Top Banner
Difusi Inovasi Program Pengolahan Lahan ... Rani Diah Anggraini 23 Difusi Inovasi Program Pengolahan Lahan Basah Tanpa Bakar di Kalimantan Tengah The Diffusion Innovasions in the Without Burning Wet-Land Processing in Central Kalimantan Rani Diah Anggraini Biro Protokol dan Komunikasi Publik Setda Provinsi Kalimantan Tengah Jl. RTA Milono No.1, Menteng, Kec. Jekan Raya, Kota Palangka Raya, Kalimantan Tengah 74874 Email: [email protected] DOI 10.46426/jp2kp.v24i1.113 diterima tanggal 09 Januari 2020 | direvisi tanggal 13 Mei 2020 | disetujui tanggal 27 Mei 2020 ABSTRACT The haze disaster that hit the Central Kalimantan and surrounding areas in 2015 had a broad impact on various fields of life, such as economics, health, and education. The government prohibits land clearing by burning and launching a peat restoration program to prevent the occurrence of the smog haze again while restoring degraded peat ecosystems. However, the diffusion of innovations in peat restoration programs carried out by BRG in which there is PLTB program must deal with the habit of burning land that has been carried out for generations. The study about the process of diffusion innovation in PLTB program in Central Kalimantan used a qualitative descriptive approach with a case study method. The face-to-face interpersonal communication channel is the main communication channel of the BRG in the process of diffusion of innovation in PLTB program and is considered the most effective. BRG maximizes the role of opinion leaders and change agents as a source of information. BRG also improved the function of Fasdes and established intensive communication with peatland farmers through the WhatsApp group to overcome uneven internet network constraints. Keywords: peat restoration, land processing without burning, diffusion of innovations ABSTRAK Bencana kabut asap yang melanda wilayah Kalimantan Tengah dan sekitarnya pada tahun 2015 berdampak luas pada berbagai bidang kehidupan, seperti ekonomi, kesehatan, dan pendidikan. Pemerintah melarang pembukaan lahan dengan membakar dan mencanangkan program restorasi gambut untuk mencegah bencana kabut asap kembali terjadi sekaligus mengembalikan ekosistem gambut yang terdegradasi. Namun, difusi inovasi program restorasi gambut oleh BRG di mana terdapat program PLTB harus berhadapan dengan kebiasaan membakar lahan yang telah dilakukan masyarakat secara turun-temurun. Penelitian tentang proses difusi inovasi program PLTB di Kalimantan Tengah ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan metode studi kasus. Saluran komunikasi interpersonal secara tatap muka menjadi saluran komunikasi utama BRG dalam proses difusi inovasi program PLTB dan dinilai paling efektif. BRG memaksimalkan peran pemuka pendapat dan agen-agen perubahan sebagai sumber informasi. BRG juga meningkatkan fungsi Fasdes dan menjalin komunikasi intensif dengan petani-petani lahan gambut melalui grup WhatsApp untuk mengatasi kendala jaringan internet yang belum merata. Kata kunci: restorasi gambut, pengolahan lahan tanpa bakar, difusi inovasi I. PENDAHULUAN Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk merestorasi gambut sekaligus mencegah terjadinya bencana kabut asap adalah dengan menginisiasi program Pengolahan Lahan Tanpa Bakar (PLTB). Namun, proses difusi inovasi program PLTB di kalangan petani lahan gambut di Kalimantan Tengah harus berhadapan dengan
23

Difusi Inovasi Program Pengolahan Lahan Basah Tanpa Bakar ...

Oct 22, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Difusi Inovasi Program Pengolahan Lahan Basah Tanpa Bakar ...

Difusi Inovasi Program Pengolahan Lahan ... Rani Diah Anggraini

23

Difusi Inovasi Program Pengolahan Lahan Basah Tanpa Bakar di Kalimantan

Tengah

The Diffusion Innovasions in the Without Burning Wet-Land Processing in

Central Kalimantan

Rani Diah Anggraini

Biro Protokol dan Komunikasi Publik Setda Provinsi Kalimantan Tengah

Jl. RTA Milono No.1, Menteng, Kec. Jekan Raya, Kota Palangka Raya, Kalimantan Tengah 74874

Email: [email protected]

DOI 10.46426/jp2kp.v24i1.113

diterima tanggal 09 Januari 2020 | direvisi tanggal 13 Mei 2020 | disetujui tanggal 27 Mei 2020

ABSTRACT

The haze disaster that hit the Central Kalimantan and surrounding areas in 2015 had a broad impact on

various fields of life, such as economics, health, and education. The government prohibits land clearing by

burning and launching a peat restoration program to prevent the occurrence of the smog haze again while

restoring degraded peat ecosystems. However, the diffusion of innovations in peat restoration programs

carried out by BRG in which there is PLTB program must deal with the habit of burning land that has been

carried out for generations. The study about the process of diffusion innovation in PLTB program in Central

Kalimantan used a qualitative descriptive approach with a case study method. The face-to-face interpersonal

communication channel is the main communication channel of the BRG in the process of diffusion of

innovation in PLTB program and is considered the most effective. BRG maximizes the role of opinion leaders

and change agents as a source of information. BRG also improved the function of Fasdes and established

intensive communication with peatland farmers through the WhatsApp group to overcome uneven internet

network constraints.

Keywords: peat restoration, land processing without burning, diffusion of innovations

ABSTRAK

Bencana kabut asap yang melanda wilayah Kalimantan Tengah dan sekitarnya pada tahun 2015 berdampak

luas pada berbagai bidang kehidupan, seperti ekonomi, kesehatan, dan pendidikan. Pemerintah melarang

pembukaan lahan dengan membakar dan mencanangkan program restorasi gambut untuk mencegah bencana

kabut asap kembali terjadi sekaligus mengembalikan ekosistem gambut yang terdegradasi. Namun, difusi

inovasi program restorasi gambut oleh BRG di mana terdapat program PLTB harus berhadapan dengan

kebiasaan membakar lahan yang telah dilakukan masyarakat secara turun-temurun. Penelitian tentang proses

difusi inovasi program PLTB di Kalimantan Tengah ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan

metode studi kasus. Saluran komunikasi interpersonal secara tatap muka menjadi saluran komunikasi utama

BRG dalam proses difusi inovasi program PLTB dan dinilai paling efektif. BRG memaksimalkan peran

pemuka pendapat dan agen-agen perubahan sebagai sumber informasi. BRG juga meningkatkan fungsi Fasdes

dan menjalin komunikasi intensif dengan petani-petani lahan gambut melalui grup WhatsApp untuk mengatasi

kendala jaringan internet yang belum merata.

Kata kunci: restorasi gambut, pengolahan lahan tanpa bakar, difusi inovasi

I. PENDAHULUAN

Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah

untuk merestorasi gambut sekaligus mencegah

terjadinya bencana kabut asap adalah dengan

menginisiasi program Pengolahan Lahan Tanpa

Bakar (PLTB). Namun, proses difusi inovasi

program PLTB di kalangan petani lahan gambut di

Kalimantan Tengah harus berhadapan dengan

Page 2: Difusi Inovasi Program Pengolahan Lahan Basah Tanpa Bakar ...

Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 24 No.1 Juni 2020: 23-45

24

kearifan lokal atau kebiasaan membuka lahan

dengan cara membakar yang telah dilakukan secara

turun-temurun.

Kalimantan Tengah masuk dalam daftar

provinsi yang rawan bencana kabut asap akibat

kebakaran hutan dan lahan. Sejak tahun 1997,

hampir setiap tahun di musim kemarau, terjadi

kebakaran hutan dengan berbagai tingkat kepara-

han. Bahkan, berdasarkan Laporan Gubernur

Kalimantan Tengah pada Kunjungan Presiden RI

tanggal 31 Oktober 2015, luas lahan yang terbakar

pada Januari sampai dengan 28 Oktober 2015

mencapai 401.691 hektare (Ha). Sulitnya pemada-

man di lahan gambut diperburuk oleh panjangnya

musim kering disertai El Nino. Kalimantan Tengah

sendiri memiliki lahan gambut seluas 3.010.640 Ha

atau 20,20% dari total luasan lahan gambut di Indo-

nesia yang mencapai 14.905.574 Ha (Ramdhan,

2017: 61-64).

Kebakaran hutan gambut, antara lain

disebabkan pembukaan lahan dengan cara mem-

bakar oleh perusahan perkebunan dan oleh petani

yang pada umumnya adalah peladang berpindah.

Permasalahan gambut di Kalimantan Tengah

dimulai dari pembukaan lahan pasang surut, pem-

bukaan lahan transmigrasi, dan penebangan kayu

hutan, termasuk program Pengembangan Lahan

Gambut (PLG) pada era Orde Baru yang bertujuan

mengkonversi 1 juta Ha lahan menjadi persawahan

namun menemui kegagalan. Lahan gambut yang

telah dikeringkan dan banyak ditebang pohonnya

menjadi lokasi paling sering terjadi kebakaran

(Central Kalimantan Peatland Project dalam

Ramdhan, 2017: 65-66).

Pemerintah melarang pembukaan lahan de-

ngan cara membakar untuk mencegah bencana

kabut asap. Larangan tersebut tertuang dalam

Peraturan Gubernur (Pergub) Kalimantan Tengah

Nomor 49 Tahun 2015. Peraturan ini meng-

gantikan Pergub Nomor 52 Tahun 2008 dan Pergub

Nomor 15 Tahun 2010 yang mentoleransi pembu-

kaan lahan dengan cara pembakaran terbatas dan

terkendali bagi masyarakat adat.

Indonesia merupakan negara pertama yang

secara tegas memulai upaya restorasi gambut

(Wicaksono, 2018: 5-49). Untuk melaksanakan

tugas koordinasi dan fasilitasi restorasi gambut

sampai dengan Desember 2020, pemerintah mem-

bentuk Badan Restorasi Gambut (BRG) pada 6 Ja-

nuari 2016 melalui Peraturan Presiden Nomor 1

Tahun 2016 tentang Badan Restorasi Gambut. Se-

bagai pelaksana Tugas Pembantuan (TP) BRG di

daerah, dibentuk Tim Restorasi Gambut Daerah

(TRGD). Sedangkan sebagai bagian dari program

restorasi gambut yang dicanangkan pemerintah

tersebut, diiniasi program PLTB yang mendi-

fusikan teknik mengolah lahan tanpa membakar.

Teknik membakar sangat umum digunakan

secara luas dan turun-temurun dalam pembukaan

lahan hutan di daerah tropis, termasuk Indonesia

(Onrizal, 2005: 2). Masyarakat Kalimantan Tengah

meyakini bahwa membuka lahan dengan mem-

bakar lebih mudah dan murah. Akibatnya, larangan

membakar tidak hanya menimbulkan dampak

psikologis, namun juga dampak ekonomi bagi

masyarakat. Secara psikologis, larangan membakar

membuat sebagian warga resah karena takut di-

tangkap namun tidak bisa membuka lahan tanpa

membakar (Triwobowo, 2018b). Dari sisi eko-

nomi, ketakutan untuk kembali berladang

berpotensi menimbulkan krisis pangan karena stok

pangan terus berkurang (brg.go.id, 8 Maret 2018).

Larangan membakar juga meningkatkan penge-

Page 3: Difusi Inovasi Program Pengolahan Lahan Basah Tanpa Bakar ...

Difusi Inovasi Program Pengolahan Lahan ... Rani Diah Anggraini

25

luaran masyarakat untuk membuka lahan tanpa

membakar (Triwibowo, 2016).

