8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf
1/50
BAB II
STUDI KONSEPTUAL TENTANG BIMBINGAN PENINGKATANKREATIVITAS SISWA SMA
A. Hakikat: dan Makna Kreativitas dalam Hidup Manusia
Sebagaimana disinggung pada bab pendahuluan, krea-
tivitas itu mempunyai makna yang amat penting dan mendasar
dalam hidup manusia. Makna itu tidak hanya dalam pengertian
teknis-sosial semata-mata, yaitu sebagai kekuatan sumber-
daya insani yang andal bagi pembangunan ekonomi dan pengem-
bangan iptek, melainkan juga menyatukait secara mendalam
dan merupakan perwujudan dari nilai-nilai etik pertumbuhan
diri individu yang berasal dari pengetahuan dan pandangan
dasar mengenai hakikat hidup manusia. Di antaranya asumsi
mengenai hakikat keunggulan potensi dari dalam diri (innate
potential excellence), yang oleh Norton (1976) disebut se-
bagai daimons, yaitu kekuatan dari dalam diri yang menjadi
keharusan hidup sekaligus memberi arahan untuk mencapai eu-
daimonia (kebahagiaan).
Asumsi mengenai daimons sebagai kata benda, dapat
dijumpai implikasinya sebagai kata kerja, yaitu kebajikan
(virtue) dalam etika humanistik Aristoteles dan Spinoza
(Erich Fromm, 1975). Menurut Aristoteles, norma kebajikan
adalah keunggulan (execellency ) dari hakikat manusia; dan
kebajikan itu tidak lain adalah aktivitas penggunaan fungsi
dan kapasitas yang khas dari manusia untuk mencapai kebaha-
26
8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf
2/50
27
giaan hidupnya. Tentang hal ini, Erich Fromm (1975: 34) me-
nulis sebagai berikut.
From the nature of man, Aristotle deduces the
norm "virtue" (excellence) is "activity," by whichhe means exercise of the functions and capacitiespeculiar to man. Happiness, which is man's aim,is the result of "activity" and "use"; it is notquiescent possesion.
Kutipan ini menunjukkan bahwa kebajikan adalah iden-
tik dengan upaya perealisasian diri manusia, pengungkapan
berbagai potensi yang spesifik, agar manusia menjadi lebih
manusiawi, kaffah, dan mencapai fitrah dan citera diri se-
bagai ciptaanNya.
Pandangan di atas mengisyaratkan bahwa adalah suatu
tindakan melawan kebaiikanf bahkan kejahatan apabila dai>
rnons, potensi-potensi dari dalam diri manusia, serta berba-
gai fungsi dan kapasitas unggul yang khas pada manusia di-
biarkan merana dan tidak dibantu dalam pertumbuhannya; si-
kap dan tindakan seperti itu sama dengan mengingkari haki-
kat manusia sebagai ciptaan Allah yang sungguh baik adanya.
Dengan mengutip Spinoza, Erich Fromm (1975: 35) mengemuka-
kan,
Virtue is the unfolding of the specific poten-tialities of every organism; for man it is the
state in which he is most human. By good, conse-quently, Spinoza understands everything "which weare certain is a means by which we may approachnearer and nearer to the model of human nature.He set before us"(italics mine). By evil he under-
8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf
3/50
28
stands "everything" which we are certain hindersus from reaching that model.
Dalam konteks pemikiran di atas, maka kreativitas
sebagai potensi dan upaya perealisasiannya mempunyai makna
hakiki yang tidak sekedar pemenuhan kebutuhan tingkat ba-
wah, yaitu Kebutuhan defisien (Maslow, 1970) yang berorien-
tasi kepada kepuasan hedonis, melainkan untuk memenuhi ke-
butuhan tingkat tinggi, yaitu kebutuhan-menjadi-hidup (be-
ing needs), kebutuhan-meniadi-manusias (Jbecoming man) yang
berorientasi kepada pencapaian kebahagiaan (happiness)
(Maslow, 1970; Rogers, 1961,1980; Erich Froram, 1976), baik
yang bersifat dunia sekarang (Diesseitig) maupun dunia se-
berang, akhirat (Jenseitig).
Dengan demikian, setiap kebajikan yang diupayakan
manusia bagi sesamanya, khususnya dalam memberi makna kepa-
da potensi kreatif yang dimiliki melalui pendidikan dan
bimbingan, bukanlah pertama-tama sebagai pertanggungjawaban
teknis terhadap rumusan kurikuler atau pertanggungjawaban
sosial sehubungan dengan kebijakan pendidikan, melainkan
yang utama dari semuanya itu adalah pertanggungjawaban eti-
ka humanistik mengenai eksistensi anak manusia dalam proses
memanusia, menjadi kaffah, mencapai kebahagiaan yang di-
ridlohi Allah Swt.
Pokok-pokok pikiran di atas inilah yang menjadi acu-
an sekaligus pendorong ke arah penelaahan yang lebih menda-
8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf
4/50
29
lam mengenai masalah pengembangan kreativitas anak didik
yang tengah menjalani layanan kebajikan dari sekolah mene-
ngah.
B. Berbagai Pendekatan Studi dan Teori Kreativitas
1. Pendekatan-Pendekatan dalam Studi Kreativitas
Studi tentang kreativitas dapat dilakukan dari segi
pendekatan apa yang menjadi pusat perhatian serta model
teoretis mana yang digunakan untuk menjelaskannya.
Beberapa pakar (Rhodes, 1961; Welsh, 197 2; MacKin-
non, 1975; Utaroi Munandar, 1977; 1988) mengemukakan bahwa
dalam berbagai pustaka paling sedikit ditemukan lima tipe
studi kreativitas, dengan penekanan masing-masing kepada
perspektif pribadi r proses, produk, pendorong dan tempat di
mana kreativitas itu diwujudkan. Kelima perspektif studi
kreativitas itu dapat dijabarkan dalam bentuk pertanyaan:
(1) siapa pribadi kreatif; (2) bagaimana kreativitas itu
terwujud; (3) apa yang disebut kreatif; (4) mengapa tindak-
an kreatif timbul, dan (5) di mana kreativitas diungkap. '
a. Studi yang berorientasi pada pribadi kreatif
Sebenarnya. stud^^Spi kreativitas pada awalnya me-
musatkan perhatian kepada ciri-ciri pribadi kreatif. Studi
ini mulai dirintis oleh Francis Galton di Inggeris dengan
penelitian terhadap faktor genetika dan kualitas orang-
orang unggul (genius) yang dilaporkan dalam bukunya yang
8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf
5/50
30
terkenal Hereditary Genius (1869). Penelitian serupa dilan-
jutkan oleh Catherine Cox dengan menelaah data biografis
dari sekitar 300 orang-orang unggul (genius) terdiri atas
pemimpin besar, ilmuwan, dan seniman. Studinya yang dila-
porkan dalam buku Genetic Studies of Genius: Vol II. The
Early Mental Traits of Three Geniuses (1926) menyimpulkan
bahwa orang-orang unggul ini tidak saja memiliki kemampuan
intelektual yang superior, tetapi juga ciri-ciri mental
kreatif, persisten dalam motif dan usaha, yakin akan kemam-
puan dan memiliki watak yang kuat (Terman, 1973).
Sejak tahun 50-an studi yang sistematis mengenai
pribadi kreatif telah dilakukan berturut-turut oleh sejum-
lah pakar berikut ini. Anne Roe (1952) dalam penelitiannya
terhadap 64 ilmuwan unggul dalam bidang biologi, fisika dan
ilmu sosial (psikologi dan antropologi) yang diperiksa de-
ngan tes Rorschach dan Thematic Apperception Test (TAT),
menemukan bahwa meskipun tiap ilmuwan mempunyai ciri krea-
tif- yang spesifik sesuai dengan bidangnya, tetapi mereka
memiliki sifat umum yang sama, yaitu sikap kemandirian pri-
badi yang tinggi, peka dan terbuka kepada pengalaman, ori-
sinal dan berani dalam gagasan. Frank Barron (1955) mempel-
ajari secara khusus kecenderungan orisinalitas berfikir 100
kapten pilot pesawat Angkatan Udara A.S. yang diperiksa de-
ngan delapan jenis tes di antaranya tiga subtes kreativitas
yang dikembangkan Guilford, tes proyektif Rorschach, TAT
8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf
6/50
31
dan tes yang dikembangkannya berdasarkan tes gambar Welsh
(The Barron-Welsh Art Scale of Welsh Figure Preference
Test). Dari penelitian itu Barron menyimpulkan bahwa kecen-
derungan orisinalitas dari pribadi kreatif ditandai oleh
kemandirian dalam penilaian, bebas berekspresi, tegas, dan
dominan. MacKinnon (1962) meneliti 124 arsitek yang amat
kreatif, yang diperoleh melalui nominasi oleh suatu panel
ahli yang terdiri dari lima guru besar arsitektur, dengan
menggunakan Gough Adjective Check List, Q-sort. dari Block,
Concept Mastery Test dari Terntan, dan Study of Values dari
Allport-Vernon-Lindzey; ia menyimpulkan paling sedikit
sembilan ciri pribadi dari arsitek kreatif, yaitu (1) inte-
ligensi efektif yang tinggi, (2) keterbukaan kepada penga-
laman, (3) bebas dari hambatan, (4) kepekaan estetik, (5)
fleksibilitas kognitif, (6) bebas dalam pemikiran dan tin-
dakan; (7) energetik, (8) komitmen kepada usaha-usaha krea-
tif, (9) terus menerus berjuang untuk memecahkan masalah
secara kreatif. Cattell & Butcher (1968) meneliti faktor-
faktor kepribadian yang menonjol dari 144 il-muwan kreatif,
yakni 46 fisikawan, 46 biologiwan, dan 52 peneliti psikolo-
gi, dengan menggunakan tes kepribadian 16 faktor (The 16 PF
Questionnaire) . Dari hasil pembandingan dengan kelompok
profesional yang berhasil dalam suatu okupasi rutin, dite-
mukan bahwa ciri pribadi yang menonjol dari ilmuwan kreatif
adalah amat kritis, intelektualitas yang tinggi, serius,
8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf
7/50
32
dominan, berani, dan memiliki kesahajaan diri (self-suffi-
cient j yang tinggi.
