7/23/2019 Déjà Vu- Farhan http://slidepdf.com/reader/full/deja-vu-farhan 1/28 Dé jà vu M.Farhan, X.I “ Malam yang sangat tenang. Langit kelam berawan hitam sembunyikan purnama yang menampakkan sinarnya dengan malu-malu. Meneduhi manusia yang terlelap dalam buaian mimpi maya. Sesosok tubuh melayang dari ketinggian langit. Orang itu. Orang yang dijanjikan akan turun di akhir zaman. Umat manusia terbuai dalam mimpinya. Sebuah mimpi maya. Mimpi yang telah diatur oleh sekelompok bajingan itu. Mimpi yang menembus pikiran alam bawah sadar. Mimpi yang membuat manusia akan hidup di alam mimpi selamanya…” Kelebatan gambar itu terlintas di alam bawah sadarku. Ya, gambar-gambar itu. Gambar-gambar yang menghantui pikiranku selama ini. Gambar-gambar peristiwa yang akan terjadi di masa depan. Semua terlintas di saat yang tidak terduga. Hidupku yang tak pernah tenang lagi semenjak kejadian itu. Kejadian yang membuatku memiliki anugerah ini. Anugerah melihat kelebatan-kelebatan peristiwa yang akan terjadi nanti. Peristiwa yang akan mengubah sejarah dan hidup manusia. Manhattan, New York 18 April 1993 Entah kau mau percaya ceritaku atau tidak, semua kembali ke logika dan nalar yang ada pada dirimu. Tapi aku bersumpah ini nyata. Namaku Richard Rodriguez. Kau bisa memanggilku Richie. Awalnya aku hanyalah seorang anak kecil biasa, hidup normal seperti teman-teman seusiaku, aku pergi ke taman kanak-kanak, bermain baseball, suka roti isi selai kacang, menonton The Simpsons di malam hari. Semuanya sangat normal. Saat itu aku masih tinggal di Manhattan, New York. Semua kejadian itu berawal disaat aku masih berusia 4 tahun, musim panas yang indah di tahun ’93. Kejadian itu masih segar di benakku, seperti baru saja terjadi kemarin sore. Orang-orang berbaju putih itu. Orang-orang yang menculikku di halaman belakang rumahku saat aku sedang bermain sendirian tanpa pengawasan orang tuaku. Orang- orang yang menyekapku di dalam bagasi sebuah mobil tua. Orang-orang yang membawaku ke sebuah tempat yang sangat aneh. Ya, aku tak tahu harus menyebut apa tempat itu, entah laboratorium, atau sebuah penjara. Tempat serba putih yang sangat luas. Tempat yang penuh dengan orang-orang berjubah putih dan mengenakan topeng. Topeng itu, topeng yang sangat menakutkan bagi anak kecil sepertiku. Topeng berbentuk makhluk-makhluk paling mengerikan yang pernah ada, yang belakangan kuketahui berasal dari peradaban mesir kuno. Aku dijadikan “kelinci percobaan”oleh mereka. Orang-orang tidak berperikemanusiaan yang menjalankan sebuah proyek rahasia. Proyek yang mengubah frekuensi gelombang otak manusia. Eksperimen mereka telah menghabiskan puluhan nyawa anak-anak kecil tidak berdosa. Aku termasuk salah satu diantara sekian anak yang beruntung tidak meregang nyawa saat alat itu menusuk otakku. Ya, alat itu. Aku tidak tahu namanya, tapi alat itu sangat mengerikan, terbuat dari silinder besar logam yang berukir gambar-gambar aneh dan berujung tajam seperti jarum untuk menyuntik. Alat yang menyuntikkan gelombang listrik tegangan tinggi yang membuatku kejang-kejang dan mulut berbusa selama beberapa saat sehingga aku dianggap “kelinci percobaan” yang gagal. Aku dibuang dari laboratorium itu. Laboratorium nomor 51. Aku dibuang ke sebuah gudang yang di dalamnya bertumpuk gunungan mayat anak-anak kecil tak berdosa yang “gagal ”.
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Aku masih ingat saat-saat mengerikan itu. Sendirian di sebuah ruangan ditemani puluhan
mayat anak-anak seumuranku yang bermuka menjerit dalam sunyi. Beruntung aku bisa keluar
dari tempat itu. Sangat beruntung. Aku menyelinap saat orang-orang itu masuk membawakanku
sebuah mayat lagi. Aku ingat saat-saat mencekam itu. Tersesat sendirian di tempat itu. Melihat
percobaan-percobaan mengerikan lain. Melihat kurungan berisi anak-anak tidak berdosa itu.Ekspresi ketakutan mereka terekam di otakku hingga saat ini. Lalu pria itu melihatku. Salah satu
pria yang mengenakan jubah putih itu, tapi tidak mengenakan topeng. Pria kekar berahang
tegas berambut abu-abu yang memiliki sebuah luka codet yang dalam di pipi kirinya. Dia
mendekatiku, aku bergegas berlari darinya. Aku takut dia akan membawaku kembali ke
laboratorium itu. Dia mengejarku.
“Tidak apa-apa, aku tidak akan menyakitimu” ujarnya dengan suara berat.
Dia berhasil mengejarku, lalu menggendongku secara paksa dan membawaku ke mobilnya
yang sudah terparkir di belakang tempat itu. Aku dibuatnya pingsan sehingga tidak tahu dimana
lokasi tempat itu, tetapi aku masih ingat saat-saat terakhir itu, nama yang tercantum di jubahnya
adalah
“Horus”
Aku masih ingat kejadian dé jà vu pertamaku. Saat itu aku berumur 5 tahun. Kelebatan gambar
pertama itu muncul saat aku sedang menonton acara NFL di televisi. Gambar runtuhnya
menara kembar WTC di New York. Gambar ledakan yang menewaskan orang orang tak
berdosa itu. Gambar muka-muka korban luka bakar, dan juga mayat-mayat itu. Awalnya aku
mengacuhkan hal-hal itu, namun ternyata gambar-gambar itu benar-benar terjadi saat 11
September 2001. Lama-kelamaan kelebatan gambar-gambar itu kugambar di dalam sebuah
buku gambar. Kugambar kelebatan gambar itu dengan sedetail mungkin, dan gambar itu selalu
menjadi kenyataan. Gambar invasi AS ke Irak, gambar tsunami Asia Tenggara, gambar
terpilihnya presiden kulit hitam AS pertama, gambar gempa di Jepang, gambar kerusuhan
London, dan gambar-gambar lainnya.
Florida, 15 Oktober 2012
Kini usiaku sudah 23 tahun. Kelebatan gambar itu masih sering lewat di otakku, tapi sekarang
aku lebih menikmatinya. Rasanya seperti mendapat berita lebih dahulu dari orang lain.
Kelulusanku dari Harvard tinggal menunggu waktu. Aku mempelajari ilmu astronomi disana, aku
ingin mengungkap rahasia alam semesta yang sangat luas, tentang fenomena-fenomena yang
terjadi diluar logika manusia. Kunikmati liburan sebelum wisuda ini di rumah kecilku, sebuah
kota kecil di tepi pantai di Negara bagian Florida. Berselancar di pagi hari, menikmati matahariterbenam di sore hari, dan membakar api unggun di malam hari bersama teman-temanku.
Sudah sebulan ini aku sengaja tak berhubungan dengan dunia luar. Aku ingin menikmati libur
sebelum wisuda ini. Libur sebelum kembali ke dunia nyata. Hari ini masih pagi buta. Sebelum
melakukan rutinitas berselancar, rasa iseng membawaku untuk menyalakan lagi Macbook-ku.
Kubuka halaman facebook-ku. Teman-teman sejurusanku sudah mendapat pekerjaan semua,
kecuali diriku. Nathan diterima di NASA, Jessica akan bekerja di ISS, Eddie yang pemalas pun
diterima di CNN sebagai peramal cuaca.
“Hai Richie, sudah dapat pekerjaan? Jika belum ada…”
Saat itu baru kusadari, ternyata diriku sedang dibuntuti oleh sebuah mobil di belakangku. Mobil
tanpa plat nomor. Sebuah van Chevrolet hitam tahun 80-an.
Pengemudinya adalah seorang dengan topi hitam dan kacamata yang juga hitam, mengenakan
jaket hitam dan bersarung tangan hitam pula.
Serba hitam, mencurigakan batinku.
Tiba-tiba terlihat moncong sebuah pistol di spionku. “DORR!!” pria mencurigakan itu
menembakkan pistol revolver 9mm-nya ke arah mobilku. Beruntung peluru itu meleset sekian
millimeter dari ban belakang mobilku. “DORRR!! DORR!!” pria itu kembali memuntahkan
lesatan timah panas dari pistolnya. Aku segera menginjak kopling, memindahkan gigi,
menginjak pedal gas dalam-dalam dan mengebut Camaro-ku sekencang mungkin melewati
jalanan antar negara bagian ini. Jarum angka di speedometerku sudah menunjukkan angka 180
km/jam. Rentetan peluru kembali terdengar di belakangku, dan peluru itu mengenai bagasi
belakangku.
Sialan, kau harus membayar itu pikirku.
Dengan lincah mobilku berkelok menyusuri jalanan Grand Canyon yang berbahaya dan
berliku-liku. Sebisa mungkin mobilku harus berjarak minimal 500 meter sehingga jarak
tembaknya menjadi tidak efektif lagi. Pedal gas kuinjak semakin dalam, putaran mesin mobilku
sudah mencapai 8.600 rpm, van itu semakin tertinggal jauh dibelakang mobilku. Di depankutepampang rambu peringatan akan tikungan tajam yang hampir membentuk sudut 90 derajat.
Aku segera melepas injakan pedal gasku dan menarik rem tangan, membuat gerakan drifting
yang kupelajari dari teman sekelasku di masa SMA yang berasal dari kiblat drifting dunia,
Hanzo. Mobilku meluncur dengan mulus di tikungan tajam itu. Sedangkan orang misterius itu
karena saking bernafsunya ingin mengejarku tidak melihat tanda peringatan tikungan tajam itu,
dan dengan mulusnya mobil itu terjun langsung ke kedalaman Grand Canyon yang berbatu
tajam. Mobilku berhenti di tepi jurang. Pandanganku tertuju pada sungai berbatu tajam yang
mengalir deras 500 meter dibawahku. Mustahil dia bisa selamat.
Mengganggu saja batinku.
Aku kembali ke mobil dan melanjutkan sisa perjalananku, khawatir terlambat tiba di N.Y tepat
pada waktunya.
Aku tiba di Madison Square Garden tepat saat purnama penuh. New York Knicks sedang
bermain melawan Los Angeles Lakers.
Hei, jauh-jauh aku kesini mengapa melewatkan kesempatan emas ini? Menonton permainan
Lakers langsung dengan mata kepalaku sendiri pikirku.
Final NBA game pertama musim ini. Puluhan ribu pasang mata menyaksikan permainan knicks
melawan lakers.
Kedua tim saling kejar mengejar skor. Pertandingan sudah memasuki kuarter terakhir.
Puluhan ribu penonton menjerit saat Kobe Bryan melakukan slam dunk dengan brilian,
permainan berakhir dengan 99-101. Kemenangan tipis untuk Lakers.
“ Aku memiliki perasaan buruk akan adanya menara itu, orang-orang di sekitarnya juga
merasakan hal yang sama.”
Taksi berhenti di hotel tempat kami menginap. Sebuah hotel kecil yang terletak di daerah yangmasih belum tersentuh tangan pengembang-pengembang yang bernafsu menghabiskan dollar
minyak itu. Meir membayar tip yang sangat besar bagi Hussein. Hussein berterimakasih.
“Lebih baik kita menginap di daerah seperti ini, tak terlalu menarik perhatian.” ujar Meir. Kami
segera check in dan memasuki kamar kami. Kami berbagi kamar. “Baiklah Richie, sebaiknya
kita beristirahat dulu sebelum aksi kita nanti, 6 Desember 2011.” Meir tertidur di kasur.
Aku termangu di jendela. Siapakah mayat itu? Apakah salah satu dari kami harus meninggal?
Atau salah satu teman Meir, anggota Illuminati? Diriku terlalu muda untuk semua ini.
