perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada hakikatnya, Allah menciptakan manusia dengan dibekali oleh hawa nafsu. Hal inilah yang kemudian menjadikan dalam diri seorang manusia dapat timbul hasrat untuk menginginkan sesuatu, merasakan sesuatu, dan terutama bagi mereka kaum laki-laki yang telah akil baligh (dewasa) akan merasakan ketertarikan kepada lawan jenpisnya (perempuan). Rasa ketertarikan tersebut selanjutnya dapat diikuti dengan timbulnya keinginan untuk memiliki serta muncul syahwat seksual. Allah SWT telah menerangkan melalui firman-Nya dalam Q.S. Ar-Rum Ayat 21, dimana didalamnya dijelaskan bahwa Allah sesungguhnya telah mengikat antara laki-laki dan perempuan suatu hubungan yang didasari dengan rasa cinta dan kasih sayang agar daur kehidupan akan terus berlangsung dari generasi ke generasi. Secara lebih lengkap berikut bunyi Q.S. Ar-Rum Ayat 21 : Artinya : “Dan diantara tanda-tanda kebesaran-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, Dia menjadikan diantaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi kaum yang berfikir”. Berdasarkan ayat tersebut diatas maka jelas bahwa pada dasarnya Allah telah menumbuhkan rasa kasih sayang diantara laki-laki dan perempuan sehingga sudah menjadi kodratnya untuk mereka hidup saling berpasang-pasangan satu sama lain dan membentuk sebuah keluarga demi meneruskan garis kehidupan melalui keturunan-keturunannya kelak. Perlu diketahui bahwa dalam hal melangsungkan keturunannya, manusia memerlukan suatu lembaga yang dapat menjembatani dan 1
12
Embed
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN ... · A. Latar Belakang Masalah Pada hakikatnya, Allah menciptakan manusia dengan dibekali oleh hawa dapat timbul hasrat
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada hakikatnya, Allah menciptakan manusia dengan dibekali oleh hawa
nafsu. Hal inilah yang kemudian menjadikan dalam diri seorang manusia dapat
timbul hasrat untuk menginginkan sesuatu, merasakan sesuatu, dan terutama bagi
mereka kaum laki-laki yang telah akil baligh (dewasa) akan merasakan
ketertarikan kepada lawan jenpisnya (perempuan). Rasa ketertarikan tersebut
selanjutnya dapat diikuti dengan timbulnya keinginan untuk memiliki serta
muncul syahwat seksual.
Allah SWT telah menerangkan melalui firman-Nya dalam Q.S. Ar-Rum Ayat
21, dimana didalamnya dijelaskan bahwa Allah sesungguhnya telah mengikat
antara laki-laki dan perempuan suatu hubungan yang didasari dengan rasa cinta
dan kasih sayang agar daur kehidupan akan terus berlangsung dari generasi ke
generasi. Secara lebih lengkap berikut bunyi Q.S. Ar-Rum Ayat 21 :
Artinya : “Dan diantara tanda-tanda kebesaran-Nya ialah Dia menciptakan
pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan
merasa tentram kepadanya, Dia menjadikan diantaramu rasa kasih dan
sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
kebesaran Allah bagi kaum yang berfikir”.
Berdasarkan ayat tersebut diatas maka jelas bahwa pada dasarnya Allah telah
menumbuhkan rasa kasih sayang diantara laki-laki dan perempuan sehingga sudah
menjadi kodratnya untuk mereka hidup saling berpasang-pasangan satu sama lain
dan membentuk sebuah keluarga demi meneruskan garis kehidupan melalui
keturunan-keturunannya kelak. Perlu diketahui bahwa dalam hal melangsungkan
keturunannya, manusia memerlukan suatu lembaga yang dapat menjembatani dan
1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
menghalalkan hubungan antara laki-laki dan perempuan. Adapun lembaga yang
dimaksud adalah lembaga perkawinan.
Dalam kehidupan sosial, perkawinan merupakan institusi yang sangat penting
yang bertujuan awal untuk mewujudkan sebuah tatanan masyarakat dan keluarga
demi terwujudnya pilar penyokong kehidupan bermasyarakat. Lain halnya dalam
kehidupan berbudaya, perkawinan merupakan suatu adat yang memiliki
keteraturan dan bersifat dinamis. Artinya, perkawinan akan cenderung mengikuti
perkembangan budaya manusia dalam kehidupan bermasyarakat, namun demikian
dalam pelaksanaannya perkawinan harus tetap memperhatikan norma dan aturan
yang berlaku. Hukum positif di Indonesia telah mengatur mengenai perkawinan,
yaitu dengan diterapkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan yang selanjutnya disebut Undang-Undang Perkawinan, yaitu Pasal 2
Ayat (1) dan (2) sebagai berikut :
Ayat (1) :
“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu”.
Ayat (2) :
“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan”.
Berdasarkan bunyi Pasal 1 Ayat (1) dan (2) diatas, diatur secara jelas bahwa
perkawinan dikatakan sah apabila telah dilakukan sesuai dengan hukum agama
masing-masing pihaknya dan dicatatkan menurut hukum peraturan perundang-
undangan yang berlaku atau dengan kata lain suatu perkawinan harus sah
dihadapan agama dan juga harus sah dihadapan negara.
Persyaratan mengenai pencatatan perkawinan juga dapat ditemukan dalam
Buku I Kompilasi Hukum Islam (KHI) yaitu dalam ketentuan Pasal 5 Ayat (1)
dan (2), dimana pada kedua ayat tersebut menerangkan bahwa perkawinan bagi
masyarakat Islam di Indonesia harus dicatatkan. Adapun pihak yang berwenang
dalam hal pencatatan perkawinan adalah Pegawai Pencatat Nikah.
Melihat pada aturan hukum diatas, baik yang diatur oleh Undang-Undang
Perkawinan maupun yang diperkuat dengan pengaturan dalam KHI, penulis
kemudian berpendapat bahwa pencatatan perkawinan sejatinya merupakan suatu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
hal yang penting dalam proses perkawinan. Hal ini disebabkan oleh karena
pencatatan perkawinan akan berimplikasi pada diakui atau tidak oleh negara suatu
perkawinan yang dilakukan.
Abdul Ghofur Anshori menjelaskan bahwa perkawinan yang dilakukan
dengan tidak mematuhi aturan Undang-Undang Perkawinan akan memiliki akibat
hukum yaitu tidak diperolehnya kekuatan hukum atas perkawinan tersebut.
Mereka yang melakukannya tidak akan memiliki bukti-bukti perkawinan yang sah
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga perkawinannya
dapat dianggap tidak sah oleh hukum di Indonesia (Abdul Ghofur Anshori, 2011:
210).
Pendapat tersebut diatas diperkuat pula oleh bunyi Pasal 6 Ayat (1) dan (2)
KHI, sebagai berikut :
Ayat (1) :
“Untuk memenuhi ketentuan dalam Pasal 5, setiap perkawinan harus
dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat
Nikah”.
Ayat (2) :
“Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah
tidak mempunyai kekuatan hukum”.
Dewasa ini, banyak ditemukan fenomena perkawinan di bawah tangan yang
sering dilakukan oleh masyarakat. Adapun yang dimaksud dengan perkawinan di
bawah tangan adalah suatu perkawinan dengan dilakukan tanpa adanya pencatatan
pada instansi yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan