54 | Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon A. Pendahuluan Dunia ini lari tunggang langgan demikian kata seorang sosiolog. Betapa tidak kita belum sempat menikmati suatu produk teknologi, produk teknologi yang lebih canggih dan powerfull muncul lagi dengan gaya yang lebih elegan dengan harga yang sama bahkan lebih murah. Contoh mudah yang sering kita saksikan adalah alat komunikasi berupa handphone. Hampir setiap saat kita disuguhi munculnya produk-produk baru yang lebih gaya dan kaya dengan fitur-fitur yang serba mewah. Ini barulah satu sisi kehidupan modern Diprediksikan era globalisasi yang unlimited ini menjadikan teknologi komunikasi sebagai mainstream di abad milenium ke III, akan berkembang menjadi banjir informasi yang berpotensi sebagai sumber stress kronik, yaitu sebagai diseases of adaptation (penyakit adaptasi). Para psikolog sepakat bahwa karakteristik dari diseases of adaptation masyarakat pascamodern adalah munculnya alienasi. Individu menjadi otomat-otomat yang kehilangan spontanitasnya. Perilakunya menjadi robotis. Manusia berperan seperti robot yang bergerak secara monoton, tanpa emosi, nilai dan makna hidup (los exspectations). 1 Pemujaan materialisme dan rasionalisme ternyata tidak mampu memenuhi "dahaga" masyarakat pascamodern dalam mencari sebuah eksistensi kemanusiaan. Secara normatif, manusia sebagai homo religius akhirnya berusaha melakukan rekonsiliasi antara materi dan immateri. Mistisisme (sufisme) sebagai antitesis dari materialisme dan rasionalisme, sering kali ditengarai sebagai biang keladi kemelaratan, 1 www.indomedia.com/bpost/072000/25/opini/opi ni1.htm diakses tanggal 24 Oktober 2008 DILEMA MISTISISME DAN KEMANUSIAAN Oleh: Muhsin (Dosen Pada Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Ambon) Abstract The emergence of concerns that if the mysticism is rampant, the people will become apathetic, not progressive, anti-social, not without reason, because a lot of evidence to support these concerns. However, it cannot be used as an argument to dispose tasawwuf of Islam because many also evidence suggesting that tasawwuf triggers progression. In the modern era, many people go through life with a feeling of emptiness as a result of the removal of the mysticism from the modern epistemology scene and the widespread of materialism. These circumstances would give birth to an unstable man, easy to stress and even end his life by tragic. This is where the role of tasawwuf needed as a counterweight, as tasawwuf can restore confidence and optimistic attitude during the practice of tasawwuf are in line with the Qur'an and Sunnah. Kata kunci: Mistisime, Sufi, Keseimbangan,
12
Embed
DILEMA MISTISISME DAN KEMANUSIAAN - · PDF filemasyarakat pascamodern dalam mencari sebuah ... dimensi ini, tasawuf (mistisisme dalam Islam) ... kehidupan kerohanian dalam Islam tidak
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
M u h s i n
54 | Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon
A. Pendahuluan
Dunia ini lari tunggang langgan demikian
kata seorang sosiolog. Betapa tidak kita belum
sempat menikmati suatu produk teknologi,
produk teknologi yang lebih canggih dan
powerfull muncul lagi dengan gaya yang lebih
elegan dengan harga yang sama bahkan lebih
murah. Contoh mudah yang sering kita saksikan
adalah alat komunikasi berupa handphone.
Hampir setiap saat kita disuguhi munculnya
produk-produk baru yang lebih gaya dan kaya
dengan fitur-fitur yang serba mewah. Ini barulah
satu sisi kehidupan modern
Diprediksikan era globalisasi yang
unlimited ini menjadikan teknologi komunikasi
sebagai mainstream di abad milenium ke III,
akan berkembang menjadi banjir informasi yang
berpotensi sebagai sumber stress kronik, yaitu
sebagai diseases of adaptation (penyakit
adaptasi).
Para psikolog sepakat bahwa
karakteristik dari diseases of adaptation
masyarakat pascamodern adalah munculnya
alienasi. Individu menjadi otomat-otomat yang
kehilangan spontanitasnya. Perilakunya menjadi
robotis. Manusia berperan seperti robot yang
bergerak secara monoton, tanpa emosi, nilai dan
makna hidup (los exspectations).1
Pemujaan materialisme dan rasionalisme
ternyata tidak mampu memenuhi "dahaga"
masyarakat pascamodern dalam mencari sebuah
eksistensi kemanusiaan. Secara normatif,
manusia sebagai homo religius akhirnya
berusaha melakukan rekonsiliasi antara materi
dan immateri.
Mistisisme (sufisme) sebagai antitesis
dari materialisme dan rasionalisme, sering kali
ditengarai sebagai biang keladi kemelaratan,
1www.indomedia.com/bpost/072000/25/opini/opi
ni1.htm diakses tanggal 24 Oktober 2008
DILEMA MISTISISME DAN KEMANUSIAAN
Oleh: Muhsin
(Dosen Pada Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam
Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Ambon)
Abstract
The emergence of concerns that if the mysticism is rampant, the people will become apathetic,
not progressive, anti-social, not without reason, because a lot of evidence to support these concerns.
However, it cannot be used as an argument to dispose tasawwuf of Islam because many also evidence
suggesting that tasawwuf triggers progression. In the modern era, many people go through life with a
feeling of emptiness as a result of the removal of the mysticism from the modern epistemology scene
and the widespread of materialism. These circumstances would give birth to an unstable man, easy to
stress and even end his life by tragic. This is where the role of tasawwuf needed as a counterweight, as
tasawwuf can restore confidence and optimistic attitude during the practice of tasawwuf are in line
with the Qur'an and Sunnah.
Kata kunci: Mistisime, Sufi, Keseimbangan,
Dilema Mistisisme Dan Kemanusiaan
Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon | 55
kemiskinan dan kebodohan yang tumbuh subur
di dunia Islam. Mistisisme dianggap tidak peduli
dengan masalah-masalah kemanusiaan. Namun
saat ini sufisme lagi naik daun, tidak saja
sekadar menjadi perhatian para psikolog,
sosiolog dan teolog saja tetapi sudah dilirikoleh
banyak orang yang merasa terbelenggu dengan
kecenderungan materialisme dan nihilisme
modern atau orang-orang yang tidak puas
menjalankan ritual agama yang lahiriah. Pada
dimensi ini, tasawuf (mistisisme dalam Islam)
memiliki semua hal yang diperlukan bagi
realisasi kerohanian, memadukan antara
keselarasankehidupan aktif dan kontemplatif,
sebuah pembebasan batin yang diintegrasikan
dengan aktivitas lahir yang intens.
Terdapat pro dan kontra tentang
pengaruh tasawuf terhadap kehidupan umat
Islam. Pada satu sisi, tasawuf dituduh sebagai
faktor penyebab kemunduran umat Islam.
Tasawuf dituduh mengajarkan kepasifan dan
anti vitalitas. Tasawuf dituduh melahirkan
apatisme terhadap eksistensi kekinian manusia.
Di sisi lain, tasawuf justru diklaim sebagai upaya
mempertahankan prinsip-prinsip agama dan
kemanusiaan di tengah ketidakmenentuan tata
aturan kehidupan yang dipraktekkan manusia
B. Mistisisme dalam Islam
Tasawuf atau sufisme adalah sebutan
untuk mistisisme Islam.2 Terdapat berbagai
2Kata mistisisme sebenarnya belum masuk dalam
Kamus Bahasa Indonesia, yang ada hanya kata mistik dan mistis yang berarti hal-hal gaib yg tidak terjangkau dengan akal manusia biasa, Tim Redaksi Kamus Bahasa Indonesia , Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta:Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional), h.1032. Kata tersebut berasal dari dari bahasa Inggris yaitu mysticisme yang berati suatu kepercayaan bahwa komunikasi pribadi atau persatuan dengan Tuhan dapat terjadi, Microsoft Encarta Premium 2009, mysticisme, (USA: Microsoft Coorperation, 2008) [DVD-ROM], lihat pula, HAR Gibb dan JM, Kraemer, Shorter Encyclopedia of Islam, vol 4(Leiden: E.J. Brill, 1963), h. 112
pendapat mengenai makna tasawuf ditinjau dari
segi etimologis yaitu (1) ṣafā dalam arti suci dan
sūfi adalah orang yang disucikan; (2) ṣaff yang
terinspirasi dari posisi baris pertama dalam
shalat, dimana para sufi senantiasa menempati
posisi tersebut; (3) ahl al-ṣuffah, yaitu para
sahabat yang hijrah bersama Nabi SAW dengan
meninggalkan harta kekayaannya. Kehidupan
mereka sangat miskin dan tinggal di Mesjid Nabi
(Masjid Nabawi), tidur di atas bangku batu
dengan memakai ṣuffah (pelana) sebagai bantal.
