RK 5101 SEJARAH DAN TEORI RANCANG KOTA ‘DEFENSIBLE SPACE’ Kasus: KRIMINALITAS DAN VANDALISME Di TAMAN FLEXI Disusun oleh: Chairul Maulidi Nim: 256.09.003 Magister Rancang Kota Institute Teknologi Bandung 2010
RK 5101 SEJARAH DAN TEORI RANCANG KOTA
‘DEFENSIBLE SPACE’ Kasus: KRIMINALITAS DAN VANDALISME Di TAMAN FLEXI
Disusun oleh:
Chairul Maulidi Nim: 256.09.003
Magister Rancang Kota Institute Teknologi Bandung 2010
1
BAB 1 PUBLIC SAFETY, LINGKUNGAN DAN PRILAKU
Memasuki abad ke‐21, isu kualitas hidup menjadi topik yang sangat
diperhatikan dalam ranah perencanaan dan pembangunan kota‐kota. Urbanisasi dan
berbabagi dampaknya bagi kualitas lingkungan hidup, khususnya lingkungan
perkotaan, banyak diperdebatkan, seperti; memburuknya kualitas udara,
berkurangnya ruang terbuka hijau, kepadatan atau kemacetan lalulintas dan segala
fenomena yang perkotaan yang berdampak langsung bagi kualitas hidup perkotaan.
Selain fenomena fisik, degradasi sosial turut memegang peran dalam menjerumuskan
kualitas hidup ke lembah yang lebih dalam, yaitu less of public safety (Zelinka, 2001).
Dalam banyak hal, public safety memegang peran vital bagi sebuah kota,
terhadap produktivitas dan kualitas hidup warganya. Suatu sudut kota yang dikenal
sebagai lokasi kriminal dan vandalisme tentu akan membuat orang‐orang enggan
untuk datang dan beraktivitas di sana. Perasaan terancam, tidak aman dan selalu
waspada menjadikan setiap orang tidak nyaman untuk tinggal dan berlama‐lama di
lingkungan yang memiliki citra demikian. Terkait dengannya, satu hal yang sering
dilupakan adalah; peran lingkungan terbangun dalam menfasilitasi dan membatasi
peluang bagi munculnya suatu tindak kejahatan (kriminal).
Zelinka (2001) mendefinisikan pencegahan tindak kriminal sebagai sebuah pola
perilaku yang secara langsung mengurangi ancaman dari kriminalitas dan
meningkatkan rasa aman. Efek dari keduanya berpengaruh positif bagi kualitas hidup
di lingkungan kita dan mendukung bagi perkembangan lingkungan sebagai lingkungan
yang dimana kriminalitas tidak akan muncul. Definisi tersebut menegaskan adanya
hubungan antara lingkungan fisik dan public safety. Pola bagaimana lingkungan fisik
didesain, dibangun dan dikembangkan akan mempengaruhi prilaku dan perasaan
setiap orang yang ada didalamnya. Disiplin perencana dan desain perlu memahami
poin tersebut dan mempelajari fitur lingkungan yang bagaimanakah yang beresiko
2
memunculkan kriminalitas dan vandalisme serta bagaimanakah cara menguranginya
melalui desain.
Carmona (2003) mengemukakan dua pendekatan utama dalam mencegah
kriminalitas, yaitu: Dispositional ‐ mengurangi motivasi individu untuk melakukan
kejahatan melalui pendidikan moral, sanksi dan pembangunan sosial ekonomi.
Pendekatan kedua adalah Situational ‐ membuat pelaku kriminal tidak dapat
melakukan kejahatannya, dengan membuat situasi tempat yang tidak memungkinkan
bagi mereka untuk berbuat jahat. Ron Clarke (1997) menjelaskan pendekatan
situasional dengan menfokuskan perhatian pada peluang terjadinya kriminalitas dan
pendekatan ini sangat tergantung pada pada jenis kriminalitas yang terjadi. Prinsip
pendekatan ini telah dibangun pertama kali oleh Jane Jacobs (1961). Selanjutnya
dikembangkan dengan lebih aplikatif oleh Oscar Newman (1972) dan Hillier (1996a).
3
BAB 2 KONSEP SITUASIONAL
MENGURANGI KRIMINALITAS MELALUI DESAIN
Hubungan antara lingkungan, interaksi manusia dan kriminalitas telah diuji
melalui sejumlah pendekatan yang berbeda sejak tahun 1960‐an. Tema konsep yang
populer dibahas saat ini adalah “eyes on the street” dari Jane Jacobs (1961),
defensible space oleh Oscar Newman (1972), crime prevention through environmental
design (CPTED) dan lebih terkini lagi teori dari Bill Hiller “broken windows” (1996a).
Dalam bukunya, The Death and Life of Great American Cities, Jane Jacobs (1961)
menekankan akan pentingnya keberadaan aktivitas untuk memberikan pengawasan
bagi suatu lingkungan dan pendefinisian teritori yang jelas untuk membedakan antara
ruang privat dan publik. Menurut Jacobs public safety sebagai hasil dari hubungan
antara orang dengan yang lain, dimana mereka saling mengetahui melalui pandangan
dan melalui penamaan. Keberadaan variasi pemanfaatan hunian dan komersil dapat
menjaga aktivitas dan keberadaan orang di jalan sepanjang hari dan malam. Jacobs
menyebut teori ini sebagai “eyes on the street”. Jacobs (1961) persyaratan bagi
lingkungan yang dikatakan berhasil adalah jika setiap orang merasa aman selama
berada di jalan umum bersama orang asing. Jacobs (1961) berargumen bahwa jalan di
kota haruslah menfasilitasi dan memudahkan aktifivitas, kemana dan darimana
seseorang pergi. Jalan tidak hanya harus tahan terhadap kejahatan orang asing, tapi
juga harus memberikan rasa aman dan memberikan kesan nyaman bersama orang
asing.
Oscar Newman (1972), mengembangkan beberapa ide Jacobs, dengan
menekankan pada pengawasan alami dan pendefinisian teritorial. Berdasarkan studi
lokasi kriminal di proyek permukiman New York dalam bukunya Defensible Space
Newman mengajukan restrukrusasi lingkungan perkotaan sehingga menjadi
lingkungan yang liveable dan dikontrol bukan oleh polisi, tetapi oleh komunitas yang
4
menghuninya. Newman (1972) mengidentifikasi 3 faktor yang saling bekerjasama
meningkatkan angka kriminalitas di linkungan blok perumahan, yaitu; 1) Anonymity,
lemahnya pengenalan terhadap lingkungan sekitar sehingga tidak ada rasa yang
mendorong penghuni untuk turut menjaga lingkungan, 2) Lemahnya pengawasan dari
dalam bangunan membuat pelaku kriminal mudah melakukan kejahatannya tanpa
terlihat orang lain, dan 3) Ketersediaan rute melarikan diri sehingga pelaku kriminal
bisa segera kabur menghilang. Dari ketiga faktor tersebut, Newman mengembangkan
konsep defensible space yang terdiri atas empat karakter pokok fisik lingkungan,
antara lain:
1. Definisi teritorialitas yang jelas, yaitu; dari publik ke semi publik, dan dari semi
privat ke privat. Konsep ini dapat dilakukan melalui penggunaan penghalang‐
penghalang simbolis seperti permukaan tekstur, jalan setapak dan lampu jalan,
serta penghalang nyata berupa penggunaan dinding bangunan.
2. Tersedia kesempatan adanya pengawasan alami; agar tersedia kesempatan
pengawasan alami dari dalam rumah ke area terbuka disekelilingnya; akan
terjadi jika perletakan pintu dan jendela memungkinkan orang dapat melihat
area‐area publik dan semi publik pada lingkungan mereka sebagai bagian dari
aktivitas‐aktivitas keseharian dari dalam bangunan. Kondisi ini mengurangi
terjadinya perilaku antisosial yang tidak tampak.
3. Penggunaan bentuk bangunan dan material bangunan yang tidak berhubungan
dengan kondisi‐kondisi yang menyebabkan kriminalitas. Konidisi ini dapat
tercapai jika massa bangunan, rencana tapak dan material bangunan memiliki
hubungan yang positif dengan masyarakat.
