siklon separator. Pada
desain pembangkit panas dan penukar panas secara umum, asap yang
bercampur dengan partikel padat dan sebagian panas menjadi buangan sebagai
Page 51
35
komponen yang menurunkan efisiensi sistem. Dengan demikian dalam desain
ini memuat aspek yang akan membalikkan komponen penurun efisiensi sistem
tersebut menjadi bagian dari energi berguna sekaligus meningkatkan
efisiensinya. Demikian pula keberadaan asap hasil pembakaran yang selama
ini tidak dimanfaatkan, akan menjadi bagian yang berguna sebagai komponen
yang memberi citarasa dan aroma asap serta pengawet bahan pangan.
Profil aliran udara pada penukar panas dari desain pembangkit panas
secara umum ditunjukkan pada Gambar 8. Udara panas yang dibangkitkan
oleh tungku pembakaran akan menjadi panas masuk pada penukar panas (THi).
Panas ini selanjutnya dipindahkan ke fluida dingin umumnya dari udara
lingkungan sehingga suhunya naik dari TCi menjadi TCo dan mengakibatkan
temperatur fluida panas turun menjadi THo.
Gambar 8. Profil temperatur untuk aliran berlawanan dan siklon
Siklon separator dalam desain ini akan menjembatani udara panas dan
asap (THo) yang umumnya terbuang, menjadi udara dan asap masuk dengan
komponen panasnya (TCi) dan akan dipanaskan kembali menjadi udara dan
asap (TCo) untuk pengasapan ikan. Disamping berfungsi sebagai
TC i
TH o
TH i
TC o
Siklon
Page 52
36
perantara/jembatan atau pembalik aliran udara, siklon juga ditujukan untuk
memisahkan abu dan partikel padat lainnya yang terbawa dalam aliran udara
dan asap sehingga efek pengotoran dan penyumbatan aliran udara pada sela
pipa penukar panas berkurang. Kondisi udara dan asap yang bersih pada sisi
lain meningkatkan sanitasi dan higienitas produk yang diasapi.
Pengasapan ikan cakalang dilakukan sebagai proses lanjut pengujian
panas dan asap yang dihasilkan dari desain pembangkit. Proses pengasapan
akan berlangsung dalam ruangan yang disesuaikan dengan jumlah bahan.
Performansi sistem pengasapan akan dilakukan melalui perhitungan teknik
yang melibatkan konsumsi energi dan jumlah kandungan air yang diuapkan.
Parameter uji pada ikan sebagai bahan yang diasapi adalah nutrisi berupa
kadar protein, lemak, abu, fenol dan formalin. Parameter yang diatur dalan
Syarat Nasional Indonesi (SNI) ikan asap Tahun 2009 bagian spesifikasi mutu.
Analisis benzo[a]piren dilakukan dengan metode high performance liquid
chromatografi (HPLC). Analisis ini dimaksudkan untuk mengevaluasi
kandungan senyawa karsinogen yang muncul seiring terbentuknya senyawa
polisiklik aromatik hidrokarbon (PAH) dan fraksi tar pada pembakaran bahan
biomassa.
Page 53
37
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Pada penelitian ini di desain pengasapan tidak langsung dari unit
siklon separator, penukar panas, tungku dan ruang pengasapan untuk
mengasapi ikan cakalang. Penelitian mencakup desain dan konstruksi di
bengkel produksi, instalasi alat dan instrumen ukur untuk pengujian
fungsional dan pengujian performansi. Untuk mencapai tujuan maka dalam
pelaksanaannya disusun uraian tahapan berikut dan diagram alur pada Gambar
9.
1. Mendesain ruang pengasapan berdasarkan jumlah ikan cakalang dan
kebutuhan laju energinya.
2. Mendesain penukar panas, analisis fungsi dan kesesuaian struktural, aspek
ergonomi secara sederhana, material dan dimensi khususnya tinggi
berdasarkan tinggi desain siklon. Modifikasi dari skema standar dalam
menentukan dimensi penukar panas, sekat atau baffles, pola atau susunan
pipa dalam selubung.
3. Mendesain siklon separator berdasarkan distribusi partikel abu yang akan
dipisahkan, karakteristik tempurung kelapa, debit udara blower dan
referensi siklon standar tipe Stairmand dan optimasi inletnya.
4. Mendesain tungku pembakaran biomassa, pengaturan tinggi ruang abu dan
ruang biomassa didasarkan pada ketinggian siklon dengan dustbin-nya,
melakukan pengujian terintegrasi dan performansi sistem. Evaluasi hasil
Page 54
38
meliputi performansi desain sistem pengasapan dan ikan cakalang asap
yang dihasilkan.
Gambar 9. Diagram alur perencanaan desain pengasapan dan uji performansi
Persiapan Desain
Desain tungku
Desain penukar panas
Desain siklon separator
Desain ruang pengasapan
Integrasi desain pengasapan tidak langsung
Menentukan massa tempurung
untuk capaian suhu bertingkat
Suhu target 100
Ya
Merencanakan uji desain
terintegrasi tanpa beban
Uji performansi sistem
pengasapan dengan ikan cakalang
berdasarkan SNI ikan asap
Menyiapkan ikan cakalang +
rendam garam 15%
Kadar air ikan
< 60%
Ya
Prototipe Desain
Tidak
Tidak
Page 55
39
Secara detail, desain yang terdiri atas siklon separator, penukar panas, tungku
biomassa dan ruang pengasapan masing-masing ditampilkan diagram alurnya
pada Gambar 10 - 13.
Gambar 10. Diagram alur desain ruang pengasapan
Menentukan tipe ruang
pengasapan
Menentukan dimensi panjang
silinder dan membuat rak
gantungan/troli beroda
Massa ikan
Karakteristik ikan
Hasil simulasi
Menghitung laju energi
ruang pengasapan
Menghitung jarak & susunan ikan di
dalam ruangan berdasarkan dimensi
ikan, rendemen & jumlahnya.
Prototipe ruang pengasapan
Page 56
40
Gambar 11. Diagram alur desain penukar panas
Menentukan pola susunan pipa 30o, PT
dan menghitung luas proyeksi pipa
Laju energi ruang
pengasapan = laju aktivitas
energi penukar panas.
Target suhu pengasapan
Menghitung luas bidang
penukaran panas
Memilih nilai F dan
aproksimasi U
Menghitung jumlah pipa dan
tinggi penukar panas
Menentukan dimensi
P x L Ds (ergonomi)
Penentuan besaran suhu
keempat parameter hitung
penukar panas
Prototipe penukar panas
Menghitung suhu
logaritmik penukar
panas
Page 57
41
Gambar 12. Diagram alur desain siklon separator
Prototipe siklon separator
Menentukan jenis & tipe
siklon separator
Prediksi ef. pemisahan
partikel abu
Efisiensi > 0,9
Debit blower = LU
Referensi kecepatan pemisahan
Densitas bahan bakar
Ya
Menghitung diameter
siklon separator
Tidak
Menentukan lebar inlet <
tinggi inlet secara signifikan
Menghitung dimensi lengkap
siklon separator
Page 58
42
Gambar 13. Diagram alur desain tungku
Secara skematik desain sistem pembangkit panas dan asap terdiri
atas tungku pembakaran biomassa, penukar panas dan siklon separator serta
ruang pengasapan seperti terlihat pada Gambar 14. Ruang pengasapan dibagi
menjadi dua segmen yakni bagian inlet dan bagian outlet untuk pengamatan
suhu baik suhu pusat ikan maupun suhu ruangan. Pada sistem pembangkit
Tinggi siklon+dustbin tinggi
PP+tungku ( 1500 mm)
Luas penampang selubung PP
Energi pengasapan & pengeringan
Energi tempurung
Perkiraan tinggi dustbin
Ya
Tidak
Menghitung laju pembakaran
Menghitung volume tungku
Menghitung tinggi tungku
Proyeksi energi pengeringan 4x target
energi pengasapan
Prototipe tungku
Pengaturan tinggi ruang tempurung
dan tinggi ruang abu
Page 59
43
panas dan asap, pengamatan suhu dilakukan pada ruang tungku, outlet pipa
penukar panas, inlet selubung dan outlet selubung penukar panas.
a. Udara masuk tungku
b. Bahan bakar diumpan
c. Asap tungku masuk inlet pipa
d. Asap keluar outlet pipa
e. Abu terpisah ke dustbin melalui siklon
f. Asap dari siklon masuk ke inlet selubung
g. Asap dari outlet selubung ke ruangan
h. Asap mengenai ikan dalam ruangan
i. Asap meninggalkan outlet ruangan
Posisi termokopel pada:
1. Tungku (inlet pipa penukar panas)
2. Outlet pipa penukar panas
3. Inlet selubung penukar panas
4. Outlet selubung penukar panas
5. Inlet ruang pengasapan
6. Pusat Ikan di inlet ruang pengasapan
7. Outlet ruang pengasapan
8. Pusat ikan di outlet ruang pengasapan
Gambar 14. Skema desain sistem pengasapan tidak langsung, aliran asap
dan lokasi penempatan termokopel.
Prinsip kerja aliran udara dan asap pada desain pengasapan ikan
(Gambar 14) dimulai pada ruang tungku sebagai ruang pembakaran
tempurung kelapa. Tempurung kelapa diumpan melalui saluran (b) masuk ke
ruang pembakaran tungku. Udara dari lingkungan (a) masuk ke tungku
mensuplai oksigen untuk pembakaran menghasilkan panas dan asap lalu
dihisap oleh blower melalui pipa-pipa hingga ke outlet pipa penukar panas (d).
Selama melewati pipa terjadi penukaran panas ke ruang selubung melalui
luasan dinding pipa-pipa. Blower mendorong udara dan asap ke dalam siklon
Page 60
44
untuk pemisahan partikel padat dan tar ke dalam dustbin (e) selanjutnya
berbalik menuju outlet siklon dan saluran inlet selubung penukar panas (f).
Udara dan asap di dalam selubung dari posisi inlet hingga ke outlet selubung
mengalami pemanasan dan proses pengadukan melalui ruang sekat sebanyak 5
kali laluan. Udara dan asap yang keluar outlet selubung (g) memasuki ruang
bahan untuk mengasapi ikan cakalang yang tergantung (h). Sebagian asap
meninggalkan ruang bahan melalui lubang outlet ruang pengasapan (i).
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
Kegiatan penelitian dilakukan di Gorontalo yakni kegiatan desain dan
rancang bangun di Politeknik Gorontalo (Poligon) dan kegiatan instalasi dan
pengujian desain di Desa Iluta (A dan B di insert Gambar 15). Kegiatan
desain dimulai pada bulan April - Juni 2016, perbaikan desain dilakukan
hingga bulan Agustus 2016. Kegiatan instalasi dan rangkaian pengujian dari
Agustus – Desember 2016. Pengujian laboratorium berlangsung dalam waktu
yang lebih lama yakni hingga April 2017.
Analisa hasil pengujian desain berupa pemisahan abu dan ikan
cakalang asap dilakukan pada beberapa tempat seperti Laboratorium Fisika di
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Serpong, Laboratorium Kimia di
Balai Industri Agro (BIA) Bogor, Laboratorium Fisika Universitas Negeri
Makassar (UNM) Makassar, Balai Besar Laboratorium Kesehatan (BBLK)
Makassar, Laboratorium Balai Besar Industri Hasil Perkebunan (BBIHP)
Makassar dan Laboratorium Balai Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil
Perikanan (BPPMHP) Gorontalo.
Page 61
45
Gambar 15. Peta lokasi penelitian
C. Alat dan Bahan
1. Alat, komponen desain dan instrumen
a. Perlengkapan bengkel
Peralatan dalam sebuh bengkel konstruksi secara umum adalah
set tools standar seperti alat pengukur, penggambar, pemotong,
pelubang, pembentuk dan penyambungan atau konstruksi bahan logam
serta finishing tools seperti alat untuk mengecat.
Page 62
46
b. Blower Sentrifugal
Tipe blower sentrifugal yang sesuai dengan karakteristik udara
pada desain sistem pengasapan adalah XYGR Series High Temperature
Boiler Blower. Berdasarkan pertimbangan penggunaan daya yang
hemat dan perhitungan awal desain, dipilih blower dengan daya dan
kapasitas terendah yakni CF-XYGR63-XY dengan daya 100 Watt 50
Hz, debit udara 282 m3/jam dan tekanan statis 650 Pa. Spesifikasi dari
seri produksinya dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Parameter blower suhu tinggi seri XYGR
Seri
XYGR
Power
(W)
Voltage
(V)
Diameter
(mm)
Rotation
speed
(r/min)
Flow
Rate
(m3/h)
Full
Pressure
(Pa)
100 100 220/380 63 2800 282 650
200 200 220/380 75 2800 408 840
400 400 220/380 98 2800 822 1390
1000 1000 220/380 123 2800 1512 1780
Sumber : Xingyi, (2017).
a. Termokopel dan peraga suhu digital
Jenis termokopel yang digunakan adalah tipe K kabel teflon model
KX-2*0,4 mm. Penggunaannya didahului dengan proses kalibrasi
menggunakan air mendidih dan bongkahan es. Peragaan suhu secara
digital dilakukan dengan menghubungkannya ke beberapa instrumen
seperti peraga nilai suhu tunggal (TM-902C), selang -50–1300oC;
0,1oC, peraga nilai suhu tunggal yang dilengkapi multiflekser delapan
Page 63
47
saluran dan peraga nilai suhu empat saluran dan lima saluran (T4WM),
selang 0-1200oC, akurasi F.S.±0,5%; 1
oC.
b. Instrumen ukur kelistrikan
Instrumen kelistrikan digunakan untuk mengukur parameter listrik
seperti tegangan, ampere, daya dan energi dari pemakaian blower
selama proses uji sistem pengasapan. Instrumen yang terlibat meliputi
Tang ampere MT87; 0,01A, Multimeter Sanwa CD800a dan Wh-meter
80-260VAC; 100A, 1,0 digit. Wh-meter digunakan untuk mengukur
energi yang terpakai dimana nilai terakhir akan tersimpan dalam
memori jika sistem di non-aktifkan dan akan bertambah jika sistem
kembali dioperasikan.
c. Instrumen ukur kecepatan dan tekanan udara
Instrumen yang digunakan untuk mengukur kedua parameter
tersebut adalah digital anemometer, manometer U dan thermal
anemometer merek Hiyoshi model AP110.
d. Instrumen ukur berat
Jenis timbangan yang digunakan adalah timbangan digital gantung;
0,001 kg merek Weiheng dan timbangan digital; 0,01 g, 5 digit model
notebook merek Digital Scale. Kapasitas timbangan digital gantung
hingga 50 kg, sedangkan timbangan digital model notebook untuk skala
hingga 5,0 g.
Page 64
48
e. Instrumen ukur kadar air bahan bakar
Pengukuran kadar air sabut dan tempurung kelapa dilakukan
dengan menggunakan Moisture Meter model tusuk 2 probe akurasi
±1% khusus untuk jenis kayu dan kardus. Penggunaan instrumen ini
menjadi praktis dengan hanya menusukkan kedua probe yang runcing
ke bahan yang keras seperti kayu dan tempurung kelapa.
f. Instrumen ukur suhu dan kelembaban udara
Selain menggunakan instrumen suhu dengan termokopel, dalam
percobaan juga memanfaatkan instrumen suhu berbasis sensor SHT75
yang mampu mendeteksi suhu dan kelembaban udara secara bersamaan.
Akurasi suhunya ± 0,3oC dan akurasi mutlak RH sebesar ± 1,8%.
Instrumen ini dibutuhkan terutama untuk memperoleh kondisi udara
acuan berdasarkan referensi dan penyetelannya pada desain sistem
pengasapan yang akan diuji.
g. Instrumen ukur jarak desain penukar panas
Instrumen lain yang digunakan khusus dalam desain penukar panas
meliputi jarak antar pipa atau pitch, diameter pipa dan pelubangan bor
serta dimensi panjang, lebar dan tinggi adalah meteran dan sigmat
digital. Presisi pada penentuan pola segitiga atau staggered lubang pipa
menentukan performansinya terutama pada aliran udara serta
hambatannya.
2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam desain adalah besi plat ketebalan 1,3
mm dan 6 mm, pipa galvanis diameter 3,2 mm, plat aluminium
Page 65
49
ketebalan 0,3 mm, kawat aluminium serta cat besi untuk warna.
Penyiapan bahan untuk pengujian adalah ikan cakalang dan larutan
garam beriodium. Bahan bakar yang digunakan adalah tempurung
kelapa dan sabutnya.
D. Pendekatan Desain dan Analisis
1. Siklon Separator
Desain siklon separator didasarkan pada beberapa aspek teknis
perancangan. Jenis siklon separator yang dipilih adalah tipe efisiensi
pemisahan atau pengumpulan partikel padat yang tinggi. Dengan
demikian perancangannya didasarkan pada tipe siklon stairmand
berefisiensi tinggi. Aspek teknis perancangannya antara lain adalah
hasil analisa partikel padat seperti abu/debu yang diproyeksikan akan
dipisahkan. Aspek lain adalah kecepatan aliran udara yang dijadikan
referensi dalam pemisahan partikel padat tersebut. Referensi kecepatan
aliran udara masuk ke inlet siklon separator yang sering digunakan
adalah 15 m/detik (Sinnott, 2005). Tetapi dalam desain ini digunakan
nilai kecepatan sebesar 10 m/detik berdasarkan klasifikasi penggunaan
kecepatan aliran udara untuk kontaminan yang menyerupai
asap/uap/debu (Kaupp and Goss, 1984).
Berdasarkan nilai kecepatan aliran udara yang dipilih dan nilai
debit udara blower sentrifugal yang digunakan untuk membentuk aliran
udara, maka luas dan dimensi inlet siklon separator dapat ditentukan.
Dimensi inlet siklon adalah tinggi dan lebar saluran, dengan nilai lebar
yang memiliki pengaruh dominan yaitu lebar inlet lebih kecil dari
Page 66
50
diameter dibagi dua dari tabung siklonnya (Elsayed, 2011). Ukuran
siklon separator biasanya didasarkan atas dimensi siklon standar yakni
203 mm pada debit aliran udara 223 m3/jam dan beda densitas padatan-
gas 2000 m3/kg serta viskositas gas-uji (udara atmosfir, suhu 20
oC)
setara 0,018 mN S/m2. (Sinnott, 2005; Gopani and Bhargava, 2011).
Tranformasi kurva efisiensi dari siklon standar ke siklon yang
direncanakan juga dapat dilakukan dengan skala sebagaimana
persamaan 7.
............................................... (7)
Dc1: Diameter siklon standar, m
Dc2: Diameter siklon yang direncanakan,m
Q1: Debit aliran udara standar, m3/jam
Q2: Debit aliran udara siklon yang direncanakan, m3/jam
1: Beda densitas padatan-gas siklon standar, kg/m3
2: Beda densitas padatan-gas siklon yang direncanakan, kg/m3
µ1: Viskositas gas-uji standar, N.s/m2
µ2: Viskositas udara operasional siklon yang direncanakan, N.s/m2
Ilustrasi grafik dari proses pembesaran skala seperti pada
Gambar 16 dan kurva performansi standar untuk tipe siklon dengan
efisiensi tinggi yang digunakan seperti Gambar 17. Selain prediksi
performansi dari siklon yang direncanakan, Stairmand juga
mengembangkan persamaan untuk menduga pressure drop. Pressure
Page 67
51
drop pada sebuah siklon disebabkan oleh kehilangan pada saluran
masuk dan saluran keluar serta karena gesekan dan kehilangan energi
kinetiknya.
Gambar 16. Pembesaran skala kurva performansi (Sinnott, 2005)
Gambar 17. Kurva performansi siklon efisiensi tinggi (Sinnott, 2005)
Persamaan empiris 8 dapat digunakan untuk menduga pressure drop
tersebut.
...................... (8)
Page 68
52
P : Pressure drop, millibar
g : densitas gas/udara, kg/m3
Vi : Kecepatan udara masuk saluran siklon atau inlet, m/detik
Vo: Kecepatan udara keluar saluran siklon atau outlet, m/detik
: Faktor pressure drop siklon, dari Gambar 18.
rt : Diameter tabung siklon – (lebar siklon/2), m
re : Diameter saluran keluar siklon atau outlet, m
: Parameter pada Gambar 18
dimana:
fc : faktor gesekan untuk gas/udara nilainya 0,005
As : Luas permukaan siklon meliputi permukaan tabung dan kerucut, m2
A1 : Luas penampang saluran masuk siklon atau inlet, m2
Gambar 18. Faktor pressure drop siklon (Sinnott, 2005)
Page 69
53
Pada sebuah siklon separator, partikel yang memasuki saluran
atau inlet akan dipisahkan dengan persentase separuh. Kejadian ini
dikenal dengan istilah 50% cut size diameter atau dinotasikan d50. Cut
size model Lapple yang dikembangkan berdasarkan teori keseimbangan
gaya-gaya (Wang, 2004) adalah sebagaimana persamaan 9.
...................................................................... (9)
.................................................................................... (10)
µ2 : Viskositas udara dari siklon yang direncanakan, N s/m2
a : Tinggi saluran masuk siklon, m
b : Lebar saluran masuk siklon, m
H : Tinggi total siklon separator, m
h : Tinggi tabung siklon, m
Vi : Kecepatan aliran udara masuk saluran, m/detik
p : Densitas partikel yang akan dipisahkan, kg/m3
g : Densitas gas/udara operasional siklon, kg/m3
Ne : Jumlah putaran aliran udara dalam siklon.
Perhitungan efisiensi pemisahan dari masing-masing partikel
padat seperti abu pada sebuah siklon separator, dapat dilakukan dengan
menggunakan persamaan 11.
........................................................................ (11)
i : Persentase pemisahan masing-masing partikel, %
dpc : Diameter partikel yang terpisah dengan nilai 50%, µm.
dpi : Diameter partikel rata-rata, µm.
Page 70
54
Selain efisiensi pemisahan partikel padat berupa abu,
performansi lain dari sebuah siklon separator adalah besaran pressure
drop dari pengukuran pada saluran masuk dan saluran keluar. Pressure
drop dari sebuah siklon meliputi pressure drop statis dan pressure drop
dinamis. Pressure drop statis dari sebuah siklon diperoleh dengan
proses pengukuran menggunakan instrumen baik pada saluran masuk
maupun pada saluran keluar. Besarannya berupa hasil pengurangan dari
pressure drop saluran masuk dengan pressure drop saluran keluar atau
(Pis – Pos). Pressure drop dinamis dengan pola yang sama dapat ditulis
dalam bentuk (Pid – Pod) dimana i dan o adalah notasi inlet dan outlet
sedangkan s dan d adalah notasi statis dan dinamis. Persamaan total
tekanan statis yang diadaptasi dari Zhu et al., (2001) adalah sebagai
berikut.
.......................................................... (12)
Komponen tekanan dinamis dari saluran masuk dan saluran keluar
dihitung dengan persamaan:
............................................................................... (13)
...................................................................... (14)
Dimana vi, vo adalah kecepatan aliran udara pada inlet dan outlet
sedangkan v adalah komponen kecepatan tangensial dalam penukar
panas yang diabaikan karena belum dapat dideteksi.
Page 71
55
2. Penukar panas
Desain penukar panas mencakup pemilihan jenis penukar panas,
tipe aliran kedua fluida. Dalam hal ini dipilih jenis selubung dan tabung
dengan bentuk selubung tersekat sehingga tipe aliran fluidanya
berlawanan dan silang atau counter-crossflow. Beberapa perhitungan
desain untuk menentukan dimensi penukar panas antara lain luas bidang
penukaran panas (Ao), diameter selubung (Ds), luas selubung (As),
jumlah pipa dalam bundelannya (Np), dan diameter ekivalen (De)
(Kakaç and Liu, 2002; Than et al., 2008) adalah:
.......................................................................... (15)
.................................... (16)
.................................................................................. (17)
............................................................................................ (18)
........................................................................ (19)
.............................................................................. (20)
...................................................................................... (21)
L : Panjang pipa, m
C, B : Clearance dan Baffle
do : Diameter luar pipa, m
CL : Konstanta layout pipa dengan nilai 0,87 untuk sudut 30º dan 60º
Page 72
56
CTP : Konstanta hitung jumlah pipa dengan nilai 0,93 untuk satu laluan
A1 : Proyeksi luas layout sebuah pipa dari luasan ruang antar pipa, m2
PT : Jarak antar pusat pipa atau Tube pitch, m
Gs : Laju massa udara dalam selubung, kg/m2detik
Persamaan-persamaan umum operasional penukar panas yang
berlaku adalah persamaan transfer panas meliputi (Fakheri, 2008):
............................................................. (22)
................ (23)
.......................................................................... (24)
U : Koefisien transfer panas keseluruhan, W/m2o
C
A : Luas bidang tukar panas, m2
F : Faktor koreksi LMTD
: efisiensi
: efektivitas
C h atau c : Kapasitas panas untuk fluida panas atau dingin, W/oC
Cmin : Kapasitas panas yang nilainya lebih rendah, W/oC
Tmin : Selisih suhu yang lebih rendah dari kedua fluida, oC
: Suhu rata-rata dari fluida panas, oC
: Suhu rata-rata dari fluida dingin, oC
: Suhu fluida panas masuk saluran/inlet, oC
: Suhu fluida panas keluar saluran/inlet, oC
: Suhu fluida dingin masuk saluran/inlet, oC
: Suhu fluida panas masuk saluran/inlet, oC
LMTD : Beda suhu rata-rata logaritmik, dalam bentuk persamaan:
............. (25)
Page 73
57
Faktor koreksi LMTD dengan notasi F merupakan produk dari P dan R
dan persamaannya adalah:
............................................................ (26)
................................................................... (27)
Persamaan lain dari transfer panas yang digunakan sering
diistilahkan dalam kondisi optimum atau q_optimum dan kondisi
maksimum atau q_maksimum. Transfer panas optimum (q_opt) dalam
bentuk persamaan dituliskan sebagai berikut (Fakheri, 2007):
................................................................... (28)
Transfer panas maksimum (q_maks) dapat dinyatakan dalam persamaan
(Kakaç and Liu, 2002):
..................................................... (29)
Transfer panas keseluruhan (U) dalam suatu desain dapat
menggunakan nilai-nilai aproksimasi yang sudah tersedia atau
berdasarkan perhitungan. Perhitungan nilai U dapat dilakukan dengan
persamaan yang melibatkan kedua sisi luas bidang tukar panas yakni
sisi dalam pipa (Ai) dan sisi luar pipa (Ao) sebagai berikut:
........... (30)
Dalam aplikasi, luas bidang terluas (Ao) yang digunakan sehingga:
Page 74
58
............. (31)
hi, ho : Koefisien transfer panas konvektif (dalam/luar), W/m2o
C.
, : Faktor resistansi fouling (dalam/luar), m2o
C/W.
, : Magnitudo efisiensi untuk berbagai konfigurasi fin.
Rw : Resistansi konduksi dinding pipa dengan persamaan:
............................................................................... (32)
dimana kw adalah konduktivitas panas pipa. Desain pipa atau
tabung penukar panas yang tidak memiliki fin, persamaan Rw
menjadi (Kakaç and Liu, 2002):
.................................................................................... (33)
Fluida yang digunakan dalam operasional desain adalah gas
berupa udara hasil pembakaran atau flue gas. Potensi terjadinya kerak
atau fouling adalah pada sisi selubung penukar panas. Keberadaan unit
siklon separator yang bertujuan memisahkan partikel padat
menyebabkan peluang terjadinya kerak menjadi nihil. Dengan demikian
komponen resistansi fouling dalam perhitungan dapat diabaikan dan
persamaan transfer panas keseluruhan menjadi:
.................................................... (34)
Nilai hi dihitung dengan persamaan:
Page 75
59
...................................................................................... (35)
................................................... (36)
............................................................ (37)
k : konduktifitas udara dalam pipa, W/m.oC
di : diameter dalam pipa, m
: bilangan Reynold aliran udara dalam pipa
: bilangan Prandatel aliran udara dalam pipa.
Nilai ho pada sisi selubung dihitung dengan persamaan yang
merepresentasikan pengaruh aliran silang (cross flow) dan pengaruh
aliran berlawanan (counter flow):
.......................................................... (38)
De : diameter ekivalen selubung, m
dan
.................................................................. (39)
................................ (40)
........................................................ (41)
........................................................................ (42)
Jc : faktor koreksi untuk potongan sekat dengan nilai berkisar dari
kondisi lebar 0,53 hingga yang luas jendelanya kecil 1,15.
Page 76
60
Jl : faktor yang berkorelasi dengan kebocoran diantara pipa dan sekat
serta selubung dengan sekat dengan nilai tipikal 0,7 – 0,8.
Jb : faktor koreksi untuk efek aliran langsung (bypass) pada ruang
diantara pipa terluar dengan dinding selubung dengan nilai berkisar
dari kondisi ruang lebar 0,7 hingga ruang sempit 0,9 dan lebih
tinggi jika menggunakan penghalang (sealing strip).
Js : faktor koreksi untuk variabel jarak pada saluran inlet dan outlet ke
sekat dengan nilai dari kondisi longgar 0,85 hingga dekat 1.0.
Jr : faktor koreksi yang berkorelasi dengan nilai bilangan Reynold
kurang dari 100 di dalam selubung. Faktor koreksi bernilai 1,0 jika
Res>100.
: laju massa udara dalam selubung, kg/detik
As : luas selubung, m2
Tw : suhu rata-rata udara permukaan pipa, oC
PT : jarak antar pusat pipa atau Tube pitch, m
do : diameter luar pipa, m
Cps, µs, ks : panas jenis udara, viskositas dan konduktivitas udara pada
suhu udara selubung (Ts). Desain layout susunan pipa berkategori
staggered dan bersudut 30º dengan bilangan Reynold berkisar 104 – 10
5
memiliki korelasi koefisien nilai a1= 0,321; a2 = -0,388; a3 = 1,45; a4 =
0,519 (Kakaç and Liu, 2002).
Kriteria performansi dari sebuah penukar panas sering
dinyatakan baik dalam efisiensi maupun efektifitas. Efisiensi
didefenisikan sebagai rasio laju transfer panas aktual sebuah penukar
Page 77
61
panas dengan laju transfer panas optimum penukar panas tersebut
dengan notasi . Efektivitas didefinisikan sebagai rasio laju transfer
panas aktual dengan laju transfer panas maksimum yang mungkin
terjadi dengan notasi . Persamaan kedua kriteria performansi tersebut
dapat dinyatakan dalam persamaan berikut:
...................................................................................... (43)
.................................................................................... (44)
Persamaan lain yang sering digunakan dalam analisa penukar
panas khususnya terkait efektivitas adalah Number of Transfer Unit
(NTU) atau rasio dari produk UA sebuah penukar panas dengan
kapasitas panas minimum dari salah satu fluidanya. Demikian juga rasio
kapasitas dari kedua fluidanya yang dinotasikan dengan CR. Kedua
persamaannya dapat dituliskan sebagai berikut:
............................................................................... (45)
.................................................................................. (46)
Hubungan nilai efektivitas penukar panas dengan parameter
NTU dan CR untuk operasi aliran berlawanan atau counterflow dengan
kondisi CR < 1 dan CR = 1 masing-masing dapat dihitung berdasarkan
persamaan (Ko and Wedekind, 1996; Kakaç and Liu, 2002; Welty et
al., 2004):
Page 78
62
................................................................... (47)
.................................................................................... (48)
Faktor koreksi LMTD (F), efektivitas penukar panas () dan
efisiensi penukar panas () adalah persamaan-persamaan yang
diturunkan dari persamaan dasar yang sama sehingga dapat
dihubungkan satu dengan lainnya. Sebagaimana efisiensi dapat
dihubungkan dengan efektifitas melalui persamaan berikut (Fakheri,
2008, 2014; Ahmad et al., 1988):
........................................................................ (49)
Persamaan tersebut adalah sebuah persamaan umum, dimana dalam
desain ini digunakan untuk mengevaluasi dan validasi nilai efektifitas
dan efisiensi yang dihasilkan dari perhitungan.
Faktor lain yang sangat penting dari sebuah penukar panas
ataupun keseluruhan sistem adalah penurunan tekanan statis atau
pressure drop. Pendekatan yang digunakan baik dalam desain maupun
analisa uji adalah perhitungan penurunan tekanan statis yang dipisah
pada sisi pipa, sisi saluran hubung antara siklon separator dengan
penukar panas dan sisi selubung penukar panas.
a. Sisi pipa penukar panas
Page 79
63
Penurunan tekanan pada sisi pipa penukar panas terutama
disebabkan oleh jumlah pipa yang digunakan dalam satu bundel
konstruksi. Persamaan yang digunakan dalam menghitung penurunan
tekanan statis tersebut adalah sebagai berikut (Kakaç and Liu, 2002):
.................................................................................... (50)
........................................................................ (51)
: Penurunan tekanan bundelan pipa, Pa.
L : Panjang penukar panas, m.
: Jumlah laluan pipa
: Diameter dalam pipa, m
: Densitas udara pipa, kg/m3
Vp : Kecepatan udara dalam pipa, m/detik
: Faktor gesekan dalam pipa atau friction
: Bilangan Reynold aliran udara pipa
b. Sisi saluran penghubung
Persamaan yang digunakan untuk menghitung penurunan
tekanan statik pada saluran penghubung antara saluran keluar siklon
dengan saluran masuk selubung adalah (White, 2011):
........................................................... (52)
................................................................. (53)
...................................................................... (54)
: Penurunan tekanan Saluran, Pa.
Page 80
64
V : Kecepatan aliran udara, m/detik
D : Diameter pipa, eqivalent dengan 4A/P untuk saluran non pipa, m.
A : Luas penampang, m2
P : Perimeter atau keliling, m
L : Panjang saluran, m
: Massa jenis atau densitas udara, kg/m3
K : Koefisien hambatan bentuk saluran.
: Faktor gesekan atau friction (Diagram moody) dengan parameter
tambahan (e/D) atau rasio kekasaran permukaan saluran dengan
diameternya (Lampiran 4).
c. Sisi selubung penukar panas
Pada sisi selubung penukar panas, persamaan-persamaan yang
digunakan dalam perhitungan penurunan tekanan statik adalah sebagai
berikut (Kakaç and Liu, 2002):
...................................................................... (55)
..................................................... (56)
................................................... (57)
.................................................................................. (58)
................................................... (59)
Res : Bilangan Reynold selubung
Nb : Jumlah sekat atau baffle
Gs : Laju massa udara selubung, kg/m2.detik
Ds : Diameter selubung, m
Page 81
65
De : Diameter eqivalen selubung, m
: Faktor koreksi viskositas fluida selubung untuk gas.
Ts : Suhu aliran udara selubung, oC
Tw : Suhu rata-rata dinding pipa, oC
3. Sistem Pengasapan
Sistem pengasapan dengan metode tidak langsung memiliki arti
ruang pembakaran untuk menghasilkan panas-asap berbeda dengan
ruang untuk menaruh ikan yang diasapi. Sistem pengasapan juga
dilengkapi dengan sistem pemisahan abu dan partikel padat lainnya
melalui unit siklon separator. Salah satu parameter yang diperhatikan
dalam metode ini adalah capaian suhu yang mencapai ruang
pengasapan harus memenuhi pola suhu yang diharapkan. Pola suhu
yang diinginkan mengikuti grafik pada Gambar 19.
Gambar 19. Tipikal suhu pengasapan yang dimodifikasi. Reproduksi
atas ijin tertulis dari Rasco, (2009). Copyright 2009
Washington State University Extension.
Page 82
66
Skala suhu pada grafik tersebut dimodifikasi dengan satuan Celcius
untuk memudahkan operator mengamati pergerakannya dengan
instrumen ukur yang tersedia dan umumnya bersatuan Celcius.
Waktu yang diperlukan untuk menurunkan kandungan air dari
kadar air awal ikan hingga kadar air yang diinginkan, mengikuti
persamaan semi-empirik Nikitin (Doe et al., 1998; Heruwati, 2002).
...................................................................... (60)
.................................. (61)
t = Waktu pengasapan (menit)
k = Konstanta laju pengasapan (1/jam)
cf = Kadar lemak ikan (%)
v = Kecepatan aliran udara (m/detik)
a = Kelembaban relatif (%)
T = Temperatur asap (oC).
Wo = Kadar air awal (kg/kg bobot kering)
We = Kadar air ekuilibrium (kg/kg bobot kering)
Wt = Kadar air akhir (kg/kg bobot kering)
Kadar air equilibrium adalah kadar air kesetimbangan ikan yang
mengacu ke nilai aw 0,85 atau kurang agar produk ikan asap dari
metode pengasapan panas dapat stabil dalam penyimpanan (Arason et
al., 2014). Produk ikan cakalang asap yang diberi perlakuan garam
diperoleh kondisi penyimpanannya yang stabil pada nilai aw 0,843 dan
kadar air kesetimbangan 32,2%bk atau 24,4%bb (Reo, 2010).
