Top Banner

of 25

Diagnosis Kehamilan Abdominal Lanjut Dan Penatalaksanaannya

Jan 10, 2016

Download

Documents

ddcring

K
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

REKAM MEDIS

1

Presentasi Kasus II

DIAGNOSIS KEHAMILAN ABDOMINAL LANJUT DAN PENATALAKSANAANNYA

Penyaji

dr. Yanuarman

Pembimbing

Dr. H.M.Hatta Ansyori,SpOG (K)

Pemandu

Dr. H. Zaimursyaf Aziz, SpOG

DEPARTEMEN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FK UNSRI

PERJAN RS Dr. M. HOESIN PALEMBANG

Dipresentasikan: Rabu , 21 Januari 2004 pukul 12.30 WIB

I. REKAM MEDIS

Penderita adalah seorang wanita berusia 40 tahun, pendidikan SMP, pekerjaan ibu rumah tangga. Dengan suami sekarang berumur 40 tahun dengan pekerjaan buruh dan beralamat dalam kota, masuk rumah sakit tanggal 18 Desember 2004 Pukul 10.45 WIB dengan keluhan mau melahirkan dengan darah tinggi dan anak tak bergerak lagi. Pada riwayat perjalanan penyakit didapatkan bahwa ( 3 minggu yang lalu penderita merasa nyeri perut, disertai mules-mules tapi tidak diikut mules yang menjalar kepinggang yang makin lama makin sering dan kuat, riwayat keluar air-air (-), riwayat keluar darah lendir (-), riwayat perut diurut-urut(-), riwayat minum jamu/obat (-), riwayat trauma (-), riwayat perdarahan pervaginam (-), riwayat hipertensi sebelum kehamilan (-), riwayat mual-muntah (-), riwayat sakit kepala hebat (-), riwayat pandangan kabur (-), riwayat nyeri ulu hati (-). Penderita ke Bidan dan dianjurkan berobat ke SpOG oleh karena darah tinggi dan janin tak bergerak lagi. Satu hari yang lalu penderita berobat ke SpOG dan penderita kemudian dirujuk ke RSMH karena penderita menderita hamil dengan darah tinggi, janin tunggal mati dan letak lintang. Kemudian dengan surat pengantar penderita diantar keluarganya berobat ke RSMH. Penderita mengaku hamil cukup bulan gerakan anak tidak dirasakan lagi sejak 3 minggu yang lalu.

Pada riwayat reproduksi penderita pertama kali menstruasi pada usia 14 tahun, teratur dengan siklus 28 hari dan lamanya menstruasi 7 hari. Pada kehamilan penderita ini merupakan kehamilan yang pertama, dimana hari pertama hari haid terakhir penderita pada bulan Maret 2003, tanggal lupa. Dengan taksiran persalinan pada bulan Desember 2003.

Penderita sudah menikah satu kali selama 5 tahun, hidup serumah dan tidak memakai alat kontrasepsi, berhubungan secara teratur dengan suaminya dan belum pernah hamil. Selama kehamilan ini penderita memeriksakan kehamilannya di bidan dan hanya satu kali saja pada SpOG yaitu satu hari yang lalu.

Pada pemeriksaan fisik tampak status gizi sedang, bentuk badan astenikus, secara klinis pada saat itu tidak anemis dan ikterik. keadaan umum tampak baik, kesadaran kompos mentis, tekanan darah 160/100 mmHg, nadi 92x/m, pernafasan 20 x/m, suhu tubuh 370C, hati dan limfa sulit dinilai, edema pretibial +/+, reflek fisiologis +/+ normal, reflek patologi -/-, Hb 10,2g%, protein +2, berat badan 57 kg, tinggi badan 162 cm.

Pada periksa luar didapatkan tinggi fundus uteri pusat procesus xypoideus (28 cm), bagian janin sulit dinilai, his tetanik, detik jantung janin (-), taksiran berat badan 2550 gram.

Pada inspekulo didapatkan porsio livide, OUE tertutup, fuor (-), fluxus (-), erosi,laserasi dan polip tidak dijumpai.

Pada pemeriksaan dalam (setelah injeksi MgSO4 40% 8 gram bokong kiri-kanan) didapatkan porsio lunak, posterior, pendataran 0%, pembukaan kuncup, ketuban belum dapat dinilai, terbawah sulit dinilai, penurunan sulit dinilai, penunjuk sulit dinilai.

Pada pemeriksaan panggul didapatkan promontorium tak teraba, linea inominata teraba 1/3 1/3, sakrum konkaf, spina ischiadika tidak menonjol, arkus pubis > 90%, dinding vagina lurus. Kesan Panggul luas. Indeks gestosis : 6, COT : 4Hasil pemeriksaan USG tanggal 18 pukul 11.00 WIB didapatkan BPD sesuai 38 minggu, FL sesuai 38 minggu 2 hari, DJJ (-), letak janin melintang, air ketuban cukup, plasenta korpus belakang meluas kedepan menutupi OUI, tanda- tanda hematom retroplasenter tak jelas. Kesan : Hamil 38-39 minggu, janin tungal mati, letak lintang dengan suspek plasenta previa totalis.Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik dan hasil laboratorium diatas penderita didiagnosis dengan G1P0A0 hamil aterm belum inpartu dengan PEB + infertil primer 4 tahun + suspek solusio plasenta, janin tunggal mati letak lintang.Ditatalaksanai : rencana terminasi perabdominam (setelah stabilisasi), observasi tanda vita ibu, perdarahan. IVFD D5% : RL : 1:1 gtt XV/menit. Kateter menetap catat output-input. Injeksi MgSO4 4% 8 gram (4 gram boka, 4 gram boki) selanjutnya 4 gram / 6 jam IM. Injeksi kedacilin 1 gram IV (tes dulu). Laboratorium: urin rutin, darah rutin, kimia darah, CT, BT, COT. Konsul PDL, mata. Stabilisasi 1-3 jam. Persiapan operasi (izin, alat, obat, darah). Lapor konsulen setuju untuk terminasi perabdominam.

Hasil konsul PDL : Saat ini Cor dan Pulmo fungsional kompensata. Hipertensi sesuai PEB. Saran Metyldopa 2 x 250 mg.

Hasil konsul mata: saat ini tak ditemukan tanda-tanda retinopati hipertensi. Saran regulasi tekanan darah sesuai teman sejawat. Konsul ulang jika terjadi penurunan visus.

Laboratorium :BSS 89 mg/dl, Uric acid 6,7 mg/dl, ureum 18 mg/dl, creatini 0,9 mg/dl, protein 9,6 g/dl, albumin 3,7 g/dl, globulin 5,9 g/dl. Urin: sedimen : sel epitel (+), leukosit 2-3/LPB, eritrosit 0/LPB, silider(-0, krital (-) protein (-) glukosa (-)SGOT 35 U/L, SGPT 19 U/L. Darah rutin : Hb 13,2 g%, Hematokrit 41 vol%, lekosit 7.700/mm3, LED 10/jam, trombosit 499.000/mm3, Hitung jenis 0/0/0/78/20/2.Pukul 13.15 WIB operasi dimulai. Intraoperasi didapatkan setelah peritoneum dibuka, tampak perlengketan hebat antara kantong amnion, omentum, dinding abdomen, usus serta peritoneum. Konsul konsulen diputuskan untuk melakukan evakuasi janin dengan cara sebagai berikut: kantong amnion diinsisi secara tajam kemudian bagian tengah ditembus secara tumpul dengan jari sampai menembus kavum. Didapat cairan ketuban kehijauan, kental, bau (+), anak dilahirkan dengan menarik kaki. Pukul 13.30 lahir bayi perempuan dengan berat badan 2700 g, panjang badan 50 cm, dengan maserasi grade III. Pukul 13.40 plasenta tidak dapat dilahirkan karena perlengketan hebat dengan implantasinya. Lapor konsulen disarankan konsul bagian bedah cito diatas meja operasi. Didapatkan perlengketan ileum 20-30 cm dari ileocaecum junction dengan dinding pseudouterus (kehamilan ektrauterin). Perlengketan sigmoid dengan dinding pseudo uterus. Dilakukan adhesiolisis ilium dan sigmoid yang mengalami perlengketan. Tidak didapatkan perforasi. Eksplorasi lebih lanjut didapatkan uterus utuh serta ukuran normal, tuba dan ovarium kanan mengalami perlengketan dengan dinding belakang abdomen, tuba dan ovarium kiri sulit diidentifikasi dan organ lain baik. Dilakukan debaulking terhadap plasenta dan jaringan yang mengalami perlengketan sebanyak mungkin. Perdarahan dirawat sebagaimana mestinya. Dilakukan pembersihan cavum abdomen dan dilanjutkan dengan pencucian dengan NaCl 0,9%. Dilakukan pemasangan stab wound drain dan deep tension suture sebanyak 3 buah. Kemudian dilakukan penutupan dinding abdomen lapis demi lapis.

Pukul 17.00 WIB operasi selesai. Dengan cairan masuk 2800 ml (ashering 1500 ml, NaCl 400 ml, darah 900 ml) dan cairan keluar 2700 ml (darah 1500 ml, urine 1200 ml). Diagnosis pasca bedah : P1A0 pasca laparotomi + evakuasi janin + lisis perlengketan + debulking + stab wound drain a.i kehamilan abdominal.

Follow Up :

TanggalPemeriksaanTerapi

19 Desember 2003

07.00 WIB

(Hari I)Keluhan : (-)

Ku sedang, sens CM TD 130/90 mmHg, Nadi 88 mmHg, T 370C Hb : 9,2 g%. BU (+)

Kateter : Urin Jernih. Botol cairan bertambah ( 30 ml.

PL : Perut simetris, tanda cairan bebas (-)

D/ P1A0 pasca laparotomi a.i kehamilan intraabdominalObservasi tanda vital ibu

Inj. Cefotaksim 2 x 1 g IV

Flagyl Supp 2 x 1 g Suppos

17.00 WIBKeluhan : (-)

Ku sedang, sens CM TD 120/80 mmHg, Nadi 84 mmHg, T 370C,

Kateter : Urin Jernih. Botol cairan bertambah ( 60 ml.

PL : Perut simetris, tanda cairan bebas (-)

D/ P1A0 pasca laparotomi a.i kehamilan intraabdominalLepas kateter dan IVFD

Diet lunak bertahap

Ciproploksasin 3 x 500 mg

Metronidazol 3 x 500 mg

Asam mefenamic 3 x 500 mg

Nufagrabion 2 x 1 tablet

Pindah bangsal post op

20 Desember 2003

(Hari II)Keluhan : (-)

Ku sedang, sens CM TD 110/70 mmHg, Nadi 82 mmHg, T 370C, BU(+), Flatus (+).

Botol cairan bertambah ( 50 ml.

PL : Perut simetris, tanda cairan bebas (-)

D/ P1A0 pasca laparotomi a.i kehamilan intraabdominalObat makan teruskan

Observasi tanda vital ibu dan jumlah cairan stab wound drain

Periksa b-hCG

21 Desember 2003

(Hari III)Keluhan : (-)

Ku sedang, sens CM TD 110/70 mmHg, Nadi 82 mmHg, T 36,60C. BAB (+). Botol cairan bertambah ( 30 ml.

PL : Perut simetris, tanda cairan bebas (-)

D/ P1A0 pasca laparotomi a.i kehamilan intraabdominalObat makan teruskan

b-hCG (-)

lepas stab wound drain

23 Desember 2003

(Hari V)Kel (-)

Ganti perban : Luka baikObat makan teruskan

Ganti perban

25 Desember 2003

(Hari VII)Kel (-)Angkat jahitan sebagian

27 Desember 2003

(Hari IX)Kel (-)Angkat jahitan seluruhnya

28 Desember 2003

(Hari X)Kel (-)MTX 0,4 mg/kgbb (rencana 6 seri)

2 Januari 2004Kel (-)MTX Seri pertama selesai

OS Pulang

II. PERMASALAHAN

1. Apakah penegakan diagnosis pada penderita ini sudah benar?2. Apakah penatalaksanaan penderita ini sudah adekuat dan bagaimana penataksanaan plasenta selanjutnya?

III. ANALISA KASUS

1. Apakah penegakan diagnosis pada penderita ini sudah benar?

Pada saat masuk penderita didiagnosis dengan G1P0A0 hamil aterm belum inpartu dengan PEB + infertil primer 4 tahun + suspek solusio plasenta, janin tunggal mati letak lintang. Kehamilan ini adalah kehamilan yang pertama dan dari taksiran persalinan adalah aterm dan didukung pemeriksaan uterus setinggi 28 cm. Berdasarkan pemeriksaan obstetrik belum inpartu, ini dapat diketahui belum adanya pendataran dan pembukaan pada saat pemeriksaan inspekulo dan pemeriksaan dalam, walaupun his uterus dinilai saat itu adalah tetani. Saat itu juga penderita didiagnosis dengan preeklampsia berat karena telah memenuhi kriteria dari PEB. Penderita telah menikah selama 5 tahun, hidup bersama dan melakukan hubungan suami istri tanpa memakai alat kontasepsi, tapi ini adalah kehamilan yang pertama sehingga penderita di diagnosis sebagai infertil primer. Penderita dicurigai solusio plasenta karena pada saat itu kontraksi uterus dinilai tetanik sehingga sukar menentukan bagian-bagian janin, detik jantung janin negatif dan disamping itu penderita menderita PEB dimana solusio plasenta adalah salah satu komplikasi yang tersering pada penderita PEB, meskipun pada saat itu data lain tidak mendukung, seperti pada pemeriksaan dalam dan inspekulo tidak dijumpai keluar darah dari uterus yang berwarna kehitaman dan USG menunjukan plasenta berinflantasi di korpus belakang meluas kedepan menutupi OUI dan tanda- tanda hematom retroplasenter tak jelas. Dan dari USG juga dijelaskan bahwa janin tunggal dan letak lintang. Sehingga dari data tersebut ditegakkan diagnosis seperti diatas. Dan setelah stabilisasi penderita di terminasi perabdominam. Intraoperatif didapatkan kesan kehamilan abdominal

