DINAMIKA PENGGUNAAN HADIS OLEH SAHABAT NABI Tesis Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister dalam Bidang Hadis dan Tradisi Kenabian pada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Oleh: Mujiburohman 21161200000022 Pembimbing: DR. Fuad Thohari, M.Ag PROGRAM STUDI PENGKAJIAN ISLAM SEKOLAH PASCASARJANA (SPs) UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2020
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
DINAMIKA PENGGUNAAN HADIS OLEH SAHABAT NABI
Tesis
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister dalam
Bidang Hadis dan Tradisi Kenabian pada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
Oleh:
Mujiburohman
21161200000022
Pembimbing:
DR. Fuad Thohari, M.Ag
PROGRAM STUDI PENGKAJIAN ISLAM
SEKOLAH PASCASARJANA (SPs)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2020
i
UCAPAN TERIMA KASIH
Alhamdulillah. Puji syukur kehadirat Allah Swt, berkat rahmat dan
karunia-Nya karya ilmiah ini bisa saya selesaikan dalam rangka memperoleh
gelar akademik Magister Pengkajian Islam di Sekolah Pascasarjana (SPs) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat beserta salam
semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Besar Muhammad Saw, keluarga,
Sahabat dan generasi awal yang berkontribusi besar dalam transmisi dan
kontinuitas ajaran Islam. Sehingga cahaya Islam dapat terus terpancar di penghujung zaman ini.
Sebagai anak kampung yang terlahir dari keluarga sederhana, tentu
sebuah kebanggaan ketika saya bisa belajar dengan iklim akademik yang sangat menyenangkan di Sekolah Pascasarjana (SPs) Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Selain karena fasilitasnya yang memadai, hal lain yang
paling membanggakan adalah, karena tenaga pengajar di dalamnya bercokol sejumlah tokoh, ilmuwan, dan cendekiawan Muslim jebolan universitas-
universitas tersohor di planet bumi. Terlepas dari itu, harus diakui bahwa
penyelesaian studi ini tidak terlepas dari motivasi dan bantuan beberapa pihak. Oleh karenanya, pada kesempatan ini, saya ingin mengucapkan banyak terima
kasih kepada:
1. Segenap civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Prof. Dr.
Amany Burhanuddin Lubis, MA (Rektor), Prof. Dr. Asep Saepudin Jahar,
MA (Direktur Sekolah Pascasarjana), Prof. Didin Saefudin, MA (Ketua
Program Doktor), dan Dr. Arif Jamhari, MA (Ketua Program Magister) beserta seluruh jajaran SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Fu‘ad Tohari, MA, sebagai pembimbing yang—di tengah kesibukannya
sebagai Ketua Komisi Fatwa MUI DKI Jakarta—telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, masukan dan motivasi selama
penulisan tesis ini.
3. Seluruh dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Prof. Dr. Said Agil Husein al-Munawar, MA, Prof. Dr. M. Atho Muzhar, MSPD, Prof. Dr.
Azyumardi Azra, MA, Prof. Dr. Zainun Kamaluddin Fakih, MA, Dr. Fuad
Jabali, MA, dan sejumlah dosen lainnya yang turut membentuk bangunan
keilmuan saya. 4. Para dosen di Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta, terutama beberapa dosen
penghuni Sidratul Muntaha (lantai 7); Dr. Eva Nugraha, MA, Dr. Rifqi
Muhammad Fatkhi, MA dan beberapa dosen lainnya. Dari mereka inilah saya mulai belajar tentang kemandirian berpikir dan membangun daya kritis
dalam memahami kajian keislaman.
5. Guru-guru saya; Pertama, KH. Syuhrowardi (Pimpinan Ponsep Miftahul Huda). Dari beliaulah saya pertama kali belajar kitab-kitab klasik tentang
ilmu-ilmu dasar keislaman. Harus diakui, ilmu yang beliau ajarkan sangat
bermanfaat hingga hari ini. Haturnuhun Akang, semoga sehat selalu. Kedua,
ii
KH. Omi Qozimi (Pimpinan Ponpes Darunna‘im). Dari beliau, saya bukan
hanya belajar ilmu-ilmu dasar keislaman, tetapi juga belajar tentang falsafah-falsafah hidup, kesungguhan, keyakinan dan lain sebagainya. Doa, nasihat
dan motivasi yang beliau berikan telah membangkitkan semangat agar terus
belajar dan menghabiskan bangku sekolahan. Ketiga, Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA (Pimpinan Darussunnah International Institute for
Hadith Sciences). Dari beliau, saya belajar ilmu hadis dan ilmu-ilmu
perangkatnya. Ilmu yang beliau ajarkan sedikit banyak telah merubah cara
pandang saya dalam memahami kajian keislaman. Begitu pula, kultur keilmuan dan semarak kajian di Darussunnah telah banyak menghilangkan
dahaga intelektual saya selama ini. Selain itu, masih ada beberapa guru
lainnya yang—tanpa mengurangi rasa hormat—tidak dapat saya sebutkan satu persatu.
6. Kedua orang tua saya; bapak Bahri dan ibu Uus Husniah yang terus
memotivasi agar studi ini segera selesai. Demikian juga kepada kakak dan
adik saya; Bakhtiar Rifa‘i, Agus Soleh, Hayatunnufus dan Pakhrudin. Mereka bukan hanya memberi dukungan secara moril, tetapi juga sangat
peduli terutama ketika saya tumbang/jatuh sakit pasca penyelesaian studi ini.
Secara khusus, saya juga ingin mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada istri tercinta, Merliana Saputri, yang telah banyak membantu dan
memotivasi hingga selesainya studi ini. Semoga kehidupan kami selalu
diberkahi Allah SWT. 7. Rekan-rekan di el-Bukhari Institute; Abdul Karim Munthe, Mas Choi,
Alfian Mushafi, Asep Rofiuddin dan beberapa yang lainnya. Berdiksusi
dengan mereka memberikan banyak inspirasi. Demikian juga kepada rekan-rekan SPs UIN Jakarta; Umam, Ahzen, Bindaniji, Amirul Mutaqin, Riyan,
Khalid, Anam, Mujizatullah Damopoli, Shalihatudz Dzikriyyah, dan
beberapa yang lainnya. Ngaliweut bersama mereka sungguh menyenangkan dan mengenyangkan. Selain beberapa nama di atas, saya juga wajib
mengucapkan terima kasih kepada sahabat saya, Ahmad Nurfu‘ad, yang
telah banyak membantu terutama di saat sulit selama studi ini berlangsung. Jazakumullah khayran katsira.
Akhirnya, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu penyelesaian studi ini. Tiada gading yang tak retak, begitu juga karya ini. Oleh karenanya, saran dan kritik yang konstruktif sangat penulis
harapkan. Wassalamu’alaikum. Wr.Wb.
Ciputat, 07 Agustus 2020
Penulis,
Mujiburohman
v
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
1. Konsonan
Huruf Arab Nama Huruf Latin
Alif a ا
Ba b ب
Ta t ت
Tha th ث
Jim j ج
H{a h} ح
Kha kh خ
Dal d د
Dhal dh ذ
Ra r ر
Zay z ز
Sin s س
Shin sh ش
{S}ad s ص
}Dad{ d ض
T{a t} ط
Z{a z} ظ
‘ Ayn‘ ع
Ghayn gh غ
Fa f ؼ
Qaf q ؽ
vi
Kaf k ؾ
Lam l ؿ
Mim m ـ
Nun n ف
Wawu w و
Ha h ىػ
Ya y ي
2. Vokal
Seperti halnya bahasa Indonesia, vokal dalam bahasa Arab meliputi:
vokal tunggal [monoftong] dan vokal rangkap [diftong].
a. Monoftong
Tanda Nama Huruf Latin
Fath}ah a ـــــ
Kasrah I ـــــ
D}ammah u ـــــ
b. Diftong
Tanda dan Huruf Nama Gabungan Huruf
Fath}ah dan Ya ay ـــــي
Fath}ah dan Wawu aw ــــــو
3. Maddah
Harkat dan Huruf Nama Huruf dan Tanda
ــى ـاـــــــــ Fath}ah dan Alif atau ــــــ
Ya
a>
<Kasrah dan Ya i ـــــي
و <D}ammah dan Wawu u ــــــ
4. Ta Marbut}ah
Ta Marbut}ah yang berharakat sukun (mati) dan diikuti kata lain [dalam
istilah bahasa Arabnya posisinya sebagai mud}a>f], maka transliterasinya t. Akan
vii
tetapi, apabila tidak diikuti dengan kata lain atau bukan sebagai posisi mud}a>f, maka menggunakan h. Contoh:
ـ al-Bi>’ah اال ػـػػػػػػػػػػػػػػػ
Kulli>yat al-A<da>b يـااداب
viii
DAFTAR ISI
UCAPAN TERIMA KASIH .............................................................. i
PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI................................................... iii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING......................................... vi
PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................................ v
DAFTAR ISI ...................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN ................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1
B. Permasalahan .......................................................................... 9
1. Identifikasi Masalah .......................................................... 9
2. Perumusan Masalah .......................................................... 11
3. Pembatasan Masalah ......................................................... 11
C. Tujuan Penelitian .................................................................... 11
D. Manfaat dan Signifikansi Penelitian ......................................... 12
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan .......................................... 12
F. Metode dan Pendekatan Penelitian ........................................... 16
1. Jenis Penelitian ................................................................. 16
2. Sumber Data ..................................................................... 16
3. Metode Pengumpulan Data................................................ 17
4. Metode Analisis Data ........................................................ 17
BAB VI PENUTUP ............................................................................ 113
A. Kesimpulan ............................................................................. 113
B. Saran ....................................................................................... 114
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Empat belas abad silam, ‗Ali bin Abī Ṭālib (w. 40 H) secara eksplisit
pernah mengatakan kepada sekte Khawarij bahwa: ―Alquran yang tertulis dalam
lembaran mushaf itu tidaklah berbicara dengan sendirinya, melainkan
manusialah yang berbicara dengan mengatasnamakan Alquran (wa hādha> al-Qurān innamā huwa khaṭṭun masṭūrun bayna dafatayni la yanṭiqu bi lisānin innamā yatakallamu bihi al-rijāl).‖1
Pernyataan ini sesungguhnya hendak
menegaskan satu hal penting, bahwa Alquran adalah teks mati yang tidak
berbicara dengan sendirinya. Sebagai teks mati, Alquran menerima berbagai kemungkinan penafsiran dan pemaknaan dari berbagai mazhab, aliran dan
kelompok keagamaan yang berbeda. Sehingga, pada saat yang sama, Alquran
potensial dikutip oleh siapa pun dan untuk kepentingan apa pun. Mengutip pernyataan Nur Rofi‘ah, bahwa Alquran selalu berada dalam arena perebutan
makna.2
Seperti halnya teks suci Alquran, penulis memandang bahwa hal yang sama juga erat kaitannya dengan teks hadis. Karena,—sebagaimana dikatakan
Fazlur Rahman—pasca wafatnya Nabi, para Sahabat3 yang semula
memosisikannya sebagai otoritas utama tempat mengkonfirmasi berbagai persoalan keagamaan—termasuk di antaranya menanyakan maksud dan
1 ‘Ali bin Abī Ṭālib mengucapkan pernyataan di atas pada saat menghadapi
sekte Khawarij yang menginginkan kebenaran tunggal dalam konteks penerapan hukum
Allah. Mereka mengampanyekan semboyan ―Lā ḥukma illā lillāh‖. ‗Ali kemudian
meresponsnya dengan mengatakan bahwa hukum Allah itu multi tafsir, sehingga tidak
bisa menganggap benar yang satu, namun pada saat yang sama menafikan atau
mendisfungsikan yang lain yang juga sama-sama berpijak pada pada ayat-ayat Allah.
Penjelasan lebih detail tentang dialog antara ‗Ali dan sekte Khawarij ini, dapat lihat
dalam karya Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabāri>, Tārīkh al-Rusul wa al-Mulūk (Beirut: Dār
al-Turāth, T.th), 5, 66. Lihat juga ‗Izz al-Dīn bin al-Athīr al-Shayba>ni>, al-Kāmil fi al-
Tārīkh (Beirut: Dār al-Kita>b al-‗Arabiy, 1997), 2, 680. 2 Nur Rofi‘ah, ―Hermeneutika Alquran:Melacak Akar Problem Krusial
Penafsiran‖, dalam Mimbar: Jurnal Agama dan Budaya, Vol. 24, No. 1, 2007, 18. 3 Para ulama klasik berbeda pendapat dalam mendefinisikan Sahabat. Namun,
definisi yang dinilai paling kuat dan paling umum dirujuk ialah sebagaimana
dikemukakan Ibn H}ajar al-‘Asqala>ni bahwa Sahabat adalah orang yang semasa hidupnya pernah bertemu Nabi dalam keadaan Islam dan wafat dalam keadaan Islam.
Selengkapnya, lihat ‗Abd al-Raḥmān bin Abī Bakr Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, Tadrīb al-Rāwī
kandungan hadis4— ketika itu mau tidak mau harus berpikir keras menafsirkan
sendiri ajaran-ajaran Nabi dalam ketiadaan bimbingan langsung darinya.5
Konsekuensi logisnya ialah, pemahaman dan penggunaan teks-teks agama—
terutama hadis—yang dilakukan para Sahabat adakalanya menjadi subjektif, karena yang demikian itu boleh jadi merupakan hasil kontekstualisasi dan ijtihad
kreatif mereka yang—selain tidak sepenuhnya dapat mewakili kehendak Nabi
(mura>d al-nabi)—juga sangat mungkin terjadi perbedaan antara satu Sahabat dengan yang lainnya. Berpijak pada logika tersebut, penulis ingin mengatakan
bahwa hadis Nabi yang terkodifikasi dalam sejumlah kitab primer itu tidaklah
berbicara dengan sendirinya, melainkan manusialah yang berbicara atas nama Nabi.
Potensi perbedaan pengutipan dan penggunaan hadis di kalangan para
Sahabat dapat terjadi, terutama karena berbagai peristiwa dan pengalaman yang mereka alami juga berbeda. Pada titik ini, penulis berada dalam dugaan kuat
bahwa—karena satu dan lain hal—para Sahabat sangat mungkin menyampaikan
hadis yang sama dalam konteks dan peristiwa yang beragam, yang boleh jadi berbeda dengan konteks yang melatari Nabi mengucapkannya untuk pertama
kali. Inilah alasan mendasar kenapa penulis memosisikan hadis sebagai teks mati
seperti halnya Alquran. Karena posisinya yang demikian itulah sebuah hadis bisa
dimaknai, dikutip atau digunakan secara berbeda oleh individu atau kelompok yang berbeda.
6
4 Sebagai contoh, dapat dilihat pada hadis berikut.
يا رسوؿ اهلل، وما : ل قعربي، قاؿ: يا رسوؿ اهلل، من أىل اانار؟ قاؿ: أف رجال قاؿ)عن أيب عامر .(ااشديد ع ى األىل، ااشديد ع ى ااعشرية، ااشديد ع ى ااصاحب: ااقعربي؟ قاؿ
Dari Abu> ‗A>mir, bahwa ada seorang lelaki bertanya kepada Nabi, ― Wahai
rasulullah, siapakah ahli neraka itu? Nabi menjawab: Setiap qa’bariy. Lelaki tersebut
bertanya lagi, apa itu qa’bariy? Beliau menjawab: yaitu orang yang keras kepala kepada keluarganya dan temannya.
Hadis di atas adalah contoh ketika para Sahabat mengkonfirmasi langsung
kepada Nabi tentang makna dan kandungan hadis yang tidak dapat dipahami. Menurut
al-Khat}t}a>bi>, kata ‚qa’bariy‛ adalah kosa kata asing yang biasa dipakai oleh orang Arab
pedalaman. Kata tersebut tidak diketahui oleh para Sahabat, sehingga ketika Nabi
menggunakan kata tersebut dalam hadisnya, seorang Sahabat yang mendengarnya tidak
dapat memahaminya. Selengkapnya, lihat Abu> Sulayma>n Ah}mad bin Muh}ammad bin
Ibra>hi>mal-Khat}t}a>bi>, Ghari>b al-Hadi>th (Beirut: Da>r al-Fikr, 1982), I, 66. Lihat juga Abu >
Bakr bin Abi > ‗A>s}im al-Shayba>ni>, al-Ah}a>d wa al-Matha>ni> (Riyad: Da>r al-Rayah, 1991),
Pustaka, 2003), 51. 6 Sebagai contoh ialah perbedaan pemaknaan hadis Ghadir Khum, yaitu hadis
tentang perkataan Nabi bahwa ‗Ali> bin Abi > T>}a>lib adalah mawla-nya yang disampaikan di
suatu tempat bernama Ghadir Khum. Hadis tersebut berbunyi ―Man kuntu mawlāhu fa
‘aliyyun mawlāhu‖(Siapa saja yang menjadikan aku sebagai mawla-nya, maka ‗Ali> adalah mawla-nya). Hadis ini, boleh jadi merupakan salah satu faktor yang
mengakibatkan umat Islam di dunia seolah terpecah menjadi dua kubu, Sunni dan
Syi‘ah. Secara referensial, hadis tersebut dapat ditemukan, baik dalam literatur hadis
3
Hadis atau sunnah Nabi,7 sebagaimana diketahui bersama, menempati
posisi yang sangat sentral dalam kehidupan umat Islam. Demikian kuatnya
otoritas dan sakralitas hadis dalam Islam, sehingga ia selalu saja dirujuk, dikutip,
bahkan dalam beberapa kasus dipelintir sembari dicerabut dari konteks historisnya. Hal itu kerap dilakukan, baik oleh individu ataupun kelompok
tertentu dalam Islam, baik untuk menjelaskan kandungan wahyu,8 ataupun untuk
melegitimasi berbagai kepentingan.9
Sunni maupun Syi‘ah, dan kedunya sama-sama mengakui otentisitasnya. Akan tetapi,
persoalannya bermuara pada pemaknaan redaksi ―mawla‖ yang secara substansial
memiliki implikasi yang berbeda. Bagi kalangan Sunni, kata tersebut memiliki banyak
arti, salah satunya adalah pelindung. Sementara menurut kalangan Syi‘ah, kata tersebut
bermakna khalifah. Sehingga, mereka berpendapat bahwa makna hadis tersebut sangat
jelas, menunjukkan pengangkatan ‗Ali> sebagai khalifah pengganti Nabi. Selengkapnya, lihat Izzudin Washil dan Ahmad Khoirul Fata, Hadis Ghadir Khum dalam Pandangan
Syi’ah dan Sunnah, dalam al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu Al-Quran dan Hadis, Vol. 12,
No. 1, Juni 2018, 51-74. 7 Dalam penelitian ini, penulis tidak membedakan antara term hadis dan sunnah
sebagaimana definisi mainstream umat Islam. Mengamini pendapat mayoritas ulama,
terutama ahli hadis, kedua term tersebut penulis anggap sebagai sinonim, yaitu segala hal
yang disandarkan kepada Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan dan sifat-
sifatnya. Lihat Abu> Layth Khayr Aba>d, Ittijāhāt fi Dirāsah al-Sunnah; Qadīmuhā wa
‘Aṣīruhā (Beirut: Muasasah al-Risa>lah, 2010), 12. Lihat juga Muḥammad bin
Silsilah al-Buhūth al-Islamiyah, T.th), 10. Hal itu berbeda dengan pandangan beberapa sarjana kontemporer yang
membedakan keduanya. Sebut saja misalnya Fazlur Rahman 1919-1988), yang
mendefinisikan sunnah sebagai tradisi yang hidup dan berlangsung pada generasi awal
yang ditransmisikan secara non verbal dari Nabi. Sedangkan hadis adalah transmisi
verbal atas sunnah itu sendiri. Selengkapnya, lihat Fazlur Rahman, Islam,68-70. Senada
dengan itu, M. Amin Abdullah sebagaimana dikutip Fasjud Syukroni menegaskan, telah
terjadi proses pembakuan dan pembekuan terhadap pemahaman dan pemaknaan sunnah.
Perubahan tersebut dari tradisi lisan yang hidup, longgar dan fleksibel menjadi tradisi
tertulis yang baku dan kaku pada abad ke-2 dan ke-3 H. Lihat Fasjud Syukroni, Melacak
Format Evolusi Pemahaman Kritis Sunnah-Hadis Muhammad Shahrur (Jakarta: Tesis
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017), 5. 8 Dalam tradisi penafsiran Alquran, misalnya, prosesi penafsiran yang berbasis
pada riwayat hadis dianggap paling otoritatif dan diposisikan sebagai salah satu bentuk
penafsiran terbaik yang kemudian dikenal dengan istilah tafsir bi al-ma’thūr. Model
penafsiran semacam ini banyak digunakan oleh para mufassir klasik. Lihat misalnya,
Tafsir Jāmi’al-Bayān an Ta’wīl Ayin min al-Qurān karya Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabārī,
Tafsīr al-Quran al-Azīm karya Ibn Kathīr, Tafsīr Dur al-Manthūr fī al-Tafsīr bi al-
Ma’thūr karya Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī dan lain sebagainya. 9 Nasarudin Umar menceritakan tentang suatu pemandangan menarik di sebuah
pasar tradisional di Timur Tengah. Ada penjual madu yang dagangannya laris manis
karena dipoles dengan hadis, ditambah dengan ayat yang dikutip dari surat al-Nah}l (lebah madu). Hadis tentang madu yang dikutip adalah, ―al-‘Asalu dawā’un likulli dā’in
(madu mengobati berbagai macam penyakit. Penjual madu tersebut meneriakkan hadis
tersebut di tengah keramaian pasar, sehingga dalam waktu singkat dagangannya habis.
4
Lalu pertanyaannya, kenapa individu atau berbagai kelompok tersebut hampir selalu mengutip hadis—selain Alquran? Ini tak lain karena alat legitimasi
terkuat dalam Islam—setelah Alquran—adalah hadis Nabi. Perkataan dan
perbuatan apa pun yang dibungkus dengan kutipan hadis Nabi akan dianggap otoritatif dan sakral, sehingga sangatlah wajar jika individu atau berbagai
kelompok dalam Islam kerap kali bernaung di bawah otoritas hadis. Seseorang
yang dalam sebuah perdebatan mengutip hadis Nabi, terkadang menjadikan pendapatnya seolah mutlak benar, karena di belakangnya ada Nabi yang
mendukung pendapatnya, sehingga siapa pun yang kontra dengan pendapatnya
akan dianggap telah mengingkari ajaran Nabi. Selanjutnya, orang yang
mengingkari ajaran Nabi dianggap telah melakukan dosa besar. Sampai di sini, dapat dikatakan betapa hadis Nabi seperti halnya teks kitab suci, seolah
menjadi—meminjam istilah filosof Amerika Richard Rorty—―pamungkas
diskusi (conversation stopper)‖.10
Dinamika penggunaan teks-teks agama dengan berbagai varian dan
kepentingan yang menyertainya menampilkan berbagai bentuk yang kompleks
dan beragam. Keragaman tersebut, pada saat yang sama, tidak saja merefleksikan corak dan ekspresi keberagamaan seseorang, tetapi juga
mencerminkan paradigma yang bersangkutan dalam memahami teks agama itu
sendiri. Dengan ungkapan yang lebih sederhana, pola penggunaan seseorang terhadap teks-teks agama (baik Alquran maupun hadis) dapat menjadi sebuah
indikator untuk mengetahui pola pemahamannya terhadap teks-teks agama itu
sendiri. Kendati demikian, tentu saja antara penggunaan dan pemahaman
merupakan dua hal yang berbeda.
Seperti halnya pola pemahaman terhadap dalil-dalil agama, dalam
kaitannya dengan penggunaan hadis, sekurang-kurangnya ada dua tipologi
kelompok yang berkembang; Pertama, ialah kelompok yang mengutip hadis tanpa terlebih dahulu mempertimbangkan konteks historis yang melatari
kemunculannya ke atas panggung sejarah. Beberapa pertanyaan kunci semisal,
dalam konteks apa Nabi bersabda? Kenapa ia bersabda? Kapan, di mana, dan kepada siapa ia bersabda? Apa kapasitas Nabi ketika bersabda? Dan lain
sebagainya, tidak menjadi pertimbangan bagi kelompok ini. Bagi mereka, pesan-
pesan kenabian berlaku abadi sepanjang masa tanpa terikat oleh konteks tertentu. Terlebih, bagi segelintir orang, ketika makna literal teks hadis sesuai dengan
Fenomena menarik lainnya adalah, ketika Megawati Soekarno Putri mencalonkan diri
sebagai presiden, sebuah spanduk raksasa terpampang di sebuah kampus besar. Spanduk
itu bertuliskan hadis ―Lan yufliḥa qawmun wallau amrahum imra’atan‖(Tidak akan
beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada kaum perempuan).
Selengkapnya, lihat Nasarudin Umar, ―Politisasi Ayat dan hadis‖ dalam
https://mediaindonesia.com/read/detail/157480-politisasi-ayat-dan-hadis. (Artikel ini
diakses pada 20 Januari 2020). 10
Istilah tersebut, penulis kutip dari artikel Ulil Abshar Abdalla, ―Politik
Mengutip Ayat dan Kekacauan Efistemologis‖ dalam http://islamlib.com/gagasan/islam-
liberal/politik-mengutip-ayat-dan-kekacauan-epistemologis. (Artikel ini diakses pada 20
selera dan kepentingannya, mereka akan mengutip dan merebutnya sebagai basis legitimasi.
11 Sehingga, mereka sering kali menggunakan hadis meskipun dalam
konteks yang berbeda dengan konteks yang melatari Nabi mengucapkannya
untuk pertama kali. Tipologi kelompok semacam ini biasanya disebut sebagai tekstualis.
Kedua, ialah kelompok yang mengutip hadis dengan terlebih dahulu
mempertimbangkan konteks historis kemunculannya ke atas panggung sejarah. Kelompok ini biasanya hanya mengutip hadis dalam konteks yang sama dengan
konteks yang melatari Nabi mengucapkannya untuk pertama kali. Meski mereka
hidup di abad dua puluh satu,—yang realitasnya tentu saja sangat jauh berbeda dengan realitas abad ketujuh Masehi di mana Islam muncul untuk pertama kali—
namun mereka berusaha sebisa mungkin untuk tetap setia menjaga teks hadis
beserta konteksnya agar tidak berpisah, sehingga mereka hanya akan mengutip
sebuah hadis ketika menghadapi suatu persoalan yang menurutnya sama dengan persoalan yang pernah melatari Nabi ketika mengucapkan hadis tersebut. Dalam
tradisi kesarjanaan Islam modern, kelompok dengan tipologi semacam ini
biasanya disebut sebagai kontekstualis.
Dari kedua tipologi di atas, tipologi pertama adalah yang paling dominan
dalam dinamika keberagamaan umat Islam saat ini. Dengan kata lain, bahwa
ekspresi keberagamaan umat Islam saat ini sangat didominasi oleh kecenderungan tekstualistik. Kecenderungan ini boleh jadi dapat dijumpai
hampir dalam setiap kelompok keagamaan dengan berbagai ekspresi dan
variannya yang beragam. Salah satu persoalan penting yang harus segera dikemukakan di sini ialah, bahwa kelompok tekstualis ini sering kali
mendasarkan ekspresi keberagamaannya pada model keberagamaan generasi
awal Islam, terutama generasi Sahabat. Generasi Sahabat, sebagaimana diketahui
bersama, menempati suatu posisi yang sangat penting dalam Islam. Pasalnya,—
sebagaimana dikatakan Ibn Abī Ḥātim al-Rāzi> (w 327 H),—para Sahabat tidak
saja hidup dan bergumul langsung dengan Nabi dalam berbagai dimensi kehidupan, tetapi juga menyaksikan langsung proses turunnya wahyu kepada
Nabi. Sehingga, wajar jika mereka dianggap sebagai generasi yang paling
mengerti tentang bagaimana semestinya ajaran Islam dipahami dan dipraktikkan
dalam kehidupan.12
11 Bahkan, sebagaimana dikemukakan Fazlur Rahman, orang-orang yang benar-
benar skeptis terhadap hadis pun terpaksa mencari legitimasi bagi kepentingannya
dengan cara mengutip hadis, terutama bila hadis tersebut cocok dengan pandangannya.
Selengkapnya, lihat Fazlur Rahman, Islam, 88. Terlepas dari itu, penulis tidak
bermaksud menggeneralisir bahwa tekstualisme penggunaan hadis selalu dilatari oleh
kepentingan tertentu, karena ada sebagian kalangan yang meyakini bahwa pesan-pesan
kenabian berlaku abadi. 12 Ibn Abī Ḥātim al-Rāzi>, al-Jarḥ wal-al-Ta’dīl (Beirut: Dār Iḥya al-Turāth al-
‗Arabi, 1952), 1, 7. Di antara para Sahabat yang menarik didiskusikan adalah ‗Umar bin
Khat}t}a>b, yang oleh Nabi semasa hidupnya pernah disebut sebagai seorang yang paling mungkin menjadi Nabi seandainya pintu kenabian masih dibuka. Dalam pandangan
6
Para Sahabat juga dianggap sebagai generasi yang paling mirip dengan
Nabi (ashbah al-na>s bi rasu>lilla>h shalla Allah ‘alayhi wa sallam), baik dari segi
perkataan, perbuatan, akhlak, kebiasaan, ibadah, pergaulan, dan lain sebagainya. Sehingga, wajar jika umat Islam diperintahkan untuk mengikuti mereka dalam
berbagai hal. Hal itu ditegaskan langsung oleh Nabi bahwa suatu saat nanti umat
Islam akan terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, dan yang akan
selamat hanyalah mereka yang mengikuti Nabi dan para Sahabatnya (ma> ana>‘alayhi wa as}h}a>bi>).13
Selain itu, mereka juga merupakan generasi yang paling
tahu mengenai faktor peristiwa atau latar historis yang melatari sabda Nabi. Misalnya, dalam konteks apa Nabi bersabda? Kenapa ia bersabda? Kapan, di
mana, dan kepada siapa ia bersabda? Dan lain sebagainya. Hal-hal partikular
semacam itu, hanya dapat diketahui melalui riwayat dan penuturan para sahabat
Nabi. Bahkan, Ibn H}ajar al-‗Asqala >ni> (w 852 H) pernah mengatakan bahwa
untuk dapat mengamalkan ajaran Islam dengan baik meniscayakan pengetahuan
yang luas, tidak saja mengenai kehidupan Nabi, tetapi juga mengenai kehidupan generasi Sahabat.
14
Sampai di sini, dapat dipahami betapa pentingnya pengetahuan tentang
kehidupan generasi Islam awal, sehingga mendorong umat Islam yang hidup pada generasi berikutnya untuk mengikuti dan meniru model keberagamaan
mereka. Salah satu fenomena yang menarik ialah, belakangan ini banyak
dijumpai seruan dan gerakan yang mengajak umat Islam agar kembali kepada model keberagamaan generasi terbaik itu. Sebagian kelompok Muslim
konservatif, berupaya mengembangkan suatu gagasan tentang pentingnya
membangkitkan kembali spirit salaf al-s}a>lih} (kaum shalih terdahulu), suatu istilah yang biasanya disematkan pada tiga generasi terbaik itu. Perhatian kepada
generasi salaf tersebut sedemikian tinggi, hingga mereka menyebut diri sebagai
‗Umar, kebesaran Nabi bukan hanya semata-mata karena kepribadiannya, tetapi lebih-
lebih karena kenyataan bahwa Nabi Muhammad telah ditunjuk oleh Allah untuk
menerima wahyu-Nya. Karena caranya memandang Nabi seperti itulah, sejarah mencatat
bahwa ‗Umar adalah sahabat Nabi yang sekalipun sangat hormat kepadanya, namun
tidak segan-segan mengajukan keberatan kepada gagasan atau tindakan Nabi jika dirasa
olehnya bahwa Nabi berpikir atau bertindak atas kemauannya sendiri, bukan atas
petunjuk langsung dari Tuhan. Dalam ilmu tafsir diketahui tentang adanya beberapa ayat
yang turun tidak untuk mendukung gagasan tertentu Nabi, melainkan gagasan ‗Umar.
‗Umar, dalam pandangan Nurcholis Madjid, adalah Sahabat yang paling kreatif.
Kreativitas itu memberi kesan kuat bahwa ‗Umar, sekalipun beriman teguh, namun tidak
dogmatis. Umar adalah seorang beriman yang intelektual, yang dengan intelektualitasnya itu berani mengemukakan ide-ide dan melaksanakan tindakan inovatif yang sebelumnya
tidak dicontohkan oleh Nabi. Pendek kata, ‗Umar adalah Sahabat yang paling mengerti
keinginan Nabi. Selengkapnya, lihat Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam
(Jakarta: PT Bulan Bintang, 2007), 3. 13
Sa‘ad bin Sayid Qut}b al-Sha>l, Ada>b al-Ikhtila>f bayn al-S}ah}a>bah wa
Atha>ruhu> ‘ala al-wa>qi’ al-Isla>miy, 176. Hadis di atas dapat dilihat dalam Abu> ‘Isa> al-
Pernyataan tersebut sebagaimana dikutip Fuad Jabali, Sahabat Nabi, 97.
7
salafiyyu>n (pengikut kaum salaf) dan gerakan mereka sebagai salafiyyah.15
Bahkan, gerakan ini telah menjelma menjadi kekuatan reformasi paling
berpengaruh di era modern. Mereka memang berbeda pendapat tentang batasan
periode yang dapat digolongkan sebagai salaf al-s}a>lih} tersebut. Namun
demikian, mereka bersepakat tentang pentingnya meniru generasi pertama Islam
sebagai sebuah standar kehidupan yang diidamkan.16
Tak hanya itu, di kalangan para pembaru Muslim modern pun, semangat
untuk menghidupkan kembali api Islam kaum salaf itu tampak cukup kuat.
Beberapa konsep kunci dalam diskursus pemikiran Islam modern seperti tajdi>d
(pembaruan) ih}ya> (revival) dan isla>h} (reformasi) kerap kali digaungkan dengan
upaya merekonstruksi dan menghidupkan kembali spirit Islamnya kaum salaf al-
s}a>lih}. Fenomena ini memperlihatkan betapa pentingnya pembahasan tentang
Islam awal dalam diskursus keberagamaan umat Islam kontemporer. Lalu,
bagaimana sebetulnya bentuk dan watak Islam awal itu? Bagaimana corak dan ekspresi mereka dalam beragama? Apakah cenderung monolitik dan kaku,
ataukah sangat fleksibel dan dinamis? Selanjutnya, bagaimana pola interaksi
mereka dengan hadis atau sunnah Nabi, terutama kaitannya dengan pola
penggunaan hadis? Hal inilah yang menarik untuk dikaji.
Sebagaimana telah disinggung pada awal pembahasan di atas, penulis
berasumsi bahwa karena satu dan lain hal, para Sahabat sangat mungkin
mengutip atau menyampaikan hadis yang sama dalam konteks dan peristiwa yang beragam, yang boleh jadi berbeda dengan konteks yang melatari Nabi
mengucapkannya untuk pertama kali. Dengan kata lain, penulis berasumsi
bahwa penggunaan hadis yang dilakukan para Sahabat sangatlah dinamis. Namun, jauh sebelum penulis mengasumsikan hal itu, sarjana Muslim progresif
seperti Fazlur Rahman juga pernah mengatakan hal yang hampir sama. Rahman
mengakui eksistensi hadis sebagai sesuatu yang berasal dari Nabi, namun baginya tidak berarti hadis memiliki kandungan otentik yang sama persis
sebagaimana yang dikatakan oleh Nabi. Dalam pandangan Rahman, hadis bisa
15 Penyebutan salaf al-s}a>lih} diinspirasi oleh sebuah hadis yang menyebutkan,
―Sebaik-baiknya umatku adalah yang hidup semasa dengan abadku, lalu abad setelahku dan abad setelahnya‖. Legitimasi dalam teks ini membuat semua kelompok dalam Islam
mengklaim sebagai pengikut salaf al-s}a>lih}, terutama kaum salafi. Semangat untuk
mengikuti generasi emas itulah yang secara otomatis melahirkan sikap-sikap religius
yang khas. Semua aspek keagamaan yang dimulai dari teologi, fiqih, kaidah berpikir,
berpakaian, dan atribut-atribut keseharian lainnya diharuskan mengikuti apa yang
dinamakan manhaj salaf. Tidak jarang pembacaan teks yang dilakukan akhirnya
mengabaikan konteks yang melatarbelakangi kemunculan teks tersebut. Lihat Arrazy
Hasyim, Teologi Muslim Puritan; Genealogi dan Ajaran Salafi (Ciputat: Maktabah Darussunnah, 2018). 28.
16 Mun‘im Sirry, Kontroversi Islam Awal: Antara Mazhab Tradisionalis dan
Revisionis (Bandung: Mizan, 2015), 1. Lihat juga Mun‘im Sirry, Kemunculan Islam
dalam Kesarjanaan Revisionis (Yogyakarta: Suka Press, 2017), 1.
8
saja lahir dari penafsiran dan ―penyesuaian‖ para Sahabat atau generasi sesudahnya dengan situasi dan kondisi yang mengitarinya.
17
Dalam kesempatan yang lain, Rahman berpendapat bahwa sikap dan kebijakan-kebijakan Nabi yang juga merupakan sunnahnya tidaklah dipandang
secara kaku oleh generasi Muslim awal. Mereka ini, menurut Rahman,
menafsirkan sunnah Nabi secara kreatif menjadi sunnah yang hidup untuk
menghadapi faktor-faktor dan benturan-benturan baru. Penafsiran terhadap sunnah Nabi ini dicontohkan oleh Rahman semisal kebijakan ‗Umar bin
Khat}t}a>b18
dan aktivitas-aktivitas pemikiran para yuridis awal. Contoh semacam
ini, dalam pandangan Rahman, membuktikan bahwa sunnah yang hidup atau sunnah kaum Muslim awal bermula dari sunnah ideal Nabi yang secara progresif
telah ditafsirkan melalui proses ijtihad dan qiyas.19
Pada titik ini, Rahman mengkonfirmasi temuan-temuan kesarjanaan
Barat bahwa kandungan aktual sunnah kaum Muslim awal sebagian besarnya
adalah produk ijtihad personal yang telah mengkristal. Joseph Schacht,20
17 Fazlur Rahman, Islamic Metodology in History (Islamabad: Research
Institute, 1964), 85-147. 18
Sebagai contoh, ‗Umar menolak membagi-bagikan tanah kepada tentara-
tentara Muslim sebagai harta rampasan perang setelah penaklukan Irak. Kebijakan ini
tentu saja bertentangan dengan praktik yang pernah dicontohkan Nabi. Tetapi Umar
memahami bahwa praktik Nabi tersebut tidak lagi bisa dijalankan dalam penaklukan
wilayah suatu negeri. Contoh lainnya ialah, ‗Umar juga membuat kebijakan yang
berbeda dengan apa yang telah ditetapkan Nabi. Umar tidak memberikan bagian harta
kepada muallaf seperti yang dilakukan Nabi. Selengkapnya, lihat Fazlur Rahman, Islam,
74. Bandingkan dengan Atiyatul Ulya, Hadis dalam Perspektif Sahabat: Kajian
Ketaatan Sahabat dalam Konteks Pemahaman Hadis (Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008). 228-230.
19 Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas; Studi atas Pemikiran
Hukum Fazlur Rahman (Bandung: Mizan, 1992), 168. 20 Joseph Schach tadalah Orientalis kelahiran Silisie Jerman pada tahun 1902.
Meraih gelar doktor dari Universitas Barslauw ketika baru berusia 21 tahun. Dan ketika
berusia 27 tahun, ia dikukuhkan sebagai guru besar di Universitas Fribourg. Ia adalah
salah seorang Orientalis terkemuka yang pemikirannya sangat berpengaruh terhadap
bangunan pemikiran para Orientalis setelahnya. Maha karyanya berjudul The Origins of
Muhammadan Jurisprudence mendapat sambutan meriah di kalangan para Orientalis,
bahkan menjadi kitab suci kedua di kalangan mereka setelah sebelumnya buku Ignaz Goldziher berjudul Muhammedanische Studien. Selengkapnya, lihat Ali Musthafa
Yaqub, ―kata pengantar‖, dalam Muh}ammad Mus}t}afa>‘Az}ami, Menguji Keaslian Hadis-
Hadis Hukum: Sanggahan atas The Origins of Muhammadan Jurisprudence, terj. Ashrofi
Shodri, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2013), Bahkan menurut Wael B. Halaq, sebagaimana
dikutip Abdul Hakim Wahid, sejak Schacht mempublikasikan karyanya tersebut pada
tahun 1950, perdebatan akademik dalam bidang hadis semakin berkembang, dan secara
garis besar terbagi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama, berusaha menegaskan
kembali kesimpulan Schacht. Kelompok kedua, berusaha menolak kesimpulannya, dan
kelompok ketiga, berusaha mencari jalan tengah. John Wansbrough dan Michael Cook
adalah bagian dari kelompok pertama. Nabia Abbott, Muh}ammad Mus}t}afa>‘Az}ami, Fuat
9
misalnya, dengan tegas mengatakan bahwa hadis merupakan dampak logis perkembangan sosio-historis generasi pasca Nabi. Hadis atau sunnah merupakan
tradisi yang hidup yang berasal dari mazhab Irak pada sekitar abad kedua hijriah.
Hanya saja, para ulama abad kedua memproyeksikan teori dan keputusan-keputusan mereka ke belakang sampai kepada Nabi untuk melegitimasi dan
memperkuat otoritas keputusan-keputusan tersebut. Inilah yang kemudian
disebut dengan teori projecting back.21
Adapun yang membedakan pandangan Rahman dengan Schacht adalah, Rahman memberi substansi baru pada hasil
temuan sarjana Barat ini yang juga dengan jelas membedakan teori yang
diajukannya dengan teori-teori Barat dengan menegaskan bahwa sunnah kaum
Muslim itu berkaitan secara organis dengan preseden otoritatif dari Nabi, karena ia merupakan penafsiran terhadapnya.
22
Sampai batas tertentu, penulis mengamini pandangan Rahman di atas,
bahwa sunnah Nabi bisa saja lahir dari penafsiran dan ―penyesuaian‖ para Sahabat atau generasi sesudahnya dengan situasi dan kondisi yang mengitarinya.
Penulis menilai, pandangan tersebut sangat logis. Dalam hal ini, Rahman seolah
ingin menegaskan satu hal penting, bahwa para Sahabat sangat fleksibel dalam memahami dan mengamalkan sunnah Nabi. Berpijak pada pandangan tersebut,
penulis juga berasumsi bahwa fleksibelitas tersebut tidak hanya berkenaan
dengan pemahaman dan pengamalan hadis, tetapi juga dalam konteks pengutipan dan penggunaannya. Lalu, bagaimana dengan pola dan dinamikanya? Adakah
implikasinya terhadap pemahaman hadis? Itulah jantung pertanyaan yang
menjadi objek utama dalam penelitian ini. Sederhananya, penelitian ini secara
khusus hendak mengkaji dan mengelaborasi dinamika penggunaan hadis oleh Sahabat Nabi.
B. Permasalahan Sebagaimana yang telah penulis paparkan pada latar belakang di atas,
bahwa penelitian ini hendak mengkaji dinamika penggunaan hadis oleh Sahabat
Nabi, di mana persoalan-persoalan yang terkait dengannya cukup kompleks dan bervariatif. Oleh karena itu, agar penelitian ini lebih fokus dan terarah, penulis
perlu mengajukan beberapa pertanyaan penelitian yang akan dibagi menjadi tiga
kategori, yaitu identifikasi masalah, perumusan masalah dan pembatasan
masalah.
1. Identifikasi Masalah
Sezgin, Gregor Schoeler dan Johann Fuck adalah kelompok kedua. Sedangkan Haral
Motzki, D. Santilana, Juynboll, Fazlur Rahman dan James Robson adalah kelompok
ketiga. Selengkapnya, lihat Abdul Hakim Wahid, Autentisitas Hadis Nabi; Studi Riwayat
Na>fi> Mawla> Ibn ‘Umar dalam Kitab al-S}ah}i>h}ayn (Cirebon: Nusa Literasi Inspirasi,
2017), 6. 21
Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxpord:
Clarendon University Press, 1950), 76. 22
Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas; Studi atas Pemikiran
Hukum Fazlur Rahman (Bandung: Mizan, 1992), 168.
10
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, ada beberapa permasalahan penting yang layak dikaji, yaitu sebagai
berikut:
a. Model keberagamaan Islam awal, terutama generasi Sahabat,
dianggap sebagai yang paling ideal dan menjadi rujukan bagi
generasi Muslim setelahnya. Pasalnya, ucapan dan tindakan para
Sahabat pada umumnya dianggap mengandung nilai-nilai profetik. Lalu, bagaimana sebetulnya pola interaksi Sahabat dengan hadis
terutama pasca wafatnya Nabi?
b. Dalam berbagai literatur keislaman, para Sahabat dinarasikan sebagai generasi yang sangat taat kepada Nabi, bahkan dalam
banyak hal, mereka selalu berusaha ingin meniru Nabi dari berbagai
aspeknya. Lalu, apakah ketaatan itu tetap mereka jaga dalam
kaitannya dengan konsistensi penggunaan hadis, terutama pada saat menghadapi realitas dan benturan-benturan baru yang terjadi pada
masanya?
c. Jika perbedaan penggunaan hadis antara Nabi dan para Sahabat itu memang ada, lalu bagaimana dinamika, bentuk dan pola
penggunaanya? Apakah pola pengutipan dan penggunaannya
menyalahi pesan-pesan kenabian yang terkandung dalam batang tubuh teks hadis?
d. Sebagai saksi sejarah kenabian, para Sahabat adalah generasi yang
menyaksikan langsung proses turunnya wahyu kepada Nabi,
sehingga mereka menjadi rujukan bagi umat Islam pada generasi setelahnya. Bahkan, untuk dapat mengamalkan ajaran Islam dengan
baik, diharuskan memiliki pengetahuan yang luas, tidak hanya
tentang kehidupan Nabi, tetapi juga tentang kehidupan para Sahabat. Yang menjadi persoalan kemudian ialah, jika perbedaan konteks
pengucapan dan penggunaan hadis antara Nabi dan para Sahabat itu
memang ada, apakah hal itu potensial membentuk pola keberagamaan umat Islam yang distingtif ?
e. Selain merujuk pada Alquran dan hadis-hadis Nabi, para ulama juga
menjadikan pandangan keagamaan para Sahabat sebagai salah satu
rujukan dalam hal berijtihad dan proses legislasi hukum. Jika perbedaan konteks pengucapan dan penggunaan hadis antara Nabi
dan para Sahabatnya itu memang ada, lalu bagaimana para ulama
menyikapi hal itu? Apakah hal itu akan memberi pengaruh terhadap produk ijtihad yang dihasilkan ?
f. Jika perbedaan konteks pengucapan dan penggunaan hadis antara
Nabi dan para Sahabatnya itu memang ada, maka hemat penulis,
yang demikian itu boleh jadi merupakan upaya Sahabat dalam mengkontekstualisasi hadis. Hal ini tentu menarik untuk dikaji lebih
jauh, terutama tentang bagaimana model atau pola kontekstualisasi
ala Sahabat.
11
g. Jika perbedaan konteks pengucapan dan penggunaan hadis antara Nabi dan para Sahabatnya itu memang ada, lalu bagaimana cara
mereka menarik pesan dari teks hadis? Apakah mereka berpijak
pada keumuman lafal, ataukah pada sebab khusus yang melatari kemunculan teks itu?
h. Jika para Sahabat dianggap sebagai generasi yang paling tahu
tentang Islam setelah Nabi—karena menyaksikan langsung proses turunnya wahyu kepada Nabi, sehingga dianggap sebagai generasi
yang paling mengerti tentang bagaimana semestinya ajaran Islam
dipahami dan dipraktikkan,—maka pertanyaan yang muncul
kemudian ialah, apakah konteks peristiwa yang melatari penggunaan hadis oleh para Sahabat ini dapat menjadi sebuah instrumen atau
perangkat metodologis dalam memahami dan menjelaskan hadis-
hadis yang tidak diketahui konteks awal kemunculannya pada masa Nabi?
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan beberapa objek permasalahan yang telah teridentifikasi di
atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini dapat dirangkum dalam sebuah
pertanyaan mayor, yaitu: Bagaimana dinamika penggunaan hadis oleh sahabat Nabi?
Rumusan masalah tersebut dapat dijabarkan melalui dua pertanyaan
minor, yaitu; Pertama, apakah konteks historis yang melatari penggunaan hadis oleh Sahabat Nabi selalu sama dengan konteks historis yang melatari Nabi
mengucapkannya untuk pertama kali? Kedua, jika ternyata ditemukan bahwa
konteks historis penggunaan hadis oleh Sahabat adakalanya berbeda dengan
konteks awal diucapkannya oleh Nabi, lalu adakah implikasinya terhadap pemahaman hadis?
