Difusi Inovasi Program Pengolahan Lahan ... Rani Diah Anggraini 23 Difusi Inovasi Program Pengolahan Lahan Basah Tanpa Bakar di Kalimantan Tengah The Diffusion Innovasions in the Without Burning Wet-Land Processing in Central Kalimantan Rani Diah Anggraini Biro Protokol dan Komunikasi Publik Setda Provinsi Kalimantan Tengah Jl. RTA Milono No.1, Menteng, Kec. Jekan Raya, Kota Palangka Raya, Kalimantan Tengah 74874 Email: [email protected]DOI 10.46426/jp2kp.v24i1.113 diterima tanggal 09 Januari 2020 | direvisi tanggal 13 Mei 2020 | disetujui tanggal 27 Mei 2020 ABSTRACT The haze disaster that hit the Central Kalimantan and surrounding areas in 2015 had a broad impact on various fields of life, such as economics, health, and education. The government prohibits land clearing by burning and launching a peat restoration program to prevent the occurrence of the smog haze again while restoring degraded peat ecosystems. However, the diffusion of innovations in peat restoration programs carried out by BRG in which there is PLTB program must deal with the habit of burning land that has been carried out for generations. The study about the process of diffusion innovation in PLTB program in Central Kalimantan used a qualitative descriptive approach with a case study method. The face-to-face interpersonal communication channel is the main communication channel of the BRG in the process of diffusion of innovation in PLTB program and is considered the most effective. BRG maximizes the role of opinion leaders and change agents as a source of information. BRG also improved the function of Fasdes and established intensive communication with peatland farmers through the WhatsApp group to overcome uneven internet network constraints. Keywords: peat restoration, land processing without burning, diffusion of innovations ABSTRAK Bencana kabut asap yang melanda wilayah Kalimantan Tengah dan sekitarnya pada tahun 2015 berdampak luas pada berbagai bidang kehidupan, seperti ekonomi, kesehatan, dan pendidikan. Pemerintah melarang pembukaan lahan dengan membakar dan mencanangkan program restorasi gambut untuk mencegah bencana kabut asap kembali terjadi sekaligus mengembalikan ekosistem gambut yang terdegradasi. Namun, difusi inovasi program restorasi gambut oleh BRG di mana terdapat program PLTB harus berhadapan dengan kebiasaan membakar lahan yang telah dilakukan masyarakat secara turun-temurun. Penelitian tentang proses difusi inovasi program PLTB di Kalimantan Tengah ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan metode studi kasus. Saluran komunikasi interpersonal secara tatap muka menjadi saluran komunikasi utama BRG dalam proses difusi inovasi program PLTB dan dinilai paling efektif. BRG memaksimalkan peran pemuka pendapat dan agen-agen perubahan sebagai sumber informasi. BRG juga meningkatkan fungsi Fasdes dan menjalin komunikasi intensif dengan petani-petani lahan gambut melalui grup WhatsApp untuk mengatasi kendala jaringan internet yang belum merata. Kata kunci: restorasi gambut, pengolahan lahan tanpa bakar, difusi inovasi I. PENDAHULUAN Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk merestorasi gambut sekaligus mencegah terjadinya bencana kabut asap adalah dengan menginisiasi program Pengolahan Lahan Tanpa Bakar (PLTB). Namun, proses difusi inovasi program PLTB di kalangan petani lahan gambut di Kalimantan Tengah harus berhadapan dengan
23
Embed
Difusi Inovasi Program Pengolahan Lahan Basah Tanpa Bakar ...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Difusi Inovasi Program Pengolahan Lahan ... Rani Diah Anggraini
23
Difusi Inovasi Program Pengolahan Lahan Basah Tanpa Bakar di Kalimantan
Tengah
The Diffusion Innovasions in the Without Burning Wet-Land Processing in
Central Kalimantan
Rani Diah Anggraini
Biro Protokol dan Komunikasi Publik Setda Provinsi Kalimantan Tengah
Jl. RTA Milono No.1, Menteng, Kec. Jekan Raya, Kota Palangka Raya, Kalimantan Tengah 74874
diterima tanggal 09 Januari 2020 | direvisi tanggal 13 Mei 2020 | disetujui tanggal 27 Mei 2020
ABSTRACT
The haze disaster that hit the Central Kalimantan and surrounding areas in 2015 had a broad impact on
various fields of life, such as economics, health, and education. The government prohibits land clearing by
burning and launching a peat restoration program to prevent the occurrence of the smog haze again while
restoring degraded peat ecosystems. However, the diffusion of innovations in peat restoration programs
carried out by BRG in which there is PLTB program must deal with the habit of burning land that has been
carried out for generations. The study about the process of diffusion innovation in PLTB program in Central
Kalimantan used a qualitative descriptive approach with a case study method. The face-to-face interpersonal
communication channel is the main communication channel of the BRG in the process of diffusion of
innovation in PLTB program and is considered the most effective. BRG maximizes the role of opinion leaders
and change agents as a source of information. BRG also improved the function of Fasdes and established
intensive communication with peatland farmers through the WhatsApp group to overcome uneven internet
network constraints.
Keywords: peat restoration, land processing without burning, diffusion of innovations
ABSTRAK
Bencana kabut asap yang melanda wilayah Kalimantan Tengah dan sekitarnya pada tahun 2015 berdampak
luas pada berbagai bidang kehidupan, seperti ekonomi, kesehatan, dan pendidikan. Pemerintah melarang
pembukaan lahan dengan membakar dan mencanangkan program restorasi gambut untuk mencegah bencana
kabut asap kembali terjadi sekaligus mengembalikan ekosistem gambut yang terdegradasi. Namun, difusi
inovasi program restorasi gambut oleh BRG di mana terdapat program PLTB harus berhadapan dengan
kebiasaan membakar lahan yang telah dilakukan masyarakat secara turun-temurun. Penelitian tentang proses
difusi inovasi program PLTB di Kalimantan Tengah ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan
metode studi kasus. Saluran komunikasi interpersonal secara tatap muka menjadi saluran komunikasi utama
BRG dalam proses difusi inovasi program PLTB dan dinilai paling efektif. BRG memaksimalkan peran
pemuka pendapat dan agen-agen perubahan sebagai sumber informasi. BRG juga meningkatkan fungsi Fasdes
dan menjalin komunikasi intensif dengan petani-petani lahan gambut melalui grup WhatsApp untuk mengatasi
kendala jaringan internet yang belum merata.
Kata kunci: restorasi gambut, pengolahan lahan tanpa bakar, difusi inovasi
I. PENDAHULUAN
Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah
untuk merestorasi gambut sekaligus mencegah
terjadinya bencana kabut asap adalah dengan
menginisiasi program Pengolahan Lahan Tanpa
Bakar (PLTB). Namun, proses difusi inovasi
program PLTB di kalangan petani lahan gambut di
Kalimantan Tengah harus berhadapan dengan
Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 24 No.1 Juni 2020: 23-45
24
kearifan lokal atau kebiasaan membuka lahan
dengan cara membakar yang telah dilakukan secara
turun-temurun.
Kalimantan Tengah masuk dalam daftar
provinsi yang rawan bencana kabut asap akibat
kebakaran hutan dan lahan. Sejak tahun 1997,
hampir setiap tahun di musim kemarau, terjadi
kebakaran hutan dengan berbagai tingkat kepara-
han. Bahkan, berdasarkan Laporan Gubernur
Kalimantan Tengah pada Kunjungan Presiden RI
tanggal 31 Oktober 2015, luas lahan yang terbakar
pada Januari sampai dengan 28 Oktober 2015
mencapai 401.691 hektare (Ha). Sulitnya pemada-
man di lahan gambut diperburuk oleh panjangnya
musim kering disertai El Nino. Kalimantan Tengah
sendiri memiliki lahan gambut seluas 3.010.640 Ha
atau 20,20% dari total luasan lahan gambut di Indo-
nesia yang mencapai 14.905.574 Ha (Ramdhan,
2017: 61-64).
