Top Banner
Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008 1 Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Dalam Perspektif State-Society Relation * Syarif Hidayat ** Seperti disinyalir Diana Conyer (1983), perdebatan tentang konsep desentralisasi belum berakhir, dan tidak pernah akan berakhir. Kendati Slater dan Rondinelli telah mengakhiri polemik mereka (1989-1990) dalam mengungkap keunggulan dan kelemahan konsep desentralisasi politik dan desentralisasi administrasi, namun semangat untuk terus mempertanyakan ‘kesahihan’ konsep-konsep desentralisasi masih terus berlangsung dan tidak pernah padam. Fenomena ini, tegas Conyer (1983), harus diartikulasi sebagai suatu proses dinamis, melalui mana konsep desentralisasi terus menyempurnakan diri sejalan perkembangan ruang dan waktu. Beberapa pengamat telah menilai pernyataan seperti dikemukakan Conyer di atas sebagai apologi atas kegagalan konsep desentralisasi dalam menjawab realitas yang ada (lihat David Slater, 1989) 1 . Namun penulis menyikapinya dalam perspektif yang cenderung optimis. Menurut hemat penulis, makna tersirat dibalik pernyataan tersurat yang dikemukakan Conyer adalah suatu pengakuan akademis yang jujur, bahwa konsep desentralisasi yang ada dan berkembang sejauh ini masih mengandung sejumlah kelemahan-kelemahan, utamanya dalam menjawab permasalahan-permasalahan yang baru muncul seiring dengan perkembangan ruang dan waktu. Kecenderungan seperti ini, tentunya, tidak hanya berlaku atas konsep desentralisasi, tetapi juga terjadi pada konsep-konsep di bidang lain. Karena itu, barangkali, tidak berlebihan bila pernyataan Conyer diartikulasi sebagai suatu ‘tantangan terbuka’ kepada para pemerhati konsep desentralisasi untuk memberikan kontribusi dalam penyempurnaan konsep melalui proses dialektika akademis. Pembahasan tulisan ini difokuskan pada upaya mengkritisi konsep-konsep desentralisasi yang ada (desentralisasi politik dan desentralisasi administrasi), dan selanjutnya menawarkan ide rekonstruksi konsep dan pendekatan implementasi kebijakan desentralisasi berdasarkan perspektif state-society relation. Diskusi dimulai dengan deskripsi singkat tentang konsep dasar perspektif desentralisasi politik dan administrasi (political and administrative decentralisation), sebagai landasan pijak untuk membangun * Versi awal tulisan ini pernah diterbitkan dalam Syamsudin Haris (ed). (2006). Membangun Format Baru Otonomi Daerah. Jakarta: LIPI Press dan Obor. ** Peneliti LIPI dan Ketua P4M Universitas Nasional 1 Dalam artikel Territorial Power and Peripheral State: The Issue of Decentralisation di bawah sub-tema Decentralisation: Mirage, Myth and Mask, David Slater (1989) secara skeptis memaparkan kritik terhadap konsep desentralisasi. Mengutip hasil studi Mariategui (1952) di Peru dan Griffin (1981), Slater mengatakan: “…that power at the local level is more concentrated, more elitist and applied more ruthlessly against the poor than at the centre. As a consequence, therefore, greater decentralisation does not necessarily imply greater democracy let alone power to the people” (hal. 511-512). Pada bagian lain, merujuk pada pengalaman Tanzania dalam mengimplementasikan desentralisasi, Slater kemudian membangun kritik berikutnya, yang menyebutkan: “The rationalisation and consolidation of centralised authority lay at the roots of the spatial restructuring of state power, so that decentralisation was more illusion or myth than hard institutional reality” (hal. 514).
28

Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Dalam Perspektif State ...old.unas.ac.id/download.php?file=poelitik_v1n12008_SHidayat.pdf · detail pada bagian akhir, setelah terlebih dahulu dilakukan

Apr 30, 2019

Download

Documents

trinhdat
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Dalam Perspektif State ...old.unas.ac.id/download.php?file=poelitik_v1n12008_SHidayat.pdf · detail pada bagian akhir, setelah terlebih dahulu dilakukan

Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008

1

Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Dalam Perspektif State-Society Relation *

Syarif Hidayat ** Seperti disinyalir Diana Conyer (1983), perdebatan tentang konsep desentralisasi belum

berakhir, dan tidak pernah akan berakhir. Kendati Slater dan Rondinelli telah mengakhiri

polemik mereka (1989-1990) dalam mengungkap keunggulan dan kelemahan konsep

desentralisasi politik dan desentralisasi administrasi, namun semangat untuk terus

mempertanyakan ‘kesahihan’ konsep-konsep desentralisasi masih terus berlangsung dan

tidak pernah padam. Fenomena ini, tegas Conyer (1983), harus diartikulasi sebagai suatu

proses dinamis, melalui mana konsep desentralisasi terus menyempurnakan diri sejalan

perkembangan ruang dan waktu.

Beberapa pengamat telah menilai pernyataan seperti dikemukakan Conyer di atas sebagai

apologi atas kegagalan konsep desentralisasi dalam menjawab realitas yang ada (lihat David

Slater, 1989)1. Namun penulis menyikapinya dalam perspektif yang cenderung optimis.

Menurut hemat penulis, makna tersirat dibalik pernyataan tersurat yang dikemukakan

Conyer adalah suatu pengakuan akademis yang jujur, bahwa konsep desentralisasi yang ada

dan berkembang sejauh ini masih mengandung sejumlah kelemahan-kelemahan, utamanya

dalam menjawab permasalahan-permasalahan yang baru muncul seiring dengan

perkembangan ruang dan waktu. Kecenderungan seperti ini, tentunya, tidak hanya berlaku

atas konsep desentralisasi, tetapi juga terjadi pada konsep-konsep di bidang lain. Karena

itu, barangkali, tidak berlebihan bila pernyataan Conyer diartikulasi sebagai suatu

‘tantangan terbuka’ kepada para pemerhati konsep desentralisasi untuk memberikan

kontribusi dalam penyempurnaan konsep melalui proses dialektika akademis.

Pembahasan tulisan ini difokuskan pada upaya mengkritisi konsep-konsep desentralisasi

yang ada (desentralisasi politik dan desentralisasi administrasi), dan selanjutnya

menawarkan ide rekonstruksi konsep dan pendekatan implementasi kebijakan

desentralisasi berdasarkan perspektif state-society relation. Diskusi dimulai dengan

deskripsi singkat tentang konsep dasar perspektif desentralisasi politik dan administrasi

(political and administrative decentralisation), sebagai landasan pijak untuk membangun

* Versi awal tulisan ini pernah diterbitkan dalam Syamsudin Haris (ed). (2006). Membangun Format Baru Otonomi Daerah. Jakarta: LIPI Press dan Obor. ** Peneliti LIPI dan Ketua P4M Universitas Nasional 1 Dalam artikel Territorial Power and Peripheral State: The Issue of Decentralisation di bawah sub-tema Decentralisation: Mirage, Myth and Mask, David Slater (1989) secara skeptis memaparkan kritik terhadap konsep desentralisasi. Mengutip hasil studi Mariategui (1952) di Peru dan Griffin (1981), Slater mengatakan: “…that power at the local level is more concentrated, more elitist and applied more ruthlessly against the poor than at the centre. As a consequence, therefore, greater decentralisation does not necessarily imply greater democracy let alone power to the people” (hal. 511-512). Pada bagian lain, merujuk pada pengalaman Tanzania dalam mengimplementasikan desentralisasi, Slater kemudian membangun kritik berikutnya, yang menyebutkan: “The rationalisation and consolidation of centralised authority lay at the roots of the spatial restructuring of state power, so that decentralisation was more illusion or myth than hard institutional reality” (hal. 514).

Page 2: Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Dalam Perspektif State ...old.unas.ac.id/download.php?file=poelitik_v1n12008_SHidayat.pdf · detail pada bagian akhir, setelah terlebih dahulu dilakukan

Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008

2

logika teoritis tentang desentralisasi dalam perspektif state-society relation pada bagian

berikutnya. Ide rekonstruksi konsep dan pendekatan desentralisasi dibahas secara lebih

detail pada bagian akhir, setelah terlebih dahulu dilakukan analisa kritis tentang dinamika

desentralisasi di Indonesia dalam perspektif state-society relation.

Polemik Konseptual: Desentralisasi Politik vs Desentralisasi Administrasi Bila ditelusuri kembali dinamika perkembangan konsep desentralisasi, akan terlihat bahwa

dalam perjalanannya ia tidak pernah luput dari kritik, atau bahkan melahirkan polemik

antara pihak yang pro dan contra. Perdebatan pada tataran konseptual tersebut, tidak saja

berimplikasi pada semakin berkembangnya konsep desentralisasi, tetapi juga telah

memunculkan kerumitan-kerumitan tertentu dalam memahami konsep desentralisasi.

Kecenderungan ini semakin nyata terlihat sejak dekade 1970-an, ketika kajian tentang

desentralisasi sudah tidak lagi dimonopoli oleh disiplin ilmu politik dan administrasi

negara, tetapi juga telah menarik perhatian disiplin ilmu lain. Hanya menyebut beberapa

contoh, di antara disiplin ilmu yang telah memberikan kontribusi dalam kajian

desentraliasi dan otonomi daerah adalah ilmu ekonomi, hukum, sosiologi, dan antropologi

(Conyer, 1984: 190). Akibatnya, konsep desentralisasi dan otonomi daerah dirumuskan

dalam ‘bahasa’ yang berbeda-beda, sesuai dengan disiplin ilmu pengusungnya.

Namun demikian, kompleksitas konsep desentralisasi secara umum dapat dikategorikan ke

dalam 2 (dua) perspektif utama, yakni political decentralisation perspecitve (perspektif

desentralisasi politik) dan administrative decentralisation perspecitve (perspektif

desentralisasi administrasi). Perbedaan mendasar dua perspekstif ini terletak pada rumusan

definisi dan tujuan desentralisasi. Perspektif desentralisasi politik mendefinisikan

desentralisasi sebagai devolusi kekuasaan (devolution of power) dari pemerintah pusat

kepada pemerintah daerah. Parson (1961), misalnya, mendefinisikan desentralisasi sebagai

“… sharing of the governmental power by a central ruling group with other groups, each

having authority within a specific area of the state.” Sedangkan dekonsentrasi, menurut

Parson, adalah “… the sharing of power between members of the same ruling group having

authority respectively in different areas of the state.” Dengan merujuk pada definisi

desentralisasi dan dekonsentrasi yang dirumuskan Parson tersebut, Mawhood (1987: 9)

mengatakan bahwa desentralisasi adalah “… devolution of power from central to local

governments”2. Hal senada juga dikemukakan oleh Smith (1985), yang mendefinisikan

desentralisasi sebagai “… the transfer of power, from top level to lower level, in a territorial

hierarchy, which could be one of government within a state, or offices within a large

organisation.” Poin penting yang menarik untuk digarisbawahi di sini adalah bahwa Smith

2 Dekonsentrasi, oleh Mawhood dipersamakan dengan administrative decentralisation dan definisikan sebagai “… the transfer of administrative responsibility from central to local governments” (1987: 9).

Page 3: Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Dalam Perspektif State ...old.unas.ac.id/download.php?file=poelitik_v1n12008_SHidayat.pdf · detail pada bagian akhir, setelah terlebih dahulu dilakukan

Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008

3

juga mendudukkan ide devolution of power sebagai substansi utama desentralisasi, kendati

devolusi kekuasaan yang dimaksud tidak hanya dibatasi pada struktur pemerintahan.

Pada sisi lain, perspektif desentralisasi administrasi lebih menekankan definisi

desentralisasi sebagai delegasi wewenang administratif (administrative authority) dari

pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Rondinelli and Cheema (1983: 18), misalnya,

mengatakan:

Decentralisation is the transfer of planning, decision-making, or administrative authority from central government to its field organisations, local administrative units, semi autonomous and parastatal organisations, local government, or non-government organisations.

Perbedaan kedua perspektif dalam mendefinisikan desentralisasi, tidak dapat dihindari,

berimplikasi pada perbedaan dalam merumuskan tujuan utama yang hendak dicapai.

Secara umum, perspektif desentralisasi politik lebih menekankan tujuan yang hendak

dicapai pada aspek politis, antara lain: meningkatkan keterampilan dan kemampuan politik

para penyelenggara pemerintah dan masyarakat, serta mempertahankan integrasi nasional.