3. Pembatasan Masalah
Mengingat betapa banyaknya jumlah Sahabat yang meriwayatkan hadis,
dan begitu pula betapa banyaknya hadis-hadis yang terekam dalam sejumlah
kitab induk hadis, maka agar penelitian ini lebih fokus dan terarah, penulis perlu memfokuskan atau membatasi objek yang akan dikaji. Pertama, objek penelitian
ini ialah kitab S}ah}i>h al-Bukha>ri dengan membatasinya pada beberapa hadis.
Kedua, hadis-hadis yang menjadi objek kajian pada penelitian ini akan
difokuskan pada hadis-hadis yang diketahui sabab al-wuru>d dan sabab al-i>ra>d-
nya sekaligus.23
Hal ini untuk melihat, adakah kemungkinan persamaan dan
perbedaan perihal konteks yang melatari pengucapan dan penggunaan hadis
23
Yang dimaksud sabab al-wuru>d ialah sebab, faktor, latar belakang dan
berbagai hal lainnya yang memotivasi Nabi untuk bersabda, sedangkan sabab al-i>ra>d ialah sebab, faktor, latar belakang, dan berbagai hal lainnya yang memotivasi para
Sahabat untuk mengutip, menggunakan, atau meriwayatkan sebuah hadis. Penjelasan
lebih detail tentang dua istilah ini akan menjadi sub bab tersendiri pada bab kedua.
12
antara Nabi dan para Sahabat, sehingga dapat diketahui ragam, dinamika dan tipologi penggunaannya di kalangan para Sahabat. Ketiga, penting dikemukakan
bahwa objek kajian ini fokus pada pembahasan perihal konteks historis yang
melatari penggunaan hadis oleh Sahabat Nabi, bukan membahas perbedaan pengamalan dan pengejawantahan hadis sebagaimana dapat dilihat pada
beberapa kebijakan Umar yang berbeda dengan apa yang pernah dicontohkan
oleh Nabi.
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah diformulasikan pada sub
bab sebelumnya, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan menjelaskan dinamika penggunaan hadis oleh generasi Sahabat. Adapun tujuan spesifik dari
penelitian ini adalah:
1. Mengeksplorasi, apakah konteks historis yang melatari penggunaan
hadis oleh Sahabat Nabi selalu sama dengan konteks historis yang
melatari Nabi mengucapkannya untuk pertama kali?
2. Mengeksplorasi, bahwa jika ternyata ditemukan bahwa konteks historis yang melatari penggunaan hadis oleh para Sahabat adakalanya berbeda
dengan konteks historis yang melatari Nabi mengucapkannya untuk
pertama kali, lalu adakah implikasinya terhadap pemahaman hadis?
D. Signifikansi dan Manfaat Penelitian
Singnifikansi dan manfaat penelitian meliputi aspek teoritis dan praktis. Secara teoritis, temuan dari penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi dalam
memperkaya khazanah intelektual Islam, terutama disiplin ilmu hadis, atau lebih
spesifiknya lagi berkenaan dengan teori asbāb wurūd al-hadīth yang dalam beberapa dasawarsa terakhir telah banyak mengalami perkembangan signifikan
di tangan para sarjana Muslim kontemporer. Perlu penulis kemukakan di sini,
bahwa penelitian ini berpijak pada teori asbāb al-wurūd (konteks yang melatari
kemunculan hadis) dan teori turunannya, yaitu asbab al-i>ra>d (konteks yang melatari Sahabat menggunakan atau menyampaikan hadis).
Sedangkan secara praktis, hasil dari penelitian ini bisa dimanfaatkan baik oleh para sarjana hadis atau oleh para sarjana Muslim pada umumnya
sebagai instrumen untuk melihat bagaimana cara Sahabat berinteraksi dengan
sunnah Nabi, di mana mereka adakalanya melakukan penyesuaian, sehingga tidak selalu tampil dalam bentuknya yang monolitik.
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan
Dalam rangka memastikan kebaruan dan orisinalitas penelitian ini dalam
dunia akademik, penulis perlu melakukan survey terlebih dahulu. Hal itu, untuk
mengetahui adakah cendekiawan atau sarjana Muslim sebelumnya yang pernah mengkaji tema terkait pola dan dinamika penggunaan hadis oleh Sahabat Nabi
secara ilmiah dan komprehensif. Jika pernah ada, lalu adakah titik persamaan
dan perbedaannya dengan apa yang akan penulis lakukan. Hal ini mutlak
13
dilakukan sebagai bukti bahwa tema atau masalah yang menjadi objek penelitian ini memiliki nilai signifikansi dan relevansinya dalam konteks dunia akademik
global.
Berdasarkan pengamatan yang telah penulis lakukan, tulisan atau karya
akademik-ilmiah yang membahas tentang Sahabat Nabi dari berbagai aspeknya
telah banyak dilakukan oleh para sarjana Muslim, bahkan dapat dikatakan sangat
melimpah, baik di dalam maupun di luar negeri, baik itu dalam bentuk artikel jurnal, tesis, disertasi dan lain sebagainya. Namun demikian, setelah penulis
melakukan penelitian kepustakaan secara intensif, tidak ditemukan sebuah karya
akademik-ilmiah yang secara spesifik berupaya mengelaborasi dan mengkaji pola dan dinamika penggunaan hadis di kalangan para Sahabat. Hal ini, tentu
menjadi ruang kosong tersendiri yang patut diisi. Sejauh yang bisa dilacak,
beberapa karya ilmiah yang sudah ada hanya membahas aspek lain dari sejumlah
persoalan yang berkenaan dengan Sahabat Nabi. Beberapa karya tersebut antara lain ialah sebagai berikut.
Ḥamzah Muḥammad Wasīm al-Bakri, menulis sebuah buku berjudul
Ta’adud al-Hādithah fi Riwāyah al-Ḥadīth al-Nabawi>; Dirāsah Ta’ṣīliyyah Naqdiyah. Buku yang semula merupakan disertasi di Universitas Yordania (2013) ini cukup baik dalam mengurai ragam peristiwa yang melatari ujaran
Nabi. Dalam karyanya tersebut, ia berhasil mengelaborasi dengan sangat baik
hadis-hadis yang disampaikan berulang kali oleh Nabi dalam konteks dan
peristiwa yang berbeda. Tak hanya itu, ia juga berhasil mengurai beberapa implikasinya, baik terhadap pemahaman hadis, nasakh mansūkh, ilmu ‗ilāl al-
hadīth, ilmu mukhtalaf al-hadīth dan lain sebagainya.24
Namun demikian, setelah ditelaah lebih jauh sembari dicari kekurangannya, karya ini sama sekali tidak menyinggung tentang perbedaan
konteks pengucapan dan penggunaan hadis antara Nabi dan para Sahabat
sebagaimana yang akan penulis kaji. Hal ini tentu menjadi kekurangan tersendiri yang harus segera direspons. Meski demikian, karya Ḥamzah Muḥammad
Wasīm al-Bakri> ini layak mendapat apresiasi di tengah keterbatasan karya
akademik-ilmiah yang secara khusus mengelaborasi perihal ragam peristiwa yang melatari ujaran Nabi.
Jalaluddin Rakhmat menulis sebuah disertasi di UIN Alauddin Makasar
(2015) berjudul ―Asal-Usul Sunnah Sahabat: Studi Histogriorafis atas Tarikh Tashri’‖. Melalui disertasi yang konon telah menuai badai kontroversi di tengah
masyarakat ini, ada tiga persoalan pokok yang ia bahas. Pertama, betulkah ada
sunnah Sahabat yang berdampingan, menambah, dan bahkan bertentangan dengan sunnah Nabi? Kedua, apa latar belakang teologis yang melahirkan
sunnah Sahabat? Ketiga, apa latar belakang ideologis yang ada di balik
24
Ḥamzah Muḥammad Wasīm al-Bakri, Ta’addud al-Hādithah fi Riwāyah al-
Hadīth al-Nabawi; Dirāsah Ta’ṣīliyyah Naqdiyah (Qatar: Wizārah al-Auqāf wa al-
Syu‘ūn al-Islāmiyah, 2013).
14
perbedaan ideologis antara kelompok sunnah Nabi dengan kelompok sunnah Sahabat?
Di antara kesimpulan dan temuannya ialah, ada sunnah Sahabat yang merupakan bentuk pelaksanaan dari sunnah Nabi, seperti kodifikasi Alquran;
Ada juga sunnah Sahabat yang menggantikan sunnah Nabi, seperti pelaksanaan
salat sunnat tarawih berjamaah; bahkan ada sunnah Sahabat yang bertentangan
dengan sunnah Nabi, seperti haji tamattu. Sunnah Sahabat, sebagaimana hasil temuannya, berasal dari kelompok Sahabat Nabi yang berpendapat bahwa Nabi
tidak maksum mutlak, bahwa Nabi boleh berijtihad—bisa benar dan bisa salah,
bahwa Nabi menyerahkan bimbingan umat Islam sepeninggalnya pada semua Sahabat.
25
Jika melihat pada hasil kesimpulannya, dapat segera dipahami bahwa
penelitian ini antara lain hanya fokus pada praktik, keputusan, atau—dalam istilah Jalaluddin Rahmat—sunnah Sahabat yang terkadang bisa selaras, atau
berbeda dengan sunnah Nabi. Dalam hal ini, ia sama sekali belum menyinggung
bahwa ketika sunnah tersebut diverbalisasikan, maka hal itu potensial terjadi perbedaan antara konteks yang melatari Sahabat mengutip dan menggunakannya
untuk merespons peristiwa tertentu dengan konteks yang melatari Nabi
mengucapkannya untuk pertama kali.
Atiyatul Ulya menulis sebuah disertasi di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta (2008) berjudul ―Hadis dalam Perspektif Sahabat: Kajian Ketaatan
Sahabat terhadap Rasul dalam Konteks Pemahaman Hadis‖. Karya ini berupaya
menjelaskan tentang model atau bentuk ketaatan Sahabat kepada Nabi. Objek kajiannya ialah merujuk pada sejumlah kebijakan atau keputusan para Sahabat
yang berbeda dengan apa yang pernah dilakukan oleh Nabi, semisal kebijakan
‗Umar bin Khat}t}a>b yang enggan membagikan harta rampasan perang kepada para Sahabat, tetapi dibiarkan pada pemiliknya dan hasilnya diserahkan ke Bait
al-Mal. Kebijakan ‗Umar tersebut mendapat protes keras dari para Sahabat yang
menuntutnya untuk tetap memberikan bagian mereka sebagaimana yang selama
ini telah dilakukan oleh Nabi. Demikian juga terkait kebijakan ‗Uthma>n bin
‗Affa>n yang memutuskan adzan dua kali pada waktu salat Jum‘at. Hal ini
berbeda dengan ketetapan Nabi yang memerintahkan Bila>l bin Raba>h} untuk
adzan satu kali pada waktu salat Jum‘at. Dan ada banyak contoh-contoh lainnya. Penelusuran yang dilakukan Atiyatul Ulya terhadap beberapa sumber hadis dan
literatur kesejarahan, tiba pada sebuah kesimpulan bahwa berdasarkan praktik
Sahabat, ketaatan lebih berarti melaksanakan kehendak, dalam hal ini kehendak
Allah dan rasul-Nya, dari pada melaksanakan perintah. Artinya, para Sahabat
25
Jalaludin Rakhmat, Asal-Usul Sunnah Sahabat: Studi Histogriorafis atas
Tarikh Tashri‘ (Disertasi pada Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN)
Alauddin Makasar, 2015). Disertasi ini kemudian diterbitkan menjadi buku oleh penerbit
Misykat Bandung dan diberi judul besar, yaitu: ―Misteri Wasiat Nabi: Asal-Usul Sunnah
Sahabat: Studi Histogriorafis atas Tarikh Tashri’‖.
15
taat sesuai dengan pemahaman mereka terhadap kehendak Allah dan rasul-Nya.
26
Namun demikian, setelah ditelaah lebih mendalam, ternyata objek penelitian disertasi ini hanya fokus mengkaji hadis-hadis yang berbicara terkait
perbedaan kebijakan dan keputusan para Sahabat dengan apa yang pernah
dicontohkan oleh Nabi. Dalam hal ini, Atiyatul Ulya sama sekali belum
menyinggung sedikit pun terkait perbedaan konteks pengucapan atau penggunaan hadis antara Nabi dan para Sahabat. Hal inilah yang menjadi ruang
kosong yang akan penulis isi.
Rusli Hasbi menulis sebuah buku berjudul ―Rekonstruksi Hukum Islam; Kajian Kritis Sahabat terhadap Ketetapan Rasulullah‖. Sebagaimana halnya
karya Atiyatul Ulya di atas, buku ini juga berupaya menginventarisir sejumlah
kebijakan dan ketetapan Nabi yang dilaksanakan secara berbeda oleh para Sahabat pada era belakangan. Beberapa poin yang dibahas antara lain terkait
ketetapan salat, zakat. puasa, haji dan pernikahan. Secara umum, contoh-contoh
dalam buku ini menunjukkan bahwa para Sahabat, sekalipun dikenal sebagai generasi yang paling tahu tentang Islam dan juga paling patuh kepada Nabi,
ternyata pemahamannya terhadap ajaran Nabi tidak selamanya dogmatis.
Beberapa orang dari mereka berupaya menangkap semangat yang terkandung di
balik perintah Nabi, sehingga berani mengkontekstualisasikannya sesuai perubahan situasi dan kondisi yang mengitarinya.
27
Namun demikian, terlepas dari segala kelebihannya yang patut
diapresiasi, ternyata karya ini juga hanya fokus membahas dinamika perbedaan pelaksanaan syari‘at antara Nabi dan para sahabatnya. Penulisnya tak sekali pun
menyinggung bahwa hal yang sama juga sebetulnya banyak terjadi dalam
kaitannya dengan konteks pengucapan dan penggunaan hadis antara Nabi dan para Sahabatnya. Pendek kata, objek kajian pada buku yang ditulis Rusli Hasbi
ini pada dasarnya relatif sama dengan apa yang dilakukan Atiyatul Ulya di atas,
meskipun dengan titik tekan yang berbeda.
Sa‘ad bin Sayid Qut}b al-Sha>l menulis buku berjudul Ada>b al-Ikhtila>f bayn al-S}ah}a>bah wa Atha>ruhu> ‘ala al-wa>qi’ al-Isla>miy; Dira>sah Manhajiyah
Us}u>liyyah Tarbawiyah wa Da’awiyyah. Buku yang semula merupakan sebuah
disertasi di Universitas Imam al-Auza >‘i> (2017) ini berupaya mengurai sejumlah perbedaan sikap para Sahabat dalam empat aspek, yaitu aqidah, politik, fikih,
dan sosial kemasyarakatan, serta implikasinya terhadap realitas kehidupan umat
Islam kontemporer. Meski pembahasannya hanya fokus pada empat aspek di atas, karya ini juga sebenarnya menyinggung perbedaan sikap para Sahabat
dalam memahami perintah dan kebijakan Nabi. Akan tetapi, pembahasannya
26
Atiyatul Ulya, Hadis dalam Perspektif Sahabat; Kajian Ketaatan Sahabat
terhadap Rasul dalam Konteks Pemahaman Hadis (Disertasi di Sekolah Pascasarjana
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008). 27 Rusli Hasbi, Rekonstruksi Hukum Islam: Kajian Kritis Sahabat terhadap
menyatu dengan persoalan fikih, sehingga uraiannya kurang memadai. Penulisnya tidak membuat sub bab tersendiri yang secara khusus mengelaborasi
tentang perbedaan sikap para Sahabat ketika berinteraksi dengan sunnah Nabi,
termasuk misalnya terkait perbedaan konteks pengucapan dan penggunaan hadis antara Nabi dan para Sahabatnya.
28
Berdasarkan pembacaan dan telaah penulis terhadap sejumlah karya
akademik di atas, dapat disimpulkan bahwa karya akademik-ilmiah yang fokus mengelaborasi pola dan dinamika penggunaan hadis oleh generasi sahabat sama
sekali belum dilakukan secara komprehensif oleh para sarjana Muslim, sehingga
perlu disusul oleh karya tersendiri yang fokus dalam bidang ini. Oleh karena itu, di sinilah penelitian yang akan penulis lakukan menemukan resonansi
relevansinya.
F. Metode29
dan Pendekatan Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research).
Artinya, data-data dan bahan kajian yang telah dan akan dipergunakan dalam
kegiatan penelitian ini berasal dari sumber-sumber kepustakaan, baik buku,
naskah-naskah dan dokumen-dokumen lain yang berkaitan dengan tema yang akan dibahas,
30 yang dalam hal ini ialah terkait dinamika penggunaan hadis oleh
Sahabat Nabi.
2. Sumber Data
Sebagaimana ditegaskan sebelumnya bahwa penelitian ini merupakan
penelitian kepustakaan yang menjadikan teks sebagai objek penelitian. Penulis membagi sumber data menjadi dua kategori, yaitu sumber data primer dan
sekunder.
Sumber data primer yang akan digunakan dalam penelitian ini ialah
kitab S}ah}i>h al-Bukha>ri> yang dalam tradisi Sunni dinilai sebagai kitab hadis
paling otoritatif. Kendati demikian, kitab-kitab induk hadis lainnya (baik yang
berada dalam rumpun al-kutub al-sittah ataupun selainnya) juga akan banyak dirujuk terutama untuk melihat perbedaan atau keragaman riwayat antara satu
dengan yang lainnya.
28
Sa‘ad bin Sayid Qut}b al-Sha>l, Ada>b al-Ikhtila>f bayn al-S}ah}a>bah wa
Atha>ruhu> ‘ala al-wa>qi’ al-Isla>miy; Dira>sah Manhajiyah Us}u>liyyah Tarbawiyah wa
Da’awiyyah (Beirut: Da>r al-Bashi>r al-Ima>rat, 2017). 29 Metode penelitian adalah cara atau strategi menyeluruh untuk menemukan
atau memperoleh data yang diperlukan. Metodologi penelitian perlu dibedakan dari
teknik pengumpulan data yang merupakan teknik yang lebih spesifik untuk memperoleh data. Lihat Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial (Bandung: PT Remaja
Adapun sumber data sekunder yang akan penulis gunakan antara lain
meliputi kitab-kitab hadis, sharah} hadis, buku, jurnal dan literatur lainnya yang
terkait dengan penelitian ini atau lebih umumnya terkait pola interaksi Sahabat dengan sunnah Nabi. Untuk mendapatkan data kesejarahan tentang konteks
peristiwa yang melatari penggunaan hadis oleh para sahabat, penulis tidak hanya
akan merujuk pada kitab-kitab hadis primer, tetapi juga merujuk pada kitab-kitab
sīrah, ta>ri>kh, tarajum, t}abaqa>t dan lain sebagainya yang ditulis para ulama klasik. Melalui perpaduan berbagai sumber dalam lintas disiplin ini, diharapkan
dapat melacak dan mengelaborasi bagaimana sebuah hadis disampaikan atau digunakan oleh para Sahabat pada era belakangan dalam suatu peristiwa dan
untuk kepentingan tertentu.
3. Metode Pengumpulan Data
Dalam sebuah kegiatan penelitian, biasanya dikenal tiga jenis
pengumpulan data yaitu, studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan atau
observasi, dan wawancara atau interview.31
Mengingat penelitian ini adalah penelitian kualitatif, maka salah satu metode pengumpulan
datanya adalah metode dokumentasi. Metode dokumentasi ini dilakukan dengan
cara mengumpulkan dokumen atau data-data yang didapatkan dari kepustakaan.
Selain itu, karena objek penelitian ini adalah kitab S}ah}ih} al-Bukha>ri>, di mana
memuat hadis yang begitu banyak, maka agar lebih efektif dan memudahkan
pencarian data, penulis akan menggunakan maktabah syamilah untuk mencari dan memilih hadis-hadis yang berkaitan dengan penelitian ini. Pemilihan
tersebut didasarkan pada metode purposive sampling (Teknik sampling
berdasarkan pada tujuan atau kegunaan yang hendak dicapai).
4. Metode Analisis Data
Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif-
analitis-komparatif yang berguna untuk mendeskripsikan, menganalisis ragam dan dinamika penggunaan hadis oleh para Sahabat dan mengkomparasikan
antara satu riwayat dengan riwayat-riwayat lainnya, termasuk juga dengan data-
data kesejarahan. Perbandingan ini dilakukan guna melihat persamaan dan perbedaan konteks historis yang melatari para Sahabat ketika menggunakan atau
menyampaikan sebuah hadis. Oleh karenanya, sebagaimana telah disinggung
sebelumnya, dalam penelitian ini penulis tidak hanya merujuk pada kitab-kitab
induk hadis, tetapi juga pada sumber lain yang merekam data-data kesejarahan. Pada saat menganalisis data yang berkaitan dengan penelitian ini, penulis
menggunakan metode content analysis (analisis isi).
5. Pendekatan Penelitian
Secara garis besar, penelitian ini menggunakan pendekatan ilmu ma’a>n al-hadith dan pendekatan sejarah (historical approach). Ilmu ma’a>n al-hadith digunakan sebagai instrumen atau perangkat metodologis dalam memahami
31 Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum (Jakarta:
Grafindo Persada, 2006), 30.
18
sebuah hadis, misalnya dengan melakukan kajian intertekstual dalam bentuk komparasi riwayat, sehingga antara satu riwayat dengan riwayat yang lainnya
dapat saling menafsirkan.
Namun demikian, penggunaan pendekatan ilmu ma’a>n al-hadith an sich hampir dapat dipastikan akan mengalami kebuntuan terutama ketika menelusuri
bagaimana sebuah hadis dikutip atau digunakan oleh para Sahabat pada era
belakangan pasca wafatnya Nabi. Hal itu, karena sumber-sumber primer hadis pada umumnya hanya merekam konteks diucapkannya sebuah hadis oleh Nabi.
Oleh karenanya, untuk memecah kebuntuan itu diperlukan pendekatan lain yang
dinilai cukup relevan dengan penelitian ini, yaitu pendekatan sejarah. Melalui pendekatan ini diharapkan dapat mengelaborasi bagaimana sebuah teks agama—
yang dalam hal ini adalah teks hadis—digunakan oleh para Sahabat untuk
merespons suatu peristiwa pada era belakangan dan untuk kepentingan tertentu. Oleh karenanya, sebagaimana ditegaskan sebelumnya, penulis akan merujuk
pada literatur kesejarahan hasil buah tangan para ulama klasik. Penggunaan data
kesejarahan dalam penelitian ini merupakan bagian dari upaya menghadirkan
kajian interdisipliner yang tidak hanya bertumpu pada satu disiplin keilmuan tertentu, melainkan berupaya mendialogkan antara dua disiplin keilmuan—yang
dalam hal ini adalah ilmu hadis dan ilmu sejarah—dalam satu tarikan nafas.
Keniscayaan dialogis ini menunjukkan bahwa suatu disiplin ilmu tidak dapat berdiri sendiri. Ia mau tidak mau harus menyapa dan berdialog dengan disiplin
ilmu lainnya.32
32
Menurut Akademi Pengetahuan Amerika Serikat, penelitian interdisiplin
adalah cara atau model penelitian yang mampu menyatu-padukan atau mengintegrasikan
informasi, data, teknik, alat-alat, perspektif, konsep dan teori dari dua atau lebih disiplin
ilmu atau sekumpulan pengetahuan spesialis untuk memajukan pemahaman fundamental
atau untuk memecahkan permasalahan tertentu yang pemecahannya berada di luar
wilayah jangkauan satu disiplin tertentu atau wilayah praktek penelitian tertentu.
Selengkapnya, lihat M. Amin Abdullah, Multisiplin, Interdisiplin dan Transdisiplin:
Metodologi Studi Agama dan Studi Islam di Era Kontemporer (IB Pustaka PT Litera
Cahaya Bangsa, 2020, 115. Di era modern sekarang ini, model kajian dan penelitian interdisipliner telah
menjadi tren di kalangan masyarakat akademik global. Di Indonesia, diskursus ini juga
banyak digaungkan beberapa sarjana Muslim, salah satunya M. Amin Abdullah.
Menurutnya, kebijakan linieritas atau monodisiplin tidak cocok diterapkan dalam bidang
kajian agama karena akan membentuk corak keberagamaan dan pemahaman keagamaan
yang sempit, bahkan potensial mengarah pada cara berpikir yang tertutup. Amin
memperkenalkan cara berpikir baru ini dengan istilah integrasi-interkoneksi antar
berbagai disiplin keilmuan. Ia juga mengutip pernyataan Nidhal Gueshoum bahwa
pengetahuan agama, termasuk Islam, tidak bisa lagi mempertahankan hegemoni dan
sikap statisnya. Jika sikap statis-dogmatik-hegemonik ini yang dipilih dan dipertahankan,
maka ilmu-ilmu keagamaan akan bertentangan bahkan akan tergilas oleh perkembangan
ilmu pengetahuan modern, dan akibatnya prinsip-prinsip dasar keagamaan Islam akan
semakin terasa asing dan ketinggalan zaman. Selengkapnya, lihat M. Amin Abdullah, Multisiplin, Interdisiplin dan Transdisiplin: Metodologi Studi Agama dan Studi Islam di
Era Kontemporer (IB Pustaka PT Litera Cahaya Bangsa, 2020), 69.
19
G. Sistematika Penulisan
Secara garis besar, penelitian ini akan dikelompokkan menjadi lima bab,
dengan rincian sebagai berikut: Bab pertama, merupakan pendahuluan yang berisi penjelasan mengenai latar belakang, identifikasi, perumusan dan
pembatasan masalah. Di bagian ini akan dijelaskan terkait problem akademik
yang mendasari dilakukannya penelitian ini. Selain itu, bab ini juga memuat mengenai tujuan penelitian, signifikansi dan manfaat penelitian, penelitian
terdahulu yang relevan, metodologi penelitian dan sistematika penulisan. Pendek
kata, bab pertama ini merupakan deskripsi umum tentang kerangka pikir yang
akan digunakan dalam menyelesaikan penelitian ini.
Bab kedua, akan mengurai tentang diskursus seputar periwayatan hadis.
Beberapa sub bab yang akan dijelaskan pada bagian ini antara lain terkait
eksistensi hadis sebagai jantung kontestasi di kalangan umat Islam, baik klasik maupun kontemporer, di mana hampir setiap individu atau kelompok
berkepentingan mengutipnya sebagai dasar pemikiran dan inspirasi
pergerakannya. Pembahasan selanjutnya ialah terkait sabab al-wuru>d dan sabab
al-i>ra>d, sebuah teori yang berfungsi untuk merekonstruksi dan menjelaskan
konteks dan motivasi di balik kemunculan sebuah hadis. Sementara itu, bagian terakhir dari bab ini, akan mengurai perdebatan panjang antara para sarjana
Muslim terkait periwayatan secara makna (al-riwa>yah bi al-ma’na>). Hal ini
untuk menunjukkan fleksibelitas penyampaian hadis di era klasik.
Bab ketiga, akan membahas tentang otoritas dan sakralitas Sahabat Nabi.
Bagian pertama dari bab ini akan diawali dengan pembahasan terkait persoalan
‗ada>lah al-S>>}ah}abah yang penulis anggap sebagai bentuk sakralitas Sahabat dalam Islam. Bagian kedua, akan menjelaskan tentang karakteristik para
Sahabat, salah satunya sebagai imitator tradisi kenabian yang selalu berusaha meniru-niru Nabi dari berbagai aspeknya. Selanjutnya, pada bagian ketiga dari
bab ini, penulis akan menjelaskan posisi Sahabat sebagai mediator pertama
tradisi kenabian. Sementara itu, pada bagian terakhir, akan menjelaskan otoritas
Sahabat sebagai refresenrasi ajaran Nabi. Secara umum, uraian pada bab ketiga ini ingin menunjukkan otoritas Sahabat Nabi.
Bab keempat adalah bab inti yang merupakan fokus utama penelitian ini. Pada bagian ini, penulis akan mengelaborasi beberapa contoh hadis dalam kitab
S}ah}i>h} al-Bukha>ri> yang diketahui sabab al-wuru>d dan sabab al-i>ra>d-nya
sekaligus. Hal ini untuk melihat dinamika, ragam, dan tipologi penggunaannya di kalangan para Sahabat. Sehingga dapat diketahui, apakah konteks historis
yang melatari penggunaan hadis oleh para Sahabat selalu sama dengan konteks
historis yang melatari Nabi mengucapkannya untuk pertama kali? Jika ternyata
adakalanya berbeda, bagaimana bentuk dan tipologinya? Adakah implikasinya terhadap pemahaman hadis?
Bab kelima berisi penutup yang mencakup kesimpulan dari seluruh pembahasan yang telah dipaparkan dalam bab-bab sebelumnya. Bab terakhir ini
20
juga akan dilengkapi dengan sejumlah saran dan rekomendasi yang berguna bagi para peneliti berikutnya.
21
BAB II
DISKURSUS SEPUTAR PERIWAYATAN HADIS
Bab ini akan menjelaskan diskursus seputar periwayatan hadis. Beberapa
sub bab yang akan dibahas pada bagian ini antara lain ialah, bagaimana otoritas
hadis menjadi sebuah jantung kontestasi bagi umat Islam dalam pentas sejarah, di mana setiap individu atau kelompok—bahkan sejak periode awal, yaitu era
Sahabat—merasa berkepentingan untuk mengutipnya dalam berbagai konteks
dan peristiwa yang beragam. Selanjutnya, ialah pembahasan terkait sabab al-wuru>d dan sabab al-i>ra>d, sebuah teori yang berfungsi untuk merekonstruksi
konteks, peristiwa dan motivasi di balik kemunculan dan penggunaan sebuah hadis. Bagian terakhir dari bab ini akan mengurai perdebatan krusial antara para
sarjana Muslim seputar periwayatan hadis secara maknawi (al-riwa>yah bi al-
ma’na >). Hal ini penting untuk diurai sebagai bukti adanya preseden fleksibelitas periwayatan hadis.
A. Hadis Sebagai Jantung Kontestasi Sebagaimana halnya Alquran, hadis menempati posisi yang sangat
sentral dalam kehidupan umat Islam. Sentralitas posisi hadis tidak hanya karena
otoritas pengujarnya sebagai Nabi dan banyaknya legitimasi dalil-dalil agama
tentang otoritas hadis itu sendiri, tetapi juga karena peran al-Sha>fi’i> yang
berhasil merumuskan konsep hierarkis sumber ajaran Islam kepada; Alquran,
hadis,1 konsensus ulama (ijma>’) dan analogi (qiya>s).
2 Secara hierarkis, otoritas
1 Secara eksplisit, Alquran memang tidak pernah menyebutkan bahwa hadis
merupakan bagian dari sumber ajaran Islam, tetapi hanya memerintahkan umat Islam
agar patuh kepada Nabi dan meneladani perbuatannya. Oleh karenanya, meskipun
sarjana Barat semisal Joseph Schacht mengatakan bahwa al-Sha>fi’i> adalah orang pertama
yang menggunakan istilah sunnah, yang secara khusus tertuju pada sunnah Nabi,
sedangkan para ulama sebelumnya menggunakan kata tersebut dalam arti yang lebih
luas, maka hal ini tidak lantas mengurangi otoritas sunnah Nabi secara konseptual.
Sumber hukum bukanlah kata itu sendiri, tetapi konsepnya yang memperoleh otoritasnya
dari Alquran. Selengkapnya, lihat Muh}ammad Mus}}t}afa> ‗Azami>, Menguji Keaslian Hadis-Hadis Hukum; Sanggahan atas The Origins of Muhammadan Jurisprudence, terj,
hadis sebagai wahyu kedua setelah Alquran. Secara teologis, anggapan tersebut
didasarkan pada QS al-Najm: 3-4. Namun demikian, Muhammad Shaḥrūr menolak
pandangan tersebut, bahkan melontarkan kritikan terhadap al-Shāfi‘ī. Menurutnya, ḍamīr
―huwa‖ pada QS al-Najm: 3-4 kembali kepada al-Quran itu sendiri, bukan kepada diri
Nabi—sebagaimana pemahaman al-Shāfi‘ī. Alasannya, kedua ayat dari surat al-Najm tersebut adalah ayat Makiyyah, yang diturunkan untuk menjawab keraguan masyarakat
Arab terhadap Alquran. Mereka bertanya, apakah yang disampaikan Nabi adalah wahyu
dari Allah, ataukah dari dirinya sendiri? Untuk menjawab keraguan itu, turunlah ayat
tersebut bahwa apa yang disampaikan Nabi adalah wahyu. Selengkapnya, lihat
22
hadis hanya berada satu tingkat di bawah Alquran. Bahkan, sebagian ahli hadis menganggap bahwa hadis setara dengan Alquran.
3 Alquran selalu
mempersandingkan Nabi Muhammad dengan Allah bila berbicara tentang
otoritas. Dalam beberapa ayat, Alquran juga memerintahkan umat Islam agar selalu taat kepada Allah dan rasul-Nya. Ketaatan kepada rasul dianggap sebagai
indikasi ketaatan kepada Allah.4 Konsekuensi logis dari posisi hadis yang begitu
sentral ini telah menjadikannya sebagai arena perebutan legitimasi dalam kehidupan sosial keagaman umat Islam. Hampir dalam segala aspek, hadis Nabi
dikutip dalam rangka memberi pendasaran teologis. Umat Islam hampir selalu
merasa berkepentingan untuk mengutipnya. Fenomena semacam ini merupakan
bukti bahwa hadis—meminjam istilah Aceng Abdul Qadir—adalah ―jantung kontestasi‖.
5
Jika mengamati berbagai pertarungan wacana dan ideologi yang bergulir
di antara kelompok umat Islam dalam lintasan sejarah, akan didapati sebuah fakta bahwa selain teks suci Alquran, otoritas hadis juga kerap kali digunakan
oleh sebagian kalangan untuk meneguhkan eksistensi kelompok masing-masing
sembari melemahkan posisi lawannya. Bahkan dalam beberapa aspek, hadis lebih sering dikutip ketimbang Alquran. Pada situasi tertentu, hadis juga dapat
menjadi senjata yang paling ampuh untuk membungkam musuh. Hal itu, karena
segala ucapan ataupun tindakan seseorang yang dibungkus dengan dalil-dalil agama terutama hadis Nabi, akan terlihat sakral dan kerap kali sulit
terbantahkan. Boleh jadi, karena alasan inilah kenapa sebagian umat Islam, baik
individu maupun kelompok merasa berkepentingan untuk mengutip sekaligus
bernaung di bawah otoritas hadis Nabi.
Dalam konteks gerakan keagamaan kontemporer, beberapa kelompok
dan organisasi kemasyarakatan menjadikan hadis sebagai basis dan inspirasi
pergerakannya. Sebagai contoh, dalam konteks keindonesiaan, kelompok semisal Front Pembela Islam (FPI), menjadikan hadis Nabi terkait amar makruf nahy
munkar6 sebagai dasar teologis yang mendorong mereka untuk melawan segala
4 Lihat misalnya QS. al-Nisa>, 4: 80; lihat juga QS. al-Nu>r 24: 54. Terkait hal ini,
sarjana Barat seperti Margoliouth memberi catatan bahwa, setiap kali Nabi Muhammad disandingkan dengan Allah dalam Alquran, itu semata-mata hanya merujuk kepada
konteks Alquran itu sendiri, bahwa otoritas Allah dan otoritas Nabi Muhammad sebagai
manusia yang menjadi perantara wahyu Allah tidak pernah dapat dipisahkan. Penjelasan
lebih lanjut terkait hal ini, lihat Fazlur Rahman, Islam,terj, Ahsin Muhamad (Bandung:
Pustaka, 2003), 62. 5 Aceng Abdul Qadir, Teologi dalam Periwayatan (Bandung: Pustaka Aura
Semesta, 2013), 2. 6 Lihat Muslim bin H}>>>>ajja>j al-Naysabu>ri>, S}ah}i>h} Muslim (Beirut: Da>r Ih}ya> al-
Tura>th al-‗Arabi, T.th), Vol. 1, 69, nomor hadis: 49. Lihat juga Ibn Ma>jah al-Qazwayni>,
23
bentuk kemungkaran secara fisik tanpa meminjam tangan pemerintah ataupun pihak yang berwenang. Akibatnya, mereka melakukan penyerangan terhadap
jamaah Ahmadiyah, lokalisasi dan tempat-tempat kemungkaran lainnya.7 Ini
menunjukkan, bahwa hadis tersebut seolah menjadi ruh yang melekat dalam tubuh FPI.
Sementara itu, organisasi transnasional semisal Hizbut Tahrir Indonesia
(HTI), menjadikan hadis-hadis tentang perintah membaiat khalifah8 sebagai
salah satu basis utama pergerakannya dalam memperjuangkan tegaknya khila>fah Isla>miyyah sebagai sistem pemerintahan. Hadis-hadis tersebut bahkan memberi
pengaruh yang sangat kuat di kalangan h}izbiyyi>n (sebutan bagi para pengikut
Hizbut Tahrir), di samping juga terdapat beberapa hadis lainnya yang juga
berpengaruh. Merujuk pada hadis tersebut, Taqi > al-Di>n al-Nabha>ni> (pendiri
Hizbut Tahrir) mengatakan bahwa penegakkan khila>fah Isla>miyyah merupakan
salah satu kewajiban agama yang paling agung (min a’z}ami wa>jibah al-Di>n), sedangkan penolakannya merupakan salah satu bentuk kemaksiatan paling besar
(min akbar al-ma’a>s}i>).9
Tak hanya itu, Jamah Tabligh (JT) sebagai gerakan dakwah yang cukup
besar juga mendasarkan sebagian besar pandangannya terhadap hadis-hadis
Nabi. Beberapa pandangannya yang khas, semisal tentang keharusan mengikuti cara makan Nabi, cara tidur Nabi, gaya berpakaian Nabi, dan segala tata laku
yang pernah Nabi lakukan seluruhnya dianggap sebagai sunnah tashri>’iyyah yang harus diikuti. Dalam hal lainnya, semisal arsitektur mesjid, mereka
mengikuti arsitektur mesjid Nabi pada zaman dulu. Termasuk juga di Temboro
Jawa Timur, yang merupakan pusat Jamaah Tabligh, dapat dijumpai rumah-
rumah para pengikutnya yang memiliki gorden di depan pintu bagian luar, bukan di bagian dalam pintu rumah. Penataan semacam itu, diinspirasi oleh hadis Nabi
tentang memasang hijab di rumah-rumah. Pendek kata, berkenaan dengan
masalah sosial-budaya, mereka sama sekali tidak memahami adanya unsur
Sunan Ibn Ma>jah (Beirut: Da>r Ih}ya> al-Tura>th al-‗Arabi, T.th), Vol. 5, 145. Nomor hadis:
4013. Teks hadis tersebut adalah,
من رأى منكم منكرا فػ ػغ ػره ب ده، فإف ل يستطع فل سانو، فإف ل يستطع فلق لو، وذاك .أ ع اا اف
7 Ubaydi Hasbillah, Nalar Tekstual Ahli Hadis: Akar Formula Kultur Moderat
Berbasis Tekstualisme (Ciputat: Maktabah Darussunnah, 2018), 12. 8 Muslim bin H}>>>>ajja>j al-Naysabu>ri>, S}ah}i>h} Muslim, Vol. 3, 1478. Nomor hadis:
1851. Teks hadisnya ialah,
ـ ـ، مات م ت ـ او، ومن مات وا س ف عنقو بػ ػع ـ ل حجي ـ، اقي اهلل يػوـ ااق ام من خ ع يدا من طاع «جاى يـ
9 Selengkapnya, lihat Mujiburrahman, Kritik terhadap Pemahaman Hizbut
Tahrir atas Hadis-hadis Khilafah. Jurnal Refleksi, Volume 15, Nomor 1, April 2016.
Lihat juga Taqi al-Din al-Nabhani, al-Syakhsiyyah al-Islamiyah (Beirut: Dar al-Umah,
2003). II, 2.
24
budaya dalam hadis.10
Hal ini tentu saja berbeda dengan pandangan beberapa ahli hadis.
11
Dalam konteks global dan lebih ekstrem lagi, kelompok seperti Islamic State of Irak and Suriah (ISIS) yang kerap kali melakukan tindakan brutal
berupa pembantaian, pembunuhan, dan pengeboman di berbagai daerah juga
termasuk kontestan yang ikut serta memperebutkan legitimasi hadis. Bahkan,
jika menelaah majalah Dabiq,12
kutipan terhadap hadis jauh lebih rimbun ketimbang terhadap Alquran. Berpijak kepada sejumlah hadis Nabi, di antaranya
ialah hadis-hadis terkait jihad dan hadis-hadis akhir zaman, mereka seolah
merasa bahwa semua aksi dan tindakan brutal yang dilakukannya tersebut tak lain merupakan bagian dari tugas suci ketuhanan yang dibenarkan agama dan
mendapat jaminan surga.13
Beberapa fakta di atas menunjukkan bahwa hadis memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam membentuk struktur nalar umat Islam. Meski secara
hierarkis otoritasnya berada satu tingkat di bawah Alquran, akan tetapi hadis
merekam hal-hal partikular yang tidak dijumpai dalam Alquran. Terlebih, dalam konsepsi ajaran Islam, perkataan dan tindakan Nabi dipersepsikan sebagai
penjelas terhadap Alquran (mubayyin li al-Qura>n) yang masih global.14
Bahkan,
10
Ubaydi Hasbillah, Nalar Tekstual Ahli Hadis: Akar Formula Kultur Moderat
Berbasis Tekstualisme, 13. 11 Salah seorang ahli hadis yang coba memilah unsur-unsur budaya dalam hadis
ialah Ali Mustafa Ya‘qub. Misalnya, ia mengkategorikan jubah atau gamis sebagai
bagian dari pakaian khas Arab yang tidak ada kaitannya dengan agama. Selengkapnya,
lihat Ali Mustafa Yaqub, al-T>}uruq al-S>}ah}i>h}ah fi} Fahm al-Sunnah al-Nabawiyyah
(Ciputat: Maktabah Dar al-Sunnah, 2016). 12 Dabiq adalah salah satu majalah terbitan ISIS yang paling populer. Penamaan
ini dinisbatkan pada salah satu daerah di Suriah yang diprediksi oleh Nabi sebagai
tempat terjadinya malahim, yaitu peperangan terbesar akhir zaman antara pasukan salib dan umat Islam. Lihat Abdul Karim Munthe dkk, Meluruskan Pemahaman Hadis Kaum
Jihadis (Ciputat: Ebi Publishing, 2017). 10. 13 Salah satu hadis yang mereka kutip dapat dilihat dalam Muslim bin H}>>>>ajja>j al-
ـ من ن اؽ ث بو نػ سو، مات ع ى عل من مات ول يػغ ، ول دHadis ini menjelaskan bahwa orang yang mati, namun ia tidak pernah ikut
berperang atau tidak pernah terlintas dalam hatinya untuk berperang, maka ia mati dalam keadaan munafik. ISIS menjadikan hadis di atas sebagai alat legitimasi untuk menarik
simpati umat Islam agar bersedia menjadi mujahid. Padahal, menurut Ibn Mubarak, hadis
tersebut tidak berlaku umum, melainkan hanya berlaku dalam konteks peperangan.
Selengkapnya, lihat Abdul Karim Munthe dkk, Meluruskan Pemahaman Hadis Kaum
Jihadis, 28. 14
Abu > Layth Khayr Abad, Ittija>ha>t fi> Dira>sah al-Sunnah: Qadi>muha> wa
As}i>ruha> (Beirut: Muasasah al-Risa>lah, 2010), 19. Lihat juga Abu > Layth Khayr Abad,
al-Khat}i>b al-Baghda>di>, mengutip pernyataan Makh}u>l bahwa Alquran lebih
membutuhkan sunnah, ketimbang sunnah yang membutuhkan Alquran (Al-Qur’a>n ah}waj
ila al-sunnah min al-sunnah ila al-Qur’a>n). Lihat Abū Bakr Aḥmad bin ‗Alī bin Thābit
25
sebagian besar konsepsi ajaran Islam terekam dalam hadis.15
Sampai di sini, penulis berasumsi bahwa hal inilah yang boleh jadi merupakan salah satu faktor
utama kenapa kemudian pengaruh hadis begitu hegemonik dalam membentuk
pola dan ekspresi keberagamaan masyarakat Muslim terutama di era modern sekarang ini.
Hegemoni pengaruh hadis dalam kehidupan umat Islam di era modern
mendapat perhatian tersendiri dari seorang sarjana Muslim kontemporer, George
Tharabishi. Dalam bukunya berjudul Min Isla>m al-Qur’a>n ila> Isla>m al-H}adi>th, ia
secara eksplisit mengatakan bahwa teks hadis lebih dominan dan lebih berhasil
dalam membentuk wajah dan ekspresi keberislaman umat pada era belakangan. Menurutnya, pada mulanya ekspresi keberislaman memang lebih banyak
dipengaruhi oleh Alquran, namun pada era belakangan lebih didominasi oleh
narasi hadis.16
Ini artinya, ada pergeseran yang signifikan terkait paradigma atau pola keberagamaan umat Islam dalam lintasan sejarah.
Jika ditarik lebih jauh ke belakang, fenomena pengutipan dan
penggunaan hadis untuk kepentingan tertentu juga memiliki preseden historisnya
pada era klasik, tepatnya pada periode formatif Islam (‗as}r al-takwi>n). Sebagai
contoh, hadis mengenai kedatangan pasukan yang mengenakan panji hitam. Pada awal kebangkitan dinasti Abasiyah seribu tahun yang lalu, para pembesarnya
melakukan kampanye besar-besaran salah satunya dengan cara mengutip hadis
tersebut sebagai alat legitimasi. Hadis pasukan panji hitam digunakan untuk
memobilisasi masa dari wilayah Khurasan. Keluarga ‗Abbas menggunakan
jaringan Ahlul Bait, yaitu pendukung keluarga ‗Ali > bin Abi> T}a>lib, sehingga
berhasil membalas kekalahan seratus tahun sebelumnya. Mereka memerintahkan
seluruh pasukannya menggunakan simbol serba hitam. Hal itu terjadi sekitar tahun 129 H. Namun pada era modern, hadis pasukan panji hitam justru
digunakan oleh kelompok Muslim radikal untuk melegitimasi dan meneguhkan
eksistensinya. Mereka menggunakan simbol politik dan atribut-atribut berwarna hitam. Mereka menulis artikel, buku, majalah dan media-media lainnya bahwa
mereka adalah tentara akhir zaman yang ada dalam hadis tersebut. Dari sini
dapat dipahami bahwa sejak awal penggunaan hadis tersebut sangat kental dengan nuansa politis.
17
Bahkan, pada periode yang lebih awal, tepatnya pada masa dinasti
Umayah, yang terjadi bukan hanya politisasi hadis, melainkan pemalsuan hadis.
bin Aḥmad bin Mahdī al-Khaṭīb al-Baghdādī, al-Kifāyah fi ‘Ilm al-Riwāyah (Madinah
Pernyataan di atas dikemukakan Daud Rasyid sebagaimana dikutip Abdul
Hakim Wahid dalam bukunya ―Autentisitas Hadis Nabi; Studi Riwayat Na>fi> Mawla Ibn
‘Umar dalam Kitab al-S}ah}i>h}ayn‛ (Cirebon: Nusa Literasi Inspirasi, 2017). 35. 16
George Tharabishi, Min Isla>m al-Qur’a>n ila> Isla>m al-H}adi>th (Beirut: Da>r al-
Sa>q, 2007), 367. 17 Selengkapnya, lihat M. Khoirul Huda, Hadis Pasukan Panji Hitam;
Kesahihan, Penafsiran dan Penggunaannya dalam Sejarah Islam Klasik (Pekalongan:
Menara Publisher, 2016).
26
Segelintir umat Islam saat itu tak segan-segan memalsukan atau memproduksi hadis atas nama Nabi. Hal itu mereka lakukan untuk meneguhkan posisi
kelompoknya sembari menjatuhkan lawan politiknya. Misalnya, antara
kelompok pendukung ‗Ali> dan Mu’a >wiyah.18
Pada masa ini, pemalsuan hadis sangat marak terjadi. Sejarah bahkan mencatat bahwa periode ini merupakan
awal mula terjadinya pemalsuan hadis dalam sejarah Islam. Pada saat itu,
otoritas Nabi diperebutkan sedemikian rupa untuk memenuhi syahwat politik. Karena dengan demikian, semua hal yang mereka bungkus atas nama Nabi, akan
terkesan sakral dan mengandung nilai-nilai profetik. Sehingga pada akhirnya
akan menarik simpati umat pada saat itu.
