BAB I PENDAHULUAN 1.2 Latar Belakang Pemahaman tentang penatalaksanaan diet secara umum bagi penderita penyakit ginjal penting untuk diketahui, tak hanya bagi mereka yang telah menderita gangguan ginjal, namun baik bagi mereka yang bertekad untuk menurunkan resiko terhadap gangguan ginjal. Fungsi utama ginjal adalah memelihara keseimbangan homeostatik cairan, elektrolit, dan bahan-bahan organik dalam tubuh. Hal ini terjadi melalui proses filtrasi, reabsorpsi, dan sekresi. Disamping itu, ginjal mempunyai fungsi endokrin penting. Saat organ ginjal terganggu, ia tak lagi menjalani fungsinya dengan baik. Penyakit ginjal menyebabkan terjadinya gangguan pembuangan kelebihan zat gizi yang diperoleh dari makanan. Penetapan terapi nutrisi diklasifikasikan berdasarkan jenis gangguan ginjal yang ada. Seperti gagal ginjal akut, gagal ginjal kronis, penyakit ginjal tahap akhir (gagal ginjal terminal), sindroma nefrotik dan batu ginjal. Mengingat fungsi ginjal telah terganggu, penatalaksanaan diet difokuskan pada pengaturan dan pengendalian asupan energi, protein, cairan dan elektrolit natrium, kalium, kalsium dan fosfor.
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
1.2 Latar Belakang
Pemahaman tentang penatalaksanaan diet secara umum bagi penderita penyakit ginjal
penting untuk diketahui, tak hanya bagi mereka yang telah menderita gangguan ginjal, namun
baik bagi mereka yang bertekad untuk menurunkan resiko terhadap gangguan ginjal.
Fungsi utama ginjal adalah memelihara keseimbangan homeostatik cairan, elektrolit,
dan bahan-bahan organik dalam tubuh. Hal ini terjadi melalui proses filtrasi, reabsorpsi, dan
sekresi. Disamping itu, ginjal mempunyai fungsi endokrin penting. Saat organ ginjal
terganggu, ia tak lagi menjalani fungsinya dengan baik. Penyakit ginjal menyebabkan
terjadinya gangguan pembuangan kelebihan zat gizi yang diperoleh dari makanan. Penetapan
terapi nutrisi diklasifikasikan berdasarkan jenis gangguan ginjal yang ada.
Seperti gagal ginjal akut, gagal ginjal kronis, penyakit ginjal tahap akhir (gagal ginjal
terminal), sindroma nefrotik dan batu ginjal. Mengingat fungsi ginjal telah terganggu,
penatalaksanaan diet difokuskan pada pengaturan dan pengendalian asupan energi, protein,
cairan dan elektrolit natrium, kalium, kalsium dan fosfor.
BAB II
DIET PADA PENYAKIT GINJAL
2.1 Pengertian Gagal Ginjal
Ginjal merupakan organ penting dari tubuh manusia karena ginjal mempunyai fungsi regulasi
dan ekskresi, serta mengekskresikan kelebihannya (sisa metabolisme) sebagai kemih. Ginjal
juga mengeluarkan sisa metabolisme (seperti urea, kreatinin, dan asam urat) dan zat kimia
asing. Akibat suatu hal ginjal dapat mengalami ganguan fisiologis, salah satunya adalah gagal
ginjal.
Gagal ginjal dapat terjadi secara langsung (akut) atau dalam jangka waktu yang lama
(kronis). Gagal ginjal akut terjadi akibat penurunan fungsi glomerular dan tubular yang terjadi
secara mendadak, berakibat pada kegagalan ginjal untuk mengekresikan pro-duk sisa nitrogen
dan menjaga homeostasis cairan dan elektrolit.