Sebagian besar para ahli berpendapat bahwa kehamilan abdominal adalah: kehamilan intraperitoneal, tidak termasuk di dalamnya kehamilan tuba yang membesar atau kehamilan intraligamenter dan dikatakan kehamilan abdominal lanjut jika usia kehamilan 20 minggu atau lebih.1,4Diantara para ahli masih banyak perbedaan pendapat mengenai batasan kehamilan abdominal lanjut, diantaranya yakni: Ware (1948) mengambil batasan kehamilan lebih dari 28 minggu, Wilson dan kawan-kawan (1948) mengambil batasan kehamilan lebih dari 5 bulan, Cross dan kawan-kawan (1951) menentukan kehamilan lebih dari 14 minggu, King (1954) mengambil batasan kehamilan dekat masa viable, Yahia dan Montgomery (1956) mengambil batasan kehamilan 5 bulan atau lebih, Crawford dan Ward (1957) mengambil batasan kehamilan 20 minggu atau lebih, Clark dan Bouke (1959) mengambil batasan kehamilan 12 minggu atau lebih, Dixon dan Steward (1960) menentukan kehamilan lebih dari 20 minggu, Beacham dan kawan-kawan (1962) mengambil batasan 28 minggu atau lebih. 1,2,6 Pada kasus ini adalah kehamilan abdominal lanjut.Untuk mendiagnosis kehamilan abdominal lanjut sering kali mengalami kesulitan, dan biasanya sebagian besar diagnosis kehamilan abdominal lanjut tidak dibuat pada waktu penderita diperiksa pertama kali, dan tidak jarang terjadi kesalahan-kesalahan diagnosis atau keterlambatan dalam mencapai diagnosis yang benar. Endjun dan Budiono Wibowo dalam penyelidikannya mendapatkan 26% kehamilan abdominal yang dapat didiagnosis pertama kali saat penderita datang. Hreshchyshyn dan kawan-kawan hanya mencatat 43% yang didiagnosis benar dan sebelum dilakukan operasi. 6,17 Begitu juga Rotty G, Mewengkang (Manado,2002) pada laporan kasusnya, dimana diagnosis ditegakkan dimeja operasi, meskipun pemeriksaan penunjang lainnya, seperti USG telah digunakan.Diagnosis dini sangat diperlukan agar dapat segera ditentukan sikap dan tindakan yang akan diambil. Sehingga prognosis terutama bagi ibu kiranya akan dapat menjadi lebih baik. Menurut Waren, Wilson dan Cross, Zuspan dan kawan-kawan, Lawson dan Stewart bahwa terjadinya keterlambatan dalam menegakkan diagnosis adalah karena kurang disadari kemungkinan adanya suatu kehamilan abdominal oleh sebab itu diagnosis kehamilan abdominal lanjut sangat tergantung apakah ada pemikiran terhadap kemungkinan adanya kehamilan abdominal lanjut pada saat kita melakukan pemeriksaan pada penderita tersebut.1,2,3,4,15,16Sebagai perbandingan ada beberapa cara untuk menegakkan diagnosis suatu kehamilan abdominal lanjut, yaitu:

A. Anamnesis

Pada waktu anamnesis biasanya didapatkan keluhan nyeri atau perasaan tidak enak pada perut bagian bawah dan nyeri ini sangat dirasakan terutama pada pergerakan anak. Menurut Muhammad S, Rachman MB, Al-Sibai MH dari Saudi Arabia, keluhan yang sering ditemukan adalah rasa nyeri pada perut ((100%), mual dan muntah ((70%) dan perasaan nyeri pada perut bagian bawah pada saat kehamilan muda, adanya riwayat infertilitas, keluhan gastrointestinal dan yang paling penting adanya riwayat amenore. Bila dikaji lebih lanjut seringkali dapat diketahui secara retrospektif pernah ada keluhan atau tanda-tanda dari kehamilan tuba yang terganggu, hal ini biasa terjadi pada kehamilan abdominal lanjut sekunder. Pada saat itulah sebenarnya terjadi gangguan pada kehamilan tersebut, tetapi kemudian kehamilannya masih berlanjut terus. 6,14,16,21

Pada penderita ini anamnesisnya tidak begitu mengarah kepada kehamilan abdominal, karena pemeriksa sebelumnya belum memikirkan hal tersebut. Disamping itu, karena ini merupakan kehamilan pertama, sehingga penderita tidak merasakan keanehan pada kehamilan ini, dan selama hamil penderita belum pernah ANC ke tempat yang didukung sarana yang baik.

B. Pemeriksaan fisik

Pada inspeksi, perut tampak membesar dan bisa dijumpai tanda-tanda kehamilan lain seperti striae livide, payudara tampak membesar dengan areola yang hiperpigmentasi. 4,6

Pada palpasi abdomen sering ditemukan bagian janin seperti langsung dibawah kulit, letak janin yang tak normal yaitu tinggi, melintang atau obliq atau sulit ditentukan. Sikap janin sering tidak normal seperti ekstensi, hiperfleksi dan kompresi 1,2,3,4,6,14,16,21

Pada tumor yang berisi janin tidak dapat ditimbulkan kontraksi Braxton Hicks seperti pada kehamilan dalam uterus. Pada auskultasi bunyi jantung janin bisa ada bisa tidak ada, tergantung keadaan janin masih hidup atau sudah mati. Bisa juga didengar bising pembuluh darah ibu yang tetap (Dixon dan Stewart, 1960). 4,6,9

Pada kehamilan abdominal lanjut pembuluh darah ibu yang menuju kearah plasenta mengalami hipertropi, maka akan terdengar bising pembuluh darah pada sedikit medial dari spinailiaka pada daerah lokasi plasenta. Bila pembuluh darah sepanjang sisi ligamentum rotundum yang hipertropi, bising pembuluh darah akan terdengar sedikit diatas ligamentum inguinale. Pembuluh darah ini yang memberikan sirkulasi pada plasenta yang letaknya tidak normal. Dixon dan Steward menekankan bahwa bising ibu tersebut mempunyai diagnostik untuk kehamilan abdominal.

