Top Banner

of 50

d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf

Jul 06, 2018

Download

Documents

Endy Sendy
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
  • 8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf

    1/50

    BAB II

    STUDI KONSEPTUAL TENTANG BIMBINGAN PENINGKATANKREATIVITAS SISWA SMA

    A. Hakikat: dan Makna Kreativitas dalam Hidup Manusia

    Sebagaimana disinggung pada bab pendahuluan, krea-

    tivitas itu mempunyai makna yang amat penting dan mendasar

    dalam hidup manusia. Makna itu tidak hanya dalam pengertian

    teknis-sosial semata-mata, yaitu sebagai kekuatan sumber-

    daya insani yang andal bagi pembangunan ekonomi dan pengem-

    bangan iptek, melainkan juga menyatukait secara mendalam

    dan merupakan perwujudan dari nilai-nilai etik pertumbuhan

    diri individu yang berasal dari pengetahuan dan pandangan

    dasar mengenai hakikat hidup manusia. Di antaranya asumsi

    mengenai hakikat keunggulan potensi dari dalam diri (innate

     potential excellence), yang oleh Norton (1976) disebut se-

    bagai daimons, yaitu kekuatan dari dalam diri yang menjadi

    keharusan hidup sekaligus memberi arahan untuk mencapai eu-

    daimonia (kebahagiaan).

    Asumsi mengenai daimons sebagai kata benda, dapat

    dijumpai implikasinya sebagai kata kerja, yaitu kebajikan

    (virtue) dalam etika humanistik Aristoteles dan Spinoza

    (Erich Fromm, 1975). Menurut Aristoteles, norma kebajikan

    adalah keunggulan  (execellency ) dari hakikat manusia; dan

    kebajikan itu tidak lain adalah aktivitas penggunaan fungsi

    dan kapasitas yang khas dari manusia untuk mencapai kebaha-

    26

  • 8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf

    2/50

    27

    giaan hidupnya. Tentang hal ini, Erich Fromm (1975: 34) me-

    nulis sebagai berikut.

    From the nature of man, Aristotle deduces the

    norm "virtue" (excellence) is "activity," by whichhe means exercise of the functions and capacitiespeculiar to man. Happiness, which is man's aim,is the result of "activity" and "use"; it is notquiescent possesion.

    Kutipan ini menunjukkan bahwa kebajikan adalah iden-

    tik dengan upaya perealisasian diri manusia, pengungkapan

    berbagai potensi yang spesifik, agar manusia menjadi lebih

    manusiawi, kaffah, dan mencapai fitrah dan citera diri se-

    bagai ciptaanNya.

    Pandangan di atas mengisyaratkan bahwa adalah suatu

    tindakan melawan kebaiikanf  bahkan kejahatan apabila  dai>

    rnons, potensi-potensi dari dalam diri manusia, serta berba-

    gai fungsi dan kapasitas unggul yang khas pada manusia di-

    biarkan merana dan tidak dibantu dalam pertumbuhannya; si-

    kap dan tindakan seperti itu sama dengan mengingkari haki-

    kat manusia sebagai ciptaan Allah yang sungguh baik adanya.

    Dengan mengutip Spinoza, Erich Fromm (1975: 35) mengemuka-

    kan,

    Virtue is the unfolding of the specific poten-tialities of every organism; for man it is the

    state in which he is most human. By good,  conse-quently, Spinoza understands everything "which weare certain is a means by which we may approachnearer and nearer to the model of human nature.He set before us"(italics mine). By evil he under-

  • 8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf

    3/50

    28

    stands "everything" which we are certain hindersus from reaching that model.

    Dalam konteks pemikiran di atas, maka kreativitas

    sebagai potensi dan upaya perealisasiannya mempunyai makna

    hakiki yang tidak sekedar pemenuhan kebutuhan tingkat ba-

    wah, yaitu Kebutuhan defisien (Maslow, 1970) yang berorien-

    tasi kepada kepuasan hedonis, melainkan untuk memenuhi ke-

    butuhan tingkat tinggi, yaitu kebutuhan-menjadi-hidup (be-

    ing needs), kebutuhan-meniadi-manusias (Jbecoming man) yang

    berorientasi kepada pencapaian kebahagiaan (happiness)

    (Maslow, 1970; Rogers, 1961,1980; Erich Froram, 1976), baik

    yang bersifat dunia sekarang (Diesseitig) maupun dunia se-

    berang, akhirat (Jenseitig).

    Dengan demikian, setiap kebajikan yang diupayakan

    manusia bagi sesamanya, khususnya dalam memberi makna kepa-

    da potensi kreatif yang dimiliki melalui pendidikan dan

    bimbingan, bukanlah pertama-tama sebagai pertanggungjawaban

    teknis terhadap rumusan kurikuler atau pertanggungjawaban

    sosial sehubungan dengan kebijakan pendidikan, melainkan

    yang utama dari semuanya itu adalah pertanggungjawaban eti-

    ka humanistik mengenai eksistensi anak manusia dalam proses

    memanusia, menjadi kaffah, mencapai kebahagiaan yang di-

    ridlohi Allah Swt.

    Pokok-pokok pikiran di atas inilah yang menjadi acu-

    an sekaligus pendorong ke arah penelaahan yang lebih menda-

  • 8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf

    4/50

    29

    lam mengenai masalah pengembangan kreativitas anak didik

    yang tengah menjalani layanan kebajikan dari sekolah mene-

    ngah.

    B. Berbagai Pendekatan Studi dan Teori Kreativitas

    1. Pendekatan-Pendekatan dalam Studi Kreativitas

    Studi tentang kreativitas dapat dilakukan dari segi

    pendekatan apa yang menjadi pusat perhatian serta model

    teoretis mana yang digunakan untuk menjelaskannya.

    Beberapa pakar (Rhodes, 1961; Welsh, 197 2; MacKin-

    non, 1975; Utaroi Munandar, 1977; 1988) mengemukakan bahwa

    dalam berbagai pustaka paling sedikit ditemukan lima tipe

    studi kreativitas, dengan penekanan masing-masing kepada

    perspektif pribadi r proses, produk, pendorong dan tempat di

    mana kreativitas itu diwujudkan. Kelima perspektif studi

    kreativitas itu dapat dijabarkan dalam bentuk pertanyaan:

    (1) siapa pribadi kreatif; (2) bagaimana kreativitas itu

    terwujud; (3) apa yang disebut kreatif; (4) mengapa tindak-

    an kreatif timbul, dan (5) di mana kreativitas diungkap. '

    a. Studi yang berorientasi pada pribadi kreatif

    Sebenarnya. stud^^Spi kreativitas pada awalnya me-

    musatkan perhatian kepada ciri-ciri pribadi kreatif. Studi

    ini mulai dirintis oleh Francis Galton di Inggeris dengan

    penelitian terhadap faktor genetika dan kualitas orang-

    orang unggul (genius) yang dilaporkan dalam bukunya yang

  • 8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf

    5/50

    30

    terkenal Hereditary  Genius (1869). Penelitian serupa dilan-

    jutkan oleh Catherine Cox dengan menelaah data biografis

    dari sekitar 300 orang-orang unggul (genius) terdiri atas

    pemimpin besar, ilmuwan, dan seniman. Studinya yang dila-

    porkan dalam buku Genetic Studies of Genius: Vol II. The

    Early Mental Traits of Three Geniuses (1926) menyimpulkan

    bahwa orang-orang unggul ini tidak saja memiliki kemampuan

    intelektual yang superior, tetapi juga ciri-ciri mental

    kreatif, persisten dalam motif dan usaha, yakin akan kemam-

    puan dan memiliki watak yang kuat (Terman, 1973).

    Sejak tahun 50-an studi yang sistematis mengenai

    pribadi kreatif telah dilakukan berturut-turut oleh sejum-

    lah pakar berikut ini. Anne Roe (1952) dalam penelitiannya

    terhadap 64 ilmuwan unggul dalam bidang biologi, fisika dan

    ilmu sosial (psikologi dan antropologi) yang diperiksa de-

    ngan tes Rorschach dan Thematic Apperception Test (TAT),

    menemukan bahwa meskipun tiap ilmuwan mempunyai ciri krea-

    tif- yang spesifik sesuai dengan bidangnya, tetapi mereka

    memiliki sifat umum yang sama, yaitu sikap kemandirian pri-

    badi yang tinggi, peka dan terbuka kepada pengalaman, ori-

    sinal dan berani dalam gagasan. Frank Barron (1955) mempel-

    ajari secara khusus kecenderungan orisinalitas berfikir 100

    kapten pilot pesawat Angkatan Udara A.S. yang diperiksa de-

    ngan delapan jenis tes di antaranya tiga subtes kreativitas

    yang dikembangkan Guilford, tes proyektif Rorschach, TAT

  • 8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf

    6/50

    31

    dan tes yang dikembangkannya berdasarkan tes gambar Welsh

    (The Barron-Welsh Art Scale of Welsh  Figure  Preference

    Test). Dari penelitian itu Barron menyimpulkan bahwa kecen-

    derungan orisinalitas dari pribadi kreatif ditandai oleh

    kemandirian dalam penilaian, bebas berekspresi, tegas, dan

    dominan. MacKinnon  (1962) meneliti 124 arsitek yang amat

    kreatif, yang diperoleh melalui nominasi oleh suatu panel

    ahli yang terdiri dari lima guru besar arsitektur, dengan

    menggunakan Gough Adjective Check List, Q-sort. dari Block,

    Concept Mastery Test dari Terntan, dan Study of Values dari

    Allport-Vernon-Lindzey; ia menyimpulkan paling sedikit

    sembilan ciri pribadi dari arsitek kreatif, yaitu (1) inte-

    ligensi efektif yang tinggi, (2) keterbukaan kepada penga-

    laman, (3) bebas dari hambatan, (4) kepekaan estetik, (5)

    fleksibilitas kognitif, (6) bebas dalam pemikiran dan tin-

    dakan; (7) energetik, (8) komitmen kepada usaha-usaha krea-

    tif, (9) terus menerus berjuang untuk memecahkan masalah

    secara kreatif. Cattell & Butcher (1968) meneliti faktor-

    faktor kepribadian yang menonjol dari 144 il-muwan kreatif,

    yakni 46 fisikawan, 46 biologiwan, dan 52 peneliti psikolo-

    gi, dengan menggunakan tes kepribadian 16 faktor (The 16 PF

    Questionnaire) .  Dari hasil pembandingan dengan kelompok

    profesional yang berhasil dalam suatu okupasi rutin, dite-

    mukan bahwa ciri pribadi yang menonjol dari ilmuwan kreatif

    adalah amat kritis, intelektualitas yang tinggi, serius,

  • 8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf

    7/50

    32

    dominan, berani, dan memiliki kesahajaan diri (self-suffi-

    cient j yang tinggi.

