V. PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN SEKITAR TAHURA DJUANDA Abstrak Potensi dan keindahan alam sekitar Kawasan Tahura Djuanda selain memberikan dampak positif juga memberikan dampak negatif bagi pemanfaatan ruang di sekitar Tahura. Akibatnya perubahan l ahan yang terjadi di kawasan sekitar akan berdampak negatif baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap kerusakan lingkungan. Hal yang nyata terlihat adalah pada beberapa fungsi kawasan yang sudah tidak sesuai dengan peruntukan daya dukung akibatnya terjadi ketimpangan pemanfaatan lahan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji permasalahan perubahan lahan di sekitar kawasan konservasi Tahura Djuanda. Penelitian merupakan analisis spasial urban sprawl melalui interpretasi citra satelit Landsat TM menggunakan data tahun 1992 dan tahun 2006. Hasil analisis menunjukkan di sekitar kawasan Tahura Djuanda memiliki tingkat perubahan penggunaan lahan yang cukup tinggi sebagai akibat dari meningkatnya kegiatan pemukiman dan aktifitas ekonomi serta tingginya nilai keindahan (scenic beauty value) tahura serta terjadi perubahan luasan penggunaan lahan dari hutan menjadi ladang yang kemudian ladang menjadi permukiman pada pengamatan tahun 2002 – 2007. Munculnya konflik pemanfaatan lahan sebagai akibat dari tingginya tingkat urban sprawl dimana aktivitasnya dapat meningkatkan tekanan terhadap lingkungan sehingga kualitas ekosistem sekitar kawasan menjadi menurun akibatnya terjadi penurunan luas ruang terbuka hijau dan tutupan kawasan lainnya seperti tutupan vegetasi. Untuk mengatasi hal tersebut, maka konsistensi pemerintah dalam penerapan tata ruang wilayah sekitar tahura Djuanda sangat diperlukan sehingga tumpang tindih dan pelanggaran pemanfaatan lahan oleh para stakeholder pada setiap perubahan penggunaan lahan dapat dihindari. Key word: lahan, scenic beauty, urban sprawl, tata ruang , stakeholder. 5.1. Pendahuluan Tahura Djuanda memiliki arti penting bagi keberlangsungan hidup masyarakat sekitar baik secara ekologi, ekonomi, maupun sosial mengingat besarnya potensi yang dimiliki seperti keragaman spesies flora dan fauna, keindahan pemandangan alamnya, udara yang sejuk dan alami, adanya gua-gua peninggalan sejarah seperti gua Jepang dan gua Belanda memberikan daya tarik tersendiri bagi masyarakat sekitar maupun wisatawan untuk berkunjung dan berwisata ke tahura. Kondisi ini mampu memberikan konstribusi positif bagi pertumbuhan ekonomi masyarakat sekitar dan pemerintah daerah setempat. Sedangkan dari segi ekologi keberadaan tahura merupakan kawasan konservasi air dan pelestarian flora dan fauna.
41
Embed
Disain Kebijakan Pengendalian Ruang Di Sekitar Kawasan ... · dan lingkungan alami yang cukup asri ... menjadi kelas tertentu yang khas ... meningkatnya kebutuhan ruang perkotaan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
V. PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN SEKITAR TAHURA DJUANDA
Abstrak
Potensi dan keindahan alam sekitar Kawasan Tahura Djuanda selain memberikan dampak positif juga memberikan dampak negatif bagi pemanfaatan ruang di sekitar Tahura. Akibatnya perubahan lahan yang terjadi di kawasan sekitar akan berdampak negatif baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap kerusakan lingkungan. Hal yang nyata terlihat adalah pada beberapa fungsi kawasan yang sudah tidak sesuai dengan peruntukan daya dukung akibatnya terjadi ketimpangan pemanfaatan lahan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji permasalahan perubahan lahan di sekitar kawasan konservasi Tahura Djuanda. Penelitian merupakan analisis spasial urban sprawl melalui interpretasi citra satelit Landsat TM menggunakan data tahun 1992 dan tahun 2006. Hasil analisis menunjukkan di sekitar kawasan Tahura Djuanda memiliki tingkat perubahan penggunaan lahan yang cukup tinggi sebagai akibat dari meningkatnya kegiatan pemukiman dan aktifitas ekonomi serta tingginya nilai keindahan (scenic beauty value) tahura serta terjadi perubahan luasan penggunaan lahan dari hutan menjadi ladang yang kemudian ladang menjadi permukiman pada pengamatan tahun 2002 – 2007. Munculnya konflik pemanfaatan lahan sebagai akibat dari tingginya tingkat urban sprawl dimana aktivitasnya dapat meningkatkan tekanan terhadap lingkungan sehingga kualitas ekosistem sekitar kawasan menjadi menurun akibatnya terjadi penurunan luas ruang terbuka hijau dan tutupan kawasan lainnya seperti tutupan vegetasi. Untuk mengatasi hal tersebut, maka konsistensi pemerintah dalam penerapan tata ruang wilayah sekitar tahura Djuanda sangat diperlukan sehingga tumpang tindih dan pelanggaran pemanfaatan lahan oleh para stakeholder pada setiap perubahan penggunaan lahan dapat dihindari.