Kebakaran hutan gambut, antara lain
disebabkan pembukaan lahan dengan cara mem-
bakar oleh perusahan perkebunan dan oleh petani
yang pada umumnya adalah peladang berpindah.
Permasalahan gambut di Kalimantan Tengah
dimulai dari pembukaan lahan pasang surut, pem-
bukaan lahan transmigrasi, dan penebangan kayu
hutan, termasuk program Pengembangan Lahan
Gambut (PLG) pada era Orde Baru yang bertujuan
mengkonversi 1 juta Ha lahan menjadi persawahan
namun menemui kegagalan. Lahan gambut yang
telah dikeringkan dan banyak ditebang pohonnya
menjadi lokasi paling sering terjadi kebakaran
(Central Kalimantan Peatland Project dalam
Ramdhan, 2017: 65-66).
Pemerintah melarang pembukaan lahan de-
ngan cara membakar untuk mencegah bencana
kabut asap. Larangan tersebut tertuang dalam
Peraturan Gubernur (Pergub) Kalimantan Tengah
Nomor 49 Tahun 2015. Peraturan ini meng-
gantikan Pergub Nomor 52 Tahun 2008 dan Pergub
Nomor 15 Tahun 2010 yang mentoleransi pembu-
kaan lahan dengan cara pembakaran terbatas dan
terkendali bagi masyarakat adat.
Indonesia merupakan negara pertama yang
secara tegas memulai upaya restorasi gambut
(Wicaksono, 2018: 5-49). Untuk melaksanakan
tugas koordinasi dan fasilitasi restorasi gambut
sampai dengan Desember 2020, pemerintah mem-
bentuk Badan Restorasi Gambut (BRG) pada 6 Ja-
nuari 2016 melalui Peraturan Presiden Nomor 1
Tahun 2016 tentang Badan Restorasi Gambut. Se-
bagai pelaksana Tugas Pembantuan (TP) BRG di
daerah, dibentuk Tim Restorasi Gambut Daerah
(TRGD). Sedangkan sebagai bagian dari program
restorasi gambut yang dicanangkan pemerintah
tersebut, diiniasi program PLTB yang mendi-
fusikan teknik mengolah lahan tanpa membakar.
Teknik membakar sangat umum digunakan
secara luas dan turun-temurun dalam pembukaan
lahan hutan di daerah tropis, termasuk Indonesia
(Onrizal, 2005: 2). Masyarakat Kalimantan Tengah
meyakini bahwa membuka lahan dengan mem-
bakar lebih mudah dan murah. Akibatnya, larangan
membakar tidak hanya menimbulkan dampak
psikologis, namun juga dampak ekonomi bagi
masyarakat. Secara psikologis, larangan membakar
membuat sebagian warga resah karena takut di-
tangkap namun tidak bisa membuka lahan tanpa
membakar (Triwobowo, 2018b). Dari sisi eko-
nomi, ketakutan untuk kembali berladang
berpotensi menimbulkan krisis pangan karena stok
pangan terus berkurang (brg.go.id, 8 Maret 2018).
Larangan membakar juga meningkatkan penge-
Difusi Inovasi Program Pengolahan Lahan ... Rani Diah Anggraini
25
luaran masyarakat untuk membuka lahan tanpa
membakar (Triwibowo, 2016).
Sebagai solusi dari permasalahan tersebut,
harus dipilih inovasi, dalam hal ini inovasi mengo-
lah lahan, yang sesuai dengan karakteristik dan
kebutuhan khalayak sasaran (Finley; McKenzie;
Parisot; Sherry; Spotts dalam Sahin, 2006), yakni
masyarakat petani lahan gambut di Kalimantan
Tengah. Pemerintah juga harus melakukan pemi-
lihan sumber informasi dan saluran komunikasi
yang tepat untuk mempercepat proses adopsi
inovasi (Aprilianto, 2016; Nababan, 2014; Toha,
2009; Savitri, 2018). Apalagi, berbeda dengan
bercocok tanam di lahan mineral seperti di Jawa,
mengolah lahan gambut lebih sulit dengan faktor
kegagalan besar (Rangkuti, 2018), sehingga tidak
mudah mengubah kebiasaan masyarakat membuka
lahan dengan membakar.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas,
maka penelitian ini mengkaji proses difusi inovasi
program PLTB yang dilakukan oleh BRG di
Provinsi Kalimantan Tengah pada periode tahun
2016-2018, meliputi sumber informasi dan saluran
informasi apa yang digunakan BRG, termasuk
apakah BRG melakukan evaluasi, perombakan,
atau peningkatan kapasitas sumber informasi dan
saluran komunikasi dalam kurun waktu tersebut.
Beberapa penelitian sebelumnya mengenai
restorasi gambut berfokus pada aspek
“governance” atau pengambilan kebijakan terkait
program restorasi gambut (Wicaksono, 2018) dan
persepsi masyarakat terhadap kebijakan tersebut
(Ramdhan, 2017). Penelitian sebelumnya menge-
nai kebakaran hutan dan lahan yang berujung pada
bencana kabut asap juga berfokus pada analisis
kebijakan penanggulangan kabut asap (Septiarani,
2016), penyebab dan rekomendasi penanganan ka-
but asap (Nurcholis et al., 2016), serta persepsi
masyarakat petani terhadap strategi pencegahan
kebakaran hutan dan lahan (Harahap et al., 2017).
Sedangkan penelitian kali ini berfokus pada aspek
komunikasi persuasif dan edukatif dari restorasi
gambut yang sekaligus bertujuan untuk mencegah
kembali terjadinya bencana kabut asap.
Teori difusi inovasi banyak digunakan dalam
konteks komunikasi pembangunan terutama di
negara-negara berkembang (Ardianto et al., 2004:
64; Suciati, 2017: 89). Teori ini juga dapat
digunakan untuk menjawab isu-isu lingkungan
hidup, seperti inovasi teknik mengolah lahan tanpa
membakar yang didifusikan untuk mengembalikan
ekosistem gambut yang terdegradasi dan mencegah
terjadinya bencana kabut asap. Dalam konteks ko-
munikasi pembangunan di bidang pertanian, difusi
inovasi teknik mengolah lahan tanpa membakar
bertujuan untuk meningkatkan produksi pertanian
dan mempertahankan kesuburan tanah dibanding
membuka lahan dengan cara membakar (Triwi-
bowo, 2018a).
Rogers (2003: 5) mendefinisikan difusi seba-
gai sebagai sebuah proses di mana inovasi dikomu-
nikasikan melalui saluran tertentu dari waktu ke
waktu di antara anggota sistem sosial. Difusi meru-
pakan jenis komunikasi yang berkaitan dengan
penyebarserapan pesan-pesan berisi gagasan-gaga-
san baru.
Tujuan utama proses difusi inovasi adalah
diadopsinya inovasi oleh anggota sistem sosial ter-
tentu (Nababan, 2014: 45). Adopsi dimaknai
sebagai keputusan untuk menggunakan inovasi dan
penolakan dimaknai sebagai keputusan untuk tidak
mengadopsi inovasi (Rogers, 2003: 177; Mardi-
kanto dalam Levis, 1996: 21). Dengan demikian,
proses difusi inovasi merupakan proses komu-
Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 24 No.1 Juni 2020: 23-45
26
nikasi persuasif yang tujuan akhirnya tidak hanya
berhenti pada tataran pengetahuan atau kognisi,
tetapi diharapkan sampai pada terjadinya peru-
bahan perilaku, yakni menerima dan menggunakan
inovasi, dalam sistem sosial tertentu.
Komunikasi dalam proses difusi inovasi tidak
hanya bersifat persuatif, tetapi juga bisa bersifat
edukatif. Komunikasi untuk mengedukasi diran-
cang untuk mengubah perilaku khalayak sasaran ke
arah yang lebih baik di masa yang akan datang
(Guswandani, 2017: 99).
Menurut Rogers (2003), proses penyebar-
serapan pesan inovasi pada dasarnya meliputi
empat elemen utama, yakni inovasi (innovation),
saluran komunikasi (communication channel),
waktu (time), dan sistem sosial (social system).