Sebagai solusi dari permasalahan tersebut,

harus dipilih inovasi, dalam hal ini inovasi mengo-

lah lahan, yang sesuai dengan karakteristik dan

kebutuhan khalayak sasaran (Finley; McKenzie;

Parisot; Sherry; Spotts dalam Sahin, 2006), yakni

masyarakat petani lahan gambut di Kalimantan

Tengah. Pemerintah juga harus melakukan pemi-

lihan sumber informasi dan saluran komunikasi

yang tepat untuk mempercepat proses adopsi

inovasi (Aprilianto, 2016; Nababan, 2014; Toha,

2009; Savitri, 2018). Apalagi, berbeda dengan

bercocok tanam di lahan mineral seperti di Jawa,

mengolah lahan gambut lebih sulit dengan faktor

kegagalan besar (Rangkuti, 2018), sehingga tidak

mudah mengubah kebiasaan masyarakat membuka

lahan dengan membakar.

Berdasarkan latar belakang masalah di atas,

maka penelitian ini mengkaji proses difusi inovasi

program PLTB yang dilakukan oleh BRG di

Provinsi Kalimantan Tengah pada periode tahun

2016-2018, meliputi sumber informasi dan saluran

informasi apa yang digunakan BRG, termasuk

apakah BRG melakukan evaluasi, perombakan,

atau peningkatan kapasitas sumber informasi dan

saluran komunikasi dalam kurun waktu tersebut.

Beberapa penelitian sebelumnya mengenai

restorasi gambut berfokus pada aspek

“governance” atau pengambilan kebijakan terkait

program restorasi gambut (Wicaksono, 2018) dan

persepsi masyarakat terhadap kebijakan tersebut

(Ramdhan, 2017). Penelitian sebelumnya menge-

nai kebakaran hutan dan lahan yang berujung pada

bencana kabut asap juga berfokus pada analisis

kebijakan penanggulangan kabut asap (Septiarani,

2016), penyebab dan rekomendasi penanganan ka-

but asap (Nurcholis et al., 2016), serta persepsi

masyarakat petani terhadap strategi pencegahan

kebakaran hutan dan lahan (Harahap et al., 2017).

Sedangkan penelitian kali ini berfokus pada aspek

komunikasi persuasif dan edukatif dari restorasi

gambut yang sekaligus bertujuan untuk mencegah

kembali terjadinya bencana kabut asap.

Teori difusi inovasi banyak digunakan dalam

konteks komunikasi pembangunan terutama di

negara-negara berkembang (Ardianto et al., 2004:

64; Suciati, 2017: 89). Teori ini juga dapat

digunakan untuk menjawab isu-isu lingkungan

hidup, seperti inovasi teknik mengolah lahan tanpa

membakar yang didifusikan untuk mengembalikan

ekosistem gambut yang terdegradasi dan mencegah

terjadinya bencana kabut asap. Dalam konteks ko-

munikasi pembangunan di bidang pertanian, difusi

inovasi teknik mengolah lahan tanpa membakar

bertujuan untuk meningkatkan produksi pertanian

dan mempertahankan kesuburan tanah dibanding

membuka lahan dengan cara membakar (Triwi-

bowo, 2018a).

Rogers (2003: 5) mendefinisikan difusi seba-

gai sebagai sebuah proses di mana inovasi dikomu-

nikasikan melalui saluran tertentu dari waktu ke

waktu di antara anggota sistem sosial. Difusi meru-

pakan jenis komunikasi yang berkaitan dengan

penyebarserapan pesan-pesan berisi gagasan-gaga-

san baru.

Tujuan utama proses difusi inovasi adalah

diadopsinya inovasi oleh anggota sistem sosial ter-

tentu (Nababan, 2014: 45). Adopsi dimaknai

sebagai keputusan untuk menggunakan inovasi dan

penolakan dimaknai sebagai keputusan untuk tidak

mengadopsi inovasi (Rogers, 2003: 177; Mardi-

kanto dalam Levis, 1996: 21). Dengan demikian,

proses difusi inovasi merupakan proses komu-

Page 4: Difusi Inovasi Program Pengolahan Lahan Basah Tanpa Bakar ...

Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 24 No.1 Juni 2020: 23-45

26

nikasi persuasif yang tujuan akhirnya tidak hanya

berhenti pada tataran pengetahuan atau kognisi,

tetapi diharapkan sampai pada terjadinya peru-

bahan perilaku, yakni menerima dan menggunakan

inovasi, dalam sistem sosial tertentu.

Komunikasi dalam proses difusi inovasi tidak

hanya bersifat persuatif, tetapi juga bisa bersifat

edukatif. Komunikasi untuk mengedukasi diran-

cang untuk mengubah perilaku khalayak sasaran ke

arah yang lebih baik di masa yang akan datang

(Guswandani, 2017: 99).

Menurut Rogers (2003), proses penyebar-

serapan pesan inovasi pada dasarnya meliputi

empat elemen utama, yakni inovasi (innovation),

saluran komunikasi (communication channel),

waktu (time), dan sistem sosial (social system).

Inovasi adalah ide, gagasan, praktik, atau

objek yang dianggap baru oleh individu atau suatu

unit adopsi (Rogers, 2003: 12). Kebaruan bersifat

subjektif, yakni sebuah gagasan yang dianggap

baru oleh individu atau suatu unit adopsi belum

tentu baru bagi individu atau unit adopsi lainnya.

Ketidakpastian merupakan hambatan dalam

proses adopsi inovasi. Karakteristik-karakteristik

tertentu dari sebuah inovasi dapat mengurangi

ketidakpastian dan persepsi individu terhadap

karakteristik tersebut dapat mempengaruhi tingkat

adopsi (Rogers, 2003: 219-232).

Rogers (2003: 15-16) mengemukakan bahwa

atribut inovasi untuk mengurangi ketidakpastian

meliputi lima karakteristik inovasi, yakni: Keuntu-

ngan relatif adalah sejauh mana suatu inovasi

dianggap lebih baik daripada gagasan yang digan-

tikannya; Derajat kesesuaian adalah sejauh mana

suatu inovasi sesuai dengan nilai-nilai yang ada,

pengalaman masa lalu, dan kebutuhan adopter

potensial; Kompleksitas adalah sejauh mana suatu

inovasi dianggap relatif sulit dipahami dan digu-

nakan; Trialibilitas adalah sejauh mana suatu

inovasi dapat diuji coba dengan basis terbatas;

Observabilitas adalah sejauh mana hasil dari suatu

inovasi dapat dilihat oleh orang lain.

Rogers (2003) mendefinisikan komunikasi se-

bagai suatu proses menciptakan dan berbagi infor-

masi untuk mencapai saling pengertian. Komu-

nikasi terjadi melalui saluran antar sumber. Sumber

adalah individu atau institusi yang memunculkan

pesan. Sedangkan saluran adalah sarana yang digu-

nakan untuk mentransmisikan pesan dari sumber

ke penerima. Saluran komunikasi dalam proses

difusi inovasi adalah sarana untuk mentrans-

misikan inovasi ke atau di dalam sistem sosial.

Sebagai sebuah proses komunikasi, difusi inovasi

terdiri dari elemen-elemen komunikasi, seperti ino-

vasi, individu atau suatu unit adopsi yang menyam-

paikan dan menerima pesan, serta saluran

komunikasi. Saluran komunikasi dalam proses

difusi inovasi meliputi media massa dan saluran

interpersonal.

Komunikasi massa merupakan ragam komu-

nikasi yang dilakukan dengan menggunakan media

massa dan ditujukan untuk sejumlah besar individu

(Avery dan McCain dalam Tubbs dan Moss, 1996:

18; Bittner dalam Rakhmat, 2003: 188). Media

komunikasi yang termasuk dalam kelompok media

massa, antara lain radio, televisi, surat kabar,

majalah, dan film (Ardianto et al., 2004: 3).

Penggunaan media massa, menurut Meletzke (da-

lam Rakhmat, 2003: 188), memperlihatkan sifat

komunikasi massa yang satu arah dan tidak lang-

sung.

Komunikasi interpersonal merupakan inter-

aksi tatap muka antar dua atau beberapa orang, di

mana pengirim dan penerima pesan masing-masing

Page 5: Difusi Inovasi Program Pengolahan Lahan Basah Tanpa Bakar ...

Difusi Inovasi Program Pengolahan Lahan ... Rani Diah Anggraini

27

dapat menyampaikan serta menerima dan

menanggapi pesan secara langsung (Hardjana,

2003: 85). Komunikasi interpersonal pada dasar-

nya merupakan suatu proses yang mempunyai

hubungan saling mempengaruhi (Husna, 2017).

Teknologi digital memungkinkan untuk

penggunaan pribadi sebagai alat komunikasi de-

ngan digitalisasi dan ketersediannya yang luas

(McQuail, 2011: 148). Meski dapat menjangkau

khalayak sasaran secara luas dalam waktu yang

relatif cepat, namun penggunaan media baru

berbasis internet tersebut bergantung pada keter-

sediaan jaringan dan kemudahan mengakses

internet karena pesan digital didistribusikan mela-

lui suatu jaringan, seperti kabel serat optik, satelit,

dan sistem transmisi gelombang rendah (Flew,

2002: 10). Dengan kata lain, penggunaan media

baru bergantung pada ketersediaan jaringan dan

kemudahan mengakses internet.

Aspek waktu diabaikan dalam sebagian besar

penelitian mengenai perilaku. Padahal, menurut

Rogers (2003), memasukkan dimensi waktu dalam

penelitian difusi dapat menggambarkan kekuatan

suatu proses difusi inovasi. Dalam proses difusi

inovasi, jika tingkat adopsi inovasi semakin tinggi,

yakni semakin cepat dan banyak diadopsi, maka

proses difusi dapat dikatakan semakin efektif. Se-

mentara itu, elemen waktu dalam proses difusi

inovasi meliputi proses pengambilan keputusan

inovasi, kategorisasi adopter, dan tingkat adopsi

inovasi.

Individu dalam sebuah sistem sosial tidak

secara bersamaan mengadopsi suatu inovasi.

Adopter dapat dikategorisasikan berdasarkan

keinovatifan (innovativeness) mereka. Menurut

Rogers (2003: 22), keinovatifan adalah sejauh

mana seorang individu relatif lebih awal dalam

mengadopsi suatu inovasi daripada individu yang

lain dalam sebuah sistem. Kategori adopter, terdiri

dari innovators (inovator), early adopters

(pengadopsi awal), early majority (mayoritas

awal), late majority (mayoritas akhir), dan lag-

gards (lamban). Setiap kategori didefinisikan

menggunakan persentase responden standar

(standardized percentage of respondents). Lihat

Gambar 1

Sumber: Rogers, Everett M. (2003). Diffusion of Innovations. 5th ed. New York: The Free Press Source: Rogers, Everett M. (2003). Diffusion of Innovations. 5th ed. New York: The Free Press

Gambar 1. Kategori Adopter dengan Dasar Keinovatifan Figure 1. Adopter Categorization on Innovativeness Base

Page 6: Difusi Inovasi Program Pengolahan Lahan Basah Tanpa Bakar ...

Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 24 No.1 Juni 2020: 23-45

28

Sistem sosial adalah seperangkat unit yang sa-

ling terkait dan terlibat dalam pemecahan masalah

bersama untuk mencapai tujuan bersama (Rogers,

2003: 23). Anggota sistem sosial dapat terdiri dari

individu, kelompok informal, organisasi, atau sub

sistem lainnya. Sistem sosial dalam konteks komu-

nitas petani dapat berperan sebagai penggerak

inovasi untuk meningkatkan kualitas komunitas

petani tersebut. Penggerak dalam hal ini dapat diar-

tikan sebagai penggagas, pengambil inisiatif,

aktivis, atau pemrakarsa (Nababan, 2014: 57).

