-
NIRMANA Vol. 5, No. 1, Januari 2003: 48 - 71
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain
Universitas Kristen
Petrahttp://puslit.petra.ac.id/journals/design/
48
DEKONSTRUKSI DALAM DESAIN KOMUNIKASI VISUAL:SEBUAH PENJELAJAHAN
KEMUNGKINAN
Studi Kasus Desain Iklan Rokok A-mild
Freddy H. IstantoDosen Jurusan Desain Komunikasi Visual
Fakultas Seni dan Desain Universitas Kristen Petra
ABSTRAK
Dekonstruksi hadir dengan latar-belakang post-modernisme yang
berdasarkan pemikiranfilsafat bahwa susunan pemikiran yang begitu
terpadu, yang tersusun rapi, kini dipilah-pilahsampai ke
dasar-dasarnya. Kehadiran dekonstruksi dilihat sebagai bagian dari
posmodernismeyang secara epistemologi atau filsafat pengetahuan,
harus menerima suatu kenyataan bahwamanusia tidak boleh terpaku
pada suatu sistim pemikiran yang begitu ketat dan kaku.
Tulisan ini mencoba untuk mencari kemungkinan penerapan
dekonstruksi pada disiplinDesain Komunikasi Visual utamanya dengan
menghadirkan desain iklan rokok A-mild sebagaistudi kasus.
Kata kunci: dekonstruksi, desain komunikasi visual, iklan, iklan
A-mild.
ABSTRACT
Deconstruction, along with its post-modernism background that
rooted in the philosophicalthinking, appears to show that the set
of the integrated and solid thought is now being sorted intoits
basis. The existence of the deconstruction can be seen as a part of
the post-modernism whichepistemologically has to acknowledge the
reality that people should not follow inflexible way
ofthinking.
This writing is trying to seek for the possibility of applying
the deconstruction into theVisual Communication Design through
analyzing A-Mild, a cigarette commercial.
Keywords: Deconstruction, Visual Communication Design,
Advertisement, A-Mild Advertisement.
PENDAHULUAN
Akhir-akhir ini dunia periklanan Indonesia semakin marak saja.
Kehadirannya
tidak hanya di media cetak dan media elektronik saja, tetapi
bahkan meramaikan wajah
kota. Layar televisi semakin sempit ketika iklan berebut inchi
demi inchi, iklan melalui
radio melahap detik demi detik menjelajah ruang angkasa, semarak
iklan di media cetak
demikian gencar berebut kolom demi kolom dan dalam bentuk iklan
outdoor mereka
berebut jengkal demi jengkal tanah perkotaan. Melalui media ini
bahkan merambah dan
-
DEKONSTRUKSI DALAM DESAIN KOMUNIKASI VISUAL: SEBUAH PENJELAJAHAN
KEMUNGKINAN (Freddy H. Istanto)
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain
Universitas Kristen
Petrahttp://puslit.petra.ac.id/journals/design/
49
merasuk kedalam wilayah pedesaan. Insan periklanan semakin
ditantang mencari
alternatif-alternatif baru untuk lebih menjadi yang terbaik.
Para kreatif periklanan di
tuntut untuk mendapatkan solusi-solusi lain desain iklan mereka.
Ribuan produk menanti
untuk dipasarkan, lewat tangan-tangan para kreatif mereka
menanti untuk dipublikasikan.
Para kreatif di bidang periklanan berlomba, bertarung, beradu
untuk berkreasi sebisa
mungkin untuk memenangkan dengan merebut hati masyarakatnya.
Segala kemungkinan bentuk desain iklan diekspresikan dengan
berbagai cara agar
tercapai sasaran yang akan dituju. Iklan tidak muncul tanpa
hambatan, kaidah-kaidah,
norma-norma, peraturan yang berlaku tertulis atau tidak
tertulis, ikut memaksa para
kreator periklanan untuk lebih berkreasi ditengah hiruk-pikuk
persaingan idea dan
gagasan. Adalah iklan rokok yang menjadi bahan perbincangan,
karena ditengah carut-
marut peraturan yang sangat ketat, muncul berbagai bentuk iklan
yang kreatif dan
inovatif. Dengan pembatasan yang sangat ketat, tidak mengurangi
munculnya gebrakan-
gebrakan baru, bahkan melawan pakem-pakem yang ada; namun tetap
menampilkan
kreatifitas luarbiasa.
Akhir-akhir ini muncul iklan-iklan rokok yang menampilkan
gagasan baru yang
mengagumkan. Iklan-iklan yang tampil menunjukan sebuah nuansa
yang berbeda dari
kebanyakan iklan yang ada di Indonesia. Sebuah fenomena baru di
desain periklanan ?.
Biasanya iklan tampil dengan wajah yang bersih, rapi, teratur,
terbaca, terstruktur dengan
norma-norma standar. Kali ini muncul iklan dengan penampilan
lain, hadir dengan tulisan
yang tidak bersih, terkesan asal-asalan, penuh dengan lelehan
cat seolah hasil kerja
serampangan; bahkan muncul ilustrasi semacam kertas terkoyak
dengan bentuk yang
tidak teratur, seolah sebuah robekan kertas dan bagian ini
ditempel dengan menggunakan
staples, seolah sebuah elemen desain yang terlupakan
(ketinggalan). Hurufpun
diekspresikan dengan kesan guratan benda tajam yang tidak jelas
sehingga perlu diulang-
ulang, yang menimbulkan torehan-torehan kasar pada sebuah bidang
cat yang tidak rapi
juga. Pada versi lain, muncul pula kesan pewarnaan yang tidak
bersih, kasar, tidak teratur
dan tidak rajin eksekusinya. Elemen desain yang lain juga hadir,
seperti sebuah pekerjaan
yang tidak rapi, asal-asalan yang tidak seperti iklan-iklan pada
umumnya. Gejala apakah
ini ?. Menarik pula untuk disimak bahwa slogan-slogan yang
dimunculkan menimbulkan
tandatanya, sindiran, kontradiksi, pertentangan, ketidakadilan,
tidak masuk akal, penuh
-
NIRMANA Vol. 5, No. 1, Januari 2003: 48 - 71
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain
Universitas Kristen
Petrahttp://puslit.petra.ac.id/journals/design/
50
dengan plesetan namun disana-sini tampil dengan tingkat humor
yang tinggi. Beberapa
iklan menampilkan kalimat-kalimat seperti, Daripada Curang,
Mending Ganti
Peraturannya, Ringan Sama Dijinjing, Berat Elo Yang Pikul,
Jangan Tunda Besok
Apa Yang Bisa Dikerjakan Lusa, Jadi Tua Itu Pasti, Jadi Dewasa
Itu Pilihan dan
Setiap Gue Dapet Jawabannya, Ada Yang Ganti Pertanyaannya.
Sekalilagi kehadiran
iklan A-mild versi ini mampu menghadirkan pertanyaan, gejala
apakah ini?. Terlihat
adanya sebuah usaha untuk keluar dari tatanan yang baku, muncul
kesan adanya
keinginan untuk keluar dari tatanan formal, dihadirkan rancangan
yang acak-acakan,
memunculkan estetika yang tidak lazim, statement-statement yang
menimbulkan
kontradiksi-kontradiksi. Ada ketidakaturan atau semrawut, tetapi
apabila diamati
muncul pula adanya keteraturan. Ada pembalikan posisi, yang
penting (pesan iklan) tidak
terlihat, tetapi yang tidak penting (kalimat-kalimat yang tidak
ada hubungannya dengan
produk yang diiklankan) justru diposisikan untuk menjadi
penting. Yang menonjol
(statement-statement) dihadirkan dalam sajian yang tidak
teratur; sedang yang tidak
menonjol dihadirkan dengan teratur, jelas dan tajam. Demikian
pula serial iklan ini hadir
melalui pemunculan-pemunculan yang cepat dan berganti-ganti.
Pembalikan-pembalikan
dan beberapa tampilan beberapa desain iklan ini mengingatkan
adanya tanda-tanda suatu
pendekatan desain tertentu. Inikah desain iklan yang hadir dalam
roh jaman saat ini yaitu
jaman dekonstruksi ?.
Gambar 1. Gambar 2. (repro. Poster asli) (repro. Poster
asli)
-
DEKONSTRUKSI DALAM DESAIN KOMUNIKASI VISUAL: SEBUAH PENJELAJAHAN
KEMUNGKINAN (Freddy H. Istanto)
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain
Universitas Kristen
Petrahttp://puslit.petra.ac.id/journals/design/
51
APA ITU DEKONSTRUKSI ?
Dekonstruksi merupakan reaksi terhadap modernisme dalam
perkembangan ilmu
pengetahuan, seni dan filsafat. Modernisme dalam perkembangan
filsafat ilmu berdasar
pada rasio, logos dalam intelektual manusia. Dekonstruksi hadir
dengan latar-belakang
pos-modernisme yang berdasarkan pemikiran filsafat bahwa susunan
pemikiran yang
begitu terpadu, yang tersusun rapi, kini dipilah-pilah sampai ke
dasar-dasarnya.
Kehadiran dekonstruksi dilihat sebagai bagian dari posmodernisme
yang secara
epistemologi atau filsafat pengetahuan, harus menerima suatu
kenyataan bahwa manusia
tidak boleh terpaku pada suatu sistim pemikiran yang begitu
ketat dan kaku.
Filsafat dalam sejarah perkembangannya membuat suatu rumusan
yang jelas dan
tepat mengenai apa yang ada di dunia ini. Dalam perumusan ini,
hal-hal yang kabur,
pengalaman-pengalaman pribadi harus dibersihkan, yang dalam
istilah filsafat disebut
sebagai di-abstraksi-kan; sehingga dapat dicapai suatu bentuk
yang benar-benar jelas dan
dapat dipertanggungjawabkan secara rasional dan logis. Sedangkan
dalam sikap
dekonstruksi, suatu tatanan yang begitu teratur, yang telah
diusahakan oleh modernisme,
ingin dikembalikan ke dasar-dasar yang begitu jamak. Apabila ada
sesuatu yang tertutup
(closer) harus ada yang terbuka (discloser), sehingga menjadi
majemuk, kembali kedasar.
Dalam kaitan ini, dekonstruksi ingin memilah atau
memecahkannya.
Selama ini banyak karya desain komunikasi visual terbatas
menggali kapasitas
tersebut melalui komposisi tradisional seperti simetri,
keterukuran, unity/kesatuan,
keutuhan dan kestabilan. Sementara kapasitas lainnya seperti
unsur-unsur kontradiksi dan
oposisi tidak terangkum. Disinilah tugas dekonstruksi
mempertanyakan adanya
kemapanan, netralitas, ketunggalan dan kebakuan definisi.
Pertanyaan dekonstruksi
mengajak orang untuk memperhitungkan hal-hal yang semula nampak
marjinal dan tak
terkatakan, antara lain yang berada diantara dua posisi yang
kontradiktif dan oposisional.
Dekonstruksi menghidupkan wacana segala yang diantara dan
bergerak diantara dua
posisi tersebut. Maka keragaman makna menjadi penting
dibandingkan konvensi untuk
memegang pemahaman tunggal.
Label dekonstruksi secara luas digunakan dalam lingkungan
intelektual di
Perancis dan Inggris, berlandas pada asumsi bahwa gejala dekons
secara langsung atau
tidak langsung berkaitan dengan filsafat kritis Jaques Derrida.
Label tersebut secara resmi
-
NIRMANA Vol. 5, No. 1, Januari 2003: 48 - 71
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain
Universitas Kristen
Petrahttp://puslit.petra.ac.id/journals/design/
52
dikukuhkan dalam International Symposium on Deconstruction yang
diselenggarakan
oleh Academy Group di Tate Gallery, London tanggal 18 April
1988. 1 Dari simposium ini
diperoleh kesepakatan bahwa dekonstruksi bukanlah sebuah gerakan
yang tunggal,
meski banyak diwarnai kemiripan-kemiripan formal diantara
karya-karya yang ada.
Dekonsruksi lebih merupakan sikap, suatu metoda kritis yang
berwajah majemuk,
dekonstruksi tidak memiliki ideologi ataupun tujuan formal,
kecuali semangat untuk
membongkar kemapanan dan kebakuan.
DEKONSTRUKSI DERRIDA
Adalah suatu fakta bahwa konsep dasar dekonstruksi secara
teoritis dikembangkan
dari sudut pandang bahasa, namun dalam perkembangannya kemudian
ternyata
dekonstruksi relevan juga untuk bidang-bidang seni lainnya.
Dekonstruksi yang
dipergunakan oleh filsuf Perancis Jacques Derrida, tidak lain
merupakan karya-karya tulis
yang berargumentasi filosofis. Gagasan Derrida ini kemudian
banyak digunakan oleh
kritikus Sastra, terutama di Amerika. Konsep Derrida ini
menggambarkan metoda
membaca teks yang memperlihatkan adanya konflik dalam
interpretasi makna teks
tersebut; selanjutnya metoda ini bukan hanya digunakan untuk
meng-interpretasi teks,
tetapi juga dipergunakan dalam memberikan tafsiran terhadap
karya seni visual.
Jacques Derrida mengajukan sebuah konsep penting yang berkaitan
dengan bahasa
yaitu under eraser; yang diturunkan dari Martin Heidegger :
being. Kata dianggap tidak
akurat dan tidak memadai, maka harus dicoret, tetapi karena
masih dibutuhkan maka
harus tetap dapat dibaca.
Penanda/signifier menurut Derrida tidak secara langsung
menggambarkan
petanda/signified seperti kaca memantulkan bayangannya. Hubungan
penanda-petanda
tidak seperti dua sisi sehelai mata uang yang digambarkan
Saussure,2 karena tidak ada
pemisahan yang jelas antara penanda dan petanda. Saussure
mengemukakan bahwa tanda
1 Simposium ini membahas masalah dekonstruksi tidak hanya pada
seni visual, tetapi juga beberapa tema-tema desainarsitektural.
Acara ini diawali dengan tayangan video berupa wawancara
Christopher Norris (seorang arsitek) denganJacques Derrida. Andreas
Papadakis (1988), Deconstructions in Architecture, Architectural
Design, New York, AcademyEdition, halaman.72 Winfried Noth (1990),
Ferdinand de Saussure adalah salah satu pemuka Semiotika Modern
yang mendasarkanpemikirannya pada formalisme dan
strukturalisme,Handbook of Semiotics, Indiana University Press.
Lihat juga PanutiSudjiman & Aart Van Zoest Serba-serbi
Semiotika, Gramedia Pustaka Utama.
-
DEKONSTRUKSI DALAM DESAIN KOMUNIKASI VISUAL: SEBUAH PENJELAJAHAN
KEMUNGKINAN (Freddy H. Istanto)
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain
Universitas Kristen
Petrahttp://puslit.petra.ac.id/journals/design/
53
adalah kesatuan antara pola suara dan konsep, yang oleh Roland
Barthes dikembangkan
menjadi penanda dan petanda. Konsep ini dianggap bersifat
stabil. Konsep (petanda),
meskipun bukan merupakan bagian intrinsik dari tanda, menurut
Saussure ia dianggap
hadir sebagai bagian tak terpisahkan dari tanda. Konsep itu
sendiri mempunyai referensi
pada realitas. Semiotika struktural Saussure dengan demikian,
menganggap tanda sebagai
tak lebih dari refleksi dari realitas yang ada. Semiotika dalam
pandangan poststrukturalis
tidak lagi menaruh perhatian pada sistim tanda-tanda melainkan
dengan pembentukan
subyek serta peranannya dalam perubahan bahasa. Bagi pemikir
postrukturalis, bahasa
tidak lagi semata sistim pembedaan (difference) akan tetapi
jejak (differance); penanda
dan petanda tidak lagi satu kesatuan bagai dua sisi dari
selembar mata uang, melainkan
terpisah; petanda tidak dengan begitu saja hadir, melainkan ia
selalu di-dekonstruksi.
Hubungan antara penanda dan petanda tidak lagi bersifat simetris
dan stabil berdasarkan
konvensi, akan tetapi terbuka bagi permainan bebas penanda
(Piliang 1998:266)
Apabila kita ingin mengetahui makna penanda-penanda, maka kita
harus melihatkamus. Didalam kamus dapat ditemukan penanda-penanda
lainnya yang petandanya
harus dicari kembali. Jadi proses interpretasi selalu bersifat
tanpa batas dan sirkuler.Penanda beralih bentuk menjadi petanda,
demikian pula sebaliknya, sehingga kita
sebenarnya tidak pernah sampai pada petanda terakhir yang bukan
penanda. Interpretasi,dengan demikian merupakan aktifitas tanpa
akhir dan tanpa dasar. Struktur tanda
ditentukan oleh jejak yang senantiasa absen. Tanda dibawa ke
tanda yang lain danseterusnya tanpa batas, yang secara bergiliran
menjadi penanda dan petanda. Tanda tidakdapat dipelajari sebagai
unit homogen yang menjembatani obyek (referent) dan tujuan
akhir (makna) seperti dianjurkan semiotika,3 tetapi sebagai
under eraser karena tandaselalu diisi oleh jejak tanda lain.
Postrukturalis tidak mementingkan kualitas komunikatif pada
semiotika. Tanda-tanda diproduksi bukan dengan tujuan untuk
menyampaikan pesan-pesan, dan konvensi-
konvensi sosial, melainkan dilandasi kegairahan dan kesenangan
dalam permainan tandasemata. Model semiotika postrukturalis
merupakan model yang tak konvensional, dimana
tanda digunakan secara kreatif, secara anarkis dan terkadang tak
bertanggungjawab.Tanda-tanda yang diproduksi oleh postrukturalis,
menurut Richard Hartland mensubversi
3 Pada semiotika dikenal model triadik dalam pembacaan tanda
(Noth,1990) : yang berupa segitiga semiotika yang terdiridari
penanda/signifier, petanda/signified dan acuan/referent.
-
NIRMANA Vol. 5, No. 1, Januari 2003: 48 - 71
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain
Universitas Kristen
Petrahttp://puslit.petra.ac.id/journals/design/
54
sistim makna atau setiap sistim apapun yang dikontrol secara
sosial. Tanda-tanda tidakdibiarkan terpancang pada posisinya
sebagai media komunikasi kesepakatan dan identitas
sosial. Tanda-tanda tersebut selalu di dekonstruksi sehingga ia
kehilangan sifatkomunikasi sosialnya, kehilangan makna
sosialnya.4
Dekonstruksi menurut Derrida adalah metoda membaca teks secara
teliti, sehingga
premis-premis yang melandasinya dapat digunakan untuk
meruntuhkan argumentasi
yang disusun atas premise tersebut. Derrida mengkaitkan metoda
Dekonstruksi dengan
kritik terhadap metaphysics of presence yang menjadi asumsi
dasar bagi filosof
tradisional. Derrida menolak gagasan bahwa ada yang disebut
present dalam pengertian
suatu saat yang terdefinisikan sebagai sekarang (now).
Jonathan Culler (dalam Benedikt,1991) memaparkan sejumlah proses
atau prinsip
Dekonstruksi atas pemikiran-pemikiran Derrida.5 Prinsip-prinsip
Derrida tersebut antara
lain :
Differance
Differance adalah suatu kata dalam kata dalam bahasa Perancis,
tapi tidak ada
dalam kamus. Kata itu dibentuk sendiri oleh Derrida; yang ada
adalah kata difference
(dalam bahasa Inggris) yang berarti perbedaan dan kata differer
(dari bahasa Inggris:
differ). Kata differer ini memiliki dua arti, yang pertama
sebagai kata kerja intransitif
yang artinya berbeda atau bertolak belakang, sama dengan arti
kata difference. Yang
kedua sebagai kata kerja transitif, mempunyai arti menunda,
menangguhkan atau
mengundurkan waktu (Bertens 1985:500). Kata differance
menggabungkan kedua kata
asal tersebut sehingga memiliki makna yang mengacu pada adanya
perbedaan dan
penangguhan waktu. Namun dalam bahasa Perancis pengucapan
differance (dengan huruf
a) tidak berbeda dengan pengucapan kata differance. Derrida
memperbandingkan huruf a
yang diam ini serupa dengan diamnya makam Firaun, yaitu Piramid
di Mesir.
It remains silent, secret and discreet as a tomb 6
4 Oleh sebab itulah Hartland menyebut tanda-tanda berdasrkan
konsep postrukturalis ini sebagai tanda anti sosial (Piliang1998)5
Jonathan Culler dalam bukunya On Deconstruction : Theory and
Criticism After Structuralism , dalam Benedikt,
Michael,Deconstructing The Kimbell, New York, SITES Book, 19916
Dikutip Setiawan dari Derrida 1982:3-27
-
DEKONSTRUKSI DALAM DESAIN KOMUNIKASI VISUAL: SEBUAH PENJELAJAHAN
KEMUNGKINAN (Freddy H. Istanto)
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain
Universitas Kristen
Petrahttp://puslit.petra.ac.id/journals/design/
55
Differance secara harafiah terdiri dari tiga pengertian:
The universal system of differences : berbeda
The process of deferral : menunda, meneruskan
The sense of differing berbeda pendapat/tidak setuju.
Konsep differance digunakan untuk melihat tanda-tanda, artinya
makna-makna
suatu tanda dimungkinkan karena setiap tanda berbeda dengan
semua tanda lainnya
dalam sistim tanda bersangkutan. Konsep ini sejajar dengan
pendapat aliran linguistik
struktural yang menganggap the language is a difference methode
of meaning. Dengan
konsep differance proses dekonstruksi merupakan suatu proses
men-deferensiasi-kan atau
produksi perbedaan-perbedaan yang merupakan syarat timbulnya
setiap makna dan sistim
struktur. Derrida menjelaskan menunda kehadiran ada dalam suatu
pencarian terus
menerus makna yang terjalin dalam jaringan tanda. Dekonstruksi
mengandung dimensi
waktu (temporization) dan antara (spacing) (Sumaryono 1993:115,
Setiawan
1994:17). Arti-arti kata yang ada dalam differance hampir sama
dengan Ma dalam
bahasa Jepang. Suatu kata yang mempunyai arti interval jarak
(interval in space) dan
interval waktu (interval in time); peristiwa, tempat, kejadian
dalam suatu waktu. Ma
terletak pada celah diantara batu pijakan, pada saat manusia
melangkah dengan
tenangnya. Ma bisa juga diartikan ketenangan antara not-not
suatu lagu ketika irama
legato dinyanyikan. Ma diartikan pula sebagai suatu posisi
dimana pendulum mencapai
puncaknya dan berhenti tanpa berhenti atau stop without
stopping.7
Menurut Derrida, kata atau tanda kini tidak mampu lagi
menghadirkan makna
sesuatu yang dimaksud secara serta-merta. Makna harus dicari
dalam rangkaian tanda
yang lain yang mendahului tanda yang pertama. Sifat
men-diferensiasi tidak cukup bagi
suatu tanda, realitas makna juga harus dicari dalam tanda-tanda
lain yang mendahului dan
saling terkait (tissue of sign) yang mungkin hanya nampak
jejak-jejaknya saja (traces).
pencarian ini membutuhkan waktu, karena itu pemahaman makna
menjadi tertunda
menanti pengalaman dan konteks lain yang perlu diciptakan.
Untuk memahami differance maka harus ada dua elemen, dua anggota
dari suatu
sistim tanda-tanda. Dua ide yang saling melengkapi atau tanda
yang sama namun
7 dalam ilmu komputer semua informasi dapat dikodekan dengan
suatu sequence binari dari 0 dan 1. Diantara 0 dan 1berada Ma.
Karena differance inilah 0 dan 1 menjadi penting.
-
NIRMANA Vol. 5, No. 1, Januari 2003: 48 - 71
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain
Universitas Kristen
Petrahttp://puslit.petra.ac.id/journals/design/
56
dipindahkan menuju konteks yang berbeda. Ada perbedaan
fundamental dan universal,
perbedaan anatara presence dan absence. Keduanya menunjukan
bagaimana perbedaan
nya adalah juga menunjukan ketergantungannya. Tidak ada absence
tanpa kehadiran
presence, seperti juga tidak ada hitam kalau tidak ada putih.
Demikian pula tidak ada
naik tanpa turun dan tidak ada kanan kalau tanpa kiri. Presence
tidak memiliki
nilai, tanpa makna kecuali adanya absence.
Pembalikan Hirarki,
Differance berbicara tentang ruang gerak bermain antara
hitam-putih, utara-selatan,
lelaki-perempuan dan seterusnya. Gejala ini selalu hidup dan ada
tetapi tidak terangkum
dalam konsp metafisika. Inilah mungkin yang membuat orang lupa
akan gejala meng-
ada.8 Derrida mengikuti jalan yang dibuka oleh Heiddeger untuk
meniti kembali
pemikiran tentang ada. Derrida melihat konsep ada, dari sudut
pandang metafisika
Barat yang memiliki dua masalah. Pertama, ada tidak sesederhana
yang dibayangkan,
bahkan merupakan sesuatu yang kompleks. Derrida menolak gagasan
bahwa ada yang
disebut present dalam pengertian suatu saat yang terdefinisikan
sebagai sekarang/now.
The present bagi hampir semua orang adalah daerah yang dikenali.
Manusia tidak pernah
yakin tentang apa yang terjadi dimasa lampau dan apa yang akan
terjadi di masa depan,
atau apa yang terjadi di tempat lain. Manusia mengandalkan diri
pada pengetahuan yang
ada sekarang dan disini, dunia perseptual yang dialami sekarang.
Kedua, idealisasi dari
ada menyebabkan semua sistim kategori menjadi ber-hirarki, dalam
arti yang satu
mendominasi yang lain. Ada lebih berarti dibandingkan dengan
tidak ada meskipun
secara logika dibutuhkan dan menjadi prasyarat. Dalam hal ini
dekonstruksi bertujuan
untuk (1) meng-identifikasi apa yang disepelekan/disembunyikan
sehingga (2) hirarki
yang terjadi dapat dibatalkan, dibalik atau diproses mundur.
8 Bagoes P.Wiryomartono, Majalah Kalam edisi 5, 1995, halaman
58
-
DEKONSTRUKSI DALAM DESAIN KOMUNIKASI VISUAL: SEBUAH PENJELAJAHAN
KEMUNGKINAN (Freddy H. Istanto)
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain
Universitas Kristen
Petrahttp://puslit.petra.ac.id/journals/design/
57
Pusat dan Marjinal
Pusat dan marjinal dapat diartikan sebagai yang tidak-penting
dan yang penting.
Perbedaan antara pusat dan marjinal merupakan konsekuensi dari
adanya hirarki yang
ditimbulkan oleh oposisi binari. Yang marjinal adalah yang
berada pada batas atau
dekat dengan batas, pada tepian, berada diluar (outside) karena
itu dianggap tidak
penting. Sementara pusat menunjukan sesuatu yang terdalam, yang
di jantung, daya
tarik dan makna dimana setiap gerakan berasal dan merupakan
tujuan gerakan dari yang
marjinal. Pusat dan marjin hanya masalah posisi dalam
geometrika, namun apabila
pusat dan marjin saling bergerak untuk bertukar tempat,
dipertentangkan atau
disembunyikan secara dekonstruksi, maka semuanya akan mempunyai
arti. Derrida
mempertanyakan keabsahan posisi ini dalam konsep parergon, dalam
kasus ini Derrida
mengambil contoh bingkai suatu lukisan. Bingkai lukisan, menurut
Derrida, lebih penting
posisinya dibandingkan dengan lukisannya sendiri. 9
Mendekonstruksi yang marjinal
menjadi pusat berarti mengangkat yang ekstra, yang merupakan
tambahan pada posisi
yang setara dengan yang utama dan mempunyai otonomi sendiri
serta merta dengan
keabsahan yang utama atau yang asli. 10
Pengulangan (Iterabilitas) dan Makna
Suatu kata atau tanda memperoleh maknanya dalam suatu proses
berulang (iteratif)
pada konteks yang berbeda dimana secara konotatif maupun
denotatif artinya akan
memperoleh struktur yang stabil. Karakter bahasa memungkinkan
penciptaan kalimat-
kalimat baru yang tak terbatas pada aturan permutasian
kata-kata. Kata itu sendiri sebagai
kata atau berfungsi sebagai kata harus berbunyi sama dan tetap,
dapat beradaptasi dan
digunakan kembali dalam bermacam konteks (kalimat). Untuk itu
juga diperlukan
stabilitas dari konotasi serta mudah-dikenalinya sebagai kata
yang sama. Dengan
penundaan permaknaan tanda, terbuka kemungkinan yang lebih luas
dalam suatu
permainan penelusuran jejak-jejak tanda yang lain dalam konteks
yang berbeda-beda.
9 para berarti tepi, ergon diartikan sebagai karya., Benedikt
(1991)10 dalam teks, parergon ini berupa, kata pengantar,
pendahuluan, catatan kaki, lampiran dan sebagainya. Sebagai
yangmarjinal, parergon diberi peranan yang penting untuk menunjukan
sikap pembalikan hirarki, sebagai contoh
-
NIRMANA Vol. 5, No. 1, Januari 2003: 48 - 71
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain
Universitas Kristen
Petrahttp://puslit.petra.ac.id/journals/design/
58
Penggunaan metafor secara berulang-ulang akan membuka pemahaman
yang lebih baik
terhadap makna yang dimaksudkannya.11
PEMBACAAN DEKONSTRUKSI ATAS KARYA DESAIN IKLAN A-MILD
Didalam situasi politik, ekonomi, sosial dan budaya yang masih
belum sepenuhnya
baik di Indonesia saat ini, hadir fenomena baru yakni munculnya
iklan-iklan A-mild yang
dalam penampilannya mengundang beragam pertanyaan. Desain Iklan
ini terkesan
urakan serta corat-coret bergaya grafiti. Sajian iklan yang
dihadirkan tidak
memperlihatkan adanya hubungan antara pesan-pesan yang
disampaikan dengan produk
yang dipasarkan, sesuatu yang terlihat janggal dalam dunia iklan
pada umumnya. Iklan
ini seolah menghadirkan keterkaitannya antara isi dan pesan
iklan tersebut dengan kondisi
keseharian bangsa ini, apakah demikian maksud kehadiran iklan
ini ?
Gambar 3. Gambar 4. (repro. Poster asli) (repro. Poster
asli)
11 Desain Komunikasi Visual terbentuk dari
pengulangan-pengulangan seperti elemen-elemen desain seperti warna,
huruf,bentuk dan lain sebagainya. Desain Komunikasi Visual hampir
tidak mungkin tanpa pengulangan. Perancang biasanyamenggunakan
teknik pengulangan dalam mencari bentuk desain rancangannya; dengan
teknik pengulangan desainer lebihmudah mencapai maksudnya. Untuk
mencapai konfigurasi yang berarti, hal ini tidak secara otomatis
atau refleksif,cerminan dari konteksnya. Dengan cara duplikasi dan
pemindahan terhadap latar-belakang (background), dengan merujukpada
tertarik akan, ketidak-alamiahan dan non-fungsionalitas, akan
menjadi konfigurasi tadi lebih berarti.
-
DEKONSTRUKSI DALAM DESAIN KOMUNIKASI VISUAL: SEBUAH PENJELAJAHAN
KEMUNGKINAN (Freddy H. Istanto)
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain
Universitas Kristen
Petrahttp://puslit.petra.ac.id/journals/design/
59
Tulisan ini akan membahas fenomena tersebut yang dalam
pembacaannya atas
karya-karya desain iklan A-mild yang dipublikasikan sekitar
Agustus-Oktober 2002, akan
digunakan tema-tema dekonstruksi. Tema-tema tersebut dirangkum
oleh Benedikt (1991)
sebagai hasil pemikiran filosofi Derrida, seperti (1) konsep
(non konsep) differance, (2)
proses pembalikan hirarki, (3) permainan Pusat dan Marjinal
serta (4) fungsi Iterabilitas
dan Fungsinya dalam membangkitkan makna. Dalam bulan-bulan
sekitar Agustus sampai
Oktober 2002-an bermunculan iklan-iklan A-mild yang silih
berganti dengan penampilan
yang berbeda dari iklan-iklan biasa. Iklan-iklan hadir baik
melalui iklan di media cetak,
elektronik, maupun di media outdoor. Beberapa tampilan iklan
versi ini sangat menarik
perhatian bahkan menimbulkan banyak pertanyaan.
Sebagai media promosi Desain Komunikasi Visual, menurut
Christine Suharto
(1999:5) dimaksudkan untuk menyampaikan pesan, mendapatkan
perhatian (atensi) dari
mata (secara visual) dan membuat pesan tersebut dapat diingat.
Penggunaan gambar dan
kata-kata mempunyai makna dan mengesankan. Untuk mencapai tujuan
ini digunakan
gambar dan kata-kata yang bersifat persuasif dan menarik, karena
tujuan akhirnya adalah
menjual suatu produk atau jasa.12
KERAPIAN VERSUS KETIDAK-RAPIAN
Dekonstruksi menurut Wiryomartono (1995:50) mempertanyakan
adanya
kemapanan, netralitas, ketunggalan dan kebakuan definisi.
Pertanyaan dekonstruktif
mengajak orang untuk memperhitungkan kembali hal-hal yang semula
nampak marjinal
dan tak terkatakan, antara lain yang berada diantara dua posisi
yang kontradiktif dan
oposisional. Dekonstruksi menghidupkan wacana segala yang
diantara dan bergerak
diantara dua posisi tersebut. Maka keragaman makna menjadi
penting ketimbang
konvensi untuk memegang pemahaman tunggal.
Penghadiran oposisi binari pada desain iklan A-mild segera
terlihat antara
kerapian dan ketidak-rapian. Banyak sekali unsur oposisi binari
dimunculkan pada
desain iklan ini. Pesan-pesan iklan dihadirkan dalam
ketidak-rapian, contoh pada tulisan
Daripada Curang, Mending Ganti Peraturannya (lihat gambar 1).
Tipografi pada pesan 12 Suharto, Christine (1999), Elemen-elemen
Dalam Desain Komunikasi Visual, NIRMANA Jurnal Ilmiah
DesainKomunikasi Visual, Universitas Kristen Petra. Volume 1 nomor
1 Januari 1999.
-
NIRMANA Vol. 5, No. 1, Januari 2003: 48 - 71
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain
Universitas Kristen
Petrahttp://puslit.petra.ac.id/journals/design/
60
iklan dihadirkan dengan teknik awut-awutan (tidak rapi),
terkesan asal-asalan,
dihadirkan dengan teknik visualisasi yang tidak lazim, sedang
logo produk dihadirkan
dengan sangat rapi dan elegan. Pada versi yang lain muncul juga
ilustrasi (background
ilustrasi tanda seru dan tanda tanya) yang teknik visualisasinya
dihadirkan dengan kesan
sangat tidak rapi. Hal ini juga terlihat pada garis-garis yang
dimunculkan pada ilustrasi ini
yang terkesan tidak rapi, putus-putus, tidak selesai, tidak
lurus (lihat gambar 5) sedang
pada background desain iklan ini ada garis-garis yang lurus,
rapi dan teratur. Pada versi
lain (lihat gambar 3 dan 4), ilustrasi ini juga dihadirkan
dengan kesan teknik airbrush
yang tidak rajin, tidak rapi dan asal-asalan. Dalam teknik
penggambaran juga dihadirkan
oposisi antara garis-garis yang teratur sebagai latar, dengan
kehadiran cat yang seolah
meleleh (yang terkesan sebagai pekerjaan yang jorok/tidak
bersih, berlepotan dan tidak
rajin. Oposisi binari (antara kerapian dan ketidak-rapian) ini
memperlihatkan kepaduan
dengan konsep dekonstruksi seperti yang dihadirkan dalam konsep
Im dan yang.13
Gambar 5. Gambar 6. (repro. Poster asli) (repro. Poster
asli)
13 Dua posisi kontradiktif dalam sebuah lingkaran yang terdiri
dari dua bentukan yang saling berkejaran, saling terkamantara hitam
dan putih, antara kebaikan dan keburukan, antara positif dan
negatif dan seterusnya; juga memperlihatkanadanya hitam dalam putih
(meskipun kecil/sedikit) demikian pula adanya sedikit putih yang
dihadirkan dalam hitam.
-
DEKONSTRUKSI DALAM DESAIN KOMUNIKASI VISUAL: SEBUAH PENJELAJAHAN
KEMUNGKINAN (Freddy H. Istanto)
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain
Universitas Kristen
Petrahttp://puslit.petra.ac.id/journals/design/
61
Penghadiran dua elemen (teknik kerapian dan ketidak-rapian) ini
mempertunjukan
bahwa dekonstruksi menawarkan kekayaan dalam dunia desain, bahwa
estetika atau
teknik penyajian dalam Desain Komunikasi Visual tidak hanya
berkutat dalam kerapian,
kebersihan, hasil kerja yang mempertunjukan kehati-hatian,
tetapi juga pengkayaan
teknik lain atau bahkan Dekonstruksi menawarkan yang tidak rapi,
penyajian yang tidak
rajin, kesan yang asal-asalan adalah suatu yang sah-sah saja.
Dengan demikian desain
iklan A-mild ini menjadi menarik ketika keragaman teknik
penyajian disajikan demikian
vulgar dan kaya ketimbang konvensi untuk memegang pemahaman
tunggal. Dengan
Dekonstruksi akan disadari bahwa cat tidak harus bersih rapi,
tetapi yang meleleh dan
berlepotan merupakan sisi lain dari sebuah desain yang perlu
digarap dan dikembang
serta diberi peluang sebagai elemen penting (juga) dalam Desain
Komunikasi Visual.
Dengan demikian, dengan berdekonstruksi kita belajar tentang
kekayaan dalam
mendesain, dimana unsur-unsur terkecil (teknik penyajian)
sekalipun berpeluang untuk
self-referensial dan sekaligus menjadi unsur integral dalam
Desain Komunikasi Visual.
Penghadiran dua posisi kontradiktif secara bersamaan, namun
dengan tema-tema,
kondisi-kondisi yang berbeda menghasilkan oposisi binari dalam
suatu keadaan; namun
perulangan yang berbeda merupakan suatu iterabilitas seperti
yang diisyaratkan oleh
dekonstruksi. Oposisi binari antara kerapian dan ketidak-rapian
menghidupkan
wacana segala yang diantara dan bergerak diantara dua posisi
tersebut.14
MARJINALITAS-SENTRALITAS DAN PEMBALIKAN HIRARKI
Membaca desain iklan A-mild ini membangkitkan banyak pertanyaan
bukan
hanya pada statement-statement-nya yang menarik perhatian,
tetapi kaidah-kaidah
perancangannya yang patut juga dipertanyakan. Dalam kaidah
perancangan, bagian
utama (yang terpenting) biasanya sangat ditonjolkan baik melalui
pewarnaan yang
menyolok, dimensi yang berbeda (kontras) ataupun teknik
penyajian yang menarik.
Namun dalam tampilan iklan A-mild ini justru dihadirkan dengan
komposisi yang tidak
biasa. Pesan (slogan-slogan yang tidak ada hubungannya dengan
produk) yang dalam
14 Maksud kata di antara bukanlah secara vulgar menyatakan
ditengah-tengah. Kenaifan berfikir diantara dua posisibukanlah
sebagaimana membentuk kategorisasi : atas-tengah-bawah,
sign-(de)sign- (re)sign,
direct-(mis)direct-(re)direct,compose-(de)compose-(re)compose dan
seterusnya (Wiryomartono, 1995:62).
-
NIRMANA Vol. 5, No. 1, Januari 2003: 48 - 71
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain
Universitas Kristen
Petrahttp://puslit.petra.ac.id/journals/design/
62
konteks pesan iklan berada pada posisi yang tidak penting
(marjinal) diberi tempat utama,
ditengah bidang desain (poster, brosur, baliho). Sedang produk
yang di-iklan-kan (logo)
di posisikan di pinggiran. Dalam pembacaan ini segera terlihat
adanya pembalikan hirarki
antara yang penting (ilustrasi/logo produk ) diletakan di
pinggiran, sedang pesan yang
tidak penting justru diutamakan. Yang utama, yakni logo produk,
adalah titik utama atau
fokus iklan (sentral) diberi tempat di pinggiran, sedang pesan
atau slogan yang tidak
terbaca memiliki keterkaitan dengan produk
(pinggiran/marjinal/tidak penting) justru
diletakan sebagai point of interest. Yang marjinal (pesan
seperti pada contoh versi: Jadi
Tua itu Pasti, Jadi Dewasa itu Pilihan, terbaca tidak ada
kaitannya dengan produk yang
di-iklan-kan) menjadi penting, sedang yang di-iklan-kan, yang
penting sentral-- (ilustrasi
logo A-mild) justru dipinggirkan. Keberadaan moda marjinalitas
dan sentralitas serta
pembalikan hirarki ini juga dimunculkan dalam sajian dimana
pesan atau slogan menjadi
bagian yang dominan (dengan huruf yang tidak teratur, terkesan
kotor, tidak rapi, asal-
asalan) tetapi tampil dengan skala besar dan mendominasi; sedang
logo atau produk yang
di-iklan-kan yaitu ilustrasi A-mild dibuat dalam bentuk dan
tipografi yang rapi, bersih,
teratur dan masih diperkuat lagi dengan kesan ilustrasi ini
adalah barang tempelan,
dilekatkan dengan klip. Ilustrasi logo ini terkesan sesuatu yang
ketinggalan, darurat
dan asal tempel dan terkesan seolah berasal dari kertas yang
kumal. Bahkan tampilan
iklan ini dengan berani menunjukan bahwa desain atau garapan
yang salah, tidak perlu
diperbaiki dan dibiarkan hadir apa adanya (perhatikan bagian
kanan bawah iklan A-mild
yang memperlihatkan beberapa saputan cat darurat seolah sebuah
usaha menutup
kesalahan, lihat pada gambar 8). Tampilan seperti tumpahan cat,
lelehan cat yang belum
kering, luberan semburan cat yang tidak terkontrol menghadirkan
pengkayaan elemen
desain, bahkan mempertanyakan kembali sampai kedasar-dasarnya
baik tentang kaidah-
kaidah desain termasuk didalamnya kaidah-kaidah estetika. Desain
iklan A-mild ini
sekalilagi memperlihatkan dan menimbulkan pertanyaan akan sikap
dekonstruktif yang
mengajak orang untuk memperhitungkan kembali hal-hal yang semula
tampak marjinal
(slogan yang terbaca tidak terkait dengan tujuan iklan) dan tak
terkatakan (desain yang
tidak rapi, tidak selesai, terkesan asal-asalan, berlepotan yang
sering dianggap bukan
desain, keluar dari tatanan baku/standar/tunggal).
-
DEKONSTRUKSI DALAM DESAIN KOMUNIKASI VISUAL: SEBUAH PENJELAJAHAN
KEMUNGKINAN (Freddy H. Istanto)
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain
Universitas Kristen
Petrahttp://puslit.petra.ac.id/journals/design/
63
Pembacaan kritis pada iklan A-mild ini, menunjukan pula sebuah
bentukan yangumum dari sebuah surat. Kertas surat yang bergaris,
sapaan dengan hormat (diwakilioleh ilustrasi Bukan Basa-Basi), isi
surat (slogan atau ungkapan, kalimat-kalimat) danpengirim
(ilustrasi A-mild). Dalam perkembangan model pemasaran akhir-akhir
ini,beberapa pakar marketing menawarkan model promosi yang tidak
lagi bersifat umum(kepada masyarakat) tetapi kembali pada
pendekatan personal. Kehadiran iklan A-mildversi-versi ini
menunjukan adanya usaha pendekatan personal (dalam
bentuksurat/pribadi), tetapi jejak oposisional dan kontradiktifnya
tetap dimunculkan, yaitudihadirkan secara terbuka dan umum (untuk
khalayak ramai). Dalam konteks parergon,nampak sekali bahwa
garis-garis lurus yang hanya terlihat berfungsi latar desain
saja,mampu mensejajarkan diri sebagai yang utama.
Gambar 7. Gambar 8. (repro. Poster asli) (repro. Poster
asli)
PEMBACAAN MAKNA DAN ITERABILITAS
Desain iklan A-mild terbaca menampilkan kesamaan-kesamaan yang
selalu
menampilkan oposisi dan kontradiksi dimana-mana. Sebagai titik
fokus utama (point of
-
NIRMANA Vol. 5, No. 1, Januari 2003: 48 - 71
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain
Universitas Kristen
Petrahttp://puslit.petra.ac.id/journals/design/
64
interest) slogan-slogan iklan versi ini juga menawarkan
pernyataan yang oposisional dan
kontradiktif. Dalam versi pertamanya muncul slogan Daripada
Curang, Mending Ganti
Peraturannya, orang akan sangat kesulitan membaca apa makna
dibalik statement itu.
Orang bisa sambil lalu mengamati iklan ini, tetapi ada juga yang
mengkaitkan dengan
kondisi sosial-politik di Indonesia utamanya tentang peraturan
atau hukum, dimana
produk hukum di Indonesia saat ini oleh berbagai pihak dinilai
sangat kacau. Dan iklan-
pun mempertanyakan keberadaan kondisi ini dalam pesan-pesan ke
masyarakatnya.
Berkaitan dengan hal tersebut, iklan A-mild ini ternyata tidak
semata-mata
mempunyai fungsi untuk mendorong, membujuk kepada khalayak ramai
tentang produk
yang diiklankan (yang mempunyai nilai-guna sebuah iklan saja)
melainkan iklan ini
menghadirkan sebuah perspektif dari fragmen-fragmen, dari
suara-suara, dari teks-teks
lain dan kode-kode lain, karena sebuah teks masakini (iklan
A-mild) bukanlah sebuah
produk yang dihasilkan melalui suatu aturan atau kode yang kaku,
yang bukan menjadi
model yang tunggal. Sebuah teks pos-modern (iklan A-mild),
menurut Barthes (dalam
Piliang 1998), bukanlah sebuah produk (Desain Komunikasi Visual
umumnya dan desain
Iklan khususnya) yang menghasilkan makna yang tunggal atau pesan
pengarangnya
melainkan sebuah ruang yang multidimensional, yang didalamnya
bercampur aduk dan
berinteraksi berbagai macam tulisan, yang tak satupun
diantaranya orisinal. 15
Dalam lingkup terbatas (di kalangan mereka yang bergerak di
bisnis periklanan dan
rokok atau pengamat yang lain), iklan A-mild versi Daripada
Curang, Mending Ganti
Peraturannya, ada yang mengkaitkannya dengan kasus tergusurnya
iklan A-mild versi
kepiting (bentuk iklan yang kartunal). Dimana iklan tersebut
akhirnya harus ditarik
kembali, ketika muncul berbagai kritik dari masyarakat. Saat itu
sebagian masyakarat
mempermasalahkan bahwa bentuk-bentuk kartunal diasumsikan hanya
cocok untuk anak-
anak; sehingga di khawatirkan akan mengajak anak-anak
mengkonsumsi rokok. Padahal
pendapat tersebut belum teruji kebenaranya (Bing Bedjo Tanujaya
2002:170). Untuk
menghindari polemik maka akhirnya iklan tersebut ditarik baik
iklan di media cetak,
maupun di media elektronik dan juga iklan di media ruang luar
(outdoor).16 Kasus ini
15 Baca juga Iklan Dalam Wacana Postmodern, Studi Kasus Iklan
Rokok A-mild , Freddy H Istanto (1999), NIRMANA,Jurnal Desain
Komunikasi Visual UK Petra, volume satu nomor satu Januari 1999.16
Tanudjaja, Bing Bedjo (2002), Bentuk-bentuk Kartunal Sebagai Medium
Penyampaian Pesan Dalam Iklan,NIRMANA Jurnal Desain Komunikasi
Visual UK Petra, volume 4 nomor 2 Juli 2002.
-
DEKONSTRUKSI DALAM DESAIN KOMUNIKASI VISUAL: SEBUAH PENJELAJAHAN
KEMUNGKINAN (Freddy H. Istanto)
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain
Universitas Kristen
Petrahttp://puslit.petra.ac.id/journals/design/
65
tentu berdampak kerugian yang sangat besar bagi perusahaan rokok
A-mild yang dengan
mudah orang akan mengkaitkan masalah ini dengan produk iklan
A-mild yang
mempertanyakan keabsahan peraturan lewat iklannya Daripada
Curang, Mending
Ganti Peraturannya. Apabila ditelusuri melalui pendekatan
iterabilitas, maka dapat juga
ditemukan sebuah struktur makna yang stabil, ketika dalam
beberapa versi lainnya bisa
dikaitkan antara ketidak puasan perusahaan rokok A-mild atas
masalah iklan versi
kepiting tersebut. Beberapa versi seperti Jadi Tua Itu Pasti,
Jadi Dewasa Itu Pilihan,
apabila dikaitkan bisa dimunculkan makna bahwa peraturan di
Indonesia itu sudah bisa
dikategorikan tua (beberapa bahkan masih produk Belanda), tetapi
produk dan pranata
hukum itu bisa dibaca belum cukup dewasa. Untuk menjadi dewasa
memang sebuah
pilihan. Yaitu apakah pelaksanaan hukum (juga dan terutama yang
berlaku di dunia
periklanan) mau untuk menjadi dewasa, maka itu adalah
pilihan.
Pada versi yang lain, Jangan Tunda Besok Apa Yang Bisa
Dikerjakan Lusa,
inipun bisa dikaitkan dengan problematika utama bangsa ini,
yaitu agar bangsa ini segera
berbenah dalam menangani produk hukumnya. Konteks tersebut juga
sangat relevan
dikaitkan dengan peraturan-peraturan tentang periklanan (yang
juga berlaku untuk
penghakiman atas iklan A-mild versi kepiting). Demikian juga
A-mild versi Setiap Gue
Dapat Jawabannya, Ada Yang Ganti Pertanyaannya, statement ini
mampu dibaca sebagai
tidak konsistennya peraturan di Indonesia, sehingga banyak orang
yang telah menemukan
jawaban atas permasalahannya, menjadi kecewa karena ternyata hal
itu tidak menjamin
kebenaran atas jawaban tersebut. Itulah yang disebut oleh
Derrida bahwa Dekonstruksi
menawarkan kata atau tanda yang akan memperoleh maknanya dalam
suatu proses tanda
yang berulang (iteratif) pada konteks yang berbeda dimana secara
konotatif maupun
denotatif artinya akan memperoleh struktur yang stabil.
Keberadaan/presence slogan-slogan oposisional yang kontradiktif
tersebut
memang bukanlah sesuatu yang sederhana. Menurut Derrida,
keberadaan/presence adalah
sesuatu yang sangat kompleks, tidak ada petanda/signified oleh
suatu penanda/signifier,
bahkan oleh penanda/ signifier itu sendiri. Keberadaan
slogan-slogan iklan A-mild versi-
versi ini sebagai penanda menimbulkan bermacam-macam
interpretasi, sehingga
hadirnya slogan-slogan tersebut sebagai signifier tidak mampu
menghadirkan signified-
nya seperti ditulis Benedikt (1991:15) : nothing signified by a
signifier is not also a
-
NIRMANA Vol. 5, No. 1, Januari 2003: 48 - 71
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain
Universitas Kristen
Petrahttp://puslit.petra.ac.id/journals/design/
66
signifier itself, claims Derrida. Orang dapat mengkaitkan apapun
slogan-slogan tersebut
dan menggabungkan dengan serial-serial lainnya sesuai
interpretasi yang berkembang di
alam pikirnya dan sesuai pula dengan segala intelektual dan
konteks dari dirinya masing-
masing. Demikian pula makna harus dicari pada tanda-tanda yang
lain, karena
dekonstruksi tidak menawarkan petanda riel, karena semua penanda
mengalami proses
penundaan (differance yang berarti the process of defferal,
menunda).
Slogan-slogan iklan A-mild sebagai penanda/signifier menurut
Derrida tidak secara
langsung menggambarkan petanda/signified seperti kaca
memantulkan bayangannya.
Menurut Derrida :Hubungan penanda-petanda tidak seperti dua sisi
sehelai mata uang yangdigambarkan Saussure, karena tidak ada
pemisahan yang jelas antara penanda danpetanda. Apabila kita ingin
mengetahui makna penanda-penanda, maka kita harusmelihat kamus.
Didalam kamus dapat ditemukan penanda-penanda lainnya
yangpetandanya harus dicari kembali. Jadi proses interpretasi
selalu bersifat tanpa batasdan sirkuler. Penanda beralih bentuk
menjadi petanda, demikian pula sebaliknya,sehingga kita sebenarnya
tidak pernah sampai pada petanda terakhir yang bukanpenanda.
Interpretasi, dengan demikian merupakan aktifitas tanpa akhir dan
tanpadasar. Struktur tanda ditentukan oleh jejak yang senantiasa
absen. Tanda dibawa ketanda yang lain dan seterusnya tanpa batas,
yang secara bergiliran menjadi penandadan petanda. Tanda tidak
dapat dipelajari sebagai unit homogen yangmenjembatani obyek
(referent) dan tujuan akhir (makna) seperti dianjurkansemiotika,
tetapi sebagai under eraser karena tanda selalu diisi oleh jejak
tandalain.Dekonstruksi menurut Derrida adalah metoda membaca teks
secara teliti, sehinggapremis-premis yang melandasinya dapat
digunakan untuk meruntuhkanargumentasi yang disusun atas premise
tersebut.
Dalam tampilan iklan A-mild, terbaca jejak-jejak yang ada yaitu
disamping slogan-
slogan yang oposisional dan kontradiktif, pembalikan hirarki
serta moda marjinal-
sentralitas terlihat bahwa kata atau tanda kini tidak mampu lagi
menghadirkan makna
sesuatu yang dimaksud secara serta-merta. Makna harus dicari
dalam rangkaian tanda
yang lain yang mendahului tanda yang pertama. Sifat
men-diferensiasi tidak cukup bagi
suatu tanda, realitas makna juga harus dicari dalam tanda-tanda
lain yang mendahului dan
saling terkait (tissue of sign) yang mungkin hanya nampak
jejak-jejaknya saja (traces).
pencarian ini membutuhkan waktu, karena itu pemahaman makna
menjadi tertunda
menanti pengalaman dan konteks lain yang perlu diciptakan.
Serial iklan A-mild ini
mampu menjejajarkan desain ini dalam konteks dekonstruksi yang
nyata. Karena apabila
-
DEKONSTRUKSI DALAM DESAIN KOMUNIKASI VISUAL: SEBUAH PENJELAJAHAN
KEMUNGKINAN (Freddy H. Istanto)
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain
Universitas Kristen
Petrahttp://puslit.petra.ac.id/journals/design/
67
tidak dimunculkan tanda atau seri yang lain, akan sulit membaca
makna dari tanda
tersebut. Jejak-jejak itulah yang membuat makna menjadi
tertunda, karena orang akan
mengkaitkan satu versi dengan versi yang lain dan akan
menafsirkan arti dari tanda atau
slogan tersebut.17
PARERGON
Dalam pemikiran Dekonstruksinya Derrida memperkenalkan konsep
parergon,
dalam kasus ini Derrida mengambil contoh bingkai suatu lukisan.
Para berarti tepi,
ergon diartikan sebagai karya..18 Bingkai lukisan, menurut
Derrida, lebih penting
posisinya dibandingkan dengan lukisannya sendiri. Pembacaan teks
(iklan A-mild)
dekonstruksi harus dilakukan secara teliti dan membuka cakrawala
pemikiran yang
seluas-luasnya. Dalam desain iklan A-mild versi-versi ini,
selalu terbaca adanya garis-
garis lurus seperti garis-garis di buku tulis. Dari konteks
parergon, garis-garis lurus
sebagai latar sebuah desain terlihat menonjol; karena
kehadirannya mampu memperkuat
tampilnya elemen ilustrasi yang lain. Dengan latar garis-garis
yang lurus, teratur dan rapi
maka elemen yang berseberangan akan tampil secara nyata.
Kehadiran garis lurus,
membuat ilustrasi yang acak-acakan, tidak lurus, tidak rapi
menjadi lebih terbaca.
Demikian pula dengan saputan cat yang tidak rata, berlelehan,
berlepotan serta semburan
cat (semacam teknik airbrush) yang tidak rajin, semakin
mencatatlan kehadirannya ketika
disampingkan langsung dengan garis-garis rapi tersebut.
Garis-garis mendatar ini juga
mengingatkan kembali keberadaan iklan A-mild yang selalu tampil
dengan ciri tertentu
ini. Sehingga kehadiran garis-garis lurus tersebut menjadi
penting ketika dia menjadi
bagian aktif dari jejak masa lalu. Disamping ilustrasi bukan
basa-basi dan logo A-
mild, maka kehadiran garis-garis lurus adalah bagian dari citra
A-mild secara
keseluruhan. 19 Dengan demikian latar (garis-garis lurus)
menjadi penting dalam desain
iklan tersebut.
17 Jejak-jejak secara riel juga dihadirkan oleh A-mild sebagai
suatu identifikasi adalah jejak-jejak khas A-mild yaituilustrasi
bukan basa-basi, logo A-mild dan garis-garis lurus sebagai latar.
Ketiganya sebenarnya juga elemen pentingsebagai suatu iklan tetapi
justru ditampilkan secara sederhana, tidak rapi, asal-asalan bahkan
kabur.18 Benedikt (1991)19 tanda ini telah dihadirkan oleh A-mild
sejak 1993 (Swa 2002:28). A-mild adalah pioner rokok rendah Tar
pertama diIndonesia. A-mild aktif berpromosi dengan pesan How Low
Can You Go untuk mengingatkan konsumen akan rendahnya(low)
kandungan Tar bagi konsumennya, pada awal pemunculannya. Dengan
melihat kandungan tar Star-mild (rokok
-
NIRMANA Vol. 5, No. 1, Januari 2003: 48 - 71
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain
Universitas Kristen
Petrahttp://puslit.petra.ac.id/journals/design/
68
PARODI
Meskipun langkah serial dari iklan a-mild ini dapat dianalisa
dan dibaca dengan
cermat (sifat teks dekonstruksi menurut Derrida adalah membaca
dengan teliti teks-teks
yang ada), namun peluang untuk membuka interpretasi pada
slogan-slogan yang
dihadirkan oleh iklan A-mild ini sangat besar. Dalam pendekatan
kaitan penanda-petanda
(signifier-signified) postmodern, Baudrillard menyatakan bahwa
petanda itu sudah mati;
demikian pula dengan iklan A-mild versi ini yang membuka
interpretasi yang demikian
besar bagi mereka yang mengamati. Makna dalam sajian iklan
A-mild tersebut tidak
memiliki ikatan-ikatan yang ideologis, stabil dan mapan, bahkan
yang ditampilkan
cenderung untuk ironis (kontradiktif dan oposisional). Dalam
beberapa versi ini slogan-
slogan tersebut memiliki unsur-unsur humor yang tinggi, yang
terkadang absurd. Piliang
(1998:307) menguraikan tentang bahasa estetik postmodernisme.
Salah satu bahasa
estetika tersebut adalah parodi, menurut Piliang parodi adalah
sebuah komposisi dalam
karya sastra, seni atau arsitektur yang didalamnya kecenderungan
pemikiran dan
ungkapan khas dalam diri seorang pengarang, seniman, arsitek
atau gaya tertentu yang di-
imitasi sedemikian rupa untuk membuatnya humoristik atay absurd.
Efek-efek kelucuan
atau absurditas biasanya dihasilkan dari distorsi atau plesetan
ungkapan yang ada.
Meskipun parodi adalah suatu bentuk imitasi, akan tetapi imitasi
yang ditandai oleh
kecenderungan ironik. Parodi adalah penggunaan kembali karya
masa lalu yang dimuati
dengan ruang kritik, yang menekankan pada kritik, sindiran,
kecaman, sebagai ungkapan
rasa tidak puas atau sekedar menggali rasa humor dari karya
rujukan yang bersifat serius.
Pembacaan tanda pada iklan A-mild memang tidak sederhana, karena
untuk memahami
makna tanda, kita harus menarik kembali atau menelusuri
jejak-jejak tanda yang lain
seperti yang diamanatkan dekonstruksi. Pada serial versi iklan
A-mild ini dihadirkan
slogan Ringan Sama Dijinjing, Berat Elo Yang Pikul,20 ungkapan
ini menawarkan
sejenis pesaingnya) yang lebih rendah, A-mild mengusung slogan
baru Bukan Basa-Basi Muncul kemudian slogan baruOther Can Only
Follow dan tahun (2002) ini menggunakan banyak tagline untuk para
remaja.20 menurut majalah SWA no.20 30 September-9 Oktober 2002,
iklan A-mild versi-versi ini menggambarkan perangsesungguhnya
menghadapi musuh-musuh baru A-mild. Kutipan hasil wawancara SWA
dengan Go Siang Chen, DirekturIntegrity Consulting antara lain
bahwa setelah lima tahun lebih bertempur habis-habisan dengan
Star-mild (PT BentoelPrima) giliran A-mild menantang Gudang Garam
yang dalam waktu dekat meluncurkan rokok ringan Signature.
Maksudpesan itu secara berturut-turut Ayo bersama-sama memasuki
pasar mild, tapi kalau Gudang Garam merasa berat, tanggungsendiri
(Ringan Sama Dijinjing, Berat Elo Yang Tanggung); Sampoerna dan
Gudang Garam adalah sahabat sejati, mari kitaberbagi, tetapi Pacar
(konsumen) tidak bisa dibagi (Sahabat Sejati Selalu Berbagi,
Emangnya Pacar Bisa Dibagi?). KalauGudang Garam bilang kaya, coba
tanya hasil kerja keras siapa (Kalau Dia Bilang Kaya, Coba Tanya
Hasil Kerja Keras
-
DEKONSTRUKSI DALAM DESAIN KOMUNIKASI VISUAL: SEBUAH PENJELAJAHAN
KEMUNGKINAN (Freddy H. Istanto)
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain
Universitas Kristen
Petrahttp://puslit.petra.ac.id/journals/design/
69
distorsi sikap sosial manusia sekaligus mampu membuat orang
tertawa karena ungkapan
ini telah diplesetkan dari ungkapan aslinya Ringan Sama
Dijinjing, Berat Sama
Dipikul. Misi parodi ini jelas dapat dibaca sebagai kritik,
sindiran kecaman atau bahkan
rasa tidak puas. Beberapa slogan yang dihadirkan pada serial
versi ini tidak hanya dapat
dibaca sebagai plesetan, tetapi kalimat demi kalimat juga
menghadirkan kesan
oposisional dan kontradiktif (Sahabat Setia Selalu Berbagi,
Memang Pacar Dapat Dibagi)
atau kecaman (Kalau Dia Bilang Kaya, Coba Tanya Hasil Kerja
Keras Siapa? ). Parodi
lain sangat menonjol muncul dalam versi Kalau Cinta Itu Buta,
Buat Apa Ada Bikini?
SIMPULAN
Berdekonstruksi dalam Desain Komunikasi Visual (yang salah
satunya adalah
desain iklan) bukanlah semata-mata menunjukan bahwa Desain
Komunikasi Visual
adalah permainan elemen-elemen desain yang bersandar ada
bentuk-bentuk standar, nilai-
nilai estetika yang baku saja, tetapi berdekonstruksi dalam
Desain Komunikasi Visual
adalah ber- Desain Komunikasi Visual dengan menggunakan
dekonstruksi sebagai
metoda atau strategi penanganan Desain Komunikasi Visual.
Kehadiran dekonstruksi
dalam Desain Komunikasi Visual diarahkan agar Desain Komunikasi
Visual dapat
memiliki makna yang lebih kaya; dapat menjadikan Desain
Komunikasi Visual lebih
Siapa?). Go Siang Chen juga menterjemahkan salah satu versi yang
lain sebagai : Cepat Luncurkan Produk Baru Mild-mu,Gudang Garam
Jangan ditunda-tunda (Jangan Tunda Besok Apa Yang Bisa Dikerjakan
Lusa.). Dalam interpretasi yangdemikian terbuka di era
postmodernisme, maka pembacaan makna oleh Go Siang Chen ini menjadi
wajar dan mampumenjawab pandangan Rosalin Coward (dalam Piliang
1998:276), juga menurut Richard Hartland. Dalam dekonstruksidikenal
istilah diseminasi. Diseminasi adalah keadaan kehampaan makna
disebabkan telah dibongkarnya petanda/logos.Dengan membongkar
petanda dan dengan demikian makna- maka lenyap pula fungsi
komunikasi dari bahasa. Dalamketiadaan petanda/logos maka bahasa
berkembang lewat energi dan kreativitasnya sendiri (Hartland 1987
dalam Piliang1998). Melalui diseminasi, bahasa menolak
tanggungjawab sosialnya, yakni tangungjawab sebagai media
penyampaianpesan dan makna-makna (ideologis, mitologis, spiritual).
Dalam diseminasi sistim bahasa yang telah dibongkar
ataudidekonstruksi, berubah menjadi suatu penjelajahan anarkis
melalui ungkapan bahasa. Bahasa menjadi sebentuk subversidan parodi
terhadap semua makna-makna yang dianggap mapan pada tingkat kontrol
sosial yang biasa. Dekonstruksi telahmampu membongkar pandangan
dominan dalam semiotika (tanda-makna-konsep) tak dapat memfungsikan
bahasa sebagaisatu wacana sosial, yaitu wacana komunikasi bermakna
diantara subyek-subyek. Interpretasi Go Siang Chen menjadi
wajar(dalam konteks dekonstruksi) yang membuka bebas sebuah
interpretasi, penundaan makna (makna dapat dibaca darimakna-makna
lain yang tertunda) juga menjadi kontekstual ketika dibaca dalam
lingkaran subyek-subyek tertentu (orang-orang periklanan atau
orang-orang yang terlibat dalam industri rokok atau menjadi
berkembang dalam konteks keterikatansubyek-subyek tertentu).
Tanda-tanda dekonstruksi disebut Hartland sebagai tanda anti
sosial. Antisosial yangdimaksudkan oleh Hartland tidak sama dengan
kecenderungan antisosial pada konteks seni modernisme, yang
menjauhkandirinya dari konvensi dan makna sosial yang ada
sebelumnya, dalam rangka membangun konvensinya sendiri yang
bersifatotonom. Menurut Piliang (1998) antisosial yang dimaksud
adalah wacana seni dan kebudayaan tidak menolak konvensi
danmakna-makna sosial serta ideologis, akan tetapi menyelusup ke
dalam sistimnya dalam rangka mensubversi
danmendekonstruksinya.Bahasan dalam Catatan Kaki (footnote) ini
dihadirkan senafas dengan konsep Parergon. Dimana pigura lukisan
lebihpenting dari lukisannya, dalam sudut pandang dekonstruksi.
Bahasan ini penting untuk dihadirkan dalam halaman utama,dengan
semangat dekonstruksi bahasan ini dihadirkan sebagai
catatan-kaki.
-
NIRMANA Vol. 5, No. 1, Januari 2003: 48 - 71
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain
Universitas Kristen
Petrahttp://puslit.petra.ac.id/journals/design/
70
komunikatif dan menawarkan makna-makna yang lebih beragam dan
variatif. Dengan
mendekonstruksi diharapkan Desain Komunikasi Visual dapat
memberi penghargaan atas
keberadaan dan kekuatan yang dimiliki unsur-unsur yang membentuk
Desain Komunikasi
Visual. Dengan demikian, dengan ber-dekonstruksi kita belajar
tentang kekayaan yang
dimiliki Desain Komunikasi Visual, dimana unusr-unsur
terkecilnya sekalipun atau
elemen-elemen yang terpinggirkan dapat berpeluang untuk
self-referensial dan sekaligus
menjadi unsur integral Desain Komunikasi Visual.
Iklan-iklan A-mild versi ini menunjukan pula kehadirannya yang
keluar dari pakem
iklan yang selalu menekankan pada komunikasi-sosialnya. Tampilan
iklan versi ini
menghadirkan pertanyaan-pertanyaan yang sangat beragam dan
kadang sulit dimengerti
apa maksud (pesan-pesan)-nya. Dengan dekonstruksi, bahasa memang
menolak
tanggungjawabnya sebagai media penyampaian pesan dan
makna-makna. Dengan
dekonstruksi, sistim bahasa telah dibongkar atau
di-dekonstruksi, berubah menjadi suatu
penjelajahan anarkis melalui ungkapan bahasa. Bahasa menjadi
sebentuk subversi dan
parodi terhadap semua makna-makna yang dianggap mapan pada
tingkat kontrol sosial
yang biasa.
KEPUSTAKAAN
Benedikt, Michael, Deconstructing The Kimbell, New York, SITES
Book, 1991
Bertens, K., Filsafat Barat Abad XX, Inggris-Jerman, Jakarta, PT
Gramedia PustakaUtama, 1990
Istanto, Freddy H., Rumah Tinggal Frank O. Gehry, Sebuah
Tinjauan Dari SudutDekonstruksi, Makalah Isyu Rancangan Kiwari,
Program Studi Arsitektur InstitutTeknologi Sepluluh Nopember
Surabaya, 1997.
__________, Iklan Dalam Wacana Postmodern, Studi Kasus Iklan
Rokok A-mild,NIRMANA, Jurnal Desain Komunikasi Visual UK Petra,
volume satu nomor satu Januari1999.
Noth, Winfried, Handbook of Semiotics, Indiana University
Press.1990.
Papadakis, Andreas, Deconstructions in Architecture,
Architectural Design, New York,Academy Edition, (1988)
-
DEKONSTRUKSI DALAM DESAIN KOMUNIKASI VISUAL: SEBUAH PENJELAJAHAN
KEMUNGKINAN (Freddy H. Istanto)
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain
Universitas Kristen
Petrahttp://puslit.petra.ac.id/journals/design/
71
Piliang, Jasraf Amir, Sebuah Dunia Yang Dilipat, Realitas
Kebudayaan MenjelangMilenium Ketiga Dan Matinya Modernisme,
Penerbit Mizan, Bandung, 1998
__________, Jurnal Seni Rupa, Volume I/95, 1995
Setiawan, A.J, Konsep Derridean Dan Non-Derridean Dalam
Dekonstruksi Arsitektur,Seminar Dekonstruksi Arsitektur, Jurusan
Arsitektur FTSP Universitas Kristen PetraSurabaya.
Sudjiman, Panuti & Aart Van Zoest Serba-serbi Semiotika,
Jakarta, Gramedia PustakaUtama.1992
Suharto, Christine, Elemen-elemen Dalam Desain Komunikasi
Visual, NIRMANA JurnalIlmiah Desain Komunikasi Visual, Universitas
Kristen Petra. Volume 1 nomor 1 Januari1999.
SWA, Majalah, Perang Badar Produk Massal, no.20, edisi 30
September-9 Oktober2002
Tanudjaja, Bing Bedjo, Bentuk-bentuk Kartunal Sebagai Medium
Penyampaian PesanDalam Iklan, NIRMANA Jurnal Desain Komunikasi
Visual UK Petra, volume 4 nomor2 Juli 2002.
Wiryomartono, Bagoes P., Dekonstruksi Dalam Arsitektur : Sebuah
PenjelajahanKemungkinan, Majalah Kebudayaan Kalam edisi 5,
1995.