Top Banner
DINAMIKA PENGGUNAAN HADIS OLEH SAHABAT NABI Tesis Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister dalam Bidang Hadis dan Tradisi Kenabian pada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Oleh: Mujiburohman 21161200000022 Pembimbing: DR. Fuad Thohari, M.Ag PROGRAM STUDI PENGKAJIAN ISLAM SEKOLAH PASCASARJANA (SPs) UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2020
139

dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

Feb 25, 2023

Download

Documents

Khang Minh
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

DINAMIKA PENGGUNAAN HADIS OLEH SAHABAT NABI

Tesis

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister dalam

Bidang Hadis dan Tradisi Kenabian pada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta

Oleh:

Mujiburohman

21161200000022

Pembimbing:

DR. Fuad Thohari, M.Ag

PROGRAM STUDI PENGKAJIAN ISLAM

SEKOLAH PASCASARJANA (SPs)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2020

Page 2: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

i

UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillah. Puji syukur kehadirat Allah Swt, berkat rahmat dan

karunia-Nya karya ilmiah ini bisa saya selesaikan dalam rangka memperoleh

gelar akademik Magister Pengkajian Islam di Sekolah Pascasarjana (SPs) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat beserta salam

semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Besar Muhammad Saw, keluarga,

Sahabat dan generasi awal yang berkontribusi besar dalam transmisi dan

kontinuitas ajaran Islam. Sehingga cahaya Islam dapat terus terpancar di penghujung zaman ini.

Sebagai anak kampung yang terlahir dari keluarga sederhana, tentu

sebuah kebanggaan ketika saya bisa belajar dengan iklim akademik yang sangat menyenangkan di Sekolah Pascasarjana (SPs) Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta. Selain karena fasilitasnya yang memadai, hal lain yang

paling membanggakan adalah, karena tenaga pengajar di dalamnya bercokol sejumlah tokoh, ilmuwan, dan cendekiawan Muslim jebolan universitas-

universitas tersohor di planet bumi. Terlepas dari itu, harus diakui bahwa

penyelesaian studi ini tidak terlepas dari motivasi dan bantuan beberapa pihak. Oleh karenanya, pada kesempatan ini, saya ingin mengucapkan banyak terima

kasih kepada:

1. Segenap civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Prof. Dr.

Amany Burhanuddin Lubis, MA (Rektor), Prof. Dr. Asep Saepudin Jahar,

MA (Direktur Sekolah Pascasarjana), Prof. Didin Saefudin, MA (Ketua

Program Doktor), dan Dr. Arif Jamhari, MA (Ketua Program Magister) beserta seluruh jajaran SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Fu‘ad Tohari, MA, sebagai pembimbing yang—di tengah kesibukannya

sebagai Ketua Komisi Fatwa MUI DKI Jakarta—telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, masukan dan motivasi selama

penulisan tesis ini.

3. Seluruh dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Prof. Dr. Said Agil Husein al-Munawar, MA, Prof. Dr. M. Atho Muzhar, MSPD, Prof. Dr.

Azyumardi Azra, MA, Prof. Dr. Zainun Kamaluddin Fakih, MA, Dr. Fuad

Jabali, MA, dan sejumlah dosen lainnya yang turut membentuk bangunan

keilmuan saya. 4. Para dosen di Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta, terutama beberapa dosen

penghuni Sidratul Muntaha (lantai 7); Dr. Eva Nugraha, MA, Dr. Rifqi

Muhammad Fatkhi, MA dan beberapa dosen lainnya. Dari mereka inilah saya mulai belajar tentang kemandirian berpikir dan membangun daya kritis

dalam memahami kajian keislaman.

5. Guru-guru saya; Pertama, KH. Syuhrowardi (Pimpinan Ponsep Miftahul Huda). Dari beliaulah saya pertama kali belajar kitab-kitab klasik tentang

ilmu-ilmu dasar keislaman. Harus diakui, ilmu yang beliau ajarkan sangat

bermanfaat hingga hari ini. Haturnuhun Akang, semoga sehat selalu. Kedua,

Page 3: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

ii

KH. Omi Qozimi (Pimpinan Ponpes Darunna‘im). Dari beliau, saya bukan

hanya belajar ilmu-ilmu dasar keislaman, tetapi juga belajar tentang falsafah-falsafah hidup, kesungguhan, keyakinan dan lain sebagainya. Doa, nasihat

dan motivasi yang beliau berikan telah membangkitkan semangat agar terus

belajar dan menghabiskan bangku sekolahan. Ketiga, Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA (Pimpinan Darussunnah International Institute for

Hadith Sciences). Dari beliau, saya belajar ilmu hadis dan ilmu-ilmu

perangkatnya. Ilmu yang beliau ajarkan sedikit banyak telah merubah cara

pandang saya dalam memahami kajian keislaman. Begitu pula, kultur keilmuan dan semarak kajian di Darussunnah telah banyak menghilangkan

dahaga intelektual saya selama ini. Selain itu, masih ada beberapa guru

lainnya yang—tanpa mengurangi rasa hormat—tidak dapat saya sebutkan satu persatu.

6. Kedua orang tua saya; bapak Bahri dan ibu Uus Husniah yang terus

memotivasi agar studi ini segera selesai. Demikian juga kepada kakak dan

adik saya; Bakhtiar Rifa‘i, Agus Soleh, Hayatunnufus dan Pakhrudin. Mereka bukan hanya memberi dukungan secara moril, tetapi juga sangat

peduli terutama ketika saya tumbang/jatuh sakit pasca penyelesaian studi ini.

Secara khusus, saya juga ingin mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada istri tercinta, Merliana Saputri, yang telah banyak membantu dan

memotivasi hingga selesainya studi ini. Semoga kehidupan kami selalu

diberkahi Allah SWT. 7. Rekan-rekan di el-Bukhari Institute; Abdul Karim Munthe, Mas Choi,

Hengky Ferdiansyah, Misbahuddin, Masrur Irsyadi, Fahmi Suhudi, Izul,

Alfian Mushafi, Asep Rofiuddin dan beberapa yang lainnya. Berdiksusi

dengan mereka memberikan banyak inspirasi. Demikian juga kepada rekan-rekan SPs UIN Jakarta; Umam, Ahzen, Bindaniji, Amirul Mutaqin, Riyan,

Khalid, Anam, Mujizatullah Damopoli, Shalihatudz Dzikriyyah, dan

beberapa yang lainnya. Ngaliweut bersama mereka sungguh menyenangkan dan mengenyangkan. Selain beberapa nama di atas, saya juga wajib

mengucapkan terima kasih kepada sahabat saya, Ahmad Nurfu‘ad, yang

telah banyak membantu terutama di saat sulit selama studi ini berlangsung. Jazakumullah khayran katsira.

Akhirnya, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak

yang telah membantu penyelesaian studi ini. Tiada gading yang tak retak, begitu juga karya ini. Oleh karenanya, saran dan kritik yang konstruktif sangat penulis

harapkan. Wassalamu’alaikum. Wr.Wb.

Ciputat, 07 Agustus 2020

Penulis,

Mujiburohman

Page 4: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

v

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

1. Konsonan

Huruf Arab Nama Huruf Latin

Alif a ا

Ba b ب

Ta t ت

Tha th ث

Jim j ج

H{a h} ح

Kha kh خ

Dal d د

Dhal dh ذ

Ra r ر

Zay z ز

Sin s س

Shin sh ش

{S}ad s ص

}Dad{ d ض

T{a t} ط

Z{a z} ظ

‘ Ayn‘ ع

Ghayn gh غ

Fa f ؼ

Qaf q ؽ

Page 5: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

vi

Kaf k ؾ

Lam l ؿ

Mim m ـ

Nun n ف

Wawu w و

Ha h ىػ

Ya y ي

2. Vokal

Seperti halnya bahasa Indonesia, vokal dalam bahasa Arab meliputi:

vokal tunggal [monoftong] dan vokal rangkap [diftong].

a. Monoftong

Tanda Nama Huruf Latin

Fath}ah a ـــــ

Kasrah I ـــــ

D}ammah u ـــــ

b. Diftong

Tanda dan Huruf Nama Gabungan Huruf

Fath}ah dan Ya ay ـــــي

Fath}ah dan Wawu aw ــــــو

3. Maddah

Harkat dan Huruf Nama Huruf dan Tanda

ــى ـاـــــــــ Fath}ah dan Alif atau ــــــ

Ya

a>

<Kasrah dan Ya i ـــــي

و <D}ammah dan Wawu u ــــــ

4. Ta Marbut}ah

Ta Marbut}ah yang berharakat sukun (mati) dan diikuti kata lain [dalam

istilah bahasa Arabnya posisinya sebagai mud}a>f], maka transliterasinya t. Akan

Page 6: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

vii

tetapi, apabila tidak diikuti dengan kata lain atau bukan sebagai posisi mud}a>f, maka menggunakan h. Contoh:

ـ al-Bi>’ah اال ػـػػػػػػػػػػػػػػػ

Kulli>yat al-A<da>b يـااداب

Page 7: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

viii

DAFTAR ISI

UCAPAN TERIMA KASIH .............................................................. i

PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI................................................... iii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING......................................... vi

PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................................ v

DAFTAR ISI ...................................................................................... vi

BAB I PENDAHULUAN ................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1

B. Permasalahan .......................................................................... 9

1. Identifikasi Masalah .......................................................... 9

2. Perumusan Masalah .......................................................... 11

3. Pembatasan Masalah ......................................................... 11

C. Tujuan Penelitian .................................................................... 11

D. Manfaat dan Signifikansi Penelitian ......................................... 12

E. Penelitian Terdahulu yang Relevan .......................................... 12

F. Metode dan Pendekatan Penelitian ........................................... 16

1. Jenis Penelitian ................................................................. 16

2. Sumber Data ..................................................................... 16

3. Metode Pengumpulan Data................................................ 17

4. Metode Analisis Data ........................................................ 17

5. Pendekatan Penelitian ....................................................... 17

G. Sistematika Penulisan .............................................................. 18

BAB II DISKURSUS SEPUTAR PERIWAYATAN HADIS .......... 20

A. Hadis sebagai Jantung Kontestasi ............................................ 20

B. Sabab al-Wuru>d dan Sabab al-I><ra>d: Konteks Historis

Periwayatan Hadis ................................................................... 26

C. Riwayat Bi al-Ma’na>: Preseden Fleksibelitas Periwayatan

Hadis ....................................................................................... 35

BAB III SAKRALITAS DAN OTORITAS SAHABAT NABI ......... 46

A. Sakralitas Sahabat Nabi: Perdebatan yang Tak Pernah Usai ..... 46

B. Sahabat sebagai Imitator Tradisi Kenabian .............................. 59

C. Sahabat sebagai Mediator Pertama Tradisi Kenabian ............... 66

D. Sahabat sebagai Representasi Ajaran Nabi ............................... 72

BAB IV PENGGUNAAN HADIS OLEH SAHABAT NABI:

TIPOLOGI DAN IMPLIKASI ........................................... 79

A. Tipologi Penggunaan Hadis oleh Sahabat Nabi ........................ 79

1. Tekstual ............................................................................ 80

2. Kontekstual ....................................................................... 92

Page 8: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

ix

3. Semi Kontekstual .............................................................. 98

B. Disparitas Konteks Penggunaan Hadis oleh Sahabat Nabi:

Menyoal Implikasi ................................................................... 109

BAB VI PENUTUP ............................................................................ 113

A. Kesimpulan ............................................................................. 113

B. Saran ....................................................................................... 114

Page 9: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Empat belas abad silam, ‗Ali bin Abī Ṭālib (w. 40 H) secara eksplisit

pernah mengatakan kepada sekte Khawarij bahwa: ―Alquran yang tertulis dalam

lembaran mushaf itu tidaklah berbicara dengan sendirinya, melainkan

manusialah yang berbicara dengan mengatasnamakan Alquran (wa hādha> al-Qurān innamā huwa khaṭṭun masṭūrun bayna dafatayni la yanṭiqu bi lisānin innamā yatakallamu bihi al-rijāl).‖1

Pernyataan ini sesungguhnya hendak

menegaskan satu hal penting, bahwa Alquran adalah teks mati yang tidak

berbicara dengan sendirinya. Sebagai teks mati, Alquran menerima berbagai kemungkinan penafsiran dan pemaknaan dari berbagai mazhab, aliran dan

kelompok keagamaan yang berbeda. Sehingga, pada saat yang sama, Alquran

potensial dikutip oleh siapa pun dan untuk kepentingan apa pun. Mengutip pernyataan Nur Rofi‘ah, bahwa Alquran selalu berada dalam arena perebutan

makna.2

Seperti halnya teks suci Alquran, penulis memandang bahwa hal yang sama juga erat kaitannya dengan teks hadis. Karena,—sebagaimana dikatakan

Fazlur Rahman—pasca wafatnya Nabi, para Sahabat3 yang semula

memosisikannya sebagai otoritas utama tempat mengkonfirmasi berbagai persoalan keagamaan—termasuk di antaranya menanyakan maksud dan

1 ‘Ali bin Abī Ṭālib mengucapkan pernyataan di atas pada saat menghadapi

sekte Khawarij yang menginginkan kebenaran tunggal dalam konteks penerapan hukum

Allah. Mereka mengampanyekan semboyan ―Lā ḥukma illā lillāh‖. ‗Ali kemudian

meresponsnya dengan mengatakan bahwa hukum Allah itu multi tafsir, sehingga tidak

bisa menganggap benar yang satu, namun pada saat yang sama menafikan atau

mendisfungsikan yang lain yang juga sama-sama berpijak pada pada ayat-ayat Allah.

Penjelasan lebih detail tentang dialog antara ‗Ali dan sekte Khawarij ini, dapat lihat

dalam karya Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabāri>, Tārīkh al-Rusul wa al-Mulūk (Beirut: Dār

al-Turāth, T.th), 5, 66. Lihat juga ‗Izz al-Dīn bin al-Athīr al-Shayba>ni>, al-Kāmil fi al-

Tārīkh (Beirut: Dār al-Kita>b al-‗Arabiy, 1997), 2, 680. 2 Nur Rofi‘ah, ―Hermeneutika Alquran:Melacak Akar Problem Krusial

Penafsiran‖, dalam Mimbar: Jurnal Agama dan Budaya, Vol. 24, No. 1, 2007, 18. 3 Para ulama klasik berbeda pendapat dalam mendefinisikan Sahabat. Namun,

definisi yang dinilai paling kuat dan paling umum dirujuk ialah sebagaimana

dikemukakan Ibn H}ajar al-‘Asqala>ni bahwa Sahabat adalah orang yang semasa hidupnya pernah bertemu Nabi dalam keadaan Islam dan wafat dalam keadaan Islam.

Selengkapnya, lihat ‗Abd al-Raḥmān bin Abī Bakr Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, Tadrīb al-Rāwī

fī Sharḥ Taqrīb al-Nawāwī (Beirut: Dār Ṭayyibah, t.th), 2, 667. Lihat juga Abu> al-Fad}l

Ibn H}ajar al-‘Asqala>ni, al-Is}a>bah fi> Tamyi>z al-S}ah}a>bah (Beirut: Da>r al-Kutub al-

‘Ilmiyyah, 1415 H), 1, 8.

Page 10: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

2

kandungan hadis4— ketika itu mau tidak mau harus berpikir keras menafsirkan

sendiri ajaran-ajaran Nabi dalam ketiadaan bimbingan langsung darinya.5

Konsekuensi logisnya ialah, pemahaman dan penggunaan teks-teks agama—

terutama hadis—yang dilakukan para Sahabat adakalanya menjadi subjektif, karena yang demikian itu boleh jadi merupakan hasil kontekstualisasi dan ijtihad

kreatif mereka yang—selain tidak sepenuhnya dapat mewakili kehendak Nabi

(mura>d al-nabi)—juga sangat mungkin terjadi perbedaan antara satu Sahabat dengan yang lainnya. Berpijak pada logika tersebut, penulis ingin mengatakan

bahwa hadis Nabi yang terkodifikasi dalam sejumlah kitab primer itu tidaklah

berbicara dengan sendirinya, melainkan manusialah yang berbicara atas nama Nabi.

Potensi perbedaan pengutipan dan penggunaan hadis di kalangan para

Sahabat dapat terjadi, terutama karena berbagai peristiwa dan pengalaman yang mereka alami juga berbeda. Pada titik ini, penulis berada dalam dugaan kuat

bahwa—karena satu dan lain hal—para Sahabat sangat mungkin menyampaikan

hadis yang sama dalam konteks dan peristiwa yang beragam, yang boleh jadi berbeda dengan konteks yang melatari Nabi mengucapkannya untuk pertama

kali. Inilah alasan mendasar kenapa penulis memosisikan hadis sebagai teks mati

seperti halnya Alquran. Karena posisinya yang demikian itulah sebuah hadis bisa

dimaknai, dikutip atau digunakan secara berbeda oleh individu atau kelompok yang berbeda.

6

4 Sebagai contoh, dapat dilihat pada hadis berikut.

يا رسوؿ اهلل، وما : ل قعربي، قاؿ: يا رسوؿ اهلل، من أىل اانار؟ قاؿ: أف رجال قاؿ)عن أيب عامر .(ااشديد ع ى األىل، ااشديد ع ى ااعشرية، ااشديد ع ى ااصاحب: ااقعربي؟ قاؿ

Dari Abu> ‗A>mir, bahwa ada seorang lelaki bertanya kepada Nabi, ― Wahai

rasulullah, siapakah ahli neraka itu? Nabi menjawab: Setiap qa’bariy. Lelaki tersebut

bertanya lagi, apa itu qa’bariy? Beliau menjawab: yaitu orang yang keras kepala kepada keluarganya dan temannya.

Hadis di atas adalah contoh ketika para Sahabat mengkonfirmasi langsung

kepada Nabi tentang makna dan kandungan hadis yang tidak dapat dipahami. Menurut

al-Khat}t}a>bi>, kata ‚qa’bariy‛ adalah kosa kata asing yang biasa dipakai oleh orang Arab

pedalaman. Kata tersebut tidak diketahui oleh para Sahabat, sehingga ketika Nabi

menggunakan kata tersebut dalam hadisnya, seorang Sahabat yang mendengarnya tidak

dapat memahaminya. Selengkapnya, lihat Abu> Sulayma>n Ah}mad bin Muh}ammad bin

Ibra>hi>mal-Khat}t}a>bi>, Ghari>b al-Hadi>th (Beirut: Da>r al-Fikr, 1982), I, 66. Lihat juga Abu >

Bakr bin Abi > ‗A>s}im al-Shayba>ni>, al-Ah}a>d wa al-Matha>ni> (Riyad: Da>r al-Rayah, 1991),

5, 277. 5 Selengkapnya, lihat Fazlur Rahman, Islam,terj, Ahsin Muhamad (Bandung:

Pustaka, 2003), 51. 6 Sebagai contoh ialah perbedaan pemaknaan hadis Ghadir Khum, yaitu hadis

tentang perkataan Nabi bahwa ‗Ali> bin Abi > T>}a>lib adalah mawla-nya yang disampaikan di

suatu tempat bernama Ghadir Khum. Hadis tersebut berbunyi ―Man kuntu mawlāhu fa

‘aliyyun mawlāhu‖(Siapa saja yang menjadikan aku sebagai mawla-nya, maka ‗Ali> adalah mawla-nya). Hadis ini, boleh jadi merupakan salah satu faktor yang

mengakibatkan umat Islam di dunia seolah terpecah menjadi dua kubu, Sunni dan

Syi‘ah. Secara referensial, hadis tersebut dapat ditemukan, baik dalam literatur hadis

Page 11: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

3

Hadis atau sunnah Nabi,7 sebagaimana diketahui bersama, menempati

posisi yang sangat sentral dalam kehidupan umat Islam. Demikian kuatnya

otoritas dan sakralitas hadis dalam Islam, sehingga ia selalu saja dirujuk, dikutip,

bahkan dalam beberapa kasus dipelintir sembari dicerabut dari konteks historisnya. Hal itu kerap dilakukan, baik oleh individu ataupun kelompok

tertentu dalam Islam, baik untuk menjelaskan kandungan wahyu,8 ataupun untuk

melegitimasi berbagai kepentingan.9

Sunni maupun Syi‘ah, dan kedunya sama-sama mengakui otentisitasnya. Akan tetapi,

persoalannya bermuara pada pemaknaan redaksi ―mawla‖ yang secara substansial

memiliki implikasi yang berbeda. Bagi kalangan Sunni, kata tersebut memiliki banyak

arti, salah satunya adalah pelindung. Sementara menurut kalangan Syi‘ah, kata tersebut

bermakna khalifah. Sehingga, mereka berpendapat bahwa makna hadis tersebut sangat

jelas, menunjukkan pengangkatan ‗Ali> sebagai khalifah pengganti Nabi. Selengkapnya, lihat Izzudin Washil dan Ahmad Khoirul Fata, Hadis Ghadir Khum dalam Pandangan

Syi’ah dan Sunnah, dalam al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu Al-Quran dan Hadis, Vol. 12,

No. 1, Juni 2018, 51-74. 7 Dalam penelitian ini, penulis tidak membedakan antara term hadis dan sunnah

sebagaimana definisi mainstream umat Islam. Mengamini pendapat mayoritas ulama,

terutama ahli hadis, kedua term tersebut penulis anggap sebagai sinonim, yaitu segala hal

yang disandarkan kepada Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan dan sifat-

sifatnya. Lihat Abu> Layth Khayr Aba>d, Ittijāhāt fi Dirāsah al-Sunnah; Qadīmuhā wa

‘Aṣīruhā (Beirut: Muasasah al-Risa>lah, 2010), 12. Lihat juga Muḥammad bin

Muḥammad Abū Shuhbah, Fi> Riḥab al-Sunnah: al-Kutub al-Ṣiḥḥah al-Sittah (Kairo:

Silsilah al-Buhūth al-Islamiyah, T.th), 10. Hal itu berbeda dengan pandangan beberapa sarjana kontemporer yang

membedakan keduanya. Sebut saja misalnya Fazlur Rahman 1919-1988), yang

mendefinisikan sunnah sebagai tradisi yang hidup dan berlangsung pada generasi awal

yang ditransmisikan secara non verbal dari Nabi. Sedangkan hadis adalah transmisi

verbal atas sunnah itu sendiri. Selengkapnya, lihat Fazlur Rahman, Islam,68-70. Senada

dengan itu, M. Amin Abdullah sebagaimana dikutip Fasjud Syukroni menegaskan, telah

terjadi proses pembakuan dan pembekuan terhadap pemahaman dan pemaknaan sunnah.

Perubahan tersebut dari tradisi lisan yang hidup, longgar dan fleksibel menjadi tradisi

tertulis yang baku dan kaku pada abad ke-2 dan ke-3 H. Lihat Fasjud Syukroni, Melacak

Format Evolusi Pemahaman Kritis Sunnah-Hadis Muhammad Shahrur (Jakarta: Tesis

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017), 5. 8 Dalam tradisi penafsiran Alquran, misalnya, prosesi penafsiran yang berbasis

pada riwayat hadis dianggap paling otoritatif dan diposisikan sebagai salah satu bentuk

penafsiran terbaik yang kemudian dikenal dengan istilah tafsir bi al-ma’thūr. Model

penafsiran semacam ini banyak digunakan oleh para mufassir klasik. Lihat misalnya,

Tafsir Jāmi’al-Bayān an Ta’wīl Ayin min al-Qurān karya Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabārī,

Tafsīr al-Quran al-Azīm karya Ibn Kathīr, Tafsīr Dur al-Manthūr fī al-Tafsīr bi al-

Ma’thūr karya Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī dan lain sebagainya. 9 Nasarudin Umar menceritakan tentang suatu pemandangan menarik di sebuah

pasar tradisional di Timur Tengah. Ada penjual madu yang dagangannya laris manis

karena dipoles dengan hadis, ditambah dengan ayat yang dikutip dari surat al-Nah}l (lebah madu). Hadis tentang madu yang dikutip adalah, ―al-‘Asalu dawā’un likulli dā’in

(madu mengobati berbagai macam penyakit. Penjual madu tersebut meneriakkan hadis

tersebut di tengah keramaian pasar, sehingga dalam waktu singkat dagangannya habis.

Page 12: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

4

Lalu pertanyaannya, kenapa individu atau berbagai kelompok tersebut hampir selalu mengutip hadis—selain Alquran? Ini tak lain karena alat legitimasi

terkuat dalam Islam—setelah Alquran—adalah hadis Nabi. Perkataan dan

perbuatan apa pun yang dibungkus dengan kutipan hadis Nabi akan dianggap otoritatif dan sakral, sehingga sangatlah wajar jika individu atau berbagai

kelompok dalam Islam kerap kali bernaung di bawah otoritas hadis. Seseorang

yang dalam sebuah perdebatan mengutip hadis Nabi, terkadang menjadikan pendapatnya seolah mutlak benar, karena di belakangnya ada Nabi yang

mendukung pendapatnya, sehingga siapa pun yang kontra dengan pendapatnya

akan dianggap telah mengingkari ajaran Nabi. Selanjutnya, orang yang

mengingkari ajaran Nabi dianggap telah melakukan dosa besar. Sampai di sini, dapat dikatakan betapa hadis Nabi seperti halnya teks kitab suci, seolah

menjadi—meminjam istilah filosof Amerika Richard Rorty—―pamungkas

diskusi (conversation stopper)‖.10

Dinamika penggunaan teks-teks agama dengan berbagai varian dan

kepentingan yang menyertainya menampilkan berbagai bentuk yang kompleks

dan beragam. Keragaman tersebut, pada saat yang sama, tidak saja merefleksikan corak dan ekspresi keberagamaan seseorang, tetapi juga

mencerminkan paradigma yang bersangkutan dalam memahami teks agama itu

sendiri. Dengan ungkapan yang lebih sederhana, pola penggunaan seseorang terhadap teks-teks agama (baik Alquran maupun hadis) dapat menjadi sebuah

indikator untuk mengetahui pola pemahamannya terhadap teks-teks agama itu

sendiri. Kendati demikian, tentu saja antara penggunaan dan pemahaman

merupakan dua hal yang berbeda.

Seperti halnya pola pemahaman terhadap dalil-dalil agama, dalam

kaitannya dengan penggunaan hadis, sekurang-kurangnya ada dua tipologi

kelompok yang berkembang; Pertama, ialah kelompok yang mengutip hadis tanpa terlebih dahulu mempertimbangkan konteks historis yang melatari

kemunculannya ke atas panggung sejarah. Beberapa pertanyaan kunci semisal,

dalam konteks apa Nabi bersabda? Kenapa ia bersabda? Kapan, di mana, dan kepada siapa ia bersabda? Apa kapasitas Nabi ketika bersabda? Dan lain

sebagainya, tidak menjadi pertimbangan bagi kelompok ini. Bagi mereka, pesan-

pesan kenabian berlaku abadi sepanjang masa tanpa terikat oleh konteks tertentu. Terlebih, bagi segelintir orang, ketika makna literal teks hadis sesuai dengan

Fenomena menarik lainnya adalah, ketika Megawati Soekarno Putri mencalonkan diri

sebagai presiden, sebuah spanduk raksasa terpampang di sebuah kampus besar. Spanduk

itu bertuliskan hadis ―Lan yufliḥa qawmun wallau amrahum imra’atan‖(Tidak akan

beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada kaum perempuan).

Selengkapnya, lihat Nasarudin Umar, ―Politisasi Ayat dan hadis‖ dalam

https://mediaindonesia.com/read/detail/157480-politisasi-ayat-dan-hadis. (Artikel ini

diakses pada 20 Januari 2020). 10

Istilah tersebut, penulis kutip dari artikel Ulil Abshar Abdalla, ―Politik

Mengutip Ayat dan Kekacauan Efistemologis‖ dalam http://islamlib.com/gagasan/islam-

liberal/politik-mengutip-ayat-dan-kekacauan-epistemologis. (Artikel ini diakses pada 20

Januari 2020).

Page 13: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

5

selera dan kepentingannya, mereka akan mengutip dan merebutnya sebagai basis legitimasi.

11 Sehingga, mereka sering kali menggunakan hadis meskipun dalam

konteks yang berbeda dengan konteks yang melatari Nabi mengucapkannya

untuk pertama kali. Tipologi kelompok semacam ini biasanya disebut sebagai tekstualis.

Kedua, ialah kelompok yang mengutip hadis dengan terlebih dahulu

mempertimbangkan konteks historis kemunculannya ke atas panggung sejarah. Kelompok ini biasanya hanya mengutip hadis dalam konteks yang sama dengan

konteks yang melatari Nabi mengucapkannya untuk pertama kali. Meski mereka

hidup di abad dua puluh satu,—yang realitasnya tentu saja sangat jauh berbeda dengan realitas abad ketujuh Masehi di mana Islam muncul untuk pertama kali—

namun mereka berusaha sebisa mungkin untuk tetap setia menjaga teks hadis

beserta konteksnya agar tidak berpisah, sehingga mereka hanya akan mengutip

sebuah hadis ketika menghadapi suatu persoalan yang menurutnya sama dengan persoalan yang pernah melatari Nabi ketika mengucapkan hadis tersebut. Dalam

tradisi kesarjanaan Islam modern, kelompok dengan tipologi semacam ini

biasanya disebut sebagai kontekstualis.

Dari kedua tipologi di atas, tipologi pertama adalah yang paling dominan

dalam dinamika keberagamaan umat Islam saat ini. Dengan kata lain, bahwa

ekspresi keberagamaan umat Islam saat ini sangat didominasi oleh kecenderungan tekstualistik. Kecenderungan ini boleh jadi dapat dijumpai

hampir dalam setiap kelompok keagamaan dengan berbagai ekspresi dan

variannya yang beragam. Salah satu persoalan penting yang harus segera dikemukakan di sini ialah, bahwa kelompok tekstualis ini sering kali

mendasarkan ekspresi keberagamaannya pada model keberagamaan generasi

awal Islam, terutama generasi Sahabat. Generasi Sahabat, sebagaimana diketahui

bersama, menempati suatu posisi yang sangat penting dalam Islam. Pasalnya,—

sebagaimana dikatakan Ibn Abī Ḥātim al-Rāzi> (w 327 H),—para Sahabat tidak

saja hidup dan bergumul langsung dengan Nabi dalam berbagai dimensi kehidupan, tetapi juga menyaksikan langsung proses turunnya wahyu kepada

Nabi. Sehingga, wajar jika mereka dianggap sebagai generasi yang paling

mengerti tentang bagaimana semestinya ajaran Islam dipahami dan dipraktikkan

dalam kehidupan.12

11 Bahkan, sebagaimana dikemukakan Fazlur Rahman, orang-orang yang benar-

benar skeptis terhadap hadis pun terpaksa mencari legitimasi bagi kepentingannya

dengan cara mengutip hadis, terutama bila hadis tersebut cocok dengan pandangannya.

Selengkapnya, lihat Fazlur Rahman, Islam, 88. Terlepas dari itu, penulis tidak

bermaksud menggeneralisir bahwa tekstualisme penggunaan hadis selalu dilatari oleh

kepentingan tertentu, karena ada sebagian kalangan yang meyakini bahwa pesan-pesan

kenabian berlaku abadi. 12 Ibn Abī Ḥātim al-Rāzi>, al-Jarḥ wal-al-Ta’dīl (Beirut: Dār Iḥya al-Turāth al-

‗Arabi, 1952), 1, 7. Di antara para Sahabat yang menarik didiskusikan adalah ‗Umar bin

Khat}t}a>b, yang oleh Nabi semasa hidupnya pernah disebut sebagai seorang yang paling mungkin menjadi Nabi seandainya pintu kenabian masih dibuka. Dalam pandangan

Page 14: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

6

Para Sahabat juga dianggap sebagai generasi yang paling mirip dengan

Nabi (ashbah al-na>s bi rasu>lilla>h shalla Allah ‘alayhi wa sallam), baik dari segi

perkataan, perbuatan, akhlak, kebiasaan, ibadah, pergaulan, dan lain sebagainya. Sehingga, wajar jika umat Islam diperintahkan untuk mengikuti mereka dalam

berbagai hal. Hal itu ditegaskan langsung oleh Nabi bahwa suatu saat nanti umat

Islam akan terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, dan yang akan

selamat hanyalah mereka yang mengikuti Nabi dan para Sahabatnya (ma> ana>‘alayhi wa as}h}a>bi>).13

Selain itu, mereka juga merupakan generasi yang paling

tahu mengenai faktor peristiwa atau latar historis yang melatari sabda Nabi. Misalnya, dalam konteks apa Nabi bersabda? Kenapa ia bersabda? Kapan, di

mana, dan kepada siapa ia bersabda? Dan lain sebagainya. Hal-hal partikular

semacam itu, hanya dapat diketahui melalui riwayat dan penuturan para sahabat

Nabi. Bahkan, Ibn H}ajar al-‗Asqala >ni> (w 852 H) pernah mengatakan bahwa

untuk dapat mengamalkan ajaran Islam dengan baik meniscayakan pengetahuan

yang luas, tidak saja mengenai kehidupan Nabi, tetapi juga mengenai kehidupan generasi Sahabat.

14

Sampai di sini, dapat dipahami betapa pentingnya pengetahuan tentang

kehidupan generasi Islam awal, sehingga mendorong umat Islam yang hidup pada generasi berikutnya untuk mengikuti dan meniru model keberagamaan

mereka. Salah satu fenomena yang menarik ialah, belakangan ini banyak

dijumpai seruan dan gerakan yang mengajak umat Islam agar kembali kepada model keberagamaan generasi terbaik itu. Sebagian kelompok Muslim

konservatif, berupaya mengembangkan suatu gagasan tentang pentingnya

membangkitkan kembali spirit salaf al-s}a>lih} (kaum shalih terdahulu), suatu istilah yang biasanya disematkan pada tiga generasi terbaik itu. Perhatian kepada

generasi salaf tersebut sedemikian tinggi, hingga mereka menyebut diri sebagai

‗Umar, kebesaran Nabi bukan hanya semata-mata karena kepribadiannya, tetapi lebih-

lebih karena kenyataan bahwa Nabi Muhammad telah ditunjuk oleh Allah untuk

menerima wahyu-Nya. Karena caranya memandang Nabi seperti itulah, sejarah mencatat

bahwa ‗Umar adalah sahabat Nabi yang sekalipun sangat hormat kepadanya, namun

tidak segan-segan mengajukan keberatan kepada gagasan atau tindakan Nabi jika dirasa

olehnya bahwa Nabi berpikir atau bertindak atas kemauannya sendiri, bukan atas

petunjuk langsung dari Tuhan. Dalam ilmu tafsir diketahui tentang adanya beberapa ayat

yang turun tidak untuk mendukung gagasan tertentu Nabi, melainkan gagasan ‗Umar.

‗Umar, dalam pandangan Nurcholis Madjid, adalah Sahabat yang paling kreatif.

Kreativitas itu memberi kesan kuat bahwa ‗Umar, sekalipun beriman teguh, namun tidak

dogmatis. Umar adalah seorang beriman yang intelektual, yang dengan intelektualitasnya itu berani mengemukakan ide-ide dan melaksanakan tindakan inovatif yang sebelumnya

tidak dicontohkan oleh Nabi. Pendek kata, ‗Umar adalah Sahabat yang paling mengerti

keinginan Nabi. Selengkapnya, lihat Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam

(Jakarta: PT Bulan Bintang, 2007), 3. 13

Sa‘ad bin Sayid Qut}b al-Sha>l, Ada>b al-Ikhtila>f bayn al-S}ah}a>bah wa

Atha>ruhu> ‘ala al-wa>qi’ al-Isla>miy, 176. Hadis di atas dapat dilihat dalam Abu> ‘Isa> al-

Tirmidhi>, Sunan al-Tirmidhi> (Beirut: Da>r al-Gharb al-Isla>mi>, 1998), 4, 323. 14

Pernyataan tersebut sebagaimana dikutip Fuad Jabali, Sahabat Nabi, 97.

Page 15: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

7

salafiyyu>n (pengikut kaum salaf) dan gerakan mereka sebagai salafiyyah.15

Bahkan, gerakan ini telah menjelma menjadi kekuatan reformasi paling

berpengaruh di era modern. Mereka memang berbeda pendapat tentang batasan

periode yang dapat digolongkan sebagai salaf al-s}a>lih} tersebut. Namun

demikian, mereka bersepakat tentang pentingnya meniru generasi pertama Islam

sebagai sebuah standar kehidupan yang diidamkan.16

Tak hanya itu, di kalangan para pembaru Muslim modern pun, semangat

untuk menghidupkan kembali api Islam kaum salaf itu tampak cukup kuat.

Beberapa konsep kunci dalam diskursus pemikiran Islam modern seperti tajdi>d

(pembaruan) ih}ya> (revival) dan isla>h} (reformasi) kerap kali digaungkan dengan

upaya merekonstruksi dan menghidupkan kembali spirit Islamnya kaum salaf al-

s}a>lih}. Fenomena ini memperlihatkan betapa pentingnya pembahasan tentang

Islam awal dalam diskursus keberagamaan umat Islam kontemporer. Lalu,

bagaimana sebetulnya bentuk dan watak Islam awal itu? Bagaimana corak dan ekspresi mereka dalam beragama? Apakah cenderung monolitik dan kaku,

ataukah sangat fleksibel dan dinamis? Selanjutnya, bagaimana pola interaksi

mereka dengan hadis atau sunnah Nabi, terutama kaitannya dengan pola

penggunaan hadis? Hal inilah yang menarik untuk dikaji.

Sebagaimana telah disinggung pada awal pembahasan di atas, penulis

berasumsi bahwa karena satu dan lain hal, para Sahabat sangat mungkin

mengutip atau menyampaikan hadis yang sama dalam konteks dan peristiwa yang beragam, yang boleh jadi berbeda dengan konteks yang melatari Nabi

mengucapkannya untuk pertama kali. Dengan kata lain, penulis berasumsi

bahwa penggunaan hadis yang dilakukan para Sahabat sangatlah dinamis. Namun, jauh sebelum penulis mengasumsikan hal itu, sarjana Muslim progresif

seperti Fazlur Rahman juga pernah mengatakan hal yang hampir sama. Rahman

mengakui eksistensi hadis sebagai sesuatu yang berasal dari Nabi, namun baginya tidak berarti hadis memiliki kandungan otentik yang sama persis

sebagaimana yang dikatakan oleh Nabi. Dalam pandangan Rahman, hadis bisa

15 Penyebutan salaf al-s}a>lih} diinspirasi oleh sebuah hadis yang menyebutkan,

―Sebaik-baiknya umatku adalah yang hidup semasa dengan abadku, lalu abad setelahku dan abad setelahnya‖. Legitimasi dalam teks ini membuat semua kelompok dalam Islam

mengklaim sebagai pengikut salaf al-s}a>lih}, terutama kaum salafi. Semangat untuk

mengikuti generasi emas itulah yang secara otomatis melahirkan sikap-sikap religius

yang khas. Semua aspek keagamaan yang dimulai dari teologi, fiqih, kaidah berpikir,

berpakaian, dan atribut-atribut keseharian lainnya diharuskan mengikuti apa yang

dinamakan manhaj salaf. Tidak jarang pembacaan teks yang dilakukan akhirnya

mengabaikan konteks yang melatarbelakangi kemunculan teks tersebut. Lihat Arrazy

Hasyim, Teologi Muslim Puritan; Genealogi dan Ajaran Salafi (Ciputat: Maktabah Darussunnah, 2018). 28.

16 Mun‘im Sirry, Kontroversi Islam Awal: Antara Mazhab Tradisionalis dan

Revisionis (Bandung: Mizan, 2015), 1. Lihat juga Mun‘im Sirry, Kemunculan Islam

dalam Kesarjanaan Revisionis (Yogyakarta: Suka Press, 2017), 1.

Page 16: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

8

saja lahir dari penafsiran dan ―penyesuaian‖ para Sahabat atau generasi sesudahnya dengan situasi dan kondisi yang mengitarinya.

17

Dalam kesempatan yang lain, Rahman berpendapat bahwa sikap dan kebijakan-kebijakan Nabi yang juga merupakan sunnahnya tidaklah dipandang

secara kaku oleh generasi Muslim awal. Mereka ini, menurut Rahman,

menafsirkan sunnah Nabi secara kreatif menjadi sunnah yang hidup untuk

menghadapi faktor-faktor dan benturan-benturan baru. Penafsiran terhadap sunnah Nabi ini dicontohkan oleh Rahman semisal kebijakan ‗Umar bin

Khat}t}a>b18

dan aktivitas-aktivitas pemikiran para yuridis awal. Contoh semacam

ini, dalam pandangan Rahman, membuktikan bahwa sunnah yang hidup atau sunnah kaum Muslim awal bermula dari sunnah ideal Nabi yang secara progresif

telah ditafsirkan melalui proses ijtihad dan qiyas.19

Pada titik ini, Rahman mengkonfirmasi temuan-temuan kesarjanaan

Barat bahwa kandungan aktual sunnah kaum Muslim awal sebagian besarnya

adalah produk ijtihad personal yang telah mengkristal. Joseph Schacht,20

17 Fazlur Rahman, Islamic Metodology in History (Islamabad: Research

Institute, 1964), 85-147. 18

Sebagai contoh, ‗Umar menolak membagi-bagikan tanah kepada tentara-

tentara Muslim sebagai harta rampasan perang setelah penaklukan Irak. Kebijakan ini

tentu saja bertentangan dengan praktik yang pernah dicontohkan Nabi. Tetapi Umar

memahami bahwa praktik Nabi tersebut tidak lagi bisa dijalankan dalam penaklukan

wilayah suatu negeri. Contoh lainnya ialah, ‗Umar juga membuat kebijakan yang

berbeda dengan apa yang telah ditetapkan Nabi. Umar tidak memberikan bagian harta

kepada muallaf seperti yang dilakukan Nabi. Selengkapnya, lihat Fazlur Rahman, Islam,

74. Bandingkan dengan Atiyatul Ulya, Hadis dalam Perspektif Sahabat: Kajian

Ketaatan Sahabat dalam Konteks Pemahaman Hadis (Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008). 228-230.

19 Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas; Studi atas Pemikiran

Hukum Fazlur Rahman (Bandung: Mizan, 1992), 168. 20 Joseph Schach tadalah Orientalis kelahiran Silisie Jerman pada tahun 1902.

Meraih gelar doktor dari Universitas Barslauw ketika baru berusia 21 tahun. Dan ketika

berusia 27 tahun, ia dikukuhkan sebagai guru besar di Universitas Fribourg. Ia adalah

salah seorang Orientalis terkemuka yang pemikirannya sangat berpengaruh terhadap

bangunan pemikiran para Orientalis setelahnya. Maha karyanya berjudul The Origins of

Muhammadan Jurisprudence mendapat sambutan meriah di kalangan para Orientalis,

bahkan menjadi kitab suci kedua di kalangan mereka setelah sebelumnya buku Ignaz Goldziher berjudul Muhammedanische Studien. Selengkapnya, lihat Ali Musthafa

Yaqub, ―kata pengantar‖, dalam Muh}ammad Mus}t}afa>‘Az}ami, Menguji Keaslian Hadis-

Hadis Hukum: Sanggahan atas The Origins of Muhammadan Jurisprudence, terj. Ashrofi

Shodri, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2013), Bahkan menurut Wael B. Halaq, sebagaimana

dikutip Abdul Hakim Wahid, sejak Schacht mempublikasikan karyanya tersebut pada

tahun 1950, perdebatan akademik dalam bidang hadis semakin berkembang, dan secara

garis besar terbagi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama, berusaha menegaskan

kembali kesimpulan Schacht. Kelompok kedua, berusaha menolak kesimpulannya, dan

kelompok ketiga, berusaha mencari jalan tengah. John Wansbrough dan Michael Cook

adalah bagian dari kelompok pertama. Nabia Abbott, Muh}ammad Mus}t}afa>‘Az}ami, Fuat

Page 17: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

9

misalnya, dengan tegas mengatakan bahwa hadis merupakan dampak logis perkembangan sosio-historis generasi pasca Nabi. Hadis atau sunnah merupakan

tradisi yang hidup yang berasal dari mazhab Irak pada sekitar abad kedua hijriah.

Hanya saja, para ulama abad kedua memproyeksikan teori dan keputusan-keputusan mereka ke belakang sampai kepada Nabi untuk melegitimasi dan

memperkuat otoritas keputusan-keputusan tersebut. Inilah yang kemudian

disebut dengan teori projecting back.21

Adapun yang membedakan pandangan Rahman dengan Schacht adalah, Rahman memberi substansi baru pada hasil

temuan sarjana Barat ini yang juga dengan jelas membedakan teori yang

diajukannya dengan teori-teori Barat dengan menegaskan bahwa sunnah kaum

Muslim itu berkaitan secara organis dengan preseden otoritatif dari Nabi, karena ia merupakan penafsiran terhadapnya.

22

Sampai batas tertentu, penulis mengamini pandangan Rahman di atas,

bahwa sunnah Nabi bisa saja lahir dari penafsiran dan ―penyesuaian‖ para Sahabat atau generasi sesudahnya dengan situasi dan kondisi yang mengitarinya.

Penulis menilai, pandangan tersebut sangat logis. Dalam hal ini, Rahman seolah

ingin menegaskan satu hal penting, bahwa para Sahabat sangat fleksibel dalam memahami dan mengamalkan sunnah Nabi. Berpijak pada pandangan tersebut,

penulis juga berasumsi bahwa fleksibelitas tersebut tidak hanya berkenaan

dengan pemahaman dan pengamalan hadis, tetapi juga dalam konteks pengutipan dan penggunaannya. Lalu, bagaimana dengan pola dan dinamikanya? Adakah

implikasinya terhadap pemahaman hadis? Itulah jantung pertanyaan yang

menjadi objek utama dalam penelitian ini. Sederhananya, penelitian ini secara

khusus hendak mengkaji dan mengelaborasi dinamika penggunaan hadis oleh Sahabat Nabi.

B. Permasalahan Sebagaimana yang telah penulis paparkan pada latar belakang di atas,

bahwa penelitian ini hendak mengkaji dinamika penggunaan hadis oleh Sahabat

Nabi, di mana persoalan-persoalan yang terkait dengannya cukup kompleks dan bervariatif. Oleh karena itu, agar penelitian ini lebih fokus dan terarah, penulis

perlu mengajukan beberapa pertanyaan penelitian yang akan dibagi menjadi tiga

kategori, yaitu identifikasi masalah, perumusan masalah dan pembatasan

masalah.

1. Identifikasi Masalah

Sezgin, Gregor Schoeler dan Johann Fuck adalah kelompok kedua. Sedangkan Haral

Motzki, D. Santilana, Juynboll, Fazlur Rahman dan James Robson adalah kelompok

ketiga. Selengkapnya, lihat Abdul Hakim Wahid, Autentisitas Hadis Nabi; Studi Riwayat

Na>fi> Mawla> Ibn ‘Umar dalam Kitab al-S}ah}i>h}ayn (Cirebon: Nusa Literasi Inspirasi,

2017), 6. 21

Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxpord:

Clarendon University Press, 1950), 76. 22

Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas; Studi atas Pemikiran

Hukum Fazlur Rahman (Bandung: Mizan, 1992), 168.

Page 18: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

10

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, ada beberapa permasalahan penting yang layak dikaji, yaitu sebagai

berikut:

a. Model keberagamaan Islam awal, terutama generasi Sahabat,

dianggap sebagai yang paling ideal dan menjadi rujukan bagi

generasi Muslim setelahnya. Pasalnya, ucapan dan tindakan para

Sahabat pada umumnya dianggap mengandung nilai-nilai profetik. Lalu, bagaimana sebetulnya pola interaksi Sahabat dengan hadis

terutama pasca wafatnya Nabi?

b. Dalam berbagai literatur keislaman, para Sahabat dinarasikan sebagai generasi yang sangat taat kepada Nabi, bahkan dalam

banyak hal, mereka selalu berusaha ingin meniru Nabi dari berbagai

aspeknya. Lalu, apakah ketaatan itu tetap mereka jaga dalam

kaitannya dengan konsistensi penggunaan hadis, terutama pada saat menghadapi realitas dan benturan-benturan baru yang terjadi pada

masanya?

c. Jika perbedaan penggunaan hadis antara Nabi dan para Sahabat itu memang ada, lalu bagaimana dinamika, bentuk dan pola

penggunaanya? Apakah pola pengutipan dan penggunaannya

menyalahi pesan-pesan kenabian yang terkandung dalam batang tubuh teks hadis?

d. Sebagai saksi sejarah kenabian, para Sahabat adalah generasi yang

menyaksikan langsung proses turunnya wahyu kepada Nabi,

sehingga mereka menjadi rujukan bagi umat Islam pada generasi setelahnya. Bahkan, untuk dapat mengamalkan ajaran Islam dengan

baik, diharuskan memiliki pengetahuan yang luas, tidak hanya

tentang kehidupan Nabi, tetapi juga tentang kehidupan para Sahabat. Yang menjadi persoalan kemudian ialah, jika perbedaan konteks

pengucapan dan penggunaan hadis antara Nabi dan para Sahabat itu

memang ada, apakah hal itu potensial membentuk pola keberagamaan umat Islam yang distingtif ?

e. Selain merujuk pada Alquran dan hadis-hadis Nabi, para ulama juga

menjadikan pandangan keagamaan para Sahabat sebagai salah satu

rujukan dalam hal berijtihad dan proses legislasi hukum. Jika perbedaan konteks pengucapan dan penggunaan hadis antara Nabi

dan para Sahabatnya itu memang ada, lalu bagaimana para ulama

menyikapi hal itu? Apakah hal itu akan memberi pengaruh terhadap produk ijtihad yang dihasilkan ?

f. Jika perbedaan konteks pengucapan dan penggunaan hadis antara

Nabi dan para Sahabatnya itu memang ada, maka hemat penulis,

yang demikian itu boleh jadi merupakan upaya Sahabat dalam mengkontekstualisasi hadis. Hal ini tentu menarik untuk dikaji lebih

jauh, terutama tentang bagaimana model atau pola kontekstualisasi

ala Sahabat.

Page 19: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

11

g. Jika perbedaan konteks pengucapan dan penggunaan hadis antara Nabi dan para Sahabatnya itu memang ada, lalu bagaimana cara

mereka menarik pesan dari teks hadis? Apakah mereka berpijak

pada keumuman lafal, ataukah pada sebab khusus yang melatari kemunculan teks itu?

h. Jika para Sahabat dianggap sebagai generasi yang paling tahu

tentang Islam setelah Nabi—karena menyaksikan langsung proses turunnya wahyu kepada Nabi, sehingga dianggap sebagai generasi

yang paling mengerti tentang bagaimana semestinya ajaran Islam

dipahami dan dipraktikkan,—maka pertanyaan yang muncul

kemudian ialah, apakah konteks peristiwa yang melatari penggunaan hadis oleh para Sahabat ini dapat menjadi sebuah instrumen atau

perangkat metodologis dalam memahami dan menjelaskan hadis-

hadis yang tidak diketahui konteks awal kemunculannya pada masa Nabi?

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan beberapa objek permasalahan yang telah teridentifikasi di

atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini dapat dirangkum dalam sebuah

pertanyaan mayor, yaitu: Bagaimana dinamika penggunaan hadis oleh sahabat Nabi?

Rumusan masalah tersebut dapat dijabarkan melalui dua pertanyaan

minor, yaitu; Pertama, apakah konteks historis yang melatari penggunaan hadis oleh Sahabat Nabi selalu sama dengan konteks historis yang melatari Nabi

mengucapkannya untuk pertama kali? Kedua, jika ternyata ditemukan bahwa

konteks historis penggunaan hadis oleh Sahabat adakalanya berbeda dengan

konteks awal diucapkannya oleh Nabi, lalu adakah implikasinya terhadap pemahaman hadis?

3. Pembatasan Masalah

Mengingat betapa banyaknya jumlah Sahabat yang meriwayatkan hadis,

dan begitu pula betapa banyaknya hadis-hadis yang terekam dalam sejumlah

kitab induk hadis, maka agar penelitian ini lebih fokus dan terarah, penulis perlu memfokuskan atau membatasi objek yang akan dikaji. Pertama, objek penelitian

ini ialah kitab S}ah}i>h al-Bukha>ri dengan membatasinya pada beberapa hadis.

Kedua, hadis-hadis yang menjadi objek kajian pada penelitian ini akan

difokuskan pada hadis-hadis yang diketahui sabab al-wuru>d dan sabab al-i>ra>d-

nya sekaligus.23

Hal ini untuk melihat, adakah kemungkinan persamaan dan

perbedaan perihal konteks yang melatari pengucapan dan penggunaan hadis

23

Yang dimaksud sabab al-wuru>d ialah sebab, faktor, latar belakang dan

berbagai hal lainnya yang memotivasi Nabi untuk bersabda, sedangkan sabab al-i>ra>d ialah sebab, faktor, latar belakang, dan berbagai hal lainnya yang memotivasi para

Sahabat untuk mengutip, menggunakan, atau meriwayatkan sebuah hadis. Penjelasan

lebih detail tentang dua istilah ini akan menjadi sub bab tersendiri pada bab kedua.

Page 20: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

12

antara Nabi dan para Sahabat, sehingga dapat diketahui ragam, dinamika dan tipologi penggunaannya di kalangan para Sahabat. Ketiga, penting dikemukakan

bahwa objek kajian ini fokus pada pembahasan perihal konteks historis yang

melatari penggunaan hadis oleh Sahabat Nabi, bukan membahas perbedaan pengamalan dan pengejawantahan hadis sebagaimana dapat dilihat pada

beberapa kebijakan Umar yang berbeda dengan apa yang pernah dicontohkan

oleh Nabi.

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah diformulasikan pada sub

bab sebelumnya, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan menjelaskan dinamika penggunaan hadis oleh generasi Sahabat. Adapun tujuan spesifik dari

penelitian ini adalah:

1. Mengeksplorasi, apakah konteks historis yang melatari penggunaan

hadis oleh Sahabat Nabi selalu sama dengan konteks historis yang

melatari Nabi mengucapkannya untuk pertama kali?

2. Mengeksplorasi, bahwa jika ternyata ditemukan bahwa konteks historis yang melatari penggunaan hadis oleh para Sahabat adakalanya berbeda

dengan konteks historis yang melatari Nabi mengucapkannya untuk

pertama kali, lalu adakah implikasinya terhadap pemahaman hadis?

D. Signifikansi dan Manfaat Penelitian

Singnifikansi dan manfaat penelitian meliputi aspek teoritis dan praktis. Secara teoritis, temuan dari penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi dalam

memperkaya khazanah intelektual Islam, terutama disiplin ilmu hadis, atau lebih

spesifiknya lagi berkenaan dengan teori asbāb wurūd al-hadīth yang dalam beberapa dasawarsa terakhir telah banyak mengalami perkembangan signifikan

di tangan para sarjana Muslim kontemporer. Perlu penulis kemukakan di sini,

bahwa penelitian ini berpijak pada teori asbāb al-wurūd (konteks yang melatari

kemunculan hadis) dan teori turunannya, yaitu asbab al-i>ra>d (konteks yang melatari Sahabat menggunakan atau menyampaikan hadis).

Sedangkan secara praktis, hasil dari penelitian ini bisa dimanfaatkan baik oleh para sarjana hadis atau oleh para sarjana Muslim pada umumnya

sebagai instrumen untuk melihat bagaimana cara Sahabat berinteraksi dengan

sunnah Nabi, di mana mereka adakalanya melakukan penyesuaian, sehingga tidak selalu tampil dalam bentuknya yang monolitik.

E. Penelitian Terdahulu yang Relevan

Dalam rangka memastikan kebaruan dan orisinalitas penelitian ini dalam

dunia akademik, penulis perlu melakukan survey terlebih dahulu. Hal itu, untuk

mengetahui adakah cendekiawan atau sarjana Muslim sebelumnya yang pernah mengkaji tema terkait pola dan dinamika penggunaan hadis oleh Sahabat Nabi

secara ilmiah dan komprehensif. Jika pernah ada, lalu adakah titik persamaan

dan perbedaannya dengan apa yang akan penulis lakukan. Hal ini mutlak

Page 21: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

13

dilakukan sebagai bukti bahwa tema atau masalah yang menjadi objek penelitian ini memiliki nilai signifikansi dan relevansinya dalam konteks dunia akademik

global.

Berdasarkan pengamatan yang telah penulis lakukan, tulisan atau karya

akademik-ilmiah yang membahas tentang Sahabat Nabi dari berbagai aspeknya

telah banyak dilakukan oleh para sarjana Muslim, bahkan dapat dikatakan sangat

melimpah, baik di dalam maupun di luar negeri, baik itu dalam bentuk artikel jurnal, tesis, disertasi dan lain sebagainya. Namun demikian, setelah penulis

melakukan penelitian kepustakaan secara intensif, tidak ditemukan sebuah karya

akademik-ilmiah yang secara spesifik berupaya mengelaborasi dan mengkaji pola dan dinamika penggunaan hadis di kalangan para Sahabat. Hal ini, tentu

menjadi ruang kosong tersendiri yang patut diisi. Sejauh yang bisa dilacak,

beberapa karya ilmiah yang sudah ada hanya membahas aspek lain dari sejumlah

persoalan yang berkenaan dengan Sahabat Nabi. Beberapa karya tersebut antara lain ialah sebagai berikut.

Ḥamzah Muḥammad Wasīm al-Bakri, menulis sebuah buku berjudul

Ta’adud al-Hādithah fi Riwāyah al-Ḥadīth al-Nabawi>; Dirāsah Ta’ṣīliyyah Naqdiyah. Buku yang semula merupakan disertasi di Universitas Yordania (2013) ini cukup baik dalam mengurai ragam peristiwa yang melatari ujaran

Nabi. Dalam karyanya tersebut, ia berhasil mengelaborasi dengan sangat baik

hadis-hadis yang disampaikan berulang kali oleh Nabi dalam konteks dan

peristiwa yang berbeda. Tak hanya itu, ia juga berhasil mengurai beberapa implikasinya, baik terhadap pemahaman hadis, nasakh mansūkh, ilmu ‗ilāl al-

hadīth, ilmu mukhtalaf al-hadīth dan lain sebagainya.24

Namun demikian, setelah ditelaah lebih jauh sembari dicari kekurangannya, karya ini sama sekali tidak menyinggung tentang perbedaan

konteks pengucapan dan penggunaan hadis antara Nabi dan para Sahabat

sebagaimana yang akan penulis kaji. Hal ini tentu menjadi kekurangan tersendiri yang harus segera direspons. Meski demikian, karya Ḥamzah Muḥammad

Wasīm al-Bakri> ini layak mendapat apresiasi di tengah keterbatasan karya

akademik-ilmiah yang secara khusus mengelaborasi perihal ragam peristiwa yang melatari ujaran Nabi.

Jalaluddin Rakhmat menulis sebuah disertasi di UIN Alauddin Makasar

(2015) berjudul ―Asal-Usul Sunnah Sahabat: Studi Histogriorafis atas Tarikh Tashri’‖. Melalui disertasi yang konon telah menuai badai kontroversi di tengah

masyarakat ini, ada tiga persoalan pokok yang ia bahas. Pertama, betulkah ada

sunnah Sahabat yang berdampingan, menambah, dan bahkan bertentangan dengan sunnah Nabi? Kedua, apa latar belakang teologis yang melahirkan

sunnah Sahabat? Ketiga, apa latar belakang ideologis yang ada di balik

24

Ḥamzah Muḥammad Wasīm al-Bakri, Ta’addud al-Hādithah fi Riwāyah al-

Hadīth al-Nabawi; Dirāsah Ta’ṣīliyyah Naqdiyah (Qatar: Wizārah al-Auqāf wa al-

Syu‘ūn al-Islāmiyah, 2013).

Page 22: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

14

perbedaan ideologis antara kelompok sunnah Nabi dengan kelompok sunnah Sahabat?

Di antara kesimpulan dan temuannya ialah, ada sunnah Sahabat yang merupakan bentuk pelaksanaan dari sunnah Nabi, seperti kodifikasi Alquran;

Ada juga sunnah Sahabat yang menggantikan sunnah Nabi, seperti pelaksanaan

salat sunnat tarawih berjamaah; bahkan ada sunnah Sahabat yang bertentangan

dengan sunnah Nabi, seperti haji tamattu. Sunnah Sahabat, sebagaimana hasil temuannya, berasal dari kelompok Sahabat Nabi yang berpendapat bahwa Nabi

tidak maksum mutlak, bahwa Nabi boleh berijtihad—bisa benar dan bisa salah,

bahwa Nabi menyerahkan bimbingan umat Islam sepeninggalnya pada semua Sahabat.

25

Jika melihat pada hasil kesimpulannya, dapat segera dipahami bahwa

penelitian ini antara lain hanya fokus pada praktik, keputusan, atau—dalam istilah Jalaluddin Rahmat—sunnah Sahabat yang terkadang bisa selaras, atau

berbeda dengan sunnah Nabi. Dalam hal ini, ia sama sekali belum menyinggung

bahwa ketika sunnah tersebut diverbalisasikan, maka hal itu potensial terjadi perbedaan antara konteks yang melatari Sahabat mengutip dan menggunakannya

untuk merespons peristiwa tertentu dengan konteks yang melatari Nabi

mengucapkannya untuk pertama kali.