Page 83
67
4. Bahan bakar tempurung dan sabut kelapa
Bahan bakar tempurung dan sabut kelapa dipilih karena
merupakan bahan bakar biomassa yang umum digunakan oleh
masyarakat di daerah tropis. Penggunaan bahan tempurung didasarkan
pada kondisinya yang kering sebagaimana kebiasaan masyarakat
memanfaatkannya. Pengukuran kadar air tempurung dan sabut kelapa
dilakukan sesaat sebelum diumpan setelah pengelompokan berdasar
berat atau massanya. Pengumpanan bahan bakar dilakukan dengan
metode massa atau berat bertambah (incremental) untuk pola suhu
meningkat. Jumlah massa atau berat yang digunakan adalah 200 g, 300
g, 400 g dan 500 g. Metode ini dimaksudkan untuk mengurangi
fluktuasi suhu pembakaran karena karakteristik dasar bahan biomassa
dan untuk mengikuti pola suhu pengasapan berdasarkan grafik pada
Gambar 19. Pemakaian sabut kelapa dibatasi hanya pada tahap awal
pembakaran agar memudahkan terbentuknya bara api. Disamping
parameter kadar air, laju pengumpanan, jumlah massa atau satuan berat
bahan bakar tempurung kelapa yang digunakan, juga dicatat dan
dihitung berdasarkan lama waktu pengasapan.
5. Bahan ikan cakalang
Bahan yang diasapi adalah ikan cakalang dengan kondisi
dibelah dua dari berat ikan utuh berkisar 0,7-1,0 kg/ekor. Jumlah ikan
yang diasapi untuk sekali pengujian sebanyak 30 kg bersih sehingga
berat kotor berkisar 34-38 kg. Pengujian ikan cakalang dengan sistem
pengasapan hasil desain dilakukan hingga kadar air memenuhi Standar
Page 84
68
Nasional Indonesia yakni kurang dari 60%. Panduan pengasapan
didasarkan pada Standar Nasional Indonesia (SNI) 2009 Nomor 2725
tentang nilai parameter SNI ikan asap seperti yang tercantum pada
Tabel 2. Peraturan terkait ambang batas kandungan benzo[a]piren
dalam ikan asap yakni peraturan Pemerintah RI melalui Badan
Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.03.1.23.11.11.09657 Tahun
2011 tentang spesifikasi kandungan benzo[a]piren sebesar maksimum
<2,0 ppb (µg/kg) dengan metode HPLC (BPOM, 2011). Perbandingan
dengan aturan atau regulasi Negara lain seperti Turki dan Uni Eropa
serta badan dunia WHO/FAO masing-masing 2,0 µg/kg dan 5,0 µg/kg.
Tabel 2. Nilai parameter dalam SNI ikan asap
Jenis uji Satuan Persyaratan
Organoleptik Angka (1-9) Minimal 7
Cemaran mikroba*
ALT Koloni/g Maksimal 1 x 105
Escherichia coli APM/g Maksimal < 3
Salmonella Per 25 g Negatif
Vibrio cholerae* Per 25 g Negatif
Staphylococcus aureus* Koloni/g Maksimal 1 x 103
Kimia
Kadar air % fraksi massa Maksimal 60
Kadar histamin mg/kg Maksimal 100
Kadar garam % fraksi massa Maksimal 4
CATATAN *) Bila diperlukan
Langkah penyiapan ikan cakalang untuk ketiga pengujian adalah
sebagai berikut:
Page 85
69
a. Setiap ekor ikan cakalang dibelah menjadi 2 bagian dengan pisau
yang tajam, melepas bagian perut dan insang lalu dibilas air hingga
bersih. Pembilasan air bersih dilakukan berulang 2-3 kali agar ikan
bersih.
b. Pembuatan larutan garam dengan kadar 15% atau pelarutan 4,5 kg
garam beryodium dalam air sebanyak 30 liter untuk merendam
keseluruhan ikan.
c. Penyusunan belahan ikan cakalang bersih ke dalam larutan garam
yang telah dibuat. Penyusunan ikan dilakukan dengan arah yang
seragam agar saat pembuangan air tumpukan ikan tidak saling
mematahkan.
d. Perendaman ikan cakalang dalam larutan garam selama 40 – 45
menit.
e. Penirisan ikan cakalang dan dilanjutkan dengan penimbangan agar
berat total dapat diketahui. Berat awal ikan menjadi dasar
perhitungan kadar air selama proses pengasapan baik untuk
pendugaan maupun untuk perhitungan kadar air akhir ikan asap.
f. Pengaturan menggantung ikan cakalang pada rak gantungan dengan
susunan berselingan sehingga terpaan asap menjadi optimal.
Penggantungan masing-masing belahan ikan dilakukan pada lubang
mata dengan kawat aluminium berbentuk S. Kawat ini selanjutnya di
taruh pada bentangan kawat aluminium pada kerangka rak yang
terbuat dari besi (mild steel).
Page 86
70
g. Memasukkan rak berisi ikan menggantung ke dalam ruang
pengasapan dan memasang termokopel pada ikan yang berposisi
pada ruang sebelah dalam dan ruang sebelah luar.
h. Memasang penutup ruang pengasapan dan mengoperasikan proses
pengasapan ikan cakalang.
i. Melakukan pembalikan rak berisi ikan untuk setiap 3 jam proses
pengasapan agar kematangan ikan merata.
6. Konsumsi energi dan laju pengeringan bahan
Perhitungan konsumsi energi didasarkan atas penggunaan energi
listrik sebagai penggerak blower sentrifugal dan bahan bakar tempurung
kelapa sebagai sumber energi biomassa. Konsumsi energi listrik dalam
pengujian desain sistem pengasapan diperoleh berdasarkan hasil
pengukuran Wh-meter. Nilai yang dihasilkan alat ukur memiliki satuan
Wh sehingga konversi ke Joule dengan kesetaraan 1 Wh = 3600 Joule.
Konsumsi energi biomassa tempurung kelapa didasarkan atas
jumlah massa bahan bakar yang digunakan pada tiap pengujian dengan
nilai kalor bahan tempurung tersebut. Nilai kalor tempurung kelapa
adalah sebesar 4378,16 kcal/kg (Hoque and Bhattacharya, 2001).
Konsumsi energi biomassa dalam bentuk persamaan adalah:
bmbmbm CmQ . ................................................................................. (62)
Qbm : Konsumsi energi, MJ
mbm : Massa biomassa, kg
Cbm : Kalor jenis bahan bakar, kJ/kg
Page 87
71
Implikasi konsumsi energi dari kedua sumber tersebut yang
memberikan efek pemanasan dan penguapan kadar air melalui proses
sirkulasi udara sistem, maka terbentuk laju pengeringan atau penguapan
kadar air bahan. Laju penguapan air ikan dihitung dengan persamaan
berikut.
Δt
WW
dt
dW to ............................................................................. (63)
dW/dt : Laju penguapan air (kg/jam)
Wo : Berat awal ikan (kg)
Wt : Berat akhir ikan (kg)
t : Lama pengasapan (jam)
Konsumsi energi spesifik (KES) adalah jumlah energi yang
digunakan baik energi untuk blower maupun panas yang dibangkitkan dari
energi tempurung untuk menguapkan 1 kg air selama proses pengasapan
(diadaptasi dari Charoenvai et al., 2013; Sulikah dkk., 2008; Sharma and
Prasad, 2006; Baker and McKenzie, 2005) dengan persamaan:
......................................... (64)
7. Perhitungan kadar air bahan
Kadar air bahan dihitung berdasarkan berat basah dan berat
keringnya sehingga disebut persentase basis basah (m%bb) dan
persentase basis kering (M%bk). Perhitungan kadar air menggunakan
persamaan berikut ini.
Page 88
72
............................. (65)
.............................................. (66)
............. (67)
.............................................. (68)
8. Kadar Abu
Sebanyak 5-10 g sampel ditimbang didalam cawan, kemudian
dimasukkan ke dalam tanur dan dipanaskan pada suhu 300oC, kemudian
suhu dinaikkan menjadi 420-550 C dengan waktu sesuai karakteristik
bahan (umumnya 5-7 jam). Jika diperkirakan semua karbon belum
teroksidasi, cawan diambil dari dalam tanur, lalu didinginkan dan ke
dalam desikator dapat ditambahkan 1-2 ml HNO3 pekat. Sampel
diuapkan sampai kering dan dimasukkan kembali ke dalam tanur
sampai pengabuan dianggap selesai. Selanjutnya tanur dimatikan dan
dapat dibuka setelah suhunya mencapai 250oC atau kurang. Cawan
diambil dengan hati-hati dari dalam tanur kemudian ditimbang. Kadar
abu dalam sampel dihitung dengan persamaan:
Kadar abu (%) =
....................................................... (69)
W0 = Berat cawan kosong (g)
W1 = Berat cawan + sampel sebelum pengabuan (g)
W2 = Berat cawan + sampel setelah pengabuan (g)
Page 89
73
9. Kadar Protein
Sebanyak 0,1-0,2 g sampel dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl
100 ml, ditambah 2 g Na2SO4 dan HgO (1:1) dan 2 ml H2SO4 pekat,
lalu dilakukan destruksi (±30 menit) hingga larutan menjadi hijau
jernih. Setelah itu didinginkan dan ditambahkan 35 ml air aquades dan
10 ml NaOH 50% sampai berwarna coklat kehitaman lalu didestilasi.
Hasil destilasi ditampung dalam erlenmeyer 125 ml yang berisi 5 ml
H3PO3. Selanjutnya dititrasi dengan HCl 0,02 N menggunakan
indikator. Hal yang sama dilakukan untuk blanko. Kadar protein
dihitung dengan persamaan berikut:
................................ (70)
Kadar Protein (%) = N (%) 6,25 ................................................. (71)
10. Kadar Lemak
Sampel sebanyak 5 g dimasukkan ke dalam tabung lemak lalu
diletakkan di dalam tabung soxhlet. Selanjutnya dimasukkan pelarut
petroleum eter ±150 ml ke dalam labu lemak yang telah diketahui
beratnya. Sampel diekstraksi selama 5 jam, setelah itu labu lemak
dipanaskan dalam oven dengan suhu 105 °C, kemudian didinginkan
dalam desikator dan ditimbang. Kadar lemak dihitung dengan
persamaan:
Kadar lemak (%) =
...................... (72)
Page 90
74
11. Kadar garam
Sebanyak 5 g sampel bahan dihaluskan dan diekstrak
menggunakan 15 ml aquades panas (100oC), selanjutnya dibiarkan 15
menit hingga semua garam NaCl larut dan terpisah dengan sampel. Hal
ini dilakukan sebanyak 8 kali. Cairan hasil ektraksi ditampung dalam
wadah lalu ditambah 3 ml kalium khromat 5% dan dititrasi dengan
AgNO3 0,1 N secara perlahan-lahan sampai warnanya menjadi merah
bata. Kadar NaCl dihitung menggunakan persamaan:
................................. (73)
12. Kadar fenol
Sebanyak 0,5-0,6 g sampel ditambahkan 30 ml aquadest dan
dimasukkan ke dalam labu ukuran 250 ml. Selanjutnya ditambah 5 ml
larutan NaOH 0.2 N dan diencerkan dengan aquadest sampai tanda
garis. Larutan tersebut dipipet 25 ml, dimasukkan ke dalam erlenmeyer
ukuran 300 ml, lalu ditambah 25 ml bromat bromida 0.2 N, 50 ml
aquadest, 5 ml HCl pekat (digoyang 1 menit), 5 ml KI 15% (digoyang 1
menit) dan 5 tetes amilum (indikator), digoyang 1 menit. Selanjutnya
dititrasi larutan thiosulfat (Na2S2O3) 0.1 N (a ml) sampai terjadi
perubahan warna. Dilakukan juga pembuatan blanko, yaitu dengan
menggunakan prosedur diatas tetapi tidak menggunakan sampel (b ml).
.......... (74)
a = ml titrasi larutan thio pada sampel
b = ml titrasi larutan thio pada blanko
6 = jumlah atom brom yang dipakai pada proses bromisasi 5-30 menit
Page 91
75
13. Analisa Formalin
Identifikasi formalin/formaldehid pada ikan asap dilakukan
secara kualitatif dan kuantitatif. Pengujian awal dilakukan secara
kualitatif (metode asam kromatofat) dan jika hasilnya positif maka
dilanjutkan pengujian kuantitatif menggunakan spektrofotometer.
Ikan asap sebanyak 5 g dimasukan ke dalam 50 ml aquades pada
beaker glass lalu dididihkan. Kemudian dimasukan bahan yang diuji
tersebut ke dalam labu Erlenmeyer dan ditambahkan 5 ml asam
kromatofat 0,5% serta 50 ml aquades panas kemudian diaduk. Produk
yang mengandung formalin akan menunjukan perubahan warna
menjadi merah muda hingga ungu. Asam kromatofat digunakan untuk
mengetahui keberadaan formalin di dalam sampel secara kualitatif,
digunakan untuk mengikat formalin agar terlepas dari bahan. Formalin
mampu bereaksi dengan asam kromatofat sehingga menghasilkan
senyawa kompleks berwarna merah muda hingga unggu. Senyawa
kompleks yang berwarna semakin ungu, mengindikasikan kadar
formalin yang semakin tinggi. Aquades panas berfungsi mempercepat
reaksi antara sampel dan asam kromatofat.
14. Analisa benzo[a]piren
Senyawa benzo[a]piren dianalisa dengan metode high performance
liquid chromatograpy (HPLC) dengan prosedur: Menimbang sampel
dan melarutkan dengan Hexane-Diclorometane perbandingan 70:30,
dilanjutkan dengan proses vortex dan sonikasi. Membilas (Clean-up)
dengan SPEC-18, mengumpulkan analit dengan Etil Asetat dan
Page 92
76
menguapkannya dengan Nitrogen stream. Melarutkan kembali dengan
acetonitril dilanjutkan dengan injeksi ke HPLC merek Waters e2695,
Waters fluorescence detector 2475 dan melakukan pembacaan hasil.
15. Analisa organoleptik
Analisis organoleptik dilakukan melalui uji kesukaan (hedonik).
Pengujian mengacu ke SNI ikan asap yang memiliki skala 1-9. Skala
tersebut mewakili penilaian panelis; Amat sangat tidak suka (=1),
Sangat tidak suka (=2), Tidak suka (=3), Agak tidak suka (=4), Netral
(=5), Agak suka (=6), Suka (=7), Sangat suka (=8), dan Amat sangat
suka (=9). Tim Penguji adalah staf Balai Pembinaan Mutu Hasil
Perikanan Gorontalo sebagai panelis terlatih. Menurut Setyaningsih
dkk. (2010), analisa datanya dilakukan dengan menghitung frekuensi
atau jumlah panelis yang memilih skala kesukaan tertentu.
16. Fungsi Psychrometric add ins
Perhitungan teknis dan analisa desain melibatkan kondisi udara
dengan pendekatan Psychrometric. Penggunaan Psychrometric secara
konvensional memanfaatkan lembar grafis untuk menentukan berbagai
nilai parameter di dalamnya. Karakteristik udara dalam perhitungan dan
analisa selanjutnya memanfaatkan fungsi Psychrometric dalam bentuk
fungsi add ins pada lembar aplikasi excell. Penggunaan fungsi ini
dilakukan dengan terlebih dahulu menginstall software Psych.XLAM
dan Psych.XLA. Hal ini dimaksudkan agar penggunaannya lebih
sederhana, akurat dan terhindar dari kesalahan yang bersifat manual.
Page 93
77
Beberapa fungsi dan satuannya yang digunakan untuk memperoleh
nilai parameter dalam software psychrometric antara lain:
a) Tekanan udara (P) = AltitudeAtmoP(ketinggian,1), kPa
b) Kelembaban udara (RH) = Rel_hum(dryoC,wet
oC, P), %
c) Entalpi udara (h) = Enthalpy(dryoC,P,1,rel_hum,1), kJ/kg
d) Volume spesifik udara () =Volume(dryoC,P,1,wet
oC,1), m
3/kg
e) Densitas udara () = Density_air(oC+273), kg/m
3
f) Panas jenis udara (cp) = Cp_air(oC+273), J/kg.
oC
g) Konduktivitas udara (k) = Conductivity_air(oC+273), W/m.
oC
h) Viskositas udara (µ) = Viscosity_air(oC+273), N.det/m
2
i) Bilangan Prandatel = Prandtl_air(oC+273)
j) Kelembaban mutlak udara (H) = Humidratio(dryoC,P,1,wet
oC,1),
kgH2O/kg.udara kering.
Page 94
78
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Bagian desain menguraikan proses dan data menyangkut desain
terintegrasi tungku biomassa, penukar panas, siklon separator, ruang pengasapan
dan ikan dengan bahan pendukung lain seperti garam, sabut dan tempurung kelapa
serta data uji laboratorium seperti performansi, uji parameter mutu SNI ikan asap
dan uji kandungan benzo[a]piren. Hasil kegiatan menguraikan aspek desain
fungsional, desain struktural, desain terintegrasi dan pengujian desain.
A. Desain Fungsional
Desain fungsional menyangkut fungsi dan kegunaan dari masing-
masing unit berupa penukar panas, tungku biomassa, siklon separator dan
ruang pengasapan sekaligus pengeringan. Berikut diuraikan fungsi dan
kegunaan masing-masing unit.
1. Unit Ruang Pengasapan
Ruang pengasapan berfungsi menampung sejumlah ikan yang
diasapi. Ruangan berbentuk silinder dengan posisi horizontal yang
dikonstruksi dari besi (mild steel) dan dilapisi dengan plat aluminium pada
bagian dalamnya. Ketebalan besi adalah 1,3 mm dan 0,3 mm untuk
aluminiumnya agar mudah dilengkungkan atau dibentuk. Diameter
lingkaran ruang pengasapan adalah 750 mm dan panjang 900 mm sehingga
jumlah ikan diujicobakan berdasarkan hitungan berkisar 38–52 ekor untuk
bobot 0,7-1,0 kg/ekor. Ukuran panjang 900 mm diperoleh berdasarkan
perhitungan pada Lampiran 5. Ukuran diameter ruang merupakan hasil
Page 95
79
simulasi yang memberikan nilai kecepatan udara panas dan asap sekitar
0,03–0,1 m/detik dalam kondisi kosong hingga terisi ikan. Kecepatan
udara dan asap tersebut tergolong lambat agar asap yang dihasilkan tidak
terlalu cepat berlalu dan menguap ke lingkungan. Komponen asap
diharapkan memberi efek citarasa dan aroma yang optimal dari jumlah
bahan bakar tempurung yang habis terbakar dalam satu batch proses
pengasapan. Sedangkan lapisan aluminium pada bagian dalam ruang
silinder dimaksudkan agar cairan ikan yang menetes dan uap air yang
terbentuk tidak dengan mudah menyebabkan karat. Bagian penutup
silinder terbuat dari bahan yang sama dengan lubang outlet yang kecil
sehingga terbentuk tekanan ruang yang berpengaruh dalam proses
peresapan komponen asap ke dalam daging ikan. Disamping efek tekanan
ruang, lubang outlet juga menyebabkan tahanan bagi asap untuk berbalik
dan menyebabkan efek pengasapan yang merata bagi seluruh daging ikan
yang tergantung.
2. Unit Kerangka Gantungan Ikan
Proses pengasapan dalam ruang dilakukan dengan posisi ikan
menggantung sehingga dapat diatur jalur zig zag udara panas-asap pada
arah memanjang silinder. Kerangka gantungan dengan empat roda besi
kecil memungkinkan ikan diatur diluar ruang silinder sebelum
dimasukkan. Kerangka gantungan dikonstruksi dari besi (mild steel)
dengan kawat bentang yang terbuat dari aluminium. Demikian juga kawat
gantung yang dimasukkan ke lubang mata ikan juga terbuat dari bahan
aluminium untuk menghindari mudahnya muncul karat. Disamping fungsi
Page 96
80
utama sebagai gantungan ikan, sistem kerangka gantungan juga berguna
untuk memudahkan proses pembalikan dengan hanya mengeluarkan dan
memutar posisi ujung kerangka. Dimensi kerangka mengikuti luas ruangan
dari ruang pengasapan berbentuk silinder tersebut.
3. Unit Penukar Panas
Unit penukar panas yang digunakan adalah tipe selubung dan pipa
atau shell and tube dengan arah perpindahan panas dari bagian dalam pipa
ke arah luar yang merupakan ruang selubung. Pipa dan keseluruhan
luasannya merupakan bidang penukaran panas. Selubung dilengkapi sekat
(baffle spacing) yang terpotong (baffle cut) sehingga menciptakan alur
udara zig-zag untuk mengoptimalkan perpindahan panas. Disamping
berfungsi menukarkan panas, ketinggian pipa juga merupakan jarak yang
menghindarkan unit blower sentrifugal dari panas tungku yang dapat
menyebabkan kerusakan. Fungsi lain dari proses penukaran panas adalah
menciptakan efek pendinginan asap sehingga senyawa tar dapat dipisah
melalui proses pengembunan ke dalam siklon separator dan dustbin.
Dimensi panjang penukar panas pada arah vertikal merupakan jarak yang
memungkinkan unit siklon separator dapat diintegrasikan pada bagian
output pipa penyaluran panas dan asap. Hal ini dilakukan dengan
menempatkan outlet tungku ke bagian inlet bundelan pipa penukar panas
dan outlet bundelan pipa penukar panas terhubung ke saluran inlet siklon
separator. Posisi vertikal penukar panas juga bersesuaian dengan arah dan
gaya angkat dari udara panas hasil pembakaran secara alamiah sehingga
Page 97
81
meringankan beban hisap dari blower sentrifugal yang terletak pada ujung
atas bundelan pipa penukar panas.
Dimensi panjang dan lebar penukar panas ditentukan sebesar 378
mm x 378 mm sebagai ukuran yang ergonomis pada proses pengangkatan
untuk perpindahan tempat. Ukuran tersebut memungkinkan unit dapat
dipegang oleh kedua tangan/lengan secara melingkar pada posisi rebah
unit. Pegangan pada posisi tersebut memberikan rasa aman, nyaman dan
dapat dilakukan oleh 2 orang laki-laki remaja berusia 17 tahun keatas
untuk memindahkan unit tanpa menimbulkan gelinciran dan jatuh
mengenai kaki ataupun jari-jari kaki (kecelakaan).
Dimensi tinggi penukar panas sebesar 990 mm adalah pilihan
yang bersifat ekonomis pada desain dengan pertimbangan fungsi
penukaran panas yang maksimum. Berdasarkan perhitungan kebutuhan
panas (Lampiran 6), diperoleh nilai panjang pipa atau tinggi penukar panas
sebesar 1110 mm. Pertimbangan aspek ekonomis terkait material pipa
maka pemotongan ukuran panjang 990 mm memberikan junlah penukaran
panas yang maksimum pada setiap panjang pipa yang tersedia untuk
desain. Proyeksi pipa berdiameter 32 mm searah aliran (longitudenal) atau
panjang penukar panas 378 mm menghasilkan jumlah deret pipa 8 pola
dengan jarak antar pusat pipa, Xl = 41,6 mm. Proyeksi pipa tegak lurus
aliran yakni pada arah lebar penukar panas menghasilkan jumlah baris pipa
6 dan 7 pola dengan jarak antar pusat pipa, XT = 48 mm (Gambar 20).
Keseluruhan proyeksi pipa yang terbentuk dalam penampang berukuran
pamjang 378 mm dan lebar 378 mm memiliki jumlah sebanyak 52 pola.
Page 98
82
Gambar 20. Susunan pola pipa segitiga 30º (Staggered)
Pembentukan sekat atau baffle pada arah tinggi penukar panas
dimaksudkan untuk meningkatkan jumlah laluan yakni lima kali sehingga
jarak antar sekat atau baffles, B = 196,2 mm (Gambar 21). Pilihan ini
terkait dengan dampak pressure drop yang akan timbul dan jumlah laluan
bernilai ganjil agar posisi inlet dan outlet terbentuk pada sisi yanng
berlawanan. Selubung dilengkapi dengan sekat yang terpotong agar
menciptakan alur udara dan asap secara zig-zag untuk mengoptimalkan
perpindahan panas.
Gambar 21. Sekat (baffle) dan potongan sekat (baffle cut) penukar panas.
Page 99
83
Potongan sekat (baffle cut) yang digunakan sebesar 96 mm atau
25,4 % dari diameter selubung. Jarak antar penyekat (baffle spacing) 196,5
mm memiliki persentase sekitar 52% atau lebih besar dari seperlima
diameter selubung yang dipersyaratkan dalam standar TEMA (the Tubular
Exchangers Manufacturers Association), (1999).
4. Unit Siklon Separator dan Blower Sentrifugal
Unit siklon separator yang digunakan adalah tipe Stairmand untuk
pemisahan/pengumpulan partikel padat berefisiensi tinggi. Unit ini
dimaksudkan untuk memisahkan partikel padat berupa fraksi arang, abu,
jelaga ataupun bahan lain seperti pasir halus dari aliran udara dan
mengumpulkannya ke bagian penampung atau dustbin. Keberadaan
partikel padat di dalam aliran udara panas-asap adalah konsekuensi dari
pembakaran bahan biomassa dan proses hisap blower yang terletak
sebelum unit siklon separator. Blower sentrifugal disamping berfungsi
menghisap udara juga mendorong aliran udara panas dan asap ke unit
siklon separator, selubung penukar panas dan ruang pengasapan. Dengan
demikian, blower sentrifugal pada desain unit secara terintegrasi ini
memiliki fungsi sebagai pembentuk sirkulasi udara panas dan asap dari
ruang tungku hingga ke ruang pengasapan. Penentuan ukuran dimensi
siklon separator dilakukan setelah diperoleh spesifikasi blower sentrifugal
yang akan mendorong aliran udara dan asap serta partikel padat berupa
abu untuk proses pemisahan dan pengumpulan. Proses perhitungan
berdasarkan data debit udara blower dan karakteristik bahan bakar serta
Page 100
84
pengujian dan pengukuruan awal terkait data distribusi abu dapat dilihat
pada Lampiran 7.
5. Unit Tungku
Unit tungku yang digunakan adalah tipe pembakaran bahan bakar
jenis biomassa. Unit ini memiliki fungsi menghasilkan panas dan asap dari
proses pembakaran bahan biomassa berupa tempurung kelapa yang sudah
terpisah dari sabutnya dan kondisinya kering. Tungku didesain berbentuk
kubus berongga yang dikonstruksi dari bahan besi (mild steel) dengan
ketebalan 6 mm. Menurut (Malatak et al., 2007), bagian terpenting dari
sebuah tungku adalah material baja atau besi dengan ketebalan 5–8 mm.
Ketebalan besi ini dimaksudkan untuk menahan panas dan asap terkurung
dalam ruang tungku dan selanjutnya disalurkan ke ruang pengasapan
melalui unit penukar panas dan siklon separator. Disamping itu juga
dimaksudkan agar kokoh menahan beban unit penukar panas, siklon
separator dan blower yang akan diletakkan di atasnya.
Dimensi panjang dan lebar unit tungku adalah 378 mm x 378 mm
merupakan penyesuaian dengan dimensi panjang dan lebar penukar panas
yang akan berposisi duduk di atas tungku. Dengan demikian, unit tungku
dan penukar panas menjadi satu kesatuan yang tersambung tanpa ada
kebocoran pada bagian sambungannya. Ketinggian tungku mencakup
ruang abu dan ruang tempurung kelapa. Tinggi ruang abu ditentukan
berdasarkan tinggi penarik abu yang akan melalui tinggi abu dan
menariknya keluar. Tinggi ruang tempurung kelapa dihitung berdasarkan
kebutuhan energi pengeringan yang lebih tinggi dari pengasapan. Energi
Page 101
85
pengeringan sebesar 4 kali energi pengasapan (target suhu ruang
pengasapan 100oC) yang menjadi dasar perhitungan dimensi penukar
panas dalam desain ini (Lampiran 8 dan 9). Kesetaraan energi terhadap
laju konsumsi tempurung dihitung berdasarkan data percobaan yang
menghasilkan suhu ruang tungku 552,9oC dari laju pembakaran tempurung
kelapa 4,0 kg/jam pada tungku sejenis. Perhitungan menghasilkan tinggi
ruang tungku sebesar 433 mm yang diatur menjadi 425 mm agar ruang
penarikan abu lebih tinggi yakni dari 117 mm menjadi 125 mm. Tinggi
ruang abu sebesar 125 mm dimaksudkan agar penarik abu setinggi 60 mm
dapat melewati tinggi tumpukan abu sekitar 50 mm dan mengeluarkannya.
Tinggi tungku sebesar 550 mm dan ruang tempurungnya diproyeksikan
menampung 4-5 kg dalam bentuk bongkahan/lempengan. Ruang tungku
dilengkapi corong udara segar sekaligus corong pengumpanan dengan
tinggi 200 mm dan kemiringan 40º agar tempurung kelapa belahan separuh
dengan sabutnya dapat meluncur ke dalam ruangan.
Dimensi tinggi unit tungku sebesar 550 mm dipertimbangkan
berdasarkan aspek lain yakni ketinggian unit siklon separator dan dustbin
yang harus sejajar dengan ketinggian unit penukar panas dan tungku.
Aspek pertama adalah pertimbangan terkait desain siklon separator yang
memiliki tinggi total 1000 mm diluar tinggi dustbin yang akan
disambungkan pada bagian bawahnya. Desain tinggi dustbin untuk
menangkap dan menahan debu dan tar direncanakan hingga 500 mm
dengan ruang pemasangan/pencopotan sekitar 40 mm. Berhubung tinggi
desain siklon dengan dustbin mencapai 1500 mm sementara timggi
Page 102
86
penukar panas adalah 990 mm maka tinggi unit tungku agar ketinggian
total keduanya sejajar adalah 550 mm dan agar terbentuk ruang bebas
pemasangan dan pencopotan dustbin sekitar 40 mm.
Gambar 22. Skema tungku biomassa
B. Desain Struktural
1. Unit Ruang Pengasapan
Unit ruang pengasapan memiliki bentuk seperti tabung atau
silinder dengan saluran hubung dan lubang outlet udara. Dimensi panjang
900 mm dengan diameter 750 mm dan panjang saluran penghubung 200
mm dengan jarak dari tanah 310 mm (Gambar 23).
Penutup memiliki dua lubang outlet udara dengan ukuran panjang
60 mm dan tinggi 50 mm. Saluran hubung memiliki bentuk lubang persegi
empat mengikuti bentuk saluran udara outlet pada selubung dengan ukuran
panjang 350 mm dan tinggi 200 mm.
Page 103
87
Gambar 23. Ruang pengasapan berbentuk silinder (a) Tampak muka,
(b) Tampak samping.
2. Unit Kerangka Gantungan Ikan
Posisi ikan cakalang dalam ruang pengasapan dibuat menggantung.
Kerangka untuk menggantung dibuat dari besi dan kawat aluminium
dengan keempat tiang dilengkapi roda besi kecil. Dimensi panjang, lebar
dan tinggi adalah 850 mm x 650 mm x 500 mm (Gambar 24). Sisi tengah
melengkung ke atas dengan tinggi dasar tumpuan roda 610 mm. Secara
vertikal ruang pengasapan dapat terisi 2 susunan ikan dan secara
horizontal memungkinkan ikan diatur pada susunan yang rapat atau
renggang sesuai dengan jumlah ikan yang akan digantung.
Gambar 24. Kerangka gantungan ikan
Page 104
88
3. Unit Penukar Panas
Dimensi penukar panas berupa panjang, lebar dan tinggi memiliki
nilai 378 mm, 378 mm dan 990 mm. Luas penampang penukar panas dan
tungku didesain sama sehingga dapat disambungkan dengan struktur
tumpuan yang bersesuaian. Pada pola susunan pipa segitiga, jarak antar
pusat pipa pada arah transversal sebesar 48 mm membentuk jarak antar
permukaan pipa atau clearance, C sebesar 16 mm (Gambar 25).
Gambar 25. Susunan pipa segitiga dan jarak antar pipa, clearance
Jenis penukar panas dikenal dengan istilah selubung dan pipa atau
Shell and Tube dengan bentuk dasar persegi atau Rectangular. Dari sisi
aliran udara dalam pipa dan selubung dikenal sebagai laluan tunggal aliran
udara berlawanan atau Single shell counter flow (Gambar 26 dan 27).
Ruang tersekat dalam selubung menyebabkan aliran udara melintang pipa
atau Cross flow sehingga secara lengkap dikenal dengan istilah Shell and
tube heat exchanger with one shell pass and one tube pass (Cross-Counter
flow mode of operation). Data spesifikasi desain dirangkum dalam Tabel 4.
Page 105
89
Tabel 3. Dimensi penukar panas, ukuran dan satuan
Dimensi, Satuan
Simbol
Ukuran
(m*10-3
)
D Nominal, inchi 1
Diameter luar pipa (Tube outside diameter, tod), m do 320
Jarak antar pusat pipa arah transversal (Tube pitch), m XT, PT 480
Jarak antar baris pipa arah longitudenal, m XL 416
Jarak antar permukaan pipa (Clearance), m C 160
Rasio jarak antar pipa (Pitch Ratio, PT/do), desimal PR 1,5
Jumlah deret pipa arah longitudenal Ndp 8
Jumlah baris pipa arah transversal Nbp 6 & 7
Jumlah pipa dalam satu bundel laluan udara Nt 52
Diameter selubung penukar panas, m ds 378
Panjang pipa (Tube length), m L 990
Tebal plat penyekat, m t 1,5
Jumlah plat sekat Np 6
Jarak antar penyekat (Baffle spacing), m B 196,2
Rasio jarak ruang terhadap diameter selubung, persen - 52
Jumlah ruang tersekat NB 5
Potongan sekat (Baffle cut), m bc 96
Rasio potongan terhadap diameter selubung, persen - 25,4
Pada ujung atas penukar panas, terdapat saluran penghubung dari
bundelan pipa penukar panas yang juga berfungsi sebagai dudukan blower
sentrifugal. Blower sentrifugal memiliki spesifikasi debit udara 282
m3/jam and tekanan statis 0.65 kPa. Posisi blower pada ujung atas penukar
panas menyebabkan efek fungsi penghisapan udara dari lingkungan
melalui saluran udara tungku, ruang pembakaran dan bundelan pipa
penukar panas.
Page 106
90
Pada Gambar 26.a, ditunjukkan grafik dan skema untuk jenis
aliran berlawanan. Grafik dan skema dari jenis aliran berlawanan inilah
yang menjadi dasar bagi desain penukar panas. Gambar 26.b menampilkan
skema aliran dasar yang dirotasi dari skema Gambar 26.a sehingga
bentuknya berdiri. Modifikasi yang dilakukan pada Gambar 26.b adalah
menjadikan aliran udara pipa hanya satu kali laluan di dalam selubung
sehingga outlet pipa berada di ujung atas selubung (Gambar 26.c).
Perubahan ini didasarkan atas kebutuhan desain yakni menyesuaikan
dengan dimensi tinggi siklon separator yang akan diintegrasikan secara
struktural. Perubahan ini memiliki dampak bagi desain penukar panas
yakni mengurangi kebutuhan pipa hingga separuh dari skema dasarnya.
Dampak yang bersifat kurang baik adalah terbentuknya ruang beraliran
stagnan pada sudut selubung sebagaimana arsiran jika kecepatan aliran
udara masuk rendah. Aliran udara cenderung melewati selubung pada
bagian tengah yang tidak terarsir sebagaimana Gambar 26.c.
Upaya yang dilakukan untuk meminimalkan efek aliran stagnan
sekaligus meningkatkan efek penukaran panas adalah membentuk ruang
bersekat (Gambar 26.d). Ruang bersekat memiliki fungsi untuk
mengarahkan aliran udara selubung melewati setiap ruang yang terdapat
pipa-pipa penukaran panas. Pembentukan ruang bersekat memiliki makna
pengurangan luas penampang aliran sehingga meningkatkan efek
pengadukan udara dan memudahkan terbentuknya aliran turbulen. Efek
pengadukan dari aliran turbulen akan meningkatkan proses penukaran
panas dari setiap letak pipa-pipa di dalam selubung penukar panas.
Page 107
91
Gambar 26. Skema dasar penukar panas yang diperkaya sekat
Gambar 27 menampilkan skema aliran udara berlawanan pada foto
desain penukar panas yang dimodifikasi dari skema dasar pada Gambar
26.a hingga diperoleh skema desain pada Gambar 26.d. Aliran udara
ditunjukkan dengan tanda panah dan notasi masing-masing adalah inlet
bundelan pipa dengan Th1, outlet bundelan pipa dengan Th2, inlet selubung
dengan Tc1, dan outlet selubung dengan Tc2. Notasi Th menunjukkan
aliran fluida panas dan Tc menunjukkan aliran fluida dingin.
Page 108
92
Gambar 27. Skema aliran berlawanan pada penukar panas.
4. Unit Siklon Separator
Unit siklon separator terintegrasi ke unit penukar panas melalui
blower sentrifugal. Pada unit siklon separator, blower sentrifugal
terhubung melalui lengan inlet sedangkan pada penukar panas berposisi
duduk pada saluran outlet bundelan pipa. Dengan posisi ini, blower
sentrifugal berfungsi mendorong aliran udara masuk ke unit siklon
separator, outlet siklon ke inlet selubung penukar panas dan ruang
pengasapan. Dimensi dan ukuran siklon separator disajikan pada Tabel 3.
