Top Banner
1 DESA SERIBU PUNTEN DESA SERIBU PUNTEN DESA SERIBU PUNTEN DESA SERIBU PUNTEN Potret Pendidikan Di Sudut Sempit Pusat Indonesia Gambar: Courtesy Bowie Oleh: Jodhi P. Giriarso Novel ini ditulis sesuai sudut pandang penulis. Setiap opini dan interpretasi di dalamnya sepenuhnya tanggung jawab penulis
101

Desa Seribu Punten

Mar 12, 2016

Download

Documents

Jo pragirs

Yang kutahu program KKN hanya nama lain dari liburan selama sebulan penuh di sebuah desa pada sebuah daerah antah berantah. Setidaknya itulah yang kupetik dari cerita pengalaman teman-temanku dulu. Tapi tidak seperti yang kubayangkan. KKN ini berbeda. Bolak-balik memburu kepala dinas pendidikan kota Subang sampai berkeliling ke setiap sekolah untuk mendaftarkan siswa putus sekolah. Panasnya Subang memang menyiksa. Tapi para anggota kelompokku begitu bersemangat. Mencari anak putus sekolah di desa sangat mudah, hanya menyuruh mereka untuk sekolah yang sulit. Pengalaman ini mengajariku pentingnya pendidikan. Bukan saja untuk meningkatkan kualitas diri, tapi juga untuk memajukan kualitas rakyat negara ini.
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Desa Seribu Punten

1

DESA SERIBU PUNTENDESA SERIBU PUNTENDESA SERIBU PUNTENDESA SERIBU PUNTEN

Potret Pendidikan Di Sudut Sempit Pusat

Indonesia

Gambar: Courtesy Bowie

Oleh:

Jodhi P. Giriarso

Novel ini ditulis sesuai sudut pandang penulis. Setiap opini dan interpretasi di

dalamnya sepenuhnya tanggung jawab penulis

Page 2: Desa Seribu Punten

2

1 Rencana jitu sudah kusiapkan untuk menyelesaikannya. Penelitian

sudah mencapai tahap paling menjemukan, menunggu tetesan air jatuh

dan mengukur hasil partikel yang tertahan membuatku tidak tahan. Uji

rejeksi dan semuanya akan selesai, sebentar lagi. Hanya tinggal

menunggu kompresor datang dan kucoret semua to-do list. Rupanya

rencana tinggal rencana. Sebelum berangkat KKN harusnya sudah

kuselesaikan uji rejeksi tapi ternyata rencanaku berkhianat. Persiapan

KKN menyita waktu dan tenaga. Disitulah rencanaku mulai berantakan.

Semua jadwal molor tak terkendali.

Pada daftar teman sekelompokku tertera deretan nama perempuan.

Hanya satu nama laki-laki, Fo. Entah minus mataku makin parah, tapi

ternyata saat pertemuan pertama pada acara diklat dua orang laki-laki

datang dan menyatakan diri sebagai anggota kelompok. Ade dan Bowie.

Dari mereka kutahu ada dua orang yang tidak datang. Jo sedang

mengikuti festival gamelan internasional di Yogyakarta. Hebat kali ini

anak, ujarku. Sementara Asep menunggui ayahnya yang dirawat.

Disinilah sebenarnya rencana penelitianku berantakan. Kami

hanya diberi waktu dua hari untuk survey tempat dan menyiapkan

segalanya.

Perjalanan ke Subang yang kutempuh tidak sama dengan yang

kubayangkan. Aku dan Fo memulai perjalanan dengan Qorni dan Pei dari

desa lain. Di bibir Subang, kami bertemu dengan Lala dan pacarya.

Mereka orang Subang, kuharap bisa menyingkat pencarian desa-desa

yang harus kami datangi. Ternyata salah.

Lala malah bikin kami bingung. Sampai di Dangdeur kami harus

bertanya di hampir setiap pangkalan ojek. Setelah melewati kota, kami

masuk desa Cidahu, melalui jalan beraspal bagus dan lurus. Setelah

sekitar 7 km, kami menemukan sebuah tugu. Kami bertanya pada seorang

kuli angkut. Menurutnya desa tujuan kami ada di jalan ke sebelah kanan.

Jalannya sangat parah. Di sepanjang jalan terhampar sawah hijau

menguning yang sudah tinggal sebulan lagi dipanen. Selain itu juga ada

beberapa balong –empang– yang luas. Balong-balong sedikit

menyegarkan mata walaupun nyatanya udara begitu pengap seakan

dikurung di sebuah ruang tertutup, oksigen sepertinya sulit berkompromi

dengan hidungku.

Setelah berkendara sekitar 5 km, kami sampai. Satu hal yang

kuperhatikan, desa ini punya terlalu banyak warung. Kami bertanya ke

satu warung ke warung, mereka selalu bilang rumah pak Kades itu ada

Page 3: Desa Seribu Punten

3

warungnya. Alhasil kami berhenti di setiap warung untuk menanyakan

apa itu rumah pak Kades atau bukan. Kami berhenti sekitar tujuh kali.

Mengesalkan!

Matahari bersinar luar biasa terik. Sepengalamanku Subang itu

singin. Tapi kemudian aku mengingatkan diri bahwa itu masih di Jalan

Cagak, belum sampai Subang kota. Pasrahlah aku harus menjalani 40 hari

di tempat segerah ini.

Pak kades tak ada di rumah, beliau sedang ada pertemuan di

sekolah. Kami mengejarnya karena harus memberikan surat pengantar

dari kampus. SD Ciung Wanara tempatnya mengadakan pertemuan. Pak

Kades itu masih muda, sekitar umur 40-an dengan kumis tipis

menggantung di bawah lubang hidungnya. Kami disambut baik dan

dicarikan tempat tinggal.

Rumah tersebut milik Pak Usta. Letaknya tak jauh dari rumah

Kades, terhalang satu rumah yang hancur tak terawat dengan jalan desa.

Kami melewati kebun rambutan. Rumahnya sederhana, menghadap ke

selatan. Tadinya rumah itu ditinggali ibu pak Usta. Beliau sudah

meninggal sekitar delapan bulan yang lalu. Bale untuk memandikan

jenazahnya ada di kamar depan. Kamar sebelahnya dua kali lebih besar

dari kamar depan. Temboknya kusam entah kenapa, kaca ventilasinya

pecah sebagian. Anehnya lagi, selot pengunci ada di bagian luar bukan di

bagian dalam, seperti mencegah sesuatu keluar daripada menahan orang

yang masuk.

“Entar beli cat buat kamar ini.” Bisik Fo padaku.

Aku cuma mengangguk karena dia menyelaku saat pembicaraan

tentang sewa rumah yang akan kami tinggali ini. Setelah kesepakatan

menjadi persetujuan, kami pulang. Aku menghubungi Pei yang mensurvei

desanya. Tapi dia sudah di jalan. Akhirnya aku, Lala dan Fo pulang. Lala

hanya ikut sampai Subang kota. Jadilah aku berdua bareng Fo pulang ke

Bandung. Di Jalan Cagak kami sempat makan siang dengan ayam goreng

yang nikmat.

2 Selasa hari ketujuhbelas bulan ketujuh dua ribu tujuh kami

berangkat dengan serangkaian khayalan tentang liburanyang

menyenangkan. Minibus L300 disewa dengan harga bersahabat karena

kami bersahabat dengan pacar Lala yang bersahabat dengan supirnya.

Persahabatan memang indah. Sedikit kudeskripsikan pria botak berwajah

culas itu. Hatinya luar biasa baik.

Page 4: Desa Seribu Punten

4

Hari diawali dengan perasaan kesal. LPM, penanggung jawab

KKN, menyuruh kami berkumpul di kampus, di depan gedung pentagon.

Padahal kami sudah bersiap di terminal Ledeng. Kedua tempat itu hanya

terpisah jalan Setiabudhi. Tapi untuk masuk ke kampus harus memutar.

Budaya telat di Indonesia makin menjadi saat melibatkan ratusan

orang. Keberangkatan tertunda satu jam. Kami sampai di Subang sekitar

jam sepuluhan. Itu sudah termasuk kelalaian supir kami yang mengira

kami harus langsung ke desa. Padahal aku sudah bilang berkali-kali kami

harus ke pendopo untuk penyambutan. Mungkin panas yang menyengat

menguapkan kata-kataku sebelum sampai ke telinganya. Jadinya kami

menjadi salah satu rombongan terakhir yang tiba di pendopo.

Pendopo kota Subang cukup megah, khas kantor pemerintahan

yang konservatif dan formal. Dan saat itu benar-benar luar biasa

panasnya. Matahari terik yang biasanya menyerangku sekitaran jam dua

belas di Bandung sudah mendera sekitar jam sepuluh di kota ini.

Penyambutan dilakukan di aula besar. Mimbar panjang di depan.

Spanduk penyambutan terpampang garang. Penyambutan ini dihadiri

beberapa orang yang katanya pejabat LPM dan pemko Subang.

“Bapak tidak akan berbicara banyak, karena nampaknya sudah

diwakili oleh...” ucap salah seorang pejabat LPM.

Justru sambutannya lebih panjang dari pejabat sebelumnya.

Kurang ajar, pikirku, dalam satu kali bicara saja sudah nggak

konsisten.

Aku jadi teringat cerita dosenku ketika kuliah Organik 2. Dosenku

itu sekretaris senat. Beliau bercerita senat itu banyak dikuasai orang-

orang sosial. Rapat sebelumnya disetujui suatu aturan. Namun rapat

berikutnya aturan itu dilanggar dan kembali ke aturan baru. Kemudian,

rapat selanjutnya ketika dosenku menyiapkan rapat dengan aturan lama,

ketuanya malah meminta memakai aturan baru. Dosenku terheran-heran,

namun sang ketua hanya berkata,

“Inilah bedanya sosial dengan ilmu eksak…”

Aku nggak tahu dia sedang menyindir keeksakan kimia atau

memuji inkonsistensi pribadinya.

Ruangan itu berpendingin. Hanya saja 1000 manusia di dalamnya

membuat energi yang dipakai untuk mendinginkan ruangan terbuang

percuma. Udara dingin tak mampu mengkondensasi kegelisahan dan aura

panas tubuh kami. Setelah kubuka jas almamater, aku masih keringatan.

Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Subang memberikan

wejangan yang cukup mengena soal permasalahan yang akan kami

Page 5: Desa Seribu Punten

5

hadapi di lapangan. Entahlah, teman-temanku yang sudah KKN tak

pernah bercerita ada masalah yang mereka hadapi soal-soal seperti ini.

“Masyarakat akan mengedepankan masalah ekonomi sebagai

alasan utama mereka tidak menyekolahkan anaknya.” Kata bapak kurus

berkumis, kalau diperhatikan seksama beliau mirip Doyok, pelawak yang

pernah terjerat masalah narkoba.

Beliau memberikan alternatif solusi bahwa di setiap sekolah ada

bantuan-bantuan yang bisa dimaksimalkan untuk membantu masyarakat

kurang mampu. Cara bicaranya yang tegas, berapi-api plus sedikit

candaan garing membuat seolah masalah-masalah itu bisa diselesaikan

dengan mudah. Namun, menurut beliau juga bahwa sebenarnya alasan

utama adalah masalah budaya. Masalah ini sangat berakar dan sangat sulit

dipecahkan.

Aku mendengar semua omong kosong itu sambil lalu, sebenarnya

sambil tidur juga.

Usai acara penyambutan itu, Wahyu, koordinator kecamatan

Pagaden, meminta para ketua untuk ikut ke kecamatan terlebih dahulu.

Dan aku adalah salah satu orang sial itu. Aku menyuruh para anggotaku

pergi ke desa duluan. Aku dibonceng Asep ikut ke kecamatan.

Di sana aku bertemu dengan para ketua dari kecamatan Pagaden.

Selain itu, nggak ada lagi yang menarik.

“Saya atas nama perangkat kecamatan,” ucap pak Camat sambil

duduk di belakang mejanya yang terlihat nyaman, “mengucapkan selamat

datang di kecamatan Pagaden. Namun, kami juga meminta maaf bila desa

tempat KKN para mahasiswa sekalian tidak mengadakan

penyambutan…”

Kesalahan teknis atau kelambatan birokrasi? Tebakku tanpa

mendengarkan penjelasan selanjutnya.

Mungkin aku harus berhenti berprasangka. Pernah kudengar,

sebagian prasangka itu merugikan. Dan benar, ternyata pada survey yang

lalu, korcam lupa membawa daftar desa yang akan kami diami. Mungkin

kalau bisa bertemu lagi, aku akan meminta maaf atas prasangka burukku.

3 Saat datang ke rumah pondokan, aku diberondong laporan.

Tempat belanja yang jauh, ada pun nggak enak, nggak ada warung nasi,

yang jualan sayuran juga nyaris nggak ada dan bla… bla… bla… Dari

semua laporan, nggak ada yang bisa membuatku tersenyum.

Page 6: Desa Seribu Punten

6

Yah, inilah desa Sumur Gintung. Berbagai terkaan melintas di

kepalaku mengenai penamaan itu. Apakah Gintung berhubungan dengan

gantung? Atau mungkin pernah ada yang tergantung di atas sebuah

sumur? Atau hanya benda biasa yang menggantung di atas sumur? Katrol.

Aku menyingkirkan semua terkaan sebelum menyentuh persoalan mistis.

Tuh kan, pasti mulai mistis! Dari sekian banyak kabupaten yang masih

erat dengan mistis, Subang adalah salah satu yang paling santer berkaitan

dengan hal itu.

Letak desa ini cukup dekat dengan kecamatan kota Subang.

Hanya masalahnya posisi desa ini di antara desa Gunung Sembung dari

arah jalan raya Pagaden, dan Balingbing dan Cidadap dari arah lainnya.

Boleh dibilang kami agak terisolasi dari jalan utama. Belum lagi

infrastuktur jalan yang berlubang dimana-mana menghambat perjalanan

keluar desa ini. Bermotor membutuhkan waktu 15-20 menit, padahal

kalau jalannya bagus mungkin bisa kurang dari 10 menit. Belum lagi

penerangan yang minim di sepanjang jalan membuat perjalanan malam

serasa mengarungi lautan dengan sampan tanpa dayung dan jauh dari

mercusuar.

Sesuai pesanan Fo waktu itu, kami bergantian mengecat kamar

dengan warna pink. Tadinya aku hanya bercanda saat menyuruh Asep

membeli cat warna pink di Jalan Cagak. Tapi karena sudah ada, ya

sudahlah. Sementara Asep dan Jo membantu Ladies di dapur karena

kompor yang dibawa Nunu nggak menyala. Jadilah, mereka memasak

makan siang dengan tungku yang ada di dapur. Kemampuan bertahan

hidup di alam liar nampaknya akan berguna selama kami tinggal di sini.

Aku berhasil menyalakan kompor gas portabel itu, tapi percuma

saja. Heni melapor katanya tidak ada yang jual gas kalengan di desa ini.

Aku mulai khawatir dengan kelangsungan hidupku dan orang-orang ini

selama KKN. Pak Usta menawarkan bantuan kompor minyak. Mulai

lega.

4 Pak Usta adalah seorang bapak dengan wajah yang halus.

Walaupun kulitnya gelap namun tampak bersinar. Perawakannya kecil

membuat otot-ototnya makin terlihat kencang. Anak perempuan yang

pertamanya sudah besar, menikah dan punya anak perempuan bernama

Nur, tapi aku tak pernah melihat suaminya. Anak satunya lagi, Yuli,

masih sekolah di SD Ciung Wanara. Perbedaan umur keduanya cukup

membuatku mengira Yuli adalah kakaknya Nur.

Page 7: Desa Seribu Punten

7

Satu keuntungan jadi anak tunggal adalah seluruh warisan jatuh

padanya. Itulah yang terjadi pada pak Usta. Biarpun penampilannya

sederhana, kuketahui dari orang desa, pak Usta adalah salah satu orang

paling kaya di desa. Selain rumah, kebun rambutan, beberapa balong juga

miliknya. Rumah yang ditinggalinya ada di sebelah pondokan kami.

Kedua rumah itu nyari sama sederhananya, hanya saja rumahnya

diberikan sentuhan modern semacam keramik dan cat anti noda.

Kekayaan seabrek itu tidak membuatnya terlihat mencolok.

Tuturkatanya cukup halus untuk ukuran orang Subang yang dikenal kasar

ber-basa sunda. Logatnya itu sangat khas, tidak mewakili daerahnya, tapi

mewakili dirinya sendiri. Setiap katanya seakan memanjang dan

bergelombang, menurutku itu unik dan menarik perhatian.

Hari berikutnya kami habiskan dengan membersihkan rumah.

Kebun rambutan yang tadinya menarik, menjadi memuakkan. Setiap pagi

harus ada yang menyapu daun-daun yang berguguran. Kalau cuma pagi

hari mungkin tak menjadi masalah, tapi sorenya aku harus melakukan hal

yang sama karena daun-daun berjatuhan sama banyaknya. Teman-

temanku yang tadinya berinisiatif pun akhirnya malas melakukannya.

Aku juga.

Sosialisasi pertama kami lakukan di balai desa. Acara itu

sebenarnya adalah rapat sosialisasi pembuatan KTP massal. Kami hanya

menumpang mumpung para kepala dusun hadir. Dalam pertemuan itu

dibicarakan biaya yang harus dikeluarkan setiap pemohon KTP. Yang

tersirat jelas adalah adanya upaya Kades untuk memasukkan penjualan

rokok merek Djarum dalam pembiayaan itu.

Cara yang jenius, menurutku. Desa membutuhkan dana untuk

acara Agustusan. Mereka membuat proposal ke produsen rokok

bersangkutan. Proposal mereka dikabulkan dengan syarat rokok mereka

dipasarkan secara besar-besaran. Cara jenius, bukan cara biadab memang,

tapi bagiku ada yang mengganjal dengan cara ini. Bagaimanapun rokok

yang dipasarkan harus habis. Artinya sebanyak stok tertentu akan habis

dalam acara-acara seperti ini. Aroma kapitalis begitu memuakkan sampai

merasuk ke desa-desa.

Ketua BPD menolak cara ini. Pembuatan KTP massal ini gratis

dan harus tetap begitu, menurutnya. Ada biaya dari pemerintah kabupaten

untuk ini, hanya saja terbatas, jadi mereka menerapkan sistem kuota.

Akomodasi petugas dan bla… bla… bla... dijadikan alasan untuk

mewajibkan setiap pemohon membayar. Aku nggak tahu pasti, tapi

terdengar selentingan petugas pembuat KTP sudah mendapat jatah,

kenapa harus diberi lagi? Memang terlalu baik kita ini.

Page 8: Desa Seribu Punten

8

Saat mereka selesai, waktunya kami beraksi.

“Sesuai dengan tema KKN yaitu Wajar Dikdas 9 tahun, maka

semua kegiatan akan kami fokuskan ke bidang pendidikan.” Kataku

setelah pembukaan yang membosankan, aku saja bosan, gimana mereka?

“Berdasarkan UU no 20 tahun 2003, setiap warga negara usia 7-15 tahun

wajib mengikuti pendidikan dasar. Sebenarnya target akhir program wajar

dikdas adalah tahun 2005. Namun karena terjadi krisis ekonomi maka

target diperpanjang sampai 2009.”

Itu tertulis di buku kuning, buku panduan yang diberikan oleh

LPM di kampus. Jadi aku nggak sehebat itu sampai bisa melakukan orasi

dengan data yang akurat.

Pengukuran tingkat pendidikan dilihat dari APK dan APM (angka

partisipasi kasar dan murni). Sebuah parameter yang coba diterapkan

untuk menghitung sejauh mana tingkat pendidikan di Indonesia. Nah,

kami di sini untuk misi itu.

“Pada tahun 2006 tingkat APK mencapai 85,22%. Sementara

target 2009 adalah 95%,” lanjutku kembali melihat kitab kuning, “berarti

ada kekosongan yang harus dikejar, minimal setiap tahunnya harus ada

peningkatan 3,26%.”

Udara pengap, bernafaspun membutuhkan energi. Walaupun aku

berdiri di depan aparat desa dan berbicara selancar mungkin tetap saja

panas ini menggangguku. Tubuhku bereaksi dahsyat terhadap panas

layaknya logam natrium yang dimasukkan ke dalam air. Keringat

menyeruak dari setiap ujung akar rambutku, membuatku tidak nyaman.

“Di Jawa Barat ada 14 kabupaten dengan APK di bawa 85,22%.

Dan kabupaten ini adalah salah satunya. Jadi kami ditugaskan oleh

kampus untuk menghitung perkembangan yang terjadi tahun ini.”

Begitulah kuakhiri pidatoku dengan penawaran bantuan apapun

yang bisa kami berikan untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan desa.

5 “Itu kali balai desanya!” teriak Jo diboncengan Fo.

Kami menyurvei setiap balai dusun. Rencananya malam ini ada

pertemuan di balai dusun. Para kepala dusun akan mensosialisasikan apa

yang mereka dapat tadi pagi. Menurut mereka akan sulit untuk

mengumpulkan warga lagi, itulah sebabnya kami ikut dalam pertemuan

itu untuk perkenalan. Sekali lagi menumpang.

Page 9: Desa Seribu Punten

9

Kami tak mau tersesat di malam tanpa penerangan, apalagi tanpa

tahu tujuannya. Kami memakai dua motor, punya Asep dan Fo. Aku

berpikir ulang untuk membawa motor dari Bandung.

Desa ini memiliki enam dusun. Bila diurut dari arah barat maka

dimulai dengan dusun Sumur Gintung, Ciwaru –ini tempat kami tinggal–,

kemudian Keresek Baru, lalu Keresek Tua mengapit Babakan Kamarung

–ke arah utara– lalu yang paling dekat dengan Desa Gunung Sembung

adalah dusun Panyingkiran.

Kami tersesat.

Tak ada petunjuk di mana dusun Babakan Kamarung berada.

Kami malah lurus terus menyusuri jalan rusak. Walaupun tersesat tapi

aku menikmatinya. Sore-sore mengitari desa dengan pemandangan indah.

Sawah-sawah masih berwarna kekuningan tanda sebentar lagi panen.

Struktur tanah yang melandai dan meninggi di beberapa tempat membuat

sawah harus dibangun secara terasering. Belum lagi kilauan air balong

yang memantulkan cahaya kuning mentari. Apalagi yang kubutuhkan?

Ya, jalan pulang. Jo bertanya pada seorang kakek tua. Akhirnya kami

menemukannya. Kami meneruskan perjalanan ke Panyingkiran.

Setelah Maghrib kami membagi orang-orang yang akan pergi ke

desa mana saja. Pertemuan di setiap dusun dilakukan secara bersamaan.

Sebenarnya aku ingin semua hadir di setiap pertemuan, tapi nggak

mungkin karena semuanya dilakukan dalam waktu bersamaan.

Jadilah kami membaginya; Aku dan Della akan menghadiri

pertemuan di dusun Sumur Gintung, dan Ciwaru. Keresek Baru akan

dihadiri oleh Heni dan Bowie, lalu Fo dan Iin ke dusun Babakan

Kamarung, lalu Jo dan Lala ke Keresek tua dan Panyingkiran. Sementara

itu Asep menjaga posko dan Nunu pulang karena ada undangan

pernikahan temannya.

Pembagian ini juga bermasalah. Motor kami hanya dua, artinya

harus ada yang berkorban. Tega nggak tega juga sih. Apalagi tanpa

penerangan yang cukup bisa membuat bulu kuduk berdiri saat melewati

pohon besar di pinggir lapangan sepakbola atau balong-balong yang

dingin dan sunyi.

Yang berkorban jalan kaki adalah Heni dan Bowie berhubung

dusun yang harus mereka datangi paling dekat. Jo memakai motor Asep

dan Fo membawa motornya sendiri. Sementara aku dan Della tak

mungkin jalan kaki, jarak dusun Sumur Gintung sama jauhnya dengan

langsung ke Panyingkiran, hanya saja dari Ciwaru ke dusun itu dibatasi

lahan pesawahan yang luas, sementara dari Ciwaru ke Panyingkiran

melewati dusun-dusun lainnya, masih ada tanda-tanda kehidupan.

Page 10: Desa Seribu Punten

10

Atas kebaikan hati –lagi-lagi– pak Usta, kami meminjam motor

tetangga. Motor yang kupinjam tidak bisa dibilang baik-baik saja, untuk

menyalakannya saja butuh usaha keras. Motor tipe Honda Prima jaman

dahulu kala yang tak terawat baik. Untuk menyalakannya tak perlu kunci

kontak, aku hanya perlu memutar choke di dekat karburator. Yang

kukhawatirkan adalah bagaimana kalau perjalanan kami tidak mulus?

Bagaimana kalau tiba-tiba mati di tengah jalan menuju dusun Sumur

Gintung yang dikelilingi balong? Aku buta otomotif. Sinyal ponsel di sini

nggak terlalu bagus, jadi akan sulit meminta bantuan kalau semuanya

tidak berjalan sesuai rencana. Ada suara menderu tak jelas dan krotak-

krotak yang menyeramkan dari sistem suspensinya sepanjang perjalanan

membuat pikiran-pikiran buruk terus menyerbu masuk sendi-sendi

impulsku.

“Takut berhenti di jalan...” komentar Della sewaktu kami

melewati jalan yang dikelilingi hamparan balong yang luas. Cahaya yang

bisa kulihat hanya memayungi saung di tengah-tengah balong.

Aku tak menanggapinya. Ketakutanku juga sama. Aku

menjalankannya sehati-hati mungkin. Selain motornya lambat, jalan rusak

pula. Jadi aku tak punya alasan untuk menggebernya.

Di balai dusun Sumur Gintung semua sudah berkumpul. Begitu

kami datang, acara dimulai. Aku tak bisa lama-lama di sini karena

diwaktu bersamaan Ciwaru juga punya pertemuan yang harus kuhadiri.

Aku merasa tidak nyaman ketika semua orang memperhatikan pidato

perkenalanku.Kucoba menebar senyum semeyakinkan mungkin,

masyarakat yang hadir makin menatapku lekat-lekat.

“...jadi tolonglah masalah penerangan juga bisa diakomodasi oleh

para mahasiswa KKN.” ucap seorang yang tampak paling berpendidikan

diantara semuanya.

Sialan … itu bukan tugasku! Protesku dalam hati.

Menurut pandangan mereka mahasiswa adalah orang sakti, punya

banyak uang dan pandai. Padahal semua itu jauh dari yang kumiliki.

Aku mencoba berdiplomasi sehalus mungkin bahwa

pembangunan infrastruktur bukanlah bidang kami. Kami bukan datang

dari jurusan tehnik sipil! Kami datang dari berbagai jurusan. Aku sendiri

dari kimia. Della dari sejarah. Fo dari keolahragaan. Asep dari teknik

mesin. Heni dari manajemen perkantoran. Iin dari matematika. Nunu dari

sastra Inggris. Lala dari pendidikan biologi. Jo dari seni musik. Dan

Bowie dari psikologi. Jelas tak ada yang berkompeten dalam bidang

infrastruktur! Hanya saja kebetulan kami datang dari universitas yang

bernaung di bawah nama pendidikan, jadilah pendidikan harus menjadi

Page 11: Desa Seribu Punten

11

spesialisasi kami untuk sementara waktu. Aku harus melupakan

sementara apa itu termokimia, apa itu feromon, apa itu membran dan

apapun itu tentang DNA, karena itu sama sekali tak berguna di sini.

Dalam kedua pertemuan malam ini aku mengatakan hal yang

sama seperti yang kuucapkan tadi pagi, atau setidaknya intinya seperti itu.

Aku bersyukur motor yang kami kendarai menjalankan tugasnya

dengan baik sampai kami tiba di pondokan lagi.

Tak ada cerita luar biasa dari anggota lainnya. Semuanya biasa

saja. Mungkin cerita Heni tentang perjalanannya melewati lapang

sepakbola dengan pohon beringin yang besar itu yang menurutnya sangat

menyeramkan, tapi menurutku sedikit –atau malah banyak– polesan

hiperbolis menghiasinya. Lagipula, aku tidak terlalu mempercayai

perempuan ini.

6 Dalam rapat karang taruna esok harinya aku mengulang lagi orasi

kemarin. Bosan aku dibuatnya. Karena sudah terlanjur mengajukan

bantuan dalam bentuk semampu kami, kena getahnyalah kami. Kami

diserahi tanggung jawab menjadi panitia, seksi acara dan dokumentasi,

untuk kejuaran voli antar dusun.

Hari minggunya, saat kejuaraan voli digelar, tiba-tiba ponselku

berbunyi. Aku tak tahu itu nomor siapa. Ternyata itu Wahyu yang

memintaku ikut rapat di posko KKN desa Pagaden. Aku terpaksa

meninggalkan teman-temanku yang membantu kejuaraan voli. Aku

senang bukan kepalang meninggalkan mereka menderita.

Pondokan di desa Pagaden membuatku iri setengah mampus.

Terletak di pinggir jalan dengan akses cukup jalan kaki ke kantor

kecamatan. Bentuk rumahnya modern dengan peralatan lengkap, kamar

mandi yang nyaman, dapur yang bersih. Aku berharap pindah saja ke sini.

Dalam rapat itu dibicarakan kesulitan yang ditemukan di

lapangan. Ada yang kesulitan bersosialisasi karena ada persaingan karang

taruna setempat sehingga tim KKN tersebut terjebak ditengah-tengah.

Mampuslah kalian, kubilang dalam hati. Ada juga yang kesulitan

mendapatkan data warga. Yang lain terhambat karena jumlah RT

setempat lebih dari 40 RT. Mendengar semua keluh kesah itu aku merasa

keadaanku lebih baik dari mereka semua.

Melihat kemewahan orang lain memang tak pernah membuat hati

dingin. Justru dengan melihat ke bawah membuatku bisa menepuk dada.

Aku hanya mendengarkan semua keluh kesah itu. Pengalamanku sangat

Page 12: Desa Seribu Punten

12

sedikit berkaitan dalam kegiatan organisasi Aku tak peduli apa yang

orang bicarakan selama itu tak menyangkut diriku. Dalam forum ini aku

makin yakin sifat dasar manusia adalah mengeluh, seperti yang

kulakukan.

Tetap saja hati ini panas melihat listrik yang dihambur-hamburkan

di sini. Mereka punya televisi yang menyala dan komputer yang terus

mendengung. Listrik adalah masalah yang kami temui selanjutnya.

Tinggal di rumah kampung seperti itu hanya memiliki daya listrik yang

standar. Saat menyalakan magic jar kami harus mematikan beberapa

lampu. Bahkan untuk mengisi ulang baterai ponsel saja kami harus

membuat jadwal. Ketiadaan komputer juga menjadi masalah. Memang

ada laptop Nunu, hanya saja –tanpa mengecilkan arti laptop yang aku tak

punya– laptop itu sudah heubeul. Bahasa Indonesianya laptop itu sudah

kuno, bermereka Toshiba, kotak abu-abu tebal itu baterainya sudah tidak

berfungsi dan harus dicolokkan ke stop kontak agar bisa menyala. Belum

lagi penggunaan Windows 98 yang berarti membatasi penggunaan

flashdisk.

Akhirnya Bowie memutuskan untuk pulang dan membawa

komputer. Dia pulang lalu kembali lagi sehari berikutnya lengkap dengan

keluarganya. Bowie dan keluarganya sangat akrab.

“Si ayah mah orang gila yang kabur dari rumah sakit.” Ucap

Bowie enteng.

Aku dan teman lainnya terbelalak mendengar Bowie begitu

mudahnya mengatakannya. Kalau aku bilang begitu di depan ayahku, bisa

dipastikan aku langsung digorok.

Ternyata keluarga Bowie memang penuh canda. Ayahnya adalah

seorang pejabat partai yang yang membawa SBY berkuasa di negeri ini.

Tubuhnya gempal, jauh dari kesan Bowie yang kurus, pembawaannya

juga kalem. Mereka juga datang dengan makanan yang berlimpah. Perlu

kuakui, walaupun selama hampir dua minggu kami tak pernah kelaparan,

tapi jelas kami tak pernah makan makanan yang memadai. Tanpa

mengurangi rasa hormat pada Ladies yang memasak, tapi makanan yang

kami santap sehari-hari selalu berputar antara sarden kalengan, mie

goreng, nasi goreng, bihun kecap, dan kembali lagi ke awal. Bukannya

masakan mereka tidak enak, tapi memang benar ternyata intensitas bisa

mengaburkan penilaian. Makanan enak pun kalau berulang-ulang

akhirnya bosan juga. Ladies juga mengakui kebosanan mereka, tapi akses

ke pasar yang jauh membuat kami memilih bahan-bahan yang tahan lama

agar tidak sering-sering menghabiskan waktu dan bensin dengan pergi ke

pasar.

Page 13: Desa Seribu Punten

13

7 Makan besar hari itu diakhiri dengan masalah listrik yang semakin

mendesak. Dalam beberapa hari sebelumnya Fo membujuk pak Kades

untuk me-loss-kan daya listrik di rumah ini selama kami di sini. Setahuku

itu perbuatan itu kriminal yang bisa dituntut pidana. Tapi apalagi yang

kubisa?

Setelah hampir dua minggu melakukan diet ketat listrik. Aku

mendatangi seseorang yang ditunjuk pak Kades untuk melakukan

tindakan kriminal itu. Namanya Ajip –bukan nama aslinya, saking tidak

pentingnya aku sampai lupa namanya. Katanya dia ini lulusan STM

elektro. Tapi dari obrolan yang kutangkap darinya bahwa dia ini seorang

pengangguran yang mengambil pekerjaan apapun. Dia sudah punya istri-

anak. Aku mengenalnya ketika ada di pasar malam. Pasar malam di

tempat ini digelar pada malam minggu, tempatnya di dusun Keresek

Baru.

Esok sorenya kami bisa menikmati daya listrik tanpa batas. Kami

bebas memakai komputer, sambil masak nasi, mengisi ulang baterai

semua ponsel bahkan kalau perlu menyalakan lampu yang tak perlu. Itu

dosa terbesar kami selama KKN.