Atiyatul Ulya menulis sebuah disertasi di UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta (2008) berjudul ―Hadis dalam Perspektif Sahabat: Kajian Ketaatan

Sahabat terhadap Rasul dalam Konteks Pemahaman Hadis‖. Karya ini berupaya

menjelaskan tentang model atau bentuk ketaatan Sahabat kepada Nabi. Objek kajiannya ialah merujuk pada sejumlah kebijakan atau keputusan para Sahabat

yang berbeda dengan apa yang pernah dilakukan oleh Nabi, semisal kebijakan

‗Umar bin Khat}t}a>b yang enggan membagikan harta rampasan perang kepada para Sahabat, tetapi dibiarkan pada pemiliknya dan hasilnya diserahkan ke Bait

al-Mal. Kebijakan ‗Umar tersebut mendapat protes keras dari para Sahabat yang

menuntutnya untuk tetap memberikan bagian mereka sebagaimana yang selama

ini telah dilakukan oleh Nabi. Demikian juga terkait kebijakan ‗Uthma>n bin

‗Affa>n yang memutuskan adzan dua kali pada waktu salat Jum‘at. Hal ini

berbeda dengan ketetapan Nabi yang memerintahkan Bila>l bin Raba>h} untuk

adzan satu kali pada waktu salat Jum‘at. Dan ada banyak contoh-contoh lainnya. Penelusuran yang dilakukan Atiyatul Ulya terhadap beberapa sumber hadis dan

literatur kesejarahan, tiba pada sebuah kesimpulan bahwa berdasarkan praktik

Sahabat, ketaatan lebih berarti melaksanakan kehendak, dalam hal ini kehendak

Allah dan rasul-Nya, dari pada melaksanakan perintah. Artinya, para Sahabat

25

Jalaludin Rakhmat, Asal-Usul Sunnah Sahabat: Studi Histogriorafis atas

Tarikh Tashri‘ (Disertasi pada Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN)

Alauddin Makasar, 2015). Disertasi ini kemudian diterbitkan menjadi buku oleh penerbit

Misykat Bandung dan diberi judul besar, yaitu: ―Misteri Wasiat Nabi: Asal-Usul Sunnah

Sahabat: Studi Histogriorafis atas Tarikh Tashri’‖.

Page 23: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

15

taat sesuai dengan pemahaman mereka terhadap kehendak Allah dan rasul-Nya.

26

Namun demikian, setelah ditelaah lebih mendalam, ternyata objek penelitian disertasi ini hanya fokus mengkaji hadis-hadis yang berbicara terkait

perbedaan kebijakan dan keputusan para Sahabat dengan apa yang pernah

dicontohkan oleh Nabi. Dalam hal ini, Atiyatul Ulya sama sekali belum

menyinggung sedikit pun terkait perbedaan konteks pengucapan atau penggunaan hadis antara Nabi dan para Sahabat. Hal inilah yang menjadi ruang

kosong yang akan penulis isi.

Rusli Hasbi menulis sebuah buku berjudul ―Rekonstruksi Hukum Islam; Kajian Kritis Sahabat terhadap Ketetapan Rasulullah‖. Sebagaimana halnya

karya Atiyatul Ulya di atas, buku ini juga berupaya menginventarisir sejumlah

kebijakan dan ketetapan Nabi yang dilaksanakan secara berbeda oleh para Sahabat pada era belakangan. Beberapa poin yang dibahas antara lain terkait

ketetapan salat, zakat. puasa, haji dan pernikahan. Secara umum, contoh-contoh

dalam buku ini menunjukkan bahwa para Sahabat, sekalipun dikenal sebagai generasi yang paling tahu tentang Islam dan juga paling patuh kepada Nabi,

ternyata pemahamannya terhadap ajaran Nabi tidak selamanya dogmatis.

Beberapa orang dari mereka berupaya menangkap semangat yang terkandung di

balik perintah Nabi, sehingga berani mengkontekstualisasikannya sesuai perubahan situasi dan kondisi yang mengitarinya.

27

Namun demikian, terlepas dari segala kelebihannya yang patut

diapresiasi, ternyata karya ini juga hanya fokus membahas dinamika perbedaan pelaksanaan syari‘at antara Nabi dan para sahabatnya. Penulisnya tak sekali pun

menyinggung bahwa hal yang sama juga sebetulnya banyak terjadi dalam

kaitannya dengan konteks pengucapan dan penggunaan hadis antara Nabi dan para Sahabatnya. Pendek kata, objek kajian pada buku yang ditulis Rusli Hasbi

ini pada dasarnya relatif sama dengan apa yang dilakukan Atiyatul Ulya di atas,

meskipun dengan titik tekan yang berbeda.

Sa‘ad bin Sayid Qut}b al-Sha>l menulis buku berjudul Ada>b al-Ikhtila>f bayn al-S}ah}a>bah wa Atha>ruhu> ‘ala al-wa>qi’ al-Isla>miy; Dira>sah Manhajiyah

Us}u>liyyah Tarbawiyah wa Da’awiyyah. Buku yang semula merupakan sebuah

disertasi di Universitas Imam al-Auza >‘i> (2017) ini berupaya mengurai sejumlah perbedaan sikap para Sahabat dalam empat aspek, yaitu aqidah, politik, fikih,

dan sosial kemasyarakatan, serta implikasinya terhadap realitas kehidupan umat

Islam kontemporer. Meski pembahasannya hanya fokus pada empat aspek di atas, karya ini juga sebenarnya menyinggung perbedaan sikap para Sahabat

dalam memahami perintah dan kebijakan Nabi. Akan tetapi, pembahasannya

26

Atiyatul Ulya, Hadis dalam Perspektif Sahabat; Kajian Ketaatan Sahabat

terhadap Rasul dalam Konteks Pemahaman Hadis (Disertasi di Sekolah Pascasarjana

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008). 27 Rusli Hasbi, Rekonstruksi Hukum Islam: Kajian Kritis Sahabat terhadap

Ketetapan Rasulullah (Jakarta: Al-‗Irfan Publishing, 2007).

Page 24: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

16

menyatu dengan persoalan fikih, sehingga uraiannya kurang memadai. Penulisnya tidak membuat sub bab tersendiri yang secara khusus mengelaborasi

tentang perbedaan sikap para Sahabat ketika berinteraksi dengan sunnah Nabi,

termasuk misalnya terkait perbedaan konteks pengucapan dan penggunaan hadis antara Nabi dan para Sahabatnya.

28

Berdasarkan pembacaan dan telaah penulis terhadap sejumlah karya

akademik di atas, dapat disimpulkan bahwa karya akademik-ilmiah yang fokus mengelaborasi pola dan dinamika penggunaan hadis oleh generasi sahabat sama

sekali belum dilakukan secara komprehensif oleh para sarjana Muslim, sehingga

perlu disusul oleh karya tersendiri yang fokus dalam bidang ini. Oleh karena itu, di sinilah penelitian yang akan penulis lakukan menemukan resonansi

relevansinya.

F. Metode29

dan Pendekatan Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research).

Artinya, data-data dan bahan kajian yang telah dan akan dipergunakan dalam

kegiatan penelitian ini berasal dari sumber-sumber kepustakaan, baik buku,

naskah-naskah dan dokumen-dokumen lain yang berkaitan dengan tema yang akan dibahas,

30 yang dalam hal ini ialah terkait dinamika penggunaan hadis oleh

Sahabat Nabi.

2. Sumber Data

Sebagaimana ditegaskan sebelumnya bahwa penelitian ini merupakan

penelitian kepustakaan yang menjadikan teks sebagai objek penelitian. Penulis membagi sumber data menjadi dua kategori, yaitu sumber data primer dan

sekunder.

Sumber data primer yang akan digunakan dalam penelitian ini ialah

kitab S}ah}i>h al-Bukha>ri> yang dalam tradisi Sunni dinilai sebagai kitab hadis

paling otoritatif. Kendati demikian, kitab-kitab induk hadis lainnya (baik yang

berada dalam rumpun al-kutub al-sittah ataupun selainnya) juga akan banyak dirujuk terutama untuk melihat perbedaan atau keragaman riwayat antara satu

dengan yang lainnya.

28

Sa‘ad bin Sayid Qut}b al-Sha>l, Ada>b al-Ikhtila>f bayn al-S}ah}a>bah wa

Atha>ruhu> ‘ala al-wa>qi’ al-Isla>miy; Dira>sah Manhajiyah Us}u>liyyah Tarbawiyah wa

Da’awiyyah (Beirut: Da>r al-Bashi>r al-Ima>rat, 2017). 29 Metode penelitian adalah cara atau strategi menyeluruh untuk menemukan

atau memperoleh data yang diperlukan. Metodologi penelitian perlu dibedakan dari

teknik pengumpulan data yang merupakan teknik yang lebih spesifik untuk memperoleh data. Lihat Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial (Bandung: PT Remaja

Rosdakarya, 2011), 9. 30 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek

(Jakarta: Rineke Cipta, 1993), 202.

Page 25: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

17

Adapun sumber data sekunder yang akan penulis gunakan antara lain

meliputi kitab-kitab hadis, sharah} hadis, buku, jurnal dan literatur lainnya yang

terkait dengan penelitian ini atau lebih umumnya terkait pola interaksi Sahabat dengan sunnah Nabi. Untuk mendapatkan data kesejarahan tentang konteks

peristiwa yang melatari penggunaan hadis oleh para sahabat, penulis tidak hanya

akan merujuk pada kitab-kitab hadis primer, tetapi juga merujuk pada kitab-kitab

sīrah, ta>ri>kh, tarajum, t}abaqa>t dan lain sebagainya yang ditulis para ulama klasik. Melalui perpaduan berbagai sumber dalam lintas disiplin ini, diharapkan

dapat melacak dan mengelaborasi bagaimana sebuah hadis disampaikan atau digunakan oleh para Sahabat pada era belakangan dalam suatu peristiwa dan

untuk kepentingan tertentu.

3. Metode Pengumpulan Data

Dalam sebuah kegiatan penelitian, biasanya dikenal tiga jenis

pengumpulan data yaitu, studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan atau

observasi, dan wawancara atau interview.31

Mengingat penelitian ini adalah penelitian kualitatif, maka salah satu metode pengumpulan

datanya adalah metode dokumentasi. Metode dokumentasi ini dilakukan dengan

cara mengumpulkan dokumen atau data-data yang didapatkan dari kepustakaan.

Selain itu, karena objek penelitian ini adalah kitab S}ah}ih} al-Bukha>ri>, di mana

memuat hadis yang begitu banyak, maka agar lebih efektif dan memudahkan

pencarian data, penulis akan menggunakan maktabah syamilah untuk mencari dan memilih hadis-hadis yang berkaitan dengan penelitian ini. Pemilihan

tersebut didasarkan pada metode purposive sampling (Teknik sampling

berdasarkan pada tujuan atau kegunaan yang hendak dicapai).

4. Metode Analisis Data

Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif-

analitis-komparatif yang berguna untuk mendeskripsikan, menganalisis ragam dan dinamika penggunaan hadis oleh para Sahabat dan mengkomparasikan

antara satu riwayat dengan riwayat-riwayat lainnya, termasuk juga dengan data-

data kesejarahan. Perbandingan ini dilakukan guna melihat persamaan dan perbedaan konteks historis yang melatari para Sahabat ketika menggunakan atau

menyampaikan sebuah hadis. Oleh karenanya, sebagaimana telah disinggung

sebelumnya, dalam penelitian ini penulis tidak hanya merujuk pada kitab-kitab

induk hadis, tetapi juga pada sumber lain yang merekam data-data kesejarahan. Pada saat menganalisis data yang berkaitan dengan penelitian ini, penulis

menggunakan metode content analysis (analisis isi).

5. Pendekatan Penelitian

Secara garis besar, penelitian ini menggunakan pendekatan ilmu ma’a>n al-hadith dan pendekatan sejarah (historical approach). Ilmu ma’a>n al-hadith digunakan sebagai instrumen atau perangkat metodologis dalam memahami

31 Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum (Jakarta:

Grafindo Persada, 2006), 30.

Page 26: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

18

sebuah hadis, misalnya dengan melakukan kajian intertekstual dalam bentuk komparasi riwayat, sehingga antara satu riwayat dengan riwayat yang lainnya

dapat saling menafsirkan.

Namun demikian, penggunaan pendekatan ilmu ma’a>n al-hadith an sich hampir dapat dipastikan akan mengalami kebuntuan terutama ketika menelusuri

bagaimana sebuah hadis dikutip atau digunakan oleh para Sahabat pada era

belakangan pasca wafatnya Nabi. Hal itu, karena sumber-sumber primer hadis pada umumnya hanya merekam konteks diucapkannya sebuah hadis oleh Nabi.

Oleh karenanya, untuk memecah kebuntuan itu diperlukan pendekatan lain yang

dinilai cukup relevan dengan penelitian ini, yaitu pendekatan sejarah. Melalui pendekatan ini diharapkan dapat mengelaborasi bagaimana sebuah teks agama—

yang dalam hal ini adalah teks hadis—digunakan oleh para Sahabat untuk

merespons suatu peristiwa pada era belakangan dan untuk kepentingan tertentu. Oleh karenanya, sebagaimana ditegaskan sebelumnya, penulis akan merujuk

pada literatur kesejarahan hasil buah tangan para ulama klasik. Penggunaan data

kesejarahan dalam penelitian ini merupakan bagian dari upaya menghadirkan

kajian interdisipliner yang tidak hanya bertumpu pada satu disiplin keilmuan tertentu, melainkan berupaya mendialogkan antara dua disiplin keilmuan—yang

dalam hal ini adalah ilmu hadis dan ilmu sejarah—dalam satu tarikan nafas.

Keniscayaan dialogis ini menunjukkan bahwa suatu disiplin ilmu tidak dapat berdiri sendiri. Ia mau tidak mau harus menyapa dan berdialog dengan disiplin

ilmu lainnya.32

32

Menurut Akademi Pengetahuan Amerika Serikat, penelitian interdisiplin

adalah cara atau model penelitian yang mampu menyatu-padukan atau mengintegrasikan

informasi, data, teknik, alat-alat, perspektif, konsep dan teori dari dua atau lebih disiplin

ilmu atau sekumpulan pengetahuan spesialis untuk memajukan pemahaman fundamental

atau untuk memecahkan permasalahan tertentu yang pemecahannya berada di luar

wilayah jangkauan satu disiplin tertentu atau wilayah praktek penelitian tertentu.

Selengkapnya, lihat M. Amin Abdullah, Multisiplin, Interdisiplin dan Transdisiplin:

Metodologi Studi Agama dan Studi Islam di Era Kontemporer (IB Pustaka PT Litera

Cahaya Bangsa, 2020, 115. Di era modern sekarang ini, model kajian dan penelitian interdisipliner telah

menjadi tren di kalangan masyarakat akademik global. Di Indonesia, diskursus ini juga

banyak digaungkan beberapa sarjana Muslim, salah satunya M. Amin Abdullah.

Menurutnya, kebijakan linieritas atau monodisiplin tidak cocok diterapkan dalam bidang

kajian agama karena akan membentuk corak keberagamaan dan pemahaman keagamaan

yang sempit, bahkan potensial mengarah pada cara berpikir yang tertutup. Amin

memperkenalkan cara berpikir baru ini dengan istilah integrasi-interkoneksi antar

berbagai disiplin keilmuan. Ia juga mengutip pernyataan Nidhal Gueshoum bahwa

pengetahuan agama, termasuk Islam, tidak bisa lagi mempertahankan hegemoni dan

sikap statisnya. Jika sikap statis-dogmatik-hegemonik ini yang dipilih dan dipertahankan,

maka ilmu-ilmu keagamaan akan bertentangan bahkan akan tergilas oleh perkembangan

ilmu pengetahuan modern, dan akibatnya prinsip-prinsip dasar keagamaan Islam akan

semakin terasa asing dan ketinggalan zaman. Selengkapnya, lihat M. Amin Abdullah, Multisiplin, Interdisiplin dan Transdisiplin: Metodologi Studi Agama dan Studi Islam di

Era Kontemporer (IB Pustaka PT Litera Cahaya Bangsa, 2020), 69.

Page 27: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

19

G. Sistematika Penulisan

Secara garis besar, penelitian ini akan dikelompokkan menjadi lima bab,

dengan rincian sebagai berikut: Bab pertama, merupakan pendahuluan yang berisi penjelasan mengenai latar belakang, identifikasi, perumusan dan

pembatasan masalah. Di bagian ini akan dijelaskan terkait problem akademik

yang mendasari dilakukannya penelitian ini. Selain itu, bab ini juga memuat mengenai tujuan penelitian, signifikansi dan manfaat penelitian, penelitian

terdahulu yang relevan, metodologi penelitian dan sistematika penulisan. Pendek

kata, bab pertama ini merupakan deskripsi umum tentang kerangka pikir yang

akan digunakan dalam menyelesaikan penelitian ini.

Bab kedua, akan mengurai tentang diskursus seputar periwayatan hadis.

Beberapa sub bab yang akan dijelaskan pada bagian ini antara lain terkait

eksistensi hadis sebagai jantung kontestasi di kalangan umat Islam, baik klasik maupun kontemporer, di mana hampir setiap individu atau kelompok

berkepentingan mengutipnya sebagai dasar pemikiran dan inspirasi

pergerakannya. Pembahasan selanjutnya ialah terkait sabab al-wuru>d dan sabab

al-i>ra>d, sebuah teori yang berfungsi untuk merekonstruksi dan menjelaskan

konteks dan motivasi di balik kemunculan sebuah hadis. Sementara itu, bagian terakhir dari bab ini, akan mengurai perdebatan panjang antara para sarjana

Muslim terkait periwayatan secara makna (al-riwa>yah bi al-ma’na>). Hal ini

untuk menunjukkan fleksibelitas penyampaian hadis di era klasik.

Bab ketiga, akan membahas tentang otoritas dan sakralitas Sahabat Nabi.

Bagian pertama dari bab ini akan diawali dengan pembahasan terkait persoalan

‗ada>lah al-S>>}ah}abah yang penulis anggap sebagai bentuk sakralitas Sahabat dalam Islam. Bagian kedua, akan menjelaskan tentang karakteristik para

Sahabat, salah satunya sebagai imitator tradisi kenabian yang selalu berusaha meniru-niru Nabi dari berbagai aspeknya. Selanjutnya, pada bagian ketiga dari

bab ini, penulis akan menjelaskan posisi Sahabat sebagai mediator pertama

tradisi kenabian. Sementara itu, pada bagian terakhir, akan menjelaskan otoritas

Sahabat sebagai refresenrasi ajaran Nabi. Secara umum, uraian pada bab ketiga ini ingin menunjukkan otoritas Sahabat Nabi.

Bab keempat adalah bab inti yang merupakan fokus utama penelitian ini. Pada bagian ini, penulis akan mengelaborasi beberapa contoh hadis dalam kitab

S}ah}i>h} al-Bukha>ri> yang diketahui sabab al-wuru>d dan sabab al-i>ra>d-nya

sekaligus. Hal ini untuk melihat dinamika, ragam, dan tipologi penggunaannya di kalangan para Sahabat. Sehingga dapat diketahui, apakah konteks historis

yang melatari penggunaan hadis oleh para Sahabat selalu sama dengan konteks

historis yang melatari Nabi mengucapkannya untuk pertama kali? Jika ternyata

adakalanya berbeda, bagaimana bentuk dan tipologinya? Adakah implikasinya terhadap pemahaman hadis?

Bab kelima berisi penutup yang mencakup kesimpulan dari seluruh pembahasan yang telah dipaparkan dalam bab-bab sebelumnya. Bab terakhir ini

Page 28: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

20

juga akan dilengkapi dengan sejumlah saran dan rekomendasi yang berguna bagi para peneliti berikutnya.

Page 29: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

21

BAB II

DISKURSUS SEPUTAR PERIWAYATAN HADIS

Bab ini akan menjelaskan diskursus seputar periwayatan hadis. Beberapa

sub bab yang akan dibahas pada bagian ini antara lain ialah, bagaimana otoritas

hadis menjadi sebuah jantung kontestasi bagi umat Islam dalam pentas sejarah, di mana setiap individu atau kelompok—bahkan sejak periode awal, yaitu era

Sahabat—merasa berkepentingan untuk mengutipnya dalam berbagai konteks

dan peristiwa yang beragam. Selanjutnya, ialah pembahasan terkait sabab al-wuru>d dan sabab al-i>ra>d, sebuah teori yang berfungsi untuk merekonstruksi

konteks, peristiwa dan motivasi di balik kemunculan dan penggunaan sebuah hadis. Bagian terakhir dari bab ini akan mengurai perdebatan krusial antara para

sarjana Muslim seputar periwayatan hadis secara maknawi (al-riwa>yah bi al-

ma’na >). Hal ini penting untuk diurai sebagai bukti adanya preseden fleksibelitas periwayatan hadis.

A. Hadis Sebagai Jantung Kontestasi Sebagaimana halnya Alquran, hadis menempati posisi yang sangat

sentral dalam kehidupan umat Islam. Sentralitas posisi hadis tidak hanya karena

otoritas pengujarnya sebagai Nabi dan banyaknya legitimasi dalil-dalil agama

tentang otoritas hadis itu sendiri, tetapi juga karena peran al-Sha>fi’i> yang

berhasil merumuskan konsep hierarkis sumber ajaran Islam kepada; Alquran,

hadis,1 konsensus ulama (ijma>’) dan analogi (qiya>s).

2 Secara hierarkis, otoritas

1 Secara eksplisit, Alquran memang tidak pernah menyebutkan bahwa hadis

merupakan bagian dari sumber ajaran Islam, tetapi hanya memerintahkan umat Islam

agar patuh kepada Nabi dan meneladani perbuatannya. Oleh karenanya, meskipun

sarjana Barat semisal Joseph Schacht mengatakan bahwa al-Sha>fi’i> adalah orang pertama

yang menggunakan istilah sunnah, yang secara khusus tertuju pada sunnah Nabi,

sedangkan para ulama sebelumnya menggunakan kata tersebut dalam arti yang lebih

luas, maka hal ini tidak lantas mengurangi otoritas sunnah Nabi secara konseptual.

Sumber hukum bukanlah kata itu sendiri, tetapi konsepnya yang memperoleh otoritasnya

dari Alquran. Selengkapnya, lihat Muh}ammad Mus}}t}afa> ‗Azami>, Menguji Keaslian Hadis-Hadis Hukum; Sanggahan atas The Origins of Muhammadan Jurisprudence, terj,

Asrofi Shodri (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), 45. 2 Bahkan al-Shāfi‘ī, sebagaimana dikutip Muh}ammad Shaḥrūr, memposisikan

hadis sebagai wahyu kedua setelah Alquran. Secara teologis, anggapan tersebut

didasarkan pada QS al-Najm: 3-4. Namun demikian, Muhammad Shaḥrūr menolak

pandangan tersebut, bahkan melontarkan kritikan terhadap al-Shāfi‘ī. Menurutnya, ḍamīr

―huwa‖ pada QS al-Najm: 3-4 kembali kepada al-Quran itu sendiri, bukan kepada diri

Nabi—sebagaimana pemahaman al-Shāfi‘ī. Alasannya, kedua ayat dari surat al-Najm tersebut adalah ayat Makiyyah, yang diturunkan untuk menjawab keraguan masyarakat

Arab terhadap Alquran. Mereka bertanya, apakah yang disampaikan Nabi adalah wahyu

dari Allah, ataukah dari dirinya sendiri? Untuk menjawab keraguan itu, turunlah ayat

tersebut bahwa apa yang disampaikan Nabi adalah wahyu. Selengkapnya, lihat

Page 30: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

22

hadis hanya berada satu tingkat di bawah Alquran. Bahkan, sebagian ahli hadis menganggap bahwa hadis setara dengan Alquran.

3 Alquran selalu

mempersandingkan Nabi Muhammad dengan Allah bila berbicara tentang

otoritas. Dalam beberapa ayat, Alquran juga memerintahkan umat Islam agar selalu taat kepada Allah dan rasul-Nya. Ketaatan kepada rasul dianggap sebagai

indikasi ketaatan kepada Allah.4 Konsekuensi logis dari posisi hadis yang begitu

sentral ini telah menjadikannya sebagai arena perebutan legitimasi dalam kehidupan sosial keagaman umat Islam. Hampir dalam segala aspek, hadis Nabi

dikutip dalam rangka memberi pendasaran teologis. Umat Islam hampir selalu

merasa berkepentingan untuk mengutipnya. Fenomena semacam ini merupakan

bukti bahwa hadis—meminjam istilah Aceng Abdul Qadir—adalah ―jantung kontestasi‖.

5

Jika mengamati berbagai pertarungan wacana dan ideologi yang bergulir

di antara kelompok umat Islam dalam lintasan sejarah, akan didapati sebuah fakta bahwa selain teks suci Alquran, otoritas hadis juga kerap kali digunakan

oleh sebagian kalangan untuk meneguhkan eksistensi kelompok masing-masing

sembari melemahkan posisi lawannya. Bahkan dalam beberapa aspek, hadis lebih sering dikutip ketimbang Alquran. Pada situasi tertentu, hadis juga dapat

menjadi senjata yang paling ampuh untuk membungkam musuh. Hal itu, karena

segala ucapan ataupun tindakan seseorang yang dibungkus dengan dalil-dalil agama terutama hadis Nabi, akan terlihat sakral dan kerap kali sulit

terbantahkan. Boleh jadi, karena alasan inilah kenapa sebagian umat Islam, baik

individu maupun kelompok merasa berkepentingan untuk mengutip sekaligus

bernaung di bawah otoritas hadis Nabi.

Dalam konteks gerakan keagamaan kontemporer, beberapa kelompok

dan organisasi kemasyarakatan menjadikan hadis sebagai basis dan inspirasi

pergerakannya. Sebagai contoh, dalam konteks keindonesiaan, kelompok semisal Front Pembela Islam (FPI), menjadikan hadis Nabi terkait amar makruf nahy

munkar6 sebagai dasar teologis yang mendorong mereka untuk melawan segala

Muḥammad Shaḥrūr, al-Sunnah al-Rasūliyyah wa al-Sunnah al-Nabawiyyah (Beirut: Dār al-Saqi, 2012), 55-56.

3 T}a>ha> Ja>bir al-‘Al’wa<>ni>, Ishka<>liyya>t al-Ta’a<>mul ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah (Beirut: Maktabah al-Tawzi’ fi> al-‘A>lam al-‘Arabiy, 2014), 170.

4 Lihat misalnya QS. al-Nisa>, 4: 80; lihat juga QS. al-Nu>r 24: 54. Terkait hal ini,

sarjana Barat seperti Margoliouth memberi catatan bahwa, setiap kali Nabi Muhammad disandingkan dengan Allah dalam Alquran, itu semata-mata hanya merujuk kepada

konteks Alquran itu sendiri, bahwa otoritas Allah dan otoritas Nabi Muhammad sebagai

manusia yang menjadi perantara wahyu Allah tidak pernah dapat dipisahkan. Penjelasan

lebih lanjut terkait hal ini, lihat Fazlur Rahman, Islam,terj, Ahsin Muhamad (Bandung:

Pustaka, 2003), 62. 5 Aceng Abdul Qadir, Teologi dalam Periwayatan (Bandung: Pustaka Aura

Semesta, 2013), 2. 6 Lihat Muslim bin H}>>>>ajja>j al-Naysabu>ri>, S}ah}i>h} Muslim (Beirut: Da>r Ih}ya> al-

Tura>th al-‗Arabi, T.th), Vol. 1, 69, nomor hadis: 49. Lihat juga Ibn Ma>jah al-Qazwayni>,

Page 31: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

23

bentuk kemungkaran secara fisik tanpa meminjam tangan pemerintah ataupun pihak yang berwenang. Akibatnya, mereka melakukan penyerangan terhadap

jamaah Ahmadiyah, lokalisasi dan tempat-tempat kemungkaran lainnya.7 Ini

menunjukkan, bahwa hadis tersebut seolah menjadi ruh yang melekat dalam tubuh FPI.

Sementara itu, organisasi transnasional semisal Hizbut Tahrir Indonesia

(HTI), menjadikan hadis-hadis tentang perintah membaiat khalifah8 sebagai

salah satu basis utama pergerakannya dalam memperjuangkan tegaknya khila>fah Isla>miyyah sebagai sistem pemerintahan. Hadis-hadis tersebut bahkan memberi

pengaruh yang sangat kuat di kalangan h}izbiyyi>n (sebutan bagi para pengikut

Hizbut Tahrir), di samping juga terdapat beberapa hadis lainnya yang juga

berpengaruh. Merujuk pada hadis tersebut, Taqi > al-Di>n al-Nabha>ni> (pendiri

Hizbut Tahrir) mengatakan bahwa penegakkan khila>fah Isla>miyyah merupakan

salah satu kewajiban agama yang paling agung (min a’z}ami wa>jibah al-Di>n), sedangkan penolakannya merupakan salah satu bentuk kemaksiatan paling besar

(min akbar al-ma’a>s}i>).9

Tak hanya itu, Jamah Tabligh (JT) sebagai gerakan dakwah yang cukup

besar juga mendasarkan sebagian besar pandangannya terhadap hadis-hadis

Nabi. Beberapa pandangannya yang khas, semisal tentang keharusan mengikuti cara makan Nabi, cara tidur Nabi, gaya berpakaian Nabi, dan segala tata laku

yang pernah Nabi lakukan seluruhnya dianggap sebagai sunnah tashri>’iyyah yang harus diikuti. Dalam hal lainnya, semisal arsitektur mesjid, mereka

mengikuti arsitektur mesjid Nabi pada zaman dulu. Termasuk juga di Temboro

Jawa Timur, yang merupakan pusat Jamaah Tabligh, dapat dijumpai rumah-

rumah para pengikutnya yang memiliki gorden di depan pintu bagian luar, bukan di bagian dalam pintu rumah. Penataan semacam itu, diinspirasi oleh hadis Nabi

tentang memasang hijab di rumah-rumah. Pendek kata, berkenaan dengan

masalah sosial-budaya, mereka sama sekali tidak memahami adanya unsur

Sunan Ibn Ma>jah (Beirut: Da>r Ih}ya> al-Tura>th al-‗Arabi, T.th), Vol. 5, 145. Nomor hadis:

4013. Teks hadis tersebut adalah,

من رأى منكم منكرا فػ ػغ ػره ب ده، فإف ل يستطع فل سانو، فإف ل يستطع فلق لو، وذاك .أ ع اا اف

7 Ubaydi Hasbillah, Nalar Tekstual Ahli Hadis: Akar Formula Kultur Moderat

Berbasis Tekstualisme (Ciputat: Maktabah Darussunnah, 2018), 12. 8 Muslim bin H}>>>>ajja>j al-Naysabu>ri>, S}ah}i>h} Muslim, Vol. 3, 1478. Nomor hadis:

1851. Teks hadisnya ialah,

ـ ـ، مات م ت ـ او، ومن مات وا س ف عنقو بػ ػع ـ ل حجي ـ، اقي اهلل يػوـ ااق ام من خ ع يدا من طاع «جاى يـ

9 Selengkapnya, lihat Mujiburrahman, Kritik terhadap Pemahaman Hizbut

Tahrir atas Hadis-hadis Khilafah. Jurnal Refleksi, Volume 15, Nomor 1, April 2016.

Lihat juga Taqi al-Din al-Nabhani, al-Syakhsiyyah al-Islamiyah (Beirut: Dar al-Umah,

2003). II, 2.

Page 32: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

24

budaya dalam hadis.10

Hal ini tentu saja berbeda dengan pandangan beberapa ahli hadis.

11

Dalam konteks global dan lebih ekstrem lagi, kelompok seperti Islamic State of Irak and Suriah (ISIS) yang kerap kali melakukan tindakan brutal

berupa pembantaian, pembunuhan, dan pengeboman di berbagai daerah juga

termasuk kontestan yang ikut serta memperebutkan legitimasi hadis. Bahkan,

jika menelaah majalah Dabiq,12

kutipan terhadap hadis jauh lebih rimbun ketimbang terhadap Alquran. Berpijak kepada sejumlah hadis Nabi, di antaranya

ialah hadis-hadis terkait jihad dan hadis-hadis akhir zaman, mereka seolah

merasa bahwa semua aksi dan tindakan brutal yang dilakukannya tersebut tak lain merupakan bagian dari tugas suci ketuhanan yang dibenarkan agama dan

mendapat jaminan surga.13

Beberapa fakta di atas menunjukkan bahwa hadis memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam membentuk struktur nalar umat Islam. Meski secara

hierarkis otoritasnya berada satu tingkat di bawah Alquran, akan tetapi hadis

merekam hal-hal partikular yang tidak dijumpai dalam Alquran. Terlebih, dalam konsepsi ajaran Islam, perkataan dan tindakan Nabi dipersepsikan sebagai

penjelas terhadap Alquran (mubayyin li al-Qura>n) yang masih global.14

Bahkan,

10

Ubaydi Hasbillah, Nalar Tekstual Ahli Hadis: Akar Formula Kultur Moderat

Berbasis Tekstualisme, 13. 11 Salah seorang ahli hadis yang coba memilah unsur-unsur budaya dalam hadis

ialah Ali Mustafa Ya‘qub. Misalnya, ia mengkategorikan jubah atau gamis sebagai

bagian dari pakaian khas Arab yang tidak ada kaitannya dengan agama. Selengkapnya,

lihat Ali Mustafa Yaqub, al-T>}uruq al-S>}ah}i>h}ah fi} Fahm al-Sunnah al-Nabawiyyah

(Ciputat: Maktabah Dar al-Sunnah, 2016). 12 Dabiq adalah salah satu majalah terbitan ISIS yang paling populer. Penamaan

ini dinisbatkan pada salah satu daerah di Suriah yang diprediksi oleh Nabi sebagai

tempat terjadinya malahim, yaitu peperangan terbesar akhir zaman antara pasukan salib dan umat Islam. Lihat Abdul Karim Munthe dkk, Meluruskan Pemahaman Hadis Kaum

Jihadis (Ciputat: Ebi Publishing, 2017). 10. 13 Salah satu hadis yang mereka kutip dapat dilihat dalam Muslim bin H}>>>>ajja>j al-

Naysabu>ri>, S}ah}i>h} Muslim, Vol. 3, 1517. Nomor hadis: 1910. Teks hadisnya ialah,

ـ من ن اؽ ث بو نػ سو، مات ع ى عل من مات ول يػغ ، ول دHadis ini menjelaskan bahwa orang yang mati, namun ia tidak pernah ikut

berperang atau tidak pernah terlintas dalam hatinya untuk berperang, maka ia mati dalam keadaan munafik. ISIS menjadikan hadis di atas sebagai alat legitimasi untuk menarik

simpati umat Islam agar bersedia menjadi mujahid. Padahal, menurut Ibn Mubarak, hadis

tersebut tidak berlaku umum, melainkan hanya berlaku dalam konteks peperangan.

Selengkapnya, lihat Abdul Karim Munthe dkk, Meluruskan Pemahaman Hadis Kaum

Jihadis, 28. 14

Abu > Layth Khayr Abad, Ittija>ha>t fi> Dira>sah al-Sunnah: Qadi>muha> wa

As}i>ruha> (Beirut: Muasasah al-Risa>lah, 2010), 19. Lihat juga Abu > Layth Khayr Abad,

‗Ulu>m al-H>}adi>th As}i>luha> wa Mu’a>s}iruha> (Malaysia: Da>r al-Sha>kir, 2011), 49. Bahkan,

al-Khat}i>b al-Baghda>di>, mengutip pernyataan Makh}u>l bahwa Alquran lebih

membutuhkan sunnah, ketimbang sunnah yang membutuhkan Alquran (Al-Qur’a>n ah}waj

ila al-sunnah min al-sunnah ila al-Qur’a>n). Lihat Abū Bakr Aḥmad bin ‗Alī bin Thābit

Page 33: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

25

sebagian besar konsepsi ajaran Islam terekam dalam hadis.15

Sampai di sini, penulis berasumsi bahwa hal inilah yang boleh jadi merupakan salah satu faktor

utama kenapa kemudian pengaruh hadis begitu hegemonik dalam membentuk

pola dan ekspresi keberagamaan masyarakat Muslim terutama di era modern sekarang ini.

Hegemoni pengaruh hadis dalam kehidupan umat Islam di era modern

mendapat perhatian tersendiri dari seorang sarjana Muslim kontemporer, George

Tharabishi. Dalam bukunya berjudul Min Isla>m al-Qur’a>n ila> Isla>m al-H}adi>th, ia

secara eksplisit mengatakan bahwa teks hadis lebih dominan dan lebih berhasil

dalam membentuk wajah dan ekspresi keberislaman umat pada era belakangan. Menurutnya, pada mulanya ekspresi keberislaman memang lebih banyak

dipengaruhi oleh Alquran, namun pada era belakangan lebih didominasi oleh

narasi hadis.16

Ini artinya, ada pergeseran yang signifikan terkait paradigma atau pola keberagamaan umat Islam dalam lintasan sejarah.

Jika ditarik lebih jauh ke belakang, fenomena pengutipan dan

penggunaan hadis untuk kepentingan tertentu juga memiliki preseden historisnya

pada era klasik, tepatnya pada periode formatif Islam (‗as}r al-takwi>n). Sebagai

contoh, hadis mengenai kedatangan pasukan yang mengenakan panji hitam. Pada awal kebangkitan dinasti Abasiyah seribu tahun yang lalu, para pembesarnya

melakukan kampanye besar-besaran salah satunya dengan cara mengutip hadis

tersebut sebagai alat legitimasi. Hadis pasukan panji hitam digunakan untuk

memobilisasi masa dari wilayah Khurasan. Keluarga ‗Abbas menggunakan

jaringan Ahlul Bait, yaitu pendukung keluarga ‗Ali > bin Abi> T}a>lib, sehingga

berhasil membalas kekalahan seratus tahun sebelumnya. Mereka memerintahkan

seluruh pasukannya menggunakan simbol serba hitam. Hal itu terjadi sekitar tahun 129 H. Namun pada era modern, hadis pasukan panji hitam justru

digunakan oleh kelompok Muslim radikal untuk melegitimasi dan meneguhkan

eksistensinya. Mereka menggunakan simbol politik dan atribut-atribut berwarna hitam. Mereka menulis artikel, buku, majalah dan media-media lainnya bahwa

mereka adalah tentara akhir zaman yang ada dalam hadis tersebut. Dari sini

dapat dipahami bahwa sejak awal penggunaan hadis tersebut sangat kental dengan nuansa politis.

17

Bahkan, pada periode yang lebih awal, tepatnya pada masa dinasti

Umayah, yang terjadi bukan hanya politisasi hadis, melainkan pemalsuan hadis.

bin Aḥmad bin Mahdī al-Khaṭīb al-Baghdādī, al-Kifāyah fi ‘Ilm al-Riwāyah (Madinah

al-Munawarah: Maktabah al-Ilmiyah, tt), Vol. 1, 14. 15

Pernyataan di atas dikemukakan Daud Rasyid sebagaimana dikutip Abdul

Hakim Wahid dalam bukunya ―Autentisitas Hadis Nabi; Studi Riwayat Na>fi> Mawla Ibn

‘Umar dalam Kitab al-S}ah}i>h}ayn‛ (Cirebon: Nusa Literasi Inspirasi, 2017). 35. 16

George Tharabishi, Min Isla>m al-Qur’a>n ila> Isla>m al-H}adi>th (Beirut: Da>r al-

Sa>q, 2007), 367. 17 Selengkapnya, lihat M. Khoirul Huda, Hadis Pasukan Panji Hitam;

Kesahihan, Penafsiran dan Penggunaannya dalam Sejarah Islam Klasik (Pekalongan:

Menara Publisher, 2016).

Page 34: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

26

Segelintir umat Islam saat itu tak segan-segan memalsukan atau memproduksi hadis atas nama Nabi. Hal itu mereka lakukan untuk meneguhkan posisi

kelompoknya sembari menjatuhkan lawan politiknya. Misalnya, antara

kelompok pendukung ‗Ali> dan Mu’a >wiyah.18

Pada masa ini, pemalsuan hadis sangat marak terjadi. Sejarah bahkan mencatat bahwa periode ini merupakan

awal mula terjadinya pemalsuan hadis dalam sejarah Islam. Pada saat itu,

otoritas Nabi diperebutkan sedemikian rupa untuk memenuhi syahwat politik. Karena dengan demikian, semua hal yang mereka bungkus atas nama Nabi, akan

terkesan sakral dan mengandung nilai-nilai profetik. Sehingga pada akhirnya

akan menarik simpati umat pada saat itu.

Fenomena perebutan teks-teks keagamaan sebagai alat legitimasi

berbagai kepentingan mendapat perhatian tersendiri dari para sarjana Muslim

kontemporer. Farid Esack, salah seorang sarjana Muslim kontemporer berkebangsaan Afrika mengatakan bahwa agama dan teks-teks agama (termasuk

di dalamnya hadis Nabi) menjadi wilayah perebutan.19

Yang dimaksud perebutan

di sini tak lain ialah perebutan legitimasi, baik antar individu maupun kelompok untuk berbagai macam kepentingan, baik ideologi, hukum, politik dan lain

sebagainya. Di kesempatan lain, ia mengatakan bahwa semua aktor politik

menggunakan otoritas agama (maksudnya teks-teks agama, baik Alquran

maupun hadis) sebagai alat legitimasi untuk meneguhkan eksistensinya. Nurul Huda mengomentari bahwa meskipun yang menjadi sampel penelitian Esack

adalah kasus di Afrika Selatan, namun diakui atau tidak, kasus yang sama juga

dapat dijumpai di berbagai negara, tak terkecuali di negara-negara Islam. Hal itu, karena justifikasi teks-teks suci dinilai sebagai benda sakti yang bisa

mengalahkan pihak lain. Fenomena ini telah terjadi sejak masa awal Islam.20

Bahkan, dalam kaitannya dengan hadis, Fazlur Rahman mengatakan bahwa orang yang benar-benar skeptis terhadap hadis pun terpaksa mencari legitimasi

bagi kepentingannya dari hadis, bila hadis yang bersangkutan cocok dengan

pandangannya.21

Sampai di sini, dapat dipahami bahwa sejak awal kemunculannya hingga

sekarang, otoritas hadis tidak pernah runtuh. Meski pandangan beberapa

18

Mun‘im Sirry, Tradisi Intelektual Islam; Rekonfigurasi Sumber Otoritas

Agama (Malang: Madani Media, 2015), 95. Lihat juga M. Syuhudi Ismail, Metode

Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1992), 13. Al-‗Uqayli > meriwayatkan

dari H>}amma >d bin Zayd bahwa orang-orang zindik telah memalsukan hadis atas nama

Nabi sebanyak 14.000 hadis. Salah satu di antaranya ialah Abd al-Kari>m al-Awja> yang

membuat hadis palsu sebanyak 4000 hadis. Lihat Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i>, Tadri>b al-Ra>wi>fi Sharh> Taqri>b al-Nawa>wi> (Beirut: Da>r T}ayyibah, t.th), Vol. 1, 335.

19 Nurul Huda, Penafsiran Politik: Kajian atas Tafsi>r al-H}uda> Karya Kolonel Bakri Syahid (Lebak, Pustaka Qi Falah, 2014), 32.

20 Nurul Huda, Penafsiran Politik: Kajian atas Tafsi>r al-H}uda> Karya Kolonel

Bakri Syahid,36. 21 Fazlur Rahman, Islam, 88.

Page 35: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

27

sarjana Barat22

dan segelintir sarjana Muslim kontemporer23

kerap kali dinilai telah menumbuhkan benih-benih skeptisisme,

24 tetapi hal itu tidak lantas

meruntuhkan otoritas hadis. Alih-alih runtuh melawan derasnya serangan dan

kritik yang dilancarkan para sarjana kontemporer, otoritas hadis—sebagaimana pendapat George Tharabishi di atas—malah berhasil bahkan sangat dominan

dalam membentuk wajah dan ekspresi keberislaman umat pada era modern. Ini

artinya, otoritas hadis terlalu kuat untuk dipatahkan. Terakhir, penulis ingin mengatakan bahwa mengutip hadis untuk melegitimasi berbagai ideologi dan

kepentingan akan terus terjadi dalam lintasan sejarah, sehingga terjadilah apa

yang oleh Babul Ulum dinamai dengan istilah ―perang hadis‖.25

B. Sabab al-Wuru>d dan Sabab al-I><ra>d: Konteks Historis Periwayatan Hadis

Sebagaimana halnya Alquran, hadis atau sunnah Nabi tidaklah muncul dalam ruang yang hampa kultural, melainkan dalam arus sejarah bangsa Arab

yang kompleks dan dinamis. Hadis selalu saja diucapkan oleh Nabi sebagai

komentar atau respons atas berbagai realitas dan problematika kehidupan bangsa

Arab ketika itu, sehingga akan sangat terkait erat dengan konteks sosio historis ketika Nabi mengucapkannya.

26 Dalam berbagai literatur hadis, informasi atau

riwayat yang merekam konteks peristiwa yang melatari kemunculan hadis Nabi

22

Sebagai contoh ialah Margoliouth, yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad

sama sekali tidak mewarisi sunnah ataupun hadis, dan bahwa sunnah yang dipraktikkan

kaum Muslim awal itu bukanlah sunnah Nabi, melainkan kebiasaan-kebiasaan bangsa Arab pra Islam yang telah dimodifikasi Alquran. Margoliouth juga mengatakan, dalam

rangka memberi otoritas terhadap kebiasaan-kebiasaan tersebut, kaum Muslim pada abad

kedua hijriah telah mengembangkan konsep sunnah Nabi dan menciptakan mekanisme

hadis untuk merealisasikan konsep tersebut. Selengkapnya, lihat Taufik Adnan Amal,

Islam dan Tantangan Modernitas; Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman

(Bandung: Mizan, 1992), 164. Pendapat yang hampir senada dikemukakan oleh Joseph

Schacht bahwa hadis hanyalah refleksi atau dampak logis perkembangan umat Islam

pada abad kedua hijriah yang diproyeksikan ke belakang sampai kepada Nabi.

Selengkapnya, lihat Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence

(Oxpord: Clarendon University Press, 1950), 76. 23 Beberapa sarjana Muslim yang cukup populer dalam mengkritisi otoritas

hadis antara lain Muh}ammad Abduh, Rashid Rida>, Abu> Rayyah, Taufi>q S}idqi dan

Ah}mad Ami>n. Selengkapnya, lihat Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka

Firdaus, 2018), 47. 24 Dalam diskursus kesarjanaan Barat, misalnya, Nabi Muh}ammad dianggap

sebagai sosok imajinatif belaka, atau hasil rekonstruksi ulama yang hidup dalam rentang

abad ke-2 dan ke-3 hijriyah. Nabi dianggap tidak benar-benar ada sebagai sosok atau

personal sejarah. Ia tak lain adalah hasil imajinasi generasi awal Islam dengan

kepentingan yang tidak seutuhnya dapat diterima. Selengkapnya, lihat Aceng Abdul

Qadir, Regionalisme dalam Periwayatan Hadis: Asal-Usul Hadis Berdasar Sanad

Geografis Kufah (Bandung: Pustaka Aura Semesta, 2019), 1. 25 Babul Ulum, Genealogi Hadis Politis; Al-Muawiyat dalam Kajian Islam

Ilmiah (Bandung: Marja, 2018), 197. 26

Yūsuf al-Qaraḍāwī, Kayfa Nata’āmal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyah (Beirut:

Da>r al-Shuru>q, 2002), 34.

Page 36: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

28

ini kemudian sering kali menyatu dengan batang tubuh teks hadis itu sendiri. Para mukharrij seolah menganggapnya sebagai bagian penting yang tak dapat

terpisahkan dengan teks hadis. Pada perkembangan berikutnya, hal ini menjelma

menjadi sebuah diskursus keilmuan tersendiri yang kemudian dikenal dengan ilmu asbāb al-wurūd atau asbāb wurūd al-ḥadīth, sebuah disiplin ilmu yang

secara khusus mengurai tentang latar historis atau konteks peristiwa kemunculan

hadis Nabi.27

Dengan pengertian yang lebih spesifik lagi, ilmu asbāb wurūd al-ḥadīth mengurai perihal sebab, faktor, latar belakang, kondisi dan berbagai hal

yang memotivasi Nabi untuk bersabda.28

Dalam konteks studi hadis, atau lebih spesifiknya dalam ilmu matan hadis, pengetahuan tentang asbāb al-wurūd dapat menjadi sebuah perangkat

metodologis dalam memahami dan menjelaskan substansi hadis.29

Melalui asbāb

al-wurūd ini, para pengkaji hadis dapat mengetahui dalam konteks apa Nabi bersabda? Kenapa, kapan, di mana, dan kepada siapa Nabi bersabda? Apa

kapasitas Nabi ketika bersabda?30

dan lain sebagainya. Lebih dari itu, para

27 Yah}ya Isma’i<l Ah}mad, Asba>b Wuru>d al-H}adi><th li> Jala>l al-Di>n al-Suyut}i>:

Tah}qi>qan wa Ta’li>qan wa Dira>satan (Beirut: Da>r al-Kutub ‘Ilmiyyah, 1984), 11. Lihat

juga T}a>riq As’ad H}ali>mi>, ‘Ilm Asba>b Wuru>d al-H}adi>th wa Tat}bi>qa>tihi> ‘inda al-Muh}addithi>n wa al-Us}u>liyyi>n (Beirut: Da>r Ibn H}azm, 2001), 24.

28 Ada banyak faktor yang melatari Nabi bersabda, baik karena adanya

pertanyaan, peristiwa, dan berbagai fenomena sosial yang mengitarinya. Sebagai contoh,

ada salah satu hadis populer yaitu: ―Segala sesuatu tergantung pada niat, dan seseorang

hanya mendapatkan sesuai niatnya. Barang siapa yang hijrahnya karena Allah dan rasul-

Nya, maka hijrahnya karena Allah dan rasul-Nya. Dan barang siapa yang hijrahnya

karena dunia atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai

kemana ia hijrah‖.

Secara kronologis, hadis ini diucapkan Nabi sebagai respons atas tindakan

seorang lelaki yang hijrah ke Madinah bukan untuk meraih keutamaan hijrah, tetapi

karena mengincar seorang wanita bernama Ummu Qays. Mendengar hal itu, Nabi

meresponsnya dan mengucapkan hadis di atas. Selengkapnya. Lihat Ali Musthafa

Yaqub, al-T}uruq al-S}}ah}i>h}ah fi> Fahm al-Sunnah al-Nabawiyyah (Ciputat: Maktabah

Darussunnah, 2016), 110. 29 Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i>, Alfiyah al-Suyut}i> fi ‘Ilm al-H{}adi>th (Tp: Maktabah

Ilmiyyah, T.th), 105. 30 Dalam rangka mengetahui posisi dan kapasitas Nabi ketika bersabda,

beberapa ulama berupaya menawarkan konsep diferensiasi tindakan dan sabda Nabi.

Pada era klasik, muncul Shihāb al-Dīn al-Qarāfī, seorang ulama ahli ushul fikih mazhab

Maliki yang juga merupakan murid ‗Izz al-Dīn bin ‗Abd al-Salām. Ia memilah posisi

Nabi menjadi tiga kategori, yaitu Nabi sebagai mufti, qādī dan pemimpin politik.

Baginya, ketiga pemilahan tersebut memiliki implikasi berbeda dalam memahami

syariat. Selengkapnya lihat Shihāb al-Dīn al-Qarāfī, Anwa>’ al-Buru>q (Beitut: Dar al-

Fikr). Sementara pada era modern, sarjana Muslim semisal Ṭāhir Ibn Ashūr membagi

sabda dan tindakan Nabi menjadi dua belas kategori, yaitu; al-tashrī’ (legislasi syariat), al-fatwā (opini keagamaan), al-qadā (putusan hakim), al-imārah (kepemimpinan atau

keputusan politik), al-hady wa al-irshād (petunjuk dan bimbingan) al-ṣulḥu (kontrak

damai), al-ishārah ‘alā al-mustashīr (konsultasi atau meminta pertimbangan), al-naṣīḥah

(pemberian saran), takmīl al-nufūs (penyempurnaan jiwa), ta’līm al-ḥaqā’iq al-ā’liyah

Page 37: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

29

pengkaji hadis juga dapat mengetahui dan membedakan antara pesan-pesan kenabian yang berlaku universal dan yang temporal atau terikat oleh konteks

tertentu. Pendek kata, penggunaan asbāb al-wurūd sebagai instrumen

pemahaman hadis merupakan sebuah keniscayaan yang mutlak. Mengabaikan asbāb al-wurūd untuk kemudian melucuti konteks historis kemunculan sebuah

hadis serta menggeneralisir makna teks hadis potensial melahirkan pemahaman

yang keliru.31

Sebagaimana halnya pada era Nabi, pada era berikutnya, yaitu era

Sahabat, hadis Nabi juga disampaikan kembali oleh para Sahabat kepada

generasi tabiin karena dilatarbelakangi oleh berbagai faktor dan peristiwa yang beragam. Yang menarik ialah, sebagaimana halnya narasi tentang konteks

peristiwa yang melatari Nabi mengucapkan sebuah hadis, maka narasi tentang

konteks peristiwa yang melatari Sahabat ketika mengutip, menggunakan atau

menyampaikan sebuah hadis juga terkadang diabadikan dan menyatu dengan batang tubuh teks hadis itu sendiri. Narasi tersebut seolah menjadi bagian yang

juga tak kalah penting sebagaimana halnya konteks historis kemunculan hadis

(sabab al-wuru>d). Dalam studi hadis, konteks peristiwa atau latar belakang yang memotivasi pengutipan, penggunaan dan penyampaian hadis semacam itu, oleh

beberapa sarjana hadis, di antaranya T}a>riq As’ad H}alimi dan Ahmad Ubaydi

Hasbillah, disebut dengan istilah sabab al-i>ra>d atau sabab i>ra>d al-hadi>th.32

Sabab al-i>ra>d, dapat dikatakan sebagai sebab, faktor, atau motivasi periwayatan dan penggunaan hadis oleh para perawi, tak terkecuali perawi pada

tingkat Sahabat. Teori sabab al-i>ra>d ini bisa dibilang sebagai turunan dari teori

sabab al-wuru>d. Hanya saja objek keduanya yang berbeda. Berkenaan dengan

(pengajaran nilai-nilai luhur atau pendidikan etika tingkat tinggi) al-ta’dīb (penertiban

masyarakat atau pendidikan pekerti) al-tajarrud an al-irshād (pernyataan tanpa motif

tertentu). Dari kedua belas kategori tersebut, menurut Ibn Ashūr, hanya satu yang perlu

mendapat perhatian serius, yaitu al-tashri‘. Selengkapnya, lihat Muhammad Ṭāhir Ibn

‗A>shūr, Maqāṣid al-Sharī’ah al-Islāmiyyah. (Tunis: Dar al-Salam, 2009), 29. Akan tetapi, pemilahan sabda dan tindakan Nabi menjadi sunnah tashri’iyyah dan non

tashri’iyyah tersebut melahirkan pro dan kontra di kalangan para sarjana Muslim, sebut

saja misalnya Abū Layth yang mengatakan bahwa sunnah Nabi seluruhnya adalah

tashri’. Persoalan mubah seperti makan, minum, tidur, berpakaian dan berjalan

merupakan bagian dari syari‘at Islam, karena hukum mubah merupakan bagian dari al-

ah}ka>m al-khamsah. Selengkapnya, lihat Abū Layth Khayr Abad, Ittijāhāt fi Dirāsah al-

Sunnah; Qadīmuhā wa ‘Aṣīruhā, 141-143. 31

Berkenaan dengan fungsi asbāb al-wurūd ini, sarjana Muslim seperti Ṭāriq

Asad Halīmi, sebagaimana dikutip M. Khairul Huda, pernah menegaskan bahwa

diskursus asbāb al-wurūd pada era klasik cenderung berkutat dalam kerangka

periwayatan. Dengan perkataan lain, asbāb al-wurūd hanya digunakan sebagai instrumen

untuk menguji akurasi periwayatan hadis serta keragaman redaksi. (Ciputat: el-Bukhari

Institute, 2019), 9. 32 T}a>riq As’ad H}ali>mi>, ‘Ilm Asba>b Wuru>d al-H}adi>th wa Tat}bi>qa>tihi> ‘inda al-

Muh}addithi>n wa al-Us}u>liyyi>n, 106. Bandingkan dengan Ahmad Ubaydi Hasbillah, Ilmu Living Quran-Hadis: Ontologi, Efistemologi, dan Aksiologi (Ciputat: Maktabah

Darussunnah, 2019), 132.

Page 38: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

30

teori ini, penulis mengamini apa yang dikatakan Ahmad Ubaydi Hasbillah bahwa dalam diskursus ilmu hadis konvensional, teori ini dapat dikatakan

sebagai teori yang tidak populer di kalangan para pengkaji hadis. Bahkan,

sebagian pembaca hadis kerap kali keliru dalam memahami latar belakang

sebuah hadis, yang semestinya dikategorikan sebagai sabab al-i>ra>d, namun ia

sebut sebagai sabab al-wuru>d. Padahal,—sekali lagi—objek keduanya tentu saja berbeda.

33

Masih menurut Ahmad Ubaydi Hasbillah, teori sabab al-i>ra>d ini berfungsi untuk menjelaskan latar belakang atau motivasi periwayatan hadis,

bukan latar belakang kemunculan hadis. Latar belakang munculnya hadis (sabab

al-wuru>d) terjadi pada saat sebuah hadis diucapkan oleh Nabi, sedangkan latar

belakang penyampaian atau penggunaan hadis (sabab al-i>ra>d) adalah konteks,

kondisi, latar belakang atau motivasi para periwayat dalam menyampaikan

sebuah hadis.34

Sebagaimana halnya sabab al-wuru>d, bentuk sabab al-i>ra>d ini pun bisa berupa pertanyaan kepada para Sahabat atau peristiwa tertentu yang

mendorong mereka untuk meresponsnya dan menyampaikan hadis Nabi.35

Namun, sekali lagi, baik sabab al-wuru>d maupun sabab al-i>ra>d, keduanya kerap

kali menyatu secara langsung dengan batang tubuh teks hadis, sehingga para

pengkaji hadis boleh jadi akan sulit membedakannya.

Terlepas dari itu, penulis belum dapat memastikan, siapa sebetulnya

orang yang pertama kali memunculkan istilah sabab al-i>ra>d untuk menunjuk konteks peristiwa yang melatari penggunaan hadis oleh para Sahabat. Pasalnya,

pada era klasik, istilah yang digunakan adalah sabab ba’da ‘as}r al-nubuwwah

(sabab al-wuru>d pasca masa Nabi). Hal itu, sebagaimana digunakan oleh Ibn

H}amzah al-Dimashqi> (w 1120 H) dalam karyanya al-Bayān wa al-Ta’rīf fī

Asbāb Wurūd al-Ḥadīth al-Sharīf.36

Bahkan, dialah ulama hadis yang pertama kali meletakan konsep dasar teori ini, meskipun belum dikonseptualisasikan

secara lebih jauh.

Pada era kontemporer, istilah yang digunakan al-Dimashqi> tersebut

mendapat kritikan dari Muh}ammad bin Muh}ammad Abu> Shuhbah. Menurutnya,

konteks pengutipan atau penggunaan hadis oleh para Sahabat bukanlah sabab al-wuru>d—apa pun itu namanya, termasuk penamaan dengan istilah sabab ba’da

‘as}r al-nubuwwah. Karena yang dimaksud dengan sabab al-wuru>d ialah sebab atau konteks yang melatari kemunculan sabda Nabi. Adapun konteks yang

33

Ahmad Ubaydi Hasbillah, Ilmu Living Quran-Hadis: Ontologi, Efistemologi,

dan Aksiologi, 132. 34

Ahmad Ubaydi Hasbillah, Ilmu Living Quran-Hadis: Ontologi, Efistemologi,

dan Aksiologi, 133. 35 Ragam contoh mengenai hal ini, akan dijelaskan pada bab IV. 36

Ibn H>}amzah al-Dimashqi al-Ḥusaini, al-Bayān wa al-Ta’rīf fi Āsbāb al-

Wurūd al-Hadīth al-Sharīf (Beirut: Maktabah al-Ilmiyah, 1982), 1, 35

Page 39: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

31

melatari atau memotivasi para Sahabat dalam menyampaikan hadis Nabi lebih

tepatnya disebut sebagai sabab al-dhikr atau sabab dhikr al-h}adi>th.37

Hal lainnya yang perlu dikemukakan di sini ialah, berbeda dengan al-

Dimashqi, Ahmad Ubaydi Hasbillah mencoba memberikan distingsi baru

dengan cara mengembangkan cakupan teori tersebut secara lebih luas. Jika

sebelumnya al-Dimashqi hanya membatasi cakupan teori tersebut pada konteks

dan motivasi yang melatari penyampaian dan penggunaan hadis oleh para

Sahabat, maka dalam hal ini Ubaydi Hasbillah memperluas cakupannya meliputi konteks penyampaian dan penggunaan hadis oleh para perawi secara umum,

tanpa terkecuali. Hal ini ia lakukan dalam rangka pengembangan ilmu Living

Hadis.38

Selanjutnya, berkenaan dengan fungsi sabab al-i>ra>d ini, penulis menilai

bahwa teori ini menarik untuk dikembangkan lebih lanjut, terutama sebagai instrumen atau perangkat metodologis dalam memahami hadis Nabi. Terlebih,

tidak semua hadis Nabi dapat diketahui konteks peristiwa kemunculannya. Hal

ini tentu menyulitkan para pengkaji hadis dalam memahami pesan-pesan

kenabian secara holistik. Bahkan, salah satu hal yang menarik adalah, dalam beberapa literatur hadis, kerap dijumpai hadis-hadis yang—tanpa diketahui

dalam konteks apa Nabi mengucapkannya,—tiba-tiba dikutip atau baru

disampaikan kembali oleh para Sahabat pada generasi berikutnya, terutama untuk merespons suatu peristiwa ketika berinteraksi dengan generasi tabiin.

Pengutipan dan penggunaan hadis oleh para Sahabat semacam ini, tentu

menjadi perhatian tersendiri yang menarik untuk dikaji. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa para Sahabat, sebagai saksi sejarah kenabian, telah

memproduksi konteks baru penggunaan dan pengamalan sebuah hadis, di mana

konteks awalnya sendiri adakalanya tidak dapat diketahui. Dalam kasus yang terakhir ini, dapat diajukan sebuah pertanyaan kritis yaitu, jika dalam berbagai

literatur dikatakan bahwa para Sahabat adalah generasi yang paling tahu tentang

Islam setelah Nabi—karena menyaksikan langsung proses turunnya wahyu

kepada Nabi, sehingga dianggap sebagai generasi yang paling mengerti tentang bagaimana semestinya ajaran Islam dipahami dan dipraktikkan,—maka

pertanyaan yang muncul kemudian ialah, apakah konteks peristiwa yang melatari

penggunaan hadis oleh para Sahabat ini dapat menjadi sebuah instrumen atau perangkat metodologis dalam memahami dan menjelaskan hadis-hadis yang

tidak diketahui konteks awal diucapkannya oleh Nabi? Dalam bahasa yang lebih

sederhana, mungkinkah sabab al-i>ra>d dapat menggantikan fungsi dan posisi

sabab al-wuru>d sebagai instrumen dalam memahami hadis Nabi?

Sebagaimana disinggung di atas, Ibn Ḥamzah al-Dimashqi> mengkategorikan konteks historis yang melatari penggunaan hadis oleh generasi

37

Muḥammad bin Muḥammad Abū Shuhbah, al-Wasīṭ fī Ulūm wa Muṣṭalaḥ al-

Ḥadīth (Kuwait: ‗Ālam al-Ma‘rifah, 1983), 126. 38

Selengkapnya, lihat karya Ahmad Ubaydi Hasbillah, Ilmu Living Quran-

Hadis: Ontologi, Efistemologi, dan Aksiologi, 133.

Page 40: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

32

Sahabat sebagai bagian dari sabab al-wuru>d. Ia menyebutnya dengan istilah sabab al-wurūd pasca masa Nabi (sabab al-wurūd ba’da ‘aṣr al-Nubuwwah) dan

membedakannya dengan sabab al-wurūd pada masa Nabi (sabab al-wurūd fī ‘aṣr al-Nubuwwah).

39 Yang menarik adalah, ia mengatakan bahwa konteks

historis yang melatari penggunaan hadis oleh generasi Sahabat dapat menjadi

sebuah instrumen atau perangkat metodologis dalam memahami dan

menjelaskan substansi hadis yang tidak diketahui konteks awal diucapkannya oleh Nabi. Argumentasi yang dibangun ialah, karena para Sahabat adalah

generasi yang menyaksikan langsung perkataan dan perbuatan Nabi. Mereka

juga senantiasa merawat tradisi kenabian dengan baik.40

Atas dasar itu, al-

Dimashqi> seolah ingin menegaskan bahwa, meskipun sebuah hadis baru

digunakan atau dimunculkan kembali oleh para Sahabat untuk merespons peristiwa tertentu pada era belakangan, tetapi konteks peristiwa yang melatari

mereka mengutip atau menggunakan hadis tersebut sangat identik dengan

konteks peristiwa yang melatari Nabi mengucapkannya untuk pertama kali.

Artinya, pengutipan atau penggunaan tersebut tentu didasarkan pada pengetahuan mereka tentang konteks awal yang melatari Nabi mengucapkan

hadis tersebut, sehingga mereka tidak mungkin menyampaikannya kembali di

luar konteks dan peristiwa yang sama. Namun demikian, pandangan al-Dimashqi ini perlu diuji terlebih dahulu. Oleh karenanya, pada bab keempat nanti, penulis

akan menunjukkan implikasi dari penelitian ini terhadap pandangan al-Dimashqi

tersebut.

Di bawah ini adalah contoh dari sabab al-i>ra>d.

أخرج مرواف اامنلػر ف يػوـ ع د، فػلدأ : عن طارؽ بن اب، عن أيب سع د اادري، قاؿ ـ قػلل ااصيالة، فػقاؿ رجل طل ، ول يكن : باا ـ، أخرجت اامنلػر ف ىذا اا ػوـ يا مرواف خاا ت ااسني

ـ قػلل ااصيالة، ول يكن يػلدأ ا، فػقاؿ أبو سع د طل أميا ىذا فػقد قضى ما ع و، : رج، وبدأت بااعت رسوؿ اا يو يى اهلل ع و وس يم، يػقوؿ من رأى منكم منكرا، فاستطاع أف يػغ ػره ب ده، »:

فػ ػغ ػره ب ده، فإف ل يستطع، فل سانو، فإف ل يستطع، فلق لو، وذاك أ ع ااا اف

39 Kategorisasi ini adalah murni hasil inovasi pemikiran Ibn Hamzah al-

Dimashqi yang tidak dijumpai dalam berbagai literatur hadis klasik, terutama yang

berkenaan dengan asbāb al-wurūd. Sejauh yang bisa dilacak, beberapa literatur yang

berkenaan dengan asbāb al-wurūd lainnya hanya memaknai asbāb al-wurūd sebagai

sebab, faktor atau konteks yang melatari Nabi mengucapkan sebuah hadis. Lihat

misalnya, Abd al-Raḥmān bin Abī Bakr Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, al-Luma’fī Asbāb Wurūd

al-Ḥadith (Beirut: Da>r al-Fikr, 1996). 40

Ibn H}amzah al-Dimashqi> al-Ḥusayni>,al-Bayān wa al-Ta’rīf fi Āsbāb al-

Wurūd al-Hadīth al-Sharīf (Beirut: Maktabah al-Ilmiyah, 1982), 1, 35. Teks aslinya

ialah,

فإف ااصحابـ ر ي اهلل عن م ح ظوا األقواؿ واألفعاؿ وحافظوا ع ى األطوار واألحواؿ ف كوف ااسلب ف ااورود عن م مل نا ملا ل يع م سللو عن اانيب ى اهلل ع و وس م

Page 41: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

33

Dari T>}ariq bin Shiha>b, dari Abu > Sa’i>d al-Khudriy, ia berkata: Marwan mengeluarkan mimbar pada hari id. Ia memulainya dengan

melaksanakan khutbah terlebih dahulu. Salah seorang dari jamaah berkata: Wahai Marwan, engkau telah menyalahi sunnah. Mengeluarkan

mimbar lalu memulai dengan khutbah, bukan dengan shalat. Abu > Sa’i >d

al-Khudriy berkata: Ini telah bertentangan dengan apa yang pernah Nabi contohkan. Aku pernah mendengar Nabi bersabda: Barang siapa di

antara kalian yang melihat kemungkaran, dan ia mampu mengubahnya

dengan tangan, maka ubahlah dengan tangan. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya. Dan itu

selemah-lemahnya iman. (HR. Muslim).41

Hadis ini dapat dijumpai dalam beberapa kitab induk hadis, di antaranya

ialah S>}ah}i>h} Muslim dan Sunan Ibn Ma>jah.42

Sementara itu, secara historis-

kronologis, tak dapat dijumpai apa konteks peristiwa (sabab al-wuru>d) yang melatari Nabi mengucapkannya untuk pertama kali. Beberapa riwayat yang ada

hanya menyebutkan bahwa hadis tersebut disampaikan pada era belakangan,

tepatnya pada masa khalifah Marwan bin Hakam. Pada narasi di atas,

diinformasikan bahwa hadis tersebut disampaikan oleh Sahabat bernama Abu >

Sa’i>d al-Khudriy sebagai respons atas tindakan kontroversial khalifah Marwan

yang mendahulukan khutbah sebelum shalat id, di mana hal itu bertentangan dengan apa yang pernah dicontohkan oleh Nabi, yaitu memulainya dengan shalat

id terlebih dahulu, bukan dengan khutbah. Melihat tindakan Marwan tersebut,

Abu> Sa’i>d al-Khudriy langsung menegurnya kemudian menyampaikan hadis di atas.

Berdasarkan narasi di atas, dapat dipahami bahwa konteks peristiwa

yang melatari Abu> Sa’i>d al-Khudriy dalam menyampaikan hadis di atas

merupakan contoh dari sabab al-i>ra>d, bukan sababal-wuru>d. Ia menilai bahwa tindakan Marwan tersebut merupakan bentuk kemungkaran yang harus dicegah,

sehingga ia langsung menegurnya dengan cara menyampaikan hadis yang pernah

ia dengar dari Nabi. Kendati demikian, penulis menyangsikan bahwa Nabi

menyampaikan hadis tersebut pada konteks dan peristiwa yang sama. Dalam hal

ini, penulis berada dalam dugaan kuat, bahwa Abu> Sa’i>d al-Khudriy

menyampaikan hadis di atas karena pesan moral yang terkandung di dalamnya dianggap relevan dengan kasus yang ia hadapi.

Tak hanya itu, hal lainnya yang menarik dikemukakan di sini ialah,

bahwa narasi tentang konteks peristiwa yang melatari Sahabat menyampaikan

sebuah hadis (sabab al-i>ra>d) adakalanya tidak menyatu langsung dengan batang tubuh teks hadis, tetapi dapat dijumpai melalui data kesejarahan yang terekam

41

Muslim bin H}>>>>ajja>j al-Naysabu>ri>, S}ah}i>h} Muslim 3, 1391. 42

Abu > ‗Abd Alla>h Muh}ammad bin Yazi>d al-Qazwayni >, Sunan Ibn Ma>jah

(Beirut: Da>r al-Risa>lah, 2009), 5, 145; Muh}ammad bin H}ibban bin Ah}mad bin H}ibban

bin Mu’a>dh bin Ma‘bad al-Tami>mi>, al-Ih}sa>n fi> Taqri>b S}ah}i>h} Ibn H}ibban (Beirut:

Muassasah al-Risa>lah, 1988), 1, 542.

Page 42: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

34

dalam kitab si>rah, ta>ri>kh, t}abaqa>t, dan lain sebagainya. Melalui pembacaan terhadap data-data kesejarahan, dapat diketahui bagaimana kemudian seorang

Sahabat, mengutip atau menggunakan otoritas hadis untuk merespons peristiwa tertentu yang terjadi pada era belakangan pasca wafatnya Nabi, terutama ketika

berinteraksi dengan para tabiin.43

Di bawah ini adalah contoh hadis Nabi yang sabab al-irad-nya dapat

dijumpai dalam kitab t}abaqa>t.

جاء علد اهلل بن عمر إل علد اهلل بن مط ع حني اف من أمر الرية ما اف، : عن نافع، قاؿ ـ، فػقاؿ إن ل آتك ألج س، أتػ تك : اطرحوا أليب علد ااري ن وسادة، فػقاؿ : زمن ي يد بن معاوي

عت رسوؿ اهلل يى اهلل ع و وس يم يػقواو ك حدييا عت رسوؿ اهلل يى اهلل ع و وس يم : ألحد ـ، »: يػقوؿ ـ او، ومن مات وا س ف عنقو بػ ػع ـ ل حجي ـ، اقي اهلل يػوـ ااق ام من خ ع يدا من طاع

ـ جاى يـ «مات م ت―Dari Nafi‘, ia berkata: Abd Allah bin Umar mendatangi ‗Abd Allah bin Muthi‘ pada saat memimpin negeri Harrah, tepatnya pada masa khilafah

Yazid bin Mu‘awiyah. ‗Abd Allah bin Muthi berkata: Berikanlah alas

kepada Abi Abd al-Rahman (‗Abd Allah bin Umar). ‗Abd Allah bin Umar berkata: Sesungguhnya aku mendatangimu bukan untuk duduk,

melainkan untuk menyampaikan sebuah hadis yang pernah aku dengar

dari Nabi SAW. Beliau bersabda: Barang siapa yang melepaskan

tangannya dari ketaatan, maka dia akan menemui Allah pada hari kiamat nanti tanpa memiliki hujjah. Dan barang siapa yang mati, sedangkan di

pundaknya tidak ada baiat, maka ia telah mati dalam keadaan jahiliyah

(H.R. Muslim).44

Berdasarkan pelacakan penulis atas berbagai sumber hadis, tak dapat

diketahui dalam konteks apa sebetulnya Nabi mengucapkan hadis tersebut untuk pertama kali. Hal ini tentu menyulitkan para pengkaji hadis dalam

memahaminya secara holistik. Pasalnya, narasi di atas secara eksplisit hanya

menunjukkan bahwa hadis tersebut pernah disampaikan pada era belakangan

43 Hadis dan sejarah Islam (sirah) pada dasarnya merupakan dua cabang disiplin

ilmu yang memiliki keterkaitan erat. Kajian sejarah Islam pada mulanya merupakan

cabang dari studi hadis, sehingga dapat dipastikan bahwa historiografi Islam yang lebih

awal banyak dipengaruhi oleh studi hadis. Namun, yang terjadi kemudian adalah, kedua

cabang disiplin ilmu itu cenderung berjalan sendiri-sendiri dan seolah tidak ada

keterkaitan antara keduanya. Apalagi setelah sejarawan Muslim mengadopsi metode

kritik historis dari Barat, maka hubungan antara studi hadis dan historiografi Islam

semakin menjauh. Selengkapnya, lihat Ahmad Ubayd Hasbillah, Sirah Nabawiyah dan Demitologisasi Kehidupan Nabi, Journal of Quran and Hadith Studies, Vol. 1, No. 2,

2012 (Juli-Desember 2012), 256. 44

Lihat Muslim bin H}>>>>ajja>j al-Naysabu>ri>, S}ah}i>h} Muslim, Vol. 3, 1478. Nomor

hadis: 1851.

Page 43: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

35

oleh ‗Abd Allah bin ‗Umar kepada ‗Abd Allah bin Muti‘, tepatnya pada saat terjadinya fitnah di masa khilafah Yazid bin Mu‘awiyah. Akan tetapi, itu pun

tidak begitu jelas dalam konteks apa sebetulnya ‗Abd Allah bin ‗Umar

menyampaikan hadis tersebut. Beberapa kitab induk hadis lainnya yang merekam keberadaan hadis tersebut juga hanya menyuguhkan narasi yang

sama.45

Ketiadaan informasi terkait hal ini, mendorong penulis untuk menelisik sumber lain di luar kitab-kitab hadis dengan harapan mampu menemukan

konteks pengutipan dan penggunaannya dalam pentas sejarah Islam. Setelah

dilakukan pelacakan terhadap kitab-kitab sejarah dan t}abaqa>t, salah satunya

kitab al-T}abaqa>t al-Kubra> karya Ibn Sa‘d, ditemukan riwayat sebagai berikut.

ـ بن مميد بن علد اا يو بن مط ع ـ " عن أم ي أفي علد اا يو بن مط ع أراد أف ي ري من اامدينـ فسمع بذاك علد اا يو بن عمر ـ ي يد بن معاوي ن أين تريد يا ابن : قاؿ . ف رج إا و ح ي جاءه , ا ال فتػ

ـ أبدا : عم؟ فػقاؿ عت رسوؿ اا يو , يا ابن عم : فػقاؿ , ل أعط م طاع ل تػ عل؛ فإن أ د أن ـ جاى يـ »: ى اهلل ع و وس م يػقوؿ ـ ع و مات م ت ع « من مات ول بػ ػ

―Dari Umayah bin Muhammad bin ‗Abdullah bin Mut }i>, bahwa

‗Abdullah bin Mut }i> hendak melarikan diri dari Madinah pada malam

terjadinya fitnah Yazi>d bin Mu’a>wiyah. ‘Abdulla>h bin ‘Umar

mendengarnya kemudian ia keluar untuk mendatangi‗Abdullah bin Mut }i

dan berkata: Kemanakah engkau wahai anak pamanku? ‗Abdullah bin

Mut}i> menjawab: Sungguh aku enggan menaati mereka (khali>fah Yazi>d

bin Mu’a>wiyah) selamanya. Lalu ‘Abdulla>h bin ‘Umar berkata, wahai

anak pamanku, janganlah kau lakukan itu. Sesungguhnya aku bersaksi

bahwa aku telah mendengar Rasu>lullah saw bersabda: Barangsiapa yang

mati,sementara dalam dirinya tidak terdapat baiat, maka ia telah mati

dalam keadaan jahiliyah.‛46

Berdasarkan riwayat di atas, dapat diketahui bahwa hadis tersebut pernah disampaikan pada era belakangan oleh ‗Abd Allah bin ‗Umar, tepatnya

pada saat terjadinya fitnah di masa khilafah Yazid bin Mu‘awiyah.

Diinformasikan bahwa hadis di atas disampaikan ‗Abd Allah bin ‗Umar

berkenaan dengan kasus ‗Abd Alla>h bin Muṭī‘ yang hendak melarikan diri dari

Madinah karena enggan menaati khalifah Yazīd bin Mu‘āwiyah. Hal itu,

tepatnya pada saat terjadinya fitnah dimasa khali>fah Yazīd bin Mu’a>wiyah. Mendengar kabar tersebut, ‗Abd Allah bin ‗Umar langsung bergegas

45

Lihat misalnya Abu ‗Awānah Ya‘qūb bin Isḥāq al-Asfara‘anī, Musnad Abī

‘Awānah (Beirut: Dār al-Ma‘rifah, tt), Vol. 4, 416; Abu al-Qa>sim Sulayma>n bin Ah{mad

al-T{abara>ni>, Mu’jam al-Ausa>t} (Kairo:Dār al-Ḥaramain, tt), 78; Ah{mad bin H{usein bin

Alī bin Mūsa Abū Bakr al-Bayhāqi>, Sunan al-Bayha>qi> (Mekkah: Da>r al-Ba>z, 1994),156;

Ibn H{ibba>n, S{ah}i>h} Ibn H{ibba>n, Vol. 10, 439. 46

Abu > ‗Abd Alla>h Muhammad bin Sa‘d bin Mani>’ al-Bas}ri> al-Zuhri>, al-T{abaqa>t al-Kubra> (Beirut: Da>r S{a>dir, tt), 144.

Page 44: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

36

menghampiri ‗Abd Alla>h bin Muṭī‘ untuk mencegah kepergiannya kemudian menyampaikan hadis di atas.

47

Sampai di sini, dapat dipahami bahwa ‗Abd Allah bin ‗Umar mengutip atau menyampaikan hadis di atas tak lain ialah sebagai respons atas tindakan

‗Abd Allah bin Muthi. Dari sini, point penting yang ingin penulis tegaskan ialah,

bahwa konteks historis yang melatari dan memotivasi ‗Abd Allah bin ‗Umar dalam menyampaikan hadis di atas merupakan contoh dari sabab al-irad yang

terekam dalam data-data kesejarahan, bukan dalam kitab-kitab induk hadis. Data

tersebut, di saat yang sama juga kian meneguhkan bahwa hadis dan sejarah

adalah dua entitas yang meskipun berbeda namun tak dapat dipisahkan.

Melalui uraian di atas, secara umum penulis ingin menegaskan satu hal,

bahwa dalam diskursus ilmu hadis, terdapat istilah dan teori tersendiri untuk menunjuk konteks dan motivasi penggunaan hadis oleh para Sahabat. Ibn

H>}amzah al-Dimashqi> menyebutnya dengan istilah sabab ba’da ‘as}r al-

nubuwwah, Muh}ammad Abu> Shuhbah menyebutnya dengan istilah sabab al-

dhikr, sedangkan beberapa sarjana lain, di antaranya T}a>riq As’ad H}alimi dan

Ahmad Ubaydi Hasbillah menyebutnya dengan istilah sabab al-i>ra>d. Teori inilah yang selanjutnya akan penulis gunakan untuk membaca dan mengurai dinamika

penggunaan hadis oleh Sahabat Nabi.

C. Riwayat Bi al-Ma’na>: Preseden Fleksibelitas Periwayatan Hadis

Eksistensi hadis, sebelum dikodifikasi dalam sejumlah kitab induk hadis

(Ummaha>t al-Kutub al-H>}adi>thiyah) sebagaimana dapat dijumpai saat ini,

terlebih dahulu harus melewati dinamika sejarah yang cukup kompleks. Ia

dihimpun melalui proses kegiatan yang disebut dengan istilah ‗periwayatan‘ (al-

riwa>yah).48

Kegiatan ini berlangsung dalam rentang waktu yang cukup lama.

47

Beberapa sarjana Muslim kontemporer menolak otentisitas hadis yang

kemunculannya diwarnai oleh nuansa politik atau fitnah (fitan). Sebagai sebuah contoh,

tokoh sekaliber Muhammad Abduh misalnya, sebagaimana dikutip Mun‘im Sirry,

kmenolak hadis-hadis fitnah, kendatipun hadis-hadis tersebut dapat dijumpai dalam kitab-kitab hadis Ṣaḥīḥ. Lihat Mun‘im Sirry, Tradisi intelektual Islam; Rekonfigurasi

Sumber Otoritas Agama, (Malang: Madani, 2015), 82. 48 Penting dicatat, bahwa tradisi periwayatan bukanlah sesuatu yang baru dalam

pentas sejarah. Sebelum kemunculan Islam, tradisi periwayatan sudah ada di kalangan

bangsa Persia, Yunani, Romawi, Hindia, dan lain sebagainya. Mereka sangat berpegang

tegung pada periwayatan dalam menukil dan menghafal keturunan para pembesar dan

sejarah para pahlawannya. Begitu pula untuk merekam berbagai peristiwa, peperangan,

sya‘ir-sya‘ir dan kisah-kisah yang mereka gunakan untuk menghubungkan kejadian masa

kini dengan masa silam. Sementara itu, di kalangan bangsa Arab pra Islam, tradisi

periwayatan juga digunakan bahkan dapat dikatakan sangat merebak, terlebih karena

mereka pada umumnya adalah masyarakat yang tidak mengenal tradisi membaca dan

menulis. Oleh karenanya, sebagaimana halnya bangsa lain, mereka juga sangat berpegang teguh pada periwayatan, baik untuk menghafal silsilah keturunan, peristiwa-

peristiwa penting, dan lain sebagainya.

Namun, setelah kemunculan Islam, tradisi periwayatan memiliki distingsi

tersendiri, di mana Islam sangat memperhatikan otentisitas dan akurasi sebuah

Page 45: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

37

Pada awalnya, hadis merupakan hasil kesaksian para Sahabat terhadap

perkataan, perbuatan, ketetapan (taqri>r) dan segala hal yang berkenaan dengan

Nabi SAW. Apa yang disaksikan oleh para Sahabat, kemudian diriwayatkan

kembali kepada generasi setelahnya (tabi >’i>n) dan begitu seterusnya. Kegiatan

periwayatan ini terus berlanjut secara estafet hingga kemudian dihimpun dalam

sejumlah kitab kumpulan hadis semisal al-Kutub al-Sittah dan beberapa jenis kitab lainnya. Kumpulan kitab itulah yang kemudian menjadi sumber

pengetahuan dan rujukan hadis bagi generasi setelahnya bahkan sampai saat

ini.49

Transformasi hadis dari bentuk verbal ke dalam bentuk tulisan menjadikannya tidak lagi berubah dan berkembang, tetapi terekam dalam bentuk

yang terstuktur dan terorganisasi.50

Dalam konteks periwayatan hadis, ada dua model atau bentuk periwayatan yang digunakan para ulama hadis; pertama, ialah periwayatan

secara lafal (al-riwa>yah bi al-lafz }i>) dan kedua, ialah periwayatan secara makna

(al-riwa>yah bi al-ma’na >). Ah}mad ‗Umar Ha>shim mendefinisikan bahwa yang

dimaksud riwayat bi al-lafz}i> ialah periwayatan atau penyampaian hadis sesuai

apa yang dikemukakan periwayat sebelumnya dan dengan lafadz yang didengarnya tanpa ada perubahan atau pergantian, penambahan atau

pengurangan, dan tanpa mendahulukan (suatu lafal) atau mengakhirkannya.51

Dengan pengertian yang lain, riwayat bi al-lafz}i> adalah periwayatan hadis secara tekstual, di mana seorang periwayat menyampaikan redaksi hadis secara persis

sesuai apa yang disabdakan oleh Nabi untuk pertama kali tanpa adanya

penambahan ataupun pengurangan sedikit pun. Periwayatan semacam ini dianggap sebagai bentuk periwayatan terbaik dalam memelihara kemurnian

hadis.52

Segelintir Sahabat sangat menjaga ketat riwayat bi al-lafz}i> ini.53

Sementara itu, yang dimaksud riwayat bi al-ma’na> ialah penyampaian

atau periwayatan hadis berdasarkan maknanya, baik seluruh lafaznya dari

periwayat atau hanya sebagiannya saja dengan syarat ia memelihara pesan dan

maknanya.54

Dengan pengertian lain, riwayat bi al- ma’na > ialah periwayatan

periwayatan dengan berbagai intsrumen yang menyertainya semisal ilmu al-Jarh} wa al-Ta’di>l. Ini tentu saja berbeda dengan tradisi periwayatan yang berlaku pada masa

sebelumnya, di mana mereka kurang memperhatikan otentisitas, sehingga

periwayatannya lebih banyak terkontaminasi oleh hal-hal yang berbau mitologi dan

khurafat. Selengkapnya, lihat Ah}mad ‗Umar Ha>shim, Qawa>’id Us}u>l al-Hadi>th (Beirut:

Da>r al-Kitab al-‗Araby, 1984), 42-44. 49 Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan

dengan Pendekatan Ilmu Sejarah (Jakarta: Bulan Bintang, 2014), 36. 50 Khaled M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih

Otoritatif, terj, Cecep Lukman Hakim (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2004), 150. 51

Ah}mad ‗Umar Ha>shim, Qawa >’id Us}u>l al-Hadi>th (Beirut: Da>r al-Kitab al-

‗Araby, 1984), 230. 52

Ah}mad ‗Umar Ha>shim, Qawa >’id Us}u>l al-Hadi>th, 230. 53 Muh}ammad‗Aja>j al-Khati>b, al-Sunnah Qabl al-Tadwi>n (Beitut: Dar al-Fikr,

1980), 127. 54

Ah}mad ‗Umar Ha>shim, Qawa >’id Us}u>l al-Hadi>th, 230.

Page 46: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

38

hadis secara substansial, di mana para periwayat, tak terkecuali para sahabat, hanya menyampaikan pesan atau substansi yang terkandung di dalam matan

hadis, sedangkan redaksinya disusun sendiri oleh mereka. Jika dibandingkan

dengan riwayat bi al-lafz}i>, periwayatan hadis bi al-ma’na> adalah yang paling dominan dalam sejarah periwayatan hadis. Para ulama ahli hadis bersepakat

bahwa sebagian besar hadis Nabi diriwayatkan dengan cara ini.55

Pertanyaannya ialah, bagaimana pandangan para ulama terkait dua

model periwayatan tersebut? Adakah perdebatan akademik terkait hal itu?

Dalam berbagai literatur hadis dijelaskan bahwa terkait model periwayatan

pertama, tidak ditemukan adanya perdebatan di kalangan para ulama klasik. Sedangkan model periwayatan kedua, yaitu riwayat bi al-ma’na, terjadi

perdebatan yang cukup alot di kalangan para ulama. Bahkan, perdebatan terkait

hal ini cukup menguras energi para ulama yang kemudian melahirkan dua kubu yang saling bertentangan secara diametral. Masing-masing kubu memiliki

argumentasi yang kuat sebagai dasar legitimasi, baik secara teologis, maupun

secara logika.

Di kalangan Sahabat, tokoh seperti ‗Umar bin Khat}a>b, ‘Abd Alla>h bin

‗Umar, dan Zayd bin Arqam cukup ketat dalam menjaga periwayatan bi al-lafz }i> dan menghindari riwayat bi al-ma’na. Kendati demikian, mereka tidak secara

tegas melarang riwayat bi al-ma’na..56 Lain halnya dengan beberapa tokoh

generasi setelahnya semisal al-Qa>sim bin Muh}ammad, Muh}ammad bin Si>ri>n,

Qa>d}i> ‗Iya>d, dan Ma>lik bin Anas yang melarang keras riwayat bi al-ma’na, tanpa

terkecuali. Alasannya, karena riwayat bi al-ma’na> potensial melahirkan distorsi

dan perubahan pada makna hadis.57

Salah satu ilustrasinya ialah, kalau seorang

periwayat diperbolehkan mengganti redaksi hadis dengan redaksinya sendiri, maka hal yang sama juga akan terjadi pada periwayat berikutnya. Dan hal itu

akan terus berlanjut pada beberapa fase berikutnya, sehingga potensial

menghilangkan pesan inti yang terkandung dalam hadis. Seorang periwayat, meskipun telah berusaha mengalih-bahasakan sebuah hadis dengan cermat,

namun hasilnya akan sulit terhindar dari perubahan meskipun hanya sedikit.58

Bahkan, di antara pendukung kelompok ini ada yang berpendapat bahwa seorang periwayat harus menyampaikan hadis secara persis sesuai apa yang ia dengar

dari gurunya meskipun terdapat kekeliruan dari segi ejaannya. Ibn S}}ala>h},

sebagaimana dikutip Ibn Kathi>r, menyebut mereka sebagai Mazhab Pengikut

Lafaz yang Ekstrem. (Wa ha>dha> Ghuluwwun fi >> Madhhab al-Itiba>’ al-Lafz}>i>).59

55 T}a>ha> Ja>bir al-‘Al’wa<>ni>, Ishka<>liyya>t al-Ta’a<>mul ma’a al-Sunnah al-

Nabawiyyah (Beirut: Maktabah al-Tawzi’ fi> al-‘A>lam al-‘Arabiy, 2014), 230. 56 Muh}ammad‗Aja>j al-Khati>b, al-Sunnah Qabl al-Tadwi>n, 127. 57

Ah}mad ‗Umar Ha>shim, Qawa >’id Us}u>l al-Hadi>th, 233. 58

Selengkapnya, lihat Mah}mud Abu> Rayyah, Adwa ala al-Sunnah al-

Muh}ammadiyyah, 52. 59 Abu > al-Fida> Isma >’i>l bin Kathi>r al-Qurashi>, al-Ba’i>th al-Hathi>th Sharh}

Ikhtis}a>r ‘Ulu>m al-Hadi>th (Beirut: Da>r al-Kutub al-‗Ilmiyyah, T.th), 140.

Page 47: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

39

Secara teologis, argumen kelompok ini mengacu pada beberapa hadis antara lain:

نضير اا يو امرأ ع منيا حدييا : "عن علد اهلل بن مسعود قاؿ رسوؿ اا يو يى اا يو ع و وس يم فػربي ملػ ي أوعى من سامع فغ فغ ل غ ها غ غ ا غ م غ ها

Dari ‗Abd Alla>h bin Mas’u >d, bahwa Nabi SAW bersabda: ―Semoga

Allah menjadikan berseri-seri wajah orang-orang yang mendengarkan hadis dari kami kemudian ia menyampaikannya kembali sebagaimana

yang ia dengar. Boleh jadi yang disampaikan lebih memahami daripada

yang mendengar langsung.‖ (HR. Ibn H>}ibba>n).60

Hadis di atas merupakan landasan teologis bagi kelompok yang

mengharuskan riwayat bi al-lafz }i>. Namun demikian, penulis menilai bahwa

petunjuk lafal (dala>lah al-alfa>z}) pada hadis di atas masih terlalu umum untuk

dijadikan sebagai landasan teologis perihal keharusan riwayat bi al-lafz}i>. Lalu,

apa maksud dari redaksi ―fa ballaghahu> kama> sami’a”(menyampaikan

sebagaimana yang ia dengar)?‖ Benarkah yang dimaksud di sana ialah perintah

menyampaikan redaksi hadis secara persis sebagaimana yang didengar dari Nabi? Dalam hal ini, penulis berasumsi bahwa yang dimaksud di sana hanyalah

perintah menyampaikan hadis, meskipun redaksinya berbeda. Asumsi ini

didasarkan pada fakta bahwa tidak ditemukan adanya data yang menunjukkan bahwa Nabi mengucapkan hadis di atas dalam konteks mengharuskan riwayat bi

al-lafz}i>. Secara tekstual, konteks hadis di atas hanyalah apresiasi berupa doa dari

Nabi bagi orang yang mendengarkan hadis darinya dan menyampaikannya kembali. Berpijak pada fakta yang sama, penulis juga berasumsi bahwa

perdebatan terkait model atau bentuk periwayatan yang paling ideal—termasuk

di antaranya terkait boleh atau tidaknya riwayat bi al-ma’na >—baru terjadi pada era belakangan pasca wafatnya Nabi. Sedangkan pada masa Nabi, perdebatan

terkait hal itu sama sekali belum terjadi. Hanya saja, pada era belakangan,

kelompok yang bersikeras mengidealkan model riwayat bi al-lafz}i> berupaya mencari dasar legitimasi, termasuk salah satunya mengutip hadis di atas yang

sebenarnya masih multi tafsir.

Tak hanya itu, fakta menarik lainnya ialah bahwa hadis tersebut

sebenarnya memiliki varian riwayat yang berbeda antara satu dengan yang

lainnya. Sejauh yang bisa dilacak, penulis menemukannya dalam sejumlah kitab

induk hadis, terutama kitab-kitab yang masuk dalam rumpun al-Kutub al-Sittah dengan redaksi yang beragam. Ini artinya, hadis tersebut sesungguhnya

diriwayatkan secara bi al-ma’na, bukan bi al-lafz}i>. Berpijak pada fakta tersebut, dapat dikatakan bahwa mengutip hadis di atas sebagai dasar teologis perihal

60 Muh}ammad bin H}ibban bin Ah}mad bin H}ibban bin Mu’a>dh bin Ma‘bad al-

Tami>mi>, al-Ih}sa>n fi> Taqri>b S}ah}i>h} Ibn H}ibban, Vol. 1, 268. Nomor hadis: 66.

Page 48: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

40

keharusan riwayat bi al-lafz }i> bukan hanya inkonsisten, tetapi juga kontradiktif dalam dirinya sendiri.

61

Selain hadis di atas, para ulama juga merujuk pada riwayat dari al-Barra>

bin ‗A>zib sebagai berikut.

إذا أتػ ت مضجعك، فػتػو يأ : " قاؿ اانييب يى اهلل ع و وس يم : عن االػراء بن عازب، قاؿ اا ي مي أس مت وج ي إا ك، وفػوي ت أمري : و وءؾ ا صيالة، ي ا طجع ع ى قك األ ن، ي قل

ـ إا ك، ل م جأ ول منجا منك إلي إا ك، اا ي مي آمنت بكتابك ـ ورىل إا ك، وألأت ظ ري إا ك، رغل تك، فأنت ع ى اا طرة، واجع ني آخر ما تػتك يم اايذي أنػ ات، وبنل ك اايذي أرس ت، فإف متي من ا ػ

اا ي مي آمنت بكتابك اايذي أنػ ات، : فػرديدتػ ا ع ى اانييب يى اهلل ع و وس يم، فػ ميا بػ غت : قاؿ ". بو 62«ل، ونل ك اايذي أرس ت »: ورسواك، قاؿ : قػ ت

Dari al-Barra> bin ‗A>zib bahwa Nabi SAW berkata: ―Apabila engkau

hendak tidur, maka berwudhulah sebagaimana engkau berwudhu untuk

salat. Setelah itu, berbaringlah dengan miring ke kanan, lalu berdoalah: ‗Ya Allah ya Tuhanku, aku pasrahkan wajahku kepada-Mu, aku

serahkan segala urusanku kepada-Mu, dan aku serahkan punggungku

kepada-Mu, dengan berharap-harap cemas, karena tidak ada tempat berlindung dan tempat yang aman dari azab-Mu kecuali dengan

berlindung kepada-Mu. Aku beriman kepada kitab-Mu yang telah

Engkau turunkan, dan aku beriman kepada Nabi-Mu yang telah engkau

utus‘. Apabila engkau meninggal pada malam itu, maka engkau meninggal dalam kesucian diri (fitrah). Jadikanlah bacaan tersebut

sebagai penutup ucapanmu sebelum tidur. Al-Barra> berkata: ―Aku mengulang-ulang bacaan tersebut di hadapan Nabi (agar hafal). Dan

ketika aku mengucapkan: Ya Allah, aku beriman kepada kitab-Mu yang

telah Engkau turunkan dan kepada ―Rasul-Mu‖ yang telah Engkau utus.

Tiba-tiba Nabi SAW memperbaiki bacaanku, seraya berkata: Ucapkanlah, aku beriman kepada ―Nabi-Mu‖ (bukan Rasul-Mu) yang

telah Engkau utus.‖ (HR. al-Bukha>ri).

Riwayat di atas menjelaskan bahwa Nabi pernah menegur seorang

Sahabat bernama al-Barra> bin ‗A>zib lantaran menukar lafal ―Rasul‖ dengan lafal

―Nabi‖ dalam doa tidur yang Nabi ajarkan kepadanya meskipun kedua lafal

61 Sebagai contoh, lihat riwayat Ibn Ma>jah al-Qazwayni, dalam Sunan Ibn

Ma>jah ((Beirut: Dar al-Risalah al-Alamiyah, 2009), Vol. 4, 244. Nomor hadis: 3056.

Redaksinya ialah,

نضير اا يو امرأ ع مقاات فػلػ يغ ا، فػربي حامل فقو غ ػر فق و، وربي حامل فقو إل من ىو إخالص ااعمل ا يو، واانيص حـ اولة اامس مني وجاعت م، : الث ل يغل ع ني قػ ب م من . أفػقو منو

"فإفي دعوتػ م ي من وراا م 62 Lihat Abu> ‗Abd Alla>h Muh}ammad bin Isma>’i>l al-Bukha>ri>, S}ah}i>h} al-Bukha>ri>

(Beirut: Da>r T{auq al-Naja>h, 1922 H), Vol. 1, 58, Hadis nomor: 247.

Page 49: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

41

tersebut adalah sinonim. Riwayat ini menjadi dasar teologis selanjutnya bagi

kelompok yang mengharuskan riwayat bi al-lafz}i> dalam penyampaian hadis.

Namun, sebagaimana hadis sebelumnya, konteks kemunculan hadis ini juga mesti dipahami secara kritis.

Sebagaimana asumsi yang penulis kemukakan sebelumnya, bahwa

perdebatan terkait model periwayatan yang paling ideal belum muncul pada masa Nabi, sehingga sulit dipastikan bahwa hadis di atas diucapkan Nabi dalam

konteks mengharuskan periwayatan bi al-lafz }i> dan melarang periwayatan bi al-

ma’na >. Secara tekstual, hadis di atas diucapkan oleh Nabi dalam konteks sedang

mendiktekan lafal doa kepada al-Barra> bin ‗A>zib. Sehingga, sebagaimana

umumnya tradisi mendikte, maka seorang murid harus menuliskan redaksi yang sama persis sebagaimana yang diucapkan oleh gurunya. Ia tidak boleh merubah

redaksi meskipun makna dan substansinya sama. Sampai di sini, penulis menilai

bahwa hadis tersebut juga tidak secara pasti menunjukkan keharusan riwayat bi

al-lafz}i>.

Sementara itu, sebagian kelompok lainnya membolehkan periwayatan bi

al-ma’na >. Kelompok ini didukung oleh beberapa tokoh dari kalangan Sahabat

semisal ‗Ali> bin Abi> T}a>lib, ‗Abd Alla>h bin Abba>s, Anas bin Ma>lik, Abu > Darda,

Wathi>lah bin Asqa‘ dan Abu > Hurayrah. Beberapa tokoh dari generasi tabiin

semisal H}asan al-Bas}ri>, al-Sha‘bi>, Amr bin Di>na>r, Ibra>him al-Nakha >‘i>, Muja>hid

dan ‗Ikrimah juga membolehkan model periwayatan seperti ini.63

Begitu pula dengan mayoritas para ulama.

64 Secara logika, kelompok ini menjustifikasi

pandangannya dengan beberapa alasan, salah satunya pada kebolehan

menerjemahkan ajaran Nabi ke dalam bahasa non Arab. Dengan logika yang lebih sederhana, kalau menerjemahkan ajaran Nabi ke dalam bahasa non Arab

saja diperbolehkan, maka menerjemahkan atau mengalih-bahasakannya ke dalam

bahasa yang sama (yaitu bahasa Arab)—meski dengan redaksi berbeda— tentunya lebih diperbolehkan, karena bahasa Arab lebih dekat dengan bahasa

Nabi.65

Secara teologis, kelompok ini mengacu pada beberapa hadis, antara lain ialah:

ـ اا ي يي عن ه ] س ماف بن أ م قػ ت يا رسوؿ اا يو إن أ ع منك »: ، قاؿ [عن أب و،عن جدإذا ل وا حراما ول : الديي ل أستط ع أف أؤديو ما أ ع منك، أزيد حرفا أو أنق حرفا، فػقاؿ

رموا حالل وأ لتم اامع فال بأس

63 Muh}ammad Jama>l al-Di>n bin Muh}ammad Sa’i>d bin Qa>sim al-Halaq al-

Qa>simi>, Qawa >’id al-Tah}di>th fi> Funu>n Mus}t}ala>h} al-H}adi>th (Beirut: Dar al-Kutub al-

Ilmiyyah, T.th), 221. 64

Mah}mu>d Abu> Rayyah, Adwa > ala al-Sunnah al-Muh}ammadiyyah, Aw Difa >’ ‗an al-Hadi>th (Kairo: Da>r al-Ma’a>rif, T.th), 54.

65 Muh}ammad‗Aja>j al-Khati>b, al-Sunnah Qabl al-Tadwi>n, 131.

Page 50: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

42

Dari Sulayma>n bin Ukaymah al-Laythi> dari bapaknya dari kakeknya, ia berkata: Aku berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mendengar

hadis darimu, tetapi aku tidak bisa menyampaikannya sesuai apa yang aku dengar darimu. Aku menambah satu huruf atau mengurangi satu

huruf. Nabi menjawab: Apabila engkau tidak sampai menghalalkan yang

haram dan mengharamkan yang halal, dan engkau menyampaikannya

dengan maknanya yang benar, maka tidak mengapa. (HR. Al-T>{abara>ni>).

Secara substansial, hadis ini menginformasikan tentang laporan dari

salah seorang Sahabat yang—karena satu dan lain hal—tidak bisa menyampaikan redaksi sabda Nabi secara persis. Maka Nabi pun memberi

dispensasi berupa perumpamaan bahwa ―selama yang bersangkutan tidak

menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal‖, maka tidak menjadi masalah baginya untuk menambah atau mengurangi huruf atau bahkan redaksi

hadis. Melalui hadis ini, Nabi seolah ingin mengatakan bahwa periwayatan

secara maknawi tidak menjadi persoalan selama tidak terjadi distorsi pada makna

hadis. Fakta ini, sekaligus juga menunjukkan bahwa Nabi memberi kriteria yang sangat fleksibel dalam menyampaikan hadis.

Dalam diskursus pemikiran hadis kontemporer, tema ini kembali muncul ke permukaan dan mendapat perhatian serius dari para sarjana Muslim

kontemporer yang memiliki tradisi pembacaan kritis terhadap khazanah

keislaman klasik. Salah satu hal yang patut mendapat perhatian serius ialah,

sebagian mereka menjadikan praktik riwayat bi al-ma’na> sebagai titik pijak untuk mengkritisi kembali hadis-hadis Nabi. Seperti halnya segelintir ulama

klasik yang menolak periwayatan bi al-ma’na >, beberapa sarjana Muslim

kontemporer juga menyangsikan akurasi periwayatan bi al-ma’na> akan betul-

betul persis dan sesuai sebagaimana yang dimaksudkan oleh Nabi ketika

bersabda.

Mahmud Abu > Rayyah, merupakan salah seorang sarjana Muslim

kontemporer yang paling lantang mempersoalkan hal ini. Ia mengatakan bahwa sebagian umat Islam meyakini bahwa seluruh teks hadis yang terekam dalam

berbagai kitab induk hadis sekarang ini adalah sepenuhnya otentik berasal dari

Nabi. Mereka juga meyakini bahwa teks hadis yang sampai kepada para periwayat adalah persis sama sebagaimana yang diucapkan Nabi untuk pertama

kali tanpa adanya distorsi atau perubahan. Padahal, menurutnya, sebagian besar

hadis tersebut diriwayatkan berdasarkan maknanya saja ketika para periwayat

tidak mampu menyampaikan dalam bentuknya yang utuh, baik karena lupa redaksi aslinya, atau karena masa penerimaannya yang sudah melewati rentang

waktu yang cukup lama, sehingga para periwayat hanya bisa menyampaikan apa

yang tersisa dari memorinya setelah daya ingatnya menjadi lemah.66

Selain itu, ia juga mengatakan bahwa para Sahabat sendiri sering kali menyangsikan akurasi

periwayatan hadis secara maknawi ini, apalagi generasi berikutnya. Untuk

66

Selengkapnya, lihat Mah}mu>d Abu> Rayyah, Adwa > ala al-Sunnah al-

Muh}ammadiyyah

Page 51: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

43

meneguhkan argumennya, Abu Rayyah memberi ilustrasi bahwa delapan hadis berbeda menggambarkan satu persoalan secara berbeda pula. Akibatnya,

walaupun suatu hadis dianggap berasal dari Nabi, namun tidak ada jaminan

bahwa kandungan maknanya sama.67

Sarjana Muslim kontemporer lainnya yang menyangsikan akurasi

riwayat bi al-ma’na> ialah ‗Abd Alla>h bin Muh}ammad bin Sayid al-Bat}alayu>si>

dalam karyanya al-Ins}a>f fi > al-Tanbi>h ‘Ala > Asba>b al-Ikhtila>f. Sebagaimana

dikutip Muḥammad Shaḥrūr, al-Bat}alayu>si> mengkategorikan riwayat bi al-

ma’na > sebagai salah satu dari delapan faktor yang menyebabkan kecacatan pada

hadis.68

Tak hanya itu, Abu > Layth Khayr Aba>d juga mengatakan bahwa lahirnya kelompok inkar al-sunnah antara lain juga disebabkan karena adanya keraguan

terhadap akurasi riwayat bi al-ma’na>. Sebagai contoh ialah Hafiz } Aslam, yang

mengatakan bahwa semua riwayat yang dinisbatkan kepada Nabi disampaikan secara maknawi, bukan berdasarkan lafal yang berasal dari Nabi. Dan

sebagaimana diketahui, bahwa perubahan lafal meniscayakan adanya perubahan

makna meskipun hanya sedikit.69

67

Selengkapnya, lihat Mah}mu>d Abu> Rayyah, Adwa > ala al-Sunnah al-

Muh}ammadiyyah, 52. Ilustrasi menarik lainnya juga dikemukakan oleh Ghula>m Ji>la>ni>

Barq, ulama Pakistan pendiri kelompok Ahl-al-Quran. Ia secara eksplisit berkata: ―Coba

anda pertimbangkan suatu peristiwa yang disaksikan oleh lima puluh orang. Jika anda menemui mereka satu persatu, maka tanyakanlah kepada mereka tentang apa yang

terjadi. Mereka tentu akan memberikan kesaksian yang berbeda sesuai sudut

pandangnya. Jika anda tunggu satu bulan atau bahkan satu tahun kemudian, perbedaan

itu akan menjadi lebih besar lagi. Tendensi umum semacam ini tentu tidak dapat

dihindari, sehingga tidak sulit untuk dimengerti mengapa muncul berbagai versi berbeda

dan berita berseberangan menyangkut satu peristiwa yang sama‖. Lihat Mun‘im Sirry,

Tradisi Intelektual Islam; Rekonfigurasi Sumber Otoritas Agama,. 68 Delapan faktor tersebut yaitu; rusaknya isna>d. Kedua, dibolehkannya riwayat

secara maknanya saja, bukan secara lafal. Ketiga, ketidaktahuan periwayat terhadap

i’ra >b. Keempat, adanya tas}h}i>f. Kelima, diabaikannya redaksi matan hadis, padahal

substansi atau pengertiannya tidak akan sempurna kecuali berdasarkan lafalnya. Keenam,

kealfaan dalam menyebutkan atau menjelaskan sebab pengguguran redaksi hadis dan

persoalan yang berkenaan dengannya. Ketujuh, adanya periwayat yang memperhatikan

sebagian redaksi hadis, tetapi mengabaikan sebagian lainnya. Kedelapan, menukil hadis

dari berbagai dokumen (s}uh>uf) tanpa melalui sima>’i. Selain kedelapan faktor di atas, Muḥammad Shaḥrūr kemudian menambahkan

faktor kesembilan, yaitu mengamini sinonimitas. Karena riwayat bi al-ma’na> tidak akan

terjadi selain karena adanya klaim sinonimitas. Kalau bukan karena hal itu, maka tentu

ilmu hadis tidak akan berkembang dan tidak pula terjadi penggelembungan atau

pembengkakkan riwayat hadis. Sebenarnya, para ahli hadis dan as}h}a>b al-ma’a>jim telah

mengetahui hal itu, sehingga al-Fairu>z Aba>di menulis sebuah karya berjudul al-Raud al-

Ma’lu>f Fima > Lahu> Isma>ni ila Ulu>f. Penjelasan lebih lanjut, lihat Muḥammad Shaḥrūr,

al-Sunnah al-Rasūliyah wa al-Sunnah al-Nabawiyah, 16-17. 69

Abu > Laiyth Khayr Aba>d, Ittija>ha>t fi > Dira>sah al-Sunnah Qadi>muha> wa

As}i>ruha>, (Beirut: Muasasah al-Risalah, 2010), 117-132.

Page 52: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

44

Apa yang dikemukakan beberapa sarjana Muslim kontemporer di atas merupakan bentuk kecurigaan yang berlebihan. Padahal, pada praktiknya, para

ulama telah merumuskan syarat yang sangat ketat bagi siapa saja yang hendak

meriwayatkan hadis secara maknawi. Kebolehan meriwayatkan hadis secara maknawi ini tidak berlaku bagi setiap individu secara umum. Para ulama

bersepakat bahwa orang yang bodoh dan tidak mengetahui seluk beluk bahasa

Arab dilarang meriwayatkan hadis secara maknawi. Kebolehan meriwayatkan hadis secara maknawi ini, sebagaimana ditegaskan al-Mawardi, hanya

diperuntukkan bagi seseorang yang lupa redaksi hadis. Sementara itu, al-Sha>fi’i>

mensyaratkan beberapa hal yang harus dipenuhi oleh seorang periwayat ketika hendak meriwayatkan hadis secara maknawi, yaitu; Seorang periwayat harus

thiqah, terkenal kejujurannya, mengerti apa yang ia sampaikan, memahami seluk

beluk makna redaksi hadis, dan lain sebagainya.70

Kalaupun riwayat bi al-ma’na ini terjadi kesalahan, hal itu bisa dideteksi dengan cara membandingkan berbagai

periwayatan antara satu dengan yang lainnya terutama dengan para periwayat

kredibel.71

Dengan demikian, kebolehan meriwayatkan hadis secara maknawi ini

tidak diberlakukan secara longgar. Hal lainnya yang perlu dikemukakan ialah, kebolehan riwayah bi al-ma’na ini hanya berlaku sebelum dilakukannya

kodifikasi hadis. Adapun setelahnya, dilarang bagi siapa pun untuk mengubah

redaksi hadis yang telah terekam dalam kitab-kitab induk hadis.72

Tak berhenti sampai di situ, kritik terhadap akurasi periwayatan bi al-

ma’na > juga dilontarkan oleh Muh}ammad Shah}ru>r. Sarjana Muslim kontroversial

berkebangsaan Suriah ini menilai bahwa periwayatan hadis bi al-ma’na>

merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya penggelembungan

atau pembengkakkan riwayat hadis secara besar-besaran. Seperti halnya para

sarjana Muslim lainnya yang mengkritisi model periwayatan hadis bi al-ma’na>,

dalam hal ini Shah}ru>r seolah ingin mengatakan bahwa dari sekian banyak hadis

yang diriwayatkan secara bi al-ma’na >, sangat mungkin terdapat sisipan redaksi

lain pada sebuah matan hadis. Shah}ru>r mengambil contoh berupa bacaan

tashah}h}ud akhir dalam salat. Menurutnya, akibat dari praktik periwayatan hadis

bi al-ma’na >, redaksi bacaan tashah}h}ud akhir tersebut berbeda-beda sampai

mencapai sepuluh macam. Shah}ru>r kemudian berkata:

Jika di dalam bacaan tashah}h}ud saja dibolehkan beragamnya riwayat

(ta’addud al-riwa>yah) dan perbedaan lafal sesuai riwayatnya, meski doa

tashah}h}ud termasuk salah satu rukun salat, yang mana tidak sah (salat seseorang) tanpa membacanya, maka apa pendapat anda terhadap

70 T}a>ha> Ja>bir al-‘Al’wa<>ni>, Ishka<>liyya>t al-Ta’a<>mul ma’a al-Sunnah al-

Nabawiyyah, 363. 71

Abu > Laiyth Khayr Aba>d, Ittija>ha>t fi> Dira>sah al-Sunnah:Qadi>muha> wa

As}i>ruha>, 130-131. 72 Ah}mad ‗Umar Ha>shim, Qawa >’id Us}u>l al-Hadi>th, 234.

Page 53: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

45

persoalan lain yang lebih sedikit atau lebih rendah urgensitasnya di

banding tashah}h}ud?73

Sebenarnya, kritik yang dilontarkan Muḥammad Shaḥrūr ini bukanlah hal yang baru dalam diskursus pemikiran hadis kontemporer. Jauh sebelum

Shaḥrūr, Abu > Rayyah juga pernah menyinggung hal yang sama, yaitu

menjadikan keragaman lafal bacaan tashah}h}ud sebagai bukti ketidak-akuratan

praktik periwayatan hadis bi al-ma’na >.74

Akan tetapi, dalam perkembangan

berikutnya, kritik yang ia lontarkan tersebut telah dibantah dengan gamblang

oleh seorang ulama kontemporer, Abd al-Rah}ma>n bin Yah}ya al-Mu‘alimi al-

Yamani. Menurutnya, sebagaimana di kutip ‗Ajja>j al-Khat}i>b, apa yang

dikemukakan Abu > Rayyah tersebut adalah keliru, karena keragaman lafal bacaan

tashah}h}ud bukanlah disebabkan oleh praktik riwayat bi al-ma’na>, melainkan

karena Nabi sendiri yang secara langsung pernah mengajarkan lafal tashah}h}ud

dalam bentuk yang beragam kepada para sahabat. Para ulama juga telah

bersepakat tentang keshahihan semua lafal tashah}h}ud sebagai sesuatu yang

murni berasal dari Nabi.75

Tak hanya itu, ada pernyataan Fazlur Rahman yang cukup relevan untuk mendelegitimasi pandangan Shaḥrūr di atas. Ia mengatakan, terkadang ada satu

kasus yang sama terjadi berulang kali dan disikapi secara berbeda oleh Nabi,

baik dalam hal yang berkenaan dengan ritus peribadatan ataupun terkait keputusan-keputusan hukum. Dan orang-orang yang kebetulan menyaksikan

sikap tertentu dari Nabi, memandangnya sebagai satu-satunya sikap Nabi.76

Pandangan ini secara tidak langsung dapat menjadi basis kritik terhadap

pandangan Shaḥrūr dan Abu > Rayyah yang seolah mengandaikan bahwa Nabi

hanya memberi pandangan tunggal dalam kasus dan peristiwa tertentu.

Pertanyaan selanjutmya ialah, mengapa model periwayatan bi al-ma’na ini dapat terjadi, padahal para periwayat bahkan sejak era sahabat sangat berhati-

hati dan sangat menekankan periwayatan secara lafal? Mengutip Hedhri

Nadhiran, bahwa untuk menjawab terkait penyebab munculnya periwayatan bi al-ma’na, harus merujuk pada hakikat atau definisi hadis itu sendiri.

Sebagaimana diketahui bersama, hadis tidak hanya mencakup segala apa yang

diucapkan Nabi, melainkan juga mencakup segala perbuatan dan ketetapan

(taqri>r) Nabi. Jika demikian, maka tidak mungkin seluruh hadis Nabi dapat

selalu diriwayatkan secara bi al-lafz}i>. Dari ketiga unsur di atas, hanya ucapan

Nabi saja yang dapat diriwayatkan secara bi al-lafz}i>. Sementara, hadis-hadis

Nabi yang terkait dengan perbuatan dan ketetapannya, tentu redaksinya akan

73

Selengkapnya, lihat Muḥammad Shaḥrūr, al-Sunnah al-Rasūliyah wa al-

Sunnah al-Nabawiyah (Beirut: Dār al-Saqi, 2012), 15-16. 74

Selengkapnya, lihat Mah}mu>d Abu> Rayyah, Adwa > ala al-Sunnah al-

Muh}ammadiyyah, Aw Difa >’ ‗an al-Hadi>th, 55. 75 Muh}ammad‗Ajja>j al-Khati>b, al-Sunnah Qabl al-Tadwi>n, 128. 76

Fazlur Rahman, Islam, 68.

Page 54: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

46

disusun oleh para shahabat sendiri yang menyaksikan langsung perbuatan dan ketetapan Nabi.

77

Uraian di atas menunjukkan bahwa pendapat yang paling kuat adalah

pendapat mayoritas ulama yang membolehkan riwayat bi al-ma’na >. Kebolehan

ini sekaligus menunjukkan fleksibelitas periwayatan hadis, di mana para Sahabat

sangat tidak mungkin untuk selalu meriwayatkan hadis berdasarkan lafalnya secara utuh, melainkan hanya berdasarkan kandungan atau semangat yang

terkandung di dalam matannya selama tidak mereduksi makna dan bertentangan

dengan syari‘at. Selain itu, penulis menilai bahwa mewajibkan periwayatan

hadis secara lafal tentu akan menyebabkan banyaknya hadis-hadis Nabi yang terisolir begitu saja, mengingat sebagian besar hadis Nabi diriwayatkan secara

maknawi. Pendek kata, model periwayatan bi al-ma’na> adalah suatu keniscayaan yang sulit dihindari dalam konteks transmisi hadis.

77

Hedhri Nadhiran, Periwayatan Hadis bil makna; Implikasi dan

Penerapannya sebagai Uji Kritik Matan di Era Modern. Jurnal Ilmu Agama, Vol. 14, No

2, Desember 2013, 194.

Page 55: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

47

BAB III

SAKRALITAS DAN OTORITAS SAHABAT NABI

Pada bab ini, penulis akan mengurai sakralitas dan otoritas Sahabat Nabi. Bagian pertama dari bab ini, akan diawali dengan sub bab terkait keadilan

para Sahabat (‗ada>lah al-s }ah}a>bah) yang penulis anggap sebagai bentuk

sakralitas Sahabat dalam Islam, di mana umat Islam tidak saja dilarang mengkritik para Sahabat, tetapi juga dilarang untuk menyebut hal apa pun

tentang pribadi Sahabat kecuali dengan sebutan-sebutan indah. Selanjutnya, pada

bagian kedua, akan dijelaskan terkait karakteristik Sahabat, salah satunya sebagai imitator tradisi kenabian, di mana mereka—dengan berbagai

ekspresinya—selalu berusaha mengikuti dan meniru-niru apa pun yang

dilakukan oleh Nabi. Pembahasan ini penting untuk diurai sebelum menjelaskan fakta lain—terutama yang menjadi fokus utama penelitian ini—bahwa mereka

juga dalam berbagai kasus sangat fleksibel dalam memahami dan mengutip

sabda Nabi. Pada bagian ketiga, penulis akan menjelaskan tentang posisi Sahabat

sebagai mediator pertama tradisi kenabian yang memiliki peranan penting dalam mentransmisikan ajaran Nabi kepada generasi berikutnya. Sementara itu, bagian

terakhir dari bab ini akan menjelaskan terkait otoritas Sahabat sebagai

representasi ajaran Nabi. Secara umum, pembahasan pada bab ini ingin menunjukkan betapa sentralnya posisi Sahabat dalam Islam.

A. Sakralitas Sahabat Nabi: Sebuah Perdebatan yang Tak Pernah Usai Para ulama klasik berbeda pandangan dalam mendefinisikan Sahabat.

1

Seorang tabiin senior, Sa‘i>d bin Musayyab, mengajukan definisi yang cukup

ketat bahwa seseorang dapat dikategorikan sebagai Sahabat jika pernah membersamai Nabi minimal satu atau dua tahun, dan pernah ikut berperang

minimal satu atau dua kali peperangan.2 Konsekuensi logis dari definisi ini ialah

1 Dalam penelitian ini, penulis hanya mengurai ragam definisi Sahabat secara

singkat. Penjelasan yang sangat elaboratif terkait hal ini telah dilakukan oleh Fuad Jabali.

Ia tidak hanya menginventarisir ragam definisi Sahabat berikut implikasi dan perdebatan

akademik yang menyertainya, tetapi juga mampu memberikan konteks pada saat makna

term Sahabat itu diperluas di setiap generasi. Sebelumnya, beberapa sarjana semisal

Miklos Muranyi hanya mampu menjelaskan bagaimana term Sahabat didefinisikan dan

diperluas maknanya oleh kalangan Muslim dalam lintasan sejarah. Namun—

sebagaimana ditegaskan Fuad Jabali—Muranyi tidak mampu memberikan konteks pada

saat makna term itu diperluas, sehingga esensi definisi Sahabat dibiarkan tidak jelas.

Selengkapnya, lihat Fuad Jabali, Sahabat Nabi: Siapa, Kemana dan Bagaimana?

(Bandung: Mizan, 2010), 39-63. Terkait kontribusi Jabali dalam bidang ini, penulis

setuju dengan apa yang dikatakan Babul Ulum bahwa upaya Jabali yang berhasil melacak ragam konteks di balik lahirnya penafsiran makna Sahabat merupakan sebuah

capaian yang belum tertandingi. Lihat Babul Ulum, Genealogi Hadis Politis; Al-

Muawiyat dalam Kajian Islam Ilmiah (Bandung: Marja, 2018), 45. 2 Abu > al-Fida> Isma>’i>l bin Kathi>r al-Qurashi>, al-Ba’i>th al-Hathi>th Sharh} Ikhtis}a>r

‘Ulu>m al-Hadi>th (Beirut: Da>r al-Kutub al-‗Ilmiyyah, T.th), 179; Abu > ‗Amr ‗Uthma>n bin

‗Abd al-Rah}ma>n bin S}ala>h }, Ma’rifah Anwa >’ ‘Ulu>m al-Hadi>th (Beirut: Da>r al-Fikr, 1986), 293; Al-Khaṭīb al-Baghdādī, al-Kifāyah fi ‘Ilm al-Riwāyah, 50.