Persentase penambahan luas lahan terbangun pada tahun 2006 terhadap
total area menunjukkan bahwa penambahan luas lahan terbangun terbesar
berada di kuadran 2 sebesar 425%, kemudian diikuti oleh kuadran 4 sebesar
256% dan kuadran 4 sebesar 204%. Kondisi ini menunjukkan bahwa
penambahan luas lahan terbangun banyak terjadi di selatan Kota Bandung pada
kuadran 3 dan 4 sebesar 464,35%, dan di sebelah utara Kota Bandung
penambahan luas lahan terbangun sebesar 27 %. pada kuadran 1.
Perkembangan pada kuadran 2 menunjukkan terjadinya perubahan lahan yang
sangat besar selama 14 tahun.
Gambar 12. Peta Urban Sprawl tahun 1992
80
Gambar 13. Perkembangan Perembetan Kegiatan Perkotaan Tahun 2006
2. Indeks sprawl
Indeks sprawl merupakan perbandingan antara prosentase pertumbuhan
wilayah urban dibandingkan dengan prosentase pertumbuhan penduduk kota.
Sehingga untuk perhitungan indeks sprawl kota Bandung antara tahun 1996-
2002.
Indeks Sprawl = % pertumbuhan wilayah Urban Kota Bandung (1996-2002) % pertumbuhan penduduk Kota Bandung (1996-2002)
Indeks Sprawl = 240,04 / 26.45
= 9,1
Indeks sprawl atau perembetan ke dareah sub-urban sebesar 9,1
menunjukkan bahwa laju konversi perubahan lahan jauh melebihi pertambahan
penduduk. Indeks ini menunjukkan bahwa banyak penduduk yang bergerak
kearah pedesaan untuk membangun perumahan atau aktifitas perkotaan selama
14 tahun berlangsung.
81
Penghitungan indeks sprawl menurut Staley (1999) diatas juga
dikemukakan oleh Landis (2000) dalam Wassmer (2002) mengemukakan bahwa
nilai indeks sprawl yang lebih besar dari 1 (satu) memberikan indikasi bahwa
antara tahun 1980 dan 1990 daerah batas kota (fringe area) tumbuh lebih besar
dari pertumbuhan penduduk pada seluruh area urban pada kasus perkotaan di
Amerika Serikat. Sehingga indeks sprawl kota Bandung dengan 9,1
menunjukkan pertumbuhan penutupan lahan perkotaan yang pada kawasan
batas kota atau pedesaan jauh lebih besar dibandingkan dengan pertumbuhan
penduduk dalam rentang waktu tahun 1996 sampai dengan tahun 2002.
Sebagai perbandingan dapat dilihat beberapa indeks sprawl dari kota-
kota di bagian barat Amerika Serikat pada 1980-1990. Dimana secara nasional
rata-rata indeks kota di AS tidak lebih besar dari 1 (satu), menunjukkan
penduduk pada seluruh kawasan urban di AS tumbuh lebih lambat dari pada
pertumbuhan lahan di luar kawasan sentral perkotaan (Wassmer,2002).
Tabel 6 Perubahan Penduduk Daerah Urban, Daerah Urban Fringe Area, dan
Indeks Sprawl dari tahun 1980 - 1990 Untuk Bagian Barat Amerika Serikat
Urbanized Area Name 1990 % Change in
Urban Population 1980 to 1990
% Change in Urban Fringe Land 1980 to 1990
Measure of Sprawl Index 1980 to 1990
United States average 13.7 12.5 0.91 Arizona average 33.63 13.25 0.52 California average 47.04 103.44 2.01 Colorado average 46.40 8.58 0.04 Nevada average 19.30 36.88 2.17 Oregon average 15.31 3.14 -2.91 Washington average 22.21 61.40 3.59 Phoenix-Mesa, AZ 42.4 -15.1 -0.36 Antioch-Pittsburg, CA 77.9 520.0 6.68 Fresno, CA 36.7 -6.7 -0.18 Salinas, CA 48.0 705.0 14.70 Simi Valley, CA 60.2 1290.0 21.42 San Diego, CA 37.8 8.5 0.23 San Francisco-Oakland, CA 13.8 2.2 0.16 Salt Lake City, UT 17.1 -5.7 -0.33 Denver, CO 12.3 6.0 0.49 Las Vegas, NV & AZ 61.1 30.1 0.49 Eugene-Springfield, OR 3.7 -51.7 -14.09 Seattle, WA 25.3 43.3 1.71
82
3. Pola Penyebaran Lahan Terbangun
Pendekatan yang digunakan untuk mengidentifikasi pola penyebaran
lahan terbangun adalah menganalisa luasan penambahan lahan terbangun
dengan pola jaringan jalan yang ada. Jaringan jalan kolektor primer tersebut
menghubungkan Kota Bandung dengan wilayah sekitarnya. Kedudukan pusat
wilayah tersebut alam arahan struktur tata ruang pengembangan Metropolitan
Bandung adalah kota satelit, yaitu : Padalarang, Soreang, Banjaran, Majalaya
dan Lembang. Kota satelit ini berfungsi juga sebagai sub pusat pengembangan
yang mendukung perkembangan kota Bandung dimana banyak penduduk kota
yang melakukan perjalanan pergi pulang (commuter) setiap harinya untuk
bekerja, bersekolah dan lain sebagainya.