Pada penderita ini bagian-bagian janin sulit dinilai, ini mungkin karena adanya proses peritonitis difusa pada dinding abdomen karena reaksi dinding abdomen terhadap perubahan janin yang sudah maserasi, jadi sudah terjadi peregangan walaupun belum menimbulkan kesan akut abdomen, tapi hal ini sudah dapat menyulitkan pemeriksaan. Suatu keadaan dimana uterus tetani, DJJ sudah tidak ada lagi, dan didukung penderita ini adalah menderita PEB juga sehingga pemeriksa memikirkan juga bahwa ini adalah solusio plasenta, walaupun pada pemeriksaan dalam dan inspekulo tidak mendukung.

C. Pemeriksaan status ostetrik

Pada kasus ini pemeriksaan dalam dan inspekulo mununjukan suatu keadaan belum inpartu biasa, tidak ada kecurigaan adanya massa (uterus) disamping janin

Pada kehamilan abdominal pada inspekulo tampak porsio kecil, panjang dan mengalami deviasi atau letaknya lebih tinggi. Pada pemeriksaan dalam seringkali didapatkan serviks kecil, panjang kenyal dan terletak tinggi atau terdorong dari tempat semestinya. Teraba tumor kurang lebih sebesar tinju yang berhubungan dengan serviks yang mana tumor ini sebenarnya ialah uterus, dan disampingnya teraba berisi janin yang sering salah dikenali, dan dianggap sebagai uterus karena ukurannya sering lebih besar dari pada sebenarnya. 1,4,6,16D. Pemeriksaan ultrasonografi (USG)

Pemeriksaan ultrasonografi merupakan suatu cara pemeriksaan yang tidak merusak dan dapat menentukan jaringan lunak dengan baik. Menurut Lawson (1978) dengan pemeriksaan USG hanya 77% saja diagnosis kehamilan ektopik yang dapat ditegakkan. 22Gambaran yang tampak pada pemeriksaan USG kehamilan abdominal lanjut menurut Allibone adalah sebagai berikut: 2,4,6,13,161. Janin dalam suatu kantong kehamilan dan terletak diluar uterus

2. Antara kandung kemih dan kantong kehamilan tidak dapat diidentifikasi dinding uterus.

3. Janin atau plasenta tampak seperti menempel di dinding perut ibu

4. Pada pemeriksaan ulang janin tetap dalam letak abnormal

5. Plasenta jelas tampak diluar uterus

Pada kasus ini uterus terdorong oleh janin kebawah, sehingga memberikan gambaran seperti plasenta yang menutupi OUI disamping itu letak plasenta memang berada di bagian belakang, sehingga menimbulkan kesan plasenta yang berinflantasi pada korpus belakang uterus yang meluas kedepan menutupi OUI

E. Percobaan oksitosin

Pemeriksaan uji oksitosin ini adalah salah satu cara pemeriksaan yang mudah dilakukan untuk dapat membedakan kehamilan biasa atau kehamilan diluar kandungan. Pemeriksaan ini telah dikenal sejak tahun 1934 oleh Colvin dan Mc Cord. Mula-mula dilakukan palpasi bimanual dan tentukan massa dalam pelvis dan abdomen, kemudian disuntikkan 1 unit oksitosin subkutan. Dosis ini jarang menyebabkan kontraksi uterus. Apabila setelah 15 menit tidak ada kontraksi uterus, disuntikkan lagi 5 unit oksitosin secara subkutan. Dalam 15 menit pada palpasi akan teraba uterus berkontraksi dengan jelas, yang dapat dibedakan dengan kehamilan abdominal. 1,2,3,4,6,14,19,21Cross dan kawan-kawan mengatakan bahwa dengan uji oksitosin banyak menolong dalam menegakkan diagnosis kehamilan abdominal, cara pemakaiannya yaitu 1 unit oksitosin disuntikkan secara intramuskuler sementara massa pada perut diraba. Pada kehamilan normal kontraksi akan dapat dirasakan kira-kira 3 menit setelah penyuntikan. Uji oksitosin ini dikatakan positif bila tidak didapatkan kontraksi dari dinding yang meliputi janin. 2,13

Hertz dan kawan-kawan (1977) tidak mendapatkan kontraksi uterus dengan memberikan infus oksitosin lebih dari 50 miliunit tiap menit. Pada kasus mereka uterus terletak di bagian belakang janin. Tetapi bila uterus berada di depan seperti tampak pada gambar 1, maka uterus dapat berkontraksi sebagai respon terhadap oksitosin, yang mungkin dapat mengarah membuat kesimpulan kehamilan intrauterin.

Gambar 1. Kehamilan abdominal aterm. Plasenta berinfantasi pada dinding posterior uterus dan ligamentum latum. Uterus yang membesar dan terdesak berada dibagian bawah dinding abdomen anterior. Serviks dan vagina tergeser keanterosuperior kepala janin yang besar di cul-de-sac.Dikuttf dari Cunninghaum2 Pada kasus ini tidak dilakukan pemeriksaan tersebut, karena tidak ada indikasi untuk melakukannya jika diagnosis yang ditegakan seperti diatas, begitu juga pada pemeriksaan seperti berikut dibawah ini.F. Pemeriksaan radiologi

Walaupun hasil pemeriksaan ini tidak 100% kebenarannya namun sebagian besar para ahli sepakat bahwa pemeriksaan foto rontgen merupakan alat bantu diagnosis yang sangat berguna. Foto abdomen yang banyak digunakan adalah dalam posisi anteroposterior dan posisi lateral. Menurut Weinberg dan Sherwan gambaran yang sering ditemukan adalah:4,61. Tidak tampak bayangan uterus melingkari janin2. Pada foto lateral tampak bagian anak dibelakang kolumnar vertebralis

3. Tampak gambaran gas dari usus ibu yang saling bercampur dengan bagian-bagian janin, baik di depan atau dibelakang janin. Gambaran ini diekanl dengan Bishops sign.4. Posisi janin abnormal, kelainan letak yang banyak dijumpai adalah letak lintang atau miring, atau letaknya yant tinggi dalam rongga abdomen. Selain itu dapat pula dalam posisi obliq, defleksi dan sebagainya

G. Pemeriksaan histerosalpingografi (HSG)

Pada pemeriksaan HSG hasilnya hampir mendekati kepastian 100% akan tetapi prosedur ini hanya dapat dilakukan pada kasus-kasus dengan janin sudah mati dan biasanya diagnosis yang dibuat sebelumnya sudah hampir mendekati benar. Dengan pemeriksaan ini terlihat gambaran yang baik dari kavum uterus yang biasa, dengan janin terlihat di luar kavum uterus. Pemeriksaan HSG biasanya dilakukna apabila diagnosis kehamilan abdominal telah ditegakkan dan dengan pemeriksaan lain sudah dapat menunjukkan bahwa tidak didapatkan kehamilan biasa.Mattingly hanya memakai pemeriksaan HSG sebagai konfirmasi saja, inipun jika rahim ibu dapat dipastikan berpisah dari bagian-bagian janin atau dengan pemeriksaan uji oksitosin jelas-jelas tidak merangsang massa kehamilan, sehingga pemeriksaan HSG ini dapat dikatakan lebih bersifat akademis.2,5,11,23H. Angiografi pelvis

