DEIDEOLOGI POLITIK ISLAM (Kebijakan Pemerintah Orde Baru dalam Pemberlakuan Asas Tunggal) Oleh: DEDEK SULAIMAN NIM. 102033224759 JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H/2008 M
70
Embed
DEIDEOLOGI POLITIK ISLAM Kebijakan Pemerintah Orde Baru ... · pembangunan politik Orde Baru.8 Kebijakan politik Orde Baru antara lain dilakukan lewat depolitisasi partai politik,
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
DEIDEOLOGI POLITIK ISLAM
(Kebijakan Pemerintah Orde Baru dalam Pemberlakuan Asas Tunggal)
Oleh:
DEDEK SULAIMAN NIM. 102033224759
JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429 H/2008 M
DEIDEOLOGI POLITIK ISLAM (Kebijakan Pemerintah Orde Baru dalam Pemberlakuan Asas Tunggal)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh
Dedek Sulaiman NIM. 102033224759
Di Bawah Bimbingan Pembimbing
Nawiruddin, M.A NIP. 150 317 965
JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1429 H/2008 M
LEMBAR PENGESAHAN
Skipsi ini berjudul DEIDEOLOGI POLITIK ISLAM (Kebijakan
Pemerintah Orde Baru dalam Perberlakuan Asas Tunggal) telah diujikan
dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam
Negeri Jakarta pada tanggal 31 Maret 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada program
studi Pemikiran Politik Islam.
Jakarta, 31 Maret 2008
Sidang Munaqasyah,
Ketua Sidang merangkap anggota, Sekretaris merangkap anggota,
Drs. Bustamin, M.A. Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.A. NIP. 150 298 320 NIP. 150 270 808
Anggota:
Dra. Haniah Hanafie, M. Si. Drs. Agus Darmaji, M.Fils. NIP. 150 299 932 NIP. 150 262 447
Nawiruddin, M.A. NIP. 150 317 965
KATA PENGANTAR
Al-hamdulillah, segala puji Allah SWT atas segala rahmat, inayah dan
hidayah-Nya, sehingga penulis mampu menyelesaikan tulisan ini, sebagai
persyaratan untuk meraih gelar sarjana. Shalawat dan salam, semoga tetap
dicurahkan kepada junjungan kita, nabi tercinta, Muhammad SAW.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis tidak sedikit mengalami hambatan dan
rintangan terutama karena keterbatasan kemampuan penulis, waktu dan juga
buku-buku referensi yang tersedia. Namun berkat bantuan dan motivasi dari
berbagai pihak, al-hamdulillah skripsi ini dapat diselesaikan.
Sehubungan dengan selesainya penulisan skripsi ini, penulis mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Dr. Amin Nurdin, MA., sebagai Dekan Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat beserta segenap pembantu Dekan. Bapak Drs. Agus Darmadji, M.
Fils., selaku Ketua Jurusan Pemikiran Politik Islam, Ibu Dra. Wiwi Siti
Sajaroh, M.Ag, selaku Sekretaris Jurusan, serta segenap dosen yang telah
memberikan bekal pengetahuan kepada penulis, baik secara teoritis, maupun
praktis selama berada dalam perkuliahan.
2. Bapak Nawiruddin, MA, selaku dosen pembimbing, dengan penuh kesabaran,
ketelitian dan perhatian, selama memberikan bimbingan kepada penulis.
3. Ayahanda dan Ibunda yang tercinta, yang sangat berjasa dalam mengasuh,
mendidik dan membimbing penulis dengan sabar dan penuh kasih sayang
semenjak dari kecil hingga sekarang ini, serta selalu mendo’akan penulis baik
di siang hari maupun pada malam hari, demikian juga tidak ketinggalan
Abang-abang dan adik-adikku tercinta yang kesemuanya telah memberikan
dukungan bagi penulis.
4. Teman-teman mahasiswa Pemikiran Politik Islam angkatan tahun 2002 yang
tidak dapat disebutkan satu persatu, serta teman-teman HIMLAB dan juga
rekan-rekan kostan Antala’lai.
5. Dan semua pihak yang telah banyak membantu dalam penyelesaian skirpsi ini.
Karena berbagai keterbatasan penulis, skripsi ini disadari masih banyak
kekurangannya, namun tidak berlebihan jika penulis berharap bahwa skripsi ini
ada manfaatnya, khususnya bagi penulis sendiri.
Jakarta, 12 Maret 2008
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.........................................................................................
............................................................................................................................... i
DAFTAR ISI........................................................................................................
............................................................................................................................... iii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.................................................................
rangka melanggengkan kekuasaannya. Namun yang jelas proses politik yang
terjadi di bawah negara Orde Baru berlangsung di luar aturan demokrasi.10
Dalam konteks politik demikian dapat dimaklumi bila pemimpin umat
Islam berkeinginan untuk mengangkat Islam di arena politik menemui jalan
kesulitan, ironisnya politik Islam disejajarkan dengan komunis, dengan penamaan
ekstrim kanan untuk politik Islam dan ekstrim kiri untuk komunis.
Ekstrim kanan merupakan stigma sosial politik yang dilontarkan negara
kepada segala sesuatu yang berkaitan dengan politik Islam sebagai upaya untuk
mendirikan negara Islam.11
Perpolitikan di Indonesia khususnya Orde Baru memang tidak terlepas
dari konflik antara Islam dan politik (agama dan negara) terutama permasalahan
ideologi. Dengan corak hubungan seperti itu, kajian ini menekankan perhatian
kepada kebijakan-kebijakan politik yang mempunyai implikasi baik langsung
maupun tidak langsung bagi peminggiran “Ideologi politik Islam”.
Ini tidak berarti menafikan segala pencapaian kebijakan pembangunan di
bidang-bidang lainnya, Seperti disahkannya Kompilasi Hukum Islam (KHI)
dalam bentuk Inpres No. 1 Tahun 1991, Undang-undang Pendidikan No. 2 Tahun
1998, pendirian Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila, pembentukan Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Bahkan ikut mendorong perkembangan
“non-Islam politik” yang pada gilirannya mampu memperbaiki citra Islam di
Indonesia.
10 Zaenal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, (Jakarta: Pustaka LP3ES,
2003), h. 12-13. 11 Zaenal Abidin Amir, Peta Islam Politik, h. 12-13.
Sejarah perpolitikan di Indonesia memang tidak dapat lepas dari konflik
antara politik Islam dan negara. Sebab ketika berbicara tentang politik di
Indonesia berarti juga berbicara tentang Islam, karena Islam merupakan agama
mayoritas di Indonesia. Secara sosiologis, potensi umat Islam sebagai sumber
legitimasi sistem politik dalam rangka mensukseskan pembanggunan nasional
sangat besar.
Bersamaan dengan itu Orde Baru melakukan peminggiran terhadap
aktivitas politik Islam. Yang pada akhirnya menetapkan Pancasila sebagai asas
tunggal bagi Organisasi Politik (Undang-undang No. 3 Tahun 1985). Atas dasar
itu mendorong peneliti mengangkat tema ini dengan judul: DEIDEOLOGI
POLITIK ISLAM (Kebijakan Pemerintah Orde Baru Dalam Pemberlakuan
Asas Tunggal).
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis dalam bahasan
skripsi ini perlu membatasi agar lebih terfokus dan terarah. Batasan dalam skripsi
ini hanya berkisar tentang penetapan pemerintah Orde Baru dalam pemberlakuan
asas tunggal bagi organisasi politik (Undang-undang No 3 Tahun 1985).
Dari uraian latar belakang dan pembatasan masalah di atas, maka yang
menjadi rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
1. Mengapa pemerintah Orde Baru menetapkan Pancasila sebagai asas tunggal
bagi organisasi politik?
2. Bagaimana implikasi kebijakan politik pemerintah Orde Baru dalam
pemberlakuan asas tunggal bagi politik Islam?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam kajian ini adalah:
1. Untuk mengetahui motivasi pemerintah Orde Baru dalam menetapkan
Pancasila sebagai asas tunggal.
2. Untuk mengetahui implikasi kebijakan politik Orde Baru dalam penetapan
asas tunggal bagi politik Islam.
3. Untuk memenuhi persyaratan mencapai gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat.
Adapun manfaat penelitian yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Supaya mengetahui kebijakan pemerintah Orde Baru terhadap umat Islam.
2. Supaya mengetahui respon umat Islam terhadap pemerintah dalam
pemberlakuan asas tunggal.
3. Pengembangan ilmu politik khususnya asas tunggal pancasila yang diterapkan
pemerintah Orde Baru.
D. Tinjauan Pustaka
Beberapa kajian dan penelitian mengenai pemerintahan Orde Baru
kaitannya dengan politik banyak ditemui, seperti buku yang diangkat dari disertasi
Faisal Ismail (Islam In Indonesian Politics: a Study of Muslim Response and
Acceptance of the Pancasila) yang berjudul Ideologi Hegemoni dan Otoritas
Agama. Dalam buku tersebut dibahas tentang respon umat Islam terhadap
ketegangan yang terjadi antara ideologi Islam dan ideologi Pancasila sejak awal
kemerdekaan sampai dengan penetapan asas tunggal.
Buku Islam Dan Negara Dalam Politik Orde Baru karya Abdul Aziz
Thaba, mengulas hubungan Islam dan Negara pada masa Orde Baru, dimana
menurutnya dalam tahun-tahun awal konsolidasinya mengalami masa pasang akan
tetapi kembali surut sejak tahun 1967, hubungan melalui tiga sifat: antagonistik
(1967-1982), resiprokal kritis (1982-1985) dan akomodatif (1985-1994) Sesuai
dengan hasil analisis dalam buku tersebut, hubungan Islam dan negara terhadap
Islam, dan persepsi Islam terhadap negara, hubungan akomodatif yang terjadi satu
dekade belakangan ini tercipta karena persepsi negara terhadap Islam bersifat
positif begitu pula Islam terhadap Negara.
Sementara Din Syamsuddin yang menulis buku Islam Dan Politik Era
Orde Baru, memberikan sebuah pandangan bahwa hubungan antara politik Islam
dan negara Orde Baru berlangsung dalam dua ronde. Ronde pertama (1965-1985)
telah menampilkan persaingan walaupun sifatnya kurang ideologis. Namun
strategi rezim Orde Baru untuk depolitisasi politik Islam dalam periode ini telah
membawa kekalahan Islam politik. Ronde kedua (1985-1990-an) telah
berkembang berbalik menjadi resiprokal yang menghasilkan hubungan umat
Islam dan rezim Orde Baru yang pada gilirannya mendorong kepada kebangkitan
kultur Islam.
Dari uraian di atas, kesimpulan yang dapat diambil, bahwa beberapa
tulisan yang ada di atas meskipun banyak mengkaji tentang dinamika yang terjadi
di dalam perpolitikan di Indonesia khususnya pada era Orde Baru kaitannya
dengan ideologi politik Islam, namun belum ada yang spesifik dan utuh mengkaji
rentang implikasi kebijakan pemerintah Orde Baru dalam penetapan asas tunggal
bagi politik Islam di Indonesia.