Dalam formulasi yang lebih rinci, Smith (1985) membedakan tujuan desentralisasi

berdasarkan kepentingan nasional (pemerintah pusat), dan dari sisi kepentingan

pemerintah daerah.

Kepentingan nasional

Bila dilihat dari sisi kepentingan pemerintah pusat, tulis Smith (1985), sedikitnya ada tiga

tujuan utama desentralisasi. Pertama, political education (pendidikan politik)3, maksudnya

adalah, melalui praktik desentralisasi diharapkan masyarakat belajar mengenali dan

memahami berbagai persoalan sosial, ekonomi, dan politik yang mereka hadapi;

menghindari atau bahkan menolak untuk memilih calon anggota legislatif yang tidak

memiliki qualifikasi kemampuan politik; dan belajar mengkritisi berbagai kebijakan

pemerintah, termasuk masalah penerimaan dan belanja daerah (Maddick, 1963: 50-106).

Tujuan kedua desentralisasi dari sisi kepentingan pemerintah pusat adalah to provide

training in political leadership (untuk latihan kepemimpinan). Tujuan desentralisasi yang

kedua ini berangkat dari asumsi dasar bahwa pemerintah daerah merupakan wadah yang

paling tepat untuk training bagi para politisi dan birokrat sebelum mereka menduduki

3 Seperti diakui Smith, tujuan desentralisasi yang disebut pertama ini sangat diilhami oleh ide dasar dari democratic decentralisation, karenanya tidak dapat dihindari bila kemudian Tocqueville diartikulasi sebagai tokoh utama premis tersebut. Di antara argumen yang sering dikemukakan untuk jastifikasi pentingnya political education sebagai bagian dari tujuan desentralisasi adalah pernyataan Tocqueville yang menyebutkan: “… town meetings are to liberty what primary school are to science, they bring it within the people, and they teach men how to use and how to enjoy it” (Smith,1985: 20). Argumen yang hampir sama juga dikemukakan oleh Maddick (1963). Dalam pandangan Maddick, tujuan hakiki desentralisasi, atau lebih luas lagi, pembentukan pemerintah daerah, adalah untuk menciptakan ‘pemahaman politik yang sehat’ (healthy political understanding) bagi masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan mekanisme penyelenggaraan negara.

Page 4: Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Dalam Perspektif State ...old.unas.ac.id/download.php?file=poelitik_v1n12008_SHidayat.pdf · detail pada bagian akhir, setelah terlebih dahulu dilakukan

Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008

4

berbagai posisi penting di tingkat nasional. Kebijakan desentralisasi diharapkan akan

memotivasi dan melahirkan calon-calon pimpinan pada level nasional4.

Tujuan ketiga desentralisasi dari sisi kepentingan pemerintah pusat adalah to create

political stability (untuk menciptakan stabilitas politik). Para pendukung dari tujuan

desentralisasi yang ketiga ini percaya bahwa melalui kebijakan desentralisasi akan terwujud

kehidupan sosial yang harmonis dan kehidupan politik yang stabil (Smith, 1985: 23). Lebih

jauh Sharpe (1981) mengatakan

“… one of the determinant factors constitutes the embodiment of a stable democracy at the national level, in many instances, preceded by the establishment of local democracy.”5

Kepentingan pemerintah daerah

Dari sisi kepentingan pemerintah daerah, tujuan pertama desentralisasi adalah untuk

mewujudkan political equality. Melalui pelaksanaan desentralisasi diharapkan akan lebih

membuka kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas politik

di tingkat lokal. Masyarakat di daerah, tulis Smith (1985: 24), dapat dengan elegan

mempraktikkan bentuk-bentuk partisipasi politik, misalnya menjadi anggota partai politik

dan kelompok kepentingan, mendapatkan kebebasan mengekspresikan kepentingan, dan

aktif dalam proses pengambilan kebijakan.6

Tujuan kedua desentralisasi dari sisi kepentingan pemerintah daerah adalah local

accountability7. Melalui pelaksanaan desentralisasi diharapkan dapat tercipta peningkatan

kemampuan pemerintah daerah dalam memperhatikan hak-hak komunitasnya, yang

meliputi hak untuk ikut serta dalam proses pengambilan keputusan dan implementasi

kebijakan di daerah, serta hak untuk mengontrol pelaksanaan pemerintahan daerah.

4 Dengan dasar pemahaman seperti ini, Harold Laski (1931) mengatakan “… if the members of national legislative body has prior experiences at the local body, they would gain the feel of institution so necessary to success.” 5 Adanya postulat seperti ini, tentunya, tidak dapat dilepaskan dari keberadaan tujuan desentralisasi yang disebut pertama dan kedua. Dengan kata lain, melalui tujuan desentralisasi yang pertama dan kedua, political education, dan, training in political leadership, maka diharapkan tidak saja akan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan di tingkat lokal, tetapi juga akan meningkatkan sensitivitas dan kemampuan politik para penyelenggara pemerintah daerah dalam mengakomodasi berbagai tuntutan yang disampaikan oleh masyarakat. Kondisi ini, pada gilirannya, akan menjadi prasyarat penting bagi terciptanya stabilitas politik. 6 Argumentasi lain yang sering dikemukakan untuk menjastifikasi pentingnya political equality sebagai tujuan desentralisasi berkaitan dengan ide dasar konsep small is beautiful. Sering dikatakan bahwa komunitas masyarakat yang besar cenderung membuat realisasi demokrasi menjadi lebih sulit. Kebijakan desentralisasi diyakini akan mampu mempercepat terwujudnya political equality, yang pada akhirnya akan membawa ide demokrasi pada tingkat yang lebih realistik (Dahl, 1981: 47). 7 Dalam hal ini, terlihat ada sedikit variasi di antara para penulis dalam mengartikulasi istilah local accountability. Smith (1985: 26), misalnya, cenderung mengaitkannya dengan ide dasar liberty. Pada bagian lain, Ruland (1992) cenderung mengoperasionalkan istilah local accountability dalam konteks pembangunan sosial dan ekonomi. Menurut Ruland: “The accountability of local government remain necessary in the process of socio-economic development. It is through the proximity of local decision-makers to their constituency, the areal division of power is considered an additional assurance that demand will be heard and, accordingly, public services provided in line with people’s needs. Moreover, the dispersal of political power through areal division and the existence of strong self-reliance to local governments would thus guarantee a social development pattern that rest on the principe of diversity in unity” (1992: 3).

Page 5: Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Dalam Perspektif State ...old.unas.ac.id/download.php?file=poelitik_v1n12008_SHidayat.pdf · detail pada bagian akhir, setelah terlebih dahulu dilakukan

Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008

5

Tujuan ketiga desentralisasi dari sisi kepentingan pemerintah daerah adalah local

responsiveness. Asumsi dasar dari tujuan desentralisasi yang ketiga ini adalah: karena

pemerintah daerah dianggap lebih mengetahui berbagai masalah yang dihadapi

komunitasnya, pelaksanaan desentralisasi akan menjadi jalan terbaik untuk mengatasi

masalah dan sekaligus meningkatkan akselerasi pembangunan sosial dan ekonomi di

daerah.

Bagaimana halnya dengan tujuan desentralisasi menurut perspektif desentralisasi

administrasi (administrative decentralisastion perspective)? Secara singkat dapat

dikatakan bahwa perspektif desentralisasi administrasi lebih menekankan pada aspek

efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan ekonomi di

daerah sebagai tujuan utama desentralisasi. Rondinelli (1983: 4), misalnya, menyebutkan

bahwa tujuan utama yang hendak dicapai melalui kebijakan desentralisasi adalah untuk

meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam menyediakan public good and

services, serta untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembangunan ekonomi di

daerah. Pada bagian lain, Ruland (1992), lebih menekankan aspek partisipasi masyarakat

dalam pembangunan ekonomi sebagai tujuan utama desentralisasi. Lebih jelasnya, Ruland

(1992:3) mengatakan

“Decentralisation, as a corollary local autonomy, is seen as a positive contribution to increase people participation, which would eventually lead to socio-economic development” (1992: 3).

Hal penting lain, sekaligus sebagai catatan penutup diskusi bagian ini, adalah bahwa selain

memiliki beberapa perbedaan mendasar, antara perspektif desentralisasi politik dan

desentralisasi administrasi, juga memiliki persamaan. Keduanya mendudukkan

‘Pendapatan Asli Daerah (PAD)’ sebagai bagian dari faktor penentu pencapaian

keberhasilan atau kegagalan tujuan desentralisasi.

Perspektif State-Society Relation

Bila desentralisasi dipahami berdasarkan perspektif state-society relation, akan diketahui

bahwa sejatinya keberadaan desentralisasi adalah untuk mendekatkan negara kepada

masyarakat, sedemikian rupa sehingga antara keduanya dapat tercipta interaksi yang

dinamis, baik pada proses pengambilan keputusan maupun dalam implementasi kebijakan

(Vincent Ostrom, 1991). Dengan mendudukkan desentralisasi seperti ini, tegas Ostrom,

maka diharapkan terwujud “… the features of governance that would be appropriate to

circumstance where people govern rather than presuming that government govern”

(1991:6).

Terlepas dari pro dan kontra dalam menyikapi argumentasi di atas, butir penting yang

menarik digarisbawahi adalah bahwa kerangka berfikir perspektif state-society relation

mengartikulasi desentralisasi bukan sebagai tujuan akhir tetapi hanya sebagai alat atau

Page 6: Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Dalam Perspektif State ...old.unas.ac.id/download.php?file=poelitik_v1n12008_SHidayat.pdf · detail pada bagian akhir, setelah terlebih dahulu dilakukan

Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008

6

sarana untuk menegakkan kedaulatan rakyat (society). Tujuan akhir yang hendak dicapai

tidak lain adalah demokratisasi, kemakmuran, dan kesejahteraan rakyat. Dengan kerangka

berfikir seperti ini sulit dipungkiri bahwa perspektif state-society relation cenderung tidak

memisahkan antara konsep dan implementasi kebijakan desentralisasi dengan sistem

politik dan/atau tipe rezim yang sedang berkuasa.8

Desentralisasi dan pola interaksi state-society dalam rezim demokrasi

Secara umum dapat dikatakan bahwa dalam rezim demokrasi pola interaksi antara state

dan society sangat dinamis. Terjadi suatu interaksi dua arah antara state dan society, baik

pada proses pengambilan keputusan (policy making) maupun pada tahap implementasi

kebijakan (policy implementation). Berbagai keputusan yang diambil oleh negara secara

prinsip merupakan persenyawaan antara tuntutan masyarakat (society) dan kepentingan

pihak state. Tegasnya, kalaupun negara secara legal formal memiliki otoritas untuk

‘menjatuhkan palu akhir’ atas berbagai keputusan, namun peran dalam proses pengambilan

keputusan lebih sebagai mediator atas kompleksitas dan perbedaan kepentingan kalangan

masyarakat9.

Praktik desentralisasi dalam rezim demokrasi tentunya memiliki hubungan interkoneksitas

dengan karakteristik pola interaksi state-society seperti dijelaskan di atas. Sebagai bagian

dari kebijakan nasional, baik perumusan konsep maupun implementasi kebijakan

desentralisasi didasarkan pada interaksi dua arah antara state dan society. Sehingga,

kalaupun pada akhirnya desentralisasi harus dihadirkan, keberadaannya merupakan

persenyawaan antara kepentingan pihak state dan society. Hubungan antara pemerintah

pusat dan pemerintah daerah dalam hal ini lebih didasarkan pada prinsip saling-

ketergantungan dan saling membutuhkan. Lebih jauh, pengertian ‘daerah’ dalam konteks 8 Definisi rezim dan/atau sistem politik, merujuk pada formulasi Alagappa (1995), adalah: “Regime (or political system) refers to the formal and informal organization of the center of political power, and of its relations with the broader society. A regime determines who has access to political power, and how those who are in power deal with those who are not. In other words, it refers to the type of government, such as democracy, totalitarianism, and authoritarianism” (1995: 27). 9 Secara teoritis, argumentasi tentang pola interaksi state-society dalam rezim demokrasi tersebut dibangun berdasarkan konsepsi state (negara) menurut perspektif pluralism. Seperti dikemukakan Martin Smith (1995: 209-210): “The key feature of pluralism is difference or diversity. The complexity of the modern liberal state means that no single group, class or organisation can dominate society. Hence, the role of the state is to regulate conflicts in society rather than to dominate society in pursuit of particular interests.” Lebih jauh, David Marsh and Gerry Stoker (1995: 230) mengemukakan: “Within the pluralist paradigm, the polity is comprised of a multiplicity of competing groups, all of which seek to influence the decision-making process. Rule purports to be in the interest of all and not that of any one section or alliance of sections. The duty of government is to harmonise and co-ordinate.” Penting untuk dikemukakan di sini bahwa di dalam perspektif pluralism terdapat beberapa varian. Martin Smith (1995: 210) mencatat sedikitnya ada 4 (empat) varian perspektif pluralism, yaitu Classical Pluralism, Reformed Pluralism, Plural Elitism, dan Neo-Pluralism. Namun demikian, konsepsi dasar dari keempat varian perspektif pluralism seluruhnya menekankan bahwa state, atau lebih konkritnya, pemerintah, harus responsif terhadap tuntutan masyarakat. Selanjutnya, dalam studi state-society relation, konsepsi negara menurut perspektif pluralism banyak digunakan sebagai landasan teori dalam mengkaji dan menjelaskan karakteristik pola interaksi state-society dalam rezim demokrasi, yang secara metodologis lazim dikenal sebagai society-centred approach. Di antara para akademisi yang telah mengaplikasikan perspektif pluralism dalam studi state-society relation adalah Grindle and Thomas (1989). Dua penulis ini menyebutkan: “…the causes of decisions made to adopt, pursue, and change public policies lie in understanding relationship of power and competition among individuals, groups, or classes in society or in international extensions of class-based or interest-based societies” (hal. 216). Lebih jauh dikatakan: “In pluralist approaches to political analysis, public policy results from the conflict, bargaining, and coalition formation among a potentially large number of societal groups, organised to protect or advance particular interests common to their members” (hal. 218).

Page 7: Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Dalam Perspektif State ...old.unas.ac.id/download.php?file=poelitik_v1n12008_SHidayat.pdf · detail pada bagian akhir, setelah terlebih dahulu dilakukan

Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008

7

hubungan pusat-daerah lebih merujuk pada entitas yang terdiri dari pemerintah daerah dan

masyarakat daerah. Sehingga, pada tataran yang lebih mikro, kesetaraan interaksi antara

state dan society dapat tercipta, yakni antara pemerintah daerah dan komunitasnya.

Interkorelasi antara pola hubungan state-society dan kebijakan desentralisasi dalam rezim

demokrasi dapat dilihat pada Diagram 1.

Diagram 1. Pola interaksi state-society dan kebijakan desentralisasi pada rezim demokrasi

Desentralisasi dan pola interaksi state-society dalam rezim otoriter

Kecenderungan yang sebaliknya terjadi pada rezim otoriter. Ini karena pada umumnya

rezim otoriter ditandai oleh dominasi state, baik pada proses pengambilan keputusan

(policy making), maupun pada tahap implementasi kebijakan (policy implementation).

Peran society khususnya dalam proses pengambilan keputusan sangat dibatasi, untuk tidak

menyebut disingkirkan. Dengan karakteristik seperti ini dapat dimengerti bila pola interaksi

antara state dan society dalam rezim otoriter bersifat satu arah. Kalaupun terdapat

dinamika dalam proses pengambilan keputusan, hal tersebut lebih banyak diwarnai

kompetisi kepentingan, koalisi, kompromi, atau bahkan ‘perselingkuhan’ antara segelintir

elit di dalam negara (state actors), 10 bukan didasarkan atas interaksi kepentingan antara

10 Secara teoritis, argumentasi tentang pola interaksi state-society dalam rezim otoriter dibangun berdasarkan konsepsi state (negara) menurut perspektif elitism (lihat Marks Evans, 1995), dan pada tingkat tertentu, juga dipengaruhi oleh perspektif Maxism (lihat Gramsci, 1971; Poulantzas, 1976; Jessop, 1990; dan Skocpol, 1985). Seperti ditulis oleh Mark Evans (1995: 228) bahwa sedikitnya ada tiga tokoh utama yang banyak berperan dalam melahirkan ‘bibit awal’ perspektif elitism, yaitu: Vilfredo Pareto, Gaetano Mosca, dan Robert Michels. Dalam perkembangannya, perspektif elitism sangat dipengaruhi oleh dasar-dasar pemikiran dari tiga tokoh tersebut. Mosca (1939:30), misalnya, menyebutkan: “In all societies-from societies that are very meagrely developed and have barely attained the dawning of civilisation, down to the most advanced and powerful societies-two classes of people appear—a class that rules and a class that is ruled. The first class, always the less numerous, performs all political functions, monopolises power and enjoys the advantages that power brings, whereas the second, the more numerous class, is directed and controlled by the first.” Sementara, Pareto (1966) berargumen bahwa: “…historical experience provides testimony to the perpetual circulation of elites and oligarchy”. Premis yang hampir sama juga dikemukakan Michels (1962: 364): “… the practical ideal of democracy consisted in the self-government of the masses in conformity with the decision-making of popular assemblies. However, while this system placed limits on the extension of the principle of delegation, it fails, to provide any guarantee against the formation of an aligarchical camerilla [political structure]. In short, direct government by the masses was impossible.” Selanjutnya, dalam studi state-society relation, konsepsi negara menurut perspektif elitism tersebut

Pola interaksi state-society Kebijakan desentralisasi

State

Society

Pemerintah Pusat

Masyarakat

Pemda

Page 8: Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Dalam Perspektif State ...old.unas.ac.id/download.php?file=poelitik_v1n12008_SHidayat.pdf · detail pada bagian akhir, setelah terlebih dahulu dilakukan

Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008

8

state dan society. Interkorelasi antara pola hubungan state-society dan kebijakan

desentralisasi dalam rezim otoriter tersebut dapat dilihat pada Diagram 2.

Diagram 2.

Pola interaksi state-society dan kebijakan desentralisasi pada rezim otoriter

Desentralisasi, baik konsep maupun implementasi, yang lahir dan dibidani oleh rezim

otoriter, banyak dipengaruhi oleh sifat dasar ‘induknya’. Desentralisasi dalam rezim yang

otoriter lebih banyak diinisiasi oleh pihak state, lebih spesifiknya pemerintah pusat.

Dominasi peran pemerintah pusat tidak saja terjadi dalam proses perumusan kebijakan

desentralisasi tetapi juga dalam mengontrol pelaksanaan kebijakan. Pemerintah daerah

lebih difungsikan sebagai pelaksana teknis kebijakan desentralisasi. Dalam konstelasi ini,

tidak mengherankan bila keberadaan desentralisasi lebih dipahami pemerintah daerah

sebagai kewajiban daripada sebagai hak.

banyak digunakan sebagai landasan teori dalam mengkaji dan menjelaskan karakteristik pola interaksi state-society dalam rezim otoriter, yang kemudian secara metodologis lazim dikenal sebagai state-centred approach. Di antara para akademisi yang telah mengaplikasikan perspektif elitism dalam analisa state-society relation adala Grindle and Thomas (1989). Menurut dua penulis ini, karakteristik utama pola interaksi antara state dan society dalam proses pengambilan keputusan (decision making) pada rezim otoriter adalah sebagai berikut: “…the perception and interactions of policy elites and the broad orientations of the state more generally account for policy choices and their subsequent pursuit” (hal. 216). Lebih jauh, dengan mengutip argumen dasar dari Rational Actor Model, Grindle and Thomas (1989), menulis: “…because of the complexity of perfectly rational choice, and its costs in terms of time and attention, decision makers (whether individuals or organisations) do not usually attempt to achieve optimal solutions to problems, but only to find ones that satisfy their basic criteria for an acceptable alternative or ones that meet satisfactory standards” (hal. 220). Nuansa dominasi negara (state) atas masyarakat (society) semakin kentara ketika Grindle and Thomas (1989) menjelaskan argumen dasar dari State Interest Approach. Secara singkat disebutkan: “…state are analytically separable from society and considered to have interests that they pursue or attempt to pursue. Among the interests of the state are the achievement and maintenance of its own hegemony vis-à-vis societal actors, the maintenance of social peace, the pursuit of national development as defined by policy elites representing particular regimes, and the particular interests of regime incumbents in retaining power” (hal. 220-221).

State

Society

Pemerintah Pusat

Pemda

Masyarakat

Pola interaksi state-society Kebijakan desentralisasi

Keterangan: Elit pemerintah (state actor) Hubungan kolusi dan tawar-menawar

Page 9: Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Dalam Perspektif State ...old.unas.ac.id/download.php?file=poelitik_v1n12008_SHidayat.pdf · detail pada bagian akhir, setelah terlebih dahulu dilakukan

Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008

9

Pada sisi lain, masyarakat (society) cenderung dipinggirkan, atau diposisikan sebagai objek

kebijakan desentralisasi. Interaksi dua arah antara state dan society dalam proses

pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan di daerah praktis tidak terjadi.

Dinamika dalam proses pengambilan keputusan lebih banyak ditandai oleh koalisi dan

tawar-menawar kepentingan antar elit pemerintah daerah (local-state actors). Kalaupun

kebijakan otonomi daerah harus diterapkan, sebagai konsekuensi logis dari kebijakan

desentralisasi, namun ia lebih berkarakter ‘otonomi pemerintah daerah’ atau bahkan

‘otonomi pejabat daerah’.

Desentralisasi dan pola interaksi state-society pada periode transisi

Seperti telah dikemukakan pada bagian sebelumnya, dalam rezim otoriter pola interaksi

antara state dan society cenderung satu arah. State mendominasi proses pengambilan

keputusan dan dalam implementasi kebijakan. Sementara society dikondisikan pada posisi

pasif dan perannya terpinggirkan. Dinamika dalam proses pengambilan keputusan lebih

merupakan refleksi dari kompetisi kepentingan antar sejumlah state actors (elit pemerintah

pusat).

Pada periode transisi menuju demokrasi, sifat dasar dari rezim otoriter seperti

dikemukakan di atas tentu belum secara total dapat dihilangkan. Kendati salah satu

tuntutan reformasi politik mengharuskan perluasan peran society, namun dalam banyak hal

state masih relatif mendominasi proses pengambilan keputusan nasional, bahkan dalam

kasus-kasus tertentu memaksakan kehendak. Pada sisi lain, ‘perselingkuhan’ antar state

actors dalam rangka perjuangan kepentingan pribadi dan kelompok masih tetap

berlangsung (lihat Diagram 3.)

Diperbesarnya peluang partisipasi masyarakat, sebagai bagian dari tuntutan reformasi

politik, memberi nuansa baru bagi pola interaksi antara state dan society pada periode

transisi menuju demokrasi. Bila sebelumnya (pada periode rezim otoriter) pola interaksi

antara state dan society cenderung satu arah, maka pada periode transisi menuju demokrasi

mulai bergeser ke pola interaksi yang bersifat dua arah. Praktik pola interaksi dua arah

tersebut cenderung tidak seimbang (lihat Diagram 3), karena dalam banyak hal state masih

memaksakan kehendak kepada society. 11

11 Dalam membangun premis tentang pola interaksi state-society pada periode transisi menuju demokrasi, landasan teoritis yang penulis gunakan, antara lain: konsep corporatism (Philippe Schmitter, 1974), restricted pluralism model (Liddle, 1985, 1987), dan preposisi yang dikemukakan MacIntyre (1992) dari hasil studinya tentang Business and Politics in Indonesia. Secara singkat dapat dikemukakan bahwa, konsep dasar corporatism menurut Schmitter (1974: 93) adalah: “Corporatism can be defined as a system of interest representation in which the constituent units are organised into a limited number of singular, compulsory, non-competitive, hierarchically ordered and functionally differentiated categories, recognised or licensed (if not created) by the state and granted a deliberate representational monopoly within their respective categories in exchange for observing certain controls on their selection of leaders and articulation of demands and supports.” Schmitter selanjutnya membedakan bentuk corporatims dalam dua kategori utama, yaitu State Corporatims (yang lazimnya dijumpai pada rezim otoriter), dan Societal Corporatism (yang biasanya banyak dipraktek pada rezim demokrasi). Dengan merujuk pada kategorisasi korporasi menurut Schmitter ini, Alfred Stepen (1978) selanjutnya membedakan dua bentuk korporasi negara (State Corporatism), yaitu: Inclusionary Pole dan Exclusionary Pole.