Page 56: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

48

bahwa orang yang sekadar pernah bertemu Nabi sesaat, atau berkunjung dan bergumul dengan Nabi dalam beberapa hari, tidak dapat dikategorikan sebagai

Sahabat.3 Sementara itu, al-Bukha >ri> mengajukan definisi yang lebih longgar

bahwa siapa saja dari kalangan umat Islam yang pernah menemani atau melihat

Nabi, maka ia dikategorikan sebagai Sahabat.4 Akan tetapi, definisi ini juga

dinilai gagal mengakomodir Sahabat yang buta seperti Ummi Maktu>m. Oleh karenanya, agar lebih akomodatif, ahli hadis berupaya melakukan sedikit

modifikasi terhadap definisi yang dirumuskan al-Bukha>ri.5 Pada akhirnya, yang

terpilih di antara semuanya ialah definisi yang dirumuskan Ibn H}ajar al-

‘Asqala>ni bahwa Sahabat ialah orang yang semasa hidupnya pernah bertemu

Nabi dalam keadaan Islam dan wafat dalam keadaan Islam.6 Definisi ini dinilai

paling kuat dan menjadi rujukan bagi mayoritas ulama ahli hadis dan sebagian

ahli ushul7 karena mampu mengakomodir berbagai aspek, baik Sahabat yang

berinteraksi lama dengan Nabi ataupun sebentar, baik Sahabat yang pernah meriwayatkan hadis dari Nabi ataupun tidak, baik Sahabat yang pernah ikut

berperang ataupun tidak, baik Sahabat yang sempat melihat Nabi meskipun tidak

pernah duduk bersama, atau tidak pernah melihat Nabi karena sebab tertentu

semisal buta, semua itu dikategorikan sebagai Sahabat apabila pernah bertemu dengan Nabi.

8

Para Sahabat menempati posisi yang sakral dalam Islam. Karakteristik dan tata laku para Sahabat dinilai sebagai bentuk pengejawantahan ideal nilai-

nilai Alquran dan sunnah karena dibimbing dan dididik langsung oleh Nabi

berdasarkan etika Alquran dan sunnah.9 Lebih dari itu, dalam tradisi Sunni,

mereka seolah diposisikan sebagai kumpulan manusia-manusia suci yang

berbeda dengan generasi setelahnya. Abu> H}ani>fah, misalnya, secara eksplisit

pernah mengatakan bahwa para Sahabat tidak boleh diceritakan kecuali

kebaikannya (wala > nadhkuru ah }adan min s }ah }a>bah al-rasu >l illa> bi khayr). Seseorang dituntut sebisa mungkin agar menahan lisannya untuk tidak menyebut

3 Sebagai contoh, ialah Jari>r bin ‘Abd Allah al-Bajali> dan Wa>il bin H}ujr, di

mana keduanya pernah mengunjungi Nabi pada tahun kesembilan hijriah kemudian

masuk Islam. Keduanya bergumul dan meriwayatkan beberapa hadis dari Nabi hanya

dalam beberapa hari sebelum akhirnya kembali. Lihat ‗Ali> Jum’ah, Qawl al-S}ah}a>bi ‘Inda al-Us}u>liyyi>n (Kairo: Da>r al-Risa>lah, 2004), 14.

4 Al-Bukha>ri, S}ah }ih} al-Bukha>ri, 5, 2. 5 ‘Ali> Jum’ah, Qawl al-S}ah}a>bi ‘Inda al-Us}u>liyyi>n, 16. 6 ‗Abd al-Raḥmān bin Abī Bakr Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, Tadrīb al-Rāwī fī Sharḥ

Ṭaqrīb al-Nawāwī (Beirut: Dār Ṭayyibah, t.th), 2, 667. 7 ‗Ali Jum‘ah, Qawl al-S}ah}a>bi ‘Inda al-Us}u>liyyi>n, 9.

8 Selengkapnya, lihat Abu> al-Fad}l Ibn H}ajar al-‘Asqala>ni, al-Is}a>bah fi> Tamyi>z al-S}ah}a>bah (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1415 H), 1, 158.

9 Sa‘ad bin Sayid Qut}b al-Sha>l, Ada>b al-Ikhtila>f bayn al-S}ah}a>bah wa Atha>ruhu>

‘ala al-wa>qi’ al-Isla>miy; Dira>sah Manhajiyah Us}u>liyyah Tarbawiyah wa Da’awiyyah

(Beirut: Da>r al-Bashi>r al-Ima>rat, 2017). 15.

Page 57: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

49

hal apa pun terkait pribadi Sahabat kecuali dengan sebutan-sebutan indah.10

Bahkan, Nabi pernah mengatakan bahwa dari golongan Sahabat itu ada

sekelompok orang yang telah dijamin akan masuk surga (al-‘Ashrah al-

Mubashiru>n bi al-Jannah).11

Apresiasi dan legitimasi terhadap kredibilitas dan otoritas para Sahabat

juga datang dari sejumlah ulama lainnya. Ibn Taymiyyah, sebagaimana dikutip

Sa‘ad bin Sayid Qut}b al-Sha>l berkata: ―Barang siapa yang menganggap jalan

berislamnya seorang ulama, fukaha atau seorang hamba (baik dalam hal akidah,

ibadah, dan akhlak) lebih utama daripada jalan berislamnya para Sahabat, maka sesungguhnya ia telah keliru, sesat dan bid‘ah‖.

12 Abū Zur‘ah, sebagaimana

dikutip Muḥammad Abū Zahw, mendeklarasikan bahwa siapa saja yang mencela

dan meragukan otoritas para sahabat, maka sesungguhnya ia adalah zindiq. Karena Rasul benar, Alquran pasti benar, dan apa yang dibawanya juga pasti

benar. Semua itu disampaikan kepada kita oleh Sahabat Nabi. Mereka (yang

mencela itu) bermaksud mendiskreditkan saksi-saksi agama kita untuk

membatalkan Alquran dan sunnah. Merekalah orang-orang zindiq, yang sesungguhnya lebih pantas mendapat celaan.

13

Tak hanya itu, dari kalangan Sahabat sendiri, tokoh semisal ‗Abd Alla >h

bin Mas‘u>d pernah berkata: ―Sesungguhnya Allah memperhatikan hati hamba-

hambanya dan Allah mendapati bahwa hati Nabi Muhammad SAW sebaik-

baiknya hati seorang hamba. Maka Allah memilih dan mengutusnya untuk menyampaikan risalah. Kemudian Allah melihat hati hamba-hambanya selain

Nabi Muhammad SAW, maka Allah mendapati hati para Sahabat sebaik-baiknya

hati seorang hamba. Maka Allah menjadikan mereka sebagai pengawal Nabi SAW dan berperang membela agamanya‖.

14 Berbagai apresiasi di atas

10

Pernyataan di atas, sebagaimana dikutip ‗Abd al-Qa>dir Muh }ammad al-Qaysi >,

dalam karyanya al-Ijtiha>d wa al-Taqli >d f i> al-Shari>’ah al-Isla >miyyah ‘Inda al-Ima>m Abi > H>}ani>fah (Beirut: Da>r al-Kutub al-‗Ilmiyyah, 1971), 382.

11 Sekelompok Sahabat yang dimaksud yaitu, Abu > Bakr bin Abi > Quh }a>fah,

‗Umar bin Khat}t}a>b, ‗Uthma>n bin ‗Affa >n, ‗Ali> bin Abi > Ta>lib, T }alh }ah, Zubayr, ‗Abd al-

Rah }ma}>n bin ‗Awf, Sa‘ad bin Abi> Waqqa >s}, Sa‘i>d bin Zayd dan Abu > ‗Ubaydah bin Jarah}.

Lihat Muh }ammad bin ‗I>>sa > al-Tirmidhi>, Sunan al-Tirmidhi > (Beirut: Da>r al-Gharb al-

Isla>miy, 1998), Vol. 6, 102. 12

Sa‘ad bin Sayid Qut}b al-Sha>l, Ada>b al-Ikhtila>f bayn al-S}ah}a>bah wa

Atha>ruhu> ‘ala al-wa>qi’ al-Isla>miy, 15.

13

Selengkapnya, lihat Muḥammad bin Muḥammad Abū Zahw, al-

Ḥadīth wa al-Muḥaddithūn (Kairo: Dār al-Fikr al-‗Arabi, 1378 H.), 131. 14

Abu >‗Abd Alla >h Ah }mad bin Muḥammad bin H}anbal al-Shayba >ni>, Musnad

Ah}mad bin H}anbal (Kairo: Da>r al-H}adi>th, 1995), 3, 505; Abu > Bakr Ah}mad bin ‗Amr bin

‗Abd al-Kha>lik bin Khalad al-‗Atki, Musnad al-Bazzar (al-Madinah al-Munawwarah:

Maktabah al-‗Ulum wa al-Hikam, 2009), 5, 212; Abu > Nu‘aym Ah }mad bin ‗Abd Alla>h

bin Ah }mad al-As}biha>ni>, H}ilyah al-Awliya > wa T}abaqa >t al-As}fiya> (Beirut: Da>r al-Kita>b al-‗Arabiy, 1409 H), 1, 375.

Page 58: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

50

menunjukkan betapa Sahabat memiliki posisi yang sangat istimewa dalam Islam yang berbeda dengan generasi lainnya.

15

Para Sahabat dianggap sebagai potret pendidikan Allah dan bimbingan Nabi-Nya yang mesti diteladani. Siapa saja yang hendak melihat ajaran Islam

dari berbagai aspeknya yang telah menjelma dan melebur dalam diri seseorang,

maka hendaklah melihat pada diri para Sahabat (fa man ara >da an yara > al-Isla >m

al-mutajassid fi> shaks }ihim wadhawa >tihim wa khulqihim wa ‘a>da>tihim wa

aqwa >lihim wa af’a >lihim fal yandhur ila > ha>’ula >). Mereka adalah potret Islam

yang benar dan sempurna (mumaththil al-Isla>m al-s }ah}i >h} al-ka>mil) yang belum

terkontaminasi oleh berbagai ajaran menyimpang berupa bid‘ah, khurafat dan

sesat menyesatkan yang muncul dalam pentas sejarah Islam. Mereka adalah tauladan yang paling baik dan sebuah kriteria ideal dalam menentukan

kebenaran. Oleh karena itu, dalam perkembangan berikutnya, segala perkataan,

perbuatan dan jalan berislamnya seseorang yang bertentangan dengan generasi Sahabat, maka hal itu tidak dapat dibenarkan. Alasannya, karena para Sahabat

menyaksikan dan mendengarkan langsung apa pun yang dicontohkan dan

dikatakan oleh Nabi, di mana hal itu tidak pernah disaksikan oleh generasi

setelahnya.16

Mayoritas ulama Ahl al-Sunnah wa al-Jama>’ah mengatakan bahwa

seluruh Sahabat adalah orang-orang yang adil,17

karena Allah dan Nabi-Nya telah memuji akhlak dan perilaku mereka, terutama atas apa yang telah mereka

korbankan berupa harta dan nyawa demi membela Nabi.18

Doktrin bahwa semua

15

Terkait keistimewaan posisi Sahabat, Abū Ḥanīfah pernah berkata: ―Jika

terdapat beragam informasi dari para sahabat tentang tradisi kenabian, maka boleh

dipilih salah satunya tanpa harus dikritisi karena semua laporan dan tradisi sahabat

dinilai orisinal. Sedangkan apabila informasi tersebut datang dari para tabiin, maka harus

dikritisi terlebih dahulu‖. Pernyataan Abū Ḥanīfah tersebut, sekali lagi, hendak

melegitimasi otoritas informasi tentang tradisi kenabian yang datang dari para sahabat. Penjelasan lebih lanjut terkait hal ini, lihat ‗Abd al-Raḥmān bin Abī Bakr Jalāl al-Dīn al-

Suyūṭi, Miftāḥ al-Jannah fi al-Iḥtijāj bi al-Sunnah (Madinah al-Munawwarah: al-Jami‘ah

al-Islamiyah, 1989), 1, 45. Lihat juga Ahmad Ubaydi Hasbillah, Nalar Tekstual Ahli

Hadis; Akar Formula Kultur Moderat Berbasis Tekstualisme (Ciputat: Maktabah

Darussunnah, 2018), 172. 16

Sa‘ad bin Sayid Qut}b al-Sha>l, Ada>b al-Ikhtila>f bayn al-S}ah}a>bah wa

Atha>ruhu> ‘ala al-wa>qi’ al-Isla>miy, 176. 17

Yang dimaksud adil dalam kaitannya dengan Sahabat ialah, istiqamah dalam

menjalankan agama, bertakwa, tidak berbohong mengatasnamakan Nabi karena dilandasi

iman yang kuat, mampu menjaga harga diri, memiliki budik pekerti yang tinggi dan lain

sebagainya. Makna adil di sini bukan terbebas dari maksiat, kelalaian, ataupun

kesalahan. Muḥammad bin Muḥammad Abū Shuhbah, al-Wasīṭ fī Ulūm wa Muṣṭalaḥ al-

Ḥadīth (Kuwait: ‗Ālam al-Ma‘rifah, 1983), 499. Lihat juga Abu Layth Khayr Abad,

‗Ulu>m al-H>}adi>th As}i>luha> wa Mu’a>s}iruha > (Malaysia: Da>r al-Sha>kir, 2011). 107. 18

Abu > al-Fida> Isma>’i>l bin Kathi>r al-Qurashi>, al-Ba>’ith al-Hathi>th Sharh} Ikhtis}a>r ‘Ulu>m al-Hadi>th (Beirut: Da>r al-Kutub al-‗Ilmiyyah, T.th), 1, 181; Ah}mad

Page 59: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

51

Sahabat adalah adil telah menjadi tonggak utama keyakinan Ahl-al-Sunnah wa

al-Jama>’ah.19

Dalam konteks ilmu kritik hadis, misalnya, sebuah hadis akan

diterima otentisitas dan validitasnya, setelah sebelumnya dilakukan proses penyeleksian terutama dari aspek sanad. Seluruh informan atau periwayat yang

terlibat langsung dalam prosesi periwayatan sebuah hadis akan diseleksi secara

ketat, baik secara moralitas, kredibilitas maupun intelektualitas. Namun, ketika

berhadapan dengan informan pada tingkat Sahabat, penyeleksian tersebut sama sekali tidak berlaku. Alasannya, karena para Sahabat dianggap sebagai generasi

yang telah dijamin moralitas, kredibilitas dan intelektualitasnya sehingga tidak

perlu dipertanyakan.20

Sebagai contoh, keterputusan sanad pada tingkat Sahabat atau yang biasa disebut dengan istilah hadis mursal, tidak dianggap sebagai

sebuah persoalan oleh sebagian ulama, sehingga hadis semacam itu tetap dapat

dijadikan hujjah.21

Dalam konteks hadis mursal s}ah}a>bi, identitas Sahabat yang

tidak diketahui (majhu>l) tidak lantas mencederai kualitas hadis, karena seluruh

Sahabat diyakini sebagai orang-orang yang adil (wa al-jaha>lah bi al-s}ah}a>bi ghayru qa>dih}ah li anna al-s}ah}abah kullahum ‘udu>l).22

Doktrin keagamaan bahwa seluruh Sahabat adalah adil pada akhirnya melahirkan adagium yang sangat populer yaitu ―al-Ṣaḥābah Kulluhum ‘Udūl”.

Alasannya, sebagaimana ditegaskan al-Juwayni>, karena para Sahabat adalah

pembawa syari‘at, sehingga jika seandainya periwayatan dari mereka itu berhenti (lantaran adanya masalah menyangkut kredibilitasnya), maka tentu saja syariat

akan terhenti pada masa Nabi, sehingga tidak tersebar kepada generasi

berikutnya.23

Melihat betapa krusialnya teori ini, sehingga sarjana barat

kenamaan seperti Edward Said pernah mengatakan bahwa teori ‘ada>lah al-S}ah}a>bah telah menjadi travelling theory yang melanglangbuana ke seluruh penjuru dunia Islam.

24

Namun demikian, teori ‘ada>lah al-S}ah}a>bah ini telah melahirkan perdebatan krusial di atas panggung sejarah, baik di kalangan para ulama,

maupun di antara sekte-sekte dalam Islam. Sebagaimana penulis kemukakan di

‗Umar Ha>shim, Qawa >’id Us}u>l al-Hadi>th, 266; Muṣṭafā al-Sibā‘ī, al-Sunnah wa Makānatuhā fi al-Tashrī’ al-Islām (Kairo: Dār al-Salām, 2012), 128.

19 Jalaludin Rahmat, Sahabat Nabi: Kemusykilan Sejarah, dalam kata

pengantar, Fuad Jabali, Sahabat Nabi: Siapa, Kemana dan Bagaimana?, xviii. 20 Selengkapnya lihat Abū Bakr Aḥmad bin ‗Alī bin Thābit bin Aḥmad bin

Mahdī al-Khaṭīb al-Baghdādī, al-Kifāyah fi ‘Ilm al-Riwāyah (Madinah al-Munawarah:

Maktabah al-Ilmiyah, tt), 1, 46. 21 Lihat Mah }mu>d al-T}ah}a>n, Taysi>r Mus}t}ala>h} al-H}adi>th (Iskandariyah: Markaz

al-Ma’a>rif li Nashr wa Tawzi>’, 2004), 89. Lihat juga Abu> Layth Khayr Abad, ‗Ulu>m al-

H>}adi>th As}i>luha> wa Mu’a>s}iruha >, 174. 22 Abu > ‗Amr ‗Uthma>n bin ‗Abd al-Rah}ma>n bin S}ala>h}, Ma’rifah Anwa >’ ‘Ulu >m

al-Hadi>th (Beirut: Da>r al-Fikr, 1986), 56. 23

Selengkapnya, lihat Abd al-Raḥmān bin Abī Bakr Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī,

Tadrīb al-Rāwī fī Sharḥ Taqrīb al-Nawāwī, 2, 674. 24

Pernyataan tersebut sebagaimana dikutip Babul Ulum dalam karyanya,

Genealogi Hadis Politis; Al-Muawiyat dalam Kajian Islam Ilmiah, 48.

Page 60: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

52

atas, mayoritas ulama menganggap bahwa seluruh Sahabat adalah adil. Bagi

mereka, keadilan para Sahabat tidak perlu dipertanyakan (Annahu la> yus’alu an

ada>lah ah}adin minhum bal dha >lika amrun mafru>ghun minhu). Untuk menopang doktrin ini, para ulama ahli hadis mengutip sejumlah ayat dan hadis Nabi sebagai

landasan teologis.25

Akan tetapi, sebagian kalangan menilai bahwa teks-teks

keagamaan yang dikutip itu tidak cukup kuat untuk menggeneralisir keadilan seluruh Sahabat Nabi, sehingga—sebagaimana yang akan penulis jelaskan di

depan nanti—mereka merekonstruksi kembali pemaknaannya. Kamaruddin

Amin, misalnya, mengatakan bahwa dalil-dalil keagamaan yang dikutip para

ulama hadis tidak secara pasti mendukung konsep ‘ada>lah al-S}ah}a>bah secara

keseluruhan. Ia melontarkan beberapa pertanyaan kritis yaitu; Apakah doktrin

‘ada>lah al-S}ah}a>bah merupakan sebuah dogma ataukah sebuah fakta sejarah? Apakah masuk akal bahwa semua Sahabat memiliki kejujuran yang sama?

Apakah doktrin ini didasarkan pada analisis historis terhadap riwayat seluruh

Sahabat, ataukah hanya pada ayat-ayat Alquran dan hadis yang dapat diinterpretasi secara berbeda?

26 Di bawah ini, penulis akan mengurai dalil-dalil

agama yang dijadikan sebagai dasar teologis terkait keadilan para Sahabat

disertai dengan argumen kalangan yang menolaknya, terutama beberapa sarjana Muslim kontemporer yang memiliki tradisi pemikiran kritis atas khazanah

keislaman klasik.

Pertama, QS A>li ‗Imra >n: 110. Allah berfirman:

Kalian adalah umat terbaik (khayr ummah) yang dilahirkan untuk

manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.

Dalam berbagai literatur hadis, ayat di atas banyak dikutip untuk

melegitimasi keadilan seluruh Sahabat Nabi.27

Abu > Shuhbah mengatakan bahwa ayat tersebut merupakan bentuk kesaksian Allah atas keadilan para Sahabat.

28

Yang menjadi persoalan ialah, secara redaksional, ayat tersebut bersifat umum,

sehingga melahirkan perdebatan di kalangan para ulama tentang siapa mukha >t}ab

(pihak yang diajak bicara) pada ayat tersebut? Menurut al-Baghda >di>, meskipun

redaksi ayat tersebut bersifat umum, maknanya masih bersifat khusus, yaitu tertuju kepada para Sahabat, bukan yang lainnya.

29 Pendapat senada juga

dikemukakan al-Suyu >t }i> bahwa khit }a >b ayat di atas tertuju kepada orang-orang

25

Abu > ‗Amr ‗Uthma>n bin ‗Abd al-Rah }ma>n bin S}ala>h}, Ma’rifah Anwa >’ ‘Ulu >m

al-Hadi>th, 291. 26 Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis

(Bandung: Hikmah, 2009), 50. 27

Lihat misalnya Abu > ‗Amr ‗Uthma>n bin ‗Abd al-Rah}ma>n bin S}ala>h}, Ma’rifah

Anwa >’ ‘Ulu >m al-Hadi>th, 291. 28

Muḥammad bin Muḥammad Abū Shuhbah, al-Wasīṭ fī Ulūm wa Muṣṭalaḥ al-

Ḥadīth, 500. 29

Al-Baghdādī, al-Kifāyah fi ‘Ilm al-Riwāyah, 46.

Page 61: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

53

yang hidup ketika ayat itu diturunkan (wa al-khit}a>b fi >ha> lil mawju >din

h}i >naidhin).30

Sementara itu, Syuhudi Ismail memberi catatan kritis dalam memahami

ayat di atas. Menurutnya, para ulama pada umumnya berpendapat bahwa redaksi

khayr ummah (umat terbaik) dalam ayat ini tertuju kepada umat Islam secara

umum bila dibandingkan dengan umat lainnya. Itu pun bila umat Islam melakukan amar makruf nahy munkar dan beriman kepada Allah. Dengan kata

lain, keutamaan tersebut tidak hanya dicapai oleh para Sahabat, tetapi juga oleh

semua umat Islam pada masa berikutnya selama mereka melaksanakan syarat-syarat yang termaktub pada ayat itu. Jika demikian, menurut Syuhudi Ismail,

maka berarti ayat tersebut tidak tepat jika dijadikan sebagai landasan atau

argumentasi teologis untuk menggeneralisir keadilan seluruh Sahabat Nabi.31

Kedua, QS. Al-Fath} 18. Allah berfirman:

Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah

mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan

ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).

Sejauh yang bisa penulis telaah, sebagian ulama hadis kurang elaboratif

ketika mengutip dan mengurai substansi ayat di atas sebagai dasar teologis

perihal keadilan seluruh Sahabat Nabi. Abu > Shuhbah, misalnya, hanya

menyebutkan bahwa objek ayat di atas ialah tertuju kepada para Sahabat yang

ikut serta dalam Baiat Ridwan, tanpa memberi penjelasan yang memadai.32

Bahkan, al-Khaṭīb al-Baghdādī, hanya mengutip ayat tersebut tanpa memberi

uraian sedikit pun.33

Ayat di atas merupakan pernyataan kerelaan Allah kepada orang-orang yang beriman yang telah melakukan sumpah setia di bawah sebatang pohon.

Sumpah itu dikenal dengan istilah Baiat Ridwan, yang terjadi di Hudaybiyah

menjelang perdamaian Hudaybiyah. Umat Islam yang hadir ketika itu sekitar 1. 400 atau 1.500 orang. Mereka menyatakan sumpah setia kepada Nabi dan

berjanji tidak akan meninggalkan Hudaybiyah untuk melawan serangan orang-

orang musyrik Quraisy Mekah. Pada ayat itu, Allah menjanjikan kemenangan kepada umat Islam dalam waktu yang dekat.

34

30

‗Abd al-Raḥmān bin Abī Bakr Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, Tadrīb al-Rāwī fī Sharḥ

Taqrīb al-Nawāwī (Beirut: Dār Ṭayyibah, t.th), 2, 674. 31

Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan

dengan Pendekatan Ilmu Sejarah (Jakarta: Bulan Bintang, 2014), 169. 32

Muḥammad bin Muḥammad Abū Shuhbah, al-Wasīṭ fī Ulūm wa Muṣṭalaḥ al-

Ḥadīth, 500. 33

Al-Baghdādī, al-Kifāyah fi ‘Ilm al-Riwāyah, 46. 34

Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan

dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, 170.

Page 62: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

54

Menurut Syuhudi Isma‘il, ayat di atas merupakan salah satu bukti bahwa para Sahabat Nabi diberi keistimewaan khusus oleh Allah. Akan tetapi, dilihat

dari segi jumlahnya, para Sahabat yang ikut serta dalam Baiat Ridwan tersebut

hanyalah sebagian saja. Itu artinya, para Sahabat yang mendapat keutamaan khusus tidaklah semuanya, tetapi hanya sebagiannya saja. Konsekuensi logisnya

ialah, para Sahabat yang masuk Islamnya setelah peristiwa Baiat Ridwan tidak

masuk dalam cakupan ayat di atas. Oleh karena itu, menurutnya, ayat di atas tidak tepat dijadikan sebagai dasar teologis bahwa semua Sahabat adalah orang-

orang yang adil.35

Ketiga, QS. al-Baqarah: 143. Allah berfirman:

Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) umat

pertengahan (ummatan wasat}a>n ).

Beberapa mufassir semisal Al-T >}abari>, Fakhr al-Di>n al-Ra>zi, al-Qurt}ubi

dan Ibn Kathir sepakat bahwa makna kata wasata>n pada ayat di atas ialah al-‘udu>l (adil). Akan tetapi, mereka tidak mengatakan bahwa adil pada ayat

tersebut hanya tertuju kepada para Sahabat an sich, melainkan kepada umat

Islam secara umum.36

Al-T >}abari> juga mengutip pernyataan Abu> Ja’far bahwa

makna kata wasata>n pada ayat di atas berkenaan dengan posisi umat Islam yang

berada di antara dua kutub ekstrem (al-Juz’ alladhi > huwa bayna al-t}arfayni). Al-

T>}abari> kemudian menambahkan bahwa umat Islam disebut sebagai wasata>n atau

‘adl, karena sikapnya yang moderat dalam beragama (li tawassut }ihim fi> al-Di>n), tidak berlebihan seperti keimanan Nashrani terhadap Isa, dan tidak pula terlalu

rendah seperti Yahudi yang mendistorsi kitab Allah, membunuh Nabi-Nabi mereka, mendustakan Allah dan tidak beriman kepada-Nya.

37 Pendapat yang

sama juga dikemukakan mufassir kontemporer, Muh}ammad Rashid Rid}a.38

Sampai di sini tampak jelas bahwa penafsiran para ahli hadis terhadap ayat di atas tidak memiliki legitimasi yang kuat dalam sejumlah kitab tafsir.

Pertanyaannya, mengapa penafsiran para ahli hadis terhadap ayat di atas

bertolak belakang dengan para ahli tafsir sendiri? Menurut Fuad Jabali, hal itu terjadi karena perbedaan sifat dari karya mereka. Para ahli hadis menafsirkan

ayat di atas dalam iklim kontroversi. Jabali menduga ada semacam disharmoni

antara ahli hadis dengan kelompok Muktazilah ketika menafsirkan ayat di atas.

35

Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan

dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, 170. 36

Muh}ammad bin Jari>r al-T}abari>, Jami>’ al-Baya>n fi> Ta’wi>l al-Qur’a>n (Beirut:

Muasasah al-Risalah, 2000), Vol 3, 141; Fakhr al-Di>n al-Ra>zi, Mafa<>ti>h} al-Ghayb

(Beirut: Da>r Ih}ya> al-Tura>th al-‘Arabiy, 1420 H), Vol 4, 84; Abu> ‘Abd Alla>h Shams al-

Di<>n al-Qurt}ubi, al-Ja>mi’ li Ah}ka>m al-Qura>n (Kairo: Da>r al-Kutub al-Mis}riyyah, 1964),

Vol 2, 153; Ibn Kathi>r al-Dimashqi>, Tafsi>r al-Qura>n al-‘Az}i>m (Beirut: Da>r al-Kutub al-

‘Ilmiyyah, 1419), 1, 327. 37

Muh}ammad bin Jari>r al-T}abari>, Jami>’ al-Baya<<>n fi> Ta’wi>l al-Qur’a>n, Vol 3,

141. 38

Muh}ammad Rashid bin ‘Ali Rid}a> al-Husayni, Tafsi>r al-Mana>r (Mesir: al-

Hay’ah al-Ammah al-Mis}riyyah li al-Kitab, 1990), Vol. 2, 5.

Page 63: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

55

Para ahli hadis menjelaskan pandangan-pandangannya tentang Sahabat dalam rangka menolak pandangan Muktazilah. Hal inilah yang tidak dialami para

mufassir, sehingga mereka lebih objektif dalam menafsirkan ayat tersebut. Tidak

ada bayang-bayang Muktazilah dalam benak mereka ketika menafsirkan ayat tersebut, sehingga mereka tidak termotivasi menggunakan ayat-ayat tersebut

sebagai senjata untuk melawan musuh-musuh mereka.39

Kendati demikian,

pandangan Jabali ini hanya sebatas asumsi yang tentu saja terbuka ruang untuk dikritisi.

Selain merujuk beberapa ayat di atas, para ulama juga mengutip

beberapa hadis Nabi antara lain ialah:

Pertama, hadis riwayat Al-Bukha >ri. Nabi bersabda:

Janganlah kalian mencaci maki para Sahabatku. Sekiranya di antara kalian sedekah emas sebesar gunung Uhud, niscaya sedekahmu itu tidak

akan menyamai separuh dari Sahabatku ini.40

Dalam beberapa literatur, hadis di atas sering kali dikutip untuk menggeneralisir bahwa semua Sahabat adalah orang-orang yang adil, tanpa

terkecuali. Ibn H}ajar al-‘Asqala>ni>, sebagaimana dikutip Syuhudi Isma‘il,

mengatakan bahwa hadis tersebut muncul pada saat Nabi mendengar Kha >lid bin

Wali>d bertengkar dengan ‗Abd al-Rah}ma >n bin ‗Awf. Nabi menegur Kha >lid

dengan sabdanya di atas.41

Abu> Shuhbah berpendapat bahwa, meskipun konteks

kemunculan hadis di atas berkenaan dengan kasus pertengkaran Kha >lid bin

Wali>d dan ‗Abd al-Rah}ma >n bin ‗Awf, akan tetapi cakupan maknanya tidak

terikat oleh konteks tersebut, melainkan mencakup seluruh Sahabat Nabi secara

umum, karena prinsip dalam memahami sebuah hadis mesti berpijak pada keumuman lafal, bukan pada sebabnya yang khusus. Oleh karena itu,

menurutnya, kalau Sahabat saja dilarang mencela Sahabat lain, maka tentu selain

mereka lebih terlarang.42

Pendapat berbeda dikemukakan oleh Syuhudi Ismail. Ia berpendapat

bahwa secara substansial, sebenarnya yang dilarang oleh Nabi pada hadis di atas

adalah perbuatan memaki atau mengumpat. Sedangkan upaya meneliti personalitas Sahabat Nabi tidak lantas dikatakan telah memaki. Tujuan meneliti

Sahabat Nabi tentu saja merupakan kebaikan dalam rangka mengetahui

kesahihan salah satu sumber ajaran Islam. Oleh karenanya, hadis di atas tidak

39 Fuad Jabali, Sahabat Nabi, 67. 40 Al-Bukha>ri, S}ah }ih} al-Bukha>ri>, Vol 5, 8. 41

Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan

dengan Pendekatan Ilmu Sejarah,171. 42

Muḥammad bin Muḥammad Abū Shuhbah, al-Wasīṭ fī Ulūm wa Muṣṭalaḥ al-

Ḥadīth, 501.

Page 64: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

56

bisa menjadi dalil bahwa seluruh Sahabat adalah adil sehingga tidak boleh dikritik.

43

Kedua, hadis riwayat al-Bukha >ri. Nabi bersabda:

Sebaik-baiknya kalian adalah generasiku, kemudian generasi berikutnya

dan kemudian generasi berikutnya lagi.44

Secara substansial, hadis ini menjelaskan bahwa generasi umat Islam

yang terbaik adalah generasi Nabi, kemudian generasi berikutnya dan kemudian

generasi berikutnya lagi.45

Menurut Syuhudi Isma‘il, pada hadis di atas, yang disebutkan oleh Nabi adalah generasi, bukan individu-individu. Ini artinya,

secara umum, umat Islam yang hidup pada zaman Nabi, yakni para Sahabat,

adalah orang-orang yang paling baik kualitas pribadinya bila dibandingkan

dengan orang-orang yang hidup pada zaman berikutnya. Namun demikian, hal ini tidak berarti bahwa seluruh Sahabat Nabi—tanpa terkecuali—kualitas

masing-masing pribadinya selalu lebih baik daripada orang Islam yang hidup

pada zaman berikutnya.46

Sebab kenyataannya, ada juga orang Islam yang

43

Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan

dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, 171. 44 Al-Bukha>ri, S}ah }ih} al-Bukha>ri, 3, 171. Hadis nomor 2651. 45 Menurut Ubaydi Hasbillah, meskipun Nabi menegaskan adanya tiga generasi

terbaik, namun mereka yang hidup pada tiga periode sejarah tersebut pun sebenarnya

tidak ada yang mendeklarasikan sebagai generasi terbaik. Hal ini dibuktikan dengan

tidak adanya pengakuan atau klaim dari mereka, baik dalam karya-karya tulis mereka ataupun dalam kutipan generasi setelahnya. Ketiadaan bukti tersebut juga bukan

dilatarbelakangi oleh sekadar faktor keshalihan dan keagamaan yang membuat mereka

tidak mungkin mengaku sebagai yang terbaik, melainkan hal itu juga didukung dengan

penafsiran hadis khayr al-quru>n tersebut yang mereka asosiasikan kepada sosok atau

periode tertentu. Mereka justru menafsirkannya secara netral, yaitu sebagai hadis yang

memprediksi tentang kondisi moral keagamaan umat yang kian hari kian kompleks.

Lihat Ahmad Ubaydi Hasbillah, Nalar Tekstual Ahli Hadis: Mencari Akar Formula

Kultur Moderat Berbasis Tekstualisme,109. 46 Al-Nawa >wi > mengutip pendapat Ibn ‗Abd al-Bar bahwa pasca generasi

Sahabat, boleh jadi ada di antara mereka yang lebih utama daripada salah seorang yang

hidup pada generasi Sahabat. Adapun makna dari redaksi hadis khayrukum qarni>, tertuju

kepada al-sa>biqu>n al awalu >n min al muha >jiri>n wa al-ans}a>r dan orang-orang yang

menempuh jalannya. Merekalah yang disebut sebagai umat terbaik sebagaimana yang dimaksudkan hadis di atas. Dengan demikian, menurut pendapat ini, orang yang hidup

pada masa Nabi—meskipun pernah melihat dan menyertainya, tetapi bukan termasuk al-

sa>biqu>n al-awalu >n dan tidak pula memiliki pengaruh dalam agama—maka boleh jadi ia

tidak lebih baik daripada orang yang hidup pasca generasi Sahabat. Namun demikian,

sebagian besar ulama berpendapat bahwa orang yang pernah menyertai Nabi, meskipun

hanya sekali seumur hidupnya, maka ia lebih utama dari siapa pun yang hidup

setelahnya. Karena keutamaan Sahabat tidak bisa disetarakan atau dibandingkan dengan

amal kebaikan (orang yang hidup setelahnya). Qa>d}i > ‗Iya >d} mengatakan bahwa keutamaan menyertai Nabi, meskipun hanya sebentar, tidak bisa disetarakan dengan amal kebaikan,

karena keutamaan tersebut datang dari Allah bagi siapa saja yang Ia kehendaki.

Page 65: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

57

berstatus Sahabat kualitas pribadinya tidak terpuji, misalnya al-Wali>d bin

‗Uqbah. Syuhudi Isma‘il mengutip Ibn H}a >jar al-‗Asqala >ni> yang mengisahkan

bahwa al-Wali>d bin ‗Uqbah pernah berbohong kepada Nabi. Sehubungan dengan

perbuatannya itu, turunlah wahyu Alquran surat al-H}ujura>t ayat 6. Tak hanya

itu, pada masa khalifah ‗Uthma >n, al-Wali>d juga pernah diangkat sebagai penguasa di Kufah. Pada suatu ketika, ia menjadi imam salat Subuh dalam

keadaan mabuk. Salat Subuh dilakukannya sebanyak empat rakaat. Setelah

mengetahui perbuatannya itu, ‗Uthma >n menghukumnya dengan cambukan

kemudian memecatnya.47

Setelah mengurai berbagai pandangan para ulama terhadap ayat dan hadis di atas berikut perdebatan akademik yang menyertainya, penulis sepakat

dengan pandangan Kamaruddin Amin bahwa teks-teks keagamaan tersebut tidak

secara tegas mengatakan keadilan seluruh Sahabat Nabi. Terlebih, pandangan para ahli hadis terhadap ayat-ayat di atas tidak memiliki legitimasi yang kuat dari

para ahli tafsir sendiri, sehingga wajar jika beberapa sarjana Muslim belakangan

merasa keberatan dan mengajukan pandangan berbeda.

Masih terkait doktrin keadilan para Sahabat, Muh}ammad Rashi>d Rid}a

mengatakan bahwa tidak semua Sahabat dikatakan adil, melainkan hanya

sebagian besarnya saja (Anna ‘ada >lah al-s }ah }a>bah aghlabiyyah wa laysa

mut }arradah). Argumentasi yang dibangun ialah, karena adanya segelintir

Sahabat yang dikategorikan munafik sebagaimana disinggung dalam QS. al-

Tawbah: 10148

dan QS. Muh}ammad: 30.49

Akan tetapi, Abu > Layth memberikan

bantahan bahwa pandangan Rashi>d Rid}a tersebut adalah keliru, karena orang-orang munafik secara otomatis dianggap telah keluar dari kelompok yang

dikategorikan sebagai Sahabat karena tidak memenuhi salah satu syarat, yaitu

keimanan.50

Fuad Jabali juga merasa keberatan dengan adanya doktrin keadilan

seluruh Sahabat Nabi. Dalam karyanya, ia bertungkus lumus mengelaborasi

berbagai hal yang berkenaan dengan Sahabat, termasuk di antaranya mengkritisi sejumlah argumen para ulama yang selama ini menjadi dasar keadilan seluruh

Selengkapnya, lihat Abu> Zakariya > Muh }y al-Di>n bin Yah }ya > bin Sharaf al-Nawa>wi >, al-

Minha>j Sharh} S}ah}i >h} Muslim (Beirut: Da>r Ih }ya > al-Tura>th al-‗Arabiy, 1392 H), 3, 138. 47

Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan

dengan Pendekatan Ilmu Sejarah,172-173. 48 Allah berfirman: Di antara orang-orang Arab Badui yang di sekelilingmu itu,

ada orang-orang munafik; dan (juga) di antara penduduk Madinah. Mereka keterlaluan dalam kemunafikannya. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, (tetapi) Kamilah

yang mengetahui mereka. QS. al-Tawbah: 101 49

Allah berfirman: Dan kalau Kami menghendaki, niscaya Kami tunjukkan

mereka kepadamu sehingga kamu dapat benar-benar mengenal mereka dengan tanda-

tandanya. Dan kamu benar-benar akan mengenal mereka dari kiasan-kiasan

perkataannya dan Allah mengetahui perbuatan-perbuatan kamu. QS. Muh}ammad: 30. 50

Abu > Layth Khayr Abad, Ittija>ha>t fi> Dira>sah al-Sunnah: Qadi>muha> wa

‘As}i>ruha> (Beirut: Muasasah al-Risa>lah, 2010), 95.

Page 66: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

58

Sahabat. Ia mengatakan, ―Dalam upaya membangun doktrin keadilan Sahabat, sering kali ditemukan banyak hal yang mengganggu. Sebagai contoh, hubungan

antara wahyu dengan konteks pada saat wahyu itu diturunkan tidak bisa

sepenuhnya dijelaskan. Pesan Tuhan diwahyukan antara lain untuk merespons realitas generasi pertama masyarakat Muslim, sebuah realitas yang jauh dari

sempurna. Sahabat juga manusia biasa yang—sesuai dengan sifatnya—terkadang

berbuat dosa dan kesalahan. Realitas inilah yang membuat wahyu bermakna. Andai saja Sahabat terbebas dari kekurangan-kekurangan itu, wahyu menjadi

tidak ada maknanya. Kemunculan ilmu asba >b al-nuzu >l bisa dilihat sebagai

sebuah kesadaran bahwa yang menjadi objek wahyu, yaitu Sahabat, adalah manusia yang terkadang berbuat salah yang memerlukan bimbingan. Salah satu

contohnya adalah kritik Alquran terhadap Sahabat yang terlibat dalam

pembangunan masjid D}ira >r.51

Menganggap bahwa semua Sahabat adalah adil tampaknya bertentangan dengan tujuan wahyu sebenarnya, yang tanpanya

pemahaman ayat-ayat Alquran menjadi sulit, bahkan tidak mungkin‖.52

Tak hanya itu, sarjana Muslim lainnya semisal Ah>mad Ami >n mengatakan bahwa pada faktanya, para Sahabat juga saling mengkritik bahkan

melaknat satu sama lain. Mereka juga sebagaimana layaknya manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan. Oleh karenanya, jika mereka melakukan kesalahan,

maka sudah semestinya dikritik. Sebaliknya, jika melakukan kebaikan, maka

layak diapresiasi. Tidak ada keistimewaan yang lebih besar yang mereka miliki

ketimbang generasi lainnya selain karena mereka pernah menyaksikan Nabi dan hidup semasa dengannya.

53

Persoalan yang paling krusial di antara semuanya adalah, beberapa tokoh

penting dari kalangan Sahabat, semisal ‗Ali>, ‗A’>ishah, T}alh}ah, Zubayr, dan

Mu‘a>wiyah pernah terlibat dalam peristiwa fitnah al-kubra >. Peristiwa ini telah

merenggut nyawa sejumlah Sahabat, termasuk di antaranya T }alh}ah dan Zubayr. Lalu bagaimana sikap para ulama dan berbagai kelompok dalam Islam terhadap

fakta tersebut terutama jika dibenturkan dengan doktrin keadilan para Sahabat?

Para ulama Ahl-al-Sunnah wa al-Jama >’ah berusaha mendamaikan kontradiksi

tersebut. Mereka antara lain mengutip pernyataan ‗Umar bin ‗Abd al-‗Azi>z, yang mengatakan: ―Itulah darah yang telah Allah sucikan dari pedang kita, maka lisan

kita tidak layak menyinggungnya‖.54

Pendapat lainnya mengatakan bahwa

perang Jamal terjadi karena faktor ketidaksengajaan. Sementara perang Shiffin,

terjadi semata-mata karena ijtihad Sahabat itu sendiri, di mana mereka—sebagaimana halnya seorang mujtahid—akan mendapat pahala meskipun salah

51

Mesjid D}ira >r ialah bangunan yang dibangun oleh kaum munafik di Madinah

dengan tujuan untuk memecah belah persatuan di antara kaum Mukminin. 52

Fuad Jabali, Sahabat Nabi, 68-69. 53

Pernyataan tersebut sebagaimana dikutip Mah}mu>d Abu> Ra >yyah, Adwa > ala al-

Sunnah al-Muh}ammadiyyah, Aw Difa>’ ‗an al-Hadi>th (Kairo: Da>r al-Ma’a>rif, T.th), 335. 54 Pernyataan tersebut sebagaimana dikutip ‗Ali Jum‘ah, Qawl al-S}ah}a>bi ‘Inda

al-Us}u>liyyi>n (Kairo: Da>r al-Risa>lah, 2004), 28.

Page 67: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

59

dalam ijtihadnya.55

Konsekuensi logis dari pandangan ini ialah, Sahabat seperti

Mu‘a>wiyah akan dianggap telah mendapat pahala, meskipun sebenarnya dialah

aktor utama yang terlebih dahulu memberontak terhadap kekhalifahan ‗Ali> sehingga menyebabkan terjadinya perang Shiffin.

56 Namun demikian, sependek

pembacaan penulis, beberapa ulama—untuk tidak mengatakan semuanya—tidak

menyalahkan pihak mana pun. Mereka hanya mengatakan bahwa ‗Ali> lebih

mendekati kebenaran ketimbang Muawiyah (Wa ka>na ‘Ali> wa as}h}a>buhu aqrab ila al-h}aqq min Mu’a>wiyah wa as}ha>bihi.57

Di luar Ahl-al-Sunnah wa al-Jama >’ah, sekte Khawarij mengakui

keadilan seluruh Sahabat Nabi sebelum terjadinya peristiwa fitnah. Namun,

setelah terjadinya peristiwa tersebut, mereka mengkafirkan ‗Ali>, ‘Uthma>n,

orang-orang yang ikut serta dalam perang Jamal, dan orang-orang yang terlibat

dalam arbitrase (tah}ki>m). Mereka menolak hadis yang berasal dari mayoritas

Sahabat setelah terjadinya peristiwa fitnah. Kelompok lainnya semisal Syi‘ah

mengecam keras beberapa Sahabat seperti Abu> Bakar, ‘Umar, ‘Uthma>n dan mayoritas Sahabat yang mendukung mereka. Kelompok ini juga mengecam

‗A>ishah, T}alh}ah, Zubayr, Mu’a>wiyah, ‘Amr bin ‘A>s} dan beberapa Sahabat yang bersekutu dengan mereka karena telah merampas hak kekhalifahan dari Ali.

Sebagaimana Khawarij, kelompok ini menolak hadis-hadis yang berasal dari

mayoritas Sahabat.58

Sementara itu, Muktazilah mengakui keadilan seluruh

Sahabat kecuali orang yang membunuh Ali.59

Setelah mencermati berbagai pandangan di atas berikut perdebatan

akademik yang menyertainya, dapat dipahami bahwa pandangan umat Islam terhadap Sahabat tidaklah tunggal. Berbagai kelompok dalam Islam memiliki

cara pandang berbeda dalam menilai Sahabat, terutama menyangkut doktrin

keadilan para Sahabat. Pada akhirnya, penulis ingin mengatakan bahwa

perdebatan tentang sakralitas Sahabat tak lain merupakan sebuah perdebatan yang tak pernah usai.

55

Muḥammad bin Muḥammad Abū Shuhbah, al-Wasīṭ fī Ulūm wa Muṣṭalaḥ al-

Ḥadīth (Kuwait: ‗Ālam al-Ma‘rifah, 1983), 504. Lihat juga Sa‘ad bin Sayid Qut}b al-

Sha>l, Ada>b al-Ikhtila>f bayn al-S}ah}a>bah wa Atha>ruhu> ‘ala al-wa>qi’ al-Isla>miy, 172. 56 Posisi Muawiyah sebagai kelompok pemberontak ditegaskan langsung oleh

Ibn ‗Umar. Meskipun enggan terlibat dalam pertikaian antar Sahabat, tetapi pada akhir

hayatnya Ibn ‗Umar pernah mengungkapkan kecenderungannya terhadap kubu ‗Ali. Ibn

‗Umar berkata: ―Tidak ada sesuatu pun yang aku sesalkan karena tidak kuperoleh,

kecuali satu hal, aku sangat menyesal tidak mendampingi ‗A>li> memerangi kelompok

pemberontak (ma asa> ‘ala shay’in fa>tani> illa> anni> lam uqa>til ma’a> ‘aliy ‘ala> al-fi’ah al-baghiyah)‖. Lihat Al-Dhahabi >, Siya>r A’la>m al-Nubala>, 4, 318.

57 Abu > al-Fida> Isma >’i>l bin Kathi>r al-Qurashi>, al-Ba’i>th al-Hathi>th Sharh} Ikhtis}a>r ‘Ulu>m al-Hadi>th (Beirut: Da>r al-Kutub al-‗Ilmiyyah, T.th), 177. Lihat juga

Muḥammad bin Muḥammad Abū Shuhbah, al-Wasīṭ fī Ulūm wa Muṣṭalaḥ al-Ḥadīth,

504. 58 Muṣṭafā al-Sibā‘ī, al-Sunnah wa Makānatuhā fi al-Tashrī’ al-Islām (Kairo:

Dār al-Salām, 2012), 128. 59 Muṣṭafā al-Sibā‘ī, al-Sunnah wa Makānatuhā fi al-Tashrī’ al-Islām, 243.

Page 68: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

60

B. Sahabat Sebagai Imitator Tradisi Kenabian

Izzat Darwazah, seorang sarjana Muslim kontemporer berkebangsaan Palestina, menggambarkan tentang bagaimana umat Islam awal benar-benar

terpengaruh oleh cahaya kenabian Nabi Muhammad. Mereka begitu antusias

berdedikasi, menolong, mengangungkan, mengikuti wasiat-wasiatnya dan cahaya yang dibawa Nabinya. Alquran juga memberikan gambaran yang sangat

mencerahkan tentang bagaimana umat Islam benar-benar memperhatikan,

mendengarkan ajaran dan petunjuk Alquran yang disampaikan Nabi

Muhammad.60

Para Sahabat adalah generasi yang paling mirip dengan Nabi (ashbah al-

na>s bi rasu>l Alla>h s }alla Alla>h ‘alayhi wa sallam), baik dari segi perkataan,

perbuatan, akhlak, kebiasaan, ibadah, pergaulan, dan lain sebagainya. Sehingga,

wajar kiranya jika umat Islam diperintahkan untuk mengikuti mereka dalam

berbagai aspek. Hal itu ditegaskan langsung oleh Nabi bahwa suatu saat nanti umat Islam akan terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, dan yang

akan selamat hanyalah mereka yang mengikuti Nabi dan para Sahabatnya (ma> ana>‘alayhi wa as}h}a>bi>).61

Para Sahabat senantiasa melakukan apa yang dilakukan oleh Nabi dan

meninggalkan apa yang ditinggalkan olehnya tanpa bertanya terkait sebab, ‗illat atau hikmah di balik perbuatan tersebut. Hal itu mereka lakukan semata-mata

karena meyakini bahwa segala perbuatan Nabi adalah wahyu.62

Sayid

Muh}ammad Sayid Nuh} mengatakan, para Sahabat senantiasa mengikuti dan mengimitasi segala hal apa pun yang berasal dari Nabi, baik itu berupa ucapan,

perbuatan, ketetapan, sifat, bahkan apa pun yang terkait dengan kehidupan Nabi

semisal tidur dan bangun, gerakan, diam, berdiri, duduk, ijtihad, ibadah, riwayat hidup, peperangan, canda, larangan, khutbah, makan, minum, bergaul dengan

keluarganya, mengurus kuda, lirikan, tarikan nafas, karakter dan lain

sebagainya.63

60

Pernyataan tersebut sebagaimana dikutip Aksin Wijaya dalam karyanya

Sejarah Kenabian dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat Darwajah (Bandung: Mizan, 2016), 334.

61 Sa‘ad bin Sayid Qut}b al-Sha>l, Ada>b al-Ikhtila>f bayn al-S}ah}a>bah wa

Atha>ruhu> ‘ala al-wa>qi’ al-Isla>miy, 176. Hadis di atas dapat dilihat dalam Abu > ‗Isa> al-

Tirmidhi>, Sunan al-Tirmidhi> (Beirut: Da>r al-Gharb al-Isla>mi>, 1998), 4, 323. 62

Muh }ammad H}asan al-Ibra >him, Juhu>d al-S}ah}a>bah fi> H>}ifz} al-Sunnah wa

Tadwi >niha, 87. Lihat juga Muh }ammad Mat}ar al-Zahra>ni>, Tadwi >n al-Sunnah al-

Nabawiyyah Nash’atuhu> wa Tat }awwuruhu > min al-Qarn al-Awwal ila Niha>yah al-Qarn

al-Ta>si’al-H}ijri} (al-Mamlakah al-‗Arabiyyah al-Sa‘u>diyyah: Da >r al-Hijrah, 1996), 27. 63

Sayyid Muh}ammad Sayyid Nu >h, al-S}ah}a>bah wa Juhu >duhum fi > Khidmah al-

H}adi>th al-Nabawiy (Kulliya >t al-Ada>b Qism al-Dira >sa>t al-Isla>miyyah bi Ja>mi‘ah al-Ima>rat

al-Isla>miyyah al-Muttahidah, T.th), 181. Lihat juga Muh }ammad Muba>rak Sayyid,

Mana>hij al-Muh}addithi>n (Kairo: Kulliyah Us }u>l al-Di>n, 1998), 6.

Page 69: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

61

Sejumlah literatur hadis dan sejarah mencatat bahwa Nabi begitu dekat dengan para Sahabatnya. Meski kedudukannya sebagai utusan Tuhan—yang

tentu saja dinilai sakral,—namun tidak ada sekat antara Nabi dan para

Sahabatnya. Dalam berbagai hal, Nabi selalu memosisikan diri sebagaimana layaknya manusia biasa, sehingga para Sahabat bisa bergumul langsung

dengannya dalam berbagai aspek kehidupan.64

Mereka juga sangat mencintai

Nabi. Bahkan, saking cintanya kepada Nabi, mereka sebisa mungkin berusaha mengimitasi atau meniru-niru apa pun yang dilakukan oleh Nabi, meskipun

terkadang Nabi sendiri tidak menghendakinya. Di bawah ini, penulis suguhkan

beberapa riwayat yang menunjukkan karakteristik para Sahabat yang selalu

berusaha mengimitasi segala perbuatan Nabi.

Abu > Sa‘i>d al-Khudriy meriwayatkan, bahwa suatu ketika Nabi pernah

melepaskan sandalnya ketika salat. Maka para sahabat pun beramai-ramai mencopot sandalnya ketika salat. Ketika Nabi bertanya akan hal itu, mereka

lantas menjawab, ―Karena kami melihat engkau melepas sandal, maka kami pun

ikut melepasnya‖ (Ra ayna >ka alqayta na’layka fa alqayna > ni’a >lana >). Padahal, alasan Nabi mencopot sandalnya ketika itu, karena Jibril datang memberi kabar

kepada Nabi bahwa di bawah sandalnya terdapat najis, sehingga Nabi segera

melepasnya.65

Al-Bukha>ri> meriwayatkan hadis yang berasal dari jalur ‗Abd Alla >h bin

‗Umar bahwa suatu ketika Nabi memakai cincin yang terbuat dari emas. Maka para Sahabat pun beramai-ramai meniru Nabi membuat cincin yang sama dan

memakainya. Setelah beberapa waktu kemudian, Nabi segera membuangnya

(karena mungkin ada larangan memakai cincin emas bagi laki-laki). Kemudian

mereka pun segera membuangnya karena mengikuti Nabi (fa nabadha al-na>s

khawa >timahum).66

64 Para Sahabat bergumul langsung dengan Nabi dalam keseharian mereka, baik

di masjid, pasar, perjalanan dan lain sebagainya. Setiap perkataan dan perbuatan Nabi,

menjadi pusat perhatian dan penilaian para sahabat. Mereka juga sering kali mendatangi

istri-istri Nabi untuk menanyakan hal-hal seputar rumah tangga Nabi. Sebagai contoh,

seorang Sahabat pernah menyuruh istrinya untuk bertanya kepada Um Salamah (istri

Nabi) tentang hukum berciuman bagi suami istri yang sedang berpuasa. Um Salamah menceritakan bahwa Nabi menciumnya dalam keadaan berpuasa. Selengkapnya, lihat

Muṣṭafā al-Sibā‘ī, al-Sunnah wa Makānatuhā fi al-Tashrī’ al-Islām, 64. Lihat juga

Muh}ammad Mat}ar al-Zahra>ni>, Tadwi >n al-Sunnah al-Nabawiyyah Nash’atuhu> wa

Tat }awwuruhu > min al-Qarn al-Awwal ila Niha>yah al-Qarn al-Ta >si’ al-H}ijri>, 30. 65 Hadis terkait hal ini, dapat dilihat dalam Abu ‗Abd Allāh al-Ḥākim

Muḥammad bin ‗Abd Allāh bin Muḥammad bin Ḥamdawayh bin Nu‘aim bin Ḥakam al-

Naysabūrī, al-Mustadrak ‘alā al-Ṣaḥīḥayn (Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), 1,

391, 5. 66 Muh }ammad bin Isma>'i>l al-Bukha>ri>, S}ah}ih} al-Bukha>ri>, 8, 133; Muslim bin

H}ajja >j al-Naysabu >ri>, S}ah}ih Muslim (Beirut: Da>r Ih }ya > al-Tura>th al-‗Arabiy, T.th), 3, 1655;

Abu > Da >wud al-Sijista>ni>, Sunan Abi> Da >wud (Beirut: al-Maktabah al-As}riyyah Shayda, T.th), 4, 88.

Page 70: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

62

Anas bin Ma >lik pernah menceritakan bahwa suatu ketika ada seorang penjahit yang mengundang Nabi untuk makan bersama. Lalu ia pun ikut

menghadiri undangan tersebut bersama Nabi. Setibanya di sana, Nabi disuguhi berbagai jenis makanan berupa roti, kuah labu dan daging cincang. Namun, alih-

alih memilih yang lain, Nabi justru memilih labu. Sejak saat itulah Anas yang

semula tidak suka labu, tiba-tiba menjadi sangat suka makan labu (fa lam azal

uh}ib al-dubba min yawma’idhin).67

‗Umar bin Khat }t}a >b suatu ketika pernah mendatangi hajar aswad kemudian menciumnya, seraya berkata: ―Sesungguhnya aku tahu bahwa engkau

hanyalah sebuah batu yang tidak membahayakan dan tidak pula membawa

manfaat. Kalau bukan karena aku pernah melihat Nabi menciummu, maka aku

pun enggan menciummu. (Lawla > anni > ra’aytu rasu >l Alla>h yuqabbiluka ma > qabbaltuka)‖.

68

Ibn Sa‘ad dalam karya monumentalnya al-T }abaqa>t al-Kubra>, sebagaimana dikutip Fu‘ad Jabali, merekam sebuah riwayat menarik bahwa

sandal Nabi yang disimpan oleh Fa >t }imah binti ‗Ubayd Alla >h konon pernah dijadikan model oleh tukang sandal/sepatu yang ada di Mekkah tepatnya pada

tahun 100 H.69

Selain beberapa riwayat di atas, yang paling menarik ialah riwayat-

riwayat yang mengisahkan tentang cara ‗Abd Alla >h bin ‗Umar dalam mengikuti

dan meniru-niru perbuatan Nabi. Al-Qarad}awi> mengatakan, Ibn ‗Umar adalah orang yang sangat kuat sikap peneladanannya kepada Nabi, baik dalam hal

ucapan ataupun perbuatan Nabi, meskipun hal itu bukan termasuk yang

diperintahkan dalam agama.70

Sebagai contoh, al-Dhahabi mengutip sebuah riwayat dari Zayd bin Aslam bahwa Ibn ‗Umar pernah mewarnai jenggotnya

dengan warna kuning sampai terkena bajunya. Ketika ditanya, ―Kenapa engkau

melakukan hal itu?‖ Ia menjawab, ―Karena aku pernah melihat Rasulullah

melakukannya (ra’aytu rasu>l Alla>h yas }bighu biha>)‖. Al-Dhahabi juga mengutip

riwayat lainnya yang mengisahkan bahwa Ibn ‗Umar selalu mencari-cari tempat

bekas salatnya Nabi, sampai suatu ketika Nabi pernah singgah di sebuah pohon untuk beristirahat. Kemudian Ibn ‗Umar menandai akar pohon bekas duduk Nabi

itu. Ia menuangkan air ke akar pohon itu agar tidak kering.71

Al-Qarad}a>wi> mengutip sebuah riwayat bahwa ketika Ibn ‗Umar melakukan suatu perjalanan, pada salah satu ruas jalan, ia sedikit memutar dari

67

Al-Bukha>ri>, S}ah}i>h} al-Bukha>ri>, 3, 61. 68 Al-Bukha>ri>,S}ah}i>h}} al-Bukha>ri>, 2, 149; Muslim bin H}ajja >j al-Naysabu >ri>, S}ah}i>h}

Muslim, 2, 925. 69

Fuad Jabali, Sahabat Nabi: Siapa, Ke Mana, dan Bagaimana?, dalam Kata

Pengantar, xliii. 70

Yu >suf al-Qarad}a >wi, al-Bid’ah fi> al-Di>n: Haqi >qatuha> wa Asba >buha > wa

Aqsa>muha wa Atha>ruha (Kairo: Maktabah Wahbah, 2012), 36. 71 Abu >‗Abd Alla >h Shamsh al-Di>n Muh }ammad bin Ah }mad bin ‗Uthma>n bin

Qayma >z al-Dhahabi>, Siyar A’la>m al-Nubala> (Kairo: Dar al-Hadith, 2006), 4, 303.