Delias dan Gaier (1970) setelah memeriksa kembali
lebih dari dua lusin studi mengenai karakteristik pribadi
kreatif, menyimpulkan bahwa pribadi kreatif ditandai oleh
ciri-ciri (1) independensi dalam sikap dan perilaku sosial,
(2) dominan, (3) introversi, (4) keterbukaan kepada rang-
sangan dari luar, (5) memiliki minat yang luas dalam berba-
gai masalah, (6) penerimaan diri, (7) intuitif, (8) fleksi-
bel, (9) tenang dan peduli kepada masalah sosial, (10) cen-
derung memiliki sikap asosial, (11) tidak peduli kepada
norma-norma sosial, (12) radikalisme, dan (13) menolak rin-
tangan dari luar.
Di Indonesia, penelitian yang memusatkan kepada ka-
rakteristik pribadi kreatif telah diawali oleh Utami Munan-
dar (1977), meskipun baru terbatas kepada penilaian (rat-
ing) teoretis yang dilakukan 30 psikolog. Dari penelitian
itu, ciri-ciri pribadi kreatif sesuai urutannya adalah (1)
imaginatif, (2) penuh inisiatif, (3) memiliki minat yang
luas, (4) bebas dalam berfikir, (5) ingin tahu, (6) menye-
nangi petualangan, (7) energetik, (8) percaya diri, (9)
bersedia mengambil resiko, (10) berani dalam keyakinan. Pe-
nelitian lain telah dilakukan oleh Dedi Supriadi (1985) de-
ngan menelaah sejumlah pustaka yang membahas mengenai ka-
rakteristik pribadi kreatif. Dari kajian itu disimpulkan
8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf
8/50
33
sekitar 20 karakteristik pribadi kreatif, yaitu (1) memili-
ki rasa ingin tahu, (2) percaya pada diri sendiri dan man-
diri, (3) bebas dalam berfikir, tidak kaku atau terhambat,
(4) lentur dalam berfikir dan berespon, (5) penuh semangat,
(6) berani mengambil resiko, (7) mempunyai pendapat sendiri
dan tidak mudah terpengaruh, (8) mempunyai toleransi kepada
keadaan mendua, perbedaan pendapat, keadaan tak terstruktur
dan kompleks, (9) tidak kehabisan akal dalam memecahkan ma-
salah, (10) memiliki komitmen kuat kepada tugas, (11) tidak
mudah bosan dan putus asa, (12) memiliki kepekaan terhadap
masalah-masalah di lingkungan, (13) sikap kritis terhadap
semua keadaan di sekitar, (14) senang mempermainkan dan
mengotak-atik berbagai unsur yang ada di sekitar, (15) ter-
buka kepada pengalaman baru dan tidak biasa, (16) berkemau-
an teguh, tekun dan berambisi kuat meraih keberhasilan da-
lam suatu usaha, (17) gemar mengajukan gagasan-gagasan ori-
sinal untuk memecahkan suatu masalah, (18) kaya akan ini-
siatif untuk memecahkan suatu masalah, (19) menyukai petua-
langan dalam aktivitas dan gagasan, (20) mempunyai minat
yang tinggi kepada usaha-usaha kreatif.
Sebenarnya studi empiris yang memusatkan perhatian
intensif terhadap ciri-ciri pribadi, kreatif di Indonesia
untuk pertama kali dilakukan oleh Dedi Supriadi (1989) de-
ngan penelitiannya kepada 125 ilmuwan yunior dan studi ka-
sus kepada tiga ilmuwan senior. Penelitian itu menyimpulkan
8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf
9/50
34
bahwa beberapa ciri pribadi kreatif hasil temuan Anne Roe
(1952), Barron (1955), MacKinnon (1962), Cattell & Butcher
(1968), ternyata mempunyai kesamaan dengan ciri-ciri priba-
di kreatif ilmuwan yunior dan senior di Indonesia, yaitu
memiliki rasa ingin tahu yang besar, kaya akan gagasan,
imaginatif, mandiri, nonkonformis, gigih dalam mewujudkan
cita-cita, bekerja keras, peka terhadap masalah. percaya
diri, optimistik, berfikir positif, berwawasan masa depan,
menyukai kompleksitas dan hal-hal yang penuh tantangan, be-
rani mengambil resiko, bekerja berdasarkan motivasi intrin-
sik, penuh dedikasi dan devosi terhadap pekerjaannya.
b. Studi yang berorientasi pada produk )creatif
Studi kreativitas yang memusatkan perhatian pada
produk kreatif ini secara formal mulai diperkenalkan Ghise-
lin (1963) dan McPherson (1963) ketika keduanya mengajukan
usul mengenai kriteria akhir (ultimate criteria) dalam
pengukuran kreativitas. Mereka berpendapat bahwa mestinya
kreativitas itu tidak hanya menyangkut soal kemampuan atau
perilaku, melainkan juga harus menyangkut produk yang diha-
silkan. Hal ini didasarkan kepada rumusan bahwa tindakan
kreatif tidak lain adalah mengubah dunia makna kepada unsur
makna atau tatanan makna baru yang signifikan (Ghiselin,
1963: 42).
Gagasan serupa juga diajukan Barron (1965) berdasar-
kan rumusannya bahwa kreativitas adalah kemampuan mengha-
8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf
10/50
35
silkan sesuatu yang baru ke dalam eksistensi (to bring so-
mething new into existence). Atas dasar itu, Barron (1969)
mencoba mengembangkan skala untuk menilai produk kreatif di
bidang ilmu (Creative Science Scale), dengan kriteria: me-
nyajikan makalah orisinal pada pertemuan keilmuan yang di-
sponsori oleh masyarakat profesional, mendapatkan penghar-
gaan dalam suatu penelitian keilmuan, merancang suatu pola,
disain, atau instrumen keilmuan atas inisiatif sendiri, me-
nemukan alat yang dipatenkan, dan mempunyai makalah yang
dipublikasikan dalam jurnal keilmuan. Barron mengasumsikan
bahwa bila produk kreatif yang dijaring oleh skala ini di-
lakukan dengan prosedur yang cermat dan andal, maka dengan
sendirinya ciri-ciri produk kreatif seperti baru, orisinal,
unik, memadai, inovatif, dan relevan akan dicakup secara
implisit oleh skala itu.
Studi yang memusatkan perhatian pada produk kreatif
ini mengalami kesulitan apabila penilaian semata-mata di-
dasarkan kepada kuantifikasi karya kreatif seseorang dalam
bidang tertentu tanpa penelaahan yang cermat terhadap mutu
kreatif karya itu (Shapiro, 1968).
Baik Ghiselin, McPherson, maupun Barron mengajukan
paling sedikit tujuh karakteristik untuk menilai mutu pro-
duk kreatif, yaitu (1) bersifat baru (newness), meskipun
hasil karya itu merupakan kombinasi dari unsur-unsur yang
sudah ada sebelumnya; (2) asli (original) dalam arti hasil
8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf
11/50
36
karya itu bukan klise atau tiruan semata-mata; (3) lain da-
ri yang lain (unusual), dalam arti hasil karya itu mempu-
nyai sifat menarik, unik dan menyenangkan, (4) inovatif,
dalam arti menimbulkan pembaharuan bagi lingkungannya, (5)
mempunyai nilai sosial, dapat diterima dan bermanfaat dalam
memenuhi kebutuhan, (6) memadai dalam arti efisien, efek-
tif, dan produktif dalam pemecahan masalah, (7) kompetitif
dalam arti dapat bersaing dengan produk kreatif lain dan
tidak usang (tidak mengalami mimesis) oleh waktu.
Dalam studi lain, Jackson & Messick (1965) secara
sederhana mengajukan hanya empat kriteria untuk menilai
suatu produk apakah bermutu kreatif atau bukan, yaitu (1)
produk itu baru, (2) tidak lazim , (3) unik, dan (4) mema-
dai .
c. Studi yang berorientasi kepada proses kreatif
Tipe studi ini menganggap bahwa kreativitas bukanlahsemata-mata perilaku yang muncul dengan tiba-tiba ataupun
warisan biologis yang menjelma secara temporal dalam kehi-
dupan seseorang, melainkan suatu proses interaksi yang kom-
pleks antar berbagai unsur dari dalam diri manusia (kondisi
fisik, biogenetik, bakat, kemampuan kognitif, pengalaman,
minat, emosi, sikap, nilai-nilai, dan keterampilan) dan
lingkungannya baik secara horisontal maupun developmental
(Crutchfield, 1973). Interaksi secara horisontal artinya
proses kreatif itu terjadi dalam suatu ruang dan kurun wak-
8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf
12/50
37
tu tertentu melibatkan proses-proses persepsi, internalisa-
si, interpretasi, imaginasi, ekspresi, proyeksi, dan aktua-
lisasi. Secara developmental artinya proses kreatif itu me-
rupakan interaksi kompleks dari tahapan kematangan pertum-
buhan berbagai fungsi dan tugas-tugas perkembangan sese-
orang dalam berbagai aspek biologis, intelektual, emosio-
nal, sosial, dan moral.
Graham Wallas (1926, 1976) dalam penelitiannya mengi-
dentifikasi empat tahap dalam proses kreatif, yaitu (1) ta-
hap persiapan. yang mengacu kepada kondisi kemampuan, ba-
kat, minat dan akumulasi pengalaman seseorang sebagai pra-
syarat dari proses kreatif; (2) inkubasi yaitu tahap di ma-
na berbagai informasi, pengalaman, gagasan mengalami peng-
endapan dan pengeraman; (3) iluminasi yaitu tahap di mana
seseorang mengalami semacam pencerahan, suatu kesadaran ba-
ru, disebut pengalaman "Aha" dalam menemukan gagasan baru;
dan (4) verifikasi, yaitu tahap menguji gagasan kreatif.
yTaylor (1975) mengemukakan bahwa proses kreatif ada-
lah proses transformasi antara individu dengan lingkungan-
nya yang terjadi melalui fase-fase: (1) eksposure, yaitu
keterbukaan dan kepekaan individu terhadap lingkungan;
mengasimilasi dan mengakomodasi informasi; mengelompokkan
(homogenisasi), memisahkan (diferensiasi) dan menghubungkan
(integrasi) berbagai informasi; (2) pradivercren. fase di
mana berbagai masukan mengalami suatu ledakan yang memen-
8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf
13/50
38
car. Fase ini ditandai oleh interaksi alamiah dari data,
inkubasi yang tidak disadari, induksi, dan mungkin suatu
pengalaman informasi yang melimpah; (3) sesudah pradiver-
gen, muncul fase konversi, yaitu saat-saat terjadi kesadar-
an baru (insight) atau transaksi perseptual; keadaan ini
disebut juga sebagai fase "Eureka", atau saat reformulasi
di mana pembalikan, pemakaian berlawanan, berfikir lateral,
analogi, dan metafora dapat terjadi; saat ketiba-tibaan
atau munculnya kilasan gagasan baru (flash of new idea);
(4) pascadivergen, suatu fase di mana gagasan yang muncul
pada fase konversi, masih bebas dibentuk melalui deduksi,
inferensi, verifikasi atau ekstrapolasi gagasan; (5) eks-
presi , fase akhir di mana gagasan kreatif itu diimplemen-
tasikan dan dikomunikasikan.