Indikasi pemeriksaan ini antara lain pada diagnosis diferensial kehamilan ektopik dan kemungkinan-kemungkinan lain. Dengan pemeriksaan ini pula dapat ditentukan letak plasenta dengan jelas dan pembuluh-pembuluh darah yang menuju ke arah plasenta. Juga dapat memberi petunjuk apakah peredaran darah ke plasenta telah mengalami involusi, sehingga pengangkatan plasenta akan aman. Nelson (1996) mengatakan bahwa dengan pemeriksaan angiografi ini mempunyai resiko yang sangat kecil terhadap janinnya. Pada kehamilan abdominal lanjut akan terlihat bahwa pembuluh darah uterus akan terlihat tertutup bersama-sama sampai pada uterus sedangkan pada kehamilan normal pembuluh-pembuluh darah uterus akan terlihat terpisah sejauh-jauhnya.6,9,232. Apakah penatalaksanaan penderita ini sudah adekuat dan bagaimana penataksanaan plasenta selanjutnya?

Pada penderita ini mulanya akan dilakukan seksio sesaria transperitoneal profunda. Tetapi intraoperatif operator menemukan suatu keganjilan dimana setelah peritoneum dibuka, tampak adanya perlengketan hebat antara kantong amnion dan omentum, dinding abdomen, usus serta peritoneum. Sehingga diputuskan unutk konsul kekonsulen dan diputuskan untuk melakukan evakuasi janin dengan cara sebagai berikut: kantong amnion diinsisi secara tajam kemudian bagian tengah ditembus secara tumpul dengan jari sampai menembus kavum. Didapat cairan ketuban kehijauan, kental, bau (+), anak dilahirkan dengan menarik kaki. Bayi perempuan dengan berat badan 2700 g, panjang badan 50 cm, dengan maserasi grade III. Pada saat akan melahirkan plasenta tidak dapat dilahirkan karena perlengketan hebat dengan implantasinya. Kemudian operator konsul ke konsulen dan disarankan konsul bagian bedah, cito diatas meja operasi. Pada eskplorasi lebih lanjut, didapatkan perlengketan ileum 20-30 cm dari ileocaecum junction dengan dinding pseudouterus (kehamilan ektrauterin). Perlengketan sigmoid dengan dinding pseudo uterus. Dilakukan adhesiolisis ilium dan sigmoid yang mengalami perlengketan. Tidak didapatkan perforasi. Eksplorasi lebih lanjut didapatkan uterus utuh serta ukuran normal, tuba dan ovarium kanan mengalami perlengketan dengan dinding belakang abdomen, tuba dan ovarium kiri sulit diidentifikasi dan organ lain baik. Dilakukan debaulking terhadap plasenta dan jaringan yang mengalami perlengketan sebanyak mungkin. Perdarahan dirawat sebagaimana mestinya. Dilakukan pembersihan cavum abdomen dan dilanjutkan dengan pencucian dengan NaCl 0,9%. Dilakukan pemasangan stab wound drain dan deep tension suture sebanyak 3 buah. Kemudian dilakukan penutupan dinding abdomen lapis demi lapis.

Dari hasil operasi tersebut kita dapat menilai apakah kehamilan abdominal ini adalah primer atau sekunder. Adapun kriteria kehamilan abdominal primer atau sekunder sebagai berikut:a. Kehamilan abdominal primer

Kehamilan abdominal jenis primer adalah kehamilan dimana hasil pembuahan yang dari semula sudah mengadakan implantasi dalam rongga perut. Kehamilan abdominal primer ini sangat jarang sekali terjadi, angka kejadiannya hanya 24 kasus yang pernah dilaporkan pada tahun 1968. Suddiford pada tahun 1942 menetapkan definisi baku untuk kehamilan abdominal jenis primer yang masih dianut hingga sekarang. Kriteria ini sangat dikenal dengan nama Studdiford criterias, yang terdiri atas 3 kategori yaitu: 2,14,161. Kedua tuba dan kedua ovarium dapat teridentifikasi dalam keadaan normal, dan tidak terbukti adanya luka

2. Tidak terdapat adanya fistula uteroplasenter

3. Terdapat kehamilan yang semata-mata hanya pada permukaan peritoneum dan umur kehamilannya cukup muda agar dapat mengenyampingkan kemungkinan adanya implantasi sekunder yang menyertai implantasi primer pada tuba.

Kemudian Frederick dan Rankin pada tahun 1968 membuat modifikasi dari kriteria tersebut di atas sebagai berikut: 111. Terdapatnya kehamilan yang secara histologis umur kehamilannya lebih kecil dari 12 minggu dan dimana sel-sel tropoblas hanya menembus pada permukaan peritoneum.

2. Secara makroskopis kedua tuba dan kedua ovarium dalam keadaan normal

3. Tidak terdapat adanya fistula peritoneal.

b. Kehamilan abdominal sekunder

Kehamilan abdominal sekunder merupakan yang paling sering dijumpai, disini terjadi implantasi pada tuba falopii, kemudian tropoblas mengadakan erosi dinding dan terjadi abortus tuba atau ruptur tuba, dimana plasenta yang masih berfungsi mengadakan pelebaran implantasinya pada permukaan periteoneum. Janin yang dikeluarkan dari tuba dalam keadaan masih diselubungi oleh kantong kehamilan dnegan plasenta masih utuh yang akan tumbuh terus ditempat implantasinya yang baru. Tetapi dapat juga terjadi walaupun sangat jarang akibat dari pelepasan yang spontan melalui jaringan bekas seksiosesar, bekas luka perforasi rahim akibat abortus terapeutik atau yang elektif dan setelah histerektomi subtotal atau total. Kehamilan abdominal ini dapat tumbuh terus dan bahkan bisa mencapai kehamilan aterm atau viable apabila mendapatkan cukup zat-zat makanan dan oksigen dari plasenta yang meluaskan implantasinya kejaringan sekitarnya, seperti ke ligamentum latum, uterus, dasar panggul, usus dan sebagainya.

Pada kasus ini keadaan uterus, tuba kanan dan ovarium kanan baik, sedangkan tuba dan ovarium kiri sulit diidentifikasi. Jagi ini adalah kemungkinan besar adalah kehamilan abdominal sekunder. Ukuran uterus biasanya membesar pada kehamilan ektrauterin, ini karena pengaruh hormonal. Pada kasus ini uterus seukuran normal, ini mungkin dikarenakan janin meninggal sudah cukup lama, sehingga pengaruh hormonal berkurang dan pada uterus terjadi involusi.