8 Dengan listrik tanpa batas berarti kami bisa memulai pekerjaan

kami. Komputer pasti menyala kecuali kami tidur atau tugas keluar

semua. Pengambilan data warga dilakukan dengan pembagian tugas sama

persis dengan saat perkenalan ke tiap dusun. Tapi tetap saja tak semua

menjalankan tugasnya. Akhirnya aku dan Jo yang mengambil kebanyakan

dari data itu.

Pengambilan data ternyata tak segampang yang kupikirkan.

Beberapa kepala dusun baru saja terpilih dan belum punya data warga

lengkap. Dari kepala dusun sebelumnyapun masih tak bisa dan malah ada

kadus yang berseteru dengan kadus sebelumnya. Akhirnya solusi datang

dari Ladies agar memintanya ke ibu bidan. Dari Lala tepatnya.

Di desa seperti ini untuk menjadi populer sangat gampang, salah

satunya adalah dengan menjadi ibu bidan. Ibu bidan ini bernama Iin,

orangnya kecil, berkerudung. Beliau sangat baik. Siapapun mengenalnya.

Beberapa kali aku dan Jo tak bisa menemuinya, kadang pasiennya sedang

Page 14: Desa Seribu Punten

14

antri, kadang mengurus kelahiran bayi, kadang mengecek kesehatan ibu

pasca kelahiran dan itu dilakukan dengan mendatanginya langsung.

Namun dengan usaha berkali-kali juga dengan bantuan anggota kelompok

lainnya semua data bisa terkumpul.

“Kenapa?” Tanya Jo ketika kami berada di rumah bidan Iin yang

sedang melayani pasien. Kami duduk di ruang tamu yang cukup megah.

Sejak tadi aku memang tak banyak bicara. Mungkin Jo menyadari

kebungkamanku sehingga dia bertanya.

“Temanku, dia kehabisan bahan untuk penelitiannya.” Kataku

suram, “Dia minta bahan yang kusisakan untuk cadangan penelitianku.”

Perasaanku tak karuan, padahal penelitianku tinggal tahap akhir.

Aku menjelaskannya pada Jo. Dan dia memberikan masukan yang positif.

Akhirnya aku sms temanku untuk mengizinkannya mengambil bahanku

yang kusimpan di laboratorium riset.

9 Sudah kubilang kabupaten ini masih kuat pengaruh mistisnya

Masjid di pinggir jalan dekat SD Ciung Wanara memang tak pernah

kosong, tapi pekuburan di seberang desa juga selalu penuh.

Ya, malam jum’at kedua kami berada di desa itu adalah malam

jum’at kliwon. Ajip datang ke pondokan. Awalnya aku nggak tahu apa

maksudnya. Tapi perlahan dia mengajak kami ke acara Kliwonan. Acara

ini khusus diadakan setiap malam jum’at kliwon. Katanya acara ini

banyak didatangi oleh orang dari luar kota bahkan Jakarta. Ajakannya

kutolak dengan alasan rapat evaluasi. Aku tidak percaya urusan omong

kosong itu.

Pak Usta menjelaskan soal acara kliwonan itu setelah rapat

evaluasi selesai. Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala ketika

mendengar penjelasannya. Jadi acara itu dikamuflasekan dengan khotbah

di komplek pekuburan di jalan menuju desa Jabong. Kemudian setelah

khotbah maka para hadirin akan mengantri di sumur yang ada di dua

tempat untuk dimandikan. Yang satu adalah sumur Rizki (sudah jelas apa

maksudnya) yang kedua sumur Jodoh (ini juga tak mungkin keliru).

Sekitar pukul sepuluh, aku sudah bersiap ingin tidur. Kemudian

datang para pemuda dengan motor-motornya. Suara knalpot motor

mereka nggak ada yang waras, semuanya berderum keras dan atau

menjerit melekit. Mengganggu usahaku untuk tidur saja!

Penjelasan pak Usta bikin penasaran. Fo dan Jo mengajakku. Aku

berpikir sejenak. Nggak tiap hari aku menemukan hal seperti ini. Di kota

Page 15: Desa Seribu Punten

15

semuanya dipikirkan secara logis dan realistis, setidaknya aku salah satu

diantaranya. Ya sudahlah, aku ikut saja setelah memastikan Asep tinggal

menjaga pondokan dan Ladies yang tak mau ditinggal sendirian.

Aku dibonceng oleh pemuda bernama Somad. Anak ini adalah

lulusan SMKN 2 Subang jurusan otomotif, di desa dia membuka bengkel

kecil di pinggir jalan. Somad adalah objek penderita para pemuda desa.

Tampangnya yang bodoh, cara bicaranya nggak jelas, selalu melantur,

dan merasa benar sendiri. Apapun perkataannya selalu menjadi lelucon.

Kami berempati dan berusaha selalu mendengar ocehannya. Tapi

memang dasar dia juga nggak tahu diri. Setelah dua hari kami sampai di

sini dia mulai datang setiap malam ke pondokan. Sekali-dua kali kami tak

ada masalah, tapi kalau setiap malam dia datang dan baru pulang setelah

hampir tengah malam kami jadi kesal juga. Lagu kesukaannya adalah

‘Dokter Cinta’ dari Dewi-Dewi dan ‘Ucing Garong’. Dia selalu mereques

lagu-lagu itu. Anaknya memang polos jadi kami nggak tega mengusirnya,

jadi kami melayani semua ocehannya sampai dia bosan. Tapi tampaknya

dia tak pernah bosan.

Sesampainya di kompleks pekuburan aku takjub melihat mobil-

mobil yang diparkir di halaman. Hampir semuanya dari luar kota, banyak

juga yang dari Jakarta. Para pedagang kaki lima yang berhubungan

dengan mistis juga berderet di sana, yang paling menarik perhatian adalah

minyak buaya yang katanya bisa membesarkan penis dan keampuhan

tangkur buaya dalam meningkatkan gairah seks.

Anak-anak seumuran SMP juga ikut berkerumun di sana.

Aku dan Jo masuk ke dalam komplek pekuburan. Ternyata di sana

terang benderang. Orang-orang yang berpeci putih, berkerudung rapih

ataupun kerudung seadanya berkumpul di tengah-tengah komplek

memperhatikan pria yang berada di depan.

“Yak, tinggal 100 ribu, siapa lagi yang mau menggenapkan?” kata

seorang bapak berkumis tebal sambil berdiri dan memegang mikrofon.

Aku bertanya pada Ajip yang kutemui di depan tentang maksud si

bapak.

“Jadi shodaqohnya harus terkumpul satu juta, baru mulai

pengobatan.”

“Pengobatan apa?”

“Yaa…apa aja.”

Aku mengerutkan kening dan memutuskan untuk tidak bertanya

lagi, kecuali kalau ingin jawaban tolol keluar lagi dari mulutnya.

Seorang ibu berbedak tebal dan berlipstik merah norak maju

sambil menahan kerudung seadanya agar tidak jatuh. Menurutku dia

Page 16: Desa Seribu Punten

16

nggak perlu pakai kerudung sekalian. Si ibu memberikan selembar 50

ribu pada bapak berkumis yang memegang mikrofon.

Aku tidak melihat prosesi pengobatan karena memang belum

genap satu juta. Selain itu, Bowie mengajakku keluar, ke sumur karamat

–itu sebutan mereka. Aku mengikut saja. Para pemuda desa menggiring

kami menyusuri jalan setapak menuju sumur pertama. Sumur ini berada

di pinggir kali. Sumur itu ditutup oleh tenda yang seakan membuatnya

istimewa.

Aku melihat dari jauh bersama Bowie, sementara Fo dan Jo lebih

mendekat. Sumur ini dipercaya bisa memberi jodoh. Seorang bapak baru

keluar dari tenda dan digantikan oleh seorang pemuda. Cukup banyak

yang mengantri, bahkan Somad juga mengajakku bergabung.

“Moal akh…tiris!” ucapku beralasan, padahal selama di Subang

aku tak pernah berkenalan dengan kedinginan.

Setelah beberapa pemuda mandi di sumur itu, kami digiring ke

sumur selanjutnya yang ada di seberang jalan dan harus menyusuri tepian

sungai kecil untuk sampai ke sana. Ternyata Somad sudah mendahului

kami. Di sumur itu aku melihatnya mencuci muka dari air sumur. Tak

pelak dia menjadi guyonan pemuda yang lain.

“Kalau bukan jumat kliwon sumur ini dipakai apa?” tanyaku pada

seorang pemuda yang sering kulihat tapi belum kukenal namanya.

“Yaa… dipakai sumur biasa, buat mandi.” Katanya disela-sela

tawanya.

Aku merasa cukup dengan acara tak berguna ini. Aku mengajak

yang lainnya pulang.

10 Di akhir minggu kedua kami kedatangan dua orang tamu. Yang

pertama bernama pak Otoy, beliau adalah ketua dewan sekolah SD Ciung

Wanara. Yang kedua masih muda, kepalanya botak, dia adalah ketua

karang taruna desa yang belum pernah kami temui. Setelah lama sakit

akhirnya kami bisa bertemu dengannya.

Kedatangan kedua orang itu bukan hanya untuk bersilaturahmi.

Mereka juga memberikan undangan untuk ikut berpartisipasi dalam

kegiatan jumat bersih yang akan dilaksanakan di sekolah. Undangan ini

sangat mendadak karena acaranya besok harinya. Namun ini acara biasa

yang tak butuh persiapan apapun. Kami menyetujuinya.

Selain itu juga Pak Otoy menyampaikan beberapa hal pada

masyarakat. Beliau percaya para mahasiswa KKN jauh lebih dipercaya

Page 17: Desa Seribu Punten

17

daripada sekedar aparat desa. Mereka nggak tahu saja apa yang kami

lakukan di kampus!

“Jadi BOS itu hanya sekedar bantuan,” katanya penuh antusias

mulai mempengaruhi kami, “Tapi masyarakat tahunya bahwa sekolah

gratis berarti benar-benar gratis. Itu nggak benar. Dana BOS dilimpahkan

ke setiap sekolah dan sekolah secara otonom mengelolanya sendiri dana

tersebut. Jadi jalan atau tidaknya dana itu tergantung sekolah.”

“Tapi dana itu lancar setiap tahunnya?” tanyaku tak peduli

memotong pembicaraannya.

“Iya, dari pemerintah memang begitu. Hanya saja pada

pelaksanaannya, setiap sekolah memiliki prioritas yang berbeda-beda.

Ada yang dihabiskan dengan membangun sarana-prasarana sekolah, ada

juga yang dialokasikan untuk penyediaan buku...”

“Tapi kan ada juga BOS buku?” kali ini Jo yang memotong.

“Memang, tapi itu baru mencakup buku tiga pelajaran

matematika, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Itupun dipinjamkan,

bukan diberikan. Jadi kalau sekolah merasa perlu maka dana BOS bisa

dipakai untuk meng-cover kebutuhan buku lainnya.”

Intinya sudah kutangkap. Sebenarnya ini yang ingin beliau

sampaikan pada kami. Undangan jumsih dan silaturahmi hanya

pengantar. Selama ini yang kutahu juga bahwa dana BOS adalah untuk

semua anak. Tapi ternyata pandanganku keliru. Seperti yang disebutkan

pak Otoy, itu hanya bantuan. Yang berarti bantuan itu tidak mengganti

semua biaya tapi menutupi kekurangan. Hanya saja dengan gembor-

gembor media sekolah gratis maka masyarakat menginginkan semuanya

gratis. Itu yang perlu diluruskan.

Aku merasa iklan Dik Doang perlu dicerna secara komprehensif,

bukan ditelan bulat-bulat. Di iklan selalu digambarkan bahwa sekolah itu

gratis sampai pendidikan dasar.

“Tapi sebenarnya semua misi itu sudah terkandung dalam semua

iklan Dik Doang itu.” Kilah Jo saat aku membahasnya lebih lanjut setelah

pak Otoy pulang.

Dia benar. Untuk ukuran mahasiswa apalagi yang pintar, iklan itu

memang mengandung semua misi seperti yang diinginkan pak Otoy.

Hanya saja, tingkat pendidikan para orang tua murid mungkin tidak

cukup untuk mencapai pemahaman itu. Memang tak ada yang bisa

disalahkan dalam kesalahpahaman persepsi ini. Ini tugas bersama untuk

meluruskannya.

Page 18: Desa Seribu Punten

18

11 Kami telat pada acara Jumsih. Acara jam tujuh kami datang jam

delapan. Kayaknya telat menjadi kebiasaanku. Belum lagi kami tak

membawa peralatan. Aku dan Bowie balik lagi ke rumah membawa

parang dan sapu lidi untuk membuat diri kami berguna sekaligus berganti

celana pendek. Kami bersama warga lain membersihkan halaman

sekolah, memotong rumput, memunguti sampah mengumpulkannya di

satu tempat dan membakarnya. Kegiatan sederhana yang membina

silaturahmi.

Setelah kegiatan itu kami berfoto bersama warga. Tak ada yang

istimewa dalam acara itu. Bahkan kupikir tadinya kami punya

kesempatan untuk berbicara dengan warga meluruskan hal yang semalam

kami bahas, tapi nyatanya tidak. Kami pulang dengan keringat yang

membuat mandi pagiku percuma.

Setelah aku mandi lagi, kami kedatangan tamu. Kali ini dari SD

Sumur Gintung. Pak Harim adalah pembina pramuka di SD Sumur

Gintung dan SD Sindang Sono yang berlokasi di satu tempat itu. Beliau

juga menyodorkan undangan untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan

Persami di SD. Selain itu kami juga diminta melatih anak pramuka SD

itu. Kami menyanggupinya.

Di antara kami semua hampir tak ada yang memiliki latar

belakang pramuka. Waktu SD aku pernah ikut dalam tim yang

dilombakan tingkat sekolah, tapi aku cuma jadi cadangan. Aku lupa

tentang Dasa Darma, Morse, Semaphore, atau tali temali –yang kutahu

hanya simpul mati dan simpul lainnya kukarang sendiri kalau mengikat

barang untuk diantarkan ke Astana Anyar. Asep dan Lala memiliki solusi.

Karena mereka berdua orang Subang, kusuruh mereka untuk datang ke

almamaternya, SMAN 1 Subang.

Setelah jumatan mereka berdua kembali dengan membawa solusi

dan masalah baru. Solusinya bahwa mereka mendapatkan beberapa buku

panduan pramuka dan pengetahuan umum. Masalahnya bahwa pacarnya

Lala tahu Asep jalan dengan Lala. Awalnya kami tak mengira ini akan

jadi masalah.

Sorenya kami melatih anak pramuka. Ini pertama kalinya kami

berkenalan dengan anak-anak SD setempat. Aku dan Bowie mengajari

mereka mengenai pengetahuan umum. Aku merasa lucu sendiri karena

dulu waktu SD aku paling jago untuk ini. Hanya saja sekarang aku

melupakan hampir semua yang kuketahui. Aku cuma tersenyum-senyum

Page 19: Desa Seribu Punten

19

sendiri ketika mengajarkan anak-anak SD itu sesuatu yang tampaknya

sudah lama kulupakan.

Asep dan Jo mengajarkan baris-berbaris dan menerapkan standar

yang terlalu tinggi untuk anak-anak itu. Jo adalah mahasiswa Seni Musik

yang mendapat beasiswa militer. Jadi setelah selesai kuliah, dia akan

masuk akademi militer angkatan darat dengan pangkat letnan dua dan

sangat mungkin memimpin korps musik angkatan darat. Mana ada anak

musik yang jadi tentara? Ternyata ada dan aku akan bersamanya sampai

40 hari ini.

Dengan standar militer, Jo membentak anak-anak SD itu. Anak-

anak yang kulatih selalu kutakuti untuk kukirim ke posnya kalau tak bisa

menjawab pertanyaanku. Anak-anak itu tampak merengut saat aku

mengancam seperti itu.

Bowie membawakan pengetahuan pramukanya dengan begitu

ceria. Aku baru tahu dia bisa seperti itu. Padahal biasanya dia selalu

menolak meladeni Nur. Malah pernah mengancamnya dengan pisau.

Bowie adalah seniman sejati. Kemampuannya terkubur sebelum

kami punya komputer. Aku mengutak-atik windows explorer dan

menemukan ratusan gambar yang bagus, ditambah foto-foto yang di-

retouch dengan photoshop. Selama ini retoucher photoshop terbaik yang

kukenal adalah Pei –dia adalah pemimpin umum di buletin kampus, juga

sebagai lay-outer paling berbakat. Tapi melihat hasil karya Bowie, aku

yakin dia jauh lebih hebat dari Pei. Mungkin gaya mereka memang

berbeda, Bowie ahlinya gambar karakter manga dan anime Jepang,

sementara Pei lebih bergaya pop art. Di komputer itu ada banyak sekali

karakter diri Bowie yang diubah dalam gaya manga ataupun anime.

Keren pokoknya!

Fo mengajarkan mereka tali temali. Sementara Nunu dan dan

Heni memberikan pelajaran tentang pertolongan pertama dan obat-obatan

tradisional. Iin dan Della mengambil jatah pulang sejak hari kamis dan

akan kembali hari sabtu besok. Ketiadaan Della cukup menyulitkan

karena ada beberapa tanggal dalam sejarah yang perlu kutanyakan

padanya.

12 Setelah sore yang melelahkan dengan melatih anak-anak pramuka,

malamnya ada kejutan yang jauh lebih melelahkan. Awalnya beberapa

pemuda yang kukenal main ke pondokan. Kami menggelar lesehan

dengan suguhan seadanya, sebenarnya suguhannya cuma rokok dan kopi,

Page 20: Desa Seribu Punten

20

kombinasi mematikan yang menjadi favorit banyak orang. Awalnya aku

ikut mengobrol bersama mereka. Makin malam makin banyak pemuda

yang datang, beberapa dari mereka datang dengan keadaan mabuk.

Keadaan makin tak terkendali. Mereka menyanyi sambil berteriak,

menggenjreng gitar sekeras mungkin. Entah berapa banyak lagu yang

mereka nyanyikan tanpa diselesaikan. Aku malu pada warga sekitar,

apalagi sama pak Usta yang rumahnya tepat di samping pondokan kami.

Ladies yang tersisa hanya tinggal di kamar, enggan keluar.

Menurutku juga mereka tak perlu keluar. Aku sudah mengantuk berat

sebelum jam sebelas. Aku coba bertahan dengan harapan mereka segera

pulang. Tapi sampai jam dua belas mereka makin menggila. Bahkan

saking khawatirnya aku membawa semua barang pribadiku dan masuk ke

kamar depan.

Aku tahu aku terlalu khawatir. Tapi aku sedang berada di negeri

antah berantah dengan budaya yang samar bagiku. Ditambah lagi mereka

mabuk, tak ada yang tahu apa yang bisa mereka lakukan. Masih mending

aku tak mengusir mereka. Walaupun sebenarnya aku tak berani mengusir

orang sebanyak itu. Dari dalam kamarpun kudengar Fo dan Jo nggak

terlalu banyak omong, padahal mereka yang paling antusias menanggapi

pemuda setempat.

Setelah melewati tengah malam barulah mereka berangsur

menghilang. Aku segera menggelar kasur di ruang tengah. Kamar depan

memang tak cukup untuk dipakai tidur berlima, jadi hanya dipakai untuk

menyimpan pakaian, ruang ganti dan tempat sholat. Selama ini kami tidur

di ruang tengah, menghampar kasur.

Mataku terpejam tapi bayangan-bayangan di otakku masih

berseliweran. Walaupun sulit terlelap, aku tetap memejamkan mata

karena besok harus ke SD.

Anjing menggonggong di luar. Gonggongan yang bersahutan

membuatku menebak ada tiga anjing di luar sana.

“Wahh… aya naon yeuh!” kata Fo.

“Usir aja, Fo!” timpal Jo.

Aku mendengar Fo bangun dan membuka pintu depan. Dia

mengusir anjing-anjing itu.

“Rumah ini emang nggak beres!” kata Bowie tak lama setelah itu.

“Ada yang mengawasi kita.” Ujar Jo.

“Di kamar mandi sama di kamar Ladies tuh!” lanjut Fo.

“Benar tuh di kamar mandi,” tambah Bowie membenarkan,

“Kemarin waktu mandi habis Maghrib ada yang lewat di dapur, padahal

nggak ada siapa-siapa!”

Page 21: Desa Seribu Punten

21

Mulai lagi deh… aku tak mau mendengarnya, tapi aku tak bisa

apa-apa. Mataku terpejam tapi tetap mendengarkan ocehan mereka

tentang hantu.

Sejak awal memang Bowie dan Fo selalu merasa ada mahluk

halus di rumah ini. Perkiraan mereka didukung oleh selentingan yang

mengatakan kalau ibunya pak Usta ditemukan meninggal di kamar

mandi.

Jujur saja, aku juga terkadang merinding kalau sendirian di kamar

mandi. Apalagi kalau mau wudhu buat sholat Isya. Tapi ketakutanku

tidak membuatku melihat hal-hal aneh. Aku tak pernah percaya konsep

kebangkitan kembali lagi orang mati ke dunia hanya untuk menakuti

manusia. Katanya Bowie sudah dibuka mata cakranya atau apapun itu

namanya, tapi tanpa mengurangi rasa hormat, aku tak percaya. Entah

kenapa Bowie dan Fo selalu membenarkan cerita itu, Jo juga mulai

mendukungnya, padahal selama aku mandi setelah Maghrib tak ada

apapun di sana.

Keesokan harinya Bowie tak membahas soal hantu lagi dan hanya

berkata,

“Kalau semalam mereka bikin ribut, bisa jadi masing-masing dari

kita melawan delapan sampai sepuluh orang.” Aku tersenyum getir

mendengarnya. Melawan sepuluh orang setempat di mana aku dan teman-

temanku hanya menumpang sementara nampaknya jelas bukan pilihan

yang bijak.

13 Benar saja, besoknya kami kesiangan. Belum lagi aku harus

mencetak file soal-soal untuk Persami. Kalau di kota mungkin itu hanya

masalah kecil yang bisa selesai dalam beberapa menit. Tapi di sini ini

adalah masalah besar. Aku tak tahu dimana rental komputernya.

Aku meminjam motor Fo dan menuju desa Gunung Sembung.

Aku dan Pei berangkat satu motor mencari hal yang nyaris mustahil.

Awalnya kami menuju Subang kota, tapi tak menghasilkan apapun. Kami

menuju Pagaden. Setelah menempuh setengah jarak dari desaku ke

Kecamatan Pagaden, ada rental di pinggir jalan di desa Sukamulya,

tempat KKN Mimi. Gila, harganya seribu perak per lembar!

Aku kembali dengan mata yang sayu karena kantuk. Ketika

sampai di SD ternyata aku harus mencetak lagi beberapa file. Aku dan Jo

berangkat untuk mencetaknya. Sialnya, di tengah jalan Jo menyadarkanku

kalau ada razia yang dilakukan polisi. Aku ingat tak meminta STNK

Page 22: Desa Seribu Punten

22

motor yang kutunggangi. Akhirnya aku membelokkan motor ke sebuah

jalan di daerah pesawahan.

“Gimana nih?” kami duduk di sebuah saung kosong pinggir jalan.

“Lo bawa SIM ga?” tanya Jo, gayanya nyaris seperti anak Jakarta

dengan bahasa ‘Lo-Gue’-nya. Anak ini memang berasal dari Pontianak

jadi dia belum bisa memakai bahasa Sunda dengan lancar, sehingga

percakapan dengannya mutlak menggunakan bahasa Indonesia.

“SIM sih bawa tapi tetep aja kalo nggak ada STNK percuma.”

Seorang bapak tua datang dengan menenteng perkakas sawah.

“Punten pak, dupi kaditu aya jalan?” tanyaku padanya.

“Aya, engke kaluarna di Gunung Sari.”

Gunung Sari adalah desa tempat KKN Wahyu.

Kami tak punya pilihan lain. Setelah beberapa diskusi lewat

telepon dengan Fo dan Asep, akhirnya kami kembali ke desa dengan

menyusuri jalan yang tak kuketahui. Kupetakan jalan sesuka hati asal

menuju jalan raya. Beruntung kami bisa kembali. Akhirnya file yang

harusnya kami cetak ditulis tangan dan difotokopi di desa Gunung

Sembung. Bukan solusi pintar tapi setidaknya menyelesaikan masalah.

Saat kukembali ke SD, acara sudah dimulai. Anak-anak berbaris

di lapangan. Persami ini diikuti lima SD, dua dari Gunung Sembung, tiga

dari Sumur Gintung. Datang juga beberapa orang yang tampaknya

penting dengan memakai seragam coklat pramuka. Aku makin lelah.

Karena ini merupakan acara gabungan makanya anak-anak KKN dari

Gunung Sembung juga ikut mengurus acara ini. Dan aku bersyukur

karenanya. Saking lelahnya aku nyaris tak melakukan apapun dalam

acara itu. Bowie menangkapku dalam foto saat aku berdiri melamun

bersandar di tembok sementara yang lainnya sibuk berlalu lalang di

sekitarku. Foto itu menjadi salah satu kenang-kenangan paling menarik

saat KKN. Bowie berhasil menangkap momen ‘sendiri dalam keramaian’

untukku.

14 Kegiatan Persami ternyata menyemaikan benih cinta. Dari

selentingan yang pernah kudengar, KKN bisa bikin orang putus sama

pacarnya. Bagaimana tidak? Selama 40 hari bersama orang yang sama.

Sudah menjadi watak manusia yang terasing dari lingkungannya. Sama

seperti orang yang pergi ke Perancis dan di sana bertemu dengan orang

Indonesia, pasti mereka langsung dekat walaupun ternyata asal daerah

mereka berbeda pulau. Itulah yang terjadi saat KKN. Kalau bertemu di

Page 23: Desa Seribu Punten

23

kampus mungkin aku takkan menoleh sedikitpun, tapi di tempat ini

bertemu dengan orang satu almamater nampaknya bagai saudara sendiri.

Dengan cepat kami dan mahasiswa KKN desa Gunung Sembung

akrab layaknya teman lama, bahkan ketika istirahat sholat kami mengajak

mereka ke pondokan. Masing-masing dari kami memang punya kenalan

satu sama lain dengan anak KKN Gunung Sembung, seperti aku dan Pei,

jadilah itu katalis untuk mempercepat persahabatan kami.

Ada satu gadis bernama Reri, teman Pei, kulitnya putih dan kurus,

dia memakai kerudung. Di universitasku, gadis berkerudung bukan hal

yang jarang, malah terlalu banyak. Di tim KKN-ku pun hanya Lala yang

belum memakai kerudung. Reri ini, seperti yang kuperhatikan, orangnya

cerewet, gampang bergaul. Siapapun yang ngaheureuyan pasti

ditanggapinya dengan candaan lagi. Tak pelak beberapa kali aku

menggodanya. Asep setia menemaniku menggodanya.

Saat lomba Sandi (seperti Morse, Semaphore, dan Rumput) aku

lagi-lagi tidak terlibat. Untuk membunuh kantuk yang mendera aku

bercanda dengan Asep dan Reri di bagian belakang. Nah, di situlah benih-

benih cinta bersemai. Persami Bersemi.

15 Persami keesokan harinya, kami tidak terlibat. Ingin sekali

membantu, tapi hanya sekedar membantu, bukan mengerjakannya sendiri

layaknya itu acara kami yang bikin. Pengalaman dari mulai pelatihan

anak-anak SD sampai pelaksanaan seakan kitalah yang punya acara.

Mereka datang dua hari yang lalu meminta kami membantu, tapi fakta di

lapangan justru kamilah yang mengerjakan hampir semuanya.

Aku tak peduli lagi dengan mereka. ini jadwalku untuk pulang. Jo

mengantarku ke terminal. Kebetulan hari minggu ini Jo akan ke gereja. Jo

adalah tipe Kristen yang taat. Diantara teman-teman Muslim di kelompok

KKN, Asep adalah yang paling mendekati kriteria itu.

Jo biasanya bangun paling pagi diantara kami semua. Bahkan dia

selalu berteriak-teriak menyuruh kami bangun untuk sholat. Sekali waktu

aku pernah menantangnya bangun lebih pagi agar kebagian jatah mencuci

pakaian. Aku bangun jam setengah empat, aku lihat Jo sudah tidak ada di

atas kasur. Aku kalah dan tidur lagi.

Setiap sholat subuh, aku mendengar Jo berdoa. Sebelum ini aku

nggak pernah tahu bagaimana orang kristen beribadah, setahuku sih

mereka ke gereja tiap hari minggu. Tapi yang kulihat setiap hari minimal

Jo berdoa tiga kali sehari, yaa … hampir seperti minum obatlah. Ketika

Page 24: Desa Seribu Punten

24

aku shalat Subuh di kamar depan, Jo ada di sampingku, membelakangi

arahku shalat dan berdoa seperti bergumam, sementara di sisiku yang lain

Asep berdzikir dengan khusyuk. Entah apa yang terjadi di Palestina-Israel

atau Ambon dan Poso, tapi yang jelas potret hubungan antar umat

beragama yang kualami selama KKN sangat jauh dari kesan sangar.

Kembali ke Bandung berarti kembali ke peradaban yang kukenal.

Menonton televisi dengan bebas, membeli makanan yang tak ditemukan

di Subang –steak– juga menikmati udara yang sejuk. Ternyata benar apa

yang dibilang Nunu ketika kembali dari Bandung ke pondokan,

“Kalau udah di Bandung teh nggak mau balik lagi…” katanya

penuh antusias.

Itulah perasaanku. Seumur hidup aku tinggal di kota yang dijuluki

Parisj Van Java, aku tak pernah tinggal lebih dari sebulan di kota lain.

Tapi aku harus bersiap kembali lagi ke Subang. Terlebih setelah ada sms

dari Fo,

“Pak Ketu,” itu panggilannya untukku, “Cepat balik ke Subang,

aya masalah.”

Aku membalasnya, menanyakan apa yang terjadi tapi dia tak

membalasnya lagi.

Aku kembali dengan motorku. Aku membawanya karena alat

transportasi merupakan alat yang sangat vital saat KKN. Pei mungkin

nggak terlalu penting karena letak pondokan dekat ke jalan utama

sehingga bisa langsung naik angkot untuk ke kantor kecamatan Pagaden

ataupun ke Subang kota. Sementara bagi kami, dua motor sangat

menyulitkan, benar-benar menghambat kinerja kami.

Ketika kembali ke desa aku disuguhi masalah yang pelik. Selama

aku pulang dua hari, Ladies mendata minat anak kelas 6 SD yang akan

melanjutkan ke SMP. Diantara anak-anak dari ketiga sekolah di desa

kami ada satu anak yang minatnya terhambat. Namanya Mega, katanya

dia anak seorang buruh tani miskin yang tak sanggup membiayai

pendidikan anaknya.

Malamnya aku menghampiri pak Usta yang sedang beristirahat di

bale-nya. Aku berbasa-basi mengenai kepulanganku ke Bandung. Pak

Usta juga berbasa-basi tentang balong-balong-nya yang katanya sebentar

lagi akan panen dan mengajak kami ikut ke sana,

“Ameng ka Balong…” katanya dengan logat khasnya.

Aku mengarahkan pembicaraan ke pokok. Kami berkomunikasi

dengan bahasa Sunda yang terpatah-patah diselingi bahasa Indonesia

yang baku. Aku tak bisa berbahasa Sunda halus, sementara bahasa

Page 25: Desa Seribu Punten

25

Indonesia pak Usta tidak bagus. Jadilah gado-gado bahasa tersaji dalam

menu percakapan kami.

Aku menjelaskan permasalahannya. Pak Usta manggut-manggut

tanda mengerti gado-gado bahasaku. Kemudian dengan gado-gado

bahasanya, beliau menjelaskan keadaan keluarga Mega. Anak itu berasal

dari pasangan Carli dan Carmi. Pasangan yang serasi, pikirku. Ayahnya

hanya seorang buruh ngepak, buruh tani, pokoknya melakukan semua

pekerjaan yang bisa didapat dari orang kaya di desa ini macam pak Usta.

Penghasilan yang tidak tetap, membuat keluarga itu menikahkan kakak

Mega sewaktu berusia 15 tahun. Pak Usta juga mengatakan kalau

keluarganya selalu mendapat bantuan dari warga desa lainnya dalam hal

finansial.

“Ari bumina dipalih mana, Pak?” tanyaku dengan hati-hati.

“Ada di belakang rumah pak Kades,” inilah yang selalu

membuatku geli. Sementara aku berusaha menyesuaikan bahasaku agar

terdengar tidak asing di telinganya, beliau juga melakukan hal yang sama

kepadaku, “Lamun bade ka rumahnya, ulah wengi, teu aya listrik.”

“Besok siang atuh, Pak…” tawarku.

“Sumuhun atuh.”

Sial! Beliau malah menjawab dengan bahasa Sunda.

16 Pesan pendek dari Wahyu menggetarkan ponsel di saku celanaku

ketika aku menyapu kebun rambutan yang tertutupi daun-daun keringnya.

“Rapat di posko Pagaden.”

Hanya itu yang tertulis di layar ponsel.

Rapat mendadak membuyarkan rencana ke rumah Mega.

Aku meminta maaf pada pak Usta karena mungkin membatalkan

rencana kami. Jam sepulu aku dan Asep berangkat ke Pagaden. Kami

sengaja mampir ke Gunung Sembung agar pergi bersama Pei dan Pagie,

ketua kelompok KKN Gunung Sembung. Di pondokan mereka kami

bertemu dengan Reri lagi.

Rapat itu diadakan mendadak gara-gara kecamatan Pagaden

meminta partisipasi mahasiswa KKN untuk perayaan Agustusan di

kecamatan. Rencananya akan diadakan karnaval pada hari H. Wahyu

meminta pendapat para ketua kelompok untuk mengikutsertakan anggota

kelompok masing-masing dalam penjurian karnaval tersebut.

Aku tahu semuanya sibuk. Kurasa di setiap desa pun akan

menggelar kegiatan perlombaan atau semacamnya untuk memeriahkan

Page 26: Desa Seribu Punten

26

hari ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62 ini. Dan aku yakin setiap

kelompok KKN punya agenda sendiri di desa. Tapi toh tiba-tiba

permintaan itu datang. Tentu saja panyak pro-kontra yang menghiasi

rapat ini.

“Karena mereka meminta langsung, saya pikir kita harus

mempertimbangkannya.” Kilah Wahyu untuk menahan kontra dari ketua

Sumbersari, “Itulah makanya kita harus berpartisipasi, walaupun cuma

sedikit.”

Perasaan ‘nggak enak’ memang terlihat jelas. Kita sudah

menumpang, diberi berbagai fasilitas untuk menjalankan tugas, masa kita

menolak permintaan dari yang punya daerah. Memang alasan Wahyu

sangat logis, tapi pendapat-pendapat dari para ketua yang lainpun benar.

Nggak mungkin tiba-tiba mengubah rencana.

Pendapat yang paling logis kudengar dari ketua Cidadap,

“Masalahnya lokasi desa kami ke kecamatan itu sangat jauh, belum lagi

kami nggak punya motor. Masa harus sengaja datang ke kecamatan buat

ikut karnaval. Kami dari Cidadap nggak sanggup mengongkos ke sini

sesering itu.”

Dalam rapat itu nggak banyak yang bisa diambil karena memang

setiap ketua harus berdiskusi dengan para anggotanya sebelum

memutuskan. Dalam rapat itu akupun nggak banyak bicara. Bukannya

nggak mau berpendapat tapi aku malas berdebat seperti pada rapat rutin

pada minggu pertama yang lalu. Waktu itu aku memberikan solusi untuk

para ketua dari desa lain yang memiliki kesulitan untuk memperoleh data.

Waktu itu aku bilang, “Di desa biasanya ada ibu bidan yang

mempunyai data lengkap warga. Yang harus dilakukan cuma tinggal

minta data itu lalu datangi ibu kader di setiap dusun dan konfirmasi

mengenai kebenaran data itu biar up to date…”

Tapi salah satu ketua yang aku lupa dari desa mana menyanggah

dengan alasan keadaan di desanya yang tidak seperti itu. Aku bilang

padanya bahwa setiap desa punya keadaan masing-masing, aku hanya

memberi solusi sesuai dengan apa yang ada di desaku, mungkin saja bisa

digunakan di desa lain. Tapi kemudian dia berkilah lagi. Aku nggak

mendengarkan alasannya lagi. Aku memang bukan manusia yang terbiasa

duduk di forum dan berdebat tentang satu hal –yang sebenarnya nggak

terlalu penting. Apalagi aku hanya menawarkan alternatif solusi, kalau

istilah sunda-nya ditarima heug, teu kajeun!

Rapat mendadak tak menghasilkan apapun. Kami pulang. Siang

itu begitu menyengat. Saat sampai Gunung Sembung, Asep mengajakku

dzuhur di sana. Aku, yang tak tahan dengan teriknya mentari, menurut

Page 27: Desa Seribu Punten

27

saja. Lagipula, di sana aku bisa nonton televisi yang merupakan

kemewahan bagiku selama KKN. Setelah sholat, Reri dan temannya yang

kukenal dengan panggilan Ceuceu baru kembali dari sekolah.

Sambil menonton serial Heroes, kami ikut beristirahat di sana.

Aku nggak tahu siapa yang punya DVD bajakan itu, tapi serial itu

memang seperti yang dibicarakan orang-orang, seru. Dalam serial itu ada

orang-orang yang punya keistimewaan. Ada yang bisa terbang, ada yang

tak bisa terluka, ada yang bisa mengeluarkan radiasi nuklir. Bagiku serial

ini nampak seperti X-Men yang dibuat dengan latar belakang dan setting

yang lebih realistis meskipun menampilkan karakter-karakter imajiner.

Cerita seru memang menjadi jaminan serial yang aslinya disiarkan oleh

TV kabel itu, untuk itulah mereka membayar untuk menonton. Hanya

saja, menurutku orang terlalu terlibat secara emosional dengan serial

macam itu. Orang akan sering berkhayal bisa terbang, bisa menghilang.

Aku menangkapnya dari obrolan teman-teman kampusku yang berkata

sambil memperagakan, “Bagusan yang bisa terbang…”, “tapi kayaknya

yang bisa memainkan waktu lebih hebat, jadi bisa bolak-balik ke masa

lalu!”, “Enakan yang bisa punya semua kekuatan itu atuh…” Yah, maaf

bila seperti itulah obrolan mahasiswa harapan bangsa. Berkhayal itu

penting untuk membangun impian tapi kalau khayalannya tentang

kekuatan supranatural, itu cuma buang-buang waktu.

Tak terasa aku tertidur saat menonton Heroes. Ketika bangun, TV

sudah beralih ke acara gosip. Asep baru saja selesai sholat Ashar ketika

aku memutuskan untuk mengajaknya pulang. Asep menyuruhku sholat

dulu.

17 Rapat evaluasi malam itu nggak terlalu banyak yang dibahas.

Hanya tentang sistematika laporan dan pengisian instrumen yang

diberikan dari LPM. Permintaan untuk juri karnaval pun kubicarakan

selewat karena aku tahu mereka nggak terlalu bersemangat

menyambutnya. Dan aku benar, tak ada yang mau ikut dalam penjurian

itu.

Setelah rapat evaluasi, Heni dan Iin berebut komputer dengan Fo.

Mereka ingin duluan main Bounce, game yang sudah kutaklukkan

setahun yang lalu dengan nilai di atas 700 ribu, jadi aku tak terlalu

berminat memainkannya apalagi kalau sampai harus rebutan dulu.

Page 28: Desa Seribu Punten

28

Aku melihat Asep duduk di bale depan rumah pak Usta. Aku

menghampirinya. Dia sedang duduk merangkul lututnya sendiri di atas

bale. Aku berbaring di sampingnya. Aku tahu dia duduk sambil sms-an.

“Kumaha nya?” tanyanya padaku yang coba memejamkan mata.

“Apaan?” tanyaku spontan.

“Si Reri.”

Aku bangun dari posisiku. Aku rasa sesuatu yang menarik sedang

terjadi.

“Kenapa Reri?”

Lalu dia bercerita, saat aku tidur di Gunung Sembung tadi dia

saling menukar nomor telepon dengan gadis itu. Sekarang dia sms-an

dengannya. Sejak Persami aku bisa merasakan ketertarikan Reri pada

temanku ini, tapi aku nggak terlalu memedulikannya. Ketika kubilang

cinta bersemi, cinta Reri pada Aseplah yang kumaksud.

Asep adalah pria melankolis yang latar belakangnya belum

kuketahui dengan jelas. Barulah malam ini dia menceritakan kisahnya.

Saking melankolisnya, kisahnya kupikir layak diangkat ke layar sinetron.

Waktu itu Asep sedang ada di Sagalaherang, kampung

halamannya ketika liburan semester. Dia bersama temannya main ke

salah satu SMA di sana. Sekolah itu baru bubaran. Asep melihat gadis

manis berkerudung dan berkacamata yang membuatnya semakin terlihat

intelek. Singkat waktu Asep memberanikan diri untuk berkenalan

dengannya. Namanya Winda, rumahnya di Wanayasa.

Dulu aku pernah ke Sagalaherang, ke rumah Cecep, teman

sekelasku. Dan aku juga pernah berkendara dengan motor ke Danau

Wanayasa, danau yang memiliki sebuah pulau kecil yang rindang. Jalan

menuju Wanayasa sangat jauh, mungkin hampir 15 km dari rumah Cecep.

Setelah kenalan itu Asep dan Winda beberapa kali jalan bareng.

Winda akan segera lulus SMA sementara Asep mahasiswa tingkat tiga,

jarak yang cukup untuk menjalin kasih.

Suatu malam minggu Asep mau berkunjung ke rumah Winda.

Semangatnya sedang berada di puncak. Puncaj gairah untuk

menumpahkan kasih yang memenjara. Di jalan ponselnya berbunyi. Asep

tak kenal nomornya.

“Ya?”

“Ini Asep ya?” tanya dari seberang telepon.

“Iya, ini siapa?”

“Saya Agung, pacarnya Winda.”

Jelas Asep tak bisa menahan emosinya. Maksud kunjungannya ke

rumah Winda adalah untuk menyatakan cintanya. Tapi dengan pengakuan

Page 29: Desa Seribu Punten

29

ini, tak mungkin dia meneruskan maksudnya. Dia kembali ke rumahnya

di ujung Sagalaherang demi meredam emosinya.

Keesokan harinya Asep meminta konfirmasi pada Winda.

“Nda, sayang sama Aa Asep, tapi nggak bisa ninggalin Agung.”

Kuketahui dari cerita selanjutnya kalau Agung sudah bekerja

(entah di Purwakarta atau di Karawang, aku tak peduli). Winda tak bisa

memutuskannya karena kasihan. Mendua tak hanya monopoli kaum

Adam, ternyata.

Jawaban itu menggantungkan hubungannya. Sudah kubilang Asep

adalah pria melankolis yang tak tahan melihat perempuan menangis,

apalagi perempuan itu disayanginya. Akhirnya hubungan segitiga itu

berlanjut sampai hari Asep menceritakannya padaku.

“Itulah makanya … setiap saya bertanya dia selalu menangis dan

itu bikin saya nggak tega menanyakannya lagi.” Jawabnya saat

kutanyakan soal ketegasan.

“Tapi tetap aja, kamu harus tegas!” ucapku sok bijak, “Itu

makanya kamu bingung sama Reri?”

Asep mengangguk.

Kutanyakan perasaannya.

Dia menggeleng.

“Kenapa saya?” ucapnya lirih.

“Aku juga menggodanya, tapi senyumnya lebih lebar waktu

mendengar leluconmu.”

Sang cinta sudah bersemi, sang penabur harus menuai.

18 Besoknya, aku dan Pei pergi ke Pagaden untuk memberitahukan

hasil keputusan kelompok. Dalam rapat itu kami ditanya masing-masing

mengenai kesiapan peran serta dalam karnaval.

“Kelompok saya belum siap untuk menyatakan siap,” kata orang

yang dulu pernah berdebat denganku.

Semua kelompok menyatakan ketidaksiapannya sampai tiba

giliranku menjawab.

“Kelompok saya siap,” sudah ada senyum lebar yang terkembang

di ruangan itu, apalagi Wahyu, “untuk menyatakan tidak siap!” lanjutku

dengan nada datar. Derai kekecewaan mengambang lagi. Masalah ini tak

mungkin selesai kalau hanya menanyakan kesiapan masing-masing

kelompok.

Page 30: Desa Seribu Punten

30

Secara musyawarah diputuskan bahwa yang akan ikut dalam

penjurian adalah yang desanya dekat dengan kantor kecamatan. Itu berarti

mencakup lima desa, Pagaden, Gunung Sari, Sukamulya, Kamarung, dan

Sumbersari. Menurutku itu cukup adil.

Saat kembali ke pondokan aku langsung terkapar. Iin dan Nunu

sedang mengajar anak-anak kecil yang datang ke pondokan, sementara

yang lain ada yang main game di komputer atau hanya sekedar

menggenjreng gitar. Baru saja aku terpejam beberapa menit, pak Usta

datang ke rumah. Dia menanyakan kapan aku bisa ke rumah Mega. Aku

baru ingat telah membatalkan rencana itu dua kali. Aku merasa malu,

kenapa harus pak Usta yang menagih? Harusnya aku yang memintanya

dengan sopan.

Dengan mata yang masih terpicim dan wajah bengkak karena

panas memicu keringat dan minyak di wajahku membuatnya

mengembang –dalam istilah kimia mengembang disebut swelling. Aku

tersenyum karena itu mengingatkanku pada penelitian yang

kutinggalkan– aku mengikuti langkah pak Usta. Beberapa kali aku

menanyakan pertanyaan nggak penting untuk mengisi perjalananku

menuju rumah Mega. Maklumlah pak Usta bukan tipe orang tua yang

suka berkoar tanpa ditanya.

Rumah Mega sangat sederhana –itupun kalau bisa disebut rumah.

Hanya seukuran kamarku di Bandung dengan teras sekotak kecil di sudut

depan rumah itu. Berbentuk rumah panggung bangunan itu terbuat dari

kayu dan bilik bambu yang sudah kusam. Aku memutuskan untuk

mengobrol di teras saja daripada membuat diri tidak nyaman dengan

berdesakan di dalam ruangan. Di bilik tergantung sebuah lampu minyak

yang sudah karatan.

Desa ini bukanlah desa yang sangat miskin, makanya aku agak

heran melihat penampakan rumah ini. Bahkan desa ini dikenal sebagai

penghasil ikan karambah paling besar se-kecamatan. Setelah mengobrol

tentang keinginan Mega untuk meneruskan sekolah aku tahu bahwa

sebenarnya Mega ingin sekali melanjutkan ke SMP. Persoalan biaya

menjadi alasan utamanya. Aku jadi teringat ucapan Kepala Dinas

Pendidikan sewaktu di Pendopo.

Aku berusaha keras untuk menyamakan frekuensi dengan

berbahasa Sunda. Kalau pak Usta masih terbata-bata bahasa

Indonesianya, ibunya Mega tampaknya tak tahu kalau bahasa Indonesia

itu pernah ada. Di rumah itu aku tak melihat Mega, bahkan aku tak

pernah melihatnya sebelumnya karena aku sangat jarang ke SD, berita

itupun aku tahu dari Ladies. Hanya ibunya yang berbicara denganku,

Page 31: Desa Seribu Punten

31

ayahnya ada di situ tapi dia sedang mengotak-atik sepeda motor, entah

punya siapa. Aku juga melihat kakak Mega yang sudah menikah, dilihat

dari tampangnya dia memang masih muda. Aku jadi takut Mega juga

bernasib sama dengannya.

Aku berjanji untuk membicarakannya dengan anggota lainnya

untuk mencari pemecahannya. Dalam hati aku berharap janjiku bukan

janji para pemimpin negeri ini.

19 Malamnya, kami mendiskusikan cara membebaskan Mega dari

masalah. Hanya saja kami tak tahu apa yang harus kami lakukan. Dari

awal aku berpandangan KKN hanya liburan saja, tak pernah terpikir akan

menghadapi hal seperti ini. aku dicekoki cerita-cerita liburan oleh teman-

temanku. Aku kira mereka benar, tapi ternyata salah besar.

Nyaris tak ada pemecahan, Della menyodorkan buku kuning

panduan KKN. Aku pernah jalan dengan gadis jurusan sejarah ini ke kota

untuk belanja kebutuhan sehari-hari. Waktu itu dia mengaku awalnya tak

berminat mempelajari sejarah. Kemudian dia menjelaskan,

“Dalam laporan KKN nantinya kita harus memasukkan solusi

untuk pemecahan permasalahan pendidikan di desa ini. Di buku ini ada

beberapa pilihan, pembentukan SD-SMP satu atap, program SMP

terbuka atau bahkan membuka SMP baru di daerah ini. Kita hanya perlu

menganalisisnya dan menemukan solusi apa yang pas untuk desa ini.”

Baru kali ini, sejak tiba di desa, aku begitu peduli soal pendidikan.

Dari berita televisi aku tahu kalau masih banyak anak Indonesia yang

tidak sekolah, aku sering melihatnya di jalanan tapi tak pernah

memedulikannya. Hanya merasa miris tapi tak pernah tergerak untuk

membantu.

Anak putus sekolah di desa mungkin lebih baik daripada di kota.

Walaupun keduanya sangat menyedihkan setidaknya di desa mereka

masih bisa bekerja menjadi buruh tani atau ngepak. Tapi keadaannya

akan berbeda dengan di kota. Anak-anak terbengkalai itu akan menjadi

peminta-minta di setiap perempatan jalan seperti Riau-Ahmad Yani,

Soekarno-Hatta-M. Toha dan banyak tempat lainnya. Memang salah

untuk membiarkan mereka tetap di jalanan, tapi mahasiswa berkapasitas

sepertiku tak bisa melakukan banyak hal untuk menolongnya. Memberi

mereka akan menjadi pelajaran moral yang buruk. Kalau bisa mendapat

dari meminta buat apa bekerja? Negeri ini sudah dibangun di atas fondasi

Page 32: Desa Seribu Punten

32

peminjaman hutang, mengemis akan menjadi tiang rapuh yang

melemahkan moral bangsa ini.

Bandung bukanlah kantung kemiskinan di Indonesia. Aku tak tahu

apa status itu akan bertahan lama. Dengan cara menyingkirkan mereka

dari jalanan malah menambah masalah.

Belakangan aku melihat salah satu strategi yang jenius dari para

perencana tata kota seperti yang diterapkan di perempatan Merdeka-Aceh

dekat BIP, di sana semuanya disatu-jalurkan, tak ada rambu lampu yang

membuat kendaraan berhenti di perempatan sehingga tak ada kesempatan

untuk pengamen dan pengemis untuk menjalankan profesinya. Solusi itu

sukses, tak ada lagi anak jalanan, pengamen, pengemis yang berpusat di

sana. Tapi kemana mereka? Menyingkir dari jalanan bukan berarti

kehidupan mereka lebih baik, walaupun jelas tinggal di jalanan bukan

yang terbaik untuk mereka.

Mudah untuk memutuskan apa yang baik untuk desa ini. Tapi

tetap saja harus dilakukan analisis terhadap permasalahan ini.

“Besok kita harus bertemu sama kepala sekolahnya.” Ucapku.

“Kayaknya kita perlu ketemu sama kepala dinas!” usul Jo. Aku

tahu maksudnya adalah kepala dinas pendidikan, “Waktu di Pendopo

dulu dia kan bilang banyak bantuan yang bisa dimanfaatkan dari sekolah,

bantuan Gubernur. Nah, kita perlu memastikan sejauh apa bantuan itu

bisa dimanfaatkan untuk masalah ini.”

Aku mengangguk tanda mengerti.

“Kalau begitu besok senin kita temui Kepala Dinas Pendidikan

Kabupaten!”

Besoknya kami hanya ke sekolah Mega. Hari sabtu menghalangi

rencana kami ke dinas pendidikan. SD Sumur Gintung yang satu lokasi

dengan SD Sindang Sono itu terlihat lebih modern, bangunannya lebih

baik dari sekolah kembarannya. Setalah bertanya-tanya, ternyata

diketahui kalau mereka baru saja mendapat bantuan dana sebanyak 45

juta rupiah yang kemudian digunakan untuk merenovasi sekolah.

Perbincangan dengan kepala sekolah tua itu kemudian menyentuh

permasalahan Mega.

“Setiap tahunnya sekolah ini mendaftarkan semua lulusannya ke

SMP yang mereka inginkan tanpa terkecuali. Hanya saja memang ada

yang tidak memanfaatkannya dengan baik.” Kata kepala sekolah yang

keriputnya sudah tercetak jelas di wajahnya, “Seperti kasus tahun

kemarin, ada anak yang sudah dimasukkan ke SMP Jabong, tapi ternyata

dia nggak masuk terus. Masalahnya biaya transportasi.”

Page 33: Desa Seribu Punten

33

Tak ada jaminan yang bisa didapat dari pembicaraan ini. Kami

harus menunggu sampai bertemu pak Doyok.

20 Malamnya, kami diundang ke acara Rajaban di dusun Keresek

Baru. Kami menghadirinya di Balai Dusun yang bersangkutan. Acara ini

ceramah tentang Isra Miraj Rasulullah yang dibawakan oleh seorang

ustadz dari Pamanukan, dekat pantai utara.

Ceramahnya agak kasar. Dia sendiri mengakuinya dengan

berdalih itu sebagai karakter orang yang berasal dari pantai utara. Dia

mengkritik orang yang mendengarkan ceramah sambil makan, dan juga

mengkritik terang-terangan pada panitia yang hanya memberinya waktu

sedikit untuk berceramah dengan sindiran,

“Seperti orang yang datang jauh-jauh ke sebuah undangan masa

hanya dua menit lalu pulang lagi…”

Inti dari ceramah ini mudah ditebak, sesuai dengan perintah yang

didapatkan Rasulullah saat Isra Miraj, ceramah ini juga membicarakan

tentang sholat lima waktu. Aku tak tahan dengan kantuk yang mendera,

sesekali aku tertidur tapi terbangun lagi karena nggak mau ketahuan, tapi

akhirnya aku tertidur lagi dan terus seperti itu sampai acara selesai.

Fo, Bowie dan Jo nggak ikut acara itu. Mereka lebih tertarik pada

konser Naif di Subang Kota. Aku pernah melihat konser mereka, aksi

panggungnya gila, apalagi David, sang vokalis. Mereka berangkat

bersama para pemuda desa naik motor mereka. Sulit untuk melarangnya,

harus ada keseimbangan yang terus dijaga. Hubungan dengan aparat desa

menjadi prioritasku. Asep lebih ke segi kerohanian desa. Ladies dengan

masyarakat sekitar rumah. Sisanya memfokuskan pada sosialisasi dengan

karang taruna dan pemuda desa. Sayangnya berbagai proritas itu seolah

mengkotak-kotakkan kami.

Besoknya, sejak pagi kami sudah diajak ke balong oleh pak Usta

dengan logat khasnya,

“Ameng ka balong…”

Setelah membereskan rumah dan mandi, aku, Heni, Asep, Iin, Fo

dan Nunu beranjak ke balong. Kami membawa kamera untuk

mengabadikan momen-momen yang mungkin didapatkan. Ternyata

balong-balong pak Usta sangat luas. Aku melihat empat petak balong

dengan luas masing-masing sebesar setengah lapangan sepakbola.

Beberapa orang desa menceburkan diri ke dalam balong dan masing-

masing memegang ujung jaring. Kami disambut antusias oleh pak Usta

Page 34: Desa Seribu Punten

34

yang berdiri mengawasi jalannya panen. Memang benar, banyak momen

yang bisa kuambil.

Ikan-ikan mas kecil yang berwarna-warni itu berkumpul di satu

tempat. Aku beranjak ke saung di tengah balong dimana Heni dan Nunu

sedang menaburkan parab lauk. Aku mengambil keranjang makanan ikan

dan menaburkannya. Serentak ikan-ikan itu berebutan mengejar

makanannya. Kutaburkan lagi ke beberapa tempat. Ikan-ikan itu bergerak

lagi seperti gumpalan emas kemerahan yang diayun-ayunkan di dalam air

berwarna coklat. Aku memotret keindahan yang jarang kulihat itu dengan

antusias.

Kegiatan orang-orang desa yang menjaring ikanpun kuabadikan.

Mereka berpose malu-malu. Ikan-ikan kecil berukuran dua jari

menggelepar-gelepar di atas jaring. Ikan-ikan itu kemudian dipindahkan

ke jaring di sebelahnya. Ikan-ikan kecil itu dijual ke waduk Jatiluhur di

Purwakarta untuk dibesarkan. Ada raut kebahagiaan di wajah mereka.

Maklum dalam sekali panen, satu balong menghasilkan keuntungan

hampir lima juta rupiah. Kalau musim panas seperti ini harganya lebih

mahal lagi.

Ketika pulang dari balong ada dua undangan, dari dusun Ciwaru

dan dusun Sumur Gintung. Setelah makan malam bersama pak Usta dan

keluarganya kemudian kami lebih memilih perayaan Rajaban di Ciwaru.

Pertimbangannya jelas, kami tinggal di dusun ini dan seperti yang dulu

kualami dengan Della, dusun Sumur Gintung terlalu jauh untuk dicapai

apalagi pada malam hari.

Dalam acara itu kami disambut bak selebritis. Kami ditunggu

untuk memulai acara. Berlebihan!

21 Seminggu berikutnya adalah awal dari perjuangan yang akan kami

tegakkan. Setelah minggu pertama pandangan kami soal KKN berubah

sedikit-demi-sedikit. Awalnya kami bertekad untuk menyelamatkan Mega

dari masa depan yang suram, namun yang kami dapat justru jauh

melebihi harapan kami semua.

Senin pagi, sekitar jam sembilan, aku, Jo, Della dan Nunu

berangkat ke Subang Kota bersama Asep dan Reri. Mereka berdua akan

pulang ke Bandung bersama untuk menyelesaikan registrasi. Selama

seminggu yang lalu Asep bergulat dengan perasaannya sendiri. Setiap

Reri sms, dia bertanya padaku sebelum membalas. Atau kalau tidak ada

aku, maka dia bertanya pada Fo atau Bowie. Semua itu mengarah pada

Page 35: Desa Seribu Punten

35

perjodohan mereka. Akhirnya ketika Reri tahu Asep akan ke Bandung

hari ini, maka Reri minta untuk ikut.

Cukup tentang mereka berdua.

Tujuan utama kami ke Subang Kota adalah untuk bertemu dengan

kepala dinas pendidikan. Asep pergi begitu saja ketika kami sampai di

depan gedung itu. Kami masuk ke lobby kemudian menjelaskan maksud

kedatangan kami kepada beberapa petugas yang berlalu-lalang di sana. Di

situlah kami merasa malu berat.

“Maaf, Dik, ini adalah Dinas Pendidikan Kecamatan Subang

Kota.” Kata seorang bapak berkumis tebal.

Mampus, kami saling berpandangan. Sialan si Asep!

Dengan sopan aku meminta maaf dan meminta petunjuk di mana

Dinas Pendidikan Kabupaten berada. Petugas itu menjelaskan pada kami

arah yang harus kami tuju.

Sebelum kami pergi, bapak itu berkata lagi,

“Untuk permasalahan itu, sebaiknya ke Dinas Pendidikan

Kecamatan Pagaden dulu.”

Kami hanya iya-iya saja. Tekad kami untuk bertemu langsung pak

Doyok sudah terlalu berkobar. Lagipula kalau kami harus ke Dinas

Pendidikan Kecamatan Pagaden, berarti kami harus menempuh jalan

yang sangat jauh. Karena sudah terlanjur di Subang Kota maka kami

sepakat untuk menyambanginya dulu.

Di depan kantor dinas pendidikan kabupaten, kami kecele.

Awalnya aku ragu apa yang kulihat itu pak Doyok atau bukan. Setelah

berdebat saling meyakinkan yang malah makin membuat kami ragu, kami

masuk ke kantornya. Di sana kami diberitahu kalau beliau baru saja

berangkat. Sekretarisnya juga tidak tahu kapan beliau akan kembali.

“Tuh kan!” ujar Jo.

“Kita ke dinas kecamatan.” Ucapku lirih.

Udara yang pengap dan teriknya mentari tak menyurutkan tekad

kami. Untuk mencapai dinas pendidikan kecamatan Pagaden berarti kami

harus menempuh dua kali perjalanan menuju pondokan. Itu berarti sekitar

20 km.

Kami buta soal letak dinas pendidikan Pagaden. Jadilah aku dan

teman-temanku ini menuju ke kantor kecamatan untuk menanyakan pada

petugas di sana. Menurut petugas yang kutemui di depan kantor

kecamatan, kantor dinas pendidikan berada di desa Kamarung, di pinggir

jalan sebelum belok ke arah desa Sukamulya.

Kami bergegas. Di sana kami bertemu pak Otoy. Beliau memang

bekerja di sana. Dengan bantuan beliau kami bertemu dengan pejabat

Page 36: Desa Seribu Punten

36

PLS (Pendidikan Luar Sekolah). Kepala dinasnya sedang keluar, katanya.

Pejabat PLS itu adalah seorang ibu berkerudung, tubuhnya lumayan

gemuk, namun cukup cantik untuk seumurnya. Gaya semiformal dengan

hiasan bahasa Sunda seakan menjadi keharusan sebagai tanda kesopanan.

Padanya kami bertanya mengenai SMP terbuka yang merupakan

solusi paling memungkinkan untuk Mega. Sebelumnya kami memang

berdiskusi tentang ini dan memutuskan SMP terbuka adalah yang paling

memungkinkan.

“SMP terbuka itu memiliki sekolah induk. Di kecamatan ini ada

dua sekolah induknya, yaitu SMPN 1 dan 2 Pagaden.”

Lokasi SMPN 1 Pagaden Aku tidak tahu, tapi SMPN 2 aku tahu.

Sekitar seminggu yang lalu kami diajak kami berenang ke water boom.

Gaya oge Subang boga water boom… decakku membaca ajakan

Pei melalui sms waktu itu.

Water boom yang lumayan megah untuk ukuran kabupaten

macam Subang. Memang tidak terlalu luas layaknya Water Boom di

Cikarang, tapi cukup untuk membuat kami bersenang-senang. Di sana Jo

diajari berenang oleh Fo dan aku mengikutinya. Setelah belajar berenang

di kolam besar dan dalam, kami pindah ke kolam yang lebih kecil. Kolam

yang dalamnya hanya sepinggangku itu punya dua seluncuran, seluncuran

lurus dan melingkar.

Kami bolak-balik menuruni seluncuran itu sembari difoto oleh

Ceuceu atau Reri. Dua gadis itu ikut walaupun tidak berenang. Mereka

memotret aksi gila kami. Kami berderet di pinggir kolam dan berpose

seperti orang gila. Tak pinggir kolam, kami masuk ke dalam kolam dan

berderet seperti anak kecil bermain kereta-kereta apian. Sungguh waktu

itu kami tak memikirkan orang lain yang ada di sekitar karena memang

tak banyak yang berenang di sana. Peduli amat kalau mereka

menganggap kami orang gila, tak sudi kami balik ke sini lagi.

Belum cukup di dalam kolam, kami naik ke tempat seluncuran. Di

tingkat paling atas anginnya sangat kuat. Rambut gondrongku melambai-

lambai ketika difoto. Water Boom ini terletak di pinggir jalan utama dan

di belakangnya hamparan sawah hijau yang sangat luas. Baru kali ini aku

melihat tempat berenang berada di sekeliling pesawahan yang indah. Dari

atas sana juga aku bisa melihat lokasi SMPN 2 Pagaden. Lokasinya tepat

di seberang jalan. Di plangnya aku juga membaca tulisan SMP Terbuka.

“Jadi konsep dari SMP terbuka itu,” lanjut ibu yang dipanggil

mama Mia oleh rekannya, panggilan itu mengingatkanku pada suatu

acara di TV nasional yang tak pernah kutonton, “tiga hari belajar di desa,

tiga hari belajar di sekolah induk. Ini diperlukan karena fasilitas seperti

Page 37: Desa Seribu Punten

37

lapangan olahraga atau komputer yang hanya ada di sekolah. Selain itu

semua perlakuannya sama.”

Pertanyaan kami beralih ke program kejar paket B dan C.

Permasalahan ini juga kami angkat karena ternyata banyak orang desa

yang berminat mengikuti ujian persamaan ini.

“Untuk kejar paket, baik B ataupun C harus menunggu kucuran

dana dari pemerintah kabupaten. Nah, dari dana tersebut akan didirikan

kelompok belajar di satu desa setiap kecamatan. Tapi kalaupun dananya

turun tetap saja tidak bisa didirikan begitu saja.”

“Kalau peminatnya banyak?” Tanya Jo.

“Itu juga menjadi salah satu pertimbangan.” Jawab si ibu, “Kita

harus menganalisis dengan penuh pertimbangan.”

Jadi intinya walaupun di desa Sumur Gintung banyak peminatnya

kalau peminat di desa sekitarnya kurang, maka akan sulit didirikan

kelompok belajar. Aku menangkap kesan tidak mungkin untuk

mendirikan kelompok belajar di Sumur Gintung karena sudah ada

kelompok belajar di desa lain. Dan katanya dana untuk alokasi kejar

paket tidak akan turun setiap tahun.

Peluang untuk kejar paket seakan tertutup. Kami akan

memfokuskan pada solusi SMP terbuka. Untuk itu, tujuan selanjutnya

adalah SMPN 1 Pagaden. Letaknya dekat kantor kecamatan. Kalau ke

kantor kecamatan belok ke kiri dari jalan raya Pagaden, maka SMPN 1

mengambil jalan lurus kemudian belok kanan sebelum pintu lintasan

kereta api.

Terik mentari mencapai di ubun-ubun. Anak-anak bercelana biru

berlarian, berteriak dan berlalu lalang. Beberapa anak perempuan

berbisik-bisik waktu kami memarkirkan motor. Saat istirahat ini banyak

mereka manfaatkan dengan berjalan-jalan di luar sekolah. Aku nggak

tahu apa aturan SMP sudah berubah, atau ini hanya di sini saja, seingatku

waktu aku SMP aku tak bisa berkeliaran seenaknya di luar sekolah.

Setelah menunggu beberapa saat kami diberitahu kalau bu

Nunung, pengelola SMP terbuka, tidak ada di tempat. Katanya beliau

sedang mengikuti penataran di Bandung. Dengan kecewa kami kembali

ke pondokan tanpa menghasilkan apapun seharian ini.

22 Tekad kami terlanjur membumbung. Besoknya, kami meluncur

kembali ke Subang Kota. Kami kembali menelan kekecewaan ketika

Page 38: Desa Seribu Punten

38

petugas yang sama menyatakan pak Doyok tak ada di tempat. Kemudian

ketika menuju SMPN 1 Pagaden hasilnya sama juga.

Hari kamis, aku dan Jo masih pantang menyerah menyambangi

kantor dinas pendidikan kabupaten. Lagi-lagi beliau masih sibuk. Petugas

yang kami temui mungkin bosan melihat kami bolak-balik tiap hari, kali

ini memberikan nomor telepon untuk menghubungi kalau-kalau pak

Doyok sudah kembali. Tanpa membuang waktu kami meluncur lagi ke

SMPN 1 Pagaden. Akhirnya kami bisa menemui bu Nunung.

Kami diajak ke sebuah ruangan di dalam gedung sekolah. Kala itu

pelajaran olahraga nampak sedang berjalan. Anak-anak SMP

mengenakan kaus olahraga putih kombinasi biru. Mereka berlari

berkeliling. Lagi-lagi beberapa anak perempuan berbisik-bisik pada

temannya ketika kami lewat.

Aku mencoba menebak-nebak apa yang mereka pikirkan. Melihat

mereka aku jadi bertanya-tanya; apa mereka bercita-cita mengenakan jas

almamater dari sebuah universitas terkenal? Apa mereka sudah

menentukan profesi yang akan mereka geluti nantinya? Apa hanya

sekedar menikah setelah lulus SMP? Hanya menjadi ibu rumah tangga

yang memiliki kemampuan intelektual standar sehingga standar itu juga

yang diterapkan pada anaknya kelak?

Lalu kapan negeri ini bisa maju?