    Delias dan Gaier (1970) setelah memeriksa kembali

    lebih dari dua lusin studi mengenai karakteristik pribadi

    kreatif, menyimpulkan bahwa pribadi kreatif ditandai oleh

    ciri-ciri (1) independensi dalam sikap dan perilaku sosial,

    (2) dominan, (3) introversi, (4) keterbukaan kepada rang-

    sangan dari luar, (5) memiliki minat yang luas dalam berba-

    gai masalah, (6) penerimaan diri, (7) intuitif, (8) fleksi-

    bel, (9) tenang dan peduli kepada masalah sosial, (10) cen-

    derung memiliki sikap asosial, (11) tidak peduli kepada

    norma-norma sosial, (12) radikalisme, dan (13) menolak rin-

    tangan dari luar.

    Di Indonesia, penelitian yang memusatkan kepada ka-

    rakteristik pribadi kreatif telah diawali oleh Utami Munan-

    dar (1977), meskipun baru terbatas kepada penilaian (rat-

    ing) teoretis yang dilakukan 30 psikolog. Dari penelitian

    itu, ciri-ciri pribadi kreatif sesuai urutannya adalah (1)

    imaginatif, (2) penuh inisiatif, (3) memiliki minat yang

    luas, (4) bebas dalam berfikir, (5) ingin tahu, (6) menye-

    nangi petualangan, (7) energetik, (8) percaya diri, (9)

    bersedia mengambil resiko, (10) berani dalam keyakinan. Pe-

    nelitian lain telah dilakukan oleh Dedi Supriadi (1985) de-

    ngan menelaah sejumlah pustaka yang membahas mengenai ka-

    rakteristik pribadi kreatif. Dari kajian itu disimpulkan

  • 8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf

    8/50

    33

    sekitar 20 karakteristik pribadi kreatif, yaitu (1) memili-

    ki rasa ingin tahu, (2) percaya pada diri sendiri dan man-

    diri, (3) bebas dalam berfikir, tidak kaku atau terhambat,

    (4) lentur dalam berfikir dan berespon, (5) penuh semangat,

    (6) berani mengambil resiko, (7) mempunyai pendapat sendiri

    dan tidak mudah terpengaruh, (8) mempunyai toleransi kepada

    keadaan mendua, perbedaan pendapat, keadaan tak terstruktur

    dan kompleks, (9) tidak kehabisan akal dalam memecahkan ma-

    salah, (10) memiliki komitmen kuat kepada tugas, (11) tidak

    mudah bosan dan putus asa, (12) memiliki kepekaan terhadap

    masalah-masalah di lingkungan, (13) sikap kritis terhadap

    semua keadaan di sekitar, (14) senang mempermainkan dan

    mengotak-atik berbagai unsur yang ada di sekitar, (15) ter-

    buka kepada pengalaman baru dan tidak biasa, (16) berkemau-

    an teguh, tekun dan berambisi kuat meraih keberhasilan da-

    lam suatu usaha, (17) gemar mengajukan gagasan-gagasan ori-

    sinal untuk memecahkan suatu masalah, (18) kaya akan ini-

    siatif untuk memecahkan suatu masalah, (19) menyukai petua-

    langan dalam aktivitas dan gagasan, (20) mempunyai minat

    yang tinggi kepada usaha-usaha kreatif.

    Sebenarnya studi empiris yang memusatkan perhatian

    intensif terhadap ciri-ciri pribadi, kreatif di Indonesia

    untuk pertama kali dilakukan oleh Dedi Supriadi (1989) de-

    ngan penelitiannya kepada 125 ilmuwan yunior dan studi ka-

    sus kepada tiga ilmuwan senior. Penelitian itu menyimpulkan

  • 8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf

    9/50

    34

    bahwa beberapa ciri pribadi kreatif hasil temuan Anne Roe

    (1952), Barron (1955), MacKinnon (1962), Cattell & Butcher

    (1968), ternyata mempunyai kesamaan dengan ciri-ciri priba-

    di kreatif ilmuwan yunior dan senior di Indonesia, yaitu

    memiliki rasa ingin tahu yang besar, kaya akan gagasan,

    imaginatif, mandiri, nonkonformis, gigih dalam mewujudkan

    cita-cita, bekerja keras, peka terhadap masalah. percaya

    diri, optimistik, berfikir positif, berwawasan masa depan,

    menyukai kompleksitas dan hal-hal yang penuh tantangan, be-

    rani mengambil resiko, bekerja berdasarkan motivasi intrin-

    sik, penuh dedikasi dan devosi terhadap pekerjaannya.

    b. Studi yang berorientasi pada produk )creatif

    Studi kreativitas yang memusatkan perhatian pada

    produk kreatif ini secara formal mulai diperkenalkan Ghise-

    lin (1963) dan McPherson (1963) ketika keduanya mengajukan

    usul mengenai kriteria akhir (ultimate criteria)  dalam

    pengukuran kreativitas. Mereka berpendapat bahwa mestinya

    kreativitas itu tidak hanya menyangkut soal kemampuan atau

    perilaku, melainkan juga harus menyangkut produk yang diha-

    silkan. Hal ini didasarkan kepada rumusan bahwa tindakan

    kreatif tidak lain adalah mengubah dunia makna kepada unsur

    makna atau tatanan makna baru yang signifikan (Ghiselin,

    1963: 42).

    Gagasan serupa juga diajukan Barron (1965) berdasar-

    kan rumusannya bahwa kreativitas adalah kemampuan mengha-

  • 8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf

    10/50

    35

    silkan sesuatu yang baru ke dalam eksistensi (to bring so-

    mething new into existence). Atas dasar itu, Barron (1969)

    mencoba mengembangkan skala untuk menilai produk kreatif di

    bidang ilmu (Creative Science Scale), dengan kriteria: me-

    nyajikan makalah orisinal pada pertemuan keilmuan yang di-

    sponsori oleh masyarakat profesional, mendapatkan penghar-

    gaan dalam suatu penelitian keilmuan, merancang suatu pola,

    disain, atau instrumen keilmuan atas inisiatif sendiri, me-

    nemukan alat yang dipatenkan, dan mempunyai makalah yang

    dipublikasikan dalam jurnal keilmuan. Barron mengasumsikan

    bahwa bila produk kreatif yang dijaring oleh skala ini di-

    lakukan dengan prosedur yang cermat dan andal, maka dengan

    sendirinya ciri-ciri produk kreatif seperti baru, orisinal,

    unik, memadai, inovatif, dan relevan akan dicakup secara

    implisit oleh skala itu.

    Studi yang memusatkan perhatian pada produk kreatif

    ini mengalami kesulitan apabila penilaian semata-mata di-

    dasarkan kepada kuantifikasi karya kreatif seseorang dalam

    bidang tertentu tanpa penelaahan yang cermat terhadap mutu

    kreatif karya itu (Shapiro, 1968).

    Baik Ghiselin, McPherson, maupun Barron mengajukan

    paling sedikit tujuh karakteristik untuk menilai mutu pro-

    duk kreatif, yaitu (1) bersifat baru  (newness), meskipun

    hasil karya itu merupakan kombinasi dari unsur-unsur yang

    sudah ada sebelumnya; (2) asli (original) dalam arti hasil

  • 8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf

    11/50

    36

    karya itu bukan klise atau tiruan semata-mata; (3) lain da-

    ri yang lain (unusual), dalam arti hasil karya itu mempu-

    nyai sifat menarik, unik dan menyenangkan, (4) inovatif,

    dalam arti menimbulkan pembaharuan bagi lingkungannya, (5)

    mempunyai nilai sosial, dapat diterima dan bermanfaat dalam

    memenuhi kebutuhan, (6) memadai dalam arti efisien, efek-

    tif, dan produktif dalam pemecahan masalah, (7) kompetitif

    dalam arti dapat bersaing dengan produk kreatif lain dan

    tidak usang (tidak mengalami mimesis) oleh waktu.

    Dalam studi lain, Jackson & Messick (1965) secara

    sederhana mengajukan hanya empat kriteria untuk menilai

    suatu produk apakah bermutu kreatif atau bukan, yaitu (1)

    produk itu baru, (2) tidak lazim , (3) unik, dan (4) mema-

    dai .

    c. Studi yang berorientasi kepada proses kreatif

    Tipe studi ini menganggap bahwa kreativitas bukanlahsemata-mata perilaku yang muncul dengan tiba-tiba ataupun

    warisan biologis yang menjelma secara temporal dalam kehi-

    dupan seseorang, melainkan suatu proses interaksi yang kom-

    pleks antar berbagai unsur dari dalam diri manusia (kondisi

    fisik, biogenetik, bakat, kemampuan kognitif, pengalaman,

    minat, emosi, sikap, nilai-nilai, dan keterampilan) dan

    lingkungannya baik secara horisontal maupun  developmental

    (Crutchfield, 1973). Interaksi secara horisontal artinya

    proses kreatif itu terjadi dalam suatu ruang dan kurun wak-

  • 8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf

    12/50

    37

    tu tertentu melibatkan proses-proses persepsi, internalisa-

    si, interpretasi, imaginasi, ekspresi, proyeksi, dan aktua-

    lisasi. Secara developmental artinya proses kreatif itu me-

    rupakan interaksi kompleks dari tahapan kematangan pertum-

    buhan berbagai fungsi dan tugas-tugas perkembangan sese-

    orang dalam berbagai aspek biologis, intelektual, emosio-

    nal, sosial, dan moral.

    Graham Wallas (1926, 1976) dalam penelitiannya mengi-

    dentifikasi empat tahap dalam proses kreatif, yaitu (1) ta-

    hap persiapan. yang mengacu kepada kondisi kemampuan, ba-

    kat, minat dan akumulasi pengalaman seseorang sebagai pra-

    syarat dari proses kreatif; (2) inkubasi yaitu tahap di ma-

    na berbagai informasi, pengalaman, gagasan mengalami peng-

    endapan dan pengeraman; (3) iluminasi yaitu tahap di mana

    seseorang mengalami semacam pencerahan, suatu kesadaran ba-

    ru, disebut pengalaman "Aha" dalam menemukan gagasan baru;

    dan (4) verifikasi, yaitu tahap menguji gagasan kreatif.

    yTaylor (1975) mengemukakan bahwa proses kreatif ada-

    lah proses transformasi antara individu dengan lingkungan-

    nya yang terjadi melalui fase-fase: (1) eksposure, yaitu

    keterbukaan dan kepekaan individu terhadap lingkungan;

    mengasimilasi dan mengakomodasi informasi; mengelompokkan

    (homogenisasi), memisahkan (diferensiasi) dan menghubungkan

    (integrasi) berbagai informasi; (2) pradivercren. fase di

    mana berbagai masukan mengalami suatu ledakan yang memen-

  • 8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf

    13/50

    38

    car. Fase ini ditandai oleh interaksi alamiah dari data,

    inkubasi yang tidak disadari, induksi, dan mungkin suatu

    pengalaman informasi yang melimpah; (3) sesudah pradiver-

    gen, muncul fase konversi, yaitu saat-saat terjadi kesadar-

    an baru (insight) atau transaksi perseptual; keadaan ini

    disebut juga sebagai fase "Eureka", atau saat reformulasi

    di mana pembalikan, pemakaian berlawanan, berfikir lateral,

    analogi, dan metafora dapat terjadi; saat ketiba-tibaan

    atau munculnya kilasan gagasan baru (flash of new  idea);

    (4) pascadivergen, suatu fase di mana gagasan yang muncul

    pada fase konversi, masih bebas dibentuk melalui deduksi,

    inferensi, verifikasi atau ekstrapolasi gagasan; (5) eks-

    presi , fase akhir di mana gagasan kreatif itu diimplemen-

    tasikan dan dikomunikasikan.

