1 DAMPAK WABAH FLU BURUNG TERHADAP PERUBAHAN MODAL SOSIAL MASYARAKAT PETERNAK DAN PEDESAAN DI INDONESIA Oleh: Edi Basuno dan Yusmichad Yusdja I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan. Wabah AI di Indonesia telah memasuki tahun ke 5 sejak kejadian wabah pertama kali bulan Agustus tahun 2003. Pemerintah sepanjang tahun terus berusaha menggendalikan penyebaran virus AI, melalui kebijakan 9 langkah biosekuriti antara lain pelaksanaan program vaksinasi, program kompensasi dan pengawasan lalu lintas serta perdagangan unggas dan hasil-hasilnya. Tahun 2006 wabah AI sudah menurun signifikan, demikian juga dengan jumlah wilayah yang terserang. Wabah AI yang terjadi setelah tahun 2006 pada umumnya lebih sering pada peternakan unggas non ras. Hal ini mengisyaratkan bahwa pemerintah dan peternak serta pengusaha peternakan harus terus menerus meningkatkan biosekuriti dan melaksanakan pengendalian wabah dalam usaha mencapai status Indonesia bebas AI. Dunia memberikan perhatian yang besar terhadap wabah AI di Indonesia yang sampai saat ini belum berhasil dikendalikan. Dunia mempertanyakan kemampuan Indonesia dalam mencegah terjadinya penularan AI kepada manusia dan antara manusia dengan manusia yang pada akhirnya berjangkit ke seluruh dunia. Indonesia, saat ini, menjadi pusat perhatian dunia karena korban manusia yang meninggal akibat AI menduduki peringkat tertinggi di dunia. Wabah AI yang terjadi dalam waktu 5 tahun itu secara nyata mempunyai dampak sosial ekonomi yang luas terhadap industri unggas (poultry production industry) khususnya peternak kecil (small farmer) dan pengusaha rumah potong ayam skala kecil dan para pedagang pada semua level. Dalam masa wabah tersebut sekitar 11 juta ekor ayam telah dimusnahkan, sekitar 60 persen peternak ayam menghentikan usahanya pada tahun 2005. Dampak AI baik langsung dan tak langsung telah menyebabkan produksi ayam turun sampai 60 persen. Untuk itu, target Indonesia bebas AI tahun 2009 harus disertai dengan terjadinya recovery industry secara menyeluruh. Untuk mencapai harapan tersebut, Indonesia harus terlebih dahulu mempunyai pemahaman tentang dampak sosial ekonomi pada industri peternakan, sehingga perumusan program pengendalian AI dapat lebih efektif.
26
Embed
DAMPAK WABAH FLU BURUNG TERHADAP PERUBAHAN MODAL SOSIAL ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Semnas_250209_5.pdf · Berdasarkan pusat data Persatuan Peternakan Unggas Indonesia
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
DAMPAK WABAH FLU BURUNG TERHADAP PERUBAHANMODAL SOSIAL MASYARAKAT PETERNAK DAN PEDESAAN DI
INDONESIA
Oleh: Edi Basuno dan Yusmichad Yusdja
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Permasalahan.
Wabah AI di Indonesia telah memasuki tahun ke 5 sejak kejadian wabah
pertama kali bulan Agustus tahun 2003. Pemerintah sepanjang tahun terus berusaha
menggendalikan penyebaran virus AI, melalui kebijakan 9 langkah biosekuriti antara
lain pelaksanaan program vaksinasi, program kompensasi dan pengawasan lalu lintas
serta perdagangan unggas dan hasil-hasilnya. Tahun 2006 wabah AI sudah menurun
signifikan, demikian juga dengan jumlah wilayah yang terserang. Wabah AI yang
terjadi setelah tahun 2006 pada umumnya lebih sering pada peternakan unggas non
ras. Hal ini mengisyaratkan bahwa pemerintah dan peternak serta pengusaha
peternakan harus terus menerus meningkatkan biosekuriti dan melaksanakan
pengendalian wabah dalam usaha mencapai status Indonesia bebas AI.
Dunia memberikan perhatian yang besar terhadap wabah AI di Indonesia yang
sampai saat ini belum berhasil dikendalikan. Dunia mempertanyakan kemampuan
Indonesia dalam mencegah terjadinya penularan AI kepada manusia dan antara
manusia dengan manusia yang pada akhirnya berjangkit ke seluruh dunia. Indonesia,
saat ini, menjadi pusat perhatian dunia karena korban manusia yang meninggal akibat
AI menduduki peringkat tertinggi di dunia.