Rogers (2003) menyebutkan bahwa terdapat

empat faktor yang mempengaruhi proses difusi ino-

vasi dalam kaitannya dengan sistem sosial, yakni:

Struktur sosial adalah susunan unit dalam

sebuah sistem sosial yang memiliki pola tertentu

yang dapat menciptakan keteraturan dan stabilitas

perilaku setiap individu di dalamnya. Struktur sosial

dan struktur komunikasi dalam sebuah sistem dapat

memfasilitasi atau menghambat proses difusi

inovasi.

Norma adalah pola perilaku yang dapat

diterima semua anggota sistem sosial sebagai

standar atau panduan. Sistem norma dapat menjadi

faktor penghambat untuk menerima sebuah gagasan

baru. Hal ini berhubungan dengan derajat kese-

suaian inovasi dengan nilai atau kepercayaan

masyarakat.

Opinion leader adalah orang-orang berpe-

ngaruh atau orang-orang yang mampu mempe-

ngaruhi sikap orang lain secara informal dalam

sebuah sistem sosial. Orang-orang berpengaruh ini

dapat menjadi pendukung inovasi atau sebaliknya

karena berperan sebagai model di mana perila-

kunya, baik mendukung maupun menentang

inovasi, diikuti oleh para pengikutnya.

Agen perubahan adalah bagian dari sistem

sosial yang berpengaruh terhadap sistem sosialnya,

termasuk untuk menerima sebuah inovasi. Agen

perubahan bersifat resmi dan biasanya telah menda-

patkan pelatihan. Fungsi utama mereka adalah

menjadi mata rantai yang menghubungkan dua sis-

tem sosial atau lebih.

Jenis keputusan untuk menerima atau menolak

sebuah inovasi dapat mempengaruhi tingkat adopsi

inovasi tersebut (Rogers, 2003; Wayne dalam De

Vries et al., 2014). Menurut Rogers (2003), dalam

sebuah sistem sosial, keputusan untuk menerima

atau menolak sebuah inovasi dapat dilakukan secara

pribadi atau perorangan (keputusan inovasi opsi-

onal), secara bersama-sama (keputusan inovasi

kolektif), dan secara koersif oleh pihak yang memi-

liki kekuasaan lebih besar (keputusan inovasi otori-

tas).

Berkaitan dengan keputusan kolektif, sejak

perang dunia kedua, telah berkembang konsep free

prior informed consent (FPIC) yang diterjemahkan

sebagai persetujuan berdasarkan informasi di awal

tanpa paksaan (Padiatapa). Waluyo et al. (2015: 2)

mendefisikan Padiatapa sebagai hak masyarakat

untuk mendapatkan informasi sebelum suatu pro-

gram dilaksanakan. Padiatapa juga didefinisikan

sebagai hak komunitas masyarakat adat untuk

memutuskan jenis kegiatan pembangunan yang

dapat berlangsung dalam tanah adat masyarakat.

Dengan kata lain, Padiatapa memastikan bahwa

suatu program yang masuk ke dalam wilayah

masyarakat adat atau lokal mendapat persetujuan

komunitas untuk meningkatkan peran masyarakat,

mencegah konflik, serta menjamin hak-hak masya-

rakat dan keberlangsungan program.

Page 7: Difusi Inovasi Program Pengolahan Lahan Basah Tanpa Bakar ...

Difusi Inovasi Program Pengolahan Lahan ... Rani Diah Anggraini

29

II. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan des-

kriptif kualitatif dengan metode studi kasus

mendalam (intrinsic case study). Pada penelitian

dengan metode intrinsic case study, penelitian

dilakukan pada suatu kasus yang memiliki kekhasan

atau keunikan yang tinggi dengan fokus penelitian

pada kasus yang sedang dikaji, baik program, keja-

dian, aktivitas, proses, atau individu (Creswell,

2010: 29).

Terkait dengan kasus yang memiliki kekhasan

atau keunikan yang tinggi, penelitian ini ingin

mendapatkan gambaran mengenai proses difusi

inovasi program PLTB yang harus berhadapan

dengan kearifan lokal membuka lahan dengan cara

membakar di Kalimantan Tengah. Larangan mem-

bakar di provinsi ini juga menimbulkan dampak psi-

kologis dan ekonomi bagi masyarakat. Karena itu,

proses difusi inovasi yang dilakukan BRG harus

mampu meyakinkan masyarakat untuk mengubah

kebiasaan membuka lahan dengan cara membakar

dan mengedukasi masyarakat mengenai metode

mengolah lahan tanpa membakar.

Narasumber penelitian ini adalah pejabat atau

pihak yang berkompeten dari BRG dan TRGD

Provinsi Kalimantan Tengah. Untuk melengkapi

data penelitian, peneliti juga menggali informasi

dari petani yang telah berhasil melakukan pengo-

lahan lahan gambut tanpa membakar, masyarakat,

tokoh masyarakat, dan tokoh adat yang tinggal di

wilayah Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG), serta

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau Non

Governmental Organization (NGO) yang

memberikan perhatian pada masalah restorasi

gambut khususnya terkait pengolahan lahan gambut

tanpa membakar.

Lokasi penelitian ini adalah Provinsi

Kalimantan Tengah, yakni di Kantor Dinas

Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Kalimantan

Tengah sebagai leading sector TRGD di lingkup

Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah, Kantor

TRGD Provinsi Kalimantan Tengah, beberapa loka-

si lahan gambut yang diolah tanpa bakar, dan

beberapa desa yang terletak di wilayah KHG, seper-

ti Desa Anjir Kalampan, Kecamatan Kapuas Barat,

Kabupaten Kapuas sebagai lokasi didirikannya

sekolah lapang di Provinsi Kalimantan Tengah;

Desa Harapan Jaya, Kecamatan Mantangai, Kabup-

aten Kapuas; dan Desa Mantangai Hilir, Kecamatan

Mantangai, Kabupaten Kapuas. Sedangkan waktu

penelitian dilakukan selama tiga bulan terhitung

mulai bulan Desember 2018 sampai dengan bulan

Februari 2019.

Teknik wawancara, observasi, dan dokumen-

tasi digunakan untuk mengumpulkan data. Adapun

data dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yakni

data primer dan data sekunder. Data primer dipero-

leh dari pengamatan langsung dan wawancara men-

dalam dengan narasumber. Sedangkan data

sekunder diperoleh dari dokumentasi kegiatan di-

fusi inovasi program PLTB di Kalimantan Tengah

tahun 2016-2018.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ada beberapa faktor yang harus dipertim-

bangkan dan dikaji oleh BRG sebelum program

PLTB didifusikan oleh sumber informasi tertentu

melalui saluran komunikasi tertentu. Beberapa fak-

tor yang harus dipertimbangkan dan dikaji tersebut,

meliputi: 1) karakteristik inovasi PLTB di

Kalimantan Tengah; 2) kategorisasi adopter PLTB

di Kalimantan Tengah; 3) faktor sistem sosial dalam

difusi inovasi program PLTB di Kalimantan Ten-

Page 8: Difusi Inovasi Program Pengolahan Lahan Basah Tanpa Bakar ...

Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 24 No.1 Juni 2020: 23-45

30

gah; dan 4) jenis keputusan inovasi program PLTB

di Kalimantan Tengah.

A. Karakteristik Inovasi PLTB

Tingkat adopsi terhadap inovasi PLTB di Kali-

mantan Tengah sangat dipengaruhi oleh karak-

teristik inovasi PLTB itu sendiri. Kejelasan karak-

teristik inovasi PLTB dapat mengurangi ketidak-

pastian dan menaikkan tingkat adopsi. Berikut ini

adalah perbandingan antara atribut inovasi PLTB di

Kalimantan Tengah dengan kearifan lokal mem-

buka lahan menggunakan cara membakar yang

meliputi lima karakteristik inovasi menurut Rogers

(2003: 15-16), yakni keuntungan relatif, derajat

kesesuaian, kompleksitas, kemampuan diuji

coba/trialibilitas, dan kemampuan untuk dapat dili-

hat/observabilitas. Lihat tabel 1.

Tabel 1. Perbandingan Inovasi PLTB dengan Kearifan Lokal Membuka Lahan Menggunakan Cara Membakar di Kalimantan Tengah Table 1. Comparison of PLTB Innovations with Local Wisdom Clears Land by Burning in Central Kalimantan

No. Karakteristik Inovasi PLTB Kearifan Lokal Membuka Lahan dengan Membakar

1. Keuntungan Relatif (Relative Advantage)

Risiko kebakaran gambut berkurang Petani terhindar dari sanksi membakar hutan dan lahan

• Tanah tetap subur setelah berkali-kali masa tanam

• Hasil lebih banyak

• Kualitas lebih bagus

• Keuntungan lebih besar

• Sisa vegetasi dapat diolah menjadi pupuk kompos atau terdekomposisi sebagai mulsa

• Rantai makanan ekosistem lahan gambut tidak terganggu

• Dapat dilakukan di lahan terbatas dengan pembibitan sistem polybag

• Penyiraman lebih cepat dan praktis dengan sistem sprinkle

• Pengerjaan lebih mudah

• Biaya lebih murah

• Sisa abu pembakaran dapat menyuburkan tanah pada awal masa tanam

• Aktivitas pembakaran dapat membunuh hama

2. Derajat Kesesuaian (Compatibility)

• Sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai masyarakat, yakni menjaga kelestarian alam

• Menggunakan sistem tabat

• Tidak menggunakan pupuk kimia

• Tidak menggunakan pestisida

• Menjaga kelestarian alam jika dilakukan sebagaimana mestinya, namun saat ini berisiko kebakaran karena pengeringan gambut, anomali El Nino, dan pergeseran budaya komunal

• Menggunakan sistem tabat

• Menggunakan sekat pencegah

• Memperhatikan kekuatan dan arah angin

• Menggunakan sistem bera, namun saat ini sulit dilakukan karena sertifikasi tanah

Page 9: Difusi Inovasi Program Pengolahan Lahan Basah Tanpa Bakar ...

Difusi Inovasi Program Pengolahan Lahan ... Rani Diah Anggraini

31

Tabel 1. Perbandingan Inovasi PLTB dengan Kearifan Lokal Membuka Lahan Menggunakan Cara Membakar di Kalimantan Tengah Table 1. Comparison of PLTB Innovations with Local Wisdom Clears Land by Burning in Central Kalimantan

No. Karakteristik Inovasi PLTB Kearifan Lokal Membuka Lahan dengan Membakar

3. Kompleksitas (Complexity)

• Lebih rumit

• Waktu pengerjaan lebih lama

• Biaya lebih besar

• Membutuhkan alat berat, seperti traktor, traktor tangan, cultivator, dan excavator

• Lebih praktis

• Waktu pengerjaan lebih cepat

• Biaya lebih murah

• Tidak tergantung dengan alat berat

4. Trialibilitas (Trialability)

• Memungkinkan diuji coba di lahan gambut, bahkan pada lahan dengan tingkat keasaman tinggi

• Dapat dilakukan di lahan pasang surut dan tadah hujan dengan kandungan gambut maupun di lahan mineral atau tanah kering, terutama tadah hujan dan tanah kering karena air pasang surut tidak dapat mencapai lahan dan membusukkan vegetasi

5. Observabilitas (Observability)

• Hasil cukup menggembirakan dapat dilihat di beberapa lokasi demonstration plot (Demplot) di Kalimantan Tengah

• Sejak larangan membakar diberlakukan dan sertifikasi tanah digalakkan, praktis aktivitas pembakaran dan perladangan berpindah berkurang bahkan tidak ada

Sumber: Hasil Wawancara Narasumber Source: The Interviewee’s Results

Sebagaimana kelebihan utama teknik pembu-

kaan lahan tanpa membakar (slash-and-mulch) me-

nurut Majid (dalam Onrizal, 2005: 7) dan

Triwibowo (2018a), inovasi PLTB di Kalimantan

Tengah dapat memberikan ketuntungan relatif bagi

masyarakat, khususnya para petani lahan gambut.