Untuk itu, penulisan skripsi ini selain berusaha menjelaskan lebih jauh
kebijakan penetapan asas tunggal oleh pemerintah Orde Baru, juga menganalisis
implikasi, keuntungan dan kerugian bagi politik Islam.
E. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis melakukan penelitian dengan menggunakan
jenis penelitian kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif yakni, menggambarkan hal-hal yang berkaitan dengan masalah yang
sedang diteliti, dalam hal ini kebijakan pemerintah Orde Baru menetapkan
Pancasila sebagai asas tunggal bagi politik Islam. Adapun jenis penelitian yang
penulis gunakan adalah penelitian kepustakaan (library research), yaitu dengan
cara membaca, memahami dan menginterpretasikan informasi dari buku-buku dan
media cetak lainnya yang ada hubungannya dengan materi skripsi.
1. Sumber Data
Untuk memudahkan dalam penelitian ini, penulis mengklasifikasikan
sumber data menjadi dua jenis, yaitu sumber data primer dan sumber data
sekunder.
a. Data primer adalah penelitian langsung pada subyek sebagai sumber
informasi yang diteliti. Adapun data primernya adalah seperangkat
Peraturan Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia diperoleh
melalui dokumen-dokumen resmi, maupun tulisan langsung yang
berkaitan langsung dengan topik penelitian.
b. Data Sekunder merupakan data yang tidak langsung dan diperoleh peneliti
dari subyek penelitian. Untuk data-data sekunder diperoleh dari buku-buku
dan tulisan-tulisan yang berisi pemikiran dan analisis yang berkaitan
dengan topik yang dibahas dalam penelitian.
2. Teknik Analisis Data
Setelah dikumpulkan data-data yang diperoleh untuk kepentingan
kajian ini, maka akan dianalisis dengan metode deskriptif-analisis. Yaitu
menggambarkan kebijakan pemerintah Orde Baru menetapkan Pancasila
sebagai asas tunggal bagi politik Islam di Indonesia sesuai dengan adanya,
kemudian diambil kesimpulan-kesimpulan yang dianggap penting. Dalam hal
ini cara yang digunakan untuk memperoleh kesimpulan dengan cara
membandingkan antara data yang satu dengan yang lain sehingga diketahui
mana yang lebih valid. Sedangkan teknik penulisan skripsi ini berpedoman
pada ”Buku Pedoman Akademik 2005-2006 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta”.
F. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi penulis membaginya dalam lima bab dan
diuraikan dalam sub-sub bab, sebagai berikut:
Bab pertama berisi Pendahuluan. Dalam bab ini akan dipaparkan tentang
latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Berikutnya pada bab kedua berisi tentang Landasan teori. Yakni
membahas tentang pengertian deideologi politik Islam serta keberadaan politik
Islam pada masa Orde Baru secara umum.
Kemudian pada bab ketiga, akan dibahas mengenai kebijakan pemerintah
Orde Baru terhadap politik Islam, di dalamnya akan diuraikan mengenai orientasi
umum kebijakan Orde Baru, penyederhanaan partai politik Islam, serta
pembatasan peran politik Islam.
Selanjutnya bab keempat, yaitu menganalisis kebijakan pemerintah Orde
Baru dalam pemberlakuan asas tunggal, yang di dalamnya akan diuraikan
mengenai pemberlakuan asas tunggal, implikasi kebijakan pemerintah Orde Baru
memberlakukan asas tunggal bagi politik Islam, dan akomodasi pemerintah Orde
Baru terhadap politik Islam. Serta yang terakhir bab kelima, merupakan bab
penutup dari keseluruhan rangkaian pembahasan skripsi ini yang terdiri atas
kesimpulan dan saran-saran.
BAB II
DEIDEOLOGI POLITIK ISLAM
A. Pengertian Deideologi Politik Islam
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ideologi didefinisikan sebagai
sekumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pandangan yang memberikan
arah dan tujuan hidup seseorang atau satu kelompok masyarakat.12
Sedangkan deideologi berarti peniadaan/penghapusan terhadap asas yang
menjadi identitas dan simbol ideologi organisasi politik dan organisasi massa,
seperti kebijakan pemerintahan Orde Baru dalam hal politik melemahkan ideologi
komunal sehingga ideologi negara tidak akan terganggu lagi oleh ideologi
komunal tersebut. Target lain adalah ideologi komunal surut dan lemah sehingga
masa depan Indonesia akan berjalan dengan baik tanpa pertentangan ideologi
lagi.13
Kebijakan ini diambil berdasarkan asumsi bahwa pluralisme ideologi
merupakan sumber konflik yang berkepanjangan.14 Demikian pula kebijakan Orde
Baru terhadap Islam, yaitu melemahkan Islam sebagai ideologi yang menentang
Pancasila sebagai falsafah negara atau Islam sebagai alternatif terhadap negara
Pancasila. Dengan demikian program ini tidak efektif untuk menggalang massa.15
12 Tim Penyusun Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka ,1988), h. 319. 13 Taufiq Nugroho, Pasang Surut Hubungan Islam Dan Negara Pancasila, (Yogyakarta:
Padma, 2003), h. 89. 14 Al-Chaidar, Reformasi Prematur Jawaban Islam terhadap Reformasi Total, (Jakarta:
Darul Falah, 1999), h. 37. 15 Taufiq Nugroho, Pasang Surut, h. 89.
Sebagai akhir dari penyelesaian konflik ideologi, di samping juga untuk
melemahkan keberadaan politik Islam, pemerintah berusaha mencari landasan
yang kuat secara hukum. Hukum merupakan pelembagaan pandangan dan konsep
serta kebijaksanaan politik pemerintah. DPR dan MPR yang dikuasai pemerintah
sepenuhnya bersama ABRI dan Golkar, kemudian menyusun dan menetapkan
Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi sosial-politik melalui Ketetapan
MPR No. II/1983. Lebih lanjut secara operasional ketetapan MPR tersebut
kemudian diundangkan dalam UU No. 3 dan 8 Tahun 1985 yang mengatur
penempatan asas Pancasila bagi organisasi sosial-politik tersebut.16
Dengan diundangkannya UU No. 3 dan 8 Tahun 1985 tersebut, berarti
barakhir sudah kelangsungan politik Islam melalui jalur politik praktis
(struktural). Orde Baru menganggap bahwa pergerakan Islam struktural ini
sebagai gerakan Islam yang menakutkan orang banyak dan berbahaya bagi negara.
Orde Baru menilai Islam struktural ini berbahaya karena perjuangan struktural ini
tujuan akhirnya adalah menguasai parlemen dan ingin menjadikan Islam sebagai
ideologi negara.17
Indikator-indikator tersebut di atas tampak jelas sejak awal Orde Baru
mulai memegang kendali kekuasaan Indonesia. Ketika umat Islam mengadakan
kongres umat Islam di Malang tahun 1968, dimana salah satu keputusannya
adalah mendirikan Partai Muslimin Indonesia (PARMUSI). Namun demikian
16 Abdul Munir Mulkhan, Perubahan Perilaku Politik dan Polarisasi Ummat Islam 1965-
1987, (Jakarta: Rajawali, Cet. ke-1, 1989), h. 127. 17 Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara Dalam Politik Orde Baru, (Jakarta: Gema Insani
Press, 1996), h. 246-249.
Orde Baru menolak Muhammad Roem sebagai pimpinan partai tersebut dengan
alasan bahwa dia adalah bekas pengurus Partai Masyumi.18
Akhirnya, setelah melalui perjalanan panjang, maka ditunjuklah HMS
Mintareja sebagai pimpinan PARMUSI.19 Pemerintah Orde Baru juga menolak
untuk merehab Partai Masyumi. Soeharto dalam suratnya mengatakan bahwa
alasan-alasan yuridis, ketatanegaraan, dan psikologis telah membawa ABRI pada
suatu pendirian bahwa ABRI tidak mau merehabilitasi bekas partai politik
Masyumi.20
Melalui UU No. 3 tahun 1985, PPP sebagai satu-satunya wadah aspirasi
politik umat Islam diwajibkan menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas.
Dengan diterimanya asas tunggal tersebut, maka PPP harus mengganti dengan
asas Pancasila dan lambang Ka’bah diganti dengan lambang bintang. Pada tahun
1985, Orde Baru mengesahkan Undang-undang Organisasi Politik dan Organisasi
massa. Undang-undang tersebut secara ringkas mewajibkan Pancasila sebagai
satu-satunya asas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan diterimanya
Pancasila sebagai satu-satunya asas, maka hilang sudah kekhawatiran lahirnya
ideologi Islam sebagai ideologi tandingan.
B. Politik Islam Pada Masa Orde Baru
Dengan naiknya pemerintahan Orde Baru banyak kalangan pemimpin dan
aktivis politik Islam berharap besar. Harapan itu terutama tampak jelas di
kalangan bekas pemimpin Masyumi dan pengikut-pengikutnya yang selama
18 Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara, h. 246-249. 19 Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara, h. 246-249. 20 Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara, h. 246-249.
periode Demokrasi Terpimpin merasa benar-benar disudutkan. Karena merasa
menjadi bagian penting dari kekuatan-kekuatan koalisi (seperti militer, kelompok
fungsional, kesatuan pelajar, organisasi sosial-keagamaan dan sebagainya) yang
telah berhasil menghancurkan PKI dan menjatuhkan rezim Soekarno, mereka
sudah memperkirakan kembalinya Islam dalam panggung diskursus politik
nasional.21
Tindakan rezim Orde Baru untuk membebaskan bekas tokoh-tokoh
Masyumi yang dipenjarakan oleh Soekarno makin memperbesar harapan mereka
bahwa rehabilitasi Masyumi berlangsung tidak lama lagi. Oleh karena itu, sebuah
panitia yang diberi nama Badan Koordinasi Amal Muslimin didirikan untuk
merealisasikan harapan itu.22
Rupanya harapan itu tinggal harapan, pemerintah Orde Baru keberatan
atas kembalinya pemimpin-pemimpin Masyumi ke arena politik dan menolak
rehabilitasi Masyumi dengan didasarkan ketakutan-ketakutan bahwa jika
Masyumi direhabilitasi, maka sejarah politik Indonesia akan mengulang
pengalaman masa lalu, dimana Masyumi merupakan oposisi abadi dan penentang
ideologi Pancasila dan UUD 1945.