Cipeundeuy
Cililin
Ciwidey
Pangalengan
Banjaran
Lembang
Cicalengka
Padalarang-Ngamprah
Soreang
Jatinangor
Majalaya
JalanArteri PrimerJalanKolektor Primer
Jalan Lingkungan(Jalan Desa)
Kota Inti
Kota Satelit
Fungsi Khusus
PembatasanPerkembangan(Lembang)
Majalaya
Ket : Pembatasan perkembangan juga diarahkan pada kawasan penyangga(Margaasih-Margahayu-DayeuhKolot-Baleendah-BojongSoang)
Sumber : Dinas Tata Ruang Permukiman, Prop Jabar Th 2005 Gambar 14. Struktur Metropolitan Bandung
83
Dari identifikasi pola jaringan jalan serta pusat wilayah dan lahan
terbangun yang telah terbagi dalam kuadran diperoleh gambaran bahwa:
1. Pola penambahan lahan terbangun mengikuti jaringan jalan kolektor primer
yang menghubungkan antar sub pusat kegiatan seperti kota satelit yang
berada di sekitar Bandung.
2. Lahan terbangun dominan bergerak menuju ke arah Soreang, Majalaya, dan
Banjaran yang berada di selatan Kota Bandung. Sedangkan untuk wilayah
utara Kota Bandung, dominan berada di Kota Cimahi yang berada di akses
jaringan jalan kolektor primer Bandung – Padalarang. Perkembangan
kawasan terbangun mengikuti jalan Setiabudi yang menghubungkan antara
Bandung dan Lembang.
3. Dari hasil dan pembahasan di atas tampak bahwa fenomena urban sprawl
pada wilayah studi menunjukkan bahwa ketidakmerataan perembetan areal
kekotaan di semua bagian sisi-sisi luar dan pada daerah kota utama.
Perembetan paling cepat terlihat di sepanjang jalur transportasi yang ada,
khususnya yang bersifat menjari (radial) dari pusat kota terdapat pada
kuadran 3 dan 4 yaitu Perembetan Memanjang (Ribbon Development).
4. Perembetan kegiatan perkotaan pada kuadran 2 adalah jenis perembetan
yang tidak dipengaruhi dengan adanya jalan utama yang menghubungkan
dengan sentra kegiatan, sehingga perembetan tersebut tersebar pada
beberapa tempat dan disebut pola perembetan leapfrog sprawl.
5. Perubahan penggunaan lahan di sekitar kawasan
Untuk mengidentifikasi penetrasi lahan permukiman ke jenis tutupan lahan
lain di sekitar kawasan Tahura, misal hutan, kebun campuran, dan ladang dapat
dijelaskan dengan menggunakan beberapa parameter yaitu: (1) luas perubahan
tutupan lahan permukiman dari tahun 1992 dan 2006; dan (2) pola sebaran
perubahan tutupan lahan per kecamatan. Pertambahan kawasan terbangun di
sekitar kawasan Tahura berdasarkan data dari citra satelit tahun 1992 - 2006,
dapat ditunjukkan pada Tabel 7.
84
Tabel 7 Luas Penggunaan Lahan di Kawasan Sekitar Tahura Djuanda Tahun 1992, 1997, 2002 dan 2006
Penggunaan
Lahan
1992
1997
2002
2006
Ha
%
Ha
%
Ha
%
Ha
%
Hutan
5.331
33
5.065
32
4.825
30
4.813
30
Ladang
2.466
15
2.656
17
2.960
18
2.959
18
Permukiman
4.413
28
4.486
28
4.604
29
4.713
29
Kebun
Campuran
3.238
20
3.241
20
3.056
19
2.963
19
Tahura
555
3
555
3
555
3
555
3
Lap Golf
14
0
14
0
14
0
14
0
Jumlah
16.017
100
16.017
100
16.013
100
16.017
100
Selama periode 1992-2006 penggunaan lahan hutan mengalami
pengurangan areal yang cukup besar seluas 517,75 ha, penggunaan lahan
ladang mengalami penambahan luas 493 ha dan penggunaan lahan untuk
pemukiman naik sebesar 300 ha dan penggunaan lahan kebun campuran
mengalami penurunan sebesar 275 ha. Sehingga selama 14 tahun telah terjadi
perubahan lahan hutan menjadi penggunaan non hutan sebesar 793 ha.
85
Kecenderungan perubahan ini berawal dari kebutuhan akan ketersediaan
lahan untuk melakukan kegiatan pertanian yang terdiri dari ladang dan kebun
campuran yang sesuai dengan tekstur tanah, topografi, fisik lingkungan serta
persyaratan penggunaan lahan dan persyaratan tumbuh tanaman.
Terlihat pola yang jelas bahwa penggunaan lahan yang bertambah
dengan pesat selama jangka waktu 14 tahun adalah lahan hutan berkurang
menjadi kebun campuran dan ladang yang berkarakteristik lahan terbuka
sehingga perubahan fungsi lahan menjadi pemukiman sangat mudah. Jumlah
luasan hutan dan kebun campuran yang berkurang luasnya hampir sama dengan
pertambahan penggunaan untuk pemukiman dan ladang sebesar 793 ha.
Penggunaan lahan di daerah Kota Bandung didominasi oleh peggunaan
untuk perumahan sebesar 52.6 % memberikan gambaran bahwa kebutuhan
lahan untuk permukiman sangat tinggi. Ketersediaan lahan untuk pemukiman
yang tersedia didalam kota sudah terbatas baik secara kualitas dan kuantitas,
sehingga untuk pembangunan atau pengembangan perumahan baru alternatif
lokasi bergeser ke daerah pinggiran kota. Untuk masyarakat kelas menengah
keatas dengan daya beli yang cukup dan mempunyai preferensi lokasi yang baik,
memilih lokasi perumahan yang mempunyai nilai tinggi. Bandung utara
mempunyai banyak kelebihan seperti lokasi yang berbukit dengan keindahan
pemandangan, udara yang nyaman lebih disukai daripada lokasi di Bandung
selatan atau Bandung Timur yang daerah yang cenderung datar.