Keuntungan relatif inovasi PLTB yang dapat mem-

berikan hasil panen lebih baik berkaitan dengan

aspek biaya. Sedangkan dikaitkan dengan jenis-

jenis inovasi menurut Rogers (2003: 229-233),

inovasi PLTB dapat dikategorikan sebagai inovasi

preventif sekaligus inovasi non-preventif (incre-

mental). Preventif karena diadopsi untuk

mengantisipasi kejadian di masa depan yang tidak

diinginkan, yakni kebakaran hutan dan lahan yang

berujung pada bencana kabut asap. Non-preventif

karena keuntungan berupa hasil panen yang lebih

baik dapat dirasakan dalam waktu relatif cepat,

yakni setelah satu masa tanam. Keuntungan yang

relatif lebih cepat ini dapat mendorong adopsi.

B. Proses Difusi Inovasi Program PLTB di

Kalimantan Tengah

BRG menyadari pentingnya peran petani maju

yang tidak berhenti melakukan uji coba untuk

menemukan metode terbaik dalam pengolahan

lahan gambut tanpa bakar dan meyakinkan para

petani lahan gambut di Kalimantan Tengah agar

mengadopsi metode tersebut. Kepala Kelompok

Kerja (Kapokja) Edukasi dan Sosialisasi BRG, Dr.

Page 10: Difusi Inovasi Program Pengolahan Lahan Basah Tanpa Bakar ...

Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 24 No.1 Juni 2020: 23-45

32

Ir. Suwignya Utama, MBA (wawancara pada

tanggal 26 Januari 2019), mengatakan BRG

menggunakan petani yang sudah maju dan mem-

praktekkan metode mengolah lahan tanpa bakar

sebagai salah satu narasumber dan pelatih sekolah

lapang sekaligus menjadikan lahan pertaniannya

sebagai lokasi praktek.

Dalam hal ini, BRG menjalin kerjasama

dengan Ketua Kelompok Tani Kalampan Jaya yang

juga Kepala Desa Anjir Kalampan, Yanir, S.Sos.

Sedangkan untuk peserta sekolah lapang, sebanyak

dua orang peserta diambil dari kelompok

masyarakat Desa Peduli Gambut (DPG) yang akan

atau sudah diberi bantuan dana membangun mini

Demplot. Diserahkan kepada kepala desa untuk

memilih petani yang umurnya masih produktif, mau

belajar PLTB, dan mau menjadi peserta kegiatan

sekolah lapang.

Dalam proses difusi inovasi program PLTB,

masyarakat harus memiliki pengetahuan mengenai

keuntungan relatif yang akan diperoleh jika

menggunakan pola tanpa bakar. Untuk mengurangi

ketidakpastian, kejelasan manfaat inovasi atau

keuntungan yang akan diperoleh dengan peng-

gunaan inovasi sangat penting dalam proses difusi

inovasi (Finley; McKenzie; Parisot; Spotts dalam

Sahin, 2006; Aprilianto, 2016), sehingga peran

penyuluh yang dapat memberikan informasi yang

cukup dan meyakinkan sangat penting (Nababan,

2014: 6-8). Kemampuan Yanir, S.Sos. dan

inisiatifnya mendokumentasikan pengalaman men-

jadi pertimbangan lain BRG untuk memberikan

informasi yang cukup kepada masyarakat, khusus-

nya para petani lahan gambut.

Melalui kerjasama dengan petani maju yang

tidak berhenti melakukan uji coba untuk mene-

mukan metode terbaik dalam pengolahan lahan

gambut tanpa bakar seperti Yanir, S.Sos., maka

BRG menyadari pentingnya peran inovator dalam

proses difusi inovasi proram PLTB. Yanir, S.Sos.

sebagaimana definisi inovator menurut Rogers

(2003), siap menghadapi inovasi yang tidak meng-

untungkan dan tidak berhasil dengan tingkat

ketidakpastian tertentu. Sebagai inovator, Yanir,

S.Sos. merupakan penjaga gerbang yang membawa

inovasi mengolah lahan tanpa bakar ke dalam

komunitas petani lahan gambut Kalimantan Tengah.

Dengan pengalamannya, Yanir, S.Sos. memiliki

pengetahuan teknis mengolah lahan tanpa bakar

yang kompleks.

Menurut tokoh adat Dayak Kalimantan

Tengah, Sabran Achmad, pemerintah memang

harus melibatkan masyarakat lokal setempat atau

ahli-ahli dari lokal Kalimantan Tengah yang lebih

mengenal kondisi daerahnya (wawancara pada

tanggal 26 Januari 2019).

Selain itu, melalui kerjasama dengan tokoh

petani setempat, seperti Yanis, S.Sos., dalam uji

coba PLTB, maka BRG mempertimbangkan ino-

vasi teknik PLTB yang berasal dari masyarakat

sehingga masyarakat merasa lebih memiliki yang

pada akhirnya dapat meningkatkan adopsi inovasi.

Menurut Toha (2009: 5-11) serta Sucahya dan

Surahman (2017), memaksa masyarakat menerima

inovasi tanpa melibatkan mereka dapat berujung

pada kegagalan proses difusi inovasi. Toha (2009:

262) juga mengatakan, penggunaan model komuni-

kasi sentralistik dan top-down juga akan mem-

berikan efek yang kecil pada pembentukan persepsi

yang positif karena masyarakat akan merasa

tertekan untuk menerima dan menggunakan inovasi.

Meski telah menggunakan tokoh setempat,

Direktur Eksekutif WALHI Kalimantan Tengah,

Dimas Novian Hartono, menilai sosialisasi

Page 11: Difusi Inovasi Program Pengolahan Lahan Basah Tanpa Bakar ...

Difusi Inovasi Program Pengolahan Lahan ... Rani Diah Anggraini

33

mengenai proses penangkapan para tersangka pem-

bakar lahan yang terlihat menonjol dapat menim-

bulkan ketakutan di tengah masyarakat. Ketakutan

yang tidak disertai kemampuan mengolah lahan

tanpa bakar dapat mengancam ketersediaan stok

pangan (wawancara pada tanggal 7 Januari 2019).

Selain petani maju yang direkrut menjadi

narasumber dan pelatih sekolah lapang, dalam

proses difusi inovasi program PLTB, BRG

melibatkan sejumlah ketua kelompok tani dan

anggota kelompok tani mereka. Peran Ketua kelom-

pok tani adalah mendukung atau terlibat dalam

pembangunan mini Demplot bersama-sama dengan

para anggota kelompok tani. Pembangunan mini

Demplot dilakukan mulai tahun 2017 setelah para

petani mengikuti pelatihan di Desa Anjir Kalampan.

Ketua kelompok tani dan anggota kelompok

tani mereka masing-masing dapat dikategorisasikan

ke dalam kelompok “pengguna awal” dan “mayo-

ritas awal”. Para ketua kelompok tani ini,

sebagaimana definisi “pengguna awal” menurut

Rogers (2003), cenderung memegang peran kepe-

mimpinan dalam sistem sosial mereka, yakni

komunitas petani lahan gambut. Anggota kelompok

Gambar 2. Demplot PLTB Desa Harapan Jaya Figure 1. Demonstration Plot of PLTB of Harapan Jaya Village

Gambar 3. Demplot PLTB Desa Mantangai Hilir Figure 3. Demonstration Plot of PLTB of Mantangai Hilir Village

Page 12: Difusi Inovasi Program Pengolahan Lahan Basah Tanpa Bakar ...

Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 24 No.1 Juni 2020: 23-45

34

tani atau masyarakat pada umumnya datang kepada

mereka untuk mendapatkan saran atau informasi,

termasuk saran atau informasi tentang inovasi

PLTB, jika mereka dilibatkan dalam proses difusi

inovasi program BRG tersebut. Sikap ketua

kelompok tani terhadap PLTB sangat penting untuk

mengurangi ketidakpastian inovasi karena mereka

dapat menjangkau anggota kelompok taninya dan

bahkan masyarakat melalui jaringan interpersonal.

Sementara itu, para anggota kelompok tani,

sebagaimana definisi “mayoritas awal” menurut

Rogers (2003), pada umumnya memiliki interaksi

yang baik dengan masyarakat atau anggota kelom-

pok tani yang lain, namun tidak memiliki peran

kepemimpinan seperti ketua kelompok tani mereka.

Meski demikian, jaringan interpersonal para ang-

gota kelompok tani peserta sekolah lapang ini masih

penting dalam proses difusi inovasi. Mereka memu-

tuskan untuk mengadopsi inovasi PLTB sebelum

separuh anggota kelompok tani atau masyarakat

melakukannya.

1. Pembentukan kelompok masyarakat

pengelola mini Demplot

Pembentukan kelompok masyarakat pengelola

mini Demplot difasilitasi oleh Fasilitator Desa

(Fasdes). Mini Demplot sendiri diharapkan dapat

menjadi percontohan bagi petani-petani lainnya

yang masuk dalam kelompok “mayoritas akhir” dan

laggards agar mengubah mindset dan tergerak

untuk mengikuti pola tanpa bakar. Sebagian petani

yang dikategorisasikan sebagai “mayoritas akhir”

sudah mengadopsi pola tanpa bakar. Menurut

Rogers (2003), para “mayoritas akhir” mencakup

sepertiga dari semua anggota sistem sosial yang

menunggu sampai sebagian besar anggota sistem

mengadopsi inovasi.

Menurut Yanir, S.Sos., sebanyak 15 ribu KK

diperkirakan sudah mengikuti metode tanpa bakar

dengan proses penerimaan inovasi selama satu sik-

lus tanam atau kurang lebih dua bulan. Meski para

“mayoritas akhir” pada umumnya bersikap skeptis,

namun kebutuhan ekonomi akibat adanya larangan

membakar dan stok pangan yang menipis bahkan

habis, dapat mengarahkan mereka pada keputusan

adopsi inovasi PLTB. Jaringan interpersonal di

sekitar mereka dapat berperan mengurangi ketidak-

pastian inovasi PLTB, terlebih dengan adanya mini

Demplot yang dapat mereka lihat proses dan

hasilnya.

Inovasi PLTB yang diuji coba Yanir, S.Sos.,

menurut Kapokja Edukasi dan Sosialisasi BRG, Dr.

Ir. Suwignya Utama, MBA saat wawancara pada

Wawancara tanggal 23 Januari 2019, sudah sesuai

dengan kebutuhan dan nilai-nilai masyarakat Kali-

mantan Tengah mengenai kelestarian alam. Apalagi

dengan digalakkannya kebijakan sertifikasi tanah

yang menggeser kebiasaan perladangan berpindah

dan adanya persegeran budaya komunal yang

menyebabkan aktivitas membuka lahan dengan

membakar kurang terkontrol. Sebagaimana dikata-

kan Wahono (dalam Suhartini, 2009: 207), kearifan

lokal bersifat dinamis serta tidak sama pada tempat

dan waktu yang berbeda karena tantangan alam dan

kebutuhan hidup masyarakatnya berbeda-beda.

