Top Banner
1 DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA RISALAH RANCANGAN UNDANG UNDANG TENTANG INFORMASI GEOSPASIAL RAPAT DENGAR PENDAPAT UMUM DENGAN KOMITE STRATEGIS JARINGAN KERJA PEMETAAN PARTISIPATIF (JKPP), DIREKTUR EKSEKUTIF WORLD WILDLIFE FUND INDONESIA(WWF INDONESIA) DAN DIREKTUR YAYASAN TERANGI SELASA, 4 MEI 2010
29

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA RISALAH ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20180315-081237-4075.pdf · perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan, bak

Dec 26, 2019

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA RISALAH ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20180315-081237-4075.pdf · perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan, bak

1

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

RISALAH

RANCANGAN UNDANG UNDANG TENTANG

INFORMASI GEOSPASIAL

RAPAT DENGAR PENDAPAT UMUM DENGAN

KOMITE STRATEGIS JARINGAN KERJA PEMETAAN PARTISIPATIF (JKPP), DIREKTUR EKSEKUTIF WORLD WILDLIFE FUND INDONESIA(WWF INDONESIA) DAN DIREKTUR

YAYASAN TERANGI

SELASA, 4 MEI 2010

Page 2: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA RISALAH ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20180315-081237-4075.pdf · perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan, bak

2

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

Tahun Sidang : 2009 -. 2010 Masa Persidangan : III Rapat Ke : - Jenis Rapat : RDPU Sifat Rapat : Terbuka Hari/Tanggal : Selasa, 4 Mei 2010 Waktu : 10.22 s/d 12.00 WIB Tempat : Ruang Rapat Komisi VII DPR RI Gedung Nusantara I lantai I Ketua Rapat : H. Achmad Farial Sekretaris : Dra. Dewi Barliana S. M.Psi Acara : 1. Pembukaan oleh Pimpinan Komisi VII DPR-RI 2. Pemaparan oleh tamu undangan. 3. Tanya Jawab. 4. Penutup Anggota yang hadir : 38 orang dari 53 orang Anggota Komisi VII Pemerintah : 25 orang dari tamu undangan Pimpinan : H. Teuku Riefky Harsya Zainudin Amalfi, SE (Ketua/F.PD) Drs. Effendi (WK/F.PG) M.S. Simbolon (WK/F.PDI PERJUANGAN) H. Achmad Farial (WK/F.PPP)

F. PD : 1. Drh. Jhonny Allen Marbun, MM 2. H.Tri Yulianto, SH 3. H. Sutan Sukarnotomo 4. Teuku Irwan 5. H. Heriyanto, SE., MM 6. Sudewa, ST., MT 7. Fardhan Fauzan, BA., M.Sc 8. Ir. Asfihani 9. Albert Yaputra, S.Sos 10. Drs. Ir. H. Sutan Bhatoegana, MM F. PG 1. Ir. H. Arsyadjuliandi Rachman, MBA 2. Bobby Adhityo Rizaldi, SE, MBA., CFE 3. Dra. Tri Hanurita, MA., MM 4. H. Dito Ganinduto, MBA 5. S. W. Yudha, M.Sc 6. Mahyudin, ST., MM 7. H. Syamsul Bachri, M.Sc 8. Halim Kalla

Page 3: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA RISALAH ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20180315-081237-4075.pdf · perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan, bak

3

F.PDI PERJUANGAN 1. Daryatmo Mardiyanto 2. Ir. Nazarudin Kiemas 3. Ir. Isma Yatun 4. Rachmat Hidayat 5. Manuel Kaisepo, S.IP F.PKS - Ir. H. Sigit Sosiantomo F.PAN 1. H. Totok Daryanto, SE 2. Ir. Alimin Abdullah 3. Muhammad Syafrudin, ST 4. Ir. Chandra Tirta Wijaya F.PPP - H. M. Romahurmuziy, St., MT. F.PKB 1. H. Agus Sulistyono, SE 2. Ir. Nur Yasin, MBA F.GERINDRA - Dhohir Farisi F.HANURA 1. Iqbal Alan Abdullah, M.Sc 2. Drs. M. Ali Kastella, M.MT

Page 4: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA RISALAH ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20180315-081237-4075.pdf · perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan, bak

4

KETUA RAPAT : H. ACHMAD FARIAL Bismillaahirrohmaanirrohiim. Yang kami hormati Koordinator Nasional Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif. Yang kami hormati Direktur WWF Indonesia. Yang kami hormati Direktur Yayasan Terumbu Karang Indonesia. Yang kami hormati Bapak dan Ibu Anggota Komisi VII DPR RI. Assalaamu'alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh. Salah sejahtera untuk kita semua. Agenda kita pada pagi hari ini adalah Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi VII

DPR RI dengan beberapa lembaga swadaya masyarakat dengan fokus bahasan adalah untuk mendengarkan pemaparan atau masukan dari pihak stake holder, khususnya kalangan LSM, terkait rencana pembahasan RUU Informasi Geo Spasial.

Sebagai informasi bahwa, setelah pertemuan pagi ini Komisi VII DPR RI juga mengagendakan pertemuan dengan Center for International Forestry Riset dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia.

Bapak dan Ibu yang kami hormati, Informasi Geo Spasial merupakan bagian penting dalam mewujudkan sistem informasi

yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung sektor publik dalam melaksanakan proses perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan, baik pada pemerintahan tingkat pusat maupun tingkat daerah, dan juga pada sektor perorangan dan kelompok orang.

Selain itu, Informasi Geo Spasial menjadi komponen penting dalam mendukung pengambilan keputusan. Peran Informasi Geo Spasial semakin penting dalam pembangunan, namun masih banyak permasalahan yang muncul karena belum adanya peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur tentang Informasi Geo Spasial.

Pentingnya Undang-Undang Informasi Geo Spasial adalah usaha untuk menjadikan Informasi Geo Spasial menjadi program di setiap instansi pemerintah dan tanggung jawab masyarakat agar penyelenggaraan menjadi sistematis dan berkelanjutan.

Undang-Undang Informasi Geo Spasial ini diharapkan menjadi aturan yang mengikat bagi seluruh pemangku kepentingan, sehingga dapat dimanfaatkan untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Bapak dan Ibu yang kami hormati, Terkait dengan rencana pembahasan RUU Informasi Geo Spasial di Komisi VII DPR RI,

maka kehadiran pihak lembaga swadaya masyarakat pada kesempatan hari ini diharapkan dapat memberikan masukan/penjelasan terkait beberapa hal mendasar, diantaranya :

Page 5: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA RISALAH ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20180315-081237-4075.pdf · perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan, bak

5

1. formulasi bentuk dan kewenangan kelembagaan penyelenggara Informasi Geo Spasial; 2. perumusan sumber daya manusia dan badan usaha pelaksanaan Informasi Geo Spasial; 3. perumusan aplikasi Informasi Geo Spasial di sektor ketahanan nasional, sumber daya alam,

dan lingkungan hidup; 4. perumusan Informasi Geo Spasial terkait dengan penataan ruang, baik di tingkat nasional,

provinsi, ataupun Kabupaten dan kota; 5. formulasi dalam pemenuhan ketersediaan dan akses Informasi Geo Spasial bagi masyarakat

sebagai fungsi pelayanan publik yang dapat dipertanggungjawabkan; 6. formulasi Informasi Geo Spasial terkait penanggulangan bencana; dan 7. penjelasan lainnya yang menjadi permasalahan dalam pelaksana Informasi Geo Spasial yang

terjadi khususnya di Indonesia. Dengan adanya penjelasan tersebut nanti akan menjadi bahan pertimbangan kami di

dalam Komisi VII DPR RI dalam pembahasan RUU Informasi Geo Spasial dengan Pemerintah. Demikian pengantar singkat ini. Selanjutnya kami persilakan kepada Bapak dan Ibu untuk dapat menyampaikan

pemaparan yang kemudian akan dilanjutkan dengan sesi pendalaman oleh Anggota Komisi VII. Rapat kita selesaikan jam dua belas, setuju ?

(RAPAT : SETUJU) (Rapat dibuka Pukul 10.22 WIB)

Dan rapat terbuka untuk umum. Untuk itu kami persilakan kepada Bapak Direktur WWF untuk memberikan pemaparan. Silakan. WWF : PROF. DR. HADI ALI KODRA Terima kasih Bapak Pimpinan. Assalaamu'alaikum Warohmatullaahi Wabarokaatuh. Perkenankanlah kami dari WWF menghaturkan terima kasih yang sedalam-dalamnya

bahwa pada hari ini kami diberikan kesempatan bersama-sama dengan LSM lainnya mitra kerja DPR Komisi VII.

Sebelum kami menyampaikan, maka perkenankanlah kami memperkenalkan beberapa anggota kami, dan dari WWF hadir sebanyak 8 orang. Saya sendiri adalah Hadi Ali Kodra bersama Ibu Tati Darsoyo sebagai Pimpinan WWF, atau sekarang disebut dengan Presidium WWF. Kemudian turut hadir dengan kami adalah : Pak Nasir Fuad yang bertanggung jawab sebagai Direktur Kebijakan. Kemudian Pak Syafril sebagai Direktur Operasional WWF. Dan selebihnya adalah staf kami di WWF Pusat.

Ibu dan Bapak sekalian yang kami hormati, Maka pertama kali kami menyambut baik tentang pertemuan ini, dan kami menganggap

bahwa acara ini sangat penting. Karena kami di WWF juga sudah lama untuk melakukan berbagai

Page 6: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA RISALAH ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20180315-081237-4075.pdf · perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan, bak

6

upaya dalam rangka mensinergikan antara kepentingan masyarakat dan kepentingan peraturan perundangan supaya bisa diimplementasikan.

Untuk menyingkat waktu, maka perkenankanlah Pak Nasir akan menyampaikan makalah ini dalam waktu kurang lebih 20 menit.

Silakan Pak Nasir. WWF : NAZIR FUAD Terima kasih Bapak Profesor Dr. Ali Kodra. Selamat pagi Pimpinan Sidang, Anggota Komisi VII, Bapak/Ibu yang terhormat, dan rekan-rekan dari LSM. Kami akan menyampaikan beberapa pandangan kami atas Rencana Undang-Undang

Tentang Informasi Geo Spasial. Dan jika dibutuhkan kami mungkin akan mengirimkan juga bahan lanjutan, tapi ini merupakan bahan awal dari brainstorming kami dalam beberapa hari ini.

Kami melihat bahwa penyelenggaraan Data dan Informasi Geo Spasial ini memang memiliki nilai yang sangat penting dalam perencanaan pembangunan yang berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan memang harus didasarkan atas informasi yang akurat tentang penataan ruang Geo Spasial. Dan karena pembangunan berkelanjutan merupakan tools untuk membangun kesejahteraan publik, tentunya ini perlu mempertimbangkan aspek partisipatif dan konsultatif dengan banyak stake holders. Keterbukaan informasi dan data menjadi prinsip yang harus dianut.