Walaupun kondisinya demikian, namun ahl al-
ṣuffah ini berhati mulia dan tidak mementingkan
dunia, sebagaimana yang dialami oleh kaum sufi;
(4) Sophos (bahasa Yunani) yang berarti hikmah
dimana perolehan hikmah tersebut senantiasa
dialami oleh kaum sufi; (5) ṣūf yakni kain wol
yang kasar dan kusut yang melambangkan
kesederhanaan kaum sufi, karena mereka
menghindarkan diri dari kemewahan dan
keistimewaan dunia.3 Pakaian ini juga
melambangkan sifat perlawanan dan protes
terhadap pakaian kaum istana yang mewah. Kata
yang terakhir inilah yaitu ṣūf yang tampaknya
paling sesuai dengan kaidah morfologi bahasa
Arab yang membentuk kata taṣawwuf.
Definisi tasawuf bisa saja berbeda di
antara para sufi oleh karena sifatnya yang sangat
pribadi4 namun intisari mistisisme termasuk
3Lihat Margaret Smith, Reading from the Mistic of
Islam (London: Part Press, 1960), h. 4-5, lihat pula Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang) h. 56-57
4Pengertian tasawuf menurut Ibrahim Basyuni dari hasil pengamatannya terdapat kurang lebih 40-an definisi tasawuf. Namun, dari sekian banyaknya definisi ia mengategorikan tasawuf ke dalam 3 definisi, yakni al-bidāyah, al-mujāhadahdan al-mazāqāh. Ibrāhim Basyūni, Nasy’at al-Taṣawwufal-Islāmī(Mesir: Dār al-Maʻārif, t.th), h. 17, lihat pula Abū al-Qāsim Abd al-Karim al-Qusyairi, al-Risālat al-Qusyairiyah, Juz II, (al-Maktabat al-Syāmilah Versi 2) [DVD ROM}], h.126-129
M u h s i n
56 | Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon
sufisme adalah kesadaran akan adanya
komunikasi dan dialog antara roh manusia
dengan Tuhan dengan mengasingkan diri dan
berkontemplasi. Kesadaran berada dekat
denganTuhan dapat mengambil bentuk ittihād
(bersatu dengan Tuhan).5 Ajaran-ajaran tasawuf
yang dikonsepsikan oleh para sufi kesemuanya
berangkat dari paradigma bahwa manusia
mampu melakukan transformasi melalui mi’rāj
spritual ke alam Ilahiyat.6
Mengenai teori asal usul mistisisme
dalam Islam terdapat beberapa pendapat antara
lain: dari pengaruh Kristen, filsafat mistik
Pytagoras, filsafat emanasi Plotinus, ajaran
Budha dan Hindu. Tetapi bagaimanapun -
menurut Harun Nasution- dengan atau tanpa
pengaruh dari luar, sufisme bisa saja timbul
dalam Islam.7 Kenyataan dalam al-Quran
terdapat ayat-ayat yang berpotensi
memunculkan sufisme, misalnya ayat sbb:
أقرب إليه ولقد خلقنا اإلنسان ونعلم ما توسوس به نفسه وحنن
8من حبل الوريد وإذا سألك عبادي عين فإين قريب أجيب دعوة الداع إذا دعان
9فليستجيبوا يل وليؤمنوا يب لعلهم يرشدون
Munculnya istilah tasawuf baru dimulai
pada pertengahan abad VIII oleh Abu Hasyimal-
5Harun Nasution, op. cit, h.56 6Lihat Mircea Eliade (Editor in Chief), The
Encyclopedia of Religion, vol. VII(New York: Macmillan Library Reference USA, Simon & Schuster Macmillan, 1995), h. 7.
7Lebih lanjut lihat, Harun Nasution, op.cit, h.58-59, bandingkan dengan Reynold A.Nicholson, Tasawuf Menguak Cinta Ilahiah, Terjemahan oleh A. Nashir Budiman (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada), h.9-15
8QS. Qāf/50:16 9QS. Al-Baqarah/1:176
Kūfi (w. 767), seorang zahid yang menyandang
nama al-ṣūfi10 di belakang namanya. Dalam
sejarah Islam sebelum timbulnya aliran tasawuf,
terlebih dahulu muncul aliran zuhud. Aliran
zuhud timbul pada akhir abad I dan permulaan
abad II Hijriah.11 Namun benih-benihnya pun
masih bisa ditelusuri pada masa Rasulullah.
Zuhud pada masa Rasulullah sebagai
benih-benih tasawuf dapat dilihat dalam
perilaku dan peristiwa dalam hidup, ibadah dan
pribadi Nabi Muhammad. Sebelum diangkat
menjadi Rasul, berhari-hari ia berkhalwat di gua
Hira terutama pada bulan Ramadhan. Di sana
Nabi banyak berdzikir bertafakur dalam rangka
mendekatkan diri kepada Allah. Pengasingan diri
Nabi di Gua Hira ini merupakan acuan utama
para sufi dalam melakukan khalwat. Sumber lain
yang diacu oleh para sufi adalah kehidupan para
sahabat Nabi yang berkaitan dengan keteduhan
iman, ketakwaan, kezuhudan dan budi pekerti
luhur. Oleh sebab itu setiap orang yang meneliti
kehidupan kerohanian dalam Islam tidak dapat
mengabaikan kehidupan kerohanian para
sahabat yang menumbuhkan kehidupan sufi di
abad-abad sesudahnya.
Pada masa kekuasaan Bani Umayyah
(661-750), kehidupan politik berubah total.
Dengan sistem pemerintahan monarki, khalifah-
10Untuk menjadi seorang sufi bukanlah perkara yang
mudah karena harus melalui berbagai maqām (stasion yang harus dilalui sufi) dan hāl (keadaan mental yang dirasakanl). Hāl diperoleh bukan atas usaha manusia tetapi anugrah dari Tuhan dan bersifat sementara. Kemudian untuk berpindah dari suatu maqām ke maqām berikutnya terkadang ditempuh selama bertahun-tahun, lebih lanjut lihat Harun Nasution op. cit., h. 62-63, lihat pula J Spencer Trimingham, The Sufi Order, (London: Oxford University Press), h. 4
11Ihsān Ilahi Zahir, al-Taṣawwuf al-Mansya’ wa al-Maṣādir (Lahore: Idarat Tarjumān al-Sunnah, 1987), h.96
Dilema Mistisisme Dan Kemanusiaan
Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon | 57
khalifah Bani Umayyah secara bebas berbuat
kezaliman-kezaliman, terutama terhadap
kelompok Syiah, yakni kelompok lawan
politiknya yang paling gencar menentangnya.
Puncak kekejaman mereka terlihat jelas pada
peristiwa terbunuhnya Husein bin Alibin Abi
Thalib (w. 680) di Karbala. Kasus pembunuhan
itu ternyata mempunyai pengaruh yang besar
dalam masyarakat Islam ketika itu.12
Kekejaman Bani Umayyah yang tak henti-
hentinya itu membuat sekelompok penduduk
Kufah merasa menyesal karena mereka telah
mengkhianati Husein dan memberikan
dukungan kepada pihak yang melawan Husein.
Mereka menyebut kelompoknya itu dengan
Tawwābūn (orang-orang yang bertaubat). Untuk
membersihkan diri dari apa yang telah
dilakukan, mereka mengisi kehidupan
sepenuhnya dengan beribadah. Gerakan kaum
Tawabin itu dipimpin oleh Mukhtar bin Ubaid al-
Saqāfi (w. 687) yang terbunuh di Kufah.13 Aliran
zuhud atau asceticisme ini timbul pula sebagai
reaksi terhadap hidup mewah dari khalifah dan
keluarga serta pembesar-pembesar negara
sebagai akibat dari kekayaan yang diperoleh
setelah Islam meluas ke Syiria, Mesir,
Mesapotamia dan Persia.14
Selain kondisi sosial politik di atas,
tasawwuf juga muncul sebagai reaksi terhadap
sikap fuqaha, yang terlalu menekankan aspek
hukum dalam menafsirkan Islam, sehingga
mengarahlah umatnya pada pemujaan terhadap
hukum sebagai suatu ekspresi Islam yang
lengkap dan menyeluruh. Padahal sesungguhnya
12 Dewan Redaksi Endiklopedi Islam, Ensiklopedi
Islam, (Jakarta: PT.Ichtiar Baru Van Joeve), 1993, hlm.80 13Ibid. 14 Harun Nasution, op. cit., h. 64
hukum itu hanyalah berkaitan dengan laku
perbuatan eksternal manusia dari masyarakat.