Bagaimana reaksi orang tuaku nanti jika aku mati di tanah asing? Aku bahkan belum menikah.
Jika aku harus meninggalkan dunia ini terlebih dahulu, apa yang akan kurasakan nanti setelah
kematian? Apakah benar ada surga dan neraka? Aku ingin memberitahukan hal itu kepada
Meir, tapi aku sungkan. Ketakutan itu terus bersemayam dalam hatiku hari demi hari. Hari-hari
di Dubai kuhabiskan di hotel sementara Meir terus berusaha mencari informasi lebih detail
tentang Burj Dubai, sehingga tak akan ada halangan yang akan menimpa kami nanti.
Dubai, 6 Desember 2012, 19:30 Malam
Malam itu, aku mendapatkan sebuah keajaiban maha dahsyat. Sebuah hidayah yang
diturunkan kepadaku. Panggilan itu, ya panggilan lima kali sehari. Adzan Isya yang
menyadarkanku. Adzan yang menjadi sumber pencarian jati diriku selama ini. Seolah menjadi
jawaban apa tujuanku berada di dunia ini. Aku tersadar dari lelapnya mimpiku. Empat hari
berada disini membuatku lebih mengenal Islam dari dekat. Melihat Islam yang sesungguhnya.
Bukan Islam hasil propaganda media-media barat. Aku melangkah di malam yang dingin.
Kakiku melangkah secara otomatis ke arah masjid yang terletak tak jauh dari hotel. Hatiku luluh
saat melihat umat Islam menjalankan ibadah shalat subuh secara khusyuk. Aku termenung di
pelataran masjid. Itulah jawaban atas pertanyaan hidupku selama ini. Tujuan diciptakannya
diriku. Untuk beribadah kepada-Nya. Tuhan yang satu. Tuhan semesta alam. Tuhan yang Maha
Adil. Dia membimbingku kesini untuk mendapatkan hidayah. Semua ini telah diatur oleh Allah
swt. Mereka telah selesai shalat. Aku berjalan tertatih-tatih ke orang yang memimpin shalat.
Seseorang yang sangat ramah dan baik. Imam masjid ini. Dia menjelaskan semua
pertanyaanku tentang Islam. Yang semakin menguatkan hatiku untuk mengikuti ajaran yang
dibawa Nabi Muhammad saw. Ajaran yang tidak pernah berubah dari awal diturunkannyawahyu. Tidak seperti agama-agamaku sebelumnya yang isi ajarannya berubah-ubah menurut
kepentingan pribadi golongan tertentu. Pencerahan itu membekas di hatiku. Mungkin nanti
malam aku sudah tidak hidup lagi. Hatiku sudah mantap untuk memeluk Islam. Bergabung
dengan sebuah agama yang mengajarkan kebenaran. Sebuah agama yang mengajarkan jalan
yang lurus bagi setiap manusia. Mungkin nanti aku sudah tidak berada di dunia ini lagi. Bibirku
mengucap kalimat syahadat dengan kaku dibimbing oleh imam masjid, disaksikan oleh jamaah
shalat Isya yang mengelilingi diriku.
“ Asyhadu allaailaahaillalllah. Wa asyhadu anna Muhammadarrosuululloh.”
Gemuruh takbir bergaung di masjid. Jamaah yang menyaksikan prosesi sakral itu segera
berebutan untuk memelukku. Persaudaraan Islam memang erat. Persaudaraan yang dilandasi
iman dan islam. Persaudaraan yang tak akan lekang oleh waktu. Persaudaraan yang tak
memandang usia dan ras. Akhirnya diriku bergabung dengan sebuah keluarga terbaik di dunia.
Air membasahi mataku. Akhirnya diriku menemukan kebenaran hakiki. Semua yang terjadi
memang ada hikmahnya. Aku mengganti namaku menjadi Umar. Aku terinspirasi dari
keberanian Umar dalam menegakkan keadilan dan kerendah hatiannya. Aku segera
mensucikan diri dari najis-najis yang masih melekat saat diriku masih kafir. Setelah itu aku
berwudhu dan menunaikan Shalat Isya. Shalat pertamaku dalam hidup. Semua gundah gulana
yang tertanam dalam hati kecilku punah sudah. Hatiku menemukan kedamaian dalam naungan
Islam. Kini diriku sudah tidak takut lagi untuk menghadapi momen krusial itu. Momen yang akan
merubah hidup manusia.