Gagal ginjal akut dapat disebabkan karena terjadinya penurunan aliran darah, yang
dapat merupakan akibat dari infeksi yang parah (serious injury), dehidrasi, daya pompa
jantung menurun (kegagalan jantung), tekanan darah yang sangat rendah (shock), atau
kegagalan hati (sindroma hepatorenalis). Gagal ginjal akut juga dapat dikarenakan oleh
adanya zat-zat yang menyebabkan kerusakan atau trauma pada ginjal, seperti kristal, protein
atau bahan lainnya dalam ginjal. Penyebab gagal ginjal akut lainnya yaitu terjadi
penyumbatan yang menghalangi pengeluaran urin dari ginjal, misalnya karena adanya batu
ginjal, tumor yang menekan saluran kemih, atau pembengkakan kelenjar prostat.
Berdasarkan penyebabnya, gagal ginjal akut dapat dibagi menjadi prerenal, intrarenal
dan postrenal. Klasifikasi faktor penyebab prerenal adalah akibat turunnya aliran darah yang
mendadak ke ginjal seperti gagal jantung, shock atau kehilangan darah akibat lesi atau trauma.
Faktor intrarenal yang dapat menyebabkan gagal ginjal akut antara lain infeksi, racun, obat
atau trauma langsung yang dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan ginjal. Sedangkan
faktor postrenal yang dapat menyebabkan gagal ginjal akut adalah berbagai faktor yang dapat
mencegah pengeluaran urin (retensi urin) akibat dari obstruksi (sumbatan) pada saluran
kencing.
Penyakit Ginjal kronis adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3 bulan,
berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria. Jika tidak
ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi
glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73 m2, seperti terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Batasan Penyakit Ginjal Kronik
1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan atau
tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan :
· Kelainan patologik
· Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria, atau kelainan pada pemeriksaan
pencitraan
2. Laju filtrasi glomerulus <> 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal
Penyebab dari gagal ginjal kronis secara umum disebabkan oleh diabetes melitus dan
hipertensi yang diperkirakan menyebabkan 26-43% dari gagal ginjal kronis. Kondisi lain yang
dapat menyebabkan gagal ginjal kronis adalah adanya inflamasi (radang), immunological
(autoimmun) atau penyakit keturunan yang berhubungan dengan ginjal. Pada beberapa kasus,
pasien dengan gagal ginjal kronis diikuti dengan gagal ginjal akut.
Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik, klasifikasi stadium ditentukan oleh nilai
laju filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilai laju filtrasi
glomerulus yang lebih rendah, seperti terlihat pada tabel 2. Klasifikasi tersebut membagi
penyakit ginjal kronik dalam lima stadium.
Tabel 2. Laju Filtrasi Glomerulus dan Stadium Penyakit Ginjal Kronik
Stadium Fungsi Ginjal Laju Filtrasi Glomerulus
(ml/menit/1,73m2)
Risiko Meningkat Normal > 90 (Terdapat faktor risiko)
Stadium 1 Normal / meningkat > 90 (Terdapat kerusakan
ginjal, proteinuria)
Stadium 2 Penurunan ringan 60 – 89
Stadium 3 Penurunan sedang 30 – 59
Stadium 4 Penurunan berat 15 – 29
Stadium 5 Gagal ginjal <>
Pada pasien dengan gagal ginjal kronis akan terjadi beberapa kelainan metabolik seperti:
1. Gangguan elektrolit dan hormon
Gangguan cairan dan elektrolit jarang terjadi kecuali pada tahap akhir dari gagal ginjal.
Akibat turunnya GFR, peningkatan aktivitas oleh beberapa nefron menjadi hal yang penting
dalam ekskresi elektrolit. Beberapa hormon juga membantu dalam pengaturan level elektrolit,
akan tetapi hal ini juga dapat menyebabkan gangguan pada sistem hormon tersebut.
Peningkatan sekresi hormon aldosteron dapat membantu mencegah peningkatan kadar kalium
serum tetapi dapat menyebabkan hipertensi. Peningkatan sekresi hormon paratiroid dapat
membantu pencegahan dari peningkatan kadar phosphate serum akan tetapi daapt berdampak
pada renal osteodystrophy. Ketidakseimbangan elektrolit dapat menyebabkan penurunana
GFR ketika aktivitas dari hormon tidak adekuat atau ketika konsumsi air dan elektrolit
dibatasi atau berlebihan.
