BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN, PERCERAIAN, DAN
PEMBAGIAN HARTA BERSAMA
A.
Pengertian dan Konsepsi Perkawinan Pengertian Perkawinan dapat
kita lihat dalam pasal 1 Undang-Undang
Perkawinan yang berbunyi: Perkawinan ialah ikatan lahir bathin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.1 Menurut
Prof.H.R.Sardjono,SH yang dimaksudkan dengan konsepsi Perkawinan
yaitu segala sesuatu yang menjadi intisarinya perkawinan menurut
suatu sistim hukum tertentu.2 Dari batasan atau definisi tentang
perkawinan tersebut dapat ditemukan konsepsi perkawinan menurut
sistem hukum di Negara Indonesia yang juga merupakan asas-asas atau
prinsip yaitu sebagai berikut.
1 2
Indonesia (I) , Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang
Perkawinan,pasal 1. Rusdi Malik, Memahami Undang-Undang Perkawinan
(Edisi Revisi),Cet.1,(Jakarta:Universitas Trisakti,2009) hal 27
1. Tujuan perkawinan ialah membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal, karena itu perkawinan itu harus merupakan
ikatan lahir dan batin, dan tidak hanya ikatan lahir saja atau
hanya ikatan batin saja. 2. Ikatan itu antara sorang pria dan
seorang wanita,jadi jelas bahwa hukum perkawinan indonesia menganut
asas monogami, artinya seorang pria dan seorang wanita hanya boleh
mempunyai seorang isteri atau seorang suami dalam waktu tertentu,3
3. Perkawinan itu haruslah berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha
Esa,artinya undang-undang perkawinan memakai asas bahwa sahnya
suatu perkawinan harus sesuai dengan hukum agamanya dari
masingmasing calon suami dan calon isteri itu (pasal 2 ayat 1
Undang-Undang Perkawinan). Disamping itu juga perkawinan itu harus
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 2
ayat 2 UndangUndang Perkawinan). Artinya Indonesia menganut asas
perkawinan agama (religious marriage) dan juga asas perkawinan
Negara (civil marriage). 4. Undang-Undang perkawinan ini menganut
asas yang mengharuskan calon suami dan calon isteri telah matang
jiwa dan raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar dapat
mewujudkan rumah tangga yang bahagia dan kekal, dan tidak berakhir
dengan perceraian.3
Ibid,hal 29.
5. Undang-Undang Perkawinan ini juga menganut asas bahwa
perceraian adalah suatu hal yang dihindari karena tujuan perkawinan
adalah kebahagiaan yang kekal dari rumah tangga. 6. Undang-Undang
ini juga menganut prinsip atau asas bahwa hak dan kedudukan isteri
adalah seimbang dengan hak dan kedudukan sang suami dalam kehidupan
rumah tangga ataupun dalam pergaulan masyarakat.
B.
Mengenai Syarat-syarat Perkawinan: Menurut Prof.H.R.Sardjono,SH,
Undang-Undang Perkawinan mengenal
dua macam syarat Perkawinan,yaitu:4 1. Syarat materiil yaitu
syarat-syarat yang menyagkut pribadi calon suami dan calon isteri.
Syarat materiil ini dibagi pula atas dua buah yaitu (a) syarat
materiil umum yaitu syarat materiil yang berlaku untuk perkawinan
pada umumnya, sedangkan (b) syarat materiil khusus hanya berlaku
untuk suatu perkawinan tertentu,yaitu perkawinan yang dilarang. 2.
Syarat formil yaitu syarat yang menyangkut formalitas yang harus
dipenuhi sebelum berlangsungnya perkawinan dan pada saat
dilangsungkannya perkawinan.
4
Rusdi Malik, Memahami Undang-Undang Perkawinan (Edisi
Revisi),Cet.1,(jakarta: Universitas Trisakti,2009), hal 32-35
Syarat materiil yag bersifat umum: a. Syarat yang terkandung
dalam asas perkawinan monogami (pasal 3),di mana seorang suami
hanya boleh mempunyai seorang isteri,begitu pula seorang isteri
hanya boleh mempunyai seorang suami. b. Persetujuan calon suami dan
calon isteri (pasal 6 ayat 1). Sesuai dengan asas perkawinan
pertama dalam Undang-Undang perkawinan ini yaitu tujuan perkawinan
adalah untuk membentuk perkawinan yang kekal dan bahagia, dan juga
sesuai pula dengan hak asasi manusia, maka untuk perkawinan perlu
adanya persetujuan atau kesepakatan antara calon suami dan calon
isteri untuk melangsungkan perkawinan. c. Usia untuk bisa
melangsungkan perkawinan.Dalam pasal 7 ayat 1 ditentukan bahwa usia
minimal seorang wanita untuk dapat menikah adalah 16 tahun
sedangkan seorang pria minimal 19 tahun. d. Calon suami dan calon
isteri harus tidak terikat pada tali perkawinan dengan orang lain
e. Seorang wanita yang berstatus janda karena ditinggal mati sang
suami ataupun karena dicerai, harus menunggu waktu tertentu untuk
bisa menikah lagi. Bila tidak terpenuhi 5 syarat yang disebut
diatas , maka calon pasangan pengantin itu tidak berwenang
melakukan perkawinan pada umumnya, karena itulah syarat tersebut
dinamakan syarat materiil umum.
Syarat materiil khusus yag bersifat khusus:5 1. Dicantumkan
dalam pasal 8 Undang-Undang Perkawinan yang berupa
perkawinan-perkawinan yang dilarang yang dilakukan oleh dua calon
pengantin yang: a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus
kebawah atau keatas. b. Berhubungan darah dalam garis keturunan
menyamping c. Berhubungan semenda d. Berhubungan susuan e.
Berhungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan
isteri f. Yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan
yang berlaku dilarang kawin. 2. Dalam pasal 10 Undang-Undang
Perkawinan ditetapkan pula bahwa suami isteri yang telah bercerai
dan kawin kembali dan setelah itu bercerai lagi, maka mantan suami
dan mantan isteri itu tidak boleh kawin kembali lagi. 3. Yang
berupa kewajiban para calon suami dan calon isteri yang belum
mencapai usia 21 tahun, untuk mendapatkan izin untuk melangsungkan
perkawinan dari kedua orang tuanya. Syarat-syarat formil:65
Ibid,hal 35-37.
Formalitas yang mendahului perkawinan adalah sebagai berikut: 1.
Pemberitahuan (pasal 3 s/d 5 PP no.91/1975) a. Setiap orang yang
akan melangsungkan perkawinan wajib
memberitahukan niatnya kepada Pegawai Pencatat Perkawinan di
tempat perkawinan itu akan dilangsungkan (pasal 3 ayat 1 PP
9/1975). b. Pemberitahuan itu dilakukan secara lisa atau tertulis
oleh calon mempelai atau oleh orang tua atau wakilnya (pasal 4 PP
no.9/1975) c. pemberitahuan tersebut dilakukan minimal 10 hari
kerja sebeluM perkawinan itu dilangsungkan. (pasal 3 ayat 2 PP
9/1975) d. Pemberitahuan harus memuat nama, umur,
agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan
keduanya atau salah seorang berstatus jandaatau duda maka agar juga
disebutkan suami atau isterinya yang sebelumnya. (pasal 5 PP
9/1975) 2. Penelitian (pasal 6 dan pasal 7 no.9/1975) a. setelah
menerima pemberitahuan yang dimaksud maka pegawai meneliti apakah
syarat-syarat perkawinan telah terpenuhi dan apakah idak terdapat
halangan perkawinan menurut Undang-Undang (pasal 6 ayat 1 PP
no.9/1975)
6
Ibid,hal 38-40.
b. Hasil penelitian tersebut, oleh pegawai pencatat ditulis
dalam sebuah daftar yang diperuntukan untuk itu. (pasal 7 ayat 1 PP
no.9/1975) 3. Pengumuman (pasal 8 dan 9 PP no.9/1975) Dalam hal
penelitian tersebut tidak menunjukkan halangan perkawinan atau
kekurangan-kekurangan lain maka Pegawai pencatat membuat suatu
pengumuman tentang pemberitahuan kehendak akan dilangsungkannya
perkawinan dengan cara menempelkan surat pengumuman pada kantor
Pencatatan perkawinan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan
mudah dibaca oleh umum (pasal 8 PP no.9/1975). Pengumuman tersebut
ditandatangani oleh pegawai pencatat dan memuat identitas dari
calon mempelai yang akan melangsungkan
perkawinan serta hari,tanggal,jam dan tempat dimana perkawinan
akan dilangsungkan.(pasal 9 PP no.9/1975).
C.
Perjanjian Perkawinan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 yaitu
Undang-Undang tentang
perkawinan menempatkan Perjanjian Perkawinan dalam Bab ke V dan
tidak memberikan defenisi mengenai apa yang dimaksud dengan
perjanjian perkawinan. Undang-Undang Perkawinan itu hanya
menyebutkan pada pasal 29 sebagai berikut: 1. Pada waktu atau
sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan
bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang
disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan , setelah mana isinya
berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga
tersangkut. 2. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana
melangggar batasbatas hukum, agama dan kesusilaan. 3. Perjanjian
tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan. 4. Selama
perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dirubah, kecuali
bila kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan
dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
Memperhatikan ketentuan pasal 29 ayat (4) tersebut terlihat
adanya perbedaan yang nyata mengenai kemungkinan perubahan
perjanjian perkawinan antara undang-undang perkawinan dengan Kitab
Undangundang Hukum Perdata. Dalam kitab Undang-undang Hukum perdata
perubahan perjanjian perkawinan sama sekali tidak dimungkinkan
walaupun dengan kata sepakat selama berlangsungnya perkawinan.
Sedangkan di dalam Undang-undang perkawinan, perubahan itu
dimungkinkan asalkan tidak merugikan pihak ketiga. Pada hakekatnya
larangan untuk merubah perjanjian perkawinan selama berlangsungnya
perkawinan ialah untuk mencegah timbulnya kerugian pada pihak
ketiga, karena terjadinya perubahan dalam isi perjanjian
perkawinan, yang mengatur Kitab Undang-undang Hukum Perdata,
mengatur mengenai harta kekayaan suami isteri yang bersangkutan.
Penjelasan pasal
29 itu hanya menyebutkan yag dimaksud dengan perjanjian dalam
pasal ini termasuk taklik-talak. Undang-undang tidak menyebutkan
apa yang menjadi maksuda dan tujuan perejanjian perkawinan, dan
tidak pula menyebutkan apa saja yang dapat diperjanjikan. bila
diperhatikan ketentuan dalam pasal 29 tersebut bahwa apa yang
menjadi tujuan perjanjian perkawinan dan apa saja yang
diperjanjiakan diserahkan kepada para pihak yang mengadakan
perjanjian itu, akan tetapi perjanjian itu harus dibuat secara
tertulis dan disahkan pegawai pencatat perkawinan, dan perjanjian
perkawinan tersebut tidak boleh bertentangan dengan ketertiban
umum, kesusilaan, hukum dan agama. Tidak melangggar batas-bastas
hukum dalam hal ini diartikan dengan arti luas. Tidak bertentangan
dengan agama yang dimaksud adalah tidak bertentangan dengan agama
yang dianut oleh para pihak yang mengadakan perjanjian perkawinan
itu pada saat membuat perjanjian dan perkawinan dilangsungkan.
1.
syarat-syarat Perjanjian Perkawinan Syarat-syarat yang harus
dipenuhi dalam perjanjian perkawinan adalah : a. Perjanjian
perkawinan dibuat sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan
antara mereka yang membuat perjanjian itu. b. Dibuat atas
persetujuan bersama dari kedua belah pihak c. Perjanjian perkawinan
tersebut harus dibuat tertulis
d. Perjanjian itu harus disahkan oleh pegawai pencatatan
perkawinan yang berwenang melakukan pencatatan perkawinan itu. e.