4. Peletakan atau lokalisasi pengembangan rumah tinggal dalam satu area
fungsional, dimana rumah tinggal sebagai model lingkungan terkecil dimana
setiap orang tidak merasa terancam oleh kriminalitas. Hal ini dapat mengurangi
sumber‐sumber perilaku antisosial.
Hasil penelitian yang telah dilakukan Newman (1972) membuktikan bahwa
penghalang‐penghalang simbolis tidak efektif pada area‐area dengan penghuni yang
5
terancam dari kejahatan yang tinggi, kecuali jika ditambah dengan penampakan‐
penampakan fisik yang jelas. Dalam kondisi ini, pembatas simbolis banyak dibutuhkan
untuk menghasilkan pembatas dan klaim penghuni terhadap lingkungannya.
The Crime Prevention Through Environment Design (CPTED) memilki pendekatan
dari banyak elemen yang serupa dengan konsep Newman. Ide utamanya adalah
bahwa lingkungan fisik dapat dimanipulasi untuk mengurangi kejadian kriminal dan
rasa takut, dengan cara mengurangi hal‐hal yang mendukung munculnya prilaku
kriminal (Crowe, 1991). Pengawasan melalui pendekatan desain memberikan basis
yang kuat bagi intervensi fisik suatu tempat, meliputi prinsi‐prinsip defensible space.
Penekanan pada teritorial definition dalam pendekatan Newman dan CPTED,
cenderung untuk mendukung bagi terciptanya layout lingkungan yang tersegregasi
dan tidak kontinyu (mis; cul‐desac), dengan maksud melalui pola layout tersebut
pelaku kriminal akan mudah terperangkap/ditangkap (Mayo, 1979).
Hillier (1998) mengkritisi konsep defensible space yang menghalangi pergerakan
alami melalui penciptaan lingkungan tersegregasi. Dia berargumen bahwa,
keberadaan orang dapat mempertinggi perasaan aman di ruang publik dan
memberikan perasaan aman melalui sebuah ruang yang terawasi secara natural.
Dalam studinya mengenai hubungan antara konfigurasi spasial dan pergerakan, Hillier
berargumen bahwa karakter spasial tertentu yang meningkatkan peluang kehadiran
orang menurutnya dapat meningkatkan rasa aman di lingkungan tersebut. Penelitian
ini juga menunjukkan bahwa lokasi yang terintegrasi dengan lemah memiliki angka
kriminalitas yang lebih besar dari pada lokasi yang terintegrasi dengan labih kuat.
Dari uraian di atas dapat dipahami terdapat kontradiksi antara strategi desain
terkait keberadaan orang dan eye on the street untuk meningkatkan keamanan
(Hillier, 1998; dan Jacobs, 1961) dengan strategi desain menghalangi akses dan
permeabilitas dalam rangka meningkatkan keamanan di suatu area (Newman, 1972;
dan CPTED). Selain itu, dari keempat konsep diatas telah menyepakati tiga aspek
sebagai pokok bahasan dalam desain lingkungan yang mengurangi peluang prilaku
atau tindak kriminal, yaitu; melalui Kontrol Teritorial Ruang, Pengawasan Lingkungan,
dan melalui Aktivitas. Sementara ide‐ide tersebut saling diujicobakan oleh para ahli,
6
paper ini akan mencoba untuk mengulas relevansi konsep‐konsep tersebut dalam
konteks lokal Kota Bandung, melalui pembahasan studi kasus Taman Flexi Kota
Bandung yang ditengarai sebagai lokasi kriminalitas dan vandalisme remaja pada
malam hari.
Ban
Ran
Inte
timu
perk
Don
Mer
dan
Van
jeja
umu
kera
www
beb
berk
Taman Fl
ndung. Tam
nggamalela
ernational S
ur berbatas
kantoran. S
nuts”.
