DEMOKRASI DI NEGARA-NEGARA ISLAM Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas: Islam dalam Politik Internasional Dosen Pengajar: Khairul Muqtafa Oleh: Orryzaid 202000039 Shintia Pramita Dewi 209000060 Siti Octrina Malikah 209000061 Nargis 209000171 Nafitry Daulay 209000301 FAKULTAS FALSAFAH DAN PERADABAN PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
DEMOKRASI
DI NEGARA-NEGARA ISLAM
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas:
Islam dalam Politik Internasional
Dosen Pengajar:
Khairul Muqtafa
Oleh:
Orryzaid 202000039
Shintia Pramita Dewi 209000060
Siti Octrina Malikah 209000061
Nargis 209000171
Nafitry Daulay 209000301
FAKULTAS FALSAFAH DAN PERADABAN
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
UNIVERSITAS PARAMADINA
Memaknai Wacana Demokrasi
Apakah arti dari “demokrasi”? Istilah ini memiliki daya tarik yang sangat luar biasa.
Semakin banyak dibicarakan, semakin menarik dan tak ada habis-habisnya. Sepintas ia bersifat
elitis, tapi semakin kita menyelami semakin kita tahu bahwa ia adalah kehidupan kita sendiri.
Itulah yang kita kenal sekarang sebagai “living democracy”.
Walaupun demikian, tak mudah untuk memaknai demokrasi secara memuaskan. Jika kita
mengambil dan memaknainya hanya dalam satu arti, berarti kita terjebak dalam satu arus
pemikiran. Oleh karena itulah, diperlukan pemahaman substansif agar demokrasi bisa diterima
sebagai suatu keniscayaan, untuk kemudian diperjuangkan dan dipertahankan.
Bagaimanakah demokrasi ini diperbincangkan secara hangat oleh sarjana-sarjana
muslim? Bagaimana wujud demokrasi dalam Islam di zaman dahulu? Apakah ada perbedaan
antara pengalaman demokrasi Islam di awal dengan pengalaman demokrasi Barat di awal?
Demokrasi adalah kedaulatan rakyat, apakah hal itu bertentangan dengan prinsip
kedaulatan Tuhan yang dipahami oleh sebagian kaum Muslim?
Definisi Demokrasi Sejumlah Tokoh
Di dalam bab ini, dikemukakan beberapa definisi yang dikemukakan oleh sejumlah tokoh
yang terlibat dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Center for the Study of Islam and
Democracy (CSID).
Oleh Dr. Ali Nawaz Memon mengemukakan definisi demokrasi ialah suatu bentuk
pemerintahan di mana kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, dilaksanakan secara langsung
oleh mereka, atau oleh wakil terpilih dalam sistem pemilu yang bebas. Beberapa kelompok
tradisionalis keberatan dengan definisi yang dikemukakan ini karena dikhawatirkan akan
merampas kekuasaan absolut Tuhan. Namun, bahwasanya, harus ada orang yang
mengimplementasikan hukum-hukum Tuhan.
Sarjana muslim terkemuka lainnya mengungkapkan bahwasanya untuk menjalankan
hukum-hukum Tuhan di dunia, diperlukan adanya pemimpin. Dr.Umar Chapra, menyebutkan
empat kriteria dasar bagi pemerintahan yang abash dalam Islam. Pertama, pemerintah harus
bertanggungjawab kepada Allah dan syariah-Nya. Kedua, pemerintah dipercaya dan
bertanggungjawab kepada rakyat dengan memenuhi kepercayaan yang telah mereka berikan.
Ketiga, harus ada musyawarah dengan melibatkan partisipasi masyarakat seluas mungkin, baik
secara langsung maupun tidak. Keempat, harus ada keadilan dan persamaan bagi semua kalangan
di hadapan hukum.
Histori di Masa Lalu
Ada suatu kekhawatiran, ketika Nabi Muhammad SAW terbaring sakit. Banyak kaum
muslim yang khawatir akan timbulnya perpecahan dan akhirnya meminta Muhammad untuk
mengangkat penggantinya. Namun, Muhammad menolaknya seraya menjelaskan bahwa
tugasnya sebagai Nabi telah selesai. Kebijakan Muhammad SAW saat itu memberikan dua poin
yang penting, pertama apabila Muhammad menunjuk penggantinya, maka orang tersebut akan
mengklaim dirinya tidak bisa berbuat salah dan akan gampang menyalahgunakan kekuasaan.
Dengan demikian akan sangat sulit, kalau tidak boleh dikatakan mustahil, untuk dapat
menghentikannya.
Kedua, sistem politik sekarang ini semakin berkembang, apabila Nabi Muhammad SAW
telah menetapkan satu format tertentu sebelum beliau meninggal, maka akan merugikan bagi
masa depan generasi muslim.
Para sahabat memutuskan untuk mencari tokoh yang dapat memimpin umat Islam.
Suksesi kepemimpinan pada waktu itu dilakukan para sahabat dengan musyawarah (syura) dan
pemilihan. Masyarakat Islam dengan sukarela dan tanpa paksaan mengakui dan menyetujui
empat sahabat Rasulullah, secara berurutan, Abu Bakar as-Siddiq, Umat bin Khattab, Usman bin
Affan dan Ali bin Abi Thalib, menjadi Khulafa' ar-Rasyidin (para pengganti yang memberi
bimbingan). Pemilihan dan musyawarah dilakukan sesuai dengan kondisi saat itu. Sejak saat
itulah, kemudian muncul istilah syura dalam kehidupan politik, sosial, dan kemasyarakatan umat
Islam. Syura berarti permusyawaratan, hal bermusyawarah atau konsultasi.
Dalam surat Ali Imran ayat 159 Allah SWT berfirman, ''Maka disebabkan rahmat dari
Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu keras lagi berhati
kasar, tentulah mereka menjauh dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka dan
bermusyawarlah (syawir) dengan mereka dalam urusan itu.Kemudian apabila telah berbulat
tekad, maka bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
betawakal kepada-Nya.''
Dengan ayat itu, Islam menjadikan syura sebagai prinsip utama dalam menyelesaikan
masala-masalah sosial, politik dan pemerintahan. Syura merupakan suatu sarana dan cara
memberi kesempatan kepada anggota masyarakat yang mempunyai kemampuan untuk
berpartisipasi dalam membuat keputusan yang mengikat, baik dalam bentuk peraturan hukum
maupun kebijaksanaan politik.
Hasil yang didapat saat itu ialah, Abu Bakar sebagai khalifah merupakan kehendak
mayoritas, walaupun ada sebagian orang yang tidak setuju. Muncul bentuk oposisi politik saat itu
juga, ketika sebagian pemimpin muslim lainnya termasuk Ali bin Abi Thalib tidak setuju dengan
keputusan itu. Sayangnya, kepemimpinan telah terpilih dan para pemimpin muslim saat itu tidak
melihat jauh ke depan akan bahaya konflik dan pertumpahan darah yang terjadi karena mereka
tidak mengembangkan sistem check and balance yang bisa menjamin bahwa seorang penguasa
tidak memiliki kekuasaan yang berlebihan atau tidak terlalu melenceng jauh dari aspirasi
mayoritas. Mereka mempercayai bahwa Abu Bakar memiliki pengetahuan, keahlian, dan
kebijaksanaan untuk tidak keluar dari ajaran Allah dan Rasul-Nya.
Tidak berapa lama, Abu Bakar meninggal karena sakit dan kembali bermusyawarah
untuk menentukan pemimpin. Saat itu yang terpilih ialah sahabat nabi, Umar bin Khattab namun
lagi-lagi tidak terdapat kesepakatan bulat dan mengancam terbukanya oposisi. Para pioneer
muslim saat itu, lagi-lagi tidak menyadari bahwa adanya ketidaksepakatan politik akan
mengancam apabila tidak secepatnya diorganisir atau diberi saluran politik sesuai dengan
institusi politik dengan petunjuk dan sasaran yang jelas.
Akhirnya, dalam sejarah yang terjadi adalah Umar dibunuh. Beberapa pemimpin saat itu
setelah Umar juga dibunuh. Sejak saat itu, sejarah Islam terajut dengan kebebasan, kediktatoran,
kerusuhan, dan persatuan. Apabila ada satu orang atau kelompok kecil masyarakat mempunyai
monopoli terhadap kekuasaan politik, selalu berakibat ketakutan, intimidasi, dan tirani. Dengan
sedikit pengecualian, kaum Muslim diperintah oleh para diktator dan tiran yang memerintah
dengan ancaman pedang. Satu-satunya cara melawan mereka adalah dengan revolusi. Kaum
muslim belajar bersikap toleran terhadap sedikit penyalahgunaan kekuasaan oleh para penguasa
selama para penguasa itu tidak terlalu jauh. Politik menjadi urusan elite.
Setelah berabad-abad dalam keagungan peradaban dan perkembangan, kaum Muslim
mulai mundur pada hampir semua level pada abad ke-15, bersamaan dengan kebangkitan Eropa.
Sebagian besar negara-negara Eropa dan Kristen telah lelah terhadap penguasa mereka yang
terlalu dekat dan terikat dengan gereja. Di dunia muslim, para penguasa dan ulama-ulama
umumnya adalah berbeda yang beroperasi secara independen satu sama lain. Masjid dijalankan
melalui yayasan dan mendapat dukungan dan bantuan dari penguasa. Orang-orang Eropa
mengadaptasi hal tersebut terhadap raja-raja mereka dan ingin agar hal itu dapat pula
direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam pertanggungjawaban pemerintahan.
Sumber: Lewis,Bernard. ISLAM LIBERALISME DEMOKRASI Membangun Sinerji Warisan
Sejarah,Doktrin dan Konteks Global. Jakarta: Paramadina. 2002.
ISLAM DAN DEMOKRASI
Kebangkitan agama dan demokratisasi merupakan dua hal yang paling penting di
penghujung abad ke 20. Di beberapa wilayah, pergerakan kebangkitan agama bertepatan dan
bahkan terkadang memperkuat sistem politik demokratis namun di beberapa wilayah lainnya
kedua dinamika ini mengalami konflik. Revolusi Islam yang menjatuhkan monarki Iran pada
tahun 1979 merupakan revolusi Islam pertama yang sangat terkenal melawan sistem politik
otoriter modern di kuarter akhir abad ke 20. Di awal 1990an, pergerakan Islam yang lain, Islamic
Salvation Front (FIS), ditekan setelah tindakan menantangnya terhadap rezim otoriter yang
berkuasa yaitu Front de Liberation Nationale (FLN) di Algeria di mana ia memaksa FLN untuk
memperbolehkan pemilihan umum terbuka. Di banyak wilayah dunia Muslim, salah satu isu
paling krusial untuk memproyeksi masa depan politik adalah hubungan antara kebangkitan Islam
dan pembangunan sistem politik demokratis.
Jika kita mengulas sedikit mengenai Islam dan politik maka akan ditemukan banyak jenis
sistem politik yang ada di dunia Muslim di awal zaman modern ini. Beberapa bangsa yang besar
dipimpin oleh Sultan, seperti Kerajaan Ottoman di Eropa dan Timur Tengah dan Kerajaan
Moghul di India. Di Iran, kepemimpinan berada di tangan Shah. Bahkan di beberapa negara
Muslim lain pemerintahan dipimpin oleh Imam, seperti di Yaman, ataupun chieftains di negara-
negara Teluk Persia. Semua bentuk negara-negara menghadapi perubahan sosiopolitik dari
tranformasi yang terjadi di dunia modern ini.
Evolusi struktural negara-negara di dunia Muslim mencakup keduanya, baik Islam
maupun politik. Sistem politik ditranformasikan oleh pemimpin-pemimpin besar yang membawa
perubahan misalnya seperti Muhammad Ali di Mesir pada awal abad 19 dan Mustafa Kemal
Ataturk di Turki paska Perang Dunia II. Hubungan antara Islam dan politik telah menjadi tema
besar segala perubahan ini dalam dua setengah abad terakhir. Pada abad 20, penegasan dan
penguatan kembali terhadap pergerakan baru Islam mulai bermunculan. Ada perbedaan struktur
dan pendekatan dari pergerakan Islam terdahulu dan kemunculan organisasi Islam gaya baru.
Ikhwanul Muslimin, didirikan oleh Hasan al-Banna di mesir pada tahun 1928, dan Jamaat-I
islami, didirikan oleh Abu al-Ala Mawdudi di Asia Selatan pada tahun 1941, adalah dua contoh
utama dari pergerakan Islam yang baru ini. Kedua kelompok ini bukan memperoleh dukungan
dari elemen konservatif di masyarakat melainkan mereka mendapat dukungan terbesar dari
elemen modern di lingkungan mereka. Program-program mereka ditujukan untuk pembentukan
struktur yang bisa berfungsi dalam cara Islam yang secara otentik merupakan konteks
modernitas.
Pada pertengahan abad 20, pergerakan Islam gaya baru seperti brotherhood dan jama’at
sudah cukup terlihat meskipun belum begitu kuat. Konsep utama dari pemikiran dan tindakan
politik berada pada pengarahan untuk meningkatkan program dan perspektif sekularisme. Dasar
dari transformasi yang luar biasa ini adalah isu-isu yang bermula pada pola adaptasi konsep-
konsep islam menjadi modern, realita sosiopolitik yang dipengaruhi Barat.
Dalam tradisi Barat, demokrasi didasarkan pada penekanan bahwa rakyat seharusnya
menjadi “pemerintah” bagi dirinya sendiri, dan wakil rakyat seharusnya menjadi pengendali
yang bertanggung jawab atas tugasnya. Karena alasan inilah maka lembaga legislatif di dunia
Barat dianggap sebagai pioner dan garda depan demokrasi. Lembaga legislatif benar-benar
menjadi wakil rakyat dan berfungsi sebagai agen rakyat yang aspiratif dan distributif.
Keberadaan wakil rakyat didasarkan atas pertimbangan, bahwa tidak mungkin semua rakyat
dalam suatu negara mengambil keputusan karena jumlahnya yang terlalu besar. Oleh sebab itu
kemudian dibentuk dewan perwakilan. Di sini lantas prinsip amanah dan tanggung jawab
(credible and accountable) menjadi keharusan bagi setiap anggota dewan. Sehingga jika ada
tindakan pemerintah yang cenderung mengabaikan hak-hak sipil dan hak politik rakyat, maka
harus segera ditegur. Itulah perlunya perwakilan rakyat yang kuat untuk menjadi penyeimbang
dan kontrol pemerintah.
Secara normatif, Islam menekankan pentingnya ditegakkan amar ma’ruf nahi munkar
bagi semua orang, baik sebagai individu, anggota masyarakat maupun sebagai pemimpin negara.
Doktrin tersebut merupakan prinsip Islam yang harus ditegakkan dimana pun dan kapan saja,
supaya terwujud masyarakat yang aman dan sejahtera.
Nah, bagaimanakah konsep demokrasi Islam itu sesungguhnya? Jika secara normatif
Islam memiliki konsep demokrasi yang tercermin dalam prinsip dan idiom-idiom demokrasi,
bagaimana realitas empirik politik Islam di negara-negara Muslim? Bagaimana dengan
pengalaman demokrasi di negara-negara Islam? Benarkah Samuel Huntington dan F. Fukuyama,
yang menyatakan bahwa realitas empirik masyarakat Islam tidak kompatibel dengan demokrasi?
Tulisan ini ingin mengkaji demokrasi dalam perspektif Islam dari aspek elemen-elemen pokok
yang dikategorikan sebagai bagian terpenting dalam penegakan demokrasi, dan hubungannya
dengan realitas demokrasi dalam negara yang berbasis mayoritas Islam.
Jika dilihat basis empiriknya, menurut Aswab Mahasin (1993:30), agama dan demokrasi
memang berbeda. Agama berasal dari wahyu sementara demokrasi berasal dari pergumulan
pemikiran manusia. Dengan demikian agama memiliki dialektikanya sendiri. Namun begitu
menurut Mahasin, tidak ada halangan bagi agama untuk berdampingan dengan demokrasi.
Dalam perspektif Islam elemen-elemen demokrasi meliputi: syura, musawah, adalah, amanah,
masuliyyah dan hurriyyah, bagimana makna masing-masing elemen tersebut?
Pertama, Syura merupakan suatu prinsip tentang cara pengambilan keputusan yang secara
eksplisit ditegaskan dalam al-Qur’an. Misalnya saja disebut dalam QS. As-Syura:38 dan Ali
Imran:159 Dalam praktik kehidupan umat Islam, lembaga yang paling dikenal sebagai pelaksana
syura adalah ahl halli wa-l‘aqdi pada zaman khulafaurrasyidin. Lembaga ini lebih menyerupai
tim formatur yang bertugas memilih kepala negara atau khalifah (Madani, 1999: 12).
Jelas bahwa musyawarah sangat diperlukan sebagai bahan pertimbangan dan tanggung
jawab bersama di dalam setiap mengeluarkan sebuah keputusan. Dengan begitu, maka setiap
keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah akan menjadi tanggung jawab bersama. Sikap
musyawarah juga merupakan bentuk dari pemberian penghargaan terhadap orang lain karena
pendapat-pendapat yang disampaikan menjadi pertimbangan bersama.
Kedua, al-‘adalah adalah keadilan, artinya dalam menegakkan hukum termasuk
rekrutmen dalam berbagai jabatan pemerintahan harus dilakukan secara adil dan bijaksana. Tidak
boleh kolusi dan nepotis. Arti pentingnya penegakan keadilan dalam sebuah pemerintahan ini
ditegaskan oleh Allah SWT dalam beberapa ayat-Nya, antara lain dalam surat an-Nahl:90; QS.
as-Syura:15; al-Maidah:8; An-Nisa’:58 dst. Betapa prinsip keadilan dalam sebuah negara sangat
diperlukan, sehingga ada ungkapan yang “ekstrim” berbunyi: “Negara yang berkeadilan akan
lestari kendati ia negara kafir, sebaliknya negara yang zalim akan hancur meski ia negara (yang
mengatasnamakan) Islam”. (lihat Madani, 1999:14).
Ketiga, al-Musawah adalah kesejajaran, artinya tidak ada pihak yang merasa lebih tinggi
dari yang lain sehingga dapat memaksakan kehendaknya. Penguasa tidak bisa memaksakan
kehendaknya terhadap rakyat, berlaku otoriter dan eksploitatif. Kesejajaran ini penting dalam
suatu pemerintahan demi menghindari dari hegemoni penguasa atas rakyat.
Dalam perspektif Islam, pemerintah adalah orang atau institusi yang diberi wewenang
dan kepercayaan oleh rakyat melalui pemilihan yang jujur dan adil untuk melaksanakan dan
menegakkan peraturan dan undang-undang yang telah dibuat. Oleh sebab itu pemerintah
memiliki tanggung jawab besar di hadapan rakyat demikian juga kepada Tuhan. Dengan begitu
pemerintah harus amanah, memiliki sikap dan perilaku yang dapat dipercaya, jujur dan adil.
Sebagian ulama’ memahami al-musawah ini sebagai konsekuensi logis dari prinsip al-syura dan
al-‘adalah. Diantara dalil al-Qur’an yang sering digunakan dalam hal ini adalah surat al-
Hujurat:13, sementara dalil sunnah-nya cukup banyak antara lain tercakup dalam khutbah wada’
dan sabda Nabi kepada keluarga Bani Hasyim (Tolchah, 199:26).
Keempat, al-Amanah adalah sikap pemenuhan kepercayaan yang diberikan seseorang
kepada orang lain. Oleh sebab itu kepercayaan atau amanah tersebut harus dijaga dengan baik.
Dalam konteks kenegaraan, pemimpin atau pemerintah yang diberikan kepercayaan oleh rakyat
harus mampu melaksanakan kepercayaan tersebut dengan penuh rasa tanggung jawab. Persoalan
amanah ini terkait dengan sikap adil seperti ditegaskan Allah SWT dalam surat an-Nisa’:58.
Karena jabatan pemerintahan adalah amanah, maka jabatan tersebut tidak bisa diminta,
dan orang yang menerima jabatan seharusnya merasa prihatin bukan malah bersyukur atas
jabatan tersebut. Inilah etika Islam.
Kelima, al-Masuliyyah adalah tanggung jawab. Sebagaimana kita ketahui bahwa,
kekuasaan dan jabatan itu adalah amanah yang harus diwaspadai, bukan nikmat yang harus
disyukuri, maka rasa tanggung jawab bagi seorang pemimpin atau penguasa harus dipenuhi.
Dan kekuasaan sebagai amanah ini memiliki dua pengertian, yaitu amanah yang harus
dipertanggungjawabkan di depan rakyat dan juga amanah yang harus dipertanggungjawabkan di
depan Tuhan.
Seperti yang dikatakan oleh Ibn Taimiyyah (Madani, 1999:13), bahwa penguasa
merupakan wakil Tuhan dalam mengurus umat manusia dan sekaligus wakil umat manusia
dalam mengatur dirinya. Dengan dihayatinya prinsip pertanggung jawaban (al-masuliyyah) ini
diharapkan masing-masing orang berusaha untuk memberikan sesuatu yang terbaik bagi
masyarakat luas. Dengan demikian, pemimpin/penguasa tidak ditempatkan pada posisi sebagai
sayyid al-ummah (penguasa umat), melainkan sebagai khadim al-ummah (pelayan umat). Maka
dengan demikian, kemaslahatan umat wajib senantiasa menjadi pertimbangan dalam setiap
pengambilan keputusan oleh para penguasa, bukan sebaliknya rakyat atau umat ditinggalkan.
Keenam, al-Hurriyyah adalah kebebasan, artinya bahwa setiap orang, setiap warga
masyarakat diberi hak dan kebebasan untuk mengekspresikan pendapatnya. Sepanjang hal itu
dilakukan dengan cara yang bijak dan memperhatikan al-akhlaq al-karimah dan dalam rangka al-
amr bi-‘l-ma’ruf wa an-nahy ‘an al-‘munkar, maka tidak ada alasan bagi penguasa untuk
mencegahnya. Bahkan yang harus diwaspadai adalah adanya kemungkinan tidak adanya lagi
pihak yang berani melakukan kritik dan kontrol sosial bagi tegaknya keadilan. Jika sudah tidak
ada lagi kontrol dalam suatu masyarakat, maka kezaliman akan semakin merajalela.
Jika suatu negara konsisten dengan penegakan prinsip-prinsip atau elemen-elemen
demokrasi di atas, maka pemerintahan akan mendapat legitimasi dari rakyat. Dengan demikian
maka roda pemerintahan akan berjalan dengan stabil.
Watak ajaran Islam sebagaimana banyak dipahami orang adalah inklusif dan demokratis.
Oleh sebab itu doktrin ajaran ini memerlukan aktualisasi dalam kehidupan kongkret di
masyarakat. Pertanyaannya kemudian, bagaimana realitas demokrasi di dunia Islam dalam
sejarahnya?
Dalam realitas sejarah Islam memang ada pemerintahan otoriter yang dibungkus dengan
baju Islam seperti pada praktek-praktek yang dilakukan oleh sebagian penguasa Bani
‘Abbasiyyah dan Umayyah. Tetapi itu bukan alasan untuk melegitimasi bahwa Islam agama
yang tidak demokratis. Karena sebelum itu juga ada eksperimen demokratisasi dalam sejarah
Islam, yaitu pada masa Nabi dan khulafaurrasyidin (lihat Mahasin, 1999:31).
Memang harus diakui, karena kepentingan dan untuk melanggengkan status quo raja-raja
Islam, demokrasi sering dijadikan tumbal. Seperti pengamatan Mahasin (1999:31), bahwa di
beberapa bagian negara Arab misalnya, Islam seolah-olah mengesankan pemerintahan raja-raja
yang korup dan otoriter. Tetapi realitas seperti itu ternyata juga dialami oleh pemeluk agama
lain. Gereja Katolik misalnya , bersikap acuh-tak acuh ketika terjadi revolusi Perancis. Karena
sikap tersebut kemudian Katolik disebut sebagai tidak demokratis. Hal yang sama ternyata juga
dialami oleh agama Kristen Protestan, dimana pada awal munculnya, dengan reformasi Martin
Luther Kristen memihak elit ekonomi, sehingga merugikan posisi kaum tani dan buruh. Tak
mengherankan kalau Kristen pun disebut tidak demokratis.
Melihat kenyataan sejarah yang dialami oleh elit agama-agama di atas, maka tesis
Huntington dan Fukuyama yang mengatakan, “bahwa realitas empirik masyarakat Islam tidak
kompatibel dengan demokrasi” adalah tidak benar. Bahkan Huntington mengidentikkan
demokrasi dengan the Western Christian Connection (lihat Imam, 1999:x-xi, Hefner, 2000:4-5).
Inilah memang, betapa sulitnya menegakkan demokrasi, yang di dalamnya menyangkut soal:
persamaan hak, pemberian kebebasan bersuara, penegakan musyawarah, keadilan, amanah dan
tanggung jawab. Sulitnya menegakkan praktik demokratisasi dalam suatu negara oleh penguasa
di atas, seiring dengan kompleksitas problem dan tantangan yang dihadapinya, dan lebih dari itu
adalah menyangkut komitmen dan moralitas sang penguasa itu sendiri. Dengan demikian,
meperhatikan relasi antara agama dan demokrasi dalam sebuah komunitas sosial menyangkut
banyak variabel, termasuk variabel independen non-agama. [1]
Kebebasan Beragama dalam Negara-Negara Muslim Demokrasi
Prinsip demokrasi mengandung nilai-nilai yang bersifat universal dan
tidak mengatasnamakan salah satu agama. Maka dari itu, demokrasi
seringkali dianggap tidak beragama dan sekular. Orang-orang Islam
ekstrimis seringkali tidak menerima konsep demokrasi karena dianggap
tidak sesuai dengan Islam dan berasal dari Barat. Hal ini menimbulkan
pemahaman dari Barat pula bahwa Islam tidak sejalan dengan Demokrasi.
Dari konsep Demokrasi dalam Islam yang dijelaskan dalam makalah ini
sebelumnya, dapat dilihat bahwa Islam memiliki konsep demokrasi dan
sejalan dengan konsep demokrasi secara umum. Kebebasan beragama
merupakan salah satu yang dijunjung oleh demokrasi yaitu persamaan bagi
setiap orang untuk meyakini suatu agama tertentu. Bahkan Negara Amerika
Serikat sebagai negara pelopor demokrasi menuliskan kebebasan beragama
dalam amandemen pertama dalam Bill of Rights-nya.
Negara-negara Islam yang memiliki pemerintahan monarki dan
penduduk yang menganut pemahaman Islam yang ekstrim sangat menolak
persamaan ini. Mereka meyakini bahwa satu-satunya agama yang benar dan
harus diikuti adalah Islam. Mereka menggunakan dalih Alquran dan hadits
untuk membenarkan pemahamannya. Namun di beberapa negara lain
dengan mayoritas penduduk muslim, demokrasi akhirnya dapat masuk dan
diterima oleh masyarakatnya walaupun diawali dengan revolusi yang
berdarah-darah. Contoh negara-negara tersebut diantaranya adalah Turki
dan Indonesia.
1. Turki
Sebelum menganut demokrasi, Turki berada di bawah kekuasaan
Kesultanan Ustmaniyah (1299-1923). Dalam kejayaan kekuasaannya ia
menjangkau tiga benua Eropa bagian tenggara, Asia Barat dan Afrika Utara.
Namun ia berakhir sebagai rezim monarki imperial pada tanggal 1 November
1922 dan secara de jure pada tanggal 24 Juli 1923 di bawah Treaty of
Lausanne yang kemudian dilanjutkan dengan proklamasi kemerdekaan Turki
pada tanggal 29 Oktober 1923.1
Ada banyak kemungkinan yang dapat diambil dalam menyimpulkan
penyebab keruntuhan rezim otoriter Kesultanan Utsmaniyah. Namun,
kemungkinan terbesarnya adalah karena permasalahan bentuk
pemerintahannya sendiri yang membuatnya mengalami stagnasi dalam
perkembangan. Sedangkan negara-negara tetangga berkembang menjadi
semakin kuat dari abad ke abad. Mereka juga berkembang menjadi lebih
modern dan dapat menahan ancaman yang memaksa. Ketika Negara-Negara
tetangga berkembang menjadi lebih kuat dan menjadi lebih dewasa,
Kesultanan Ustmaniyah tidak. Selain itu, ia memiliki kekuasaan yang terlalu
besar dalam waktu yang terlalu singkat. Hal itu membuatnya sulit untuk
mengkontrol wilayah kekuasaannya dan dengan mudahnya diruntuhkan. 2
Permasalahan yang didera oleh Kesultanan Utsmaniyah salah satunya
adalah perbedaan hak diantara masyarakat. Pada abad ke 16, institusi
pemerintah dan masyarakat yang berevolusi selama dua abad kekuasaan
Ustmaniyah akhirnya mencapai bentuk klasik dan pola yang akan bertahan
yang memaksa untuk mempengaruhi sistem pemilu yang akhirnya
menimbulkan kepastian terpilihnya Soeharto kembali. Selain itu, orang-orang
tidak bebas mengeluarkan pendapatnya terutama segala hal yang berkaitan
dengan Soeharto dan keluarga Cendana. Sehingga Soeharto dapat
melakukan KKN yang berkelanjutan tanpa diketahui orang banyak.
Hingga sekarang telah terbukti bahwa gaya kepemimpinan otoriter
yang ditampilkan oleh Soeharto tidak akan cocok dengan kepribadian
bangsa Indonesia begitu pula dengan Islam yang berkembang di Indonesia.
Islam di Indonesia memiliki berbagai macam aliran. Bukan hanya yang
berasal dari dua organisasi besar seperti Muhammadiyah dan NU tetapi juga
dari tarekat-tarekat di daerah-daerah yang ajarannya telah masuk ke
Indonesia sekian tahun lamanya dan turun temurun dipertahankan sampai
sekarang. Pada masa orde baru, berbagai macam aliran Islam tersebut
dipaksa untuk bergabung dalam satu partai oleh Soeharto yaitu PPP. Hal itu
dilakukan oleh Soeharto untuk mencapai suatu kepentingan politik tertentu.
Hal itu menjadi salah satu penyebab tidak harmoninya hubungan
masyarakat islam di Indonesia dengan kepemimpinan Soeharto dan ini
menunjukkan bahwa bukan gaya kepemimpinan otoriter yang sesuai dengan
komunitas Islam di Indonesia. Bukan bentuk pemerintahan yang rentan
dengan terjadinya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme tentunya. Lalu gaya
kepemimpinan yang seperti apa? Dan sistem pemerintahan yang seperti
apa?
Setelah tiga puluh dua tahun lamanya Indonesia di bawah
kepemimpinan otoriter pada akhirnya muncullah era reformasi pada tahun
1998 yang merubah bentuk pemerintahan Indonesia menjadi demokrasi.
Reformasi ini dipimpin oleh Amien Rais sehingga membuatnya mendapatkan
julukan “Bapak Reformasi”. Setelah reformasi, citra demokrasi di indonesia
mulai terlihat.
Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Presiden Indonesia keempat, merupakan sosok
Muslim yang sampai akhir hayatnya memperjuangkan demokrasi dalam ranah publik untuk
membangun masa depan Indonesia yang lebih baik. Toleransi, inklusivisme, dan non-
sektarianisme merupakan visi besar sekaligus obsesi yang senantiasa diperjuangkan dalam upaya
pembelaan terhadap kemanusiaan serta perlindungannya terhadap kelompok minoritas. Itulah
yang diperlukan Indonesia pasca otoritarianisme Orde Baru.4 Keadaan sosial yang
mengedepankan kebebasan hak-hak asasi manusia dalam kehidupan beragama, berbangsa dan
bernegara sebagai esensi dari demokrasi di Indonesia.
Namun, apabila melihat realitanya maka masih sangat banyak hal
yang harus diperbaiki dalam berdemokrasi di Indonesia. Akan tetapi, sudah
jelas jika dilihat dari dasar konsep yang ditawarkan, demokrasi sejalan
dengan ketentuan-ketentuan politik yang diajarkan oleh Islam. Maka dari
itulah konsep demokrasi mudah diterima oleh mayoritas muslim di
Indonesia.
ALJAZAIR DAN DEMOKRASI
Aljazair, negeri yang terletak di kawasan Afrika Utara ini, merupakan
salah satu negeri Islam yang penuh konflik. Perjuangan umat Islam di Afrika
hingga saat ini masih belum berhenti. Negeri ini juga menjadi contoh
bagaimana sistem demokrasi menampakkan kebusukannya. Demokrasi yang
diagung - agungkan sebagai sistem terbaik, ternyata hanya omong kosong
belaka. Negeri ini merupakan contoh bagaimana rekayasa kekerasan terus
berlangsung hingga kini untuk menyudutkan perjuangan umat Islam. Negeri
ini juga menjadi saksi, bagaimana wajah ketakutan bangsa Barat melihat
kemenangan perjuangan Islam.
Aljazair, yang sering pula disebut dengan nama Al-Jumhuriya Al-
Jaza'iriya ad-Dimuqratiya asy - Sya'biya, memakai bahasa Arab sebagai
bahasa resmi, di samping bahasa Prancis dialek Barbar. Secara historis, 4http://www.thereadinggroup.sg/Articles/Gus%20Dur%20%20Muslim%20Humanis,%20Pejuang%20Demokrasi.pdf