Tabel 4. Dimensi, skala dan ukuran siklon
Dimensi Skala Stairmand Ukuran (mm)
Diameter tabung siklon (D) D 250
Tinggi inlet siklon (a) 0,5 D 125
Lebar inlet siklon (b) 0,25 D 62,5
Diameter outlet udara (do) 0,5 D 125
Diameter lubang debu (Bc) 0,375 D 93,75
Tinggi pipa pemisah (s) 0,5 D 125
Tinggi tabung (h) 1,5 D 375
Tinggi kerucut (hc) 2,5 D 625
Tinggi total (ht) h + hc 1000
Page 109
93
Gambar 28 menampilkan siklon separator yang dilengkapi blower
sentrifugal dan wadah pengumpul debu dari botol transparan. Desain
siklon separator mengikuti skala tipe Stairmand untuk proses pemisahan
dan pengumpulan berefisiensi tinggi atau dikenal dengan High efficiency
Stairmand Cyclone.
Gambar 28. Siklon separator dengan beberapa arah pandang
Lubang outlet udara pada siklon separator memiliki bentuk
lingkaran dengan simbol Ø sedangkan lubang inlet udara pada penukar
panas memiliki bentuk persegi empat. Dengan demikian, saluran hubung
dibuat dengan membentuk kedua ujungnya sesuai dengan bentuk lubang
outlet siklon separator dan lubang inlet selubung penukar panas. Panjang
saluran dari batas awal lengkungan hingga titik tengah persegi panjang
dengan notasi L adalah 850 mm. Diameter ekivalen sebagai perpaduan
bentuk persegi panjang dengan lingkaran pada outlet siklon adalah 140
mm, (Gambar 29).
Page 110
94
Gambar 29. Saluran hubung siklon separator dan penukar panas
5. Unit Tungku
Tungku pembakaran biomassa (Gambar 30) ditempatkan pada
ujung bawah penukar panas sehingga asap dan panas pembakaran
langsung tersalurkan melalui ujung pipa. Dimensi unit tungku berupa
panjang, lebar dan tinggi berukuran 378 mm x 378 mm x 550 mm. Pada
salah satu sisi tungku terdapat saluran pemasukan bahan bakar dengan
sudut kemiringan 40o, tinggi lubang umpan 200 mm dan lebar 310 mm.
Pada sisi yang sama terdapat saluran udara/abu berukuran panjang 250
mm, tinggi 125 mm dan lebar 378 mm. Sekat tungku terbuat dari plat
berlubang sehingga abu dan arang sisa pembakaran jatuh ke ruang
pengumpulan abu. Secara berkala abu di ruang pengumpulan dibersihkan
dengan cara menariknya keluar. Lubang saluran abu sekaligus udara
dilengkapi dengan penutup slider sehingga luas bukaan lubang dapat
diatur untuk volume oksigen bagi proses pembakaran. Saluran pemasukan
bahan bakar juga dilengkapi penutup sehingga aliran suplai udara/oksigen
dilakukan melalui keduanya secara bergantian atau kombinasi.
Page 111
95
Gambar 30. Tungku; (a) tampak samping, (b) tampak muka, (c) tampak
atas, (d) viktorial.
C. Desain Terintegrasi
Desain terintegrasi sistem pengasapan ikan terdiri atas tungku
pembakaran biomassa, penukar panas, siklon separator dengan blower
sentrifugal dan ruang pengasapan dengan kerangka gantungan ikan
(Gambar 31). Desain ini ditujukan untuk mengasapi ikan cakalang dengan
metode pengasapan panas secara tidak langsung menggunakan bahan
bakar tempurung kelapa. Secara khusus desain terintegrasi pengasapan ini
ditujukan untuk dapat diaplikasikan secara industri menghasilkan ikan
asap yang bersih sehingga lebih sehat. Kondisi ikan asap yang lebih sehat
diperoleh melalui proses pemurnian asap yaitu dengan memisahkan
partikel padat berupa abu, fraksi halus arang, jelaga dan tar ke dalam
wadah pengumpul atau dustbin sehingga tidak sampai ke ruang
pengasapan dan mengenai ikan.
Page 112
96
Gambar 31. Desain terintegrasi sistem pengasapan
Komponen lain yang sering diduga membahayakan kesehatan dari
produk ikan asap adalah senyawa kimia benzo[a]piren. Senyawa ini
muncul terutama pada pembakaran dengan suhu tinggi lebih dari 400oC.
Dalam desain ini, suhu pembakaran pada tungku dikondisikan lebih rendah
dari suhu tersebut.
1. Aliran Udara
Kebutuhan blower didasarkan pada 2 jenis kebutuhan yang
berbeda, yakni kebutuhan laju aliran udara untuk kinerja pemisahan oleh
siklon separator dan kinerja pengasapan dalam ruangan bahan. Dengan
demikian skenario pemasangan blower hanya satu unit jika dapat
memenuhi kebutuhan aliran udara atau dua unit jika kebutuhannya baru
dapat terpenuhi seperti jika diperlukan peningkatan kapasitas dengan
memperpanjang silinder ruang pengasapan.
Page 113
97
Perhitungan spesifikasi blower untuk kinerja pemisahan dalam
siklon separator didasarkan pada kecepatan udara optimal terjadinya
proses pemisahan partikel padat berdasarkan model siklon Stairmand.
Berdasarkan desain siklon untuk jenis efisiensi pemisahan tinggi
berdiameter standar 203 mm diperoleh debit udara pemisahan sekitar 223
m3/jam atau udara masuk inlet 15 m/detik (Sinnott, 2005). Kondisi
tersebut didekati dengan spesifikasi blower yang tersedia di pasaran.
Dalam desain ini disamping debit udara, kondisi udara panas yang harus
disirkulasikan juga menjadi pertimbangan lain. Sebuah blower berdaya
100 Watt (terkecil dalam seri produksinya), tegangan 220/380 VAC, 50
Hz, debit 282 m3/jam, tekanan statis 0.65 kPa dan 2800 RPM dipilih
karena 2 aspek teknis yang mendukung. Pertimbangan pertama karena
debit udara yang lebih tinggi sekitar 26,5% dari debit yang menjadi
referensi. Hal ini memungkinkan pengaturan luas penampang udara dan
panjang saluran yang menghubungkan outlet blower dengan inlet siklon
separator yang dikenal dengan lengan inlet siklon. Pertimbangan kedua
adalah jenis blower sentrifugal yang dapat beroperasi memindahkan
media udara bersuhu tinggi berkisar 160-200oC sehingga memungkinkan
desain keseluruhan sistem pengasapan menjadi lebih aman.
2. Ikan dan Bahan lain
Penyiapan ikan jenis cakalang dengan berat sekitar 0,7 – 1,0 kg
per ekor diambil langsung dari tempat pelelangan ikan terdekat di pagi
hari. Ikan cakalang dalam bentuk segar setelah pengukuran kadar air
menunjukkan nilai rata-rata sebesar 73%. Kadar air tersebut tidak berbeda
Page 114
98
jauh dari nilai kadar air ikan cakalang segar dengan berat 1,7 kg dan
panjang ikan 474 mm sebesar 73,2% (Manzano et al., 2007) dan nilai
kadar air 71,76% dari pengukuran Nurjanah et al., (2015). Jumlah ikan
yang digunakan pada setiap uji pengasapan sekitar 30 kg berat bersih.
Pembelahan ikan cakalang menghasilkan belahan bertulang dan belahan
tak bertulang. Dimensi ikan cakalang belah dan ukuran rata-ratanya
dirangkum pada Tabel 5.
Tabel 5. Dimensi rata-rata ikan cakalang belah
Ikan cakalang Belahan bertulang Belahan tak bertulang Rerata
Panjang (mm) 370 315 342,5
Lebar (mm) 80 85 82,5
Tebal (mm) 25 25 25
Bahan lain yang digunakan adalah garam dapur beryodium untuk
perendaman ikan cakalang dengan konsentrasi 15% selama 40 – 45 menit.
3. Bahan bakar tempurung kelapa dan sabut
Tempurung kelapa dan sabut adalah jenis biomassa yang dipilih
sebagai bahan bakar dalam pengujian sistem pengasapan ini. Kondisi
tempurung kelapa yang digunakan adalah kering dengan kandungan air
berkisar 13-16%. Tempurung kelapa dan sabut digunakan bersama hanya
pada tahap awal proses pembakaran agar memudahkan terbentuknya bara
dan nyala api. Setelah bara api terbentuk dilanjutkan dengan hanya
mengumpan tempurung kelapa. Komponen berat sabut sudah termasuk
dalam berat sekali umpan pada tahap awal proses pembakaran.
Page 115
99
Penggunaan tempurung kelapa dalam uji pengasapan dilakukan
dengan terlebih dahulu menimbangnya baik per karung maupun per
jumlah sekali umpan yakni 200 g, 300 g, 400 g dan 500 g. Pengukuran
kadar air dilakukan saat tempurung sudah terbagi dalam jumlah sekali
umpan tersebut. Pemilihan tempurung kelapa sebagai bahan bakar dan
sumber asap dalam pengujian desain sistem pengasapan ini didasari antara
lain:
a. Ketersediaan tempurung kelapa dalam jumlah memadai di lokasi
pengujian mengingat Gorontalo adalah daerah penghasil kopra dengan
produk samping berupa sabut dan tempurung kelapa.
b. Penggunaan tempurung kelapa sebagai bahan bakar dalam
pematangan bahan pangan dengan bara api dan asap sudah menjadi
kebiasaan harian.
c. Tempurung kelapa adalah jenis biomassa yang memiliki kandungan
energi dengan nilai kalor tinggi sehingga cocok diaplikasikan pada
sistem pengasapan panas atau hot smoking dengan tuntutan suhu yang
tinggi dibandingkan jenis pengasapan lainnya.
d. Tempurung kelapa memiliki kandungan bahan mudah terbakar yang
tinggi dan kandungan abu yang rendah sehingga cocok diaplikasikan
ke bahan pangan.
e. Tempurung kelapa secara nasional mudah ditemui disepanjang pantai
perairan Indonesia yang menjadi tempat berlabuh nelayan yang
menangkap ikan dari lautan.
Page 116
100
D. Pengujian Desain
Pengujian hasil desain dilakukan dengan kriteria pengujian
terintegrasi tanpa beban dan pengujian terintegrasi dengan beban ikan
cakalang. Pengujian terintegrasi tanpa beban dilakukan untuk memastikan
unit secara menyeluruh berfungsi sebelum diberi beban, sedangkan
pengujian terintegrasi dengan beban ikan cakalang dilakukan untuk
mengetahui performansi alat secara nyata sebagai salah satu tujuan akhir
perancangan. Pengujian hasil desain melibatkan pengujian lanjut di
Laboratorium seperti uji Particle Size Analyser/Distribution (PSA/PSD)
dan Scanning Electron Microscopy (SEM) terhadap abu hasil pemisahan
siklon separator.
1. Pengujian Terintegrasi Tanpa Beban
Pengujian terintegrasi tanpa beban dilakukan untuk mengevaluasi
hasil desain dari aspek aliran udara dan suhu yang terbentuk di dalam
ruang pengasapan. Kedua aspek ini diamati karena terkait langsung dengan
proses pengasapan ikan. Aspek aliran udara mencakup kecepatan udara
pada saluran masuk tungku, lubang inlet penukar panas, lubang outlet
penukar panas, lubang inlet selubung penukar panas, lubang outlet
selubung penukar panas dan lubang outlet ruang pengasapan ke udara
lingkungan.
Pengukuran kecepatan aliran udara dilakukan dengan alat ukur
anemometer digital pada ruangan yang lowong (sensor alat dapat
ditempatkan), sedangkan anemometer Hiyoshi model AP110 yang
memiliki sensor batang atau stick digunakan pada ruangan yang sempit
Page 117
101
(stick dapat dimasukkan ke ruang yang sempit). Hasil pengamatan
kecepatan aliran udara pada desain pengasapan dengan siklon separator
berdiameter 250 mm dan penukar panas dapat dilihat pada Tabel 6
Tabel 6. Kecepatan udara pada tiap unit integrasi
Inlet Siklon Separator Selubung Penukar Outlet
Tungku Inlet Outlet Inlet Outlet Ruang
Luasan (x10-4 m2) 319 70 123 200 594 50
Kecepatan (m/detik) 1,8 10 6 4,8 1,4 16
Perhitungan luas celah ruang pengasapan yang dilewati asap
sebesar 0,159 m2 diperoleh dari dimensi lingkaran berdiameter 750 mm
dikurangi dengan luas penampang ikan sebesar 0,283 m2 dari 10 pola ikan
yang menggantung (Gambar 32.a).
Gambar 32. Pola ikan; (a) skema penampang, (b) skema memanjang ( Ti:
termokopel untuk ikan bagian dalam dan luar, Tr: termokopel
bagian dalam dan luar).
Pada arah memanjang ruangan terdapat 8 deret ikan sehingga
terdapat 80 total pola ikan. Ukuran rata-rata ikan cakalang dimensi
panjang 342,5 mm, lebar 82,5 mm dan tebal 25 mm, dan jika satu pola
Page 118
102
mengambil tambahan ruang 20 mm pada tiap sisi maka volume ruangnya
0,003 m3. Total pola ikan menempati volume ruang sebesar 0,244 m
3.
Volume silinder 0,398 m3 (=0,442 m
2 x 0,9 m) dikurangi dengan 2 ruang
(sisi kanan/kiri) dan 1 ruang (sisi bawah) yang kosong 0,0788 m3 (= 3 x
0,0263 m3) adalah 0,319 m
3. Rasio ruang terisi untuk 80 pola ikan adalah
0,244/0,319 atau mencapai 76%. Pengujian 38 kg (atau 38 ekor = 76 belah
atau pola) menghasilkan rasio ruang mencapai 73%. Ruang tersisa 27%
dapat menampung 28 pola ikan (14 ekor). Kapasitas ruang pengasapan
yang telah diuji adalah sebanyak 73% yakni sejumlah 38 ekor ikan
cakalang utuh. Kapasitas total ruang pengasapan mampu menampung 52
ekor ikan cakalang utuh yang memiliki berat rata-rata 0,85 kg/ekor.
Uji pembakaran sejumlah berat tempurung kelapa yang diumpan
dilakukan dengan mengukur suhu ruang pengasapan yang dihasilkan. Hal
ini dimaksudkan untuk memperoleh pola berat tempurung kelapa diumpan
dan terbakar sehingga menghasilkan suhu ruang pengasapan yang sesuai
dengan tingkat suhu yang diinginkan. Pengujian dilakukan dengan
menempatkan panel suhu dari ruang pengasapan, mencatat suhu pada
setiap perubahan meningkat hingga puncak, selanjutnya menurun hingga
saat mengumpan massa tempurung berikutnya. Berat tempurung kelapa
yang menunjukkan suhu puncak yang bersesuaian untuk proses
pengasapan adalah 200 g, 300 g, 400 g, dan 500 g. Perhitungan energi
untuk memperoleh berat dasar sebagai acuan, dilakukan berdasarkan data
percobaan yang menghasilkan suhu ruang tungku 552,9oC dari laju
pembakaran tempurung 4,0 kg/jam pada tungku sejenis (Lampiran 9).
Page 119
103
Pengujian dilakukan sebanyak 3 kali untuk proses pembakaran
yang kontinyu dari 200-500 g. Perubahan suhu, lama waktu dari awal
hingga bara api tersisa (saat pengumpanan lanjutan dilakukan), juga dicatat
sehingga dapat diplot ke dalam grafik sebagaimana Gambar 33.
Gambar 33. Pola suhu ruangan terhadap waktu dari masing-masing berat
tempurung kelapa yang diumpan.
Hasil uji pembakaran menunjukkan bahwa tempurung kelapa
sebanyak 200 g, 300 g, 400 g dan 500 g menghasilkan suhu ruang
pengasapan secara berturut-turut berkisar 42-50oC, 52-70
oC, 78-93
oC dan
100-110oC. Waktu yang dibutuhkan oleh massa tempurung kelapa terbakar
di dalam tungku dari saat awal terbakar hingga saat bara masih tersisa
untuk pengumpanan lanjutan juga berbeda. Hasil pengamatan dan
pencatatan waktu uji pembakaran menunjukkan bahwa tempurung kelapa
Page 120
104
200 g, 300 g, 400 g, dan 500 g terbakar dalam ruang pembakaran masing-
masing selama 11-18 menit, 8-15 menit, 7-18 menit, dan 8-19 menit. Data-
data tersebut selanjutnya menjadi referensi pembentukan suhu ruang
pengasapan melalui pengumpanan tempurung kelapa ke dalam ruang
pembakaran tungku.
Pengamatan terhadap proses pembakaran untuk pengujian tiap
massa yang sama menunjukkan periode waktu yang berbeda. Perbedaan
tersebut antara lain disebabkan oleh karakteristik dasar bahan bakar
tempurung sebagai energi biomassa seperti sifat dasar kerapatan massanya,
sifat berongga atau bulky dan kadar airnya. Disamping itu, dapat
dihubungkan pada aspek keterpencaran bongkahan tempurung saat
terbakar dan subyektifitas operator dalam menyikapinya seperti upaya
mengumpulkan kembali tempurung yang terpencar serta secara subyektif
menilai bara api tersisa untuk segera mengumpan massa tempurung
berikutnya.
Pengujian massa tempurung yang bertambah (incremental) secara
kontinyu pada desain terintegrasi dilakukan untuk memperoleh pola suhu
ruang pengasapan. Capaian dan pola suhu ruang pengasapan selanjutnya
dibandingkan dengan perhitungan suhu berdasarkan performansi penukar
panas. Prediksi suhu ruang pengasapan dihitung berdasarkan data suhu
tungku, outlet pipa, inlet selubung dan outlet selubung sebagai dasar
perhitungan performansi penukar panas. Performansi tersebut
menunjukkan aktivitas penukaran panas yang akan menyuplai panas
masuk ke ruang pengasapan. Hasil pengukuran suhu ruang pengasapan dan
Page 121
105
suhu prediksi ditampilkan pada Gambar 34. Berdasarkan gambar tersebut,
kedua grafik suhu memiliki pola yang sama dengan besaran yang tidak
berbeda jauh. Capaian suhu tersebut diperoleh pada pengumpanan
tempurung dari awal sebesar 200 g, ditambah menjadi 300 g, 400 g dan
500 g hingga mencapai suhu maksimum 132oC dan selanjutnya dikurangi.
Suhu maksimum prediksi sebesar 138,1oC menunjukkan suhu yang lebih
tinggi dengan selisih 6,2oC. Rata-rata suhu prediksi dan pengukuran adalah
81,67oC dan 81,41
oC serta standar deviasi suhunya (81,67±1,38)
oC.
Perbedaan suhu tersebut disebabkan oleh selisih waktu saat capture suhu
penukar panas sebagai dasar perhitungan suhu prediksi dengan pengukuran
suhu ruangan karena instrumennya berbeda. Selisih waktu tersebut
mengakibatkan suhu yang terukur bukan merupakan kondisi yang tepat
bersumber dari kondisi suhu yang ter-capture tersebut.
Gambar 34. Pola capaian suhu prediksi dan suhu ruang pengasapan
Pengamatan terhadap partikel padat berupa abu terbang yang
terkumpul di dustbin dalam pengujian terintegrasi juga dilakukan. Metode
0
20
40
60
80
100
120
140
160
Su
hu
, oC
Lama pengujian, Jam
Prediksi suhu ruang pengasapan
Pengukuran suhu ruang pengasapan
Page 122
106
analisa menggunakan Scanning Electron Microscopy (SEM) dimaksudkan
untuk mengamati partikel padat terkecil secara visual yang menjadi abu
hasil pemisahan unit siklon separator. Foto SEM yang dikondisikan pada
butiran abu yang tidak bertumpukan agar dapat menangkap gambar abu
yang kecil. Perbesaran gambar yang ditampilkan mencakup skala 20 µm,
10 µm dan 2 µm sebagaimana Gambar 35.
Identifikasi partikel abu dalam lingkaran berwarna kuning
memiliki ukuran < 1 µm jika dibandingkan spot putih partikel berukuran 1
µm yang tertunjuk panah pada Gambar 35.a. Spot putih ini baru dapat
teramati dengan skala pada perbesaran 10 µm (Gambar 35.b) dan lebih
jelas pada perbesaran 2 µm. Pada Gambar 35.c, spot putih yang dibatasi
lingkaran berwarna kuning memiliki ukuran setengah dari skala 2 µm atau
setara 1 µm. Gugusan partikel abu dalam lingkaran berwarna kuning
memiliki ukuran yang lebih kecil dan diperkirakan berkisar 0,1-0,5 µm
jika dibandingkan dengan spot putih berukuran 1 µm tersebut.
Gambar 35. Foto SEM partikel abu berukuran: (a) 20 µm, (b) 10 µm dan
(c) ukuran 2 µm.
Page 123
107
2. Pengujian Terintegrasi dengan Beban Ikan Cakalang
Pengujian terintegrasi sistem pengasapan ikan dengan beban ikan
cakalang sebanyak 30 kg dilakukan sebanyak 3 kali pengujian. Ikan
cakalang diolah dengan membelah dan mengeluarkan bagian perut, insang
serta membersihkannya. Operasi pengujian sistem pengasapan dilakukan
sebagai kelanjutan dari proses penyiapan ikan secara lengkap sebagaimana
diuraikan pada bab metode halaman 69-70. Pengamatan dilakukan pada
aspek performansi meliputi pembentukan suhu ruang pengasapan ikan dan
suhu pusat daging ikan mengacu ke grafik profil suhu pengasapan pada
Gambar 19 halaman 66, pemisahan dan pengumpulan partikel padat
seperti abu terbang, pengamatan visual terhadap ikan cakalang saat proses
pembalikan dan mutu ikan cakalang asap yang dihasilkan.
3. Aspek Suhu Sistem Pengasapan Ikan
Pada setiap pengujian, proses pengumpanan tempurung kelapa
dilakukan secara bertambah atau incremental. Hal ini dilakukan untuk
memperoleh tingkat suhu yang diinginkan dan upaya meredam fluktuasi
suhu yang berlebihan.
Pengujian ke-1 sistem pengasapan ikan cakalang menghasilkan
profil suhu yang dibagi menjadi sistem pembangkit panas dan asap
meliputi ruang tungku pembakaran, oulet bundelan pipa, inlet dan outlet
selubung penukar panas, dan ruang pengasapan dengan ikan meliputi
profil suhu udara-asap pada bagian dalam (dekat inlet ruangan) dan bagian
luar (dekat outlet ruangan), suhu pusat ikan pada bagian dalam (dekat inlet
Page 124
108
ruangan) dan bagian luar ruang pengasapan (dekat outlet ruangan). Kedua
profil suhu tersebut disajikan pada Gambar 36.
Gambar 36. Profil suhu terhadap waktu pengasapan pengujian 1; (a)
Sistem pembangkit panas dan asap, (b) Ruangan dan ikan.
Pada Gambar 36 (a), seri suhu pada unit pembangkit panas dan asap
memiliki pola yang fluktuatif terutama suhu tungku yang memiliki dua
suhu puncak amat tinggi yakni 310oC dan 365
oC. Besaran suhu ruang
Page 125
109
tungku masih dalam batas yang direncanakan yakni maksimum 400oC
dengan pertimbangan zona dekomposisi lignin untuk pembentukan
senyawa volatil yang diperlukan untuk citarasa ikan asap. Suhu 400oC
(Kowalski et al., 2010), dijadikan batas untuk menandai kemunculan
senyawa karsinogen dan konsentrasinya yang meningkat seiring suhu yang
melampaui batas tersebut. Fluktuasi suhu pada ruang tungku juga
disebabkan oleh tiga kali jeda pada tiap siklus. Jeda tersebut sengaja
dilakukan untuk mengurangi suhu ruang karena proses pembalikan rak
yang dijadwalkan setiap 3 jam pengasapan.
Seri suhu pada keempat titik penukar panas yang diamati
menunjukkan bahwa aliran asap dan udara panas yang menjauhi ruang
tungku memiliki fluktuasi suhu yang semakin kecil. Dengan demikian
fluktuasi suhu yang tinggi hanya terjadi pada ruang tungku yang tidak
menimbulkan dampak langsung pada ikan yang ditempatkan di ruang
pengasapan setelah unit penukar panas. Hal ini dapat diamati pada Gambar
36.b, dimana suhu ruang pengasapan bagian dekat inlet yang terbentuk
dari kejadian dua suhu puncak pada unit tungku adalah 208oC dan 152
oC.
Pengamatan seri suhu pada daging ikan cakalang menunjukkan suhu yang
bergerak perlahan ke tingkat suhu yang dipersyaratkan untuk proses
pematangan yakni 68-72oC. Pada Gambar 36.b suhu pematangan yang
terjadi adalah 69-80oC selama 48 menit yakni pada selang waktu 4,75 –
5,55 jam sebelum sistem di off kan. Pengasapan pada siklus pertama
berlangsung 5 jam dan 33 menit sedangkan pengasapan siklus ke-2
berlangsung 7 jam dan 27 menit sehingga total lama pengasapan untuk
Page 126
110
pengujian 1 adalah 13 jam. Pengasapan ikan cakalang pada siklus pertama
yang berlangsung hingga 5 jam ditujukan untuk memperoleh daging
mengalami pasteurisasi ditandai dengan suhu internal ikan mencapai 80oC.
Pengasapan ikan pada siklus kedua bertujuan menurunkan kadar air ikan
cakalang hingga berkisar kurang dari 60% yakni batas atas kadar air ikan
asap berdasarkan SNI. Lama waktu pengasapan untuk siklus ke-2
bergantung pada tingkat kadar air akhir ikan asap yang ingin dicapai.
Profil suhu hasil pengujian ke-2 pengasapan ikan cakalang disajikan
pada Gambar 37. Pola suhu pada sistem pembangkit panas dan asap atau
unit tungku dan penukar panas memiliki fluktuasi yang lebih kecil
dibandingkan pengujian pertama. Suhu tertinggi yang terjadi pada ruang
tungku hanya sebesar 182oC dan pada titik lain seperti outlet pipa, inlet
dan outlet selubung menunjukkan suhu yang relatif tidak besar selang
fluktuatifnya. Pola suhu pada ruang pengasapan hari pertama
menunjukkan suhu yang meningkat secara perlahan. Suhu tertinggi pada
ruang pengasapan untuk periode waktu pematangan daging ikan cakalang
berkisar 100-105oC. Demikian pula pola suhu internal daging ikan pada
hari pertama menunjukkan suhu yang terus meningkat. Suhu pematangan
yang terjadi adalah 70-80oC selama 1 jam 28 menit yakni pada rentang
waktu ke 5,82-7,3 jam.
Pada pengujian ke-2, lama waktu pengasapan untuk siklus pertama 7
jam dan 18 menit sedangkan lama waktu pengasapan siklus kedua adalah 7
jam dan 22 menit. Total lama waktu pengasapan pada pengujian 2 adalah
14 jam dan 40 menit atau 14,67 jam.
Page 127
111
Gambar 37. Profil suhu terhadap waktu pengasapan pengujian 2; (a)
Sistem pembangkit panas dan asap, (b) Ruangan dan ikan.
Pengamatan suhu juga dilakukan pada kedua bagian yakni sistem
pembangkit panas-asap dan ruang pengasapan dengan ikannya untuk
pengujian ke-3. Grafik pola suhu yang terbentuk disajikan pada Gambar
38. Pada pengujian ke-3, ruang tungku memiliki suhu tertinggi yakni
286oC dan menjadikan ruang pengasapan bersuhu 156
oC (Gambar 38.a).
Suhu ini terjadi pada awal pengasapan hari kedua yang bertujuan
menaikkan suhu internal ikan dari suhu 29oC hingga suhu 55
oC.
Pengamatan suhu internal ikan cakalang dari awal pengasapan
Page 128
112
menunjukkan peningkatan yang berlangsung secara perlahan. Suhu
pematangan daging ikan 67-71oC selama 20 menit pada rentang waktu
5,08-5,42 jam pengasapan, kemudian pengasapan didiamkan hingga besok
pagi. Pengasapan ikan cakalang pada siklus kedua yang dimulai dengan
menaikkan suhu internal ikan tersebut bertujuan untuk menurunkan kadar
air ikan dengan suhu internal ikan rata-rata 46oC dari suhu ruangan rata-
rata 68oC. Lama waktu total untuk dua siklus pengasapan ikan cakalang
adalah 12 jam.
Gambar 38. Profil suhu terhadap waktu pengasapan pengujian 3; (a)
Sistem pembangkit panas dan asap, (b) Ruangan dan ikan.
Page 129
113
Pada ketiga pengujian, proses pengasapan untuk siklus pertama
selalu diusahakan mencapai suhu pasteurisasi daging ikan cakalang pada
suhu 67oC atau lebih. Kondisi suhu pematangan ini umumnya dicapai
setelah lebih dari 5 jam pengasapan karena suhu internal daging ikan
diupayakan meningkat secara perlahan. Pembalikan rak atau troli
pengasapan untuk menyeragamkan kematangan daging ikan cakalang
dilakukan setiap kelipatan 3 jam.
Selain parameter suhu ruang pengasapan, kelembaban udara yang
terbentuk sebagai manifestasi kandungan air ikan yang menguap ke udara
juga direkam untuk sekali proses pengujian. Hal ini dilakukan untuk
memperoleh gambaran pergerakan perubahan suhu dan kelembaban ruang
pengasapan dengan adanya uap air yang terbentuk. Kondisi suhu dan
kelembaban udara lingkungan juga direkam untuk mendapatkan
perbandingan dengan kondisi udara dan asap dari dalam ruang
pengasapan. Pola suhu ruang pengasapan dan ikan disajikan pada Gambar
39.a. Pola suhu udara-asap ruangan dan ikan disertai dengan garis linear
yang menunjukkan kecenderungan peningkatan suhunya. Trendline warna
merah untuk kecenderungan suhu udara-asap dan trendline warna kuning
untuk kecenderungan suhu internal ikan. Pola suhu dan kelembaban udara
lingkungan pada Gambar 39.b dan pola suhu dan kelembaban udara
ruangan pada Gambar 39.c. Pola suhu dan kelembaban ruangan juga
disertai garis kecenderungan bertipe polinomial. Trendline warna coklat
untuk suhu ruangan dan trendline warna merah untuk kelembaban ruangan
serta garis kuning putus-putus untuk asumsi kelembaban udara ruangan.
Page 130
114
Gambar 39. Pola suhu dan kelembaban udara terhadap waktu; (a) Suhu
udara-asap dan ikan, (b) Suhu dan kelembaban udara
lingkungan, (c) Suhu dan kelembaban udara ruangan.
Page 131
115
Pada Gambar 39.a, pola suhu internal ikan meningkat dari awal
hingga akhir pengasapan yang berlangsung selama 12 jam. Peningkatan
suhu ikan terlihat linier terhadap upaya menaikkan suhu ruang dengan
suhu puncak pada sesi akhir pengasapan 116oC. Peningkatan suhu ruangan
ditunjukkan dengan garis kecenderungan (trendline) berwarna merah
sedangkan peningkatan suhu ikan ditunjukkan dengan garis
kecenderungan (trendline) berwarna kuning.
Pada saat yang sama, suhu dan kelembaban udara lingkungan
menunjukkan pola suhu dan kelembaban udara pada kondisi yang alami
(Gambar 39.b). Kelembaban udara lingkungan berada pada kisaran 60-
90% pada suhu lingkungan 30-35oC kecuali pada suhu yang meningkat
menjadi 40oC menyebabkan kelembaban menurun menjadi 45%. Kondisi
tersebut menunjukkan bahwa secara alamiah, suhu yang meningkat akan
menyebabkan kelembaban udara yang menurun. Peningkatan kelembaban
udara lingkungan di saat suhu udara meningkat hanya dapat terjadi jika
terdapat penambahan uap. Analogi peristiwa ini disajikan untuk
memahami kejadian pada Gambar 39.c. Peningkatan suhu udara-asap di
dalam ruang pengasapan yang berisi ikan secara alami akan menyebabkan
penurunan kelembaban udara-asap. Kondisi lain seperti peningkatan
kelembaban udara-asap pada saat suhu udara-asap meningkat hanya dapat
terjadi jika terdapat komponen yang menambah uap air ke dalam udara
asap di dalam ruangan tersebut. Komponen yang dapat menambah uap air
ke dalam udara-asap di dalam ruang pengasapan tersebut adalah
kandungan air ikan yang menguap sebagai proses pengeringan.
Page 132
116
Pada Gambar 39.c, suhu udara ruangan mengalami peningkatan
dari 45oC hingga 100
oC mendekati pola linier dari garis kecenderungan
yang terbentuk secara polinomial (garis warna coklat). Pada saat yang
sama, kelembaban udara ruangan mengalami penurunan dari awal sebagai
respon atas peningkatan suhu meski terus mengalami fluktuasi. Fluktuasi
grafik kelembaban udara-asap tersebut menyebabkan pola lengkungan
parabolik dari garis kecenderungan yang terbentuk secara polinomial
(garis warna merah). Berdasarkan pola alami dari suhu dan kelembaban
udara sebelumnya, peningkatan suhu secara linier seharusnya
menyebabkan penurunan kelembaban udara yang konsisten seperti
ditunjukkan pada garis putus-putus warna kuning.
Grafik dan pola kecenderungan yang terbentuk pada Gambar
39.c, selanjutnya dapat dikaitkan dengan proses penguapan air pada ikan
cakalang yang diasapi. Pada grafik kelembaban udara ruangan, fluktuasi
mulai terjadi pada lama waktu 1,07 jam dari nilai 24% hingga 39% pada
suhu ruangan 52oC. Fluktuasi kelembaban udara ini berlanjut hingga
mencapai kelembaban udara 79% seiring peningkatan suhu mencapai
60oC. Fluktuasi awal dari kelembaban udara ini terjadi pada selang 1,07 –
4,7 jam proses pengasapan atau berlangsung selama 3 jam 38 menit.
Peningkatan kelembaban udara-asap di dalam ruang pengasapan ini terkait
dengan proses penguapan air yang terdapat pada permukaan ikan yang
diasapi. Kandungan air permukaan ikan mengalami penguapan lebih awal
dan mendahului kandungan air di dalam ikan yang harus mengalami difusi
cairan ke permukaan melalui proses pemanasan.
Page 133
117
Tahap selanjutnya pada Gambar 39.c, grafik kelembaban udara-
asap menunjukkan nilai dan fluktuasi kecil pada kisaran 14-23% pada
selang 4,7-7,37 jam pengasapan atau berlangsung selama 2 jam 40 menit.
Pada tahap ini suhu ruangan berkisar 65-74oC sedangkan suhu internal
ikan berkisar 44-58oC (Gambar 39.a) menunjukkan terjadinya proses
pemanasan baik daging ikan maupun air yang dikandungnya. Permukaan
ikan yang lebih kering karena airnya telah menguap mengawali proses
difusi air dari bagian dalam menuju permukaan melewati sel atau pun
rongga sel ikan.
Proses pengasapan yang terus dilakukan hingga rentang waktu
7,5-12 jam sebagaimana Gambar 39.c dengan rentang suhu ruangan 74-
105oC menyebabkan suhu internal ikan cakalang berkisar 71,6-72,4
oC.
Suhu internal ikan cakalang pada kisaran tersebut terjadi pada waktu
10,75-11,75 jam atau berlangsung selama 1 jam proses pengasapan
(Gambar 39.a). Pada saat bersamaan dari waktu 7,5-12 jam proses
pengasapan dengan suhu yang terus meningkat, kelembaban udara-asap
kembali meningkat ke nilai 67%, berfluktuasi hingga mencapai nilai
tertinggi 81% (Gambar 39.c). Proses pengasapan selama 1 jam terakhir
dari gambar tersebut menunjukkan berlangsungnya penguapan air ikan
cakalang untuk tahap kedua. Penguapan air ikan ini merupakan kelanjutan
difusi air dari dalam ikan ke permukaan dan menguap ke udara-asap
sebagai proses pengurangan kadar air hingga tingkat yang diinginkan.
Capaian suhu internal ikan cakalang (pusat daging), memiliki
implikasi terhadap aspek perusakan mikroorganisme dan tingkat
Page 134
118
kematangan yang diharapkan. Fellows (2000) dan Sun (2005) menyatakan
bahwa secara umum pada metode pasteurisasi untuk bahan pangan,
aplikasi panas dan durasinya ditujukan untuk membunuh mikroba
berbahaya, menghancurkan sporanya dan mematikan jamur. Metode
pasteurisasi jenis low temperature long time (LTLT) ditempuh dengan
suhu 62-65oC selama 30 menit sedangkan jenis high temperature short
time (HTST) ditempuh dengan suhu 71-74oC selama 15-30 detik. Secara
khusus untuk upaya mematikan bakteri patogen pada proses pengasapan
ikan, antara lain dinyatakan oleh Rasco (2009) dengan suhu 65,6-71,1oC
selama 30 menit. Ahmad (2003) menyatakan upaya menghindari bahaya
bakteri Clostridium botulinum dengan rangkaian tahapan perendaman
larutan garam. Perendaman ikan dalam larutan garam 3,5% maka suhu
internal ikan harus mencapai 82oC selama 30 menit, sedangkan jika
konsentrasi larutan garamnya 5,0% maka suhu 65oC selama 30 menit
dapat digunakan. Batasan suhu internal ikan yang lebih rendah dinyatakan
oleh Arason, et al. (2014) yakni suhu 62,8oC selama 30 menit dan kadar
garam produk 3,5% untuk mencegah racun dihasilkan oleh Clostridium
botulinum. Pendapat lain yang dikaitkan dengan lama total proses
pengasapan dikemukakan oleh Fellows (2017) bahwa suhu internal ikan
60oC selama 30 menit dari proses pengasapan hingga 8 jam pada suhu
ruang 60-85oC dapat mematikan bakteri patogen.