Hal ini tidaklah mengherankan karena ABRI (pendukung utama
pemerintahan Orde baru) pada tanggal 21 Desember 1966 mengeluarkan
pernyataan yang menyamakan Masyumi (ekstrim kanan) dengan PKI (ekstrim
kiri) karena telah menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945 dan ABRI akan
21 Al-Chaidar, Reformasi Prematur, h. 32. 22 M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru, (Jakarta: Logos, 2001), h. 37.
menindak tegas individu atau kelompok yang menyimpang dari dokumen-
dokumen tersebut.23
Sebagai gantinya, pemerintah Orde Baru mengesahkan pendirian Partai
Muslimin Indonesia (PARMUSI), sebagai wadah aspirasi politik umat Islam yang
belum tertampung dalam NU, PSII, Perti dan Golkar, tetapi dengan kontrol yang
sangat ketat oleh pemerintah dan ABRI.24
Yang lebih menggelisahkan para pemimpin Islam adalah kenyataan bahwa
gerak politik para bekas pemimpin Masyumi sangat dibatasi, bahkan dilarang
sama sekali duduk dalam kepengurusan Parmusi. Untuk membatasi gerak politik
bekas para pemimpin Masyumi, pemerintah melalui presiden Soeharto
merekomendasikan Djarnawi H. dan Lukman Harun (dua aktivis Muhammadiyah)
sebagai pemimpin Parmusi.25
Di dalam perkembangan selanjutnya ternyata campur tangan pemerintah
menjadi satu ciri khas partai ini, ketika kongresnya yang pertama di Malang
memilih Mohammad Roem sebagai ketua partai ini yang akhirnya tidak disetujui
oleh rezim. Rezim bisa mengganti pimpinannya kapan saja, sesuai dengan
keperluannya guna memperlemah partai ini. Sejak itu muncul banyak kelompok
“oportunis”, bahkan “penjilat” di dalam tubuh Islam.26
Kelahiran Parmusi bukan sepenuhnya berdasarkan kelompok Islam,
menurut Utrecht sebagaimana dikutip oleh Rusli Karim berpendapat bahwa untuk
1999), h. 122. 24 Abdul Munir Mulkhan, Perubahan Perilaku Politik, h. 132. 25 Al-Chaidar, Reformasi Prematur, h. 32. 26 M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik, (Yogyakarta: Tiara Wacana,
1999), h. 111.
mengekang pengaruh politik NU, Angkatan Darat membantu bekas pendukung,
orang yang bersimpati atau anggota Masyumi untuk membentuk partai baru,
Parmusi.27
Dalam perjalanannya, pemerintah bagaimanapun membaca bahwa
dukungan besar diberikan ummat Islam terutama yang tergabung dalam keluarga
Bulan Bintang terhadap Parmusi. Didorong oleh kekhawatiran Parmusi dapat
berkembang menjadi kekuatan alternatif yang ditandai dengan munculnya cabang-
cabang Parmusi di seluruh Indonesia secara serempak, pemerintah dalam hal ini
Departemen Dalam Negeri mendukung manuver politik J. Naro S.H. bersama
Imran Kadir untuk melakukan pembajakan partai yaitu dengan menuduh Parmusi
bersikap menentang ABRI. Akibatnya timbul kemelut, dan pemerintah menunjuk
HM. Mintareja sebagai Ketua Umum baru. Tindakan Naro selanjutnya berusaha
menyingkirkan orang-orang Bulan Bintang sekaligus menarik massa umat
pendukungnya.28
Dalam pemilu 1971, partai-partai Islam mengalami tekanan berat dari
rezim Orde Baru, rezim dengan kendaraan politik Golkar dan di back-up oleh
ABRI menerapkan empat metode: 1) memberi peran dan posisi khusus pada
ABRI tidak hanya sebagai kekuatan keamanan tetapi juga kekuatan sosio-politik;
2) memperlakukan Golkar sebagai anak emas; 3) meluncurkan kebijakan
sistematis depolitisasi semua kekuatan sosial-politik; dan 4) mengisi Badan
27 M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran, h. 112. 28 Abdul Munir Mulkhan, Perubahan Perilaku Politik, h. 133.
Perwakilan negara dalam dua cara, dengan penunjukan wakil-wakilnya dari atas
dan dengan memilih mereka melalui pemilihan umum.29
Usaha-usaha pemerintah Orde Baru untuk memenangkan Golkar dalam
Pemilu 1971 antara lain dengan mengharuskan semua pegawai negeri sipil untuk
memilih Golkar, kebijaksanaannya umumnya ditentukan oleh militer dan
pemerintah. Semua pegawai negeri sipil tanpa kecuali diharuskan menjadi
anggota Sekber Golkar.30 Usaha lainnya adalah melalui militer dengan
menggunakan langkah-langkah koersif dan kooptatif untuk mempengaruhi hasil
pemilihan umum.31
Hasilnya adalah Golkar menang mutlak dalam Pemilu ini dengan
mengantongi 62,80 % suara, karena relatif tidak terkena intervensi luar NU berada
diperingkat kedua dengan 18,67 % suara, Parmusi 5,36 % suara, PSII 2,39 %
suara dan Perti 0,70 % suara.32
Kemenangan luar biasa Golkar dalam pemilu pertama memang telah
membuka peluang kepada partai ini untuk melakukan perancangan politik sesuai
dengan yang diinginkannya33 karena Golkar bersama Golkar ABRI dan Golkar
non ABRI menguasai mayoritas kursi di DPR dengan mencapai angka 73,04 %.34
Didorong oleh kemenangan besar Golkar, pemerintah melalui Operasi
Khusus (Opsus) mempercepat program penyederhanaan partai politik, yaitu
29 Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni, h. 112. 30 Albert Widjaja, Budaya Politik Dan Pembangunan Ekonomi, (Jakarta: LP3ES, 1982),
h. 96. 31 Al-Chaidar, Reformasi Prematur, h. 23. 32 Al-Chaidar, Reformasi Prematur, h. 35. 33 M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran., h. 100. 34Akhmad Setiawan, Perilaku Birokrasi dalam Pengaruh Paham Kekuasaan Jawa,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. ke-1, 1998), h. 127.
dengan mendesak sembilan partai politik pada Pemilu 1971 untuk menjadi tiga
organisasi kekuatan politik, masing-masing: Partai Persatuan Pembangunan
(PPP), fusi dari empat partai Islam; Partai Demokrasi Indonesia (PDI), fusi dari
empat partai nasionalis dan Kristen/Katolik; dan Golkar sendiri sebagai
transformasi dari Sekber Golkar. Sejak saat itu J. Naro S.H. yang cacat bagi
Ummat Islam, tampil sebagai salah seorang ketua PPP bersama Mintareja dan
Idham Cholid35
Dengan adanya penggabungan partai ini, semakin mempermudah
pemerintah Orde baru untuk mengontrol dan menekan aktifitas politik PPP,
apalagi dalam perjalanannya PPP tidak terlepas dari konflik internal yang
“mengundang” campur tangan pemerintah sebagai “penengah”, antara NU dengan
Muslimin Indonesia (MI) dua pendukung utama PPP yang berujung dengan
keluarnya NU dari PPP (1984)36
Dengan berbagai usaha keras, pada pemilu 1977, PPP memperoleh 29,9 %
suara, perkembangan PPP yang demikian tampaknya dipandang tidak
menguntungkan pihak pemerintah. J. Naro37 dengan berbagai usaha kemudian
dapat menduduki jabatan ketua partai. Usahanya itu berhasil, dengan resiko yang
35 Fusi partai-partai ini dilakukan pada tahun 1973 yaitu PPP (5 Januari 1973) dan PDI
(10 Januari 1973) lihat Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni, h. 126., yang kemudian diterbitkan UU No. 3 1973 sebagai landasan hukum penyederhanaan partai, lihat Abdul Munir Mulkhan, Perubahan Perilaku Politik, h. 134.
36 M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran, h. 152-158. 37 Munculnya J. Naro, baik selama memimpin Parmusi maupun PPP bukanlah karena
kehebatan, pengalaman dan dukungan massa, melainkan karena didukung oleh pemerintah terutama melaui Ali Murtopo, May B., The Indonesian Tragedy, dalam M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran, h. 154.
harus ditanggung PPP. Dua kali Pemilu 1982 dan 1987, pendukung PPP menyusut
tajam khususnya pada tahun 1987.38
Menurut Liddle, sebagaimana dikutip oleh Rusli Karim, bahwa kebijakan
Pemerintah dengan penggabungan partai ini dikarenakan :
a. Partai-partai lebih berorientasi ideologi daripada program
b. Partai-partai memperuncing perselisihan ideologi di kalangan rakyat baik pada
tingkat elit ataupun massa
c. Partai-partai menciptakan berbagai ketegangan organisasi di dalam
masyarakat
d. Para pemimpin partai pada dasarnya adalah orang-orang yang mencari
kesempatan untuk dirinya sendiri
e. Pemimpin-pemimpin partai terasing dari para pemilih yang seharusnya
mereka wakili
f. Kerusakan yang timbul karena sistem partai tidak terjadi pada organisasi
partai saja tetapi juga pada institusi-institusi lainnya
g. Sistem banyak partai dianggap sebagai sebab utama ketidakstabilan
pemerintah berparlemen.
Dapat dipahami bahwa langkah-langkah pemerintah Orde Baru dalam
melaksanakan deparpolisasi antara lain: dengan melaksanakan kebijakan
floatingmass, restrukturisasi partai-partai politik, memecah belah para pimpinan
partai melalui operasi-operasi inteligen, melemahkan peran partai di tingkat
bawah dengan membatasi aktivitas politik hanya sampai tingkat kabupaten.
38 Abdul Munir Mulkhan, Perubahan Perilaku Politik, h. 126.
BAB III
KEBIJAKAN PEMERINTAH ORDE BARU TERHADAP
POLITIK ISLAM
A. Orientasi Kebijakan Pemerintah Orde Baru
Pada tahun 1966, di Indonesia lahir pemerintahan Orde Baru di bawah
kepemimpinan Presiden Soeharto. Kemunculan Orde Baru ini terjadi sebagai
reaksi terhadap rezim Orde Lama yang dipimpin Soekarno dengan Demokrasi
Terpimpin dan proyek Nasakomnya yang telah digoyang oleh antagonisme
politik, kekacauan sosial dan krisis ekonomi dalam kehidupan masyarakat
Indonesia secara menyeluruh.39
Orde Baru, rezim yang lahir sebagai reaksi terhadap rezim sebelumnya,
maka kebijakannya tentu bertolak belakang dengan kebijakan-kebijakan yang
diambil pemerintahan sebelumnya. Kalau pada masa Orde Lama wacana dan
gerakan politik begitu dominan dalam percaturan nasional, maka sebaliknya, Orde
Baru tampil dengan slogannya politik no, ekonomi yes.40 Oleh karenanya,
pemerintahan Orde Baru menciptakan counters ideas (pemikiran-pemikiran
tandingan) yang lebih menekankan pada ide-ide pragmatik, deideologisasi,
deparpolisasi, program oriented, pembangunan oriented dan sebagainya.41
1999), h. 102. 40 Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara Dalam Politik Orde Baru, (Jakarta: Gema Insani
Press, 1996), h. 188. 41 Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam, Rekonstruksi Pemikiran
Orde Baru, (Bandung: Mizan, 1984), h. 95.
Namun demikian, Orde Baru dihadapkan oleh tugas berat memperbaiki
kembali institusi-institusi politik untuk menegakkan lagi kewibawaan
pemerintahan negara setelah negara berada di bawah rezim “kuku besi”, yang
dipimpin oleh Soekarno yang biasa disebut “Demokrasi Terpimpin” atau Orde
Lama (1957-1965) terlibat dalam situasi kacau-balau.
Moeljarto Tjokrowinoto, pakar sains politik terkemuka di Universitas
Gajah Mada, mengemukakan keadaan politik di Indonesia menjelang lahirnya
Orde Baru yang ditandai oleh enam ciri: kegagalan sistem multi-partai; percaturan
politik yang bertumpu pada dasar partai ideologi dalam suasana masyarakat yang
belum cukup menghayati aturan permainan politik yang ada; perpecahan birokrasi
karena campur tangan partai ke dalam birokrasi dan menjadikan birokrasi sebagai
asasnya; partai politik mempergunakan corak partai “totali-tarian”; penyusupan
partai Komunis ke dalam ABRI sehingga menimbulkan “disharmoni” hubungan
di antara Angkatan dan Kesatuan; dan interaksi politik di desa ditandai oleh nilai-
nilai primordial, orientasi “parokhial” dan hubungan “patron-klien” sehingga
mengurangi persatuan pedesaan dan menimbulkan konflik “interpersonal”.42
Di dalam konteks yang luas, terutama dalam hubungannya dengan
ekonomi, gambaran keadaan bangsa Indonesia ketika itu tercermin dalam
sembilan masalah seperti yang dikemukakan oleh Donald W. Wilson sebagaimana
dikutip oleh Rusli Karim berikut ini: pembentukan suasana stabilitas politik dan
sosial (keamanan bangsa) yang memungkinkan terjadinya perubahan;
menciptakan satu bangsa yang terhindar dari perpecahan umat dan banyaknya
42 Tjokrowinoto, Pembangunan Dilema dan Tantangannya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1996), h. 104.
bahasa dan dialek yang bisa menggoncangkan (staggering); membawa rakyat
untuk berada bersama-sama di dalam pemerintahan, yaitu mereka yang bukan
menjadi orang penurut atau “asal bapak senang”, mempunyai kemampuan dan
kepakaran khusus guna menangani masalah bangsa secara cerdik dan arif;
menghapuskan kelembapan dan “buck passing” yang melumpuhkan pemerintahan
sampai begitu lama; membentuk satu semangat kerjasama di dalam pemerintahan
yang bisa membangkitkan kecemburuan kecil di atas dan perbedaan-perbedaan
yang bersifat kedaerahan; menjauhkan kepentingan pribadi dan sakit hati mereka
yang sangat menginginkan untuk kembali kepada era Soekarno; menangani
masalah-masalah ekonomi dan pembangunan ekonomi serta menghindari
keruntuhan atau bencana ekonomi dan keuangan; membangun keberdikarian
pertanian untuk memenuhi keperluan makanan; meraih lebih banyak lagi
pengadilan yang adil.43
Luasnya aktivitas pembangunan di atas seiring dengan kemunduran dalam
bidang ekonomi, lemahnya institusi politik, korupsi yang bersifat “endemik”,
bahaya militerisme yang merayap, kelebihan penduduk di Jawa, meluasnya
pengangguran, dan hancurnya infrastruktur yang dialami oleh bangsa Indonesia.
Oleh karena itu, Indonesia memerlukan bantuan dari masyarakat
penderma/penyumbang.44
Untuk menghadapi tantangan tersebut, maka sasaran pembangunan Orde
Baru bertumpu pada aspek ekonomi dan mewujudkan kestabilan politik yang bisa
43 M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik, (Yogyakarta: Tiara Wacana,
1999), h. 118. 44 Selo Soemardjan, Akibat-Akibat Sosiologis Dari Inflasi Moneter, (Jakarta: Sinar
Harapan, 1984), h. 84.
mendukung pembangunan ekonomi. Salah satu kebijakan Orde Baru dalam hal
politik adalah melemahkan ideologi komunal sehingga ideologi negara tidak akan
terganggu lagi oleh ideologi komunal tersebut. Target lain adalah ideologi
komunal surut dan lemah sehingga masa depan Indonesia akan berjalan dengan
baik tanpa pertentangan ideologi lagi.45
Bahkan ada pula pakar yang berpendapat bahwa cita-cita utama Orde Baru
adalah menegakkan negara Pancasila, mengamankan/menyelamatkan kehidupan
politik agar tidak mengganggu pembangunan ekonomi, serta menjamin peran
tentara dalam mengarahkan kehidupan masyarakat.46
Dari sini Orde Baru pernah berjanji atau memberikan jaminan untuk
menyelamatkan stabilitas politik dan ekonomi, meningkatkan kesejahteraan
rakyat, melaksanakan pemilihan umum, melaksanakan landasan luar negeri yang
bebas dan aktif, dan meneruskan perjuangan melawan imperialisme.
Janji seperti disebutkan di atas sesuai dengan keadaan mendesak
masyarakat ketika itu, seperti terlihat dalam program yang dibuat Kesatuan Aksi
Mahasiswa Indonesia (KAMI) sebagai satu teras kekuatan inti yang
menumbangkan rezim Orde Lama tentang konsolidasi dan pembangunan Orde
Baru, yaitu memajukan struktur politik baru, pembangunan masyarakat desa,
program pendidikan dan kebudayaan, dan program hubungan antar bangsa.
Sasaran pembangunan ekonomi yang sangat berhubungan dengan
stabilitas politik bisa dipahami asalkan disejajarkan pula dengan pemberian
45 Taufiq Nugroho, Pasang Surut Hubungan Islam dan Negara Pancasila, (Yogyakarta:
Padma, 2003), h. 89. 46 Albert Widjaja, Budaya Politik Dan Pembangunan Ekonomi, (Jakarta: LP3ES, 1982),
h. 98.
kebebasan politik, karena pertumbuhan ekonomi hanya mungkin dicapai jika ada
stabilitas politik. Pengalaman negara-negara di Asia dan Afrika telah
membuktikannya. Hanya di kawasan Amerika Latin saja pertumbuhan ekonomi
bisa terjadi pada saat adanya ketidakstabilan politik.47
Rezim ini mengambil sikap pragmatik, dan ekonominya sangat bergantung
pada bantuan Barat,48 dan Jepang sehingga corak pembangunan yang dipilih oleh
Soeharto adalah pembangunan kapitalis,49 terjadilah “westernisasi”, terutama di
kota-kota besar.
Adanya unsur “westernisasi” merupakan satu aspek yang tidak mungkin
dihindarkan di dalam modernisasi, sebagai langkah untuk menjauhkan Indonesia
dari pengaruh Komunisme. Di samping itu, seiring pula dengan tujuan
pembangunan Indonesia pada fase awal Orde Baru. Meminjam pendapat M.
Dawam Rahardjo, Indonesia melakukan pemodernan melalui lima aspek:
pendidikan di negara-negara Barat, bantuan pemberian saham dan teknik,
penanaman modal asing dan pemberian saham, pengaruh media massa, dan
pemindahan struktur lembaga dan ekonomi.50
Dengan demikian, tugas yang dibebankan kepada Orde Baru adalah berat
sekali. Oleh karena itu memerlukan perencanaan yang matang dengan akurat,
hati-hati, konsepsi yang tepat, strategi yang cocok, institusi yang kokoh dan
kepemimpinan yang didukung oleh “semua” pihak agar tidak mengulangi
47 Adeng Muchtar Ghazali, Perjalanan Politik Umat Islam Dalam Lintasan Sejarah,
(Bandung: Pustaka Setia, 2004), h.55. 48 Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni, h. 76. 49 Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni, h. 76. 50 M. Dawam Rahardjo, Intelektual Inteligensia dan Perilaku Politik Bangsa: Risalah
Cendekiawan Muslim, (Bandung: Mizan, 1993), h. 375.
kegagalan yang telah dialami oleh Orde Lama, serta memperoleh bantuan
keuangan dari negara-negara Barat. Ini juga berarti bahwa munculnya Orde Baru
merupakan satu peristiwa penting dalam perjalanan bangsa Indonesia yang akan
menentukan corak dan keberadaannya di masa mendatang.
Apalagi, sebagai bangsa yang lama mengalami penjajahan dan
berpenduduk banyak dengan susunan masyarakat yang terdiri dari beragam etnis,
maka pemilihan corak sistem politik dan kebijakan yang tepat merupakan satu hal
yang penting. Jenis sistem politik juga ditentukan oleh faktor historis, dan
primordialistik. Faktor tersebut mempunyai dua implikasi, pertama, rakyat dari
waktu ke waktu akan mengurangi ketergantungannya atau hubungannya dengan
pertalian kekeluargaan yang bersifat tradisional. Kedua, seiring dengan asas
kedaulatan rakyat maka rakyat mempunyai kekuatan untuk menuntut hak-hak
mereka agar diikut-sertakan dalam segala proses politik dan dalam pembuatan
keputusan politik. Di sini bisa timbul masalah, yaitu konflik kepentingan di antara
pemegang kekuasaan tradisional sebagai pemimpin informal yang selama ini
memainkan peran penting di dalam masyarakat dengan kelompok baru sebagai
elite yang memegang kepemimpinan formal.
Elite baru ini dibagi pada tiga kelompok: yaitu pakar ekonomi yang
membuat kebijakan; ABRI yang menstabilkan, dan “birokrat” sebagai
pelaksananya. Yang tergolong ke dalam pakar ekonomi bisa juga disebut
kelompok intelektual/inteligensia atau “teknokrat” yang bertanggungjawab
terhadap pertumbuhan ekonomi.51
51 Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni, h. 108.
Pada masa awal Orde Baru ketiga kelompok ini memainkan peran yang
sangat penting. Ini merupakan sesuatu yang wajar. ABRI dan birokrasi merupakan
kekuatan yang selalu wujud (inherent) di dalam sejarah politik Indonesia setelah
Perang Dunia Kedua. Begitu pula kelompok intelektual telah berperan sejak
zaman pergerakan awal abad ke-20. Meminjam pendapat M. Rusli Karim bahwa
di dalam pergerakan nasionalis masyarakat kelompok intelektual selalu berfungsi
sebagai penggeraknya, sehingga pergerakan nasional pun tiada lain adalah
pergerakan kelompok intelektual itu sendiri.52
Menurutnya, yang menjadi persoalan adalah kecenderungan ketiga
kelompok di atas untuk “meminggirkan” (marginalized) elite tradisional.
Modernisasi dan pembangunan ekonomi tampaknya tidak terlalu memerlukan
khidmat dari kelompok elit tradisional. Dengan perkataan lain, salah satu kesan
negatif dari modernisasi dan pembangunan ekonomi adalah peminggiran elite
tradisional.53
Masalah seperti ini adalah wajar, bahwa kesan lain dari proses modernisasi
bisa menimbulkan sentralisasi, birokratisasi dan meningkatnya kekuasaan negara.
Negara menjadi begitu kuat, yang bermakna: pertama, memperlemah kekuatan-
kekuatan lawan yang bisa menentang atau mempengaruhi arah kebijakan negara;
kedua memperketatkan pengawasan terhadap pembuatan keputusan; dan ketiga
membangun kemampuan manajerial negara. Kecenderungan politik dan ekonomi
diarahkan untuk memperkukuhkan pemerintah pusat, dan kuatnya pemerintah
pusat ini belum pernah terjadi pada masa-masa sebelumnya.54
52 M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran, h. 58. 53 M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran, h. 58. 54Akhmad Setiawan, Perilaku Birokrasi dalam Pengaruh Paham Kekuasaan Jawa,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. ke-1, 1998), h. 108-110.