Wabah AI yang terjadi dalam waktu 5 tahun itu secara nyata mempunyai
dampak sosial ekonomi yang luas terhadap industri unggas (poultry production
industry) khususnya peternak kecil (small farmer) dan pengusaha rumah potong ayam
skala kecil dan para pedagang pada semua level. Dalam masa wabah tersebut sekitar
11 juta ekor ayam telah dimusnahkan, sekitar 60 persen peternak ayam menghentikan
usahanya pada tahun 2005. Dampak AI baik langsung dan tak langsung telah
menyebabkan produksi ayam turun sampai 60 persen. Untuk itu, target Indonesia
bebas AI tahun 2009 harus disertai dengan terjadinya recovery industry secara
menyeluruh. Untuk mencapai harapan tersebut, Indonesia harus terlebih dahulu
mempunyai pemahaman tentang dampak sosial ekonomi pada industri peternakan,
sehingga perumusan program pengendalian AI dapat lebih efektif.
2
Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana dampak wabah AI terhadap sosial
ekonomi peternak yang berada pada wilayah kecamatan/desa yang tertular AI.
Perhatian perlu diberikan terhadap dampak sosial ekonomi, terutama terhadap aspek
pendapatan, kesempatan kerja dan kemungkinan melanjutkan usaha. Hal penting
lainnya adalah sikap mereka terhadap wabah AI, apakah mereka menghentikan usaha
atau menggantikan dengan usaha lain atau bangkit kembali dan bagaimana mereka
melakukan hal itu. Kemudian, bagaimana dengan dampak sosial ekonomi pada
wilayah yang tidak tertular? Apakah mereka menghadapi masalah yang sama dengan
peternak di wilayah tertular dan apakah terdapat perubahan dalam melaksanakan
biosekuriti, vaksinasi dan usaha-usaha pencegahan wabah AI lainnya?
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas itu, beberapa negara
Asia yakni Indonesia, China, Vietnam dan Thailand melaksanakan penelitian dengan
judul Socio-economic Impacts of HPAI Outbreaks and Control Measures on Small-
scale and Backyard Poultry Producers in Asia. Penelitian ini dilaksanakan pada
waktu yang bersamaan di ke empat negara tersebut yakni mulai Januari tahun 2007
dan berakhir April tahun 2009. Sebagai bagian dari satu penelitian yang lebih besar,
makalah ini fokus pada membahas karakteristik peternak, pengetahuan peternak
tentang kebijakan penanggulangan dan gejala penyakit AI, sosial kapital dan hasil
Focus Group Discussion (FGD)
II. STRUKTUR DAN KEBIJAKAN INDUSTRI PETERNAKAN UNGGASDI INDONESIA
2.1. Struktur dan Kebijakan Industri Peternakan Unggas
Indonesia melalui kebijakan Penanaman Modal Asing (PMA) tahun 1976
telah berhasil mengembangkan semua kelengkapan industri perunggasan, terutama
ayam ras, antara lain perusahaan pembibitan, perusahaan pabrik pakan, perusahan
obat-obatan ternak dan perusahaan pengolahan hasil ternak. Industri pembibitan pada
awalnya terbatas pada pemeliharaan induk ayam atau Parent Stock (PS) dalam skala
komersial untuk menghasilkan doc final stock (FS). Dalam waktu 10 tahun, industri
ini berkembang dengan dipeliharanya ayam induk atau Grand Parent Stock (GPS).
Sampai saat ini, Indonesia belum mampu menghasilkan breed sendiri, karena itu
perkembangan industri peternakan di Indonesia sangat tergantung pada impor bibit.
3
Krisis ekonomi yang terjadi tahun 1997/1998 telah membuat terpuruk industri
perunggasan nasional. Akibat ketergantungan yang tinggi pada impor, maka sebagian
besar usaha peternakan hancur. Industri pabrik pakan kembali pulih pada tahun 2000
dan mencapai produksi normal kembali pada tahun 2002. Tahun 2003 jumlah ayam
petelur mencapai 85 juta dan ayam broiler sekitar 250 juta ekor yang tersebar di
seluruh provinsi di Indonesia, terutama pulau Jawa dan Sumatera, masing-masing 45
persen dan 30 persen dari total populasi. Produksi telur mencapai 701.203 ton
pertahun dan produksi broiler mencapai 819 juta ton. Produksi telur dan broiler
diperkirakan telah memenuhi permintaan efektif dalam negeri. Dari tahun 2003
hingga 2008, pertumbuhan populasi ayam petelur dan broiler relatif melambat karena
pertumbuhan pendapatan yang relatif lambat dan adanya berbagai kendala
perekonomian dalam negeri.