Dari hasil studi biografis terhadap tiga ilmuwan
unggul dan senior di Indonesia, Dedi Supriadi (1989) mene-
mukan empat tahap dalam proses perkembangan kreativitas ke-
ilmuan, yaitu (1) periode formatif, yaitu saat-saat di mana
seseorang mengalami pembentukan diri melalui pendidikan,
pengalaman pribadi, tantangan lingkungan dan semangat zaman
(Zeitgeist) yang dihidupinya; (2) periode embrionik, saat
di mana pemikiran dan gagasan-gagasan kreatif keilmuan mu-
lai melembaga (membentuk embrio); (3) periode produktif,
saat di mana gagasan-gagasan kreatif keilmuan mulai menun-
jukkan manfaatnya bagi perkembangan ilmu dan teknologi ser-
8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf
14/50
39
ta kehidupan masyarakat; (4) periode nonproduktif, saat di
mana gagasan-gagasan kreatif mulai menurun, baik jumlah
maupun mutunya.
Dalam berbagai pustaka ditemukan bahwa studi dan pe-
nelitian yang berorientasi pada proses kreatif, sebenarnya
lebih banyak memusatkan perhatian pada fungsi-fungsi kogni-
tif dan intelektual individu, khususnya proses berfikir dan
memecahkan masalah secara kreatif (Osborn, 1953, Guilford,
1968; Torrance, 1965; Dirkes, 1977; Firestien & Treffinger,
1983; Parnes, 1967; Parnes, Noller & Biondi, 1977). Studi
yang sistematis mengenai struktur kemampuan intelektual dan
dianggap telah memberikan daya dorong yang besar terhadap
penelitian proses berfikir kreatif telah dilakukan oleh
Guilford (1956) dan kawan-kawannya pada awal tahun 1950-an.
Studi yang memusatkan perhatian pada proses berfikir
kreatif dalam kenyataannya merupakan basis penting dalam
upaya merintis cara-cara yang lebih ilmiah untuk mengem-
bangkan kreativitas individu melalui pendidikan dan bim-
bingan (Torrance, 1976, 1965; Munandar, 1985, 1977; Crutch-
field, 1973).
d. Studi yang berfokus pada pendorong kreativitas
Tipe penelitian ini lebih mengarahkan perhatian ke-
pada aspek motivasi dari dalam diri seseorang yang mendo-
rong atau menghambat perwujudan kreativitas. Utami Munandar
(1977: 26) membedakan dua pandangan berbeda mengenai moti-
8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf
15/50
40
vasi kreativitas, yaitu yang berorientasi negatif, yang
mengganggap bahwa perilaku kreatif bersumber dari impuls-
impuls yang tidak dapat diterima dan tersembunyi; dan yang
berorientasi positif, yang menganggap bahwa kreativitas
sebagai hasil alamiah dari realisasi dan ekspresi potensi
manusia yang tertinggi. Pandangan yang pertama muncul dari
kalangan psikoanalitik (Kubi, 1958; Kris, 1952;) sedangkan
yang terakhir dimunculkan oleh kaum humanistik (Maslow,
1976, 1970; Rogers, 1976). Yang terakhir ini antara lain
mengemukakan bahwa aktualisasi kreativitas sebagai puncak
dari aktualisasi diri tergantung kepada kondisi: keterbuka-
an, kebebasan, keberanian, spontanitas, keaslian, penilaian
dari dalam, serta kemampuan memainkan beragam unsur, gagas-
an, dan konsep-konsep.
e. Studi yang berfokus kepada ruang dan waktu
Tipe penelitian ini memandang bahwa ruang yaitu
lingkungan, baik fisik, geografis maupun sosial budaya,
serta suasana zaman merupakan sumber yang melahirkan krea-
tivitas. Seseorang akan menjadi lebih kreatif dalam menga-
tasi setiap masalah pemenuhan kebutuhan hidup apabila di-
hadapkan pada kondisi dan suasana lingkungan yang menantang
(Arieti, 1976).
Simonton (1978; 1975) adalah seorang peneliti yang
secara sistematis menelaah mengenai konteks sosial-budaya
dari kreativitas individual. Dari penelitiannya yang inten-
8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf
16/50
41
sif itu, Simonton menemukan sekurang-kurangnya tujuh ciri
lingkungan sosial budaya yang memunculkan kreativitas in-
dividual , yaitu (1) keterdidikan secara formal, (2) keter-
sediaan model peran; (3) suasana dan semangat zaman (Zeit-
geist ) , (4 ) fragmentasi politis , (5) tekanan konflik dan
perang, (6) gangguan sosial, (7) ketidakstabilan politis.
Pada intinya, lingkungan dan semangat zaman itu me-
muat kondisi yang menantang individu, sekaligus memberi ke-
sempatan, kebebasan dan rasa aman untuk mewujudkan perilaku
kreatifnya (Dedi Supriädi, 1989).
2. Berbagai Model Teori Kreativitas
Penelitian kreativitas dapat pula didekati menurut
model-model teori tertentu. Treffinger (1980), Taylor
(1975) dan Bloomberg (1973) mengemukakan paling sedikit li-
ma model teori yang digunakan untuk mempelajari kreativi-
tas, meskipun kebanyakan di antaranya lebih bersifat tum
pang-tindih. Kelima model teori itu adalah sebagai berikut.
a. Model psikoanalitik (Kubi, 1958, Kris, 1952,
Lee, 1940) memandang bahwa proses dan perilaku kreatif ada-
lah fungsi dari kekuatan-kekuatan konfliktual dari dalam
diri yang tidak tidak disadari. Apabila kekuatan-kekuatan
itu tidak disublimasi atau diproyeksikan ke dunia realitas
melalui peran ego, maka individu akan mengalami tekanan
yang membahayakan kesehatan mentalnya.
8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf
17/50
42
b. Model humanistik (Maslow, 1976, 1970; Rogers,
1976) lebih melihat kreativitas sebagai fungsi aktualisasi
potensi diri yang tertinggi pada manusia pada setiap manu-
sia. Kreativitas itu tidak hanya sekedar prestasi, tetapi
lebih mengacu kepada mutu watak pribadi seperti keterbuka-
an, kebebasan, keberanian, spontanitas dan keaslian diri,
yang pengungkapannya menunjukkan berfungsinya pribadi seca-
ra penuh (fully functioning person).
c. Model faktor dan sifat atau psikometrik (Guil-
ford, 1973, 1967, 1959, 1956; Wallach dan Kogan, 1976,
1965) terutama memandang kreativitas sebagai fungsi berba-
gai faktor dan ciri kemampuan mental, intelektual individu.
Ciri-ciri dan faktor kemampuan individual itu dapat diamati
melalui proses-proses berfikir secara divergen, konvergen,
menghayati, merasakan dan terungkap melalui berbagai kate-
gori; bahasa, simbol, gambar dan perilaku motorik.
d. Model asosianistik (Mednick, 1962; Koestler,
1964) memandang kreativitas sebagai proses pembentukan ber-
bagai unsur secara asosiatif menjadi kombinasi-kombinasi
baru. Model ini mendasarkan pandangannya kepada asumsi bah-
wa tidak ada sebuah eksistensi yang sama sekali baru; se-
suatu yang baru itu pada dasarnya hanyalah gabungan, rang-
kaian atau penyatuan unsur-unsur lama yang sudah ada sebe-
lumnya .
8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf
18/50
43
e. Model kognitiff rasional (de Bono, 1988; Tor-
rance, 1980, 1965; Taylor, 1975, 1970; Guilford, 1968,
1959, 1956; Hersch, 1973; Schachtel, 1973; Osborn, 1953;
Parnes, 1967; Parnes, Noller & Biondi, 1977) mencoba me-
nerangkan kreativitas sebagai proses dan fungsi berbagai
kemampuan kognitif, khususnya kemampuan berfikir kreatif
dalam pemecahan masalah. Beberapa varian dari model ini
mendasarkan teorinya kepada asumsi bahwa kreativitas itu
adalah proses dan sekaligus hasil belajar individu terha-
dap lingkungan (Torrance, 1980; Feldhusen & Treffinger,
1977; Treffinger, 1980; Treffinger & Johnston, 1980).
C. Pendekatan Studi, Teori dan Rumusan Kreativitas yang
menjadi Acuan dalam Penelitian Ini
1. Pendekatan Studi Kreativitas
Sebagaimana dikemukakan pada bab I, penelitian ini
memusatkan penelaahan kreativitas pada segi proses. Pemi-
lihan pendekatan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa de-
ngan memahami, mengamati dan menjelaskan berbagai unsur
yang terlibat dalam proses kreativitas secara ilmiah, maka
dapat dikembangkan langkah-langkah pendidikan dan bimbingan
yang lebih efektif untuk memperbaiki dan meningkatkan mutu
kreativitas individu. Dalam hubungan ini Crutchfield menu-
lis :
8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf
19/50
44
Through scientific study of the creative pro-cess, study of what actually goes on when the in-dividual thinks creatively in solving problems, wecan better understand how to measure creativity.We can better understand what personality charac-teristics make individuals more likely to create.... And we can better understand the means bywhich capacity for creative thinking may be fos-tered or trained in individual. (Crutchfield,1974: 54).
j Dalam bidang pendidikan, menurut Hurlock (1972),
konsep sentral kreativitas terletak kepada tindakan mengha-
silkan (act of producing) dari pada hasil akhir (end re-
sult) itu sendiri. Tindakan menghasilkan adalah suatu pro-
ses aktivitas dari dalam diri individu yang melibatkan ber-
bagai dimensi kemampuan: intelektual, intuisi, emosional,
inderawi, behavioral; dan sesungguhnya dapat dipelajari
serta diperbaiki kinerjanya melalui program pendidikan dan
bimbingan kreativitas di sekolah (Torrance, 1980, 1965;
Yelon & Weinstein, 1976; Foster, 1971).