Fenomena perebutan teks-teks keagamaan sebagai alat legitimasi
berbagai kepentingan mendapat perhatian tersendiri dari para sarjana Muslim
kontemporer. Farid Esack, salah seorang sarjana Muslim kontemporer berkebangsaan Afrika mengatakan bahwa agama dan teks-teks agama (termasuk
di dalamnya hadis Nabi) menjadi wilayah perebutan.19
Yang dimaksud perebutan
di sini tak lain ialah perebutan legitimasi, baik antar individu maupun kelompok untuk berbagai macam kepentingan, baik ideologi, hukum, politik dan lain
sebagainya. Di kesempatan lain, ia mengatakan bahwa semua aktor politik
menggunakan otoritas agama (maksudnya teks-teks agama, baik Alquran
maupun hadis) sebagai alat legitimasi untuk meneguhkan eksistensinya. Nurul Huda mengomentari bahwa meskipun yang menjadi sampel penelitian Esack
adalah kasus di Afrika Selatan, namun diakui atau tidak, kasus yang sama juga
dapat dijumpai di berbagai negara, tak terkecuali di negara-negara Islam. Hal itu, karena justifikasi teks-teks suci dinilai sebagai benda sakti yang bisa
mengalahkan pihak lain. Fenomena ini telah terjadi sejak masa awal Islam.20
Bahkan, dalam kaitannya dengan hadis, Fazlur Rahman mengatakan bahwa orang yang benar-benar skeptis terhadap hadis pun terpaksa mencari legitimasi
bagi kepentingannya dari hadis, bila hadis yang bersangkutan cocok dengan
pandangannya.21
Sampai di sini, dapat dipahami bahwa sejak awal kemunculannya hingga
sekarang, otoritas hadis tidak pernah runtuh. Meski pandangan beberapa
18
Mun‘im Sirry, Tradisi Intelektual Islam; Rekonfigurasi Sumber Otoritas
Agama (Malang: Madani Media, 2015), 95. Lihat juga M. Syuhudi Ismail, Metode
Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1992), 13. Al-‗Uqayli > meriwayatkan
dari H>}amma >d bin Zayd bahwa orang-orang zindik telah memalsukan hadis atas nama
Nabi sebanyak 14.000 hadis. Salah satu di antaranya ialah Abd al-Kari>m al-Awja> yang
membuat hadis palsu sebanyak 4000 hadis. Lihat Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i>, Tadri>b al-Ra>wi>fi Sharh> Taqri>b al-Nawa>wi> (Beirut: Da>r T}ayyibah, t.th), Vol. 1, 335.
19 Nurul Huda, Penafsiran Politik: Kajian atas Tafsi>r al-H}uda> Karya Kolonel Bakri Syahid (Lebak, Pustaka Qi Falah, 2014), 32.
20 Nurul Huda, Penafsiran Politik: Kajian atas Tafsi>r al-H}uda> Karya Kolonel
Bakri Syahid,36. 21 Fazlur Rahman, Islam, 88.
27
sarjana Barat22
dan segelintir sarjana Muslim kontemporer23
kerap kali dinilai telah menumbuhkan benih-benih skeptisisme,
24 tetapi hal itu tidak lantas
meruntuhkan otoritas hadis. Alih-alih runtuh melawan derasnya serangan dan
kritik yang dilancarkan para sarjana kontemporer, otoritas hadis—sebagaimana pendapat George Tharabishi di atas—malah berhasil bahkan sangat dominan
dalam membentuk wajah dan ekspresi keberislaman umat pada era modern. Ini
artinya, otoritas hadis terlalu kuat untuk dipatahkan. Terakhir, penulis ingin mengatakan bahwa mengutip hadis untuk melegitimasi berbagai ideologi dan
kepentingan akan terus terjadi dalam lintasan sejarah, sehingga terjadilah apa
yang oleh Babul Ulum dinamai dengan istilah ―perang hadis‖.25
B. Sabab al-Wuru>d dan Sabab al-I><ra>d: Konteks Historis Periwayatan Hadis
Sebagaimana halnya Alquran, hadis atau sunnah Nabi tidaklah muncul dalam ruang yang hampa kultural, melainkan dalam arus sejarah bangsa Arab
yang kompleks dan dinamis. Hadis selalu saja diucapkan oleh Nabi sebagai
komentar atau respons atas berbagai realitas dan problematika kehidupan bangsa
Arab ketika itu, sehingga akan sangat terkait erat dengan konteks sosio historis ketika Nabi mengucapkannya.
26 Dalam berbagai literatur hadis, informasi atau
riwayat yang merekam konteks peristiwa yang melatari kemunculan hadis Nabi
22
Sebagai contoh ialah Margoliouth, yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad
sama sekali tidak mewarisi sunnah ataupun hadis, dan bahwa sunnah yang dipraktikkan
kaum Muslim awal itu bukanlah sunnah Nabi, melainkan kebiasaan-kebiasaan bangsa Arab pra Islam yang telah dimodifikasi Alquran. Margoliouth juga mengatakan, dalam
rangka memberi otoritas terhadap kebiasaan-kebiasaan tersebut, kaum Muslim pada abad
kedua hijriah telah mengembangkan konsep sunnah Nabi dan menciptakan mekanisme
hadis untuk merealisasikan konsep tersebut. Selengkapnya, lihat Taufik Adnan Amal,
Islam dan Tantangan Modernitas; Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman
(Bandung: Mizan, 1992), 164. Pendapat yang hampir senada dikemukakan oleh Joseph
Schacht bahwa hadis hanyalah refleksi atau dampak logis perkembangan umat Islam
pada abad kedua hijriah yang diproyeksikan ke belakang sampai kepada Nabi.
Selengkapnya, lihat Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence
(Oxpord: Clarendon University Press, 1950), 76. 23 Beberapa sarjana Muslim yang cukup populer dalam mengkritisi otoritas
hadis antara lain Muh}ammad Abduh, Rashid Rida>, Abu> Rayyah, Taufi>q S}idqi dan
Ah}mad Ami>n. Selengkapnya, lihat Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2018), 47. 24 Dalam diskursus kesarjanaan Barat, misalnya, Nabi Muh}ammad dianggap
sebagai sosok imajinatif belaka, atau hasil rekonstruksi ulama yang hidup dalam rentang
abad ke-2 dan ke-3 hijriyah. Nabi dianggap tidak benar-benar ada sebagai sosok atau
personal sejarah. Ia tak lain adalah hasil imajinasi generasi awal Islam dengan
kepentingan yang tidak seutuhnya dapat diterima. Selengkapnya, lihat Aceng Abdul
Qadir, Regionalisme dalam Periwayatan Hadis: Asal-Usul Hadis Berdasar Sanad
Geografis Kufah (Bandung: Pustaka Aura Semesta, 2019), 1. 25 Babul Ulum, Genealogi Hadis Politis; Al-Muawiyat dalam Kajian Islam
Tah}qi>qan wa Ta’li>qan wa Dira>satan (Beirut: Da>r al-Kutub ‘Ilmiyyah, 1984), 11. Lihat
juga T}a>riq As’ad H}ali>mi>, ‘Ilm Asba>b Wuru>d al-H}adi>th wa Tat}bi>qa>tihi> ‘inda al-Muh}addithi>n wa al-Us}u>liyyi>n (Beirut: Da>r Ibn H}azm, 2001), 24.
28 Ada banyak faktor yang melatari Nabi bersabda, baik karena adanya
pertanyaan, peristiwa, dan berbagai fenomena sosial yang mengitarinya. Sebagai contoh,
ada salah satu hadis populer yaitu: ―Segala sesuatu tergantung pada niat, dan seseorang
hanya mendapatkan sesuai niatnya. Barang siapa yang hijrahnya karena Allah dan rasul-
Nya, maka hijrahnya karena Allah dan rasul-Nya. Dan barang siapa yang hijrahnya
karena dunia atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai
kemana ia hijrah‖.
Secara kronologis, hadis ini diucapkan Nabi sebagai respons atas tindakan
seorang lelaki yang hijrah ke Madinah bukan untuk meraih keutamaan hijrah, tetapi
karena mengincar seorang wanita bernama Ummu Qays. Mendengar hal itu, Nabi
meresponsnya dan mengucapkan hadis di atas. Selengkapnya. Lihat Ali Musthafa
Fikr). Sementara pada era modern, sarjana Muslim semisal Ṭāhir Ibn Ashūr membagi
sabda dan tindakan Nabi menjadi dua belas kategori, yaitu; al-tashrī’ (legislasi syariat), al-fatwā (opini keagamaan), al-qadā (putusan hakim), al-imārah (kepemimpinan atau
keputusan politik), al-hady wa al-irshād (petunjuk dan bimbingan) al-ṣulḥu (kontrak
damai), al-ishārah ‘alā al-mustashīr (konsultasi atau meminta pertimbangan), al-naṣīḥah
pengkaji hadis juga dapat mengetahui dan membedakan antara pesan-pesan kenabian yang berlaku universal dan yang temporal atau terikat oleh konteks
tertentu. Pendek kata, penggunaan asbāb al-wurūd sebagai instrumen
pemahaman hadis merupakan sebuah keniscayaan yang mutlak. Mengabaikan asbāb al-wurūd untuk kemudian melucuti konteks historis kemunculan sebuah
hadis serta menggeneralisir makna teks hadis potensial melahirkan pemahaman
yang keliru.31
Sebagaimana halnya pada era Nabi, pada era berikutnya, yaitu era
Sahabat, hadis Nabi juga disampaikan kembali oleh para Sahabat kepada
generasi tabiin karena dilatarbelakangi oleh berbagai faktor dan peristiwa yang beragam. Yang menarik ialah, sebagaimana halnya narasi tentang konteks
peristiwa yang melatari Nabi mengucapkan sebuah hadis, maka narasi tentang
konteks peristiwa yang melatari Sahabat ketika mengutip, menggunakan atau
menyampaikan sebuah hadis juga terkadang diabadikan dan menyatu dengan batang tubuh teks hadis itu sendiri. Narasi tersebut seolah menjadi bagian yang
juga tak kalah penting sebagaimana halnya konteks historis kemunculan hadis
(sabab al-wuru>d). Dalam studi hadis, konteks peristiwa atau latar belakang yang memotivasi pengutipan, penggunaan dan penyampaian hadis semacam itu, oleh
beberapa sarjana hadis, di antaranya T}a>riq As’ad H}alimi dan Ahmad Ubaydi
Hasbillah, disebut dengan istilah sabab al-i>ra>d atau sabab i>ra>d al-hadi>th.32
Sabab al-i>ra>d, dapat dikatakan sebagai sebab, faktor, atau motivasi periwayatan dan penggunaan hadis oleh para perawi, tak terkecuali perawi pada
tingkat Sahabat. Teori sabab al-i>ra>d ini bisa dibilang sebagai turunan dari teori
sabab al-wuru>d. Hanya saja objek keduanya yang berbeda. Berkenaan dengan
(pengajaran nilai-nilai luhur atau pendidikan etika tingkat tinggi) al-ta’dīb (penertiban
masyarakat atau pendidikan pekerti) al-tajarrud an al-irshād (pernyataan tanpa motif
tertentu). Dari kedua belas kategori tersebut, menurut Ibn Ashūr, hanya satu yang perlu
mendapat perhatian serius, yaitu al-tashri‘. Selengkapnya, lihat Muhammad Ṭāhir Ibn
‗A>shūr, Maqāṣid al-Sharī’ah al-Islāmiyyah. (Tunis: Dar al-Salam, 2009), 29. Akan tetapi, pemilahan sabda dan tindakan Nabi menjadi sunnah tashri’iyyah dan non
tashri’iyyah tersebut melahirkan pro dan kontra di kalangan para sarjana Muslim, sebut
saja misalnya Abū Layth yang mengatakan bahwa sunnah Nabi seluruhnya adalah
tashri’. Persoalan mubah seperti makan, minum, tidur, berpakaian dan berjalan
merupakan bagian dari syari‘at Islam, karena hukum mubah merupakan bagian dari al-
Berkenaan dengan fungsi asbāb al-wurūd ini, sarjana Muslim seperti Ṭāriq
Asad Halīmi, sebagaimana dikutip M. Khairul Huda, pernah menegaskan bahwa
diskursus asbāb al-wurūd pada era klasik cenderung berkutat dalam kerangka
periwayatan. Dengan perkataan lain, asbāb al-wurūd hanya digunakan sebagai instrumen
untuk menguji akurasi periwayatan hadis serta keragaman redaksi. (Ciputat: el-Bukhari
Institute, 2019), 9. 32 T}a>riq As’ad H}ali>mi>, ‘Ilm Asba>b Wuru>d al-H}adi>th wa Tat}bi>qa>tihi> ‘inda al-
Muh}addithi>n wa al-Us}u>liyyi>n, 106. Bandingkan dengan Ahmad Ubaydi Hasbillah, Ilmu Living Quran-Hadis: Ontologi, Efistemologi, dan Aksiologi (Ciputat: Maktabah
Darussunnah, 2019), 132.
30
teori ini, penulis mengamini apa yang dikatakan Ahmad Ubaydi Hasbillah bahwa dalam diskursus ilmu hadis konvensional, teori ini dapat dikatakan
sebagai teori yang tidak populer di kalangan para pengkaji hadis. Bahkan,
sebagian pembaca hadis kerap kali keliru dalam memahami latar belakang
sebuah hadis, yang semestinya dikategorikan sebagai sabab al-i>ra>d, namun ia
sebut sebagai sabab al-wuru>d. Padahal,—sekali lagi—objek keduanya tentu saja berbeda.
33
Masih menurut Ahmad Ubaydi Hasbillah, teori sabab al-i>ra>d ini berfungsi untuk menjelaskan latar belakang atau motivasi periwayatan hadis,
bukan latar belakang kemunculan hadis. Latar belakang munculnya hadis (sabab
al-wuru>d) terjadi pada saat sebuah hadis diucapkan oleh Nabi, sedangkan latar
belakang penyampaian atau penggunaan hadis (sabab al-i>ra>d) adalah konteks,
kondisi, latar belakang atau motivasi para periwayat dalam menyampaikan
sebuah hadis.34
Sebagaimana halnya sabab al-wuru>d, bentuk sabab al-i>ra>d ini pun bisa berupa pertanyaan kepada para Sahabat atau peristiwa tertentu yang
mendorong mereka untuk meresponsnya dan menyampaikan hadis Nabi.35
Namun, sekali lagi, baik sabab al-wuru>d maupun sabab al-i>ra>d, keduanya kerap
kali menyatu secara langsung dengan batang tubuh teks hadis, sehingga para
pengkaji hadis boleh jadi akan sulit membedakannya.
Terlepas dari itu, penulis belum dapat memastikan, siapa sebetulnya
orang yang pertama kali memunculkan istilah sabab al-i>ra>d untuk menunjuk konteks peristiwa yang melatari penggunaan hadis oleh para Sahabat. Pasalnya,
pada era klasik, istilah yang digunakan adalah sabab ba’da ‘as}r al-nubuwwah
(sabab al-wuru>d pasca masa Nabi). Hal itu, sebagaimana digunakan oleh Ibn
H}amzah al-Dimashqi> (w 1120 H) dalam karyanya al-Bayān wa al-Ta’rīf fī
Asbāb Wurūd al-Ḥadīth al-Sharīf.36
Bahkan, dialah ulama hadis yang pertama kali meletakan konsep dasar teori ini, meskipun belum dikonseptualisasikan
secara lebih jauh.
Pada era kontemporer, istilah yang digunakan al-Dimashqi> tersebut
mendapat kritikan dari Muh}ammad bin Muh}ammad Abu> Shuhbah. Menurutnya,
konteks pengutipan atau penggunaan hadis oleh para Sahabat bukanlah sabab al-wuru>d—apa pun itu namanya, termasuk penamaan dengan istilah sabab ba’da
‘as}r al-nubuwwah. Karena yang dimaksud dengan sabab al-wuru>d ialah sebab atau konteks yang melatari kemunculan sabda Nabi. Adapun konteks yang
33
Ahmad Ubaydi Hasbillah, Ilmu Living Quran-Hadis: Ontologi, Efistemologi,
dan Aksiologi, 132. 34
Ahmad Ubaydi Hasbillah, Ilmu Living Quran-Hadis: Ontologi, Efistemologi,
dan Aksiologi, 133. 35 Ragam contoh mengenai hal ini, akan dijelaskan pada bab IV. 36
Ibn H>}amzah al-Dimashqi al-Ḥusaini, al-Bayān wa al-Ta’rīf fi Āsbāb al-
melatari atau memotivasi para Sahabat dalam menyampaikan hadis Nabi lebih
tepatnya disebut sebagai sabab al-dhikr atau sabab dhikr al-h}adi>th.37
Hal lainnya yang perlu dikemukakan di sini ialah, berbeda dengan al-
Dimashqi, Ahmad Ubaydi Hasbillah mencoba memberikan distingsi baru
dengan cara mengembangkan cakupan teori tersebut secara lebih luas. Jika
sebelumnya al-Dimashqi hanya membatasi cakupan teori tersebut pada konteks
dan motivasi yang melatari penyampaian dan penggunaan hadis oleh para
Sahabat, maka dalam hal ini Ubaydi Hasbillah memperluas cakupannya meliputi konteks penyampaian dan penggunaan hadis oleh para perawi secara umum,
tanpa terkecuali. Hal ini ia lakukan dalam rangka pengembangan ilmu Living
Hadis.38
Selanjutnya, berkenaan dengan fungsi sabab al-i>ra>d ini, penulis menilai
bahwa teori ini menarik untuk dikembangkan lebih lanjut, terutama sebagai instrumen atau perangkat metodologis dalam memahami hadis Nabi. Terlebih,
tidak semua hadis Nabi dapat diketahui konteks peristiwa kemunculannya. Hal
ini tentu menyulitkan para pengkaji hadis dalam memahami pesan-pesan
kenabian secara holistik. Bahkan, salah satu hal yang menarik adalah, dalam beberapa literatur hadis, kerap dijumpai hadis-hadis yang—tanpa diketahui
dalam konteks apa Nabi mengucapkannya,—tiba-tiba dikutip atau baru
disampaikan kembali oleh para Sahabat pada generasi berikutnya, terutama untuk merespons suatu peristiwa ketika berinteraksi dengan generasi tabiin.
Pengutipan dan penggunaan hadis oleh para Sahabat semacam ini, tentu
menjadi perhatian tersendiri yang menarik untuk dikaji. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa para Sahabat, sebagai saksi sejarah kenabian, telah
memproduksi konteks baru penggunaan dan pengamalan sebuah hadis, di mana
konteks awalnya sendiri adakalanya tidak dapat diketahui. Dalam kasus yang terakhir ini, dapat diajukan sebuah pertanyaan kritis yaitu, jika dalam berbagai
literatur dikatakan bahwa para Sahabat adalah generasi yang paling tahu tentang
Islam setelah Nabi—karena menyaksikan langsung proses turunnya wahyu
kepada Nabi, sehingga dianggap sebagai generasi yang paling mengerti tentang bagaimana semestinya ajaran Islam dipahami dan dipraktikkan,—maka
pertanyaan yang muncul kemudian ialah, apakah konteks peristiwa yang melatari
penggunaan hadis oleh para Sahabat ini dapat menjadi sebuah instrumen atau perangkat metodologis dalam memahami dan menjelaskan hadis-hadis yang
tidak diketahui konteks awal diucapkannya oleh Nabi? Dalam bahasa yang lebih
sederhana, mungkinkah sabab al-i>ra>d dapat menggantikan fungsi dan posisi
sabab al-wuru>d sebagai instrumen dalam memahami hadis Nabi?
Sebagaimana disinggung di atas, Ibn Ḥamzah al-Dimashqi> mengkategorikan konteks historis yang melatari penggunaan hadis oleh generasi
37
Muḥammad bin Muḥammad Abū Shuhbah, al-Wasīṭ fī Ulūm wa Muṣṭalaḥ al-
Ḥadīth (Kuwait: ‗Ālam al-Ma‘rifah, 1983), 126. 38
Selengkapnya, lihat karya Ahmad Ubaydi Hasbillah, Ilmu Living Quran-
Hadis: Ontologi, Efistemologi, dan Aksiologi, 133.
32
Sahabat sebagai bagian dari sabab al-wuru>d. Ia menyebutnya dengan istilah sabab al-wurūd pasca masa Nabi (sabab al-wurūd ba’da ‘aṣr al-Nubuwwah) dan
membedakannya dengan sabab al-wurūd pada masa Nabi (sabab al-wurūd fī ‘aṣr al-Nubuwwah).
39 Yang menarik adalah, ia mengatakan bahwa konteks
historis yang melatari penggunaan hadis oleh generasi Sahabat dapat menjadi
sebuah instrumen atau perangkat metodologis dalam memahami dan
menjelaskan substansi hadis yang tidak diketahui konteks awal diucapkannya oleh Nabi. Argumentasi yang dibangun ialah, karena para Sahabat adalah
generasi yang menyaksikan langsung perkataan dan perbuatan Nabi. Mereka
juga senantiasa merawat tradisi kenabian dengan baik.40
Atas dasar itu, al-
Dimashqi> seolah ingin menegaskan bahwa, meskipun sebuah hadis baru
digunakan atau dimunculkan kembali oleh para Sahabat untuk merespons peristiwa tertentu pada era belakangan, tetapi konteks peristiwa yang melatari
mereka mengutip atau menggunakan hadis tersebut sangat identik dengan
konteks peristiwa yang melatari Nabi mengucapkannya untuk pertama kali.
Artinya, pengutipan atau penggunaan tersebut tentu didasarkan pada pengetahuan mereka tentang konteks awal yang melatari Nabi mengucapkan
hadis tersebut, sehingga mereka tidak mungkin menyampaikannya kembali di
luar konteks dan peristiwa yang sama. Namun demikian, pandangan al-Dimashqi ini perlu diuji terlebih dahulu. Oleh karenanya, pada bab keempat nanti, penulis
akan menunjukkan implikasi dari penelitian ini terhadap pandangan al-Dimashqi
tersebut.
Di bawah ini adalah contoh dari sabab al-i>ra>d.
أخرج مرواف اامنلػر ف يػوـ ع د، فػلدأ : عن طارؽ بن اب، عن أيب سع د اادري، قاؿ ـ قػلل ااصيالة، فػقاؿ رجل طل ، ول يكن : باا ـ، أخرجت اامنلػر ف ىذا اا ػوـ يا مرواف خاا ت ااسني
ـ قػلل ااصيالة، ول يكن يػلدأ ا، فػقاؿ أبو سع د طل أميا ىذا فػقد قضى ما ع و، : رج، وبدأت بااعت رسوؿ اا يو يى اهلل ع و وس يم، يػقوؿ من رأى منكم منكرا، فاستطاع أف يػغ ػره ب ده، »:
فػ ػغ ػره ب ده، فإف ل يستطع، فل سانو، فإف ل يستطع، فلق لو، وذاك أ ع ااا اف
39 Kategorisasi ini adalah murni hasil inovasi pemikiran Ibn Hamzah al-
Dimashqi yang tidak dijumpai dalam berbagai literatur hadis klasik, terutama yang
berkenaan dengan asbāb al-wurūd. Sejauh yang bisa dilacak, beberapa literatur yang
berkenaan dengan asbāb al-wurūd lainnya hanya memaknai asbāb al-wurūd sebagai
sebab, faktor atau konteks yang melatari Nabi mengucapkan sebuah hadis. Lihat
misalnya, Abd al-Raḥmān bin Abī Bakr Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, al-Luma’fī Asbāb Wurūd
al-Ḥadith (Beirut: Da>r al-Fikr, 1996). 40
Ibn H}amzah al-Dimashqi> al-Ḥusayni>,al-Bayān wa al-Ta’rīf fi Āsbāb al-
فإف ااصحابـ ر ي اهلل عن م ح ظوا األقواؿ واألفعاؿ وحافظوا ع ى األطوار واألحواؿ ف كوف ااسلب ف ااورود عن م مل نا ملا ل يع م سللو عن اانيب ى اهلل ع و وس م
33
Dari T>}ariq bin Shiha>b, dari Abu > Sa’i>d al-Khudriy, ia berkata: Marwan mengeluarkan mimbar pada hari id. Ia memulainya dengan
melaksanakan khutbah terlebih dahulu. Salah seorang dari jamaah berkata: Wahai Marwan, engkau telah menyalahi sunnah. Mengeluarkan
mimbar lalu memulai dengan khutbah, bukan dengan shalat. Abu > Sa’i >d
al-Khudriy berkata: Ini telah bertentangan dengan apa yang pernah Nabi contohkan. Aku pernah mendengar Nabi bersabda: Barang siapa di
antara kalian yang melihat kemungkaran, dan ia mampu mengubahnya
dengan tangan, maka ubahlah dengan tangan. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya. Dan itu
selemah-lemahnya iman. (HR. Muslim).41
Hadis ini dapat dijumpai dalam beberapa kitab induk hadis, di antaranya
ialah S>}ah}i>h} Muslim dan Sunan Ibn Ma>jah.42
Sementara itu, secara historis-
kronologis, tak dapat dijumpai apa konteks peristiwa (sabab al-wuru>d) yang melatari Nabi mengucapkannya untuk pertama kali. Beberapa riwayat yang ada
hanya menyebutkan bahwa hadis tersebut disampaikan pada era belakangan,
tepatnya pada masa khalifah Marwan bin Hakam. Pada narasi di atas,
diinformasikan bahwa hadis tersebut disampaikan oleh Sahabat bernama Abu >
Sa’i>d al-Khudriy sebagai respons atas tindakan kontroversial khalifah Marwan
yang mendahulukan khutbah sebelum shalat id, di mana hal itu bertentangan dengan apa yang pernah dicontohkan oleh Nabi, yaitu memulainya dengan shalat
id terlebih dahulu, bukan dengan khutbah. Melihat tindakan Marwan tersebut,
Abu> Sa’i>d al-Khudriy langsung menegurnya kemudian menyampaikan hadis di atas.
Berdasarkan narasi di atas, dapat dipahami bahwa konteks peristiwa
yang melatari Abu> Sa’i>d al-Khudriy dalam menyampaikan hadis di atas
merupakan contoh dari sabab al-i>ra>d, bukan sababal-wuru>d. Ia menilai bahwa tindakan Marwan tersebut merupakan bentuk kemungkaran yang harus dicegah,
sehingga ia langsung menegurnya dengan cara menyampaikan hadis yang pernah
ia dengar dari Nabi. Kendati demikian, penulis menyangsikan bahwa Nabi
menyampaikan hadis tersebut pada konteks dan peristiwa yang sama. Dalam hal
ini, penulis berada dalam dugaan kuat, bahwa Abu> Sa’i>d al-Khudriy
menyampaikan hadis di atas karena pesan moral yang terkandung di dalamnya dianggap relevan dengan kasus yang ia hadapi.
Tak hanya itu, hal lainnya yang menarik dikemukakan di sini ialah,
bahwa narasi tentang konteks peristiwa yang melatari Sahabat menyampaikan
sebuah hadis (sabab al-i>ra>d) adakalanya tidak menyatu langsung dengan batang tubuh teks hadis, tetapi dapat dijumpai melalui data kesejarahan yang terekam
41
Muslim bin H}>>>>ajja>j al-Naysabu>ri>, S}ah}i>h} Muslim 3, 1391. 42
Abu > ‗Abd Alla>h Muh}ammad bin Yazi>d al-Qazwayni >, Sunan Ibn Ma>jah
(Beirut: Da>r al-Risa>lah, 2009), 5, 145; Muh}ammad bin H}ibban bin Ah}mad bin H}ibban
bin Mu’a>dh bin Ma‘bad al-Tami>mi>, al-Ih}sa>n fi> Taqri>b S}ah}i>h} Ibn H}ibban (Beirut:
Muassasah al-Risa>lah, 1988), 1, 542.
34
dalam kitab si>rah, ta>ri>kh, t}abaqa>t, dan lain sebagainya. Melalui pembacaan terhadap data-data kesejarahan, dapat diketahui bagaimana kemudian seorang
Sahabat, mengutip atau menggunakan otoritas hadis untuk merespons peristiwa tertentu yang terjadi pada era belakangan pasca wafatnya Nabi, terutama ketika
berinteraksi dengan para tabiin.43
Di bawah ini adalah contoh hadis Nabi yang sabab al-irad-nya dapat
dijumpai dalam kitab t}abaqa>t.
جاء علد اهلل بن عمر إل علد اهلل بن مط ع حني اف من أمر الرية ما اف، : عن نافع، قاؿ ـ، فػقاؿ إن ل آتك ألج س، أتػ تك : اطرحوا أليب علد ااري ن وسادة، فػقاؿ : زمن ي يد بن معاوي
عت رسوؿ اهلل يى اهلل ع و وس يم يػقواو ك حدييا عت رسوؿ اهلل يى اهلل ع و وس يم : ألحد ـ، »: يػقوؿ ـ او، ومن مات وا س ف عنقو بػ ػع ـ ل حجي ـ، اقي اهلل يػوـ ااق ام من خ ع يدا من طاع
ـ جاى يـ «مات م ت―Dari Nafi‘, ia berkata: Abd Allah bin Umar mendatangi ‗Abd Allah bin Muthi‘ pada saat memimpin negeri Harrah, tepatnya pada masa khilafah
Yazid bin Mu‘awiyah. ‗Abd Allah bin Muthi berkata: Berikanlah alas
kepada Abi Abd al-Rahman (‗Abd Allah bin Umar). ‗Abd Allah bin Umar berkata: Sesungguhnya aku mendatangimu bukan untuk duduk,
melainkan untuk menyampaikan sebuah hadis yang pernah aku dengar
dari Nabi SAW. Beliau bersabda: Barang siapa yang melepaskan
tangannya dari ketaatan, maka dia akan menemui Allah pada hari kiamat nanti tanpa memiliki hujjah. Dan barang siapa yang mati, sedangkan di
pundaknya tidak ada baiat, maka ia telah mati dalam keadaan jahiliyah
(H.R. Muslim).44
Berdasarkan pelacakan penulis atas berbagai sumber hadis, tak dapat
diketahui dalam konteks apa sebetulnya Nabi mengucapkan hadis tersebut untuk pertama kali. Hal ini tentu menyulitkan para pengkaji hadis dalam
memahaminya secara holistik. Pasalnya, narasi di atas secara eksplisit hanya
menunjukkan bahwa hadis tersebut pernah disampaikan pada era belakangan
43 Hadis dan sejarah Islam (sirah) pada dasarnya merupakan dua cabang disiplin
ilmu yang memiliki keterkaitan erat. Kajian sejarah Islam pada mulanya merupakan
cabang dari studi hadis, sehingga dapat dipastikan bahwa historiografi Islam yang lebih
awal banyak dipengaruhi oleh studi hadis. Namun, yang terjadi kemudian adalah, kedua
cabang disiplin ilmu itu cenderung berjalan sendiri-sendiri dan seolah tidak ada
keterkaitan antara keduanya. Apalagi setelah sejarawan Muslim mengadopsi metode
kritik historis dari Barat, maka hubungan antara studi hadis dan historiografi Islam
semakin menjauh. Selengkapnya, lihat Ahmad Ubayd Hasbillah, Sirah Nabawiyah dan Demitologisasi Kehidupan Nabi, Journal of Quran and Hadith Studies, Vol. 1, No. 2,
2012 (Juli-Desember 2012), 256. 44
Lihat Muslim bin H}>>>>ajja>j al-Naysabu>ri>, S}ah}i>h} Muslim, Vol. 3, 1478. Nomor
hadis: 1851.
35
oleh ‗Abd Allah bin ‗Umar kepada ‗Abd Allah bin Muti‘, tepatnya pada saat terjadinya fitnah di masa khilafah Yazid bin Mu‘awiyah. Akan tetapi, itu pun
tidak begitu jelas dalam konteks apa sebetulnya ‗Abd Allah bin ‗Umar
menyampaikan hadis tersebut. Beberapa kitab induk hadis lainnya yang merekam keberadaan hadis tersebut juga hanya menyuguhkan narasi yang
sama.45
Ketiadaan informasi terkait hal ini, mendorong penulis untuk menelisik sumber lain di luar kitab-kitab hadis dengan harapan mampu menemukan
konteks pengutipan dan penggunaannya dalam pentas sejarah Islam. Setelah
dilakukan pelacakan terhadap kitab-kitab sejarah dan t}abaqa>t, salah satunya
kitab al-T}abaqa>t al-Kubra> karya Ibn Sa‘d, ditemukan riwayat sebagai berikut.
ـ بن مميد بن علد اا يو بن مط ع ـ " عن أم ي أفي علد اا يو بن مط ع أراد أف ي ري من اامدينـ فسمع بذاك علد اا يو بن عمر ـ ي يد بن معاوي ن أين تريد يا ابن : قاؿ . ف رج إا و ح ي جاءه , ا ال فتػ
ـ أبدا : عم؟ فػقاؿ عت رسوؿ اا يو , يا ابن عم : فػقاؿ , ل أعط م طاع ل تػ عل؛ فإن أ د أن ـ جاى يـ »: ى اهلل ع و وس م يػقوؿ ـ ع و مات م ت ع « من مات ول بػ ػ
―Dari Umayah bin Muhammad bin ‗Abdullah bin Mut }i>, bahwa
‗Abdullah bin Mut }i> hendak melarikan diri dari Madinah pada malam
terjadinya fitnah Yazi>d bin Mu’a>wiyah. ‘Abdulla>h bin ‘Umar
mendengarnya kemudian ia keluar untuk mendatangi‗Abdullah bin Mut }i
dan berkata: Kemanakah engkau wahai anak pamanku? ‗Abdullah bin
Mut}i> menjawab: Sungguh aku enggan menaati mereka (khali>fah Yazi>d
bin Mu’a>wiyah) selamanya. Lalu ‘Abdulla>h bin ‘Umar berkata, wahai
anak pamanku, janganlah kau lakukan itu. Sesungguhnya aku bersaksi
bahwa aku telah mendengar Rasu>lullah saw bersabda: Barangsiapa yang
mati,sementara dalam dirinya tidak terdapat baiat, maka ia telah mati
dalam keadaan jahiliyah.‛46
Berdasarkan riwayat di atas, dapat diketahui bahwa hadis tersebut pernah disampaikan pada era belakangan oleh ‗Abd Allah bin ‗Umar, tepatnya
pada saat terjadinya fitnah di masa khilafah Yazid bin Mu‘awiyah.
Diinformasikan bahwa hadis di atas disampaikan ‗Abd Allah bin ‗Umar
berkenaan dengan kasus ‗Abd Alla>h bin Muṭī‘ yang hendak melarikan diri dari
Madinah karena enggan menaati khalifah Yazīd bin Mu‘āwiyah. Hal itu,
tepatnya pada saat terjadinya fitnah dimasa khali>fah Yazīd bin Mu’a>wiyah. Mendengar kabar tersebut, ‗Abd Allah bin ‗Umar langsung bergegas
45
Lihat misalnya Abu ‗Awānah Ya‘qūb bin Isḥāq al-Asfara‘anī, Musnad Abī
‘Awānah (Beirut: Dār al-Ma‘rifah, tt), Vol. 4, 416; Abu al-Qa>sim Sulayma>n bin Ah{mad
al-T{abara>ni>, Mu’jam al-Ausa>t} (Kairo:Dār al-Ḥaramain, tt), 78; Ah{mad bin H{usein bin
Alī bin Mūsa Abū Bakr al-Bayhāqi>, Sunan al-Bayha>qi> (Mekkah: Da>r al-Ba>z, 1994),156;
Ibn H{ibba>n, S{ah}i>h} Ibn H{ibba>n, Vol. 10, 439. 46
Abu > ‗Abd Alla>h Muhammad bin Sa‘d bin Mani>’ al-Bas}ri> al-Zuhri>, al-T{abaqa>t al-Kubra> (Beirut: Da>r S{a>dir, tt), 144.
36
menghampiri ‗Abd Alla>h bin Muṭī‘ untuk mencegah kepergiannya kemudian menyampaikan hadis di atas.
47
Sampai di sini, dapat dipahami bahwa ‗Abd Allah bin ‗Umar mengutip atau menyampaikan hadis di atas tak lain ialah sebagai respons atas tindakan
‗Abd Allah bin Muthi. Dari sini, point penting yang ingin penulis tegaskan ialah,
bahwa konteks historis yang melatari dan memotivasi ‗Abd Allah bin ‗Umar dalam menyampaikan hadis di atas merupakan contoh dari sabab al-irad yang
terekam dalam data-data kesejarahan, bukan dalam kitab-kitab induk hadis. Data
tersebut, di saat yang sama juga kian meneguhkan bahwa hadis dan sejarah
adalah dua entitas yang meskipun berbeda namun tak dapat dipisahkan.
Melalui uraian di atas, secara umum penulis ingin menegaskan satu hal,
bahwa dalam diskursus ilmu hadis, terdapat istilah dan teori tersendiri untuk menunjuk konteks dan motivasi penggunaan hadis oleh para Sahabat. Ibn
H>}amzah al-Dimashqi> menyebutnya dengan istilah sabab ba’da ‘as}r al-
nubuwwah, Muh}ammad Abu> Shuhbah menyebutnya dengan istilah sabab al-
dhikr, sedangkan beberapa sarjana lain, di antaranya T}a>riq As’ad H}alimi dan
Ahmad Ubaydi Hasbillah menyebutnya dengan istilah sabab al-i>ra>d. Teori inilah yang selanjutnya akan penulis gunakan untuk membaca dan mengurai dinamika
penggunaan hadis oleh Sahabat Nabi.
C. Riwayat Bi al-Ma’na>: Preseden Fleksibelitas Periwayatan Hadis
Eksistensi hadis, sebelum dikodifikasi dalam sejumlah kitab induk hadis
(Ummaha>t al-Kutub al-H>}adi>thiyah) sebagaimana dapat dijumpai saat ini,
terlebih dahulu harus melewati dinamika sejarah yang cukup kompleks. Ia
dihimpun melalui proses kegiatan yang disebut dengan istilah ‗periwayatan‘ (al-
riwa>yah).48
Kegiatan ini berlangsung dalam rentang waktu yang cukup lama.
47
Beberapa sarjana Muslim kontemporer menolak otentisitas hadis yang
kemunculannya diwarnai oleh nuansa politik atau fitnah (fitan). Sebagai sebuah contoh,
tokoh sekaliber Muhammad Abduh misalnya, sebagaimana dikutip Mun‘im Sirry,
kmenolak hadis-hadis fitnah, kendatipun hadis-hadis tersebut dapat dijumpai dalam kitab-kitab hadis Ṣaḥīḥ. Lihat Mun‘im Sirry, Tradisi intelektual Islam; Rekonfigurasi
Sumber Otoritas Agama, (Malang: Madani, 2015), 82. 48 Penting dicatat, bahwa tradisi periwayatan bukanlah sesuatu yang baru dalam
pentas sejarah. Sebelum kemunculan Islam, tradisi periwayatan sudah ada di kalangan
bangsa Persia, Yunani, Romawi, Hindia, dan lain sebagainya. Mereka sangat berpegang
tegung pada periwayatan dalam menukil dan menghafal keturunan para pembesar dan
sejarah para pahlawannya. Begitu pula untuk merekam berbagai peristiwa, peperangan,
sya‘ir-sya‘ir dan kisah-kisah yang mereka gunakan untuk menghubungkan kejadian masa
kini dengan masa silam. Sementara itu, di kalangan bangsa Arab pra Islam, tradisi
periwayatan juga digunakan bahkan dapat dikatakan sangat merebak, terlebih karena
mereka pada umumnya adalah masyarakat yang tidak mengenal tradisi membaca dan
menulis. Oleh karenanya, sebagaimana halnya bangsa lain, mereka juga sangat berpegang teguh pada periwayatan, baik untuk menghafal silsilah keturunan, peristiwa-
peristiwa penting, dan lain sebagainya.
Namun, setelah kemunculan Islam, tradisi periwayatan memiliki distingsi
tersendiri, di mana Islam sangat memperhatikan otentisitas dan akurasi sebuah
37
Pada awalnya, hadis merupakan hasil kesaksian para Sahabat terhadap
perkataan, perbuatan, ketetapan (taqri>r) dan segala hal yang berkenaan dengan
Nabi SAW. Apa yang disaksikan oleh para Sahabat, kemudian diriwayatkan
kembali kepada generasi setelahnya (tabi >’i>n) dan begitu seterusnya. Kegiatan
periwayatan ini terus berlanjut secara estafet hingga kemudian dihimpun dalam
sejumlah kitab kumpulan hadis semisal al-Kutub al-Sittah dan beberapa jenis kitab lainnya. Kumpulan kitab itulah yang kemudian menjadi sumber
pengetahuan dan rujukan hadis bagi generasi setelahnya bahkan sampai saat
ini.49
Transformasi hadis dari bentuk verbal ke dalam bentuk tulisan menjadikannya tidak lagi berubah dan berkembang, tetapi terekam dalam bentuk
yang terstuktur dan terorganisasi.50
Dalam konteks periwayatan hadis, ada dua model atau bentuk periwayatan yang digunakan para ulama hadis; pertama, ialah periwayatan
secara lafal (al-riwa>yah bi al-lafz }i>) dan kedua, ialah periwayatan secara makna
(al-riwa>yah bi al-ma’na >). Ah}mad ‗Umar Ha>shim mendefinisikan bahwa yang
dimaksud riwayat bi al-lafz}i> ialah periwayatan atau penyampaian hadis sesuai
apa yang dikemukakan periwayat sebelumnya dan dengan lafadz yang didengarnya tanpa ada perubahan atau pergantian, penambahan atau
pengurangan, dan tanpa mendahulukan (suatu lafal) atau mengakhirkannya.51
Dengan pengertian yang lain, riwayat bi al-lafz}i> adalah periwayatan hadis secara tekstual, di mana seorang periwayat menyampaikan redaksi hadis secara persis
sesuai apa yang disabdakan oleh Nabi untuk pertama kali tanpa adanya
penambahan ataupun pengurangan sedikit pun. Periwayatan semacam ini dianggap sebagai bentuk periwayatan terbaik dalam memelihara kemurnian
hadis.52
Segelintir Sahabat sangat menjaga ketat riwayat bi al-lafz}i> ini.53
Sementara itu, yang dimaksud riwayat bi al-ma’na> ialah penyampaian
atau periwayatan hadis berdasarkan maknanya, baik seluruh lafaznya dari
periwayat atau hanya sebagiannya saja dengan syarat ia memelihara pesan dan
maknanya.54
Dengan pengertian lain, riwayat bi al- ma’na > ialah periwayatan
periwayatan dengan berbagai intsrumen yang menyertainya semisal ilmu al-Jarh} wa al-Ta’di>l. Ini tentu saja berbeda dengan tradisi periwayatan yang berlaku pada masa
sebelumnya, di mana mereka kurang memperhatikan otentisitas, sehingga
periwayatannya lebih banyak terkontaminasi oleh hal-hal yang berbau mitologi dan
hadis secara substansial, di mana para periwayat, tak terkecuali para sahabat, hanya menyampaikan pesan atau substansi yang terkandung di dalam matan
hadis, sedangkan redaksinya disusun sendiri oleh mereka. Jika dibandingkan
dengan riwayat bi al-lafz}i>, periwayatan hadis bi al-ma’na> adalah yang paling dominan dalam sejarah periwayatan hadis. Para ulama ahli hadis bersepakat
bahwa sebagian besar hadis Nabi diriwayatkan dengan cara ini.55
Pertanyaannya ialah, bagaimana pandangan para ulama terkait dua
model periwayatan tersebut? Adakah perdebatan akademik terkait hal itu?
Dalam berbagai literatur hadis dijelaskan bahwa terkait model periwayatan
pertama, tidak ditemukan adanya perdebatan di kalangan para ulama klasik. Sedangkan model periwayatan kedua, yaitu riwayat bi al-ma’na, terjadi
perdebatan yang cukup alot di kalangan para ulama. Bahkan, perdebatan terkait
hal ini cukup menguras energi para ulama yang kemudian melahirkan dua kubu yang saling bertentangan secara diametral. Masing-masing kubu memiliki
argumentasi yang kuat sebagai dasar legitimasi, baik secara teologis, maupun
secara logika.
Di kalangan Sahabat, tokoh seperti ‗Umar bin Khat}a>b, ‘Abd Alla>h bin
‗Umar, dan Zayd bin Arqam cukup ketat dalam menjaga periwayatan bi al-lafz }i> dan menghindari riwayat bi al-ma’na. Kendati demikian, mereka tidak secara
tegas melarang riwayat bi al-ma’na..56 Lain halnya dengan beberapa tokoh
generasi setelahnya semisal al-Qa>sim bin Muh}ammad, Muh}ammad bin Si>ri>n,
Qa>d}i> ‗Iya>d, dan Ma>lik bin Anas yang melarang keras riwayat bi al-ma’na, tanpa
terkecuali. Alasannya, karena riwayat bi al-ma’na> potensial melahirkan distorsi
dan perubahan pada makna hadis.57
Salah satu ilustrasinya ialah, kalau seorang
periwayat diperbolehkan mengganti redaksi hadis dengan redaksinya sendiri, maka hal yang sama juga akan terjadi pada periwayat berikutnya. Dan hal itu
akan terus berlanjut pada beberapa fase berikutnya, sehingga potensial
menghilangkan pesan inti yang terkandung dalam hadis. Seorang periwayat, meskipun telah berusaha mengalih-bahasakan sebuah hadis dengan cermat,
namun hasilnya akan sulit terhindar dari perubahan meskipun hanya sedikit.58
Bahkan, di antara pendukung kelompok ini ada yang berpendapat bahwa seorang periwayat harus menyampaikan hadis secara persis sesuai apa yang ia dengar
dari gurunya meskipun terdapat kekeliruan dari segi ejaannya. Ibn S}}ala>h},
sebagaimana dikutip Ibn Kathi>r, menyebut mereka sebagai Mazhab Pengikut
Lafaz yang Ekstrem. (Wa ha>dha> Ghuluwwun fi >> Madhhab al-Itiba>’ al-Lafz}>i>).59
Secara teologis, argumen kelompok ini mengacu pada beberapa hadis antara lain:
نضير اا يو امرأ ع منيا حدييا : "عن علد اهلل بن مسعود قاؿ رسوؿ اا يو يى اا يو ع و وس يم فػربي ملػ ي أوعى من سامع فغ فغ ل غ ها غ غ ا غ م غ ها
Dari ‗Abd Alla>h bin Mas’u >d, bahwa Nabi SAW bersabda: ―Semoga
Allah menjadikan berseri-seri wajah orang-orang yang mendengarkan hadis dari kami kemudian ia menyampaikannya kembali sebagaimana
yang ia dengar. Boleh jadi yang disampaikan lebih memahami daripada
yang mendengar langsung.‖ (HR. Ibn H>}ibba>n).60
Hadis di atas merupakan landasan teologis bagi kelompok yang
mengharuskan riwayat bi al-lafz }i>. Namun demikian, penulis menilai bahwa
petunjuk lafal (dala>lah al-alfa>z}) pada hadis di atas masih terlalu umum untuk
dijadikan sebagai landasan teologis perihal keharusan riwayat bi al-lafz}i>. Lalu,
apa maksud dari redaksi ―fa ballaghahu> kama> sami’a”(menyampaikan
sebagaimana yang ia dengar)?‖ Benarkah yang dimaksud di sana ialah perintah
menyampaikan redaksi hadis secara persis sebagaimana yang didengar dari Nabi? Dalam hal ini, penulis berasumsi bahwa yang dimaksud di sana hanyalah
perintah menyampaikan hadis, meskipun redaksinya berbeda. Asumsi ini
didasarkan pada fakta bahwa tidak ditemukan adanya data yang menunjukkan bahwa Nabi mengucapkan hadis di atas dalam konteks mengharuskan riwayat bi
al-lafz}i>. Secara tekstual, konteks hadis di atas hanyalah apresiasi berupa doa dari
Nabi bagi orang yang mendengarkan hadis darinya dan menyampaikannya kembali. Berpijak pada fakta yang sama, penulis juga berasumsi bahwa
perdebatan terkait model atau bentuk periwayatan yang paling ideal—termasuk
di antaranya terkait boleh atau tidaknya riwayat bi al-ma’na >—baru terjadi pada era belakangan pasca wafatnya Nabi. Sedangkan pada masa Nabi, perdebatan
terkait hal itu sama sekali belum terjadi. Hanya saja, pada era belakangan,
kelompok yang bersikeras mengidealkan model riwayat bi al-lafz}i> berupaya mencari dasar legitimasi, termasuk salah satunya mengutip hadis di atas yang
sebenarnya masih multi tafsir.
Tak hanya itu, fakta menarik lainnya ialah bahwa hadis tersebut
sebenarnya memiliki varian riwayat yang berbeda antara satu dengan yang
lainnya. Sejauh yang bisa dilacak, penulis menemukannya dalam sejumlah kitab
induk hadis, terutama kitab-kitab yang masuk dalam rumpun al-Kutub al-Sittah dengan redaksi yang beragam. Ini artinya, hadis tersebut sesungguhnya
diriwayatkan secara bi al-ma’na, bukan bi al-lafz}i>. Berpijak pada fakta tersebut, dapat dikatakan bahwa mengutip hadis di atas sebagai dasar teologis perihal
60 Muh}ammad bin H}ibban bin Ah}mad bin H}ibban bin Mu’a>dh bin Ma‘bad al-
Tami>mi>, al-Ih}sa>n fi> Taqri>b S}ah}i>h} Ibn H}ibban, Vol. 1, 268. Nomor hadis: 66.
40
keharusan riwayat bi al-lafz }i> bukan hanya inkonsisten, tetapi juga kontradiktif dalam dirinya sendiri.
61
Selain hadis di atas, para ulama juga merujuk pada riwayat dari al-Barra>
bin ‗A>zib sebagai berikut.