2.2. Peran Perusahaan Komersil Skala Kecil
Perkembangan industri perunggasan di Indonesia yang dimulai tahun 1967 di
arahkan untuk membangun struktur budidaya atau produksi dalam bentuk usaha
rakyat. Menurut UU Peternakan 1967, peternakan merupakan usaha rakyat, artinya,
skala komersial tidak diperkenankan masuk. Tujuan utama pengembangan
perusahaan peternakan di Indonesia adalah meningkatkan kesempatan kerja dan
peningkatan pendapatan para peternak komersil skala kecil. Hal ini sangat penting
karena Indonesia menghadapi masalah tingkat penggangguran dan kemiskinan yang
relatif tinggi. Berdasarkan pusat data Persatuan Peternakan Unggas Indonesia (PPUI)
pada tahun 1980 tercatat sekitar 80.000 peternak ayam petelur dengan skala usaha di
bawah 2.500 ekor1. Peran usaha rakyat mencapai 65 persen, sedangkan sisanya
perusahaan komersial. Namun pada tahun 1990, peran usaha rakyat semakin susut
menjadi 55 persen, sedang usaha komersial meningkat menjadi 45 persen. Ternyata,
desakan permintaan yang sangat cepat telah mendorong pertumbuhan perusahaan
komersil yang terintegrasi dalam skala besar yang sebenarnya dilarang menurut UU
Peternakan 1967. Pertumbuhan perusahaan komersial terintegrasi ini sulit dicegah,
maka pada tahun 1990, pemerintah mencabut Keppres 50/1981 dan menerbitkan
kebijakan baru, yakni Keppres 22/90 yang pada dasarnya mengijinkan usaha komersil
dalam budidaya ternak ayam ras, dengan catatan perusahaan harus melakukan
1 (Poultry Indonesia, 1980)
4
kegiatan produksi dengan pola kemitraan atau kontrak farm dengan peternak rakyat
dan 60 persen produksi ditujukan untuk ekspor. Dengan strategi ini, pemerintah
berharap usaha rakyat tetap dapat berkembang, sementara kebutuhan konsumsi telur
dan daging ayam dapat dipenuhi.
Namun pada akhir tahun 2003 terjadi krisis outbreak AI yang sangat
merugikan perusahaan peternakan. Sebagian besar perusahaan komersil yang
diserang wabah AI adalah perusahan komersil mandiri, karena mereka pada
umumnya memliki kemampuan finansial yang rendah dalam melaksanakan
bioskuriti. Krisis AI memberikan dampak sangat buruk kepada sebagian besar
perusahan komersil. Pada tahun 2006, sebagai akibat wabah AI, maka peran usaha
rakyat turun menjadi 30 persen dan usaha komersil meningkat menjadi 70 persen2.
2.3. Peran Usaha Kecil Terhadap Produksi dan Lapangan Kerja
Tinjauan di atas memperlihatkan bahwa sesungguhnya pemerintah
mendukung perkembangan usaha peternakan rakyat agar berperan dalam industri.
Pemerintah menganggap hal ini penting dalam kerangka pemecahan masalah dalam
negeri, antara lain kesempatan kerja dan sumber pendapatan. Industri rakyat
diperkirakan masih menampung sebesar 20 ribu rumah tangga yang menjadikan
usahanya sebagai usaha utama. Menurut data Direktorat Jenderal Peternakan3 jumlah
orang yang hidup dalam perusahaan komersial sekitar 385 ribu orang. Jumlah ternak
yang dipelihara oleh kelompok ini adalah 19,9 juta ekor layer atau 44 persen dari
populasi nasional dan 38.3 juta ekor broiler atau 15 persen dari total populasi
nasional.
Pada umumnya pasar hasil unggas ras untuk Jakarta dikuasai oleh usaha
komersial, dengan pangsa sebesar 90 persen. Selain itu, usaha komersial tidak saja
menguasai pasar, tetapi juga saluran tataniaga, sehingga pendatang baru akan sulit
memasuki pasar. Perdagangan broiler misalnya, telah diatur oleh para pedagang
besar, sehingga tingkat harga broiler dijaga sedemikian rupa supaya tetap tinggi. Ada
kecenderungan sedang terjadi bentuk monopoli dalam pasar hasil unggas di Jakarta.
Sekarang harga ayam pada tingkat peternak hanya 30 persen dari harga akhir.
2Pinsar (2006). Makalah yang disampaikan dalam pertermuan dengan PSE KP. Pinsar. Jakarta.
3Statistik Peternakan (1990-2000). Statistical Book on Livestock 2003. Direktorat Jenderal Bina Produksi
Peternakan. Departemen Pertanian Republik Indonesia. Jakarta
5
III. METODA PENELITIAN
Berdasarkan data wabah kasus AI sejak tahun 2004 sampai 2005 di Indonesia
dapat ditetapkan tiga provinsi penelitian yakni provinsi Jawa Barat, Jawa Timur dan
Lampung masing-masing mewakili kriteria tingkat serangan wabah berat, sedang dan
ringan. Dari setiap provinsi dipilih dua kabupaten dengan kriteria tingkat serangan
wabah terbesar dalam provinsi itu. Kemudian dari setiap kabupaten dipilih 2
kecamatan/desa berdasarkan kriteria tingkat serangan wabah AI terberat yang ada
dalam kabupaten tersebut. Dengan demikian dalam setiap provinsi ditentukan 4
kecamatan/desa penelitian dan 12 kecamatan/desa.
Selain responden peternak, maka dalam setiap desa dilakukan wawancara
kelompok yang disebut Focus Group Discussion (FGD). Responden FGD berguna
untuk menggali masalah-masalah sosial yang muncul atau perubahan-perubahan
sosial yang terjadi, baik dalam rumah tangga maupun dalam wilayah atau desa
penelitian. Dalam setiap desa dilakukan 3 kali FGD, terdiri dari FGD dengan wakil
perempuan (KP), FGD dengan wakil laki-laki (KL) dan FGD dengan wakil warga
miskin (KM). Teknik wawancara untuk jenis responden sektor III dan IV dilakukan a
secara individu/responden dengan kuesioner. Untuk jenis responden KP, KL dan KM
dilakukan diskusi secara kelompok. Untuk maksud ini, dipersiapkan dengan membuat
pokok-pokok diskusi yang akan dibahas. Kelompok responden penting lainya adalah
informan kunci, yang mungkin seorang kepala desa, kepala dinas, penyuluh
pertanian, penyuluh kesehatan, dokter hewan yang bertugas di lapang. Responden KI
dapat kepala desa, kepada dinas peternakan, penyuluh pertanian, penyuluh kesehatan,
dokter hewan yang bertugas di lapang dan sebagainya. Secara keseluruhan, dilakukan
36 FGD, wawancara dengan 36 informan kunci dan 720 peternak
Penelitian ini menggunakan analisis kuantitatif dan kualitatif untuk
memperoleh bukti-bukti dan gambaran peternak kecil dan peternak backyard dalam
rangka memahami bagaimana peternak dan masyarakat menghadapi dampak wabah
AI baik langsung atau tidak langsung. Pendekatan kualitatif terutama ditujukan untuk
mengekplorasi isu kunci dan mendapatkan pengertian yang mendalam atas isu
tersebut dan untuk memahami perilaku responden. Pendekatan kuantitatif terutama
ditujukan untuk mendapatkan bukti-bukti statistik dampak wabah AI terutama pada
usaha skala kecil.
6
IV. HASIL PENELITIAN DAN DISKUSI
4.1. Identitas Peternak
Peternak responden umumnya berumur 45-49 tahun yang merupakan usia
produktif dan matang dalam menjalankan usaha. Namun demikian tingkat pendidikan
relatif rendah, bahkan sebagian besar buta huruf. Demikian juga anggota keluarga,
termasuk peternak, yang merupakan kader desa jumlahnya sangat terbatas, yaitu
hanya 3 - 4 persen (Tabel 1). Berlatar belakang pendidikan dan pengetahuan yang
relatif terbatas, maka teknik budidaya unggas umumnya mengandalkan pengalaman
semata.
Sebagian dari peternak pada awalnya hanya mengikuti keberhasilan peternak
pemula di lingkungan mereka. Inilah yang menjadi penyebab munculnya desa
peternakan ayam dengan populasi total sampai 200-300 ribu ekor, khususnya pulau
Jawa. Dengan berjalannya waktu, melalui bimbingan petugas peternakan pemerintah
dan swasta (technical service) para peternak meningkatkan pengetahuannya. Petugas
swasta, termasuk pemilik poultry shop jauh lebih aktif dibandingkan petugas
pemerintah.
Jika dihubungkan tingkat pendidikan dengan status infeksi, peternak yang
usaha unggasnya terinfeksi wabah AI jauh lebih banyak terjadi pada peternak yang
buta huruf. Selanjutnya jika dipilah berdasarkan tingkat serangan, pada daerah
tingkat serangan berat yaitu Jawa Barat, sebagian besar (59.1%) peternaknya buta
huruf. Fakta ini menunjukan bahwa pada usaha unggas, tingkat pendidikan peternak
menentukan dalam mengelola usaha, diantaranya dalam mencegah dan
mengendalikan penyakit ternak. Fakta ini baik langsung maupun tidak langsung
kenyataan merupakan ancamaan bagi penularan AI.
Selain pengetahuan dan keterampilan, usaha unggas juga membutuhkan
tenaga kerja untuk melakukan aktivitas pembelian saprodi, pemeliharaan unggas dan
pemasaran produk. Sebagian dari mereka masih usia sekolah, sehingga tidak
mungkin membantu orang tua membantu mengelola usaha unggas. Oleh karena itu,
sebagian besar peternak membutuhkan tenaga kerja luar keluarga, yang pada
umumnya berasal penduduk desa setempat.
7
Tabel 1. Karakteristik Peternak Responden Berdasarkan Tingkat Serangan dan Status Wabah AI di Indonesia, Tahun 2008.
Tingkat Serangan Wabah AI
Ringan Sedang Berat TotalUraian
InfeksiNon
Infeksi InfeksiNon
Infeksi InfeksiNon
Infeksi InfeksiNon
Infeksi
Umur KK (tahun) 47.0 48.0 45.7 44.3 48.7 45.5 47.2 45.8
Pendidikan KK(%)
a. Buta huruf 31.7 12.9 26.7 14.6 45.8 13.3 34.7 13.6
b. SD 9.6 4.2 13.3 10.4 17.5 3.8 13.5 6.1
c. SMP 17.5 9.6 19.2 13.3 14.2 2.1 16.9 8.3
d. SMA 7.9 4.6 1.7 0.8 2.1 1.3 3.9 2.2
e. Lainnya 1.3 0.8 0 0 0 0 0.4 0.3
JART (jiwa) 4.2 4.3 4.3 4.3 4.6 4.7 4.4 4.4
ART Kader Desa (%)
a. Kader 3.2 2.4 3.5 4.2 4.3 3.5 3.7 3.4
b. Bukan kader 96.8 97.6 96.5 95.8 95.7 96.5 96.3 96.6
4.2. Identitas Aset Peternak
Nilai asset yang dimiliki dapat dijadikan indikasi kesejahteraan dan
kemampuan peternak melakukan pemulihan usaha jika usaha mengalami
kebangkrutan akibat sesuatu hal, seperti serangan wabah AI. Ada empat kelompok
asset penting milik peternak yang diidentifikasi yaitu rumah, aset rumah tangga, aset
pertanian dan lahan. Rinciannya dapat dilihat pada Tabel 2 dan Tabel 3.
Pada umumnya peternak memiliki satu unit rumah, namun ada peternak yang
memiliki dua unit rumah. Bahkan di Lampung dan Jatim ada peternak yang memiliki
rumah sampai tiga unit. Sebaliknya ada peternak yang tidak memiliki rumah.
Mereka adalah peternak muda yang masih tinggal serumah dengan orang tua mereka.
Jumlah peternak yang tidak memiliki rumah ada sembilan peternak di Jabar dan dua
peternak di Jatim.
Jenis asset rumah tangga terdiri dari berbagai jenis, diantaranya adalah: TV
dan perlengkapannya, kamera, mesin cuci, kulkas, kompor gas, mobil, sepeda motor,
dan handphone. Demikian juga jenis asset pertanian terdiri dari berbagai jenis,
diantaranya adalah: mesin pengolah pakan, sprayer, mobar, sumur dan pompa air,
ternak kerja, truck, gerobak tenaga manusia, dan kuda. Berdasarkan kepemilikan tiga
jenis asset tersebut menunjukkan bahwa peternak Jawa Timur dan Lampung memiliki
nilai asset jauh lebih tinggi dibandingkan peternak Jawa Barat. Peternak di Jawa
8
Barat, ternyata adalah masyarakat relatif miskin, yang menggantungkan
pendapatannya pada usaha unggas. Usaha unggas merupakan kesempatan yang sangat
berharga bagi masyarakat. Karena pendidikan yang rendah dan miskin, mereka relatif
mempunyai sedikit peluang untuk mendapatkan pekerjaan di luar desa, kecuali
menjadi buruh kasar.