Selain sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai

masyarakat Kalimantan Tengah mengenai kelesta-

rian alam, program PLTB juga sesuai dengan norma

hukum berupa larangan membakar lahan yang

berlaku pasca bencana kabut asap tahun 2015.

Namun, menurut hasil wawancara pada tanggal 7

Januari 2019 dengan Direktur Eksekutif WALHI

Kalimantan Tengah, Dimas Novian Hartono, proses

membiasakan dan mencontohkan tidak mudah

Page 13: Difusi Inovasi Program Pengolahan Lahan Basah Tanpa Bakar ...

Difusi Inovasi Program Pengolahan Lahan ... Rani Diah Anggraini

35

meski telah dibangun mini Demplot di beberapa

desa. Tidak semua masyarakat serta merta bersedia

mengubah kebiasaan. Selain itu, penyuluhan yang

dilakukan dinilai tidak menyeluruh.

Koordinator Project Management Unit (PMU)

Kemitraan Kalimantan Tengah, Andi Kiki,

mengatakan wilayah kerja BRG dan mitra kerja

pada tahun 2017 hanya meliputi Sungai Katingan di

Kecamatan Katingan Kuala serta pada tahun 2018

hanya meliputi dua kecamatan di Kabupaten

Kapuas dan Pulang Pisau. Sedangkan model

program PLTB, masih terus dikembangkan sampai

dengan tahun 2020 dan belum digunakan secara

massif. Pengembangan DPG di Kalimantan Tengah

di mana terdapat program PLTB di dalamnya baru

meliputi dua kabupaten, yakni Kapuas dan Pulang

Pisau. Peserta sekolah lapang sampai dengan tahun

2018 juga baru meliputi dua kabupaten, yakni

Kapuas dan Pulang Pisau (wawancara pada tanggal

tanggal 7 Januari 2019)

Dengan penyuluhan yang tidak menyeluruh,

Fasdes beserta inovator, “pengadopsi awal”, dan

“mayoritas awal” tidak dapat menjangkau seluruh

kelompok masyarakat terutama kelompok laggards

yang memiliki pandangan tradisional dan sikap

yang lebih skeptis daripada “mayoritas akhir”.

Jaringan interpersonal kelompok ini, menurut

Rogers (2003), pada umumnya adalah anggota lain

dalam sistem sosial dari kategori yang sama.

Mereka juga tidak memiliki peran kepemimpinan

karena sumber daya yang terbatas dan kurangnya

pengetahuan tentang inovasi.

Selain penyuluhan yang belum menyeluruh,

kesulitan melakukan PLTB karena masyarakat di

beberapa desa dengan kondisi lahan tertentu

memerlukan bantuan alat berat. Larangan

membakar menyulitkan petani lahan tadah hujan

dan tanah mineral untuk mulai bercocok tanam jika

tidak ada bantuan alat berat seperti traktor. Padahal

lebih dari 50% masyarakat Dayak di Kalimantan

Tengah berada di dua wilayah tersebut (wawancara

dengan Tokoh Adat Dayak/Mantan Ketua Dewan

Adat Dayak Kalimantan Tengah Tahun 2008-2016,

Sabran Achmad, pada tanggal 26 Januari 2019).

Pemerintah telah memberikan bantuan, seperti

traktor tangan, tetapi tidak serta merta dapat diguna-

kan, belum merata, dan belum sesuai kebutuhan

masing-masing wilayah.

2. Opinion Leader dan Agen-agen

Perubahan

Mengolah lahan gambut tanpa bakar memiliki

tingkat kompleksitas yang relatif lebih tinggi, waktu

yang relatif lebih lama, dan biaya yang relatif lebih

besar dibandingkan cara membakar. Kemampuan

penyuluh diperlukan untuk mengubah mindset

masyarakat (Nababan, 2014: 6-8). Dalam hal ini,

penyuluh harus dapat mengurangi ketidakpastian

inovasi dan mengubah mindset masyarakat bahwa

PLTB tetap dapat dilakukan di semua lahan,

termasuk di lahan gambut dengan tingkat keasaman

tinggi. Dengan demikian, belum dilakukannya

PLTB di sejumlah desa dikarenakan kemampuan

penyuluh yang belum dapat mengurangi ketidak-

pastian inovasi dan mengubah mindset masyarakat

atau dikarenakan jangkauan penyuluhan BRG dan

mitra kerja yang belum menyeluruh mencapai ke

desa-desa tersebut.

Melalui kerjasama dengan Yanir, S.Sos. yang

menjabat sebagai Ketua Kelompok Tani Kalampan

Jaya yang juga Kepala Desa Anjir Kalampan, maka

juga dapat disimpulkan bahwa BRG memperhitung-

kan peran opinion leader dalam mendifusikan

program PLTB. Sebagai orang yang mampu

Page 14: Difusi Inovasi Program Pengolahan Lahan Basah Tanpa Bakar ...

Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 24 No.1 Juni 2020: 23-45

36

mempengaruhi sikap orang lain secara informal

dalam sebuah sistem sosial, opinion leader, seperti

kepala desa, ketua kelompok tani, dan tokoh adat,

memainkan peran dalam proses difusi inovasi

karena dapat menjadi pendukung inovasi atau

sebaliknya. Demplot yang berhasil pada umumnya

karena pemimpin lokal yang aktif, termotivasi, dan

menggerakkan kelompok masyarakatnya atau

kelompok taninya untuk pantang menyerah dalam

menerapkan metode pertanian tanpa membakar di

lahan gambut.

Langkah BRG untuk memaksimalkan peran

opinion leader dapat meningkatkan efektivitas

komunikasi dalam proses difusi inovasi program

PLTB. Menurut Toha (2009: 265), peran opinion

leader diperlukan untuk meningkatkan efektivitas

komunikasi karena komunikasi akan menjadi lebih

efektif apabila dilakukan dalam kondisi homofili.

Kondisi homofili menunjukkan bahwa di antara

individu-individu yang berinteraksi terdapat persa-

maan, seperti persamaan nilai-nilai keyakinan,

pendidikan, dan status sosial (Rogers, 2003: 19).

Selain opinion leader, menurut Nababan

(2014: 100), informasi dapat bersumber dari

penyuluh, LSM/NGO, dan peneliti. Sumber-sumber

informasi tersebut dapat berperan sebagai agen-

agen perubahan yang mendorong perubahan

perilaku ke arah adopsi suatu inovasi, di samping

temuan baru, kebijakan baru, teknologi baru, dan isu

di media massa (Elena dan Lawrence, 2002: 6-8).

Menurut Rogers (2003), agen-agen perubahan

bersifat resmi atau formal. Mereka mendapat tugas

untuk mempengaruhi masyarakat sehingga kemam-

puan dan keterampilannya berperan besar terhadap

diterima atau ditolaknya sebuah inovasi. Agen-agen

perubahan BRG di Kalimantan Tengah meliputi

kepala desa, ketua kelompok tani beserta anggota

kelompok taninya, Masyarakat Peduli Api, Masya-

rakat Pengelola Tabat, serta tokoh LSM/NGO atau

pegiat sosial yang terlibat dalam pelaksanaan

sekolah lapang dan mendampingi petani saat

pembangunan Demplot.

Meski telah melibatkan opinion leader dan

agen-agen perubahan, proses kerjasama berbagai

pihak dinilai tidak berjalan maksimal sehingga

proses R3 (Revitalization Livelihood) BRG

tertinggal dibandingkan R1 (Rewetting) dan R2

(Revegetation). BRG sendiri belum melibatkan para

penyuluh di tingkat kecamatan atau kabupaten

dalam sekolah lapang karena keterbatasan jumlah

penyuluh dan penganggaran dari BRG.

Sementara itu, berkaitan dengan cakupan kerja

yang luas dengan masa kerja lima tahun yang dinilai

kurang, BRG melalui TRGD Provinsi Kalimantan

Tengah menggunakan pola informasi dari masya-

rakat ke masyarakat dalam pemilihan agen-agen

perubahan agar upaya menanamkan kesadaran

mengolah lahan tanpa bakar tidak selesai setelah

proyek BRG selesai. Tidak hanya tokoh petani,

penggunaan pola informasi tersebut juga

melibatkan generasi muda, tokoh-tokoh masya-

rakat, dan tokoh-tokoh agama.

3. Keputusan Otoritas dan Kolektif

BRG mempertimbangkan dua jenis keputusan

dalam proses difusi inovasi program PLTB di

Kalimantan Tengah, yakni keputusan otoritas dan

kolektif. Menurut Rogers (2003), keputusan otoritas

dibuat oleh pihak yang memiliki kekuasaan lebih

besar, dalam hal ini BRG, untuk diterapkan secara

koersif kepada pihak lain, dalam hal ini masyarakat

petani lahan gambut di Kalimantan Tengah.

Sedangkan keputusan kolektif, dibuat secara

bersama-sama oleh individu-individu dalam sebuah

Page 15: Difusi Inovasi Program Pengolahan Lahan Basah Tanpa Bakar ...

Difusi Inovasi Program Pengolahan Lahan ... Rani Diah Anggraini

37

sistem sosial, di mana dalam hal ini adalah para

petani di wilayah prioritas restorasi di Kalimantan

Tengah.

Keputusan otoritas meliputi pemilihan desa

prioritas restorasi atau percontohan dan intervensi

program yang akan diberikan kepada masyarakat.

Pendekatan teknis dilakukan untuk menetapkan

suatu desa menjadi lokasi percontohan, yakni

berada dalam areal KHG prioritas yang akan

direstorasi oleh BRG atau masuk dalam Peta

Indikatif Restorasi Gambut atau Peta PIR. Selan-

jutnya, dipilih desa-desa dalam satu hamparan

karena pendekatan landscape lebih efektif dalam

menyiapkan prakondisi sosial.

Selain pendekatan teknis, pemilihan tersebut

juga mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi

masyarakat, termasuk adanya pemimpin yang

mendukung upaya restorasi gambut. Meski demi-

kian, Desa Sebangau Mulya di Kecamatan Seba-

ngau Kuala, Kabupaten Pulang Pisau yang merupa-

kan daerah terdampak paling parah akibat keba-

karan hutan dan lahan tahun 2015 belum menerima

intervensi program dari BRG. Desa tersebut juga

memiliki kepala desa yang mendukung upaya

restorasi gambut melalui inisiatif pengembangan

Demplot PLTB dengan Dana Desa (Kalteng Pos, 7

Februari 2019). Untuk itu, BRG seharusnya

menjaring aspirasi masyarakat atau LSM/NGO

dalam pemilihan desa prioritas atau percontohan.

Sementara itu, keputusan kolektif terkait pro-

gram PLTB, meliputi inovasi program apa saja yang

akan diterima atau ditolak oleh masyarakat.

Pengambilan keputusan untuk mengadopsi atau

tidak mengadopsi program PLTB yang ditawarkan

BRG tetap dilakukan secara bersama-sama oleh

kelompok tani atau masyarakat desa yang bersang-

kutan. Dalam hal ini, dapat disimpulkan bahwa

BRG berpegang pada prinsip Padiatapa. Menurut

Waluyo et al. (2015: 2), konsep ini didefisikan

sebagai hak masyarakat untuk mendapatkan

informasi dan menyetujui atau menolak sebelum

suatu program dilaksanakan dalam wilayah masya-

rakat.

