-
1
ISSN: 0215-7950
*Alamat penulis korespondensi: Laboratorium Genetika dan
Pemuliaan, Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada. Jalan Teknika
Selatan, Sekip Utara, Yogyakarta 55281.Tel: 0274-580839, Faks:
0274-580839; Surel: [email protected];
[email protected]
Deteksi Odontoglossum ringspot virus pada Anggrek Asli Koleksi
Kebun Raya di Indonesia
Detection of Odontoglossum ringspot virus on Native Orchids
Collection of Botanical Gardens in Indonesia
Mahfut1, Budi Setiadi Daryono2*, Susamto
Somowiyarjo21Universitas Lampung, Lampung 35145
2Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 55281
ABSTRAK
Anggrek asli merupakan salah satu kekayaan flora asli Indonesia
yang memiliki peran penting sebagai induk persilangan dalam
pemuliaan tanaman anggrek. Infeksi virus menjadi salah satu faktor
pembatas dalam budi daya anggrek. Penelitian bertujuan mendeteksi
dan mengidentifikasi Odontoglossum ringspot virus (ORSV) yang
menginfeksi anggrek asli. Sampel dikoleksi dari tanaman bergejala
asal 5 kebun raya di Indonesia, yaitu Bogor, Cibodas, Purwodadi,
Balikpapan, dan Enrekang. Deteksi dan identifikasi dilakukan secara
serologi menggunakan antiserum spesifik ORSV, dilanjutkan dengan
metode reverse transcriptase-polymerase chain reaction (RT-PCR),
dan perunutan DNA. Uji serologi menunjukkan 5 sampel bereaksi
positif terhadap antiserum ORSV, yaitu pada Phalaenopsis
amboinensis (KRB2) dan Phalaenopsis amabilis (KRB12) dari Kebun
Raya Bogor, Phalaenopsis amabilis (KRP18) dan Dendrobium salacence
(KRP20) dari Kebun Raya Purwodadi, dan Phalaenopsis modesta J. J.
Sm. (KRBp5) dari Kebun Raya Balikpapan. Deteksi asam nukleat 5
sampel tersebut dengan RT-PCR menggunakan primer spesifik gen coat
protein ORSV menghasilkan fragmen DNA berukuran ± 474 pb. Analisis
homologi 5 isolat ORSV tersebut menunjukkan nilai indeks
similaritas (IS) sebesar 99.8% dengan 14 isolat ORSV lain. Analisis
filogenetika menunjukkan isolat KRB2 dan isolat KRP18 berada dalam
satu kelompok dan terpisah dengan isolat ORSV dari negara-negara
lain. Ini adalah laporan pertama adanya infeksi ORSV pada anggrek
asli koleksi 5 kebun raya di Indonesia.
Kata kunci: analisis filogenetika, homologi, serologi,
RT-PCR
ABSTRACT
Native orchid is one of Indonesian natural resources which play
important role as parental materials in breeding program. Virus
infection is one of the limiting factors in the cultivation of
orchid. The purpose of this study was to detect Odontoglossum
ringspot virus (ORSV) from native orchid. Symptomatic orchids were
collected from 5 botanical gardens, i.e. Bogor, Cibodas, Purwodadi,
Balikpapan, and Enrekang Botanical Gardens. Detection and
identification was conducted by serological method using ORSV
specific antisera, followed by RT-PCR and DNA sequencing. The
serological test showed that 5 samples gave positive reaction
against ORSV antiserum, i.e. Phalaenopsis amboinensis (KRB2) and
Phalaenopsis amabilis (KRB12) from Bogor Botanical Garden,
Phalaenopsis amabilis (KRP18) and Dendrobium salacence (KRP20) from
Purwodadi Botanical Garden, dan Phalaenopsis modesta J. J. Sm.
(KRBp5) from Balikpapan Botanical Garden. RT-PCR of the 5 samples
using specific primer of ORSV coat protein gene was successfully
amplified fragment DNA with size ± 474 bp. Homology analysis of
those 5 ORSV isolates showed the highest index similiarity of 99.8%
with corresponding
Volume 13, Nomor 1, Januari 2017Halaman 1–8
DOI: 10.14692/jfi.13.1.1–8
-
J Fitopatol Indones Mahfut et al
2
sequences from 14 other ORSV isolates. Phylogenetic analysis
indicated that ORSV KRB2 and KRP18 isolates was clustered in a
separate group far from ORSV isolates in other countries. This is
the first report of ORSV infection on native orchids collection
from 5 botanical gardens in Indonesia.
Key words: homology, phylogenetic analysis, RT-PCR, serology
PENDAHULUAN
Anggrek asli memiliki peran penting sebagai induk persilangan
dalam pemuliaan tanaman yang bertujuan memperluas keragaman
genetika bentuk dan warna bunga yang unik, frekuensi berbunga yang
tinggi, dan tahan terhadap patogen serta cekaman lingkungan.
Serangan hama penyakit menjadi salah satu kendala dalam budi daya
dan pengembangan potensi anggrek. Anggrek dilaporkan dapat
terinfeksi 50 jenis virus (Zettler et al. 1990; Chang et al. 2005;
Navalinskiene et al. 2005). Beberapa virus yang dilaporkan
menginfeksi anggrek dan memiliki penyebaran luas di Indonesia ialah
Odontoglossum ringspot virus (ORSV) (Inouye dan Gara 1996; Isnawati
2009; Syahierah 2010; Lakani et al. 2010; Kumalawati et al. 2011;
Mahfut et al. 2016), Cymbidum mosaic virus (CymMV) (Inouye dan Gara
1996; Menisa 2009; Kumalawati et al. 2011; Lakani 2011), Cucumber
mosaic virus (CMV) dan Potyvirus (Lakani 2011). ORSV merupakan
virus yang dominan menginfeksi pertanaman anggrek di dunia (Ali et
al. 2014; Sudha dan Rani 2015).
Infeksi virus pada tanaman anggrek menyebabkan penurunan vigor
tanaman dan kualitas bunga (Koh et al. 2014; Sudha dan Rani 2015).
ORSV menyebabkan kerugian secara ekonomi akibat menurunnya kualitas
bunga di Florida, Hawai, India, Taiwan, Thailand, Singapura, dan
Australia (Zettler et al. 1990; Hu et al. 1993; Wong et al. 1994;
Barry et al. 1996; Chang et al. 1996; Sherpa et al. 2006; Khentry
et al. 2006; Chang 2008; Ali et al. 2014).
Berdasarkan survei pada 5 kebun raya (KR) di Indonesia, yaitu;
KR Bogor (Jawa Barat), KR Cibodas (Jawa Barat), KR Purwodadi (Jawa
Timur), KR Balikpapan (Kalimantan Timur), dan KR Enrekang (Makasar)
selama
tahun 2010-2014 banyak dijumpai anggrek asli dengan gejala
terinfeksi virus yang diduga disebabkan oleh ORSV. Penelitian ini
bertujuan mendeteksi dan mengidentifikasi ORSV untuk pemutakhiran
status kesehatan anggrek asli koleksi kebun raya di Indonesia.
Penerapan hasil penelitian ini menjadi salah satu upaya potensial
pendukung konsep konservasi anggrek asli di Indonesia melalui upaya
perlindungan tanaman.
BAHAN DAN METODE
Deteksi Protein dengan secara SerologiDeteksi serologi untuk
menentukan
insidensi infeksi virus menggunakan metode DAS-ELISA terhadap 44
total sampel daun anggrek (dari 27 genus) paling representatif
berdasarkan pada gejala infeksi dari masing-masing lokasi. ELISA
menggunakan antiserum spesifik ORSV sesuai dengan protokol yang
direkomendasikan pembuat antiserum (Agdia Inc.). Pewarnaan dengan
substrat PNP dibaca menggunakan ELISA-reader (BioTek) padapanjang
gelombang 405 nm. Sampel dinyatakan positif apabila nilai
absorbansinya mendekati nilai kontrol positif atau paling tidak 2–3
kali nilai absorbansi bufer kontrol (Daryono dan Natsuaki
2009).
Deteksi Asam Nukleat dengan RT-PCRIsolasi RNA dilakukan pada
sampel
positif terinfeksi ORSV secara ELISA, menggunakan total RNA
isolation kit dan dilakukan sesuai dengan protokol (SBS Genetech
Co., Ltd., China). Amplifikasi RNA dengan RT-PCR dilakukan dengan
metode terpisah menggunakan primer spesifik, yaitu ORSV
CP-F1(5’-ATGTCTTACACTATTACAGACCCG-3’) dan ORSV CP-R1
(5’-GGAAGAGGTCCAA GTAAGTCC-3’) (Lee dan Chang 2006).
-
J Fitopatol Indones Mahfut et al
3
Tahap reverse transcription (RT) dilakukan dengan first strand
cDNA synthesis kit (Thermo Scientific, USA), selanjutnya cDNA yang
terbentuk digunakan sebagai cetakan dalam tahap PCR menggunakan
GoTaq Green Master Mix (Promega, USA). Reaksi RT dilakukan pada
suhu 37 °C selama 60 menit, dilanjutkan dengan inkubasi pada suhu
96 °Cselama 5 menit dan diakhiri pada suhu 4 °C. Amplifikasi cDNA
diawali dengan tahap pre-denaturasi pada suhu 95 °C selama 5
menit,dilanjutkan dengan 34 siklus, meliputi denaturasi pada suhu
95 °C selama 30 detik, aneling pada suhu 50 °C selama 45 detik, dan
ekstensi pada suhu 70 °C selama 1 menit.
Produk PCR dianalisis menggunakan elektroforesis pada gel
agarosa 2% dalam bufer TBE 1× menggunakan voltase 50 Volt selama 40
menit. Gel agarosa direndam dalam etidium bromida (10 µL 100 mL-1)
selama 30 menit. Pita DNA divisualisasi pada transluminator UV
(Bio-Rad Transilluminator 2000) dan didokumentasikan.
Perunutan DNA dan Analisis FilogenetikaDNA hasil amplifikasi
dirunut sikuen
nukleotidanya dengan mengirimkan DNA ke FirstBase, Malaysia.
Sikuen nukleotida dianalisis dan digabungkan dengan peranti lunak
Suite for Sequence Analysis DNASTAR Lasergene DM Version 3.0.25.
Analisis penyejajaran sikuen nukleotida ORSV isolat dari Indonesia
dilakukan terhadap sikuen yang terdaftar di GenBank menggunakan
basic local alignment search tool (BLAST) (www.ncbi.nlm.nih.gov).
Seleksi berdasarkan distribusi daerah terpilih diperoleh 4 isolat
ORSV terdaftar asal Indonesia dan 10 isolat ORSV asal dari negara
lain (Singapura, Cina, India, Jerman, Korea Selatan, Argentina, dan
Brazil). Isolat TMV-Yunnan digunakan sebagai pembanding di luar
grup (outgrup).
Analisis filogenetika dilakukan dengan menggunakan peranti lunak
molecular evolutionary genetics analysis (MEGA) versi 5 Beta)
dengan metode neighbor joining (NJ) dan Kimura-2 parameter model
untuk estimasi jarak. Nilai bootstrap yang digunakan ialah sebanyak
1000 kali pengulangan.
HASILDeteksi Virus
Hasil deteksi serologi menunjukkan insidensi infeksi virus
sebesar 11.4%. Sebanyak 5 sampel bereaksi positif terhadap
antiserum ORSV dengan rerata nilai absorbansi berkisar 1.125–1.152,
yaitu 2 sampel berasal dari KR Bogor (KRB2, KRB12), 2 sampel dari
KR Purwodadi (KRP18, KRP20), dan 1 sampel dari KR Balikpapan
(KRBp5). Dari keseluruhan sampel anggrek yang positif tersebut, 4
di antaranya merupakan Phalaenopsis sp. Sampel daun positif yang
terinfeksi ORSV ialah pada Phalaenopsis amboinensis (KRB2),
Phalaenopsis amabilis (KRB12), Phalaenopsis amabilis (KRP18),
Dendrobium salacence (KRP20), dan Phalaenopsis modesta J. J. Sm.
(KRBp5). RT-PCR pada 5 sampel positif ORSV menunjukkan adanya
fragmen DNA berukuran ± 474 pb (Gambar 1).
Analisis Sikuen NukleotidaTotal nukleotida gen CP isolat
ORSV-
KRB2, KRB12, KRP18, KRP20, dan KRBp5 berukuran 474–480
nukleotida. Analisis BLAST terhadap masing-masing isolat
menunjukkan bahwa 5 isolat tersebut memiliki homologi sebesar 99%
dengan isolat ORSV dari negara Asia, Afrika, Amerika, dan Eropa.
Hasil analisis 14 isolat ORSV lain menunjukkan homologi sampai
dengan 99.8% dengan isolat ORSV asal kebun raya di Indonesia (Tabel
1).
Pohon Filogenetika Gen CP ORSVHasil penyejajaran sikeun
nukleotida
menunjukkan adanya mutasi titik berupa substitusi dan insersi
pada isolat ORSV di Indonesia. Isolat KRP18 dan KRB12 mengalami
kejadian mutasi terbanyak, yaitu transisi dan insersi masing-masing
2 kali sehingga kedua isolat ini terpisah dengan isolat Indonesia
lainnya. Efek mutasi yang terjadi mampu menyebabkan perubahan pada
triplet kodon penyandi asam amino. Isolat KRP18 menunjukkan
perbedaan pada frekuensi asam amino Gly dan Val yang mengalami
penurunan masing-masing 4.7% dan 3.6% serta peningkatan pada Cys
dan
http://www.ncbi.nlm.nih.gov
-
J Fitopatol Indones Mahfut et al
4
Asn sebesar 7.1% dan 11.8%. Berbeda dengan isolat KRB12 yang
mengalami peningkatan pada asam amino Gly dan Ala sebesar 7.2% dan
5.9%, serta penurunan pada Pro 0.8% dan Tyr 4.7% (Tabel 2). Pada
sikeun nukleotida gen CP isolat ORSV dalam penelitian ini tidak
ditemukan adanya delesi.
Analisis filogenetika menunjukkan bahwa 5 isolat ORSV asal KR di
Indonesia memiliki hubungan kekerabatan yang sangat dekat. Hasil
analisis pohon filogenetika membagi isolat ORSV menjadi dua
kelompok utama, yaitu kelompok isolat Jerman yang terpisah dengan
kelompok 18 isolat lainnya. Kelompok ini terbagi menjadi 3 subgrup,
yaitu 4 isolat Indonesia yang telah terdaftar di Genbank, 3 isolat
kebun raya (Bogor, Balikpapan, dan Purwodadi) dengan 10 isolat dari
negara lain, serta 2 isolat KRB2 dan KRP18. Isolat KRB2 dan KRP18
terpisah dari isolat ORSV asal negara lain (Gambar 2). Walaupun
keseluruhan isolat membentuk beberapa kelompok, namun kekerabatan
antarisolat masih sangat dekat. Hal ini terlihat pada pohon
filogenetika tersebut hanya membentuk subgrup.
PEMBAHASAN
Upaya pemeliharaan anggrek sebaiknya dilakukan secara rutin
untuk pemantauan
perkembangan dan penyebaran penyakit virus serta tindakan
pengendaliannya sedini mungkin. Meskipun insidensinya masih rendah,
yaitu
-
J Fitopatol IndonesM
ahfut et al5
No Asal Isolat No.Aksesi 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
17 18 19 201 Indonesia-KRB2 - 100 ID2 Indonesia-KRB12 - 99.5 100
ID3 Indonesia-KRP18 - 97.9 98.7 100 ID4 Indonesia-KRP20 - 99.4 98.9
98.3 100 ID5 Indonesia-KRBp5 - 99.8 98.7 98.1 99.6 100 ID6
Indonesia-Bogor AB693989 96.6 96.6 96.0 96.6 96.6 100 ID7
Indonesia-Cipanas AB693991 98.7 99.4 98.7 99.2 98.9 97.3 100 ID
8 Indonesia-Gunung Sindur AB693988 98.7 99.4 96.6 99.2 98.9 100
95.1 100 ID
9 Indonesia-Jakarta AB693990 96.6 97.3 98.7 97.0 96.8 97.9 97.9
96.8 100 ID10 Singapura U34586 98.7 99.4 98.9 99.2 98.9 99.6 99.6
97.5 97.0 100 ID11 India AJ564563 98.9 99.6 98.5 99.4 99.2 99.8
99.8 97.7 99.8 96.8 100 ID12 Jepang X55295 98.5 99.2 98.3 98.9 98.7
99.4 99.4 97.3 99.4 99.6 96.6 100 ID13 Korea Selatan AJ606107 98.3
98.9 98.3 98.7 99.5 99.2 99.2 97.0 99.2 99.4 98.9 96.6 100 ID14
Cina KP137373 98.5 99.2 98.5 98.8 98.7 99.4 99.4 97.3 99.4 99.6
99.2 98.9 97.0 100 ID15 Taiwan JN584484 98.9 99.6 98.9 99.4 99.2
99.8 99.8 97.7 99.8 100 99.6 99.4 99.6 97.0 100 ID16 Amerika U89894
98.9 99.6 98.9 99.4 99.2 99.8 99.8 97.7 99.8 100 99.6 99.4 99.6 100
94.3 100 ID17 Jerman AJ429091 96.2 96.8 96.2 96.6 96.4 97.0 97.0
94.9 97.0 97.3 98.8 99.6 99.8 97.3 97.3 96.7 100 ID18 Argentina
KT733673 97.4 98.0 97.7 98.0 97.7 98.4 98.4 95.1 98.4 98.7 98.4
98.4 98.4 98.7 98.7 94.8 84.3 100 ID19 Brazil AF515606 86.0 86.5
85.9 86.2 86.2 86.8 86.8 84.7 86.8 87.0 86.6 86.8 86.6 87.0 87.0
84.3 98.4 96.6 100 ID20 TMV-Yunnan AAM64218.1 68.2 68.2 67.9 67.7
67.7 67.7 67.7 66.5 67.9 67.9 66.7 68.4 68.4 67.9 97.9 67.3 67.7
61.4 100 100
Tabel 1 Tingkat homologi nukleotida gen CP 5 isolat ORSV asal
anggrek asli Indonesia dibandingkan dengan isolat dari negara
lain
Tingkat homologi nukleotidagen CP ORSVasal anggrek alam
Indonesia dihitung menggunakan Program DNASTAR Lasergene DM Version
3.0.25
Asal Isolat Frekuensi Asam Amino (%)Ala Cys Asp Glu Phe Gly His
Ile Lys Leu Met Asn Pro Gln Arg Ser Thr Val Trp Tyr TotalKRB2 4.40
4.40 2.20 0.00 5.49 5.49 0.00 2.20 1.10 8.79 1.10 9.89 5.49 5.49
4.40 18.68 7.69 4.40 1.10 7.69 91KRB12 5.43 4.35 2.17 0.00 6.52
6.53 0.00 2.17 1.09 8.70 1.09 9.78 4.29 5.43 4.35 17.39 6.52 4.35
1.09 7.61 92KRP18KRP20
5.434.44
6.524.44
2.172.22
0.000.00
6.526.67
4.355.56
0.000.00
2.172.22
1.091.11
8.708.89
1.091.11
10.8710.00
5.435.56
5.435.56
4.354.44
17.3918.89
6.526.67
3.263.33
1.091.11
7.617.78
9290
KRBp5 4.40 4.40 2.20 0.00 5.49 5.49 0.00 2.20 1.10 8.79 1.10
9.89 5.49 5.49 4.40 18.68 7.69 4.40 1.10 7.69 91
Tabel 2 Frekuensi asam amino gen CP ORSV asal anggrek asli
Indonesia
-
J Fitopatol Indones Mahfut et al
6
kesalahan yang terjadi selama proses replikasi genom. Namun
dengan ukuran genom virus yang relatif kecil maka adanya sedikit
kesalahan akan memberikan pengaruh laju mutasi secara nyata. Laju
mutasi akan menghasilkan variasi genetika virus sehingga
meningkatkan probabilitas evolusi lebih cepat. Cabang yang cukup
panjang pada isolat KRB2 dan KRP18 juga mengindikasikan bahwa virus
telah berevolusi, bahkan dapat mengarah terjadinya spesiasi.
ORSV Indonesia diduga berasal dari negara Jerman. BPPP (2005)
mencatat Jerman menduduki peringkat 14 sebagai negara yang mengirim
benih dan tanaman anggrek ke Indonesia sejak 1997–2001, selain
Amerika Serikat, Brazil, India, Singapura, Korea Selatan, Cina,
Jepang, Taiwan, dan beberapa negara Asia Barat. Hal ini diperkuat
oleh laporan adanya infeksi ORSV di Jerman, Amerika Serikat, Jepang
(Lawson 1990), Brazil (Freitas et al. 1999), India (Sherpa et al.
2006), Singapura (Wong et al. 1994). Taiwan (Chang 2008), Korea
(Chang et al.
1991), Cina (Rao et al. 2015), dan Taiwan (Zheng et al. 2008).
Berdasarkan hal tersebut, cara lain yang efektif untuk melindungi
dan mempertahankan status kesehatan anggrek asli di Indonesia ialah
dengan membatasi dan mengontrol impor anggrek dari negara lain.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penelitian ini dibiayai oleh Direktorat Riset dan Pengabdian
Masyarakat (DRPM), Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan
Tinggi Tahun Anggaran 2016, melalui Surat Penugasan Penelitian
Hibah Disertasi Doktor Nomor 89/UN26/8/LPPM/2016, Tanggal 13 April
2016.
DAFTAR PUSTAKA
Ali RN, Dann AL, Cross PA, Wilson CR. 2014. Multiplex RT-PCR
detection of three common viruses infecting orchids. Arch Virol.
159(11):3095–3099. DOI:
https://doi.org/10.1007/s00705-014-2161-9.
Gambar 2 Pohon filogenetika isolat ORSV berdasarkan sikuen
nukleotida gen CP 4 isolat dari Indonesia dibandingkan dengan
isolat dari negara lain. TMV-Yunnan digunakan sebagai pembanding
luar grup
Gunung-Sindur-AB693988Jakarta-AB693990Cipanas-AB693991Bogor-AB693989Indonesia-KRB12Indonesia-KRBp5Taiwan-JN584484Indonesia-KRP20Brazil-AF515606Jepang-X55295India-AJ564563Amerika-U89894Singapura-U34586Indonesia-KRB2Indonesia-KRP18Cina-KP137373Korea-Selatan-AJ606107Argentina-KT733673Jerman-AJ429091TMV-Yunnan-AAM64218.1
57
50
5158
-
J Fitopatol Indones Mahfut et al
7
Barry K, Hu JS, Kuehnle AR, Sughii N. 1996. Sequence analysis
and detection using immunocapture-PCR of Cymbidium mosaic virus and
Odontoglossum ringspot virus in Hawaiian orchids. J Phytopathol.
144(4):179–186. DOI:
https://doi.org/10.1111/j.1439-0434.1996.tb01511.x.
[BPPP] Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2005.
Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Anggrek. Jakarta (ID):
Departemen Pertanian RI.
Chang CA. 2008. Economically important orchid viruses. How to
identify and produce clean orchid plantlets. Orchids.
77(9):668–671.
Chang C, Chen CY, Hsu YH, Wu JT, Hu CC, Chang WC, Lin NS. 2005.
Transgenic resistance to Cymbidium mosaic virus in Dendrobium
expressing the viral capsid protein gene. Transgenic Research.
14:41–46. DOI: https://doi.org/10.1007/s11248-004-2373-y.
Chang CG, Wong SM, Mahtani PH, Loh CS, Goh CJ, Kao MC, Chung MC,
Watanabe Y. 1996. The complete sequence of a Singapore isolate of
Odontoglossum ringspot virus and comparison with other
Tobamoviruses. Gene. 171(2):155–161. DOI:
https://doi.org/10.1016/0378-1119(96)00046-7.
Chang MU, Chun HH, Baek DH, Chung JD. 1991. Studies on the
viruses in orchids in Korea. Dendrobium mosaic virus, Odontoglossum
ringspot virus, Orchid fleck virus, and unidentified potyvirus.
Korean J Plant Pathol. 7:118–129.
Daryono BS, Natsuaki KT. 2009. Survei virus yang menyerang
labu-labuan di Yogyakarta dan Jawa Tengah. J Perlin Tan Indones.
15:83–89.
Freitas AJ, Rezende JAM, Kitajima EW. 1999. Incidence of orchid
viruses in the state of São Paulo, Brazil. Fitopatol Bras.
24(2):125–130.
Hu JS, Ferreira S, Wang M, Xu MQ. 1993. Detection of Cymbidium
mosaic virus, Odontoglossum ringspot virus, Tomato spotted wilt
virus, and Potyviruses infecting
orchids in Hawaii. Plant Dis. 77:464–468. DOI:
https://doi.org/10.1094/PD-77-0464.
Inouye N, Gara, IW. 1996. Detection and identification of
viruses of orchid in Indonesia. Bull Res Inst. 4:109–118.
Isnawati L. 2009. Deteksi dan identifikasi Odontoglossum
ringspot virus (ORSV) pada tanaman anggrek [skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Khentry Y, Paradornuwat A, Tantiwiwat S, Phansiri S, Thaveechai
N. 2006. Incidence of Cymbidium mosaic virus and Odontoglossum
ringspot virus in Dendrobium spp. in Thailand. Crop Protec.
25(9):926–932. DOI:
https://doi.org/10.1016/j.cropro.2005.12.002.
Koh KW, Lu HC, Chan MT. 2014. Virus resistance in orchids. Plant
Sci. 228:26–38.
D O I : h t t p s : / / d o i . o r g / 1 0 . 1 0 1 6 / j
.plantsci.2014.04.015.
Kumalawati AD, Abdullah S, Setiadi BS, Mahfut. 2011. Study on
genetic diversity and convervation of orchids in Wonosadi forest,
Gunung Kidul based on molecular analysis. Di dalam: Prosiding
International Conference on Biological Science; 2011 Sep 23–24;
Yogyakarta (ID): Fakultas Biologi UGM. Hlm. 54.
Lakani I, Suastika G, Mattjik N, Damayanti TA. 2010.
Identification and molecular characterization of Odontoglossum
ringspot virus (ORSV) from Bogor, Indonesia. Hayati J Biosci.
17(2):101–104. DOI: https://doi.org/10.4308/hjb.17.2.101.
Lakani I. 2011. Identifikasi dan karakterisasi beberapa virus
yang menginfeksi tanaman anggrek di Pulau Jawa [disertasi]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Lawson RH. 1990. Orchid viruses and their control. Di dalam:
Handbook on orchid pest and diseases, AM Pridgeon, LL Tillman,
editor. Florida (US): American Orchid Society. West Palm Beach. Hlm
66–101.
Lee SC, Chang YC. 2006. Multiplex RT-PCR detection of two orchid
viruses with an internal control of plant nad5 mRNA.Plant Pathol
Bull. 15:187–196.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=Koh
KW%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=25438783http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=Lu
HC%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=25438783http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=Chan
MT%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=25438783http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/25438783
-
J Fitopatol Indones Mahfut et al
8
Mahfut, Joko T, Daryono BS. 2016. Molecular Characterization of
Odontoglossum ringspot virus (ORSV) in Java and Bali, Indonesia.
Asian J Plant Pathol. 10(1–2):9-14. DOI:
https://doi.org/10.3923/ajppaj.2016.9.14.
Menisa F. 2009. Deteksi dan identifikasi Cymbidium mosaic virus
(CymMV) pada tanaman anggrek [skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Navalinskiene MJ, Raugalas J, Samuitiene M. 2005. Identification
of viruses affecting orchids (Cymbidium Sw.). Biologija.
2:29–34.
Rao X, Li Y, Sun J, Li X, Li M, Xiang M. 2015. Genetic
diversities of Cymbidium mosaic virus and Odontoglossum ringspot
virus isolates based on the coat protein genes from orchids in
Guangdong Province, China. J Phytopathol. 163(4):324–329. DOI:
https://doi.org/10.1111/jph.12285.
Sherpa AR, Bag TK, Hallan V, Zaidi AA. 2006. Detection of
Odontoglossum ringspot virus in orchids from Sikkim, India.
Australas Plant Pathol. 35(1):69–71. DOI:
https://doi.org/10.1071/ap05094.
Sudha DR, Rani GU. 2015. Detection of Cymbidium mosaic virus
(CymMV) on Vanda plants. IJSR. 4(1):374–377.
Syahierah P. 2010. Respon berbagai jenis anggrek (Orchidaceae)
terhadap infeksi Cymbidium mosaic virus (CymMV) dan Odontoglossum
ringspot virus (ORSV)[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Wong SM, Chng, CG, Lee YH, Tan K, Zettler FW. 1994. Incidence of
Cymbidium mosaic and Odontoglossum ringspot viruses and their
significance in orchid cultivation in Singapore. Crop Protec.
13(3):235–239. DOI:
https://doi.org/10.1016/0261-2194(94)90084-1.
Zettler FW, KoNJ, WislerGC, ElliotMS, WongSM. 1990. Viruses of
orchids and their control. Plant Dis. 74:621–626. DOI:
https://doi.org/10.1094/PD-74-0621.
Zheng YX, Chen CC, Chen YK, Jan FJ. 2008. Identification and
characterization of a potyvirus causing chlorotic spots on
Phalaenopsis orchids. Eur J Plant Pathol. 121(1):87–95. DOI:
https://doi.org/10.1007/s10658-008-9281-6.
-
ISSN: 0215-7950
9
Volume 13, Nomor 1, Januari 2017Halaman 9–16
DOI: 10.14692/jfi.13.1.9–16
*Alamat penulis korespondensi: Departemen Proteksi Tanaman,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Jalan Kamper Kampus
IPB Darmaga Bogor 16680.Telp: 0251-8629364, Faks: 0251-862362,
surel: [email protected]
Keragaman Morfologi, Genetika, dan Patogenisitas Colletotrichum
acutatum Penyebab Antraknosa Cabai
di Jawa dan Sumatera
Morphology, Genetic, and Pathogenicity Variability of
Coletotrichum acutatum The Causal Agent of Anthracnose on
Chilli
in Java and Sumatera
Roy Ibrahim, Sri Hendrastuti Hidayat, Widodo*Institut Pertanian
Bogor, Bogor 16680
ABSTRAK
Colletotrichum acutatum dikenal sebagai agens penyebab utama
penyakit antraknosa cabai di Indonesia. Penelitian ini bertujuan
menetukan variabilitas genetika C. acutatum di Jawa dan Sumatera
berdasarkan karakter morfologi dan molekul, serta untuk
mengevaluasi patogenisitas beberapa isolat. Pengamatan karakter
morfologi meliputi warna dan pertumbuhan setiap koloni, serta
bentuk dan ukuran konidium. Identifikasi molekuler melalui
amplifikasi DNA menggunakan primer spesifik untuk C. acutatum,
yaitu CaInt2/ITS4 dan analisis sikuen. Uji patogenesitas di
laboratorium untuk setiap isolat dilakukan terhadap Capsicum annuum
dan C. frutescens. Keragaman morfologi diamati pada 40 isolat C.
acutatum. Sebagian besar isolat memiliki koloni putih/krem, bentuk
konidium fusiform dengan panjang rata-rata 6.11–9.73 µm dan lebar
2.24–2.73 µm. Uji patogenisitas 3 isolat C. acutatum menunjukkan
variasi dari sedang sampai tinggi berdasarkan ukuran lesio pada
cabai. Berdasarkan perunutan DNA 8 isolat C. acutatum dari Jawa dan
Sumatera memiliki homologi yang tinggi.
Kata kunci: amplifikasi DNA, analisis sikuens, konidium, warna
koloni
ABSTRACT
Colletotrichum acutatum is known as the major causal agents of
anthracnose disease of chilli pepper in Indonesia. This research
was aimed to study genetic variability of C. acutatum in Java and
Sumatera based on morphological and molecular characteristics and
to evaluate pathogenicity of several isolates. Observation on
morphological characteristics involved colour and growth of each
colony as well as shape and size of conidia. Molecular
identification was performed by DNA amplification using specific
primer for C. acutatum, i.e. CaInt2/ITS4 followed by sequencing and
nucleotide sequence analysis. Pathogenicity test for each isolate
on Capsicum annuum and C. frutescens was conducted in the
laboratory using detached chilli. Morphology variability was
observed from 40 isolates of C. acutatum. Most of the isolates have
white/beige colonies with fusiform conidia of 6.11–9.73 µm in
length and 2.24 –2.73 µm in width. Pathogenicity of 3 C. acutatum
isolates varies from moderate to high based on lesions size on
infected chilli. Sequence analysis of 8 C. acutatum isolates
indicated high homology among isolates from Java and Sumatera.
Key words: colour of colony, conidium, DNA amplification,
sequence analysis
-
J Fitopatol Indones Ibrahim et al
10
PENDAHULUAN
Cabai merupakan salah satu komoditas sayuran yang bernilai
ekonomi tinggi di Indonesia. Menurut Badan Pusat Statistik
produktivitas cabai nasional Indonesia tahun 2015 ialah 8.65 ton
ha-1 (BPS 2015). Syukur et al. (2010) menyatakan bahwa
produktivitas cabai mampu mencapai 13.11 ton ha-1. Hal ini
menandakan bahwa produktivitas cabai di Indonesia masih di bawah
potensi yang seharusnya. Salah satu faktor pembatas keberhasilan
budi daya cabai ialah adanya gangguan hama dan penyakit.
Antraknosa merupakan penyakit utama dan dapat menurunkan hasil
antara 20% dan 90% (Balitbangtan 2016). Antraknosa pada cabai dapat
disebabkan oleh beberapa spesies cendawan Colletotrichum antara
lain C. acutatum, C. capsici, C. coccodes, C. dematium, dan C.
gloeosporioides (Park et al. 1990; Johnston dan Jones 1997; Kim et
al. 1999; Sharma et al. 2005; Kim et al. 2007). Spesies C. acutatum
adalah jenis yang paling dominan di Asia (AVRDC 2009).
Identifikasi spesies Colletotrichum dapat dilakukan secara
morfologi, yaitu berdasarkan warna koloni, diameter koloni, bentuk
konidium, dan ukuran konidium (Smith dan Black 1990; Than et al.
2008). Metode polymerase chain reaction (PCR) dan analisis sikuen
nukleotida semakin banyak digunakan dalam proses identifikasi
cendawan. PCR-RAPD digunakan untuk membedakan C. capsici dan C.
gloeosporioides penyebab antraknosa pada cabai di Thailand
(Ratanacherdchai et al. 2007) dan penanda molekul 23032/1 serta
28487 untuk membedakan C. acutatum yang memiliki kesamaan warna
koloni (Johnston dan Jones 1997).
Walaupun demikian, karakter morfologi masih tetap diperlukan
untuk mempelajari keragaman suatu spesies cendawan. Penelitian ini
bertujuan mendapatkan data informasi keragaman genetika C. acutatum
berdasarkan karakter morfologi maupun molekuler dan mengetahui
tingkat patogenisitas cendawan tersebut.
BAHAN DAN METODE
Sampel Buah CabaiSampel buah cabai yang terinfeksi
antraknosa diambil dari pertanaman cabai di 12 kabupaten:
Mandailing Natal (MN) (Sumatera Utara); Tanah Datar (TD),
Payakumbuh (PYK), Agam (AGM) (Sumatera Barat); Kampar (KMP) (Riau);
Bogor (BGR), Cianjur (CJR), Bandung Barat (BDG) (Jawa Barat);
Brebes (BRB), Tegal (TGL) (Jawa Tengah); Blitar (BTR) (Jawa Timur);
dan Bangli (BL) (Bali). Pengambilan sampel buah yang sakit
dilakukan dengan metode purposive sampling.Sampel buah disimpan
dalam kantong plastik secara terpisah dan dimasukkan ke dalam kotak
penyimpanan sampel.
Isolasi C. acutatum dari Buah CabaiIsolasi cendawan dari buah
cabai terinfeksi
dilakukan dengan mengambil biji dari masing-masing buah kemudian
biji ditanam pada medium agar-agar dekstrosa kentang (ADK) yang
sudah diberi asam laktat 20%, selanjutnya diinkubasi pada suhu 25
°C. Pemurnian isolat cendawan dilakukan dengan metode spora tunggal
(Choi et al. 1999). Sebanyak 7 biakan C. acutatum koleksi Klinik
Tanaman dari beberapa kabupaten digunakan sebagai bahan pembanding
penelitian, yaitu isolat-isolat asal Tanggamus (TGM) (Lampung);
Garut (HGP) (Jawa Barat); Semarang (SMG) (Jawa Tengah), dan
Mojokerto (MJK), Kediri (KD) (Jawa Timur).
Identifikasi Morfologi C. acutatumIdentifikasi morfologi
cendawan dilakukan
pada 10 hari setelah isolasi (HSI). Pengamatan makroskopi
dilakukan terhadap warna koloni tampak atas dan bawah, serta
diameter koloni pada medium ADK. Pengamatan mikroskopis meliputi
bentuk, panjang, dan lebar konidium yang dipilih secara acak
sebanyak 20 konidium (Than et al. 2008) untuk masing-masing isolat.
Data pengamatan mikroskopis diolah menggunakan metode statistika
analisis tabulasi silang dan uji lanjut chi-squere pada taraf 5%
dengan software tpsDig2.
http://www.litbang.pertanian.go.id/unker/one/300/
-
J Fitopatol Indones Ibrahim et al
11
Identifikasi Molekuler C. acutatumBiakan C. acutatum berumur 10
hari
diambil sebanyak 3 potong koloni (diameter ± 5 mm) menggunakan
cork borer, kemudian dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 mL berisi
medium cair dekstrosa kentang dan diinkubasi selama 7 hari pada
suhu ruang. Miselium cendawan diambil dengan filtrasi vakum dan
dicuci dengan akuades steril, selanjutnya dikeringanginkan.
Ekstraksi DNA total mengikuti prosedur Sambrook et al. (1989) yang
telah dimodifikasi. Sebanyak 0.2 gmiselium digerus dengan nitrogen
cair dan ditambahkan 1 mL bufer ekstrak dan 10 μL
β-mercapto-ethanol. Suspensi dimasukkan ke dalam tabung mikro, lalu
diinkubasi dengan cara diapungkan pada penangas pada suhu 65 °C
selama 30 menit, selanjutnya ditambahkan 750 μL
kloroform:isoamilalkohol (C:I) (24:1). Campuran tersebut
disentrifugasi selama 10 menit pada kecepatan 11 000 rpm.
Supernatan yang diperoleh dipindahkan ke tabung mikro baru dan
ditambahkan 1000 μL isopropanol. Campuran tersebut diinkubasi
selama 16 jam pada suhu 4 °C dan disentrifugasi pada kecepatan 12
000 rpm. Benang DNA yang diperoleh disentrifugasi selama 10 menit.
Supernatan dibuang dan pelet dicuci dengan etanol 70%. Etanol
dibuang dan pelet dikeringanginkan, selanjutnya diresuspensi dalam
100 μL bufer TE dan disimpan pada suhu -20 °C.
Amplifikasi dilakukan menggunakanprimer spesifik CaInt2 (5’-GGGG
AAGCCTCTCGCGG-3’) dan ITS4 (5’-TCCTCCGCTTATTGATATGC-3’) dengan
ukuran target ±490 pb. Reaksi amplifikasi DNA dilakukan dengan
volume total 25 μL terdiri atas 2 μL DNA, 2.5 μL bufer 10x dan
Mg2+, 0.5 μL dNTP 10 mM, 1 μL masing-masing primer, 0.2 μL Taq DNA
(5 unit μL-1), dan 17.8 μL H2O. Amplifikasi didahului dengan
denaturasi awal pada 94 °Cselama 5 menit, diikuti 30 siklus dengan
tahapan denaturasi pada 94 °C selama 1 menit, penempelan primer 45
°C selama 1 menit, sintesis DNA 72 °C selama 2 menit.
Hasil amplifikasi dianalisis dengan elektroforesis pada gel
agarosa 1%. Gel di rendam dalam larutan etidium bromida selama
15 menit, dilanjutkan dengan pembilasan di dalam air selama 10
menit. Hasil elektroforesis divisualisasikan dengan UV
transiluminator dan didokumentasikan.
Perunutan nukleotida dilakukan dengan mengirim produk
amplifikasi ke PT Genetika Science Indonesia. Hasil perunutan
nukleotida dibandingkan dengan data pada GenBank. Data yang berasal
dari GenBank kemudian digunakan untuk analisis kesamaan menggunakan
perangkat lunak BioEdit v.7.1.3. Hubungan kekerabatan antarisolat
dikonstruksi menggunakan program MEGA v.6.06 berdasarkan algoritma
Neighbor Joining dengan bootstrap 1000 kali.
Uji Patogenisitas C. acutatumUji patogenisitas menggunakan buah
cabai
C. annuum varietas Anies dan C. frutescens varietas Bonita yang
sudah siap panen. Buah cabai disterilkan permukaannya dengan
alkohol 70% selama 1 menit, kloroks 1% selama 1 menit, dan dibilas
dengan akuades steril sebanyak 3 kali. Inokulasi cendawan pada
permukaan buah dilakukan dengan me-neteskan 5 μL suspensi konidium
C. acutatum dengan kerapatan 105 konidium mL-1 pada luka tusukan
dengan menggunakan jarum steril. Perlakuan menggunakan 6 buah
cabai.
Buah cabai yang telah diberi perlakuan kemudian diinkubasi dalam
wadah tertutup pada kondisi lembap dan suhu 25 °C. Peubah yang
diamati ialah rata-rata ukuran lesio dan virulensi yang diukur pada
10 HSI. Skor patogenesitas dari 0–3 seperti pada Tabel 1.
HASIL
Isolat C. acutatum dari Buah CabaiSebanyak 42 isolat cendawan
berhasil
diperoleh dari buah cabai yang bergejala
Skor Ukuran lesio Tingkat virulensi0 Tidak ada Tidak virulen 1
< 3 mm Rendah 2 3–5 mm Sedang3 > 5 mm Tinggi
Tabel 1 Skor dan kriteria patogenisitas isolat C. acutatum pada
buah cabai.
https://id.wikipedia.org/wiki/Capsicum_frutescens
-
J Fitopatol Indones Ibrahim et al
12
antraknosa. Isolat tersebut dan 7 isolat C. acutatum koleksi
Klinik Tanaman diidentifikasi secara molekuler dengan metode
PCR.
Penggunaan primer spesifik C. acutatum CaInt2/ITS4 pada isolat
yang diuji me-nunjukkan adanya amplifikasi DNA pada 40 isolat
dengan ukuran pita ± 490 pb, sedangkan pada 9 isolat lainnya tidak
teramplifikasi (Gambar 1). Isolat koleksi Klinik Tanaman yang
digunakan sebagai bahan pembanding menghasilkan pita DNA yang sama
dengan ukuran pita ± 490 pb.
Identifikasi morfologi dilakukan terhadap40 isolat C. acutatum
yang telah diidentifikasi secara molekuler sebelumnya menunjukkan
variasi warna yang cukup beragam. Tampak atas koloni berwarna putih
dan abu-abu sedangkan tampak bawah berwarna krem, putih, peach,
olive (Gambar 2). Sebanyak
52.5% koloni yang tumbuh berwarna putih/krem untuk tampak
atas/bawah (Gambar 3).
Analisis tabulasi silang menunjukkan diameter koloni berkaitan
nyata dengan warna koloni C. acutatum (Tabel 2). Koloni yang
berwarna putih/krem memiliki pertumbuhan lebih cepat dibandingkan
dengan koloni lainnya. Konidium dari 40 isolat pada umumnya
berbentuk fusiform dengan ukuran rata-rata 6.11–9.73 µm × 2.24–2.73
µm.
Filogenetikaa C. acutatumSebanyak 8 isolat, yaitu AGM 1535,
BGR
1602, BRB 07, KMP 1531, MN 1582, SMG 136, TGM 1101, BL 1603
dipilih untuk analisis filogenetika berdasarkan pada asal isolat
(provinsi), warna dan diameter koloni. Isolat dari berbagai daerah
di Jawa dan Sumatera membentuk satu kelompok (Gambar 4).
Gambar 1 Visualisasi pita DNA isolat-isolat Colletotrichum
acutatum asal cabai hasil amplifikasi menggunakan pasangan primer
CaInt2/ITS4. M, penanda DNA 1 kb ladder; K-, kontrol negatif; 1,
AGM 1533; 2, BDG 1524; 3, BDG 1525; 4, HGP CA; 5, KMP 1531; 6, SMG
136; 7, SMG 137; 8, TD 1532; 9, TD 1534 dan; 10, TGM 1101.
490 pb
Gambar 2 Variasi warna koloni Colletotrichum acutatum penyebab
antraknosa cabai tampak atas/bawah. A, putih/krem; B, putih/putih;
C, putih/peach; D, putih/olive; E, abu-abu/peach; dan F,
abu-abu/olive.
A B C D E F
-
J Fitopatol Indones Ibrahim et al
13
Patogenisitas C. acutatumIsolat dari Kabupaten Kampar, Riau
(KMP 1531), Kabupaten Tanggamus, Lampung (TGM 1101), dan
Kabupaten Brebes, Jawa Tengah (BRB 07) dipilih untuk
uji patogenisitas. Pemilihan 3 isolat tersebut berdasarkan pada
tempat asal isolat yang berbeda ketinggiannya. Inokulasi 3 isolat
C. acutatum pada 2 spesies cabai menghasilkan ukuran lesio berkisar
antara 3.66 mm dan
Gambar 3 Frekuensi jumlah koloni Colletotrichum acutatum
berdasarkan ukuran diameter dan warna koloni. A, putih/ krem; B,
putih/putih; C, putih/peach; D, putih/olive; E, abu-abu/peach; dan
F, abu-abu/olive. < 49 mm; , 49–59 mm; , > 59 mm.
1614121086420
Dia
met
er k
olon
i
A B C D E FWarna koloni
Gambar 4 Pohon filogenetika Colletotrichum acutatum dari
berbagai daerah di Jawa dan Sumatera, yaitu BRB 07, KMP 1531, AGM
1535, MN 1582, SMG 136, BGR 1602, BL 1603, TGM 1101, dan beberapa
negara di Asia (Thailand, Korea , India, China, dan Jepang). C.
capsici (Cc_CHN_EF683602) digunakan sebagai pembanding di luar
grup.
Diameter koloni (mm) Warna koloni (atas/bawah)a X2 PbA B C D E
F59 15 4 3 1 0 0
Tabel 2 Analisis tabulasi silang antara diameter koloni dan
warna koloni Colletotrichum acutatum
a A, putih/krem; B, putih/putih; C, putih/peach; D, putih/olive;
E, abu-abu/peach; F, abu-abu/olive.b Nilai P< 0.05 menunjukkan
ada hubungan antara diameter koloni dan warna koloni.
-
J Fitopatol Indones Ibrahim et al
14
19.08 mm dengan tingkat virulensi sedang dan tinggi (Tabel 3).
Isolat asal Kabupaten Brebes (BRB 07) menghasilkan ukuran lesio
terbesar pada kedua spesies cabai, diikuti oleh isolat asal
Kabupaten Tanggamus (TGM 1101) dan isolat asal Kabupaten Kampar
(KMP 1531).
PEMBAHASAN
Penyakit antraknosa pada cabai menjadi masalah utama sehingga
menyebabkan rendahnya produksi cabai di Indonesia. Ke-ragaman
morfologi telah banyak dilaporkan di antaranya cendawan C. acutatum
memiliki warna koloni putih, merah muda, oranye muda sampai abu-abu
(Peres et al. 2005). Than et al. (2008) membandingkan tingkat
pertumbuhan 3 spesies Colletotrichum yang menginfeksi cabai,
pertumbuhan C. gloesporioides ialah 11.2 mm per hari, C. capsici
7.1 mm per hari, dan C. acutatum 5.8 mm per hari. Analisis
keragaman genetika cendawan penyebab penyakit antraknosa tidak
cukup hanya didasarkan pada karakter morfologi. Karakter molekuler
seperti sikuen DNA, merupakan indikator yang akurat. Penggunaan
primer spesifik C. acutatum telah banyak digunakan untuk mengetahui
keragaman secara genetika. Primer spesifik C. acutatum menggunakan
forward primer CaInt2, CgInt dan reverse primer ITS4 dapat
membedakan spesies C. acutatum dan C. gloeosporioides yang sukar
dibedakan secara morfologi (Grahovac et al. 2012). Sepasang primer
spesifik juga digunakan untuk mengamplifikasi DNA C. acutatum di
Inggris dengan produk sebesar 490 pb (Sreenivasaprasad 1996).
Pertumbuhan koloni C. acutatum tergolong lambat, dengan
pertambahan diameter koloni berkisar 3.3–7.0 mm per hari. Martin
dan Garcia-Figueres (1999) menyatakan bahwa tingkat pertumbuhan C.
acutatum relatif lebih lambat (6.3 mm per hari) dibandingkan dengan
C. gloesporioides (13.7 mm per hari). Konidium C. acutatum
berbentuk elips dan meruncing pada salah satu ujungnya (Peres et
al. 2005) dan berukuran 8.5–16.5 μm × 2.5–4 μm (Sutton 1992).
Analisis filogenetika C. acutatum asal Indonesia memiliki
kedekatan dengan isolat asal Thailand. Diduga cendawan ini tersebar
ke Indonesia melalui aktivitas impor benih. Thailand merupakan
negara eksportir cabai dan paprika terbesar di Asia Tenggara dengan
kontribusi sebesar 56.94% pada tahun 2008–2012 (Pusdatin 2015).
Asal isolat sangat memengaruhi ke-mampuan dari setiap isolat
untuk menginfeksi buah cabai. Liao et al. (2012) menyatakan bahwa 3
isolat C. acutatum menghasilkan ukuran lesio yang berbeda-beda pada
3 spesies cabai (C. annuum, C. baccatum, dan C. chinense). Menurut
Oh et al. (1999) perbedaan timbulnya gejala dipengaruhi oleh
kondisi lingkungan, isolat patogen, genetika tanaman, cara
inokulasi, dan karakteristik atau fisiologi tanaman.
Pengetahuan terkait keragaman genetika C. acutatum merupakan
laporan pertama di Indonesia. Laporan ini sekaligus menambah
informasi mengenai karakter morfologi, molekuler, dan patogenesitas
C. acutatum. Pengetahuan mengenai keragaman spesies cendawan dan
respons varietas serta virulensi
Tabel 3 Ukuran lesio (mm) dan patogenisitas isolat
Colletotrichum acutatum pada 2 spesies cabai
Isolat Ukuran lesio Tingkat virulensiCapsicum annuum
KMP 1531 4.91 SedangTGM 1101 3.66 SedangBRB 07 17.00 Tinggi
Capsicum frutescensKMP 1531 7.33 TinggiTGM 1101 11.91 TinggiBRB
07 19.08 Tinggi
-
J Fitopatol Indones Ibrahim et al
15
suatu patogen juga merupakan faktor yang penting dalam pemuliaan
tanaman karena akan menentukan perkembangan penyakit.
DAFTAR PUSTAKA
[AVRDC] Asian Vegetable Research and Development Center. 2009.
Development of Locally Adapted, Multiple Disease Resistant and High
Yielding Chilli (Capsicum annuum) Cultivars for China, India,
Indonesia, and Thailand Phase II. Taiwan (TW): AVRDC
Publication.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2015. Produksi cabai besar, cabai
rawit, dan bawang merah tahun
2014.http://www.bps.go.id/brs/view/id/1168 [diakses 11 Okt
2016].
[Balitbangtan] Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
2016. Pengendalian antraknosa pada tanaman cabai.
http://www.litbang.pertanian.go.id/berita/one/2630/[diakses 11 Okt
2016].
Choi YW, Hyde KD, Ho WH. 1999. Single spore isolation of fungi.
Fungal Divers. 3:29–38.
Grahovac M, Indic D, Vukovic S, Hrustc J, Gvozdenac S,
Mihajlovic M, Tanovic B. 2012. Morphological and ecological
features as differentiation criteria for Colletotrichum species.
Zemdirbyste Agriculture. 99(21):89–196.
Johnston PR, Jones D. 1997. Relationships among Colletotrichum
isolates from fruit-rots assessed using rDNA sequences. Mycologia.
89(3):420–430. DOI: https://doi.org/10.2307/3761036.
Kim KD, Oh BJ, Yang J. 1999. Differential interaction of a
Colletotrichum gloeosporioides isolate with green and red pepper
fruits. Pytoparasitica. 27(2):97 –106. DOI:
https://doi.org/10.1007/BF03015074.
Kim SH, Yoon JB, Do JW, Park HG. 2007. Resistance to anthracnose
caused by Colletotrichum acutatum in chilli pepper (Capsicum annuum
L.). J Crop Sci Biotech. 10(4):277–280.
Liao CY, Chen MY, Chen YK, Wang TC, Sheu ZM, Kuo KC, Chang PFL,
Chung KR, Lee MH. 2012. Characterization
of three Colletotrichum acutatum isolates from Capsicum spp. Eur
J Plant Pathol.133(3):599–608. DOI:
https://doi.org/10.1007/s10658-011-9935-7.
Martin M, Garcia-Figueres F. 1999. Colletotrichum acutatum and
Colletotrichum gloeosporioides cause anthracnose on olives. Eur J
Plant Pathol. 105(8):733–741. DOI:
https://doi.org/10.1023/A:1008785703330.
Oh BJ, Kim KD, Kim YS. 1999. Effect of cuticular wax layers of
green and red pepper fruits on infection by Colletotrichum
gloeosporioides. J Phytopathol. 147(9):547–552. DOI:
https://doi.org/10.1046/j.1439-0434.1999.00407.x.
Park H, Kim B, Lee W. 1990. Inheritance of resistance to
anthracnose (Colletotrichum spp.) in pepper (Capsicum annuum L.).
II. Genetic analysis of resistance to Colletotrichum dematium
[abstrak]. J Kor Soc Hort Sci. 31(3):207–212.
Peres NA, Timmer LW, Adaskaveg JE, Correll JC. 2005. Lifestyles
of Colletotrichum acutatum. J Plant Dis. 89(8):784–796. DOI:
https://doi.org/10.1094/pd-89-0784.
[Pusdatin] Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. 2015.
Outlook komoditas pertanian subsektor hortikultura cabai.
http://epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/outlook/2015/Hortikultura/Outlook%20Cabai%202015/files/assets/c
o m m o n / d o w n l o a d s / O u t l o o k % 2
0Cabai%202015.pdf[diakses 09 Sep 2016].
Ratanacherdchai K, Wang HK, Lin FC, Soytong K. 2007. RAPD
analysis of Colletotrichum species causing chilli anthracnose
disease in Thailand. J Agric Technol. 3:211–219.
Sambrook J, Fritsch EF, Maniatis T. 1989. Molecular Cloning: a
Laboratory Manual.Ed ke-3. New York (US): Cold Spring.
Sharma P, Kaur M, Sharma O, Sharma P, Pathania A. 2005.
Morphological, pathological and molecular variability in
Colletotrichum capsici, the cause of fruit rot of chillies in the
subtropical region of North-Western India. J
Phytopathol.153(4):232–237.
DOI:https://doi.org/10.1111/j.1439-0434.2005.00959.x.
http://epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/outlook/2015/Hortikultura/Outlook
Cabai 2015/files/assets/common/downloads/Outlook Cabai
2015.pdfhttp://epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/outlook/2015/Hortikultura/Outlook
Cabai 2015/files/assets/common/downloads/Outlook Cabai
2015.pdfhttp://epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/outlook/2015/Hortikultura/Outlook
Cabai 2015/files/assets/common/downloads/Outlook Cabai
2015.pdfhttp://epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/outlook/2015/Hortikultura/Outlook
Cabai 2015/files/assets/common/downloads/Outlook Cabai
2015.pdfhttp://epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/outlook/2015/Hortikultura/Outlook
Cabai 2015/files/assets/common/downloads/Outlook Cabai 2015.pdf
-
J Fitopatol Indones Ibrahim et al
16
Smith BJ, Black LL. 1990. Morphological, cultural and pathogenic
variation among Colletotrichum species isolated from strawberry.
Plant Dis. 74(1):69–76. DOI:https://doi.org/10.1094/PD-74-0069.
Sreenivasaprasad S, Sharada K, Brown A, Mills P. 1996. PCR based
detection of Colletotrichum acutatum on strawberry.Plant Pathol.
45(4):650–655. DOI:
https://doi.org/10.1046/j.1365-3059.1996.d01-3.x.
Sutton BC. 1992. The genus Glomerella and it’s anamorph
Colletotrichum. Di dalam: Bailey JA, Jeger MJ, editor.
Colletotrichum. Biology, Pathology and
Control. London (UK):CAB International. Hlm 1–24.
Syukur M, Sujiprihati S, Yunianti R, Kusumah DA. 2010. Evaluasi
daya hasil cabai hibrida dan daya adaptasinya di empat lokasi dalam
dua tahun. J Agr Indones. (38)1:43–51.
Than PP, Jeewon R, Hyde KD, Pongsupasamit S, Mongkolporn O,
Taylor PWJ. 2008. Characterization and pathogenicity of
Colletotrichum species associated with anthracnose on chilli
(Capsicum spp.) in Thailand. Plant Pathol. 57(3):562–572.
DOI:https://doi.org/10.1111/j.1365-3059.2007.01782.x.
-
ISSN: 0215-7950
17
Volume 13, Nomor 1, Januari 2017Halaman 17–25
DOI: 10.14692/jfi.13.1. 17–25
*Alamat penulis korespondensi: Departemen Proteksi Tanaman,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Jalan Kamper Kampus
IPB Darmaga Bogor 16680.Tel: 0251-8629364, Faks: 0251-8629362,
Surel: [email protected]
Mekanisme Pengendalian Penyakit Busuk Batang Jeruk oleh Khamir,
Kitosan, Cendawan Mikoriza Arbuskular,
dan Bakteri Simbiotiknya
Control Mechanism of Citrus Stem Rot Disease by Yeast, Chitosan,
Arbuscular Myrcorrhizal Fungi and Its Symbiotic Bacteria
Hagia Sophia Khairani, Meity Suradji Sinaga*, Kikin Hamzah
MutaqinInstitut Pertanian Bogor, Bogor 16680
ABSTRAK
Produktivitas tanaman jeruk seringkali dibatasi oleh penyakit
tanaman. Di Indonesia, penyakit busuk batang yang disebabkan oleh
Botryodiplodia theobromae menjadi penyakit penting yang menyebabkan
tanaman jeruk mati meranggas. Penelitian dilakukan untuk
mempelajari mekanisme pengendalian B. theobromae oleh khamir,
cendawan mikoriza arbuskular (CMA), bakteri simbiotik CMA dan
kitosan. Uji in vitro dilakukan untuk mengevaluasi mekanisme
antibiosis, hiperparasitisme, produksi senyawa volatil, dan
produksi enzim kitinase. Percobaan dilanjutkan dengan pengujian in
planta terhadap khamir, CMA, bakteri simbiotik CMA terpilih, dan
kitosan baik secara tunggal maupun kombinasi. Percobaan disusun
dalam rancangan acak lengkap dengan 3 ulangan. Peubah yang diamati
ialah periode laten, insidensi dan keparahan penyakit, laju
infeksi, area under disease progress curve (AUDPC), tingkat
asosiasi CMA, dan kandungan fenol total. Hasil uji in vitro
menunjukkan bahwa khamir mempunyai aktivitas hiperparasitisme pada
B. theobromae dengan afinitas 26 sel per hifa, memproduksi senyawa
volatil dengan tingkat hambatan relatif (THR) 29.1%, dan
memproduksi enzim kitinase. Isolat bakteri simbiotik CMA terbaik
menunjukkan mekanisme antibiosis dengan THR 42.9% dan memproduksi
senyawa volatil dengan THR 26.7%. Isolat ini memiliki homologi 98%
dengan Bacillus subtilis asal Vietnam. Perlakuan khamir + CMA +
kitosan memperlambat periode laten dan menekan insidensi penyakit.
Perlakuan tunggal CMA dan kombinasi khamir + CMA menekan keparahan
penyakit, laju infeksi, dan nilai AUDPC. Aplikasi khamir + CMA
menunjukkan tingkat asosiasi CMA dan peningkatan kandungan fenol
total paling tinggi. Berdasarkan hasil penelitian ini, perlakuan
tunggal CMA dan khamir + CMA direkomendasikan dalam pengendalian
penyakit busuk batang jeruk.
Kata kunci: antibiosis, Botryodiplodia theobromae,
hiperparasitisme, kitinase
ABSTRACT
Plant diseases become an important constraint on citrus
production. Stem rot disease caused by Botryodiplodia theobromae is
a major disease on citrus in Indonesia. This study was aimed to
evaluate the mechanism of yeast, arbuscular mychorrhiza fungi
(AMF), symbiotic bacteria of AMF and chitosan in controlling stem
rot disease. In vitro study was performed to evaluate the mechanism
of antibiosis, hyperparasitism, production of volatile compounds,
and production of chitinase enzyme. The experiment was continued by
in planta assays using yeast, AMF, symbiotic bacteria of AMF, and
chitosan either singly or in combination. The experiments were
performed using completely randomized
-
J Fitopatol Indones Khairani et al
18
design with 3 replications. Disease progress were observed based
on its latent period, AUDPC, infection rate, AMF association rate,
and total phenol content. In vitro studies indicated that the
yeasts showed hyperparasitism to B. theobromae with affinity of 26
cells per hyphae, produced volatile compounds with relative
resistance level (RRL) 29.1%, and produced chitinase. Selected
symbiotic bacteria from AMF showed antibiosis with RRL 42.9%,
production of volatile compounds with RRL 26.7%, and has 98%
homology with Bacillus subtilis from Vietnam. Application of yeast
+ AMF + chitosan delayed disease latent period and suppressed
disease incidence. Single AMF and combination of yeast + AMF
suppressed disease severity, infection rate, and AUDPC. Application
of yeast + AMF showed highest association level of AMF and total
phenol content. Therefore, the application of AMF and yeast + AMF
is recommended in controlling citrus stem rot disease.
Key words: antibiosis, Botryodiplodia theobromae, chitinase,
hyperparasitism
PENDAHULUAN
Jeruk merupakan buah unggulan di Indonesia yang produktivitasnya
seringkali dibatasi oleh penyakit tanaman. Salamiah et al. (2008)
dan Sinaga et al. (2009) melaporkan bahwa beberapa kebun di sentra
produksi jeruk di Indonesia mengalami busuk batang gumosis dan mati
meranggas yang disebabkan oleh Botryodiplodia theobromae sehingga
menyebabkan penurunan produktivitas jeruk hingga 53.9%. Patogen ini
memiliki kisaran inang lebih dari 280 spesies tanaman dan
menyebabkan gejala nekrosis batang, diikuti dengan gumosis, busuk
batang, mati pucuk, dan mati meranggas (Adeniyi et al. 2016).
Jeruk umumnya dibudidayakan melalui perbanyakan secara okulasi.
Selama ini, kultivar jeruk yang digunakan untuk batang bawah
ialahJavansche citroen (JC) yang dilaporkan mulai tidak resisten
terhadap penyebab penyakit busuk batang (Muhammad et al. 2003).
Selain Trichoderma spp. dan Gliocladium spp., agens hayati khamir
dan cendawan mikoriza arbuskular (CMA) dapat dijadikan komponen
pengendalian penyakit tanaman. Kitosan yang merupakan suatu
biopolimer juga dilaporkan mampu mengendalikan patogen penyakit
seperti cendawan, bakteri, dan virus (Hadrami et al. 2010).
Pengendalian penyakit tanaman oleh agens hayati dan kitosan
dapat terjadi melalui mekanisme: kompetisi, hiperparasitisme, dan
memicu tanaman untuk memproduksi enzim kitinase (Hartati et al.
2014). Bakhtiar (2013)
melaporkan bahwa CMA dapat meningkatkan kemampuan tanaman dalam
menyerap air dan hara, memicu produksi fitoaleksin dan berbagai
enzim pertahanan tanaman, dan berasosiasi dengan bakteri
nonpatogen. Algam et al. (2010) menyatakan bahwa selain dapat
menghambat pertumbuhan patogen, kitosan juga dapat meningkatkan
ketahanan tanaman.
Potensi khamir, CMA dan bakteri simbiotik CMA, serta kitosan
sudah banyak dievaluasi. Namun, informasi tentang mekanismenya
mengendalikan B. theobromae pada tanaman jeruk belum banyak
dilaporkan. Berkaitan dengan hal-hal tersebut, dilakukan studi yang
bertujuan untuk mengevaluasi mekanisme pengendalian penyakit busuk
batang jeruk oleh khamir, CMA, bakteri simbiotik CMA, dan
kitosan.
BAHAN DAN METODE
Penyiapan Isolat Patogen, Agens Hayati, dan Kitosan
Isolat uji B. theobromae asal Garut (BT Grt) merupakan koleksi
Laboratorium Mikologi Tumbuhan, Fakultas Pertanian, IPB. Isolat
diremajakan pada medium agar-agar dekstrosa kentang (ADK) dan
agar-agar air (AA). Morfologi B. theobromae diamati berdasarkan
pada perubahan warna koloni, karakter pertumbuhan, hifa, konidium,
dan piknidium menggunakan mikroskop majemuk. Gejala infeksi
penyakit busuk batang diamati pada tanaman yang diinokulasi B.
theobromae di dalam rumah kaca.
-
J Fitopatol Indones Khairani et al
19
Khamir dengan kode isolat YP diperoleh dari koleksi Klinik
Tanaman, Fakultas Pertanian, IPB. Isolat diremajakan pada medium
ADK dan diinkubasi selama 48 jam. Isolat CMA diperoleh dalam bentuk
produk komersial butiran siap pakai. Bakteri simbiotik CMA
diperoleh dari inkubasi 0.5 g CMA pada medium trypticase soya agar
(TSA) selama 24 jam. Isolat bakteri yang diperoleh diseleksi
kemampuan antagonismenya secara in vitro untuk menentukan isolat
yang digunakan pada pengujian in planta.
Bakteri simbiotik CMA diidentifikasi secara molekuler melalui
teknik polymerase chain reaction (PCR) untuk target 16s rRNA dan
dilanjutkan dengan perunutan DNA (dilakukan di First Base,
Malaysia). Primer yang digunakan ialah primer universal bakteri
dengan primer forward 27 F (5’-TACGGYTACCTTGTTACGACTT-3’) dan
primer reverse 1492 R (5’-AGAGTTTGATCCTGGCTCAG-3’).
