DESENTRALISASI DI INDONESIA
1. Pengantar Indonesia merupakan salah satu dari sebelas negara
di kawasan Negara-negara Asia Tenggara dalam zona Asia Tenggara
Maritim. Berada di kawasan yang diapit dua benua, Benua Asia dan
Benua Australia, dan dua samudra, Samudra Pasifik dan Samudra
Hindia, Indonesia termasuk negara kepulauan terbesar di dunia yang
memiliki pulau sejumlah 17.508 (Portal Nasional Republik Indonesia
2010). Luas wilayah Indonesia mencapai 3.977 mil ditambah dengan
luas perairan Indonesia menjadi 1.9 juta mil persegi dengan 5 pulau
besar yaitu Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Dengan
luas wilayah yang sangat besar tersebut, secara administratif
Indonesia dibagi menjadi beberapa provinsi dan setiap Provinsi
terdiri dari beberapa Kabupaten/Kota. Jumlah Provinsi dan
Kabupaten/Kotaberkembang dari tahun ke tahun sesuai dengan
perkembangan jumlah penduduk maupun permasalahan yang dihadapi
masyarakat di suatu terkait. Berikut detail perkembangan jumlah
propinsi dan kabupaten/kota di Indonesia.
Tabel 1. Perkembangan Jumlah Daerah Administratif di Indonesia
tahun 1996-2008TahunJumlah ProvinsiJumlah Kabupaten/KotaTahunJumlah
ProvinsiJumlah Kabupaten/Kota
1996272872003 Juni31416
1997272912003 Desember30440
1998 awal27293200433440
1998 akhir273142005 Juni33440
1999263412005 Desember33440
200032341200633450
200130353200733475
2002 Juni303772008 Juni33483
2002 Desember313912008 Desember33489
Sumber: Badan Pusat Statistik 2008Data di atas memperlihatkan
adanya penambahan jumlah Kabupaten/Kota secara signifikan mulai
tahun 1998 sampai dengan tahun 1999. Penambahan jumlahg
Kabupaten/Kota di Indonesia yang pesat pada kurun waktu tersebut
merupakan dampak dari diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 yang
mengatur tentang pemerintahan daerah di Indonesia. Undang-undang
inilah yang kemudian menjadi penanda atas apa yang disebut sebagai
Decentralization Big Bang[footnoteRef:2] di Indonesia. [2: Big bang
decentralization adalah sebuah proses perubahan dalam tata hubungan
pusat dan daerah yang dilakukan pemerintah pusat mulai dari
perubahan ke desentralisasi, pengesahan undang-undang, transfer
kewenangan dan kekuasaan ke level lokal dalam tempo yang singkat
(2007:10-11).]
Indonesia mengalami dua kali gelombang Decentralisation Big
Bang. Big bang yang pertama ditandai dengan dikeluarkannya
Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang
memberikan kewenangan yang relatif besar kepada Daerah untuk
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Selain itu, dalam
undang-undang ini, daerah diberi peluang untuk membentuk
Kabupaten/Kota baru jika telah memenuhi persyaratan
tertentu[footnoteRef:3]. Ruang untuk mengakui kekhasan suatu daerah
juga terbuka, yang memungkinkan bagi diberlakukannya desentralisasi
berbasis konteks atau karakter suatu Daerah (baca: Desentralisasi
Asimetris). [3: Persyaratan untuk membentuk Provinsi/Kabupaten/Kota
baru berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 diantaranya adalah: jumlah
penduduk, luas wilayah, potensi ekonomi daerah, dll.]
Kabupaten/Kota yang semula diatur dalam pola yang sentralistis,
secara cepat berubah haluan kearah yang desentralistis. Perubahan
tersebut ditandai dengan penyerahan sebagian besar urusan
pemerintahan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah
(Provinsi/Kabupaten/Kota). Penyerahan urusan tersebut pada
gilirannya memindahkan tanggung jawab penyediaan pelayanan publik,
termasuk untuk sektor dasar seperti pendidikan dan, dari Pemerintah
Pusat kepada Pemerintah Daerah. Hal inilah yang menjadikan
Indonesia masuk dalam catatan World Bank sebagai salah satu dari
empat negara[footnoteRef:4] yang mengalami Decentralization Big
Bang (Wasistiono 2010: 1). [4: Tiga negara lain yang juga mengalami
Big Bang ini adalah Filipina, Pakistan, dan Ethiopia.]
Gelombang kedua big bang ditandai dengan adanya peningkatan
aliran Dana Alokasi Umum (DAU - General Alocation Grand) hingga
mencapai 64% dari total APBN (Fengler, Hofman 2009). Di era
sebelumnya, pemerintah daerah belum pernah mendapatkan dana sebesar
itu untuk dikelola. Situasi ini menjadi tantangan sekaligus jebakan
maut bagi pemerintah daerah untuk mengelola dana DAU secara
efektif, transparan dan akuntabel sehingga dapat menjalankan
kewenangannya untuk menyediakanpelayanan publik kepada
masyarakat.Sejak merdeka pada 17 Agustus 1945, Indonesia mengalami
perubahan dalam hal bentuk negara maupun pola hubungan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah. Dalam hal bentuk negara, Indonesia
pernah mengalami bentuk negara kesatuan maupun federal (dengan nama
Republik Indonesia Serikat). Bentuk negara kesatuan digunakan dalam
dua periode, yaitu pada 1945 1949 dan 1950 sekarang, sedangkan
bentuk negara federal dijalankan kurang lebih selama dua tahun pada
1949 1950.Bentuk negara federal diterapkan di Indonesia sebagai
strategi politik pada masa tersebut untuk mendapatkan pengakuan
kemerderkaan dari kalangan internasional. Hal ini terjadi karena
Pemerintah Belanda tidak mau mengakui kemerdekaan Indonesia yang
diproklamasikan tahun 1945. Setelah melalui kesepakatan yang alot
dalam Konferensi Meja Bundar antara Pemerintah Indonesia dengan
Pemerintah Belanda dan pemerintah boneka bentukan Belanda
(Bijeenkomst voor Federaal Overleg/BFO)[footnoteRef:5], pada
tanggal 27 Desember 1949 berdirilah Republik Indonesia Serikat
(RIS)[footnoteRef:6]. Hanya saja, RIS tidak berusia panjang karena
kuatnya tuntutan dari berbagai daerah di Indonesia untuk kembali ke
bentuk negara kesatuan. [5: Pasca 1945, Pemerintah Belanda belum
mau mengakui kemerdekaan Indonesia. Strategi yang kemudian
digunakan adalah membujuk pemimpin-pemimpin politik diluar Jawa
untuk membentuk negara bagian yang terpisah dari Republik Indonesia
yang baru merdeka tersebut. Negara-negara bagian inilah yang
kemudian disebut sebagai negara boneka.] [6: Republik Indonesia
Serikat terdiri dari tujuh negara bagian dan 9 daerah otonom yang
tidak tergabung dalam federasi. Tujuh negara bagian tersebut adalah
Negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan
termasuk distrik Federal Jakarta, Negara Jawa Timur, Negara Madura,
Negara Sumatera Timur dan Negara Sumatera Selatan. Sementara 9
wilayah yang berdiri sendiri adalah Jawa Tengah, Kalimantan Barat
dengan status istimewa, Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan
Tenggara, Kalimantan Timur, Bangka, Belitung dan Riau. Selain
berimplikasi terhadap nama negara, pembagian daerah/negara bagian,
perubahan menjadi negara federal membawa konsekuensi yuridis. Yaitu
adanya konstitusi Republik Indonesia Serikat yang ditandatangani
oleh 16 negara bagian/daerah (Muslimin, Amrah 1960; Kaho,J.R.
2012).]
Sedangkan dalam hal pola relasi antara pusat dan daerah,
Indonesia secara de yure lebih banyak menganut prinsip
desentralisasi. Namun, secara de facto, prinsip sentralisasi lah
yang muncul lebih dominan, hingga munculnya UU No 22 Tahun 1999
yang kemudian digantikan dengan UU No. 32 Tahun 2004. Dua
undang-undang inilah yang secara de yure memberikan landasan bagi
desentralisasi di Indonesia yang kemudian de facto diterapkan
sesuai dengan aturan.Perjalanan desentalisasi di Indonesia sebelum
dan sesudah reformasi tahun 1999 inilah yang akan menjadi misi
utama tulisan ini. Terlebih lagi karena Indonesia adalah negara
yang semula memiliki tata hubungan pusat dan daerah yang paling
sentralistis di dunia berubah secara drastis menjadi negara paling
terdesentralisasi di dunia(Guess 2005).2. Desentralisasi di
Indonesia sebelum era reformasi (1945 1998)Sistem pemerintahan
desentralisasi diperkenalkan di Indonesia saat pemerintahan
kolonial Belanda melalui Regering Reglement (RR) yang ditetapkan
tahun 1854. Peraturan ini menegaskan bahwa Hindia
Belanda[footnoteRef:7] tidak mengenal sistem desentralisasi namun
sistem sentralisasi dengan asas
dekonsentrasi.[footnoteRef:8]Konsekuensinya, Hindia Belanda
dibentuk wilayah-wilayah administratif yang diatur secara hirarkis
mulai dari gewest (residentie), Afdeling Distrik dan Onderdistric
(Asshiddiqqie, J. 2006). [7: Nama Indonesia di masa penjajahan
Belanda] [8: Dekonsentrasi merupakan salah satu variasi dalam
teorisasi Desentralisasi menurut Rondinelli dan Cheema (1983).]
Tahun 1903, ditetapkanDecentralisatie Wet tanggal 23 Juli 1903.
Decentralisatie Wet ini memuat beberapa pasal baru yang
memungkinkan daerah otonom (gewest) memiliki kewenangan untuk
mengurus keuangan. Tahun 1925, Pemerintah Belanda melengkapi
peraturan pusat dan daerah dengan mengeluarkan
aturan[footnoteRef:9] yang berimplikasi pada berimplikasi pada
pembagian Pulau Jawa menjadi beberapa Provincies (propinsi), regent
(karesidenan) dan stad. Selain itu, berdasarkan peraturan ini
pemerintahan Hindia Belanda mulai melibatkan orang pribumi,
Indonesia, terutama kaum ningrat/bangsawan untuk masuk ke jajaran
birokrasi pemerintahan(kabupaten/kotamadya) (Yani, A. 2002; Kaho,
J.R. 2012). [9: Aturan tersebut adalah Wet op de Staatsinrichting
van Nederlands-Indie atau biasa disebut dengan Indische
Staatsregeling (IS). Penerapan IS tersebut diatur dalam dua
peraturan baru yaitu Regentschap ordonantie dan Provincies
ordonantie.]
Sistem pemerintahan desentralisasi dengan konsep otonomi daerah
mulai diperkenalkan di tahun 1937. Dimana daerah memiliki hak untuk
membantu pelaksanaan pemerintah pusat dimana kepala daerahnya
adalah orang pusat yang di kirim ke daerah sebagai pemegang jabatan
pemerintahan tertinggi di daerah dan diawasi oleh Gubernur Jenderal
(Yani, A. 2002). Pada zaman penjajahan Jepang (1942 1945), sistem
desentralisasi dihapuskan dan diganti dengan sistem sentralisasi
yang dikendalikan oleh militer. Sejak Indonesia merdeka,
pelaksanaan sistem desentralisasi di Indonesia sangat tergantung
pada rezim yang berkuasa. Dari tahun 1945 hingga tahun 1998,
terdapat 5 undang-undang yang mengatur tentang pemerintahan
daerah.[footnoteRef:10]Dari kelima perundangan tersebut, empat
perundangan diundangkan pada masa pemerintahan Presiden Republik
Indonesia I, Soekarno[footnoteRef:11]. Sementara satu perundangan
yaitu UU No. 5 tahun 1974 pada masa pemerintahan Presiden Republik
Indonesia II, Soeharto, yang berlaku dari tahun 1974 hingga
1998[footnoteRef:12]. [10: Perundangan tersebut adalah UU No. 1
Tahun 1945 tentang Kedudukan Komite Nasional Daerah, UU No. 22
Tahun 1948 tentang Penetapan Aturan-Aturan Pokok Mengenai
Pemerintah Daerah, UU No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan Daerah, Penpres NO. 6 Tahun 1959 tentang Pemerintah
Daerah, UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan
Daerah dan UU. No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah.] [11:
Masa pemerintahan Presiden RI I adalah tahun 1945 1966. Periode ini
selanjutnya disebut sebagai Era Orde Lama.] [12: Periode ini
kemudian disebut sebagai Era Orde Baru.]
2.1. Desentralisasi di era Orde Lama (1945 1965)Empat
perundangan yang mengatur tentang pemerintahan daerah di era Orde
Lama memiliki latar belakang dan implikasi yang berbeda-beda
terhadap hubungan pusat dan daerah di Indonesia. Regulasi
pemerintahan daerah yang pertama kali diundangkan pasca Indonesia
merdeka adalah UU No. UU No. 1 Tahun 1945. Dalam undang-undang ini,
muncul semangat untuk melaksanakan desentralisasi di Indonesia
melalui pembentukan Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID).
Lembaga ini merupakan cikal bakal terbentuknya lembaga perwakilan
di daerah. Artinya, peluang bagi terciptanya demokrasi di tingkat
daerah mulai dibuka, dengan dibentuknya lembaga legislatif daerah
yang berfungsi untuk menjadi mitra eksekutif daerah dalam
menjalankan pemerintahan sehari-hari didaerah. Selain itu,
undang-undang ini membagi pemerintahan daerah dalam tiga level,
yaitu karesidenan, kabupaten dan kota. Ketiga pemerintahan di level
lokal tersebut memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus
rumah tangga daerahnya sendiri-sendiri. Namun, tidak semua
pemerintahan daerah di Indonesia dapat membentuk KNID, sehingga di
tahun 1945 sistem pemerintahan di Indonesia dibagi menjadi dua
jenis yaitu pemerintahan daerah yang memiliki KNID dan pemerintahan
yang tidak memiliki KNID. Pemerintahan yang memiliki KNID adalah
pemerintahan daerah yang diberi kewenangan otonom untuk mengatur
rumah tangga sendiri. Sementara pemerintahan yang tidak memiliki
KNID adalah daerah yang diperlakukan sebagai wilayah administratif.
Kelemahan dari undang-undang ini adalah pertama tidak mengatur
secara tegas batas dan ruang lingkup urusan rumah tangga. Kedua,
terjadi dualistik dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah
yaitu pemerintahan yang diselenggarakan bersama-sama antara KNID,
badan eksekutif dan kepala daerah serta penyelenggaraan urusan
pemerintahan yang dilakukan oleh kepala daeah yang terlepas KNID
dan badan eksekutif. Kelemahan yang ada dalam UU No. 1 tahun 1945
tersebut berusaha diperbaiki oleh Pemerintah Orde Lama dengan
mengeluarkan UU No. 22 tahun 1948 tentang Pemerintah Daerah.
Undang-undang ini memiliki empat tujuan yaitu pertama melakukan
uniformitas pemerintahan daerah di seluruh Indonesia, kedua
menghapuskan dualisme dalam penyelenggaraan pemerintahan, ketiga
memberikan hak otonomi kepada daerah, keempat memberikan medebewind
(tugas pembantuan) seluas-luasnya kepada badan-badan pemerintah
daerah. Dalam undang-undang ini, terdapat beberapa perubahan
signifikan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Perubahan
pertama terkait tingkat pemerintahan di daerah yang berubah menjadi
provinsi, kabupaten (kota besar) dan swatantra (menyelenggarakan
pemerintahan sendiri yang meliputi desa, nagari, marga, gampong
dll). Perubahankedua, perubahan dalam konfigurasi pemerintah
daerah, yang terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan
Dewan Pemerintah Daerah (DPD). Ketua/anggota DPD memegang jabatan
kepala daerah. Kepala daerah tersebut diangkat oleh Pemerintah
Pusat dan dapat dihentikan oleh DPRD sebagai salah satu
implementasi hak DPRD dalam melakukan sistem kontrol dan
pengawasan. Semangat UU No. 22 tahun 1948 ini adalah memberikan
otonomi yang luas kepada Pemerintah Daerah. Hal ini ditandai dengan
adanya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang mempunyai wewenang
politik yang relatif besar. Selain itu, undang-undang ini juga
mengakui otonomi asli (self governing community) yang ada di
tingkat desa di Indonesia. Hanya saja, implementasi undang-undang
ini tidak berjalan dengan baik, karena konteks sosial dan politik
pada saat itu.Pada tahun 1957, pemerintah Orde lama mengeluarkan
kembali Undang-undang Pemerintah Daerah yang baru yaitu UU. No. 1
Tahun 1957 yang berinduk kepada UUDS 1950 yang menganut azaz
otonomi yang seluas-luasnya (UUDS Pasal II , UU No. 1 Tahun 1957
Pasal 31 ayat (1)) dengan menganut sistem otonomi riil. Implikasi
dari implementasi undang-undang ini adalah pertama adanya semangat
untuk menghilangkan prinsip azaz dekonsentrasi di daerah-daerah
dengan menentang adanya kedudukan Pamong Praja, kedua DPRD dipilih
oleh rakyat, DPD dipilih oleh DPRD dan kepala daerah dipilih DPRD,
ketiga DPD bertanggung jawab kepada DPRD, keempat DPRD bertugas
untuk mengangkat Sekretaris Daerah. Kelima, Kepala Daerah dapat
dijatuhkan sewaktu-waktu oleh DPRD dengan mosi tidak percaya.
Perundang-undangan yang baru ini membuat kondisi daerah menjadi
tidak kondusif karena keluasan otonomi yang diberikan dan kurangnya
kontrol dari Pemerintah Pusat. Kondisi ini diperkeruh dengan
kondisi perpolitikan nasional yang sedang memanas dimana saat itu
hubungan Presiden dengan DPR/MPR sedang tidak harmonis (Mahfud, M.
1987).Seiring dengan perubahan ideologi yang dianut oleh Orde Lama
dari demokrasi liberal ke demokrasi terpimpin,[footnoteRef:13] maka
UU No. 1 Tahun 1957 yang kental dengan demokrasi liberal diganti
dengan Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959 dengan nuansa demokrasi
terpimpin yang kuat. Implikasi dari perubahan fundamental tersebut
adalah pertamakewenangan-kewenangan pusat yang diberikan ke daerah
ditarik kembali ke pusat karena Presiden Soekarno berargumen bahwa
otonomi luas mengancam keutuhan bangsa (Raharusun, Y.A. 2009).
Dengan kata lain, ada perubahan prinsip dari desentralisasi menjadi
prinsip sentralisasi. Kedua adanya pemusatan pimpinan pemerintahan
di satu tangan yaitu Kepala Daerah. Kepala Daerah tidak saja
memimpin pemerintahan namun juga mengetuai lembaga legislatif yaitu
DPRD. Sementara dalam menyelenggarakan pemerintahan Kepala Daerah
dibantu oleh Badan Pemerintah Harian (BPH). [13: Demokrasi
terpimpin adalah salah satu variasi demokrasi yang pernah
dijalankan di Indonesia. Dalam demokrasi terpimpin, seluruh
keputusan politik dibuat oleh Presiden, yang harus diikuti sampai
level Gubernur/Bupati di Daerah.]
Ketiga penghapusan DPD dan diganti dengan BPH yang berfungsi
sebagai penasehat Kepala Daerah. Keempat, posisi Kepala Daerah
sangat kuat dimana tidak dapat diberhentikan oleh DPRD dan
berwenang untuk menunda pemberlakukan keputusan-keputusan daerah.
Pemberhentian Kepala Daerah hanya dapat dilakukan oleh Pemerintah
Pusat sebagai konsekuensi dari perpanjangan tangan Pemerintah Pusat
di daerah. Kelima, adanya protes keras dari partai politik karena
kekuasaan partai di daerah dikurangi (Asshiddiqqie, Jimly 2006;
Raharusun, Y.A. 2009).Salah satu dampak sampingan dari diberlakukan
UU ini adalah bertambahnya jumlah provinsi dari 12 di tahun 1950
(10 provinsi ditambah 2 daerah istimewa) menjadi 20 provinsi di
tahun 1958. Namun sisi fiskal peraturan desentralisasi tsb masih
sangat terpusat sehingga mengakibatkan banyak daerah tetap
bergantung pada pusat. Tetapi sayangnya desentralisasi belum sempat
berakar akibat dari pemberontakan-pemberontakan daerah di Sumatera
dan Sulawesi menentang Jakarta, pengumuman UU darurat perang,
meningkatnya pengaruh militer, sehingga menggugurkan eksperimen
singkat desentralisasi di Indonesia. Kemudian UU ini dicabut dengan
menggunakan Dekrit Presiden 1959, yang merupakan penanda dari
munculnya Demokrasi Terpimpin. Undang-undang terakhir tentang
Pemerintah Daerah yang ditetapkan dalam periode Orde Lama yaitu UU.
No. 18 Tahun 1965, tidak mengalami perubahan signifikan dari
perundangan sebelumnya. Hal ini dikarenakan UU No. 18 Tahun 1965
hanya mengadopsi dari Penpres No. 6 tahun 1959 dan UU No. 5 Tahun
1960 tentang Pembentukan DPR GR. Meski pun demikian, terdapat
beberapa hal positif dari Undang-undang ini yaitu pertama susunan
DPRD dipimpin oleh Ketua dan wakil ketua dari partai-partai dan
golongan karya (pasal 7-9), kedua sumber pendapatan daerah
didapatkan dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan
daerah, pajak negara, subsidi, sumbangan serta bea dan cukai, hasil
perusahaan negara dan ganjaran (Pasal 69-73). Ketiga, adanya
pemberian hak petisi kepada DPRD untuk memperjuangkan kepentingan
daerah dan masyarakat ke serta untuk mencegah kesewenang-wenangan
pemerintah pusat (Pasal 55).
2.2. Era Orde Baru (1996 1998)Berbeda dengan era Orde Lama yang
memiliki banyak perundangan tentang pemerintah daerah, era Orde
Baru hanya memiliki satu perundangan yaitu UU. No 5 Tahun 1974.
Perundangan ini memperkenalkan sebuah dimensi baru dalam tata
kelola otonomi daerah yaitu otonomi yang nyata dan bertanggung
jawab. Penerapan tata kelola otonomi daerah ini disesuaikan dengan
trilogi pembangunan Orde Baru yaitu stabilitas politik, pertumbuhan
ekonomi yang cukup tinggi dan pemerataan kegiatan pembangunan dan
hasil-hasilnya.Menurut Kaloh, J. (2002), pengaruh dari trilogi
pembangunan dalam UU No. 5 Tahun 1974 tersebut adalah pertama,
konsentrasi kekuasaan terletak di lembaga eksekutif (Kepala
Daerah), kedua dihapusnya lembaga BPH (Badan Pelaksana Harian)
sebagai perwakilan parpol di dalam Pemerintahan Daerah. Ketiga,
tidak dilaksanakannya hak angket DPRD yang dapat menganggu keutuhan
Kepala Daerah, keempat Kepala Daerah tidak bertanggung jawab kepada
DPRD tetapi langsung kepada Presiden dan kelima, Kepala Daerah
hanya memberi keterangan kepada DPRD tentang pelaksanaan
pemerintahan dan pembangunan sekali dalam setahun. UU No. 5 Tahun
1965 memiliki tiga prinsip dasar yaitu desentralisasi,
dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Secara ideal, tiga prinsip
dasar tersebut bersifat komplementer dan berjalan dengan seimbang
dalam mengatur hubungan pusat dan daerah. Namun dalam
pelaksanaannya, prinsip dekonsentrasi lebih mendominasi. Hal ini
terlihat dengan sentralisasi pemerintah Orde Baru yang melakukan
penarikan kembali urusan-urusan daerah menjadi urusan dekonsentrasi
tanpa melalui prosedur yang jelas dan penempatan aparat
dekonsentrasi yang semakin banyak di daerah (Kaloh, J. 2002).
Misalnya saja dalam pemilihan kepala daerah. Meskipun DPRD yang
memilih, namun keputusan akhirnya ada di Presiden melalui Menteri
Dalam Negeri. Laporan pertanggungjawaban kepala daerah pun
diserahkan kepada Presiden melalui Mendagri bukan DPRD. Demikian
juga yang terjadi di level kebijakan, dimana semuanya disiapkan
oleh Pemerintah Pusat secara seragam tanpa memperhitungkan
kebutuhan, karakteristik daerah, kultur dari daerah-daerah di
Indonesia (Hoessein, B. 1995). Implikasi dari hal ini adalah
terbatasnya ruang daerah dan daerah terbebani oleh biaya aktivitas
dekonsentrasi yang dibiayai oleh APBD Pada masa pemerintahan Orde
Baru, sistem pemerintahan disusun secara bertingkat, propinsi
menjadi Daerah Tingkat I dan kabupaten/kotamadya sebagai Daerah
Tingkat II. Kecamatan menjadi daerah administratif yang membawahi
beberapa desa (untuk tingkat kabupaten) dan kelurahan (untuk
tingkat kotamadya dan kota administratif). Untuk menjaga stabilitas
pembangunan, pemerintah Orde Baru menempatkan militer sebagai
kepala daerah-kepala daerah baik di level daerah tingkat I, daerah
tingkat II hingga ke level pemerintahan terkecil, desa. Kebijakan
pemerintah Orde Baru terkait dengan otonomi daerah ini masih
diwarnai oleh colonial flavour (Legge, J.D. 1963).Atas dasar
tersebut, desentralisasi yang dihadirkan melalui UU No. 5 Tahun
1974 ini bukanlah bentuk desentralisasi yang sebenarnya. Dengan
sedikitnya kewenangan yang dimiliki Daerah untuk menyusun dan
melaksanakan perencanaan kebijakan daerah serta kuatnya dominasi
Presiden atas Kepala Daerah, maka desentralisasi pada periode ini
baru pada tahap legal formal belaka. Prakteknya, prinsip
sentralisasi kekuasaan ditangan Pemerintah Pusat (Presiden) lah
yang menjadi prinsip utama dalam pola relasi hubungan Pusat dan
Daerah pada periode ini.
3. Desentralisasi di Indonesia di Era Reformasi (1999
sekarang)Setelah berada dalam praktek sentralisasi Pemerintah Pusat
selama 32 tahun, pada tahun 1998 dimulailah upaya untuk menata
ulang polahubungan pusat dan daerah. Upaya perubahan ini dipicu
oleh dua konteks besar.Setting politik pertama adalah merebaknya
protes daerah yang semakin sulit dikendalikan oleh pemerintah
pusat. Setelah hampir tiga dekade tidak terusik oleh kenakalan
daerah sebagaimana yang terjadi pada periode 1950-1960, Indonesia
di akhir abad 20 ini harus mengalami kembali kenakalan-kenakalan
itu. Dengan mengecualikan Timor-Timur, protes berbasis kedaerahan
yang terjadi pada penghujung 1998 secara tegas mengindikasikan
ketidakpuasan terhadap kebijakan desentralisasi pemerintahan dan
keuangan pada masa Orde Baru sebagai pemicu utamanya. Tuntutan
terhadap otonomi yang lebih luas, bahkan tuntutan federasi maupun
merdeka, terutama datang dari daerah-daerah yang mempunyai
sumberdaya alam yang kuat, seperti Aceh, Irian Jaya dan Riau, yang
memberikan kontribusi penting terhadap pendapatan nasional, namun
tidak memperoleh alokasi keuntungan yang berarti.Setting politik
yang kedua adalah semangat demokratisasi yang menuntut ruang
partisipasi politik yang luas. Akumulasi kekecewaan terhadap sistem
politik monolitik yang dibangun Presiden Suharto kemudian muncul
dalam bentuk tuntutan terhadap liberalisasi politik yang menuntut
kebebasan berorganisasi, berpartai-politik, berpendapat, dan
beroposisi. Selain itu, tuntutan untuk melakukan pemilu yang jujur
dan adil dan untuk membangun pemerintahan yang representatif
sebagai sesuatu yang tidak terhindarkan.Dengan latar belakang
sosial politik seperti itu, bisa dipastikan bahwa UU No. 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah, secara sengaja maupun tidak
dimotivasi dua misi utama.Pertama, untuk memuaskan semua daerah
dengan memberikan ruang partisipasi politik yang tinggi di tingkat
daerah. Hal ini diwujudkan dengan desentralisasi politik dari pusat
kepada daerah, dan memberikan kesempatan dan kepuasan politik
kepada masyarakat daerah dengan memberikan kesempatan untuk
menikmati simbol-simbol utama demokrasi lokal (misal pemilihan
Kepala Daerah). Dan kedua, untuk memuaskan daerah-daerah kaya
sumberdaya alam yang memberontak dengan memberikan akses yang lebih
besar untuk menikmati sumberdaya alam yang ada di daerah mereka
masing-masing.Gambaran kontekstual yang telah diuraikan di atas
membantu kita untuk memamahi pemahaman tekstual yang dirumuskan
dalam UU No. 22 Tahun 1999. UU ini melakukan desentralisasi
sekaligus demokratisasi. Sebagai contoh, istilah pemerintah daerah
dalam UU No. 22 Tahun 1999 digunakan untuk merujuk pada Badan
Eksekutif Daerah yang terdiri dari Kepala Daerah dan perangkat
Daerah Otonom. Hal ini berbeda dengan UU No. 5 Tahun 1974 yang
menggunakan istilah pemerintah daerah yang meliputi pula DPRD, dan
menempatkan DPRD sebagai mitra eksekutif. Perubahan pengertian yang
dilakukan UU No. 22 Tahun 1999 ini membawa implikasi pada
keterpisahan secara tegas antara badan eksekutif dan legislatif,
dan penempatan fungsi kontrol DPRD terhadap eksekutif daerah.Perlu
untuk dicatat, terdapat perbedaan substansial antara tingkat
desentralisasi kepada Daerah Propinsi dengan tingkat desentralisasi
kepada Daerah Kabupaten dan Kota. UU No. 22 Tahun 1999 ini
memperpendek jangkauan asas dekonsentrasi yang dibatasi hanya
sampai pemerintahan Propinsi. Dalam UU No. 22 Tahun 1999 ini, titik
berat otonomi daerah memang berada di Kabupaten/Kota. Dari sisi
provinsi, memang tidak ada perubahan yang berarti. Gubernur tetap
menjadi wakil pusat dan sekaligus Kepala Daerah, dan Kanwil
(instrumen Menteri) tetap ada. Gubernur bukan lagi menjadi atasan
dari Bupati/Walikota. Dengan titik berat otonomi di Kabupaten/Kota,
hal ini berarti bahwa pemerintahan Kabupaten dan Kota telah
terbebas dari intervensi pusat yang dulu dilakukan melalui
perangkapan jabatan Kepala Daerah Otonom dan Kepala Wilayah
Administratif (wakil pusat). Bupati dan Walikota adalah Kepada
Daerah Otonom saja. Sementara itu jabatan Kepala Wilayah pada
kabupaten dan Kota (dulu Kotamadya) sudah tidak dikenal lagi.
Konsekuensinya, tidak ada lagi instansi Pusat di level
Kabupaten/Kota dan instansi teknis yang ada hanyalah Dinas-Dinas
Daerah Otonom. Bahkan, UU ini juga menempatkan pemerintahan
kecamatan sebagai kepanjangan tangan pemerintahan daerah otonom
Kabupaten/Kota (desentralisasi), dan bukan sebagai aparat Pusat /
Provinsi (dekonsentrasi) .Selain itu, melalui UU No. 22 Tahun 1999
ini, otonomi daerah Kabupaten dan Kota yang tinggi ini kemudian
dibarengi dengan peluang partisipasi politik yang tinggi pula.
Beberapa hal yang cukup menonjol diantaranya adalah dalam hal
pemilihan Bupati/Walikota dan dikenalkannya Badan Perwakilan
Desa.Bupati dan Walikota dipilih secara mandiri oleh DPRD
Kabupaten/ Kota tanpa melibatkan pemerintah Provinsi maupun
pemerintah Pusat. Oleh karena itu, Bupati/Walikota harus
bertanggung jawab kepada dan bisa diberhentikan oleh DPRD sebelum
masa jabatannya usai. Sementara itu, pemerintah pusat (Presiden)
hanya diberi kekuasaan untuk memberhentikan sementara seorang
Bupati/Walikota jika dianggap membahayakan integrasi nasional.
Namun, pembuktian terhadap tuduhan Presiden ini tetap harus diuji
oleh proses peradilan. Sedangkan di tingat desa, dibentuklah Badan
Perwakilan Desa yang menjadi lembaga perwakilan rakyat di tingkat
desa. Hal ini merupakan perkembangan baru bagi kehidupan demokrasi
di tingkat desa.Kabupaten/Kota diberikan kewenangan politik yang
tinggi yang mencakup jenis urusan yang cukup luas. Misalnya saja,
UU ini memberikan kewenangan yang luas kepada daerah otonom yang
meliputi seluruh bidang pemerintahan kecuali politik luar negeri,
pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama,
serta kewenangan bidang lain. Namun, definisi kewenangan bidang
lain ini ternyata masih sangat luas, sebab mencakup perencanaan dan
pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan
keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian
negara, pembinaan dan pemberdayaan SDM, pendaya gunaan SDA serta
teknologi tinggi strategis, koservasi dan standarisasi nasional.
Ketentuan terakhir ini memberikan peluang kepada pemerintah pusat
untuk melakukan sentralisasi administrasi di tengah desentralisasi
politik yang kuat.Sementara itu, keuangan daerah juga mengalami
perubahan dengan dikeluarkannya UU No. 25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pusat dan daerah. Regulasi ini
menyediakan seuatu kerangka fiskal bagi pemerintah lokal, serta
memberi penekanan pada pembuatan-keputusan finansial lokal.
Berdasarkan UU ini penyelenggaraan tugas Pemerintah di Daerah harus
dibiayai dari dana APBN dan penyerahan atau pelimpahan kewenangan
Pemerintah Pusat kepada Gubernur atau penyerahan kewenangan atau
penugasan Pemerintah Pusat kepada Bupati/Walikota diikuti dengan
pembiayaannya. Di samping itu kewenangan untuk memanfaatkan
keuangan sendiri didukung perimbangan keuangan antara pusat dan
daerah yang dilakukan dengan pembagian kewenangan atau money follow
function yang artinya daerah diberi kewenangan yang seluas-luasnya
dan dengan kewenangan itu maka Daerah akan menggunakannya untuk
menggali sumber dana keuangan yang sebesar-besarnya sepanjang
bersifat legal dan diterima oleh segenap lapisan masyarakat.Melalui
UU No.25/1999 secara makro sumber-sumber keuangan daerah
diperbesar, sejalan dengan dikembangkannya prinsip perimbangan.
Sebagai contoh, penerimaan negara dari SDA sektor kehutanan,
pertambangan umum dan perikanan dibagi dengan imbangan 20% untuk
pemerintah pusat dan 80% untuk daerah. Sementara itu, pemerintah
pusat memperoleh alokasi yang lebih besar untuk sektor pertambangan
minyak bumi (85%) dan gas alam (70%). Namun demikian masih terdapat
limitasi terhadap regulasi ini yang menyangkut perdebatan soal
pemasukan (pendapatan) bagi pemerintah lokal, penentuan subsidi
pemerintah pusat, serta pembagian penghasilan yagn didapat dari
industri berbasis sumberdaya alam antara pemerintah pusat dan
pemerintah lokal. Hal tersebut tentu sangat penting bagi
daerah-daerah yang memiliki kekayaan sumberdaya alam seperti Aceh,
Riau, Kalimantan Timur dan Papua.Undang-undang No. 22 Tahun 1999
ini memang telah memberikan arah perubahan mendasar dalam
pelaksanaan desentralisasi di Indonesia. Ada beberapa catatan dalam
implementasinya. Pertama, merebaknya ketegangan daerah, yang nampak
dalam hal pembagian Dana Alokasi Umum dan dana pemekaran wilayah.
Kedua, munculnya bibit ketegangan antar daerah sebagai akibat dari
perbedaan Sumber Daya Alam (daerah kaya vs daerah miskin) dan
perbedaan kualitas sumber daya manusia yang dimiliki masing-masing
daerah dapat menimbulkan kesenjangan antar daerah. Ketiga,
munculnya ketegangan antara Pemerintah Provinsi dengan Pemerintah
Kabupaten/Kota, khususnya terkait dengan fungsi koordinasi dan
fasilitasi Pemerintah Provinsi yang bagi Pemerintah Kabupaten/Kota
seringkali diabaikan atau dianggap mengintervensi otonomi daerah
yang mereka miliki. Dan keempat, masalah keuangan daerah, yakni
menyangkut apakah masing-masing daerah mampu menggali sumber daya
alamnya untuk menghasilkan dana dan mampu mengelola dana tersebut
secara akuntabel dan transparan.Berbagai persoalan tersebut
kemudian memunculkan upaya untuk melakukan revisi atas UU No. 22
Tahun 1999. Dan pada 15 oktober 2004, lahirlah UU no 32 Tahun 2004
yang menggantikan UU No. 22 Tahun 1999.Dalam UU No. 32 Tahun 2004
ini, sebagian besar masih melanjutkan banyak hal dalam UU
sebelumnya, misalnya saja dalam hal kewenangan daerah, yang tetap
sama. Pembeda terbesar antara UU NO. 32 Tahun 2004 dengan UU
sebelumnya adalah dalam hal pemilihan Kepala Daerah. Jika dalam UU.
No 22 Tahun 1999 Kepala Daerah dipilih dan bertanggung jawab kepada
DPRD, maka dalam UU. No 32 Tahun 2004 ini Kepala Daerah dipilih
secara langsung oleh rakyat (one man one vote). Dengan sendirinya,
Kepala Daerah bertanggung jawab langsung kepada masyarakat
(konstituen), ditambah pertanggungjawaban kepada Pemerintah Pusat
(laporan) dan DPRD (keterangan).Pemilihan Kepala Daerah Langsung
memang memberikan peluang bagi masyarakat untuk berpartisipasi
langsung dalam pemilihan kepala daerah, baik Bupati/Walikota maupun
Gubernur. Dengan demikian, UU No. 32 Tahun 2004 ini telah
memberikan ruang besar bagi perkembangan demokrasi di tingkat lokal
melalui mekanisme pemilihan langsung. Namun, ada beberapa catatan
dalam pelaksanaannya.Pertama, terjadi beberapa beberapa kerusuhan
pelaksanaan pilkada langsung di berbagai daerah. Misal saja,
kerusuhan di Tuban, perselisihan hasil pemilihan kepala daerah di
Depok, dan kerusuhan massa di Banyuwangi. Meskipun jumlahnya tidak
banyak, berbagai konflik di masyarakat pra dan paska pelaksanaan
Pilkada langsung di beberapa daerah telah mencoreng wajah demokrasi
pada level lokal.Persoalan kedua terkait Pilkada adalah
tumpang-tindih peraturan-peraturan yang terkait satu sama lain
dalam momentum pilkada. Misalnya saja pengaturan tentang
partisipasi politik tentara dan Pegawai negeri Sipil. Pengaturan
tentang keduanya tersebar diberbagai peraturan
perundangan-undangan. Dan ketiga, persoalan yang muncul menyangkut
persyaratan administrasi yang harus dipenuhi pasangan calon Kepala
Daerah. Misalnya saja, ditemukan adanya manipulasi persyaratan
administrasi oleh pasangan calon Pilkada, perbedaan penafsiran
antara beda penafsiran antara Komite Pemilihan Umum Daerah, Panitia
Pengawas, dan pihak calon terhadap ketentuan-ketentuan persyaratan
administrasi.Selain persoalan yang terkait dengan Pilkada tersebut,
implementasi UU No. 32 Tahun 2004 juga dibayangi oleh kuatnya
anggapan upaya resentralisasi oleh Pemerintah Pusat. Salah satu
indikasi dari asumsi ini adalah adanya ketentuan yang mengharuskan
adanya konsultasi kepada level Pemerintah atasan untuk pengisian
jabatan eselon II di daerah (dengan Gubernur untuk Daerah
Kabupaten/Kota dan dengan Mendagri untuk Daerah Provinsi). Hal yang
sama juga terjadi pada evaluasi APBD, yang meski sudah disahkan
oleh Kepala Daerah dan DPRD masih harus disahkan oleh pejabat
tingkat atasnyaSecara umum, dalam pelaksanaan desentralisasi di
Indonesia paska pemerintahan Orde Baru, masih ada beberapa limitasi
yang ditemukan. Pertama, terkait dengan persaingan menyangkut
kontrol atas otoritas dan sumberdaya, yang seringkali dimanipulasi
dengan menggunakan simbol-simbol lokal seperti bahasa kebanggaan
lokal, identitas etnis atau regional. Kedua, perpindahan persoalan
korupsi dari tingkat nasional ke tingkat lokal. Sebagian besar
pejabat lokal memanfaatkan kesempatan dalam rantai rent seeking
(seorang penanam modal harus memberi imbalan kepada
individu-individu & kantor-kantor di tingkat yang berbeda dari
birokrasi Indonesia) untuk masuk ke dalam industri yg menguntungkan
tsb, yang sebelumnya menjadi lahan pemerintah pusat di
Jakarta.Desentralisasi memungkinkan munculnya berbagai jaringan
patronase yang lebih terlokalkan yang berbeda dari masa Soeharto,
relatif otonom dari otoritas pusat negara. Yang paling menonjol
dari konstelasi tsb adalah berbagai kepentingan predator yang
dibesarkan dibawah sistem patronase rezim Soeharto yang begitu luas
dan terpusat (yang menjalar dari istana Kepresidenan di Jakarta
hingga ke provinsi-provinsi, kota-kota dan desa-desa) sebagian
besar masih terus hidup & berpengaruh. Fenomena inilah yang
kemudian disebut sebagai pembajakan proses desentralisasi (Hadiz
dan Robinson, 2002).
4. Masa depan desentralisasi & Otonomi Daerah di
IndonesiaDesentralisasi yang dilaksanakan di Indonesia khususnya
paska 1999 memang telah menunjukkan kemajuan, khususnya dari sisi
besaran kewenangan dan sumber daya finansial yang ditransfer Pusat
kepada Daerah. Namun, ada beberapa hal yang perlu menjadi catatan
untuk memikirkan ulang pola hubungan Pusat dan Daerah di Indonesia
ini. Pertama, keragaman kultur, suku, bahasa dan budaya di
Indonesia yang sangat beragam. Kondisi ini menjadikan setiap upaya
untuk menata Derah secara seragam di seluruh Indonesia dipastikan
tidak akan berjalan optimal. Kedua, ketimpangan pembangunan antara
Jawa dengan Luar Jawa yang masih saja tinggi paska 1999. Hal ini
mengisyaratkan perlunya memikirkan pola desentralisi dan otonomi
daerah yang sensitif terhadap persoalan ini.Salah satu yang
ditawarkan adalah pelaksanaan pola desentralisasi asimetris. Desain
desentralisasi asimetris sebenarnya bukanlah barang baru bagi
Indonesia. Pemberian otonomi khusus kepada Aceh dan Papua serta
diberlakukannya kawasan pengembangan ekonomi terpadu di Batam
adalah beberapa bentuk asimetrisme yang pernah dipraktekkan di
Indonesia. Demikian pula dengan adanya status Daerah Istimewa bagi
Yogyakarta maupun pengaturan khusus bagi Provinsi DKI Jakarta
menjadi bukti bahwa asimetrisme secara sadar dijadikan pilihan bagi
pengelolaan hubungan antara Pusat dengan Daerah d Indonesia. Hanya
saja, pengalaman Indonesia mempraktekkan desain asimetrime juga
belum menunjukkan hasil yang diharapkan, khususnya yang terkait
dengan kesejahteraan dan demokrasi. Laporan dari Kemitraan tahun
2008 tentang Kinerja Otonomi Khusus Papua menyebutkan bahwa desain
asimetri yang diberikan kepada Provinsi Papua dalam bentuk Otonomi
Khusus belum juga berhasil menyelesaikan problem kemiskinan dan
keterbelakangan yang dialami sebagian besar rakyat di
Papua.Tragisnya, yang menggejala kemudian adalah pembagian kue
kesejahteraan yang berasal dari Dana Otonomi Khusus pada beberapa
kelompok yang awalnya diharapkan dapat menjadi ujung tombak majunya
pembangunan dan pemerataan di Provinsi Papua ini. Elit politik
lokal, termasuk Dewan Perwakilan Rakyat Papua, dan Birokrasi lokal,
serta kalangan swasta yang berasal dari luar Papua ditengarai
menjadi penikmat terbesar dari aliran Dana Otsus yang besar ini
(lihat dalam Kemitraan 2008). Hal yang kurang lebih sama juga
terjadi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.Persoalan mendasar
pelaksanaan desentralisasi asimetris di kedua provinsi tersebut
terletak pada niat pemberian asimetrisme itu sendiri. Bukan rahasia
lagi jika desain otonomi khusus di kedua wilayah tersebut lebih
dilandasi oleh motif mencegah separatisme, dibandingkan dengan
motif peningkatan kesejahteraan dan demokrasi. Hal ini terlihat
dari lambannya instrumentasi otonomi khusus dari Pemerintah Pusat
yang baru belakangan muncul.Selain itu, karena motifnya adalah
untuk meredam konflik, pasca pemberian status otonomi khusus
Pemerintah Pusat nampak tidak lagi mempunyai daya untuk mengawal
implementasi dari kekhususan yang diberikan. Akibatnya, instrumen
perencanaan sampai dengan monitoring dan evaluasi kebijakan dibuat
seragam dengan daerah-daerah lain di Indonesia, termasuk dalam
pengaturan kewenangan daerah (PP No. 38 Tahun 2007). Terlebih lagi,
kekhususan yang diberikan kemudian diwujudkan dalam bentuk alokasi
dana otonomi khusus, tanpa disertai dengan porsi kewenangan yang
kuat untuk menjalankan otonomi khusus yang diberikan. Fakta ini
menjelaskan bahwa asimetrisme sekedar dimaknai sebagai alat
tawar-menawar saja, tanpa lebih lanjut mengkerangkainya sebagai
metode penyerahan kewenangan (method of devolution) maupun sebagai
metode untuk mengelola pemerintahan (method of governance).Sebagai
metode penyerahan kewenangan, desain desentralisasi asimetris yang
ditawarkan melihat bagaimana pola penyerahan kewenangan dari Pusat
ke Daerah yang berbeda dengan yang ada dalam desain desentralisasi
yang berjalan saat ini. Titik mendasar yang akan diambil adalah
pola pembagian kewenangan antara Pusat dengan Daerah yang lebih
deliberatif sehingga ruang bagi daerah untuk menentukan kewenangan
sesuai dengan kontekstualitas daerah yang bersangkutan. Kewenangan
dasar yang harus ada di setiap daerah tentu saja akan tetap dan
harus ada. Misalnya untuk kewenangan yang terkait dengan pemenuhan
hak dasar, sebagai bentuk dari kesejahteraan, yaitu pendidikan dan
kesehatan. Namun tentu saja, pada saat yang sama, hal ini juga akan
menuntut peran Pemerintah Pusat yang kuat, khususnya di
daerah-daerah yang dikategorikan sebagai daerah tertinggal. Dengan
demikian, keseimbangan capaian kesejahteraan antara satu daerah
dengan daerah lain akan lebih merata. Dan sebagai metode untuk
mengelola pemerintahan, khususnya relasi antara Pemerintah Pusat
dengan Pemerintah Daerah, desain asimetrisme ini ditawarkan untuk
merekatkan kembali relasi dan trust antara Pusat dengan
Daerah.Alasan bagi pelaksanaan desentralisasi asimetris di banyak
negara umumnya dilandasi oleh dua alasan besar. Pertama adalah
alasan politis, untuk memberikan ruang bagi keragaman maupun untuk
meredam isu separatisme (Wehner 2000: h. 250). Alasan inilah yang
kemudian memunculkan otonomi khusus bagi Aceh dan Papua. Alasan
kedua terkait dengan persoalan kapasitas, dimana pemberian
kewenangan asimetris kepada suatu daerah lebih didasarkan pada
pertimbangan penataan makro ekonomi dan keselarasan administratif
(Wehner 2000: h. 250). Dalam konteks ini, asimetrisme juga
diberikan berdasarkan kemampuan daerah untuk menyelenggarakan
pelayanan publik yang lebih efisien. Bagi daerah yang telah mampu,
maka peran pusat akan semakin berkurang, dan sebaliknya bagi daerah
yang kurang mampu, peran pusat dimungkinkan untuk bertambah besar
sampai daerah tersebut mempunyai sumber daya memadai untuk
menyelenggarakan pelayanan publik secara lebih mandiri.Dengan kata
lain, asimetrisme akan berhasil saat dapat dikombinasikan dengan
insentif bagi daerah terkait untuk mengambil alih fungsi/pelayanan,
yang akan lebih efektif saat daerah tsb mempunyai kapasitas yang
memadai. Dilain pihak, perlu ada insentif bagi pemerintah pusat
agar bersedia mengidentifikasi dan kemudian mentransfer
fungsi-fungsi yang akan lebih efektif jika dilakukan oleh daerah
ketimbang oleh pusat (Wehner 2000: h. 253).Alasan tersebut diatas
mempertegas adanya peluang yang lebih besar bagi daerah untuk
mencapai derajat kesejahteraan bagi seluruh warga daerah. Peluang
ini tercipta sebagai akibat dari adanya keseimbangan antara ruang
politik dan kapasitas setempat yang terbuka dengan hadirnya desain
desentralisasi asimetris.Titik inilah yang membedakannya dengan
praktek desentralisasi yang selama ini berjalan di Indonesia.