Pernyataan yang mengaitkan capaian suhu baik pada ruang
pengasapan maupun suhu internal ikan dikemukakan oleh Rasco (2009)
bahwa untuk memperoleh daging ikan yang matang, suhu udara ruang
Page 135
119
pengasapan harus mencapai 93,3-107,2oC. Jika batasan suhu tersebut tidak
tercapai maka diperlukan pemanasan ulang menggunakan oven dalam
kurung waktu 2 jam setelah ikan mengalami proses pengasapan.
Penundaan lebih lama akan menyebabkan kerusakan berbahaya dari
pertumbuhan bakteri. Arason, et al., (2014) juga menyatakan bahwa
metode pengasapan panas yang menerapkan suhu lebih dari 30oC yakni
pada suhu normal 70-80oC dengan capaian suhu internal ikan 62,8
oC
selama 30 menit untuk ikan kemasan vakum atau terkondisi dengan kadar
garam 3,5% dapat dikonsumsi langsung tanpa perlu dimasak lagi. Dwayne
(2015) secara terperinci menyatakan bahwa untuk segmen waktu
pematangan minimum 30 menit pada jenis daging, selanjutnya dapat
diuraikan dalam kategori matang jika suhu internal mencapai 60-65oC,
antara matang dan matang sempurna jika suhu internal mencapai 65-69oC,
dan matang sempurna jika suhu internal daging mencapai 71-100oC.
Pada Gambar 40, grafik bagian b dari Gambar 36-38 ditampilkan
kembali untuk mengamati segmen suhu puncak dan durasi waktunya.
Grafik suhu menunjukkan peningkatan secara perlahan hingga mencapai
suhu puncak yang disarankan. Suhu tersebut berkisar 69-80oC pada
pengujian 1 dan 2 selama minimum 48 menit sedangkan pengujian 2
berkisar 63-71oC selama 20 menit. Periode waktu dari awal proses
pengasapan hingga mencapai suhu pasteurisasi dikategorikan sebagai
siklus 1. Proses pengasapan berikutnya dengan capaian suhu sekitar 60oC
dikategorikan siklus 2. Lama waktu dari siklus 2 tergantung pada tingkat
kekeringan produk atau tingkat kadar air ikan yang ingin dicapai.
Page 136
120
Gambar 40. Capaian suhu internal ikan cakalang dan durasinya pada (a)
pengujian 1, (b) pengujian 2 dan (c) pengujian 3.
Berdasarkan aplikasi suhu dan durasinya sebagaimana uraian
sebelumnya, pengasapan panas ikan cakalang memenuhi aspek capaian
suhu dan durasinya pada pengujian 1 dan 2 untuk proses pasteurisasi dan
kematangan ikan. Pada pengujian 3, sampel ikan terdiri atas ikan utuh dan
ikan yang dibelah. Sampel ikan utuh baik capaian suhu maupun waktunya
Page 137
121
dianggap kurang sedangkan untuk sampel ikan yang dibelah, capaian
suhunya terpenuhi dan waktunya dianggap kurang. Rangkuman data ketiga
pengujian disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Suhu dan durasi proses pasteurisasi dan pematangan
Kriteria Pengujian
1 2 3
Lama pengasapan, jam 13 14,67 12
Suhu puncak ruangan, oC 108-149 100-105 108-118
Durasi puncak, menit 45 88 20
Suhu internal ikan, oC 72-80 70-80 Utuh : 67-71
Belah: 75-79,4
Pada pengujian 3, ditemui kendala teknis pada tahap penyiapan
atau pengolahan awal ikan sejak tiba dari pelelangan ikan. Tim kerja yang
disiapkan untuk mengolah dari proses pembelahan, pelepasan insang dan
bagian usus, pembersihan, penimbangan dan perendaman larutan garam
serta proses menggantung ikan pada rak berhalangan hadir. Kekurangan
tenaga menyebabkan jadwal pengasapan terancam molor sehingga untuk
segera mengasapi, separuh dari 35 ekor tidak dibelah dan hanya
dibersihkan bagian insang dan ususnya.
4. Aspek Penukaran Panas
Analisa performansi penukaran panas dapat dilakukan dengan
menggunakan data suhu udara hasil penukaran panas, data dimensi
penukar panas, data kecepatan dan karakteristik udara serta nilai
aproksimasi untuk koefisien transfer panas keseluruhan. Dalam
perhitungan, contoh sampel suhu menggunakan data pengujian dari
Page 138
122
ketiga pengujian pada posisi fluida panas yakni suhu inlet pipa (Thi) dan
suhu outlet pipa (Tho) serta pada posisi fluida dingin yakni suhu inlet
selubung (Tci) dan suhu outlet selubung (Tco), (Tabel 8).
Tabel 8. Data sampel suhu penukar panas pada ketiga pengujian
Sumber data Suhu Penukar Panas (
oC)
Thi Tho Tci Tco
Pengujian 1 87,75 77,5 71,5 80,25
Pengujian 2 118,75 101,75 91,0 107,5
Pengujian 3 97,5 83,75 75,75 86,5
Perhitungan diawali dengan menentukan luas bidang penukaran
panas, identifikasi kondisi udara dalam pipa dan kondisi udara dalam
selubung serta perhitungan nilai koefisien transfer panas keseluruhan
dibawah rujukan nilai-nilai aproksimasinya. Nilai luasan bidang
penukaran panas dihitung dari Tabel 4, demikian juga rujukan nilai
aproksimasi transfer panas keseluruhan mengacu ke Lampiran 1. Secara
aritmetika suhu udara dalam pipa sebagai aliran fluida panas diwakili
oleh rata-rata kedua suhu yakni (Thi+Tho)/2 dan suhu dalam selubung
sebagai aliran fluida dingin yakni (Tci+Tco)/2. Demikian juga dapat
diketahui selisih suhu dari kedua aliran fluida tersebut yang memiliki
nilai minimum atau nilai maksimum.
Analisa penukar panas pada aspek dimensi dapat dilakukan
dengan menggunakan data Tabel 4. Berdasarkan diameter pipa yang
digunakan dan pola susunan segitiga 30o (Staggered), jumlah pipa laluan
Page 139
123
yang dibutuhkan dan diameter selubungnya dapat dihitung dengan
panjang tertentu pipa yang digunakan yakni 0,99 m. Analisa tersebut
mengikuti persamaan 14 hingga 18 sebagaimana perhitungan berikut:
Luas awal penampang pipa, Ao = do Np L = 3,14*0,032*52*0,99
= 5,182 m2
Diameter selubung:
Ds = 0,637*(CL/CTP)1/2
*
= 0,637*(0,87/0,93)1/2
*((5,182*(1,5)2*0,032)/0,99)
1/2
= 0,378 m.
Luas proyeksi total pipa, A1 = (CL)PT2
= (0,87)*(0,048)2
= 0,00200448 m2
Jumlah laluan pipa, Np = (CTP)*( Ds2/4A1)
= 0,93*(3,14*(0,378)2/(4*0,00200448))
= 52,0661 52.
Pada ruang selubung, variabel yang berpengaruh terhadap
kecepatan udara adalah diameter selubung, Ds, jarak antar permukaan
pipa atau clearance, C, jarak antar pusat pipa atau pitch, PT, dan jarak
antar sekat atau baffle spacing, B. Lebar penampang aliran udara tepat
pada pusat selubung adalah (Ds/PT)C dan tinggi penampang aliran setara
dengan jarak antar sekat, B. Oleh karena itu, luas penampang selubung di
sekitar pipa-pipa untuk aliran silang (crossflow) dapat dihitung dengan
persamaan 16.
Luas penampang selubung, As = (DsCB)/PT
Page 140
124
= (0,378*0,016*0,1962)/0,048
= 0,025 m2
Dengan cara yang lain untuk mengetahui luas penampang aliran udara
selubung adalah memahami bahwa jarak antar permukaan pipa atau
clearance adalah ruang tempat mengalirnya udara. Nilainya setara
dengan jumlah clearance antar pipa ditambah 2 clearance pada masing-
masing pinggir antara pipa dan dinding selubung di kali tinggi clearance
atau sama dengan baffle adalah ((6 x 0,016) + (2 x 0,016)) x 0,1962 =
0,025 m2.
Tahap selanjutnya adalah menghitung nilai koefisien transfer
panas keseluruhan (U) baik pada sisi selubung (ho) maupun pada sisi
dalam pipa (hi) dari bahan berupa besi galvanis. Perhitungan nilai ho pada
sisi selubung menggunakan dua pendekatan yakni metode Kern untuk
pengaruh aliran silang (cross flow) dan metode Bell Delaware untuk
pengaruh aliran berlawanan (counter flow) dengan sekat-sekat (baffles).
Beberapa parameter yang terlebih dahulu ditentukan berdasarkan
persamaan 19, 37 dan 38 untuk menghitung nilai ho antara lain adalah
diameter ekivalen pada sisi selubung (De), bilangan Reynold (Re),
Prandatel (Pr) dan konduktifitas (k) udara dalam selubung. Parameter
lainnya adalah panas jenis (Cp), viskositas (µ) udara selubung dan
dinding pipa, luas penampang aliran selubung dan laju massa udaranya
sedangkan untuk nilai transfer panas dalam pipa (hi) juga
memperhitungkan faktor gesekan terhadap pipa (f) dan bilangan
Nusseltnya (Nu). Ringkasan karakteristik transfer panas pipa besi
Page 141
125
galvanis disajikan dalam Tabel 9. Diameter ekivalen (De) selubung dari
susunan pipa segitiga (staggered) yang digunakan dalam perhitungan
metode Kern ditentukan menggunakan persamaan 19 dengan nilai
sebesar 0,04739 m. Laju aliran massa udara dalam selubung (Gs)
dihitung dengan persamaan 20 memiliki nilai 3,1391 kg/m2.detik
(pengujian ke-1). Perhitungan lengkap disertakan pada bagian Lampiran
12 untuk ketiga pengujian.
Tabel 9. Ringkasan karakteristik transfer panas pipa besi galvanis
Parameter Pengujian ke
1 2 3
Aliran udara Selubung Pipa Selubung Pipa Selubung Pipa
Suhu udara, oC) 75,88 82,63 99,25 110,25 81,13 90,6
Gs, Kg/m2.det 3,1391 - 2,6082 - 3,081 -
Reynold, Re 57171,4 18204 45263,6 16280 55483,7 16114
Prandatel, Pr 0,7002 0,6989 0,6956 0,6934 0,6992 0,6973
Friction, f 0,3294 0,0067 0,344 0,0069 0,2232 0,0069
Nusselt, Nu - 40,110 - 36,285 - 35,686
Nilai h, W/m2 o
C 47,108 40,015 43,697 38,784 46,893 36,312
k besi galvanis 90,5 W/moC
U, W/m2 o
C 21,07 20,02 19,91
Nilai transfer panas keseluruhan (U) dari ketiga pengujian pada
Tabel 9, memiliki besaran yang seragam dengan nilai rata-rata 20,3
W/m2o
C. Perhitungan nilai koefisien transfer panas keseluruhan atau
overall heat transfer coefficient ini dilakukan melalui karakteristik aliran
udara pada sisi selubung dan pipa yang terbuat dari besi galvanis.
Perhitungan nilai U dalam desain ini mencakup pindah panas konvektif
Page 142
126
pada bagian dalam pipa (hi) dan pindah panas konvektif pada bagian luar
pipa (ho). Perpindahan panas konvektif pada bagian luar pipa
memperoleh pengaruh dari jenis aliran fluida silang (cross flow) dan
berlawanan (counter flow). Dengan demikian, nilai ho dalam perhitungan
diperoleh dari ho1 yakni koefisien transfer panas menurut metode Kern
yang melibatkan diameter ekivalen selubung (De) dan dari ho2 yakni
koefisien transfer panas menurut metode Bell Delaware yang
memperhitungkan ruang sekat atau baffles. Disamping itu dalam
perhitungan nilai U, konduktivitas bahan berupa besi galvanis harus
terlebih dahulu ditetapkan berdasarkan referensi yang tersedia. Besi
galvanis adalah besi yang dilapisi seng dengan tujuan meningkatkan
kemampuan anti korosi bahan. Dengan demikian, nilai konduktivitas besi
galvanis harus memperhitungkan sifat konduktifitas bahan
pembentuknya berupa besi dan seng. Konduktivitas besi galvanis dari
perpaduan kedua bahan tersebut adalah 90,5 W/moC (Welty et al., 2004;
Engineers Edge, 2017).
Nilai U rata-rata hasil perhitungan sebesar 20,3 W/m2o
C
selanjutnya dicek validitasnya berdasarkan referensi yang mengaitkannya
dengan jenis aliran kedua fluida. Kedua aliran fluida dalam desain adalah
udara panas sehingga termasuk kategori perpindahan panas dari gas ke
gas. Perpindahan panas untuk kategori fluida gas ke gas memiliki nilai
rendah dimana kisarannya adalah 10 – 40 W/m2o
C (Cengel, 2003).
Referensi lain menunjukkan nilai transfer panas dari gas ke gas hanya
berkisar 5 – 35 W/m2o
C untuk sistem bertekanan rendah (Primo, 2017).
Page 143
127
Tabel 10. Daftar Analisa Performansi Penukar Panas
PERFORMANSI PENUKAR PANAS Pengujian
1 2 3
Ao: luas bidang tukar panas, m2 5,182 5,182 5,182
F: faktor koreksi LMTD, desimal 0.93 0.88 0.93
q _transfer HE, Watt 685,50 1078,13 828,16
Laju massa udara pipa, kg/detik 0,066 0,063 0,060
Laju massa udara selubung, kg/detik 0,078 0,065 0,076
Ch; pipa, W/oC Cmin 66,88 63,42 60,23
Cc; selubung, W/oC Cmaks 78,34 65,34 77,04
T_fluida min, oC 8,75 16,50 10,75
T_fluida maks, oC 10,25 17,00 13,75
; udara pipa, oC 82,63 110,25 90,63
; udara selubung, oC 75,88 99,25 81,13
AMTD, oC 6,75 11,00 9,5
CR=Cmin/Cmaks 0,854 0,971 0,782
NTU=UA/Cmin 1,64 1,76 1,57
LMTD, oC 6,72 11,00 9,42
U; forward, Watt/m2o
C 21,07 20,02 19,91
U; backward, Watt/m2o
C 21,16 21,50 18,24
Q_optimum= UA ( − ), Watt 740,15 1225,35 898,01
Q_maksimum = C_min (Thi –Tci), Watt 1086,77 1759,88 1310,01
Efisiensi, desimal 0,93 0,88 0,92
Efektifitas, desimal 0,63 0,61 0,63
Efektifitas (kriteria), desimal 0,65 0,64 0,65
Metode lain untuk menentukan nilai koefisien transfer panas
dilakukan berdasarkan persamaan-persamaan penukaran panas.
Persamaaan penukaran panas tersebut mencakup persamaan 21 - 23.
Perhitungan dilakukan menggunakan data suhu penukar panas yang telah
terjadi, dimensi dan ukuran yang tersedia. Metode ini merupakan
Page 144
128
kebalikan dari cara sebelumnya yang bersifat forward. Perhitungan
bersifat backward yakni penelusuran balik nilai U menggunakan nilai q-
transfer dari metode -NTU. Nilai koefisien transfer panas hasil
penelusuran balik serta nilai lain yang terkait dengan performansi
penukar panas dirangkum pada Tabel 10.
Analisa Log-mean Temperature Difference (LMTD) secara umum
digunakan pada kondisi suhu masuk dan suhu keluar diketahui dengan
dimensi dan ukuran penukar panas yang ingin dikonfirmasi. Dengan
pendekatan ini, nilai F atau faktor koreksi LMTD dapat diketahui dengan
menghitung nilai-nilai P dan R dan melakukan proyeksi pada grafik
faktor koreksi LMTD (Gambar 41). Penggunaan grafik faktor koreksi
LMTD tersebut mengacu pada desain dasar penukar panas jenis aliran
berlawanan yang diperkaya dengan efek aliran melintang pada tiap sekat
(Gambar 26). Penggunaan sekat memiliki manfaat antara lain untuk
membentuk efek aliran melintang (cross flow) terhadap pipa-pipa, efek
mengaduk aliran udara sehingga terbentuk jenis aliran turbulen dan
meminimalkan daerah aliran stagnan sehingga berpengaruh pada
peningkatan efisiensi penukaran panas.
Nilai P merupakan rasio panas aktual yang tertransfer dengan
panas yang mungkin ditransfer jika suhu sisi fluida dingin meningkat
terhadap suhu inlet dari sisi fluida panas. Dengan demikian P adalah
efektivitas suhu dari penukar panas pada sisi fluida dingin. Nilai R adalah
rasio nilai ( ) fluida dingin dari fluida panas dan disebut juga rasio
Page 145
129
laju kapasitas panas (terlepas apakah fluidanya berada pada sisi pipa atau
selubung) (Kakaç and Liu, 2002; Cabezas-Gómez et al., 2007).
Dalam desain penukar panas, fluida dingin berada pada sisi
selubung dan fluida panas berada pada sisi pipa. Berdasarkan Gambar 41
untuk memperoleh nilai F, penyesuaian terhadap nilai R dilakukan dengan
mengambil nilai separuhnya. Hal ini dilakukan mengingat panjang pipa
dalam desain hanya separuh dari panjang pipa pada gambar yakni bahwa
pipa dalam desain tidak mengalami belokan seperti yang tampak pada
skema pipanya.
Gambar 41. Faktor koreksi LMTD (F) untuk operasi aliran berlawanan
pada satu laluan selubung dan multi laluan pipa genap
(Kakaç and Liu, 2002).
Pada ketiga pengujian perhitungan untuk menentukan faktor
koreksi LMTD, diperoleh nilai F yang sama yakni 0,93. Nilai panas yang
ditransfer melalui sistem penukar panas (q_transfer) selanjutnya dapat
ditentukan berdasarkan persamaan yang melibatkan produk UA dan
LMTD.
Page 146
130
Pada pendekatan -NTU (Effectiviness Number of Transfer Unit),
nilai efektivitas penukar panas diperoleh melalui persamaan yang
membagi nilai q_transfer dengan panas maksimum nyata yang ditransfer
dari fluida bersuhu Thi ke fluida bersuhu Tci. Nilai efektivitas penukar
panas pada ketiga pengujian perhitungan memiliki nilai rata-rata sebesar
0,625 0,63. Dalam pendekatan ini digunakan sebuah fungsi yang terdiri
atas dua variabel yakni CR dan NTU. CR merupakan rasio kapasitas dari
fluida minimum (Cmin) terhadap fluida maksimumnya (Cmaks) dimana
keduanya dapat berasal dari salah satu fluida (fluida dingin atau fluida
panas). NTU adalah produk dari UA dibagi dengan kapasitas fluida
minimum. Metode -NTU ini kebanyakan digunakan pada kondisi
dimensi, ukuran penukar panas dan suhu inlet fluidanya diketahui
sementara suhu keluarannya ingin dikonfirmasi.
Persamaan lain menyajikan konsep efisiensi penukar panas
dengan persamaan yang membagi q_transfer dengan laju optimum
penukaran panasnya. Nilai laju optimum diperoleh melalui perkalian
produk UA dengan hasil pengurangan dari rata-rata suhu fluida panas
terhadap rata-rata suhu fluida dingin. Nilai efisiensi penukar panas ketiga
pengujian memiliki nilai rata-rata 0,91. Pengujian 2 memiliki efisiensi dan
efektivitas yang lebih rendah yakni 0,88 dan 0,61. Nilai-nilai ini memiliki
kaitan dengan capaian suhu yang relatif rendah yaitu maksimum 182oC
sementara pengujian 1 dan 2 dengan capaian suhu lebih tinggi memiliki
efisiensi dan efektivitas masing-masing sebesar 0,93 dan 0,63.
Page 147
131
Perhitungan teknis pada sistem penukar panas melibatkan banyak
persamaan-persamaan yang kadangkala membingungkan. Persamaan-
persamaan yang banyak tersebut pada dasarnya diturunkan dari persamaan
dasar sehingga dapat dikembangkan sebuah persamaan umum untuk
memvalidasi kebenaran dari nilai hasil perhitungan yang diperoleh.
Persamaan umum yang dapat digunakan untuk tujuan validasi tersebut
adalah persamaan 49 yang menghubungkan nilai efisiensi dari metode
LMTD dengan nilai-nilai metode -NTU. Nilai-nilai tersebut adalah
efektivitas, CR dan NTU dari sebuah penukar panas.
Dengan analisa tersebut diatas, desain penukar panas tipe
selubung dan pipa (Shell and Tube) dengan jenis aliran silang-berlawanan
(cross-counter flow), pola satu selubung dan satu pipa (one shell but not
two tube passes) memiliki efisiensi, efektivitas dan transfer panas
keseluruhan penukaran panas masing-masing sebesar 0,91; 0,63 dan 20,3
W/m2o
C. Desain penukar panas tersebut dalam prakteknya dapat
memenuhi kebutuhan panas pada pola pengumpanan bertambah
(incremental) massa tempurung kelapa 200 g, 300 g, 400 g dan 500 g
untuk mematangkan ikan cakalang dengan suhu internal daging berkisar
68-80oC.
Perhitungan tekanan statis terutama terkait dengan desain penukar
panas dan siklon separator dimana ruangannya spesifik atau memiliki
karakteristik tertentu menyebabkan aliran udara di dalamnya mengalami
hambatan atau bahkan kehilangan (losses). Hambatan dan kehilangan ini
akan menyebabkan tekanan operasional berkurang dan berdampak pada
Page 148
132
menurunnya kecepatan aliran udara sistem. Bagian desain yang
berkontribusi pada penurunan tekanan adalah bagian dalam pipa, saluran
hubung dan ruang selubung serta bagian inlet dan outlet dari siklon
separator.
Secara struktural unit blower sentrifugal diletakkan setelah outlet
bundelan pipa penukar panas dan sebelum inlet siklon separator. Dengan
demikian susunan pipa, jumlah pipa dan panjangnya dalam bundelan
berpengaruh pada daya hisap blower sentrifugal tersebut, sedangkan
bagian siklon separator, saluran hubung dan selubung penukar panas
berpengaruh pada daya dorong blower sentrifugal yang memiliki nilai
tekanan statis sebesar 0,65 kPa. Berdasarkan pengukuran dan perhitungan
tekanan statis pada bagian-bagian desain diperoleh nilai tekanan dan
dirangkum dalam Tabel 11.
Tabel 11. Besaran tekanan statis desain sistem
Pressure Drop (Pa) Pengujian
1 2 3
Sisi pipa 70,1 69,4 59,8
Sisi selubung 66,9 51,1 65,5
Saluran hubung 12,0 11,3 11,9
Siklon separator 205,0 205,0 205,0
Total sistem 354,0 336,8 342,2
Berdasarkan data pada Tabel 11, penurunan tekanan statis total
pada sistem pengasapan dengan desain terintegrasi rata-ratanya sebesar
344 Pa. Penggunaan blower sentrifugal dengan nilai pressure drop 650 Pa
masih menyisakan tekanan operasional sekitar 306 Pa. Dengan ungkapan
Page 149
133
lain, penggunaan blower sentrifugal pada sistem pengasapan tidak
langsung ini adalah aman mengingat total penurunan tekanan statis sistem
lebih kecil dari nilai pressure drop blower sentrifugal yang tersedia.
5. Aspek Konsumsi Energi Sistem
Dari pengujian sebanyak tiga kali, diperoleh beberapa data
performansi sistem yang dirangkum dalam Tabel 12. Performansi sistem
dari aspek konsumsi energi, terutama konsumsi energi spesifik
menunjukkan kebutuhan sistem akan energi dalam menguapkan
kandungan air bahan yang diasapi. Kajian energi dalam desain sistem
pengasapan ini hanya ditujukan untuk memperoleh gambaran terkait
konsepsi energi berguna berupa konsumsi energi spesifik.
Tabel 12. Konsumsi energi sistem pengasapan
Komponen Satuan Pengujian
1 2 3
Berat tempurung kelapa Kg 17,81 22,11 17,18
Kadar air tempurung % 15,8±1,5 15,2±0,6 13,3±0,7
Lama pengasapan Jam 13,0 14,67 12,0
Laju pengumpanan Kg/jam 1,37 1,51 1,43
Kalori tempurung MJ 327,50 406,58 315,82
Energi listrik MJ 8,4 10,1 4,6
Air yang diuapkan Kg 14,0 15,0 11,0
KES* MJ/kg 23,99 27,78 29,13
*Konsumsi Energi Spesifik
Penggunaan tempurung kelapa dalam pengujian ditujukan untuk
merepresentasikan kondisi tempurung kelapa berdasarkan kebiasaan
masyarakat memanfaatkannya dalam hidup keseharian. Kondisi tersebut
Page 150
134
meliputi kadar air dan tingkat kebersihan bongkahan sesuai dengan
keberadaan alamiahnya. Konsumsi tempurung kelapa pada ketiga
pengujian berbeda disebabkan karena lama pengasapan berbeda
disamping pengaruh karakteristik dasar alamiahnya seperti kerapatan
massa dan kadar airnya. Konsumsi tempurung kelapa rata-rata dari ketiga
pengujian adalah 19,0 kg dengan laju pengumpanan 1,44 kg/jam.
Pengukuran kadar air tempurung dilakukan dengan instrumen moisture
meter yang khusus ditujukan untuk bahan berupa kayu keras hingga kayu
lunak seperti particle board dan kardus. Hasil pengukuran kadar air
tempurung kelapa yang digunakan selama penelitian ditampilkan pada
Lampiran 11.
Jenis energi yang terlibat dalam sistem pengasapan model tidak
langsung ini adalah energi biomassa berupa tempurung kelapa dan energi
listrik yang digunakan untuk membentuk aliran udara melalui blower
sentrifugal. Energi biomassa dihitung berdasarkan jumlah konsumsi
tempurung kelapa pada setiap pengujian dengan nilai kandungan
kalorinya. Nilai kalori tempurung kelapa berkisar dari nilai yang rendah
18388 kJ/kg (Hoque and Bhattacharya, 2001) hingga nilai yang tinggi
22830 kJ/kg (Tsai et al., 2006). Nilai yang digunakan dalam perhitungan
adalah nilai yang terendah sehingga dari ketiga pengujian pengasapan,
energi biomassa tertinggi sebanyak 406,58 MJ pada pengujian 2. Besaran
konsumsi energi biomassa bergantung pada jumlah konsumsi tempurung
kelapa yang berbanding lurus dengan lama waktu pengasapan.
Page 151
135
Konsumsi energi listrik pada pengujian 1 sebesar 2338 Wh atau
8,4 MJ. Konsumsi energi listrik tertinggi sebesar 2802 Wh atau 10,1 MJ
terjadi pada pengujian 2 yang berbanding lurus dengan waktu operasi
blower selama pengasapan. Konsumsi energi listrik terendah terjadi pada
pengujian 3 sebesar 1281 Wh atau 4,6 MJ yang dipengaruhi oleh waktu
operasional lebih singkat. Faktor lain yang menyebabkan rendahnya
konsumsi energi listrik pengujian 3 jika dilihat dari rasio konsumsi listrik
berdasarkan beda waktu pada pengujian 1 dan pengujian 2 adalah adanya
penyetelan kecepatan blower. Aliran asap keluar ruang pengasapan
dengan kecepatan mencapai 16 m/detik pada outlet seluas 0,005 m2
menyebabkan pemanfaatan asap rendah karena asap berlalu sedemikian
cepat. Berdasarkan data pengujian 1 dan pengujian 2 maka penyetelan
kecepatan aliran asap dilakukan dengan menurunkan putaran blower ke
daya 69 Watt sehingga kecepatannya berkisar 10 m/detik. Hal ini masih
dimungkinkan berdasarkan data pressure drop blower yang tersedia (650
Pa), dimana tekanan statis desain hanya berkisar 344 Pa.
Kontribusi energi listrik pada ketiga pengujian pengasapan jika
dirata-ratakan adalah 7,7 MJ sehingga total konsumsi energi sistem
adalah sekitar 357,7 MJ. Konsumsi energi spesifik (KES) pada pengujian
1 menunjukkan nilai yang paling efisien dalam menguapkan sejumlah air
pada pengasapan ikan cakalang dari ketiga pengujian.
6. Aspek Pemisahan dan Pengumpulan Partikel Abu dan Tar
Parameter lain dalam desain terintegrasi sistem pengasapan yang
juga diamati adalah performansi pemisahan dan pengumpulan partikel
Page 152
136
padat berupa abu terbang, fraksi arang halus (carbon), jelaga (carbon
black) dan tar. Partikel padat ini terpisah melalui sistem pemisahan siklon
dan terkumpul dalam wadah pengumpul atau dustbin. Pada desain
terintegrasi sistem pengasapan ini diujicoba unit siklon separator
berdiameter 250 mm.
Hasil pemisahan dan pengumpulan partikel padat untuk sekali
proses pengasapan ikan dengan lama waktu rata-rata 13,2 jam disajikan
pada Gambar 42. Partikel padat hasil pemisahan siklon separator tersebut
selanjutnya dilakukan analisa distribusi ukuran dan hasilnya disajikan pada
Gambar 43. Distribusinya diperoleh melalui metode analisa Particle size
analyser/distribution mikro merek CILAS 1190 Liquid. Partikel dari abu
yang terkumpul memiliki ukuran terkecil 0,2 µm sedangkan ukuran
terbesarnya adalah 600 µm.
Gambar 42. Partikel padat yang terpisah, (a) Berat partikel padat
tertimbang 17,54 g, (b) Partikel padat berbentuk pipih
hingga ukuran panjang 20 mm.
Page 153
137
Gambar 43. Distribusi ukuran partikel abu hasil pemisahan siklon 250 mm
Dari data analisa particle size distribution, efisiensi pengumpulan
masing-masing partikel dan efisiensi pengumpulan total dapat dilihat pada
Lampiran 10. Perhitungan efisiensi keseluruhan siklon sebesar 94,7%
lebih tinggi dari efisiensi dugaan sebesar 93,3% (Lampiran 5). Nilai
tersebut mendekati nilai maksimum dari efisiensi siklon konvensional 90-
95% (Woolcock and Brown, 2013; Seville and Clift, 1997). Dalam
perhitungan digunakan data densitas partikel abu dari tempurung kelapa
sebesar 2050 kg/m3 berdasarkan hasil penelitian Madakson et al., (2012).
Grafik efisiensi pemisahan dan pengumpulan partikel padat disajikan pada
Gambar 44.
Gugus partikel yang terpisah dengan jumlah 50% dikenal dengan
istilah diameter cut point (dpc) adalah salah satu indikator performansi
yang lain. Hal itu dapat didefenisikan sebagai gugus partikel yang
jumlahnya 50% terkumpul ke wadah pengumpul atau dustbin dan
Page 154
138
selebihnya dapat melewati siklon separator. Pada Gambar 44, partikel abu
yang memiliki peluang 50% terkumpul ke dalam dustbin dan 50%
melewati siklon adalah berdiameter 3,94 µm. Gugus partikel dengan
ukuran diameter rata-rata 3,5 µm dan 1,0 µm memiliki besaran efisiensi
terkumpul masuk ke dalam dustbin masing-masing sebesar 44,1% dan
6,1%.
Gambar 44. Efisiensi pemisahan siklon separator 250 mm
Hubungan antara besaran efisiensi partikel abu yang terkumpul
dengan cut-off diameternya (dpc) sebagai karakteristik dari desain siklon
separator berubah berdasarkan jenis bahan bakar dengan densitas partikel
yang berbeda. Kecenderungan dari hubungan tersebut dapat dilihat pada
Gambar 45, yang dihasilkan (generated) dari persamaan (9) hingga (11)
untuk bahan dengan rentang densitas partikel 1500 - 2800 kg/m3.
Pengamatan secara visual terhadap partikel padat hasil pemisahan
dan pengumpulan siklon menunjukkan bahwa bahan kontaminannya dapat
berupa abu, fraksi halus arang, fraksi halus pasir dan jelaga. Potensi
Page 155
139
kontaminasinya tergantung pada tingkat kebersihan tempurung yang
digunakan dimana pasir dan bahan lainnya dapat menempel dan ikut serta
dalam proses pembakaran.
Gambar 45. Kecenderungan garis efisiensi dan dpc berdasarkan perubahan
densitas partikel. (Data perhitungan berdasarkan dimensi dan
karakteristik desain siklon separator).
Berat abu yang terkumpul di dalam wadah pengumpul atau
dustbin dirangkum pada Tabel 13. Analisa yang dilakukan pada partikel
padat yang terkumpul tersebut menunjukkan adanya fraksi halus pasir dan
arang disamping abu terbang dan jelaga. Keberadaan fraksi halus pasir
dapat bersumber dari kondisi tempurung yang kurang bersih dimana pasir
dapat terbawa dalam lekukannya ataupun menempel pada permukaan
luarnya yang kasar. Penyebab lainnya adalah efek penghisapan blower
yang masih tinggi sehingga mampu mengangkat fraksi halus pasir dari
lantai dasar tungku.
3
3,2
3,4
3,6
3,8
4
4,2
4,4
4,6
4,8
5
93,6
93,8
94,0
94,2
94,4
94,6
94,8
95,0
95,2
95,4
95,6
Cu
t-o
ff d
iam
eter
, u
m
Efi
sien
si,
%
Densitas Partikel, kg/m3
Efisiensi
Cut-off diameter
Page 156
140
Tabel 13. Berat partikel padat hasil pemisahan siklon
Komponen Satuan Pengujian
1 2 3
Partikel padat g 17,54 8,49 4,13
Kondisi tempurung yang digunakan tidak dilakukan perlakuan
dalam hal pengkondisian kadar air tertentu maupun tingkat kebersihannya.
Hal ini dimaksudkan agar nuansa penelitian mendekati kondisi ril perilaku
masyarakat memanfaatkan bahan bakar tempurung kelapa di sekitarnya.
Berat partikel padat yang paling banyak terdapat pada pengujian 1, hal ini
disebabkan karena tempurungnya diambil dari pekarangan rumah yang
sudah lama berserakan. Tingkat kebersihannya kurang karena fraksi pasir
tanah telah mengkontaminasinya selama berada di pekarangan. Faktor
daya hisap blower yang tinggi juga menyebabkan fraksi pasir dan tanah
pada proses pembakaran di dalam tungku terbawa bersama abu berkumpul
di dustbin. Faktor lain yang berpengaruh adalah upaya operator
mengkondisikan percobaan pembakaran untuk menghasilkan suhu tinggi
menyebabkan gaya angkat (updraft forces) meningkat drastis membawa
kontaminan.
Berat partikel padat pada pengujian 2 berkurang disebabkan oleh
kebersihan tempurung yang sangat baik karena bersumber dari pedagang
eceran. Kondisi kering tempurungnya juga lebih seragam karena
mengalami perlakuan sebagai barang dagangan. Sikap operator yang
mengkondisikan pembakaran hanya berdasarkan pola suhu pada Gambar
20 menyebabkan gaya angkat kontaminan hanya dipengaruhi oleh blower.
Pengujian 3 menghasilkan berat partikel padat paling sedikit disebabkan
Page 157
141
karena pengurangan putaran blower pada siklus (hari) kedua yang
berpengaruh pada daya hisap terhadap kontaminan. Tingkat kekeringan
tempururng yang lebih baik karena sumbernya sama dengan tempurung
pada pengujian 2 dan dikeringkan lebih lanjut hingga digunakan pada
jadwal pengujian 3.
Pengamatan tar yang terkumpul bersama abu dilakukan dengan
menyentuhkan jari telunjuk ke dinding bagian dalam dustbin yang terbuat
dari gelas dan mengoleskannya ke lembar kertas (Gambar 46).
Gambar 46. (a) Dustbin transparan berisi tar dengan warna kehitaman, (b)
Senyawa tar konsentrasi tinggi sehingga tampak kental.
Pengamatan terhadap abu yang lolos bersama asap ke ruang
pengasapan dilakukan dengan menempatkan kain masker pada outlet
selubung. Hasil pengamatan secara visual menunjukkan bahwa kain
masker tampak hitam tetapi partikelnya tidak dapat terlihat dalam bentuk
satuan (Gambar 47.a), sedangkan pengaruh asap terhadap warna yang
ditimbulkan pada permukaan ikan cakalang, tampak coklat/kuning
keemasan dan bersih (Gambar 47.b).
Page 158
142
Gambar 47. (a) Pengaruh asap yang hitam pada kain masker, (b) Warna
coklat/kuning keemasan dan bersih pada permukaan ikan
asap yang dihasilkan.
7. Aspek Penurunan Tekanan Statis Siklon Separator
Analisa data tekanan statis siklon separator ditampilkan pada
Tabel 14. Perhitungan tekanan statis mencakup data tekanan statis yang
diukur dengan instrumen dan tekanan dinamis dari hasil hitung
sebagaimana diadaptasi dari Zhu et al., (2001) berdasarkan persamaan 12
dan 13. Metode perhitungan tekanan statis siklon separator ini berbeda
dengan perhitungan yang bersifat pendugaan pada persamaan 8. Untuk
perhitungan menggunakan persamaan 8, kondisi udara seperti suhu,
densitas dan kecepatannya bersifat pendugaan dan hanya satu kondisi
udara yang mewakili siklon separator. Pada persamaan 12 dan 13,
perhitungan dilakukan berdasarkan tekanan statis ril dan tekanan dinamis
yang dihitung mewakili kondisi udara ril pada posisi inlet dan outlet siklon
separator.