Dalam perkembangan selanjutnya, gerakan sufi
yang pada awalnya hanya merupakan gerakan
yang menekankan pada umat manusia tentang
pentingnya purifikasi spiritual dan dimensi
moral, telah berubah menjadi suatu metode
komunikasi dengan Tuhan yang bersifat
esoterik. Sehingga sufisme kemudian menjadi
semacam lawan terhadap kaidah-kaidah hukum
dan fiqih yang begitu formal dan gersang.15
Dalam perjalanan selanjutnya tasawuf
mengalami pasangsurut sejalan dengan sejarah
perkembangan kehidupan umat Islam. Tasawuf
yang pada mulanya lebih bersifat akhlāqi, lebih
merupakan reaksi terhadap kondisi moral dan
sosial yang menyimpang. Pada abad ketiga dan
keempat hijriah, berkembang dua kelompok sufi.
Pertama, kelompok yang berpaham moderat,
yang ajaran mereka selalu merujuk pada Al-
Qur’an dan hadits. Mereka sangat menekankan
pentingnya moralitas. Kedua, kelompok yang
menekankan faham fanā’(lebur dalam Tuhan).
Kelompok kedua inilah yang mempunyai
kecenderungan anti sosial. Pada abad kelima
hijriah dan seterusnya, muncul kesadaran bahwa
tasawuf mesti dikembalikan kepada ruhnya yang
semula, yakni ruh Islam yang menjunjung tinggi
nilai amal di samping kehidupan spiritual,
menekankan kehidupan sosial di samping
kehidupan individual16
Meski sempat dituduh sebagai pemasung
dinamisasi pemikiran intelektual Islam, al-Gazali
15Amin Rais, Islam dan Pembaharuan, (Jakarta: PT
Rajaprasindo) h. v 16Lihat Muhammad Abd Haq Anshari, Antara Sufisme
dan Syari’ah, Terjemahan Ahmad Nashir Budiman (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada), h. 87
M u h s i n
58 | Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon
(w.1111)17 tetaplah tokoh yang memberikan
kontribusi pemikiran bagi umat Islam. Di antara
karyanya adalah kitab Tahāfut al-Falaāsifah,
yaitu kitab sanggahan atau gugatan terhadap
pemikiran filosof. Al-Gazali juga melakukan
perpaduan antara syari‘ah dan tariqah. Ia
berkeyakinan, bahwa hubungan antara
keduanya saling menunjang, sinergis dan
relevan. Ajaran tariqah yang terpadu secara baik
dengan ajaran syari‘ah diakui sebagai sesuatu
yang sah.18 Akan tetapi, meskipun al-Gazali
dipandang berhasil meletakkan posisi tasawuf
dalam ortodoksi Islam, penyimpangan dan ekses
negatif tetap terjadi pada masa sesudahnya.
Kecenderungan pada aspek filosofis dalam
sufisme sering dikaitkan dengan ajaran dan
karya-karya Ibn Arabi (w.1240) Oleh karena itu,
muncullah para ulama yang berusaha
mengadakan pemurnian (purifikasi) terhadap
ajaran-ajaran sufisme. Pemurnian dan
pembaharuan tasawuf tersebut sering disebut
neo-sufisme.
