Top Banner
TUGAS MAKALAH ETNOGRAFI INDONESIA (SOA252) NILAI-NILAI BUDAYA 15 SUKU BANGSA DI INDONESIA Disusun oleh: Berthin Sappang 071117012 Program Studi Antropologi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Airlangga Semester Gasal 2012/2013
45

Deskripsi 15 Suku Bangsa di Indonesia

Aug 10, 2015

Download

Documents

Indonesia adalah negara yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa. Ada yang disebut suku bangsa, sub suku bangsa, dan suku terasing. Berikut deskripsi mengenai 15 suku bangsa yang terdapat di wilayah Negara Kesatuan Indonesia.
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Deskripsi 15 Suku Bangsa di Indonesia

TUGAS MAKALAH ETNOGRAFI INDONESIA (SOA252)

NILAI-NILAI BUDAYA 15 SUKU BANGSA

DI INDONESIA

Disusun oleh:

Berthin Sappang

071117012

Program Studi Antropologi

Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik

Universitas Airlangga

Semester Gasal 2012/2013

Page 2: Deskripsi 15 Suku Bangsa di Indonesia

SURAT PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT

Yang bertandatangan di bawah ini, saya:

Nama : Berthin Sappang

NIM : 071117012

Nomor HP : 085246885436

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa dalam penulisan dan pengerjaan Tugas

Makalah Etnografi Indonesia (SOA252) ini, saya tidak melakukan plagiat, copy

paste, maupun kecurangan lainnya.

Apabila setelah diperiksa terdapat kecurangan tersebut, saya bersedia untuk

menerima sanksi yaitu tidak lulus dalam mata kuliah Etnografi Indonesia (SOA252).

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat untuk keperluan penilaian soft skill

mata kuliah Etnografi Indonesia (SOA252).

Surabaya, 2 Januari 2013

Yang Menyatakan,

Berthin Sappang

Page 3: Deskripsi 15 Suku Bangsa di Indonesia

BAB I PETA 15 SUKU BANGSA DI INDONESIA BERDASARKAN WILAYAH KEBUDAYAAN dari Van Vollenhoven

1. Melayu Riau

2. Melayu Palembang

3. Dayak Kenyah

4. Dayak Benuaq

5. Mandar

6. Minahasa

7. Bajau/Bajo

8. Sangir

9. To Wana/Wana

10. Kei

11. Sentani

12. Mimika

13. Dawan/Atoni

14. Sunda

15. Betawi

Page 4: Deskripsi 15 Suku Bangsa di Indonesia

BAB II DESKRIPSI NILAI BUDAYA SUKU BANGSA

10. Kebudayaan Melayu Riau

a. Identifikasi, Lokasi, dan Penduduk Melayu Riau merupakan suku bangsa Melayu yang

berdiam di Propinsi Riau. Jumlah penduduk asli Melayu Riau kini sukar untuk diketahui dengan pasti jumlahnya karena banyaknya suku-suku lain yang menjadi pendatang di Propinsi Riau. Namun untuk jumlah penduduk di propinsi Riau sendiri pada tahun 1988 adalah sekitar 2 juta jiwa (Melalatoa, 1995:705-706).

b. Bahasa Bahasa yang digunakan oleh orang-orang Melayu Riau adalah bahasa

Melayu Riau. Bahasa ini memiliki dua macam dialek yaitu dialek Melayu Riau Kepulauan dan Pesisir dan dialek Melayu Riau Daratan (Melalatoa, 1995:707). c. Pola tempat tinggal

Umumnya, suku Melayu Riau mendirikan rumah-rumah mereka di sepanjang aliran sungai atau di pinggir jalan desa. Rumah adat suku Melayu Riau merupakan rumah panggung dengan atap berbentuk limas yang disebut bubungan Melayu. Rumah tersebut didirikan di atas tiang setinggi 1-2 meter dari tanah. Namun untuk masyarakat yang tinggal di tepi aliran sungai, mereka mendirikan rumah yang disebut rumah rakit. Rumah tersebut didirikan di atas tiang yang lebih tinggi dengan tujuan menghindari banjir. Rumah tersebut biasanya ditambatkan berderet di tepi sungai (Melalatoa, 1995:706). d. Organisasi sosial:

1. Sistem kekerabatan Kelompok kekerabatan yang terkecil dalam tradisi Melayu Riau adalah

keluarga inti yang disebut dengan kelamin. Untuk kelompok kekerabatan yang lebih besar, biasanya didasarkan atas kesamaan latar belakang. Namun, dahulu mereka pernah mendasarkannya pada hubungan darah atau keturunan yang mereka sebut suku atau hinduk (Melalatoa, 1995:708).

Untuk adat menetap setelah menikah, orang Melayu Riau mula-mula melakukan adat matrilokal yaitu pasangan pengantin tinggal di rumah kerabat si perempuan. Kemudian jika sudah mampu untuk membuat rumah baru, pasangan pengantin akan pindah ke rumah baru tersebut (neolokal). Dalam kehidupan sehari-harinya, orang Melayu Riau cenderung menganut prinsip keturunan bilateral, yaitu menarik garis keturunan dari garis ayah dan ibu (Melalatoa, 1995:707-708).

Selain itu, ada sebutan-sebutan untuk anak dalam keluarga. Anak pertama disebut Long, anak kedua disebut Ngah, anak ketiga disebut Cik, dan anak bungsu disebut Cu atau Ucu. Panggilan-panggilan ini biasanya ditambahkan dengan ciri fisik orang yang bersangkutan misalnya Cik Utih untuk orang yang kulitnya putih atau Long Andak untuk orang yang tubuhnya pendek (Hidayah, 1997:181).

2. Sistem kemasyarakatan

Pelapisan sosial dalam tradisi Melayu Riau memang telah ada sejak jaman kerajaan dulu namun saat ini tidak terlalu ketat lagi. Pelapisan sosial tersebut adalah golongan bangsawan yang di dalamnya termasuk keturunan sultan dan raja, golongan datuk-datuk yang terdiri atas kepala suku atau penghulu kepala

Page 5: Deskripsi 15 Suku Bangsa di Indonesia

kampung, golongan pemuka masyarakat yang disebut cerdik pandai, golongan orang tua-tua, golongan ulama dan golongan orang - orang kaya. Motif-motif ukiran di rumah mereka menunjukkan status sosial (Melalatoa, 1995:706; Hidayah, 1997:181-182).

Kepemimpinannya dalam setiap kampung disebut penghulu atau penghulu kampung. Lalu beberapa kampung akan membentuk suku atau pesukuan yang dipimpin batin atau monti raja dan biasanya dibantu oleh ketiapan yang terdiri atas penghulu kampung, antan-antan, dan tongkat (Melalatoa, 1995:708) e. Agama/religi

Orang Melayu Riau merupakan pemeluk agama Islam yang taat. Tetapi dalam kehidupannya, mereka juga masih mempercayai hal-hal mistis dan gaib sehingga ada seseorang yang berperan sebagai dukun atau disebut bomo. Mereka juga kadang-kadang menggunakan jimat (angkal) dan penolak bala (gegawo) (Melalatoa, 1995:708) f. Kebudayaan yang menonjol/khas

Orang Melayu Riau sangat menyukai keindahan bahasa sehingga mereka memiliki banyak sekali jenis seni sastra. Contohnya seperti pantun, peribahasa, bidal, kata bersayap, perumpamaan, gurindam, mantra, hikayat, dan lain-lain. Di dalam seni sastra tersebut, ada nilai-nilai yang dianut oleh orang Melayu Riau. Selain itu, terdapat berbagai jenis tarian seperti tari hadrah, zapin, joget, dan lain-lain. Ada pula jenis-jenis teater rakyat seperti mak yong, mamanda, wayang bangsawan dan mendu. Juga jenis-jenis seni musik seperti talempong, rodat, gendang bunguran, tarhim, dondang sayang, bersanji, dan lain-lain. Dan yang tak kalah juga adalah jenis-jenis motif ragam hias seperti pucuk rebung, bunga cengkeh, mata panah, dan lain-lain (Melalatoa, 1995:708-709). g. Nilai-nilai budaya

Aspek sosial, nilainya adalah tertib dan rukun. Hal ini tercermin dari hubungan antara masyarakat Melayu Riau dengan masyarakat pendatang yang terjalin baik.

Aspek seni, nilainya adalah kreatif dan harmoni. Tata pemerintahan dan

norma yang berlaku didasarkan pada pantun-pantun adat (Melalatoa, 1995:708-709).

Aspek religi, nilainya adalah ketuhanan dan iman. Masyarakat Melayu Riau dalam hidupnya selalu berpedoman pada ajaran-ajaran Islam.

Aspek ekonomi, nilainya adalah efisien dan makmur. Masyarakat Melayu Riau menggunakan alat-alat sederhana untuk mencari ikan. Dan penghasilan pokok mereka adalah berdagang (Melalatoa, 1995:706). h. Pembangunan dan modernisasi

Dalam masyarakat Melayu Riau terdapat arsitektur berbau modern yang ditransformasikan dengan arsitektur tradisional dari bubungan Melayu.

Daftar Pustaka: Hidayah, Zulyani. 1997. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, hal. 180-182. Jakarta: LP3ES

Melalatoa, M. Junus.

1995. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, hal. 705-709. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Page 6: Deskripsi 15 Suku Bangsa di Indonesia

17. Kebudayaan Melayu Palembang a. Identifikasi, Lokasi, dan Penduduk

Palembang atau yang sering disebut Melayu Palembang adalah suatu suku bangsa yang berlokasi di Kota Madya Palembang dan beberapa daerah di sekitarnya yang dilalui aliran Sungai Musi di Propinsi Sumatera Selatan. Berdasarkan suatu cerita, kata palembang terdiri dari dua kata yaitu pa yang berupa kata depan untuk menunjukkan tempat dan limbang

yang berarti mendulang emas di sungai. Cerita ini didasarkan pada keyakinan masyarakat dulu bahwa di daerah tersebut terdapat kandungan emas yang melimpah.

Kemudian, untuk jumlah penduduk yang masih asli dari Palembang sudah tidak dapat diketahui dengan pasti jumlahnya. Misalnya, pada tahun 1990 terdapat lebih dari 1.140.918 jiwa penduduk kota madya Palembang berdasarkan sensus. Namun dari satu juta lebih penduduk tersebut, sebagian sudah bukan keturunan asli orang Palembang tetapi hasil pencampuran dengan budaya pendatang. Hal ini adalah akibat dari fungsi kota Palembang yang sejak dulu merupakan kota dagang yang selalu mengalami interaksi dengan berbagai masyarakat dari berbagai latar belakang etnis dan budaya. (Melalatoa, 1995:654). b. Bahasa

Orang Melayu Palembang menggunakan bahasa Melayu Palembang. Bahasa ini memang masih satu rumpun dengan bahasa Melayu, namun berbeda dialek (Melalatoa, 1995:654). c. Pola tempat tinggal

Pola tempat tinggal orang Palembang pada masa lalu mengelompok di sepanjang tepi sungai. Rumah adat Palembang dibagi menjadi tiga, yaitu rumah limas, rumah cara gadang, dan rumah rakit. Rumah limas merupakan rumah panggung yang atapnya berbentuk limas dan terdapat tiang yang terbuat dari kayu. Rumah cara gadang merupakan rumah panggung yang juga beratap limas tetapi lantainya tidak berundak (tidak memiliki kekijing). Dan rumah adat lainnya yaitu rumah rakit yang didirikan di atas air di tepi sungai dan merupakan jenis rumah terapung serta merupakan rumah orang Palembang keturunan Cina. (Melalatoa,1995:655). d. Organisasi sosial:

1. Sistem kekerabatan Orang Palembang menganut prinsip keturunan bilateral. Adat perkawinan

mereka adalah adat bebas yang artinya anak dari hasil perkawinan dibebaskan dalam menarik keturunan dari garis ayah atau ibunya. Dan adat menetap setelah menikah juga membebaskan mereka untuk menetap di mana saja namun kadang-kadang ada keputusan keluarga kedua belah pihak yang sebelumnya sudah dimusyawarahkan (Melalatoa, 1995:655).

2. Sistem kemasyarakatan

Dalam kehidupan sosialnya orang Palembang mengenal adanya pelapisan sosial yang didasarkan atas keturunan yaitu golongan priyayi atau bangsawan (wong jeroo) dan golongan masyarakat biasa (wong jaboo). Golongan priyayi dibedakan menjadi tiga lapisan lagi yaitu pangeran, Raden, dan Masagus. Untuk golongan rakyat biasa juga dibedakan lagi menjadi tiga golongan yaitu, Kiai Mas

Page 7: Deskripsi 15 Suku Bangsa di Indonesia

atau Kimas, Kiai Agus atau Kiagus, dan rakyat jelata yang juga dapat dibagi menjadi tiga yaitu orang miji, orang senan, dan budak.

Untuk unsur terkecil dalam masyarakat disebut dusun dan dipimpin oleh proati atau kerio yang dibantu oleh beberapa penggawa dusun. Beberapa dusun akan membentuk kampung yang dipimpin penggawa kampung. Kemudian ada juga masyarakat yang hidup dalam marga yang didasarkan pada keturunan (suku) yang dipimpin oleh depati atau pasirah. Marga-marga tersebut kemudian membentuk suatu ketemanggungan yang dipimpin oleh rangga atau tumenggung (Melalatoa, 1995:656). e. Agama/religi

Orang Palembang telah memeluk agama Islam dan taat pada agamanya itu (Melalatoa, 1995:657). f. Kebudayaan yang menonjol/khas

Dalam masyarakat Palembang yang beragama Islam, maka keseniannya pun bernafaskan Islam. Kesenian yang terkenal adalah rodat saropal anam dan teater rakyat dulmuluk. Dan kesenian lain yang terpengaruh budaya Jawa yaitu wayang palembang (Hidayah, 1997:211). g. Nilai-nilai budaya

Aspek pengetahuan, nilainya adalah kreatif dan harmonis. Nilai-nilai tersebut tercermin dari pembuatan rumah adat yang disesuaikan dengan kondisi tempat mereka berada (Melalatoa, 1995:655).

Aspek sosial, nilainya adalah musyawarah, disiplin, dan harmonis.

Pelaksanaan hak dan kewajiban yang didasarkan pada lapisan sosial. Dan pengambilan keputusan yang dimusyawarahkan dalam rapat-rapat adat berdasarkan tingkatan kesatuan adatnya. Selain itu adanya pencampuran budaya antara Palembang dan Cina yang menghasilkan suatu hubungan baik yang berakibat pada kebudayaan Palembang yang terpengaruh oleh kebudayaan Cina (Melalatoa, 1995:655-656).

Aspek religi, nilainya adalah ketuhanan, kebenaran, dan ketaatan. Hal tersebut tercermin dalam pelaksanaan syariat Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan adat orang Palembang (Melalatoa, 1995:657).

Aspek seni, nilainya adalah persatuan, kebersamaan, tolong menolong.

Hal ini tercermin dari tahapan upacara perkawinan yang dilakukan orang Palembang (Melalatoa, 1995:655-656).

Aspek ekonomi, nilainya adalah kreatif dan makmur. Hal ini tercermin dari berbagai macam mata pencaharian yang digeluti oleh orang Palembang. Selain itu, mereka juga sangat terampil dalam menghasilkan berbagai macam kerajinan tangan (Melalatoa, 1995:654). h. Pembangunan dan modernisasi

Mata pencaharian orang Palembang kini makin bervariasi karena pengaruh modernisasi yang dibawa oleh pendatang-pendatang dari seluruh Indonesia (Melalatoa, 1995:654)..

Daftar Pustaka: Hidayah, Zulyani. 1997. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, hal. 210-211. Jakarta: LP3ES

Melalatoa, M. Junus. 1995. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, hal. 654-657. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Page 8: Deskripsi 15 Suku Bangsa di Indonesia

45. Kebudayaan Kenyah

a. Identifikasi, Lokasi, dan Penduduk Kenyah merupakan salah satu kelompok suku

bangsa Dayak yang berasal dari daerah Apo Kayan, wilayah administratif Kecamatan Kayan Hulu dan Kecamatan Kayan Hilir, Kabupaten Bulungan, Propinsi Kalimantan Timur. Daerah ini juga sangat dekat dengan wilayah Kabupaten Kutai, Propinsi Kalimantan Timur. Namun karena berbagai alasan, orang-orang Kenyah telah bermigrasi keluar dari

daerah Apo Kayan. Kini, sebagian besar dari mereka bermukim di sepanjang aliran sungai Mahakam di bagian barat Kabupaten Bulungan dan di Kabupaten Kutai misalnya di Kecamatan Long Iram, Long Bagun, Tenggarong, dan lain-lain. Ada pula dari mereka yang tinggal di sekitar kota Madya Samarinda. Selain itu, ada sebagian kecil dari mereka yang juga bermigrasi ke Malaysia namun jumlahnya sangat sedikit. Jumlah penduduk Kenyah di Kalimantan Timur kini sudah sukar diketahui dengan pasti. Namun pada tahun 1973, H.L Whittier memperkirakan jumlah orang Kenyah adalah sekitar 40.000 jiwa dan tersebar di berbagai komunitas (Melalatoa, 1995:389-391). b. Bahasa

Bahasa yang digunakan orang Kenyah dalam berkomunikasi dengan sesama sukunya dan untuk berkomunikasi dengan roh-roh nenek moyang adalah bahasa Kenyah. Dan bahasa Indonesia mereka gunakan untuk berkomunikasi dengan orang di luar suku mereka (Melalatoa, 1995:389). c. Pola tempat tinggal

Orang Kenyah tinggal dalam rumah panjang yang disebut umaq dadoq. Dalam satu kampung, kadang terdapat satu rumah panjang atau beberapa rumah panjang. Rumah panjang tersebut dapat dihuni 600-800 jiwa. Rumah panjang tersebut dibangun memanjang mengikuti aliran sungai dan panjangnya dapat bervariasi sesuai jumlah keluarga yang tinggal di dalamnya. Rumah tersebut merupakan rumah panggung yang secara keseluruhannya terbuat dari bahan kayu. Terdapat dua bagian utama dari umaq dadoq yaitu use yang merupakan beranda terbuka di bawah atap dan amin yang merupakan kamar-kamar untuk tempat tinggal masing-masing keluarga. Use memiliki fungsi ganda yaitu sebagai jalan dari ujung ke ujung, tempat bersantai, tempat bermain anak, tempat menerima tamu, tempat melangsungkan upacara pada waktu tertentu, dan lain-lain. Sedangkan amin memiliki beberapa bagian lagi dengan fungsi-fungsi tertentu, yaitu pamen yang merupakan ruang terbuka untuk menerima tamu, atang sebagai tempat untuk tungku, tilung sebagai tempat untuk tidur, dan sinong sebagai tempat penyimpanan barang berharga. Di bagian belakang amin terdapat pintu menuju ke dapur dan di belakang dapur biasanya ada kandang ayam atau babi. Motif ragam hias juga sering dipakai untuk memperindah rumah panjang terutama untuk rumah yang didiami oleh kepala adat atau yang memiliki status sosial yang tinggi. Namun kini tidak jarang orang Kenyah lebih memilih tinggal di rumah tunggal. (Melalatoa, 1995:391). d. Organisasi sosial:

1. Sistem kekerabatan

Umumnya, di dalam satu rumah panjang (amin) ditempati oleh satu keluarga luas (extended family) meskipun kadang ada pula yang berupa keluarga inti

Page 9: Deskripsi 15 Suku Bangsa di Indonesia

(nuclear family). Keluarga luas dalam pengertian orang Kenyah merupakan suatu keluarga yang bersifat ambilineal dan berupa kesatuan ekonomi di mana dalam rumah panjang semua keluarga-keluarga inti dalam keluarga luas itu menggunakan satu dapur. Untuk pemilihan jodoh, anak-anak lebih suka menyerahkan keputusan pada orang tua. Mereka pun sangat menghindari pernikahan antar sepupu sejajar (parallel cousin) (Melalatoa, 1995:393). e. Agama/religi

Orang Kenyah memiliki kepercayaan tradisional yang turun-temurun. Dimana mereka mempercayai banyak dewa-dewa yang diwujudkan dalam lingkungan. Kepercayaan ini disebut dengan bungan dan terdapat beberapa dewa tertinggi dan juga makhluk gaib yang disebut bali yang dipuja oleh orang Kenyah. Salah satu yang paling sering dipuja adalah bungan malan yang merupakan dewa yang memberi keselamatan dan kemakmuran. Namun pada masa kini, ada sebagian dari mereka yang telah memeluk agama Kristen Protestan dan Katolik (Melalatoa, 1995:393-394). f. Kebudayaan yang menonjol/khas

Di dalam suku Dayak Kenyah ini dikenal banyak jenis kesenian. Seni tari yang terdiri atas tarian tradisional seperti tari Belian, Pawang, Kancet Pegise, dan Kancet Pelila yang kesemuanya ada yang ditarikan secara kelompok maupun individu. Dan tari kreasi seperti Kancet Liling dan Kancet Selalang. Ada juga dalam bidang seni musik yaitu alat musik tradisional orang Kenyah yaitu sampeq yang berupa gitar dengan tiga senar. Yang lainnya adalah lagu-lagu yang merupakan ciptaan mereka sendiri, seperti Abe Ilu, Alem ini, Badi Tiang, Leleng, dan Burung Kecincang. Dan selanjutnya adalah berbagai macam motif ragam hias seperti burung enggang, macan, wajah manusia (udog), dan lain-lain. Dan dalam seni sastra berupa kidung-kidung, seperti kentau untuk kidung hiburan dan nidau untuk kidung dalam rangka upacara kematian (Melalatoa, 1995:398-399). g. Nilai-nilai budaya

Aspek pengetahuan, nilainya adalah keseimbangan, kerja keras, inovatif, dan kebenaran. Orang Kenyah selalu belajar dari setiap pengalaman dan tantangan alam. Mereka juga dapat membaca isyarat alam sebelum melakukan sesuatu. Menjaga hubungan baik dengan alam dan selalu ingin maju (Melalatoa, 1995:389, 391, 393-394, 396).

Aspek sosial, nilainya adalah setia kawan, kebersamaan, tolong menolong, kerukunan, dan ramah tamah. Orang Kenyah mempunyai konsep

sosial yang disebut nilai tiga. Nilai ini digunakan dalam menjalankan kehidupan sosial di dalam rumah panjang (umaq dadoq) maupun jika mereka keluar dari umaq dadoq. Selain itu, mereka juga mewujudkan kerukunan sosial dan keramahtamahan dengan melayani tamu dari jauh dan memberikan oleh-oleh jika mereka akan kembali ke tempat asalnya (Melalatoa, 1995:392, 399).

Aspek seni, nilainya adalah gotong royong, keindahan, dan keyakinan.

Pembangunan umaq dadoq (rumah panjang) yang dilakukan dengan cara gotong royong (ruyung). Serta berbagai seni tari, seni musik, ragam hias, dan seni sastra yang merupakan suatu hiburan dan juga untuk keindahan. Selain itu di dalam berbagai motif ragam hias serta fungsi-fungsi dari seni tari, seni musik, dan seni sastra terkandung kepercayaan dan keyakinan tradisional orang Kenyah (Melalatoa, 1995:398-399).

Aspek religi, nilainya adalah kebenaran, ketuhanan, harmonis, dan keyakinan. Orang Kenyah tidak mau menyebut keburukan orang lain (peliwei

Page 10: Deskripsi 15 Suku Bangsa di Indonesia

tirak) atau membuka rahasia orang lain (bak banyet biuk) sebab hal tersebut adalah tidak terpuji (ngayap). Kepercayaan mereka pada leluhur yang kemudian beralih pada agama Kristen Protestan. Kepercayaan mereka yang tidak boleh sembarangan merusak alam ataupun membunuh hewan merupakan wujud untuk menjaga keharmonisan dengan alam. Pelaksanaan berbagai upacara adat yang sesuai dengan keyakinan mereka dan saat mereka beralih pada agama yang sekarang mereka anut, mereka pun melaksanakan ajaran yang sesuai dengan keyakinannya (Melalatoa, 1995:393-398).

Aspek ekonomi, nilainya adalah harmonis, makmur, berani, kerja keras, mandiri, tolong menolong, dan kompetitif. Orang Kenyah sangat

mendambakan kemajuan sehingga mereka bermigrasi menuju daerah lain yang lebih maju dari daerah asal mereka. Untuk orang Kenyah yang berladang, mereka berupaya untuk melihat pertanda alam dalam membuka ladang sehingga tidak boleh sembarangan. Sebuah keluarga inti mengerjakan ladang mereka secara bersama-sama namun anggota keluarga lain yang bukan termasuk keluarga inti tersebut tidak boleh ikut membantu. Mereka juga suka berbalas pantun dengan para pemilik ladang tetangga untuk mengetahui sudah sampai di mana pekerjaan mereka (Melalatoa, 1995:392-393). h. Pembangunan dan modernisasi

Hilangnya tradisi memanjangkan daun telinga pada wanita-wanita generasi muda di dalam suku Dayak Kenyah. Hal ini disebabkan oleh mulai mengertinya mereka tentang kesehatan. Dan untuk wanita yang sempat memanjangkan telinganya kadang melakukan operasi pemotongan daun telinga untuk mengembalikan bentuk telinga mereka yang biasanya (Melalatoa, 1995:399).

Daftar Pustaka: Melalatoa, M. Junus. 1995. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, hal. 389-399. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Page 11: Deskripsi 15 Suku Bangsa di Indonesia

46. Kebudayaan Benuaq a. Identifikasi, Lokasi, dan Penduduk

Benuaq adalah salah satu kelompok suku bangsa Dayak yang berlokasi di daerah Kabupaten Kutai, Kalimantan Timur. Mereka tersebar di Kecamatan Muara Lawa, Bentian Besar, Damai, Jempang, Muara Muntai, Muara Wahau, Sebulu, dan di sekitar kota Tenggarong. Berdasarkan cerita asal, orang Benuaq berasal dari daerah di Kalimantan Tengah yang berbatasan dengan

Serawak. Mereka mengalami konflik dengan suku Dayak Iban yang menyebabkan mereka harus bermigrasi. Mereka pun menetap di suatu tempat bernama Bombay atau Benuaqkn. Selanjutnya, suku tersebut berkembang dan namanya berubah menjadi benuaq. (Melalatoa, 1995:153).

b. Bahasa Bahasa yang digunakan orang Benuaq adalah bahasa yang masih tergolong

ke dalam bahasa Barito (Hidayah, 1997:54). c. Pola tempat tinggal

Orang Benuaq biasanya bermukim di tepi aliran sungai atau tidak jauh dari sungai. Ada pula yang bermukim di muara anak sungai yang bertemu dengan sungai yang lebih besar. Lingkungan persekutuan hukum orang Benuaq terdiri atas kawasan hutan, areal perladangan, dan pemukiman yang biasa mereka sebut benua. Dalam suatu benua terdapat enam kawasan yaitu (1) Simpukng Munan atau limbo adalah tanah yang pernah digunakan untuk berladang; (2) Simpukng Ramung adalah hutan tempat mengambil bahan-bahan untuk membangun rumah; (3) Kebotn Dukuh yaitu tempat yang digunakan untuk berkebun; (4) Simukng Umag Taotn yang merupakan hutan yang merupakan calon lahan untuk lading yang baru; (5) Simpukng Brahatn yaitu hutan yang digunakan sebagai tempat berburu; (6) Talutn Lautn yaitu hutan yang dibebaskan dan bukan merupakan bagian dari benua. Orang Benuaq tinggal dalam rumah panjang yang berbentuk seperti rumah panggung yang biasanya menghadap ke arah matahari terbit (lamin). Rumah ini juga dihiasi dengan berbagai motif berbentuk daun-daunan (jaun nguku dan wahai lurut) sebagai lambang penolak bala dan kesejahteraan (Melalatoa, 1995:153). d. Organisasi sosial

1. Sistem kemasyarakatan

Untuk kepemimpinan yang ada di masyarakat Benuaq yaitu kepala adat dan kepala suku. Kepala suku terkadang merangkap menjadi kepala adat. Dan di antara keduanya dibedakan menurut pakaian adat yang digunakan (Melalatoa. 1995:153-154). e. Agama/religi

Orang Benuaq masih mempercayai roh-roh nenek moyang dan hal itu diwujudkan dengan adanya upacara kwangkai untuk mengantarkan roh-roh kerabat yang meninggal ke surga terakhir atau usup bawo ngeno (Melalatoa, 1995:154). f. Kebudayaan yang menonjol/khas

Orang Benuaq dikenal dengan kain tenunnya yang disebut Ulap Doyo. Kain tenun ini merupakan kain tenun yang berukuran panjang (ulap) dan terbuat dari serat daun doyo. Kain tenun ini digunakan untuk bermacam-macam hal baik dalam kehidupan sehari-hari seperti pakaian, ikat kepala, dan lain-lain, juga

Page 12: Deskripsi 15 Suku Bangsa di Indonesia

sebagai lambang yang menunjukkan jabatan dalam masyarakat (Melalatoa, 1995:153-154). g. Nilai-nilai budaya

Aspek pengetahuan, nilainya kecantikan, kesehatan, dan keharmonisan.

