Top Banner
DEMOKRASI DI NEGARA-NEGARA ISLAM Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas: Islam dalam Politik Internasional Dosen Pengajar: Khairul Muqtafa Oleh: Orryzaid 202000039 Shintia Pramita Dewi 209000060 Siti Octrina Malikah 209000061 Nargis 209000171 Nafitry Daulay 209000301 FAKULTAS FALSAFAH DAN PERADABAN PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
32

Demokrasi Di Negara-Negara Muslim

Jul 02, 2015

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Demokrasi Di Negara-Negara Muslim

DEMOKRASI

DI NEGARA-NEGARA ISLAM

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas:

Islam dalam Politik Internasional

Dosen Pengajar:

Khairul Muqtafa

Oleh:

Orryzaid 202000039

Shintia Pramita Dewi 209000060

Siti Octrina Malikah 209000061

Nargis 209000171

Nafitry Daulay 209000301

FAKULTAS FALSAFAH DAN PERADABAN

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL

UNIVERSITAS PARAMADINA

Page 2: Demokrasi Di Negara-Negara Muslim

Memaknai Wacana Demokrasi

Apakah arti dari “demokrasi”? Istilah ini memiliki daya tarik yang sangat luar biasa.

Semakin banyak dibicarakan, semakin menarik dan tak ada habis-habisnya. Sepintas ia bersifat

elitis, tapi semakin kita menyelami semakin kita tahu bahwa ia adalah kehidupan kita sendiri.

Itulah yang kita kenal sekarang sebagai “living democracy”.

Walaupun demikian, tak mudah untuk memaknai demokrasi secara memuaskan. Jika kita

mengambil dan memaknainya hanya dalam satu arti, berarti kita terjebak dalam satu arus

pemikiran. Oleh karena itulah, diperlukan pemahaman substansif agar demokrasi bisa diterima

sebagai suatu keniscayaan, untuk kemudian diperjuangkan dan dipertahankan.

Bagaimanakah demokrasi ini diperbincangkan secara hangat oleh sarjana-sarjana

muslim? Bagaimana wujud demokrasi dalam Islam di zaman dahulu? Apakah ada perbedaan

antara pengalaman demokrasi Islam di awal dengan pengalaman demokrasi Barat di awal?

Demokrasi adalah kedaulatan rakyat, apakah hal itu bertentangan dengan prinsip

kedaulatan Tuhan yang dipahami oleh sebagian kaum Muslim?

Definisi Demokrasi Sejumlah Tokoh

Di dalam bab ini, dikemukakan beberapa definisi yang dikemukakan oleh sejumlah tokoh

yang terlibat dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Center for the Study of Islam and

Democracy (CSID).

Oleh Dr. Ali Nawaz Memon mengemukakan definisi demokrasi ialah suatu bentuk

pemerintahan di mana kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, dilaksanakan secara langsung

oleh mereka, atau oleh wakil terpilih dalam sistem pemilu yang bebas. Beberapa kelompok

tradisionalis keberatan dengan definisi yang dikemukakan ini karena dikhawatirkan akan

merampas kekuasaan absolut Tuhan. Namun, bahwasanya, harus ada orang yang

mengimplementasikan hukum-hukum Tuhan.

Sarjana muslim terkemuka lainnya mengungkapkan bahwasanya untuk menjalankan

hukum-hukum Tuhan di dunia, diperlukan adanya pemimpin. Dr.Umar Chapra, menyebutkan

Page 3: Demokrasi Di Negara-Negara Muslim

empat kriteria dasar bagi pemerintahan yang abash dalam Islam. Pertama, pemerintah harus

bertanggungjawab kepada Allah dan syariah-Nya. Kedua, pemerintah dipercaya dan

bertanggungjawab kepada rakyat dengan memenuhi kepercayaan yang telah mereka berikan.

Ketiga, harus ada musyawarah dengan melibatkan partisipasi masyarakat seluas mungkin, baik

secara langsung maupun tidak. Keempat, harus ada keadilan dan persamaan bagi semua kalangan

di hadapan hukum.

Histori di Masa Lalu

Ada suatu kekhawatiran, ketika Nabi Muhammad SAW terbaring sakit. Banyak kaum

muslim yang khawatir akan timbulnya perpecahan dan akhirnya meminta Muhammad untuk

mengangkat penggantinya. Namun, Muhammad menolaknya seraya menjelaskan bahwa

tugasnya sebagai Nabi telah selesai. Kebijakan Muhammad SAW saat itu memberikan dua poin

yang penting, pertama apabila Muhammad menunjuk penggantinya, maka orang tersebut akan

mengklaim dirinya tidak bisa berbuat salah dan akan gampang menyalahgunakan kekuasaan.

Dengan demikian akan sangat sulit, kalau tidak boleh dikatakan mustahil, untuk dapat

menghentikannya.

Kedua, sistem politik sekarang ini semakin berkembang, apabila Nabi Muhammad SAW

telah menetapkan satu format tertentu sebelum beliau meninggal, maka akan merugikan bagi

masa depan generasi muslim.

Para sahabat memutuskan untuk mencari tokoh yang dapat memimpin umat Islam.

Suksesi kepemimpinan pada waktu itu dilakukan para sahabat dengan musyawarah (syura) dan

pemilihan. Masyarakat Islam dengan sukarela dan tanpa paksaan mengakui dan menyetujui

empat sahabat Rasulullah, secara berurutan, Abu Bakar as-Siddiq, Umat bin Khattab, Usman bin

Affan dan Ali bin Abi Thalib, menjadi Khulafa' ar-Rasyidin (para pengganti yang memberi

bimbingan). Pemilihan dan musyawarah dilakukan sesuai dengan kondisi saat itu. Sejak saat

itulah, kemudian muncul istilah syura dalam kehidupan politik, sosial, dan kemasyarakatan umat

Islam. Syura berarti permusyawaratan, hal bermusyawarah atau konsultasi.

Page 4: Demokrasi Di Negara-Negara Muslim

Dalam surat Ali Imran ayat 159 Allah SWT berfirman, ''Maka disebabkan rahmat dari

Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu keras lagi berhati

kasar, tentulah mereka menjauh dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka dan

bermusyawarlah (syawir) dengan mereka dalam urusan itu.Kemudian apabila telah berbulat

tekad, maka bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang

betawakal kepada-Nya.''

Dengan ayat itu, Islam menjadikan syura sebagai prinsip utama dalam menyelesaikan

masala-masalah sosial, politik dan pemerintahan. Syura merupakan suatu sarana dan cara

memberi kesempatan kepada anggota masyarakat yang mempunyai kemampuan untuk

berpartisipasi dalam membuat keputusan yang mengikat, baik dalam bentuk peraturan hukum

maupun kebijaksanaan politik.