Tabel 2. Pemilikan Rumah dan Nilai Asset Peternak, Tahun 2008
Lampung Jatim JabarJenis dan Nilai Asset
InfeksiNon
InfeksiInfeksi
Non Infeksi
InfeksiNon
Infeksi
1. Jumlah rumah (unit/peternak)
a. Satu unit 155 69 138 92 176 48
b. Dua unit 7 8 5 2 7 0
c. Tiga unit 1 0 1 0 0 0
d. Empat unit 0 0 0 0 0 0
2. Nilai Aseet (Rp000)
a. Nilai Aset Rumah 82995 85376 94815 108330 43223 33888
b. Nilai Asset Rumah Tangga 18584 15498 25274 31800 5818 5402
3. Nilai Asset Pertanian 5877 5795 1206 3277 646 317
4. Total Nilai Asset 107456 106669 121295 143407 49687 39607
Berdasarkan luas pemilikan lahan, peternak Lampung memiliki lahan terluas
(1,01 Ha -2,07 Ha) dibandingkan dengan peternak Jawa Timur (0,18 ha – 0,33 Ha)
dan Jawa Barat (0,19 Ha). Sebagian besar lahan yang dimiliki digunakan peternak
untuk tanaman pangan yang dibudidayakan sebagai sumber pendapatan lain selain
usaha unggas. Bahkan peternak di Lampung dan Jawa Barat, untuk menambah
penghasilan rumah tangga, mereka mengusahakan lahan tanaman pangan melebihi
yang dimilikinya dengan cara menyewa atau bagi hasil. Sebaliknya peternak Jawa
Timur, dengan alasan perlu perhatian khusus pada usaha unggasnya, mereka
menyewakan atau bekerjasama dengan petani lain untuk mengusahakan lahan yang
dimilikinya.
9
Tabel 3. Pemilikan Rumah dan Nilai Asset Peternak, Tahun 2008 (Ha)
Lampung Jawa Timur Jawa BaratPenggunaan
LahanStatus Asset Infeksi
Tidak Infeksi
InfeksiTidakInfeksi
InfeksiTidak Infeksi
Milik sendiri 0,79 1,15 0,28 0,18 0,17 0,18Tan. Pangan
Berbeda dengan pengeluaran rumah tangga untuk kesehatan, pengeluaran
untuk pendidikan mengalami penurunan, terutama terjadi di lokasi high incidence,
baik untuk ternak yang terinfeksi maupun yang bebas (Tabel 7). Demikian pula
terjadi sedikit penurunan di lokasi serangan sedang, yaitu pada rumah tangga yang
ternaknya terinfeksi AI. Data menunjukkan adanya dampak langsung wabah AI di
13
lokasi serangan berat. Namun demikian, dilokasi serangan ringan dan sedang, yaitu
untuk rumah tangga yang tidak terkena infeksi justru terjadi peningkatan biaya
pendidikan. Kalau dilihat menurut lokasi studi, maka penurunan terjadi dilokasi
serangan berat dan peningkatan terjadi dilokasi serangan ringan dan sedang. Perilaku
rumah tangga dalam alokasi biaya pendidikan, khususnya dilokasi serangan berat
mengindikasikan bahwa responden lebih melihat pentingnya aspek kesehatan
dibanding aspek pendidikan. Hal ini dapat diartikan bahwa responden masih lebih
mementingkan mencari solusi yang sifatnya jangka pendek belum ke jangka panjang.
Menjaga kesehatan menjadi lebih prioritas bagi sebagian responden karena biaya
pengobatan bagi anggota keluarga yang sakit biasanya tidak kecil. Dampak wabah AI
dalam hal ini menjadi jelas mempengaruhi anggaran rumah tangga untuk keperluan
kesehatan, bukan untuk biaya pendidikan, khususnya bagi responden dilokasi
serangan berat.
