Darurat Sipil: Bukti Buruknya Komunikasi Pemerintah Oleh: BEM Kema Unpad, BEM Bima Fikom Unpad, dan BEM Gama FIB Unpad Pendahuluan Pada Senin, 30 Maret 2020 lalu, Presiden Jokowi menyampaikan sebuah pidato melalui rapat terbatas mengenai kebijakan pembatasan sosial skala besar dan pendisiplinan penerapan penjarakan fisik, untuk menekan laju penularan Covid-19 di Indonesia. Pemberlakukan dua kebijakan tersebut dilandasi oleh status darurat sipil, yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) No. 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. "Saya minta kebijakan pembatasan sosial berskala besar, physical distancing dilakukan lebih tegas, lebih disiplin, dan lebih efektif lagi. Sehingga, tadi sudah saya sampaikan bahwa perlu didampingi adanya kebijakan darurat sipil," kata Presiden Jokowi dalam rapat terbatas, Senin (30/3) 1 . Dalam Pasal 3 Perppu tersebut disebutkan bahwa keadaan darurat sipil ditangani oleh pejabat sipil yang ditetapkan presiden dan dibantu oleh TNI atau Polri. Kebijakan status darurat sipil yang diumumkan presiden beberapa waktu yang lalu tersebut menuai banyak respon negatif di masyarakat. Salah satunya seperti yang diungkapkan Koalisi Masyarakat Sipil, bahwa pemerintah seharusnya menetapkan status kedaruratan kesehatan masyarakat, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 dan meletakkan otoritas tertinggi dalam upaya penanggulangan Covid-19 berada di otoritas kesehatan bukan malah dalam wujud darurat sipil apalagi darurat militer 2 . Namun, beberapa hari kemudian setelah pidato Jokowi yang menyinggung status darurat sipil tersebut, ada beberapa masalah komunikasi terlihat di dalam struktur internal pemerintah yang berusaha untuk mengklarifikasi maksud pidato tersebut, di antaranya adalah Juru Bicara (Jubir) Presiden, Fadjroel Rachman dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum (Menkopolhukam), Mahfud MD. Jubir Presiden, Fadjroel Rachman menjelaskan, penerapan darurat sipil untuk mencegah penyebaran virus corona Covid-19 masih dalam tahap kajian dan belum diputuskan. 1 Sapto Andika Candra, Jokowi Tetapkan Pembatasan Sosial Diikuti Darurat Sipil , dalam Republika, 30 Maret 2020, https://republika.co.id/berita/q7zxl5382/jokowi-tetapkan-pembatasan-sosial-diikuti-darurat-sipil 2 Farid Kusuma, Koalisi Masyarakat Sipil Mendesak Pemerintah Tetapkan Darurat Kesehatan Masyarakat , dalam Suara Surabaya, 30 Maret 2020, https://www.suarasurabaya.net/kelanakota/2020/koalisi-masyarakat- sipil-mendesak-pemerintah-tetapkan-darurat-kesehatan-masyarakat/
17
Embed
Darurat Sipil: Bukti Buruknya Komunikasi Pemerintah
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Darurat Sipil: Bukti Buruknya Komunikasi Pemerintah
Oleh: BEM Kema Unpad, BEM Bima Fikom Unpad, dan BEM Gama FIB Unpad
Pendahuluan
Pada Senin, 30 Maret 2020 lalu, Presiden Jokowi menyampaikan sebuah pidato melalui
rapat terbatas mengenai kebijakan pembatasan sosial skala besar dan pendisiplinan penerapan
penjarakan fisik, untuk menekan laju penularan Covid-19 di Indonesia. Pemberlakukan dua
kebijakan tersebut dilandasi oleh status darurat sipil, yang diatur dalam Peraturan Pemerintah
Pengganti UU (Perppu) No. 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya.
"Saya minta kebijakan pembatasan sosial berskala besar, physical distancing dilakukan
lebih tegas, lebih disiplin, dan lebih efektif lagi. Sehingga, tadi sudah saya sampaikan bahwa
perlu didampingi adanya kebijakan darurat sipil," kata Presiden Jokowi dalam rapat terbatas,
Senin (30/3)1. Dalam Pasal 3 Perppu tersebut disebutkan bahwa keadaan darurat sipil
ditangani oleh pejabat sipil yang ditetapkan presiden dan dibantu oleh TNI atau Polri.
Kebijakan status darurat sipil yang diumumkan presiden beberapa waktu yang lalu
tersebut menuai banyak respon negatif di masyarakat. Salah satunya seperti yang
diungkapkan Koalisi Masyarakat Sipil, bahwa pemerintah seharusnya menetapkan status
kedaruratan kesehatan masyarakat, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2018 dan meletakkan otoritas tertinggi dalam upaya penanggulangan Covid-19 berada
di otoritas kesehatan bukan malah dalam wujud darurat sipil apalagi darurat militer2.
Namun, beberapa hari kemudian setelah pidato Jokowi yang menyinggung status darurat
sipil tersebut, ada beberapa masalah komunikasi terlihat di dalam struktur internal pemerintah
yang berusaha untuk mengklarifikasi maksud pidato tersebut, di antaranya adalah Juru Bicara
(Jubir) Presiden, Fadjroel Rachman dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum
(Menkopolhukam), Mahfud MD.
Jubir Presiden, Fadjroel Rachman menjelaskan, penerapan darurat sipil untuk mencegah
penyebaran virus corona Covid-19 masih dalam tahap kajian dan belum diputuskan.
1 Sapto Andika Candra, Jokowi Tetapkan Pembatasan Sosial Diikuti Darurat Sipil, dalam Republika, 30 Maret 2020, https://republika.co.id/berita/q7zxl5382/jokowi-tetapkan-pembatasan-sosial-diikuti-darurat-sipil 2 Farid Kusuma, Koalisi Masyarakat Sipil Mendesak Pemerintah Tetapkan Darurat Kesehatan Masyarakat, dalam Suara Surabaya, 30 Maret 2020, https://www.suarasurabaya.net/kelanakota/2020/koalisi-masyarakat-sipil-mendesak-pemerintah-tetapkan-darurat-kesehatan-masyarakat/
Penerapan darurat sipil adalah langkah terakhir yang baru akan digunakan jika penyebaran
virus corona Covid-19 semakin masif. "Penerapan Darurat Sipil adalah langkah terakhir yang
bisa jadi tidak pernah digunakan dalam kasus Covid-19," kata Fadjroel3.
Senada dengan Fadjroel, Mahfud MD mengatakan pemerintah belum berencana
menggunakan Perppu Nomor 23 Tahun 1959 tersebut di tengah penanganan wabah virus
corona. Dalam Perppu itu memang dijelaskan terkait status darurat sipil dan langkah yang
bisa diambil negara jika keadaan darurat berlaku. "Undang-undang itu sudah standby tapi
hanya diberlakukan nanti kalau diperlukan, kalau keadaan ini menghendaki darurat sipil, baru
itu diberlakukan," kata Mahfud4.
Miskonsepsi Keadaan Darurat dalam Penanganan Covid-19
Dengan diaturnya hak asasi manusia dalam konstitusi meletakan kewajiban bagi
negara atau pemerintah untuk melakukan penghormatan (obligation to respect), melakukan
perlindungan (obligation to protect), serta mengambil segala tindakan yang diperlukan untuk
mencapai pemenuhan hak asasi tersebut (obligation to fulfill).
Konsepsi hak asasi manusia pada umumnya terbagi menjadi dua klasifikasi yaitu hak
asasi manusia yang tidak dapat dibatasi dalam keadaan apapun (non-derogable rights) dan
hak asasi manusia yang dapat dibatasi dalam keadaan tertentu (derogable rights).
Pelaksanaan beberapa hak politik secara khusus diberi pembatasan perundang-undangan yang
menyangkut ketertiban dan keamanan dalam negara.
Pada konsepnya, pembatasan hak asasi manusia yang bersifat derogable rights dapat
dilakukan, hal ini sebagaimana tertuang dalam pasal 28J UUD 1945 yang menyatakan bahwa
dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk dalam pembatasan
yang diatur oleh undang-undang dengan maksud semata-mata menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhhi tuntutan yang adil
sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam
suatu masyarakat demokratis.
3 Pingit Aria, Pembatasan Sosial Skala Besar dan Darurat Sipil, Ini Beda Dampaknya, dalam katadata.id, 30
Maret 2020 https://katadata.co.id/berita/2020/03/30/pembatasan-sosial-skala-besar-dan-darurat-sipil-ini-beda-dampaknya 4 Mahfud: Darurat Sipil Berlaku Jika Diperlukan Hadapi Corona, dalam CNN Indonesia, 1 April 2020, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200401131715-32-489101/mahfud-darurat-sipil-berlaku-jika-diperlukan-hadapi-corona
Dalam hal keamanan dan ketertiban umum, hal yang sering dikaitakan ialah adanya
suatu keadaan darurat atau bahaya yang dialami oleh negara. Jimly Ashiddiqie menyatakan
bahwa keadaan bahaya adalah keadaan tiba-tiba yang mengancam ketertiban umum, yang
menuntut negara untuk bertindak secara dengan cara tidak lazim menurut aturan yang berlaku
dalam keadaan normal.5 Instrumen hukum yang menjadi landasan penetapan keadaan bahaya
adalah pasal 12 UUD 1945 yang menyatakan bahwa “presiden menyatakan keadaan bahaya.
Syarat-syarat dan akibatnya diatur dalam undang-undang”. Dalam hal ini, penetapan
keadaan bahaya telah menjadi hak prerogatif presiden yang diatur oleh konstitusi dimana
pengaturannya diatur dalam undang-undang, yang sejauh ini masih berada dalam Perppu
Nomor 23 tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya.
Hans Ernst Folz dalam bukunya, a state of emergency and emergency legislation
mengklasifikasikan keadaan darurat kedalam enam bentuk yaitu (1) adanya bahaya eksternal
yang mengancam negara; (2) adanya kerusuhan domestik; (3) gangguan fungsi normal dari
otoritas pemerintah disebabgkan oleh pemogokan dalam pelayanan sipil; (4) penolakan untuk
membayar pajak;(5) kesulitan dalam bidang ekonomi dan keuangan; (6) kerusuhan buruh dan
bencana nasional.6
Walaupun pembatasan hak asasi diperbolehkan baik dalam instrumen hukum
internasional maupun hukum nasional, pembatasan hak asasi haruslah memenuhi kondisi-
kondisi tertentu dengan maksud agar tidak diberlakukan secara sewenang-wenang. Kondisi-
kondisi tersebut antara lain (1) prescribed by law (diatur berdasarkan hukum); (2) in
democratic society (diperlukan dalam masyarakat demokratis); (3) public order (untuk
melindungi ketertiban umum); (4) public health (untuk melindungi kesehatan publik); (5)
public morals (untuk melindungi moral publik); (6) national security (untuk melindungi
keamanan nasional); (7) public safety (untuk melindungi keselamatan publik); (8) rights and
freedoms of other or the rights reputations of others (melindungi hak dan kebebasan orang
lain).7
Dalam pemberlakuan kondisi darurat dalam suatu negara, menurut Jimly Asshidiqie
terdapat beberapa asas yang menaungi pemberlakuan keadaan darurat tersebut diantaranya
asas deklarasi, legalitas, komunikasi, kesementaraan, keistimewaan ancaman,
proporsionalitas, intangibility, dan pengawasan. Asas-asas tersebut diaktualisasikan dalam
5 Jimly Asshiddiqie. 2007. Hukum Tata Negara Darurat. Jakarta: Rajawali Press., hlm 3 6 Osgar S. Matompo. 2014. Pembatasan Terhadap Hak Asasi Manusia dalam Prespektif Keadaan Darurat. Jurnal Media Hukum Vol. 21 No 1, Juni 2014., hal. 62 7 Ibid.,
produk hukum yang mengatur keadaan darurat di Indonesia melalui Perppu Nomor 23 Tahun
1959 tentang Keadaan Bahaya.
Dalam Perppu tersebut terdapat tiga kriteria yang dipakai untuk menentukan keadaan
darurat yaitu (1) keamanan atau ketertiban hukum di seluruh atau sebagian wilayah RI
terancam oleh pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam, sehingga
dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa; (2) Timbul perang
atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah negara Republik Indonesia dengan
cara apapun; (3) hidup negara dalam keadaan bahaya atau dari keadaan-keadaan khusus
ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala-gejala yang dapat membahayakan hidup negara.
Dalam Perppu Nomor 23 Tahun 1959, pemberlakuan keadaan darurat meliputi tiga
tingkatan yaitu darurat sipil, darurat militer dan darurat perang. Dalam penjelasan Perppu,
disebutkan bahwa perang saudara, kerusuhan, dan bencana alam termasuk kategori keadaan
darurat sipil. Keadaan pemberontakan termasuk ke dalam kategori darurat militer, sedangkan
perang termasuk dalam kategori darurat perang.
Sebelum sekarang ini, kebijakan darurat sipil pernah diberlakukan oleh beberapa
presiden Indonesia terdahulu. Pada zaman presiden Megawati Soekarno Putri misalnya. Pada
zaman itu, Megawati menetapkan status darurat sipil di Aceh, Selasa, 18 Mei 2004, melalui
Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun 2004, dan berlaku mulai 19 Mei 2004 pukul 00.00. Hal
ini diberlakukan unutk melawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) karena mereka menolak
ultimatum dua minggu untuk menerima otonomi khusus untuk Aceh di bawah Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Konflik ini berawal pada masa perpindahan kekuasaan
dari Presiden Soekarno kepada Soeharto yang merupakan pertanda bahwa akan terjadi
pertumbuhan pembangunan masyarakat Aceh terhadap kehidupan sosial, ekonomi dan politik
yang lebih baik dari pada masa orde lama. Namun pertanda itu berubah mnjadi kekecewaan
karena kekayaan alam Aceh mulai dikuras oleh pemerintah dengan sistem kebijakan yang
sentralistik sehingga hanya menjadikan Aceh sebagaisapi perah. Kejadian tersebut dianggap
melanggar syariat islam. Nilai-nilai keislaman mulai hilang di tengah-tengah aktivitas
perindustrian. Hal ini membuat para tokoh DI/TII Aceh yang dulu mereka konsisten berjuang
untuk mendirikan Republik Islam Aceh dengan penegakan hukum dan norma-norma
keislaman menjadi perihatin dan bersikap oposisi.
Pada awalnya pemerintah pusat melalui keppres No.28/2003 menerapkan Darurat
Militer dan darurat militer ini langsung berada dibawah presiden sebagai penguasa darurat
militer pusat. Dalam darurat militer ini, pemerintah membenarkan seluruh tindakan aparat
keamanan selama DOM (Daerah Operasai Militer) telah melakukan operasi yang
menghalalkan segala cara, yang dilakukan justru kontra produktif. Spirit, nasionalisme dan
NKRI adalah mempertahankan kepemilikan atas Aceh secara teritorial dengan daya koersif
yang dimiliki negara, sehingga yang dipikirkan pemerintah adalah mengembalikan efektifitas
kaki kekuasaannya di daerah dengan cara apapun.
Dalam kondisi Darurat Militer tersebut, Amnesty international melaporkan bahwa
telah terjadi kekerasan dan pelanggaram HAM oleh TNI dari masa pra Daerah Operasi
Militer hingga masa Darurat Militer seperti: melakukan pembakaran terhadap rumah-rumah
penduduk, melakukan penyiksaan terhadap penduduk, melakukan penangkapan terhadap para
istri dan anak-anak anggota GAM, dan diantaranya melakukan penyandraan terhadap mereka,
dan diantaranya yang ditangkap tersebut kemudian diperkosa serta melakukan pembunuhan.
Darurat sipil juga pernah terjadi di Maluku dan Maluku Utara. Melalui Keputusan
Presiden Nomor 88 tahun 2000 Kebijakan ini diambil oleh presiden Indonesia pada masa itu
Abdurrahman Wahid dikarenakan konflik etnis politik yang melibatkan agama tak kunjung
usai. Konflik ini dimulai pada pada Januari 1999 dan melibatkan umat Kristen dan Islam.
Dalam konflik ini, sedikitnya 5.000 orang dikabarkan meninggal. Pelanggaran HAM juga
bayak terjadi pada konflik ini. Menurut laporan terakhir Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Maluku Utara, terdapat total 991 korban. Faktor utama konflik ini adalah ketidakstabilan
politik dan ekonomi di Indonesia setelah turunnya presiden Soeharto dan nilai tukar rupiah
mengalami devaluasi selama krisis ekonomi di Asia Tenggara. Faktor lain pemicu konflik ini
adalah rencana pemekaran Provinsi Maluku dan Maluku Utara. Kebijakan ini diambil selama
kurang lebih 3 tahun. Sampai pada 15 September 2003, Presiden Megawati yang kala itu
menggantikan Presiden Abdurahman Wahid mencabut status Darurat Sipil tersebut melalui
Keputusan Presiden Nomor 71 tahun 2003.
Sekarang, berbicara masalah opsi darurat sipil sebagai tindakan untuk menangani
penyebaran Covid-19, maka terjadi suatu kesalahan konsep penerapan darurat sipil dalam
menangani keadaan bahaya. Yang harus diingat, Indonesia sendiri telah memiliki UU Nomor
24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, dimana jika kita melihat penyebaran
Covid-19 sebagai suatu bencana, maka hal tersebut dapat dikatakan sebagai bencana non-
alam yang meliputi penyebaran wabah penyakit.
Dalam hal ini, UU Nomor 24 Tahun 2007 telah memisahkan bencana sebagai bagian
dari penetapan status darurat sipil. Dimana bencana memiliki penetapan status dan
penanganannya sendiri berdasarkan UU a quo. Dimana UU a quo tidak menyebutkan darurat
sipil sebagai bagian dari status darurat bencana. UU tersebut juga merupakan aturan spesialis
dalam penanganan bencana nasional. Sehingga, menjadi suatu kesalahan jika menetapkan
status darurat sipil untuk menangani keadaan bencana, pemerintah harusnya mengingat
bahwa Indonesia memiliki UU Penanggulangan Bencana dalam penanganan bencana alam
maupun non alam.
Masalah Komunikasi Pemerintah Sebelum Wacana Darurat Sipil
Sebelum permasalahan status darurat sipil, pemerintah sudah banyak menemui kendala
komunikasi dalam penanganan pandemi Covid-19. Pada masa-masa awal kemunculan virus
di Wuhan dan merebak ke beberapa negara, pemerintah kerap kali meremehkan daruratnya
penyebaran virus tersebut dan merespon dengan candaan dan ejekan. Salah satu kasusnya
adalah pemerintah tidak menggubris penelitian seorang profesor di Universitas Harvard
tentang kemungkinan Indonesia sudah memilik banyak kasus positif virus corona, yang pada
saat itu Indonesia belum melaporkan kasus apapun. Koalisi Masyarakat Sipil pun
menanggapi cara pemerintah menangani penyebaran virus itu sekadar untuk mencegah
kepanikan publik, tetapi tidak menunjukkan kerja nyata dalam melindungi masyarakat.
Pemerintah juga terkesan membatasi masyarakat atas informasi mengenai ancaman dan
perkembangan penyebaran virus8.
Selain itu, kurangnya sinkronisasi antara pemerintah pusat dan daerah kerap terjadi
dengan adanya simpang siur informasi untuk masyarakat. Salah satu contohnya dialami oleh
pemerintah daerah Depok. Walikota Depok, Muhammad Idris, telah menyampaikan bahwa
pasien kasus 1 dan 2 telah positif terinfeksi virus corona satu hari sebelum Presiden Jokowi
memberikan pengumuman. Namun, ia diminta oleh pemerintah pusat untuk diam9. Masalah
beda pendapat pemda dan pusat juga terlihat pada penetapan kebijakan karantina wilayah
yang sudah dilakukan beberapa daerah, yaitu Tegal, Banda Aceh, dan Jayapura. Namun,
pemerintah pusat melarang sebelum ada intruksi dari pusat, dalam pernyataan presiden pada
8 Koalisi Masyarakat Sipil Beber Kegagapan Pemerintah Tangani Corona, dalam jpnn.com, 13 Maret 2020, https://www.jpnn.com/news/koalisi-masyarakat-sipil-beber-kegagapan-pemerintah-tangani-corona 9 Yuliawati, Masyarakat 'Gerah' Tuntut Transparansi Pemerintah Atasi Wabah Corona, dalam Katadata.id, 13 Maret 2020, https://katadata.co.id/berita/2020/03/13/masyarakat-gerah-tuntut-transparansi-pemerintah-atasi-wabah-corona
rapat terbatas 30 Maret lalu, “Dan saya ingatkan kebijakan kekarantinaan kesehatan termasuk
karantina wilayah adalah kewenangan pemerintah pusat, bukan pemda,” kata Jokowi.