Kitosan diperoleh dari Departemen Teknologi Hasil Perairan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB dalam bentuk serbuk.
Sebanyak 0.7 g kitosan dicampurkan dengan 10 mL asam asetat 1% dan
ditambahkan akuades sampai 1 L untuk menghasilkan larutan kitosan
dengan konsentrasi 0.7%.
Evaluasi Mekanisme Antagonisme in Vitro Agens Hayati terhadap B.
theobromae
Evaluasi hiperparasitisme, antibiosis, produksi senyawa volatil
dan enzim kitinase disusun dalam rancangan acak lengkap dengan 3
ulangan.
Hiperparasitisme. Khamir berumur 48 jam diinokulasikan di
sekeliling medium AA blok berjarak 0.5 cm dari koloni B.
theobromae. Inkubasi dilakukan selama 5 hari kemudian afinitas
khamir diamati dengan menghitung jumlah sel khamir yang menempel
pada hifa B. theobromae (Chan dan Tian 2005).
Antibiosis. Bakteri diinokulasikan pada bagian tengah medium TSA
dan B. theobromae diinokulasi pada 2.5 cm sisi kanan dan kiri
bakteri. Inkubasi dilakukan selama 2 hari. Tingkat hambatan relatif
(THR) diukur menggunakan rumus sebagai berikut:
R2–R1R1THR = × 100%, dengan
R2, jari-jari koloni B. theobromae yang menjauhi bakteri; R1,
jari-jari koloni B. theobromae yang mendekati bakteri.
Produksi senyawa volatil. Isolat agens hayati diinokulasikan
pada medium TSA pada dasar dan isolat B. theobromae diinokulasikan
pada medium ADK bagian atas cawan. Inkubasi dilakukan pada suhu
ruang selama 2 hari. Pengamatan dilakukan dengan membandingkan
pertumbuhan antara B. theobromae pada perlakuan dan kontrol.
Produksi enzim kitinase. Koloni agens hayati diinokulasikan
sebanyak 0.1 mL di atas kertas saring pada medium agar-agar
koloidal kitin konsentrasi 0.4%. Produksi enzim kitinase ditandai
dengan pembentukan zona bening di sekitar koloni.
Evaluasi Keefektifan Pengendalian in Planta
Bibit jeruk kultivar Siam Pontianak berumur 3 bulan, hasil
okulasi dari Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropik,
Malang, ditanam pada pot berisi tanah steril dan pupuk kandang
(1:1) sebanyak 5 kg. Jeruk diberi perlakuan: (1) khamir 3.2 × 107
cfu mL-1 1 minggu sebelum inokulasi patogen (MSbI), (2) CMA 4 MSbI,
(3) bakteri simbiotik CMA 6.0 × 106 cfu mL-1 1 MSbI, (4) kitosan
0.7% 2 MSbI, 2 dan 4 minggu setelah inokulasi (MSI), (5) khamir +
CMA (6) CMA + kitosan, (7) khamir + kitosan, (8) khamir + CMA +
kitosan, dan (9) kontrol. Setiap perlakuan diulang 3 kali dan
masing-masing ulangan terdiri atas 3 unit tanaman.
Inokulasi buatan patogen dilakukan pada batang bawah jeruk,
kulit batang jeruk dibilas dengan kloroks 0.5% kemudian dibilas
dengan air steril. Biakan B. theobromae berumur 5
haridiinokulasikan pada 15 cm dari pangkal batang yang telah
dilukai menggunakan jarum steril di 3 titik, lalu dibalut kapas
steril basah.
Peubah pengamatan perkembangan penyakit meliputi: periode laten
(PL), insidensi penyakit (IP), keparahan penyakit (KP), laju
infeksi (r), area under disease progress curve(AUDPC), tingkat
asosiasi
-
J Fitopatol Indones Khairani et al
20
CMA, dan kandungan fenol total. Periode laten dihitung sejak
inokulasi patogen sampai munculnya gejala. Insidensi penyakit
dihitung menggunakan rumus:
IP = nN × 100%, dengan
n, jumlah tanaman yang terinfeksi; dan N, jumlah tanaman yang
diamati. Pengukuran keparahan penyakit menggunakan rumus:
Z × NKP = × 100, dengan(ni × vi)∑
k
i=1
ni, jumlah tanaman terinfeksi pada skor ke-i; vi, nilai skor
ke-i; N, jumlah tanaman yang diamati; dan V, skor tertinggi yang
terdapat pada acuan skoring (Tabel 1). Laju infeksi (r) dan AUDPC
dihitung dengan persamaan:
r = (log – log ) 1–Xt1 1–Xo1et(Xt–Xo) .(t), dengan
2AUDPC =
r, laju infeksi; e, nilai konstanta 2.3; t, selang waktu
pengamatan; Xt, keparahan penyakit penyakit pada waktu-t; dan Xo,
keparahan penyakit pada pengamatan sebelumnya. Pengamatan dilakukan
pada 6–15 minggu setelah inokulasi (MSI).
Pengukuran tingkat asosiasi CMA dilakukan berdasarkan metode
Brundrett
(1991) dengan teknik pewarnaan akar menggunakan zat biru tripan.
Analisis kuantitatif total fenol dilakukan mengikuti metode
Slinkard dan Singleton (1977) menggunakan pereaksi Folin-Ciocalteau
yang diawali dengan ekstraksi etanol dari tanaman.
Analisis DataPengaruh perlakuan uji in vitro,
perkembangan penyakit in planta, dan tingkat asosiasi CMA
dianalisis ragam dan perlakuan yang berpengaruh nyata diuji lanjut
dengan DMRT pada α 0.05 menggunakan SAS 9.1.
HASIL
Identifikasi Penyakit Busuk Batang pada Jeruk dan Bakteri
Simbiotik CMA
Hasil diagnosis penyakit busuk batang jeruk menunjukkan bahwa B.
theobromae (BT Grt) memiliki karakter koloni aerial, hifa bersepta,
berwarna putih sampai pada hari ketiga kemudian menjadi warna
abu-abu kehitaman mulai hari keempat. Piknidium ditemukan pada
medium AA setelah hari ke-24.Konidium B. theobromae memiliki satu
sekat dengan dinding agak bergerigi. Konidium dapat diamati setelah
hari ke-30 (Gambar 1).
Skor Luas gejala (cm2)
Keterangan
0 0 Tidak terdapat gejala1 0
-
J Fitopatol Indones Khairani et al
21
Tanaman jeruk yang diinokulasi buatan dengan B. theobromae
menunjukkan gejala nekrosis, kulit batang terkelupas, muncul gum
pada batang. Infeksi lanjut dari B. theobromae menunjukkan
terhambatnya pembentukan daun baru, diikuti oleh penguningan
daun-daun tua, layu, dan tanaman mati meranggas secara keseluruhan
(Gambar 2).
Berdasarkan karakter fisiologi dan hasil identifikasi secara
molekuler, isolat bakteri simbiotik CMA (B2) terseleksi merupakan
bakteri Gram positif, nonpatogen, dan
memiliki homologi 98% dengan Bacillus subtilis asal Vietnam
(Gambar 3).
Mekanisme Antagonisme in Vitro Agens Hayati terhadap B.
theobromae
Berdasarkan pengujian, khamir dan bakteri simbiotik CMA
menunjukkan berbagai mekanisme dalam menghambat pertumbuhan dan
perkembangan B. theobromae. Uji hiperparasitisme menunjukkan bahwa
khamir memiliki afinitas 26 sel dan menyebabkan abnormalitas pada
hifa B. theobromae
Gambar 2 Gejala infeksi Botryodiplodia theobromae pada batang
tanaman jeruk. a, Nekrosis; b, Gumosis; c, Terkelupasnya kulit
batang; d, Tanaman merangas.
a b c d
Gambar 3 Pohon filogenetika untuk isolat bakteri B2 dengan
Bacillus subtilis asal Vietnam, Cina, dan India.
0.002
BS_INDIA_JX981919BS_CHINA_KR780366
BS_VIETNAM_KP735610B2_INDONESIA
a b cGambar 4 Interaksi antara khamir (YP) dan Botryodiplodia
theobromae (BT Grt) (perbesaran 400x). a, Hifa B. theobromae yang
tidak terparasit; b, Sel-sel khamir mulai menempel pada hifa B.
theobromae; c, Hifa B. theobromae abnormal setelah diparasiti oleh
khamir.
-
J Fitopatol Indones Khairani et al
22
(Gambar 4). Uji antibiosis menunjukkan bahwa B. subtilis
memiliki THR sebesar 42.9%. Produksi senyawa volatil ditunjukkan
dari THR 29.1% (khamir) dan 26.7% (B. subtilis). Khamir (YP) dan B.
subtilis (B2) memproduksi enzim kitinase.
Evaluasi Keefektifan Pengendalian in PlantaAplikasi agens hayati
dan kitosan
menunjukkan penekanan terhadap periode laten, insidensi,
keparahan, laju infeksi, dan nilai AUDPC dari penyakit busuk
batang. Rata-rata periode laten B. theobromae pada kontrol ialah
44.5 hari, sedangkan yang diberi perlakuan agens hayati dan
kitosan
berkisar 47.8–60.5 hari. Hal ini menunjukkan bahwa aplikasi
agens hayati dan kitosan memperlambat periode laten. Perlakuan
kombinasi khamir + CMA + kitosan secara nyata menurunkan insidensi
penyakit, mem-perlambat laju infeksi dan nilai AUDPC (Tabel 2).
Perkembangan penyakit seluruh perlakuan tunggal dan kombinasi
selalu di bawah perkembangan penyakit pada kontrol. Perlakuan CMA
tunggal dan khamir + CMA berhasil menekan keparahan penyakit pada
akhir masa pengamatan (15 MSI) (Gambar 5). Perlakuan khamir + CMA
menunjukkan tingkat asosiasi CMA (39.1%) dan kandungan fenol total
tertinggi (300 mg g-1). Perlakuan Khamir
Perlakuan PL (hari)
IP (%)
KP (%)
r (%)
AUDPC
Kontrol 44.5 a 100.0 a 43.3 a 0.9a 2210.8 aKhamir 55.2 bc 80.0
ab 25.0 cd 0.4 b 1260.0 bcCMA 53.4 bc 80.0 ab 18.3 d 0.3 b 898.3
cKitosan 55.6 bc 100.0 a 31.7 bc 0.5 b 1575.0 bBacillus subtilis
(B2) 56.7 bc 73.3 ab 33.3 bc 0.6 b 1662.5 abKhamir + CMA 47.8 ab
86.7 ab 23.3 d 0.3 b 1213.3 bcKitosan + CMA 48.2 ab 80.0 ab 26.7 cd
0.5 b 1370.8 bcKhamir + Kitosan 55.2 bc 100.0 a 36.7 ab 0.8 ab
1639.2 bKhamir + Kitosan + CMA 60.5 c 66.7 b 26.7 cd 0.5 b 1201.7
bc
Tabel 2 Periode laten, insidensi penyakit, keparahan penyakit,
laju infeksi, dan nilai AUDPC busuk batang pada 15 minggu setelah
inokulasi
Angka dalam satu kolom yang diikuti huruf yang berbeda
menunjukkan perbedaan nyata pada uji jarak berganda Duncan pada α
0.05PL: periode laten, IP: insidensi penyakit, KP: keparahan
penyakit, r: laju infeksi, AUDPC: area under disease progress
curve
Gambar 5 Perkembangan keparahan penyakit busuk batang jeruk pada
6 sampai 15 MSI., Kontrol; , Khamir; , CMA; , Kitosan; , Bacillus
subtilis; , Khamir +
CMA; , Kitosan + CMA; , Khamir + Kitosan; , Khamir + CMA +
Kitosan.
Kep
arah
an p
enya
kit
(%)
50
45
40
35
30
25
20
15
10
5
05 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Minggu setelah inokulasi (MSI)
-
J Fitopatol Indones Khairani et al
23
dan B. subtilis menunjukkan kandungan fenol yang lebih rendah
dari kontrol. Perlakuan kitosan + CMA menunjukkan tingkat asosiasi
CMA yang rendah dan kandungan fenol pada perlakuan ini tidak
terdeteksi (Tabel 3).
PEMBAHASAN
Penelitian ini menunjukkan bahwa masing-masing agens hayati dan
kitosan memiliki mekanisme unggulan pada berbagai peubah
pengamatan. Potensi unggulan khamir dalam pengendalian penyakit
tanaman ialah produksi senyawa volatil dan enzim kitinase meskipun
keefektifannya sangat bergantung pada jenis patogen dan jenis
tanamannya. Sugipriatini (2009) melaporkan bahwa Cryptococcus
albidus var. aerius IPB 1 berhasil menghambat pertumbuhan koloni B.
theobromae pada mangga selama masa penyimpanan. Khamir Williopsis
mrakii menghambat pertumbuhan B. theobromae sampai 100% (Campos et
al. 2010) melalui produksi senyawa volatil.
Meskipun menunjukkan aktivitas hiper-parasitisme, produksi
senyawa volatil dan produksi enzim kitinase oleh khamir pada uji in
vitro tidak menekan perkembangan penyakit di lapangan jika
diaplikasikan secara tunggal. Namun, kombinasi khamir + CMA mampu
menekan perkembangan penyakit. Perlakuan khamir + CMA memiliki
tingkat asosiasi CMA dan kandungan fenol total yang paling tinggi.
Hal ini menunjukkan bahwa khamir memiliki
interaksi sinergisme dengan CMA, sesuai dengan laporan Sampedro
et al. (2004) yang menyatakan bahwa Rhodotorula mucilaginosa,
Cryptococcus laurentii, dan Saccharomyces kunashirensis memproduksi
eksudat yang dapat meningkatkan perkecambahan spora dan pertumbuhan
hifa Glomus mussae. Hal ini akan meningkatkan peran CMA dalam
melindungi tanaman dari cekaman biotik dan abiotik. Selain itu,
tingginya tingkat asosiasi CMA juga akan meningkatkan kandungan
fenol tanaman (Ozgonen et al. 2009).
Perlakuan tunggal CMA memiliki penekanan optimum terhadap
perkembangan penyakit terutama pada akhir masa pengamat-an. CMA
dilaporkan dapat meningkatkan kemampuan tanaman dalam menyerap
nutrisi, lignifikasi jaringan, dan produksi beberapa senyawa kimia
seperti fenol, enzim kitinase, dan enzim β-1,3 glukanase (Ozgonen
et al. 2009). Keberhasilan CMA dipengaruhi oleh populasi dan
aktivitas B. subtilis yang menunjukkan aktivitas antibiosis,
produksi senyawa volatil, dan produksi enzim kitinase in vitro
meskipun percobaan aplikasi B. subtilis secara tunggal tidak
menurunkan keparahan penyakit di lapangan. Bakteri simbiotik CMA
diketahui berperan penting dalam peningkatan pertumbuhan hifa CMA
dan kemampuan melarutkan fosfat.
Meskipun belum berhasil menekan perkembangan penyakit di
lapangan, perlakuan kitosan menunjukkan kandungan fenol total
PerlakuanTingkat asosiasi CMA
(%) Kandungan fenol total (mg g-1)Dengan patogen Tanpa
patogenKontrol 0.0 d 0.0 d 120Khamir 0.0 d 0.0 d 110CMA 34.1 a 20.9
b 120Kitosan 0.0 d 0.0 d 270B. subtilis (B2) 0.0 d 0.0 d 90Khamir +
CMA 39.1 a 31.4 a 300Kitosan + CMA 5.2 c 5.2 c 0Khamir + Kitosan
0.0 d 0.0 d 150Khamir + Kitosan + CMA 18.3 c 7.8 c 130
Tabel 3 Tingkat asosiasi CMA dan perubahan kandungan fenol pada
tanaman jeruk
Angka dalam satu kolom yang diikuti huruf yang berbeda
menunjukkan perbedaan nyata pada uji jarak berganda Duncan pada α
0.05
-
J Fitopatol Indones Khairani et al
24
yang tinggi. Menurut Hadrami et al. (2010), tingginya produksi
senyawa fenol pada tanaman dipicu oleh aplikasi kitosan yang
merupakan respons dari produksi enzim hidrolitik oleh cendawan
patogen. Bersamaan dengan produksi senyawa fenol, enzim β-1,3
glukanase juga diproduksi sebagai pertahanan mekanis terhadap
invasi miselium cendawan dan melindungi jaringan tanaman dari
senyawa yang bersifat fitotoksik yang dikeluarkan oleh cendawan
patogen.
Berdasarkan hasil penelitian ini, perlakuan tunggal CMA
menunjukkan penekanan yang optimum terhadap penyakit busuk batang.
Hal ini didukung oleh asosiasi CMA dengan B. subtilis yang memiliki
mekanisme antibiosis, produksi senyawa volatil, dan produksi enzim
kitinase. CMA juga bersifat sinergis dengan khamir yang memiliki
mekanisme hiperparasitisme, produksi senyawa volatil, dan produksi
enzim kitinase. Oleh karena itu, perlakuan tunggal CMA dan
kombinasi khamir + CMA direkomendasikan untuk pengendalian penyakit
busuk batang jeruk.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Lembaga Pengelola Dana
Pendidikan (LPDP), Kementerian Keuangan Republik Indonesia yang
mendanai penelitian ini melalui Beasiswa Tesis 2016.
DAFTAR PUSTAKA
Adeniyi DO, Olufolaji DB, Joseph A. 2016. Characteristic
variations in Lasiodiplodia theobromae; pathogen of inflorescens
dieback of cashew in growing ecologies in Nigeria. Ann Res Rev
Biol. 10(2):1–6.D O I : h t t p s : / / d o i . o r g / 1 0 . 9 7 3
4 /ARRB/2016/18047.
Algam SAE, Xie G, Li B, Yu S, Lasen J. 2010. Effects of
Paenibacillus strains and chitosan on plant growth promotion and
control of ralstonia wilt in tomato. J Plant Pathol.
92(3):593–600.
Bakhtiar Y. 2013. Peran cendawan mikoriza arbuskular dan bakteri
endosimbiotik
mikoriza dalam meningkatkan daya adaptasi bibit kelapa sawit
(Elais gunensis Jacq.) terhadap cekaman Ganoderma boninense Pat.
Microbiol Indones. 6(4):157–164. DOI:
https://doi.org/10.5454/mi.6.4.3.
Brundrett M. 1991. Mycorrhizas in natural ecosystems. Adv Ecol
Res. 21:171–313. DOI:
https://doi.org/10.1016/S0065-2504(08)60099-9.
Campos VP, de Pinho RSC, Freire ES. 2010. Volatiles produced by
interacting microorganisms potentially useful for the control of
plant pathogens. Ciência Agrotecnologia. 34(3):525–535. DOI: h t t
p s : / / d o i . o r g / 1 0 . 1 5 9 0 / S 1 4 1 3
-70542010000300001.
Chan Z, Tian S. 2005. Interaction of antagonistic yeasts againts
postharvest pathogens of apple fruit and possible mode of action.
Postharvest Biol Tech. 36(2005):215–223. DOI:
https://doi.org/10.1016/j.postharvbio.2005.01.001.
Hadrami AE, Adam LR, Hadrami IE, Daayf F. 2010. Chitosan in
plant protection. Marine Drugs. 2010(8):968–987. DOI:
https://doi.org/10.3390/md8040968.
Hartati S, Wiyono S, Hidayat SH, Sinaga MS. 2014.Seleksi khamir
epifit sebagai agens antagonis antraknosa pada cabai. J Hort
Indones. 24(3):258–265. DOI:
https://doi.org/10.21082/jhort.v24n3.2014.p258-265.
Muhammad H, Armiati, Dewayanti W. 2003. Jeruk keprok selayar dan
upaya pelestariannya. J Litbang Pertanian. 22(3):87–94.
Ozgonen H, Yardimci N, Kilic HC. 2009. Induction of phenolic
compund and pathogenesis-related protein by mychorrizal fungal
inoculation against Phytophthora capsici Leonian in pepper. Pak J
Biol Sci.12(17):1181–1187. DOI:
https://doi.org/10.3923/pjbs.2009.1181.1187.
Salamiah, Badruzsaufari, Arsyad M. 2008. Jenis tanaman inang dan
masa inkubasi patogen Botryodiplodia theobromae Pat.pada jeruk.
JHPT Tropika. 8(2):123–131.
Sampedro I, Aranda E, Scervino JM, Fracchia S, Garcia-Romera I,
Ocampo
-
J Fitopatol Indones Khairani et al
25
JA, Godeas A. 2004. Improvement by soil yeasts of arbuscular
mycorrhizal of soybean colonized by Glomus mussae. Mycorrhiza.
14(4):229–234. DOI: https://doi.org/10.1007/s00572-003-0285-y.
Sinaga MS, Wiyono S, Husni A, Kosmiatin M. 2009. Pemanfaatan
batang bawah jeruk mutan dan mikoriza arbuskular untuk
mengendalikan penyakit busuk pangkal batang pada tanaman jeruk. J
Litbang Pertanian. 29(4):45–47.
Slinkard K, Singleton VL. 1977. Total phenol analysis:
automation and comparison with manual methods. Am J Enololy
Victicul. 28:49–55.
Sugipriatini D. 2009. Potensi penggunaan khamir dan kitosan
untuk pengendalian busuk buah Lasiodiplodia theobromae (Pat.)
Griffon & Maubl. (syn. Botryodiplodia theobromae Pat.) pada
buah mangga selama penyimpanan [tesis]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
-
ISSN: 0215-7950
26
Volume 13, Nomor 1, Januari 2017Halaman 26–30
DOI: 10.14692/jfi.13.1.26–30
*Alamat penulis korespondensi: Departemen Proteksi Tanaman,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Jalan Kamper Kampus
IPB Dramaga, 16680Tel: 0251-8629364, Faks: 0251-8629362, Surel:
[email protected]
KOMUNIKASI SINGKAT
Spesies Meloidogyne Penyebab Puru Akar pada Seledri di Pacet,
Cianjur, Jawa Barat
Species of Meloidogyne as the Primary Cause of Root Knot on
Celery in Pacet, Cianjur,West Java
Fitrianingrum Kurniawati*, Supramana, Abdul Muin AdnanInstitut
Pertanian Bogor, Bogor 16680
ABSTRAK
Nematoda puru akar (NPA) Meloidogyne spp. merupakan parasit
utama tanaman seledri (Apium graveolens) yang menimbulkan kerugian.
Identifikasi spesies Meloidogyne pada seledri di Indonesia belum
pernah dilaporkan. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi
spesies Meloidogyne pada seledri secara morfologi. Contoh tanaman
seledri yang terinfeksi oleh Meloidogyne spp. diambil dengan metode
purposif di Desa Ciputri, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur,
Provinsi Jawa Barat. Nematoda di dalam jaringan akar dideteksi
dengan metode pewarnaan asam fuksin. Identifikasi spesies
Meloidogyne dilakukan dengan pengamatan morfologi pola perineal
betina. Gejala penyakit puru akar pada seledri ialah daun
menguning, kerdil, dan pertumbuhan tanaman di lahan tidak merata.
Gejala pada perakaran berupa puru akar berukuran kecil-kecil,
jumlahnya banyak dan membentuk untaian seperti rantai. Berbagai
stadium perkembangan nematoda, yaitu telur, juvenil, dan nematoda
betina berhasil dideteksi melalui pewarnaan pada jaringan akar.
Tiga spesies Meloidogyne diidentifikasi sebagai M. incognita, M.
arenaria, dan M. javanica.
Kata kunci: identifikasi morfologi, jaringan akar, pewarnaan
asam fuksin, pola perineal betina
ABSTRACT
Root knot nematodes (RKN) Meloidogyne spp. is the primary
parasite of celery and reported to cause losses up to 70%.
Identification of the Meloidogyne species on celery in Indonesia
has not been reported. This study was aimed to identify the species
of Meloidogyne on celery based on morphology characters. Samples of
Meloidogyne-infected celery plants were taken using purposive
sampling method from Ciputri Village, District of Pacet, Cianjur,
West Java Province. RKN inside root tissue was detected by acid
fuchsin staining method. Meloidogyne species identification was
done by morphological observation of female perineal pattern.
Disease symptoms found in the field include leaf yellowing,
stunted, and uneven growth of celery plants. Roots of infected
plants showed the formation of small size root knots, in large
numbers and forming strands like a chain. Staining NPA in root
tissue was successfully detected various stages of nematode
development, i.e. eggs, juveniles and female nematodes. Three
Meloidogyne species, namely M. incognita, M. arenaria and M.
javanica were identified.
Key words: acid fuchsin staining method, female perineal
pattern, morphological identification, root tissue
-
J Fitopatol Indones Kurniawati et al
27
Tanaman seledri (Apium graveolens) banyak dibudidayakan di
daerah dataran tinggi di Indonesia. Beberapa tahun terakhir ini
telah banyak ditemukan penyakit puru akar pada tanaman seledri di
beberapa daerah di Indonesia. Rosya dan Winarto (2013) melaporkan
nematoda parasit yang berasosiasi dengan tanaman seledri ialah
Helicotylenchus, Longidorus, Meloidogyne, Trichodorus, dan
Xiphinema.
Gejala penyakit yang banyak terdapat pada akar seledri ialah
puru akar yang jumlahnya banyak dan jika dibedah akan terlihat
nematoda Meloidogyne betina dengan jumlah banyak. Identifikasi
spesies Meloidogyne yang berasosiasi dengan tanaman seledri di
Indonesia belum dilaporkan. Penelitian ini bertujuan
mengidentifikasi spesies Meloidogyne secara morfologi melalui pola
perineal. Survei dilakukan secara acak di beberapa pertanaman
seledri di Pasir Sarongge, Desa Ciputri, Kecamatan Pacet, Kabupaten
Cianjur Jawa Barat. Lahan pengambilan sampel pada lokasi seluas
1000 m2 berada pada ketinggian 1100 mdpl.
Pengambilan sampel dilakukan secara purposif dengan memilih
sampel berdasarkan kriteria spesifik gejala penyakit tanaman.
Gejala tanaman seledri yang terinfeksi oleh Meloidogyne spp. ialah
daun di bagian permukaan atas tanah (tajuk) menguning, tanaman
kerdil, pertumbuhan terhambat dan tidak merata (Gambar 1). Pada
bagian perakaran tampak gejala puru akar dalam jumlah banyak dengan
ukuran kecil,dan membentuk seperti untaian, serta akar berambut
banyak (hairy root) (Gambar 2).