Tabel 7. Rata-rata Pengeluaran untuk Pendidikan (Rp000)
Kejadian Terserang Tidak terserang T o t a lNo
Sebelum Setelah Sebelum Setelah Sebelum Setelah1 Ringan 2,007.73 2,473.31 2,045.44 2,561.15 2,019.8 2,501.5 2 Sedang 2,518.62 2,411.51 1,711.28 2,524.71 2,201.1 2,456.0 3 Berat 1,606.15 1,590.30 1,879.92 1,317.61 1,662.0 1,534.6
4.6. Kesejahteraan 4.6.1. Pengeluaran untuk Konsumsi
Walaupun wabah AI merugikan secara ekonomi, ternyata bagi responden hal
ini tidak sampai menurunkan pengeluaran rumah tangga untuk konsumsi sehari-hari.
Hasil survei justru menunjukkan terjadinya peningkatan pengeluaran untuk konsumsi
disemua lokasi studi. Peningkatan terbesar terjadi diantara responden yang tidak
mengalami wabah AI, terutama diantara responden dilokasi serangan berat, yaitu
kenaikan sebesar Rp. 2,5 juta/tahun, disusul oleh lokasi serangan sedang dan ringan,
masing-masing Rp. 1.8 juta/tahun dan Rp. 1.5 juta/tahun (Tabel 8). Kebutuhan dasar
berupa pangan sehari-hari untuk keluarga merupakan sesuatu yang tidak dapat
ditunda ketersediannya, kecuali mampu menahan lapar. Peningkatan pengeluaran
kemungkinan besar terjadi karena meningkatnya harga kebutuhan pokok, bukan
karena tingkat konsumsi yang meningkat. Artinya, dalam upaya memenuhi kebutuhan
dasar konsumsi keluarga yang jumlahnya relatif sama, responden harus meningkatkan
14
jumlah pengeluaran. Hal ini merupakan sesuatu yang positif bagi anggota keluarga
karena kebutuhan pokok pangan tidak dikorbankan karena terjadinya kenaikan harga.
Tabel 8. Rata-rata Pengeluaran untuk Konsumsi (Rp000)
Terjadinya wabah AI diperkirakan mengganggu hubungan sosial antar warga
masyarakat di lokasi studi. Hal ini disebabkan oleh meluasnya kekhawatiran baik
diantara peternak maupun non peternak, karena AI telah menimbulkan korban bukan
hanya pada ayam, tetapi juga korban manusia. Pemberitaan meluas di media massa
mengakibatkan semua pihak waspada terhadap dampak yang ditimbulkan oleh wabah
AI. Hasil survei menunjukkan ternyata tingkat hubungan sosial diantara masyarakat
relatif tidak terganggu, seperti dapat dilihat Tabel 11. Angka dalam Tabel 11
menunjukkan angka rata-rata dari berbagai variabel yang menjadi indikator
perubahan hubungan sosial dan dicantumkan dibagian bawah Tabel. Misalnya, secara
umum, peternakan yang terkena infeksi lebih banyak responden yang merasakan
bahwa wabah AI berpengaruh terhadap solidaritas masyarakat, dengan rata-rata 45
persen. Sebaliknya diantara peternakan yang bebas angkanya hanya 19 persen.
16
Menarik untuk disimak adalah peternak yang bebas wabah AI dilokasi high
incidence, kurang dari 10 persen yang merasa adanya perubahan hubungan sosial
karena wabah AI. Kuatnya rasa kekeluargaan di antara masyarakat dilokasi studi
mengakibatkan wabah AI tidak mampu mempengaruhi hubungan diantara warga
masyarakat. Perasaan kurang senang dari penduduk yang tidak memelihara unggas
akan terjadinya wabah AI mampu ditahan sehingga tidak terjadi antara pemelihara
dan bukan pemelihara unggas. Demikian pula tidak pernah dilaporkan adanya
retaknya hubungan antara desa yang terkena wabah AI dengan desa yang bebas.
Rupanya perkiraan dari luar tentang tergangunya hubungan sisal diantara warga
masyarakat tidak dapat diketemukan secara nyata dilokasi studi.
Tabel 11. Dampak wabah AI terhadap Hubungan Sosial Responden (%)
No Hubungan/konflik/solidaritas Antara1)
Terserang Tidak terserang
1 Ringan 36.2 17.62 Sedang 42.9 29.53 Berat 57.3 8.54 Total 45.4 18.6
Notes: 1) Hubungan antar warga, peternak dan non peternak, warga dan kantor dinas peternakan, warga dan kader desa, warga dan kantor desa, desa dan desa tetangga, konflik antara peternak dan non peternak, solidaritas peternak dan non peternak
4.7.2. Jejaring Sosial Networking
Jejaring sosial disini dimaksudkan jejaring yang dimiliki oleh peternak dengan
berbagai pihak yang berkaitan dengan usahanya, termasuk pemerintah, swasta dan
masyarakat. Kuatnya jejaring sosial tentu saja akan mampu meringankan beban yang
diderita oleh responden yang terkena terinfeksi AI. Tabel 12 menyajikan informasi
tentang apakah peternak menerima bantuan dan pihak lain ketika wabah AI muncul.
