desia laila dian s
desia laila dian s
LBM 2
SESAK NAFAS HEBAT DAN PUSING
STEP 1
Angiodema : jenis alergi kulit yang ditandai dengan pembengkakan pada area
yang terpengaruh, terjadi di subcutan, pada kelopak mata, mulut, kaki,
tenggorokan.
Disebabkan oleh rx.alergi (obat, makanan, dll) dermis, subcutan, mucosa,
submucosa
Obat inotropik: obat yang memperkuat kontraksi myocardium untuk
meningkatkan curah jantung (meningkatkan CO)
Vasopresor : untuk merangsang kontraksi jaringan otot polos pembuluh darah
kapiler dan arteri
Adrenalin : bronkodilator yang bekerja di semua reseptor B2 adrenergik
Fungsi meningkatkan TD, menyempitkan PD, melebarkan bronkus, dan
meningkatkan aktivitas otot jantung
Antihistamin : zat yang dapat mengurangi efek histamine terhadap tubuh dengan
cara memblok reseptor histamine atau penghambatan selektif thd reseptor
histamine
Ketorolac : obat antiinflamasi non steroid yang diindikasikan untuk nyeri
pasca operasi ringan atau sedang
Bekerja menghambat COX dan sintesis PGE
Loading cairan : memasukkan cairan kedalam tubuh melalui selang infuse
STEP 2
1. Mengapa terjadi sesak nafas hebat dan pusing setelah mendapat suntikan
ketorolac ?
2. Mengapa pasien dibaringkan dan dielevasikan kedua tungkainya ?
3. Apa interpretasi hasil vital sign dan mengapa dapat terjadi RR 40 x/mnt, TD 80/50
mmHg, nadi 120 x/mnt, akral dingin + ?
4. Apa interpretasi hasil vital sign dan mengapa dapat terjadi nafas cuping hidung,
retraksi subcostal, wheezing +, fase ekspirasi memanjang dan muka kebiruan ?
5. Mengapa pada kelopak mata terdapat angiodema + dan urtikaria hampir diseluruh
tubuh ?
6. Mengapa dokter memberi inj.adrenalin im, oksigenasi, dan loading cairan melalui
infuse ?
7. Bagaimana tindakan yang cepat apabila terdapat pasien seperti ini ?
8. Mengapa diberi inj.kortikosteroid dan antihistamin ?
9. Mengapa dokter mempertimbangkan memberi inotropik dan vasopresor ?
10. Mengapa dokter memasang ECG dan oxymetri ?
11. Etiologi sesak nafas secara umum ?
12. Derajat sesak nafas ?
13. Klasifikasi sesak nafas ?
14. Macam-macam syok dan apa tanda-tanda syok secara umum ?
15. Bagaimana patofisiologi syok anafilaktik ?
16. Macam-macam pemberian cairan infuse dan apa indikasinya ?
STEP 3
1. Mengapa terjadi sesak nafas hebat dan pusing setelah mendapat suntikan
ketorolac ?
FAKTOR PREDISPOSISI DAN ETIOLOGI
Beberapa faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko anafilaksis
adalah sifat alergen, jalur pemberian obat, riwayat atopi, dan
kesinambungan paparan alergen.
Golongan alergen yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis
adalah makanan, obat-obatan, sengatan serangga, dan lateks.
Udang, kepiting, kerang, ikan kacang-kacangan, biji-bijian, buah beri,
putih telur, dan susu adalah makanan yang biasanya menyebabkan
suatu reaksi anafilaksis.
Obat-obatan yang bisa menyebabkan anafikasis seperti antibiotik
khususnya penisilin, obat anestesi intravena, relaksan otot, aspirin,
NSAID, opioid, vitamin B1, asam folat, dan lain-lain. Media kontras
intravena, transfusi darah, latihan fisik, dan cuaca dingin juga bisa
menyebabkan anafilaksis.
PATOFISIOLOGIS
Coomb dan Gell (1963) mengelompokkan anafilaksis dalam hipersensitivitas tipe I
(Immediate type reaction). Mekanisme anafilaksis melalui 2 fase, yaitu fase
sensitisasi dan aktivasi.
Fase sensitisasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan Ig
E sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan
basofil.
fase aktivasi merupakan waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan
antigen yang sama sampai timbulnya gejala.
Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan di
tangkap oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut
kepada Limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13) yang
menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel plasma
memproduksi Ig E spesifik untuk antigen tersebut kemudian terikat pada reseptor
permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil.
Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang menimbulkan
reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama ke
dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik dan memicu
terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamin,
serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain dari granula yang di sebut
dengan istilah preformed mediators.
Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari membran sel
yang akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG) yang terjadi
beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut newly formed mediators. Fase
Efektor adalah waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek
mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan aktivitas farmakologik pada
organ organ tertentu. Histamin memberikan efek bronkokonstriksi, meningkatkan
permeabilitas kapiler yang nantinya menyebabkan edema, sekresi mucus, dan
vasodilatasi. Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan Bradikinin
menyebabkan kontraksi otot polos.Platelet activating factor (PAF) berefek
bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi
trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil.
Prostaglandin leukotrien yang dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi.
Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan terjadinya
fenomena maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini menyebabkan
penurunan aliran darah balik sehingga curah jantung menurun yang diikuti dengan
penurunan tekanan darah. Kemudian terjadi penurunan tekanan perfusi yang
berlanjut pada hipoksia ataupun anoksia jaringan yang berimplikasi pada keaadan
syok yang membahayakan penderita.
Gambar 2.1. Patofisiologi Reaksi Anfilaksis
Gambar 2.2. Patofisiologi Syok Anafilaksis
Seharusnya tes alergi terlebih dahulu (skin tes)
Cari macam-macam tes alergi !
Tes tusuk kulit (Skin Prick Test)
Gunanya: memeriksa alergi terhadap alergen yang dihirup (debu,
tungau, serbuk bunga) dan alergen makanan (susu, udang, kepiting),
hingga 33 jenis alergen atau lebih.
Prosedur:
Untuk menjalani tes ini, usia anak minimal 3 tahun dan dalam keadaan
sehat serta ia tidak baru meminum obat yang mengandung antihistamin
(anti-alergi) dalam 3–7 hari (tergantung jenis obatnya).
Tes dilakukan di kulit lengan bawah sisi dalam. Kulit diberi alat khusus
disebut ekstrak alergen yang diletakkan di atas kulit dengan cara
diteteskan. Ekstrak alergen berupa bahan-bahan alami, misalnya
berbagai jenis makanan, bahkan tepung sari.
Tidak menggunakan jarum suntik biasa tetapi menggunakan jarum
khusus, sehingga tidak mengeluarkan darah atau luka, serta tidak
menyakitkan.
Hasil tes diketahui dalam 15 menit. Bila positif alergi terhadap alergen
tertentu, akan timbul bentol merah yang gatal di kulit.
Tes ini harus dilakukan oleh dokter yang betul-betul ahli di bidang
alergi-imunologi karena tehnik dan interpretasi (membaca hasil tes)
lebih sulit dibanding tes lain.
Tes tempel (Patch Test)
Gunanya: mengetahui alergi yang disebabkan kontak terhadap bahan
kimia, misalnya pada kasus penyakit dermatitis atau eksim.
Prosedur:
Dua hari sebelum tes, anak tidak boleh melakukan aktivitas yang
berkeringat atau mandi. Punggungnya pun tidak boleh terkena gesekan
dan harus bebas dari obat oles, krim atau salep.
Tes akan dilakukan di kulit punggung. Caranya, dengan menempatkan
bahan-bahan kimia dalam tempat khusus (finn chamber) lalu
ditempelkan pada punggung anak. Selama dilakukan tes (48 jam), anak
tidak boleh terlalu aktif bergerak.
Hasil tes didapat setelah 48 jam. Bila positif alergi terhadap bahan kimia
tertentu, di kulit punggung akan timbul bercak kemerahan atau
melenting.
Tes RAST (Radio Allergo Sorbent Test)
Gunanya: mengetahui alergi terhadap alergen hirup dan alergen
makanan.
Prosedur:
Dapat dilakukan pada anak usia berapa pun dan tidak menggunakan
obat-obatan.
Dalam tes ini, sampel serum darah anak akan diambil sebanyak 2 cc,
lalu diproses dengan mesin komputerisasi khusus. Hasilnya diketahui
setelah 4 jam.
Tes kulit intrakutan
Gunanya: untuk mengetahui alergi terhadap obat yang disuntikkan.
Prosedur:
Dilakukan pada anak usia minimal 3 tahun.
Tes dilakukan di kulit lengan bawah dengan cara menyuntikkan obat
yang akan di tes di lapisan bawah kulit.
Hasil tes dapat dibaca setelah 15 menit. Bila positif, akan timbul bentol,
merah dan gatal.
Tes provokasi dan eliminasi makanan
Gunanya: mengetahui alergi terhadap makanan tertentu.
Prosedur:
Dapat dilakukan pada anak usia berapa pun.
Diagnosis alergi makanan dibuat berdasarkan diagnosis klinis, yaitu
anamnesis atau riwayat penyakit anak dan pemeriksaan yang cermat
tentang riwayat keluarga, riwayat pemberian makanan dan tanda serta
gejala alergi makanan sejak kecil.
Selanjutnya, untuk memastikan makanan penyebab alergi, digunakan
metode Provokasi Makanan Secara Buta (Double Blind Placebo Control
Food Chalenge atau DBPCFC), yang merupakan standar baku. Namun
karena cara DBPCFC ini rumit dan butuh biaya serta waktu tidak sedikit,
beberapa pusat layanan alergi anak melakukan modifikasi terhadap
metode ini. Salah satunya, dengan melakukan “Eliminasi Provokasi
Makanan Terbuka Sederhana”. Caranya: dalam diet sehari-hari anak,
dilakukan eliminasi (dihindari) beberapa makanan penyebab alergi
selama 2–3 minggu. Setelah itu, bila sudah tidak ada keluhan alergi,
maka dilanjutkan dengan provokasi makanan yang dicurigai.
Selanjutnya, dilakukan diet provokasi 1 bahan makanan dalam 1
minggu dan bila timbul gejala dicatat. Disebut sebagai penyebab alergi
bila dalam 3 kali provokasi menimbulkan gejala. Tak perlu takut anak
akan kekurangan gizi, karena selain eliminasi diet ini bersifat
sementara, anak dapat diberi pengganti makanan yang ditiadakan yang
memiliki kandungan nutrisi setara.
Tes provokasi obat
Gunanya: mengetahui alergi terhadap obat yang diminum.
Prosedur:
Dapat dilakukan pada anak usia berapa pun.
Metode yang digunakan adalah DBPC (Double Blind Placebo Control)
atau uji samar ganda. Caranya, pasien minum obat dengan dosis
dinaikkan secara bertahap, lalu ditunggu reaksinya dengan interval 15–
30 menit.
Dalam satu hari, hanya boleh satu macam obat yang dites. Bila perlu
dilanjutkan dengan tes obat lain, jaraknya minimal satu minggu,
bergantung dari jenis obatnya.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilaksanakan untuk memastikan penyebab erupsi obat
alergi adalah: 9
1. Pemeriksaan in vivo
o Uji tempel (patch test)
o Uji tusuk (prick/scratch test)
o Uji provokasi (exposure test)
2. Pemeriksaan in vitro
a. Yang diperantarai antibodi:
o Hemaglutinasi pasif
o Radio immunoassay
o Degranulasi basofil
o Tes fiksasi komplemen
b. Yang diperantarai sel:
o Tes transformasi limfosit
o Leucocyte migration inhibition test
2. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi
Reaksi anafilaksis timbul bila sebelumnya telah terbentuk IgE spesifik terhadap
alergen tertentu. Alergen yang masuk kedalam tubuh lewat kulit, mukosa, sistem
pernafasan maupun makanan, terpapar pada sel plasma dan menyebabkan
pembentukan IgE spesifik terhadap alergen tertentu. IgE spesifik ini kemudian
terikat pada reseptor permukaan mastosit dan basofil. Pada paparan berikutnya,
alergen akan terikat pada Ige spesifik dan memicu terjadinya reaksi antigen
antibodi yang menyebabkan terlepasnya mediator yakni antara lain histamin dari
granula yang terdapat dalam sel. Ikatan antigen antibodi ini juga memicu sintesis
SRS-A ( Slow reacting substance of Anaphylaxis ) dan degradasi dari asam
arachidonik pada membrane sel, yang menghasilkan leukotrine dan prostaglandin.
Reaksi ini segera mencapai puncaknya setelah 15 menit. Efek histamin, leukotrine
(SRS-A) dan prostaglandin pada pembuluh darah maupun otot polos bronkus
menyebabkan timbulnya gejala pernafasan dan syok. (2)
Efek biologis histamin terutama melalui reseptor H1 dan H2 yang berada pada
permukaan saluran sirkulasi dan respirasi. Stimulasi reseptor H1 menyebabkan
peningkatan permeabilitas pembuluh darah, spasme bronkus dan spasme
pembuluh darah koroner sedangkan stimulasi reseptor H2 menyebabkan dilatasi
bronkus dan peningkatan mukus dijalan nafas. Rasio H1 – H2 pada jaringan
menentukan efek akhirnya. (2,3)
Aktivasi mastosit dan basofil menyebabkan juga respon bifasik dari cAMP
intraselluler. Terjadi kenaikan cAMP kemudian penurunan drastis sejalan dengan
pelepasan mediator dan granula kedalam cairan ekstraselluler. Sebaliknya
penurunan cGMP justru menghambat pelepasan mediator. Obat-obatan yang
mencegah penurunan cAMP intraselluler ternyata dapat menghilangkan gejala
anafilaksis. Obat-obatan ini antara lain adalah katekolamin (meningktakan sintesis
cAMP) dan methyl xanthine misalnya aminofilin (menghambat degradasi cAMP).
Pada tahap selanjutnya mediator-mediator ini menyebabkan pula rangkaian reaksi
maupun sekresi mediator sekunder dari netrofil,eosinofil dan trombosit,mediator
primer dan sekunder menimbulkan berbagai perubahan patologis pada vaskuler
dan hemostasis, sebaliknya obat-obat yang dapat meningkatkan cGMP (misalnya
obat cholinergik) dapat memperburuk keadaan karena dapat merangsang
terlepasnya mediator.(2,3,4)
Reaksi Anafilaktoid
Reaksi anafilaktoid adalah reaksi yang menyebabkan timbulnya gejala dan keluhan yang
sama dengan reaksi anafilaksis tetapi tanpa adanya mekanisme ikatan antigen antibodi.
Pelepasan mediator biokimiawi dari mastosit melewati mekanisme nonimunologik ini
belum seluruhnya dapat diterangkan. Zat-zat yang sering menimbulkan reaksi anafilaktoid
adalah kontras radiografi (idionated), opiate, tubocurarine, dextran maupun mannitol.
Selain itu aspirin maupun NSAID lainnya juga sering menimbulkan reaksi anafilaktoid
yang diduga sebagai akibat terhambatnya enzim siklooksgenase.
1. Prostaglandin: mediator inflamasi dan nyeri. Juga menyebabkan
vasodilatasi dan edema (pembengkakan)
2. Thromboxane: menyebabkan vasokonstriksi dan agregasi
(penggumpalan) platelet
3. Leukotriene: menyebabkan vasokontriksi, bronkokonstriksi
Manifestasi klinik
yok anafilaktik gejala yang menonjol adalah gangguan sirkulasi dan gangguan respirasi.
Kedua gangguan tersebut dapat timbul bersamaan atau berurutan yang kronologisnya
sangat bervariasi dari beberapa detik sampai beberapa jam. Pada dasarnya makin cepat
reaksi timbul makin berat keadaan penderita.(4,5,6,7)
Sistem pernafasan
Gangguan respirasi dapat dimulai berupa bersin, hidung tersumbat atau batuk saja yang
kemudian segera diikuti dengan udema laring dan bronkospasme. Kedua gejala terakhir ini
menyebabkan penderita nampak dispnue sampai hipoksia yang pada gilirannya
menimbulkan gangguan sirkulasi, demikian pula sebaliknya, tiap gangguan sirkulasi pada
gilirannya menimbulkan gangguan respirasi. Umumnya gangguan respirasi berupa udema
laring dan bronkospasme merupakan pembunuh utama pada syok anafilaktik.
Sistem sirkulasi
Biasanya gangguan sirkulasi merupakan efek sekunder dari gangguan respirasi, tapi bisa
juga berdiri sendiri, artinya terjadi gangguan sirkulasi tanpa didahului oleh gangguan
respirasi. Gejala hipotensi merupakan gejala yang menonjol pada syok anafilaktik.
Hipotensi terjadi sebagai akibat dari dua faktor, pertama akibat terjadinya vasodilatasi
pembuluh darah perifer dan kedua akibat meningkatnya permeabilitas dinding kapiler
sehingga selain resistensi pembuluh darah menurun, juga banyak cairan intravaskuler yang
keluar keruang interstitiel (terjadi hipovolume relatif).Gejala hipotensi ini dapat terjadi
dengan drastis sehingga tanpa pertolongan yang cepat segera dapat berkembang menjadi
gagal sirkulasi atau henti jantung.
Gangguan kulit.
Merupakan gejala klinik yang paling sering ditemukan pada reaksi anafilaktik. Walaupun
gejala ini tidak mematikan namun gejala ini amat penting untuk diperhatikan sebab ini
mungkin merupakan gejala prodromal untuk timbulnya gejala yang lebih berat berupa
gangguan nafas dan gangguan sirkulasi. Oleh karena itu setiap gangguan kulit berupa
urtikaria, eritema, atau pruritus harus diwaspadai untuk kemungkinan timbulnya gejala
yang lebih berat. Dengan kata lain setiap keluhan kecil yang timbul sesaat sesudah
penyuntikan obat,harus diantisipasi untuk dapat berkembang kearah yang lebih berat.
Gangguan gastrointestinal
Perut kram,mual,muntah sampai diare merupakan manifestasi dari gangguan
gastrointestinal yang juga dapat merupakan gejala prodromal untuk timbulnya gejala
gangguan nafas dan sirkulasi.
Skema perubahan patofisiologi pada syok anafilaktik
Skema perubahan patofisiologi pada syok anafilaktik
Pengelolaan Anafilaksis dan syok Anafilaksis
Secara umum terapi anafilaksis bertujuan :
1. Mencegah efek mediator
Menghambat sintesis dan pelepasan mediator
Blokade reseptor
2. Mengembalikan fungsi organ dari perubahan patofisiologik akibat efek mediator.
Titik tangkap terapi berdasarkan perubahan patofisiologi
Penanganan syok anafilaktik
I. Terapi medikamentosa (7,8,9)
Prognosis suatu syok anafilaktik amat tergantung dari kecepatan diagnose dan
pengelolaannya.
1.Adrenalin merupakan drug of choice dari syok anafilaktik. Hal ini disebabkan 3 faktor
yaitu :
Adrenalin merupakan bronkodilator yang kuat , sehingga penderita dengan cepat
terhindar dari hipoksia yang merupakan pembunuh utama.
Adrenalin merupakan vasokonstriktor pembuluh darah dan inotropik yang kuat
sehingga tekanan darah dengan cepat naik kembali.
Adrenalin merupakan histamin bloker, melalui peningkatan produksi cyclic AMP
sehingga produksi dan pelepasan chemical mediator dapat berkurang atau berhenti.
Dosis dan cara pemberiannya.
0,3 – 0,5 ml adrenalin dari larutan 1 : 1000 diberikan secara intramuskuler yang dapat
diulangi 5 – 10 menit. Dosis ulangan umumnya diperlukan, mengingat lama kerja
adrenalin cukup singkat. Jika respon pemberian secara intramuskuler kurang efektif, dapat
diberi secara intravenous setelah 0,1 – 0,2 ml adrenalin dilarutkan dalam spoit 10 ml
dengan NaCl fisiologis, diberikan perlahan-lahan. Pemberian subkutan, sebaiknya
dihindari pada syok anafilaktik karena efeknya lambat bahkan mungkin tidak ada akibat
vasokonstriksi pada kulit, sehingga absorbsi obat tidak terjadi.
2.Aminofilin
Dapat diberikan dengan sangat hati-hati apabila bronkospasme belum hilang dengan
pemberian adrenalin. 250 mg aminofilin diberikan perlahan-lahan selama 10 menit
intravena. Dapat dilanjutkan 250 mg lagi melalui drips infus bila dianggap perlu.
3. Antihistamin dan kortikosteroid.
Merupakan pilihan kedua setelah adrenalin. Kedua obat tersebut kurang manfaatnya pada
tingkat syok anafilaktik, sebab keduanya hanya mampu menetralkan chemical mediators
yang lepas dan tidak menghentikan produksinya. Dapat diberikan setelah gejala klinik
mulai membaik guna mencegah komplikasi selanjutnya berupa serum sickness atau
prolonged effect. Antihistamin yang biasa digunakan adalah difenhidramin HCl 5 – 20 mg
IV dan untuk golongan kortikosteroid dapat digunakan deksametason 5 – 10 mg IV atau
hidrocortison 100 – 250 mg IV.
Obat obat yang dibutuhkan :
Adrenalin
Aminofilin
Antihistamin
Kortikosteroid
II. Terapi supportif
Terapi atau tindakan supportif sama pentingnya dengan terapi medikamentosa dan
sebaiknya dilakukan secara bersamaan. (10,11,12)
1. Pemberian Oksigen
Jika laring atau bronkospasme menyebabkan hipoksi, pemberian O2 3 – 5 ltr / menit harus
dilakukan. Pada keadaan yang amat ekstrim tindakan trakeostomi atau krikotiroidektomi
perlu dipertimbangkan.
2. Posisi Trendelenburg
Posisi trendeleburg atau berbaring dengan kedua tungkai diangkat (diganjal dengan kursi )
akan membantu menaikan venous return sehingga tekanan darah ikut meningkat.
3.Pemasangan infus.
Jika semua usaha-usaha diatas telah dilakukan tapi tekanan darah masih tetap rendah maka
pemasangan infus sebaiknya dilakukan. Cairan plasma expander (Dextran) merupakan
pilihan utama guna dapat mengisi volume intravaskuler secepatnya. Jika cairan tersebut tak
tersedia, Ringer Laktat atau NaCl fisiologis dapat dipakai sebagai cairan pengganti.
Pemberian cairan infus sebaiknya dipertahankan sampai tekanan darah kembali optimal
dan stabil.
4. Resusitasi Kardio Pulmoner (RKP)
Seandainya terjadi henti jantung (cardiac arrest) maka prosedur resusitasi kardiopulmoner
segera harus dilakukan sesuai dengan falsafah ABC dan seterusnya. Mengingat
kemungkinan terjadinya henti jantung pada suatu syok anafilaktik selalu ada, maka
sewajarnya ditiap ruang praktek seorang dokter tersedia selain obat-obat emergency,
perangkat infus dan cairannya juga perangkat resusitasi(Resucitation kit ) untuk
memudahkan tindakan secepatnya.
Perangkat yang dibutuhkan :
Oksigen
Posisi Trendelenburg (kursi)
Infus set dan cairannya
Resusitation kit
Pencegahan
1. Kewaspadaan
Tiap penyuntikan apapun bentuknya terutama obat-obat yang telah dilaporkan bersifat
antigen (serum, penisillin, anestesi lokal dll ) harus selalu waspada untuk timbulnya reaksi
anfilaktik.Penderita yang tergolong resiko tinggi (ada riwayat asma, rinitis, eksim, atau
penyakit-penyakit alergi lainnya) harus lebih diwaspadai lagi. Jangan mencoba
menyuntikan obat yang sama bila sebelumnya pernah ada riwayat alergi betapapun
kecilnya. Sebaiknya mengganti dengan preparat lain yang lebih aman.
2. Test kulit
Test kulitmemang sebaiknya dilakukan secara rutin sebelum pemberian obat bagi penderita
yang dicurigai. Tindakan ini tak dapat diandalakan dan bukannya tanpa resiko tapi minimal
kita dapat terlindung dari sanksi hukum. Pada penderita dengan resiko amat tinggi dapat
dicoba dengan stracth test dengan kewaspadaan dan persiapan yang prima.
3. Pemberian antihistamin dan kortikosteroid .
Sebagai pencegahan sebelum penyuntikan obat, juga merupakan tindakan yang aman,
selain itu hasilnyapun dapat diandalkan.
4. Pengetahuan, keterampilan dan peralatan.
Early diagnosis dan early treatment secara lege-artis serta tersedianya obata-obatan beserta
perangkat resusitasi lainnya merupakan modal utama guna mengelola syok anafilaktik
yang mungkin tidak dapat dihindari dalam praktek dunia kodokteran.
1. HauptMT ,Fujii TK et al (2000) Anaphylactic Reactions. In :Text Book ofCritical
care. Eds : Ake Grenvvik,Stephen M.Ayres,Peter R,William C.Shoemaker 4th edWB
Saunders companyPhiladelpia-Tokyo.pp246-56
2. Koury SI, Herfel LU . (2000) Anaphylaxis and acute allergic reactions.
In :International edition Emergency Medicine.Eds :Tintinalli,Kellen,Stapczynski 5th ed
McGrraw-Hill New York-Toronto.pp 242-6
3. Martin (2000) In: Fundamentals Anatomy and Physiology,5th ed pp.788-9
4. Rehatta MN.(2000). Syok anafilaktik patofisiologi dan penanganan. In : Update on
Shock.Pertemuan Ilmiah Terpadu.Fakultas Kedoketran Universitas Airlangga Surabaya.
5. Sanders,J.H, Anaphylactic Reaction Handbook of Medical Emergencies,
Med.Exam. Publ.Co,2 nd Ed.154 : 1978.
6. Austen, K.F, : Systemic Anaphylaxix in Man JAMA, 192 : 2 .1965.
7. Van-Arsdel,P,P ,: Allergic Reaction to Penicillin, JAMA 191 : 3, 1965.
8. Petterson,R and Arbor A. Allergic Energencies. The Journal of the American
Medical Association 172 : 4,1960.
9. Shepard, D.A. and Vandam.L,D. Anaphylaxis Assiciated with the use of Dextran
Anesthesiology 25: 2, 1964.
10. Currie, TT. Et al, Severe Anaphylactic Reaction to Thiopentone : Case
report,British Medical Journal June 1966.
11. Kern R,A. Anphylactic Drug Reaction JAMA 6 :1962.
12. Cook, D.R. Acute Hypersensitivity Reaction to Penicillin During general
Anesthesia : Case Report. Anesthesia and Analgesia 50 : 1, 1971.
Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Secara klinik terdapat 3 tipe dari
reaksi anafilaktik, yaitu reaksi cepat yang terjadi beberapa menit sampai 1 jam
setelah terpapar dengan alergen; reaksi moderat terjadi antara 1 sampai 24 jam
setelah terpapar dengan alergen; serta reaksi lambat terjadi lebih dari 24 jam
setelah terpapar dengan alergen.
Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal baru menjadi berat, tetapi kadang-
kadang langsung berat. Berdasarkan derajat keluhan, anafilaksis juga dibagi
dalam derajat ringan, sedang, dan berat. Derajat ringan sering dengan keluhan
kesemutan perifer, sensasi hangat, rasa sesak dimulut, dan tenggorok. Dapat juga
terjadi kongesti hidung, pembengkakan periorbital, pruritus, bersin-bersin, dan
mata berair. Awitan gejala-gejala dimulai dalam 2 jam pertama setelah
pemajanan. Derajat sedang dapat mencakup semua gejala-gejala ringan
ditambah bronkospasme dan edema jalan nafas atau laring dengan dispnea,
batuk dan mengi. Wajah kemerahan, hangat, ansietas, dan gatal-gatal juga sering
terjadi. Awitan gejala-gejala sama dengan reaksi ringan. Derajat berat mempunyai
awitan yang sangat mendadak dengan tanda-tanda dan gejala-gejala yang sama
seperti yang telah disebutkan diatas disertai kemajuan yang pesat kearah
bronkospame, edema laring, dispnea berat, dan sianosis. Bisa diiringi gejala
disfagia, keram pada abdomen, muntah, diare, dan kejang-kejang. Henti jantung
dan koma jarang terjadi. Kematian dapat disebabkan oleh gagal napas, aritmia
ventrikel atau renjatan yang irreversible.
Gejala dapat terjadi segera setelah terpapar dengan antigen dan dapat terjadi
pada satu atau lebih organ target, antara lain kardiovaskuler, respirasi,
gastrointestinal, kulit, mata, susunan saaraf pusat dan sistem saluran kencing, dan
sistem yang lain. Keluhan yang sering dijumpai pada fase permulaan ialah rasa
takut, perih dalam mulut, gatal pada mata dan kulit, panas dan kesemutan pada
tungkai, sesak, serak, mual, pusing, lemas dan sakit perut.
Pada mata terdapat hiperemi konjungtiva, edema, sekret mata yang berlebihan.
Pada rhinitis alergi dapat dijumpaiallergic shiners, yaitu daerah di bawah palpebra
inferior yang menjadi gelap dan bengkak. Pemeriksaan hidung bagian luar di
bidang alergi ada beberapa tanda, misalnya: allergic salute, yaitu pasien dengan
menggunakan telapak tangan menggosok ujung hidungnya ke arah atas untuk
menghilangkan rasa gatal dan melonggarkan sumbatan; allergic crease, garis
melintang akibat lipatan kulit ujung hidung; kemudian allergic facies, terdiri dari
pernapasan mulut, allergic shiners, dan kelainan gigi geligi. Bagian dalam hidung
diperiksa untuk menilai warna mukosa, jumlah, dan bentuk sekret, edema, polip
hidung, dan deviasi septum. Pada kulit terdapat eritema, edema, gatal, urtikaria,
kulit terasa hangat atau dingin, lembab/basah, dan diaphoresis.
Pada sistem respirasi terjadi hiperventilasi, aliran darah paru menurun, penurunan
saturasi oksigen, peningkatan tekanan pulmonal, gagal nafas, dan penurunan
volume tidal. Saluran nafas atas bisa mengalami gangguan jika lidah atau
orofaring terlibat sehingga terjadi stridor. Suara bisa serak bahkan tidak ada suara
sama sekali jika edema terus memburuk. Obstruksi saluran napas yang komplit
adalah penyebab kematian paling sering pada anafilaksis. Bunyi napas mengi
terjadi apabila saluran napas bawah terganggu karena bronkospasme atau edema
mukosa. Selain itu juga terjadi batuk-batuk, hidung tersumbat, serta bersin-bersin.
Keadaan bingung dan gelisah diikuti pula oleh penurunan kesadaran sampai
terjadi koma merupakan gangguan pada susunan saraf pusat. Pada sistem
kardiovaskular terjadi hipotensi, takikardia, pucat, keringat dingin, tanda-tanda
iskemia otot jantung (angina), kebocoran endotel yang menyebabkan terjadinya
edema, disertai pula dengan aritmia. Sementara pada ginjal, terjadi hipoperfusi
ginjal yang mengakibatkan penurunan pengeluaran urine (oligouri atau anuri)
akibat penurunan GFR, yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya gagal ginjal
akut. Selain itu terjadi peningkatan BUN dan kreatinin disertai dengan perubahan
kandungan elektrolit pada urine.
Hipoperfusi pada sistem hepatobilier mengakibatkan terjadinya nekrosis sel
sentral, peningkatan kadar enzim hati, dan koagulopati. Gejala yang timbul pada
sistem gastrointestinal merupakan akibat dari edema intestinal akut dan spasme
otot polos, berupa nyeri abdomen, mual-muntah atau diare. Kadang kadang
dijumpai perdarahan rektal yang terjadi akibat iskemia atau infark usus.
Depresi sumsum tulang yang menyebabkan terjadinya koagulopati, gangguan
fungsi trombosit, dan DIC dapat terjadi pada sistem hematologi. Sementara
gangguan pada sistem neuroendokrin dan metabolik, terjadi supresi kelenjar
adrenal, resistensi insulin, disfungsi tiroid, dan perubahan status mental. Pada
keadaan syok terjadi perubahan metabolisme dari aerob menjadi anaerob
sehingga terjadi peningkatan asam laktat dan piruvat. Secara histologis terjadi
keretakan antar sel, sel membengkak, disfungsi mitokondria, serta kebocoran sel.
3. Apa interpretasi hasil vital sign dan mengapa dapat terjadi RR 40 x/mnt, TD
80/50 mmHg, nadi 120 x/mnt, akral dingin + ?
Suhu tubuh (Normal : 36,5-37,50c)
Tekanan darah (Normal : 120/80 mmHg)
Nadi
a) Frekuensi = Normal : 60-100x/menit ; Takikardia: >100 ; Bradikardia: <6 span="">
b) Keteraturan= Normal : teratur
c) Kekuatan= 0: Tidak ada denyutan; 1+:denyutan kurang teraba; 2+: Denyutan
mudah teraba, tak mudah lenyap; 3+: denyutan kuat dan mudah teraba
4. Pernafasan
a) Frekuensi: Normal= 15-20x /menit; >20: Takipnea; <15 bradipnea="" span="">
b) Keteraturan= Normal : teratur
c) Kedalaman: dalam/dangkal
d) Penggunaan otot bantu pernafasan: Normal : tidak ada
setelah diadakan pemeriksaan tanda-tanda vital evaluasi hasil yang di dapat dengan
membandikan dengan keadaan normal, dan dokumentasikan hasil pemeriksaan yang
didapat.
Read more: PEMERIKSAAN FISIK HEAD TO
TOE http://nandarnurse.blogspot.com/2013/05/pemeriksaan-fisik-head-to-
toe.html#ixzz2jdEQJABj
Under Creative Commons License: Attribution
Follow us: nHandar on Facebook
4. Pemeriksaan penunjang
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium diperlukan karena sangat membantu menentukan
diagnosis, memantau keadaan awal, dan beberapa pemeriksaan digunakan untuk
memonitor hasil pengbatan serta mendeteksi komplikasi lanjut. Hitung eosinofil
darah tepi dapat normal atau meningkat, demikian halnya dengan IgE total sering
kali menunjukkan nilai normal. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi
kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat
alergi yang tinggi. Pemeriksaan lain yang lebih bermakna yaitu IgE spesifik
dengan RAST (radio-immunosorbent test) atau ELISA (Enzym Linked
Immunosorbent Assay test), namun memerlukan biaya yang mahal.
Pemeriksaan secara invivo dengan uji kulit untuk mencari alergen penyebab yaitu
dengan uji cukit (prick test), uji gores (scratch test), dan uji intrakutan atau
intradermal yang tunggal atau berseri (skin end-point titration/SET). Uji cukit paling
sesuai karena mudah dilakukan dan dapat ditoleransi oleh sebagian penderita
termasuk anak, meskipun uji intradermal (SET) akan lebih ideal. Pemeriksaan lain
sperti analisa gas darah, elektrolit, dan gula darah, tes fungsi hati, tes fungsi ginjal,
feses lengkap, elektrokardiografi, rontgen thorak, dan lain-lain.
5. Mengapa pasien dibaringkan dan dielevasikan kedua tungkainya ?
MENGATUR POSISI
By Eny Retna Ambarwati
A. POSISI FOWLER
Posisi fowler dengan sandaran memperbaiki curah jantung dan ventilasi serta
membantu eliminasi urine dan usus.
1. Pengertian
Posisi fowler merupakan posisi bed dimana kepala dan dada dinaikkan setinggi
45-60 tanpa fleksi lutut.
2. Tujuan
1. Untuk membantu mengatasi masalah kesulitan pernafasan dan cardiovaskuler
2. Untuk melakukan aktivitas tertentu (makan, membaca, menonton televisi)
3. Peralatan
1. Tempat tidur
2. Bantal kecil
3. Gulungan handuk
4. Bantalan kaki
5. Sarung tangan (bila diperlukan)
4. Prosedur kerja
1. Cuci tangan dengan menggunakan sarung tangan bila diperlukan.
Menurunkan transmisi mikroorganisme.
2. Minta klien untuk memfleksikan lutut sebelum kepala dinaikkan. Mencegah
klien melorot kebawah pada saat kepala dianaikkan.
3. Naikkan kepala bed 45 sampai 60 sesuai kebutuhan. (semi fowler 15-45,
fowler tinggi 60)
4. Letakkan bantal kecil dibawah punggung pada kurva lumbal jika ada celah
disana. Bantal akan mencegah kurva lumbal dan mencegah terjadinya fleksi
lumbal.
5. Letakkan bantal kecil dibawah kepala klien. Bantal akan menyangnya kurva
cervikal dari columna vertebra. Sebagai alternatif kepala klien dapat diletakkan
diatas kasur tanpa bantal. Terlalu banyak bantal dibawah kepala akan
menyebabkan fleksi kontraktur dari leher.
6. Letakkan bantal dibawah kaki, mulai dari lutut sampai tumit. Memberikan
landasan yang, lembut dan fleksibel, mencegah ketidaknyamanan akibat dari
adanya hiper ekstensi lutut, membantu klien supaya tidak melorot ke bawah.
7. Pastikan tidak ada pada area popliteal dan lulut dalam keadaan fleksi.
Mencegah terjadinya kerusakan pada persyarafan dan dinding vena. Fleksi lutut
membantu supaya klien tidak melorot kebawah.
8. Letakkan bantal atau gulungan handuk dibawah paha klien. Bila ekstremitas
bawah pasien mengalami paralisa atau tidak mampu mengontrol ekstremitas
bawah, gunakan gulungan trokhanter selain tambahan bantal dibawah
panggulnya. Mencegah hiperekstensi dari lutut dan oklusi arteri popliteal yang
disebabkan oleh tekanan dari berat badan. Gulungan trokhanter mencegah
eksternal rotasi dari pinggul.
9. Topang telapak kaki dengan menggunakan footboart. Mencegah plantar
fleksi.
10. Letakkan bantal untuk menopang kedua lengan dan tangan, bila klien
memiliki kelemahan pada kedua lengan tersebut. Mencegah dislokasi bahu
kebawah karena tarikan gravitasi dari lengan yang tidak disangga, meningkatkan
sirkulasi dengan mencegah pengumpulan darah dalam vena, menurunkan
edema pada lengan dan tangan, mencegah kontraktur fleksi pergelangan
tangan.
11. Lepaskan sarung tangan dan cuci tangan
12. Dokumentasikan tindakan yang telah dilakukan
B. POSISI SIMS
1. Pengertian
Posisi sims atau disebut juga posisi semi pronasi adalah posisi dimana klien
berbaring pada posisi pertengahan antara posisi lateral dan posisi pronasi. Posisi
ini lengan bawah ada di belakang tubuh klien, sementara lengan atas didepan
tubuh klien.
2. Tujuan
1. Untuk memfasilitasi drainase dari mulut klien yang tidak sadar.
2. Mengurangi penekanan pada sakrum dan trokhanter besar pada klien yang
mengalami paralisis
3. Untuk mempermudahkan pemeriksaan dan perawatan pada area perineal
4. Untuk tindakan pemberian enema
3. Peralatan
1. Tempat tidur
2. Bantal kecil
3. Gulungan handuk
4. Sarung tangan (bila diperlukan)
4. Prosedur kerja
1. Cuci tangan dengan menggunakan sarung tangan bila diperlukan.
Menurunkan transmisi mikroorganisme.
2. Baringkan klien terlentang mendatar ditengah tempat tidur. Menyiapkan klien
untuk posisi yang tepat.
3. Gulungkan klien hingga pada posisi setengah telungkup, bagian berbaring
pada abdomen
4. Letakkan bantal dibawah kepala klien. Mempertahankan kelurusan yang
tepat dan mencegah fleksi lateral leher.
5. Atur posisi bahu sehingga bahu dan siku fleksi
6. Letakkan bantal dibawah lengan klien yang fleksi. Bantal harus melebihi dari
tangan sampai sikunya. Mencegah rotasi internal bahu.
7. Letakkan bantal dibawah tungkai yang fleksi, dengan menyangga tungkai
setinggi pinggul. Mencegah rotasi interna pinggul dan adduksi tungkai.
Mencegah tekanan pada lutut dan pergelangan kaki pada kasur.
8. Letakkan support device (kantung pasir) dibawah telapak kaki klien.
Mempertahankan kaki pada posisi dorso fleksi. Menurunkan resiko foot-drop.
9. Lepaskan sarung tangan dan cuci tangan
10. Dokumentasikan tindakan yang telah dilakukan
C. POSISI TRENDELENBURG
1. Pengertian
Posisi pasien berbaring ditempat tidur dengan bagian kepala lebih rendah
daripada bagian kaki.
2. Tujuan
Posisi ini dilakukan untuk melancarkan peredaran darah ke otak.
D. POSISI DORSAL RECUMBENT
1. Pengertian
Posisi berbaring terlentang dengan kedua lutut fleksi (ditarik atau
direnggangkan) di atas tempat tidur.
2. Tujuan
Posisi ini dilakukan untuk merawat dan memeriksa genetalia serta proses
persalinan.
E. POSISI LITOTOMI
1. Pengertian
Posisi berbaring terlentang dengan mengangkat kedua kaki dan menariknya ke
atas bagian perut.
2. Tujuan
Posisi ini dilakukan untuk memeriksa genetalia pada proses persalinan dan
memasang alat kontrasepsi.
F. POSISI GENU PECTORAL
1. Pengertian
Merupakan posisi menungging dengan kedua kaki ditekuk dan dada menempel
pada bagian alas tempat tidur.
2. Tujuan
Posisi ini digunakan untuk memeriksa daerah rectum dan sigmoid.
G. POSISI TERLENTANG (SUPINASI)
1. Pengertian
Posisi terlentang adalah posisi dimana klien berbaring terlentang dengan kepala
dan bahu sedikit elevasi menggunakan bantal.
2. Tujuan
a. Untuk klien post operasi dengan menggunakan anastesi spinal.
b. Untuk mengatasi masalah yang timbul akibat pemberian posisi pronasi yang
tidak tepat.
3. Peralatan
a. Tempat tidur
b. Bantal angin
c. Gulungan handuk
d. Footboard
e. Sarung tangan (bila diperlukan)
4. Prosedur kerja
1. Cuci tangan dengan menggunakan sarung tangan bila diperlukan.
Menurunkan transmisi mikroorganisme.
2. Baringkan klien terlentang mendatar ditengah tempat tidur. Menyiapkan klien
untuk posisi yang tepat.
3. Letakkan bantal dibawah kepala, leher dan bahu klien. Mempertahankan
body alignment yang benar dan mencegah kontraktur fleksi pada vertebra
cervical.
4. Letakkan bantal kecil dibawah punggung pada kurva lumbal, jika ada celah
disana. Bantal akan menyangga kurva lumbal dan mencegah terjadinya fleksi
lumbal.
5. Letakkan bantal dibawah kaki mulai dari lutut sampai tumit. Memberikan
landasan yang lebar, lembut dan fleksibel, mencegah ketidaknyamanan dari
adanya hiperektensi lutut dan tekanan pada tumit.
6. Topang telapak kaki klien dengan menggunakan footboard. Mempertahankan
telapak kaki dorsofleksi, mengurangi resiko foot-droop.
7. Jika klien tidak sadar atau mengalami paralise pada ekstremitas atas, maka
elevasikan tangan dan lengan bawah (bukan lengan atas) dengan menggunakan
bantal. Posisi ini mencegah terjadinya edema dan memberikan kenyamanan.
Bantal tidak diberikan pada lengan atas karena dapat menyebabkan fleksi bahu.
8. Lepaskan sarung tangan dan cuci tangan
9. Dokumentasikan tindakan yang telah dilakukan
H. Posisi Orthopneu
1. Pengertian
Posisi orthopneu merupakan adaptasi dari posisi fowler tinggi dimana klien
duduk di bed atau pada tepi bed dengan meja yang menyilang diatas bed.
2. Tujuan
a. Untuk membantu mengatasi masalah pernafasan dengan memberikan
ekspansi dada yang maksimal
b. Membantu klien yang mengalami masalah ekhalasi
3. Peralatan
1. Tempat tidur
2. Bantal angin
3. Gulungan handuk
4. Footboard
5. Sarung tangan (bila diperlukan)
4. Prosedur kerja
a. Cuci tangan dengan menggunakan sarung tangan bila diperlukan.
Menurunkan transmisi mikroorganisme.
b. Minta klien untuk memfleksikan lutut sebelum kepala dinaikkan. Mencegah
klien merosot kebawah saat kepala dinaikkan.
c. Naikkan kepala bed 90
d. Letakkan bantal kecil diatas meja yang menyilang diatas bed.
e. Letakkan bantal dibawah kaki mulai dari lutut sampai tumit. Memberikan
landasan yang lebar, lembut dan fleksibel, mencegah ketidaknyamanan akibat
dari adanya hiperekstensi lulut dan tekanan pada tumit.
f. Pastikan tidak ada tekanan pada area popliteal dan lulut dalam keadaan fleksi.
Mencegah terjadinya kerusakan pada persyarafan dan dinding vena. Fleksi lutut
membantu klien supaya tidak melorot kebawah.
g. Letakkan gulungan handuk dibawah masing-masing paha. Mencegah
eksternal rotasi pada pinggul.
h. Topang telapak kaki klien dengan menggunakan footboard. Mencegah plantar
fleksi.
i. Lepaskan sarung tangan dan cuci tangan
j. Dokumentasikan tindakan yang telah dilakukan
I. Posisi Pronasi (telungkup)
a. Pengertian
Posisi pronasi adalah posisi dimana klien berbaring diatas abdomen dengan
kepala menoleh kesamping.
b. Tujuan
1. Memberikan ekstensi penuh pada persendian pinggul dan lutut.
2. Mencegah fleksi kontraktur dari persendian pinggul dan lutut.
3. Memberikan drainase pada mulut sehingga berguna bagi klien post operasi
mulut atau tenggorokan.
c. Peralatan
1. Tempat tidur
2. Bantal angin
3. Gulungan handuk
4. Sarung tangan (bila diperlukan)
d. Prosedur kerja
1. Cuci tangan dengan menggunakan sarung tangan bila diperlukan.
Menurunkan transmisi mikroorganisme.
2. Baringkan klien terlentang mendatar di tempat tidur. Menyiapkan klien untuk
posisi yang tepat.
3. Gulingkan klien dengan lengan diposisikan dekat dengan tubuhnya dengan
siku lurus dan tangan diatas pahanya. Posisikan tengkurap ditengah tempat
tidur yang datar. Memberikan posisi pada klien sehingga kelurusan tubuh dapat
dipertahankan.
4. Putar kepala klien ke salah satu sisi dan sokong dengan bantal. Bila banyak
drainase dari mulut, mungkin pemberian bantal dikontra indikasikan.
Menurunkan fleksi atau hiperektensi vertebra cervical.
5. Letakkan bantal kecil dibawah abdomen pada area antara diafragma (atau
payudara pada wanita) dan illiac crest. Hal ini mengurangi tekanan pada
payudara pada beberapa klien wanita, menurunkan hiperekstensi vertebra
lumbal, dan memperbaiki pernafasan dengan menurunkan tekanan diafragma
karena kasur.
6. Letakkan bantal dibawah kaki, mulai lutut sampai dengan tumit. Mengurangi
plantar fleksi, memberikan fleksi lutut sehingga memberikan kenyamanan dan
mencegah tekanan yang berlebihan pada patella.
7. Jika klien tidak sadar atau mengalami paralisa pada ekstremitas atas, maka
elevasikan tangan dan lengan bawah (bukan lengan atas) dengan menggunakan
bantal. Posisi ini akan mencegah terjadinya edema dan memberikan
kenyamanan serta mencegah tekanan yang berlebihan pada patella.
8. Jika klien tidak sadar atau mengalami paralisa pada ekstremitas atas, maka
elevasikan tangan dan lengan bawah (bukan lengan atas) dengan menggunakan
bantal. Posisi ini akan mencegah terjadinya edema dan memberikan
kenyamanan. Bantal tidak diletakkan dibawah lengan atas karena dapat
menyebabkan terjadinya fleksi bahu.
9. Lepaskan sarung tangan dan cuci tangan
10. Dokumentasikan tindakan yang telah dilakukan
J. POSISI LATERAL (SIDE LYING)
1. Pengertian
Posisi lateral adalah posisi dimana klien berbaring diatas salah satu sisi bagian
tubuh dengan kepala menoleh kesamping.
2. Tujuan
a. Mengurangi lordosis dan meningkatkan aligment punggung yang baik
b. Baik untuk posisi tidur dan istirahat
c. Membantu menghilangkan tekanan pada sakrum dan tumit.
3. Peralatan
a. Tempat tidur
b. Bantal angin
c. Gulungan handuk
d. Sarung tangan (bila diperlukan)
4. Prosedur kerja
a. Cuci tangan dengan menggunakan sarung tangan bila diperlukan.
Menurunkan transmisi mikroorganisme.
b. Baringkan klien terlentang ditengah tempat tidur. Memberikan kemudahan
akses bagi klien dan menghilangkan pengubahan posisi klien tanpa melawan
gaya gravitasi.
c. Gulingkan klien hingga pada posisi miring. Menyiapkan klien untuk posisi yang
tepat
d. Letakkan bantal dibawah kepala dan leher klien. Mempertahankan body
aligment, mencegah fleksi lateral dan ketidaknyamanan pada otot-otot leher.
e. Fleksikan bahu bawah dan posisikan ke depan sehingga tubuh tidak
menopang pada bahu tersebut. Mencegah berat badan klien tertahan langsung
pada sendi bahu.
f. Letakkan bantal dibawah lengan atas. Mencegah internal rotasi dan adduksi
dari bahu serta penekanan pada dada.
g. Letakkan bantal dibawah paha dan kaki atas sehingga ekstremitas berfungsi
secara paralel dengan permukaan bed. Mencegah internal rotasi dari paha dan
adduksi kaki. Mencegah penekanan secara langsung dari kaki atas terhadap kaki
bawah.
h. Letakkan bantal, guling dibelakang punggung klien untuk menstabilkan posisi.
Memperlancar kesejajaran vertebra. Juga menjaga klien dari terguling ke
belakang dan mencegah rotasi tulang belakang.
i. Lepaskan sarung tangan dan cuci tangan
j. Dokumentasikan tindakan yang telah dilakukan
Referensi :
Bobak, K. Jensen, 2005, Perawatan Maternitas. Jakarta. EGC
Elly, Nurrachmah, 2001, Nutrisi dalam keperawatan, CV Sagung Seto, Jakarta.
Depkes RI. 2000. Keperawatan Dasar Ruangan Jakarta.
Engenderhealt. 2000. Infection Prevention, New York.
JHPIEGO, 2003. Panduan Pengajaran Asuhan Kebidanan, Buku 5 Asuhan Bayi
Baru Lahir Jakarta. Pusdiknakes.
JNPK_KR.2004. Panduan Pencegahan Infeksi Untuk Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Dengan Sumber Daya Terbatas. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawiroharjo.
Johnson, Ruth, Taylor. 2005. Buku Ajar Praktek Kebidanan. Jakarta. EGC.
Kozier, Barbara, 2000, Fundamental of Nursing : Concepts, Prosess and Practice :
Sixth edition, Menlo Park, Calofornia.
Potter, 2000, Perry Guide to Basic Skill and Prosedur Dasar, Edisi III, Alih bahasa
Ester Monica, Penerbit buku kedokteran EGC.
Samba, Suharyati, 2005. Buku Ajar Praktik Kebidanan. Jakarta. EGC
Posisi Fowler
Posisi fowler merupakan posisi bed dimana kepala dan dada dinaikkan setinggi
45°-60° tanpa fleksi lutut (posisi kaki lurus).
Tujuannya adalah untuk membantu mengatasi masalah kesulitan pernafasan dan
kardiovaskular. Untuk melakukan aktivitas tertentu (makan, membaca, menonton
televisi).
Posisi ini sepertinya tidak terlalu rumit prosedur kerjanya karena hanya
memanfaatkan kecanggihan bed yang kepalanya bisa naik hingga 90° tapi kita
harus terlebih dahulu memutar porosnya supaya kepala bednya bisa naik.
Nah, check it out videonya di sini…
Bagian tubuh yang perlu diberi penyangga atau bantal/selimut yang digunakan
untuk mensupport bagian tubuh yang tertindas adalah:
1. pada bagian lengan bawah, menggunakan bantal, jika lengan mengalami
kelemahan. Telapak tangan bisa supinasi atau pronasi, tergantung kenyamanan
pasien.
footboart yang digunakan untuk menyangga kaki supaya tidak terjadi fleksi pada
plantar (kulai kaki)
2. pada bagian kaki, dari lutut hingga tumit, menggunakan bantal. Juga untuk
mencegah fleksi plantar bisa menggunakan footboart. Pada bagian paha juga
perlu menggunakan bantal kecil.
3. pada bagian kurva lumbal (bagian punggung yang mencekung), menggunakan
bantal kecil.
4. pada bagian leher (kolumna servikal), menggunakan bantal kecil.
Catatan: karena kepala hingga dada menyandar pada kepala bed yang
dinaikan, maka pasien/klien boleh tidak menggunakan bantal pada kepala. Terlalu
banyak menggunakan bantal di bawah kepala dapat menyebabkan fleksi
kontraktur dari leher.
2. Posisi Supinasi (Terlentang)
Posisi terlentang adalah posisi dimana klien berbaring terlentang dengan kepala
dan bahu sedikit elevasi menggunakan bantal.
Tujuannya adalah untuk klien post operasi dengan menggunakan anastesi spinal
dan untuk mengatasi masalah yang timbul akibat pemberian posisi pronasi yang
tidak tepat.
Posisi ini juga tidak terlalu rumit prosedur praktiknya (jika pasien/klien memang
sudah dari awal dengan posisi seperti ini). Rumitnya adalah ketika pasien dalam
posisi pronasi (telungkup) atau posisi lainnya.
Untuk videonya, silakan lihat di sini…
Bagian tubuh yang perlu diberi penyangga pada posisi ini adalah:
1. pada bagian kepala dan bahu klien, letakkan bantal dengan ketebalan yang
sesuai kebutuhan.
2. pada bagian kaki hingga pergelangan kaki, letakkan bantal untuk mencegah
hiperekstensi lutut, menjaga tumit agar tidak menyentuh bed, dan mengurangi
lordosis lumbal.
3. pada bagian pinggul letakkan gulungan handuk untuk mencegah rotasi
eksternal pinggul.
4. pada bagian punggung (kurva lumbal) letakkan bantal kecil untuk mencegah
fleksi spinal lumbal.
5. pada telapak kaki letakkan footboart atau bantal untuk mencetak plantar fleksi
(kulai kaki).
6. pada bagian lengan bawah letakkan bantal kecil dan gunakan gulungan handuk
pada telapak tangan untuk mencegak kontraktur fleksi jari-jari.
3. Posisi Pronasi (Telungkup)
Posisi pronasi adalah posisi dimana klien berbaring diatas abdomen dengan
kepala menoleh kesamping.
Tujuannya adalah untuk memberikan ekstensi penuh pada persendian pinggul
dan lutut, mencegah fleksi kontraktur dari persendian pinggul dan lutut, dan
memberikan drainase pada mulut.
Langsung aja videonya lihat di sini…
Bagian tubuh yang perlu diberi penyangga yaitu:
1. pada bagian kepala klien letakkan bantal kecil untuk menyejajarkan kepala
dengan badan dan mencegah fleksi lateral leher. JANGAN meletakkan bantal di
bawah bahu karena akan meningkatkan lordosis lumbal.
2. pada bagian abdomen atau rongga antara diafragma (atau payudara pada
wanita) dan illiac crest , letakkan bantal kecil atau gulungan handuk untuk
mencegah hiperekstensi lengkung lumbal, kesulitan bernafas, dan tekanan
payudara pada wanita.
3. pada bagian lutut hingga pergelangan kaki letakkan bantal untuk mengurangi
plantar fleksi, bantal ini juga untuk memfleksikan lutut sehingga mencegah
tekanan berlebihan pada patella.
4. Atur posisi klien pada posisi anatomis normal sehingga tidak terjadi penekanan
yang berlebihan pada jari kaki.
4. Lateral (Side Lying) Position
Posisi lateral adalah posisi dimana klien berbaring diatas salah satu sisi bagian
tubuh dengan kepala menoleh kesamping.
Tujuannya adalah untuk mengurangi lordosis dan meningkatkan aligment
punggung yang baik, baik untuk posisi tidur dan istirahat, dan membantu
menghilangkan tekanan pada sakrum dan tumit.
Videonya bisa dilihat di sini..
Bagian tubvuh yang perlu diberi penyangga yaitu:
1. pada bagian kepala letakkan bantal supaya kepala dan leher sejajar, mencegah
fleksi lateral, dan ketidaknyamanan otot leher mayor.
2. letakkan bantal di bawah lengan atas. Mencegah internal rotasi dan adduksi
dari bahu serta penekanan pada dada.
3. letakkan bantal di bawah paha dan kaki atas sehingga ekstremitas berfungsi
secara paralel dengan permukaan bed. Mencegah internal rotasi dari paha dan
adduksi kaki. Mencegah penekanan secara langsung dari kaki atas, terhadap kaki
bawah.
4. letakkan bantal guling di belakang punggung klien untuk menstabilkan posisi.
Memperlancar kesejajaran vertebra. Juga menjaga klien dari terguling ke
belakang dan mencegah rotasi tulang belakang.
5. Posisi Sims (Semipronasi)
Posisi sims atau disebut juga posisi semi pronasi adalah posisi dimana klien
berbaring pada posisi pertengahan antara posisi lateral dan posisi pronasi. Posisi
ini lengan bawah ada di belakang tubuh klien, sementara lengan atas didepan
tubuh klien.
Tujuannya adalah untuk memfasilitasi drainase dari mulut klien yang tidak sadar,
mengurangi penekanan pada sakrum dan trokhanter mayor pada klien yang
mengalami paralisis, dan untuk mempermudahkan pemeriksaan dan perawatan
pada area perineal, serta untuk tindakan pemberian enema.
Posisi semi-telungkup (atau posisi Sims) sering digunakan untuk pasien paralisis
karena ini mengurangi tekanan pada bokong dan panggul. Banyak orang
menemukan posisi ini nyaman untuk tidur.
6. Posisi Trendelenburg
Posisi pasien berbaring ditempat tidur dengan bagian kepala lebih rendah
daripada bagian kaki.
Tujuannya adalah untuk melancarkan peredaran darah ke otak.
7. Posisi Dorsal Recumbent
Posisi berbaring terlentang dengan kedua lutut fleksi (ditarik atau direnggangkan)
di atas tempat tidur.
Tujuan adalah untuk merawat dan memeriksa genetalia serta proses persalinan.
8. Posisi Litotomi
Posisi berbaring terlentang dengan mengangkat kedua kaki dan menariknya ke
atas bagian perut.
Tujuan adalah untuk memeriksa genetalia pada proses persalinan dan memasang
alat kontrasepsi.
9. Posisi Genu Pectoral (Knee Chest)
Merupakan posisi menungging dengan kedua kaki ditekuk dan dada menempel
pada bagian alas tempat tidur.
Tujuan adalah untuk memeriksa daerah rectum dan sigmoid.
10. Posisi Orthopnea
Posisi orthopneu merupakan adaptasi dari posisi fowler tinggi dimana klien duduk
di bed atau pada tepi bed dengan meja yang menyilang diatas bed.
Tujuan adalah untuk membantu mengatasi masalah pernafasan dengan
memberikan ekspansi dada yang maksimal dan membantu klien yang mengalami
masalah ekhalasi.
Kapan posisi Trendelenburgh tidak boleh dilakukan ?
Bagaimana cara memastikan keadaan jantung baik ?
Cari tanda” gagal jantung !
6. Apa interpretasi hasil vital sign dan mengapa dapat terjadi nafas cuping hidung,
retraksi subcostal, wheezing +, fase ekspirasi memanjang dan muka kebiruan ?
7. Mengapa pada kelopak mata terdapat angiodema + dan urtikaria hampir
diseluruh tubuh ?
patofisiologi urtikaria, yaitu akibat proses peradangan maka terjadi dilatasi
atau pelebaran pembuluh darah sehingga kulit berwarna merah dan membentol,
rasa gatal yang timbul pada urtikaria disebabkan oleh adanya perangsangan oleh
mediator kimia Histamin yang terbentuk juga karena proses peradangan.
Daerah yang sering terkena biasanya daerah muka dan tangan atau bagian tubuh
lainnya yang terbuka (tidak tertutup pakaian). Urtikaria dapat terjadi melalui
mekanisme imun dan non imun. Mekanisme imun seperti karena alergi terhadap
suatu benda yang disentuhkan pada kulit, alergi makanan, dsb. Sedangkan
mekanisme non imun dapat disebabkan oleh faktor fisik seperti cahaya, dingin,
gesekan/tekanan, panas dan getaran, latihan jasmani (exercise), faktor psikis
(stress), dll.
Biduran yang gatal dan bentol
Gejala klinis urtikaria lebih lengkapnya yaitu kulit tampak bentol banyak batasnya
tegas, berwarana merah dan gatal. Bentol dapat pula berwarna putih ditengah
yang dikelilingi warna merah. Warna merah bila ditekan akan memutih (khas).
Ukuran tiap lesi bervariasi, dan tiap lesi akan menghilang setelah 1 sampai 48
jam, tetapi dapat timbul lesi baru.
Urtikaria adalah reaksi dari pembuluh darah berupa erupsi pada kulit yang berbatas
tegas dan menimbul (bentol), berwarna merah, memutih bila ditekan, dan disertai rasa
gatal. Urtikaria dapat berlangsung secara akut, kronik, atau berulang. Urtikaria akut
umumnya berlangsung 20 menit sampai 3 jam, menghilang dan mungkin muncul di bagian
kulit lain. Satu episode akut umumnya berlangsung 24-48 jam. Urtikaria dapat timbul tiap
hari atau intermiten, lamanya beberapa menit sampai beberapa jam bahkan beberapa hari.
Dapat terjadi pada semua umur baik laki maupun perempuan, dengan penyebab kadang
jelas, namun sebagian besar penyebabnya sulit di ketahui. Sebagian dapat sembuh dengan
sendirinya,Namun sebagian cendrung kumat- kumatan dan berkepanjangan, sehingga tidak
jarang membuat penderita maupun dokter yang merawatnya agak frustasi/jenuh. Urtikaria
yang timbul pada usia relative lebih muda/anak-anak, dan berkaitan dengan adanya riwayat
atopi pada keluarga, reaksi alergi, dan umumnya sembuh dalam waktu kurang dari 6
minggu: disebut urtikaria akut.
Urtikaria merupakan penyakit yang sering ditemukan, diperkirakan 3,2-12,8% dari
populasi pernah mengalami urtikaria.Urtikaria adalah erupsi pada kulit yang berbatas tegas
dan menimbul (bentol), berwarna merah,memutih bila ditekan, dan disertai rasa gatal.
Urtikaria dapat berlangsung secara akut, kronik,atau berulang.Urtikaria akut biasanya
berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari (kurang dari 6 minggu)dan umumnya
penyebabnya dapat diketahui. Urtikaria kronik, yaitu urtikaria yang berlangsung lebih dari
6 minggu, dan urtikaria berulang biasanya tidak diketahui pencetusnya dan dapat
berlangsung sampai beberapa tahun. Urtikaria kronik umumnya ditemukan pada orang
dewasa. Urtikaria juga dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, yaitu imunologi,
anafilaktoid dan penyebab fisik. Reaksi imunologi dapat diperantarai melalui reaksi
hipersensitivitas tipe I, tipe II atau III. Sedangkan reaksi anafilaktoid dapat disebabkan oleh
angioedema herediter, aspirin, zat yang menyebabkan lepasnya histamin seperti zat
kontras, opiat, pelemas otot, obat vasoaktif dan makanan (putih telur, tomat, lobster).
Secara fisik, urtikaria dapat berupa dermatografia, cold urticaria, heat urticaria, solar
urticaria, pressure urticaria, vibratory angioedema, urtikariaakuagenik dan urtikaria
kolinergik.
2. ETIOLOGI
Pada penyelidikan ternyata hampir 80% tidak diketahui penyebabnya. Diduga
penyebab urtikaria bermacam-macam, antara lain:
1.Obat
Bermacam-macam obat dapat menimbulkan urtikaria, baik secara imunologik
maupun non-imunologik. Obat sistemik (penisilin, sepalosporin, dan diuretik)
menimbulkan urtikaria secara imunologik tipe I atau II. Sedangkan obat yang secara non-
imunologik langsung merangsang sel mast untuk melepaskan histamin, misalnya opium
dan zat kontras.
2.Makanan
Peranan makanan ternyata lebih penting pada urtikaria akut, umumnya akibat
reaksi imunologik. Makanan yang sering menimbulkan urtikaria adalah telur, ikan, kacang,
udang, coklat, tomat, arbei, babi, keju, bawang, dan semangka.
3.Gigitan atau sengatan serangga
Gigitan atau sengatan serangga dapat menimbulkan urtika setempat, hal ini lebih
banyak diperantarai oleh IgE (tipe I) dan tipe seluler (tipe IV).
4.Bahan fotosenzitiser
Bahan semacam ini, misalnya griseofulvin, fenotiazin, sulfonamid, bahan kosmetik,
dan sabun germisid sering menimbulkan urtikaria.
5.Inhalan
Inhalan berupa serbuk sari bunga (polen), spora jamur, debu, asap, bulu binatang,
dan aerosol, umumnya lebih mudah menimbulkan urtikaria alergik (tipe I).
6. Kontaktan
Kontaktan yang sering menimbulkan urtikaria ialah kutu binatang, serbuk tekstil,
air liur binatang, tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, bahan kimia, misalnya insect repellent
(penangkis serangga), dan bahan kosmetik.
7.Trauma Fisik
Trauma fisik dapat diakibatkan oleh faktor dingin, faktor panas, faktor tekanan, dan
emosi menyebabkan urtikaria fisik, baik secara imunologik maupun non imunologik.
Dapat timbul urtika setelah goresan dengan benda tumpul beberapa menit sampai beberapa
jam kemudian. Fenomena ini disebut dermografisme atau fenomena Darier
8. Infeksi dan infestasi
Bermacam-macam infeksi dapat menimbulkan urtikaria, misalnya infeksi bakteri,
virus, jamur, maupun infestasi parasit.
9.Psikis
Tekanan jiwa dapat memacu sel mast atau langsung menyebabkan peningkatan
permeabilitas dan vasodilatasi kapiler .
10.Genetik
Faktor genetik juga berperan penting pada urtikaria, walaupun jarang menunjukkan
penurunan autosomal dominant.
11.Penyakit sistemik
Beberapa penyakit kolagen dan keganasan dapat menimbulkan urtikaria, reaksi
lebih sering disebabkan reaksi kompleks antigen-antibodi.
PATOMEKANISME
MEKANISME TERJADINYA PENYAKIT
Pada gangguan urtikaria menunjukkan adanya dilatasi pembuluh darah dermal di bawah
kulit dan edema (pembengkakan) dengan sedikit infiltrasi sel perivaskular, di antaranya
yang paling dominan adalah eosinofil. Kelainan ini disebabkan oleh mediator yang lepas,
terutama histamin, akibat degranulasi sel mast kutan atau subkutan, dan juga leukotrien
dapat berperan.
Histamin akan menyebabkan dilatasi pembuluh darah di bawah kulit sehingga kulit
berwarna merah (eritema). Histamin juga menyebabkan peningkatan permeabilitas
pembuluh darah sehingga cairan dan sel, terutama eosinofil, keluar dari pembuluh darah
dan mengakibatkan pembengkakan kulit lokal. Cairan serta sel yang keluar akan
merangsang ujung saraf perifer kulit sehingga timbul rasa gatal. Terjadilah bentol merah
yang gatal.
Bila pembuluh darah yang terangsang adalah pembuluh darah jaringan subkutan,
biasanya jaringan subkutan longgar, maka edema yang terjadi tidak berbatas tegas dan
tidak gatal karena jaringan subkutan mengandung sedikit ujung saraf perifer, dinamakan
angioedema. Daerah yang terkena biasanya muka (periorbita dan perioral).
Urtikaria disebabkan karena adanya degranulasi sel mast yang dapat terjadi melalui
mekanisme imun atau nonimun.
Degranulasi sel mast dikatakan melalui mekanisme imun bila terdapat antigen (alergen)
dengan pembentukan antibodi atau sel yang tersensitisasi. Degranulasi sel mast melalui
mekanisme imun dapat melalui reaksi hipersensitivitas tipe I atau melalui aktivasi
komplemen jalur klasik.
Faktor infeksi pada tubuh diantaranya infeksi viru (demam, batuk dan pilek) merupakan
factor pemicu pada urtikaria yang paling sering terjadi namun sering diabaikan
Beberapa macam obat, makanan, atau zat kimia dapat langsung menginduksi
degranulasi sel mast. Zat ini dinamakan liberator histamin, contohnya kodein, morfin,
polimiksin, zat kimia,tiamin, buah murbei, tomat, dan lain-lain. Masih belum jelas
mengapa zat tersebut hanya merangsang degranulasi sel mast pada sebagian orang saja,
tidak pada semua orang.
Faktor fisik seperti cahaya (urtikaria solar), dingin (urtikaria dingin), gesekan atau
tekanan (dermografisme), panas (urtikaria panas), dan getaran (vibrasi) dapat langsung
menginduksi degranulasi sel mast.
Latihan jasmani (exercise) pada seseorang dapat pula menimbulkan urtikaria yang
dinamakan juga urtikaria kolinergik. Bentuknya khas, kecil-kecil dengan diameter 1-3 mm
dan sekitarnya berwarna merah, terdapat di tempat yang berkeringat. Diperkirakan yang
memegang peranan adalah asetilkolin yang terbentuk, yang bersifat langsung dapat
menginduksi degranulasi sel mast.
Faktor psikis atau stres pada seseorang dapat juga menimbulkan urtikaria. Bagaimana
mekanismenya belum jelas.
PATOGENESIS
Urtikaria terjadi karena vasodilatasi disertai permeabilitas kapiler yang meningkat,
sehingga terjadi transudasi cairan yang mengakibatkan pengumpulan cairan setempat.
Sehingga secara klinis tampak edema setempat disertai kemerahan. Vasodilatasi dan
peningkatan permeabilitas kapiler dapat terjadi akibat pelepasan mediator-mediator
misalnya histamine, kinin, serotonin, slow reacting substance of anaphylaxis (SRSA), dan
prostaglandin oleh sel mast dan atau basofil. Baik faktor imunologik, maupun
nonimunologik mampu merangsang sel mast atau basofil untuk melepaskan mediator
tersebut (gambar 10). Pada yang nonimunologik mungkin sekali siklik AMP (adenosin
mono phosphate) memegang peranan penting pada pelepasan mediator. Beberapa bahan
kimia seperti golongan amin dan derivat amidin, obat-obatan seperti morfin, kodein,
polimiksin, dan beberapa antibiotik berperan pada keadaan ini. Bahan kolinergik misalnya
asetilkolin, dilepaskan oleh saraf kolinergik kulit yang mekanismenya belum diketahui
langsung dapat mempengaruhi sel mast untuk melepaskan mediator. Faktor fisik misalnya
panas, dingin, trauma tumpul, sinar X, dan pemijatan dapat langsung merangsang sel mast.
Beberapa keadaan misalnya demam, panas, emosi, dan alcohol dapat merangsang
langsung pada pembuluh darah kapiler sehingga terjadi vasodilatasi dan peningkatan
permeabilitas. Faktor imunologik lebih berperan pada urtikaria yang akut daripada yang
kronik; biasanya IgE terikat pada permukaan sel mast dan atau sel basofil karena adanya
reseptor Fc bila ada antigen yang sesuai berikatan dengan IgE maka terjadi degranulasi sel,
sehingga mampu melepaskan mediator. Keadaan ini jelas tampak pada reaksi tipe I
(anafilaksis), misalnya alergi obat dan makanan. Komplemen juga ikut berperan, aktivasi
komplemen secara klasik maupun secara alternatif menyebabkan pelepasan anafilatoksin
(C3a, C5a) yang mampu merangsang sel mast dan basofil, misalnya tampak akibat venom
atau toksin bakteri. Ikatan dengan komplemen juga terjadi pada urtikaria akibat reaksi
sitotoksik dan kompleks imun pada keadaan ini juga dilepaskan zat anafilatoksin. Urtikaria
akibat kontak dapat juga terjadi misalnya setelah pemakaian bahan penangkis serangga,
bahan kosmetik, dan sefalosporin. Kekurangan C1 esterase inhibitor secara genetik
menyebabkan edema angioneurotik yang herediter.
GEJALA DAN TANDA
Gejala urtikaria adalah sebagai berikut:
Gatal, rasa terbakar, atau tertusuk.
Biduran berwarna merah muda sampai merah.
Lesi dapat menghilang dalam 24 jam atau lebih, tapi lesi baru dapat mucul seterusnya.
Serangan berat sering disertai gangguan sistemik seperti nyeri perut diare, muntah dan
nyeri kepala.
Tanda urtikatria adalah sebagai berikut:
Klinis tampak eritema dan edema setempat berbatas tegas dan kadang-kadang bagian
tengah tampak lebih pucat.
Bentuknya dapat papular, lentikular, numular, dan plakat.
Jika ada reaksi anafilaksis, perlu diperhatikan adanya gejala hipotensi, respiratory
distress, stridor, dan gastrointestinal distress.
Jika ada lesi yang gatal, dapat dipalpasi, namun tidak memutih jika ditekan, maka
merupakan lesi dari urticarial vasculitis yang dapat meninggalkan perubahan pigmentasi.
Pemeriksaan untuk dermographism dengan cara kulit digores dengan objek tumpul dan
diamati pembentukan wheal dengan eritema dalam 5-15 menit.
Edema jaringan kulit yang lebih dalam atau submukosa pada angioedema.
3. ANATOMI DAN FISIOLOGI KULIT
ANATOMI KULIT
Kulit adalah suatu organ pembungkus seluruh permukaan luar tubuh. Lapisan luar kulit
adalah epidermis dan lapisan dalam kulit adalah dermis atau korium.