Inovasi adalah ide, gagasan, praktik, atau
objek yang dianggap baru oleh individu atau suatu
unit adopsi (Rogers, 2003: 12). Kebaruan bersifat
subjektif, yakni sebuah gagasan yang dianggap
baru oleh individu atau suatu unit adopsi belum
tentu baru bagi individu atau unit adopsi lainnya.
Ketidakpastian merupakan hambatan dalam
proses adopsi inovasi. Karakteristik-karakteristik
tertentu dari sebuah inovasi dapat mengurangi
ketidakpastian dan persepsi individu terhadap
karakteristik tersebut dapat mempengaruhi tingkat
adopsi (Rogers, 2003: 219-232).
Rogers (2003: 15-16) mengemukakan bahwa
atribut inovasi untuk mengurangi ketidakpastian
meliputi lima karakteristik inovasi, yakni: Keuntu-
ngan relatif adalah sejauh mana suatu inovasi
dianggap lebih baik daripada gagasan yang digan-
tikannya; Derajat kesesuaian adalah sejauh mana
suatu inovasi sesuai dengan nilai-nilai yang ada,
pengalaman masa lalu, dan kebutuhan adopter
potensial; Kompleksitas adalah sejauh mana suatu
inovasi dianggap relatif sulit dipahami dan digu-
nakan; Trialibilitas adalah sejauh mana suatu
inovasi dapat diuji coba dengan basis terbatas;
Observabilitas adalah sejauh mana hasil dari suatu
inovasi dapat dilihat oleh orang lain.
Rogers (2003) mendefinisikan komunikasi se-
bagai suatu proses menciptakan dan berbagi infor-
masi untuk mencapai saling pengertian. Komu-
nikasi terjadi melalui saluran antar sumber. Sumber
adalah individu atau institusi yang memunculkan
pesan. Sedangkan saluran adalah sarana yang digu-
nakan untuk mentransmisikan pesan dari sumber
ke penerima. Saluran komunikasi dalam proses
difusi inovasi adalah sarana untuk mentrans-
misikan inovasi ke atau di dalam sistem sosial.
Sebagai sebuah proses komunikasi, difusi inovasi
terdiri dari elemen-elemen komunikasi, seperti ino-
vasi, individu atau suatu unit adopsi yang menyam-
paikan dan menerima pesan, serta saluran
komunikasi. Saluran komunikasi dalam proses
difusi inovasi meliputi media massa dan saluran
interpersonal.
Komunikasi massa merupakan ragam komu-
nikasi yang dilakukan dengan menggunakan media
massa dan ditujukan untuk sejumlah besar individu
(Avery dan McCain dalam Tubbs dan Moss, 1996:
18; Bittner dalam Rakhmat, 2003: 188). Media
komunikasi yang termasuk dalam kelompok media
massa, antara lain radio, televisi, surat kabar,
majalah, dan film (Ardianto et al., 2004: 3).
Penggunaan media massa, menurut Meletzke (da-
lam Rakhmat, 2003: 188), memperlihatkan sifat
komunikasi massa yang satu arah dan tidak lang-
sung.
Komunikasi interpersonal merupakan inter-
aksi tatap muka antar dua atau beberapa orang, di
mana pengirim dan penerima pesan masing-masing
Difusi Inovasi Program Pengolahan Lahan ... Rani Diah Anggraini
27
dapat menyampaikan serta menerima dan
menanggapi pesan secara langsung (Hardjana,
2003: 85). Komunikasi interpersonal pada dasar-
nya merupakan suatu proses yang mempunyai
hubungan saling mempengaruhi (Husna, 2017).
Teknologi digital memungkinkan untuk
penggunaan pribadi sebagai alat komunikasi de-
ngan digitalisasi dan ketersediannya yang luas
(McQuail, 2011: 148). Meski dapat menjangkau
khalayak sasaran secara luas dalam waktu yang
relatif cepat, namun penggunaan media baru
berbasis internet tersebut bergantung pada keter-
sediaan jaringan dan kemudahan mengakses
internet karena pesan digital didistribusikan mela-
lui suatu jaringan, seperti kabel serat optik, satelit,
dan sistem transmisi gelombang rendah (Flew,
2002: 10). Dengan kata lain, penggunaan media
baru bergantung pada ketersediaan jaringan dan
kemudahan mengakses internet.
Aspek waktu diabaikan dalam sebagian besar
penelitian mengenai perilaku. Padahal, menurut
Rogers (2003), memasukkan dimensi waktu dalam
penelitian difusi dapat menggambarkan kekuatan
suatu proses difusi inovasi. Dalam proses difusi
inovasi, jika tingkat adopsi inovasi semakin tinggi,
yakni semakin cepat dan banyak diadopsi, maka
proses difusi dapat dikatakan semakin efektif. Se-
mentara itu, elemen waktu dalam proses difusi
inovasi meliputi proses pengambilan keputusan
inovasi, kategorisasi adopter, dan tingkat adopsi
inovasi.
Individu dalam sebuah sistem sosial tidak
secara bersamaan mengadopsi suatu inovasi.
Adopter dapat dikategorisasikan berdasarkan
keinovatifan (innovativeness) mereka. Menurut
Rogers (2003: 22), keinovatifan adalah sejauh
mana seorang individu relatif lebih awal dalam
mengadopsi suatu inovasi daripada individu yang
lain dalam sebuah sistem. Kategori adopter, terdiri
dari innovators (inovator), early adopters
(pengadopsi awal), early majority (mayoritas
awal), late majority (mayoritas akhir), dan lag-
gards (lamban). Setiap kategori didefinisikan
menggunakan persentase responden standar
(standardized percentage of respondents). Lihat
Gambar 1
Sumber: Rogers, Everett M. (2003). Diffusion of Innovations. 5th ed. New York: The Free Press Source: Rogers, Everett M. (2003). Diffusion of Innovations. 5th ed. New York: The Free Press
Gambar 1. Kategori Adopter dengan Dasar Keinovatifan Figure 1. Adopter Categorization on Innovativeness Base
Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 24 No.1 Juni 2020: 23-45
28
Sistem sosial adalah seperangkat unit yang sa-
ling terkait dan terlibat dalam pemecahan masalah
bersama untuk mencapai tujuan bersama (Rogers,
2003: 23). Anggota sistem sosial dapat terdiri dari
individu, kelompok informal, organisasi, atau sub
sistem lainnya. Sistem sosial dalam konteks komu-
nitas petani dapat berperan sebagai penggerak
inovasi untuk meningkatkan kualitas komunitas
petani tersebut. Penggerak dalam hal ini dapat diar-
tikan sebagai penggagas, pengambil inisiatif,
aktivis, atau pemrakarsa (Nababan, 2014: 57).
Rogers (2003) menyebutkan bahwa terdapat
empat faktor yang mempengaruhi proses difusi ino-
vasi dalam kaitannya dengan sistem sosial, yakni:
Struktur sosial adalah susunan unit dalam
sebuah sistem sosial yang memiliki pola tertentu
yang dapat menciptakan keteraturan dan stabilitas
perilaku setiap individu di dalamnya. Struktur sosial
dan struktur komunikasi dalam sebuah sistem dapat
memfasilitasi atau menghambat proses difusi
inovasi.
Norma adalah pola perilaku yang dapat
diterima semua anggota sistem sosial sebagai
standar atau panduan. Sistem norma dapat menjadi
faktor penghambat untuk menerima sebuah gagasan
baru. Hal ini berhubungan dengan derajat kese-
suaian inovasi dengan nilai atau kepercayaan
masyarakat.
Opinion leader adalah orang-orang berpe-
ngaruh atau orang-orang yang mampu mempe-
ngaruhi sikap orang lain secara informal dalam
sebuah sistem sosial. Orang-orang berpengaruh ini
dapat menjadi pendukung inovasi atau sebaliknya
karena berperan sebagai model di mana perila-
kunya, baik mendukung maupun menentang
inovasi, diikuti oleh para pengikutnya.