2. Renal osteodystrophy
Merupakan gangguan pada tulang yang disebabkan akibat dari aktivitas dari hormon
paratiroid. Hormon paratiroid akan menyebabkan keluarnya phosphate ke dalam urine tetapi
menyebabkan pembongkaran kalsium dari dalam tulang. Selain itu hormon ini juga dapat
menyebabkan turunnya kadar kalsium dalam serum, asidosis, dan gangguan aktifasi vitamin
D di dalam ginjal.
3. Sindrom uremia
Uremia timbul pada saat level terakhir dari penyakit gagal ginjal kronis ketika GFR ginjal
sudah dalam kondisi dibawah 15 mL/menit dan BUN melebihi dari 60 mg/dl. Beberapa
gangguan, gejala dan komplikasi yang berkembang akibat kondisi ini disebut dengan
sindroma uremia. Uremia dapat menyebabkan disfungsi mental dan perubahan pada
neuromuskuler seperti kram pada otot, kelemahan pada otot lengan dan nyeri. Komplikasi
lainnya akibat dari uremia adalah:
· Gangguan sintesis atau pembentukan hormon. Gangguan ini meliputi gangguan
pembentukan hormon pengaktif vitamin D dan erythropoietin yang berfungsi pada
pembentukan sel darah merah. Akibatnya akan terjadi anemia dan osteoporosis akibat
hilangnya kalsium dari tulang.
· Gangguan degradasi hormon. Gangguan pada perkembangan hormon dapat berakibat pada
pertumbuhan, reproduksi, keseimbangan cairan, pengaturan kadar glukosa darah dan
metabolisme zat gizi.
· Abnormalitas pendarahan. Turunnya fungsi platelet dan faktor pembekuan dapat
menyebabkan pembekuan darah akibat luka yang lama yang dapat berkontribusi pada
anemia dan pendarahan pada saluran cerna.
· Peningkatan resiko penyakit kardiovaskuler. Faktor resiko ini antara lain hipertensi,
peningkatan kadar insulin (resistensi insulin) dan kadar lipid darah yang tidak normal.
· Penurunan fungsi imunitas tubuh. Pasien dengan uremia memiliki imunitas yang rendah dan
sangat berpotensi untuk terjadinya infeksi yang lebih sering menyebabkan kematian pada
pasien.
4. Protein Energi Malnutrisi
Pasien dengan gagal ginjal kronis biasanya akan berkembang PEM dan wasting. Beberapa
studi memperkirakan bahwa pasien dengan gagal ginjal akan memiliki asupan energi dan
protein yang tidak cukup bahkan pada saat awal berkembangnya penyakit. Anoreksia
merupakan salah satu faktor penyebab dari rendahnya konsumsi makanan dan dapat berakibat
pada gangguan hormonal. Faktor penyebab lainnya adalah nausea dan vomiting, pembatasan
diet, uremia dan pengobatan. Kehilangan zat gizi dapat memberikan kontribusi pada
malnutrisi dan disebabkan akibat dari vomiting, diare, pendarahan gastrointestinal, concurrent
catabolic illness dan dialisis.
Tidak seperti pada gagal ginjal akut yang penurunan fungsi ginjal terjadi secara cepat
atau tiba-tiba, pada gagal ginjal kronis dikarakteristik dengan penurunan fungsi ginjal secara
bertahap dan irreversible. Pada penderita gagal ginjal kronis, penderita tidak menunjukkan
gejal-gejala yang tampak seperti pada pasien dengan gagal ginjal akut. Gejala ini baru timbul
setelah ginjal mengalami penurunan fungsinya sebesar 75%. Oleh karena itu, pengkajian
klinik sangat bergantung pada pemeriksaan penunjang, meski anamnesis yang teliti sangat
membantu dalam upaya menegakkan diagnosis yang tepat. Sebagian besar individu dengan
stadium dini penyakit gagal ginjal kronik tak terdiagnosis. Deteksi dini kerusakan ginjal
sangat penting untuk dapat memberikan pengobatan segera, sebelum terjadi kerusakan dan
komplikasi lebih lanjut.
Nilai laju filtrasi merupakan parameter terbaik ukuran fungsi ginjal. Nilai ini
dianjurkan dengan rumus Cockcroft-Gault atau rumus MDRD (modification of diet in renal
diseases).
