Top Banner
1 DESAIN WILAYAH PENGATURAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA; INTERPRETASI TERHADAP PASAL 29 UUD 1945 SEBAGAI FUNDAMEN YURIDIS A. Ridho Abstract Indonesian society has been longing state guarantee on religious peace and tolerance. Although, Indonesian government has issued numerous rules to guarantee it, the rules itself sometime contradict with human rights and justice values. The government is considered has lack of understanding to implement constitution mandate especially “pasal” 29. Thus, in order to address this issue, the writer offers designated area which the state should intervene on it : (1). Restriction For The Protection of Public Safety; (2). Restriction For The Protection of Public Order; (3). Restriction For The Protection of Public Health; (4). Restriction For The Protection of Morals; (5). Restriction For The Protection of The Fundamental Rights and Freedom of Others. Furthermore, the religious communities is also urged to build degree in agreement concept towards religious peace and tolerence. The yuridis foundation to implement this policy is based on interpretation of article 29 of constitution 1945. Keyword: freedom of religion and tolerance, regulation, state, government Latar Belakang Masalah Problem kerukunan dan kebebasan beragama sering kali menjadi hal yang menarik untuk diperbincangkan. Meski bukan tema baru dan sudah sering dibahas pada diskusi, seminar, konferensi, maupun di artikel atau buku, tetapi persoalan kerukunan dan kebebasan umat beragama senantiasa perlu kembali disegarkan dan terus-menerus disosialisasikan. Urgensi penyegaran dan sosialisasi itu disebabkan konflik antar umat beragama dan intern umat beragama di Indonesia khususnya, dan di dunia pada umumnya sampai saat ini masih terus terjadi tanpa kejelasan akhir episodenya. Padahal dimensi kerukunan dan kebebasan antar umat beragama bisa menjadi fundamen dalam menyelaraskan agenda-agenda kemanusiaan seperti memberantas kemiskinan, memerangi kebodohan, mencegah korupsi, membentuk pemerintahan yang bersih, serta memajukan bangsa. Melalui kerjasama antar pemeluk agama yang baik, bisa melahirkan konsensus besar dalam bernegara, contoh nyata adanya kolaborasi antar agama yang baik adalah dengan lahirnya ideologi negara Indonesia berupa Pancasila. DRAFT
20

Desain Pengaturan Kebebasan Beragama di Indonesia

Jan 13, 2023

Download

Documents

Ali Rido
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Desain Pengaturan Kebebasan Beragama di Indonesia

1

DESAIN WILAYAH PENGATURAN KEBEBASAN BERAGAMA DI

INDONESIA; INTERPRETASI TERHADAP PASAL 29 UUD 1945

SEBAGAI FUNDAMEN YURIDIS

A. Ridho

Abstract

Indonesian society has been longing state guarantee on religious peace and tolerance.

Although, Indonesian government has issued numerous rules to guarantee it, the rules

itself sometime contradict with human rights and justice values. The government is

considered has lack of understanding to implement constitution mandate especially

“pasal” 29. Thus, in order to address this issue, the writer offers designated area which

the state should intervene on it : (1). Restriction For The Protection of Public Safety; (2).

Restriction For The Protection of Public Order; (3). Restriction For The Protection of

Public Health; (4). Restriction For The Protection of Morals; (5). Restriction For The

Protection of The Fundamental Rights and Freedom of Others. Furthermore, the

religious communities is also urged to build degree in agreement concept towards

religious peace and tolerence. The yuridis foundation to implement this policy is based on

interpretation of article 29 of constitution 1945.

Keyword: freedom of religion and tolerance, regulation, state, government

Latar Belakang Masalah

Problem kerukunan dan kebebasan beragama sering kali menjadi hal yang

menarik untuk diperbincangkan. Meski bukan tema baru dan sudah sering dibahas

pada diskusi, seminar, konferensi, maupun di artikel atau buku, tetapi persoalan

kerukunan dan kebebasan umat beragama senantiasa perlu kembali disegarkan

dan terus-menerus disosialisasikan. Urgensi penyegaran dan sosialisasi itu

disebabkan konflik antar umat beragama dan intern umat beragama di Indonesia

khususnya, dan di dunia pada umumnya sampai saat ini masih terus terjadi tanpa

kejelasan akhir episodenya. Padahal dimensi kerukunan dan kebebasan antar umat

beragama bisa menjadi fundamen dalam menyelaraskan agenda-agenda

kemanusiaan seperti memberantas kemiskinan, memerangi kebodohan, mencegah

korupsi, membentuk pemerintahan yang bersih, serta memajukan bangsa. Melalui

kerjasama antar pemeluk agama yang baik, bisa melahirkan konsensus besar

dalam bernegara, contoh nyata adanya kolaborasi antar agama yang baik adalah

dengan lahirnya ideologi negara Indonesia berupa Pancasila.

DRAFT

Page 2: Desain Pengaturan Kebebasan Beragama di Indonesia

2

Kebebasan beragama dalam kacamata Hak Asasi Manusia (HAM)

mempunyai posisi yang kompleks.1 Sering dipandang sebagai fasilitator bagi

kepentingan proteksi manusia sebagai homo sapiens, dan memungkinkan manusia

mengembangkan kepribadian intelektual dan moralnya sendiri, menentukan sikap

terhadap kekuatan-kekuatan alam dan supranatural, serta membentuk

hubungannya dengan sesama makhluk. Dalam konfigurasi ketatanegaraan,

kebebasan beragama mempunyai posisi yang penting juga. Sejumlah besar

kegiatan keagamaan manusia dilindungi oleh pasal-pasal mengenai kebebasan

beragama, kebebasan berekspresi, dan kebebasan politik. Pasal 29 Undang-

undang Dasar (UUD) 1945 menjadi pengejewantahan konkrit atas garansi

kebebasan beragama dan memiliki semangat terbangunnya kondisi rukun antar

pemeluk agama.

Namun demikian, kebebasan beragama menemukan jantung “persoalan” yang

utama ketika berhadapan dengan entitas negara. Sejumlah persoalan yang

menyangkut kebebasan beragama bermunculan mulai dari kekerasan berbasis

agama,2 pelarangan ajaran-ajaran tertentu,

3 sampai kepada kriminalisasi terhadap

mereka yang dianggap sesat dalam aktivitas keagamaannya.4 Padahal pesan dalam

pasal 29 UUD 1945 sesungguhnya mengamanatkan Negara untuk menjamin

kemerdekaan memeluk agama, dan pemerintah berkewajiban melindungi

penduduk dalam melaksanakan ajaran agama dan ibadah, sepanjang tidak

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, tidak menyalahgunakan atau

menodai agama, serta tidak mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum.

Di lain pihak, konteks Pasal 29 terkait dimensi apa saja yang layak untuk

dilindungi oleh Negara (pemerintah) menemui titik ambivalensi. Negara seolah

gamang dalam menafsirkan Pasal 29 UUD 1945, akibatnya muncul berbagai

1 Ifdhal Kasim, Hak Sipil dan Politik: Esai-Esai Pilihan, (Jakarta: Lembaga Studi dan

Advokasi Masyarakat (ELSAM)), 2001, hlm. 238-239. 2 Lihat misalnya tulisan Abd A‟la, Kekerasan Atas Nama Agama, Kompas, 14 Oktober 1999,

hlm. 4-5. 3 Abdul Aziz Dahlan, Pengajaran tentang tuhan dan Alam: Paham Tawhid Ibn’ Arabi dalam

Jurnal Ulumul Qur‟an, No. 5, Vol. IV, Tahun 1993, hlm. 83-84. 4 Lihat kasus-kasus di Indonesia khususnya kurun 1998-sekarang, antara lain Kasus Lia

Amminuddin dan Ahmad Mashaddeq.

Page 3: Desain Pengaturan Kebebasan Beragama di Indonesia

3

kebijakan yang kontraproduktif dan menjadikan perdebatan serta memunculkan

konflik horizontal. Pasal 31 Undang-undang (UU) Nomor 20 tahun 2003 tentang

Sistem Pendidikan Nasional bisa dijadikan representasi terhadap adanya semangat

membatasi hak beragama dengan persepsi lima agama resmi. Kemudian disusul

beberapa ketentuan dalam UU Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi

Kependudukan juga menjadi bukti sahih adanya penghilangan hak sispil terhadap

warga Negara yang menganut agama di luar “lima agama yang di urus” yaitu

Islam, Kristen, katolik, Hindu, Budha, dan Khonghucu. Disusul kemudian

Peraturan pemerintah (PP) RI Nomor 55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Agama

Dan Pendidikan Keagamaan, pasal 9 ayat 1 menjadi contoh paling kentara bahwa

pendidikan keagamaan hanya meliputi pendidikan keagamaan Islam, Kristen,

katolik, Hindu, Budha, dan Khonghucu.

Fakta diatas jelas telah memberikan gambaran kontradiktif terhadap tujuan

Negara, sesuai dengan semangat yang digelorakan oleh Aristoteles bahwa negara

memiliki tujuan meneyelenggarakan kehidupan yang lebih baik. Apabila

kemudian dikorelasikan dengan tujuan negara hukum, yaitu untuk mewujudkan

keamanan, keadilan, kepastian, dan kesejahteraan nampaknya fakta diskrimnasi

yang dilakukan oleh pemerintah di atas sangat jauh dari idealisme tujuan negara

hukum tersebut. Oleh karenan itu, menjadi keharusan bahwa kewajiban, tugas dan

tanggung jawab negara harus direposisi. Dengan kata lain kebijakan-kebijakannya

harus diselaraskan dengan Pasal 29 UUD dan berbagai ketentuan lain dalam

UUD. Sehingga pemerintah dalam memberikan bimbingan dan pelayanan kepada

warga negara untuk melaksanakan ajaran agamanya dapat berlangsung dengan

rukun, lancar dan tertib, baik intern maupun antar umat beragama.

Rumusan masalah yang hendak dibangun oleh penulis adalah bagaimana

desain atau dimensi pengaturan agama yang baik bedasarkan tafsir Pasal 29 UUD

1945?, dan bagaiaman mindset yang harus dibangun oleh pemeluk agama dalam

tataran prularitis kehidupan beragama?. Melalui kedua rumusan tersebut,

harapannya dapat meghasilkan output yang bermanfaat bagi upaya kehidupan

Page 4: Desain Pengaturan Kebebasan Beragama di Indonesia

4

berbangsa dan benegara yang berkeadilan dan terbangunnya pola interaksi

harmonis antar pemeluk agama di Indonesia.

Tafsir Pasal 29 UUD 1945

Ketentuan pasal 29 menyebutkan negara berdasarkan atas ke-Tuhanan Yang

Maha Esa, negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk

agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan

kepercayaannya itu.5 Pasal ini merupakan pasal landasan beragama dan kebebasan

menjalankan rutinitas beribadah berdassarkan keyakinan masing-masing individu.

Sekilas memang pasal tersebut memberikan jaminan kebebasan tanpa syarat

dalam menjalankan aktifitas ibadah secara normal. Bahkan pasal tersebut nampak

begitu netral tanpa „tendensi‟ yang melingkupinya. Soekarno, salah satu

thefounding fathers mengamanatkan agar pasal 29 merupakan pasal yang harus

menjadi dasar kehidupan hukum di bidang keagamaan.6

Amanat dalam Pasal 29 kemudian memucnulkan berbagai tafsir oleh banyak

pihak, Achmad Syaichu salah satu seorang anggota sidang Konstituante 1959,

memahami bahwa pernyataan di atas berarti dapat diciptakan pula perundang-

undangan bagi para pemeluk agama Islam. Berbeda dengan Syaichu, Hazairin

menafsirkan pasal 29 ayat 1 adalah sebagai berikut :

Dalam negara RI tidak boleh terjadi atau berlaku sesuatu yang bertentangan

dengan kaidah-kaidah agama yang dianut umat beragama di Indonesia.

Negara RI wajib menajalankan syariat bagi masing-masing agama sesuai

dengan syariatnya. Syariat yang tidak memerlukan bantuan kekuasaan Negara

untuk menjalankan dan karena itu dapat berdiri sendiri, dijalankan oleh setiap

pemeluk agama yang bersangkutan, menjadi kewajiban pribadi terhadap

Allah bagi setiap orang itu, yang dijalankannya sendiri-sendiri.7

Uraian interpretasi Hazairin sesunguhnya untuk memperjelas hubungan

antara agama, hukum dan negara, yaitu negara hanya bertugas menjamin

kerukunan umat beragama untuk melaksanakan peribadatannya. Sedangkan

5 Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.

6 Prawoto Mangkusasmito, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Neagara dan Sebuah

Proyeksi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), hlm. 12. Sebagaimana dikutip dalam Jazim Hamidi dan

Husnu Abadi, Intervensi Negara Terhadap Agama, (Yogyakarta: UII Press, 2001), hlm. 116. 7 Hazairin, Demokrasi Pancasila, (Jakarta: Tintamas, 1973), hlm. 18-19.

Page 5: Desain Pengaturan Kebebasan Beragama di Indonesia

5

mengenai keabsahan peribadatan suatu agama diserahkan kepada masing-masing

institusi agama yang mempunyai legitimasi untuk hal itu. Namun sedikit berbeda

jika melihat argumentasi Irfan S. Awwas yang menyimpulkan bahwa Pasal 29

ayat 2 mengandung makan,8 pertama, di negara Indonesia yang berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa tidak boleh ada aturan yang bertentangan dengan

agama. Kedua, negara RI wajib melaksanakan syari‟at Islam bagi umat Islam,

syari‟at nashrani bagi nashrani dan seterusnya, sepanjang pelaksanaannya

memerlukan bantuan kekuasaan negara. Ketiga, setiap pemeluk agama wajib

menjalankan syari‟at agamanya secara pribadi dalam hal-hal yang tidak

memerlukan bantuan kekuasaan negara.

Selain menafsirkan ayat 1 pasal 29, Hazairin juga menafsirkan ayat keduanya,

ia menyatakan bahwa ayat 2 dalam pasal 29 memberikan arti bahwa negara tidak

menjamin kebebasan bergerak bagi atheisme dan akan mengawasi dan menuntun

pihak-pihak yang masih berkepercayaan animisme, polytheisme dan lain-lain

bentuk takhayul.9 Terlihat dari tafsiran tersebut bahwa tugas Negara selain

menjamin dan melindungi kebebasan beragama warga negaranya, secara implisit

Negara juga memiliki tanggung jawab untuk menjadi guidance warga negaranya

kepada jalan atau agama yang berketuhanan yang maha esa. Dengan kata lain

negara ditugaskan untuk menyadarkan mereka yang „menyimpang‟ dari ajaran

ajaran yang tidak bersendikan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.

Menyinggung tentang arti kepercayaan yang tercantum dalam pasal 29 UUD

1945, maka mengandung makna semangat untuk memberikan kebebasan

beribadat yang seluas-luasnya, termasuk bagi kebatinan dalam segala bentuk dan

isinya seperti yang diistilahkan kebatinan, kejiwaan dan kerohanian.10

Sehingga

kepercayaan yang maksud adalah kepercayaan yang menunjukan kepercayaan

bangsa Indonesia adalah satu agama. Dengan kata lain kepercayaan yang

8 Irfan S. Awwas, Mengatasi Kekerasan Sosial dan Politik Tanpa Kriminalisasi Agama,

Makalah disamapakan dalam seminar dan Forum Group Discussion yang diselenggarakan oleh

Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB) bekerjasama Center for Islamic Studies UII,

Yogyakarta 6 Februari 2011. 9 Hazairin, op. cit..., hlm. 25-26.

10 Ruyandi, Masalah Kepercayaaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, (Jakarta: Departemen

P dan K Dirjen Kebudayaan Direktorat PPK, 1985), hlm. 63-64.

Page 6: Desain Pengaturan Kebebasan Beragama di Indonesia

6

dimaksud adalah yang sifatnya sejajar atau setingkat dengan agama.11

Sementara

Syafi‟i Ma‟arif mengartikan “Ketuhanan yang Maha Esa” tidak lain identik

dengan prinsip tauhid yang berhubungan secara organik dengan prinsip-prinsip

keadilan, persamaan, kebebasan, persaudaraan, dan musyawarah.12

Inti pendapat

ini sejatinya antara agama dan negara tidak bisa saling memisahkan diri.

Keduanya saling melengkapi sebagai motor penggerak untuk melakukan karya

sosial.

Frasa „dan kepercayaannya‟ dalam pasal 29 ayat 2 sesungguhnya hendak

mengatakan bahwa yang dijamin oleh negara adalah semua agama dan aliran

kepercayaan yang ada di negeri ini. Meski kepercayaan yang diusung saat itu

adalah kepercayaan dalam arti kejawen, tetapi kepercayaan ini masih sangat lentur

dan elastis untuk dilebarkan pada berbagai bentuk kepercayaan di luar kejawen.13

Sehingga sebagai seorang penganut kepercayaan, tentu ia ingin agar

kepentingannya bisa diakomodir oleh konstitusi. Lepas dari itu, spirit mufasir

diatas sesungguhnya menghendaki adanya jaminan hukum yang fair dan adil

dalam kehidupan beragama di Indonesia. Sehingga dimensi diskriminatif harus

11

Rachmat Subagyo, Kepercayaan dan Agama, (Yogyakarta: Kanisius), 1995, hlm. 98. 12

Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi Tentang Percaturan dalam

Konstituante, (Jakarta: LP3ES, 1985), hlm. 152. 13

Tedi Kholiluddin, Kuasa Negara Atas Agama, Politik Pengakuan, Diskursus “Agama

Resmi’ dan Diskriminasi Hak Sipil, (Semarang: Rasail, 2009), hlm. 280. Munculnya Pasal 29 ayat

2 apabila dilacak hotorisnya tidak lain karena usulan dari Wongsonegoro, salah satu pembuat

Risalah Badan Penyelidikan Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Ia

memberikan tambahan terhadap Pasal 29 ayat 2 dengan kata-kata „dan kepercayaannya‟ antara

agamanya dan masing-masing”. Wongsonegoro yang memiliki nama lengkap Mr. Kanjeng Raden

Mas Temengung Wongsonegoro adalah Bupati Sragen yang lahir di Solo 20 April 1897, riwayat

organisasinya selalu memiliki keterkaitan dengan budaya jawa. 1920 dan 1932 ia di daulat menjadi

ketua perkumpulan kebudayaan Krido Wantjoyo Solo. Sempat juga menjadi ketua Boedi Oetomo

Cabang Solo pada 1923-1924, dan pada 1942 Wongsonegoro menjadi ketua pekumpulan

kebudayaan Mardi Boedojo Sragen. Sejarah juga mencatat, bahwa ia pernah menjabat sebagai

ketua Badan Kongres Kebatinan Indonesia (BKKI). Dari uraian historis itu, jelas bahwa

Wongsonegoro adalah seorang penganut aliran kebatinan, kepercayaan alias kejawen. Ini artinya

ketika Wongsonegoro mengusulkan nama “kepercayaan” agar masuk dalam konstitusi pada 13

Agustus 1945, ia sungguh berada dalam kesadaran penuh bahwa ia adalah seorang kejawen. Maka

hal yang wajar jika ada kepentingan ideologis dibalik usulan tersebut. Lihat Safroedin Bahar dan

Nannie Hudawati, Risalah Badan Penyelidikan Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia

(BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), (Jakarta: Sekretarian Negara

Republik Indonesia, 1998), hlm. 248 dan 517.

Page 7: Desain Pengaturan Kebebasan Beragama di Indonesia

7

dieliminir oleh pemangku kebijakan dalam merumuskan aturan-aturan organik

tentang kehidupan beragama.

Tawaran Konsep Kebebasan Beragama (Berkeyakinan) Ala MK

Mahkamah Konstitusi sebagai guardian constitution dan penafsir konstitusi

telah berupaya memberikan batasan atas konsep kebabasan

beragama/berkeyakinan. Sebelumnya, putusan tersebut merupakan konsekuensi

atas judicial review UU No. 1/PNPS/1965 yang diajukan oleh beberapa LSM dan

tokoh agama, seperti Imparsial dan KH Abdurahman Wahid. Dalam judicial

review inilah MK menjawab argument hukum penolakan judicial review UU

Penodaan Agama dengan kalimat sebagai berikut:

......bahwa dari sudut pandang HAM, kebebasan beragama yang diberikan

kepada setiap manusia bukanlah merupakan kebebasan yang bebas nilai dan

kebebasan an sich, melainkan kebebasan yang disertai dengan tanggung

jawab sosial untuk mewujudkan HAM bagi setiap orang.14

Kemudian secara jelas putusan atas penolakan yang sempat menimbulkan

kontroversi tesebut juga dapat disimpulkan sebagai berikut :15

1. Bahwa pasal-pasal penodaan agama harus dilihat juga dari aspek

filosofisnya sehingga tidak semata-mata dilihat dari aspek yuridisnya

saja. Aspek filosofisnya bertujuan menempatkan kebebasan

beragama/berkeyakinan dalam perspektif ke-Indonesia. Praktik

kebebasan/berkeyakinan di Indonesia menempatkan aspek preventif

sebagai pertimbangan utama dalam suatu masyarakat yang heterogen;

2. Kebebasan/berkeyakinan yang diberikan kepada setiap manusia

bukanlah merupakan kebebasan yang bebas nilai dan kebebasan an sich.

Selain adanya hak kebabasan berkeyakinan, harus juga diikuti dengan

tanggung jawab sosial untuk mewujudkan HAM bagi setiap orang;

3. Berangkat dari konsep negara hukum (the rule of law), negara memiliki

peran sebagai penyeimbang antara hak asasi dan kewajiban dasar untuk

mewujudkan HAM yang berkeadilan. Peran negara ini diaplikasikan

untuk memastikan bahwa dalam pelaksanaan kebebasan

beragama/berkeyakinan, seseorang maupun kelompok tidak melukai

14

aLembaranaPutusanaMahkamahaKonstitusiaRI,adiaksesadiahttp://www.mahkamahkonstitu

si.go.id, tanggal 08 Mei 2013. 15

FaiqaTobroni,aKeterlibatanaNegaraadalamaMengawalaKebebasanaBeragama/Berkeyakin

an (Komentar Akademik atas Judicial Review UU No. 1 /PNPS/1965), Jurnal Konstitusi Volume

7, No. 6, Desember 2010, Jakarta: sSekretariat Jenderl dan Kepaniteraan Mahakamah Konstitusi,

2010, hlm. 106-107.

Page 8: Desain Pengaturan Kebebasan Beragama di Indonesia

8

kebebasan beragama/berkeyakinan orang lain. Di sinilah negara

bertindak sebagai penengah;

4. Berdasarkan jaminan konstitusional terhadap kebebasan penafsiran, maka

memang diakui bahwa menafsirkan terhadap suatu ajaran atau aturan

tertentu merupakan kebebasan berpikir setiap orang yang berada pada

forum internum. Akan tetapi, penafsiran tersebut haruslah berkesesuaian

dengan pokok-pokok ajaran agama melalui metodologi yang benar

berdasarkan sumber ajaran agama yang bersangkutan yaitu kitab suci

masing-masing. Ini artinya bahwa kebebasan melakukan penafsiran

terhadap suatu agama tidak bersifat mutlak atau absolute pada forum

eksternum. Penafsiran juga harus dikontrol, yang dalam minimalnya,

kontrol tersebut bisa berupa dialog dengan metodologi yang umum

diakui oleh para penganut agama agar tidak menimbulkan reaksi yang

mengancam keamanan dan ketertiban umum apabila dikemukakan atau

dilaksanakan dimuka umum. Hal ini sesuai juga dengan ketentuan pasal

18 ICCPR.16

Mahkamah Konstitusi dalam putusannya mencerminkan bahwa dalam

menjalankan kebebasan beragama/berkeyakinan harus memperhatikan aturan

main yang ada, sehingga kebebasan tersebut tidak melanggar kebebasan orang

lain yang juga harus dilindungi. Dengan kata lain jaminan kemerdekaan yang

diberikan oleh negara melalui Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 kepada setiap orang

yang memeluk agama adalah adalah jaminan kemerdekaan/kebebasan bersyarat.

Kebebasan yang memiliki arti bukan bebas semau sendiri tanpa ada tanggung

jawab sosial. Hal ini selaras dengan ungkapan yang dikutip Munawir Syadzali,

bahwa freedom is not license, hal ini pula yang tertulis dalam pasal 1 dari

Declaration on the Elimination of All Forms of Intolerances and of

Discrimination based on Religion and Belief tahun 1981, yang substansinya

menjelaskan bahwa pemerintah dapat mengambil langkah melalui perundang-

undangan untuk mengatur agar kebebasan beragama/berkeyakinan, serta dapat

memberikan jaminan kebebasan mengamalkan ajaran agama dan berdakwah yang

tidak mengganggu keserasian dan kerukunan hidup beragama orang lain, hal ini

yang pada gilirannya agar tidak membahayakan stabilitas politik dan

kesinambungan pembangunan.17

16

Einar M. Sitompul, Agama-agama dan Perjuangan Hak Sipil, (Jakarta: PBHI dan

European Union, 2004), hlm. 14. 17

Munawir Syadzali, Penegakan HAM dalam Pluralisme Agama (Tinjauan Konsepsional),

(Jakarta; Penrbit Universitas Indonesia, 2007), hlm. 45.

Page 9: Desain Pengaturan Kebebasan Beragama di Indonesia

9

Putusan MK juga memberi penegasan terhadap falsafah negara yang agamis

dalam kehidupan beragama, yaitu Pancasila sebagai ideologi negara dalam

aktifitas keagamaan tidak boleh muncul kegiatan yang menjauhkan dari nilai

religiusitas dan keagamaan,18

negara tidak memberikan peluang untuk menodai

agama lain. Meskipun kebebasan agama adalah hak mendasar yang telah

disepakati oleh kesepakatan dunia dan dilindungi oleh negara demi harkat

martabat manusia. namun, negara juga boleh membatasai kebebasan sesuai

dengan peraturan perundang-undangan dan tunduk kepada pembatasan atas

penghormatan hak asasi orang lain berdasarkan nilai agama dan sesuai dengan

bentuk negara demokratis.

Desain maupun konsep kebebasan beragama yang harus dilakukan Negara

adalah dalam rangka memberikan kewajiban dasar atas tegaknya HAM kepada

setiap manusia. Pembatasan tidak boleh diartikan perlakuan diskriminasi karena

ada hak asasi maupun kewajiban asasi yang lainnya. Liberalisme, Orientalisme

dan faham lainnya harus dikembalikan ke konstitusi sebagai kesepakan bersama

negara Indonesia.

Pola kebebasan yang ditawarkan MK sejatinya relevan apabila melihat ruh

UUD 1945 yang berkaitan dengan pluralisme. Pluralisme merupakan sikap

menghargai kemajemukan masyarakat dan bangsa serta mewujudkannya sebagai

keniscayaan realitas. Oleh karenanya pluralisme seharusnya dijadikan sebuah

ruang nyaman bagi penghormatan terhadap perbedaan sebagai salah satu entitas

mendasar sifat kemanusiaan seorang manusia. Sehinga pluralisme semestinya

diposisikan tidak sebagai ancaman melainkan sebagai kekuatan dalam aktifitas

berbangsa menuju cita-cita dan tujuan negara Indonesia.

UUD 1945 sebagai konstitusi negara, tidak saja merupakan konstitusi politik,

melainkan juga konstitusi sosial dan konstitusi ekonomi. Oleh karenanya, UUD

1945 semestinya menjadi acuan negara dan masyarakat. Bagi negara, konstitusi

adalah kontrak sosial antara penguasa dengan rakyat yang telah memberikan

mandatnya untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga dalam

18

Arsyad Sanusi dalam Lembaran Putusan Mahkamah Konstitusi RI, di akses di

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id, tanggal 08 Mei 2013.

Page 10: Desain Pengaturan Kebebasan Beragama di Indonesia

10

membuat peraturan maupun kebijakan, negara memiliki tanggung jawab moral

dan kewajiban untuk menngacu UUD sebagai pijakan yuridis. Melalui putusan

MK yang juga berpijak pada penafsiran Pasal 29 UUD 1945, seharusnya eksekutif

dan legislatif dalam merumuskan UU yang berkaitan dengan kehidupan beragama

komit terhadap perintah putusan MK di atas, yaitu dengan mengedepankan

keadilan subtantif, menjunjung tinggi penghormatan HAM, dan mementingkan

keadilan.

Sementara bagi masyarakat, konstitusi menjadi acuan dalam bertindak dan

bertingkah laku dalam setiap aktifitas bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Konstitusi dalam hal ini adalah pedoman bersama bagi seluruh komponen bangsa

dalam menjalin hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Konstitusi

mengikat sebagai perdoman bersama karena dibuat berdasarkan kesepakatan

bersama oleh komponen bangsa. Oleh karenanya dalam berinteraksi dikehidupan

multiagama di Indonesia, masyarakat harus jeli melihat ruang-ruang mana yang

wajib dihormati, masyarakat juga harus cerdas dalam memilih dan melaksanakan

aturan yang tidak relevan dengan UUD 1945. Artinya masyarakat jangan hanya

tunduk bunyi dari suatu aturan yang didalamnya cacat dari segi norma maupun

secara filosofinya.

Desain Wilayah Pengaturan Pengaturan Kebebasan Beragama oleh Negara

dan Membangun Mindset Berpikir Pemeluk Agama

Istilah negara sudah dikenal sejak zaman Renaissance, yaitu pada abad ke-15.

Pada masa itu telah mulai digunakan istilah Lo Stato yang berasal dari bahasa

Italia, yang kemudian menjelma menjadi L’etat’ dalam bahasa Perancis, The State

dalam bahasa Inggris atau Deer Staat dalam bahasa Jerman dan De Staat dalam

bahasa Belanda. Ada beberapa pendapat mengenai pengertian negara, seperti

dikemukakan oleh Aristoteles, Roelof Krannenburg, Roger H. Soltau dan J.J.

Rousseau. Aristoteles mendefinisikan Negara sebagai perpaduan beberapa

keluarga mencakupi beberapa desa, hingga pada akhirnya dapat berdiri sendiri

sepenuhnya, dengan tujuan kesenangan dan kehormatan bersama. Kemudian

Roelof Krannenburg Negara adalah suatu organisasi yang timbul karena kehendak

dari suatu golongan atau bangsanya sendiri. Sementara Roger H. Soltau

Page 11: Desain Pengaturan Kebebasan Beragama di Indonesia

11

memberikan pengertian negara sebagai alat atau wewenang yang mengatur atau

mengendalikan persoalan bersama atas nama masyarakat.19

Sedangkan apabila dilihat secara umum, maka pengertian negara adalah

diartikan sebagai organisasi tertinggi diantara suatu kelompok masyarakat yang

mempunyai cita-cita untuk bersatu, hidup di dalam daerah tertentu yang

mempunyai pemerintah yang berdaulat.20

Definisi-defini tersebut akhirnya

mengantarkan bahwa salah satu kewajiban Negara adalah menjamin

terselenggaranya sistem pemerintahan yang baik, kehIdupan masyarakat yang

adil, rukun, dan damai. Spektrum itu dapat dilakukan Negara dalam berbagai

aspek, salah satunya dalam kehidupan beragama. Negara dalam konteks ini

dituntut untuk menjadi penengah ketika terjadi konflik bermotif agama.

Melalui kewenangan yang dimilikinya, negara berhak untuk mengeluarkan

aturan main untuk menata kehidupan warga negaranya. Bahkan negara juga diberi

mandat melakukan intervensi yang proporsional apabila terjadi keadaan yang

memaksa. Namun berbagai kewenangan prinsip tersebut, seringkali negara agak

kebingungan dalam menjadi „wasit‟ tersebut, terutama dalam merumuskan aturan-

aturan hukum yang berkaitan langsung dengan kehidupan agama warga

negaranya. Negara seringkali abai terhadap kepentingan minoritas dan menganak

emaskan kepentingan mayoritas dalam bertindak. Munculnya Surat Keputusan

Bersama (SKB) Ahmadiyah beberapa bulan yang lalu, dan absennya negara

dalam melindungi jamaah Syiah di Sampang ditengarai karena negara

(pemerintah) seolah bersikap ambivalen.

Sebagai salah satu solusi terhadap hal tersebut, maka penulis mencoba

mendesain wilayah-wilayah mana saja yang seharusnya diatur oleh pemerintah,

khusunya dalam kehidupan beragama di Indonesia agar berjalan dengan rukun

dan masyarakat dapat memeluk agama secara bebas sesuai dengan keyakinannya.

Dalam United Nation Covenant on Civil and Political Rights yang sudah di

ratifikasi melalui UU No. 12 tahun 2005 tentang Pengesahan International

Covenant On Civil And Political Rights disebutkan, aspek yang seharusnya diatur

19

C.S.T. Kansil,. Ilmu Negara (Umum dan Indonesia), (Jakarta: Pradnya Paramita, 2001),

hlm. 32. 20

M. Solly Lubis, Ilmu Negara, (Bandung: Penerbit Alumni, 1981), hlm 61.

Page 12: Desain Pengaturan Kebebasan Beragama di Indonesia

12

oleh pemerintah dalam mebatasi kehidupan beragama masyarakatnya semata-mata

perlindungan atas lima hal, yaitu public safety (keselamatan masyarakat), public

order (ketertiban masyarakat), public health (kesehatan masyarakat), public

morals (etika dan moral masyarakat), dan protection of rights and freedom of

others (melindungi hak dan kebebasan mendasar orang lain).

Dengan demikian tujuan utama tindakan penundaan pelaksanaan, pengaturan

atau pembatasan itu adalah untuk menangkal ancaman terhadap keselamatan

manusia atau hak milik mereka.21

Ranah ini menjadi pembenar Negara untuk

mengeluarkan aturan agar kehidupan beragama dapat berjalan tanpa ada konflik.

Artinya bahwa semangat yang dibangun dalam membuat aturan harus didasarkan

pada perlindungan bukan pada desakan maupun intimidasi entitas mayoritas.

Sehingga aturan tersebut mampu berjalan dengan prospektif karena merespon hal-

hal yang sifatnya laten bukan karena atas isu buatan kelompok mayoritas secara

berlebihan.

Secara lebih rinci uraian diatas, dapat di jelaskan aspek-aspek yang harus

dijadikan pegangan negara dalam mengatur kehidupan beragama adalah sebagai

berikut:22

1. Restriction For The Protection of Public Safety (Pembatasan untuk

melindungi keselamatan masyarakat). Dibenarkan pemabatasan dan

larangan terhadap ajaran agama yang membahayakan keselamatana

pemeluknya. Conrohnya, ajaran agama yang ekstrim, mislanya menyuruh

untuk bunuh diri, baik secara individu maupun secara massal.

2. Restriction For The Protection of Public Order (Pembatasan untuk

melindungi ketertiban masyarakat). Pembatasan kebebasan

memanifestasikan agama dengan maksud menjaga ketertiban umum atau

masyarakat . di anataranya, aturan tentang keharusan mendaftar ke badan

hukum bagi organisasi keagamaan masyarakat, keharusan mendapatkan

ijin untuk melakukan rapat umum, keharusan mendirikan tempat ibadat

hanya pada lokasi yang diperuntukan untuk umum, dan aturan pembatasan

kebebasan menjalankan agama bagi narapidana.

3. Restriction For The Protection of Public Health (Pembatasan untuk

melindungi keshatan masyarakat). Pembatasan yang diijinkan berkaitan

dnegan kesehatan publik dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada

21

Siti Musdah Mulia, Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Bearagama, Makalah di

sampaiakan pada acara Konsultasi Publik untuk Advokasi terhadap RUU KUHP diselenggarakan

oleh Aliansi Nasional Reformasi KUHP, Jakarta, 4 Juli 2007, hlm. 3. 22

Ibid, hlm. 12.

Page 13: Desain Pengaturan Kebebasan Beragama di Indonesia

13

pemerintah melakukan intervensi guna mencegah epidemi atau [enyakit

lainnya. Pemerintah diwajibkan melakukan vaksinasi, pmerintah dpaat

mewajibkan petani yang bekerja secara harian untuk menjadi anggota

askes guna mencegah penularan penyakit berbahaya, seperti TBC.

Bagaiamana pemerintah harus bersikap seandainya ada ajaran agama

tertentu yang melarang vaksinasi, transfusi darah, melarang penggunaan

infus dan seterusnya. Demikian pula, misalnya laranagn terhadap ajaran

agama yang mengharuskan penganuntnya berpuasa sepanjang masa karena

dikhawatirkan akan mengancam kesehatan mereka.

4. Restriction For The Protection of Morals (Pembatasan untuk melindungi

moral masyarakat). Misalnya , melarang implementasi ajaran agama yang

menyuruh penganutnya bertelanjang bulat ketika melakukan ritual.

5. Restriction For The Protection of The Fundamental Rights and Freedom

of Others (Pembatasan untuk melindungi kebebasan dasar dan kebebasan

orang lain).

a. Proselytism (penyebaran agama). Dengan adanya hukuman terhadap

tindakan Proselytism, pemerintah dapat mencampuri kebabasan

seseorang didalam memanifestasikan agamam mereka melalui

aktifitas-aktfitas misionaris dalam rangka melindungi agar kebebasan

beragama orang lain tidak tertanggu atau dikonversikan.

b. Pemerintah berkewajiban membatasi manifestasi dari agama atau

kepercayaan yang membahayakan hak-hak fundamental dari orang

lain, khususnya hak untuk hidup, hak kebebasan dari kekerasan,

melarang perbudakan, kekejaman dan juga ekspolitasi hak-hak kaum

minoritas.

Apabila komponen di atas dapat dijalankan secara konsisten, maka sangat

mungkin setiap aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah dapat meminimalisir

timbulnya pro-kontra di kalangan masyarakat. Selain karena sudah sesuai dengan

amanh UUD 1945, juga telah diselaraskan dengan instrumen internasional tentang

jaminan politik dan agama bagi individu-individu berakal di Indonesia. sejauh ini,

munculnya protes dari berbagai pihak tidak lain karena muaranya dari pemerintah

yang seolah tidak adil dalam meberikan jaminan kebebasan beragama.

Protes itu didasari atas munculnya berbagai aturan baik ditingkat lokal

maupun nasional yang tidak koheren dengan keadilan masyarakat. Misalnya pada

lingkup nasional, pada bulan Mei 2012 lalu telah disahkan berlakunya Undang

Undang No. 7 tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. Kemudian pada

kisaran Juni 2011 hingga awal 2012, DPR telah melaksanakan serangkaian Rapat

Dengar Pendapat Umum (RDPU) terkait revisi UU No. 8 Tahun 1985 tentang

Organisasi Kemasyarakatan. Sementara level lokal juga tidak ketinggalan, Pada

Page 14: Desain Pengaturan Kebebasan Beragama di Indonesia

14

23 Juli 2012 Gubernut Jawa Timur Soekarwo menerbitkan Peraturan Gubernur

No. 55 tahun 2012 tentang Pembinaan Kegiatan Keagamaan dan Pengawasan

Aliran Sesat di Jawa Timur. Selanjutnya pemerintah Kota Tasikmalaya, Jawa

Barat berencana membentuk satuan Polisi Syariah yang bertindak menegakkan

Peraturan Daerah (Perda) nomor 12 tahun 2009 tentang Tata Nilai Kehidupan

Masyarakat yang Berlandaskan Ajaran Agama Islam.23

Bahkan dilihat dari sisi pelaku, ada 16 institusi negara yang terlibat sebagai

pelaku pelanggaran kebebasan beragama dengan total 166 tindakan. Baik

pelanggaran yag dilakukan secara fisik maupun denga pengeluaran kebijakan

aturan yang menjadi kewenangannya. Data selengkapnya lihat grafik di bawah

ini.

Sumber: Laporan akhir The Wahid Intitute tentang Kebebasan Beragama

dan Intoleransi tahun 2012.

Data di atas sesungguhnya dapat disimpulkan bahwa institusi negara yang

memiliki kewenangan untuk mengeluarkan aturan, nampaknya kurang

memperhatikan dimensi hukum yang berlaku. Akibatnya, negara melangkah

terlalu jauh dan dampak dari aturan tersebut menciderai kebebasan beragama

warga negaranya. Oleh karenanya ke depan negara wajib memperhatikan aspek

fundamen dalam hukum, minimal negara terlebih dulu dapat mengidentifikasi

23

The Wahid Institute, Laporan Akhir Kebebasan Beragama dan Intoleransi 2012, (Jakarta:

Wahid Institute, 2012), hlm. 19-20.

Page 15: Desain Pengaturan Kebebasan Beragama di Indonesia

15

lima hal rambu-rambu diatas untuk dijadikan pedoman sebelum membuat dan

mengesahkan sebuah aturan.

Aspek penting lain yang harus diupayakan dalam mewujudkan kehidupan

beragama yang rukun adalah terletak pada masyarakat sebagai elemen pelaksana

aturan. Setelah negara yang memiliki kewenangan membuat dan mengeluarkan

aturan untuk ditaati oleh warga negaranya. Maka yang tidak kalah penting adalah

terbangunnya paradigma (mindset) masyarakat dalam melihat pluralitas agama.

Pemahaman ini bukan hanya paham terhadap isi suatu aturan tetapi juga

paradigma sikap terhadap adanya pluralisme (keberagaman). Keberagaman

sebagai keniscayaan sudah seharusnya dijadikan respon untuk meluhurkan sikap

toleransi, bukan malah dijadikan antipati terhadap perbedaan yang ujung-

ujungnya kekerasan dijadikan alat menghabisi perbedaan. Oleh karenanya

tumbuhnya mutiagama di Indonesia harus dipersepsikan sebagai fenomena untuk

memupuk kebersamaan.

Idealisme persatuan dalam keberagaman di Indonesia menjadi pudar ketika

antar pemeluk agama memiliki paham sesat menyesatkan. Sehingga konflik

horizontal yang tidak penting antar agama sulit dihindarkan. Tabel dibawah ini

akan menjadi potret bahwa kebebasan beragama belum emndapatkan tempat yang

armonis.

Tahun Jumlah Naik (%)

2012 278 3 %

2011 267 10 %

2010 284 7 %

2009 121 Sumber: Laporan akhir The Wahid Intitute tentang Kebebasan Beragama

dan Intoleransi tahun 2012.

Melihat data diatas, seolah ada yang salah dalam praktek beragama di Indonesia.

kontak fisik antar pemeluk agama seringkali menjadi jalan mencari kebenaran

agama yang dipeluk. Fenomena miris ini sudah selayaknya harus dihindari, cara

cerdas melalui dialog antar agama maupun sejenisnya sudah harus ditradisikan,

sehingga budaya laten main hakim sendiri dapat teredusir dengan cara cerdas

dialog maupun cara lain untuk mencapai kerukunan dalam kehidupan beragama.

Page 16: Desain Pengaturan Kebebasan Beragama di Indonesia

16

A. Mukti Ali menjelaskan ada beberapa pemikiran diajukan orang untuk

mencapai kerukunan dalam kehidupan beragama. Pertama, sinkretisme, yaitu

pendapat yang menyatakan bahwa semua agama adalah sama. Kedua,

reconception, yaitu menyelami dan meninjau kembali agama sendiri dalam

konfrontasi dengan agama-agama lain. Ketiga, sintesis, yaitu menciptakan suatu

agama baru yang elemen-elemennya diambilkan dari pelbagai agama, supaya

dengan demikian tiap-tiap pemeluk agama merasa bahwa sebagian dari ajaran

agamanya telah terambil dalam agama sintesis (campuran) itu. Keempat,

penggantian, yaitu mengakui bahwa agamanya sendiri itulah yang benar, sedang

agama-agama lain adalah salah; dan berusaha supaya orang-orang yang lain

agama masuk dalam agamanya. Kelima, agree in disagreement (setuju dalam

perbedaan), yaitu percaya bahwa agama yang dipeluk itulah agama yang paling

baik, dan mempersilahkan orang lain untuk mempercayai bahwa agama yang

dipeluknya adalah agama yang paling baik. Diyakini bahwa antara satu agama dan

agama lainnya, selain terdapat perbedaan, juga terdapat persamaan.24

Konsep agree in disagreement menurut Mukti Ali dipandang sebagai filosofi

penting, karena sebagai jalan yang harus ditempuh untuk menimbulkan kerukunan

hidup beragama. Orang yang hidup dalam keberagaman agama harus percaya

bahwa agama yang ia peluk itulah agama yang paling baik dan paling benar, dan

orang lain juga dipersilahkan, bahkan dihargai, untuk percaya dan yakin bahwa

agama yang dipeluknya adalah agama yang paling baik dan paling benar.25

Aspek

ini sesungguhnya menjadi dasar paling urgen dalam menjalani kehidupan didalam

pluralisme agama, melalui konsep ini manusia sesungguhnya diuji intelektualnya

untuk berpikir cerdas dan bijak bagaimana bersikap dalam perbedaan. Dengan

kata lain, konsep ini mengajarkan dalam hidup manusia harus memiliki kerelaan

untuk menerima kenyataan adanya orang lain yang berbeda. Karena

24

A. Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama, Dialog, Dakwah dan Misi, dalam Burhanuddin

Daja dan Herman Leonard Beck (red.), Ilmu Perbandingan agama di Indonesia dan Belanda,

(Jakarta : INIS, 1992), hlm. 227-229. 25

A. Mukti Ali, Dialog Between Muslims and Christians in Indonesia and its Problems,

Jurnal Al-Jami’ah, No. 4 Th. XI Djuli 1970, hlm. 55.

Page 17: Desain Pengaturan Kebebasan Beragama di Indonesia

17

sesungguhnya perbedaan tidak harus ada permusuhan, mengingat perbedaan

selalu ada di dunia ini, dan perbedaan tidak harus menimbulkan pertentangan.26

Penutup

Sebagai negara yang memiliki pijakan hukum tertinggi berupa UUD 1945,

bahkan sejumlah besar kegiatan manusia juga dilindungi oleh pasal-pasalnya,

termasuk yang berkatian dengan kebebasan beragama, kebebasan berekspresi,

dan kebebasan politik. Ketentuan Pasal 29 UUD 1945 menjadi salah satu

representasi bahwa setiap individu mendapat jaminan kemerdekaan dalam

memeluk agama. Namun Pasal tersebut seolah kehilangan ruhnya ketika negara

(pemerintah) berusaha membuat peraturan organiknya. Berbagai aturan yang

mengkhianati prisnip kebebasan beragama secara kentara dipraktekan oleh negara

setiap tahunnya. Negara seolah kebingungan dalam menafsirkan Pasal 29 UUD

1945 ke dalam UU organiknya.