Pewarnaan jaringan akar berpuru (Zuckerman et al. 1985)
menunjukkan berbagai stadium hidup nematoda. Identifikasi morfologi
spesies Meloidogyne spp. berdasarkan pola perineal dilakukan dengan
metode Eisenback et al. (1981). Pola perineal nematoda puru akar
betina merupakan teknik identifikasi yang umum dilakukan. Beberapa
alasan yang mendasari pola perineal digunakan dalam identifikasi
morfologi nematoda puru akar, antara lain: pola perineal bersifat
stabil dan tidak berubah secara nyata
(Eisenback 1985), nematoda betina ukurannya relatif besar serta
mudah ditemukan dalam jaringan yang terinfeksi. Penggunaan
mikroskop cahaya dan mikroskop elektron memungkinkan pengamatan
terhadap ciri-ciri morfologi nematoda lebih akurat.
Telur Meloidogyne berbentuk oval memanjang (Gambar 3a), juvenil
2 di dalam jaringan tanaman berbentuk cacing (vermiform) (Gambar
3b). Juvenil 2 berkembang menjadi juvenil 3 dan ukuran tubuh mulai
membesar dan mulai terjadi perubahan bentuk nematoda (Gambar 3c).
Nematoda betina berbentuk seperti buah pir dengan leher pendek dan
bagian posterior membulat, serta menetap di dalam jaringan tanaman
(Gambar 3d). Meloidogyne merupakan nematoda endoparasit menetap
yang menyebabkan pembengkakan akar karena terjadinya pembesaran dan
pembelahan sel-sel korteks dan perisikel (Dropkin 1991).
Berdasarkan pengamatan pada ciri-ciri khusus dari pola perineal
nematoda betina, nematoda pada puru akar seledri merupakan M.
arenaria, M. incognita, dan M. javanica. M. javanica memiliki ciri
khusus dua garis lateral yang sangat jelas yang memisahkan striae
bagian dorsal dengan ventral (Gambar 4a). Pola perineal M.
incognita memiliki ciri khas berupa lengkungan dorsal yang tinggi
dan menyempit, sedangkan pada bagian luarnya sedikit melebar dan
agak mendatar, pola striae-nya terlihat kasar dan bergelombang,
serta tidak memiliki garis lateral (Gambar 4b).M. arenaria memiliki
lengkung dorsal rendah dan ramping di sekitar garis lateral, bagian
lengkung striae bercabang menggarpu di dekat garis lateral dengan
bagian striae atas lebih mendatar (Gambar 4c).
Jenis tanah di Desa Ciputri ialah andosol yang merupakan jenis
tanah dari hasil letusan gunung berapi. Jenis tanah ini memiliki
tekstur lempung berpasir yang dapat membantu pergerakan nematoda
terutama stadium juvenil. Meloidogyne juvenil 2 merupakan stadium
yang infektif dan aktif bergerak secara vertikal dan horizontal
sejauh 75 cm dalam waktu sembilan hari pada tanah berpasir
(Kurniawan 2010). Suhu optimum untuk pertumbuhan M. incognita dan
M. arenaria antara 15 °C dan
-
J Fitopatol Indones Kurniawati et al
28
25 °C, sedangkan untuk M. javanica antara 20 °C dan 30 °C
(Taylor 1982). Suhu pada siang hari di Desa Pacet berkisar antara
16 °C dan 20 °C dan suhu pada malam hari antara
12 °C dan 18 °C. Suhu ini sesuai dengan pertumbuhan M. arenaria,
M. incognita, dan M. javanica.
Gambar 2 a, Tanaman seledri sehat; b, Tanaman seledri yang
terserang Meloidogyne menunjukkan gejala menguningnya daun, kerdil,
dan pertumbuhan tanaman tidak merata; c, Gejala puru akar pada
perakaran seledri (puru berukuran kecil, berbentuk seperti rantai
dan berjumlah banyak).
a b c
Gambar 1 Gejala tanaman seledri pada tajuk; daun menguning,
kerdil, pertumbuhan tidak merata.
Gambar 3 Pewarnaan jaringan akar berpuru. a, Stadium telur; b,
Stadium juvenil 2 yang berbentuk seperti cacing (vermiform); c,
Stadium juvenil 3 (nematoda mulai berubah bentuk, tubuhnya
membengkak); d, Meloidogyne betina berbentuk seperti buah pear,
leher pendek, dan bagian posterior membulat.
a b c d
-
J Fitopatol Indones Kurniawati et al
29
DAFTAR PUSTAKA
Dropkin VH. 1991. Pengantar Nematologi Tumbuhan. Ed ke-2.
Supratoyo, editor. Terjemahan dari: Introduction to Plant
Nematology. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press.
Eisenback JD, Hirschman H, Sassser JN, Triantaphyllou AC. 1981.
A Guide to The Four Most common Species of Root-Knot Nematodes
(Meloidogyne species) With a Pictorial Key. Washington DC (US):
Cooperative Publication Departement of Plant Pathology and U.S
Agency International Development.
Eisenback JD. 1985. Diagnostic characters useful in the
identification of four most common species of root-knot nematodes
(Meloidogyne spp.) Di dalam: Sasser JN, Carter CC, editor. An
advanced treatise
on Meloidogyne. Volume I. Biology and Control. Raleigh, NC (US):
North Caroline State University Graphics. Hlm 95–112.
Kurniawan W. 2010. Identifikasi penyakit umbi bercabang pada
wortel, Daucus carota (L.) Di Indonesia [tesis]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Rosya A, Winarto. 2013. Keragaman komunitas fitonematoda pada
sayuran lahan monokultur dan polikultur di Sumatera Barat. J
Fitopatol Indones. 9(3):71–76. DOI:
https://doi.org/10.14692/jfi.9.3.71.
Taylor AL, Sasser JN, Nelson LA. 1982. Relationship of Climate
and Soil Characteristics to Geographical Distribution of
Meloidogyne species in Agricultural Soils. Washington DC (US):
North Carolina State University Graphics.
Gambar 4 Pola sidik pantat nematoda puru akar yang menginfeksi
tanaman seledri. a, Meloidogyne javanica; b, M. incognita; c, M.
arenaria. Identifikasi berdasarkan kunci bergambar (Eisenback
1981). d, M. javanica; e, M. incognita; f, M. arenaria
a b c
d e f
-
J Fitopatol Indones Kurniawati et al
30
Zuckerman BM, Mai WF, Harrison MB. 1985. Plant Nematology,
Laboratory Manual. Massachusetts (US): The University of
Massachusetts Agricultural Experiment Station Amherst.
-
ISSN: 0215-7950
31
Volume 13, Nomor 1, Januari 2017Halaman 31–34
DOI: 10.14692/jfi.13.1.31–34
*Alamat penulis korespondensi: Departemen Proteksi Tanaman,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Jalan Kamper Kampus
IPB, Darmaga, Bogor 16680.Telp: 0251-8629364, Faks: 0251-862362,
surel: [email protected]
TEMUAN PENYAKIT BARU
Penyakit Karat Bawang Daun yang Disebabkan oleh Puccinia allii
Rud.
Rust Disease on Bunching Onion Caused by Puccinia allii Rud.
Widodo1*, Ginting Tri Pamungkas2, Hendry Susetyo2, Antoni
Setiawan2, Johanis Wowor31Institut Pertanian Bogor, Bogor 16680
2Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura, Jakarta Selatan
125203Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura Propinsi
Sulawesi Utara, Manado 95112
ABSTRAK
Penyakit baru pada bawang daun (Allium fistulosum) dengan gejala
khas sebagai penyakit karat ditemukan di Kecamatan Tompaso Barat
dan Kecamatan Modoinding, Kabupaten Minahasa Selatan pada bulan
Juni 2016. Tanaman yang terinfeksi di lapangan menunjukkan gejala
berupa pustul-pustul berwarna cokelat kekuningan pada permukaan
daun. Daun yang terserang menampakkan gejala menguning lalu
mengering yang dimulai dari bagian pucuk. Insidensi penyakit di
lokasi survei mencapai 100% dengan tingkat keparahan penyakit
30%–50%. Berdasarkan pengamatan mikroskopis pada karakter morfologi
cendawan yang ditemukan, yaitu uredium dan urediniospora, penyakit
tersebut disebabkan oleh Puccinia allii Rud.
Kata kunci: Allium fistulosum, insidensi penyakit, pustul
cokelat, urediniospora
ABSTRACT
New disease of bunching onion (Allium fistulosum) with typical
symptoms as rust disease was found in the sub-district of West
Tompaso and Modoinding, District of South Minahasa, North Sulawesi
in June 2016. Infected plants in the field showed yellowish brown
pustules on leaf surface, followed by leaf yellowing and drying out
started from the tip. Disease incidence in surveyed area reached
100% with disease severity between 30%–50%. Based on microscopic
observation of the fungal morphological characteristic, i.e.
uredium dan urediniospora, the causal agent was identified as
Puccinia allii Rud.
Key words: Allium fistulosum, brown pustule, disease incidence,
urediniospora
Pada tanggal 19 Juli 2016 Klinik Tanaman Departemen Proteksi
Tanaman Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor menerima
laporan tentang kerusakan tanaman pada bawang daun dengan gejala
berupa bintik-bintik cokelat kekuningan dan daun yang terserang
parah mengering dari Kabupaten Minahasa Selatan, Sulawesi Utara.
Pada
awal Agustus 2016 Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura,
Kementerian Pertanian Republik Indonesia mengundang Klinik Tanaman
IPB untuk melakukan survei lapangan di Kecamatan Tompaso Barat
(Desa Sinisir), dan Kecamatan Modoinding (Desa Makaruyan, Desa
Kakenturan, dan Desa Linelean), Kabupaten Minahasa Selatan.
-
J Fitopatol Indones Widodo et al
32
Berdasarkan pada ciri-ciri gejala yang sangat khas diduga adanya
penyakit karat daun pada bawang daun. Pada pengamatan di lapangan
terlihat adanya gejala penguningan daun yang merata di lahan
(Gambar 1a) dan daun mengering (Gambar 1b) serta ditemukan adanya
pustul-pustul berwarna cokelat kekuningan (Gambar 1c). Pengamatan
secara
mikroskopis menggunakan handheld digital microscope (Dino-Lite
AM 2111 Basic, AnMo Electronic Co. Taiwan) terlihat secara jelas
pustul-pustul tersebut adalah uredinium berisi urediniospora
(Gambar 1d). Konfirmasi dari irisan tipis menunjukkan adanya
uredinium (Gambar 1e) dengan urediniospora berwarna cokelat
kekuningan di dalamnya (Gambar 1f).
Gambar 1 Gejala penyakit dan tanda patogen karat pada bawang
daun. a, gejala serangan pada tajuk tanaman di lapangan; b, gejala
pucuk daun menguning dan mengering (tanda lingkaran); c, uredinium
patogen berupa pustul pada permukaan daun; d, uredinium (1) dan
urediniospora (2); e, uredinium berisi urediniospora pada jaringan
daun dan; f, urediniospora.
a b
e f
c d
1
2
-
J Fitopatol Indones Widodo et al
33
Urediniospora berbentuk membulat sampai jorong dengan ukuran
11.96 – 17.93 × 10.03 – 13.98 μm.
Jika dilihat dari uredinium yang tidak dikelilingi asesori
(parafisis) (Gambar 1e) dan ornamentasi permukaan sporanya berupa
duri yang lembut (ekilunet) (Gambar 1f) maka berdasarkan kunci
identifikasi Hiratsuka dan Sato (1982) cendawan karat yang
ditemukan menyerang bawang daun ini termasuk genus Puccinia.
Menurut Henderson (2004) spesies yang menyerang bawang daun (Allium
fistulosum) dan spesies Allium yang lain adalah Puccinia allii Rud.
Selain P. allii juga dilaporkan spesies cendawan karat lainnya,
yaitu Uromyces durus yang diketahui terdapat pada A. nipponicum
(Ito 1923). Sebaran inang dari spesies tersebut hanya diketahui
menyerang tanaman genus Allium. Menurut Pusat Karantina Pertanian
(1988) penyakit karat ini kadang-kadang ditemukan pada pertanaman
bawang putih di Sumatera, Jawa dan Bali, tetapi sejauh ini belum
ada publikasi ilmiah resmi di Indonesia yang menunjukkan hal
tersebut. Sejauh pengamatan yang telah dilakukan oleh Klinik
Tanaman Departemen Proteksi Tanaman, IPB penyakit tersebut belum
pernah ditemukan di lapangan
sebelumnya. Sementara itu menurut petani di Kabupaten Minahasa
Selatan keberadaan penyakit karat ini pada bawang daun baru dialami
pada tahun 2016. Berdasarkan data EPPO Global Database (2011)
distribusi penyakit tersebut belum ada di Indonesia, tetapi negara
terdekat yang telah melaporkan penyakit ini ialah Filipina.
Penyakit ini akan berkembang secara optimum jika kelembapan udara
sekitar 97% dan kisaran suhu 10–15 °C (Hill 1995). Kondisi
lingkungan ini sangat memungkinkan terjadi di daerah survei yang
ketinggiannya antara 1080–1100 m dari permukaan laut ketika suhu
udaranya sesuai bagi perkembangan penyakit tersebut.
Dari contoh lahan di empat desa yang diamati, insidensi penyakit
mencapai 100% dan keparahan penyakit berkisar 30%–50%. Insidensi
yang tinggi ini sangat mungkin terjadi, karena urediniospora P.
allii sangat mudah dipencarkan oleh angin (Hill 1995). Beberapa
petani di tempat survei yang telah melakukan pengendalian dengan
fungisida berbahan aktif campuran difenokonazol dan azoxistrobin
menunjukkan tingkat keparahannya rendah (Gambar 2). Meskipun bahan
aktif fungisida tersebut saat ini efektif mengendalikan, tetapi
pemantauan secara rutin kemungkinan
Gambar 2 Tingkat