Page 10: Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Dalam Perspektif State ...old.unas.ac.id/download.php?file=poelitik_v1n12008_SHidayat.pdf · detail pada bagian akhir, setelah terlebih dahulu dilakukan

Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008

10

Selain itu, penting dicatat bahwa salah satu implikasi dari perluasan partisipasi masyarakat

pada periode transisi menuju demokrasi adalah semakin transparannya kompetisi

kepentingan antar ‘elit massa’ (lihat Diagram 3). Kecenderungan ini mudah dipahami,

karena society dalam arti civil society belum siap berperan, peluang partisipasi masyarakat

pada periode transisi menuju demokrasi lebih banyak ditangkap dan dimanfaatkan para elit

massa. Mereka berperan mewakili masyarakat atau ‘mengklaim’ mewakili masyarakat

dalam berhadapan dengan pihak negara.

Argumentasi yang hendak ditegaskan di sini adalah: pola interaksi antara state dan society

pada periode transisi menuju demokrasi merupakan interaksi antara elit penguasa (state

actors) dan elit massa (society actors). Karenanya, sulit dihindari bila kemudian kompetisi

kepentingan antar elit penguasa (pada satu sisi) dan antar elit massa (pada sisi lain)

mendominasi proses politik, baik dalam pengambilan keputusan maupun pada tahap

implementasi kebijakan. Sementara, kolusi dan persekongkolan politik antara dua kubu

elit tersebut (elit masa dan elit penguasa) dalam rangka perjuangan kepentingan masing-

masing, menjadi karakteristik utama dari pola interaksi antara state dan society. Praktik

negosiasi dan koalisi politik multi-level ini penulis sebut dengan terminologi poliarki

politik.

Pertanyaannya selanjutnya adalah, bagaimana karakteristik desentralisasi pada periode

transisi menuju demokrasi? Sebagai bagian dari kebijakan nasional, sulit dihindari bahwa

konsep dan implementasi kebijakan desentralisasi memiliki hubungan interkoneksi dengan

pola interaksi antara state-society seperti dijelaskan di atas. Sedikitnya ada 3 (tiga)

karakteristik utama praktik desentralisasi pada periode transisi menuju demokrasi.

Pertama, dominasi peran pemerintah pusat dalam proses perumusan kebijakan

desentralisasi relatif berkurang. Bila pada periode rezim otoriter pemerintah pusat dominan

dalam inisiasi dan proses perumusan kebijakan desentralisasi, maka pada periode transisi

menuju demokrasi, peran pemerintah daerah mulai diperhitungkan. Namun perlu

ditegaskan bahwa pengurangan dominasi peran pemerintah pusat tersebut masih dalam

dimensi kuantitas, bukan kualitas. Ini secara implisit mengisyaratkan bahwa pemerintah

Seperti ditulis MacIntyre (1992: 246): “The exclusionary end of the spectrum is characterised by a more repressive approach and a heavy reliance by the state on coercion. At the inclusionary end, while the state remain dominant, there is much greater scope for societal participation.” Pada bagian lain, kendati Liddle (1985, 1987) tidak secara eksplisit memposisikan dirinya mendukung konsep Inclusionary Corporatism yang dikemukakan oleh Stepen di atas, argumentasinya menyebutkan: “kalaupun state actors di Indonesia (pada periode Orde Baru) tetap memainkan peran utama dalam proses pengambilan keputusan nasional, namun pada tingkat tertentu, masih didapat ruangan bagi extra state actors untuk mempengaruhi proses tersebut. Berbeda dengan Liddle, MacIntyre (1992) terlihat lebih eksplisit dalam memposisikan dirinya, sekaligus dalam membangun spekulasi teoritis tentang pola interaksi state-society berdasarkan perspektif corporatism tersebut. Secara singkat, dikemukakan oleh MacIntyre: “Indonesia seems to be in the proses of evolving from an exclusionary to a inclusionary style of corporatism” (hal. 246-247). Dengan asumsi bahwa periode transisi menuju demokrasi merupakan masa antara, terjadi pergeseran dari sistem politik yang bercorak otoriter menuju sistem politik demokrasi, maka, menurut hemat penulis, adalah terlalu dini untuk berharap bahwa pola interaksi antara state dan society akan berada pada apa yang Schmitter (1974) sebut sebagai societal corporatism. Yang paling mungkin terjadi adalah pergeseran dari pola exclusionary corporatism ke inclusionary corporatism seperti dikemukakan MacIntyre (1992).

Page 11: Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Dalam Perspektif State ...old.unas.ac.id/download.php?file=poelitik_v1n12008_SHidayat.pdf · detail pada bagian akhir, setelah terlebih dahulu dilakukan

Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008

11

pusat masih tetap dapat memaksakan kepentingan, kendati dilakukan dalam kemasan

demokrasi dan diperjuangkan melalui proses politik informal (lihat Diagram 3).

Medan konflik pada konteks ini terletak pada persoalan pembagian wewenang antara

pemerintah pusat dan daerah. Tuntutan reformasi politik menghendaki pelimpahan

wewenang yang lebih luas kepada daerah, namun pemerintah pusat masih enggan

kehilangan wewenang. Indikasi dari konflik kepentingan tersebut antara lain direfleksikan

oleh munculnya fenomena ‘tarik-ulur’ hubungan kekuasaan pusat-daerah, yang kemudian

melahirkan praktik ‘otonomi daerah setengah hati’. Untuk memenangkan kompetisi dalam

arena konflik kepentingan tersebut, dan dalam rangka meredam rasa ketidakpuasan daerah,

salah satu instrumen yang biasa digunakan pemerintah pusat adalah resource base

allocation, yakni alokasi subsidi pemerintah pusat (baik secara langsung atau tidak

langsung) kepada daerah.

Diagram 3. Pola interaksi state-society dan kebijakan desentralisasi

pada periode transisi menuju demokrasi

Kedua, pendekatan dalam implementasi kebijakan desentraliasi mulai bergeser dari pola

lama yang bersifat monolitik12 dengan semangat top-down, ke arah pola baru yang bersifat

12 Yang dimaksud dengan pendekatan monolitik di sini adalah suatu pendekatan yang bersifat satu arah dan parsial. Pendekatan seperti ini dibangun atas asumsi dasar bahwa inti persoalan hubungan pusat-daerah hanya terletak pada dua isu utama, yaitu: masalah pembagian wewenang dan pengaturan keuangan pusat-daerah. Dengan kata lain, kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah cenderung berdiri sendiri, terpisah dari kebijakan-

Keterangan: Elit pemerintah dan elit massa (state and society actor) Hubungan kolusi dan tawar-menawar kepentingan

State

Society

Pemerintah Pusat

Masyarakat

Pemda

Pola interaksi state-society Kebijakan desentralisasi

Page 12: Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Dalam Perspektif State ...old.unas.ac.id/download.php?file=poelitik_v1n12008_SHidayat.pdf · detail pada bagian akhir, setelah terlebih dahulu dilakukan

Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008

12

holistik13, dengan semangat bottom-up. Salah satu konsekuensi logis dari pergeseran

pendekatan implementasi kebijakan desentralisasi ini, pemerintah daerah mulai diberi

keleluasaan, baik dalam proses pengambilan keputusan maupun dalam implementasi

kebijakan, sejauh tidak ‘melanggar’ kepentingan pemerintah pusat. Namun, pada tingkat

realitas, pergeseran pendekatan implementasi kebijakan desentralisasi tersebut belum

diikuti pergeseran orientasi kalangan pemerintah daerah. Akibatnya, terjadi disorientasi

implementasi kebijakan desentralisasi, yang kemudian melahirkan praktik ‘otonomi daerah

kebablasan’.

Indikasi fenomena disorientasi desentralisasi antara lain direfleksikan oleh sikap

pemerintah daerah yang masih memposisikan pemerintah pusat sebagai sumber utama

energi politik dan ekonomi. Pada sisi lain, pemerintah daerah cenderung melakukan

penolakan atas intervensi pemerintah pusat, utamanya dalam implementasi berbagai

wewenang yang didefinisikan pemerintah daerah sebagai miliknya. Dalam konteks

Indonesia, menjamurnya Peraturan Daerah (Perda) ‘bermasalah’ di sejumlah daerah dapat

diartikulasi sebagai bagian dari manifestasi disorientasi desentralisasi.

Ketiga, masyarakat (society) tidak lagi sepenuhnya terpinggirkan tetapi mulai

diikutsertakan dalam kebijakan desentralisasi, baik dalam proses pengambilan keputusan

maupun dalam pelaksanaan kebijakan di daerah. Namun, sejalan dengan karakteristik pola

interaksi antara state dan society pada periode transisi demokrasi, peran masyarakat belum

dalam arti civil society, tetapi lebih banyak diwakili oleh elit massa (lihat Diagram 3). Tidak

berlebihan bila dikatakan bahwa pola interaksi antara state dan society dalam implementasi

kebijakan desentralisasi lebih berkarakterkan interaksi antara elit penguasa (state actors)

dan elit massa (society actors). Sementara, fenomena poliarki politik, yang ditandai kolusi

dan persekongkolan politik antara elit masa dan elit penguasa dalam perjuangan

kepentingan masing-masing, mendominasi proses politik di tingkat lokal. Praktik poliarki

politik tersebut tidak saja pada proses pengambilan keputusan, tetapi juga merambah pada

tingkat implementasi kebijakan.

kebijakan lainnya seperti kebijakan tentang partai politik, sistem pemilihan umum, pertahanan-keamanan, pertanahan, investasi, lingkungan, dan lain sebagainya. Semangat yang dikembangkan dalam pendekatan monolitik tersebut lebih bersifat top-down, di mana pemerintah daerah dan masyarakat di daerah diposisikan semata-mata hanya sebagai objek dari kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. 13 Terbalik dengan pendekatan monolitik, pendekatan holistik dibangun atas asumsi dasar bahwa untuk dapat mencapai tujuan desentralisasi dan otonomi daerah, maka kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah harus terkait dengan kebijakan-kebijakan pada bidang lain. Dalam pendekatan holistik, persoalan pembagian kekuasaan dan pengaturan keuangan pusat-daerah tetap didudukkan sebagai variabel penentu (determinant variables) bagi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Namun, untuk dapat mencapai tujuan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah itu sendiri, tidak hanya ditentukan oleh dua varibel (determinat variables) tersebut, tetapi juga dipengaruhi oleh sejumlah variabel lain yang disebut dengan istilah influential variables. Variabel berpengaruh ini tidak lain adalah kebijakan-kebijakan pada bidang lain. Semangat yang dikembangkan dalam pendekatan holistik lebih bernuansa bottom-up, yang memposisikan peran pemerintah daerah dan masyarakatnya sebagai subjek sekaligus sebagai objek dari kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah.

Page 13: Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Dalam Perspektif State ...old.unas.ac.id/download.php?file=poelitik_v1n12008_SHidayat.pdf · detail pada bagian akhir, setelah terlebih dahulu dilakukan

Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008

13

Dinamika Desentralisasi Indonesia

Bahwa periode Orde Baru Indonesia dilabeli sebagian besar pengamat sebagai negara yang

dipimpin rezim otoriter adalah kenyataan yang sulit diingkari. Sedikitnya tercatat 5 (lima)

model pendekatan yang digunakan para pengamat dalam menjelaskan pola interaksi state-

society pada dekade pemerintahan rezim otoriter Soeharto.

Pertama, oleh R. O’G. Anderson (1983) disebut sebagai model state-qua state. Anderson

adalah salah satu penulis yang menganalisa karakteristik dari state-society relation di

Indonesia pada periode Orde Baru dikaitkan dengan karakteristik pemerintahan pada masa

kolonial. Berangkat dari asumsi dasar bahwa rezim kolonial secara keseluruhan

mengabaikan atau menekan aspirasi (interests) masyarakat, Anderson menyimpulkan

bahwa pola state-society relation pada periode Orde Baru memiliki karakteristik dasar yang

sama dengan pola state-society relation pada masa kolonial, yakni dominannya peran state

dan diabaikannya peran society dalam proses pengambilan keputusan (policy formulation).

Hampir semua kebijakan nasional, tegas Anderson, adalah refleksi dari the state interests

daripada refleksi dari societal and extra state interests.14

Model kedua yang digunakan dalam upaya menganalisa pola state-society relation pada

periode pemerintahan rezim Soeharto adalah bureaucratic polity and patrimonial cluster.15

Menurut Jackson, kendati ‘baju’ dari pemerintahan di Indonesia telah berubah dari Orde

Lama ke Orde Baru, namun sejak dekade Demokrasi Parlementer berakhir (1957), pola

state-society relation di Indonesia tetap berkarakteristikan bureaucratic polity, yakni:

A political system in which power and participation in the formulation of national policies is limited only to the employees of the state, particularly the officers corps and the highest levels of the bureaucracy, including especially the highly trained specialist known as the technocrats (Jackson, 1978: 3).

