DAPATKAH PEJABAT FISKUS DIPIDANAKAN ? Hal : 47 DAPATKAH PEJABAT FISKUS DIPIDANAKAN ? Oleh ; Yoyo Sudaryo Abstrak Seiring dengan makin meningkatnya peran Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai salah satu institusi publik yang memiliki tanggung jawab besar dalam menghimpun penerimaan Negara di sektor perpajakan, maka peran Pejabat Fungsional Pemeriksa Pajak (selanjutnya disebut Pemeriksa) juga semakin besar. Sebagai upaya untuk meningkatkan peran Pemeriksa sebagaimana di atas, beberapa minggu terakhir telah dilakukan mutasi dan pengangkatan pertama sebagai Pemeriksa di Lingkungan DJP. Mutasi pertama diawali dengan keluarnya Keputusan Direktur Jenderal Pajak nomor KEP-133/PJ/UP.53/2008 tanggal 12 Juni 2008 khusus untuk Pemeriksa golongan III ke bawah. Kedua, mutasi untuk Pemeriksa golongan IV ke atas ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan nomor 166/KMK.01/UO.11/2008 tanggal 23 Juni 2008. Dan terakhir, keluarnya keputusan Menteri Keuangan tentang pengangkatan pertama dalam jabatan Fungsional Pemeriksa Pajak sesuai keputusan nomor 447/KM.1/UP.11/2008 tanggal 2 Juli 2008. Rentetan mutasi dan pengangkatan pertama sebagai Pemeriksa mengundang harapan baru dalam era modernisasi seperti saat ini. Pemeriksa yang sebelumnya dikonotasikan sebagai jabatan yang cenderung “arogan” diharapkan akan mampu merubah diri menjadi lebih professional seiring dengan tuntutan perubahan dari masyarakat terhadap institusi DJP. Kata kunci ; Aparat Fiskus, Pidana, Bocorkan Rahasia Perusahaan/ WP. I. Pendahuluan Jika kita berbicara tentang Kejahatan di Bidang Perpajakan, hal tersebut tidak akan terlepas dari pengertian tentang Tindak Pidana Perpajakan itu sendiri, yakni suatu perbuatan yang berhubungan dengan tindak kejahatan di bidang perpajakan yang pelakunya dapat dikenakan hukum pidana sesuai ketentuan Undang-undang yang berlaku. Biasanya kejahatan perpajakan ini dilakukan tanpa kekerasan, sehingga kejahatan ini masuk dalam kelompok kejahatan jenis Concursus Idealis, artinya
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
DAPATKAH PEJABAT FISKUS DIPIDANAKAN ? Hal : 47
DAPATKAH PEJABAT FISKUS DIPIDANAKAN ?
Oleh ; Yoyo Sudaryo Abstrak
Seiring dengan makin meningkatnya peran Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai salah satu institusi publik yang memiliki tanggung jawab besar dalam menghimpun penerimaan Negara di sektor perpajakan, maka peran Pejabat Fungsional Pemeriksa Pajak (selanjutnya disebut Pemeriksa) juga semakin besar. Sebagai upaya untuk meningkatkan peran Pemeriksa sebagaimana di atas, beberapa minggu terakhir telah dilakukan mutasi dan pengangkatan pertama sebagai Pemeriksa di Lingkungan DJP. Mutasi pertama diawali dengan keluarnya Keputusan Direktur Jenderal Pajak nomor KEP-133/PJ/UP.53/2008 tanggal 12 Juni 2008 khusus untuk Pemeriksa golongan III ke bawah. Kedua, mutasi untuk Pemeriksa
golongan IV ke atas ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan nomor 166/KMK.01/UO.11/2008 tanggal 23 Juni 2008. Dan terakhir, keluarnya keputusan Menteri Keuangan tentang pengangkatan pertama dalam jabatan Fungsional Pemeriksa Pajak sesuai keputusan nomor 447/KM.1/UP.11/2008 tanggal 2 Juli 2008. Rentetan mutasi dan pengangkatan pertama sebagai Pemeriksa mengundang harapan baru dalam era modernisasi seperti saat ini. Pemeriksa yang sebelumnya dikonotasikan sebagai jabatan yang cenderung “arogan” diharapkan akan mampu merubah diri menjadi lebih professional seiring dengan tuntutan perubahan dari masyarakat terhadap institusi DJP.