Agen perubahan adalah bagian dari sistem
sosial yang berpengaruh terhadap sistem sosialnya,
termasuk untuk menerima sebuah inovasi. Agen
perubahan bersifat resmi dan biasanya telah menda-
patkan pelatihan. Fungsi utama mereka adalah
menjadi mata rantai yang menghubungkan dua sis-
tem sosial atau lebih.
Jenis keputusan untuk menerima atau menolak
sebuah inovasi dapat mempengaruhi tingkat adopsi
inovasi tersebut (Rogers, 2003; Wayne dalam De
Vries et al., 2014). Menurut Rogers (2003), dalam
sebuah sistem sosial, keputusan untuk menerima
atau menolak sebuah inovasi dapat dilakukan secara
pribadi atau perorangan (keputusan inovasi opsi-
onal), secara bersama-sama (keputusan inovasi
kolektif), dan secara koersif oleh pihak yang memi-
liki kekuasaan lebih besar (keputusan inovasi otori-
tas).
Berkaitan dengan keputusan kolektif, sejak
perang dunia kedua, telah berkembang konsep free
prior informed consent (FPIC) yang diterjemahkan
sebagai persetujuan berdasarkan informasi di awal
tanpa paksaan (Padiatapa). Waluyo et al. (2015: 2)
mendefisikan Padiatapa sebagai hak masyarakat
untuk mendapatkan informasi sebelum suatu pro-
gram dilaksanakan. Padiatapa juga didefinisikan
sebagai hak komunitas masyarakat adat untuk
memutuskan jenis kegiatan pembangunan yang
dapat berlangsung dalam tanah adat masyarakat.
Dengan kata lain, Padiatapa memastikan bahwa
suatu program yang masuk ke dalam wilayah
masyarakat adat atau lokal mendapat persetujuan
komunitas untuk meningkatkan peran masyarakat,
mencegah konflik, serta menjamin hak-hak masya-
rakat dan keberlangsungan program.
Difusi Inovasi Program Pengolahan Lahan ... Rani Diah Anggraini
29
II. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan des-
kriptif kualitatif dengan metode studi kasus
mendalam (intrinsic case study). Pada penelitian
dengan metode intrinsic case study, penelitian
dilakukan pada suatu kasus yang memiliki kekhasan
atau keunikan yang tinggi dengan fokus penelitian
pada kasus yang sedang dikaji, baik program, keja-
dian, aktivitas, proses, atau individu (Creswell,
2010: 29).
Terkait dengan kasus yang memiliki kekhasan
atau keunikan yang tinggi, penelitian ini ingin
mendapatkan gambaran mengenai proses difusi
inovasi program PLTB yang harus berhadapan
dengan kearifan lokal membuka lahan dengan cara
membakar di Kalimantan Tengah. Larangan mem-
bakar di provinsi ini juga menimbulkan dampak psi-
kologis dan ekonomi bagi masyarakat. Karena itu,
proses difusi inovasi yang dilakukan BRG harus
mampu meyakinkan masyarakat untuk mengubah
kebiasaan membuka lahan dengan cara membakar
dan mengedukasi masyarakat mengenai metode
mengolah lahan tanpa membakar.
Narasumber penelitian ini adalah pejabat atau
pihak yang berkompeten dari BRG dan TRGD
Provinsi Kalimantan Tengah. Untuk melengkapi
data penelitian, peneliti juga menggali informasi
dari petani yang telah berhasil melakukan pengo-
lahan lahan gambut tanpa membakar, masyarakat,
tokoh masyarakat, dan tokoh adat yang tinggal di
wilayah Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG), serta
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau Non
Governmental Organization (NGO) yang
memberikan perhatian pada masalah restorasi
gambut khususnya terkait pengolahan lahan gambut
tanpa membakar.
Lokasi penelitian ini adalah Provinsi
Kalimantan Tengah, yakni di Kantor Dinas
Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Kalimantan
Tengah sebagai leading sector TRGD di lingkup
Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah, Kantor
TRGD Provinsi Kalimantan Tengah, beberapa loka-
si lahan gambut yang diolah tanpa bakar, dan
beberapa desa yang terletak di wilayah KHG, seper-
ti Desa Anjir Kalampan, Kecamatan Kapuas Barat,
Kabupaten Kapuas sebagai lokasi didirikannya
sekolah lapang di Provinsi Kalimantan Tengah;
Desa Harapan Jaya, Kecamatan Mantangai, Kabup-
aten Kapuas; dan Desa Mantangai Hilir, Kecamatan
Mantangai, Kabupaten Kapuas. Sedangkan waktu
penelitian dilakukan selama tiga bulan terhitung
mulai bulan Desember 2018 sampai dengan bulan
Februari 2019.
Teknik wawancara, observasi, dan dokumen-
tasi digunakan untuk mengumpulkan data. Adapun
data dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yakni
data primer dan data sekunder. Data primer dipero-
leh dari pengamatan langsung dan wawancara men-
dalam dengan narasumber. Sedangkan data
sekunder diperoleh dari dokumentasi kegiatan di-
fusi inovasi program PLTB di Kalimantan Tengah
tahun 2016-2018.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Ada beberapa faktor yang harus dipertim-
bangkan dan dikaji oleh BRG sebelum program
PLTB didifusikan oleh sumber informasi tertentu
melalui saluran komunikasi tertentu. Beberapa fak-
tor yang harus dipertimbangkan dan dikaji tersebut,
meliputi: 1) karakteristik inovasi PLTB di
Kalimantan Tengah; 2) kategorisasi adopter PLTB
di Kalimantan Tengah; 3) faktor sistem sosial dalam
difusi inovasi program PLTB di Kalimantan Ten-
Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 24 No.1 Juni 2020: 23-45
30
gah; dan 4) jenis keputusan inovasi program PLTB
di Kalimantan Tengah.
A. Karakteristik Inovasi PLTB
Tingkat adopsi terhadap inovasi PLTB di Kali-
mantan Tengah sangat dipengaruhi oleh karak-
teristik inovasi PLTB itu sendiri. Kejelasan karak-
teristik inovasi PLTB dapat mengurangi ketidak-
pastian dan menaikkan tingkat adopsi. Berikut ini
adalah perbandingan antara atribut inovasi PLTB di
Kalimantan Tengah dengan kearifan lokal mem-
buka lahan menggunakan cara membakar yang
meliputi lima karakteristik inovasi menurut Rogers
(2003: 15-16), yakni keuntungan relatif, derajat
kesesuaian, kompleksitas, kemampuan diuji
coba/trialibilitas, dan kemampuan untuk dapat dili-
hat/observabilitas. Lihat tabel 1.