Page 71: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

63

jalan utama. Orang-orang yang ikut bersamanya merasa keheranan melihat tindakannya. Pelayannya berkata, ―Dia melakukan hal itu karena sebelumnya dia

pernah ke sini bersama Rasulullah, dan ketika sampai di ruas jalan ini,

Rasulullah sedikit memutar dari jalan utama‖.72

Ibn Muja>hid juga meriwayatkan hal serupa bahwa suatu ketika Ibn ‗Umar bersama Rasulullah dalam suatu

perjalanan. Ketika melewati sebuah jalan, ia berbelok menghindari jalan itu. Ibn

‗Umar ditanya, ―Kenapa engkau melakukan itu?‖ Ia menjawab, ―Aku pernah

melihat Rasulullah melakukannya, maka aku pun melakukannya (ra’aytu rasu >l Alla>h fa‘ala ha>dha fa fa’altu)‖.

73

Riwayat lainnya mengisahkan bahwa pada saat perjalanan haji, Ibn

‗Umar menderumkan untanya, lalu orang-orang yang ada bersamanya

menderumkan unta mereka. Mereka bertanya, ―Apa maksudmu wahai Ibn ‗Umar?‖ Ketika itu Ibn Umar hanya pergi ke suatu tempat dan membuang hajat

di sana. Ketika ditanya, ia menjawab, ―Ketika Rasulullah menunaikan ibadah

haji dan sampai ke tempat ini, beliau membuang hajatnya di sini‖.74

Artinya, Ibn ‗Umar berhenti dan membuang hajatnya di sana, hanya karena mengikuti Nabi

yang pernah membuang hajat di tempat yang sama.

Tak hanya itu, dalam konteks periwayatan hadis, Ibn ‗Umar sangat menjaga redaksi hadis agar sama persis dengan apa yang disampaikan oleh Nabi

tanpa adanya perubahan sedikit pun. Abu > Ja‘far Muh}ammad bin ‗A>li> bin

H}useyn berkata: ―Tidak ada seorang Sahabat pun yang apabila meriwayatkan hadis dari Nabi, tidak menambah ataupun mengurangi redaksinya selain Ibn

‗Umar‖.75

Hal ini berbeda dengan para Sahabat lainnya yang adakalanya meriwayatkan hadis secara makna. Ini artinya, pada saat Nabi menyampaikan

sebuah hadis, Ibn ‗Umar sangat fokus mendengarkan sebelum

menyampaikannya kembali kepada yang lain. Sebagai contoh, suatu ketika ia

meriwayatkan hadis dari Nabi bahwa Islam dibangun di atas lima pilar pokok; Syahadat, salat, zakat, puasa dan haji. Tiba-tiba ada seorang Sahabat berkata:

72

Yu >suf al-Qarad}a >wi, al-Bid’ah fi> al-Di>n: Haqi >qatuha> wa Asba >buha > wa

Aqsa>muha wa Atha>ruha, 36. 73 Yu >suf al-Qarad}a >wi, al-Bid’ah fi> al-Di >n: Haqi>qatuha> wa Asba >buha > wa

Aqsa>muha wa Atha >ruha, 37. Hadis tersebut dapat dilihat dalam Abu >‗Abd Alla>h Ah }mad

bin Muh }ammad bin Hila>l bin Asad al-Shayba >ni>, Musnad Ah}mad bin H}anbal (Kairo: Da>r

al-H}adi>th, 1995), 4, 443. 74

Yu >suf al-Qarad}a >wi, al-Bid’ah fi> al-Di>n: Haqi >qatuha> wa Asba >buha > wa

Aqsa>muha wa Atha >ruha, 37. Hadis tersebut dapat dilihat dalam Abu >‗Abd Alla>h Ah }mad

bin Muh}ammad bin Hila>l bin Asad al-Shayba >ni>, Musnad Ah}mad bin H}anbal, 5, 396. 75

Terkait riwayat ini, lihat al-Khaṭīb al-Baghdādī, al-Kifāyah fi ‘Ilm al-Riwāyah

(Madinah al-Munawarah: Maktabah al-Ilmiyah, tt), 1, 171. Lihat juga Abu> ‗Abd Alla>h

Shamsh al-Di>n Muh }ammad bin Ah }mad bin ‗Uthma>n bin Qayma >z al-Dhahabi >, Siyar

A’la>m al-Nubala, 4, 303.

Page 72: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

64

―Haji dulu baru puasa‖. Ibn ‗Umar menimpali: ―Tidak, puasa dulu baru haji, sebagaimana yang aku dengar dari Nabi‖.

76

Semangat Ibn ‗Umar dalam menjaga apa yang ia dengar dari Nabi menunjukkan kesungguhannya dalam menjaga kemurnian dan keutuhan redaksi

hadis, sehingga, bagi Ibn ‗Umar, satu redaksi tidak boleh mendahului redaksi

yang lain. Berkenaan dengan hadis tadi, Muh}ammad Mah}mu>d Ka >lu menjustifikasi pendapat Ibn ‗Umar bahwa perintah puasa turun lebih awal,

tepatnya pada tahun kedua hijriyah, sedangkan perintah haji turun belakangan,

tepatnya pada tahun keenam hijriyah (riwayat lain mengatakan pada tahun

kesembilan hijriyah). Oleh karenanya, betul apa yang dikatakan Ibn ‗Umar bahwa redaksi ―puasa‖ (shawm ramadhan), mesti didahulukan ketimbang

redaksi haji (h}ij al-bayt).77

Beberapa riwayat terkait sikap dan perbuatan Ibn ‗Umar di atas memberi

kesan kuat kepada kita bahwa ia merupakan tipikal Sahabat yang dapat

dikatakan cukup ekstrem dalam mengimitasi atau meniru-niru perbuatan Nabi. Saking kuatnya bentuk peneladanan Ibn ‗Umar atas segala perbuatan Nabi,

‗A'>ishah sebagai istri Nabi sampai mengatakan bahwa tidak ada seorang pun

yang mengikuti tata laku Nabi di dalam rumahnya seperti halnya Ibn ‗Umar.78

Bahkan Na >fi‘ yang merupakan mantan budaknya Ibn ‗Umar pernah mengatakan,

―Kalau aku melihat Ibn ‗Umar mengikuti atau meniru-niru segala apa pun yang

pernah dilakukan oleh Nabi, maka aku seketika berkata: Ia sungguh gila (law

naz }artu ila> ibn ‘Umar idha> ittaba’a rasu>l Alla>h s}alla Allah ‘alayhi wasallam,

laqultu hadha> majnu>n)‖.79

Beberapa riwayat di atas, hanyalah merekam sebagian kecil dari sekian

banyak kisah yang menunjukkan bahwa para Sahabat dengan berbagai ekspresinya yang unik dan beragam, selalu ingin mengikuti dan meniru-niru

secara persis apa pun yang pernah dilakukan oleh Nabi, meskipun dengan cara

yang terkesan sedikit berlebihan sekalipun. Dalam hal ini, mereka tentu

mengetahui bahwa perbuatan Nabi adakalanya hanyalah terkait dengan sisi kemanusiaannya saja dan tidak ada hubungannya dengan syari‘at. Akan tetapi,

mereka tetap saja melakukan atau menirunya sebagai bentuk kecintaannya

kepada sosok Nabi. Di satu sisi, hal ini merupakan bukti keagungan sosok Nabi di mata para Sahabat.

Karakteristik para Sahabat yang selalu ingin meniru-niru segala tindakan

Nabi, pada akhirnya menjadikan mereka sebagai rekaman atau wadah tradisi

76

Muh }ammad Mah }mu>d Ka >lu>, Juhu>d S}ah}a>bah fi> Tathabbut min al-H}adi>th al-

Shari>f (Yordania: Ja>mi‘ah al-‗Ulu >m al-Isla>miyyah al-‗Alamiyyah, 2012), 28. 77

Muh }ammad Mah }mu>d Ka >lu>, Juhu>d S}ah}a>bah fi> Tathabbut min al-H}adi>th al-

Shari>f,28. 78 Sayyid Muh }ammad Sayyid Nu >h, al-S}ah}a>bah wa Juhu>duhum fi> Khidmah al-

H}adi}th al-Nabawiy, 164. 79

Abu >‗Abd Alla >h Shamsh al-Di>n Muh }ammad bin Ah }mad bin ‗Uthma>n bin

Qayma >z al-Dhahabi>, Siyar A’la>m al-Nubala, 4, 303.

Page 73: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

65

kenabian yang tahu persis apa pun yang dilakukan dan diinginkan oleh Nabi, terutama para Sahabat yang tinggal di Madinah yang merupakan tempat

diturunkannya sebagian besar ayat Alquran dan diputuskannya halal dan haram

dalam Islam. Pada perkembangan berikutnya, (kira-kira dari 50-150 H/670-767 M), yang merupakan abad perkembangan fikih, atau yang oleh Fazlur Rahman

disebut sebagai era perumusan metodologi keagamaan,80

segala tindakan para

Sahabat yang tinggal di Madinah menjadi sumber rujukan dalam formulasi

hukum Islam yang kemudian disebut dengan istilah ‗amal ahl al-madi>nah

(praktik penduduk Madinah). Ma >lik bin Anas adalah tokoh pertama yang menginisiasi dan merumuskan teori tersebut.

81

Dalam pandangan Ma >lik, ‗amal ahl al-Madi >nah adalah sumber hukum

yang harus diikuti dan tidak boleh ada yang menyelisihi. Oleh karenanya, Ma >lik

pernah mengingatkan kepada Layth untuk mengikuti ‗amal ahl al-Madi>nah dan

meninggalkan fatwa-fatwa yang bertentangan dengannya. Hal itu, karena

menurut Ma>lik, Madinah adalah kota tempat hijrah Nabi, tempat sebagian besar

Alquran diturunkan dan tempat halal dan haram ditetapkan. Penduduk Madinah dari kalangan Sahabat adalah orang-orang yang menyaksikan langsung proses

turunnya wahyu dan menaati apa pun yang diperintahkan oleh Nabi. Sehingga,

mereka adalah orang-orang yang paling tahu maksud wahyu dan sunnah Nabi.

Peninggalan mereka berupa ilmu dan fatwa-fatwa tersebut kemudian diwariskan dan dipraktikkan dari satu generasi ke generasi setelahnya, sampai pada masa

Malik. Bahkan, dalam mazhab Ma >lik ada sebuah kaidah yang menyatakan

bahwa ―Apabila praktik penduduk Madinah bertentangan dengan hadis ah}a>d

(hadis yang hanya diriwayatkan oleh segelintir orang), maka yang didahulukan

adalah praktik penduduk Madinah.82

Hadis ah}a>d dapat menjadi landasan hukum selama tidak bertendangan dengan praktik masyarakat Madinah. Bahkan, apa

yang disebut hadis mursal dan munqat}i’, diterimanya sebagai hujah sejauh tidak bertentangan dengan praktik masyarakat Madinah.

83

80

Fazlur Rahman, Islam,terj, Ahsin Muhamad (Bandung: Pustaka, 2003), 51. 81

Pada masa tabiin, Madinah merupakan kota yang paling kaya dengan tradisi

kenabian (aghna> al-ams}a>r al-Isla >miyyah bi al-sunnah al-nabawiyyah) sehingga di

sanalah pelita ilmu lahir. Dari Madinah ini, lahir tokoh besar, yaitu Ma >lik bin Anas yang

menjadi guru bagi para ulama besar ketika itu, semisal Abu > H}ani>fah, Layth bin Sa‘ad

dan beberapa ulama lainnya. Pada masanya, Ma >lik berhasil membangun sebuah otoritas

keagamaan yang didasarkan pada pondasi yang kuat, bahkan perkataannya seolah setara

dengan nash, di mana orang-orang saat itu tidak ada yang berani mengkritisi dan

bertanya dari mana perkataannya berasal (as}bah}a qawlu Ma >lik ka al-Nas} la> yas’alu

sa>mi’uhu min ayna wa la > lima >). Selengkapnya, lihat ‗Ali> Jum‘ah, al-Madkhal ila> Dira >sah al-Madha>hib al-Fiqhiyah (Kairo: Da>r al-Sala>m, 2012), 183.

82 Agus Moh. Najib, ―‗Amal ahl al-Madi>nah sebagai Sumber Hukum Islam;

Pandangan Imam Ma>lik bin Anas atas Kitab Muwat }a‖, dalam Al-Madzahib: Jurnal Pemikiran Hukum, Vol. 3, No. 1, Juni 2015, 193.

83 Dede Rodliyana, ―Hegemoni Fiqh terhadap Penulisan Kitab Hadis‖ Journal

of Quran and Hadith Studies, Vol. 1, No. 1, 2012 (Juli-Desember 2011), 133.

Page 74: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

66

Pandangan tersebut muncul, terutama karena didasarkan pada sebuah fakta bahwa ketika itu di Madinah hidup tidak kurang dari 30 ribu orang

Sahabat, sehingga praktik mereka yang telah dikenal, diakui dan mapan jauh

lebih dapat diandalkan daripada sebuah hadis ahad, apalagi hanya perkataan dari salah seorang Sahabat atau tabiin, sekalipun Sahabat atau tabiin tersebut

merupakan seorang tokoh dan ulama di Madinah. Sebuah hadis ahad,

sebagaimana diketahui, hanya disampaikan oleh segelintir orang, sedangkan

‗amal ahl al-Madi>nah disampaikan oleh ribuan orang. Dengan demikian, bagi

Ma>lik, ‘amal ahl al-Madi>nah lebih dapat diandalkan untuk dapat mengetahui sunnah Nabi yang sesungguhnya daripada hanya sebuah data yang didasarkan

pada rangkaian periwayatan.84

Ini menunjukkan betapa sakralnya tindak tanduk

atau praktik penduduk Madinah dalam pandangan Ma>lik bin Anas.

Tak hanya itu, fakta menarik lainnya yang layak dikemukakan ialah

bahwa kota Madinah sendiri menjadi model percontohan bagi wilayah-wilayah

taklukan. Kota Madinah yang pernah dipimpin dan dikelola oleh Nabi dianggap sebagai model yang paling ideal untuk ditiru. Penciptaan Madinah di luar

Madinah menjadikan Madinah lebih kuat lagi dalam hal otoritas. Sebagai model

percontohan, Madinah kemudian menjadi simbol otoritas politik dan ekonomi ketika itu. Sejauh menyangkut pemilihan khalifah baru, keputusan yang diambil

orang Madinah akan diterima orang-orang yang tinggal di pusat-pusat hunian

baru.85

Berdasarkan uraian di atas, penulis hanya ingin menegaskan satu hal

penting bahwa di antara karakteristik para Sahabat ialah semangat untuk

meneladani, mengimitasi atau meniru-niru segala apa pun yang dilakukan oleh

Nabi. Bahkan, kota Madinah yang merupakan tempat tinggalnya Nabi sekaligus merupakan grand design-nya Nabi di mana tonggak kemajuan Islam dalam

berbagai aspeknya terlahir di sana, menjadi model percontohan bagi daerah-

daerah lainnya karena dinilai memiliki keistimewaan tersendiri. Hemat penulis, semangat meneladani itu boleh jadi bukan hanya karena kemajuan yang dicapai

di Madinah, tetapi juga karena pengaruh doktrin bahwa apa yang dilakukan Nabi

tak terlepas dari kontrol dan bimbingan wahyu, selain tentunya karena pribadi Nabi sebagai uswah hasanah. Terakhir, sebagai penutup sub bab ini, penulis

ingin mengutip pernyataan Abu> Bakar yang menunjukkan komitmen

keberagamaannya yang kuat. Ia berkata: ―Aku tidak akan meninggalkan sesuatu apa pun yang diamalkan Rasulullah, karena aku khawatir bila aku meninggalkan

perintahnya aku akan tersesat‖ (Lastu ta >rikan shay’an ka >na rasu >l Alla >h s }alla

Alla>h ‘alayhi wa sallama ya’malu bihi> illa> ‘amiltu bihi>. Wa inni> akhsha> in

taraktu shay’an min amrihi> an azi>gha).86

84 Agus Moh. Najib, ―‗Amal ahl al-Madi>nah sebagai Sumber Hukum Islam;

Pandangan Imam Ma>lik bin Anas atas Kitab Muwat }a‖, 198. 85

Fuad Jabali, Sahabat Nabi: Siapa, Ke Mana, dan Bagaimana?, 183. 86

Ahmad bin Hanbal al-Shaybani, Musnad Ahmad bin Hanbal, Vol. 1, 179.

Page 75: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

67

C. Sahabat Sebagai Mediator Pertama Tradisi Kenabian Para sahabat adalah mediator pertama yang memiliki peran dan

kontribusi paling penting dalam proses transmisi ajaran Islam kepada generasi

berikutnya (al-wa>sit } bayna al-Nabiy wa bayna umatih).87

Tanpa mereka, tidaklah mungkin ajaran Islam dapat terus eksis dalam lintasan sejarah. Melihat

sedemikian pentingnya peran dan kontribusi para sahabat dalam sejarah Islam,88

maka sangatlah wajar apabila mereka mendapat posisi yang sangat istimewa dalam Islam ketimbang generasi-generasi setelahnya. Tak pelak, Nabi

mendeklarasikan mereka sebagai generasi terbaik yang pernah ada dalam pentas

sejarah Islam.89

87

Abū ‗Umar Yūsuf bin ‗Abd Allāh bin Muḥammad bin ‗Abd al-Bar bin ‗Āṣim

al-Qurṭubī, al-Istī’āb fī Ma’rifah al-Aṣḥāb (Beirut: Dār-al-Jīl, 1992), Vol. 1, 19. 88

Fuad Jabali memberikan catatan bahwa, meskipun para sahabat memiliki

posisi penting dalam Islam, tetapi pengetahuan umat Islam tentang kehidupan mereka

relatif sedikit. Menurutnya, paling tidak ada dua alasan kenapa hal ini terjadi. Pertama, terbatasnya informasi dari masa sahabat yang sampai kepada generasi berikutnya. Ketika

Nabi wafat, ada sekitar 100.000 Sahabat yang masih hidup. Namun, menurutnya,

beberapa kitab yang secara khusus berbicara tentang kehidupan sahabat hanya mampu

merekam 10 persen informasi tentang fakta-fakta kehidupan Sahabat. Sementara bagian

yang 90 persen hilang dari catatan sejarah. Kedua, diskusi tentang sahabat cenderung

tidak utuh dan agak terbatas. Ia tidak utuh, karena biasanya sahabat dibicarakan dalam

konteks kehidupan Nabi. Karena yang menjadi isu utama adalah Nabi, maka para

sahabat hanya dibicarakan sesuai keperluan, walaupun masih tetap penting. Ia terbatas,

karena pembicaraan tentang Sahabat biasanya hanya terfokus kepada tokoh-tokoh

penting di antara mereka seperti Uthma >n, ‗Ali> dan Mu‘a>wiyah. Sementara ribuan Sahabat lainnya tidak dihiraukan. Selengkapnya, lihat Fuad Jabali, Sahabat Nabi: Siapa,

Ke Mana, dan Bagaimana?, 2. 89 Abū ‗Abd Allāh Muḥammad bin Ismā‘īl al-Bukhārī, S}aḥīḥ al-Bukhārī

(Beirut: Da>r T}auq al-Najah, 1422 H). 3, 171. Hadis nomor 2651. Para ulama berbeda pendapat dalam mengelompokkan tingkatan Sahabat.

Pendapat yang paling masyhur ialah sebagaimana dikemukakan Al-H}a>kim al-Naysabu>ri

yang membagi tingkatan Sahabat menjadi dua belas kategori; Pertama, para Sahabat

yang masuk Islam di Mekah, semisal Abu> Bakar, ‘Umar, ‘Uthma>n, ‘Ali> dan beberapa

Sahabat lainnya. Kedua, as}h}a>b Da>r al-Nadwah. Ketiga, para Sahabat yang hijrah ke Habasyah. Keempat, para Sahabat yang berbaiat kepada Nabi di perjanjian Aqabah.

Kelima, para Sahabat yang ikut serta di baiat Aqabah kedua, di mana mayoritas di

dalamnya adalah golongan Ansar. Keenam, kelompok pertama Muhajirin yang sampai

kepada Nabi di Qubba, sebelum memasuki Madinah. Ketujuh, para Sahabat yang ikut

serta dalam perang Badar. Kedelapan, para Sahabat yang hijrah dari Mekah ke Madinah

di masa antara perang Badar dan perjanjian Hudaibiyah. Kesembilan, para Sahabat yang

ikut serta Baiat Ridwan ketika di Hudaibiyah. Kesepuluh, para Sahabat yang hijrah di

masa antara perjanjian Hudaibiyah dan Fathul Makkah, semisal Kha>lid bin Wali>d dan

‗Amr bin ‘As}. Kesebelas, para Sahabat yang masuk Islam ketika Fathul Makkah. Kedua

belas, anak-anak yang melihat Nabi pada saat Fathul Makkah, Haji Wada dan lain

sebagainya. Lihat Abu> ‘Abd Alla<<>h al-H}a>kim al-Naysabu>ri>, Ma’rifah ‘Ulu>m al-H}adi<>th

(Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1977), 24.

Page 76: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

68

Tidak ada seorang Muslim pun yang bisa menjelaskan Islam tanpa merujuk kepada para Sahabat sebagai otoritas utama.

90 Sekte Syi‘ah yang konon

membenci sejumlah Sahabat yang tidak pro terhadap ‗Ali>, pada faktanya tidak dapat berlepas diri dari otoritas Sahabat Nabi. Kelompok lainnya semisal

Khawarij yang bahkan membenci seluruh Sahabat yang terlibat dalam tahkim

Shiffin pun demikian, tidak bisa sepenuhnya berlepas diri dari ajaran para

Sahabat. Bahkan Muktazilah yang dikenal sebagai kelompok yang sangat menjunjung tinggi rasionalitas, juga banyak mendasarkan pemahaman

keagamaanya kepada para Sahabat Nabi. Kelompok Sunni, di samping

menggunakan dalil logika kontinuitas sejarah sosial intelektual, juga mendasarkan paradigmanya pada doktrin hadis bahwa keselamatan ada pada

kelompok yang mengikuti Nabi dan para Sahabatnya (Ma > ana> ‘alayhi wa

as }ha>bi >) dan hadis tentang perintah mengikuti sunnah Nabi dan para Sahabatnya

(‗Alaykum bi >sunnati> wa sunnah khulafa> al-ra>shidin al-mahdiyi >n).91

Ibn H}ajar al-‗Asqala >ni> mengatakan bahwa penerapan dan pengamalan

ajaran Islam dengan baik, tidak hanya mensyaratkan pengetahuan yang luas

tentang tata laku kehidupan Nabi, tetapi juga tentang kehidupan para sahabat.92

Alasannya, karena hanya merekalah yang paling mengetahui dan bisa

memberikan informasi perihal konteks peristiwa pada saat sebuah wahyu—

terutama hadis—diucapkan oleh Nabi dan dipraktikkan untuk pertama kali.93

Dengan perkataan lain, merekalah yang paling tahu mengenai faktor peristiwa

atau latar historis yang melatari sabda Nabi. Misalnya, dalam konteks apa Nabi

bersabda? Kenapa ia bersabda? Kapan, di mana, dan kepada siapa ia bersabda?

Apa kapasitas Nabi ketika bersabda? Dan lain sebagainya. Hal-hal partikular semacam itu, hanya dapat diketahui melalui penuturan para Sahabat sebagai

mediator pertama tradisi kenabian. Sebagai contoh kongkrit ialah hadis-hadis

yang berkenaan dengan hal ihwal Nabi, sesungguhnya bukanlah aktivitas Nabi. Dalam menyampaikannya, Nabi bersifat pasif saja, disaksikan dan direkam oleh

90

Fuad Jabali, Sahabat Nabi: Siapa, Ke Mana, dan Bagaimana? 63. 91

Ahmad Ubaydi Hasbillah, Nalar Tekstual Ahli Hasis: Mencari Akar Formula

Kultur Moderat Berbasis Tekstualisme, dalam catatan kaki,166. 92 Demikian pentingnya pengetahuan tentang kehidupan para sahabat Nabi,

sehingga mendorong para ulama klasik untuk menulis sebuah karya monumental yang

secara khusus mengulas kehidupan para sahabat. Ibn Ḥajar al-‗Asqalānī menulis kitab

berjudul al-Iṣābah fī Tamyīz al-Ṣaḥābah. Kitab ini berhasil menghimpun fakta-fakta

tentang 11.000 sahabat Nabi dan dianggap sebagai kitab terlengkap tentang riwayat

hidup para sahabat Nabi. Sebelum kitab ini muncul, telah ada beberapa karya lain yang

ditulis lebih awal di antaranya, Ibn ‗Abd al-Bar al-Qurṭubī menulis kitab berjudul al-

Istī’āb fī Ma’rifah al-Aṣḥāb, Ibn Sa‘d menulis Ṭabaqāt al-Kubrā, dan Ibn ‗Athīr menulis

kitab berjudul Usd al-Ghābah fī Ma’rifah al-Ṣaḥābah. Beberapa karya tersebut mengulas

secara detail tentang kehidupan para Sahabat Nabi, mulai dari kelahiran dan

kewafatannya, domisili, perpindahannya dari satu daerah ke daerah lain, peristiwa-peristiwa besar yang dihadapinya, dan pergumulannya dengan Nabi, para Sahabat lain,

dan para tabiin. 93 Pernyataan tersebut sebagaimana dikutip Fuad Jabali dalam karyanya

Sahabat Nabi: Siapa, Ke Mana, dan Bagaimana? 63.

Page 77: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

69

para Sahabat. Adapun pihak yang aktif adalah para Sahabat, dalam arti sebagai perekam atas hal ihwal tersebut.

94

Pada perkembangan berikutnya, Islam kian meluas ke berbagai daerah dan jumlah pemeluknya bertambah banyak. Pada situasi seperti ini, Nabi mulai

memberi mandat kepada para Sahabatnya agar ikut serta membantu

menyebarkan ajaran agama yang dibawanya. Nabi mulai menunjuk beberapa

orang Sahabatnya untuk berdakwah ke berbagai daerah. Sejarah mencatat, Nabi seringkali mengutus para Sahabat untuk menemui orang-orang beriman yang

datang ke Madinah dalam rangka konsultasi masalah-masalah keagamaan, cara

memimpin pasukan melawan musuh dan menyampaikan ajaran Islam di berbagai daerah. Bahkan, pasca Nabi wafat, para Sahabat memainkan peran

lebih besar lagi ketimbang sebelumnya. Semua peran Nabi, kecuali dalam hal

menerima wahyu, diambil alih oleh mereka.95

Selain itu, para Sahabat, baik yang

elit maupun yang biasa, berperan penting bukan hanya dalam menegakkan dasar-dasar tatanan sosial di Madinah, melainkan juga dalam penyebaran masyarakat

Muslim masa awal di luar Madinah dan keberhunian mereka di tanah-tanah yang

baru ditaklukkan.96

Abu > Zur‘ah, sebagaimana dikutip S }ubh}i S }a >lih}, mengatakan bahwa ada

sekitar seratus empat belas ribu Sahabat yang hidup pada masa Nabi. Era Sahabat berakhir seratus tahun pasca wafatnya Nabi, seiring dengan wafatnya

Sahabat yang terakhir, Abu > T}ufayl bin ‘A>mir bin Wa>thilah pada tahun 100 H.97

Al-Sakha >wi> mengutip pernyataan Abu > Bakr bin Abu > Da>wu>d bahwa di Sha>m ada

sekitar sepuluh ribu Sahabat. Data lainnya dikemukakan Qata >dah bahwa di

Kufah terdapat seribu lima puluh Sahabat, dua puluh empat orang di antaranya

adalah para Sahabat yang ikut serta dalam perang badar. Sementara di H}ims}

terdapat sekitar lima ratus Sahabat.98

Para Sahabat tersebar luas ke berbagai penjuru, terutama ke wilayah-

wilayah taklukan. Mereka menyampaikan apa yang diterimanya dari Nabi,

berhukum dengan hukum Allah dan mengatasi berbagai persoalan berdasarkan apa yang pernah dicontohkan oleh Nabi.

99 Sebagai saksi sejarah kenabian, para

94

Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan

dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, 36. 95

Fuad Jabali, Sahabat Nabi, 64. 96 Fuad Jabali, Sahabat Nabi, 182. 97 S}ubh }i Ibra>him S}a >lih, ‘Ulu>m al-Hadi>th wa Mus}t}alah}uh}u (Beirut: Da>r al-‗Ilmi

lil Mala>yi >n, 1984), 353. 98

Shams al-Di>n Muh }ammad bin ‗Abd al-Rahma>n al-Sakhawi >, Fath} al-Mugi>th

bi Shar Alfiyah al-H}adi>th (Mesir: Maktabah al-Sunnah, 2003), 4, 111. 99 ‗Abd al-Rahman bin Abī Ḥātim al-Rāzi, al-Jarḥ wal-al-Ta’dīl (Beirut: Dār

Iḥya al-Turāth al-‗Arabi, 1952), 1, 8. Lihat juga Nu>r al-Di>n ‗It}r, Manhaj al-Naqd fi>‘Ulu >m

al-H}adi >th (Damaskus: Da>r al-Fikr, 1981), 25. Menurut Aceng Abdul Qadir, penyebaran Sahabat dalam rangka berdakwah ke berbagai penjuru terutama wilayah-wilayah

taklukan, menunjukkan bahwa sejak masanya yang paling awal, Islam tidaklah berwatak

lokal, melainkan berwatak universal. Dengan pengertian lain, Islam berkepentingan

Page 78: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

70

Sahabat menjadi rujukan utama di berbagai daerah tempat mereka tinggal. ‗Abd

Alla>h bin Mas’u>d, misalnya, menjadi rujukan utama fikih di Kufah. ‘Ali>’ bin

Abi> T}a>lib dan Anas bin Ma >lik menjadi rujukan utama penduduk Basrah.

Mu‘a>wiyah bin Abi> Sufya >n dan Abu > Hurayrah menjadi rujukan bagi masyarakat

Sha>m. ‗Abd Alla>h bin ‗Umar menjadi tokoh sentral penduduk Madinah, dan

‗Abd Alla>h bin ‗Abba >s menjadi panutan masyarakat Mekkah. Setiap daerah

dihuni oleh para Sahabat yang berbeda, sehingga melahirkan corak pemikiran keagamaan yang berbeda pula.

100

Di akhir masa pemerintahan ‗Uthma >n, terjadi pergerakan para Sahabat

ke luar Madinah, salah satunya ke Kufah. Meski jarak antara Madinah dan Kufah cukup jauh, hal itu tidak menghalangi semangat para Sahabat untuk berdiaspora

ke kota ini. Mahdi al-Makhzu >mi> mencatat, kota ini pernah dihuni oleh sekitar tujuh puluh orang veteran perang Badar, dan tiga ratus orang Sahabat yang ikut

serta dalam peristiwa baiat Ridhwan. Bahkan Abu > al-‗Abba >s al-S }affah (w. 132)

khalifah pertama Bani ‗Abbasiyah pernah mengatakan: ―Kufah adalah negeri adab, wajah Irak, tujuan para pencari ilmu tempat tinggal Sahabat pilihan dan

orang-orang mulia‖.101

Tak hanya itu, para Sahabat juga berkontribusi besar dalam upaya transmisi hadis kepada generasi berikutnya, baik melalui lisan maupun tulisan.

Kebijakan Nabi mengutus para Sahabatnya ke berbagai daerah, baik untuk tugas

khusus berdakwah maupun untuk memangku jabatan, tidak kecil peranannya dalam penyebaran hadis. Berbagai peperangan yang banyak dimenangkan Nabi

dan umat Islam di berbagai daerah, juga turut mempercepat proses penyebaran

hadis. Seiring dengan itu, umat Islam menyebar ke berbagai wilayah yang telah

tunduk kepada kekuasaan Islam. Penyebaran Islam bukan hanya sekadar mencari nafkah, melainkan juga untuk kepentingan dakwah. Melalui dakwah-dakwah itu,

tersebarlah hadis Nabi.102

Sebagimana telah disinggung di atas, para Sahabat tidak hanya berkutat

pada satu wilayah tertentu. Setelah sekian lama berinteraksi dengan Nabi di

Madinah dan mendapat bimbingan langsung darinya, mereka berdiaspora ke

berbagai wilayah dalam rangka menyebarkan hadis Nabi. Al-H}a>kim al-

Naysabu>ri> mencatat sejumlah Sahabat berikut wilayah yang disinggahinya. Di

Kufah, terdapat Ali> bin Abi> T}a>lib, Sa‘ad bin Abi> Waqa>s}, Sa‘i>d bin Zayd, ‗Abd

untuk disebar dan didakwahkan. Islam bukanlah agama primordial yang hanya di anut

oleh segmentasi tertentu. Selengkapnya, lihat Aceng Abdul Qadir, Regionalisme dalam

Periwayatan Hadis: Asal-Usul Hadis Berdasar Sanad Geografis Kufah (Bandung:

Pustaka Aura Semesta, 2019), 73. 100

Ahmad Ubaydi Hasbillah, Nalar Tekstual Ahli Hadis; Akar Formula Kultur

Moderat Berbasis Tekstualisme, 166. 101

Data di atas sebagaimana dikutip Aceng Abdul Qadir dalam disertasinya

Regionalisme dalam Periwayatan Hadis: Asal-Usul Hadis Berdasar Sanad Geografis

Kufah, 7. 102

Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan

dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, 39.

Page 79: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

71

Alla >h bin Mas’u>d, Abu> Qata>dah bin Rib‘iy, H}udhayfah bin al-Yama >ni, ‗Amma>r

bin Ya>sir, Abu> Mu>sa> al-Ash’ariy, Barra> bin A>zib, Wa>’il bin H}ujr dan sejumlah

Sahabat lainnya. Sebagian besar dari mereka bahkan wafat dan dimakamkan di

sana. Di Mekah terdapat ‗Aya>sh bin Abi> Rabi>’ah al-Makhzu>mi>, ‗Abd Alla>h bin

Abi> Rabi>’ah al-Makhzu>mi>, ‘Ikrimah bin Abi> Jahl, ‘Abd Alla>h bin Sa>’ib al-

Makhzu>mi>, ‘Abd Alla>h bin Mu>t}i>, dan lain-lain. Di Bashrah terdapat ‗Utbah bin

Ghazwa>n, ‗Imra>n bin H}us}ayn, Abu> Barzah al-Aslamiy, Abu> Bakrah, Ma’qil bin

Yasa>r, Anas bin Ma>lik, dan lain-lain. Di Mesir terdapat ‗Uqbah bin ‘A >mir al-

Juha>ni>, ‘Amr bin al-‘A>s}, Maslamah bin Makhlad dan lain-lain. Di Sha>m,

terdapat Abu ‘Ubaydah bin Jara>h}, Bila>l bin Raba>h, ‘Uba>dah bin S}amit, Mu’adh

bin Jabal, Sa’ad bin ‘Uba >dah, Abu> al-Darda, Fad}l bin ‘Abba >s, Kha>lid bin Wali>d,

Mu’a >wiyah bin Abi> Sufya>n, dan lain-lain. Di sebuah pulau kecil terdapat ‗Adi

bin ‗Amirah al-Kindi, Wa>bis}ah bin Ma’bad al-Asadi>, dan Wali>d bin ‘Uqbah bin

Abi> Mu’aith. Di Khurasa>n terdapat Buraydah bin H}ushayb al-Asla>miy, Abu>

Barzah al-Asla>miy, H}akam bin ‘Amr al-Ghifa>ri> dan sejumlah Sahabat lainnya yang menetap di sana hingga wafat.

103 Wilayah-wilayah yang pernah dihuni oleh

para Sahabat tentu memiliki keistimewaan tersendiri, bukan hanya karena

wilayah tersebut akan memiliki kharisma dan pengaruh, tetapi juga akan memiliki otoritas dalam aspek keagamaan ketimbang wilayah-wilayah lainnya

yang tidak pernah dihuni oleh para Sahabat.104

Selanjutnya, dalam upaya menjaga dan mentransmisikan hadis Nabi, para Sahabat bukan hanya menyampaikannya secara lisan, tetapi juga

mendokumentasikannya melalui tulisan sebagaimana terekam dalam beberapa

riwayat sebagai berikut.105

‗Abd Alla >h bin ‘Amr bin al-‘A>s }(w. 63) berkata: ―Aku menulis segala

apa pun yang aku dengar dari Nabi untuk kemudian aku hafalkan, namun orang-

orang Quraish melarangku dan berkata: ―Apakah engkau hendak menuliskan segala apa pun yang engkau dengar dari Nabi? Padahal beliau sendiri hanyalah

manusia biasa yang adakalanya berbicara karena marah atau senang‖. Ketika itu,

aku sempat berhenti menuliskan hadis dan mengadukan masalah ini kepada Nabi. Kemudian beliau memberi isyarat dengan jari telunjuknya ke arah

mulutnya sambil berkata: ―Tulislah, demi dzat yang jiwaku berada dalam

genggaman-Nya, tidak ada yang keluar darinya (dari mulutku) kecuali

kebenaran‖.106

103 Abu >‘Abd Alla>h al-H}a>kim al-Naysabu>ri>, Ma’rifah ‘Ulu>m al-H}adi>th (Beirut:

Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1977), 190. Lihat juga Muh}ammad Mah}mu>d Ka>lu>, Juhu>d al-S}ah}a>bah fi> Tathabbut min al-H}adi>th al-Shari>f (Yordania: Ja>mi’ah al-‘Ulu >m al-

Isla>miyyah al-‘A>lamiyyah, 2012), 21. 104

Aceng Abdul Qadir, Regionalisme dalam Periwayatan Hadis: Asal-Usul

Hadis Berdasar Sanad Geografis Kufah, 105

Sayyid Muh}ammad Sayyid Nu>h}, al-S}ah}a>bah wa Juhu>duhum fi> Khidmah al-Hadi>th al-Nabawiy, 158.

106 Abu> Da>wu>d al-Sijista>ni>, Sunan Abi> Da>wu>d, 5, 489.

Page 80: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

72

Diriwayatkan dari Wahab bin Munabbih (w. 110) dari saudaranya, ia

berkata: ―Aku mendengar Abu > Hurayrah berkata: ―Tidak ada seorang pun yang

koleksi/hafalan hadisnya lebih banyak dariku kecuali apa yang dimiliki ‗Abd

Alla>h bin ‘Umar, sesungguhnya ia menulis hadis, sedangkan aku tidak

menulisnya‖.107

Diriwayatkan dari Abu> Qabi>l, bahwa ia mendengar Ibn ‗Umar berkata:

―Ketika berada di samping Rasulullah, kami menulis. Kemudian Rasulullah

bertanya: ―Mana di antara dua kota ini yang dimerdekakan lebih awal, Konstantinopel atau Roma?‖ Beliau menjawab: ―Tidak, kota Heraklius yang

pertama‖.108

Diriwayatkan dari Muja>hid bin ‘Abd Alla >h bin ‘Amr bin al-‘A>s} : ―Tidak

ada yang aku sukai dalam hidup ini kecuali dua hal: al-S}adiqah dan al-Waht}ah.

Al-S}adiqah adalah s}ahi>fah yang aku tulis dari Rasulullah, sedangkan al-Waht}ah

adalah sebidang tanah yang disedekahkan ‗Amr bin al-‘As}‖.109

Upaya menjaga dan mentransmisikan hadis melalui tulisan terus

berlanjut pasca wafatnya Nabi. Hal itu, sebagaimana dinarasikan dalam beberapa

riwayat sebagai berikut.110

Diriwayatkan dari ‘Amr bin Abi> Sufya>n bahwa ia mendengar ‗Umar bin

Khat}t}a>b berkata: ―Ikatlah ilmu (hadis) dengan tulisan‖.111

Diriwayatkan dari ‗Abd Alla>h bin Abi> Ra>fi’, ia berkata: ―Ibn Abba>s

mendatangi Abu> Ra>fi’ untuk menanyakan apa yang dilakukan Rasulullah pada

suatu hari. Dan di tangan Ibn ‘Abba >s terdapat papan untuk menuliskan

sesuatu‖.112

Diriwayatkan dari Sa’i>d bin Jubayr: ―Pada suatu malam, aku bersama

Ibn ‗Abbas dalam sebuah perjalanan dari Mekah. Ia meriwayatkan hadis, dan aku menuliskannya sepanjang perjalanan hingga pagi‖.

113

Dalam riwayat lain Ibn Jubayr berkata: ―Aku duduk di samping Ibn

‘Abba >s, kemudian aku menulis hadis dalam s}ahi>fah sampai penuh (tidak ada

107

Al-Bukha>ri>, S}ah}i>h} al-Bukha>ri>, 1, 34. 108

Abu> Muh}ammad bin ‘Abd Alla>h bin ‘Abd al-Rah}ma>n bin Fad}l al-Da>rimi>,

Sunan al-Da>rimi> (Beirut: Da>r al-Basha>’ir, 2013), 1, 189. 109

Abu> Muh}ammad bin ‘Abd Alla>h bin ‘Abd al-Rah}ma>n bin Fad}l al-Da>rimi>,

Sunan al-Da>rimi, 1, 190. 110

Sayyid Muh}ammad Sayyid Nu>h}, al-S}ah}a>bah wa Juhu>duhum fi> Khidmah al-H}adi>th al-Nabawiy, 172.

111 Abu> Muh}ammad bin ‘Abd Alla>h bin ‘Abd al-Rah}ma>n bin Fad}l al-Da>rimi>,

Sunan al-Da>rimi, 1, 190. 112 Abu> Bakr al-Kha>t}ib al-Baghda>di>, Taqyi>d al-‘Ilmi (Beirut: Ih}ya> al-Sunnah

al-Nabawiyyah, T.th), 1, 91. 113

Al-Da>rimi>, Sunan al-Da>rimi>, 1, 190.

Page 81: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

73

ruang lagi). Kemudian aku membalikkan sendalku dan menuliskan hadis di bagian luarnya.

114

Diriwayatkan dari Ma‘n, ia berkata: ―‗Abd al-Rah}ma>n bin ‘Abd Alla>h

bin Mas’u>d memperlihatkan sebuah kitab kepadaku, kemudian ia bersumpah

bahwa kitab tersebut merupakan hasil tulisan tangan bapaknya‖.115

Diriwayatkan dari H}asan bin ‘Amr bin ‘Umayah al-D}amri>, bahwa ia

berkata: ―Aku menyampaikan sebuah hadis di hadapan Abu> Hurayrah, namun ia mengingkarinya. Aku berkata: Sesungguhnya aku mendengar hadis ini darimu‖.

Abu> Hurayrah berkata: "Kalau memang engkau mendengar hadis itu dariku,

tentu saja hadis itu sudah tertulis dalam koleksi catatanku‖. Kemudian ia mengajakku ke rumahnya. Ia memperlihatkan kepadaku catatan hadis yang

begitu banyak. Dan ia menemukan hadis (yang aku sampaikan tadi). Lalu ia

berkata: ―Aku telah menjelaskan kepadamu tadi, kalau memang aku pernah meriwayatkan hadis ini kepadamu, maka tentu saja sudah tertulis dalam

lembaran catatanku‖.116

Sampai di sini, apa yang ingin penulis katakan ialah, bahwa para Sahabat memiliki peran sentral dalam upaya kontinuitas tradisi kenabian.

Antusiasme para Sahabat sangat terlihat dalam berbagai hal. Sebagian dari

mereka merawat tradisi kenabian melalui tulisan, sedangkan sebagian lainnya berdiaspora ke berbagai wilayah taklukan dalam rangka berdakwah dan

menyebarkan hadis-hadis Nabi.

D. Sahabat Sebagai Representasi Ajaran Nabi

‘Abd al-Rah}man bin Abī Ḥātim al-Rāzi, seorang ulama ahli al-Jarh} wa> al-Ta’di>l yang pendapatnya menjadi rujukan para ulama ahli hadis pernah mengatakan:

فأما أ حاب رسوؿ اهلل ى اهلل ع و وس م ف م ااذين دوا ااوحي وااتن يل وعرفوا اات سري وااتأويل وىم ااذين اختارىم اهلل ع وجل اصحلـ نل و ى اهلل ع و وس م ونصرتو وإقامـ دينو

وجع م انا أعالما وقدوة فح ظوا عنو ى اهلل ع و وس م ما . فر م او حابـوإظ ار حقوب غ م عن اهلل ع وجل وما سن و رع وحكم وقضى وندب وأمر وهنى وحظر وأدب، ووعوه وأتقنوه،

مبعاينـ رسوؿ اهلل ى اهلل ع و وس م، ومشاىدهتم منو - ف ق وا ف اادين وع موا أمر اهلل وهن و ومراده وت ق م منو واستنلاط م عنو، فشرف م اهلل ع وجل مبا من ع م وأ رم م بو ت سري ااكتاب وتأوي و

وااكذب وااغ ي وااريلـ وااغم و اىم عدوؿ األمـ من و عو إياىم مو ع ااقدوة، فن ى عن م ااشك

114

Al-Da>rimi>, Sunan al-Da>rimi, 1, 191. 115 Ibn ‘Abd al-Bar al-Qurt}ubi>, Ja>mi Baya>n al-‘Ilm wa Fad}lihi > (al-Mamlakah al-

‘Arabiyah al-Sa’u>diyyah: Da>r Ibn al-Jawzi, 1994), 1, 311. 116

Ibn ‘Abd al-Bar al-Qurt}ubi>, Ja>mi Baya>n al-‘Ilm wa Fad}lihi>, 1, 324.

Page 82: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

74

―Adapun para Sahabat Rasulullah SAW, mereka adalah orang-orang yang menyaksikan langsung turunnya wahyu, mengerti tafsir dan takwilnya,

yang dipilih oleh Allah untuk menemani Nabi SAW, menolongnya, menegakkan

agamanya, dan menampakkan kebenarannya. Maka Allah pun meridhai mereka sebagai Sahabat Nabi. Dan menjadikan mereka sebagai sumber ilmu dan

tauladan. Mereka menghafal apa yang disampaikan Nabi dari Allah—apa yang

disunnahkan, disyariatkan, ditetapkan sebagai hukum, dianjurkan, diperintahkan, dilarang, diperingatkan, dan diajarkan Nabi. Mereka menjaganya, meyakininya,

kemudian memahaminya dalam agama dan mengetahui perintah Allah,

larangannya, maksudnya dengan disaksikan langsung oleh Rasulullah. Dari

Nabi, mereka menyaksikan tafsir kitab dan takwi>l-nya, berpegang teguh kepada

ajarannya dan ber-istinba>t} berdasarkan kitabnya. Allah memuliakan mereka

dengan apa yang telah diberikan kepadanya dan menjadikannya sebagai tauladan. Oleh karenanya, Allah menghilangkan darinya segala bentuk keraguan,

kebohongan, kesalahan dan menjadikannya sebagai umat yang adil.‖117

Pernyataan al-Ra>zi di atas kian meneguhkan eksistensi dan otoritas para Sahabat dalam Islam, terutama terkait keistimewaannya sebagai wadah atas

berbagai tradisi kenabian. Melalui pernyataan tersebut, ia secara eksplisit hendak menegaskan bahwa para Sahabat adalah generasi yang paling tahu tentang Islam

setelah Nabi. Sebagai saksi sejarah kenabian, mereka tidak saja hidup dan

berinteraksi langsung dengan Nabi dalam berbagai dimensi kehidupan, tetapi

lebih dari itu, mereka bahkan menyaksikan langsung proses turunnya wahyu kepada Nabi, sehingga dianggap sebagai generasi yang paling mengerti tentang

bagaimana semestinya ajaran Islam dipahami, dipraktikkan, dan sampai batas

tertentu dikontekstualisasikan dalam menghadapi berbagai persoalan yang mengitarinya. Pendek kata, para Sahabat adalah representasi dari ajaran Nabi.

118

Pada saat masih hidup, Nabi merupakan otoritas utama atau sumber

nilai-nilai keagamaan yang setiap perkataan, perbuatan dan ketetapannya disaksikan dan kemudian dipraktikkan oleh para Sahabat. Pada saat yang sama,

Nabi menjadi rujukan bagi para Sahabat dalam mengadu dan mengkonfirmasi

berbagai macam persoalan yang muncul ketika itu, baik yang menyangkut ritus peribadatan, maupun yang menyangkut hubungan sosial kemasyarakatan, dan

lain sebagainya. Para Sahabat tentu saja sangat diuntungkan dengan posisinya

ini, karena dengan demikian mereka tidak perlu berpikir panjang dalam

mengatasi berbagai persoalan dan memahami pesan-pesan kenabian. Berbagai persoalan yang terjadi di kalangan para Sahabat ketika itu dapat langsung

ditanyakan kepada Nabi.119

117

Ibn Abī Ḥātim al-Rāzi, al-Jarḥ wal-al-Ta’dīl, 1, 7. 118

Lihat juga Muh}ammad Muba>rak Sayyid, Mana>hij al-Muh}addithi>n (Kairo:

Kulliyah Us}ul al-Di>n, 1998), 6. 119

Sebagai contoh, sebuah riwayat menceritakan bahwa suatu ketika ‗Ali> bin

Abi> T}a>lib (w. 40 H) terkena madhi> (air yang keluar dari kemaluan laki-laki karena

bermesraan dengan istri). Ia malu untuk bertanya langsung kepada Nabi karena posisi

istrinya (Fa>t}imah) merupakan anak Nabi sendiri. Sehingga, ia menyuruh Miqda>d bin

Page 83: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

75

Akan tetapi, persoalan krusial terjadi pasca wafatnya Nabi. Pada fase ini, kehilangan otoritas segera terasa. Fazlur Rahman mengatakan bahwa pasca

wafatnya Nabi, para Sahabat yang semula memosisikannya sebagai otoritas

utama tempat mengadu atau mengkonfirmasi berbagai persoalan keagamaan, ketika itu mau tidak mau harus berpikir keras menginterpretasikan sendiri ajaran-

ajaran Nabi dalam ketiadaan bimbingan langsung darinya.120

Pada fase ini, dapat

dikatakan bahwa otoritas keagamaan telah berpindah ke tangan para sahabat, sehingga problem apa pun yang muncul ketika itu, mau tidak mau harus mampu

diselesaikan dengan baik oleh para Sahabat. Tidak ada cara lain selain dengan

memberi kepercayaan penuh kepada mereka. Hal ini sangatlah wajar, karena—

sebagaimana dikatakan sebelumnya—mereka merupakan para saksi sejarah kenabian dan dianggap sebagai orang-orang yang paling mengerti tentang Islam

setelah Nabi, sehingga apapun yang dikatakan dan dipraktikkan oleh mereka

akan dipandang memiliki nilai-nilai profetik atau sebagai representasi ajaran Nabi. Pendek kata, sebagai saksi sejarah kenabian, mereka dianggap sebagai

panutan oleh umat Islam pasca wafatnya Nabi.121

Dalam konteks ilmu tafsir, penafsiran Alquran yang berasal dari para Sahabat dianggap paling otoritatif ketimbang penafsiran generasi setelahnya. Al-

H}a>kim al-Naysabu>ri>, sebagaimana dikutip Sa‘d bin Sayid Qut}b al-Sha>l,

mengatakan bahwa penafsiran Alquran yang berasal dari Sahabat dikategorikan

sebagai fi> h}ukm al-marfu >’ (setara dengan penafsiran Nabi). Ketika menafsirkan

Alquran, mereka adakalanya menukil langsung dari Nabi sesuai redaksinya, dan terkadang hanya menukil makna dan substansinya saja, sehingga jenis yang

terakhir ini merupakan bagian dari riwayat bi> al-ma’na>.122

Dalam bidang hukum

Islam, pandangan keagamaan para Sahabat juga memiliki otoritas dan keistimewaan tersendiri. Perkataan dan perbuatan mereka menjadi barometer

untuk menimbang benar dan tidaknya sebuah praktik keagamaan atau pun

pandangan umat Islam pada generasi berikutnya. Jika ternyata memiliki landasan

historisnya dari para Sahabat, maka hal itu dapat dibenarkan. Namun sebaliknya, jika bertentangan dengan dalil-dalil agama dan tidak memiliki preseden historis

dari generasi Sahabat, maka yang demikian itu dihukumi sebagai sebuah

kebatilan.123

Melihat betapa sakralnya pandangan keagamaan generasi Sahabat,

Aswa>d agar menanyakan masalah itu kepada Nabi. Nabi menjawab, apabila terkena

madhi>, maka cucilah kemaluannya dan berwudhulah. Lihat Muh}ammad bin Isma>’i>l al-

Bukha>ri>, S}ah}i>h} al-Bukha>ri>, 1, 62. Lihat juga Ah}mad bin Muh}ammad bin H}anbal al-

Shayba>ni>, Musnad Ah}mad bin H}anbal, 1, 426. 120

Selengkapnya, lihat Fazlur Rahman, Islam,terj, Ahsin Muhamad, 51. 121 Abū ‗Abd Allāh Muḥammad ibn Sa‘d ibn Manī‘ al-Hāshimī, al-Ṭabaqāt al-

Kubrā (Beirut: Dār Ṣādir, 1968 H), 376. Teks lengkapnya adalah,

و ل أ حاب رسوؿ اا و ى اهلل ع و وس م انوا أامـ يقتدى م و ظ ع م ما انوا .ي ع وف ويست توف ف توف

122 Sa‘ad bin Sayid Qut}b al-Sha>l, Ada>b al-Ikhtila>f bayn al-S}ah}a>bah wa

Atha>ruhu> ‘ala al-wa>qi’ al-Isla>miy, 183. 123

Sa‘ad bin Sayid Qut}b al-Sha>l, Ada>b al-Ikhtila>f bayn al-S}ah}a>bah wa

Atha>ruhu> ‘ala al-wa>qi’ al-Isla>miy, 176.

Page 84: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

76

sampai al-Sha>fi’i> menegaskan bahwa setiap mujtahid sebelum melakukan ijtihad dilarang mengikuti pendapat siapa pun secara taklid, namun ia diizinkan

mengikuti pendapat para Sahabat.124

Ibn ‗Abd al-Bar, mengutip pernyataan al-

Awza’i> bahwa ilmu adalah apa yang datang dari para Sahabat, sedangkan apa

yang datang dari selain Sahabat tidaklah dikatakan ilmu.125

Bahkan, di antara ciri

dan karakteristik Ahl al-Sunnah ialah, mendasarkan berbagai persoalan dengan merujuk kepada pemahaman para Sahabat Nabi

126 sebagaimana yang

diperintahkan Alquran dan sunnah. Ketika terjadi perselisihan, mereka akan

segera mencari solusinya berdasarkan pandangan orang-orang yang hidup pada tiga generasi awal, terutama pandangan para Sahabat karena dianggap paling

benar ketimbang yang lainnya.127

Tak hanya itu, pada perkembangan berikutnya, bahkan perkataan dan perbuatan para Sahabat dikategorikan sebagai bagian dari sunnah. Malik bin

Anas mengatakan bahwa perkataan Sahabat adalah bagian dari sunnah karena

mereka termasuk generasi yang menyaksikan dan memperoleh pengetahuan

langsung dari Nabi. Sehingga, apa pun yang dikatakan para Sahabat merupakan

sunnah yang mesti diamalkan.128

Pendapat lainnya dikemukakan al-Sarkhasi>,

bahwa dalam pandangan ulama klasik, term sunnah juga dinisbatkan kepada

jalan beragamanya Abu> Bakr dan ‗Umar (wa al-Salaf ka>nu> yut}liqu>na ism al-

124

Abu> Isha>q al-Sha>t}ibi>, al-Muwa>faqa>t fi> Us}u>l al-Shari>’ah (T.p: Da>r Ibn ‘Affa>n,

1997), 4, 457. 125 Abu >‘Umar Yu>suf bin ‘Abd Alla>h bin Muh}ammad bin ‘Abd al-Bar bin

‚A>s}im al-Qurt}ubi>, Ja>mi’ Baya>n al-‘Ilm wa Fadhlih, 1, 617. 126

Ibn Taymiyah memberikan catatan bahwa pemahaman para Sahabat terkait

Alquran, sunnah, dan hal ihwal Nabi banyak yang luput dari para ulama yang hidup pada

era belakangan. Para Sahabat bergumul dengan Nabi dan menyaksikan langsung proses turunnya wahyu kepada Nabi, sehingga mereka sangat mengerti perkataan, perbuatan

dan hal ihwal Nabi, bahkan dapat mengonfirmasi langsung kepada Nabi tentang hal-hal

yang berkaitan dengannya. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa para ulama mutaakhirin

seringkali berkata bahwa sejumlah persoalan harus direspons melalui qiyas, lantaran

tidak adanya ayat dan hadis yang berbicara tentang itu. Menurut Ibn Taymiyah,

pernyataan tersebut muncul karena ketidaktahuan mereka terhadap Alquran dan sunnah

serta petunjuk keduanya atas persoalan hukum. Ia mengutip pernyataan Ah}mad bin

H}anbal bahwa tidak ada satu pun persoalan melainkan telah dijawab oleh para Sahabat. Hal itu, karena pada saat terjadinya ekspansi dan perluasan wilayah kekuasaan Islam,

telah terjadi berbagai macam peristiwa, dan para Sahabat telah menjawabnya

berdasarkan petunjuk Alquran dan sunnah. Dan hanya sedikit saja yang dijawab

berdasarkan penalaran. Selengkapnya, Abu> al-‘Abba>s, Taqi> al-Di>n Ah}mad bin ‘Abd al-

H}ali>m bin Ibn Taymiyah al-Harani>, Majmu> Fata>wa (Madi>nah al-Munawarah: Majma’

al-Mulk Fahd Li T}iba>’ah al-Mus}h}af al-Shari>f, 1995), 19, 200. 127

Sa‘ad bin Sayid Qut}b al-Sha>l, Ada>b al-Ikhtila>f bayn al-S}ah}a>bah wa

Atha>ruhu> ‘ala al-wa>qi’ al-Isla>miy; Dira>sah Manhajiyah Us}u>liyyah Tarbawiyah wa

Da’awiyyah, 203. 128 Dede Rodliyana, ―Hegemoni Fiqh terhadap Penulisan Kitab Hadis‖ Journal

of Quran and Hadith Studies, Vol. 1, No. 1, 2012 (Juli-Desember 2011), 133.

Page 85: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

77

sunnah ‘ala> t}ari>qah abi> bakr wa ‘umar).129 Senada dengan dua ulama di atas, al-

Sha>t}ibi> secara eksplisit mengatakan bahwa term sunnah juga mencakup apa yang

dipraktikkan para Sahabat, baik itu terekam dalam Alquran atau pun tidak, karena sunnah Sahabat itu merupakan sesuatu yang sudah diketahui secara pasti

oleh mereka tetapi tidak diriwayatkan kepada kita, atau hasil ijtihad yang telah

disepakati di antara mereka, atau yang berasal dari para khalifah ketika itu.130

Sementara itu, ‗Ajja>j al-Kha>t}ib mengatakan bahwa di kalangan para

ulama ahli hadis dan usul, terkadang term sunnah juga disematkan pada apa yang dilakukan oleh para Sahabat, baik hal itu terdapat dalam Alquran dan sunnah

Nabi atau pun tidak. Pandangan tersebut salah satunya didasarkan pada hadis

―Alaykum bisunnati> wa sunnah khulafa> al-ra>shidi>n al-mahdiyyi>n‖ (Hendaklah

kalian mengikuti sunnahku dan sunnah khulafa> al-ra>shidi>n‖. Para ulama

mencontohkannya pada sejumlah kebijakan Sahabat, di antaranya pada kasus

had khamr oleh ‗Ali>, pengumpulan mushaf pada masa Abu> Bakar dan lain

sebagainya. Singkat kata, ‗Ajja>j al-Kha>t}ib mengkategorikan perilaku generasi

Islam awal (Sahabat) sebagai bagian dari sunnah (wa al-sunnah ma> ka>na alayh al-‘amal al-ma’thu>r fi> al-s}adr al-awal).131

Senada dengan pandangan para ulama di atas, sarjana Muslim progresif

kontemporer semisal Fazlur Rahman juga mengatakan bahwa term sunnah ini

pada awalnya dimaknai sebagai perilaku atau tradisi kenabian. Tetapi, ketika

tradisi tersebut berlanjut secara diam-diam dan non verbal, maka term sunnah ini juga pada akhirnya disematkan pada kandungan aktual perilaku setiap generasi

pasca Nabi (Sahabat), sepanjang perilaku tersebut dinilai masih meneladani pola

perilaku Nabi.132

Jalaluddin Rakhmat mengelompokkan sunnah Sahabat menjadi tiga;

Pertama, ada sunnah Sahabat yang merupakan pelaksanaan dari sunnah Nabi

seperti kodifikasi Alquran (tadwi>n al-Qura>n). Kedua, ada sunnah Sahabat yang berfungsi menggantikan sunnah Nabi, seperti salat sunnat tarawih berjamaah.

Ketiga, bahkan ada sunnah Sahabat yang bertentangan dengan sunnah Nabi,

seperti haji tamattu’133

Terkait poin yang ketiga ini, meskipun dalam pandangan Jalaluddin Rahmat hal itu tampak bertentangan dengan sunnah Nabi, namun

boleh jadi ia merupakan bentuk pelaksanaan dari sunnah Nabi itu sendiri. Hanya

saja, Sahabat berusaha menangkap spirit yang terdapat dibalik perintah itu. Dalam fakta sejarah Islam awal, hal yang sama juga dapat dijumpai pada

kebijakan-kebijakan khulafa> al-ra>shidi>n.

129

Muh}ammad bin Ah}mad bin Sahl al-Sarkha>si>, Us}u>l al-Sarkha>si> (Beirut: Da>r

al-Ma’rifah, T.th), 114. 130 Abu> Ish}a>q al-Sha>t}ibi>, al-Muwa>faqa>t fi> Us}u>l al-Shari>’ah (Kairo: Da>r al-

Hadi>th, T.th) 4, 305. 131

Muh}ammad‗Ajja>j al-Khati>b, al-Sunnah Qabl al-Tadwi>n (Beirut: Da>r al-Fikr,

1980), 18-20. 132 Fazlu Rahman, Islam, 69-70. 133

Jalaluddin Rakhmat, Misteri Wasiat Nabi: Asal-Usul Sunnah Sahabat: Studi

Histogriorafis atas Tarikh Tashri’ (Bandung: Misykat, 2015), 110.

