MODUL 4: WATERSHED ANALYSIS SYSTEM STUDI KASUS FLASH FLOOD RISK ASSESMENT AND RISK MANAGEMENT (Dosen: Prof. Dr. HA Sudibyakto, MS) Oleh: Kelompok 1 1. Bayu 2. Esti Rahayu (12/338559/PGE/00976) 3. Lilik Nugrahaeni (12/338624/PGE/00985) 4. Wisudarahman MAGISTER PERENCANAAN PENGELOLAAN PESISIR DAN DAERAH ALIRAN SUNGAI
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
MODUL 4: WATERSHED ANALYSIS SYSTEM
STUDI KASUS
FLASH FLOOD RISK ASSESMENT AND RISK MANAGEMENT
(Dosen: Prof. Dr. HA Sudibyakto, MS)
Oleh:
Kelompok 1
1. Bayu
2. Esti Rahayu (12/338559/PGE/00976)
3. Lilik Nugrahaeni (12/338624/PGE/00985)
4. Wisudarahman
MAGISTER PERENCANAAN PENGELOLAAN
PESISIR DAN DAERAH ALIRAN SUNGAI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2012
CHAPTER 1. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bencana merupakan suatu kondisi sebagai akibat yang terjadi ketika
ancaman mengenai suatu wilayah beserta penduduk yang ada di dalamnya
yang rentan. Seringkali, bencana yang terjadi menimbulkan kerusakan bagi
lingkungan di sekitar pusat bencana tersebut. kerusakan yang terjadi akibat
bencana tersebut bisa terjadi secara mendadak maupun perlahan, tidak saja
memberikan dampak secara langsung, tetapi juga berdampak tidak langsung.
Dampak secara langsung misalnya korban jiwa, kerusakan rumah dan
infrastruktur, gangguan psikologis, dan lain-lain. Sedangkan dampak tidak
langsung antara lain hilang atau rusaknya fungsi-fungsi produksi seperti area
persawahan, pabrik dan pusat industri, jaringan transportasi, serta pasar.
Selanjutnya kondisi seperti ini dapat merusak sistem pasar, kemampuan daya
beli, dan pertumbuhan ekonomi (Blaikie, et.al., 1994).
Di sisi lain, suatu wilayah tidak bisa lepas dari suatu kondisi yang
berisiko dari ancaman terjadinya suatu bencana. Kondisi fisik suatu wilayah,
karakter masyarakatnya, serta kondisi eksternal seperti hubungan wilayah
tersebut dengan wilayah-wilayah bisa mempertajam risiko yang harus dihadapi
oleh suatu wilayah tertentu. Dalam pembahasan mengenai manajemen
bencana, risiko merupakan prediksi kondisiatau akibat yang akan terjadi akibat
hubungan antara ancaman dan kerentanan dari objek yang terkena dampak
tersebut.
Kedua hal tersebut yaitu bencana maupun ancaman bencana (hazards)
serta risiko yang harus dihadapi oleh suatu wilayah memerlukan perhatian serta
upaya-upaya yang merujuk pada tindakan pasca bencana agar dampak bencana
dapat dikurangi. Hal ini diupayakanuntuk mengurangi adanya korban jiwa,
meminimalisir kerusakan yang terjadi pada sarana dan prasarana umum,
maupun akses terhadap unit-unit produksi wilayah. Upaya-upaya dalam
mengelola bencana yang menekankan pada pendekatan dengan pendugaan
serta pencegahan biasa dikenal sebagai manajemen risiko (Kotze & Holloway,
1998).
Daerah aliran sungai merupakan wilayah yang rentan terhadap
berbagai bencana. Banjir merupakan fenomena alam yang sering terjadi dan
dihadapi banyak daerah. Fenomena banjir terjadi akibat tidak tertampungnya
aliran air pada badan-badan air atau sungai, sehingga meluap dan menggenangi
daerah sekitarnya. Belakangan ini, kejadian banjir cenderung makin meningkat
dengan intensitas yang semakin tinggi dan magnitude banjir semakin besar. Di
kota Semarang, bukan saja banjir yang terjadi akibat meluapnya air dari saluran
drainase akibat curah hujan yang tinggi atau banjir ‘rob’ yang terjadi akibat
pasang air laut. Namun juga terkena banjir bandang (flash food). Banjir
bandang besar telah terjadi beberapa kali di Kota Semarang. Berdasarkan hasil
penelitian, banjir bandang telah melanda Daerah Aliran Sungai (DAS) Garang
terjadi sebanyak lima kali, yaitu pada tahun 1963, 1990, 2000, 2002 dan 2008.
Tidak menutup kemungkinan terjadi lagi banjir bandang besar pada masa yang
akan datang, seiring meningkatkan curah hujan di daerah hulu DAS Garang.
Faktor utama penyebab banjir bandang di DAS Garang adalah curah
hujan. Sementara perubahan penggunaan lahan tidak berpengaruh signifikan
terhadap banjir bandang. Banjir bandang besar dan sangat besar terjadi ketika
curah hujan di DAS Garang Hulu dan DAS Garang Tengah berupa hujan
sangat lebat melebihi 100 mm/hari, yang terjadi dalam waktu bersamaan.
Sekitar 90% banjir bandang di DAS Garang berupa bandang kecil dan bandang
sedang, sementara 10% lainnya berupa bandang besar dan sangat besar. Banjir
bandang di DAS Garang cenderung makin berbahaya karena debit puncak
cenderung meningkat dan waktu mencapai flash cenderung semakin pendek.
Bila dilihat dari ketinggian tempat nampak bahwa Kota Semarang
berada pada pada posisi yang rendah 0-5 mdpl. Selain posisi yang rendah
banyak daerah resapan yang telah berubah fungsi untuk pemukiman dan
pabrik. Bahkan pada kawasan disepanjang pantai semarang banyak yang
ditimbun dengan mengorbankan tambak serta tanaman bakau untuk
memperluas bangunan pabrik atau dibuat perumahan. Daerah hulu DAS telah
mengalami perubahan penggunaan lahan yang sangat cepat, dimana banyak
lahan pertanian dan tegalan yang berubah fungsi menjadi pemukiman dan
pabrik, bahkan di Kota Semarang banyak dijumpai kantong air ditutup untuk
pemukiman dengan mengambil tanah galian dari bukit yang mestinya
berfungsi sebagai daerah resapan air. Di bagian hilir DAS, terutama wilayah
pantai dari Kendal sampai Demak terdapat tanaman bakau yang telah rusak,
terdesak oleh bangunan dan infrastruktur lainnya.
Bencana, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, tidak akan berarti
bencana jika tidak dikaitkan dengan komunitas atau masyarakat yan tinggal di
sekitar pusatbencana. Tidak terkecuali dengan banjir bandang yang memiliki
hubungan yang sangat erat dengan kapasitas komunitas yang tinggal di sekitar
pusat bencana. Kerugian akibat bencana cenderung terjadi pada komunitas
yang rentan, dan akan membuat komunitas semakin rentan. Kerentanan
komunitas diawali oleh kondisi-kondisi lingkungan fisik, sosial, dan ekonomi
yang tidak aman. Kondisi tidak aman tersebut terjadi oleh tekanan-tekanan
dinamis baik internal maupun eksternal.
B. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui tingkat kerentanan (vulnerability) banjir di DAS
Garang.
2. Untuk mengetahui kapasitas (coping capacities) masyarakat dan lembaga
dalam menghadapi banjir.
3. Untuk mengetahui risiko (risk) banjir di DAS Garang.
4. Untuk mengkaji manajemen risiko banjir di DAS Garang.
CHAPTER 2. KONDISI WILAYAH DAS GARANG
A. Gambaran Umum DAS Garang
1. Wilayah Administrasi
DAS Garang secara administratif berada pada 3 (tiga) wilayah
yaitu di Kabupaten Semarang, Kabupaten Kendal, dan Kota Semarang.
Gambar 1. Peta Wilayah Administrasi DAS Garang
Secara astronomis, DAS Garang membentang dari 110°18'28" BT
sampai 110°25'59" BT dan antara 6°56'46'' LS sampai dengan 7°11'47'' LS
dengan luas keseluruhan DAS Garang adalah 21.277,36 hektar. Dari
gambar di atas nampak bahwa Kota Semarang memiliki luas wilayah paling
besar yaitu sebesar 53,82% dari luas DAS Garang, sedangkan Kabupaten
Semarang sebesar 33,38% dan Kabupaten Kendal sebesar 12,79%. Batas
DAS Garang adalah sebagai berikut:
Utara : Laut Jawa,
Timur : Kabupaten Demak,
Selatan : Kabupaten Semarang
Barat : Kabupaten Kendal
DAS Garang dibagi menjadi empat (4) sub DAS yaitu DAS
Garang Hulu, DAS Kreo, DAS Kripik dan DAS Garang Hilir atau Banjir
Kanal Barat. Aliran sungai berasal dari Sungai Kreo, Sungai Kripik dan
Sungai Garang Hulu yang menyatu menjadi Sungai Garang pada bagian
hilir DAS, sehingga bentuknya menyerupai botol dimana pada hulu DAS
menggelembung dan menyempit pada bagian hilirnya.