Kuatnya kedudukan negara ini diakui oleh mantan Sekretaris Jenderal
Golongan Karya (Golkar) Sarwono Kusumaatmadja,55 bahwa selama era Orde
Baru pemerintah merupakan satu-satunya institusi politik yang berpengaruh. Di
dalam perkembangan berikutnya diharapkan secara perlahan-lahan akan muncul
institusi-institusi lainnya seiring dengan peran, fungsi dan mutunya masing-
masing. Dengan makin dominannya ABRI dan teknokrat maka kemungkinan
makin terancamnya kedudukan politik umat Islam tidak bisa dielakkan, karena
ABRI sendiri mempunyai persepsi yang sangat negatif terhadap Islam.
Menurut Yahya Muhaimin kelompok “inteligensia” dan “teknokrat” ini
pulalah yang akan mengatasi kelemahan-kelemahan tentara yang cenderung
melakukan tindakan-tindakan merugikan dalam melaksanakan pembangunan.56 Di
antara mereka ini ada yang telah bekerja dalam merancang pembangunan
ekonomi sejak era Orde Lama atau Demokrasi Terpimpin, dan ada pula yang baru
diangkat pada era Orde Baru.57
Bahkan Sumitro Djojohadikusumo adalah bekas pemimpin kanan Partai
Sosialis Indonesia yang selama era Orde Lama mengungsi ke Malaysia karena
dimusuhi oleh Soekarno karena keterlibatannya dalam pemberontakan PRRI juga
diberi kedudukan penting sebagai Menteri Perdagangan. Pikiran mereka sesuai
dengan garis Amerika. Kelompok “inteligensia” dan “teknokrat sekular” ini juga
55 Sarwono Kusumaatmadja, Sketsa Politik Orde Baru, (Bandung: Alumni, 1988), h. 38-
39. 56 A. Yahya Muhaimin, Bisnis dan Politik Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-1980,
(Jakarta: LP3ES, 1990), h. 122. 57 M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran, h. 59.
biasa disebut “Mafia Berkeley”,58karena kebanyakannya adalah lulusan dari
University of California Berkeley.
Yang perlu digaris bawahi di sini adalah bahwa kelompok intelektual
bertanggungjawab atas terbentuknya sistem sosial dan politik yang autoritarian.
Perencanaan (engineering) politik Orde Baru ditempuh dengan cara
institusionalisasi (institutionalize) dengan pembentukan partai-partai politik,
mengekalkan atau membiarkan rakyat mengambang (floatingmass),59dan
mengawasi setiap jenis perwakilan politik, termasuk kelompok intelektual
pemuda, mahasiswa dan media massa. Dalam konteks ini, langkah memasukkan
Angkatan Darat (army, untuk selanjutnya disebut ABRI), kelompok-kelompok
profesional, dan pelaku bukan partai adalah jelas dimaksudkan untuk menentang
baik kelompok muslim ataupun kelompok nasionalis.
Soeharto sendiri, seperti halnya Soekarno tidak mempunyai “akar umbi”
kepartaian. Ia menduduki tingkat ke-10 dalam barisan kepemimpinan ABRI.
Meminjam pendapat Nishihara, tampaknya Orde Baru telah mempunyai strategi
yang tepat untuk melemahkan partai politik dengan cara memojokkan,
menjinakkan dan akhirnya ditinggalkan orang, yaitu dengan cara menekankan
pembangunan ekonomi secara besar-besaran sambil “mendepolitisasikan” suasana
politik yang tegang.60
Dengan begitu partai-partai politik tidak dapat melakukan perbincangan
ideologis melainkan ditarik ke dalam kerangka yang diciptakan oleh pemerintah
yang menekankan pada kebijakan (policy). Kalaupun ada ideologi, hanya
58 A. Yahya Muhaimin, Bisnis dan Politik, h. 122. 59 Taufiq Nugroho, Pasang Surut Hubungan Islam, h. 88. 60 M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran, h. 60.
berasaskan pada “developmentalisme”. Maka apa yang dialami oleh umat Islam di
zaman Orde Baru ini adalah mengulang pengalaman pahit masa lalu. Yang
berbeda barangkali adalah caranya.
Oleh karena itu, di samping berbagai langkah seperti telah diuraikan
terdahulu, ada empat tindakan yang dilakukan Orde Baru untuk menciptakan
keamanan internal: manipulasi-manipulasi politik, pengawasan penduduk,
menyapu bersih lawan yang memberontak, dan ketakutan yang direkayasa
(calculated terror).61
Dari uraian singkat di atas telah diperoleh gambaran umum tentang
sasaran yang menjadi tujuan Orde Baru, terutama dalam hubungannya dengan
usaha membangun ekonomi dan mewujudkan kestabilan politik. Berikut ini akan
dikemukakan beberapa pandangan para pakar dalam menggambarkan proses
terbentuknya Orde Baru dan kebijakan yang digariskannya untuk mencapai tujuan
politiknya.
B. Penyederhanaan Partai Politik Islam
Penyederhanaan partai adalah salah satu strategi pemerintah Orde Baru
untuk semakin menjinakkan potensi politik umat Islam. Lahirnya Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) sebagai hasil fusi dari empat partai politik Islam, yaitu NU,
PSII, Perti dan Parmusi yang disahkan dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun
197362 adalah bagian dari strategi politik Orde Baru untuk memperlemah
61 M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran, h. 61. 62 Paksaan pemerintah terhadap fusi partai non-pemerintah ini atas persetujuan militer.
Akibat dari fusi partai-partai non pemerintah, perolehan suara paratai hasil fusi mengalami
kekuatan politik umat Islam yang beraneka ragam. Fusi partai merupakan salah
satu langkah yang diambil oleh pemerintah Orde Baru setelah memenangkan
pemilu 1971 secara mutlak. Di samping banyaknya partai, para pemimpin Orde
Baru juga menganggap berbagai ideologi dan tiadanya partai besar dengan
mayoritas mutlak sebagai sebab ketidakstabilan politik. Oleh karena itu, langkah
yang diambil adalah mengurangi jumlah partai dan membentuk partai baru dengan
dukungan pemerintah. Inilah kebijakan yang dibuat untuk membentuk partai
hegemonik ideologis.63
Banyak pengamat politik menilai bahwa penyederhanaan partai politik ini
mempunyai tujuan depolitisasi masyarakat, yang berimplikasi pada berkurangnya
independesi kegiatan politik masyarakat, baik melalui pengurangan peran
organisasi otonom maupun dengan mengkooptasinya ke dalam suatu organisasi
payung yang pro-pemerintah. Pengelompokan organisasi kekuatan sosial politik
kepada tiga: PPP, PDI, dan Golkar membawa implikasi pada dikotonomi politik
Islam dan non-politik Islam.
Pertama, dengan format kepartaian baru, PPP yang memiliki basis massa
Islam menghadapi dua lawan utama Golkar dan PDI. Kedua, pengelompokkan
tersebut juga mengandung arti adnaya usaha sistematis untuk memecah-belah
politik Islam yang diwakili PPP, karena fusi artifisial tidak akan membawa
persatuan. Sejarah kemudian membuktikan bahwa PPP hampir tidak pernah luput
dari konflik internal. PPP diwarnai oleh pertentangan yang sangat tajam dalam
penurunan perolehan suara pada pemilu 1970-an dan 1980-an. Pada pemilu 1977 dari 33 persen suara menjadi 27 persen pada pemilu 1987.
63 M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), h. 142. lihat pula Abdul Munir Mulkan, Perubahan Perilaku Politik dan Polarisasi Ummat Islam 1965-1987, (Jakarta: Rajawali, Cet. ke-1, 1989), h. 126.
memperebutkan posisi-posisi kunci partai antara representasi NU dan Parmusi.
Penggabungan partai dengan basis dukungan yang berbeda-beda ini menimbulkan
konflik intern partai, terutama dilihat dari komposisi kepemimpinan bagi masing-
masing unsur partai. Dalam hal ini terdapat dua kecenderungan. Bagi unsur yang
massa kecil menuntut agar penentuan jumlah dan susunan pengurus partai dari
tingkat pusat sampai pembantu komisaris serta pembagian kesempatan lainnya
dibagi secara merata tanpa melihat massa pendukung tiap-tiap unsur. Sedangkan
bagi unsur yang besar massa pendukungnya, terutama NU menghendaki adanya
pembagian sesuai dengan massa pendukungnya. Ketiga, pengelempokkan dapat
mengandung arti domestifikasi politik Islam, seperti terbuksi kemudian, PPP
harus melakukan penyesuaian diri dengan kebijaksanaan pemerintah, umpamanya
dalam melaksanakan ketentuan asas tunggal Pancasila.64
C. Peminggiringan Politik Islam
Posisi politik umat Islam setelah Orde Baru berkuasa tidak banyak
mengalami perubahan yang signifikan. Seperti halnya dengan rezim Orde Lama
(Soekarno), Orde Baru pun menerapkan strategi politik yang tidak aspiratif
terhadap Islam, atau dengan kata lain menekan potensi politik umat Islam. Hal ini
dilakukan untuk membonsai kekuatan politik Islam yang dianggap sebagai
ancaman terhadap kelangsungan rezim Orde Baru. Akibatnya, kekuatan politik
umat Islam yang dipresentasikan oleh partai-partai politik Islam, seperti Parmusi
(reinkarnasi Masyumi), NU, Perti, dan PSII di pemilu pertama Orde Baru
64 M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru, (Jakarta: Logos, 2001), h. 42.
lihat pula Rusli Karim, Dinamika Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Hanindita, 1985), h. 195.
berkuasa (tahun 1971) tidak memiliki kekuatan politik yang kuat untuk
menandingi kekuasaan Orde Baru.
Menurut Wertheim, seperi yang dikutip oleh Rusli Karim, peran sebagai
“orang luar” (outsider) merupakan salah satu ciri keberadaan Islam di Indonesia
yang selalu muncul dalam seluruh kurun sejarah masa lalu. Pada era Orde Baru
mengharapkan terjadinya peningkatan kekuasaan politik komunitas Muslim
merupakan kesalahan perkiraan (miscalculated) yang serius. Rezim militer yang
dipimpin Soeharto lebih khawatir dengan aspirasi-aspirasi Islam dalam bidang
politik daripada Soekarno.65 Proyek ini didasarkan pada asumsi bahwa Islam yang
kuat secara politik akan menjadi hambatan bagi modernisasi. Pandangan ini
sesungguhnya mengandung logika politiknya yakni, depolitisasi Islam adalah
usaha mempertahankan kekuasaan dan melindungi kepentingan elite kekuasaan.66
Menurut Van Dijk, seperi yang dikutip oleh Rusli Karim, depolitisasi merupakan
langkah untuk menghilangkan perbedaan ideologi dan perselisihan agama seperti
yang dialami menjelang tahun 1965.67
Proses ini mengambil bentuk penyingkiran simbol-simbol Islam dari
kegiatan-kegiatan politik, mengeliminasi partai-partai politik Islam, dan
menghindarkan arena politik dari politisi-politisi Islam. Depolitasi Islam
mencapai puncaknya, berkenaan dengan sarana politik dalam penggabungan
semua partai politik Islam yang ada ke dalam PPP tahun 1973 dan berkenaan
dengan ideologi politik dalam keharusan menerima Pancasila sebagai satu-satunya
asas oleh semua orsospol dan ormas tahun 1985. Bahkan, sejatinya depolitisasi
65 M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran, h. 121. 66 M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru, (Jakarta: Logos, 2000), h. 63. 67 M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran, h 72.
Islam adalah bagian dari proyek yang lebih besar, yakni massa mengambang,
yang mengurangi kesadaran politik rakyat akar rumput (grassroot) dan
mengasingkan pemimpin-pemimpin politik dari pendukung mereka.68
Depolitisasi Islam ini dijalankan dengan “domestifikasi” kekuatan-
kekuatan politik Muslim melalui proses pelemahan partai-partai Islam. Tetapi
proses tersebut dilakukan untuk mendorong pelembagaan kekuatan umat Islam
lewat pembentukan banyak organisasi Islam “korporatis” atau kuasi-korporatis.69
Sebenarnya, rencana untuk melumpuhkan partai politik secara sistematik
telah dimulai sejak 1969. Menurut Bryan May, setelah meloloskan rancangan
undang-undang Pemilihan Umum di DPR pada 31 Desember 1969, Soeharto
memerintahkan untuk membuat persiapan kampanye. Sementara jabatan
kekuasaan pemilihan umum telah menggariskan enam tujuan pasca pemilihan
umum, yaitu: (1) tidak ada ideologi politik kecuali Pancasila, (2) partai politik
hendaknya berasaskan pada program pembangunan, bukan idea-idea politik, (3)
jumlah partai politik akan dikurangi, (4) di antara pemilu-pemilu, orang-orang
desa berpartisipasi dalam pembangunan, tetapi tidak dalam bidang politik, (5)
organisasi-organisasi massa dipisahkan dari partai-partai politik, (6) pegawai
pemerintah dikeluarkan dari partai politik dan harus taat hanya kepada
pemerintah. Ini menunjukkan bahwa pembangunan telah diutamakan daripada
politik.70
Kebijakan Orde Baru ini oleh R. William Liddle, disebabkan oleh empat
hal; (1) partai-partai lebih berorientasi ideologi daripada program, (2) partai-partai
68 M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik, h. 66-67. 69 M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik, h. 79-80. 70 M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran, h. 73.
memperuncing perselisihan ideologi di kalangan rakyat pada tingkat elit maupun
massa, (3) partai-partai menciptakan berbagai ketegangan organisasi di dalam
masyarakat, (4) sistem banyak partai dianggap sebagai sebab utama
ketidakstabilan pemerintah berparlemen.71
Dengan kondisi yang demikian ini, pantaslah kiranya jika pada tahun-
tahun panjang di masa Orde Baru, paling tidak hingga pertengahan atau akhir
dekade 1980-an, politik Islam merupakan sesuatu yang oleh negara harus
diperlakukan bagaikan “kucing-kurap”. Para aktivitas politik Islam, dalam format
dan langgam, yang dimunculkan oleh generasi lama, merupakan pihak-pihak yang
kepada mereka negara menerapkan kebijkaan domestifikasi. Dengan mind-set
seperti itu, dan sumber daya-sumber daya sosial-ekonomi dan politik yang
dimilikinya, negara berhasil menundukkan politik Islam secara politik, ideologi
dan intelektual. Yang pertama merujuk pada kenyataan bahwa negara
memperlakukan komunitas politik Islam sedemikian rupa, sehingga mereka
terpinggirkan dalam proses-proses politik. Ini terjadi, khususnya pada mereka
yang mengembangkan aktivisme politik yang oleh negara dianggap di luar utama
pembangunan politik Orde Baru.
Proses penyelesaian konstitusional yang tak kunjung selesai secara
substansial, mengakibatkan persoalan Islam dalam kerangka ideologis tetap
bergulir. Pergantian rezim dari Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto tak juga
menyurutkan persoalan Islam secara ideolog. Bahkan, hal tersebut pernah
digunakan sebagai salah satu instrumen untuk menyudutkan masyarakat Islam.
71 M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran, h. 73-74.
Selama dua dasawarsa pertama kukuasaan Orde Baru, umat Islam sering
ditempatkan pada posisi “an ideological scapegoat” dikambingkan dalam
pergumulan ideologi (politik) negara. Sebanding dengan itu, dengan
menggunakan wacana Islam sebagai ideologi, umat Islam menjadi kelompok yang
terus-terus dicurigai, dianggap sebagai pihak yang tidak mempercayai ideologi
negara (Pancasila) seratus persen.72
Situasi “ideologis” yang tidak mengenakkan inilah yang kemudian
melahirkan antagonisme politik pemerintah terhadap umat Islam. Ini berarti,
kecurigaan politik negara terhadap umat Islam merupakan kelanjutan dari adanya
gesekan-gesekan ideologis. Bahkan, kecurigaan itu berkembang menjadi
antagosinme politik yang semakin menyudutkan posisi umat Islam. Lebih parah
lagi, kecurigaan dan antagonisme itu tumbuh di kedua belah pihak; Islam dan
negara. Kenyataan seperti itu merupakan sesuatu yang “aneh” –sesekali
“membingungkan” (puzzling)- mengingat mayoritas penduduk Indonesia
beragama Islam. Tapi, telah menjadi sebuah kelaziman, bahwa persepsi ideologi
maupun politik adalah potensial untuk menumbuhkan kategorisasi-kategorisasi
untuk tidak mengatakan friksi-friksi.73
Kecurigaan dan antagonisme politik ini, yang antara lain, disebabkan oleh
apa yang oleh sementara pihak dianggap sebagai “ideologisasi Islam”, pada
umumnya telah menyebabkan Islam -khususnya Islam politik (political Islam)-
pada posisi penggiran. Sampai pada pertengahan dasawarsa 1980-an, seperti
disimpulkan oleh Donald K. Emmerson, dilihat dari perspektif manapun;
72 Bahtiar Effendy, Teologi Baru Politik Islam: Pertautan Agama, Negara dan Demokrasi, (Yogyakarta: Galang Press, 2001), h. 144.
73 Bahtiar Effendy, Teologi Baru Politik Islam: Pertautan, h. 144.
konstitusional, politik, birokrasi, legalistik, dan bahkan simbolik-Islam telah
“terkalahkan”. “Pengkalahan” Islam ini dimaksudkan untuk memotong “gigi
politik” Islam, karena Islam lah yang selama ini dianggap sebagai pesaing politik
utama pemerintahan Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto. Ditambah dengan
faktor Islam sebagai ideologi dan dasar perjuangan politik umat, untuk waktu
yang lama, Islam pernah dianggap sebagai sesuatu yang mengancam konstruksi
(ideologi-politik) negara-bangsa.74
Tak berlebihan, jika Hartono Mardjono menuding, ada kekuatan sikap dan
tindakannya sangat tidak menyenangkan Islam serta berusaha menyingkirkan
umat Islam dari pemerintahan yang mengelilingi Soeharto. Kelompok itu berada
di bawah pimpinan Ali Murtopo, asisten pribadi bidang politik pimpinan Operasi
Khusus (OPSUS), sebuah badan ekstra-konstitusional yang melakukan operasi-
operasi khusus dengan cara-cara intelijen. Dalam praktiknya, OPSUS merupakan
invisible government yang dapat melakukan segala macam tindakan, termasuk
merekayasa kehidupan sosio-politik sehingga peranannya sangat besar dan
ditakuti rakyat.75
Dalam kaitan ini, Watson, menyebutkan tiga langkah yang diambil Orde
Baru sebagai strategi mengurangi Islam dalam politik. Pertama, menghancurkan
pengaruh anggota politik Masyumi. Kedua, penyederhanaan struktur partai
dengan menggabungkan partai-partai Islam ke dalam satu partai. Ketiga,
mendorong perkembangan institusi-institusi agama melalui Departemen Agama.76
74 Bahtiar Effendy, Teologi Baru Politik Islam: Pertautan, h. 144-145. 75 Hartono Mardjono, Politik Indonesia 1996-2003, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h.
30. 76 M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran, h. 119-120.
BAB IV
PEMBERLAKUAN ASAS TUNGGAL TERHADAP
POLITIK ISLAM
D. Pemberlakuan Asas Tunggal
Bersama dengan mantapnya stabilitas nasional dan pembangunan
ekonomi, perlindungan dan pengamanan Pancasila menjadi asas dan ideologi
nasional negara menjadi prioritas utama pemerintah Orde Baru. Kebijakan ini
tampaknya didorong oleh banyak faktor. Faktor pertama adalah setelah
pemberontakan PKI tahun 1965 dapat dipadamkan, pemerintah terus mewaspadai
kebangkitan kembali partai tersebut meskipun telah resmi dilarang. Faktor kedua
adalah munculnya gerakan fundamentalis Muslim di berbagai wilayah di dunia
Islam pada tahun 1970-an, khususnya di Iran. Khawatir akan menyebarnya
pengaruh revolusi Iran di Indonesia, pemerintah melakukan perlindungan terhadap
Pancasila. Faktor ketiga yang mendorong pemerintah terus melindungi Pancasila
agaknya karena munculnya gerakan saparatis dan fundamentalis di negeri ini.77
Sejalan dengan upaya terus-menerus untuk melestarikan Pancasila mulai
tahun 1982 pemerintah membicarakan pentingnya. Motif utama pemerintah
adalah untuk melindungi Pancasila sebagai ideologi nasional negara, dan untuk
terus mensosialisasikannya dalam kehidupan berbangsa. Untuk itu, pemerintah
77 Gagasan pemerintah tentang penyatuan asas bagi seluruh partai politik, untuk pertama
kali diajukan Presiden Soeharto pada pidato kenegaraan di depan sidang DPR 16 Agustus 1982. kemudian, gagasan Presiden ini dimasukkan dalam Ketetapan MPR No. II/1983 (pasal 3 bab IV), dengan alasan bahwa demi memelihara, memperkuat, dan memantapkan Pancasila dalam kehidupan sosial dan nasional bangsa, seluruh partai politik dan Golkar, harus menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal mereka. Lihat Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni, h 191-192, dan 203.
merasa bahwa harus tidak ada ideologi lain yang menandingi Pancasila sebagai
asas tunggal. Kesimpulan ini didorong oleh dua faktor. Faktor pertama adalah
pemerintah tampaknya belajar dari pengalaman kampanye pemiliu sebelumnya di
mana terjadi pertarungan fisik, khususnya antara pendukung Golkar dan PPP.
Faktor kedua yang mendorong pemerintah menjadikan Pancasila tidak hanya
sebagai asas tunggal atau ideologi negara, tetapi juga asas tunggal bagi semua
partai politik dan ormas di negara ini adalah karena secara ideologis Pancasila
akan menempati posisi yang lebih kuat dalam kehidupan sosial dan nasional
bangsa Indonesia. Ide ini tampaknya diperkuat oleh fakta bahwa sepanjang
menyangkut Islam politik, PPP masih mempertahankan Islam sebagai asasnya di
samping Pancasila. Penggunaan dua asas oleh PPP dilihat pemerintah sebagai
bukti, bahwa mereka tidak secara total menerima ideologi nasional Pancasila.
Untuk menghilangkan dualisme asas ini, pemerintah kemudian menerapkan
gagasan Pancasila sebagai asas tunggal.78 Bahkan Soeharto pernah menyerang
kelompok-kelompok yang tidak secara total menerima ideologi negara, Pancasila,
Konstitusi UUD 1945 dan akan menghukum kelompok-kelompok yang masih
berorientasi ideologi, Marxisme, Leninisme, Komunisme, dan Nasakom. Tentu
saja, serangan Soeharto ditujukan kepada PPP sebagai partai oposisi yang
berasaskan agama (Islam).79
Menurut pemerintah dan para pendukungnya, penerapan Pancasila sebagai
asas tunggal partai-partai politik akan mendorong setiap partai untuk menjadi
lebih berorientasi program bukannya orientasi ideologi. Dengan cara ini daya tarik
78 Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni, h. 197-199. 79 Serangan Soeharto ini dilontarkan dalam pidato pertemuan ABRI di Pakanbaru,
Sumatera Barat, 27 Maret 1980., Asian Survey, Volume XXI, No. 8 Agustus 1982, h. 817-818.
partai akan didasarkan khususnya pada program-programnya yang ditawarkan
kepada masyarakat, bukan pada asas ideologi yang digunakan. Jadi, isu-isu utama
selama kampanye pemilu akan terpusat terutama pada program, bukan pada
ideologi. Sehubungan dengan ini, ideologi diyakini dapat menjadi sumber
kekerasan politik antarpartai, sebagaimana terjadi pada kampanye-kampanye
sebelumnya.80
Pancasila akhirnya dijadikan sebagai asas tunggal bagi semua partai
politik. Pada tanggal 19 Februari 1985, Pemerintah dengan persetujuan DPR
mengeluarkan Undang-undang No. 3 Tahun 1985, menetapkan bahwa partai-
partai politik dan Golkar harus menerima Pancasila sebagai asas tunggal. Empat
bulan kemudian, pada tanggal 17 Juni 1985, pemerintah lagi-lagi atas persetujuan
DPR mengeluarkan Undang-undang No. 8 Tahun 1985 tentang ormas,
menetapkan bahwa seluruh organisasi sosial atau massa harus mencantumkan
Pancasila sebagai asas tunggal. Dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 3
Tahun 1985, penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal bagi seluruh partai politik
dan organisasi massa menjadi syarat mutlak.81
Kebijakan politik Orde Baru ini bukan tanpa reaksi. Sejauh menyangkut
umat Islam, paling tidak sejak tahun-tahun 1982, mereka telah menunjukkan
reaksi terhadap usulan pemerintah mengenai Pancasila sebagai asas tunggal bagi
semua ormas. Sejumlah ormas Islam keberatan terhadap gagasan pemerintah
80 Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni, h. 205. 81 Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni, h. 207.
karena takut dengan menerima Pancasila sebagai asas tunggal bararti Pancasila
akan menggantikan Islam, atau bahwa Pancasila akan disamakan dengan agama.82
Reaksi umat Islam terhadap asas tunggal Pancasila ini menimbulkan
perbedaan serius. Bahkan, umat Islam telah mengalami konflik yang paling rumit
dan menghabiskan masa paling lama dalam memperdebatkan pergantian asas ini.
Dari pertengahan 1982 sampai 1985, perdebatan terjadi dan disertai oleh konflik
internal dan konflik dengan pemerintah. Konflik ini harus dibayar mahal dengan
pecahnya HMI menjadi HMI Diponegoro dan HMI MPO, sedangkan PII terpaksa
membubarkan diri karena menolak kebijakan tersebut.83
Pada mulanya hampir semua partai dan organisasi Islam menentang
kebijakan ini. Namun akhirnya setelah mendapat tekanan dari pemerintah banyak
ormas Islam yang memulai menerima kebijakan asas tunggal. Secara berturut-
turut, seluruh organisasi Islam menyesuaikan diri dengan kehendak asas tunggal
Pancasila. NU, melalui Munas Situbondo 1983 dan Muktamar Surabaya 1984
mengatakan menerima Pancasila sebagai asas kehidupan sosial dan politik dan
kemudian menetapkannya sebagai asas organisasi NU. Demikian pula
Muhammadiyah melalui Muktamar ke-41 di Surakarta tahun 1985 mengambil
langkah yang serupa. Pada ahun 1988 sebagai batas waktu penyesuaian seluruh
organisasi sosial dan politik dengan kehendak undang-undang, seluruh organisasi
Islam telah menyesuaikan diri, kecuali Pelajar Islam Indonesia (PII), yang
82 Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni, h. 230. 83 M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran, h. 184.
kemudian terpaksa dibubarkan oleh pemerintah pada tahun 1988 karena tidak
bersedia menjadikan Pancasila sebagai asas organisasinya.84
Keberhasilan menghapuskan ideologi primordialistik Islam merupakan
pencapaian yang paling berharga buat rezim Orde Baru. Semua kekuatan dan
ideologi telah berhasil ditundukkannya. Tidak ada kekuatan manapun yang bisa
menentangnya. Ini memperkuat kedudukan otoritarianisme rezim Orde Baru.85
Dalam kasus ini, kelompok Islam pada awal Orde Baru tampak kurang
memainkan peran penting dalam memberi isi dan makna asas negara ini. Hal ini
merupakan salah satu kesalahan strategi umat Islam. Mestinya meraka
berkompromi untuk kemudian bersama-sama memberi isi Pancasila.86 Sayangnya
umat Islam tidak mengambil inisiatif untuk memberi muatan Pancasila agar lebih
sesuai dengan aspirasi Islam.
A. Implikasi Kebijakan Pemerintah Orde Baru dalam Pemberlakuan Asas
Tunggal bagi Politik Islam
Sejak lama para pemimpin Islam di negeri ini berusaha menemukan jalan
keluar bagi persoalan yang membelit sebagian besar umatnya. Sesudah lama
terkungkung oleh kebijaksanaan diskriminatif penjajah, kemerdekaan memang
memberi peluang umat Islam untuk mengembangkan diri. Namun sesudah
proklamasi kemerdekaan, citra tentang kemiskinan dan keterbelakangan itu masih
juga belum terhapus. Sebagian besar umat Islam Indonesia jauh tertinggal dalam
84 Abdul Munir Mulkan, Perubahan Perilaku Politik dan Polarisasi Ummat Islam 1965-
1987, (Jakarta: Rajawali, Cet. ke-1, 1989), h. 127. 85 M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran, h. 184. 86 M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran, h. 188.
berbagai hal: pendidikan yang rendah, bidang pekerjaan yang secara materiil
kurang menguntungkan, skor kualitas hidup fisik yang rendah, dan status sosial
ekonomi yang juga rendah.
Harapan awal muncul menjelang kemerdekaan, ketika BPUPKI (Badan
Amal Bakti Muslim Pancasila pimpinan Presiden Soeharto, pendirian Bank
Muamalat, “penghijauan” di DPR/MPR Kabinet Pembangunan VI dan pengurus
DPP Golkar 1993/1998, operasi pemberantasan kriminalitas dan pornografi.
Fenomena saling akomodasi Islam dan Negara yang semakin transparan
pada tahun 1990-an menurut Din Syamsuddin, dapat dimungkinkan dari dua arah
berbeda dari satu proses, depolitisasi oleh rezim Orde Baru dan respon kaum
muslimin tersebut telah mendorong kebangkitan Islam di Indonesia.92
92 Din Syamsuddin, Islam dan Politik, h. 73.
Pada bagian lain, Bahtiar Effendy meyakini bahwa keharmonisan
hubungan antara Islam dan Negara banyak berhutang budi pada munculnya
intelektualisme Islam baru yang akar-akarnya dapat ditemukan pada awal dekade
1970-an.93 Upaya awal yang berlangsung di tahun 1970-an itu berhasil
mentransformasikan pemikiran dan politik Islam di Indonesia dari yang semula
bersifat formalis-legalisme menjadi substansialisme. Substansialisme Islam yang
secara kuat bergulir ini melahirkan Islam politik format baru yang memandang
bahwa ciri-ciri utamanya mencakup: landasan teologis, tujuan dan pendekatan
Islam Politik sebangun dengan konstruk negara kesatuan nasional Indonesia
sekarang.94
Banyak sekali kemudahan yang telah diberikan oleh rezim Orde Baru
setelah berakhirnya era penindasan Islam. Sebagai puncaknya adalah pendirian
Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Ini merupakan tanda kebangkitan
politik Islam yang paling berarti. Dengan demikian, jelas kemunculan ICMI
merupakan keuntungan tersendiri bagi Politik Islam dan telah mengubah corak
hubungan Islam dan Negara. Namun kemunculan ICMI ini menimbulkan pro dan
kontra baik di kalangan Islam maupun non-Islam.
Sementara itu penyebab munculnya kesalahpahaman di kalangan Islam
juga cukup beragam. Menurut Deliar Noer dan Ridwan Saidi misalnya,
mengatakan bahwa pembentukan ICMI yang memperoleh dukungan dari presiden
93 Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik di
Indonesia, (Jakata: Paramadina, 1998), h. 125-126. 94 Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi, h. 333-334.
tak lebih hanya sebagai sarana terpilihnya kembali jabatan Presiden.95 Sementara
ketua Nahdlatul Ulama (NU) Abdurrahman Wahid mengatakan bahwa ICMI
sektarianistik.96 Bagi mereka yang setuju dengan ICMI berpendapat bahwa
dengan adanya ICMI mampu menjadi pemersatu umat, yang dengan itu akan
mempercepat proses pembangunan bangsa.97
Di dalam realitasnya, iklim politik di Indonesia memang telah mengalami
perubahan yang luar biasa setelah 1990-an, artikulasi Islam makin kelihatan.
Islam makin tampil ke depan, menurut Rusli Karim ada enam faktor yang
mempengaruhinya. Pertama, berakhirnya masa penentangan kelompok Islam
terhadap Pancasila, setelah kelompok Islam menerima Pancasila sebagai asas
tunggal dalam berpolitik dan berorganisasi. Kedua, keberadaan kedua tokoh yang
erat hubungannya dengan Soeharto yaitu Habibie dan Munawwir Sadjali dengan
caranya sendiri-sendiri mereka mampu meyakinkan Soeharto bahwa umat Islam
tidak merupakan ancaman terhadap rezim. Ketiga, meningkatnya kesadaran
keagamaan ditengah meningkatnya tekanan rezim, umat Islam tidak berhenti
berjuang. Keempat, munculnya cendekiawan Muslim, mengingat kekuatan yang
begitu besar maka dalam rangka membangun masa depan Indonesia, tidak
mungkin rezim menyia-nyiakan potensi besar umat Islam ini. Kelima, keadaan
pribadi Soeharto sendiri yang semakin tua, ia ingin mengakhiri jabatannya dengan
sikap arif, tidak menyakiti kelompok Islam. Keenam, pertolongan dari Illahi.98
95 Ahmad Bahar (ed), ICMI Kekuasaan dan Demokrasi, (Yogyakarta: Pena Cendekia
Indonesia, Cet. ke-1, 1995), h. 23. 96 Ahmad Bahar (ed), ICMI Kekuasaan, h. 23. 97 Ahmad Bahar (ed), ICMI Kekuasaan, h. 23. 98 M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran, h. 230-233.
Selain itu kebangkitan politik Islam dilihat dari segi sosiologis masyarakat
bahwa kelas menengah Muslim di perkotaan mulai merambah ke atas.
Transformasi sosio-ekonomi-politik selama dua dekade akhir Orde Baru (sebelum
kelahiran ICMI) melahirkan pembesaran kelas menengah Muslim perkotaan. Pada
penghujung 1980-an, mereka mulai memasuki sektor-sektor sosial-ekonomi-
politik strategis. Akibatnya, mereka sulit untuk diabaikan begitu saja kekuatan dan
kepentingannya oleh negara.
Negara bahkan terdesak untuk memberi ruang akomodasi dan representasi
yang lebih baik bagi mereka. Dalam konteks inilah politik Islam mulai mengalami
pasang naik di penghujung kekuasaan Soeharto. Walaupun di sisi lain ada faktor
yang lebih dominan, yaitu pemberhentian Jenderal LB Moerdani dari
kedudukannya sebagai panglima ABRI, pemberhentiannya ini akibat ulah Beny
sendiri, konon tokoh ini menunjukkan tanda-tanda akan mengancam Soeharto
beserta menentang aktivitas bisnis anak-anaknya.99
Selain itu menurut Leo Suryadinata, ternyata beberapa orang jenderal
meragukan kepemimpinan Soeharto.100
Faktor-faktor inilah yang mendorong rezim mempertimbangkan kembali
corak hubungannya dengan kelompok Islam yang dipinggirkannya selama ini.
Adanya akomodasi antara Islam dan Negara tentunya terjadi karena bertemunya
dua kepentingan yang saling memerlukan. Perlu ditekankan pula di sini bahwa
kelompok Islam secara berangsur-angsur mampu menyejajarkan diri dengan
kelompok lainnya, terutama dalam penguasaan ilmu dan teknologi dan segala
99 M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran, h. 228. 100 Leo Suryadinata, Golkar dan Militer: Studi tentang Budaya Politik, (Jakarta: LP3ES,
1992, Cet. ke-1), h. 120.
macam institusi modern. Dengan jumlah yang begitu besar maka cukup beralasan
pula jika kepadanya diharapkan bisa memberikan sumbangan yang besar dalam
membangun Indonesia ke depan.
Peristiwa-peristiwa terjadinya hubungan yang saling berakomodasi antara
Islam dan Negara yang telah penulis paparkan di atas kiranya dapat dianalisis
sebagai berikut: Pertama; inisiatif hubungan saling akomodasi tetap dominan
berasal dari negara seperti RUU Pendidikan Nasional, RUU Peradilan Agama,
Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila dan lain sebagainya. Umat Islam dalam
banyak kasus bersikap reaktif, seperti dalam kasus penghapusan larangan
berjilbab di sekolah-sekolah, penghapusan SDSB/Bapindo, tragedi Nipah dan
berbagai unjuk rasa lainnya.
Kedua, dalam berbagai kasus lain, inisiatif datang dari umat Islam, akan
tetapi baru berhasil setelah didukung atau diambil alih oleh negara, seperti
pendirian ICMI dan realisasi program-programnya, pendirian Bank Muamalah,
dan pengiriman da’i-da’i ke daerah-daerah transmigran.
Ketiga, berdasarkan hal ini, sebenarnya umat Islam belum memiliki
peranan dalam perumusan kebijaksanaan nasional. Hubungan Islam dan Negara
yang saling berakomodasi berlangsung melalui dua arah. Arah pertama, negara
(state) mengakomodasi kepentingan Islam. Arah kedua, umat Islam memberikan
dukungan kepada negara.
Keempat, dalam periode ini muncul kelompok-kelompok sempalan yang
bertujuan mendirikan Negara Islam Indonesia, misalnya GPK Warsidi di
Lampung dan kelompok Pandeglang di Pandeglang (1994). Namun secara umum,
gerakan-gerakan tersebut tidak memperoleh dukungan dari umat Islam.
Adapun kerugian bagi politik Islam Indonesia pasca pemberlakuan asas
tunggal Pancasila, dapat dianalisis sebagai berikut yaitu hilangnya keberadaan
partai politik yang memperjuangkan ideologi Islam yang menyebabkan umat
Islam tidak bisa lagi menjadikan dan memperjuangkan ideologi Islam sebagai
ideologi negara Di sisi lain berbagai macam kebijakan rezim Orde Baru yang
mewarisi kebijakan Snouck Hurgonye untuk melemahkan setiap pengaruh politik
Islam dengan merendahkan dan meminggirkan umat Islam, secara psikologis
membuat umat Islam mempunyai kepribadian minoritas. Dengan demikian, sekuat
apapun secara politis Islam yang kreatif tidak pernah memimpin satu mayoritas.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, penulis mengambil kesimpulan bahwa
kebijakan pemerintah Orde Baru dalam menetapkan Pancasila sebagai asas
tunggal adalah usaha untuk memperkokoh kekuasaan politik serta mencapai
sasaran-sasaran politiknya, terutama usaha membangun ekonomi dan
mewujudkan kestabilan politik, rezim Orde Baru menetapkan beberapa cara yang
diantaranya adalah mengeluarkan kebijakan sistematis depolitisasi semua
kekuatan sosial politik terutama organisasi politik. Metode ini kemudian
direalisasikan dalam bentuk penghapusan ideologi-ideologi politik dan
menetapkan asas Pancasila sebagai ideologi tunggal melalui instrumen Undang-
undang No. 3 Tahun 1985. Rezim Orde Baru memandang bahwa pluralisme
ideologi merupakan sumber konflik berkepanjangan yang pada gilirannya akan
menghambat pembangunan nasional.
Implikasi kebijakan rezim Orde Baru dalam menetapkan Pancasila sebagai
asas tunggal bagi politik Islam adalah umat Islam mulai bersikap akomodatif
terhadap negara dan mulai bertindak bukan lagi sebagai oposan melainkan sebagai
pendukung utama Orde Baru. Selain itu umat Islam mulai merubah haluan
perjuangan politiknya dengan meninggalkan jalur politik praktis struktural (partai
Islam) dan menggantinya dengan perjuangan jalur kultural (budaya) yaitu dengan
upaya memperjuangkan Islam dengan basis yang lebih luas.
B. Saran-saran
Sebagai saran yang dianggap penting penulis kemukakan sebagai berikut:
1. Kepada pihak kepustakaan sebagai tempat taman bacaan/inspirasi
mahasiswa, khususnya kepustakaan Ushuluddin dan Perpustakaan Utama
pada umumnya agar meningkatkan kualitas dan menambah sumber-
sumber yang berkaitan langsung dengan topik bahasan dan ilmu politik.
2. Kepada para pembaca/Mahasiswa yang sedang mencari bahan untuk
membuat skiripsi atau karya ilmiah, penelitian ini sangat layak untuk
dikembangkan secara detail, mengingat masih banyaknya kesalahan dan
kekurangan disana-sini.
3. Penulis menyadari bahwa disana sini masih banyak terdapat kesalahan dan
kekurangan baik dalam paparan maupun metodologinya, maka kritik dan
saran yang membangun dari pembaca menjadi harapan penulis.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Chaidar. Reformasi Prematur Jawaban Islam terhadap Reformasi Total. Jakarta: Darul falah, 1999.
Ali, Fachry. Islam, Pancasila dan Pergulatan Politik. Jakarta: Pustaka Antara, 1984. _________. dan Bahtiar Effendy. Merambah Jalan Baru Islam, Rekonstruksi
Pemikiran Orde Baru. Bandung: Mizan, 1984. Amir, Zaenal Abidin. Peta Islam Politik Pasca Soeharto. Jakarta: Pustaka LP3ES,
2003. Anwar, M. Syafi'i. Pemikiran Dan Aksi Islam Politik "Sebuah kajian Politik
Tentang Cendikiawan Muslim Orde Baru". Jakarta: Paramadina, 1995. Bahar, Ahmad (ed). ICMI Kekuasaan dan Demokrasi. Yogyakarta: Pena
Cendekia Indonesia, Cet. ke-1, 1995. Effendy, Bahtiar. Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik
di Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1998. _____________. Teologi Baru Politik Islam: Pertautan Agama, Negara dan
Demokrasi. Yogyakarta: Galang Press, 2001. Ghazali, Adeng Muchtar. Perjalanan Politik Umat Islam Dalam Lintasan
Sejarah. Bandung: Pustaka Setia, 2004. Imawan, Riswandha. Membedah Politik Orde Baru Catatan dari Kaki Merapi.
Wacana. Cet. ke-1, 1999. Karim, M. Rusli. Negara dan Peminggiran Islam Politik. Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1999. Kusumaatmadja, Sarwono. Sketsa Politik Orde Baru. Bandung: Alumni, 1988. Maarif, Ahmad Syafii. Islam dan Masalah Kenegaraan Studi tentang Percaturan
dalam Konstituante. Jakarta: LP3ES, Cet. ke-1, 1996. Mardjono, Hartono. Politik Indonesia 1996-2003. Jakarta: Gema Insani Press,
1996.
Muhaimin, A. Yahya. Bisnis dan Politik Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-
1980. Jakarta: LP3ES, 1990. Mulkhan, Abdul Munir. Perubahan Perilaku Politik dan Polarisasi Ummat Islam
1965-1987. Jakarta: Rajawali, Cet. ke-1, 1989. Nugroho, Taufiq. Pasang Surut Hubungan Islam dan Negara Pancasila.
Yogyakarta; Padma: Cet. ke-1, 2003. Rahardjo, M. Dawam. Intelektual Inteligensia dan Perilaku Politik Bangsa:
Risalah Cendekiawan Muslim. Bandung: Mizan, 1993. Sanit, Arbi. ”Organisasi Politik, Organisasi Massa dan Politik Demokratisasi
Masyarakat”. dalam Prisma, Jakarta: LP3ES, 1988, Setiawan, Akhmad. Perilaku Birokrasi dalam Pengaruh Paham Kekuasaan Jawa.
Harapan, 1984. Suryadinata, Leo. Golkar dan Militer: Studi tentang Budaya Politik. Jakarta:
LP3ES, Cet. ke-1, 1992. Syamsuddin, M. Din. Islam dan Politik Era Orde Baru. Jakarta: Logos, 2001. Thaba, Abdul Aziz. Islam dan Negara Dalam Politik Orde Baru. Jakarta: Gema
Insani Press, 1996. Tim Penyusun Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka ,1988. Tjokrowinoto, Moeljarto. Pembangunan Dilema dan Tantangannya. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1996. Widjaja, Albert. Budaya Politik Dan Pembangunan Ekonomi. Jakarta: LP3ES,