Secara keseluruhan hampir 80 persen peternak yang ayamnya terinfeksi tidak
memperoleh bantuan selama wabah, sedang bagi yang terkena wabah, hanya 36
persen yang tidak memperoleh bantuan. Disamping itu, keterlibatan berbagai pihak
seperti pihak tokoh desa setempat, aparat pemerintah dan rekanan bisnis ternyata
relatif minim perannya. Untuk lokasi studi dengan serangan ringan dan sedang,
ternyata peran rekanan bisnis lebih menonjol dibanding lainnya, meskipun hal seperti
ini tidak terjadi dilokasi serangan berat.
17
Tabel 12. Responden Penerima Bantuan dari Pihak Lain (%)
No Bantuan dari Terserang Tidak terserang1 Serangan Ringan
- Tidak ada 80.4 85.7- Pimpinan desa 6.7 3.9- Pemerintah 8.6 7.8- Rekan bisnis 11.7 16.9
2 Serangan Sedang- Tidak ada 58.2 61.7- Pimpinan desa 2.7 6.4- Pemerintah 5.5 4.3- Rekan bisnis 13.7 12.8
3 Serangan Berat- Tidak ada 92.7 89.8- Pimpinan desa 4.7 4.1- Pemerintah 10.5 2.0- Rekan bisnis 3.7 4.1
4 Total- Tidak ada 78.6 35.7- Pimpinan desa 6 2.7- Pemerintah 8.4 3.8- Rekan bisnis 9.2 4.2
Selain adanya bantuan dan peran berbagai pihak dalam kaitannya dengan saat
terjadinya wabah AI, dampak lain wabah terhadap berbagai aspek jejaring sosial juga
menjadi bagian dari informasi yang dikumpulkan. Jejaring sosial yang dimaksud
disini mulai dari solidaritas masyarakat sampai pada kemungkinan terjadinya depresi
psikis pada responden. Secara keseluruhan dari ketiga lokasi studi tampak bahwa 80
persen dari responden yang terkena wabah merasa bahwa wabah AI tidak
berpengaruh terhadap berbagai variabel jejaring sosial. Sedangkan hampir 20 persen
responden merasakan adanya peningkatan dari berbagai variabel tersebut.
4.7.3. Kebiasaan Sosial
Secara umum, kebiasan sosial adalah hal-hal yang biasa dipraktekkan oleh
masyarakat dan telah memperoleh legitimasi bersama. Kebiasaan sosial dalam studi
ini dikaitkan dengan praktek memelihara ayam, mulai yang menyangkut tentang
aturan masyarakat sampai kepada hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan
keagamaan di lokasi studi. Artinya, apakah dengan adanya wabah AI terdapat
dampak yang dirasakan atau dialami responden. Dari berbagai variabel yang
ditanyakan, ternyata sebagian besar responden menyatakan bahwa wabah AI tidak
18
berdampak nyata terhadap berbagai variabel tersebut dan hal ini dapat dilihat pada
Tabel 13. Menarik untuk disimak adalah tentang kebiasaan mengkonsumsi ayam dan
telur serta praktek memelihara ayam yang terjadi dilokasi serangan ringan dan
sedang. Persentase responden yang menyatakan berdampak relatif lebih tinggi
dibanding dilokasi serangan berat. Sebaliknya praktek mencari pekerjaan akibat
berhentinya usaha peternakan banyak diakui oleh responden di lokasi serangan
sedang dan berat. Kedua hal ini menunjukkan ciri khas dari masing-masing lokasi
berkaitan dengan kebiasaan mereka akibat adanya wabah AI. Secara keseluruhan
Tabel 13 juga menunjukkan bahwa praktek memelihara ayam menjadi variabel yang
dipilih oleh sekitar 30 persen responden diketiga lokasi.
19
Tabel 13. Dampak Wabah AI terhadap Berbagai Kebiasaan Sosial (%)
Serangan ringan Serangan sedang Serangan berat T o t a lNo.