    Dari hasil studi biografis terhadap tiga ilmuwan

    unggul dan senior di Indonesia, Dedi Supriadi (1989) mene-

    mukan empat tahap dalam proses perkembangan kreativitas ke-

    ilmuan, yaitu (1) periode formatif, yaitu saat-saat di mana

    seseorang mengalami pembentukan diri melalui pendidikan,

    pengalaman pribadi, tantangan lingkungan dan semangat zaman

    (Zeitgeist) yang dihidupinya; (2) periode embrionik, saat

    di mana pemikiran dan gagasan-gagasan kreatif keilmuan mu-

    lai melembaga (membentuk embrio); (3) periode produktif,

    saat di mana gagasan-gagasan kreatif keilmuan mulai menun-

    jukkan manfaatnya bagi perkembangan ilmu dan teknologi ser-

  • 8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf

    14/50

    39

    ta kehidupan masyarakat; (4) periode nonproduktif, saat di

    mana gagasan-gagasan kreatif mulai menurun, baik jumlah

    maupun mutunya.

    Dalam berbagai pustaka ditemukan bahwa studi dan pe-

    nelitian yang berorientasi pada proses kreatif, sebenarnya

    lebih banyak memusatkan perhatian pada fungsi-fungsi kogni-

    tif dan intelektual individu, khususnya proses berfikir dan

    memecahkan masalah secara kreatif (Osborn, 1953, Guilford,

    1968; Torrance, 1965; Dirkes, 1977; Firestien & Treffinger,

    1983; Parnes, 1967; Parnes, Noller & Biondi, 1977). Studi

    yang sistematis mengenai struktur kemampuan intelektual dan

    dianggap telah memberikan daya dorong yang besar terhadap

    penelitian proses berfikir kreatif telah dilakukan oleh

    Guilford (1956) dan kawan-kawannya pada awal tahun 1950-an.

    Studi yang memusatkan perhatian pada proses berfikir

    kreatif dalam kenyataannya merupakan basis penting dalam

    upaya merintis cara-cara yang lebih ilmiah untuk mengem-

    bangkan kreativitas individu melalui pendidikan dan bim-

    bingan (Torrance, 1976, 1965; Munandar, 1985, 1977; Crutch-

    field, 1973).

    d. Studi yang berfokus pada pendorong kreativitas

    Tipe penelitian ini lebih mengarahkan perhatian ke-

    pada aspek motivasi dari dalam diri seseorang yang mendo-

    rong atau menghambat perwujudan kreativitas. Utami Munandar

    (1977: 26) membedakan dua pandangan berbeda mengenai moti-

  • 8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf

    15/50

    40

    vasi kreativitas, yaitu yang berorientasi negatif, yang

    mengganggap bahwa perilaku kreatif bersumber dari impuls-

    impuls yang tidak dapat diterima dan tersembunyi; dan yang

    berorientasi positif, yang menganggap bahwa kreativitas

    sebagai hasil alamiah dari realisasi dan ekspresi potensi

    manusia yang tertinggi. Pandangan yang pertama muncul dari

    kalangan psikoanalitik (Kubi, 1958; Kris, 1952;) sedangkan

    yang terakhir dimunculkan oleh kaum humanistik (Maslow,

    1976, 1970; Rogers, 1976). Yang terakhir ini antara lain

    mengemukakan bahwa aktualisasi kreativitas sebagai puncak

    dari aktualisasi diri tergantung kepada kondisi: keterbuka-

    an, kebebasan, keberanian, spontanitas, keaslian, penilaian

    dari dalam, serta kemampuan memainkan beragam unsur, gagas-

    an, dan konsep-konsep.

    e. Studi yang berfokus kepada ruang dan waktu

    Tipe penelitian ini memandang bahwa ruang yaitu

    lingkungan, baik fisik, geografis maupun sosial budaya,

    serta suasana zaman merupakan sumber yang melahirkan krea-

    tivitas. Seseorang akan menjadi lebih kreatif dalam menga-

    tasi setiap masalah pemenuhan kebutuhan hidup apabila di-

    hadapkan pada kondisi dan suasana lingkungan yang menantang

    (Arieti, 1976).

    Simonton (1978; 1975) adalah seorang peneliti yang

    secara sistematis menelaah mengenai konteks sosial-budaya

    dari kreativitas individual. Dari penelitiannya yang inten-

  • 8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf

    16/50

    41

    sif itu, Simonton menemukan sekurang-kurangnya tujuh ciri

    lingkungan sosial budaya yang memunculkan kreativitas in-

    dividual , yaitu (1) keterdidikan secara formal, (2) keter-

    sediaan model peran; (3) suasana dan semangat zaman (Zeit-

    geist ) , (4 ) fragmentasi politis , (5) tekanan konflik dan

    perang, (6) gangguan sosial, (7) ketidakstabilan politis.

    Pada intinya, lingkungan dan semangat zaman itu me-

    muat kondisi yang menantang individu, sekaligus memberi ke-

    sempatan, kebebasan dan rasa aman untuk mewujudkan perilaku

    kreatifnya (Dedi Supriädi, 1989).

    2. Berbagai Model Teori Kreativitas

    Penelitian kreativitas dapat pula didekati menurut

    model-model teori tertentu. Treffinger (1980), Taylor

    (1975) dan Bloomberg (1973) mengemukakan paling sedikit li-

    ma model teori yang digunakan untuk mempelajari kreativi-

    tas, meskipun kebanyakan di antaranya lebih bersifat tum

    pang-tindih. Kelima model teori itu adalah sebagai berikut.

    a. Model psikoanalitik (Kubi, 1958, Kris, 1952,

    Lee, 1940) memandang bahwa proses dan perilaku kreatif ada-

    lah fungsi dari kekuatan-kekuatan konfliktual dari dalam

    diri yang tidak tidak disadari. Apabila kekuatan-kekuatan

    itu tidak disublimasi atau diproyeksikan ke dunia realitas

    melalui peran ego, maka individu akan mengalami tekanan

    yang membahayakan kesehatan mentalnya.

  • 8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf

    17/50

    42

    b. Model humanistik (Maslow, 1976, 1970; Rogers,

    1976) lebih melihat kreativitas sebagai fungsi aktualisasi

    potensi diri yang tertinggi pada manusia pada setiap manu-

    sia. Kreativitas itu tidak hanya sekedar prestasi, tetapi

    lebih mengacu kepada mutu watak pribadi seperti keterbuka-

    an, kebebasan, keberanian, spontanitas dan keaslian diri,

    yang pengungkapannya menunjukkan berfungsinya pribadi seca-

    ra penuh (fully functioning person).

    c. Model faktor dan sifat atau psikometrik (Guil-

    ford, 1973, 1967, 1959, 1956; Wallach dan Kogan, 1976,

    1965) terutama memandang kreativitas sebagai fungsi berba-

    gai faktor dan ciri kemampuan mental, intelektual individu.

    Ciri-ciri dan faktor kemampuan individual itu dapat diamati

    melalui proses-proses berfikir secara divergen, konvergen,

    menghayati, merasakan dan terungkap melalui berbagai kate-

    gori; bahasa, simbol, gambar dan perilaku motorik.

    d. Model asosianistik (Mednick, 1962; Koestler,

    1964) memandang kreativitas sebagai proses pembentukan ber-

    bagai unsur secara asosiatif menjadi kombinasi-kombinasi

    baru. Model ini mendasarkan pandangannya kepada asumsi bah-

    wa tidak ada sebuah eksistensi yang sama sekali baru; se-

    suatu yang baru itu pada dasarnya hanyalah gabungan, rang-

    kaian atau penyatuan unsur-unsur lama yang sudah ada sebe-

    lumnya .

  • 8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf

    18/50

    43

    e. Model kognitiff  rasional (de Bono, 1988; Tor-

    rance, 1980, 1965; Taylor, 1975, 1970; Guilford, 1968,

    1959, 1956; Hersch, 1973; Schachtel, 1973; Osborn, 1953;

    Parnes, 1967; Parnes, Noller & Biondi, 1977) mencoba me-

    nerangkan kreativitas sebagai proses dan fungsi berbagai

    kemampuan kognitif, khususnya kemampuan berfikir kreatif

    dalam pemecahan masalah. Beberapa varian dari model ini

    mendasarkan teorinya kepada asumsi bahwa kreativitas itu

    adalah proses dan sekaligus hasil belajar individu terha-

    dap lingkungan (Torrance, 1980; Feldhusen & Treffinger,

    1977; Treffinger, 1980; Treffinger & Johnston, 1980).

    C. Pendekatan Studi, Teori dan Rumusan Kreativitas yang

    menjadi Acuan dalam Penelitian Ini

    1. Pendekatan Studi Kreativitas

    Sebagaimana dikemukakan pada bab I, penelitian ini

    memusatkan penelaahan kreativitas pada segi proses. Pemi-

    lihan pendekatan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa de-

    ngan memahami, mengamati dan menjelaskan berbagai unsur

    yang terlibat dalam proses kreativitas secara ilmiah, maka

    dapat dikembangkan langkah-langkah pendidikan dan bimbingan

    yang lebih efektif untuk memperbaiki dan meningkatkan mutu

    kreativitas individu. Dalam hubungan ini Crutchfield menu-

    lis :

  • 8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf

    19/50

    44

    Through scientific study of the creative pro-cess, study of what actually goes on when the in-dividual thinks creatively in solving problems, wecan better understand how to measure creativity.We can better understand what personality charac-teristics make individuals more likely to create.... And we can better understand the means bywhich capacity for creative thinking may be fos-tered or trained in individual. (Crutchfield,1974: 54).

    j Dalam bidang pendidikan, menurut Hurlock (1972),

    konsep sentral kreativitas terletak kepada tindakan mengha-

    silkan (act of producing) dari pada hasil akhir (end re-

    sult)  itu sendiri. Tindakan menghasilkan adalah suatu pro-

    ses aktivitas dari dalam diri individu yang melibatkan ber-

    bagai dimensi kemampuan: intelektual, intuisi, emosional,

    inderawi, behavioral; dan sesungguhnya dapat dipelajari

    serta diperbaiki kinerjanya melalui program pendidikan dan

    bimbingan kreativitas di sekolah (Torrance, 1980, 1965;

    Yelon & Weinstein, 1976; Foster, 1971).