Dan kita ketahui memang baru-baru ini Undang-Undang Tentang Keterbukaan Informasi, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008, itu diberlakukan. Jadi kami berharap Undang-Undang Keterbukaan Informasi ini bisa juga menjadi salah satu rujukan atas pembahasan RUU Tentang Informasi Geo Spasial.

Data dan Informasi Geo Spasial itu kita harap dikemas dalam satu kesatuan yang utuh, melihat tentunya selain dari ruang morfologi maupun kehidupan yang ada diatasnya. Ini bagi kami penting, karena ada potensi Data Geo Spasial kalau hanya dilihat dengan hanya kacamata tentang kandungan, misalnya mineral, potensi sumber daya alamnya saja, itu cenderung memberikan peluang nantinya dalam pembuatan kebijakan yang terlalu bersifat eksploitatif, sementara dampak Iingkungan ataupun dampak sosialnya bisa terlewatkan. Sehingga diperlukan sekali penyajian analisis pengumpulan data Geo Spasial itu bersifat utuh juga terhadap informasi tentang kehidupan atau biosfer yang ada di permukaan bumi.

Selanjutnya, perkenankan saya sedikit mengambil/mengutip apa yang ada di Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik. Informasi Publik dikutip di undang-undang itu “merupakan informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, atau diterima oleh badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara negara dan/atau penyelenggaraan badan publik lainnya serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik”.

“Badan publik” sendiri diartikan sebagai Lembaga Eksekutif, Legislatif, Yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya ialah dalam penyelenggaraan negara.

Page 7: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA RISALAH ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20180315-081237-4075.pdf · perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan, bak

7

Kalau kita mengacu pada dua definisi yang kita kutip dari Undang-Undang Nomor 14 ini kami berpendapat Informasi Geo Spasial juga bisa dikategorikan sebagai Informasi Publik, dan seyogyanya informasi ini nanti dikelola dan akses publik itu diberikan.

Memang ada unsur kerahasiaan yang harus dijaga, dan di dalam Undang-Undang Nomor 14/2008, kerahasiaan itu harus didasarkan atas pengujian tentang konsekuensi yang timbul atau pertimbangan bahwa informasi tersebut dipakai untuk melindungi kepentingan yang lebih besar. Harus ada proses pengujian, baru dikategorikan sebagai informasi rahasia. Kami jadi berharap bahwa, Pasal 44 misalnya di RUU kita ini pada ayat (2), itu bisa merujuk tentang ketentuan kerahasiaan pada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008.

Selanjutnya, jika kami menganalisis lebih dalam terhadap substansi pasal per pasal. Beberapa komentar kami, Pasal 8 huruf (h) tentang Analisis penutupan lahan, kami ingin merekomendasikan/ingin mengusulkan “menerapkan prinsip-prinsip Konservasi Tinggi (NKT)”.

Di Pasal 29 tentang batasan mengenai “daerah terlarang dan potensi menimbulkan bahaya”. Agar kedua hal ini dapat dihindari dijadikan alasan untuk menghalang-halangi upaya pengumpulan data.

Pada Pasal 30 perlu dijelaskan pada saat kapan dan bagaimana pemilik atau pemegang izin dapat menolak kegiatan pengumpulan data.

Enam prinsip NKT (Nilai Konservasi Tinggi) yang tadi saya sebutkan sehubungan dengan Pasal 8 huruf (h) tentang Analisis penutupan lahan. Enam prinsip NKT itu : 1. berprinsipkan terhadap perlindungan keanekaragaman hayati yang selalu didengung-

dengungkan oleh Bapak Profesor Emil Salim yang merupakan aset terbesar negara tercinta kita ini, negara kita bisa diadu keanekaragaman hayatinya dengan negara lain, kita selalu nomor satu;

2. tentang keutuhan bentang alam dan populasi organisme yang hidup diatasnya; 3. tentang ekosistem yang unik, ekosistem yang langka; 4. tentang Daya Dukung Kehidupan atau Jasa Lingkungan, ini mungkin terkait yang paling

mudah dengan isu air (hidrologi); 5. kebutuhan pokok masyarakat dalam memenuhi kehidupan sehari-hari; 6. identitas budaya.

Kita melihat, saya ambil contoh mungkin di Papua barangkali yang gampang dilihat, bahwa masyarakat Papua beberapa suku itu memiliki budaya semacam totem. Jadi mengkaitkan leluhur mereka dengan satu satwa tertentu, buaya misalnya. Dan tentunya kehidupan buaya itu penting bagi masyarakat ini, karena itu ialah semacam identitas klan. Kalau buayanya punah tentu akan terjadi krisis identitas dan krisis budaya.

Keenam prinsip Nilai Konservasi Tinggi atau Nilai Ekologi dan Nilai Kultural seyogyanya bisa dijadikan acuan di dalam Analisis penutupan lahan.

Page 8: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA RISALAH ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20180315-081237-4075.pdf · perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan, bak

8

Selanjutnya, pasal-pasal “Ketentuan Pidana” perlu mempertimbangkan delik kejahatan bagi data yang dikategorikan sebagai rahasia negara sebagaimana dirumuskan dalam kategori pelanggaran. Perlu juga pengaturan mekanisme penyelesaiaan perbedaan data antar instansi pemerintah yang menyelenggarakan pengumpulan Data dan Informasi Geo Spasial. Kita ketahui bahwa banyak instansi pemerintah/badan pemerintah yang mengeluarkan peta, mulai dari Bakosurtanal, Jantop TNI Angkatan Darat, Badan Planologi Kehutanan.

Jarang kita menjumpai peta satu dan peta lainnya memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Dan ini telah kita dengar menjadi salah satu kendala di dalam banyak rencana pembangunan ataupun bahkan rencana investasi, karena tidak terlalu jelas harus menggunakan peta yang mana, karena peta satu dan peta lainnya memiliki data yang berbeda. Mungkin ini kesempatan yang baik untuk mengatur bagaimana kalau ada perbedaan versi peta dari dua lembaga yang memang memiliki wewenang mengeluarkan peta itu bisa diselesaikan perbedaannya, bisa disatukan. Jadi ada semacam barangkali ketentuan, semacam judgement, atau hakim yang mengatakan “peta ini yang mestinya dipakai”, misalnya.

Yang berikutnya, perlu pengaturan tentang kerjasama dengan lembaga internasional, khususnya dalam pengolahan data dengan prinsip kehati-hatian dan perlindungan hak intelektual.

Sekiranya ini pemaparan dari WWF Indonesia, saya Nazir Fuad (Direktur Kebijakan) mengucapkan terima kasih atas kesempatan ini.

WWF : PROF. DR. ALI KODRA Bapak Pimpinan, Demikian yang kami bisa share untuk masuk kepada Rancangan Undang-Undang

Tentang Informasi Geo Spasial. Dan tentunya harapan kami adalah akan banyak dengan diskusi nanti akan kami tampung pada saatnya tentunya, maka demikian yang dapat kami sampaikan kepada Bapak Pimpinan.

Terima kasih. Assalaamu'alaikum Warohmatullaahi Wabarokaatuh. KETUA RAPAT : Terima kasih dari WWF. Selanjutnya mau Terangi atau Komite ? Silakan, sudah siap rupanya Komite JKPP. JKPP : Assalaamu'alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh. Terima kasih Bapak Pimpinan. Kami dari Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif mengucapkan terima kasih atas

kesempatan untuk bisa memberikan pandangan dan masukan terhadap RUU informasi Geo Spasial.

Sebelum kami memberikan catatan mengenai RUU Informasi Geo Spasial, kami di sini ada 7 (tujuh) orang. Saya sebagai Koordinator Nasional Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif, di sebelah saya Anggota Komite Strategis JKPP, dan juga ada staf dan juga jaringan Anggota JKPP.

Page 9: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA RISALAH ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20180315-081237-4075.pdf · perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan, bak

9

Ini kesempatan yang baik buat kami untuk memberikan masukan, karena Jaringan Kerja Partisipatif sejak tahun 1996 sudah mengembangkan sebuah metode pemetaan partisipatif. Sebuah penyelenggaraan pemetaan, yang dilakukan bersama masyarakat. Jadi kita mengedepankan aspek partisipasi dan informasi Iangsung dari komunitas/dari masyarakat. Jadi sejak tahun 1996 tidak kurang dari dua setengah juta hektar yang sudah kami fasilitasi bersama masyarakat membuat peta-peta wilayah desa, wilayah adat. Dan juga kita bekerjasama dengan Pemerintah Desa dan Kecamatan dalam menyusun tata ruang di tingkat mikro, tingkat desa, dan juga tingkat kecamatan.

Jadi keberadaan Undang-Undang Informasi Geo Spasial ini menjadi concern kami berkaitan dengan beberapa pasal yang ada di RUU tersebut berpotensi membatasi peran serta masyarakat berkontribusi dalam pengembangan Informasi Geo Spasial.

Setelah naskah akademik dan RUU kami pelajari, ada beberapa catatan penting yang bisa kami sampaikan.

Yang pertama, pada identifikasi masalah berkaitan dengan Informasi Geo Spasial. RUU ini menurut kami masih lemah dalam mengungkapkan identifikasi masalah untuk

Iahirnya sebuah RUU, karena berkaitan dengan keterbukaan informasi, seperti yang kawan-kawan WWF sampaikan tadi, kita sudah punya keterbukaan informasi publik.

Kami di lapangan yang kesulitan adalah bagaimana data-data Informasi Geo Spasial itu bisa kami akses. Kami juga bekerjasama dengan Bakosurtanal sebagai acuan peta referensi kami dalam membuat peta-peta di tingkat komunitas yang lebih kecil di tingkat Desa dan Kecamatan.

Untuk peta-peta tematik yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan, departemen sektoral lainnya, ini masih sangat sulit bisa kami akses. Jadi memang Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik menjadi peluang buat kita semua untuk bisa punya kesempatan untuk mengakses data-data tersebut.

Untuk pengaturan Data Geo Spasial memang dalam RUU sudah disebutkan ada Peraturan Presiden Nomor 85 Tahun 2007 mengenai Jaringan Data Spasial Nasional. Kemudian, sudah ada juga standarisasi peta dalam pedoman standarisasi nasional. Untuk kelembagaan yang menjadi identitas masalah dalam RUU ini sebenarnya sudah jelas siapa dan melakukan apa. Bakosurtanal selama ini yang kami tahu membuat kewenangan dalam membuat peta-peta dasar, dan sektor yang lain membuat peta-peta tematik.

Kemudian dalam identifikasi masalah juga diungkap tentang profesi, ini sebenarnya yang menjadi kekhawatiran kami dari lembaga swadaya masyarakat dan jaringan JKPP. Karena kami mengembangkan metode pemetaan partisipatif, maka Anggota JKPP, kawan-kawan jaringan JKPP, dan masyarakat akan kesulitan memenuhi kriteria ini. Karena memang kami mengembangkan pemetaan bersama masyarakat, akan sangat sulit kalau implementasi mengenai profesi ini distandarisasi secara nasional. Ini menurut kami akan menghambat kontribusi masyarakat dalam pengembangan Informasi Geo Spasial.

Page 10: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA RISALAH ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20180315-081237-4075.pdf · perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan, bak

10

Indikasi yang keempat mengenai Iptek. Sebenarnya ini bisa dimandatkan atau dianggarkan melalui Kementerian Riset, Lapan, melalui sebuah Peraturan Presiden. Yang kita tahu kita sangat kesulitan mengakses data, langsat misalnya, dan sebagainya. Sebenarnya selama ini kita masih menggunakan informasi dari luar, sebenarnya kalau bisa Pemerintah dan DPR juga bisa memandatkan data langsat yang lebih detail, misalnya dibuat oleh Pemerintah.

Poin yang kedua, mengenai Azas dan Tujuan. Kami belum menemukan Azas Partisipasi, ini yang menjadi concern kami berkaitan dengan kerja-kerja kami di tingkat basis. Dalam RUU tersebut hanya badan dan kementerian serta Pemerintah Daerah yang punya kewenangan untuk membuat/menyelenggarakan Informasi Geo Spasial.

Pertanyaan kami adalah, lalu di mana partisipasi masyarakat yang selama ini sedikit banyak sudah berkontribusi dalam menyumbangkan tentang Informasi Geo Spasial yang sifatnya tematik dan juga lebih detail, memang masih skala yang mikro.

Dalam RUU tersebut “badan” yang disebut ini sangat punya otoritas yang sangat tinggi, “badan” ini berkewajiban dalam membuat peta geomatik, Informasi Geo Spasial Dasar, dan juga bisa membuat Informasi Geo Spasial Tematik. Ini pasti akan ada tumpang tindih kewenangan dengan instansi pemerintah, dengan sektor-sektor yang lain, dan juga pemerintah daerah.

Pengalaman kami selama melakukan proses fasilitasi pemetaan partisipatif, di mana peta Bakosurtanal (peta dasar), peta rupa bumi menjadi salah satu acuan kami. Banyak informasi tentang penamaan yang tidak tepat pada lokasinya, atau salah istilahnya. Melalui pemetaan partisipatif, kami punya informasi yang lebih lengkap sebenarnya, karena kita langsung secara detail, misalnya mengidentifikasi nama-nama sungai yang ada di satu wilayah.

Dalam “azas kepastian hukum” kami mengusulkan selain “kepastian hukum” dan “keadilan”. Mengapa kami sampaikan demikian, karena dalam hal misalnya kasus perizinan/pemberian izin, peta yang digunakan misalnya skala 1 : 100.000, bisa jadi dalam skala tersebut pemukiman atau wilayah-wilayah yang lebih kecil itu tidak termuat dalam Informasi Geo Spasial dengan skala tersebut. Dan ini punya potensi, seperti yang kami alami di beberapa wilayah, adanya pengabaian terhadap wilayah-wilayah atau pemukiman masyarakat dengan alasan teknis kalau ditanya adalah karena peta yang digunakan skalanya cukup kecil, ini sangat berpotensi terjadinya konflik di tingkat masyarakat berkaitan dengan perizinan.

Berikutnya mengenai Informasi Geo Spasial yang ada pada Pasal 4, 5, 8, 9, 10 kalau memang ini dibuat, maka dimasukkan saja dalam ketentuan umum, karena menyangkut definisi yang sudah baku.

Ada poin berikutnya mengenai Informasi Geo Spasial Tematik. Ini ada ketentuan dalam Pasal 20 “Posisi dan tingkat ketelitian sebagai acuan tidak boleh diubah”. Seperti yang kami sampaikan pada bagian terdahulu, bahwa ada beberapa pengalaman kami, informasi yang di peta dasar itu ada yang keliru, artinya kalau ini tidak bisa diubah, maka kekeliruan itu akan abadi. Mungkin kami mengusulkan, boleh diubah berdasarkan persetujuan, misalnya badan yang punya otoritas membuat peta dasar tersebut.

Page 11: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA RISALAH ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20180315-081237-4075.pdf · perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan, bak

11

Untuk Penyelenggaraan Informasi Geo Spasial, Pasal 29, ini ada hal yang sangat memberatkan dan potensi untuk membatasi peran serta masyarakat berkaitan dengan “pengumpulan data Geo Spasial memperoleh izin dari badan”. Selama ini kami melakukan pemetaan partisipatif mengajukan pemberitahuan di tingkat lokal, misalnya Pemerintah Desa, Kecamatan, atau juga kadang kita melakukan di Kabupaten. Tapi yang penting adalah, karena basisnya adalah permintaan masyarakat, maka kesepakatan masyarakatlah kita menyelenggarakan pemetaan partisipatif.

Bapak dan Ibu semua ketahui, potensi tumpang tindih kawasan itu sangat tinggi saat ini. Kalau ada mekanisme izin, kalau kami mau melakukan pemetaan partisipatif di satu wilayah, kami meminta izin kepada siapa, pemegang izin yang mana, penguasa izin yang mana, kawasan hutan dengan pertambangan, kawasan hutan dengan perkebunan, dan sebagainya. Dan juga wilayah tersebut masih potensi konflik dengan masyarakat berkaitan dengan klaim-klaim wilayah adat misalnya, ini sangat kesulitan bagi kami kalau mekanisme izin diberlakukan. Kami mengusulkan bukan “Izin” tapi “pemberitahuan” kepada penguasa atau pemegang secara administratif berada di wilayah tersebut.

Kemudian berkaitan dengan wilayah yang terlarang ini TNI/Polri yang menentukan. Ini bagaimana informasi kedetailan tentang “daerah terlarang” dan juga “yang punya potensi mengganggu pemanfaat dari wilayah tersebut”, ini sangat fleksibel menurut saya, sebagai pasal karet, untuk bisa menghambat kerja-kerja kami dalam membantu masyarakat di tingkat basis.

Berkaitan dengan usulan memperoleh Data dan Informasi Geo Spasial yang diusulkan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang didanai oleh negara hanya dikenakan biaya cetak. Bagaimana dengan data yang softfile yang tidak perlu dicetak ? Ini juga berkaitan dengan Keterbukaan Informasi Publik. Hendaknya itu tidak dipungut biaya, karena tidak ada biaya untuk melakukan proses reproduksi dari data tersebut.

Yang terakhir, pelaksanaan Informasi Geo Spasial yang ada dalam RUU ini sangat teknis. Menurut kami tidak perlu dimasukkan dalam RUU, karena ini sangat teknis bisa dibuat dalam peraturan yang mengatur yang lebih rendah.

Demikian yang bisa kami sampaikan. Tidak banyak yang bisa kami sampaikan karena memang keterbatasan waktu yang diberikan dari undangan dan dokumen yang bisa kami terima, kami harap ada kesempatan lain untuk bisa memberikan masukan yang lebih dalam.

Terima kasih. Assalaamu'alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh. KETUA RAPAT : Terima kasih. Selanjutnya kita dengarkan pemaparan dari Terangi. YAYASAN TERANGI : Terima kasih kepada Bapak Pimpinan Sidang.

Page 12: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA RISALAH ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20180315-081237-4075.pdf · perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan, bak

12

Terima kasih pula kami ucapkan kepada seluruh Anggota Komisi VII DPR yang telah berkesempatan memberikan kami, jaringan LSM, WWF, dan Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif.

Mungkin pertama kali saya perkenalkan diri dulu. Nama saya Mikael Prastowo, Direktur Yayasan Terangi (Terumbu Karang Indonesia). Kami dari Yayasan Terangi ada dua orang, yang pertama saya, dan kedua Saudara Syafran Yusri dari Division Knowledge Management Terangi.

Mungkin tidak banyak berbeda dengan dari teman-teman Kelompok Kerja Pemetaan Partisipatif, karena dari pengalaman kami 10 (sepuluh) tahun berkecimpung di Kepulauan Seribu, untuk pemetaan ekosistem terumbu karang yang saat ini kita gaungkan. Itu sumber datanya dari pemerintah pusat, khususnya pemerintah pusat, itu sangat minim. Maka dengan itu dengan LSM yang lainnya, kami mencoba membangun bagaimana masyarakat dapat membantu pemerintah daerah/pemerintah pusat untuk memberikan informasi itu. Oleh karena itu kami harapkan rancangan undang-undang ini memberikan payung hukum kepada mereka, bukan malah justru membatasi.

Yang kedua, sebenarnya yang kami harapkan dari rancangan undang-undang ini terbentuklah kesinergisan lembaga-lembaga pemerintah. Saat ini mungkin penyediaan peta dasar Geo Spasial memang dipegang oleh Bakosurtanal, tetapi kita tahu bahwa sebenarnya banyak lembaga-lembaga pemerintah sendiri yang juga memiliki fasilitas yang dapat saling men-support/saling mendukung. Tetapi karena kurangnya koordinasi, kurangnya sinergisitas dari lembaga pemerintah, sehingga kami dan masyarakat itu malah justru dipersulit atau mengalami kesulitan.

Mungkin satu lagi yang perlu kami ceritakan, bahwa sebenarnya di dunia internasional itu ada salah satu jaringan, yaitu Global Coral Reef Network, itu yang dia pun mengakui bahwa masyarakat mampu memberikan informasi.

Jadi sebelum tahun 80-an, para peneliti mengklaim kerusakan terumbu karang yang terjadi di seluruh dunia diakibatkan oleh polusi. Tetapi setelah bergesernya atau berkembangnya pengetahuan dan pengakuan terhadap masyarakat, pendapat itu dirubah atau memang tidak lagi sesuai dengan kondisi. Karena apa ? Hasil pengamatan dari masyarakat, pengamatan dari teman-teman yang bergerak Iangsung di lokasi, itu memberikan informasi bahwa kerusakan terumbu karang di dunia ini akibat penangkapan ikan, jadi bukan lagi pencemaran.

Jadi yang perlu digarisbawahi di sini bahwa, masyarakat itu memberikan informasi, masyarakat itu justru sumber resource data kita, diharapkan dengan rancangan undang-undang ini bukan malah mengkungkung atau bisa dibilang “membatasi” informasi-informasi yang sebagai sumber kita.

Dan satu lagi mungkin terkait dengan rancangan undang-undang ini. Bahwa di sini memang kami menangkap undang-undang yang sudah menerapkan reward and punishment, cuma yang ditegaskan di sini Iebih banyak punishment-nya, tidak ada reward-nya, malah justru mempersempit lagi ruang gerak teman-teman yang di bawah/di jaringan.

Mungkin dari kami itu saja, terima kasih.

Page 13: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA RISALAH ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20180315-081237-4075.pdf · perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan, bak

13

Selamat siang. KETUA RAPAT : Terima kasih. Kita masuk ke sesi tanya jawab. Kita mulai dari Pak Fardhan Fauzan, silakan. ANGGOTA : FARDHAN FAUZAN, BA., MSC Terima kasih Ketua. Yang terhormat Pimpinan Komisi. Direktur WWF, Komite JKPP. Ini kami perlu Iebih spesifik lagi, untuk daerah aturan-aturannya sampai sejauh mana kita

bisa menerapkan Geo Spasial. Jadi nanti mohon diberikan kami data-datanya yang Iebih Iengkap lagi, aturan-aturannya.

Jadi batas-batasnya sampai di mana, agar nanti Iebih terspesifik lagi dalam merancang RUU ini. Terima kasih. Wassalaamu'alaikum Warohmatullaahi Wabarokaatuh. KETUA RAPAT : Terima kasih Pak Fardhan. Pak Bobby. ANGGOTA : BOBBY ADHITYO RIZALDI, SE, MBA., CFE Terima kasih Pimpinan. Yang saya hormati Bapak-bapak dari JKPP, WWF, dan Yayasan Terangi. Akhirnya kita menyambut gembiralah RUU Tiknas ini sudah masuk setelah 20 tahun

terkatung-katung. Ada beberapa pertanyaan tadi yang menarik setelah paparan dari Bapak-bapak,

khususnya komentar mengenai di Pasal 13, yaitu “partisipatif berbasis masyarakat”. Ini bisa tolong dijelaskan Iebih jauh maksudnya partisipasi itu sebagai apa. Karena kan di perkembangan satu RUU ini memang ada satu pasal yang hilang, yaitu pasal kategori Informasi Geo Spasial. Dulu itu di draftnya itu ada Informasi Geo Spasial Private, yaitu informasi Geo Spasial yang diadakan sendiri dengan dana pribadi untuk memenuhi kebutuhan sendiri, ini yang hilang di sini. Partisipatif berbasis masyarakat ini, saya bisa tolong dijelaskan Iebih lanjut bagaimana acaranya. Apakah itu sebagai vendor pemerintah dalam memasok kebutuhan Informasi Spasial, ataukah kebebasan untuk melakukan kegiatan pengumpulan informasi Geo Spasial untuk sendiri.

Contohnya, kita ini soalnya sudah punya standar, ada daktum geodesi nasional, itukan sudah ada standar-standarnya, memakai GPS atau WGS 84, proyeksinya pakai UTM, dan sebagainya.

Dengan standar begitu saja kita ini masih ribut. Contohnya, dasar untuk pengukuran PBB dan peta yang dihasilkan oleh BPN itu saja berbeda. Sekarang dengan informasi berbasis masyarakat apa tidak tambah banyak. Saya mohon dijelaskan itu Iebih lanjut, karena di contoh masalah PBB dan BPN saja ini masing-masing masih ada saling argumen. Karena BPN itu sudah punya data sendiri yang skalanya sampai 1 : 1.000 untuk kegiatan persil.

Page 14: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA RISALAH ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20180315-081237-4075.pdf · perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan, bak

14

Lantas yang kedua, ada pertimbangan dari Pemerintah untuk memastikan standarisasi pemetaan ini agar kita ini standar dengan Asia, atau GIDSN, atau istilahnya mereka itu Asean

Connect. Menurut Bapak-bapak, itu produktif atau kontra produktif dengan kita. Karena kenapa ? Kalau kita ada sengketa perbatasan lagi, seperti nanti di Ambalat atau dulu Sipadan-Ligitan, itu dasar petanya kalau digunakan di arbitrase nasional kita ini selalu kalah. Itu menurut pandangan dari Bapak-bapak bagaimana dengan wacana ini.

Lantas yang terakhir, yang tadi saya sudah sempat singgung di depan, ada pasal yang hilang mengenai klasifikasi kategori Informasi Geo Spasial. Di sini Geo Spasial itu dibagi tiga kalau draft yang lama, Geo Spasial Publik, Geo Spasial Private yang tadi saya telah jelaskan, dan Geo Spasial Negara. Geo Spasial Negara ini adalah Geo Spasial yang diadakan khusus menjalankan fungsi negara, di mana ketidak-tahuan publik atas informasi ini tidak membuat hak asasi kita terganggu. Yang grey area di sini ini, adalah informasi yang termasuk di Geo Spasial Negara, ini yang di RUU yang baru ini tidak ada. Menurut Bapak-bapak klausul ini perlu dihidupkan lagi atau tidak.

Terima kasih, sekian. Assalaamu'alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh. KETUA RAPAT : Terima kasih Pak Bobby. Pak Manuel Kaisepo, ini bicarain soal Papua pasti. ANGGOTA : MANUEL KAISEPO Terima kasih Pimpinan. Yang saya hormati Bapak-bapak dari WWF, dari JKPP dan Yayasan Terumbu Karang. Pertama, tentu saya ingin menyampaikan terima kasih atas masukan-masukan tadi yang

menurut saya berharga dalam rangka penyempurnaan RUU Geo Spasial ini. Saya menangkap dalam presentasi tadi antara WWF maupun Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif, ada beberapa kesamaan persepsi. Tapi lebih dari itu juga saya menangkap ada sikap affirmative yang jelas di sana, ada keberpihakan. Saya berterima kasih atas sikap yang sudah ditunjukkan, yaitu sikap affirmative.

Saya anggap ini penting, karena seperti tadi disampaikan undang-undang ini semua kita harapkan dia harus bersifat holistik dan seimbang. Sehingga seperti tadi dikatakan oleh Bapak-bapak dari WWF, bisa dihindari pengambilan keputusan yang hanya mementingkan eksploitasi sumber daya alam, dan ini tentu memberikan keuntungan sepihak kepada pengusaha-pengusaha besar, tetapi tidak memperhatikan komunitas-komunitas kecil, masyarakat-masyarakat desa terpencil, padahal itu adalah salah satu ciri dari masyarakat kita. Masyarakat Indonesia yang tersebar dalam wilayah yang demikian luas, dengan keanekaragaman yang demikian berbeda satu ke yang lain. Jadi saya kira saya mendukung sekali, dan saya mohon nanti lebih diperjelas lagi itu masukan bahwa agar dalam undang-undang ini harus lebih memperhatikan keunikan-keunikan sosial kultural dari masyarakat-masyarakat kita.

Page 15: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA RISALAH ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20180315-081237-4075.pdf · perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan, bak

15

Dari presentasi teman-teman Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif sudah dikemukakan contoh yang sangat detail/lengkap tentang Aceh. Kami mengharapkan, apakah bisa diberikan lagi dalam masyarakat yang lain, dan barangkali terutama dari Papua karena konsituen saya di Papua. Karena ini penting bagi saya, karena kita jangan sampai misalnya mengurangi kesalahan-kesalahan di masa lalu.

Misalnya kita ingat undang-undang yang mengatur tentang Pemerintahan Desa beberapa tahun yang lalu, undang-undang yang mengatur tentang penduduk dan wilayah itu sangat homogen sifatnya/penyeragaman. Itu memakai desa di Jawa sebagai ideal type dan menganggap seluruh desa di seluruh Indonesia itu sama seperti desa di Jawa. Satu desa luasnya sekian, terdiri dari sekian KK. Padahal seperti ditunjukan di Gampong, di Aceh itu beda, Nagari di Sumatera Barat beda, dan kampung di Papua itu juga beda sekali. Satu kampung itu mungkin hanya terdiri dari 5-6 kepala keluarga, dan nanti kita berjalan sekian kilometer jauhnya baru ketemu kampung yang lain.

Jadi saya kira ini juga kepentingan masyarakat-masyarakat kecil ini harus bisa diadaptasi dalam RUU ini. Jadi jangan sampai karena komunitas yang demikian kecil lalu terabaikan dalam penyusunan tata ruang, lalu hanya memberikan kesempatan kepada perusahaan-perusahaan besar untuk memasuki wilayah-wilayah untuk perkebunan dan sebagainya. Kami memperhatikan bahwa dalam wilayah-wilayah itu ada masyarakat-masyarakat yang pemilik sesungguhnya, karena mereka adalah masyarakat adat. Jadi saya setuju sekali ini, karena itu saya sangat mendukung rencana kerja dari teman-teman Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif.

Dan sama seperti rekan saya tadi, Bung Fardhan, saya mengharapkan lebih ada berdasarkan studi di lapangan dengan yang melibatkan masyarakat, ada rekomendasi-rekomendasi yang lebih spesifik. Misalnya, tentang Papua kan kita tahu ada peraturan-peraturan daerah khusus, Perdasus dan Perdasi, yang sebagai penjabaran dari Undang-Undang Otonomi Khusus Papua yang mengatur wilayah dan penduduk. Bagaimana ini bisa diintegrasikan dengan RUU ini.

Saya kira itu harapan/permintaan saya kepada rekan-rekan dari Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif.

Terima kasih Pimpinan. KETUA RAPAT : Terima kasih Pak Manuel Kaisepo. Masih ada lagi ? Pak Daryatmo, singkat Pak Daryatmo. ANGGOTA : DARYATMO MARDIYANTO Terima kasih. Ketua dan Anggota, Pimpinan, kemudian Rekan-rekan dari WWF, Terangi dan JKPP. Pertama, saya ingin mencatat beberapa lontaran yang disampaikan oleh WWF, misalnya

pertama adalah enam prinsip NKT (Nilai Konservasi Tinggi), lalu ada pembangunan berkelanjutan. Kemudian rekan-rekan dari JKPP yang menyangkut tentang Pedoman Standarisasi Nasional. Lalu

Page 16: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA RISALAH ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20180315-081237-4075.pdf · perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan, bak

16

yang terakhir Terangi dengan soal-soal batas-batas administratif yang mengakibatkan konflik di masyarakat.

Ibu dan Bapak sekalian, Terima kasih atas masukannya ini. Tetapi yang mungkin perlu kita gunakan untuk

mempertajam ini adalah pada akhirnya, apapun yang kita lakukan adalah untuk kepentingan makhluk yang hidup diatasnya. Jadi kalau tadi teman-teman menyinggung soal batas wilayah NKRI, dalam catatan kami itu belum ada undang-undang yang menjelaskan tentang batas wilayah apabila itu menyangkut laut.

Yang seringkali ada batas administratif apabila menyangkut Kabupaten satu dengan yang lainnya yang masih daratan. Saya kira kalau kita lanjutkan, batas antara Jawa Tengah dan Kalimantan Selatan itu persisnya di mana, batas antara DKI dengan Kalimantan Barat, maka tidak pernah ada. Saya sudah cek, katanya sedang akan disusun.