Jika janin tidak mendapat cukup makanan karena sirkulasi uteroplasenter tidak mencukupi atau plasenta terlepas dari tempat implantasinya, maka janin akhirnya akan mati. Tapi tidak jarang kehamilan abdominal lanjut yang sudah mencapai aterm atau viable berakhir dengan kematian janin dalam rahim seperti pada kasus ini. Dan bahkan menjadi suatu litopedion oleh karena tidak terdiagnosis.1.6.8.16

Janin yang mati intraabdominal dan tidak segera dikeluarkan akan mengalami nasib sebagai berikut: 1.6.8.161. Maserasi

2. Suppurasi

3. Mumifikasi dan perlemakan

4. Kalsifikasi dan pembentukan litopedion

Jika kita mendiagnosis sejak awal ini adalah kehamilan abdominal, kapan dilakukan laparotomi dan apa yang dilakukan pada plasenta?

Pada kehamilan abdominal lanjut mempunyai bahaya utama yang selalu mengancam jiwa ibu yaitu perdarahan intraabdominal yang dapat timbul setiap saat. Bahaya lain yang dapat meningkat morbiditas dan mortalitas ibu adalah infeksi dalam rongga perut. Pada umumnya para ahli sependapat bahwa tindakan terhadap kehamilan abdominal lanjut adalah laparatomi.

Sebelum laparotomi dilakukan perlu dilakukan persiapan-persiapan, yang penting adalah penyediaan darah yang cukup banyak minimal harus disediakan ( 2000 cc, dan bila perlu dipasang 2 sistem infus yang masing-masing dapat digunakan sewaktu-waktu untuk memasukan cairan dalam jumlah yang banyak dalam waktu yang cepat.2,25

Lokalisasi plasenta harus ditentukan sehingga insisi pada saat dilakukan laparotomi dapat dikerjakan lebih tepat. Jadi dalam setiap penatalaksanaan kehamilan abdominal lanjut ada 2 hal yang selalu dipikirkan yaitu laparotominya sendiri dan penatalaksanaan plasenta.

a.Laparotomi

Perbedaan pendapat ditemukan dalam menentukan waktunya, kapankah sebaiknya laparotomi dilakukan. Rustam dan Gulardi menunggu sampai janin mencapai berat badan 2.250 gram. Myerscough menunggu sampai umur kehamilan 36 minggu. Tetapi ada sebagian ahli lainnya yang lebih senang menyerahkan keputusannya kepada penderita sendiri sesuai dengan alasan kepercayaan, pendapat ini diantaranya dianut oleh Greenhill dengan ketentuan sebagai berikut :7,241. Penderita harus dirawat di rumah sakit.

2. Penderita dan keluarga harus diberi penjelasan tentang bahaya-bahaya yang mungkin timbul baik pada ibu maupun janinnya.

3. Diberitahukan juga mengenai fasilitas yang mungkin diperlukan.

Berdasarkan pengalaman masing-masing, sebagian besar para ahli (Ware, Eastman, Cross dan kawan-kawan, Beacham dan kawan-kawan) berpendapat bahwa laparotomi hendaknya segera dilakukan setelah diagnosis kehamilan abdominal lanjut ditegakkan tanpa memandang keadaan janinnya, dengan alasan :1,2,3,4,6,211. Perdarahan karena terlepasnya plasenta dapat terjadi setiap saat dan penundaan operasi menambah kemungkinan terjadinya invasi villi pada usus.

2. Penundaan operasi setelah janin meninggal menambah kemungkinan terjadinya infeksi, abses, ruptur kantong kehamilan sehingga meningkatkan mortalitas dan morbiditas pasca bedah.

3. Sering dijumpai deformitas pada janin.

4. Sering terjadi kematian janin pada bulan ke 8 atau ke 9 (Cornell dan Lash)

5. Banyak komplikasi yang timbul sebelum intervensi menandakan bahwa tindakan segera kiranya akan memberikan pronosis yang lebih baik pada penderita, tanpa memandang janin masih hidup atau tidak.

Disamping itu ada pula para ahli yang berpendapat bahwa apabila janin dekat aterm atau viable dan keadaan ibu baik, kooperatif, persiapan-persiapan baik, operasi dapat ditangguhkan beberapa minggu sampai janin mampu hidup di luar (Barret, King, Charlewood dan Culiner, Crawford dan Ward, Dixon dan Steward).Pada keadan janin telah meniggal sebagian ahli berpendapat bahwa operasi dapat ditangguhkan beberapa minggu sehingga bahaya perdarahan berkurang apabila dilakukan pengangkatan plasenta. Dengan demikian pengeluaran janin dan pengangkatan plasenta dapat dilakukan dalam suatu tindakan laparotomi.1,6,16,25Sebaliknya pada Hreschyshyn dan kawan-kawan, mempunyai pengalaman walaupun janin telah lama meninggal, pengangkatan plasenta masih dapat menimbulkan bahaya perdarahan. Juga Charlewood dan Culnier mengalami perdarahan banyak pada usaha pengangkatan plasenta pada 4 kasus dengan janin yang telah lama meninggal.Pembukaan dinding abdomen hendaknya dilakukan dengan hati-hati, karena kantong janin, omentum, usus dan plasenta dengan pembuluh darah besar dapat langsung terletak di bawah peritoneum. Kantong kehamilan dibuka dengan menghindari pembuluh darah besar dan hendaknya dihindari perlukaan atau pelepasan plasenta.Pengeluaran bayi harus hati-hati dan hindari penarikan yang berlebihan pada tali pusat. Tali pusat hendaknya dipotong sedekat mungkin dengan plasenta. Mengenai pengikatan tali pusat masih terdapat perbedaan diantara para ahli sesuai dengan pengalaman mereka masing-masing, Brigth dan Messer berpendapat sebaiknya tali pusat diikat karena dapat menimbulkan kista plasenta dikemudian hari. Sebaliknya Crowford dan Ward tidak menemukan kista plasenta pada kasus-kasus dengan tali pusat yang diikat dengan benang yang dapat diserap.Mengenai pemasangan drain pada kasus-kasus dengan plasenta yang ditinggalkan sebagian atau seluruhnya, banyak para ahli tidak melakukannya untuk menghindari terjadinya infeksi atau sepsis (Ware, Cross dkk, Charlewood dan Culnier). Cross dkk, melaporkan 2 kasus yang dipasang drain dari 19 kasus yang dioperasi meninggal karena sepsis walaupun tidak tampak tanda-tanda infeksi pada janin sewaktu dikeluarkan.6Dari penelitian yang dilakukan oleh Endjun di RSCM Jakarta dari tahun 1967-1972 menemukan kasus-kasus dengan pemasangan drain mengalami masa pasca bedah yang tidak begitu baik, berupa morbiditas dan komplikasi yang lebih banyak (panas tinggi berulang-ulang, pembentukan abses, ikterus, gangguan saluran pencernaan dan masa perawatan yang lebih lama ( 71-89 hari). Sedangkan kasus-kasus tanpa pemasangan drain mengalami masa perawatan pasca bedah dengan keadaan lebih tenang tanpa mengalami hal-hal yang luar biasa dan dapat dipulangkan dalam waktu yang jauh lebih singkat.6,16,24Pada kasus pada mulanya tindakan yang direncanakan adalah SSTP tetapi intraoperatif adalah tindakan laparotomi. Tindakan saat ini adalah sudah benar seperti diungkapkan beberapa ahli diatas.b. Penatalaksanaan plasenta