    Dengan mengacu kepada gagasan Crutchfield (1973: 54-

    55), maka sekurang-kurangnya ada lima anggapan yang menda-

    sari pendekatan proses kreatif dalam studi ini. Pertama f

    proses kreatif bukanlah sesuatu yang misterius dan tidak

    dapat ..dianalisis. Seperti proses psikologis lainnya, proses

    kreatif dapat diamati melalui respon verbal, gambar, lam-

    bang, ataupun perilaku yang ditampilkan terhadap stimulus

    tertentu. Kedua, proses kreatif bukanlah berjalan sendiri,

    melainkan suatu proses motivasi dan kognisi yang kompleks

  • 8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf

    20/50

    45

    dalam diri individu, yang melibatkan kemampuan menghayati,

    mengingat, berfikir, membayangkan, mengelompokkan, memisah-

    kan , menghubungkan, menilai, memutuskan dan seterusnya.

    Ketigar  proses kreatif ditemukan pada setiap orang, tidak

    hanya pada orang-orang tertentu. Sebab itu setiap orang da-

    pat berperilaku kreatif sesuai proses motivasional dan kog-

    nitif yang relevan dalam dirinya. Keempatf setiap individu

    memiliki tingkat kapasitas kreatif yang berbeda-beda. Per-

    bedaan ini juga turut mempengaruhi proses kreatif yang ter-

    cermin dalam kemampuan berfikir dan memecahkan masalah se-

    cara kreatif. Kelima, proses kreatif ditandai oleh berfung-

    sinya kemampuan-kemampuan berfikir divergen, lateral,

    unik, orisinal, dan tidak biasa, yang didukung oleh proses

    motivasional, dan mempunyai basis pada kemampuan kognisi,

    berfikir konvergen, ingatan, dan kemampuan evaluasi.

    2. Model Teori Kreativitas Acuan Penelitian

    Dari kelima model teori kreativitas yang dikemukakan

    pada bagan B butir 2 di atas, maka penelitian ini memilih

    aodel teori kognitif sebagai acuan untuk mempelajari model

    perlakuan yang efektif dalam rangka pengembangan kreativi-

    tas peserta didik di sekolah. Pemilihan model teori kogni-

    tif ini didasarkan pada beberapa pertimbangan berikut ini.

    Pertama, secara umum model teori-teori kognitif melandaskan

    pandangannya mengenai kreativitas sebagai fungsi dinamik

  • 8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf

    21/50

    46

    dan interaktif dari perkembangan kognitif individu (Hersch,

    1973). Pandangan ini menunjukkan bahwa kreativitas tidak

    hanya semata-mata akibat, tetapi juga dapat memekarkan

    fungsi-fungsi kognitif yang lain. Keduaf sebagian besar mo-

    del teori kognitif memusatkan perhatiannya kepada kemampuan

    berfikir dan memecahkan masalah secara kreatif. Di samping

    itu, model kognitif juga memberi tempat kepada prosedur

    psikometris untuk memahami berbagai faktor kemampuan kogni-

    tif , termasuk kemampuan berfikir kreatif (Guilford, 1968;

    Torrance, 1974).

    Dari berbagai pustaka, ditemukan bahwa model kogni-

    tif untuk menjelaskan kreativitas ternyata masih mempunyai

    beberapa varian yang akan dijelaskan berikut ini.

    a. Kreativitas sebagai fungsi perkembangan kognitif

    Model teori kognitif dalam studi kreativitas yang

    berorientasi kepada fungsi perkembangan sistem kognitif se-

    benarnya mempunyai tiga subvarian, yaitu yang menekankan

    kreativitas sebagai fungsi adaptasi manusia dengan ling-

    kungan; yang menekankan kreativitas sebagai fungsi perkem-

    bangan kognitif dan perkembangan diri (ego) secara integra-

    tif; dan yang menekankan kreativitas sebagai fungsi penga-

    laman perseptual yang bersifat holistik.

    Subvarian pertama, yaitu model yang menekankan krea-

    tivitas sebagai fungsi adaptasi manusia terhadap lingkungan

    terutama mengacu kepada teori kognitif yang dipelopori oleh

  • 8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf

    22/50

    47

    Piaget (1988, 1956) dan para pengikutnya (Inhelder, 1958;

    Furth, 1970). Menurut teori ini, kreativitas adalah fungsi

    asimilasi dan akomodasi secara komplementer, dalam rangka

    pembentukan pengetahuan sebagai skhemata tindakan, untuk

    mencapai ekuilibrium. Dalam proses asimilasi, data dan in-

    formasi dari lingkungan dimasukkan dalam struktur kognitif

    internal, disesuaikan dengan skhema tindakan dan struktur

    mental yang mendahului (a given situation). Dalam proses

    ini, yang terutama menurut Furth (1970: 17) adalah what is

    essential to all knowing , dan hal itu berhubungan dengan

    prinsip sameness, communality , dan generalization. Sedang-

    kan dalam proses akomodasi, struktur internal kognitif

    (skemata) dimodifikasi sedemikian rupa disesuaikan dengan

    tuntutan lingkungan. Yang berperan di sini terutama adalah

    what is particular, new, and different.

    Secara sederhana dapat dikemukakan bahwa proses asi-

    milasi itu mengendapkan pengalaman dan kerangka pengetahuan

    acuan bagi kemungkinan modifikasi skemata tindakan (fungsi

    akomodatif) dalam menghadapi situasi atau kebutuhan baru.

    Teori dasar ini dapat dilihat pada gambar II-1.

    Dari teori dasar kognitif di atas, maka ada dua

    prinsip penting yang perlu diperhatikan dalam rangka pe-

    ngembangan kreativitas individual. Pertama, pengalaman dan

    pengetahuan seseorang yang diferensiatif sangat penting da-

    lam proses reorganisasi dan restrukturisasi skemata tindak-

  • 8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf

    23/50

    48

    ASIMILASI

    SKEMATATINDAKAN(ACUAN)

    KR

    EATIVITAS

    AKOMODASIHhat is particular,

    new> and different

    Gambar II -l. Model Dasar Kreativitas menurut Kerangka

    Teori Kognitif

    an menghadapi tuntutan baru dari lingkungan; di sinilah di-

    mensi berfikir kreatif inhaeren dalam proses diferensiasi,

    organisasi, dan integrasi struktur kognitif. Kedua, proses

    skemata kognitif dapat berubah, melalui reorganisasi dan

    reintegrasi, kearah struktur yang lebih diferensiatif, apa-

    bila pengetahuan sebelumnya sebagai kerangka tindakan meng-

    alami perubahan bentuk akomodatif. Proses akomodasi secara

    sengaja itu dapat lebih ditingkatkan melalui belajar.

    Kedua, subvarian yang menekankan kreativitas sebagai

    fungsi yang integral antara perkembangan kognitif dan per-

    kembangan diri. Teori ini dikembangkan oleh (Gowan, 1974,

    1980) yang didasarkan kepada teori perkembangan diri yang

    berorientasi afektif dari Erikson dan teori perkembangan

  • 8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf

    24/50

    49

    kognitif dari Piaget. Menurut Gowan (1980) tahap-tahap per-

    kembangan diri (afektif) Erikson dan perkembangan kognitif

    Piaget saling terkait dalam perkembangannya. Sebelumnya

    Piaget mengajukan lima tahap perkembangan kognitif, yaitu

    tahap sensorimotor, praoperasional, dan intuitif pada masa

    bayi dan kanak-kanak, serta tahap operasi kongkrit dan ope-

    rasi formal pada masa usia sekolah, memasuki masa rema j a.

    Tahap-tahap itu mempunyai kesetaraan posisi dengan tahap-

    tahap afektif dari Erikson, yaitu tahap kepercayaan melawan

    ketidakpercayaan, mandiri melawan rasa malu dan ragu-ragu,

    inisiatif melawan rasa salah, rajin melawan rasa rendah di-

    ri, identitas melawan kekaburan peran. Dari tahap-tahap

    perkembangan itu, Gowan (1974) menambahkan tiga tahap per-

    kembangan sebagai ekstensi dari lima tahap Piaget, yaitu

    tahap kreativitas, psikedelia, dan iluminasi. Ketiga tahap

    itu mempunyai kesetaraan dengan tahap-tahap afektif dari

    Erikson, yaitu keakraban, generativitas, dan integritas di-

    ri .

    Model tahap perkembangan kreativitas menurut Gowan

    itu dapat dilihat pada tabel II-l pada halaman berikut ini.

    Dari periodisasi perkembangan itu menurut Gowan

    (1980) ada tiga tahap kritis yang sangat penting diperhati-

    kan dalam rangka intervensi pendidikan dan bimbingan. Per-

    tama adalah tahap inisiatif, yaitu pada usia empat sampai

    enam tahun. Pada tahap ini anak mengembangkan rasa ingin

  • 8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf

    25/50

    50

    TABEL II-lTahap-tahap Perkembangan Periodik Erikson-Piaget-Gowan

    nenurut Model Perkembangan Kreativitas Gowan

    ATTENTIONAL KODES

    DEVELOPMENTAL LEVELS

    LATENCY(3) it, theyTHE WORLD

    IDENTITY(1) I, »eTHE KO

    CREATIVITY(2) thouTEE OTHER

    INFA»

    T

    ERIKSOH(Affective)

    PIAGET(Cognitive)

    TRUST vs. MISTRUST

    [1]

    SENSORIMOTOR vs.CHAOS

    AUTONOMY vs. SHAMEAND DOUBT

    [2]PREOPERATIONAL vs.

    AUTISM

    INITIATIVE vs GOILT

    [3]

    INTUITIVE VS.IMMOBILIZATION

    Y

    0DTE

    ERIKSOH

    (Affective)

    PIAGET(Cognitive)

    INDUSTRY vs.

    INFERIORITY[4]CONCRETE OPERATIONSvs. NONCONSERVATION

    IDENTITY vs.

    ROLE DIFFUSION15]FORMAL OPERATIONS

    vs. DEMENTIA PRAECOX

    INITIATIVE vs.

