Top Banner
DAPATKAH PEJABAT FISKUS DIPIDANAKAN ? Hal : 47 DAPATKAH PEJABAT FISKUS DIPIDANAKAN ? Oleh ; Yoyo Sudaryo Abstrak Seiring dengan makin meningkatnya peran Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai salah satu institusi publik yang memiliki tanggung jawab besar dalam menghimpun penerimaan Negara di sektor perpajakan, maka peran Pejabat Fungsional Pemeriksa Pajak (selanjutnya disebut Pemeriksa) juga semakin besar. Sebagai upaya untuk meningkatkan peran Pemeriksa sebagaimana di atas, beberapa minggu terakhir telah dilakukan mutasi dan pengangkatan pertama sebagai Pemeriksa di Lingkungan DJP. Mutasi pertama diawali dengan keluarnya Keputusan Direktur Jenderal Pajak nomor KEP-133/PJ/UP.53/2008 tanggal 12 Juni 2008 khusus untuk Pemeriksa golongan III ke bawah. Kedua, mutasi untuk Pemeriksa golongan IV ke atas ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan nomor 166/KMK.01/UO.11/2008 tanggal 23 Juni 2008. Dan terakhir, keluarnya keputusan Menteri Keuangan tentang pengangkatan pertama dalam jabatan Fungsional Pemeriksa Pajak sesuai keputusan nomor 447/KM.1/UP.11/2008 tanggal 2 Juli 2008. Rentetan mutasi dan pengangkatan pertama sebagai Pemeriksa mengundang harapan baru dalam era modernisasi seperti saat ini. Pemeriksa yang sebelumnya dikonotasikan sebagai jabatan yang cenderung “arogan” diharapkan akan mampu merubah diri menjadi lebih professional seiring dengan tuntutan perubahan dari masyarakat terhadap institusi DJP. Kata kunci ; Aparat Fiskus, Pidana, Bocorkan Rahasia Perusahaan/ WP. I. Pendahuluan Jika kita berbicara tentang Kejahatan di Bidang Perpajakan, hal tersebut tidak akan terlepas dari pengertian tentang Tindak Pidana Perpajakan itu sendiri, yakni suatu perbuatan yang berhubungan dengan tindak kejahatan di bidang perpajakan yang pelakunya dapat dikenakan hukum pidana sesuai ketentuan Undang-undang yang berlaku. Biasanya kejahatan perpajakan ini dilakukan tanpa kekerasan, sehingga kejahatan ini masuk dalam kelompok kejahatan jenis Concursus Idealis, artinya
23

DAPATKAH PEJABAT FISKUS DIPIDANAKAN ?

Apr 21, 2023

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: DAPATKAH PEJABAT FISKUS DIPIDANAKAN ?

DAPATKAH PEJABAT FISKUS DIPIDANAKAN ? Hal : 47

DAPATKAH PEJABAT FISKUS DIPIDANAKAN ?

Oleh ; Yoyo Sudaryo Abstrak

Seiring dengan makin meningkatnya peran Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai salah satu institusi publik yang memiliki tanggung jawab besar dalam menghimpun penerimaan Negara di sektor perpajakan, maka peran Pejabat Fungsional Pemeriksa Pajak (selanjutnya disebut Pemeriksa) juga semakin besar. Sebagai upaya untuk meningkatkan peran Pemeriksa sebagaimana di atas, beberapa minggu terakhir telah dilakukan mutasi dan pengangkatan pertama sebagai Pemeriksa di Lingkungan DJP. Mutasi pertama diawali dengan keluarnya Keputusan Direktur Jenderal Pajak nomor KEP-133/PJ/UP.53/2008 tanggal 12 Juni 2008 khusus untuk Pemeriksa golongan III ke bawah. Kedua, mutasi untuk Pemeriksa

golongan IV ke atas ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan nomor 166/KMK.01/UO.11/2008 tanggal 23 Juni 2008. Dan terakhir, keluarnya keputusan Menteri Keuangan tentang pengangkatan pertama dalam jabatan Fungsional Pemeriksa Pajak sesuai keputusan nomor 447/KM.1/UP.11/2008 tanggal 2 Juli 2008. Rentetan mutasi dan pengangkatan pertama sebagai Pemeriksa mengundang harapan baru dalam era modernisasi seperti saat ini. Pemeriksa yang sebelumnya dikonotasikan sebagai jabatan yang cenderung “arogan” diharapkan akan mampu merubah diri menjadi lebih professional seiring dengan tuntutan perubahan dari masyarakat terhadap institusi DJP.

Kata kunci ; Aparat Fiskus, Pidana, Bocorkan Rahasia Perusahaan/ WP. I. Pendahuluan

Jika kita berbicara tentang Kejahatan di Bidang Perpajakan, hal tersebut tidak

akan terlepas dari pengertian tentang Tindak Pidana Perpajakan itu sendiri, yakni

suatu perbuatan yang berhubungan dengan tindak kejahatan di bidang perpajakan

yang pelakunya dapat dikenakan hukum pidana sesuai ketentuan Undang-undang

yang berlaku. Biasanya kejahatan perpajakan ini dilakukan tanpa kekerasan, sehingga

kejahatan ini masuk dalam kelompok kejahatan jenis Concursus Idealis, artinya

Page 2: DAPATKAH PEJABAT FISKUS DIPIDANAKAN ?

DAPATKAH PEJABAT FISKUS DIPIDANAKAN ? Hal : 48

memiliki basis dasar dari kejahatan tertentu seperti: penggelapan, penipuan,

pemalsuan dan pencurian dsb.

Kejahatan Perpajakan ini dapat disebut pula kejahatan luar bisa (Extra

Ordinary Crimes), atau lebih familiar disebut pula sebagai kejahatan kerah putih (White

Collar Crime), yang mana kejahatan/pidana perpajakan ini agak sulit diditeksi karena

dilakukan oleh orang-orang yang sangat piawai (skill person), kadang kala kejahatan

ini dilakukan oleh orang-orang di luar Institusi Perpajakan itu sendiri, atau juga dapat

dilakukan bersama-sama (berkolusi) dengan orang-orang yang terkait dengan Intitusi

Perpajakan dengan berselimut Yuridis Formil baik bersama-sama dengan

pemufakatan jahat dengan Wajib Pajak, baik sebagai pelaku utama, pelaku pembantu,

pelaku penyuruh maupun pelaku intelektualnya. Di samping itu hasil dari kejahatan

perpajakan ini, nilainya sangat material, yang diperkirakan kerugian negara akibat

kejahatan/pidana perpajakan bisa mencapai puluhan bahkan ratusan trilyun rupiah,

suatu nilai yang sangat material bagi pembiayaan suatu negara seperti Indonesia ini

yang sangat memerlukan dana untuk pembangunan, dengan kondisi APBN 2006 yang

sedang deficit puluhan trilyunan rupiah.

Oleh karena Perpajakan di Indonesia tersebut merupakan sesuatu yang

terkait dengan unsur tulang punggung penerimaan negara (80% penerimaan APBN

2005), jika hal ini tidak ditangani dengan serius, maka kejahatan di bidang perpajakan

ini jelas-jelas akan mengurangi potensi penerimaan negara di APBN bahkan bisa

mengganggu kestabilitasan negara nantinya. Banyak kalangan yang sampai dengan

saat sekarang masih mempunyai pemikiran bahwa kejahatan (khususnya KKN) bisa

Page 3: DAPATKAH PEJABAT FISKUS DIPIDANAKAN ?

DAPATKAH PEJABAT FISKUS DIPIDANAKAN ? Hal : 49

terjadi karena adanya penyelewengan/penggelapan dari sisi pengeluaran

keuangannya saja, padahal banyak hal dari Kejahatan/KKN tersebut terjadi/bersumber

dari penyelewengan dari sisi penerimaanya yakni dari hilangnya suatu potensi

penerimaan negara atau potensi penerimaan negara tersebut belum tergali dan

diselewengkan/dikorupsi oleh oknum-oknum yang bermain dalam aspek perpajakan

ini, sehingga potensi penerimaan Negara khususnya dari aspek pajak ini akhirnya tidak

masuk ke kas negara sebagai mana mestinya. Namun apapun bentuknya kejahatan di

bidang perpajakan ini, harus dapat dijerat dengan Undang-undang Khusus (UU

Perpajakan yang bersifat Lex Specialis) maupun Undang-undang umum/KUHP &

KUHAP (Lex Generalis), akan tetapi permasalahannya sekarang adalah apakah

Sistem Perpajakan yang ada di Indonesia serta Law Enforcement atas Undang-

undang tersebut terhadap keiahatan perpajakan itu sendiri sudah cukup efektif

sehingga bisa berdaya guna dalam pencesgahan keiahatan perpajakan itu nantinya.

Sangat menarik mencermati tentang kejahatan (korupsi) di bidang ekonomi

khususnya bidang perpajakan baik yang menyangkut dari sisi Fiskus di Ditjen Pajak

maupun dari sisi Wajib Pajak itu sendiri yang menjadi sumber pembayar pajak. Bahkan

beberapa tokoh sangat lantang berbicara tentang hal ini, seperti Kwik Kian Gie (yang

akhirnya minta maaf atas somasi Ditjen Pajak), dan Faisal Basri (yang menyatakan

adanya potensi pajak Rp. 40 triliun yang hilang, yang disebabkan oleh korupsi) serta

beberapa LSM seperti Til, ICW yang begitu sangat intens berbicara dan melakukan

penelitian tentang kejahatan/pidana korupsi di bidang perpajakan ini. Memang terdapat

kontradiksi yang besar jika kita melihat kinerja Ditjen Pajak kita. Di satu sisi,

Page 4: DAPATKAH PEJABAT FISKUS DIPIDANAKAN ?

DAPATKAH PEJABAT FISKUS DIPIDANAKAN ? Hal : 50

pendapatan pajak terus naik. Penerimaan perpajakan selama 1969-1993 sebesar

Rpl49,46 triliun, 1994- 2000 sebesar Rp520,65 triliun, sementara 2001-2004 mencapai

Rp778,112 triliun (Abimanyu, 2004), sehingga perlu kita acungkan jempol kepada

aparat pajak kita, akan tetapi apakah penerimaan negara yang ditargetkan oleh

Pemerintah disetujui oleh DPR memang menggambarkan kondisi perokonomian

kita yang sebenarnya?. Di sisi lain, beberapa studi menyatakan bahwa masyarakat

dan kalangan bisnis secara konsisten mempersepsikan Fiskus di Ditjen Pajak sebagai

salah satu lembaga terkorup, diantaranya penelitian ICW tentang pola korupsi

perpajakan (ICW, 2001), survei korupsi nasional Partnership for Governance Reform in

Indonesia (Partnership, 2001), terakhir indeks persepsi korupsi Transparency

International Indonesia (Til, 2005) dan Business Environment Report Political Economy

Risk Consultancy (PERC, 2005).

Atas hal tersebut, Ditjen Pajak bukannya tidak menyadari persepsi diatas.