Aku teringat anggota dewan terhormat yang diberi insentif lebih

setiap undang-undang yang mereka sahkan, mobil dinas yang harganya

cukup untuk membiayai semua anak di sekolah ini, tunjangan untuk

renovasi rumah dinas yang mereka sendiri jarang tinggal di dalamnya.

Kemudian pikiranku beralih kepada kebijakan pemerintah yang berbelit-

belit tentang pendidikan, kurikulum yang terus berganti hampir tiga atau

empat tahun sekali, kadang hanya berganti nama tanpa program yang

benar-benar baru. Sekarang kukenal KTSP tapi tiga tahun yang lalu masih

berseragam KBK. Kupikir tanpa kurikulum yang konsisten anak-anak ini

nggak mungkin mengerti tujuan mereka belajar.

Waktu masih bersekolah dulu, kurikulum 1984 berlaku sampai

1994, lalu direvisi dengan kurikulum 1999, aku nyaris tak pernah belajar.

Mungkin memang karena kemampuan otakku yang lambat, tapi tentu saja

kurikulum yang tidak konsisten mempengaruhi kesiapan mental untuk

belajar. Kemampuanku terasa tertinggal dari beberapa temanku yang lain.

Ketika kelas 3 SMP, mengerjakan soal aljabar seperti membakar

kepalaku, begitu juga saat dua tahun pertama di SMA, akhirnya baru di

tahun ketiga SMA aku mengerti cara yang baik untuk menyelesaikan

aljabar. Namun itu sudah terlambat, teman-temanku yang lain sudah

Page 39: Desa Seribu Punten

39

menghajar soal-soal diferensial dan integral, sementara aku baru merasa

sukses dengan keberhasilan aljabarku.

Pengalamanku itu mungkin saja berulang pada anak-anak ini. Saat

melihat gelagat pemuda-pemuda di desa Sumur Gintung, aku yakin

mereka berlari sejauh mungkin dari hal-hal yang berhubungan dengan

belajar. Somad dan teman-temannya bergaya terlalu kota, televisi sudah

meracuni mereka. Kupikir mereka tidak tahu gaya topi dimiringkan khas

penyanyi R&B kulit hitam, rambut Mohawk a la David Beckham yang

terlihat konyol di kepala mereka, rantai yang bergelang di pinggang

mereka seperti rantai kapal yang sedang mengangkat sauh, dan ponsel-

ponsel Nokia terbaru mereka membuatku minder dengan ponsel yang

kumiliki. Sejak awal kupikir segala kesederhanaan yang akan kulihat di

desa, tapi aku salah besar.

“Ini punya kalian?” tanya bu Nunung sambil menunjukkan

payung berwarna biru.

Aku dan Jo saling memandang.

“Kemarin ada anak KKN juga kemari, mereka ketinggalan ini.

Tapi yang kemarin memang perempuan. Bukan kalian?”

Apa yang membuatnya berpikir kami mirip perempuan?

Terik mentari Subang memang menyayat. Kurasa beberapa

mahasiswi yang takut kulit putih mulusnya menjadi gelap gulita berusaha

mengurangi intensitas cahaya matahari dengan memakai payung.

Sejujurnya akupun khawatir kulitku yang tidak putih ini semakin

menghitam. Tapi memakai payung jelas tidak ada dalam kartu pilihanku.

Kami meninggalkan urusan payung.

Aku dan Jo mulai bergantian menceritakan maksud kedatangan

kami. Penjelasan bu Nunung hampir sama dengan yang dijelaskan si

mama Mia di dinas pendidikan kecamatan, hanya saja teknisnya lebih

jelas.

“Hak mereka sama. Bahkan yang mendapatkan juara siswa

teladan tahun kemarin berasal dari SMP terbuka.” Kata bu Nunung

dengan kebanggaan yang tersirat dari pipinya yang mulai semerah

kerudungnya, “Kalau ada perlombaan mereka juga akan diikutkan.

Pokoknya semua disamakan.”

“Tapi gengsi bisa berbeda kan?” celoteh Jo.

“Memang ada beberapa anak yang minder, tapi tampaknya itu

bukan masalah. Malah ada anak yang mampu tapi dia tidak bisa masuk ke

SMP reguler, mereka memilih masuk SMP terbuka di sini daripada

masuk swasta.”

Page 40: Desa Seribu Punten

40

“Rupanya masuk swasta lebih mengerikan daripada SMP

terbuka.”

Kami terkekeh beberapa saat.

Ponselku bergetar di saku celana sebelah kiri. Aku mematikannya

karena bu Nunung mulai membahas masalah pendaftaran.

“Setiap tahun kami melakukan sosialisasi kepada setiap kepala

sekolah dasar di seluruh kecamatan agar mendaftarkan anak-anak yang

kurang mampu ke SMP terbuka, namun memang siswa di sini masih

kurang. Padahal kalau dilihat ke lapangan, justru masih banyak anak usia

sekolah yang tidak sekolah.”

Masalah budaya. Penjelasan bu Nunung mengingatkanku lagi

pada perkataan pak Doyok di Pendopo. Sudah bukan rahasia bahwa

masih banyak orang tua yang belum menganggap pendidikan sebagai hal

yang penting. Dan kalau sosialisasi yang dikatakan bu Nunung memang

sudah dijalankan berarti budaya ‘pendidikan tidak penting’ memang

harus didobrak dengan kekuatan jutaan panser.

“Lalu pendaftarannya?”

“Kalau saat ini memang sudah terlambat.”

Kami menjelaskan masalah Mega. Aku berkali-kali mematikan

ponsel tanpa melihat siapa yang menghubungi.

“Jadi, kami bisa mendata anak-anak yang berminat, lalu

menyerahkan daftarnya ke sini?” tanyaku sambil mematikan lagi

ponselku.

Bu Nunung menjawab dengan penjelasan yang cukup panjang.

Aku penasaran dengan ponselku yang terus berdering walau sudah

kumatikan berkali-kali. Aku minta izin untuk keluar ruangan. Ponselku

masih berdering saat aku keluar ruangan.

Ternyata pacarku. Ketika kuterima dia memanggil namaku sambil

merengek. Dia memintaku pulang ke Bandung. Draft skripsinya harus

diajukan besok sementara hasil bimbingannya siang ini dengan dosen

banyak yang harus direvisi. Aku bingung. Pulang ke Bandung memang

tak memakan waktu banyak, paling lama satu jam setengah, tapi situasi

menuntut kehadiranku di sini.

Setelah urusan dengan bu Nunung selesai, aku menceritakan soal

pacarku pada Jo. Dengan bijak dia menyuruhku untuk pulang. Lagipula

belum ada yang bisa dilakukan lagi sebelum kami bertemu pak Doyok.

Aku menyetujuinya, tapi aku akan berusaha menemui pak Doyok

sebelum pulang sore ini.

Waktu masih menunjukkan pukul sebelas. Matahari sudah

memanggang sedari tadi. Aku mulai tak memedulikan efeknya pada

Page 41: Desa Seribu Punten

41

kulitku. Sinar UV makin memacu enzim tirosinase dalam tubuhku untuk

meningkatkan produksi melanin secara massal yang membuat kulitku

semakin menghitam, tapi yang jelas aku harus membuat sesuatu yang

berarti untuk membayar hitamnya kulitku. Itu yang membuatku, juga

mungkin Jo dan yang lainnya, tetap bertahan menghadapi kondisi alam

yang cukup ‘ekstrem’ ini.

Aku menghubungi petugas dinas pendidikan kabupaten

sesampainya di pondokan Gunung Sembung. Sengaja kami nggak

langsung pulang agar tidak menghabiskan bensin.

Bensin adalah komponen yang paling kami perhatikan. Harga

bensin subsidi adalah momok berbahaya. Sekarang saja dengan harga Rp

4.500 sudah sangat kerepotan karena jarak satu tempat-ke tempat lain di

sini cukup jauh. Kita tahulah betapa pada sektor ini negara kita dalam

krisis. Aku tidak akan terkejut kalau nantinya pemerintah akan

menaikkan harga BBM lagi atau pembatasan bensin bersubsidi.

Kebijakan pemerintah di sektor ini entah kenapa banyak yang mental.

Sebut saja program langit biru, program bahan bakar nabati (BBN) dari

tanaman jarak, dan yang paling baru program konversi minyak ke gas.

Langkah terakhir itu juga masih menuai protes karena masyarakat kita

sudah terlalu tergantung minyak. Gas dengan segala teknologinya

dianggap terlalu sulit dipahami penggunaannya. Belum lagi ada

kekhawatiran meledaknya tabung gas.

Jusuf Kalla sebagai pengusung utama menegaskan kalau tabung

gas aman. Rakyat kita nggak percaya begitu saja. Mereka lebih rela

mengantri berjam-jam untuk minyak tanah ketimbang belajar

menggunakan teknologi baru. Rakyat harus belajar, pemerintah harus

berbenah kalau tidak mau dua dekade setelah ini kita babak belur gara-

gara krisis energi. Aku yakin sekali siapapun pemimpinnya, tak ada yang

akan bisa menghentikan laju harga minyak dunia yang menyebabkan

penaikan harga minyak bersubsidi, apalagi non-subsidi. Oposisi yang

meneriakkan ketidakbecusan pemerintahpun tak mungkin bisa

mengatasinya. Satu-satunya cara adalah dengan berhemat, tapi itupun

tidak cukup. Produksi bahan bakar nabati macam bio-etanol dan bio-fuel

dari minyak jarak perlu dikembangkan lagi untuk mengatasi krisis energi

di masa depan. Entah bagaimana perilaku harga minyak bumi di masa

depan, tapi berhemat adalah suatu keharusan yang tak bisa ditawar-tawar!

Indonesia memiliki potensi panas bumi terbesar di dunia. Dua

puluh lima persen potensi dunia ada di Indonesia, dan empat puluh

persennya ada di pulau Jawa. Islandia saja memanfaatkan sumber panas

buminya yang jauh lebih sedikit dari Indonesia untuk menyalakan listrik

Page 42: Desa Seribu Punten

42

di setiap rumahnya. Kadang kita harus belajar pada negara yang jauh

lebih kecil dari Nusantara ini.

Aku sempat tidur di Gunung Sembung. Sebelum tidur aku melihat

Reri. Aneh karena Asep bilang dia akan kembali ke Subang jumat sore

bareng Reri. Aku tak bertanya apapun pada Reri dan menjelang tidur

lelapku menunggu dzuhur.

23 Ruang kerja kepala dinas mencerminkan kekuasaannya. Dan dia

cukup sinting dengan merokok di ruangan ber-AC. Kombinasi asap rokok

dengan udara AC bereaksi begitu kompleks dan menghasilkan zat yang

sangat berbahaya. Setelah sebatang rokok habis dia tak membiarkan

udara mengkondensasi dirinya sendiri dan membakar batang berikutnya.

Aku yakin ini bukan sekali ini saja. Aku tidak akan terkejut kalau nanti

dia mengidap penyakit berbahaya. Bukannya menyumpahi tapi merokok

adalah kontrak mati dengan berbagai penyakit, minimal jantung atau

kanker.

Tidak merokok telah membatasi pengeluaranku. Seorang teman

dari desa lain mengatakan dia menghabiskan lebih dari separuh dana

KKN untuk rokok. Ternyata isu pembakaran rokok juga diangkat oleh

kepala dinas,

“Mereka yang mengaku miskin itu ternyata suka merokok. Tapi

mereka bilang nggak ada uang untuk transportasi, baju seragam, buku-

buku buat anaknya sekolah. Biasanya mereka menghabiskan satu

bungkus, itu minimal! Kalau diambil harga paling murah sekitar 5000

rupiah per bungkus per hari, anda bisa menghitung sendiri berapa banyak

yang mereka punya yang harusnya bisa dialokasikan untuk pendidikan

anaknya selama sebulan!”

Entah apa dia ingat atau tidak tiap hisapan rokoknya saat

mengatakan itu. Aku paksakan senyumku terus mengembang.

Ya, rokok memang bukan barang terlarang. Justru itu

menyebabkan perubahan perilaku masyarakat secara umum. Rokok

adalah barang legal sehingga tak ada yang bisa menghentikan aksi para

perokok. Dengan tak ada alasan untuk berhenti, maka dengan mudah

rokok bisa menjangkiti setiap sendi masyarakat. Empat puluh tujuh

persen laki-laki adalah perokok sementara perempuan hanya dua belas

persen saja. Tapi aku yakin data ini sama sekali tidak akurat untuk

sekarang ini.

Page 43: Desa Seribu Punten

43

Promosi rokok memang dibatasi. Di iklan produk rokok tak ada

sama sekali orang yang merokok. Iklan rokok di televisi hanya boleh

tayang setelah malam menjelang. Bahkan di Jakarta ada Perda yang

mengatur kebebasan merokok di ruang publik yang hanya menjadi macan

ompong.

Kehebatan para lulusan manajemen pemasaran yang bekerja di

perusahaan rokok memang pantas dibayar mahal. Walaupun dibatasi,

mereka bisa dengan gencar mempromosikan produknya. Satu hal yang

menggelitikku adalah siaran olahraga. Entah bagaimana di negara lain

tapi di Indonesia siaran olahraga, terutama sepakbola, justru banyak

disponsori produk rokok. Sungguh mereka punya selera humor yang

ironis. Dan seperti yang kulihat di desa Sumur Gintung, dan aku yakin

terjadi di banyak desa lainnya, produsen rokok menyalurkan produk

mereka ke desa-desa sebagai syarat untuk meloloskan proposal bantuan

dana untuk peringatan Agustusan. Ironis, miris, dan sungguh tragis.

Dan uniknya, walaupun Amerika Serikat didaulat sebagai negara

bebas, mereka justru lebih ketat dalam urusan ini. Di sana orang yang

bisa membeli rokok adalah orang yang sudah dewasa, sementara di

Indonesia yang adat ketimurannya dianggap masih terjaga, anak kecilpun

bisa membelinya di warung.

Aku membayangkan seorang ayah menyuruh anaknya pergi ke

warung untuk membeli rokok. Kalau imajinasiku boleh dibiarkan lebih

liar, tinggal menunggu waktu sampai si anak membeli rokok bukan hanya

untuk ayahnya, tapi juga untuk dirinya sendiri. Lalu bila imajinasiku

boleh lebih menggila, tak perlu menunggu waktu lama untuk membuat si

anak memperlihatkan rokoknya pada teman-temannya dan mengajak

mereka bergabung. Dalam urusan ini negara kita justru lebih bebas dari

sang adikuasa Paman Sam itu.

Dari yang kupelajari dikuliahan, rokok memiliki 599 bahan aditif.

Celakanya, tak ada satupun dari 599 itu adalah bahan terlarang, semuanya

legal sebagai bahan tambahan makanan yang disetujui dalam daftar FAO

dan WHO. Hanya saja masalahnya bukan bahan-bahan aditif itu.

Masalahnya muncul saat rokok itu dibakar. Berbagai reaksi pembakaran

yang kompleks menghasilkan 4000 senyawa kimia berbahaya yang

memiliki sifat beracun dan karsinogen.

Nah lho…!!!

Nikotin adalah senyawa laknat yang menyebabkan kecanduan. Zat

ini hanya butuh waktu sepuluh detik untuk sampai ke otak dan

mempengaruhi impuls untuk terus menghisap dan menghisap lagi. Jelas

perokok tidak punya kesempatan berpikir untuk berhenti.

Page 44: Desa Seribu Punten

44

Sedangkan untuk urusan kanker, ada dua yang bertanggung

jawab, senyawa radioaktif dan non-radioaktif.

Radioaktif yang terkandung dalam rokok adalah Timbal-210 dan

Polonium-210. Timbal-210 akan meluruh menjadi Radium-226,

kemudian menjadi Radon-222. Timbal-210 juga bisa meluruh menjadi

Bismut-210. Peluruhan senyawa-senyawa tadi diikuti oleh pelepasan

sinar alfa, beta ataupun gamma. Nah yang bikin senyawa tadi bersifat

karsinogen adalah pelepasan sinar alfa, beta dan gamma bisa membuat

sel-sel tubuh bermutasi dan menyebabkan kanker.

Proses itu didukung senyawa non-radioaktif yang bernama

benzopiren dan nitrosamine. Keduanya terbentuk setelah pembakaran,

jadi saat rokok masih utuh keduanya tidak pernah eksis. Keduanya bisa

menyebabkan mutasi gen yang berakibat kesalahan penerjemahan pada

replikasi DNA dan membuat tubuh mengembangbiakkan sel kanker.

Kebiasaan merokok juga bisa menyebabkan kemandulan. Hal ini

bisa terjadi karena tembakau mengandung logam kadmiun. Logam

kadmium sangat mirip dengan logam seng (dalam sistem periodik unsur

kimia, kadmium berada tepat di bawah seng yang berarti mereka

memiliki kemiripan sifat. Dalam kuliah kuliah Anorganik 2 aku membuat

kajian tentang pemurnian kadmium, dari situ aku tahu bahwa dalam

setiap logam seng yang diisolasi mengandung setidaknya 2% logam

kadmium dan untuk memurnikannya membutuhkan proses yang amat

sangat panjang sekali). Kadmium bisa saja menggantikan seng pada DNA

polimerase, suatu enzim pada pembentukan sperma. Dengan penggantian

ini kemungkinan produksi sperma akan terganggu atau hasil produksi

nggak seperti seharusnya. Untuk perempuan juga nggak kalah

berbahayanya. Kebiasan merokok pada ibu hamil sangat beresiko tinggi

terjadinya keguguran.

World Health Organization mencatat 560 orang meninggal setiap

harinya gara-gara kebiasaan merokok. Dalam setahun ada 4,9 juta jiwa

melayang. Dan pada abad ke-20 ada satu milyar kematian yang

berhubungan dengan kebiasaan merokok. Yang paling mengerikan

berdasarkan hasil penelitian Royal College Of Phisycian, Inggris pada

tahun 1971, sebatang rokok dapat memperpendek umur lima menit.

Walaupun aku tidak bisa membantah kematian itu adalah hak prerogatif

Tuhan, tapi data itu tak bisa diabaikan begitu saja.

Belum lagi dampak lingkungan akibat asap rokok. Banyak

industri yang dilarang beroperasi gara-gara menyumbang asap untuk

pemanasan global, tapi asap rokok juga salah satu penyumbang terbesar.

Pemanasan global yang berujung ketidakpastian iklim, mencairnya es

Page 45: Desa Seribu Punten

45

kutub, naiknya permukaan laut juga mesti kita sikapi dengan serius.

Pemerintah dan para pejabat dunia bisa membuat regulasi untuk

menghentikan pemanasan global. Tapi aku jelas tak bisa membuat

perubahan sebesar itu. Hal kecil yang bisa kulakukan adalah dengan tidak

merokok.

Kampanye anti-rokok nyaris tak ada yang berhasil, dan aku yakin

kampanyeku ini tak akan membuat perubahan besar.

Urusan rokok beralih ke sejarah pak Doyok ketika dia kuliah di

kampus yang sama denganku.

“Bapak dulu waktu kuliah nggak punya kosan. Bapak tinggal di

Al-Furqon buat tidur dan belajar sambil bekerja. Akhirnya sampai bisa

menyewa kost-an. Jadi intinya bukan kemampuan finansial untuk

membiayai sekolah yang jadi masalah, tapi pemikiran mereka yang

kurang mendukung pentingnya pendidikan!” katanya berapi-api.

Aku mengamini pendapatnya. Aku tahu benar bagaimana urusan

finansial berperan dalam pendidikan. Keluargaku memang tidak

kekurangan tapi pendidikan tinggi adalah suatu kemewahan bagi kami,

mungkin juga bagi sebagian besar masyarakat Indonesia.

Sebelum pergi KKN sedang musim-musimnya ujian saringan

masuk perguruan tinggi. Setiap universitas pemilik status BHMN tak

menyia-nyiakan kesempatan untuk membuka ujian masuk sendiri,

termasuk universitasku. Ini adalah indikator yang jelas bahwa pendidikan

adalah barang mewah di negeri ini. Bila terus seperti ini aku yakin lulusan

SPMB –yang namanya terus berganti entah kenapa– sepertiku suatu saat

tidak akan dipandang sebagai anak pandai, tapi anak miskin! Bergesernya

persepsi itu akan memunculkan paradigma baru bahwa masuk melalui

saringan khusus lebih bergengsi daripada lulusan SPMB. Dulu waktu aku

lulus SPMB ibuku sangat bahagia. Tapi nanti kurasa lulus SPMB bukan

suatu hal yang hebat lagi.

Kemudian pembicaraan kami menyentuh isu politik.

“Sebenarnya Indonesia belum mampu menyediakan pendidikan

gratis,” kata pak Doyok, “hanya saja di konferensi internasional dituntut

agar semua negara menyediakan pendidikan gratis setidaknya sampai

pendidikan dasar agar posisi di peringkat dunia bisa naik. Makanya

digembor-gemborkanlah ke dunia internasional kalau Indonesia sudah

memberikan pendidikan gratis pada masyarakatnya. Sekolah gratis, buku

gratis, semuanya untuk politik.”

Jujur saja, untuk yang satu ini aku baru tahu. Kupikir pendidikan

dan politik punya garis batas yang tegas layaknya air dan eter dalam

corong pisah pada proses ekstraksi, tapi aku salah.

Page 46: Desa Seribu Punten

46

“Sementara masyarakat memahaminya dengan cara yang berbeda,

gratis ya harus gratis semuanya!” lanjutnya, “Tapi sebenarnya tidak bisa

begitu dana BOS itu hanya bantuan…”

Perkataannya berlanjut dan mengingatkanku pada perkataan pak

Otoy ketika mengundang kami kerja bakti di SD Ciung Wanara.

“Sebenarnya bapak lebih senang jadi kepala sekolah.” Katanya

setelah ocehannya tentang politik selesai.

Aku teringat bahwa Asep pernah bilang kalau saat dia sekolah di

SMAN 1 Subang, pak Doyok inilah kepala sekolahnya. Menurut Asep,

pak Doyok memang kepala sekolah yang sangat baik, beliau

menggratiskan anak yang tidak mampu untuk tetap sekolah. Julukan pak

Doyok pun diamininya sebagai julukan yang disetujui walaupun

sebenarnya beliau punya nama yang sangat bagus, pak Makmur. Mungkin

berdasarkan namanya dia ingin memakmurkan anak-anak putus sekolah.

“Jabatan kepala dinas ini sangat berat,” lanjutnya dengan

bersahaja, “Kemarin saja saya baru dipanggil oleh DPRD. Mereka ingin

tahu apa bisa menaikkan tingkat pendidikan di kota Subang ini. Saya

bilang dengan tegas, ‘Bisa!’. Memang berat, tapi saya yakin bisa. Kalian

sudah menghitung nilai APM dan APK di desa kalian?”

Aku mengangguk dan menyebutkan angka pastinya.

“Tapi itu masih kasar, sebenarnya kita harus menggunakan APM

untuk menghitungnya, tapi karena hasilnya sangat kecil, maka nilai APK-

lah yang dipakai.” Katanya lagi.

APK dihitung dengan membagi jumlah siswa pada jenjang

tertentu (SD atau SMP) dengan jumlah penduduk pada kelompok usia

tertentu dan dikali 100%. Sementara APM dihitung berdasarkan jumlah

siswa usia sekolah pada jenjang tertentu dibagi dengan jumlah penduduk

pada usia tertentu dan dikali 100%.

Awalnya aku bingung kenapa persentase APK bisa lebih dari

100%, secara matematis itu sama sekali tidak mungkin. Tapi hasil

pembicaraan ini mencerahkanku.

“Sekarang begini, di kota Bandung persentase APK pasti lebih

besar dari 100%. Ini disebabkan adanya anak-anak dari kabupaten yang

sekolah di kota. Jadi jumlah anak yang sekolah bisa saja melebih anak

usia sekolah yang seharusnya di kota Bandung. Jadilah APK di kota

Bandung bisa lebih dari 100%.” Jelasnya, “dinas pendidikan Jawa Barat

rebutan tuh sama Jakarta. Kata dinas pendidikan Jawa Barat, ‘Itu anak

dari daerah saya!’ tapi kata Jakarta, ‘Tapi mereka sekolah di Jakarta!’. Ini

semua tak bisa dijadikan parameter keberhasilan tingkat pendidikan.”

Page 47: Desa Seribu Punten

47

Aku mengagumi penjelasan ini. Ternyata memang ada perbedaan

antara pengalaman dan pembelajaran di kelas.

“Memang berapa orang yang terancam putus sekolah?” tanyanya

mengakhiri curhatnya.

Kami gelagapan menjawabnya. Kami belum punya data pasti.

Saat ini, pada saat yang sama ketika aku dan Jo mengobrol dengan kepala

dinas, teman-temanku berpanas-panas mendatangi orang-orang yang

mungkin ingin sekolah tapi tidak mampu untuk didata. Berpanas ria

seakan menjadi kebiasaan baru bagi kami.

“Sepuluh orang!” jawab Jo tegas, aku tahu dia mencari jumlah

yang cukup banyak untuk membuat kepala dinas percaya kalau memang

dibutuhkan dibangunnya SMP terbuka atau bahkan SMP baru, tapi

jumlah itu cukup sedikit untuk kami bisa mencari sepuluh orang yang

memang putus sekolah. Dia berpikir cepat dan aku menyukai karakternya

yang satu ini.

“Sekarang memang sudah terlambat untuk memasukkan anak ke

sekolah, tapi itu tak ada masalah.” Benar katanya, ini sudah bulan

Agustus sementara kebanyakan sekolah dimulai bulan Juli, “Kalau kalian

menemukan anak yang putus sekolah ditingkatan apapun masukkan

mereka ke sekolah terdekat. Tapi untuk lanjutan tingkat atas, kalian bisa

masukkan ke SMKN 2 Subang. Saya masih punya kewenangan di sana.

Kalian masukkan mereka, kalau ada hambatan dari kepala sekolahnya,

kalian hubungi saya!”

Dimulai pembicaraan inilah kami mulai menuliskan cerita yang

patut dikenang di kabupaten Subang ini.

24 Sebelum pulang ke Bandung aku harus mengantar Jo dulu

kembali ke pondokan. Ladies heran karena aku langsung bersiap-siap

untuk pergi lagi. Mereka ingin melaporkan temuan mereka. Aku

menjelaskan keadaannya dan menyuruh mereka menceritakan harinya

pada Jo, sekalian Jo menceritakan pertemuan kami dengan bu Nunung

dan pak Doyok. Sebelum berangkat aku mengirim sms pada Asep agar

kembali ke sini hari ini.

Perjalanan ke Bandung hanya memakan waktu satu setengah jam.

Namun aku teringat perutku yang belum diisi lagi setelah sarapan tadi

pagi. Saat kembali ke pondokan tadi Ladies belum menyediakan makanan

karena mereka juga baru kembali. Lagipula kalaupun ada makanan aku

Page 48: Desa Seribu Punten

48

tak sempat untuk memakannya. Aku ingin sampai di Bandung sebelum

gelap.

Aku menjemput pacarku di kampus. Sambil mendengarkan

rengekannya kami langsung menuju ke rumahnya. Di perjalanan aku

memutuskan untuk makan dulu untuk mengisi kekosongan dan mendesak

angin yang tampaknya sudah begitu terakumulasi di dalam perutku. Sore

menjelang Maghrib itu makanan kami cukup istimewa. Aku memesan

udang asam manis dan pacarku meminta cumi bakar.

Begitu sampai, kami langsung menyalakan komputer dan

membagi tugas. Ternyata revisiannya cukup banyak. Aku menangani

kesalahan ketik dan penempatan teks. Sementara dia membetulkan

konsep dan mengolah hasil penelitiannya dengan statistik yang rumit.

Walaupun sama-sama kimia tapi aku kurang memiliki pengetahuan untuk

menangani konsep kependidikan. Materinya tentang pembelajaran

kontekstualpun hanya kukuasai sedikit sekali.

Ketika mengerjakannya perutku bereaksi tak enak. Sangat terasa

ada menyodok-nyodok di ujung kerongkonganku. Aku minum Tolak

Angin, andalanku saat masuk angin, tapi itu tidak berguna. Lewat tengah

malam aku tak bisa menahan lagi. Alam membereskan perbedaan tekanan

udara dengan menyeimbangkannya. Malam itu aku keluarkan semua yang

sudah kumakan sore tadi. Setelah kukeluarkan semua aku jadi sangat

lemah. Minum teh tak cukup membantu mengganti cairan tubuhku. Mau

mencari makanan sudah terlalu larut.

Pagi-pagi kami berangkat ke kampus. Mencetak ulang draft dan

berhasil menyerahkannya sebelum jumatan.

Sekembalinya ke posko aku dihujani laporan mengenai anak-anak

putus sekolah.

“Namanya Heri, dia DO pas SMP, “ Ucap Lala, “dulu pas mau

lulus dia malah keluar dan masuk pesantren. Sekarang bakal susah kalau

memaksakan dia masuk SMK padahal dia pengen banget sekolah”

Selanjutnya laporan dari Della,

“Ada dua anak namanya Dadan dan Didin, mereka tamat SD dan

sudah putus sekolah setahun. Dadan tuh merasa dirinya nakal dan nggak

pantas melanjutkan ke SMP. Sementara Didin alasannya klasik, soal

biaya. Kita sudah memotivasi mereka tapi kayaknya susah. Mungkin Pak

Ketu sama Jo atau Fo bisa motivasi mereka lagi.”

Aku hanya mengangguk, aku terlalu lelah untuk langsung

menindaklanjutinya.

Page 49: Desa Seribu Punten

49

25 Esok harinya kami sepakat untuk membagi tugas lagi. Aku dan Jo

mendatangi SMPN Cidadap dan SMKN 2. Sementara yang lain

mempersiapkan pertemuan untuk hari selasa, pertemuan yang kami

harapkan untuk menggerakkan masyarakat agar lebih peduli pada

pendidikan anaknya.

Kami menuju sekolah-sekolah itu untuk mengkonfirmasi kesiapan

sekolah untuk menerima murid baru. Kepala SMPN Cidadap tidak

keberatan bila ada anak yang masuk lagi. Tentunya berbekal rekomendasi

dari kepala dinas.

SMKN 2 agak sulit ditemukan. Kami lewat Cidahu karena

menurut orang-orang yang kami tanyai lebih dekat dari situ. Bodohnya,

kami malah melewatkan sekolah itu dan berputar ke Subang Kota.

Ternyata kami tertawa sendiri ketika menemukannya. Letak sekolah itu

ada di jalan menuju Purwakarta. Seharusnya dari Cidahu kami langsung

belok kanan, bukan ke kiri. Dari pertigaan itu hanya berjarak sekitar 300

meter. Perjalanan kami nampak tidak berguna, tapi aku menikmatinya.

Di jalan masuk kami bertemu seorang guru yang gempal dan

gelap. Nampaknya ibu itu bukan sekedar guru yang mengajar di kelas.

Kami menanyakan ruang kepala sekolah.

“Kepala sekolah sedang rapat, baru saja mulai.” Katanya dengan

senyum.

Kami menunggu sambil melihat motor Kanzen yang dipajang, ada

dua motor; satu bergaya motor bebek, yang satu lagi bergaya trail. Papan-

papan yang berdiri di sekeliling kami memberitahu tentang kegiatan yang

dilakukan jurusan masing-masing. Kuhitung ada jurusan otomotif yang

menyuplai beberapa komponen kelistrikan motor Kanzen, perikanan,

pelayaran yang memiliki program pelayaran ke Jepang, tata boga, analis

kimia, pariwisata dan beberapa lagi. Ini benar-benar sekolah kejuruan

yang serius nampaknya.

Kami bertanya-tanya lagi dimana kami bisa mendapatkan

informasi tentang setiap jurusan yang ada di sekolah ini. Kami harus

menemui bapak anu, ibu itu, bapak ini. Setelah dipingpong ke beberapa

orang akhirnya kami harus menemui ibu Merry yang ternyata adalah ibu

yang kami temui pertama kali tadi. Bodohnya!

“Akhirnya ke sini juga…” candanya.

Walaupun tak bisa kubilang menarik, bu Merry ini sangat baik.

Kami menjelaskan maksud kedatangan kami.

Page 50: Desa Seribu Punten

50

“Ohh… jadi pak Makmur yang menyuruh, bilang sama dia di

belakang rumah saya masih banyak anak-anak putus sekolah!” kata-

katanya serius tapi nadanya bergurau, kami ikut terkekeh bersamanya.

Menurutnya sekolah ini memiliki dua program, kelas reguler dan

kelas mandiri. Kelas reguler adalah kelas biasa dimana si anak bersekolah

membayar seperti biasa. Sedangkan kelas mandiri tidak membayar,

mereka boleh memakai seragam yang ditentukan ataupun tidak. Hanya

saja untuk kelas mandiri tidak semua jurusan menyediakannya. Hanya

beberapa seperti otomotif, perikanan, pariwisata dan tata boga. Sekolah

mereka akan berorientasi produksi. Jadi lebih banyak praktek ketimbang

belajar di kelas. Hasil produksi mereka akan dijual dan keuntungan yang

didapatkan dialokasikan untuk membiayai sekolah mereka sendiri.

“Kalau transportasi gimana bu?” tanyaku setelah penjelasannya

selesai, “Soalnya orang tua lebih mengkhawatirkan biaya transportasi

daripada biaya sekolah itu sendiri.”

“Di sini ada asrama, tapi sedang direnovasi. Kemungkinan beres

pas bulan puasa dan akan mulai digunakan setelah lebaran.”

Itu menjelaskan keberadaan tumpukan pasir, batu bata dan karung

semen di tempat yang kami lewati ketika kami dipingpong.

Bu Merry minta ijin keluar sebentar. Kemudian datang seorang

bapak berkumis ke ruangan itu. Dia menanyakan siapa kami. Aku dan Jo

bergantian menjawab pertanyaannya dengan mengulangi penjelasan pada

bu Merry tadi. Si bapak itu nampak antusias mendengarnya.

“Kalian pasti tahu kan inti dari belajar itu bukan berarti masuk

kelas dan mendengarkan guru saja. Belajar itu bisa dimana saja,” katanya

berapi-api, “Kami saja memakai media radio untuk pembelajaran,” aku

agak tercengang mendengarnya, “jadi siswa cuma butuh radio, saat

mereka di sawah atau di balong mereka bisa belajar dengan mendengar

radio saja.”