(140-Umur) x Berat Badan
Cockcroft-Gault : Klirens Kreatinin = ------------------------------- x (0,85, jika wanita)
(ml/menit) 72 x Kreatinin Serum
MDRD : Laju Filtrasi Glomerulus = 186 x (Kreatinin Serum) -1,154 x (Umur) -0,203 x (0,742 jika
wanita) x (1,210, jika kulit hitam)
Pengkajian klinik menentukan jenis penyakit ginjal, adanya penyakit penyerta, derajat
penurunan fungsi ginjal, komplikasi akibat penurunan fungsi ginjal, faktor resiko untuk
penyakit kardiovaskuler. Pengelolaan meliputi terapi penyakit ginjal , pengobatan penyakit
penyerta, penghambatan penurunan fungsi ginjal, pencegahan dan pengobatan penyakit
kardiovaskular, pencegahan dan pengobatan komplikasi akibat penurunan fungsi ginjal, serta
terapi pengganti ginjal dengan dialisis atau transplantasi jika timbul gejala dan tanda uremia.
2.2 Penyebab Malnutrisi Pada Gagal Ginjal
Tingginya angka prevalensi malnutrisi terjadi pada pasien dengan gagal ginjal.
Beberapa survey menunjukkan bahwa 40% pasien dengan gagal ginjal mengalami malnutrisi
terutama Protein-Energi malnutrisi. Penyebab malnutrisi ini disebabkan oleh berbagai faktor
(multifaktor), akan tetapi survey menunjukkan bahwa penyebabnya adalah intake makanan
yang kurang. Indikator status gizi seperti turunnya intake makanan dan masa otot merupakan
salah satu penyebab secara independent terhadap kematian 12 bulan lebih dini. Komplikasi
gastrointestinal (saluran cerna) sering terjadi pada pasien yang menyebabkan turunnya intake
makanan dan malnutrisi. Pengobatan komplikasi gastrointestinal dapat memperbaiki status
gizi pada pasien.
Meskipun secara tradisional indikator malnutrisi, seperti turunnya masa otot atau
serum protein dihubungkan dengan peningkatan kematian, beberapa penelitian dilakukan
untuk menunjukkan apabila status gizi baik, maka tingkat kematian pasien dapat dicegah.
Penurunan masa otot atau protein serum dapat menyebabkan respon fase akut yang
berhubungan dengan kondisi kesakitan. Sebagai tambahan, kondisi kesakitan dapat
menyebabkan meningkatnya sitokin penyebab inflamasi dan menyebabkan malnutrisi serta
peningkatan angka kematian. Peningkatan status gizi pada pasien gagal ginjal dari beberapa
penelitian menunjukkan perbaikan pada pasien dan memperlama umur pasien.
Malnutrisi pada pasien gagal ginjal dapat disebabkan oleh beberapa faktor
(multifaktor). Penurunan intake protein dan kalori merupakan penyebab dari malnutrisi pada
pasien. Beberapa studi menunjukkan bahwa penurunan nilai GFR (<50>
Kondisi co-morbid selalu memberikan kontribusi pada penurunan intake dan
malnutrisi. Gastroparesis (gangguan motilitas lambung) merupakan faktor yang paling sering
menyebabkan turunnya intake pada pasien gagal ginjal dengan komplikasi diabetes melitus.
Akan tetapi, sekarang gastroparesis dapat juga terjadi pada pasien tanpa komplikasi diabetes.
Beberapa studi menemukan tingginya insidensi dari gangguan motilitas lambung pada pasien
yang mengalami cuci darah. Pada pasien non-diabetik yang dibantu dengan dialisis dan
mengalami hipoalbuminemia serta gastroparesis akan meningkat status gizinya estela
diberikan erythromicin yang berfungsi sebagai agen prokinetik.
Pengaturan diet yang terlalu ketat pada pasien gagal ginjal dapat menyebabkan
malnutrisi pada pasien gagal ginjal. Diet ginjal; yang membatasi asupan protein, garam,
kalium, phosphor dan air semakin menyebabkan malnutrisi dan rendahnya intake makanan.