Pada kasus ini plasenta diangkat sebanyak mungkin, dengan meninggalkan jaringan plasenta sedikit mungkin.Penatalaksanaan plasenta merupakan persoalan yang paling penting pada kehamilan abdominal lanjut dan menentukan prognosis ibu. Penatalaksanaan plasenta banyak ditentukan oleh faktor-faktor :61.Lokalisasi implantasi plasenta

2.Suplai darah ke plasenta

3.Ukuran plasenta

4.Viabilitas plasenta

5. Komplikasi-komplikasi yang terjadi saat operasi

Pada dasarnya penatalaksanaan plasenta pada kehamilan abdominal adalah menghindari terjadinya perdarahan dan memperkecil timbulnya komplikasi-komplikasi seandainya nanti plasenta ditinggalkan.6 penilaian terhadap plasenta pada waktu operasi penting sekali untuk dapat memperoleh kesan mengenai kemungkinan terjadinya perdarahan. Dari hasil survey ada 3 macam metode penatalaksanaan plasenta, yaitu : plasenta dikeluarkan, plasenta tidak diangkat dan pemberian metotrexat.Pengangkatan plasenta atau usaha ke arah pengangkatan plasenta tersebut merupakan hal yang berbahaya karena kemungkinan terjadinya perdarahan yang sangat hebat. Bila ragu-ragu bahwa pengangkatan plasenta tidak aman lebih baik ditinggalkan saja, walaupun janin telah meninggal.Pengangkatan atau meninggalkan plasenta seluruhnya memberi angka mortalitas dan morbiditas ibu yang jauh lebih rendah dari pada pengangkatan sebagian plasenta. Plasenta boleh diangkat bila perdarahan mudah dikuasai, bila perlu beserta bagian-bagian organ lain tempat implantasi plasenta seperti uterus, adneksa, omentum. Menurut Cunningham, Bright dan Masser plasenta hendaknya ditinggalkan bila melekat pada alat-alat vital atau perdarahan akan tidak dapat dikuasai.1,2,6,24Bila janin hidup atau baru saja meninggal sebaiknya plasenta ditinggalkan, jangan diganggu karena akan menimbulkan perdarahan yang banyak yang sukar dikuasai. Perdarahan waktu operasi merupakan indikasi untuk mengangkat plasenta. Dalam hal ini pengangkatan sebagian plasenta mungkin perlu, seandainya pengangkatan seluruhnya tidak mungkin.Biasanya pengangkatan sebagian plasenta menimbulkan perdarahan banyak dan morbiditas yang lama. Apabila ada infeksi sebelum operasi atau ada perdarahan banyak waktu operasi maka mortalitas ibu dan morbiditas ibu pasca bedah akan meningkat.1,2,6,24Operasi kedua untuk pengangkatan plasenta dapat dilakukan antara 9 bulan sampai 3 tahun setelah operasi pertama. Indikasi tersering untuk melakukan operasi kedua atau pengangkatan plasenta adalah perdarahan, sakit perut yang terus-menerus, obstruksi saluran pencernaan, drainage abses. Tetapi Ware meragukan apakah operasi kedua untuk pengangkatan perlu dilakukan.6,24Menurut Ware, Wilson, Cross, King dkk, plasenta yang ditinggalkan dapat direabsorpsi setelah 3,5 tahun; Crowford dan Ward mengatakan setelah 4-40 bulan lebih, Stewart mengatakan waktu 2-3 bulan.Angiografi pelvis dapat dilakukan untuk mengetahui letak plasenta dan melihat perubahan-perubahan iskemia pada plasenta hingga dapat digunakan untuk menentukan waktu yang tepat untuk melakukan operasi. Operasi kedua untuk pengangkatan plasenta tidak dianjurkan sebelum 9 minggu pasca operasi pertama, karena banyaknya vaskularisasi plasenta.6,17Pada kasus ini 10 hari post operasi diberikan terapi methotrexat. Herschyshyn (1965) dan Lathrop (1968) yang pertama kali melaporkan pemakaian methotrexate pada kehamilan abdominal. Pemberian methotrexate dapat dilakukan pada janin yang sudah meninggal atau pasca bedah dengan plasenta ditinggalkan insitu untuk mengurangi kemungkinan pengangkatan perdarahan retroplasenter dan mempercepat kemungkinan pengangkatan plasenta. Pemberian methotrexate akan mempercepat proses degenerasi dan proses involusi plasenta. Dosis yang diberikan menurut lithrop adalah 12,5 mg sehari selama 5 hari berturut-turut secara intramuskuler, yang dapat diberikan selama 12 hari pasca bedah. Mereka menemukan bahwa tingkat ekresi hCG urin turun sampai tingkat tidak hamil pada hari ke 8-10 setelah terapi.1,6,16Methotrexate (antagonis asam folat) telah digunakan untuk menghancurkan sisa-sisa plasenta yang masih ada di dalam abdomen. Penelitian menunjukkan bahwa tanpa terapi methotrexate plasenta tetap berfungsi sampai hari ke 50 setelah operasi. Tidak semua penderita yang diberi methotrexate menunjukkan hasil yang memuaskan. Setiap peneliti melaporkan hasil terapi ini hanya dari 1 orang pasien yang diukur kadar hCG urin dalam 24 jam selama beberapa hari setelah operasi. Rahman dan kawn-kawan dari Arab Saudi melaporkan 10 kasus kehamilan abdominal, 3 pasien plasentanya diangkat, 1 pasien diangkat sebagian dan 6 pasien lainnya dibiarkan dalam rongga abdomen. Dari 6 pasien yang plasentanya tetap ditinggalkan, 5 pasien diberi methotrexate, ternyata 2 dari 5 penderita ini meninggal karena sepsis. Dan Rahman saat itu masih mempertanyakan manfaat pemberian methotrexate bila dibandingkan dengan kerugiannya, karena methotrexate menyebabkan penekanan pada sumsum tulang dan dapat meningkatkan kerentanan pasien terhadap sepsis. Rahman dan kawan-kawan menemukan bahwa terjadi penurunan yang cepat kadar hCG, antara lain hari ke-2 dan ke-5 setelah terapi pada 5 kasus yang dilaporkan. Hasil dari terapi ini tidak menunjukan hasil yang memuaskan. Memang komplikasi dari perdarahan akibat pemisahan plasenta dari tempat implantasinya dapat dikurangi tetapi tingkat infeksi abdominal yang terjadi terlalu tinggi.Relaparotomi untuk mengangkat plasenta dapat dilakukan 45 hari pasca bedah. Tapi pengangkatan plasenta setelah pemberian methotrexate hendaknya dilakukan bila timbul tanda-tanda infeksi atau obstruksi. Untuk pemantauan selanjutnya terhadap kasus-kasus kehamilan abdominal lanjut pasca bedah harus dilakukan monitoring yang ketat mengenai keluhan penderita, tanda-tanda vital penderita beserta gejala klinik lainnya. Disamping itu perlu dilakukan pemeriksaan kadar beta-HCG, dimana dengan memantau kadar beta-HCG dapat diketahui aktifitas plasenta. Biasanya beta-HCG masih dapat ditemukan sampai 6 minggu pasca bedah. Ware mencatat bahwa pemeriksaan titer HCG masih dapat positif hingga 35 hari setelah operasi. Rahman dan kawan-kawan dalam penelitiannya mendapatkan dari 5 penderita yang dilakukan pemerikasaan kadar beta-HCG pasca laparotomi, ternyata bervariasi antara 24-37 hari kadar HCG menjadi negatif IV KESIMPULAN