إذا أتػ ت مضجعك، فػتػو يأ : " قاؿ اانييب يى اهلل ع و وس يم : عن االػراء بن عازب، قاؿ اا ي مي أس مت وج ي إا ك، وفػوي ت أمري : و وءؾ ا صيالة، ي ا طجع ع ى قك األ ن، ي قل
ـ إا ك، ل م جأ ول منجا منك إلي إا ك، اا ي مي آمنت بكتابك ـ ورىل إا ك، وألأت ظ ري إا ك، رغل تك، فأنت ع ى اا طرة، واجع ني آخر ما تػتك يم اايذي أنػ ات، وبنل ك اايذي أرس ت، فإف متي من ا ػ
tersebut adalah sinonim. Riwayat ini menjadi dasar teologis selanjutnya bagi
kelompok yang mengharuskan riwayat bi al-lafz}i> dalam penyampaian hadis.
Namun, sebagaimana hadis sebelumnya, konteks kemunculan hadis ini juga mesti dipahami secara kritis.
Sebagaimana asumsi yang penulis kemukakan sebelumnya, bahwa
perdebatan terkait model periwayatan yang paling ideal belum muncul pada masa Nabi, sehingga sulit dipastikan bahwa hadis di atas diucapkan Nabi dalam
konteks mengharuskan periwayatan bi al-lafz }i> dan melarang periwayatan bi al-
ma’na >. Secara tekstual, hadis di atas diucapkan oleh Nabi dalam konteks sedang
mendiktekan lafal doa kepada al-Barra> bin ‗A>zib. Sehingga, sebagaimana
umumnya tradisi mendikte, maka seorang murid harus menuliskan redaksi yang sama persis sebagaimana yang diucapkan oleh gurunya. Ia tidak boleh merubah
redaksi meskipun makna dan substansinya sama. Sampai di sini, penulis menilai
bahwa hadis tersebut juga tidak secara pasti menunjukkan keharusan riwayat bi
al-lafz}i>.
Sementara itu, sebagian kelompok lainnya membolehkan periwayatan bi
al-ma’na >. Kelompok ini didukung oleh beberapa tokoh dari kalangan Sahabat
semisal ‗Ali> bin Abi> T}a>lib, ‗Abd Alla>h bin Abba>s, Anas bin Ma>lik, Abu > Darda,
Wathi>lah bin Asqa‘ dan Abu > Hurayrah. Beberapa tokoh dari generasi tabiin
semisal H}asan al-Bas}ri>, al-Sha‘bi>, Amr bin Di>na>r, Ibra>him al-Nakha >‘i>, Muja>hid
dan ‗Ikrimah juga membolehkan model periwayatan seperti ini.63
Begitu pula dengan mayoritas para ulama.
64 Secara logika, kelompok ini menjustifikasi
pandangannya dengan beberapa alasan, salah satunya pada kebolehan
menerjemahkan ajaran Nabi ke dalam bahasa non Arab. Dengan logika yang lebih sederhana, kalau menerjemahkan ajaran Nabi ke dalam bahasa non Arab
saja diperbolehkan, maka menerjemahkan atau mengalih-bahasakannya ke dalam
bahasa yang sama (yaitu bahasa Arab)—meski dengan redaksi berbeda— tentunya lebih diperbolehkan, karena bahasa Arab lebih dekat dengan bahasa
Nabi.65
Secara teologis, kelompok ini mengacu pada beberapa hadis, antara lain ialah:
ـ اا ي يي عن ه ] س ماف بن أ م قػ ت يا رسوؿ اا يو إن أ ع منك »: ، قاؿ [عن أب و،عن جدإذا ل وا حراما ول : الديي ل أستط ع أف أؤديو ما أ ع منك، أزيد حرفا أو أنق حرفا، فػقاؿ
رموا حالل وأ لتم اامع فال بأس
63 Muh}ammad Jama>l al-Di>n bin Muh}ammad Sa’i>d bin Qa>sim al-Halaq al-
Dari Sulayma>n bin Ukaymah al-Laythi> dari bapaknya dari kakeknya, ia berkata: Aku berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mendengar
hadis darimu, tetapi aku tidak bisa menyampaikannya sesuai apa yang aku dengar darimu. Aku menambah satu huruf atau mengurangi satu
huruf. Nabi menjawab: Apabila engkau tidak sampai menghalalkan yang
haram dan mengharamkan yang halal, dan engkau menyampaikannya
dengan maknanya yang benar, maka tidak mengapa. (HR. Al-T>{abara>ni>).
Secara substansial, hadis ini menginformasikan tentang laporan dari
salah seorang Sahabat yang—karena satu dan lain hal—tidak bisa menyampaikan redaksi sabda Nabi secara persis. Maka Nabi pun memberi
dispensasi berupa perumpamaan bahwa ―selama yang bersangkutan tidak
menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal‖, maka tidak menjadi masalah baginya untuk menambah atau mengurangi huruf atau bahkan redaksi
hadis. Melalui hadis ini, Nabi seolah ingin mengatakan bahwa periwayatan
secara maknawi tidak menjadi persoalan selama tidak terjadi distorsi pada makna
hadis. Fakta ini, sekaligus juga menunjukkan bahwa Nabi memberi kriteria yang sangat fleksibel dalam menyampaikan hadis.
Dalam diskursus pemikiran hadis kontemporer, tema ini kembali muncul ke permukaan dan mendapat perhatian serius dari para sarjana Muslim
kontemporer yang memiliki tradisi pembacaan kritis terhadap khazanah
keislaman klasik. Salah satu hal yang patut mendapat perhatian serius ialah,
sebagian mereka menjadikan praktik riwayat bi al-ma’na> sebagai titik pijak untuk mengkritisi kembali hadis-hadis Nabi. Seperti halnya segelintir ulama
klasik yang menolak periwayatan bi al-ma’na >, beberapa sarjana Muslim
kontemporer juga menyangsikan akurasi periwayatan bi al-ma’na> akan betul-
betul persis dan sesuai sebagaimana yang dimaksudkan oleh Nabi ketika
bersabda.
Mahmud Abu > Rayyah, merupakan salah seorang sarjana Muslim
kontemporer yang paling lantang mempersoalkan hal ini. Ia mengatakan bahwa sebagian umat Islam meyakini bahwa seluruh teks hadis yang terekam dalam
berbagai kitab induk hadis sekarang ini adalah sepenuhnya otentik berasal dari
Nabi. Mereka juga meyakini bahwa teks hadis yang sampai kepada para periwayat adalah persis sama sebagaimana yang diucapkan Nabi untuk pertama
kali tanpa adanya distorsi atau perubahan. Padahal, menurutnya, sebagian besar
hadis tersebut diriwayatkan berdasarkan maknanya saja ketika para periwayat
tidak mampu menyampaikan dalam bentuknya yang utuh, baik karena lupa redaksi aslinya, atau karena masa penerimaannya yang sudah melewati rentang
waktu yang cukup lama, sehingga para periwayat hanya bisa menyampaikan apa
yang tersisa dari memorinya setelah daya ingatnya menjadi lemah.66
Selain itu, ia juga mengatakan bahwa para Sahabat sendiri sering kali menyangsikan akurasi
periwayatan hadis secara maknawi ini, apalagi generasi berikutnya. Untuk
66
Selengkapnya, lihat Mah}mu>d Abu> Rayyah, Adwa > ala al-Sunnah al-
Muh}ammadiyyah
43
meneguhkan argumennya, Abu Rayyah memberi ilustrasi bahwa delapan hadis berbeda menggambarkan satu persoalan secara berbeda pula. Akibatnya,
walaupun suatu hadis dianggap berasal dari Nabi, namun tidak ada jaminan
bahwa kandungan maknanya sama.67
Sarjana Muslim kontemporer lainnya yang menyangsikan akurasi
riwayat bi al-ma’na> ialah ‗Abd Alla>h bin Muh}ammad bin Sayid al-Bat}alayu>si>
dalam karyanya al-Ins}a>f fi > al-Tanbi>h ‘Ala > Asba>b al-Ikhtila>f. Sebagaimana
dikutip Muḥammad Shaḥrūr, al-Bat}alayu>si> mengkategorikan riwayat bi al-
ma’na > sebagai salah satu dari delapan faktor yang menyebabkan kecacatan pada
hadis.68
Tak hanya itu, Abu > Layth Khayr Aba>d juga mengatakan bahwa lahirnya kelompok inkar al-sunnah antara lain juga disebabkan karena adanya keraguan
terhadap akurasi riwayat bi al-ma’na>. Sebagai contoh ialah Hafiz } Aslam, yang
mengatakan bahwa semua riwayat yang dinisbatkan kepada Nabi disampaikan secara maknawi, bukan berdasarkan lafal yang berasal dari Nabi. Dan
sebagaimana diketahui, bahwa perubahan lafal meniscayakan adanya perubahan
makna meskipun hanya sedikit.69
67
Selengkapnya, lihat Mah}mu>d Abu> Rayyah, Adwa > ala al-Sunnah al-
Muh}ammadiyyah, 52. Ilustrasi menarik lainnya juga dikemukakan oleh Ghula>m Ji>la>ni>
Barq, ulama Pakistan pendiri kelompok Ahl-al-Quran. Ia secara eksplisit berkata: ―Coba
anda pertimbangkan suatu peristiwa yang disaksikan oleh lima puluh orang. Jika anda menemui mereka satu persatu, maka tanyakanlah kepada mereka tentang apa yang
terjadi. Mereka tentu akan memberikan kesaksian yang berbeda sesuai sudut
pandangnya. Jika anda tunggu satu bulan atau bahkan satu tahun kemudian, perbedaan
itu akan menjadi lebih besar lagi. Tendensi umum semacam ini tentu tidak dapat
dihindari, sehingga tidak sulit untuk dimengerti mengapa muncul berbagai versi berbeda
dan berita berseberangan menyangkut satu peristiwa yang sama‖. Lihat Mun‘im Sirry,
Tradisi Intelektual Islam; Rekonfigurasi Sumber Otoritas Agama,. 68 Delapan faktor tersebut yaitu; rusaknya isna>d. Kedua, dibolehkannya riwayat
secara maknanya saja, bukan secara lafal. Ketiga, ketidaktahuan periwayat terhadap
disusun oleh para shahabat sendiri yang menyaksikan langsung perbuatan dan ketetapan Nabi.
77
Uraian di atas menunjukkan bahwa pendapat yang paling kuat adalah
pendapat mayoritas ulama yang membolehkan riwayat bi al-ma’na >. Kebolehan
ini sekaligus menunjukkan fleksibelitas periwayatan hadis, di mana para Sahabat
sangat tidak mungkin untuk selalu meriwayatkan hadis berdasarkan lafalnya secara utuh, melainkan hanya berdasarkan kandungan atau semangat yang
terkandung di dalam matannya selama tidak mereduksi makna dan bertentangan
dengan syari‘at. Selain itu, penulis menilai bahwa mewajibkan periwayatan
hadis secara lafal tentu akan menyebabkan banyaknya hadis-hadis Nabi yang terisolir begitu saja, mengingat sebagian besar hadis Nabi diriwayatkan secara
maknawi. Pendek kata, model periwayatan bi al-ma’na> adalah suatu keniscayaan yang sulit dihindari dalam konteks transmisi hadis.
77
Hedhri Nadhiran, Periwayatan Hadis bil makna; Implikasi dan
Penerapannya sebagai Uji Kritik Matan di Era Modern. Jurnal Ilmu Agama, Vol. 14, No
2, Desember 2013, 194.
47
BAB III
SAKRALITAS DAN OTORITAS SAHABAT NABI
Pada bab ini, penulis akan mengurai sakralitas dan otoritas Sahabat Nabi. Bagian pertama dari bab ini, akan diawali dengan sub bab terkait keadilan
para Sahabat (‗ada>lah al-s }ah}a>bah) yang penulis anggap sebagai bentuk
sakralitas Sahabat dalam Islam, di mana umat Islam tidak saja dilarang mengkritik para Sahabat, tetapi juga dilarang untuk menyebut hal apa pun
tentang pribadi Sahabat kecuali dengan sebutan-sebutan indah. Selanjutnya, pada
bagian kedua, akan dijelaskan terkait karakteristik Sahabat, salah satunya sebagai imitator tradisi kenabian, di mana mereka—dengan berbagai
ekspresinya—selalu berusaha mengikuti dan meniru-niru apa pun yang
dilakukan oleh Nabi. Pembahasan ini penting untuk diurai sebelum menjelaskan fakta lain—terutama yang menjadi fokus utama penelitian ini—bahwa mereka
juga dalam berbagai kasus sangat fleksibel dalam memahami dan mengutip
sabda Nabi. Pada bagian ketiga, penulis akan menjelaskan tentang posisi Sahabat
sebagai mediator pertama tradisi kenabian yang memiliki peranan penting dalam mentransmisikan ajaran Nabi kepada generasi berikutnya. Sementara itu, bagian
terakhir dari bab ini akan menjelaskan terkait otoritas Sahabat sebagai
representasi ajaran Nabi. Secara umum, pembahasan pada bab ini ingin menunjukkan betapa sentralnya posisi Sahabat dalam Islam.
A. Sakralitas Sahabat Nabi: Sebuah Perdebatan yang Tak Pernah Usai Para ulama klasik berbeda pandangan dalam mendefinisikan Sahabat.
1
Seorang tabiin senior, Sa‘i>d bin Musayyab, mengajukan definisi yang cukup
ketat bahwa seseorang dapat dikategorikan sebagai Sahabat jika pernah membersamai Nabi minimal satu atau dua tahun, dan pernah ikut berperang
minimal satu atau dua kali peperangan.2 Konsekuensi logis dari definisi ini ialah
1 Dalam penelitian ini, penulis hanya mengurai ragam definisi Sahabat secara
singkat. Penjelasan yang sangat elaboratif terkait hal ini telah dilakukan oleh Fuad Jabali.
Ia tidak hanya menginventarisir ragam definisi Sahabat berikut implikasi dan perdebatan
akademik yang menyertainya, tetapi juga mampu memberikan konteks pada saat makna
term Sahabat itu diperluas di setiap generasi. Sebelumnya, beberapa sarjana semisal
Miklos Muranyi hanya mampu menjelaskan bagaimana term Sahabat didefinisikan dan
diperluas maknanya oleh kalangan Muslim dalam lintasan sejarah. Namun—
sebagaimana ditegaskan Fuad Jabali—Muranyi tidak mampu memberikan konteks pada
saat makna term itu diperluas, sehingga esensi definisi Sahabat dibiarkan tidak jelas.
Selengkapnya, lihat Fuad Jabali, Sahabat Nabi: Siapa, Kemana dan Bagaimana?
(Bandung: Mizan, 2010), 39-63. Terkait kontribusi Jabali dalam bidang ini, penulis
setuju dengan apa yang dikatakan Babul Ulum bahwa upaya Jabali yang berhasil melacak ragam konteks di balik lahirnya penafsiran makna Sahabat merupakan sebuah
capaian yang belum tertandingi. Lihat Babul Ulum, Genealogi Hadis Politis; Al-
Muawiyat dalam Kajian Islam Ilmiah (Bandung: Marja, 2018), 45. 2 Abu > al-Fida> Isma>’i>l bin Kathi>r al-Qurashi>, al-Ba’i>th al-Hathi>th Sharh} Ikhtis}a>r
‘Ulu>m al-Hadi>th (Beirut: Da>r al-Kutub al-‗Ilmiyyah, T.th), 179; Abu > ‗Amr ‗Uthma>n bin
bahwa orang yang sekadar pernah bertemu Nabi sesaat, atau berkunjung dan bergumul dengan Nabi dalam beberapa hari, tidak dapat dikategorikan sebagai
Sahabat.3 Sementara itu, al-Bukha >ri> mengajukan definisi yang lebih longgar
bahwa siapa saja dari kalangan umat Islam yang pernah menemani atau melihat
Nabi, maka ia dikategorikan sebagai Sahabat.4 Akan tetapi, definisi ini juga
dinilai gagal mengakomodir Sahabat yang buta seperti Ummi Maktu>m. Oleh karenanya, agar lebih akomodatif, ahli hadis berupaya melakukan sedikit
modifikasi terhadap definisi yang dirumuskan al-Bukha>ri.5 Pada akhirnya, yang
terpilih di antara semuanya ialah definisi yang dirumuskan Ibn H}ajar al-
‘Asqala>ni bahwa Sahabat ialah orang yang semasa hidupnya pernah bertemu
Nabi dalam keadaan Islam dan wafat dalam keadaan Islam.6 Definisi ini dinilai
paling kuat dan menjadi rujukan bagi mayoritas ulama ahli hadis dan sebagian
ahli ushul7 karena mampu mengakomodir berbagai aspek, baik Sahabat yang
berinteraksi lama dengan Nabi ataupun sebentar, baik Sahabat yang pernah meriwayatkan hadis dari Nabi ataupun tidak, baik Sahabat yang pernah ikut
berperang ataupun tidak, baik Sahabat yang sempat melihat Nabi meskipun tidak
pernah duduk bersama, atau tidak pernah melihat Nabi karena sebab tertentu
semisal buta, semua itu dikategorikan sebagai Sahabat apabila pernah bertemu dengan Nabi.
8
Para Sahabat menempati posisi yang sakral dalam Islam. Karakteristik dan tata laku para Sahabat dinilai sebagai bentuk pengejawantahan ideal nilai-
nilai Alquran dan sunnah karena dibimbing dan dididik langsung oleh Nabi
berdasarkan etika Alquran dan sunnah.9 Lebih dari itu, dalam tradisi Sunni,
mereka seolah diposisikan sebagai kumpulan manusia-manusia suci yang
berbeda dengan generasi setelahnya. Abu> H}ani>fah, misalnya, secara eksplisit
pernah mengatakan bahwa para Sahabat tidak boleh diceritakan kecuali
kebaikannya (wala > nadhkuru ah }adan min s }ah }a>bah al-rasu >l illa> bi khayr). Seseorang dituntut sebisa mungkin agar menahan lisannya untuk tidak menyebut
3 Sebagai contoh, ialah Jari>r bin ‘Abd Allah al-Bajali> dan Wa>il bin H}ujr, di
mana keduanya pernah mengunjungi Nabi pada tahun kesembilan hijriah kemudian
masuk Islam. Keduanya bergumul dan meriwayatkan beberapa hadis dari Nabi hanya
dalam beberapa hari sebelum akhirnya kembali. Lihat ‗Ali> Jum’ah, Qawl al-S}ah}a>bi ‘Inda al-Us}u>liyyi>n (Kairo: Da>r al-Risa>lah, 2004), 14.
Abu >‗Abd Alla >h Ah }mad bin Muḥammad bin H}anbal al-Shayba >ni>, Musnad
Ah}mad bin H}anbal (Kairo: Da>r al-H}adi>th, 1995), 3, 505; Abu > Bakr Ah}mad bin ‗Amr bin
‗Abd al-Kha>lik bin Khalad al-‗Atki, Musnad al-Bazzar (al-Madinah al-Munawwarah:
Maktabah al-‗Ulum wa al-Hikam, 2009), 5, 212; Abu > Nu‘aym Ah }mad bin ‗Abd Alla>h
bin Ah }mad al-As}biha>ni>, H}ilyah al-Awliya > wa T}abaqa >t al-As}fiya> (Beirut: Da>r al-Kita>b al-‗Arabiy, 1409 H), 1, 375.
50
menunjukkan betapa Sahabat memiliki posisi yang sangat istimewa dalam Islam yang berbeda dengan generasi lainnya.
15
Para Sahabat dianggap sebagai potret pendidikan Allah dan bimbingan Nabi-Nya yang mesti diteladani. Siapa saja yang hendak melihat ajaran Islam
dari berbagai aspeknya yang telah menjelma dan melebur dalam diri seseorang,
maka hendaklah melihat pada diri para Sahabat (fa man ara >da an yara > al-Isla >m
al-mutajassid fi> shaks }ihim wadhawa >tihim wa khulqihim wa ‘a>da>tihim wa
aqwa >lihim wa af’a >lihim fal yandhur ila > ha>’ula >). Mereka adalah potret Islam
yang benar dan sempurna (mumaththil al-Isla>m al-s }ah}i >h} al-ka>mil) yang belum
terkontaminasi oleh berbagai ajaran menyimpang berupa bid‘ah, khurafat dan
sesat menyesatkan yang muncul dalam pentas sejarah Islam. Mereka adalah tauladan yang paling baik dan sebuah kriteria ideal dalam menentukan
kebenaran. Oleh karena itu, dalam perkembangan berikutnya, segala perkataan,
perbuatan dan jalan berislamnya seseorang yang bertentangan dengan generasi Sahabat, maka hal itu tidak dapat dibenarkan. Alasannya, karena para Sahabat
menyaksikan dan mendengarkan langsung apa pun yang dicontohkan dan
dikatakan oleh Nabi, di mana hal itu tidak pernah disaksikan oleh generasi
setelahnya.16
Mayoritas ulama Ahl al-Sunnah wa al-Jama>’ah mengatakan bahwa
seluruh Sahabat adalah orang-orang yang adil,17
karena Allah dan Nabi-Nya telah memuji akhlak dan perilaku mereka, terutama atas apa yang telah mereka
korbankan berupa harta dan nyawa demi membela Nabi.18
Doktrin bahwa semua
15
Terkait keistimewaan posisi Sahabat, Abū Ḥanīfah pernah berkata: ―Jika
terdapat beragam informasi dari para sahabat tentang tradisi kenabian, maka boleh
dipilih salah satunya tanpa harus dikritisi karena semua laporan dan tradisi sahabat
dinilai orisinal. Sedangkan apabila informasi tersebut datang dari para tabiin, maka harus
dikritisi terlebih dahulu‖. Pernyataan Abū Ḥanīfah tersebut, sekali lagi, hendak
melegitimasi otoritas informasi tentang tradisi kenabian yang datang dari para sahabat. Penjelasan lebih lanjut terkait hal ini, lihat ‗Abd al-Raḥmān bin Abī Bakr Jalāl al-Dīn al-
Suyūṭi, Miftāḥ al-Jannah fi al-Iḥtijāj bi al-Sunnah (Madinah al-Munawwarah: al-Jami‘ah
al-Islamiyah, 1989), 1, 45. Lihat juga Ahmad Ubaydi Hasbillah, Nalar Tekstual Ahli
Hadis; Akar Formula Kultur Moderat Berbasis Tekstualisme (Ciputat: Maktabah
Darussunnah, 2018), 172. 16
Sa‘ad bin Sayid Qut}b al-Sha>l, Ada>b al-Ikhtila>f bayn al-S}ah}a>bah wa
Atha>ruhu> ‘ala al-wa>qi’ al-Isla>miy, 176. 17
Yang dimaksud adil dalam kaitannya dengan Sahabat ialah, istiqamah dalam
menjalankan agama, bertakwa, tidak berbohong mengatasnamakan Nabi karena dilandasi
iman yang kuat, mampu menjaga harga diri, memiliki budik pekerti yang tinggi dan lain
sebagainya. Makna adil di sini bukan terbebas dari maksiat, kelalaian, ataupun
kesalahan. Muḥammad bin Muḥammad Abū Shuhbah, al-Wasīṭ fī Ulūm wa Muṣṭalaḥ al-
Ḥadīth (Kuwait: ‗Ālam al-Ma‘rifah, 1983), 499. Lihat juga Abu Layth Khayr Abad,
Sahabat adalah adil telah menjadi tonggak utama keyakinan Ahl-al-Sunnah wa
al-Jama>’ah.19
Dalam konteks ilmu kritik hadis, misalnya, sebuah hadis akan
diterima otentisitas dan validitasnya, setelah sebelumnya dilakukan proses penyeleksian terutama dari aspek sanad. Seluruh informan atau periwayat yang
terlibat langsung dalam prosesi periwayatan sebuah hadis akan diseleksi secara
ketat, baik secara moralitas, kredibilitas maupun intelektualitas. Namun, ketika
berhadapan dengan informan pada tingkat Sahabat, penyeleksian tersebut sama sekali tidak berlaku. Alasannya, karena para Sahabat dianggap sebagai generasi
yang telah dijamin moralitas, kredibilitas dan intelektualitasnya sehingga tidak
perlu dipertanyakan.20
Sebagai contoh, keterputusan sanad pada tingkat Sahabat atau yang biasa disebut dengan istilah hadis mursal, tidak dianggap sebagai
sebuah persoalan oleh sebagian ulama, sehingga hadis semacam itu tetap dapat
dijadikan hujjah.21
Dalam konteks hadis mursal s}ah}a>bi, identitas Sahabat yang
tidak diketahui (majhu>l) tidak lantas mencederai kualitas hadis, karena seluruh
Sahabat diyakini sebagai orang-orang yang adil (wa al-jaha>lah bi al-s}ah}a>bi ghayru qa>dih}ah li anna al-s}ah}abah kullahum ‘udu>l).22
Doktrin keagamaan bahwa seluruh Sahabat adalah adil pada akhirnya melahirkan adagium yang sangat populer yaitu ―al-Ṣaḥābah Kulluhum ‘Udūl”.
Alasannya, sebagaimana ditegaskan al-Juwayni>, karena para Sahabat adalah
pembawa syari‘at, sehingga jika seandainya periwayatan dari mereka itu berhenti (lantaran adanya masalah menyangkut kredibilitasnya), maka tentu saja syariat
akan terhenti pada masa Nabi, sehingga tidak tersebar kepada generasi
berikutnya.23
Melihat betapa krusialnya teori ini, sehingga sarjana barat
kenamaan seperti Edward Said pernah mengatakan bahwa teori ‘ada>lah al-S}ah}a>bah telah menjadi travelling theory yang melanglangbuana ke seluruh penjuru dunia Islam.
24
Namun demikian, teori ‘ada>lah al-S}ah}a>bah ini telah melahirkan perdebatan krusial di atas panggung sejarah, baik di kalangan para ulama,
maupun di antara sekte-sekte dalam Islam. Sebagaimana penulis kemukakan di
‗Umar Ha>shim, Qawa >’id Us}u>l al-Hadi>th, 266; Muṣṭafā al-Sibā‘ī, al-Sunnah wa Makānatuhā fi al-Tashrī’ al-Islām (Kairo: Dār al-Salām, 2012), 128.
19 Jalaludin Rahmat, Sahabat Nabi: Kemusykilan Sejarah, dalam kata
pengantar, Fuad Jabali, Sahabat Nabi: Siapa, Kemana dan Bagaimana?, xviii. 20 Selengkapnya lihat Abū Bakr Aḥmad bin ‗Alī bin Thābit bin Aḥmad bin
Mahdī al-Khaṭīb al-Baghdādī, al-Kifāyah fi ‘Ilm al-Riwāyah (Madinah al-Munawarah:
Maktabah al-Ilmiyah, tt), 1, 46. 21 Lihat Mah }mu>d al-T}ah}a>n, Taysi>r Mus}t}ala>h} al-H}adi>th (Iskandariyah: Markaz
al-Ma’a>rif li Nashr wa Tawzi>’, 2004), 89. Lihat juga Abu> Layth Khayr Abad, ‗Ulu>m al-
H>}adi>th As}i>luha> wa Mu’a>s}iruha >, 174. 22 Abu > ‗Amr ‗Uthma>n bin ‗Abd al-Rah}ma>n bin S}ala>h}, Ma’rifah Anwa >’ ‘Ulu >m
al-Hadi>th (Beirut: Da>r al-Fikr, 1986), 56. 23
Selengkapnya, lihat Abd al-Raḥmān bin Abī Bakr Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī,
Pernyataan tersebut sebagaimana dikutip Babul Ulum dalam karyanya,
Genealogi Hadis Politis; Al-Muawiyat dalam Kajian Islam Ilmiah, 48.
52
atas, mayoritas ulama menganggap bahwa seluruh Sahabat adalah adil. Bagi
mereka, keadilan para Sahabat tidak perlu dipertanyakan (Annahu la> yus’alu an
ada>lah ah}adin minhum bal dha >lika amrun mafru>ghun minhu). Untuk menopang doktrin ini, para ulama ahli hadis mengutip sejumlah ayat dan hadis Nabi sebagai
landasan teologis.25
Akan tetapi, sebagian kalangan menilai bahwa teks-teks
keagamaan yang dikutip itu tidak cukup kuat untuk menggeneralisir keadilan seluruh Sahabat Nabi, sehingga—sebagaimana yang akan penulis jelaskan di
depan nanti—mereka merekonstruksi kembali pemaknaannya. Kamaruddin
Amin, misalnya, mengatakan bahwa dalil-dalil keagamaan yang dikutip para
ulama hadis tidak secara pasti mendukung konsep ‘ada>lah al-S}ah}a>bah secara
keseluruhan. Ia melontarkan beberapa pertanyaan kritis yaitu; Apakah doktrin
‘ada>lah al-S}ah}a>bah merupakan sebuah dogma ataukah sebuah fakta sejarah? Apakah masuk akal bahwa semua Sahabat memiliki kejujuran yang sama?
Apakah doktrin ini didasarkan pada analisis historis terhadap riwayat seluruh
Sahabat, ataukah hanya pada ayat-ayat Alquran dan hadis yang dapat diinterpretasi secara berbeda?
26 Di bawah ini, penulis akan mengurai dalil-dalil
agama yang dijadikan sebagai dasar teologis terkait keadilan para Sahabat
disertai dengan argumen kalangan yang menolaknya, terutama beberapa sarjana Muslim kontemporer yang memiliki tradisi pemikiran kritis atas khazanah
keislaman klasik.
Pertama, QS A>li ‗Imra >n: 110. Allah berfirman:
Kalian adalah umat terbaik (khayr ummah) yang dilahirkan untuk
manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.
Dalam berbagai literatur hadis, ayat di atas banyak dikutip untuk
melegitimasi keadilan seluruh Sahabat Nabi.27
Abu > Shuhbah mengatakan bahwa ayat tersebut merupakan bentuk kesaksian Allah atas keadilan para Sahabat.
28
Yang menjadi persoalan ialah, secara redaksional, ayat tersebut bersifat umum,
sehingga melahirkan perdebatan di kalangan para ulama tentang siapa mukha >t}ab
(pihak yang diajak bicara) pada ayat tersebut? Menurut al-Baghda >di>, meskipun
redaksi ayat tersebut bersifat umum, maknanya masih bersifat khusus, yaitu tertuju kepada para Sahabat, bukan yang lainnya.
29 Pendapat senada juga
dikemukakan al-Suyu >t }i> bahwa khit }a >b ayat di atas tertuju kepada orang-orang
25
Abu > ‗Amr ‗Uthma>n bin ‗Abd al-Rah }ma>n bin S}ala>h}, Ma’rifah Anwa >’ ‘Ulu >m
al-Hadi>th, 291. 26 Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis
(Bandung: Hikmah, 2009), 50. 27
Lihat misalnya Abu > ‗Amr ‗Uthma>n bin ‗Abd al-Rah}ma>n bin S}ala>h}, Ma’rifah
Anwa >’ ‘Ulu >m al-Hadi>th, 291. 28
Muḥammad bin Muḥammad Abū Shuhbah, al-Wasīṭ fī Ulūm wa Muṣṭalaḥ al-
Ḥadīth, 500. 29
Al-Baghdādī, al-Kifāyah fi ‘Ilm al-Riwāyah, 46.
53
yang hidup ketika ayat itu diturunkan (wa al-khit}a>b fi >ha> lil mawju >din
h}i >naidhin).30
Sementara itu, Syuhudi Ismail memberi catatan kritis dalam memahami
ayat di atas. Menurutnya, para ulama pada umumnya berpendapat bahwa redaksi
khayr ummah (umat terbaik) dalam ayat ini tertuju kepada umat Islam secara
umum bila dibandingkan dengan umat lainnya. Itu pun bila umat Islam melakukan amar makruf nahy munkar dan beriman kepada Allah. Dengan kata
lain, keutamaan tersebut tidak hanya dicapai oleh para Sahabat, tetapi juga oleh
semua umat Islam pada masa berikutnya selama mereka melaksanakan syarat-syarat yang termaktub pada ayat itu. Jika demikian, menurut Syuhudi Ismail,
maka berarti ayat tersebut tidak tepat jika dijadikan sebagai landasan atau
argumentasi teologis untuk menggeneralisir keadilan seluruh Sahabat Nabi.31
Kedua, QS. Al-Fath} 18. Allah berfirman:
Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah
mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan
ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).
Sejauh yang bisa penulis telaah, sebagian ulama hadis kurang elaboratif
ketika mengutip dan mengurai substansi ayat di atas sebagai dasar teologis
perihal keadilan seluruh Sahabat Nabi. Abu > Shuhbah, misalnya, hanya
menyebutkan bahwa objek ayat di atas ialah tertuju kepada para Sahabat yang
ikut serta dalam Baiat Ridwan, tanpa memberi penjelasan yang memadai.32
Bahkan, al-Khaṭīb al-Baghdādī, hanya mengutip ayat tersebut tanpa memberi
uraian sedikit pun.33
Ayat di atas merupakan pernyataan kerelaan Allah kepada orang-orang yang beriman yang telah melakukan sumpah setia di bawah sebatang pohon.
Sumpah itu dikenal dengan istilah Baiat Ridwan, yang terjadi di Hudaybiyah
menjelang perdamaian Hudaybiyah. Umat Islam yang hadir ketika itu sekitar 1. 400 atau 1.500 orang. Mereka menyatakan sumpah setia kepada Nabi dan
berjanji tidak akan meninggalkan Hudaybiyah untuk melawan serangan orang-
orang musyrik Quraisy Mekah. Pada ayat itu, Allah menjanjikan kemenangan kepada umat Islam dalam waktu yang dekat.
34
30
‗Abd al-Raḥmān bin Abī Bakr Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, Tadrīb al-Rāwī fī Sharḥ
Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan
dengan Pendekatan Ilmu Sejarah (Jakarta: Bulan Bintang, 2014), 169. 32
Muḥammad bin Muḥammad Abū Shuhbah, al-Wasīṭ fī Ulūm wa Muṣṭalaḥ al-
Ḥadīth, 500. 33
Al-Baghdādī, al-Kifāyah fi ‘Ilm al-Riwāyah, 46. 34
Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan
dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, 170.
54
Menurut Syuhudi Isma‘il, ayat di atas merupakan salah satu bukti bahwa para Sahabat Nabi diberi keistimewaan khusus oleh Allah. Akan tetapi, dilihat
dari segi jumlahnya, para Sahabat yang ikut serta dalam Baiat Ridwan tersebut
hanyalah sebagian saja. Itu artinya, para Sahabat yang mendapat keutamaan khusus tidaklah semuanya, tetapi hanya sebagiannya saja. Konsekuensi logisnya
ialah, para Sahabat yang masuk Islamnya setelah peristiwa Baiat Ridwan tidak
masuk dalam cakupan ayat di atas. Oleh karena itu, menurutnya, ayat di atas tidak tepat dijadikan sebagai dasar teologis bahwa semua Sahabat adalah orang-
orang yang adil.35
Ketiga, QS. al-Baqarah: 143. Allah berfirman:
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) umat
pertengahan (ummatan wasat}a>n ).
Beberapa mufassir semisal Al-T >}abari>, Fakhr al-Di>n al-Ra>zi, al-Qurt}ubi
dan Ibn Kathir sepakat bahwa makna kata wasata>n pada ayat di atas ialah al-‘udu>l (adil). Akan tetapi, mereka tidak mengatakan bahwa adil pada ayat
tersebut hanya tertuju kepada para Sahabat an sich, melainkan kepada umat
Islam secara umum.36
Al-T >}abari> juga mengutip pernyataan Abu> Ja’far bahwa
makna kata wasata>n pada ayat di atas berkenaan dengan posisi umat Islam yang
berada di antara dua kutub ekstrem (al-Juz’ alladhi > huwa bayna al-t}arfayni). Al-
T>}abari> kemudian menambahkan bahwa umat Islam disebut sebagai wasata>n atau
‘adl, karena sikapnya yang moderat dalam beragama (li tawassut }ihim fi> al-Di>n), tidak berlebihan seperti keimanan Nashrani terhadap Isa, dan tidak pula terlalu
rendah seperti Yahudi yang mendistorsi kitab Allah, membunuh Nabi-Nabi mereka, mendustakan Allah dan tidak beriman kepada-Nya.
37 Pendapat yang
sama juga dikemukakan mufassir kontemporer, Muh}ammad Rashid Rid}a.38
Sampai di sini tampak jelas bahwa penafsiran para ahli hadis terhadap ayat di atas tidak memiliki legitimasi yang kuat dalam sejumlah kitab tafsir.
Pertanyaannya, mengapa penafsiran para ahli hadis terhadap ayat di atas
bertolak belakang dengan para ahli tafsir sendiri? Menurut Fuad Jabali, hal itu terjadi karena perbedaan sifat dari karya mereka. Para ahli hadis menafsirkan
ayat di atas dalam iklim kontroversi. Jabali menduga ada semacam disharmoni
antara ahli hadis dengan kelompok Muktazilah ketika menafsirkan ayat di atas.
35
Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan
dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, 170. 36
Muh}ammad bin Jari>r al-T}abari>, Jami>’ al-Baya>n fi> Ta’wi>l al-Qur’a>n (Beirut:
Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan
dengan Pendekatan Ilmu Sejarah,171. 42
Muḥammad bin Muḥammad Abū Shuhbah, al-Wasīṭ fī Ulūm wa Muṣṭalaḥ al-
Ḥadīth, 501.
56
bisa menjadi dalil bahwa seluruh Sahabat adalah adil sehingga tidak boleh dikritik.
43
Kedua, hadis riwayat al-Bukha >ri. Nabi bersabda:
Sebaik-baiknya kalian adalah generasiku, kemudian generasi berikutnya
dan kemudian generasi berikutnya lagi.44
Secara substansial, hadis ini menjelaskan bahwa generasi umat Islam
yang terbaik adalah generasi Nabi, kemudian generasi berikutnya dan kemudian
generasi berikutnya lagi.45
Menurut Syuhudi Isma‘il, pada hadis di atas, yang disebutkan oleh Nabi adalah generasi, bukan individu-individu. Ini artinya,
secara umum, umat Islam yang hidup pada zaman Nabi, yakni para Sahabat,
adalah orang-orang yang paling baik kualitas pribadinya bila dibandingkan
dengan orang-orang yang hidup pada zaman berikutnya. Namun demikian, hal ini tidak berarti bahwa seluruh Sahabat Nabi—tanpa terkecuali—kualitas
masing-masing pribadinya selalu lebih baik daripada orang Islam yang hidup
pada zaman berikutnya.46
Sebab kenyataannya, ada juga orang Islam yang
43
Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan
dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, 171. 44 Al-Bukha>ri, S}ah }ih} al-Bukha>ri, 3, 171. Hadis nomor 2651. 45 Menurut Ubaydi Hasbillah, meskipun Nabi menegaskan adanya tiga generasi
terbaik, namun mereka yang hidup pada tiga periode sejarah tersebut pun sebenarnya
tidak ada yang mendeklarasikan sebagai generasi terbaik. Hal ini dibuktikan dengan
tidak adanya pengakuan atau klaim dari mereka, baik dalam karya-karya tulis mereka ataupun dalam kutipan generasi setelahnya. Ketiadaan bukti tersebut juga bukan
dilatarbelakangi oleh sekadar faktor keshalihan dan keagamaan yang membuat mereka
tidak mungkin mengaku sebagai yang terbaik, melainkan hal itu juga didukung dengan
penafsiran hadis khayr al-quru>n tersebut yang mereka asosiasikan kepada sosok atau
periode tertentu. Mereka justru menafsirkannya secara netral, yaitu sebagai hadis yang
memprediksi tentang kondisi moral keagamaan umat yang kian hari kian kompleks.
Lihat Ahmad Ubaydi Hasbillah, Nalar Tekstual Ahli Hadis: Mencari Akar Formula
Kultur Moderat Berbasis Tekstualisme,109. 46 Al-Nawa >wi > mengutip pendapat Ibn ‗Abd al-Bar bahwa pasca generasi
Sahabat, boleh jadi ada di antara mereka yang lebih utama daripada salah seorang yang
hidup pada generasi Sahabat. Adapun makna dari redaksi hadis khayrukum qarni>, tertuju
kepada al-sa>biqu>n al awalu >n min al muha >jiri>n wa al-ans}a>r dan orang-orang yang
menempuh jalannya. Merekalah yang disebut sebagai umat terbaik sebagaimana yang dimaksudkan hadis di atas. Dengan demikian, menurut pendapat ini, orang yang hidup
pada masa Nabi—meskipun pernah melihat dan menyertainya, tetapi bukan termasuk al-
sa>biqu>n al-awalu >n dan tidak pula memiliki pengaruh dalam agama—maka boleh jadi ia
tidak lebih baik daripada orang yang hidup pasca generasi Sahabat. Namun demikian,
sebagian besar ulama berpendapat bahwa orang yang pernah menyertai Nabi, meskipun
hanya sekali seumur hidupnya, maka ia lebih utama dari siapa pun yang hidup
setelahnya. Karena keutamaan Sahabat tidak bisa disetarakan atau dibandingkan dengan
amal kebaikan (orang yang hidup setelahnya). Qa>d}i > ‗Iya >d} mengatakan bahwa keutamaan menyertai Nabi, meskipun hanya sebentar, tidak bisa disetarakan dengan amal kebaikan,
karena keutamaan tersebut datang dari Allah bagi siapa saja yang Ia kehendaki.
57
berstatus Sahabat kualitas pribadinya tidak terpuji, misalnya al-Wali>d bin
‗Uqbah. Syuhudi Isma‘il mengutip Ibn H}a >jar al-‗Asqala >ni> yang mengisahkan
bahwa al-Wali>d bin ‗Uqbah pernah berbohong kepada Nabi. Sehubungan dengan
perbuatannya itu, turunlah wahyu Alquran surat al-H}ujura>t ayat 6. Tak hanya
itu, pada masa khalifah ‗Uthma >n, al-Wali>d juga pernah diangkat sebagai penguasa di Kufah. Pada suatu ketika, ia menjadi imam salat Subuh dalam
keadaan mabuk. Salat Subuh dilakukannya sebanyak empat rakaat. Setelah
mengetahui perbuatannya itu, ‗Uthma >n menghukumnya dengan cambukan
kemudian memecatnya.47
Setelah mengurai berbagai pandangan para ulama terhadap ayat dan hadis di atas berikut perdebatan akademik yang menyertainya, penulis sepakat
dengan pandangan Kamaruddin Amin bahwa teks-teks keagamaan tersebut tidak
secara tegas mengatakan keadilan seluruh Sahabat Nabi. Terlebih, pandangan para ahli hadis terhadap ayat-ayat di atas tidak memiliki legitimasi yang kuat dari
para ahli tafsir sendiri, sehingga wajar jika beberapa sarjana Muslim belakangan
merasa keberatan dan mengajukan pandangan berbeda.
Masih terkait doktrin keadilan para Sahabat, Muh}ammad Rashi>d Rid}a
mengatakan bahwa tidak semua Sahabat dikatakan adil, melainkan hanya
sebagian besarnya saja (Anna ‘ada >lah al-s }ah }a>bah aghlabiyyah wa laysa
mut }arradah). Argumentasi yang dibangun ialah, karena adanya segelintir
Sahabat yang dikategorikan munafik sebagaimana disinggung dalam QS. al-
Tawbah: 10148
dan QS. Muh}ammad: 30.49
Akan tetapi, Abu > Layth memberikan
bantahan bahwa pandangan Rashi>d Rid}a tersebut adalah keliru, karena orang-orang munafik secara otomatis dianggap telah keluar dari kelompok yang
dikategorikan sebagai Sahabat karena tidak memenuhi salah satu syarat, yaitu
keimanan.50
Fuad Jabali juga merasa keberatan dengan adanya doktrin keadilan
seluruh Sahabat Nabi. Dalam karyanya, ia bertungkus lumus mengelaborasi
berbagai hal yang berkenaan dengan Sahabat, termasuk di antaranya mengkritisi sejumlah argumen para ulama yang selama ini menjadi dasar keadilan seluruh
Selengkapnya, lihat Abu> Zakariya > Muh }y al-Di>n bin Yah }ya > bin Sharaf al-Nawa>wi >, al-
Minha>j Sharh} S}ah}i >h} Muslim (Beirut: Da>r Ih }ya > al-Tura>th al-‗Arabiy, 1392 H), 3, 138. 47
Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan
dengan Pendekatan Ilmu Sejarah,172-173. 48 Allah berfirman: Di antara orang-orang Arab Badui yang di sekelilingmu itu,
ada orang-orang munafik; dan (juga) di antara penduduk Madinah. Mereka keterlaluan dalam kemunafikannya. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, (tetapi) Kamilah
yang mengetahui mereka. QS. al-Tawbah: 101 49
Allah berfirman: Dan kalau Kami menghendaki, niscaya Kami tunjukkan
mereka kepadamu sehingga kamu dapat benar-benar mengenal mereka dengan tanda-
tandanya. Dan kamu benar-benar akan mengenal mereka dari kiasan-kiasan
perkataannya dan Allah mengetahui perbuatan-perbuatan kamu. QS. Muh}ammad: 30. 50
Abu > Layth Khayr Abad, Ittija>ha>t fi> Dira>sah al-Sunnah: Qadi>muha> wa
Sahabat. Ia mengatakan, ―Dalam upaya membangun doktrin keadilan Sahabat, sering kali ditemukan banyak hal yang mengganggu. Sebagai contoh, hubungan
antara wahyu dengan konteks pada saat wahyu itu diturunkan tidak bisa
sepenuhnya dijelaskan. Pesan Tuhan diwahyukan antara lain untuk merespons realitas generasi pertama masyarakat Muslim, sebuah realitas yang jauh dari
sempurna. Sahabat juga manusia biasa yang—sesuai dengan sifatnya—terkadang
berbuat dosa dan kesalahan. Realitas inilah yang membuat wahyu bermakna. Andai saja Sahabat terbebas dari kekurangan-kekurangan itu, wahyu menjadi
tidak ada maknanya. Kemunculan ilmu asba >b al-nuzu >l bisa dilihat sebagai
sebuah kesadaran bahwa yang menjadi objek wahyu, yaitu Sahabat, adalah manusia yang terkadang berbuat salah yang memerlukan bimbingan. Salah satu
contohnya adalah kritik Alquran terhadap Sahabat yang terlibat dalam
pembangunan masjid D}ira >r.51
Menganggap bahwa semua Sahabat adalah adil tampaknya bertentangan dengan tujuan wahyu sebenarnya, yang tanpanya
pemahaman ayat-ayat Alquran menjadi sulit, bahkan tidak mungkin‖.52
Tak hanya itu, sarjana Muslim lainnya semisal Ah>mad Ami >n mengatakan bahwa pada faktanya, para Sahabat juga saling mengkritik bahkan
melaknat satu sama lain. Mereka juga sebagaimana layaknya manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan. Oleh karenanya, jika mereka melakukan kesalahan,
maka sudah semestinya dikritik. Sebaliknya, jika melakukan kebaikan, maka
layak diapresiasi. Tidak ada keistimewaan yang lebih besar yang mereka miliki
ketimbang generasi lainnya selain karena mereka pernah menyaksikan Nabi dan hidup semasa dengannya.
53
Persoalan yang paling krusial di antara semuanya adalah, beberapa tokoh
penting dari kalangan Sahabat, semisal ‗Ali>, ‗A’>ishah, T}alh}ah, Zubayr, dan
Mu‘a>wiyah pernah terlibat dalam peristiwa fitnah al-kubra >. Peristiwa ini telah
merenggut nyawa sejumlah Sahabat, termasuk di antaranya T }alh}ah dan Zubayr. Lalu bagaimana sikap para ulama dan berbagai kelompok dalam Islam terhadap
fakta tersebut terutama jika dibenturkan dengan doktrin keadilan para Sahabat?
Para ulama Ahl-al-Sunnah wa al-Jama >’ah berusaha mendamaikan kontradiksi
tersebut. Mereka antara lain mengutip pernyataan ‗Umar bin ‗Abd al-‗Azi>z, yang mengatakan: ―Itulah darah yang telah Allah sucikan dari pedang kita, maka lisan
kita tidak layak menyinggungnya‖.54
Pendapat lainnya mengatakan bahwa
perang Jamal terjadi karena faktor ketidaksengajaan. Sementara perang Shiffin,
terjadi semata-mata karena ijtihad Sahabat itu sendiri, di mana mereka—sebagaimana halnya seorang mujtahid—akan mendapat pahala meskipun salah
51
Mesjid D}ira >r ialah bangunan yang dibangun oleh kaum munafik di Madinah
dengan tujuan untuk memecah belah persatuan di antara kaum Mukminin. 52
Fuad Jabali, Sahabat Nabi, 68-69. 53
Pernyataan tersebut sebagaimana dikutip Mah}mu>d Abu> Ra >yyah, Adwa > ala al-
Konsekuensi logis dari pandangan ini ialah, Sahabat seperti
Mu‘a>wiyah akan dianggap telah mendapat pahala, meskipun sebenarnya dialah
aktor utama yang terlebih dahulu memberontak terhadap kekhalifahan ‗Ali> sehingga menyebabkan terjadinya perang Shiffin.