Kegamanagan itu tidak akan terjadi apabila ia memahami secara

komprehensif maksud dan tafsir atas Pasal 29 UUD 1945 dan instrumen

internasional yang berkaitan dengan kebebasan beragama. Dalam menjawab aspek

tersebut, maka pemerinath dalam membuat sebuah aturan agar tidak menciderai

HAM serta prinsip keadilan harus berpijak pada lima hal, (1). Restriction For The

Protection of Public Safety (Pembatasan untuk melindungi keselamatan

masyarakat); (2). Restriction For The Protection of Public Order (Pembatasan

untuk melindungi ketertiban masyarakat); (3). Restriction For The Protection of

Public Health (Pembatasan untuk melindungi keshatan masyarakat); (4).

Restriction For The Protection of Morals (Pembatasan untuk melindungi moral

masyarakat); (5). Restriction For The Protection of The Fundamental Rights and

Freedom of Others (Pembatasan untuk melindungi kebebasan dasar dan

kebebasan orang lain).

Desain wilayah yang lain agar terwujudnya kedamaian dalam beragama,

adalah terbangunnya paradigma egaliter antar oemeluk agama. Pemeluk agama

26

Umar Hasyim, Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam Sebagai Dasar menuju

Dialog dan Kerukunan Antar Umat Beragama, (Surabaya: Bina Ilmu, 1979), hlm. 23.

Page 18: Desain Pengaturan Kebebasan Beragama di Indonesia

18

sudah saatnya memahami bahwa munculnya perbedaan adalah sebuah

keniscayaan yang seharusnya disikapi dengan arif dan bijak. Melalui konsep

agree in disagreement¸ penulis memandang sebagai salah satu paradigma yang

baik untuk diinternalisasi dalam diri pemeluk agama. Transfigurasi terhadap

filososfi agree in disagreement ini yang sesungguhnya dapat dijadikan langkah

awal untuk kehidupan multiagama yang rukun dan damai, serta membebaskan diri

dari belenggu berpikir sesat menyesatkan dan paham hanya satu agama yang

benar (truth claim).

Page 19: Desain Pengaturan Kebebasan Beragama di Indonesia

19

Daftar Pustaka

Buku-buku

Bahar, Safroedin dan Hudawati, Nannie, 1998, Risalah Badan Penyelidikan

Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia

Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), Jakarta: Sekretarian Negara

Republik Indonesia.

Daja, Burhanuddin dan Leonard Beck, Herman, 1992, Ilmu Perbandingan agama

di Indonesia dan Belanda, Jakarta: INIS.

Hasyim, Umar, 1979, Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam

Sebagai Dasar menuju Dialog dan Kerukunan Antar Umat Beragama,

Surabaya: Bina Ilmu.

Hamidi, Jazim dan Abadi, Husnu, 2001, Intervensi Negara Terhadap Agama,

Yogyakarta: UII Press.

Hazairin, 1973, Demokrasi Pancasila, Jakarta: Tintamas.

Kasim, Ifdhal 2005, Hak Sipil dan Politik: Esai-Esai Pilihan, Jakarta: Lembaga

Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM).

Kansil, C.S.T, 1981, Ilmu Negara (Umum dan Indonesia), Jakarta: Pradnya

Paramita.

Kholiluddin, Tedi, 2009, Kuasa Negara Atas Agama, Politik Pengakuan,

Diskursus “Agama Resmi’ dan Diskriminasi Hak Sipil, Semarang: Rasail.

Lubis, M. Solly, 1981, Ilmu Negara, Bandung: Penerbit Alumni.

M. Sitompul, Einar, 2004, Agama-agama dan Perjuangan Hak Sipil, Jakarta:

PBHI dan European Union.

Mangkusasmito, Prawoto, 1997, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar

Neagara dan Sebuah Proyeksi, Jakarta: Bulan Bintang.

Ruyandi, 1985, Masalah Kepercayaaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa,

Jakarta: Departemen P dan K Dirjen Kebudayaan Direktorat PPK.

Subagyo, Rachmat, 1995, Kepercayaan dan Agama, Yogyakarta: Kanisius.

Syafi‟i Ma‟arif, Ahmad, 1985, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi Tentang

Percaturan dalam Konstituante, Jakarta: LP3ES.

Syadzali, Munawir, 2007, Penegakan HAM dalam Pluralisme Agama (Tinjauan

Konsepsional), Jakarta; Penrbit Universitas Indonesia.

Jurnal, Makalah, Laporan Penelitian, dan Media

A‟la, Abd, Kekerasan Atas Nama Agama, Kompas, 14 Oktober 1999.

Aziz Dahlan, Abdul, 1993, Pengajaran tentang tuhan dan Alam: Paham

Tawhid Ibn‟ Arabi, Jurnal Ulumul Qur’an, Volume IV Nomor 5, Juli 2005.

A, Mukti Ali, 1970, Dialog Between Muslims and Christians in Indonesia and

its Problems, Jurnal Al-Jami’ah, Volume XI Nomor 4, Juli 1970.

Page 20: Desain Pengaturan Kebebasan Beragama di Indonesia

20

LembaranaPutusanaMahkamahaKonstitusiaRI,adiaksesadiahttp://www.mahk

amahkonstitusi.go.id, tanggal 08 Mei 2013.

Musdah Mulia, Siti, 2007, “Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Bearagama”,

Makalah di sampaiakan pada acara Konsultasi Publik untuk Advokasi terhadap

RUU KUHP diselenggarakan oleh Aliansi Nasional Reformasi KUHP, Jakarta, 4

Juli 2007.

S. Awwas, Irfan, “Mengatasi Kekerasan Sosial dan Politik Tanpa

Kriminalisasi Agama”, Makalah disamapakan dalam seminar dan Forum Group

Discussion yang diselenggarakan oleh Forum Persaudaraan Umat Beriman

(FPUB) bekerjasama Center for Islamic Studies UII, Yogyakarta 6 Februari 2011.

Sanusi, Arsyad, Kebebasan Beragama Di Jamin Konstitusi,

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id, diakses tanggal 08 Mei 2013.

The Wahid Institute, 2012, Laporan Akhir Kebebasan Beragama dan

Intoleransi 2012, Jakarta: Wahid Institute.

Tobroni, Tobroni., 2010, ”Keterlibatan Negara dalam Mengawal Kebebasan

Beragam/Berkeyakinan (Komentar Akademik atas Judicial Review UU No. 1

/PNPS/1965)”, Jurnal Konstitusi, Volume 7 Nomor 6, Desember 2010, Jakarta:

Mahakamah Konstitusi.

Peraturan Perundang-undangan

Indonesia, Undang-undang Dasar 1945.

Biodata Penulis

Ali Ridho, adalah alumni FH UII angkatan 2007 dan sekarang sedang menempuh

program magister hukum di almamater yang sama. Selain aktif sebagai staf kajian

dan pengembangan di Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) FH UII, juga aktif

dalam berbagai organisasi sosial kemasyarakatan. Penulis dapat dihubungi

melalui nomor HP 0817462306 atau email: [email protected].