Nilai tekanan statis (pressure drop) yang dihasilkan sebesar 205,0
Pa lebih mendekati kondisi rilnya dari pada nilai pendugaan pada tahap
awal sebesar 332 Pa (Lampiran 7). Meskipun demikian, perhitungan nilai
Page 159
143
pressure drop yang bersifat pendugaan memiliki peranan penting dalam
pemilihan spesifikasi blower sentrifugal pada tahap awal desain.
Tabel 14. Tekanan statis siklon separator
Posisi Kondisi udara Tekanan Jumlah
V (m/det) T (oC) (kg/m3) Statis (Pa) Dinamis (Pa) (Pa)
inlet 10,0 92 0,9578 215,6 47,9 263,5
outlet 6,3 86 0,9727 39,2 19,3 58,5
Total
205,0
E. Aspek Ikan Cakalang Asap yang Dihasilkan
Pengujian pengasapan ikan cakalang pada desain sistem
pengasapan dilakukan sebanyak tiga kali dan menghasilkan data teknis
proses pengasapan yang dirangkum pada Tabel 15.
Penyiapan ikan cakalang dari ikan utuh menjadi ikan belah dua
yang siap digantung pada rak memiliki rendemen olah rata-rata sebesar
88,3%. Dengan demikian berat bersih rata-rata ikan yang diasapi pada
setiap pengujian pengasapan adalah 31,2 kg. Proses pengasapan ikan
cakalang dilakukan dari kadar air awal 73% hingga kadar air akhir sekitar
52,9% basis basah dalam waktu sekitar 13,2 jam. Dengan demikian jumlah
air rata-rata yang diuapkan sekitar 13,4 kg dengan laju penguapan air rata-
rata 1,0 kg per jam. Perolehan kadar air akhir ikan cakalang asap
menunjukkan bahwa performansi sistem pengasapan mengikuti pola suhu
berdasarkan grafik pada Gambar 20, memenuhi tingkat kadar air yang
dipersyaratkan dalam SNI (Standar Nasional Indonesia, 2009) yakni
kurang dari 60%.
Page 160
144
Tabel 15. Data teknis pengasapan ikan cakalang
Komponen Satuan Pengujian
1 2 3 rerata
Berat ikan utuh Kg 34 38 35 35,7
Berat ikan olah Kg 31,2 33 29,3 31,2
Rendemen olah % 91,76 86,84 83,71 88,3
Berat ikan kering asap Kg 17,2 18,0 18,27 17,8
Kadar air awal % 73,0 73,0 73,0 73,0
Kadar air akhir % 50,7 50,5 57,6 52,9
Air yang diuapkan Kg 14,02 15,00 11,04 13,4
Lama pengasapan Jam 13,0 14,67 12,0 13,2
Laju penguapan Kg/jam 1,08 1,02 0,92 1,02
Waktu proses atau lama pengasapan pada uji desain ini
didasarkan pada kadar air akhir yang ingin dicapai yakni sekitar 50% basis
basah. Pemilihan kadar air target ini bersumber dari hasil penelusuran dan
diskusi dengan pihak stakeholder dalam bidang pembinaan dan
pengawasan mutu hasil perikanan di Gorontalo. Penelusuran mencakup
syarat mutu ikan asap yang diatur dalam SNI tahun 2009 menegaskan nilai
maksimum untuk kadar air sebesar 60%. Disisi lain, hasil diskusi
mengarah ke kriteria penilaian sensori yang menjadi acuan dimana kadar
air ikan asap yang terlalu rendah menjadikan tampilan ikan keluar dari
spesifikasi ikan asap. Kadar air ikan asap yang terlalu rendah tersebut
masuk ke tampilan fisik ikan kering atau ikan kayu. Beberapa kriteria
yang muncul pada ikan asap dengan kadar air yang terlalu rendah adalah
tampilan warna yang berubah dari kuning, coklat atau kuning keemasan
menjadi coklat kehitaman atau hitam. Kriteria lainnya adalah tampilan
Page 161
145
tekstur kulit ikan menjadi pecah dan keras saat dikunyah sebagai bagian
penilaian.
Oleh karena itu dikembangkan pendugaan waktu proses
pengasapan berdasarkan persamaan Nikitin (Doe et al., 1998; Heruwati,
2002) dengan menggunakan data yang seakurat mungkin. Pada persamaan
59, besaran suhu dan kelembaban udara mengacu ke sistem pengasapan
panas dimana suhunya paling tidak 80oC dan dapat mencapai 100
oC
(Ahmad, 2003; Hall and Köse, 2014). Dengan demikian, suhu rata-ratanya
adalah 90oC dimana pada sesi awal uji desain, suhu tersebut tercapai pada
nilai 90,1oC berbarengan dengan nilai kelembaban udara sebesar 37%.
Nilai kadar air kesetimbangan mengacu ke produk ikan asap yang diolah
dengan metode pengasapan panas sebagaimana metode dalam uji desain
sistem pengasapan. Kriteria tersebut bersesuaian dengan aktivitas air (aw)
sebesar 0,85 atau kurang agar produk ikan asap stabil pada
penyimpanannya (Arason et al., 2014). Pada percobaan lain, Reo (2010)
mengkaji efek suhu terhadap moisture sorption isotherm ikan kerapu asin
kering dan ikan cakalang asap yang sebelumnya direndam larutan garam.
Suhu penyimpanan sebesar 10oC dan 25
oC menghasilkan nilai aw masing-
masing sebesar 0,868 dan 0,843. Nilai adsorpsi dan desorpsi untuk aw
0,868 adalah 47,53 %bk dan 47,51 %bk sedangkan untuk aw 0,843
masing-masing sebesar 32,2 %bk dan 32,38 %bk. Nilai 32,2 %bk adalah
titik singgung garis adsorpsi dan desorpsi sebagai kadar air kesetimbangan
pada nilai aw 0,843 yang sesuai dengan kriteria aw kurang dari 0,85.
Kadar air kesetimbangan 32,2 %bk selanjutnya digunakan dalam
Page 162
146
perhitungan sebagai nilai yang dipersyaratkan untuk menghitung waktu
pengasapan berdasarkan kadar air akhir yang diinginkan.
Pada tahap awal, pengujian pengasapan menggunakan ikan
cakalang, diperoleh uji kadar lemak dengan nilai sebesar 1,94%. Hasil
penelusuran data kadar lemak ikan cakalang berdasarkan referensi,
diperoleh nilai 2,0% sebagai komposisi umum (Departemen Kelautan &
Perikanan dan JICA, 2008). Dari perbandingan kedua nilai tersebut, nilai
1,94% sebagai hasil pengujian langsung, dianggap valid dan digunakan
dalam perhitungan. Perhitungan menunjukkan bahwa waktu pengasapan
yang dibutuhkan untuk menurunkan kadar air dari ikan sebanyak 30 kg,
kadar air awal 73% menjadi 50,7% adalah 16,3 jam (Lampiran 14).
Spektrum ikan asap dari aspek kadar air memiliki makna dan
tujuan yang berbeda terutama berkaitan dengan spesifikasi yang
dipersyaratkan dalam SNI maupun dalam kaitan dengan penyimpanan ikan
asap pada kondisi kadar air setimbang. Gambar 48 menampilkan ilustrasi
tingkat kadar air ikan asap terhadap spesifikasi SNI dan aktifitas air, aw.
Pada Gambar 48, kadar air awal ikan cakalang adalah 73% untuk
diasapi hingga kadar air tertentu yang diinginkan. Pengasapan hingga
kadar air kurang dari 60% mengindikasikan bahwa ikan asap memenuhi
kriteria kadar air yang dipersyaratkan. Proses penguapan air dari ikan asap
yang terus berlangsung hingga kadar air 36,78% menyebabkan kriteria lain
terdampak yakni organoleptik dengan nilai 7 yang merupakan batas
minimum syarat SNI. Makna yang terkandung pada selang kadar air
tersebut adalah bahwa ikan cakalang asap yang diproses ditujukan untuk
Page 163
147
memenuhi syarat SNI baik dari kriteria kadar air maupun dari kriteria
organoleptik atau kriteria lain yang terdampak sebagai kesatuan utuh
penilaian. Ikan cakalang asap yang dihasilkan selanjutnya disebut sebagai
produk yang memenuhi syarat SNI ikan asap.
Produk ikan asap, seandainya proses pengasapannya dilakukan
hingga kadar air lebih rendah dari 36,78% dan menghasilkan nilai
organoleptik sebesar 6 maka pada dasarnya produk tersebut masih disebut
ikan asap tetapi memiliki makna sebagai produk yang tidak memenuhi
syarat SNI ikan asap. Demikian halnya jika produk ikan asap ditujukan
untuk dapat bertahan lama dalam penyimpanannya maka proses
pengasapan dilakukan hingga mencapai kadar air kesetimbangan. Kadar
air kesetimbangan untuk produk ikan cakalang asap yang diberi perlakuan
garam adalah 24,4%bb ( 32,2%bk) dengan nilai aw 0,843 atau kurang,
(Reo, 2010). Nilai-nilai tersebut sesuai dengan aw 0,85 atau kurang
sebagaimana dinyatakan oleh Arason et al., (2014) untuk memperoleh
produk ikan asap yang awet. Makna dan tujuan dari proses pengasapan
ikan cakalang asap hingga kadar air kurang dari 24,4%bb ( 32,2%bk)
adalah untuk memperoleh produk ikan asap yang dapat disimpan hingga
periode waktu tertentu. Produk ikan asap dengan tingkat kadar air yang
jauh lebih rendah dari nilai 36,78%bb memiliki nilai organoleptik lebih
rendah dari nilai 7 sebagai batas minimum. Dengan demikian, spesifikasi
produknya tidak memenuhi kriteria SNI ikan asap melainkan masuk dalam
kriteria ikan kering. Jenis produk ikan asap tersebut selanjutnya disebut
Page 164
148
ikan kering yang dihasilkan melalui proses pengasapan atau lebih tepat
disebut sebagai produk ikan kayu (dried smoked fish).
Gambar 48. Tingkat kadar air terhadap aw dan spesifikasi SNI ikan asap
Pengasapan ikan cakalang hingga tingkat kadar air akhir yang
diinginkan membutuhkan waktu yang berbeda-beda. Perhitungan waktu
untuk menduga lama proses pengasapan dari kadar air 73%bb hingga
10%bb ditampilkan dalam bentuk grafik sebagaimana Gambar 49.
Page 165
149
Gambar 49. Perhitungan lama pengasapan berdasarkan penurunan kadar
air menggunakan persamaan Nikitin.
Berdasarkan Gambar 49, dugaan waktu yang dibutuhkan untuk
mengasapi ikan cakalang dari kadar air awal 73%bb hingga 50,7%bb dan
50,5%bb adalah 16,3 jam dan 16,4 jam. Pengujian 1 dan 2 proses
pengasapan ikan cakalang melalui desain untuk mencapai kadar air
50,7%bb dan 50,5%bb ditempuh dalam waktu 13,0 jam dan 14,67 jam.
Performansi desain berdasarkan pengujian 1 dan 2 menunjukkan waktu
yang lebih singkat dengan perbedaan waktu msing-masing 3,3 jam dan
1,73 jam. Pengujian 3 dengan penurunan kadar air ikan cakalang dari
73%bb hingga 57,6%bb ditempuh dalam waktu 12,0 jam sementara
perhitungan dugaan waktunya menghasilkan nilai 11,3 jam. Performansi
desain berdasarkan pengujian 3 menunjukkan waktu yang berbeda tipis
yakni 0,7 jam atau 42 menit lebih lambat.
Page 166
150
Kondisi yang berbeda pada pengujian 1, 2 dan 3 adalah ikan
cakalang yang dibelah dua untuk berat 31,2 kg pada pengujian 1 dan 33,0
kg pada pengujian 2. Perbedaan berat total untuk perlakuan yang sama
(semua ikan dibelah dua) pada pengujian 1 dan 2 menyebabkan pengujian
1 lebih cepat waktunya 3,3 jam dan pengujian 2 lebih cepat 1,73 jam dari
perhitungan dugaan waktunya. Pengujian 3 memiliki kondisi yang berbeda
yakni separuh dari 35 ekor ikan cakalang utuh tidak dibelah (bentuk utuh)
dari berat bersih keseluruhan 29,3 kg. Bentuk ikan yang utuh setelah
insang dan perutnya dibersihkan memberikan efek penguapan air yang
lebih lambat dari kondisi ikan yang diasapi pada pengujian 1 dan 2.
Kondisi yang berbeda pada pengujian 3 menyebabkan kadar air akhir yang
diperoleh sebesar 57,6%bb dalam waktu 12,0 jam. Meskipun demikian,
perhitungan dugaan waktu sebesar 11,3 jam mengindikasikan kelambatan
yang sangat tipis hanya 0,7 jam atau 42 menit. Berdasarkan kasus tersebut,
diperoleh fakta bahwa semakin tipis daging ikan (karena dibelah dua)
menyebabkan laju penguapan air yang lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan
data teknis pengasapan ikan pada Tabel 15 yang menampilkan laju
penguapan air untuk pengujian 1, 2 dan 3 masing-masing sebesar 1,08
kg/jam, 1,02 kg/jam dan 0,92 kg/jam.
Perbandingan terhadap lama waktu produksi ikan kayu dari jenis
ikan cakalang di Kendari dilaporkan bervariasi dari 45 hari, 71 hari dan 78
hari. Analisis kadar air ikan kayu dari lama waktu produksi berbeda
tersebut memiliki kisaran 6-24%bb (Sulistiani dkk., 2017). Berdasarkan
Gambar 48, kisaran kadar air tersebut berada pada selang kadar air
Page 167
151
kesetimbangan yakni kurang dari 24,4%bb. Penurunan kadar air tersebut
berdasarkan Gambar 49, maka lama proses pengeringannya membutuhkan
waktu lebih dari 40 jam.
Selain data teknis pengasapan ikan, uji laboratorium beberapa
parameter yang terkait dengan ikan cakalang sebagai bahan yang diasapi
juga dirangkum pada Tabel 16.
Tabel 16. Beberapa parameter hasil uji laboratorium ikan asap
Parameter Satuan Pengujian
1 2 3
Identifikasi Awal:
Formalin - N.D - -
Histamin kolorimetri N.D - -
Kimia:
Air % 50,7 50,5 57,6
Protein % 37,94 40,71 41,68
Lemak % 7,86 7,68 9,87
Abu % 3,39 4,87 4,62
Garam % -- 3,34 4,02
Fenol µg/g -- 62,48 60,16
Benzo[a]piren µg/kg 1,59 N.D 0,99
Mikrobiologi:
Eschericia Coli APM/g negatif < 3 < 3
Salmonella sp per 25 g negatif negatif negatif
Staphilococcus Aures Koloni/g negatif negatif negatif
Vibrio Cholerae per 25 g negatif negatif negatif
-- Nilai terpengaruh kesalahan alat laboratorium.
N.D. = Not Detected (Tidak terdeteksi).
Page 168
152
1. Uji Formalin dan Histamin
Uji formalin dan histamin di lakukan terhadap ikan cakalang dari
nelayan yang ditetapkan sebagai sumber memperoleh ikan cakalang pada
Tempat Pelelangan Ikan (TPI) terdekat di Gorontalo. Penetapan ini
dilakukan sebagai upaya memperkecil atau menghindari kemungkinan
memperoleh ikan yang diberi perlakuan formalin sebagai salah satu bentuk
penanganan yang tidak tepat. Demikian pula untuk memastikan bahwa
proses penanganan ikan cakalang hasil tangkapan nelayan berlangsung
baik dan mencapai TPI dalam kondisi ikan yang masih segar.
Hasil uji laboratorium yang dilakukan pada Balai Pembinaan dan
Pengujian Mutu Hasil Perikanan di Gorontalo menunjukkan bahwa baik
formalin maupun histamin tidak terdeteksi (Tabel 16). Berdasarkan hasil
uji pada pengujian ke-1 tersebut kemudian diputuskan bahwa peralatan
dan sistem penanganan hasil tangkapan ikan cakalang memenuhi syarat
dan diteruskan hingga pengujian 3. Pengujian parameter yang sama pada
pengujian 2 dan 3 tidak lagi dilakukan mengingat peralatan dan sistem
penanganan seperti pemberian es beku pada box yang digunakan sudah
memenuhi kriteria aman. Batas kandungan histamin yang diperkenankan
berdasarkan SNI ikan asap adalah maksimal 100 mg/kg dan batas
kandungan histamin berdasarkan Codex STAN-311 (FAO, 2013) adalah
maksimal 20 mg/ 100g daging ikan asap.
2. Mikrobiologi
Pengujian ikan cakalang asap untuk parameter mikrobiologi
seperti keberadaan bakteri Eschericia coli, Salmonella sp, Stapilococcus
Page 169
153
Aures dan Vibrio Cholerae dari pengujian 1 hingga pengujian 3
dinyatakan memenuhi syarat berdasarkan SNI ikan asap (Tabel 16). Hal
ini menggambarkan bahwa proses penyiapan dan pengolahan ikan
cakalang sebelum diasapi memenuhi aspek higienitas yang dibutuhkan
untuk ikan asap sebagai produk pangan. Demikian pula proses pengasapan
yang kondisinya tertutup menyebabkan peluang terkontaminasi dengan
sumber bakteri menjadi berkurang jika dibandingkan dengan pengasapan
ikan secara terbuka seperti pada pengasapan ikan tradisional.
3. Kadar Garam
Kandungan garam dalam produk ikan asap diatur dalam SNI
dengan nilai maksimal 4%. Garam memiliki beberapa kegunaan,
disamping untuk memberikan citarasa yang sedap pada kadar yang tepat,
juga menghambat pertumbuhan mikroba, juga menyebabkan koagulasi
protein yang berefek pada tekstur kenyal atau kompak saat daging ikan
digigit. Perbedaan yang diamati pada ikan cakalang yang tidak direndam
dengan larutan garam adalah menyebabkan daging ikan cakalang yang
cepat hambur bagai terigu saat daging ikan digigit. Struktur daging ikan
cakalang tanpa garam tidak kenyal/kompak dan tidak memberikan efek
tahanan atau gaya melawan (reaksi) saat gigi memberikan aksi menekan
(gigitan). Tingkat kesukaan konsumen terhadap rasa asin secara umum
bervariasi. Kadar garam dari nilai 0% hingga 4% terkait ikan asap sebagai
bahan pangan memiliki segmen konsumen tersendiri yang
menginginkannya. Sebagai contoh adalah konsumen yang memiliki
gangguan kesehatan berupa tekanan darah tinggi cenderung memilih bahan
Page 170
154
pangan yang berkadar garam rendah. Dengan demikian kadar garam pada
ikan asap sepanjang memenuhi batas SNI yang telah ditetapkan maka
dapat diterima dan memiliki segmen konsumen masing-masing.
Kadar garam pada ketiga pengujian pengasapan secara umum
memenuhi syarat yakni maksimal mencapai 4% (Tabel 16). Pada
pengujian 1 kadar garam rendah yakni hanya 0,26% sedangkan pengujian
2 dan 3 lebih dari 3,3%. Diduga terjadi kesalahan laboratorium pada
pengujian 1 meskipun konsentrasi garam yang diberikan sebesar 10%
dengan lama waktu perendaman 30 menit. Perlakuan garam pada
pengujian 1 relatif mengikuti panduan umum perendaman garam untuk
pangan. Pada pengujian 2 dan 3, larutan garam ditingkatkan menjadi
konsentrasi 15% dan lama perendaman 40-45 menit. Hal ini dilakukan
mengingat jenis ikan cakalang memiliki daging yang tebal (sekitar 25 mm)
dan panjang (sekitar 342,5 mm) pada kondisi terbelah sehingga
diasumsikan membutuhkan konsentrasi garam yang lebih tinggi.
4. Kadar Protein, Lemak dan Abu
Protein, lemak dan abu adalah nutrisi utama yang diuji dari ikan
cakalang asap yang dihasilkan. Kadar protein, lemak dan abu untuk ketiga
pengujian masing-masing memiliki nilai rata-rata 40,1%, 8,5% dan 4,3%
pada kadar air rata-rata 52,9% (Tabel 16). Nilai ketiga parameter mutu
tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan jenis ikan cakalang asap
yang dihasilkan di daerah Kendari yakni 29,7%, 2,6%, 1,4% untuk protein,
lemak dan abu pada kadar air 65,6% (Isamu et al., 2012). Nilai nutrisi
tersebut juga lebih tinggi dari kadar proksimat ikan tuna asap yang diteliti
Page 171
155
oleh Fuentes et al., (2010) pada kadar air 58.6-66.2% memiliki kadar
protein 15.4-31.5%, kadar lemak 1.4-3.8%, dan kadar abu sebesar 6.1-
7.5%. Kadar nutrisi yang lebih tinggi tersebut dapat disebabkan karena
proses pemanasan berlangsung perlahan sehingga nutrisinya terjaga (tidak
rusak). Pada rasio tertentu, kadar air yang lebih rendah pada produk yakni
52,9%, dapat meningkatkan porsi dari nilai protein, lemak dan abu.
5. Kadar Fenol
Senyawa fenol adalah kandungan mayoritas dari komponen asap
yang dihasilkan dari bahan biomassa disamping karbonil, asam, furan,
alkohol, ester, lakton dan juga kelompok senyawa aromatik seperti
benzo[a]piren. Proporsi masing-masing komponen bergantung pada jenis
bahan biomassa yang digunakan, kadar air bahan, ukuran partikel bahan
dan proses terbentuknya asap (Maga, 1987; Pool and Lin, 1982). Fenol
terutama memegang peranan sebagai pembentuk citarasa dan aroma asap
serta memiliki sifat sebagai anti mikroba yang kuat. Kelompok senyawa
yang termasuk fenol antara lain adalah syringol, eugenol, cresols, vanillin
dan guaiacol. Kandungan fenol dalam ikan cakalang hasil pengasapan
diwakili oleh pengujian 2 sebesar 62,48 µg/g dan pengujian 3 sebesar
60,16 µg/g (Tabel 16). Nilai fenol pada pengujian 1 menghasilkan nilai
rendah dan setelah dilakukan penelusuran, diduga kuat karena faktor
teknis alat yakni penurunan fungsi unit pendingin pada destilator yang
digunakan. Nilai fenol pengujian 2 dan pengujian 3 setelah penggantian
unit pendingin menghasilkan nilai rata-rata sebesar 61,32 µg/g atau 6,132
mg/100g. Berdasarkan pengamatan Sérot et al., (2004), kandungan fenol
Page 172
156
pada fillet ikan herring yang diasapi dengan pembakaran biomassa
(smouldering) memiliki kecenderungan bertambah dari 0,1-0,31 mg/100g
dengan meningkatnya suhu dari 16-32oC dan cenderung konstan pada 1
jam terakhir dari total waktu 4 jam pengasapan pada nilai 0,24 mg/100g.
Penelitian yang dilakukan oleh Chan et al., (1975) mengamati
pengaruh aliran udara dan tanpa aliran udara terhadap penyerapan fenol ke
dalam daging ikan mackerel. Hasilnya menunjukkan bahwa penyerapan
fenol lebih tinggi pada pengasapan yang memiliki aliran udara dengan
nilai berkisar 3,0 mg/100g sedangkan pengasapan tanpa aliran udara hanya
berkisar 0,5 mg/100g daging ikan. Kondisi pengasapan yang diamati
adalah suhu 37,8oC dan kelembaban udara 22% selama 2 jam. Pengamatan
variabel lain berupa pengaruh suhu terhadap penyerapan fenol ke dalam
daging ikan pada kelembaban udara 60% menunjukkan bahwa suhu
pengasapan 71,1oC selama lebih dari 2 jam memiliki kandungan fenol
pada kisaran lebih dari 10 mg/100g diikuti suhu 82,2oC pada kisaran 5
mg/100g dan suhu 60oC pada kisaran lebih dari 4 mg/100g daging ikan.
Dengan demikian, hasil pengujian ikan cakalang asap dengan
kadar fenol 6,132 mg/100g selama sekitar 13 jam pada suhu pengasapan
rata-rata 76oC disebabkan level suhu dan kelembaban ruangan.
Berdasarkan penelitian Chan et al., (1975), suhu 76oC berada diantara
71,1oC dan 82,2
oC. Dengan demikian nilai capaian fenol pada pengujian
sebesar 6,132 mg/100g berada diantara 10 mg/100g dan 5 mg/100g
sebagaimana korelasi suhunyat. Nilai fenol yang mendekati 5 mg/100g
dari korelasi tersebut disebabkan oleh kelembaban ruang pengasapan yang
Page 173
157
belum mencapai kondisi optimum. Kondisi yang memungkinkan
kelembaban udara meningkat ke level 60% dapat diupayakan melalui
tingkat kadar air tertentu dari bahan bakar atau melalui unit dehumidifier
yang sengaja dipasang. Pengujian 2 yang memiliki kadar air tempurung
kelapa rata-rata 15,2% dan suhu rata-rata pengasapan 64,2oC memiliki
penyerapan fenol yang paling baik yakni 6,248 mg/100g. Pengujian 3
dengan kadar air tempurung 13,3% dan suhu rata-rata pengasapan 78,4oC
memiliki kandungan fenol 6,02 mg/100g. Upaya lain dari sisi desain
adalah memanfaatkan kembali asap yang keluar dari ruang pengasapan
untuk bercampur dengan asap dari outlet selubung penukar panas
(looping). Lama pengasapan berdasarkan penelitian Sérot et al., (2004)
tidak memiliki pengaruh terhadap peningkatan fenol melainkan cenderung
konstan pada suatu capaian fenol tertentu di dalam bahan.
Flick, G.J. (2010) menyatakan bahwa warna kuning keemasan
pada kulit ikan cakalang asap adalah dampak interaksi karbonil dengan
komponen amino pada saat pengasapan. Warna merah mengkilat pada
permukaan daging dan membentuk pellicle disebabkan oleh reaksi
denaturasi protein yang dipengaruhi oleh fenol dan aldehid dari asap.
6. Benzo[a]piren
Pengamatan terhadap kandungan senyawa benzo[a]piren untuk
ketiga pengujian masing-masing menghasilkan nilai 1,59 µg/kg, tidak
terdeteksi dan 0,99 µg/kg (Tabel 16). Benzo[a]piren adalah salah satu
senyawa polisiklik aromatik hidrokarbon yang bersifat paling karsinogenik
dan dijadikan penanda dalam produk asapan seperti ikan asap (Stołyhwo
Page 174
158
and Sikorski, 2005). Irisan daging tak berlemak dan daging yang berlemak
dari ikan trout yang diasapi hingga suhu internal ikan mencapai 82oC
selama 30 menit, mengandung benzo[a]piren masing-masing 5,12 µg/kg
dan 8,43 µg/kg (Zabik et al., 1996; Stołyhwo and Sikorski, 2005).
Perlakuan suhu dan lama waktu pematangan adalah sama dalam pengujian
desain ini tetapi total waktu pengasapannya tidak disebutkan,
kemungkinan lebih singkat dan menghasilkan kandungan benzo[a]piren
yang berbeda. Perbedaan dari sisi alat disebabkan oleh adanya pemisahan
partikel padat dan senyawa tar dalam pengujian desain ini sehingga
menyebabkan kandungan benzo[a]piren lebih rendah. Jelaga dan senyawa
tar yang banyak terpisah ke dalam dustbin merupakan faktor yang
berkontribusi dalam penurunan kandungan senyawa karsinogen ikan.
Disamping itu, desain sistem pengasapan dalam penelitian ini
dikategorikan pengasapan tidak langsung sehingga aliran asap yang
melewati selubung penukar panas bersekat dengan layout pipa segitiga 30o
(staggered) menjadi pereduksi senyawa tar bercampur asap untuk
mencapai ruang pengasapan ikan. Faktor lainnya adalah tercapainya pola
suhu pengasapan yang menjadi referensi yakni suhu pusat ikan berkisar
68-72oC selama 25 menit (Sikorski and Kołakowski, 2010) dari sumber
suhu tungku pembakaran pada kisaran kurang dari 300oC. Suhu
pembakaran tempurung kelapa untuk menghasilkan asap dilakukan dengan
memperhatikan zona dekomposisi karbon yang bermula pada suhu 425oC
atau zona oksidasi pada suhu lebih dari 325oC (Kowalski et al., 2010).
Page 175
159
Suhu tungku pembakaran pada ketiga pengujian berdasarkan
capaian tertinggi berkorelasi dengan kandungan benzo[a]piren pada daging
ikan cakalang asap. Pengujian 1 dengan suhu tertinggi sebesar 365oC,
berada pada zona oksidasi yakni diatas suhu 325oC menyebabkan
kandungan benzo[a]piren ikan cakalang asap sebesar 1,59 µg/kg.
Pengujian 2 dengan suhu tertinggi sebesar 182oC, jauh dari batasan suhu
pembentukan kelompok senyawa benzo[a]piren menyebabkan senyawa
benzo[a]piren tidak terdeteksi pada ikan cakalang asap. Pengujian 3
dengan suhu tertinggi sebesar 285,5oC, mendekati batas suhu zona
oksidasi, menyebabkan kandungan benzo[a]piren ikan cakalang asap
sebesar 0,99 µg/kg.
Hasil uji laboratorium senyawa benzo[a]piren dari ketiga
pengujian lebih rendah dari ambang batas yang ditetapkan dalam peraturan
Kepala Badan POM tahun 2011 sebesar 2,0 µg/kg. Beberapa olahan
pangan seperti turkey breast, turkey sausage dan turkey bacon juga
memiliki ragam kadar benzo[a]piren berkisar 1,1 – 1,9 µg/kg (McDonald,
2015). Namun demikian kisaran nilai benzo[a]piren pada ragam produk
tersebut masih berada di bawah ambang batas yang ditetapkan sebesar 2,0
µg/kg (Turkish Food Codex, 2008). Negara-negara dibenua Eropa yang
tergabung dalam Uni Eropa juga sedemikian memantau kontaminan
senyawa benzo[a]piren pada bahan pangan yang diasapi dengan
menetapkan ambang batas sebesar 5,0 µg/kg (EC, 2005). Demikian halnya
badan dunia FAO/WHO mengindahkan produk-produk yang diasapi
Page 176
160
seperti daging asap pada batas kandungan benzo[a]piren kurang dari 5,0
µg/kg (Codex Alimentarius Commission, 2008).
7. Uji ALT, Kadar air sampel dan Organoleptik
Uji angka lempeng total (ALT), organoleptik dan kadar air ikan
saat penyampelan dilakukan sebagai satu kesatuan. Uji ini dimaksudkan
untuk mengetahui jumlah mikroba dari ikan cakalang asap pada lama
penyimpanan 3 hari, 5 hari dan 15 hari dengan kondisi kadar air yang
berubah. Perubahan kadar air disebabkan oleh kondisi penyimpanan ikan
yang tidak terkemas dan berada dalam ruang polikarbonat sehingga
memungkinkan terjadinya penguapan air pada siang hari saat terkena
panas matahari. Sampel ikan bersumber dari hasil pengujian 1 dengan
kadar air awal sejak pengasapan sebesar 50,7%. Penyimpanan dalam
waktu berjangka bertujuan menempatkan parameter ALT sebagai Critical
Control Point (CCP) dari ikan asap yang dihasilkan. Tabel 17
menampilkan data uji ALT, kadar air dan penilaian organoleptik dari ikan
cakalang asap yang dihasilkan.
Berdasarkan Tabel 17, penyimpanan ikan cakalang asap selama 3
hari menyebabkan kadar airnya berkurang dari 50,7% menjadi 48,31%.
Uji ALT menghasilkan jumlah mikroba yang masih sedikit yakni kurang
dari 2500 Koloni/g dan nilai organoleptik sebesar 8. Produk ikan cakalang
asap 3 hari simpan sejak pengasapan dengan kadar air 48,31%
menunjukkan perkembangan mikroba yang masih rendah dan kondisi
organoleptik yang baik.
Page 177
161
Tabel 17. Uji ALT, kadar air dan organoleptik
Parameter Satuan Hari ke
3 5 15
Organoleptik Min 7 8 8 7
Kadar air % 48,31 40,71 36,78
ALT Koloni/g < 2500 3,2x103 1,5x10
5
Pengujian sampel hari ke-5 menunjukkan kondisi organoleptik yang baik
yakni nilai 8 meskipun kadar airnya turun menjadi 40,71%. Kadar air
tersebut menunjukkan kondisi ikan yang semakin kering dan mengalami
perkembangan jumlah mikroba yang meningkat yakni nilai ALT sebesar
3,2x103 Koloni/g. Pengujian pada hari ke-15 menunjukkan kondisi
organoleptik ikan cakalang asap yang menurun yakni nilai 7 dengan kadar
air rendah 36,78%, sedangkan nilai ALT sebesar 1,5x105 Koloni/g
menunjukkan nilai yang mencapai batas yang diperkenankan dalam SNI
yakni 1,0x105 Koloni/g. Hasil uji ini memberikan makna bahwa ikan
cakalang asap yang dihasilkan memenuhi syarat SNI dari aspek
organoleptik minimal 7 dari angka 1-9 dengan parameter ALT sebagai
CCP pada kondisi kering untuk selang waktu penyimpanan sekitar 10 hari.
Peningkatan jumlah populasi mikroba selama masa penyimpanan
umumnya terjadi berkaitan dengan ketersediaan air bahan. Peningkatan
jumlah mikroba sampel berbarengan dengan turunnya kadar air bahan,
terjadi karena tingkat kadar air yang belum setimbang. Penurunan kadar
air dari 48,31% hingga 36,78% masih di atas nilai kadar air kesetimbangan
produk yakni 24,4% (Gambar 48). Kondisi tersebut menyebabkan aktifitas
air, aw masih lebih tinggi dari 0,85 sehingga memungkinkan pertumbuhan
Page 178
162
mikroba. Menurut Burt (1988), nilai aw lebih dari 0,85 memungkinkan
mikroba seperti ragi dan bakteri (aw=0,91) dapat tumbuh dan berkembang.
Perkembangan tersebut disebabkan oleh dua hal mendasar yakni
ketersediaan air dan senyawa protein sebagai media pertumbuhan mikroba.
8. Uji X-Ray Diffraction
Uji X-Ray Diffraction (XRD) dilakukan sebagai upaya
mengidentifikasi senyawa yang terbentuk pada proses pembakaran
tempurung kelapa dan senyawa yang terbentuk pada kulit ikan sebagai
proses oksidasi. Identifikasi senyawa yang teroksidasi diharapkan menjadi
petunjuk adanya golongan senyawa yang memiliki assosiasi dengan
senyawa benzo[a]piren atau senyawa PAH lainnya. Senyawa
benzo[a]piren memiliki formula empirik C20H12, berat molekul 252.31
g/mol, titik didih 495oC sinonim dengan 3,4-Benzopyrene, 3,4-
Benzpyrene, Benzo[def]chrysene. Benzo[a]piren adalah salah satu
senyawa PAH yang terbentuk dari pembakaran tidak sempurna pada suhu
berkisar 300 – 600oC (Sigma-Aldrich, 2017). Berdasarkan hasil uji X-ray
Diffraction sampel abu tempurung kelapa, senyawa yang mengalami
oksidasi memiliki pola intensitas seperti pada Gambar 50.
Berdasarkan pola intensitas pada Gambar 50, senyawa yang
teridentifikasi (Tabel 18) dapat digolongkan dalam dua kelompok yakni
kelompok abu terbang atau fly ash dan kelompok yang merupakan
komponen asap. Kelompok abu terbang adalah Alpha-Silika dioksida (Si
O2), Iron Titanium (Fe0.2 Ti0.8), Rutile (Ti O2) dan Manganosite (Mn O)
yang dapat ditelusuri sebagai komponen yang berasal dari bahan bakar
Page 179
163
tempurung kelapa yang terdegradasi (Ting et al., 2016; Fuller et al., 2015;
Madakson et al., 2012).
Gambar 50. Profil uji X-Ray Diffraction abu tempurung kelapa
Kelompok yang merupakan komponen asap adalah hydrogen
peroksida dihidrat (H2O2(H2O)2) dan 3-Methyl-6-methoxy-9,10-
anthraquinone-1,8-diol. Hidrogen peroksida yang terikat dengan air adalah
cairan bening yang lebih kental dari air dan merupakan oksidator kuat.
Senyawa ini berperan sebagai auto oksidator anthraquinone yang
merupakan senyawa organik aromatik. Senyawa hidrogen peroksida tidak
berbahaya, ramah lingkungan dan bahan ini dimanfaatkan oleh manusia
sebagai pemutih (bleach), disinfektan, oksidator dan sebagai bahan bakar
roket (Wikipedia, 2017b).
Page 180
164
Tabel 18. Senyawa teroksidasi pada sampel abu tempurung kelapa
Nama Senyawa Formula Persentase
Hydrogenperoxide dihydrate H2 O2 (H2O)2 12
Alpha-Si O2, quartz low high HP, syn Si O2 25
Iron Titanium ( Fe0.2 Ti0.8 ) 28
3-Methyl-6-methoxy-9,10-anthraquinone-1,8-diol C16 H12 O5 12
Rutile, syn Ti O2 12
Manganosite, syn Mn O 11
Senyawa anthraquinone merupakan gabungan yang dapat berasal
dari senyawa aldehid dan keton, turunan guaiacol dan senyawa PAH
ringan yang memiliki 2-3 cincin. Senyawa PAH ringan ini diklasifikasikan
sebagai uap tar (tar vapor) dan dapat menguap pada suhu rendah bahkan
pada konsentrasi yang rendah sekalipun (Woolcock and Brown, 2013;
Wikipedia, 2017a).