Sementara kalau dengan kondisi ini, maka yang terjadi adalah basis kita adalah basis daratan, maka laut itu menjadi free pipe line, pipa yang bebas dari apa saja, maka terjadi penyelundupan, perdagangan, bermacam-macam. Jadi karena tidak ada batas antara Jawa Tengah dan Kalimantan Selatan, maka ketika ada persoalan itu, kapal tenggelam di masa Lembo misalnya, itu masuk wilayah siapa secara administratif. “Oh itu bukan saya, karena menyangkut musibah”, tetapi ketika itu ditemukan sebuah sumber daya, katakanlah migas, lalu “oh itu daerah saya”. Karena dengan demikian berbicara mengenai peta saya sejalan dengan itu, konflik-konflik administratif ini menjadi hal yang perlu dikedepankan sebagai sebuah masalah ketika kita akan menyusun RUU Pemetaan ini, RUU Tentang Peta, kalau kita mau mudahkan saja “RUU Tentang Peta”. Saya kira itu yang pertama, karena ini menyangkut soal tadi Yayasan Terumbu Karang, itulah wilayah-wilayah Bapak yang ada di laut.

Jadi basisnya rupanya selama ini basisnya continental. Apakah sama pemahaman ini, basis dari sebuah konsepsi kenegaraan yang berbasiskan continental persepsinya, prakteknya sementara kita realitanya adalah negara kepulauan.

Kemudian yang kedua, karena ini menyangkut juga soal orang yang mendiami diatasnya, saya menyambut teman-teman, saya hanya mengambil contoh tidak usah jauhlah, barangkali ke Papua, katakanlah suku Badui, ada Badui dalam, Badui luar, dia adalah lingkungan masyarakat yang sangat mengurusi keseimbangan lingkungannya, dia menanam padi kemudian ditaruh/disimpan, persepsinya adalah “saya harus makan sesuatu dan besok jangan sampai kehabisan”. Oleh sebab itu disimpan, diambil dari situ, simpan lagi, terus menerus. Tetapi kearifan seperti itu apakah masuk di dalam lingkup pemetaan wilayah dan pemetaan sosial.

Jadi Papua ada negara, distrik, bermacam-macam kampung, dia ada kenakeragaman kultur yang seperti ini. Keanekaragaman sosial ini, apakah juga masuk di dalam kategori pemetaan yang ingin kita lakukan yang memberikan ruang bagi perbedaan-perbedaan itu. Papua dengan ruas penduduk yang kemudian makan sagu, menanam sagu, tidak menanam tapi pindah-pindah dan sebagainya, kalau itu kemudian diukur dengan kategori pemetaan nasional standar, yang

Page 17: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA RISALAH ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20180315-081237-4075.pdf · perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan, bak

17

namanya sebuah kecamatan, yang namanya sebuah Kabupaten, itu adalah seperti ini versi Jawa-Sumatera dan kemudian diterapkan di sana, maka sebenarnya ini memperlakukan sesuatu yang secara general diperlakukan untuk semua pihak yang berbeda-beda. Makanya saya tadi mengambil contoh sekedar Badui saja, bagaimanakah kita posisikan itu Badui sebagai sebuah bagian dari komunitas yang harus dipetakan, harus memperoleh tempat, dan dihargai sebagai sebuah bagian dari kultur-kultur ini.

Kemudian yang ketiga, apabila RUU ini ditempatkan dalam mitra sebagai Menteri Ristek, saya mohon masukan dari Bapak-bapak apakah ada kemampuan dari Departemen Ristek yang Bapak-bapak juga mungkin nanti akan membantunya untuk merawat apa yang akan kita lakukan ini. Kalau tidak, apa yang dilakukan ? Partisipasi masyarakat, tidak didukung oleh institusi, tidak didukung oleh anggaran, tidak didukung oleh power, tidak didukung oleh keputusan apapun. Ini pekerjaan-pekerjaan yang hanya sekedar menyiapkan peta, silakan orang mengekploitasinya, sementara kita mempunyai Undang-Undang Keanekaragaman Hayati.

Jadi terus terang ini terima kasih, kami mohon masukan dan kerjasamanya dari Bapak-bapak, tetapi dengan pengertian bahwa masih lebih banyak lagi yang harus dilakukan. Tidak sekedar elemen-elemen yang bersifat daratan secara fisik, tetapi juga ada elemen-elemen yang bersifat sosial kultural karena menyangkut komunitas-komunitas, dan itu harus menjadi ukuranukuran yang bisa disimpulkan di dalam sebuah interval-interval antara kategori Papua, kategori kelautan, kategori Jawa Kampung, kategori Jawa Udik, kategori Sumatera, dan sebagainya.

Saya kira itu tambahan kami, terima kasih. KETUA RAPAT : Terima kasih Pak Daryatmo. Saya rasa sudah tidak ada lagi, mohon mungkin bisa ditanggapi pertanyaan-pertanyaan

dari Anggota Komisi VII sebagai masukan untuk nanti membahas RUU Geo Spasial. Silakan pak. WWF : DR. HADI ALI KODRA Terima kasih Bapak Pimpinan. Nanti kami mohon diperkenankan juga, saya berdua dengan Pak Nasir. Pertama, barangkali kita mesti mengingat masa lampau yang terkait dengan pemetaan

nasional, yaitu ada “L Rep”, ada “M Rep”, itu kira-kira 20-30 tahun yang lalu. Artinya bahwa kita sudah menyiapkan juga Geo Spasial ini pada konteks itu pada wilayah daratan dan wilayah laut. Kemudian sekarang berkembang lagi dengan pola-pola Geo Spasial

Di Departemen Perikanan dan Kelautan sudah ada proyek “M Rep”, itu mencoba untuk pemetaan nasional pada wilayah darat dan laut, dan ternyata itu belum selesai. Tidak tahu kalau sekarang selesai, banyak sekali masalah.

Kemudian ditanyakan oleh Pak Pardan bahwa bagaimana implementasi dari kondisi ini, maka kami mencoba melihat memetani satu persatu. Berarti kalau diimplementasikan artinya jelas

Page 18: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA RISALAH ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20180315-081237-4075.pdf · perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan, bak

18

sekali harus ada tatanan yang jelas mekanisme hubungan antara nasional, provinsi, Kabupaten, dan kota. Kalau jaringannya belum jelas maka itu akan menjadi sumber confuse.

Kami mencoba tiga tahun di Departemen Perikanan dan Kelautan untuk pemetaan ini terus terang saja masih sulit sekali. Walaupun banyak sekali teman-teman NGO, kami khususnya misalnya, mencoba implementasi detail terhadap pemetaan spasial tadi pada wilayah tertentu. Misalnya untuk kasus Papua, kami mencoba memasukkan bagaimana kepentingan masyarakat adat tradisional, kemudian diangkat menjadi rencana pemetaan atau spasial untuk wilayah Kabupaten untuk memasukkan unsur kepentingan masyarakat lokal.

Lalu sekarang sudah ada konsep pemetaan di mana kawan-kawan dari Kabupaten sendiri menginginkan, dengan basisnya adalah keinginan-keinginan masyarakat setempat, misalnya mereka membuat suatu keputusan bahwa tidak boleh sekian persen kawasan hutan lindung ataupun hutan alam, termasuk gambut, dibuka untuk sawit misalnya. Dan itu diadopsi dari Pemerintah Kabupaten. Jadi ada yang sifatnya dari bawah ke atas, barangkali ini mungkin campuran dari bawah ke atas, atas ke bawah, dan bawah ke atas.

Kemudian yang kedua, contoh kami juga bekerja dengan kawasan di Nusa Tenggara Barat, mengkoordinasikan tadi yang disebut dengan bagaimana caranya partisipasi masyarakat, maka tentunya bahwa sepenuhnya ada pertemuan stake holder yang tadinya kami khawatir, bahwa melalui jasa lingkungan yang kita kembangkan. Ada dua di sana, kepentingan tanah dan kepentingan air, itu isu yang kita kembangkan.

Jadi kalau misalnya setuju bahwa pemerintah daerah, termasuk provinsi, mengembangkan kepentingan air, maka tentunya bagaimana spasial diatur di sana. Oleh karena itu maka mencoba keputusan itu, kalau kasus di NTB, diformatkan dengan sektor di tingkat provinsi, termasuk NGO, termasuk perguruan tinggi. Setelah formatnya dapat dan setuju, maka kita khawatir juga dengan dukungan dari tingkat Kabupaten dan Kota, di situ juga kita mengundang. Dan sekarang sudah sampai kepada bagaimana formulasi di tingkat Kabupaten dan kota dengan tentunya memasukkan unsur yang terkait dari kawan-kawan di masyarakat, dan ini penting sekali, karena banyak sekali kasus di mana kehutanan masuk ternyata patoknya tidak sesuai dengan keinginan-keinginan masyarakat setempat.

Jadi tadi bagaimana partisipasi dikembangkan, tentunya hak-hak ulayat masyarakat juga masuk di dalam kebebasan untuk menyatakan bahwa ini hak masyarakat masuk dalam pertimbangan tata ruang tadi. Tapi bahwa pengalaman kami di daerah, termasuk Kalimantan dan Sumatera, maka minimum tiga tahun bahwa baru ada dukungan-dukungan dari pemerintah daerah, Kabupaten/kota, dan masyarakat setempat.

Mungkin ini untuk Pak Pardan tadi, bahwa akhirnya disebutkan bagaimana koordinasi ini. Ini terutama dari Pak Daryono dulu, bahwa sebenarnya kan koordinasi untuk pemetaan ada pada Bakosurtanal dan kami sudah bekerja bersama. Paling tidak di sana sedang membangun jaringan antara nasional sistem dengan provinsi minimum. Jadi sekarang sudah ada jaringan ini dengan ketetapan-ketetapan dan ketentuan-ketentuan yang sama sebenarnya kalau kita lihat yang ada di

Page 19: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA RISALAH ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20180315-081237-4075.pdf · perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan, bak

19

Rencana Undang-Undang ini beberapa butir sudah tertampung. Tapi yang jelas bahwa, sudah sangat maju exercise kawan-kawan di Bako. Jadi barangkali kalau mungkin nanti ada juga semacam rapat dengar pendapat dengan Bako juga sangat penting sekali.

Tadi Pak Daryono menyampaikan bahwa ada juga tentang bio deber city, itu pemetaannya sudah ada di LIPI. Jadi memang ada komponen-komponen yang, contoh bio deber city ada di LIPI, tetapi yang total mengenai spasial ada di Bako koordinasinya. Jadi sebenarnya Pemerintah sudah mulai kesana, dan tentunya undang-undang ini harus disinkronkan dengan posisi-posisi tadi.

Lalu kemudian kalau apakah, ditanya tadi bahwa Kementerian Ristek, mestinya ini memang sangat penting alamat ke sana. Tapi bahwa koordinator riset ada di Menristek, tetapi koordinasi koordinator mengenai pelaksanaan teknis pemetaan ada di Bako. Jadi memang ada koordinasi kelihatannya antara Menristek dengan Bako, instansi pengguna.