Beberapa langkah maju sudah diambil. Dari sisi reformasi administratif misalnya

diperkenalkan online payment, e-filing, large taxpayer office, dan inovasi sistem

informasi lainnya untuk mengurangi kontak langsung wajib pajak dengan petugas

pajak serta reorganisasi internal. Sementara pada penegakan hukum, diperkenalkan

ombudsman pajak yang diawasi oleh Komisi Ombudsman Nasional, nota

kesepahaman (MOU) dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun

pemecatan 30 aparat pajak pada 2004 dikarenakan oknum tersebut telah

menyalahgunakan wewenang (lihat di htlp://kompas.

com/utama/news/0503/22/045542. him).

Page 5: DAPATKAH PEJABAT FISKUS DIPIDANAKAN ?

DAPATKAH PEJABAT FISKUS DIPIDANAKAN ? Hal : 51

Akan tetapi, sebagian besar penanganannya hanya mengarah ke mal-

administrasi dan efisiensi administrasi, dan belum menyentuh akar permasalahan

perpajakan di Indonesia, yakni adanya penyalahgunaan wewenang oleh oknum fiskus

yang mempunyai "bargaining position" lebih, dikarenakan tidak "comply"nya pihak

wajib pajak dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya sehingga terjadilah tindakan

yang mengarah kepada "pemerasan/negosiasi" pajak. Pada umumnya di negara-

negara berkembang seperti Indonesia, faktor tersebut di atas merupakan faktor utama

terjadinya kejahatan/pidana korupsi di bidang perpajakan, dimana dengan

kewenangannya pihak oknum fiskus/aparat pajak "memeras/negosiasi" untuk

mendapatkan rente ekonomi, dan bukannya penyuapan pajak, dimana wajib pajak

(oleh Til, 2003, diusulkan disebut sebagai pembayar pajak dengan alasan filosofis)

yang menyuap aparat pajak (Nielsen dan Ballas, 2000). Pola "Pemerasan" Pajak

tersebut dapat dilihat dalam hasil penelitian dalam studinya ICW (2001) dan

Partnership (2001).

Studi eksploratif ICW 2001 ini, pada dasarnya ingin melihat bagaimana pola

kejahatan/pidana korupsi dalam bidang perpajakan dengan melihat rutinitas, dan

momen-momen, serta makna yang bersifat problematik dari kehidupan individu atau

sekelompok individu dalam lingkungan perpajakan. Studi ini menggunakan kerangka

korupsi internal dan eksternal dari Robert Klitgaard (1998) yang dipadukan dengan

tipologi korupsi Syed Hussein Alatas (1987) dan menemukan terjadinya 4 (empat)

pola korupsi internal dan eksternal, yang secara garis besar diuraikai sebagai

berukut:

Page 6: DAPATKAH PEJABAT FISKUS DIPIDANAKAN ?

DAPATKAH PEJABAT FISKUS DIPIDANAKAN ? Hal : 52

Korupsi internal, dilakukan oleh oknum aparat pajak dalam lingkup Direktorat

Jenderal Pajak itu sendiri.

Pola pertama, Personalia, berhubungan dengan masalah kepegawaian, dalam hal ini

ditengarai adanyajual beli jabatan, rekrutmen dan penempatan. Hal ini dilakukan

dengan memanfaatkan kekuasaan untuk menentukan jabatan seseorang melalui

penyuapan, nepotisme dan pengaruh untuk mendapatkan suatu jabatan. Pola ini lazim

terjadi pada posisi "basah", misalnya oknum pejabat pajak pada kantor pemeriksa

pajak tertentu, yang bisa "dijual" oleh oknum pejabat yang menguasai personalia, dan

"dibeli untuk investasi" bagi yang memerlukan posisi tersebut. Yang mana pola ini juga

ditengarai banyak terjadi di kepolisian (lihat hasil penelitian mahasiswa PTIK

http://kompas. com/kompas %2Dcetak/0403/04/metro/891554. htm).

Pola Kedua* Pencarian data, yaitu adanya "bagi hasil imbalan" dari oknum pemeriksa

pajak kepada petugas yang mengurus data wajib pajak (tentang "imbalan" ini, bisa

dilihat pada Tri Wibowo, 2004, www.fiskal.depkeu.go.id.

Korupsi eksternal, dilakukan aparat pajak dalam berhubungan dengan wajib

pajak.. Pola Pertama, pembayaran untuk jasa-jasa wajib, yaitu uang pelicin atau

tambahan uang untuk melancarkan jasa yang seharusnya dilakukan tanpa biaya atau

dengan biaya resmi yang kecil. Hal ini dilakukan oleh oknum aparat pajak terhadap

orang yang memerlukan jasa-jasa tertentu di Ditjen Pajak.

Pola Kedua, adalah negosiasi pajak yang berkaitan dengan proses kontak langsung

antara wajib pajak dengan petugas pajak dan melahirkan negosiasi dengan imbalan

tertentu. Hal ini bisa berupa: Pertama, oknum petugas pajak "menggertak" wajib pajak

Page 7: DAPATKAH PEJABAT FISKUS DIPIDANAKAN ?

DAPATKAH PEJABAT FISKUS DIPIDANAKAN ? Hal : 53

dengan mengenakan jumlah pajak yang lebih besar dari yang sebenarnya agar wajib

pajak mau melakukan negosiasi. Cara ini disebut juga komisi. Oknum petugas pajak

kemudian mengutip sejumlah tertentu dengan mengurangi jumlah setoran pajak

kepada negara. Kedua, Oknum wajib pajak yang aktif bernegosiasi dengan oknum

petugas pajak dengan menawarkan suap agar mengurangi beban pajak sebenarnya

dengan merugikan keuangan negara. Dalam hal ini biasanya melibatkan konsultan

pajak dalam melakukan negosiasi ini (lihatdi

www.sec.gov/litigation/litreleases/lrl7127.htm)

Di samping pola-pola (dalam hasil penelitian ICW 2001) tersebut di atas,

penulis juga menambahkan bahwa kejahatan/pidana perpajakan tidak hanya dilakukan

oleh sisi oknum fiskus semata, akan tetapi banyak pula pelanggaran-pelanggaran

pajak (adanya unsur tidak sengaja) maupun kejahatan-kejahatan perpajakan (adanya

unsur kesengajaan), yang banyak dilakukan juga dari sisi Wajib Pajaknya sendiri, yang

diawali dengan tidak memenuhi (no-comply) aspek kewajiban-kewajiban

perpajakannya yang diatur oleh Undang-undang, seperti: tidak sengaja/sengaja

melakukan pembukuan yang tidak benar atau pembukuan ganda untuk kepentingan

internal Wajib Pajak, Perbankan atau Perpajakan yang berbeda-beda, sehingga

pelaporan perpajakan dalam SPTnya yang belum/tidak benar pula, akibatnya negara

dalam hal ini jelas dirugikan dari sisi penerimaan pajak. Bahkan ada pula para oknum

wajib pajak yang jelas-jelas berinisiatif melakukan penyuapan/negosiasi dengan

oknum aparat pajaknya, melakukan ekspor fiktif, menggunakan faktur fiktif untuk

membesarkan harga pokoknya untuk mendapatkan restitusi dari negara, mengecilkan

Page 8: DAPATKAH PEJABAT FISKUS DIPIDANAKAN ?

DAPATKAH PEJABAT FISKUS DIPIDANAKAN ? Hal : 54

pajak dengan mengurangi omzet, meninggikan biaya, adanya transfer pricing dan lain

sebagainya yang penulis tidak sebutkan satu persatu. Dalam hal ini penulis

berpendapat bahwa semua kejahatan/pidana perpajakan tersebut di atas dapat

dicegah atau tidak akan terjadi, jika salah satu pihak entah Fiskus Pajaknya ataukah

Wajib Pajaknya itu sendiri tidak berkenan/tidak man diajak berkolusi untuk melakukan

pemufakatan jahat untuk bernegosiasi dalam melakukan kejahatan/pidana perpajakan,

yang tentunya hal tersebut harus didukung dengan adanya suatu Sistem Perpajakan

yang kondusif sehingga Azas Keadilan/Ekualitas dalam hal pemenuhan Hak dan

Kewajiban kedua belah pihak (Wajib Pajak dan Fiskus) dapat berjalan dengan baik.

Agas kondisi tersebut di atas dapat diterapkan, maka mutlak diperlukan adanya suatu

Law Enforcement dengan hukum yang berkaitan dengan kejahatan/pidana perpajakan

tersebut, baik Undang-Undang Perpajakan sendiri yang bersifat Lex Specialis maupun

Undang-Undang KUHP maupun Undang-undang lainnya.

PRIVATISASI DAN PRAKTISI PERPAJAKAN.

Pola-pola di atas sebenarnya sudah merupakan rahasia umum. Bahkan

Pucuk pimpinan Negara kita pasti sudah mahfum dengan pola-pola diatas. Tetapi

sayangnya para pengambil kebijakan dan political will dinegara kita ini belum

menyadari pentingnya APBN yang disangga oleh penerimaan pajak yang sehat dan

berkelanjutan. Sejak reformasi perpajakan sejak 1983 (Harvard Institute for

International Development punya andil dalam hal ini) belum terlihat adanya reformasi

lanjutan yang mampu untuk mengendalikan kejahatan/pidana korupsi di perpajakan.

Page 9: DAPATKAH PEJABAT FISKUS DIPIDANAKAN ?

DAPATKAH PEJABAT FISKUS DIPIDANAKAN ? Hal : 55

Dalam hal ini, Harvard Institute for International Development pernah menawarkan

suatu konsep yang radikal, yaitu privatisasi pemeriksaan pajak (Byrne, 1995). Mungkin

aneh mendengar hal ini, akan tetapi filosofi sistem pemungutan perpajakan di negara

kita ini, yang bersifat self-assessment dan withholding adalah suatu contoh bagaimana

negara menyerahkan urusan publik dalam pemungutan pajak kepada sektor privat.

Privatisasi pemeriksaan pajak adalah suatu cara drastis untuk memotong kontak

langsung pembayar pajak dan pemeriksa pajak karena hal ini terbukti menyuburkan

peluang adanya "pemerasan dan penyuapan" pajak oleh para oknum. Untuk itu, bagi

daerah dimana reputasi aparat pajak sudah sangat rendah, misalnya di kawasan

industri, pemerintah dapat membuat kesepakatan dengan asosiasi perusahaan

setempat untuk menunjuk kantor akuntan publik (KAP) untuk membantu/menggantikan

Ditjen Pajak dalam pemeriksaan pajak. Ditjen Pajak berhak melakukan peer review,

yaitu telaah atas prosedur yang dipakai KAP tersebut apakah telah sesuai dengan

standar pemeriksaan pajak yang disepakati, dan jika diperlukan dapat memeriksa

ulang perhitungan pajak tersebut dengan meminjam dokumen pembayar pajak yang

dipegang KAP.

Preseden sebelumnya adalah ketika Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)

menunjuk PriceWaterhouseCoopers dalam audit skandal Bank Bali ketika

independensi BPK diragukan, serta penggunaan SGS (Societe Generale de

Surveillance, yang dilanjutkan oleh Sucofindo dan Surveyor Indonesia) menggantikan

Bea Cukai dalam ekspor dan impor. Pencegahan kontak langsung juga dapat

dilakukan pemerintah dengan mengatur praktek return certification, yaitu mendorong

Page 10: DAPATKAH PEJABAT FISKUS DIPIDANAKAN ?