Intervensi diet seharusnya tidak terlalu ketat sebelum status gizi dan kebiasaan makan
diketahui serta pasien gagal ginjal sudah jelas membutuhkan pembatasan diet. Selain itu,
beberapa hal perlu diperhatikan dalam menyebabkan abnormalitas elektrolit seperti rendahnya
kontrol terhadap glukosa, penggunaan kalium dalam pengganti garam, atau obat yang
menyebabkan hyperkalemia. Sehingga pembatasan diet harus memperhatikan beberapa faktor
diatas.
Pasien dengan dialisis biasanya akan menyebabkan peningkatan serum leptin dan
serum mediator fase akut seperti IL-6 dan TNF (Tumor Necrosis Factor). Mediator ini
dihubungkan dengan anorexia dan penurunan intake makanan pada pasien dengan gagal
ginjal. Selain itu, uremia juga merupakan faktor lainnya yang dapat menyebabkan turunnya
nafsu makan dan intake makanan.
Penyebab malnutrisi lainnya pada pasien gagal ginjal adalah meningkatnya kehilangan
zat gizi. Pada pasien dialisis, akan terjadi kehilangan asam amino sebanyak 6-12 gram, 2-3
gram peptida dan sedikit protein per sesi dialisis. Selama dialisis peritoneal, pasien akan
mengalami kehilangan asam amino sebesar 2-4 gram, tetapi pada realitanya kehilangan ini
meningkat menjadi 8-9 gram (termasuk 5-6 gram albumin). Pasien dengan dialisis peritoneal
akan mengalami kehilangan protein total sebesar 15 gram per sesi dialisis. Pengeluaran ini
akan terus meningkat sampai peritonitis diobati.
Pasien dengan dialisis juga dapat kehilangan protein akibat dari sampling darah untuk
check laboratorium. Pasien dengan kadar Hb yang normal, akan mengalami kehilangan
protein sebesar 16 gram setiap 100 mL darah diambil dari tubuh.
Malnutrisi pada pasien gagal ginjal juga dapat disebabkan karena aktivitas bakteri
pada usus dan meningkatnya katabolisme tubuh. Studi kohort yang dilakukan pada 22 pasien
dengan dengan gagal ginjal kronis, 36% pasien mengalami overgrowth bakteri di dalam usus.
Pasien dengan gagal ginjal selalu dihadapkan dengan "anabolism challanged". Meningkatnya
reactan acute-phase pada pasien gagal ginjal dan dialisis akan menghambat produksi albumin
dari hati dan meningkatkan katabolisme dari jaringan otot. Asidosis merupakan faktor
tambahan yang menggambarkan katabolisme dalam tubuh pasien. Beberapa data hasil
penelitian menunjukkan aktivitas dari ubiquitine-proteasome akan menyebabkan proteolitik
pada jaringan otot yang merupakan jalur primer dalam katabolisme protein. Acidosis pada
pasien gagal ginjal akan menghambat aktivitas osteoblast dan meningkatkan aktiovitas
osteoclast yang menyebabkan osteodystrophy pada pasien gagal ginjal.
2.3 Dialisis Pada Gagal Ginjal
Dialisis atau cuci darah merupakan salah satu metode untuk memperlama umur pasien
gagal ginjal. Selain itu, dialisis dapat digunakan untuk memperlama waktu pasien gagal ginjal
sebelum dilakukan transplantasi ginjal. Dialisis juga dapat mengembalikan keseimbangan
cairan dan elektrolit. Dialisis bekerja dengan cara menyingkirkan kelebihan cairan dan
sampah dari darah melalui proses difusi,osmosis dan uktrafiltrasi. Dialisis ini menggunakan
dialysate, cairan yang sama dengan komposisi plasma darah normal, yang ditransport ke
dalam kompartement diantara membran semipermeable. Membran semipermeabel ini
berfungsi sebagai filter atau penyaring dimana molekul kecil seperti glukosa dan urea dapat
menembus membran melalui pori-pori pada membran sedangkan molekul besar tidak dapat
menembus membran ini.