Model ketiga adalah bureaucratic authoritarian.16 Dengan modifikasi, King (1982)

menggunakan model ini dalam memahami pola state-society relation di Indonesia. Di

antara modifikasi yang dilakukan King adalah dengan memasukkan peran state-

corporatism, yaitu unit-unit instrumen (organisasi) yang dibentuk oleh state dengan tujuan

meregulasi mekanisme partisipasi masyarakat. Menurut King, state-corporatism

merupakan pendekatan yang paling relevan dalam memahami bagaimana Orde Baru telah

14 Pembahasan secara lebih rinci tentang hal ini dapat dilihat pada Anderson (1983), ‘Old State, New Society: Indonesia’s New Order in Comparative Historical Perspective’, Journal of Asian Studies, Vol. XLII, No. 3. 15 Menurut MacIntyre (1992), ide dasar dari model ini bertumpu pada “… a notion of the head of the state operating in a manner comparable to that of traditional rulers in earlier times, preserving his or her position by dispensing material rewards and opportunities to leading members of the state. Meanwhile the gist of Bureaucratic Polity model is an argument that the bureaucratic elite is unconstrained by societal interests in the determination of policy” (MacIntyre, 1992: 7-8). 16 Argument dasar dari model ini berporos pada proposisi: “…the dramatic shift to political repression and the tight concentration of power in the hand of military and bureaucratic elites and to the exclusion of societal groups, especially the popular sectors” (MacIntyre, 1992: 11).

Page 14: Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Dalam Perspektif State ...old.unas.ac.id/download.php?file=poelitik_v1n12008_SHidayat.pdf · detail pada bagian akhir, setelah terlebih dahulu dilakukan

Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008

14

meregulasi, untuk tidak mengatakan ‘menekan’, partisipasi masyarakat dalam proses

pengambilan keputusan (King, 1982: 110-115).

Model yang keempat adalah bureaucratic pluralistic.17 Model ini digunakan oleh Emerson

(1983) dalam menganalisa peran dari ‘birokrat-militer’ dan ‘birokrat-sipil’ dalam proses

pengambilan keputusan untuk berbagai kebijakan nasional di Indonesia pada periode rezim

Orde Baru. Dari hasil analisanya, Emerson kemudian merumuskan beberapa kesimpulan, 2

(dua) yang menarik untuk digarisbawahi adalah:

(1) There is no a departmental administration that was totally dominated by military officials, (2) Suharto’s commitment to internal security and economic growth is reflected not only in careful military control of the most security-connected parts of bureaucracy, but also in willingness for the nation’s economic growth mainly in civilian hands (1993: 1231).

Model kelima, diberi lebel oleh MacIntyre (1992) dengan sebutan restricted pluralism

model, dan tokoh yang melahirkan model ini adalah Liddle (1987). Bila empat model

sebelumnya cenderung bertumpu pada argumen bahwa proses pengambilan keputusan atas

kebijakan nasional sangat dimonopoli oleh state actors, maka restricted pluralism model

berargumen: memang diakui state-actors memainkan peran utama, namun pada tingkat-

tingkat tertentu masih terdapat ‘ruang’ bagi extra state-actors untuk mempengaruhi proses

pengambilan keputusan pada tingkat nasional.

Menurut Liddle, sulit dipungkiri bahwa elit politik di tingkat pusat memang telah

memainkan ‘peran kunci’ dalam merumuskan kebijakan nasional di Indonesia. Namun

perlu diketahui bahwa para elit politik tersebut tidak memonopoli proses pengambilan

keputusan, karena ternyata masih terdapat beberapa aktor penting yang lain, misalnya:

pemerintah daerah, organisasi produsen, organisasi konsumen, anggota parlemen, press,

dan kelompok intelektual, yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi

proses pengambilan keputusan pada tingkat nasional.

Ulasan singkat tentang pola interaksi antara state dan society pada periode rezim Orde Baru

di atas, memunculkan pertanyaan lanjut: apa yang dapat dijelaskan tinjauan literatur

tersebut mengenai karakteristik konsep dan implementasi kebijakan desentralisasi pada

periode Orde Baru?

Bila kelima model state-society relation yang dikemukakan di atas dijadikan sebagai acuan,

secara teoritis paling sedikit ada 2 (dua) spekulasi yang mungkin dapat dibangun untuk

menjawab pertanyaan di atas. Empat model yang pertama (State-Qua-State, Bureaucratic

17 Model ini sebenarnya pertama kali dikenalkan oleh Emerson (1983) sebagai ‘counter point’ atas model State-qua-State dan Bureaucratic Polity. Yang membedakannya dengan model state-qua-state dan bureaucratic polity hanyalah pada proposisi dari model ini (Bureaucratic Pluralistic) yang menyebutkan: “…even if the national policy decision-making is highly monopolized by the ruling elites at the centre level, the politics at the national level in Indonesia is more regularised and more pluralistic than most observer have acknowledged” (Lihat MacIntyre, 1992: 10).

Page 15: Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Dalam Perspektif State ...old.unas.ac.id/download.php?file=poelitik_v1n12008_SHidayat.pdf · detail pada bagian akhir, setelah terlebih dahulu dilakukan

Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008

15

Polity and Patrimonial Cluster, Bureaucratic Authoritarian, dan Bureaucratic Pluralistic),

menyebutkan bahwa proses pengambilan keputusan atas kebijakan-kebijan nasional sangat

didominasi negara, bahkan oleh elit politik di tingkat pusat. Bila kecenderungan seperti ini

yang terjadi dalam proses pengambilan keputusan atas kebijaksaan desentralisasi, maka

keberadaan desentralisasi tidak lebih hanya merupakan refleksi kepentingan pihak state.

Atau, lebih spesifiknya, refleksi kepentingan segelintir state-actors. Dalam format seperti

ini, maka dapat dimengerti bila kemudian implementasi kebijakan desentralisasi selalu

disertai kontrol yang sangat ketat oleh pemerintah pusat. Kalaupun kebijakan otonomi

daerah diterapkan, kehadirannya lebih dalam bentuk ‘otonomi pemerintah daerah’, atau,

‘otonomi pejabat daerah’. Sementara, masyarakat (society) cenderung diposisikan hanya

sebagai objek dari kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah.

Kemungkinan kedua, mengacu pada argumen dasar restricted pluralism. Model ini

menyebutkan, kendati elit-elit politik di tingkat pusat memainkan peran kunci, namun

mereka tidak memonopoli proses pengambilan keputusan, karena masih terdapat aktor-

aktor lain (extra state-actors) yang, secara langsung atau tidak langsung, dapat

mempengaruhi proses pengambilan keputusan di tingkat nasional. Bila kondisi ini yang

terjadi dalam proses pengambilan keputusan atas kebijakan desentralisasi, maka dapat

dikatakan bahwa, walaupun kehadiran desentralisasi lebih banyak mewakili kepentingan

pihak state, namun kepentingan pihak society masih tetap terefleksikan, kendati dalam

kapasitas yang relatif terbatas.

Secara akademis, jawaban dari dua spekulasi teoritis di atas sebenarnya sudah banyak

ditulis para pengamat. Hanya menyebut beberapa contoh, Kuntjara Jakti (1981), misalnya,

menyebutkan bahwa kebijakan desentralisasi di Indonesia pada periode Orde Baru

cenderung bergerak antara dua kutub, yaitu antara kutub desentralisasi pada satu sisi dan

sentralisasi pada sisi yang lain. Namun, kecenderungan untuk mengayun ke kutub

sentralisasi tampak lebih besar daripada ke kutub desentralisasi. Ada beberapa alasan

mendasar tentang mengapa kecenderungan ini terjadi. Secara politis, tulis Kuntjara Jakti,

hal tersebut sangat erat kaitannya dengan isu stabilitas politik dan ketahanan nasional.

Sedangkan alasan ekonomi, kecenderungan sentralisasi tersebut berkaitan dengan

kehadiran model Neo-Keynisian yang telah digunakan oleh para teknokrat dalam

‘mendesain’ kebijakan pembangunan ekonomi Orde Baru. Model ini, tak dapat dipungkiri

memang lebih menghendaki sentralisasi (lihat Kuntjara Jakti, 1981: 143-144).

Sementara, Michael Morfit (1986) mengkaji keterkaitan antara kebijakan desentralisasi

rezim Orde Baru dengan peningkatan kewenangan pemerintah daerah. Berdasarkan hasil

kajiannya, Morfit mencatat sedikitnya ada dua kendala mendasar desentralisasi di

Indonesia ketika itu. Pertama, ia sebut administrative and legal ambiguities. Persoalan ini,

tulis Morfit, ditunjukkan oleh ketidakjelasan pembagian tugas dan fungsi antara dinas-dinas

daerah dan instansi-instansi vertikal pemerintah pusat (Kanwil dan Kandep) yang

Page 16: Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Dalam Perspektif State ...old.unas.ac.id/download.php?file=poelitik_v1n12008_SHidayat.pdf · detail pada bagian akhir, setelah terlebih dahulu dilakukan

Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008

16

ditempatkan di daerah. Peran dari instansi-instansi vertikal pemerintah pusat cenderung

lebih dominan dibandingkan peran dinas-dinas daerah. Kendala kedua adalah kemampuan

keuangan pemerintah daerah yang sangat tidak memadai, terutama untuk mendukung

anggaran pembangunan. Akibatnya, pemerintah daerah selalu mengandalkan alokasi dana

dari pemerintah pusat, yang justru mengekalkan ketergantungan terhadap pemerintah

pusat.

Pada bagian lain, Dwight King (1988) menganalisa keterkaitan antara desentralisasi dan

kebijakan Orde Baru tentang pengaturan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Berdasarkan hasil

kajiannya, King (1988) menyebutkan bahwa kebijakan Orde Baru tentang PNS merupakan

salah satu bentuk dari strategi untuk mengendalikan pemerintah daerah melalui jalur

birokrasi. Pengendalian oleh pemerintah pusat tersebut dilakukan melalui Kantor Menteri

Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Badan Administrasi Kepegawaian Negara

(BAKN). Implikasi dari kebijakan kepegawaian ini, tulis King (1988: 253), antara lain,

menyebabkan Pegawai Negeri Sipil di daerah mengalami banyak kesulitan dalam

pengembangan karier mereka. Ini utamanya karena, baik jenjang kepangkatan maupun

jenjang jabatan (eselonisasi) ditentukan oleh pemerintah pusat.

Pada periode ‘Pasca Orde Baru’, secara legal formal, upaya untuk melakukan reformasi

kebijakan desentralisasi disimbolkan oleh kehadiran UU No. 22 dan 25 Tahun 1999. Pada

tingkat minimal, harus diakui bahwa UU No. 22 Tahun 1999 mencoba menggeser dominasi

perspektif desentralisasi administrasi dalam pengaturan hubungan kekuasaan pusat-daerah

ke arah desentralisasi politik. Hal ini dapat terlihat dari antara lain: (a) diakomodasinya

aspek society dalam definisi otonomi daerah pada UU No. 22 Tahun 1999 (bandingkan

dengan UU No. 5 Tahun 1974), kendati pada bagian lain, definisi desentralisasi masih tetap

bertumpu pada konsep lama; (b) adanya keinginan untuk mendesentralisasikan wewenang

yang lebih luas kepada pemerintah daerah, ini dirumuskan secara eksplisit pada Pasal 7 (1)

UU No. 22 Tahun 1999; dan (c) adanya pemberdayaan DPRD dengan peningkatan peran

dan fungsi.

Namun, bila disimak secara lebih teliti, UU. No. 22 Tahun 1999 masih banyak diwarnai

ambivalensi, baik pada tataran konsep maupun pada tingkat implementasi. Satu diantara

contoh yang paling menarik adalah, pengaturan hubungan kekuasaan pusat-daerah yang

dituangkan pada Pasal 7. Disebutkan:

Kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan lainnya.

Kutipan di atas bukan bermaksud untuk mempertanyakan keberadaan dari ‘kewenangan

bidang lainnya’ pada pasal 7 (1) UU No. 22 Tahun 1999 tersebut. Ini karena, untuk tidak

menghilangkan nuansa ‘desentralisasi dalam negara kesatuan’, tidak dapat dipungkiri,

Page 17: Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Dalam Perspektif State ...old.unas.ac.id/download.php?file=poelitik_v1n12008_SHidayat.pdf · detail pada bagian akhir, setelah terlebih dahulu dilakukan

Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008

17

pemerintah pusat harus memiliki wewenang lain (terutama yang menyangkut hajat hidup

orang banyak), di samping wewenang pokok yang telah ditetapkan (5 wewenang). Yang

menjadi inti persoalan di sini adalah proses penetapan ‘wewenang bidang lainnya’ tersebut.