DAPATKAH PEJABAT FISKUS DIPIDANAKAN ? Hal : 56

praktisi pajak (KAP, lawfirm, konsultan pajak) untuk mewakili secara resmi pembayar

pajak dengan mengharuskan mereka menandatangani surat pajak kliennya. Studi di

Amerika Serikat menunjukkan bahwa praktisi pajak berperan sebagai "penegak

hukum" dalam peraturan pajak yang jelas dan "pengeksploitasi" dalam peraturan yang

ambigu. Akan tetapi, ketaatan akan tinggi jika terdapat sanksi berat atas praktisi pajak

tersebut (Klepper et.al, 1991). Berkaca pada studi di atas, penggimaan konsultan

profesional dengan sanksi yang tinggi akan mengurangi kesalahan penghitungan, dan

mengharuskan konsultan untuk lebih cermat sementara pembayar pajak terlindungi

kontak langsung dengan aparat pajak.

KPK dan BPK.

Berikutnya adalah penegakan hukum atas "pemerasan" pajak dengan memberikan

kesempatan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan BPK. KPK perlu

memusatkan perhatian pembuktian "pemerasan dan penyuapan" pajak yang disertai

pengusutan asal usul kekayaan petugas pajak yang dilaporkan menggunakan asas

pembuktian terbalik. BPK juga berperan penting karena lembaga tersebut mempunyai

kewenangan peradilan komptabel (perbendaharaan), yaitu Tuntutan Perbendaharaan

untuk menuntut pengembalian uang negara atas kelalaian bendahawawan negara,

dan merekomendasikan Tuntutan Ganti Rugi kepada Menteri Keuangan terhadap

perbuatan pegawai negeri yang merugikan keuangan negara. Kemudian dalam jangka

menengah jika memungkinkan perlu diterapkan korporatisasi Ditjen Pajak, yaitu

modernisasi dan manajemen profesional dalam Ditjen Pajak untuk menjadikan mereka

sebagai corporate people (Khasali, 2005). Hal ini dapat dilakukan dengan melepas

Page 11: DAPATKAH PEJABAT FISKUS DIPIDANAKAN ?

DAPATKAH PEJABAT FISKUS DIPIDANAKAN ? Hal : 57

Ditjen Pajak sebagai badan independen sehingga manajemen, anggaran dan

remunerasi dapat setara dengan swasta yang disertai tindakan pemecatan jika terbukti

menyimpang.

Di samping itu juga perlu dilakukan gerakan secara nasional yang dimulai dari

pemimpin negara, pejabat-pejabat menteri, pejabat-pejabat di daerah serta dukungan

dari semua departemen, institusi negara yang terkait untuk dapat memberikan teladan

yang baik dalam hal pemenuhan kewajiban perpajakan. Dan yang tidak kalah

pentingnga dari hal tersebut di atas adalah kesadaran dari PIHAK WAJIB PAJAK itu

sendiri yang merupakan sumber pembayar pajak (berdasarkan Undang-undang pajak

yang mengaturnya) untuk lebih sadar, peduli dan terbuka dalam hal pemenuhan hak-

hak dan kewajiban perpajakan. Oleh karena itu jika Ditjen Pajak ingin menghilangkan

persepsi/citra masyarakat bahwa pajak merupakan momok masyarakat tersebut,

caranya bukan dengan mensomasi tokoh-tokoh seperti pimpinan atau pihak-pihak

yang mempunyai keperdulian terhadap perpajakan di Indonesia, tetapi dengan

membuat studi bahwa persepsi masyarakat adalah sebaliknya dan lebih baik lagi, dan

menunjukkan bahwa Ditjen Pajak adalah lembaga negara terbersih.

II. DASAR HUKUM (UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN) DAN TERJADINYA

KEJAHATAN/PIDANA PERPAJAKAN.

Di dalam Undang-undang Perpajakan No. 16 tahun 2000 (perubahan kedua

atas UU No 6 tahun 1983, tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan),

diatur bebarapa pasal yang menjelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan

Page 12: DAPATKAH PEJABAT FISKUS DIPIDANAKAN ?

DAPATKAH PEJABAT FISKUS DIPIDANAKAN ? Hal : 58

terjadinya dan sangsi-sangsi atas Kejahatan/Pidana Perpajakan yakni dalam pasal 38

s/d 42, yang intinya dapat penulis ikhtisarkan sebagai berikut: Kejahatan/Tindak

Pidana Perpajakan dapat terjadi dikarenakan:

1. Adanya unsur KEALPAAN (yaitu ketidaksengajaan, kelalaian, ketidakhati-

hatian, kurang mengindahkan kewajibannya dalam perpajakan), ini sifatnya

masih PELANGGARAN PERPAJAKAN.

2. Adanya Unsur KESENGAJAAN (dengan sengaja melakukan pelanggaran

atas ketentuan perundang-undangan perpajakan), Hal ini sifatnya sudah

KEJAHATAN/PIDANA PERPAJAKAN.

Unsur Kealpaan (pada point no. 1) dalam perpajakan terjadi dalam hal:

1. Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) ke Direktorat Jenderal

Pajak.

2. Menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar/tidak lengkap/melampirkan

3. keterangan yang isinya tidak benar

4. Atas kealpaan yang menimbulkan kerugian negara, pelakunya dapat dipidana

dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun, dan / atau denda paling tinggi 2

kali jumlah pajak terutang.