Hasil yang didapat saat itu ialah, Abu Bakar sebagai khalifah merupakan kehendak

mayoritas, walaupun ada sebagian orang yang tidak setuju. Muncul bentuk oposisi politik saat itu

juga, ketika sebagian pemimpin muslim lainnya termasuk Ali bin Abi Thalib tidak setuju dengan

keputusan itu. Sayangnya, kepemimpinan telah terpilih dan para pemimpin muslim saat itu tidak

melihat jauh ke depan akan bahaya konflik dan pertumpahan darah yang terjadi karena mereka

tidak mengembangkan sistem check and balance yang bisa menjamin bahwa seorang penguasa

tidak memiliki kekuasaan yang berlebihan atau tidak terlalu melenceng jauh dari aspirasi

mayoritas. Mereka mempercayai bahwa Abu Bakar memiliki pengetahuan, keahlian, dan

kebijaksanaan untuk tidak keluar dari ajaran Allah dan Rasul-Nya.

Tidak berapa lama, Abu Bakar meninggal karena sakit dan kembali bermusyawarah

untuk menentukan pemimpin. Saat itu yang terpilih ialah sahabat nabi, Umar bin Khattab namun

lagi-lagi tidak terdapat kesepakatan bulat dan mengancam terbukanya oposisi. Para pioneer

muslim saat itu, lagi-lagi tidak menyadari bahwa adanya ketidaksepakatan politik akan

mengancam apabila tidak secepatnya diorganisir atau diberi saluran politik sesuai dengan

institusi politik dengan petunjuk dan sasaran yang jelas.

Akhirnya, dalam sejarah yang terjadi adalah Umar dibunuh. Beberapa pemimpin saat itu

setelah Umar juga dibunuh. Sejak saat itu, sejarah Islam terajut dengan kebebasan, kediktatoran,

kerusuhan, dan persatuan. Apabila ada satu orang atau kelompok kecil masyarakat mempunyai

Page 5: Demokrasi Di Negara-Negara Muslim

monopoli terhadap kekuasaan politik, selalu berakibat ketakutan, intimidasi, dan tirani. Dengan

sedikit pengecualian, kaum Muslim diperintah oleh para diktator dan tiran yang memerintah

dengan ancaman pedang. Satu-satunya cara melawan mereka adalah dengan revolusi. Kaum

muslim belajar bersikap toleran terhadap sedikit penyalahgunaan kekuasaan oleh para penguasa

selama para penguasa itu tidak terlalu jauh. Politik menjadi urusan elite.

Setelah berabad-abad dalam keagungan peradaban dan perkembangan, kaum Muslim

mulai mundur pada hampir semua level pada abad ke-15, bersamaan dengan kebangkitan Eropa.

Sebagian besar negara-negara Eropa dan Kristen telah lelah terhadap penguasa mereka yang

terlalu dekat dan terikat dengan gereja. Di dunia muslim, para penguasa dan ulama-ulama

umumnya adalah berbeda yang beroperasi secara independen satu sama lain. Masjid dijalankan

melalui yayasan dan mendapat dukungan dan bantuan dari penguasa. Orang-orang Eropa

mengadaptasi hal tersebut terhadap raja-raja mereka dan ingin agar hal itu dapat pula

direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam pertanggungjawaban pemerintahan.

Sumber: Lewis,Bernard. ISLAM LIBERALISME DEMOKRASI Membangun Sinerji Warisan

Sejarah,Doktrin dan Konteks Global. Jakarta: Paramadina. 2002.

ISLAM DAN DEMOKRASI

Kebangkitan agama dan demokratisasi merupakan dua hal yang paling penting di

penghujung abad ke 20. Di beberapa wilayah, pergerakan kebangkitan agama bertepatan dan

bahkan terkadang memperkuat sistem politik demokratis namun di beberapa wilayah lainnya

kedua dinamika ini mengalami konflik. Revolusi Islam yang menjatuhkan monarki Iran pada

tahun 1979 merupakan revolusi Islam pertama yang sangat terkenal melawan sistem politik

otoriter modern di kuarter akhir abad ke 20. Di awal 1990an, pergerakan Islam yang lain, Islamic

Salvation Front (FIS), ditekan setelah tindakan menantangnya terhadap rezim otoriter yang

berkuasa yaitu Front de Liberation Nationale (FLN) di Algeria di mana ia memaksa FLN untuk

memperbolehkan pemilihan umum terbuka. Di banyak wilayah dunia Muslim, salah satu isu

paling krusial untuk memproyeksi masa depan politik adalah hubungan antara kebangkitan Islam

dan pembangunan sistem politik demokratis.

Page 6: Demokrasi Di Negara-Negara Muslim

Jika kita mengulas sedikit mengenai Islam dan politik maka akan ditemukan banyak jenis

sistem politik yang ada di dunia Muslim di awal zaman modern ini. Beberapa bangsa yang besar

dipimpin oleh Sultan, seperti Kerajaan Ottoman di Eropa dan Timur Tengah dan Kerajaan

Moghul di India. Di Iran, kepemimpinan berada di tangan Shah. Bahkan di beberapa negara

Muslim lain pemerintahan dipimpin oleh Imam, seperti di Yaman, ataupun chieftains di negara-

negara Teluk Persia. Semua bentuk negara-negara  menghadapi perubahan sosiopolitik dari

tranformasi yang terjadi di dunia modern ini.

Evolusi struktural negara-negara di dunia Muslim mencakup keduanya, baik Islam

maupun politik. Sistem politik ditranformasikan oleh pemimpin-pemimpin besar yang membawa

perubahan misalnya seperti Muhammad Ali di Mesir pada awal abad 19 dan Mustafa Kemal

Ataturk di Turki paska Perang Dunia II. Hubungan antara Islam dan politik telah menjadi tema

besar segala perubahan ini dalam dua setengah abad terakhir. Pada abad 20, penegasan dan

penguatan kembali terhadap pergerakan baru Islam mulai bermunculan. Ada perbedaan struktur

dan pendekatan dari pergerakan Islam terdahulu dan kemunculan organisasi Islam gaya baru.

Ikhwanul Muslimin, didirikan oleh Hasan al-Banna di mesir pada tahun 1928, dan Jamaat-I

islami, didirikan oleh Abu al-Ala Mawdudi di Asia Selatan pada tahun 1941, adalah dua contoh

utama dari pergerakan Islam yang baru ini. Kedua kelompok ini bukan memperoleh dukungan

dari elemen konservatif di masyarakat melainkan mereka mendapat dukungan terbesar dari

elemen modern di lingkungan mereka. Program-program mereka ditujukan untuk pembentukan

struktur yang bisa berfungsi dalam cara Islam yang secara otentik merupakan konteks

modernitas.