Dengan mengacu kepada gagasan Crutchfield (1973: 54-
55), maka sekurang-kurangnya ada lima anggapan yang menda-
sari pendekatan proses kreatif dalam studi ini. Pertama f
proses kreatif bukanlah sesuatu yang misterius dan tidak
dapat ..dianalisis. Seperti proses psikologis lainnya, proses
kreatif dapat diamati melalui respon verbal, gambar, lam-
bang, ataupun perilaku yang ditampilkan terhadap stimulus
tertentu. Kedua, proses kreatif bukanlah berjalan sendiri,
melainkan suatu proses motivasi dan kognisi yang kompleks
8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf
20/50
45
dalam diri individu, yang melibatkan kemampuan menghayati,
mengingat, berfikir, membayangkan, mengelompokkan, memisah-
kan , menghubungkan, menilai, memutuskan dan seterusnya.
Ketigar proses kreatif ditemukan pada setiap orang, tidak
hanya pada orang-orang tertentu. Sebab itu setiap orang da-
pat berperilaku kreatif sesuai proses motivasional dan kog-
nitif yang relevan dalam dirinya. Keempatf setiap individu
memiliki tingkat kapasitas kreatif yang berbeda-beda. Per-
bedaan ini juga turut mempengaruhi proses kreatif yang ter-
cermin dalam kemampuan berfikir dan memecahkan masalah se-
cara kreatif. Kelima, proses kreatif ditandai oleh berfung-
sinya kemampuan-kemampuan berfikir divergen, lateral,
unik, orisinal, dan tidak biasa, yang didukung oleh proses
motivasional, dan mempunyai basis pada kemampuan kognisi,
berfikir konvergen, ingatan, dan kemampuan evaluasi.
2. Model Teori Kreativitas Acuan Penelitian
Dari kelima model teori kreativitas yang dikemukakan
pada bagan B butir 2 di atas, maka penelitian ini memilih
aodel teori kognitif sebagai acuan untuk mempelajari model
perlakuan yang efektif dalam rangka pengembangan kreativi-
tas peserta didik di sekolah. Pemilihan model teori kogni-
tif ini didasarkan pada beberapa pertimbangan berikut ini.
Pertama, secara umum model teori-teori kognitif melandaskan
pandangannya mengenai kreativitas sebagai fungsi dinamik
8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf
21/50
46
dan interaktif dari perkembangan kognitif individu (Hersch,
1973). Pandangan ini menunjukkan bahwa kreativitas tidak
hanya semata-mata akibat, tetapi juga dapat memekarkan
fungsi-fungsi kognitif yang lain. Keduaf sebagian besar mo-
del teori kognitif memusatkan perhatiannya kepada kemampuan
berfikir dan memecahkan masalah secara kreatif. Di samping
itu, model kognitif juga memberi tempat kepada prosedur
psikometris untuk memahami berbagai faktor kemampuan kogni-
tif , termasuk kemampuan berfikir kreatif (Guilford, 1968;
Torrance, 1974).
Dari berbagai pustaka, ditemukan bahwa model kogni-
tif untuk menjelaskan kreativitas ternyata masih mempunyai
beberapa varian yang akan dijelaskan berikut ini.
a. Kreativitas sebagai fungsi perkembangan kognitif
Model teori kognitif dalam studi kreativitas yang
berorientasi kepada fungsi perkembangan sistem kognitif se-
benarnya mempunyai tiga subvarian, yaitu yang menekankan
kreativitas sebagai fungsi adaptasi manusia dengan ling-
kungan; yang menekankan kreativitas sebagai fungsi perkem-
bangan kognitif dan perkembangan diri (ego) secara integra-
tif; dan yang menekankan kreativitas sebagai fungsi penga-
laman perseptual yang bersifat holistik.
Subvarian pertama, yaitu model yang menekankan krea-
tivitas sebagai fungsi adaptasi manusia terhadap lingkungan
terutama mengacu kepada teori kognitif yang dipelopori oleh
8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf
22/50
47
Piaget (1988, 1956) dan para pengikutnya (Inhelder, 1958;
Furth, 1970). Menurut teori ini, kreativitas adalah fungsi
asimilasi dan akomodasi secara komplementer, dalam rangka
pembentukan pengetahuan sebagai skhemata tindakan, untuk
mencapai ekuilibrium. Dalam proses asimilasi, data dan in-
formasi dari lingkungan dimasukkan dalam struktur kognitif
internal, disesuaikan dengan skhema tindakan dan struktur
mental yang mendahului (a given situation). Dalam proses
ini, yang terutama menurut Furth (1970: 17) adalah what is
essential to all knowing , dan hal itu berhubungan dengan
prinsip sameness, communality , dan generalization. Sedang-
kan dalam proses akomodasi, struktur internal kognitif
(skemata) dimodifikasi sedemikian rupa disesuaikan dengan
tuntutan lingkungan. Yang berperan di sini terutama adalah
what is particular, new, and different.
Secara sederhana dapat dikemukakan bahwa proses asi-
milasi itu mengendapkan pengalaman dan kerangka pengetahuan
acuan bagi kemungkinan modifikasi skemata tindakan (fungsi
akomodatif) dalam menghadapi situasi atau kebutuhan baru.
Teori dasar ini dapat dilihat pada gambar II-1.
Dari teori dasar kognitif di atas, maka ada dua
prinsip penting yang perlu diperhatikan dalam rangka pe-
ngembangan kreativitas individual. Pertama, pengalaman dan
pengetahuan seseorang yang diferensiatif sangat penting da-
lam proses reorganisasi dan restrukturisasi skemata tindak-
8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf
23/50
48
ASIMILASI
SKEMATATINDAKAN(ACUAN)
KR
EATIVITAS
AKOMODASIHhat is particular,
new> and different
Gambar II -l. Model Dasar Kreativitas menurut Kerangka
Teori Kognitif
an menghadapi tuntutan baru dari lingkungan; di sinilah di-
mensi berfikir kreatif inhaeren dalam proses diferensiasi,
organisasi, dan integrasi struktur kognitif. Kedua, proses
skemata kognitif dapat berubah, melalui reorganisasi dan
reintegrasi, kearah struktur yang lebih diferensiatif, apa-
bila pengetahuan sebelumnya sebagai kerangka tindakan meng-
alami perubahan bentuk akomodatif. Proses akomodasi secara
sengaja itu dapat lebih ditingkatkan melalui belajar.
Kedua, subvarian yang menekankan kreativitas sebagai
fungsi yang integral antara perkembangan kognitif dan per-
kembangan diri. Teori ini dikembangkan oleh (Gowan, 1974,
1980) yang didasarkan kepada teori perkembangan diri yang
berorientasi afektif dari Erikson dan teori perkembangan
8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf
24/50
49
kognitif dari Piaget. Menurut Gowan (1980) tahap-tahap per-
kembangan diri (afektif) Erikson dan perkembangan kognitif
Piaget saling terkait dalam perkembangannya. Sebelumnya
Piaget mengajukan lima tahap perkembangan kognitif, yaitu
tahap sensorimotor, praoperasional, dan intuitif pada masa
bayi dan kanak-kanak, serta tahap operasi kongkrit dan ope-
rasi formal pada masa usia sekolah, memasuki masa rema j a.
Tahap-tahap itu mempunyai kesetaraan posisi dengan tahap-
tahap afektif dari Erikson, yaitu tahap kepercayaan melawan
ketidakpercayaan, mandiri melawan rasa malu dan ragu-ragu,
inisiatif melawan rasa salah, rajin melawan rasa rendah di-
ri, identitas melawan kekaburan peran. Dari tahap-tahap
perkembangan itu, Gowan (1974) menambahkan tiga tahap per-
kembangan sebagai ekstensi dari lima tahap Piaget, yaitu
tahap kreativitas, psikedelia, dan iluminasi. Ketiga tahap
itu mempunyai kesetaraan dengan tahap-tahap afektif dari
Erikson, yaitu keakraban, generativitas, dan integritas di-
ri .
Model tahap perkembangan kreativitas menurut Gowan
itu dapat dilihat pada tabel II-l pada halaman berikut ini.
Dari periodisasi perkembangan itu menurut Gowan
(1980) ada tiga tahap kritis yang sangat penting diperhati-
kan dalam rangka intervensi pendidikan dan bimbingan. Per-
tama adalah tahap inisiatif, yaitu pada usia empat sampai
enam tahun. Pada tahap ini anak mengembangkan rasa ingin
8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf
25/50
50
TABEL II-lTahap-tahap Perkembangan Periodik Erikson-Piaget-Gowan
nenurut Model Perkembangan Kreativitas Gowan
ATTENTIONAL KODES
DEVELOPMENTAL LEVELS
LATENCY(3) it, theyTHE WORLD
IDENTITY(1) I, »eTHE KO
CREATIVITY(2) thouTEE OTHER
INFA»
T
ERIKSOH(Affective)
PIAGET(Cognitive)
TRUST vs. MISTRUST
[1]
SENSORIMOTOR vs.CHAOS
AUTONOMY vs. SHAMEAND DOUBT
[2]PREOPERATIONAL vs.
AUTISM
INITIATIVE vs GOILT
[3]
INTUITIVE VS.IMMOBILIZATION
Y
0DTE
ERIKSOH
(Affective)
PIAGET(Cognitive)
INDUSTRY vs.
INFERIORITY[4]CONCRETE OPERATIONSvs. NONCONSERVATION
IDENTITY vs.
ROLE DIFFUSION15]FORMAL OPERATIONS
vs. DEMENTIA PRAECOX
INITIATIVE vs.