Persoalan kesenjangan antar daerah dan ketidakmerataan pembangunan
sebagian besar bersumber pada desain desentralisasi yang sekedar
memberikan ruang politik tanpa disertai dengan pertimbangan
kapasitas daerah yang bersangkutan.Dengan menyeimbangkan aspek
politik dan kapasitas inilah akan terbuka dua ruang asimetrisme
sekaligus. Pertama adalah desain asimetrime yang berbasis pada
kekuatan kapasitas daerah. Kapasitas disini mencakup seluruh
kemampuan yang dimiliki daerah, baik sumber daya manusia maupun
sumber daya finansial, untuk dapat menyediakan pelayanan publik
sesuai dengan kewenangan yang diberikan. Dengan cara inilah,
Pemerintah Pusat dapat menagih tanggung jawab Pemerintah Daerah
dalam meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.Dan kedua, asimetrime
yang didasarkan pada keterbatasan daerah. Pada pola asimetrisme
ini, peran Pemerintah Pusat untuk meredistribusi sumber daya
nasional untuk daerah-daerah yang secara riil masih mengalami
problem kesejahteraan, seperti kemiskinan dan kesenjangan sosial
ekonomi, justru diperlukan. Hal ini penting untuk menyelesaikan
persoalan ketimpangan dan menjadi instrumen untuk memastikan
kesejahteraan yang lebih merata untuk semua masyarakat.
Daftar PustakaAsshiddiqqie, Jimly 2006, Pengantar Ilmu Hukum
Tata Negara Jilid II, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi RI, JakartaBappenas 2012, Kapet, diunduh
tanggal 12 Juli 2012,
http://kawasan.bappenas.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=94&Itemid=94Bayo,
L.N. et.al 2012, Seminar Lokakarya Desentralisasi Pelayanan Publik
dan Tantangan Integritas, Laporan Penelitian, Jurusan Politik dan
Pemerintahan Fisipol UGM kerja sama dengan Kemitraan, Yogyakarta.
Dwipayana, A.; Lay, C.; Santoso, P. 2012, Policy Brief:
Desentralisasi Asimetris yang Menyejahterakan Aceh dan Papua,
Jurusan Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM kerja sama dengan Tifa
Foundation, Yogyakarta. G. Shabbir Cheema dan Dennis A. Rondinelli,
Decentralization and Development : Policy Implementation in
Developing Countries, London, Sage Publications, 1983.Hadiz, R.
Vedi, Dinamika Kekuasaan, Ekonomi Politik Indonesia Pasca Soeharto,
LP3ES, Jakarta, 2005.Hariss John, dkk, Politisasi Demokrasi,
Politik Lokal Baru, Demos, Jakarta, 2004. Hoessein, B. 1995,
Sentralisasi dan Desentralisasi: Masalah dan Prospek dalam
Syamsuddin Haris dan Riza Sihbudi (ed.), Menelaah Kembali Format
Politik Orde Baru, hal. 58-74.JPP Fisipol UGM 2010, Desentralisasi
Asimetris di Indonesia: Praktek dan Proyeksi, Laporan Penelitian,
JPP Fisipol UGM bekerja sama dengan Tifa Foundation, Yogyakarta.
Kaho, J.R. 2012, Analisis Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di
Indonesia, Polgov, Yogyakarta. Kaho, Josef Riwu 2002, Prospek
Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia: Identifikasi Beberapa
Faktor yang Mempengaruhi Penyelenggaraannya, Rajawali Press,
Yogyakarta.Kaloh, J. 2002, Mencari Bentuk Otonomi Daerah, PT Rineka
Cipta, JakartaKemitraan (2008), Kinerja Otonomi Khusus Papua
(Cetakan I), Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di
Indonesia.Legge, J.D. 1963, Central Authority and Regional Autonomy
in Indonesia: A Study in Local Administration 1950-1960, Cornell
University Press, Ithaca, NYMahfud, M. 1987, Pokok-pokok Hukum
Administrasi Negara, Liberty, YogyakartaMuslimin, Amrah 1960,
Ichtisar Perkembangan Otonomi Daerah 1903-1958, Djambatan, Jakarta.
Permendagri No. 66 Tahun 2011 Tentang Kode dan Data Wilayah
Administrasi Pemerintahan Portal Nasional Republik Indonesia 2010,
Geografi Indonesia,
http://www.indonesia.go.id/in/sekilas-indonesia/geografi-indonesia.htmlRaharusun,
Y.A. 2009, Daerah Khusus dalam Perspektif NKRI, Konstitusi Press,
Jakarta. Syaukani, Affan Gaffar, Ryaas Rasyid, Otonomi Daerah Dalam
Negara Kesatuan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002.Wasistiono,
Sadu, Menuju Desentralisasi Berkeseimbangan, dimuat dalam Jurnal
Ilmu Politik AIPI Nomor 21 Tahun 2010 dengan tema Dasawarsa Kedua
Otonomi Daerah : Evaluasi dan Prospek. Diunduh melalui
http://www.ipdn.ac.id/wakilrektor/wp-content/uploads/MAKALAH-MENUJU-DESENTRALISASI-BERKESEIMBANGAN-UTK-JURNAL-AIPI1.pdf
pada 8 November 2012.Watts, Ronald L. (2004), Asymmetrical
Decentralization: Functional or Dysfunctional, Indian Journal of
Federal Studies 1/2004, Diunduh dari
(http://www.jamiahamdard.edu/cfs/jour4-1_1.htm pada 17 Januari
2011.Wehner, Joachim HG (2000), Asymmetrical Devolution, Journal of
Developmeny Southern Africa Vol. 17, No. 2, June 2000.Yani, A.
2002, Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah di
Indonesia, PT. Raja Grafindi Persada, Jakarta