Page 86: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

78

Abu > Bakar, misalnya, pernah membuat kebijakan untuk memerangi kaum murtad dan para pembangkang yang enggan membayar zakat. Pada

awalnya, ia sempat diperingatkan oleh ‗Umar bahwa mereka tidak layak diperangi karena statusnya masih berada dalam keimanan. Sedangkan orang

beriman diperintahkan oleh Nabi agar dijaga jiwanya, meskipun pada akhirnya

Umar sependapat dengan Abu Bakar bahkan ia menyadari bahwa pendapat Abu>

Bakar lebih tepat dan bijaksana. Sepintas, apa yang dilakukan Abu> Bakar

tersebut bertentangan dengan sabda Nabi terkait larangan membunuh orang yang

telah beriman. Akan tetapi, kebijakan Abu > Bakar tersebut sesungguhnya merupakan bagian dari cara mempraktikkan sunnah Nabi dalam rangka menjaga

tujuan syari‘at.134

‗Umar bin Khat}t}a>b juga pernah membuat kebijakan yang bertentangan

dengan sunnah Nabi. Pada saat menjabat sebagai khalifah, ‗Umar tidak

membagikan harta rampasan perang kepada para Sahabat, tetapi dibiarkan kepada pemiliknya dan hasilnya diserahkan ke Bayt al-Mal. Kebijakan ‗Umar

tersebut jelas berbeda dengan apa yang pernah dipraktikkan oleh Nabi yang

membagi harta rampasan perang kepada para Sahabat. Kebijakan ‗Umar tersebut mendapat protes keras dari para Sahabat lainnya. Mereka menuntut ‗Umar agar

tetap memberikan bagian mereka sebagaimana yang telah dilakukan oleh Nabi.

Akan tetapi, ‗Umar menolak tuntutan itu karena ia khawatir jika harta rampasan berupa tanah itu dibagi, maka mereka akan menimbulkan kerusakan terhadap

sistem pengairannya. Oleh karenanya, ia memutuskan agar tanah-tanah itu

dikelola oleh pemilik sebelumnya, lalu hasilnya diserahkan ke Bayt al-Mal agar

kemudian dapat dimanfaatkan secara bersama.135

Tak hanya itu, ‘Ali> bin Abi> T{a>lib dan beberapa Sahabat lainnya juga

pernah membuat kebijakan berbeda dengan apa yang pernah dipraktikkan oleh Nabi. Misalnya, berkenaan dengan kasus hukuman terhadap orang gay (yang

menyukai sesama jenis). ‗Ali> pernah membakar kaum gay. Diriwayatkan bahwa

Kha>lid bin Wali>d menemukan seorang laki-laki yang menikah dengan laki-laki

pada masa pemerintahan Abu> Bakar. Kha>lid melaporkan kasus itu kepada

khalifah Abu> Bakar yang kemudian dimusyawarahkan dengan Sahabat lain. Para Sahabat sepakat untuk menghukum orang tersebut dengan cara membakarnya.

Hal ini berbeda dengan apa yang pernah diperintahkan Nabi, di mana Nabi hanya menyuruh membunuhnya, bukan membakarnya.

136

Beberapa kasus di atas merupakan contoh sunnah Sahabat yang

merupakan pelaksanaan dari sunnah Nabi itu sendiri, meskipun secara sepintas tampak bertentangan dengan sunnah Nabi. Para Sahabat berusaha memahami,

134

Atiyatul Ulya, Hadis dalam Perspektif Sahabat; Kajian Ketaatan Sahabat

terhadap Rasul dalam Konteks Pemahaman Hadis (Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, 2008. 159. 135

Atiyatul Ulya, Hadis dalam Perspektif Sahabat; Kajian Ketaatan Sahabat

terhadap Rasul dalam Konteks Pemahaman Hadis, 172-182. 136

Atiyatul Ulya, Hadis dalam Perspektif Sahabat; Kajian Ketaatan Sahabat

terhadap Rasul dalam Konteks Pemahaman Hadis, 230.

Page 87: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

79

mempraktikkan dan mengkontekstualisasikan sunnah Nabi secara dinamis untuk merespons berbagai persoalan yang terjadi pasca wafatnya Nabi. Pada akhirnya,

sunnah Sahabat ini diposisikan setara dengan sunnah Nabi.

Sampai di sini, apa yang dapat penulis simpulkan dari paparan di atas

ialah, bahwa perkataan, perbuatan, ketetapan dan hal lainnya yang berasal dari

para Sahabat, pada umumnya adalah upaya dalam rangka mengejawantahkan

pesan-pesan kenabian. Oleh karenanya, wajar jika umat Islam diperintahkan agar mengikuti sunnah Nabi dan para Sahabatnya.

Page 88: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

80

BAB IV

PENGGUNAAN HADIS OLEH SAHABAT NABI: TIPOLOGI DAN

IMPLIKASI

Pada bab sebelumnya, penulis telah menjelaskan bahwa dalam berbagai

literatur hadis, para Sahabat dinarasikan sebagai generasi yang paling mirip dengan Nabi, karena mereka selalu berusaha mengimitasi atau meniru-niru apa

pun yang dilakukan oleh Nabi. Sehingga, pada perkembangan berikutnya, apa

yang dikatakan dan dilakukan oleh mereka dikategorikan sebagai bagian dari

sunnah. Para Sahabat juga dianggap sebagai generasi yang paling mengerti tentang bagaimana semestinya ajaran Islam dipahami dan dipraktikkan. Bahkan

lebih dari itu, Ibn H }amzah al-Dimashqi>, tokoh hadis abad ke-11 H secara

implisit mengatakan bahwa konteks historis yang melatari Sahabat ketika

menyampaikan atau menggunakan sebuah hadis untuk merespons peristiwa

tertentu (sabab al-i>rad) dinilai identik dengan konteks historis yang melatari

Nabi mengucapkannya untuk pertama kali (sabab al-wuru>d). Sehingga, menurut

al-Dimashqi, hal itu dapat menjadi sebuah instrumen dalam memahami hadis Nabi.

Pada bab ini, penulis akan mengurai secara elaboratif dinamika

penggunaan hadis di kalangan para sahabat Nabi. Hal ini untuk melihat motif dan ragam penggunaannya pada era Sahabat. Apakah konteks historis yang

melatari penggunaan hadis oleh para sahabat (sabab al-i >ra>d) selalu identik

dengan konteks historis yang melatari Nabi mengucapkannya untuk pertama kali

(sabab al-wuru >d)? Ataukah mereka juga menggunakan hadis yang sama secara

dinamis dalam berbagai konteks dan peristiwa yang beragam. Jika yang penulis

katakan terakhir ini terbukti, maka berarti hal itu menunjukkan bahwa mereka sangat fleksibel dalam memahami dan menggunakannya dalam berbagai dimensi

kehidupan bangsa Arab ketika itu. Selanjutnya, jika penggunaan hadis oleh para

Sahabat itu bersifat dinamis, lalu adakah implikasinya terhadap pemahaman hadis?

A. Tipologi Penggunaan Hadis oleh Sahabat Nabi

Para Sahabat, ketika menghadapi berbagai peristiwa pada masanya,

terutama benturan-benturan baru yang tidak pernah dijumpai pada masa Nabi,

sering kali merujuk kepada hadis Nabi. Boleh jadi, mereka amat jarang

menyikapinya dengan pandangan personal. Jika pun ada, hal itu tidak terlepas dari nilai-nilai profetik atau pesan-pesan kenabian yang pernah mereka terima.

Inilah yang penulis katakan pada bab sebelumnya bahwa Sahabat merupakan

imitator dan mediator tradisi kenabian. Izzat Darwazah menggambarkan betapa umat Islam awal benar-benar terpengaruh oleh cahaya kenabian Nabi

Page 89: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

81

Muhammad. Sehingga, mereka mengikuti wasiat-wasiatnya dan cahaya yang dibawa Nabinya.

1

Namun demikian, ekspresi keberagamaan atau lebih spesifiknya ialah pola interaksi para Sahabat dengan hadis Nabi tidak selalu tampil dalam

bentuknya yang statis dan monolitik. Pada bab sebelumnya, penulis telah

mengurai temuan Atiyatul Ulya dalam disertasinya yang mengatakan bahwa

pemahaman para Sahabat terhadap ajaran Nabi sangatlah dinamis. Hal itu ia buktikan dengan sejumlah data kesejarahan bahwa para Sahabat—terlebih al-

khulafa> al-ra>shidu>n—dalam banyak kasus telah mempraktikkan sejumlah

kebijakan Nabi secara berbeda dengan apa yang pernah dicontohkan oleh Nabi. Bahkan lebih dari itu, jika temuan Atiyatul Ulya umumnya hanya berkenaan

dengan masalah muamalah, maka Rusli Hasbi dalam bukunya telah bertungkus

lumus menunjukkan bahwa praktik para Sahabat yang berbeda dengan Nabi bukan hanya berkenaan dengan wilayah muamalah, tetapi juga pada wilayah

ritus peribadatan.2

Pada bagian ini, penulis akan mengafirmasi temuan kedua sarjana di atas dengan menunjukkan bukti lain di mana para Sahabat sangat dinamis dalam

mengutip, menyampaikan atau menggunakan hadis Nabi untuk merespons

berbagai peristiwa. Mereka adakalanya menggunakan hadis Nabi dalam konteks yang berbeda dengan konteks yang melatari Nabi mengucapkannya untuk

pertama kali. Berdasarkan analisis terhadap beberapa hadis dalam kitab S}ah}i>h al-Bukha>ri, penulis sekurang-kurangnya menemukan ada tiga tipologi penggunaan hadis oleh Sahabat Nabi. Pertama tekstual. Kedua, kontekstual. Ketiga, semi

kontekstual. Klasifikasi tipologi ini didasarkan pada bagaimana motif dan

konteks historis yang melatari Sahabat menyampaikan sebuah hadis untuk merespons peristiwa tertentu, kemudian dibandingkan dengan konteks yang

melatari Nabi mengucapkannya untuk pertama kali. Sementara itu, beberapa

hadis yang dikaji ialah; (1) Hadis larangan mengangkat pemimpin perempuan (2) Hadis larangan saling membunuh (3) Hadis larangan meratapi kematian (4)

Hadis perintah memerangi umat manusia sampai masuk Islam (5) Hadis perintah

pulang setelah mengucapkan salam tiga kali (6) Hadis Fa>t }imah belahan jiwa Nabi (7) Hadis Jibril. Ketujuh hadis ini akan dikaji secara elaboratif guna

melihat adanya disparitas antara konteks yang melatari Sahabat ketika

menyampaikan hadis tersebut dengan konteks yang melatari Nabi mengucapkannya untuk pertama kali.

1. Tekstual

Yang dimaksud dengan tipologi tekstual di sini ialah penggunaan hadis

yang terpaku pada makna literal teks hadis tanpa mempertimbangkan konteks

historis yang melatari Nabi mengucapkannya untuk pertama kali (sabab al-wuru>d). Individu—yang dalam hal ini adalah Sahabat—dengan tipologi seperti

1 Aksin Wijaya, Sejarah Kenabian dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad

Izzat Darwajah (Bandung: Mizan, 2016), 334. 2 Lihat kembali bab I, tepatnya pada sub bab penelitian terdahulu yang Relevan.

Page 90: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

82

ini cenderung menganggap bahwa pesan-pesan kenabian yang terkandung dalam teks hadis berlaku abadi tanpa terikat oleh konteks tertentu. Sehingga, ia

menggunakan hadis yang sama, meskipun dalam konteks yang berbeda dengan

konteks yang melatari Nabi mengucapkannya untuk pertama kali. Di bawah ini, penulis akan mengurai dua contoh penggunaan hadis secara tekstual oleh

Sahabat Nabi.

a. Hadis Larangan Mengangkat Pemimpin Perempuan

Hadis pertama yang akan penulis kaji ialah hadis populer terkait

larangan mengangkat pemimpin perempuan. Hadis ini sering kali dikutip untuk

meneguhkan superioritas kaum laki-laki dan mensubordinasikan posisi kaum perempuan terutama dalam konteks pemerintahan dan kedudukannya sebagai

pejabat publik. Dalam pembahasan ini, akan dijelaskan bahwa ada disparitas

antara konteks historis yang melatari Sahabat ketika menyampaikan hadis tersebut dengan konteks yang melatari Nabi mengucapkannya untuk pertama

kali. Selain itu, penulis juga ingin menepis stigma negatif yang dialamatkan

kepada Abu > Bakrah3 yang oleh segelintir sarjana Muslim kontemporer dianggap

telah mempolitisasi hadis tersebut.

Nabi SAW bersabda:

ـ : عن أيب بكرة، قاؿ عتػ ا من رسوؿ اا يو يى اهلل ع و وس يم أييا ـ اقد نػ عن اا يو بك ماميا بػ رسوؿ اا يو يى اهلل ع و : المل، بػعد ما دت أف أل بأ حاب المل فأقاتل مع م، قاؿ

ان يػ قػوـ وايوا أمرىم امرأة »: وس يم أفي أىل فارس، قد م يكوا ع م بنت سرى، قاؿ

Dari Abu > Bakrah berkata: ―Allah telah menyadarkanku dengan sebuah

kalimat yang aku dengar dari Rasulullah pada saat perang jamal, setelah sebelumnya aku hampir saja membenarkan/mendukung pasukan unta

(maksudnya kubu ‗A>ishah) dan berperang bersama mereka. Yaitu, ketika

sebuah kabar disampaikan kepada Rasulullah bahwa bangsa Persia mengangkat putri Kisra sebagai penguasa (ratu/raja), beliau bersabda:

Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan

(pemerintahan) mereka kepada perempuan‖.4

3 Nama lengkapnya ialah Nufay‘ bin al-Hari>th bin Kaldan bin ‗Amr bin ‗Ilaj bin

Abi > Salamah bin ‗Abd al-‗Izza> bin Ghayr bin ‗Awf bin Thaqif al-Thaqafi. Kunyahnya

ialah Abu > Bakrah. Ia dinilai sebagai salah seorang Sahabat yang paling afdal. Ia tinggal

dan wafat di Bashrah pada tahun 51 H. Selengkapnya, lihat ‗Ali > bin Abi> al-Karam

Muh}ammad bin Muh }ammad bin ‗Abd al-Kari>m bin ‗Abd al-Wah }i>d al-Shayba >ni>, Usd al-

Gha >bah fi Ma’rifah al-S}ah }a>bah (Beirut: Da>r al-Kutub al-‗Ilmiyyah, 1994), 5, 35. Lihat

juga Ibn H}ajar al-‗Asqala>ni>, al-Is}a>bah fi> Tamyi>z al-S}ah}a>bah (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1415 H).

4 Al-Bukha>ri>, S}ah}i>h} al-Bukha>ri>, Vol. 6, 8. Nomor hadis: 4425.

Page 91: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

83

Riwayat lain mengatakan,

عتو من رسوؿ اهلل يى اا يو ع و وس يم اميا ى ك : عن أيب بكرة قاؿ عصمن اا يو بشيء ان يػ قػوـ وايوا أمرىم : ابػنتو، فػقاؿ اانييب يى اا يو ع و وس يم : من است وا؟ قااوا: سرى، قاؿ

فػ ميا قدمت عااشـ يػعن االصرة ذ رت قػوؿ رسوؿ اهلل يى اا يو ع و وس يم فػعصمن اا يو : امرأة، قاؿ .بو

Dari Abu > Bakrah berkata: Allah telah menjagaku dengan sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah ketika kehancuran Kisra. Beliau bersabda:

―Siapa dari mereka (maksudnya keluarga Kisra) yang menggantikan

kepemimpinannya?‖ Para Sahabat menjawab: ―Anak perempuannya‖. Lalu Nabi bersabda: ―Tidak akan beruntung suatu kaum yang

menyerahkan urusannya kepada perempuan‖. Abu > Bakrah berkata:

―Ketika ‗A>ishah tiba di Bashrah, aku menyebutkan sabda Nabi tadi,

kemudian Allah menjagaku‖.5

Riwayat di atas dapat dijumpai dalam beberapa kitab induk hadis dengan

redaksi yang beragam, salah satunya dalam S}ah}i>h} al-Bukha >ri >. Sebagaimana

disinggung di awal, hadis ini termasuk salah satu hadis paling populer berkenaan dengan pandangan Islam terkait keterlibatan kaum perempuan di ranah

pemerintahan dan kedudukannya sebagai pejabat publik.6 Secara tekstual, hadis

di atas berbicara terkait penolakan Nabi terhadap kepemimpinan kaum

perempuan. Makna tekstual inilah yang kemudian menjadi landasan teologis bagi sebagian kalangan yang menolak kepemimpinan kaum perempuan.

Sementara itu, secara historis (sabab al-wuru>d), hadis tersebut disabdakan oleh Nabi sebagai respons ketika mendengar kabar diangkatnya anak perempuan

Kisra (raja Persia) sebagai pemimpin menggantikan ayahnya. Jika ditarik lebih

jauh ke belakang, sebenarnya kisah yang terekam pada riwayat tersebut

merupakan kelanjutan dari kisah sebelumnya, di mana Nabi pernah mengirim surat kepada pembesar-pembesar kerajaan dalam rangka berdakwah, salah

5 Abu >I>sa> al-Tirmidhi>, Sunan al- Tirmidhi>, Vol. 4, 97. Nomor hadis: 2262. Lihat

juga al-Nasa>‘i >, Sunan al-Nasa>’i >, Vol. 8, 227. Nomor hadis: 5388. 6 Dalam konteks Indonesia, diskursus hukum Islam terkait boleh dan tidaknya

kaum perempuan menduduki jabatan publik mulai muncul ke permukaan pasca era

reformasi, tepatnya pada tahun 2001, yakni saat lengsernya Abdurrahman Wahid dari

kursi kepresidenan dan terpilihnya Megawati Soekarno Putri menjadi Presiden

perempuan pertama di Indonesia. Pada saat itu, konon hadis ini menjadi populer di

tengah-tengah masyarakat, terlebih di kalangan elit politik. Hadis tersebut sengaja

dipopulerkan oleh lawan politik Megawati untuk mendelegitimasi keterlibatannya di ranah pemerintahan. Hal ini sangatlah wajar, mengingat tidak ada kaum perempuan yang

pernah menduduki jabatan tertinggi dalam konteks pemerintahan di Indonesia. Sehingga,

terpilihnya Megawati sebagai pejabat publik merupakan hal yang tabu bagi sebagian

masyarakat ketika itu.

Page 92: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

84

satunya kepada Kisra. Nabi mengutus seorang Sahabat7 untuk mengirimkan surat

tersebut kepada pembesar Bahrain. Setelah itu, pembesar Bahrain menyerahkan

surat itu kepada Kisra. Namun, setelah membaca surat dari Rasulullah tersebut,

ia malah menyobeknya. Kabar tersebut kemudian terdengar oleh Rasulullah. Ia marah dan berdoa agar Allah merobek-robek kerajaan tersebut sebagaimana

halnya Kisra merobek-robek surat tadi.8

Doa Nabi tersebut akhirnya menjadi kenyataan. Setelah beberapa tahun kemudian, kerajaan Persia mengalami kemerosotan dalam berbagai aspek.

Negeri Persia dilanda pertikaian yang luar biasa antar elit politik dan sulit

dibendung. Sehingga negeri tersebut berada di ambang kehancuran. Dalam kitab

Fath } al-Ba>ri> dijelaskan, Kisra dibunuh oleh anak laki-lakinya. Dan anak ini juga

kemudian membunuh saudara-saudaranya yang lain. Singkat cerita,

kekuasaannya tersebut kemudian diserahkan kepada anak perempuannya yang

bernama Bawra>n (sebagian lain ada yang membacanya Buwara>n). Sejak saat

itulah kerajaannya hancur berkeping-keping sebagaimana yang dipanjatkan Nabi

dalam doanya.9 Bahkan, dalam literatur sejarah dikisahkan, pasca kematian

Kisra, kerajaan Persia sempat melakukan pergantian pemimpin sebanyak empat

belas kali dalam setahun, namun semuanya mengalami kehancuran, hingga

akhirnya kekuasaan tersebut diserahkan kepada anak perempuannya, Bawran. Ketika mendengar kabar tersebut, Nabi menyampaikan hadis di atas bahwa tidak

akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada kaum

perempuan.10

Sampai di sini, sekali lagi, dapat dipahami bersama bahwa hadis di atas diucapkan oleh Nabi pertama kali sebagai respons mengenai kabar

diangkatnya anak perempuan Kisra sebagai raja Persia.

Namun demikian, dua puluh tiga tahun pasca wafatnya Nabi, tepatnya

pada saat menjelang terjadinya peristiwa Perang Jamal (waq’ah al-jamal) antara

kubu ‗Ali> dan ‗A>’ishah,11

hadis tersebut dikutip atau dimunculkan kembali oleh

7 Menurut riwayat lain, Sahabat tersebut bernama ‗Abd Alla>h bin H}uda>fah.

Lihat Yah}ya> bin Abi> Bakr bin Muh}ammad bin Yah}ya> al-‘A>miri>, Bahjah al-Mah}a>fil wa Bughyah al-Ama>thil fi> Talkhi>s} al-Mu’jiza>t wa al-Siyar wa al-Shama>il (Beirut: Da>r

S}a>dir, T.Th), 1, 343. 8 Lihat al-Bukha>ri>, S}ah}i>h} al-Bukha>ri>, 13, 242. Teks lengkapnya ialah,

بػعي بكتابو إل سرى، »أفي رسوؿ اا يو يى اهلل ع و وس يم : علد اا يو بن علياس أخلػره عن ، فػ ميا قػرأه سرى م يقو، «فأمره أف يدفػعو إل عظ م االحرين، يدفػعو عظ م االحرين إل سرى

س ب قاؿ أف يقوا لي م يؽ :فدعا ع م رسوؿ اا يو يى اهلل ع و وس يم : فحسلت أفي ابن امل

9 Ah }mad bin ‗Ali> bin H}ajar al-‗Asqala>ni>, Fath } al-Ba>ri > Sharh} S}ah}i >h} al-Bukha>ri> (Beirut: Da>r al-Ma‘rifah, 1379 H), 8, 127.

10 Yah}ya> bin Abi> Bakr bin Muh}ammad bin Yah}ya> al-‘A>miri>, Bahjah al-Mah}a>fil

wa Bughyah al-Ama>thil fi> Talkhi>s} al-Mu’jiza>t wa al-Siyar wa al-Shama>il, 1, 343. 11

Perang ini terjadi, karena pasca terbunuhnya ‗Uthma >n, beberapa Sahabat

seperti ‗A'>ishah, T}alh }ah dan Zubayr, menuntut khalifah ‗Ali > agar segera menyelesaikan

secara tuntas kasus pembunuhan ‗Uthma >n. Mereka menuntut bela terhadap ‗Uthma >n

yang darahnya ditumpahkan secara zalim. Ali sebenarnya ingin sekali menghindari

peperangan. Ia mengirim surat kepada T}alh }ah dan Zubayr agar keduanya mau berunding untuk menyelesaikan perkara itu secara damai. Namun, ajakan tersebut ditolak.

Page 93: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

85

Nufay bin Hari>th, atau yang lebih dikenal dengan nama Abu > Bakrah al-Thaqafi > (w. 52 H), seorang Sahabat yang baru masuk Islam pada masa-masa terakhir

kehidupan Nabi SAW. Sebagaimana dapat dipahami pada riwayat al-Tirmidhi > di

atas, Abu > Bakrah menyampaikan hadis tersebut di hadapan ‗A >’ishah ketika baru

saja tiba di Bashrah sebelum berperang. Ibn H}ajar al-‗Asqala >ni juga mengutip

riwayat dari al-H}asan bahwa sebelum terjadinya peperangan, Abu > Bakrah

berkata langsung di hadapan ‗A>ishah: ―Engkau adalah Umm al-Mukmini >n, dan sesungguhnya hakmu sangatlah agung, tetapi aku pernah mendengar Nabi SAW

bersabda bahwa tidak akan beruntung suatu kaum yang dipimpin oleh seorang

perempuan‖.12

Artinya, dengan mengutip hadis tersebut, Abu > Bakrah meyakini

bahwa ‗A>ishah tidak akan menang dalam peperangan melawan ‗A >li>.

Dalam diskursus kajian hadis kontemporer, beberapa sarjana Muslim

kontemporer melontarkan kritik tajam terhadap Abu> Bakrah. Khaled Abou El

Fadl, misalnya, selain menggugat kredibilitas Abu > Bakrah sebagai periwayat

hadis,13

ia juga menduga kuat bahwa hadis-hadis yang disampaikan Abu > Bakrah

Akhirnya, terjadilah peperangan. Perang ini dikenal dengan istilah ―Perang Jamal

(Unta)‖ karena ‗A >ishah dalam peperangan itu menunggangi unta. Ali berhasil

mengalahkan kubu ‗A>ishah. Bahkan, T}alh }ah dan Zubayr terbunuh pada saat hendak

melarikan diri, sedangkan ‗A>ishah ditawan dan dikembalikan lagi ke Madinah.

Selengkapnya, lihat Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: PT Raja Grapindo

Persada, 1998), 39. 12

Ah }mad bin ‗Ali> bin H}ajar al-‗Asqala>ni>, Fath } al-Ba>ri > Sharah} S}ah }i >h} al-

Bukha>ri >, 13, 56. 13

Khaled Abou El Fadl mengkritisi kredibilitas Abu Bakrah sebagai periwayat

hadis. Meskipun para ulama hadis telah menerima kredibiltas Abu > Bakrah, namun bagi

Abou Fadl, ada beberapa hal penting yang harus dipertimbangkan seputar kehidupan

Abu > Bakrah, salah satunya ialah bahwa ia telah dituduh sebagai seorang tukang fitnah.

Kisah tersebut bermula ketika al-Mughi>rah bin Shu‘bah (w. 48051 H), seorang gubernur

Bashrah pada masa pemerintahan ‗Umar sering mengunjungi seorang perempuan yang

sudah bersuami, yaitu Umm Jamil binti ‗Amr. Diriwayatkan bahwa Abu > Bakrah dan

saudara-saudara tirinya, Na >fi‘ Ziya >d, dan Shubal bin Ma‘bad, menyaksikan al-Mughi>rah

dan Umm Jami>l melakukan hubungan seksual. Setelah menyaksikan kejadian tersebut,

Abu > Bakrah menolak untuk salat di belakang al-Mughi>rah, karena al-Mughi>rah

dipandang telah berbuat zina. Akhirnya persoalan tersebut terdengar oleh khalifah ‗Umar

yang kemudian menggelar dan memimpin sebuah persidangan. Abu > Bakrah, Na>fi’,

Ziyad dan Shubal bin Ma‘bad bersaksi bahwa mereka telah menyaksikan kejadian

tersebut. Namun, Ziya >d bersaksi bahwa pertemuan dua kelamin mereka tidak bisa

disaksikan secara langsung, tapi ia hanya menegaskan bahwa mereka melihat tubuh-

tubuh telanjang dan gerakan-gerakan yang mirip dengan persetubuhan. Namun, kesaksian ini tidak memenuhi setandar pembuktian yang diperlukan dalam sidang

perzinaan. Akhirnya ‗Umar memutuskan bahwa Abu > Bakrah, Na>fi‘, Ziya >d, dan Shubal

bin Ma‘bad dijatuhi hukuman cambuk karena telah menuduh al-Mughirah tanpa bukti

yang kuat. Setelah itu, Na >fi‘ dan Ziya >d tobat dan menarik tuduhannya. Sementara Abu >

Bakrah menolak untuk menarik tuduhannya. Akibat kejadian tersebut, ‗Umar menolak

Abu > Bakrah sebagai saksi yang bisa dipercaya dalam kasus atau praktik hukum. Selengkapnya, lihat Khaled M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke

Page 94: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

86

sarat dengan muatan politis. Hadis yang ia sampaikan tentang kepemimpinan

perempuan di atas dinilai berisi kecaman terhadap peran politik ‗A >ishah, begitu

pula hadis-hadisnya yang berkenaan dengan politik terkesan mendukung ketaatan terhadap penguasa.

14 Kritik yang sama juga dilontarkan oleh Fathima

Mernisi, seorang feminis modern yang pandangan-pandangannya menjadi

rujukan bagi kelompok yang menyuarakan kesetaraan gender. Terkait hadis di

atas, ia mempersoalkan, mengapa Abu > Bakrah baru mengutip atau memunculkan kembali hadis tersebut pada saat terjadinya kisruh politik yang kemudian

menyebabkan terjadinya perang Jamal antara kubu ‗A>ishah dan ‗A>li setelah 23

tahun wafatnya Rasulullah SAW, yang mana dirinya berpihak kepada kubu ‗Ali>.

Lagi pula, menurutnya, konteks awal kemunculan hadis tersebut ialah berkenaan

dengan kasus suksesi Kisra di Persia yang mewariskan tahta kepada anak perempuannya yang masih kecil dan belum memiliki kapasitas sebagai

pemimpin.15

Sederhananya, Mernisi ingin mengatakan bahwa Abu > Bakrah telah mempolitisasi hadis yang semula diucapkan Nabi sebagai respons diangkatnya

anak perempuan Kisra sebagai raja/ratu, namun pada saat peristiwa perang

Jamal, hadis tersebut sengaja dimunculkan kembali untuk melegitimasi

keberpihakannya kepada kubu ‗Ali>.

Hemat penulis, kritik yang dilontarkan oleh kedua sarjana Muslim di

atas terkesan berlebihan. Dikatakan demikian, karena dalam literatur hadis

dijelaskan bahwa pada saat terjadinya peristiwa perang Jamal, Abu > Bakrah

berada pada posisi yang netral. Ibn H}ajar al-‘Asqala>ni> mengutip sebuah riwayat

dari Ibn Bat}t}al dari al-Muhallab bahwa secara secara sekilas, riwayat di atas

seolah memberi kesan kuat bahwa Abu > Bakrah bersikap kontra terhadap kubu

‗A>ishah dan menunjukkan keberpihakkannya kepada kubu ‗Ali, padahal tidaklah

demikian. Pada dasarnya, ia justru sepakat dengan keinginan ‗A >’ishah yang

menuntut khalifah ‗Ali> agar segera menyelesaikan secara tuntas kasus

pembunuhan ‗Uthma >n. Hanya saja, yang perlu ditegaskan di sini ialah, Abu > Bakrah menolak untuk menyelesaikannya melalui jalan peperangan. Oleh

karenanya, pada saat peperangan itu terjadi, ia berusaha bersikap netral dan tidak

mendeklarasikan dukungannya kepada pihak siapa pun, apalagi terlibat dalam peperangan. Bahkan, pada priode berikutnya, ia juga bersikap netral pada saat

terjadinya perang Shiffi>n antara ‗Ali> dan Mu‘a >wiyah.16

Pada riwayat di atas, Abu > Bakrah memang menyampaikan hadis tersebut

di hadapan ‗A>’ishah, bahwa suatu kelompok tidak akan beruntung jika dipimpin

Fikih Otoritatif, terj, Cecep Lukman Hakim (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2004),

168. 14 Khaled M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih

Otoritatif, 170. 15

Data di atas sebagaimana dikutip Tasmin Tangngareng, ―Kepemimpinan

Perempuan dalam Perspektif Hadis”, dalam Karsa: Jurnal Sosial dan Budaya

Keislaman, Vol. 23 No. 1, Juni 2015. 16

Ah }mad bin ‗Ali> bin H}ajar al-‗Asqala>ni>, Fath } al-Ba>ri > Sharah} S}ah }i >h} al-

Bukha>ri >, 13, 56.

Page 95: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

87

oleh kaum perempuan. Namun, hemat penulis, hal itu bukan dalam konteks mempolitisasi hadis tersebut dan menunjukkan keberpihakannya kepada kubu

‗Ali> sebagaimana tuduhan Fathima Mernisi, tetapi semata-mata karena ia memahami pesan Nabi yang terkandung dalam hadis tersebut secara tekstual

tanpa terikat oleh konteks yang melatari kemunculannya. Hal ini, tentu saja

berbeda dengan pandangan Mernisi dan beberapa sarjana Muslim kontemporer

lainnya yang memahami hadis tersebut secara kontekstual. Jika demikian, maka

berarti stigma negatif yang dialamatkan kepada Abu > Bakrah hanyalah dibangun

berdasarkan basis argumentasi yang sangat rapuh. Sayangnya, pandangan kedua sarjana Muslim tersebut direspons secara sangat apresiatif oleh para pengkaji

hadis lainnya.17

Tak hanya itu, penulis juga menemukan bukti lain untuk membantah tuduhan kedua sarjana di atas.

ذىلت ألنصر ىذا ااريجل، فػ ق ن أبو بكرة فػقاؿ أين تريد؟ : عن األحن بن قػ س، قاؿ عت رسوؿ اا يو يى اهلل ع و وس يم يػقوؿ : أنصر ىذا ااريجل، قاؿ : قػ ت إذا ااتػقى »: ارجع فإن

قتوؿ ف اانيار ما فااقاتل وامل س ماف بس ػ

قتوؿ قاؿ «امل

: ، فػق ت يا رسوؿ اا يو ىذا ااقاتل فما باؿ امل

«إنيو اف حريصا ع ى قػتل احلو »Dari Ah}naf bin Qays berkata: ―Aku pergi untuk membantu orang ini

(dalam riwayat lain maksudnya membantu‗Ali> pada saat terjadinya

perang Jamal). Kemudian aku bertemu dengan Abu > Bakrah, lalu ia bertanya: ―Mau kemana engkau?‖Aku menjawab: ―Aku ingin membantu

‗Ali>. Abu > Bakrah berkata: ―Pulanglah, karena aku pernah mendengar Rasulullah bersabda: Apabila dua orang Muslim saling membunuh,

maka yang membunuh dan yang terbunuh sama-sama masuk neraka‖.

Aku bertanya: ―Wahai Rasulullah, hal ini tentu saja berlaku bagi si

pembunuh, lalu bagaimana dengan orang yang terbunuh?‖ Beliau menjawab: ―Sama saja, karena orang yang terbunuh juga berusaha

membunuh saudaranya‖.18

Berdasarkan riwayat ini, dapat dipahami bahwa hadis tersebut pernah

disampaikan Abu > Bakrah kepada Ah}naf bin Qays pada malam hari menjelang

terjadinya peristiwa perang Jamal antara kubu ‗Ali > dan ‗A>’ishah. Diceritakan

bahwa pada saat ‗Ali> tiba di Bashrah, Ah }naf bin Qays segera keluar membawa

pedang untuk membantu ‗Ali>. Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan Abu >

17

Para pengkaji hadis yang mengapresiasi pandangan di atas, salah satunya lihat

misalnya Anshor Bahary, dalam artikelnya berjudul ―Memahami Hadis Kepemimpinan

Wanita (Studi Interpretasi Hermeneutika Gender Khaled M. Abou El Fadl)‖ dalam

https://www.academia.edu/24062866/Memahami_Hadis_Kepemimpinan_Wanita_Studi_Interpretasi_Hermenetika-Gender_Khaled_M._Abou_El_Fadl (diakses pada 07-07-

2020). 18

Al-Bukha>ri>, S}ah}i>h} al-Bukha>ri>, Vol. 1,15. Nomor hadis: 31. Lihat juga

Muslim bin H}>>>>ajja>j al-Naysabu>ri>, S}ah}i>h} Muslim, Vol. 4, 2214. Nomor hadis: 2888.

Page 96: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

88

Bakrah. Setelah Abu > Bakrah tahu bahwa maksud kepergiannya ialah untuk

membantu ‗Ali > berperang melawan kubu ‗A>’ishah, ia langsung mencegahnya

kemudian menyampaikan hadis di atas bahwa apabila ada dua orang Muslim yang saling membunuh, maka keduanya akan masuk neraka, baik yang

membunuh atau pun yang terbunuh.19

Berpijak pada riwayat ini, logika yang ingin dibangun ialah, jika betul

Abu> Bakrah secara politis berpihak kepada Ali sebagaimana yang dituduhkan

Abou Fadl dan Fathima Mernisi, lalu mengapa pada riwayat di atas ia malah

mencegah kepergian Ah}naf bin Qays yang hendak membantu ‗Ali > dalam

peperangan melawan ‗A>’ishah? Bukankah keikutsertaan Ah}naf bin Qays tersebut

akan menguntungkan bagi kubu ‗Ali >? Fakta tersebut tentu potensial menepis

stigma negatif yang disematkan kedua sarjana Muslim di atas terhadap Abu >

Bakrah. Pada saat yang sama, fakta ini juga secara tegas menunjukkan bahwa

Abu> Bakrah berada pada posisi netral pada saat terjadinya peristiwa perang

Jamal. Pada sub bab berikutnya nanti, penulis akan kembali mengurai hadis ini

secara elaboratif untuk memotret persoalan yang berbeda.

Terlepas dari perdebatan di atas, apa yang ingin penulis tegaskan ialah

bahwa Abu > Bakrah telah menggunakan hadis di atas dalam konteks yang berbeda dengan konteks yang melatari Nabi mengucapkannya untuk pertama

kali. Jika sebelumnya Nabi mengucapkan hadis tersebut sebagai respons

diangkatnya anak perempuan Kisra sebagai pemimpin, di mana ia belum

memiliki kapabilitas dalam menjalankan roda pemerintahan, maka pada beberapa dekade berikutnya, hadis tersebut digunakan atau disampaikan kembali

oleh Abu > Bakrah di hadapan ‗A>’ishah untuk menolak keikutsertaannya dalam

peperangan sesama saudara Muslim. Apa yang dilakukan Abu > Bakrah tersebut

merupakan sebuah preseden historis tentang model penggunaan hadis yang tidak

mempertimbangkan konteks historis, sehingga ia menyampaikannya kembali meskipun dalam konteks yang berbeda dengan konteks awal kemunculan hadis

tersebut. Penggunaan hadis semacam ini dapat dikategorikan ke dalam tipologi

tekstual.

b. Hadis Larangan Saling Membunuh

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, pada sub bab ini penulis akan mendiskusikan kembali hadis larangan saling membunuh. Hanya saja, jika

pembahasan sebelumnya bertujuan untuk menepis stigma negatif yang

dialamatkan Khaled Abou Fadl dan Fathima Mernisi terhadap Abu> Bakrah, maka pada pembahasan kali ini penulis akan mengurainya kembali untuk

memotret persoalan yang berbeda, yaitu terkait perbedaan konteks historis yang

melatari Abu> Bakrah menyampaikan hadis tersebut menjelang peristiwa perang

19

Abu > Bakr Muh}ammad bin Ibra>him bin ‘Ali> bin ‘A>s}im bin Za>dan al-As}biha>ni>,

Mu’jam li Ibn al-Muqri (Riyadh: Maktabah al-Rushd, 1998), 1, 202. Lihat juga Na >s}ir al-

Di>n al-Alba>ni, Mukhtas}ar S}ah}ih} al-Ima>m al-Bukha>ri (Riyadh: Maktabah al-Ma‘a>rif,

2002), 1, 28.

Page 97: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

89

Jamal dengan konteks awal diucapkannya hadis tersebut oleh Nabi. Di bawah ini, penulis cantumkan kembali matan hadisnya secara lengkap.

ذىلت ألنصر ىذا ااريجل، فػ ق ن أبو بكرة فػقاؿ أين تريد؟ : عن األحن بن قػ س، قاؿ عت رسوؿ اا يو يى اهلل ع و وس يم يػقوؿ : أنصر ىذا ااريجل، قاؿ : قػ ت إذا ااتػقى »: ارجع فإن

قتوؿ ف اانيار ما فااقاتل وامل س ماف بس ػ

قتوؿ قاؿ «امل

: ، فػق ت يا رسوؿ اا يو ىذا ااقاتل فما باؿ امل

«إنيو اف حريصا ع ى قػتل احلو »Dari Ah}naf bin Qays berkata: ―Aku pergi untuk membantu orang ini

(dalam riwayat lain maksudnya membantu‗Ali> pada saat terjadinya

perang Jamal). Kemudian aku bertemu dengan Abu > Bakrah, lalu ia bertanya: ―Mau kemana engkau?‖Aku menjawab: ―Aku ingin membantu

‗Ali>. Abu > Bakrah berkata: ―Pulanglah, karena aku pernah mendengar Rasulullah bersabda: Apabila dua orang Muslim saling membunuh,

maka yang membunuh dan yang terbunuh sama-sama masuk neraka‖.

Aku bertanya: ―Wahai Rasulullah, hal ini tentu saja berlaku bagi si pembunuh, lalu bagaimana dengan orang yang terbunuh?‖ Beliau

menjawab: ―Sama saja, karena orang yang terbunuh juga berusaha

membunuh saudaranya‖.20

Hadis ini, antara lain dapat dijumpai dalam S}ah}i>h} al-Bukha>ri dan S}ah}i>h} Muslim. Sejauh penelusuran yang penulis lakukan, data yang ada menyebutkan

bahwa hadis tersebut pernah disampaikan Abu > Bakrah kepada Ah}naf bin Qays

pada malam hari menjelang terjadinya peristiwa perang Jamal antara kubu ‗Ali >

dan ‗A'>ishah. Diceritakan bahwa pada saat ‗Ali > tiba di Bashrah, Ah}naf bin Qays segera keluar membawa pedang untuk membantu ‗Ali. Di tengah perjalanan, ia

bertemu dengan Abu > Bakrah. Dan setelah Abu > Bakrah tahu bahwa maksud

kepergiannya ialah untuk membantu ‗Ali > berperang melawan kubu A>’ishah, ia

langsung mencegahnya kemudian menyampaikan hadis di atas bahwa apabila

ada dua orang Muslim yang saling membunuh, maka keduanya akan masuk neraka, baik yang membunuh atau pun yang terbunuh.

21

Hemat penulis, penggunaan hadis yang dilakukan Abu> Bakrah untuk

mencegah kepergian Ah}naf bin Qays tersebut terkesan problematis. Karena yang demikian itu akan mengantarkan pada sebuah pemahaman bahwa para Sahabat

yang terlibat dalam peristiwa perang Jamal, yaitu ‗Ali>, ‘A>’ishah, T}alh}ah dan

Zubayr adalah sekumpulan ahli neraka. Hal ini tidak saja sulit diterima secara

nalar, tetapi juga kontradiktif dengan hadis lain yang mengatakan bahwa mereka

termasuk dalam kategori sepuluh Sahabat yang dijamin masuk surga (al-Ashrah

20

Al-Bukha>ri>, S}ah}i>h} al-Bukha>ri>, Vol. 1,15. Nomor hadis: 31. Lihat juga

Muslim bin H}>>>>ajja>j al-Naysabu>ri>, S}ah}i>h} Muslim, Vol. 4, 2214. Nomor hadis: 2888. 21

Abu > Bakr Muh}ammad bin Ibra>him bin ‘Ali> bin ‘A>s}im bin Za>dan al-As}biha>ni>,

Mu’jam li Ibn al-Muqri (Riyadh: Maktabah al-Rushd, 1998), 1, 202. Lihat juga Na >s}ir al-

Di>n al-Alba>ni, Mukhtas}ar S}ah}ih} al-Ima>m al-Bukha>ri (Riyadh: Maktabah al-Ma‘a>rif,

2002), 1, 28.

Page 98: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

90

al-Mubashiru>n bi al-Jannah).22

Lalu, bagaimana pandangan para ulama untuk

merekonsiliasi persoalan ini? Mungkinkah Abu> Bakrah menyampaikan hadis

tersebut tidak pada konteks yang semestinya? Adakah kepentingan politik di balik itu?

Sejauh yang penulis amati, beberapa ulama pen-sharah} kitab hadis tidak

secara tegas menyinggung dua hal yang tampak kontradiktif ini. Ibn H}ajar al-

‘Asqala>ni> (w 852 H), berpendapat bahwa ancaman yang terdapat pada hadis di atas hanya tertuju pada orang yang saling membunuh tanpa disertai alasan yang

dibenarkan, semisal dalam rangka merebut kekuasaan. Oleh karenanya, para

Sahabat yang terlibat dalam perang saudara tidak termasuk pada cakupan hadis

itu. Adapun penggunaan hadis tersebut dalam mencegah keterlibatan Ah}naf bin

Qays dalam peperangan merupakan bentuk kehati-hatian Abu> Bakrah agar

dirinya dan Ah}naf bin Qays terhindar dari ancaman yang terdapat pada hadis

tersebut.23

Sementara itu, Badr al-Di>n al-‘Ayni> (855 H), mengatakan bahwa hadis

tersebut tidak berlaku umum (fa al-h}adi>th laysa ‘a>man). Dengan kata lain, para

Sahabat yang terlibat dalam peristiwa fitnah tidak termasuk pada cakupan hadis tersebut, karena apa yang mereka lakukan didasarkan pada ijtihad dan demi

kebaikan agama.24

Senada dengan pandangan kedua ulama di atas, al-Qast}a>lani

(w 923 H) juga mengatakan bahwa hadis di atas tertuju kepada orang yang saling membunuh tanpa disertai landasan yang dibenarkan, melainkan hanya didasari

permusuhan duniawi atau dalam rangka merebut kekuasaan. Adapun dua kubu

Sahabat yang bertikai, maka hal itu didasarkan pada ijtihad, dan masing-masing dari mereka meyakini bahwa apa yang dilakukannya tersebut semata-mata demi

kemaslahatan agama. Oleh karenanya, kedua belah pihak dari mereka sama-

22

Sekelompok Sahabat yang dimaksud yaitu, Abu > Bakr bin Abi > Quh }a>fah,

‗Umar bin Khat}t}a>b, ‗Uthma>n bin ‗Affa >n, ‗Ali> bin Abi > Ta>lib, T }alh }ah, Zubayr, ‗Abd al-

Rah }ma}>n bin ‗Awf, Sa‘ad bin Abi> Waqqa >s}, Sa‘i>d bin Zayd dan Abu > ‗Ubaydah bin Jarah}.

Lihat Muh }ammad bin ‗I>>sa > al-Tirmidhi>, Sunan al-Tirmidhi > (Beirut: Da>r al-Gharb al-

Isla>miy, 1998), 6, 102. Namun demikian, Maya Yazigi—sebagaimana dikutip Babul

Ulum—dalam penelitiannya berasumsi bahwa hadis tersebut sarat dengan nuansa politis.

Sarjana barat ini mengatakan bahwa hadis tersebut baru muncul pasca wafatnya Nabi,

tepatnya ketika isu suksesi menjadi perbincangan hangat di kalangan umat Islam. Hadis

tersebut, menurutnya, dipromosikan oleh imigran Mekkah untuk merebut posisi kepala

negara dari pribumi Madinah. Asumsi tersebut didasarkan pada fakta bahwa kesepuluh

nama yang dijamin masuk surga tersebut semuanya berasal dari suku Quraisy. Pada fase

berikutnya, tepatnya setelah abad kesepuluh, hadis tersebut dijadikan alat legitimasi untuk menghadapi perkembangan politik Syi‘ah. Lihat Babul Ulum, Genealogi Hadis

Politis; Al-Muawiyat dalam Kajian Islam Ilmiah (Bandung: Marja, 2018), 28. Berkenaan

dengan hadis tersebut, menarik untuk ditelisik lebih jauh, benarkah ia baru dimunculkan

pada era belakangan untuk kepentingan politik? 23

Ah}mad bin ‘Ali bin H}ajar al-‘Asqala>ni>, Fath} al-Ba>ri> Sharh} S}ah}ih} al-Bukha>ri> (Beirut: Da>r al-Ma’rifah, 1379 H), 13, 34.

24 Badr al-Di>n al-‘Ayni, ‘Umdah al-Qa>ri> Sharh} S}ah}i>h} al-Bukha>ri> (Beirut: Da>r

Ih{ya> al-Tura>th al-‘Arabiy, T.th),

Page 99: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

91

sama mendapat pahala. Hanya saja, menurutnya, dalam hal ini Abu> Bakrah menggunakan hadis tersebut dari sisi keumumannya.

25

Tak hanya itu, al-Kashmi>ri> (w 1353 H), seorang ahli hadis abad ke-14

hijriyah penulis kitab Fayd al-Ba>ri> ‘a>la> S}ah}i>h} al-Bukha>ri>, dengan berani

mengatakan bahwa Abu> Bakrah telah menyampaikan hadis tersebut bukan pada konteksnya. Karena konteks hadis tersebut berkenaan dengan orang-orang yang

saling membunuh dalam kedzaliman dan kejahatan (ha>dha> al-h}adi>th fi> man qa>tala ‘ala> al-d}ulm wa al-jawr). Sedangkan ‗Ali>, kata al-Kashmi>ri>, berada dalam

kebenaran. Oleh karenanya, mayoritas Sahabat berada di pihak ‗Ali. Tidak ada

satu pun dari kaum Anshar yang berpaling dari ‗Ali. Berbeda halnya dengan

kaum Muha>jiri>n yang terpecah belah. Sebagian dari mereka ada yang bimbang,

sehingga tidak mendeklarasikan keberpihakkannya pada salah satu kubu yang

bertikai. Sedangkan sebagian lainnya ada yang hanya berdiam diri seperti ‗Abd

Alla>h bin ‗Umar.26

Setelah mengkomparasikan beberapa pandangan di atas, penulis

mengamini pandangan al-Kashmi>ri bahwa Abu> Bakrah telah menyampaikan hadis tersebut tidak pada konteksnya. Hal ini disebabkan karena ia memahami

hadis tersebut dari sisi keumumannya sebagai bentuk kehati-hatian agar

terhindar dari ancaman yang terkandung di dalamnya, terlepas bahwa apa yang

ia sampaikan tersebut sesungguhnya kontradiktif dengan hadis lainnya. Fakta ini kian menegaskan bahwa ia merupakan seorang tekstualis, karena memahami dan

menggunakan hadis Nabi tanpa mempertimbangkan konteks historis yang

melatari kemunculannya. Di saat yang sama, hal ini juga hendak menegaskan bahwa penggunaan hadis tersebut tidak dilatari oleh kepentingan politik.

c. Hadis Larangan Meratapi Kematian

Hadis berikutnya yang akan penulis kaji ialah hadis yang secara tekstual berbicara tentang larangan meratapi mayit.

Nabi bersabda:

ـ، قاؿ : ابن جري ، قاؿ عن تػوفػ ت ابػنـ اعيماف : أخلػرن علد اا يو بن علػ د اا يو بن أيب م كنا انش دىا وحضرىا ابن عمر، وابن علياس ر ي اا يو عنػ م، وإن لااس ـ، وجـػ ر ي اا يو عنو مبكي

نػ ما فػقاؿ علد اا يو بن عمر - ج ست إل أحدها، ي جاء ااخر فج س إل جنيب : أو قاؿ - بػ ػ: أل تػنػ ى عن االكاء فإفي رسوؿ اا يو يى اهلل ع و وس يم قاؿ : ر ي اا يو عنػ ما اعمرو بن عيماف

ب بلكاء أى و ع و » ت ا ػعذي إفي امل

25

Ah}mad bin Muh}ammad bin Abi> Bakr bin ‘Abd al-Mulk al-Qast}a>lani>, Irshad al-Sa>ri> li Sharh} S}ah}i>h} al-Bukha>ri> (Mesir: al-Mat}ba’ah al-Kubra> al-Umayriyyah, 1323 H),

1, 116; 10, 46. 26 Muh}ammad Anwa>r Shah bin Mu’dzam Shah al-Kashmi>ri>, Fayd al-Ba>ri> ‘ala>

S}ah}i>h} al-Bukha>ri> (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), 1, 192.

Page 100: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

92

Dari Ibn Jurayj berkata: Telah menceritakan kepadaku ‘Abd Alla>h bin

‘Ubayd Alla>h bin Abi> Mulaykah, ia berkata: Anak perempuan ‗Uthma>n

meninggal di Makkah. Kami pun datang untuk berbela sungkawa. Di sana telah hadir Ibn Umar dan Ibn Abbas. Aku duduk di samping

mereka berdua. Kemudian datang yang lain dan duduk di sampingku.

Kemudian Ibn Umar berkata kepada Amr bin Uthman: Apakah engkau tidak mencegah orang-orang yang menangisi mayit itu? Sesungguhnya

mayit itu disiksa karena tangisan keluarganya‖.27

قد اف عمر ر ي اا يو عنو يػقوؿ بػعض ذاك، ي : فػقاؿ ابن علياس ر ي اا يو عنػ ماث، قاؿ ـ، ح ي إذا نيا باالػ داء إذا ىو بر ب ت ظل : حدي درت مع عمر ر ي اا يو عنو من مكيادعو ل، : فػنظرت فإذا ب، فأخلػرتو فػقاؿ : اذىب، فانظر من ى لء ااري ب، قاؿ : رة، فػقاؿ

منني، فػ ميا أ ب عمر دخل ب يػلكي يػقوؿ : فػرجعت إل ب فػق ت وا : ار ل فال أمري امل

، وقد قاؿ رسوؿ اا يو يى اهلل : أخاه وا احلاه، فػقاؿ عمر ر ي اا يو عنو يا ب، أتػلكي ع ييب بلػعض بكاء أى و ع و »: ع و وس يم ت يػعذي

إفي امل

Ibn ‘Abba >s berkata: ‗Umar juga pernah menyampaikan hadis tadi. Pada

suatu ketika aku bersama ‗Umar di Mekkah. Ketika kami sampai di Baida, tiba-tiba ada sekelompok orang sedang berteduh di bawah pohon.

‗Umar berkata: Lihatlah, siapa mereka? Ibn ‘Abba >s berkata: Ketika aku

melihatnya, ternyata dia adalah S}uhayb. Lalu aku menginformasikan itu

kepada Umar. Umar berkata: ―Panggillah S}uhayb agar datang

menemuiku‖. Maka aku pun kembali mendatangi S}uhayb. Aku berkata kepadanya: Temuilah Amirul mukminin. Dan ketika ‗Umar terkena

musibah, S}uhayb datang sambil menangis kemudian berkata: Aduhai Umar saudaraku..sahabatku. Kemudian ‗Umar berkata: Wahai Shuhayb,

Apakah engkau menangisiku? Tidakkah engkau tahu bahwa Nabi SAW

pernah bersabda: Sesungguhnya mayit itu diazab karena tangisan

keluarganya.28

ـ ر ي : قاؿ ابن علياس ر ي اا يو عنػ ما فػ ميا مات عمر ر ي اا يو عنو، ذ رت ذاك اعااشث رسوؿ اا يو يى اهلل ع و وس يم : اا يو عنػ ا، فػقاات إفي اا يو ا ػعذب »: رحم اا يو عمر، واا يو ما حدي

من بلكاء أى و ع و إفي اا يو ا يد ااكافر عذابا »: ، واكني رسوؿ اا يو يى اهلل ع و وس يم قاؿ «امل

قاؿ ابن علياس ر ي اا يو {ول ت ر وازرة وزر أخرى}: حسلكم ااقرآف : ، وقاات «بلكاء أى و ع و

27

Al-Bukha>ri>, S}ah}i>h} al-Bukha>ri>, Vol. 2, 79. Nomor hadis: 1286. 28

Al-Bukha>ri>, S}ah}i>h} al-Bukha>ri>, Vol. 2, 79. Nomor hadis: 1287.

Page 101: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

93

واا يو ما قاؿ ابن عمر ر ي اا يو »: قاؿ ابن أيب م كـ « عند ذاك واا يو ىو أ حك وأبكى»: عنػ ما «عنػ ما ـا

Ibn ‗Abbas berkata: Ketika ‗Umar wafat, aku menceritakan kisah tadi di

hadapan ‗A>‘ishah. Lalu ia berkata: Semoga Allah merahmati ‗Umar. Demi Allah, Rasulullah tidak pernah berkata bahwa seorang mayit

disiksa disebabkan tangisan keluarganya, tetapi yang dikatakan

Rasulullah adalah: Sesungguhnya Allah akan menambah azab kepada

mayit orang kafir disebabkan karena tangisan keluarganya. ‗A >‘ishah

berkata lagi, Cukuplah bagi kalian ayat Alquran bahwa ―Seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain (QS. Al-An‘am: 164).

Ketika itu Ibn ‗Abbas berkata: Allah juga adalah dzat yang suka tertawa

dan menangis. Ibn Abi> Mulaykah berkata: Demi Allah, Ibn ‗Umar tidak memberi komentar apa-apa atas keterangan Ibn ‗‘Abbas tersebut.

29

Tiga riwayat di atas, berbicara mengenai perbedaan persepsi antara para Sahabat terkait hadis yang mengatakan bahwa mayit disiksa disebabkan tangisan

keluarganya. Riwayat pertama, menjelaskan bahwa pada saat anak

perempuannya ‗Uthma>n meninggal, orang-orang menangisinya. Kemudian Ibn ‗Umar menegur mereka dan menyampaikan hadis Nabi bahwa mayit diazab

disebabkan tangisan keluarganya. Pada riwayat kedua, Ibn ‗Abbas mengatakan

bahwa ‗Umar juga pernah menyampaikan hadis yang sama ketika ia mendapat musibah kemudian Shuhayb meratapinya. Sementara itu, pada riwayat ketiga,

dijelaskan bahwa pasca ‗Umar wafat, Ibn ‗Abbas menceritakan riwayat tadi

kepada ‘A>’ishah. Mendengar hal itu, ‘A>’ishah menyangkal bahkan bersumpah

bahwa Nabi tidak pernah berkata demikian. ‗A>’ishah menduga bahwa ‗Umar

telah keliru dalam memahami konteks historis yang melatari Nabi mengucapkan

hadis tersebut. Karena menurut ‗A>‘ishah, konteks historis diucapkannya hadis tersebut adalah berkenaan dengan orang kafir, yaitu bahwa Allah akan

menambah azab kepada mayit orang kafir disebabkan karena tangisan

keluarganya.

Setelah mengkomparasi tiga riwayat di atas, dapat dipahami bahwa ada

perbedaan antara konteks yang melatari ‗Umar dalam menyampaikan hadis tersebut dengan konteks yang melatari Nabi mengucapkannya untuk pertama

kali, terlepas apakah perbedaan tersebut disebabkan karena ketidaktahuan

‗Umar, ataukah semata-mata karena ia menilai bahwa pesan hadis tersebut

berlaku umum tanpa terikat oleh konteks tertentu.

2. Kontekstual

Yang dimaksud tipologi kontekstual di sini ialah penggunaan hadis yang mempertimbangkan konteks historis diucapkannya oleh Nabi. Sahabat dengan

tipologi seperti ini cenderung melihat hadis dari berbagai aspeknya. Misalnya,

dalam konteks apa Nabi bersabda? Kenapa ia bersabda? Kapan, di mana, dan

29

Al-Bukha>ri>, S}ah}i>h} al-Bukha>ri>, Vol. 2, 79. Nomor hadis: 1288.

Page 102: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

94

kepada siapa ia bersabda? dan lain sebagainya. Di bawah ini, penulis akan mengurai contoh penggunaan hadis secara kontekstual di kalangan para Sahabat.

a. Hadis Perintah Memerangi Umat Manusia Hingga Masuk Islam

Hadis pertama yang akan penulis kaji ialah hadis terkait perintah

memerangi umat manusia sampai masuk Islam.

Rasulullah bersabda:

ـ »: عن أيب ىريػرة، أفي رسوؿ اهلل يى اهلل ع و وس يم، قاؿ يػوـ خ لػر ألعطنيي ىذه ااريايمارة إلي يػومـذ، قاؿ : قاؿ عمر بن ااطياب « رجال ب اهلل ورسواو، يػ ت اهلل ع ى يديو ما أحللت اا

فػتساورت لا رجاء أف أدعى لا، قاؿ فدعا رسوؿ اهلل يى اهلل ع و وس يم ع يي بن أيب طااب، قاؿ فسار ع ي ـا ي وق ول « ام ، ول تػ ت ت، ح ي يػ ت اهلل ع ك »: فأعطاه إيياىا، وقاؿ

قات م ح ي يش دوا أف ل إاو إلي اهلل وأفي »: يا رسوؿ اهلل ع ى ماذا أقاتل اانياس؟ قاؿ : يػ ت ت، فصرخ «مميدا رسوؿ اهلل، فإذا فػع وا ذاك فػقد منػعوا منك دماءىم وأموالم، إلي ق ا وحسابػ م ع ى اهلل

Dari Abu> Hurayrah, Rasulullah SAW bersabda menjelang terjadinya perang Khaibar: Sungguh aku akan memberikan bendera ini kepada

seseorang yang mencintai Allah dan Rasulnya sehingga Allah

memberikan kemenangan di bawah komandonya. ‗Umar bin Khat}t}a>b berkata: Aku tidak menginginkan kepemimpinan kecuali pada hari itu.

Kemudian aku bermusyawarah sambil berharap ditunjuk sebagai

komando. Akan tetapi, Rasulullah malah menunjuk ‗Ali> bin Abi> T}a>lib

sebagai komando. Rasulullah berkata kepada ‗Ali: Pergilah dan jangan

sekali-kali menoleh ke belakang, hingga Allah memberikan kemenangan

kepadamu. Kemudian ketika ‗Ali mulai berjalan, tiba-tiba ia berhenti

tanpa menoleh ke belakang. Ia berteriak sambil bertanya: Wahai

Rasulullah, Atas dasar apa aku harus memerangi mereka? Rasulullah menjawab: Perangilah mereka hingga bersaksi bahwa tiada Tuhan selain

Allah dan Muhammad adalah Rasul-Nya. Jika mereka melakukan itu,

maka darah dan hartanya harus dijaga, kecuali dengan haknya. Sementara perhitungannya dikembalikan kepada Allah.