Secara teoritis, proses penetapan kewenangan bidang lain pemerintah pusat harus

dilakukan bersama dengan pemerintah daerah, berdasarkan prinsip ‘negosiasi’ dan tidak

saling memaksakan. Namun kenyataannya, proses penetapan kewenangan bidang lainnya

tersebut, yang dikonkritkan melalui PP. No. 25 Tahun 2000, dilakukan secara sepihak oleh

pemerintah pusat. Fenomena ini menguatkan kesan bahwa pengaturan hubungan

kekuasaan antara pusat-daerah menurut UU No. 22 Tahun 1999 tetap belum terbebas dari

apa yang Davey (1989) sebut dengan ambivalensi antara keinginan untuk mewujudkan

prinsip desentralisasi dan sentralisasi.

Kelemahan mendasar lain UU. No. 22 Tahun 1999 adalah cenderung mengabaikan

dinamika perubahan politik secara nasional: transisi menuju demokrasi. Konsep

desentralisasi dalam UU. No. 22 Tahun 1999 dibangun berdasarkan asumsi bahwa

Indonesia telah berada pada fase sistem politik demokrasi. Akibat pengabaian realitas

politik tersebut, pada tingkat implementasi telah menimbulkan banyak penyimpangan-

penyimpangan.

Pada bagian sebelumnya telah dipetakan secara umum bentuk-bentuk dari penyimpangan

tersebut. Beberapa contoh lain: berlipat gandanya biaya pembangunanan ekonomi sebagai

akibat dari meningkatnya ‘pungutan liar’ atas masyarakat dan pengusaha di daerah dan

semakin ‘menggilanya’ praktik KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) di daerah. Sementara

pada sisi lain, pemerintah pusat dengan kasat mata terlihat masih enggan kehilangan

kekuasaan atas daerah. Dalam istilah yang lebih populer, pemerintah pusat masih bersikap

‘setengah hati’ dalam mendukung implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi

daerah. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana menjelaskan, secara teoritis,

interkorelasi antara fenomena penyimpangan implementasi kebijakan desentralisasi

tersebut dengan proses transisional (dari rezim otoriter menuju rezim demokrasi) yang

sedang terjadi? Jawaban atas pertanyaan ini tentu sulit diketemukan bila kerangka berfikir

hanya dilandaskan pada dua perspektif desentralisasi yakni perspektif desentralisasi politik

dan administrasi. Ini karena dua perspektif desentralisasi tersebut tidak eksplisit

memposisikan adanya hubungan korelasional antara kebijakan desentralisasi dan dinamika

perubahan sistem politik.

Penjelasan normatif atas jawaban dari pertanyaan di atas hanya mungkin didapat bila

realitas implementasi kebijakan desentralisasi dipahami dan diartikulasi sebagai bagian tak

terpisahkan dari dinamika perubahan politik. Dengan tidak bermaksud menisbikan dua

perspektif desentralisasi yang ada, kerangka berfikir dalam menjelaskan keterkaitan antara

penyimpangan implementasi kebijakan desentralisasi tersebut dengan periode transisi

Page 18: Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Dalam Perspektif State ...old.unas.ac.id/download.php?file=poelitik_v1n12008_SHidayat.pdf · detail pada bagian akhir, setelah terlebih dahulu dilakukan

Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008

18

menuju demokrasi yang sedang terjadi, dapat dipahami berdasarkan perspektif state-

society relation.

Bila tiga karakteristik utama praktik desentralisasi pada periode transisi menuju demokrasi

(seperti telah dipaparkan dalam pembahasan pada bagian sebelumnya) dapat dijadikan

sebagai rujukan,18 sebenarnya jawaban atas pertanyaan di atas jelas tergambarkan.

Misalnya, fenomena semakin maraknya praktik KKN seiring implementasi kebijakan

desentralisasi merupakan salah satu konsekuensi logis dari disorientasi pemahaman konsep

desentralisasi (lihat karakteristik kedua desentralisasi pada periode transisional). Hal ini

juga dapat dipahami sebagai salah satu implikasi dari pola interaksi antara state dan society

di tingkat lokal yang bersifat poliarki (lihat karakteristik yang ketiga). Sementara, sikap

pemerintah pusat yang setengah hati dalam mendukung implementasi kebijakan

desentralisasi dan otonomi daerah dapat diartikulasi sebagai indikasi masih cukup kuatnya

posisi tawar pemerintah pusat atas daerah, baik dalam proses pengambilan keputusan

maupun dalam implementasi kebijakan desentralisasi (lihat karakteristik pertama).

Rekonstruksi Konsep dan Implementasi Kebijakan Desentralisasi Rekonstruksi konsep Disimak dari rangkaian pembahasan sebelumnya terlihat bahwa keberadaan desentralisasi,

berdasarkan perspektif state-society relation, tidak lain hanya merupakan salah satu

sarana, bukan tujuan akhir, untuk mendekatkan state dengan society, agar antara keduanya

dapat berinteraksi secara dinamis, baik pada proses pengambilan keputusan (policy

making) maupun dalam implementasi kebijakan (policy implementation). Sedangkan

tujuan akhir yang hendak dicapai kebijakan desentralisasi adalah terwujudnya

kemaslahatan bagi masyarakat di daerah melalui praktik demokrasi di tingkat lokal,

terciptanya efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan daerah, serta

peningkatan pelayanan publik.

Argumentasi yang ingin ditegaskan adalah bahwa perspektif state-society relation terlihat

lebih komprehensif dalam mengartikulasi persoalan desentralisasi bila dibandingkan

dengan dua perspektif lain yang berkembang (desentralisasi politik dan desentralisasi

administrasi). Bahkan ia menawarkan solusi bagi polemik berkepanjangan antara dua

perspektif tersebut. Oleh karenanya, tidak berlebihan bila dikatakan bahwa perspektif state-

society relation dapat dijadikan landasan berfikir dalam pengembangan konsep

desentralisasi pada umumnya, dan dalam rekonstruksi konsep desentralisasi di Indonesia

pada khususnya. Secara singkat kerangka berfikir rekonstruksi konsep desentralisasi

berdasarkan perspektif state-society relation tersebut dapat dilihat pada Diagram 4.

18 Simak kembali pembahasan tentang desentralisasi dan pola interaksi state-society pada periode transisi.

Page 19: Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Dalam Perspektif State ...old.unas.ac.id/download.php?file=poelitik_v1n12008_SHidayat.pdf · detail pada bagian akhir, setelah terlebih dahulu dilakukan

Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008

19

Tanpa maksud melakukan simplifikasi akademis, landasan berfikir pada Diagram 4

menunjukkan bahwa antara dua perspektif desentralisasi yang berkembang saat ini

(perspektif desentralisasi politik dan desentralisasi administrasi) sebenarnya dapat

disinergikan dalam bingkai perspektif state-society relation. Kerangka berfikir yang penulis

bangun ini sama sekali bukan bertujuan menafikan perbedaan antara dua perspektif

tersebut. Secara akademis sulit dipungkiri bahwa ada sejumlah perbedaan mendasar antara

perspektif desentralisasi politik dan perspektif desentralisasi administrasi, baik pada tataran

konseptual maupun pada tingkat operasional. Perbedaan tersebut, antara lain, tercermin

dari rumusan definisi desentralisasi dan tujuan yang hendak dicapai menurut masing-

masing perspektif (lihat pembahasan tentang polemik konseptual pada bagian awal tulisan

ini). Perspektif desentralisasi politik lebih menekankan devolusi kekuasaan dari pemerintah

pusat kepada pemerintah daerah, sementara perspektif desentralisasi adminsitrasi

mendefinisikan desentralisasi sebagai delegasi wewenang dari pemerintah pusat kepada

pemerintah daerah. Demikian juga dengan formulasi tujuan yang hendak dicapai kebijakan

desentralisasi. Perspektif desentralisasi politik lebih menekankan pada aspek demokratisasi

di tingkat lokal sebagai tujuan utama, sedangkan perspektif desentralisasi administrasi lebih

menitikberatkan pada aspek efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan dan

pembangunan di daerah sebagai tujuan utama.

Diagram 4.

Rekonstruksi konsep desentralisasi berdasarkan perspektif state-society relation

Namun, bila substansi konseptual dari dua perspektif tersebut direnungkan dan dipahami

berdasarkan perspektif hubungan negara dan masyarakat (state-society relation), maka

sesungguhnya terdapat persamaan hakiki antara keduanya. Dalam hal definisi

desentralisasi, misalnya, kendati terdapat perbedaan dalam formulasi, keduanya memiliki

dasar filosofis yang sama yaitu untuk mendekatkan negara kepada masyarakat. Demikian

Political decentralisation perspective

Administrative decentralisation

perspective

State-society relation perspective

Page 20: Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Dalam Perspektif State ...old.unas.ac.id/download.php?file=poelitik_v1n12008_SHidayat.pdf · detail pada bagian akhir, setelah terlebih dahulu dilakukan

Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008

20

juga mengenai tujuan desentralisasi, walaupun terdapat perbedaan antara perspektif

desentralisasi politik dan desentralisasi administrasi dalam memberikan tekanan atas

tujuan yang hendak dicapai, namun secara prinsipal terdapat persamaan antara keduanya,

yaitu untuk mewujudkan kemaslahatan bagi masyarakat di daerah dalam bentuk

kesejahteraan dan kemakmuran. Dengan demikian, perbedaan antara dua perspektif

tersebut, sebenarnya, lebih pada konteks metodologi, yakni cara dan mekanisme yang

diterapkan untuk mencapai kemaslahatan bagi masyarakat. Atas dasar pemahaman seperti

ini, penulis kemudian membangun preposisi, yaitu bahwa perspektif state-society relation

lebih komprehensif sebagai landasan berfikir dalam pengembangan konsep desentralisasi

secara umum, dan khususnya dalam rekonstruksi konsep desentralisasi di Indonesia.

Bila preposisi di atas dijadikan rujukan dalam rekonstruksi konsep desentralisasi, maka

sulit dipungkiri bila kemudian perspektif state-society relation lebih menghendaki definisi

desentralisasi dalam format penyerahan kekuasaan dari pemerintah pusat kepada

pemerintah daerah. Ini karena hanya dengan penyerahan kekuasaan, pemerintah daerah

dan masyarakatnya akan memiliki hak penuh (otonomi), baik dalam proses pengambilan

keputusan (policy making) maupun dalam implementasi kebijakan (policy

implementation). Demikian juga halnya dengan otonomi daerah, harus didefinisikan tidak

saja berdasarkan perspektif state, tetapi juga berdasarkan perspektif society. Lebih

spesifiknya, dari sisi kepentingan state, otonomi daerah harus didefinisikan sebagai a

freedom which is assumed by a local government in both making and implementing itw

own decisions (Mawhood, 1987). Hal ini, pada konteks Indonesia selama ini, lebih populer

dimaknai sebagai hak, wewenang, dan tanggung jawab pemerintah daerah untuk mengatur

rumah tangganya sendiri. Sedangkan dari sisi kepentingan society, otonomi daerah harus

didefinisikan sebagai hak masyarakat sipil (civil society) untuk mendapatkan kesempatan

dan perlakuan yang sama dalam mengekspresikan dan memperjuangkan kepentingannya

via-a-vis pemerintah, dan dalam ikut mengontrol penyelenggaraan pemerintahan di

daerah.

Bagaimana halnya dengan tujuan desentralisasi? Perspektif state-society relation tidak

mendikotomikan antara tujuan politik dan tujuan administrasi, karena keduanya sama

penting untuk diwujudkan. Untuk itu, maka formulasi tujuan desentralisasi dikembalikan

pada konsep dasarnya (lihat Smith, 1985), yang diklasifikasikan dalam dua kategori utama,

yaitu untuk kepentingan nasional dan untuk kepentingan daerah19. Substansi dari masing-

masing kategori tersebut harus dapat mengakomodasi aspek sosial, ekonomi (Rondinelli,

1983; Ruland, 1992) dan aspek politik (Smith, 1985; Mawhood, 1987) yang hendak dicapai.