Kemudian satu lagi akhirnya dari kami, WWF, adalah bahwa kalau kita lihat di sini, ini sangat penting sekali, menimbang ayat (b) “bahwa informasi Geo Spasial sangat diperlukan dalam mengelola sumber daya alam (itu pasti) dan sumber daya lainnya dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya”. Ini yang kami agak merasa ketakutan dengan istilah sebesar-besarnya, berarti sustainability jangan-jangan diabaikan, tetapi keuntungan-keuntungan financial untuk pembangunan dinomor satukan, maka akan kembali kami bayangkan dampaknya yang begitu besar terhadap sumber daya alam dan Iingkungan. Jadi ini, makanya WWF tadi menyampaikan bahwa ada enam isu yang penting disamping sustainability, keanekaragaman hayati, kemudian masyarakat setempat, lalu kemudian pembangunan berkelanjutan.

Dan tadi secara spesifik tanya pengalaman dari WWF adalah bagaimana mengevaluasi suatu kawasan hutan. Jadi kami sudah punya data mengenai high value conservation, jadi nnana-many kawasan hutan yang mempunyai value yang tinggi untuk dikonservasikan. Kriterianya, tadi Pak Nasir sudah menyampaikan, bukan hanya fisik, tetapi juga sosial, ekonomi, masyarakat masuk di dalam pengertian itu. Jadi ini mestinya hal-hal yang disampaikan oleh kami adalah bagaimana supaya sumber daya itu bisa kita amankan secara berkelanjutan, dan tentu saja bahwa kegiatan-kegiatan yang menyangkut mengenai spasial, undang-undang ini harusnya menjamin bahwa ke depan pelaksanaan pembangunan, melaksanakan konservasi, harus diutamakan dari sudut bagaimana mengamankan resources tadi, dan ini yang utama dari kawan-kawan di WWF.

Yang kedua adalah, disamping tadi mengenai sebesar-besarnya, maka yang kedua adalah mekanisme ini kita arahnya kemana. Memperkuat seperangkat agar supaya kapasitas di lapangan ini, di Kabupaten, di kota, di provinsi, dan tentunya nasional, maka mestinya undang-undang ini juga menyebut bagaimana meningkatkan kapasitas (capacity building) dari undang-undang ini.

Barangkali Pak Nasir ada tambahan kami persilakan. WWF : NASIR Terima kasih.

Page 20: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA RISALAH ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20180315-081237-4075.pdf · perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan, bak

20

Mungkin pertama menjawab masalah grey area, data publik, atau rahasia. Kalau saya lihat di Pasal 8 data-data yang akan dipresentasikan di peta rupa bumi kan “a” sampai garis pantai, garis kontur, perairan, dan seterusnya, sampai “h”. Penutupan lahan; mungkin yang bersifat sensitif dan berbahaya mungkin bagian “g”, karena mungkin ada bangunan strategis yang tidak layak soal dipublikasikan bangunan strategis tertentu untuk kepentingan pertahanan dan seterusnya. Tapi kalau melihat garis pantai, garis kontur, perairan, nama, batas administratif, Infrastruktur perhubungan, dan tutupan lahan, ini mestinya bukan informasi yang sensitif yang grey area, ini mestinya informasi publik.

Khusus tentang partisipatif tadi yang Bapak Pimpinan tanyakan, dan ini hubungannya terutama ke Pasal 8 butir “h. Penutupan Lahan”. Saya ambil contoh, kalau kita ke Kalimantan dengan masyarakat Dayak, itu dulu kita sering melihat yang dibuat oleh kawan-kawan Bakosurtanal atau Jatok dulu peta menunjukkan bahwa ini memang daerah ladang, semak belukar, hutan sekunder, dan hutan perawan. Daerah ladangnya hanya yang ini.

Padahal kalau kita tanya ke masyarakat, masyarakat bilang ladang saya yang ini dan yang sebelah sana juga. Karena kan ladang berpindah masyarakat Dayak. Kebetulan tahun ini saja berladang di sini, tahun depan buka ladang yang masih semak belukar barangkali di peta yang ada. Ini akan berpotensi menimbulkan konflik, karena mungkin pemerintah daerah melihat itu semak belukar kasih sajalah izinnya ke perusahaan. Tahun depan masyarakat yang membuka ladang, ada perusahaan, konflik. Jadi maksudnya partisipatif di dalam nanti pembuatan peta itu memang berpartisipatif dalam artian berkonsultasi dengan masyarakat, terutama masyarakat yang menggunakan sumber daya sekitar itu.

Itu contoh Kalimantan. Contoh di Papua juga, misalnya Merauke, itukan beberapa klaim memiliki daerah perburuan. Jadi bulan tertentu mereka berburu di bagian sebelah sana, nanti bulan tertentu tahun lalu berburu dibagian sini. Dan lahannya itu di dalam konsep masyarakat “lahan kami”. Walaupun ke sana tidak diurus dalam artian berladang, tapi itu merupakan daerah perburuan, dan asupan proteinnya sangat penting dari kegiatan berburu masyarakat itu. Dan kalau pemetaan yang tidak partisipatif, tentu daerah-daerah itu akan terlewatkan, seakan-akan itu daerah yang memang tidak dimanfaatkan oleh masyarakat, sehingga bisa memberikan peluang pemanfaatan oleh pihak lain yang menimbulkan konflik. Jadi saya kira partisipatifnya diperlukan dalam artian pembuatan peta.

Kemudian tadi ada situ pasal yang kita ingin bertanya, Pasal 49 disebutkan “bisa dikenakan biaya tertentu untuk pihak yang ingin memperoleh dan menggunakan data informasi Geo Spastal yang akan diatur selanjutnya”. Pembiayaan tertentunya ini tentu banyak menimbulkan pertanyaan “ini biayanya untuk apa, apakah untuk menutupi biaya pembuatan peta, kalau itu apakah bukan sudah ada anggaran dari APBN atau APBD”, misalnya. Di sisi lain di Pasal 45 butir kedua disebutkan Pemerintah menyediakan insentif bagi orang yang membantu mengumumkan atau menyebarluaskan informasi Geo Spasial, jadi kesannya seperti kontroversial.

Mungkin itu juga masukan, terima kasih Pak Ali Kodra, Pimpinan.

Page 21: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA RISALAH ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20180315-081237-4075.pdf · perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan, bak

21

ANGGOTA : BOBBY ADHITYO RIZALDI, SE, MBA., CFE Interupsi, ingin menanyakan Pimpinan KETUA RAPAT : Silakan Pak Bobby ANGGOTA : BOBBY ADHITYO RIZALDI, SE, MBA., CFE Ingin menambahkan saja pak. Jadi kalau yang tadi contohnya untuk di Papua, dan satu

lagi di Kalimantan tadi, itu utilisasinya kan (penggunaannya), tetapi standar metode pengukurannya kan berarti bukan dan masyarakat, itukan utilisasinya. Jadi maksudnya kalau utilisasi itukan setelah dipetakan semua, barulah utilisasi itu ditentukan, tapi kan kalau yang di informasi ini pengukurannya. Jadi apakah utilisasi itu perlu dimasukkan di sini seperti yang tadi, ataukah memang harus kita cukup dibilang kalau masalah pengukurannya itu memang sudah cukup di sini. Kalau masalah utilisasi itukan suatu hal yang lain, apakah ini mau dipakai berburu, mau dipakai untuk bertani, itukan penggunaan. Tetapi pengukurannya berdasarkan koordinat-koordinat itu, koordinasinya, standar metode mana yang dipakai, itu tidak perlu partisipasi dan masyarakat maksudnya.

Terima kasih. KETUA RAPAT : Silakan Iangsung dijawab pak. WWF : DR. HADI ALI KODRA Kita memang membedakan antara pengguna dengan butir-butir yang termasuk di dalam

undang-undang. Tetapi bahwa keinginan kami undang-undang yang dimaksud adalah mencerminkan kepentingan-kepentingan masyarakat setempat. Maka kalau misalnya kami mengharapkan ini masuk di dalam butir-butirnya, termasuk di dalam butir-butir penjelasan, sehingga akan komplit konteksnya. Yang kami khawatirkan adalah, memang sudah ada di dalam pasal-pasalnya, tetapi pengertiannya itu. Mungkin walaupun tadi dasarnya kebutuhan utilisasi, tetapi parameternya masuk di dalam struktur undang-undang dan kemudian dijelaskan dalam pasal-pasal penjelasan setiap pasalnya.

Demikian Pak. ANGGOTA : DARYATMO MARDIYANTO Interupsi Ketua, sebelah kiri KETUA RAPAT : Sebelah kanan dulu, Pak Fardhan. Silakan pak. ANGGOTA : FARDHAN FAUZAN, BA., MSC Terima kasih Ketua. Ini terkait tadi antara koordinasi DKP dengan Bakosurtanal dan lain-lain itu, dan ini terkait

lagi dan kita Komisi VII di energi, jadi mohon masukan saja untuk merancang undang-undang ini. Sedangkan sekarang ini kita kan kebutuhan energi sangat diperlukan oleh masyarakat lebih besar. Dan kita ini ada sedikit konflik antara energi dan pemetaan.

Page 22: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA RISALAH ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20180315-081237-4075.pdf · perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan, bak

22

Jadi ada Geothermal itu berbatasan dengan lingkungan hidup dan kehutanan tidak boleh dimasuki, sudah begitu minyak juga di situ ada batasan-batasan juga yang tidak bisa Iebih untuk keperluan masyarakat lebih besar. Jadi saya mohon masukannya, batasan dari pemetaan ini sejauh mana batasan-batasan ini bisa di tolerir untuk keperluan energi untuk kebutuhan rakyat yang lebih besar, rakyat Indonesia seluruhnya, ini sejauh mana bisa di tolerir untuk kita menyusunnya nanti.

Terima kasih. KETUA RAPAT : Terima kasih Pak Fardhan. Bisa langsung dijawab pak ? WWF : DR. HADI ALI KODRA Saya ada satu hal yang penting sekali, bahwa undang-undang ini mengatur kriteria,

mengatur butir-butir yang akan masuk yang akan dipertimbangkan. Tetapi yang bapak pertanyakan adalah sistem manajemen, artinya bahwa setelah butir-butir dari dalam Undang-Undang Geo Spasial, maka ini akan masuk kepada tata ruang. Di situ kita harus bergulat di tata ruang, sehingga jelas sekali mana kawasan yang bisa dibuka untuk pertambangan, untuk perkebunan, dan mana yang akan ditetapkan sebagai kawasan-kawasan konservasi ataupun kawasan lindung.

Tadi pertanyaan kami adalah mestinya kita mengarah kepada bukan sebesar-besarnya, tetapi bagaimana mengoptimalkan supaya berbagai kepentingan ini tergabung di situ, kepentingan secara optimal dari segi konservasi dan non konservasi.