30

Secara kronologis (sabab al-wuru>d), hadis di atas diucapkan oleh Nabi

kepada ‘Ali> bin Abi> T}a>lib menjelang terjadinya perang Khaibar pada tahun

30

Muslim bin H}ajja>j al-Naysabu>ri>, S}ah}i>h Muslim, Vol. 4, 1871. Nomor hadis: 2405. Dalam riwayat lain diceritakan bahwa menjelang terjadinya perang Khaibar,

seluruh Sahabat berkumpul kecuali ‗Ali yang sedang sakit mata. Mendengar hal itu, Nabi

meludah di kedua tangannya kemudian mengusapkannya di mata ‗Ali. Setelah itu, Nabi

memberinya bendera (sebagai simbol pemberian mandat untuk menjadi panglima

perang). Di bawah komando ‗Ali, Allah memberikan kemenangan bagi umat Islam.

Lihat Abu> ‘Abd al-Rah}ma>n Ah}mad bin Shu’ayb al-Nasa’i, Khas}a>is} Ami>r al-Mu’mini>n ‘Ali> bin Abi> T}a>lib (Kuwait: Maktabah al-Ma‘la, 1406 H), 44.

Page 103: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

95

ketujuh hijriyah. Pada perang tersebut, ‘Ali> ditunjuk sebagai komando atau panglima perang, meskipun sebenarnya—sebagaimana terdapat pada riwayat di

atas—‗Umar bin Khat}t}a>b juga sangat berharap mendapat mandat itu. Singkat

cerita, ketika ‘Ali> baru saja berjalan beberapa langkah, ia seolah merasa bahwa

perintah Nabi belum nampak jelas di hatinya. Sehingga, ia berteriak dan bertanya kepada Nabi, ―Atas dasar apa aku harus memerangi mereka?‖

Mendengar pertanyaan itu, Nabi kemudian menjawab dan memerintahkan ‘Ali >

agar memerangi mereka sampai bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Jika mereka menyerah dan bersyahadat,

maka darah dan hartanya mendapat jaminan keselamatan. Sampai di sini, dapat

dipahami bahwa pada hadis tersebut Nabi menegaskan tentang larangan

memerangi mereka ketika sudah bersyahadat.

Pada era belakangan pasca wafatnya Nabi, tepatnya pada masa

kekhalifahan Abu > Bakar, penggalan hadis di atas pernah digunakan atau

disampaikan kembali oleh ‗Umar bin Khat}t}a>b untuk memprotes kebijakan Abu>

Bakar yang hendak memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat. Di bawah ini, penulis cantumkan riwayatnya secara utuh.

اميا تػوف اانييب يى اهلل ع و وس يم واست أبو بكر، و ر من ر : أيب ىريػرة، قاؿ عن : " يا أبا بكر، تػقاتل اانياس، وقد قاؿ رسوؿ اا يو يى اهلل ع و وس يم : من ااعرب، قاؿ عمر

ل إاو إلي اا يو، فػقد عصم من مااو ونػ سو : ل إاو إلي اا يو، فمن قاؿ : أمرت أف أقاتل اانياس ح ي يػقواوا" إلي قو، وحسابو ع ى اا يو

اؿ، واا يو او : قاؿ أبو بكر واا يو ألقات ني من فػريؽ بػني ااصيالة واا ي اة، فإفي اا ي اة ح امل

فػواا يو »: منػعون عناقا انوا يػ دونػ ا إل رسوؿ اا يو يى اهلل ع و وس يم اقاتػ تػ م ع ى منع ا قاؿ عمر « ما ىو إلي أف رأيت أف قد رح اا يو در أيب بكر ا قتاؿ، فػعرفت أنيو ال

Dari Abu > Hurayrah berkata: Ketika Rasulullah SAW wafat dan Abu>

Bakar ditunjuk sebagai penggantinya, kafirlah orang Arab yang memilih

kekafiran. Umar berkata kepada Abu Bakar: Bagaimana engkau akan

memerangi orang-orang, padahal Rasulullah pernah berkata: Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka menyatakan

tiada Tuhan selain Allah. Barang siapa yang mengatakan tiada Tuhan

selain Allah, maka dia telah menjaga darah dan hartanya dariku kecuali karena hak harta tersebut. Hisab harta tersebut diserahkan kepada Allah.

Abu Bakar berkata: Demi Allah, aku akan memerangi orang yang

memisahkan antara salat dan zakat. Zakat adalah hak harta. Demi Allah, jika saja mereka menahan seekor anak unta pun yang dulu pernah

mereka berikan kepada Rasulullah, niscaya aku akan memerangi mereka

karena menahannya dariku. ‗Umar berkata: Demi Allah, aku melihat

Page 104: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

96

Allah telah melapangkan dada Abu > Bakar untuk berperang. Lalu aku sadar bahwa ia telah mengambil kebijakan yang benar.

31

Pasca wafatnya Nabi, kehilangan otoritas keagamaan segera terasa. Riwayat di atas merekam sebuah peristiwa yang diakibatkan karena hilangnya

otoritas keagamaan itu. Beberapa lama pasca wafatnya Nabi, terjadilah peristiwa

pembangkangan yang dilakukan sebagian masyarakat Arab terhadap pemerintahan Abu Bakar yang baru saja menggantikan Nabi sebagai pemimpin

politik. Ketika itu, sebagian dari mereka enggan membayar zakat sehingga

membuat Abu > Bakar marah. Sebagai khalifah, Abu Bakar berencana memerangi mereka. Akan tetapi, rencana kebijakan tersebut sempat diprotes oleh ‗Umar.

‗Umar kemudian menyampaikan hadis di atas bahwa Rasulullah diperintahkan

untuk memerangi umat manusia sampai mereka mengucapkan bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Apabila mereka

sudah mengucapkan kalimat itu, berarti harta dan jiwanya mendapat jaminan

keselamatan.

Dalam hal ini, ‗Umar sejatinya ingin menegaskan satu hal, bahwa

mereka yang enggan membayar zakat itu tidak layak diperangi karena masih

berada dalam keimanan. Penolakan mereka untuk membayar zakat tidak lantas menyebabkannya keluar dari keimanan sehingga harus diperangi. Jika demikian,

menurut ‗Umar, lantas untuk apa memerangi mereka. Kendati demikian,—

karena satu dan lain hal—pada akhirnya ‗Umar pun setuju dengan apa yang

diinginkan Abu Bakar dan menilai kebijakannya tersebut sebagai sebuah kebenaran.

Terlepas pada akhirnya Umar pun setuju dengan kebijakan Abu Bakar

untuk memerangi mereka, namun point penting yang ingin penulis tegaskan ialah, bahwa setelah mengkomparasikan dua riwayat di atas, dapat segera

dipahami bahwa hadis tersebut digunakan atau disampaikan kembali oleh ‗Umar

dalam konteks yang sama dengan konteks yang melatari Nabi mengucapkannya untuk pertama kali. Jika sebelumnya Nabi mengucapkan hadis tersebut kepada

‘Ali> dalam konteks perang Khaibar, di mana Nabi mengingatkan Ali agar jangan

memerangi orang-orang kafir ketika mereka sudah menyerah dan mau bersyahadat, maka pada era belakangan, Umar juga menyampaikan kembali

hadis tersebut untuk memprotes Abu Bakar agar tidak memerangi orang-orang

hanya karena enggan membayar zakat, padahal mereka masih berada dalam

31 Al-Bukha>ri>, S}ah}i>h} al-Bukha>ri, Vol. 9, 15. Nomor hadis: 6924. Penting

dikemukakan di sini bahwa penggalan dari riwayat kedua yang di sampaikan oleh ‗Umar

untuk memprotes kebijakan Abu> Bakr tersebut lebih populer ketimbang riwayat pertama

yang merekam langsung konteks historis diucapkannya hadis tersebut oleh Nabi.

Bahkan, riwayat kedua ini kerap kali dikutip oleh kelompok ektremis semisal Jamaah

Ans}a>r al-Dawlah untuk memerangi orang-orang yang berada di luar keyakinan kelompoknya. Selengkapnya, lihat M. Khoirul Huda, Implikasi Pemahaman Tekstual

terhadap Hadis Nabi: Studi Penggunaan Hadis oleh Ideolog Jamaah Anshor al-Dawlah

(Ciputat: Yayasan Pengkajian Hadis el-Bukhari, 2019), 229.

Page 105: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

97

keimanan kepada Allah. Ini merupakan contoh bahwa ‗Umar menggunakan hadis tersebut secara kontekstual.

b. Hadis tentang Perintah Pergi Setelah Salam Tiga Kali Selanjutnya, penulis akan menjelaskan hadis populer bekenaan dengan

etika, yaitu hadis tentang perintah pergi setelah salam tiga kali saat bertamu.

Pada pembahasan ini, akan dilihat bagaimana dinamika penggunakan hadis tersebut di kalangan para Sahabat.

Nabi SAW bersabda:

إذا استأذف أحد م ال ا فػ م يػ ذف او فػ ػرجع

Apabila salah seorang dari kalian meminta izin (mengucapkan salam),

tetapi tidak ada yang menjawabnya, maka pulanglah.32

Terkait kemunculan hadis di atas, Ibn H}amzah al-Dimashqi> menjelaskan

bahwa suatu ketika Nabi mengunjungi kaum Anshar. Ketika tiba di sana, datanglah anak-anak dari kaum Anshar mengelilingi Nabi. Nabi mendoakan

mereka, mengusap kepalanya, dan mengucapkan salam kepada mereka. Setelah

itu, Nabi mengunjungi kediaman Sa‘ad bin ‘Uba >dah dan mengucapkan salam di depan rumahnya. Sa‘ad pun menjawabnya, akan tetapi tidak terdengar oleh Nabi

sampai tiga kali. Sementara Nabi tidak akan mengucapkan salam melebihi tiga

kali. Jika dijawab, maka ia akan masuk. Jika tidak, maka ia akan pulang kembali. Akhirnya, Nabi meninggalkan rumah tersebut. Melihat hal itu, kemudian Sa‘ad

berlari mengejarnya. Sa‘ad berkata: ―Wahai Rasulullah, sebenarnya aku

mendengar ucapan salammu tadi, dan aku pun sudah menjawabnya. Hanya saja, aku ingin agar engkau terus menerus mengucapkan salam dan rahmat kepada

kami sekeluarga. Masuklah wahai Rasulullah‖. Setelah itu, Nabi pun masuk ke

rumahnya dan dihidangkan makanan.33

Sementara itu, pada kesempatan lain, hadis yang sama juga disampaikan

oleh Sahabat bernama Abu > Mu>sa al-Ash’ari> dalam konteks yang relatif sama.

نت ف م س من مااس األنصار، إذ جاء أبو موسى أنيو : عن أيب سع د اادري، قاؿ استأذنت : ما منػعك؟ قػ ت : استأذنت ع ى عمر ال ا، فػ م يػ ذف ل فػرجعت، فػقاؿ : مذعور، فػقاؿ

إذا استأذف أحد م ال ا فػ م »: ال ا فػ م يػ ذف ل فػرجعت، وقاؿ رسوؿ اا يو يى اهلل ع و وس يم «يػ ذف او فػ ػرجع

Dari Abu> Sa’i>d al-Khudriy berkata: Aku duduk dalam satu majlis

dengan orang-orang Ansar, tiba-tiba datanglah Abu > Mu>sa al-Ash’ari>

32

Al-Bukha>ri>, S}ah}i>h} al-Bukha>ri>, Vol. 8, 54. Nomor hadis: 6245. 33

Ibn H>}amzah al-Dimashqi al-Ḥusaini,al-Bayān wa al-Ta’rīf fi Āsbāb al-Wurūd

al-Hadīth al-Sharīf (Beirut: Maktabah al-Ilmiyah, 1982), 1, 134.

Page 106: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

98

dalam keadaan panik. Ia berkata: Aku baru saja izin (mengucapkan salam) sebanyak tiga kali di depan rumah ‗Umar, tetapi tidak ada yang

menjawab, sehingga aku pulang lagi. Abu> Sa’i>d al-Khudriy bertanya:

Kenapa engkau pergi? Abu > Mu>sa menjawab, ―Karena Nabi pernah

berdabda: Apabila salah seorang dari kalian meminta izin (mengucapkan

salam), tetapi tidak ada yang menjawabnya, maka pulanglah‖.34

Setelah mengkomparasikan dua riwayat di atas, dapat dipahami bahwa

konteks yang melatari Abu> Mu>sa> mengutip hadis tersebut relatif sama dengan konteks yang melatari Nabi mengucapkannya untuk pertama kali. Namun

demikian, pasca terjadinya peristiwa perang Jamal (waq’ah al-Jamal), ada

perdebatan menarik antara ‘A>ishah dan Ibn ‗Abbas dalam menggunakan hadis tersebut. Riwayat ini terekam dalam beberapa literatur sejarah, di antaranya

dalam kitab Muru>j al-Dhahab wa Ma’a>din al-Jawhar karya Abu> al-H}asan ‘Ali>

bin H}useyn bin ‘Ali> al-Mas’u>di>, dan Kita>b al-Futu>h} karya Ibn A’tham al-Ku>fi.

ىب ال عااشـ فقل لا أف ذإ : علاس فقاؿ او دعاع ي ر ي اهلل عنو بعلد اهلل بن:قاؿف او فدخل ذف ع ا فأبت أف تأذل عااشـ فاستأإ ل املدينـ ماجاات ولتق م باالصرة فأقلل إ تر ل

: من ا وسادة وطرح ا ج س ع ا فقااتذ راح ـع ا وسااد فأخاذإ ف اات ت ؼذإ علد اهلل بغري ي خ ك ف و ذاو نت ف من اك اؿ: قاؿ ابن علاس. نذيابن علاس أخطأت ااسنـ دخ ت من ل بغري ا

ي أمرؾ اهلل ع وجل أف تقري ف و ف رجت ف و ذااك املن ؿ اؿذنك وذإ لبإ رسوؿ اهلل ملادخ ت ع ك ل إ ا أمري امل منني يأمرؾ باار اؿ ذعا ـ هلل ع وجل وارسواو ممد ى اهلل ع و وس م وبعد فو

اؾ عمر بن خطاب فقاؿ ابن ذ. رحم اهلل أمري امل منني: فقاات عااشـ. املدينـ فار ي ول تعصيااك ذفقاات عااشـ أب ت . ف رغمت او األنوؼ واربدت او ااوجوهإ ا واهلل أمري امل منني وذوه: علاس

ع كم يابن علاس

Suatu ketika, Ali> memanggil Ibn ‗Abba>s, dan berkata: Wahai Ibn

‘Abba >s, pergilah kepada ‘A'>ishah, lalu katakan kepadanya agar kembali

ke Madinah dan jangan menetap di Basrah. Kemudian Ibn ‘Abba >s segera

pergi menemui ‗A>’ishah dan meminta izin untuk masuk ke rumahnya

(maksudnya mengucapkan salam), tetapi ‗A>’ishah menolaknya.

Sehingga, Ibn ‘Abba >s memaksa masuk tanpa izin. Kemudian ia menoleh

dan melihat kendaraan yang di atasnya terdapat alas/bantal. Ia

mengambil alas tersebut dan duduk di atasnya. ‘A'>ishah berkata: Wahai

Ibn ‘Abba >s, engkau telah menyalahi sunnah Nabi karena telah masuk ke

rumahku tanpa izin. Ibn ‘Abba >s berkata: Kalau engkau sedang berada di rumah yang ditinggali Rasulullah, maka tentu aku tidak akan berani

masuk kecuali atas izinmu. Rumahmu itu adalah rumah yang engkau

34

Al-Bukha>ri>, S}ah}i>h} al-Bukha>ri>, Vol. 8, 54. Nomor hadis: 6245.

Page 107: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

99

diperintahkan agar tetap di dalamnya. Sementara engkau justru keluar

dari sana sebagai bentuk kemaksiatan pada Allah dan Rasul-Nya. ‘Ami>r

al-Mu’mini>n menyuruhmu agar kembali ke Madinah. Pergilah, dan

jangan membangkang. ‘A>’ishah berkata: ―Semoga Allah merahmati

Ami>r al-Mu’mini>n, yaitu ‗Umar‖. Ibn ‘Abba>s berkata: ―Demi Allah, ‗Ali>

adalah Ami>r al-mu’mini>n, terlepas engkau setuju atau tidak‖. ‗A>ishah

berkata: ―Aku menolak itu wahai Ibn ‗Abba>s‖.35

Riwayat di atas merekam perdebatan antara ‗A>’ishah dan Ibn ‗Abba>s

pasca terjadinya perang Jamal. Ibn ‗Abba>s diperintahkan oleh khalifah ‗Ali>

untuk memulangkan ‗A>’ishah ke Madinah. Sesampainya di kediaman ‗A>’ishah

(di Basrah), Ibn ‗Abba>s meminta izin (mengucapkan salam) untuk masuk.

Namun ‗A>’ishah menolaknya. Akhirnya Ibn ‗Abba>s memaksa masuk tanpa izin.

Kemudian‗A>’ishah memprotesnya dan menilai bahwa Abu> Bakar telah

menyalahi sunnah tentang perintah pergi setelah salam tiga kali. Ibn Abba>s

meresponsnya kembali bahwa dalam konteks seperti itu ia tidak lantas menyalahi

sunnah Nabi, kecuali konteksnya ialah di rumah ‗A>’ishah yang ditinggali oleh

Nabi (maksudnya rumahnya yang ada di Madinah). Sementara‗A>’ishah, kata Ibn

‗Abba>s, malah pergi meninggalkan rumah itu dalam rangka memberontak

terhadap khalifah ‗Ali. Alasan inilah yang membuat Ibn ‗Abba>s masuk sekalipun tidak dizinkan.

3. Semi Kontekstual

Yang dimaksud dengan semi kontekstual di sini ialah tipologi

penggunaan hadis, di mana seorang periwayat—yang dalam hal ini ialah

Sahabat—berusaha menarik pesan universal di balik teks hadis, meskipun konteks penggunaannya berbeda dengan konteks yang melatari Nabi

mengucapkannya untuk pertama kali. Di bawah ini penulis akan mengurai

contoh penggunaan hadis oleh Sahabat yang dapat diketegorikan pada tipologi semi kontekstual

a. Hadis Fa>t}imah Belahan Jiwa Nabi

Hadis pertama yang akan penulis kaji ialah hadis Fa>t }imah sebagai

belahan jiwa Nabi. Pada pembahasan ini, penulis akan menunjukkan bagaimana

kemudian Sahabat menggunakan hadis yang sama dalam konteks yang berbeda dengan konteks yang melatari Nabi mengucapkannya untuk pertama kali.

Berikut ini penulis kutipkan redaksi hadisnya secara lengkap dari kitab S}ah }i >h} al-

Bukha >ri >, kitab Fad}a>’il Asha>b al-Nabiy, ba>b fi> Dhikr Asha >r al-Nabiy.

35

Abu> Muh}ammad Ah}mad bin A’tham al-Ku>fi>, Kita>b al-Futu>h} (Beirut: Da>r

al-Ad}wa>, 1991), 2, 486. Lihat juga Abu> al-H}asan ‘A>li> bin H}useyn bin ‘A>li> al-Mas’u>di>,

Muru>j al-Dhahab wa Ma’a>din al-Jawhar (Beirut: Da>r al-Fikr, 1973), 2, 377.

Page 108: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

100

ـ، قاؿ عن إفي ع ا خطب بنت أيب ج ل فسمعت بذاك فاطمـ فأتت : املسور بن مرميػ عم قػومك أنيك ل تػغضب الػناتك، وىذا ع ي نا بنت : رسوؿ اا يو يى اهلل ع و وس يم، فػقاات

ـ رسوؿ اا يو يى اهلل ع و وس يم، فسمعتو حني تش يد، يػقوؿ أميا بػعد أنكحت أبا »: أيب ج ل، فػقاـ بضعـ من وإن أ ره أف يسوءىا، واا يو ل تتمع بنت ن و دقن، وإفي فاطم ااعاص بن ااريب ع، فحدي

ـ « رسوؿ اا يو يى اهلل ع و وس يم وبنت عدو اا يو، عند رجل واحد فػتػرؾ ع ي ااطل

Dari Miswa >r bin Makhramah berkata: Suatu ketika ‗Ali > melamar

putrinya Abu > Jahal. Akhirnya kabar tersebut terdengar oleh Fa >t }imah.

Lalu ia pun mengadu kepada Rasulullah SAW dan berkata: Kaummu mengira bahwa engkau tidak marah melihat anakmu (dimadu). ‗Ali

berencana menikahi putrinya Abu > Jahal. Maka Rasulullah berdiri di atas

mimbar dan bersabda: Sesungguhnya Fa >t }imah adalah belahan jiwaku.

Dan aku akan marah jika ada yang menyakitinya. Demi Allah, tidak

akan berkumpul putri Rasulullah dan putri musuh Allah pada diri

seorang lelaki. Maka ‗Ali > pun akhirnya membatalkan lamarannya. (HR.

Al-Bukha>ri>).36

Riwayat lainnya ialah:

ـ ر ي اا يو عنػ ما، أفي رسوؿ اا يو يى اهلل ع و وس يم، قاؿ فاطمـ »: عن املسور بن مرم، فمن أغضلػ ا أغضلن «بضعـ من

Dari Miswa >r bin Makhramah bahwa Nabi SAW bersabda: Fa >t }imah adalah belahan jiwaku. Siapa saja yang membuatnya marah, maka sama

artinya ia telah membuatku marah. (HR. Al-Bukha >ri>).37

Hadis di atas dapat dijumpai dalam beberapa kitab induk hadis, antara

lain ialah S }ah}i >h} al-Bukha >ri, S}ah}i >h Muslim,38

Sunan al-Tirmidhi>,39

Sunan al-

Nasa>‘i>40

dan lain sebagainya dengan redaksi yang berbeda. Tak hanya itu, beberapa literatur sejarah juga merekam dengan baik riwayat di atas. Namun,

sebelum penulis mengelaborasi substansi hadis di atas secara lebih jauh, penting

36

Lihat Muh}ammad bin Isma>’i>l al-Bukha>ri>, S}ah}i>h} al-Bukha>ri> (Beirut: Da>r T{auq

al-Naja>h, 1922 H), Vol. 5, 22. Nomor hadis: 3729. 37

Muh}ammad bin Isma>’i>l al-Bukha>ri>, S}ah}i>h} al-Bukha>ri>, Vol. 5, 29. Nomor

hadis: 3767. 38

Muslim bin H}ajja >j al-Naysabu >ri >, S}ah}i>h} Muslim (Beirut: Da>r Ih }ya > al-Tura>th al-

‗Arabi >, T.th), Vol. 4, 1903. 39

Abu > ‗I >sa > al-Tirmidhi>, Sunan al-Tirmidhi> (Beirut: Da>r al-Gharb al-Isla>mi>,

1998), Vol. 6, 181. 40

Abu > ‗Abd al-Rah }ma>n, Ah }mad bin Shu‘ayb bin ‗A >li> al-Khurasa>ni> al-Nasa>‘i,

Sunan al-Nasa >’i (Beirut: Muasasah al-Risa>lah, 2001), Vol. 7, 394.

Page 109: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

101

dikemukakan terlebih dahulu bahwa, meskipun hadis tersebut disampaikan oleh Nabi di atas mimbar dan disaksikan oleh sejumlah Sahabat, tetapi dalam

beberapa kitab induk hadis ditemukan bahwa pada tingkat sahabat, hadis tersebut

hanya diriwayatkan oleh seorang Sahabat junior (s }igha >r al-s }ah}a>bah) bernama

Miswa >r bin Makhramah.41

Dengan kata lain, berbagai jalur periwayatan hadis

tersebut, seluruhnya bermuara kepada Miswa >r bin Makhramah. Pertanyaannya,

kenapa para Sahabat lainnya,—terutama beberapa Sahabat senior seperti Abu >

Bakar, ‗Umar bin Khat }t}a >b, T}alh}ah}, Zubayr dan yang lainnya tidak meriwayatkan hadis tersebut? Hal ini tentu dapat menjadi persoalan tersendiri yang menarik

untuk dikaji.42

Secara historis-kronologis (sabab al-wuru >d), hadis di atas disabdakan

oleh Nabi SAW pada saat mendengar kabar yang sangat mengejutkan. Ia

menerima laporan dari Fa >t }imah bahwa suaminya (‗Ali> bin Abi> T }a>lib) telah

melamar putrinya Abu > Jahal.43

Kabar tersebut seketika menghebohkan

masyarakat Madinah dan menjadi perbincangan hangat di kalangan para Sahabat

ketika itu. Bagaimana tidak, Abu > Jahal adalah orang yang dalam sejarah dikenal

sangat memusuhi Islam dan kerap kali menghalangi perjuangan dakwah Nabi.

Sementara Fa>t }imah adalah satu-satunya putri kesayangan Nabi.44

Oleh

41

Nama lengkapnya ialah Miswa >r bin Makhramah bin Nawfal bin Uhayb bin

‗Abd Mana>f bin Zuhrah bin Qus}ay bin Kila>b al-Qurashi >. Ia pernah berjumpa dan

meriwayatkan hadis langsung dari Nabi. Ia masuk kategori Sahabat junior (s}igha>r al-

s}ah}a>bah). Selain menerima riwayat dari Nabi, ia juga meriwayatkan hadis dari Abu >

Bakr, ‗Umar dan Uthma>n. Sementara itu, beberapa tabi‘in yang meriwayatkan hadis

darinya ialah ‗Ali> bin H}usein, ‗Urwah, Sulayma>n bin Yasa>r, Ibn Abi > Mulaykah, ‗Amr

bin Di>na>r dan beberapa tabiin lainnya. Selengkapnya, lihat Abu>‗Abd Alla>h Shamsh al-

Di >n Muh }ammad bin Ah }mad bin ‗Uthma>n bin Qayma >z al-Dhahabi >, Siya>r A’la>m al-

Nubala> (Kairo: Da>r al-Hadi>th, 2006), 4, 414. 42 Babul Ulum dalam disertasinya berkesimpulan bahwa hadis tersebut adalah

palsu, meskipun terekam dalam kitab S}ah}i>h} al-Bukha>ri> dan S}ah}i>h} Muslim. Hadis

tersebut sengaja dibuat oleh Miswar untuk kepentingkan tertentu. Menurutnya, secara

historis, penyebab kemarahan Fa >t }imah bukan karena hendak dipoligami oleh Ali,

melainkan karena perilaku para pendukung Saqifah dimana mereka menyerbu rumah

Fa >t}imah. Sampai zaman Miswar, cerita terkait peristiwa tersebut terus menjadi bahan

perbincangan umat. Oleh karenanya, menurut Babul Ulum, agar tidak terjadi hal-hal

yang dapat mengancam singgasana penguasa, Miswar—sebagai pendukung penguasa—membuat narasi hadis di atas untuk memalingkan masa dari kisah yang sesungguhnya.

Namun demikian, berdasarkan pengamatan penulis, kesimpulan tersebut tampak rapuh

karena tidak ditopang dengan argumentasi yang kuat. Selengkapnya, lihat Babul Ulum,

Genealogi Hadis Politis; Al-Muawiyat dalam Kajian Islam Ilmiah, 217. 43

Putri Abu> Jahal tersebut bernama Juwayriyah. Ia masuk Islam, berbaiat,

kemudian menikah dengan ‗Uta>b bin Asi>d. Setelah ditinggal wafat oleh suaminya, ia

menikah lagi dengan Aba>n bin Sa’i>d bin al-‘As}. Selengkapnya, lihat Muh}ibb al-Di>n

Ah}mad bin ‘Abd Alla<h al-T}abari>, Dhakha>’ir al-‘Uqba> fi Mana>qib Dhawi> al-Qurba> (Kairo: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1365 H), 1, 37.

44 Kecintaan Nabi terhadap putrinya tersebut sangat tercermin dalam

perilakunya. Menurut beberapa riwayat, jika Fa>t}imah datang menemui Nabi, Nabi

Page 110: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

102

karenanya, wajar saja ketika mendengar kabar tersebut, Nabi SAW kaget dan segera mengumpulkan para Sahabatnya. Dengan disaksikan sejumlah Sahabat,

Nabi SAW naik ke atas mimbar kemudian menyampaikan hadis di atas‖.

Dalam literatur sejarah, riwayat di atas juga banyak diperbincangkan,

bahkan dengan narasi yang lebih utuh. Dalam kitab al-Bida>yah wa al-Niha>yah, Ibn Kathi>r mengisahkan bahwa Fa>t }imah adalah wanita yang sabar ketika hidup

bersama ‗Ali>. ‗Ali> tidak pernah menikahi wanita lain hingga Fa >t }imah wafat.

Hanya saja, suatu ketika ia pernah berencana menikahi putrinya Abu> Jahal,

sehingga membuat Nabi kaget. Mendengar kabar tersebut, Nabi dengan tegas

mengatakan: ―Aku tidak bermaksud mengharamkan yang halal dan

menghalalkan yang haram (maksudnya terkait rencana Ali > untuk poligami).

Fa>t }imah adalah belahan jiwaku, siapa saja yang menyakitinya, maka sama saja ia

telah menyakitiku. Aku takut akan terjadi fitnah pada darah Fa >t }imah. Tetapi aku

akan membolehkan kalau saja Ali> menceraikan Fa>t }imah terlebih dahulu

kemudian menikahi putrinya Abu Jahal. Demi Allah, tidak akan pernah

berkumpul putri Rasulullah dan putri musuh Allah pada diri seorang lelaki‖.

Setelah Nabi menyampaikan keberatannya itu, akhirnya dengan terpaksa Ali> pun segera membatalkan rencana pernikahannya‖.

45 Sampai di sini, dapat segera

dipahami bahwa secara kronologis, hadis di atas diucapkan oleh Nabi SAW tak

lain ialah sebagai respons atas rencana Ali yang hendak menduakan Fa >t }imah

dengan putri Abu > Jahal.

Namun demikian, beberapa dekade pasca wafatnya Nabi SAW, hadis

tersebut digunakan atau disampaikan kembali oleh Miswa >r untuk menghibur

kesedihan Ahl al-Bayt pasca terjadinya tragedi pembantaian H }useyn dan pasukannya di tanah Karbala. Tragedi kemanusiaan ini merupakan salah satu

tindakan yang paling brutal dalam pentas sejarah Islam, sehingga wajar apabila

kisah tersebut masih terekam kuat dalam memori kolektif kelompok Syi‘ah

hingga kini. Sejarah mencatat, pada saat itu H}useyn dan pasukannya yang hanya

berjumlah tujuh puluh orang dibantai oleh pasukan utusan khalifah Yazi >d bin

Mu‘a>wiyah yang berjumlah empat ribu orang. Bahkan, yang lebih brutal lagi

ialah mereka memenggal kepala H }useyn. Namun, karena satu dan lain hal, ada

beberapa Ahl al-Bayt yang dibiarkan hidup, di antaranya ‗Ali Zayn al ‗A >bidi>n

langsung berdiri untuk menyambutnya kemudian menciumnya dan berkata ―Selamat

datang putriku‖ (Marh}aban ya> binti>). Selengkapnya lihat Muh }ammad bin Muh }ammad

bin Suwaylim Abu> Shuhbah, al-Sirah al-Nabawiyyah ‘ala> D}au’ al-Qura>n wa al-Sunnah

(Damaskus: Da >r al-Qalam, 1927 H), 2, 628. Lihat juga Abu> ‘Umar Muh}ammad bin

Ah}mad al-S}u>ya>ni>, al-Si>rah al-Nabawiyyah Kama> Ja’at fi> al-Ah}a>di>th al-S}ah}i>h}ah (T.p:

Maktabah al-‘Abi>kan, 2004), 4, 175. 45

Abu> al-Fida> Isma>’i>l bin ‘Amr bin Kathi>r al-Qurashi>, al-Bida>yah wa al-Niha>yah (Beirut: Da>r Ih}ya> al-Tura>th al-‘Arabiy, 1988), 6, 366. Lihat juga Muh}ib al-Di>n

Ah}mad bin ‘Abd Alla<h al-T}abari>, Dhakha>’ir al-‘Uqba> fi Mana>qib Dhawi> al-Qurba>, 1,

38.

Page 111: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

103

bin H}useyn, Zaynab dan yang lainnya.46

Singkat cerita, pasca tumbangnya

pasukan H}useyn, akhirnya mereka yang masih hidup itu dibiarkan untuk kembali

ke Madinah. Mereka tiba di Madinah menyisakan isak tangis dan kesedihan yang mendalam, sehingga disambut dengan kucuran air mata oleh para Sahabat.

Bagaimana tidak, tragedi tersebut benar-benar telah merobek-robek nurani

kemanusiaan yang paling dalam, terlebih yang menjadi korban adalah cucu

kesayangan Rasulullah SAW. Melihat keadaan yang menyedihkan itu, Miswa >r

kemudian turut berbela sungkawa dan menghibur ‗Ali Zayn al ‗A >bidi>n bin

H}useyn dan beberapa Ahl al-Bait lainnya yang ada di Madinah dengan

menyampaikan hadis di atas. Di hadapan mereka, Miswa >r mengatakan bahwa

Fa>t }imah, kata Nabi, adalah belahan jiwaku. Siapa saja yang menyakitinya, maka

sama saja ia telah menyakitiku.47

Berpijak pada fakta di atas, muncul beberapa pertanyaanya, yaitu:

Mengapa Miswa >r menyampaikan kembali hadis tersebut di hadapan ‗Ali > Zayn al

‗A>bidi>n? Apa relevansinya dengan tragedi pembantaian di Karbala? Bukankah,—sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya,—bahwa konteks awal

46

Dalam sejarah Islam, peristiwa tersebut dikenal dengan istilah tragedi

Karbala. Peristiwa tersebut terjadi pada masa khalifah Yazi >d bin Mu‘a>wiyah, penguasa

dinasti Bani Umayah. Sejarah mencatat, penduduk Kufah merasa kecewa dengan kiprah

kepemimpinan Yazid. Mereka mengharapkan perubahan, dan harapan itu mereka

sandarkan kepada cucu Nabi, H}useyn. Oleh karenanya, mereka meminta H}useyn agar segera pergi ke Kufah untuk mereka baiat sebagai khalifah. Singkat cerita, ia bersama

pasukannya pergi ke Kufah untuk memenuhi permintaan tersebut. Namun, rencana

kedatangan Huseyn akhirnya diketahui oleh Yazi >d.

Rombongan H}useyn tiba di Karbala pada 2 Muharram 61 Hijriyah di bawah

pengawasan ketat pasukan berkuda utusan ‗Ubayd Alla >h bin Ziya >d yang dipimpin oleh

al-H}u>r bin Yazi>d al-Tami>mi>. Sementara ‗Ubayd Alla >h bin Ziya >d sang kepala daerah

Kufah menyiapkan pasukan tempur sebanyak 4000 orang dengan persenjataan lengkap

di bawah pimpinan ‗Umar bin Sa‘ad bin Abi > Waqqas}. Pada 10 Muharram 61 Hijriyah,

mereka menyerbu rombongan H}useyn yang hanya berkekuatan 72 orang. Pasukan

H}useyn terbunuh termasuk H}useyn sendiri. Bahkan, ia dipenggal kepalanya oleh

pasukan Ibn Saad. Peristiwa ini menandai dimulainya keterbelahan antara kelompok

Suni dan Syi‘ah di seluruh dunia. Selengkapnya, lihat Musa Shadr, Syuhada Padang Karbala (Bandung: Mizan, 1996). Lihat juga Alwi bin Husein, Diskursus Ahl al-Bayt

dalam Hadis (Jakarta: Zahra Publishing House, 2015), 226-236. 47 Teks lengkapnya adalah,

وأما سللو بعد عصر اانلػوية فكما أورده اامسور تس ـ وتع يـ ألىل االػ ت ع م ااسيالـ حني قدموا اامدينـ و اف ف من ت قاىم اامسور بن مرمـ فحدث زين ااعابدين وأىل االػ ت ع م ومنػ م زين ااعابدين ع ي بن السني بن ع ي بن أيب طااب ر ي اهلل عنو وذاك ملا ت قاىم اامس موف

ااسيالـ ذا الديي وف و ااتس ـ عن ىذا اامصاب ألف اانييب ى اهلل ع و وس م إذا اف يغضب ا اطمـ ع ػ ا ااسيالـ من خطلـ امرأة مس مـ ع ػ ا مع جواز ذاك ظاىرا أل يغضب لبنتو وقد قت وا ابن ا وفع وا ما فع وا بأىل االػ ت وروى أف أىل االػ ت ملا دخ وا اامدينـ خرجت امرأة من بػنات علد

اامط ب نا رة عرىا وا عـ م ا ع ى رأس ا وىي تلكي وتقوؿ ماذا تقواوف إف قاؿ اانييب اكم ماذا فع تم وأنػتم آخر األمم بعرتيت وبأى ي بعد م تقدي منػ م أسارى وقت ى رجوا بدـ

Page 112: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

104

kemunculan hadis tersebut ialah berkenaan dengan isu poligami yang menimpa Fathimah?

Dalam hal ini, penulis menilai bahwa Miswa >r sesungguhnya telah berusaha menarik makna implisit yang terkandung dalam batang tubuh hadis

tersebut. Ia secara tidak langsung ingin mengatakan kepada ‗Ali > Zayn al ‗A>bidi>n

bahwa mereka yang telah membantai H }useyn dan beberapa Ahl al-Bayt lainnya di Karbala, sesungguhnya telah menyakiti Nabi SAW.

Sampai di sini, apa yang ingin segera penulis katakan ialah, bahwa

Miswa >r telah menyampaikan hadis tersebut dalam konteks dan peristiwa yang

berbeda dengan konteks yang melatari Nabi mengucapkannya untuk pertama kali. Jika sebelumnya Nabi SAW mengucapkan hadis tersebut sebagai bentuk

kasih sayang dan dukungan moral terhadap Fa >t }imah yang hendak dimadu bahkan

disandingkan dengan putri musuh Allah, maka pada era belakangan, tepatnya pasca terjadinya tragedi pembantaian di Karbala, hadis tersebut dikutip atau

disampaikan kembali oleh Miswa >r untuk menghibur kesedihan ‗Ali> Zayn al

‗A>bidi>n dan beberapa Ahl al-Bayt lainnya setelah kembali dari Karbala ke Madinah.

Namun, pertanyaannya kemudian ialah, apakah pola penggunaan hadis

yang dilakukan Miswa >r tersebut telah mencerabut substansi hadis dari konteks

historisnya? Dalam hal ini, penulis berpendapat bahwa, meskipun konteks yang

melatari Miswa >r menyampaikan hadis tersebut berbeda dengan konteks yang melatari Nabi mengucapkannya untuk pertama kali, akan tetapi semangat di

balik penggunaannya dapat dikatakan sama, yaitu sebagai peringatan bahwa siapa saja yang menyakiti Ahl al-Bayt, maka sama saja ia telah menyakiti Nabi.

Oleh karenanya, hemat penulis, penggunaan hadis semacam ini masih dapat

dibenarkan. Miswar tidak lantas dikatakan telah mencerabut substansi hadis dari

konteks historisnya untuk sebuah kepentingan yang tidak dapat dibenarkan.

Miswa >r, sekali lagi, hanya ingin menarik pesan moral yang terkandung dalam

hadis. Terkait penggunaan hadis semacam ini, penulis mengkategorikannya

pada tipologi semi kontekstual.

b. Hadis Jibri>l Dinamika penggunaan hadis lainnya yang akan didiskusikan di sini ialah

hadis yang secara substansial berbicara tentang Islam, iman, dan ihsan yang

kemudian dikenal dengan istilah hadis Jibri>l. Sebagaimana hadis sebelumnya, pada pembahasan ini, penulis akan menunjukkan bagaimana kemudian Ibn

‗Umar menggunakan hadis tersebut secara dinamis untuk merespons sebuah

peristiwa yang terjadi pada era belakangan.

Nabi bersabda:

، إذ ط ع : عن عمر بن خطاب نما نن عند رسوؿ اهلل يى اهلل ع و وس يم ذات يػوـ بػ ػنا رجل ديد بػ اض اايػ اب، ديد سواد ااشيعر، ل يػرى ع و أ ػر ااسي ر، ول يػعرفو منيا أحد، ح ي ع ػ

Page 113: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

105

يا : ج س إل اانييب يى اهلل ع و وس يم، فأسند ر لتػ و إل ر لتػ و، وو ع ي و ع ى ف ذيو، وقاؿ ، فػقاؿ رسوؿ اهلل يى اهلل ع و وس يم سالـ ـ أف تش د أف ل إاو إلي اهلل »: مميد أخربن عن اا سال اا

وأفي مميدا رسوؿ اهلل يى اهلل ع و وس يم، وتق م ااصيالة، وتػ يت اا ي اة، وتصوـ رمضاف، و ي االػ ت قو، قاؿ : دقت، قاؿ : ، قاؿ «إف استطعت إا و سل ال نا او يسأاو، ويصد فأخربن عن اا اف، : فػعجلػ

: ، قاؿ «أف تػ من باهلل، ومالاكتو، و تلو، ورس و، واا ػوـ ااخر، وتػ من بااقدر خريه و ره »: قاؿ حساف، قاؿ : دقت، قاؿ ، «أف تػعلد اهلل أنيك تػراه، فإف ل تكن تػراه فإنيو يػراؾ »: فأخربن عن اا

ـ، قاؿ : قاؿ فأخربن عن أمارهتا، : قاؿ « ما اامسـوؿ عنػ ا بأع م من ااسياال »: فأخربن عن ااسياع اف »: قاؿ ـ رعاء ااشياء يػتطاواوف ف االػنػ ي : ، قاؿ «أف ت د األمـ ربػيتػ ا، وأف تػرى ال اة ااعراة ااعاا

فإنيو »: اهلل ورسواو أع م، قاؿ : قػ ت « يا عمر أتدري من ااسياال؟»: انط فػ ليت م ا، ي قاؿ ل «جربيل أتا م يػع مكم دينكم

Dari ‗Umar bin Khat}t}a>b, ia berkata: Suatu ketika kami (para Sahabat)

sedang duduk di samping Rasulullah, kemudian datanglah seorang lelaki yang berpakaian sangat putih, berrambut hitam dan tidak terlihat

padanya tanda-tanda bekas perjalanan. Di antara kami pun tidak ada

yang mengenalnya. Ia segera duduk di hadapan Nabi, sambil menyandarkan kedua lututnya di kedua lutut Nabi dan meletakkan kedua

telapak tangannya di atas kedua paha Nabi. Ia berkata: ―Wahai

Muhammad, beritahukan kepadaku tentang Islam.‖ Nabi menjawab:

―Islam adalah engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan

zakat, berpuasa Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji jika engkau

telah mampu melakukannya. Lelaki itu berkata: ―Engkau benar‖. Maka kami heran, ia bertanya dan ia pula yang membenarkannya. Kemudian ia

bertanya lagi, ―Beritahukan padaku tentang iman‖. Nabi menjawab:

―Iman ialah engkau beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, utusan-Nya, hari akhir, dan beriman kepada qadha dan qadhar. Ia

berkata: ―Engkau benar‖. Kemudian ia bertanya lagi, ―Beritahukan

kepadaku tentang ihsan?‖ Nabi menjawab, ―Hendaklah engkau

beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Kalaupun engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Ia melihatmu‖. Lelaki

itu bertanya lagi, ―Beritahukan kepadaku kapan terjadinya hari kiamat‖.

Nabi menjawab: ―Yang ditanya tidaklah lebih tahu daripada yang bertanya‖. Dia pun bertanya lagi, ―Beritahukan kepadaku tentang tanda-

tandanya‖. Nabi menjawab, ―Jika seorang budak wanita telah

melahirkan tuannya; jika engkau melihat orang yang bertelanjang kaki,

tanpa memakai baju (miskin papa) serta pengembala kambing telah saling berlomba dalam mendirikan bangunan megah yang menjulang

tinggi‖. Kemudian lelaki tersebut segera pergi. Aku pun terdiam,

Page 114: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

106

sehingga Nabi bertanya kepadaku: ―Wahai ‗Umar, tahukah engkau, siapa yang bertanya tadi?‖ Aku menjawab, ―Allah dan Rasul-Nya lebih

mengetahui‖. Beliau berkata, ―Dia adalah Jibril yang mengajarkan kalian

tentang agama kalian‖.48

Sebagaimana disinggung di awal, hadis di atas populer dengan sebutan

hadis Jibril. Dikatakan demikian, karena secara historis-kronologis (sabab al-

wuru>d), hadis ini merupakan rekaman terkait dialog antara Nabi dengan Jibril.

Jibril menyamar menjadi manusia biasa, berpakaian putih, berambut hitam

kemudian terjadilah dialog dengan Nabi. Jibril mengajukan beberapa pertanyaan kepada Nabi, dan Nabi pun menjawabnya.

Dari segi matan, hadis di atas antara lain berisikan terkait tiga pilar

pokok ajaran Islam, yaitu Islam, iman dan ihsan. Islam berbicara tentang aspek syari‘at, iman berbicara tentang aspek ma’rifat, dan ihsan berbicara tentang

aspek hakikat. Tiga pilar ini kemudian melandasi seluruh aspek dan konsepsi

ajaran Islam. Dengan perkataan lain, hadis tersebut merupakan doktrin atau ajaran pokok yang sangat prinsipil dalam konteks keberagamaan umat Islam.

Kualitas keberislaman seseorang akan sangat ditentukan oleh sejauh mana ia

mampu mengejawantahkan semua prinsip, ajaran dan nilai-nilai luhur yang

terekam dalam tiga pilar pokok tersebut.

Ibn Daqi>q al-‘I>d mengatakan bahwa hadis di atas seolah merupakan

induk bagi sunnah (umm li al-sunnah), sebagaimana halnya al-Fa>tih}ah merupakan induknya Alquran (Umm al-Quran), karena di dalamnya mencakup

semua ajaran dan nilai-nilai yang ada dalam Alquran.49

Senada dengan Ibn

Daqi>q, Ibn H}ajar al-‘Asqala>ni> mengutip pendapat al-Qurt}ubi> bahwa hadis di atas layak disebut sebagai induk sunnah (umm al-sunnah) karena mengandung ilmu

hadis. Ia juga mengutip pendapat Qa>d}i> ‘Iya>d} bahwa hadis di atas mencakup penjelasan semua amal ibadah, baik yang dzahir maupun yang batin, di

antaranya ialah terkait ikatan iman, perbuatan anggota badan, keikhlasan, dan

menjaga diri dari perusak-perusak amal. Bahkan ilmu-ilmu syari‘at, semuanya

kembali kepada hadis ini dan merupakan percabangannya.50

Sementara itu, al-

Nawa>wi> mengatakan bahwa hadis di atas menghimpun berbagai disiplin ilmu, pengetahuan, adab, dan kelemah-lembutan. Bahkan, hadis ini merupakan pokok

ajaran Islam sebagaimana diriwayatkan dari Qa>d}i> ‘Iya>d.51

Pendapat lainnya

dikemukakan Ibn Rajab al-H}anbali> bahwa hadis tersebut adalah hadis yang agung, karena mencakup semua ajaran Islam. Oleh karenanya, di akhir hadis

48

Muslim bin Hajja>j al-Naysabu>ri>, S}ah}i>h} Muslim , Vol. 1,36. Nomor hadis: 8. 49

Abu> al-Fath} Taqi> al-Di>n Muh}ammad bin ‘Ali> bin Wahhab bin Mut}i>’ al-

Qushayri>, Sharh} al-Arba>’i>n al-Nawa>wiyyahfi> al-Ah}a>di>th al-S}ah}i>h}ah al-Nabawiyyah

(Muasasah al-Rayan, 2003), Vol. 1, 29. 50

Abu> al-Fad}l, Ah}mad bin ‘Ali> bin H}ajar al-Asqala>ni>, Fath} al-Ba>ri> Sharh} S}ah}i>h} al-Bukha>ri> (Beirut: Da>r al-Ma’rifah, 1379 H), Vol. 1, 125.

51 Abu> Zakariya> Muh}y al-Di>n bin Sharf al-Nawa>wi>, al-Minha>j Sharh S}ah}i>h}

Muslim (Beirut: Da>r Ih}ya> al-Tura>th al-‘Arabiy, 1392 H). Vol. 1, 160.

Page 115: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

107

tersebut Nabi berkata: ―Ini adalah Jibril yang datang kepada kalian untuk mengajarkan agama kalian‖ setelah menjelaskan kedudukan Islam, iman dan

ihsan. Dan menjadikan semua itu sebagai ajaran pokok dalam Islam.52

Pendek

kata, hadis di atas lebih tepatnya merupakan sebuah doktrin teologis, bukan merupakan respons Nabi atas konteks atau peristiwa sosial keagamaan yang

terjadi di kalangan para Sahabat sebagaimana konteks kemunculan hadis pada

umumnya.

Namun demikian, beberapa dekade setelah wafatnya Nabi, hadis ini

pernah disampaikan oleh Ibn ‗Umar untuk merespons pertanyaan seseorang

terkait alasannya yang tidak melibatkan diri dalam peperangan. Di bawah ini penulis kutipkan redaksi hadisnya secara lengkap.

ـ، قاؿ عن ـ بن خااد، دث طاوسا، أفي رجال قاؿ اعلد اهلل بن عمر : حنظ عت عكرم :عت رسوؿ اهلل يى اهلل ع و وس يم، يػقوؿ : أل تػغ و؟ فػقاؿ ـ بن ع ى س : " إن سال : إفي اا

ادة أفي ل إاو إلي اهلل، وإقاـ ااصيالة، وإيتاء اا ي اة، و اـ رمضاف، وح االػ ت

Dari Hanz}alah berkata: Aku mendengar ‗Ikrimah bin Kha>lid

menceritakan kepada T>}a>wus bahwa ada seorang lelaki bertanya kepada

‗Abd Alla>h bin ‗Umar, ―Kenapa engkau tidak ikut berperang?‖ Ibn ‗Umar menjawab bahwa aku mendengar Nabi SAW bersabda:

―Sesungguhnya Islam dibangun di atas lima pilar; bersaksi bahwa tiada

Tuhan selain Allah, menegakkan shalat, membayar zakat, puasa

ramadhan, dan menunaikan ibadah haji‖. (HR. Muslim).53

Berdasarkan riwayat ini, dapat diketahui bahwa pada satu kesempatan,

penggalan hadis Jibril yang secara substansial bernuansa doktrin teologis tersebut ternyata pernah dikutip atau disampaikan kembali oleh Ibn ‗Umar untuk

merespons pertanyaan seseorang (rajul)54

terkait alasannya yang tidak turun ke

medan perang. Namun, untuk mengurai lebih jauh masalah penggunaan hadis tersebut, muncul sebuah pertanyaan yaitu, perang apakah yang dimaksud pada

riwayat tersebut? Bukankah Ibn ‗Umar—sebagaimana Sahabat lainnya—adalah

52

Zayn al-Di>n, ‘Abd al-Rah}ma>n bin Ah}mad bin Rajab bin al-H}asan al-

Baghda>di>, Ja>mi’ al-‘Ulu>m wa al-H}ikam fi> Sharh} Khamsi>n Hadi>than min Jawa>mi’ al-Kalim (Beirut: Muasasah al-Risalah, 2001), Vol. 1, 97.

53 Muslim bin H}ajja>j al-Naysabu>ri>, S}ah}i>h} Muslim, Vol. 1, 45. Nomor hadis: 16. 54

Setelah dilakukan perbandingan riwayat dan menelaah kitab-kitab sharah

hadis, penulis tidak menemukan data tentang siapa sesungguhnya orang yang bertanya

tersebut. Dalam disiplin ilmu hadis, hal ini disebut dengan istilah hadis mubham, yaitu

hadis yang nama periwayatnya disamarkan. Lihat Mah }mu>d al-T}ah}a>n, Taysi>r Mus}t}ala>h} al-H}adi>th (Iskandariyah: Markaz al-Huda> wa al-Dira>sa>t, 1415 H), 162.

Page 116: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

108

orang yang sangat bergairah ketika panggilan jihad berkumandang?55

Sepintas, hal ini terkesan kontradiktif jika melihat sosok Ibn ‗Umar

56 yang memiliki

komitmen keberagamaan yang tinggi.

Sejauh yang bisa penulis telaah, beberapa kitab sharh} hadis tidak

menjelaskan hal itu. Namun, setelah dilakukan pelacakan terhadap beberapa

sumber yang memuat biografi para Sahabat, penulis menemukan beberapa riwayat yang menunjukkan bahwa Ibn ‗Umar menyampaikan hadis di atas bukan

berkenaan dengan salah satu peperangan yang terjadi di masa Nabi, melainkan

pada saat terjadinya peristiwa fitnah atau konflik antara ‗Ali> dan Mu’a >wiyah yang kemudian dikenal dengan istilah perang Shiffin (waq’ah shiffin).

57 Hal ini

55

Salah satu perang yang ia ikuti ialah perang Khandak, bahkan ini merupakan

perang pertama yang ia ikuti. Ia juga ikut serta dalam peperangan dalam rangka

penaklukan negeri Syam, Irak, Basrah dan Persia. Bahkan Nafi‘ yang merupakan mantan

budaknya Ibn ‗Umar meriwayatakan bahwa Ibn ‗Umar pernah berduel dengan musuh pada saat peperangan di Irak, kemudian ia berhasil menumbangkannya dan mengambil

harta rampasannya (Anna Ibn ‘Umar baraza rajulan fi> qita>l ahl al-‘Ira>q, fa qatalahu> wa akhadha salbahu>). Selengkapnya, lihat Abu>‘Abd Alla>h Shamsh al-Di>n Muh}ammad bin

Ah}mad bin ‘Uthma>n bin Qayma>z al-Dhahabi>, Siya>r A’la>m al-Nubala> (Kairo: Da>r al-

Hadi>th, 2006), 4, 303-305. 56

Nama lengkapnya ialah ‗Abd Alla>h bin ‘Umar bin al-Khat}t}a>b bin Nufayl bin

‘Abd al-‘Uzza>, bin Riya>h bin Qurt}h bin Razah bin ‘Adi bin Ka’ab bin Lu’ay bin Gha>lib

Kunyahnya Abu> ‘Abd al-Rah}ma>n al-Qurashi>. Ia memeluk Islam sejak kecil dan hijrah ke

Madinah sebelum memasuki usia dewasa. Perang Khandak adalah perang yang pertama

kali ia ikuti. Ia juga termasuk salah seorang Sahabat yang ikut serta dalam Baiat Ridwan

bersama ibunya, H}afs}ah (istri Nabi), Zaynab binti Madh’u>n, dan sejumlah Sahabat

lainnya. Ia banyak meriwayatkan ilmu dari Nabi, termasuk juga dari bapaknya (‗Umar

bin Khat}t}a>b), Abu> Bakr, ‘Uthma>n, ‘A>li>, Bila>l, Ibn Mas’u>d, A>ishah dan Sahabat lainnya.

Selengkapnya, lihat al-Dhahabi>, Siya>r A’la>m al-Nubala>, 57

Perang ini terjadi antara kubu A>li> dan Mu’a>wiyah bin Abi> Sufya>n. Pada saat

menjabat sebagai khalifah, ‗Ali> banyak me-reshuffle pejabat-pejabat negara yang tidak disenangi, meresahkan, bahkan memperkosa hak-hak rakyat. Mereka yang dimaksud

adalah pejabat pemerintahan yang berasal dari keturunan Umayah yang memanfaatkan

kekuasaan khalifah ‗Uthma>n. Selain itu, ‗Ali> juga menarik kembali tanah yang

dihadiahkan ‗Uthma>n kepada penduduk dan mengembalikannya kepada negara, serta menerapkan kembali sistem pajak yang pernah berlaku pada masa ‗Umar. Kebijakan

tersebut tentu dinilai kontroversial terutama oleh mereka yang merupakan keturunan

‗Umayah. Tak hanya itu, ‗Ali juga dinilai tidak mampu memenuhi keinginan mereka,

yaitu menghukum pembunuh ‗Uthma>n. Hal ini dijadikan momen yang tepat oleh

Mu’a >wiyah –yang saat itu menolak berbaiat—untuk memprovokasi masyarakat. Ia

sengaja memamerkan jubah khalifah ‗Uthma>n yang masih berlumuran darah. Bahkan

lebih dari itu, ia memprovokasi masyarakat dengan mengatakan bahwa pembunuhan

Uthman atas perintah ‗Ali. Singkat cerita, Mu’a>wiyah menyiapkan pasukan dalam

jumlah yang besar untuk melawan pasukan ‗Ali. Sementara itu, di lain pihak, ‗Ali> tidak

tinggal diam. Ia menilai tindakan Mu’a>wiyah dan pengikutnya tersebut telah keluar dari

batas kewajaran, bahkan mereka dianggap sebagai pemberontak karena menolak untuk

berbaiat dan melaksanakan kebijakan-kebijakannya. Akhirnya, Ali berinisiatif untuk

menundukan mereka agar kembali kepada persatuan. ‗Ali> menyiapkan pasukan dan

Page 117: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

109

tentu dapat dimengerti, karena sejarah mencatat bahwa pada saat terjadinya peristiwa fitnah al-kubra di kalangan para Sahabat, Ibn ‗Umar berusaha untuk

bersikap netral dan enggan terlibat dalam huru hara yang terjadi di antara

kelompok yang bertikai. Beberapa riwayat mengabadikan dengan sangat baik ucapan atau respons Ibn ‗Umar ketika terjadinya peristiwa fitnah di kalangan

para Sahabat.

Diriwayatkan bahwa pasca wafatnya khalifah Yazi>d bin Mu’a>wiyah, Marwan mendatangi Ibn ‗Umar dan berkata: ―Ulurkan tanganmu, agar kami

berbaiat. Engkau adalah pemimpin umat Islam dan putra dari pemimpinnya‖. Ibn

‗Umar bertanya: ―Lantas apa yang mesti kita lakukan terhadap orang-orang bagian timur?‖ Marwan menjawab: ―Kita gempur mereka sampai mau berbaiat‖.

Ibn ‗Umar berkata: ―Demi Allah, aku tidak sudi dalam umurku yang sudah tujuh

puluh tahun ini, ada seorang manusia yang terbunuh disebabkan oleh pedangku‖.

58

Al-H}asan meriwayatkan, ketika ‗Uthma>n bin ‘Affa >n terbunuh, sekelompok umat Islam mendatangi Ibn ‗Umar dan memaksanya menjadi

khalifah. Mereka berteriak di depan rumah Ibn ‗Umar, ―Engkau adalah seorang

pemimpin, dan anak dari pemimpin mereka, keluarlah agar orang-orang membaiatmu‖. Ibn ‗Umar menjawab: ―Demi Allah, seandainya bisa, jangan ada

darah walau setetes pun tertumpah disebabkan aku‖. Kemudian mereka

mengancam dan berkata: ―Engkau harus keluar. Jika tidak, kami akan

membunuhmu di tempat tidurmu‖. Mendengar ancaman seperti itu, Ibn ‗Umar tidak tergerak, sehingga masa pun akhirnya bubar.

59

Riwayat lainnya yang menunjukkan ketidakberpihakan Ibn ‗Umar

terhadap salah satu kubu yang bertikai ialah sebagaimana disampaikan Na>fi’ bahwa Ibn ‗Umar pernah berkata: ―Barang siapa yang mengatakan mari kita

shalat, maka akan kupenuhi, tapi barang siapa yang mengatakan mari kita memerangi saudara sesama Muslim dan merampas hartanya, maka aku akan

mengatakan, tidak‖.60

Beberapa Riwayat di atas menunjukkan bahwa, meskipun Ibn ‗Umar beberapa kali mendapat tawaran menjadi khalifah, ia dengan tegas menolaknya.

Ia juga berusaha sebisa mungkin untuk berada pada posisi yang netral, tanpa

mendeklarasikan keberpihakkannya kepada salah satu pihak. Hal itu ia lakukan

semata-mata demi menjaga keutuhan umat Islam. Terlepas bahwa pada akhir hayatnya, ia pernah mengungkapkan kecenderungannya terhadap kubu ‗Ali

sebagaimana terdapat dalam sebuah riwayat dari Habi>b bin Abi> Tha>bit bahwa Ibn ‗Umar berkata: ―Tidak ada sesuatu pun yang aku sesalkan karena tidak

terjadilah pertempuran di dataran Shiffin pinggiran sungai Eufrat. Pada peperangan ini,

pasukan ‗Ali> berhasil memukul mundur pasukan Mu’a>wiyah. Selengkapnya, lihat

Muhajirin, Politisasi Ujaran Nabi (Yogyakarta: Maghza Book, 2016), 31-34. 58

Al-Dhahabi>, Siya>r A’la>m al-Nubala>, 4, 310. 59

Al-Dhahabi>, Siya>r A’la>m al-Nubala>, 4, 323. 60

Al-Dhahabi>, Siya>r A’la>m al-Nubala>, 4, 316

Page 118: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

110

kuperoleh, kecuali satu hal, aku sangat menyesal tidak mendampingi ‗Ali>

memerangi kelompok pemberontak (ma asa> ‘ala shay’in fa>tani> illa> anni> lam uqa>til ma’a> ‘aliy ‘ala> al-fi’ah al-baghiyah)‖.

61

Berdasarkan uraian di atas, apa yang ingin penulis tegaskan ialah, bahwa

Ibn ‗Umar menyampaikan kembali hadis di atas dalam konteks yang berbeda dengan konteks yang melatari Nabi mengucapkannya untuk pertama kali. Hadis

yang semula hanya bernuansa doktrin teologis terkait pilar pokok ajaran Islam,

namun kemudian ia gunakan secara fleksibel, yaitu untuk merespons seorang Sahabat yang mempertanyakan alasannya yang tidak ikut serta dalam

peperangan melawan kelompok Mu’a >wiyah. Ketika menyampaikan hadis ini,

Ibn ‗Umar seolah ingin menegaskan sebuah pesan penting bahwa, ada hal yang lebih prinsipil ketimbang harus terlibat dalam peperangan sesama saudara

Muslim yaitu, bagaimana caranya agar mampu mengejawantahkan nilai atau

pokok-pokok ajaran Islam yang terkandung dalam hadis tersebut. Dari sini, dapat dipahami bahwa Ibn ‗Umar menggunakan hadis tersebut secara dinamis dan

berupaya menarik pesan moral yang terkandung di dalamnya untuk merespons

peristiwa tertentu. Penulis mengkategorikan penggunaan hadis semacam ini pada

tipologi semi kontekstual.