Pada pertengahan abad 20, pergerakan Islam gaya baru seperti brotherhood dan jama’at

sudah cukup terlihat meskipun belum begitu kuat. Konsep utama dari pemikiran dan tindakan

politik berada pada pengarahan untuk meningkatkan program dan perspektif sekularisme. Dasar

dari transformasi yang luar biasa ini adalah isu-isu yang bermula pada pola adaptasi konsep-

konsep islam menjadi modern, realita sosiopolitik yang dipengaruhi Barat.

Dalam tradisi Barat, demokrasi didasarkan pada penekanan bahwa rakyat seharusnya

menjadi “pemerintah” bagi dirinya sendiri, dan wakil rakyat seharusnya menjadi pengendali

yang bertanggung jawab atas tugasnya. Karena alasan inilah maka lembaga legislatif di dunia

Page 7: Demokrasi Di Negara-Negara Muslim

Barat dianggap sebagai pioner dan garda depan demokrasi. Lembaga legislatif benar-benar

menjadi wakil rakyat dan berfungsi sebagai agen rakyat yang aspiratif dan distributif.

Keberadaan wakil rakyat didasarkan atas pertimbangan, bahwa tidak mungkin semua rakyat

dalam suatu negara mengambil keputusan karena jumlahnya yang terlalu besar. Oleh sebab itu

kemudian dibentuk dewan perwakilan. Di sini lantas prinsip amanah dan tanggung jawab

(credible and accountable) menjadi keharusan bagi setiap anggota dewan. Sehingga jika ada

tindakan pemerintah yang cenderung mengabaikan hak-hak sipil dan hak politik rakyat, maka

harus segera ditegur. Itulah perlunya perwakilan rakyat yang kuat untuk menjadi penyeimbang

dan kontrol pemerintah.

Secara normatif, Islam menekankan pentingnya ditegakkan amar ma’ruf nahi munkar

bagi semua orang, baik sebagai individu, anggota masyarakat maupun sebagai pemimpin negara.

Doktrin tersebut merupakan prinsip Islam yang harus ditegakkan dimana pun dan kapan saja,

supaya terwujud masyarakat yang aman dan sejahtera.

Nah, bagaimanakah konsep demokrasi Islam itu sesungguhnya? Jika secara normatif

Islam memiliki konsep demokrasi yang tercermin dalam prinsip dan idiom-idiom demokrasi,

bagaimana realitas empirik politik Islam di negara-negara Muslim? Bagaimana dengan

pengalaman demokrasi di negara-negara Islam? Benarkah Samuel Huntington dan F. Fukuyama,

yang menyatakan bahwa realitas empirik masyarakat Islam tidak kompatibel dengan demokrasi?

Tulisan ini ingin mengkaji demokrasi dalam perspektif Islam dari aspek elemen-elemen pokok

yang dikategorikan sebagai bagian terpenting dalam penegakan demokrasi, dan hubungannya

dengan realitas demokrasi dalam negara yang berbasis mayoritas Islam.

Jika dilihat basis empiriknya, menurut Aswab Mahasin (1993:30), agama dan demokrasi

memang berbeda. Agama berasal dari wahyu sementara demokrasi berasal dari pergumulan

pemikiran manusia. Dengan demikian agama memiliki dialektikanya sendiri. Namun begitu

menurut Mahasin, tidak ada halangan bagi agama untuk berdampingan dengan demokrasi.

Dalam perspektif Islam elemen-elemen demokrasi meliputi: syura, musawah, adalah, amanah,

masuliyyah dan hurriyyah, bagimana makna masing-masing elemen tersebut?

Page 8: Demokrasi Di Negara-Negara Muslim

Pertama, Syura merupakan suatu prinsip tentang cara pengambilan keputusan yang secara

eksplisit ditegaskan dalam al-Qur’an. Misalnya saja disebut dalam QS. As-Syura:38 dan Ali

Imran:159 Dalam praktik kehidupan umat Islam, lembaga yang paling dikenal sebagai pelaksana

syura adalah ahl halli wa-l‘aqdi pada zaman khulafaurrasyidin. Lembaga ini lebih menyerupai

tim formatur yang bertugas memilih kepala negara atau khalifah (Madani, 1999: 12).

Jelas bahwa musyawarah sangat diperlukan sebagai bahan pertimbangan dan tanggung

jawab bersama di dalam setiap mengeluarkan sebuah keputusan. Dengan begitu, maka setiap

keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah akan menjadi tanggung jawab bersama. Sikap

musyawarah juga merupakan bentuk dari pemberian penghargaan terhadap orang lain karena

pendapat-pendapat yang disampaikan menjadi pertimbangan bersama.

Kedua, al-‘adalah adalah keadilan, artinya dalam menegakkan hukum termasuk

rekrutmen dalam berbagai jabatan pemerintahan harus dilakukan secara adil dan bijaksana. Tidak

boleh kolusi dan nepotis. Arti pentingnya penegakan keadilan dalam sebuah pemerintahan ini

ditegaskan oleh Allah SWT dalam beberapa ayat-Nya, antara lain dalam surat an-Nahl:90; QS.

as-Syura:15; al-Maidah:8; An-Nisa’:58 dst. Betapa prinsip keadilan dalam sebuah negara sangat

diperlukan, sehingga ada ungkapan yang “ekstrim” berbunyi: “Negara yang berkeadilan akan

lestari kendati ia negara kafir, sebaliknya negara yang zalim akan hancur meski ia negara (yang

mengatasnamakan) Islam”.  (lihat Madani, 1999:14).

Ketiga, al-Musawah adalah kesejajaran, artinya tidak ada pihak yang merasa lebih tinggi

dari yang lain sehingga dapat memaksakan kehendaknya. Penguasa tidak bisa memaksakan

kehendaknya terhadap rakyat, berlaku otoriter dan eksploitatif. Kesejajaran ini penting dalam

suatu pemerintahan demi menghindari dari hegemoni penguasa atas rakyat.

Dalam perspektif Islam, pemerintah adalah orang atau institusi yang diberi wewenang

dan kepercayaan oleh rakyat melalui pemilihan yang jujur dan adil untuk melaksanakan dan

menegakkan peraturan dan undang-undang yang telah dibuat. Oleh sebab itu pemerintah

memiliki tanggung jawab besar di hadapan rakyat demikian juga kepada Tuhan. Dengan begitu

pemerintah harus amanah, memiliki sikap dan perilaku yang dapat dipercaya, jujur dan adil.

Sebagian ulama’ memahami al-musawah ini sebagai konsekuensi logis dari prinsip al-syura dan

Page 9: Demokrasi Di Negara-Negara Muslim

al-‘adalah. Diantara dalil al-Qur’an yang sering digunakan dalam hal ini adalah surat al-

Hujurat:13, sementara dalil sunnah-nya cukup banyak antara lain tercakup dalam khutbah wada’

dan sabda Nabi kepada keluarga Bani Hasyim (Tolchah, 199:26).

Keempat, al-Amanah adalah sikap pemenuhan kepercayaan yang diberikan seseorang

kepada orang lain. Oleh sebab itu kepercayaan atau amanah tersebut harus dijaga dengan baik.

Dalam konteks kenegaraan, pemimpin atau pemerintah yang diberikan kepercayaan oleh rakyat

harus mampu melaksanakan kepercayaan tersebut dengan penuh rasa tanggung jawab. Persoalan

amanah ini terkait dengan sikap adil seperti ditegaskan Allah SWT dalam surat an-Nisa’:58.

Karena jabatan pemerintahan adalah amanah, maka jabatan tersebut tidak bisa diminta,

dan orang yang menerima jabatan seharusnya merasa prihatin bukan malah bersyukur atas

jabatan tersebut. Inilah etika Islam.

Kelima, al-Masuliyyah adalah tanggung jawab. Sebagaimana kita ketahui bahwa,

kekuasaan dan jabatan itu adalah amanah yang harus diwaspadai, bukan nikmat yang harus

disyukuri, maka rasa tanggung jawab bagi seorang pemimpin atau penguasa harus dipenuhi. 

Dan kekuasaan sebagai amanah ini memiliki dua pengertian, yaitu amanah yang harus

dipertanggungjawabkan di depan rakyat dan juga amanah yang harus dipertanggungjawabkan di

depan Tuhan.

Seperti yang dikatakan oleh Ibn Taimiyyah (Madani, 1999:13), bahwa penguasa

merupakan wakil Tuhan dalam mengurus umat manusia dan sekaligus wakil umat manusia

dalam mengatur dirinya. Dengan dihayatinya prinsip pertanggung jawaban (al-masuliyyah) ini

diharapkan masing-masing orang berusaha untuk memberikan sesuatu yang terbaik bagi

masyarakat luas. Dengan demikian, pemimpin/penguasa tidak ditempatkan pada posisi sebagai

sayyid al-ummah (penguasa umat), melainkan sebagai khadim al-ummah (pelayan umat). Maka

dengan demikian, kemaslahatan umat wajib senantiasa menjadi pertimbangan dalam setiap

pengambilan keputusan oleh para penguasa, bukan sebaliknya rakyat atau umat ditinggalkan.

Keenam, al-Hurriyyah adalah kebebasan, artinya bahwa setiap orang, setiap warga

masyarakat diberi hak dan kebebasan untuk mengekspresikan pendapatnya. Sepanjang hal itu

dilakukan dengan cara yang bijak dan memperhatikan al-akhlaq al-karimah dan dalam rangka al-

Page 10: Demokrasi Di Negara-Negara Muslim

amr bi-‘l-ma’ruf wa an-nahy ‘an al-‘munkar, maka tidak ada alasan bagi penguasa untuk

mencegahnya. Bahkan yang harus diwaspadai adalah adanya kemungkinan tidak adanya lagi

pihak yang berani melakukan kritik dan kontrol sosial bagi tegaknya keadilan. Jika sudah tidak

ada lagi kontrol dalam suatu masyarakat, maka kezaliman akan semakin merajalela.

Jika suatu negara konsisten dengan penegakan prinsip-prinsip atau elemen-elemen

demokrasi di atas, maka pemerintahan akan mendapat legitimasi dari rakyat. Dengan demikian

maka roda pemerintahan akan berjalan dengan stabil.

Watak ajaran Islam sebagaimana banyak dipahami orang adalah inklusif dan demokratis.

Oleh sebab itu doktrin ajaran ini memerlukan aktualisasi dalam kehidupan kongkret di

masyarakat. Pertanyaannya kemudian, bagaimana realitas demokrasi di dunia Islam dalam

sejarahnya?

Dalam realitas sejarah Islam memang ada pemerintahan otoriter yang dibungkus dengan

baju Islam seperti pada praktek-praktek yang dilakukan oleh sebagian penguasa Bani

‘Abbasiyyah dan Umayyah.  Tetapi itu bukan alasan untuk melegitimasi bahwa Islam agama

yang tidak demokratis. Karena sebelum itu juga ada eksperimen demokratisasi dalam sejarah

Islam, yaitu pada masa Nabi dan khulafaurrasyidin (lihat Mahasin, 1999:31).

Memang harus diakui, karena kepentingan dan untuk melanggengkan status quo raja-raja

Islam, demokrasi sering dijadikan tumbal. Seperti pengamatan Mahasin (1999:31), bahwa di

beberapa bagian negara Arab misalnya, Islam seolah-olah mengesankan pemerintahan raja-raja

yang korup dan otoriter. Tetapi realitas seperti itu ternyata juga dialami oleh pemeluk agama

lain. Gereja Katolik misalnya , bersikap acuh-tak acuh ketika terjadi revolusi Perancis. Karena

sikap tersebut kemudian Katolik disebut sebagai tidak demokratis. Hal yang sama ternyata juga

dialami oleh agama Kristen Protestan, dimana pada awal munculnya, dengan reformasi Martin

Luther Kristen memihak elit ekonomi, sehingga merugikan posisi kaum tani dan buruh. Tak

mengherankan kalau Kristen pun disebut tidak demokratis.

Melihat kenyataan sejarah yang dialami oleh elit agama-agama di atas, maka tesis

Huntington dan Fukuyama yang mengatakan, “bahwa realitas empirik masyarakat Islam tidak

kompatibel dengan demokrasi” adalah tidak benar. Bahkan Huntington mengidentikkan

Page 11: Demokrasi Di Negara-Negara Muslim

demokrasi dengan the Western Christian Connection (lihat Imam, 1999:x-xi, Hefner, 2000:4-5). 

Inilah memang, betapa sulitnya menegakkan demokrasi, yang di dalamnya menyangkut soal:

persamaan hak, pemberian kebebasan bersuara, penegakan musyawarah, keadilan, amanah dan

tanggung jawab. Sulitnya menegakkan praktik demokratisasi dalam suatu negara oleh penguasa

di atas, seiring dengan kompleksitas problem dan tantangan yang dihadapinya, dan lebih dari itu

adalah menyangkut komitmen dan moralitas sang penguasa itu sendiri. Dengan demikian,

meperhatikan relasi antara agama dan demokrasi dalam sebuah komunitas sosial menyangkut

banyak variabel, termasuk variabel independen non-agama. [1]

Kebebasan Beragama dalam Negara-Negara Muslim Demokrasi

Prinsip demokrasi mengandung nilai-nilai yang bersifat universal dan

tidak mengatasnamakan salah satu agama. Maka dari itu, demokrasi

seringkali dianggap tidak beragama dan sekular. Orang-orang Islam

ekstrimis seringkali tidak menerima konsep demokrasi karena dianggap

tidak sesuai dengan Islam dan berasal dari Barat. Hal ini menimbulkan

pemahaman dari Barat pula bahwa Islam tidak sejalan dengan Demokrasi.

Dari konsep Demokrasi dalam Islam yang dijelaskan dalam makalah ini

sebelumnya, dapat dilihat bahwa Islam memiliki konsep demokrasi dan

sejalan dengan konsep demokrasi secara umum. Kebebasan beragama

merupakan salah satu yang dijunjung oleh demokrasi yaitu persamaan bagi

setiap orang untuk meyakini suatu agama tertentu. Bahkan Negara Amerika

Serikat sebagai negara pelopor demokrasi menuliskan kebebasan beragama

dalam amandemen pertama dalam Bill of Rights-nya.

Negara-negara Islam yang memiliki pemerintahan monarki dan

penduduk yang menganut pemahaman Islam yang ekstrim sangat menolak

persamaan ini. Mereka meyakini bahwa satu-satunya agama yang benar dan

harus diikuti adalah Islam. Mereka menggunakan dalih Alquran dan hadits

untuk membenarkan pemahamannya. Namun di beberapa negara lain

dengan mayoritas penduduk muslim, demokrasi akhirnya dapat masuk dan

Page 12: Demokrasi Di Negara-Negara Muslim

diterima oleh masyarakatnya walaupun diawali dengan revolusi yang

berdarah-darah. Contoh negara-negara tersebut diantaranya adalah Turki

dan Indonesia.

1. Turki

Sebelum menganut demokrasi, Turki berada di bawah kekuasaan

Kesultanan Ustmaniyah (1299-1923). Dalam kejayaan kekuasaannya ia

menjangkau tiga benua Eropa bagian tenggara, Asia Barat dan Afrika Utara.

Namun ia berakhir sebagai rezim monarki imperial pada tanggal 1 November

1922 dan secara de jure pada tanggal 24 Juli 1923 di bawah Treaty of

Lausanne yang kemudian dilanjutkan dengan proklamasi kemerdekaan Turki

pada tanggal 29 Oktober 1923.1

Ada banyak kemungkinan yang dapat diambil dalam menyimpulkan

penyebab keruntuhan rezim otoriter Kesultanan Utsmaniyah. Namun,

kemungkinan terbesarnya adalah karena permasalahan bentuk

pemerintahannya sendiri yang membuatnya mengalami stagnasi dalam

perkembangan. Sedangkan negara-negara tetangga berkembang menjadi

semakin kuat dari abad ke abad. Mereka juga berkembang menjadi lebih

modern dan dapat menahan ancaman yang memaksa. Ketika Negara-Negara

tetangga berkembang menjadi lebih kuat dan menjadi lebih dewasa,

Kesultanan Ustmaniyah tidak. Selain itu, ia memiliki kekuasaan yang terlalu

besar dalam waktu yang terlalu singkat. Hal itu membuatnya sulit untuk

mengkontrol wilayah kekuasaannya dan dengan mudahnya diruntuhkan. 2

Permasalahan yang didera oleh Kesultanan Utsmaniyah salah satunya

adalah perbedaan hak diantara masyarakat. Pada abad ke 16, institusi

pemerintah dan masyarakat yang berevolusi selama dua abad kekuasaan

Ustmaniyah akhirnya mencapai bentuk klasik dan pola yang akan bertahan

1 http://www.britannica.com/EBchecked/topic/434996/Ottoman-Empire2 http://www.hilalplaza.com/fall-of-ottoman-empire.html

Page 13: Demokrasi Di Negara-Negara Muslim

hingga ke masa modern. Divisi dasar dalam Masyarakat Ustmaniyah adalah

perbedaan tradisional timur tengah antara kelas pemerintah Ustmaniyah

yang sedikit jumlahnya dan kelas warganegara yang besar jumlahnya. Ada

tiga kedudukan yang esensial untuk keanggotaan kelas pemerintah : profesi

kesetiaan kepada sultan dan negaranya; penerimaan dan praktek Islam dan

dasar pemikiran dan tindakannya; dan pengetahuan dan praktek sistem

adat, adab, dan bahasa yang dikenal dengan cara Ustmaniyah. Mereka yang

tidak memiliki salah satu diantaranya maka akan dianggap sebagai kelas

warganegara. 1

Berdasarkan paparan di atas maka jelas bahwa tidak ada demokrasi

dalam Kesultanan Ustmaniyah. Keadaan seperti itulah yang akhirnya

membuat kelas pemerintah berbuat sewenang –wenang terhadap kelas

warganegara. Kelas warganegara tidak diberi ruang untuk bebas berpikir,

berpendapat, dan bertindak sesuai dengan keinginannya tetapi harus

menuruti apa yang sudah digariskan oleh kelas pemerintah. Dengan teori itu

pula kedaulatan Sultan menjadi hak untuk memiliki dan mengeksploitasi

seluruh sumber daya dan kekayaan di dalam kerajaannya.2 Ia tidak

mengenal konsep dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.

Kelas pemerintah juga melakukan korupsi dan nepotisme dari generasi

ke generasi. Sehingga pada akhirnya kesultanan yang mengatasnamakan

dirinya Islam ini sudah tidak diterima lagi oleh masyarakat luas termasuk

masyarakat muslim sendiri, terutama dari kelas warganegara yang telah

banyak dizalimi oleh sistem, hukum, dan kebijakan-kebijakan Ustmaniyah.

Hal-hal inilah yang menjadi faktor pendorong masyarakat Turki dalam

menerima demokrasi diterapkan di negaranya. Enam abad di bawah

pemerintahan Utsmaniyah yang otoriter dan penuh kezaliman mengubah

evolusi berkala dalam kerajaan tersebut menjadi revolusi yang meruntuhkan

Utsmaniyah dan merubahnya menjadi negara republik yang modern dan

1

2

Page 14: Demokrasi Di Negara-Negara Muslim

menganut demokrasi serta yang terpenting adalah menjamin hak-hak tiap

individu untuk memilih jalan hidupnya masing-masing.

Mustafa Kemal Ataturk adalah tokoh yang mempelopori Revolusi di

Turki. Ia adalah pendiri Republik Turki dan presiden pertama Turki. Ia bukan

orang yang relijius namun ia mempelajari sejarah Islam dan sejarah

peradaban Islam. Ethem Ruhi Fığlalı dalam bukunya "Atatürk And The

Religion Of Islam” menyatakan bahwa pandangan Ataturk terhadap agama

adalah positif. Tidak pernah ada jejak dari pidato-pidato dan pernyataannya

di tengah-tengah publik yang menunjukkan permusuhan atau sikap acuh

terhadap suatu ideologi relijius. Hal ini menandakan bahwa tidak ada

hubungannya penentangan Ataturk terhadap Kesultanan Ustmaniyah

dengan agama yang dibawa oleh kesultanan tersebut melainkan praktek-

praktek kezaliman yang sudah melanggar hak-hak dasar warganegara di

dalam wilayahnya.

Meskipun sebagian besar penduduknya adalah muslim, namun seperti

yang tertulis pada pasal 24 dalam Konstitusi Turki, Turki adalah negara

sekuler. Hal itu mengakibatkan kebebasan beragama di Turki di masa

sekarang banyak mengalami pengekangan. Institusi negara melarang

pekerjanya memakai simbol-simbol agama seperti jilbab bagi wanita Islam,

kalung salib, dan sebagainya karena hal ini dianggap berpotensi untuk

menimbulkan diskriminasi dan prasangka antar agama.3

2. Indonesia

Memasuki era orde baru, Indonesia yang awalnya oleh pemerintahan

Soekarno akan dibawa ke arah demokrasi terpimpin menjadi berubah

haluan. Dengan mengatasnamakan Demokrasi Pancasila, Indonesia malah

menjadi negara dengan gaya kepemimpinan otoriter di bawah pemerintahan

Soeharto. Memang pemilu diadakan setiap lima tahun, namun hasilnya

selalu sama karena Soeharto memberlakukan kebijakan-kebijakan otoriter

3 http://www.state.gov/g/drl/rls/irf/2007/90204.htm

Page 15: Demokrasi Di Negara-Negara Muslim

yang memaksa untuk mempengaruhi sistem pemilu yang akhirnya

menimbulkan kepastian terpilihnya Soeharto kembali. Selain itu, orang-orang

tidak bebas mengeluarkan pendapatnya terutama segala hal yang berkaitan

dengan Soeharto dan keluarga Cendana. Sehingga Soeharto dapat

melakukan KKN yang berkelanjutan tanpa diketahui orang banyak.

Hingga sekarang telah terbukti bahwa gaya kepemimpinan otoriter

yang ditampilkan oleh Soeharto tidak akan cocok dengan kepribadian

bangsa Indonesia begitu pula dengan Islam yang berkembang di Indonesia.

Islam di Indonesia memiliki berbagai macam aliran. Bukan hanya yang

berasal dari dua organisasi besar seperti Muhammadiyah dan NU tetapi juga

dari tarekat-tarekat di daerah-daerah yang ajarannya telah masuk ke

Indonesia sekian tahun lamanya dan turun temurun dipertahankan sampai

sekarang. Pada masa orde baru, berbagai macam aliran Islam tersebut

dipaksa untuk bergabung dalam satu partai oleh Soeharto yaitu PPP. Hal itu

dilakukan oleh Soeharto untuk mencapai suatu kepentingan politik tertentu.

Hal itu menjadi salah satu penyebab tidak harmoninya hubungan

masyarakat islam di Indonesia dengan kepemimpinan Soeharto dan ini

menunjukkan bahwa bukan gaya kepemimpinan otoriter yang sesuai dengan

komunitas Islam di Indonesia. Bukan bentuk pemerintahan yang rentan

dengan terjadinya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme tentunya. Lalu gaya

kepemimpinan yang seperti apa? Dan sistem pemerintahan yang seperti

apa?

Setelah tiga puluh dua tahun lamanya Indonesia di bawah

kepemimpinan otoriter pada akhirnya muncullah era reformasi pada tahun

1998 yang merubah bentuk pemerintahan Indonesia menjadi demokrasi.

Reformasi ini dipimpin oleh Amien Rais sehingga membuatnya mendapatkan

julukan “Bapak Reformasi”. Setelah reformasi, citra demokrasi di indonesia

mulai terlihat.

Page 16: Demokrasi Di Negara-Negara Muslim

Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Presiden Indonesia keempat, merupakan sosok

Muslim yang sampai akhir hayatnya memperjuangkan demokrasi dalam ranah publik untuk

membangun masa depan Indonesia yang lebih baik. Toleransi, inklusivisme, dan non-

sektarianisme merupakan visi besar sekaligus obsesi yang senantiasa diperjuangkan dalam upaya

pembelaan terhadap kemanusiaan serta perlindungannya terhadap kelompok minoritas. Itulah

yang diperlukan Indonesia pasca otoritarianisme Orde Baru.4 Keadaan sosial yang

mengedepankan kebebasan hak-hak asasi manusia dalam kehidupan beragama, berbangsa dan

bernegara sebagai esensi dari demokrasi di Indonesia.

Namun, apabila melihat realitanya maka masih sangat banyak hal

yang harus diperbaiki dalam berdemokrasi di Indonesia. Akan tetapi, sudah

jelas jika dilihat dari dasar konsep yang ditawarkan, demokrasi sejalan

dengan ketentuan-ketentuan politik yang diajarkan oleh Islam. Maka dari

itulah konsep demokrasi mudah diterima oleh mayoritas muslim di

Indonesia.

ALJAZAIR DAN DEMOKRASI

Aljazair, negeri yang terletak di kawasan Afrika Utara ini, merupakan

salah satu negeri Islam yang penuh konflik. Perjuangan umat Islam di Afrika

hingga saat ini masih belum berhenti. Negeri ini juga menjadi contoh

bagaimana sistem demokrasi menampakkan kebusukannya. Demokrasi yang

diagung - agungkan sebagai sistem terbaik, ternyata hanya omong kosong

belaka. Negeri ini merupakan contoh bagaimana rekayasa kekerasan terus

berlangsung hingga kini untuk menyudutkan perjuangan umat Islam. Negeri

ini juga menjadi saksi, bagaimana wajah ketakutan bangsa Barat melihat

kemenangan perjuangan Islam.

Aljazair, yang sering pula disebut dengan nama Al-Jumhuriya Al-

Jaza'iriya ad-Dimuqratiya asy - Sya'biya, memakai bahasa Arab sebagai

bahasa resmi, di samping bahasa Prancis dialek Barbar. Secara historis, 4http://www.thereadinggroup.sg/Articles/Gus%20Dur%20%20Muslim%20Humanis,%20Pejuang%20Demokrasi.pdf

Page 17: Demokrasi Di Negara-Negara Muslim

Aljazair memiliki sejarah yang cukup panjang, dan mengalami pasang surut

peradaban. Sejak 40 SM, daerah ini telah diperintah oleh Bangsa Romawi,

tahun 429 – 534 dikuasai oleh Vandals dan tahun 534 – 690 di bawah

kekuasaan Bizantium (Romawi Timur) yang beragama Nasrani.

Islam masuk ke negeri ini pada akhir abad ke - 7 M, pada saat Daulah

Khilafah Bani Umayah sekitar abad 682 M. Diawali dari Tunisia, tentara Islam

terus berdakwah dan berjihad, bergerak ke arah Barat. Mereka

membebaskan sejumlah bangsa Barbar seperti Aljazair, Maroko, Libya,

Maroko wilayah Magribi dari penjajahan bangsa Romawi, dan hidup dalam

naungan Islam yang damai. Bersamaan dengan kemunduran Dunia Islam,

penjajah Prancis masuk ke wilayah ini. Genderang jihad pun diserukan untuk

mengusir penjajah. Perlawanan demi perlawanan terus berlanjut sampai

kemudian Prancis harus mengakui kemerdekaan Aljazair pada tahun 1962.

Namun, seperti pada negeri - negeri Islam lain, kemerdekaan ini menjadi

semu, karena kemudian yang berkuasa di Aljazair adalah agen - agen

Prancis sendiri. Aljazair kemudian menjadi negara sekuler dengan sistem

republik yang dipimpin oleh boneka dan kader - kader binaan Prancis.

Dengan menjadi negara sekuler, Aljazair menjadi negara yang sangat

bergantung pada Prancis. Terjerat dalam sistem sekuler yang hanya

menguntungkan negara asing dan para penguasa sekuler. Kondisi

menyedihkan akibat sistem sekuler ini mendorong munculnya gerakan -

gerakan Islam yang menyerukan kembali ke jalan Islam. Sistem sekuler

dianggap telah gagal dan jalan yang menyelamatkan hanyalah Islam. “Islam

adalah Solusi.” demikian opini dibangun oleh gerakan - gerakan Islam di

Aljazair.

Aljazair adalah negara yang termasuk paling lama dalam menganut

paham sosialisme di lingkungan Dunia Ketiga, apalagi di benua hitam Afrika.

Melalui perjuangan kemerdekaan berdarah untuk jangka waktu yang lama,

Aljazair membentuk sebuah negara merdeka yang sosialistis. Para pejuang

Page 18: Demokrasi Di Negara-Negara Muslim

kemerdekaan mendirikan negara maju itu atas dasar pemerintahan sebuah

partai belaka. Front Pembebeasan Nasional (FLN, Front Liberienne Nationale)

adalah partai tunggal yang langsung mencanangkan perjuangan politik dan

ekonomi serta kebudayaan untuk menentang imperialisme dan kapitalisme.

Ekonomi sosialistisnya dikelola secara sentral, dan dengan demikian menjadi

sangat birokratis. Dalam waktu beberapa tahun saja, tekanan kepada

kehidupan politik yang serba revolusioner membuahkan sebuah

pertentangan mendasar di kalangan elite politik. ”Petualangan Politik” untuk

mengembangkan paham Nasionalisme Arab yang dikembangkan. Presiden

Ahmad Ben Bella menghasilkan sebuah reaksi keras. Ia dipaksa turun dari

kepemimpinan negara dan hidup dalam tahanan, kemudian pengasingan.

Penggantinya, Hawari Boumedienne adalah perwira militer yang

menginginkan pemerintahan dengan politik lebih pragmatis.

Diharapkan, pemerintahan yang pragmatis itu akan membawa

kemakmuran dalam waktu dekat. Apabila sumber – sumber daya ekonomi

yang digunakan untuk pembangunan ekonomi, dan bukannya dihabiskan

untuk kegiatan politik revolusioner di dalam dan luar negeri, tentu tingkat

kehidupan (living standard) bangsa Aljazair akan segera naik. Kemajuan ilmu

pengetahun akan cepat digapai, dan kemajuan yang akan dicapai itu akan

berarti ketentraman hidup seluruh bangsa Aljazair.

Ternyata, halnya tidaklah demikian. Kemajuan ekonomi berjalan

sangat lambat. Gairah untuk membangun bangsa Aljazair tidak muncul.

Pertumbuhan penduduk melahap pertumbuhan ekonomi yang dicapai, dan

dengan demikian dalam fakta menyeret bangsa Aljazairke tingkat ekonomi

yang praktis tetap saja rendah. Sementara itu, demokrasi politik atas

gerakan Pan Arabik memaksakan orientasi politik yang tetap revolusioner

atas Aljazair. Negeri itu, akhirnya memperoleh yang terburuk dari dua hal :

stagnasi ekonomi dan keterasingan politik. Hal tersebut terjadi karena

pragmatisme ekonomi yang ditempuh tidak dibarengi dengan sistem politik,

Page 19: Demokrasi Di Negara-Negara Muslim

dan transformasi di bidang apa pun tidak berhasil dilakukan. Para pemimpin

FLN tetap saja berperilaku politik yang sama : bertengkar antar sesama

mereka, dan tidak mengembangkan pelembagaan cara – cara

mempertanggungjawakan segala kebijakan pemerintah kepada rakyat.

Keadaan terus memburuk. Dalam artian, pemerintah Aljazair tidak

mampu mendorong pertumbuhan ekonomi yang memadai bagi kebutuhan

akan lapangan kerja untuk warga masyarakat. Urbanisme yang berlangsung

deras dari kawasan pedalaman ke kota – kota besar Aljazair, terutama ke

ibukota Aljir, sama sekali tidak dapat dibendung.

Ketidaksenangan rakyat kepada pemerintahan Hawari Boudienne

akhirnya menjadi kekuatan yang tidak terbendung juga. Namun, pemecahan

masalahnya lagi – lagi tidak bersifat tuntas. Dilakukan kudeta oleh

serombongan perwira lebih muda, menghasilkan pemerintahan Chadli

Bendjedid. Politik yang ditempuh, terutama politik luar negerinya jauh lebih

moderat lagi. Tetapi tuntutan akan pemerintahan yang bertanggung jawab

kepada rakyat, bukannya yang saling melemparkan kesalahan di lingkungan

intern FLN saja, tetap saja tidak terbendung. Mau tidak mau, Bendjedid harus

memperkirakan berdirinya partai – partai politik di luar FLN. Dalam pemilihan

umum di tingkat daerah, Front Kemenangan Islam (Front Isla-mique de Salut

atau FIS) meraih kemenangan yang mencolok. Kekhawatiran bahwa mereka

juga akan memenangkan pemilihan umum di seluruh negeri, akhirnya

menjadi kenyataan. FIS berhasil memenangkan secara mutlak babak

pertama pemilu Aljazair. Kemenangan FIS ini tentu saja disambut sukacita

oleh banyak kaum Muslim, terutama yang selama ini percaya pada jalan

demokrasi untuk meraih kekuasaan.

Presiden Bendjedid dipaksa mundur, dan digantikan oleh tokoh – tokoh

garis keras terhadap FIS. Pemerintah Benjedid akhir tahun 1980-an

menjanjikan kebebasan politik untuk menanggapi ketidakpuasan rakyat.

Beberapa reformasi politik yang dilakukan oleh Benjedid antara lain

Page 20: Demokrasi Di Negara-Negara Muslim

referendum nasional, revisi konstitusi pada tahun 1989 yang menghapuskan

sosialisme Aljazair, mengakhiri monopoli FLN sebagai partai tunggal, dan

menawarkan sistem multipartai. Kemenangan mutlak FIS yang diimbangi

dengan sikap enggan angkatan bersenjata untuk sepenuh hati menerima

legitimasi pemerintahannya, tetap saja akan merupakan hambatan terbesar

bagi perbaikan keadaan ekonomi Aljazair. Demikian juga sebaliknya, yaitu

kalau pihak militer memberlakukan pemerintahan satu partai saja, seperti

masa lampau. Demikian pula, para penguasa dengan pembubaran

pemerintahan Bendjedid tidak langsung membubarkan semua partai, dan

menunjukkan keengganannya untuk kembali kepada pola partai tunggal.

Tampaknya masih dicoba untuk menemukan sebuah formula baru di bidang

politik. Karena, memang pencarian format baru yang dapat diterima semua

pihak inilah yang diperlukan Aljazair

Para penganut sosialisme di satu pihak, walaupun sudah

terdiskreditkan secara parah, masih mampu menampilkan tuntutan akan

pemerintah demokratis. Qua ideologi yang dituntut adalah partisipasi

masyarakat yang dalam kehidupan politik secara nyata, bukan hanya secara

semu belaka. Pihak ini tentu tidak dapat menerima sebuah pemerintahan

Islam, yang ditakutkan justru akan membungkam demokrasi melalui

pemerintahan otoriter konstitusional, konstitusi yang hanya akan menjamin

kekuasaan FIS belaka di kemudian hari. Pihak ini juga menolak pemerintahan

militer atau semimiliter yang tidak memberikan hak – hak dasar kepada

rakyat untuk berdaulat secara nyata melalui lembaga perwakilan rakyat

yang tidak tunduk kepada penguasa manapun.

FIS, di pihak lain menolak orientasi sekuler dari pihak kaum sosialis

dan militer. Bagi FIS, hanya pelaksanaan hukum Islam dalam kehidupan

bernegara sajalan yang sah, karena memiliki kebenaran abadi. FIS menolak

wewenang pihak militer untuk berkuasam karena sistem kekuasaan yang

dibangun itu tidak mencerminkan aspirasi politik Islam. Jadi, perbedaan

Page 21: Demokrasi Di Negara-Negara Muslim

antara FIS dan pihak – pihak lain di luarnya bersifat sangat mendasar : hanya

nilai – nilai keislaman sajakah yang dapat dberlakukan di Aljazair di masa

depan, ataukah nilai – nilai lain dapat tumbuh ?

Pihak ketiga, para penguasa militer juga belum dapat diketahui

keamanan mereka. Apakah akan tetap memaksakan pemerintahan otoriter

bagi Aljazair, ataukah dapat menerima kehadiran demokrasi ? apalagi

sekarang, setelah ternyata demokrasi itu sendiri membawa masalah berupa

munculnya FIS ke panggung pemerintahan tingkat nasional.

Jadi sebenarnya, yang terjadi adalah proses saling tidak mempercayai

itikad baik dari berbagai pihak itu satu sama lain. Pihak FIS menganggap

haknya untuk memerintah dihalangi, hanya karena mereka ingin

melaksanakan ajaran Islam. Pihak sipil di luar FIS takut akan terulang

pemerintah otoriter yang ditumbuhkan FIS secara konstitusional. Pihak

militer, di samping penolakannya kepada gagasan negara Islam juga takut

perbenturan antara FIS dan pihak – pihak ideologis non Islam di kalangan

sipil akan menjurus kepada anarki.

Dunia barat menganggap kemenangan FIS akan mengancam sistem

sekuler yang ada. Maka, mereka menuduh FIS telah membajak demokrasi

untuk membangun pemerintahan fundalmentalis Islam yang anti demokrasi.

Untuk mencegah kemenangan FIS, militer kemudian turut campur tangan,

dengan mengambil alih kekuasaan dan menurunkan Presiden Benjedid.

Meskipun FIS menang secara demokratis, bagi Bangsa Barat demokrasi

hanya berlaku kalau menguntungkan kepentingan mereka saja. Sebaliknya,

kalau sekiranya mengancam, demokrasi harus diberanguskan. Tidak hanya

itu, pemerintah otoriter dan diktator akan didukung habis - habisan asalkan

bisa mencegah kemenangan atas Islam. Hal ini merupakan bukti nyata

kebohongan demokrasi yang dikampanyekan oleh Bangsa Barat. Kebebasan

Page 22: Demokrasi Di Negara-Negara Muslim

yang diberikan oleh demokrasi tetap memiliki syarat tunggal, yakni tidak

menghancurkan sistem demokrasi dan kepentingan Bangsa Barat.

Masalah utama yang dihadapi Aljazair dengan demikian menjadi jelas.

Sampai dimanakah demokrasi harus diperbolehkan berjalan ? dapatkah

sampai ke taraf memaksakan seperangkat nilai yang ditolak oleh pihak lain,

walaupun pemaksaan itu dilakukan secara konstitusional dan demokratis

pula ? apakah jaminan bahwa penumbuhan konstitusi yang memberlakukan

perangkat bila secara sepihak itu akan dapat dikoreksi di kemudian hari ?

kalau tidak, apakah lalu tidak berarti pemberlakuandemokrasi untuk

kepentingan satu piak saja seperti itu merupakan pembunuhan atas gagasan

demokrasi itu sendiri, walaupun hal itu dilakukan secara konstitusional ?

Banyak pelajaran yang bisa diambil dari perjalanan negeri Islam

Aljazair ini. Pertama, negeri ini telah menunjukkan kepalsuan sistem

demokrasi, yang katanya memberikan kedaulatan kepada suara mayoritas.

Sebesar apa pun kebebasan yang diberikan demokrasi tidak akan

memberikan peluang bagi Islam yang kaffah, ideologis, dan politis untuk

berkuasa. Hal ini didukung oleh negara - negara Barat yang katanya

kampiun demokrasi. Kedua, jalan demokrasi terbukti berdasarkan fakta,

tidak bisa digunakan oleh umat Islam dalam perjuangannya. Sebab

bagaimanapun, pihak penguasa status quo tidak akan pernah memberikan

kemenangan kepada kelompok Islam. Solusi untuk menyelesaikan

permasalahan demokrasi tidak lain adalah menjadikan hukum dan syariat

Islam sebagai ideologi dan sistem kehidupan dengan bergabung dalam

negara Khilafah Islam.

Page 23: Demokrasi Di Negara-Negara Muslim

DAFTAR PUSTAKA

Lewis,Bernard. ISLAM LIBERALISME DEMOKRASI Membangun Sinerji Warisan

Sejarah,Doktrin dan Konteks Global. Jakarta: Paramadina. 2002.

http://www.britannica.com/EBchecked/topic/434996/Ottoman-Empire

http://www.hilalplaza.com/fall-of-ottoman-empire.html

http://www.state.gov/g/drl/rls/irf/2007/90204.htm