17al-Gazali lahir di Gazalah desa Thus daerah
Khurasan, Persia pada tahun 450 H/1058 M. Pada tahun 1077 M, al-Gazali menetap di Naisabur dan di sana ia berguru pada al-Juwaini. Sepeninggal gurunya, al-Ghazali kemudian pergi ke Mu’asykar Nizam al-Mulk, di Bani Saljuk ia mendapat tempat terhormat di antara para sarjana di sana, hingga pada tahun 1091 M, ketika masih sangat mudah, ia ditunjuk menjadi staf guru besar pada Perguruan Tinggi Nizamiyah di Bagdad. Pada tahun 1095 M, ia meninggalkan kota Baghdad dan mengundurkan diri dari dari dunia akademis. Kepergian al-Ghazali dari Bagdad, selanjutnya dapat merobah hidupnya dan mengabdi kepada Tuhan kebih sempurna sebagai seorang sufi miskin. Pada tahun 1107 M, ia kembali ke tanah kelahirannya di Thus dalam kehidupan sebagai seorang sufi hingga ia meninggal dunia pada hari senin, 14 Jumadil Akhir 503 H/1108 M. Riwayat Hidup al-Gazāli selengkapnya, lihat Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: UI Press, 1986), h h. 52-53. Beliau sempat dituding sebagai pemasung pemikiran Islam padahal dia sebenarnya hanya memberikan “rem” untuk para filosof agar jangan terlalu mendewakan akal.
18Abu Hamid Muhammad al-Gazali, Ihyā Ulūm al-Dīn, Juz I(Semarang: Toha Putra), h. 100
C. Mistisisme dan Kemanusiaan
Seperti telah disebutkan didepan bahwa
mistisisme dalam perjalanan sejarahnya
mengambil dua bentuk yaitu moderat dan
ekstrem. Bentuk yang terakhir inilah yang sering
dianggap sebagai anti sosial dan tidak peduli
dengan kemanusiaan. Sementara yang moderat
tentu tidak bisa dijudge sebagai biang keladi
kemunduran karena masih setia dengan al-
Quran dan Sunnah.
Bentuk mistisisme yang ekstrempun
sebenarnya terbagi dua pula. Diantara para sufi
terdapat yang ketika telah mencapai fanā’ maka
ia akan kembali ke “dunia nyata” dan menjalani
hidupnya seperti biasa, namun ada pula yang
tidak kembali lagi dan tenggelam di dalam dunia
maya. Contoh sufi yang ekstrem mungkin dapat
wakili oleh al-Bistāmi (w. 875),19 al-Hallāj
(w.922),20 Ibn ʻArabi (w. 1240)21 dan lain-lain.
19Abu Yazid al-Bistami terkenal dengan paham al-
ittihād; satu tingkatan dalam tasawwuf yang menyatakan bahwa seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan; suatu tingkatan dimana yang mencintai dan yang dicintai menjadi satu, sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu lagi dengan kata-kata: Hai aku. Lihat Harun Nasution, Filsafat, h. 82
20Nama lengkapnya Husain Ibn Mansur Al-Hallāj adalah seorang sufi yang terkenal dengan paham al-hulūl; sebuah paham yang menyatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia untuk mengambil tempat di dalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan. Al-Hallāj terkenal pula dengan ucapannya yang kontroversial yaitu "أنا الحق" (akulah yang Maha Benar). Dia dihukum mati pada masa Abbasiah karena pahamnya yang dianggap sesat, kemudian mayatnya dibakar dan dibuang di sungai Tigris, lihat Harun Nasution, ibid, h. 87
21Muhy al-Din Ibn Arabi populer dengan paham wahdat al-wujūd; sebuah paham bahwa Allah ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya dan oleh karena itu dijadikan-Nya alam ini. Alam ini merupakan cermin bagi Allah, sehingga ketika Allah ingin melihat diri-Nya dia melihat kepada alam. Pada benda-benda yang ada dalam alam, karena dalam tiap-tiap benda itu terdapat sifat ketuhanan, Tuhan melihat diri-Nya. Dari sinilah timbul paham kesatuan. Yang ada dalam alam ini kelihatannya banyak, tetapi sebenarnya hanya satu. Lihat Harun Nasution, ibid, h. 93
Dilema Mistisisme Dan Kemanusiaan
Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon | 59
Gerakan sufisme yang ekstrem misalnya
yang terjadi di India pada masa pemerintahan
Akbar (1556-1605). Menurut Sirhidi (w.1603)22
dalam al-maktubātnya yang di kutip oleh Haq
Ansari bahwa sebagian besar sufi di masa itu,
lebih sering larut dalam pesta musik (samā'),
dalam tarian spiritual (raqs), Kaum Sufi ini
biasanya lebih mementingkan dzikir ketimbang
melaksanakan fardhu dan sunnah, berpuasa
dalam arba'inat (latihan rohani tertentu selama
40 hari), berpuasa untuk guru dan tidak
menghentikan puasa kecuali dengan makan dari
hasil meminta-minta, mengabaikan shalat
berjamaah, bahkan shalat Jumat. Mereka yang
meyakini doktrin wahdat al-wujūd kurang
perduli terhadap Syariah. Mereka berkeyakinan,
bahwa Syariah hanyalah jalan untuk mencapai
pengetahuan sehingga mereka yang sudah
mencapai kebenaran wahdat al-wujūd merasa
tidak perlu menjalankan tugas-tugas syariah lagi.