ANGGOTA : FARDHAN FAUZAN, BA., MSC Boleh interaktif ? KETUA RAPAT : Pak, kita selesaikan sebelah kanan dulu ya, supaya nanti ya dilanjutkan. ANGGOTA : FARDHAN FAUZAN, BA., MSC Untuk menentukan sistematikanya nanti, seperti untuk efisiensi, kita memerlukan

batasannya itu sejauh mana bisa di tolerir. Di situkan nanti masuk ke dalam undang-undang yang kita bikin, sejauh mana itu yang bisa di tolerir. Seperti sekarang misalnya untuk Geothermal, inikan energi terbarukan, dan tingkat polusi itu sedikit sekali, kawasan yang dimasuki itu ada konflik dengan kehutanan dan segala macam, tapi itu yang terbuka itu kecil.

Jadi nanti untuk undang-undang yang baru ini yang kita akan rancang itu mungkin ada masukan sedikit untuk itu, jadi sejauh mana kita bisa mentolerir kawasan yang sudah ada di lingkungan hidup dan di kehutanan itu bisa ditolerir itu seberapa besar itu presentasinya untuk kepentingan Iebih besar. Tapi kan ini sudah energi terbarukan juga yang tidak merusak.

KETUA RAPAT : Silakan pak langsung di jawab. WWF: DR. HADI ALI KODRA

Page 23: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA RISALAH ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20180315-081237-4075.pdf · perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan, bak

23

Bahwa undang-undang ini nantinya harus mampu mengakomodir berbagai undang-undang sektor tentunya, karena kadang-kadang bertolak belakang, ini sangat penting sekali. Maka sekarang contohnya di Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup sekarang sedang membuat PP Tentang Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan secara makro, mana kawasan budi daya dan kawasan lindung, itu dasarnya adalah kemampuan wilayah mendukung. Jadi barangkali ini bukan soal mentolerir, bukan itu. Tetapi bagaimana kita mempertahankan eksistensi dari resources supaya bobotnya itu seimbang antara ekonomi dan konservasi, sehingga yang pertama adalah harus ketat dalam menetapkan kawasan lindung dan kawasan budi daya, baru selanjutnya kawasan Iindungnya mana, kawasan budi daya mana.

Dan situasi ini tentunya yang kedua, tergantung dari koordinasi sistem pada level dengan sektor. Siapa yang memimpin ini, tentunya ada yang mengatur tentang tata ruang memanggil beberapa sektor untuk menetapkan tadi. Tapi bahwasanya di sini adalah kami menginginkan bukan soal akhirnya kita “okelah saya mentolerir saja”, tetapi adalah kenyataannya harus berdasarkan Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan. Daya Dukung adalah seberapa jauh kapasitas dari lingkungan mendukung, dan Daya Tampung adalah seberapa jauh lingkungan itu mendapatkan beban dari akibat kegiatan manusia dan kegiatan lainnya, dan ini saya kira yang harus dipertimbangkan. Secara jujur tadi mengatakan “oke, kalau begitu sekian persen dipersilakan sebagai kawasan untuk budi daya”.

Terima kasih Pak Pimpinan. KETUA RAPAT : Baik, terima kasih. Pak Daryatmo. ANGGOTA : DARYATMO MARDIYANTO Terima kasih. Pak Ali Kodra dan kawan-kawan, sebenarnya nanti teman-teman, untuk yang lain juga

sama, dari Terangi maupun dari JKPP, yang soal partisipasi masyarakat. Jadi saya senang sekali hari ini bertemu dengan teman-teman yang menekuni katakanlah lingkup LSM karena berbasiskan pada kepentingan-kepentingan masyarakat lokal, berkelanjutan, maupun yang eksis. Jadi kalau tadi disebut contoh Dayak-Papua itu berpindah-pindah, saya ingin kembali contoh pada masyarakat Badui. Kalau kemudian pemetaan partisipasi masyarakat itukan definisi versi kita, apakah kita juga tidak mencari jalan bagi merumuskan definisi versi mereka. Ketika mereka mengatakan “ini daerah saya, saya nanam ini karena hanya wilayah ini saja, saya hidup dari wilayah ini saja”. Lalu dia batasi, dia tidak menyeberangi sungai. Itukan sebenarnya dalam kategori jalan pikiran kita dia membangun persepsi “ai tidak urusan orang lain, ai urusan daerah, saya mau hidup di sini dengan tenang. Dan tidak mengganggu lingkungan, dan malahan dia sangat menghargai lingkungan hidupnya dan melakukan konservasi. Apakah kategorisasi seperti ini tidak bisa masuk di dalam rumusan ketika kita akan melakukan merumuskan undang-undang ini.

Karena bapak-bapak juga menyatakan tentang identitas budaya, kemudian bapak juga mengatakan kepentingan-kepentingan masyarakat setempat. Jadi kalau kemudian itu tiba-tiba

Page 24: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA RISALAH ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20180315-081237-4075.pdf · perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan, bak

24

dibawahnya Badui itu ada tambang, itu terus bagaimana. Kebetulan kan tidak ada, dan tidak pindah-pindah. Tapi sedikit demi sedikit kan bermacam-macam hal, Badui luar, Badui dalam, dan sebagainya. Tapi maksudnya itu contoh saja, apakah ini masuk kategorisasi partisipasi masyarakat yang akan di advokasi atau dibantu oleh LSM.

Dia mengatakan “aku dari dulu sudah di sini, tuan-tuan datang baru saja kemudian tuan-tuan petakan, aku mau di mana ?”. Sehingga persepsinya adalah membangun persepsi versi kita dan tidak menghindarkan persepsi mereka, sehingga kemudian kalau itu masuk di dalam pengelolaan, katakanlah ada mining, ada sumber daya alam„ dan sebagainya, itu sudah bagian variabel-variabel yang kita siapkan, sehingga tidak sampai muncul masalah bermacam-macam lalu konflik.

Mumpung kita bicara soal pemetaan ini, kami mohon masukan-masukan ini dari bapak-bapak yang memang sangat concern dan kami sangat perlu untuk itu. Barangkali kalau bisa, mau usulan sama Ketua, ayolah ikut bersama-sama kami memberikan masukan supaya menghasilkan RUU Geo Spasial yang bermanfaat bagi kita semua.

Tapi itu contoh-contoh tadi, tingkat partisipasi masyarakat yang kayak apa, versi mereka atau versi mereka. Lama-lama kan daerah Minang isinya orang Jawa semua, sudah pindah semua, karena pemetaan mereka tidak diakui, “ini ninik/mamak ini menurut saya begini, tidak bisa, ini undang-undang harus hilang”. Itu contoh saja, basis pada partisipasi masyarakat itu formulasi Iebih jauhnya yang dapat dimasukkan di dalam undang-undang, dan itu dapat menjadi variabel. Barangkali variabel mati, bukan variabel yang dinamis. Variabel statis, ilmunya Pak Alimin mengatakan itu kepada saya.

Terima kasih Ketua. KETUA RAPAT : Terima kasih. Pak Daryatmo ini kampungnya takut di isi orang Minang, makanya dia balik “orang Minang

takut di isi orang Jawa”. Tidak perlu dijawab kan itu ? Saya rasa cukup ya ? Apa ada tambahan lagi tidak ini, silakan.

JKPP : STAF Terima kasih Bapak Pimpinan. Setelah membaca ini, dan saya setuju dengan Pak Daryatmo tadi, bahwa Rancangan

Undang-Undang, ngomong sebenarnya Rancangan Undang-Undang Peta, padahal dari tadi sebenarnya kita ngomong soal “pemetaan”, sesuatu yang berbeda sebenarnya. Kalau peta kan sebenarnya Iebih artefak, barangnya. Sementara kalau kita ngomong pemetaan inikan persoalan proses bagaimana kita melakukannya. Dan pemetaan ini sebenarnya dari dulu juga awal pemetaan ini terjadi itukan sangat politis, bukan sesuatu yang teknis. Teknik itu kemudian persoalan klaimnya dulu yang pertama. Memetakan adalah persoalan melakukan klaim “siapa yang melakukan”. Karena kalau menurut saya pemetaan itu adalah rentetan kegiatan memetakan

Page 25: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA RISALAH ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20180315-081237-4075.pdf · perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan, bak

25

untuk sesuatu kepentingan. Persoalannya “kepentingan siapa” yang kita bicarakan. Dari sinilah mungkin yang perlu kita pikirkan.

Kalau selama ini kalau pemetaan itu cenderung kepentingan negara, karena yang punya hak/punya kuasa negara ini. Tapi persoalan dalam melakukan pemetaannya kemudian hak-hak masyarakat banyak yang hilang. Padahal kalau pemetaan masyarakat lokal itu sangat banyak membantu melakukan pemetaan dalam arti ngasih informasi, saat petanya muncul informasi tentang mereka sendiri malah tidak ada. Itu yang menjadi persoalan besar. Jadi mungkin ini juga perlu dipikirkan, apakah kita ngomong soal Undang-Undang Peta atau Undang-Undang Pemetaan.

Tadi juga kita sudah bicarakan bahwa overlap dan koordinasi antara instansi Pemerintah juga tidak jelas. Belum lagi kasusnya dalam melakukan pemetaan, karena saya banyak di kasus-kasus kehutanan, itu kalau peta kampung yang banyak itu tahu-tahu menjadi kawasan hutan dan mereka harus hilang, mestinya dari situ. Sementara, waktu pemetaan mereka tidak pernah dikasih tahu bahwa itu melakukan pemetaan tata batas kawasan hutan. Ada persoalan etika juga yang di sini muncul waktu saat melakukan pemetaan, di sini yang akhirnya konflik tidak habis-habis.

Kita sudah setiap hari mendengarkan konflik di kawasan hutan, konflik juga dengan perkebunan, konflik pertambangan, karena persoalan waktu melakukan pemetaannya sering tidak jelas, tidak dengan i'tikad yang baik, dengan protokol yang jelas, tahu-tahu sudah datang dan masyarakat mendadak tahu-tahu lahan mereka hilang karena ada peta lain yang dari instansi pemerintah yang masuk ke mereka sudah menyatakan itu bahwa sudah wilayah konsesi tambang, perkebunan, atau segala macam.

Jadi saya pikir mungkin tingkatnya lebih ditingkatkan. Kalau saya membaca undang-undang ini adalah sepertinya masih lebih menekankan pada memberi landasan hukum kepada Bakosurtanal, tapi tidak bicara soal bagaimana melakukan pemetaan dan melakukan koordinasi pemetaan dengan lebih terintegrasi. Itu yang mungkin perlu dipikirkan, karena kalau tidak nanti persoalannya tumpang tindih lagi, ribut lagi, tidak habis-habis. Saya pikir mungkin ini musti dibawa, kalau misalnya Komisi tidak bisa misalkan, mungkin harus antar Komisi yang harus menyelesaikan ini.