56 Namun demikian, sependek
pembacaan penulis, beberapa ulama—untuk tidak mengatakan semuanya—tidak
menyalahkan pihak mana pun. Mereka hanya mengatakan bahwa ‗Ali> lebih
mendekati kebenaran ketimbang Muawiyah (Wa ka>na ‘Ali> wa as}h}a>buhu aqrab ila al-h}aqq min Mu’a>wiyah wa as}ha>bihi.57
Di luar Ahl-al-Sunnah wa al-Jama >’ah, sekte Khawarij mengakui
keadilan seluruh Sahabat Nabi sebelum terjadinya peristiwa fitnah. Namun,
setelah terjadinya peristiwa tersebut, mereka mengkafirkan ‗Ali>, ‘Uthma>n,
orang-orang yang ikut serta dalam perang Jamal, dan orang-orang yang terlibat
dalam arbitrase (tah}ki>m). Mereka menolak hadis yang berasal dari mayoritas
Sahabat setelah terjadinya peristiwa fitnah. Kelompok lainnya semisal Syi‘ah
mengecam keras beberapa Sahabat seperti Abu> Bakar, ‘Umar, ‘Uthma>n dan mayoritas Sahabat yang mendukung mereka. Kelompok ini juga mengecam
‗A>ishah, T}alh}ah, Zubayr, Mu’a>wiyah, ‘Amr bin ‘A>s} dan beberapa Sahabat yang bersekutu dengan mereka karena telah merampas hak kekhalifahan dari Ali.
Sebagaimana Khawarij, kelompok ini menolak hadis-hadis yang berasal dari
mayoritas Sahabat.58
Sementara itu, Muktazilah mengakui keadilan seluruh
Sahabat kecuali orang yang membunuh Ali.59
Setelah mencermati berbagai pandangan di atas berikut perdebatan
akademik yang menyertainya, dapat dipahami bahwa pandangan umat Islam terhadap Sahabat tidaklah tunggal. Berbagai kelompok dalam Islam memiliki
cara pandang berbeda dalam menilai Sahabat, terutama menyangkut doktrin
keadilan para Sahabat. Pada akhirnya, penulis ingin mengatakan bahwa
perdebatan tentang sakralitas Sahabat tak lain merupakan sebuah perdebatan yang tak pernah usai.
55
Muḥammad bin Muḥammad Abū Shuhbah, al-Wasīṭ fī Ulūm wa Muṣṭalaḥ al-
Ḥadīth (Kuwait: ‗Ālam al-Ma‘rifah, 1983), 504. Lihat juga Sa‘ad bin Sayid Qut}b al-
Sha>l, Ada>b al-Ikhtila>f bayn al-S}ah}a>bah wa Atha>ruhu> ‘ala al-wa>qi’ al-Isla>miy, 172. 56 Posisi Muawiyah sebagai kelompok pemberontak ditegaskan langsung oleh
Ibn ‗Umar. Meskipun enggan terlibat dalam pertikaian antar Sahabat, tetapi pada akhir
hayatnya Ibn ‗Umar pernah mengungkapkan kecenderungannya terhadap kubu ‗Ali. Ibn
‗Umar berkata: ―Tidak ada sesuatu pun yang aku sesalkan karena tidak kuperoleh,
kecuali satu hal, aku sangat menyesal tidak mendampingi ‗A>li> memerangi kelompok
57 Abu > al-Fida> Isma >’i>l bin Kathi>r al-Qurashi>, al-Ba’i>th al-Hathi>th Sharh} Ikhtis}a>r ‘Ulu>m al-Hadi>th (Beirut: Da>r al-Kutub al-‗Ilmiyyah, T.th), 177. Lihat juga
Muḥammad bin Muḥammad Abū Shuhbah, al-Wasīṭ fī Ulūm wa Muṣṭalaḥ al-Ḥadīth,
504. 58 Muṣṭafā al-Sibā‘ī, al-Sunnah wa Makānatuhā fi al-Tashrī’ al-Islām (Kairo:
Dār al-Salām, 2012), 128. 59 Muṣṭafā al-Sibā‘ī, al-Sunnah wa Makānatuhā fi al-Tashrī’ al-Islām, 243.
60
B. Sahabat Sebagai Imitator Tradisi Kenabian
Izzat Darwazah, seorang sarjana Muslim kontemporer berkebangsaan Palestina, menggambarkan tentang bagaimana umat Islam awal benar-benar
terpengaruh oleh cahaya kenabian Nabi Muhammad. Mereka begitu antusias
berdedikasi, menolong, mengangungkan, mengikuti wasiat-wasiatnya dan cahaya yang dibawa Nabinya. Alquran juga memberikan gambaran yang sangat
mencerahkan tentang bagaimana umat Islam benar-benar memperhatikan,
mendengarkan ajaran dan petunjuk Alquran yang disampaikan Nabi
Muhammad.60
Para Sahabat adalah generasi yang paling mirip dengan Nabi (ashbah al-
na>s bi rasu>l Alla>h s }alla Alla>h ‘alayhi wa sallam), baik dari segi perkataan,
perbuatan, akhlak, kebiasaan, ibadah, pergaulan, dan lain sebagainya. Sehingga,
wajar kiranya jika umat Islam diperintahkan untuk mengikuti mereka dalam
berbagai aspek. Hal itu ditegaskan langsung oleh Nabi bahwa suatu saat nanti umat Islam akan terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, dan yang
akan selamat hanyalah mereka yang mengikuti Nabi dan para Sahabatnya (ma> ana>‘alayhi wa as}h}a>bi>).61
Para Sahabat senantiasa melakukan apa yang dilakukan oleh Nabi dan
meninggalkan apa yang ditinggalkan olehnya tanpa bertanya terkait sebab, ‗illat atau hikmah di balik perbuatan tersebut. Hal itu mereka lakukan semata-mata
karena meyakini bahwa segala perbuatan Nabi adalah wahyu.62
Sayid
Muh}ammad Sayid Nuh} mengatakan, para Sahabat senantiasa mengikuti dan mengimitasi segala hal apa pun yang berasal dari Nabi, baik itu berupa ucapan,
perbuatan, ketetapan, sifat, bahkan apa pun yang terkait dengan kehidupan Nabi
semisal tidur dan bangun, gerakan, diam, berdiri, duduk, ijtihad, ibadah, riwayat hidup, peperangan, canda, larangan, khutbah, makan, minum, bergaul dengan
keluarganya, mengurus kuda, lirikan, tarikan nafas, karakter dan lain
sebagainya.63
60
Pernyataan tersebut sebagaimana dikutip Aksin Wijaya dalam karyanya
Sejarah Kenabian dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat Darwajah (Bandung: Mizan, 2016), 334.
61 Sa‘ad bin Sayid Qut}b al-Sha>l, Ada>b al-Ikhtila>f bayn al-S}ah}a>bah wa
Atha>ruhu> ‘ala al-wa>qi’ al-Isla>miy, 176. Hadis di atas dapat dilihat dalam Abu > ‗Isa> al-
Nabawiyyah Nash’atuhu> wa Tat }awwuruhu > min al-Qarn al-Awwal ila Niha>yah al-Qarn
al-Ta>si’al-H}ijri} (al-Mamlakah al-‗Arabiyyah al-Sa‘u>diyyah: Da >r al-Hijrah, 1996), 27. 63
Sayyid Muh}ammad Sayyid Nu >h, al-S}ah}a>bah wa Juhu >duhum fi > Khidmah al-
H}adi>th al-Nabawiy (Kulliya >t al-Ada>b Qism al-Dira >sa>t al-Isla>miyyah bi Ja>mi‘ah al-Ima>rat
al-Isla>miyyah al-Muttahidah, T.th), 181. Lihat juga Muh }ammad Muba>rak Sayyid,
Mana>hij al-Muh}addithi>n (Kairo: Kulliyah Us }u>l al-Di>n, 1998), 6.
61
Sejumlah literatur hadis dan sejarah mencatat bahwa Nabi begitu dekat dengan para Sahabatnya. Meski kedudukannya sebagai utusan Tuhan—yang
tentu saja dinilai sakral,—namun tidak ada sekat antara Nabi dan para
Sahabatnya. Dalam berbagai hal, Nabi selalu memosisikan diri sebagaimana layaknya manusia biasa, sehingga para Sahabat bisa bergumul langsung
dengannya dalam berbagai aspek kehidupan.64
Mereka juga sangat mencintai
Nabi. Bahkan, saking cintanya kepada Nabi, mereka sebisa mungkin berusaha mengimitasi atau meniru-niru apa pun yang dilakukan oleh Nabi, meskipun
terkadang Nabi sendiri tidak menghendakinya. Di bawah ini, penulis suguhkan
beberapa riwayat yang menunjukkan karakteristik para Sahabat yang selalu
berusaha mengimitasi segala perbuatan Nabi.
Abu > Sa‘i>d al-Khudriy meriwayatkan, bahwa suatu ketika Nabi pernah
melepaskan sandalnya ketika salat. Maka para sahabat pun beramai-ramai mencopot sandalnya ketika salat. Ketika Nabi bertanya akan hal itu, mereka
lantas menjawab, ―Karena kami melihat engkau melepas sandal, maka kami pun
ikut melepasnya‖ (Ra ayna >ka alqayta na’layka fa alqayna > ni’a >lana >). Padahal, alasan Nabi mencopot sandalnya ketika itu, karena Jibril datang memberi kabar
kepada Nabi bahwa di bawah sandalnya terdapat najis, sehingga Nabi segera
melepasnya.65
Al-Bukha>ri> meriwayatkan hadis yang berasal dari jalur ‗Abd Alla >h bin
‗Umar bahwa suatu ketika Nabi memakai cincin yang terbuat dari emas. Maka para Sahabat pun beramai-ramai meniru Nabi membuat cincin yang sama dan
memakainya. Setelah beberapa waktu kemudian, Nabi segera membuangnya
(karena mungkin ada larangan memakai cincin emas bagi laki-laki). Kemudian
mereka pun segera membuangnya karena mengikuti Nabi (fa nabadha al-na>s
khawa >timahum).66
64 Para Sahabat bergumul langsung dengan Nabi dalam keseharian mereka, baik
di masjid, pasar, perjalanan dan lain sebagainya. Setiap perkataan dan perbuatan Nabi,
menjadi pusat perhatian dan penilaian para sahabat. Mereka juga sering kali mendatangi
istri-istri Nabi untuk menanyakan hal-hal seputar rumah tangga Nabi. Sebagai contoh,
seorang Sahabat pernah menyuruh istrinya untuk bertanya kepada Um Salamah (istri
Nabi) tentang hukum berciuman bagi suami istri yang sedang berpuasa. Um Salamah menceritakan bahwa Nabi menciumnya dalam keadaan berpuasa. Selengkapnya, lihat
Muṣṭafā al-Sibā‘ī, al-Sunnah wa Makānatuhā fi al-Tashrī’ al-Islām, 64. Lihat juga
Muh}ammad Mat}ar al-Zahra>ni>, Tadwi >n al-Sunnah al-Nabawiyyah Nash’atuhu> wa
Tat }awwuruhu > min al-Qarn al-Awwal ila Niha>yah al-Qarn al-Ta >si’ al-H}ijri>, 30. 65 Hadis terkait hal ini, dapat dilihat dalam Abu ‗Abd Allāh al-Ḥākim
Muḥammad bin ‗Abd Allāh bin Muḥammad bin Ḥamdawayh bin Nu‘aim bin Ḥakam al-
391, 5. 66 Muh }ammad bin Isma>'i>l al-Bukha>ri>, S}ah}ih} al-Bukha>ri>, 8, 133; Muslim bin
H}ajja >j al-Naysabu >ri>, S}ah}ih Muslim (Beirut: Da>r Ih }ya > al-Tura>th al-‗Arabiy, T.th), 3, 1655;
Abu > Da >wud al-Sijista>ni>, Sunan Abi> Da >wud (Beirut: al-Maktabah al-As}riyyah Shayda, T.th), 4, 88.
62
Anas bin Ma >lik pernah menceritakan bahwa suatu ketika ada seorang penjahit yang mengundang Nabi untuk makan bersama. Lalu ia pun ikut
menghadiri undangan tersebut bersama Nabi. Setibanya di sana, Nabi disuguhi berbagai jenis makanan berupa roti, kuah labu dan daging cincang. Namun, alih-
alih memilih yang lain, Nabi justru memilih labu. Sejak saat itulah Anas yang
semula tidak suka labu, tiba-tiba menjadi sangat suka makan labu (fa lam azal
uh}ib al-dubba min yawma’idhin).67
‗Umar bin Khat }t}a >b suatu ketika pernah mendatangi hajar aswad kemudian menciumnya, seraya berkata: ―Sesungguhnya aku tahu bahwa engkau
hanyalah sebuah batu yang tidak membahayakan dan tidak pula membawa
manfaat. Kalau bukan karena aku pernah melihat Nabi menciummu, maka aku
pun enggan menciummu. (Lawla > anni > ra’aytu rasu >l Alla>h yuqabbiluka ma > qabbaltuka)‖.
68
Ibn Sa‘ad dalam karya monumentalnya al-T }abaqa>t al-Kubra>, sebagaimana dikutip Fu‘ad Jabali, merekam sebuah riwayat menarik bahwa
sandal Nabi yang disimpan oleh Fa >t }imah binti ‗Ubayd Alla >h konon pernah dijadikan model oleh tukang sandal/sepatu yang ada di Mekkah tepatnya pada
tahun 100 H.69
Selain beberapa riwayat di atas, yang paling menarik ialah riwayat-
riwayat yang mengisahkan tentang cara ‗Abd Alla >h bin ‗Umar dalam mengikuti
dan meniru-niru perbuatan Nabi. Al-Qarad}awi> mengatakan, Ibn ‗Umar adalah orang yang sangat kuat sikap peneladanannya kepada Nabi, baik dalam hal
ucapan ataupun perbuatan Nabi, meskipun hal itu bukan termasuk yang
diperintahkan dalam agama.70
Sebagai contoh, al-Dhahabi mengutip sebuah riwayat dari Zayd bin Aslam bahwa Ibn ‗Umar pernah mewarnai jenggotnya
dengan warna kuning sampai terkena bajunya. Ketika ditanya, ―Kenapa engkau
melakukan hal itu?‖ Ia menjawab, ―Karena aku pernah melihat Rasulullah
melakukannya (ra’aytu rasu>l Alla>h yas }bighu biha>)‖. Al-Dhahabi juga mengutip
riwayat lainnya yang mengisahkan bahwa Ibn ‗Umar selalu mencari-cari tempat
bekas salatnya Nabi, sampai suatu ketika Nabi pernah singgah di sebuah pohon untuk beristirahat. Kemudian Ibn ‗Umar menandai akar pohon bekas duduk Nabi
itu. Ia menuangkan air ke akar pohon itu agar tidak kering.71
Al-Qarad}a>wi> mengutip sebuah riwayat bahwa ketika Ibn ‗Umar melakukan suatu perjalanan, pada salah satu ruas jalan, ia sedikit memutar dari
67
Al-Bukha>ri>, S}ah}i>h} al-Bukha>ri>, 3, 61. 68 Al-Bukha>ri>,S}ah}i>h}} al-Bukha>ri>, 2, 149; Muslim bin H}ajja >j al-Naysabu >ri>, S}ah}i>h}
Muslim, 2, 925. 69
Fuad Jabali, Sahabat Nabi: Siapa, Ke Mana, dan Bagaimana?, dalam Kata
Pengantar, xliii. 70
Yu >suf al-Qarad}a >wi, al-Bid’ah fi> al-Di>n: Haqi >qatuha> wa Asba >buha > wa
Aqsa>muha wa Atha>ruha (Kairo: Maktabah Wahbah, 2012), 36. 71 Abu >‗Abd Alla >h Shamsh al-Di>n Muh }ammad bin Ah }mad bin ‗Uthma>n bin
jalan utama. Orang-orang yang ikut bersamanya merasa keheranan melihat tindakannya. Pelayannya berkata, ―Dia melakukan hal itu karena sebelumnya dia
pernah ke sini bersama Rasulullah, dan ketika sampai di ruas jalan ini,
Rasulullah sedikit memutar dari jalan utama‖.72
Ibn Muja>hid juga meriwayatkan hal serupa bahwa suatu ketika Ibn ‗Umar bersama Rasulullah dalam suatu
perjalanan. Ketika melewati sebuah jalan, ia berbelok menghindari jalan itu. Ibn
‗Umar ditanya, ―Kenapa engkau melakukan itu?‖ Ia menjawab, ―Aku pernah
melihat Rasulullah melakukannya, maka aku pun melakukannya (ra’aytu rasu >l Alla>h fa‘ala ha>dha fa fa’altu)‖.
73
Riwayat lainnya mengisahkan bahwa pada saat perjalanan haji, Ibn
‗Umar menderumkan untanya, lalu orang-orang yang ada bersamanya
menderumkan unta mereka. Mereka bertanya, ―Apa maksudmu wahai Ibn ‗Umar?‖ Ketika itu Ibn Umar hanya pergi ke suatu tempat dan membuang hajat
di sana. Ketika ditanya, ia menjawab, ―Ketika Rasulullah menunaikan ibadah
haji dan sampai ke tempat ini, beliau membuang hajatnya di sini‖.74
Artinya, Ibn ‗Umar berhenti dan membuang hajatnya di sana, hanya karena mengikuti Nabi
yang pernah membuang hajat di tempat yang sama.
Tak hanya itu, dalam konteks periwayatan hadis, Ibn ‗Umar sangat menjaga redaksi hadis agar sama persis dengan apa yang disampaikan oleh Nabi
tanpa adanya perubahan sedikit pun. Abu > Ja‘far Muh}ammad bin ‗A>li> bin
H}useyn berkata: ―Tidak ada seorang Sahabat pun yang apabila meriwayatkan hadis dari Nabi, tidak menambah ataupun mengurangi redaksinya selain Ibn
‗Umar‖.75
Hal ini berbeda dengan para Sahabat lainnya yang adakalanya meriwayatkan hadis secara makna. Ini artinya, pada saat Nabi menyampaikan
sebuah hadis, Ibn ‗Umar sangat fokus mendengarkan sebelum
menyampaikannya kembali kepada yang lain. Sebagai contoh, suatu ketika ia
meriwayatkan hadis dari Nabi bahwa Islam dibangun di atas lima pilar pokok; Syahadat, salat, zakat, puasa dan haji. Tiba-tiba ada seorang Sahabat berkata:
72
Yu >suf al-Qarad}a >wi, al-Bid’ah fi> al-Di>n: Haqi >qatuha> wa Asba >buha > wa
Aqsa>muha wa Atha>ruha, 36. 73 Yu >suf al-Qarad}a >wi, al-Bid’ah fi> al-Di >n: Haqi>qatuha> wa Asba >buha > wa
Aqsa>muha wa Atha >ruha, 37. Hadis tersebut dapat dilihat dalam Abu >‗Abd Alla>h Ah }mad
bin Muh }ammad bin Hila>l bin Asad al-Shayba >ni>, Musnad Ah}mad bin H}anbal (Kairo: Da>r
al-H}adi>th, 1995), 4, 443. 74
Yu >suf al-Qarad}a >wi, al-Bid’ah fi> al-Di>n: Haqi >qatuha> wa Asba >buha > wa
Aqsa>muha wa Atha >ruha, 37. Hadis tersebut dapat dilihat dalam Abu >‗Abd Alla>h Ah }mad
bin Muh}ammad bin Hila>l bin Asad al-Shayba >ni>, Musnad Ah}mad bin H}anbal, 5, 396. 75
Terkait riwayat ini, lihat al-Khaṭīb al-Baghdādī, al-Kifāyah fi ‘Ilm al-Riwāyah
kenabian yang tahu persis apa pun yang dilakukan dan diinginkan oleh Nabi, terutama para Sahabat yang tinggal di Madinah yang merupakan tempat
diturunkannya sebagian besar ayat Alquran dan diputuskannya halal dan haram
dalam Islam. Pada perkembangan berikutnya, (kira-kira dari 50-150 H/670-767 M), yang merupakan abad perkembangan fikih, atau yang oleh Fazlur Rahman
disebut sebagai era perumusan metodologi keagamaan,80
segala tindakan para
Sahabat yang tinggal di Madinah menjadi sumber rujukan dalam formulasi
hukum Islam yang kemudian disebut dengan istilah ‗amal ahl al-madi>nah
(praktik penduduk Madinah). Ma >lik bin Anas adalah tokoh pertama yang menginisiasi dan merumuskan teori tersebut.
81
Dalam pandangan Ma >lik, ‗amal ahl al-Madi >nah adalah sumber hukum
yang harus diikuti dan tidak boleh ada yang menyelisihi. Oleh karenanya, Ma >lik
pernah mengingatkan kepada Layth untuk mengikuti ‗amal ahl al-Madi>nah dan
meninggalkan fatwa-fatwa yang bertentangan dengannya. Hal itu, karena
menurut Ma>lik, Madinah adalah kota tempat hijrah Nabi, tempat sebagian besar
Alquran diturunkan dan tempat halal dan haram ditetapkan. Penduduk Madinah dari kalangan Sahabat adalah orang-orang yang menyaksikan langsung proses
turunnya wahyu dan menaati apa pun yang diperintahkan oleh Nabi. Sehingga,
mereka adalah orang-orang yang paling tahu maksud wahyu dan sunnah Nabi.
Peninggalan mereka berupa ilmu dan fatwa-fatwa tersebut kemudian diwariskan dan dipraktikkan dari satu generasi ke generasi setelahnya, sampai pada masa
Malik. Bahkan, dalam mazhab Ma >lik ada sebuah kaidah yang menyatakan
bahwa ―Apabila praktik penduduk Madinah bertentangan dengan hadis ah}a>d
(hadis yang hanya diriwayatkan oleh segelintir orang), maka yang didahulukan
adalah praktik penduduk Madinah.82
Hadis ah}a>d dapat menjadi landasan hukum selama tidak bertendangan dengan praktik masyarakat Madinah. Bahkan, apa
yang disebut hadis mursal dan munqat}i’, diterimanya sebagai hujah sejauh tidak bertentangan dengan praktik masyarakat Madinah.
Pada masa tabiin, Madinah merupakan kota yang paling kaya dengan tradisi
kenabian (aghna> al-ams}a>r al-Isla >miyyah bi al-sunnah al-nabawiyyah) sehingga di
sanalah pelita ilmu lahir. Dari Madinah ini, lahir tokoh besar, yaitu Ma >lik bin Anas yang
menjadi guru bagi para ulama besar ketika itu, semisal Abu > H}ani>fah, Layth bin Sa‘ad
dan beberapa ulama lainnya. Pada masanya, Ma >lik berhasil membangun sebuah otoritas
keagamaan yang didasarkan pada pondasi yang kuat, bahkan perkataannya seolah setara
dengan nash, di mana orang-orang saat itu tidak ada yang berani mengkritisi dan
bertanya dari mana perkataannya berasal (as}bah}a qawlu Ma >lik ka al-Nas} la> yas’alu
sa>mi’uhu min ayna wa la > lima >). Selengkapnya, lihat ‗Ali> Jum‘ah, al-Madkhal ila> Dira >sah al-Madha>hib al-Fiqhiyah (Kairo: Da>r al-Sala>m, 2012), 183.
82 Agus Moh. Najib, ―‗Amal ahl al-Madi>nah sebagai Sumber Hukum Islam;
Pandangan Imam Ma>lik bin Anas atas Kitab Muwat }a‖, dalam Al-Madzahib: Jurnal Pemikiran Hukum, Vol. 3, No. 1, Juni 2015, 193.
83 Dede Rodliyana, ―Hegemoni Fiqh terhadap Penulisan Kitab Hadis‖ Journal
of Quran and Hadith Studies, Vol. 1, No. 1, 2012 (Juli-Desember 2011), 133.
66
Pandangan tersebut muncul, terutama karena didasarkan pada sebuah fakta bahwa ketika itu di Madinah hidup tidak kurang dari 30 ribu orang
Sahabat, sehingga praktik mereka yang telah dikenal, diakui dan mapan jauh
lebih dapat diandalkan daripada sebuah hadis ahad, apalagi hanya perkataan dari salah seorang Sahabat atau tabiin, sekalipun Sahabat atau tabiin tersebut
merupakan seorang tokoh dan ulama di Madinah. Sebuah hadis ahad,
sebagaimana diketahui, hanya disampaikan oleh segelintir orang, sedangkan
‗amal ahl al-Madi>nah disampaikan oleh ribuan orang. Dengan demikian, bagi
Ma>lik, ‘amal ahl al-Madi>nah lebih dapat diandalkan untuk dapat mengetahui sunnah Nabi yang sesungguhnya daripada hanya sebuah data yang didasarkan
pada rangkaian periwayatan.84
Ini menunjukkan betapa sakralnya tindak tanduk
atau praktik penduduk Madinah dalam pandangan Ma>lik bin Anas.
Tak hanya itu, fakta menarik lainnya yang layak dikemukakan ialah
bahwa kota Madinah sendiri menjadi model percontohan bagi wilayah-wilayah
taklukan. Kota Madinah yang pernah dipimpin dan dikelola oleh Nabi dianggap sebagai model yang paling ideal untuk ditiru. Penciptaan Madinah di luar
Madinah menjadikan Madinah lebih kuat lagi dalam hal otoritas. Sebagai model
percontohan, Madinah kemudian menjadi simbol otoritas politik dan ekonomi ketika itu. Sejauh menyangkut pemilihan khalifah baru, keputusan yang diambil
orang Madinah akan diterima orang-orang yang tinggal di pusat-pusat hunian
baru.85
Berdasarkan uraian di atas, penulis hanya ingin menegaskan satu hal
penting bahwa di antara karakteristik para Sahabat ialah semangat untuk
meneladani, mengimitasi atau meniru-niru segala apa pun yang dilakukan oleh
Nabi. Bahkan, kota Madinah yang merupakan tempat tinggalnya Nabi sekaligus merupakan grand design-nya Nabi di mana tonggak kemajuan Islam dalam
berbagai aspeknya terlahir di sana, menjadi model percontohan bagi daerah-
daerah lainnya karena dinilai memiliki keistimewaan tersendiri. Hemat penulis, semangat meneladani itu boleh jadi bukan hanya karena kemajuan yang dicapai
di Madinah, tetapi juga karena pengaruh doktrin bahwa apa yang dilakukan Nabi
tak terlepas dari kontrol dan bimbingan wahyu, selain tentunya karena pribadi Nabi sebagai uswah hasanah. Terakhir, sebagai penutup sub bab ini, penulis
ingin mengutip pernyataan Abu> Bakar yang menunjukkan komitmen
keberagamaannya yang kuat. Ia berkata: ―Aku tidak akan meninggalkan sesuatu apa pun yang diamalkan Rasulullah, karena aku khawatir bila aku meninggalkan
perintahnya aku akan tersesat‖ (Lastu ta >rikan shay’an ka >na rasu >l Alla >h s }alla
Alla>h ‘alayhi wa sallama ya’malu bihi> illa> ‘amiltu bihi>. Wa inni> akhsha> in
taraktu shay’an min amrihi> an azi>gha).86
84 Agus Moh. Najib, ―‗Amal ahl al-Madi>nah sebagai Sumber Hukum Islam;
Pandangan Imam Ma>lik bin Anas atas Kitab Muwat }a‖, 198. 85
Fuad Jabali, Sahabat Nabi: Siapa, Ke Mana, dan Bagaimana?, 183. 86
Ahmad bin Hanbal al-Shaybani, Musnad Ahmad bin Hanbal, Vol. 1, 179.
67
C. Sahabat Sebagai Mediator Pertama Tradisi Kenabian Para sahabat adalah mediator pertama yang memiliki peran dan
kontribusi paling penting dalam proses transmisi ajaran Islam kepada generasi
berikutnya (al-wa>sit } bayna al-Nabiy wa bayna umatih).87
Tanpa mereka, tidaklah mungkin ajaran Islam dapat terus eksis dalam lintasan sejarah. Melihat
sedemikian pentingnya peran dan kontribusi para sahabat dalam sejarah Islam,88
maka sangatlah wajar apabila mereka mendapat posisi yang sangat istimewa dalam Islam ketimbang generasi-generasi setelahnya. Tak pelak, Nabi
mendeklarasikan mereka sebagai generasi terbaik yang pernah ada dalam pentas
sejarah Islam.89
87
Abū ‗Umar Yūsuf bin ‗Abd Allāh bin Muḥammad bin ‗Abd al-Bar bin ‗Āṣim
Fuad Jabali memberikan catatan bahwa, meskipun para sahabat memiliki
posisi penting dalam Islam, tetapi pengetahuan umat Islam tentang kehidupan mereka
relatif sedikit. Menurutnya, paling tidak ada dua alasan kenapa hal ini terjadi. Pertama, terbatasnya informasi dari masa sahabat yang sampai kepada generasi berikutnya. Ketika
Nabi wafat, ada sekitar 100.000 Sahabat yang masih hidup. Namun, menurutnya,
beberapa kitab yang secara khusus berbicara tentang kehidupan sahabat hanya mampu
merekam 10 persen informasi tentang fakta-fakta kehidupan Sahabat. Sementara bagian
yang 90 persen hilang dari catatan sejarah. Kedua, diskusi tentang sahabat cenderung
tidak utuh dan agak terbatas. Ia tidak utuh, karena biasanya sahabat dibicarakan dalam
konteks kehidupan Nabi. Karena yang menjadi isu utama adalah Nabi, maka para
sahabat hanya dibicarakan sesuai keperluan, walaupun masih tetap penting. Ia terbatas,
karena pembicaraan tentang Sahabat biasanya hanya terfokus kepada tokoh-tokoh
penting di antara mereka seperti Uthma >n, ‗Ali> dan Mu‘a>wiyah. Sementara ribuan Sahabat lainnya tidak dihiraukan. Selengkapnya, lihat Fuad Jabali, Sahabat Nabi: Siapa,
Ke Mana, dan Bagaimana?, 2. 89 Abū ‗Abd Allāh Muḥammad bin Ismā‘īl al-Bukhārī, S}aḥīḥ al-Bukhārī
(Beirut: Da>r T}auq al-Najah, 1422 H). 3, 171. Hadis nomor 2651. Para ulama berbeda pendapat dalam mengelompokkan tingkatan Sahabat.
Pendapat yang paling masyhur ialah sebagaimana dikemukakan Al-H}a>kim al-Naysabu>ri
yang membagi tingkatan Sahabat menjadi dua belas kategori; Pertama, para Sahabat
yang masuk Islam di Mekah, semisal Abu> Bakar, ‘Umar, ‘Uthma>n, ‘Ali> dan beberapa
Sahabat lainnya. Kedua, as}h}a>b Da>r al-Nadwah. Ketiga, para Sahabat yang hijrah ke Habasyah. Keempat, para Sahabat yang berbaiat kepada Nabi di perjanjian Aqabah.
Kelima, para Sahabat yang ikut serta di baiat Aqabah kedua, di mana mayoritas di
dalamnya adalah golongan Ansar. Keenam, kelompok pertama Muhajirin yang sampai
kepada Nabi di Qubba, sebelum memasuki Madinah. Ketujuh, para Sahabat yang ikut
serta dalam perang Badar. Kedelapan, para Sahabat yang hijrah dari Mekah ke Madinah
di masa antara perang Badar dan perjanjian Hudaibiyah. Kesembilan, para Sahabat yang
ikut serta Baiat Ridwan ketika di Hudaibiyah. Kesepuluh, para Sahabat yang hijrah di
masa antara perjanjian Hudaibiyah dan Fathul Makkah, semisal Kha>lid bin Wali>d dan
‗Amr bin ‘As}. Kesebelas, para Sahabat yang masuk Islam ketika Fathul Makkah. Kedua
belas, anak-anak yang melihat Nabi pada saat Fathul Makkah, Haji Wada dan lain
Tidak ada seorang Muslim pun yang bisa menjelaskan Islam tanpa merujuk kepada para Sahabat sebagai otoritas utama.
90 Sekte Syi‘ah yang konon
membenci sejumlah Sahabat yang tidak pro terhadap ‗Ali>, pada faktanya tidak dapat berlepas diri dari otoritas Sahabat Nabi. Kelompok lainnya semisal
Khawarij yang bahkan membenci seluruh Sahabat yang terlibat dalam tahkim
Shiffin pun demikian, tidak bisa sepenuhnya berlepas diri dari ajaran para
Sahabat. Bahkan Muktazilah yang dikenal sebagai kelompok yang sangat menjunjung tinggi rasionalitas, juga banyak mendasarkan pemahaman
keagamaanya kepada para Sahabat Nabi. Kelompok Sunni, di samping
menggunakan dalil logika kontinuitas sejarah sosial intelektual, juga mendasarkan paradigmanya pada doktrin hadis bahwa keselamatan ada pada
kelompok yang mengikuti Nabi dan para Sahabatnya (Ma > ana> ‘alayhi wa
as }ha>bi >) dan hadis tentang perintah mengikuti sunnah Nabi dan para Sahabatnya
(‗Alaykum bi >sunnati> wa sunnah khulafa> al-ra>shidin al-mahdiyi >n).91
Ibn H}ajar al-‗Asqala >ni> mengatakan bahwa penerapan dan pengamalan
ajaran Islam dengan baik, tidak hanya mensyaratkan pengetahuan yang luas
tentang tata laku kehidupan Nabi, tetapi juga tentang kehidupan para sahabat.92
Alasannya, karena hanya merekalah yang paling mengetahui dan bisa
memberikan informasi perihal konteks peristiwa pada saat sebuah wahyu—
terutama hadis—diucapkan oleh Nabi dan dipraktikkan untuk pertama kali.93
Dengan perkataan lain, merekalah yang paling tahu mengenai faktor peristiwa
atau latar historis yang melatari sabda Nabi. Misalnya, dalam konteks apa Nabi
bersabda? Kenapa ia bersabda? Kapan, di mana, dan kepada siapa ia bersabda?
Apa kapasitas Nabi ketika bersabda? Dan lain sebagainya. Hal-hal partikular semacam itu, hanya dapat diketahui melalui penuturan para Sahabat sebagai
mediator pertama tradisi kenabian. Sebagai contoh kongkrit ialah hadis-hadis
yang berkenaan dengan hal ihwal Nabi, sesungguhnya bukanlah aktivitas Nabi. Dalam menyampaikannya, Nabi bersifat pasif saja, disaksikan dan direkam oleh
90
Fuad Jabali, Sahabat Nabi: Siapa, Ke Mana, dan Bagaimana? 63. 91
Ahmad Ubaydi Hasbillah, Nalar Tekstual Ahli Hasis: Mencari Akar Formula
Kultur Moderat Berbasis Tekstualisme, dalam catatan kaki,166. 92 Demikian pentingnya pengetahuan tentang kehidupan para sahabat Nabi,
sehingga mendorong para ulama klasik untuk menulis sebuah karya monumental yang
secara khusus mengulas kehidupan para sahabat. Ibn Ḥajar al-‗Asqalānī menulis kitab
berjudul al-Iṣābah fī Tamyīz al-Ṣaḥābah. Kitab ini berhasil menghimpun fakta-fakta
tentang 11.000 sahabat Nabi dan dianggap sebagai kitab terlengkap tentang riwayat
hidup para sahabat Nabi. Sebelum kitab ini muncul, telah ada beberapa karya lain yang
ditulis lebih awal di antaranya, Ibn ‗Abd al-Bar al-Qurṭubī menulis kitab berjudul al-
Istī’āb fī Ma’rifah al-Aṣḥāb, Ibn Sa‘d menulis Ṭabaqāt al-Kubrā, dan Ibn ‗Athīr menulis
kitab berjudul Usd al-Ghābah fī Ma’rifah al-Ṣaḥābah. Beberapa karya tersebut mengulas
secara detail tentang kehidupan para Sahabat Nabi, mulai dari kelahiran dan
kewafatannya, domisili, perpindahannya dari satu daerah ke daerah lain, peristiwa-peristiwa besar yang dihadapinya, dan pergumulannya dengan Nabi, para Sahabat lain,
dan para tabiin. 93 Pernyataan tersebut sebagaimana dikutip Fuad Jabali dalam karyanya
Sahabat Nabi: Siapa, Ke Mana, dan Bagaimana? 63.
69
para Sahabat. Adapun pihak yang aktif adalah para Sahabat, dalam arti sebagai perekam atas hal ihwal tersebut.
94
Pada perkembangan berikutnya, Islam kian meluas ke berbagai daerah dan jumlah pemeluknya bertambah banyak. Pada situasi seperti ini, Nabi mulai
memberi mandat kepada para Sahabatnya agar ikut serta membantu
menyebarkan ajaran agama yang dibawanya. Nabi mulai menunjuk beberapa
orang Sahabatnya untuk berdakwah ke berbagai daerah. Sejarah mencatat, Nabi seringkali mengutus para Sahabat untuk menemui orang-orang beriman yang
datang ke Madinah dalam rangka konsultasi masalah-masalah keagamaan, cara
memimpin pasukan melawan musuh dan menyampaikan ajaran Islam di berbagai daerah. Bahkan, pasca Nabi wafat, para Sahabat memainkan peran
lebih besar lagi ketimbang sebelumnya. Semua peran Nabi, kecuali dalam hal
menerima wahyu, diambil alih oleh mereka.95
Selain itu, para Sahabat, baik yang
elit maupun yang biasa, berperan penting bukan hanya dalam menegakkan dasar-dasar tatanan sosial di Madinah, melainkan juga dalam penyebaran masyarakat
Muslim masa awal di luar Madinah dan keberhunian mereka di tanah-tanah yang
baru ditaklukkan.96
Abu > Zur‘ah, sebagaimana dikutip S }ubh}i S }a >lih}, mengatakan bahwa ada
sekitar seratus empat belas ribu Sahabat yang hidup pada masa Nabi. Era Sahabat berakhir seratus tahun pasca wafatnya Nabi, seiring dengan wafatnya
Sahabat yang terakhir, Abu > T}ufayl bin ‘A>mir bin Wa>thilah pada tahun 100 H.97
Al-Sakha >wi> mengutip pernyataan Abu > Bakr bin Abu > Da>wu>d bahwa di Sha>m ada
sekitar sepuluh ribu Sahabat. Data lainnya dikemukakan Qata >dah bahwa di
Kufah terdapat seribu lima puluh Sahabat, dua puluh empat orang di antaranya
adalah para Sahabat yang ikut serta dalam perang badar. Sementara di H}ims}
terdapat sekitar lima ratus Sahabat.98
Para Sahabat tersebar luas ke berbagai penjuru, terutama ke wilayah-
wilayah taklukan. Mereka menyampaikan apa yang diterimanya dari Nabi,
berhukum dengan hukum Allah dan mengatasi berbagai persoalan berdasarkan apa yang pernah dicontohkan oleh Nabi.
99 Sebagai saksi sejarah kenabian, para
94
Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan
al-H}adi >th (Damaskus: Da>r al-Fikr, 1981), 25. Menurut Aceng Abdul Qadir, penyebaran Sahabat dalam rangka berdakwah ke berbagai penjuru terutama wilayah-wilayah
taklukan, menunjukkan bahwa sejak masanya yang paling awal, Islam tidaklah berwatak
lokal, melainkan berwatak universal. Dengan pengertian lain, Islam berkepentingan
70
Sahabat menjadi rujukan utama di berbagai daerah tempat mereka tinggal. ‗Abd
Alla>h bin Mas’u>d, misalnya, menjadi rujukan utama fikih di Kufah. ‘Ali>’ bin
Abi> T}a>lib dan Anas bin Ma >lik menjadi rujukan utama penduduk Basrah.
Mu‘a>wiyah bin Abi> Sufya >n dan Abu > Hurayrah menjadi rujukan bagi masyarakat
Sha>m. ‗Abd Alla>h bin ‗Umar menjadi tokoh sentral penduduk Madinah, dan
‗Abd Alla>h bin ‗Abba >s menjadi panutan masyarakat Mekkah. Setiap daerah
dihuni oleh para Sahabat yang berbeda, sehingga melahirkan corak pemikiran keagamaan yang berbeda pula.
100
Di akhir masa pemerintahan ‗Uthma >n, terjadi pergerakan para Sahabat
ke luar Madinah, salah satunya ke Kufah. Meski jarak antara Madinah dan Kufah cukup jauh, hal itu tidak menghalangi semangat para Sahabat untuk berdiaspora
ke kota ini. Mahdi al-Makhzu >mi> mencatat, kota ini pernah dihuni oleh sekitar tujuh puluh orang veteran perang Badar, dan tiga ratus orang Sahabat yang ikut
serta dalam peristiwa baiat Ridhwan. Bahkan Abu > al-‗Abba >s al-S }affah (w. 132)
khalifah pertama Bani ‗Abbasiyah pernah mengatakan: ―Kufah adalah negeri adab, wajah Irak, tujuan para pencari ilmu tempat tinggal Sahabat pilihan dan
orang-orang mulia‖.101
Tak hanya itu, para Sahabat juga berkontribusi besar dalam upaya transmisi hadis kepada generasi berikutnya, baik melalui lisan maupun tulisan.
Kebijakan Nabi mengutus para Sahabatnya ke berbagai daerah, baik untuk tugas
khusus berdakwah maupun untuk memangku jabatan, tidak kecil peranannya dalam penyebaran hadis. Berbagai peperangan yang banyak dimenangkan Nabi
dan umat Islam di berbagai daerah, juga turut mempercepat proses penyebaran
hadis. Seiring dengan itu, umat Islam menyebar ke berbagai wilayah yang telah
tunduk kepada kekuasaan Islam. Penyebaran Islam bukan hanya sekadar mencari nafkah, melainkan juga untuk kepentingan dakwah. Melalui dakwah-dakwah itu,
tersebarlah hadis Nabi.102
Sebagimana telah disinggung di atas, para Sahabat tidak hanya berkutat
pada satu wilayah tertentu. Setelah sekian lama berinteraksi dengan Nabi di
Madinah dan mendapat bimbingan langsung darinya, mereka berdiaspora ke
berbagai wilayah dalam rangka menyebarkan hadis Nabi. Al-H}a>kim al-
Naysabu>ri> mencatat sejumlah Sahabat berikut wilayah yang disinggahinya. Di
Kufah, terdapat Ali> bin Abi> T}a>lib, Sa‘ad bin Abi> Waqa>s}, Sa‘i>d bin Zayd, ‗Abd
untuk disebar dan didakwahkan. Islam bukanlah agama primordial yang hanya di anut
oleh segmentasi tertentu. Selengkapnya, lihat Aceng Abdul Qadir, Regionalisme dalam
Periwayatan Hadis: Asal-Usul Hadis Berdasar Sanad Geografis Kufah (Bandung:
Pustaka Aura Semesta, 2019), 73. 100
Ahmad Ubaydi Hasbillah, Nalar Tekstual Ahli Hadis; Akar Formula Kultur
Moderat Berbasis Tekstualisme, 166. 101
Data di atas sebagaimana dikutip Aceng Abdul Qadir dalam disertasinya
Regionalisme dalam Periwayatan Hadis: Asal-Usul Hadis Berdasar Sanad Geografis
Kufah, 7. 102
Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan
dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, 39.
71
Alla >h bin Mas’u>d, Abu> Qata>dah bin Rib‘iy, H}udhayfah bin al-Yama >ni, ‗Amma>r
bin Ya>sir, Abu> Mu>sa> al-Ash’ariy, Barra> bin A>zib, Wa>’il bin H}ujr dan sejumlah
Sahabat lainnya. Sebagian besar dari mereka bahkan wafat dan dimakamkan di
sana. Di Mekah terdapat ‗Aya>sh bin Abi> Rabi>’ah al-Makhzu>mi>, ‗Abd Alla>h bin
Abi> Rabi>’ah al-Makhzu>mi>, ‘Ikrimah bin Abi> Jahl, ‘Abd Alla>h bin Sa>’ib al-
Makhzu>mi>, ‘Abd Alla>h bin Mu>t}i>, dan lain-lain. Di Bashrah terdapat ‗Utbah bin
Ghazwa>n, ‗Imra>n bin H}us}ayn, Abu> Barzah al-Aslamiy, Abu> Bakrah, Ma’qil bin
Yasa>r, Anas bin Ma>lik, dan lain-lain. Di Mesir terdapat ‗Uqbah bin ‘A >mir al-
Juha>ni>, ‘Amr bin al-‘A>s}, Maslamah bin Makhlad dan lain-lain. Di Sha>m,
terdapat Abu ‘Ubaydah bin Jara>h}, Bila>l bin Raba>h, ‘Uba>dah bin S}amit, Mu’adh
bin Jabal, Sa’ad bin ‘Uba >dah, Abu> al-Darda, Fad}l bin ‘Abba >s, Kha>lid bin Wali>d,
Mu’a >wiyah bin Abi> Sufya>n, dan lain-lain. Di sebuah pulau kecil terdapat ‗Adi
bin ‗Amirah al-Kindi, Wa>bis}ah bin Ma’bad al-Asadi>, dan Wali>d bin ‘Uqbah bin
Abi> Mu’aith. Di Khurasa>n terdapat Buraydah bin H}ushayb al-Asla>miy, Abu>
Barzah al-Asla>miy, H}akam bin ‘Amr al-Ghifa>ri> dan sejumlah Sahabat lainnya yang menetap di sana hingga wafat.
103 Wilayah-wilayah yang pernah dihuni oleh
para Sahabat tentu memiliki keistimewaan tersendiri, bukan hanya karena
wilayah tersebut akan memiliki kharisma dan pengaruh, tetapi juga akan memiliki otoritas dalam aspek keagamaan ketimbang wilayah-wilayah lainnya
yang tidak pernah dihuni oleh para Sahabat.104
Selanjutnya, dalam upaya menjaga dan mentransmisikan hadis Nabi, para Sahabat bukan hanya menyampaikannya secara lisan, tetapi juga
mendokumentasikannya melalui tulisan sebagaimana terekam dalam beberapa
riwayat sebagai berikut.105
‗Abd Alla >h bin ‘Amr bin al-‘A>s }(w. 63) berkata: ―Aku menulis segala
apa pun yang aku dengar dari Nabi untuk kemudian aku hafalkan, namun orang-
orang Quraish melarangku dan berkata: ―Apakah engkau hendak menuliskan segala apa pun yang engkau dengar dari Nabi? Padahal beliau sendiri hanyalah
manusia biasa yang adakalanya berbicara karena marah atau senang‖. Ketika itu,
aku sempat berhenti menuliskan hadis dan mengadukan masalah ini kepada Nabi. Kemudian beliau memberi isyarat dengan jari telunjuknya ke arah
mulutnya sambil berkata: ―Tulislah, demi dzat yang jiwaku berada dalam
genggaman-Nya, tidak ada yang keluar darinya (dari mulutku) kecuali
kebenaran‖.106
103 Abu >‘Abd Alla>h al-H}a>kim al-Naysabu>ri>, Ma’rifah ‘Ulu>m al-H}adi>th (Beirut:
ruang lagi). Kemudian aku membalikkan sendalku dan menuliskan hadis di bagian luarnya.
114
Diriwayatkan dari Ma‘n, ia berkata: ―‗Abd al-Rah}ma>n bin ‘Abd Alla>h
bin Mas’u>d memperlihatkan sebuah kitab kepadaku, kemudian ia bersumpah
bahwa kitab tersebut merupakan hasil tulisan tangan bapaknya‖.115
Diriwayatkan dari H}asan bin ‘Amr bin ‘Umayah al-D}amri>, bahwa ia
berkata: ―Aku menyampaikan sebuah hadis di hadapan Abu> Hurayrah, namun ia mengingkarinya. Aku berkata: Sesungguhnya aku mendengar hadis ini darimu‖.
Abu> Hurayrah berkata: "Kalau memang engkau mendengar hadis itu dariku,
tentu saja hadis itu sudah tertulis dalam koleksi catatanku‖. Kemudian ia mengajakku ke rumahnya. Ia memperlihatkan kepadaku catatan hadis yang
begitu banyak. Dan ia menemukan hadis (yang aku sampaikan tadi). Lalu ia
berkata: ―Aku telah menjelaskan kepadamu tadi, kalau memang aku pernah meriwayatkan hadis ini kepadamu, maka tentu saja sudah tertulis dalam
lembaran catatanku‖.116
Sampai di sini, apa yang ingin penulis katakan ialah, bahwa para Sahabat memiliki peran sentral dalam upaya kontinuitas tradisi kenabian.
Antusiasme para Sahabat sangat terlihat dalam berbagai hal. Sebagian dari
mereka merawat tradisi kenabian melalui tulisan, sedangkan sebagian lainnya berdiaspora ke berbagai wilayah taklukan dalam rangka berdakwah dan
menyebarkan hadis-hadis Nabi.