Kata kunci ; Aparat Fiskus, Pidana, Bocorkan Rahasia Perusahaan/ WP. I. Pendahuluan
Jika kita berbicara tentang Kejahatan di Bidang Perpajakan, hal tersebut tidak
akan terlepas dari pengertian tentang Tindak Pidana Perpajakan itu sendiri, yakni
suatu perbuatan yang berhubungan dengan tindak kejahatan di bidang perpajakan
yang pelakunya dapat dikenakan hukum pidana sesuai ketentuan Undang-undang
yang berlaku. Biasanya kejahatan perpajakan ini dilakukan tanpa kekerasan, sehingga
kejahatan ini masuk dalam kelompok kejahatan jenis Concursus Idealis, artinya
DAPATKAH PEJABAT FISKUS DIPIDANAKAN ? Hal : 48
memiliki basis dasar dari kejahatan tertentu seperti: penggelapan, penipuan,
pemalsuan dan pencurian dsb.
Kejahatan Perpajakan ini dapat disebut pula kejahatan luar bisa (Extra
Ordinary Crimes), atau lebih familiar disebut pula sebagai kejahatan kerah putih (White
Collar Crime), yang mana kejahatan/pidana perpajakan ini agak sulit diditeksi karena
dilakukan oleh orang-orang yang sangat piawai (skill person), kadang kala kejahatan
ini dilakukan oleh orang-orang di luar Institusi Perpajakan itu sendiri, atau juga dapat
dilakukan bersama-sama (berkolusi) dengan orang-orang yang terkait dengan Intitusi
Perpajakan dengan berselimut Yuridis Formil baik bersama-sama dengan
pemufakatan jahat dengan Wajib Pajak, baik sebagai pelaku utama, pelaku pembantu,
pelaku penyuruh maupun pelaku intelektualnya. Di samping itu hasil dari kejahatan
perpajakan ini, nilainya sangat material, yang diperkirakan kerugian negara akibat
kejahatan/pidana perpajakan bisa mencapai puluhan bahkan ratusan trilyun rupiah,
suatu nilai yang sangat material bagi pembiayaan suatu negara seperti Indonesia ini
yang sangat memerlukan dana untuk pembangunan, dengan kondisi APBN 2006 yang
sedang deficit puluhan trilyunan rupiah.
Oleh karena Perpajakan di Indonesia tersebut merupakan sesuatu yang
terkait dengan unsur tulang punggung penerimaan negara (80% penerimaan APBN
2005), jika hal ini tidak ditangani dengan serius, maka kejahatan di bidang perpajakan
ini jelas-jelas akan mengurangi potensi penerimaan negara di APBN bahkan bisa
mengganggu kestabilitasan negara nantinya. Banyak kalangan yang sampai dengan
saat sekarang masih mempunyai pemikiran bahwa kejahatan (khususnya KKN) bisa
DAPATKAH PEJABAT FISKUS DIPIDANAKAN ? Hal : 49
terjadi karena adanya penyelewengan/penggelapan dari sisi pengeluaran
keuangannya saja, padahal banyak hal dari Kejahatan/KKN tersebut terjadi/bersumber
dari penyelewengan dari sisi penerimaanya yakni dari hilangnya suatu potensi
penerimaan negara atau potensi penerimaan negara tersebut belum tergali dan
diselewengkan/dikorupsi oleh oknum-oknum yang bermain dalam aspek perpajakan
ini, sehingga potensi penerimaan Negara khususnya dari aspek pajak ini akhirnya tidak
masuk ke kas negara sebagai mana mestinya. Namun apapun bentuknya kejahatan di
bidang perpajakan ini, harus dapat dijerat dengan Undang-undang Khusus (UU
Perpajakan yang bersifat Lex Specialis) maupun Undang-undang umum/KUHP &
KUHAP (Lex Generalis), akan tetapi permasalahannya sekarang adalah apakah
Sistem Perpajakan yang ada di Indonesia serta Law Enforcement atas Undang-
undang tersebut terhadap keiahatan perpajakan itu sendiri sudah cukup efektif
sehingga bisa berdaya guna dalam pencesgahan keiahatan perpajakan itu nantinya.
Sangat menarik mencermati tentang kejahatan (korupsi) di bidang ekonomi
khususnya bidang perpajakan baik yang menyangkut dari sisi Fiskus di Ditjen Pajak
maupun dari sisi Wajib Pajak itu sendiri yang menjadi sumber pembayar pajak. Bahkan
beberapa tokoh sangat lantang berbicara tentang hal ini, seperti Kwik Kian Gie (yang
akhirnya minta maaf atas somasi Ditjen Pajak), dan Faisal Basri (yang menyatakan
adanya potensi pajak Rp. 40 triliun yang hilang, yang disebabkan oleh korupsi) serta
beberapa LSM seperti Til, ICW yang begitu sangat intens berbicara dan melakukan
penelitian tentang kejahatan/pidana korupsi di bidang perpajakan ini. Memang terdapat
kontradiksi yang besar jika kita melihat kinerja Ditjen Pajak kita. Di satu sisi,
DAPATKAH PEJABAT FISKUS DIPIDANAKAN ? Hal : 50
pendapatan pajak terus naik. Penerimaan perpajakan selama 1969-1993 sebesar
Rpl49,46 triliun, 1994- 2000 sebesar Rp520,65 triliun, sementara 2001-2004 mencapai
Rp778,112 triliun (Abimanyu, 2004), sehingga perlu kita acungkan jempol kepada
aparat pajak kita, akan tetapi apakah penerimaan negara yang ditargetkan oleh
Pemerintah disetujui oleh DPR memang menggambarkan kondisi perokonomian
kita yang sebenarnya?. Di sisi lain, beberapa studi menyatakan bahwa masyarakat
dan kalangan bisnis secara konsisten mempersepsikan Fiskus di Ditjen Pajak sebagai
salah satu lembaga terkorup, diantaranya penelitian ICW tentang pola korupsi
perpajakan (ICW, 2001), survei korupsi nasional Partnership for Governance Reform in
Indonesia (Partnership, 2001), terakhir indeks persepsi korupsi Transparency
International Indonesia (Til, 2005) dan Business Environment Report Political Economy
Risk Consultancy (PERC, 2005).