ISOLATION[6]CREATIVITY
VS. AUTHORITARIANISM
ADDLT
ERIKSOH(Affective)
PIAGET(Cognitive)
GENERATIVITY vs.STAGNATION
V]PSYCHEDELIA vs.CONVENTIONALISM
EGO INTEGRITY vs.DESPAIR
[8]ILLUMINATION vs.SENILE DEPRESSION
Suaber: J.C. Gouan (1974). The Development of the Psychedelic Individual. Buffalo, Heu York:Tbe Creative Education Foundation.
tahu, berinisiatif, berimaginasi dan berfantasi melalui ak-
tivitas bermain. Kedua, pada tahap kerajinan, yaitu tujuh
sampai 12 tahun, di mana terjadi creativity drop, yaitu
suatu gejala menurunnya kreativitas anak, karena energi
psikisnya diarahkan kepada tugas-tugas dan kegiatan belajar
di sekolah yang berpola konvergen. Ketiga, pada tahap iden-
titas, yaitu sekitar 13 sampai 18 tahun, di mana anak men-
jalani periode operasi formal dan pasca operasi formal da-
8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf
26/50
51
lam perkembangan intelektualnya. Gowan (1980) menyebut ta-
hap ini sebagai golden age dalam pengembangan kreativitas
individu. Dikatakan demikian karena pada periode tersebut,
proses kreatif anak mendapatkan dukungan dari perkembangan
kemampuan intelektual, yaitu berfikir formal, konseptual,
analitis, kritis, dan evaluatif; kemampuan hubungan sosial,
solidaritas, empati, kesadaran akan tatanan kehidupan so-
sial, serta nilai-nilai moral dan religius mulai terbentuk.
Oleh karena itu, proses berfikir kreatif anak pada masa ini
dapat dituntun dan dibelajarkan ke arah pemecahan masalah-
masalah dalam bidang keilmuan, seni, vokasi dan masalah
praktis lainnya dalam kehidupan sehari-hari.
Ketiga r subvarian yang menekankan kreativitas seba-
gai fungsi pengalaman perseptual yang bersifat holistik.
Teori ini dikembangkan oleh Taylor (1975), Schachtel
(1959), dan Arnheira (1954). Pada dasarnya teori kognitif
ini mengacu kepada pandangan psikologi Gestalt (Koffka,
1945; Kohler, 1947; Wertheimer, 1945) yang mencoba mengait-
kan kreativitas dengan konsep pemahaman (insight). Pandang-
an ini menganggap bahwa kreativitas adalah fungsi Gestalt
dalam memberi makna kepada bagian-bagian. Strukturisasi,
diferensiasi dan integrasi kognitif terjadi karena adanya
proses membuka diri (disclosure) terhadap medan yang diama-
ti dan pengakhiran (closure) di dalam mana suatu medan di-
strukturkan kembali untuk memulihkan harmoni dan mencapai
8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf
27/50
52
ekuilibrium.
Penelitian Arnhem (1954) menemukan bahwa orisinalitas
gagasan dan produk seni seseorang sebenarnya berakar pada
pengalaman-pengalaman perseptual yang melibatkan totalitas
diri, mulai dari pengalaman inderawi, perseptualisasi,
hingga kepada konseptualisasi dan pemaknaannya.
Ernest G. Schachtel (1973, 1959), seorang pelopor
teori kognitif-holistik dalam penelitian kreativitas, me-
ngemukakan bahwa kreativitas adalah metamorfosa dari peng-
alaman-pengalaman perseptual dan konseptual, yang perkem-
bangannya melalui dua tahap. Pertama, autosentrisitas, yai-
tu tahap persepsi dan pengalaman kreatif yang terpusat ke-
pada diri sendiri (self-centered stage), dan kedua, allo-
sentrisitas, yaitu tahap persepsi dan pengalaman kreatif
yang lebih matang, terpusat kepada obyek di luar diri (ob-
ject-centered stage). Konsep Schachtel di atas secara ske-
matis dapat dilihat dalam gambar II-2.
Menurut Schachtel (1973) pengalaman kreatif itu di-
mulai ketika indera seseorang mulai mengamati, meraba, men-
cium, mencicipi, dan menghayati lingkungannya secara total,
hingga kepada konseptualisasi dan abstraksinya secara dife-
rensiatif. Oleh karena itu, metamorfosa pengalaman yang
menghasilkan perilaku atau tindakan kreatif tergantung ke-
pada kesempatan (waktu), dan intensitas (seberapa sering)
pengalaman individu, yang berdimensi kognitif, intuitif,
8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf
28/50
53
I
autosentrisitas allosentrisitas>
Dimensi waktu
Gasfcar I1-2. Kreativitas sebagai Metasorfosa Pengalaman Persep-
tual dan Konseptu al menu rut Model Schac tel 1973)
afektif, dan inderawi berhubungan dengan lingkungannya. Te-
etapi keadaan ini hanya mungkin bila ada keterbukaan terha-
dap lingkungan atau obyek yang dipersepsi. Schachtel (1973)
mengemukakan bahwa keterbukaan persepsi terhadap obyek me-
rupakan syarat dasar bagi proses kreativitas. Ia menulis:
"... without openess toward the world, the experience will
not enlarge, deepen, and make more alive the person*s rela-
tion to the world, that is, will not be creative" (Schach-
tel, 1973: 302).
Beberapa prinsip penting yang disumbang oleh subva-
rian teori di atas untuk pengembangan kreativitas individu-
al adalah sebagai berikut. Pertama, proses kreatif pada se-
seorang memerlukan keterlibatan diri secara total, mulai
dari penginderaan, perseptualisasi, konseptualisasi hingga
kepada metamorfosa yang menghasilkan perilaku kreatif. Ke-
8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf
29/50
54
dua, pengalaman merupakan conditio sine quanon bagi proses
kreatif, yaitu metamorfosa pengalaman dari tahap autosen-
tris, yang berpusat kepada diri sendiri, ke tahap alosen-
tris, yang berpusat di luar diri. Ketiga, keterbukaan diri
terhadap lingkungan adalah kunci dari perluasan, pendalam-
an, dan peragaman pengalaman, dan memungkinkan terjadinya
konseptualisasi yang divergen, tidak lasim, unik, dan ori-
sinal .
b. Kreativitas sebagai fungsi Kemampuan berfikir
kreatif dan kemampuan asosiatif
Model teori kognitif dengan subvarian yang menekan-
kan kepada kreativitas sebagai fungsi kemampuan intelektual
dipelopori oleh J.P. Guilford dan kawan-kawannya pada awal
tahun 1950-an di Universitas Southern California. Dalam
penelitiannya, Guilford (1956) mempelajari secara psikomet-
ris mengenai kreativitas berdasarkan teorinya mengenai
struktur intelek manusia. Dalam teorinya itu Guilford meng-
ajukan tiga dimensi dalam struktur kemampuan intelektual
manusia, yaitu dimensi operasi dengan unsur-unsur kognisi,
ingatan, berfikir konvergen, berfikir divergen, dan evalua-
si; kedua, dimensi produk dengan unsur-unsur unit, kelas,
relasi, sistem, transformasi, dan implikasi; yang ketiga
adalah dimensi isi dengan unsur-unsur: gambar (figural),
bahasa (semantic), lambang (symbolic) dan perilaku (behavi-
oral). Model struktur kemampuan intelektual manusia itu da-
8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf
30/50
55
pat diragakan dalam bentuk sebuah kubus seperti pada gambar
berikut ini.
Gambar I1-3. Model Struktur Kemampuan Intelek Manusia
(Guilford, 1956)
Dari model di atas Guilford menunjukkan bahwa berfi-
kir kreatif merupakan proses dari tiga dimensi kemampuan
intelektual serta unsur-unsurnya yang secara khusus berop-
erasi melalui berfikir divergen dengan bahan-bahan yang da-
pat berbentuk gambar, lambang, bahasa, dan perilaku, atau
kombinasinya.
8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf
31/50
56
Di samping faktor-faktor intelektual, maka pola khas
dari sifat-sifat (traits) kepribadian itu menurut Guilford
(1968) turut menentukan perilaku kreatif individu. Sifat
adalah suatu kecenderungan yang relatif menetap pada seseo-
rang yang membedakan dari yang lain. Sifat-sifat perilaku
itu terdiri atas beberapa kategori, yaitu bakat, minat, si-
kap dan temperamen. Bakat mengacu kepada kematangan untuk
belajar melakukan tugas-tugas tertentu. Kematangan itu di-
peroleh melalui determinasi herediter atau determinasi
lingkungan, ataupun interaksi antara keduanya. Minat biasa-
nya diartikan sebagai kecenderungan seseorang untuk mengak-
rabi atau menyenangi tipe kegiatan tertentu. Sikap menunjuk
kepada kecenderungan menyukai atau tidak menyukai situasi
atau obyek tertentu. Sedangkan temperamen melukiskan kecen-
derungan emosional secara umum dari seseorang, misalnya op-
timisme, keyakinan diri, atau kegairahan menghadapi suatu
keadaan.
Kepribadian kreatif menurut rumusan Guilford (1968:
78) tidak lain adalah :
... a matter of those pattern of traits thatare characteristic of creative persons. A creativeperson is manifest in creative behavior, which in-clude such activities as inventing, designing,
contriving, composing, and planning. People whoexhibit these types of behavior to a marked degreeare recognized as being creative.
Dari pandangan tentang sifat-sifat kepribadian itu,
8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf
32/50
57
Guilford (1959, 1968) mengemukakan sifat-sifat bakat primer
(primary aptitude traits) yang berhubungan dengan kreativi-
tas, yang pada lazimnya disebut ciri-ciri kemampuan berfi-
kir kreatif, yaitu (1) kepekaan terhadap masalah, (2) ke-
lancaran (fluency), yang meliputi kelancaran kata, ekspre-
sional, dan ideasional; (3) kelenturan (flexibility ), yang
meliputi kelenturan spontan dan adaptif; (4) keaslian (ori-
ginality); (5) kerincian (elajboration); dan (6) perumusan
kembali (redefinition). Di samping itu terdapat pula sifat-
sifat bukan bakat (non-aptitude traits) yang mendukung ope-
rasi berfikir kreatif dan dalam penelitian Guilford (1959)
mempunyai korelasi yang tinggi dengan beberapa aspek berfi-
kir kreatif; di antaranya kepercayaan diri, rasa ingin tahu
yang besar, menyenangi petualangan, impulsif, toleran kepa-
da ambiguitas, menghargai ekspresi estetik dan kegiatan
kreatif, dan memiliki keinginan yang kuat untuk hal-hal
yang beragam, berbeda, dan tidak lazim.