Perjanjian perkawinan tidak boleh bertentangan dengan hukum agama
da kesusilaan, ketertiban umum. f. Perjanjian perkawinan itu
sebaiknya diartikan hanya mengenai harta benda perkawinan. g. Yang
membuat perjanjian perkawinan itu harus telah dewasa;kalau tidak
harus dibantu oleh kedua orang tua atau wakil,dalam hal ini
diartikan telah memenuhi syarat bagi calon mempelai untuk
melangsungkan perkawinan, mereka harus dibantu oleh kedua orang tua
atau wakilnya. h. Perjanjian perkawinan baru berlaku sejak
perkawinan
dilangsungkan i. Perjanjian perkawinan berlaku kepada pihak
ketiga hanya
sepanjang pihak ketiga itu tersangkut dan berlaku sejak
perkawinan berlangsung. j. Perjanjian perkawinan tidak dapat
dirubah sepanjang perkawinan berlangsung, kecuali bila kedua belah
pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan
pihak ketiga.
2.
Hak dan Kewajiban Suami Isteri Hak Dan Kewajiban suami istri
diatur pada pasal 30 sampai dengan
pasal 37 Bab ke VI Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan. Undang-Undang memandang hak dan kewajiban antara suami
isteri dari sudut eratnya hubungan suami isteri dalam perkawinan,
dan oleh karena itu timbullah hak dan kewajiban sebagai berikut: a.
Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap, tempat
kediaman mana ditentukan bersama suami-isteri (pasal 32)
UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974. Dalam hal menentukan tempat
kediaman ini tidak dikenal kekuasaan maritaal sebagaimana dianut
oleh kitab Undang-Undang Hukum Perdata. b. Suami isteri wajib
saling cinta-mencintai, hormat-menghormati, setia dan memberi
bantuan lahir dan bathin yang satu kepada yang lain. (pasal 31)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Suami wajib melindungi isterinya
da memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai
dengan kemampuannya (pasal 34 ayat 1) Undang-Undang Nomor 1 tahun
1974.
Mengenai besarnya nafkah yang harus diberikan tergantung kepada
berbagai macam faktor yang harus dipenuhi sebagai berikut: a.
Faktor penghasilan suami, besar kecilnya penghasilan suami
menentukan besarnya jumlah nafkah yang boleh diberikan, jika
penghasilan kecil maka jumlah yang boleh diberikan adalah kecil.
Dengan perkataan lain kecilnya penghasilan yang diperoleh membatasi
besarnya jumlah nafkah yang dapat diberikan. b. Besar kecilnya
kekayaan yang wajib memberi nafkah;bilamana yag wajib memberi
nafkah mempunyai kekayaan yang besar,maka nafkah yang harus
diberikan adalah besar. c. Jumlah dan kedudukan orang yang harus
diberi nafkah; jika jumlah orang yang harus diberi nafkah besar,
maka nafkah yang harus diberikanpun harus besar. Kedudukan orang
yang akan diberi nafkahpun menentukan sekali,oleh karena orang yang
hanya
memrlukan bantuan penghidupan adalah lebih kecil nafkah yang
harus diberikan guna memenuhi kebutuhannya dibandingkan dengan
orangorang yang karena kedudukannya mutlak menjadi tanggungan dari
yang memberi nafkah. d. Besar kecilnya kebutuhan orang yang diberi
nafkah, jika kebutuhannya besar maka jumlah nafkah yang diberikan
adalah besar, sedangkan dalam hal kebutuhannya kecil maka nafkah
yang harus diberikanpun kecil. e. Beban yang harus dipikul pemberi
nafkah; nafkah yang akan diberikan disesuaikan dengan besar
kecilnya beban pemberi nafkah.
Akan tetapi mengenai faktor-faktor tersebut diatas tidak
dijelaskan oleh Undang-Undang , dimana pasal 34 Undang-Undang Nomor
1 tahun 1974 hanya menyebutkan keperluan hidup rumah tangga.
Walaupun faktor-faktor tersebut tidak disebutkan secara rinci dalam
pasal 34 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 harus tetap diperhatikan,
oleh karena prinsip tersebut berlaku dimana saja, dengan perkataan
lain bahwa prinsip tersebut dapat dikatakan mempunyai nilai
universal. Menurut pasal 31 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1974
tentang perkawinan menentukan: a) Hak dan kedudukan isteri adalah
seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah
tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. b)
Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum, suami
adalah kepala keluarga dan isteri adalah ibu rumah tangga. Dalam
rumusan pasal 31 tersebut diatas jelas, bukan ditentukan bahwa hak
dan kewajiban suami isteri adalah sama melainkan ditentukan bahwa
hak dan kedudukan suami dan isteri adalah seimbang baik dalam
kehidupan rumah tangga dan dalam pergaulan hidup bersama dalam
masyarakat. Sementara dalam Kompilasi Hukum Islam yang lebih
ditekankan adalah kewajiban suami. Kompilasi Hukum islam,antara
lain menyebutkan sebagai berikut:
1. Suami adalah pembimbing terhadap isteri dan rumah
tangganya.akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang
penting-penting diputuskan oleh suami isteri bersama. 2. Suami
wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan
hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. 3. Suami wajib
memberikan pendidikan agama kepada isterinya dan memberikan
kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi
agama.nusa, dan bangsa. 4. Sesuai dengan penghasilannya suami
menanggung: a. Nafkah,kiswah dan tempat kediaman bagi sang isteri.
b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi
isteri dan anak. c. Biaya pendidikan bagi anak.
D.
Perceraian Perceraian merupakan salah satu akibat dari putusnya
perkawinan yang
diatur dalam Bab VIII dengan judul putusnya perkawinan serta
akibatnya, yang diatur dalam pasal 38 sampai dengan pasal 41 UUP.
Pasal 38 berbunyi: Perkawinan dapat putus karena: a) kematian b)
perceraian c) atas keputusan pengadilan.
Putusnya perkawinan karena perceraian: Tentang perceraian ini
oleh peraturan perundang-undangan diatur secara mendetail yaitu
dalam UUP sendiri dan peraturan pelaksanaanya yaitu peraturan
Pemerintah no.9 tahun 1975. Perceraian adalah suatu
malapetaka,tetapi suatu malapetaka yang perlu untuk tidak
menimbulkan malapetaka yang lain yag lebih besar bahayanya. Menurut
pasal 39 ayat 1: Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang
pengadilan, setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak
berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Menurut pasal 39 ayat 2:
Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara
suami isteri tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.
E.
Pengaturan Mengenai Pembagian Harta Bersama Menurut UndangUndang
No 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam.
1.
Definisi Harta Bersama (Gono-gini) Istilah gono-gini merupakan
sebuah istilah hukum yang sudah ppuler di
masyarakat dalam kamus besar bahasa Indonesia (2001 ; 330),
istilah yang digunakan adalah gana-gini, yang secara hukum artinya
harta yang berhasil dikumpulkan selama berumah tangga sehingga
menjadi hak berdua
suami dan istri. Dalam kamus umum bahasa Indonesia yang disusun
oleh JS Badudu dan SM Zain (1996: 421), pengertian harta gono-gini
juga sama denga definisi baku dalam kamus besar bahasa Indonesia,
yaitu Harta perolehan bersama selama bersuami istri. Sebenarnya
istilah hukum yang digunakan secara resmi dan legal-formal dalam
peraturan perundang-undangan di tanah air, baik dalam undang-
undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan , kitab undang-undang
hukum perdata (KUHPer), maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI), adalah
harta bersama.
2.
Dasar Hukum Harta Gono-Gini. Pada dasarnya itidak ada
percampuran harta kekayaan dalam
perkawinan antara suami dan istri (harta gono-gini). Konsep
harta gono-gini pada awalnya berasal dari adat istiadat atau
tradisi yang berkembang di Indonesia. Konsep ini kemudian
dikembangkan oleh hukum islam dan hukum positif yang berlaku di
Negara kita . Sehingga, dapat dikatakan ada kemungkinan telah
terjadi suatu percampuran antara kekayaan suami dan kekayaan istri
(alghele gemeenschsp van goederen) dalam perkawinan mereka.
Percampuran harta kekayaan (harta gono-gini) ini berlaku jika
pasangan tersebut tidak menentukan hal lain dalam perjanjian
perkawinan. Dasar hukum tentang harta gono-gini dapat ditelusuri
melalui undangundang dan peraturan berikut.
a. UU Perkawinan pasal 35 ayat 1, disebutkan bahwa yang dimaksud
dengan harta gono-gini (harta bersama) adalah Harta Benda yang
diperoleh selama masa perkawinan. Artinya, harta kekayaan yang
diperoleh sebelum terjadinya perkawinan tidak disebut harta
gono-gini. b. KUHPer pasal 119, disebutkan bahwa Sejak saat
dilangsungkan perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta bersama
menyeluruh antara suami istri, sejauh tentang hal itu tidak
diadakan ketentuanketentuan lain dalam perjanjian perkawinan. Harta
bersama itu, selama perkawinan berjalan, tidak boleh ditiadakan
atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami istri. c. KHI
pasal 85, disebutkan bahwa adanya harta bersama dalam perkawinan
itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masingmasing suami
atau istri. Pasal ini sudah menyebutkan adanya harta gono-gini
dalam perkawinan dengan kata lain, KHI mendukung adanya persatuan
harta dalam perkawinan (gono-gini). Meskipun sudah bersatu, tidak
menutup kemungkinan adanya sejumlah harta milik masing-masing
pasangan, baik suami maupun istri. d. Pada KHI pasal 86 ayat 1,
kembali dinyatakan bahwa Pada dasarnya tidak ada percampuran antara
harta suami dan harta istri karena perkawinan (ayat 1). Pada ayat 2
nya lebih lanjut ditegaskan bahwa pada dasarnya harta istri tetap
menjadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya.
3.
Klasifikasi Harta Benda dalam Perkawinan Ikatan prkawinan
mengkondisikan adanya harta gono-gini antara suami
dan isteri, sebagaimana tertuang dala Undang-undang perkawinan
Pasal 35 ayat 1. Namun, bukan berarti dalam perkawinan yang diakui
hanya harta gono-gini. Berdasarkan KHI pasal 85 dinyatakan bahwa
Adanya harat
bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya
harta milik masing-masing suami atau istri. Harta benda dalam
perkawinan ada 3 (tiga) macam, yaitu sebagai berikut :
a. Harta Gono-gini Sebagaimana telah dijelaskan diatas, harta
gono-gini dalam perkawinan adalah harta benda yang diperoleh selama
masa perkawinan. Berdasarkan KHI pasal 91 ayat 1, harta gono-gini
bisa berupa benda berwujud atau benda tidak berwujud. 1) Benda
berwujud, yakni benda bergerak, benda tidak bergerak, dan
suratsurat berharga (ayat 2) 2) Benda tidak berwujud, yaitu hak dan
kewajiban (ayat 3) Sebagaimana kita ketahui bahwa salah satu akibat
dari perkawinan terhadap harta kekayaan adalah terjadinya persatuan
yang bulat sebagaimana dinyatakan dalam KUHPer pasal 119. Suami
istri harus menjaga harta gono gini dengan penuh amanah,
sebagaimana diatur dalam KHI pasal 89, suami bertanggung jawab
menjaga harta bersama, harta istri, maupun hartanya
sendiri dan Pasal 90, Istri turut bertanggung jawab menjaga
harta bersama maupun harta suaminya yang ada padanya. Dengan kata
lain, harta gonogini merupakan hak bersama yang oleh masing-masing
pihsk boleh dipergunakan asalkan mendapatkan izin dari
pasangannya.
b.
Harta bawaan Adalah harta benda milik masing-masing suami dan
istri yang
diperoleh sebelum terjadinya perkawinan atau yang diperoleh
sebelum terjadinya perkawinan atau yang diperoleh sebagai warisan
dan hadiah. Tentang macam harta ini, UU Perkawinan pasal 35 ayat 2
mengatur, Harta bawaan masing-masing suami dan istri serta dan
harta benda yang diperoleh masing-masing hadiah atau warisan,
adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak
menentukan lain. Berdasarkan ketentuan ini suami dan istri berhak
memiliki sepenuhnya harta bawannya masing-masing, asalkan tidak
ditentukan lain dalam paerjanjian perkawinan. Pernyataan yang sama
juga diperkuat dalam KHI pasal 87 ayat 1. Harta bawaan bukan
termasuk dalam klasifikasi harta gono-gini. Suami/istri berhak
mempergunakan harta bawannya masing-masing dan juga dapat melakukan
perbuatan hukum terhadapnya. Dasarnya adalah UU Perkawinan pasal 36
ayat 2, Mengenai harta bawaan masing-masing, suami atau istri
mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum
mengenai harta bendanya. Hal senada juga dinyatakan dalam KHI
pasal 87 ayat 2, Suami dan Istri mempunyai hak sepenuhnya untuk
melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah,
hadiah, sedekah, atau lainnya. Artinya, berdasarkan ketentuan ini,
harta bawaan yang dimiliki secara pribadi oleh masing-masing
pasangan tidak bisa di otak-atik oleh pasangannya yang lain.
c. Harta perolehan Adalah harta benda yang hanya dimiliki secara
pribadi oleh masingmasing pasangan (suami-istri) setelah terjadinya
ikatan perkawinan. Harta ini umumnya berbentuk hibah, hadiah, dan
sedekah. Harta ini tidak diperoleh melalui usaha bersama mereka
berdua selama terjadinya perkawinan. Bedanya dengan harta bawaan
yang diperoleh sebelum masa perkawinan, harta macam ini diperoleh
setelah masa perkawinan. Seperti halnya bawaan, harta ini juga
menjadi milik pribadi masingmasing pasangan, baik suami maupun
istri, sepanjang tidak di ditentukan hal lain dalam perjanjian
perkawinan. Dasarnya dalam KHI pasal 87 ayat 2, Suami dan istri
mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum dalam atas
harta masing-masing berupa hibah, sedekah, atau lainnya.
4.
Sifat dan Luas Harta Gono-gini Harta atau barang-barang tertentu
yang diperoleh suami/istri dengan
Cuma-Cuma (omniet) karena perwarisan secara testamentair, secara
legaat/hadiah, tidak bisa dianggap sebagai harta gono-gini. Hal ini
diatur dalam KUHP pasal 120, Berkenaan dengan soal keuntungan, maka
harta bersama itu meliputi barang-barang bergerak dan barang-barang
tak bergerak suami-istri itu, baik yang ada maupun yang akan ada,
juga barangbarang yang mereka peroleh cuma-cuma, kecuali jika dalam
hal terakhir ini yang mewariskan atau yang menentukan kebalikannya
dengan tegas. Luasnya kebersamaan (percampuran) harta kekayaan
dalam
perkawinan adalah mencakup seluruh activa dan passiva, baik yang
diperoleh suami-istri sebelum atau selama masa perkawinan mereka
berlangsung (seperti hart bawaan dan harta perolehan), yang juga
termasuk didalamnya adalah modal, bunga, dan bahkan utang-utang
yang diakibatkan oleh suatu perbuatan yang melanggar hukum.
Berdasarkan ketentuan di atas, ,maka kebersamaan harta kekayaan
dalam perkawinan itu merupakan hak milik bersama yang terikat
(gebonden medeeigendom), yaitu kebersamaan harta yang terjadi
karena adanya ikatan diantara para pemiliknya. Hak milik bersama
yang terikat ini berbeda denganhak milik bersama yang bebas (vrije
medeeigendom), yaitu suatu bentuk eigendom (hak milik), tetapi
diantara para pemiliknya tidak ada hubungan hukum kecuali mereka
bersama-sama merupakan pemiliknya
(seperti dua orang yang membeli rumah). Dalam ketentuan hak
milik bersama yang terikat, tidak bisa ditunjukan mana bagian
mereka masingmasing, atau mana separuh milik suami/istri. Meskipun
suami istri mempunyai hak atas kekayaan masing-masing, mereka tidak
dapat melakukan kesalahan atau penyimpangan (beschikking) atas
bagian mereka (Soetojo Prawirohamidjojo dan Martalena Pohan
(2000:54-55)).
5.
Pembubaran Harta Gono-gini Persatuan harta kekayaan dalam sebuah
perkawinan (harta gono-gini)
dibatasi oleh sejumlah sebab atau faktor yang
melatarbelakanginya. Ketentuan bubarnya harta gono-gini diatur
dalam KUHper pasal 126, Harta gono-gini bubar demi hukum, a. karena
kematian; b. karena perkawinan atas izin hakim setelah suami atau
istri tidak ada; c. karena Perceraian; d. karena pisah meja dan
ranjang; e. karena pemisahan harta; Berdasarkan ketentuan diatas,
sebab-sebab poin a-c mengadung pengertian bubarnya harta gono-gini
yang terkait dengan pembubaran perkawinan, sebagaimana disyaratkan
dalam KHUPer pasal 199 bahwa, Perkawinan bubar ; a. oleh
kematian;
b.
oleh tidak hadirnya si suami atau si istri selama sepuluh tahun,
yang susul ole perkawinan baru istrinya atau suaminya, sesuai
dengan ketentuan-ketentuan Bagin 5 Bab XVIII;
c.
oleh keputusan hakim setelah pisah menjadi
F.
KETENTUAN MENGENAI HARTA GONO-GINI Harta gono-gini diatur dalam
hukum positif, yaitu UU Perkawinan,
KUHPer, maupun KHI. Dengan demikian segala urusan yang berkenaan
dengan harta gono-gini perlu di dasari ketiga sumber hukum positif
tersebut. Sebagai contoh, jika pasangan suami isteri ternyata harus
bercerai, pembagian harta gono-gini mereka harus jelas dan didasari
pada ketentuanketentuan yang berlaku dalam hukum positif
tersebut.
1. Ketentuan umum harta gono-gini Ketentuan umum di bagian ini
merupakan pengembangan dari dasar hukum positif tentang harta
gono-gini, yaitu bagaimana memperlakukan harta gono-gini sebelum
harta ini dibagi. Atau dengan kata lain, ketentuan umum mencakup
pengaturan hukum bagi suami istri yang masih memiliki hubungan
perkawinan terhadap harta gono-gini mereka.
a.
Pengurusan harta gono-gini Menurut ketentuan KUHPer, suami
sendirilah yang berhak mengurus
harta gono-gini, termasuk berwenang melakukan berbagai perbuatan
terhadap harta tersebut. Istri tidak berhak mencampuri kewenangan
suami. Dasar dari ketentuan ini adalah bahwa suami merupakan kepala
rumah tangga yang bertanggung jawab terhadap segala urusan yang
berkenaan dengan kehidupan rumah tangga, termasuk dalam hal
pengurusan harta gono-gini. Ketentuan tersebut diatur dalam KUHPer
pasal 124 ayat 1 yang berbunyi hanya suami saja yang mengurus harta
bersama itu. Dia boleh menjualnya, memindah-tangankannya dan
membebaninya tanpa bantuan istrinya, kecuali dalam hal yang diatur
pasal 140. Artinya suami memiliki kewenangan dalam mengurus harta
gono-gini karena dia merupakan kepala rumah tangga, termasuk dalam
hal menjual, memindahtangankan, dan membebaninya. Namun suami tidak
diperbolehkan mengurus sebagaimana dinyatakan dalam pasal 140 ayat
3 yaitu : mereka juga berhak membuat perjanjian, bahwa meskipun ada
gabungan harta bersama, barang-barang tetap, surat-surat
pendaftaran dalam buku besar pinjaman-pinjaman Negara, surat-surat
berharga lainnya dan piutang-piutang yang diperoleh atas nama
istri, atau selama perkawinan dari pihak istri jatuh ke dalam harta
bersama, tidak boleh dipindahtangankan atau dibebani oleh suaminya
tanpa persetujuan istri.
Dalam pasal yang sama ayat 2 lebih lanjut ditentukan bahwa,
Demikian pula perjanjian itu tidak mengurangi hak-hak yang
diperuntukan bagi si suami sebagai kepala persaatuan suami istri,
namun hal ini tidak mengurangi wewenang istri untuk mensyaratkan
bagi dirinya pengurusan harta kekayaan pribadi, baik barang-barang
bergerak maupun barangbarang tidak bergerak, disamping penikmatan
penghasilannya pribadi secara jelas. Wewenang atau kekuasaan suami
begitu besar terhadap pengurusan harta gono-gini. Suami tidak
bertanggung jawab terhadap istri berkenaan dengan pengurusan
tersebut. Dia juga tidak diwajibkan oleh istri untuk memberikan
perhitungan kepadanya, termasuk jika nantinya kebersamaan harta
gono-gini itu bubar. Meskipun demikian, kekuasaan suami yang begitu
besar itu ternyata dibatasi oleh dua hal (Soetojo Prawirohamidjojo
dan Martalena Pohan, 2000) sebagai berikut : 1) Dibatasi oleh
undang-undang Kekuasaan suami dalam mengurus harta gono-gini
dibatasi oleh undangundang . hal ini diatur dalam KUHPer pasal 123
ayat 3 yang menentukan, Dia tidak boleh memberikan harta bersama
sebagai hibah antara mereka yang sama-sama masih hidup, baik
barang-barang tak bergerak maupun keseluruhannya atau suatu bagian
atau jumlah tertentu dari barangbarang bergerak, jika bukan kepada
anak-anak yang lahir dari perkawinan mereka, untuk member suatu
kedudukan. Artinya suami
tidak diperbolehkan menghibahkan (schenking) terhadap : 1) harta
tidak nergerak dari harta gono-gini, dan 2) bnda-benda yang
bergerak dari kebersamaan harta gono-gini seluruhnya, untuk
sebagian tertentu, atau sejumlah dar itu. 2) Dibatasi dengan
kesepakatan suami istri dalam perjanjian perkawinan Dalam
perjanjian perkawinan dapat ditentukan bahwa suami tanpa bantuan
istri tidak dapat memindahtangankan atau membebani 1) bendabenda
bergerak, dan 2) surat-surat pendaftaran dalam buku besar
perutangan umum, surat-surat berharga lain, piutang-piutang atas
nama (benda-benda bergerak atas nama). Yang dimaksud benda-benda
bergerak atas nama, misalnya atas nama istri dan dibawa masuk dalam
perkawinan, atau barang-barang yang diperoleh sang istri sepanjang
perkawinan. Dengan demikian, untuk dapat memindahtangankan atau
membebani barang-barang tersebut harus ada kerjasama dan
kesepakatan di antara mereka berdua (suami istri).
b. Hak Istri dalam Harta Gono-gini Istri diperbolehkan membebani
atau memindahtangankan barang-barang persatuan dengan kondisi
sebagaimana ditentukan dalam KUHPer pasal 125 Jika si suami tidak
ada, atau berada dalam keadaan tidak mungkin untuk menyatakan
kehendaknya, sedangkan hal itu dibutuhkan segera,
maka si istri boleh mengikatkan atau memindahtangankan
barang-barang dari harta bersama itu, setelah dikuasakan untuk itu
oleh pengadilan negeri. Istri juga mempunyai hak untuk melepaskan
bagiannya dalam kebersamaan harta kekayaan perkawinan (harta
gono-gini), sebagai berikut : a) istri tidak berhak lag atas
bagiannya dari aktiva harta gono-gini, kecuali atas pakaian,
selimut, dan seprei. Hal itu diatur dalam KUHPer pasal 132 ayat 1,
istri berhak melepaskan haknya atas harta bersama, segala
perjanjian yang bertentangan dengan ketentuan ini batal, sekali
melepaskan haknya, dia tidak boleh menuntut kembali apapun dari
harta bersama, kecuali kain seprei dan pakaian pribadinya.
Berdasarkan ketentuan ini, hak istri untuk melepaskan bagiannya
tidak dihapuskan oleh perjanjian antara istri dan suami, atau
antara istri dengan pihak ketiga. Artinya segala perjanjian yang
bertentangan dengan ketentuan ini menjadi batal. b) Istri dibatasi
kewajibannya dalam hal membayar utang-utang gono-gini Hal ini
diatur dalam KUHPer pasal 132 ayat 2, Dengan pelepasan ini dia
dibebankan dari kewajiban untuk ikut membayar utang-utang harta
bersama.
c.
Penggunaan Harta Gono-Gini Dengan adanya kebersamaan harta
kekayaan antara suami istri, maka
gono-gini menjadi hak milik keduanya. Sebenarnya ada dua macam
hak
dalam harta bersama (harta gono-gini), yaitu hak milik dan hak
guna. Harta gono-gini suami istri memang telah menjadi hak bersama,
namun jangan dilupakan bahwa di sana juga terdapat hak gunanya.
Artinya mereka berdua sama-sama berhak menggunakan harta tersebut
dengan syarat harus mendapat bpersetujuan dari pasangannya. Jika
suami oyang akan mengguanakan harta gono-gini, dia harus mendapat
ijin dari istrinya. Demikian juga sebaliknya, istri harus mendapat
ijin suaminya jika menggunakan harta gono-gini. Undang-undang
Perkawinan pasal 36 ayat 1 menyebutkan mengenai harta bersama suami
atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Jika
penggunaan harta gono-gini tidak mendapat persetujuan dari salah
satu pihak dari keduanya, tindakan tersebut dianggap melanggar
hukum karena merupakan tindak pidana yang bisa saja dituntut seara
hukum, dasarnya adalah KHI Pasal 92, Suami atau istri tanpa
persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan
harta bersama. Suami atau istri juga diperbolehkan menggunakan
harta gono-gini sebagai barang jaminan asalkan mendapat persetujuan
dari salah satu pihak. Tentang hal ini KHI pasal 91 ayat 4
mengatur, Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh
salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya.
d.
Harta Gono-Gini dalam Perkawinan Poligami Ketentuan hukum
terhadap perkawinan poligami (beristri lebih dari
seorang), KUHPer pasal 180 mengatur bahwa, juga dalam perkawinan
kedua dan berikutnya, menurut hukum ada harta benda menyeluruh
antara suami istri, jika dalam perjanjian kawin tidak diadakan
ketentuan lain. Artinya ketentuan tentang harta gono-gini juga
berlaku untuk perkawinan secara poligami, asalkan tidak ditentukan
lain dalam perjanjian perkawinan yang dibuat pasangan suami istri
tersebut. KHI juga mengatur ketentuan harta gono-gini dalam
perkawinan model ini. Di pasal 94 ayat 1 disebutkan. Harta bersama
dari perkawinan seorang suami yang mempunyai istri lebih dari
seorang, masing-masing terpisah dan berdiri sendiri. Berdasarkan
ketentuan ini, harta gono-gini dalam perkawinan poligami tetap ada,
tetapi dipisahkan antara milik istri pertama, kedua, dan seterusny.
Ayat 2 pasal yang sama mengatur ketentuan tentang masa ketentuan
kepemilikan harta gono-gini dalam hal ini, pemilikan harta bersama
dari oerkawinan seorang suami yang mempunyai istri lebih dari
seorang seagai tersebut ayat 1, dihitung pada saat berlangsungnya
akad perkawinan yang kedua, ketiga, atau yang keempat. Ketentuan
harta gono-gini dalam poligami juga diatur dalam Undangundang
perkawinan Pasal 65 ayat 1 menegaskan bahwa jika seorang suami
berpiligami :
1)
Suami wajib member jaminan hidup yang sama kepada semua istri
dan anaknya.
2)
Istri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta
gonogini yang telah ada sebelum perkawinan dengan istri kedua atau
berikutnya itu terjadi.
3)
Semua istri mempunyai hak yang sama atas harta gono-gini yang
terjadi sejak perkawinan masing-masing.
2.
Pembagian harta gono-gini Harta gono-gini umumnya dibagi dua
sama rata diantara suami dan istri.
Hal ini didasarkan pada ketentuan pasal 128 KUHPer yang
menyatakan bahwa setelah hubungan persatuan, maka harta benda
kesatuan dibagi dua antara suami dan istri, atau antara para ahli
waris mereka masing-masing, dengan tidak memperdulikan soal dari
pihak yang manakah barang-barang itu diperolehnya. Sementara itu
harta bawaan dan harta perolehan tetap otomatis menjadi hak milik
pribadi masing-masing yang tidak perlu dibagikan secara bersama.
Secara umum pembagian harta gono-gini baru bisa dilakukan setelah
adanya gugatan cerai. Artinya daftar harta gono-gini dan
bukti-buktinya dapat diproses jika harta tersebut diperoleh selama
perkawinan dan dapat disebutkan dalam alas an pengajuan gugatan
cerai (posita), yang kemudian disebutkan dalam permintaan pembagan
harta dalam berkas tuntutan
(petitum). Namun gugatan cerai belum menyebutkan tentang
pembagian harta gono-gini. Untuk itu pihak suami/istri perlu
mengajukan gugatan baru yang terpisah setelah adanya putusan yang
dikeluarkan pengadilan. Bagi yang beragama islam gugatan tersebut
diajukan ke pengadilan agama di wilayah tempat tinggal tergugat,
sedangkan bagi yang nonmuslim gugatan diajukan ke pengadilan negri
di wilayah tempat tinggal tergugat. Ketentuan pembagian harta
gono-gini didasarkan pada kondisi yang menyertai hubungan suatu
perkawinan, seperti kematian, perceraian, dan sebagainya.
a.
Cerai Mati Cerai mati biasanya dipahami sebagai bentuk
perpisahan hubungan
suami istri karena meninggalnya suami/istri. Pembagian harta
gono-gini untuk kasus cerai mati dibagi menjadi 50:50. Ketentuan
ini diatur dalam KHI pasal 96 ayat 1 bahwa Apabila terjadi cerai
mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup
lebih lama Status kematian salah seorang pihak, baik suami maupun
istri harus jelas terlebih dahulu agar penenruan tentang pembagian
harta gono-gini jadi jelas. Jika salah satu dari keduanya hilang,
harus ada ketentua tentang kematian dirinya secara hukum melalui
pengadilan agama. Hal ini diatur dalam KHI pasal 96 ayat 2,
pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri yang istri
atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai adanya
kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas
dasar putusan pengadilan agama.
b.
Cerai Hidup Jika pasangan suami istri putusnya karena perceraian
diantara mereka,
pembagian harta gono-gini diatur berdasarkan hukumnya
masing-masing. Ketentuan ini diatur dalam Undang-undang Perkawinan
pasal 37, Jika perkawinan putus karena perceraian, harta bersama
diatur menurut hukumya masing-masing. Yang dimaksud denga hukumnya
masing-masing adalah mencakup hukum agama, hukm adat, dan
sebagainya. Bagi umat islam ketentuan pembagian harta bersama
diatur dalam KHI, sedangkan penganut agama lainnya diatur dalam
KUHPer. Pembagian harta gono-gini dalam kategori cerai hidup umat
islam berdasarkan KHI pasal 97 dinyatakan bahwa, Janda atau duda
cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama
sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Artinya dalam kasus cerai hidup, jika tidak ada perjanjian
perkawinan, penyelesain dalam pembagian harta bersama ditempuh
berdasarkan ketentuan di dalamnya. Jika tidak ada perjanjian
perkawinan, penyelesaina berdasarkan ketentuan dalam pasal 97
diatas, yaitu masing-masing berhak mendapat seperdua dari harta
gono-gini. Ketentuan pembagian harta gono-gini bagi penganut agama
selain islam adalah berdasarkan KUHPer pasal 128 yang menyebutkan
bahwa
setelah bubarnya persatuan, maka harta benda kesatuan dibagi dua
antara suami dan istri, atau para ahli wais mereka masing-masing
dengan tidak mempedulikan soal dari pihak yang manakah
barang-barang itu diperoleh. Berdasarkan ketentuan tersebut, jika
pasangan suami istri bercerai, harta gono-gini mereka diabgi dua
(50:50). Ketentuan ini tidak berbeda dengan ketentuan dalam KHI
pasal 97.
c.
Perkawinan Poligami Pembagian harta gono-gini dalam perkawinan
yang kedua kalinya
(poligami) tidak semudah dalam perkawinan monogami. Namun
demikian, pembagian harta gono-gini dalam perkawinan poligami
adalah sama dngan pembagian harat gono-gini perkawinan monogami,
yaitu amsing-masing pasangan mendapatkan bagian seperdua. Hanya
saja pembagian harta gono-gini di perkawinan poligami juga harus
memperhatikan bagaimana nasib anak-anak hasil perkawinan model ini.
Pembagian harat gono-gini dalam perkawinan poligami diatur dalam
KUHPer pasal 181, akan tetapi pada perkawinan kedua atau
berikutnya, jika ada anak dan keturunan dari perkawinan yang
sebelumnya, suami istri yang baru, oleh percampuran harta dan
utang-utang pada suatu gabungan, tidak boleh memperoleh keuntungan
yang lebih besar daipada jumlah bagian terkecil yang diperoleh
seorang anak, atau jika anak itu telah meninggal lebih dahulu, oleh
keturunannya dalam penggantian ahli waris, dengan ketentuan,
bahwa keuntungan ini sekali-kali tidak boleh melebii seperempat
bagian dari harta benda suami atau istri yang kawin lagi itu.
3.
Aspek keadilan dalam harta gono-gini Pembagian harta gono-gini
perlu didasarkan pada aspek keadilan untuk
semua pihak yang terkait. Keadilan yang diaksud mencakup pada
pengertian bahwa pada pembagian tersebut tidak mendiskriminasikan
salah satu pihak. Kepentingan masing-masing pihak perlu
diakomodasikan asalkan sesuai dengan kenyataan yang sesungguhnya.
Dalam kasus istri yang tidak bekerja kerap mendapat perlakuan yang
tidak adil dalam halpembagian harta gono-gini setelah adanya
perceraian secara resmi. Sudah seharusnya istri yang tidak bekerja
tetap mendapat bagian dari harta gono-gininya bersama dengan suami.
Alasannya, apa yang dikerjakan istri selama hidup bersama dengan
suaminya adalah termasuk kegiatan bekerja juga. Hanya pekerjaan
istri lebih banyak berupa pekerjaan secara domestik
(kerumahtanggan) seperti mengasuh anak, memasak, dan mengurus
kebersihan rumah. Jadi, istri yang tidak bekerja tetap mendapat
bagian dari harta gono-gini. Berdasarkan ketentuan yang berlaku ,
harta gono-gini termasuk penghasilan istri tetap dibagi dua seperti
halnya dengan kondisi istri tidak bekerja (secara formal), maka
suami yang tidak bekerja juga mendapat haknya dalam pembagian harta
gono-gini. Hal itu didasarkan pada logika
bahwa jika salah satu pihak tidak menghasilkan, pihak yang lain
tidak bisa menghasilkan tanpa bantuan yang satunya. Artinya,
meskipun salah satu dari mereka tidak bekerja secara formal, ada
pekerjaan-pekerjaan lain yang dapat dianggap dapat membantu urusan
rumah tangga.