Pada hemodialisis, sebuah tabung yang kecil yang dapat membawa darah ke dalam
sebuah alat yang disebut dengan dialyzer yang dibuat dari material yang berfungsi sebagai
membran semipermeabel. Pada peritoneal dialisis, membran semipermeabel ini diganti oleh
peritoneal membran pada tubuh yang banyak mengandung pembuluh darah dan dapat
digunakan untuk menyaring darah. Peritoneal ini terletak diperut yang kaya akan pembuluh
darah. Cara kerja dari hemodialisis peritoneal ini adalah dialysate diinfuskan ke dalam cateter
yang akan masuk ke dalam ruangan peritoneal. Ruangan ini merupakan ruang antara abdomen
dekat dengan usus halus. Pada prosedur yang umum digunakan, continous ambulatory
peritoneal dialysis (CAPD), dialysate masih tertinggal di cavitas peritoneal selama 4-6 jam
dan sesudahnya dihisap dan diganti dengan dialysate yang baru. Secara umum larutan
dialysate diganti 4 kali setiap harinya dan membutuhkan sekitar 30 menit untuk penghisapan
dan penggantian dengan yang baru.
Tidak seperti hemodialisis dengan menggunakan alat (hemodializer), dialisis
peritoneal harus menggunakan konsentrasi glukosa yang tinggi akibat tekanan onkotik yang
rendah pada cavitas peritoneal. Akibatnya, glukosa yang tinggi akan terserap ke dalam tubuh
menimbulkan hiperglikemia dan hipertrigliserida. Selain itu, kelemahan dari metode ini
adalah infeksi pada cavitas peritoneal akibat dari kateter (peritonitis), penjendalan darah pada
kateter sehingga dapat menghambat kateter, perpindahan kateter dan abdominal hernia akibat
dari volume dialysat. Akan tetapi kelebihan dari metode ini adalah pengambilan darah melalui
pembuluh darah tidak dilakukan serta pembatasan diet tidak terlalu ketat.
Pada dialisis dengan menggunakan dialyzer, efek merugikan yang dapat ditimbulkan
antara lain infeksi pada pembuluh darah, penjendalan darah, hipotensi akibat aliran darah
ditarik keluar menuju dialyzer, kram pada otot terutama pada tangan, kaki dan lutut. Selain
itu, anemia juga dapat terjadi pada pasien dengan hemodialisis akibat hilangnya darah di
dalam dialyzer. Efek merugikan lainnya adalah beberapa pasien merasa pusing, lemah,
nausea, vomiting dan berkunang-kunang.
Metode urea kinetik model selanjutnya digunakan untuk mengetahui seberapa
efektifkah dialisis. Metode urea kinetik model adalah metode untuk mengetahui keefektifan
dialisis dengan menghitung clearence urea dari darah. Metode ini menggunakan rumus Kt/V
dimana K menunjukkan konsentrasi urea yang terbuang dari darah, t adalah waktu untuk
dialisis dan V adalah volume darah. Nilai yang diperoleh dapat digunakan untuk mengetahui
apakah pasien telah mengalami dialisis yang tepat. Batas nilai yang digunakan adalah 1,2.
Akan tetapi, perhitungan ini tidak begitu simple, karena beberapa faktor perlu diperhatikan
antara lain data clearence pada dialyzer, blood flow rate dan dialysis flow rate. Sehingga
komputerisasi menjadi hal yang penting dalam menentukan nilai ini.
2.4 Kebutuhan Nutrisi Pasien Gagal Ginjal
1. Kebutuhan Energi
Beberapa studi menemukan kebutuhan kalori untuk pemenuhan pasien dengan hemodialisis
dalam kondisi metabolik yang seimbang. Menurut National Kidney Foundation's, kebutuhan
kalori pada pasien gagal ginjal pada hemodialisis dalam kondisi metabolik yang seimbang
adalah 30-35 kalori/Kg. Sedangkan pada pasien yang dihemolisis dengan menggunakan
metode CAPD, sekitar 200-300 kalori dari dekstrose dalam larutan diasylate. Sehingga kalori
ini perlu diperhatikan. Sedangkan pada pasien dengan gagal ginjal akan mengalami edema,
sehingga perlu diketahui berat badan aktual pasien agar pemenuhan kebutuhan energi dapat
diketahui. Berdasarkan National Kidney Foundation dan data NHANES II apabila berat
pasien <95%>115%, maka berat badan perkiraan (berdasarkan perhitungan rumus) digunakan
dalam menentukan energi. Rumus untuk mengetahui berat badan perkiraan adalah sebagai
berikut:
berat badan ideal+[(aktual edema-free weight-ideal weight)x0,25].