B. Disparitas Konteks Penggunaan Hadis oleh Sahabat Nabi: Menyoal

Implikasi Pada bagian ini, akan didiskusikan terkait implikasi dari temuan penulis

di atas. Pada bab kedua, penulis telah mendiskusikan terkait fungsi sabab al-

wurud sebagai instrumen dalam memahami hadis Nabi. Salah satu hal yang

menarik ialah pandangan Ibn H }amzah al-Dimashqi>, tokoh hadis abad ke-11 H

yang mengatakan bahwa konteks historis yang melatari penggunaan hadis oleh

Sahabat Nabi merupakan bagian dari sabab al-wurud yang kemudian ia sebut

dengan istilah sabab ba’da as}r al-nubuwwah. Lebih dari itu, ia bahkan

mengatakan bahwa konteks historis yang melatari penggunaan hadis oleh para

Sahabat dapat menjadi sebuah instrumen atau perangkat metodologis dalam memahami dan menjelaskan substansi hadis yang tidak diketahui konteks awal

diucapkannya oleh Nabi. Argumentasi yang dibangun ialah, karena para sahabat

adalah generasi yang menyaksikan langsung perkataan dan perbuatan Nabi. Mereka juga senantiasa merawat tradisi kenabian dengan baik.

62Atas dasar ini,

61

Al-Dhahabi>, Siya>r A’la>m al-Nubala>, 4, 318. 62

Ibn Hamzah al-Dimashqi al-Ḥusaini, al-Bayān wa al-Ta’rīf fi Āsbāb al-

Wurūd al-Hadīth al-Sharīf (Beirut: Maktabah al-Ilmiyah, 1982), Vol. 1, 35.

Pernyataan Ibn Ḥamzah al-Dimashqi di atas secara tidak langsung hendak

mengecualikan penggunaan hadis oleh para tabiin. Artinya, konteks historis yang

melatari penggunaan hadis oleh para tabiin berbeda dengan konteks historis yang

melatari penggunaan hadis oleh para Sahabat. Konteks penggunaan hadis oleh para tabiin tidak bisa menjadi sebuah instrumen atau perangkat metodologis dalam

memahami dan menjelaskan substansi hadis Nabi. Hal ini sangat diwajarkan, karena

otoritas mereka tidak sekuat generasi Sahabat yang pernah bergumul langsung dengan

Nabi, bahkan menyaksikan langsung proses turunnya wahyu kepada Nabi. Senada

Page 119: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

111

al-Dimashqi seolah ingin menegaskan bahwa, meskipun sebuah hadis baru digunakan atau disampaikan kembali oleh para Sahabat untuk merespons

peristiwa tertentu pada era belakangan, tetapi konteks peristiwa yang melatari

mereka menyampaikan hadis tersebut sangat identik dengan konteks peristiwa yang melatari Nabi mengucapkannya untuk pertama kali. Karena apa yang

dilakukan oleh para Sahabat tentu didasarkan pada pengetahuan mereka tentang

konteks awal yang melatari Nabi mengucapkan hadis tersebut, sehingga tidak mungkin menyampaikannya kembali di luar konteks dan peristiwa yang sama.

Namun demikian, penulis menilai bahwa pandangan al-Dimashqi

tersebut tidak sepenuhnya dapat dibenarkan. Pada pembahasan sebelumnya, penulis telah bertungkus lumus mengurai secara elaboratif dinamika penggunaan

hadis oleh Sahabat Nabi. Temuan yang ada menunjukkan bahwa para Sahabat

sangat dinamis dalam menggunakan hadis Nabi dalam berbagai konteks dan

peristiwa yang beragam. Pasca wafatnya Nabi, mereka adakalanya menggunakan atau menyampaikan hadis Nabi dalam konteks yang berbeda dengan konteks

yang melatari Nabi mengucapkannya untuk pertama kali. Penulis

mengklasifikasi penggunaan hadis oleh para Sahabat menjadi tiga tipologi; Tekstualis, kontekstualis dan semi kontekstualis. Berangkat dari temuan ini, apa

yang ingin penulis tegaskan ialah, jika pada faktanya konteks historis yang

melatari penggunaan hadis oleh Sahabat Nabi tidak selalu sama dengan konteks historis yang melatari Nabi mengucapkannya untuk pertama kali, maka

implikasinya ialah bahwa konteks historis yang melatari penggunaan hadis oleh

Sahabat Nabi tidak sepenuhnya dapat menjadi sebuah instrumen atau perangkat

metodologis dalam memahami hadis itu sendiri. Hal ini secara otomatis potensial mendelegitimasi pandangan al-Dimashqi di atas.

Untuk mengukuhkan argumen di atas, penulis ingin menopangnya

dengan dua argumen lain, yaitu: Pertama, para Sahabat adakalanya tidak mendengar atau menyaksikan secara langsung diucapkannya sebuah hadis oleh

Nabi, melainkan hanya mendengar dari Sahabat lainnya. Hal ini terjadi, baik

karena usianya yang masih kecil, atau karena ia baru masuk Islam belakangan, atau boleh jadi ia tidak hadir pada saat Nabi menyampaikan sebuah hadis.

Sehingga, ia hanya meriwayatkannya dari Sahabat lain, bukan dari Nabi secara

langsung. Akan tetapi, ketika menyampaikannya kembali kepada yang lain, ia langsung menyandarkannya kepada Nabi, tanpa menyebut nama Sahabat tadi.

dengan itu, Abū Ḥanīfah pernah berkata bahwa, jika terdapat beragam informasi dari

para Sahabat tentang tradisi kenabian, maka boleh dipilih salah satunya tanpa harus

dikritisi karena semua laporan dan tradisi Sahabat dinilai orisinal. Sedangkan apabila

informasi tersebut datang dari para tabiin, maka harus dikritisi terlebih dahulu.

Pernyataan Abū Ḥanīfah tersebut, sekali lagi, hendak melegitimasi otoritas informasi

tentang tradisi kenabian yang datang dari para Sahabat. Penjelasan lebih lanjut terkait hal

ini, lihat ‗Abd al-Raḥmān bin Abī Bakr Jalāl al-Dīn al-Suyūṭi, Miftāḥ al-Jannah fi al-Iḥtijāj bi al-Sunnah (Madinah al-Munawwarah: al-Jami‘ah al-Islamiyah, 1989), 1, 45.

Lihat juga Ahmad Ubaydi Hasbillah, Nalar Tekstual Ahli Hadis; Akar Formula Kultur

Moderat Berbasis Tekstualisme (Ciputat: Maktabah Darussunnah, 2018), 172.

Page 120: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

112

Inilah yang dalam ilmu hadis disebut dengan istilah mursal s}ah}abi>.63 Berpijak

pada fakta inilah penulis menilai bahwa seorang Sahabat boleh jadi tidak

mengetahui sabab al-wurud sebuah hadis. Sehingga, pada era belakangan, ia menyampaikannya kembali dalam konteks yang berbeda dengan konteks yang

melatari Nabi mengucapkannya untuk pertama kali.

Kedua, berpijak pada argumen pertama, penulis menilai bahwa penggunaan hadis oleh Sahabat Nabi adakalanya merupakan ijtihad mereka

sendiri. Sebagai sebuah ijtihad, tentu potensial terjadi kekeliruan. Meskipun para

Sahabat adalah generasi terbaik yang menyaksikan langsung proses turunnya

wahyu dan diucapkannya sebuah hadis oleh Nabi,—sehingga dianggap sebagai generasi yang paling mengerti tentang bagaimana semestinya ajaran Nabi

dipahami dan dipraktikan,—tetapi mereka bukanlah golongan manusia-manusia

suci yang sepenuhnya dapat terbebas dari kekeliruan. Tanpa bermaksud mengingkari sakralitas dan otoritas para Sahabat Nabi, penulis menilai bahwa

subjektivitas pemahaman dan penggunaan hadis sangat mungkin terjadi,

sehingga apa yang mereka lakukan tidak selalu merepresentasikan kehendak Nabi.

Sebagai contoh, pada uraian di atas, penulis telah mendiskusikan

bagaimana kemudian Abu> Bakrah (bukan Abu> Bakar) menggeneralisir atau menggunakan hadis berdasarkan keumumannya untuk merespons sebuah

peristiwa, baik hadis larangan mengangkat pemimpin perempuan, atau pun hadis

larangan saling membunuh sesama saudara Muslim. Bahkan, mengenai penggunaan hadis yang disebut terakhir ini, al-Kashmiri, tokoh hadis abad ke-14

hijriyah dengan berani mengatakan bahwa Abu> Bakrah telah menyampaikan

hadis tersebut tidak pada konteks yang semestinya,64

bahkan tampak kontradiktif dengan hadis lain. Begitu pula hadis mengenai larangan meratapi kematian, di

mana ‗Umar bin Khat}a>b, kata ‘A>’ishah, tidak mengetahui konteks diucapkannya

hadis tersebut oleh Nabi, sehingga ia menyampaikan kembali hadis tersebut di

luar konteks yang semestinya.

Sementara itu, pada bagian berikutnya, dapat dilihat bagaimana

kemudian Miswar bin Makhramah berusaha menarik pesan moral sebuah hadis,

meskipun digunakan dalam konteks yang berbeda dengan konteks yang melatari

Nabi mengucapkannya untuk pertama kali. Begitu pula ‗Abd Alla>h bin ‘Umar, di mana ia menyampaikan hadis Jibril yang secara substansial berisikan doktrin

teologis sebagai alasan mengapa ia tidak ikut serta dalam peperangan sesama

saudara Muslim. Semua itu merupakan bukti bahwa para Sahabat dalam banyak kasus memiliki sudut pandang berbeda dalam menyampaikan dan menggunakan

hadis Nabi dalam berbagai konteks dan peristiwa yang beragam. Perbedaan

tersebut, sekali lagi, tentu adakalanya didasarkan pada ijtihad.

63

Abu> H}afs} Mah}mu>d bin Ah}mad bin Mah}mu>d T}ah}h{an al-Nu’aymi>, Taysi>r Mus}t}alah al-H}adi>th (Maktabah al-Ma’a>rif li al-Nashr wa al-Tawzi>, 2004), 91.

64 Al-Kashmi>ri>, Fayd al-Ba>ri> ‘ala> S}ah}i>h} al-Bukha>ri>, 1, 192.

Page 121: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

113

Apa yang penulis katakan di atas mengafirmasi pandangan Fazlur Rahman bahwa hadis bisa saja lahir dari penafsiran dan ―penyesuaian‖ para

Sahabat atau generasi sesudahnya dengan situasi dan kondisi yang

mengitarinya.65

Rahman juga berpendapat, bahwa sikap dan kebijakan-kebijakan Nabi yang juga merupakan sunnahnya tidaklah dipandang secara kaku oleh

generasi Muslim awal. Mereka ini, menurut Rahman, menafsirkan sunnah Nabi

secara kreatif menjadi sunnah yang hidup untuk menghadapi faktor-faktor dan benturan-benturan baru. Sampai di sini, sekali lagi, bahwa penggunaan hadis di

kalangan Sahabat bersifat dinamis.

65 Fazlur Rahman, Islamic Metodology in History (Islamabad: Research

Institute, 1964), 85-147.

Page 122: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

113

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah menelaah secara elaboratif beberapa hadis dalam kitab S}ah}i>h} al-Bukha>ri> dan mengkomparasikannya dengan sumber lain semisal literatur kesejarahan, penelitian ini tiba pada sebuah kesimpulan bahwa para Sahabat

sangat dinamis dalam menggunakan hadis Nabi dalam berbagai konteks yang

beragam, terutama ketika menghadapi berbagai peristiwa dan benturan-benturan baru yang tidak pernah dijumpai pada masa Nabi. Pasca wafatnya Nabi, mereka

adakalanya menggunakan atau menyampaikan hadis yang sama dalam konteks

yang berbeda dengan konteks yang melatari Nabi mengucapkannya untuk

pertama kali.

Dari beberapa contoh hadis yang telah ditelaah, penulis menemukan

bahwa penggunaan hadis oleh Sahabat Nabi sekurang-kurangnya terbagi menjadi tiga tipologi; Pertama, ialah tekstualis. Yaitu tipologi penggunaan hadis

yang terpaku pada makna literal teks hadis tanpa mempertimbangkan konteks

historis yang melatari Nabi mengucapkannya untuk pertama kali (sabab al-wuru>d). Individu—yang dalam hal ini adalah Sahabat—dengan tipologi seperti

ini cenderung memahami bahwa pesan-pesan kenabian yang terkandung dalam

teks hadis berlaku abadi tanpa terikat oleh konteks tertentu. Kedua, ialah kontekstualis. Yaitu tipologi penggunaan hadis di mana seorang Sahabat

terlebih dahulu mempertimbangkan konteks historis diucapkannya sebuah hadis

oleh Nabi. Sahabat dengan tipologi seperti ini cenderung melihat hadis dari berbagai aspeknya sebelum menyampaikannya kembali untuk merespons

peristiwa tertentu. Sedangkan ketiga, ialah semi kontekstualis. Yaitu tipologi

penggunaan hadis di mana seorang Sahabat berusaha menarik pesan moral di

balik teks hadis, meskipun konteks penggunaannya berbeda dengan konteks yang melatari Nabi mengucapkannya untuk pertama kali.

Sementara itu, implikasi dari temuan penelitian ini ialah, jika pada

faktanya penggunaan hadis oleh para Sahabat itu sangat dinamis, di mana mereka adakalanya menggunakan hadis yang sama dalam konteks yang berbeda

dengan konteks yang melatari Nabi mengucapkannya untuk pertama kali, maka

implikasinya ialah, bahwa konteks historis yang melatari penggunaan hadis oleh Sahabat tidak sepenuhnya dapat menjadi sebuah instrumen atau perangkat

metodologis dalam memahami hadis itu sendiri. Dalam bahasa yang lebih

sederhana, bahwa sabab al-i>ra>d tidak sepenuhnya dapat menggantikan fungsi

dan posisi sabab al-wuru>d sebagai instrumen dalam memahami hadis Nabi.

Alasannya, karena para Sahabat adakalanya hanya meriwayatkan hadis dari Sahabat lain, bukan dari Nabi secara langsung, sehingga boleh jadi mereka tidak

mengetahui konteks awal (sabab al-wuru>d) diucapkannya sebuah hadis oleh

Nabi. Ketidaktahuan mereka tentang sabab al-wuru>d sebuah hadis, pada akhirnya menyebabkan mereka menggeneralisir pesan hadis tersebut dan

Page 123: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

114

menyampaikannya kembali dalam konteks yang berbeda. Alasan lainnya ialah,

bahwa penggunaan hadis oleh para Sahabat Nabi adakalanya merupakan ijtihad mereka sendiri. Sebagai sebuah ijtihad, tentu mereka bisa berbeda dalam

menggunakan dan menyampaikan sebuah hadis untuk merespons berbagai

peristiwa.

B. Saran

Apa yang telah penulis urai dalam penelitian ini tentu masih jauh dari

kata sempurna. Ada banyak ruang penelitian yang bisa diisi dan dilanjutkan oleh para peneliti hadis berikutnya. Beberapa tema yang bisa diteliti berikutnya

ialah; Pertama, penulis belum mengurai implikasi perbedaan penggunaan hadis

oleh para Sahabat dalam membentuk pola keberagamaan masyarakat Muslim.

Hal ini menarik dikaji, untuk melihat apakah yang demikian itu potensial melahirkan ekspresi keberagamaan masyarakat Muslim yang khas dan

distingtif?

Kedua, penulis juga sama sekali belum menyinggung implikasi

perbedaan penggunaan hadis oleh para Sahabat terhadap produk ijtihad yang

dihasilkan oleh para ulama. Karena, selain merujuk pada Alquran dan hadis-

hadis Nabi, para ulama juga menjadikan pandangan keagamaan para Sahabat sebagai salah satu rujukan dalam aktivitas berijtihad dan proses legislasi hukum

Islam. Sehingga, jika perbedaan konteks pengucapan dan penggunaan hadis

antara Nabi dan para Sahabatnya itu memang ada, lalu bagaimana para ulama menyikapi hal itu? Apakah hal itu akan memberi pengaruh terhadap produk

ijtihad yang dihasilkan?

Page 124: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

115

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Abū Shuhbah, Muḥammad bin Muḥammad. Fi Riḥab al-Sunnah: al-Kutub al-Ṣiḥḥah al-Sittah. Kairo: Silsilah al-Buhūth al-Islamiyah, T.th.

_______. al-Wasīṭ fī Ulūm wa Muṣṭalaḥ al-Ḥadīth. Kuwait: ‗Ālam al-Ma‘rifah,

1983.

Abu> Shuhbah, Muh}ammad bin Muh}ammad bin Suwaylim. Al-Sirah al-

Nabawiyyah ‘ala > D}au’ al-Qura >n wa al-Sunnah. Damaskus: Da >r al-

Qalam, 1927 H.

Abū Zahw, Muḥammad Muḥammad. al-Ḥadīth wa al-Muḥaddithūn. Kairo: Dār

al-Fikr al-‗Arabi, 1378 H.

Abu> Rayyah, Mah}mu>d. Adwa> ala al-Sunnah al-Muh}ammadiyyah, Aw Difa>’ ‗an

al-Hadi>th. Kairo: Da>r al-Ma’a>rif, T.th.

Abu> ‗Amr ‗Uthma >n bin Abd al-Rah}ma >n bin S }ala>h}. Ma’rifah Anwa >’ ‘Ulu >m al-

H}adi >th. Beirut: Da >r al-Fikr, 1986.

Ah}mad, Yah}ya Isma’i<l. Asba>b Wuru>d al-H}adi><th li> Jala>l al-Di>n al-Suyut}i>: Tah}qi>qan wa Ta’li>qan wa Dira>satan. Beirut: Da>r al-Kutub ‘Ilmiyyah,

1984.

Alba>ni, Na>s}ir al-Di>n al-. Mukhtas}ar S}ah}ih} al-Ima>m al-Bukha>ri. Riyadh:

Maktabah al-Ma‘a>rif, 2002.

‘Alwa>ni>, T}a>ha> Ja>bir al-. Ishka>liyya>t al-Ta’a>mul ma’a al-Sunnah al-

Nabawiyyah. Beirut: Maktabah al-Tawzi’ fi> al-‘A>lam al-‘Arabiy,

2014.

Alwi bin Husein. Diskursus Ahl al-Bayt dalam Hadis. Jakarta: Zahra Publishing

House, 2015.

Amal, Taufik Adnan. Islam dan Tantangan Modernitas; Studi atas Pemikiran

Hukum Fazlur Rahman. Bandung: Mizan, 1992.

Amin, Kamaruddin. Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis.

Bandung: Hikmah, 2009.

‘A>miri>, Yah}ya> bin Abi> Bakr bin Muh}ammad bin Yah}ya> al-. Bahjah al-Mah}a>fil

wa Bughyah al-Ama>thil fi> Talkhi>s} al-Mu’jiza>t wa al-Siyar wa al-

Shama>il. Beirut: Da>r S}a>dir, T.Th.

Amirudin dan Zainal Asikin.Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Grafindo Persada, 2006.

As }biha >ni>, Abu > Nu‘aym Ah}mad bin ‗Abd Alla >h bin Ah}mad al-. H}ilyah al-

Awliya > wa T }abaqa >t al-As}fiya >. Beirut: Da >r al-Kita >b al-‗Arabiy, 1409 H.

As}biha>ni>, Abu > Bakr Muh}ammad bin Ibra>him bin ‘Ali> bin ‘A>s}im bin Za>dan al-.

Mu’jam li Ibn al-Muqri. Riyadh: Maktabah al-Rushd, 1998.

Page 125: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

116

‗Asqala >ni>, Ah}mad bin ‗Ali> bin H}ajar al-. Fath } al-Ba>ri > Sharh } S }ah}i>h} al-Bukha >ri >.

Beirut: Da>r al-Ma‘rifah, 1379 H.

_______. Al-Is }a>bah fi> Tamyi>z al-S}ah}a>bah. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,

1415 H.

Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:

Rineke Cipta, 1993.

‗Atki, Abu > Bakr Ah}mad bin ‗Amr bin ‗Abd al-Kha >lik bin Khalad al-. Musnad

al-Bazzar. al-Madinah al-Munawwarah: Maktabah al-‗Ulum wa al-

Hikam, 2009.

Azami>, Muh}ammad Mus}}t}afa>. Menguji Keaslian Hadis-Hadis Hukum;

Sanggahan atas The Origins of Muhammadan Jurisprudence, terj,

Asrofi Shodri. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004.

Babul Ulum, Muhamamad. Genealogi Hadis Politis; Al-Muawiyat dalam

Kajian Islam Ilmiah. Bandung: Marja, 2018.

Baghdādī, Abū Bakr Aḥmad bin ‗Alī bin Thābit bin Aḥmad bin Mahdī al-

Khaṭīb al-. al-Kifāyah fi ‘Ilm al-Riwāyah. Madinah al-Munawarah:

Maktabah al-Ilmiyah, t.th.

_______. Taqyi>d al-‘Ilmi. Beirut: Ih}ya> al-Sunnah al-Nabawiyyah, T.th.

Baghda>di>, Zayn al-Di>n, ‘Abd al-Rah}ma>n bin Ah}mad bin Rajab bin al-H}asan al-

.Ja>mi’ al-‘Ulu>m wa al-H}ikam fi> Sharh} Khamsi>n Hadi>than min

Jawa>mi’ al-Kalim. Beirut: Muasasah al-Risalah, 2001.

Bakri, Ḥamzah Muḥammad Wasīm Al-. Ta’adud al-Hādithah fī Riwāyah al-Hadīth al-Nabawi; Dirāsah Ta’ṣīliyyah Naqdiyah. Qatar: Wizārah al-

Auqāf wa al-Shu‘ūn al-Islāmiyyah, 2013.

Bukhārī, Abū ‗Abd Allāh Muḥammad bin Ismā‘īl al-. Ṡaḥīḥ al-Bukhārī. Beirut: Dār Ṭauq al-Najāh, 1422 H.

Da>rimi>, Abu> Muh}ammad bin ‘Abd Alla>h bin ‘Abd al-Rah}ma>n bin Fad}l al-.

Sunan al-Da>rimi>. Beirut: Da>r al-Basha>’ir, 2013.

Dhahabi>, Abu > ‗Abd Alla >h Shamsh al-Di>n Muh}ammad bin Ah}mad bin ‗Uthma >n

bin Qayma >z al-. Siyar A’la>m al-Nubala>. Kairo: Dar al-Hadith, 2006.

Dimashqi>, Ibn Kathi>r al-. Tafsi>r al-Qura>n al-‘Az}i>m. Beirut: Da>r al-Kutub al-

‘Ilmiyyah, 1419.

Fadl, Khaled M. Abou El. Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih

Otoritatif,terj, Cecep Lukman Hakim. Jakarta: PT Serambi Ilmu

Semesta, 2004. Faiz, Fakhrudin. Hermeneutika Qurani; Antara Teks, Konteks dan

Kontesktualisasi. Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2007.

H}ali>mi>, T}a>riq As’ad. ‘Ilm Asba>b Wuru>d al-H}adi>th wa Tat}bi>qa>tihi> ‘inda al-Muh}addithi>n wa al-Us}u>liyyi>n. Beirut: Da>r Ibn H}azm, 2001.

Page 126: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

117

H}arani>, Abu> al-‘Abba>s, Taqi> al-Di>n Ah}mad bin ‘Abd al-H}ali>m bin Ibn

Taymiyah al-. Majmu> Fata>wa. Madi>nah al-Munawarah: Majma’ al-

Mulk Fahd Li T}iba>’ah al-Mus}h}af al-Shari>f, 1995.

Hasbillah, Ahmad Ubaydi. Nalar Tekstual Ahli Hadis; Akar Formula Kultur Moderat Berbasis Tekstualisme. Ciputat: Maktabah Darussunnah, 2018.

______. Ilmu Living Quran-Hadis: Ontologi, Efistemologi, dan Aksiologi.

Ciputat: Maktabah Darussunnah, 2019.

Hasbi, Rusli. Rekonstruksi Hukum Islam; Kajian Kritis Sahabat terhadap

Ketetapan Rasulullah. Jakarta: Al-Irfan Publishing, 2007.

Hāshimī, Abū ‗Abd Allāh Muḥammad ibn Sa‘d ibn Manī‘ Al-. al-Ṭabaqāt al-

Kubrā. Beirut: Dār Ṣādir, 1968 H.

Ha>shim, Ah}mad ‗Umar. Qawa >’id Us}u>l al-Hadi>th. Beirut: Dar al-Kitab al-

‗Araby, 1984. Hasyim, Arrazy. Teologi Muslim Puritan; Genealogi dan Ajaran Salafi.

Ciputat: Maktabah Darussunnah, 2018.

Huda, M. Khairul. Ilmu Matan Hadis: Metode Pemahaman dalam Tradisi

Ulumul Hadis. Ciputat: el-Bukhari Institute, 2019. _______.Hadis Pasukan Panji Hitam; Kesahihan, Penafsiran dan

Penggunaannya dalam Sejarah Islam Klasik. Pekalongan: Menara

Publisher, 2016.

_______. Implikasi Pemahaman Tekstual terhadap Hadis Nabi; Studi

Penggunaan Hadis oleh Ideolog Jamaah Anshar Daulah. Ciputat:

elbikhari Institute, 2018. Ḥusayni, Ibn Ḥamzah al-Dimashqi al-. al-Bayān wa al-Ta’rīf fi Asbāb al-Wurūd

al-Ḥadīth al-Sharīf. Beirut: Maktabah al-‗Ilmiyah, 1982.

H}usayni, Muh}ammad Rashid bin ‘Ali Rid}a> al-. Tafsi>r al-Mana>r. Mesir: al-

Hay’ah al-Ammah al-Mis}riyyah li al-Kitab, 1990.

H}usein Ya’qu>b, Ah}mad. Naz}ariyyah ‘Adalah al-S}ah}abah. Beirut: Da>r al-

Mah}jah al-Bayd}a, 1429 H.

Huda, Nurul. Penafsiran Politik: Kajian atas Tafsi>r al-H}uda> Karya Kolonel

Bakri Syahid. Lebak, Pustaka Qi Falah, 2014.

Ibn Ashūr, Muhammad Ṭāhir. Maqāṣid al-Sharī’ah al-Islāmiyyah. Tunis: Dar

al-Salam, 2009. Ismail, Syuhudi. Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan

dengan Pendekatan Ilmu Sejarah. Jakarta: Bulan Bintang, 2014.

‗It }r, Nu>r al-Di>n. Manhaj al-Naqd fi>‘Ulu >m al-H}adi >th. Damaskus: Da >r al-Fikr,

1981.

Jabali, Fuad. Sahabat Nabi: Siapa, Ke Mana, dan Bagaimana? Jakarta: PT Mizan Republika, 2010.

Jum‘ah, ‗A>li> al-Madkhal ila > Dira>sah al-Madha>hib al-Fiqhiyah. Kairo: Da >r al-

Sala>m, 2012.

Page 127: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

118

Ka>lu>, Muh}ammad Mah}mu>d. Juhu>d S}ah}a>bah fi> Tathabbut min al-H}adi>th al-

Shari>f. Yordania: Ja >mi‘ah al-‗Ulu >m al-Isla >miyyah al-‗Alamiyyah, 2012.

Kashmi>ri>, Muh}ammad Anwa>r Shah bin Mu’dzam Shah al-.Fayd al-Ba>ri>‘A>la>

S}ah}i>h} al-Bukha>ri>. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005.

Katta>ni>, Muh}ammad Ja‘far al-. Naz}m al-Mutana>thir min al-Aha>di>th al-

Mutawa>tir. Mesir: Da>r al-Kutub al-Salafiyah, T.th.

Khati>b, Muh}ammad ‗Aja>j al-. al-Sunnah Qabl al-Tadwi>n. Beitut: Dar al-Fikr,

1980.

Khat }t}abi, Abu > Sulayma>n Ah}mad bin Muh}ammad bin Ibra>hi>m al-. Ghari>b al-

Hadi>th. Beirut: Da>r al-Fikr, 1982. Khayr Abad, Abu Layth. Ittijāhāt fi Dirāsah al-Sunnah: Qadīmuhā wa ‘Aṣīruhā

Beirut: Mu‘asasah al-Risalah, 2010.

_______. ‗Ulu>m al-H>}adi>th As}i>luha> wa Mu’a>s}iruha >. Malaysia: Da>r al-Sha>kir,

2011.

Ku>fi>, Abu> Muh}ammad Ah}mad bin A’tham al-.Kita>b al-Futu>h}. Beirut: Da>r al-

Ad}wa>, 1991.

Madjid, Nurcholis. Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: PT Bulan Bintang,

2007.

Mas’u>di>, Abu> al-H}asan ‘A>li> bin H}useyn bin ‘A>li> al-. Muru>j al-Dhahab wa

Ma’a>din al-Jawhar . Beirut: Da>r al-Fikr, 1973.

Muhajirin, Politisasi Ujaran Nabi. Yogyakarta: Maghza Book, 2016.

Munthe, Abdul Karim. dkk, Meluruskan Pemahaman Hadis Kaum Jihadis

Ciputat: Ebi Publishing, 2017.

Muḥammad bin Muḥammad Abū Shuhbah, al-Wasīṭ fī Ulūm wa Muṣṭalaḥ al-

Ḥadītḥ. Kuwait: Ālam al-Ma‘rifah, 1983.

Nasa’i, Abu> ‘Abd al-Rah}ma>n Ah}mad bin Shu’ayb al-. Khas}a>is} Ami>r al-

Mu’mini>n ‘Ali> bin Abi> T}a>lib. Kuwait: Maktabah al-Ma‘la, 1406 H.

Naysabūrī, Abu ‗Abd Allāh al-Ḥākim Muḥammad bin ‗Abd Allāh bin

Muḥammad bin Ḥamdawayh bin Nu‘aim bin Ḥakam al-. al-Mustadrak

‘alā al-Ṣaḥīḥayn. Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyah, 1990.

______. Ma’rifah ‘Ulu>m al-H}adi>th. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1977.

Naysabu>ri>, Muslim bin H }ajja >j al-. S}ah}i>h} Muslim. Beirut: Da>r Ih}ya > al-Tura>th al-

‗Arabi>, T.th.

Nawa >wi>, Abu > Zakariya > Muh}y al-Di>n bin Yah}ya > bin Sharaf al-. Al-Minha>j Sharh}

S}ah }i >h} Muslim. Beirut: Da >r Ih}ya > al-Tura>th al-‗Arabiy, 1392 H.

Nu>h, Sayyid Muh}ammad Sayyid. Al-S}ah}a>bah wa Juhu >duhum fi> Khidmah al-

H}adi }th al-Nabawiy. Kulliya >t al-Ada >b Qism al-Dira>sa >t al-Isla >miyyah bi

Ja>mi‘ah al-Ima >rat al-Isla >miyyah al-Muttahidah.

Qadir, Aceng Abdul. Teologi dalam Periwayatan. Bandung: Pustaka Aura

Semesta, 2013.

Page 128: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

119

_______. Regionalisme dalam Periwayatan Hadis: Asal-Usul Hadis Berdasar

Sanad Geografis Kufah. Bandung: Pustaka Aura Semesta, 2019.

Qaraḍāwī, Yūsuf al-. Kayfa Nata’āmal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyah. Beirut:

Dar al-Syuruq, 2002.

_______. Al-Bid’ah fi> al-Di >n: Haqi >qatuha> wa Asba >buha> wa Aqsa >muha wa

Atha >ruha. Kairo: Maktabah Wahbah, 2012.

_______. Dirāsah fī Fiqh al-Maqāṣid al-Sharī’ah bayn al-Maqāṣid al-Kulliyyah wa al-Nuṣūṣ al-Juz’iyyah. Kairo: Dar al-Shuruq, t.th.

Qa>ri>, ‘Ali> bin Sult}an Muh}ammad al-. Mirqa<>h al-Mafa>tih Sharh} Mishka<h al-

Mas}a>bi>h{. Beirut: Dar al-Fikr, 2002.

Qa>simi>, Muh}ammad Jama>l al-Di>n bin Muh}ammad Sa’i>d bin Qa>sim al-Halaq al-

. Qawa >’id al-Tah}di>th fi > Funu>n Mus}t}ala>h} al-H}adi>th. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, T.th.

Qaysi>, Abd al-Qa >dir Muh}ammad al-. Al-Ijtiha >d wa al-Taqli>d f i> al-Shari >’ah al-

Isla >miyyah ‘Inda al-Ima >m Abi > H>}ani >fah. Beirut: Da >r al-Kutub al-

‗Ilmiyyah, 1971.

Qazwayni>, Abu > ‗Abd Alla>h Muh}ammad bin Yazi>d al-. Sunan Ibn Ma>jah.

Beirut: Da>r al-Risa>lah, 2009.

Qurṭubī, Abū ‗Umar Yūsuf bin ‗Abd Allāh bin Muḥammad bin ‗Abd al-Bar bin ‗Āṣim al-. al-Istī’āb fī Ma’rifah al-Aṣḥāb. Beirut: Darul Jil, 1992.

_______. Ja>mi Baya>n al-‘Ilm wa Fad}lihi>. al-Mamlakah al-‘Arabiyah al-

Sa’u>diyyah: Da>r Ibn al-Jawzi, 1994.

Qurt}ubi, Abu> ‘Abd Alla>h Shams al-Di>n al-. al-Ja>mi’ li Ah}ka>m al-Qura>n. Kairo:

Da>r al-Kutub al-Mis}riyyah, 1964.

Qurashi>, Abu > al-Fida > Isma >’i>l bin Kathi>r, al-. Al-Ba’i>th al-Hathi>th Sharh } Ikhtis}a>r ‘Ulu>m al-Hadi>th. Beirut: Da>r al-Kutub al-‗Ilmiyyah, T.th.

_______. Al-Bida>yah wa al-Niha>yah. Beirut: Da>r Ih}ya> al-Tura>th al-‘Arabiy,

1988.

Qushayri>, Abu> al-Fath} Taqi> al-Di>n Muh}ammad bin ‘Ali> bin Wahhab bin Mut}i>’

al-. Sharh} al-Arba>’i>n al-Nawa>wiyyahfi> al-Ah}a>di>th al-S}ah}i>h}ah al-

Nabawiyyah. Muasasah al-Rayan, 2003.

Rahman, Fazlur. Islamic Metodology in History. Islamabad: Research Institute,

1964. _______. Islam, terj, Ahsin Muhamad. Bandung: Pustaka, 2003.

Ra>zi, Fakhr al-Di>n al-. Mafa>ti>h} al-Ghayb. Beirut: Da>r Ih}ya> al-Tura>th al-

‘Arabiy, 1420 H.

Rāzi, Ibn Abī Ḥātim al-. al-Jarḥ wal-al-Ta’dīl. Beirut: Dār Iḥya al-Turāth al-

‗Arabi, 1952. Sa‘īd, Muḥammad Ra‘fat. Asbāb Wurūd al-Ḥadith; Taḥlīl wa Ta’sīs. Qatar:

Wizārah al-Shu‘ūn wa al-Awqāf al-Islāmiyyah, 1414 H.

Page 129: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

120

Sakhawi>, Shams al-Di>n Muh}ammad bin ‗Abd al-Rahma>n al-. Fath } al-Mugi >th bi

Shar Alfiyah al-H}adi>th. Mesir: Maktabah al-Sunnah, 2003.

Shadr, Musa. Syuhada Padang Karbala. Bandung: Mizan, 1996.

Sayyid, Muh}ammad Muba >rak. Mana >hij al-Muh}addithi >n. Kairo: Kulliyah Us }u>l

al-Di>n, 1998.

Schacht, Joseph. The Origins of Muhammadan Jurisprudence. Oxpord: Clarendon University Press, 1950.

S}a>lih, S}ubh}i> Ibrahim. Ulu>m al-Hadi>th wa Mus}t}ala>h}uhu>. Beirut: Da>r al-Ilm lil

Malayin, 1984.

Sha>l, Sa‘ad bin Sayid Qut}b al-.Ada>b al-Ikhtila>f bayn al-S}ah}a>bah wa Atha>ruhu> ‘ala al-wa>qi’ al-Isla>miy; Dira>sah Manhajiyah Us}u>liyyah Tarbawiyah

wa Da’awiyyatun. Beirut: Da>r al-Bashi>r al-Ima>rat, 2017.

Shayba>ni>, Abu > Bakr bin Abi> ‗A>s}im al-.al-Ah}a>d wa al-Matha>ni>. Riyad: Da>r al-Rayah, 1991.

Shayba >ni>, ‗A>li > bin Abi> al-Karam Muh}ammad bin Muh}ammad bin ‗Abd al-

Kari>m bin ‗Abd al-Wah}i>d al-. Usd al-Gha >bah fi Ma’rifah al-S}ah }a>bah.

Beirut: Da>r al-Kutub al-‗Ilmiyyah, 1994.

Shayba>ni, Izz al-Dīn Ibn al-Athīr al-. al-Kāmil fi al-Tārīkh. Beirut: Dār al-Kitab

al-‗Arabiy, 1997.

Shayba >ni>, Abu >‗Abd Alla >h Ah}mad bin Muḥammad bin H }anbal al-. Musnad

Ah }mad bin H}anbal. Kairo: Da >r al-H}adi>th, 1995.

Sha>t}ibi, Abu> Isha>q al-. Al-Muwa>faqa>t fi> Us}u>l al-Shari>’ah. T.p: Da>r Ibn ‘Affa>n,

1997.

Sibā‘ī, Muṣṭafā al-. al-Sunnah wa Makānatuhā fi al-Tashrī’ al-Islām (Kairo:

Dār al-Salām, 2012 Soehartono, Irawan. Metode Penelitian Sosial. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya, 2011.

S}u>ya>ni>, Abu> ‘Umar Muh}ammad bin Ah}mad al-. Al-Si>rah al-Nabawiyyah Kama>

Ja’at fi> al-Ah}a>di>th al-S}ah}i>h}ah. T.p: Maktabah al-‘Abi>kan, 2004.

Suyūṭī, Abd al-Raḥmān bin Abī Bakr Jalāl al-Dīn al-. al-Luma’ fī Asbāb Wurūd

al-Ḥadith. Beirut: Dār al-Fikr, 1996. _______. Miftāḥ al-Jannah fi al-Iḥtijāj bi al-Sunnah. Madinah al-Munawwarah:

al-Jāmi‘ah al-Islāmiyyah, 1989.

_______. Tadrīb al-Rāwī fī Sharḥ Ṭaqrīb al-Nawāwī. Beirut: Dār Ṭayyibah, t.th.

______. Alfiyah al-Suyut}i> fi ‘Ilm al-H{}adi>th. Tp: Maktabah Ilmiyyah, T.th.

Shirbini, ‘Ima >d al-Sayid Muh}ammad Isma‘il al-. ‘Ada >lah al-S}ah}a>bah Rad}iya

Alla>h ‘anhu fi> D}au’ al-Qur’a >n al-Kari>m wa al-Sunnah al-Nabawiyyah

wa Daf’ al-Shubuha >t. Multaqa> Ahl al-H}adi>th, T.Th.

Shaḥrūr, Muḥammad.al-Sunnah al-Rasūliyyah wa al-Sunnah al-Nabawiyyah.

Beirut: Dār al-Saqi, 2012.

Page 130: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

121

Shuhbah, Abū. Muḥammad bin Muḥammad. Fi Riḥab al-Sunnah: al-Kutub al-

Ṣiḥḥah al-Sittah. Kairo: Silsilah al-Buhūth al-Islamiyah, T.th.

Sijista >ni>, Abu > Da >wud al-. Sunan Abi > Da>wud. Beirut: al-Maktabah al-As }riyyah

Shayda, T.th.

Sirry, Mun‘im. Tradisi Intelektual Islam; Rekonfigurasi Sumber Otoritas

Agama Malang: Madani Media, 2015.

_______.Kontroversi Islam Awal: Antara Mazhab Tradisionalis dan Revisionis.

Bandung: Mizan, 2015.

_______. Kemunculan Islam dalam Kesarjanaan Revisionis. Yogyakarta: Suka

Press, 2017.

Syukrani, Fasjud. Melacak Format Evolusi Pemahaman Kritis Sunnah-Hadis

Muhammad Shahrur. Jakarta: Tesis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

2017.

T}abari>, Muh}ibb al-Di>n Ah}mad bin ‘Abd Alla<h al-. Dhakha>’ir al-‘Uqba> fi

Mana>qib Dhawi> al-Qurba>. Kairo: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1365 H.

Ṭabāri>, Muḥammad bin Jarīr al-. Tārīkh al-Rusul wa al-Mulūk. Beirut: Dār al-

Turāth, T.th.

______. Jami>’ al-Baya>n fi> Ta’wi>l al-Qur’a>n. Beirut: Muasasah al-Risalah,

2000.

T}ah}a>n, Mah}mu>d al-. Taysi>r Mus}t}ala>h al-Hadi>th. Beirut: Dar al-Fikr, T,th.

Tami>mi>, Muh}ammad bin H}ibban bin Ah}mad bin H}ibban bin Mu’a>dh bin

Ma‘bad al-. al-Ih}sa>n fi>Taqri>bS}ah}i>h} Ibn H}ibban. Beirut: Muassasah al-

Risa>lah, 1988.

Tharabishi, George. Min Isla>m al-Qur’a>n ila> Isla>m al-H}adi>th. Beirut: Da>r al-

Sa>q, 2007.

Tirmidhi>, Muh}ammad bin ‗I >>sa al-. Sunan al-Tirmidhi>. Beirut: Da >r al-Gharb al-

Isla >miy, 1998.

Ulya, Atiyatul. Hadis dalam Perspektif Sahabat; Kajian Ketaatan Sahabat

terhadap Rasul dalam Konteks Pemahaman Hadis (Disertasi) UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008. Umar, Nasaruddin. Deradikalisasi Pemahaman Alquran dan Hadis. Jakarta:

Quanta, 2015.

‗Uthma >n bin ‗Abd al-Rah}ma >n bin S }ala >h}, Ma’rifah Anwa>’ ‘Ulu >m al-Hadi >th.

Beirut: Da>r al-Fikr, 1986.

Wahid, Abdul Hakim. Autentisitas Hadis Nabi; Studi Riwayat Nafi Mawla Ibn ‘Umar dalam Kitab al-Shahihayn (Cirebon: Nusa Literasi Inspirasi,

2017

Wijaya, Aksin. Sejarah Kenabian dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad

Izzat Darwajah. Bandung: Mizan, 2016.

Page 131: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

122

Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT Raja Grapindo Persada,

1998.

Yaqub, Ali Mustafa. al-T>}uruq al-S>}ah}i>h}ah fi} Fahm al-Sunnah al-Nabawiyyah.

Ciputat: Maktabah Dar al-Sunnah, 2016.

Yaqub, Ali Mustafa. Kritik Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2018.

Zahra>ni>, Muh}ammad Mat }ar al-. Tadwi >n al-Sunnah al-Nabawiyyah Nash’atuhu >

wa Tat }awwuruhu > min al-Qarn al-Awwal ila Niha>yah al-Qarn al-Ta>si’

al-H}ijri}. al-Mamlakah al-‗Arabiyyah al-Sa‘u >diyyah: Da >r al-Hijrah,

1996.

Jurnal, Artikel Website dan lain-lain:

‘Abd Allāh, Yusri Sa‘d. Asbāb Wurūd al-Ḥadith wa Athāruha fī Fahm al-

Sunnah al-Nabawiyyah. Majallah al-Syarī‘ah wa al-Dirāsah al-

Islāmiyyah, Jāmi‘ah Ifrīqiyya al-‗Alamiyah, Sudan, No. 14, 2009.

Hasbillah, Ahmad Ubaydi. Sirah Nabawiyah dan Demitologisasi Kehidupan Nabi. Journal of Quran and Hadith Studies, Vol. 1, No. 2, 2012 (Juli-

Desember 2012).

Izzudin Washil dan Ahmad Khoirul Fata, Hadis Ghadir Khum dalam

Pandangan Syi’ah dan Sunnah, dalam al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu Al-

Quran dan Hadis, Vol. 12, No. 1, Juni 2018.

Mujiburohman, Kritik terhadap Pemahaman Hizbut Tahrir atas Hadis-hadis

Khilafah. Jurnal Refleksi, Volume 15, Nomor 1, April 2016.

Moh. Najib, Agus. ―‗Amal ahl al-Madi>nahsebagai Sumber Hukum Islam;

Pandangan Imam Ma >lik bin Anas atas Kitab Muwat }a‖, dalam Al-

Madzahib: Jurnal Pemikiran Hukum, Vol. 3, No. 1, Juni 2015, 193.

Nadhiran, Hedhri. Periwayatan Hadis bil makna; Implikasi dan Penerapannya

sebagai Uji Kritik Matan di Era Modern. Jurnal Ilmu Agama, Volume

14, Nomor 2, Desember 2013.

Rodliyana, Dede. ―Hegemoni Fiqh terhadap Penulisan Kitab Hadis‖ Journal of

Quran and Hadith Studies, Vol. 1, No. 1, 2012 (Juli-Desember 2011),

133. Rofi‘ah, Nur. Hermeneutika Alquran: ―Melacak Akar Problem Krusial

Penafsiran‖ , dalam Mimbar: Jurnal Agama dan Budaya, Vol. 24, No.

1, 2007.

Tangngareng,Tasmin. ―Kepemimpinan Perempuan dalam Perspektif Hadis”,

dalam Karsa: Jurnal Sosial dan Budaya Keislaman, Vol. 23 No. 1, Juni

2015.

David R. Vishanoff, ‚Islam and Literalism: Literal Meaning and Interpretation

in Islamic Legal Theory‛, Islam and Christian–Muslim Relations, (2014).

Page 132: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

123

Sumber: http://dx.doi.org/10.1080/09596410.2014.946823. Diakses pada 31-

07-2019.

Umar, Nasarudin. ―Politisasi Ayat dan hadis‖ dalam

https://mediaindonesia.com/read/detail/157480-politisasi-ayat-dan-hadis.

Ulil Abshar Abdalla, ―Politik Mengutip Ayat dan Kekacauan Efistemologis‖

dalamhttp://islamlib.com/gagasan/islam-liberal/politik-mengutip-ayat-dan-kekacauan-epistemologis.

Anshor Bahary, Memahami Hadis Kepemimpinan Wanita (Studi Interpretasi

Hermeneutika Gender Khaled M. Abou El Fadl dalam

https://www.academia.edu/24062866/Memahami_Hadis_Kepemimpinan_Wanita_Studi_Interpretasi_Hermenetika-Gender_Khaled_M._Abou_El_Fadl(diakses pada 07-07-2020).

Page 133: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

124

GLOSARIUM

‗Amal ahl al-Madi>nah Praktik penduduk Madinah yang kemudian dijadikan sebagai sumber hukum Islam oleh Malik bin Anas. Ia

menjadikannya sebagai landasan bagi produk-produk

fikihnya. Bahkan lebih dari itu, ia lebih memilih Praktik penduduk Madinah ketimbang hadis ahad

ketika keduanya tampak kontradiktif.

‗Ada>lah al-S}ah}a>bah Yang dimaksud adil dalam kaitannya dengan

Sahabat ialah, istiqamah dalam menjalankan agama, bertakwa, tidak berbohong mengatasnamakan Nabi

karena dilandasi iman yang kuat, mampu menjaga

harga diri, memiliki budik pekerti yang tinggi dan lain sebagainya. Makna adil di sini bukan terbebas

dari maksiat, kelalaian, ataupun kesalahan.

Ahl al-Sunnah wa al-

Jama >’ah

Disebut juga dengan mazhab Sunni, yaitu mazhab

dalam Islam yang menganggap bahwa Nabi SAW tidak pernah mewariskan mandat kekhalifahan

kepada siapa pun di antara para Sahabat.

Asba>b al-nuzu>l Sebab-sebab atau latar belakang turunnya ayat Alquran.

Asbāb al-wurūd Sebab-sebab atau latar belakang diucapkannya hadis

oleh Nabi SAW.

Asbāb al-i>ra>d atau

sabab al-i>ra>d Sebab, konteks, atau latar belakang yang memotivasi

Sahabat menyampaikan sebuah hadis.

Ahlul Bait Terjadi perdebatan yang cukup alot tentang siapakah

yang masuk dalam kategori Ahlul Bait. Sunni dan

Syi‘ah berbeda dalam mendefinisikan Ahlul Bait.

Sunni mendefinisikannya secara luas, meliputi istri-istri dan cucu-cucu Nabi, bahkan juga

mengkategorikan mertua-mertua dan menantu-

menantu Nabi sebagai bagian dari Ahlul Bait. Sementara Syi‘ah berpendapat bahwa Ahlul Bait

hanya mencakup lima orang saja yaitu, Nabi SAW,

Ali, Fathimah, Hasan dan Husein.

Baiat Ridwan Perjanjian setia kelompok Sahabat kepada Nabi SAW yang terjadi pada tahun ke-6 H di dekat Mekah

dan sebelum perdamaian Hudaibiyah.

Page 134: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

125

Hadis

Segala hal yang dinisbatkan kepada Nabi SAW, baik

perkataan, perbuatan, ketetapan dan sifat-sifatnya.

Khawarij Sebuah sekte dalam Islam yang pada mulanya

mengakui kekhalifahan Ali, kemudian memberontak

disebabkan peristiwa tahkim.

Khit}a>b Sasaran bicara atau orang yang diajak bicara

Al-Kutub al-Sittah Kitab-kitab hadis enam yaitu, S}ah}i>h} al-Bukha>ri, S}ah}i>h Muslim, Sunan Abi> Da>wu>d, Sunan al-Tirmidhi>, Sunan al-Nasa>’i>dan Sunan Ibn Ma>jah.

Matan Redaksi hadis

Perang Jamal Peperangan antara kubu Ali dan Aishah. Perang ini

terjadi, karena pasca terbunuhnya ‗Uthma >n, beberapa

Sahabat seperti ‗A>ishah, T }alh}ah dan Zubayr,

menuntut khalifah ‗A>li > agar segera menyelesaikan

secara tuntas kasus pembunuhan ‗Uthma >n. Mereka

menuntut bela terhadap ‗Uthma >n yang darahnya ditumpahkan secara zalim. Ali sebenarnya ingin

sekali menghindari peperangan. Ia mengirim surat

kepada T }alh}ah dan Zubayr agar keduanya mau berunding untuk menyelesaikan perkara itu secara

damai. Namun, ajakan tersebut ditolak. Akhirnya,

terjadilah peperangan. Perang ini dikenal dengan

istilah ―Perang Jamal (Unta)‖ karena ‗A>ishah dalam peperangan itu menunggangi unta. Ali berhasil

mengalahkan kubu ‗A>ishah. Bahkan, T }alh}ah dan Zubayr terbunuh pada saat hendak melarikan diri,

sedangkan ‗A >ishah ditawan dan dikembalikan lagi ke Madinah.

Perang Shiffin Perang ini terjadi antara kubu A>li> dan Mu’a>wiyah

bin Abi> Sufya>n. Pada saat menjabat sebagai khalifah,

‗A>li> banyak me-reshuffle pejabat-pejabat negara

yang tidak disenangi, meresahkan, bahkan memperkosa hak-hak rakyat. Mereka yang dimaksud

adalah pejabat pemerintahan yang berasal dari

keturunan Umayah yang memanfaatkan kekuasaan

khalifah ‗Uthma>n. Selain itu, ‗A>li> juga menarik

kembali tanah yang dihadiahkan ‗Uthma>n kepada

penduduk dan mengembalikannya kepada negara,

Page 135: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

126

serta menerapkan kembali sistem pajak yang pernah

berlaku pada masa ‗Umar. Kebijakan tersebut tentu dinilai kontroversial terutama oleh mereka yang

merupakan keturunan ‗Umayah. Tak hanya itu, ‗A>li

juga dinilai tidak mampu memenuhi keinginan

mereka, yaitu menghukum pembunuh ‗Uthma>n. Hal

ini dijadikan momen yang tepat oleh Mu’a>wiyah –yang saat itu menolak berbaiat—untuk

memprovokasi masyarakat. Ia sengaja memamerkan

jubah khalifah ‗Uthma>n yang masih berlumuran darah. Bahkan lebih dari itu, ia memprovokasi

masyarakat dengan mengatakan bahwa pembunuhan

Uthman atas perintah ‗A>li. Singkat cerita,

Mu’a>wiyah menyiapkan pasukan dalam jumlah yang

besar untuk melawan pasukan ‗Ali. Sementara itu, di

lain pihak, ‗A>li> tidak tinggal diam. Ia menilai

tindakan Mu’a>wiyah dan pengikutnya tersebut telah keluar dari batas kewajaran, bahkan mereka

dianggap sebagai pemberontak karena menolak

untuk berbaiat dan melaksanakan kebijakan-kebijakannya. Akhirnya, Ali berinisiatif untuk

menundukan mereka agar kembali kepada persatuan.

‗A>li> menyiapkan pasukan dan terjadilah pertempuran di dataran Shiffin pinggiran sungai Eufrat. Pada

peperangan ini, pasukan ‗A>li> berhasil memukul

mundur pasukan Mu’a>wiyah.

al-Riwa>yah bi al-lafz}i>

Periwayatan atau penyampaian hadis sesuai apa

yang dikemukakan periwayat sebelumnya dan

dengan lafadz yang didengarnya tanpa ada perubahan atau pergantian, penambahan atau

pengurangan, dan tanpa mendahulukan (suatu lafal)

atau mengakhirkannya.

al-Riwa>yah bi al-ma’na > Penyampaian atau periwayatan hadis berdasarkan

maknanya, baik seluruh lafaznya dari periwayat atau

hanya sebagiannya saja dengan syarat ia memelihara pesan dan maknanya.

Sanad Mata rantai para perawi hadis yang menghubungkan

sampai kepada matan hadis.

Sahabat Orang yang semasa hidupnya pernah bertemu dengan Nabi dalam keadaan Islam dan wafat dalam

keadaan Islam.

Page 136: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

127

Salaf al-s}a>lih Generasi yang hidup pada tiga abad pertama pasca

kemunculan Islam.

Syiah Sebuah mazhab teologi dalam Islam yang

menganggap bahwa Nabi telah mewasiatkan mandat

kepemimpinannya kepada Ali bin Abi Thalib terutama pada saat berada Ghadir Khum, tetapi

kemudian gagal menjadi khalifah sebagai akibat dari

peristiwa di Saqifah Bani Sa‘idah.

Tabiin Orang yang semasa hidupnya bertemu dengan Sahabat dalam keadaan Islam dan wafat dalam

keadaan Islam.

Page 137: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

128

INDEKS

‗A>ishah, 55, 60, 79, 80, 81, 82, 83, 95, 96

‗A>li, 1, 3, 55, 59, 61, 70, 73, 74, 79, 81, 83,

84, 85, 86, 88, 89, 91, 95, 96, 97, 98, 99,

103, 105, 106

‗Abd Allah bin Umar, 31, 32, 33

‗ada>lah al-S>>}ah}abah, 19

‗Ajja>j al-Kha>t}ib, 72

‗Ali, 2, 24, 25, 38, 46, 55, 65, 81, 82, 83, 87,

91, 99, 100, 101, 105, 106

‗Umar bin Khat}t}a>b, 6, 8, 15, 46, 58, 68, 74,

87, 88, 89, 98, 102, 105

‗Uthma>n, 15, 45, 46, 49, 53, 58, 59, 60, 65,

81, 83, 87, 92, 93, 98, 105, 106

A

Abu>Bakar, 62, 73, 74, 90, 91, 109

Abu> Bakrah, 66, 79, 80, 82, 83, 84, 85, 86,

87, 88

Abu> Layth, 3, 23, 43, 53, 54

Abu> Rayyah, 26, 35, 38, 39, 40, 41, 42

Ah}naf bin Qays, 84, 85, 86, 87

Ahl al-Bayt, 99, 100, 101

Ahlal-Sunnah wa al-Jama>’ah, 48

Al-Bukha >ri, 51, 52, 57, 58, 67, 79, 84, 86,

90, 92, 93, 94, 95, 97

Alī bin Abī Ṭālib, 1

al-Kashmi>ri, 87, 88

al-Khaṭīb al-Baghdādī,, 23, 48, 50, 59

Al-Nawa >wi, 53

Alquran, 1, 2, 3, 4, 11, 14, 20, 21, 23, 24, 25,

26, 46, 49, 53, 54, 56, 61, 71, 72, 73, 93,

103, 110

al-riwa>yah bi al-ma’na, 19, 20, 34

al-Sha>fi’i>, 20, 71

Atiyatul Ulya, 8, 15, 16, 73, 74, 78

B

Badr al-Di>n al-‘Ayni, 87

Baiat Ridwan, 50, 66

D

Dinamika, 4, 101

dinamis, 8, 26, 74, 77, 78, 94, 96, 101, 108,

110

F

Fa >t}imah, 58, 70, 78, 96, 97, 98, 99, 100, 101

Fathima Mernisi, 83, 84, 85

Fazlur Rahman, 1, 2, 3, 5, 8, 9, 21, 25, 26,

42, 61, 70, 73, 109

fitnah al-kubra, 55, 105

fleksibel, 3, 8, 10, 39, 45, 77, 107

H

H}useyn, 59, 95, 96, 99, 100

Hadis, 2, 3, 7, 8, 9, 15, 20, 22, 23, 24, 25,

26, 27, 28, 30, 31, 33, 34, 36, 43, 47, 49,

50, 51, 52, 53, 56, 57, 59, 61, 64, 65, 66,

67, 72, 73, 74, 75, 77, 78, 79, 80, 83, 84,

85, 86, 88, 90, 91, 92, 94, 96, 97, 100,

101, 107, 108

I

Ibn ‗Abba>s, 68, 92, 94, 95, 96

Ibn ‗Abd al-Bar, 53, 54, 64, 68, 69, 71

Ibn Abī Ḥātim al-Rāzi>, 6

Ibn H}ajar al-‗Asqala>ni>, 7, 51, 64, 79, 83, 87,

103

Ibn H}amzah al-Dimashqi, 28, 33, 75, 77, 94,

107

Ibn Kathi>r, 35, 45, 51, 99

ijtihad, 2, 9, 11, 55, 56, 71, 72, 87, 109, 110

J

Jibril, 57, 78, 103, 104

Page 138: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

129

K

Karbala, 99, 100, 101

Khaled Abou El Fadl, 82

Khawarij, 1, 63

Kisra, 79, 80, 81, 83, 85

kontekstualis, 6, 78, 88, 96, 101, 108

kontekstualisasi, 2, 11

M

Ma>lik bin Anas, 35, 61, 62

Madinah, 23, 27, 32, 47, 48, 53, 54, 59, 61,

62, 64, 65, 66, 75, 82, 95, 96, 98, 100,

101, 105, 108

Miswa>r bin Makhramah, 96, 97, 98

Mu’a>wiyah, 25, 32, 55, 63, 65, 66, 83, 99,

105, 106, 107

Muh}ammad, 2, 9, 20, 26, 28, 30, 33, 35, 36,

37, 38, 40, 41, 42, 46, 53, 55, 56, 57, 58,

59, 60, 65, 66, 67, 68, 70, 71, 72, 73, 79,

80, 81, 85, 86, 87, 88, 96, 97, 98, 103,

105

P

Persia, 33, 79, 80, 81, 83, 104

Q

Qa>d}i> ‘Iya>d, 53, 90, 103

R

riwayat bi al-lafz}i>, 34, 35, 36, 37, 38

riwayat bi al-ma’na, 34, 35, 36, 37, 38, 39,

42, 43, 44

Rusli Hasbi, 15, 16, 78

S

S}iffi }n, 55

Sa‘ad bin Sayid Qut}b al-Sha>l, 7, 16, 46, 48,

53, 55, 56, 71, 72

sabab al-i>ra>d, 12, 19, 20, 27, 28, 29, 30, 33,

77

sabab al-wuru>d, 12, 18, 19, 20, 27, 28, 30,

77, 79, 80, 89, 98, 103

Sahabat, 1, 2, 6, 7, 8, 10, 11, 12, 13, 14, 15,

16, 17, 18, 19, 20, 27, 28, 30, 33, 37, 38,

39, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 53,

54, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64,

65, 66, 67, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 77,

78, 79, 80, 81, 82, 86, 87, 88, 91,

93,鮠94, 96, 97, 98, 100, 102, 104, 105,

107, 108, 109, 110

salaf al-s}a>lih}, 7, 8

sekte, 1

semi kontekstualis, 78, 96, 108

Shiffin, 63, 105

sunnah, 3, 5, 8, 9, 10, 14, 16, 17, 20, 22, 23,

25, 26, 30, 43, 46, 47, 61, 62, 63, 71, 72,

73, 74, 76, 77, 95, 96, 103, 109

Sunni, 2, 17, 46, 63

Syuhudi Ismail, 25, 34, 49, 50, 51, 52, 53,

64, 66

T

tabiin, 27, 29, 31, 38, 47, 61, 62, 64, 75, 98,

107

tekstualis, 5, 6, 78, 85, 88

teologis, 14, 20, 21, 35, 36, 37, 38, 49, 50,

51, 80, 104

Y

Yazid bin Mu‘awiyah, 31, 32

Z

Zayn al ‗A>bidi>n bin H}useyn, 99

Page 139: dinamika penggunaan hadis oleh sahabat nabi

130