Tabel 1. Perbandingan Inovasi PLTB dengan Kearifan Lokal Membuka Lahan Menggunakan Cara Membakar di Kalimantan Tengah Table 1. Comparison of PLTB Innovations with Local Wisdom Clears Land by Burning in Central Kalimantan
No. Karakteristik Inovasi PLTB Kearifan Lokal Membuka Lahan dengan Membakar
1. Keuntungan Relatif (Relative Advantage)
Risiko kebakaran gambut berkurang Petani terhindar dari sanksi membakar hutan dan lahan
• Tanah tetap subur setelah berkali-kali masa tanam
• Hasil lebih banyak
• Kualitas lebih bagus
• Keuntungan lebih besar
• Sisa vegetasi dapat diolah menjadi pupuk kompos atau terdekomposisi sebagai mulsa
• Rantai makanan ekosistem lahan gambut tidak terganggu
• Dapat dilakukan di lahan terbatas dengan pembibitan sistem polybag
• Penyiraman lebih cepat dan praktis dengan sistem sprinkle
• Pengerjaan lebih mudah
• Biaya lebih murah
• Sisa abu pembakaran dapat menyuburkan tanah pada awal masa tanam
• Aktivitas pembakaran dapat membunuh hama
2. Derajat Kesesuaian (Compatibility)
• Sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai masyarakat, yakni menjaga kelestarian alam
• Menggunakan sistem tabat
• Tidak menggunakan pupuk kimia
• Tidak menggunakan pestisida
• Menjaga kelestarian alam jika dilakukan sebagaimana mestinya, namun saat ini berisiko kebakaran karena pengeringan gambut, anomali El Nino, dan pergeseran budaya komunal
• Menggunakan sistem tabat
• Menggunakan sekat pencegah
• Memperhatikan kekuatan dan arah angin
• Menggunakan sistem bera, namun saat ini sulit dilakukan karena sertifikasi tanah
Difusi Inovasi Program Pengolahan Lahan ... Rani Diah Anggraini
31
Tabel 1. Perbandingan Inovasi PLTB dengan Kearifan Lokal Membuka Lahan Menggunakan Cara Membakar di Kalimantan Tengah Table 1. Comparison of PLTB Innovations with Local Wisdom Clears Land by Burning in Central Kalimantan
No. Karakteristik Inovasi PLTB Kearifan Lokal Membuka Lahan dengan Membakar
3. Kompleksitas (Complexity)
• Lebih rumit
• Waktu pengerjaan lebih lama
• Biaya lebih besar
• Membutuhkan alat berat, seperti traktor, traktor tangan, cultivator, dan excavator
• Lebih praktis
• Waktu pengerjaan lebih cepat
• Biaya lebih murah
• Tidak tergantung dengan alat berat
4. Trialibilitas (Trialability)
• Memungkinkan diuji coba di lahan gambut, bahkan pada lahan dengan tingkat keasaman tinggi
• Dapat dilakukan di lahan pasang surut dan tadah hujan dengan kandungan gambut maupun di lahan mineral atau tanah kering, terutama tadah hujan dan tanah kering karena air pasang surut tidak dapat mencapai lahan dan membusukkan vegetasi
5. Observabilitas (Observability)
• Hasil cukup menggembirakan dapat dilihat di beberapa lokasi demonstration plot (Demplot) di Kalimantan Tengah
• Sejak larangan membakar diberlakukan dan sertifikasi tanah digalakkan, praktis aktivitas pembakaran dan perladangan berpindah berkurang bahkan tidak ada
Sumber: Hasil Wawancara Narasumber Source: The Interviewee’s Results
Sebagaimana kelebihan utama teknik pembu-
kaan lahan tanpa membakar (slash-and-mulch) me-
nurut Majid (dalam Onrizal, 2005: 7) dan
Triwibowo (2018a), inovasi PLTB di Kalimantan
Tengah dapat memberikan ketuntungan relatif bagi
masyarakat, khususnya para petani lahan gambut.
Keuntungan relatif inovasi PLTB yang dapat mem-
berikan hasil panen lebih baik berkaitan dengan
aspek biaya. Sedangkan dikaitkan dengan jenis-
jenis inovasi menurut Rogers (2003: 229-233),
inovasi PLTB dapat dikategorikan sebagai inovasi
preventif sekaligus inovasi non-preventif (incre-
mental). Preventif karena diadopsi untuk
mengantisipasi kejadian di masa depan yang tidak
diinginkan, yakni kebakaran hutan dan lahan yang
berujung pada bencana kabut asap. Non-preventif
karena keuntungan berupa hasil panen yang lebih
baik dapat dirasakan dalam waktu relatif cepat,
yakni setelah satu masa tanam. Keuntungan yang
relatif lebih cepat ini dapat mendorong adopsi.
B. Proses Difusi Inovasi Program PLTB di
Kalimantan Tengah
BRG menyadari pentingnya peran petani maju
yang tidak berhenti melakukan uji coba untuk
menemukan metode terbaik dalam pengolahan
lahan gambut tanpa bakar dan meyakinkan para
petani lahan gambut di Kalimantan Tengah agar
mengadopsi metode tersebut. Kepala Kelompok
Kerja (Kapokja) Edukasi dan Sosialisasi BRG, Dr.
Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 24 No.1 Juni 2020: 23-45
32
Ir. Suwignya Utama, MBA (wawancara pada
tanggal 26 Januari 2019), mengatakan BRG
menggunakan petani yang sudah maju dan mem-
praktekkan metode mengolah lahan tanpa bakar
sebagai salah satu narasumber dan pelatih sekolah
lapang sekaligus menjadikan lahan pertaniannya
sebagai lokasi praktek.
Dalam hal ini, BRG menjalin kerjasama
dengan Ketua Kelompok Tani Kalampan Jaya yang
juga Kepala Desa Anjir Kalampan, Yanir, S.Sos.
Sedangkan untuk peserta sekolah lapang, sebanyak
dua orang peserta diambil dari kelompok
masyarakat Desa Peduli Gambut (DPG) yang akan
atau sudah diberi bantuan dana membangun mini
Demplot. Diserahkan kepada kepala desa untuk
memilih petani yang umurnya masih produktif, mau
belajar PLTB, dan mau menjadi peserta kegiatan
sekolah lapang.
Dalam proses difusi inovasi program PLTB,
masyarakat harus memiliki pengetahuan mengenai
keuntungan relatif yang akan diperoleh jika
menggunakan pola tanpa bakar. Untuk mengurangi
ketidakpastian, kejelasan manfaat inovasi atau
keuntungan yang akan diperoleh dengan peng-
gunaan inovasi sangat penting dalam proses difusi
inovasi (Finley; McKenzie; Parisot; Spotts dalam
Sahin, 2006; Aprilianto, 2016), sehingga peran
penyuluh yang dapat memberikan informasi yang
cukup dan meyakinkan sangat penting (Nababan,
2014: 6-8). Kemampuan Yanir, S.Sos. dan
inisiatifnya mendokumentasikan pengalaman men-
jadi pertimbangan lain BRG untuk memberikan
informasi yang cukup kepada masyarakat, khusus-
nya para petani lahan gambut.
Melalui kerjasama dengan petani maju yang
tidak berhenti melakukan uji coba untuk mene-
mukan metode terbaik dalam pengolahan lahan
gambut tanpa bakar seperti Yanir, S.Sos., maka
BRG menyadari pentingnya peran inovator dalam
proses difusi inovasi proram PLTB. Yanir, S.Sos.
sebagaimana definisi inovator menurut Rogers
(2003), siap menghadapi inovasi yang tidak meng-
untungkan dan tidak berhasil dengan tingkat
ketidakpastian tertentu. Sebagai inovator, Yanir,
S.Sos. merupakan penjaga gerbang yang membawa
inovasi mengolah lahan tanpa bakar ke dalam
komunitas petani lahan gambut Kalimantan Tengah.
Dengan pengalamannya, Yanir, S.Sos. memiliki
pengetahuan teknis mengolah lahan tanpa bakar
yang kompleks.
Menurut tokoh adat Dayak Kalimantan
Tengah, Sabran Achmad, pemerintah memang
harus melibatkan masyarakat lokal setempat atau
ahli-ahli dari lokal Kalimantan Tengah yang lebih
mengenal kondisi daerahnya (wawancara pada
tanggal 26 Januari 2019).
Selain itu, melalui kerjasama dengan tokoh
petani setempat, seperti Yanis, S.Sos., dalam uji
coba PLTB, maka BRG mempertimbangkan ino-
vasi teknik PLTB yang berasal dari masyarakat
sehingga masyarakat merasa lebih memiliki yang
pada akhirnya dapat meningkatkan adopsi inovasi.
Menurut Toha (2009: 5-11) serta Sucahya dan
Surahman (2017), memaksa masyarakat menerima
inovasi tanpa melibatkan mereka dapat berujung
pada kegagalan proses difusi inovasi. Toha (2009:
262) juga mengatakan, penggunaan model komuni-
kasi sentralistik dan top-down juga akan mem-
berikan efek yang kecil pada pembentukan persepsi
yang positif karena masyarakat akan merasa
tertekan untuk menerima dan menggunakan inovasi.
Meski telah menggunakan tokoh setempat,
Direktur Eksekutif WALHI Kalimantan Tengah,
Dimas Novian Hartono, menilai sosialisasi
Difusi Inovasi Program Pengolahan Lahan ... Rani Diah Anggraini
33
mengenai proses penangkapan para tersangka pem-
bakar lahan yang terlihat menonjol dapat menim-
bulkan ketakutan di tengah masyarakat. Ketakutan
yang tidak disertai kemampuan mengolah lahan
tanpa bakar dapat mengancam ketersediaan stok
pangan (wawancara pada tanggal 7 Januari 2019).