D. Sahabat Sebagai Representasi Ajaran Nabi
‘Abd al-Rah}man bin Abī Ḥātim al-Rāzi, seorang ulama ahli al-Jarh} wa> al-Ta’di>l yang pendapatnya menjadi rujukan para ulama ahli hadis pernah mengatakan:
فأما أ حاب رسوؿ اهلل ى اهلل ع و وس م ف م ااذين دوا ااوحي وااتن يل وعرفوا اات سري وااتأويل وىم ااذين اختارىم اهلل ع وجل اصحلـ نل و ى اهلل ع و وس م ونصرتو وإقامـ دينو
وجع م انا أعالما وقدوة فح ظوا عنو ى اهلل ع و وس م ما . فر م او حابـوإظ ار حقوب غ م عن اهلل ع وجل وما سن و رع وحكم وقضى وندب وأمر وهنى وحظر وأدب، ووعوه وأتقنوه،
مبعاينـ رسوؿ اهلل ى اهلل ع و وس م، ومشاىدهتم منو - ف ق وا ف اادين وع موا أمر اهلل وهن و ومراده وت ق م منو واستنلاط م عنو، فشرف م اهلل ع وجل مبا من ع م وأ رم م بو ت سري ااكتاب وتأوي و
وااكذب وااغ ي وااريلـ وااغم و اىم عدوؿ األمـ من و عو إياىم مو ع ااقدوة، فن ى عن م ااشك
114
Al-Da>rimi>, Sunan al-Da>rimi, 1, 191. 115 Ibn ‘Abd al-Bar al-Qurt}ubi>, Ja>mi Baya>n al-‘Ilm wa Fad}lihi > (al-Mamlakah al-
‘Arabiyah al-Sa’u>diyyah: Da>r Ibn al-Jawzi, 1994), 1, 311. 116
Ibn ‘Abd al-Bar al-Qurt}ubi>, Ja>mi Baya>n al-‘Ilm wa Fad}lihi>, 1, 324.
74
―Adapun para Sahabat Rasulullah SAW, mereka adalah orang-orang yang menyaksikan langsung turunnya wahyu, mengerti tafsir dan takwilnya,
yang dipilih oleh Allah untuk menemani Nabi SAW, menolongnya, menegakkan
agamanya, dan menampakkan kebenarannya. Maka Allah pun meridhai mereka sebagai Sahabat Nabi. Dan menjadikan mereka sebagai sumber ilmu dan
tauladan. Mereka menghafal apa yang disampaikan Nabi dari Allah—apa yang
disunnahkan, disyariatkan, ditetapkan sebagai hukum, dianjurkan, diperintahkan, dilarang, diperingatkan, dan diajarkan Nabi. Mereka menjaganya, meyakininya,
kemudian memahaminya dalam agama dan mengetahui perintah Allah,
larangannya, maksudnya dengan disaksikan langsung oleh Rasulullah. Dari
Nabi, mereka menyaksikan tafsir kitab dan takwi>l-nya, berpegang teguh kepada
ajarannya dan ber-istinba>t} berdasarkan kitabnya. Allah memuliakan mereka
dengan apa yang telah diberikan kepadanya dan menjadikannya sebagai tauladan. Oleh karenanya, Allah menghilangkan darinya segala bentuk keraguan,
kebohongan, kesalahan dan menjadikannya sebagai umat yang adil.‖117
Pernyataan al-Ra>zi di atas kian meneguhkan eksistensi dan otoritas para Sahabat dalam Islam, terutama terkait keistimewaannya sebagai wadah atas
berbagai tradisi kenabian. Melalui pernyataan tersebut, ia secara eksplisit hendak menegaskan bahwa para Sahabat adalah generasi yang paling tahu tentang Islam
setelah Nabi. Sebagai saksi sejarah kenabian, mereka tidak saja hidup dan
berinteraksi langsung dengan Nabi dalam berbagai dimensi kehidupan, tetapi
lebih dari itu, mereka bahkan menyaksikan langsung proses turunnya wahyu kepada Nabi, sehingga dianggap sebagai generasi yang paling mengerti tentang
bagaimana semestinya ajaran Islam dipahami, dipraktikkan, dan sampai batas
tertentu dikontekstualisasikan dalam menghadapi berbagai persoalan yang mengitarinya. Pendek kata, para Sahabat adalah representasi dari ajaran Nabi.
118
Pada saat masih hidup, Nabi merupakan otoritas utama atau sumber
nilai-nilai keagamaan yang setiap perkataan, perbuatan dan ketetapannya disaksikan dan kemudian dipraktikkan oleh para Sahabat. Pada saat yang sama,
Nabi menjadi rujukan bagi para Sahabat dalam mengadu dan mengkonfirmasi
berbagai macam persoalan yang muncul ketika itu, baik yang menyangkut ritus peribadatan, maupun yang menyangkut hubungan sosial kemasyarakatan, dan
lain sebagainya. Para Sahabat tentu saja sangat diuntungkan dengan posisinya
ini, karena dengan demikian mereka tidak perlu berpikir panjang dalam
mengatasi berbagai persoalan dan memahami pesan-pesan kenabian. Berbagai persoalan yang terjadi di kalangan para Sahabat ketika itu dapat langsung
ditanyakan kepada Nabi.119
117
Ibn Abī Ḥātim al-Rāzi, al-Jarḥ wal-al-Ta’dīl, 1, 7. 118
Lihat juga Muh}ammad Muba>rak Sayyid, Mana>hij al-Muh}addithi>n (Kairo:
Kulliyah Us}ul al-Di>n, 1998), 6. 119
Sebagai contoh, sebuah riwayat menceritakan bahwa suatu ketika ‗Ali> bin
Abi> T}a>lib (w. 40 H) terkena madhi> (air yang keluar dari kemaluan laki-laki karena
bermesraan dengan istri). Ia malu untuk bertanya langsung kepada Nabi karena posisi
istrinya (Fa>t}imah) merupakan anak Nabi sendiri. Sehingga, ia menyuruh Miqda>d bin
75
Akan tetapi, persoalan krusial terjadi pasca wafatnya Nabi. Pada fase ini, kehilangan otoritas segera terasa. Fazlur Rahman mengatakan bahwa pasca
wafatnya Nabi, para Sahabat yang semula memosisikannya sebagai otoritas
utama tempat mengadu atau mengkonfirmasi berbagai persoalan keagamaan, ketika itu mau tidak mau harus berpikir keras menginterpretasikan sendiri ajaran-
ajaran Nabi dalam ketiadaan bimbingan langsung darinya.120
Pada fase ini, dapat
dikatakan bahwa otoritas keagamaan telah berpindah ke tangan para sahabat, sehingga problem apa pun yang muncul ketika itu, mau tidak mau harus mampu
diselesaikan dengan baik oleh para Sahabat. Tidak ada cara lain selain dengan
memberi kepercayaan penuh kepada mereka. Hal ini sangatlah wajar, karena—
sebagaimana dikatakan sebelumnya—mereka merupakan para saksi sejarah kenabian dan dianggap sebagai orang-orang yang paling mengerti tentang Islam
setelah Nabi, sehingga apapun yang dikatakan dan dipraktikkan oleh mereka
akan dipandang memiliki nilai-nilai profetik atau sebagai representasi ajaran Nabi. Pendek kata, sebagai saksi sejarah kenabian, mereka dianggap sebagai
panutan oleh umat Islam pasca wafatnya Nabi.121
Dalam konteks ilmu tafsir, penafsiran Alquran yang berasal dari para Sahabat dianggap paling otoritatif ketimbang penafsiran generasi setelahnya. Al-
H}a>kim al-Naysabu>ri>, sebagaimana dikutip Sa‘d bin Sayid Qut}b al-Sha>l,
mengatakan bahwa penafsiran Alquran yang berasal dari Sahabat dikategorikan
sebagai fi> h}ukm al-marfu >’ (setara dengan penafsiran Nabi). Ketika menafsirkan
Alquran, mereka adakalanya menukil langsung dari Nabi sesuai redaksinya, dan terkadang hanya menukil makna dan substansinya saja, sehingga jenis yang
terakhir ini merupakan bagian dari riwayat bi> al-ma’na>.122
Dalam bidang hukum
Islam, pandangan keagamaan para Sahabat juga memiliki otoritas dan keistimewaan tersendiri. Perkataan dan perbuatan mereka menjadi barometer
untuk menimbang benar dan tidaknya sebuah praktik keagamaan atau pun
pandangan umat Islam pada generasi berikutnya. Jika ternyata memiliki landasan
historisnya dari para Sahabat, maka hal itu dapat dibenarkan. Namun sebaliknya, jika bertentangan dengan dalil-dalil agama dan tidak memiliki preseden historis
dari generasi Sahabat, maka yang demikian itu dihukumi sebagai sebuah
kebatilan.123
Melihat betapa sakralnya pandangan keagamaan generasi Sahabat,
Aswa>d agar menanyakan masalah itu kepada Nabi. Nabi menjawab, apabila terkena
madhi>, maka cucilah kemaluannya dan berwudhulah. Lihat Muh}ammad bin Isma>’i>l al-
Bukha>ri>, S}ah}i>h} al-Bukha>ri>, 1, 62. Lihat juga Ah}mad bin Muh}ammad bin H}anbal al-
Shayba>ni>, Musnad Ah}mad bin H}anbal, 1, 426. 120
Selengkapnya, lihat Fazlur Rahman, Islam,terj, Ahsin Muhamad, 51. 121 Abū ‗Abd Allāh Muḥammad ibn Sa‘d ibn Manī‘ al-Hāshimī, al-Ṭabaqāt al-
1997), 4, 457. 125 Abu >‘Umar Yu>suf bin ‘Abd Alla>h bin Muh}ammad bin ‘Abd al-Bar bin
‚A>s}im al-Qurt}ubi>, Ja>mi’ Baya>n al-‘Ilm wa Fadhlih, 1, 617. 126
Ibn Taymiyah memberikan catatan bahwa pemahaman para Sahabat terkait
Alquran, sunnah, dan hal ihwal Nabi banyak yang luput dari para ulama yang hidup pada
era belakangan. Para Sahabat bergumul dengan Nabi dan menyaksikan langsung proses turunnya wahyu kepada Nabi, sehingga mereka sangat mengerti perkataan, perbuatan
dan hal ihwal Nabi, bahkan dapat mengonfirmasi langsung kepada Nabi tentang hal-hal
yang berkaitan dengannya. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa para ulama mutaakhirin
seringkali berkata bahwa sejumlah persoalan harus direspons melalui qiyas, lantaran
tidak adanya ayat dan hadis yang berbicara tentang itu. Menurut Ibn Taymiyah,
pernyataan tersebut muncul karena ketidaktahuan mereka terhadap Alquran dan sunnah
serta petunjuk keduanya atas persoalan hukum. Ia mengutip pernyataan Ah}mad bin
H}anbal bahwa tidak ada satu pun persoalan melainkan telah dijawab oleh para Sahabat. Hal itu, karena pada saat terjadinya ekspansi dan perluasan wilayah kekuasaan Islam,
telah terjadi berbagai macam peristiwa, dan para Sahabat telah menjawabnya
berdasarkan petunjuk Alquran dan sunnah. Dan hanya sedikit saja yang dijawab
berdasarkan penalaran. Selengkapnya, Abu> al-‘Abba>s, Taqi> al-Di>n Ah}mad bin ‘Abd al-
H}ali>m bin Ibn Taymiyah al-Harani>, Majmu> Fata>wa (Madi>nah al-Munawarah: Majma’
al-Mulk Fahd Li T}iba>’ah al-Mus}h}af al-Shari>f, 1995), 19, 200. 127
Sa‘ad bin Sayid Qut}b al-Sha>l, Ada>b al-Ikhtila>f bayn al-S}ah}a>bah wa
Atha>ruhu> ‘ala al-wa>qi’ al-Isla>miy; Dira>sah Manhajiyah Us}u>liyyah Tarbawiyah wa
Da’awiyyah, 203. 128 Dede Rodliyana, ―Hegemoni Fiqh terhadap Penulisan Kitab Hadis‖ Journal
of Quran and Hadith Studies, Vol. 1, No. 1, 2012 (Juli-Desember 2011), 133.
77
sunnah ‘ala> t}ari>qah abi> bakr wa ‘umar).129 Senada dengan dua ulama di atas, al-
Sha>t}ibi> secara eksplisit mengatakan bahwa term sunnah juga mencakup apa yang
dipraktikkan para Sahabat, baik itu terekam dalam Alquran atau pun tidak, karena sunnah Sahabat itu merupakan sesuatu yang sudah diketahui secara pasti
oleh mereka tetapi tidak diriwayatkan kepada kita, atau hasil ijtihad yang telah
disepakati di antara mereka, atau yang berasal dari para khalifah ketika itu.130
Sementara itu, ‗Ajja>j al-Kha>t}ib mengatakan bahwa di kalangan para
ulama ahli hadis dan usul, terkadang term sunnah juga disematkan pada apa yang dilakukan oleh para Sahabat, baik hal itu terdapat dalam Alquran dan sunnah
Nabi atau pun tidak. Pandangan tersebut salah satunya didasarkan pada hadis
―Alaykum bisunnati> wa sunnah khulafa> al-ra>shidi>n al-mahdiyyi>n‖ (Hendaklah
kalian mengikuti sunnahku dan sunnah khulafa> al-ra>shidi>n‖. Para ulama
mencontohkannya pada sejumlah kebijakan Sahabat, di antaranya pada kasus
had khamr oleh ‗Ali>, pengumpulan mushaf pada masa Abu> Bakar dan lain
Islam awal (Sahabat) sebagai bagian dari sunnah (wa al-sunnah ma> ka>na alayh al-‘amal al-ma’thu>r fi> al-s}adr al-awal).131
Senada dengan pandangan para ulama di atas, sarjana Muslim progresif
kontemporer semisal Fazlur Rahman juga mengatakan bahwa term sunnah ini
pada awalnya dimaknai sebagai perilaku atau tradisi kenabian. Tetapi, ketika
tradisi tersebut berlanjut secara diam-diam dan non verbal, maka term sunnah ini juga pada akhirnya disematkan pada kandungan aktual perilaku setiap generasi
pasca Nabi (Sahabat), sepanjang perilaku tersebut dinilai masih meneladani pola
perilaku Nabi.132
Jalaluddin Rakhmat mengelompokkan sunnah Sahabat menjadi tiga;
Pertama, ada sunnah Sahabat yang merupakan pelaksanaan dari sunnah Nabi
seperti kodifikasi Alquran (tadwi>n al-Qura>n). Kedua, ada sunnah Sahabat yang berfungsi menggantikan sunnah Nabi, seperti salat sunnat tarawih berjamaah.
Ketiga, bahkan ada sunnah Sahabat yang bertentangan dengan sunnah Nabi,
seperti haji tamattu’133
Terkait poin yang ketiga ini, meskipun dalam pandangan Jalaluddin Rahmat hal itu tampak bertentangan dengan sunnah Nabi, namun
boleh jadi ia merupakan bentuk pelaksanaan dari sunnah Nabi itu sendiri. Hanya
saja, Sahabat berusaha menangkap spirit yang terdapat dibalik perintah itu. Dalam fakta sejarah Islam awal, hal yang sama juga dapat dijumpai pada
kebijakan-kebijakan khulafa> al-ra>shidi>n.
129
Muh}ammad bin Ah}mad bin Sahl al-Sarkha>si>, Us}u>l al-Sarkha>si> (Beirut: Da>r
Jalaluddin Rakhmat, Misteri Wasiat Nabi: Asal-Usul Sunnah Sahabat: Studi
Histogriorafis atas Tarikh Tashri’ (Bandung: Misykat, 2015), 110.
78
Abu > Bakar, misalnya, pernah membuat kebijakan untuk memerangi kaum murtad dan para pembangkang yang enggan membayar zakat. Pada
awalnya, ia sempat diperingatkan oleh ‗Umar bahwa mereka tidak layak diperangi karena statusnya masih berada dalam keimanan. Sedangkan orang
beriman diperintahkan oleh Nabi agar dijaga jiwanya, meskipun pada akhirnya
Umar sependapat dengan Abu Bakar bahkan ia menyadari bahwa pendapat Abu>
Bakar lebih tepat dan bijaksana. Sepintas, apa yang dilakukan Abu> Bakar
tersebut bertentangan dengan sabda Nabi terkait larangan membunuh orang yang
telah beriman. Akan tetapi, kebijakan Abu > Bakar tersebut sesungguhnya merupakan bagian dari cara mempraktikkan sunnah Nabi dalam rangka menjaga
tujuan syari‘at.134
‗Umar bin Khat}t}a>b juga pernah membuat kebijakan yang bertentangan
dengan sunnah Nabi. Pada saat menjabat sebagai khalifah, ‗Umar tidak
membagikan harta rampasan perang kepada para Sahabat, tetapi dibiarkan kepada pemiliknya dan hasilnya diserahkan ke Bayt al-Mal. Kebijakan ‗Umar
tersebut jelas berbeda dengan apa yang pernah dipraktikkan oleh Nabi yang
membagi harta rampasan perang kepada para Sahabat. Kebijakan ‗Umar tersebut mendapat protes keras dari para Sahabat lainnya. Mereka menuntut ‗Umar agar
tetap memberikan bagian mereka sebagaimana yang telah dilakukan oleh Nabi.
Akan tetapi, ‗Umar menolak tuntutan itu karena ia khawatir jika harta rampasan berupa tanah itu dibagi, maka mereka akan menimbulkan kerusakan terhadap
sistem pengairannya. Oleh karenanya, ia memutuskan agar tanah-tanah itu
dikelola oleh pemilik sebelumnya, lalu hasilnya diserahkan ke Bayt al-Mal agar
kemudian dapat dimanfaatkan secara bersama.135
Tak hanya itu, ‘Ali> bin Abi> T{a>lib dan beberapa Sahabat lainnya juga
pernah membuat kebijakan berbeda dengan apa yang pernah dipraktikkan oleh Nabi. Misalnya, berkenaan dengan kasus hukuman terhadap orang gay (yang
menyukai sesama jenis). ‗Ali> pernah membakar kaum gay. Diriwayatkan bahwa
Kha>lid bin Wali>d menemukan seorang laki-laki yang menikah dengan laki-laki
pada masa pemerintahan Abu> Bakar. Kha>lid melaporkan kasus itu kepada
khalifah Abu> Bakar yang kemudian dimusyawarahkan dengan Sahabat lain. Para Sahabat sepakat untuk menghukum orang tersebut dengan cara membakarnya.
Hal ini berbeda dengan apa yang pernah diperintahkan Nabi, di mana Nabi hanya menyuruh membunuhnya, bukan membakarnya.
136
Beberapa kasus di atas merupakan contoh sunnah Sahabat yang
merupakan pelaksanaan dari sunnah Nabi itu sendiri, meskipun secara sepintas tampak bertentangan dengan sunnah Nabi. Para Sahabat berusaha memahami,
134
Atiyatul Ulya, Hadis dalam Perspektif Sahabat; Kajian Ketaatan Sahabat
terhadap Rasul dalam Konteks Pemahaman Hadis (Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2008. 159. 135
Atiyatul Ulya, Hadis dalam Perspektif Sahabat; Kajian Ketaatan Sahabat
terhadap Rasul dalam Konteks Pemahaman Hadis, 172-182. 136
Atiyatul Ulya, Hadis dalam Perspektif Sahabat; Kajian Ketaatan Sahabat
terhadap Rasul dalam Konteks Pemahaman Hadis, 230.
79
mempraktikkan dan mengkontekstualisasikan sunnah Nabi secara dinamis untuk merespons berbagai persoalan yang terjadi pasca wafatnya Nabi. Pada akhirnya,
sunnah Sahabat ini diposisikan setara dengan sunnah Nabi.
Sampai di sini, apa yang dapat penulis simpulkan dari paparan di atas
ialah, bahwa perkataan, perbuatan, ketetapan dan hal lainnya yang berasal dari
para Sahabat, pada umumnya adalah upaya dalam rangka mengejawantahkan
pesan-pesan kenabian. Oleh karenanya, wajar jika umat Islam diperintahkan agar mengikuti sunnah Nabi dan para Sahabatnya.
80
BAB IV
PENGGUNAAN HADIS OLEH SAHABAT NABI: TIPOLOGI DAN
IMPLIKASI
Pada bab sebelumnya, penulis telah menjelaskan bahwa dalam berbagai
literatur hadis, para Sahabat dinarasikan sebagai generasi yang paling mirip dengan Nabi, karena mereka selalu berusaha mengimitasi atau meniru-niru apa
pun yang dilakukan oleh Nabi. Sehingga, pada perkembangan berikutnya, apa
yang dikatakan dan dilakukan oleh mereka dikategorikan sebagai bagian dari
sunnah. Para Sahabat juga dianggap sebagai generasi yang paling mengerti tentang bagaimana semestinya ajaran Islam dipahami dan dipraktikkan. Bahkan
lebih dari itu, Ibn H }amzah al-Dimashqi>, tokoh hadis abad ke-11 H secara
implisit mengatakan bahwa konteks historis yang melatari Sahabat ketika
menyampaikan atau menggunakan sebuah hadis untuk merespons peristiwa
tertentu (sabab al-i>rad) dinilai identik dengan konteks historis yang melatari
Nabi mengucapkannya untuk pertama kali (sabab al-wuru>d). Sehingga, menurut
al-Dimashqi, hal itu dapat menjadi sebuah instrumen dalam memahami hadis Nabi.
Pada bab ini, penulis akan mengurai secara elaboratif dinamika
penggunaan hadis di kalangan para sahabat Nabi. Hal ini untuk melihat motif dan ragam penggunaannya pada era Sahabat. Apakah konteks historis yang
melatari penggunaan hadis oleh para sahabat (sabab al-i >ra>d) selalu identik
dengan konteks historis yang melatari Nabi mengucapkannya untuk pertama kali
(sabab al-wuru >d)? Ataukah mereka juga menggunakan hadis yang sama secara
dinamis dalam berbagai konteks dan peristiwa yang beragam. Jika yang penulis
katakan terakhir ini terbukti, maka berarti hal itu menunjukkan bahwa mereka sangat fleksibel dalam memahami dan menggunakannya dalam berbagai dimensi
kehidupan bangsa Arab ketika itu. Selanjutnya, jika penggunaan hadis oleh para
Sahabat itu bersifat dinamis, lalu adakah implikasinya terhadap pemahaman hadis?
A. Tipologi Penggunaan Hadis oleh Sahabat Nabi
Para Sahabat, ketika menghadapi berbagai peristiwa pada masanya,
terutama benturan-benturan baru yang tidak pernah dijumpai pada masa Nabi,
sering kali merujuk kepada hadis Nabi. Boleh jadi, mereka amat jarang
menyikapinya dengan pandangan personal. Jika pun ada, hal itu tidak terlepas dari nilai-nilai profetik atau pesan-pesan kenabian yang pernah mereka terima.
Inilah yang penulis katakan pada bab sebelumnya bahwa Sahabat merupakan
imitator dan mediator tradisi kenabian. Izzat Darwazah menggambarkan betapa umat Islam awal benar-benar terpengaruh oleh cahaya kenabian Nabi
81
Muhammad. Sehingga, mereka mengikuti wasiat-wasiatnya dan cahaya yang dibawa Nabinya.
1
Namun demikian, ekspresi keberagamaan atau lebih spesifiknya ialah pola interaksi para Sahabat dengan hadis Nabi tidak selalu tampil dalam
bentuknya yang statis dan monolitik. Pada bab sebelumnya, penulis telah
mengurai temuan Atiyatul Ulya dalam disertasinya yang mengatakan bahwa
pemahaman para Sahabat terhadap ajaran Nabi sangatlah dinamis. Hal itu ia buktikan dengan sejumlah data kesejarahan bahwa para Sahabat—terlebih al-
khulafa> al-ra>shidu>n—dalam banyak kasus telah mempraktikkan sejumlah
kebijakan Nabi secara berbeda dengan apa yang pernah dicontohkan oleh Nabi. Bahkan lebih dari itu, jika temuan Atiyatul Ulya umumnya hanya berkenaan
dengan masalah muamalah, maka Rusli Hasbi dalam bukunya telah bertungkus
lumus menunjukkan bahwa praktik para Sahabat yang berbeda dengan Nabi bukan hanya berkenaan dengan wilayah muamalah, tetapi juga pada wilayah
ritus peribadatan.2
Pada bagian ini, penulis akan mengafirmasi temuan kedua sarjana di atas dengan menunjukkan bukti lain di mana para Sahabat sangat dinamis dalam
mengutip, menyampaikan atau menggunakan hadis Nabi untuk merespons
berbagai peristiwa. Mereka adakalanya menggunakan hadis Nabi dalam konteks yang berbeda dengan konteks yang melatari Nabi mengucapkannya untuk
pertama kali. Berdasarkan analisis terhadap beberapa hadis dalam kitab S}ah}i>h al-Bukha>ri, penulis sekurang-kurangnya menemukan ada tiga tipologi penggunaan hadis oleh Sahabat Nabi. Pertama tekstual. Kedua, kontekstual. Ketiga, semi
kontekstual. Klasifikasi tipologi ini didasarkan pada bagaimana motif dan
konteks historis yang melatari Sahabat menyampaikan sebuah hadis untuk merespons peristiwa tertentu, kemudian dibandingkan dengan konteks yang
melatari Nabi mengucapkannya untuk pertama kali. Sementara itu, beberapa
hadis yang dikaji ialah; (1) Hadis larangan mengangkat pemimpin perempuan (2) Hadis larangan saling membunuh (3) Hadis larangan meratapi kematian (4)
Hadis perintah memerangi umat manusia sampai masuk Islam (5) Hadis perintah
pulang setelah mengucapkan salam tiga kali (6) Hadis Fa>t }imah belahan jiwa Nabi (7) Hadis Jibril. Ketujuh hadis ini akan dikaji secara elaboratif guna
melihat adanya disparitas antara konteks yang melatari Sahabat ketika
menyampaikan hadis tersebut dengan konteks yang melatari Nabi mengucapkannya untuk pertama kali.
1. Tekstual
Yang dimaksud dengan tipologi tekstual di sini ialah penggunaan hadis
yang terpaku pada makna literal teks hadis tanpa mempertimbangkan konteks
historis yang melatari Nabi mengucapkannya untuk pertama kali (sabab al-wuru>d). Individu—yang dalam hal ini adalah Sahabat—dengan tipologi seperti
1 Aksin Wijaya, Sejarah Kenabian dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad
Izzat Darwajah (Bandung: Mizan, 2016), 334. 2 Lihat kembali bab I, tepatnya pada sub bab penelitian terdahulu yang Relevan.
82
ini cenderung menganggap bahwa pesan-pesan kenabian yang terkandung dalam teks hadis berlaku abadi tanpa terikat oleh konteks tertentu. Sehingga, ia
menggunakan hadis yang sama, meskipun dalam konteks yang berbeda dengan
konteks yang melatari Nabi mengucapkannya untuk pertama kali. Di bawah ini, penulis akan mengurai dua contoh penggunaan hadis secara tekstual oleh
Sahabat Nabi.
a. Hadis Larangan Mengangkat Pemimpin Perempuan
Hadis pertama yang akan penulis kaji ialah hadis populer terkait
larangan mengangkat pemimpin perempuan. Hadis ini sering kali dikutip untuk
meneguhkan superioritas kaum laki-laki dan mensubordinasikan posisi kaum perempuan terutama dalam konteks pemerintahan dan kedudukannya sebagai
pejabat publik. Dalam pembahasan ini, akan dijelaskan bahwa ada disparitas
antara konteks historis yang melatari Sahabat ketika menyampaikan hadis tersebut dengan konteks yang melatari Nabi mengucapkannya untuk pertama
kali. Selain itu, penulis juga ingin menepis stigma negatif yang dialamatkan
kepada Abu > Bakrah3 yang oleh segelintir sarjana Muslim kontemporer dianggap
telah mempolitisasi hadis tersebut.
Nabi SAW bersabda:
ـ : عن أيب بكرة، قاؿ عتػ ا من رسوؿ اا يو يى اهلل ع و وس يم أييا ـ اقد نػ عن اا يو بك ماميا بػ رسوؿ اا يو يى اهلل ع و : المل، بػعد ما دت أف أل بأ حاب المل فأقاتل مع م، قاؿ
ان يػ قػوـ وايوا أمرىم امرأة »: وس يم أفي أىل فارس، قد م يكوا ع م بنت سرى، قاؿ
Dari Abu > Bakrah berkata: ―Allah telah menyadarkanku dengan sebuah
kalimat yang aku dengar dari Rasulullah pada saat perang jamal, setelah sebelumnya aku hampir saja membenarkan/mendukung pasukan unta
(maksudnya kubu ‗A>ishah) dan berperang bersama mereka. Yaitu, ketika
sebuah kabar disampaikan kepada Rasulullah bahwa bangsa Persia mengangkat putri Kisra sebagai penguasa (ratu/raja), beliau bersabda:
Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan
(pemerintahan) mereka kepada perempuan‖.4
3 Nama lengkapnya ialah Nufay‘ bin al-Hari>th bin Kaldan bin ‗Amr bin ‗Ilaj bin
Abi > Salamah bin ‗Abd al-‗Izza> bin Ghayr bin ‗Awf bin Thaqif al-Thaqafi. Kunyahnya
ialah Abu > Bakrah. Ia dinilai sebagai salah seorang Sahabat yang paling afdal. Ia tinggal
dan wafat di Bashrah pada tahun 51 H. Selengkapnya, lihat ‗Ali > bin Abi> al-Karam
Muh}ammad bin Muh }ammad bin ‗Abd al-Kari>m bin ‗Abd al-Wah }i>d al-Shayba >ni>, Usd al-
Dari Abu > Bakrah berkata: Allah telah menjagaku dengan sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah ketika kehancuran Kisra. Beliau bersabda:
―Siapa dari mereka (maksudnya keluarga Kisra) yang menggantikan
kepemimpinannya?‖ Para Sahabat menjawab: ―Anak perempuannya‖. Lalu Nabi bersabda: ―Tidak akan beruntung suatu kaum yang
menyerahkan urusannya kepada perempuan‖. Abu > Bakrah berkata:
―Ketika ‗A>ishah tiba di Bashrah, aku menyebutkan sabda Nabi tadi,
kemudian Allah menjagaku‖.5
Riwayat di atas dapat dijumpai dalam beberapa kitab induk hadis dengan
redaksi yang beragam, salah satunya dalam S}ah}i>h} al-Bukha >ri >. Sebagaimana
disinggung di awal, hadis ini termasuk salah satu hadis paling populer berkenaan dengan pandangan Islam terkait keterlibatan kaum perempuan di ranah
pemerintahan dan kedudukannya sebagai pejabat publik.6 Secara tekstual, hadis
di atas berbicara terkait penolakan Nabi terhadap kepemimpinan kaum
perempuan. Makna tekstual inilah yang kemudian menjadi landasan teologis bagi sebagian kalangan yang menolak kepemimpinan kaum perempuan.
Sementara itu, secara historis (sabab al-wuru>d), hadis tersebut disabdakan oleh Nabi sebagai respons ketika mendengar kabar diangkatnya anak perempuan
Kisra (raja Persia) sebagai pemimpin menggantikan ayahnya. Jika ditarik lebih
jauh ke belakang, sebenarnya kisah yang terekam pada riwayat tersebut
merupakan kelanjutan dari kisah sebelumnya, di mana Nabi pernah mengirim surat kepada pembesar-pembesar kerajaan dalam rangka berdakwah, salah
5 Abu >I>sa> al-Tirmidhi>, Sunan al- Tirmidhi>, Vol. 4, 97. Nomor hadis: 2262. Lihat
juga al-Nasa>‘i >, Sunan al-Nasa>’i >, Vol. 8, 227. Nomor hadis: 5388. 6 Dalam konteks Indonesia, diskursus hukum Islam terkait boleh dan tidaknya
kaum perempuan menduduki jabatan publik mulai muncul ke permukaan pasca era
reformasi, tepatnya pada tahun 2001, yakni saat lengsernya Abdurrahman Wahid dari
kursi kepresidenan dan terpilihnya Megawati Soekarno Putri menjadi Presiden
perempuan pertama di Indonesia. Pada saat itu, konon hadis ini menjadi populer di
tengah-tengah masyarakat, terlebih di kalangan elit politik. Hadis tersebut sengaja
dipopulerkan oleh lawan politik Megawati untuk mendelegitimasi keterlibatannya di ranah pemerintahan. Hal ini sangatlah wajar, mengingat tidak ada kaum perempuan yang
pernah menduduki jabatan tertinggi dalam konteks pemerintahan di Indonesia. Sehingga,
terpilihnya Megawati sebagai pejabat publik merupakan hal yang tabu bagi sebagian
masyarakat ketika itu.
84
satunya kepada Kisra. Nabi mengutus seorang Sahabat7 untuk mengirimkan surat
tersebut kepada pembesar Bahrain. Setelah itu, pembesar Bahrain menyerahkan
surat itu kepada Kisra. Namun, setelah membaca surat dari Rasulullah tersebut,
ia malah menyobeknya. Kabar tersebut kemudian terdengar oleh Rasulullah. Ia marah dan berdoa agar Allah merobek-robek kerajaan tersebut sebagaimana
halnya Kisra merobek-robek surat tadi.8
Doa Nabi tersebut akhirnya menjadi kenyataan. Setelah beberapa tahun kemudian, kerajaan Persia mengalami kemerosotan dalam berbagai aspek.
Negeri Persia dilanda pertikaian yang luar biasa antar elit politik dan sulit
dibendung. Sehingga negeri tersebut berada di ambang kehancuran. Dalam kitab
Fath } al-Ba>ri> dijelaskan, Kisra dibunuh oleh anak laki-lakinya. Dan anak ini juga
kemudian membunuh saudara-saudaranya yang lain. Singkat cerita,
kekuasaannya tersebut kemudian diserahkan kepada anak perempuannya yang
bernama Bawra>n (sebagian lain ada yang membacanya Buwara>n). Sejak saat
itulah kerajaannya hancur berkeping-keping sebagaimana yang dipanjatkan Nabi
dalam doanya.9 Bahkan, dalam literatur sejarah dikisahkan, pasca kematian
Kisra, kerajaan Persia sempat melakukan pergantian pemimpin sebanyak empat
belas kali dalam setahun, namun semuanya mengalami kehancuran, hingga
akhirnya kekuasaan tersebut diserahkan kepada anak perempuannya, Bawran. Ketika mendengar kabar tersebut, Nabi menyampaikan hadis di atas bahwa tidak
akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada kaum
perempuan.10
Sampai di sini, sekali lagi, dapat dipahami bersama bahwa hadis di atas diucapkan oleh Nabi pertama kali sebagai respons mengenai kabar
diangkatnya anak perempuan Kisra sebagai raja Persia.
Namun demikian, dua puluh tiga tahun pasca wafatnya Nabi, tepatnya
pada saat menjelang terjadinya peristiwa Perang Jamal (waq’ah al-jamal) antara
kubu ‗Ali> dan ‗A>’ishah,11
hadis tersebut dikutip atau dimunculkan kembali oleh
7 Menurut riwayat lain, Sahabat tersebut bernama ‗Abd Alla>h bin H}uda>fah.
Lihat Yah}ya> bin Abi> Bakr bin Muh}ammad bin Yah}ya> al-‘A>miri>, Bahjah al-Mah}a>fil wa Bughyah al-Ama>thil fi> Talkhi>s} al-Mu’jiza>t wa al-Siyar wa al-Shama>il (Beirut: Da>r
10 Yah}ya> bin Abi> Bakr bin Muh}ammad bin Yah}ya> al-‘A>miri>, Bahjah al-Mah}a>fil
wa Bughyah al-Ama>thil fi> Talkhi>s} al-Mu’jiza>t wa al-Siyar wa al-Shama>il, 1, 343. 11
Perang ini terjadi, karena pasca terbunuhnya ‗Uthma >n, beberapa Sahabat
seperti ‗A'>ishah, T}alh }ah dan Zubayr, menuntut khalifah ‗Ali > agar segera menyelesaikan
secara tuntas kasus pembunuhan ‗Uthma >n. Mereka menuntut bela terhadap ‗Uthma >n
yang darahnya ditumpahkan secara zalim. Ali sebenarnya ingin sekali menghindari
peperangan. Ia mengirim surat kepada T}alh }ah dan Zubayr agar keduanya mau berunding untuk menyelesaikan perkara itu secara damai. Namun, ajakan tersebut ditolak.
85
Nufay bin Hari>th, atau yang lebih dikenal dengan nama Abu > Bakrah al-Thaqafi > (w. 52 H), seorang Sahabat yang baru masuk Islam pada masa-masa terakhir
kehidupan Nabi SAW. Sebagaimana dapat dipahami pada riwayat al-Tirmidhi > di
atas, Abu > Bakrah menyampaikan hadis tersebut di hadapan ‗A >’ishah ketika baru
saja tiba di Bashrah sebelum berperang. Ibn H}ajar al-‗Asqala >ni juga mengutip
riwayat dari al-H}asan bahwa sebelum terjadinya peperangan, Abu > Bakrah
berkata langsung di hadapan ‗A>ishah: ―Engkau adalah Umm al-Mukmini >n, dan sesungguhnya hakmu sangatlah agung, tetapi aku pernah mendengar Nabi SAW
bersabda bahwa tidak akan beruntung suatu kaum yang dipimpin oleh seorang
perempuan‖.12
Artinya, dengan mengutip hadis tersebut, Abu > Bakrah meyakini
bahwa ‗A>ishah tidak akan menang dalam peperangan melawan ‗A >li>.
Dalam diskursus kajian hadis kontemporer, beberapa sarjana Muslim
kontemporer melontarkan kritik tajam terhadap Abu> Bakrah. Khaled Abou El
Fadl, misalnya, selain menggugat kredibilitas Abu > Bakrah sebagai periwayat
hadis,13
ia juga menduga kuat bahwa hadis-hadis yang disampaikan Abu > Bakrah
Akhirnya, terjadilah peperangan. Perang ini dikenal dengan istilah ―Perang Jamal
(Unta)‖ karena ‗A >ishah dalam peperangan itu menunggangi unta. Ali berhasil
mengalahkan kubu ‗A>ishah. Bahkan, T}alh }ah dan Zubayr terbunuh pada saat hendak
melarikan diri, sedangkan ‗A>ishah ditawan dan dikembalikan lagi ke Madinah.
Selengkapnya, lihat Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: PT Raja Grapindo
Persada, 1998), 39. 12
Ah }mad bin ‗Ali> bin H}ajar al-‗Asqala>ni>, Fath } al-Ba>ri > Sharah} S}ah }i >h} al-
Bukha>ri >, 13, 56. 13
Khaled Abou El Fadl mengkritisi kredibilitas Abu Bakrah sebagai periwayat
hadis. Meskipun para ulama hadis telah menerima kredibiltas Abu > Bakrah, namun bagi
Abou Fadl, ada beberapa hal penting yang harus dipertimbangkan seputar kehidupan
Abu > Bakrah, salah satunya ialah bahwa ia telah dituduh sebagai seorang tukang fitnah.
Kisah tersebut bermula ketika al-Mughi>rah bin Shu‘bah (w. 48051 H), seorang gubernur
Bashrah pada masa pemerintahan ‗Umar sering mengunjungi seorang perempuan yang
sudah bersuami, yaitu Umm Jamil binti ‗Amr. Diriwayatkan bahwa Abu > Bakrah dan
saudara-saudara tirinya, Na >fi‘ Ziya >d, dan Shubal bin Ma‘bad, menyaksikan al-Mughi>rah
dan Umm Jami>l melakukan hubungan seksual. Setelah menyaksikan kejadian tersebut,
Abu > Bakrah menolak untuk salat di belakang al-Mughi>rah, karena al-Mughi>rah
dipandang telah berbuat zina. Akhirnya persoalan tersebut terdengar oleh khalifah ‗Umar
yang kemudian menggelar dan memimpin sebuah persidangan. Abu > Bakrah, Na>fi’,
Ziyad dan Shubal bin Ma‘bad bersaksi bahwa mereka telah menyaksikan kejadian
tersebut. Namun, Ziya >d bersaksi bahwa pertemuan dua kelamin mereka tidak bisa
disaksikan secara langsung, tapi ia hanya menegaskan bahwa mereka melihat tubuh-
tubuh telanjang dan gerakan-gerakan yang mirip dengan persetubuhan. Namun, kesaksian ini tidak memenuhi setandar pembuktian yang diperlukan dalam sidang
perzinaan. Akhirnya ‗Umar memutuskan bahwa Abu > Bakrah, Na>fi‘, Ziya >d, dan Shubal
bin Ma‘bad dijatuhi hukuman cambuk karena telah menuduh al-Mughirah tanpa bukti
yang kuat. Setelah itu, Na >fi‘ dan Ziya >d tobat dan menarik tuduhannya. Sementara Abu >
Bakrah menolak untuk menarik tuduhannya. Akibat kejadian tersebut, ‗Umar menolak
Abu > Bakrah sebagai saksi yang bisa dipercaya dalam kasus atau praktik hukum. Selengkapnya, lihat Khaled M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke
86
sarat dengan muatan politis. Hadis yang ia sampaikan tentang kepemimpinan
perempuan di atas dinilai berisi kecaman terhadap peran politik ‗A >ishah, begitu
pula hadis-hadisnya yang berkenaan dengan politik terkesan mendukung ketaatan terhadap penguasa.
14 Kritik yang sama juga dilontarkan oleh Fathima
Mernisi, seorang feminis modern yang pandangan-pandangannya menjadi
rujukan bagi kelompok yang menyuarakan kesetaraan gender. Terkait hadis di
atas, ia mempersoalkan, mengapa Abu > Bakrah baru mengutip atau memunculkan kembali hadis tersebut pada saat terjadinya kisruh politik yang kemudian
menyebabkan terjadinya perang Jamal antara kubu ‗A>ishah dan ‗A>li setelah 23
tahun wafatnya Rasulullah SAW, yang mana dirinya berpihak kepada kubu ‗Ali>.
Lagi pula, menurutnya, konteks awal kemunculan hadis tersebut ialah berkenaan
dengan kasus suksesi Kisra di Persia yang mewariskan tahta kepada anak perempuannya yang masih kecil dan belum memiliki kapasitas sebagai
pemimpin.15
Sederhananya, Mernisi ingin mengatakan bahwa Abu > Bakrah telah mempolitisasi hadis yang semula diucapkan Nabi sebagai respons diangkatnya
anak perempuan Kisra sebagai raja/ratu, namun pada saat peristiwa perang
Jamal, hadis tersebut sengaja dimunculkan kembali untuk melegitimasi
keberpihakannya kepada kubu ‗Ali>.
Hemat penulis, kritik yang dilontarkan oleh kedua sarjana Muslim di
atas terkesan berlebihan. Dikatakan demikian, karena dalam literatur hadis
dijelaskan bahwa pada saat terjadinya peristiwa perang Jamal, Abu > Bakrah
berada pada posisi yang netral. Ibn H}ajar al-‘Asqala>ni> mengutip sebuah riwayat
dari Ibn Bat}t}al dari al-Muhallab bahwa secara secara sekilas, riwayat di atas
seolah memberi kesan kuat bahwa Abu > Bakrah bersikap kontra terhadap kubu
‗A>ishah dan menunjukkan keberpihakkannya kepada kubu ‗Ali, padahal tidaklah
demikian. Pada dasarnya, ia justru sepakat dengan keinginan ‗A >’ishah yang
menuntut khalifah ‗Ali> agar segera menyelesaikan secara tuntas kasus
pembunuhan ‗Uthma >n. Hanya saja, yang perlu ditegaskan di sini ialah, Abu > Bakrah menolak untuk menyelesaikannya melalui jalan peperangan. Oleh
karenanya, pada saat peperangan itu terjadi, ia berusaha bersikap netral dan tidak
mendeklarasikan dukungannya kepada pihak siapa pun, apalagi terlibat dalam peperangan. Bahkan, pada priode berikutnya, ia juga bersikap netral pada saat
terjadinya perang Shiffi>n antara ‗Ali> dan Mu‘a >wiyah.16
Pada riwayat di atas, Abu > Bakrah memang menyampaikan hadis tersebut
di hadapan ‗A>’ishah, bahwa suatu kelompok tidak akan beruntung jika dipimpin
Fikih Otoritatif, terj, Cecep Lukman Hakim (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2004),
168. 14 Khaled M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih
Otoritatif, 170. 15
Data di atas sebagaimana dikutip Tasmin Tangngareng, ―Kepemimpinan
Perempuan dalam Perspektif Hadis”, dalam Karsa: Jurnal Sosial dan Budaya
Keislaman, Vol. 23 No. 1, Juni 2015. 16
Ah }mad bin ‗Ali> bin H}ajar al-‗Asqala>ni>, Fath } al-Ba>ri > Sharah} S}ah }i >h} al-
Bukha>ri >, 13, 56.
87
oleh kaum perempuan. Namun, hemat penulis, hal itu bukan dalam konteks mempolitisasi hadis tersebut dan menunjukkan keberpihakannya kepada kubu
‗Ali> sebagaimana tuduhan Fathima Mernisi, tetapi semata-mata karena ia memahami pesan Nabi yang terkandung dalam hadis tersebut secara tekstual
tanpa terikat oleh konteks yang melatari kemunculannya. Hal ini, tentu saja
berbeda dengan pandangan Mernisi dan beberapa sarjana Muslim kontemporer
lainnya yang memahami hadis tersebut secara kontekstual. Jika demikian, maka
berarti stigma negatif yang dialamatkan kepada Abu > Bakrah hanyalah dibangun
berdasarkan basis argumentasi yang sangat rapuh. Sayangnya, pandangan kedua sarjana Muslim tersebut direspons secara sangat apresiatif oleh para pengkaji
hadis lainnya.17
Tak hanya itu, penulis juga menemukan bukti lain untuk membantah tuduhan kedua sarjana di atas.
ذىلت ألنصر ىذا ااريجل، فػ ق ن أبو بكرة فػقاؿ أين تريد؟ : عن األحن بن قػ س، قاؿ عت رسوؿ اا يو يى اهلل ع و وس يم يػقوؿ : أنصر ىذا ااريجل، قاؿ : قػ ت إذا ااتػقى »: ارجع فإن
قتوؿ ف اانيار ما فااقاتل وامل س ماف بس ػ
قتوؿ قاؿ «امل
: ، فػق ت يا رسوؿ اا يو ىذا ااقاتل فما باؿ امل
«إنيو اف حريصا ع ى قػتل احلو »Dari Ah}naf bin Qays berkata: ―Aku pergi untuk membantu orang ini
(dalam riwayat lain maksudnya membantu‗Ali> pada saat terjadinya
perang Jamal). Kemudian aku bertemu dengan Abu > Bakrah, lalu ia bertanya: ―Mau kemana engkau?‖Aku menjawab: ―Aku ingin membantu
‗Ali>. Abu > Bakrah berkata: ―Pulanglah, karena aku pernah mendengar Rasulullah bersabda: Apabila dua orang Muslim saling membunuh,
maka yang membunuh dan yang terbunuh sama-sama masuk neraka‖.
Aku bertanya: ―Wahai Rasulullah, hal ini tentu saja berlaku bagi si
pembunuh, lalu bagaimana dengan orang yang terbunuh?‖ Beliau menjawab: ―Sama saja, karena orang yang terbunuh juga berusaha
membunuh saudaranya‖.18
Berdasarkan riwayat ini, dapat dipahami bahwa hadis tersebut pernah
disampaikan Abu > Bakrah kepada Ah}naf bin Qays pada malam hari menjelang
terjadinya peristiwa perang Jamal antara kubu ‗Ali > dan ‗A>’ishah. Diceritakan
bahwa pada saat ‗Ali> tiba di Bashrah, Ah }naf bin Qays segera keluar membawa
pedang untuk membantu ‗Ali>. Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan Abu >
17
Para pengkaji hadis yang mengapresiasi pandangan di atas, salah satunya lihat
misalnya Anshor Bahary, dalam artikelnya berjudul ―Memahami Hadis Kepemimpinan
Wanita (Studi Interpretasi Hermeneutika Gender Khaled M. Abou El Fadl)‖ dalam
https://www.academia.edu/24062866/Memahami_Hadis_Kepemimpinan_Wanita_Studi_Interpretasi_Hermenetika-Gender_Khaled_M._Abou_El_Fadl (diakses pada 07-07-
2020). 18
Al-Bukha>ri>, S}ah}i>h} al-Bukha>ri>, Vol. 1,15. Nomor hadis: 31. Lihat juga
Muslim bin H}>>>>ajja>j al-Naysabu>ri>, S}ah}i>h} Muslim, Vol. 4, 2214. Nomor hadis: 2888.
Jamal dengan konteks awal diucapkannya hadis tersebut oleh Nabi. Di bawah ini, penulis cantumkan kembali matan hadisnya secara lengkap.