Kulit menutupi dan melindungi permukaan tubuh dan bersambung dengan selaput
lender yang melapisi rongga-rongga dan lubang-lubang masuk. Kulit mempunyai banyak
fungsi; didalamnya terdapat ujung saraf peraba,membanu mengatur suhu dan
mengendalikan hilangnya air dari tubuh dan mempunyai sedikit kemampuan exkretori,
sekretori dan abrorpsi.
Kulit dibagi menjadi dua lapisan:
1. Epidermis atau kutikula
2. Dermis atau korium
Epidermis tersusun atas epitalium berlapis dan terdiri atas sejumlah lapisan sel yang
disusun atas dua lapis yang jelas tampak; selapis lapisan tanduk dan selapis zona
germinalis.
Lapisan Epidermal. Lapisan tanduk terletak paling luar dan tersusun atas tiga lapisan sel
yang membentuk epidermis. Stratum korneum. Selnya tipis, datar, seperti sisik dan terus-
menerus dilepaskan. Stratum lusidum. Selnya mempunyai batas tegas tetapi tidak ada
intinya.Stratum granulosum. Selapis sel yang jelas tampak berisi inti dan juga
granulosum. Zona Garminalis terletak dibawah lapisan tanduk dan terdiri atas dua lapis sel
apitel yang berbentuk tegas . Sel beduri, yaitu sel dengan fibrin halus yang menyambung
sel yang satu dengan yang lainnya di dalam lapisan ini, sehingga setiap sel seakan-akan
berduri. Sel basal, yang terus menerus memproduksi sel epidermis baru.
Korium atau dermis tersusun atas jaringan fibrus dan jaringan ikat yang elastic. Dermis
tersusun papil-papil kecil yang terisi ranting-ranting pembuluh darah kapiler. Ujung akhir
saraf sensoris, yaitu putting teraba, terletak didalam dermis.Kelenjar keringat ada yang
disebut pori dan kelenjar serumen. Pelengkap kulit Rambut, kuku, dan kelenjar sebaseus
dianggap sebagai tambahan pada kulit.
FISIOLOGI KULIT
Kulit merupakan organ yang berfungsi sangat penting bagi tubuh diantaranya
adalah memungkinkan bertahan dalam berbagai kondisi lingkungan, sebagai barier infeksi,
mengontrol suhu tubuh (termoregulasi), sensasi, eskresi, dan metabolisme. Fungsi proteksi
kulit adalah melindungi dari kehilangan cairan dari elektrolit, trauma mekanik, ultraviolet
dan sebagai barier dari invasi mikroorganisme patogen. Kulit berperan pada pengaturan
suhu dan keseimbangan cairan elektrolit.
4. MANIFESTASI KLINIS
Klinis tampak bentol (plaques edemateus) multipel yang berbatas tegas, berwarna merah
dan gatal. Bentol dapat pula berwarna putih di tengah yang dikelilingi warna merah. Warna
merah bila ditekan akan memutih. Ukuran tiap lesi bervariasi dari diameter beberapa
milimeter sampai beberapa sentimeter, berbentuk sirkular atau serpiginosa (merambat).
Tiap lesi akan menghilang setelah 1 sampai 48 jam, tetapi dapat timbul lesi baru.
Pada dermografisme lesi sering berbentuk linear, pada urtikaria solar lesi terdapat pada
bagian tubuh yang terbuka. Pada urtikaria dingin dan panas lesi akan terlihat pada daerah
yang terkena dingin atau panas. Lesi urtikaria kolinergik adalah kecil-kecil dengan
diameter 1-3 milimeter dikelilingi daerah warna merah dan terdapat di daerah yang
berkeringat. Secara klinis urtikaria kadang-kadang disertai angioedema yaitu
pembengkakan difus yang tidak gatal dan tidak pitting dengan predileksi di muka, daerah
periorbita dan perioral, kadang-kadang di genitalia. Kadangkadang pembengkakan dapat
juga terjadi di faring atau laring sehingga dapat mengancam jiwa.
Timbulnya bintik-bintik merah atau lebih pucat pada kulit. Bintik-bintik merah ini dapat
mengalami edema sehingga tampak seperti benjolan.
Sering disertai rasa gatal yang hebat dan suhu yang > panas pada sekitar benjolan
tersebut.
Terjadi angiodema, dimana edema luas kedalam jaringan subkutan, terutama disekitar
mata, bibir dan di dalam orofaring.
Adanya pembengkakan dapat menghawatirkan, kadang-kadang bisa menutupi mata
secara keseluruhan dan mengganggu jalan udara untuk pernafasan.
5. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan kulit pada urtikaria, meliputi:
Lokalisasi: badan, ekstremitas, kepala, dan leher.
Efloresensi: eritema dan edema setempat berbatas tegas dengan elevasi kulit, kadang-
kadang bagian tengah tampak pucat.
Ukuran: beberapa milimeter hingga sentimeter.
Bentuk: papular, lentikular, numular, dan plakat.
Dermographism.
Didapatkan: penderita dengan kesan sakit sedang, kesadaran kompos mentis, tekanan
darah 110/70 mmHg, denyut nadi 92 x/menit reguler isi cukup, frekuensi pernafasan 20x/
menit dan tempratur aksila 37.8º C. Pada pemeriksaan kepala: tidak didapatkan kesan
anemis maupun ikterus, sembab pada kedua kelopak mata / angioedema, bentol kemerahan
dengan ukuran bervareasi dan gatal pada kulit muka. Pemeriksaan THT kesan tenang. JVP
normal. Tidak dijumpai pembesaran kelenjar limfe.
Gambar 2. Lesi di punggung
Pemeriksaan dada didapatkan ; bentuk dada normal, tersebar bentol kemerahan ukuran
dan bentuk yangbervariasi tersebar diseluruh kulit dada dan punggung. Tersebar bentol
kemerahan; ukuran dan bentuk bervareasi pada kulit dinding abdomen maupun pinggang,
hati dan limfa tidak teraba. Ekstremitas tidak dijumpai edema, hanya ada bentol
kemerahan; ukuran dan bentuk yang sangat bervariasi. Akral hangat tidak ada sianosis.
Pemeriksaan Jantung dan Paru dalam batas normal. Pada pemeriksaan abdomen; bentuk
normal/agak buncit(gemuk ).
Gambaran Histopatologi
Pemeriksaan biopsi kulit (gambar 3); Makros : satu buah jaringan biopsi kulit
diameter 4
mm, putih abu-abu, padat kenyal. Mikros : tampak jaringan biopsi kulit, epidermis
menunjukkan hiperkeratosis ringan. Pada dermis tampak edema, dengan serbukan ringan
sel radang. limfosit di perivaskuler ( vaskulitis ). Tidak tampak tanda ganas pada sediaan
ini. Kesimpulan: gambaran ini bisa ditemukan pada urtikaria kronik.
6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diperlukan pada urtikaria kronik/berulang, tidak diperlukan pada urtikaria akut.
Pemeriksaan yang biasa dilakukan yaitu pemeriksaan urinalisis (mencari fokal infeksi di
saluran kemih), feses rutin (mencari adanya parasit cacing), pemeriksaan darah tepi (LED
dapat meningkat), pemeriksaan kadar IgE total, pemeriksaan hitung eosinofil total
(eosinofilia), pemeriksaan uji kulit alergen ,dermografisme, uji tempel es atau IgE spesifik
dan kadar komplemen (C3, C4) untuk mencari kelainan sistemik yang mendasari urtikaria,
pada pasien yang memiliki riwayat angioedema pada keluarga.
7. PENATALAKSANAAN
Edukasi pasien untuk menghindari pencetus (yang bisa diketahui). Obat opiat dan
salisilat dapat mengaktivasi sel mast tanpa melalui IgE. Pada urtikaria generalisata mula-
mula diberikan injeksi larutan adrenalin 1/1000 dengan dosis 0,01 ml/kg intramuskular
(maksimum 0,3 ml) dilanjutkan dengan antihistamin penghambat H1 seperti CTM 0,25
mg/kg/hari dibagi 3 dosis sehari 3 kali yang dikombinasi dengan HCL efedrin 1
mg/tahun/kali sehari 3 kali. (Lihat penanggulangan anafilaksis). Bila belum memadai
ditambahkan kortikosteroid misalnya prednison (sesuai petunjuk dokter). Pada urtikaria
yang sering kambuh terutama pada anak sekolah, untuk menghindari efek samping obat
mengantuk, dapat diberikan antihistamin penghambat H1 generasi baru misalnya setirizin
0,25 mg/kg/hari sekali sehari. hindari faktor-faktor yang dapat memicu (pada penderita
ini : aktivitas fisik yangberlebih ). Medikamentosa : antihistamin generasi II : desloratadine
10 mg 1x perhari dan pada malam hari ditambahkan antihistamin generasi
I : feniramine hidrogen maleat 25 mg 1x perhari. Dalam 1 minggu pengobatan tidak
memberikan hasil yang memadai, di tambahkan methyl prednisolon 2 x 16 mg. Setelah 1
minggu pengobatan berangsur mulai ada perbaikan,
Pemberian antihistamine dilanjutkan dengan dosis yang sama, sementara dosismethyl
prednisolon diturunkan menjadi 2 x 8 mg . Pada pengamatan 1 minggu berikutnya ;
keluhan sudah jauh berkurang, dan lesi kulit minimal, dosis methyl prednisolon diturunkan
menjadi 2x 4 mg, sementara dosis antihistamin lanjut. Pada saat kontrol 1 minggu
berikutnya ; keluhan gatal dan bentol kemerahan kecil kadang muncul dapat pagi kadang
juga sore pemicunya tidak jelas ; saat itu hanya diterapi dengan antihistamin saja, serta
selalu memperhatikan faktor-faktor yang sekiranya mungkin sebagai pemicu kekambuhan
walaupun sampai terakhir belum jelas.
8. PENCEGAHAN
Pengobatan yang palin utama adalah ditujukan pada penghindaran faktor penyebab dan
pengobatan simtomatik.
Pada urtikaria akut generalisata dan disertai gejala distres pernafasan, asma atau edema
laring,mula-mula diberi larutan adrenalin 1% dengan dosis 0,01 ml/kgBB subkutan
(maksimum 0,3 ml),dilanjutkan dengan pemberian antihistamin penghambat H1 (lihat bab
tentang medikamentosa).Bila belum memadai dapat ditambahkan kortikosteroid.
Pada urtikaria akut lokalisata cukup dengan antihistamin penghambat H1.
Urtikaria kronik biasanya lebih sukar diatasi. Idealnya adalah tetap identifikasi dan
menghilangkan faktor penyebab, namun hal ini juga sulit dilakukan. Untuk ini selain
antihistamin penghambat H1 dapat dicoba menambahkan antihistamin penghambat H2.
Kombinasi lain yang dapat diberikan adalah antihistamin penghambat H1 non sedasi dan
sedasi (pada malam hari) atau antihistamin penghambat H1 dengan antidepresan trisiklik.
Pada kasus
berat dapat diberikan antihistamin penghambat H1 dengan kortikosteroid jangka pendek.
9. PROGNOSIS
Pada umumnya prognosis urtikaria adalah baik, dapat sembuh spontan atau dengan obat.
Tetapi karena urtikaria merupakan bentuk kutan anafilaksis sistemik, dapat saja terjadi
obstruksi jalan nafas karena adanya edema laring atau jaringan sekitarnya, atau anafilaksis
sistemik yang dapat mengancam jiwa.
Penyakit ini bisa remisi spontan pada 33,2% pasien.setelah 1 tahun 50% pasien menjadi
bebas gejala. Tetapi penyakit ini dilaporkan bisa mencapai sampai 20 tahun pada 20%
pasien 4,5,11.
Urtikaria akut prognosisnya lebih baik karena penyebabnya cepat dapat diatasi,
sedangkan urtikaria kronik lebih sulit diatasi karena penyebabnya sulit dicari.
10. EDUKASI
Menjelaskan kepada pasien tentang penyakit urtikaria perjalanan penyakit urtikaria yang
kambuh- kambuhan dan tidak mengancam nyawa, namun belum ditemukan terapi yang
adekuat karena terkadang sulit untuk mengetahui penyebab urtikaria kronik.
Menghindari faktor-faktor yang memperberat seperti terlalu panas, stres, alkohol, dan
agen fisik.
Menghindari penggunaan acetylsalicylic acid, NSAID, dan ACE inhibitor.
Menghindari agen lain yang diperkirakan dapat menyebabkan urtikaria.
11. JENIS HIPERSENSITIFITAS MENURUT GELL DAN COOMBS
REAKSI HIPERSENSITIFITAS
Hipersensitivitas yaitu reaksi imun yang patologik, terjadi akibat respon imun yang
berlebihan sehingga menimbulkan kerusakan jaringan tubuh. Reaksi hipersensitivitas
menurut Coombs dan Gell dibagi menjadi 4 tipe reaksi berdasarkan kecepatan dan
mekanisme imun yang terjadi, yaitu tipe I, II, III, dan IV. Kemudian Janeway dan Travers
merivisi tipe IV Gell dan Coombs menjadi tipe IVa dan IVb.
Reaksi tipe I yang disebut juga reaksi cepat atau reaksi anafilaksis atau reaksi
alergi timbul segera setelah tubuh terpajan dengan alergen. Pada reaksi tipe I, alergen yang
masuk ke dalam tubuh menimbulkan respon imun berupa produksi IgE dan penyakit alergi
seperti rinitis alergi, asma, dan dermatitis atopi.
Reaksi tipe II atau reaksi sitotoksik atau sitotoksik terjadi karena dibentuk antibodi
jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian dari sel pejamu. Reaksi tipe
III disebut juga reaksi kompleks imun, terjadi bila kompleks antigen-antibodi ditemukan
dalam sirkulasi/pembuluh darah atau jaringan dan mengaktifkan komplemen. Reaksi
hipersensitivitas tipe IV dibagi dalam DTH (Delayed Type Hypersensitivity) yang
terjadi melalui sel CD4+ dan T cell Mediated Cytolysis yang terjadi melalui sel CD8+
(Baratawidjaja, 2006).
Mekanisme Alergi ─ Hipersensitivitas Tipe I
Hipersensitivitas tipe I terjadi dalam reaksi jaringan terjadi dalam beberapa menit
setelah antigen bergabung dengan antibodi yang sesuai. Ini dapat terjadi sebagai anafilaksis
sistemik (misalnya setelah pemberian protein heterolog) atau sebagai reaksi lokal
(misalnya alergi atopik seperti demam hay) (Brooks et.al, 2005). Urutan kejadian reaksi
tipe I adalah sebagai berikut:
1. Fase Sensitisasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai
diikatnya oleh reseptor spesifik (Fcε-R) pada permukaan sel mast dan basofil.
2. Fase Aktivasi, yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen
yang spesifik dan sel mast melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan
reaksi.
3. Fase Efektor, yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek
mediator-mediator yang dilepas sel mast dengan aktivitas farmakologik
(Baratawidjaja, 2006).
REAKSI HIPERSENTIVITAS TIPE I
Sel mast dan basofil pertama kali dikemukakan oleh Paul Ehrlich lebih dari 100
tahun yang lalu. Sel ini mempunyai gambaran granula sitoplasma yang mencolok.
Pada saat itu sel mast dan basofil belum diketahui fungsinya. Beberapa waktu
kemudian baru diketahui bahwa sel-sel ini mempunyai peran penting pada reaksi
hipersensitivitas tipe cepat (reaksi tipe I) melalui mediator yang dikandungnya,
yaitu histamin dan zat peradangan lainnya.
Reaksi hipersensitivitas tipe I, atau tipe cepat ini ada yang membagi menjadi reaksi
anafilaktik (tipe Ia) dan reaksi anafilaktoid (tipe Ib). Untuk terjadinya suatu reaksi
selular yang berangkai pada reaksi tipe Ia diperlukan interaksi antara IgE spesifik
yang berikatan dengan reseptor IgE pada sel mast atau basofil dengan alergen yang
bersangkutan.
Proses aktivasi sel mast terjadi bila IgE atau reseptor spesifik yang lain pada
permukaan sel mengikat anafilatoksin, antigen lengkap atau kompleks kovalen
hapten-protein. Proses aktivasi ini akan membebaskan berbagai mediator
peradangan yang menimbulkan gejala alergi pada penderita, misalnya reaksi
anafilaktik terhadap penisilin atau gejala rinitis alergik akibat reaksi serbuk bunga.
Reaksi anafilaktoid terjadi melalui degranulasi sel mast atau basofil tanpa peran
IgE. Sebagai contoh misalnya reaksi anafilaktoid akibat pemberian zat kontras atau
akibat anafilatoksin yang dihasilkan pada proses aktivasi komplemen (lihat bab
mengenai komplemen).
Eosinofil berperan secara tidak langsung pada reaksi hipersensitivitas tipe I melalui
faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A = eosinophil chemotactic factor of
anaphylaxis). Zat ini merupakan salah satu daripreformed mediators yaitu mediator
yang sudah ada dalam granula sel mast selain histamin dan faktor kemotaktik
neutrofil (NCF = neutrophil chemotactic factor). Mediator yang terbentuk
kemudian merupakan metabolit asam arakidonat akibat degranulasi sel mast yang
berperan pada reaksi tipe I.
Menurut jarak waktu timbulnya, reaksi tipe I dibagi menjadi 2, yaitu fase cepat dan
fase lambat.
KESIMPULAN
Reaksi hipersensitivitas tipe I adalah dasar dari reaksi alergi dengan perantara IgE.
Alergi dapat membaik, dan dapat juga menetap seumur hidup.
Sifat alergi mempunyai kemungkinan diturunkan.
Diagnosis penyakit alergi ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, tes kulit, dan
apabila perlu tes provokasi.
Cara terbaik menangani alergi adalah dengan menghindari alergen. Apabila perlu dapat
digunakan antihistamin, kortikosteroid, dan imunosupresan.
DAFTAR PUSTAKA
Malcolm W G. Chronic urticaria ; pathophysiology, diagnosis and treatment. JACI –
APAPARI. Joint Meeting 2006.
Retno W S. The Role of Non Sedating Antihistamine in Management of Chronic Idiopathic
Urticaria. JACI – APAPARI. Joint Meeting 2006.
Javed S. Urticaria.Last Updated : November 19, 2004. E-Medicine 2004.
Kaplan AP. Chronic urticaria: Pathogenesis and treatment. J Allergy Clin Immunol 2004;
114:465- 74.
Kaplan AP. Chronic urticaria and angioedema. NEngl J Med 2002; 346:175-79.
8. Mengapa dokter memberi inj.adrenalin im, oksigenasi, dan loading cairan
melalui infuse ?
Otot jantung ??