Pembangunan perumahan di kawasan sekitar Tahura banyak dibangun
oleh perorangan sehingga lokasinya terpencar-pencar (scaterred). Kondisi
sangat tidak menguntungkan bagi penataan ruang kawasan dikarenakan
pemanfaat uang yang tidak teratur akan sulit dalam penyediaan fasilitas umum,
dan pola pergerakan sangat bergantung pada kepemilikan kendaraan bermotor.
Sehingga bila tidak dikendalikan akan memberikan dampak negatif bagi kawasan
seperti dengan bertambahnya lahan terbangun akan mengurangi kemampuan
tanah untuk infiltrasi air hujan dan meningkatkan air larian (run off), yang dapat
menyebabkan berkurangnya air tanah dan banjir pada daerah dibawahnya.
Perubahan penggunaan lahan di wilayah KBU sebagai akibat adanya
pemanfaatan lahan untuk pemukiman serta kegiatan perkotaan lainnya, secara
jangka panjang dapat merubah lingkungan geografis. Hal ini, jika tidak
dikendalikan dapat merusak lingkungan dan wilayah konservasi (Kozlowski,1997)
86
Gambar 15. Penggunaan tanah di Kota Bandung tahun 2006
Menurut hasil kajian Dinas Tata Ruang dan Permukiman Propinsi Jawa
Barat tahun 2004, tingginya perubahan lahan di Bandung Utara utamanya terjadi
karena pemberian Ijin lokasi di Kawasan Bandung Utara baik di Kota Bandung
maupun di Kabupaten Bandung dapat dibagi dalam dua kelompok, sebelum
Pakto 1993 dan sesuadah Pakto 1993. Pakto 1993 ini menandai semakin
besarnya kewenangan yang diberikan kepada kabupaten maupun kota dalam
memberikan perijinan pertanahan. Akibat dari dikelurakannya Pakto 1993 ini
adalah, pemerintah propinsi kehilangan kendali dalam mengawasi penerbitan ijin
lokasi di Kawasan Bandung Utara. Pertambahan ijin lokasi meningkat tajam
setelah dikeluarkannya Pakto 1993, yaitu berkisar Tahun 1994-1995 (Dinas Tata
Ruang dan Permukiman Privinsi Jawa Barat, 2004)
Perubahan lahan hutan pada periode 1992-1997 berkurang sebesar
256,6 ha, dan pada tahun 1997-2002 berkurang sebesar 240,9 ha. Selama masa
peralihan dari pakto 1993 dan masa runtuhnya orde baru pada tahun 1998 dan
mulainya reformasi dan otonomi daerah, konversi lahan hutan yang terjadi
mencapai 500 ha. Konversi hutan menjadi penggunaan non hutan selama
periode tersebut sangat besar dibandingkan pada periode tahun 2002-2006 yaitu
pada masa reformasi konversi lahan hutan hanya berkurang 11, ha. Sedangkan
87
pada periode 1992-1997 dan 1007-2002 pertambahan penggunaan untuk
permukiman sebesar 200 ha dan pada masa awal reformasi antara tahun 2002-
2006 pertambahan permukiman sebesar 109 ha (Tabel 8). Sehingga dalam
kondisi negara yang sedang dalam peralihan ke reformasi dalam hal ini otonomi
daerah terjadi perubahan penggunaan lahan yang besar dimana setiap
pemerintah daerah otonom mengeluarkan ijin pembangunan tersendiri.
Tabel 8. Perubahan Luasan Penggunaan Lahan di Sekitar Tahura pada periode
1992 – 1997; 1997 - 2002; 2002 – 2006 dan 1992 – 2006 Tipe
Pola sebaran perubahan tutupan lahan menjadi pemukiman pada tahun
2006 di beberapa kecamatan yang berada di sekitar kawasan Tahura paling
besar terjadi perubahan pada kecamatan Lembang (72%), pada kecamamatan
Cimenyan (27%) dan kecamatan Coblong (2%) lihat Gambar 17.
.
Gambar 16. Pola Sebaran Perubahan Tutupan Lahan Pemukiman Tahun 2006
88
Kecamatan Lembang letaknya yang sangat strategis pada poros Kota
Bandung dan Kota Lembang berkembang dengan pesat dengan pola
pembangunan pita (ribbon development), pembangunan dipicu dengan adanya
akses jalan yang baik yang merupakan jalan alternatif untuk ke Jakarta.
Sedangkan kecamatan Cimenyan yang mempunyai akses dan kedekatan
dengan pusat kota Bandung serta mempunyai keindahan kawasan dan arah view
atau pemandangan yang baik ke arah Kota Bandung dan ke arah Tahura
merupakan tujuan pengembangan bagi perumahan-perumahan real estate
ataupun pribadi. Pola sebaran perubahan tutupan lahan dapat dijelaskan dengan
menggunakan peta pada Gambar 18.
Gambar 17. Peta Urban Sprawl Di Sekitar Kawasan Tahura 2006
Dampak yang diakibatkan dengan menurunnya kawasan hutan secara
sosial ekonomis, dimungkinkan untuk ada peningkatan pendapatan masyarakat
dengan beralih fungsinya hutan menjadi areal pertanian. Namun demikian secara
ekologis sangat merugikan karena akan menurunkan biodiversitas. Secara
hidrologis, berkurangnya kawasan hutan akan menurunkan kawasan resapan air
tanah. Selain itu, penurunan kawasan hutan akan berpengaruh terdapat debit
sungai di daerah aliran sungai. Hal tersebut dibuktikan oleh penelitian yang
89
dilakukan oleh Farida dan van Noordwijk (2004) yang menemukan bahwa
penurunan luas hutan akan meningkatkan debit sungai pada DAS Way Besai,
Sumberjaya, Lampung.
Aspek penduduk dengan perubahan penggunaan lahan menjadi
penelitian di Pulau Jawa (Verburg, Veldkamp & Bouma 1999). Akibat tekanan
penduduk ini diperkirakan akan mengakibatkan penuruan areal persawahan di
pantai utara. Kepadatan penduduk menjadi faktor kunci, hal ini dibuktikan pula
dalam pemodelan perubahan penggunaan lahan. Hasil pemodelan memberikan
peluang yang meningkat untuk terdapatnya kawasan terbangun bila kepadatan
penduduk meningkat.
Pola pemanfaatan ruang selalu berkitan dengan aspek-aspek sebaran
sumberdaya dan aktifitas pemanfaatannya menurut lokasi, setiap aktifitas
menyebar dengan luas yang berbeda-beda dan tingkat penyebarannya yang
berbeda-beda pula. Secara ebih tegas, penataan ruang dilakukan sebagai
upaya: (1) optimalisasi pemanfaatan seumberdaya (mobilisasi dan alokasi
pemanfaatan sumberdaya): (prinsip efisiensi dan produktivitas); (2) alat dan
wujud distribusi sumberdaya): azaz pemerataan, keberimbangan dan keadilan;
dan (3) keberlanjutan (Rustiadi et al, Nugroho dan Dahuri, 2004; Tariga, 2005).
Sistem Informasi Geografis (SIG) mempunyai kemampuan analisis
keruangan (spatial analysis) maupun waktu (temporal analysis ). Dengan
kemampuan tersebut SIG dapat dimanfaatkan dalam perencanaan apapun
karena pada dasarnya semua perencanaan akan trkait dengan dimensi ruang
dan waktu. Dengan demikian setiap perubahan, baik sumberdaya, kondisi
maupun jasa-jasa yang ada di wilayah perencaanaan akan terpadu dan
terkontrol secara baik (Rais et al, 2004).
Menurut Sugandhy (1999), permasalahan dalam pemanfaatan ruang
wilayah di Indonesia dicirikan dengan jumlah penduduk dan laju pertumbuhan
serta permasalahan kependudukan lainnya yang semakin besar karena tanah
kehutanan dan tanah pertaian dikonversi untuk pemukiman, industri dan
pemanfaatan lainnya. Oleh karena itu kcenderungan merosotnya sumberdaya
alam dan lingkungan hidup selain diakibatkan oleh menurunnya kualitas
pemanfaatan ruang, juga dipacu oleh kualitas wujud structural dan pola
pemanfaatan ruang. Wujud struktural peemanfaatan ruang merupakan unsur-
unsur pembentuk rona lingkungan alam, lingkungan social, dan lingkungan
buatan yang secara hierarki dan struktural pemanfaatan ruang tersusun antara
90
lain meliputi pusat-pusat pelayanan (kota, lingkungan, pemerintahan), prasarana,
jalan, rancangan bangun kota sepert ketinggian bangunan, jaran antar bangunan
dan sebagainya. Pola pemanfaatan ruang adalah bentuk pemanfaatan ruang
yang menggambarkan ukuran, fungsi dan karakter kegiatan atau kegiatan alam.
Pola pemanfaatan ini ditandai dengan pola lokasi, sebaran pemukiman, tempat
kerja, industri, pertanian serta pola penggunaan tanah pedesaan dan perkotaan.
Lahan dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan. Sedemikian pentingnya
nilai lahan, hingga seringkali muncul konflik di antara berbagai stakeholder yang
disebabkan oleh perbedaan kepentingan dalam pemenfaatan lahan. Potensi
penggunaan lahan sangat beragam, mulai dari pertanian, pertambngan,
kehutanan dan perlindungan alam serta industri dan perkotaan. Pengambilan
keputusan yang tepat dalam pemanfaatan lahan seringkali menjadi persoalan
penting dalam masyarakat modern (Verheye, 1997).
Perencaan penggunaan lahan ( land-use planning) merupakan proses
penilaian secara sistematis terhadap potensi lain, alternative penggunaan lahan
dan kondisi social ekonomi masyarakat dalam rangka menetapkan opsi
penggunaan lahan terbaik. Perencanaan penggunaan lahan selalu berhubungan
dengan beberapa aktifitas seperti penetapan penggunaan lahan untuk masa
yang akan datang (physical planning), peningkatan kondisi fisik (land
management) (Van Lier, 1998). Aktivitas ini menurut Jhonsons dan Cramb (1996)
membutuhkan informasi yang tepat terkait dengan aspek biofisik, ekonomi dan
social. Tanpa dukungan data yang akurat, perencanaan tidak akan berhasil
mencapai tujuan (society goals) yang diinginkan.