ذىلت ألنصر ىذا ااريجل، فػ ق ن أبو بكرة فػقاؿ أين تريد؟ : عن األحن بن قػ س، قاؿ عت رسوؿ اا يو يى اهلل ع و وس يم يػقوؿ : أنصر ىذا ااريجل، قاؿ : قػ ت إذا ااتػقى »: ارجع فإن
قتوؿ ف اانيار ما فااقاتل وامل س ماف بس ػ
قتوؿ قاؿ «امل
: ، فػق ت يا رسوؿ اا يو ىذا ااقاتل فما باؿ امل
«إنيو اف حريصا ع ى قػتل احلو »Dari Ah}naf bin Qays berkata: ―Aku pergi untuk membantu orang ini
(dalam riwayat lain maksudnya membantu‗Ali> pada saat terjadinya
perang Jamal). Kemudian aku bertemu dengan Abu > Bakrah, lalu ia bertanya: ―Mau kemana engkau?‖Aku menjawab: ―Aku ingin membantu
‗Ali>. Abu > Bakrah berkata: ―Pulanglah, karena aku pernah mendengar Rasulullah bersabda: Apabila dua orang Muslim saling membunuh,
maka yang membunuh dan yang terbunuh sama-sama masuk neraka‖.
Aku bertanya: ―Wahai Rasulullah, hal ini tentu saja berlaku bagi si pembunuh, lalu bagaimana dengan orang yang terbunuh?‖ Beliau
menjawab: ―Sama saja, karena orang yang terbunuh juga berusaha
membunuh saudaranya‖.20
Hadis ini, antara lain dapat dijumpai dalam S}ah}i>h} al-Bukha>ri dan S}ah}i>h} Muslim. Sejauh penelusuran yang penulis lakukan, data yang ada menyebutkan
bahwa hadis tersebut pernah disampaikan Abu > Bakrah kepada Ah}naf bin Qays
pada malam hari menjelang terjadinya peristiwa perang Jamal antara kubu ‗Ali >
dan ‗A'>ishah. Diceritakan bahwa pada saat ‗Ali > tiba di Bashrah, Ah}naf bin Qays segera keluar membawa pedang untuk membantu ‗Ali. Di tengah perjalanan, ia
bertemu dengan Abu > Bakrah. Dan setelah Abu > Bakrah tahu bahwa maksud
kepergiannya ialah untuk membantu ‗Ali > berperang melawan kubu A>’ishah, ia
langsung mencegahnya kemudian menyampaikan hadis di atas bahwa apabila
ada dua orang Muslim yang saling membunuh, maka keduanya akan masuk neraka, baik yang membunuh atau pun yang terbunuh.
21
Hemat penulis, penggunaan hadis yang dilakukan Abu> Bakrah untuk
mencegah kepergian Ah}naf bin Qays tersebut terkesan problematis. Karena yang demikian itu akan mengantarkan pada sebuah pemahaman bahwa para Sahabat
yang terlibat dalam peristiwa perang Jamal, yaitu ‗Ali>, ‘A>’ishah, T}alh}ah dan
Zubayr adalah sekumpulan ahli neraka. Hal ini tidak saja sulit diterima secara
nalar, tetapi juga kontradiktif dengan hadis lain yang mengatakan bahwa mereka
termasuk dalam kategori sepuluh Sahabat yang dijamin masuk surga (al-Ashrah
20
Al-Bukha>ri>, S}ah}i>h} al-Bukha>ri>, Vol. 1,15. Nomor hadis: 31. Lihat juga
Muslim bin H}>>>>ajja>j al-Naysabu>ri>, S}ah}i>h} Muslim, Vol. 4, 2214. Nomor hadis: 2888. 21
Abu > Bakr Muh}ammad bin Ibra>him bin ‘Ali> bin ‘A>s}im bin Za>dan al-As}biha>ni>,
Mu’jam li Ibn al-Muqri (Riyadh: Maktabah al-Rushd, 1998), 1, 202. Lihat juga Na >s}ir al-
merekonsiliasi persoalan ini? Mungkinkah Abu> Bakrah menyampaikan hadis
tersebut tidak pada konteks yang semestinya? Adakah kepentingan politik di balik itu?
Sejauh yang penulis amati, beberapa ulama pen-sharah} kitab hadis tidak
secara tegas menyinggung dua hal yang tampak kontradiktif ini. Ibn H}ajar al-
‘Asqala>ni> (w 852 H), berpendapat bahwa ancaman yang terdapat pada hadis di atas hanya tertuju pada orang yang saling membunuh tanpa disertai alasan yang
dibenarkan, semisal dalam rangka merebut kekuasaan. Oleh karenanya, para
Sahabat yang terlibat dalam perang saudara tidak termasuk pada cakupan hadis
itu. Adapun penggunaan hadis tersebut dalam mencegah keterlibatan Ah}naf bin
Qays dalam peperangan merupakan bentuk kehati-hatian Abu> Bakrah agar
dirinya dan Ah}naf bin Qays terhindar dari ancaman yang terdapat pada hadis
tersebut.23
Sementara itu, Badr al-Di>n al-‘Ayni> (855 H), mengatakan bahwa hadis
tersebut tidak berlaku umum (fa al-h}adi>th laysa ‘a>man). Dengan kata lain, para
Sahabat yang terlibat dalam peristiwa fitnah tidak termasuk pada cakupan hadis tersebut, karena apa yang mereka lakukan didasarkan pada ijtihad dan demi
kebaikan agama.24
Senada dengan pandangan kedua ulama di atas, al-Qast}a>lani
(w 923 H) juga mengatakan bahwa hadis di atas tertuju kepada orang yang saling membunuh tanpa disertai landasan yang dibenarkan, melainkan hanya didasari
permusuhan duniawi atau dalam rangka merebut kekuasaan. Adapun dua kubu
Sahabat yang bertikai, maka hal itu didasarkan pada ijtihad, dan masing-masing dari mereka meyakini bahwa apa yang dilakukannya tersebut semata-mata demi
kemaslahatan agama. Oleh karenanya, kedua belah pihak dari mereka sama-
22
Sekelompok Sahabat yang dimaksud yaitu, Abu > Bakr bin Abi > Quh }a>fah,
‗Umar bin Khat}t}a>b, ‗Uthma>n bin ‗Affa >n, ‗Ali> bin Abi > Ta>lib, T }alh }ah, Zubayr, ‗Abd al-
Rah }ma}>n bin ‗Awf, Sa‘ad bin Abi> Waqqa >s}, Sa‘i>d bin Zayd dan Abu > ‗Ubaydah bin Jarah}.
Isla>miy, 1998), 6, 102. Namun demikian, Maya Yazigi—sebagaimana dikutip Babul
Ulum—dalam penelitiannya berasumsi bahwa hadis tersebut sarat dengan nuansa politis.
Sarjana barat ini mengatakan bahwa hadis tersebut baru muncul pasca wafatnya Nabi,
tepatnya ketika isu suksesi menjadi perbincangan hangat di kalangan umat Islam. Hadis
tersebut, menurutnya, dipromosikan oleh imigran Mekkah untuk merebut posisi kepala
negara dari pribumi Madinah. Asumsi tersebut didasarkan pada fakta bahwa kesepuluh
nama yang dijamin masuk surga tersebut semuanya berasal dari suku Quraisy. Pada fase
berikutnya, tepatnya setelah abad kesepuluh, hadis tersebut dijadikan alat legitimasi untuk menghadapi perkembangan politik Syi‘ah. Lihat Babul Ulum, Genealogi Hadis
Politis; Al-Muawiyat dalam Kajian Islam Ilmiah (Bandung: Marja, 2018), 28. Berkenaan
dengan hadis tersebut, menarik untuk ditelisik lebih jauh, benarkah ia baru dimunculkan
pada era belakangan untuk kepentingan politik? 23
Ah}mad bin ‘Ali bin H}ajar al-‘Asqala>ni>, Fath} al-Ba>ri> Sharh} S}ah}ih} al-Bukha>ri> (Beirut: Da>r al-Ma’rifah, 1379 H), 13, 34.
sama mendapat pahala. Hanya saja, menurutnya, dalam hal ini Abu> Bakrah menggunakan hadis tersebut dari sisi keumumannya.
25
Tak hanya itu, al-Kashmi>ri> (w 1353 H), seorang ahli hadis abad ke-14
hijriyah penulis kitab Fayd al-Ba>ri> ‘a>la> S}ah}i>h} al-Bukha>ri>, dengan berani
mengatakan bahwa Abu> Bakrah telah menyampaikan hadis tersebut bukan pada konteksnya. Karena konteks hadis tersebut berkenaan dengan orang-orang yang
saling membunuh dalam kedzaliman dan kejahatan (ha>dha> al-h}adi>th fi> man qa>tala ‘ala> al-d}ulm wa al-jawr). Sedangkan ‗Ali>, kata al-Kashmi>ri>, berada dalam
kebenaran. Oleh karenanya, mayoritas Sahabat berada di pihak ‗Ali. Tidak ada
satu pun dari kaum Anshar yang berpaling dari ‗Ali. Berbeda halnya dengan
kaum Muha>jiri>n yang terpecah belah. Sebagian dari mereka ada yang bimbang,
sehingga tidak mendeklarasikan keberpihakkannya pada salah satu kubu yang
bertikai. Sedangkan sebagian lainnya ada yang hanya berdiam diri seperti ‗Abd
Alla>h bin ‗Umar.26
Setelah mengkomparasikan beberapa pandangan di atas, penulis
mengamini pandangan al-Kashmi>ri bahwa Abu> Bakrah telah menyampaikan hadis tersebut tidak pada konteksnya. Hal ini disebabkan karena ia memahami
hadis tersebut dari sisi keumumannya sebagai bentuk kehati-hatian agar
terhindar dari ancaman yang terkandung di dalamnya, terlepas bahwa apa yang
ia sampaikan tersebut sesungguhnya kontradiktif dengan hadis lainnya. Fakta ini kian menegaskan bahwa ia merupakan seorang tekstualis, karena memahami dan
menggunakan hadis Nabi tanpa mempertimbangkan konteks historis yang
melatari kemunculannya. Di saat yang sama, hal ini juga hendak menegaskan bahwa penggunaan hadis tersebut tidak dilatari oleh kepentingan politik.
c. Hadis Larangan Meratapi Kematian
Hadis berikutnya yang akan penulis kaji ialah hadis yang secara tekstual berbicara tentang larangan meratapi mayit.
Nabi bersabda:
ـ، قاؿ : ابن جري ، قاؿ عن تػوفػ ت ابػنـ اعيماف : أخلػرن علد اا يو بن علػ د اا يو بن أيب م كنا انش دىا وحضرىا ابن عمر، وابن علياس ر ي اا يو عنػ م، وإن لااس ـ، وجـػ ر ي اا يو عنو مبكي
نػ ما فػقاؿ علد اا يو بن عمر - ج ست إل أحدها، ي جاء ااخر فج س إل جنيب : أو قاؿ - بػ ػ: أل تػنػ ى عن االكاء فإفي رسوؿ اا يو يى اهلل ع و وس يم قاؿ : ر ي اا يو عنػ ما اعمرو بن عيماف
ب بلكاء أى و ع و » ت ا ػعذي إفي امل
25
Ah}mad bin Muh}ammad bin Abi> Bakr bin ‘Abd al-Mulk al-Qast}a>lani>, Irshad al-Sa>ri> li Sharh} S}ah}i>h} al-Bukha>ri> (Mesir: al-Mat}ba’ah al-Kubra> al-Umayriyyah, 1323 H),
1, 116; 10, 46. 26 Muh}ammad Anwa>r Shah bin Mu’dzam Shah al-Kashmi>ri>, Fayd al-Ba>ri> ‘ala>
Dari Ibn Jurayj berkata: Telah menceritakan kepadaku ‘Abd Alla>h bin
‘Ubayd Alla>h bin Abi> Mulaykah, ia berkata: Anak perempuan ‗Uthma>n
meninggal di Makkah. Kami pun datang untuk berbela sungkawa. Di sana telah hadir Ibn Umar dan Ibn Abbas. Aku duduk di samping
mereka berdua. Kemudian datang yang lain dan duduk di sampingku.
Kemudian Ibn Umar berkata kepada Amr bin Uthman: Apakah engkau tidak mencegah orang-orang yang menangisi mayit itu? Sesungguhnya
mayit itu disiksa karena tangisan keluarganya‖.27
قد اف عمر ر ي اا يو عنو يػقوؿ بػعض ذاك، ي : فػقاؿ ابن علياس ر ي اا يو عنػ ماث، قاؿ ـ، ح ي إذا نيا باالػ داء إذا ىو بر ب ت ظل : حدي درت مع عمر ر ي اا يو عنو من مكيادعو ل، : فػنظرت فإذا ب، فأخلػرتو فػقاؿ : اذىب، فانظر من ى لء ااري ب، قاؿ : رة، فػقاؿ
منني، فػ ميا أ ب عمر دخل ب يػلكي يػقوؿ : فػرجعت إل ب فػق ت وا : ار ل فال أمري امل
، وقد قاؿ رسوؿ اا يو يى اهلل : أخاه وا احلاه، فػقاؿ عمر ر ي اا يو عنو يا ب، أتػلكي ع ييب بلػعض بكاء أى و ع و »: ع و وس يم ت يػعذي
إفي امل
Ibn ‘Abba >s berkata: ‗Umar juga pernah menyampaikan hadis tadi. Pada
suatu ketika aku bersama ‗Umar di Mekkah. Ketika kami sampai di Baida, tiba-tiba ada sekelompok orang sedang berteduh di bawah pohon.
‗Umar berkata: Lihatlah, siapa mereka? Ibn ‘Abba >s berkata: Ketika aku
melihatnya, ternyata dia adalah S}uhayb. Lalu aku menginformasikan itu
kepada Umar. Umar berkata: ―Panggillah S}uhayb agar datang
menemuiku‖. Maka aku pun kembali mendatangi S}uhayb. Aku berkata kepadanya: Temuilah Amirul mukminin. Dan ketika ‗Umar terkena
musibah, S}uhayb datang sambil menangis kemudian berkata: Aduhai Umar saudaraku..sahabatku. Kemudian ‗Umar berkata: Wahai Shuhayb,
Apakah engkau menangisiku? Tidakkah engkau tahu bahwa Nabi SAW
pernah bersabda: Sesungguhnya mayit itu diazab karena tangisan
keluarganya.28
ـ ر ي : قاؿ ابن علياس ر ي اا يو عنػ ما فػ ميا مات عمر ر ي اا يو عنو، ذ رت ذاك اعااشث رسوؿ اا يو يى اهلل ع و وس يم : اا يو عنػ ا، فػقاات إفي اا يو ا ػعذب »: رحم اا يو عمر، واا يو ما حدي
من بلكاء أى و ع و إفي اا يو ا يد ااكافر عذابا »: ، واكني رسوؿ اا يو يى اهلل ع و وس يم قاؿ «امل
قاؿ ابن علياس ر ي اا يو {ول ت ر وازرة وزر أخرى}: حسلكم ااقرآف : ، وقاات «بلكاء أى و ع و
27
Al-Bukha>ri>, S}ah}i>h} al-Bukha>ri>, Vol. 2, 79. Nomor hadis: 1286. 28
Al-Bukha>ri>, S}ah}i>h} al-Bukha>ri>, Vol. 2, 79. Nomor hadis: 1287.
93
واا يو ما قاؿ ابن عمر ر ي اا يو »: قاؿ ابن أيب م كـ « عند ذاك واا يو ىو أ حك وأبكى»: عنػ ما «عنػ ما ـا
Ibn ‗Abbas berkata: Ketika ‗Umar wafat, aku menceritakan kisah tadi di
hadapan ‗A>‘ishah. Lalu ia berkata: Semoga Allah merahmati ‗Umar. Demi Allah, Rasulullah tidak pernah berkata bahwa seorang mayit
disiksa disebabkan tangisan keluarganya, tetapi yang dikatakan
Rasulullah adalah: Sesungguhnya Allah akan menambah azab kepada
mayit orang kafir disebabkan karena tangisan keluarganya. ‗A >‘ishah
berkata lagi, Cukuplah bagi kalian ayat Alquran bahwa ―Seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain (QS. Al-An‘am: 164).
Ketika itu Ibn ‗Abbas berkata: Allah juga adalah dzat yang suka tertawa
dan menangis. Ibn Abi> Mulaykah berkata: Demi Allah, Ibn ‗Umar tidak memberi komentar apa-apa atas keterangan Ibn ‗‘Abbas tersebut.
29
Tiga riwayat di atas, berbicara mengenai perbedaan persepsi antara para Sahabat terkait hadis yang mengatakan bahwa mayit disiksa disebabkan tangisan
keluarganya. Riwayat pertama, menjelaskan bahwa pada saat anak
perempuannya ‗Uthma>n meninggal, orang-orang menangisinya. Kemudian Ibn ‗Umar menegur mereka dan menyampaikan hadis Nabi bahwa mayit diazab
disebabkan tangisan keluarganya. Pada riwayat kedua, Ibn ‗Abbas mengatakan
bahwa ‗Umar juga pernah menyampaikan hadis yang sama ketika ia mendapat musibah kemudian Shuhayb meratapinya. Sementara itu, pada riwayat ketiga,
dijelaskan bahwa pasca ‗Umar wafat, Ibn ‗Abbas menceritakan riwayat tadi
kepada ‘A>’ishah. Mendengar hal itu, ‘A>’ishah menyangkal bahkan bersumpah
bahwa Nabi tidak pernah berkata demikian. ‗A>’ishah menduga bahwa ‗Umar
telah keliru dalam memahami konteks historis yang melatari Nabi mengucapkan
hadis tersebut. Karena menurut ‗A>‘ishah, konteks historis diucapkannya hadis tersebut adalah berkenaan dengan orang kafir, yaitu bahwa Allah akan
menambah azab kepada mayit orang kafir disebabkan karena tangisan
keluarganya.
Setelah mengkomparasi tiga riwayat di atas, dapat dipahami bahwa ada
perbedaan antara konteks yang melatari ‗Umar dalam menyampaikan hadis tersebut dengan konteks yang melatari Nabi mengucapkannya untuk pertama
kali, terlepas apakah perbedaan tersebut disebabkan karena ketidaktahuan
‗Umar, ataukah semata-mata karena ia menilai bahwa pesan hadis tersebut
berlaku umum tanpa terikat oleh konteks tertentu.
2. Kontekstual
Yang dimaksud tipologi kontekstual di sini ialah penggunaan hadis yang mempertimbangkan konteks historis diucapkannya oleh Nabi. Sahabat dengan
tipologi seperti ini cenderung melihat hadis dari berbagai aspeknya. Misalnya,
dalam konteks apa Nabi bersabda? Kenapa ia bersabda? Kapan, di mana, dan
29
Al-Bukha>ri>, S}ah}i>h} al-Bukha>ri>, Vol. 2, 79. Nomor hadis: 1288.
94
kepada siapa ia bersabda? dan lain sebagainya. Di bawah ini, penulis akan mengurai contoh penggunaan hadis secara kontekstual di kalangan para Sahabat.
a. Hadis Perintah Memerangi Umat Manusia Hingga Masuk Islam
Hadis pertama yang akan penulis kaji ialah hadis terkait perintah
memerangi umat manusia sampai masuk Islam.
Rasulullah bersabda:
ـ »: عن أيب ىريػرة، أفي رسوؿ اهلل يى اهلل ع و وس يم، قاؿ يػوـ خ لػر ألعطنيي ىذه ااريايمارة إلي يػومـذ، قاؿ : قاؿ عمر بن ااطياب « رجال ب اهلل ورسواو، يػ ت اهلل ع ى يديو ما أحللت اا
فػتساورت لا رجاء أف أدعى لا، قاؿ فدعا رسوؿ اهلل يى اهلل ع و وس يم ع يي بن أيب طااب، قاؿ فسار ع ي ـا ي وق ول « ام ، ول تػ ت ت، ح ي يػ ت اهلل ع ك »: فأعطاه إيياىا، وقاؿ
قات م ح ي يش دوا أف ل إاو إلي اهلل وأفي »: يا رسوؿ اهلل ع ى ماذا أقاتل اانياس؟ قاؿ : يػ ت ت، فصرخ «مميدا رسوؿ اهلل، فإذا فػع وا ذاك فػقد منػعوا منك دماءىم وأموالم، إلي ق ا وحسابػ م ع ى اهلل
Dari Abu> Hurayrah, Rasulullah SAW bersabda menjelang terjadinya perang Khaibar: Sungguh aku akan memberikan bendera ini kepada
seseorang yang mencintai Allah dan Rasulnya sehingga Allah
memberikan kemenangan di bawah komandonya. ‗Umar bin Khat}t}a>b berkata: Aku tidak menginginkan kepemimpinan kecuali pada hari itu.
Kemudian aku bermusyawarah sambil berharap ditunjuk sebagai
komando. Akan tetapi, Rasulullah malah menunjuk ‗Ali> bin Abi> T}a>lib
sebagai komando. Rasulullah berkata kepada ‗Ali: Pergilah dan jangan
sekali-kali menoleh ke belakang, hingga Allah memberikan kemenangan
kepadamu. Kemudian ketika ‗Ali mulai berjalan, tiba-tiba ia berhenti
tanpa menoleh ke belakang. Ia berteriak sambil bertanya: Wahai
Rasulullah, Atas dasar apa aku harus memerangi mereka? Rasulullah menjawab: Perangilah mereka hingga bersaksi bahwa tiada Tuhan selain
Allah dan Muhammad adalah Rasul-Nya. Jika mereka melakukan itu,
maka darah dan hartanya harus dijaga, kecuali dengan haknya. Sementara perhitungannya dikembalikan kepada Allah.
30
Secara kronologis (sabab al-wuru>d), hadis di atas diucapkan oleh Nabi
kepada ‘Ali> bin Abi> T}a>lib menjelang terjadinya perang Khaibar pada tahun
30
Muslim bin H}ajja>j al-Naysabu>ri>, S}ah}i>h Muslim, Vol. 4, 1871. Nomor hadis: 2405. Dalam riwayat lain diceritakan bahwa menjelang terjadinya perang Khaibar,
seluruh Sahabat berkumpul kecuali ‗Ali yang sedang sakit mata. Mendengar hal itu, Nabi
meludah di kedua tangannya kemudian mengusapkannya di mata ‗Ali. Setelah itu, Nabi
memberinya bendera (sebagai simbol pemberian mandat untuk menjadi panglima
perang). Di bawah komando ‗Ali, Allah memberikan kemenangan bagi umat Islam.
ketujuh hijriyah. Pada perang tersebut, ‘Ali> ditunjuk sebagai komando atau panglima perang, meskipun sebenarnya—sebagaimana terdapat pada riwayat di
atas—‗Umar bin Khat}t}a>b juga sangat berharap mendapat mandat itu. Singkat
cerita, ketika ‘Ali> baru saja berjalan beberapa langkah, ia seolah merasa bahwa
perintah Nabi belum nampak jelas di hatinya. Sehingga, ia berteriak dan bertanya kepada Nabi, ―Atas dasar apa aku harus memerangi mereka?‖
Mendengar pertanyaan itu, Nabi kemudian menjawab dan memerintahkan ‘Ali >
agar memerangi mereka sampai bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Jika mereka menyerah dan bersyahadat,
maka darah dan hartanya mendapat jaminan keselamatan. Sampai di sini, dapat
dipahami bahwa pada hadis tersebut Nabi menegaskan tentang larangan
memerangi mereka ketika sudah bersyahadat.
Pada era belakangan pasca wafatnya Nabi, tepatnya pada masa
kekhalifahan Abu > Bakar, penggalan hadis di atas pernah digunakan atau
disampaikan kembali oleh ‗Umar bin Khat}t}a>b untuk memprotes kebijakan Abu>
Bakar yang hendak memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat. Di bawah ini, penulis cantumkan riwayatnya secara utuh.
اميا تػوف اانييب يى اهلل ع و وس يم واست أبو بكر، و ر من ر : أيب ىريػرة، قاؿ عن : " يا أبا بكر، تػقاتل اانياس، وقد قاؿ رسوؿ اا يو يى اهلل ع و وس يم : من ااعرب، قاؿ عمر
ل إاو إلي اا يو، فػقد عصم من مااو ونػ سو : ل إاو إلي اا يو، فمن قاؿ : أمرت أف أقاتل اانياس ح ي يػقواوا" إلي قو، وحسابو ع ى اا يو
اؿ، واا يو او : قاؿ أبو بكر واا يو ألقات ني من فػريؽ بػني ااصيالة واا ي اة، فإفي اا ي اة ح امل
فػواا يو »: منػعون عناقا انوا يػ دونػ ا إل رسوؿ اا يو يى اهلل ع و وس يم اقاتػ تػ م ع ى منع ا قاؿ عمر « ما ىو إلي أف رأيت أف قد رح اا يو در أيب بكر ا قتاؿ، فػعرفت أنيو ال
Dari Abu > Hurayrah berkata: Ketika Rasulullah SAW wafat dan Abu>
Bakar ditunjuk sebagai penggantinya, kafirlah orang Arab yang memilih
kekafiran. Umar berkata kepada Abu Bakar: Bagaimana engkau akan
memerangi orang-orang, padahal Rasulullah pernah berkata: Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka menyatakan
tiada Tuhan selain Allah. Barang siapa yang mengatakan tiada Tuhan
selain Allah, maka dia telah menjaga darah dan hartanya dariku kecuali karena hak harta tersebut. Hisab harta tersebut diserahkan kepada Allah.
Abu Bakar berkata: Demi Allah, aku akan memerangi orang yang
memisahkan antara salat dan zakat. Zakat adalah hak harta. Demi Allah, jika saja mereka menahan seekor anak unta pun yang dulu pernah
mereka berikan kepada Rasulullah, niscaya aku akan memerangi mereka
karena menahannya dariku. ‗Umar berkata: Demi Allah, aku melihat
96
Allah telah melapangkan dada Abu > Bakar untuk berperang. Lalu aku sadar bahwa ia telah mengambil kebijakan yang benar.
31
Pasca wafatnya Nabi, kehilangan otoritas keagamaan segera terasa. Riwayat di atas merekam sebuah peristiwa yang diakibatkan karena hilangnya
otoritas keagamaan itu. Beberapa lama pasca wafatnya Nabi, terjadilah peristiwa
pembangkangan yang dilakukan sebagian masyarakat Arab terhadap pemerintahan Abu Bakar yang baru saja menggantikan Nabi sebagai pemimpin
politik. Ketika itu, sebagian dari mereka enggan membayar zakat sehingga
membuat Abu > Bakar marah. Sebagai khalifah, Abu Bakar berencana memerangi mereka. Akan tetapi, rencana kebijakan tersebut sempat diprotes oleh ‗Umar.
‗Umar kemudian menyampaikan hadis di atas bahwa Rasulullah diperintahkan
untuk memerangi umat manusia sampai mereka mengucapkan bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Apabila mereka
sudah mengucapkan kalimat itu, berarti harta dan jiwanya mendapat jaminan
keselamatan.
Dalam hal ini, ‗Umar sejatinya ingin menegaskan satu hal, bahwa
mereka yang enggan membayar zakat itu tidak layak diperangi karena masih
berada dalam keimanan. Penolakan mereka untuk membayar zakat tidak lantas menyebabkannya keluar dari keimanan sehingga harus diperangi. Jika demikian,
menurut ‗Umar, lantas untuk apa memerangi mereka. Kendati demikian,—
karena satu dan lain hal—pada akhirnya ‗Umar pun setuju dengan apa yang
diinginkan Abu Bakar dan menilai kebijakannya tersebut sebagai sebuah kebenaran.
Terlepas pada akhirnya Umar pun setuju dengan kebijakan Abu Bakar
untuk memerangi mereka, namun point penting yang ingin penulis tegaskan ialah, bahwa setelah mengkomparasikan dua riwayat di atas, dapat segera
dipahami bahwa hadis tersebut digunakan atau disampaikan kembali oleh ‗Umar
dalam konteks yang sama dengan konteks yang melatari Nabi mengucapkannya untuk pertama kali. Jika sebelumnya Nabi mengucapkan hadis tersebut kepada
‘Ali> dalam konteks perang Khaibar, di mana Nabi mengingatkan Ali agar jangan
memerangi orang-orang kafir ketika mereka sudah menyerah dan mau bersyahadat, maka pada era belakangan, Umar juga menyampaikan kembali
hadis tersebut untuk memprotes Abu Bakar agar tidak memerangi orang-orang
hanya karena enggan membayar zakat, padahal mereka masih berada dalam
31 Al-Bukha>ri>, S}ah}i>h} al-Bukha>ri, Vol. 9, 15. Nomor hadis: 6924. Penting
dikemukakan di sini bahwa penggalan dari riwayat kedua yang di sampaikan oleh ‗Umar
untuk memprotes kebijakan Abu> Bakr tersebut lebih populer ketimbang riwayat pertama
yang merekam langsung konteks historis diucapkannya hadis tersebut oleh Nabi.
Bahkan, riwayat kedua ini kerap kali dikutip oleh kelompok ektremis semisal Jamaah
Ans}a>r al-Dawlah untuk memerangi orang-orang yang berada di luar keyakinan kelompoknya. Selengkapnya, lihat M. Khoirul Huda, Implikasi Pemahaman Tekstual
terhadap Hadis Nabi: Studi Penggunaan Hadis oleh Ideolog Jamaah Anshor al-Dawlah
(Ciputat: Yayasan Pengkajian Hadis el-Bukhari, 2019), 229.
97
keimanan kepada Allah. Ini merupakan contoh bahwa ‗Umar menggunakan hadis tersebut secara kontekstual.
b. Hadis tentang Perintah Pergi Setelah Salam Tiga Kali Selanjutnya, penulis akan menjelaskan hadis populer bekenaan dengan
etika, yaitu hadis tentang perintah pergi setelah salam tiga kali saat bertamu.
Pada pembahasan ini, akan dilihat bagaimana dinamika penggunakan hadis tersebut di kalangan para Sahabat.
Nabi SAW bersabda:
إذا استأذف أحد م ال ا فػ م يػ ذف او فػ ػرجع
Apabila salah seorang dari kalian meminta izin (mengucapkan salam),
tetapi tidak ada yang menjawabnya, maka pulanglah.32
Terkait kemunculan hadis di atas, Ibn H}amzah al-Dimashqi> menjelaskan
bahwa suatu ketika Nabi mengunjungi kaum Anshar. Ketika tiba di sana, datanglah anak-anak dari kaum Anshar mengelilingi Nabi. Nabi mendoakan
mereka, mengusap kepalanya, dan mengucapkan salam kepada mereka. Setelah
itu, Nabi mengunjungi kediaman Sa‘ad bin ‘Uba >dah dan mengucapkan salam di depan rumahnya. Sa‘ad pun menjawabnya, akan tetapi tidak terdengar oleh Nabi
sampai tiga kali. Sementara Nabi tidak akan mengucapkan salam melebihi tiga
kali. Jika dijawab, maka ia akan masuk. Jika tidak, maka ia akan pulang kembali. Akhirnya, Nabi meninggalkan rumah tersebut. Melihat hal itu, kemudian Sa‘ad
berlari mengejarnya. Sa‘ad berkata: ―Wahai Rasulullah, sebenarnya aku
mendengar ucapan salammu tadi, dan aku pun sudah menjawabnya. Hanya saja, aku ingin agar engkau terus menerus mengucapkan salam dan rahmat kepada
kami sekeluarga. Masuklah wahai Rasulullah‖. Setelah itu, Nabi pun masuk ke
rumahnya dan dihidangkan makanan.33
Sementara itu, pada kesempatan lain, hadis yang sama juga disampaikan
oleh Sahabat bernama Abu > Mu>sa al-Ash’ari> dalam konteks yang relatif sama.
نت ف م س من مااس األنصار، إذ جاء أبو موسى أنيو : عن أيب سع د اادري، قاؿ استأذنت : ما منػعك؟ قػ ت : استأذنت ع ى عمر ال ا، فػ م يػ ذف ل فػرجعت، فػقاؿ : مذعور، فػقاؿ
إذا استأذف أحد م ال ا فػ م »: ال ا فػ م يػ ذف ل فػرجعت، وقاؿ رسوؿ اا يو يى اهلل ع و وس يم «يػ ذف او فػ ػرجع
Dari Abu> Sa’i>d al-Khudriy berkata: Aku duduk dalam satu majlis
dengan orang-orang Ansar, tiba-tiba datanglah Abu > Mu>sa al-Ash’ari>
32
Al-Bukha>ri>, S}ah}i>h} al-Bukha>ri>, Vol. 8, 54. Nomor hadis: 6245. 33
Ibn H>}amzah al-Dimashqi al-Ḥusaini,al-Bayān wa al-Ta’rīf fi Āsbāb al-Wurūd
dalam keadaan panik. Ia berkata: Aku baru saja izin (mengucapkan salam) sebanyak tiga kali di depan rumah ‗Umar, tetapi tidak ada yang
menjawab, sehingga aku pulang lagi. Abu> Sa’i>d al-Khudriy bertanya:
Kenapa engkau pergi? Abu > Mu>sa menjawab, ―Karena Nabi pernah
berdabda: Apabila salah seorang dari kalian meminta izin (mengucapkan
salam), tetapi tidak ada yang menjawabnya, maka pulanglah‖.34
Setelah mengkomparasikan dua riwayat di atas, dapat dipahami bahwa
konteks yang melatari Abu> Mu>sa> mengutip hadis tersebut relatif sama dengan konteks yang melatari Nabi mengucapkannya untuk pertama kali. Namun
demikian, pasca terjadinya peristiwa perang Jamal (waq’ah al-Jamal), ada
perdebatan menarik antara ‘A>ishah dan Ibn ‗Abbas dalam menggunakan hadis tersebut. Riwayat ini terekam dalam beberapa literatur sejarah, di antaranya
dalam kitab Muru>j al-Dhahab wa Ma’a>din al-Jawhar karya Abu> al-H}asan ‘Ali>
bin H}useyn bin ‘Ali> al-Mas’u>di>, dan Kita>b al-Futu>h} karya Ibn A’tham al-Ku>fi.
ىب ال عااشـ فقل لا أف ذإ : علاس فقاؿ او دعاع ي ر ي اهلل عنو بعلد اهلل بن:قاؿف او فدخل ذف ع ا فأبت أف تأذل عااشـ فاستأإ ل املدينـ ماجاات ولتق م باالصرة فأقلل إ تر ل
: من ا وسادة وطرح ا ج س ع ا فقااتذ راح ـع ا وسااد فأخاذإ ف اات ت ؼذإ علد اهلل بغري ي خ ك ف و ذاو نت ف من اك اؿ: قاؿ ابن علاس. نذيابن علاس أخطأت ااسنـ دخ ت من ل بغري ا
ي أمرؾ اهلل ع وجل أف تقري ف و ف رجت ف و ذااك املن ؿ اؿذنك وذإ لبإ رسوؿ اهلل ملادخ ت ع ك ل إ ا أمري امل منني يأمرؾ باار اؿ ذعا ـ هلل ع وجل وارسواو ممد ى اهلل ع و وس م وبعد فو
اؾ عمر بن خطاب فقاؿ ابن ذ. رحم اهلل أمري امل منني: فقاات عااشـ. املدينـ فار ي ول تعصيااك ذفقاات عااشـ أب ت . ف رغمت او األنوؼ واربدت او ااوجوهإ ا واهلل أمري امل منني وذوه: علاس
ع كم يابن علاس
Suatu ketika, Ali> memanggil Ibn ‗Abba>s, dan berkata: Wahai Ibn
‘Abba >s, pergilah kepada ‘A'>ishah, lalu katakan kepadanya agar kembali
ke Madinah dan jangan menetap di Basrah. Kemudian Ibn ‘Abba >s segera
pergi menemui ‗A>’ishah dan meminta izin untuk masuk ke rumahnya
(maksudnya mengucapkan salam), tetapi ‗A>’ishah menolaknya.
Sehingga, Ibn ‘Abba >s memaksa masuk tanpa izin. Kemudian ia menoleh
dan melihat kendaraan yang di atasnya terdapat alas/bantal. Ia
mengambil alas tersebut dan duduk di atasnya. ‘A'>ishah berkata: Wahai
Ibn ‘Abba >s, engkau telah menyalahi sunnah Nabi karena telah masuk ke
rumahku tanpa izin. Ibn ‘Abba >s berkata: Kalau engkau sedang berada di rumah yang ditinggali Rasulullah, maka tentu aku tidak akan berani
masuk kecuali atas izinmu. Rumahmu itu adalah rumah yang engkau
34
Al-Bukha>ri>, S}ah}i>h} al-Bukha>ri>, Vol. 8, 54. Nomor hadis: 6245.
99
diperintahkan agar tetap di dalamnya. Sementara engkau justru keluar
dari sana sebagai bentuk kemaksiatan pada Allah dan Rasul-Nya. ‘Ami>r
al-Mu’mini>n menyuruhmu agar kembali ke Madinah. Pergilah, dan
jangan membangkang. ‘A>’ishah berkata: ―Semoga Allah merahmati
Ami>r al-Mu’mini>n, yaitu ‗Umar‖. Ibn ‘Abba>s berkata: ―Demi Allah, ‗Ali>
adalah Ami>r al-mu’mini>n, terlepas engkau setuju atau tidak‖. ‗A>ishah
berkata: ―Aku menolak itu wahai Ibn ‗Abba>s‖.35
Riwayat di atas merekam perdebatan antara ‗A>’ishah dan Ibn ‗Abba>s
pasca terjadinya perang Jamal. Ibn ‗Abba>s diperintahkan oleh khalifah ‗Ali>
untuk memulangkan ‗A>’ishah ke Madinah. Sesampainya di kediaman ‗A>’ishah
(di Basrah), Ibn ‗Abba>s meminta izin (mengucapkan salam) untuk masuk.
Namun ‗A>’ishah menolaknya. Akhirnya Ibn ‗Abba>s memaksa masuk tanpa izin.
Kemudian‗A>’ishah memprotesnya dan menilai bahwa Abu> Bakar telah
menyalahi sunnah tentang perintah pergi setelah salam tiga kali. Ibn Abba>s
meresponsnya kembali bahwa dalam konteks seperti itu ia tidak lantas menyalahi
sunnah Nabi, kecuali konteksnya ialah di rumah ‗A>’ishah yang ditinggali oleh
Nabi (maksudnya rumahnya yang ada di Madinah). Sementara‗A>’ishah, kata Ibn
‗Abba>s, malah pergi meninggalkan rumah itu dalam rangka memberontak
terhadap khalifah ‗Ali. Alasan inilah yang membuat Ibn ‗Abba>s masuk sekalipun tidak dizinkan.
3. Semi Kontekstual
Yang dimaksud dengan semi kontekstual di sini ialah tipologi
penggunaan hadis, di mana seorang periwayat—yang dalam hal ini ialah
Sahabat—berusaha menarik pesan universal di balik teks hadis, meskipun konteks penggunaannya berbeda dengan konteks yang melatari Nabi
mengucapkannya untuk pertama kali. Di bawah ini penulis akan mengurai
contoh penggunaan hadis oleh Sahabat yang dapat diketegorikan pada tipologi semi kontekstual
a. Hadis Fa>t}imah Belahan Jiwa Nabi
Hadis pertama yang akan penulis kaji ialah hadis Fa>t }imah sebagai
belahan jiwa Nabi. Pada pembahasan ini, penulis akan menunjukkan bagaimana
kemudian Sahabat menggunakan hadis yang sama dalam konteks yang berbeda dengan konteks yang melatari Nabi mengucapkannya untuk pertama kali.
Berikut ini penulis kutipkan redaksi hadisnya secara lengkap dari kitab S}ah }i >h} al-
ـ، قاؿ عن إفي ع ا خطب بنت أيب ج ل فسمعت بذاك فاطمـ فأتت : املسور بن مرميػ عم قػومك أنيك ل تػغضب الػناتك، وىذا ع ي نا بنت : رسوؿ اا يو يى اهلل ع و وس يم، فػقاات
ـ رسوؿ اا يو يى اهلل ع و وس يم، فسمعتو حني تش يد، يػقوؿ أميا بػعد أنكحت أبا »: أيب ج ل، فػقاـ بضعـ من وإن أ ره أف يسوءىا، واا يو ل تتمع بنت ن و دقن، وإفي فاطم ااعاص بن ااريب ع، فحدي
ـ « رسوؿ اا يو يى اهلل ع و وس يم وبنت عدو اا يو، عند رجل واحد فػتػرؾ ع ي ااطل
Dari Miswa >r bin Makhramah berkata: Suatu ketika ‗Ali > melamar
putrinya Abu > Jahal. Akhirnya kabar tersebut terdengar oleh Fa >t }imah.
Lalu ia pun mengadu kepada Rasulullah SAW dan berkata: Kaummu mengira bahwa engkau tidak marah melihat anakmu (dimadu). ‗Ali
berencana menikahi putrinya Abu > Jahal. Maka Rasulullah berdiri di atas
mimbar dan bersabda: Sesungguhnya Fa >t }imah adalah belahan jiwaku.
Dan aku akan marah jika ada yang menyakitinya. Demi Allah, tidak
akan berkumpul putri Rasulullah dan putri musuh Allah pada diri
seorang lelaki. Maka ‗Ali > pun akhirnya membatalkan lamarannya. (HR.
Al-Bukha>ri>).36
Riwayat lainnya ialah:
ـ ر ي اا يو عنػ ما، أفي رسوؿ اا يو يى اهلل ع و وس يم، قاؿ فاطمـ »: عن املسور بن مرم، فمن أغضلػ ا أغضلن «بضعـ من
Dari Miswa >r bin Makhramah bahwa Nabi SAW bersabda: Fa >t }imah adalah belahan jiwaku. Siapa saja yang membuatnya marah, maka sama
artinya ia telah membuatku marah. (HR. Al-Bukha >ri>).37
Hadis di atas dapat dijumpai dalam beberapa kitab induk hadis, antara
lain ialah S }ah}i >h} al-Bukha >ri, S}ah}i >h Muslim,38
Sunan al-Tirmidhi>,39
Sunan al-
Nasa>‘i>40
dan lain sebagainya dengan redaksi yang berbeda. Tak hanya itu, beberapa literatur sejarah juga merekam dengan baik riwayat di atas. Namun,
sebelum penulis mengelaborasi substansi hadis di atas secara lebih jauh, penting
36
Lihat Muh}ammad bin Isma>’i>l al-Bukha>ri>, S}ah}i>h} al-Bukha>ri> (Beirut: Da>r T{auq
al-Naja>h, 1922 H), Vol. 5, 22. Nomor hadis: 3729. 37
Muh}ammad bin Isma>’i>l al-Bukha>ri>, S}ah}i>h} al-Bukha>ri>, Vol. 5, 29. Nomor
hadis: 3767. 38
Muslim bin H}ajja >j al-Naysabu >ri >, S}ah}i>h} Muslim (Beirut: Da>r Ih }ya > al-Tura>th al-
dikemukakan terlebih dahulu bahwa, meskipun hadis tersebut disampaikan oleh Nabi di atas mimbar dan disaksikan oleh sejumlah Sahabat, tetapi dalam
beberapa kitab induk hadis ditemukan bahwa pada tingkat sahabat, hadis tersebut
hanya diriwayatkan oleh seorang Sahabat junior (s }igha >r al-s }ah}a>bah) bernama
Miswa >r bin Makhramah.41
Dengan kata lain, berbagai jalur periwayatan hadis
tersebut, seluruhnya bermuara kepada Miswa >r bin Makhramah. Pertanyaannya,
kenapa para Sahabat lainnya,—terutama beberapa Sahabat senior seperti Abu >
Bakar, ‗Umar bin Khat }t}a >b, T}alh}ah}, Zubayr dan yang lainnya tidak meriwayatkan hadis tersebut? Hal ini tentu dapat menjadi persoalan tersendiri yang menarik
untuk dikaji.42
Secara historis-kronologis (sabab al-wuru >d), hadis di atas disabdakan
oleh Nabi SAW pada saat mendengar kabar yang sangat mengejutkan. Ia
menerima laporan dari Fa >t }imah bahwa suaminya (‗Ali> bin Abi> T }a>lib) telah
melamar putrinya Abu > Jahal.43
Kabar tersebut seketika menghebohkan
masyarakat Madinah dan menjadi perbincangan hangat di kalangan para Sahabat
ketika itu. Bagaimana tidak, Abu > Jahal adalah orang yang dalam sejarah dikenal
sangat memusuhi Islam dan kerap kali menghalangi perjuangan dakwah Nabi.
Sementara Fa>t }imah adalah satu-satunya putri kesayangan Nabi.44
Oleh
41
Nama lengkapnya ialah Miswa >r bin Makhramah bin Nawfal bin Uhayb bin
‗Abd Mana>f bin Zuhrah bin Qus}ay bin Kila>b al-Qurashi >. Ia pernah berjumpa dan
meriwayatkan hadis langsung dari Nabi. Ia masuk kategori Sahabat junior (s}igha>r al-
s}ah}a>bah). Selain menerima riwayat dari Nabi, ia juga meriwayatkan hadis dari Abu >
Bakr, ‗Umar dan Uthma>n. Sementara itu, beberapa tabi‘in yang meriwayatkan hadis
darinya ialah ‗Ali> bin H}usein, ‗Urwah, Sulayma>n bin Yasa>r, Ibn Abi > Mulaykah, ‗Amr
bin Di>na>r dan beberapa tabiin lainnya. Selengkapnya, lihat Abu>‗Abd Alla>h Shamsh al-
Di >n Muh }ammad bin Ah }mad bin ‗Uthma>n bin Qayma >z al-Dhahabi >, Siya>r A’la>m al-
Nubala> (Kairo: Da>r al-Hadi>th, 2006), 4, 414. 42 Babul Ulum dalam disertasinya berkesimpulan bahwa hadis tersebut adalah
palsu, meskipun terekam dalam kitab S}ah}i>h} al-Bukha>ri> dan S}ah}i>h} Muslim. Hadis
tersebut sengaja dibuat oleh Miswar untuk kepentingkan tertentu. Menurutnya, secara
historis, penyebab kemarahan Fa >t }imah bukan karena hendak dipoligami oleh Ali,
melainkan karena perilaku para pendukung Saqifah dimana mereka menyerbu rumah
Fa >t}imah. Sampai zaman Miswar, cerita terkait peristiwa tersebut terus menjadi bahan
perbincangan umat. Oleh karenanya, menurut Babul Ulum, agar tidak terjadi hal-hal
yang dapat mengancam singgasana penguasa, Miswar—sebagai pendukung penguasa—membuat narasi hadis di atas untuk memalingkan masa dari kisah yang sesungguhnya.
Namun demikian, berdasarkan pengamatan penulis, kesimpulan tersebut tampak rapuh
karena tidak ditopang dengan argumentasi yang kuat. Selengkapnya, lihat Babul Ulum,
Genealogi Hadis Politis; Al-Muawiyat dalam Kajian Islam Ilmiah, 217. 43
Putri Abu> Jahal tersebut bernama Juwayriyah. Ia masuk Islam, berbaiat,
kemudian menikah dengan ‗Uta>b bin Asi>d. Setelah ditinggal wafat oleh suaminya, ia
menikah lagi dengan Aba>n bin Sa’i>d bin al-‘As}. Selengkapnya, lihat Muh}ibb al-Di>n
Ah}mad bin ‘Abd Alla<h al-T}abari>, Dhakha>’ir al-‘Uqba> fi Mana>qib Dhawi> al-Qurba> (Kairo: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1365 H), 1, 37.
44 Kecintaan Nabi terhadap putrinya tersebut sangat tercermin dalam
perilakunya. Menurut beberapa riwayat, jika Fa>t}imah datang menemui Nabi, Nabi
102
karenanya, wajar saja ketika mendengar kabar tersebut, Nabi SAW kaget dan segera mengumpulkan para Sahabatnya. Dengan disaksikan sejumlah Sahabat,
Nabi SAW naik ke atas mimbar kemudian menyampaikan hadis di atas‖.
Dalam literatur sejarah, riwayat di atas juga banyak diperbincangkan,
bahkan dengan narasi yang lebih utuh. Dalam kitab al-Bida>yah wa al-Niha>yah, Ibn Kathi>r mengisahkan bahwa Fa>t }imah adalah wanita yang sabar ketika hidup
bersama ‗Ali>. ‗Ali> tidak pernah menikahi wanita lain hingga Fa >t }imah wafat.
Hanya saja, suatu ketika ia pernah berencana menikahi putrinya Abu> Jahal,
sehingga membuat Nabi kaget. Mendengar kabar tersebut, Nabi dengan tegas
mengatakan: ―Aku tidak bermaksud mengharamkan yang halal dan
menghalalkan yang haram (maksudnya terkait rencana Ali > untuk poligami).
Fa>t }imah adalah belahan jiwaku, siapa saja yang menyakitinya, maka sama saja ia
telah menyakitiku. Aku takut akan terjadi fitnah pada darah Fa >t }imah. Tetapi aku
akan membolehkan kalau saja Ali> menceraikan Fa>t }imah terlebih dahulu
kemudian menikahi putrinya Abu Jahal. Demi Allah, tidak akan pernah
berkumpul putri Rasulullah dan putri musuh Allah pada diri seorang lelaki‖.
Setelah Nabi menyampaikan keberatannya itu, akhirnya dengan terpaksa Ali> pun segera membatalkan rencana pernikahannya‖.
45 Sampai di sini, dapat segera
dipahami bahwa secara kronologis, hadis di atas diucapkan oleh Nabi SAW tak
lain ialah sebagai respons atas rencana Ali yang hendak menduakan Fa >t }imah
dengan putri Abu > Jahal.
Namun demikian, beberapa dekade pasca wafatnya Nabi SAW, hadis
tersebut digunakan atau disampaikan kembali oleh Miswa >r untuk menghibur
kesedihan Ahl al-Bayt pasca terjadinya tragedi pembantaian H }useyn dan pasukannya di tanah Karbala. Tragedi kemanusiaan ini merupakan salah satu
tindakan yang paling brutal dalam pentas sejarah Islam, sehingga wajar apabila
kisah tersebut masih terekam kuat dalam memori kolektif kelompok Syi‘ah
hingga kini. Sejarah mencatat, pada saat itu H}useyn dan pasukannya yang hanya
berjumlah tujuh puluh orang dibantai oleh pasukan utusan khalifah Yazi >d bin
Mu‘a>wiyah yang berjumlah empat ribu orang. Bahkan, yang lebih brutal lagi
ialah mereka memenggal kepala H }useyn. Namun, karena satu dan lain hal, ada
beberapa Ahl al-Bayt yang dibiarkan hidup, di antaranya ‗Ali Zayn al ‗A >bidi>n
langsung berdiri untuk menyambutnya kemudian menciumnya dan berkata ―Selamat
datang putriku‖ (Marh}aban ya> binti>). Selengkapnya lihat Muh }ammad bin Muh }ammad
bin Suwaylim Abu> Shuhbah, al-Sirah al-Nabawiyyah ‘ala> D}au’ al-Qura>n wa al-Sunnah
(Damaskus: Da >r al-Qalam, 1927 H), 2, 628. Lihat juga Abu> ‘Umar Muh}ammad bin
Abu> al-Fida> Isma>’i>l bin ‘Amr bin Kathi>r al-Qurashi>, al-Bida>yah wa al-Niha>yah (Beirut: Da>r Ih}ya> al-Tura>th al-‘Arabiy, 1988), 6, 366. Lihat juga Muh}ib al-Di>n
Ah}mad bin ‘Abd Alla<h al-T}abari>, Dhakha>’ir al-‘Uqba> fi Mana>qib Dhawi> al-Qurba>, 1,
38.
103
bin H}useyn, Zaynab dan yang lainnya.46
Singkat cerita, pasca tumbangnya
pasukan H}useyn, akhirnya mereka yang masih hidup itu dibiarkan untuk kembali
ke Madinah. Mereka tiba di Madinah menyisakan isak tangis dan kesedihan yang mendalam, sehingga disambut dengan kucuran air mata oleh para Sahabat.
Bagaimana tidak, tragedi tersebut benar-benar telah merobek-robek nurani
kemanusiaan yang paling dalam, terlebih yang menjadi korban adalah cucu
kesayangan Rasulullah SAW. Melihat keadaan yang menyedihkan itu, Miswa >r
kemudian turut berbela sungkawa dan menghibur ‗Ali Zayn al ‗A >bidi>n bin
H}useyn dan beberapa Ahl al-Bait lainnya yang ada di Madinah dengan
menyampaikan hadis di atas. Di hadapan mereka, Miswa >r mengatakan bahwa
Fa>t }imah, kata Nabi, adalah belahan jiwaku. Siapa saja yang menyakitinya, maka
sama saja ia telah menyakitiku.47
Berpijak pada fakta di atas, muncul beberapa pertanyaanya, yaitu:
Mengapa Miswa >r menyampaikan kembali hadis tersebut di hadapan ‗Ali > Zayn al
‗A>bidi>n? Apa relevansinya dengan tragedi pembantaian di Karbala? Bukankah,—sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya,—bahwa konteks awal
46
Dalam sejarah Islam, peristiwa tersebut dikenal dengan istilah tragedi
Karbala. Peristiwa tersebut terjadi pada masa khalifah Yazi >d bin Mu‘a>wiyah, penguasa
dinasti Bani Umayah. Sejarah mencatat, penduduk Kufah merasa kecewa dengan kiprah
kepemimpinan Yazid. Mereka mengharapkan perubahan, dan harapan itu mereka
sandarkan kepada cucu Nabi, H}useyn. Oleh karenanya, mereka meminta H}useyn agar segera pergi ke Kufah untuk mereka baiat sebagai khalifah. Singkat cerita, ia bersama
pasukannya pergi ke Kufah untuk memenuhi permintaan tersebut. Namun, rencana
kedatangan Huseyn akhirnya diketahui oleh Yazi >d.
Rombongan H}useyn tiba di Karbala pada 2 Muharram 61 Hijriyah di bawah
pengawasan ketat pasukan berkuda utusan ‗Ubayd Alla >h bin Ziya >d yang dipimpin oleh
al-H}u>r bin Yazi>d al-Tami>mi>. Sementara ‗Ubayd Alla >h bin Ziya >d sang kepala daerah
Kufah menyiapkan pasukan tempur sebanyak 4000 orang dengan persenjataan lengkap
di bawah pimpinan ‗Umar bin Sa‘ad bin Abi > Waqqas}. Pada 10 Muharram 61 Hijriyah,
mereka menyerbu rombongan H}useyn yang hanya berkekuatan 72 orang. Pasukan
H}useyn terbunuh termasuk H}useyn sendiri. Bahkan, ia dipenggal kepalanya oleh
pasukan Ibn Saad. Peristiwa ini menandai dimulainya keterbelahan antara kelompok
Suni dan Syi‘ah di seluruh dunia. Selengkapnya, lihat Musa Shadr, Syuhada Padang Karbala (Bandung: Mizan, 1996). Lihat juga Alwi bin Husein, Diskursus Ahl al-Bayt
dalam Hadis (Jakarta: Zahra Publishing House, 2015), 226-236. 47 Teks lengkapnya adalah,
وأما سللو بعد عصر اانلػوية فكما أورده اامسور تس ـ وتع يـ ألىل االػ ت ع م ااسيالـ حني قدموا اامدينـ و اف ف من ت قاىم اامسور بن مرمـ فحدث زين ااعابدين وأىل االػ ت ع م ومنػ م زين ااعابدين ع ي بن السني بن ع ي بن أيب طااب ر ي اهلل عنو وذاك ملا ت قاىم اامس موف
ااسيالـ ذا الديي وف و ااتس ـ عن ىذا اامصاب ألف اانييب ى اهلل ع و وس م إذا اف يغضب ا اطمـ ع ػ ا ااسيالـ من خطلـ امرأة مس مـ ع ػ ا مع جواز ذاك ظاىرا أل يغضب لبنتو وقد قت وا ابن ا وفع وا ما فع وا بأىل االػ ت وروى أف أىل االػ ت ملا دخ وا اامدينـ خرجت امرأة من بػنات علد
اامط ب نا رة عرىا وا عـ م ا ع ى رأس ا وىي تلكي وتقوؿ ماذا تقواوف إف قاؿ اانييب اكم ماذا فع تم وأنػتم آخر األمم بعرتيت وبأى ي بعد م تقدي منػ م أسارى وقت ى رجوا بدـ
104
kemunculan hadis tersebut ialah berkenaan dengan isu poligami yang menimpa Fathimah?
Dalam hal ini, penulis menilai bahwa Miswa >r sesungguhnya telah berusaha menarik makna implisit yang terkandung dalam batang tubuh hadis
tersebut. Ia secara tidak langsung ingin mengatakan kepada ‗Ali > Zayn al ‗A>bidi>n
bahwa mereka yang telah membantai H }useyn dan beberapa Ahl al-Bayt lainnya di Karbala, sesungguhnya telah menyakiti Nabi SAW.
Sampai di sini, apa yang ingin segera penulis katakan ialah, bahwa
Miswa >r telah menyampaikan hadis tersebut dalam konteks dan peristiwa yang
berbeda dengan konteks yang melatari Nabi mengucapkannya untuk pertama kali. Jika sebelumnya Nabi SAW mengucapkan hadis tersebut sebagai bentuk
kasih sayang dan dukungan moral terhadap Fa >t }imah yang hendak dimadu bahkan
disandingkan dengan putri musuh Allah, maka pada era belakangan, tepatnya pasca terjadinya tragedi pembantaian di Karbala, hadis tersebut dikutip atau
disampaikan kembali oleh Miswa >r untuk menghibur kesedihan ‗Ali> Zayn al
‗A>bidi>n dan beberapa Ahl al-Bayt lainnya setelah kembali dari Karbala ke Madinah.
Namun, pertanyaannya kemudian ialah, apakah pola penggunaan hadis
yang dilakukan Miswa >r tersebut telah mencerabut substansi hadis dari konteks
historisnya? Dalam hal ini, penulis berpendapat bahwa, meskipun konteks yang
melatari Miswa >r menyampaikan hadis tersebut berbeda dengan konteks yang melatari Nabi mengucapkannya untuk pertama kali, akan tetapi semangat di
balik penggunaannya dapat dikatakan sama, yaitu sebagai peringatan bahwa siapa saja yang menyakiti Ahl al-Bayt, maka sama saja ia telah menyakiti Nabi.
Oleh karenanya, hemat penulis, penggunaan hadis semacam ini masih dapat
dibenarkan. Miswar tidak lantas dikatakan telah mencerabut substansi hadis dari
konteks historisnya untuk sebuah kepentingan yang tidak dapat dibenarkan.
Miswa >r, sekali lagi, hanya ingin menarik pesan moral yang terkandung dalam
hadis. Terkait penggunaan hadis semacam ini, penulis mengkategorikannya
pada tipologi semi kontekstual.
b. Hadis Jibri>l Dinamika penggunaan hadis lainnya yang akan didiskusikan di sini ialah
hadis yang secara substansial berbicara tentang Islam, iman, dan ihsan yang
kemudian dikenal dengan istilah hadis Jibri>l. Sebagaimana hadis sebelumnya, pada pembahasan ini, penulis akan menunjukkan bagaimana kemudian Ibn
‗Umar menggunakan hadis tersebut secara dinamis untuk merespons sebuah
peristiwa yang terjadi pada era belakangan.
Nabi bersabda:
، إذ ط ع : عن عمر بن خطاب نما نن عند رسوؿ اهلل يى اهلل ع و وس يم ذات يػوـ بػ ػنا رجل ديد بػ اض اايػ اب، ديد سواد ااشيعر، ل يػرى ع و أ ػر ااسي ر، ول يػعرفو منيا أحد، ح ي ع ػ
105
يا : ج س إل اانييب يى اهلل ع و وس يم، فأسند ر لتػ و إل ر لتػ و، وو ع ي و ع ى ف ذيو، وقاؿ ، فػقاؿ رسوؿ اهلل يى اهلل ع و وس يم سالـ ـ أف تش د أف ل إاو إلي اهلل »: مميد أخربن عن اا سال اا
وأفي مميدا رسوؿ اهلل يى اهلل ع و وس يم، وتق م ااصيالة، وتػ يت اا ي اة، وتصوـ رمضاف، و ي االػ ت قو، قاؿ : دقت، قاؿ : ، قاؿ «إف استطعت إا و سل ال نا او يسأاو، ويصد فأخربن عن اا اف، : فػعجلػ
: ، قاؿ «أف تػ من باهلل، ومالاكتو، و تلو، ورس و، واا ػوـ ااخر، وتػ من بااقدر خريه و ره »: قاؿ حساف، قاؿ : دقت، قاؿ ، «أف تػعلد اهلل أنيك تػراه، فإف ل تكن تػراه فإنيو يػراؾ »: فأخربن عن اا
ـ، قاؿ : قاؿ فأخربن عن أمارهتا، : قاؿ « ما اامسـوؿ عنػ ا بأع م من ااسياال »: فأخربن عن ااسياع اف »: قاؿ ـ رعاء ااشياء يػتطاواوف ف االػنػ ي : ، قاؿ «أف ت د األمـ ربػيتػ ا، وأف تػرى ال اة ااعراة ااعاا
فإنيو »: اهلل ورسواو أع م، قاؿ : قػ ت « يا عمر أتدري من ااسياال؟»: انط فػ ليت م ا، ي قاؿ ل «جربيل أتا م يػع مكم دينكم
Dari ‗Umar bin Khat}t}a>b, ia berkata: Suatu ketika kami (para Sahabat)
sedang duduk di samping Rasulullah, kemudian datanglah seorang lelaki yang berpakaian sangat putih, berrambut hitam dan tidak terlihat
padanya tanda-tanda bekas perjalanan. Di antara kami pun tidak ada
yang mengenalnya. Ia segera duduk di hadapan Nabi, sambil menyandarkan kedua lututnya di kedua lutut Nabi dan meletakkan kedua
telapak tangannya di atas kedua paha Nabi. Ia berkata: ―Wahai
Muhammad, beritahukan kepadaku tentang Islam.‖ Nabi menjawab:
―Islam adalah engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan
zakat, berpuasa Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji jika engkau
telah mampu melakukannya. Lelaki itu berkata: ―Engkau benar‖. Maka kami heran, ia bertanya dan ia pula yang membenarkannya. Kemudian ia
bertanya lagi, ―Beritahukan padaku tentang iman‖. Nabi menjawab:
―Iman ialah engkau beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, utusan-Nya, hari akhir, dan beriman kepada qadha dan qadhar. Ia
berkata: ―Engkau benar‖. Kemudian ia bertanya lagi, ―Beritahukan
kepadaku tentang ihsan?‖ Nabi menjawab, ―Hendaklah engkau
beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Kalaupun engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Ia melihatmu‖. Lelaki
itu bertanya lagi, ―Beritahukan kepadaku kapan terjadinya hari kiamat‖.
Nabi menjawab: ―Yang ditanya tidaklah lebih tahu daripada yang bertanya‖. Dia pun bertanya lagi, ―Beritahukan kepadaku tentang tanda-
tandanya‖. Nabi menjawab, ―Jika seorang budak wanita telah
melahirkan tuannya; jika engkau melihat orang yang bertelanjang kaki,
tanpa memakai baju (miskin papa) serta pengembala kambing telah saling berlomba dalam mendirikan bangunan megah yang menjulang
tinggi‖. Kemudian lelaki tersebut segera pergi. Aku pun terdiam,
106
sehingga Nabi bertanya kepadaku: ―Wahai ‗Umar, tahukah engkau, siapa yang bertanya tadi?‖ Aku menjawab, ―Allah dan Rasul-Nya lebih
mengetahui‖. Beliau berkata, ―Dia adalah Jibril yang mengajarkan kalian
tentang agama kalian‖.48
Sebagaimana disinggung di awal, hadis di atas populer dengan sebutan
hadis Jibril. Dikatakan demikian, karena secara historis-kronologis (sabab al-
wuru>d), hadis ini merupakan rekaman terkait dialog antara Nabi dengan Jibril.
Jibril menyamar menjadi manusia biasa, berpakaian putih, berambut hitam
kemudian terjadilah dialog dengan Nabi. Jibril mengajukan beberapa pertanyaan kepada Nabi, dan Nabi pun menjawabnya.
Dari segi matan, hadis di atas antara lain berisikan terkait tiga pilar
pokok ajaran Islam, yaitu Islam, iman dan ihsan. Islam berbicara tentang aspek syari‘at, iman berbicara tentang aspek ma’rifat, dan ihsan berbicara tentang
aspek hakikat. Tiga pilar ini kemudian melandasi seluruh aspek dan konsepsi
ajaran Islam. Dengan perkataan lain, hadis tersebut merupakan doktrin atau ajaran pokok yang sangat prinsipil dalam konteks keberagamaan umat Islam.
Kualitas keberislaman seseorang akan sangat ditentukan oleh sejauh mana ia
mampu mengejawantahkan semua prinsip, ajaran dan nilai-nilai luhur yang
terekam dalam tiga pilar pokok tersebut.
Ibn Daqi>q al-‘I>d mengatakan bahwa hadis di atas seolah merupakan
induk bagi sunnah (umm li al-sunnah), sebagaimana halnya al-Fa>tih}ah merupakan induknya Alquran (Umm al-Quran), karena di dalamnya mencakup
semua ajaran dan nilai-nilai yang ada dalam Alquran.49
Senada dengan Ibn
Daqi>q, Ibn H}ajar al-‘Asqala>ni> mengutip pendapat al-Qurt}ubi> bahwa hadis di atas layak disebut sebagai induk sunnah (umm al-sunnah) karena mengandung ilmu
hadis. Ia juga mengutip pendapat Qa>d}i> ‘Iya>d} bahwa hadis di atas mencakup penjelasan semua amal ibadah, baik yang dzahir maupun yang batin, di
antaranya ialah terkait ikatan iman, perbuatan anggota badan, keikhlasan, dan
menjaga diri dari perusak-perusak amal. Bahkan ilmu-ilmu syari‘at, semuanya
kembali kepada hadis ini dan merupakan percabangannya.50
Sementara itu, al-
Nawa>wi> mengatakan bahwa hadis di atas menghimpun berbagai disiplin ilmu, pengetahuan, adab, dan kelemah-lembutan. Bahkan, hadis ini merupakan pokok
ajaran Islam sebagaimana diriwayatkan dari Qa>d}i> ‘Iya>d.51
Pendapat lainnya
dikemukakan Ibn Rajab al-H}anbali> bahwa hadis tersebut adalah hadis yang agung, karena mencakup semua ajaran Islam. Oleh karenanya, di akhir hadis
48
Muslim bin Hajja>j al-Naysabu>ri>, S}ah}i>h} Muslim , Vol. 1,36. Nomor hadis: 8. 49
Abu> al-Fath} Taqi> al-Di>n Muh}ammad bin ‘Ali> bin Wahhab bin Mut}i>’ al-
tersebut Nabi berkata: ―Ini adalah Jibril yang datang kepada kalian untuk mengajarkan agama kalian‖ setelah menjelaskan kedudukan Islam, iman dan
ihsan. Dan menjadikan semua itu sebagai ajaran pokok dalam Islam.52
Pendek
kata, hadis di atas lebih tepatnya merupakan sebuah doktrin teologis, bukan merupakan respons Nabi atas konteks atau peristiwa sosial keagamaan yang
terjadi di kalangan para Sahabat sebagaimana konteks kemunculan hadis pada
umumnya.
Namun demikian, beberapa dekade setelah wafatnya Nabi, hadis ini
pernah disampaikan oleh Ibn ‗Umar untuk merespons pertanyaan seseorang
terkait alasannya yang tidak melibatkan diri dalam peperangan. Di bawah ini penulis kutipkan redaksi hadisnya secara lengkap.
ـ، قاؿ عن ـ بن خااد، دث طاوسا، أفي رجال قاؿ اعلد اهلل بن عمر : حنظ عت عكرم :عت رسوؿ اهلل يى اهلل ع و وس يم، يػقوؿ : أل تػغ و؟ فػقاؿ ـ بن ع ى س : " إن سال : إفي اا
ادة أفي ل إاو إلي اهلل، وإقاـ ااصيالة، وإيتاء اا ي اة، و اـ رمضاف، وح االػ ت
Dari Hanz}alah berkata: Aku mendengar ‗Ikrimah bin Kha>lid
menceritakan kepada T>}a>wus bahwa ada seorang lelaki bertanya kepada
‗Abd Alla>h bin ‗Umar, ―Kenapa engkau tidak ikut berperang?‖ Ibn ‗Umar menjawab bahwa aku mendengar Nabi SAW bersabda:
―Sesungguhnya Islam dibangun di atas lima pilar; bersaksi bahwa tiada
Tuhan selain Allah, menegakkan shalat, membayar zakat, puasa
ramadhan, dan menunaikan ibadah haji‖. (HR. Muslim).53
Berdasarkan riwayat ini, dapat diketahui bahwa pada satu kesempatan,
penggalan hadis Jibril yang secara substansial bernuansa doktrin teologis tersebut ternyata pernah dikutip atau disampaikan kembali oleh Ibn ‗Umar untuk
merespons pertanyaan seseorang (rajul)54
terkait alasannya yang tidak turun ke
medan perang. Namun, untuk mengurai lebih jauh masalah penggunaan hadis tersebut, muncul sebuah pertanyaan yaitu, perang apakah yang dimaksud pada
riwayat tersebut? Bukankah Ibn ‗Umar—sebagaimana Sahabat lainnya—adalah
52
Zayn al-Di>n, ‘Abd al-Rah}ma>n bin Ah}mad bin Rajab bin al-H}asan al-
Baghda>di>, Ja>mi’ al-‘Ulu>m wa al-H}ikam fi> Sharh} Khamsi>n Hadi>than min Jawa>mi’ al-Kalim (Beirut: Muasasah al-Risalah, 2001), Vol. 1, 97.
53 Muslim bin H}ajja>j al-Naysabu>ri>, S}ah}i>h} Muslim, Vol. 1, 45. Nomor hadis: 16. 54
Setelah dilakukan perbandingan riwayat dan menelaah kitab-kitab sharah
hadis, penulis tidak menemukan data tentang siapa sesungguhnya orang yang bertanya
tersebut. Dalam disiplin ilmu hadis, hal ini disebut dengan istilah hadis mubham, yaitu
hadis yang nama periwayatnya disamarkan. Lihat Mah }mu>d al-T}ah}a>n, Taysi>r Mus}t}ala>h} al-H}adi>th (Iskandariyah: Markaz al-Huda> wa al-Dira>sa>t, 1415 H), 162.
108
orang yang sangat bergairah ketika panggilan jihad berkumandang?55
Sepintas, hal ini terkesan kontradiktif jika melihat sosok Ibn ‗Umar
56 yang memiliki
komitmen keberagamaan yang tinggi.
Sejauh yang bisa penulis telaah, beberapa kitab sharh} hadis tidak
menjelaskan hal itu. Namun, setelah dilakukan pelacakan terhadap beberapa
sumber yang memuat biografi para Sahabat, penulis menemukan beberapa riwayat yang menunjukkan bahwa Ibn ‗Umar menyampaikan hadis di atas bukan
berkenaan dengan salah satu peperangan yang terjadi di masa Nabi, melainkan
pada saat terjadinya peristiwa fitnah atau konflik antara ‗Ali> dan Mu’a >wiyah yang kemudian dikenal dengan istilah perang Shiffin (waq’ah shiffin).
57 Hal ini
55
Salah satu perang yang ia ikuti ialah perang Khandak, bahkan ini merupakan
perang pertama yang ia ikuti. Ia juga ikut serta dalam peperangan dalam rangka
penaklukan negeri Syam, Irak, Basrah dan Persia. Bahkan Nafi‘ yang merupakan mantan
budaknya Ibn ‗Umar meriwayatakan bahwa Ibn ‗Umar pernah berduel dengan musuh pada saat peperangan di Irak, kemudian ia berhasil menumbangkannya dan mengambil
harta rampasannya (Anna Ibn ‘Umar baraza rajulan fi> qita>l ahl al-‘Ira>q, fa qatalahu> wa akhadha salbahu>). Selengkapnya, lihat Abu>‘Abd Alla>h Shamsh al-Di>n Muh}ammad bin
Ah}mad bin ‘Uthma>n bin Qayma>z al-Dhahabi>, Siya>r A’la>m al-Nubala> (Kairo: Da>r al-
Hadi>th, 2006), 4, 303-305. 56
Nama lengkapnya ialah ‗Abd Alla>h bin ‘Umar bin al-Khat}t}a>b bin Nufayl bin
‘Abd al-‘Uzza>, bin Riya>h bin Qurt}h bin Razah bin ‘Adi bin Ka’ab bin Lu’ay bin Gha>lib
Kunyahnya Abu> ‘Abd al-Rah}ma>n al-Qurashi>. Ia memeluk Islam sejak kecil dan hijrah ke
Madinah sebelum memasuki usia dewasa. Perang Khandak adalah perang yang pertama
kali ia ikuti. Ia juga termasuk salah seorang Sahabat yang ikut serta dalam Baiat Ridwan
bersama ibunya, H}afs}ah (istri Nabi), Zaynab binti Madh’u>n, dan sejumlah Sahabat
lainnya. Ia banyak meriwayatkan ilmu dari Nabi, termasuk juga dari bapaknya (‗Umar
bin Khat}t}a>b), Abu> Bakr, ‘Uthma>n, ‘A>li>, Bila>l, Ibn Mas’u>d, A>ishah dan Sahabat lainnya.
Perang ini terjadi antara kubu A>li> dan Mu’a>wiyah bin Abi> Sufya>n. Pada saat
menjabat sebagai khalifah, ‗Ali> banyak me-reshuffle pejabat-pejabat negara yang tidak disenangi, meresahkan, bahkan memperkosa hak-hak rakyat. Mereka yang dimaksud
adalah pejabat pemerintahan yang berasal dari keturunan Umayah yang memanfaatkan
kekuasaan khalifah ‗Uthma>n. Selain itu, ‗Ali> juga menarik kembali tanah yang
dihadiahkan ‗Uthma>n kepada penduduk dan mengembalikannya kepada negara, serta menerapkan kembali sistem pajak yang pernah berlaku pada masa ‗Umar. Kebijakan
tersebut tentu dinilai kontroversial terutama oleh mereka yang merupakan keturunan
‗Umayah. Tak hanya itu, ‗Ali juga dinilai tidak mampu memenuhi keinginan mereka,
yaitu menghukum pembunuh ‗Uthma>n. Hal ini dijadikan momen yang tepat oleh
Mu’a >wiyah –yang saat itu menolak berbaiat—untuk memprovokasi masyarakat. Ia
sengaja memamerkan jubah khalifah ‗Uthma>n yang masih berlumuran darah. Bahkan
lebih dari itu, ia memprovokasi masyarakat dengan mengatakan bahwa pembunuhan
Uthman atas perintah ‗Ali. Singkat cerita, Mu’a>wiyah menyiapkan pasukan dalam
jumlah yang besar untuk melawan pasukan ‗Ali. Sementara itu, di lain pihak, ‗Ali> tidak
tinggal diam. Ia menilai tindakan Mu’a>wiyah dan pengikutnya tersebut telah keluar dari
batas kewajaran, bahkan mereka dianggap sebagai pemberontak karena menolak untuk
berbaiat dan melaksanakan kebijakan-kebijakannya. Akhirnya, Ali berinisiatif untuk
menundukan mereka agar kembali kepada persatuan. ‗Ali> menyiapkan pasukan dan
109
tentu dapat dimengerti, karena sejarah mencatat bahwa pada saat terjadinya peristiwa fitnah al-kubra di kalangan para Sahabat, Ibn ‗Umar berusaha untuk
bersikap netral dan enggan terlibat dalam huru hara yang terjadi di antara
kelompok yang bertikai. Beberapa riwayat mengabadikan dengan sangat baik ucapan atau respons Ibn ‗Umar ketika terjadinya peristiwa fitnah di kalangan
para Sahabat.
Diriwayatkan bahwa pasca wafatnya khalifah Yazi>d bin Mu’a>wiyah, Marwan mendatangi Ibn ‗Umar dan berkata: ―Ulurkan tanganmu, agar kami
berbaiat. Engkau adalah pemimpin umat Islam dan putra dari pemimpinnya‖. Ibn
‗Umar bertanya: ―Lantas apa yang mesti kita lakukan terhadap orang-orang bagian timur?‖ Marwan menjawab: ―Kita gempur mereka sampai mau berbaiat‖.
Ibn ‗Umar berkata: ―Demi Allah, aku tidak sudi dalam umurku yang sudah tujuh
puluh tahun ini, ada seorang manusia yang terbunuh disebabkan oleh pedangku‖.
58
Al-H}asan meriwayatkan, ketika ‗Uthma>n bin ‘Affa >n terbunuh, sekelompok umat Islam mendatangi Ibn ‗Umar dan memaksanya menjadi
khalifah. Mereka berteriak di depan rumah Ibn ‗Umar, ―Engkau adalah seorang
pemimpin, dan anak dari pemimpin mereka, keluarlah agar orang-orang membaiatmu‖. Ibn ‗Umar menjawab: ―Demi Allah, seandainya bisa, jangan ada
darah walau setetes pun tertumpah disebabkan aku‖. Kemudian mereka
mengancam dan berkata: ―Engkau harus keluar. Jika tidak, kami akan
membunuhmu di tempat tidurmu‖. Mendengar ancaman seperti itu, Ibn ‗Umar tidak tergerak, sehingga masa pun akhirnya bubar.
59
Riwayat lainnya yang menunjukkan ketidakberpihakan Ibn ‗Umar
terhadap salah satu kubu yang bertikai ialah sebagaimana disampaikan Na>fi’ bahwa Ibn ‗Umar pernah berkata: ―Barang siapa yang mengatakan mari kita
shalat, maka akan kupenuhi, tapi barang siapa yang mengatakan mari kita memerangi saudara sesama Muslim dan merampas hartanya, maka aku akan
mengatakan, tidak‖.60
Beberapa Riwayat di atas menunjukkan bahwa, meskipun Ibn ‗Umar beberapa kali mendapat tawaran menjadi khalifah, ia dengan tegas menolaknya.
Ia juga berusaha sebisa mungkin untuk berada pada posisi yang netral, tanpa
mendeklarasikan keberpihakkannya kepada salah satu pihak. Hal itu ia lakukan
semata-mata demi menjaga keutuhan umat Islam. Terlepas bahwa pada akhir hayatnya, ia pernah mengungkapkan kecenderungannya terhadap kubu ‗Ali
sebagaimana terdapat dalam sebuah riwayat dari Habi>b bin Abi> Tha>bit bahwa Ibn ‗Umar berkata: ―Tidak ada sesuatu pun yang aku sesalkan karena tidak
terjadilah pertempuran di dataran Shiffin pinggiran sungai Eufrat. Pada peperangan ini,
pasukan ‗Ali> berhasil memukul mundur pasukan Mu’a>wiyah. Selengkapnya, lihat
Muhajirin, Politisasi Ujaran Nabi (Yogyakarta: Maghza Book, 2016), 31-34. 58
Al-Dhahabi>, Siya>r A’la>m al-Nubala>, 4, 310. 59
Al-Dhahabi>, Siya>r A’la>m al-Nubala>, 4, 323. 60
Al-Dhahabi>, Siya>r A’la>m al-Nubala>, 4, 316
110
kuperoleh, kecuali satu hal, aku sangat menyesal tidak mendampingi ‗Ali>
memerangi kelompok pemberontak (ma asa> ‘ala shay’in fa>tani> illa> anni> lam uqa>til ma’a> ‘aliy ‘ala> al-fi’ah al-baghiyah)‖.
61
Berdasarkan uraian di atas, apa yang ingin penulis tegaskan ialah, bahwa
Ibn ‗Umar menyampaikan kembali hadis di atas dalam konteks yang berbeda dengan konteks yang melatari Nabi mengucapkannya untuk pertama kali. Hadis
yang semula hanya bernuansa doktrin teologis terkait pilar pokok ajaran Islam,
namun kemudian ia gunakan secara fleksibel, yaitu untuk merespons seorang Sahabat yang mempertanyakan alasannya yang tidak ikut serta dalam
peperangan melawan kelompok Mu’a >wiyah. Ketika menyampaikan hadis ini,
Ibn ‗Umar seolah ingin menegaskan sebuah pesan penting bahwa, ada hal yang lebih prinsipil ketimbang harus terlibat dalam peperangan sesama saudara
Muslim yaitu, bagaimana caranya agar mampu mengejawantahkan nilai atau
pokok-pokok ajaran Islam yang terkandung dalam hadis tersebut. Dari sini, dapat dipahami bahwa Ibn ‗Umar menggunakan hadis tersebut secara dinamis dan
berupaya menarik pesan moral yang terkandung di dalamnya untuk merespons
peristiwa tertentu. Penulis mengkategorikan penggunaan hadis semacam ini pada
tipologi semi kontekstual.
B. Disparitas Konteks Penggunaan Hadis oleh Sahabat Nabi: Menyoal
Implikasi Pada bagian ini, akan didiskusikan terkait implikasi dari temuan penulis
di atas. Pada bab kedua, penulis telah mendiskusikan terkait fungsi sabab al-
wurud sebagai instrumen dalam memahami hadis Nabi. Salah satu hal yang
menarik ialah pandangan Ibn H }amzah al-Dimashqi>, tokoh hadis abad ke-11 H
yang mengatakan bahwa konteks historis yang melatari penggunaan hadis oleh
Sahabat Nabi merupakan bagian dari sabab al-wurud yang kemudian ia sebut
dengan istilah sabab ba’da as}r al-nubuwwah. Lebih dari itu, ia bahkan
mengatakan bahwa konteks historis yang melatari penggunaan hadis oleh para
Sahabat dapat menjadi sebuah instrumen atau perangkat metodologis dalam memahami dan menjelaskan substansi hadis yang tidak diketahui konteks awal
diucapkannya oleh Nabi. Argumentasi yang dibangun ialah, karena para sahabat
adalah generasi yang menyaksikan langsung perkataan dan perbuatan Nabi. Mereka juga senantiasa merawat tradisi kenabian dengan baik.
62Atas dasar ini,
61
Al-Dhahabi>, Siya>r A’la>m al-Nubala>, 4, 318. 62
Ibn Hamzah al-Dimashqi al-Ḥusaini, al-Bayān wa al-Ta’rīf fi Āsbāb al-
Pernyataan Ibn Ḥamzah al-Dimashqi di atas secara tidak langsung hendak
mengecualikan penggunaan hadis oleh para tabiin. Artinya, konteks historis yang
melatari penggunaan hadis oleh para tabiin berbeda dengan konteks historis yang
melatari penggunaan hadis oleh para Sahabat. Konteks penggunaan hadis oleh para tabiin tidak bisa menjadi sebuah instrumen atau perangkat metodologis dalam
memahami dan menjelaskan substansi hadis Nabi. Hal ini sangat diwajarkan, karena
otoritas mereka tidak sekuat generasi Sahabat yang pernah bergumul langsung dengan
Nabi, bahkan menyaksikan langsung proses turunnya wahyu kepada Nabi. Senada
111
al-Dimashqi seolah ingin menegaskan bahwa, meskipun sebuah hadis baru digunakan atau disampaikan kembali oleh para Sahabat untuk merespons
peristiwa tertentu pada era belakangan, tetapi konteks peristiwa yang melatari
mereka menyampaikan hadis tersebut sangat identik dengan konteks peristiwa yang melatari Nabi mengucapkannya untuk pertama kali. Karena apa yang
dilakukan oleh para Sahabat tentu didasarkan pada pengetahuan mereka tentang
konteks awal yang melatari Nabi mengucapkan hadis tersebut, sehingga tidak mungkin menyampaikannya kembali di luar konteks dan peristiwa yang sama.
Namun demikian, penulis menilai bahwa pandangan al-Dimashqi
tersebut tidak sepenuhnya dapat dibenarkan. Pada pembahasan sebelumnya, penulis telah bertungkus lumus mengurai secara elaboratif dinamika penggunaan
hadis oleh Sahabat Nabi. Temuan yang ada menunjukkan bahwa para Sahabat
sangat dinamis dalam menggunakan hadis Nabi dalam berbagai konteks dan
peristiwa yang beragam. Pasca wafatnya Nabi, mereka adakalanya menggunakan atau menyampaikan hadis Nabi dalam konteks yang berbeda dengan konteks
yang melatari Nabi mengucapkannya untuk pertama kali. Penulis
mengklasifikasi penggunaan hadis oleh para Sahabat menjadi tiga tipologi; Tekstualis, kontekstualis dan semi kontekstualis. Berangkat dari temuan ini, apa
yang ingin penulis tegaskan ialah, jika pada faktanya konteks historis yang
melatari penggunaan hadis oleh Sahabat Nabi tidak selalu sama dengan konteks historis yang melatari Nabi mengucapkannya untuk pertama kali, maka
implikasinya ialah bahwa konteks historis yang melatari penggunaan hadis oleh
Sahabat Nabi tidak sepenuhnya dapat menjadi sebuah instrumen atau perangkat
metodologis dalam memahami hadis itu sendiri. Hal ini secara otomatis potensial mendelegitimasi pandangan al-Dimashqi di atas.
Untuk mengukuhkan argumen di atas, penulis ingin menopangnya
dengan dua argumen lain, yaitu: Pertama, para Sahabat adakalanya tidak mendengar atau menyaksikan secara langsung diucapkannya sebuah hadis oleh
Nabi, melainkan hanya mendengar dari Sahabat lainnya. Hal ini terjadi, baik
karena usianya yang masih kecil, atau karena ia baru masuk Islam belakangan, atau boleh jadi ia tidak hadir pada saat Nabi menyampaikan sebuah hadis.
Sehingga, ia hanya meriwayatkannya dari Sahabat lain, bukan dari Nabi secara
langsung. Akan tetapi, ketika menyampaikannya kembali kepada yang lain, ia langsung menyandarkannya kepada Nabi, tanpa menyebut nama Sahabat tadi.
dengan itu, Abū Ḥanīfah pernah berkata bahwa, jika terdapat beragam informasi dari
para Sahabat tentang tradisi kenabian, maka boleh dipilih salah satunya tanpa harus
dikritisi karena semua laporan dan tradisi Sahabat dinilai orisinal. Sedangkan apabila
informasi tersebut datang dari para tabiin, maka harus dikritisi terlebih dahulu.
Pernyataan Abū Ḥanīfah tersebut, sekali lagi, hendak melegitimasi otoritas informasi
tentang tradisi kenabian yang datang dari para Sahabat. Penjelasan lebih lanjut terkait hal
ini, lihat ‗Abd al-Raḥmān bin Abī Bakr Jalāl al-Dīn al-Suyūṭi, Miftāḥ al-Jannah fi al-Iḥtijāj bi al-Sunnah (Madinah al-Munawwarah: al-Jami‘ah al-Islamiyah, 1989), 1, 45.
Lihat juga Ahmad Ubaydi Hasbillah, Nalar Tekstual Ahli Hadis; Akar Formula Kultur
Moderat Berbasis Tekstualisme (Ciputat: Maktabah Darussunnah, 2018), 172.
112
Inilah yang dalam ilmu hadis disebut dengan istilah mursal s}ah}abi>.63 Berpijak
pada fakta inilah penulis menilai bahwa seorang Sahabat boleh jadi tidak
mengetahui sabab al-wurud sebuah hadis. Sehingga, pada era belakangan, ia menyampaikannya kembali dalam konteks yang berbeda dengan konteks yang
melatari Nabi mengucapkannya untuk pertama kali.
Kedua, berpijak pada argumen pertama, penulis menilai bahwa penggunaan hadis oleh Sahabat Nabi adakalanya merupakan ijtihad mereka
sendiri. Sebagai sebuah ijtihad, tentu potensial terjadi kekeliruan. Meskipun para
Sahabat adalah generasi terbaik yang menyaksikan langsung proses turunnya
wahyu dan diucapkannya sebuah hadis oleh Nabi,—sehingga dianggap sebagai generasi yang paling mengerti tentang bagaimana semestinya ajaran Nabi
dipahami dan dipraktikan,—tetapi mereka bukanlah golongan manusia-manusia
suci yang sepenuhnya dapat terbebas dari kekeliruan. Tanpa bermaksud mengingkari sakralitas dan otoritas para Sahabat Nabi, penulis menilai bahwa
subjektivitas pemahaman dan penggunaan hadis sangat mungkin terjadi,
sehingga apa yang mereka lakukan tidak selalu merepresentasikan kehendak Nabi.
Sebagai contoh, pada uraian di atas, penulis telah mendiskusikan
bagaimana kemudian Abu> Bakrah (bukan Abu> Bakar) menggeneralisir atau menggunakan hadis berdasarkan keumumannya untuk merespons sebuah
peristiwa, baik hadis larangan mengangkat pemimpin perempuan, atau pun hadis
larangan saling membunuh sesama saudara Muslim. Bahkan, mengenai penggunaan hadis yang disebut terakhir ini, al-Kashmiri, tokoh hadis abad ke-14
hijriyah dengan berani mengatakan bahwa Abu> Bakrah telah menyampaikan
hadis tersebut tidak pada konteks yang semestinya,64
bahkan tampak kontradiktif dengan hadis lain. Begitu pula hadis mengenai larangan meratapi kematian, di
mana ‗Umar bin Khat}a>b, kata ‘A>’ishah, tidak mengetahui konteks diucapkannya
hadis tersebut oleh Nabi, sehingga ia menyampaikan kembali hadis tersebut di
luar konteks yang semestinya.
Sementara itu, pada bagian berikutnya, dapat dilihat bagaimana
kemudian Miswar bin Makhramah berusaha menarik pesan moral sebuah hadis,
meskipun digunakan dalam konteks yang berbeda dengan konteks yang melatari
Nabi mengucapkannya untuk pertama kali. Begitu pula ‗Abd Alla>h bin ‘Umar, di mana ia menyampaikan hadis Jibril yang secara substansial berisikan doktrin
teologis sebagai alasan mengapa ia tidak ikut serta dalam peperangan sesama
saudara Muslim. Semua itu merupakan bukti bahwa para Sahabat dalam banyak kasus memiliki sudut pandang berbeda dalam menyampaikan dan menggunakan
hadis Nabi dalam berbagai konteks dan peristiwa yang beragam. Perbedaan
tersebut, sekali lagi, tentu adakalanya didasarkan pada ijtihad.
63
Abu> H}afs} Mah}mu>d bin Ah}mad bin Mah}mu>d T}ah}h{an al-Nu’aymi>, Taysi>r Mus}t}alah al-H}adi>th (Maktabah al-Ma’a>rif li al-Nashr wa al-Tawzi>, 2004), 91.
Apa yang penulis katakan di atas mengafirmasi pandangan Fazlur Rahman bahwa hadis bisa saja lahir dari penafsiran dan ―penyesuaian‖ para
Sahabat atau generasi sesudahnya dengan situasi dan kondisi yang
mengitarinya.65
Rahman juga berpendapat, bahwa sikap dan kebijakan-kebijakan Nabi yang juga merupakan sunnahnya tidaklah dipandang secara kaku oleh
generasi Muslim awal. Mereka ini, menurut Rahman, menafsirkan sunnah Nabi
secara kreatif menjadi sunnah yang hidup untuk menghadapi faktor-faktor dan benturan-benturan baru. Sampai di sini, sekali lagi, bahwa penggunaan hadis di
kalangan Sahabat bersifat dinamis.
65 Fazlur Rahman, Islamic Metodology in History (Islamabad: Research
Institute, 1964), 85-147.
113
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah menelaah secara elaboratif beberapa hadis dalam kitab S}ah}i>h} al-Bukha>ri> dan mengkomparasikannya dengan sumber lain semisal literatur kesejarahan, penelitian ini tiba pada sebuah kesimpulan bahwa para Sahabat
sangat dinamis dalam menggunakan hadis Nabi dalam berbagai konteks yang
beragam, terutama ketika menghadapi berbagai peristiwa dan benturan-benturan baru yang tidak pernah dijumpai pada masa Nabi. Pasca wafatnya Nabi, mereka
adakalanya menggunakan atau menyampaikan hadis yang sama dalam konteks
yang berbeda dengan konteks yang melatari Nabi mengucapkannya untuk
pertama kali.
Dari beberapa contoh hadis yang telah ditelaah, penulis menemukan
bahwa penggunaan hadis oleh Sahabat Nabi sekurang-kurangnya terbagi menjadi tiga tipologi; Pertama, ialah tekstualis. Yaitu tipologi penggunaan hadis
yang terpaku pada makna literal teks hadis tanpa mempertimbangkan konteks
historis yang melatari Nabi mengucapkannya untuk pertama kali (sabab al-wuru>d). Individu—yang dalam hal ini adalah Sahabat—dengan tipologi seperti
ini cenderung memahami bahwa pesan-pesan kenabian yang terkandung dalam
teks hadis berlaku abadi tanpa terikat oleh konteks tertentu. Kedua, ialah kontekstualis. Yaitu tipologi penggunaan hadis di mana seorang Sahabat
terlebih dahulu mempertimbangkan konteks historis diucapkannya sebuah hadis
oleh Nabi. Sahabat dengan tipologi seperti ini cenderung melihat hadis dari berbagai aspeknya sebelum menyampaikannya kembali untuk merespons
peristiwa tertentu. Sedangkan ketiga, ialah semi kontekstualis. Yaitu tipologi
penggunaan hadis di mana seorang Sahabat berusaha menarik pesan moral di
balik teks hadis, meskipun konteks penggunaannya berbeda dengan konteks yang melatari Nabi mengucapkannya untuk pertama kali.
Sementara itu, implikasi dari temuan penelitian ini ialah, jika pada
faktanya penggunaan hadis oleh para Sahabat itu sangat dinamis, di mana mereka adakalanya menggunakan hadis yang sama dalam konteks yang berbeda
dengan konteks yang melatari Nabi mengucapkannya untuk pertama kali, maka
implikasinya ialah, bahwa konteks historis yang melatari penggunaan hadis oleh Sahabat tidak sepenuhnya dapat menjadi sebuah instrumen atau perangkat
metodologis dalam memahami hadis itu sendiri. Dalam bahasa yang lebih
sederhana, bahwa sabab al-i>ra>d tidak sepenuhnya dapat menggantikan fungsi
dan posisi sabab al-wuru>d sebagai instrumen dalam memahami hadis Nabi.
Alasannya, karena para Sahabat adakalanya hanya meriwayatkan hadis dari Sahabat lain, bukan dari Nabi secara langsung, sehingga boleh jadi mereka tidak
mengetahui konteks awal (sabab al-wuru>d) diucapkannya sebuah hadis oleh
Nabi. Ketidaktahuan mereka tentang sabab al-wuru>d sebuah hadis, pada akhirnya menyebabkan mereka menggeneralisir pesan hadis tersebut dan
114
menyampaikannya kembali dalam konteks yang berbeda. Alasan lainnya ialah,
bahwa penggunaan hadis oleh para Sahabat Nabi adakalanya merupakan ijtihad mereka sendiri. Sebagai sebuah ijtihad, tentu mereka bisa berbeda dalam
menggunakan dan menyampaikan sebuah hadis untuk merespons berbagai
peristiwa.
B. Saran
Apa yang telah penulis urai dalam penelitian ini tentu masih jauh dari
kata sempurna. Ada banyak ruang penelitian yang bisa diisi dan dilanjutkan oleh para peneliti hadis berikutnya. Beberapa tema yang bisa diteliti berikutnya
ialah; Pertama, penulis belum mengurai implikasi perbedaan penggunaan hadis
oleh para Sahabat dalam membentuk pola keberagamaan masyarakat Muslim.
Hal ini menarik dikaji, untuk melihat apakah yang demikian itu potensial melahirkan ekspresi keberagamaan masyarakat Muslim yang khas dan
distingtif?
Kedua, penulis juga sama sekali belum menyinggung implikasi
perbedaan penggunaan hadis oleh para Sahabat terhadap produk ijtihad yang
dihasilkan oleh para ulama. Karena, selain merujuk pada Alquran dan hadis-
hadis Nabi, para ulama juga menjadikan pandangan keagamaan para Sahabat sebagai salah satu rujukan dalam aktivitas berijtihad dan proses legislasi hukum
Islam. Sehingga, jika perbedaan konteks pengucapan dan penggunaan hadis
antara Nabi dan para Sahabatnya itu memang ada, lalu bagaimana para ulama menyikapi hal itu? Apakah hal itu akan memberi pengaruh terhadap produk
ijtihad yang dihasilkan?
115
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Abū Shuhbah, Muḥammad bin Muḥammad. Fi Riḥab al-Sunnah: al-Kutub al-Ṣiḥḥah al-Sittah. Kairo: Silsilah al-Buhūth al-Islamiyah, T.th.
_______. al-Wasīṭ fī Ulūm wa Muṣṭalaḥ al-Ḥadīth. Kuwait: ‗Ālam al-Ma‘rifah,
1983.
Abu> Shuhbah, Muh}ammad bin Muh}ammad bin Suwaylim. Al-Sirah al-
Nabawiyyah ‘ala > D}au’ al-Qura >n wa al-Sunnah. Damaskus: Da >r al-
Qalam, 1927 H.
Abū Zahw, Muḥammad Muḥammad. al-Ḥadīth wa al-Muḥaddithūn. Kairo: Dār
al-Fikr al-‗Arabi, 1378 H.
Abu> Rayyah, Mah}mu>d. Adwa> ala al-Sunnah al-Muh}ammadiyyah, Aw Difa>’ ‗an
al-Hadi>th. Kairo: Da>r al-Ma’a>rif, T.th.
Abu> ‗Amr ‗Uthma >n bin Abd al-Rah}ma >n bin S }ala>h}. Ma’rifah Anwa >’ ‘Ulu >m al-
H}adi >th. Beirut: Da >r al-Fikr, 1986.
Ah}mad, Yah}ya Isma’i<l. Asba>b Wuru>d al-H}adi><th li> Jala>l al-Di>n al-Suyut}i>: Tah}qi>qan wa Ta’li>qan wa Dira>satan. Beirut: Da>r al-Kutub ‘Ilmiyyah,
Anshor Bahary, Memahami Hadis Kepemimpinan Wanita (Studi Interpretasi
Hermeneutika Gender Khaled M. Abou El Fadl dalam
https://www.academia.edu/24062866/Memahami_Hadis_Kepemimpinan_Wanita_Studi_Interpretasi_Hermenetika-Gender_Khaled_M._Abou_El_Fadl(diakses pada 07-07-2020).