Berdasarkan kepentingan nasional tujuan utama dari desentralisasi adalah: (a) untuk

mempertahankan dan memperkuat integrasi bangsa; (b) sebagai sarana untuk training bagi

19 Ulasan lebih lengkap pemikiran Smith (1985) berkaitan dengan tujuan desentralisasi (termasuk penjelasan tentang masing-masing tujuan berdasarkan kategori kepentingan nasional dan daerah) dapat disimak pada pembahasan tentang polemik konseptual di bagian awal.

Page 21: Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Dalam Perspektif State ...old.unas.ac.id/download.php?file=poelitik_v1n12008_SHidayat.pdf · detail pada bagian akhir, setelah terlebih dahulu dilakukan

Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008

21

calon-calon pemimpin nasional; dan (c) untuk mempercepat pencapaian kesejahteraan dan

kemakmuran rakyat. Sedangkan dari sisi kepentingan daerah, tujuan utama dari

desentralisasi meliputi, antara lain: (a) mewujudkan demokratisasi di tingkat lokal (political

equality, local accountability, dan local responsiveness); (b) peningkatan pelayanan publik;

dan (c) menciptakan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan dan

pembangunan di daerah.

Rekonstruksi Pendekatan Implementasi

Rekonstruksi pada tataran konseptual (normatif) seperti diutarakan di atas, tentu tidak

akan mencapai hasil optimal bila tidak diikuti upaya rekonstruksi pada tataran operasional,

yang antara lain menghendaki adanya reformasi pendekatan dalam implementasi kebijakan

desentralisasi. Pendekatan kebijakan yang harus diterapkan adalah pendekatan yang

bersifat holistik. Terminologi ‘holistik’ dapat dimaknai sedikitnya dalam dua dimensi.

Pertama, sebagai salah satu instrumen untuk mewujudkan cita-cita berbangsa dan

bernegara, maka kebijakan desentralisasi tidak dapat berdiri sendiri, namun harus terkait

dan sejalan dengan kebijakan-kebijakan pada bidang lain, sehingga dapat tercipta kondisi

saling dukung dan saling mengisi, bukan sebaliknya, antara kebijakan desentralisasi dengan

kebijakan-kebijakan pada bidang lain. Kedua, ‘holistik’ juga berarti bahwa dalam

implementasi kebijakan desentralisasi harus memperhatikan karakteristik, potensi, dan

kekhususan-kekhususan yang dimiliki masing-masing daerah. Skema pendekatan holistik

tersebut dapat dilihat pada Diagram 5.

Secara umum pendekatan holistik pada Diagram 5 dapat dijelaskan sebagai berikut:

Kebijakan desentralisasi pada prisipnya lebih banyak mengatur dua variabel utama, yaitu

hubungan kekuasan dan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah (lihat Kotak 1).

Dengan adanya penyerahan kekuasaan, termasuk didalamnya kekuasaan dalam hal

keuangan, akan terwujud otonomi daerah, yakni hak pemerintah daerah dan masyarakat

untuk mengambil keputusan dan mengimplementasikan kebijakan berdasarkan prakarsa

dan aspirasi masyarakat, serta kemampuan yang dimiliki daerah (lihat Kotak 2). Ini berarti,

secara implisit, mengindikasikan bahwa ruang lingkup otonomi yang dimiliki daerah sangat

ditentukan oleh seberapa jauh kekuasaan yang telah diserahkan oleh pemerintah pusat

kepada pemerintah daerah melalui kebijakan desentralisasi. Penulis mengandaikan

interkoneksi antara kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah sebagai dua sisi mata

uang: antara satu dan yang lain berbeda letak dan status, namun saling mengisi dan

memberi makna.

Page 22: Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Dalam Perspektif State ...old.unas.ac.id/download.php?file=poelitik_v1n12008_SHidayat.pdf · detail pada bagian akhir, setelah terlebih dahulu dilakukan

Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008

22

Diagram 5.

Pendekatan implementasi kebijakan desentralisasi berdasarkan perspektif state-society relation

Selanjutnya, tujuan yang hendak dicapai melalui kebijakan desentralisasi dan otonomi

daerah, antara lain untuk mepertahankan integrasi bangsa, training kepemimpinan

nasional, mempercepat mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, menciptakan

demokratisasi di tingkat lokal, efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan

daerah, dan peningkatan pelayanan publik (lihat Kotak 3). Bila tujuan yang hendak dicapai

Desentralisasi 1) Pengaturan

tentang hubungan kekuasaan pusat dan daerah

2) Pengaturan tentang hubungan keuangan pusat dan daerah

Otonomi Daerah

Hak pemerintah daerah dan masyarakat untuk mengambil keputusan

dan mengimplementasikan

berbagai kebijakan yang telah diambil,

berdasarkan prakarsa, aspirasi, dan

kemampuan yang dimiliki daerah

Tujuan Yang Hendak Dicapai

1. Mempertahankan

integrasi bangsa 2. Training

kepemimpinan nasional

3. Percepatan pencapaian kesejahteraan dan ke-makmuran rakyat

4. Demokratisasi di tingkat lokal

5. Efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan daerah

6. Peningkatan pelayanan publik

• Persepsi para penyelenggara Pemda dan masyarakat tentang Desentralisasi dan Otonomi Daerah

• Perilaku politik para penyelenggara Pemerintahan Daerah

• Kebijakan Partisipasi Masyarakat • Kebijakan Parpol, Kelompok

Kepentingan, Organisasi Kemasyarakatan, dan Media Massa

• Kebijakan Sistem Pemilihan Umum

• Kebijakan Kepegawaian • Kebijakan Pertahanan Keamanan

• Kebiajakan Hubungan Luar Negeri

• Kebijakan Penegakan Hukum • Kebijakan Peningkatan

Kualitas SDM di Daerah • Kebijakan Pengelolaan

Sumber Daya Ekonomi dan Lingkungan

• Kebijakan Investasi • Kebijakan Pertanahan • Kebijakan Peran Wanita • Dan lain sebagainya

• Karakteristik daerah • Kemampuan daerah

(pluralitas lokal)

(1) (2)

(3)

(4)

(5)

Page 23: Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Dalam Perspektif State ...old.unas.ac.id/download.php?file=poelitik_v1n12008_SHidayat.pdf · detail pada bagian akhir, setelah terlebih dahulu dilakukan

Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008

23

tersebut dikaitkan dengan ide rekonstruksi konsep desentralisasi (seperti dikemukakan

pada bagian sebelumnya) maka, tiga tujuan yang disebut pertama tidak lain adalah tujuan

desentralisasi berdasarkan kepentingan nasional, sementara tiga tujuan berikutnya adalah

tujuan desentralisasi berdasarkan kepentingan daerah.

Namur, penting untuk mendapat penekanan bahwa upaya untuk mencapai atau paling tidak

mendekati sejumlah tujuan ideal tersebut tidak mungkin terlaksana bila hanya bertumpu

pada kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah semata tanpa terkait dan didukung oleh

kebijakan-kebijakan pada bidang lain. Sebagai ilustrasi: apakah mungkin keinginan untuk

mewujudkan demokratisasi di tingkat lokal, misalnya, dapat tercapai dengan hanya

bertumpu pada kebijakan pengaturan hubungan kekuasaan pusat-daerah, tanpa terkait dan

didukung oleh kebijakan bidang partai politik, organisasi kemasyarakatan (Ormas), peran

press, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan sistem Pemilihan Umum? Demikian juga

halnya dengan keinginan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mustahil

terwujud bila hanya didasarkan pada kebijakan pengaturan hubungan keuangan pusat-

daerah, tanpa terkait dan didukung oleh kebijakan bidang investasi, pengelolaan sumber

daya Alam, dan lain sebagainya.

Argumentasi yang ingin ditegaskan di sini adalah: untuk dapat mewujudkan tujuan ideal

kebijakan desentralisasi, maka pada tingkat implementasi ia harus terkait dan didukung

oleh kebijakan-kebijakan pada bidang lain. Itulah sebabnya mengapa pada skema alur

pendekatan holistik di atas, kebijakan pada bidang lainnya tersebut diberi status sebagai

intervening variables (variabel antara) (lihat Kotak 4). Dengan status ini, secara eksplisit

ditunjukkan bahwa keberadaan kebijakan bidang-bidang lain dapat berperan sebagai

varibel pendukung atau penghambat bagi pencapaian tujuan ideal desentralisasi (lihat

Kotak 3).

Faktor lain yang penting diperhitungkan dalam implementasi kebijakan desentralisasi

adalah karakteristik, potensi, dan kekhususan-kekhususan yang dimiliki masing-masing

daerah (lihat Kotak 5). Kebijakan desentralisasi yang ideal adalah jika penyerahan

kekuasaan kepada daerah disesuaikan dengan karakteristik dan kemampuan nyata masing-

masing daerah. Ini berarti, jumlah dan ruang lingkup kekuasaan yang diserahkan tidak

harus sama antara daerah satu dengan yang lain. Proses penyerahan kekuasaan seyogianya

dilakukan secara bertahap, disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan masing-masing

daerah.

Page 24: Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Dalam Perspektif State ...old.unas.ac.id/download.php?file=poelitik_v1n12008_SHidayat.pdf · detail pada bagian akhir, setelah terlebih dahulu dilakukan

Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008

24

Catatan Penutup

Bila substansi rekonstruksi konsep dan pendekatan implementasi kebijakan desentralisasi

berdasarkan perspektif state-society relation di atas disimak kembali, akan terlihat jelas

bahwa, pada tataran konseptual, nuansa rekonstruksi tersebut ditunjukkan antara lain oleh

status desentralisasi, yang secara tegas diartikulasi hanya sebagai salah satu sarana (bukan

tujuan akhir) untuk mendekatkan state kepada society. Lebih jauh, nuansa rekonstruksi

koseptual tersebut juga diindikasikan oleh rumusan definisi dan tujuan desentralisasi.

Walaupun dalam hal ini formulasi definsi desentralisasi yang diajukan terlihat lebih

merujuk pada perspektif desentralisasi politik, dengan tekanan pada aspek penyerahan

kekuasaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, namun dalam formulasi

tujuan yang hendak dicapai tidak mendikotomikan antara tujuan menurut konsep

desentralisasi politik dan desentralisasi administrasi.

Bagi perspektif state-society relation, baik tujuan politik maupun tujuan administrasi

adalah sama penting. Perbedaan lebih terletak pada metode dan tekanan prioritas untuk

mencapai tujuan. Itulah sebabnya tujuan desentralisasi pada rekonstruksi konseptual yang

dibangun lebih diformulasikan menurut kepentingan nasional dan daerah. Dari sisi

kepentingan nasional, tujuan desentralisasi meliputi, antara lain, memperkuat integrasi

bangsa; training bagi calon-calon pemimpin nasional; dan percepatan pencapaian

kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Sedangkan dari sisi kepentingan daerah, tujuan

desentralisasi meliputi, antara lain mewujudkan demokratisasi di tingkat local;

meningkatkan pelayanan publik; serta menciptakan efisiensi dan efektifitas

penyelenggaraan pemerintahan.

Tujuan yang disebut pertama (tujuan secara nasional) perlu medapat penekanan, karena

dalam praktik desentralisasi di Indonesia sejauh ini, tujuan tersebut belum dirumuskan

secara eksplisit, baik pada tataran konsep maupun pada tingkat kebijakan. Implikasinya,

antara lain, pelaksanaan kebijakan desentralisasi sering dikaitkan dengan kekuaatiran

terancamnya integrasi bangsa. Kecenderungan ini dimengerti, karena apabila tujuan

desentralisasi berdasarkan kepentingan nasional tersebut dikonkritkan pada level konsep

dan kebijakan akan mempersempit ruang gerak rezim yang berkuasa untuk melakukan

‘diskresi desentralisasi’, yaitu memanipulasi konsep dan kebijakan desentralisasi guna

membelenggu daerah. Saat ini, menurut hemat penulis, sudah waktunya bagi kita untuk

memutus rentang sejarah panjang praktek ‘diskresi desentralisasi’ tersebut melalui

reformulasi tujuan desentralisasi.

Pada tataran pendekatan kebijakan, nuansa rekonstruksi yang mesti dilakukan, antara lain,

tercermin dari pilihan terhadap pendekatan holistik sebagai model implementasi kebijakan

Page 25: Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Dalam Perspektif State ...old.unas.ac.id/download.php?file=poelitik_v1n12008_SHidayat.pdf · detail pada bagian akhir, setelah terlebih dahulu dilakukan

Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008

25

desentralisasi. Dengan pendekatan ini, implementasi kebijakan desentralisasi tidak dapat

berdiri sendiri, tetapi harus terkait dan sejalan dengan kebijakan-kebijakan pada bidang

lain. Selain itu, implementasi kebijakan desentralisasi juga harus tidak mengabaikan

karakteristik masing-masing daerah.