    ISOLATION[6]CREATIVITY

    VS. AUTHORITARIANISM

    ADDLT

    ERIKSOH(Affective)

    PIAGET(Cognitive)

    GENERATIVITY vs.STAGNATION

    V]PSYCHEDELIA vs.CONVENTIONALISM

    EGO INTEGRITY vs.DESPAIR

    [8]ILLUMINATION vs.SENILE DEPRESSION

    Suaber: J.C. Gouan (1974). The Development of the Psychedelic Individual. Buffalo, Heu York:Tbe Creative Education Foundation.

    tahu, berinisiatif, berimaginasi dan berfantasi melalui ak-

    tivitas bermain. Kedua, pada tahap kerajinan, yaitu tujuh

    sampai 12 tahun, di mana terjadi creativity drop,  yaitu

    suatu gejala menurunnya kreativitas anak, karena energi

    psikisnya diarahkan kepada tugas-tugas dan kegiatan belajar

    di sekolah yang berpola konvergen. Ketiga, pada tahap iden-

    titas, yaitu sekitar 13 sampai 18 tahun, di mana anak men-

    jalani periode operasi formal dan pasca operasi formal da-

  • 8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf

    26/50

    51

    lam perkembangan intelektualnya. Gowan (1980) menyebut ta-

    hap ini sebagai golden age dalam pengembangan kreativitas

    individu. Dikatakan demikian karena pada periode tersebut,

    proses kreatif anak mendapatkan dukungan dari perkembangan

    kemampuan intelektual, yaitu berfikir formal, konseptual,

    analitis, kritis, dan evaluatif; kemampuan hubungan sosial,

    solidaritas, empati, kesadaran akan tatanan kehidupan so-

    sial, serta nilai-nilai moral dan religius mulai terbentuk.

    Oleh karena itu, proses berfikir kreatif anak pada masa ini

    dapat dituntun dan dibelajarkan ke arah pemecahan masalah-

    masalah dalam bidang keilmuan, seni, vokasi dan masalah

    praktis lainnya dalam kehidupan sehari-hari.

    Ketiga r subvarian yang menekankan kreativitas seba-

    gai fungsi pengalaman perseptual yang bersifat holistik.

    Teori ini dikembangkan oleh Taylor (1975), Schachtel

    (1959), dan Arnheira (1954). Pada dasarnya teori kognitif

    ini mengacu kepada pandangan psikologi Gestalt (Koffka,

    1945; Kohler, 1947; Wertheimer, 1945) yang mencoba mengait-

    kan kreativitas dengan konsep pemahaman (insight). Pandang-

    an ini menganggap bahwa kreativitas adalah fungsi Gestalt

    dalam memberi makna kepada bagian-bagian. Strukturisasi,

    diferensiasi dan integrasi kognitif terjadi karena adanya

    proses membuka diri (disclosure) terhadap medan yang diama-

    ti dan pengakhiran (closure) di dalam mana suatu medan di-

    strukturkan kembali untuk memulihkan harmoni dan mencapai

  • 8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf

    27/50

    52

    ekuilibrium.

    Penelitian Arnhem (1954) menemukan bahwa orisinalitas

    gagasan dan produk seni seseorang sebenarnya berakar pada

    pengalaman-pengalaman perseptual yang melibatkan totalitas

    diri, mulai dari pengalaman inderawi, perseptualisasi,

    hingga kepada konseptualisasi dan pemaknaannya.

    Ernest G. Schachtel (1973, 1959), seorang pelopor

    teori kognitif-holistik dalam penelitian kreativitas, me-

    ngemukakan bahwa kreativitas adalah metamorfosa dari peng-

    alaman-pengalaman perseptual dan konseptual, yang perkem-

    bangannya melalui dua tahap. Pertama, autosentrisitas, yai-

    tu tahap persepsi dan pengalaman kreatif yang terpusat ke-

    pada diri sendiri (self-centered stage), dan kedua, allo-

    sentrisitas, yaitu tahap persepsi dan pengalaman kreatif

    yang lebih matang, terpusat kepada obyek di luar diri (ob-

    ject-centered stage). Konsep Schachtel di atas secara ske-

    matis dapat dilihat dalam gambar II-2.

    Menurut Schachtel (1973) pengalaman kreatif itu di-

    mulai ketika indera seseorang mulai mengamati, meraba, men-

    cium, mencicipi, dan menghayati lingkungannya secara total,

    hingga kepada konseptualisasi dan abstraksinya secara dife-

    rensiatif. Oleh karena itu, metamorfosa pengalaman yang

    menghasilkan perilaku atau tindakan kreatif tergantung ke-

    pada kesempatan (waktu), dan intensitas (seberapa sering)

    pengalaman individu, yang berdimensi kognitif, intuitif,

  • 8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf

    28/50

    53

    I

    autosentrisitas allosentrisitas>

    Dimensi waktu

    Gasfcar I1-2. Kreativitas sebagai Metasorfosa Pengalaman Persep-

    tual dan Konseptu al menu rut Model Schac tel 1973)

    afektif, dan inderawi berhubungan dengan lingkungannya. Te-

    etapi keadaan ini hanya mungkin bila ada keterbukaan terha-

    dap lingkungan atau obyek yang dipersepsi. Schachtel (1973)

    mengemukakan bahwa keterbukaan persepsi terhadap obyek me-

    rupakan syarat dasar bagi proses kreativitas. Ia menulis:

    "... without openess toward the world, the experience will

    not enlarge, deepen, and make more alive the person*s rela-

    tion to the world, that is, will not be creative" (Schach-

    tel, 1973: 302).

    Beberapa prinsip penting yang disumbang oleh subva-

    rian teori di atas untuk pengembangan kreativitas individu-

    al adalah sebagai berikut. Pertama, proses kreatif pada se-

    seorang memerlukan keterlibatan diri secara total, mulai

    dari penginderaan, perseptualisasi, konseptualisasi hingga

    kepada metamorfosa yang menghasilkan perilaku kreatif. Ke-

  • 8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf

    29/50

    54

    dua, pengalaman merupakan conditio sine quanon bagi proses

    kreatif, yaitu metamorfosa pengalaman dari tahap autosen-

    tris, yang berpusat kepada diri sendiri, ke tahap alosen-

    tris, yang berpusat di luar diri. Ketiga, keterbukaan diri

    terhadap lingkungan adalah kunci dari perluasan, pendalam-

    an, dan peragaman pengalaman, dan memungkinkan terjadinya

    konseptualisasi yang divergen, tidak lasim, unik, dan ori-

    sinal .

    b. Kreativitas sebagai fungsi Kemampuan berfikir

    kreatif dan kemampuan asosiatif

    Model teori kognitif dengan subvarian yang menekan-

    kan kepada kreativitas sebagai fungsi kemampuan intelektual

    dipelopori oleh J.P. Guilford dan kawan-kawannya pada awal

    tahun 1950-an di Universitas Southern California. Dalam

    penelitiannya, Guilford (1956) mempelajari secara psikomet-

    ris mengenai kreativitas berdasarkan teorinya mengenai

    struktur intelek manusia. Dalam teorinya itu Guilford meng-

    ajukan tiga dimensi dalam struktur kemampuan intelektual

    manusia, yaitu dimensi operasi dengan unsur-unsur kognisi,

    ingatan, berfikir konvergen, berfikir divergen, dan evalua-

    si; kedua, dimensi produk dengan unsur-unsur unit, kelas,

    relasi, sistem, transformasi, dan implikasi; yang ketiga

    adalah dimensi isi dengan unsur-unsur: gambar (figural),

    bahasa (semantic), lambang (symbolic) dan perilaku (behavi-

    oral). Model struktur kemampuan intelektual manusia itu da-

  • 8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf

    30/50

    55

    pat diragakan dalam bentuk sebuah kubus seperti pada gambar

    berikut ini.

    Gambar I1-3. Model Struktur Kemampuan Intelek Manusia

    (Guilford, 1956)

    Dari model di atas Guilford menunjukkan bahwa berfi-

    kir kreatif merupakan proses dari tiga dimensi kemampuan

    intelektual serta unsur-unsurnya yang secara khusus berop-

    erasi melalui berfikir divergen dengan bahan-bahan yang da-

    pat berbentuk gambar, lambang, bahasa, dan perilaku, atau

    kombinasinya.

  • 8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf

    31/50

    56

    Di samping faktor-faktor intelektual, maka pola khas

    dari sifat-sifat (traits) kepribadian itu menurut Guilford

    (1968) turut menentukan perilaku kreatif individu. Sifat

    adalah suatu kecenderungan yang relatif menetap pada seseo-

    rang yang membedakan dari yang lain. Sifat-sifat perilaku

    itu terdiri atas beberapa kategori, yaitu bakat, minat, si-

    kap dan temperamen. Bakat mengacu kepada kematangan untuk

    belajar melakukan tugas-tugas tertentu. Kematangan itu di-

    peroleh melalui determinasi herediter atau determinasi

    lingkungan, ataupun interaksi antara keduanya. Minat biasa-

    nya diartikan sebagai kecenderungan seseorang untuk mengak-

    rabi atau menyenangi tipe kegiatan tertentu. Sikap menunjuk

    kepada kecenderungan menyukai atau tidak menyukai situasi

    atau obyek tertentu. Sedangkan temperamen melukiskan kecen-

    derungan emosional secara umum dari seseorang, misalnya op-

    timisme, keyakinan diri, atau kegairahan menghadapi suatu

    keadaan.

    Kepribadian kreatif menurut rumusan Guilford (1968:

    78) tidak lain adalah :

    ... a matter of those pattern of traits thatare characteristic of creative persons. A creativeperson is manifest in creative behavior, which in-clude such activities as inventing, designing,

    contriving, composing, and planning. People whoexhibit these types of behavior to a marked degreeare recognized as being creative.

    Dari pandangan tentang sifat-sifat kepribadian itu,

  • 8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf

    32/50

    57

    Guilford (1959, 1968) mengemukakan sifat-sifat bakat primer

    (primary aptitude traits) yang berhubungan dengan kreativi-

    tas, yang pada lazimnya disebut ciri-ciri kemampuan berfi-

    kir kreatif, yaitu (1) kepekaan terhadap masalah, (2) ke-

    lancaran (fluency), yang meliputi kelancaran kata, ekspre-

    sional, dan ideasional; (3) kelenturan (flexibility ), yang

    meliputi kelenturan spontan dan adaptif; (4) keaslian (ori-

    ginality);  (5) kerincian (elajboration); dan (6) perumusan

    kembali (redefinition). Di samping itu terdapat pula sifat-

    sifat bukan bakat (non-aptitude traits) yang mendukung ope-

    rasi berfikir kreatif dan dalam penelitian Guilford (1959)

    mempunyai korelasi yang tinggi dengan beberapa aspek berfi-

    kir kreatif; di antaranya kepercayaan diri, rasa ingin tahu

    yang besar, menyenangi petualangan, impulsif, toleran kepa-

    da ambiguitas, menghargai ekspresi estetik dan kegiatan

    kreatif, dan memiliki keinginan yang kuat untuk hal-hal

    yang beragam, berbeda, dan tidak lazim.