Setelah mengobrol lebih jauh kuketahui kalau beliau adalah

kepala sekolah jauh, masih cabang dari sekolah ini juga. Dia bekerja di

desa Cibinong yang entah aku tak tahu dimana tempatnya. Seorang bapak

lain lewat dan menyapa kami. Si bapak yang mengobrol dengan kami

memberitahu bahwa yang tadi lewat adalah kepala sekolah jauh juga. Aku

baru tahu konsep sekolah yang seperti ini. Sepertinya KKN ini memang

berguna, setidaknya untukku.

Malam harinya rasa jenuh menyergap. Biasanya malam minggu di

Bandung dihiasi segala kemeriahan metropolitan. Kadang aku muak

dengan hingar-bingar Bandung, tapi jujur saja kali ini aku rindu

keramaiannya.

Page 51: Desa Seribu Punten

51

“Ke kota yuuk!!!” Usul Fo.

Kami menyetujuinya, bahkan Ladies yang tersisa meminta ikut.

Della pulang, sementara Lala dijemput pacarnya.

Armada kami cukup. Aku membonceng Heni. Jo duet bareng

Bowie. Asep dengan Iin. Dan Nunu dibonceng Fo.

Malam minggu di Subang Kota layaknya malam minggu di Dago

ketika aku masih SMA. Suasananya sangat padat dan ramai membuat

kami sulit mencari tempat parkir. Di depan Wisma Karya dibuat seperti

kafe pinggir jalan. Banyak atraksi yang dihadirkan di sana mulai dari

mengamen sampai skate-board. Orang banyak terkonsentrasi di lapangan

depan Pendopo. Kami berhenti mencari tempat makan. Suasana ini benar-

benar menghidupkan fantasiku tentang malam minggu yang sebenarnya.

26 Tantangan berikutnya menyampaikan informasi yang kudapat

pada ketua kelompok yang lain. Kesempatannya pada rapat rutin hari

minggu. Kali ini Heni memaksa ikut karena ingin bertemu dengan

temannya di Pagaden sekaligus pulangnya langsung ke pasar untuk

belanja mingguan. Sementara empat Ladies lainnya menindaklanjuti ke

anak putus sekolah lainnya Mella dan Vini.

Heni paling jarang berkumpul saat persiapan KKN, selalu saja

berhalangan. Gadis cantik dengan jadwal bekerja yang tidak pasti, dan

hanya punya waktu sedikit untuk aktifitas kampus, hampir bisa

dipastikan gadis itu bekerja di McDonald. Aku tahu karena pernah

bekerja di perusahaan Amerika itu, familiar dengan kebiasaan kerjanya.

Dia sudah lama bekerja di sana, pasti sudah mahir melakukan segalanya.

Selama KKN Heni mengurusi keuangan kami. Tak ada pilihan,

secara keilmuan dia memang memiliki kompetensi paling sesuai. Dengan

program studi manajemen perkantoran pada Fakultas Pendidikan Ilmu

Pengetahuan Sosial, dia sering mengeluh tentang masa depannya.

Bagaimana tidak, program studi manajemen tapi setelah lulus gelarnya

sarjana pendidikan. Jelas menjadi masalah saat mencari kerja.

Hampir mirip denganku, program studi kimia tapi dibawah

naungan jurusan pendidikan kimia. Berdasarkan pengalaman para alumni,

gelar sarjana sains kami akan dipertanyakan di industri ketika melamar

pekerjaan. Satu pertanyaan yang sering diajukan industri; bagaimana

mungkin sebuah universitas pendidikan menghasilkan sarjana sains?

Polemik ini pernah bergulir begitu deras. Jurusan sampai

mengadakan acara dengar pendapat bersama para alumni, para dosen,

Page 52: Desa Seribu Punten

52

perwakilan senat dan aku bersama teman-temanku yang hampir lulus.

Pada akhir acara disepakati beberapa usaha untuk lebih memperkenalkan

lulusan non-kependidikan UPI ke industri. Saat ini usaha-usaha itu sudah

berjalan, walaupun hasilnya belum terlihat, tapi aku yakin ini semua akan

berhasil. Kupikir bukan hanya jurusan saja yang harus mengusahakannya,

kami para mahasiswa dan para alumni pun harus ikut terlibat. Kalaupun

harus menjelaskan berulang-ulang apa itu UPI, mungkin memang harus

begitu caranya. Program studi ini memiliki fasilitas memadai untuk

proses pembelajaran seorang peneliti. Tapi yah, memang segalanya butuh

proses.

Ya, segalanya memang butuh proses. Bahkan ketika aku

memaparkan hasil pertemuanku dengan kepala dinas, tak sedikit yang

mencemooh atau tidak memperhatikan. Agak khawatir juga sih Wahyu

menganggapku menyerobot kewenangannya. Tapi untungnya dia tidak

begitu. Dia bahkan memuji usaha kelompok kami yang berinisiatif

mendatangi kantor dinas.

Program kerja kami sebenarnya hanya mendata anak usia sekolah

dan menyimpulkan angka pendidikan di desa kami. Hanya sebatas itu! Itu

terlalu sederhana. Petugas kelurahan rendah bisa melakukannya. Justru

malah aku merasa mahasiswa KKN dimanfaatkan terlebih oleh guru.

Kami memang diminta ikut membantu proses belajar mengajar di

sekolah. Tapi banyak guru yang justru melimpahkan tugasnya pada kami,

alasannya rapatlah, atau apalah!

“Akhh…mumpung ada anak KKN…” mungkin seperti itu pikiran

mereka.

Padahal sebelum kami datang, walaupun ada rapat atau tugas lain

mereka masih bisa menjalankan tugasnya. Tapi kok sekarang malah tugas

itu dilimpahkan semuanya? Bukannya tidak ridho, tapi kurasa itu terlalu

sederhana. Tak ada sesuatu yang bisa ditinggalkan di sana.

Pada rapat minggu pertama ada anak KKN dari desa lain bertanya

program konkrit apa yang bisa dilakukan untuk orang-orang desa. Inilah

yang kelompok kami tawarkan. Agak terlambat sih karena waktu kami

tinggal dua minggu lagi, tapi ketimbang nggak sama sekali? Hanya

meninggalkan kesan bersenang-senang, liburan dan akhirnya program

KKN tidak bermanfaat besar bagi kita sendiri atau orang-orang desa.

Hanya sedikit yang merespon pemaparan tentang hasil pembicaraan

dengan kepala dinas. Tapi aku tidak bisa bergantung pada respon mereka,

apapun tanggapan mereka program kami akan tetap berjalan.

Setelah pertemuan itu aku dan Heni belanja di pasar Subang.

Acara belanja yang cukup melelahkan. Aku hanya mengikutinya saja dan

Page 53: Desa Seribu Punten

53

membawakan barang belanjaan tapi udara panas membuat segalanya

terasa tidak nyaman.

Diperjalanan pulang Heni mengeluh sakit kepala. Aku ingat hari

ini dia puasa. Ladies sering memaksakan puasa untuk menekan

pengeluaran, tapi imbasnya seringkali nggak ada makanan untuk makan

siang. Kami para pria sering mengeluh karenanya. Aku mempercepat laju

motorku agar dia bisa lebih cepat beristirahat. Aku mengoceh tentang

detoksifikasi alami yang dialami oleh orang yang berpuasa, tapi kurasa

dia tidak mendengarkanku.

Sesampainya di pondokan aku baru tahu ada undangan bermain

sepakbola di desa Pagaden lawan pemuda desa sana. Dari kelompokku

hanya Fo yang akan bermain, yang lain hanya ikut mendukung. Setelah

kupastikan Ladies akan baik-baik saja, aku memutuskan ikut bersama

mereka.

Pada pertandingan itu kami diwakili oleh para mahasiswa jurusan

keolahragaan dan teknik. Lapangannya ada di belakang pondokan

mahasiswa KKN Pagaden setelah melewati rel kereta. Di sana aku

bertemu banyak mahasiswa lain, laki-laki maupun perempuan.

Beberapa hari sebelumnya Fo juga mewakili kelompok kami

bermain di daerah Pamanukan. Dia mengaku masih cedera, tapi katanya

dia masih mampu. Fo berasal dari Banjar, perbatasan Jawa Barat dan

Jawa Tengah. Dia bisa berbicara bahasa Jawa dan sering

mempraktekkannya. Dia ingin menjadi polisi. Jadi kemungkinan besar

setelah lulus dia akan mendaftar di akademi kepolisian.

Aku tidak menonton penuh karena rasa laparku mendera. Aku

mengajak Pei mengganjal kekosongan perutku. Saat kembali ke lapangan,

roti yang kubeli langsung ludes. Tak lama, Jo mengajakku mencari

makan. Dia juga kelaparan karena Ladies lagi-lagi tak menyediakan

makan siang. Aku bisa menahan rasa laparku, tapi Jo? Dia tak bisa.

Walaupun tubuhnya kurus tapi nafsu makannya gila-gilaan. Dia, Fo dan

Bowie adalah gerombolan si Berat di kelompokku dalam urusan makan.

Mereka memelihara naga di dalam perutnya. Akhirnya kami menemukan

warung bakso di depan kantor kecamatan.

“Tuh cewek-cewek pada nggak mau masak sekarang!” keluhnya

sambil menghabiskan baksonya.

Selama beberapa hari ini kami memang kelaparan. Makan paling

hanya sarapan dan makan malam. Malah aku pernah memasak sarapan

karena Ladies puasa. Sebenarnya aku tidak terlalu

mempermasalahkannya. Tapi aku tak heran kalau gerombolan si Berat

kami mengeluhkannya.

Page 54: Desa Seribu Punten

54

Sepulangnya dari pertandingan Iin dan Nunu melaporkan bahwa

usahanya untuk membujuk Mella dan Vini agar mau bersekolah lagi

menemui kegagalan. Ibu mereka berdua sedang ada di Arab, jadi TKW,

dan katanya akan pulang tahun depan. Mereka mau menunggu ibu

masing-masing untuk melanjutkan ke SMA.

27 Kami jadi terbiasa kerja mulai hari senin, akhir pekan libur total.

Mirip karyawan. Agenda pertama minggu ini adalah menemui Dani,

seorang anak putus sekolah yang pernah sekolah di SMK swasta jurusan

perhotelan. Dia berhenti karena keluarganya tidak sanggup membayar

biaya PKL sebesar satu juta rupiah. Terbukti lagi pendidikan adalah

barang mewah di negeri ini.

Untuk hidup sehari-hari Dani mengisi waktu dengan menganyam

rotan. Pekerjaan ini memang tampak populer di dusun Panyingkiran,

Keresek Tua dan Babakan Kamarung. Setiap lewat dusun-dusun tadi aku

selalu melihat beberapa orang menangani anyaman kursi atau meja. Dari

informasi yang kudengar ada sebuah perusahaan yang memberikan bahan

mentah rotan untuk dianyam. Seminggu kemudian kursi atau meja rotan

jadi diambil. Mereka punya penghasilan sampai 300 ribu seminggunya,

walau tidak pasti.

Awalnya kupikir itu rotan betulan, ternyata bukan. Saat

mengobrol dengan seorang penganyam kulihat dari dekat ternyata bukan

rotan, hanya serat polimer yang berbentuk sangat mirip dengan serat

rotan. Dengan warna hitam atau coklat, orang akan percaya itu rotan

kalau dilihat dari jauh.

“Bapak mah sekarang gimana Dani, kalau Dani mau sekolah

sebisa mungkin bapak akan biayai.” Kata Ayahnya ketika kami

menawarinya sekolah di kelas mandiri. Ayahnya adalah seorang pegawai

pos keliling yang penghasilannya hanya 500 ribu sebulan.

Setelah beberapa diskusi dan doktrin mengancam dari Jo dan Fo,

dia tetap bergeming. Dia ingin kembali ke sekolah perhotelannya yang

dulu.

“Kami tak punya apa-apa lagi selain SMKN 2 yang mau

menerima murid baru di kelas mandiri.” Kataku final.

Aku tak boleh membuang waktu dengan membujuknya. Ada anak

lain yang harus kami temui. Namanya Zezen, dia sudah berumur tujuh

tahun tapi belum masuk SD. Aku mendapatkan Informasinya dari Iin dan

Lala. Ibu Zezen jadi TKW dan sudah lama tidak pulang. Sementara

Page 55: Desa Seribu Punten

55

ayahnya menikah lagi dan terkesan tidak mau mengurusnya. Sekarang dia

dan Riki, kakaknya, tinggal besama neneknya. Riki sudah bersekolah

kelas empat di SD Sumur Gintung. Neneknya tidak sanggup

menyekolahkan keduanya, dan Zezen menjadi korbannya.

Baru kali ini aku ke rumahnya. Bowie pernah ke rumahnya

bersama Nunu beberapa hari yang lalu ketika menemukan kejanggalan

data dalam daftar anak usia sekolah yang kami susun. Rumahnya …

bagaimana aku menjelaskannya … kalau kandang domba bisa disebut

rumah, maka rumah Zezen harus kusebut kandang dombanya. Aku

menyerah mencari analogi lain yang lebih pantas.

Kami berpikiran bahwa anak ini perlu bantuan penuh. Sementara

Jo, Bowie dan Fo berbicara dengan neneknya, aku mencoba

menghubungi kepala dinas. Setelah berkali-kali menghubungi aku

diberitahu kalau pak Doyok sedang menjadi saksi penikahan dan tak bisa

diganggu sampai besok. Aku mendengus sambil coba menenangkan diri.

“Ok, kalian urus Dani,” kataku pada Jo dan Fo.

Aku dan Bowie mengurus surat keterangan tidak mampu dari

kepala dusun Babakan Kamarung. Kami pulang ke pondokan dan

mengambil formulir isian yang sebelumnya sudah dicetak dan dikopi. Di

pondokan hanya ada Heni dan Lala. Asep dan Nunu sedang memfotokopi

undangan pertemuan yang akan diadakan besok. Sementara Della dan Iin

ada jadwal mengajar di SD.

Aku dan Bowie membawa Zezen menemui kepala SD Sumur

Gintung. Dari pembicaraan kami, beliau sangat senang kami membawa

Zezen. Sebenarnya beliau malu karena ada anak usia SD yang tidak

sekolah. Tapi itu bisa terjadi dimanapun terutama di sebuah negeri yang

belum memandang pendidikan sebagai komponen penting pembangunan

bangsa. Alokasi 20% APBN untuk pendidikan masih menjadi bunga tidur

yang terlalu sempurna untuk terjadi di dunia nyata.

Kami tidak membawa Zezen kembali ke rumahnya, tapi ke

pondokan. Ada baiknya juga rupanya, Ladies mau memasak untuk

memberi makan Zezen sehingga kamipun kebagian makan siang hari itu.

Sore harinya kami membagikan undangan ke setiap kepala dusun,

perangkat desa dan ibu kader. Tapi sebelumnya Lala mengeluh,

“Pak Kades rada marah karena harus menandatangani surat segini

banyak. Harusnya katanya ditanda tangan lalu fotokopi dan baru dicap.”

Kurang ajar… kayak yang dia tahu saja sejauh apa jarak yang

harus Asep tempuh untuk mencetak dan memfotokopi undangan. Manja

banget sih… Bukannya untuk itu dia dibayar.

Page 56: Desa Seribu Punten

56

“Satu hal lagi,” kata Asep, “Besok saudara pak Kades menikah di

Cirebon, jadi pada kepala dusun dan perangkat desa akan pergi ke sana

untuk menghadirinya. Kemungkinan nggak banyak yang datang soalnya

sekitar seratus orang akan pergi pakai dua bus.”

Aku tersenyum mengejek. Memangnya saudara pak Kades peduli

apa kalau semua kepala dusun dan perangkat desa hadir di

pernikahannya?!! Ini yang aku benci dari konsep resepsi pernikahan di

negeri ini!

“Bagikan saja…” perintahku, “Kita lihat saja, aku akan buktikan

tak ada yang peduli pendidikan di sini, kecuali kita…” lanjutku

bergumam, aku tidak yakin yang lain mendengarnya.

28 Rapat evaluasi malam, Bowie mengatakan sesuatu yang masuk

akal,

“Zezen harus diberi perlengkapan sekolah, kalau tidak dia bisa

minder dan buntutnya nggak mau sekolah. Itu bahaya!”

Hei, kita punya pendapat professional dari calon psikolog. Hanya

masalahnya siapa yang akan membelikan perlengkapan itu dan dana apa

yang bisa dialokasikan untuk itu. Aku berdiskusi dengan Heni sebagai

pemegang kekuasaan keuangan.

“Kita bisa sisihkan, tapi seterusnya kita harus berhemat.” Katanya

setelah menghitung-hitung. Aku membantunya menghitung ulang. Dulu

dia pernah membuat sedikit salah perhitungan ketika memberikan laporan

pengeluaran mingguan. Hampir saja aku memarahinya, tapi dia minta

maaf sambil merengek hampir menangis.

“Tapi kita bisa berhemat kan?” tanyaku.

“Itu mah tergantung kamu,” katanya merengut.

“Kok aku?”

“Kamu kan ketuanya.” Jawabnya lagi.

Aku berpaling pada yang lain, “Ada yang keberatan?”

“Kita sudah berhemat selama ini. Satu setengah minggu lagi

rasanya nggak ada masalah.” Tanggap Lala.

“Belikan saja dia tas dan baju yang bagus!” ucap Fo.

Jadilah, keesokan harinya aku dan Della mengajak Zezen ke

Subang Kota. Sementara Asep dan Iin membeli makanan untuk konsumsi

pertemuan sore nanti.

Entah karena caraku menjalankan motor atau hanya sekedar cuaca

panas yang membuat Zezen memuntahkan isi perutnya ketika kami

Page 57: Desa Seribu Punten

57

berhenti sejenak mencari untuk mencari tempat parkir. Beruntung saat itu

dia sudah turun dari motor dengan Della. Yang pasti Jo langsung

berinisiatif membeli obat cacingan saat kumemberitahunya.

Berkali-kali aku tersenyum geli sendiri ketika mengantarnya

membeli perlengkapan sekolah. Aku berasa menjadi orang tua yang

mengantar anaknya sendiri. Kami membeli seragam dan tas baru, juga

membeli alat tulis. Della yang mengurusi semua pembelian itu, aku hanya

–sekali lagi– membawakan barang belanjaan.

Sepulang berbelanja kami membawa Zezen ke pondokan. Lagi-

lagi cara ini berhasil untuk membuat Ladies memasak untuk makan siang.

Pertimbangan utamanya bukan agar kami semua bisa makan siang tapi

karena nampaknya Zezen memang perlu makan. Penampilannya yang

kurus kering dengan kulit gelap membuatnya semakin mirip kerangka

manusia berbalut kulit.

Sore harinya sesuai jadwal pertemuan digelar. Hanya ada empat

orang yang datang, dua ibu dan dua bapak. Salah satu bapak yang datang

adalah kepala SD Sindang Sono. Beliau sangat malu karena kami

menemukan anak usia sekolah yang tidak sekolah, padahal tak ada biaya

yang akan dipungut untuk masuk sekolah, gratis. Selain itu beliau juga

memberi masukan bahwa ada seorang gadis pintar yang tidak

melanjutkan ke SMP karena kakeknya tidak mengizinkannya. Orang tua

gadis itu tidak tinggal bersamanya dan kakeknya adalah seorang

paranormal. Beliau menunjukkan rumah yang sering dikunjungi banyak

orang.

Acara itu sebenarnya digelar dengan mengedepankan pentingnya

pendidikan. Namun, apapun yang kami katakan rasanya memang tidak

efektif karena orang yang datangpun bukan sasaran utama yang kami

tuju. Bapak lainnya hanya seorang polisi, jelas dia bukan target favorit

kami untuk mendapatkan informasi seperti ini. Bahkan beliau meminta

keluar duluan karena ada keperluan lagi.

Salah satu ibu yang datang adalah ibunya Dadan. Setelah acara

selesai sang ibu menjelaskan mengapa Dadan tidak sekolah. Dadan

memang begundal, waktu SD dia membuat masalah. Semenjak itu

kakeknya tidak mempercayainya lagi sehingga tidak diijinkan untuk

sekolah lagi. Padahal keluarga mereka tidak tergolong miskin walaupun

bukan orang kaya. Ayah Dadan meninggal ketika mereka masih tinggal di

Jakarta lima tahun yang lalu. Sejak saat itu mereka tinggal di desa ini.

Mungkin perbedaan suasana yang begitu drastis membuat mental Dadan

yang masih kecil tidak memadai untuk mengimbanginya.

Hanya seperti itu acara yang kami gelar.

Page 58: Desa Seribu Punten

58

Kami menyudahinya tanpa meninggalkan kesan apapun. Acara ini

benar-benar gagal total, berantakan. Kami pulang ke pondokan sebelum

Maghrib.

Sesampainya di rumah Jo mengamuk!

“Ngomong yang bener, La!” teriaknya pada Lala, “Tadi lo bilang

mo traktir, mana? Jangan asal ngomong!”

Kami memang sering bercanda seperti ini. Kali ini pun ada kesan

bercanda dari Jo tapi kelewatan. Dia mengejar Lala ke dapur, mengitari

teras ke belakang rumah. Sampai-sampai Della dan Nunu berusaha

menghentikannya.

“Jo, udah, nggak lucu!” timpal Della disela-sela bentakan Jo.

Kami para pria membiarkannya. Pak Usta dan anaknya yang

pertama beserta beberapa tetangga kaget melihatnya.

“Ahh…teu nanaon, Pa,” kataku pada pak Usta, “Heureuy

hungkul.” Kataku berusaha menutupi rasa maluku karena Jo berteriak-

teriak seperti orang kesetanan.

Aku tahu Jo hanya bercanda. Dia mungkin kesal karena acara tadi

tidak berlangsung seperti yang kita inginkan. Pelampiasan yang

berbahaya karena kalau sampai pacarnya Lala tahu pasti akan ada

pertengkaran hebat.

29 Setelah sholat subuh aku langsung mandi. Hari ini pacarku sidang.

Tadinya aku mau ke Bandung kemarin, tapi sudah terlalu sore sehingga

aku menundanya sampai hari ini. Lagipula sidang pacarku jam sepuluh

dan Pei juga ingin ke Bandung. Jam enam kurang aku sudah sampai di

posko Gunung Sembung. Dan seperti yang kuduga, Pei baru bangun.

Beruntung korelasi antara waktu dan apa yang Pei lakukan di kamar

mandi untuk membersihkan tubuhnya tidak lepas kendali.

Perjalanan bersama Pei selalu membuat jantung berdebar lebih

kencang. Aku harus secepat mungkin untuk mengimbangi lesatan Jupiter

MX-nya. Kami akan pulang ke rumah masing-masing setelah menonton

sidang, jadi harus membawa motor sendiri-sendiri.

Tak ada yang menarik ketika sidang berlangsung. Aku bisa

merasakan ketegangan yang mengambang begitu aku masuk

laboratorium. Mereka, para peserta sidang begitu gugup dan kelihatan

seperti orang linglung. Rekan penelitianku juga begitu.

Page 59: Desa Seribu Punten

59

“Uji tariknya nggak jadi.” Katanya ketika kubertanya

penelitiannya, “asetilasi kemarin gagal. Kata bu Galuh kamu yang

lakukan uji tarik.”

Aku mengangguk, hanya sekedar sedikit menenangkannya

menjelang sidang. Hal itu bukan hanya berarti aku harus mengulang

semua penelitian, tapi pekerjaanku juga bertambah. Tapi aku yakin ada

manfaatnya, agar aku lebih banyak membaca buku tentang karakterisasi

material, misalnya.

Ketegangan sidang nggak berarti apa-apa dibandingkan saat

pengumuman. Peserta sidang hanya sedikit sehingga siangnya sudah bisa

diketahui hasilnya. Ketegangan membuncah ketika sebuah nama disebut

kemudian kelulusannya beserta nilai yudisiumnya. Pacarku lulus dengan

yudisium sangat memuaskan. Segala kesusahan menjelang sidang

terbayar sudah.

Besoknya aku kembali ke Subang agak siang, sementara Pei pagi-

pagi sekali karena ada yang perlu dikerjakannya di sana. Aku tidak

menggeber motorku secepat kemarin, tak ada alasan untuk itu, lagipula

menikmati pemandangan pegunungan di pagi hari menjelang siang

bukanlah pilihan yang buruk.

Ketika mencapai tugu pertigaan Jalan Cagak, lalu lintas mulai

memadat. Ada peringatan untuk mengambil jalan ke kiri bagi yang mau

ke Subang Kota, tapi aku tetap mengambil ke kanan, jalur konvensional

yang biasa kulalui. Ketika melewati pasar aku mulai menyesali pilihanku.

Lalu lintas seakan membeku. Sulit sekali mencari ruang untuk bergerak.

Walau begitu aku mencoba mengikuti permainan jalan ini.

Sedikit ke depan tampak jelas apa yang sedang terjadi. Sebuah

parade massal, karnaval untuk menyambut Agustusan. Ini pertama

kalinya aku melihat langsung. Di daerah tradisi ini rupanya masih sangat

kental. Setiap desa membawa hasil buminya masing-masing, semua

kendaraan dihias dengan bunga-bungaan. Makin ke depan makin riuh,

suara musik gamelan terus mengalun mengiringi para penari yang

berjaipong sambil berjalan.

Tiba di tugu Nanas lalu lintas makin sulit bergerak. Kalau sejak

tadi aku bisa terus merayap, sekarang aku harus menyingkir ke tepian.

Jalan menuju Subang tak mungkin dilalui saking padatnya parade. Aku

diarahkan ke jalan satunya, seorang hansip meyakinkanku bahwa ada

jalan menuju Subang. Aku juga yakin ada jalan menuju Subang tapi aku

buta arah di jalan ini.

Aku berhenti dan menelepon Asep,

Page 60: Desa Seribu Punten

60

“Itu mah jalan ke Sumedang!” teriaknya karena suara riuh rendah

menggema di sekelilingku, “Balik lagi ke Sagalaherang. Di depan SMAN

1 ada belokan. Masuk ke sana!”

“Dimana nih?”

“Di Mekarwangi.”

“Mekarwangi?” setahuku itu desa yang cukup jauh dari Sumur

Gintung.

“Nganter Heri…”

Aku sudahi teleponnya.

Menuruti saran Asep berarti melawan arus. Mengikuti saja cukup

sulit apalagi harus melawannya. Tapi aku menurutinya, setidaknya jalan

ke Sagalaherang cukup kukenal karena aku pernah melaluinya beberapa

kali ketika ke rumah Cecep, teman sekelasku.

Terik mentari mulai menjalar ketika aku melewati jalanan padat

itu. Begitu masuk ke jalan menuju Sagalaherang, aku bisa menghirup

udara segar. Aku berjalan pelan agar tak melewatkan SMAN 1. Ternyata

pemandangan melalui jalan itu sangat luar biasa. Pesawahan terbentang

begitu luas, sengkedannya membuatku berdecak kagum.

Di setiap persimpangan yang kutemui aku bertanya. Ketika

melewati pemukiman aku mencium baru yang kukenal. Samar-samar bau

cengkeh kucium. Bau ini cukup akrab di hidungku karena semester

kemarin ketika mulai masuk laboratorium riset ada kakak tingkatku yang

memakai minyak cengkeh sebagai objek penelitiannya. Minyak cengkeh

itu digunakan sebagai bio-aditif untuk minyak solar. Tujuan penelitiannya

agar bisa menghemat penggunaan solar. Aku tidak tahu pasti bagaimana

hasilnya, tapi yang jelas temanku sekarang ada yang mengkaji

aplikasinya langsung pada mesin diesel.

Ternyata benar, bunga cengkeh yang masih hijau sedang dijemur

di halaman rumah. Aku baru menyadari bahwa bunga cengkeh itu

berwarna hijau atau kemerahan. Sebelumnya aku hanya tahu cengkeh

berwarna coklat yang menghiasi kue nastar lebaran.

30 “Masalah Heri ini susah banget.” Kata Lala sedikit berbisik

karena Heri sedang mengobrol di luar dengan Asep, “Dia tuh dulu

sekolah di Madrasah Ibtidaiyah. Tapi pas mau ujian malah keluar,

katanya sih pindah ke pesantren salafiyah. Mereka mengira dia pindah ke

SMP lain. Dia nggak punya ijazah SMP. Kita nggak mungkin minta

ijazah kayak kasus Iwan. Minta ujianpun nggak mungkin.”

Page 61: Desa Seribu Punten

61

“Satu-satunya cara Paket B?”

Lala mengangguk. Ini terbentur masalah lagi. Sejak awal program

Kejar Paket agak sulit dilakukan.

Setelah laporan Lala selesai, aku bergabung dengan Asep dan

Heri.

“Sekarang mah cuma ngepak.” Kata Heri ketika kutanya

kesibukannya sekarang, “tapi nggak punya balong, dulu punya tapi dijual

gara-gara bapak sakit. Padahal biaya operasi cuma lima juta, tapi sampai

jual balong.”

Dia lalu menjelaskan bahwa uang hasil penjualan balong

menguap begitu saja, tak berbekas.

“Dulu disuruh bapak pindah ke pesantren salafiyah.” Jawabnya

ketika kutanya tentang sekolahnya.

Tak lama setelah Heri pulang Jo, Fo dan Bowie datang. Mereka

membawa berita yang bertolak belakang dengan tim pertama, berita

kesuksesan.

“Iwan dan Rina sudah diterima,” ujar Fo, “tapi baru sekedar

gentleman agreement.” Keren kali bahasanya! Dalam transfer pemain

sepakbola istilah itu cukup populer, mengingat dia mahasiswa jurusan

keolahragaan nggak heran dia tahu istilah itu, “Nanti kita datang lagi

dengan orang tuanya sekaligus tes kesehatan buat pendaftaran secara

administratif.”

“Tapi tadi pas ngambil ijazah,” timpal Bowie. Rina dan Iwan agak

terbentur masalah karena ijazahnya belum diambil, “mereka dimintai

uang. Untung kita lihat. Kata mereka sih, ‘anak yang mau melanjutkan

harus membayar biaya administrasi.’ Kita bilang, ‘Kita yang masukkan

mereka ke SMK, jadi nggak perlu bayar!’ dan mereka nggak jadi bayar.”

Membayar biaya administrasi ke sekolah baru memang wajar.

Tapi aku baru tahu kalau sekarang anak yang mau melanjutkan harus

bayar biaya administrasi ke sekolah sebelumnya. Entah ini benar sesuai

peraturan atau hanya sekedar permainan. Tapi aku yakin perbuatan

teman-temanku itu benar.

“Jo, gimana si Zezen kemarin?” tanyaku.

“Lancar, nggak ada masalah. Zezen sama neneknya kelihatan

seneng banget. Tuh ada fotonya di komputer!” katanya.

Aku beranjak ke depan komputer, memaksa Heni menghentikan

dulu MagicBall-nya, permainan yang kudapat dari laptop Pei beberapa

hari yang lalu. Permainan ini sudah menggeser Bounce dari daftar

permainan favorit kami selain Counter-Strike dan Ragnarok Offline.

“Gimana sidang cewek lo?” Tanya Jo lagi.

Page 62: Desa Seribu Punten

62

Aku hanya mengacungkan jempolku sambil mencari-cari foto

Zezen yang memakai seragam sekolahnya.

31 Dimanapun, perlombaan Agustusan selalu menarik. Lomba-lomba

klasik macam balap karung, balap makan kerupuk dan balap sendok

kelereng selalu bisa menyajikan momen yang bisa dikenang. Dusun

Ciwaru menyelenggarakannya dengan cukup heboh. Sayangnya,

perlombaan macam ini dilakukan per dusun tidak satu desa langsung.

Padahal ini momen yang bagus untuk lebih saling mengenal, apalagi

waktu kami hanya tinggal sepuluh hari lagi.

Perlombaan yang melibatkan satu desa hanya tercakup oleh

kejuaraan sepakbola. Sorenya final antara dusun Ciwaru vs dusun

Keresek Baru digelar di lapangan sebelah kantor desa. Pohon besar di

sana menjadi tempat favorit untuk berkumpul, lain halnya kalau malam

hari, menjadi momok yang menakutkan.

Sejak awal Fo dibujuk untuk menjadi wasit. Dia tidak mau.

Pilihan yang bijak, menurutku, mengingat kejuaraan tarkam selalu

menyajikan sesuatu yang lebih seru daripada sepakbola itu sendiri. Desa

inipun tidak termasuk dalam daftar pengecualian.

Awalnya pertandingan berlangsung seru. Kedua tim menyerang

silih berganti. Ada satu orang yang menonjol dari Keresek Baru, si nomor

10.

“Eta saha urang tara ningali?” tanyaku pada Somad.

Dengan gayanya yang terburu-buru dia menjelaskan kalau dia

pemain dari Purwakarta. Dia coba menjelaskan dengan susah payah jenis

pemain yang kusebut sebagai pemain profesional.

Kedua tim saling mencetak gol. Keresek Baru lebih unggul

dengan skor 2-1.

Silih ejek antar suporter tak terelakkan lagi, bahkan ini justru yang

membuat pertandingan ini makin menarik. Silih ejek naik level menjadi

saling lempar botol. Dan akhirnya tarkam diakhiri dengan tradisi tawuran

setelah Usep terlihat menangis begitu emosional

Sebelum tawuran memuncak aku sudah menyuruh Ladies pulang.

Sementara, aku sibuk mengabadikan momen pamuncak ini. Pak kades

turun tangan untuk menghentikannya dibantu pak sekdes. Para tokoh desa

ikut menenangkan massa. Tawuran itupun berhenti tanpa mengakibatkan

orang terluka.

Page 63: Desa Seribu Punten

63

“Sebenernya Ciwaru udah menerima kekalahan mereka.” Kata Fo

ketika kami sudah selamat sampai di pondokan, “yang bikin masalah ada

anak Kerbar yang ngomong, ‘Anjing, Ciwaru mah eweuh nanaonan!!!’

sekarang anaknya lagi dicari.”

“Trus ngapain si Usep sampai nangis?” Tanya Jo.

Itu juga yang mau kutanyakan kenapa dalam sebuah tawuran laki-

laki yang lebih tua dariku sampai menangis untuk sesuatu yang anarkis

bukan melankolis? Bukannya dia harusnya bertarung sampai mati

mempertahankan timnya? Sebodoh apapun alasan yang diajukan untuk

tetap bertarung!

“Yah…si Usep teh dulunya tinggal di Kerbar. Dia merasa

berperan besar untuk sepakbola Kerbar, tapi tadi ada yang menghinanya.”

Inilah yang terjadi ketika emosi dibiarkan terlibat dalam sebuah

kompetisi. Tapi kompetisi tanpa emosi akan basi, kan?

32 Hari berlibur tiba juga. Setelah hanya mengandai-andai dan

mencemburui liburan kelompok KKN lainnya akhirnya kami berlibur

juga. Kelompok KKN lain banyak yang berlibur ke pantai utara,

Pamanukan dan Pondok Bali. Kami menolak semua opsi berlibur ke

pantai utara. Di sini sudah cukup panas, kami butuh liburan yang

menyejukkan.

Pilihannya adalah Curug Cijalu. Apalagi kami punya tuan rumah

yang baik. Letak Cijalu di Sagalaherang, kampungnya Asep. Sejak

malam kemarin kami sudah menyiapkan perbekalan. Pagi harinya kami

langsung berangkat. Empat motor. Aku dan Della. Asep dan Iin. Fo dan

Heni. Jo dan Bowie. Sementara Nunu dan Lala menunggu kekasih hati

masing-masing yang sengaja diundang untuk mengatasi kendala

transportasi.

Perjalanan sangat menyenangkan kecuali dibagian harus menyalip

sebuah truk buah-buahan. Kami harus berjuang ekstra keras untuk

menyalipnya. Truk itu tampak tak mau mengalah. Kami semua seperti

kesetanan menjalankan motornya. Heni, Iin dan Della berteriak-teriak

histeris ketika kami beraksi. Berasa tolol juga sih kalau ingat itu.

Jalan menuju Sagalaherang cukup kukenal. Pesawahan bertingkat-

tingkat, rupanya di sini belum waktunya panen. Sementara di Sumur

Gintung sudah hampir semuanya panen. Kalau dulu hamparan hijau

kekuningan yang menyejukkan sekarang yang terlihat di desa kami

Page 64: Desa Seribu Punten

64

adalah tumpukan jerami dengan bekas bakaran di tengahnya dan tanah

kering yang pecah-pecah.

Suasana selanjutnya, pemukiman yang cukup padat. Beberapa

truk pengangkut sayuran melintas berlawanan. Mobil berhias

menggantungkan plang nama sebuah desa dan bak terbukanya berisikan

tumpukan hasil bumi. Rupanya karnaval masih berlangsung di sini. Lalu,

hamparan kebun teh kembali menyejukkan mata. Udarapun mulai

bersahabat dengan kami. Aku masih mengenali jalan yang kulalui karena

dulu pernah melaluinya ketika menuju ke danau Wanayasa.

“Curugnya di sana!” kata Asep setelah menepikan kendaraannya.

Kami masih berada di pinggir jalan dekat kebun teh sementara

arah yang ditunjuk Asep sangat jauh. Samar-samar aku melihat air terjun

di sudut pegunungan yang berada di seberang jauh kami berada.

Ok, ini namanya liburan! Kataku dalam hati sebelum kembali

melajukan motorku.

Perjalanan yang kami tempuh memang seperti yang ditunjukkan

Asep, sangat jauh dan menanjak. Dan satu hal yang menjengkelkanku

adalah permukaan jalan yang rusak. Kami harus berhati-hati, apalagi ada

beberapa bagian yang tergenang air, ada yang berbatu-batu. Rasanya

motor bebekku tiba-tiba berubah menjadi motor trail.

Kami tinggalkan motor di pemukiman terakhir. Jalan yang sulit

membuat kami harus berjalan. Namun perjalanan itu seakan terbayar

dengan sendirinya. Pemandangan saat kami membunuh jarak dengan

berjalan sangat luar biasa. Kebun teh yang melandai dan meninggi

disambung oleh perbukitan yang hijau perawan. Awan yang bergerak

nampak seperti gumpalan asap yang tertiup angin seakan bukan

kondensasi titik-titik air yang solid.

“Beautiful…” gumamku mengagumi keagungan ilahi yang

berwujud lanskap menakjubkan ini.

“Makasih.”

Aku melirik ke sebelah. Heni di sana nyengir. Aku tersenyum

mengejek padanya. Dia membalas senyumanku dengan artian mengejek

juga.

Tak lama kemudian kami masuk area wisata. Panas mentari mulai

menyengat. Pemanasan global dan lubang ozon memang sudah parah

mendera bumi ini. Sebenarnya ini nggak perlu terjadi karena

pembentukan ozon itu berlangsung secara berkesetimbangan –ozon akan

terurai kemudian membentuk ozon lagi, mirip seperti proses daur ulang,

walaupun tidak persis seperti itu– melalui reaksi Chapman. Aksi CFC

dan kawan-kawannya membuat reaksi itu terganggu dan melubangi ozon.

Page 65: Desa Seribu Punten

65

Pelubangan ozon tidak terjadi begitu saja. CFC dan kawan-kawan

membutuhkan waktu lima tahun untuk mencapai stratosfer dan akan

bertahan sampai 150 tahun ke depan. Jadi sebenarnya ketika kita tahu

ozon berlubang, itu sudah terlambat. Tapi lebih baik terlambat.

Sebenarnya CFC adalah senyawa yang sangat stabil. Ada kondisi

tertentu yang membuatnya terurai. Kondisi pertama adalah pembentukan

vorteks polar yaitu pusaran yang bisa mengisolasi udara di dalamnya.

Vorteks polar itu akan bergabung membentuk Polar Stratospheric Cloud

(PSC) atau sering disebut Mother of Pearl yang suhunya bisa mencapai -

80°C. Di sinilah proses penguraian CFC menjadi klor yang aktif.

Klor aktif itu nggak begitu saja menyerang ozon. Kondisi lainnya

yang nggak kalah penting adalah adanya gelombang ultraviolet dari sinar

matahari. Dalam reaksi Chapman, gelombang UV berperan mengurai

ozon ke dalam bentuk radikalnya yang kemudian akan bereaksi lagi

menjadi ozon (O3). Tapi dengan adanya klor aktif, begitu ozon terurai

oleh gelombang UV dia langsung diserang oleh klor sehingga tidak

menjadi ozon lagi. Dan satu atom klor bisa melahap 100.000 molekul

ozon. Bayangkan berapa banyak limpahan atom klor di stratosfer

sekarang?

Kondisi lainnya yang bisa mendukung adalah adanya CO2. Isu

lingkungan yang paling santer saat ini adalah tentang pemanasan global.

Dalam hal ini CO2 adalah senyawa yang paling bertanggung jawab. CO2

yang berkumpul di udara akan memberikan efek rumah kaca. Sinar

inframerah yang dikirim oleh sinar matahari terhalang oleh CO2 sehingga

tidak dipantulkan lagi ke luar angkasa. Inilah yang membuat bumi kita

semakin memanas, es kutub meleleh dan permukaan air laut naik.

Rupanya bukan cuma itu dampaknya. Penghalangan oleh CO2

bukan hanya sinar inframerah yang keluar tapi juga yang masuk sehingga

suhu di stratosfer makin dingin. Ini berarti makin banyak peluang

terbentuknya Mother of Pearl.

Amerika Serikat sudah menghentikan pemakaian CFC sejak tahun

90’an. Indonesia berencana menghentikannya pada tahun 2010. Aku

nggak tahu apa akan mengalami perpanjangan seperti program Wajar

Dikdas atau bisa tepat waktu sehingga nantinya cuaca tidak lebih panas

lagi dari sekarang.

Masuk area wisata, kami berjalan lagi dan masih menanjak. Aku

menantang Asep untuk berlari menuju air terjun yang sudah terlihat. Di

sini suasananya masih asri. Bahkan di beberapa tempat dijadikan tempat

berkemah. Aku jadi teringat saat-saat berkemah dulu.

Page 66: Desa Seribu Punten

66

Air terjunnya luar biasa. Jatuh dari ketinggian kemudian

memercik dengan deras sehingga butiran air mendifraksikan cahaya,

memberikan warna-warna aslinya dan membentuk pelangi di sekitar air

terjun. Kami tidak menyia-nyiakannya dan langsung berenang. Airnya

segar, panas yang terasa segera hilang.

33 Tak lama kemudian Nunu dan pacarnya tiba. Pacarnya ikut

bergabung dengan kami menceburkan diri di cekungan hasil deburan air.

Pacar Nunu adalah kakak tingkat Asep, dia sering jauh-jauh berangkat

dari Bandung hanya untuk mengantar Nunu, kisah kasih yang manis

bukan?

Sementara Nunu bergabung dengan Ladies lain yang berfoto-foto.

Mereka juga memoto aksi kami memecah gelombang. Makin siang makin

banyak orang berdatangan. Banyak diantaranya para siswa SMA lokal.

Beberapa diantaranya masuk berenang bersama kekasihnya. Juga ada

suami istri campuran, ayahnya orang timur tengah sementara istrinya

orang Indonesia. Melihat anak-anak dari keluarga campuran selalu

menarik. Seolah mempertegas apa yang difirmankan Allah dalam Quran.

Ada juga anak-anak KKN dari Sagalaherang, salah satunya kukenal

sebagai kakak tingkatku yang sering mengulang.

Kelelahan mendera ketika waktu berlalu dan matahari meninggi.

Kami ingin sekali segera membantai perbekalan tapi Lala dan pacarnya

belum datang juga. Kami menunggu sembari menonton orang berenang

atau bercakap-cakap dengan orang Korea. Ya, orang-orang negeri ginseng

ini bisa berbahasa Indonesia, namun aku dan Bowie memilih untuk

berkomunikasi dengan bahasa Inggris untuk menekan kesombongan

mereka.

Lala datang, makan menjelang. Rasa lapar dibunuh dengan nasi

kepal yang harum dan lauk-pauk tradisional macam tempe kacang,

perkedel, telur dadar dan pastinya sambal buatan Iin yang luar biasa.

Sungguh nikmat, apalagi ditambah penutup berupa semangka yang

diberikan oleh orang-orang Korea tadi.

Waktu menjelang sore ketika kami memutuskan meninggalkan

curug. Aku bertemu dengan beberapa teman sekampusku. Mereka bukan

anak KKN, kebanyakan dari mereka ikut sidang dengan pacarku kemarin.

Mereka hanya berlibur sepertiku.

Pemandangan yang sama belum beranjak dari tempatnya, bahkan

semakin indah karena posisi miring dari matahari membuat segalanya

Page 67: Desa Seribu Punten

67

menguning seperti kilauan emas. Kami lelah tapi senang. Aku berpikir

untuk kembali ke sini bersama teman-teman sekelasku nanti.

Pulangnya kami menuju rumah Asep kecuali Lala dan Nunu

bersama pacar masing-masing. Begitu keluar dari jalan ke curug, kami

langsung masuk ke jalan di seberangnya. Kami langsung bertemu dengan

turunan yang curam dan berbatu. Aku nggak tahu apa motorku bisa

memanjatnya ketika pulang nanti. Jalanan yang ditempuh berkelok-kelok

berhias sengkedan sawah yang menakjubkan dan untaian sungai dengan

airnya yang mengalir bening, cocok seperti nama tempatnya,

Sagalaherang (dalam bahasa Indonesia berarti ‘segalanya bening’).

“Kirain di sini…” ucap Della di belakangku.

Aku juga sama tertipunya. Aku pikir rumahnya ada di kampung

yang kami lewati tadi. Sebenarnya sudah dua kali aku tertipu. Ternyata

rumah Asep sangat jauh. Setelah perkampungan keempat yang dilewati

kami bertemu dengan padang rumput yang melandai dan meninggi. Jalan

yang kami lewati berada di tepian gunung yang membentuk jurang yang

melandai ingin membentuk lembah. Dari situ aku bisa melihat bukit yang

dilatarbelakangi perbukitan, lalu dilatarbelakangi gunung yang juga

dilatarbelakangi pegunungan. Sejauh mata memandang pegunungan

seolah tak ada habisnya. Walaupun lelah, aku takjub melihatnya. Padang

rumput itu sangat sepi, sejauh dua kilometer kami tak menemukan

pemukiman. Jalannya memang tegas memanjang tapi kami harus meliuk-

liuk melewatinya karena rusak di banyak tempat.

Akhirnya kami bertemu dengan perkampungan lagi. Tapi lagi-lagi

bukan itu akhir tujuan kami. Setelah melewati dua perkampungan lagi

barulah Asep mengisyaratkan kami untuk berhenti. Desa di balik gunung

ini bernama Ponggang, tertulis jelas di atas gapura sederhana.

“Sep, jauh pisan?!!” tanyaku ketika memarkirkan motor, “Kalau

pulang malam lewat situ juga?”

“Mau lewat mana lagi?!!” jawab Asep enteng.

Geblek…

Di Sumur Gintung sinyal Indosatku agak redup sementara

Telkomselku meraja. Tapi di sini sinyal kedua operator yang kugunakan

menghilang total. Kata Asep di titik-titik tertentu sinyal Telkomsel bisa

muncul, tapi itupun malu-malu. Aku mencoba berdiri di beberapa tempat

sambil mengawasi ponsel Telkomselku, tapi tetap saja dia tak berdenyut

ditelan maut. Kalau aku menyebut Sumur Gintung sebagai negeri antah-

berantah, entah sebutan apa yang pantas untuk desa ini. Aku heran

bagaimana orang-orang di sini menemukan tempat ini dan memutuskan

untuk tinggal.

Page 68: Desa Seribu Punten

68

Sambutan dari ibu Asep sangat ramah, ayah Asep yang baru

sembuh pun menyambut kami. Beliau langsung menyuguhkan segala

penganan ringan tradisional, yang paling istimewa adalah ranginangnya

yang sangat renyah, baru kali ini aku menikmati ranginang segaring ini.

Asep bilang sih itu buatan sendiri.

Sambil melepas lelah kami sholat ashar bergantian karena tak ada

ruangan yang cukup luas untuk berjamaah sekaligus. Rumah Asep sangat

sederhana. Tradisional tapi cukup mapan. Ruangannya banyak, tapi kecil-

kecil.

Hidangan tiba, ini acara puncaknya. Hidangan ini lebih mewah

daripada yang kita makan di curug. Ayam gorengnya sangat gurih dan

kulitnya renyah. Lalabannya segar dan manis. Dan yang paling juara

adalah sambalnya. Namanya sambal goang, jenis sambal sederhana

berbahan cabe rawit dan garam, pedas dan nikmatnya selangit. Menurut

ibu Asep teknik mengulek bisa menentukan cita rasa sambal yang

dihasilkan. Orang sederhana dengan ilmu tradisionalnya kadang

mengejutkan orang berpendidikan tinggi.

Walaupun keluarga Bowie pernah membawa makanan yang lebih

banyak dan lebih bervariatif tapi hidangan di rumah Asep ini harus

kuakui sebagai makanan terlezat yang pernah kunikmati selama KKN.

Biasanya aku tidak menambah porsi saat makan di pondokan, di sini aku

nambah dua kali. Seluruh tubuhku berkeringat hebat gara-gara pedasnya,

tapi kenikmatan yang tiada taranya kurasakan begitu hebat.

Kenikmatan bertambah. Setelah makan selesai, Asep mengajak

kami ke kebunnya untuk memetik kelapa. Dia memanjat pohon kelapa

yang tidak terlalu tinggi. Dia memutar-mutar buah kelapa layaknya

monyet pemetik kelapa dan menjatuhkannya. Aku memungutinya

sekaligus membelah satu butir. Ladies memuji karena aku bisa membelah

kelapa dengan tangan kosong. Mereka nggak tahu saja kelapa itu retak

akibat hentakan gravitasi, aku hanya memanfaatkan retakan itu untuk

membukanya secara paksa. Airnya yang khas kuminum dengan rakus,

daging kelapanya kuserut dengan potongan batoknya, teksturnya lembut

nan manis.

Kami memutuskan untuk menginap dan kembali besok pagi-pagi

sekali.

Tiba-tiba ponsel Heni berbunyi. Rupanya dia menemukan titik

dimana Telkomsel bisa hidup. Kamipun mengkonsentrasikan ponsel di

tempat itu, di rak sebelah televisi. Dan ponsel kami bertempur semalaman

memperebutkan sinyal.

Page 69: Desa Seribu Punten

69

“Sep, di sini ada wartel nggak?” tanya Heni setelah membaca

pesan di ponselnya.

“Ada sih, tapi jauh…”

“Emang kenapa, Hen?” Tanya Fo.

“Ini…si Aa, dia suruh Heni nginep di rumahnya aja.”

Aku mengerutkan dahi. Aku nggak tahu ada masalah apa pria-pria

Subang dengan asmara. Pacar Heni, pacar Lala, dan Asep contoh

konkretnya. Ada saja masalah mereka dengan perempuan.

Pacar Heni rumahnya di Sagalaherang tapi cukup dekat ke

peradaban, tak seperti tempat ini. Heni pernah menginap di rumahnya

ketika ada hajatan. Masalah utamanya kepercayaan pacar Heni, kami

memanggilnya Kuden, sangat parah. Dulu saat aku pulang pertama

kalinya ke Bandung, sebenarnya Heni akan ikut denganku. Semalam

sebelum pulang aku mengantarnya ke wartel di dusun Keresek Baru. Saat

aku membeli Coca-Cola di warungnya, aku mendengar Heni sedang

bertengkar di telepon. Akhirnya Heni pulang dijemput pacarnya dan aku

pulang sendiri. Begitupun ketika akan kembali ke Subang. Aku

menawarkan pada Heni untuk pergi bersama karena aku akan membawa

motor. Waktu itu dia bilang,

“Heni mau dianter sama Aa…”

Kali ini dia tidak percaya kalau kami menginap semua di rumah

Asep. Dia orang sini, harusnya tahu jarak yang harus kami tempuh untuk

ke rumahnya kalau ada yang harus mengantar Heni.

“Anter Heni ke depan donk…” pintanya padaku.

“Hen, ini hampir Maghrib, kamu tahu kan track-nya jauh banget.”

Sergahku, lagipula kami semua terlalu lelah dan kekenyangan, bahkan

Bowie sudah meninggalkan kami bertualang di alam mimpi, “Bilang

sama si Kuden, besok pagi kita anter kamu ke rumahnya!” kataku sambil

mencoba terlelap, “Teu mikir kitu jelema teh!” gumamku.

Pacar Lala juga sama saja, bahkan lebih parah. Jangankan dia

mendengar gosip Lala selingkuh, hanya bermimpi pacarnya selingkuhpun

bisa jadi masalah besar. Lala sering jalan bareng dengan Asep karena

memang diperlukan, dan sebanyak itu pula dia datang ke pondokan walau

malam sekalipun. Saking takutnya, dia sering menelepon anggota

kelompok lain untuk memastikan keberadaan Lala. Dasar freak!

Dan Asep? Awal minggu lalu dia jadian dengan Reri. Saat itu

sudah malam, Asep menelepon Reri. Ketika percakapan mereka

menghangat, para pria lainnya mengompori agar lebih panas. Dengan

dorongan itu, akhirnya Asep memutuskan untuk berpacaran dengan Reri

walau sebagian hatinya masih terdampar pada Winda. Tapi apa yang

Page 70: Desa Seribu Punten

70

terjadi akhir minggu ini? Mereka putus. Asep lebih memilih menunggu

gadis yang dicintainya dan mengabaikan cinta gadis yang bebas.

Walaupun dia tahu menunggu Winda akan menyakitinya, tapi dia

memilih menantang nasibnya.

Aku ikut senang untuk Asep. Sejak awal menurutku selingkuh

adalah jalan tak terelakkan baginya. Bukan untuk menyakiti –walau pada

akhirnya ada yang tersakiti– tapi untuk meyakinkan diri sendiri siapa

yang betul-betul dicintainya. Aku senang karena dia sudah memilih.

Memilih dengan benar, bukan hanya memilih karena terpaksa atau

memilih karena memang tak ada pilihan.

Dan untuk Reri, aku ikut menyesal. Tapi dia gadis yang manis.

Dia pasti akan bertemu pria lain yang, kuharap, tidak sebrengsek Asep.

Aku sempat menonton Batman di RCTI sebelum terlelap. Agak

dingin tapi aku menikmatinya mengingat selama ini aku seakan tidur di

dalam oven –nggak jarang bangun dengan peluh sekujur tubuh.

34 Kami tiba di pondokan pagi hari. Rupanya Lala dan Nunu juga

tidak pulang. Lala pulang ke rumahnya, sedangkan Nunu dibawa ke

Cirebon, ke rumah pacarnya.

Selain Lala yang paling sering pulang, Nunu juga sering diculik

oleh pacarnya. Jo pernah mengeluhkannya walau tak pernah

mempermasalahkannya. Mereka mungkin ingin kencan berdua, berjalan-

jalan di Subang. Lagipula pulangnya mereka selalu membawa makanan,

itu yang penting.

Pagi itu pak Usta bertanya-tanya tentang kepergian kami. Aku

sedikit menceritakan perjalanan kami padanya.

Seperti hari minggu yang lalu-lalu, aku mengikuti rapat rutin di

posko Pagaden. Aku berharap ada yang menindaklanjuti pemaparanku

minggu lalu, tapi ternyata tak ada. Hanya Pei dan kelompoknya di

Gunung Sembung yang punya niatan mengikuti apa yang kami lakukan.

Rapat rutin itu membahas mengenai seminar kabupaten yang akan

dilangsungkan tanggal 23 agustus nanti. Seminar itu akan membahas

hasil-hasil temuan kita di lapangan dan dikemukakan di depan kepala

dinas pendidikan dan pihak universitas. Wahyu meminta kami untuk

mengisi formulir dengan data yang kami temukan. Data yang diperoleh

dari masing-masing ketua kelompok akan dirangkum lagi menjadi

kesimpulan satu kecamatan.

Page 71: Desa Seribu Punten

71

Isu kedua yang dibahas adalah tentang kepulangan kami. Sudah

bukan rahasia kalau kami semua sudah mencapai pada titik jenuh sampai

kerinduan akan peradaban yang kami kenal mengeras tersedimentasi di

dasar hati. Kami semua ingin segera pulang. Beberapa ketua

mengusulkan untuk mempercepat kepulangan. Itu juga yang kurasakan

dengan semua anggota kelompokku. Tapi dalam satu minggu terakhir ini

ada banyak hal yang harus kami lakukan. Bahkan aku memprediksikan

bahwa kami akan bekerja sampai detik terakhir sebelum pulang.

Aku pulang dengan kekecewaan karena tak ada yang menanggapi

penjelasanku minggu lalu. Kekecewaan bertambah ketika aku harus

memutar jalan untuk menghindari panggung hajatan. Inilah yang menarik

di akhir masa KKN, banyak sekali yang hajat. Sekarang memang sedang

musim panen. Di sini, musim panen berarti musim hajat. Perayaan

apapun mulai dari pernikahan, sunatan, syukuran, bahkan orang yang tak

punya peringatan untuk dirayakan juga sengaja membuat pesta untuk

merayakan dirinya selamat dari kejaran anjing.

Ketika kutanyakan pada pak Usta barulah aku mengerti. Ini bukan

masalah sebuah perayaan, hanya budaya dan tradisi yang, menurutku,

sangat parah. Sama sekali tidak efek positifnya untuk kemajuan bangsa.

Budaya ini disebut gantangan. Kalau aku mau hajat, maka

temanku harus menyumbang, misalkan sekarung beras. Kemudian kalau

temanku itu menggelar hajatan, maka aku harus menyumbang sekarung

beras juga. Bentuk sumbangan bisa apapun, makanan, kambing, sapi,

uang dan lain-lain. Yang tidak mendidik, menurutku, adalah mereka

mencatat semua yang telah disumbangkan dan pada siapa. Dan pada

waktunya kita hajat maka kita akan menagihnya. Jadi terkesan seperti

hutang-piutang. Kalau tidak membayar maka akan ditagih, sanksi

sosialnya dikucilkan dari pergaulan. Dan uniknya, surat undangan yang

dibagikan itu harus dibayar karena di dalamnya ada sebungkus deterjen

cuci atau pasta gigi atau makanan ringan.

Jujur saja, menurutku tradisi macam ini harusnya dilenyapkan dari

bumi Pertiwi. Sama sekali nggak mendidik orang untuk menolong, tapi

mental rentenir yang dikedepankan. Kata pak Usta, ada yang sampai

menjual rumah untuk menyumbang tetangganya yang hajat. Ini

keterlaluan karena di musim panen seperti ini, setiap hari pasti ada hajat.

Bukan cuma ada satu, dalam satu hari bisa ada hajatan di dua atau tiga

tempat.

Yang lebih parah, mereka tampaknya sangat senang ketika

menonjolkan kemewahan. Aku dan Bowie pernah mencari makan sampai

ke desa Pagaden karena Ladies lagi-lagi tidak memasak. Kemudian pas

Page 72: Desa Seribu Punten

72

pulangnya kami tertahan karena ada parade sisingaan. Kami menunggu

mereka lewat sambil menonton. Hebat, seorang anak yang duduk di atas

sisingaan berselendangkan uang lembar limapuluh ribuan yang

disambung dengan stapler. Itu bukan satu anak, ada sekitar lima anak.

Parade musik terus berdendang sambil mengikuti sisingaan. Sound

system dinaikkan ke atas roda, mereka membawa generator portabel

sendiri yang bisa didorong-dorong. Para penandu sisingaan tetap menari

selama parade, begitu juga para pengikut parade itu, semuanya

bergoyang. Pokoknya suasananya sangat ramai. Keramaian ini bagus

untuk meningkatkan silaturahmi, tapi mereka terlalu menonjolkan

kemewahan.

35 Hari senin terakhir dimasa KKN menjadi awal perjuangan

sebenarnya. Ladies kutugaskan mendaftar orang-orang yang berminat

mengikuti program Kejar Paket B. Ini perlu dilakukan agar Heri bisa

difasilitasi karena tak mungkin mengajukan program kejar paket hanya

untuk satu orang. Walaupun tak ada kepastian tentang pembentukan

kelompok belajar ini, kami harap banyaknya peminat bisa mengubah

kebijakan pejabat PLS di kecamatan.

Sementara itu, Jo dan Fo bertugas membawa Iwan dan Rina

mendaftar ulang ke SMKN 2 bersama orang tua masing-masing. Aku dan

Asep mendatangi rumah Dadan dan Didin untuk mengajak mereka

mendaftar ke SMPN Jabong. Bowie kebagian piket di pondokan dan

merapikan laporan.

Ibunya Dadan berbinar saat kami datang.

Bukan perjuangan kalau tak menemukan masalah. Didin tiba-tiba

tak mau sekolah. Motivasinya kurang. Dari wajahnya kulihat banyak

sekali ketakutan. Aku tak menyalahkannya melihat kondisi keluarganya.

Dia itu anak yatim piatu. Selama ini tinggal bersama nenek angkatnya

yang tuna netra. Pendapatan mereka hanya dari kemampuan neneknya

memijat, selain dari uang pensiun yang tidak bisa diandalkan. Didin

punya kakak yang sudah menikah dan tinggal di Subang Kota.

Menurut Dadan, Didin memang agak terbelakang sehingga sangat

sulit berkomunikasi dengannya. Dan memang, Asep yang lebih halus

bahasa sundanya pun kesulitan meyakinkannya untuk sekolah. Dia harus

mau sekolah karena kalau tidak Dadan juga nggak mau sekolah.

“Kalau kamu nggak sekolah, kamu cuma akan jadi pesuruh.”

Kataku dalam bahasa sunda yang halus. “Desa ini kaya. Orang kota

Page 73: Desa Seribu Punten

73

nggak mungkin melewatkannya. Dalam beberapa tahun pasti banyak

orang kota yang membeli tanah di sini. Lalu mereka membangun rumah,

bikin usaha. Kalau kamu nggak sekolah, mereka nggak akan mau

mempekerjakan kamu!” lanjutku agak tegas.

Asep membantu dengan lebih halus.

“Sok ayeuna Didin hoyong kumaha?”

Kami memintanya mengeluarkan ijazah yang dia punya. Tapi

ternyata yang dia perlihatkan hanya selembar akta kelahirannya sendiri

dan kakaknya. Katanya, ijazahnya disimpan lemari yang kuncinya ada di

rumah kakaknya di Wera, Subang Kota.

Kami mengantarnya ke Subang Kota dengan harapan dia mengerti

keinginan kami agar dia sekolah. Setelah beberapa kali salah alamat,

kami menemukan rumah yang dituju. Kakaknya tidak ada di rumahnya.

Kata tetangganya dia sedang menunggui anaknya di sekolah. Aku

meminta alamat sekolahnya dan mengejar ke sana. Kami bertemu

dengannya. Kuncinya kami dapatkan.

Kami kembali ke rumah Didin sambil terus menumbuhkan

motivasinya. Akhirnya dia menyerah dengan usaha kami. Dia

mengeluarkan ijazah dari lemari, tapi ternyata itu ijazah punya kakaknya.

Setelah kusuruh mencari lagi, dia mengambil beberapa lembar dokumen

dari lemari pertama. Jadi sebenarnya ijazah itu di lemari yang sama

dengan tempat akta kelahirannya. Ini menjadikan kepergian kami ke

Wera sama sekali tak ada gunanya. Asep naik pitam dengan kelakuan

anak ini.

“Goblog, mun eweuh ninina ku urang dicitak ieu budak!”

geramnya padaku.

Hari sudah menjelang Dzuhur. Tak mungkin membawa mereka ke

sekolah siang-siang, yang ada juga mereka sudah pada pulang. Ketika

kami keluar dari rumahnya, ada seorang ibu menunggu kami. Dia

meminta kami menumbuhkan motivasi anaknya yang tidak mau sekolah.

Ya Tuhan, sejak saat itu kamu jadi motivator amatir

Nama anaknya Gandi. Dia adalah siswa kelas tiga SMPN Jabong.

Sudah seminggu ini dia tidak mau sekolah. Alasannya konyol banget. Dia

malu karena wajahnya berbercak putih, dalam bahasa sunda disebut balas

bogo. Alasan lainnya karena dia pakai kacamata.

Hei … apa masalahnya? Aku juga pakai kacamata! Ingin sekali

aku meneriakkannya.

Sekali lagi Asep menunjukkan kehebatannya dalam

berkomunikasi dengan bahasa sunda. Dengan sedikit permainan kata,

Page 74: Desa Seribu Punten

74

Asep berhasil membujuknya untuk sekolah. Dan kamipun pulang.

Setidaknya ada hasil dari perjalanan kami hari ini.

Besoknya, aku dan Asep kembali menjemput Dadan dan Didin.

Terjadi masalah lagi, Didin menghilang sejak pagi. Aku tahu Asep

berusaha sekuat tenaga menahan amarahnya. Kami meyakinkan Dadan

agar mau sekolah walaupun tanpa Didin. Akhirnya dia mau.

SMPN Jabong berada di desa Jabong yang berada di kecamatan

Subang kota. Kami melewati pemakaman yang dulu dipakai Kliwonan

untuk mencapai sekolah itu. Cukup jauh, tapi kata Dadan ada jalan pintas

yang hanya bisa dilewati oleh sepeda.

Ini pertama kalinya aku mengunjungi sekolah ini. Beberapa hari

yang lalu Jo dan Bowie mengunjungi sekolah ini untuk

menginformasikan bahwa ada anak yang akan kami bawa. Kata Bowie

kepala sekolahnya sombong banget, mentang-mentang dia alumnus UPI

juga kali. Sebelas duabelas dengan Bowie, aku juga tidak menyukai sikap

kepala sekolahnya. Walaupun begitu mereka menerima Dadan sekolah di

sana. Pendaftarannya dipermudah–tentu saja karena kami mempersenjatai

diri dengan rekomendasi langsung dari kepala dinas.

Kami mengantar Dadan pulang ke rumahnya. Ternyata Didin

sudah pulang. Sekali lagi kami menanyakan kesungguhannya. Akhirnya

dia mau.

Kami membawanya ke pondokan. Aku harus mengambil file foto

anak-anak yang kami masukkan ke sekolah. Iwan dan Rina belum

mempunyai foto untuk pendaftaran, alhasil hari ini mereka mendaftar

tanpa membawa foto. Beruntung pihak sekolah membolehkan fotonya

menyusul. Makanya aku harus mencetak semua foto termasuk Didin.

Dalam hal ini Bowie berperan sangat vital. Dengan kemampuan

retoucher-nya, dia mengubah foto di depan rumah menjadi sebuah foto

studio yang berkelas.

Lala ikut dengan kami. Dia dan Asep kusuruh untuk pergi ke

Subang. Mereka harus memesan plakat untuk kenang-kenangan. Sangat

sulit mencari tukang plakat di sini. Dua hari yang lalu kami tahu dari

Sidiq, mahasiswa KKN Gunung Sembung yang juga teman sejurusan

Asep.

Kami berempat kembali ke SMPN Jabong. Kami mengulangi

proses pendaftaran untuk Didin. Kali ini si kepala sekolah makin

songong.

Pendaftaran selesai. Lala dan Asep langsung melesat ke Subang,

sementara aku mengantar Didin pulang. Kemudian aku juga melaju ke

Page 75: Desa Seribu Punten

75

Subang untuk mencetak foto. Sebenarnya di Gunung Sembung ada

tempat mencetak foto, tapi harganya selangit. Aku lebih memilih tempat

yang lebih jauh, sekalian jalan-jalan.

Rupanya berita tentang pemasukan anak-anak ke sekolah sudah

menyebar di kalangan pemuda. Malam harinya beberapa pemuda datang

ke pondokan. Iwan dan Aang, keduanya anak SMKN 2, memperkenalkan

Aep. Dia didaftarkan juga seperti Iwan. Aku bilang padanya agar

menyiapkan segala persyaratan dan mencatat nomor teleponnya. Dia

mencatat nomorku di ponsel nokia terbarunya. Aku jadi minder melihat

ponsel yang digenggamnya. Dia pakai nokia terbaru tapi nggak mampu

sekolah. Ughh …

Malam itu pacar Lala datang juga. Sepertinya dia tahu tadi siang

Lala pergi bersama Asep. Kali ini aku tidak terlalu menanggapinya.