Taman F
reka berkum
geng pu
ndalisme ke
k‐jejak yang
um lainnya,
ap ditemu
w.regional.
berapa per
konotasi ne
G
lexi merupa
an seluas +
dan Jl. Ran
School, seb
san langsun
Sedangkan
Flexi ramai
mpul denga
nk. Namun
erap kali di
g mereka ti
, sampah‐sa
ukan jarum
kompas.com
rbincangan
egatif, yakni
(a)
Gambar 1. Site
KASUS
akan salah s
+ 1.300 m2 i
nggagading.
belah selata
ng dengan J
disebelah
dengan a
an kelompo
n, aktivitas
jumpai di
inggalkan se
ampah dan
m‐jarum s
m., diakses
remaja S
i “Taman Ne
e Taman Flexi
S TAMA
satu taman
ini berada d
. Sebelah
an terdapa
Jalan Dago
selatan te
ktivitas an
knya masin
s terjadi c
sekitar Tam
eperti coret
n botol min
suntik bek
s tanggal 2
SMA, Tam
eraka”.
i (a), dan zona
REAN FLEX
yang berlo
di pertigaan
barat tama
at banguna
dan berse
erdapat to
ak‐anam m
g‐masing, g
cenderung
man Flexi.
tan kotor d
uman keras
kas pema
29 Desemb
man Flexi
a dijumpai bek
ELEVANI KOTA
okasi di teng
n antara Jl.
an Flexi terd
n hunian k
brangan de
oko “Circle‐
muda setiap
geng anak S
kepada a
Hal tersebu
i pagar tam
s dan bahka
kaian nar
eri 2009).
dikenal d
(b)
kas vandalism
BANSI KONBANDU
gah‐tengah
Ir. H. Juand
dapat Singa
kosong, se
engan bang
‐K” dan “D
p sabtu m
SMA, geng m
ktivitas ne
ut tampak
man dan fas
an akhir‐akh
rkoba (sum
Bahkan d
dengan seb
m (b)
7
AB 3 SEP UNG
Kota
da, Jl.
apore
belah
gunan
unkin
alam.
motor
egatif.
pada
silitas
hir ini
mber:
dalam
butan
8
Dilihat pada struktur teriotorial lingkungan, Taman Flexi sebagai ruang yang
benar‐benar terdefinisi dengan jelas sebagai zona publik. Namun mungkin terlalu
terdefinisi dengan sangat jelas sehingga secara fisik terpisah dari lingkungan
sekitarnya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Jacobs (1962) bahwa hirarkhi zona akan
membentuk batasan teritori rasa kepemilikan terhadap sebuah ruang. Pada kasus
Taman Flexi, batasan teritori menjadikannya sebagai zona ruang publik dibatasi
secara fisik oleh jalan Ranggagading dan Rangggamalela selebar 8 meter. Batas
tersebut dipertegas lagi oleh pemakaian pagar pada setiap site bangunan di sekitar
Taman Flexi. Sebagai ruang publik yang benar‐benar bebas dari rasa kepemilikan
lingkungan sekitarnya, mengakibatkan rasa kebebasan yang benar‐benar bagi setiap
orang yang berada di site Taman Flexi, dan menjadi peluang bagi aktivitas kriminal
dan vandalism.
Hal ini sedikit berbeda dengan beberapa kasus yang telah diangkat Newman
dalam bukunya Defensible Space yang menyimpulkan bahwa kejelasan definisi
teritorial dapat menurunkan peluang bagi terjadinya tindak kriminal. Newman
mencontohkan kejelasan definisi teritori ruang sebagai solusi dalam revitalisasi Pruit‐
Igoe. Pada kasus ini, ruang privat berhubungan langsung dengan ruang publik,
kemudian diberi pagar di sekitar akses masuk ke ruang privat, sehingga tercipta ruang
semi publik di sekitar entry yang berada dibawah rasa kepemilikan dan kontrol
penghuninya. Solusi ini berhasil hingga mengurangi 80% kasus kriminal. Namun
penulis melihat ini bukanlah sepenuhnya solusi untuk mengurangi peluang
kriminalitas, karena pemasangan pagar hanyalah upaya membentengi hunian dari
kriminalitas yang akan terus berlangsung di ruang publik, dan ketika penghuni keluar
dari ruang semi privat berada di ruang publik mereka kembali berada dalam
ancaman. Sebagaimana yang terlihat pada kasus Taman Flexi, bangunan Singapore
International School yang terletak di sebelah barat taman Flexi memagari sitenya
dengan pagar yang benar‐benar tertutup bagi akses fisik maupun visual dari site
Taman Flexi. Langkah tersebut memang baik untuk mengamankan diri dari
kriminalitas, tetapi samas ekali tidak mengurangi kriminalitas dan vandalism di Taman
Flexi, bahkan mengurangi kontrol lingkungan terhadap Taman Flexi dari lingkungan
9
sekitarnya dan hal ini semakin memperbesar peluang bagi keberlanjutan kriminalitas
dan vandalisme di sana.