Unsur Kesengajaan dalam perpajakan terjadi dalam hal:

1. Tidak mendaftarkan diri sebagai WP/PKP, atau

menyalahgunakan/menggunakan tanpa hak NPWP/Pengukuhan PKP.

2. Tidak menyampaikan SPT.

3. Menyampaikan SPT / keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap.

Page 13: DAPATKAH PEJABAT FISKUS DIPIDANAKAN ?

DAPATKAH PEJABAT FISKUS DIPIDANAKAN ? Hal : 59

4. Menolak untuk dilakukan pemeriksaan.

5. Memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu /

dipalsukan seolah-olah benar.

6. Tidak menyelenggarakan pembukuan/pencatatan, tidak memperlihatkan /

tidak meminjamkan buku, catatan, dokumen lainnya.

7. Tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong / dipungut.

Page 14: DAPATKAH PEJABAT FISKUS DIPIDANAKAN ?

DAPATKAH PEJABAT FISKUS DIPIDANAKAN ? Hal : 60

Atas unsur kesengajaan di atas yang menimbulkan kerugian negara,

pelakunya dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 tahun, dan / atau

denda paling tinggi 4 kali jumlah pajak terutang.

Jika dilihat uraian yang menjadi dasar hukum atas kejahatan/pidana

perpajakan sangatlah jelas sekali penyebab terjadinya dan konsekuensi hukumnya.

Oleh karena itu jika Sistem Perpajakan ini sudah bisa memberikan iklim yang kondusif

bagi "insan perpajakan" dalam melaksanakan tugas dan perannya dalam berusahan,

sehingga tidak ada alasan lagi bagi wajib pajak untuk tidak memenuhi segala sesuatu

yang menjadi kewajibannya, begitu juga dengan Aparat Pajak/Fiscusnya dalam

melaksanakan kewajibannya dalam fungsi pelayanan publik serta dalam penegakan

hukum pajak itu sendiri (Law Enforcement).

III. Dapatkah Pejabat Fiskus Dipidanakan

Memang benar bahwa Aparat Pajak/ Fiskus dapat dilaporkan ke polisi, atau

dipidana, tapi hanya jika dia membocorkan rahasia perusahaan/ wajib pajak (UURI No

9 KUP Pasal 41). Tetapi ancaman terhadap wajib pajak (WP) oleh fiskus tidak dapat

dipidanakan karena:

Pertama:

Benar bahwa sebuah ancaman dapat dipidanakan sesuai KUHP, tetapi

ancaman Fiskus kepada WP tidak dapat dibuktikan. Biasanya WP dihubungi Fiskus,

Page 15: DAPATKAH PEJABAT FISKUS DIPIDANAKAN ?

DAPATKAH PEJABAT FISKUS DIPIDANAKAN ? Hal : 61

diberitahu kesalahan-kesalahannya dengan ancaman akan diterbitkannya Surat

Ketetapan Pajak Kurang Bayar yang jumlahnya sangat besar. Dalam hal kesalahan itu

kurang besar jumlahnya, atau bahkan tidak ada kesalahan dari WP, Fiskus dapat

mengada-ada kesalahan itu, tanpa sangsi apa-apa. Ujung-ujungnya WP terpaksa

kompromi dengan Fiskus untuk tidak kena SKPKB yang besar dengan memberi uang

kepada Fiskus. Fiskus berhasil mendapatkan uang haram itu. Bagaimana jika WP

ngotot tidak mau memberi uang kepada Fiskus? Tentu saja Fiskus akan menjatuhkan

SKPKB yang jumlahnya sangat besar itu. SKPKB yang besar dan ngawur itu 'kan bisa

dijadikan bukti pemerasan dan ancaman? Salah, itu tidak bisa. Jika WP berpendapat

SKPKB salah, dia hanya

bisa mengajukan keberatan ke DirJend Pajak, dan jika masih tidak puas mengajukan

banding ke Badan Sengketa Pajak. Jadi "Kesalahan" SKPKB seandainya ada, bukan

merupakan tindakan pidana, Fiskus yang membuat SKPKB salah tetap saja

melenggang bebas mencari mangsa WP-WP

lagi. Apakah tidak ada sangsi jabatan dari DitJend Pajak sendiri atas keteledoran kerja

anak buahnya? Susah dibuktikan, tapi sudah menjadi rahasia umum para

WP, bahwa sangsi itu sangat minim kalau mau dibilang tidak pernah ada. Bahkan ada

kesan DirJend Pajak takut memberi sangsi Kepala-kepala Kantor Pelayanan Pajak,

kalau mereka ngambek kerja target pajak bisa tidak terpenuhi. Bahkan pemeriksaan

pajak yang melahirkan ancaman dan perampokan kepada WP terkesan dibiarkan saja

sebagai bonus insentif kepada kerja anak buahnya

dalam mencapai target pajak. Ini bicara sejujurnya lho, toh kalau ditutup-tutupi tidak

Page 16: DAPATKAH PEJABAT FISKUS DIPIDANAKAN ?

DAPATKAH PEJABAT FISKUS DIPIDANAKAN ? Hal : 62

akan menyelesaikan masalah. Kita semua tahu jika kita tidak membayar

SKPKB, yang sekalipun hitungannya ngawur itu, harta kita bisa disita dan dilelang

tanpa proses pengadilan di Pengadilan Negeri atau PTUN. Jadi di sini kita lihat betapa

berkuasanya aparat pajak/ Fiskus itu. Dan kekuasaan itu tanpa kontrol, tentu saja

cenderung sewenang-wenang. Kerap kali kita dengar omongan Fiskus yang konyol,

katanya kalau ada Fiskus yang nakal laporkan saja keatasannya. Kita cukup waras

untuk tidak melaporkan itu, sebab kedudukan kita lemah, kalah kuasa. Jangan-jangan

kita melaporkan perampokan kepada perampok atasan. Belum lagi jangan-jangan itu

hanya

lips service saja, alias atasan menutup mata atas perbuatan anak buahnya, misalnya

untuk insentif kerja. Lihat saja bahwa aparat pajak sekarang ramai-ramai mendaftar

sebagai tenaga pemeriksa dalam rangka penggabungan Karikpa ke KPP. Sebab

mereka akan jadi kaya kalau jadi pemeriksa pajak. Menkeu sekarang juga bilang

korupsi di DitJend Pajak ibarat ikan asin, tercium sekali baunya tapi susah

menemukan. Mantan Menkeu Bambang Sudibya lebih gamblang lagi komentarnya,

kalau ada perumahan pegawai negeri, dan ada rumah yang mewah, itu pasti pegawai

pajak atau bea cukai.

Ke Dua:

Aparat Kepolisian tidak credible. Demikian juga lembaga peradilan seperti

Jaksa dan Hakim. Jadi percuma berperkara, habis uang dan waktu, serta mental.

Page 17: DAPATKAH PEJABAT FISKUS DIPIDANAKAN ?

DAPATKAH PEJABAT FISKUS DIPIDANAKAN ? Hal : 63

Demikianlah kiranya pendapat saya tentang masalah seperti judul diatas.

Tentu saja saya tidak prejudis, setidak-tidaknya itu harapan saya. Dan tentu saja

masih ada Fiskus yang masih punya hati nurani. Tapi kita tidak bisa bergantung ke

karakter kemanusiaan yang baik, kita harus bergantung kepada sistem yang

baik. Kekuasaan Aparat pajak jelas harus dikurangi. Dengan cara perbaikan UU

perpajakan. UU yang mana? Gampang, cari saja tulisan-tulisan keluhan pajak yang

sangat banyak di media-media ceta, elektronik, internet dll.

Ke Tiga:

UU Perpajakan tidak mengkatagorikan kesalahan Aparat Pajak sebagai tindak

Pidana, kecuali pasal 41 tadi. Bandingkan betapa kontrasnya dengan WP yang

diancam sebagai tindak pidana dalam UU Perpajakan.

RUU Perpajakan (versi 31 Mei 2006)

Dalam RUU Perpajakan (versi 31 Mei 2006), kesetaraan antara petugas

pajak (fiskus) dan wajib pajak lebih dipertegas dan diseimbangkan, sebagaimana

dituntut Kadin Indonesia.

Jika selama ini ancaman sanksi pidana hanya ditujukan kepada wajib pajak,

maka dalam RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) juga

dicantumkan pasal-pasal ancaman pidana bagi fiskus yang melakukan pemerasan dan

penyalahgunaan kekuasaan yang berakibat merugikan wajib pajak.

Page 18: DAPATKAH PEJABAT FISKUS DIPIDANAKAN ?

DAPATKAH PEJABAT FISKUS DIPIDANAKAN ? Hal : 64

Selama ini, sanksi hanya dikenakan jika petugas pajak merugikan keuangan

negara. Tapi bila merugikan wajib pajak tidak ada aturan mengenai sanksinya. Itu pun

sebagian besar sanksi yang sifatnya administratif.

Namun, yang cukup mengejutkan adalah ketentuan mengenai sanksi kepada

petugas pajak yang merugikan wajib pajak itu secara eksplisit dicantumkan dalam

batang tubuh RUU KUP dengan cara menempatkan langsung pasal-pasal dari KUHP

dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Korupsi).

Pertama, dalam Pasal 36A ayat 3 RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara

Perpajakan disebutkan pegawai pajak yang melakukan tugasnya terbukti melakukan

pemerasan dan mengancam kepada wajib pajak untuk menguntungkan diri sendiri

secara melawan hukum, diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal

368 KUHP.

Pada ayat selanjutnya, Pasal 36A ayat 4, ditegaskan pegawai pajak yang

dengan maksud menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum, dengan

menyalahgunakan kekuasaannya, memaksa seseorang untuk memberika sesuatu,

untuk membayar atau menerima pembayaran, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi

dirinya sendiri, diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 UU

Korupsi.

Page 19: DAPATKAH PEJABAT FISKUS DIPIDANAKAN ?

DAPATKAH PEJABAT FISKUS DIPIDANAKAN ? Hal : 65

Pasal 12 UU Korupsi selengkapnya berbunyi: Setiap orang yang melakukan

tindak pidana sebagaimana dimaksud Pasal 419. Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425

atau Pasal 435 KUHP dipidana penjara seumur hidup atau paling singkat empat tahun

dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1

miliar.

Tampaknya pengusul undang-undang sudah tidak memiliki lagi kepercayaan

kepada petugas pajak sehingga ketentuan pasal-pasal KUHP dan UU Antikorupsi-

yang memang berlaku umum-perlu diselipkan dalam RUU KUP.

Di sisi lain, sanksi kepada wajib pajak diperlunak. Kealpaan atau kelalaian

pertama walaupun merugikan negara hanya dikenakan sanksi administrasi, sedangkan

kealpaan atau kelalaian berikutnya dikenakan sanksi pidana apabila merugikan

pendapatan negara.

Ketentuan tersebut mengacu pada Pasal 38 ayat 2 RUU KUP yang

selengkapnya berbunyi: Sanksi pidana terhadap kealpaan sebagaimana dimaksud

ayat 1 tidak dikenakan bagi wajib pajak yang pertama kali melakukan pelanggaran,

akan tetapi dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% dari pajak

yang kurang dibayar.

Apakah ini sudah mencerminkan keseimbangan yang ideal? Seorang kepala

kantor pelayanan pajak di Jakarta mengaku tidak mempermasalahkan apa dan

Page 20: DAPATKAH PEJABAT FISKUS DIPIDANAKAN ?

DAPATKAH PEJABAT FISKUS DIPIDANAKAN ? Hal : 66

bagaimana bunyi undang-undang. Baginya, sanksi yang tegas kepada petugas pajak

bukan masalah yang perlu dirisaukan. Yang membuat dia risau adalah apabila

ketentuan UU membuat hak-hak negara berupa pajak tidak terjamin. Sepanjang hak

negara bisa terjamin, tidak masalah. Pegawai bisa datang dan pergi. Tapi hak negara

harus terjaga.

Memang RUU Perpajakan versi Menkeu Sri Mulyani seakan-akan menjadi

pembenaran sinyalemen yang beredar selama ini bahwa petugas pajak adalah suka

memeras dengan cara menyalahgunakan kekuasaan, sementara WP selaku menjadi

korban.

BPK dan MENKEU

Pasal 34 ayat (2a) huruf b UU KUP, Pasal tersebut menyebutkan bila BPK

ingin mengaudit pajak maka harus mendapat restu dari Menkeu melalui sebuah

penetapan. Prakteknya, izin tersebut sukar sekali didapat. Menkeu seringkali

beralasan bahwa pengaturan izin tersebut untuk menjaga kerahasiaan wajib pajak.

UU No. 15 Tahun 2004

Pasal 24

1. Setiap orang yang dengan sengaja tidak menjalankan kewajiban

menyerahkan dokumen dan/atau menolak memberikan keterangan yang

Page 21: DAPATKAH PEJABAT FISKUS DIPIDANAKAN ?

DAPATKAH PEJABAT FISKUS DIPIDANAKAN ? Hal : 67

diperlukan untuk kepentingan kelancaran pemeriksaan pengelolaan dan

tanggung jawab keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10

dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan

dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)

2. Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, menghalangi, dan/atau

mengagalkan pelaksanaan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

10 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan

dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)

3. Setiap orang yang menolak pemanggilan yang dilakukan oleh BPK

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 tanpa menyampaikan alasan

penolakan secara tertulis dipidana dengan pidana penjara paling lama 1

(satu) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00

(lima ratus juta rupiah)

4. Setiap orang yang dengan sengaja memalsukan atau membuat palsu

dokumen yang diserahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana

dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling

banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)

PENUTUP

Page 22: DAPATKAH PEJABAT FISKUS DIPIDANAKAN ?

DAPATKAH PEJABAT FISKUS DIPIDANAKAN ? Hal : 68

1. Kejahatan Perpajakan ini dapat disebut pula kejahatan luar bisa (Extra

Ordinary Crimes), atau lebih familiar disebut pula sebagai kejahatan kerah

putih (White Collar Crime),

2. RUU Perpajakan (versi 31 Mei 2006), kesetaraan antara petugas pajak

(fiskus) dan wajib pajak lebih dipertegas dan diseimbangkan.

3. Pasal 34 ayat (2a) huruf b UU KUP, Pasal tersebut menyebutkan bila BPK

ingin mengaudit pajak maka harus mendapat restu dari Menkeu melalui

sebuah penetapan.

4. Aparat Pajak/ Fiskus dapat dilaporkan ke polisi, atau dipidana, tapi

hanya jika dia membocorkan rahasia perusahaan/ wajib pajak (UURI No

9 KUP Pasal 41).

5. Sedangkan WP diancam sebagai tindak pidana dalam UU Perpajakan.

Page 23: DAPATKAH PEJABAT FISKUS DIPIDANAKAN ?

DAPATKAH PEJABAT FISKUS DIPIDANAKAN ? Hal : 69

Daftar Pustaka

Departemen Keuangan, Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang perubahan

keempat atas undang-unadang Nomor 7 Tahun 1983 tentang pajak penghasilan,

Jakarta

Harnanto, Akuntansi Perpajakan, BPFE, Yogyakarta, 2003

Hawkin, David F, Coorporate Financial Reporting and Analysi: Tex and Cases, Irwin

Mc.Grow Hill, Boston 1998.

Healy, P. an J.M. Wahlen, A Review of the Earning Management Literature and It’s

Implications for Standard Setting, Accounting Horizon, Vol. 13, 1999.

Ikatan Akuntansi Indonesia, Pernyataan Standar Akuntansi Indonesia, Salemba Empat

, Jakarta, 2002.

Muhammad Na’im Amali, Indonesian Tax Review Volume II/Edisi 05/2009

Mills, L., dan K. Newberry, The influence of tax and Non-Tax Costs on Box-Tax

Reporting Differences; Public and Private Firms, Journal of American Taxation

Association, Vol. 23, 2001

Palepu, K., J. Healy dan Van Bernard., Business Anlysis and Valuetion Using Financial

Statemen, Soutwestern Collage Publising, Cincinnati, Ohio, 2000.

Scott, William R. Financial Accounting Theory, 3 Edition, Prince-Hall, 2003.

Watt, Ross L., dan J.L. Zimmerman, Positive Accounting Theory: Ten Year

Perspektive, The Accounting Review, Vol 3, 1999.

Riwayat Hidup ;

Drs. Yoyo Sudaryo. SE. MM lahir di Ciamis, 09 Desember 1969 Pendidikan Terakhir

S2 Magister Manajemen Unpad 1996, Sekarang menjadi Dosen di YIM STIE INABA.