Konsep Guilford mengenai kreativitas sebagai fungsi
berbagai sifat kemampuan berfikir dan sikap kreatif yang
dikemukakan di atas telah menjadi acuan dari sekian banyak
penelitian kreativitas yang menekankan pada segi proses
berfikir kreatif, di antaranya penelitian Torrance, (1962,
1965, 1974) , Getzels & Jackson (1962) , Goldman (1964),
Wallach & Kogan (1965) di Amerika Serikat; Foster (1971),
Lvtton (1971) di Inggeris; dan Utami Munandar (1977, 1982)
8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf
33/50
58
di Indonesia.
Subvarian lain, yaitu pandangan yang menekankan
kreativitas sebagai fungsi asosiatif, yaitu kemampuan meng-
hubung-hubungkan berbagai benda, obyek, pengalaman, penge-
tahuan, dan informasi yang sudah ada sebelumnya kepada se-
suatu keadaan yang baru. Teori asosiatif yang dikembangkan
oleh Mednick (1962) ini menganggap bahwa berfikir kreatif
adalah proses pembentukan unsur-unsur asosiatif dan gagasan
yang satu sama lain berjauhan (mutually remote ideas) ke
dalam kombinasi baru yang dibutuhkan dan bermakna. Untukmencapai solusi kreatif, maka ada tiga syarat yang perlu
diperhatikan, yaitu (1) kesanggupan menemukan (serendipi-
ty) , (2) kemiripan (similarity ) unsur-unsur asosiatif atau
stimuli yang menghasilkan unsur-unsur asosiatif, dan (3)
perantara (mediation) unsur-unsur umum.
Sebenarnya teori asosiatif ini dalam beberapa hal
mempunyai kesamaan prinsip dengan teori di atas. Kalau pada
subvarian teori kreativitas yang dikembangkan Guilford le-
bih ditekankan adalah proses divergensi berfikir, maka pada
subvarian ini yang diutamakan adalah proses asosiasi, kom-
binasi dan kontiguitas pemikiran.
Setidaknya subvarian teori asosiatif dalam pengem-
bangan kreativitas mengisyaratkan tiga hal yang penting.
Pertama, kesanggupan untuk menemukan yang berhubungan de-
ngan sifat sifat kepribadian, seperti kesediaan, kemauan,
8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf
34/50
59
motivasi, dan kapasitas mental yang kuat untuk menemukan
sesuatu. Syarat kedua, tersedianya pola-pola yang mirip un-
tuk melakukan solusi, meskipun hasilnya sesuatu yang amat
berbeda. Misalnya, untuk mendapatkan respon yang beragam
(divergen), tidak lazim, unik, dan orisinal terhadap suatu
stimulus (masalah yang perlu dipecahkan) maka perlu acuan
pola-pola berfikir yang mirip untuk menghasilkan respon
kreatif. Yang terakhir, perlu ada pengalaman dan pengetahu-
an yang memadai untuk mendapatkan proses asosiasi kreatif
dalam bentuk gagasan dan perilaku efektif dan bermanfaat,
c. Kreativitas sebagai Proses dan Hasil Belajar
Sesungguhnya perwujudan kemampuan kreatif dalam
berbagai bentuk perilaku kognitif, afektif maupun psikomo-
tor tidak semata-mata tergantung kepada faktor bakat dalam
pengertian bawaan (inhereted ) saja, melainkan juga ditentu-
kan oleh kondisi lingkungan, yaitu pengalaman dan latihan
yang diperoleh. Dalam pengertiannya sebagai bakat (apti-
tude), seperti konsep Guilford (1959), maka kemampuan krea-
tif itu dapat dianggap sebagai kemampuan perolehan (acquir-
ed ability). Konsep bakat yang dikemukakan di sini sejalan
dengan pandangan Bennett, seashore & Wesroan (1982: 5) yang
mengganggap bahwa bakat adalah hasil interaksi kompleks an-
tara hereditas dan lingkungan, dan merupakan kekuatan untuk
belajar guna mendapatkan kemampuan dan pengalaman yang baru
(a capacity to acguire new capacity).
8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf
35/50
60
Di samping asumsi mengenai bakat potensial yang di-
miliki berpengaruh dalam proses aktualisasi kreatif, sejum-
lah kepustakaan dengan tegas menekankan bahwa usaha dan
kerja keras seseorang lebih berperan dalam menghasilkan pe-
rilaku dan karya kreatifnya (Dedi Supriadi, 1989; Utami
Munandar, 1988; Alfian, 1983). Pernyataan ini hampir analog
dengan pendapat Edison bahwa genius is 1% inspiration, bu t
99% perspiration. Penelitian Cattel & Butcher (1973, 1968),
dengan menggunakan analisis faktor terhadap performans
kreatif seseorang menemukan bahwa 95% variansi berasal da-
ri determinasi lingkungan dan hanya 5% berasal dari deter-
minasi bawaan.
Pandangan dan temuan di atas menguatkan keyakinan
bahwa kreativitas individual adalah suatu proses dan seka-
ligus hasil belajar yang disadari dan disengaja, yang meli-
batkan totalitas diri dan kemampuan yang dimiliki, untuk
memecahkan berbagai masalah dalam rangka pemenuhan kebutuh-
an hidup secara indvidual maupun sosial. Usaha dan kerja
keras ataupun determinasi lingkungan terhadap kreativitas
seperti yang dikemukakan di atas, setidaknya mencakup ke-
sadaran untuk memperdalam dan memperluas pengalaman, me-
ningkatkan dan memperbaiki kemampuan diri dgtlam memecahkan
masalah secara kreatif.
Pada umumnya teori-teori kognitif menganggap bahwa
belajar adalah proses perubahan perilaku, pengalaman dan
8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf
36/50
61
kemampuan memecahkan suatu masalah (Bruner, 1971, 1966?
Gagne, 1985, 1977; Piaget, 1956; Ausubel, 1968). Menurut
Guilford ( 1959: 54) belajar adalah " — any persisting
change in behavior consequent to behavior". Termasuk dalam
perubahan itu adalah perbaikan standar atau nilai. Dalam
perspektif kreativitas, perubahan itu tidak lain adalah pe-
ningkatan dan atau perbaikan dalam kemampuan untuk melihat
masalah, termasuk kepekaan terhadap masalah, dan kemampuan
untuk memecahkan masalah itu melalui proses berfikir diver-
gen.
Gagasan mengenai kreativitas sebagai proses belajar
memecahkan masalah mulai diperkenalkan dan dikembangkan
oleh Alex Osborn (1963, 1953) pada awal tahun 50-an. Osborn
(1953) berpendapat bahwa esensi kreativitas seseorang ter-
letak pada kemampuan kognitif dan afektif dalam memecahkan
masalah secara kreatif, yang ditandai oleh kebebasan berfi-
kir dan berimaginasi tanpa diikat oleh aturan-aturan berfi-
kir konvensional, meskipun pada tahap-tahap tertentu aturan
berfikir konvensional diperlukan untuk klarifikasi dan ve-
rifikasi ' gagasan. Imaginasi yang disengaja melalui proses
curah pendapat (brainstorming ) misalnya, dapat menghasilkan
gagasan-gagasan yang segar untuk memecahkan suatu masalah
(Osborn, 1953).
Parnes (1981, 1967) dengan pendekatannya yang amat
rasional mengemukakan bahwa peristiwa "Aha" sebagai salah
8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf
37/50
62
satu esensi dari kreativitas, —yaitu suatu kondisi kesa-
daran menemukan hubungan-hubungan yang relevan dan segar
berbagai pemikiran, fakta, atau gagasan ke dalam konfigura-
si yang baru untuk memecahkan suatu masalah—, dapat muncul
secara alamiah (natural creativity), aksidental (accidental
creativity ), atau sengaja (deliberate creativity) melalui
proses akumulasi dan intensitas pengalaman tertentu. Seba-
gian besar dari perilaku kreatif itu, menurut Parnes (1973:
343) adalah dipelajari (learned); oleh karena itu, peristi-
wa "Aha" dalam proses kreatif alamiah dan aksidental dapat
diperbaiki dan ditingkatkan kearah yang lebih produktif,
bermutu, dan bermanfaat melalui kegiatan belajar yang te-
rencana. Olson (1980), murid Parnes menulis:
Conscious, deliberate, creative processes andmethods strive to guide the formation, form andflow of the mind. They seed the mind and catalyze
the formation of new ideas and fresh insights.They direct the precipitation of solution ideasonto fertile problems, problems whose solution areof value to the individual and/or society.
Dari pembahasan mengenai kreativitas sebagai proses
belajar di atas dapat ditarik beberapa prinsip penting.
Pertama, perilaku kreatif, di samping memiliki sifat alami-
ah, pada umumnya adalah hasil usaha belajar yang disadari.
Kedua, perilaku kreatif yang disadari itu secara nyata ter-
ungkap dalam kemampuan memecahkan masalah yang melibatkan
unsur-unsur kognitif, afektif, dan perilaku motorik. Keti-
8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf
38/50
63
ga, sebagai proses dan hasil belajar yang disadari, maka
perilaku kreatif itu dapat diperbaiki dan ditingkatkan me-
lalui seperangkat kegiatan bimbingan kreativitas yang dise-
ngaja (deliberate creativity).
3. Rumiipan Kreativitas yang Menjadi Acuan Penelitian
Sesungguhnya kreativitas mempunyai pengertian yang
beragam. Pengertiannya tergantung kepada bagaimana kreati-
vitas itu didefinisikan (Dedi Supriadi, 1989: 47). Umumnya
pendekatan studi yang digunakan turut menentukan dalam ru-
musan kreativitas (Utami Munandar, 1977: 27). Di fihak
lain, rumusan kreativitas juga ditentukan oleh model teori
yang digunakan (Taylor, 1975: 2), dan penekanan pada salah
satu fungsi kemampuan manusia: kognitif, afektif, indera-
wi, atau intuisi meskipun keempat unsur itu sebenarnya me-
rupakan satu kesatuan integral yang membentuk kreativitas
(Clark, 1983: 31).
Rumusan kreativitas yang digunakan dalam penelitian
ini mengacu kepada konsep kreativitas sebagai pyroses kogni-
tif yang dipelajari, yang melibatkan dimensi berfikir dan
sikap. Menurut Torrance (1980: 233) perumusan kreativitas
dari segi proses sangat penting, sebab
"... once the process is described, we can thenask what kind of person one must be in order toengage in the process successfully, what kind ofenvironment he needs in order to function creative
8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf
39/50
64
ways, and what kinds of products result from theprocess".
Secara sederhana Barron (1969) dan May (1959) meru-
muskan kreativitas sebagai kemampuan untuk membawa sesuatu
yang baru ke dalam eksistensi. Menurut Murray (1959), se-
suatu yang baru itu haruslah bernilai bagi diri dan masya-
rakat. Perumusan kreativitas yang menekankan pada kemampuan
dan proses kognitif sebenarnya telah dimulai oleh Spearman
(1931) yang mengemukakan kreativitas sebagai proses dari
kemampuan berfikir manusia untuk menciptakan sesuatu yang
baru, dengan menghubung-hubungkan fakta, gagasan, informa-
si, benda, atau suatu keadaan.
Torrance (1965: 3) yang juga menekankan pada segi
berfikir kreatif, mencoba membuat definisi operasional
kreativitas dalam pendidikan, yaitu:
"... proses memahami kesulitan, masalah, kesen-
jangan dalam informasi, unsur-unsur yang lepas,dan ketidakserasian; merumuskan masalah secara je-las; menduga atau merumuskan hipotesis tentang de-fisiensi ini; menguji dugaan ini dan kemungkinanmemperbaikinya dan mengujinya kembali atau meru-muskan kembali masalah; dan akhirnya mengkomunika-sikan hasil-hasilnya" (terjemahan penulis).
Rumusan kreativitas di atas, menurut Torrance cocok
digunakan dalam pendidikan karena mencerminkan proses
alamiah dalam diri seseorang dalam memecahkan suatu masa-
lah. Kemampuan memecahkan masalah itu dapat diperbaiki dan
ditingkatkan dengan jalan memperdalam dan memperluas per.ge-
8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf
40/50
65
tahuan mengenai cara-cara berfikir kreatif dalam memecahkan
masalah itu. Sama seperti Guilford, Torrance (1974) menge-
mukakan empat indikator kognitif dari berfikir kreatif,
yaitu kelancaran, kelenturan, orisinalitas, dan keterin-
cian.
Dalam bentuk lain, Olson (1980: 13) merumuskan berfi-
kir kreatif sebagai kemampuan individu berdasarkan keunik-
annya menghasilkan gagasan-gagasan baru dan segar yang ber-
nilai kepada individu itu.
Perumusan kreativitas yang menekankan kepada kemampu-
an berfikir kreatif, dan dikenal sebagai pendorong utama
(major impetus) untuk penelitian di bidang kreativitas, te-
lah diajukan oleh Guilford (1959). Dengan mendasarkan kepa-
da teorinya mengenai struktur intelek, Guilford (1959: 170-
177) merumuskan kreativitas sebagai kemampuan untuk melihat
dan memecahkan masalah yang ditandai oleh sifat-sifat bakat
(aptitude) berfikir kreatif yaitu kepekaan (sensitivity)
masalah, kelancaran (fluency ), kelenturan (flexibility),
keaslian (originality ) , perumusan kembali (redefinition),
dan kerincian (elaboration) dalam pemikiran dan gagasan;
serta sifat-sifat bukan bakat (nonaptitude), seperti per-
caya diri, menguasai masalah, memiliki minat yang luas dan
apresiasi kepada kegiatan kreatif, toleran kepada ambigui-
tas, berani mengambil risiko, senang bertualang dan mencari
hal-hal baru, menyenangi pemikiran yang beragam dan tidak
8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf
41/50
66
la2im.
Dalam pendekatan yang sama, Williams (1980) merumus-
kan kreativitas sebagai kemampuan pada seseorang untuk me-
mecahkan suatu masalah yang melibatkan ciri-ciri kognitif:
kelancaran, kelenturan, keaslian, dan keterincian pemikiran
dan gagasan, serta ciri-ciri afektif: rasa ingin tahu, ke-
beranian mengambil resiko, tertantang oleh kemajemukan, dan
imaginatif.
Munandar (1985: 47-50) dalam pembahasannya mengenai
konsep kreativitas dari beberapa ahli yang berorientasi pa-
da proses kemampuan kognitif mengemukakan tiga bentuk ru-
musan kreativitas. Pertama, kreativitas yang diartikan se-
bagai kemampuan untuk membuat kombinasi baru, berdasarkan
data, informasi, atau unsur-unsur yang ada. Kedua, kreati-
vitas (berfikir kreatif atau berfikir divergen), sebagai
kemampuan — berdasarkan data atau informasi yang tersedia
— menemukan banyak kemungkinan jawaban terhadap suatu ma-
salah, di mana penekanannya adalah pada kuantitas, ketepat-
gunaan, dan keragaman jawaban. Ketiga, kreativitas yang se-
cara operasional dirumuskan sebagai kemampuan yang mencer-
minkan kelancaran, kelenturan, keaslian, dan kerincian ga-
gasan atau pemikiran.
Ketiga bentuk rumusan kreativitas ini sebenarnya
mempunyai hubungan satu sama lain. Dalam konteks berfikir
kreatif, maka suatu kondisi yang tidak dapat dihindari ia-
8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf
42/50
67
lah terjadinya proses berfikir menghubung-hubungkan dan
mengkombinasikan berbagai data, fakta, gagasan, informasi,
atau unsur-unsur yang ada menjadi sesuatu yang lain dan
bersifat baru. Kriteria utama dari proses berfikir kreatif
itu adalah kemampuan menemukan jawaban pemecahan terhadap
suatu masalah sebanyak mungkin, beragam, lain dari yang
lain, dan tepat guna. Kemampuan berfikir kreatif itu secara
operasional tercermin dalam ciri-ciri berfikir lancar, len-
tur, asli, dan rinci.
Dengan mengacu kepada teori Guilford (1959; 1956),
Munandar (1977, 1984) merumuskan ciri-ciri kemampuan berfi-
kir kreatif, yaitu (1) kelancaran berfikir yang terungkap
dalam kelancaran kata, kelancaran asosiasional, kelancaran
ekspresional, kelancaran ideasional; (2) kelenturan berfi-
kir, yang bersifat spontan dan adaptif; (3) kemampuan ber-
fikir orisinal yang ditunjuk oleh ketidak laziman respon
yang diajukan untuk memecahkan masalah; dan (4) kemampuan
mengembangkan, memperkaya, dan merinci gagasan. Dari rumu-
san ini, faktor kepekaan masalah, seperti dalam konsep
Guilford, dianggap beroperasi secara tersirat pada setiap
kemampuan berfikir kreatif. Sedangkan faktor kelancaran
asosiasional, kelenturan adaptif, dan kemampuan merumuskan
kembali, dalam penelitian Guilford (1959) tidak signifikan
sebagai faktor berfikir kreatif karena lebih banyak berop-
erasi pada pola berfikir konvergen. Di samping keempat ciri
8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf
43/50
68
kognitif di atas, maka kemampuan kreatif menurut Munandar
(1977, 1984) juga ditandai oleh ciri-ciri afektif, yaitu
(1) mempunyai daya imaginasi, (2) berinisiatif, (3) mempu-
nyai minat yang luas, (4) bebas dalam berfikir, (5) bersi-
fat ingin tahu, (6) percaya pada diri sendiri, (7) penuh
semangat, (8) berani mengambil risiko.
Keempat ciri kemampuan kemampuan kreatif yang dikemu-
kakan oleh Guilford, Torrance, Munandar, dan Williams di
atas, juga ditemukan dalam rumusan Treffinger (1980) seba-
gai indikator operasional dan menjadi basis dalam pengem-bangan kreativitas melalui kegiatan belajar kreatif. Kecua-
li itu/ pada dimensi afektifnya, Treffinger mengajukan tu-
juh ciri yang agak berbeda, yaitu rasa ingin tahu, kemauan
merespon, keterbukaan kepada pengalaman, keberanian mengam-
bil resiko, kepekaan kepada masalah, toleransi kepada ke-
adaan mendua, dan kepercayaan diri.
Dari penelaahan di atas, maka perumusan kreativitas
dalam penelitian ini lebih difokuskan kepada kemampuan ber-
fikir (kognitif) kreatif dengan ciri-ciri kelancaran, ke-
lenturan, keaslian, dan kerincian pemikiran atau gagasan,
yang terintegrasi dengan ciri-ciri sikap (afektif) kreatif
sebagaimana diajukan Treffinger (1980), yaitu rasa ingin
tahu, mau berespon, terbuka kepada pengalaman, berani meng-
ambil risiko, peka kepada masalah, toleran kepada keadaan
mendua, dan percaya diri. Terhadap ciri-ciri kreativitas di
8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf
44/50
69
atas, penilaian kualitasnya menurut Guilford (1969) dapat
diamati melalui berbagai respon yang berisi gambar, bahasa,
lambang, dan perilaku, dengan penekanan terutama kepada
kuantitas, keragaman, kebaruan (orisinalitas), keunikan dan
kegunaannya.
D. Berbagai Model Pengembangan Kreativitas
Bertolak dari anggapan bahwa kreativitas itu adalah
suatu proses dan hasil belajar yang disengaja, maka berba-
gai pakar berupaya mengembangkan model-model intervensi un-
tuk meningkatkan dan memperbaiki perilaku dan kinerja krea-
tif baik dalam adegan sekolah maupun okupasi. Apabila kita
menelaah secara cermat berbagai pustaka mengenai kreativi-
tas, maka model-model pengembangan kreativitas itu dapat
diidentifikasi menurut apa yang menjadi tekanannya, dalam
adegan mana, dan siapa yang mengembangkannya. Dari apa yang
menjadi tekanan, McPherson (1964: 132) mengidentifikasi li-
ma model pendekatan pengembangan kreativitas, yaitu yang
menekankan kepada (1) pengembangan diri dan kepekaan masa-
lah, (2) pengembangan kemampuan memecahkan masalah secara
kognitif, (3) pemahaman mengenai faktor-faktor yang meng-
hambat kreativitas dan sekaligus memberi fasilitasi bagi
perbaikan dan peningkatan kreativitas, (4) pengembangan ga-
gasan-gagasan inovatif, dan (5) kombinasi dari berbagai
pendekatan di atas.