Dapat dikatakan pokok persoalan dalam aspek kontrol teritori adalah Taman
Flexi secara teritorial terdefinisi sebagai space yang terpisah dari lingkungan
sekitarnya, tidak bertuan, murni untuk publik tidak ada kontrol dari masyarakat
sekitarnya, dan tidak ada rasa kepemilikian untuk mengontrol lingkungan tersebut.
Kelompok remaja yang sering berkumpul di Taman Flexi memiliki peluang untuk
bebas melakukan apapun di ruang yang tidak bertuan tersebut, termasuk aktivitas
kriminal dan vandalism.
Model pendefinisian ruang yang dapat dinilai cukup baik ada pada sebelah utara
Taman Flexi, yang mana banguan Toko “Cicrcle‐K” dan “Dunkin Donuts” membatasi
ruang semi privat dan publik dengan bentukan simbolis berupa perbedaan kontur
(lebih tinggi). Ruang atara toko dengan tangga turun menjadi ruang semi publik yang
berada dalam kontrol aktivitas toko. Meskipun akses antara ruang publik (jalan dan
taman flexi) terbuka secara fisik, bekas vandalism tidak terlihat di ruang tersebut.
Meskipun demikian kondisi tersebut tidak membawa pengaruh lebih mengurangi
peluang kriminal di ruang publik Taman Flexi, sebagaimana pada sisi taman lainya,
karena antara ruang semi privat dengan ruang publik terpisahkan secara visual oleh
rimbunan vegetasi.
Pada dasarnya pendefinisan teritori ruang oleh pagar dan jalan menghalangi
Pengawasan Lingkungan (aspek kedua). Taman flexi menjadi terpisah dan sama sekali
lepas dari kontrol rasa kepemilikan dan kontrol dari lingkungan sekitarnya. Pada sisi
timur dan selatan neskipun tidak ada pagar tidak memberi pengaruh banyak karena
rasa kepemilikan yang menghadirkan pengawasan terhalang oleh jalan selebar 8
meter. Pendapat ini memang bertentangan dengan teori yang dikemukakan oleh
Jacob dan Hillier, yang mana mereka mengemukakan bahwa denggan adanya akses
akan mengundang orang untuk melewatinya dan secara langsung meningkatan “eye
on the street” yang berperan sebagai elemen pengawasan lingkungan untuk
mengurangi peluang munculnya tindak kriminal. Namun tidak demikian halnya yang
terjadi di Taman Flexi. Taman Flexi sendiri dikeililingi oleh jaringan jalan yang cukup
10
padat utamanya pada malam mingggu. Jalan Ir. H. Juanda sebagai jalan yang utama
yang macet pada malam minggu, begitu pula dengan Jalan Ranggagading dan
Ranggamalela sebagai akses untuk berbalik arah di Jalan Ir. H. Juanda. Meskipun
demikian pada waktu yang sama, vandalism juga terjadi, meski tidak pada tingkat
yang tidak terlalu parah. Seperti berciuman dan minum minuman keras, dan pada
malam hari ketika jalanan mulai sepi (>11 malam), vandalisme lebih lagi oleh para
geng motor.