36 Jo dan Fo menindaklanjuti keinginan Aep untuk bersekolah lagi.

Mereka mendatangi rumahnya. Asep mengantar Dadan dan Didin untuk

bersekolah di hari pertamanya. Aku membiarkannya pergi sendiri karena

ibu Dadan akan membawa motor untuk mengantar Dadan. Sementara

yang lain menyempurnakan persiapan presentasi tanggal 24 agustus nanti.

Kami harus memaparkan temuan-temuan kami di hadapan aparat desa.

Aku berangkat sendiri ke Pagaden untuk memberikan data

lapangan pada Wahyu. Segala kegiatan dipusatkan di Pagaden agar lebih

mudah dijangkau. Pasalnya pondokan KKN Wahyu di Gunung Sari

terlalu jauh dari jalan utama. Aku pernah ke poskonya untuk sekedar

diskusi. Desa itu terlihat sangat luas. Kalau di Sumur Gintung didominasi

balong maka di Gunung Sari berhamparkan pesawahan yang indah.

Pondokan mereka sangat jauh dari kantor desa dan sekolah. Plus mereka

hanya punya satu motor membuat mobilitas mereka terbatas. Tapi aku

kagum, dengan keadaan seperti itu mereka masih bisa bekerja dengan

baik.

Selain aku, ada beberapa ketua lain yang datang. Mereka dengan

sukarela membantu Wahyu mengolah data. Wajah runyam Wahyu

membuatku tergugah untuk ikut membantu. Dia kurang tidur gara-gara

pengerjaan persiapan seminar kabupaten ini. Beberapa desa terlambat

memberikan datanya. Padahal hari ini harusnya sudah selesai.

“Sore ini mesti ke Bandung euy, koordinasi sama LPM.”

keluhnya.

Page 76: Desa Seribu Punten

76

Tugas kordinator kecamatan memang sangat berat. Tugasnya

bukan hanya memimpin kelompok KKN-nya saja, tapi mencakup

keseluruhan kelompok di satu kecamatan. Makanya dulu aku bersikeras

menolak posisi ini.

Wilayah kecamatan Pagaden paling luas dibanding kecamatan lain

di Subang ini. Selain itu desa-desanya banyak dan begitu tersebar.

Menurut yang kudengar dari pak Kades, kecamatan ini akan dimekarkan

menjadi dua. Bayangkan saja ada 17 desa dalam satu kecamatan, 15

diantaranya menjadi ‘jajahan’ KKN. Sementara dari yang kutahu satu

kecamatan lain paling banyak hanya sepuluh atau sebelas desa.

Aku menepuk pundaknya, “Sabar bos, pahalanya gede!”

Dia tersenyum dan melanjutkan pengecekannya.

Ketika pulang aku disuguhi cerita Jo,

“Jadi si Aep itu ibunya baru pulang dari Taiwan. Dia bilang nggak

punya biaya untuk melanjutkan. Tadi kita dibawa kita ke rumahnya. Gue

sih nggak yakin itu rumahnya. Gue tahu karena pas gue tanya, ‘ini foto

siapa?’ dia gelagapan menjawabnya. Mungkin itu rumah kakeknya, gue

lihat foto si Aep bareng kakeknya.”

Walaupun fakta yang dilihat Jo sangat mengherankan, ditambah

ponsel nokia Aep yang sama dengan punya Heni, kami tetap berpikiran

positif. Mungkin saja ibunya memang kehabisan uang.

Cerita Asep juga tak kalah seru,

“Didin menghilang lagi. Kami nggak bisa terus menunggunya.

Dadan belajar untuk pertama kalinya hari ini.”

“Dan Didin?” tanyaku lirih membayangkan apa isi kepala anak

itu. Kami ingin membantunya, tapi malah membuatnya ketakutan.

“Kata tetangga dia biasa begitu. Nanti juga dia pulang.”

Aku melihat kelelahan di mata Asep. Bukan hanya lelah karena

menempuh jarak atau menerjang panas, tapi juga menyesali

kelemahannya, bukan … kelemahan kami sehingga tak bisa meyakinkan

seorang anak untuk menatap masa depannya dengan lebih baik.

Terkadang orang harus kalah dalam usahanya. Man proposed, God

disposed. Kuharap ada orang lain yang bisa meyakinkan Didin untuk

kembali sekolah.

Kami lupakan segala masalah. Saatnya bersenang-senang!

Beberapa hari yang lalu, kepala dusun Keresek Tua, pak Toyib,

mengundang kami ngaliwet di balong. Namanya mengingatkanku pada

sebuah lagu dangdut yang beraransemen musik lagu ‘Pintu Sorga’.

Undangan yang menarik, pastinya. Selama ini kami lebih sering

Page 77: Desa Seribu Punten

77

berinteraksi dengan istrinya. Beliau sangat baik dalam membantu kami

mensosialisasikan program kami. Sementara pak Toyib, aku mengikuti

deskripsi Jo saja, itu orang kampung dengan gaya kota dan tentunya sama

baiknya seperti istrinya. Jo mengenalnya ketika sosialisasi pertama di

balai dusun Keresek Tua.

Ngaliwet memang kegiatan favorit kami. Kami digiring ke balong

yang berada di tengah-tengah pesawahan. Letaknya memasuki hutan

pinggir jalan. Setiap melewati jalan itu aku selalu bertanya-tanya ada apa

di dalam hutan itu. Ternyata pemandangan indah terhampar dengan

pesawahan berundak. Sudah pada panen tapi tak mengurangi pesonanya.

Yang paling membosankan saat ngaliwet adalah saat

memasaknya. Ladies membantu bu Toyib membuat sambal. Sementara Jo

dan Fo mengobrol dengan pak Toyib di saung tengah balong. Heni dan

Iin asyik berfoto. Asep menyiapkan alas daun pisang. Sementara aku

sudah bosan memanjat pohon mangga yang berdiri di sebelah saung, lalu

aku berjalan-jalan di pematang sawah.

Pesawahannya berbentuk sengkedan sehingga kadang aku harus

memanjat atau melompat. Tak sadar aku berjalan terlalu jauh. Mereka-

mereka seperti semut dalam pandanganku. Alih-alih kembali, aku lebih

tertarik menghampiri petani yang sedang bekerja sendiri. petani itu

sedang menggebuk tanaman padi ke sebilah papan untuk merontokkan

bulir padi. Kami mengobrol dan berkenalan. Namanya pak Ukar tinggal

di desa Jabong.

Jauh banget… pikirku.

Aku menanyakan apa yang sedang dikerjakannya.

Dia menjawab, “Ieu namina ngagebot.” Katanya polos.

“Abdi nyobian atuh, Pa…”

Awalnya dia menolak karena tak ingin membuat bajuku kotor.

Aku meyakinkan diriku sendiri, sekarang aku berada di sebuah negeri

asing, kalau aku menolak melakukan sesuatu yang baru hanya karena

takut baju kotor maka sebaiknya sejak awal aku tak perlu ada di sini.

Aku meyakinkannya juga, dan diapun memberikan kesempatan itu.

Ternyata tanaman padi agak berat bila disatukan. Ketika aku

memukulkannya ke papan, buir-bulir padi rontok dan berjatuhan di

sekelilingnya bagai hujan yang disapu badai. Ini perasaan baru bagiku.

Perasaan sederhana, tapi menakjubkan.

Petani harusnya mendapat prioritas penting di negeri ini…ucapku

dalam hati.

Sudah rahasia umum bahwa menjadi petani di negeri ini adalah

profesi yang terombang-ambing. Satu sisi mereka adalah tumpuan

Page 78: Desa Seribu Punten

78

masyarakat yang bekerja untuk menyediakan bahan pangan. Tapi di sisi

lain kesejahteraan mereka tidak pernah mencapai posisi yang nyaman.

Latar belakang presiden kita menentukan prioritas utama

pembangunan Indonesia. Saat Orde Baru swasembada pangan menjadi

prioritas karena presidennya anak petani. Kemudian ketika Habibie

menjabat, teknologi menjadi landasan utama. Lalu berganti Gus Dur,

moral pluralitas menjadi tumpuan. Di masa sekarang ini, keamanan

nasional selalu menjadi isu penting. Maklumlah SBY seorang

purnawirawan jenderal. Maka menderitalah petani yang tak pernah

menjadi prioritas lagi. Mungkin nanti presidennya harus seorang guru

agar pendidikan menjadi porsi terbesar dalam menu pembangunan.

Teriakan memanggilku dari jauh. Rupanya semuanya sudah siap.

Aku meninggalkan pak Ukar dan berlari sepanjang pematang sawah.

Melompat lagi, memanjat lagi. Aku sedang kembali ke masa laluku, masa

ketika bangunan sekolah dasarku berada di antara pesawahan. Aku

berhasil melewati semua pematang sawah dengan mulus, tanpa terpeleset

sekalipun. Bukan prestasi hebat, tapi aku menyukainya.

37 Nasi liwet belum pernah senikmat ini. Mungkin suasananya yang

membuat hidangan sederhana ini menjadi begitu istimewa. Pantaslah

sajian di rumah makan daerah Cihideung dibandrol selangit. Makan satu

orang di sana bisa buat tiga orang di rumah makan normal. Rasa berbalut

suasanalah yang dicari.

Usai makan besar kami membereskan semua peralatan dan

mengembalikannya ke rumah bu Toyib sebagai ungkapan terima kasih

dan sopan santun. Ternyata seorang anak sudah menunggu kami. Dalam

obrolan saat makan tadi Bu Toyib menyebutkan ada anak yang ingin

sekolah juga. Dan inilah dia. Namanya Rudi. Dia tinggal tepat di depan

rumah pak Toyib. Rumahnya sederhana, tidak jelek tapi juga tak bisa

dibilang bagus. Dia putus sekolah setelah SMP dan memutuskan bekerja

serabutan seperti menganyam, ngepak, jadi kuli angkut di pabrik. Untuk

ukuran kuli angkut, sikap dan tutur katanya sangat terpelajar.

Keinginannya didukung oleh orang tuanya. Tapi Rudi ini ternyata cukup

banyak omong.

“Tunggu, saya masih nggak mengerti tentang kelas mandiri?”

tanyanya.

Jo mengulangi penjelasannya. Kemudian tanya jawab berlangsung

cukup lama mengenai kejelasan program yang sedang kami lakukan ini.

Page 79: Desa Seribu Punten

79

Ayahnya mendorongnya untuk sekolah. Ayahnya itu menyesal

karena meninggalkan sekolah. Katanya sendiri, waktu muda dia adalah

anak yang cukup pintar dan berprestasi. Dia pernah memenangi kejuaran

bulutangkis se-kabupaten. Bahkan pernah ditawari beasiswa oleh Djarum.

Namun waktu itu orang tuanya tidak mengijinkannya pergi dengan alasan

yang sesuai jargon, ‘makan nggak makan asal ngumpul.’. Suatu jargon

yang tidak mendidik orang untuk maju. Bukannya dengan adanya

makanan acara berkumpul menjadi lebih menarik? Apa yang terjadi kalau

kita tetap berkumpul tapi perut kosong?

Itulah yang disesalinya. Ayahnya tak mau apa yang terjadi

padanya terulang pada Rudi. Oleh sebab itu, dia akan berusaha memenuhi

kebutuhan sekolah Rudi. Menurutnya kelas mandiri memang bisa bebas

biaya, tapi transportasi dan makan jelas masuk anggaran yang tak bisa

dihindari. Aku terenyuh oleh kesungguhan orang tua ini.

Ayah Rudi sungguh orang yang bersahaja. Kuketahui dari bu

Toyib bahwa ayah Rudi adalah salah satu pemuka agama di dusunnya.

Lalu penghasilannya juga termasuk sebagai jasa paranormal yang katanya

cukup sakti. Aku tidak begitu mengerti hubungan antara pemuka agama

dan paranormal dalam satu tubuh, tapi memang beliau terlihat sangat

agamis.

Seperti biasa, kami meminta klien menyiapkan segala dokumen

yang disyaratkan. Dan karena dia bilang tidak punya foto, saatnya Bowie

beraksi kembali. Rencananya besok Jo dan Fo akan mengantar Aep, dan

sekalian dengan Rudi. Sedangkan aku harus menghadiri seminar di

pendopo.

Setelah Maghrib ada sms masuk yang isinya,

“Kang, ini sama Metha dari desa Kamarung. Saya mau nanya

tentang program yang akang jalankan dengan kelompok. Kami punya dua

anak yang ingin sekolah di SMKN 2.”

Aku menghembuskan nafas lega seraya tersenyum sendiri. Lala

dan Heni yang sedang baca komik di depanku menyadari ke-tampak-tak-

warasanku. Biarlah. Akhirnya penjelasanku di Pagaden lebih dari

seminggu yang lalu ada gunanya juga. Aku membalasnya dengan

penjelasan singkat. Aku meminta mereka untuk membawa kedua anak itu

besok pagi-pagi sekali ke pondokan Gunung Sembung yang aksesnya

lebih mudah.

“…nanti kalian kami jemput.” Tulisku di akhir sms pada gadis itu.

Sebenarnya aku tidak ingat memberikan nomor ini padanya. Tapi

untuk apa aku mengingatnya? Dia bisa mendapatkannya dari manapun.

Page 80: Desa Seribu Punten

80

“Cowok di Kamarung mah nggak ada yang bener.” Katanya Fo

setelah aku memberikan kabar yang, mungkin gembira tapi agak

merepotkan ini, “Katanya suasananya agamis banget, masa makan Slai

Olai aja nggak boleh. Emang lesitin dari babi ya?” Tanyanya padaku.

“Dari kedelai juga bisa.” Jawabku singkat.

Dia punya teman di sana. Suasananya tidak kondusif, terlalu

banyak peraturan. Para prianya tidak betah. Malah teman Fo lebih sering

pulang ke Bandung daripada bekerja di desa. Makanya para wanitanya

sangat bersemangat kerja. Kuharap begitu. Waktu kami tinggal beberapa

hari, harus bersemangat agar semuanya berguna.

38 “Kita bikin dia kaget!” ujar Jo pagi harinya. Aku masih terkantuk-

kantuk sambil menyapu.

Dia sudah menyelidiki tentang Aep pada pemuda sekitar.

Rumahnya, latar belakangnya, dan motifnya sudah dia simpulkan dalam

sebuah hipotesis yang komprehensif. Sekarang dia mengajakku untuk

menguji hipotesis itu. Kemarin dia bilang akan bertemu jam delapan,

sementara sekarang belum jam tujuh pagi. Itulah efek kejutan yang

dimaksud Jo.

Ternyata benar, rumah Aep terlalu besar untuk ukuran anak yang

putus sekolah. Bangunannya bukan sekedar bilik dan kayu, tapi dari batu

bata biasa, berlantai dua, lebih bagus dari rumah pondokan yang kami

tinggali. Halamannya juga luas.

Seorang wanita membukakan pintu untuk kami. Kata Jo, dia

ibunya. Aep dipanggil. Dia baru bangun tidur. Entah kenapa aku justri

membayangkan Fo yang juga bangun tidur. Diantara kami semua dialah

yang paling sering bangun terlambat. Walaupun diakuinya kalau dia

susah tidur, kadang baru tidur jam empat Subuh, tapi hal itu pernah jadi

masalah. Ketika itu Ladies sudah jarang masak. Para pria

mengeluhkannya. Kemudian mereka membela diri dengan mengatakan,

“Kalian juga sudah jarang beres-beres.”

Harus kuakui semakin lama KKN kami, khususnya para pria,

semakin jarang menyapu halaman, membakar sampah atau sekedar

membereskan tempat tidur. Bukannya aku nggak mau cepat-cepat

membereskan tempat tidur, tapi Fo hampir selalu masih tergeletak di

sana. Untuk membangunkannya perlu usaha keras dan waktu yang lama.

Masalah ini pernah membawa kami ke dalam suasana yang sangat

emosional. Jo memarahi mereka karena jarang masak. Lala dan Nunu

Page 81: Desa Seribu Punten

81

sampai menangis terseguk-seguk karena merasa dipojokkan. Fo sebisa

mungkin menahan amarahnya. Namun pada akhirnya disepakati bahwa

seminggu terakhir ini kami harus bekerja semuanya, tak ada yang diam.

Bowie yang tidak bisa bawa motor harus rela ditinggal membereskan

pondokan agar pemakaian kendaraan lebih efisien.

Ya … Bowie adalah satu-satunya pria di kelompok ini yang tidak

bisa mengendarai motor. Ini terkadang menyulitkan karena itu berarti

harus ada yang memboncengnya, dan itu membuat kinerja kami tidak

efisien. Selama KKN dia belajar mengemudikannya bila ada waktu

kosong. Fo mengajarinya dengan sangat baik. Bahkan hanya dalam sekali

latihan Bowie sudah sanggup membawa motor ke Gunung Sembung,

walau kehati-hatian dan jalan yang rusak menghambatnya untuk

mengejar kami yang sudah pro.

Satu orang lagi yang pernah belajar mengendarai motor selama

KKN adalah Heni. Dia sangat penasaran dengan motor Mio Asep.

Sewaktu pertama kali mengendarainya dia terjatuh. Sayang, aku sedang

nggak memegang kamera. Padahal momen konyol itu sangat menarik

untuk diabadikan.

Seperti yang diharapkan, Aep terkejut dengan kehadiran kami.

Kami berkilah,

“Cuma mau mengecek kesiapan persyaratan pendaftaran. Sekalian

juga mau bikin foto. Kamu belum punya pas foto kan?”

Perabotan rumahnya cukup mewah untuk ukuran keluarga yang

tak bisa menyekolahkan anaknya. Ruang tamu sempit malah makin

sempit karena ada motor Aep yang diparkir di sana. Tak perlu jadi montir

hebat untuk mengetahui kalau motor Aep sudah dimodifikasi sedemikian

rupa. Walaupun bukti-bukti sudah menunjukkan kalau dia tak perlu

meminta bantuan kami untuk masuk sekolah, tapi kami tetap akan

mengantarnya ke sekolah pagi ini.

Aku teringat janji untuk menjemput Metha dan kedua anak dari

desa Kamarung. Aku mengajak Jo dan Fo. Tapi Fo sedang mandi.

Makanya aku pergi duluan ke Gunung Sembung. Ternyata mereka sudah

menunggu.

Ceuceu kaget pagi-pagi kedatangan tamu tanpa pemberitahuan

sebelumnya. Aku minta maaf karena tidak memberitahu siapapun di

Gunung Sembung sebelumnya. Semalam aku sudah kepayahan, lagipula

sinyal yang merem melek membuatku malas berkomunikasi dengan

ponsel.

“Kita juga mau masukin anak ke SMP Jabong.” Lanjut Ceuceu.

“Oh ya? Kita sudah masukin kemarin.” Kataku, “berapa orang?”

Page 82: Desa Seribu Punten

82

“Cuma dua, pengennya sih ada lagi, tapi waktunya udah mepet.”

“Mestinya KKN-nya setahun ya?” candaku.

“Maneh weh sataun!!!” Sergah Eful, anak fakultas keolahragaan,

sambil menggosok rambutnya setelah mandi.

Waktu ke Water Boom dulu dia juga mengajariku berenang. Dia

membuat Lala sedikit terpesona. Tapi mengingat betapa posesifnya si

Gingin, menjodohkan mereka untuk sekedar bahan gurauan nampaknya

bukan ide yang bagus.

“Gie, siap?” tanyaku.

Pagie adalah ketua kelompok Gunung Sembung yang sebenarnya,

tapi perannya seakan tenggelam karena dia sangat pandai berbagi peran

dengan Pei dan Sidiq. Tapi pagi ini aku akan mengikuti seminar bareng

Pagie karena yang diundang hanya ketua. Nama yang unik. Tapi menurut

Pei namanya tidak menggambarkan perilaku bangun paginya.

Jo dan Fo datang dengan motor masing-masing. Kami mengantar

Metha dan kedua anak itu ke Sumur Gintung. Dari sana mereka akan

melanjutkan perjalanan bersama Aep dan Rudi ke SMKN 2. Setelah itu

aku kembali ke Gunung Sembung, menjemput Pagie dan berangkat ke

kota.

39 “Abis ini kita langsung pulang.” Kata Topan, ketua kelompok

desa Pagaden, menanggapi isu kepulangan cepat yang sedang

berkembang.

Semua kondisi sudah lewat jenuh. Aku tak bisa menyalahkan

mereka yang ingin pulang cepat. Bahkan kabar yang beredar anak-anak

KKN di kabupaten Bandung seperti di Ciwidey sudah menghentikan

kegiatan KKN dua hari yang lalu dan pulang ke rumah masing-masing.

Kontan berita itu makin bikin iri. Beberapa kelompok di Blanakan juga

pulang hari ini, katanya.

“Kita besok euy!” timpal si gendut. Aku nggak pernah tahu nama

aslinya. Si gendut ini temannya Bowie. Dia pernah datang ke pondokan

beberapa kali dengan mobil jeep merahnya, “Kalian kapan?”

“Kayaknya sih sesuai jadwal.” Jawabku setelah jeda sedetik,

“Hari ini Jo sama Fo lagi nganter empat anak ke sekolah. Besok malam

kita baru presentasi. Lagian kita belum pesan mobil.”

Lalu kudengar namaku dipanggil. Aku melirik ke arah suara.

Qorni, teman survei dulu, berjalan ke arahku.

“Minta nomornya pak Kadis dong!”

Page 83: Desa Seribu Punten

83

“Emang kenapa?”

“Kita punya anak yang selalu keluar-masuk sekolah. Dia nakal

banget. Bahkan guru-guru di sekolah sana udah nggak percaya saking

bandelnya. Kita sih pengen masukin dia ke sekolah lagi.”

“Dia mau sekolah?”

Qorni mengangguk, “Ya, cuma masalahnya itu tadi. Sekolah udah

nggak mau nerima.”

“Dicoba ke sekolah lain?” tanyaku.

“Dia nggak mau. Maunya cuma ke sekolah itu.” Qorni mengusap

keringat di dahinya, “Bagusnya gimana ya?”

“Ya bagusnya sih masukin aja ke sekolah. Mungkin kalian bisa

bikin perjanjian sama pihak sekolah kalau dia bikin ulah konsekuensinya

seperti apa. Nih nomor pak Kadis.” Kataku sambil menyodorkan

ponselku. Biasanya aku tak pernah memberikan nomor pak Doyok ke

orang lain untuk melindungi privasinya. Tapi kurasa kali ini sudah mepet.

Aku memberikannya dengan membuatnya berjanji tidak akan

memberikannya pada siapapun lagi.

Acara dimulai. Aula besar itu terasa begitu menyejukkan. Tak

kurang lima mesin AC berdiri dipasang di ujung kiri dan kanan. Rasanya

sangat berbanding terbalik dengan keadaan di luar. Terlebih jumlah orang

yang datang tidak sebanyak ketika pertama kali datang. Hari ini yang

datang hanya para ketua dari masing-masing desa dan beberapa orang

yang mengekor ketua.

Pengantar yang membosankan lagi-lagi diberikan oleh pejabat

LPM dan aparat kabupaten. Selama pidato pengantar aku mengobrol

dengan Dini, gadis matematika teman sekelompok Wahyu. Aku

mengenalnya pertama kali ketika kuliah olahraga dulu.

“Si Wahyu kasihan banget, lecek amat tampangnya.” ujarku.

“Dia baru balik ke Subang tadi pagi-pagi, terus langsung ke sini.”

Sahut gadis mungil berkerudung ini sambil tersenyum manis, “Beberapa

hari ini dia kurang tidur.”

Bagian yang paling menarik dimulai. Presentasi hasil temuan

mahasiswa KKN di kabupaten Subang dibawakan oleh dua orang

kordinator kecamatan. Kecamatan Pagaden, Cipunagara dan

Pusakanagara dibawakan oleh Irfan. Dia anak jurusan pendidikan kimia

angkatan 2004. Aku mengenalnya karena dia aktif di himpunan sehingga

selalu eksis di setiap acara jurusan. Tiga kecamatan lainnya seperti

Blanakan, Ciasem dan Legonkulon dibawakan oleh mahasiswa yang tidak

kukenal. Sementara kordinator kecamatan lainnya seperti Wahyu hanya

Page 84: Desa Seribu Punten

84

menjadi pencatat jalannya acara atau sebagai operator yang menganti

slide presentasi.

Dalam kedua presentasi itu dipaparkan penemuan yang tidak jauh

berbeda. Anak-anak putus sekolah yang masih banyak, gedung-gedung

sekolah yang tidak layak. Bahkan ketika Irfan presentasi disetelkan video

tentang keadaan sekolah di satu desa,

“Itu punya kita.” Kata Pagie di sebelahku.

Pak Doyok menanggapi semua temuan para mahasiswa. Dia

masih orang yang sama sejak terakhir aku menemuinya. Kebiasaan

merokoknya mulai membahayakan kami semua yang ada di ruangan itu.

Bayangkanlah suatu ruangan besar, mesin AC berjajar di kiri dan kanan,

sementara di depan orang merokok tak ada habisnya. Yang terjadi adalah

asap rokok terpenjara di tengah-tengah ruangan, dikawal kiri-kanan oleh

hembusan udara, udara itu tidak bercampur karena kerapatannya memang

berbeda. Alhasil asap rokok yang keluar dari mulut dan hidung pak

Doyok mengambang di tengah-tengah. Aku bisa melihat jelas perbedaan

kerapatan udara yang mengambang. Asap rokok itu menggumpal bagai

kumulunimbus.

Setelah tanggapan dari kepala dinas pendidikan selesai, seorang

mahasiswa mengacungkan tangannya dan bertanya,

“Sepertinya segala yang kita lakukan di lapangan sangat kurang

untuk memenuhi ekspektasi masyarakat. Kita hanya mendata anak usia

sekolah, sementara anak putus sekolah tidak bisa kita bantu. Apa langkah

konkrit yang bisa kita lakukan untuk membantu mereka?”

Dia adalah orang yang sama yang menanyakan pertanyaan ini

dalam rapat rutin setiap minggu di Pagaden. Dulu aku tidak

memperhatikan apa orang ini mendengar pemaparanku setelah bertemu

pak Doyok atau tidak. Atau dia tidak datang waktu itu? Aku nggak tahu,

lupa.

“Dulu ada anak yang datang menghadap saya dan menanyakan

pertanyaan ini. Mana anaknya? Ada di sini?” jawab pak Doyok.

Dengan debaran jantung yang makin cepat aku mengangkat

tanganku untuk menunjukkan kehadiranku. Tak pelak semua mata tertuju

padaku.

“Gimana sudah diputuskan solusi mana yang paling tepat?”

tanyanya lagi.

Aku menelan ludah sebelum menjawab. Bagiku berbicara di

depan forum sebesar ini sangat jarang kulakukan.

“Kami belum memutuskan mana yang lebih tepat, SMP terbuka

atau SD-SMP satu atap.” Kataku lantang. Aku duduk agak belakang dan

Page 85: Desa Seribu Punten

85

di pinggir, jadi perlu tenaga ekstra untuk menyampaikan jawabanku,

“Tapi sesuai rekomendasi langsung dari bapak, kami berhasil

memasukkan satu anak ke SD, dua anak ke SMP dan dua anak ke SMKN

2. Hari ini teman saya sedang mengantar empat anak lagi untuk

mendaftar ke SMKN 2.”

“Berapa anak yang diminta oleh SMKN 2?”

“Sebenarnya mereka menantang kami untuk mencari 100 anak,

tapi kami baru sanggup memasukkan enam anak dengan yang hari ini.”

Ujarku.

Tak pelak dengan fakta yang kuberikan, pak Doyok bisa

menjawab keraguan mahasiswa tadi dengan meyakinkan. Setelah forum

selesai banyak mahasiswa yang mengejar pak Doyok. Tak ubahnya artis

yang kena skandal dikerubuti para wartawan infotainment. Beberapa

mahasiswa bergiliran menyampaikan masalah yang mereka temukan.

Aku juga ingin bicara lagi dengannya, tapi tampaknya antusiasme teman-

teman mahasiswa tak membiarkanku bicara dengannya.

Aku hanya berbicara pada pak Mufid, dosen pembimbing

lapanganku. Beliau pernah datang ke desa ketika Persami dulu.

“Jadi memang sebenarnya sekolah itu punya niat baik untuk

menerima murid baru. Tapi kewenangan kita sebagai mahasiswa KKN

hanya sebatas mendata anak usia sekolah. Kalau menurut saya lebih baik

diprogram KKN yang akan datang setiap kelompok dibekali surat

rekomendasi untuk bisa memasukkan anak-anak ke sekolah. Karena jujur

saja, awalnya juga saya dan teman-teman ragu-ragu untuk bergerak

karena keterbatasan wewenang itu.”

Pak Mufid menganguk-anguk. Aku nggak tahu usulanku ini akan

ditindaklanjuti atau masuk tong sampah seperti biasa. Waktuku kurang

dari empat hari lagi, yang kulakukan bersama teman-temanku tak bisa

lebih dari ini. Kalau saja kami diberi kewenangan ini sejak awal, mungkin

lebih banyak anak yang kami masukkan ke sekolah.

Aku merasa konyol sendiri. Aku selalu mengatakan bahwa frase

‘kalau saja’ hanya diucapkan oleh pecundang. Kurasa aku memang

pecundang kali ini.

Dengan selesainya seminar kabupaten, secara resmi tugasku sudah

selesai. Tapi secara moral masih ada yang harus kuselesaikan.

Tugas selanjutnya yang harus diselesaikan adalah perpisahan

dengan para pemuda dan karang taruna desa. Untuk itu kami mengundang

mereka dalam acara ngaliwet malam ini. Kami kesulitan menghemat dana

untuk ini. Belum lagi kami harus menggelar acara presentasi di desa yang

pastinya membutuhkan dana untuk alokasi konsumsi peserta. Membakar

Page 86: Desa Seribu Punten

86

dua ekor ayam jelas tidak mencukupi untuk para monster, termasuk

monster dalam kelompok kami. Disinilah Yang Maha Kuasa menyindir

keraguanku akan nikmat-Nya. Saat pulang ke pondokan Jo dan Fo

membawa kabar menyenangkan.

“Mereka sudah terdaftar,” kata Fo, “Paling besok kita anter lagi

mereka ke puskesmas Cikalapa buat tes kesehatan. Tapi itu kan cuma

formalitas saja.”

“Tadi pas kita di sana kita diajak ke jurusan perikanannya di

belakang sekolah.” Ujar Jo antusias, “Ternyata sekolah itu gede banget

lho … ada kali sebesar kampus kita.”

Aku bisa melihatnya ketika pertama kali datang. SMKN 2 Subang

memiliki lapangan depan yang sangat luas, hampir menyamai lapangan

sepakbola. Pada saat itu lapangan itu dipakai oleh para siswa untuk

latihan taruna. Maklumlah sekolah ini memang dirancang seperti itu.

Setiap siswa juga memakai seragam taruna sesuai jurusannya. Latihan

kepemimpinan, lalu baris-berbaris di bawah terik mentari adalah makanan

mereka setiap hari selain belajar di kelas dan praktek di laboratorium atau

bekerja di lapangan. Makanya jarang sekali siswa di sini berkulit putih,

kecuali mungkin jurusan tertentu seperti pariwisata.

Rupanya Jo dan Fo melihat sekolah itu lebih jauh lagi. Saat

dipingpong dulu aku pernah ke laboratorium analisisnya dan letaknya

sangat jauh dari kantor bu Merry. Dan kabar baiknya terlontar dari mulut

Jo,

“Pas kita di sana, balong dan tambak udangnya gede banget. Kita

malah dikasih udang sama bu Merry, ada kali dua kilo!”

Aku langsung beranjak ke belakang. Heni dan Nunu sedang

membersihkan udang-udang itu, besarnya seukuran dua jari. Aku

tersenyum seraya bersyukur ketika Heni berkata,

“Ini kayaknya cukup buat nanti malam.”

40 Acara semalam sangat gila. Aku tak bisa menghitung lagi berapa

orang yang datang ke pondokan. Semuanya tumplek begitu saja. Aku tak

bisa bilang hidangan kami istimewa tapi mereka sangat bersemangat

melahapnya. Sebenarnya itu hidangan kita bersama karena mereka juga

ikut memasak. Dan yang paling sibuk tentunya sang manusia tereksis,

Somad. Kami makan dialasi beberapa lembar daun pisang. Teras penuh

dari ujung ke ujung. Kehangatan semalam begitu berkesan sehingga tak

mungkin terlupakan.

Page 87: Desa Seribu Punten

87

Hari jumat terakhir itu aku dan Della pergi ke dinas pendidikan

kecamatan untuk menyerahkan daftar peminat program kejar paket.

Sementara Jo dan Asep mengantar keempat anak yang kemarin

didaftarkan untuk mengikuti tes kesehatan di puskesmas Cikalapa. Lala

dan Nunu mengambil plakat di Subang. Dan menyediakan konsumsi

untuk acara nanti malam dan tentunya menyelesaikan materi yang akan

disampaikan.

Pejabat PLS yang harus kami temui belum datang padahal saat itu

sudah hampir jam sembilan. Kami menunggunya sambil mengobrol

dengan pegawai dinas di sana. Lalu kami memfotokopi daftar itu untuk

arsip kami dan arsip desa.

Tempat fotokopinya tidak jauh karena kantor dinas ini ada di

pinggir jalan. Lagipula ada sekolah di sekitar sini. Anak-anak SD ramai

berlarian di halaman sekolah.

Ketika menunggu daftar difotokopi, ponselku berdering. Ada sms

masuk dari Metha,

“Kang, kami dari Kamarung pulang duluan hari ini. Terima kasih

sudah membantu kami memasukkan anak-anak ke sekolah. Harusnya

akang lihat kebahagiaan orang tua mereka karena anak-anaknya bisa

sekolah lagi. Sukses buat programnya!”

Aku terenyuh membacanya. Sesaat terdiam merenungi apa yang

kurasakan. Tak pernah aku melakukan sesuatu untuk orang lain dan

imbalannya adalah senyum kebahagiaan dan ucapan terima kasih yang

tulus. Apa yang lebih baik dari semua perasaan dibandingkan

kebahagiaan telah membantu orang lain? Apa yang lebih baik dari

senyum kebahagiaan orang tua? Ketulusan Metha dan teman-temannya

melebihi semua yang telah kulakukan untuk mereka. Aku hanya

membuka jalan. Mereka, walaupun jauh, walaupun tak ada motor, rela

mengantar kedua anak itu ke desa kami. Yang paling berjasa di sini

adalah Jo dan Fo. Ketika mereka sampai di Sumur Gintung kemarin,

mereka kekurangan armada untuk membawa semuanya. Lalu Jo dan Fo

berinisiatif mengajak Somad dan temannya yang punya motor untuk

mengantar mereka semua ke SMKN 2.

Aku menunjukkan ponselku pada Della. Dia tersenyum penuh arti

setelah membacanya, tatapannya seakan berkata kerja bagus, teman.

Pesan pendek itu memberi kami bahan bakar untuk menghadapi sisa dua

hari terakhir.

Sampai pukul sepuluh kami tak bisa bertemu dengan pejabat PLS.

Kami menyerahkan daftar itu ke petugas di sana. Kami tak bisa berlama-

lama. Banyak sekali pekerjaan untuk malam nanti. Ada makanan ringan

Page 88: Desa Seribu Punten

88

yang harus dibungkus, ada hasil temuan yang harus ditulis ke atas karton

besar –kalau saja di sini ada digital proyektor, pekerjaaan ini sangat tidak

perlu, belum lagi ruang balai desa yang harus dibersihkan –kemarin

kondisinya seperti pesawat yang baru jatuh dari ketinggian seribu meter;

berantakan dan tak berlampu.

Sore itu kami melakukan segala persiapan. Lala dan Della

berkonsentrasi menulisi karton besar dengan informasi yang akan kami

berikan di depan forum. Iin, Heni dan Nunu mengurusi konsumsi. Asep,

Fo dan Bowie membersihkan balai desa dan memasang lampu. Sementara

aku dan Jo mengembalikan buku-buku daftar warga ke kepala dusun atau

ke ibu kader setiap dusun, juga mengembalikan catatan kesehatan warga

ke bidan Iin.

Sejak semalam Jo mendapat berita kalau adiknya yang kuliah di

Jakarta masuk rumah sakit. Tapi sudah ada pacar adiknya yang mengurus

sehingga dia tak perlu buru-buru berangkat ke Jakarta. Tapi dia masih

khawatir saja.

Segala persiapan sudah selesai. Segera setelah Maghrib kami

membawa semua peralatan dan konsumsi ke balai desa. Undangan sudah

disebar sejak dua hari yang lalu. Ada beberapa orang yang

mengisyaratkan tidak akan datang. Bahkan pak Kades memberitahu akan

terlambat karena harus menghadiri hajatan dulu di dusun Sumur Gintung.

Inilah repotnya menjadi pejabat, terlebih di desa. Kalau tidak datang

dianggap tidak menghargai yang mengundang, padahal mungkin saja

memang ada urusan yang tak bisa ditinggalkan. Kami bertekad kalaupun

pak Kades tidak datang, kami akan tetap melangsungkan acara.

Aku dan Jo menjemput Zezen dan neneknya. Setelah bersekolah

ada raut berbeda yang di wajah anak kecil itu. Selain acara presentasi, ini

juga sekaligus perpisahan sebelum kami pulang hari minggu nanti.

Makanya kami sengaja mengundang semua anak yang berhasil kami

masukkan ke sekolah. Rina dan Iwan beserta orang tuanya hadir.

Sementara Aep hanya sendiri, ibunya harus menghadiri hajatan.

Sedangkan Rudi malah membawa teman-temannya dari karang taruna

dusun Keresek Tua. Bu Toyib hadir tanpa suaminya yang sedang ke luar

kota.

Pesan yang dikatakan pak Kades memang terjadi. Sampai adzan

Isya berlalu beliau masih belum datang. Aku sudah bolak-balik mengirim

sms untuk memastikan kedatangannya. Kami memutuskan untuk

menunggunya sepuluh menit lagi.

Page 89: Desa Seribu Punten

89

Sepuluh menit berlalu harapan pun berlalu. Kami memutuskan

untuk memulai acara. Namun ketika Lala membuka acara, rombongan

pak Kades, Sekdes dan perangkat desa lainnya datang. Acara terhenti

sesaat untuk penyambutan sekedarnya.

Acara dimulai kembali setelah penyambutan selesai. Lala ditugasi

membawakan acara. Iin membacakan ayat-ayat suci Al-Quran. Setelah

aku memberikan kata sambutan, kemudian giliran pak Kades. Acara inti

dibawakan oleh Jo yang memaparkan hasil temuan kami di lapangan.

Keadaan memanas ketika memasuki sesi tanya jawab. Jo

menerangkan bahwa harus adanya perubahan paradigma pada masyarakat

tentang pentingnya pendidikan untuk masa depan anak. Dalam hal ini Jo

menekankan agar hal itu dimulai dari orang tua selaku pihak yang masih

bertanggung jawab pada anak. Pak Kades menyanggahnya dengan

berdalih bahwa sekuat apapun orang tua menyuruh anaknya untuk

sekolah, semuanya kembali pada kemauan si anak. Perdebatan ini makin

memanas ketika ketua LPM mendukung pernyataan pak Kades.

Menurutku memang untuk usia anak baru SD atau SMP orang tua

memiliki peran yang sangat penting untuk membentuk masa depan dalam

koridor pendidikan. Sementara bila anak sudah memasuki masa SMA, si

anak sudah bisa berpikir lebih jauh mengenai masa depannya.

Ketua BPD mengemukakan pendapat dengan cara yang lebih

terpelajar. Kami semua mencair. Keadaan kembali tenang setelah

perdebatan sengit itu. Akhirnya acara selesai dan kamipun berjabat

tangan. Aku menyerahkan secara simbolis plakat kepada pak Kades.

Setelah acara selesai aku mengantar Zezen dan neneknya.

Sementara yang lain masih membereskan balai desa dan ada yang

mengobrol dengan pak Kades dan perangkat desa lainnya. Ketika aku

kembali ke balai desa mereka masih mengobrol. Aku bergabung lagi

dengan mereka.

“Di desa Gunung Sari, tahun kemarin ada yang KKN dari

STPDN,” kata pak Kades bersemangat, entah dia tidak tahu kalau

STPDN sudah berubah nama menjadi IPDN atau hanya kebiasaan yang

sulit dihilangkan, “mereka itu sangat royal. Tiap malam minggu

Kadesnya diajak ke kota. Sehari bisa habis tiga sampai lima juta … hebat

kan?”

Itu juga yang diceritakannya dengan bangga ketika aku meminta

tanda tangan beberapa hari yang lalu. Mungkin dia juga berharap kami

seperti anak-anak IPDN itu. Anak IPDN bisa begitu karena biasanya

mereka itu anak-anak pejabat di daerahnya. Belum lagi mereka disuapi

uang saku oleh pemerintah. Sedangkan kami berangkat dari keluarga

Page 90: Desa Seribu Punten

90

yang latar belakangnya berbeda-beda. Bowie dan Fo mungkin bisa seperti

itu, tapi kebanyakan dari kami tak sanggup kalau harus hidup KKN

seperti itu.

“Maaf pak, ini ada yang salah dalam plakat, tanggalnya.” Kataku

mengalihkan pembicaraan.

Pak Kades celingukan mencari tanggalnya. Aku menunjukkannya

dengan jempol adat timur. Kami semua tertawa lepas, beberapa

diantaranya dibuat-buat.

Bukan hanya sekedar pengalih perhatian, tapi memang benar-

benar ada kesalahan dalam penulisan tanggal KKN kami. Tertulis 17 Juli

2007 – 26 Agustus 2008. Sialan, memangnya siapa yang mau KKN

selama itu?!! Tapi kesalahan pada plakat anak-anak Gunung Sembung

lebih parah. Kami memang memesannya berbarengan. Desa tempat KKN

mereka dituliskan dengan nama desa kami, Sumur Gintung.

41 Setelah pertemuan selesai, Jo mendapat berita buruk. Setelah

beberapa hari yang lalu adiknya sakit, sekarang giliran pacarnya. Dede,

sebutan Jo untuk pacarnya, juga mahasiswa KKN di kecamatan Ciasem,

Subang. Dulu Jo pernah membawanya ke pondokan. Waktu itu dia dan

pacarnya baru kembali setelah hampir seminggu pulang ke Bandung.

Walaupun malam sudah makin kelam tapi Dede minta diantar langsung

ke desanya. Padahal kami sudah menawarinya untuk menginap dan

melanjutkan perjalanan besok paginya. Dia tidak mau. Akhirnya Jo

meminjam motor Fo yang lebih fit mengantarnya ke desanya yang

letaknya hampir di pantai utara.

Malam itu Jo marah-marah di telepon. Dia memarahi teman-

teman dedenya karena tak bisa menjaganya dengan baik. Setelah itu dia

minta ijin untuk pergi ke Ciasem. Kami semua menolaknya. Malam

sudah terlalu larut. Kalau di Bandung sih mungkin nggak terlalu masalah,

tapi siapa yang tahu keadaan Pantura di malam hari. Jo menyerah, dan dia

berangkat sebelum fajar menyingsing.

Pagi ini kita punya kejutan lain. Ada beberapa pucuk surat yang

ditinggalkan di depan rumah. Ada sepuluh surat untuk sepuluh orang.

Surat-surat itu berisi ucapan terima kasih yang dirangkai dengan gaya

penulisan surat cinta tahun 70’an. Saking konyolnya kami tertawa

terpingkal-pingkal membacanya. Della menjadi primadona Rudi dengan

memanggilnya dengan panggulan Kak Lulu, menurutnya Della mirip

dengan Lulu Tobing. Well, aku tak bisa berkomentar untuk yang satu ini.

Page 91: Desa Seribu Punten

91

Bukannya kami nggak menghargai surat-surat ini, tapi kami tak bisa

menahan tawa ketika membacanya. Untuk mengucapkan terima kasih dia

tak perlu meninggalkan surat melankolis a la Romeo and Juliet dari

Verona.

Hari sabtu terakhir nyaris tak ada kegiatan yang berarti. Kami

mengisinya dengan mengerjakan laporan KKN. Kami harus

menyelesaikannya sebelum pulang ke Bandung besok.

Menurut Pei semalam, hanya tinggal beberapa kelompok yang

masih tinggal di Subang. Hampir semuanya sudah pulang. Tadinya kami

akan bergabung dengan kelompok Gunung Sembung agar menghemat

biaya. Namun setelah banyak pertimbangan kami memilih untuk pulang

masing-masing. Lagipula besok mereka pulang pagi, katanya mau main

dulu ke Ciater.

Jadilah setelah Dzuhur aku dan Lala pergi memesan mobil untuk

besok. Awalnya Lala takut ketahuan jalan bersamaku. Aku menegaskan

bahwa ini dilakukan hanya karena memang tak ada pilihan lain. Hanya

dia yang tahu rumah supir itu. Aku tak mungkin membiarkan Lala dan

Nunu yang berangkat memesan mobil. Masalahnya, kami memesan

langsung ke orangnya, dan dia tak ada di terminal Subang. Si supir juga

tak punya telepon untuk dihubungi, makanya siang itu aku membonceng

Lala ke desa Cijambe –letaknya diantara kecamatan kota Subang dan

Sagalaherang.

Pemesanan mobil tak ada masalah. Dia adalah supir yang sama

yang mengantar kami ke Subang. Jadi aku tak perlu lagi menunjukkan

letak desa kami.

Diperjalanan pulang aku mengajak Lala menikmati es rumput laut

di tempat favoritku. Penjual es rumput laut itu mangkal di jalan raya

Pagaden, sangat dekat ke pondokan Pei di Gunung Sembung. Kalau aku

pergi sendiri aku selalu menyempatkan menikmatinya sebelum pulang.

Rasa dingin dan segar memang tak cukup mengalahkan panas yang

mendera, tapi setidaknya asupan giziku lumayan terpenuhi.

Si mang tukang es rumput laut ini mangkal hanya sampai jam

tigaan. Padahal sore hari pun cukup menyegarkan untuk menikmatinya.

Dulu ketika aku mengantar Heni belanja mingguan, aku ingin

membelinya untuk dibawa ke pondokan sekalian untuk Ladies berbuka

tapi sudah nggak ada. Asalnya Lala menolak, tapi dia tak kuasa menahan

ketika kutawarkan minuman itu gratis untuknya. Saat menikmati

minuman kaya serat ini barulah aku tahu kenapa dia menolak.

Page 92: Desa Seribu Punten

92

“Tagihan telepon di rumah hampir dua ratus ribu.” Katanya sedih,

“si mama cuma mau bayar setengahnya, jadi sisanya mesti Lala yang

bayar.”

“Jadi ceritanya kamu lagi ngirit sekarang teh?”

Lala mengangguk.

Kami pulang setelah menikmati es rumput laut itu. Seperti biasa

ketika melewati jalan desa banyak orang ngaso di depan rumah masing-

masing. Aku harus melambatkan motor ketika melewati mereka dan

mengucap,

“Punten…” dengan sedikit anggukan a la keramahan sunda

Ketika aku mengucap punten untuk kesekian kalinya Lala berbisik

padaku,

“Desa seribu punten!”

Aku terkikik mendengarnya. Memang begitu, entah berapa ribu

punten yang sudah kami ucapkan ketika bertemu orang-orang desa. Tapi

ini menunjukkan bahwa kesopanan merupakan bagian utama dari

silaturahmi a la Timur, bahkan mungkin sebelum Islam berpengaruh di

negeri ini melalui Samudra Pasai.

Della dan Iin masih mengerjakan laporan saat kami sampai.

“Udah beres belum?” tanyaku.

“Tinggal disusun aja…” jawab Iin, “Lembar pengesahannya udah

belum?”

Aku jadi teringat lembar pengesahan yang harus ditandatangani

pak Kades. Aku mencarinya ditumpukan kertas di samping komputer.

Ketika menemukannya aku langsung mengajak Asep untuk menemaniku

ke rumah pak Kades.

Tak ada masalah meminta tanda tangan pak Kades. Kami

mengobrol beberapa hal tentang pendidikan. Beliau berjanji akan lebih

memperhatikan masalah pendidikan. Maklumlah ketika kami datang

beliau baru terpilih, banyak pekerjaan yang harus ditanganinya. Makanya

selama bekerja kami memilih untuk tidak terlalu banyak melibatkan

pengurus desa agar tidak mengganggu –walaupun mereka dengan senang

hati akan membantu.

Aku kembali ke pondokan dengan perasaan lega. Dengan tanda

tangan ini, aku tak perlu kembali dalam waktu dekat hanya untuk

meminta tanda tangan untuk laporan.

Hari menyentuh Ashar yang tenang. Tampaknya itu tak berlaku

untuk Lala. Gingin berdiri di teras, Lala duduk merengut di sampingnya.

“Hai,” aku menyapanya sekedar basa-basi.

“Hai, darimana?” tanyanya.

Page 93: Desa Seribu Punten

93

Kami berjabat tangan.

Aku mengangkat beberapa lembar kertas yang kupegang dan

berkata, “Tanda tangan pak Kades.”

“Gimana mobil buat besok?”

“Tadi kita sudah pesan. Besok kita pulang agak siang. Lagian

bapaknya Bowie bakal jemput, jadi di mobil besok paling cuma barang-

barang aja…”

“Pesan lewat telepon?” tanyanya memotong penjelasanku.

Aku tahu ini pertanyaan jebakan. Aku yakin dia sudah tahu kalau

tadi aku jalan dengan Lala. Aku menimbang-nimbang untuk mengatakan

kebenaran. Tapi aku ingin balik mengujinya, makanya aku berbohong.

“Ya, lewat telepon.”

Tak ada tanggapan untuk beberapa saat. Padahal aku sudah

bersiap kalau memang harus melakukan yang terburuk. Dia hanya

berkata,

“Saya mau ajak Lala pulang duluan. Udah nggak ada apa-apa

kan?”

Aku menimbang-nimbang sekali lagi. Mungkin saja dia akan

marah kalau aku menolak. Di hari terakhir aku tak ingin ada masalah.

Terlebih banyak orang yang berlalu lalang mempersiapkan hajatan di

sebelah kebun rambutan. Kalau terjadi masalah pasti berujung keributan.

Akhirnya aku mengiyakannya.

Lala berpamitan pada semuanya. Suasana sedih mulai mendera.

Setelah empat puluh hari bersama, perpisahan kecil ini membawa kami ke

dalam suasana melankolis, walaupun sebenarnya terganggu oleh deru

generator hajatan yang disimpan tepat di samping pondokan.

Lala adalah anggota yang paling sering pulang. Pernah dia

mengeluh ketika melihat foto-foto selama KKN,

“Kok foto Lalanya sedikit sih?”

Aku spontan menjawan, “Kamu kan banyak nggak adanya!”

Jo tertawa puas mendengarnya.

Sebenarnya Jo juga tidak sesempurna itu. Kalau Lala paling sering

pulang, Jo paling lama pulang. Yang lain paling lama pulang ke Bandung

hanya dua hari, tapi si Jo pulang selama hampir seminggu! Memang ada

alasan dibalik kepulangannya yang lama itu. Kala itu dia harus

mengambil motor ke Sumedang dan mengurus pajak STNK. Ternyata

pengurusan pajak agak bermasalah hingga berlarut-larut. Tapi dia

membayarnya dengan kerja kerasnya yang luar biasa di ujung masa KKN

kami.

Page 94: Desa Seribu Punten

94

Lain lagi dengan Fo. Dia paling sering keluyuran ke desa lain saat

tidak ada kerjaan –terutama di awal masa KKN. Tapi inipun ternyata

berguna. Waktu menjelang peringatan Agustusan dulu, kami dimintai

tolong untuk menjualkan rokok oleh panitia. Walaupun tidak suka dengan

cara itu, kami tak bisa menolaknya. Kami membayar dimuka dua pak

rokok, kemudian Fo beredar menjualkannya ke teman-teman di desa lain.

Kepulangan anggota kelompok pernah menjadikan pondokan

sangat sepi. Pernah sekali waktu hanya menyisakan aku, Heni dan Della

sampai kami mengikrarkan diri sebagai penghuni terakhir. Sebenarnya

Asep tidak pulang, tapi dia mengikuti acara reunian di almamaternya.

Namun acara itu berlangsung sampai larut malam sehingga Asep

memutuskan untuk menginap di rumah temannya.

Celakanya ketika hanya bertiga, Heni tak bisa tidur. Della tak mau

tidur duluan karena alasan-alasan mistis yang menaungi kamar Ladies.

Sementara aku tak mungkin tidur duluan karena mereka menonton film

tepat di samping tempat tidurku. Akhirnya kami menghabiskan waktu

menonton The Sixth Sense Bruce Willis kemudian dilanjutkan Gie

Nicholas Saputra. Aku sengaja membawa film-fil dari rumah untuk

membunuh kebosanan yang melanda. Sesekali Della melayang ke dunia

mimpi. Hanya aku dan Heni yang masih menonton ditemani suara krik-

krik jangkrik. Dan ketika sudah bosan menonton, akhirnya Heni

menyerah karena Della sudah tak bisa menahan matanya untuk terbuka.

Mereka masuk kamar, dan aku harus bertarung dengan nyamuk-

nyamuk ganas untuk bisa tidur. Ini satu alasan yang membuat tidurku

tidak nyenyak. Biasanya ada tiga sampai lima orang yang menjadi sasaran

keganasan para penghisap darah itu, tapi sekarang hanya darahku yang

menjadi santapan mereka. Bahkan Soffel yang kugunakan tidak mempan

menghadapinya. Dan dengungannya itu, aku benci mereka!

Ketika Lala sudah pulang Heni menegurku,

“Kenapa kamu biarin Lala pulang duluan?”

“Trus mau gimana?” tanyaku balik.

“Kan harusnya diomongin dulu sama anggota kelompok.”

“Emang kamu mau nahan dia?”

“Eeerr… nggak sih!”

Sore itu Fo mengingatkanku untuk menemui dewan sekolah SD

Sumur Gintung. Semalam, nenek Zezen mengatakan bahwa kedua

cucunya ditagih uang untuk pembangunan sekolah. Tagihannya hanya 20

ribu seorang, murah sih tapi itu jelas tak bisa dipenuhi oleh sang nenek.

Tadi malam aku berjanji akan membicarakannya dengan ketua dewan

sekolah yang bersangkutan.

Page 95: Desa Seribu Punten

95

Pembicaraan dengan ketua dewan sekolah tidaklah sulit. Beliau

sangat memahami kondisi keluarga Zezen, malah beliau memberi

informasi mengenai ayahnya Zezen. Ayah anak itu waktu mudanya

pernah mengadu nasib di Jakarta dan Purwakarta. Tapi nasibnya tak

pernah mencapai puncak kesuksesan. Walaupun begitu ketika kembali ke

desa dia sangat menolak dikatakan sebagai orang tidak mampu. Bahkan

dia menolak uang BLT dari pemerintah hanya karena rasa gengsinya.

Menelantarkan kedua anaknya adalah sebuah harga mahal yang harus

dibayarnya ketika meneguhkan hati atas nama harga diri.

42 Setelah dari rumah ketua dewan, kami mampir ke rumah Rudi.

Saat membahas suratnya tadi pagi kami tertawa terpingkal-pingkal.

Obrolan kami terputus sholat Maghrib.

Setelah Maghrib obrolan berlanjut ditambah satu anggota.

Namanya Vivi, gadis desa berumur 20 tahun ini memiliki paras yang

manis, dan tubuhnya merupakan magnet yang memabukkan bagi para

pria. Gadis lulusan SMEA ini ikut dengan kami ketika acara ngaliwet di

balong pak Toyib, dan juga hadir pada acara perpisahan kemarin. Gadis

inilah yang disebutkan dalam surat-suratnya tadi pagi, terutama untuk

para pria,

“… bersainglah secara sehat …” begitu tulisnya.

Sekarang aku mengerti maksudnya. Ketika Vivi beranjak Rudi

mengatakan,

“Vivi tuh kasihan, banyak cowok yang ngedeketin tapi nggak ada

yang serius. Ibunya udah nyuruh dia menikah terus.”

Aku berusaha memahaminya. Budaya menikah muda di desa

masih sangat kental. Berumur duapuluh dan belum menikah seakan aib

yang menjijikan. Itulah sebabnya Rudi menginginkan salah satu di antara

kami untuk mendapatkannya, setidaknya itu yang tersirat dalam setiap

celotehannya tentang Vivi.

Semua pria di kelompok ini tak ada yang kosong. Semuanya

sudah memiliki tambatan hati. Kalaupun ada yang belum punya pacar,

aku tidak yakin ada yang bersedia menempuh jarak hanya untuk secercah

kecantikan di sudut desa ini. Hei … Bandung masih berjuluk Kota

Kembang, dan itu bukan tanpa alasan!

Kami pulang setelah adzan Isya berkumandang.

Pasar malam kali ini agak sepi karena ada dua hajat yang digelar,

satu di dekat pondokan dan satu lagi di dusun Panyingkiran. Aku tak mau

Page 96: Desa Seribu Punten

96

melewatkan kesempatan terakhirku ini. Sejak pasar malam pertama aku

sangat penasaran dengan es krim yang dijual di atas mobil bak ini. Jadi

aku mengajak Jo yang sudah pulang dari Ciasem untuk membelinya. Dia

mengatakan bahwa keadaan dedenya sudah mendingan, tak perlu sampai

membawanya ke rumah sakit. Kami buru-buru agar tidak ketinggalan

pasar malam. Maklumlah walaupun namanya pasar malam tapi hanya

digelar sampai jam sembilanan, setelah itu desa ini menjadi seperti desa

mati.

Harga es krim ini hanya seribu rupiah. Memang tidak seenak es

cone McDonald, tapi untuk ukuran harga segitu es krim ini cukup untuk

mengobati kerinduan akan peradaban modern dunia es krim.

Sepulang dari pasar malam kami sedikit menikmati acara hajatan

di dekat pondokan. Aku nggak tahu pasti apa yang dijadikan alasan untuk

menggelar hajat kali ini. Kami banyak bertemu dengan para pemuda dan

dedengkot desa.

Setelah selesai menikmati pesta semua berkumpul di pondokan.

Gara-gara hajatan kami tak bisa tenang malam ini. Sebuah

generator listrik disimpan tepat di samping pondokan. Di situ memang

ada saung untuk menyimpan kayu bakar. Generator disimpan di situ

karena alasan keterlindungan kala hujan turun.

Usaha kami untuk membuat suasana sakral di malam terakhir ini

gagal total karena generator itu. Tak ada yang bisa menyesapi setiap kata-

kata penuh arti yang terlontar dari setiap bibir kalau suara mesin

bergemuruh bercampur musik dangdut yang heboh. Alhasil hanya sedikit

perasaan haru yang menyelusup ke dalam dada, walaupun tentunya kami

semua berterima kasih atas apa yang terjadi selama ini.

Selama empat puluh hari ini kami, orang-orang yang tidak saling

mengenal sebelumnya, dipaksa untuk hidup bersama. Kami harus saling

berlapang dada menerima karakter yang sisuguhkan. Bersama-sama

berpikir untuk menentukan langkah yang terbaik untuk program yang

kami susun. Konflik jelas ada, tapi kegembiraan yang kami alami benar-

benar tak terkira.

Untukku sendiri, aku mendapatkan sebuah pengalaman baru yang

tak kudapatkan di Bandung. Diam-diam aku bersyukur karena aku

ditakdirkan mengambil KKN tahun ini, bukan tahun lalu, walaupun

kuliahku harus terpaksa memanjang satu semester.

Dalam kuliah Anorganik, pak Ali pernah menjelaskan bahwa

untuk melihat sifat suatu senyawa kamu harus melihat keseluruhan orbital

dalam molekul, bukan hanya per bagian. Fusi berbagai senyawa bisa

menghasilkan senyawa baru yang lebih berguna. Orang-orang dalam

Page 97: Desa Seribu Punten

97

kelompok ini adalah analogi yang cocok untuk menjelaskan teori

Molecular Orbital yang awalnya sulit kupahami ini.

Natrium adalah logam yang sangat reaktif, klor adalah gas yang

beracun, tapi ketika mereka bersatu mereka memanjakan kita dengan rasa

asin yang menggoyang lidah. Begitulah kami memberi rasa baru dalam

sebuah hubungan.

Bahan gelas mudah pecah, bahan plastik sangat elastis tapi ketika

keduanya dicampurkan dengan perbandingan tertentu bisa menghasilkan

material sekuat baja. Seperti itulah kami saling menguatkan ketika

konflik mendera.

Malam itu kujelang dengan lelapan tidur yang terganggu deru

mesin. Sebuah tidur tanpa mimpi. Kekosongan ini menuntunku

merenungkan makna sebuah keberartian dalam suatu komunitas, makna

dari eksistensi manusia di dunia. Tidurku ini menjadi garis batas tegas

antara empat puluh hari di dunia nyata ini dan sisa hidupku dalam

keterasingan dunia yang kukenal.

43 “Tuh, mobilnya datang!” teriakku.

“Kita masukin barang-barang dulu, baru makan!” ajak Jo yang

tidak sabar menikmati hidangan yang dibawa keluarga Bowie.

Ya, untuk kedua kalinya orang tua Bowie datang. Kali ini juga

mereka membawa makanan yang istimewa. Setelah kami menaikkan

barang-barang ke mobil, kami menikmati makanan termewah yang

pernah kami makan selama KKN.

Pak Usta dan keluarganya ikut makan bersama layaknya sebuah

keluarga besar. Di teras depan tak ada tempat yang tersisa. Semuanya

berisi makanan mulai dari gurame asam manis sampai ayam goreng,

mulai dari salad sampai sambal goreng kentang. Kami terpaksa memakai

peralatan makan yang sudah Ladies cuci pagi tadi.

Sambil makan candaan terus bergulir,

“Wah … Om tuh si Bowie udah bisa bawa motor, katanya minta

dibeliin Nova Sonic!” celoteh Jo.

Ayah Bowie masih tetap ayah yang tenang. Dia sangat kalem

menanggapi apapun. Mungkin itu yang membuatnya berguna di

partainya, tentunya selain kompetensinya.

“Wah bensin full-tank nih sampai Bandung!” komentar Fo sambil

mengelus-elus perutnya.

Page 98: Desa Seribu Punten

98

Usai makan besar itu, kami berfoto bersama. Suasana haru

menyelimuti perpisahan dengan pak Usta dan keluarganya. Beliau telah

menjadi bapak kami selama di sini. Terlihat kilasan-kilasan jernih sebuah

ketulusan di matanya. Kalau suatu hari aku kembali ke tempat ini, hanya

beliaulah alasanku melakukannya.

Aku senang tak ada pesta besar-besaran untuk perpisahan kami.

Hanya ada keluarga pak Usta, keluarga Bowie dan kami di rumah ini

sekarang. Seakan memberi kami sebuah pesta perpisahan yang sangat

privat.

Sebelum berangkat kami berpamitan dengan para pemuda desa

yang ikut membantu hajatan. Deru emosi tidak sekencang perpisahan

dengan keluarga pak Usta, tapi memang banyak memori yang kami lalui

bersama para pemuda. Mereka mengingatkan kami untuk kembali lagi

suatu hari nanti.

Setiap jengkal desa ini yang terlewati kutandai dalam hatiku.

Rumah pak Usta. Balong-balongnya. Lapangan sepakbola. Kantor desa.

Dusun Keresek Baru. Wartel dipinggir jalan. Dusun Panyingkiran.

Ketika empat motor kami melaju di Panyingkiran, seorang anak

yang sedang menyeberang berteriak,

“Eta barudak KKN!!!”

Aku tersenyum. Entah kesan apa yang kami tinggalkan untuk

mereka, tapi desa ini punya kesan mendalam dalam hatiku. Biarlah cerita

kami hanya sesaat dan terlupakan, tapi cerita mereka menjadi suatu

prasasti abadi yang takkan terhapus jaman. Kami terus melaju

meninggalkan desa yang telah kami tinggali selama empat puluh hari ini.

Yang jelas, tempat ini sudah tercetak dalam peta dunia dalam hatiku.

Sebuah tempat yang kujajarkan setara dengan sebuah kota yang selalu

kuimpikan dalam keterjagaanku.

Aku memperhatikan pondokan Pei yang sudah kosong saat

melewati Gunung Sembung, spanduk KKN-nya sudah diturunkan.

Barulah aku ingat belum menurunkan spanduk kami di desa. Jalan raya

Pagaden tak pernah senyaman ini, begitu tenang seakan hanya empat

motor kami yang melaju di sana. Begitupun ketika memasuki Subang

Kota. Banyak kenangan terukir di kota ini, kenangan yang tak mungkin

terlupakan. Kenangan yang membuatku bersemangat menuliskannya

suatu hari nanti.

Kami melaju sejajar ketika menjelang gapura ‘Selamat Tinggal’.

Dari kiri ke kanan, aku, Jo, Fo dan Asep. Kami serentak, walau tidak

janjian, mengangkat tangan kiri dan menempelkannya di ujung helm

seolah berkata,

Page 99: Desa Seribu Punten

99

“Ya, selamat tinggal!”

Kamipun menggeber tunggangan kami menjelang peradaban yang

kami rindukan.

Page 100: Desa Seribu Punten

100

Epilog Setelah bangun pagi aku tak bisa tidur lagi. Aku tak sabar

melanjutkan penelitian. Banyak yang harus kukerjakan, memulai lagi,

tapi yang jelas aku merasa bukan seperti orang lama. Pengalaman 40 hari

di desa seolah telah menjadi kawah candradimuka yang memberiku

pandangan baru tentang bagaimana kehidupan seharusnya berjalan.

Kesulitan adalah jalan yang ditunjukkan Allah ketika kita

meminta kekuatan.

Masalah adalah pernik yang dihiaskan Allah ketika kita meminta

kebijaksanaan.

Bahaya adalah bom yang dilemparkan Allah ketika kita meminta

keberanian.

Kebencian adalah sifat yang diselusupkan Allah ketika kita

belajar tentang ketulusan.

Dan kepanikan adalah bumbu yang diracikkan Allah ketika kita

memohon kesabaran.

Aku tak pernah mendapatkan apa yang kupinta, hanya yang

kubutuhkan. Dan aku bersyukur memiliki apa yang kumiliki sekarang.

“Jot, kamu item banget?!!” ekspresi kagetnya dinodai oleh nada

yang mencela dan tatapan yang mengejek. Perempuan teman sekelasku

ini memang seperti ingin memakanku.

I know, but it’s worth! Bisikku dalam hati sambil memasang

rangkaian set alat penelitian.

Selesai.

Jodhi P. Giriarso Bandung, 26 September 2007 – 14 Mei 2008

Page 101: Desa Seribu Punten

101

Karya Lainnya:

Konspirasi Nuklir (Tiga Kelana, Imprint Tiga Serangkai) Sebuah pertemuan internasional yang akan diselenggarakan

di Bandung, terancam menjadi ladang pembantaian. Seorang

mahasiswi Kimia, dua orang wartawan, satu inspektur polisi

dari Polwiltabes Bandung, dan dua anggota terbaik Paskhas

Anti-terror harus menguraikan pesan-pesan yang tersandikan

dari seorang agen intelejen untuk menemukan sebuah bom

nuklir yang ditanam di Bandung. Mereka diburu waktu untuk

menyelamatkan dunia dari Perang Dunia Abad 21. Dan, tanpa

mereka sadari, seorang pembunuh berbahaya tengah

mengintai mereka!

Rangkuman Kimia SMA (GagasMedia)

Buku rangkuman Kimia paling atraktif. Cetak ulang TIGA kali

dalam waktu TIGA BULAN!!!

Sekarang masuk dalam cetakan kelima.

SuperLengkap Kimia SMA (GagasMedia)

Rangkuman beserta soal latihan plus CD interaktif. Sudah

masuk cetakan ketiga.