8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf
45/50
70
Dari segi adegan, maka intervensi pengembangan krea-
tivitas dapat dilakukan dalam adegan sekolah, ataupun luar
sekolah, termasuk yang diselenggarakan oleh pusat-pusat pe-
ngembangan sumberdaya manusia.
Dari segi siapa yang mengintrodusir model pengem-
bangan kreativitas sesungguhnya ada banyak pakar dengan
masing-masing pendekatannya yang dapat dikemukakan. Berikut
ini akan dibahas beberapa model pengembangan kreativitas
menurut pakar pengembangnya, khusus model yang berorientasi
kognitif dan menekankan kepada kemampuan kreatif dalam me-
mecahkan masalah.
1. Model Osborn
Pengembangan kreativitas secara sistematik dalam
pendidikan sebenarnya dimulai oleh Alex F. Osborn tahun
1951 di Universitas Buffalo (AS) melalui lembaga yang di-
bentuknya: Creative Problem Solving Institute. Dalam ga-
gasannya itu Osborn (1953) menekankan upaya pengembangan
kreativitas melalui latihan kemampuan memecahkan masalah
secara kreatif dengan imaginasi. Osborn menempatkan kemam-
puan imaginasi sebagai komponen utama yang berperan dalam
proses pemecahan masalah secara kreatif. Metode belajar
yang digunakan adalah curah pendapat (brainstorming). Mela-
lui metode ini siswa didorong untuk mengembangkan dan mene-
mukan sebanyak mungkin gagasan untuk memecahkan suatu masa-
8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf
46/50
71
lah. Kemudian pada tahap berikut dinilai gagasan mana yang
paling mungkin untuk dilaksanakan. Ada empat aturan dasar
yang harus diperhatikan dalam proses curah pendapat, yaitu
(1) kritik dan penilaian yang merugikan pemunculan gagasan
untuk sementara ditunda (deferred-judgement), (2) sambut
gagasan-gagasan yang kelihatan liar dan bebas , (3) semakin
banyak gagasan semakin bagus — semakin banyak gagasan yang
dimunculkan semakin besar kemungkinan munculnya gagasan
yang baik, (4) lakukan kombinasi dan perbaikan gagasan —
dianjurkan agar gagasan dari orang lain diperbaiki atau di-
gabung hingga menjadi gagasan terbaik.
Sebagai kegiatan belajar yang disengaja untuk menda-
patkan peningkatan dalam kemampuan pemecahan masalah secara
kreatif, Osborn (1963) mengajukan sepuluh tahap dalam pro-
ses belajar kreatif, yaitu (1) memikirkan keseluruhan fase
masalah; (2) memilih submasalah yang dihadapi; (3) memi-
kirkan informasi yang dapat membantu; (4) memilih sumber-
sumber data; (5) membayangkan atau mengkhayalkan (dream up)
semua gagasan yang mungkin untuk memecahkan masalah; (6)
memilih gagasan yang paling mungkin untuk memecahkan masa-
lah; (7) memikirkan berbagai langkah yang mungkin untuk
mengujinya; (8) memilih cara yang paling logis untuk mengu-
ji; (9) membayangkan semua kemungkinan konsekuensi; dan
(10) memutuskan jawaban final. Tahap 1, 3, 5, 7, dan 9
memerlukan kemampuan berfikir divergen. sedangkan tahap 2,
8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf
47/50
72
4, 6, 8, dan 10 memerlukan kemampuan berfikir konvergen.
2. Model Parnes
Model Osborn yang menekankan kepada pemecahan masa-
lah kreatif dengan penggunaan imaginasi secara sengaja dan
berlebihan, kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Sidney
J. ParnSs yang menjadi Presiden Creative Education Founda-
tion, Buffalo, New York dengan lembaganya yang terkenal,
Creative Problem Solving Institute (CPSI). Parnes (1975)
menyebutkan modelnya sebagai Program Eklektik. karena ia
mencoba mengembangkan kemampuan pemecahan masalah secara
kreatif dengan melakukan sintesa sinergistik antara program
yang diarahkan kepada dimensi afektif (inward-looking), se-
perti latihan kepekaan, pengembangan kesadaran, meditasi
dengan program yang diarahkan kepada dimensi kognitif
(outward-looking ), seperti pengembangan alternatif gagasan
pemecahan masalah, penilaian alternatif, pengambilan kepu-
tusan, dan seterusnya. Inti dari model Parnes ini adalah
pengembangan keseimbangan antara penilaian dan imaginasi,
antara logika dan emosi, antara upaya-upaya kreatif yang
disengaja dengan inkubasi, antara kerja kelompok dan indi-
vidual. Dalam dua buku yang ditulis bersama dengan Ruth B.
Noller dan A.M. Biondi, yaitu Guide to Creative Action
(1977) dan Creative Actionbook (1977), Parnes untuk pertama
kali memperkenalkan suatu program instruksional yang bersi-
8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf
48/50
73
fat monolitik untuk pengembangan kreativitas di sekolah.
Dalam buku tersebut dikemukakan mengenai sekian banyak me-
tode dan teknik untuk melatih pengembangan kreativitas baik
dimensi afektif maupun dimensi kognitifnya; adegan belajar-
nya: individual, tim, atau kelompok; alokasi waktu dan aca-
ra belajar; jadual kegiatan; pengaturan ruangan; pengguna-
an media dan bahan-bahan belajar; penilaian dan tes psiko-
logis; serta sejumlah bacaan mengenai pengembangan perilaku
kreatif.
Pada dimensi afektif, Parnes (1977) menganjurkan la-
tihan kepekaan (sensitivity training) yang dikembangkan
oleh National Training Laboratories, latihan kesadaran tu-
buh (body awareness), dan meditasi. Ada empat sasaran dalam
pengembangan dimensi afektif ini, yaitu (1) pengenalan dan
pemahaman diri secara utuh, (2) mengembangkan keterbukaan
diri kepada pengalaman dan lingkungan, (3) mempertajam ke-
pekaan kepada lingkungan dan masalah-masalahnya, (4) me-
ningkatkan keberanian diri dalam proses eksplorasi, imagi-
nasi, ekspresi, solusi dan dalam mengambil resiko. Kemudi-
an, pada dimensi kognitif, ia mengusulkan lima langkah pen-
ting untuk meningkatkan kemampuan memecahkan masalah secara
kreatif, yaitu (1) penemuan fakta (fact finding), (2) pene-
muan masalah ( problem finding), (3) penemuan gagasan (idea
finding) , (.4) penemuan pemecahan (solution finding) , dan
(5) penemuan penerimaan (acceptance finding). Pada setiap
8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf
49/50
74
langkah itu dapat diimplementasikan beragam teknik, seperti
curah pendapat, imaginasi bebas, pertanyaan open-ended, pe-
nguatan hubungan, penggabungan gagasan.
3. Model Torrance
Paul E Torrance yang dikenal sebagai peneliti kawa-
kan dalam psikologi kreativitas, dan pengembang TTCT
(Torrance Test of Creative Thinking), pada mulanya mengaju-
kan gagasan peningkatan dan perbaikan kreativitas siswa me-
lalui metode ganjaran perilaku kreatif (rewarding creative
behavior) (Torrance, 1965: 43) melalui pengembangan hubung-
an guru-siswa dalam kelas, yaitu (1) menghargai pertanyaan-
pertanyaan tidak biasa, (2) menghargai gagasan-gagasan ti-
dak biasa dan imaginatif, (3) menunjukkan kepada siswa bah-
wa gagasan-gagasan yang diajukannya tidak dinilai, (4) mem-
beri kemungkinan untuk latihan atau eksperimentasi tanpa
melakukan penilaian, (5) penilaian dilakukan dengan menghu-
bungkan sebab dan akibat. Selanjutnya, dengan mengacu kepa-
da teori Guilford tentang ciri-ciri kemampuan berfikir
kreatif, maka Torrance (1965: 296-314) mengembangkan sejum-
lah teknik untuk meningkatkan berfikir kreatif itu melalui
seni bahasa. Pertajna, pengembangan kelancaran ideasional
dapat dilakukan dengan menggunakan (1) teknik curah-penda-
pat (brainstorming ) secara kelompok; ( 2 ) teknik siapkan
alat dan hidupkan ( props and starter) yang biasanya diawali
8/17/2019 d_bp_574-b-xvii-9_max_g._ruindungan_chapter2(1).pdf
50/50
75
dengan sejumlah pertanyaan pemandu, seperti apa yang terja-
di bila kita menambah, mengurangi, memperbesar, mengali-
kan, memperkecil, membagi, mengubah, menggeser, menghilang-
kan satu atau beberapa unsur pada alat yang menjadi obyek;
(3) teknik imla gagasan (dictation of ideas) melalui tim
atau kelompok kecil secara kompetitif. Kedua, pengembangan
kelancaran asosiasional melalui teknik permainan kata. Yang
diutamakan dalam teknik ini ialah kelancaran subyek dalam
menghasilkan sebanyak atau seberagam mungkin kata-kata atau
gagasan berdasarkan penggalan kata atau huruf yang disedia-
kan. Ketiga, pengembangan kelenturan spontan dengan teknik
penggunaan tidak lazim dari suatu benda; pengembangan man-
faat suatu alat; atau teknik perbaikan produk, misalnya bo-
neka. Kelenturan spontan akan muncul ketika seseorang men-
coba menghasilkan gagasan yang berbeda dalam situasi yang
relatif terbatas (unrestricted situation). Keempat. pengem-
bangan orisinalitas gagasan dapat dilakukan dengan (1) tek-
nik menghadapi peristiwa yang luarbiasa (unusual incident);
(2) teknik penggunaan luar biasa dari suatu alat, benda;
(3) teknik laporan buku, (4) teknik penggunaan audio-vi-
sual, (5) teknik humor dan metafor. Yang menjadi tekanan
dalam pengembangan orisinalitas ini ialah bagaimana siswa
dapat menghasilkan respon yang luar biasa (uncommon res-
ponses) dan jitu terhadap situasi yang spesifik. Kelima,
pengembangan kepekaan, melalui (1) teknik kritik konstruk-