    Konsep Guilford mengenai kreativitas sebagai fungsi

    berbagai sifat kemampuan berfikir dan sikap kreatif yang

    dikemukakan di atas telah menjadi acuan dari sekian banyak

    penelitian kreativitas yang menekankan pada segi proses

    berfikir kreatif, di antaranya penelitian Torrance, (1962,

    1965, 1974) , Getzels & Jackson (1962) , Goldman (1964),

    Wallach & Kogan (1965) di Amerika Serikat; Foster (1971),

    Lvtton (1971) di Inggeris; dan Utami Munandar (1977, 1982)

  • 8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf

    33/50

    58

    di Indonesia.

    Subvarian lain, yaitu pandangan yang menekankan

    kreativitas sebagai fungsi asosiatif, yaitu kemampuan meng-

    hubung-hubungkan berbagai benda, obyek, pengalaman, penge-

    tahuan, dan informasi yang sudah ada sebelumnya kepada se-

    suatu keadaan yang baru. Teori asosiatif yang dikembangkan

    oleh Mednick (1962) ini menganggap bahwa berfikir kreatif

    adalah proses pembentukan unsur-unsur asosiatif dan gagasan

    yang satu sama lain berjauhan (mutually remote ideas)  ke

    dalam kombinasi baru yang dibutuhkan dan bermakna. Untukmencapai solusi kreatif, maka ada tiga syarat yang perlu

    diperhatikan, yaitu (1) kesanggupan menemukan  (serendipi-

    ty) , (2) kemiripan (similarity ) unsur-unsur asosiatif atau

    stimuli yang menghasilkan unsur-unsur asosiatif, dan (3)

    perantara (mediation) unsur-unsur umum.

    Sebenarnya teori asosiatif ini dalam beberapa hal

    mempunyai kesamaan prinsip dengan teori di atas. Kalau pada

    subvarian teori kreativitas yang dikembangkan Guilford le-

    bih ditekankan adalah proses divergensi berfikir, maka pada

    subvarian ini yang diutamakan adalah proses asosiasi, kom-

    binasi dan kontiguitas pemikiran.

    Setidaknya subvarian teori asosiatif dalam pengem-

    bangan kreativitas mengisyaratkan tiga hal yang penting.

    Pertama, kesanggupan untuk menemukan yang berhubungan de-

    ngan sifat sifat kepribadian, seperti kesediaan, kemauan,

  • 8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf

    34/50

    59

    motivasi, dan kapasitas mental yang kuat untuk menemukan

    sesuatu. Syarat kedua, tersedianya pola-pola yang mirip un-

    tuk melakukan solusi, meskipun hasilnya sesuatu yang amat

    berbeda. Misalnya, untuk mendapatkan respon yang beragam

    (divergen), tidak lazim, unik, dan orisinal terhadap suatu

    stimulus (masalah yang perlu dipecahkan) maka perlu acuan

    pola-pola berfikir yang mirip untuk menghasilkan respon

    kreatif. Yang terakhir, perlu ada pengalaman dan pengetahu-

    an yang memadai untuk mendapatkan proses asosiasi kreatif

    dalam bentuk gagasan dan perilaku efektif dan bermanfaat,

    c. Kreativitas sebagai Proses dan Hasil Belajar

    Sesungguhnya perwujudan kemampuan kreatif dalam

    berbagai bentuk perilaku kognitif, afektif maupun psikomo-

    tor tidak semata-mata tergantung kepada faktor bakat dalam

    pengertian bawaan (inhereted ) saja, melainkan juga ditentu-

    kan oleh kondisi lingkungan, yaitu pengalaman dan latihan

    yang diperoleh. Dalam pengertiannya sebagai bakat (apti-

    tude), seperti konsep Guilford (1959), maka kemampuan krea-

    tif itu dapat dianggap sebagai kemampuan perolehan (acquir-

    ed ability). Konsep bakat yang dikemukakan di sini sejalan

    dengan pandangan Bennett, seashore & Wesroan (1982: 5) yang

    mengganggap bahwa bakat adalah hasil interaksi kompleks an-

    tara hereditas dan lingkungan, dan merupakan kekuatan untuk

    belajar guna mendapatkan kemampuan dan pengalaman yang baru

    (a capacity to acguire new capacity).

  • 8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf

    35/50

    60

    Di samping asumsi mengenai bakat potensial yang di-

    miliki berpengaruh dalam proses aktualisasi kreatif, sejum-

    lah kepustakaan dengan tegas menekankan bahwa usaha dan

    kerja keras seseorang lebih berperan dalam menghasilkan pe-

    rilaku dan karya kreatifnya (Dedi Supriadi, 1989; Utami

    Munandar, 1988; Alfian, 1983). Pernyataan ini hampir analog

    dengan pendapat Edison bahwa genius is 1% inspiration, bu t

    99% perspiration. Penelitian Cattel & Butcher (1973, 1968),

    dengan menggunakan analisis faktor terhadap performans

    kreatif seseorang menemukan bahwa 95% variansi berasal da-

    ri determinasi lingkungan dan hanya 5% berasal dari deter-

    minasi bawaan.

    Pandangan dan temuan di atas menguatkan keyakinan

    bahwa kreativitas individual adalah suatu proses dan seka-

    ligus hasil belajar yang disadari dan disengaja, yang meli-

    batkan totalitas diri dan kemampuan yang dimiliki, untuk

    memecahkan berbagai masalah dalam rangka pemenuhan kebutuh-

    an hidup secara indvidual maupun sosial. Usaha dan kerja

    keras ataupun determinasi lingkungan terhadap kreativitas

    seperti yang dikemukakan di atas, setidaknya mencakup ke-

    sadaran untuk memperdalam dan memperluas pengalaman, me-

    ningkatkan dan memperbaiki kemampuan diri dgtlam memecahkan

    masalah secara kreatif.

    Pada umumnya teori-teori kognitif menganggap bahwa

    belajar adalah proses perubahan perilaku, pengalaman dan

  • 8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf

    36/50

    61

    kemampuan memecahkan suatu masalah (Bruner, 1971, 1966?

    Gagne, 1985, 1977; Piaget, 1956; Ausubel, 1968). Menurut

    Guilford ( 1959: 54) belajar adalah " —   any persisting

    change in behavior consequent to behavior". Termasuk dalam

    perubahan itu adalah perbaikan standar atau nilai. Dalam

    perspektif kreativitas, perubahan itu tidak lain adalah pe-

    ningkatan dan atau perbaikan dalam kemampuan untuk melihat

    masalah, termasuk kepekaan terhadap masalah, dan kemampuan

    untuk memecahkan masalah itu melalui proses berfikir diver-

    gen.

    Gagasan mengenai kreativitas sebagai proses belajar

    memecahkan masalah mulai diperkenalkan dan dikembangkan

    oleh Alex Osborn (1963, 1953) pada awal tahun 50-an. Osborn

    (1953) berpendapat bahwa esensi kreativitas seseorang ter-

    letak pada kemampuan kognitif dan afektif dalam memecahkan

    masalah secara kreatif, yang ditandai oleh kebebasan berfi-

    kir dan berimaginasi tanpa diikat oleh aturan-aturan berfi-

    kir konvensional, meskipun pada tahap-tahap tertentu aturan

    berfikir konvensional diperlukan untuk klarifikasi dan ve-

    rifikasi ' gagasan. Imaginasi yang disengaja melalui proses

    curah pendapat (brainstorming ) misalnya, dapat menghasilkan

    gagasan-gagasan yang segar untuk memecahkan suatu masalah

    (Osborn, 1953).

    Parnes (1981, 1967) dengan pendekatannya yang amat

    rasional mengemukakan bahwa peristiwa "Aha" sebagai salah

  • 8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf

    37/50

    62

    satu esensi dari kreativitas, —yaitu suatu kondisi kesa-

    daran menemukan hubungan-hubungan yang relevan dan segar

    berbagai pemikiran, fakta, atau gagasan ke dalam konfigura-

    si yang baru untuk memecahkan suatu masalah—, dapat muncul

    secara alamiah (natural creativity), aksidental (accidental

    creativity ), atau sengaja (deliberate creativity) melalui

    proses akumulasi dan intensitas pengalaman tertentu. Seba-

    gian besar dari perilaku kreatif itu, menurut Parnes (1973:

    343) adalah dipelajari (learned); oleh karena itu, peristi-

    wa "Aha" dalam proses kreatif alamiah dan aksidental dapat

    diperbaiki dan ditingkatkan kearah yang lebih produktif,

    bermutu, dan bermanfaat melalui kegiatan belajar yang te-

    rencana. Olson (1980), murid Parnes menulis:

    Conscious, deliberate, creative processes andmethods strive to guide the formation, form andflow of the mind. They seed the mind and catalyze

    the formation of new ideas and fresh insights.They direct the precipitation of solution ideasonto fertile problems, problems whose solution areof value to the individual and/or society.

    Dari pembahasan mengenai kreativitas sebagai proses

    belajar di atas dapat ditarik beberapa prinsip penting.

    Pertama, perilaku kreatif, di samping memiliki sifat alami-

    ah, pada umumnya adalah hasil usaha belajar yang disadari.

    Kedua, perilaku kreatif yang disadari itu secara nyata ter-

    ungkap dalam kemampuan memecahkan masalah yang melibatkan

    unsur-unsur kognitif, afektif, dan perilaku motorik. Keti-

  • 8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf

    38/50

    63

    ga, sebagai proses dan hasil belajar yang disadari, maka

    perilaku kreatif itu dapat diperbaiki dan ditingkatkan me-

    lalui seperangkat kegiatan bimbingan kreativitas yang dise-

    ngaja (deliberate creativity).

    3. Rumiipan Kreativitas yang Menjadi Acuan Penelitian

    Sesungguhnya kreativitas mempunyai pengertian yang

    beragam. Pengertiannya tergantung kepada bagaimana kreati-

    vitas itu didefinisikan (Dedi Supriadi, 1989: 47). Umumnya

    pendekatan studi yang digunakan turut menentukan dalam ru-

    musan kreativitas (Utami Munandar, 1977: 27). Di fihak

    lain, rumusan kreativitas juga ditentukan oleh model teori

    yang digunakan (Taylor, 1975: 2), dan penekanan pada salah

    satu fungsi kemampuan manusia: kognitif, afektif, indera-

    wi, atau intuisi meskipun keempat unsur itu sebenarnya me-

    rupakan satu kesatuan integral yang membentuk kreativitas

    (Clark, 1983: 31).