Tindakan
Kalau terjadi komplikasi syok anafilaktik setelah kemasukan alergen baik peroral
maupun parenteral, maka tindakan pertama yang paling penting dilakukan
adalah mengidentifikasi dan menghentikan kontak dengan alergen yang diduga
menyebabkan reaksi anafilaksis. Segera baringkan penderita pada alas yang
keras. Kaki diangkat lebih tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik
vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan tekanan darah.
Tindakan selanjutnya adalah penilaian airway, breathing, dan circulation dari
tahapan resusitasi jantung paru untuk memberikan kebutuhan bantuan hidup
dasar. Airway, penilaian jalan napas. Jalan napas harus dijaga tetap bebas agar
tidak ada sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala
dan leher diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu
dengan melakukan triple airway manuver yaitu ekstensi kepala, tarik mandibula ke
depan, dan buka mulut. Penderita dengan sumbatan jalan napas total, harus
segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi, atau
trakeotomi. Breathing support, segera memberikan bantuan napas buatan bila
tidak ada tanda-tanda bernapas spontan, baik melalui mulut ke mulut atau mulut
ke hidung. Pada syok anafilaktik yang disertai udem laring, dapat mengakibatkan
terjadinya obstruksi jalan napas total atau parsial. Penderita yang mengalami
sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong dengan obat-obatan, juga harus
diberikan bantuan napas dan oksigen 5-10 liter /menit. Circulation support, yaitu
bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis atau a. femoralis), segera
lakukan kompresi jantung luar.
Obat-obatan
Sampai sekarang adrenalin masih merupakan obat pilihan pertama untuk
mengobati syok anafilaksis. Obat ini berpengaruh untuk meningkatkan tekanan
darah, menyempitkan pembuluh darah, melebarkan bronkus, dan meningkatkan
aktivitas otot jantung. Adrenalin bekerja sebagai penghambat pelepasan histamin
dan mediator lain yang poten. Mekanisme kerja adrenalin adalah meningkatkan
cAMP dalam sel mast dan basofil sehingga menghambat terjadinya degranulasi
serta pelepasan histamine dan mediator lainnya. Selain itu adrenalin mempunyai
kemampuan memperbaiki kontraktilitas otot jantung, tonus pembuluh darah perifer
dan otot polos bronkus. Adrenalin selalu akan dapat menimbulkan vasokonstriksi
pembuluh darah arteri dan memicu denyut dan kontraksi jantung sehingga
menimbulkan tekanan darah naik seketika dan berakhir dalam waktu pendek.
Pemberian adrenalin secara intramuskuler pada lengan atas, paha, ataupun
sekitar lesi pada sengatan serangga merupakan pilihan pertama pada
penatalaksanaan syok anafilaktik. Adrenalin memiliki onset yang cepat setelah
pemberian intramuskuler. Pada pasien dalam keadaan syok, absorbsi
intramuskuler lebih cepat dan lebih baik dari pada pemberian subkutan. Berikan
0,5 ml larutan 1 :1000 (0,3-0,5 mg) untuk orang dewasa dan 0,01 ml/kg BB untuk
anak. Dosis diatas dapat diulang beberapa kali tiap 5-15 menit, sampai tekanan
darah dan nadi menunjukkan perbaikan.
Tabel 2.1. Dosis Adrenalin Intramuskular untuk Anak-anak
Adrenalin sebaiknya tidak diberikan secara intravena kecuali pada keadaan
tertentu saja misalnya pada saat syok (mengancam nyawa) ataupun selama
anestesia. Pada saat pasien tampak sangat kesakitan serta kemampuan sirkulasi
dan absorbsi injeksi intramuskuler yang benar-benar diragukan, adrenalin
mungkin diberikan dalam injeksi intravena lambat dengan dosis 500 mcg (5 ml
dari pengenceran injeksi adrenalin 1:10000) diberikan dengan kecepatan 100
mcg/menit dan dihentikan jika respon dapat dipertahankan. Pada anak-anak dapat
diberi dosis 10 mcg/kg BB (0,1 ml/kg BB dari pengenceran injeksi adrenalin
1:10000) dengan injeksi intravena lambat selama beberapa menit. Beberapa
penulis menganjurkan pemberian infus kontinyu adrenalin 2-4 ug/menit. Individu
yang mempunyai resiko tinggi untuk mengalami syok anafilaksis perlu membawa
adrenalin setiap waktu dan selanjutnya perlu diajarkan cara penyuntikkan yang
benar. Pada kemasan perlu diberi label, pada kasus kolaps yang cepat orang lain
dapat memberikan adrenalin tersebut. (Pamela, adrenalin, draholik)
Pengobatan tambahan dapat diberikan pada penderita anafilaksis, obat-obat yang
sering dimanfaatkan adalah antihistamin, kortikosteroid, dan bronkodilator.
Pemberian antihistamin berguna untuk menghambat proses vasodilatasi dan
peningkatan peningkatan permeabilitas vaskular yang diakibatkan oleh pelepasan
mediator dengan cara menghambat pada tempat reseptor-mediator tetapi bukan
bukan merupakan obat pengganti adrenalin. Tergantung beratnya penyakit,
antihistamin dapat diberikan oral atau parenteral. Pada keadaan anafilaksis berat
antihistamin dapat diberikan intravena. Untuk AH2 seperti simetidin (300 mg) atau
ranitidin (150 mg) harus diencerkan dengan 20 ml NaCl 0,9% dan diberikan dalam
waktu 5 menit. Bila penderita mendapatkan terapi teofilin pemakaian simetidin
harus dihindari sebagai gantinya dipakai ranitidin. Anti histamin yang juga dapat
diberikan adalah dipenhidramin intravena 50 mg secara pelan-pelan (5-10 menit),
diulang tiap 6 jam selama 48 jam.
Kortikosteroid digunakan untuk menurunkan respon keradangan, kortikosteroid
tidak banyak membantu pada tata laksana akut anafilaksis dan hanya digunakan
pada reaksi sedang hingga berat untuk memperpendek episode anafilaksis atau
mencegah anafilaksis berulang. Glukokortikoid intravena baru diharapkan menjadi
efektif setelah 4-6 jam pemberian. Metilprednisolon 125 mg intravena dpt
diberikan tiap 4-6 jam sampai kondisi pasien stabil (yang biasanya tercapai
setelah 12 jam), atau hidrokortison intravena 7-10 mg/Kg BB, dilanjutkan dengan 5
mg/kgBB setiap 6 jam, atau deksametason 2-6 mg/kg BB.
Apabila terjadi bronkospasme yang menetap diberikan aminofilin intravena 4-7
mg/Kg BB selama 10-20 menit, dapat diikuti dengan infus 0,6 mg/Kg BB/jam, atau
aminofilin 5-6 mg/Kg BB yang diencerkan dalam 20 cc dextrosa 5% atau NaCl
0,9% dan diberikan perlahan-lahan sekitar 15 menit. Pilihan yang lain adalah
bronkodilator aerosol (terbutalin, salbutamol). Larutan salbutamol atau agonis β2
yang lain sebanyak 0,25 cc-0,5 cc dalam 2-4 ml NaCl 0,99% diberikan melalui
nebulisasi.
Apabila tekanan darah tidak naik dengan pemberian cairan, dapat diberikan
vasopresor melalui cairan infus intravena. Larutan 1 ml epineprin 1:1000 dalam
250 ml dextrosa (konsentrasi 4 mg/ml) diberikan dengan infus 1-4 mg/menit atau
15-60 mikrodrip/menit (dengan infus mikrodrip), bila diperlukan dosis dapat
dinaikan sampai dosis maksimum 10 mg/ml, atau aramin 2-5 mg bolus IV pelan-
pelan, atau levarterenol bitartrat 4-8 mg/liter dengan dekstrosa 5% dengan
kecepatan 2ml/menit, atau Dopamin 0,3-1,2 mg/Kg BB/jam secara infus dengan
dextrosa 5%.
Terapi Cairan
Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur intravena untuk
koreksi hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular sebagai
tujuan utama dalam mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan
meningkatkan tekanan darah dan curah jantung serta mengatasi asidosis laktat.
Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid dan koloid tetap merupakan
mengingat terjadinya peningkatan permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada
dasarnya, bila memberikan larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3-4 kali dari
perkiraan kekurangan volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat
diperkirakan terdapat kehilangan cairan 20-40% dari volume plasma. Sedangkan
bila diberikan larutan koloid, dapat diberikan dengan jumlah yang sama dengan
perkiraan kehilangan volume plasma.
Perlu diperhatikan bahwa larutan koloid plasma protein atau dextran juga bisa
melepaskan histamin. Cairan intravena seperti larutan isotonik kristaloid
merupakan pilihan pertama dalam melakukan resusitasi cairan untuk
mengembalikan volume intravaskuler, volume interstitial, dan intra sel. Cairan
plasma atau pengganti plasma berguna untuk meningkatkan tekanan onkotik
intravaskuler.
Observasi
Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok anafilaktik
dikirim ke rumah sakit, karena dapat meninggal dalam perjalanan. Kalau terpaksa
dilakukan, maka penanganan penderita di tempat kejadian harus seoptimal
mungkin sesuai dengan fasilitas yang tersedia dan transportasi penderita harus
dikawal oleh dokter. Posisi waktu dibawa harus tetap dalam posisi telentang
dengan kaki lebih tinggi dari jantung. Kalau syok sudah teratasi, penderita jangan
cepat-cepat dipulangkan, tetapi harus diobservasi dulu selama selama 24 jam, 6
jam berturut-turut tiap 2 jam sampai keadaan fungsi membaik. Hal-hal yang perlu
diobservasi adalah keluhan, klinis (keadaan umum, kesadaran, vital sign, dan
produksi urine), analisa gas darah, elektrokardiografi, dan komplikasi karena
edema laring, gagal nafas, syok dan cardiac arrest. Kerusakan otak permanen
karena syok dan gangguan cardiovaskuler. Urtikaria dan angoioedema menetap
sampai beberapa bulan, infark miokard, aborsi, dan gagal ginjal juga pernah
dilaporkan. Penderita yang telah mendapat adrenalin lebih dari 2-3 kali suntikan,
harus dirawat di rumah sakit.2,9,12
Gambar 2.3. Algoritma Penatalaksanaan Reaksi Anafilaksis
9. Bagaimana tindakan yang cepat apabila terdapat pasien seperti ini ?
ABCDE
A. Posisi: Segera penderita dibaringkan pada posisi yang nyaman
/comfortable dengan posisi kaki ditinggikan (posisi trendelenberg),
dengan ventilasi udara yang baik dan jangan lupa melonggarkan
pakaian.
B. Airways : Jaga jalan nafas dan berikan oksigen nasal/mask 5-10
I/menit, dan jika penderita tak bernafas disiapkan untuk intubasi.
C. Intravena access : Pasang IV line dengan cairan NacL 0,9% /
Dextrose 5% 0,5-1 liter/30 menit
D. Drug: Epinefrin / Adrenalin adalah drug of choice pada syok
anafilaksis dan diberikan sesgera mungkin jika mencurigai syok
anafilaksis (TD sistolik turin < 90 MmHg). Namun harus hati-hati
dengan penderita yang dalam sehari-hari memang hipotensi.
Untuk itu perlunya dilakukan pemeriksaan TD sebelum dilakukan
tindakan.
Dosis : 0,3-0,5 ml/cc Adrenalin/Epinefrin 1 : 1000 diberikan IM (untuk
anak-anak dosis : 0,01 ml/KgBB/.dose dengan maksimal 0,4 ml/dose).
Bila anafilaksis berat atau tidak respon dengan pemberian dengan cara
SK/IM pemberian Epinefrin/adrenalin dapat langsung melalui intavena
atau intratekal (bila pasien sudah dilakukan intubasi melalui ETT)
dengan dosis 1-5 ml (Epi 1 : 10.000, dengan cara membuatnya yaitu
mengencerkan epinefrin 1 ml1: 1000 dengan 10 ml NaCl). Dapat
diulang dalam 5-10 menit. Jika belum ada respons diberikan adrenalin
perdip dengan dosis ug/menit (cara membuat : 1 mg Epinefrin1: 1000
dilarutkan dalam DX5% 250 cc).
Selain pemberian Epi/Adrenalin pemberian antihistamin ternyata
cukup efektif untuk mengontrol keluhan yang ditimbulkan pada kulit
atau membantu pengobatan hipotensi yang terjadi. Dapat diberikan
antihistamin antagonist H1 yaitu Dipenhidram dengan dosis 25-50 mg
IV (untuk anak-anak 2 mg/KgBB) dan bila dikombinasikan dengan
antagonis H2 ternyata lebih superioar yaitu denagn Ranitidin dosis 1
mg/kgbb IV atau dengan Cimetidine 4 mg/kgbb IV pemberian dilakukan
secara lambat.
Pemberian golongan kortikosteroid dapat diberikan walaupun
bukan first line therapy. Obat ini kurang mempunyai efek untuk jangka
pendek, lebih berefek untuk jangka panjang. Dapat diberikan
Hidrokortison 250-500 mg IV atau metal prednisolon50-100 mg IV.
Bila terdapat bronkospasme yang tak respon dengan adrenalin dapat
diberikan aminophylin dengan dosis 6 mg/KgBB dala 50 ml NaCL 0.9%
diberikan secara Iv dalam 30 menit.
Bila penderita menunjukan tanda-tanda perbaikan hrus diobservasi
minimal 6 jam atau dirujuk ke RS bila belum menujukan respons.
10. Pencegahan dan komplikasi
1.Lakukanlah anamnesa adanya riwayat alergi terhadap obat-obatan
atau adanya riwayat atopik lainnya ( seperti riwayat asma bronkiale,
eksim atau riwayat urtikaria dll.)
Adanya obat-obat yang memberi reaksi silang perlu diwaspadai seperti
sesorang yang alergi terhadap aspirin, maka dia juga kemungkinan
alergi terhadap obat-obat yang mempunyai efek antiprostaglandin.
Psien-pasien yang tidak tahan terhadap golongan sepalosporin.
2.Jelaskan kepada penderita bila merasakan adanya rasa yang aneh
setelah dilakukan penyuntikan agar segera memberitahu untuk dapat
mengantisipasi terhadap kemungkinan adanya reaksi anafilaksis
(jangan didiamkan saja)
3.Diperlukan adanya emergency kit diruangan tempat dilakukan
tindakan yang terdiri dari obat-obat : adrenalin/epinefrin,
dipenfidramin, ranitidine tau cimetidine, dexametason, infuse
Nacl/Dx5% dan infuse set.
4.Bila kita meragukan penderita terhadap kemungkinan terjadinya
reaksi anafilaksis setelah tindakan observasi selama 30 menit setelah
tindakan.
5.Jangan lupa mengukur TD sebelum tindakan untuk mengetahui
baseline TD sebelum tindakan.
Daftra Pustaka
1.Dunagan WC, Ridner ML (editor), Medical Emergencies in Manual
Medical Theraupethics, 26 th Ed, 1989, 483-485.
2.Ho MT, Sauder CE (editor), current Emergency Diagnosis and
Treatment, 3 th ed, 1990, 26-41.
3.Liberman PL, Anaphylaxis, University of Tennessee of medicine
(internet), 1-16
11. Mengapa diberi inj.kortikosteroid dan antihistamin ?
12. Mengapa dokter mempertimbangkan memberi inotropik dan vasopresor ?
Memperbaiki sirkulasi
13. Mengapa dokter memasang ECG dan oxymetri ?
14. Etiologi sesak nafas secara umum ?
15. Derajat sesak nafas ?
16. Klasifikasi sesak nafas ?
17. Definisi syok
Syok merupakan suatu kegagalan sirkulasi yang ditandai dengan tidak
adekuatnya perfusi jaringan, yang secara klinis ditandai dengan
penurunan tekanan darah sistolik (< 80 mmHg), perubahan status
mental, oliguria dan akral yang dingin.
Syok berdasaran etiologinya dibagi dalam 4 klasifikasi yaitu :
A. Syok hipovolomik
Yaitu syok akibat menurunnya volume intravaskuler oleh karena
hilangnya darah/plasma (mis:diare, perdarahan)
B. Syok cardiogenik
Yaitu syok akibat gangguan fungsi jantung (aritmia, gangguan fungsi
katup, infark miokard akut dengan komplikasi)
C. Syok Obsruktif
Yaitu syok akibat adanya gangguan pengisian ke ventrikel kanan
(tamponade jantung, emboli paru)
D. Syok distributive
Yaitu gangguan distribusi volume vascular akibat perubahan resisten
an permeabilitas pembuluh darah (syok neurogenik, anafilaksis dan
septic).
18. Macam-macam syok dan apa tanda-tanda syok secara umum ?
DEFENISI
Syok adalah gangguan sistem sirkulasi yang menyebabkan tidak
adekuatnya perfusi dan oksigenasi jaringan atau suatu sindrom klinis
akibat kegagalan akut fungsi sirkulasi yang menyebabkan
ketidakcukupan perfusi jaringan dan oksigenasi jaringan dengan akibat
gangguan mekanisme homeostasis
II. ETIOLOGI
A. Syok Kardiogenik
1). Disebabkan oleh Disritmia
1. Bradidisritmia
2. Takidisritmia
2). Disebabkan oleh factor mekanis jantung
1. Lesi regurgitasi
Insufisiensi aorta atau mitralis akut
Rupture septum interventrikularis
Aneurisma ventrikel kiri masif
2. Lesi obstruktif
Obstruksi saluran keluar ventrikel kiri, seperti stenosis katup aorta
congenital atau di dapat, dan kardiomiopati hipertrofi obstruktif
Obstruksi saluran masuk ventrikel kiri, seperti stenosis mitralis,
miksoma atrium kiri, thrombus atrium.