Dari kondisi tersebut diketahui bahwa di lingkungan taman Flexi tidak terjadi
pengawasan meskipun banyak orang disitu, mungkin orang‐orang yang ada di jalan
hanya mampu mengobservasi apa yang terjadi tetapi tidak sampai memberikan
respon pengawasan. Menurut Newman (1972) terdapat beberapa persyaratan situasi
yang memungkinkan seseorang untuk dapat melakukan pengawasan (mengoservasi
dan merespon), yaitu sistuasinya memungkinkan bagi seseorang untuk
mengidentifikasi suatu prilaku sebagai kriminalitas dan situasinya memungkinkan bagi
seseorang untuk memberikan respon yang efektif. Dari pendapat Newman tersebut,
ada dua kemungkinan yang bisa terjadi pada kasus Taman Flexi, pertama‐ mereka
(orang‐orang di jalan) tidak dapat melihat/ mengidentifikasi prilaku kriminal yang ada
atau kemungkinan kedua‐ mereka melihat tapi tidak dapar merespon dengan efektif
karena dikhawatirkan mereka sendiri turut menjadi korban. Kedua kemungkinan ini
sangat mungkin terjadi dikarenakan posisi mereka (orang di jalan) sedang berada di
dalam mobil dan akses fisik mereka untuk mengontrol keluar dari mobil cukup
terbatas dan juga situasi yang gelap memungkinkan mereka tidak dapat melihat dan
ada kekhawatiran dirinya menjadi korban kriminal dan vandalism. Berbeda dengan
konsep yang telah diajukan Jacobs dan Hillier, keberadaan akses yang mendukung eye
on the street adalah pejalan kaki, yang mana pejalan kaki akan merasa sebagai
pengguna lingkungan tersebut dan tingkat kemauan untuk turut memberikan kontrol.
Hal lain yang membuat keberadaan akses dan orang‐orang di jalan tidak
berperan memberikan pengawasan adalah karena minimnya lampu penerang.
Berdasarkan hasil pengamatan, tindak kriminal dan vandalism memang terjadi di
lokasi‐lokasi yang gelap, kurang atau tidak ada penerangan publik. Semula di
11
beberapa spot pernah ada ada fasilitas penerangan, tapi saat ini dalam keadaan
rusak. Kondisi tersebut ini diakibatkan ulah vandalism itu sendiri yang sengaja
merusak lampu sehingga suasana menjadi gelap dan mereka punya peluang yang
lebih besar untuk berbuat kriminal dan vandalism. Terkait dengan pengawasan oleh
pejalan kaki, sebagaimana teori dari Jacobs, mungkin bisa menjadi model yang baik
dalam merevitaslisasi lingkungan Taman Flexi. Sebagaimana yang terjadi di depan
Toko “Dunkin‐Donuts” menjadi salah satu konsentrasi pedestrian, dan lokasi tersebut
bebas dari vandalism.
Pada aspek ketiga‐ Aktivitas, Jacobs (1961) mengemukakan bahwa keberadaan aktivitas
sangat baik untuk mengurangi kriminal. Senada dengan teori Jacobs tersebut, pada Taman
Flexi memang berkurangnya aktivitas mengarahkan pada bermulanya aktivitas negatif di
sana. Hal ini terlihat pada pukul setengah 9 malam, ketika toko Aquarius tutup, halaman
toko yang terletak di sebelah timur Taman Flexi ini seketika menjadi tempat remaja punk
berkumpul, dan didukung dengan suasanya yang gelap. Begitupula pada sisi barat dan selatan
dari Taman Flexi, lokasi tersebut yang langsung bersebrangan dengan rumah kosong dan
Singapore International School yang berpagar tertutup, tidak ada aktivitas, suasana gelap,
sehingga mulai dini hari lokasi tersebut telah menjadi tempat remaja‐remaja berkumpul dan
berpacaran. Kondisi yang sama terjadi di sisi timur Taman Flexi yang bersebrangan dengan
perkantoran yang tidak lagi beraktivitas ada malam hari. Pada kenyataannya lingkungan
sekitar seluruh sisi Taman Flexi Tidak lain aktivitas yang terjadi adalah kumpul‐kumpul
remaja‐remaja dengan peluang bebas untuk melakukan apa saja. Adanya kantong akivitas
positif dan sirkulasi pejalan kaki yang menurut Jacobs dan Hillier dapat menambah tingkat
pengawasan alami lingkungan dan keberadaan lingkungan hunian di sekitar site yang
menurut Newman akan memberikan pengawasan dan kontrol efektif untuk mengurangi
peluang terjadinya kriminalitas dan vandalism.
12
BAB 4 PROPOSAL MODIFIKASI
LINGKUNGAN TAMAN FLEXI
Dari uraian pada bab sebelumnya hal‐hal yang memberikan peluang bagi aktivitas
kriminal dan vandalisme di lingkungan Taman Flexi dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Definisi teritorial yang terlalu jelas. Hal ini mengakibatkan Taman Flexi benar‐benar
terpisah secara fisik dan bahkan secara visual dari lingkungan sekitarnya dan menjadi
ruang yang tidak memperoleh pengawasan dan kontrol atau ruang publik yang tidak
bertuan. Pendefinisian yang terlalu kental tersebut di bentuk oleh elemen jaringan jalan
selebar 5 meter yanbg mengelilingi site Taman Flexi dan pemanfaatan pagar tinggi dan
tertutup.
2. Lemahnya pengawasan natural dari lingkungan sekitar. Hal ini banyak dipengaruhi oleh
minimnya penerangan lingkungan yang mengakibatkan setiap orang sulit untuk
mengidentifikasi aktivitas kriminal dan vandalisme dan sulit untuk mengukur keefektifan
responnya, jangan‐jangan dia sendiri dapat turut korban dari vandalisme.
3. Minimnya aktivitas di lingkungan taman flexi. Hal ini mengakibatkan kondisi‐kondisi tidak
dimiliki rasa kepemilikian, tanggung jawab, kepengawasan dan kontroli oleh seorangpun
terhadap lingkungan Taman Flexi.
Terdapat beberapa hal yang dapat direkomendasikan untuk merevitasliasi lingkungan
Taman Flexi, yang mana desain ditujukan untuk membentuk lingkungan yang mengurangi
peluang bagi munculnya aktivitas vandalisme dan kriminal, antara lain:
1. Land‐use, pada apsek perencanaan landuse lingkungan taman flexi perlu diarahkan
untuk penggunaan site yang kiranya dapat mengundang aktivitas positif dan pejalan kaki
di lingkungan tersebut. Melalui aktivitas tersebut diharapkan nantinya dapat
memberikan kontrol dan pengawasan bagi Taman Flexi, baik dari pengelola aktivitas dan
dari pengunjugnya. Lebih spesifik lagi seperti rumah kosong sebagai café atau restoran
menjadikannya sebagai point of interest baru di lingkungan Taman Flexi yang dapat
menarik aktivitas positif dan pedestrain dari kantong aktivitas lain disekitar Taman Flexi.
Tidak jauh dari site Taman Flexi terdapat Plaza Dago dan KFC yang menjadipusat aktivitas
13
positidf dan kantong pedestrian saat ini. Dapat diarahkan supaya aktivitas di sana dapat
diperluas hingga Taman Flexi, sebagai satuk esatuan paralel dari aktivitas yang ada di
Plaza Dago.
2. Streetscape, jaringan jalan yang mengelilingi Taman Flexi menjadi elemen yang
memberikan pengaruh cukup besar dan menjadikannya terpsiah dari lingkungan sekitar.
Untuk itu direkomendaikan untuk mengurangi rasa keterpisahan tersebut dengan desiain
dan penggunaan material streetscape yang menyatu dengan lingkungan sekitarnya.
Konsep ini diharapkan untuk sedikit mengaburkan definsi teritorial antara taman flexi
dengan lingkungan sekitarnya sehingga akan menimbulkan rasa kepemilikan terhadap
taman flexi sebagai satu kesatuan dari aktivitas lingkungan sekitarnya dan mengundang
pengawasan dan kontrol lingkungan sekitar terhadap Taman Flexi. Design streetscape
juga diharapkan dapat menjadikan Plaza Dago dan site Taman Flexi menjadi satu akses
pergerakan pedestrian, dengan memudahkan akses antara keduanya dan
menyeragamkan design elemen lingkungannya.
3. Landscape, desin landscape untuk mendesain site Taman Flexi itu sendiri. Desain ini
ditujukan untuk menfasilitasi aktivitas remaja Bandung, hanya saja diharapkan untuk
menfasilitasi aktivitas mereka ke arah yang positif dan mengurangi peluang bagi aktivitas
kriminal dan vandalism. Yakni dengan mendesain landscape sebagai arena skate‐board
dan ruang‐ruang komunal untuk remaja duduk berkelompok.
4. Furniture dan Vegetasi. Desain elemen furtniture lingkungan yang paling diperlukan
adalah lampu penerangan. Konsep desain diharapkan model yang tidak riskan terhadap
vandalisme, dari dimensi (tinggi), jensi ampu, dan penggunaan material yang tidak riskan.
