KEPENTINGAN MASYARAKAT DIBALIK TUNTUTAN GANTI RUGI ATAS SEMBURAN LUMPUR DI SIDOARJO Analisis mengenai konflik antara masyarakat yang ada di wilayah sekitar semburan lumpur dan pihak PT. Lapindo dengan menggunakan alat bantu analisa bawang bombay (Disusun untuk melengkapi tugas dari mata kuliah Sosiologi Konflik) Oleh: Dede Kurniawati/0811210008 B-SOS 5 JURUSAN SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
KEPENTINGAN MASYARAKAT DIBALIK TUNTUTAN GANTI RUGI ATAS SEMBURAN
LUMPUR DI SIDOARJOAnalisis mengenai konflik antara masyarakat yang ada di wilayah sekitar semburan
lumpur dan pihak PT. Lapindo dengan menggunakan alat bantu analisa bawang bombay
(Disusun untuk melengkapi tugas dari mata kuliah Sosiologi Konflik)
Oleh:
Dede Kurniawati/0811210008 B-SOS 5
JURUSAN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2010
BAB IPENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Selama 4 tahun lumpur lapindo tidak saja menghilangkan ruang hidup puluhan ribu warga,
namun juga rusaknya lingkungan yang ada di sekitar semburan. Sawah-sawah dan tambak-tambak
tidak lagi bisa didayagunakan sejak semburan lumpur terjadi dan pembuangannya ke sungai porong.
Badan-badan publik yang menangani banyak sektor terkait lumpur lapindo juga cenderung tertutup
dalam memberikan informasi terkait masalah lumpur lapindo. Cukup sulit bagi warga maupun
masyarakat mendapatkan informasi detail dari dinas-dinas maupun departemen terkait. Padahal
informasi terkait tingkat hidrokarbon di udara yang telah mencapai 55.000 ppm, dari ambang batas
normal yang hanya 0,24 ppm sangat penting untuk diketahui masyarakat. Data itu menurut Walhi
lewat siaran persnya berdasarkan surat rekomendasi Gubernur Jawa Timur tanggal 24 Maret 2008.
Kondisi yang menyebabkan meningkatnya penderita ISPA pada tahun 2007 hingga lebih dari 46 ribu
jiwa, 2 kali lipat dari penderita tahun 2006 yang hanya 23ribu, harusnya diinformasikan sejak awal.
Tidak heran jika kemudian terjadi kematian warga yang tidak terdiagnosa dengan baik penyebabnya.
Walhi Jawa Timur mencatat sekurangnya 5 warga telah meninggal akibat buruknya kondisi
lingkungan yang ada.1
Semenjak Mei 2006, lebih dari 13,000 orang di wilayah Porong telah mengungsi dari delapan
desa. Dua puluh lima pabrik harus ditinggalkan, hektaran sawah, tambak ikan dan udang telah
musnah. Berbagai infrastruktur telah terganggu termasuk jalan tol, rel kereta api, saluran gas dan
minyak Pertamina. Pada tanggal 23 November 2006, telah terjadi sebelas ledakan yang fatal dari
pipa gas yang kemungkinan besar disebabkan oleh lumpur panas. Dikawatirkan akan terjadi dampak
terhadap lingkungan yang lebih besar apabila penyebaran lumpur panas melebar hingga ke Sungai
Porong dan ke laut. Diramalkan bahwa lokasi di sekitar pengeboran akan tenggelam bersamaan
dengan terbentuknya sebuah lubang. Di samping itu, berdasarkan hasil survei yang dilakukan
Danareksa Research Institute (DRI) pada bulan Maret 2007, bencana lumpur Lapindo di Porong,
Sidoarjo menjatuhkan Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK) pada bulan Maret di Jawa Timur sebesar
11,4 persen menjadi 75,3. Genangan lumpur panas mengganggu distribusi barang dan transportasi di
provinsi itu. Jalan tol yang sebelumnya sibuk kini tak dapat digunakan. Di lain pihak Menteri Negara.
Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Paskah Suzetta memperkirakan kerugian
ekonomi akibat lumpur panas Lapindo Brantas di Sidoarjo lebih dari Rp7,6 triliun.2
Penyelesaian ganti rugi untuk korban semburan lumpur di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur,
hingga kini belum tuntas. Luapan lumpur yang diakibatkan eksplorasi gas oleh PT Lapindo Brantas
sejak 29 Mei 2006 lalu, berdampak lebih besar terhadap lingkungan dan penduduk sekitar. Petaka
lumpur Lapindo telah berlangsung selama empat tahun. Hingga kini volume lumpur mencapai 10 juta
meter kubik. Pemerintah pusat juga telah mengeluarkan dana dari Anggaran Pendapatan Belanja
1Suara Merdeka.4 Tahun Lumpur Lapindo Rusak Lingkungan Sidoarjo.diakses tgl 15/12/2010.21:03.pada
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2010/05/28/55641/4-Tahun-Lumpur-Lapindo-Rusak-Lingkungan-Sidoarjo2Azhar. Lumpur Sidoarjo dalam Perspektif Sosiologi Hukum. diakses tgl 15/12/2010, 21:49, pada http://io.ppijepang.org/cetak.php?id=297
bertentangan. Terdapat sedikitnya sumber konflik, diantaranya yaitu perbedaan kepentingan,
perbedaan nilai, dan keterbatasan sumberdaya.6
Dalam situasi konflik semburan lumpur di sidoarjo, terdapat pihak-pihak yang yang
mempunyai tujuan-tujuan yang saling bertentangan. Berkaitan dengan situasi konflik yang ada di
wilayah semburan lumpur sidoarjo, terdapat pihak-pihak yang merasa menguasai tujuan tertentu dan
tujuan- tujuan tersebut saling bertentangan. Pihak yang nampak sekali terkait dengan konflik
semburan lumpur ini antara lain yaitu pihak PT.Lapindo dengan masyarakat setempat. Dimana pihak
masyarakat mempunyai tujuan untuk menuntut ganti untung atas kerugian yang mereka rasakan
semenjak adanya semburan lumpur, sedangkan pihak PT. Lapindo mempunyai tujuan untuk
menjalankan usahanya tanpa mau menanggung kerugian yang besar.
2.1.2 Masyarakat R.Linton berpendapat bahwa Masyarakat adalah setiap kelompok manusia yang telah cukup
lama hidup dan bekerja sama,sehingga mereka ini dapat mengorganisasikan dirinya dan berpikir
tentang dirinya dalam satu kesatuan sosial dengan batas tertentu.7 Syarat-syarat dari masyarakat :
Harus ada pengumpulan manusia , dan harus banyak, bukan pengumpulan binatang.
Telah bertempat tinggal dalam waktu yang lama di suatu daerah tertentu
Adanya aturan UU yang mengatur mereka untuk menuju kepentingan dan tujuan bersama.8
Orang-orang yang bertempat tinggal diwilayah semburan lumpur sidoarjo merupakan suatu
bentuk masyarakat. Dimana mereka telah hidup diwilayah yang sama dan bertempat tinggal dalam
kurun waktu yang cukup lama pula. Mereka telah berinteraksi dan menjalin hubungan sosial bersama.
Mereka telah telah tercatat secara administratif sebagai penduduk setempat oleh badan-badan
kependudukan wilayah tersebut.
2.1.3 PT. LapindoPerusahaan Lapindo Brantas merupakan anak perusahaan PT Energi Mega Persada Tbk,
yang 60% sahamnya dimiliki oleh Bakrie Group, pimpinan Aburizal Bakrie, mantan Menteri
Koordinator Perdagangan dan Industri yang sekarang menjadi Menteri Koordinator Kesejahteraan
Sosial.9
Perusahaan Lapindo Brantas ini merupakan salah satu pihak yang dianggap patut
bnertanggung jawab atas munculnya semburan lumpur di sidoarjo. Dalam proses kerja Lapindo
Brantas saat melakukan pengeboran di sekitar wilayah sidoarjo ditengarai mengalami kesalahan yang
membuat adanya semburan lumpur panas ini. Maka dari itu, masyarakat setempat melakukan
gugatan ganti rugi kepada pihak Lapindo Brantas atas segala kerugian yang dialami.
2.1.4 Tuntutan Ganti RugiSecara umum pengertian ganti rugi adalah sesuatu yang menjadi penukar atas suatu
yang tidak ada atau hilang. Pasal 1365 KUH Perdata hanya bermaksud bahwa ganti rugj
adalah kerugian pokok yang ditimbulkan oleh perbuatan melanggar hukum, sedangkan
ketentuan tentang macamnya ganti rugi yang harus dibayarkan karena perbuatan melanggar
hukum tidak diatur dalam undang-undang. Yang diatur hanyalah ganti rugi akibat /anprestasi
6 Teori Konflik diakses pada 15/12/2010. 23:07 (http://www.docstoc.com/docs/31341391/Teori-Konflik)7 Pengertian Masyarakat(http://viniagustia.blogspot.com/2009/12/pengertian-masyarakat.html)8 ibid9 N.A. (2006). Bakrie name at stake. Jakarta Post (http://www.thejakartapost.com), 15/12/2010, 21:40
sosial. Maka dari itu masyarakat setempat melakukan gugatan ganti rugi kepada pihak yang dianggap
telah membuat kerugian bagi mereka, dalam hal ini adalah pihak Lapindo. Dalam tindakan menuntut
ganti rugi ini, masyarakat setempat sampai-sampai mengganti istilah ganti rugi dengan istilah ganti
untung karena mereka sangat khawatir jika pihak lapindo maupun pihak-pihak lain yang dianggap
perlu untuk bertanggung jawab tidak mengganti kerugian mereka sepenuhnya. Masyarakat setempat
merasa tidak ingin menanggung kerugian atas perbuatan pihak lain yang merugikan mereka, dan
ingin pihak yang dianggap telah merugikan mereka tersebut sebisanya mengganti semua kerugian
yang terjadi.