Sebagian mereka menolak melakukan shalat,
karena dianggap akan memisahkan Tuhan
dengan hamba-Nya; sebagian lagi menyamakan
kebangkitan sama dengan pengalaman fanā',
sehingga mereka mengabaikan pengadilan dan
penghukuman.23
Sebagai akibat dari praktek sufisme ini,
orang muslim tidak punya lagi keberanian dan
kepedulian sosial, mereka asyik dengan dirinya
sendiri. Generasi non-muslim yang dulunya
bebas menjalankan ibadatnya di kota-kota
muslim tetapi kini golongan Islam justru
dilarang sama sekali menjalankan ajaran Islam.
22Ahmad Sirhindi adalah tokoh sufi di India yang lahir thn 1564 M, menurut pengakuannya beliau juga pernah mengalami ittihād, namun tetap setia dengan doktrin Islam dan aktif dalam kegiatan sosial dan politik, lihat ibid, h 10
23Ibid , h.21
Kalau mereka memberanikan diri, pastilah akan
menemui ajalnya. Golongan non-muslim di India
tidak lagi takut merobohkan masjid-masjid, dan
kemudian mendirikan biara-biara di atasnya.
Misalnya di Kurukshetra, dahulu di sana berdiri
sebuah masjid dan juga makam seorang wali.
Kemudian masjid tersebut dihancurkan dan
sebuah biara raksasa didirikan di atasnya. Lebih
jauh lagi, golongan non-muslim bebas
menjalankan ibadahnya secara terbuka, namun
tidak demikian dengan golongan muslim tidak
berdaya untuk menjalankan ibadahnya.24
Praktek sufisme seperti di atas jelas
bertentangan dengan mainstream doktrin Islam.
Menurut al-Maududi, Allah telah mengangkat
manusia sebagai khalifah-Nya, memberikan hak
istimewa, menentukan kewajiban, dan
tanggungjawab. Tubuh adalah fasilitas bagi ruh
untuk melaksanakan semua ketentuan itu, tubuh
bukanlah penjara bagi ruh. Dunia bukan
hukuman bagi manusia, tetapi lapangan bagi
pelaksanaan ketentuan kewajiban. Segala
sesuatu di bumi ditetapkan untuk pembebasan
jiwa manusia. Bakat dan dorongan hati manusia
telah melahirkan peradaban, budaya, dan sistem
sosial25
Masyarakat, dengan demikian, justru
menyediakan fasilitas dan merupakan ajang
pembangunan rohani. Tempat yang sebenarnya
bagi pertumbuhan dan perkembangan rohaniah
terletak di tengah-tengah aktivitas kehidupan
sosial, bukan di tempat-tempat sunyi pertapaan.
Spiritualitas dan sosialitas harus berjalan
bersama dalam Islam, bahkan semua aspek
kemanusiaan merupakan bagian yang integral.
24Ibid, h. 28 25Abul ‘Ala Maududi, Islam sebagai pandangan
Hidup, terjemahan oleh Mashuri Sirojudin Iqbal, (Bandung: Sinar baru) h. 89
M u h s i n
60 | Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon
Aksentuasi sosial, selain aksentuasi moral-
spiritual merupakan trend baru tasawuf.
Kenyataan tersebut semakin mempopulerkan
tasawuf sebagai jalan membangun kemanusiaan
dalam segala aspeknya. Orang semakin menaruh
harapan terhadap kemungkinan tasawuf sebagai
alternatif peneguhan kemanusiaan, peneguhan
eksistensi manusia.