Selain petani maju yang direkrut menjadi
narasumber dan pelatih sekolah lapang, dalam
proses difusi inovasi program PLTB, BRG
melibatkan sejumlah ketua kelompok tani dan
anggota kelompok tani mereka. Peran Ketua kelom-
pok tani adalah mendukung atau terlibat dalam
pembangunan mini Demplot bersama-sama dengan
para anggota kelompok tani. Pembangunan mini
Demplot dilakukan mulai tahun 2017 setelah para
petani mengikuti pelatihan di Desa Anjir Kalampan.
Ketua kelompok tani dan anggota kelompok
tani mereka masing-masing dapat dikategorisasikan
ke dalam kelompok “pengguna awal” dan “mayo-
ritas awal”. Para ketua kelompok tani ini,
sebagaimana definisi “pengguna awal” menurut
Rogers (2003), cenderung memegang peran kepe-
mimpinan dalam sistem sosial mereka, yakni
komunitas petani lahan gambut. Anggota kelompok
Gambar 2. Demplot PLTB Desa Harapan Jaya Figure 1. Demonstration Plot of PLTB of Harapan Jaya Village
Gambar 3. Demplot PLTB Desa Mantangai Hilir Figure 3. Demonstration Plot of PLTB of Mantangai Hilir Village
Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 24 No.1 Juni 2020: 23-45
34
tani atau masyarakat pada umumnya datang kepada
mereka untuk mendapatkan saran atau informasi,
termasuk saran atau informasi tentang inovasi
PLTB, jika mereka dilibatkan dalam proses difusi
inovasi program BRG tersebut. Sikap ketua
kelompok tani terhadap PLTB sangat penting untuk
mengurangi ketidakpastian inovasi karena mereka
dapat menjangkau anggota kelompok taninya dan
bahkan masyarakat melalui jaringan interpersonal.
Sementara itu, para anggota kelompok tani,
sebagaimana definisi “mayoritas awal” menurut
Rogers (2003), pada umumnya memiliki interaksi
yang baik dengan masyarakat atau anggota kelom-
pok tani yang lain, namun tidak memiliki peran
kepemimpinan seperti ketua kelompok tani mereka.
Meski demikian, jaringan interpersonal para ang-
gota kelompok tani peserta sekolah lapang ini masih
penting dalam proses difusi inovasi. Mereka memu-
tuskan untuk mengadopsi inovasi PLTB sebelum
separuh anggota kelompok tani atau masyarakat
melakukannya.
1. Pembentukan kelompok masyarakat
pengelola mini Demplot
Pembentukan kelompok masyarakat pengelola
mini Demplot difasilitasi oleh Fasilitator Desa
(Fasdes). Mini Demplot sendiri diharapkan dapat
menjadi percontohan bagi petani-petani lainnya
yang masuk dalam kelompok “mayoritas akhir” dan
laggards agar mengubah mindset dan tergerak
untuk mengikuti pola tanpa bakar. Sebagian petani
yang dikategorisasikan sebagai “mayoritas akhir”
sudah mengadopsi pola tanpa bakar. Menurut
Rogers (2003), para “mayoritas akhir” mencakup
sepertiga dari semua anggota sistem sosial yang
menunggu sampai sebagian besar anggota sistem
mengadopsi inovasi.
Menurut Yanir, S.Sos., sebanyak 15 ribu KK
diperkirakan sudah mengikuti metode tanpa bakar
dengan proses penerimaan inovasi selama satu sik-
lus tanam atau kurang lebih dua bulan. Meski para
“mayoritas akhir” pada umumnya bersikap skeptis,
namun kebutuhan ekonomi akibat adanya larangan
membakar dan stok pangan yang menipis bahkan
habis, dapat mengarahkan mereka pada keputusan
adopsi inovasi PLTB. Jaringan interpersonal di
sekitar mereka dapat berperan mengurangi ketidak-
pastian inovasi PLTB, terlebih dengan adanya mini
Demplot yang dapat mereka lihat proses dan
hasilnya.
Inovasi PLTB yang diuji coba Yanir, S.Sos.,
menurut Kapokja Edukasi dan Sosialisasi BRG, Dr.
Ir. Suwignya Utama, MBA saat wawancara pada
Wawancara tanggal 23 Januari 2019, sudah sesuai
dengan kebutuhan dan nilai-nilai masyarakat Kali-
mantan Tengah mengenai kelestarian alam. Apalagi
dengan digalakkannya kebijakan sertifikasi tanah
yang menggeser kebiasaan perladangan berpindah
dan adanya persegeran budaya komunal yang
menyebabkan aktivitas membuka lahan dengan
membakar kurang terkontrol. Sebagaimana dikata-
kan Wahono (dalam Suhartini, 2009: 207), kearifan
lokal bersifat dinamis serta tidak sama pada tempat
dan waktu yang berbeda karena tantangan alam dan
kebutuhan hidup masyarakatnya berbeda-beda.
Selain sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai
masyarakat Kalimantan Tengah mengenai kelesta-
rian alam, program PLTB juga sesuai dengan norma
hukum berupa larangan membakar lahan yang
berlaku pasca bencana kabut asap tahun 2015.
Namun, menurut hasil wawancara pada tanggal 7
Januari 2019 dengan Direktur Eksekutif WALHI
Kalimantan Tengah, Dimas Novian Hartono, proses
membiasakan dan mencontohkan tidak mudah
Difusi Inovasi Program Pengolahan Lahan ... Rani Diah Anggraini
35
meski telah dibangun mini Demplot di beberapa
desa. Tidak semua masyarakat serta merta bersedia
mengubah kebiasaan. Selain itu, penyuluhan yang
dilakukan dinilai tidak menyeluruh.
Koordinator Project Management Unit (PMU)
Kemitraan Kalimantan Tengah, Andi Kiki,
mengatakan wilayah kerja BRG dan mitra kerja
pada tahun 2017 hanya meliputi Sungai Katingan di
Kecamatan Katingan Kuala serta pada tahun 2018
hanya meliputi dua kecamatan di Kabupaten
Kapuas dan Pulang Pisau. Sedangkan model
program PLTB, masih terus dikembangkan sampai
dengan tahun 2020 dan belum digunakan secara
massif. Pengembangan DPG di Kalimantan Tengah
di mana terdapat program PLTB di dalamnya baru
meliputi dua kabupaten, yakni Kapuas dan Pulang
Pisau. Peserta sekolah lapang sampai dengan tahun
2018 juga baru meliputi dua kabupaten, yakni
Kapuas dan Pulang Pisau (wawancara pada tanggal
tanggal 7 Januari 2019)
Dengan penyuluhan yang tidak menyeluruh,
Fasdes beserta inovator, “pengadopsi awal”, dan
“mayoritas awal” tidak dapat menjangkau seluruh
kelompok masyarakat terutama kelompok laggards
yang memiliki pandangan tradisional dan sikap
yang lebih skeptis daripada “mayoritas akhir”.
Jaringan interpersonal kelompok ini, menurut
Rogers (2003), pada umumnya adalah anggota lain
dalam sistem sosial dari kategori yang sama.
Mereka juga tidak memiliki peran kepemimpinan
karena sumber daya yang terbatas dan kurangnya
pengetahuan tentang inovasi.
Selain penyuluhan yang belum menyeluruh,
kesulitan melakukan PLTB karena masyarakat di
beberapa desa dengan kondisi lahan tertentu
memerlukan bantuan alat berat. Larangan
membakar menyulitkan petani lahan tadah hujan
dan tanah mineral untuk mulai bercocok tanam jika
tidak ada bantuan alat berat seperti traktor. Padahal
lebih dari 50% masyarakat Dayak di Kalimantan
Tengah berada di dua wilayah tersebut (wawancara
dengan Tokoh Adat Dayak/Mantan Ketua Dewan
Adat Dayak Kalimantan Tengah Tahun 2008-2016,
Sabran Achmad, pada tanggal 26 Januari 2019).