1. Apakah penegakan diagnosis pada penderita ini sudah benar?

Pada kasus ini penegakan diagnosis belum adekuat.

2. Apakah penatalaksanaan penderita ini sudah adekuat dan bagaimana penataksanaan plasenta selanjutnya?Pada kasus ini penatalaksanannya sudah adekuat dan juga penatalaksanaan plasenta baik intraoperatif maupun post operatif walaupun masih ada kontroversi.V. RUJUKAN

1. Zuspan FP,Quilligan EJ. Douglas Storme operative obstetric. 5th ed. California: Appleton and lange, 1988;203-231

2. Cunningham FG, MacDonald PC, Gant NF. Williams obstetrics. 18th ed. New York: Appleton dan Lange, 1997; 526-539

3. Dawn et All. Textbook of Obstetrics and neonatology. 9th ed. Calcutta: Sreemoti Arati Dawn, 1990; 314-322

4. Wiknjosastro H, Ilmu Bedah Kebidanan. Edisi kedua. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawihardjo, 1992; 211-215

5. Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rakhimhadhi T. Ilmu Kebidanan. Edisi ketiga. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawihardjo, 1992; 323-337

6. Edjun. Kehamilan ektopik lanjut. Jakarta: Seksi Publikasi Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1974; 3-36

7. Oliver JR, Paul RH. Advanced ectopic pregnancy. In: Nichols DH. Gynecologic and Obstetric surgery. St.Louis: Mosby Year Book Inc, 1993; 1067-1073

8. Myer Scough PR. Munro Kerr`s operative obstetrics. 10th ed. London: Brillere Tindall, 1982; 377-378

9. Hertz Rh, Timor TI, Sokol RJ, Zadar I. Diagnostic studies and fetal asessment in advanced extrauterine pregnancy. Obstet Gynecol 1977; 50: 62-65

10. Martin JN et All. Abdominal pregnancy: Current concepts of management. Obstet Gynecol; 1988; 71: 549-553

11. Rock JA, Thompson JD. Te Linde`s operative gynecology. 8th ed. Philadelphia: Lippincott Raven Publishers, 2003; 501-527

12. Sidney A, Jones MB, Jhon FJ, Javan A.X-Ray diagnostic of advanced exstrauterine pregnancy. Obstet gynecol 1969; 34: 569-573

13. Strafford JR, Ragan WD. Abdominal pregnancy review of current management. Obstet gynecol 1977; 50: 546-547

14. Sopacua A. Advanced abdominal pregnancy. Jakarta: Naskah lengkap KOGI I. 1970; 584-586

15. Cavanagg D. Primary peritneal pregnancy. Am J Obstet gynecol 1958; 76: 523-535

16. Rahman MS, Al-Suleiman S, Al-Sibai MH. Advanced abdominal pregnancy observation in 10 cases. Obstet gynecol 1982; 59: 366-370

17. Sovall TB, Mc Cord MC. Early pregnancy loss and ectopic pregnancy. In: Berek JS, Adashi EY, Hillard PA, eds. Novak`s Gynecolocy. 12th ed. Pennsylvania: Williams & Wilkins, 1996; 487-523

18. Hallat JG. Ectopic pregnancy associated with the intrauterine device: A study of seventy cases. Am J Obstet Gynecol 1976, 125: 754-756

19. Kendrick JS, Atrash HK, Strauss LT, Gargullo PM, Ahn YW. Vaginal douching and the risk of ectopic pregnancy among back women. Am J Obstet Gynecol 1997; 176: 991-997

20. Marcus S, Cheng E, Goff R, Extrauterine pregnancy resulting from farly uterine rupture. Obstet Gynecol 1999; 94: 804-805

21. Soejoenoes A, Roesbandi WSB. Kahamilan abdomonal di RSUP Kariadi Semarang. Yogyakarta: Kumpulan naskah lengkap KOGI IV, 1979;37-38

22. Haris MB, Angtuaco T, Frazier CN, Mattison DR. Diagnosis of viable abdominal pregnancy by magnetic resonance amaging. Am J Obstet Gynecol 1988; 159: 150-151

23. Martin JN, Ridgway LE, Connors JJ, Sessums JK, Martin RW, Morrison JC. Angiograpic arterial embolization and computed tomography-directed drainage for manegement of hemorrage and infection with abdominal pregnancy. Obstet Gynecol 1990; 76: 942-945

24. Greenhill JP. Obstetrics. 13th ed. Philadephia: WB Saunders Company, 1965; 545-550

25. Atrash HK, Friede A, Hoque CJR, Egtopic pregnancy mortality in the United States, 1970-1983. Obstet Gynecol 1987; 70: 817-822

26. Hawkins J, Hudson CN. Shaw`s texbook of operative gynecology. 5th ed. Edinburgh: Churchill Livingstone, 1983; 237-294 27. Cunninghum FG, Gant NF, Leveno KJ. Williams obstetrics. 21st ed. NewYork: AmcGraw Hill, 2001;884-905Bagaimana mengetahui aktifitas hCG yang terapat pada sisa plasenta yang ditinggalkan?

Apakah dapat berulang?

Dapatkah KAL ini berulang?

Penderita adalah infertil 5 tahun dan sampai sekarang belum mempunyai anak, bagaimana keadaan selanjutnya

Bagaimana peranan organ sekitar dalam memberikan suplai kepada darah terhadap janin

Mengapa plasenta berinflantasi di daerah bawah?

Bagaimana pengaruh infertilitas terhadap kehamilan abdominal

Uterus ukuran normal mengapa?