Berdasarkan temuan pada kedua kelompok senyawa yang terpisah
masuk di dustbin ini maka dapat disimpulkan bahwa desain sistem
pengasapan yang diintegrasikan dengan siklon separator memiliki aspek
kebaruan atau novelty yang berkontribusi nyata. Kontribusi khususnya
adalah menahan atau memisahkan partikel padat dan senyawa yang
berbahaya dalam porsi teknis agar tidak sampai ke ikan yang diasapi.
Kontribusi secara umum dapat dikaitkan dengan pengembangan keilmuan
dibidang keteknikan (engineering) ataupun dikaitkan dengan
pengembangan aspek keamanan pangan (food safety) dan penanganan
pencemaran udara lingkungan (environmental pollution).
Page 181
165
Dari hasil uji X-ray Diffraction sampel kulit ikan cakalang,
senyawa yang mengalami oksidasi memiliki pola intensitas seperti pada
Gambar 51 berikut.
Gambar 51. Profil uji X-ray Diffraction kulit ikan cakalang asap
Pada gambar tersebut, senyawa yang teroksidasi pada sampel kulit
ikan teridentifikasi sebanyak 2 yakni metana hidrat atau metana klarat
dengan kadar 94% dan silika atau hipotetikal silika dengan kadar 5,8%.
Senyawa silika juga teridentifikasi sebagai senyawa yang teroksidasi pada
sampel abu tempurung kelapa dan terkumpul masuk di dustbin. Senyawa
dengan formula SiO2 ini dapat merupakan bagian yang sama sumbernya
yakni bahan bakar tempurung yang terdegradasi melalui proses
pembakaran. Melalui temuan ini maka dapat dipahami bahwa abu terbang
atau fly ash yang berukuran mendekati ukuran terkecil yakni 0,2 µm
hingga diameter partikel padat yang terpisah dengan jumlah 50% (d50)
mampu melewati siklon separator. Partikel yang memiliki peluang 50%
Page 182
166
melewati pemisah siklon berdiameter 250 mm adalah partikel berukuran
hingga 3,94 µm. Ukuran partikel ini tidak tampak oleh mata tetapi
terdeteksi melalui uji X-ray Diffraction.
Senyawa metana hidrat atau disebut juga dengan gas hidrat adalah
senyawa kristal mirip es (Gambar 52) yang terdiri atas air dan gas metana,
terbentuk di bawah suhu, tekanan, saturasi gas dan kondisi salinitas air
yang sesuai atau sebagian diantaranya (Zhang et al., 2017). Terdapat dua
komponen utama yakni gas metana (CH4) dan air (H2O) dengan kondisi
saturasi yang ideal perbandingan mol antara gas metana dan air adalah 1 :
5,7 (Roshandell et al., 2011). Suhu nukleasi metana hidrat dalam
laboratorium dilakukan pada rentang -10oC hingga 12,91
oC atau kurang
dari suhu lingkungan dan tekanan gas dari 0 - 6 MPa (Cuadrado-Collados
et al., 2018; Zhang et al., 2017). Senyawa metana hidrat ini banyak
terdapat di alam yang terbentang di bawah permukaan air di sepanjang
samudera yang luas. Keberadaannya yang banyak ditemukan di dasar laut
memicu keingintahuan (curiousity) dewasa ini untuk mengetahui
mekanisme terbentuknya, termasuk pengaruh kondisi salinitas meniru air
laut (Lv et al., 2016).
Keberadaan senyawa metana hidrat yang terdeteksi pada sampel
kulit ikan cakalang melalui uji XRD adalah sangat logis jika ditelusuri
melalui komponen dan kondisi pembentukannya.
Page 183
167
Gambar 52. Metana hidrat berbentuk gumpalan salju dan terbakar
(Roshandell et al., 2011).
Komponen pertama adalah keberadaan gas metana dapat ditelusuri melalui
proses pirolisis atau istilah gasifikasi pada jenis energi biomassa dengan
sumber bahan bakar tempurung kelapa. Pada proses gasifikasi bahan
tempurung kelapa diketahui bahwa gas yang dapat dihasilkan antara lain
adalah CO2, CO, CH4, H2 (Hoque and Bhattacharya, 2001), sedangkan air
atau H2O adalah komponen yang melekat pada bahan yang diasapi atau
ikan cakalang dengan kadar air awal sekitar 73%. Kondisi salinitas air
yang dibutuhkan terbentuk melalui proses perendaman ikan ke dalam
larutan garam konsentrasi 15% pada suhu ikan yang masih dingin karena
efek pendinginan es dari tempat pelelangan ikan (TPI). Penanganan,
pembelahan dan pembersihan ikan dilakukan pada kondisi masih dingin,
direndam dalam larutan garam sebelum ditiriskan dan diasapi dengan suhu
beragam pada tekanan ruang berkisar 0 – 306 Pa.
Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa dari sisi sumber
ketersediaan bahan pembentuknya, senyawa metana hidrat atau metana
klarat sangat mungkin didapati pada ikan cakalang yang diasapi. Namun
Page 184
168
prosesnya meliputi waktu dan mekanisme terbentuknya senyawa tersebut
belum bisa dinyatakan secara spesifik. Kemunculan senyawa metana
hidrat dalam lingkup penelitian ini dapat menjadi ide baru untuk
mempelajari mekanisme pembentukannya yang terjadi di luar lingkungan
perairan laut.
F. Aspek Perbaikan pada Iterasi Pengujian
Ketiga pengujian yang didasarkan pada aspek teknik
(engineering) mengandung makna sebagai iterasi pengujian yang
mengungkapkan karakteristik dasar sistem pengasapan dan langkah
perbaikan yang diupayakan untuk meningkatkan performansinya. Analisa
dan langkah perbaikan, baik terhadap aspek teknik desain maupun proses
diuraikan pada tiap iterasi pengujian.
1. Pengujian iterasi ke-1:
Analisa desain berdasarkan pengamatan visual yang dilakukan
pada pengujian iterasi ke-1 adalah tata letak ikan cakalang dalam
penampang silinder horizontal. Pemilihan ruangan pengasapan berbentuk
silinder rebah di dasari oleh beberapa pertimbangan sebagai berikut:
a. Penampang silinder berbentuk lingkaran dengan diameter 750 mm
adalah parameter yang telah disimulasikan dari awal (proposal) yakni
berada diantara 250 – 1000 mm yang memberikan gambaran
kecepatan udara ruang dan waktu pengasapan yang logis. Hasil
simulasi menunjukkan kecepatan udara dalam ruangan sebesar 0,041
– 0,01 m/detik (kondisi ruangan kosong) dan kisaran waktu
pengasapan 14,6 – 19,3 jam.
Page 185
169
b. Silinder dengan posisi horizontal secara struktural bersesuaian dengan
posisi lubang outlet asap sehingga memudahkan proses konstruksi dan
instalasinya.
c. Secara fungsional penampang lingkaran pada sisi bawah akan
mengalirkan cairan ikan saat proses penirisan di dalam ruang
pengasapan.
d. Referensi menyatakan bahwa desain pengasapan ikan terbaik adalah
berupa aliran udara paksa arah horisontal. Hal ini berpengaruh pada
aspek mutu ikan asap yang tetap (persistent) (Hilderbrand, Jr. 1992).
Pada pengujian iterasi 1, susunan ikan pada penampang ruang
pengasapan memiliki pola yang tidak simetris. Susunan yang tidak simetris
antara bagian bawah dan bagian atas disebabkan oleh struktur rak atau troli
tempat menggantung ikan cakalang. Susunan ikan tersebut menyisakan
ruang kosong yang lebih luas pada bagian atas sehingga mengarahkan pola
aliran asap yang dominan pada bagian tersebut (Gambar 53).
Gambar 53. Pola susunan ikan dalam ruangan iterasi ke-1
Page 186
170
Pengamatan secara visual menunjukkan bahwa proses
pematangan ikan dominan terjadi pada bagian atas yang ditandai dengan
warna merah. Pada bagian bawah, warna ikan tanpak lebih putih yang
menunjukkan tingkat kematangan ikan yang kurang dibandingkan ikan di
bagian atas.
Solusi pertama yang dilakukan adalah melakukan pembalikan
posisi ikan pada dua arah yakni horisontal dan vertikal. Pembalikan
dilakukan pada tiap 3 jam dimana posisi rak dibalik pada arah horisontal
dan ikan ditukar posisinya pada arah vertikal. Dengan demikian
keseragaman ikan tercapai di akhir sesi pengasapan. Solusi kedua adalah
mengubah desain konstruksi rak/troli, khususnya posisi bentangan
gantungan atas menjadi bentuk lengkung sehingga posisi ikan tidak lagi
sejajar pada garis horizontal atas (Gambar 54).
Gambar 54. Perubahan lengkungan rak pada iterasi ke-2
Page 187
171
Dengan demikian distribusi aliran asap lebih merata dan
perubahan ini berlaku untuk pengujian iterasi ke-2. Hal ini mengandung
makna bahwa proses pengujian berulang dalam bidang teknik berupa
pengujian desain adalah menganalisa beragam faktor baik proses maupun
data untuk mengambil tindakan sesegera mungkin dalam upaya
meningkatkan performansi sistem.
Faktor lain yang dianalisa dari data pengujian iterasi ke-1 adalah
kadar garam yang rendah. Penelusuran lanjut terhadap kadar garam rendah
disebabkan oleh faktor penurunan fungsi instrumen ukur pada proses
analisa laboratorium. Meskipun demikian, pada proses teknik, data
tersebut dapat diperbaiki melalui peningkatan konsentrasi garam untuk
pengujian iterasi berikutnya yakni pengujian 2. Hal ini mengandung
makna bahwa pengujian iterasi ke-1 melalui analisa proses dan data,
kemudian menjadi feedback untuk pengujian iterasi selanjutnya. Pada
kasus pengujian 1, desain struktur rak/troli dan kadar garam menjadi
variabel yang diubah dalam pengujian 2 dengan tujuan penyempurnaan
proses.
2. Pengujian iterasi ke-2:
Pada pengujian iterasi ke-2, pengamatan dilakukan terhadap
proses pengumpanan tempurung pada unit tungku pembakaran. Proses
pembakaran tempurung tetap dikontrol terutama pembentukan bara dan api
serta bara tersisa sebelum operator mengumpan tempurung berikutnya.
Aspek ergonomi menjadi bahan pertimbangan pada proses ini yang
memunculkan fakta bahwa operator merasakan kelelahan pada kegiatan
Page 188
172
tersebut. Kelelahan disebabkan karena posisi badan yang harus berdiri
ruku untuk mengumpan dan mengamati bara api melalui corong
pengumpanan/pengamatan yang berposisi miring (Gambar 55).
Gambar 55. Pengamatan aspek ergonomi operator tungku
Aspek ergonomi menyangkut pola interaksi manusia dengan
mesin (lingkungan kerja). Pola interaksi dapat menghasilkan bentuk tubuh
operator yang beragam seperti posisi berdiri, duduk, jongkok, berdiri ruku
dan berdiri bongkok. Secara alamiah, posisi tubuh manusia yang normal
dalam aktivitas bekerja adalah berdiri dan duduk. Posisi duduk
memberikan suasana yang lebih nyaman bagi tubuh untuk beraktivitas
dalam jangka waktu relatif lama.
Secara singkat ergonomi diartikan sebagai ilmu tentang manusia
dalam usaha untuk meningkatkan kenyamanan di lingkungan kerja
(Nurmianto, 1996). Pandangan lain dikemukakan oleh Suma’mur (1987)
bahwa ergonomi adalah ilmu serta penerapannya yang berusaha untuk
menyerasikan pekerjaan dan lingkungan terhadap orang atau sebaliknya
Page 189
173
dengan tujuan tercapainya produktifitas dan efisiensi yang setinggi-
tingginya melalui pemanfaatan manusia seoptimal-optimalnya.
K3LH, (2017) menyatakan bahwa dalam penerapannya, ergonomi
mencakup 4 bidang utama yakni fisik, kognitif, organisasi dan lingkungan.
Ergonomi fisik berkaitan dengan aktifitas fisik manusia dalam bekerja
seperti anatomi tubuh manusia, antropometri, karakteristik fisiologi dan
biomekanika, kekuatan fisik manusia kerja, postur kerja, beban fisik kerja,
pemindahan material, studi gerakan dan waktu kerja, tata letak tempat
kerja, keselamatan kerja, kesehatan kerja, ukuran dan dimensi tempat atau
alat kerja, fungsi indra dalam bekerja, kontrol dan display. Ergonomi
lingkungan berkaitan dengan hal-hal di sekitar orang bekerja, biasanya
berupa lingkungan fisik. Topik yang relevan adalah pencahayaan di tempat
kerja, suhu, kebisingan, getaran, desain interior termasuk bentuk dan
warnanya. Kedua lingkup ergonomi tersebut menjadi dasar dari upaya
perbaikan proses kerja operator dalam desain ini terutama ergonomi fisik
dengan topik antropometri.
Antropometri adalah bagian dari proses ergonomi yang
mengaitkan ukuran tubuh manusia terhadap dimensi mesin sebagai
lingkungan kerja. Antropometri berkaitan dengan posisi tubuh manusia
saat bekerja seperti dimensi mesin pada ketinggian tertentu untuk diraih
atau diamati. Ukuran tinggi tubuh merupakan bagian dari posisi berdiri
untuk meraih pada suatu ketinggian. Posisi berdiri tidak bersesuaian
dengan aktivitas pengamatan dan pengumpanan pada corong yang
letaknya rendah. Oleh karena itu, posisi duduk adalah pilihan yang lebih
Page 190
174
tepat untuk proses pengumpanan dan pengamatan bara api ke ruang
tungku. Seiring dengan tuntutan capaian yang akurat pada pola suhu
pengasapan ikan, pengumpulan bara yang terpencar saat proses
pembakaran harus dilakukan. Upaya tersebut relatif sulit dilakukan jika
proses pembakaran dilakukan di dalam ruang tungku.
Pemindahan proses pembakaran ke ruang bagian bawah tungku
menjadi opsi yang dipilih. Pembakaran tempurung dilakukan di atas wadah
yang dapat ditarik dan didorong masuk ruang tungku sambil mengamati
suhu ruang yang tampil pada instrumen. Posisi duduk bagi operator adalah
suasana yang mendukung aktivitas secara nyaman dengan tuntutan capaian
suhu yang akurat pada proses pengasapan ikan (Gambar 56).
Gambar 56. Perubahan posisi operator yang lebih ergonomis
3. Pengujian iterasi ke-3:
Pada pengujian iterasi ke-3, pengamatan ditujukan ke aspek aliran
asap keluar outlet ruang pengasapan ikan. Aliran asap memiliki kesan
Page 191
175
kecepatan yang tinggi sehingga berdampak pada aspek fungsi dan
kegunaan asap yang berlalu begitu cepat. Kecepatan asap berkisar 16
m/detik sebagaimana Gambar 57. Data lain yang terkait adalah fraksi halus
pasir yang terdapat pada partikel padat terpisah ke dalam dustbin yang
menunjukkan masih tingginya efek penghisapan oleh blower hingga ke
dasar tungku.
Untuk mengupayakan kecepatan aliran asap berkurang maka
sumber listrik untuk blower sentrifugal dilewatkan ke instrumen pengatur
daya. Blower sentrifugal memiliki spesifikasi 220-380 VAC, 50 Hz dan
volumetrik 282 m3/jam sementara listrik PLN memiliki frekuensi 60 Hz.
Gambar 57. Aliran asap keluar outlet ruang pengasapan
Berdasarkan manual leaflet dan plat spesifikasi, blower memiliki daya
sebesar 100 Watt sementara pengukuran menunjukkan daya yang lebih
besar yakni mencapai 186,4 Watt dengan arus listrik 1,09 Ampere.
Perbedaan frekuensi menyebabkan spesifikasi blower termasuk debit udara
Page 192
176
yang lebih tinggi. Hal ini menjadi salah satu penyebab tingginya kecepatan
aliran udara-asap outlet ruang pengasapan yang teramati.
Proses penurunan kecepatan aliran udara-asap dapat dilakukan
dengan beberapa cara pada blower sentrifugal. Secara konvensional
penurunan kecepatan putar motor dapat dilakukan dengan mengurangi
panjang lilitan kawat kumparan. Cara ini menyebabkan penurunan
spesifikasi blower sentrifugal secara permanen sehingga manfaat
spesifikasi awal tidak bisa lagi dikembalikan. Pengaturan lain adalah
pengecilan ukuran luas penampang jendela aliran udara blower. Fitur ini
tidak tersedia pada setiap blower dan tidak terdapat pada blower
sentrifugal yang digunakan. Disamping itu, penurunan luas jendela pada
bibir (lid) blower akan meningkatkan kebisingan suara sebagai polusi yang
dapat menimbulkan ketidaknyamanan.
Solusi terkini seiring kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,
pemanfaatan microcontroller berbasis elektronik dan pemrograman bahasa
mesin menghasilkan perangkat (device) pengatur putaran motor. Perangkat
ini bekerja pada tingkat mikro dari arus dan tegangan listrik sehingga
aman dalam aplikasinya dan berdampak pada konsumsi daya listrik yang
rendah. Aplikasi perangkat ini bersifat eksternal sehingga spesifikasi awal
blower dapat dikembalikan baik pada saat terpasang atau dengan
melepaskannya. Kajian desain pengatur kecepatan blower melalui teknik
delay arus tegangan AC satu fase dan tiga fase telah diaplikasikan pada
berbagai keperluan. Tahir (2009) menerapkan teknik delay berbasis fuzzy
dan microcontroller menghasilkan variasi kecepatan putar blower pada
Page 193
177
tegangan AC satu fase. Hasil uji menunjukkan kecepatan aliran udara 1,0
m/detik pada kelembaban relatif udara 45% dan kecepatan aliran udara 8,0
m/detik pada kelembaban relatif udara 80%. Pengujian berdurasi 13 jam
pada ruang pengering jagung menghasilkan suhu rata-rata 46,8oC pada
nilai set point 47oC dan kelembaban relatif udara rata-rata 41,8% pada
nilai set point 45%. Priahutama dkk., (2010) merancang teknik delay
sebagai driver atau modul soft starting motor induksi 3 fase dengan
atmega 8535. Motor induksi 3 fase adalah jenis motor yang memanfaatkan
tegangan listrik 3 fase dan digunakan secara umum dalam industri.
Penerapan teknik delay untuk mengatasi arus awal yang tinggi pada motor
induksi menghasilkan proses soft starting dalam waktu 24 detik dan proses
stop stopping dalam waktu 10 detik dengan arus dan tegangan yang relatif
terkendali.
Aplikasi perangkat mikro pengatur putaran dilakukan pada hari
kedua pengujian iterasi ke-3 dengan menyetel konsumsi listrik ke daya 69
Watt yang memungkinkan putaran blower berkurang hingga kecepatan
aliran asap keluar outlet ruang pengasapan berkisar 10 m/detik. Upaya ini
juga berdampak pada konsumsi listrik yang semakin rendah sehingga
desain sistem menjadi lebih hemat. Gambar 58 menunjukkan perubahan
daya dari posisi penuh menjadi daya sekitar 69 Watt dengan arus listrik
sebesar 0,56 Ampere.
Perubahan dilakukan dengan tetap mengamati kinerja blower
sentrifugal baik dari aspek suara yang ditimbulkan maupun dari aspek
panas yang dapat muncul pada bagian statis motor. Efek suara yang
Page 194
178
ditimbulkan berkebalikan dengan cara mengurangi luas jendela lid blower.
Hal ini terjadi karena teknik delay memiliki makna memutus arus melalui
gerbang (gate) triac dalam waktu sesaat menyebabkan suara perangkat
hilang dalam waktu sesaat tersebut. Perubahan kecepatan blower dan
dampaknya ini menunjukkan peluang desain sistem pengasapan
mengalami proses optimasi melalui kegiatan penelitian selanjutnya.
Gambar 58. Pengubahan konsumsi listrik dari kondisi penuh ke posisi
daya 69,0 W melalui instrumen penurun daya.
G. Aspek Kebaruan (Novelty)
1. Teknologi pengasapan metode tidak langsung yang mengintegrasikan
tungku pembakaran bahan biomassa, penukar panas, siklon separator
dan ruang pengasapan.
2. Teknologi pengasapan yang dilengkapi dengan siklon separator yakni
sistem pemisahan partikel padat berupa abu terbang, fraksi halus arang,
jelaga dan tar untuk meningkatkan sanitasi dan higienitas produk ikan
asap serta menurunkan kandungan senyawa benzo[a]piren yang bersifat
karsinogen.
Page 195
179
3. Teknologi pengasapan yang dilengkapi dengan jalur udara panjang dan
ruang bersekat (baffles) berisi susunan pipa pola segitiga (staggered)
lima kali laluan sebagai upaya ganda (double) dalam menurunkan
kandungan senyawa benzo[a]piren yang terbawa asap melewati siklon
separator.
4. Teknologi pengasapan yang menghasilkan produk ikan asap dengan
permukaan kulit berwarna kuning keemasan atau coklat cerah keemasan
yang mengindikasikan kandungan tar rendah berkebalikan dengan warna
tar coklat gelap atau kehitaman.
Page 196
180
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian hasil dan pembahasan, kegiatan yang mengacu ke
item tujuan yang telah ditetapkan dapat disimpulkan sebagai berikut:
1) Desain pengasapan tidak langsung telah dihasilkan dari integrasi tungku,
penukar panas, siklon separator dan ruang bahan. Target suhu pengasapan
panas untuk mendukung proses pasteurisasi dan kematangan ikan dapat
dicapai melalui performansi tungku pembakaran biomassa tempurung
kelapa dan penukar panas tipe selubung dan pipa.
2) Desain pengasapan telah dilengkapi proses pemisahan kontaminan partikel
padat melalui mekanisme siklon separator yang mampu memisahkan abu,
fraksi halus arang, jelaga dan tar yang terpisah ke dalam wadah
pengumpul dengan efisiensi yang tinggi.
3) Prototipe pengasapan yang dihasilkan efisien pada nilai konsumsi energi
spesifik 24x103 kJ/kg uap air dari sumber energi biomassa dan listrik.
Memenuhi syarat mutu SNI ikan asap dan kandungan senyawa karsinogen
benzo[a]piren yang aman berdasarkan aturan BPOM RI sebesar < 2,0
µg/kg serta kadar nutrisi ikan cakalang yang tinggi.
Page 197
181
B. Saran
Beberapa poin saran yang ingin disertakan terkait desain sistem pengasapan
ini adalah:
1) Berdasarkan performansi dasar sistem pengasapan terintegrasi yang telah
di capai, efektifitas asap yang telah dibangkitkan masih perlu dikaji sistem
pemanfaatannya agar tidak cepat terbuang ke udara lingkungan.
2) Masih perlu diupayakan penurunan kandungan benzo[a]piren hingga
dibawah 1,0 µg/kg atau meminimalkannya.
3) Analisa residu partikel abu pada permukaan ikan dengan metode swap
dan upaya menyaring lanjut partikel abu sebelum mengenai ikan.
4) Mengkaji optimasi sistem secara keseluruhan menggunakan metode
lagrange berdasarkan data performansi dasar untuk meningkatkan
efisiensi energi baik listrik maupun biomassa dan tampilan dimensi alat
yang semakin kompak terhadap biaya desain yang muncul.
Page 198
182
UCAPAN TERIMA KASIH
Rasa terima kasih saya ucapkan ke Direktorat Riset, Teknologi dan
Pendidikan Tinggi atas bantuan beasiswa studi penuh selama empat tahun dan
bantuan hibah Penelitian Disertasi Doktor yang membantu kelancaran
penelitian dan penyusunan disertasi ini.
Ucapan terima kasih juga kepada bapak Dr. Ir. Nasruddin Aziz (Dosen
Fakultas Teknik UNHAS) atas bantuan instrumen ukur suhu 4 channel yang
sangat membantu dalam penelitian ini. Demikian juga kepada tim teknis semua
laboratorium dimana saya bermohon untuk mengungkap berbagai data dasar
penting dalam kajian ini.
Page 199
183
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, S., Linnhoff, B. and Smith, R. 1988. Design of Multipass Heat
Exchangers: An Alternative Approach. Journal of Heat Transfer 110
(2):304–9.
———. 2008. Efficiency and Effectiveness of Heat Exchanger Series. Journal of
Heat Transfer 130 (8):084502.
———. 2014. Efficiency analysis of heat exchangers and heat exchanger
networks. International Journal of Heat and Mass Transfer 76
(September):99–104.
Ahmad, J. I. 2003. Smoked Foods - Applications of Smoking. In Encyclopedia of
Food Sciences and Nutrition (Second Edition), 5309–16. Oxford:
Academic Press.
Anonimous. 2015. Wolverine Tube Heat Transfer Data. Accessed September
2015. https://id.scribd.com.
Arason, S., Nguyen, M.V., Thorarinsdottir, K.A., & Thorkelsson, G. (2014).
Preservation of Fish by Curing. In Boziaris, I. S. (Ed.), Seafood
Processing (hlm. 129–160). John Wiley & Sons, Ltd.
Baker, C. G. J. & McKenzie, K.A. 2005. Energy Consumption of Industrial Spray
Dryers. Drying Technology 23(1-2): 365-386.
BPOM. 2011. Peraturan kepala badan pom terkait benzo(a)piren. Accessed
August 2017. https://www.jdih.pom.go.id
Burt, J.R. 1988. Fish smoking and drying: the effect of smoking and drying on the
nutritional properties of fish. Elsevier Science Publishers Ltd. Barking,
England.
Cabezas-Gómez, L., Navarro, H.A. and Saiz-Jabardo, J.M. 2007. Thermal
Performance of Multipass Parallel and Counter-Cross-Flow Heat
Exchangers. Journal of Heat Transfer 129 (3):282–90.
Cengel, Y.A. 2003. Heat Transfer, A Practical Approach. Second. New York. Mc
Graw Hill.
Chan, W.S., Toledo, R.T. and Deng, J. 1975. Effect of Smokehouse Temperature,
Humidity and Air Flow on Smoke Penetration into Fish Muscle. Journal
of Food Science 40 (2):240–42.
Charoenvai, S., Yingyuen, W., Jewyee, A., Rattanadecho, and Somsak
Vongpradubchai, S. 2013 Analysis of Energy Consumption in a Drying
Process of Particleboard Using a Combined Multi-Feed Microwave-
Convective Air and Continuous Belt System (CMCB). Thammasat
International Journal of Science and Technology 18(3):1-15.
Codex Alimentarius Commission. 2008. Proposed Draft Code of Practice for the
Reduction of Contamination of Food with Polycyclic Aromatic
Hydrocarbons (PAH) from Smoking and Direct Drying Processes.
FAO/WHO. Accessed August 2015. http://files.foodmate.com.
Page 200
184
Cuadrado-Collados, C., Fauth, F., Such-Basañez, I., Martínez-Escandell, M. and
Silvestre-Albero, J. 2018. “Methane hydrate formation in the confined
nanospace of activated carbons in seawater environment.” Microporous
and Mesoporous Materials 255 (Supplement C):220–25.
Council of Europe. 1992. Health aspects of using smoke flavours as food
ingredients. Reprinted September 1998. Strasbourg: Council of Europe.
Departemen Kelautan dan Perikanan dan JICA. 2008. Bantuan Teknis untuk
Industri Ikan dan Udang Skala Kecil dan Menengah di Indonesia. JICA
Project.
Department of Ecology State of Washington. 2012. How Wood Smoke Harms
Your Health. Accessed April 2017. https://fortress.wa.gov.
Doe, P.E, Sikorski Z., Haard, N., Olley, J. and Pan, B.S. 1998. Fish Drying and
Smoking: Production and Quality. Lancaster: Technomic Publishing Co
Inc.
———. 2002. Fish Drying. In Safety and Quality Issues in Fish Processing-
Edited by Bremner H.A. Woodhead Publishing Series in Food Science,
Technology and Nutrition. Cambridge, England. Woodhead Publishing.
Dwayne. 2015. Perfectly Smoked Steak On A Charcoal BBQ Using Indirect Heat.
I Like Kill Nerds (blog). Accessed September 2017.
https://ilikekillnerds.com.
European Commission. 2005. Commission Regulation (EC) No. 208/2005
amending Regulation (EC) No. 466/2001 as regards polycyclic aromatic
hydrocarbons. Official Journal of the European Union L/34. Accessed
April 2016. http://eur-lex.europa.eu.
Elsayed, K. 2011. Analysis and Optimization of Cyclone Separators Geometry
Using RANS and LES Methodologies. Brussel. Vrije Universiteit Brussel.
Engineers Edge. Thermal Properties of Metals, Conductivity, Thermal Expansion,
Specific Heat. Accessed October 2017.
https://www.engineersedge.com/.
Fakheri, A. 2007. Heat Exchanger Efficiency. Journal of Heat Transfer 129
(9):1268–76.
Food and Agricultural Organization. 2013. Standard for Smoked Fish, Smoke-
Flavoured Fish and Smoke-Dried Fish. Accessed February 2017.
www.fao.org.
Fellows, P.J. 2000. Food Processing Technology: Principles and Practice, Second
Edition. Boca Raton, USA. CRC Press LLC
———. 2017. Smoking. In Food Processing Technology (Fourth Edition), 717–
32. Woodhead Publishing Series in Food Science, Technology and
Nutrition. Cambridge, England. Woodhead Publishing.
Flick, Jr, G.J. 2010. Smoked Fish Old Product With New Appeal Offers Enhanced
Taste, Shelf Life. Global Aquaculture Alliance May/June:31-32.
Page 201
185
Fuentes, A., Fernandez, I.S., Barat, J.M., and Serra, J.A. 2010. Physicochemical
characterization of some smoked and marinated fish product. Journal of
Food Processing and Preservation 34(2010):83-103.
Fuller, A., Carbo, M., Savat, P., Kalivodova, J., Maier, J. and Scheffknecht, G.
2015. “Results of fly ash quality for disposal options from high thermal
shares up to pure biomass combustion in a pilot-scale and large scale
pulverized fuel power plants. Renewable Energy 75 (Supplement
C):899–910.
Gopani, N., and Bhargava, A. 2011. Design of High Efficiency Cyclone for Tiny
Cement Industry. International Journal of Environmental Science and
Development 2 (5):350–54.
Guille´n, M.D., Sopelana, P., and Partearroyo, M.A. 2008. Determination of
Polycyclic Aromatic Hydrocarbons in Commercial Liquid Smoke
Flavorings of Different Compositions by Gas Chromatography-Mass
Spectrometry. J. Agric. Food Chem., Vol. 48(2):126-131.
Hall, G.M., and Köse, S. 2014. Fish Processing Installations: Sustainable
Operation. In Seafood Processing, diedit oleh Ioannis S. Boziaris, 311–
42. John Wiley & Sons, Ltd.
Heruwati, E.S. 2002. Pengolahan Ikan secara Tradisional: Prospek dan Peluang
Pengembangan. Jurnal Litbang Pertanian 21 (3):92–99.
Hilderbrand, Kenneth S. Jr. 1988. Smoking Fish at Home Safely - Revised.
Pacific Northwest Extension publications – Oregon State University
Extension Service Publication (Revised 1988). Accessed January 2017.
http://www.uaf.edu.
———, 1992. Fish Smoking Procedures for Forced Convection Smokehouses.
Special 887. Newport, Oregon. Oregon State University Extension
Service. Accessed February 2017. http://seagrant.orst.edu.
Hoque, M.M, and Bhattacharya, S.C. 2001. Fuel characteristics of gasified
coconut shell in a fluidized and a spouted bed reactor. Energy 26
(1):101–10.
Isamu, K.T., Purnomo, H. and Yuwono, S.S. 2012. Physical, Chemical, and
Organoleptic Characteristics of Smoked Skipjack Tuna (Katsuwonus
pelamis) in Kendari City. Jurnal Teknologi Pertanian 13 (2):105–10.
Jassin, E. 2010. Kajian eksperimental nilai konduktivitas thermal dan panas
spesifik beberapa jenis ikan. http://pasca.unhas.ac.id, diakses 12 april 2014.
JECFA. 2006. Combined Compendium of Food Additive Specifications. Rome:
Food and Agriculture Organization of the United Nations. Accessed
April 2017. www.fao.org.
K3LH, 2017. Lingkup Kajian Ergonomi. Diakses 30 Desember 2017.
http://ergonomi-fit.blogspot.com
Kakaç, S., and Liu, H. 2002. Heat Exchangers: Selection, Rating, and Thermal
Design, Second Edition. CRC Press.
Page 202
186
Kamaruddin, A. 2007. Teknologi berbasis sumber energi terbarukan untuk
pertanian. Bogor: IPB Press.
———, Irwanto, A.K., Siregar, N., Agustina, E., Tambunan, A.H., Yamin, M.,
Hartulistiyoso, E., Purwanto, Y.A., Dyah, W., dan Nelwan, L.O. 1998.
Energi dan listrik pertanian. Bogor: JICA-DGHE/IPB
Project/ADAET:JTA-9a(132).
———,Syarief, A.M., Nugroho, E.A., dan Subekti, D. 1989. Teknik Pengolahan
Hasil Pertanian Pangan. PAU Pangan & Gizi, IPB. Bogor.
Kaupp, A. and Goss, J.R. 1984. Small Scale Gas Producer-Engine Systems.
Braunschweig/Wiesbaden: Friedr. Vieweg & Sohn.
Kikugawa, Kiyomi, Kato, T. and Hayatsu, H. 1986. Formation of Mutagenic
Substances during Smoking-and-Drying (Baikan) of Bonito Meat. Eisei
kagaku 32 (5):379–83.
Ko, C.L., and Wedekind, G.L. 1996. Analysis for the optimal performance of
three-channel split-flow heat exchangers. International Journal of Heat
and Mass Transfer 39 (4):691–705.
Kowalski, Z., Wzorek, Z. and Marcin, B. 2010. Removal of Unpleasant Odorous
Substances from Smoke Produced by Smoke Curing Houses. American
Journal of Environmental Sciences 6 (Februari).
Lv, Q.N., Li, X.S. and Chen, Z.Y. 2016. Formation of cyclopentane - methane
hydrates in brine systems and characteristics of dissolved ions. Applied
Energy 184 (Supplement C):482–90.
Madakson, P.B., Yawas, D.S. and Apasi, A. 2012. Characterization of coconut
shell ash for potential utilization in metal matrix composites for
automotive applications. International journal of engineering science
and technology 4 (3):1190–1198.
Maga, J.A. 1987. The flavor chemistry of wood smoke. Food Reviews
International 3 (1–2):139–83.
——— and Fapojuwo, O.O. 1986. Aroma Intensities of Various Wood Smoke
Fractions. Journal of Sensory Studies 1 (1):9–13.
Mahardini, T., Renawati, I. and Yulistia, A. 2007. Parameter Polycyclic Aromatic
Hydrocarbons (Pahs) dalam Standardisasi Produk Pangan. Balai Besar
Industri Agro Deprin.
Malatak, J., Gürdil, K.A.G., Jevic, P., Pınar, Y. and Selvi, K.C. 2007. Heat-
emission characteristics of some energy plants. Journal of Agriculture
Faculty of OMU 22 (2):202–206.
Manzano, M.A., Aguilar, R.P., Rojas, E.I. and Sanchez, M.E. 2000. Postmortem
changes in black skipjack muscle during storage in ice. Journal of Food
Science 44: 1228-1231.
Marta, M.F. 2017. Produksi Tangkapan Laut Melonjak Drastis. Kompas.com.
http://ekonomi.kompas.com
Page 203
187
McDonald, S.T. 2015. Comparison of Health Risks of Smoked Foods as
Compared to Smoke Flavorings: Are Smoke Flavors ‘Healthier’?.
Advances in Food Technology and Nutritional Sciences Open Journal 1
(6):130–34.
Nurjanah, Suseno, S.H., Hidayat, T., Paramudhita, P.S., Ekawati, Y. and
Arifianto, T.B. (2015). Changes in nutritional composition of skipjack
(Katsuwonus pelamis) due to frying process. International Food
Research Journal 22(5): 2093-2102.
Nurmianto, E. 1996. Ergonomi: Konsep Dasar dan Aplikasinya. Surabaya. Guna
Widya.
Oyerinde, A.S., Ogunlowo, A.S. and Olukunle. O.J. 2013. Development of a
Cross-Flow Fish Smoking Kiln Fired by Biomass Material. Journal of
Agricultural Science and Technology A (3):531–41.
Pentz, W.F. 2012. Dust Collection Research - Beginner’s Corner. Accessed May
2015. http://billpentz.com.
Pigott, G.M. 1981. Smoking fish: special considerations. In Smoked Fish Manual
- the National Sea Grant Library, NA81AA–D–0009:97–123. A/75-01.
Seattle: Alaska Sea Grant College Program. Accessed May 2015.
http://www.nsgd.gso.uri.edu.
Pool, B.L., and Lin, P.Z. 1982. Mutagenicity testing in the Salmonella
typhimurium assay of phenolic compounds and phenolic fractions
obtained from smokehouse smoke condensates. Food and Chemical
Toxicology 20 (4):383–91.
Priahutama, A.B., Sukmadi, T. dan Setiawan, I. 2010. Perancangan Modul Soft
Starting Motor Induksi 3 Fasa dengan Atmega 8535. Transmisi 12
(4):160-167.
Primo, J. 2016. PDH CEU Online Courses for Engineers & Surveyors (PE & LS).
Accessed October 2016. https://www.pdhonline.com.
Rasco, B. 2009. Smoking Fish at Home Safely - Revised. Pacific Northwest
Extension publications – Pullman, WA : Washington State University
Extension. Accessed June 2016. http://www.uaf.edu.
Raswari, 1986. Teknologi dan perencanaan sistem perpipaan. Jakarta. Penerbit
Universitas Indonesia (UI-Press).
Reo, A.R. 2010. Efek suhu terhadap moisture sorption ispotherm dari ikan kerapu
(Epinephelus merra) asin kering dan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis
L) asap. Jurnal Teknologi Pertanian Volume 5(2) : 39-47.
Roshandell, M., Glassman, J. Khalil, M., Taborek, P. and Dunn-Rankin, D. 2011.
Combustion of Methane Hydrate. In Combustion of methane hydrate,
23rd:1–6. Irvine, USA.
Ruhlman, M., Polcyn, B., and Solovyev, Y. 2013. Charcuterie: The Craft of
Salting, Smoking, and Curing. W. W. Norton & Company, London.
Page 204
188
Sakakibara, H., Idea, J., Yanaia, T., Yajimaa, I & Hayashia, K. 1990. Volatile
Flavor Compounds of Some Kinds of Dried and Smoked Fish.
Agricultural and Biological Chemistry 54 (1), 9-16.
Setyaningsih, D., Apriyantono, A. dan Puspita, S. M. 2010. Analisis Sensori untuk
Industri Pangan dan Agro. IPB Press. Bogor.
Seville, J. P. K., & Clift, R. 1997. Gas Cleaning in Demanding Applications (1
ed.). Springer Netherlands.
Sérot, T., Baron, R., Knockaert, C. and Vallet, J.L. 2004. Effect of smoking
processes on the contents of 10 major phenolic compounds in smoked
fillets of herring (Cuplea harengus). Food Chemistry 85 (1):111–20.
Sholahuddin, Tambunan, A.H., Manalu, L.P. dan Purwanto, W. 2002. Pendugaan
Sebaran Suhu pada Penukar Panas Pipa Vertikal. Buletin Keteknikan
Pertanian 16 (2):113–23.
Sidatik. Kelautan dan Perikanan Dalam Angka Tahun 2012-2016. Accessed
Januari 2018. http://statistik.kkp.go.id.
Sigma-Aldrich. Benzo[a]piren. Accessed August 2017.
http://www.sigmaaldrich.com.
Sikorski, Z.E., and Sinkiewicz, I. 2014. Smoking - Traditional. In Encyclopedia of
Meat Sciences (Second Edition), 321–27. Oxford: Academic Press.
——— and Kołakowski, E. 2010. Smoking. In Handbook of Meat Processing,
edited by Fidel Toldrá Ph D. researchessor member Fellow, 231–45.
Wiley-Blackwell.
Sinnott, R.K. 2005. Chemical Engineering Design. Fourth. Vol. 6. Elsevier
Butterworth-Heinemann.
Standar Nasional Indonesia. 2009. Part 1: Quality requirements of smoked fish.
SNI No. 2725.1, revised with SNI 2725:2013 - Smoked fish with hot
smoking method. Badan Standar National Indonesia Jakarta. Accessed
October 2015. http://sisni.bsn.go.id.
Stołyhwo, Andrzej, and Sikorski, Z.E. 2005. Polycyclic aromatic hydrocarbons in
smoked fish – a critical review. Food Chemistry 91 (2):303–11.
Sharma, G.P. and Prasad, S. 2006. Specific energy consumption in microwave
drying of garlic cloves. Energy 31 (2006) 1921–1926.
Sulikah, Nelwan, L.O. dan Suastawa, I.N. 2008. Disain dan uji kinerja pengering
rotari tumpukan untuk pengeringan jagung pipilan. Jurnal Keteknikan
Pertanian 22(2):99-104.
Sulistiani, W.O.N., Tamrin, Isamu, K.T. 2017. Identifikasi kapang ikan kayu jenis
cakalang (katsuwonus pelamis) dan Tongkol (euthynnus affinis c.) Pada
lama penyimpanan yang berbeda. J. Sains dan Teknologi Pangan 2
(2):425-434
Suma’mur, P.K. 1987. Hiperkes, keselamatan kerja dan ergonomi. Dharma
Bhakti
Page 205
189
Sun, D.W. 2005. Thermal Food Processing: New Technologies and Quality
Issues. Boca Raton, USA. CRC Press.
Tahir, M. 2009. Desain kendali laju aliran udara dan sistem pengumpan bahan
bakar biomassa berbasis fuzzy pada pengering jagung ERK-Hibrid –
tesis tidak diterbitkan. Bogor. Pascasarjana IPB.
——— dan Purnama, W. 2010. Desain Tungku Biomassa pada Sistem Pengering
ERK-Hibrid untuk Pengeringan Benih Jarak Pagar. Jurnal Keteknikan
Pertanian Vol. 24, No. 1 : 17-23.
———, Kasim, R. dan Bait, Y. 2013. Uji Performansi Desain Terintegrasi
Tungku Biomassa dan Penukar Panas. Jurnal Agritech 33 (02):219–25.
———, Amiruddin, Nelwan, L.O. and Subrata, I.D.M. 2014. Desain dan Uji
Performansi Sistem Pengeringan Model Rak Pengering ERK. Seminar
Nasional Teknologi Industri, 428–34. Unit Penelitian & Pengabdian
Masyarakat Akademi Teknik Industri Makassar.
TEMA. 1999. Standards of The Tubular Exchanger Manufactures Association.
8th. New York: Tubular Exchanger Manufacturers Association, Inc.
Than, S.T.M., Lin, K.A. and Mon, M.S. 2008. Heat Exchanger Design. World
Academy of Science, Engineering and Technology 46.
Ting, T.L., Jaya, R.P. Hassan, N.A., Yaacob, H., Jayanti, D.S. and Ariffin,
M.A.M. 2016. A Review of Chemical and Physical Properties of
Coconut Shell in Asphalt Mixture. Jurnal Teknologi 78 (4).
Tsai, W.T., Lee, M.K. and Chang, Y.M. 2006. Fast pyrolysis of rice straw,
sugarcane bagasse and coconut shell in an induction-heating reactor.
Journal of Analytical and Applied Pyrolysis 76 (1–2):230–37.
Tsamba, A.J., Yang, W., & Blasiak, W. (2005). Pyrolysis characteristics and
global kinetics of coconut and cashew nut shells. Fuel Processing
Technology, 87(2006), 523–530.
Turkish Food Codex. 2008. Turkish food codex communiqué on determining the
maximum levels of certain contaminants in foodstuffs. The Official
Gazette.
Wang, L. 2004. Theoretical Study of Cyclone Design. Texas. Texas A&M
University.
Welty, J.R., Wicks, C.E., Wilson, R.E. and Rorrer, G. 2004. Dasar-Dasar
Fenomena Transport. 4 ed. Vol. 2. Jakarta: Penerbit Erlangga.
White, F.M. 2011. Fluid Mechanics seventh edition. Mcgraw-Hill series in
mechanical engineering, New York.
WHO. 1961. Evaluation of the carcinogenic hazards of food additives. Joint
FAO/WHO Expert Committee on Food Additives.
Wikipedia. 2017. Cakalang. Accessed Januari 2017 http://id.wikipedia.org.
———. 2017a. Anthraquinone. Accessed October 2017. https://en.wikipedia.org.
Page 206
190
———. 2017b. Hidrogen peroksida. Accessed October 2017.
https://id.wikipedia.org.
Woolcock, P. J., & Brown, R. C. (2013). A review of cleaning technologies for
biomass-derived syngas. Biomass and Bioenergy, 52:54–84.
Xingyi. 2016. XYGR series high temperature boiler blower. Accessed April 2016.
https://www.chinaxingyi.com.
Zabik, M.E, Al Booren, Zabik, M.J., Welch, R. and Humphrey, H. 1996. Pesticide
residues, PCBs and PAHs in baked, charbroiled, salt boiled and smoked
Great Lakes lake trout. Food Chemistry 55 (3):231–39.
Zainuddin, Napitupulu, F.H., Sembiring, M., dan Abdullah, I. 2005. Studi
eksperimental efektivitas alat penukar kalor shell and tube dengan
memanfaatkan gas buang mesin diesel sebagai pemanas air. Accessed
April 2016. https://www.researchgate.net/publication/42322631
Zhang, P., Wu, Q. and Mu, C. 2017. Influence of temperature on methane hydrate
formation. Scientific Reports 7 (Agustus).
Zhu, Y., Kim, M.C., Lee, K.W., Park, Y.O. and Kuhlman, M.R. 2001. Design and
Performance Evaluation of a Novel Double Cyclone. Aerosol Science
and Technology 34 (4):373–80.
Page 207
191
Lampiran 1. Nilai aproksimasi transfer panas keseluruhan, U.
Tabel 18. Aproksimasi nilai U.
Sumber : Cengel (2003).
Tabel 19. Aproksimasi nilai U.
Sumber : Primo (2012).
Page 208
192
Lampiran 2. Properti Fisik Padatan
Page 209
193
Lampiran 3. Thermal Properties of Metals
Tabel 21. Sifat termal benda logam
Metals Thermal Properties
Material Conductivity
W/moC
Density
kg/m3
Specific Heat
kJ/kgoC
Aluminum, Pure 220.0 2.707 x 103 896.0
Beryllium, Pure 175.0 1.85 x 103 1.885 x 10
3
lass, Red, 85%Cu-15%Zn 151.0 8.8 x 103 380.0
Brass, Yellow, 65%Cu-35%Zn 119.0 8.8 x 103 380.0
Copper, Alloy, 11000 388.0 8.933 x 103 385.0
Copper, Aluminum bronze,
95%Cu-5%Al 83.0 8.666 x 10
3 410.0
Copper, Brass, 70%Cu-30%Zn 111.0 8.522 x 103 385.0
Copper, Bronze, 75%Cu-25%Sn 26.0 8.666 x 103 343.0
Copper, Constantan, 60%Cu-
40%Ni 22.7 8.922 x 10
3 410.0
Copper, Drawn Wire 287.0 8.8 x 103 376.0
Copper, German silver, 62%0J-
15%Ni-22%Th 24.9 8.618 x 10
3 394.0
Copper, Pure 386.0 8.954 x 103 380.0
Copper, Red brass, 85%Cu-9%Sn-
6%Zn 61.0 8.714 x 10
3 385.0
Gold, Pure 318.0 18.9 x 103 130.0
Inver, 64%Fe-35%Ni 13.8 8.13 x 103 480.0
Iron, Cast 55.0 7.92 x 103 456.0
Iron, Pure 71.8 7.897 x 103 452.0
Iron, Wrought, 0.5%C 59.0 7.849 x 103 460.0
Zinc, Pure 112.2 7.144 x 103 384,3
Sumber: Engineers Edge (Accessed 2017)
Perhitungan nilai konduktivitas besi galvanis (paduan besi dan seng).
Nilai terendah diperoleh pada referensi Welty et al., 2004 pada suhu 100oC ( 373
oK) :
K galvanis = (68+110)/2 = 89oC.
Nilai tertinggi diperoleh pada referensi Engineers Edge (2017) :
K galvanis = (71,8+112,2)/2 = 92oC
K galvanis rata-rata = (89+92)/2 = 90,5oC
Page 210
194
Lampiran 4. Diagram Moody
Page 211
195
Lampiran 5. Perhitungan dimensi ruang pengasapan & laju energi.
a. Dimensi ruang pengasapan
Hasil simulasi ruang pengasapan yang menghasilkan kecepatan udara-
asap berkisar 0,041-0,01 m/detik dan kisaran waktu pengasapan 14,6 – 19,3
jam adalah diameter 750 mm. Dimensi panjang ruangan dihitung berdasarkan
dimensi rata-rata ikan dan jumlahnya untuk menampung 30 kg berat ikan
cakalang bersih. Ukuran rata-rata ikan cakalang dimensi panjang 342,5 mm,
lebar 82,5 mm dan tebal 25 mm.
Pada posisi menggantung pada kawat, ikan dapat bergerak putar
sehingga dimensi lebar menjadi parameter penentu agar tidak bersentuhan.
Tambahan ruang pada kedua sisinya masing-masing 15 mm menghasilkan
lebar ruang yang digunakan sebesar (= 82,5 + 2*15) atau 112,5 mm. Ikan
dengan berat 0,7-1 kg/ekor memiliki berat rata-rata 0,85 kg, rendemen olah
rata-rata ikan cakalang sekitar 88,3%. Jumlah ikan utuh untuk memperoleh
berat bersih 30 kg dalam pengujian adalah (= 30/(0,85x88,3%)) 40 ekor.
Jumlah belahan ikan dari 40 ekor adalah 80 belah dan susunan
polanya dalam ruangan mengikuti gambar di atas. Pada luasan penampang
berdiamater 750 mm tersebut disusun belahan ikan untuk memuat 5 pola dalam
2 susun. Pada arah memanjang dengan jumlah pola 8 baris membutuhkan
panjang ruangan sebesar (= 8 x 112,5) atau 900 mm.
Page 212
196
b. Laju energi pengasapan
Penggunaan energi berupa pemanasan ikan dari suhu awal (28oC)
hingga mencapai suhu kritis pusat ikan sebesar 72oC dan energi penguapan air
dari bahan. Pada sisi ruangan, energi diperlukan untuk memanaskan udara
pengering dari suhu lingkungan 30oC hingga suhu puncak yang diperkirakan
mencapai 108oC. Suhu puncak tersebut tercapai berbarengan dengan level suhu
kritis pusat ikan yang ingin dicapai dalam waktu 8 jam.
Bahan ikan:
Jumlah ikan, m = 30 kg, kadar air awal 73%bb
Kadar air akhir 59%bb = syarat SNI ikan asap < 60%bb
Panas jenis ikan, Cp = 3550 J/kgoC, (Jassin, 2010)
Q_laju pemanasan = (30 kg x 3550 J/kgoC x (72-28)
oC)/(8 x 3600) detik
= 162,71 J/detik
Berat air awal = 73% x 30 kg = 21,9 kg
Berat padatan = (30 – 21,9) kg = 8,1 kg
Kadar air akhir = (berat air akhir/berat bahan) x 100%
59 = 100x/(x+8,1)
100 x = 59x + 477,9
x = 11,77
Berat air akhir = 11,77 kg
Jumlah air yang menguap = (21,9 – 11,77) kg = 10,13 kg
Proyeksi lama penguapan, t = 8 jam
Laju penguapan, LP = 10,13 kg/8 jam = 1,27 kg/jam
Psychrometric:
Suhu udara awal, Taw = 30oC, kelembaban udara awal, RH = 90,1%
Volume jenis udara, v1 = 0,8925 m3/kg.uk
Kelembaban mutlak, H1=H2 = 0,0244 kg.uap air/kg.uk
Entalpi, h1 = 92,504 kJ/kg
Suhu kritis pengasapan, Tak = 108oC, kelembaban udara, RH = 3,3%
Volume jenis udara, v2 = 1,129 m3/kg.uk
Kelembaban mutlak, H3 = 0,0284 kg.uap air/kg.uk
Entalpi, h2 = h3 = 185,34 kJ/kg
Page 213
197
Laju udara, LU =
= 282 m
3/jam = 0,07833 m
3/detik
Q_Laju uap =
=
= 6440,7 J/detik.
Laju energi pada ikan = laju pemanasan bahan + laju penguapan air
Q_ikan = (162,71 + 6440,7) J/detik = 6603,4 J/detik
Udara pengering:
Suhu udara lingkungan, Tl = 30oC
Suhu udara puncak, Tp = 108oC
Panas jenis udara, Cpu = 1008,7 J/kgoC
Laju massa udara, =
=
= 0,08777 kg/detik
Q_laju pemanasan udara = x Cpu x (Tp-Tl) = 6905,46 J/detik.
Laju energi yang diserap oleh ikan diasumsikan sama dengan laju energi
pemanasan udara di dalam ruang pengasapan yang merupakan aktivitas
penukar panas.
Laju energi ruang pengasapan = (6603,4 + 6905,46)/2 = 6754,4 J/detik
Page 214
198
Lampiran 6. Perhitungan tinggi desain penukar panas
Laju energi suplai penukar panas, Q = 6754,4 J/detik
Asumsi:
Suhu pembakaran tungku, Thi = 200oC (Perkiraan, zona oksidasi : 325
oC )
Suhu outlet pipa, Tho = 100oC (Perkiraan)
Suhu inlet selubung, Tci = 60oC (Perkiraan)
Suhu outlet selubung, Tco = 108oC (Suhu ruang pengasapan, Rasco, 2009)
Faktor koreksi, F = 0,9 (dipilih secara umum dalam desain)
Koefisien tranfer panas keseluruhan, U = 18 W/m2o
C (5-35 W/m2o
C & 10-40 W/m2o
C)
Selisih suhu logaritmik:
Tlm =
Tlm = 72,04 oC
Dari persamaan Q = UAFTlm
A =
A = 5,788 m
2
Luas penampang penukar panas ditentukan berdasarkan pertimbangan ergonomi saat
memegang dengan melingkarkan tangan adalah sebesar P = 0,378 m x L = 0,378 m
atau diameter hidrolik selubung (Ds) = 0,378 m.
Diameter pipa (do) 0,032 m berpola susunan segitiga 30o (staggered) dengan jarak
antar pipa (tube pitch, PT) sebesar 0,048 m menghasilkan luas proyeksi total pipa:
Apipa = CL*PT2, dimana nilai CL = 0,87 & CTP = 0,93 (Kakaç dan Liu, 2002)
Apipa = 0,87*(0,048)2 = 0,00200448 m
2
Jumlah laluan pipa, Np = (CTP)*( Ds2/4Apipa) = 52,0661 52.
Tinggi penukar panas atau panjang pipa, Lp =
=
= 1,11 m
Pertimbangan aspek ekonomi dan optimasi desain maka Lp dibulatkan menjadi 1,0 m.
Page 215
199
Lampiran 7. Perhitungan desain siklon separator.
Distribusi ukuran partikel abu tempurung yang diambil dari dinding cerobong dan
lantai serta sisa pembakaran dalam tungku. Distribusi ukuran dilakukan dengan
metode PSA/PSD oleh instrumen CILAS 1190 LIQUID.
Gambar 58. Grafik distribusi partikel abu cerobong
Tabel 22. Distribusi ukuran partikel abu cerobong
Page 216
200
Spesifikasi blower sentrifugal:
Laju udara dari desain penukar panas, LU = debit = 282 m3/jam = 0,07833 m
3/detik
Referensi kecepatan masuk inlet siklon = 10 m/detik
Luas inlet siklon = 0,07833 m3/detik / 10 m/detik = 0,007833 m
2
Dimensi luas inlet dalam skala Stairmand = 0,125 D2, dimana D: diameter siklon,
maka:
atau D = 0,25 m.
Dimensi dasar siklon adalah diameternya dengan nilai 0,25 m. Dimensi lain diperoleh
berdasarkan skala dimensi Stairmand seperti tabel berikut.
Tabel 23. Dimensi, skala dan ukuran siklon separator
Geometri Siklon Skala Ukuran (m)
(1) (2) (3)
Diameter (D) D 0,25
Tinggi inlet (a) 0,5*D 0,125
Lebar inlet (b) 0,25*D 0,0625
Diameter of outlet (do) 0,5*D 0,125
Diameter of outlet debu (Bc) 0,375*D 0,09375
Panjang tabung siklon (h) 1,5*D 0,375
Panjang kerucut siklon (hc) 2,5*D 0.625
Panjang total siklon (H) 4*D 1
Untuk memprediksi efisiensi pemisahan/pengumpulan/koleksi abu maka dihitung
nilai faktor skalanya dengan rumus:
µ1 = 0,0000181 N.s/m2 Q2 = 282 m3/jam
µ2 = 0,00002264 N.s/m2 Q1 = 223 m3/jam
2 = 2050 kg/m3 DC1 = 0,203 m
1 = 2000 kg/m3 DC2 = 0,25 m
D2 = 1,345
Page 217
201
Nilai D2 menjadi pembagi pada ukuran partikel rata-rata dari selang partikel pada
kolom 3 dan hasilnya seperti pada kolom 5.
Sebagai contoh : 50/1.345 = 37.18 (kolom 5 baris 1)
(40+(50-40)/2)/1,345 = 33.46 (kolom 5 baris 2, dst)
Tabel 24. Prediksi efisiensi masing-masing partikel dan totalnya
Ukuran
Partikel, m
Persentase
kurang dari
Partikel
m
Persentase
dlm selang Ukuran Pa.
rerata, m i
(%)
Koleksi,%
(4)*(6)/100
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
50 84.83 >50 15.17 37.18 98.5 14.94
40 73.49 40-50 11.34 33.46 97.8 11.09
28 54.17 28-40 19.32 25.28 97.0 18.74
20 37.44 20-28 16.73 17.85 95.5 15.98
10 13.85 10-20 23.59 11.15 93.0 21.94
05 5.21 05-10 8.64 5.58 88.5 7.65
02 1.61 02-05 3.60 2.60 72.5 2.61
0-02 1.61 0.74 25.0 0.40 Total 100 93.3
Sedangkan nilai pada kolom 6 diperoleh melalui proyeksi ukuran partikel rata-rata
(kolom 5) pada grafik efisiensi Stairmand pada Gambar berikut.
Gambar 59. Efisiensi Stairmand untuk desain high efficiency cyclone
Page 218
202
Perhitungan prediksi tekanan statis atau pressure drop desain siklon 25 cm :
Luas inlet siklon yang direncanakan berdimensi b lebih kecil dari nilai b perhitungan
desain yakni (56 mm < 62,5 mm) dan nilai a = 125 mm.
Densitas gas nitrogen pada suhu 100oC = 0,915 kg/m
3
A1 = 0,007 m2 ( luas inlet siklon ).
Luas permukaan siklon, As = Dc (h + hc) = (0,25)(0,375+0,625) = 0,786445 m2
Nilai faktor gesekan fc untuk gas = 0,005
=
= 0,56
=
= 1,8
Dari grafik pada Gambar 19 diperoleh = 0,96
Kecepatan masuk inlet, vi = 10 m/detik
Luas penampang outlet siklon = (0,125)2/4 = 0,01227 m
2
Kecepatan outlet siklon,
vo =
= 6,38 m/detik
Dari persamaan 8 :
P = 3,32 milibar
P = 332 N/m2
P = 332 Pa.
Page 219
203
Lampiran 8. Perhitungan tinggi desain tungku dan pembagian ruangannya
Berdasarkan target suhu penukar panas sebesar 108oC untuk proses
pengasapan membutuhkan energi sebesar Q1 = 6754,4 J/detik, maka kebutuhan proses
pengeringan diasumsikan suhunya lebih tinggi dengan menaikkan kebutuhan energi
sebanyak 4 kali atau Q2 = 27017,6 J/detik. Nilai kalor tempurung kelapa menurut
Tsamba et al., (2006) adalah 20,5 MJ/kg sehingga diperoleh laju pembakaran sebesar
4,7 kg/jam. Percobaan pada tungku sejenis dengan volume ruang, V1 = 0,0545 m3 dan
laju pembakaran 4,0 kg/jam menghasilkan suhu 552,9oC. Nilai kesetaraan suhu ruang
tungku dari laju pembakaran 4,7 kg/jam adalah 655oC, sedangkan kesetaraan volume
ruang tungku sebesar, V2 = 0,06 m3.
Dimensi panjang x lebar tungku sebagai penyesuaian terhadap dimensi
penukar panas adalah 378 mm x 378 mm. Tebal plat besi yang disarankan untuk
material tungku berkisar 5-8 mm (Malatak et al., 2007), sehingga pilihan 6 mm
menghasilkan luas penampang ruang tungku 372 x 372 = 138.384 mm2 atau A=0,1384 m2.
Tinggi ruang tungku diperoleh dari nilai V2/A yakni sebesar 0,434 m atau 434 mm.
Berhubung dimensi tinggi desain siklon dengan dustbin mencapai 1500 mm
sementara penukar panas tingginya 990 mm maka agar keduanya sejajar dan
memberikan ruang bebas untuk pemasangan dustbin, tinggi tungku = 1500 – 990 mm
+ ruang bebas sebesar 40 mm atau sebesar 550 mm.
Tinggi tungku sebesar 550 mm terbagi atas ruang tempurung dan ruang
pengumpulan abu. Ketersediaan ruang abu adalah 550 – 434 = 116 mm. Untuk
memberikan ruang longgar penarikan abu maka tinggi ruang abu dan tinggi ruang
tempurung diatur sebesar 125 mm dan 425 mm.
Skema pembagian ruang tungku:
550 mm
425 mm
125 mm
Page 220
204
Lampiran 9. Perhitungan energi untuk berat dasar pengumpanan tempurung.
Perhitungan untuk mengetahui laju pengumpanan tempurung kelapa yang
bersesuaian dengan suhu puncak sekitar 108oC dilakukan melalui kesetaraan suhu dan
laju pengumpanan pada tungku sejenis. Percobaan pada tungku sejenis dengan volume
ruang, V1 = 0,0545 m3 dan laju pembakaran 4,0 kg/jam menghasilkan suhu 552,9
oC.
Kriteria yang dipertimbangkan pada proses pembakaran adalah agar suhu tidak
mencapai 325oC yang merupakan suhu zona oksidasi sebagai permulaan terbentuknya
senyawa benzo[a]piren. Dengan demikian suhu pembakaran tungku ditargetkan
sebesar 300oC.
Kesetaraan terhadap data percobaan menghasilkan laju pengumpanan sebesar
2,17 kg/jam untuk mencapai suhu 300oC tersebut. Data laju pengumpanan tempurung
sebesar 2,17 kg/jam selanjutnya disetarakan dalam waktu 1 jam atau 60 menit.
Proyeksi massa 2,17 kg di asumsikan dalam 4 kali pengumpanan sehingga diperoleh
laju sebesar 0,542 kg dalam 15 menit. Dalam percobaan, data tersebut dibulatkan
menjadi 500 g sebagai pengumpanan tempurung kelapa untuk suhu puncak target.
Percobaan dengan ulangan 3 kali pada pembakaran sebanyak 500 g menghasilkan
suhu rata-rata 107oC dalam waktu rata-rata 14 menit.
Untuk memperoleh capaian suhu kurang dari 107oC sebagai upaya peningkatan
suhu secara perlahan dari awal pengasapan maka dibuat pola massa bertambah
(incremental). Pola tersebut adalah massa tempurung sebanyak 200 g, 300 g, 400 g,
dan 500 g. Capaian suhu masing-masing berat tempurung kelapa tersebut dapat dilihat
pada Gambar 33 halaman 103.
Page 221
205
Lampiran 10. Perhitungan efisiensi siklon separator 250 mm.
Metode penentuan efisiensi siklon menggunakan data-data perhitungan berikut dengan
rumus sebagaimana persamaan 9 hingga 11.
Data dimensi siklon dan kondisi udara pada suhu 100oC:
a = 0,125 m v_inlet = 10 m/det
b = 0,056 m µ_udara = 0,0000218 N.det/m2
h = 0,375 m _udara = 0,938006 kg/m3
ht = 1,0 m _partikel abu = 2 050 kg/m3
Perolehan nilai Ne, dpc dan i masing-masing adalah 5,5; 3,94 µm dan efisiensi
pengumpulan partikel pada baris pertama adalah 99,8% sebagaimana disajikan pada
Tabel 25.
Tabel 25. Efisiensi pengumpulan partikel siklon diameter 250 mm
Page 222
206
Lampiran 11. Kadar air tempurung kelapa
Tabel 26. Kadar air tempurung pengujian 1:
n Kadar air (x) ( x- )2
1 20 18
2 16 0
3 18 5
4 20 18
5 21 27
6 23 52
7 20 18
8 10 33
9 13 8
10 13 8
11 15 1
12 13 8
13 13 8
14 13 8
15 17 1
16 11,3 20
17 13 8
18 13 8
19 13,6 5
20 16,3 0
21 21 27
22 20,9 26
23 16,5 1
24 17,3 2
25 18,3 6
26 6,6 84
27 13,2 7
Rata-rata 15,8 15,04
S2 = 15,04 =
S = 3,878 5,196
Tingkat kepercayaan 95% sehingga diperoleh selang nilai:
P = 15,8 ± ( ))
P = 15,8 ± 1,5
Page 223
207
Tabel 27. Kadar air tempurung pengujian 2:
n Kadar air (x) ( x- )2 n Kadar air (x) ( x- )2
1 12,1 9,6 42 18,3 9,6
2 13,2 4,0 43 17,1 3,6
3 15,6 0,2 44 13,3 3,6
4 19,3 16,8 45 16,3 1,2
5 15,4 0,0 46 14,7 0,3
6 17,5 5,3 47 17,9 7,3
7 11,7 12,3 48 16,3 1,2
8 17 3,2 49 14,4 0,6
9 17 3,2 50 17 3,2
10 17,5 5,3 51 17,9 7,3
11 15,9 0,5 52 16,6 1,9
12 17 3,2 53 19,2 16,0
13 16,1 0,8 54 16,7 2,2
14 11 17,7 55 16,3 1,2
15 11,7 12,3 56 19,2 16,0
16 16,7 2,2 57 16,7 2,2
17 13,3 3,6 58 16,8 2,5
18 12,2 9,0 59 14,6 0,4
19 19,9 22,0 60 17,9 7,3
20 12 10,3 61 16,8 2,5
21 11,2 16,0 62 17 3,2
22 12,6 6,8 63 18,5 10,9
23 14,6 0,4 64 16,1 0,8
24 19,1 15,2 65 16,9 2,9
25 15,6 0,2 66 18 7,8
26 13,2 4,0 67 19,6 19,3
27 19,4 17,6 68 12,8 5,8
28 14,2 1,0 69 13,6 2,6
29 13 4,9 70 10,1 26,1
30 14,4 0,6 71 13,1 4,4
31 15,5 0,1 72 10,1 26,1
32 17,9 7,3 73 10 27,1
33 17 3,2 74 11,1 16,9
34 12,1 9,6 75 18,3 9,6
35 18,3 9,6 76 10 27,1
36 16,3 1,2 77 11,3 15,2
37 16,1 0,8 78 11,3 15,2
38 16,3 1,2 79 12,1 9,6
39 13,9 1,7 80 12,5 7,3
40 13,6 2,6 81 12,5 7,3
41 16,3 1,2 Rata-rata 15,2 7,2
S2 = 7,2 =
S = 2,7 9
Tingkat kepercayaan 95% sehingga diperoleh selang nilai: P = (15,2 ±
))
P = 15,2 ± 0,6
Page 224
208
Tabel 28. Kadar air tempurung pengujian 3:
n Kadar air (x) ( x- )2
1 12,3 1,1
2 14,5 1,4
3 12,1 1,5
4 13,5 0,0
5 11,5 3,3
6 12,6 0,5
7 13,6 0,1
8 12,2 1,3
9 13,5 0,0
10 14,6 1,6
11 19,5 38,1
12 17,9 20,9
13 11,9 2,0
14 15,3 3,9
15 13,9 0,3
16 12,6 0,5
17 13,6 0,1
18 13,2 0,0
19 13,1 0,1
20 12,2 1,3
21 11,2 4,5
22 12 1,8
23 16,3 8,8
24 13,9 0,3
25 13,3 0,0
26 11,5 3,3
27 12 1,8
28 11 5,4
29 11,7 2,6
Rata-rata 13,3 3,7
S2 = 3,7 =
S = 1,9 5,39
Tingkat kepercayaan 95% sehingga diperoleh selang nilai: P = (13,3 ±
))
P = 13,3 ± 0,7
Page 225
209
Lampiran 12. Perhitungan analisis performansi penukar panas
Tabel 29. Data sampel pengujian 1:
Sumber data
Suhu Penukar Panas (oC)
Thi Tho Tci Tco
Pengujian 1 87,75 77,5 71,5 80,25
Aliran udara pipa = fluida panas dan aliran udara selubung = fluida dingin.
Notasi suhu fluida panas: Th dan suhu fluida dingin: Tc, serta inlet: i dan outlet: o.
Persamaan suhu fluida rata-rata; Th dan Tc :
Persamaan suhu permukaan pipa; , (Kakaç dan Liu, 2002).
Tabel 30. Sifat udara berdasarkan suhu pengujian 1
Sifat udara Tw Satuan
Suhu, T 82,63 75,88 79,3 oC
Viskositas, µp, µs, µw 2,107x10-5
2,077x10-5
2,1x10-5
N.detik/m2
Panas jenis, Cp 1009,56 1008,955 J/kg.K
Densitas, 0,9811 0,9987 Kg/m3
Konduktivitas, k 0,03043 0,02992 W/m.K
Prandatel, Prp dan Prs 0,6989 0,7002 --
Pendekatan LMTD:
Selisih suhu logaritmik:
=
= 6,72oC
Pendugaan nilai F:
0,5 dan
=> R = 0,6 serta nilai F = 0,93
Page 226
210
Tabel 31. Dimensi Dasar Penukar Panas:
Variabel Notasi Nilai Satuan
Shell inside diameter Ds = 0,378 m
Tube Length L = 0,99 m
Tube outside diameter do = 0,032 m
Tube inside diameter di = 0,0305 m
Tube Pitch PT = 0,048 m
Clearance C = 0,016 m
Baffle spacing B = 0,1962 m
Jumlah pipa Np = 52 --
Tube pitch ratio (PT/do) PR = 1,5 --
Perhitungan koefisien tranfer panas udara pipa, (hi):
Aliran udara masuk saluran tungku:
A, m2 V, m/detik Suhu,
oC , kg/m
3
0,0319 1,9 45 1,1015
Luas total penampang pipa, A_penamp_pipa =
= 0,038 m
2
Diameter ekivalen luas total penampang pipa, di_At_pipa =
= 0,22 m
Kecepatan aliran udara pipa, Vpipa =
= 1,78 m/detik
Bilangan Reynold aliran udara pipa, Re_p =
= 18204 > 2300 (Turbulen)
Koefisien gesekan aliran udara pipa, = 0,0067
Bilangan Nusselt aliran udara pipa, Nu =
= 40,110
Koefisien tranfer panas sisi pipa,
= 40,015 W/m
2oC
Perhitungan koefisien tranfer panas udara selubung, (ho):
Aliran udara selubung:
in, m/detik out, m/detik sel, m/detik
4,91 1,3 3,11
As, m2 sel, m/detik Suhu,
oC s, kg/m
3
0,025 3,11 75,88 0,998744
Debit aliran udara selubung, Qs = As* sel = 0,078 m3/detik
Laju massa aliran udara selubung, = Qs*s = 0,078 kg/detik.
= 3,1391 kg/m
2detik
Page 227
211
Bilangan Reynold aliran udara selubung, Res =
= 57.171,4 => 10
4 < Res < 10
5
Perhitungan diameter ekivalen selubung, De:
= 0,04739 m
= 83,438 W/m2o
C
Tabel 32. Korelasi koefisien untuk nilai a1 dan a2 susunan pipa 30O dan bil. Re.
Sumber: Kakaç dan Liu, (2002).
Berdasarkan pola susunan pipa penukar panas yakni segitiga 30o dan bilangan Res maka:
a =
= 0,0343
= 0,00456
= 17,73 W/m
2oC
Jc = 0,8; potongan sekat berkategori sedang, tidak lebar (0,53) dan tidak kecil (1,15).
Jl = 0,8; kebocoran diantara pipa dan sekat, sekat dan selubung kecil (0,7 – 0,8).
Jb = 0,95; faktor korekasi efek aliran langsung (bypass), jika ada sealing maka > 0,9.
Js = 1; faktor koreksi variabel jarak saluran inlet/outlet terhadap sekat, dekat 1.
Jr = 1; faktor koreksi terhadap nilai bil. Reynold selubung, jika > 100 maka 1.
= 10,778 W/m2o
C
Koefisien trasfer panas sisi selubung:
ho =
= 47,108 W/m
2oC
Konduktivitas panas besi galvanis, kw = 90,5 W/moC
Koefisien transfer panas keseluruhan:
= 21,07 W/m2o
C
Luas bidang penukaran panas desain, A = do Lp Np = 5,182 m2
Page 228
212
Pindah panas aktual:
= 21,07*5,182*0,93*6,72 = 682,63 Watt
Pindah panas optimal:
= 21,07*5,182*(82,63-75,88) = 737,06 Watt
Efisiensi penukar panas:
= 0,93
Pendekatan e-NTU:
Identifikasi kapasitas aliran udara pipa dan selubung:
Aliran udara pipa:
At_pipa, m2 Vpipa, m/detik Suhu,
oC , kg/m
3
0,038 1,78 82,63 0,9811
Debit aliran udara pipa, Qpipa = At_pipa*Vpipa = 0,068 m
3/detik
Laju massa aliran udara pipa, = Qpipa* = 0,066 kg/detik.