Dalam konteks pembangunan berkelanjutan, perencanaan penggunaan
lahan menempati posisi yang sangat sentral. Perencanaan penggunaan lahan
selalu dihadapka pada dua dimensi yang saling bertentangan, yaitu konservasi
ekologi dan pertumbuhan ekonomi. Keberlanjutan (sustainability) sebagai tujuan
utama perencanaan penggunaan lahan seringkali menjadi dilema manakala
kedua kepentingan saling bertentangan ini harus disatukan. Menanggapi hal
tersebut, Van Lier (1998) optimis akan tetap bisa dilaksanakan apabila para
pelaku ekonomi merasa diri sebagai bagian dari lingkungan kesejahteraan
ekonomi tidak akan pernah bisa dicapai tanpa langkah-langkah nyata
perlindungan terhadap lingkungan dan basis sumberdaya yang ada. Demikian
juga perlunya penanaman kesadaran bahwa keuntungan ekonomi yang
91
berkelanjutan juga diperlukan sebagai prasyarat bagi tercipatanya keseimbangan
lingkungan dan sumberdaya.
Van Lier (1998) mengusulkan konsep spasial untuk menjembatani
kesenjangan antara kepentingan konservasi dengan pertumbuhan ekonomi
dalam rangka mencapai tujuan keberlanjutan. Konsep ini didekati dari 3
subkonsep, yaitu konsep integrasi vs segregasi (integration vs segregation
concept); konsep kerangka kerja (ecological network concept). Konsep integrasi
berbasis landscape ecology. Beberapa tipe penggunaan lahan (misalnya
pertanian, infrastruktur, outdoor recreation dan lalu lintas) direncanakan dan
dikembangkan dengan tetap menjaga fungsi ekologi wilayah.
Konsep kerangka kerja didasarkan pada pemahaman tentang adanya
perbedaan antar bagian wilayah yang berdinamika tinggi (misalnya pertanian,
rekreasi, permukiman, dan transportasi) dengan bagian wilayah yang
berdinamika rendah (misalnya ekosisten alami). Konsep ini melakukan koreksi
melalui segregasi spasial terhadap lahan dengan penggunaan intensif
(intensively-used lands) yang memerlukan lay-out dan pemanfaatan yang
fleksibel pada satu sisi, dan ahan dengan penggunaan ekstensif yang
memerlukan stabilitas pada sisi lain. Konsep jaringan ekologi merupakan sebuah
konstelasi elemen-elemen landscape yang bersifat fungsional dalam konteks
disperse species di dalam unit landscape yang bersangkutan. Jaringan ekologi
membuat hubungan antar wilayah inti (core regions), wilayah pengembangan
(nature development regions), dan wilayah-wilayah penghubung (connecting
areas).
5.4 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa
selama periode 1992-2006 lahan hutan mengalami pengurangan areal yang
cukup besar seluas 517,75 ha, penggunaan lahan ladang mengalami
penambahan luas 493 ha dan penggunaan lahan untuk pemukiman naik sebesar
300 ha dan penggunaan lahan kebun campuran mengalami penurunan sebesar
275 ha. Sehingga selama 14 tahun telah terjadi perubahan lahan hutan menjadi
penggunaan non hutan sebesar 793 ha.
Perkembangan kawasan terbangun di wilayah Bandung membentuk
konfigurasi spasial yang menyebar ke segala arah walaupun struktur jaringan
jalan utamanya pada saat ini mengarah pada pola ribbon development kecuali di
92
bagian selatan yang berbentuk radial. Fenomena urban sprawl pada wilayah
studi menunjukkan bahwa ketidakmerataan perembetan areal perkotaan di
semua bagian sisi-sisi luar dan pada daerah kota utama. Perembetan paling
cepat terlihat di sepanjang jalur transportasi yang ada, khususnya yang bersifat
menjari (radial) dari pusat kota yaitu perembetan memanjang (ribbon
development).
Perkembangan perubahan penggunaan lahan dari kebun campuran dan
ladang yang berubah menjadi penggunaan lahan pemukiman menunjukkan
bahwa adanya penetrasi kegiatan perkotaan kedalam kawasan konservasi.
Penggunaan lahan pemukiman ini lokasinya tersebar (scaterred atau leap frog
development).
VI. POTENSI KEINDAHAN KAWASAN
Abstrak
Pengembangan pembangunan perumahan dan kegiatan perkotaan ke arah KBU yang terjadi saat ini lebih banyak disebabkan oleh permintaan pasar dan kualitas visual estetika lanskap. Hal ini dapat dilihat secara nyata bahwa keberadaan kawasan konservasi Tahura Ir. H. Juanda merupakan kawasan yang kaya akan pesona estetika lanskap yang dapat dilihat dari berbagai arah mata angin dan didukung dengan lokasinya yang lebih tinggi (pegunungan) dari lanskap kota Bandung. Analisa keindahan estetika kawasan yang digunakan dalam kajian ini didukung menggunakan metode Scenic Beauty Estimation (SBE) dengan maksud untuk mengetahui sejauhmana pengaruh estetika visual dari lanskap kawasan sekitar Tahura Ir. H. Juanda terhadap kegiatan pembukaan lahan sebagai areal permukiman di sekitar Tahura Ir. H. Juanda yang merupakan penetrasi kegiatan perkotaan (urban sprawl) ke dalam kawasansekitar Tahura. Metode SBE ini melibatkan 70 orang reponden yang diminta untuk menilai 120 buah foto pemandangan dari lanskap Tahura Ir. H. Juanda. Hasil analisa keindahan estetika menunjukkan bahwa lanskap kawasan disekitar Tahura Ir. H. Juanda memiliki nilai visual tinggi sebesar 38,3 % dan nilai visual sedang sebesar 48,33 %. Sedangkan 13,33 % memiliki nilai visual rendah.