Pemerintah telah memberikan bantuan, seperti
traktor tangan, tetapi tidak serta merta dapat diguna-
kan, belum merata, dan belum sesuai kebutuhan
masing-masing wilayah.
2. Opinion Leader dan Agen-agen
Perubahan
Mengolah lahan gambut tanpa bakar memiliki
tingkat kompleksitas yang relatif lebih tinggi, waktu
yang relatif lebih lama, dan biaya yang relatif lebih
besar dibandingkan cara membakar. Kemampuan
penyuluh diperlukan untuk mengubah mindset
masyarakat (Nababan, 2014: 6-8). Dalam hal ini,
penyuluh harus dapat mengurangi ketidakpastian
inovasi dan mengubah mindset masyarakat bahwa
PLTB tetap dapat dilakukan di semua lahan,
termasuk di lahan gambut dengan tingkat keasaman
tinggi. Dengan demikian, belum dilakukannya
PLTB di sejumlah desa dikarenakan kemampuan
penyuluh yang belum dapat mengurangi ketidak-
pastian inovasi dan mengubah mindset masyarakat
atau dikarenakan jangkauan penyuluhan BRG dan
mitra kerja yang belum menyeluruh mencapai ke
desa-desa tersebut.
Melalui kerjasama dengan Yanir, S.Sos. yang
menjabat sebagai Ketua Kelompok Tani Kalampan
Jaya yang juga Kepala Desa Anjir Kalampan, maka
juga dapat disimpulkan bahwa BRG memperhitung-
kan peran opinion leader dalam mendifusikan
program PLTB. Sebagai orang yang mampu
Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 24 No.1 Juni 2020: 23-45
36
mempengaruhi sikap orang lain secara informal
dalam sebuah sistem sosial, opinion leader, seperti
kepala desa, ketua kelompok tani, dan tokoh adat,
memainkan peran dalam proses difusi inovasi
karena dapat menjadi pendukung inovasi atau
sebaliknya. Demplot yang berhasil pada umumnya
karena pemimpin lokal yang aktif, termotivasi, dan
menggerakkan kelompok masyarakatnya atau
kelompok taninya untuk pantang menyerah dalam
menerapkan metode pertanian tanpa membakar di
lahan gambut.
Langkah BRG untuk memaksimalkan peran
opinion leader dapat meningkatkan efektivitas
komunikasi dalam proses difusi inovasi program
PLTB. Menurut Toha (2009: 265), peran opinion
leader diperlukan untuk meningkatkan efektivitas
komunikasi karena komunikasi akan menjadi lebih
efektif apabila dilakukan dalam kondisi homofili.
Kondisi homofili menunjukkan bahwa di antara
individu-individu yang berinteraksi terdapat persa-
maan, seperti persamaan nilai-nilai keyakinan,
pendidikan, dan status sosial (Rogers, 2003: 19).
Selain opinion leader, menurut Nababan
(2014: 100), informasi dapat bersumber dari
penyuluh, LSM/NGO, dan peneliti. Sumber-sumber
informasi tersebut dapat berperan sebagai agen-
agen perubahan yang mendorong perubahan
perilaku ke arah adopsi suatu inovasi, di samping
temuan baru, kebijakan baru, teknologi baru, dan isu
di media massa (Elena dan Lawrence, 2002: 6-8).
Menurut Rogers (2003), agen-agen perubahan
bersifat resmi atau formal. Mereka mendapat tugas
untuk mempengaruhi masyarakat sehingga kemam-
puan dan keterampilannya berperan besar terhadap
diterima atau ditolaknya sebuah inovasi. Agen-agen
perubahan BRG di Kalimantan Tengah meliputi
kepala desa, ketua kelompok tani beserta anggota
kelompok taninya, Masyarakat Peduli Api, Masya-
rakat Pengelola Tabat, serta tokoh LSM/NGO atau
pegiat sosial yang terlibat dalam pelaksanaan
sekolah lapang dan mendampingi petani saat
pembangunan Demplot.
Meski telah melibatkan opinion leader dan
agen-agen perubahan, proses kerjasama berbagai
pihak dinilai tidak berjalan maksimal sehingga
proses R3 (Revitalization Livelihood) BRG
tertinggal dibandingkan R1 (Rewetting) dan R2
(Revegetation). BRG sendiri belum melibatkan para
penyuluh di tingkat kecamatan atau kabupaten
dalam sekolah lapang karena keterbatasan jumlah
penyuluh dan penganggaran dari BRG.
Sementara itu, berkaitan dengan cakupan kerja
yang luas dengan masa kerja lima tahun yang dinilai
kurang, BRG melalui TRGD Provinsi Kalimantan
Tengah menggunakan pola informasi dari masya-
rakat ke masyarakat dalam pemilihan agen-agen
perubahan agar upaya menanamkan kesadaran
mengolah lahan tanpa bakar tidak selesai setelah
proyek BRG selesai. Tidak hanya tokoh petani,
penggunaan pola informasi tersebut juga
melibatkan generasi muda, tokoh-tokoh masya-
rakat, dan tokoh-tokoh agama.
3. Keputusan Otoritas dan Kolektif
BRG mempertimbangkan dua jenis keputusan
dalam proses difusi inovasi program PLTB di
Kalimantan Tengah, yakni keputusan otoritas dan
kolektif. Menurut Rogers (2003), keputusan otoritas
dibuat oleh pihak yang memiliki kekuasaan lebih
besar, dalam hal ini BRG, untuk diterapkan secara
koersif kepada pihak lain, dalam hal ini masyarakat
petani lahan gambut di Kalimantan Tengah.
Sedangkan keputusan kolektif, dibuat secara
bersama-sama oleh individu-individu dalam sebuah
Difusi Inovasi Program Pengolahan Lahan ... Rani Diah Anggraini
37
sistem sosial, di mana dalam hal ini adalah para
petani di wilayah prioritas restorasi di Kalimantan
Tengah.
Keputusan otoritas meliputi pemilihan desa
prioritas restorasi atau percontohan dan intervensi
program yang akan diberikan kepada masyarakat.
Pendekatan teknis dilakukan untuk menetapkan
suatu desa menjadi lokasi percontohan, yakni
berada dalam areal KHG prioritas yang akan
direstorasi oleh BRG atau masuk dalam Peta
Indikatif Restorasi Gambut atau Peta PIR. Selan-
jutnya, dipilih desa-desa dalam satu hamparan
karena pendekatan landscape lebih efektif dalam
menyiapkan prakondisi sosial.
Selain pendekatan teknis, pemilihan tersebut
juga mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi
masyarakat, termasuk adanya pemimpin yang
mendukung upaya restorasi gambut. Meski demi-
kian, Desa Sebangau Mulya di Kecamatan Seba-
ngau Kuala, Kabupaten Pulang Pisau yang merupa-
kan daerah terdampak paling parah akibat keba-
karan hutan dan lahan tahun 2015 belum menerima
intervensi program dari BRG. Desa tersebut juga
memiliki kepala desa yang mendukung upaya
restorasi gambut melalui inisiatif pengembangan
Demplot PLTB dengan Dana Desa (Kalteng Pos, 7
Februari 2019). Untuk itu, BRG seharusnya
menjaring aspirasi masyarakat atau LSM/NGO
dalam pemilihan desa prioritas atau percontohan.
Sementara itu, keputusan kolektif terkait pro-
gram PLTB, meliputi inovasi program apa saja yang
akan diterima atau ditolak oleh masyarakat.
Pengambilan keputusan untuk mengadopsi atau
tidak mengadopsi program PLTB yang ditawarkan
BRG tetap dilakukan secara bersama-sama oleh
kelompok tani atau masyarakat desa yang bersang-
kutan. Dalam hal ini, dapat disimpulkan bahwa
BRG berpegang pada prinsip Padiatapa. Menurut
Waluyo et al. (2015: 2), konsep ini didefisikan
sebagai hak masyarakat untuk mendapatkan
informasi dan menyetujui atau menolak sebelum
suatu program dilaksanakan dalam wilayah masya-
rakat.