Wanita Benuaq memiliki kemampuan untuk memanfaatkan benda-benda dari alam untuk menjaga dan memelihara kecantikan dan kondisi tubuh (Melalatoa, 1995:154).

Aspek sosial, nilainya gotong royong dan harga diri. Orang Benuaq akan

berupaya melaksanakan upacara kwangkai bagi kerabatnya sebab mereka akan merasa berutang jika belum melaksanakannya. Upacara kwangkai yang membutuhkan biaya besar biasanya dilaksanakan oleh beberapa keluarga dari kerabat almarhum sehingga terasa lebih ringan (Melalatoa, 1995:154).

Aspek seni, nilainya keindahan dan keyakinan. Kain tenun ulap doyo yang dominan berwarna merah dan hitam dengan warna dasar putih kekuning-kuningan atau kemerah-merahan tampak sangat indah. Upacara kwangkai yang diadakan karena keyakinan orang Benuaq bahwa kerabat mereka yang telah meninggal harus diantar menuju surga terakhir (Melalatoa, 1995:153-154)

Aspek religi, nilainya adalah rela berkorban. Orang Benuaq berupaya

untuk melaksanakan upacara kwangkai demi mengantarkan roh kerabatnya agar sampai pada usup bawo ngeno (Melalatoa, 1995:154). h. Pembangunan dan modernisasi

Dalam tradisi wanita Benuaq jaman dulu, mereka disebut cantik apabila memiliki gigi hitam, lubang telinga besar dengan anting yang berat, dan menggunakan bedak. Namun, persepsi seperti ini sudah lama ditinggalkan dan tidak ada lagi generasi mudanya yang melakukan hal-hal tersebut (Melalatoa, 1995:154)..

Daftar Pustaka: Hidayah, Zulyani. 1997. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, hal. 54-55. Jakarta: LP3ES

Melalatoa, M. Junus. 1995. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, hal. 153-154. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Page 13: Deskripsi 15 Suku Bangsa di Indonesia

62. Kebudayaan Mandar a. Identifikasi, Lokasi, dan Penduduk

Mandar adalah sebuah suku bangsa asal Sulawesi Selatan yang berdiam di Kabupaten Mamuju, Majene, dan Polewali Mamasa (Polmas). Asal-usul suku Mandar yaitu gabungan dari 14 kerajaan lokal yang ada di daerah tersebut pada abad ke-16. Mereka membentuk konfederasi bernama Sipamandar yang berarti “saling memperkuat” yang selanjutnya nama Mandar yang artinya “kuat” menjadi nama kerajaan gabungan tersebut (Melalatoa, 1995:511-512). Jumlah populasinya menurut

Hidayah Zulyani pada tahun 1989, populasi dari suku Mandar berjumlah 300.000 jiwa (Hidayah, 1997:169). Namun, Melalatoa menjelaskan bahwa kemungkinan dari jumlah populasi tersebut tidak sepenuhnya orang Mandar melainkan campuran dengan pendatang (Melalatoa, 1995:512).

Mata pencaharian orang Mandar disesuaikan dengan kondisi alamnya yaitu sebagai petani dan nelayan yang menangkap ikan. Pertanian suku Mandar tidak hanya menghasilkan beras, namun ada juga minyak kelapa, gula merah, serta produk pangan lainnya. Selain itu, mereka juga memiliki hasil tenun tradisional yang berupa sarung Mandar (Melalatoa, 1995:512). Dalam sumber lain menambahkan bahwa orang Mandar juga ada yang bermata pencaharian sebagai pedagang dan mereka terkenal ulet dalam berdagang (Hidayah, 1997:169). b. Bahasa

Orang Mandar memiliki bahasa sendiri yang disebut bahasa Mandar. Bahasa ini memiliki beberapa macam dialek yang masih terbagi lagi menjadi beberapa subdialek, yaitu (1) dialek Balanipa dengan varian Pambusuang, Karama, Lapeo, Todang-todang, dan Napo; (2) dialek Majene atau Banggae yang memiliki varian Pangale Barane, Tangngatangnga, Tanjung Batu, dan lain-lain; (3) dialek Pamboang dengan varian Palipi, Palattoang, Mosso, Tommerokdo, Somba, dan Malunda-Pesisir; dan (4) dialek Awok Sumakengu (Melalatoa, 1995:512). c. Pola Tempat Tinggal d. Organisasi sosial:

1. Sistem kekerabatan

Orang Mandar dalam kekerabatannya, menarik garis keturunan secara bilateral artinya dari pihak ayah maupun pihak ibu (Hidayah, 1997:169).

2. Sistem kemasyarakatan Mandar adalah daerah yang dahulu berupa kerajaan sehingga terdapat

pelapisan sosial yang hingga kini masih tersisa pengaruhnya. Lapisan sosial dalam suku Mandar yaitu golongan bangsawan (Todiang Laiyana), golongan rakyat biasa (Tau Maradika), dan golongan budak (Batua). Dan dalam golongan bangsawan dikenal gelar Daeng bagi bangsawan keturunan raja dan Puang untuk bangsawan adat. Dalam pemilihan raja saat ini adalah melalui lembaga adat (hadat) tidak seperti dulu yang turun-temurun (Melalatoa, 1995:512-513). e. Agama/religi

Orang Mandar saat ini telah beragama Islam namun masih ada sisa-sisa kepercayaan tradisional yang diwujudkan dalam penyelenggaraan upacara-upacara adat (Hidayah, 1997:169). f. Kebudayaan yang menonjol/khas

Page 14: Deskripsi 15 Suku Bangsa di Indonesia

Orang Mandar memiliki sebuah perhiasan khas yang disebut gallang. Gallang merupakan gelang emas yang bentuknya panjang dan biasanya digunakan oleh wanita mandar pada saat mengikuti upacara-upacara adat. Selain itu, ada kain tenun yang terkenal di Mandar yang disebut sarung Mandar (Melalatoa, 1995:512-513) g. Nilai-nilai budaya

Aspek sosial, nilainya adalah demokrasi. Masyarakat Mandar memiliki ungkapan yang digunakan sebagai pengontrol kekuasaan raja. Di mana saat raja diangkat maka ia haruslah menjalankan kehendak rakyat. Jika tidak, maka rakyat akan mengadakan protes dan raja tidak punya pilihan lain selain dengan sukarela mundur dari kekuasaan atau dibunuh oleh rakyat yang tidak puas (Melalatoa, 1995:513).

Aspek seni, nilainya adalah kemewahan. Saat menghadiri upacara adat, wanita Mandar menggunakan gelang panjang yang terbuat dari emas (gallang) (Melalatoa,1995:513)

Aspek religi, nilainya ketuhanan dan keseimbangan. Kini mayoritas orang

Mandar telah memeluk agama Islam. Meskipun begitu, mereka tetap mengadakan upacara-upacara adat, terutama yang berhubungan dengan pertanian dan life cycle. Hal ini dimungkinkan untuk menjaga hubungan manusia dengan alam (Hidayah, 1997:169)

Aspek ekonomi, nilainya efisien, makmur, dan kerja keras. Orang Mandar yang bekerja sebagai pedagang bekerja dengan ulet (Hidayah, 1997:169). Untuk bertani mereka masih menggunakan alat-alat tradisional meskipun ada daerah yang sudah menggunakan teknik pengairan yang lebih maju. Selain itu dari hasil-hasil pertanian, mereka tidak hanya dapat menghidupi keluarga mereka tetapi juga menjadi pemasok bagi kebutuhan pangan tingkat daerah (Melalatoa, 1995:512). h. Pembangunan dan modernisasi

Penggunaan sistem pengairan teknis dalam mengelola sawah yang dilakukan orang Mandar di Kabupaten Polmas sehingga membuat mereka mendapat sebutan “gudang beras” (Melalatoa, 1995:512)

Daftar Pustaka: Hidayah, Zulyani. 1997. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, hal. 169. Jakarta: LP3ES

Melalatoa, M. Junus. 1995. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, hal. 511-514. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Page 15: Deskripsi 15 Suku Bangsa di Indonesia

69. Kebudayaan Minahasa a. Identifikasi, Lokasi, dan Penduduk

Minahasa adalah salah satu suku bangsa yang mendiami daerah laut jazirah Sulawesi Utara, Kabupaten Minahasa, Kotamadya Manado & Kota administratif Bitung, yang kesemuanya adalah bagian dari Propinsi Sulawesi Utara. Orang Minahasa sering juga disebut sebagai orang Manado atau orang Kawanua (Melalatoa, 1995:563). Untuk jumlah

populasinya, saat ini tidak dapat diketahui dengan pasti. Hal ini akibat banyaknya pendatang yang sudah bercampur dengan orang asli Minahasa. Seperti contoh pada tahun 2010, jumlah penduduk di wilayah Kabupaten Minahasa, Kodya Manado, dan Kota administratif Bitung adalah 1.484.970 jiwa. Namun, jumlah tersebut telah termasuk dengan pendatang yang berasal dari suku bangsa lain di daerah itu (dalam www.sitaro.wordpress.com).

Suku Minahasa masih terbagi lagi menjadi delapan subsuku yaitu Tonsea, Tombulu, Tonsawang, Ratahan, Panosakan, Totembuan, Toulour, dan Bantik. Ada pula orang keturunan Eropa yang berdiam di dalam subsuku Tonsea, Tombulu, dan Totembuan. Selain itu, sumber lain juga mengatakan bahwa subsuku Tonsea, Tombulu, Totembuan dan Toulour bersatu membentuk suku baru yang dinamakan Minaesa (Melalatoa, 1995:563)

Mata pencaharian utama orang Minahasa adalah bertani di ladang. Dan hasil dari pertanian mereka yang terkenal adalah kopra dan cengkeh. Ada pula orang Minahasa yang bekerja sebagai nelayan dan biasanya mereka hidup di daerah yang dekat dengan laut atau perairan misalnya Danau Tondano. Pekerjaan lainnya adalah berburu dan meramu namun pekerjaan ini hanyalah sebagai tambahan. Pekerjaan yang lebih modern saat ini adalah guru, pedagang, pengusaha, pegawai pemerintahan, dan swasta (Hidayah, 1997:186). b. Bahasa

Bahasa yang dipergunakan oleh orang Minahasa disebut bahasa Melayu Manado. Bahasa ini dibagi menjadi tiga dialek yaitu dialek Melayu Pante, Melayu Gunung, dan Melayu Kota. Pembagian dialek juga didasarkan pada subsuku dari suku Minahasa yaitu Tonsea, Tombulu, Tontemboan, Toulour, dan Tonsawang. Dari dialek tersebut masih ada subdialek yang bermacam-macam (Melalatoa, 1995:564) c. Pola tempat tinggal

Pola tempat tinggal orang Minahasa adalah berderet di sepanjang jalan raya. Sejak dulu, mereka hidup di desa yang umumnya terdiri atas beberapa unsur seperti rumah-rumah, gereja, masjid, kantor, warung, pasar, dan lain sebagainya. Dalam satu desa dipimpin oleh seorang Hukum Tua. Selain itu, desa ini masih dapat dibagi lagi menjadi wilayah-wilayah kecil yang disebut jaga (Melalatoa, 1995:564). d. Organisasi sosial:

1. Sistem kekerabatan Orang Minahasa mengenal kelompok kekerabatan inti monogami. Keluarga

inti yang terdiri dari suami dan istri disebut sanga „awu dan bila telah memiliki anak-anak disebut seme ‟urang serta untuk anak tiri dan anak angkat disebut maki anak. Untuk prinsip keturunan sebenarnya mereka menggunakan prinsip patrilineal namun dalam hubungan keluarga menggunakan prinsip keturunan

Page 16: Deskripsi 15 Suku Bangsa di Indonesia

bilateral yang mereka sebut patuari. Patuari juga dapat diartikan sebagai kelompok kekerabatan yang didapatkan dari hubungan perkawinan (Melalatoa, 1995:565).

Adat menetap setelah menikah bagi orang Minahasa saat ini adalah neolokal yaitu mendirikan rumah baru yang jauh dari kedua pihak keluarga untuk tempat tinggal. Namun dahulu kala mereka sempat menggunakan adat utrolokal (Melalatoa, 1995:565).

2. Sistem kemasyarakatan

Orang Minahasa dulu sangat menghormati orang yang dituakan sehingga ada pelapisan sosial berdasarkan umur. Golongan lain yang mengurusi bidang keagamaan disebut Makarua Siow. Ada juga golongan pemimpin politik mengri yang disebut maketelupitu yang termasuk panglima perang dan prajurit yang dihormati. Dan terakhir adalah golongan orang biasa. Namun saat ini, pelapisan sosial bukan lagi berdasarkan hal tersebut tetapi kekayaan, pangkat, dan pendidikan seseorang (Hidayah, 1997:187). e. Agama/religi

Agama mayoritas di Minahasa adalah Kristen Protestan disusul oleh Katolik, Islam, dan Buddha. Namun, masih ada sisa-sisa kepercayaan tradisional terhadap roh nenek moyang (opo/datu) dan kekuatan magis (doti) (Melalatoa, 1995:566). f. Kebudayaan yang menonjol/khas

Ada dua kesenian yang sangat terkenal di Minahasa yaitu Mapalus dan tari Cakalele. Mapalus adalah sebuah konsep gotong royong dan tolong menolong di kalangan masyarakat Minahasa. Sedangkan tarian Cakalele ini adalah tarian perang khas Minahasa (Melalatoa, 1995:565; www.chandra-pinuyut.blogspot.com). g. Nilai-nilai budaya

Aspek sosial, nilainya adalah tolong menolong, bersatu, bekerja keras, dan damai. Ungkapan “Esa etu u mawangun banua” yang memiliki arti “bersatu, tolong-menolong dan bekerja baktilah dalam menghadapi dan menyelesaikan pekerjaan yang besar dalam kehidupan masyarakat di desa atau di kampong”.

Aspek seni, nilainya adalah berani dan keindahan. Tari Cakalele adalah

tarian perang dari suku Minahasa. Penarinya dituntut untuk bersikap berani. Hal ini tercermin dari simbol mahkota dari bulu dan sayap burung elang yang dipakai oleh sang pemimpin.

Aspek religi, nilainya adalah setia, kebenaran, dan ketuhanan. Daerah

Minahasa merupakan pusat penyebaran agama Kristen Protestan di Sulawesi Utara dan sebagian besar orang Minahasa telah memeluk agama tersebut. h. Pembangunan dan modernisasi

Arsitektur rumah-rumah orang Minahasa yang awalnya berupa rumah panggung berubah menjadi rumah yang sudah hampir menyentuh tanah meskipun masih ada unsur-unsur tradisional Minahasa yang bertahan (Melalatoa, 1995:564).

Daftar Pustaka: Buol, Ronny Adolof. 2012. Jumlah Penduduk Sulawesi Utara menurut Kabupaten/Kota Hasil Sensus Penduduk 2010. Diakses melalui www.sitaro.wordpress.com pada tanggal 26 November 2012 pukul 17.50 WIB

Page 17: Deskripsi 15 Suku Bangsa di Indonesia

cHaNdRa aDiTya. 2012. Tarian Cakalele Minahasa, Tradisi Perang Leluhur. Diakses melalui www.chandra-pinuyut.blogspot.com pada tanggal 26 November 2012 pukul 17.15 WIB

Hidayah, Zulyani. 1997. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia hal. 186-187. Jakarta: LP3ES.

Melalatoa, M. Junus. 1995. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia hal. 563-566. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Page 18: Deskripsi 15 Suku Bangsa di Indonesia

72. Kebudayaan Bajau/Bajo a. Identifikasi, Lokasi, dan Penduduk

Bajau adalah sebuah subsuku bangsa yang menyebar di berbagai wilayah Indonesia bahkan hingga keluar wilayah Indonesia. Mereka berdiam di daerah perairan Sulawesi Selatan, Kepulauan Banggai di Sulawesi Tengah, Kepulauan Sulu di Pilipina Togean, Flores Utara, Adunara, Sumbawa, Suman, Singkep, dan Lingga. Ada sumber lain mengatakan mereka juga berlokasi di Jambi, Kalimantan Selatan,

Maluku Utara, Malaysia, dan lain-lain. Banyak versi cerita mengenai asal-usul maupun kehidupan orang Bajau atau yang dikenal dengan sebutan orang Bajo. Jumlah populasi orang Bajau tidak dapat diketahui dengan pasti sebab kebudayaan mereka masih belum terlalu dipahami. Hal lainnya karena keseringan mereka melakukan mobilitas sehingga susah untuk diketahui jumlah tetapnya di suatu daerah (Melalatoa, 1995:85). Namun, ada perkiraan bahwa jumlah populasi Bajau di seluruh Indonesia sekitar 50.000 jiwa (Hidayah, 1997:33).

Orang Bajau sering disamakan dengan suku Orang Laut. Namun, bahasa yang mereka gunakan sangat berbeda sehingga tidak bisa disamakan. Sebutan orang Bajau pun berbeda-beda di setiap wilayah penyebaran mereka. Di Makassar, mereka menyebut orang Bajau dengan sebutan orang Bayo atau Turije‟ne‟. Di Bugis, mereka disebut orang Bajo. Di Sulawesi Tengah disebut Bajau. Di daerah perairan Malaysia disebut Bajaw. Di Philipina bagian selatan disebut Sama. Dan dalam buku-buku modern disebut juga The Sea Gypsy (Hidayah, 1997:33). b. Bahasa

Orang Bajau di Jambi menggunakan bahasa Melayu dengan dialek Bajau (Melalatoa, 1995:85). c. Pola tempat tinggal

Orang Bajau menghabiskan seluruh kehidupan mereka di atas perahu yang disebut dengan bido atau bidok. Orang Bajau jenis ini disebut sebagai “Bajo terapung”. Ada pula orang Bajau yang tinggal di rumah-rumah yang didirikan di atas air dengan tiang-tiang penyangga yang tertancap hingga ke dalam air. Namun, secara keseluruhan hidup mereka adalah menyebar di perairan Nusantara dengan menggunakan perahu (bido atau bidok) sebagai rumah mereka di atas lautan (Melalatoa, 1995:85). d. Organisasi sosial:

1. Sistem kekerabatan

Orang Bajau mengenal keluarga dekat dan keluarga jauh. Dan mereka tidak pernah melepas komunikasi dengan kerabat mereka yang ada di tempat lain. Upacara perkawinan dilakukan sesuai dengan ajaran agama Islam namun dengan dicampur adat istiadat mereka. Adat menetap setelah menikahnya adalah bebas memilih neolokal atau virilokal (Melalatoa, 1995:85; Hidayah, 1997:33). e. Agama/religi

Orang Bajau kemungkinan mayoritas beragama Islam sebab mereka banyak berinteraksi dengan pedagang-pedagang Bugis yang beragama Islam. Namun,

Page 19: Deskripsi 15 Suku Bangsa di Indonesia

masih saja mereka percaya pada animisme laut. Sebab hidup mereka yang kebanyakan di laut (Hidayah, 1997:33). f. Kebudayaan yang menonjol/khas

Wawasan orang Bajau tentang perairan di Indonesia dan keahlian astronomi mereka merupakan bentuk kebudayaan yang unik (Hidayah, 1997:34). g. Nilai-nilai budaya

Aspek pengetahuan, nilainya adalah terampil dan berwawasan. Orang Bajau memiliki pengetahuan tentang ilmu kelautan dan perbintangan sejak dahulu bahkan mereka amat mengenal baik lautan di Indonesia. Mereka juga terampil dalam menyelam (Hidayah, 1997:34).

Aspek sosial, nilainya adalah kekeluargaan dan damai. Orang Bajau hidup terpisah dan menyebar di berbagai tempat namun hubungan kekeluargaan mereka masih terjaga dengan baik. Orang Bajau pun terkenal tidak suka berkelahi dan cinta damai (Melalatoa, 1995:85).

Aspek religi, nilainya adalah ketuhanan. Orang Bajau telah memeluk agama Islam sebagai hasil interaksi dengan pelaut Bugis namun mereka tetap melakukan upacara-upacara adat yang berhubungan dengan kepercayaan animisme laut (Melalatoa, 1995:85; Hidayah, 1997:33).

Aspek ekonomi, nilainya adalah efisien. Orang Bajau menangkap ikan menggunakan alat yang sederhana dan mengambil secukupnya untuk kehidupan mereka (Melalatoa, 1995:86). h. Pembangunan dan modernisasi

Orang Bajau tersebar di seluruh perairan di Indonesia dan mereka ada yang sudah menerima modernisasi dan ada yang belum bahkan masih mengasingkan diri. Namun, ada beberapa orang Bajau yang sudah menjalankan pendidikan meski baru di tingkat Sekolah Dasar (SD) (Melalatoa, 1995:87).

Daftar Pustaka:

Hidayah, Zulyani. 1997. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia hal. 32-34. Jakarta: LP3ES.

Melalatoa, M. Junus. 1995. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia hal. 85-87. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Page 20: Deskripsi 15 Suku Bangsa di Indonesia

73. Kebudayaan Sangir a. Identifikasi, Lokasi, dan Penduduk

Sangir merupakan suatu subsuku yang dikelompokkan bersama dengan suku Talaud menjadi suku bangsa Sangir-Talaud. Mereka berdiam di gugusan kepulauan Sangir yang terdiri dari pulau-pulau. Kepulauan Sangir memiliki 10 kecamatan yaitu Kecamatan Tahuna, Kendahe, Manganitu, Tamako, Tabukan Utara, Tabukan Tengah, Tabukan Selatan, Siau Barat, Siau Timur, dan Tagulandang. Sangir juga sering disebut Sangihe atau Sanger. Kini, orang Sangir juga berdiam di pulau-pulau yang terletak di daerah perairan Minahasa dan

berbagai daerah di Sulawesi Utara. Jumlah populasi orang Sangir terutama di Kepulauan Sangir pada tahun 1980 adalah 180.760 jiwa. Di dalamnya memang terdapat juga penduduk pendatang namun orang Sangir masih menjadi mayoritas (Melalatoa, 1995:735).

Orang Sangir memiliki mata pencaharian yang berbeda-beda sesuai daerah di mana mereka tinggal. Yang hidup di pantai dan pulau-pulau kecil bekerja sebagai nelayan sedangkan yang hidup di pulau-pulau besar bekerja sebagai petani. Ada pula yang menyediakan jasa pengangkutan barang maupun penumpang antar pulau. Ada yang lebih modern sebagai pegawai pemerintah di tingkat kecamatan, pedagang, dan buruh bangunan (Melalatoa, 1995:735). b. Bahasa

Orang Sangir menggunakan bahasa Sangir yang merupakan rumpun bahasa Austronesia. Bahasa ini dibagi menjadi dua dialek yaitu dialek Sangir dan dialek Tagulandang. Dan dibagi lagi menjadi tujuh dialek berdasarkan wilayahnya. Bahasa Sangir juga memiliki tingkatan bahasa, yaitu bahasa umum, bahasa halus, dan bahasa sasahara (Melalatoa, 1995:735). c. Pola tempat tinggal

Orang Sangir ada yang tinggal di sekitar pantai atau muara sungai dan ada yang tinggal di lereng-lereng pegunungan. Mereka tinggal di rumah-rumah yang letaknya tersebar dan memanjang mengikuti pesisir pantai atau di sepanjang jalan. Ada tiga jenis rumah yang dikenal orang Sangir yaitu bale, deseng, dan sabua. Bale adalah rumah permanen atau semi permanen, deseng adalah rumah darurat yang didirikan di ladang, dan sabua adalah rumah nelayan (Melalatoa, 1995:735). d. Organisasi sosial:

1. Sistem kekerabatan Unsur terkecil dari kelompok kekerabatan adalah keluarga inti (gaghurang)

namun ada pula keluarga luas yang disebut ruanganna yang berdiam dalam satu rumah. Orang Sangir menarik garis keturunan secara bilateral (Melalatoa, 1995:736).

2. Sistem kemasyarakatan

Pengaruh pemerintahan kerajaan jaman dahulu di Sangir membuat adanya lapisan sosial yang masih berlaku hingga kini. Lapisan sosial tersebut yaitu golongan keturunan raja, keturunan bangsawan, rakyat biasa, dan budak. Namun kini sudah mulai melonggar. Kini orang dipandang tinggi saat pendidikan dan pengetahuan agamanya baik serta orang-orang yang sukses dalam pekerjaannya. Sistem pemerintahan pun kini telah disesuaikan dengan kebijakan pemerintah (Melalatoa, 1995:736).

Page 21: Deskripsi 15 Suku Bangsa di Indonesia

e. Agama/religi Orang Sangir memang telah memeluk agama seperti Islam maupun Kristen

tetapi kepercayaan lama masih begitu kuat mempengaruhi mereka. Mereka mempercayai dewa tertinggi yang disebut Genggona Langi‟ (Melalatoa, 1995:736). f. Kebudayaan yang menonjol/khas

Orang Sangir memiliki upacara adat untuk memperoleh kesejahteraan yaitu upacara Lepasi. Upacara ini adalah upacara penyucian untuk mencapai kesejahteraan (Melalatoa, 1995:736). g. Nilai-nilai budaya

Aspek sosial, nilainya adalah tolong menolong dan gotong royong. Orang Sangir mengenal istilah gotong royong yang disebut mapaluse dalam membangun rumah atau membuka ladang. Pada masa lalu juga dikenal istilah kalumpang yang mengatur kerja sama dalam mengolah kelapa yang baru dipetik (Melalatoa, 1995:736).

Aspek religi, nilainya adalah rukun, kesejahteraan, dan taat. Orang Sangir

mengenal upacara Lepasi yang berupa upacara penyucian diri. Upacara ini dilangsungkan jika semua rakyat telah rukun. Ada pula pantangan-pantangan yang harus mereka lewati saat upacara (pelli) (Melalatoa, 1995:736).

Aspek ekonomi, nilainya adalah efisien. Alat untuk menangkap ikan yang

digunakan oleh orang Sangir masih tergolong sederhana (Melalatoa, 1995:736) h. Pembangunan dan modernisasi

Nelayan-nelayan di Pulau Bebalang telah menggunakan alat-alat modern dalam menangkap ikan. Selain itu adalah mulai bergesernya nilai-nilai budaya yang bersifat kearifan lokal karena sikap individualisme yang makin tinggi (Melalatoa, 1995:737-738).

Daftar Pustaka: Melalatoa, M. Junus. 1995. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia hal. 735-738. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Page 22: Deskripsi 15 Suku Bangsa di Indonesia

80. Kebudayaan Wana/ To Wana a. Identifikasi, Lokasi, dan Penduduk

Suku Wana atau yang disebut To Wana merupakan salah satu suku terasing yang berlokasi di Kabupaten Poso yang meliputi Kecamatan Ulu Bongka, Kecamatan Bungku Utara, dan Kecamatan Am pana Borone. Kedua, di Kabupaten Luwuk Banggai yaitu di Kecamatan Batul (Melalatoa, 1995:913). Nama To Wana sendiri terdiri dari dua kata yaitu to yang berarti “orang” dan wana yang berarti “hutan”. Dalam hal ini To Wana dapat diartikan sebagai “orang yang tinggal di hutan” (Melalatoa, 1995:913). Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000-2001, masyarakat To Wana

berjumlah 1.767 jiwa (dalam www.interseksi.org). Namun, kemungkinan populasi suku tersebut adalah sekitar 5.000 jiwa (Hidayah, 1997:279). b. Bahasa

Orang Wana menggunakan bahasa mereka sendiri yang disebut bahasa Taa atau bahasa Wana (Melalatoa, 1995:913). c. Pola tempat tinggal

Masyarakat To Wana bermukim secara terpencar di hutan-hutan pedalaman di wilayah tempat penyebaran mereka dan juga di lembah-lembah pegunungan (Melalatoa 1995:913;sultengexploride.blogspot.com). Dahulu kebanyakan pola mukim mereka adalah berpencar dan berpindah-pindah mengikuti sistem ladang berpindah. Namun seiring berjalannya waktu dan dikarenakan pemerintah selalu berusaha merelokasi perkampungan mereka, maka masyarakat To Wana melakukan pertemuan adat yang memutuskan bahwa akan dilakukan penataan lipu (perkampungan) yang menetap (dalam www.rotanindonesia.org). Perkampungan To Wana disebut dengan lipu yang penamaannya disesuaikan dengan lokasi tempat lipu berada, misalnya To Uewaju, To Kajupoli, To Kajumarangke, dan lain-lain (Departemen Transmigrasi dan PPH RI KaWil Propinsi Sulawesi Tengah, 1999/2000 dalam melayuonline.com). Mereka tinggal dalam rumah yang berdiri di atas tiang yang terbuat dari kayu dengan ketinggian kira-kira satu meter di atas tanah. Biasanya dalam satu kesatuan tempat tinggal terdapat 3-4 buah rumah (Melalatoa, 1995:913). d. Organisasi sosial:

1. Sistem kekerabatan

Masyarakat To Wana hidup dalam kelompok-kelompok kecil di dekat ladang mereka. Terdapat sekitar 5-15 keluarga inti yang hidup di dekat lahan. Biasanya masih terdapat hubungan kekerabatan yang dekat di antara keluarga-keluarga tersebut. Satu keluarga terdiri atas satu keluarga inti senior dengan beberapa kerabat dekat sebagai kesatuan tenaga kerja. Sebab sebuah ladang dikerjakan oleh kira-kira 5-10 tenaga kerja dewasa dan anak-anak yang sudah mampu untuk membantu pekerjaan di ladang (Hidayah 1997:280). Sedangkan untuk masyarakat To Wana yang bermukim di sepanjang aliran Sungai Bulang, menyebar dalam bentuk persekutuan-persekutuan opot, yaitu antara 3-7 Kepala Keluarga (KK) hingga persekutuan lipu yang mencapai lebih dari 15 Kepala Keluarga (KK) (www.rotanindonesia.org). Orang Wana pun mengenal prosesi peminangan sebelum pernikahan (Melalatoa, 1997:914).