Seperti kita ketahui, Departemen Kehutanan saja itu menguasai 70 persen lahan di Indonesia. Kalau mereka tidak terlibat dalam proses membicarakan ini, konfliknya tidak pernah habis-habis. Karena kalau dilihat dari undang-undangnya sendiri, saya secara pribadi bilang konflik di kehutanan itu adalah conflic by design. Karena memang diundang-undangnya sendiri akan membuat pasti konflik, tidak bakal tidak, karena dalam undang-undangnya tidak membuat ruang untuk ada negosiasi, ada ngomong partisipasi masyarakat untuk bagaimana melakukan ini dan bagaimana menentukan kawasan hutan. Memang ada Panitia Tata Batas, tapi masyarakat tidak terwakili dengan baik.

Seperti tadi dibilang bahwa petanya itu tahu-tahu yang wilayah pertanian dalam sistem ladang bergilir, yang Pak Nasir Fuad bilang tadi sebagai ladang berpindah, kalau kami ladang bergilir. Karena mereka bukan berpindah-pindah, tapi cuma berputar di dalam satu lokasi, karena

Page 26: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA RISALAH ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20180315-081237-4075.pdf · perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan, bak

26

ekosistemnya mengharuskan begitu. Sementara kalau peta itukan adalah sebenarnya lebih snapshot, potret sesaat, dan tidak melihat dinamika di dalam masyarakat yang terjadi seperti ini. Kalau ini dinamikanya dilihat dengan baik, itu mungkin persoalan ini bisa direduksi konflik-konflik ini. Itu yang mungkin saya bisa sampaikan.

Selain itu dari Pak Bobby soal bagaimana mengangkat kembali soal kategori private, public, dan negara. Saya pikir biarpun mungkin nanti kita perlu berdebat lagi kira-kira persisnya, tapi akan lebih baik. Karena dengan yang ada sekarang ini memang antara definisi bahaya/definisi rahasia yang begitu kabur, nanti bisa menjadi pasal karet dan kriminalisasi bisa bertambah-tambah, potret hukum kita makin jelek nanti. Jadi mungkin dari awal kita harus reduksi kennungkinan terjadinya ada pasal-pasal karet, itu yang mungkin perlu diperhatikan.

JKPP : ANGGOTA Bisa menambah sedikit, Pimpinan ? Terima kasih. Saya sedikit merespon dari Pak Manuel soal pemetaan partisipasi masyarakat. Kami,

selain di Aceh juga kerja di Kalimantan Barat, hampir 1,3 juta di Kalimantan Barat kami memfaslitasi. Dan ada satu kecamatan di Nangamahap di Kabupaten Sekadau, kita memfasilitasi dari pemetaan Kampung, Desa, dan sampai tata ruang Kecamatan yang kami usulkan dalam proses ereksi tata ruang Kabupaten.

Di Papua sudah ada aturan mengenai Perdasus bagaimana masyarakat bisa berpartisipasi dalam membuat peta partisipatif. Memang disebutkan di situ “pemetaan partisipatif”, dan kalau dalam konteks Perdasus itu menjadi dianggarkan dalam APBD. Jadi memang sudah ada praktek-praktek tersebut. Beberapa kasus di Namlong misalnya, pemetaan partisipatif menjadi acuan Pemerintah Daerah dalam memberikan izin-izin, karena itu sangat berkaitan dengan hak-hak adat.

Kami juga sedang melaksanakan pemetaan partisipatif di Flores Timur, saya bertemu dengan Pak Camatnya. Dia sangat merespon, karena dia tidak punya peta wilayah Desa. Peta yang ada di Pemerintah Kecamatan mungkin peta sketsa, tidak berskala. Ketika kami mempresentasikan ini, beliau bilang “ini kita pakai sebagai peta wilayah Kecamatan”. Jadi sudah banyak praktek-praktek yang berkaitan dengan partisipasi masyarakat yang mendapat dukungan dari pemerintah tingkat lokal, dan kita bekerjasama supaya ini bisa punya kontribusi yang besar masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan. Karena memang kita tidak punya peta batas wilayah sampai desa itu terus terang. Kabupaten saja begitu dimekarkan, konflik. Kabupaten sebenarnya di bawah lagi ada Kecamatan, Desa. Inilah batas-batas wilayah Desa yang menjadi persoalan berkaitan dengan tadi persoalan hak adat, wilayah adat, dan sebagainya.

Jadi kami banyak sekali menemukan kasus-kasus berkaitan dengan pemetaan batas wilayah itu ada persoalan mengenai batas wilayah. Jadi berkaitan dengan partisipasi tidak hanya dalam penggunaan, tapi juga dalam penyelenggaraan ini dilibatkan masyarakat untuk bisa berpartisipasi dalam proses-proses penganggaraan pemetaan di Indonesia.

Saya kira itu saja, Pimpinan, terima kasih.

Page 27: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA RISALAH ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20180315-081237-4075.pdf · perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan, bak

27

ANGGOTA : BOBBY ADHITYO RIZALDI, SE, MBA., CFE Pimpinan, tambahkan sedikit. KETUA RAPAT : Terima kasih. Ya 1 Menit, silakan Pak Bobby. ANGGOTA : BOBBY ADHITYO RIZALDI, SE, MBA., CFE Satu menit, saya ingin menambahkan. Justru karena itu harusnya kita ini punya sistem

yang masyarakat di daerah itu tidak boleh konflik karena sengketa tanah, karena itukan harusnya pemerintah yang sudah firm. Sekarang kalau saya ingin tanyakan, kalau partisipasi masyarakat terhadap peta, bagaimana standarisasi metodenya.

Kedua, selain standarisasi metodenya, di Pasal 23 itu sebenarnya kan sudah ditampung, yaitu “penyelenggara informasi Geo Spasial dapat diselenggarakan oleh setiap orang”. Apakah partisipasi masyarakat itu cukup dituangkan di dalam PP pelaksanaannya nanti atau memang harus dari undang-undang. Karena kalau menurut saya, di undang-undang ini hanya mengatur standar pengukurannya. Jadi masalah sengketa itu kan nanti penggunaannya. Kalau standar semua sama, tidak ada lagi itu yang boleh masing-masing Kabupaten atau Desa itu berkonflik. Karena ini pemerintah, itu ranch eksekutif untuk menentukan. Boleh-boleh saja bottom up itu memberikan masukan, tapi itu sudah domain eksekutif untuk menentukan sebenarnya.

Terima kasih. KETUA RAPAT : Silakan Pak Fauzan ANGGOTA : FARDHAN FAUZAN, BA., MSC Terima kasih Pimpinan. Jadi yang saya tangkap dari RDPU kita kali ini adalah kita perlu adanya masukan

mengenai butir mengenai :Daya Dukung dan Daya Tampung: untuk RUU ini. Dan yang kedua, perlunya kita masukan butir mengenai perlu adanya koordinasi dari

organisasi sipil, usaha, pemerintah, dan militer di situ, biar ada koordinasi dan tidak ada konflik. Itu saja Pimpinan, terima kasih. KETUA RAPAT : Baik, Saya rasa cukup ya ? Silakan, ini Terangi dari tadi. TERANGI : SAFRAN YUSRI Ma'af Pak Pimpinan, terima kasih atas kesempatan yang sudah diberikan. Rekan-rekan Komisi VII yang terhormat. Saya dari Yayasan Terangi, nama saya Safran Yusri. Saya cuma ingin mengangkat

“sebenarnya sumber masalahnya itu ada di mana ?” Kita bisa melihat bahwa di Bab IV Pasal 26 penyelenggaraan informasi Geo Spasial itu dilakukan melalui kegiatan “a” sampai “e”, di mana misalnya untuk pengumpulan data Geo Spasial, seperti yang teman-teman dari jaringan pemetaan partisipatif itu sudah sampaikan, bahwa pengumpulan data Geo Spasial juga bisa dilakukan oleh masyarakat.

Page 28: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA RISALAH ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20180315-081237-4075.pdf · perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan, bak

28

Pengalaman kita di Terangi, kita pernah bekerjasama dengan masyarakat yang berpartisipasi, di bagian BAB V “Pelaksana Informasi Geo Spasial”, mulai Pasal 55 sampai 59, itu disebutkan bahwa mereka harus memiliki sertifikasi. Ini yang justru yang tadi teman-teman dari Jaringan Pemetaan Partisipatif merasa ini yang menjadi batu sandungan bagi masyarakat.

Jadi kami berpikir bagaimana dari masyarakat ini mungkin ditambahkan butir khusus memang ada mekanisme, entah untuk resolusi konflik atau apa itu yang dapat mengapresiasi hasil kerja masyarakat. Karena memang kita tahu kemampuan pemerintah itu terbatas. Jadi kita sebenarnya tujuannya memang untuk membantu pemerintah.

Saya rasa dari saya sekian saja, terima kasih atas kesempatannya. KETUA RAPAT : Terima kasih. Saya rasa cukup ya ? Bapak-bapak/Ibu-ibu dari WWF, JKPP, dan Terangi, kami mohon kalau bisa yang mana

kurang berkenan atau ada tambahan daripada draft RUU, mungkin bisa kami tambahkan setelah dalam pembahasannya nanti. Saya juga mengucapkan terima kasih atas masukan dan saran dari Bapak dan Ibu sekalian yang sangat bermanfaat untuk lancarnya dalam pembahasan RUU Geo Spasial ini.

Saya rasa tidak ada apa-apa lagi. Dan sebelum saya mengakhiri rapat pada siang hari ini mungkin Pak Direktur VVWF mewakili dari seluruh atau satu persatu kata terakhir sebelum saya akhiri rapat siang hari ini.

Silakan Pak. WWF : DR. HADI ALI KODRA Terima kasih Bapak Pimpinan. Dari awal hingga akhir tadi bahwa atmosphere ini adalah bagaimana sikap kita bersama

dengan bapak sekalian juga yang terhormat, agar supaya undang-undang ini dapat diimplementasikan, tetapi mempunyai ruang untuk masuknya berbagai unsur yang tadi didiskusikan. Jika nanti ada hal-hal yang kiranya diperlukan, maka kami siap untuk menambahkan, siap untuk memenuhi ketelitian ataupun informasi yang lebih detail, dari hal-hal yang memang kerjaan kami di lapangan.

Sekali lagi kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak-bapak sekalian yang terhormat. Mudah-mudah pertemuan hari ini membawa hikmah kepada kita semua.

Terima kasih sekali lagi. Assalaamu'alaikum Warohmatullaahi Wabarokaatuh. KETUA RAPAT : Terima kasih pak. Ini juga dalam lancarnya nanti masukan bukan dari pemerintah, dari kami saja, dari bawah

juga kami tampung. Dengan mengucapkan hamdalah kita akhiri rapat pada siang hari ini.

Page 29: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA RISALAH ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20180315-081237-4075.pdf · perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan, bak

29

Assalaamu'alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh.

(RAPAT DITUTUP PUKUL 12.00 WIB)

Jakarta, 4 Mei 2010 a.n. KETUA RAPAT

SEKERTARIS

Dra. Dewi Barliana S. M. Psi NIP. 196209261988032001