Atas hal tersebut, Ditjen Pajak bukannya tidak menyadari persepsi diatas.
Beberapa langkah maju sudah diambil. Dari sisi reformasi administratif misalnya
diperkenalkan online payment, e-filing, large taxpayer office, dan inovasi sistem
informasi lainnya untuk mengurangi kontak langsung wajib pajak dengan petugas
pajak serta reorganisasi internal. Sementara pada penegakan hukum, diperkenalkan
ombudsman pajak yang diawasi oleh Komisi Ombudsman Nasional, nota
kesepahaman (MOU) dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun
pemecatan 30 aparat pajak pada 2004 dikarenakan oknum tersebut telah
menyalahgunakan wewenang (lihat di htlp://kompas.
com/utama/news/0503/22/045542. him).
DAPATKAH PEJABAT FISKUS DIPIDANAKAN ? Hal : 51
Akan tetapi, sebagian besar penanganannya hanya mengarah ke mal-
administrasi dan efisiensi administrasi, dan belum menyentuh akar permasalahan
perpajakan di Indonesia, yakni adanya penyalahgunaan wewenang oleh oknum fiskus
yang mempunyai "bargaining position" lebih, dikarenakan tidak "comply"nya pihak
wajib pajak dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya sehingga terjadilah tindakan
yang mengarah kepada "pemerasan/negosiasi" pajak. Pada umumnya di negara-
negara berkembang seperti Indonesia, faktor tersebut di atas merupakan faktor utama
terjadinya kejahatan/pidana korupsi di bidang perpajakan, dimana dengan
kewenangannya pihak oknum fiskus/aparat pajak "memeras/negosiasi" untuk
mendapatkan rente ekonomi, dan bukannya penyuapan pajak, dimana wajib pajak
(oleh Til, 2003, diusulkan disebut sebagai pembayar pajak dengan alasan filosofis)
yang menyuap aparat pajak (Nielsen dan Ballas, 2000). Pola "Pemerasan" Pajak
tersebut dapat dilihat dalam hasil penelitian dalam studinya ICW (2001) dan
Partnership (2001).
Studi eksploratif ICW 2001 ini, pada dasarnya ingin melihat bagaimana pola
kejahatan/pidana korupsi dalam bidang perpajakan dengan melihat rutinitas, dan
momen-momen, serta makna yang bersifat problematik dari kehidupan individu atau
sekelompok individu dalam lingkungan perpajakan. Studi ini menggunakan kerangka
korupsi internal dan eksternal dari Robert Klitgaard (1998) yang dipadukan dengan
tipologi korupsi Syed Hussein Alatas (1987) dan menemukan terjadinya 4 (empat)
pola korupsi internal dan eksternal, yang secara garis besar diuraikai sebagai
berukut:
DAPATKAH PEJABAT FISKUS DIPIDANAKAN ? Hal : 52
Korupsi internal, dilakukan oleh oknum aparat pajak dalam lingkup Direktorat
Jenderal Pajak itu sendiri.
Pola pertama, Personalia, berhubungan dengan masalah kepegawaian, dalam hal ini
ditengarai adanyajual beli jabatan, rekrutmen dan penempatan. Hal ini dilakukan
dengan memanfaatkan kekuasaan untuk menentukan jabatan seseorang melalui
penyuapan, nepotisme dan pengaruh untuk mendapatkan suatu jabatan. Pola ini lazim
terjadi pada posisi "basah", misalnya oknum pejabat pajak pada kantor pemeriksa
pajak tertentu, yang bisa "dijual" oleh oknum pejabat yang menguasai personalia, dan
"dibeli untuk investasi" bagi yang memerlukan posisi tersebut. Yang mana pola ini juga
ditengarai banyak terjadi di kepolisian (lihat hasil penelitian mahasiswa PTIK