Kapasitas udara pipa, Cpipa = *Cp_udara pipa = 0,066*1009,56 = 66,88 W/oC
Kapasitas udara selubung, Csel = *Cp_udara sel = 0,078*1008,955 = 78,34 W/oC
Cpipa = Cmin dan Cselubung = Cmaks.
Pindah panas maksimum:
= 66,88*(87,75-71,5) = 1086,8 Watt
Berhubung fluida panas sebagai fluida minimum maka efektivitas penukar panas dapat
dihitung dengan persamaan:
= 0,63
Rasio kapasitas udara, CR =
=
= 0,854
Number Transfer Unit,
= 1,63
Pembuktian nilai efisiensi pada pendekatan LMTD sebesar 0,93 dengan perhitungan efisiensi
menggunakan variabel pendekatan NTU:
=
= 0,93.
Persamaan lain khusus untuk menghitung nilai efektivitas penukar panas yang diturunkan dari
kondisi udara Cc = Cmin di klaim dapat digunakan untuk penukar panas secara umum.
Page 229
213
CR-1NTU-exp CR-
CR-NTU-exp
1
11 atau
Menghasilkan nilai:
= 0,65.
Pengecekan nilai = 0,65 menggunakan persamaan untuk menghitung efisiensi menunjukkan
nilai yang penuh yakni 100%. Interpretasi terhadap nilai ini adalah bahwa desain penukar
panas memiliki nilai efektifitas 0,65 pada kondisi aliran fluida dan penukaran panas yang
seimbang. Dengan demikian efektivitas aktual dari penukar panas adalah 0,63.
Berdasarkan perhitungan, diperoleh 2 nilai q metode LMTD yang berbeda yakni:
Perhitungan U dari awal bersifat forward menghasilkan nilai sebesar 21,07 W/m2o
C.
Perhitungan ulang nilai U dilakukan dengan metode backward untuk memastikan bahwa nilai
tersebut valid.
Berdasarkan variabel metode -NTU diperoleh nilai:
.
Hanya ada satu persamaan yang menghasilkan nilai q = 682,63 Watt dan kebanyakan
persamaan menghasilkan nilai q = 685,5 Watt.
Variabel lemah yang terdapat dalam perhitungan nilai q adalah U dan F.
Penentuan nilai F melalui grafik hanya bisa menduga angka hingga 1 desimal yang dapat saja
bernilai akurat hingga lebih dari satu desimal. Untuk perhitungan balik nilai U, nilai F
dianggap tetap yakni 0,93. Sehingga persamaan menjadi:
= 21,16 W/m
2oC
Dengan demikian diperoleh nilai U dengan perhitungan forward sebesar 21,07 W/m2o
C
dan nilai U berdasarkan perhitungan backward sebesar 21,16 W/m2o
C.
Penggunaan nilai U koreksi sebesar 21,16 W/m2o
C menghasilkan nilai pindah panas (q) yang
sama pada semua persamaan yakni:
Nilai parameter lain yang ikut terkoreksi adalah:
= 740,154 Watt
= 1,64
Perhitungan kehilangan tekanan atau pressure drop:
Perhitungan kehilangan tekanan sistem meliputi unit penukar panas terdiri atas bagian pipa
dan selubung, unit siklon separator dan unit saluran hubung antara siklon separator dan
selubung penukar panas.
Page 230
214
1. Penukar panas:
a. Bagian pipa:
Aliran udara, dimensi pipa dan nilainya:
Np L, m di, m Vp, m/detik Suhu oC , kg/m
3 Re
52 0,99 0,0305 1,78 82,63 0,9811 18204
= 0,0067
Pressure drop bagian pipa,
= 70,1 Pa
b. Bagian Selubung:
Aliran udara, dimensi selubung dan nilainya:
Nb Ds, m De, m Gs, kg/m2detik Ts
oC , kg/m
3 µ, Ndetik/m
2 Tw,
oC
5 0,378 0,04739 3,14 75,88 0,9987 2,077x10-5
79,3
Rangkaian perhitungan:
= 7164
= 0,3294
= 0,978
Pressure drop bagian selubung,
= 66,9 Pa
2. Unit siklon separator:
Tabel 33. Hasil perhitungan kehilangan tekanan pada siklon separator
Posisi Kondisi udara Tekanan Jumlah
V (m/det) T (oC) (kg/m3) Statis (Pa) Dinamis (Pa) (Pa)
Inlet (i) 10,0 92 0,9578 215,6 47,9 263,5
Outlet (o) 6,3 86 0,9727 39,2 19,3 58,5
Total
205,0 Perhitungan dilakukan dengan persamaan:
Pengukuran langsung menggunakan instrumen pada posisi inlet dan outlet siklon
separator menghasilkan nilai statis masing-masing 215,6 Pa dan 39,2 Pa.
Page 231
215
Tekanan dinamis pada masing-masing inlet dan outlet dihitung dengan rumus:
dan
. Komponen kecepatan tangensial
diabaikan
karena belum bisa dideteksi.
Dengan data kecepatan dan densitas pada posisi inlet dan outlet:
= 47,9 Pa dan
= 19,3 Pa.
Pressure drop bagian siklon separator:
= (215,6+47,9) – (39,2+19,3) = 205 Pa.
3. Unit saluran hubung:
Perhitungan kehilangan tekanan pada unit saluran mencakup kehilangan pada
keseluruhan badan saluran (mayor) dan kehilangan karena bentuk belokan (minor).
Aliran udara, dimensi selubung dan nilainya:
D, m L, m Vu, m/detik Suhu oC , kg/m
3 µ, Ndetik/m
2
0,14 0,85 5,0 73,5 1,007 2,07x10-5
Bilangan Reynold, Re =
= 34115,7 atau 3,4x104
Material saluran terbuat dari besi dengan nilai kekasaran = 0,00085 m (Kamaruddin dkk,
1989) sehingga diperoleh:
= 0,00607
Berdasarkan diagram Moody diperoleh nilai f = 0,034
=
= 2,598 Pa
Data koefisien hambatan, K = 0,75 (Raswari, 2010)
= 9,44 Pa
Pressure drop bagian saluran:
=12,03 Pa
Total pressure drop sistem = 70,1 Pa + 66,9 Pa + 205 Pa + 2,598 Pa + 12,03 Pa
= 354 Pa.
Page 232
216
PERHITUNGAN DENGAN CARA YANG SAMA UNTUK PENGUJIAN 2 DAN
PENGUJIAN 3 MENGHASILKAN RINGKASAN DATA BERIKUT:
Tabel 34. Sampel data suhu pengujian 2 dan 3
Sumber data
Suhu Penukar Panas (oC)
Thi Tho Tci Tco
Pengujian 2 118,75 101,75 91,0 107,5
Pengujian 3 97,5 83,75 75,75 86,5
Pendekatan LMTD:
Selisih suhu logaritmik pengujian 2:
=
= 11,0oC
Pendugaan nilai F:
0,6 dan
=> R = 0,5 serta nilai F = 0,88
Tabel 35. Sifat udara berdasarkan suhu pengujian 2
Sifat udara Tw Satuan
Suhu, T 110,25 99,25 104,8 oC
Viskositas, µp, µs, µw 2,228x10-5
2,179x10-5
2,2x10-5
N.detik/m2
Panas jenis, Cp 1012,33 1011,225 J/kg.K
Densitas, 0,9126 0,9399 Kg/m3
Konduktivitas, k 0,03253 0,03169 W/m.K
Prandatel, Prp dan Prs 0,6934 0,6956 --
Page 233
217
Selisih suhu logaritmik pengujian 3:
=
= 9,42oC
Pendugaan nilai F:
0,5 dan
=> R = 0,6 serta nilai F = 0,93
Tabel 36. Sifat udara berdasarkan suhu pengujian 3
Sifat udara Tw Satuan
Suhu, T 90,6 81,13 85,9 oC
Viskositas, µp, µs, µw 2,142x10-5
2,1x10-5
2,12x10-5
N.detik/m2
Panas jenis, Cp 1010,36 1009,413 J/kg.K
Densitas, 0,9612 0,9848 Kg/m3
Konduktivitas, k 0,03104 0,03032 W/m.K
Prandatel, Prp dan Prs 0,6973 0,6992 --
Tabel 37. Beberapa nilai variabel ketiga pengujian
Variabel Pengujian 1 Pengujian 2 Pengujian 3 Satuan
LMTD 6,72 11,0 9,42 oC
F 0,93 0,88 0,93 --
A pipa 5,182 5,182 5,182 m2
Kw (besi galvanis) 90,5 90,5 90,5 W/moC
A_tungku 0,0319 0,0319 0,0319 m2
A_penamp_pipa 0,038 0,038 0,038 m2
De pipa 0,22 0,22 0,22 m
A_selubung 0,025 0,025 0,025 m2
De selubung 0,04739 0,04739 0,04739 m
Page 234
218
Perhitungan koefisien tranfer panas udara pipa, (hi) pengujian 2:
Aliran udara masuk saluran tungku:
A_tungku, m2 Vtu, m/detik Suhu,
oC tu, kg/m
3
0,0319 1,8 47,2 1, 0943
Kecepatan aliran udara pipa, Vpipa =
= 1,81 m/detik
Bilangan Reynold aliran udara pipa, Re_p =
= 16280 > 2300 (Turbulen)
Koefisien gesekan aliran udara pipa, = 0,0069
Bilangan Nusselt aliran udara pipa, Nu =
= 36,367
Koefisien tranfer panas bagian pipa,
= 38,784 W/m
2oC
Perhitungan koefisien tranfer panas udara selubung, (ho):
Aliran udara selubung:
in, m/detik out, m/detik sel, m/detik
4,7 1,35 2,8
As, m2 sel, m/detik Suhu,
oC s, kg/m
3
0,025 2,8 99,25 0,939864
Debit aliran udara selubung, Qs = As* sel = 0,069 m3/detik
Laju massa aliran udara selubung, = Qs*s = 0,065 kg/detik.
= 2,61 kg/m
2detik
Bilangan Reynold aliran udara selubung, Res =
= 45264 => 10
4 < Res < 10
5
= 77,56 W/m2o
C
Berdasarkan pola susunan pipa penukar panas yakni segitiga 30o dan bilangan Res maka:
a =
= 0,0387
= 0,00499
= 16,1715 W/m
2oC
Page 235
219
Jc = 0,8; potongan sekat berkategori sedang, tidak lebar (0,53) dan tidak kecil (1,15).
Jl = 0,8; kebocoran diantara pipa dan sekat, sekat dan selubung kecil (0,7 – 0,8).
Jb = 0,95; faktor korekasi efek aliran langsung (bypass), jika ada sealing maka > 0,9.
Js = 1; faktor koreksi variabel jarak saluran inlet/outlet terhadap sekat, dekat 1.
Jr = 1; faktor koreksi terhadap nilai bil. Reynold selubung, jika > 100 maka 1.
= 9,83225 W/m2o
C
Koefisien trasfer panas sisi selubung:
ho =
= 43,697 W/m
2oC
Koefisie trannsfer panas keseluruhan:
= 20,02 W/m2o
C
Pindah panas aktual:
= 20,02*5,182*0,88*11 = 1004,14 Watt
Pindah panas optimal:
= 20,02*5,182*(110,25-99,25) = 1141,18 Watt
Efisiensi penukar panas:
= 0,88
Pendekatan e-NTU:
Identifikasi kapasitas aliran udara pipa dan selubung:
Aliran udara pipa:
At_pipa, m2 Vpipa, m/detik Suhu,
oC , kg/m
3
0,038 1,81 110,3 0,91261
Debit aliran udara pipa, Qpipa = At_pipa*Vpipa = 0,069 m3/detik
Laju massa aliran udara pipa, = Qpipa* = 0,063 kg/detik.
Kapasitas udara pipa, Cpipa = *Cp_udara pipa = 0,063*1012,33 = 63,42 W/oC
Kapasitas udara selubung, Csel = *Cp_udara sel = 0,065*1011,23 = 65,34 W/oC
Cpipa = Cmin dan Cselubung = Cmaks.
Berhubung fluida panas sebagai fluida minimum maka efektivitas penukar panas dapat
dihitung dengan persamaan:
Pindah panas maksimum:
= 63,42*(118,8-91,0) = 1759,88 Watt
Page 236
220
dimana : Selisih suhu fluida minimum yakni udara pipa.
= 1078,13 Watt
Efektivitas penukar panas:
= 0,61
Rasio kapasitas udara, CR =
=
= 0,97
Number transfer unit,
= 1,76
Pembuktian nilai efisiensi pada pendekatan LMTD sebesar 0,88 dengan perhitungan efisiensi
menggunakan variabel pendekatan NTU:
=
= 0,88 (sama).
Persamaan lain untuk menghitung nilai efektivitas penukar panas yang diturunkan dari kondisi
udara Cc = Cmin di klaim dapat digunakan untuk penukar panas secara umum.
CR-1NTU-exp CR-
CR-NTU-exp
1
11 atau
Menghasilkan nilai
= 0,64. Nilai ini lebih rendah dari nilai yang sudah dicapai pada pengujian sebelumnya.
Berdasarkan perhitungan, diperoleh 2 nilai q metode LMTD yang berbeda yakni:
Perhitungan U dari awal bersifat forward menghasilkan nilai sebesar 20,02 W/m2o
C.
Perhitungan ulang nilai U dilakukan dengan metode backward untuk memastikan bahwa nilai
tersebut valid.
Berdasarkan variabel metode -NTU diperoleh nilai:
.
Hanya ada satu persamaan yang menghasilkan nilai q = 1004,14 Watt dan kebanyakan
persamaan menghasilkan nilai q = 1078,13 Watt.
Berdasarkan persamaan berikut diperoleh nilai U koreksi yakni sebesar:
= 21,50 W/m
2oC
Dengan demikian diperoleh nilai U dengan perhitungan forward sebesar 20,02W/m2o
C
dan nilai U berdasarkan perhitungan backward (bantuan solver) sebesar 21,50 W/m2o
C.
Kesimpulannya nilai yang dipakai adalah nilai yang terkoreksi yakni 21,50 W/m2o
C.
Page 237
221
Penggunaan nilai U koreksi sebesar 21,50 W/m2o
C menghasilkan nilai pindah panas (q) yang
sama pada semua persamaan yakni:
Nilai parameter lain yang ikut terkoreksi adalah:
= 1225,35 Watt
= 1,76
Perhitungan kehilangan tekanan atau pressure drop Pengujian 2:
Perhitungan kehilangan tekanan sistem meliputi unit penukar panas terdiri atas bagian pipa
dan selubung, unit siklon separator dan unit saluran hubung antara siklon separator dan
selubung penukar panas.
1. Penukar panas:
a. Bagian pipa:
Aliran udara, dimensi pipa dan nilainya:
Np L, m di, m Vp, m/detik Suhu oC , kg/m
3 Re
52 0,99 0,0305 1,81 110,3 0,91261 16280
= 0,0069
Pressure drop pada sisi pipa,
= 69,4 Pa
b. Bagian Selubung:
Aliran udara, dimensi selubung dan nilainya:
Nb Ds, m De, m Gs, kg/m2detik Ts
oC , kg/m
3 µs, Ndetik/m
2 Tw,
oC
5 0,378 0,04739 2,61 99,25 0,9399 2,18x10-5
104,8
Rangkaian perhitungan:
= 5671
= 0,344
= 0,9734
Pressure drop pada sisi selubung,
= 51,1 Pa
Page 238
222
2. Unit siklon separator:
Penurunan tekanan oleh siklon separator untuk ketiga pengujian sama yakni 205 Pa
3. Unit saluran hubung:
Perhitungan kehilangan tekanan pada unit saluran mencakup kehilangan pada
keseluruhan badan saluran (mayor) dan kehilangan karena bentuk belokan (minor).
Aliran udara, dimensi selubung dan nilainya:
D, m L, m Vu, m/detik Suhu oC , kg/m
3 µ, Ndetik/m
2
0,14 0,85 5,0 94,58 0,9514 2,16x10-5
Bilangan Reynold, Re =
= 30847,4 atau 3,1x104
Material saluran terbuat dari besi dengan nilai kekasaran = 0,00085 m (Kamaruddin dkk,
1989) sehingga diperoleh:
= 0,00607
Berdasarkan diagram Moody diperoleh nilai f = 0,033
=
= 2,383 Pa
Data koefisien hambatan, K = 0,75 (Raswari, 2010)
= 8,92 Pa
=11,30 Pa
Total pressure drop sistem = 69,4 Pa + 51,1 Pa + 205 Pa + 11,30 Pa
= 336,8 Pa.
PERHITUNGAN KOEFISIEN TRANFER PANAS UDARA PIPA, (hi) PENGUJIAN 3:
Aliran udara masuk saluran tungku:
A_tungku, m2 Vtu, m/detik Suhu,
oC tu, kg/m
3
0,0319 1,69 44,0 1, 104824
Kecepatan aliran udara pipa, Vpipa =
= 1,632 m/detik
Page 239
223
Bilangan Reynold aliran udara pipa, Re_p =
= 16114 > 2300 (Turbulen)
Koefisien gesekan aliran udara pipa, = 0,0069
Bilangan Nusselt aliran udara pipa, Nu =
= 35,686
Koefisien tranfer panas sisi pipa,
= 36,312 W/m
2oC
Perhitungan koefisien tranfer panas udara selubung, (ho):
Aliran udara selubung:
in, m/detik out, m/detik sel, m/detik
4,8 1,3 3,1
As, m2 sel, m/detik Suhu,
oC s, kg/m
3
0,025 3,1 81,13 0,98478
Debit aliran udara selubung, Qs = As* sel = 0,0775 m
3/detik
Laju massa aliran udara selubung, = Qs*s = 0,07632 kg/detik.
= 3,081 kg/m2detik
Bilangan Reynold aliran udara selubung, Res =
= 55484 => 10
4 < Res < 10
5
= 83,124 W/m2o
C
Berdasarkan pola susunan pipa penukar panas yakni segitiga 30o dan bilangan Res maka:
a =
= 0,035
= 0,00461
= 17,54 W/m
2oC
Jc = 0,8; potongan sekat berkategori sedang, tidak lebar (0,53) dan tidak kecil (1,15).
Jl = 0,8; kebocoran diantara pipa dan sekat, sekat dan selubung kecil (0,7 – 0,8).
Jb = 0,95; faktor korekasi efek aliran langsung (bypass), jika ada sealing maka > 0,9.
Js = 1; faktor koreksi variabel jarak saluran inlet/outlet terhadap sekat, dekat 1.
Jr = 1; faktor koreksi terhadap nilai bil. Reynold selubung, jika > 100 maka 1.
= 10,662 W/m2o
C
Page 240
224
Koefisiean transfer panas sisi selubung:
ho =
= 46,893 W/m
2oC
Koefisien transfer panas keseluruhan:
= 19,91 W/m2o
C
Pindah panas aktual:
= 19,9*5,182*0,93*9,42 = 903,88 Watt
Pindah panas optimal:
= 19,9*5,182*(90,6-81,13) = 980,113 Watt
Efisiensi penukar panas:
= 0,92
Pendekatan e-NTU:
Identifikasi kapasitas aliran udara pipa dan selubung:
Aliran udara pipa:
At_pipa, m2 Vpipa, m/detik Suhu,
oC , kg/m
3
0,038 1,632 90,6 0,96124
Debit aliran udara pipa, Qpipa = At_pipa*Vpipa = 0,062 m3/detik
Laju massa aliran udara pipa, = Qpipa* = 0,060 kg/detik.
Kapasitas udara pipa, Cpipa = *Cp_udara pipa = 0,066*1010,36 = 60,23 W/oC
Kapasitas udara selubung, Csel = *Cp_udara sel = 0,07632*1009,413 = 77,04 W/oC
Cpipa = Cmin dan Cselubung = Cmaks.
Berhubung fluida panas sebagai fluida minimum maka efektivitas penukar panas dapat
dihitung dengan persamaan:
Pindah panas maksimum:
= 60,23*(97,5-75,8) = 1310,01 Watt
dimana : Selisih suhu fluida minimum yakni udara pipa.
= 828,165 Watt
Efektivitas penukar panas:
= 0,63
Rasio kapasitas udara, CR =
=
= 0,782
Page 241
225
Number transfer unit,
= 1,71
Pembuktian nilai efisiensi pada pendekatan LMTD sebesar 0,92 dengan perhitungan efisiensi
menggunakan variabel pendekatan NTU:
=
= 0,92 (sama).
Persamaan lain untuk menghitung nilai efektivitas penukar panas yang diturunkan dari kondisi
udara Cc = Cmin di klaim dapat digunakan untuk penukar panas secara umum.
CR-1NTU-exp CR-
CR-NTU-exp
1
11 atau
Menghasilkan nilai
= 0,65.
Pengecekan nilai = 0,65 menggunakan persamaan untuk menghitung efisiensi menunjukkan
nilai yang penuh yakni 100%. Interpretasi terhadap nilai ini adalah bahwa desain penukar
panas memiliki nilai efektifitas 0,65 pada kondisi aliran fluida dan penukaran panas yang
seimbang. Dengan demikian efektivitas aktual dari penukar panas adalah 0,63.
Berdasarkan perhitungan, diperoleh 2 nilai q metode LMTD yang berbeda yakni:
Perhitungan U dari awal bersifat forward menghasilkan nilai sebesar 19,91 W/m2o
C.
Perhitungan ulang nilai U dilakukan dengan metode backward untuk memastikan bahwa nilai
tersebut valid.
Berdasarkan variabel metode -NTU diperoleh nilai:
.
Hanya ada satu persamaan yang menghasilkan nilai q = 903,88 Watt dan kebanyakan
persamaan menghasilkan nilai q = 828,165 Watt.
Berdasarkan persamaan berikut diperoleh nilai U koreksi yakni sebesar:
= 18,24 W/m
2oC
Dengan demikian diperoleh nilai U dengan perhitungan forward sebesar 19,91W/m2o
C
dan nilai U berdasarkan perhitungan backward (bantuan solver) sebesar 18,24 W/m2o
C.
Kesimpulannya nilai yang dipakai adalah nilai yang terkoreksi yakni 18,24 W/m2o
C.
Penggunaan nilai U koreksi sebesar 18,24 W/m2o
C menghasilkan nilai pindah panas (q) yang
sama pada semua persamaan yakni:
Page 242
226
Nilai parameter lain yang ikut terkoreksi adalah:
= 898,013 Watt
Number Transfer Unit,
= 1,57
Perhitungan kehilangan tekanan atau pressure drop Pengujian 3:
Perhitungan kehilangan tekanan sistem meliputi unit penukar panas terdiri atas bagian pipa
dan selubung, unit siklon separator dan unit saluran hubung antara siklon separator dan
selubung penukar panas.
1. Penukar panas:
a. Bagian pipa:
Aliran udara, dimensi pipa dan nilainya: Np L, m di, m Vp, m/detik Suhu
oC , kg/m
3 Re
52 0,99 0,0305 1,632 90,6 0,96124 16114
= 0,00691
Pressure drop pada sisi pipa,
= 59,8 Pa
b. Bagian Selubung:
Aliran udara, dimensi selubung dan nilainya:
Nb Ds, m De, m Gs, kg/m2detik Ts
oC , kg/m
3 µs, Ndetik/m
2 Tw,
oC
5 0,378 0,04739 3,081 81,13 0,9848 2,1x10-5
85,9
Rangkaian perhitungan:
= 6952
= 0,3312
= 0,972
Pressure drop pada sisi selubung,
= 65,5 Pa
2. Unit siklon separator:
Penurunan tekanan oleh siklon separator untuk ketiga pengujian sama yakni 205 Pa
Page 243
227
3. Unit saluran hubung:
Perhitungan kehilangan tekanan pada unit saluran mencakup kehilangan pada
keseluruhan badan saluran (mayor) dan kehilangan karena bentuk belokan (minor).
Aliran udara, dimensi selubung dan nilainya:
D, m L, m Vu, m/detik Suhu oC , kg/m
3 µ, Ndetik/m
2
0,14 0,85 5,0 78,4 0,9915 2,09x10-5
Bilangan Reynold, Re =
= 33236,3 atau 3,3x104
Material saluran terbuat dari besi dengan nilai kekasaran = 0,00085 m (Kamaruddin dkk,
1989) sehingga diperoleh:
= 0,00607
Berdasarkan diagram Moody diperoleh nilai f = 0,034
=
= 2,5584 Pa
Data koefisien hambatan, K = 0,75 (Raswari, 2010)
= 9,30 Pa
Pressure drop pada bagian selubung:
=11,9 Pa
Total pressure drop sistem = 59,8 Pa + 65,5 Pa + 205 Pa + 11,9 Pa
= 342,2 Pa.
Page 244
228
Struktur desain yang menjadi faktor penilaian aliran silang (Cross flow):
Potongan sekat sebesar 25,4% dari total
panjang sekat 378 mm termasuk kategori
sedang (tidak lebar; Jc=0,53 dan tidak kecil;
Jc=1,15) sehingga diberi nilai Jc = 0,8.
Dilengkapi penutup aliran samping (by
pass) yang disebut seal sehingga diberi nilai
Jb = 0,95 atau lebih besar dari 0,9.
Kebocoran diantara pipa dan sekat sangat kecil atau
bahkan tidak ada kebocoran sehingga nilai Jl = 0,8
(nilai penuh dari selang 0,7-0,8).
Bilangan Reynold aliran udara dan asap selubung
sebesar 57171,4; 45263,6 dan 55483,7 atau jauh
lebih besar dari 100 sehingga diberi nilai Jr = 1.
Jarak jendela atau saluran inlet
selubung terhadap sekat adalah dekat
sehingga diberi nilai Js = 1.
Pada jendela atau saluran outlet
selubung memiliki jarak yang lebih
dekat lagi yakni nilai jarak antar sekat
(baffle spacing) sebesar 196,2 mm
sementara tinggi jendela outlet
sebesar 200 mm atau hampir
berimpitan.
Page 245
229
Lampiran 13. Perhitungan nilai organoleptik
Data pengujian 1: --
Data pengujian 2: Sampel ikan cakalang hasil pengasapan dengan kadar air 40,71%
Kriteria Panelis
( - )2
1 2 3 4 5 6
Kenampakan 9 7 9 7 7 9 (8,6-8,2)2 = 0,16
Bau 9 7 7 7 9 7 (8-8,2)2 = 0,04
Rasa 7 9 7 7 9 7 (8-8,2)2 = 0,04
Tekstur 9 7 7 9 9 7 (8-8,2)2 = 0,04
Jamur 9 9 9 9 9 9 (8,6-8,2)2
= 0,16
Lendir 9 9 9 9 9 9 (8-8,2)2 = 0,04
8,6 8 8 8 8,6 8 ( - )2 = 0,48
n 6 =
49,2 = 8,2 =>
n panelis 6 = 0,08
Nilai organoleptik dalam selang kepercayaan 95% (1,96).
Standar deviasi:
S = = 0,28
P = ( - (1,96*S/ )) ( + (1,96*S/ )) => P = 8,0 8,4 => = 8.
Data pengujian 3: Sampel ikan cakalang hasil pengasapan dengan kadar air 36,78%
Kriteria Panelis
( - )2
1 2 3 4 5 6
Kenampakan 3 3 3 7 5 7 (8-7,6)2
= 0,16
Bau 9 3 7 9 5 9 (6,3-7,6)2 = 1,69
Rasa 9 7 9 9 7 9 (7,7-7,6)2 = 0,01
Tekstur 9 7 9 7 7 7 (8,3-7,6)2 = 0,49
Jamur 9 9 9 9 9 9 (7-7,6)2
= 0,36
Lendir 9 9 9 9 9 9 (8,3-7,6) 2 = 0,49
8 6,3 7,7 8,3 7 8,3 ( - )2 = 3,20
n 6
45,6 = 7,6
n panelis
6 = 0,53
Nilai organoleptik dalam selang kepercayaan 95% (1,96).
Standar deviasi:
S = = 0,73
P = ( - (1,96*S/ )) ( + (1,96*S/ )) => P = 7,02 8,18 => = 7.
Page 246
230
Lampiran 14. Perhitungan Waktu Pengasapan
Tabel 35. Data Input dan sumbernya
Data Satuan Keterangan Sumber
30 Kg Berat total awal ikan Pengukuran
73 %bb Kadar air awal ikan Pengukuran
0 m Ketinggian di atas
permukaan tanah Pengukuran
30 oC Suhu lingkungan awal Pengukuran
90,1 %RH Kelembaban awal udara Pengukuran
90,4 oC
Suhu udara ruang
pengasapan
Pengukuran,
Nilai suhu berdasarkan rata-rata
untuk kategori pengasapan panas
antara 80 – 100oC (Ahmad, 2003;
Hall dan Köse 2014).
37,0 %H Kelembaban udara ruang
pengasapan
Pengukuran,
Nilai kelembaban bersesuaian
dengan suhu 90,4oC.
0,44 m2
Luas penampang ruang
pengasapan kondisi
kosong.
Pengukuran
0,159 m2
Luas penampang ruang
pengasapan kondisi terisi
ikan.
Pengukuran
1,94 % Kadar lemak ikan
cakalang asap.
Pengukuran,
Hasil uji laboratorium
32,2 %bk Kadar air kesetimbangan
Kadar air sorpsi isoterm ikan
cakalang asap dengan perlakuan
perendaman garam pada nilai
aktivitas air, aw = 0,843 < 0,85.
Referensi; Reo, 2010; Arason et
al., 2014
Waktu Jam Lama Pengasapan Data input dan hasil perhitungan
PERHITUNGAN UNTUK MENDUGA LAMA WAKTU PENGASAPAN
BAHAN
Berat bahan : 30 kg
Kadar air awal : 73,0% bb
Kadar air akhir : 50,7% bb
Berat padatan : 8,1 kg
Berat air awal : 21,9 kg 270,4% k.a. awal (bk)
Berat air akhir : 8,3 kg 102,8% k.a. akhir (bk)
Lama waktu ( trial ) : 28,3 jam 16,3 jam
Laju penguapan : 0,480 kg/jam 0,833 kg/jam
7,99 g/menit 13,88 g/menit
0,133 g/detik 0,231 g/detik
Page 247
231
KONDISI UDARA PENGASAPAN ( PSYCHROMETRIC )
Ketinggian (DPT) : 0 m
Suhu awal (lingkungan) : 30 oC
Kelembaban awal (RH) : 90,1%
Tekanan udara : 101,33 kPa
Humidity ratio, H1=H2 : 0,02 kgH2O/kg.uk
Specific volume, v : 0,89 m3/kg.uk
Suhu udara/asap : 90,4 oC
Kelembaban udara ruangan : 37,0%
Humidity ratio, H3 : 0,219 kgH2O/kg.uk
Debit aliran udara : 2,200 m
3/jam 3,819 m
3/jam
0,037 m3/menit 0,064 m
3/menit
0,001 m3/detik 0,001 m
3/detik
KONDISI ALAT/DESAIN
Luas penampang pengasapan : 0,44 m2 0,159 m
2
Kecepatan udara, v : 0,001 m/detik 0,01 m/detik
LAMA WAKTU PENGASAPAN BERDASARKAN PERSAMAAN NIKITIN (1965)
Referensi: Cf, kadar lemak ikan : 1,94 % (hasil uji laboratorium)
We, kadar air kesetimbangan : 32,2 %bk (Reo, 2010; Arason et al., 2014)
k = 0,0007 /jam 0,0010 /jam
t = 1697,38 menit 976,89 menit
= 28,3 jam 16,3 jam
-----------(Konvergen)------------
Tabel 36. Perhitungan waktu terhadap target kadar air
K.a., %bb K.a., %bk Jam
73,0 270,4 0
60,0 150,0 9,5
57,6 135,8 11,3
50,7 102,8 16,3
50,5 102,0 16,4
50,0 100,0 16,8
40,0 66,7 24,6
30,0 42,9 33,8
24,4 32,2 40,1
20,0 25,0 45,8
10,0 11,1 65,5
333.02.0 10RH3.1)T01.0(cfv7.2k
Page 248
232
Lampiran 15. Senyawa aromatik dalam asap
No. Kelompok senyawa utama dan fungsional
1 Hydrocarbons
2 Alcohols
3 Aldehydes
4 Ketones
5 Ethers
6 Phenols
7 Furans
8 Lactones
9
Acids
Sakakibara et al., (2014)
No. Nama senyawa dan kelompoknya
Hydrocarbons
1 Octane
2 Decane
3 a-Pinene
4 Undecane
5 Dodecane
6 Limonene
7 I-Tridecene
8 Tetradecane
9 1-Tetradecene
10 Pentadecane
11 Hexadecane
12 2,6, I 0,14-Tetramethyl pentadecane
13 Heptadecane
14 Naphthalene
15 Biphenyl
Alcohols
16 Ethanol
17 2-Butanol
18 2-Methylpropanol
19 1-Penten-3-ol
20 Pentanol
21 Cyclopentanol
22 (2Z)-Pentenol
23 Hexanol
24 1-0cten-3-ol
25 Heptanol
26 (I ,5E)-0ctadien-3-ol
27 (I ,5Z)-Octadien-3-ol
28 Octanol
29 (I ,5Z)-Undecadien-3-ol
30
(I ,5Z,8Z)-Undecatrien-3-ol
Page 249
233
Aldehydes
31 Pentanal
32 Hexanal
33 Heptanal
34 (2E)-Hexenal
35 (4Z)-Heptenal
36 Octanal
37 Nonanal
38 (2E)-0ctenal
39 (2E,4Z)-Heptadienal
40 (2E,4E)-Heptadienal
41 Benzaldehyde
42 (2E)-Nonenal
43 (2E,6Z)-Nonadienal
44 (2E,4E)-0ctadienal
45 (2Z,5E)-Octadienal
46 (2E)-U ndecenal
47 (2E,4Z)-Decadienal
48 (2E,4E)-Decadienal
49 Tridecanal
50 Pentadecanal
51 Hexadecanal
52 Heptadecanal
53 Octadecanal
Ketones
54 2-Butanone
55 2,3-Butanedione
56 2,3-Pentanedione
57 3-Penten-2-one
58 2-Heptanone
59 2-0ctanone
60 6-Methyl-5-hepten-2-one
61 3-Hydroxy-2-pentanone
62 2-Nonanone
63 (3E,52)-0ctadien-2-one
64 (3E,5E)-0ctadien-2-one
65 2-Undecanone
66 2-Tridecanone
67 Cyclopentanone
68 2-Methylcyclopentanone
69 2,5-Dimethyl-2-cyclopentenone
70 2-Cyclopentenone
71 2-Methyl-2-cyclopentenone
72 2-Cyclohexanone
73 3,5-Dimethyl-2-cyclopentenone
74 2,3-Dimethyl-2-cyclopentenone
75
2,3,4-Trimethyl-2-cyclopentenone
Page 250
234
76 Acetophenone
77 4-Methylacetophenone
78 1-Indanone
Ethers
79 I ,2-Dimethoxy-4-methylbenzene
80 I ,3-Dimethoxy-5-methylbenzene
81 I ,2-Dimethoxy-4-ethylbenzene
82 I ,2-Dimethoxy-4-propylbenzene
83 I ,2,3-Trimethoxybenzene
84 I ,2-Dimethoxy-4-allylbenzene
85 I ,2,3-Trimethoxy-5-methylbenzene
86 1.2.3-Trimethoxy-5-ethY.Ibenzene
87 I ,2,3-Trimethoxy-5-propylbenzene
88 I ,2-Dimethoxy-4-( 1-propenyl)benzene
Phenols
89 Guaiacol
90 2,6-Dimethylphenol
91 4-Methylguaiacol
92 a-Cresol
93 Phenol
94 4-Ethylguaiacol
95 2-Ethylphenol
96 2,5-Dimethylphenol
97 2,4-Dimethylphenol
98 m-Cresol
99 4-Propylguaiacol
100 2,3-Dimethylphenol
101 2,3,5-Trimethylphenol
102 Eugenol
103 3,5-Dimethylphenol
104 4-Ethylphenol
105 3,4-Dimethylphenol
106 Isoeugenol (cis)
107 2,6-Dimethoxyphenol
108 Isoeugenol (trans)
109 2,6-Dimethoxy-4-methylphenol
110 2,6-Dimethoxy-4-ethylphenol
111 2,6-Dimethoxy-4-propylphenol
Furans
112 2-Ethylfuran
113 2-Ethyl-5-vinylfuran
114 2-Pentylfuran
115 2-Methyltetrahydrofuran-3-one
116 2-[2(Z)-Pentenyl]furan
117 2-Hexyl-5-methylfuran
118
Furfural
Page 251
235
119 Methyl 2-furylketone
120 Methyl 5-methyl-2-furylketone
121 Furfuryl alcohol
122 Ethyl 5-methyl-2-furylketone
123 Dibenzofuran
Lactones
124 3-Methyl-4-octanolide
125 3-Methyl-4-octanolide
126 2,3-Dimethyl-2-nonen-4-olide
Acids
127 Tetradecanoic acid
128 Hexadecanoic acid
N-Containing compounds
129 Isovalerni trile
130 2-Methylpyrazine
131 2,5-Dimethylpyrazine
132 2,6-Dimethylpyrazine
133 2-Ethyl-6-methylpyrazine
134 2-Ethyl-5-methylpyrazine
135 2,3,5-Trimethylpyrazine
136 2-Ethyl-3,6-dimethylpyrazine
137 2-Ethyl-3,5-dimethylpyrazine
138 3-Methoxypyridine
139 Benzonitrile
140 Indole
141 Skatole
Sakakibara et al., (2014)