Dubai, 6 Desember 2012, 22:00 Malam
Malam yang senyap di Dubai yang gemerlap. Langit yang kelam ditutupi awan hitam. Dua
bayangan berpakaian hitam melintas di kegelapan malam. Malam yang akan merubah hidup
umat manusia apabila kami gagal melakukannya. Aku memulai semua ini dengan Bismillah,
semoga Allah memberikan perlindungan-Nya kepada kami berdua. Kami berjalan dalam
kegelapan malam. Kami berusaha agar tak terlihat oleh orang-orang Illuminati yangberkeliaraan di jalanan Dubai. Kami menyelinap sehati-hati mungkin, agar rencana kami yang
telah tersusun rapi tidak hancur berantakan . Itu dia, Burj Dubai yang terkenal itu. Menara
tertinggi di dunia. Aku mengeluarkan liontin yang kubawa kemanapun aku pergi. Liontin
bergambar tunanganku, Selena. Aku mengecupnya sekali. Semoga aku masih bisa bertemu
dengannya nanti. Entah mengapa semua rencana yang tersusun rapi di otakku terasa hancur
berantakan. Aku menjadi gelisah. Kukencangkan tali ransel yang berisi Macbook-ku. Semoga
rencana kami berhasil, ya Allah batinku.
“Kau gugup, Richie?” tanya Meir
“Kalau aku boleh jujur, sangat gugup.”
“Tenanglah, kita harus tenang. Jika kau gugup, itu akan menjadi masalah nantinya.”
Aku menenangkan diri. Aku membaca beberapa doa yang diajarkan oleh imam masjid tadi. Aku
memasrahkan diri kepada Allah swt. Semoga kami berhasil, dan dunia terselamatkan. Kini rasa
gugupku sudah mulai mereda.
“Baiklah Meir, mari kita mulai.”
Kami menyelinap ke salah satu pintu masuk Burj Dubai yang berada di sisi paling sepi dari
keramaian. Meir melumpuhkan para penjaga keamanan dari belakang dengan jurus totoknya.
Meir mengambil sepasang senapan dari tubuh penjaga yang terbujur kaku di lantai dan
“Sebisa mungkin kita tidak memancing keributan, atau kita akan ketahuan.”
Kami bergegas menaiki lift, merusak CCTV, lalu memencet nomor lantai sebelum lantai teratas,
lantai 699. Lift ini adalah sebuah lift supercepat sehingga hanya menunggu selama beberapa
menit, kami sudah tiba di tujuan. PIntu terbuka dan ternyata sebuah kejutan telah menyambut
kami. Lima pria bersenjata lengkap menghadang kami. Kami kalah jumlah. Tapi bukan Meir
namanya jika dia tidak punya nyali. Dia melakukan aksi kung fu yang sangat mengagumkan.
Dia menotok kelima orang itu dengan gerakan yang sangat cepat. Sampai-sampai aku tak bisa
melihat gerakannya dengan jelas. Kami segera bergegas menaiki tangga darurat dan
menyelinap ke lantai teratas.
“Mereka telah mengetahui kita.” aku panik.
Meir diam saja. Aku terus berlari mengikutinya. Aku melompati dua anak tangga sekaligus.
Bobot Macbook-ku terasa menjadi berat berpuluh kali lipat di punggungku. Aku merasakan
hawa tidak enak. Kami tiba di lantai teratas.
“Kerja bagus, Meir.” Suara di ujung ruangan bergema di ruangan ini. Ranselku terjatuh
berdebum. Ruangan ini berisi kumpulan pria berjubah hitam yang duduk dalam meja yang
melingkar. Mereka melepas topengnya. Muka-muka pemimpin negara-negara adidaya. Muka-
muka taipan bisnis dunia. Muka-muka pemimpin redaksi media massa yang terkenal di penjuru
dunia. Muka-muka tokoh-tokoh penting duduk di lingkaran itu. Mereka petinggi Illuminati. Aku
terperanjat. Apa maksud dari ini semua? Di ujung ruangan duduklah seorang yang misterius,
yang ditutupi oleh tirai. “Baiklah anak muda, apa yang kau harapkan disini? Ini adalah awal dari
sebuah dunia baru.” pria misterius itu kembali berbicara. “Lebih baik kau duduk manis disini dan
melihat proses agung terbentuknya sebuah dunia baru.Hahahaha.” pria misterius itu tertawa
kejam. Para pengawal menghampiriku dan mengikat tubuhku dengan tali tambang. Aku
memberontak, tetapi tak ada gunanya. Aku kalah jumlah. Aku kalah tenaga. Aku melemparkan
pandangan bertanya pada Meir. Tapi Meir hanya diam membisu.
“Meir, selama ini kau menipuku!”
“ Aku tak punya pilihan, mereka menawan keluargaku.”
Ternyata keluarga Meir tidak sedang liburan. Selama ini mereka diculik oleh Illuminati
“Baiklah Avram Meir, ini hadiah atas kerja kerasmu.” pria misterius itu melemparkan secarik
kertas dan sebuah kunci kepada Meir. “Pergi dan bebaskan keluargamu setelah pesta kita.”
Meir duduk di salah satu kursi yang kosong di lingkaran itu. Ekspresinya datar melihatku.
Selama ini aku ditipu. Jika tahu begini lebih baik aku tidak datang dari awal. Aku dijebak olehorang yang pernah menyelamatkan hidupku. Aku merasa seperti keledai dungu. Terikat di
tengah-tengah lingkaran setan. Sementara itu jam di dinding sudah menunjukkan pukul 23:59.
“Baiklah tuan-tuan. Saatnya berpesta! “ pria misterius itu kembali berbicara. “Mari bersulang
untuk dunia baru!”
Proyektor itu bekerja. Seberkas cahaya memancar dari puncak Burj Dubai. Cahaya hologram
yang memancarkan animasi Isa Al-Masih turun dari langit. Gelombang elektromagnetik
memancar dari Burj Dubai, menghipnotis umat manusia di penjuru bumi. Pasti saat ini
mayoritas media massa sedang menyiarkan berita ini. Karena tangan Illuminati bermain di
belakang semuanya. Manusia terhipnotis, semuanya akan akan hidup dalam alam mimpi
selamanya. Aku tidak tahan melihat ini semua. Bagaimana Selena sekarang? Apakah dia
terhipnotis juga? Aku beristigfar dalam hati. Aku memohon ampun atas semua kesalahan yang
pernah kuperbuat. Semoga Allah swt mengabulkan taubatku. Inilah saat terakhir, saat sebelum
diriku menjemput ajal. Aku telah gagal. Gagal menyelamatkan umat manusia. Gagalmenyelamatkan Selena. Padahal aku ingin mengajaknya masuk Islam setelah ini. Aku ingin
menghabiskan sisa hidupku yang tenang bersamanya. Tapi, apa daya. Semua sudah terlambat.
Manusia menjadi budak bagi mereka, para Illuminati. Aku terpedaya Meir. Semua ini sudah
diatur sejak awal. Aku tak bisa berbuat apa-apa.
“Baiklah nak, saatnya dirimu kembali ke neraka. Kurasa kau sudah melihat cukup banyak.” Tirai
itu terbuka. Aku menjerit. Seorang pria berwajah mengerikan bermata satu, berambut keriting
berpakaian tuksedo duduk di sebuah sofa mewah yang empuk. “Sebelum kau menyapa
malaikat penjaga neraka, ada baiknya aku memperkenalkan diriku. Akulah Dajjal. Aku adalah
pemimpin tentara suci yang akan melawan umat Muslim! Dan ini adalah salah satu rencana
awalku. Untuk rencana-rencana berikutnya…maaf. Kau tidak bisa melihatnya. Kau akan
kupulangkan ke neraka.”
Dia menjetikkan jari dan sebuah lecutan api menampar mukaku. Rupanya dia ingin menyiksaku
dulu sebelum ajal menjemputku. Tiba-tiba sekumpulan pasukan masuk ke ruangan.
“Lapor tuan! Pancaran gelombang elektromagnetik terhenti. Sepertinya ada yang mengacaukan
pusat kendali proyektor kita!”
Aku terperanjat. Aku melihat sekeliling. Tidak ada Meir. Pasti dia yang melakukannya. Ternyata
selama ini dia juga berpura-pura pada Illuminati. Tadi dia hanya berpura-pura menyerahkanku.
Dialah yang membawa macbook-ku dan mengacaukan sistem. Layar di dinding
memperlihatkan manusia yang kembali sadar dari hipnotis. Selena selamat. Banyak manusia
yang kebingungan atas apa yang terjadi. Aku memanfaatkan situasi ini dengan berguling ke
arah pintu. Tidak ada yang menyadariku. Mereka semua terlalu panik. Aku menyangkutkan tali
pengikatku ke pengait besi yang ada di tembok, aku berguling dengan cepat. Tali pengikatku
terlepas. Aku berlari ke dalam lift. Aku bertemu dengan Meir.
“Maaf atas yang tadi, Richie. Aku tak tahu mereka berkumpul di atas. Kurasa sedikit improvisasi
tidak apa-apa kan?”
“Yang penting rencana kita berhasil.”
Terdengar derap langkah dari kejauhan. Mereka menyadari hilangnya diriku. Kami dalam
bahaya.
“Dengar Richie. Ini alamat dimana keluargaku ditawan.” Meir menyerahkan secarik kertas dan
kunci. “Bebaskan mereka, dan bawa mereka kabur bersamamu Richie. Sampaikan kepada
mereka. Aku sayang mereka.”
“ Apa yang akan kau lakukan Meir?”
“ Aku akan menahan mereka, hanya itu peluang kita.”
“ Malam yang sangat tenang. Langit kelam berawan hitam sembunyikan purnama yangmenampakkan sinarnya dengan malu-malu. Meneduhi manusia yang terlelap dalam buaian
mimpi maya. Sesosok tubuh melayang dari ketinggian langit. Orang itu. Orang yang dijanjikan
akan turun di akhir zaman. Umat manusia terbuai dalam mimpinya. Sebuah mimpi maya. Mimpi
yang telah diatur oleh sekelompok bajingan itu. Mimpi yang menembus pikiran alam bawah
sadar. Mimpi yang membuat manusia akan hidup di alam mimpi selamanya…”
Kelebatan gambar itu terlintas di alam bawah sadarku. Ya, gambar-gambar itu. Gambar-gambar
yang menghantui pikiranku selama ini. Gambar-gambar peristiwa yang akan terjadi di masa
depan. Semua terlintas di saat yang tidak terduga. Hidupku yang tak pernah tenang lagi
semenjak kejadian itu. Kejadian yang membuatku memiliki anugerah ini. Anugerah melihat
kelebatan-kelebatan peristiwa yang akan terjadi nanti. Peristiwa yang akan mengubah sejarah
dan hidup manusia.
Manhattan, New York 18 April 1993
Entah kau mau percaya ceritaku atau tidak, semua kembali ke logika dan nalar yang ada pada
dirimu. Tapi aku bersumpah ini nyata. Namaku Richard Rodriguez. Kau bisa memanggilku
Richie. Awalnya aku hanyalah seorang anak kecil biasa, hidup normal seperti teman-teman
seusiaku, aku pergi ke taman kanak-kanak, bermain baseball, suka roti isi selai kacang,
menonton The Simpsons di malam hari. Semuanya sangat normal. Saat itu aku masih tinggal di
Manhattan, New York. Semua kejadian itu berawal disaat aku masih berusia 4 tahun, musim
panas yang indah di tahun ’93. Kejadian itu masih segar di benakku, seperti baru saja terjadi
kemarin sore. Orang-orang berbaju putih itu. Orang-orang yang menculikku di halaman
belakang rumahku saat aku sedang bermain sendirian tanpa pengawasan orang tuaku. Orang-
orang yang menyekapku di dalam bagasi sebuah mobil tua. Orang-orang yang membawaku ke
sebuah tempat yang sangat aneh.
Ya, aku tak tahu harus menyebut apa tempat itu, entah laboratorium, atau sebuah penjara.
Tempat serba putih yang sangat luas. Tempat yang penuh dengan orang-orang berjubah putih
dan mengenakan topeng. Topeng itu, topeng yang sangat menakutkan bagi anak kecil
sepertiku. Topeng berbentuk makhluk-makhluk paling mengerikan yang pernah ada, yang
belakangan kuketahui berasal dari peradaban mesir kuno. Aku dijadikan “kelinci percobaan”
oleh mereka. Orang-orang tidak berperikemanusiaan yang menjalankan sebuah proyek rahasia.
Proyek yang mengubah frekuensi gelombang otak manusia. Eksperimen mereka telah
menghabiskan puluhan nyawa anak-anak kecil tidak berdosa.
Aku termasuk salah satu diantara sekian anak yang beruntung tidak meregang nyawa saat alat
itu menusuk otakku. Ya, alat itu. Aku tidak tahu namanya, tapi alat itu sangat mengerikan,
terbuat dari silinder besar logam yang berukir gambar-gambar aneh dan berujung tajam seperti
jarum untuk menyuntik. Alat yang menyuntikkan gelombang listrik tegangan tinggi yang
membuatku kejang-kejang dan mulut berbusa selama beberapa saat sehingga aku dianggap
“kelinci percobaan” yang gagal. Aku dibuang dari laboratorium itu. Laboratorium nomor 51. Aku
dibuang ke sebuah gudang yang di dalamnya bertumpuk gunungan mayat anak-anak kecil tak
“Jangan cepat-cepat Richie. Lebih baik kita nikmati dulu sarapan kita sekarang.” jawab Meir
ringan.”
Kami pun menikmati sarapan dalam diam. Omelette buatan Meir sangat enak. Digoreng garing
dengan tambahan daging asap di dalamnya.
“Kau jago memasak, Meir.”
“Resep dari keluargaku.” jawabnya acuh.
Tak terasa piring kami sudah bersih dari makanan. Meir beranjak ke kulkas, mengambil
sekaleng bir dingin.
“Mau minum?” tawarnya.
“Tidak, aku tidak minum bir.” jawabku singkat.
“Jadi, mau tahu rencana kita sekarang?” tawar Meir.
“Tentu saja!” jawabku bersemangat. “Demi keselamatan umat manusia!” tambahku.
“Haha, baguslah jika kau bersemangat.” Ujarnya. “Jadi, rencana utama dari Illuminati adalah
mengendalikan umat manusia dalam mimpi, menghapuskan agama, pemerintahan, dan sekat-
sekat pemisah. Mereka akan memproyeksikan seolah-olah Isa Al-Masih turun dari langit untuk
membawa manusia dalam kedamaian. Lalu menembakkan gelombang elektromagnetik yangmengendalikan alam bawah sadar manusia. Setelah itu manusia akan menjadi budak Illuminati
selamanya. Dan kau adalah salah satu kelinci percobaan mereka, percobaan gelombang
elektromagnetik yang disuntikkan ke otak.” terangnya.
“Tapi mengapa aku mendapat bakat ini? Bakat melihat masa depan?” tanyaku.
“Saat itu aku yang mendapat giliran mengujimu. Dan aku melihat anomali dalam otakmu.
Otakmu dianugrahi kemampuan luar biasa saat bereaksi terhadap gelombang hipnotis. Otakmu
memberontak terhadap pengaruh hipnotis itu. Aku melihat berubahnya frekuensi gelombangotakmu menjadi gelombang otak yang jarang ditemukan dalam otak manusia kebanyakan.
Gelombang Theta.” jawabnya.
“Gelombang Theta? tanyaku.
”Ya, gelombang yang hanya ada pada orang yang memiliki indra keenam. Indera untuk melihat
masa depan.” terangnya.
“Jadi aku memiliki indera keenam?” tanyaku keheranan.
“Iya, tepatnya dé jà vu.” jawab Meir.
“Dé jà vu? Jadi itu benar-benar nyata?” tanyaku.
“Ya, bagi orang-orang tertentu.” jawabnya dingin.
“Tapi mengapa kau menyelamatkanku waktu itu?” tanyaku.
“ Aku berpikir kau selayaknya dibiarkan hidup. Kau memiliki bakat terpendam.” Jawab Meir