Lalu masalah komunikasi juga terjadi ketika adanya kebijakan pelarangan mudik yang
dikeluarkan pemerintah awal April ini. Diawali dengan pernyataan Jubir Presiden, Fadjroel
Rachman, dalam cuitannya di media sosial. Ia mengatakan, pemerintah tidak mengeluarkan
larangan mudik, namun pemudik diwajibkan mengisolasi mandiri selama 14 hari sesuai
ketentuan WHO, “Presiden Joko Widodo juga mengingatkan pemerintah daerah tujuan untuk
membuat kebijakan khusus terkait para pemudik ini sesuai protokol kesehatan WHO dengan
sangat ketat.” Lalu pernyataan Fadjroel tersebut dibantah oleh Menteri Sekretaris Negara
(Mensesneg), Pratikno. “Pemerintah mengajak dan berupaya keras agar masyarakat tidak
perlu mudik,” tegasnya. Fadjroel pun kemudian meralat cuitannya dan mengimbau para
perantau untuk tidak mudik dan tidak meninggalkan Jakarta jelang Idul fitri tahun ini10
.
Buruknya Komunikasi Publik Pemerintah
Masalah kurangnya kualitas komunikasi publik pemerintah Indonesia, terutama ketika
penanganan pandemi Covid 19 saat ini, diakui oleh beberapa pihak. Mulai dari lembaga
legislatif, DPR RI, yaitu Wakil ketua Komisi IX, Saleh Daulay, yang menilai manajemen
komunikasi pemerintah dalam penanganan Covid-19 masih lemah, dilihat dari kasus pasien
yang kabur dari RSUP Persahabatan beberapa waktu yang lalu. Ia mengkhawatirkan hal itu
bisa menimbulkan kesalahpahaman di ruang publik, dan menimbulkan rasa tidak percaya
publik terhadap informasi yang dikeluarkan pemerintah dan stakeholder terkait11
.
Dari lembaga eksekutif itu sendiri, Tenaga Ahli Utama Kepresidenan, Dany Amrul
Ichdan, mengatakan, pemerintah mengakui bahwa masih ada kelemahan dalam melakukan
komunikasi publik terkait penanganan virus corona. Ia menilai kelemahan tersebut terjadi
sebelum ditunjuknya Achmad Yurianto sebagai juru bicara pemerintah terkait penanganan
wabah ini12
.
10 Andrian Pratama Taher, Mensesneg Meralat Pernyataan Jubir Jokowi Bolehkan Mudik, dalam Tirto.id, 20 April 2020, https://tirto.id/eKr3 11
Atalya Puspa, DPR Kritisi Komunikasi Publik Pemerintah Soal Covid-19, dalam Media Indonesia, 13 Maret 2020, https://mediaindonesia.com/read/detail/296484-dpr-kritisi-komunikasi-publik-pemerintah-soal-covid-19 12 Dina Fitri Anisa, Terkait Corona, Pemerintah: Komunikasi Publik Kami Masih Lemah, dalam Berita Satu, 11 Maret 2020, https://www.beritasatu.com/kesehatan/607773-terkait-corona-pemerintah-komunikasi-publik-kami-masih-lemah
Wakil Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid, melihat bahwa pemerintah hanya menanggulangi
penyebaran virus corona kasus per kasus saja. Ia mengatakan sikap itu terlihat sejak
pemerintah menyikapi rencana pemulangan ratusan warga negara Indonesia (WNI) dari
Wuhan, Cina, beberapa waktu lalu. Menurutnya, pemerintah baru mengambil langkah
evakuasi setelah sejumlah kalangan melayangkan kritik13
.
Pembahasan Buruknya Komunikasi Pemerintah
Paradigma adalah merupakan nuansa berpikir seseorang atau sekelompok orang dalam
memandang dan menyikapi objek dan subjek tertentu14
. Untuk melihat permasalahan
komunikasi pemerintah dalam penanganan Covid-19, kajian ini menggunakan paradigma
komunikasi pemerintahan, dengan komunikasi publik sebagai salah satu kajian metodologi
ruang lingkupnya.
Sebuah komunikasi bisa dikatakan sebagai komunikasi publik ketika komunikasi itu
dilakukan dengan pihak ketiga. Komunikasi tersebut sudah masuk ke dalam ranah publik,
sebagaimana yang dikatakan oleh Molefi K. Asante dan Jerry K. Frye (1977), “other people
are involved in the communicative event, either as message originators or receivers.” Orang-
orang berkomunikasi untuk mengoper pesan kepada penerima pesan baik secara individual
maupun kelompok15
.
Lebih jelasnya lagi, komunikasi publik adalah komunikasi yang dilakukan di depan orang
banyak, bisa berupa informasi, ajakan, gagasan, melalui berbagai sarana atau medium yang
dapat menjangkau publik yang lebih luas. Komunikasi publik memerlukan keterampilan
komunikasi lisan dan tulisan agar pesan dapat disampaikan secara efektif dan efisien16
.
Menurut Dennis Dijkzeul dan Markus Moke (2005), komunikasi publik didefinisikan
sebagai kegiatan dan strategi komunikasi yang ditujukan kepada khalayak sasaran. Adapun
tujuan komunikasi publik adalah untuk menyediakan informasi kepada khalayak sasaran dan
untuk meningkatkan kepedualian dan mempengaruhi sikap atau perilaku khalayak sasaran.
13 DPR Sebut Jokowi Tak Punya Rencana Jangka Pendek Cegah Corona, dalam CNN Indonesia, 18 Maret 2020, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200318171241-32-484669/dpr-sebut-jokowi-tak-punya-rencana-jangka-pendek-cegah-corona 14 Dr. Dra. Erliana Hasan, M.Si., 2014, Modul Paradigma Komunikasi Pemerintahan, hlm. 1.24 15 Ibid, hlm. 1.28 16
Indrianti Azhar Firdausi, Fuqoha, 2018, Kisruh Regulasi Tenaga Kerja Asing Sebagai Kegagalan Komunikasi Publik Pemerintah, hlm. 91
Pada dasarnya, komunikasi publik merupakan komunikasi yang melibatkan khalayak luas,
terlepas dari saluran apa yang digunakan.
Dalam kaitannya dengan pemerintahan, komunikasi publik menjadi sangat penting dalam
memberikan pemahaman kepada masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan yang ditetapkan,
termasuk di dalamnya kebijakan hukum17
. Bagaimanapun juga, sebuah organisasi
pemerintahan tidak akan dapat melaksanakan fungsinya, dan tidak akan dapat
mengefisienkan dan mengefektifkan penggunaan sumber-sumbernya, dan pada akhirnya
tidak akan dapat mencapai tujuannya tanpa komunikasi (Beach, 1975: 580)18
. Pemerintah
memerlukan komunikasi untuk melaksanakan hak dan kewajibannya sebagai salah satu unsur
negara, serta mengelolanya dengan tujuan kepentingan dan kemaslahatan publik.
Pengelolaan komunikasi publik, menurut Ahmed Kurnia Soeriawidjaja, adalah tata cara
pengendalian informasi publik yang meliputi perencanaan, penyiapan, dan pelaksanaan
komunikasi publik terkait dengan kebijakan dan program pemerintah. Adapun karakteristik
pengelolaan komunikasi publik adalah19
:
1. Melayani publik dengan informasi terkait kebijakan pemerintah yang sudah, sedang,
dan akan dilakukan.
2. Melibatkan publik dalam merumuskan, melaksanakan, dan mengawasi kebijakan
pemerintah yang sudah, sedang, dan akan dilakukan.
3. Berbasis fakta, data, dan updating informasi.
4. Menjelaskan duduk perkara secara proporsional (tidak ofensif dan tidak defensif
dalam berkomunikasi).
5. Melaksanakan Edukasi di Ruang Publik.
Komunikasi publik dalam struktur pemerintahan ini dikaitkan dengan paradigma yang
lebih spesifik, yaitu komunikasi pemerintahan, yang merupakan sebuah paradigma baru
sebagai akibat penetapan kebijakan pemerintah, bahwa komunikasi pemerintahan dipandang
sebagai pengembangan terapan dari ilmu politik, ilmu pemerintahan, ilmu komunikasi, ilmu
administrasi, ilmu manajemen, dan ilmu sosial serta psikologi terapan.
17 Ibid, hlm. 90 18 Ulber Silalahi, 2004, Komunikasi Pemerintahan: Mengirim Dan Menerima Informasi Tugas Dan Informasi Publik, hlm. 37 19 Thoriq Ramadani, 2019, Pengelolaan Komunikasi Publik, hlm. 13
Komunikasi publik digunakan sebagai kajian metodologi untuk membuat konstruksi lain
dalam pengalokasian ruang lingkup aktivitas komunikasi pemerintahan, serupa dengan kajian
komunikasi lainnya, seperti komunikasi antarmanusia (human communication), komunikasi
politik, komunikasi organisasional, komunikasi manajerial, dan komunikasi pemasaran20
.
Manfaat dari komunikasi pemerintahan itu sendiri adalah kemampuan untuk mengevaluasi
pesan, prosedur, dan teknik yang efektif untuk menumbuhkan dan memelihara kepercayaan
masyarakat21
. Bukti bahwa pemerintah bisa dipercaya oleh masyarakat sebagai pemberi
layanan dan menghasilkan produk hukum yang bijaksana melalui komunikasi tersebut.
Dalam proses komunikasi ini, pemerintah diasumsikan sebagai komunikator dan masyarakat
sebagai komunikan. Namun dalam kondisi tertentu, unsur tersebut dapat berbalik, masyarakat
berada pada posisi sebagai penyampai ide atau gagasan dan pemerintah berada pada posisi
mencermati apa yang diinginkan masyarakat.
Komunikasi pemerintahan tidak lepas dari masalah, baik itu kemungkinan adanya
komunikasi yang tidak efektif bahkan kegagalan. Seringkali terdapat distorsi atau gangguan
yang berujung kepada kesalahpahaman dalam internal organisasi pemerintah atau bahkan
ketika berhadapan dengan masyarakat sebagai pihak yang dilayani.
Pemerintah dapat dikatakan sebuah struktur organisasi, yang mana penting sekali untuk
memahami proses komunikasi organisasional untuk melihat proses komunikasi internalnya.
Pemerintah memiliki presiden sebagai pemimpin dalam sebuah kabinet, dengan berbagai
struktur atau elemen lain di bawahnya, seperti staf kepresidenan, kementerian, dan lain
sebagainya. Komunikasi pemerintahan secara khas dianggap sebagai organisasi yang
“mengadopsi” ciri-ciri birokrasi. Komunikasi bentuk ini sangat menekankan komunikasi
vertikal (vertical communication) dengan arus komunikasi ke bawah dan ke atas (downward
and upward communication), berdasarkan hubungan kekuasaan (power relationship) dalam
hierarki organisasional22
.
Komunikasi pemerintahan internal lebih merupakan komunikasi dalam hubungan kerja.
Dalam hubungan kerja tersebut terjadi komunikasi ke bawah, komunikasi ke atas, dan
komunikasi ke samping. Masing-masing memiliki perbedaan fungsi yang sangat tegas23
2. Berusaha menyingkirkan atau meminimasi rintangan-rintangan komunikasi
pemerintahan krisis (Stilman, 1992: 257-260).
3. Menguasai pengetahuan tentang praktek berkomunikasi efektif yang dapat membantu
administrator pemerintah mengelola secara lebih efektif, seperti pengetahuan tentang
audiens, pengetahuan tentang pesan, pengetahuan tentang medium (Garnett, dalam
Perry, 1989: 547-555).
4. Mengubah pendekatan pemerintah terhadap informasi publik dari traditional press
release policy — based on interpersonal exchanges between politicians and
journalists — ke profesionalized and specialized process of strategic communication
controlling the flow of news (Barbara Pfetsch, 1999: 99-101).
Masyarakat yang semakin kritis dengan kebijakan pemerintah
Perkembangan teknologi membuat masyarakat semakin mudah mendapatkan dan
menyebarkan informasi, terutama dengan adanya akses internet. Selain itu, sistem
perpolitikan negara yang semakin terbuka dan transparan setelah reformasi, meningkatkan
daya kritis dan skeptis masyarakat terhadap kebijakan dari pemerintah.
Hal tersebut diakui oleh Reydonnyzar Moenek, mantan Juru Bicara/Kapus Penerangan
Kementerian dalam Negeri, yang menjelaskan adanya perubahan paradigma semasa era
reformasi dan implikasinya yang terjadi di Indonesia, yaitu28
1. Terjadinya demokratisasi yang membuat masyarakat bebas untuk memilih
2. Kebebasan mengemukakan pendapat dan memperoleh informasi mengakibatkan
masyarakat cenderung berbuat tanpa batas, ruang publik menerobos ruang privat,
3. Terbentuknya otonomi daerah yang menimbulkan desentralisasi yang menghasilkan
peningkatan pendapatan daerah
4. Globalisasi membentuk pasar bebas yang membuat banyak pilihan, terjadinya
persaingan bebas, fokus bisnis dan entitas
5. Edukasi membuat masyarakat menjadi kritis atas sesuatu hal
6. Good governance menjadi transparan, fair, akuntabel dan professional
7. Reinventing govt, pemerintah berperan sebagai enabler
28 JDIH Kemenristek, Upaya Membangun Komunikasi Politik yang Sistematis, Sinergis, dan Efektif pada Kementerian/Lembaga, http://jdih.ristekdikti.go.id/v0/?q=berita/%E2%80%9Cupaya-membangun-komunikasi-politik-yang-sistematis-sinergis-dan-efektif-pada-kementerianlembaga%E2%80%9D
8. Keterbukaan Informasi membuat masyarakat menjadi kritis atas kebijakan
pemerintah,
9. Masyarakat cerdas dan kritis menciptakan good governance
10. Tingginya ekspektasi masyarakat kepada pemerintah menciptakan perubahan kultur
birokrasi
11. Kemajuan TI dan telekomunikasi membentuk pemerintahan yang adaptif, reponsif
dan akomodatif.
Di tengah pandemi wabah Covid-19 saat ini, masyarakat Indonesia sangat bergantung
kepada informasi yang akurat dan faktual, disertai dengan kebijakan pemerintah yang
seharusnya bisa mengakomodir hak masyarakat atas informasi dan perlindungan. Masyarakat
saat ini dapat merasakan bahwa pernyataan pejabat publik Indonesia selama ini terkait
penanganan Covid-19 dinilai masih simpang siur satu sama lain, tidak akurat karena tidak
melihat kondisi di lapangan secara langsung, serta masih kurangnya kesigapan dan cekatan
karena hanya bergerak berdasarkan respon, tidak dengan persiapan matang dan strategis.
Apa yang sejauh ini ditunjukkan pemerintah melalui rendahnya kualitas pernyataan dan
respon tersebut tidak hanya memperlihatkan kegagapan merespon situasi, namun juga
menunjukkan kegagalan dalam penyampaian komunikasi kepada publik yang memuaskan
terkait dengan Covid-19 di Indonesia. Ditambah lagi, di sisi yang sama dapat dinilai bahwa
pemerintah tidak memiliki kecakapan atas penguasaan masalah dan koordinasi lintas sektoral
atau antar lembaga yang lemah29
. Komunikasi publik pemerintah juga terkesan masih terlihat
“menyepelekan” di berbagai situasi darurat seperti ini. Implikasinya adalah, pemerintah tidak
bisa menghadirkan rasa tenang bagi masyarakat.
Menurut Whisnu Triwibowo, dosen Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia,
terdapat sebuah kerangka komunikasi publik yaitu model Crisis and Emergency Risk
Communication (CERC) yang digunakan pada keadaan luar biasa. CERC memadukan
strategi komunikasi risiko (risk communication) yang umum digunakan sektor pemerintah
dalam keadaan darurat dan komunikasi krisis (crisis communication) yang digunakan sektor
swasta untuk menghadapi krisis organisasi. Tahapannya adalah: sebelum krisis (pre-crisis),
29
J.16, Hiruk-Pikuk Lingua Elite Memerangi Corona, dalam Pinter Politik, 17 Maret 2020, https://www.pinterpolitik.com/hiruk-pikuk-lingua-elite-memerangi-corona/
awal krisis (initial event), selama krisis (maintenance), resolusi (resolution), evaluasi
(evaluation)30
.
Berdasarkan model ini, Indonesia telah mengalami tiga tahap pertama komunikasi krisis
ini. Sebelum krisis tiba di Indonesia, ketika wabah memuncak di Cina awal tahun ini, Whisnu
menilai pemerintah Indonesia terlihat tidak antisipatif terhadap dampak global virus.
Pemerintah yang kurang tanggap terhadap potensi pandemi, membuat publik tidak memiliki
pengetahuan awal terkait bahaya COVID-19.
Whisnu juga menambahkan, informasi yang tidak pasti dari media sosial kemudian
menjadi panduan utama publik. Publik yang selama ini tidak mendapatkan panduan resmi
dari pemerintah menjadi kebingungan sehingga bertindak panik, misalnya dengan
memborong sembako, ataupun tidak bereaksi dan tetap melakukan kegiatan harian. Hal ini
ditambah tidak sinkronnya kebijakan pusat dan daerah. Publik yang kebingungan masih tidak
menjadikan informasi dari pemerintah sebagai acuan utama.
Kegagalan komunikasi pemerintah terlihat sangat jelas dengan gagapnya penanganan
informasi dan pengeluaran kebijakan terkait wabah Covid-19 tersebut.
Penutup
Merespon kurang efektifnya komunikasi pemerintah Indonesia dalam menyediakan
informasi terkait wabah Covid-19, di antaranya adalah kurangnya kesigapan dan terkesan
meremehkan suasana, serta adanya kesimpangsiuran informasi dari pemerintah dalam
wilayah, pelarangan mudik, dan ketidaksinkronan dengan pemerintah daerah) dan berujung
kepada seringnya pemerintah meralat informasi yang telah disampaikan kepada publik, kami
memperlihatkan keterkaitan semua permasalahan tersebut melalui kaca mata kajian ilmu
komunikasi.
Pemerintah bisa dilihat sebagai salah satu unsur komunikasi yang berbentuk organisasi
dan mengadopsi ciri-ciri birokrasi, yang memiliki struktur internal yang kompleks serta
diharuskan melakukan komunikasi kepada publik. Oleh sebab itu, permasalahan komunikasi
yang dilakukan pemerintah, seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, tidak hanya kami lihat
30 Whisnu Triwibowo, Analisis: Pemerintah Masih Bisa Perbaiki Komunikasi Krisis Pandemi yang Sejauh Ini Gagal, dalam The Conversation, 27 Maret 2020, https://theconversation.com/analisis-pemerintah-masih-bisa-perbaiki-komunikasi-krisis-pandemi-yang-sejauh-ini-gagal-134542
secara komunikasi eksternal saja (proses komunikasi publik pemerintah dengan masyarakat
untuk menginformasikan kebijakan publik), melainkan juga harus dilihat dari komunikasi
internalnya (komunikasi yang terjalin dalam struktur organisasional, antar pimpinan dan
bawahan).
Sehingga, paradigma komunikasi pemerintahan sangat sesuai untuk melihat kemelut
komunikasi pemerintah di saat penanganan wabah Covid-19 ini, di mana paradigma ini
menggunakan berbagai kajian komunikasi lain sebagai metodologi untuk membuat
konstruksi lain dalam pengalokasian ruang lingkupnya, salah satunya adalah komunikasi
publik yang memperlihatkan komunikasi eksternal pemerintah, dan komunikasi
organisasional untuk melihat komunikasi internalnya.
Komunikasi publik pemerintah masih belum bisa mencapai ekspektasi masyarakat, belum
bisa menghadirkan kepercayaan dan rasa aman masyarakat. Dengan gaya penyampaian
informasi yang cenderung menyepelekan, meremehkan kedaruratan wabah global, dan
kesimpangsiuran informasi yang berasal dari banyak pintu, alhasil pemerintah belum
melakukan komunikasi publik yang efektif, bahkan gagal dalam beberapa kondisi tertentu.
Seringnya meralat informasi dan kebijakan, setelah diumumkan kepada publik dan
menuai feedback atau respon tertentu, menandakan adanya kegagalan pemerintah dalam
komunikasi organisasional internal karena miskomunikasi antara struktur yang ada. Bisa
dengan kemungkinan, pimpinan tidak mendapatkan informasi yang cukup untuk
mengeluarkan kebijakan yang benar (seperti yang terlihat pada kasus penetapan status darurat
sipil), atau ketidakselarasan komunikasi antar struktur yang ada itu sendiri (terlihat pada
kasus beda pendapat pelarangan mudik antara Jubir Presiden dan Mensesneg).
Daftar Pustaka
Anisa, Dina Fitri. 2020. Terkait Corona, Pemerintah: Komunikasi Publik Kami Masih
Lemah. Dalam Berita Satu https://www.beritasatu.com/kesehatan/607773-terkait-