Keywords: KBU, estetika lanskap, konservasi, SBE.
6.1. Pendahuluan
Lokasi Tahura Ir. H. Juanda berada tepat di bagian utara kota Bandung
dan didukung dengan kualitas visual estetika lanskapnya yang menjanjkan,
menjadi sasaran utama koridor suburbanisasi dari kota Bandung. Di sisi lain,
lokasi Tahura Ir. H. Juanda sangat srategis mengingat kawasan ini merupakan
bagian dari KBU yang diperuntukkan sebagai kawasan konservasi dan zona
lindung dari bahaya geologi.
Pembentukan dan perubahan penggunaan lahan di kawasan pinggiran
kota diakibatkan oleh adanya proses suburbanisasi dimana kecenderungannya
menunjukkan terjadinya pertumbuhan gejala urban sprawl. Suburbanisasi
kawasan-kawasan industri di pinggiran wilayah perkotaan terutama sebagai
akibat perpindahan penduduk kota yang membutuhkan tempat-tempat bermukim
untuk kegiatan industri (Rustiadi dan Panuju, 1999).
Estetika lanskap dan evaluasi pemandangan merupakan bagian yang
penting dalam memahami lanskap secara luas. Estetika secara umum
didefinisikan sebagai suatu pengetahuan tentang keindahan atau pembelajaran
keselarasan terhadap alam atau seni (Ewald, 2001). Kualitas visual estetika
94
merupakan hasil pertemuan antara fitur fisik dan lanskap dan proses psikologis
dari pengamat (Daniel, 2001).
Keindahan pemandangan (scenic beauty) merupakan hasil dari
tanggapan atau respon seseorang terhadap lanskap di sekitarnya. Scenic beauty
ini dipengaruhi oleh bentukan fisik (seperti topografi, pola vegetasi, kemiringan
lahan, penutupan bangunan, rasio area berlantai) dan karakteristik pengamat
(seperti pergerakan, latar belakang personal, lokasi dan sudut pandang).
Bentukan fisik dapat dijadikan dengan bentukan fisik lanskap tersebut (Don-
Gwong Sung, et al. 2001).
6.2. Metode Analisis
Sumberdaya estetika dalam hal ini visual lanskap di wilayah studi
mengalami penurunan kualitas sebigai akibat terjadinya gejala urban sprawl.
Diperlukan suatu pengelolaan lanskap guna mengatasi penurunan kualitas ini.
Melalui pemetaan nilai sumber daya estetika di wilayah studi berupa peta sumber
daya estetika visual dapat digunakan untuk tujuan pengelolaan lanskap yang
berorientasi pada pelestarian karakter lanskap wilayah bagi pengembangan kota
(Munandar, 1990).
Data yang dibutuhkan dalam analisis estetika yaitu data spasial (peta)
dasar topografi dan peta tema tutupan lahan yang sudah dikoreksi dan data non-
spasial berupa rekaman foto-foto. Analisis estetika menggunakan prosedur SBE
yang dikemukakan oleh Daniel dan Boster (1976). Adapun tahapan-tahapan
dalam prosedur ini adalah:
1. Penentuan titik pengamatan dan pengambilan foto
Titik pengamatan ditentukan dengan terlebih dahulu menentukan karakter
lanskap di wilayah penelitian. Karakter lanskap wilayah penelitian
diidentifikasi dengan berpedoman pada peta topografi dan diverifkasi ke
lapangan (ground truthing). Proses identifikasi karakter lanskap diikuti
dengan pengambilan foto lokasi untuk selanjutnya menjadi titik pengamatan.
2. Seleksi foto
Hasil pengambilan foto pada masing–masing lokasi selanjutnya dilakukan
penyeleksian dengan cara memilih foto dengan keterwakilan dan
keragaman yang tinggi dan kualitas gambar yang cukup baik. Jumlah foto
yang dipilih sebagai bahan penilaian dalam penelitian ini berjumlah 120
95
buah foto yang mewakili hampir menyeluruh lokasi kajian Tahura Ir. H.
Juanda.
3. Penilaian oleh responden
Penentuan responden dilakukan dengan metode purposive sampling
sejumlah 70 orang yang mempunyai latar belakang keilmuan lanskap dan
pemahaman yang memadai mengenai estetika visual lanskap. Responden
berasal dari mahasiswa tingkat akhir dan dosen dengan pendidikan S1 dan
S2 perguruan tinggi terkemuka. Sistem penilaian dilakukan dengan cara
mempresentasikan silde foto berjumlah 120 buah foto dimana setiap foto
ditampilkan selama 10 detik dan langsung dinilai oleh para responden.
Penilaian foto dilakukan dengan cara memberikan skor untuk setiap foto
dengan kisaran skor 1 sampai dengan 10, dimana skor 1 menunjukkan skor
dengan penilaian foto yang paling tidak disukai dan skor 10 merupakan
skor untuk penilaian foto yang paling disukai.