    Rumusan kreativitas yang digunakan dalam penelitian

    ini mengacu kepada konsep kreativitas sebagai pyroses kogni-

    tif yang dipelajari, yang melibatkan dimensi berfikir dan

    sikap. Menurut Torrance (1980: 233) perumusan kreativitas

    dari segi proses sangat penting, sebab

    "... once the process is described, we can thenask what kind of person one must be in order toengage in the process successfully, what kind ofenvironment he needs in order to function creative

  • 8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf

    39/50

    64

    ways, and what kinds of products result from theprocess".

    Secara sederhana Barron (1969) dan May (1959) meru-

    muskan kreativitas sebagai kemampuan untuk membawa sesuatu

    yang baru ke dalam eksistensi. Menurut Murray (1959), se-

    suatu yang baru itu haruslah bernilai bagi diri dan masya-

    rakat. Perumusan kreativitas yang menekankan pada kemampuan

    dan proses kognitif sebenarnya telah dimulai oleh Spearman

    (1931) yang mengemukakan kreativitas sebagai proses dari

    kemampuan berfikir manusia untuk menciptakan sesuatu yang

    baru, dengan menghubung-hubungkan fakta, gagasan, informa-

    si, benda, atau suatu keadaan.

    Torrance (1965: 3) yang juga menekankan pada segi

    berfikir kreatif, mencoba membuat definisi operasional

    kreativitas dalam pendidikan, yaitu:

    "... proses memahami kesulitan, masalah, kesen-

    jangan dalam informasi, unsur-unsur yang lepas,dan ketidakserasian; merumuskan masalah secara je-las; menduga atau merumuskan hipotesis tentang de-fisiensi ini; menguji dugaan ini dan kemungkinanmemperbaikinya dan mengujinya kembali atau meru-muskan kembali masalah; dan akhirnya mengkomunika-sikan hasil-hasilnya" (terjemahan penulis).

    Rumusan kreativitas di atas, menurut Torrance cocok

    digunakan dalam pendidikan karena mencerminkan proses

    alamiah dalam diri seseorang dalam memecahkan suatu masa-

    lah. Kemampuan memecahkan masalah itu dapat diperbaiki dan

    ditingkatkan dengan jalan memperdalam dan memperluas per.ge-

  • 8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf

    40/50

    65

    tahuan mengenai cara-cara berfikir kreatif dalam memecahkan

    masalah itu. Sama seperti Guilford, Torrance (1974) menge-

    mukakan empat indikator kognitif dari berfikir kreatif,

    yaitu kelancaran, kelenturan, orisinalitas, dan keterin-

    cian.

    Dalam bentuk lain, Olson (1980: 13) merumuskan berfi-

    kir kreatif sebagai kemampuan individu berdasarkan keunik-

    annya menghasilkan gagasan-gagasan baru dan segar yang ber-

    nilai kepada individu itu.

    Perumusan kreativitas yang menekankan kepada kemampu-

    an berfikir kreatif, dan dikenal sebagai pendorong utama

    (major impetus) untuk penelitian di bidang kreativitas, te-

    lah diajukan oleh Guilford (1959). Dengan mendasarkan kepa-

    da teorinya mengenai struktur intelek, Guilford (1959: 170-

    177) merumuskan kreativitas sebagai kemampuan untuk melihat

    dan memecahkan masalah yang ditandai oleh sifat-sifat bakat

    (aptitude) berfikir kreatif yaitu kepekaan (sensitivity)

    masalah, kelancaran (fluency ), kelenturan (flexibility),

    keaslian (originality ) , perumusan kembali (redefinition),

    dan kerincian (elaboration) dalam pemikiran dan gagasan;

    serta sifat-sifat bukan bakat  (nonaptitude), seperti per-

    caya diri, menguasai masalah, memiliki minat yang luas dan

    apresiasi kepada kegiatan kreatif, toleran kepada ambigui-

    tas, berani mengambil risiko, senang bertualang dan mencari

    hal-hal baru, menyenangi pemikiran yang beragam dan tidak

  • 8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf

    41/50

    66

    la2im.

    Dalam pendekatan yang sama, Williams (1980) merumus-

    kan kreativitas sebagai kemampuan pada seseorang untuk me-

    mecahkan suatu masalah yang melibatkan ciri-ciri kognitif:

    kelancaran, kelenturan, keaslian, dan keterincian pemikiran

    dan gagasan, serta ciri-ciri afektif: rasa ingin tahu, ke-

    beranian mengambil resiko, tertantang oleh kemajemukan, dan

    imaginatif.

    Munandar (1985: 47-50) dalam pembahasannya mengenai

    konsep kreativitas dari beberapa ahli yang berorientasi pa-

    da proses kemampuan kognitif mengemukakan tiga bentuk ru-

    musan kreativitas. Pertama, kreativitas yang diartikan se-

    bagai kemampuan untuk membuat kombinasi baru, berdasarkan

    data, informasi, atau unsur-unsur yang ada. Kedua, kreati-

    vitas (berfikir kreatif atau berfikir divergen), sebagai

    kemampuan — berdasarkan data atau informasi yang tersedia

     — menemukan banyak kemungkinan jawaban terhadap suatu ma-

    salah, di mana penekanannya adalah pada kuantitas, ketepat-

    gunaan, dan keragaman jawaban. Ketiga, kreativitas yang se-

    cara operasional dirumuskan sebagai kemampuan yang mencer-

    minkan kelancaran, kelenturan, keaslian, dan kerincian ga-

    gasan atau pemikiran.

    Ketiga bentuk rumusan kreativitas ini sebenarnya

    mempunyai hubungan satu sama lain. Dalam konteks berfikir

    kreatif, maka suatu kondisi yang tidak dapat dihindari ia-

  • 8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf

    42/50

    67

    lah terjadinya proses berfikir menghubung-hubungkan dan

    mengkombinasikan berbagai data, fakta, gagasan, informasi,

    atau unsur-unsur yang ada menjadi sesuatu yang lain dan

    bersifat baru. Kriteria utama dari proses berfikir kreatif

    itu adalah kemampuan menemukan jawaban pemecahan terhadap

    suatu masalah sebanyak mungkin, beragam, lain dari yang

    lain, dan tepat guna. Kemampuan berfikir kreatif itu secara

    operasional tercermin dalam ciri-ciri berfikir lancar, len-

    tur, asli, dan rinci.

    Dengan mengacu kepada teori Guilford (1959; 1956),

    Munandar (1977, 1984) merumuskan ciri-ciri kemampuan berfi-

    kir kreatif, yaitu (1) kelancaran berfikir yang terungkap

    dalam kelancaran kata, kelancaran asosiasional, kelancaran

    ekspresional, kelancaran ideasional; (2) kelenturan berfi-

    kir, yang bersifat spontan dan adaptif; (3) kemampuan ber-

    fikir orisinal yang ditunjuk oleh ketidak laziman respon

    yang diajukan untuk memecahkan masalah; dan (4) kemampuan

    mengembangkan, memperkaya, dan merinci gagasan. Dari rumu-

    san ini, faktor kepekaan masalah, seperti dalam konsep

    Guilford, dianggap beroperasi secara tersirat pada setiap

    kemampuan berfikir kreatif. Sedangkan faktor kelancaran

    asosiasional, kelenturan adaptif, dan kemampuan merumuskan

    kembali, dalam penelitian Guilford (1959) tidak signifikan

    sebagai faktor berfikir kreatif karena lebih banyak berop-

    erasi pada pola berfikir konvergen. Di samping keempat ciri

  • 8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf

    43/50

    68

    kognitif di atas, maka kemampuan kreatif menurut Munandar

    (1977, 1984) juga ditandai oleh ciri-ciri afektif, yaitu

    (1) mempunyai daya imaginasi, (2) berinisiatif, (3) mempu-

    nyai minat yang luas, (4) bebas dalam berfikir, (5) bersi-

    fat ingin tahu, (6) percaya pada diri sendiri, (7) penuh

    semangat, (8) berani mengambil risiko.

    Keempat ciri kemampuan kemampuan kreatif yang dikemu-

    kakan oleh Guilford, Torrance, Munandar, dan Williams di

    atas, juga ditemukan dalam rumusan Treffinger (1980) seba-

    gai indikator operasional dan menjadi basis dalam pengem-bangan kreativitas melalui kegiatan belajar kreatif. Kecua-

    li itu/ pada dimensi afektifnya, Treffinger mengajukan tu-

    juh ciri yang agak berbeda, yaitu rasa ingin tahu, kemauan

    merespon, keterbukaan kepada pengalaman, keberanian mengam-

    bil resiko, kepekaan kepada masalah, toleransi kepada ke-

    adaan mendua, dan kepercayaan diri.

    Dari penelaahan di atas, maka perumusan kreativitas

    dalam penelitian ini lebih difokuskan kepada kemampuan ber-

    fikir (kognitif) kreatif dengan ciri-ciri kelancaran, ke-

    lenturan, keaslian, dan kerincian pemikiran atau gagasan,

    yang terintegrasi dengan ciri-ciri sikap (afektif) kreatif

    sebagaimana diajukan Treffinger (1980), yaitu rasa ingin

    tahu, mau berespon, terbuka kepada pengalaman, berani meng-

    ambil risiko, peka kepada masalah, toleran kepada keadaan

    mendua, dan percaya diri. Terhadap ciri-ciri kreativitas di

  • 8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf

    44/50

    69

    atas, penilaian kualitasnya menurut Guilford (1969) dapat

    diamati melalui berbagai respon yang berisi gambar, bahasa,

    lambang, dan perilaku, dengan penekanan terutama kepada

    kuantitas, keragaman, kebaruan (orisinalitas), keunikan dan

    kegunaannya.

    D. Berbagai Model Pengembangan Kreativitas

    Bertolak dari anggapan bahwa kreativitas itu adalah

    suatu proses dan hasil belajar yang disengaja, maka berba-

    gai pakar berupaya mengembangkan model-model intervensi un-

    tuk meningkatkan dan memperbaiki perilaku dan kinerja krea-

    tif baik dalam adegan sekolah maupun okupasi. Apabila kita

    menelaah secara cermat berbagai pustaka mengenai kreativi-

    tas, maka model-model pengembangan kreativitas itu dapat

    diidentifikasi menurut apa yang menjadi tekanannya, dalam

    adegan mana, dan siapa yang mengembangkannya. Dari apa yang

    menjadi tekanan, McPherson (1964: 132) mengidentifikasi li-

    ma model pendekatan pengembangan kreativitas, yaitu yang

    menekankan kepada (1) pengembangan diri dan kepekaan masa-

    lah, (2) pengembangan kemampuan memecahkan masalah secara

    kognitif, (3) pemahaman mengenai faktor-faktor yang meng-

    hambat kreativitas dan sekaligus memberi fasilitasi bagi

    perbaikan dan peningkatan kreativitas, (4) pengembangan ga-

    gasan-gagasan inovatif, dan (5) kombinasi dari berbagai

    pendekatan di atas.