Page 23: Deskripsi 15 Suku Bangsa di Indonesia

2. Sistem kemasyarakatan Dalam kehidupan sosialnya, masyarakat To Wana memiliki seorang

pemimpin adat yang disebut Tautua Lipu. Tautua Lipu merupakan seorang lelaki senior dalam suatu lipu atau pemukiman. Dia bertindak sebagai kepala pemukiman, pemimpin tani, dan juga dukun (tawalia) (Hidayah 1997:280). e. Agama/religi

Orang To Wana masih menjaga kepercayaan tradisional mereka dimana mereka mempercayai kekuasaan tertinggi adalah Pu‟e. Mereka juga masih percaya pada makhluk-makhluk gaib serta menjaga warisan leluhur berupa tanah dan hutan. Kini sudah banyak yang memeluk agama Islam, Kristen, dan Katolik namun masih banyak yang kembali ke kepercayaan asal dan mereka disebut golongan Halarjik (Melalatoa, 1995:915; Hidayah, 1997:280). f. Kebudayaan yang menonjol/khas

Orang Wana memiliki kesenian tari seperti Tendebamba, Mue‟ende, Lamlia, dan Mataro. Selain itu ada seni suara yang berupa nyanyian seperti kayori dan pamaulu (Melalatoa, 1995:915). g. Nilai-nilai budaya

Aspek pengetahuan, nilainya adalah kebenaran. Masyarakat To Wana

sangat menjaga alam dan tanah leluhur mereka (dalam melayuonline.com). Aspek sosial, nilainya adalah harmoni, tenggang rasa, tanggung jawab,

tolong-menolong, kebersamaan. Masyarakat To Wana dalam setiap kehidupannya saling bekerja sama dan tolong-menolong dalam kelompoknya (Lipu). Jika ada yang meninggal, biaya upacara kematian tidak hanya ditanggung oleh keluarga tetapi anggota dalam satu kelompok pun ikut membantu. Saat ada yang sakit, mereka sama-sama berdoa. Mereka juga menjaga tanah yang diwariskan leluhur mereka dengan baik dan tidak membiarkan orang lain merusaknya (Melalatoa, 1995:914; melayuonline.com).

Aspek seni, nilainya adalah indah, kreatif, melankolis, riang. Seni tari,

musik, dan sastra memiliki nilai keindahan bagi yang mendengar dan melihatnya. Selain itu, ada nilai riang pada tari Tendebamba, Mue‟ende, dan Lamlia. Sedangkan melankolis pada nyanyian Pamaulu. Kreatif karena masyarakat to Wana dapat memanfaatkan barang-barang alam untuk dibuat kerajinan tangan seperti nyiru, tikar, dan lain-lain. Kreatif pula karena dalam keseniannya, terdapat berbagai ungkapan emosi (Melalatoa, 1995:914-915).

Aspek religi, nilainya adalah ketuhanan, kebenaran, iman, disiplin, dan setia. Masyarakat To Wana memiliki cukup banyak upacara-upacara dan ritual-

ritual yang merupakan perwujudan dari kepercayaan terhadap Pu‟E dan leluhur mereka. Hingga kini, mereka tetap menjaga warisan leluhur mereka. Sebagian dari mereka juga telah memeluk agama Islam, Kristen, dan Katolik (Melalatoa, 1995:915; Hidayah, 1997:280).

Aspek ekonomi, nilainya adalah ikhtiar dan makmur. Masyarakat To Wana selalu bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan mereka. Mereka berladang, berburu, dan meramu hasil hutan untuk kemudian dijual dan hasilnya digunakan untuk membeli barang-barang kebutuhan mereka. Namun, mereka tidak pernah merusak alam. Mereka senantiasa menjaga alam tempat mereka hidup (Melalatoa, 1995:913; Hidayah, 1997:279-280). h. Pembangunan dan modernisasi

Masuknya pendidikan di kalangan orang Wana. Meski baru dibuka sekolah tingkat SD dan SMP tapi kemajuan mereka amatlah pesat.

Page 24: Deskripsi 15 Suku Bangsa di Indonesia

Daftar Pustaka: Afif, Afthonul. 2008. Leluhur Suku Wana di Kendari (Sulawesi Tengah). Diakses melalui www.melayuonline.com pada tanggal 7 November 2012 pukul 17.49

Cammang, Nasution. ____. Bergerak Atas Nama Hutan Adat (Pelajaran dari Tau Taa Wana). Diakses

melalui www.rotanindonesia.org pada tanggal 7 November 2012 pukul 17.44

Hidayah, Zulyani. 1997. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia hal. 279-280. Jakarta: LP3ES

Lahaji, Jabar. 2010. Masyarakat Adat Wana dan Kearifan Lingkungan. Diakses melalui www.interseksi.org pada tanggal 7 November 2012 pukul 17.35

Melalatoa, M. Junus. 1995. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia hal. 913-915. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

SULTENG EXPLORIDE. 2012. Asal Usul Tau Taa Wana. Diakses melalui www.sultengexploride.blogspot.com pada tanggal 7 November 2012 pukul 17.31

Page 25: Deskripsi 15 Suku Bangsa di Indonesia

85. Kebudayaan Kei a. Identifikasi, Lokasi, dan Penduduk

Kei adalah suku bangsa yang berdiam di Kepulauan Kei yang terdiri atas pulau-pulau. Kepulauan Kei terbagi menjadi dua kecamatan yaitu Kecamatan Kei Besar dan Kecamatan Kei Kecil yang keduanya merupakan bagian dari Kabupaten Maluku Tenggara, Propinsi Maluku. Jumlah populasi dari orang Kei saat ini sudah tidak dapat diketahui dengan pasti karena banyaknya jumlah pendatang yang

berasal dari suku bangsa lain. Hanya saja ada perkiraan jumlah populasinya sekitar 35.000 jiwa yang tersebar tidak hanya di Kepulauan Kei tetapi juga di daerah-daerah sekitarnya (Melalatoa, 1995:376-377; Hidayah, 1997:125).

Nama lain dari orang Kei adalah orang Evav yang artinya “orang yang tinggal di pulau yang banyak babinya” atau “penghuni pulau babi”. Sedangkan kata kei berasal dari kata kayos yang merupakan bahasa Portugis yang artinya adalah “keras”. Disebut demikian, karena memang penampakan alam di Kepulauan Kei berupa pulau karang dan ditumbuhi kayu-kayu yang jenisnya keras (Melalatoa, 1995:377).

Mata pencaharian penting bagi orang Kei adalah berladang dan menangkap ikan. Namun, mereka melakukannya secara bergantian sesuai dengan musim yang ada di daerah itu. Jika musim hujan yang mereka sebut musim timur, maka mereka akan berladang. Tetapi jika musim barat, mereka akan pergi mencari ikan di laut. Selain itu, dalam tradisi orang Kei terdapat berbagai kepercayaan yang berkaitan dengan mata pencaharian mereka tersebut. Mereka juga terkenal dengan hasil kerajinan tembikar yang sangat indah karena dihiasi motif-motif khas Kei. (Melalatoa, 1995:378). b. Bahasa

Bahasa yang digunakan oleh orang Kei adalah bahasa Kei yang memiliki dua dialek yaitu dialek Kei Kecil dan dialek Kei Besar (Melalatoa, 1995:377). c. Pola Tempat Tinggal d. Organisasi sosial:

1. Sistem kekerabatan Kelompok kerabat yang terkecil adalah keluarga inti yang disebut riin rahan

atau ub. Kumpulan keluarga inti menjadi rahayan dan akan berkembang menjadi klen (soa). Soa akan mendiami desa (ohoi). Mereka menggunakan prinsip patrilineal dalam penarikan garis keturunan. Dan dalam pemilihan jodoh, diusahakan yang berada dalam status sosial yang sama (Melalatoa, 1995:378).

2. Sistem kemasyarakatan Orang Kei mengenal dua kelompok penganut adat, yaitu kelompok ursiu atau

“persekutuan sembilan” yang ada di Kecamatan Kei Kecil dan kelompok lorlim atau “persekutuan lima” yang ada di Kecamatan Kei Besar. Terdapat pelapisan sosial yaitu mel-mel yang bertugas membuat norma-norma dan mengatur ketertiban masyarakat, iri-iri yang merupakan budak. Pimpinan dalam masyarakat adalah Rat, orang kaya, Kepala Soa, Tavoat, Mitu Duan, dan Marinyo (Melalatoa, 1995:379). e. Agama/religi

Di masa kini, orang-orang Kei sudah memeluk agama Kristen dan Islam dan kedua penganutnya saling bertoleransi dalam kehidupan sosial. Mereka juga pernah meyakini roh-roh (mitu) dan kekuatan sakti (Melalatoa, 1995:379).

Page 26: Deskripsi 15 Suku Bangsa di Indonesia

f. Kebudayaan yang menonjol/khas

Orang Kei terkenal karena banyaknya benda-benda prasejarah yang ditemukan di daerah Kepulauan Kei. Selain itu, ada juga kerajinan tembikar dengan motif-motif yang indah (Melalatoa, 1995:378). g. Nilai-nilai budaya

Aspek sosial, nilainya adalah harga diri. Orang Kei menganggap ayah sebagai lambang kebanggaan dan ibu adalah lambang kehormatan bagi keluarga. Dan anak perempuan pun sebagai lambang kehormatan keluarga. Aib yang diperbuat oleh anak perempuan adalah aib keluarga (Melalatoa, 1995:378).

Aspek seni, nilainya adalah keindahan dan kuno. Nekara adalah barang masa prasejarah yang menjadi bukti peninggalan di Kepulauan Kei dan memiliki motif yang bermacam-macam (Melalatoa, 1995:377-378).

Aspek religi, nilainya adalah ketuhanan, toleransi, dan keseimbangan.

Orang Kei kini telah banyak yang memeluk agama Kristen dan Islam. Dan di antara keduanya memiliki toleransi yang baik. Mereka juga masih mengadakan upacara-upacara untuk menghindari malapetaka alam yang disebut sob-sob (Melalatoa, 1995:379). h. Pembangunan dan modernisasi

Orang Kei telah menerima pendidikan dan mulai muncul adat merantau (Melalatoa, 1995:377)

. Daftar Pustaka: Melalatoa, M. Junus. 1995. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia hal. 376-379. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Page 27: Deskripsi 15 Suku Bangsa di Indonesia

92. Kebudayaan Sentani a. Identifikasi, Lokasi, dan Penduduk

Sentani adalah salah satu suku bangsa cukup besar di Papua. Kebanyakan dari mereka hidup di sekitar Danau Sentani, Kecamatan Sentani, Kabupaten Yajapura, Propinsi Irian Jaya. Kini, orang Sentani juga ada yang tinggal di Kota Madya Jayapura. Jumlah populasi orang Sentani sejak tahun 1990 tidak dapat diketahui pasti karena adanya pendatang yang juga tinggal di daerah mereka. Namun pada tahun 1979 ada perkiraan bahwa jumlah populasi mereka sekitar 14.000 jiwa

dan tersebar di 31 kampung. Ada pula sumber lain yang memberikan perkiraan bahwa jumlah populasi orang Sentani adalah 25.000 jiwa (Melalatoa, 1995:760; Hidayah, 1997:239).

Mata pencaharian orang Sentani umumnya adalah berladang, berburu, dan menangkap ikan. Adapun pekerjaan lain yaitu beternak babi dan anjing serta hewan ternak yang baru mereka pelihara adalah ayam, kambing, dan sapi. Mereka juga sudah mulai mencoba pekerjaan yang modern seperti pegawai, pedagang, dan juga pendeta (Melalatoa, 1995:761; Hidayah, 1997:239-240). b. Bahasa

Orang Sentani menggunakan bahasa Sentani dalam berkomunikasi dan menyebut berbagai istilah dalam bahasa Sentani, misalnya kata “danau” dalam bahasa Sentani disebut “buyakha” (pealtwo.wordpress.com). c. Pola tempat tinggal

Mereka tinggal di rumah-rumah yang berdiri di atas tiang setinggi satu setengah meter dari permukaan air. Rumah-rumah mereka membentuk perkampungan yang umumnya berada di tepi danau atau di pulau-pulau yang ada di tengah danau dan beberapa lagi di daratan. Jarak antar kampung sangat jauh dan hanya bisa dicapai dengan menggunakan perahu. Rumah orang Sentani biasanya didirikan menghadap ke darat sedangkan dapurnya menghadap ke danau. Bagian bawah rumah digunakan sebagai tempat menampung ikan-ikan yang masih hidup untuk sewaktu-waktu dikonsumsi. Selain itu, air untuk kehidupan sehari-hari juga diambil langsung dari kolong rumah (Melalatoa, 1995:760). d. Organisasi sosial:

1. Sistem kekerabatan Orang Sentani menganut prinsip patrilineal dalam menentukan garis

keturunan. Kelompok kekerabatan dalam masyarakat Sentani dimulai dari klen yang dipimpin oleh kepala klen yang disebut Kaselo. Mereka pun menjaga adat eksogami klen. (Melalatoa, 1995:761).

2. Sistem kemasyarakatan

Masyarakat Sentani dibagi ke dalam beberapa komunitas kampung-kampung. Dalam setiap kampung, ada dua jenis lapisan sosial yaitu lapisan atas (Kose Yokolom) dan lapisan rakyat biasa (Yabu Yokolom) (Melalatoa, 1995:761). e. Agama/religi

Orang Sentani telah menerima ajaran Kristen sejak tahun 1928, namun masih banyak gejolak dan gerakan yang timbul setiap saat berkaitan dengan agama (Melalatoa, 1995:761)

Page 28: Deskripsi 15 Suku Bangsa di Indonesia

f. Kebudayaan yang menonjol/khas Di sekitar wilayah Sentani sering ditemukan benda-benda prasejarah yang

berasal dari jaman neolitik dan megalitik (Melalatoa, 1995:760). g. Nilai-nilai budaya

Aspek sosial, nilainya adalah akrab dan tolong-menolong. Dalam hubungan kekerabatan orang Sentani, adalah suatu kewajiban untuk membantu kerabat yang akan melangsungkan pernikahan tetapi tidak mampu membayar mas kawin (Melalatoa, 1995:761).

Aspek seni, nilainya adalah kuno dan kehormatan. Di daerah sekitar Danau Sentani terdapat banyak peninggalan yang berasal dari jaman neolitik dan megalitik. Selain itu, manik dan gelang kaca menjadi mas kawin yang paling berharga dan bernilai tinggi bagi mereka (Melalatoa, 1995:760-761).

Aspek religi, nilainya adalah agresif. Banyaknya gerakan-gerakan yang mengatasnamakan agama dan menjanjikan kebahagiaan (Melalatoa, 1995:761). h. Pembangunan dan modernisasi

Orang Sentani mulai menata hukum dalam adat mereka menjadi hukum pemerintah.

Daftar Pustaka:

Hidayah, Zulyani. 1997. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia hal. 239-240. Jakarta: LP3ES.

Kopeuw, Philip. 2012. Mite Sagu Menurut Suku Sentani. Diakses melalui pealtwo.wordpress.com pada tanggal 2 Januari 2013 pukul 12.50 WIB

Melalatoa, M. Junus. 1995. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia hal. 760-762. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Page 29: Deskripsi 15 Suku Bangsa di Indonesia

100. Kebudayaan Mimika a. Identifikasi, Lokasi, dan Penduduk

Mimika adalah salah satu kelompok suku bangsa yang mendiami wilayah Kecamatan Mimika Barat dan Mimika Timur, Propinsi Irian Jaya. Kini, orang Mimika juga ada yang hidup di wilayah Kabupaten Fakpak. Orang Mimika memiliki beberapa sebutan yang diberikan oleh suku bangsa yang ada di sekitar wilayahnya yaitu Nefarpi, Kamoro, Lakahia, dan Mukamuga. Jumlah populasi orang

Mimika ini diperkirakan sekitar 10.000 jiwa. Mata pencaharian mereka yang utama adalah mencari sagu, menangkap ikan, berburu, dan berladang (Melalatoa, 1995:560; Hidayah, 1997:185). b. Bahasa

Bahasa yang digunakan adalah bahasa Mimika yang disebut juga bahasa Kamoro dan merupakan satu rumpun dengan bahasa Irian (Melalatoa, 1995:560) c. Pola tempat tinggal

Orang Mimika biasanya mendirikan perkampungan mereka di sekitar sungai atau di tepi sungai. Mereka juga menamai perkampungan mereka sesuai dengan nama sungai di mana mereka berada. Dulu, mereka bahkan sering berpindah-pindah. Mereka mengenal tiga jenis rumah (kame) pada masa lalu yaitu rumah semi permanen, gubuk darurat, dan rumah permanen. Namun, kini semua rumah orang Mimika telah menjadi jenis rumah permanen sebab kebiasaan mereka yang hidup berpindah-pindah tempat sudah hilang. Bentuk rumah permanen mereka seperti rumah panggung dengan lantai dari batang nibung dan ditutupi tikar serta dinding yang juga dari anyaman daun nibung (Melalatoa, 1995:560; Hidayah, 1997:185) d. Organisasi sosial:

1. Sistem kekerabatan

Prinsip kekerabatannya adalah bilineal karena terdapat unsur unilineal rangkap. Artinya, dalam hal pewarisan dan keturunan sesuai dengan matrilineal dan jika berhubungan dengan ritual maka akan jadi patrilineal (Melalatoa, 1995:561). e. Agama/religi

Kepercayaan tradisional orang Mimika adalah pada kekuatan sakti (mbii). Dan untuk menghormati arwah yang meningal harus dilaksanakan upacara mbii kawane. Namun kini, mereka telah beragama Katolik (Melalatoa, 1995:561-562). f. Kebudayaan yang menonjol/khas

Motif ragam hias dari Mimika mengandung falsafah hidup mereka dan motif puser (mopore) di mana ini bermakna si ibu sebagai asal dari kehidupan ini (Melalatoa, 1995:561) g. Nilai-nilai budaya

Aspek sosial, nilainya adalah akrab. Orang Mimika tidak membatasi

kekerabatan mereka hanya dengan yang mempunyai hubungan darah melainkan dengan orang yang telah akrab dan dekat dengan mereka juga dianggap seperti kerabat (Melalatoa, 1995:561).

Aspek seni, nilainya adalah filosofis. Motif ragam hias tiga dimensi yang

dimiliki oleh orang Mimika memiliki makna yang lekat dengan kehidupan mereka. Seperti ungkapan “hidup ini berarti gerak, dan mati berarti tidak bergerak lagi”.

Page 30: Deskripsi 15 Suku Bangsa di Indonesia

Contoh ragam hias itu adalah motif puser (mopore) yang bermakna pusat dari kehidupan berasal (Melalatoa, 1995:561).

Aspek religi, nilainya adalah ketuhanan dan penghargaan. Orang Mimika kini sudah memeluk agama Kristen. Meskipun begitu, mereka masih memiliki kepercayaan tradisional yang diwujudkan dengan upacara. Salah satunya upacara penghormatan bagi para roh dan arwah yang disebut mbii kawane (Melalatoa, 1995:561-562).

Aspek ekonomi, nilainya adalah inovatif dan makmur. Orang Mimika

menggunakan alat-alat yang dibuat sendiri dengan bahan-bahan alam untuk menangkap ikan dan berburu. Mereka juga telah mengenal sistem barter untuk memenuhi kebutuhan mereka sejak lama (Melalatoa, 1995:560-501). h. Pembangunan dan modernisasi

Munculnya ekonomi uang yang menggantikan ekonomi barter (Melalatoa, 1995:560-561).

Daftar Pustaka:

Hidayah, Zulyani. 1997. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia hal. 185-186. Jakarta: LP3ES.

Melalatoa, M. Junus. 1995. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia hal. 560-562. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Page 31: Deskripsi 15 Suku Bangsa di Indonesia

112. Kebudayaan Dawan/Atoni a. Identifikasi, Lokasi, dan Penduduk

Dawan atau sering disebut sebagai Atoni adalah suatu suku bangsa asal Pulau Timor yang berlokasi di Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan, dan Timor Tengah Utara. Jumlah populasi orang Dawan tidak dapat diketahui dengan pasti namun dalam sensus penduduk tahun 1971 dikatakan bahwa populasi orang Dawan yang terbesar di antara suku bangsa lain yang menempati

ketiga wilayah kabupaten tersebut. Mata pencaharian pokok orang Dawan adalah ladang berpindah. Ada pula yang bekerja sebagai penyadap lontar atau kita kenal dengan penyadap nira dan peternak sapi (Melalatoa, 1995:226-227). b. Bahasa

Bahasa yang digunakan adalah bahasa Dawan dengan dialek Kupang, Amarasi, Menufui, Manatun, Manuban, dan Molo (Hidayah, 1997:80). c. Pola tempat tinggal

Dalam tradisi orang Dawan, perkampungan didirikan di puncak-puncak bukit yang dikelilingi dinding batu, kaktus, dan semak berduri. Rumah (ume tua) orang Dawan dibedakan menurut status sosial. Rumah untuk raja atau istana disebut sonaf atau ume Usif. Rumah untuk orang biasa disebut ume to ana‟. Rumah mereka berbentuk bundar dengan atap kerucut. Rumah ini difilosofikan sebagai langit dan bumi. Selain itu, rumah orang Dawan juga dihias menggunakan berbagai motif yang bertemakan flora, fauna, dan gejala alam (Melalatoa, 1995:226). d. Organisasi sosial:

1. Sistem kekerabatan

Keluarga inti disebut ume dan keluarga luas disebut puknes. Ada lagi sistem klen yang disebut kuanes atau klen kecil. Klen-klen kecil akan membentuk kanaf atau kakak bimbing. Prinsip keturunan partrilineal. Dan adat menetap setelah menikah sementara uxorilokal lalu virilokal (Melalatoa, 1995:229).

2. Sistem kemasyarakatan Dahulu, klen-klen berkumpul dan digolongkan sebagai golongan bangsawan

(usif), orang biasa (tob), dan budak (ate) (Melalatoa, 1995:229). e. Agama/religi

Mereka memiliki kepercayaan tradisional terhadap Uis Neno yang merupakan dewa pencipta alam. Selain itu, mereka juga telah memeluk agama Kristen, Katolik, dan Islam (Melalatoa, 1995:229). f. Kebudayaan yang menonjol/khas

Motif ragam hias yang terinspirasi dari alam seperti motif daun sirih (Melalatoa, 1995:227). Tari Bonet merupakan tarian berburu (Melalatoa, 1995:229) g. Nilai-nilai budaya

Aspek sosial, nilainya adalah perbedaan. Dalam kehidupan sosial orang Dawan baik itu dalam kekerabatan maupun kemasyarakatan terdapat aturan-aturan yang berbeda sesuai dengan status sosial yang melekat pada setiap klen maupun individu (Melalatoa, 1995:229).

Aspek seni, nilainya adalah keyakinan. Motif-motif dalam ragam hias orang Dawan memiliki arti sesuai dengan kepercayaan mereka (Melalatoa, 1995:227).

Page 32: Deskripsi 15 Suku Bangsa di Indonesia

Aspek religi, nilainya adalah suci, ketaatan, dan ketuhanan. Orang Dawan memiliki beberapa tempat pemujaan dan di antaranya ada tempat untuk menyimpan benda suci (nono) yang disebut ume Mnasi. Mereka juga mengadakan upacara-upacara untuk pemujaan untuk Uis Neno, dewa mereka. Namun, kini sudah ada dari mereka yang memeluk agama Kristen, Katolik, dan Islam (Melalatoa, 1995:227-229).

Aspek ekonomi, nilainya adalah tolong-menolong, gotong royong, makmur, dan syukur. Dalam mengerjakan ladang, orang Dawan saling

membantu dengan kerabatnya. Mereka juga telah menjadi pengekspor sapi bagi Indonesia. Dahulu kala saat mereka masih hidup berburu, ada upacara yang diadakan bila mereka mendapatkan hasil buruan (Melalatoa, 1995:227-229) . h. Pembangunan dan Modernisasi

Syair-syair yang digunakan dalam tarian berburu di suku Dawan kini lebih sering disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat masa kini, seperti Keluarga Berencana (KB), kesehatan, pendidikan, dan lain-lain (Melalatoa, 1995:229).

Daftar Pustaka: Melalatoa, M. Junus. 1995. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia hal. 227-229. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Page 33: Deskripsi 15 Suku Bangsa di Indonesia

130. Kebudayaan Sunda a. Identifikasi, Lokasi, dan Penduduk

Sunda adalah suku bangsa besar yang berasal dari Jawa Barat. Orang Sunda merupakan suku bangsa mayoritas yang ada di Jawa Barat. Mereka biasa menyebut daerah asalnya dengan sebutan Tatar Sunda atau Tanah Pasundan. Jumlah populasi orang Sunda adalah terbesar kedua setelah Jawa dan jumlahnya pun makin bertambah seiring

bertambahnya tahun. Diperkirakan ada sekitar 20 juta jiwa penduduk Indonesia yang merupakan orang Sunda. Mata pencaharian orang Sunda yang utama adalah sebagai petani di ladang dan sawah. Ada pula yang beternak, memelihara ikan di kolam-kolam, kerajinan tangan seperti tembikar, anyaman, dan sebagainya. Dan pada masa kini, orang Sunda banyak yang bekerja sebagai pengusaha, pedagang, eksekutif, tenaga pendidik, dan lain-lain (Melalatoa, 1995:800; Hidayah, 1997:249). b. Bahasa

Bahasa yang digunakan adalah bahasa Sunda yang memiliki beberapa dialek yaitu dialek Banten, Cirebon, Purwakarta, Cianjur, Sumedang, Bandung, dan Ciamis. Bahasa ini juga memiliki tingkatan yaitu kasar dan halus (lemes) (Melalatoa, 1995:800). c. Pola tempat tinggal

Pola tempat tinggal orang Sunda umumnya mengelompok atau menyebar di desa-desa. Dalam satu desa biasanya terdapat beberapa kampung yang setiap kampungnya tersusun atas rumah-rumah lengkap dengan halamannya sendiri-sendiri, lumbung padi, kandang ternak, kolam ikan, tempat pemandian, tempat ibadah, tempat pertemuan, dan lapangan. Biasanya juga terdapat sawah atau ladang yang dilintasi jalan umum yang digunakan orang-orang di desa. Untuk arsitektur rumah, orang Sunda memiliki rumah tradisional yang telah terpengaruh oleh unsur-unsur dari Jawa, Cina, dan unsur lain yang lebih modern. Namun, rumah tradisional Sunda yang khas adalah yang berbentuk rumah dengan lantai panggung, atapnya dominan suhunan panajanga yang ditambah dengan jurai. Pondasinya berupa umpak (tatapakan) yang terbuat dari kayu dan dinding yang terbuat dari anyaman bambu. Bentuk rumah adalah empat persegi panjang dengan susunan ruang depan, tengah, dan belakang (Melalatoa, 1995:802-803). d. Organisasi sosial:

1. Sistem kekerabatan Kekerabatan berdasarkan keturunan, nenek moyang yang sama, dan kerabat

fiktif (anak angkat atau anak kukut). Prinsip keturunannya adalah bilateral. Adat menetap setelah menikah adalah matrilokal. Ada juga istilah bondoroyot yaitu kelompok orang-orang yang non-unilineal (Melalatoa, 1995:804).

2. Sistem kemasyarakatan

Pelapisan sosial berdasarkan keturunan, yaitu golongan menak atau bangsawan, golongan rakyat biasa (cacah atau somah), golongan orang kaya (jelema beunghar atau jelegut (Hidayah, 1997:250) e. Agama/religi

Mayoritas orang Sunda adalag beragama Islam tetapi memang masih ada sisa-sisa kepercayaan pada leluhur yang diwujudkan dengan upacara-upacara adat (Melalatoa, 1995:808).

Page 34: Deskripsi 15 Suku Bangsa di Indonesia

f. Kebudayaan yang menonjol/khas Orang Sunda memiliki banyak kesenian. Yang terkenal ialah seni tembang

dan wayang golek purwa. Alat musik tradisional yang terkenal misalnya angklung dan calung yang merupakan alat musik dari bambu. Ronggeng Gunung yang adalah seni pertunjukan dari daerah Ciamis (Melalatoa, 1995:807). g. Nilai-nilai budaya

Aspek pengetahuan, nilainya adalah keselarasan. Di desa-desa orang Sunda umumnya terdapat jalan setapak atau jalan desa yang melintasi pematang sawah. Hal ini dilakukan sebagai wujud keselarasan dengan alam (Melalatoa, 1995:802).

Aspek sosial, nilainya adalah kekeluargaan dan tolong-menolong. Ungkapan orang Sunda “bengkung ngariung, bongkok ngaronyok” yang intinya bahwa dalam kekerabatan tidak mudah berpisah. Mereka juga memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk membantu kerabatnya (Melalatoa, 1995:804).

Aspek seni, nilainya adalah ekonomis, moral, dan keindahan. Bagi

penonton, seni yang ditampilkan adalah sebagai hiburan dan bagi pemain atau seniman adalah sebagai pekerjaan. Dan kadang-kadang seni juga digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan tertentu (Melalatoa, 1995:807).

Aspek religi, nilainya adalah ketuhanan dan ikhtiar. Orang Sunda

mayoritas beragama Islam dan dalam kehidupannya mereka mengamalkan ajaran-ajaran Islam (Melalatoa, 1995:808).

Aspek ekonomi, nilainya adalah inovatif dan rajin. Penggunaan teknologi pertanian yang modern dan pemanfaatan waktu luang setelah panen dengan membuat kerajinan tangan yang dapat dijual atau mencari pekerjaan lain sebelum masa panen kembali tiba (Melalatoa, 1995:803-804). h. Pembangunan dan modernisasi

Suku Sunda berada di Jawa Barat yang merupakan salah satu propinsi yang penuh dengan modernisasi. Kita dapat melihat dari bentuk rumah tradisional Sunda yang awalnya berbentuk rumah panggung menjadi menyentuh tanah (Melalatoa, 1995:803).

Daftar Pustaka:

Hidayah, Zulyani. 1997. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia hal. 249-251. Jakarta: LP3ES.

Melalatoa, M. Junus. 1995. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia hal. 800-808. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Page 35: Deskripsi 15 Suku Bangsa di Indonesia

131. Kebudayaan Betawi a. Identifikasi, Lokasi, dan Penduduk

Betawi adalah suku bangsa yang berasal dari Propinsi DKI Jakarta. Orang Betawi atau Melayu Betawi atau orang Jakarta yang dalam logat Betawi disebut orang Jakarte berlokasi di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya serta beberapa di wilayah Jawa Barat. Nama “Betawi” sebenarnya berasal dari nama yang

diberikan oleh Belanda pada masa lalu yaitu dari kata Batavia. Dalam sejarah suku bangsa, Betawi disebut sebagai suku bangsa yang muncul karena pencampuran budaya dari seluruh suku bangsa yang ada di Indonesia atau bahkan mungkin dari seluruh penjuru dunia. Sebab daerah Betawi dahulu merupakan daerah pelabuhan terkenal yang bernama Sunda Kelapa di mana terjadi asimilasi berbagai suku bangsa pada masa itu. Jumlah populasi orang Betawi pada tahun 1930 terhitung sebanyak 778.953 jiwa. Namun kini diperkirakan meningkat sebanyak dua kali lipat (Melalatoa, 1995:160; Hidayah, 1997:55-56).

Mata pencaharian orang Betawi sangat bervariasi dan biasanya dibedakan antara yang tinggal di pusat kota dan di pinggiran kota. Di pusat kota atau di tengah kota, mereka berkerja sebagai pedagang, pegawai pemerintahan, swasta, buruh, tukang mebel, dan pekerjaan lainnya. Sedangkan yang di pinggiran kota bekerja sebagai petani di sawah ataupun di kebun untuk menanam buah, pedagang kecil-kecilan, memelihara ikan, dan yang lebih modern sebagai pekerja pabrik dan pegawai. Namun, sejak dulu orang Betawi terkenal sebagai petani buah-buahan di mana daerah Condet, Jakarta Timur yang telah dijadikan kawasan “cagar budaya” terkenal dengan tanaman buah-buahannya (Melalatoa, 1995:163). b. Bahasa

Bahasa yang digunakan adalah bahasa Betawi atau Omong Betawi atau Omong Jakarta. Bahasa ini memiliki dua jenis dialek yaitu dialek Betawi Dalam Kota atau dialek Betawi Ora dan dialek Betawi Pinggiran (Melalatoa, 1995:161). c. Pola tempat tinggal

Orang-orang Betawi ada yang tinggal di pusat kota dan sebagian lagi di pinggiran kota Jakarta (Melalatoa,1995:162). d. Organisasi sosial:

1. Sistem kekerabatan

Penarikan garis keturunan berdasarkan prinsip bilineal. Adat setelah menikahnya adalah bebas sesuai keputusan sebelum menikah tapi biasanya hanya ada dua jenis yaitu patrilokal dan matrilokal (Melalatoa, 1995:163). e. Agama/religi

Orang Betawi merupakan pemeluk agama Islam yang taat. Mereka menjalankan syariat Islam sebagaimana hukum dari pemerintah (Melalatoa, 1995:167). f. Kebudayaan yang menonjol/khas

Orang Betawi memiliki banyak jenis kesenian yang merupakan hasil pencampuran dari berbagai suku bangsa yang pernah mendiami daerah mereka (Melalatoa, 1995:165). g. Nilai-nilai budaya

Aspek sosial, nilainya adalah berbudi luhur. Orang Betawi memiliki upacara-upacara yang berkaitan dengan lifecycle dan biasanya bertujuan untuk

Page 36: Deskripsi 15 Suku Bangsa di Indonesia

menanamkan nilai-nilai moral pada generasi berikutnya agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan atau dalam kehidupan sehari-hari disebut kaya engga dikebain (Melalatoa, 1995:164).

Aspek seni, nilainya adalah inovatif, kreatif, dan indah. Betawi muncul

karena pencampuran budaya berbagai suku bangsa sehingga dalam kesenian Betawi terdapat unsur-unsur berbagai macam suku bangsa yang kemudian melahirkan kesenian baru yang khas Betawi (Melalatoa, 1995:165).

Aspek religi, nilainya adalah ketuhanan dan ikhtiar. Dalam kehidupannya,

orang Betawi tidak dapat dipisahkan dengan ajaran Islam. Ajaran Islam menjadi nilai, norma, aturan, dan juga hukum bagi masyarakat Betawi (Melalatoa, 1995:167)

Aspek ekonomi, nilainya adalah kreatif. Orang Betawi memiliki pekerjaan

yang bervariasi (Melalatoa, 1995:163). h. Pembangunan dan modernisasi

Daerah Betawi sejak dulu telah terkena modernisasi. Di mana kita lihat banyaknya jenis pekerjaan yang dilakukan orang Betawi (Melalatoa, 1995:163).

Daftar Pustaka:

Hidayah, Zulyani. 1997. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia hal. 55-57. Jakarta: LP3ES.

Melalatoa, M. Junus. 1995. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia hal. 160-167. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Page 37: Deskripsi 15 Suku Bangsa di Indonesia

BAB III

MATRIK PERBANDINGAN NILAI-NILAI BUDAYA DAN ANALISIS

I. MATRIK PERBANDINGAN NILAI-NILAI BUDAYA 15 SUKU BANGSA

Suku Bangsa

Pengetahuan

Sosial

Seni

Religi

Ekonomi

1. Melayu Riau Tertib dan rukun: Hubungan antara orang Melayu Riau dengan pendatang terjalin baik.

Kreatif dan harmoni: Tata pemerintahan dan norma yang berlaku didasarkan pada pantun-pantun adat.

Ketuhanan dan iman: Masyarakat Melayu Riau dalam hidupnya selalu berpedoman pada ajaran-ajaran Islam.

Efisien dan makmur: Masyarakat Melayu Riau menggunakan alat-alat sederhana untuk mencari ikan. Dan penghasilan pokok mereka adalah berdagang.

2. Melayu Palembang

Kreatif dan harmonis: Pembuatan rumah adat yang disesuaikan dengan kondisi tempat mereka berada.

Musyawarah, disiplin, harmonis: Pelaksanaan hak dan kewajiban yang didasarkan pada lapisan sosial. Dan pengambilan keputusan yang dimusyawarahkan dalam rapat-rapat adat berdasarkan tingkatan kesatuan adatnya.

Persatuan, kebersamaan, tolong menolong: Tahapan upacara perkawinan yang dilakukan orang Palembang.

Ketuhanan, kebenaran, ketaatan: Pelaksanaan syariat Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan adat orang Palembang

Kreatif dan makmur: Berbagai macam mata pencaharian yang digeluti oleh orang Palembang. Selain itu, mereka juga sangat terampil dalam menghasilkan berbagai macam kerajinan tangan.

3. Kenyah Keseimbangan, kerja keras, inovatif, dan kebenaran: Orang Kenyah selalu belajar dari setiap pengalaman dan tantangan alam. Mereka juga dapat membaca isyarat alam sebelum melakukan sesuatu. Menjaga hubungan baik dengan alam dan selalu ingin maju.

Setia kawan, kebersamaan, tolong menolong, kerukunan, dan ramah tamah: Orang Kenyah mempunyai konsep sosial yang disebut nilai tiga. Nilai ini digunakan dalam menjalankan kehidupan sosial di dalam rumah panjang (umaq dadoq) maupun jika mereka

Gotong royong, keindahan, dan keyakinan: Pembangunan umaq dadoq (rumah panjang) yang dilakukan dengan cara gotong royong (ruyung). Selain itu di dalam berbagai motif ragam hias serta fungsi-fungsi dari seni tari, seni musik, dan seni sastra

Kebenaran, ketuhanan, harmonis, keyakinan: Orang Kenyah tidak mau menyebut keburukan orang lain (peliwei tirak) atau membuka rahasia orang lain (bak banyet biuk) sebab hal tersebut adalah tidak terpuji (ngayap). Kepercayaan mereka yang tidak boleh sembarangan merusak

Harmonis, makmur, berani, kerja keras, mandiri, tolong menolong, dan kompetitif: Orang Kenyah yang berladang, mereka berupaya untuk melihat pertanda alam dalam membuka ladang sehingga tidak boleh sembarangan. Mereka

Page 38: Deskripsi 15 Suku Bangsa di Indonesia

keluar dari umaq dadoq. terkandung kepercayaan dan keyakinan tradisional orang Kenyah.

alam ataupun membunuh hewan merupakan wujud untuk menjaga keharmonisan dengan alam.

juga suka berbalas pantun dengan para pemilik ladang tetangga untuk mengetahui sudah sampai di mana pekerjaan mereka.

4. Benuaq Kecantikan, kesehatan, keharmonisan: Wanita Benuaq memiliki kemampuan untuk memanfaatkan benda-benda dari alam untuk menjaga dan memelihara kecantikan dan kondisi tubuh.

Gotong royong dan harga diri: Orang Benuaq akan berupaya melaksanakan upacara kwangkai bagi kerabatnya sebab mereka akan merasa berutang jika belum melaksanakannya dan biaya upacara biasanya ditanggung bersama.

Keindahan dan keyakinan: Upacara kwangkai yang diadakan karena keyakinan orang Benuaq bahwa kerabat mereka yang telah meninggal harus diantar menuju surga terakhir.

Rela berkorban: Orang Benuaq berupaya untuk melaksanakan upacara kwangkai demi mengantarkan roh kerabatnya agar sampai pada usup bawo ngeno.

5. Mandar Demokrasi: Masyarakat Mandar memiliki ungkapan yang digunakan sebagai pengontrol kekuasaan raja. Di mana saat raja diangkat maka ia haruslah menjalankan kehendak rakyat.

Kemewahan: Saat menghadiri upacara adat, wanita Mandar menggunakan gelang panjang yang terbuat dari emas (gallang).

Ketuhanan dan keseimbangan: mayoritas orang Mandar telah memeluk agama Islam. Meskipun begitu, mereka tetap mengadakan upacara-upacara adat, terutama yang berhubungan dengan pertanian dan life cycle. Hal ini dimungkinkan untuk menjaga hubungan manusia dengan alam.

Efisien, makmur, dan kerja keras: Orang Mandar yang bekerja sebagai pedagang bekerja dengan ulet. Untuk bertani mereka masih menggunakan alat-alat tradisional.

6. Minahasa Tolong menolong, bersatu, bekerja keras, dan damai: Ungkapan “Esa etu u mawangun banua” yang memiliki arti “bersatu, tolong-menolong dan bekerja baktilah dalam

Berani dan keindahan: Tari Cakalele adalah tarian perang dari suku Minahasa. Penarinya dituntut untuk bersikap berani. Hal ini tercermin dari simbol mahkota dari bulu dan sayap burung

Setia, kebenaran, dan ketuhanan. Daerah Minahasa merupakan pusat penyebaran agama Kristen Protestan di Sulewesi Utara dan sebagian besar orang Minahasa telah

Page 39: Deskripsi 15 Suku Bangsa di Indonesia

menghadapi dan menyelesaikan pekerjaan yang besar dalam kehidupan masyarakat di desa atau di kampong”.

elang yang dipakai oleh sang pemimpin.

memeluk agama tersebut.

7. Bajau Terampil dan berwawasan: Orang Bajau memiliki pengetahuan tentang ilmu kelautan dan perbintangan sejak dahulu bahkan mereka amat mengenal baik lautan di Indonesia. Mereka juga terampil dalam menyelam

Kekeluargaan dan damai: Orang Bajau hidup terpisah dan menyebar di berbagai tempat namun hubungan kekeluargaan mereka masih terjaga dengan baik. Orang Bajau pun terkenal tidak suka berkelahi dan cinta damai

Ketuhanan: Orang Bajau telah memeluk agama Islam sebagai hasil interaksi dengan pelaut Bugis namun mereka tetap melakukan upacara-upacara adat yang berhubungan dengan kepercayaan animisme laut

Efisien: Orang Bajau menangkap ikan menggunakan alat yang sederhana dan mengambil secukupnya untuk kehidupan mereka

8. Sangir Tolong menolong dan gotong royong: Orang Sangir mengenal istilah gotong royong yang disebut mapaluse dalam membangun rumah atau membuka ladang. Pada masa lalu juga dikenal istilah kalumpang yang mengatur kerja sama dalam mengolah kelapa yang baru dipetik

Rukun, kesejahteraan, dan taat: Orang Sangir mengenal upacara Lepasi yang berupa upacara penyucian diri. Upacara ini dilangsungkan jika semua rakyat telah rukun. Ada pula pantangan-pantangan yang harus mereka lewati saat upacara (pelli).

Efisien: Alat untuk menangkap ikan yang digunakan oleh orang Sangir masih tergolong sederhana

9. To Wana Kebenaran: Masyarakat To Wana sangat menjaga alam dan tanah leluhur mereka

Harmoni, tenggang rasa, tanggung jawab, tolong-menolong, kebersamaan: Masyarakat To Wana dalam setiap kehidupannya saling bekerja sama dan tolong-menolong dalam kelompoknya (Lipu).

Indah, kreatif, melankolis, riang: Nilai riang pada tari Tendebamba, Mue‟ende, dan Lamlia. Sedangkan melankolis pada nyanyian Pamaulu. Kreatif karena masyarakat to Wana dapat memanfaatkan

Ketuhanan, kebenaran, iman, disiplin, dan setia: Masyarakat To Wana memiliki cukup banyak upacara-upacara dan ritual-ritual yang merupakan perwujudan dari kepercayaan terhadap Pu‟E dan leluhur mereka. Hingga

Ikhtiar dan makmur: Masyarakat To Wana selalu bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan mereka. Mereka berladang, berburu, dan meramu hasil hutan untuk kemudian dijual dan hasilnya digunakan

Page 40: Deskripsi 15 Suku Bangsa di Indonesia

barang-barang alam untuk dibuat kerajinan tangan seperti nyiru, tikar, dan lain-lain.

kini, mereka tetap menjaga warisan leluhur mereka.

untuk membeli barang-barang kebutuhan mereka. Namun, mereka tidak pernah merusak alam.

10. Kei Harga diri: Orang Kei menganggap ayah sebagai lambang kebanggaan dan ibu adalah lambang kehormatan bagi keluarga. Dan anak perempuan pun sebagai lambang kehormatan keluarga. Aib yang diperbuat oleh anak perempuan adalah aib keluarga.

Keindahan dan kuno: Nekara adalah barang masa prasejarah yang menjadi bukti peninggalan di Kepulauan Kei dan memiliki motif yang bermacam-macam.

Ketuhanan, toleransi, dan keseimbangan: Orang Kei kini telah banyak yang memeluk agama Kristen dan Islam. Dan di antara keduanya memiliki toleransi yang baik. Mereka juga masih mengadakan upacara-upacara untuk menghindari malapetaka alam yang disebut sob-sob.

11. Sentani Akrab dan tolong-menolong: Dalam hubungan kekerabatan orang Sentani, adalah suatu kewajiban untuk membantu kerabat yang akan melangsungkan pernikahan tetapi tidak mampu membayar mas kawin.

Kuno dan kehormatan: Di daerah sekitar Danau Sentani terdapat banyak peninggalan yang berasal dari jaman neolitik dan megalitik. Selain itu, manik dan gelang kaca menjadi mas kawin yang paling berharga dan bernilai tinggi bagi mereka

Agresif: Banyaknya gerakan-gerakan yang mengatasnamakan agama dan menjanjikan kebahagiaan.

12. Mimika Akrab: Orang Mimika tidak membatasi kekerabatan mereka hanya dengan yang mempunyai hubungan darah melainkan dengan orang yang telah akrab dan dekat dengan mereka juga dianggap

Filosofis: Motif ragam hias tiga dimensi yang dimiliki oleh orang Mimika memiliki makna yang lekat dengan kehidupan mereka. Seperti ungkapan “hidup ini berarti gerak, dan mati berarti tidak

Ketuhanan dan penghargaan: Orang Mimika kini sudah memeluk agama Kristen. Meskipun begitu, mereka masih memiliki kepercayaan tradisional yang diwujudkan dengan upacara. Salah satunya

Inovatif dan makmur: Orang Mimika menggunakan alat-alat yang dibuat sendiri dengan bahan-bahan alam untuk menangkap ikan dan berburu. Mereka juga telah mengenal sistem barter

Page 41: Deskripsi 15 Suku Bangsa di Indonesia

seperti kerabat bergerak lagi”. upacara penghormatan bagi para roh dan arwah yang disebut mbii kawane.

untuk memenuhi kebutuhan mereka sejak lama.

13. Dawan/ Atoni

Perbedaan: Dalam kehidupan sosial orang Dawan baik itu dalam kekerabatan maupun kemasyarakatan terdapat aturan-aturan yang berbeda sesuai dengan status sosial yang melekat pada setiap klen maupun individu.

Keyakinan: Motif-motif dalam ragam hias orang Dawan memiliki arti sesuai dengan kepercayaan mereka

Suci, ketaatan, dan ketuhanan: Orang Dawan memiliki beberapa tempat pemujaan dan di antaranya ada tempat untuk menyimpan benda suci (nono) yang disebut ume Mnasi.

Tolong-menolong, gotong royong, makmur, dan syukur: Dalam mengerjakan ladang, orang Dawan saling membantu dengan kerabatnya.

14. Sunda Keselarasan: Di desa-desa orang Sunda umumnya terdapat jalan setapak atau jalan desa yang melintasi pematang sawah. Hal ini sebagai wujud keselarasan dengan alam.

Kekeluargaan dan tolong-menolong: Ungkapan orang Sunda “bengkung ngariung, bongkok ngaronyok” yang intinya bahwa dalam kekerabatan tidak mudah berpisah. Mereka juga memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk membantu kerabatnya.

Ekonomis, moral, dan keindahan: Bagi penonton, seni yang ditampilkan adalah sebagai hiburan dan bagi pemain atau seniman adalah sebagai pekerjaan. Dan kadang-kadang seni juga digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan tertentu.

Ketuhanan dan ikhtiar: Orang Sunda mayoritas beragama Islam dan dalam kehidupannya mereka mengamalkan ajaran-ajaran Islam.

Inovatif dan rajin: Penggunaan teknologi pertanian yang modern dan pemanfaatan waktu luang setelah panen dengan membuat kerajinan tangan yang dapat dijual atau mencari pekerjaan lain sebelum masa panen kembali tiba.

15. Betawi berbudi luhur: Upacara orang Betawi yang berkaitan dengan lifecycle bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai moral pada generasi berikutnya agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan (kaya engga dikebain).

inovatif, kreatif, dan indah: Kesenian Betawi mengandung unsur-unsur berbagai macam suku bangsa yang kemudian melahirkan kesenian baru yang khas Betawi.

ketuhanan dan ikhtiar: Dalam kehidupannya, orang Betawi tidak dapat dipisahkan dengan ajaran Islam. Ajaran Islam menjadi nilai, norma, aturan, dan juga hukum bagi masyarakat Betawi.

Kreatif: Orang Betawi memiliki pekerjaan yang bervariasi.

Page 42: Deskripsi 15 Suku Bangsa di Indonesia

Dari matrik perbandingan nilai-nilai budaya 15 suku bangsa di atas terdapat beberapa nilai-nilai budaya yang sama atau sama tetapi berbeda konsep. Pertama, ada persamaan nilai budaya yang berkaitan dengan nilai gotong royong dan tolong menolong antar kerabat atau kelompok dalam masing-masing suku bangsa tersebut. Persamaan itu terdapat pada delapan suku bangsa yaitu, (1) Kenyah: pembangunan umaq dadoq (rumah panjang) yang dilakukan dengan cara gotong royong (ruyung). (2) Benuaq: orang Benuaq akan berupaya melaksanakan upacara kwangkai bagi kerabatnya dan biaya upacara biasanya ditanggung bersama. (3) Minahasa: ungkapan “Esa etu u mawangun banua” yang memiliki arti “bersatu, tolong-menolong dan bekerja baktilah dalam menghadapi dan menyelesaikan pekerjaan yang besar dalam kehidupan masyarakat di desa atau di kampong”. (4) Sangir: istilah gotong royong yang disebut mapaluse dalam membangun rumah atau membuka ladang dan istilah kalumpang yang mengatur kerja sama dalam mengolah kelapa yang baru dipetik. (5) To Wana: dalam setiap kehidupannya saling bekerja sama dan tolong-menolong dalam kelompoknya (Lipu). (6) Sentani: suatu kewajiban untuk membantu kerabat yang akan melangsungkan pernikahan tetapi tidak mampu membayar mas kawin. (7) Dawan/Atoni: dalam mengerjakan ladang, orang Dawan saling membantu dengan kerabatnya. (8) Sunda: suatu kewajiban dan tanggung jawab untuk membantu kerabat.

Kedua, ada pula lima suku bangsa yang memiliki kesamaan nilai budaya dalam hal penggunaan alat-alat yang masih sederhana dan tradisional untuk menunjang mata pencaharian mereka. Kelima suku bangsa tersebut adalah (1) Melayu Riau: menggunakan alat-alat sederhana untuk mencari ikan. (2) Mandar: dalam bertani mereka masih menggunakan alat-alat tradisional. (3) Bajau: orang Bajau menangkap ikan menggunakan alat yang sederhana. (4) Sangir: alat untuk menangkap ikan yang digunakan oleh orang Sangir masih tergolong sederhana. (5) Mimika: menggunakan alat-alat yang dibuat sendiri dengan bahan-bahan alam untuk menangkap ikan dan berburu.

Ketiga, ada pula nilai budaya yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan alam atau lingkungannya. Kesamaan nilai ini dimiliki oleh lima suku bangsa yaitu (1) Kenyah: mereka membaca pertanda alam sebelum melakukan sesuatu terutama sebelum membuka lahan. (2) Mandar: mengadakan upacara-upacara adat yang terkait dengan pertanian dalam rangka menjaga hubungan dengan alam. (3) To Wana: menjaga alam terutama tanah karena menganggap sebagai warisan leluhur mereka. (4) Kei: mengadakan upacara-upacara untuk menghindari malapetaka alam yang disebut sob-sob. (5) Sunda: pembuatan jalan setapak atau jalan desa yang melewati pematang sawah menggambarkan keselarasan dengan alam.

Keempat yaitu kesamaan dalam nilai budaya khususnya sebagai tempat di mana ditemukannya benda-benda kuno hasil kesenian jaman prasejarah terdapat pada dua suku bangsa yaitu (1) Kei: memiliki nekara sebagai hasil kesenian jaman prasejarah. (2) Sentani: ditemukan banyak hasil kesenian jaman neolitik dan megalitik.

Kelima, ada di empat suku lainnya yaitu kesamaan nilai budaya dalam hal menjalankan ajaran agama dalam kehidupan bermasyarakat. Keempat suku tersebut adalah (1) Melayu Riau: dalam hidupnya selalu berpedoman pada ajaran Islam. (2) Melayu Palembang: menjalankan syariat Islam dalam kehidupan dan adat Palembang. (3) Sunda: mengamalkan ajaran Islam dalam kehidupan. (4) Betawi: Ajaran Islam telah menjadi nilai, norma, aturan, dan hukum dalam masyarakat Betawi.

Page 43: Deskripsi 15 Suku Bangsa di Indonesia

Dan terakhir, dalam 3 suku bangsa lainnya juga terdapat kesamaan nilai budaya dalam hal pemanfaatan bahan-bahan alam untuk kebutuhan sehari-hari. Namun, ketiga suku bangsa tersebut memiliki cara berbeda dalam memanfaatkan hasil alam. Tiga suku bangsa tersebut adalah (1) Benuaq: wanita Benuaq memanfaatkan bahan-bahan alam untuk membuat kosmetik yang akan mempercantik diri. (2) To Wana: memanfaatkan barang-barang alam untuk dibuat kerajinan tangan seperti nyiru, tikar, dan lain-lain. (3) Mimika: menggunakan alat-alat yang dibuat sendiri dengan bahan-bahan alam untuk menangkap ikan dan berburu.

Page 44: Deskripsi 15 Suku Bangsa di Indonesia

II. MATRIK PERSAMAAN BUDAYA MENJAGA KEARIFAN LOKAL 5 SUKU BANGSA

MATRIK PERSAMAAN NILAI BUDAYA GOTONG ROYONG 5 SUKU BANGSA

Suku Bangsa

Pengetahuan

Sosial

Seni

Religi

Ekonomi

Kenyah Gotong royong, keindahan, dan keyakinan: Pembangunan umaq dadoq (rumah panjang) yang dilakukan dengan cara gotong royong (ruyung).

Benuaq Gotong royong dan harga diri: Orang Benuaq akan berupaya melaksanakan upacara kwangkai bagi kerabatnya dan biaya upacara biasanya ditanggung bersama.

Sangir Tolong menolong dan gotong royong: gotong royong dalam membangun rumah atau membuka ladang (mapaluse) dan dalam mengolah kelapa yang baru dipetik (kalumpang)

Sentani Akrab dan tolong-menolong: suatu kewajiban untuk membantu kerabat yang akan melangsungkan pernikahan tetapi tidak mampu membayar mas kawin

Dawan/ Atoni Tolong-menolong, gotong royong, makmur, dan syukur: dalam mengerjakan ladang, orang Dawan saling membantu dengan kerabatnya

Page 45: Deskripsi 15 Suku Bangsa di Indonesia

Dari matrik persamaan nilai budaya gotong royong 5 suku bangsa di atas, saya menganalisisnya sebagai berikut. Gotong royong adalah sikap mau membantu, menolong, atau bekerja sama dengan seseorang tanpa mengharapkan balasan. Pada suku bangsa (1) Kenyah, istilah gotong royong adalah ruyung dimana mereka mewujudkan gotong royong itu dalam membangun umah dadoq yang merupakan rumah kediaman mereka. Di suku bangsa (2) Benuaq lain lagi. Mereka memang tidak memiliki istilah khusus untuk gotong royong namun mereka mewujudkan sikap tersebut dalam pembiayaan upacara kwangkai. Upacara kwangkai merupakan upacara penguburan mayat yang terdiri beberapa rangkaian acara yang memang memerlukan banyak biaya. Upacara ini dilaksanakan dalam rangka mengantarka roh kerabat yang meninggal agar sampai pada usup bawo ngeno atau surga terakhir yang berada di puncak tertinggi Gunung Lumut. Bagi suku bangsa (3) Sangir, ada dua istilah gotong royong. Pertama, mapaluse yaitu istilah gotong royong dalam membangun rumah atau membuka lahan untuk berladang. Kedua, kalumpang yaitu istilah gotong royong dalam mengolah kelapa yang baru dipetik. Istilah kalumpang ini telah ada sejak dahulu di suku Sangir. Istilah ini muncul kemungkinannya karena di suku bangsa Sangir sendiri berdiam di sebuah gugusan kepulauan di mana pasti terdapat banyak tumbuhan kelapa yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Selanjutnya pada suku bangsa (4) Sentani, gotong royong tercermin dalam upacara perkawinan yaitu dalam membayar mas kawin. Mas kawin dalam tradisi perkawinan orang Sentani memang cukup penting sebab berhubungan dengan status sosial dalam masyarakat. Mas kawin yang bernilai tinggi adalah gelang kaca (ebaa) yang dalam lapisan sosial bawah tidak akan pernah ada. Dan terakhir pada suku bangsa (5) Dawan/ Atoni, gotong royong terjadi pada saat bekerja di ladang. Di mana pekerjaan di ladang memang membutuhkan banyak tenaga kerja. Dan pada suku bangsa Dawan/Atoni, pekerjaan ini dikerjakan bersama-sama oleh satu keluarga bahkan kadang-kadang keluarga inti lain datang untuk membantu namun memang yang membantu masih mempunyai hubungan kerabat yang dekat.