Ide dasar dari rekonstruksi pendekatan desentralisasi secara holistik mengisyaratkan bahwa

persoalan hubungan pusat-daerah tidak dapat diselesaikan secara parsial, dengan hanya

mengutak-atik kebijakan tentang desentralisasi (pengaturan hubungan kekuasaan dan

keuangan pusat-daerah) dan kebijakan otonomi daerah, tetapi juga menghendaki perbaikan

kebijakan pada bidang-bidang lain. Ini adalah pekerjaan besar yang membutuhkan banyak

energi dan waktu. Namun tidak berarti mustahil diwujudkan. Dibutuhkan, antara lain,

komitmen politik (tidak cukup hanya keinginan politik [political will]) dan konsistensi

dalam aksi.

Page 26: Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Dalam Perspektif State ...old.unas.ac.id/download.php?file=poelitik_v1n12008_SHidayat.pdf · detail pada bagian akhir, setelah terlebih dahulu dilakukan

Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008

26

Daftar Pustaka

Alagappa, Muthiah (1995) Political Legitimacy in Southeast Asia, California: Stanford University Press.

Anderson, B. (1983) Old State, New Society: Indonesia’s New Order in Comparative Historical Perspective, Journal of Asian Studies, Vol. XLII, no.3 (May).

AntlOv, Hans (1998), Federation-of-intent in Indonesia, 1945-49, Makalah dalam International Conference Toward Srtuctural Reforms for Democratizoation in Indonesia; Problems and Prospects yang diselenggarakan oleh Center for Political Studies – Indonesia Institute of Sciences and The Ford Foundation di Jakarta tanggal 12-14 Agustus

Bums, Danny, Robin Hambleton, and Paul Hoggett (1994), The Politics of Decentralisation – Revitalising Local Democracy, London: MacMillan

Cheema G. Shabbir & Dennis A. Rondinelli (1983), Decentralization and Development Policy Implementation in Developing Countries. Beverly Hills/London/New Delhi : sage publications

Conyer, D (1986) Decentralisation and Development: A Framework for Analysis, Community Development Journal, Vol. 21, no.2.

Conyers, D (1984) Decentralization and Development: a Review of the Literature, Public Administration and Development, Vol. 4.

Conyers, D. (1983) Decentralization: The Latest Fashion in Development Administration? Public Administration and Development, Vol. 3.

Dahl, R.A. (1981) The City in the Future of Democracy, in L.D. Feldman (ed) Politics and Government of Urban Canada, London: Methuen.

Dahl, Robert A. & Charles E. Linblom (1953), Politics, Economics and Welfare, New York: Harper and Bros

Davey, K. (1989) Central-Local Financial Relations, in Devas, N. (ed) (1989) Financing Local Government in Indonesia. Ohio: Ohio University Center for International Studies, Monographs in International Studies, Southeast Asian Series No. 84.

Devas, N. (1989) Local Government Finance in Indonesia: An Overview, in Devas, N. (ed) (1989) Financing Local Government in Indonesia. Ohio: Ohio University Center for International Studies, Monographs in International Studies, Southeast Asian Series No. 84.

Devas, N. (1997) Indonesia: What do we mean by decentralisation? Public Administration and Development, Vol. 17 (pp.351-367).

Elazar, Daniel J. (ed)(1981), Federal System Of The World, Harlow, Essex : Longman Group Emerson, D (1978) The Bureaucracy in Political Context: Weakness in Strength, in Jackson,

K.D. & Pye, L.W. (eds) Political Power and Communications in Indonesia, Berkeley: University of California Press.

Emerson, D(1983) Understanding the New Order: Bureaucratic Pluralism in Indonesia, Asian Survey, Vol. XXIII, no.11 (November).

Evans, Marks (1995), “Elitism”, dalam Marash, D. and Stoker, G. (eds), Theory and Methods in Political Science, London: Macmillan Press.

Fesler, J.W.(1965), “Approaches to the Understanding of Decentralization”, Journal of Politics, Vol. 27 No. 4

Fried, Robert C (1963),. The Italian Prefect : An Administration Political Analisys : Yale University Press

Gramsci, A. (1971), Selections from the Prison Notebooks of Antonio Gramsci, London: Lawrence & Wishart.

Griffin, K. (1981), “Economic Development in a Changing World”, World Development, 9 (3)

Grindle, M. and Thomas, J. (1989), “Policy Makers, Policy Choices, and Policy Outcomes: The Political Economy of Reform in Developing Countries”, Policy Science, No. 22.

Gunlicks, A.B. (ed) (1981) Local Government Reform and Reorganization: An International Perspective, London: National University Publication, Kennikat Press.

Halligan, John and Chris Aulich (1998), “Reforming Australian Gavernment: Impact and Implications for Local Public Administration” dalam Reforming Gavernment: New Concepts and Practices in Local Public Administration, Tokyo: EROPA Local Government Center

Hart, David K. (1976), Theories of government Related to Decentarlization and Citizen Participation”, Public Adminstration Review, January/February,

Page 27: Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Dalam Perspektif State ...old.unas.ac.id/download.php?file=poelitik_v1n12008_SHidayat.pdf · detail pada bagian akhir, setelah terlebih dahulu dilakukan

Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008

27

Jackson, K.D. & Pye, L.W (eds) (1978) Political Power and Communications in Indonesia, Berkeley: University of California Press.

Jessop, B. (1985), Nicos Poulantzas: Maxist Theory and Political Strategy, London: Macmillan

Kasfir N. (1987) Designs and Dilemmas: An Overview, in Mawhood, P. (ed) (1983) Local Government in The Third World: The Experience of Tropical Africa, Chichester: John Wiley & sons.

King, D. Y. (1982a) Indonesia’s New Order as a Bureaucratic Polity, a Neopatrimonial Regime, or Bureaucratic Authoritarian Regime: What Difference Does it Make? in Anderson, B & Kahin, A. (eds) Interpreting Indonesian Politics: Thirteen Contributions to the Debate, Ithaca: Cornell Modern Indonesia Project.

King, D.Y. (1988) Civil Service Policies in Indonesia: an Obstacle to Decentralisation? Public Administration and Development, Vol. 8, No.3.

Kuntjara-Jakti, D. (1981) The political economy of development: The case of Indonesia under the New Order Government, 1966-1978, Berkeley: University of California (PhD Thesis).

Laski, H. (1931) A Grammar of Politics, London: Allen & Unwin. Leemans, A.F. (1970), Changing Pattems of Local Government, The hague, IULA Liddle, R. W (1987) The Politics of Shared Growth: Some Indonesian Cases, Comparative

Politics, vol. 19, no.2 (January). Linz, J. Juan (1998),. “Democracy, Multinationalism, and Federalism” paper presented

International Conference TOWARDS STRUCTURAL REFORMS FOR DEMOCRATIZATION IN INDONESIA: PROBLEMS AND PROSPECTS, held by Center for Political and Regional Studies Indonesian Institute Of Scinces and The Ford Foundation, Jakarta, August, 12-14

Maas, Arthur, (ed) (1959), Area and Power : A Theory of Local Government, Glencoe, Illinois: The Free Press

MacIntyre, A. (1992) Business and Politics in Indonesia, New South Wales: Asian Studies Association of Australia in association with Allen & Unwin.

Maddick, Henry (1963), Democracy, Decentralization and Development, London: Asia Publisihing House

Marash, D. and Stoker, G. (eds) (1995) Theory and Methods in Political Science, London: Macmillan Press.

Mariategui, J.C., (1952), Siete Ensayos de Interpretacion de la Realidad Peruana, Lima: Amauta Editorial.

Mathur, K. (1983) Administrative Decentralisation in Asia, in Cheema, G.S. and Rondinelli, D.A. (eds) (1983) Decentralisation and Development: Policy Implementation in Developing Countries, Beverly Hills: Sage.

Mawhood P. (ed) (1987) Local Government in The Third World: The Experience of Tropical Africa, Chicheser: John Wiley & Sons.

Michel, R. (1962), Political Parties, New York: Free Press Morfit, M. (1986) Strengthening the Capacities of Local Government: Policies and

Constraints, in MacAndrew (ed) Central Government and Development in Indonesia, Singapore: Singapore University Press.

Mosca, G. (1939), The Ruling Class, New York: McGraw Hill Muthalib, MA & Mohd. Akbar Ali Khan (1982), Theory of Local Government , New Delhi:

Starling Publisher Private Limited Ostrom, Vincent (1991), The Mining of American Federalism: Constituting Self-Governing

Society, San Francisco: ICS Press. Pareto, V. (1966), Sociological Writings, London: Pall Mall Parson, T. et al. (eds) (1961) Theories of Sociology, Glencoe: The Free Press. Poulantzas, N. (1974), Political Power and Social Classes, London: New Left Books Poulantzas, N. (1978), State Power and Socialism, London: Verso Robison, R. (1988) Authoritarian States, Capital-Owning Classes and the Politics of Newly

Industrialising Countries: the Case of Indonesia, World Politics, Vol. XLI, No.1, October.

Rondinelli, D.A. (1990) Decentralisation, Territorial Power and the State: A Critical Response, Development and Change, Vol. 21 (pp.491-500).

Rondinelli, D.A. et al (1989) Analyzing Decentralization Policies in Developing Countries: a Political-Economy Framework, Development and Change, Vol. 20, No.1.

Page 28: Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Dalam Perspektif State ...old.unas.ac.id/download.php?file=poelitik_v1n12008_SHidayat.pdf · detail pada bagian akhir, setelah terlebih dahulu dilakukan

Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008

28

Rondinelli, Dennis A., John R. Nellis & G. Shabbir Cheema (1983),Decentralization in Developing Countries: A Review of Recent Experience, Washington D.C.: The World Bank

Ruland, J. (1993) Urban Development in Southeast Asia: Regional Cities and Local Government, Boulder: Westview Press.

Samoff, J. (1990) Decentralization: The Politics of Interventionism, Development and Change, Vol. 21, No.3.

Schmitter, P. (1974), “Still the Century of Corporatism”, Review of Politics, No. 36, pp. 85-131.

Sharpe, L.J. (1981) Theories of Local Government, in L.D. Feldman (ed) Political and Government of Urban Canada, London: Methuen.

Skocpol, T. (1985), “Bringing the State Back In: Strategies of Analysis in Current Research’, dalam P.B. Evans, D. Rieschemeyer and Teda Skocpol, Bringing the State Back In, Cambridge: Cambridge University Press.

Slater, D and Watson, J (1989) Democratic Decentralization or Political Consolidation: The Case of Local Government Reform in Karnataka, Public Administration and Development, Vol. 9.

Slater, D. (1989) Territorial Power and The Peripheral State: issue of Decentralization, Development and Change, Vol. 20, No.3.

Slater, D. (1990) Debating Decentralisation: A Reply to Rondinelli, Development and Change, Vol. 21 (pp.501-512).

Smith, B.C. (1963), Field Administration: An Aspect of Decentralization, London: Asia Publishing House, 1963.

Smith, B.C. (1981) The Powers and Functions of Local Government in Nigeria 1966-1980, International Review of Administrative Sciences, Vol. 47, No.4.

Smith, B.C. (1985), Decentralization: The Territorial Dimension of The State. London: Asia Publishing House

Smith, B.C. (1986) Spatial Ambiguities: Decentralisation within the State, Public Administration and Development, Vol. 6 (pp.455-465).

Smith, Martin (1995), “Pluralism”, dalam Marash, D. and Stoker, G. (eds), Theory and Methods in Political Science, London: Macmillan Press.

Stoker, Gerry (1990), The Politics of Local Government, London: MachMillan Stepan, A. (1978), The State and Society: Peru in Comparative Perspective: Princeton:

Princeton University Press. Taylor, George (1995), “Maxism”, dalam Marash, D. and Stoker, G. (eds), Theory and

Methods in Political Science, London: Macmillan Press. Weare, K.G. (1963), Federal Government, London: Oxford University Press Werlin, Herbert H. (1970), “Elasticity of Control: An Analysis of Decentralization”, Journal

of Comparative Administration. Vol 2 Yluisker, P (1959) Some Criteria for a Proper Aerial Division of Government Power, in A.

Maas (ed) Aerial Power: A Theory of Local Government, New York: The Free Press. Zolberg, Aristide R. (1996), Creating Political Order, Chicago: Rand McNally