  • 8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf

    45/50

    70

    Dari segi adegan, maka intervensi pengembangan krea-

    tivitas dapat dilakukan dalam adegan sekolah, ataupun luar

    sekolah, termasuk yang diselenggarakan oleh pusat-pusat pe-

    ngembangan sumberdaya manusia.

    Dari segi siapa yang mengintrodusir model pengem-

    bangan kreativitas sesungguhnya ada banyak pakar dengan

    masing-masing pendekatannya yang dapat dikemukakan. Berikut

    ini akan dibahas beberapa model pengembangan kreativitas

    menurut pakar pengembangnya, khusus model yang berorientasi

    kognitif dan menekankan kepada kemampuan kreatif dalam me-

    mecahkan masalah.

    1. Model Osborn

    Pengembangan kreativitas secara sistematik dalam

    pendidikan sebenarnya dimulai oleh Alex F. Osborn tahun

    1951 di Universitas Buffalo (AS) melalui lembaga yang di-

    bentuknya: Creative Problem Solving Institute.  Dalam ga-

    gasannya itu Osborn (1953) menekankan upaya pengembangan

    kreativitas melalui latihan kemampuan memecahkan masalah

    secara kreatif dengan imaginasi. Osborn menempatkan kemam-

    puan imaginasi sebagai komponen utama yang berperan dalam

    proses pemecahan masalah secara kreatif. Metode belajar

    yang digunakan adalah curah pendapat (brainstorming). Mela-

    lui metode ini siswa didorong untuk mengembangkan dan mene-

    mukan sebanyak mungkin gagasan untuk memecahkan suatu masa-

  • 8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf

    46/50

    71

    lah. Kemudian pada tahap berikut dinilai gagasan mana yang

    paling mungkin untuk dilaksanakan. Ada empat aturan dasar

    yang harus diperhatikan dalam proses curah pendapat, yaitu

    (1) kritik dan penilaian yang merugikan pemunculan gagasan

    untuk sementara ditunda  (deferred-judgement), (2) sambut

    gagasan-gagasan yang kelihatan liar dan bebas , (3) semakin

    banyak gagasan semakin bagus — semakin banyak gagasan yang

    dimunculkan semakin besar kemungkinan munculnya gagasan

    yang baik, (4) lakukan kombinasi dan perbaikan gagasan —

    dianjurkan agar gagasan dari orang lain diperbaiki atau di-

    gabung hingga menjadi gagasan terbaik.

    Sebagai kegiatan belajar yang disengaja untuk menda-

    patkan peningkatan dalam kemampuan pemecahan masalah secara

    kreatif, Osborn (1963) mengajukan sepuluh tahap dalam pro-

    ses belajar kreatif, yaitu (1) memikirkan keseluruhan fase

    masalah; (2) memilih submasalah yang dihadapi; (3) memi-

    kirkan informasi yang dapat membantu; (4) memilih sumber-

    sumber data; (5) membayangkan atau mengkhayalkan (dream up)

    semua gagasan yang mungkin untuk memecahkan masalah; (6)

    memilih gagasan yang paling mungkin untuk memecahkan masa-

    lah; (7) memikirkan berbagai langkah yang mungkin untuk

    mengujinya; (8) memilih cara yang paling logis untuk mengu-

    ji; (9) membayangkan semua kemungkinan konsekuensi; dan

    (10) memutuskan jawaban final. Tahap 1, 3, 5, 7, dan 9

    memerlukan kemampuan berfikir divergen. sedangkan tahap 2,

  • 8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf

    47/50

    72

    4, 6, 8, dan 10 memerlukan kemampuan berfikir konvergen.

    2. Model Parnes

    Model Osborn yang menekankan kepada pemecahan masa-

    lah kreatif dengan penggunaan imaginasi secara sengaja dan

    berlebihan, kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Sidney

    J. ParnSs yang menjadi Presiden Creative Education Founda-

    tion, Buffalo, New York dengan lembaganya yang terkenal,

    Creative Problem Solving Institute (CPSI).  Parnes (1975)

    menyebutkan modelnya sebagai Program Eklektik. karena ia

    mencoba mengembangkan kemampuan pemecahan masalah secara

    kreatif dengan melakukan sintesa sinergistik antara program

    yang diarahkan kepada dimensi afektif (inward-looking), se-

    perti latihan kepekaan, pengembangan kesadaran, meditasi

    dengan program yang diarahkan kepada dimensi kognitif

    (outward-looking ), seperti pengembangan alternatif gagasan

    pemecahan masalah, penilaian alternatif, pengambilan kepu-

    tusan, dan seterusnya. Inti dari model Parnes ini adalah

    pengembangan keseimbangan antara penilaian dan imaginasi,

    antara logika dan emosi, antara upaya-upaya kreatif yang

    disengaja dengan inkubasi, antara kerja kelompok dan indi-

    vidual. Dalam dua buku yang ditulis bersama dengan Ruth B.

    Noller dan A.M. Biondi, yaitu  Guide to Creative Action

    (1977) dan Creative Actionbook (1977), Parnes untuk pertama

    kali memperkenalkan suatu program instruksional yang bersi-

  • 8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf

    48/50

    73

    fat monolitik  untuk pengembangan kreativitas di sekolah.

    Dalam buku tersebut dikemukakan mengenai sekian banyak me-

    tode dan teknik untuk melatih pengembangan kreativitas baik

    dimensi afektif maupun dimensi kognitifnya; adegan belajar-

    nya: individual, tim, atau kelompok; alokasi waktu dan aca-

    ra belajar; jadual kegiatan; pengaturan ruangan; pengguna-

    an media dan bahan-bahan belajar; penilaian dan tes psiko-

    logis; serta sejumlah bacaan mengenai pengembangan perilaku

    kreatif.

    Pada dimensi afektif, Parnes (1977) menganjurkan la-

    tihan kepekaan (sensitivity training)  yang dikembangkan

    oleh National Training Laboratories, latihan kesadaran tu-

    buh (body awareness), dan meditasi. Ada empat sasaran dalam

    pengembangan dimensi afektif ini, yaitu (1) pengenalan dan

    pemahaman diri secara utuh, (2) mengembangkan keterbukaan

    diri kepada pengalaman dan lingkungan, (3) mempertajam ke-

    pekaan kepada lingkungan dan masalah-masalahnya, (4) me-

    ningkatkan keberanian diri dalam proses eksplorasi, imagi-

    nasi, ekspresi, solusi dan dalam mengambil resiko. Kemudi-

    an, pada dimensi kognitif, ia mengusulkan lima langkah pen-

    ting untuk meningkatkan kemampuan memecahkan masalah secara

    kreatif, yaitu (1) penemuan fakta (fact finding), (2) pene-

    muan masalah ( problem finding), (3) penemuan gagasan (idea

    finding) , (.4) penemuan pemecahan (solution finding) , dan

    (5) penemuan penerimaan (acceptance finding). Pada setiap

  • 8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf

    49/50

    74

    langkah itu dapat diimplementasikan beragam teknik, seperti

    curah pendapat, imaginasi bebas, pertanyaan open-ended, pe-

    nguatan hubungan, penggabungan gagasan.

    3. Model Torrance

    Paul E Torrance yang dikenal sebagai peneliti kawa-

    kan dalam psikologi kreativitas, dan pengembang TTCT

    (Torrance Test of Creative Thinking), pada mulanya mengaju-

    kan gagasan peningkatan dan perbaikan kreativitas siswa me-

    lalui metode ganjaran perilaku kreatif (rewarding creative

    behavior) (Torrance, 1965: 43) melalui pengembangan hubung-

    an guru-siswa dalam kelas, yaitu (1) menghargai pertanyaan-

    pertanyaan tidak biasa, (2) menghargai gagasan-gagasan ti-

    dak biasa dan imaginatif, (3) menunjukkan kepada siswa bah-

    wa gagasan-gagasan yang diajukannya tidak dinilai, (4) mem-

    beri kemungkinan untuk latihan atau eksperimentasi tanpa

    melakukan penilaian, (5) penilaian dilakukan dengan menghu-

    bungkan sebab dan akibat. Selanjutnya, dengan mengacu kepa-

    da teori Guilford tentang ciri-ciri kemampuan berfikir

    kreatif, maka Torrance (1965: 296-314) mengembangkan sejum-

    lah teknik untuk meningkatkan berfikir kreatif itu melalui

    seni bahasa. Pertajna, pengembangan kelancaran ideasional

    dapat dilakukan dengan menggunakan (1) teknik curah-penda-

    pat (brainstorming ) secara kelompok; ( 2 ) teknik siapkan

    alat dan hidupkan ( props and starter) yang biasanya diawali

  • 8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf

    50/50

    75

    dengan sejumlah pertanyaan pemandu, seperti apa yang terja-

    di bila kita menambah, mengurangi, memperbesar, mengali-

    kan, memperkecil, membagi, mengubah, menggeser, menghilang-

    kan satu atau beberapa unsur pada alat yang menjadi obyek;

    (3) teknik imla gagasan (dictation of ideas) melalui tim

    atau kelompok kecil secara kompetitif. Kedua, pengembangan

    kelancaran asosiasional melalui teknik permainan kata. Yang

    diutamakan dalam teknik ini ialah kelancaran subyek dalam

    menghasilkan sebanyak atau seberagam mungkin kata-kata atau

    gagasan berdasarkan penggalan kata atau huruf yang disedia-

    kan. Ketiga, pengembangan kelenturan spontan dengan teknik

    penggunaan tidak lazim dari suatu benda; pengembangan man-

    faat suatu alat; atau teknik perbaikan produk, misalnya bo-

    neka. Kelenturan spontan akan muncul ketika seseorang men-

    coba menghasilkan gagasan yang berbeda dalam situasi yang

    relatif terbatas (unrestricted situation). Keempat. pengem-

    bangan orisinalitas gagasan dapat dilakukan dengan (1) tek-

    nik menghadapi peristiwa yang luarbiasa (unusual incident);

    (2) teknik penggunaan luar biasa dari suatu alat, benda;

    (3) teknik laporan buku, (4) teknik penggunaan audio-vi-

    sual, (5) teknik humor dan metafor. Yang menjadi tekanan

    dalam pengembangan orisinalitas ini ialah bagaimana siswa

    dapat menghasilkan respon yang luar biasa  (uncommon res-

     ponses) dan jitu terhadap situasi yang spesifik. Kelima,

    pengembangan kepekaan, melalui (1) teknik kritik konstruk-