2. Kondisi Fisik DAS Garang
Kondisi Iklim
DAS Garang termasuk dalam wilayah dengan iklim tropis dan
bertemperatur sedang. Suhu udara rata-rata adalah 29˚ C dan curah hujan
rata-rata 1669,121mm/tahun. Curah hujan yang tinggi banyak terdapat di
Kabupaten Semarang dengan rata-rata 2.669 mm/tahun, sedangkan di Kota
Semarang curah hujan rata-ratanya 495,36 mm/tahun (BLH Prov. Jateng,
2009).
Kemiringan Lereng
DAS Garang memiliki kemiringan lereng yang bervariasi dari
datar, bergelombang, berbukit sampai bergunung. Wilayah datar berada
di bagian hilir DAS, daerah bergunung berada di bagian hulu DAS
sedangkan daerah bergelombang dan berbukit berada diantara hulu dan
hilir. Tempat tertinggi berada di Gunung Ungaran dengan ketinggian
±1.900 m di atas permukaan air laut, sedangkan tempat terendah berada
di muara Sungai Garang di Kecamatan Semarang Barat.
Kemiringan lereng lahan di DAS Garang tersajii pada tabel di
bawah ini.
Tabel 1. Kemiringan Lereng Lahan di DAS Garang
Kondisi Tanah
Kondisi tanah di wilayah DAS Garang didominasi oleh jenis
tanah latosol dan regosol sedangkan selebihnya berupa aluvial, grumusol
dan mediteran. Pada bagian sub DAS Garang Hulu didominasi oleh tanah
latosol dan regosol dengan sedikit grumusol dan mediteran. Demikian
pula dengan sub DAS Kreo dan Kripik. Untuk sub DAS Garang Hilir
didominasi oleh jenis tanah aluvial dan mediteran.
Kondisi tanah di DAS Garang tersaji pada gambar di bawah ini.
Gambar 2. Peta Jenis Tanah di DAS Garang
Penggunaan Lahan
Penutupan Lahan di DAS Garang berdasarkan Citra Satelit Tahun
2009 yang diolah oleh BP DAS Pemali Jratun tersaji pada gambar di bawah
ini.
Gambar 3. Peta Penutupan Lahan di DAS Garang
Dari gambar di atas dapat diketahui bahwa pada segmen I
sebagian besar lahan merupakan pertanian lahan kering dan pertanian
lahan kering bersemak, diikuti hutan dan permukiman. Segmen II
didominasi oleh pertanian lahan kering bersemak dan permukiman,
begitu juga pada segmen III, sedangkan pada segmen IV terdapat
pertanian lahan kering, pertanian lahan kering bersemak, sawah, serta
sedikit bagian permukiman. Segmen V didominasi dengan pertanian
lahan kering sedangkan segmen VI dan VII seluruhnya merupakan
wilayah permukiman.
B. Sosial Ekonomi Kemasyarakatan
Jumlah Penduduk
Jumlah penduduk DAS Garang adalah 1.657.798 jiwa dengan rincian
jumlah penduduk laki-laki sebanyak 814.444 jiwa. Sedangkan jumlah
penduduk Kota Semarang yang merupakan zona rawan banjir memiliki jumlah
penduduk 1.543.557 jiwa yang terdiri dari penduduk perempuan sebanyak
776.111 jiwa dan penduduk laki-laki sebanyak 767.446 jiwa.
Status kesehatan masyarakat dapat ditunjukkan dengan angka
morbiditas yaitu suatu angka yang menunjukkan tingkat kesakitan atau
banyaknya orang yang sakit/mempunyai keluhan sakit tentang kondisi
badannya. Status kesehatan Masyarakat tersebut memiliki hubungan yang erat
dengan tahapan kondisi pembangunan sosial ekonomi dan lingkungan, dimana
hubungan antara pombangunan sosial ekonomi dan lingkungan dengan status
kesehatan masyarakat dapat bersifat timbal balik (Sulistyani, 2010).
1. Pada wilayah Urban penyakit yang dominan yaitu ISPA, Diare, Disenfii,
Kulit dan mata untuk kelompok umur >60 tahun.
2. Pada wilayah Rural penyakit yang dominan ISPA, Diare, Kulit dan mata
untuk kelompok umur 0-4 tahun.
3. Pada wilayah pantai penyakit yang dominan yaitu ISPA (>60 tahun),