-
LAPORAN PENELITIAN DANA DIPA
INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR
TAHUN 2008
DEKONSTRUKSI SENI PATUNG SATRIA GATOTKACA
DI PERSIMPANGAN JALAN NGURAH RAI TUBAN
Oleh:
Drs. I Ketut Mustika
NIP. 131882106
Dibiayai dari dana Diva ISI Denpasar
Dengan surat perjanjian pelaksanaan penelitian
Nomor, 0230.0/023-34/XX/2008
FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN
INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR
2008
-
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL
.....................................................................
i
LEMBARAN PENGESAHAN
..................................................... ii
KATA PENGANTAR
..................................................................
iii
DAFTAR ISI
.................................................................................
iv
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
.......................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah
..................................................................
5
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI
2.1 Kajian Pustaka
........................................................................
6
2.2 Konsep
...................................................................................
14
2.2.1 Patung
..................................................................................
14
2.2.2 Gaya
....................................................................................
14
2.2.3 Perspektif
............................................................................
14
2.2.4 Bentuk, Fungsi, Makna
....................................................... 16
2.3 Landasan Teori
.......................................................................
17
2.3.1 Teori Dekonstruksi
..............................................................
17
2.3.2 Teori Estetika
.....................................................................
18
2.3.3 Teori Resepsi
.......................................................................
20
2.3.4 Teori
Kreativitas..................................................................
21
2.3.5 Teori Tindakan
Komunikatif............................................... 21
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Metode
Penelitian...................................................................
27
3.2 Teknik Pengumpulan Data
..................................................... 27
3. 2.1 Wawancara
.........................................................................
27
3.2.2 Observasi
.............................................................................
28
-
3.3 Instrumen
Penelitian...............................................................
28
3.4 Manfaat Penelitian
.................................................................
29
BAB IV DEKONSTRUKSI
4.1 Pembuatan Gambar
seketsa.................................................... 30
4.2 Pembuatan Maket
...................................................................
31
4.3 Proses Pembuatan Rangka Patung
......................................... 31
4.4 Proses Pengecoran Kerangka Patung
..................................... 32
4.5 Proses Pembentukan Figur
..................................................... 33
4.6 Finising Bentuk dan Detail Hiasan
........................................ 33
4.7 Proses Pewarnaan
...................................................................
33
4.8 Alat-alat Kerja Yang Diperlukan
........................................... 34
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan
............................................................................
35
4.2 Saran
.......................................................................................
37
DAFTAR PUSTAKA
...................................................................
LAMPIRAN FOTO
......................................................................
-
1
DEKONSTRUKSI SENI PATUNG SATRIA GATOTKACA
DI PERSIMPANGAN JALAN NGURAH RAI TUBAN
LAPORAN PENELITIAN DANA DIPA
Nomor, 0230.0/023-34/XX/2008
INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR
TAHUN 2008
Oleh:
Drs. I Ketut Mustika
BAB I
PENDAHULUAN
l.1 Latar Belakang
Kebudayaan pada hakekatnya adalah aktivitas manusia yang
meliputi seluruh aspek
pikiran, dan hasil karya manusia yang tidak berakar pada
nalurinya, melainkan dicetuskan
melalui proses belajar. Dari keseluruhan aktivitas manusia yang
sangat luas tersebut,
kebudayaan bisa dilihat dari wujudnya yakni (1) kebudayaan
sebagai suatu komplek ide-ide,
gagasan, nilai-nilai, norma-norma dan lain sebagainya, (2)
kebudayaan sebagai suatu aktivitas
kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat, dan (3)
kebudayaan sebagai benda-benda
hasil karya manusia (Koentjaraningrat, 1990:186-187).
Keindahan alam Bali mencakup aspek-aspek seperti yang
dikemukakan oleh The
Liang Gie (1976 :35) yaitu keindahan seni, keindahan alamnya,
keindahan moral dan
intelektualnya. Dari aspek keindahan tersebut menyangkut kaidah
estetika yang bersumber
pada filsafat agama Hindu, demikian juga keindahan intelektual
tercermin pada makna
gagasan yang menjadi isi pada setiap seni yang tercipta.
Estetika adalah sesuatu yang sangat
penting dalam kehidupan manusia. Estetika menggerakkan manusia
kearah yang lebih
-
2
konstruktif dalam berbagai tindakan yang selalu berlandaskan
prakerti yang memiliki tiga
sifat atau guna yaitu: Satwa, Rajas, Tamas.
Satwa adalah hakekat segala sesuatu yang memiliki sifat-sifat
terang, baik dan
menyenangkan. Rajas adalah sumber aktivitas dan nafsu. Tamas
adalah bercirikan kegelapan,
kebodohan, kemalasan dan berat. Semula, kekuatan ketiga guna itu
adalah seimbang. Oleh
karena itu prakerti berada dalam keadaan berimbang, dan tidak
menimbulkan sesuatu (tenang
dan damai). Kemudian pada prakerti tersebut dimasukkan kekuatan
maya. Kekuatan maya
tersebut menyebabkan prakerti bergolak dan terjadilah ketidak
seimbangan antar guna-guna
tersebut. Dari pergolakan tersebut terjadilah di seluruh alam
semesta ini yang bermacam-
macam corak sesuai dengan pengaruh zaman. Ini yang merupakan
dasar peletakkan hubungan
keindahan dengan esensi agama Hindu sebagai Roh karya seni yang
lahir dan berkembang
di Bali (Nurkancana, 1995:21).
Untuk dapat memahami dan mengerti keberadaan karya seni dari
suatu daerah dengan
seksama, tidak cukup hanya dengan mengalisa bentuk-bentuk karya
seninya saja seperti seni
sastra, seni tari, seni pahat, seni warna dan seni-seni lainnya.
Pemahaman gaya hidup,
keyakinan (agama) struktur kehidupan dari suatu masyarakat
adalah sendi-sendi yang sangat
menentukan sekali dalam proses pencapaian suatu karya budaya.
Dengan demikian sangat
penting untuk dipahami supaya dapat mengadakan interperestasi
yang tepat.
Kebudayaan menurut Koentjaraningrat (1990 : 203-204) setiap
kebudayaan suku
bangsa di dunia memiliki tujuh unsur kebudayaan yang universal
yaitu : 1) Bahasa, 2) Sistem
ilmu pengetahuan, 3) Organisasi sosial, 4) Sistem peralatan
hidup dan Teknologi, 5) Sistem
mata pencaharian hidup, 6) Sistem religi, 7) Kesenian. Kesenian
adalah merupakan salah satu
dari tujuh unsur kebudayaan yang universal tersebut, oleh karena
itu seni atau kesenian
merupakan sebuah produk kebudayaan dari setiap suku bangsa di
dunia. Untuk itu memahami
fenomena kesenian atau seni tidak bisa dipisahkan dengan latar
belakang di mana seni atau
kesenian itu dilahirkan.
-
3
The Liang Gie (1996 : 46) merangkum pendapat tentang ciri-ciri
pokok seni, yaitu : 1)
Seni bersifat kreatif; menciptakan sesuatu realitas baru. 2)
Seni bercorak individualitas; terikat
pada perseorangan tertentu dalam penciptaannya maupun
penikmatannya. 3) Seni adalah
ekspresif ; menyangkut perasaan manusia dan karena itu
penilaiannya juga harus memakai
ukuran perasaan estetis. 4) Seni adalah abadi ; dapat hidup
sepanjang massa. 5) Seni bersifat
semesta ; berkembang di seluruh dunia dan sepanjang waktu.Dalam
konteks tersebut
Moerdowo (1967 : 18 ) mengelompokkan Bali sebagai salah satu
dari suku bangsa di
Indonesia yang memiliki karakteristik seni dan budaya yang
menarik perhatian bagi para
wisatawan manca negara untuk melihat paduan estetika budaya yang
di ilhami oleh sebuah
frame religiussitas Hinduisme.
Kesenian Bali telah berkembang dengan pesatnya, seiring dengan
pesatnya
perkembangan ilmu dan teknologi serta perkembangan di bidang
kepariwisataan yang
memberikan dampak yang sangat positif dalam berkreativitas
berkesenian. Berdasarkan hal
tersebut Bali terkenal dengan berbagai julukan seperti; Pualu
Sorga, Paradise Created, Pulau
seribu Pura, Pulau Pariwisata dan lain sebagainya. Berbicara
mengenai seni di Bali, hubungan
agama Hindu dengan seni tidak dapat dipisahkan, karena dengan
hal itu dapat menumbuhkan
inspirasi dan rasa seni yang sangat mendalam dalam masyarakat
dalam berbagai bidang,
terutama dalam seni pahat atau seni bentuk dan seni-seni lainnya
(Mantra, 1991 : 5).
Seni dan agama Hindu khususnya di Bali sangat erat dan saling
isi mengisi, karena
pada awalnya karya seni adalah untuk dipersembahkan ( ngayah)
kepada yang dipujanya.
Sehingga agama Hindu merupakan sumber dari segala sumber
inspirasi dalam berkreativitas
karya seni dalam masyarakat Hindu di Bali. Hanya sekarang tampak
pengaruh karya seni
yang bersumber kepada penghidupan rakyat sehari-hari, hal ini
dipertegas lagi oleh I Gusti
Bagus Sugriwa (1952 :22) bahwa kesenian Bali atau seni budaya
Hindu Bali bergejolak
sampai sekarang, pada hakikatnya adalah anak atau cabang,
lapisan luarnya dari agama
Hindu.
-
4
Oleh karena itu, dalam memahami seni budaya Bali tidak dapat
dipisahkan dari
kerangka dasarnya yang menjadi sumber inspirasi penciptaan
berbagai karya seni yang
tumbuh dan berkembang di Bali. Seni budaya Bali yang berkembang
sejak kedatangan para
wisatawan ke Bali mengakibatkan perkembangan semakin pesat dalam
berbagai wujud yang
menjadi gaya tarik bagi wisatawan. Bali yang memiliki unsur
estetika yang sangat unik dan
kompleks membuat daya tarik Pulau Bali sebagai daerah tujuan
wisata semakin mendunia.
Kesenian Bali telah berkembangan begitu pesatnya, seiring dengan
perkembangan
dunia pariwisata, maka dampak dari perkembangan pariwisata
tersebut munculah kreatifitas
seni yang mencoba untuk memperindah pulau Bali. Salah satu seni
yang turut memperindah
tata ruang kota dan jalan-jalan di Bali adalah seni patung.
Secara umum patung-patung yang
menghiasi tataruang di kota Denpasar, baik di wilayah kabupaten
Badung maupun di Kodya
dapat di golongkan menjadi : 1) Patung realis, yang bernafaskan
perjuangan kemerdekaan R.I.
2) Patung tradisi naturalis ekspresionis, yang bernafaskan
falsafah agama Hindu. Salah satu
patung tradisi naturalis ekspresionis yang berdiri megah di
persimpangan Jalan Ngurah Rai
Tuban, Kelurahan Kuta, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung adalah
Patung Satria
Gatotkaca. Patung ini dibuat pada tahun 1993, terbuat dari bahan
beton bertulang, bercorak
tradisi naturalistik ekspresionis yang bernafaskan Hinduisme.
Pada dasarnya topik Satria
Gatotkaca dipergunakan berdasarkan aspek lingkungan, yaitu
berdampingan dengan lapangan
terbang (Air Port Ngurah Rai Tuban). Dengan demikian landasan
ide ini di ambil berdasarkan
karya sastra yang bernafaskan Hindu dari epos Mahabharata.
Dalam wira carita Mahabharata ini menampilkan dua tokoh kesatria
yang pada
dasarnya merupakan serumpun keluarga yang terbagi menjadi dua
yang saling bertentangan.
Disatu pihak dari keluarga Panca Pandawa, yang diwakili oleh
raja Pringgodani yaitu
Gatotkaca. Di pihak lawannya adalah keluarga Seratus Kurawa,
yang diwakili oleh Adipati
dari Kadipaten Awangsa yaitu Adipati Karna. Dalam konteks
mentransformasikan karya
sastra yang bersifat dua demensional, menjadi karya seni tiga
demensional juga memerlukan
-
5
kecermatan yang harus menjadi perhatian yang utama, karena
terkait dengan sifat tiga
demensional. Kalau dalam wira carita, yang menjadi momen utama
adalah gugurnya
Gatotkaca, karena terkait dengan sifat tiga demensinya maka,
dengan demikian momen yang
ditampilkan adalah pada saat kesatriaan-nya Gatotkaca
memperlihatkan kesaktian maya-
nya untuk memancing emosi Adipati Karna, supaya
melepas/mempergunakan senjata
Kunta Wijayandanu-nya , yang merupakan senjata pamungkas Adipati
Karna.
Dengan demikian momen Satria Gatotkaca sangat tepat diwujudkan
dalam wujud
karya seni tiga demensional, yang dalam perwujudannya dilapangan
terdiri dari : 1)
Gatotkaca sebagai tokoh utama, dari pihak Panca Pandawa, 2)
Adipati Karna, tokoh utama ke
dua dari pihak Seratus Kurawa, 3) Prabu Salya, sebagai kusir
Adipati Karna, 4) Kereta perang
Adipati Karna yang bernama Jaladra, 5) Enam ekor kuda sebagai
penarik kereta Jaladra, 6)
Senjata pamungkas Adipati Karna yang bernama Kunta Wijayandanu.
Semua bentuk-bentuk
figur tersebut terkomposisikan secara strukturalistik, sehingga
menjadikan suatu unity
komposisi bentuk-bentuk yang sangat indah, naturalis ekspresif,
dan bersifat monumental.
1.2 Rumusan masalah :
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka
masalah yang akan
dibahas dalam penelitian ini adalah :
1). Bagaimanakah bentuk dekonstruksi seni Patung Satria
Gatotkaca di persimpangan Jalan
Ngurah Rai Tuban?
2). Bagaimana fungsi dekonstruksi seni patung Satria Gatotkaca
di persimpangan Jalan
Ngurah Rai Tuban?
3). Apa makna dekonstruksi seni patung Satria Gatotkaca di
persimpangan Jalan Ngurah Rai
Tuban?
-
6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI
2.1 Kajian Pustaka
Kajian pustaka adalah proses umum yang kita lalui untuk
mendapatkan teori
terdahulu. Dalam buku Ensiklopedia Wayang Indonesia Jilid III,
yang disusun tim penulis
Sena Wangi (2003), tokoh Gatotkaca adalah tokoh karakter yang
luar biasa, gagah dan
pemberani yang digambarkan sebagai anak yang su putra di
keluarga besar Panca Pandawa.
Gatotkaca lahir, karena hasil perkawinan Bima dengan Dewi
Arimbi. Begitu Gatotkaca lahir
telah membuat keanehan, karena tali pusarnya tidak dapat diputus
dengan segala macam
senjata, dengan demikian keluarga Panca Pandawa sepakat mengutus
Arjuna mencari senjata
yang mampu untuk itu. Sementara para dewa-pun tahu tentang hal
itu.
Untuk menolongnya, Batara Guru mengutus Sanghyang Narada turun
ke bumi
membawa senjata pemotong tali pusar Gatotkaca. Namun Batara
Narada membuat kekeliruan,
senjata yang bernama Kunta Wijayandanu itu bukan diberikan
kepada Arjuna, melainkan
diberikan kepada Karna yang wajah dan penampilannya mirip
Arjuna. Untuk memperoleh
senjata tersebut Arjuna terpaksa merebut dari tangan Karna.
Kemudian Arjuna berhasil hanya
mendapatkan sarung (werangka) senjata sakti itu. Sendangkan
bilah senjata kunta, dilarikan
oleh Karna. Untunglah ternyata sarung (werangkanya) saja sudah
bisa digunakan memotong
tali pusar Gatotkaca. Kemudian, begitu tali pusar itu putus,
werangka kunta itu langsung
melesat masuk kedalam pusar Gatotkaca. Setelah tali pusarnya
putus, atas seijin keluarga
Pandawa Gatotkaca dibawa Batara Narada Ke Khayangan untuk
menghadapi Kala Sakipu dan
Kala Pracona yang mengamuk. Mula-mula Arimbi dan Bima tidak rela
anaknya yang baru
lahir dibawa oleh Narada. Namun setelah Narada menjelaskan Kala
Sakipu dan Kala Pracona
hanya bisa dikalahkan hanya oleh bayi Tutuka itu, akhirnya baru
Bima dan Arimbi
mengizinkannya. Di kahyangan bayi Tutuka langsung ditaruh
dihadapkan kedua raksasa sakti
-
7
itu, bayi tutuka langsung diambil oleh raksasa dan mengunyahnya,
tetapi tubuh bayi Tutuka
tetap utuh walaupun dikunyahnya kuat-kuat. Karena kesal, bayi
Tutuka itu dibantingnya
dengan sekuat tenaga ke tanah, bayi Tutuka hanya pingsan.
Setelah ditinggal pergi oleh kedua
raksasa itu, bayi Tutuka diambil oleh Batara Narada, dimasukkan
ke kawah Candradimuka.
Disini Gatotkaca digembleng oleh Begawan Anggajali. Setelah
penggemblengan
selesai, begitu muncul dari kawah Candradimuka, bayi itu sudah
berubah wujud menjadi
kesatria muda yang yang gagah perkasa. Ia menggunakan Caping
Basunanda (penutup
kepala gaib), yang menyebabkan tidak kehujanan dan tidak
kepanasan. Ia juga mengguanakan
terompah Padakacarmayang jika digunakan menendang musuhnya akan
mati.
Kemudian para dewa menyuruh Gatotkaca berkelahi melawan bala
tentara raksasa
pimpinan Prabu Kala Pracona dan Patih Kala Sakipu, akhirnya Kala
Pracona dan Kala Sakipu
dapat dibunuh.
Dalam perjalanan hidupnya Gatotkaca mempunyai tiga orang istri.
Istri pertamanya
Dewi Pergiwa (anak Arjuna). Istri kedua adalah Dewi Sumpani,
istri ketiga Dewi Suryawati
(putri Batara Surya). Dari perkawinannya dengan Dewi Pergiwa
melahirkan seorang anak
bernama Saksikirana. Dengan Dewi Sumpani ia mempunyai anak
bernama Arya
Jayasumpena. Sedangkan Suryakaca adalah hasil perkawinannya
dengan Dewi
Suryawati.Dalam Perang Baratayuda Gatotkaca diangkat menjadi
senapati dan gugur pada
hari ke-15 oleh senjata Kunta Wijayandanu yang dilemparkan
Adipati Karna. Senjata Kunta
Wijayandanu melesat menembus perut Gatotkaca melalui pusarnya
dan masuk kedalam
werangkanya. Saat berhadapan dengan Adipati Karna, sebenarnya
Gatotkaca sudah tahu akan
bahaya yang mengancam jiwanya. Karena itu ketika Adipati Karna
melemparkan senjata
Kunta, ia terbang amat tinggi. Namun senjata sakti terus saja
memburunya, sehingga akhirnya
Gatotkaca gugur. Ketika jatuh kebumi, Gatotkaca berusaha agar
jatuh tepat pada tubuh
-
8
Adipati Karna, tetapi senapati kurawa itu waspada dan cepat
melompat menghindar sehingga
yang hancur hanyalah kereta Jaladranya saja.
Sebenarnya, sewaktu berhadakan dengan Gatotkaca, Adipati Karna
enggan
menggunakan senjata Kunta. Ia merencanakan hanya menggunakan
senjata sakti itu bila
berhadapan dengan Arjuna. Namun ketika Prabu Anom Duryudana
menyaksikan betapa
Gatotkaca telah menimbulkan banyak korban, ia mendesak agar
Karna menggunakan senjata
pamungkasnya.Akibatnya, setelah Gatotkaca gugur, Adipati Karna
tidak lagi memiliki senjata
sakti yang benar-benar diandalkan.Dengan gugurnya Gatotkaca
adalah merupakan penentu
kemenangan di pihak Pandawa, karena siapapun yang dijadikan
sasaran oleh pelempar senjata
Kunta Wijayandanu, pasti akan gugur. Sedangkan senjata Kunta
wijayandanu, dapat
digunakan hanya sekali saja. Sebenarnya senjata itu di
peruntukkan pada Arjuna, karena
kejelian kordinator peperangan dari pihak Pandawa yaitu Sri
Kresna, maka terselamatkanlah
Arjuna dari sasaran senjata mahadasyat Kunta Wijayandanu.
Apabila sampai Arjuna gugur
dalam perang Baratayuda, sudah dapat dipastikan kemenangan
berada dipihak Kurawa.
Walaupun Gatotkaca gugur, beliau paling dihormati sebagai
pahlawan besar kesatria
sejati oleh keluarga besar Panca Pandawa, dan memiliki banyak
gelar seperti ; Prabu Anom
Kacanagara, Tutuka, Guritna, Pangeran Gurubaya, Pangeran
Purbaya, Bimasiwi,
Krincingwesi, Arimbiatmaja, dan Bimaputra.
Pada tokoh utama kedua sebagai lawan Gatotkaca yang dipatungkan
adalah Adipati
Karna, yang sebenarnya adalah saudara tertua dari Panca Pandawa.
Karena, dilahirkan oleh
Dewi Kunti pada waktu masih berstatus brahmacari (sedang menimba
ilmu dengan mahaguru
Resi Druwarsa). Dewi Kunti mencoba-coba menggunakan Aji
Adityarhedaya, yakni ilmu
untuk mendatangkan dewa yang dikehendakinya, dan berhasil
mendatangkan Betara Surya.
Tetapi kedatangan Betara Surya yang tampan itu membuat Dewi
Kunti mengandung, pada hal
ia masih gadis.
-
9
Setelah Prabu Kuntiboja mengetahui prihal musibah yang menimpa
putrinya, paduka
marah dan memanggil Maha Guru Resi Druwarsa. Druwarsa
dipersalahkan karena mengajari
ilmu tingkat tinggi pada gadis yang belum dewasa. Resi Druwarsa
mengaku bersalah dan
berjanji akan bersedia menjamin keutuhan keperawanan Dewi Kunti
kelak pada saat
melahirkan. Dengan ilmunya yang tinggi, sesudah masa
kehamilannya cukup, Druwarsa
mengeluarkan jabang bayi yang dikandungnya melalui telinga Dewi
Kunti. Alasannya, ilmu
masuk dan diresapi oleh Dewi Kunti melalui telinga. Itulah
sebabnya, ia diberi nama Karna;
yang artinya telinga. Nama lain baginya adalah Talingasmara,
Suryaputra, dan Suryatmaja,
karena anak Kunti itu hasil hubungan dengan Batara Surya.Pada
waktu Karna lahir memiliki
tanda khusus pada telinganya berisi Atnting Mustika yang
memancarkan sinar kemilau.
Untuk menutupi aib kerajaan, bayi (Karna kecil) dimasukkan
kedalam peti dan
dihanyutkan kesungai Gangga, yang kemudian ditemukan, dan
dirawat oleh Adirata bersama
istrinya bernama Rhada, seorang sais kereta, itulah sebabnya
Karna juga disebut Basukarna
atau Radhea. Karena Karna diangkat anak oleh seorang sais kereta
kerajaan, karena Karna
sering diajak keistana kerajaan, disana Karna sering melihat
putra-putra Dewi Kunti dan Putra
Dewi Gandari belajar ilmu olah keprajuritan, yang diajar oleh
Resi Krepa, dan Begawan
Drona. Pada suatu hari Karna memberanikan diri memohon agar
kedua maha guru itu mau
mengangkat Karna juga menjadi muridnya. Tetapi karena Karna
hanya anak seorang sais,
maka ia ditolak untuk jadi muridnya.
Pada suatu saat Krepa dan Drona melakukan uji tanding antara
murid-muridnya,
ternyata arjuna menjadi murid yang paling pintar, dengan
kepintarannya Arjuna menjadi
sombong. Kesombongan Arjuna inilah, Karna menjadi lebih
bersemangat untuk belajar ilmu
olah keprajuritan dengan menyamar menjadi seorang brahmana,
untuk berguru kepada Rama
Bargawa, dan mendapatkan ilmu Brahmastra, yakni ilmu
keterampilan memanah.Sesudah
mewariskannya berbagai ilmunya, Rama Bargawa baru sadar bahwa
muridnya bukan seorang
brahmana melainkan seorang kesatria, karena Rama Bargawa sangat
benci dengan kesatria,
-
10
akhirnya Karna dikutuk ; kelak dalam Baratayuda, pada saat yang
genting yang menentukan
hidup atau mati, Karna akan lupa mantra ilmu Brahmastra, dan
kutukan itu terbukti.
Pada buku Mahabharata, yang ditulis oleh Kamala Subramaniam
(2003:509-510), :
Pasukan Pandawa dibakar oleh, Bhisma, Drona dan Aswatama. Tidak
ada gunanya bertarung
dengan mereka, tidak ada seorangpun yang bisa melawan mereka.
Melihat Irawan mati,
Gatotkaca bangkit dan bertindak. Gatotkaca mengobrak-abrik
pasukan kurawa, kemarahan
Gatotkaca ia tumpahkan pada Duryodhana, ia terus manentangnya.
Bhisma mendengar suara
keributan dalam pasukan karena Gatotkaca, Bhisma berkata: Aku
takut Duryodhana tidak
akan mampu menahan kekuatan putra Bima, tetapi kalau bukan
karena sumpah Bima untuk
membunuh Duryodhana, Gatotkaca pasti sudah membunuhnya sejak
dulu. Mereka semua ada
disana; Drona, Aswattama, Jayadrata dan masih banyak yang
lainnya. Gatotkaca semakin
bersemangat melihat kejadian ini. Ia melawan mereka semua, ia
meneriakkan teriakan perang
yang sangat kuat.
Yudhistira mendengar teriakan perang, ia memanggil Bhima dan
berkata: Bhima, aku
mendengar suara anakku Ghatotkaca. Aku melihat beberapa pahlawan
kurawa berlari
mendekatinya. Aku khawatir akan keselamatannya. Aku tidak bisa
mengutus Arjuna, karena
ia sibuk membela putra-putra Drupada melawan kemarahan Bhisma.
Aku ingin engkaulah
yang pergi membantu putramu. Bhima segera membantu putranya.
Anak dan ayah sekarang
bergabung menjadi pasangan yang tak terkalahkan. Pada saat Bhima
mengangkat gadanya
mau membunuh Duryodhana, mereka menghilang begitu juga Bhisma
pergi dari
pasukannya.Ghatotkaca terus mengobrak-abrik pasukan kurawa,
seperti kucing
mempermainkan tikus, sampai trompet berbunyi tanda hari sudah
malam, pasukan masing-
masing kembali kekemahnya.
Art In Indonesia : Continuities and Change : Claire Holt,
Pengantar dan Alih Bahasa
Soedarsono (2000), mengemukakan bahwa perkembangan seni di
Indonesia merefleksikan
-
11
kebinekaan budaya yang lahir dalam tingkat kehidupan yang
berbeda. Ada beberapa yang
kelihatan kuno tetapi sangat vital, yang menjadi sumber
kreatifitas idealisme, dan yang baru
berkembang sangat pesat. Unsur-unsur seni lama dan baru di
komodifikasi terstrukturalisasi
sehingga menjadi karya seni yang sangat menarik. Seni
tradisional dengan seni ritual seperti
seni patung, seni lukis, seni gerak sampai wayang kulit tahan
hidup berdampingan dengan
seni sekuler yang digarap oleh kreator-kreator seni, dari gaya
realis, naturalis, ekspresionis
sampai gaya abstrak.
Seni di Indonesia ditata seperti masuk dalam tiga lingkungan
yang tumpang tindih
diatur secara kronologis sebagai berikut.
1. Warisan, yang meliputi ciptaan-ciptaan seni dari zaman masa
prasejarah Indonesia dan
sejarah kuno yang masih dilestarikan, yang dibuat dari
bahan-bahan tahan lama seperti
batu, logam, dan tanah liat.
2. Tradisi-tradisi yang hidup, yang meliputi seni rupa (plastik
arts) yang ada di Indonesia
terutama di Bali yang konsepsi bentuk dan isinya diabadikan,
walaupun kerap diabadikan
pada medium yang baru.
3. Seni Modern, yaitu sebuah fenomena urban yang telah
berkembang di Indonesia.
Manifestasinya hadir bersama dengan bentuk-bentuk tradisi yang
vital tampil sangat kuat
pada seni lukis dan seni patung.
Dijelaskan pula bahwa Bali adalah wilayah berbeda dibandingkan
dengan Jawa atau
daerah lainnya yang kepercayaan Hindu-nya praktis memudar bahkan
melenyap dengan
penyebaran Islam. Kehidupan ritual Hindu di Bali masih tetap
bertahan hingga kini, meskipun
menyerap pengaruh Hindu-Budha melalui ekspansi dari kerajaan
Majapahit, namun ekspansi
keseniannya memiliki perbedaan dengan Jawa.
Dengan mengutip Stutterheim, bahwa yang ideal dari orang Jawa
adalah mencari yang
halus, bahkan yang lembut dan yang rohani, sehingga seninya
ditandai dengan ke hati-hatian.
Sebaliknya orang Bali menyukai yang ekspresif, meledak-ledak
penuh semangat dengan
-
12
warna emas dan terang dengan keinginan menghias sangat
berlebihan(baroque). Ciri-ciri
baroque yang karakteristik akhirnya menuju seni Bali kontemporer
yang khas. Para seniman
Bali sangat cepat mengambil serta meniru setiap pembaharuan yang
menyamar khayalan
mereka, terutama yang telah meraih sukses. Sukses dinilai dari
dua kreteria yaitu pertama,
bila sebuah karya yang original telah memperoleh persetujuan
atau kekaguman dari akhli
khususnya penilai karya-karya seni lokal, dan kedua, bila
karya-karya yang meniru gaya-gaya
baru mencapai pasar komersil. Di Bali sebuah seni yang tak resmi
dan lucu tampil
berdampingan dengan seni pada bangunan suci (pura) yang bersifat
resmi. Pemadatan
dekorasi-dekorasi pura dengan penggabaran duniawi dan lucu
tidaklah baru di Bali.
Suradi H.P (1983) dalam bukunya yang berjudul Ida Bagus Nyana
Hasil Karya dan
Pengabdiannya, mengungkapkan tentang biografi tokoh nasional Ida
Bagus Nyana, seorang
pematung yang kreatif dan sebagai tokoh pembaharuan seni patung
Bali. Pada mulanya Ida
Bagus Nyana membuat patung tradisional Bali yang tidak
dikerjakan secara pribadi, tetapi
secara bersama-sama dengan teman-temannya. Untuk memperluas
pengetahuan dibidang seni
patung, pada tahun 1935 ikut bergabung dalam perkumpulan Pita
Maha yang dipimpin oleh
Rudolf Bonnet dan Walter Spies. Kalau sebelumnya Ida Bagus Nyana
membuat patung tanpa
teori, tanpa ada yang mengkritik atau menganalisis
karya-karyanya, setelah bergabung dengan
Pita Maha terjadi interaksi yang positif, dan secara tidak
langsung membawa pengaruh
terhadap kreatifitas seni dan perkembangan karya-karyanya.
Secara visual daya kreatif dari pematung Bali untuk pertama
kalinya bereksplorasi
melalui pakem-pakem yang sudah ada dalam seni patung tradisi dan
klasik Bali dipelopopri
oleh Ida Bagus Nyana, yang sering dinyatakan sebagai tonggak
seni patung Bali modern.
Sejak tahun 1935 atas anjuran Walter Spies, Ida Bagus Nyana
mulai melakukan
penyederhanaan bentuk-bentuk wayang klasik dengan mengurangi
hiasan-hiasan busananya
sehingga karakter kayunya tampak jelas dan indah tidak ditutupi
oleh ukiran-ukiran
-
13
(ornamennya) busananya. Dengan idealisme seperti demikian Ida
Bagus Nyana mengolah
bahan dengan dua cara, pertama idenya muncul dari bentuk
bahannya untuk dijadikan karya
seni patung, yang kedua pengolahan bahan sesuai dengan ide yang
sudah ada. Dengan cara
kerja mendekonstruktif melalui depormasi komposisi, ornamen
maupun proporsi tradisinya
sehingga menghasilkan suatu gaya, yang beliau namakan Gaya
Pepulungan yang
dikatagorikan sebagai tonggak seni patung Bali modern.
Linus (1985) dalam penelitian yang berjudul Beberapa Patung
Dalam Agama Hindu
Sebuah Pendekatan Dari Segi Arkeologi. Penelitian ini
menjelaskan mengenai beberapa
pengertian patung seperti arca, pretima, bedogol, dan togog.
Arca dan pretima keduanya
perwujudan dewa dalam bentuk patung yang digunakan sebagai
sarana konsentrasi di dalam
persembahyangan agama Hindu. Arca dan pretima dibedakan dari
segi ukuran dan bahan.
Arca ukurannya lebih besar, bahan dari kayu pilihan, bisa dari
batu. Pretima umumnya
ukurannya lebih kecil dan dibuat dari kayu pilihan, emas, perak,
uang kepeng. Pretima juga
biasanya disebut sebagai pralingga, atau petapakan, juga stana
dewa.
Sedangkan, bedogol adalah patung yang dibuat dari batu, umumnya
batu padas atau
kayu, biasanya dibuat dalam ukuran yang agak besar. Dilihat dari
penempatannya tampaknya
bedogol mempunyai fungsi magis dan dekoratif. Apabila bedogol
ditempatkan di depan candi
bentar (dedamping pintu masuk), disebut dwarapala, maka bedogol
berfungsi magis dan
dekoratif. Togog, adalah patung yang dibuat dalam ukuran yang
lebih kecil dari bedogol yang
dominan bersifat dekoratif, dapat dipindah sesuai keinginan.
Linggih (2001) dalam penelitian yang berjudul Patung Dewa Ruci
di Persimpangan
JL. Arteri Nusa- Dua Tanah Lot : Analisis Bentuk, Fungsi dan
Makna. Pembuatan patung
Dewa Ruci ini di ilhami oleh muatan-muatan estetik dan
fungsional. Patung Dewa Ruci
sangat menarik untuk dikaji dari segi estetika Hindu, khususnya
dalam konsep rwa bhineda,
-
14
karena adanya perbedaan-perbedaan yang tidak dapat dipisahkan
antara yang sakral dan
sekuler.
Patung Dewa Ruci menunjukkan pemahaman bentuk fisik, dalam
cakupan komposisi
dan proporsi dan elemen-elemen estetik yang membentuk karya yang
bergaya naturalis
ekspresionis. Patung ini memiliki fungsi sakral dan sekuler.
Fungsi sakral kalau mengacu
pada simbol Acintya yang biasanya digunakan dalam upacara agama
Hindu, dan fungsi
sekuler mengacu pada penempatan patung tersebut sebagai komponen
dekoratif, untuk
memperindah taman kota. Penelitian ini cukup relevan dengan
masalah yang dikaji terutama
menyangkut patung beton dan bergaya naturalis ekspresionis.
Swandi (1999) dalam penelitiannya yang berjudul Inovasi Ida
Bagus Tilem Dalam
Seni Patung Bali Modern. Penelitian ini dibahas mengenai
aktivitas dan kreativitas Ida
Bagus Tilem dalam berkarya seni patung yang bertolak dari konsep
penyederhanan bentuk
(deformasi) yaitu sebagai prinsip dasar perubahan inovatif dalam
seni patung yaitu perubahan
dari bentuk-bentuk manusia ideal menjadi proporsi yang tidak
ideal. Dalam mewujudkan
konsepnya Tilem berusaha memadukan ide yang ada dalam dirinya
dengan material yang
dipakai, yaitu bentuk-bentuk kayu yang alami bahkan kayu-kayu
yang sudah dimakan rayap
dan borok terkadang melahirkan ide baru dalam karya patungnya
yang eksotik dan imajinatif.
Di balik idenya yang murni karya-karya Tilem sangat kreatif dan
inovatif, permainan unsur-
unsur estetik dalam bentuk yang dideformasi mengikuti bahan
secara alamiah sehingga
menghasilkan patung abstrak atau seni patung Bali modern yang
tidak terlepas dari akar
budaya Hindu Bali. Dalam pembangunan pariwisata budaya, dalam
seni rupa khususnya seni
patung, Monumen Patung Satria Gatotkaca di Persimpangan JL.
Ngurah Rai Tuban,
merupakan wujud nyata adanya perkembangan pariwisata budaya.
Yang pada dasarnya adalah
konsep dari cerita klasik Hindu, yang pada perwujudannya
mengalami perubahan sesuai
dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi.
-
15
2. 2 Konsep
2. 2.1 Patung
Dalam Ensiklopedi umum (1973 : 1193), dikatakan patung adalah
seni rupa yang
merupakan pernyataan pengalaman artistik lewat bentuk-bentuk
tiga demensional. Walaupun
ada pula yang bersifat seni pakai, tapi pada galibnya seni
patung adalah tiga demensional
sehingga dengan demikian benar-benar didalam ruang, maka didalam
patung tidak ada
problem perspektif seperti halnya seni lukis yang kadang kala
ingin membuat kesan
kedalaman dalam karya-karya yang datar saja. Selanjutnya menurut
Jack. C. Rick (1959 :3)
esensi seni patung adalah seni yang bersifat tiga demensional
yang merupakan organisasi
massa, benda atau volume atau kontur, bidang gelap dan terang
dan juga tekstur.
2.2.2 Gaya
Dalam bahasa Inggris gaya disebut dengan style, yang menurut
Echols dalam Couto
(1999 : 3) berarti corak, mode, dan gaya, misalnya gaya bahasa,
stilistik adalah ilmu gaya
bahasa. Gaya seni adalah suatu keteraturan, suatu pola keindahan
yang diabstraksikan dari
suatu karya seni. Yang dimaksud adalah gugusan sifat-sifat yang
bertalian dengan ide, tema,
wujud visual yang memberikan ke khasan pada karya seni yang
bersangkutan, dan didukung
teknologi kerja yang diperlukan, sehingga menghasilkan karya
seni yang memiliki karakter
dan ciri khas tertentu pada zamannya.
2. 2.3 Perspektif
Perspektif umum diartikan sebagai tinjauan, sudut pandang atau
pandangan. Sudut
pandang yang dimaksud adalah tergantung permasalahan apa yang
dikaji. Suatu masalah atau
obyek peristiwa bisa dipandang dari beberapa sudut pandang atau
perspektif. Perspektif juga
bisa diartikan sebagai seperangkat asumsi kerja, suatu teknik
pendekatan, atau paradigma
(Paul B. Horton dalam Ram,1999 :16).
-
16
2. 2. 4 Bentuk, Fungsi, dan Makna
Program Studi Kajian Budaya Universitas Udayana menggunakan
pendekatan atau
paradigma budaya bentuk, fungsi, dan makna berdasarkan filsafat
ilmu yakni ontologi,
epistemologi, dan aksiologi.
Aspek bentuk menyoroti apa (ontologinya) yang menggambarkan
realitas yang diteliti.
Aspek fungsi menunjukkan bagaimana (epistemologinya) yang
menggambarkan metode
yang digunakan, dan aspek makna menyoroti mengapa (aksiologinya)
yang
menggambarkan nilai-nilai(Mudana,2003 :89-93, Ratna, 2003:
112-120).
Bentuk, bentuk dapat diartikan sebagai Form dan shape. Form
adalah bentuk yang
menunjukkan mahluk hidup, misalnya bentuk binatang maupun
manusia. Shape
pengertian bentuk yang menunjukkan benda yang ada dibumi
(Bastomi, 1989 : 30).
Menurut Jelantik (1999: 18), bentuk yang paling sederhana adalah
titik, titik adalah
komponen penentu, untuk diolah dan ditata sesuai dengan
keinginan dalam konteks
seni rupa.
Fungsi, fungsi adalah menerangkan hubungan guna antara sesuatu
hal dengan suatu
tujuan tertentu, ada kaitan korelasi antara suatu hal dengan
suatu hal yang lain dalam
sistem yang terintegrasi. Berbagai unsur kebudayaan yang ada
dalam masyarakat
berfungsi untuk memuaskan hasrat kebutuhan hidup manusia. Unsur
kesenian
misalnya, mempunyai fungsi guna memuaskan hasrat manusia akan
keindahan.
Dengan demikian pemikiran fungsional selalu menyangkut hubungan
pertautan atau
relasi (Peursen, 1988 :85).
Makna, makna terkait suprastruktur dan sistem budaya yang
bersifat abstrak. Dengan
kalimat lain, makna selalu diartikan sebagai mangandung
nilai-nilai positif, untuk
-
17
kesejahteraan umat manusia, sebaliknya fungsi mungkin bersifat
positif atau negatif.
Dengan kalimat lain lagi, makna mengandung sifat das sollen (apa
yang seharusnya
terjadi), sedangkan fungsi mengandung sifat das sein (kejadian
sebagai apa adanya).
Tujuan akhir setiap aktivitas kebudayaan dengan demikian adalah
makna.
2.3 Landasan Teori
2.3.1 Teori Dekonstruksi
Dekonstruksi, dari akar kata de + constructio (latin). Pada
umumnya prefiks de
berarti kebawah, pengurangan, terlepas dari. Constructio
berarti: bentuk, susunan, hal
menyususn, hal mengatur. Jadi, dekonstruksi dapat diartikan
sebagai b pengurangan atau
penurunan intensitas bentuk yang sudah tersusun, sebagai bentuk
yang sudah baku.
Sebagaimana telah terjadi dalam menterjemahkan istilah-istilah
asing, dengan adanya
perbedaan perbendaharaan kata-kata, maka sangat sulit untuk
menemukan terjemahan yang
tepat terhadap istilah dekonstruksi tersebut. Dalam teori
kontemporer dekonstruksi sering
diartikan sebagai pembongkaran, perlucutan, penghancuran,
penolakan, dan berbagai istilah
dalam kaitannya dengan penyempurnaan arti semula.
Cara yang dianggap paling tepat untuk memberikan arti terhadap
istilah dekonstruksi ,
demikian juga istilah-istilah lain yang mempergunakan prefiks de
seperti; depsikologi,
depersonalisasi, deotomatisasi, dan sebagainya, adalah dengan
mengembalikannya pada akar
katanya semula. Dalam mendekonstruksi strukturalisme, misalnya,
kegiatan yang dilakukan
secara terus menerus adalah mengurangi intensitas oposisi biner,
sehingga unsur-unsur yang
dominan tidak selalu mendominasi unsur-unsur lain.
Benar, dalam dekonstruksi dilakukan semacam pembongkaran, tetapi
tujuan akhir
yang hendak dicapai adalah penyusunan kembali kedalam tatanan
dan tataran yang lebih
signifikan, sesuai dengan hakikat obyek, sehingga aspek-aspek
yang dianalisis dapat
dimanfaatkan semaksimal mungkin. Melalui analisis
strukturalisme, tokoh-tokoh yang
-
18
memperoleh perhatian adalah tokoh utama. Sebaliknya, melalui
analisis postrukturalisme,
setiap tokoh adalah tokoh utama dalam peristiwanya
masing-masing. Dekonstruksi dalam
hubungan ini berarti sebagai usaha untuk memberikan arti pada
kelompok yang lemah, yang
selama ini kurang memperoleh pengertian, bahkan diabaikan sama
sekali. Tujuan
dekonstruksi tetap konstruksi, dengan sendirinya dalam bentuk
yang berbeda, konstruksi yang
seimbang sekaligus dinamis, bukan konstruksi yang statis
sebagaimana yang dimaksudkan
dalam strukturalisme dan pemahaman modernisme pada umumnya.
Dengan demikian
Kristeva (1980: 36-37) menjelaskan bahwa dekonstruksi merupakan
gabungan antara hakikat
destruktif dan konstruktif.
Derrida dalam Piliang (2003: 125-126), lebih memusatkan
pemikiran filsafatnya pada
makna atau lebih tepatnya kemustahilan dari sebuah teks. Derrida
mengembankan sebuah
lembaran baru filsafat, dengan
2.3.2 Teori Estetika
Estetika Clive Bell dalam Gie (1976 : 74) segala seni
penglihatan dan musik sepanjang
masa mempunyai significant form (bentuk penting atau bentuk yang
bermakna) sehingga seni
tersebut dihargai orang. Significant form adalah bentuk dari
karya seni yang menimbulkan
tanggapan berupa perasaan estetis dalam diri seseorang. Jadi
significant form adalah mutlak
bersifat pencapaian penikmatan estetis. Becker dalam Noel (2000:
38) menjelaskan estetika
harus mampu memadukan unsur-unsur seni dan logika, dan
berproduksi melalui bahasa rupa,
serta memiliki kepekaan indrawi melalui pengalaman
bereksplorasi, berekspresi dan berkreasi
sesuai kebutuhan masyarakat. Pelaku estetika harus mampu
berkreasi dalam bahasa rupa
berdasarkan inspirasi yang bersumber pada alam dan lingkungan
dalam mengolah medium
seni. Estetika adalah ilmu yang mempelajari tentang segala
sesuatu yang berkaitan dengan
keindahan serta semua aspek dari apa yang disebut keindahan.
Dengan demikian kesenian
merupakan suatu wadah yang mengandung unsur-unsur keindahan.
Keindahan dari karya
-
19
buatan manusia dapat memberikan rasa kesenangan dan kepuasan
melalui beberapa unsur
mendasar dalam estetika yaitu wujud atau rupa, bobot atau isi
dan penampilan (Djelantik,
2004: 15).
Piliang (2003: 185-186) mengemukakan bahwa ada semacam paradoks
dalam setiap
upaya pendefinisian estetika posmodernisme. Tampaknya, diskursus
posmodernisme adalah
diskursus yang menghindarkan diri dari definisi, yang menjauhkan
diri dari pembicaraan
tentang kebenaran diri sendiri, yang melakukan parodi terhadap
dirinya sendiri. Akan tetapi,
terlepas dari paradoks atau kontradiksi filosofis ini, ada
pertanyaan khusus tentang estetika
yang diharapkan dapat dijawab, yaitu apakah mungkin menyusun dan
mengembangkan
konsep-konsep posmodernisme yang khusus tentang estetika, di
tengah hiruk-pikuk tuduhan
akan miskinnya kriteria, samar-samarnya nilai kebenaran,
moralitas, rasionalitas, dan spiritual
dalam kebudayaan modern?. Apakah mungkin mengembangkan
konsep-konsep estetika dari
kebudayaan modern, yang oleh beberapa kritikus dituduh sebagai
kebudayaan antiestetika
(Foster)? Apakah mungkin menyusun idiom-idiom estetik dari
karya-karya seni posmodern
seperti Memphis, yang para konseptornya secara ironis memberi
label pada gerakan mereka
sebagai gerakan menentang estetika? Model kajian akademis
tentang estetika apakah yang
dapat dikembangkan dari kebudayaan posmodern yang sering dituduh
sebagai kebudayaan
yang tidak bertanggung jawab (irresponsible), yang didalamnya
apapun boleh- anything goes!
Atau, model pengalaman dan makna-makna estetik apakah yang dapat
ditafsirkan dari karya-
karya seni posmodern yang sering dikatakan bersifat
transparan-yang anti-interpretasi
(Foucault, Baudrilard). Perbicangan mengenai estetika posmodern
sebagaimana kondisi
posmodern itu sendiri memang penuh dengan pertanyaan-pertanyaan
tak berujung; penuh
dengan jalan berliku, penuh enigma.
Meskipun demikian, yang tidak dapat dibantah lagi dari diskursus
posmodern, adalah
bahwa pengetahuan dan teori-teori yang melandasi diskursus
posmodern lebih berkaitan
dengan upaya menerangkan mata rantai yang tidak dapat dipisahkan
antara fenomena
-
20
posmodernisme, konsumerisme, dan obyek-obyek estetik (atau
antiestetik) di dalam
masyarakat konsumerisme. Oleh sebab itu di dalam era posmodern
tidak dapat dipisahkan
dari keterkaitannya dengan konsumerisme itu sendiri, serta
pengetahuan yang melandasinya
dan kekuasaan yang beroprasi di baliknya. Keanekaragaman prinsip
atau idiom-idiom estetik
kebudayaan yang mengelilinginya, dari kegalauan epistemologis
yang mewarnai produksi dan
reproduksi obyek-obyek estetiknya. Dalam hal ini, dapat
dikemukakan argumen, bahwa di
tengah-tengah ekstasi (Barthes), diam (Hasan, Sontag),
transparansi (Foucault), imanensi
(Baudrillard), indeterminansi (Rotry), dan skizofrenik (Deleuze
& Guattari) yang mewarnai
diskursus posmodern, ada katagori-katagori kebudayaan,
idiom-idiom estetik yang dapat
diambil, dikembangkan, diperluas, diperdalam dan diterapkan
dalam praktik-praktik
kebudayaan yang lebih luas, khususnya seni. Tujuan dari
penggalian idiom-idiom dan bahasa
estetik ini, bukanlah mencari terminal terakhir atau tapal batas
terluar dari diskursus estetika
posmodernisme terminal atau tapal batas, dimana bahasa estetik
posmodern tidak punya
gerak lebih jauh lagi, akan tetapi hanya untuk pembuka wawasan,
bagi penjelajah idiom-
idiom yang lebih kaya.
Teori estetika ini digunakan sebagai landasan dalam mengkaji
bentuk dan struktur seni
patung, melelui perpaduan aspek ide dan penerapan elemen-elemen
seni rupa, sejauh mana
elemen-elemen estetis ini mampu mewujudkan suatu gaya yang khas
yaitu gaya naturalis
dekoratif ekspresif pada patung Satria Gatotkaca di persimpangan
Jalan Ngurah Rai Tuban.
2.3.3 Teori Resepsi
Kutha Ratna menyebutkan, secara umum teori resepsi diartikan
sebagai penerimaan,
penyambutan pemirsa, tanggapan, reaksi, dan sikap pembaca atau
penikmat memegang
peranan penting, cara pemberian sesuatu yang bermakna terhadap
karya seni, sehingga dapat
memberikan respon terhadapnya (2005: 208). Secara historis teori
resepsi sudah
diperkenalkan tahun 1976 oleh H. Robert Jauss, yang pada
dasarnya mengungkapkan resepsi
-
21
deakronik yang lebih menarik dan memberikan pemahaman yang
signifikan, khususnya
dalam kaitannya dengan studi kultural; pertama adalah perubahan
pandangan terhadap karya
sebagai akibat perubahan horison harapan, paradigma, dan sudut
pandang. Kedua, pergeseran
penilaian ini merupakan tolok ukur untuk mengetahui seberapa
jauh masyarakat telah
berubah. Dalam proses perubahan inilah dapat diketrahui tokoh
dan kekuatan yang berdiri
dibelakangnya.
2. 3.4 Teori Kreativitas
Monrou Beardsley, mengemukakan bahwa sejak awal para seniman
telah
mempertahankan tentang sumber tenaga yang mendorong terciptanya
benda-benda nyata dari
sesuatu yang abstrak. Pertama, karena adanya dorongan
kemanusiaan biasa; yaitu hasrat untuk
mencapai kemasyuran, uang digandrungi, kekuasaan dan lain
sebagainya. Dorongan ini
sebenarnya berlaku bagi setiap orang, tetapi seniman mempunyai
karakteristik sendiri yang
perlu kajian lebih luas, dan seniman baru meniti karir dengan
seniman kawakan serta latar
belakang sosial budaya, ekonomi, dan pendidikan sangat
menentukan motifasi seseorang
untuk melakukan kegiatan. Kedua, dorongan yang bersifat rohani;
yaitu kebutuhan-kebutuhan
yang dirasakan oleh rohaninya secara mendalam, bahkan mungkin
tidak disadarinya.
2.3.5 Teori Tindakan Komunikatif
Secara umum modernisasi dikenal sebagai proses berkembang dan
menyebarnya
rasionalitas manusia Barat ke segenap segi kehidupan dan tingkah
laku sosial. Max Weber
menyebut proses tersebut sebagai rasionalisasi
(rationalizierung). Ini berarti bahwa apa pun
yang ada dan terjadi di dunia ini selalu didekati dan diukur
dengan kreteria teknik. Manusia
selalu percaya dan optimistik terhadap rasionya. Rasio menjadi
dewa, mitos, dan ideologi
baru. Rasio mengatasi semua pengalaman yang bersifat khusus dan
mengasilkan kebenaran-
kebenaran mutlak, universal, dan tidak dibatasi oleh ruang dan
waktu. Namun demikian,
-
22
Alhumany (1994: 98) menulis, modernisme yang ditandai oleh
kepercayaan penuh pada
keunggulan sains, teknologi, dan pola hidup sekular, ternyata
tidak cukup kokoh untuk
menopang era industrialisasi yang dikampanyekan dapat membawa
kesejahteraan dalam
kehidupan masyarakat. Jurgen Habermas melihat kapitalisme modern
sebagai suatu sistem
sosial jahat sebab sistem ini lebih menitikberatkan pada
dominasi teknologi dan nalar
instrumental dari pada segi-segi manusiawi.
Di samping itu, ia juga melihat kapitalisme modern mendominasi
negara untuk
kepentingan ekonomi dan meningkatkan bidang kehidupan sosial
lainnya (Pelly dan Menanti,
1994: 160). Ia mengeritik Marx yang menganggap mekanisme yang
membawa dari satu tahap
perkembangan sosial ke tahap berikutnya adalah faktor ekonomi,
bukan faktor budaya.
Habermas yang mengajukan pencerahan melalui rasio komunikatif
dalam teore kritisnya tidak
dapat dikatakan antimodernitas. Ia mengkritik modernitas sejauh
modernitas tersebut
diarahkan oleh sistem kapitalisme yang cacat. Dengan
mengutamakan segi-segi instrumental
dan manipulatif yang terwujud dalam sistem ekonomi dan
administrasi birokratis, modernitas
kapitalis menindas segi-segi hakiki masyarakat yang pada
dasarnya bersifat komunikatif.
Tidak hanya mengkritik rasionalisasi masyarakat, teknokratisme,
dan depolitisasi
massa, Habermas juga berbicara tentang demokrasi radikal dan
krisis legitimasi serta
kapitalisme. Menurutnya, cacat-cacat modernitas harus diatasi
dengan pencerahan lebih lanjut
dalam arti rasio komunokatif yang kritis terhadap rasionalitas
yang menyembunyikan
kekuasaan. Habermas memang tidak meninggalkan modernitas dan
proyek-proyek
sejarahnya.
Ada dua tugas tindakan komunikatif yang ditempuh untuk
mengarahkan
perkembangan politik, ilmu pengetahuan, masyarakat, kebudayaan,
menuju sebuah cita-cita
universal yang melandasi segala praksis sosial yang rasional,
yaitu masyarakat yang
komunikatif. Mengenai dua tugas tersebut, Habermas (1984: 375)
berpendapat sebagai
berikut:
-
23
Teori tindakan komunikatif (teori kritis) mengambil sikap kritis
baik terhadap ilmu-
ilmu sosial dewasa ini maupun kenyataan sosial yang
dilukiskannya. Ia kritis
terhadap masyarakat-masyarakat maju sejauh mereka tidak
sepenuhnya
memanfaatkan kemampuan belajar kebudayaan yang tersedia bagi
mereka itu,
melainkan membenamkan diri ke dalam sebuah pertumbuhan
kompleksitas yang
tidak terkendali. Namun, ia juga kritis terhadap
pendekatan-pendekatan ilmiah yang
tidak mampu menjelaskan paradoks-paradoks rasionalisasi
kemasyarakatan karena
pendekatan-pendekatan itu membuat sistem-sistem sosial yang
kompleks sebagai
objek mereka hanya dari salah satu sudut pandang abstrak, tanpa
memperhitungkan
asal-usul historis bidang objek mereka (dalam arti sosilogi
reflektif)
Komunikasi adalah titik tolak fundamental Habermas yang erat
hubungannya dengan
usaha mengatasi kemacetan teori kritis para pendahulunya.
Perkembangan filsafat sosial sejak
zaman Marx di abad ke -19 sudah disibukkan dengan usaha
mempertautkan teori dan praksis.
Menurut Hardiman, praksis adalah konsep sentral dalam tradisi
filsafat kritis. Praksis
bukanlah tingkah laku buta atas naluri belaka melainkan tindakan
dasar manusia sebagai
makhluk sosial. Praksis diterangi oleh kesadaran rasional (1993:
xix-xx). Habermas sadar
bahwa Hegel yang menjadi Bapak seluruh tradisi ilmu-ilmu sosial
kritis memahami praksis
bukan hanya sebagai kerja (Arbeit), melainkan juga sebagai
komunikasi
(kommunikation). Para pendahulu Habermas memiliki kelemahan
mendasar karena hanya
mampu mengandaikan praksis sebagai kerja (tindakan rasional
bertujuan) di samping
hanya mengandaikan rasionalitas sebagai penaklukan, kekuasaan
(rasio yang berpusat pada
subjek). Habermas berpegang teguh bahwa kritik hanya bisa maju
dengan landasan rasio
komunikatif yang dimengerti sebagai praksis komunikasi atau
tindakan komunikatif. Ia
mengubah paradigma kerja dalam teori kritis ke paradigma
komunikasi. Dasarnya adalah
distingsi tentang praksis.
Kerja secara mendasar dibedakan dari interaksi. Mengenai kerja
yang disebutnya
tindakan rasional bertujuan, Habermas (1990: 59-60)
menyatakan:
-
24
Dengan kerja atau tindakan rasional bertujuan saya memahami
tindakan instrumental
atau pemilihan rasional atau gabungan keduanya. Tindakan
instrumental ditentukan
oleh aturan-aturan teknis yang berdasarkan pengetahuan empiris.
Di dalam setiap hal,
aturan-aturan itu menyatakan prediksi-prediksi bersyarat tentang
peristiwa-peristiwa
fisis atau sosial yang dapat diamati. Prediksi-prediksi ini
dapat membuktikan tepat
atau keliru. Kelakuan pemilihan rasional ditentukan oleh
strategi-strategi yang
didasarkan atas pengetahuan analitis. Strategi-strategi ini
menyatakan tak langsung
deduksi-deduksi dari aturan-aturan preferensi (sistem-sistem
nilai) dan prosedur-
prosedur pengambilan keputusan; proposisi-proposisi ini baik
dideduksikan secara
tepat atau keliru. Tindakan rasional-bertujuan menentukan
tujuan-tujuan di bawah
kondisi-kondisi yang telah ada. Tetapi sementara tindakan
instrumental mengatur
sarana-sarana yang cocok atau tidak cocok menurut kriteria
penguasaan efektif atas
kenyataan, tindakan strategis tergantung hanya pada evaluasi
yang tepat atas
pemilihan-pemilihan alternatif yang mungkin, yang dihasilkan
dari kalkulasi yang
ditambahkan oleh nilai-nilai dan norma-norma.
Dalam pandangan Habermas, rasionalisasi masyarakat Barat
berjalan timpang karena
terlalu menitik beratkan rasionalisasi dalam matra subsistem
tindakan rasionalitas-bertujuan,
yakni rekonstruksi sistem-sistem objektif, seperti birokrasi
negara dan sistem tekno-ekonomi
kapitalis dengan maksud penguasan alam dan penangan
proses-proses sosial tertentu. Sistem-
sistem ini berlangsung menurut logika praksis kerja sosial, dan
mereka yang terlibat di
dalamnya melakukan dua macam tindakan kerja yang disebutnya
tindakan instrumental,
yakni pengolahan alam dan tindakan strategis, yakni pencapaian
target objektif dalam
interaksi sosial. Oleh Weber praksis ini didasari oleh
rasionalitas yang disebut
Zweckrationalitaet (Hardiman, 1993).
Nalar instrumental adalah suatu logika penilaian dan cara
memandang dunia.
Instrumental mengandung dua demensi, yaitu suatu cara memandang
dunia dan suatu cara
melihat pengetahuan teoritis. Nalar instrumental berkepedulian
dengan tujuan-tujuan praktis
yang memisahkan fakta dan nilai. Nalar instrumental membahas
proses/cara orang melakukan
sesuatu, bukan pada apa yang dilakukannya. Ilmu pengetahuan
dipandang sebagai instrumen,
bukan tujuan, untuk memperoleh hasil-hasil yang belum diketahui
sebelumnya. Ilmu
-
25
pengetahuan tidak mempersoalkan untuk apa digunakan hasil-hasil
tersebut. Ia hanya
dipandang sebagai alat untuk mencapai tujuan secara efisien
(Pelly dan Menanti, 1994: 158).
Mengenai komunikasi yang disamakan dengan interaksi, Habermas
(1990: 60-61)
menjelaskan:
Denganinteraksi, di lain pihak, saya maksudkan tindakan
komunikatif, interaksi
simbolis. Tindakan komunikatif itu ditentukan oleh norma-norma
konsensual yang
mengikat, yang menentukan harapan-harapan timbal-balik mengenai
tingkah-laku dan
yang harus dimengerti dan diketahui sekurang-kurangnya oleh dua
subjek yang
bertindak. Norma-norma sosial yang diberlakukan lewat
sangsi-sangsi. Makna dari
norma-norma itu diobjektifkan dalam komunikasi lewat bahasa
sehari-hari. Sementara
kesahihan aturan-aturan teknis dan strategi-strategi tergantung
pada kesahihan
proposisi-proposisi yang secara analitis tepat dan empiris
benar, kesahihan norma-
norma sosial didasarkan hanya dalam intersubjektivitas saling
pemahaman maksud-
maksud dan diamankan oleh pengetahuan umum mengenai
kewajiban-kewajiban.
Meskipun memiliki sejumlah dampak positif yang luas , industri
(modern) mendapat
banyak tantangan. Fromm (1996: 6) berpendapat, industri
menghasilkan masyarakat
teknologis yang ter-dehumanisasi. Capra (1997: 17) menunjukkan,
kemajuan manusia
menimbulkan berbagai krisis dalam masyarakat sehingga terdapat
transisi yang terelakkan
dan, untuk itu, dibutuhkan suatu paradigma baru. Menurut
Featherstone (1988: 195),
kemajuan tanpa batas industri apa pun menganjurkan pergeseran
dan keterputusan zaman dari
kemodernan dan melibatkan kemunculan totalitas sosial baru
dengan berbagai prinsip
pengorganisasian yang bisa dibedakan sendiri, seperti yang
terdapat pada karya-karya Jean
Baudrillard, Francois Lyotard. Baudrillaed dan Lyotard
mengandaikan adanya suatu gerak
maju menuju masa post-industri.
Post-industri dapat dikatakan kata lain dari post-kapitalisme.
Dalam hal ini, post-
kapitalisme adalah kapitalisme yang di dalamnya melekat
humanisme. Menurut Murchland
(1992: 93-100), kapitalisme bukan saja suatu humanisme yang
empiris melainkan juga
-
26
integral, yang didasarkan atas sepuluh asas, yakni (1)
keterasingan, (2) kebebasan, (3)
rasionalitas, (4) naturalisme, (5) moralitas, (6) masyarakat,
(7) tradisi, (8) agama, (9)
kreativitas, (10) subjektivitas. Dalam unkapan De Vos (1995:
116), yang harus dibangun
adalah compassionate capitalisme (kapitalisme dengan kepedulian
sosial), bukan passionate
capitalism (kapitalisme hawa nafsu). Banyak sekali perdebatan
mengenai sejauh mana
modernisme abad kesembilan belas yang harus dipakai (beberapa
akhli cenderung kembali
pada golongan seniman pendahulu tahun 1830-an). Ciri-ciri dasar
modernisme dapat
diringkas sebagai: suatu kesadaran diri dan refleksifitas
estetis; penolakan struktur naratif
demi kepentingan simultanitas dan pemilihan gambar yang simultan
(montage); suatu
penyelidikan tentang hakikat realitas yang bersifat
paradoksikal, ambigu, dan terbuka tanpa
kepastian; dan penolakan terhadap gagasan tentang kepribadian
yang terintegrasi demi
penekanan dan subjek yang mengalami de-strukturisasi dan
de-humanisasi (Lunn, 1985: 34).
Salah satu permasalah yang dihadapi ketika mencoba untuk
memahami
postmodernisme dalam bidang seni adalah, kebanyakan ciri-ciri
ini sesuai dengan berbagai
definisi tentang postmodernisme. Permasalahan yang berkaitan
dengan istilah itu,
sebagaimana permasalahan istilah-istilah yang terkait yang kita
telah bahas, berkisar pada
masalah kapan sebuah istilah yang didefinisikan secara
berlawanan dengan dan
menghidupkan sebuah istilah yang telah mapan mulai memberikan
arti sesuatu yang secara
substansial berbeda (Featherstone, 2008: 16). Teori tindakan
komunikatif dipergunakan dalam
penelitian ini untuk mengkaji permasalahan ketiga apa makna di
bangunnya patung Satria
Gatotkaca di persimpangan Jalan Ngurah Rai Tuban.
-
27
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Metode Penelitian.
Penenlitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan
budaya, dengan
menggunakan obejek sebagai sampel yaitu Patung Satria Gatotkaca
di persimpangan Jl.
Ngurah Rai Tuban, Kelurahan Kuta, Kecamatan Kuta, Kabupaten
Badung. Dengan dasar
pertimbangan :
1. Patung Satria Gatotkaca adalah dibuat dari sebuah konsep
nilai agama Hindu yang
sarat dengan nilai estetika, filosofis Hinduisme serta memiliki
bidang telaah dalam
tataran ideologi, bentuk, fungsi dan makna.
2. Patung Satria Gatotkaca adalah hasil karya seniman patung
bertarap internasional, dan
hasil karya yang merupakan kolaborasi seni patung tradisional
Bali dengan seni
patung modern.
3. Patung Satria Gatotkaca muncul di tengah-tengah masyarakat
sekitarnya yang diterpa
arus budaya asing (modern), dan terkait dengan keberadaan
Airport Nurah Rai Tuban.
3.2. Teknik Pengumpulan Data
3.2.1 Wawancara
Teknik wawancara atau teknik interview merupakan cara yang
dipergunakan oleh
seseorang, dengan tujuan tertentu untuk mendapatkan keterangan
atau pendirian secara lisan
dari informan. Wawancara dilakukan dengan cara bercakap-cakap
dan berhadapan muka
dengan informan. Wawancara dalam suatu penelitian bertujuan
untuk mengumpulkan
keterangan tentang kehidupan manusia serta pendiriannya dalam
suatu masyarakat yang
sekaligus merupakan suatu pembantu utama teknik observasi
(Koentjaraningrat, 1981: 126).
Di samping itu, wawancara adalah proses percapakan dengan maksud
untuk
-
28
mengkonstruksi orang, kejadian, organisasi, motivasi, perasaan,
dan sebagainya yang
dilakukan dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang
mengajukan pertanyaan dengan
orang yang diwawancarai/interviewee (Burhan Bungin, 2006: 134).
Dalam kaitannya dengan
patung Satria Gatotkaca, teknik ini digunakan untuk memperoleh
data atau informasi yang
lengkap dari seniman I Wayan Winten mengenai karya seni patung
betonya. Wawancara akan
dilakukan dengan informan kunci, yakni seniman patung beton I
Wayan Winten.
3.2.2 Observasi
Pengumpulan data dengan observasi dilakukan melalui pengamatan
langsung terhadap
objek yang diteliti. Hal ini dilakukan untuk memperoleh data
yang lengkap dan akurat
berkenaan dengan keadaan yang sesungguhnya di lapangan. Bungin,
( 2001 :58 ) menjelaskan
metode observasi digunakan dalam mengamati yakni, apa yang
mereka lakukan, benda-benda
apa saja yang mereka buat, yang digunakan dalam kehidupan
berkesenian. Observasi
dilakukan untuk mendapatkan data tentang kreativitas seni yang
dilakukan pematung I Wayan
Winten di studionya, terutama mengenai (1) bentuk patung, (2)
Prosespembuatan patung, dan
(3) makna patung betonnya. Untuk hal-hal yang tidak bisa dicatat
tentang objek penelitian,
akan dilakukan pemotretan dan perekaman secara audio visual
dengan menggunakan
seperangkat alat pemotretan seperti kamera atau handycam, serta
alat rekam seperti tape
recorder.
3.3. Instrumen penelitian
Instrumen penelitian adalah alat bantu yang dipakai mengumpulkan
data sesuai dengan
jenis data yang akan diambil. Pada penelitian ini instrumen yang
digunakan adalah :
a. Alat pencatat untuk pengumpulan data dengan cara observasi
dan wawancara. Alat
pencatat untuk teknik wawancara dilengkapi dengan daftar
pertanyaan yang terkait
-
29
dengan dengan variabel dan dilengkapi dengan alat pemotretan
untuk merekam
subyek penelitian dalam bentuk foto.
b. Alat pencatat untuk teknik interviu bebas disertai pedoman
garis besarnya saja
tentang hal-hal yang akan ditanyakan/diperbincangkan dengan
responsden.
3.4. Manfaat Penelitian
Beberapa manfaat yang dapat dijelaskan dari hasil penelitian
ini, antara lain :
a. Sebagai sumber data yang dapat memberikan informasi tentang
karya seni patung Satria
Gatotkaca di Persimpangan Jaln Ngurah Rai Tuban, Kelurahan Kuta,
Kecamatan Kuta,
Kabupaten Badung.
b. Sebagai sumbangan pemikiran dalam bentuk tulisan keberbagai
pihak yang kompeten,
terutama sebagai sarana pembelajaran bagi anak muda Bali yang
akan melanjutkan budaya
pembuatan seni patung monumental sebagai penghias taman juga
mengangkat nilai
filosofis budaya Bali dan patung yang menampilkan sosok
pahlawan. Juga sumber belajar
bagi mahasiswa dan pelajar dalam pembuatan seni patung
monumental tersebut. Karena
belum banyak tulisan yang menyajikan khususnya seni patung
monumental di Bali.
-
30
BAB IV
PROSES DEKONSTRUKSI
4.1 Pembuatan Gambar Sketsa
Dalam pembuatan gambar sketsa berorientasi pada tema dan narasi
yang disajikan,
sehingga mewakili karakter tokoh yang akan diwujudkan dalam
bentuk patung kelompok.
Proses penggambaran tersebut telah mempertimbangkan bentuk dan
wujud, gerak, proporsi,
komposisi, dan fungsi dengan skala 1: 50. Gambar sketsa dengan
skal sangat diperlukan,
untuk menghindari kesalahan dalam penentuan proporsi, komposisi,
dan penerapan elemen-
elemen decoratifnya, sehingga terwujud karya yang harmonis
antara bagian-bagian secara
keseluruhan.
Figur-figur patung yang diwujudkan pada monumen Satria
Gatotkaca; (1) Satria
Gatotkaca, tokoh utama dari pihak Pandawa sebagai simbol satria
sejati, dalam membela dan
menegakkan kebenaran.,(2) Adipati Karna, tokoh utama kedua yang
mewakili pihak Korawa,
sebagai simbol kesetiaan (satia wecana), setia akan janji
walaupun dalam hatinya yang paling
dalam sebenarnya ada di pihak pandawa, (3) Prabu Salya, adalah
tokoh yang sangat disegani
dipihak Korawa untuk mengendalikan jalanya taktik peperangan
dipercaya sebagai
pengendali kereta, (4) Kereta perang yang dipergunakan Adipati
Karna bernama kereta
Jaladra, (5) Enam ekor kuda yang diwujudkan adalah sebagai
simbol sad ripu, disini
menggambarkan bahwa dari pihak korawa tidak mampu mengendalikan
sad ripunya (hawa
naksu) selalu ingin menguasai, sehingga terjadilah perang antara
Korawa dengan Pandawa,
(6) Senjata pamungkas Adipati Karna yang bernama Kunta
Wijayandanu sebenarnya adalah
simbol kemenangan, karena siapapun yang menjadi sasaran senjata
tersebut pasti gugur,
denga satu syarat hanya dapat dipergunakan sekali saja.
-
31
4.2 Pembuatan Maket
Dalam proses perwujudan karya patung dalam ukuran besar apalagi
karya patung
beton bertulang, selain gambar sangat penting diperlukan maket
(miniatur) untuk
memperlancar proses pekerjaan. Setelah gambar yang pasti
ditetapkan, gambar tersebut
diaplikasikan kedalam patung kecil (maket/miniatur). Pembuatan
maket melalui proses
tahapan; satu, membuat kerangka struktur konstruksi dengan besi
dan kawat kasa, sesuai
dengan gambar yang telah ditentukan dalam gambar. Dua, kerangka
besi di cor dan tempel
dengan adonan PC yang telah disiapkan, yang bersipat untuk
memperkokoh kerangka struktur
tesebut, setelah tempelan yang pertama kering baru dapat
dilanjutkan dengan pembentukan
bentuk-bentuk figur yang wujudkan secara global. Tiga, untuk
pinising bentuk-bentuk figur
tersebut disempurnakan dengan adonan semen dicampur dengan mil
dan air secukupnya
untuk mendapatkan kesn yang lebih lembut dan mempermudah
memberikan aksen-aksen
anatomi yang diperlukan. Demikian pula dengan pemberian
elemen-elemen dekoratip yang
bersifat ornamental sehingga maket menjadi lebih indah dan
mendekati kesempurnaan. Empat
setelah maket dalam kondisi kering, maket dapat diberi warna
sesuai dengan konsep gambar
yang telah ditentukan untuk dapa memberikan gambaran yang lebih
oftimal dalam proses
perwujudan patung yang sebenarnya.
4.3 Proses Pembuatan Rangka Patung
Dalam proses pembuatan patung beton bertulang seperti Patung
Satria Gatotkaca di
Persimpangan jalan Ngurah Rai Tuban, mempergunakan dua teknik
perangkaan yaitu; satu
dengan perangkaan langsung dan kedua dengan perangkaan ganda.
satu, dengan perangkaan
langsung maksudnya adalah, bentuk kerang dibuat langsung sesuai
dengan bentuk figur yang
akan patungkan sesuai dengan proporsi dan komposisi gerak yang
ditentukan, dengan
-
32
memperhitungkan teknik kerja dengan teknik tempel pengecoran
pada bagian-bagian struktur
konstruksi yang ditentukan. Kedua, dengan perangkaan ganda
maksudnya adalah struktur
kerangka utama adalah untuk struktur kerangka yang kedua, dengan
demikian adalah
disamping untuk episiensi, juga untuk mempermudah pencarian
bentuk kerangka yang
sebenarnya. Didalam mewujudkan kerangka patung tersebut bisa
menggunakan kawat tali
(kawat beton) atau dapat pula menggunakan teknik las sebagai
pengikat struktur kerangka.
Dalam proses perwujudan kerangka patung tersebut yang paling
penting adalah tetap
memperhatikan proporsi dan komposisi gerak yang telah ditentukan
dalam miniatur tersebut.
Hal tersebut untuk mengantisipasi dapat mempermudah proses
pembentukan figur-figur,
pemberian elemen-elemen dekoratif yang ornamentasi sesuai dengan
karakter ketokohannya.
Disamping hal tersebut diatas yang tidak kalah penting dalam
perwujudan kerangka
adalah ketepatan penggunaan ukuran besar kecilnya besi sangat
membantu mempermudah
pengerjaannya, disamping dukungan peralatan lengkap yang harus
dipergunakan. Dalam
tahap akhir struktur kerangka dipasang kawat kasa, kalau
bagian-bagian yang akan di cor
kawat kasanya dipasang di luar struktur, kalau bagian-bagian
yang tidak di cor kawat kasanya
dipasang di bagian dalam struktur gunanya untuk mempermudah
penempelan adonan
berikutnya. Kesemua proses perwujudan kerangka tersebut selalu
mengacu pada miniatur
yang telah ditetapkan.
4.4 Proses Pengecoran Kerangka Patung
Pengecoran kerangka patung pada struktur yang telah ditentukan
sebelumnya, yaitu
pada bagian-bagian yang berperan sebagai penyangga beban, serta
posisi untuk keseimbangan
patung yang dibuat (untuk kerangka langsung). Sedangkan untuk
kerangka ganda, kerangka
struktur konstruksi utama di cor penuh, pengecoran dengan adonan
beton (3 pasir + 2 koral +
1 semen dengan air seperlunya). Setelah pengecoran selesai hasil
coran tersebut harus di
-
33
keringkan minimal satu minggu, supaya mendapatkan kekuatan
struktur yang maksimal
supaya dalam proses pemebentukan struktur tidak patah.
4.5 Proses Pembentukan Figur
Setelah coran struktur utama kering, pertama yang dilakukan
adalah penutupan
permukaan bidang secara menyeluruh, dengan adonan PC (1 semen +
3 Pasir dengan air
seperlunya). Setelah tempelan yang pertama secara menyeluruh
setengan kering permukaan
tempelan tersebut dibuat kasar untuk mempermudah penempelan
adonan berikutnya.
Kemudian dilakukan pencarian pembentukan secara global secara
proposional, serta
dilanjutkan dengan penegasan anatomi secara global, sesuai
dengan gerak patung, komposisi,
dan proporsi serta karakter ketokohan yang telah ditentukan
dalam miniatur.
4.6 Pinising Bentuk dan Detail Hiasan
Penyelesaian bentuk yang sangat praktis dapat menggunakan adonan
semen dengan
mil dengan air secukupnya dengan perbandingan satu berbanding
tiga (1 semen + 3 mil)
untuk mendapatkan kekuatan bahan dari terpaan hujan dan teriknya
sinar matahari. Dalam
proses pinising bentuk sangat diperlukan ketelitian dan
kesabaran karena dalam proses
membentuk sangat dipengaruhi oleh sifat bahan. Demikian pula
dalam penyelesaian
ornamenya atau detail hiasannya sangat diperluka ketelatenan
dalam memproses tatahannya
karena ditentukan oleh sifat bahan, jangan sampai tatahannya
menjadi terlalu kering sehingga
menyelesaikannya menjadi sulit. Dengan demikian perhitungan yang
matang sangat perlu
untuk membuat tatahan untuk tujuan praktis dan ekonomis.
Kemudian dalam
mempertahankan hasil karya patung dari gangguan cuaca karya
patung tersebut dapat dilapisi
dengan menggunakan sika, atau merek pelapis lain.
4.7 Proses Pewarnaan
-
34
Proses pewarnaan pada patung Satria Gatotkaca di Persimpangan
Jalan Ngurah Rai
Tuban, adalah teknik pewarnaan secara langsung karena
menggunakan warna mil dan warna
semen putih sehingga dengan demikian warna secara langsung
didapat dari adonan mil
dengan semen putih tersebut. Dengan demikian warna menjadi lebih
awet karena menyatu
dengan adonan atau warna adonan pinising sekaligus menjadi warna
patung itu sendiri.
4.8 Alat-alat kerja yang diperlukan
Dari pembuatan kerangka pasilitas alat-alat yang sangat
diperlukan antara lain; tang,
gunting pemotong kawat kasa, palu besi, pliser, kemudian dalam
proses pengecoran dan
pembentukan serta pinising peralatan yang diperlukan seperti;
cetok berbagai ukuran, palet,
ceper untuk tempat adonannya, seperangkat pahat dengan
pengotoknya (palu) untuk
memberikan hiasan onamentalnya.
-
35
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Seperti apa yang telah diuraiakan tersebut diatas dapat
disimpulkan bahwa, monumen
patung Satria Gatotkaca di persimpangan Jalan Ngurah Rai Tuban
adalah benda seni budaya
yang merupakan bagian dari obyek pariwisata budaya, yang sangat
layak untuk dilestarikan
sesuai dengan kaidah-kaidah estetika, resepsi seni, dan
fungsional strukturalnya sehingga
menimbulkan kesan monumental. Termasuk sebagai aikon pariwisata
budayanya Bali karena
tempatnya pada pintu masuk kedatangan para wisatawan yang datang
dari Airport Ngurah Rai
Tuban
Estetika Clive Bell dalam Gie (1976: 74) segala seni penglihatan
dan musik sepanjang
masa mempunyai significant form (bentuk penting atau bentuk
bermakna) sehingga seni
tersebut dihargai orang. Significant form adalah bentuk dari
karya seni yang menimbulkan
tanggapan berupa perasaan estetis dalam diri seseorang. Jadi
dengan demikian significant
form adalah mutlak pencapaian penikmatan estetis, dengan
demikian patung satria
Gatotkaca adalah benar-benar significant form , dan sangat
representatif.
Memenihi kaidah resepsi seni adalah sebagai penerimaan atau
penyambutan
pemirsa, cara pemberian sesuatu yang bermakana terhadap karya
seni, sehingga dapat
memberikan respon terhadapnya, dapat memberikan signifikan form,
dapat memberikan
perubahan pandangan terhadap karya sebagai akibat perubahan
horison harapan, paradigma,
dan sudut pandang. Kemudian pergeseran penilaian merupakan tolok
ukur untuk mengetahui
seberapajauh masyarakat telah berubah. Dalam proses perubahan
inilah dapat diketahui tokoh
dan kekuatan berdiri dibelakangnya, demikian halnya dengan
patung Satria Gatotkaca yang
-
36
pada awalnya merupakan elemen eksterior, dan simbol lingkungan
(Bandara Ngurah Rai),
juga penyambutan wisatawan yang datang ke Bali melalui Bandara
Ngurah Rai.
Fungsional Struktural, seperti yang dikemukakan Parson (1988:
11) dapat dicermati
beberapa hal sebagai berikut; Satu, masyarakat harus dipandang
sebagai suatu sistem dari
pada bagian yang saling berhubungan satu sama lain, kedua,
karena itu hubungan saling
mempengaruhi diantara bagian-bagian tersebut adalah bersifat
ganda dan timbal balik, tiga,
mestipiun integrasi sosial tidak pernah tercapai dengan
sempurna, namun secara fundamental
bergerak kearah equilibrium yang bersifat dinamis, empat,
walaupun disfungsi, ketegangan
dan penyimpangan senan tiasa terjadi, lama-kelamaan akan
teratasi secara sendirinya melalui
penyelesaian dan proses institusionalisasi, lima, perubahan
didalam sistem sosial pada
umumnya terjadi secara gradual, melalui penyelesaian yang tidak
revolusioner.
Dengan demikian monumen patung Satria Gatotkaca adalah bukti
nyata, bahwa
pariwisata budaya Bali dalam seni rupa khususnya seni patung,
mampu memposisikan diri
dalam menghadapi tantangan pariwisata bersifat emansifatoris
terhadap budaya luar tanpa
tercerabut dari budaya lokal. Disamping karena menyangkut
manusia dan masyarakat,
manusia dengan berbagai aspeknya yang merupakan aspek studi
sosiologi, analisis sosiologi
terhadap pariwisata sangat penting dilakukan dengan mengingat
berbagai alasan berikut;
1. Pariwisata telah menjadi aktivitas sosial ekonomi dominan
dewasa ini, bahkan
disebut-sebut sebagai industri terbesar sejak akhir abad 20
(WTO, 2000) yang juga
menyangkut pergerakan barang, jasa dan manusia dalam skala
terbesar yang pernah
terjadi dalam sejarah manusia. Sejak beberapa dasawarsa
terakhir, pariwisata memang
telah terbukti menjadi industri terbesar diberbagai belahan
dunia.
2. Pariwisata bukanlah sesuatu kegiatan yang beroprasi diruang
hampa. Pariwisata
sangat terkait dengan masalah sosial, politik, ekonomi,
keamanan, dan seterusnya
termasuk berbagai institusi sosial yang mengaturnya.
-
37
3. Pariwisata bersifat sangat dinamis, sehingga setiap saat
memerlukan analisis atau
kajian yang lebih tajam. Sebagai suatu aktifitas dinamis
pariwisata memerlukan kajian
terus menerus, sehingga pembangunan pariwisata bisa memberikan
manfaat bagi
kehidupan manusia khususnya masyarakat lokal.
4. Pariwisata tidaklah eklusif, dalam arti bahwa pariwisata
bukan saja menyangkut suatu
bangsa tertentu saja, melainkan juga dilakukan oleh hampir semua
ras, etnik, dan
bangsa, sehingga pemahaman aspek-aspek sosial budaya sangat
penting.
5. Pariwisata selalu mempertemukan dua atau lebih kebudayaan
yang berbeda, yang
mempunyai perbedaan norma, nilai, kepercayaan, kebiasaan, dan
sebagainya.
Pertemuan manusia atau masyarakat dengan latar belakang sosial
budaya yang
berbeda akan menghasilkan berbagai proses akulturasi, dominasi,
asimilasi, adopsi,
adaptasi dalam kaitan hubungan antar budaya, yang merupakan
salah satu isu sentral
dalam sosiologi.
4.2 Saran
Keberadaan seni patung, khususnya seni patung beton di Bali
sebagai warisan budaya
telah menunjukkan penungkatan, baik dari segi kualitas maupun
kuantitas produk yang
dihasilkan. Walaupun demikian, masih perlu banyak upaya-upaya
yang harus dilakukan
dalam menjaga kelestarian dan eksistensinya demi keajegan
pariwisata Bali. Dengan
demikian melalui penelitian ini diharapkan muncul
peneliti-peneliti lain untuk melengkapi
dan memberikan pendalaman lebih lanjut, sehingga untuk dimasa
yang akan datang dapat
memberikan sumbangan pemikiran dan manfaat bagi masyarakat umum,
khususnya di jagat
nesi.
-
38
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irwan, 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan,
Pustaka Pelajar Yogyakarta.
Anonim, 1986. Sejarah Bali, Pemerintah Daerah Tingkat satu
Propinsi Bali.
Bahari, Nooryan, 2008. Kritik Seni, Wacana Apreasi dan Kreasi,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar
Barker, Chris, 2005. Cultural Studies: Teori dan Praktik,
terjemahan, Cultural studies: Theory
and Practice, Yogyakarta: PT Bentang Pustaka.
Djelantik, A.A.M. 2004. Estetika Sebuah Pengantar, Bandung:
Masyarakat Seni Pertunjukan
Indonesia.
Driyakara, 1980. Driyakara Tentang Kebudayaan, Yogyakarta:
Penerbit Kanisius.
Ensiklopedia Nasional Indonesia, 1989. Jakarta: PT. Cipta Adi
Pusaka.
Gie, the Liang, 1999. Garis Besar Estetika, Ygyakarta : Super
Sukses.
Hardiman, Budi F.,1993. Menuju Masyarakat Komunikatif; Ilmu,
Masyarakat, Politik &
Posmodernisme menurut Jurgen Habermas; Kanisius Yogyakarta.
Kempers, Bernert, 1977. Monumental Bali, Introoduction to
Balinise archeology Guide to the
Monumen, Den Haag.
Koentjaraningrat, 1994. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan,
Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Umum.
Linus, I Ketut, 1985. Beberapa Patung Dalam Agama Hindu, Sebuah
Pendekatan dari segi
Arkeologi.
Mariyah, Emiliana, 2007. Estetisasi dan Privatisasi Tempat
Ibadah Kawasan Puja Mandala
Nusa Dua Bali, artikel dalam Jurnal Kajian Budaya, Denpasar:
Universitas Udayana.
Morgan, M. 1996. Strategi Inovasi Sumber Daya Manusia, Jakarta:
PT. Alex Media
Koputindo.
Mudana, I Gede, 2003. Dari Filsafat Ilmu ke Bentuk, Fungsi, dan
Makna, dalam Buku
Pemahaman Budaya di Tengah Perubahan. Denpasar: Program S2 dan
S3 Kajian
Budaya Universitas Udayana.
-
39
Singarimbun, Masri., dan Efendi, Sofian. 1989. Metode Penelitian
Survai, Jakarta: LP3 ES.
Soekamto, S. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar Edisi Baru ke
Empat, Jakarta:PT. Raja
Grafindo Persada.
Sudarta, G.M, Seni Lukis Bali Dalam Tiga Generasi, Jakarta:
Gramedia.
Suradi, HP. 1983. Ida Bagus Nyana: Karya dan Pengabdiannya.
Proyek Pengadaan Buku
Pada Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Departemen
P&K, Jakarta.
Sugiharto, B.I. 2006. Seni, Ilmu Pengetahuan Dan Peradaban:
Dalam Sidang Terbuka Senat
Universitas Katolik Parahyangan Pengukuhan Guru Besar Ilmu
Filsafat Bandung, 16
Desember 2006
Informan Wawancara, I Wayan Winten, sebagai seniman patung beton
dan kayu, dari Br.
Yang Loni, Teges Ubud Gianyar.
-
40
Lampiran Foto 1
Keterangan:
Patung Satria Gatotkaca dari sudut pandang belakang, tampak
kegagahan Gatotkaca
sedang mempermainkan Adipati Karna, untuk memancing emosi supaya
melepaskan
senjata Konta Wijayandanu, yang merupakan senjata pamungkas
adipati Karna,
yang hanya bisa dipergunakan sekali saja.
-
41
Lampiran Foto 2
Keterangan:
Tampak dari samping kanan (arah timur), Gatotkaca sedang diatas
kuda dengan
senjata ditangan, berhadapan dengan Adipati Karna diatas kereta
sedang
membentangkan busur , dan menyiapkan anak panah untuk menyerang
Gatotkaca.
-
42
Lampiran Foto 3
Keterangan:
Patung Satria Gatotkaca dari tampak samping kiri (dari arah
barat), tampak gerak kuda
yang sangat dinamis karena terkejut dengan gebrakan Gatotkaca ,
siap tanding dengan
Adipati Karna.
-
43
Lampiran Foto 4
Keterangan:
Tampak dari arah depan (arah selatan), enam ekor kuda kelihatan
gerak yang enerjik,
Gatotkaca diatas kuda berhadapan dengan Adipati Karna. Tampak
pula kusir kereta
Adipati Karna sedang memacu kudanya dengan cemeti ditangan.
-
44
Lampiran Foto 5
-
45
Keterangan:
Presasti Patung Satria Gatotkaca (arah depan /selatan), yang
diresmikan oleh Prof.
Dr.dr Ida Bagus Oka (selaku Gubernur Bali) pada tanggal 21
Oktober 1993
-
LAPORAN PENELITIAN DANA DIPA
INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR
TAHUN 2008
DEKONSTRUKSI SENI PATUNG SATRIA GATOTKACA
DI PERSIMPANGAN JALAN NGURAH RAI TUBAN
Oleh:
Drs. I Ketut Mustika
NIP. 131882106
Dibiayai dari dana Diva ISI Denpasar
Dengan surat perjanjian pelaksanaan penelitian
Nomor, 0230.0/023-34/XX/2008
FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN
INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR
2008
-
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL
.....................................................................
i
LEMBARAN PENGESAHAN
..................................................... ii
KATA PENGANTAR
..................................................................
iii
DAFTAR ISI
.................................................................................
iv
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
.......................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah
..................................................................
5
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI
2.1 Kajian Pustaka
........................................................................
6
2.2 Konsep
...................................................................................
14
2.2.1 Patung
..................................................................................
14
2.2.2 Gaya
....................................................................................
14
2.2.3 Perspektif
............................................................................
14
2.2.4 Bentuk, Fungsi, Makna
....................................................... 16
2.3 Landasan Teori
.......................................................................
17
2.3.1 Teori Dekonstruksi
..............................................................
17
2.3.2 Teori Estetika
.....................................................................
18
2.3.3 Teori Resepsi
.......................................................................
20
2.3.4 Teori
Kreativitas..................................................................
21
2.3.5 Teori Tindakan
Komunikatif............................................... 21
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Metode
Penelitian...................................................................
27
3.2 Teknik Pengumpulan Data
..................................................... 27
3. 2.1 Wawancara
.........................................................................
27
3.2.2 Observasi
.............................................................................
28
-
3.3 Instrumen
Penelitian...............................................................
28
3.4 Manfaat Penelitian
.................................................................
29
BAB IV DEKONSTRUKSI
4.1 Pembuatan Gambar
seketsa.................................................... 30
4.2 Pembuatan Maket
...................................................................
31
4.3 Proses Pembuatan Rangka Patung
......................................... 31
4.4 Proses Pengecoran Kerangka Patung
..................................... 32
4.5 Proses Pembentukan Figur
..................................................... 33
4.6 Finising Bentuk dan Detail Hiasan
........................................ 33
4.7 Proses Pewarnaan
...................................................................
33
4.8 Alat-alat Kerja Yang Diperlukan
........................................... 34
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan
............................................................................
35
4.2 Saran
.......................................................................................
37
DAFTAR PUSTAKA
...................................................................
LAMPIRAN FOTO
......................................................................
-
1
DEKONSTRUKSI SENI PATUNG SATRIA GATO