Vegetasi tunggal pohon akasia di tengah taman dapat dipertahankan sebagai identitas
taman sekaligus sebagai peneduh bagi lingkungan Taman Flexi. Selain itu diharapkan
untuk menghindari penggunaan tanaman rimbun lainnya di setiap sisi Taman Flexi dan
menghindari penananamn deretan tanaman berketinggian lebih dari 1 meter yang dapat
menghalangi akses visual Taman Flexi dari lingkungan sekitarnya yang dapat
menghalangi kontrol teriotrial dan pengawasan Taman Flexi dari lingkungan dan aktivitas
sekitarnya.
14
BAB 5 KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan keseluruhan sub bab sebelumnya dapat
disimpulkak hal‐hal sebagai berikut:
1. Bentukan desain lingkungan mempengaruhi keamanan publik melalui besar
kecilnya peluang yang disediakan oleh suatu layout fisik lingkungan bagi
terjadinya kriminalitas di lingkungan tersebut.
2. Teori untuk mengurangi peluang munculnya tindak kriminal dan vandalism
melalui design lingkungan melalui tiga aspek, yaitu melalui definisi teritorial,
pengawasan dan aktivitas. Ketiga tokoh penggagas teori tersebut, Jacobs,
Newman dan Hillier secara tidak langsung telah menyepakati ketiga aspek ini.
Kejelasan definisi teritorial pada batas tertentu ini dapat mengurangi peluang
kriminalitas, namun jika berlebihan akan mengakibatkan pemisahan fisik yang
menghalangi rasa kepemilikan dan tanggung jawab untuk mengawasi dan
mengontrol ruang publik sebagaimana yang terlihat pada Taman Flexi.
Pengawasan dan respon pada kondisi tertentu dapat berhasil, namun jika
terhalang untuk mengidetifikasi, keterbatasan akses dan lemahnya efektifitas
seperti orang yang di dalam mobil cenderung tidak merespon terhadap tindak
kriminal yang terjadi di Taman Flexi. Sehingga dapat dismpulkan. Bahwa
penerapan setiap teori‐teori diatas sangat kasuistik dan tidak secara langsung
dapat diaplikasian, sebelumnya perlu dilihat relevansinya terhadap ekstisting.
3. Begitupiula aplikasinya dalam kasus Taman Flexi. Untuk mengurangi peluang
terjadinya tindak kriminal dan vandalism perlu mengurangi kualitas kejelasan
definisi teritorial, yang mana ini bertentangan dengan teori Newman dan tidak
hanya mengadakan akses dan aktivitas agar seseorang datang ke lokasi (Jacobs,
1961), tetapi juga mengkondisikan bagaimana orang‐orang yang datang dapat
mengobservasi dan merespon terhadap kriminalitas dan vandalism yang sedang
terjadi.
15
DAFTAR PUSTAKA
Carmona, M. et.al. 2003. Public Places Urban Spaces, The Dimensions of Urban Design. Oxford: Architectural Press.
Clarke, R.V.G. 1997. Situational Crime Preventipon: Succesful Case Studies, 2nd Edition. New York: Harrow & Houston.
Crowe, T. 1991. Crime Prevention through Environmental Design. Oxford: Butterworth‐Heinemann.
Hillier, B. 1996a. Space is The Machine. Cambridge: Cambridge University Press.
Jacobs, J. 1961. The Death and Life of Great American Cities: The failure of modern town planning. London: Pregrine Press.
Newman, O. 1972. Defensible Space: People and Design in The Violent City. London: Architectural Press.
Ynt .2008. Jarum Suntik Tersebar di Taman dan Selokan, Dalam Tiga Bulan Terkumpul 40 Kg. http://hrpkbijabar.wordpress.com/2008/11/09/kompas‐40‐jarum‐terkumpul.. Diakses tanggal 29 Desember 2009.
Yulvianus, H. 2009. Taman Kota, Firdaus, Hotspot dan Panel Surya. http://regional.kompas.com/read/xml/2009/11/01/05280758/taman.kota.firdaus.hotspot.dan.panel.surya.. Diakses tanggal 29 Desember 2009.
Zelinka, Al. et.al. 2001. SafesScape, Creating Safer, More Liveable Communities Through Planning and Design. Washington D.C.: Planners Press.