Meski mengusung prinsip Padiatapa, BRG
dinilai kurang menggali inovasi-inovasi yang ada di
masyarakat. Pengembangan program R3 lebih ba-
nyak pada pengembangan teknologi purun, anya-
man, dan sebagainya. Padahal tidak semua wilayah
mengolah purun atau tidak semua wilayah menga-
lihfungsikan lahannya ke seperti nanas (wawancara
dengan Direktur Eksekutif WALHI Kalimantan
Tengah, Dimas Novian Hartono, pada tanggal 7
Januari 2019.
4. Penggunaan Saluran Komunikasi
Interpersonal
BRG mengutamakan komunikasi interpersonal
secara tatap muka dalam proses difusi inovasi
program PLTB di Kalimantan Tengah, di mana
Fasdes, narasumber, atau pelatih sekolah lapang dan
kalangan petani lahan gambut di Kalimantan
Tengah dapat menyampaikan, menerima, dan
menanggapi pesan secara langsung. Menurut
Hardjana (2003: 85), komunikasi interpersonal
merupakan interaksi tatap muka antar dua atau
beberapa orang, di mana pengirim dan penerima
pesan masing-masing dapat menyampaikan serta
menerima dan menanggapi pesan secara langsung.
Penggunaan saluran komunikasi interpersonal
oleh BRG sudah tepat karena sebagai salah satu
bentuk komunikasi yang bersifat persuasif, difusi
inovasi program PLTB tidak hanya berhenti pada
tataran pengetahuan, namun bertujuan mengubah
perilaku para petani lahan gambut di Kalimantan
Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 24 No.1 Juni 2020: 23-45
38
Tengah agar mengadopsi atau menerima dan
menggunakan teknik mengolah lahan tanpa bakar.
Media massa memiliki efek yang kecil dalam
mengubah perilaku, di mana perubahan yang terjadi
pada umumnya sebatas pada pengetahuan atau
kognisi (Hovland dalam Littlejohn dan Foss, 2010).
Penggunaan komunikasi searah melalui media
massa pada umumnya hanya sampai pada tataran
pengetahuan dan belum secara efektif mendorong
masyarakat untuk mengambil keputusan adopsi
(Toha, 2009: 261).
Dengan kata lain, media massa lebih efektif
dalam menciptakan pengetahuan tentang inovasi.
Sedangkan saluran interpersonal lebih efektif dalam
membentuk dan mengubah perilaku dan sikap
terhadap gagasan baru. Menurut Husna (2017),
terdapat hubungan saling mempe-ngaruhi dalam
komunikasi interpersonal. Para pelaku dalam
komunikasi interpersonal juga dia-sumsikan
memiliki hubungan sosial yang erat sehingga akan
tercipta rasa saling percaya serta terjadi hubungan
timbal balik (reciprocal) dan tidak hanya searah
(Toha, 2009: 65-66). Di Kecamatan Sebangau
Kuala, misalnya, komunikasi interpersonal lebih
membuka ruang untuk diskusi (wawancara dengan
Camat Sebangau Kuala, Herman Wibowo, S.IP.,
M.M., pada tanggal 12 Februari 2019).
Sementara itu, sekolah lapang merupakan salah
satu wadah yang digunakan dalam mengkomu-
nikasikan PLTB. Dalam kegiatan sekolah lapang,
dapat dilihat dan dipraktekkan secara langsung
proses dan hasil penggunaan teknik mengolah lahan
tanpa bakar melalui Demplot PLTB, baik di area
sekolah lapang maupun di desa-desa peserta sekolah
lapang. Selain melalui buku panduan, materi seko-
lah lapang disampaikan melalui paparan secara
langsung yang dilengkapi dokumentasi foto dan
pemutaran video.
Penggunaan Demplot, dokumentasi foto, dan
video, termasuk video-video success story, menun-
jukkan bahwa BRG menggunakan pesan visual
untuk meningkatkan observabilitas inovasi PLTB.
Observabilitas suatu inovasi dapat mengurangi
ketidakpastian dan menaikkan tingkat adopsi
inovasi karena, menurut Rochimah (2009), pesan
visual lebih tertanam di benak audiens dibandingan
dengan kata-kata. Dengan demikian, penggunaan
pesan visual oleh BRG sudah tepat dalam proses
difusi inovasi PLTB yang bersifat edukatif karena
lebih tertanam di benak audiens di samping dapat
mengubah perilaku petani lahan gambut di
Kalimantan Tengah karena ketidakpastian ber-
kurang.
Desa Anjir Kalampan dipilih secara otoritas
oleh BRG menjadi lokasi sekolah lapang untuk
Provinsi Kalimantan Tengah. Suatu desa menjadi
tempat didirikannya sekolah lapang karena memi-
liki tokoh petani yang sudah mempraktekkan
inovasi mengolah lahan tanpa bakar dan berhasil, di
samping masyarakatnya yang juga sudah mengolah
lahan gambut secara bijaksana dengan pola-pola
intensifikasi kawasan atau lahan. Sedangkan suatu
desa dipilih sebagai daerah percontohan atau tempat
dibangunnya mini Demplot karena masuk dalam
prioritas restorasi atau tempat dibangunnya infrastr-
uktur pembasahan gambut. Desa tersebut ditetapkan
sebagai DPG, sebelum mini Demplot dibangun dan
dikelola oleh kader-kader sekolah lapang.
Selain pendekatan teknis, kondisi sosial ekono-
mi masyarakat juga menjadi pertimbangan dalam
menetapkan suatu wilayah atau desa menjadi tempat
didirikannya sekolah lapang atau menjadi desa
percontohan, antara lain: 1. Gaya kepemimpinan
Difusi Inovasi Program Pengolahan Lahan ... Rani Diah Anggraini
39
(leadership) dari kepala desa mendukung upaya
restorasi gambut, termasuk di dalamnya kegiatan
mengolah lahan tanpa bakar; 2. Akses desa mudah
dan lancar; dan 3. Desa memiliki fasilitas atau
bangunan-bangunan pendukung, seperti pengi-
napan dan areal lapangan untuk belajar-mengajar.
Fasilitas-fasilitas yang ada di sekitar lokasi sekolah
lapang Desa Anjir Kalampan saat ini adalah Kantor
Resort Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung
(KPHL) Kapuas-Kahayan, Losmen Hasta Karya,
dan areal lahan untuk edukasi tanam-menanam.
Dalam pelaksanaan sekolah lapang, BRG
harus melakukan beberapa tahapan, sebagai berikut:
1. Menyusun kurikulum dan materi serta
menentukan para fasilitator; 2. Memilih dua orang
petani sebagai wakil setiap DPG dan mengirimkan
mereka ke sekolah lapang untuk belajar selama
tujuh hari; 3. Memberikan bantuan pembangunan
mini Demplot PLTB kepada kelompok petani yang
sudah mengikuti sekolah lapang agar mereka
mengembangkan ilmu dan ketrampilan yang telah
diperoleh; dan 4. Mendampingi pembangunan mini
Demplot dan Monev.
Sementara itu, menurut Kepala Kelompok
Kerja Edukasi dan Sosialisasi pada Kedeputian
Bidang Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi, dan Kemi-
traan BRG, Dr. Ir. Suwignya Utama, MBA, hasil
wawancara pada tanggal 23 Januari 2019, pihak-
pihak yang berperan dalam program sekolah lapang,
antara lain: 1, Deputi Bidang Edukasi, Sosialisasi,
Partisipasi, dan Kemitraan BRG sebagai pengarah
program sekolah lapang; 2. Kapokja Edukasi dan
Sosialisasi BRG sebagai koordinator kegiatan admi-
nistrasi dan kerjasama antar instansi; 3 Kepala Sub
Pokja Partisipasi sebagai koordinator penyiapan
kurikulum, materi, personel ahli, fasilitator, dan
tenaga administrasi; 4. Tenaga admi-nistrasi sebagai
pengelola administrasi pendataan dan keuangan
tahun 2018 yang didukung dana UNDP; 5. Tim
teknis yang terdiri atas beberapa tokoh dari daerah,