Meski mengusung prinsip Padiatapa, BRG

dinilai kurang menggali inovasi-inovasi yang ada di

masyarakat. Pengembangan program R3 lebih ba-

nyak pada pengembangan teknologi purun, anya-

man, dan sebagainya. Padahal tidak semua wilayah

mengolah purun atau tidak semua wilayah menga-

lihfungsikan lahannya ke seperti nanas (wawancara

dengan Direktur Eksekutif WALHI Kalimantan

Tengah, Dimas Novian Hartono, pada tanggal 7

Januari 2019.

4. Penggunaan Saluran Komunikasi

Interpersonal

BRG mengutamakan komunikasi interpersonal

secara tatap muka dalam proses difusi inovasi

program PLTB di Kalimantan Tengah, di mana

Fasdes, narasumber, atau pelatih sekolah lapang dan

kalangan petani lahan gambut di Kalimantan

Tengah dapat menyampaikan, menerima, dan

menanggapi pesan secara langsung. Menurut

Hardjana (2003: 85), komunikasi interpersonal

merupakan interaksi tatap muka antar dua atau

beberapa orang, di mana pengirim dan penerima

pesan masing-masing dapat menyampaikan serta

menerima dan menanggapi pesan secara langsung.

Penggunaan saluran komunikasi interpersonal

oleh BRG sudah tepat karena sebagai salah satu

bentuk komunikasi yang bersifat persuasif, difusi

inovasi program PLTB tidak hanya berhenti pada

tataran pengetahuan, namun bertujuan mengubah

perilaku para petani lahan gambut di Kalimantan

Page 16: Difusi Inovasi Program Pengolahan Lahan Basah Tanpa Bakar ...

Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 24 No.1 Juni 2020: 23-45

38

Tengah agar mengadopsi atau menerima dan

menggunakan teknik mengolah lahan tanpa bakar.

Media massa memiliki efek yang kecil dalam

mengubah perilaku, di mana perubahan yang terjadi

pada umumnya sebatas pada pengetahuan atau

kognisi (Hovland dalam Littlejohn dan Foss, 2010).

Penggunaan komunikasi searah melalui media

massa pada umumnya hanya sampai pada tataran

pengetahuan dan belum secara efektif mendorong

masyarakat untuk mengambil keputusan adopsi

(Toha, 2009: 261).

Dengan kata lain, media massa lebih efektif

dalam menciptakan pengetahuan tentang inovasi.

Sedangkan saluran interpersonal lebih efektif dalam

membentuk dan mengubah perilaku dan sikap

terhadap gagasan baru. Menurut Husna (2017),

terdapat hubungan saling mempe-ngaruhi dalam

komunikasi interpersonal. Para pelaku dalam

komunikasi interpersonal juga dia-sumsikan

memiliki hubungan sosial yang erat sehingga akan

tercipta rasa saling percaya serta terjadi hubungan

timbal balik (reciprocal) dan tidak hanya searah

(Toha, 2009: 65-66). Di Kecamatan Sebangau

Kuala, misalnya, komunikasi interpersonal lebih

membuka ruang untuk diskusi (wawancara dengan

Camat Sebangau Kuala, Herman Wibowo, S.IP.,

M.M., pada tanggal 12 Februari 2019).

Sementara itu, sekolah lapang merupakan salah

satu wadah yang digunakan dalam mengkomu-

nikasikan PLTB. Dalam kegiatan sekolah lapang,

dapat dilihat dan dipraktekkan secara langsung

proses dan hasil penggunaan teknik mengolah lahan

tanpa bakar melalui Demplot PLTB, baik di area

sekolah lapang maupun di desa-desa peserta sekolah

lapang. Selain melalui buku panduan, materi seko-

lah lapang disampaikan melalui paparan secara

langsung yang dilengkapi dokumentasi foto dan

pemutaran video.

Penggunaan Demplot, dokumentasi foto, dan

video, termasuk video-video success story, menun-

jukkan bahwa BRG menggunakan pesan visual

untuk meningkatkan observabilitas inovasi PLTB.

Observabilitas suatu inovasi dapat mengurangi

ketidakpastian dan menaikkan tingkat adopsi

inovasi karena, menurut Rochimah (2009), pesan

visual lebih tertanam di benak audiens dibandingan

dengan kata-kata. Dengan demikian, penggunaan

pesan visual oleh BRG sudah tepat dalam proses

difusi inovasi PLTB yang bersifat edukatif karena

lebih tertanam di benak audiens di samping dapat

mengubah perilaku petani lahan gambut di

Kalimantan Tengah karena ketidakpastian ber-

kurang.

Desa Anjir Kalampan dipilih secara otoritas

oleh BRG menjadi lokasi sekolah lapang untuk

Provinsi Kalimantan Tengah. Suatu desa menjadi

tempat didirikannya sekolah lapang karena memi-

liki tokoh petani yang sudah mempraktekkan

inovasi mengolah lahan tanpa bakar dan berhasil, di

samping masyarakatnya yang juga sudah mengolah

lahan gambut secara bijaksana dengan pola-pola

intensifikasi kawasan atau lahan. Sedangkan suatu

desa dipilih sebagai daerah percontohan atau tempat

dibangunnya mini Demplot karena masuk dalam

prioritas restorasi atau tempat dibangunnya infrastr-

uktur pembasahan gambut. Desa tersebut ditetapkan

sebagai DPG, sebelum mini Demplot dibangun dan

dikelola oleh kader-kader sekolah lapang.

Selain pendekatan teknis, kondisi sosial ekono-

mi masyarakat juga menjadi pertimbangan dalam

menetapkan suatu wilayah atau desa menjadi tempat

didirikannya sekolah lapang atau menjadi desa

percontohan, antara lain: 1. Gaya kepemimpinan

Page 17: Difusi Inovasi Program Pengolahan Lahan Basah Tanpa Bakar ...

Difusi Inovasi Program Pengolahan Lahan ... Rani Diah Anggraini

39

(leadership) dari kepala desa mendukung upaya

restorasi gambut, termasuk di dalamnya kegiatan

mengolah lahan tanpa bakar; 2. Akses desa mudah

dan lancar; dan 3. Desa memiliki fasilitas atau

bangunan-bangunan pendukung, seperti pengi-

napan dan areal lapangan untuk belajar-mengajar.

Fasilitas-fasilitas yang ada di sekitar lokasi sekolah

lapang Desa Anjir Kalampan saat ini adalah Kantor

Resort Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung

(KPHL) Kapuas-Kahayan, Losmen Hasta Karya,

dan areal lahan untuk edukasi tanam-menanam.

Dalam pelaksanaan sekolah lapang, BRG

harus melakukan beberapa tahapan, sebagai berikut:

1. Menyusun kurikulum dan materi serta

menentukan para fasilitator; 2. Memilih dua orang

petani sebagai wakil setiap DPG dan mengirimkan

mereka ke sekolah lapang untuk belajar selama

tujuh hari; 3. Memberikan bantuan pembangunan

mini Demplot PLTB kepada kelompok petani yang

sudah mengikuti sekolah lapang agar mereka

mengembangkan ilmu dan ketrampilan yang telah

diperoleh; dan 4. Mendampingi pembangunan mini

Demplot dan Monev.

Sementara itu, menurut Kepala Kelompok

Kerja Edukasi dan Sosialisasi pada Kedeputian

Bidang Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi, dan Kemi-

traan BRG, Dr. Ir. Suwignya Utama, MBA, hasil

wawancara pada tanggal 23 Januari 2019, pihak-

pihak yang berperan dalam program sekolah lapang,

antara lain: 1, Deputi Bidang Edukasi, Sosialisasi,

Partisipasi, dan Kemitraan BRG sebagai pengarah

program sekolah lapang; 2. Kapokja Edukasi dan

Sosialisasi BRG sebagai koordinator kegiatan admi-

nistrasi dan kerjasama antar instansi; 3 Kepala Sub

Pokja Partisipasi sebagai koordinator penyiapan

kurikulum, materi, personel ahli, fasilitator, dan

tenaga administrasi; 4. Tenaga admi-nistrasi sebagai

pengelola administrasi pendataan dan keuangan

tahun 2018 yang didukung dana UNDP; 5. Tim

teknis yang terdiri atas beberapa tokoh dari daerah,

peneliti dari Balai Penelitian dan Pengembangan

Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kalimantan

Selatan, serta Fasilitator Focus Group Discussion

(FGD); dan 6. Tenaga penghubung BRG di tingkat

provinsi, Fasilitator DPG, tokoh-tokoh petani lokal,

dan para peserta sekolah lapang sebagai wakil

kelompok masyarakat dari desa-desa peduli

gambut.

Serangkaian materi pengolahan lahan gambut

tanpa bakar diajarkan selama kegiatan sekolah

lapang berlangsung, seperti materi tentang

perencanaan pertanian, mengukur tingkat keasaman

(pH) tanah, pembukaan dan pembersihan lahan,

pembuatan baluran, pengapuran dan pemupukan,

pembuatan persemaian, pembibitan, pemasangan

mulsa, penanaman, penyiraman atau pengaturan

tata air, pengocoran, pengaturan pertumbuhan,

pemanenan, dan pemasaran. Selain itu, teknik

pembuatan pupuk kompos M-BIO atau pupuk

organik dari sisa vegetasi menjadi salah satu materi

ajar di sekolah lapang Desa Anjir Kalampan.

Pesan-pesan visual berupa dokumentasi foto

dan video, termasuk video-video success story,

tidak hanya disampaikan dalam kegiatan sekolah

lapang, namun juga dipaparkan di berbagai event

yang digelar BRG. Di samping itu, BRG

mengunggah pesan-pesan visual di website

brg.go.id dan media sosial resminya, seperti di akun

YouTube BRG dengan nama “Badan Restorasi

Gambut - BRG”, akun Twitter

“@BRG_Indonesia”, akun Facebook “Badan

Restorasi Gambut”, dan akun Instagram

“brg_indonesia”. BRG juga menginformasikan

kepada khalayak mengenai pendekatan mengolah

Page 18: Difusi Inovasi Program Pengolahan Lahan Basah Tanpa Bakar ...

Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 24 No.1 Juni 2020: 23-45

40

lahan tanpa membakar dalam beberapa kali

talkshow di televisi dan radio. Namun, penggunaan

media massa, seperti televisi, kurang efektif karena

masyarakat desa pada umumnya menggunakan

media televisi untuk menonton acara hiburan.

Sedangkan penggunaan media radio sering terken-

dala masalah ketiadaan sinyal. Penggunaan media

baru juga sering terkendala masalah jaringan

internet yang tidak merata di beberapa wilayah di

Kalimantan Tengah.

Penggunaan media baru oleh BRG sebenarnya

cukup beralasan karena teknologi digital

memungkinkan untuk penggunaan pribadi sebagai

alat komunikasi dengan digitalisasi dan keterse-

diannya yang luas (McQuail, 2011: 148). Dengan

kata lain, media baru dapat mempercepat penyebar-

luasan pesan-pesan inovasi sekaligus mendukung

proses komunikasi interpersonal. Meski dapat

menjangkau khalayak sasaran secara luas dalam

waktu yang relatif cepat, namun penggunaan media

baru berbasis internet bergantung pada ketersediaan

jaringan dan kemudahan mengakses internet karena

pesan digital didistribusikan melalui suatu jaringan,

seperti kabel serat optik, satelit, dan sistem

transmisi gelombang rendah (Flew, 2002: 10).

Sebagian masyarakat petani di Kalimantan

Tengah sudah melek media digital berbasis internet.

Mereka dapat mencari dan menyebarluaskan infor-

masi atau menerima dan mengirimkan pesan meng-

gunakan media baru tersebut meski di bebera-pa

wilayah masih terkendala oleh gangguan teknis

berupa jaringan internet yang tidak merata. Karena

penggunaan media baru masih terkendala jaringan

internet yang tidak merata, maka proses difusi

inovasi PLTB di Kalimantan Tengah menggunakan

media baru masih terkendala oleh gangguan teknis.

Menurut Cangara (2010: 153-156), gangguan teknis

terjadi karena alat untuk berkomunikasi mengalami

gangguan sehingga informasi yang ditransmisikan

melalui saluran komunikasi tidak diterima dengan

baik.

Menurut Kepala Seksi Pengendalian Kerusa-

kan Lingkungan DLH Provinsi Kalimantan Tengah,

Merty Ilona, S.P., M.P. (wawancara pada tanggal 14

Februari 2019), BRG meningkatkan fungsi Fasdes

dan menjalin komunikasi intensif dengan petani-

petani lahan gambut melalui grup WhatsApp untuk

mengatasi kendala teknis tersebut. Selain itu, TRGD

Provinsi Kalimantan Tengah akan mengusulkan

pembangunan menara BTS kepada Pemerintah

Daerah. Beberapa daerah, seperti di Kabupaten

Kapuas juga sudah mulai menggalakkan program

Internet Desa yang biaya operasionalnya diam-

bilkan dari Dana Desa atau BUMDes. Program

Internet Desa diprioritaskan di daerah blank area.

Dalam pemilihan saluran komunikasi, BRG

harus mempertimbangkan beberapa hal untuk

meningkatkan efektivitas proses difusi inovasi

PLTB di Kalimantan Tengah. Pertimbangan

tersebut, meliputi karakteristik penggunaan media

oleh khalayak sasaran (Toha, 2009: 263; Aprilianto,

2016; Savitri, 2018), serta persepsi khalayak sasaran

mengenai ketersediaan, kemudahan mengakses,

pembiayaan, dan ketepatan penggunaan saluran

komunikasi sebagai pembawa informasi karena

khalayak sasaran akan memilih saluran komunikasi

berdasarkan: saluran komunikasi yang tersedia,

biaya yang harus dikeluarkan untuk menggunakan

saluran komunikasi, dan saluran komunikasi yang

dipilihkan oleh sumber (Berlo dalam Pertiwi dan

Saleh, 2010: 47).

Temuan-temuan penelitian di atas menun-

jukkan bahwa proses difusi inovasi program PLTB

di Kalimantan Tengah melalui saluran komunikasi

Page 19: Difusi Inovasi Program Pengolahan Lahan Basah Tanpa Bakar ...

Difusi Inovasi Program Pengolahan Lahan ... Rani Diah Anggraini

41

interpersonal secara tatap muka menjadi saluran

komunikasi yang paling efektif sampai dengan

tahun 2018. Meski demikian, proses komunikasi

PLTB harus dilakukan secara terus-menerus, berta-

hap, dan tidak sporadis untuk meningkatkan efek-

tivitas difusi inovasi.

Pertimbangan anggaran mendasari TRGD

Provinsi Kalimantan Tengah sebagai Tim Pemban-

tuan BRG untuk menetapkan wilayah kerja prio-

ritas, di mana wilayah kerja prioritas sendiri antara

lain ditetapkan berdasarkan luas dan tingkat

keparahan kerusakan gambut akibat kebakaran hu-

tan dan lahan tahun 2015 yang merujung pada

bencana kabut asap. Berdasarkan Laporan Gubernur

Kalimantan Tengah pada Kunjungan Presiden RI

tanggal 31 Oktober 2015, Kabupaten Pulang Pisau

menduduki peringkat pertama sebagai daerah kritis

dan terbanyak untuk sebaran hotspot dan kebakaran

lahan di Kalimantan Tengah tahun 2015, diikuti ber-

turut-turut oleh Kabupaten Kapuas, Kabupaten

Seruyan, Kabupaten Kotawaringin Timur, dan

Kabupaten Katingan.

Evaluasi secara khusus terhadap sumber infor-

masi dan saluran komunikasi program PLTB belum

dilakukan sampai dengan tahun 2018. Padahal,

seperti kegiatan komunikasi pada umumnya, proses

difusi inovasi hendaknya juga dievaluasi. Menurut

Rochimah (2009: 70), evaluasi dilakukan untuk

mengetahui apakah implementasi kegiatan komu-

nikasi berjalan sesuai dengan rencana dan apakah

tujuan yang sudah disusun dalam strategi komu-

nikasi dapat dicapai. Sedang-kan menurut Commu-

nications Network and Asibey Consulting (2008),

evaluasi dapat membantu orga-nisasi meningkatkan

efektivitas komunikasi, secara efektif terlibat

dengan khalayak sasaran, mengubah strategi dan

taktik saat situasi berubah, serta mengalokasikan

sumber daya secara bijak-sana.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

PLTB di Kalimantan Tengah dapat memberi-

kan keuntungan relatif kepada masyarakat, khusus-

nya petani lahan gambut. PLTB sesuai dengan

kebutuhan, nilai-nilai, dan norma masyarakat

Kalimantan Tengah. Meski lebih rumit, waktu lebih

lama, dan biaya lebih besar daripada cara

membakar, PLTB dapat diuji coba di lahan gambut,

bahkan pada lahan dengan tingkat keasaman yang

tinggi. Proses dan hasil PLTB dapat dilihat di lokasi

Demplot.

Dalam proses difusi inovasi program PLTB di

Kalimantan Tengah, BRG bekerjasama dengan

pimpinan formal dalam struktur sosial desa

sekaligus opinion leader dan inovator pengolahan

lahan tanpa bakar. Selain tokoh petani, BRG

mempertimbangkan peran tokoh adat, tokoh

masyarakat, dan tokoh agama. Untuk menciptakan

kondisi homofili dan meningkatkan efektivitas

komunikasi, BRG juga melibatkan para peserta

sekolah lapang dan generasi muda.

Sumber-sumber informasi BRG, termasuk

opinion leader, dapat berperan sebagai agen-agen

perubahan. Agen-agen perubahan BRG di

Kalimantan Tengah terlibat dalam pelaksanaan

sekolah lapang dan mendampingi petani saat pem-

bangunan Demplot serta Monev.

Untuk pelaksanaan program restorasi gambut,

termasuk PLTB, BRG mempertimbangkan jenis

keputusan inovasi otoritas dan keputusan inovasi

kolektif. Dalam hal ini, BRG berpegang pada

prinsip Padiatapa.

Page 20: Difusi Inovasi Program Pengolahan Lahan Basah Tanpa Bakar ...

Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 24 No.1 Juni 2020: 23-45

42

Selanjutnya, untuk meningkatkan observa-

bilitas inovasi PLTB, BRG menggunakan pesan-

pesan visual, seperti Demplot serta dokumentasi

foto dan video, termasuk video-video success story.

BRG mengutamakan komunikasi interpersonal

secara tatap muka dalam proses difusi inovasi

program PLTB di Kalimantan Tengah yang

berlangsung dalam kegiatan sekolah lapang dan

berbagai event yang digelar BRG. BRG juga meng-

gunakan media massa dan memanfaatkan media

baru dalam mendifusikan program PLTB. Namun,

penggunaan media massa kurang diminati dan

terkendala ketiadaan sinyal. Penggunaan media

baru juga sering terkendala jaringan internet yang

belum merata di samping belum semua petani di

Kalimantan Tengah melek media digital.

BRG meningkatkan fungsi Fasdes dan menja-

lin komunikasi intensif dengan petani-petani lahan

gambut melalui grup WhatsApp untuk mengatasi

kendala teknis tersebut. Meski demikian, evaluasi

secara khusus terhadap sumber informasi dan

saluran komunikasi program PLTB belum

dilakukan sampai dengan tahun 2018.

B. Saran

Pemerintah perlu membuat kebijakan yang

mendukung proses difusi inovasi program PLTB,

seperti pendataan kondisi lahan di seluruh

kabupaten/kota dan pemberian bantuan alat sesuai

kebutuhan masing-masing daerah; pemerataan

jaringan internet; serta penambahan alokasi

anggaran atau bekerjasama dengan pihak ketiga

untuk pendanaan. BRG dapat mendorong penggu-

naan anggaran desa melalui pembinaan pemimpin-

pemimpin daerah agar mereka memiliki kepedulian

terhadap program restorasi gambut, termasuk

PLTB. BRG juga dapat membina para pemimpin

atau tokoh-tokoh desa untuk mencetak lebih banyak

pemimpin atau tokoh potensial yang memfasilitasi

proses difusi inovasi program PLTB.

Proses komunikasi PLTB harus dilakukan

secara terus-menerus, bertahap, dan tidak sporadis

untuk meningkatkan efektivitas difusi inovasi atau

menjangkau lebih banyak wilayah dalam waktu

yang relatif lebih cepat. Sementara itu, dalam

memutuskan wilayah prioritas restorasi atau desa

percontohan, BRG disarankan menjaring aspirasi

masyarakat atau LSM/NGO. Sedangkan dalam

memutuskan intervensi program apa saja yang akan

diberikan kepada masyarakat, BRG disarankan

menggali inovasi-inovasi dalam masyarakat agar

sesuai dengan potensi atau kebutuhan masing-

masing daerah. Fasdes diharapkan tidak hanya

bekerja berdasarkan proyek atau output yang sudah

ada agar masyarakat merasa lebih memiliki dan

meningkatkan adopsi program.

Terkait dengan penggunaan pesan-pesan

visual, khususnya yang disampaikan melalui media

televisi atau media internet, BRG disarankan

menggunakan public figure atau artis terkenal.

Penggunaan public figure atau artis terkenal yang

mampu menarik perhatian dan memiliki nilai

hiburan dapat meningkatkan minat masyarakat

untuk meyaksikan pesan-pesan visual tersebut,

sebelum mereka mencari informasi lebih jauh

mengenai teknik mengolah lahan tanpa bakar.

Selanjutnya, menyusul penggunaan media

massa yang kurang diminati dan penggunaan media

baru yang sering terkendala jaringan internet yang

belum merata, Pemerintah disarankan mengupaya-

kan pemerataan akses informasi melalui pemerataan

jaringan internet hingga ke daerah-daerah pelosok.

Sementara itu, terkait dengan evaluasi terhadap

sumber informasi dan saluran komunikasi program

Page 21: Difusi Inovasi Program Pengolahan Lahan Basah Tanpa Bakar ...

Difusi Inovasi Program Pengolahan Lahan ... Rani Diah Anggraini

43

PLTB yang belum dilakukan sampai dengan tahun

2018, BRG disarankan segera melakukan evaluasi

tersebut untuk mengukur tingkat keberhasilan difusi

inovasi Program PLTB, yakni mengetahui apakah

program sudah berjalan sesuai dengan rencana dan

tujuan sudah tercapai, untuk selanjutnya dilakukan

perbaikan dengan mengubah strategi dan taktik.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terimakasih penulis ucapkan yang sebesar-

besarnya kepada seluruh narasumber dan pihak-

pihak yang membantu penyusunan karya tulis ini,

serta Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Gadjah Mada yang telah memberikan dukungan

terhadap penelitian difusi inovasi program PLTB

ini.

DAFTAR PUSTAKA

Aprilianto, Deby Febriyan (2016). Inovasi dalam

Sektor Publik: Studi Kasus Proses Difusi

Inovasi Aplikasi SIMPUS di Kota

Yogyakarta. Tesis tidak diterbitkan.

Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Ardianto, Elvinaro; Komala, Lukiati; & Karlinah,

Siti (2004). Komunikasi Massa: Suatu

Pengantar. Cetakan Kedua. Edisi Revisi.

Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Brg.go.id (8 Maret 2018). Lestari, Perempuan

Pejuang Anti Bakar Lahan dari Sebangau

Jaya. [Online]. Tersedia dalam:

<https://brg.go.id/lestari-perempuan-

pejuang-anti-bakar-lahan-dari-sebangau-

jaya/> diakses pada 29 Agustus 2019 pukul

00.37 WIB.

Cangara, Hafied (2010). Pengantar Ilmu

Komunikasi. Edisi Revisi. Jakarta: PT

RajaGrafindo Persada.

Communications Network and Asibey Consulting

(2008). Are We There Yet? A

Communications Evaluation Guide. The

Communication Network. [Online]. Tersedia

dalam: <https://www.lumina

foundation.org/files/resources/arewethereyet

.pdf.> diakses pada 14 Maret 2018 pukul

19.15 WIB.

Creswell, John W. (2010). Research Design:

Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan

Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

De Vries, Hanna; Bekkers, Victor; and Tummers,

Lars (2014). Innovation in the Public Sector:

A Systematic Review and Future Research

Agenda. Speyer: EGPA Conference.

Elena, Maria and Lawrence, Kincaid (2002).

Communication for Social Change: An

Integrated Model For Measuring the Process

and Its Outcomes. New York: Rockefeller

Foundation.

Flew, T. (2002). New Media: An Introduction.

Melbourne: Oxford University Press.

Guswandani, Dini (2017). “Pendekatan Edukasi

dalam Program Kampanye “Tanya Saya”

BPJS Ketenagakerjaan.” Jurnal Visi

Komunikasi, Vo. 16(1): 91-110.

Harahap, Dolly Kuswara; Yoza, Defri; dan

Oktorini, Yossi (2017). “Strategi Pencegahan

Kebakaran Hutan dan Lahan Berdasarkan

Persepsi Masyarakat di Desa Dayun

Kabupaten Siak.” JOM Faperta UR, Vol.

4(1): 1-11.

Hardjana, Agus M. (2003). Komunikasi

Intrapersonal dan Komunikasi Interpersonal.

Yogyakarta: Kanisius.

Husna, Nailul (2017). “Dampak Media Sosial

terhadap Komunikasi Interpersonal

Pustakawan di Perpustakaan UIN Sunan

Kalijaga Yogyakarta”. Libria, Volume 9, No.

2, Halm. 183-196.

Kalteng Pos (7 Februari 2019). Belajar Restorasi

Gambut Sejak Dini. Halm. 7.

Levis, Leta Rafael (1996). Komunikasi Penyuluhan

Pedesaan. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Littlejohn, Stephen W. and Foss, Karen A. (2010).

Theories of Human Communication. 10th ed.

Long Grove, Illinois: Waveland Press, Inc.

McQuail, Denis (2011). Teori Komunikasi Massa

McQuail. Edisi 6 (Buku 1). Terjemahan oleh

Putri Iva Izzati. Jakarta: Penerbit Salemba

Humanika.

Nababan, Sintar (2014). Pengaruh Dalihan Na Tolu

dan Karakteristik Petani dalam Proses Difusi

Inovasi Kopi di Kecamatan Pagaran

Kabupaten Tapanuli Utara. Disertasi tidak

diterbitkan. Yogyakarta: Universitas Gadjah

Mada.

Nurkholis, A.; Rahma, A. D.; Widyaningsih, Y.;

Maretya, D. A.; Wangge, G. A.; dan

Abdillah, A. (2016). Analisis Temporal

Page 22: Difusi Inovasi Program Pengolahan Lahan Basah Tanpa Bakar ...

Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 24 No.1 Juni 2020: 23-45

44

Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia

Tahun 1997 dan 2015: Studi Kasus Provinsi

Riau. [Online]. Tersedia dalam:

<https://osf.io/preprints/inarxiv/cmzuf/>

diakses pada 2 September 2018 pukul 07.13

WIB.

Onrizal (2005). “Pembukaan Lahan Dengan dan

Tanpa Bakar.” e-USU Repository. [Online].

Tersedia dalam:

<https://www.researchgate.net/publication/4

2320175_Pembukaan_Lahan_Dengan_Dan_

Tanpa_Bakar> diakses pada 25 September

2018 pukul 19.09 WIB.

Pertiwi, P. R. dan Saleh A. (2010). “Persepsi Petani

tentang Saluran Komunikasi Usahatani

Padi.” Jurnal Komunikasi Pembangunan,

Vol. 8(2): 46-61.

Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 52

Tahun 2008 tentang Pedoman Pembukaan

Lahan dan Pekarangan bagi Masyarakat di

Kalimantan Tengah.

Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 15

Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan

Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 52

Tahun 2008 tentang Pedoman Pembukaan

Lahan dan Pekarangan bagi Masyarakat di

Kalimantan Tengah.

Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 49

Tahun 2015 tentang Pencabutan atas

Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah

Nomor 52 Tahun 2008 tentang Pedoman

Pembukaan Lahan dan Pekarangan bagi

Masyarakat di Kalimantan Tengah dan

Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah

Nomor 15 Tahun 2010 tentang Perubahan

atas Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah

Nomor 52 Tahun 2008 tentang Pedoman

Pembukaan Lahan dan Pekarangan bagi

Masyarakat di Kalimantan Tengah.

Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2016 tentang

Badan Restorasi Gambut

Provinsi Kalimantan Tengah (2015). “Penanganan

Kabut Asap di Kalimantan Tengah.” Laporan

Gubernur Kalimantan Tengah pada

Kunjungan Presiden RI ke Provinsi

Kalimantan Tengah tanggal 31 Oktober

2015. Palangka Raya: Satgas TD Bencana

Karhutla Kalteng.

Rakhmat, Jalaluddin (2003). Psikologi Komunikasi.

Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Ramdhan, Muhammad (2017). “Analisis Persepsi

Masyarakat terhadap Kebijakan Restorasi

Lahan Gambut di Kalimantan Tengah.”

Risalah Kebijakan Pertanian dan

Lingkungan, vol. 4(1): 60-72.

Rangkuti, Syahnan (2018). “Mengolah Gambut

Tanpa Kabut.” Kompas Edisi 10 Juli 2018,

halm. 20.

Rochimah, Tri Hastuti Nur (2009). “Evaluasi

Pelaksanaan Kampanye Sosial Perilaku

Hidup Bersih dan Sehat untuk Menurunkan

Angka Diare di Kabupaten Kulonprogo”.

Jurnal Ilmu Komunikasi, Vol. 6(1): 65-85.

Rogers, Everett M. (2003). Diffusion of Innovations.

5th ed. New York: The Free Press.

Sahin, Ismail (2006). “Detailed Review of Roger’s

Diffusion of Innovations Theory and

Educational Technology-Related Studies

Based on Roger’s Theory.” The Turkish

Online Journal of Educational Technology

(TOJET). Vol. 5 Issue 2 Article 3.

Savitri, Mila (2018). Proses Adopsi Program

Pendewasaan Usia Perkawinan pada

Remaja: Studi Deskriptif Kualitatif tentang

Proses Adopsi Program Pendewasaan Usia

Perkawinan pada Siswa SMA Negeri 1

Srandakan melalui PIK-R Wijaya Kusuma

pada Tahun 2017. Tesis tidak diterbitkan.

Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Septiarani, F.K. Bella (2016). Analisis terhadap

Kebijakan Indonesia dalam Penanggulangan

Bencana Kabut Asap Lintas Batas Negara

Tahun 2015. [Online]. Tersedia dalam:

<http://repository.bakrie.ac.id/1102/37/00%

20Cover.pdf> diakses pada 2 September

2018 pukul 07.14 WIB.

Sucahya, Media dan Surahman, Sigit (2017).

“Difusi Inovasi Program Bank Sampah:

Model Difusi Inovasi Pemberdayaan

Masyarakat dalam Pengelolaan Bank

Sampah Alam Lestari di Kota Serang

Provinsi Banten.” Jurnal Ilmu Komunikasi,

Vol. 8(1): 63-79.

Suciati (2017). Teori Komunikasi dalam Multi

Perspektif. Yogyakarta: Buku Litera.

Suhartini (2009). “Kajian Kearifan Lokal

Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya

Alam dan Lingkungan.” Prosiding Seminar

Nasional Penelitian, Pendidikan, dan

Penerapan MIPA, Fakultas MIPA,

Universitas Negeri Yogyakarta, 16 Mei 2009,

Halm. 206-218.

Toha, Muharto (2009). Model Komunikasi Difusi

Inovasi Briket Batu Bara. Cetakan Pertama.

Yogyakarta: Gama Media.

Triwibowo, Dionisius Reynaldo (2016). “Cari Cara

Tanam Tanpa Bakar: Takut Ditangkap,

Petani Ladang di Kalteng Belum Berani

Tanam.” Kompas Edisi 10 Oktober 2016,

halm. 21.

Page 23: Difusi Inovasi Program Pengolahan Lahan Basah Tanpa Bakar ...

Difusi Inovasi Program Pengolahan Lahan ... Rani Diah Anggraini

45

Triwibowo, Dionisius Reynaldo (2018a).

“Membuka Lahan Tanpa Bakar Terus

Dibudayakan.” Kompas Edisi 4 April 2018,

halm. 22.

Triwibowo, Dionisius Reynaldo (2018b). “Rezeki

di Lahan Terdegradasi.” Kompas Edisi 7 Mei

2018, halm. 23.

Tubbs, Stewart L. dan Moss, Sylvia (1996). Human

Communication: Prinsip-prinsip Dasar.

Terjemahan oleh Deddy Mulyana &

Gembirasari. Cetakan Pertama. Bandung: PT

Remaja Rosdakarya.

Waluyo, Joko; Kiki, Andi; dan Surambo, Achmad

(2015). Padiatapa untuk Siapa? Persepsi

Masyarakat. Jakarta: Kemitraan.

Wicaksono, Agung (2018). Restorasi Gambut di

Indonesia: Melihat Lebih Dalam dengan

Kacamata “Governance”. Tesis tidak

diterbitkan. Yogyakarta: Universitas Gadjah

Mada.

LAMPIRAN

Barikut ini adalah lampiran nama narasumber, peran atau jabatan, serta tanggal wawancara

No. Nama Peran / Jabatan Tanggal Wawancara

1. Dr. Ir. Suwignya Utama, MBA Kapokja Edukasi dan Sosialisasi pada Kedeputian Bidang Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi, dan Kemitraan BRG

23 Januari 2019

2. Yanir, S.Sos. Pelatih Sekolah Lapang Petani Gambut/Ketua Kelompok Tani Kalampan Jaya/Kepala Desa Anjir Kalampan

2 Februari 2019

3. Budi Setiawan Ketua Kelompok Tani Sumber Makmur dari Desa Harapan Jaya

19 Januari 2019

4. Theti N.A Ketua Kelompok Wanita Tani Tampelas Raya dari Desa Mantangai Hilir

19 Januari 2019

5. Sabran Achmad Tokoh Adat Dayak/Mantan Ketua Dewan Adat Dayak Kalimantan Tengah Tahun 2008-2016

26 Januari 2019

6. Dimas Novian Hartono Direktur Eksekutif WALHI Kalimantan Tengah

7 Januari 2019

7. Herman Wibowo, S.IP., M.M. Camat Sebangau Kuala

12 Februari 2019

8. Andi Kiki Koordinator PMU Kemitraan Kalimantan Tengah

7 Januari 2019

9. Merty Ilona, S.P., M.P., Wawancara dengan Kepala Seksi Pengendalian Kerusakan Lingkungan DLH Provinsi Kalimantan Tengah

14 Februari 2019