4. Perhitungan SBE
Setelah proses penilaian foto selesai, dilanjutkan dengan melakukan
perhitungan terhadap skor dengan metode SBE. Tahapan ini dimulai
dengan tabulasi data, kemudian dilanjutkan dengan perhitungan frekuensi
setiap skor (f), perhitungan frekuensi kumulatif (cf) dan probabilitas
kumulatif (cp). Selanjutnya dengan menggunakan tabel faktor “Z” untuk
menentukan nilai “Z” untuk setiap cp. Khusus untuk foto dengan “cp”
bernilai “1” atau cp = 0 (nilai “Z” tak terdefinisi) digunakan formulasi “cp=1-
1/(2n)” atau “cp=1/(2n) (Bock and Jones, 1968 dalam Daniel dan Boster,
1976). Rata-rata nilai “Z” yang diperoleh untuk setiap foto kemudian
dimasukkan ke dalam formulasi SBE :
keterangan :
SBEx = nilai penduga keindahan pemandangan lanskap ke-x
Zx = nilai rata-rata Z untuk lanskap ke-x
Zo = nilai rata-rata suatu lanskap tertentu sebagai standar
SBEx = (Zx – Zo) x 100
96
5. Penentuan kualitas visual
Penentuan kualitas estetika visual wilayah penelitian diawali dengan
membuat kelas-kelas pada nilai SBE dengan membagi rentang data
menjadi 3 kelas keindahan, yaitu tinggi, sedang dan rendah, dengan cara
menjumlahkan nilai terbesar dan terkecil lalu dibagi menjadi tiga kelas
keindahan yang sama besar proporsinya.
6. Menghitung variabel berpengaruh pada kualitas keindahan pada nilai SBE
kawasan.Variabel berpengaruh pada penilaian keindahan
Y= a+ bX1+cX2+dX3+ eX4+ fX5 +gX6 +hX7 + iX8 … Y = nilai SBE X1 = hard material (ordered/finished) X2 = hard material (unstructured) X3 = covered land (trees) X4 = covered land (bush, ground cover) X5 = abandoned land (tanah bera) X6 = paved land/ path (path, steppig stonr) X7 = water covered (water front) X8 = others (sky, void)
6.3. Hasil Analisis dan Pembahasan
Dalam perhitungan estetika visual gambar lokasi Tahura Ir. H. yaitu
dengan menghitung nilai SBE, terlebih dahulu memerlukan penentuan nilai
rataan lanskap tertentu yang dipakai sebagai standar (trigger) atau sering dikenal
dalam formulasi SBE sebagai “Zo”. Nilai Zo yang dipakai sebagai standar jika
suatu foto memiliki nilai Zo terkecil. Zo terkecil mengandung makna keragaman
dari semua unsur visual estetika dari foto tersebut. Berdasarkan hasil
perhitungan menunjukkan nilai Zo terkecil sebesar 0,07 yang berasal dari
gambar nomor 116, dengan nilai SBE (0.0). Penilaian Zo ini merupakan
perhitungan hasil skoring yang dilakukan oleh responden.
97
Gambar 18. Foto nomor 116 dengan nilai Zo terkecil, SBE (0.0)
Berdasarkan hasil perhitungan visual estetika menggunakan formula SBE
diperoleh sebaran nilai SBE untuk masing-masing foto, nilai terendah -41,71 nilai
tertinggi 128,57. Pada tampilan visual dengan SBE tertinggi memperlihatkan
kualitas sumber daya estetika yang tinggi, dimana perpaduan unsur alam dan
buatan yang harmonis (yaitu antara pepohonan, asritektur taman, rerumputan,
jalan, perumahan, kreasi batuan dan air) meskipun hampir keseluruhan struktur
merupakan gambar artifisial atau buatan manusia dan bukan tumbuh secara
alami, lokasi ini berada didalam kawasan perumahan yang berada dalam
kawasan sekitar Tahura Ir. H. . Kondisi ini sesuai dengan pendapat Yacobs
(1995) bahwa variable dan pola tata letak dan pola bangunan sangat
berpengaruh terhadap kuallitas visual lanskap perkotaan
Sedangkan tampilan pada nilai SBE terendah tampak didominasi oleh
unsur tanah yang terbuka. Adapun sebaran nilai SBE dari 120 buah foto dapat
dilihat pada Gambar 19.
98
Foto Dengan Nilai SBE Tertinggi Foto Dengan Nilai SBE Terendah
Gambar 19 Grafik sebaran nilai SBE untuk 120 buah foto
Gambar 20. Foto dengan nilai SBE tertinggi dan terendah
Grafik sebaran nilai SBE memperlihatkan sebaran nilai SBE untuk
masing-masing foto, sebanyak 11 buah foto yang memiliki nilai SBE diatas 100.
Sedangkan hanya 6 buah foto dengan nilai SBE dibawah 0.
Dengan membagi tiga sebaran data, diperoleh batas nilai SBE rendah;
SBE sedang dan SBE tinggi. Masing-masing nilai SBE dari foto-foto kemudian
dikelompokkan menjadi 3 kelas yaitu standar nilai visual tinggi jika nilai SBE >
87,11; standar nilai visual sedang jika berada diantara 29,01 dan 78,79; standar
nilai visual rendah jika nilai SBE < 29,01.
99
Gambar 21. Foto dengan nilai SBE tinggi
100
Gambar 22. Foto dengan nilai SBE sedang
101
Gambar 23. Foto dengan nilai SBE rendah
102
Berdasarkan kelas keindahan yang terbentuk, sebanyak 13.33% dari
kawasan Tahura Juanda memiliki nilai visual rendah, 48.33% dari kawasan
Tahuran Juanda memiliki nilai visual sedang dan sisanya 38.33% dari kawasan
Tahura Ir. H. Juanda memiliki nilai visual tinggi.