3) . Miopati
Gangguan kontraktilitas ventrikel kiri, seperti pada infark miokardium
akut atau kardiomiopati kongestif
Gangguan kontraktilitas ventrikel kanan yang disebabkan oleh infark
ventrikel kanan
Gangguan relaksasi atau kelenturan ventrikel kiri, seperti pada
kardiomiopati restriktif atau hipertrofik
B. Syok Obstruktif*
1. Tamponade pericardium
2. Koarktasio aorta
3. Emboli paru
4. Hipertensi pulmonalis primer
* Disebabkan oleh factor-faktor ekstrinsik terhadap katup-katup jantung
dan miokardium
C. Syok Oligemik
1. Perdarahan
2. Kekurangan cairan akibat muntah, diare, dehidrasi, diabetes mellitus,
diabetes insipidus, kerusakan korteks adrenal, peritonitis, pancreatitis,
luka bakar, adenoma vilosa, ascites, atau feokromositoma
D. Syok Distributif
1. Septicemia
Endotoksik
Akibat infeksi spesifik, seperti demam dengue
2. Metabolic atau toksik
Gagal ginjal
Gagal hati
Asidosis atau alkalosis berat
Overdosis obat
Intoksikasi logam berat
Sindrom syok toksik (kemungkinan disebabkan oleh eksotoksin
stafilokok)
Hipertermia maligna
3. Endokrinologik
Diabetes mellitus tak terkontrol dengan koma ketoasidosis atau
hiperosmolar
Kerusakan korteks adrenal
Hipotiroidisme
Hiperparatiroidisme atau hipoparatiroidisme
Diabetes insipidus
Hipoglikemia akibat kelebihan insulin eksogen atau akibat tumor sel
beta
4. Mikrosirkulasi, akibat berubahnya viskositas darah
Polisitemia vera
Sindrom hiperviskositas, termasuk myeloma multiple,
makroglobulinemia, dan krioglobulinemia
Anemia sel sabit
Emboli lemak
5. Neurogenik
Seebral
Spinal
otonom
6. Anafilaktik
III. KLASIFIKASI
Berdasarkan mekanismenya, syok diklasifikasikan sebagai berikut
1. Syok kardiogenik
2. Syok obtruktif
3. Syok oligemik
4. Syok distributive
Berdasarkan penyebabnya, syok diklasifikasikan sebagai berikut
1. Syok hipovolemik, yaitu kondisi medis atau bedah dimana terjadi
kehilangan cairan dengan cepat yang berakhir pada kegagalan
beberapa organ, disebabkan oleh volume sirkulasi yang tidak adekuat
dan berakibat pada perfusi yang tidak adekuat.
2. Syok kardiogenik
3. Syok neurogenik
4. Syok septic
5. Syok anafilatik
IV. MANIFESTASI KLINIK
Secara umum, manifestasi klinik syok adalah sebagai berikut
1. System Kardiovaskuler
Manifestasi klinik berupa:
Gangguan sirkulasi perifer berupa pucat dan ekstremitas dingin.
Kurangnya pengisian vena perifer lebih bermakna dibandingkan
penurunan tekanan darah.
Nadi cepat dan halus
Tekanan darah rendah
Vena perifer kolaps
CVP rendah
2. System Respirasi
Manifestasi klinik berupa pernapasan cepat dan dangkal.
3. System Saraf Pusat
Manifestasi klinik berupa perubahan mental pasien
4. Sistem Saluran Cerna
Manifestasi klinik berupa mual dan muntah.
5. System Saluran Kencing
Manifestasi klinik berupa berkurangnya produksi urin. Normal rata-rata
produksi urin pasien dewasa adalah 60 ml/jam ( 1/5-1 ml/kg/jam)
V. PATOFISIOLOGI
Berbagai mekanisme dapat menyebabkan terjadinya syok. Curah
jantung yang berkurang karena gagal jantung atau karena perdarahan,
vasodilatasi karena berbagai sebab seperti rangsangan simpatis
parasimpatis, reaksi antigen dan antibody dapat menyebabkan
pengisian pembuluh darah tidak maksimal, sehingga biasanya
ditemukan manifestasi klinik berupa vena perifer kolaps dan CVP yang
rendah.. Hal ini menyebabkan pasokan darah tidak mampu memenuhi
kebutuhan darah.
Keadaan ini dikompensasi oleh tubuh dengan berbagai cara.
Diantaranya dengan vasokonstriksi pembuluh darah perifer sehingga
ekstremitas tampak pucat dan dingin, jantung berusaha berkontraksi
lebih cepat untuk menghasilkan curah jantung lebih banyak sehingga
nadi menjadi cepat walaupun halus. Kondisi ini juga menyebabkan
kebutuhan akan oksigen semakin meningkat, sehingga pasien bernafas
denga cepat dan dangkal.
Selain itu, kompensasi tubuh juga dapat berupa retensi cairan di ginjal,
sehingga produksi urin pasien menjadi berkurang dari normal.
VI. PENATALAKSANAAN
Sistematika penatalaksanaan syok Hipovolemik
Sistematika penatalaksanaan syok Kardiogenik
Sistematika penatalaksanaan syok Neurogenik
Sistematika penatalaksanaan syok Anafilatik
Sistematika penatalaksanaan syok Septik
VII. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan menifestasi anamnesis, pemeriksaan
fisik dan dari manifestasi klinik yang muncul.
VIII. PROGNOSIS
Pasien yang menderita syok akan memperoleh prognosis yang cukup
baik jika penanganan dini dapat diberikan dalam waktu cepat seperti
resusitasi cairan dan penanganan factor penyebab.
DAFTAR PUSTAKA
Hippocrates Emergency Team (HET): Prosedur Tetap, 2010
PERKI : Pedoman diagnosis & Tatalaksana Gagal Jantung, Jakarta, 2009,
MED
Price, Sylvia A, Lorraine M Wilson: Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-
proses Penyakit, Jakarta, 2005, EGC
19. Bagaimana patofisiologi syok anafilaktik ?
Secara harfiah, anafilaksis berasal dari
kata ana yang berarti balik dan phylaxis yang berarti perlindungan. Dalam hal
ini respons imun yang seharusnya melindungi (prophylaxis) justru merusak
jaringan, dengan kata lain kebalikan dari pada melindungi (anti-phylaxis atau
anaphylaxis).
Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai
oleh Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) yang ditandai dengan curah
jantung dan tekanan arteri yang menurun hebat. Hal ini disebabkan oleh adanya
suatu reaksi antigen-antibodi yang timbul segera setelah suatu antigen yang
sensitif masuk dalam sirkulasi. Syok anafilaktik merupakan salah satu manifestasi
klinis dari anafilaksis yang merupakan syok distributif, ditandai oleh adanya
hipotensi yang nyata akibat vasodilatasi mendadak pada pembuluh darah dan
disertai kolaps pada sirkulasi darah yang dapat menyebabkan terjadinya
kematian. Syok anafilaktik merupakan kasus kegawatan, tetapi terlalu sempit
untuk menggambarkan anafilaksis secara keseluruhan, karena anafilaksis yang
berat dapat terjadi tanpa adanya hipotensi, seperti pada anafilaksis dengan gejala
utama obstruksi saluran napas.
Reaksi anafilaksis merupakan sindrom klinis akibat reaksi imunologis (reaksi alergi)
yang bersifat sistemik, cepat dan hebat yang dapat menyebabkan gangguan
respirasi, sirkulasi, pencernaan dan kulit. Jika reaksi tersebut cukup hebat sehingga
menimbulkan syok disebut sebagai syok anafilaktik yang dapat berakibat fatal.
Mekanisme umum terjadinya reaksi anafilaksis dan anafilaktoid adalah
berhubungan dengan degranulasi sel mast dan basophil yang kemudian
mengeluarkan mediator kimia yang selanjutnya bertanggung jawab
terhadap symptom. Degranulasi tersebut dapat terjadi melalui
kompleks antigen dan Ig E maupun tanpa kompleks dengan Ig E yaitu
melalui pelepasan histamine secara langsung.
Mekanisme lain adalah adanya gangguan metabolisme asam
arachidonat yang akan menghasilkan leukotrien yang berlebihan
kemudian menimbulkan keluhan yang secara klinis tidak dapat
dibedakan dengan meknisme diatas. Hal ini dapat terjadi pada
penggunaan obat-obat NSAID atau pemberian gama-globulin
intramuscular.
Gejala dan tanda reaksi anafilaksis termasuk timbul rasa kecemasan, urtikaria,
angiodema, nyeri punggung, rasa tercekik, batuk, bronkospasme atau edema
laryng.
Pada beberapa kasus, terjadi hipotensi, hilang kesadaran, dilatasi pupil, kejang
hingga “sudden death”.
Syok terjadi akibat sekunder dari hipoksia yang berat, vasodilatasi perifer atau
adanya hipovolemia relative akibat adanya ektravasasi cairan dari pembuluh
darah. Namun demikian vascular kolaps dapat terjadi tanpa didahului gejala
gangguan respirasi dan dalam hal ini kematian dapat terjadi dalam beberapa
menit.
Jadi gejala syok anfilaktif adalah gabungan gejala anafilaksis dengan adanya
tanda-tanda syok yang secara sistimatis dapat dikelompokan dengan gejala
prodromal, kardiovaskuler, pulmonal, gastrointestinal dan reaksi kulit.
Gejala prodromal pada umumnya adalah perasaan tidak enak, lemah, gatal
dihidung atau di palatum, bersin atau rasa tidak enak didada. Gejala ini
merupakan permulaan dari gejala lainnya.
Gejala pulmoner didahului dengan rhinitis, bersin diikuti dengan spasme
bronkus dengan atau tanpa batuk lalu berlanjut dengan sesak anoksia sampai
apneu.
Gejala gastrointestinal berupa mual, muntah, rasa kram diperut sampai diare.
Sedangkan gejala pada kulit berupa gatal-gatal, urtikaria dan angioedema.
Tanda dan Gejala-gejala anfilaksis sesuai urutan tersering :
-Urtikaria da angioedema
-Dyspnea, wheezing
-Dizzines, syncope, hipotensi
-Nause, vomitus, diarea, kramp abdominal
-Flush
-Edema saluran nafas atas
-Sakit kepala (Headache)
-Rhinitis
-Substernal pain
-Gatal-gatal seluruh tubuh
-Seizure
Diagnosa syok anafilaksis jelas dicurigai bila setelah memberikan suntikan
(iv/im) timbul gejala-gejala diatas.
20. Komplikasi syok ?
21. Macam-macam pemberian cairan infuse dan apa indikasinya ?
Indikasi pemberian obat melalui jalur intravena antara lain:
1. Pada seseorang dengan penyakit berat, pemberian obat melalui
intravena langsung masuk ke dalam jalur peredaran darah.
Misalnya pada kasus infeksi bakteri dalam peredaran darah
(sepsis). Sehingga memberikan keuntungan lebih dibandingkan
memberikan obat oral. Namun sering terjadi, meskipun pemberian
antibiotika intravena hanya diindikasikan pada infeksi serius,
rumah sakit memberikan antibiotika jenis ini tanpa melihat derajat
infeksi. Antibiotika oral (dimakan biasa melalui mulut) pada
kebanyakan pasien dirawat di RS dengan infeksi bakteri, sama
efektifnya dengan antibiotika intravena, dan lebih
menguntungkan dari segi kemudahan administrasi RS, biaya
perawatan, dan lamanya perawatan.
2. Obat tersebut memiliki bioavailabilitas oral (efektivitas dalam
darah jika dimasukkan melalui mulut) yang terbatas. Atau hanya
tersedia dalam sediaan intravena (sebagai obat suntik). Misalnya
antibiotika golongan aminoglikosida yang susunan kimiawinya
“polications” dan sangat polar, sehingga tidak dapat diserap
melalui jalur gastrointestinal (di usus hingga sampai masuk ke
dalam darah). Maka harus dimasukkan ke dalam pembuluh darah
langsung.
3. Pasien tidak dapat minum obat karena muntah, atau memang
tidak dapat menelan obat (ada sumbatan di saluran cerna atas).
Pada keadaan seperti ini, perlu dipertimbangkan pemberian
melalui jalur lain seperti rektal (anus), sublingual (di bawah lidah),
subkutan (di bawah kulit), dan intramuskular (disuntikkan di otot).
4. Kesadaran menurun dan berisiko terjadi aspirasi (tersedak—obat
masuk ke pernapasan), sehingga pemberian melalui jalur lain
dipertimbangkan.
5. Kadar puncak obat dalam darah perlu segera dicapai, sehingga
diberikan melalui injeksi bolus (suntikan langsung ke pembuluh
balik/vena). Peningkatan cepat konsentrasi obat dalam darah
tercapai. Misalnya pada orang yang mengalami hipoglikemia berat
dan mengancam nyawa, pada penderita diabetes mellitus. Alasan
ini juga sering digunakan untuk pemberian antibiotika melalui
infus/suntikan, namun perlu diingat bahwa banyak antibiotika
memiliki bioavalaibilitas oral yang baik, dan mampu mencapai
kadar adekuat dalam darah untuk membunuh bakteri.
Indikasi Pemasangan Infus melalui Jalur Pembuluh Darah Vena
(Peripheral Venous Cannulation)
1. Pemberian cairan intravena (intravenous fluids).
2. Pemberian nutrisi parenteral (langsung masuk ke dalam darah)
dalam jumlah terbatas.
3. Pemberian kantong darah dan produk darah.
4. Pemberian obat yang terus-menerus (kontinyu).
5. Upaya profilaksis (tindakan pencegahan) sebelum prosedur
(misalnya pada operasi besar dengan risiko perdarahan, dipasang
jalur infus intravena untuk persiapan jika terjadi syok, juga untuk
memudahkan pemberian obat)
6. Upaya profilaksis pada pasien-pasien yang tidak stabil, misalnya
risiko dehidrasi (kekurangan cairan) dan syok (mengancam
nyawa), sebelum pembuluh darah kolaps (tidak teraba), sehingga
tidak dapat dipasang jalur infus.
Kontraindikasi dan Peringatan pada Pemasangan Infus Melalui Jalur
Pembuluh Darah Vena
1. Inflamasi (bengkak, nyeri, demam) dan infeksi di lokasi
pemasangan infus.
2. Daerah lengan bawah pada pasien gagal ginjal, karena lokasi ini
akan digunakan untuk pemasangan fistula arteri-vena (A-V shunt)
pada tindakan hemodialisis (cuci darah).
3. Obat-obatan yang berpotensi iritan terhadap pembuluh vena kecil
yang aliran darahnya lambat (misalnya pembuluh vena di tungkai
dan kaki).
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi dalam pemasangan infus:
1. Hematoma, yakni darah mengumpul dalam jaringan tubuh akibat
pecahnya pembuluh darah arteri vena, atau kapiler, terjadi akibat
penekanan yang kurang tepat saat memasukkan jarum, atau
“tusukan” berulang pada pembuluh darah.
2. Infiltrasi, yakni masuknya cairan infus ke dalam jaringan sekitar
(bukan pembuluh darah), terjadi akibat ujung jarum infus
melewati pembuluh darah.
3. Tromboflebitis, atau bengkak (inflamasi) pada pembuluh vena,
terjadi akibat infus yang dipasang tidak dipantau secara ketat dan
benar.
4. Emboli udara, yakni masuknya udara ke dalam sirkulasi darah,
terjadi akibat masuknya udara yang ada dalam cairan infus ke
dalam pembuluh darah.
Komplikasi yang dapat terjadi dalam pemberian cairan melalui
infus:
• Rasa perih/sakit
• Reaksi alergi
Jenis Cairan Infus:
1. Cairan hipotonik:
osmolaritasnya lebih rendah dibandingkan serum (konsentrasi ion Na+
lebih rendah dibandingkan serum), sehingga larut dalam serum, dan
menurunkan osmolaritas serum. Maka cairan “ditarik” dari dalam
pembuluh darah keluar ke jaringan sekitarnya (prinsip cairan berpindah
dari osmolaritas rendah ke osmolaritas tinggi), sampai akhirnya mengisi
sel-sel yang dituju. Digunakan pada keadaan sel “mengalami” dehidrasi,
misalnya pada pasien cuci darah (dialisis) dalam terapi diuretik, juga
pada pasien hiperglikemia (kadar gula darah tinggi) dengan
ketoasidosis diabetik. Komplikasi yang membahayakan adalah
perpindahan tiba-tiba cairan dari dalam pembuluh darah ke sel,
menyebabkan kolaps kardiovaskular dan peningkatan tekanan
intrakranial (dalam otak) pada beberapa orang. Contohnya adalah NaCl
45% dan Dekstrosa 2,5%.
1. Cairan Isotonik:
osmolaritas (tingkat kepekatan) cairannya mendekati serum (bagian
cair dari komponen darah), sehingga terus berada di dalam pembuluh
darah. Bermanfaat pada pasien yang mengalami hipovolemi
(kekurangan cairan tubuh, sehingga tekanan darah terus menurun).
Memiliki risiko terjadinya overload (kelebihan cairan), khususnya pada
penyakit gagal jantung kongestif dan hipertensi. Contohnya adalah
cairan Ringer-Laktat (RL), dan normal saline/larutan garam fisiologis
(NaCl 0,9%).
1. Cairan hipertonik:
osmolaritasnya lebih tinggi dibandingkan serum, sehingga “menarik”
cairan dan elektrolit dari jaringan dan sel ke dalam pembuluh darah.
Mampu menstabilkan tekanan darah, meningkatkan produksi urin, dan
mengurangi edema (bengkak). Penggunaannya kontradiktif dengan
cairan hipotonik. Misalnya Dextrose 5%, NaCl 45% hipertonik, Dextrose
5%+Ringer-Lactate, Dextrose 5%+NaCl 0,9%, produk darah (darah),
dan albumin.
Pembagian cairan lain adalah berdasarkan kelompoknya:
1. Kristaloid:
bersifat isotonik, maka efektif dalam mengisi sejumlah volume cairan
(volume expanders) ke dalam pembuluh darah dalam waktu yang
singkat, dan berguna pada pasien yang memerlukan cairan segera.
Misalnya Ringer-Laktat dan garam fisiologis.
1. Koloid:
ukuran molekulnya (biasanya protein) cukup besar sehingga tidak akan
keluar dari membran kapiler, dan tetap berada dalam pembuluh darah,
maka sifatnya hipertonik, dan dapat menarik cairan dari luar pembuluh
darah. Contohnya adalah albumin dan steroid.
JENIS-JENIS CAIRAN INFUS
ASERING
Indikasi:
Dehidrasi (syok hipovolemik dan asidosis) pada kondisi: gastroenteritis
akut, demam berdarah dengue (DHF), luka bakar, syok hemoragik,
dehidrasi berat, trauma.