Beberapa sufi justru merupakan kaum
elit dan kaum terdepan. Mereka merupakan roda
penggerak utama Islam pada masanya.Sepanjang
abad ke-18, ke-19 dan awal abad ke-20, gerakan-
gerakan sufi besar di Afrika dan Asia sering
dihubungkan dengan gerakan-gerakan Islam
umumnya.
Kaum sufi sering memimpin gerakan pembaruan, atau perlawanan terhadap penindasan dan dominasi asing atau kolonial. Mereka terlibat jauh dalam gerakan politik seperti kebangkitan di Maroko dan Aljazair melawan Perancis, dan pembangunan kembali masyarakat dan pemerintahan Islam di Libia, yang sebagian besar dilakukan oleh para anggota tarekat Sanusi.26 Di Nigeria utara, Syekh 'Utsman dan Fobio (w. 1817), seorang anggota Tarekat Qadiriyah, memimpin jihad melawan para penguasa Habe yang telah gagal memerintah menurut syariat Islam, mengadakan pembebanan pajak yang dibuat-buat, korupsi umum, penindasan, dari menjatuhkan moralitas Islam pada tingkat rakyat maupun istana. Lebih jauh ke timur, Syekh Muhammad Ahmad al-Mahdi (w. 1885), anggota tarekat Tsamaniyah, berhasil menentang pemerintahan kolonial Inggris di Sudan. Fenomena serupa terjadi pula di Timur. Misalnya, kaum sufi Naqsabandiyah dan Syah Waliyullah (w. 1762) menentang kekuasaan kolonial Inggris di India.27
26Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif, (Bandung:
Mizan), h.98 27www.cybermq.com, diakses tanggal 24 Oktober
2008 lihat pula Julian Baldick An Introduction to Sufism, (New York: New York University press), h. 143
Bahkan di Indonesia terdapat Syeikh
Yusuf (w. 1699) putra Makassar yang dianggap
sebagai sufi dan pejuang. Di Banten, Syekh Yusuf
dan Sultan Ageng serta Pangeran Purabaya bahu
membahu melawan kompeni. Setahun kemudian,
Sultan Ageng ditangkap kompeni setelah ditipu
anaknya. Perjuangan belum habis. Syekh Yusuf
memimpin 5.000 pasukan termasuk 1.000 orang
dari Makassar bersama Pangeran Purabaya
mengobarkan perang gerilya. Pasukan yang
dipimpinnya bergerilya hingga ke Karang dekat
Tasikmalaya. Pada 1683, Syekh Yusuf ditangkap
Belanda dan diasingkan di Srilanka kemudian ke
Afrika Selatan.28
Kemudian dalam sejarah ilmu
pengetahuan Islam, al-Farābi (w. 950) adalah
sufi yang brilian. Ia konon membaca buku fisika
Aristoteles 40 kali, dan De Anima-nya Aristoteles
200 kali. Ia menulis Ihsa’ al-'Ulūm, ensiklopedia
sains yang pertama. Ia menulis al-Madīnah al-
Fāḍilah, buku sosiologi dan politik. Al-Farabi
adalah seorang raksasa dalam sains Islam, tetapi
hal itu tidak menghambatnya menjadi sufi. Ibnu
Khalikan melukiskan al-Farabi sebagai orang
yang paling mengabaikan hal-hal duniawi. Ia
tidak pernah memusingkan urusan kehidupan
dan tempat tinggal. Salah seorang murid al-
Farabi mendirikan kelompok pencinta ilmu
pengetahuan di Bagdad pada tahun 970.
Kelompok ini menghidupkan tradisi intelektual
yang mulai terancam di zaman itu. Tiga belas
tahun kemudian, mungkin terilhami oleh
kelompok murid al-Farabi ini, di Basrah berdiri
Ikhwān al-ṣafā yang ingin memperbaiki umat
Islam, menyucikan mereka secara moral,
28www.kebunhikmah.com/article.php diakses
tanggal 24 Oktober 2008, lihat pula Sri Mulyati et al Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia, (Predana Media: Jakarta) h. 8
Dilema Mistisisme Dan Kemanusiaan
Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon | 61