2. Kebutuhan Protein
Kebutuhan protein pada pasien gagal ginjal sangat bergantung pada jenis gagal ginjal
yang dialami oleh pasien dan jenis dialisis yang dilakukan oleh pasien. Pada pasien dewasa
dengan gagal ginjal kronis yang tidak menerima dialisis, maka konsumsi nitrogen per
kilogram bahan makanan adalah 0,6 gram apabila kebutuhan kalori terpenuhi dan protein
yang dikonsumsi harus berasal dari protein dengan nilai biologis yang tinggi. Penurunan
asupan protein dapat mereduksi sindrom uremik dan menghambat dialisis pada pasien dengan
gagal ginjal kronis yang stabil. Akan tetapi, penurunan asupan protein ini tidak diharapkan
karena dapat menimbulkan malnutrisi atau intake kalori yang tidak adekuat.
Kebutuhan protein pada pasien dengan gagal ginjal akut adalah sekitar 0,6- 0,8 gram
per kilogram berat badan tubuh apabila fungsi ginjal sudah menurun dan tidak mengalami
dialisis. Sedangkan apabila fungsi ginjal sudah membaik dan terdapat perlakuan dialisis maka
lebutuhan protein adalah 1,2-1,3 gram per kilogram berat badan.
Pada pasien dengan hemodialisis, maka lebutuhan kalori sebesar 1,2 gram per
kilogram berat badan per hari untuk pasien dengan dialisis yang stabil dan sebesar 1,2-1,3
gram untuk pasien dengan heodialisis peritoneal yang stabil. Pasien dengan malnutrisi, acute
catabolic illness atau luka postoperatif sebaiknya mendapat protein lebih dari 1,3 gram per
kilogram berat badan per hari. Sebuah studi menunjukkan konsumsi protein sebesar 2-2,5
gram per kilogram berat badan per hari dapat memperbaiki keseimbangan Nitrogen pada
pasien dengan gagal ginjal akut. Akan tetapi, konsumsi protein diatas 1,5-1,6 gram per hari
per kilogram berat badan akan meningkatkan frekuensi dari dialisis.
3. Kebutuhan Vitamin
Pasien dengan gagal ginjal sangat riskan untuk defisiensi beberapa mikronutient.
Pasien dengan dialisis dapat kehilangan vitamin larut air seperti thiamine, asam folate,
pyridoxine dan asam askorbat (vitamin C). Akan tetapi, pasien dengan gagal ginjal akan
menyebabkan turunnya ekskresi vitamin A dan menyebabkan hypervitaminosis A. Sehingga
konsumsi vitamin A perlu mendapat perhatian. Vitamin E sangat dibutuhkan sebagai
antioxidant sehingga mencegah asidosis pada pasien. Konsumsi vitamin E sebesar 300-800 IU
dapat mencegah oksidasi pada sel. Akan tetapi, hal ini masih menjadi sesuatu yang
controversial.
Vitamin D merupakan vitamin yang mengalami defisiensi karena salah satu fungsi
ginjal adalah untuk aktivasi dari vitamin D. Selain itu, meningkatnya level PTH (Pituitary
Hormon) akan menyebabkan vitamin D menurun. Pasien dengan penurunan fungsi ginjal
kronis (GFR 20-60 mL/min) yang disertai dengan meningkatnya level PTH harus dilakukan
pengecekan vitamin D dalam bentuk 25-Hidroksi kolekalsiferol atau 25-OH vitamin D.
Pasien dengan kadar 25-OH vitamin D <75>
Berikut adalah rekomendasi intake vitamin pada pasien dengan hemodialisis: