Top Banner
layouter: dony RADAR SURABAYA l RABU, 31 MEI 2017 HALAMAN 64 Ada Sejak 400 Tahun Silam Berdiri Lebih dari 20 Pesantren D I tengah-tengah modernitas Kota Surabaya, tepatnya di wilayah RW I dan RW II Kelurahan Jagir, Kecamatan Wonokromo terdapat kampung santri. Perkampungan yang terletak di perbatasan kecamatan Wonokromo dan Wonocolo itu memiliki 20 pondok pesantren yang menjadi jujukan santri, baik dari luar kota Surabaya, bahkan luar pulau. Koordinator Tahfidz Pondok Pesantren An Najiyah, Ulfatun Nafisah mengatakan, Kampung Ndresmo merupakan kampung tua di Kota Surabaya hingga kini masih dikenal sebagai kampung pesantren sejak didirikan oleh Mas Sayyid Ali Akbar, tokoh agama asal Cirebon, 400 tahun lalu. ”Alhamdulillah Surabaya sudah modern seperti ini, namun di kampung sini sangat kental suasana pesantrennya,” kata Nafis saat ditemui Radar Surabaya di Pondok Pesantren An Najiyah. Nafis menceritakan, dalam sebuah riwayat sebelum menjelma menjadi pondok pesantren, Sidoresmo adalah sebuah rumah kecil yang dihuni oleh pengikut sayyid Ali Akbar, Mas Sayyid Ali Akbar yang merupakan anak Sayyid Sulaiman, cucu Sunan Gunung Jati Cirebon, Jawa Barat. Setelah belajar di Ponpes milik Sunan Ampel, Sayyid Ali kemudian diperintahkan kembali pulang untuk menyebarkan ajaran Islam oleh Sunan Ampel. Dalam perjalanannya dari Ampel untuk kembali ke masyarakat guna mengamalkan ilmu yang diperoleh, Sayyid Ali Akbar singgah di sebuah tempat sebelah timur Wonokromo, Surabaya. Ketika itu, kawasan tersebut masih berupa hutan belantara. Seteleh terwujud perkampungan kecil, orang-orang dari daerah sekitarnya mulai berdatangan ke kampung tersebut dan jadi ramai. Mereka terus belajar ilmu agama dan mengaji secara terus menerus sampai akhirnya disebut nderes. Pada suatu malam, ketika hendak melaksanakan salat malam di masjid, Sayyid Ali Akbar melihat ada lima orang santrinya yang sedang nderes di dalam masjid. Seketika itupula, muncul inspirasi memberi nama Ndresmo yang diartikan nderes santri limo. Sejak saat itu, desa yang awalnya bernama Ndemungan diganti menjadi Ndresmo hingga sekarang. Beberapa orang ada yang menyebut Sidoresmo, ada juga yang bilang Sidoresmo yang sebenarnya semuanya berasal dari kata Ndresmo. (han/hen) Pertahankan Budaya Pengajian Kitab di Masjid Panggilan “Mas” Bermula dari Sunan Ampel JIKA di daerah Tapal Kuda sebutan putra kyaiu adalah ’Gus’, berbeda dengan Madura yang disebut dengan ’Lora’, namun di Surabaya putra kiai seringkali disebut “Mas”. Pengamat sejarah perkembangan Islam dan Arab di Surabaya, Abdullah Al Batati menjelaskan panggilan tersebut bermula dari dua orang bersaudara bernama Sayyid Arif dan Sayyid Sulaiman, cucu Sunan Gunung jati Cirebon Jawa Barat, yang berkelana ke Jawa Timur untuk berguru di pondok pesantren yang diasuh Raden Rohmat (Sunan Ampel) Surabaya. “Ketika menimba ilmu di pondok pesantren Sunan Ampel, pada suatu malam ketika Sunan Ampel melaksanakan salat malam, tampaklah di antara para santri yang sedang tidur dua orang di antaranya terlihat memancarkan sinar. Kemudian oleh Sunan Ampel kedua orang santri itu didekati dan masing-masing di ikat kain jariknya,” papar dia. Keesokan harinya setelah selesai menunaikan sholat subuh,semua santri dikumpulkan, kemudian Sunan Ampel menanyakan kepada santrinya yang merasa kain jariknya terikat agar mendekat. Lalu mendekatlah, kedua santri yang bernama Sayyid Arif dan Sayyid Sulaiman kepada Sunan Ampel. Kemudian Sunan Ampel bertanya kepada para santrinya tentang nama barang yang paling berharga di dunia. Secara serempak para santri menjawabnya dengan kata “Emas”. Dengan kejadian tersebut, maka Sunan Ampel menyuruh semua santrinya untuk memanggil dengan panggilan “Emas” didepan nama kedua santri tersebut. Dan mulai saat itulah kedua santri tersebut berikut keturunannya diberi gelar “Mas” di depan nama aslinya dan terus berlanjut hingga sekarang. (han/hen) MESKI berjulukan kota metropolitan, Kota Surabaya memiliki satu kampung bernuansa agamis. Kampung ini terletak RW I dan RW II di Kelurahan Jagir Kecamatan Wonokromo. Setiap hari kampung ini selalu dihiasi dengan alunan merdu ayat-ayat Alquran. Para santri putra maupun putri tampak hilir mudik sembari membawa kitab di dada mereka. Di sekitar jalan terdapat ratusan santri yang hilir mudik sehingga suasana kampung santri tercipta erat di kawasan ini. Ada banyak pendidikan agama yang disediakan di kampung itu. Mulai pendidikan formal, madrasah diniyah, hingga pendidikan menghafal Alquran. Pengamat Sejarah Islam Surabaya Mursyid Assir Bany menjelaskan, ada lebih dari 20 pondok pesantren yang berada di daerah tersebut. Selain Pondok Pesantren (Ponpes) An Najiyah dan Ponpes At Tauhid yang merupakan ponpes terbesar, juga berdiri puluhan ponpes bertebaran di kawasan tersebut. ”Di sini ponpes sebagai lembaga pendidikan tertua di negeri ini, tidak lagi berkutat pada kajian agama secara tradisional. Santri juga diberi kesempatan untuk mendapatkan ilmu umum,” kata Mursyid kepada Radar Surabaya. Selain itu, lanjut dia, akses informasi juga sudah sangat mumpuni. Santri juga tidak hanya fasih membaca Alquran, juga diperbolehkan membaca koran untuk informasi terbaru perkembangan Indonesia dan internasional. Di kampung tersebut, kata Mursyid, masih terdapat beberapa peninggalan kuno yang terjaga sampai sekarang. Selain bangunan pondok pesantren yang kondisinya masih banyak yang asli atau tua dengan ciri khas, di kampung itu masih terdapat rumah bekas pendiri kampung Ndresmo, Sayyid Ali Akbar hingga Sayyid Ali Ashghor. Ada pula bekas sumur yang dijadikan Sayyid Ali Akbar untuk memberi minuman para pejuang. Dipercayai oleh masyarakat setempat yang minum air dari sumur tersebut tidak mempan ditembak senjata oleh penjajah. ”Tradisi kami juga masih kuat, kami masih memiliki budaya pengajian kitab di masjid sampai istighotsah antar masjid di daerah ini,” pungkasnya. (han/hen) Kelurahan Jagir RW I dan RW II, Kecamatan Wonokromo FOTO-FOTO: SATRIA NUGRAHA/RADAR SURABAYA KAWASAN SANTRI: Siwi Ponpes AT Tauhid bercengkrama didepan ponpes usai belajar. PENINGGALAN: Anak-anak bermain di sekitar sumur tua di se- belah barat Ponpes Al Haqiqi di Sidoresmo. MENGAJI DI MASJID: Setiap sore pemandangan anak-anak mengaji gampang ditemui di Kampung Santri Sidoresmo. BERSIH DAN ISLAMI: Lingkungan Kampung Santri Sidoresmo yang cukup besih dan bernuansa Islami. Anak-anak melintas di depan salah satu Pondok Pesantren di Sidoresmo.
1

DENGAN BANYAK - · PDF fileKuda sebutan putra kyaiu adalah ’Gus’, berbeda dengan Madura ... bernama Sayyid Arif dan Sayyid Sulaiman, cucu Sunan Gunung jati Cirebon Jawa Barat,

Feb 15, 2018

Download

Documents

voliem
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: DENGAN BANYAK - · PDF fileKuda sebutan putra kyaiu adalah ’Gus’, berbeda dengan Madura ... bernama Sayyid Arif dan Sayyid Sulaiman, cucu Sunan Gunung jati Cirebon Jawa Barat,

layouter: dony

RADAR SURABAYA l RABU, 31 MEI 2017 HALAMAN 64

DENGAN BANYAK

Ada Sejak400 Tahun Silam

Berdiri Lebih dari 20 Pesantren

DI tengah-tengah modernitas Kota Surabaya, tepatnya di

wilayah RW I dan RW II Kelurahan Jagir, Kecamatan Wonokromo terdapat kampung santri. Perkampungan yang terletak di perbatasan kecamatan Wonokromo dan Wonocolo itu memiliki 20 pondok pesantren yang menjadi jujukan santri, baik dari luar kota Surabaya, bahkan luar pulau.

Koordinator Tahfidz Pondok Pesantren An Najiyah, Ulfatun Nafisah mengatakan, Kampung Ndresmo merupakan kampung tua di Kota Surabaya hingga kini masih dikenal sebagai kampung pesantren sejak didirikan oleh Mas Sayyid Ali Akbar, tokoh agama asal Cirebon, 400 tahun lalu.

”Alhamdulillah Surabaya sudah modern seperti ini, namun di kampung sini sangat kental suasana pesantrennya,” kata Nafis saat ditemui Radar Surabaya di Pondok Pesantren An Najiyah.

Nafis menceritakan, dalam sebuah riwayat sebelum menjelma menjadi pondok pesantren, Sidoresmo adalah sebuah rumah kecil yang dihuni oleh pengikut sayyid Ali Akbar, Mas Sayyid Ali Akbar yang merupakan anak Sayyid Sulaiman, cucu Sunan

Gunung Jati Cirebon, Jawa Barat. Setelah belajar di Ponpes milik

Sunan Ampel, Sayyid Ali kemudian diperintahkan kembali pulang untuk menyebarkan ajaran Islam oleh Sunan Ampel. Dalam perjalanannya dari Ampel untuk kembali ke masyarakat guna mengamalkan ilmu yang diperoleh, Sayyid Ali Akbar

singgah di sebuah tempat sebelah timur Wonokromo, Surabaya. Ketika itu, kawasan tersebut masih berupa hutan belantara. Seteleh terwujud perkampungan kecil, orang-orang dari daerah sekitarnya mulai berdatangan ke kampung tersebut dan jadi ramai. Mereka terus belajar ilmu agama dan mengaji secara terus menerus sampai akhirnya disebut nderes.

Pada suatu malam, ketika hendak melaksanakan salat malam di masjid, Sayyid Ali Akbar melihat ada lima orang santrinya yang sedang nderes di dalam masjid.

Seketika itupula, muncul inspirasi memberi nama Ndresmo yang diartikan nderes santri limo. Sejak saat itu, desa yang awalnya bernama Ndemungan diganti menjadi Ndresmo hingga sekarang. Beberapa orang ada yang menyebut Sidoresmo, ada juga yang bilang Sidoresmo yang sebenarnya semuanya berasal dari kata Ndresmo. (han/hen)

Pertahankan Budaya Pengajian Kitab di Masjid

Panggilan “Mas” Bermula dari Sunan Ampel

JIKA di daerah Tapal Kuda sebutan putra kyaiu adalah ’Gus’, berbeda dengan Madura yang disebut dengan ’Lora’, namun di Surabaya putra kiai seringkali disebut “Mas”.

Pengamat sejarah perkembangan Islam dan Arab di Surabaya, Abdullah Al Batati menjelaskan panggilan tersebut bermula dari dua orang bersaudara bernama Sayyid Arif dan Sayyid Sulaiman, cucu Sunan Gunung jati Cirebon Jawa Barat, yang berkelana ke Jawa Timur untuk berguru di pondok pesantren yang diasuh Raden Rohmat (Sunan Ampel) Surabaya.

“Ketika menimba ilmu di pondok pesantren Sunan Ampel, pada suatu malam ketika Sunan Ampel melaksanakan salat malam,

tampaklah di antara para santri yang sedang tidur dua orang di antaranya terlihat memancarkan sinar. Kemudian oleh Sunan Ampel kedua orang santri itu didekati dan masing-masing di ikat kain jariknya,” papar dia.

Keesokan harinya setelah selesai menunaikan sholat subuh,semua santri dikumpulkan, kemudian Sunan Ampel

menanyakan kepada santrinya yang merasa kain jariknya terikat agar mendekat. Lalu mendekatlah, kedua santri yang bernama Sayyid Arif dan Sayyid Sulaiman kepada Sunan Ampel. Kemudian Sunan Ampel bertanya kepada para santrinya tentang nama barang yang paling berharga di dunia. Secara serempak para santri menjawabnya dengan kata “Emas”.

Dengan kejadian tersebut, maka Sunan Ampel menyuruh semua santrinya untuk memanggil dengan panggilan “Emas” didepan nama kedua santri tersebut. Dan mulai saat itulah kedua santri tersebut berikut keturunannya diberi gelar “Mas” di depan nama aslinya dan terus berlanjut

hingga sekarang. (han/hen)

MESKI berjulukan kota metropolitan, Kota Surabaya memiliki satu kampung bernuansa agamis. Kampung ini terletak RW I dan RW II di Kelurahan Jagir Kecamatan Wonokromo. Setiap hari kampung ini selalu dihiasi dengan alunan merdu ayat-ayat Alquran. Para santri putra maupun putri tampak hilir mudik sembari membawa kitab di dada mereka.

Di sekitar jalan terdapat ratusan santri yang hilir mudik sehingga suasana kampung santri tercipta erat di kawasan ini. Ada banyak pendidikan agama yang disediakan di kampung itu. Mulai pendidikan formal, madrasah diniyah, hingga pendidikan menghafal Alquran.

Pengamat Sejarah Islam Surabaya Mursyid Assir Bany menjelaskan, ada lebih dari 20 pondok pesantren yang berada di daerah tersebut. Selain Pondok Pesantren (Ponpes) An Najiyah dan Ponpes At Tauhid yang merupakan ponpes terbesar, juga berdiri puluhan ponpes bertebaran di kawasan tersebut.

”Di sini ponpes sebagai lembaga pendidikan

tertua di negeri ini, tidak lagi berkutat pada kajian agama secara tradisional. Santri juga diberi kesempatan untuk mendapatkan ilmu umum,” kata Mursyid kepada Radar Surabaya.

Selain itu, lanjut dia, akses informasi juga sudah sangat mumpuni. Santri juga tidak hanya fasih membaca Alquran, juga diperbolehkan membaca koran untuk informasi terbaru perkembangan Indonesia dan internasional.

Di kampung tersebut, kata Mursyid, masih terdapat beberapa peninggalan kuno yang terjaga sampai sekarang. Selain bangunan pondok pesantren yang

kondisinya masih banyak yang asli atau tua dengan ciri khas, di kampung itu masih terdapat rumah bekas pendiri kampung Ndresmo, Sayyid Ali Akbar hingga Sayyid Ali Ashghor.

Ada pula bekas sumur yang dijadikan Sayyid Ali Akbar untuk memberi minuman para pejuang. Dipercayai oleh masyarakat setempat yang minum air dari sumur tersebut tidak mempan ditembak senjata oleh penjajah.

”Tradisi kami juga masih kuat, kami masih memiliki budaya pengajian kitab di masjid sampai istighotsah antar masjid di daerah ini,” pungkasnya. (han/hen)

Kelurahan Jagir RW I dan RW II, Kecamatan

Wonokromo

FOTO-FOTO: SATRIA NUGRAHA/RADAR SURABAYA

KAWASAN SANTRI: Siwi Ponpes AT Tauhid bercengkrama didepan ponpes usai belajar.

PENINGGALAN: Anak-anak bermain di sekitar sumur tua di se-be lah barat Ponpes Al Haqiqi di Sidoresmo.

MENGAJI DI MASJID: Setiap sore pemandangan anak-anak mengaji gampang ditemui di Kampung Santri Sidoresmo.

BERSIH DAN ISLAMI: Lingkungan Kampung Santri Sidoresmo yang cukup besih dan bernuansa Islami. Anak-anak melintas di depan salah satu Pondok Pesantren di Sidoresmo.