Komposisi:
Setiap liter asering mengandung:
Na 130 mEq
K 4 mEq
Cl 109 mEq
Ca 3 mEq
Asetat (garam) 28 mEq
Keunggulan:
1. Asetat dimetabolisme di otot, dan masih dapat ditolelir pada
pasien yang mengalami gangguan hati
2. Pada pemberian sebelum operasi sesar, RA mengatasi
asidosis laktat lebih baik dibanding RL pada neonatus
3. Pada kasus bedah, asetat dapat mempertahankan suhu
tubuh sentral pada anestesi dengan isofluran
4. Mempunyai efek vasodilator
5. Pada kasus stroke akut, penambahan MgSO4 20 %
sebanyak 10 ml pada 1000 ml RA, dapat meningkatkan
tonisitas larutan infus sehingga memperkecil risiko
memperburuk edema serebral
KA-EN 1B
Indikasi:
1. Sebagai larutan awal bila status elektrolit pasien belum diketahui,
misal pada kasus emergensi (dehidrasi karena asupan oral tidak
memadai, demam)
2. < 24 jam pasca operasi
3. Dosis lazim 500-1000 ml untuk sekali pemberian secara IV.
Kecepatan sebaiknya 300-500 ml/jam (dewasa) dan 50-100
ml/jam pada anak-anak
4. Bayi prematur atau bayi baru lahir, sebaiknya tidak diberikan lebih
dari 100 ml/jam
KA-EN 3A & KA-EN 3B
Indikasi:
1. Larutan rumatan nasional untuk memenuhi kebutuhan harian air
dan elektrolit dengan kandungan kalium cukup untuk mengganti
ekskresi harian, pada keadaan asupan oral terbatas
2. Rumatan untuk kasus pasca operasi (> 24-48 jam)
3. Mensuplai kalium sebesar 10 mEq/L untuk KA-EN 3A
4. Mensuplai kalium sebesar 20 mEq/L untuk KA-EN 3B
KA-EN MG3
Indikasi :
1. Larutan rumatan nasional untuk memenuhi kebutuhan harian air
dan elektrolit dengan kandungan kalium cukup untuk mengganti
ekskresi harian, pada keadaan asupan oral terbatas
2. Rumatan untuk kasus pasca operasi (> 24-48 jam)
3. Mensuplai kalium 20 mEq/L
4. Rumatan untuk kasus dimana suplemen NPC dibutuhkan 400
kcal/L
KA-EN 4A
Indikasi :
1. Merupakan larutan infus rumatan untuk bayi dan anak
2. Tanpa kandungan kalium, sehingga dapat diberikan pada pasien
dengan berbagai kadar konsentrasi kalium serum normal
3. Tepat digunakan untuk dehidrasi hipertonik
Komposisi (per 1000 ml):
Na 30 mEq/L
K 0 mEq/L
Cl 20 mEq/L
Laktat 10 mEq/L
Glukosa 40 gr/L
KA-EN 4B
Indikasi:
1. Merupakan larutan infus rumatan untuk bayi dan anak usia kurang
3 tahun
2. Mensuplai 8 mEq/L kalium pada pasien sehingga meminimalkan
risiko hipokalemia
3. Tepat digunakan untuk dehidrasi hipertonik
Komposisi:
1.
o Na 30 mEq/L
o K 8 mEq/L
o Cl 28 mEq/L
o Laktat 10 mEq/L
o Glukosa 37,5 gr/L
Otsu-NS
Indikasi:
1. Untuk resusitasi
2. Kehilangan Na > Cl, misal diare
3. Sindrom yang berkaitan dengan kehilangan natrium (asidosis
diabetikum, insufisiensi adrenokortikal, luka bakar)
Otsu-RL
Indikasi:
1. Resusitasi
2. Suplai ion bikarbonat
3. Asidosis metabolik
MARTOS-10
Indikasi:
1. Suplai air dan karbohidrat secara parenteral pada penderita
diabetik
2. Keadaan kritis lain yang membutuhkan nutrisi eksogen seperti
tumor, infeksi berat, stres berat dan defisiensi protein
3. Dosis: 0,3 gr/kg BB/jam
4. Mengandung 400 kcal/L
AMIPAREN
Indikasi:
1. Stres metabolik berat
2. Luka bakar
3. Infeksi berat
4. Kwasiokor
5. Pasca operasi
6. Total Parenteral Nutrition
7. Dosis dewasa 100 ml selama 60 menit
AMINOVEL-600
Indikasi:
1. Nutrisi tambahan pada gangguan saluran GI
2. Penderita GI yang dipuasakan
3. Kebutuhan metabolik yang meningkat (misal luka bakar, trauma
dan pasca operasi)
4. Stres metabolik sedang
5. Dosis dewasa 500 ml selama 4-6 jam (20-30 tpm)
PAN-AMIN G
Indikasi:
1. Suplai asam amino pada hiponatremia dan stres metabolik ringan
2. Nitrisi dini pasca operasi
3. Tifoid
22. Indikasi obat inotropik dan vasopresor ?
Obat inotropik positif Obat inotropik positif bekerja dengan meningkatkan kontraksi
otot jantung (miokardium) dan digunakan untuk gagal jantung, yakni keadaan dimana
jantung gagal untuk memompa darah dalam volume yang dibutuhkan tubuh. Keadaan
tersebut terjadi karena jantung bekerja terlalu berat atau karena suatu hal otot jantung
menjadi lemah. Beban yang berat dapat disebabkan oleh
6
kebocoran katup jantung, kekakuan katub, atau kelainan sejak lahir dimana sekat
jantung tidak terbentuk dengan sempurna.
Ada 2 jenis obat inotropik positif, yaitu
a. Glikosida jantung
Glkosida jantung adalah alkaloid yang berasal dari tanaman Digitalis purpurea
yang kemudian diketahui berisi digoksin dan digitoksin. Keduanya bekerja sebagai
inotropik positif pada gagal jantung.
• Digoksin, kodenya 7-211
• Digitoksin, kodenya 7-211
b. Penghambat fosfodiesterase
Obat-obat dalam golongan ini merupakan penghambat enzim fosfodiesterase yang
selektif bekerja pada jantung. Hambatan enzim ini menyebabkan peningkatan
kadar siklik AMP (cAMP) dalam sel miokard yang akan meningkatkan kadar
kalsium intrasel.
• Milrinon
• Aminiron
10
Dobutamine
Dobutamine merupakan cathecolamine sintetik bekerja agonis selektif β1
adrenergik.
3,4,5
Dobutamine merupakan agen inotropik pilihan pertama pada pasien dengancardiac output
yang rendah dimana telah mendapatkan resusitasi cairan yang adekuat.
Meskipun memiliki dominasi aktivitas β adrenergik, dobutamine juga memiliki efek α
adrenergik yang membatasi peningkatan heart rate. Awal mula pemberian dengan dosis
kecildapat meningkatkan cardiac output secara signifikan. Dobutamine mengalami
metabolismesecara cepat, sehingga pemberian infus kontinyu 2-10 µ/kg/menit diperlukan
untuk mempertahankan konsentrasi terapeutik plasma.
3
Dosis besar melebihi 20 µg/kg/menitintravena jarang digunakan karena hanya memberi
keuntungan minimal dengan efek takikardi yang berlebihan. Dobutamine memiliki efek
minimal terhadap tekanan daraharterial. Tekanan darah arterial akan meningkat perlahan
bila abnormalitas primer yaitu gagal jantung telah diatasi.
1
Dobutamine menunjukkan efek agonis β adrenergik poten pada dosis
<5µ/kg/menit.dobutamine meningkatkan kontraktilitas miokard (reseptor β1) dan
menyebabkan vasodila
tasi
perifer derajat sedang (reseptor β2). Isomer levorotatory dobutamine menstimulasi resepto
r α1 pada dosis >5 µ/kg/menit dan mencegah terjadinya vasodilatasi yang lebih jauh.
Dobutamine digunakan untuk memperbaiki cardiac output pada pasien gagal
jantungkongestif, terutama bila heart rate dan tahanan vaskuler sistemik meningkat.
Kombinasidengan obat-obatan lain bermanfaat dalam meningkatkan aktivitas dan
memperbaikidistribusi cardiac output.
3
Penelitian terbaru De Backer dan kawan-kawan dengan menggunakan
orthogonalpolarization spectral imaging menunjukkan bahwa dobutamine memperbaiki
perfusi kapilerpada pasien dengan syok septik, tanpa tergantung dari efek sistemik. Diduga
bahwadobutamine memiliki efek spesifik pada aliran darah regional.
1
Dobutamine menyebabkan peningkatan cardiac output yang tergantung dosis
danpenurunan tekanan pengisian arteri, tanpa peningkatan tekanan darah sistemik dan
heart rateyang signifikan. Peningkatan heart rate yang terjadi ini lebih rendah dibandingkan
denganisoproterenol, menunjukkan aktivitas dobutamin terhadap sinoatrial node yang lebih
kecil.Berlawanan dengan dopamine, dobutamine tidak memiliki efek vasokonstriktor
secara klinisdan tahanan vaskular sistemik umumnya tidak mengalami perubahan besar.
Dobutaminetidak efektif bagi pasien yang memerlukan peningkatan tahanan vaskular
sistemik dibandingkan dengan peningkatan cardiac output untuk meningkatkan tekanan
darahsistemik. Dobutamine adalah vasodilator arteri koroner. Redistribusi cardiac output
akibat
11
dobutamine menyebabkan peningkatan kehilangan panas tubuh melalui kutaneus,
sehinggaterjadi penurunan suhu tubuh. Perbaikan aliran darah ginjal yang
terjadi merupakan hasil daripeningkatan cardiac output akibat dobutamine.
3
Dopexamine
Dopexamine hydrochloride adalah catecholamine sintetik terbaru, memiliki struktur
yang mirip dopamine. Dopexamine memiliki aktivitas β2 adrenergik, dopaminergik, β1
adrenergik yang lemah, dan tidak memiliki efek α
adrenergik langsung. Bekerja denganmenghambat neuronal uptake catecholamine
endogen. Efek inotropik positif dopexaminekombinasi dengan efek vasodilatasi
menyebabkan dopexamine berperan dalam kondisi
gagal jantung kronik dengan eksaserbasi akut dan kondisi gagal jantung dalam pembedaha
n jantung. Penggunaan dopexamine dibatasi akibat efek takikardi yang ditimbulkan,
khususnyapada penggunaan dosis tinggi. Suatu penelitian meta-analisis 21 randomized
controlledstudies menunjukkan tidak terdapat bukti yang mendukung penggunaan
dopexamine untuk memperbaiki aliran darah hepatosplanchnic atau renal pada pasien
kritis.
1
Dopexaminememperbaiki creatinine clearance dan menurunkan inflamasi sistemik tanpa
merubahoksigenasi splanchnic pada pasien yang menjalani cardiopulmonary bypass.
3
Phosphodiesterase inhibitor
Phosphodiesterase (PDE) merupakan enzim yang berperan dalam degradasi
cyclicnucleotide, cAMP dan cyclic guanosine monophosphate (cGMP). PDE
inhibitormemperpanjang atau meningkatkan efek fisiologis yang diperantarai cAMP dan
cGMP. AgenPDE inhibitor, seperti enoximone dan milrinone memiliki efek inotropik dan
vasodilatasi.Obat ini ditoleransi buruk pada pasien dengan hipotensi arterial, dan
pemberiannya sulitkarena half life yang panjang. Pemberian secara intermitten lebih
disukai dibandingkandengan infus kontinyu. Pemberian dosis kecil PDEIII inhibitor dapat
memperkuat efek dobutamine. Pemberian PDEIII inhibitor menimbulkan komplikasi
aritmia, khususnya padapasien dengan penyakit jantung iskemia, berkaitan dengan efek
cAMP dan kadar Ca 2+.Beberapa penelitian menunjukkan bahwa milrinone memiliki efek
anti inflamasi danmemiliki peran dalam perfusi hepatosplanchnic.
1
Levosimendan
Levosimendan tergolong agen yang relatif baru, memiliki efek intropik
denganmeningkatkan sensitivitas kalsium miosit dengan berikatan dengan cardiac troponin
C, danefek vasodilator dengan membuka (adenosine triphosphate) sensitif channel
potassium padaotot polos vaskuler. Harga Levosimendan tergolong mahal dan memiliki
half life yangpanjang yang secara praktik akan membatasi kegunaannya. Levosimendan
menunjukkan
12
perbaikan hemodinamik yang lebih efektif dibandingkan dobutamine dan dapat
menurunkanmortalitas pada pasien gagal jantung berat. Levosimendan juga dapat
digunakan sebagaiinotropik support setelah iskemi miokard, setelah myocardial stunning,
pada pembedahan jantung, dan pada pasien dengan disfungsi ventrikel kanan
Syok anafilaktik
3. Tujuan terapi
a. Mengatasi keadaan akut syok anafilaktik
b. Mencegah reaksi anafilaktik berat
c. Rehidrasi cairan dan berlangsung lama
4. Golongan obat rasional
a. Mengatasi keadaan akut syok anafilaktik
- Golongan vasopressor
- Golongan antihistamin
- Golongan beta 2 agonis
- Golongan metil xantin
- Golongan kortikosteroid
Golongan obat yang digunakan adalah golongan vasopressor. Golongan ini memiliki
efek farmakologi membuat pembuluh darah berkonstriksi karena pada syok anafilaktik,
pembuluh darah mengalami dilatasi sehingga terjadi penurunan tekanan darah secara
drastis. Konstriksi pembuluh darah diperlukan untuk meningkatkan tekanan darah
untuk menjaga perfusi darah ke organ-oragn vital seperti jantung dan otak.
Golongan beta 2 agonis dan metil xantin dapat digunakan sebagai bronkodilator saluran
nafas bawah yang mengalami obstruksi akibat reaksi anafilaktik. Golongan obat yang
dipilih sebagai bronkodilator adalaah golongan metil xantin yang memiliki mekanisme
kerja menghambat enzim fosfodiesterase dan menyebabkan dilatasi bronkus.
Golongan antihistamin dapat digunakan untuk meminimalisir efek dari sitokin hasil
reaksi hipersensitivitas yaitu histamin. Obat ini juga dapat diberikan jika
memungkinkan pada keadaan syok anafilaktik.
b. Mencegah reaksi anafilaktif berat dan berlangsung lama
- Golongan vasopressor
- Golongan antihistamin
- Golongan beta 2 agonis
- Golongan metil xantin
- Golongan kortikosteroid
Golongan yang dipilih adalah kortikosteroid. Reaksi anafilaktik erat kaitannya dengan
proses inflamasi yang dinduksi oleh allergen, sehingga penggunaan kortikosteroid
efektif untuk mengatasi hal ini. Kortikosteroid tidak bermanfaat pada reaksi anafilaktik
akut, tetapi sangat bermanfaat untuk mencegah rekasi anafilaktik yang berat dan
berlangsung lama (IPD FKUI).
c. Rehidrasi cairan
1. Hipotonik
2. Isotonik
3. Hipertonik
Cairan yang dipakai adalah cairan hipertonik. Cairan ini osmolaritasnya lebih tinggi
dibandingkan serum, sehingga “menarik” cairan dan elektrolit dari jaringan dan sel ke
dalam pembuluh darah. Mampu menstabilkan tekanan darah, meningkatkan produksi
urin, dan mengurangi edema (bengkak). Pada reaksi anafilaktik terjadi perubahan
permeabilitas vaskuler generalisata yang menyebabkan cairan merembes keluar
pembuluh darah, sehingga cairan hipertonik cocok digunakan pada keadaan ini. Cairan
isotonik dapat juga digunakan, namun penggunaannya harus hati hati dikarenakan
dapat menyebabkan overload cairan jika tidak diawasi. Cairan isotonik lebih cocok
digunakan pada keadaan hipovolemia.
5. Obat yang dipilih
a. Obat dari golongan Vasopressor
- Efinefrin
- Norefeniferin
- Dopamin
- Felinefrin
Obat yang dipilih dari golongan vasopressor adalah efinefrin. Berdasarkan
penatalaksanaan syok anafilaktik, apabila diagnosis telah ditegakkan, pemberian
efinefrin sebagai lini pertama tidak boleh ditunda. Efinefrin merupakan analog
mediator kimiawi efinefrin di dalam tubuh yang bekerja sebagai neurotrasnmitter
eksitasi pada neuron post sinaptik pada sistem saraf simpatis sehingga efeknya dapat
menyebabkan konstriksi pada pembuluh darah, meningkatkan kerja jantung, dan
dilatasi saluran nafas.
Obat dari golongan metil-xantin yang digunakan adalah aminofilin. Obat ini biasa
digunakan pada status asmaticus pada pasien asma. Obat ini cocok digunakan pada
reaksi anafilaktik yang menyebabkan obstruksi saluran nafas. Obat ini bekerja
menurunkan aktifitas sel limfosit yang menyebabkan inflamasi di saluran nafas
sehingga edema pada laring dan bronkus dapat berkurang. Obat ini juga dapat bekerja
langsung menyebabkan dilatasi dari saluran nafas sehingga mengurangi spasme
bronkus yang disebabkan oleh reaksi anafilaktik.
Obat yang dipilih dari golongan anti histamin adalah ranitidin. Obat ini merupakan anti
histamin 2 yang biasa digunakan pada syok anafilaktik. Obat ini mudah didapatkan dan
tersedia dalam bentuk injeksi. Obat ini juga tidak memiliki efek samping terhadap
jantung dan saluran nafas.
b. Obat dari golongan kortikosteroid
- Hidrokortison
- Prednison
- Prednisolon
- Dexametason
- Betamethason
- Metil-prednisolon
Obat yang dipilih adalah hidrokortison karena memiliki sediaan intravena yang cocok
digunakan pada pasien yang mengalami penurunan kesadaran. Prednison dapat
diberikan jika pasien sadar. Duration of action dari hidrokortison tergolong short action
sehingga efek samping yang ditimbulkan kortikosteroid seperti edema dapat
diminimalisir. Dexametason dan betametason tidak digunakan karena merupakan
kortikosteroid dengan long action dan sediaannya dalam bentuk oral.
c. Cairan hipertonik
- Dextrose 5%
- produk darah (darah)
- albumin.
Cairan yang dipilih adalah dextrose 5%. Cairan ini bersifat hipertonik yang dapat
mempertahankan cairan intravaskular dan menarik cairan ekstravaskular ke dalam
intravaskular. Kandungan glukosanya dapat menjadi sumber energi untuk keadaan
syok. Kadar gula darah pasien harus dilihat sebelum memberikan cairan ini.
6. BSO dan Dosis
a. Efinefrin
Efinefrin 1 : 1000 diberikan 0,01 ml/kgBB maksimal 0,3 ml subkutan dan dapat diulang
setiap 15-20 menit sampai 3-4 kali. Dosis ini diberikan pada kondisi akut syok
anafilaktik. Jika kondisi memburuk dapat diberikan 0,5 ml/kgBB injeksi intramuskular
(IPD FKUI). Wanita usia 35 tahun memiliki berat badan sekitar 50 kg, sehingga dosis
efinefrin pada pasien ini yaitu 0,5 ml injeksi subkutan.
b. Aminofilin
Dosis aminofilin 5-6 mg/kgBB yang diencerkan dalam 20cc dextrose dan diberikan
secara perlahan melalui injeksi intravena sekitar 15 menit (IPD FKUI)
c. Hidrokortison
Hidrokortison diberikan melalui injeksi intravena dengan dosis 5 mg/kgBB. Diberikan
setiap 6 jam (IPD FKUI). Dosis pada pasien ini dengan berat badan sekitar 50 kg adalah
250 mg injeksi intravena.
d. Ranitidin
Bentuk sediaan yang digunakan adalah injeksi intravena. Dosis pemberian 50 mg IV
dapat diberikan bersama dengan steroid.
e. Cairan dextrose 5%