2.1.5 Lahan dan Bangunan2.1.5.1 Lahan
Lahan merupakan bagian dari bentang alam (landscape) yang mencakup pengertian
lingkungan fisik termasuk iklim, topografi/relief, tanah, hidrologi, dan bahkan keadaan vegetasi alami
(natural vegetation) yang semuanya secara potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan
(FAO, 1976). Lahan dalam pengertian yang lebih luas termasuk yang telah dipengaruhi oleh berbagai
aktivitas flora, fauna dan manusia baik di masa lalu maupun saat sekarang, seperti lahan rawa dan
pasang surut yang telah direklamasi atau tindakan konservasi tanah pada suatu lahan tertentu.
Penggunaan yang optimal memerlukan keterkaitan dengan karakteristik dan kualitas lahannya. Hal
tersebut disebabkan adanya keterbatasan dalam penggunaan lahan sesuai dengan karakteristik dan
kualitas lahannya, bila dihubungkan dengan pemanfaatan lahan secara lestari dan
berkesinambungan.
Pada peta tanah atau peta sumber daya lahan, hal tersebut dinyatakan dalam satuan peta yang
dibedakan berdasarkan perbedaan sifat-sifatnya terdiri atas: iklim, landform (termasuk litologi,
topografi/relief), tanah dan/atau hidrologi. Pemisahan satuan lahan/tanah sangat penting untuk
keperluan analisis dan interpretasi potensi atau kesesuaian lahan bagi suatu tipe penggunaan lahan
(Land Utilization Types = LUTs). Evaluasi lahan memerlukan sifat-sifat fisik lingkungan suatu wilayah
yang dirinci ke dalam kualitas lahan (land qualities), dan setiap kualitas lahan biasanya terdiri atas
satu atau lebih karakteristik lahan (land characteristics). Beberapa karakteristik lahan umumnya
mempunyai hubungan satu sama lainnya di dalam pengertian kualitas lahan dan akan berpengaruh
terhadap jenis penggunaan dan/atau pertumbuhan tanaman dan komoditas lainnya yang berbasis
lahan (peternakan, perikanan, kehutanan)15.
Masyarakat yang telah menjadi korban semburan lumpur di sidoarjo telah mengalami
beberapa kerugian, diantaranya adalah kerugian hilangnya lahan milik mereka. Lahan yang dulunya
dimiliki dan dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan kini telah tenggelam oleh lumpur panas yang
telah ada sejak 4 tahun lalu. Dengan adanya semburan lumpur ini, lahan masyarakat setempat
tidaklah bisa dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan lagi. Semuanya telah tenggelam oleh
genangan lumpur panas.
2.1.5.2 Penggunaan lahanPenggunaan lahan untuk pertanian secara umum dapat dibedakan atas: penggunaan lahan
semusim, tahunan, dan permanen. Penggunaan lahan tanaman semusim diutamakan untuk tanaman
musiman yang dalam polanya dapat dengan rotasi atau tumpang sari dan panen dilakukan setiap 15 Evaluasi Lahan. http://bbsdlp.litbang.deptan.go.id/evaluasi_lahan.php. 15/12/2010, 21:53
panas ini terganggu. Mereka kemudian menginginkan ganti rugi yang pantas atas segala kerugian
yang mereka alami.
2.2 Alat Analisis Konflik yang Digunakan
Sebagai calon analist social atau aktivis social yang akan hidup dan berkarya ditengah
masyarakat yang sarat dan rawan dengan konflik kekerasan termasuk konflik social dan politik,
seperti di Sidoarjo, Jawa Timur, tentang adanya semburan lumpur panas, kita sudah barang tentu
perlu mengetahui dengan lebih baik tentang dinamika, hubungan dan isu-isu dalam suatu situasi
tertentu, sehingga kita akan terbantu merencanakan strategi dan melakukan tidakan yang lebih baik.
Wawasan pengetahuan dan pemahaman dimaksud umumnya bisa ditempu melalui dua cara yakni:
pertama, dengan menjalankan analisis konflik secara rinci dari berbagai sudut pandang; tetapi bisa
juga melalui upaya menggali isu-isu dan masalah-masalah tertentu yang berhubungan dengan
konflik-konflik tersebut. Dengan demikian, analisis konflik amat penting dilakukan.
Adapun analisis konflik dimengerti sebagai suatu proses intelektual-praktis untuk mengkaji dan
memahami kenyataan konflik dari berbagai sudut pandang. Selanjutnya pemahaman ini membentuk
dasar untuk mengembangkan strategi dan merencanakan tindakan.25Alat bantu untuk menganalisis
situasi konflik dalam penelitan ini menggunakan analogi bawang bombay.
Teknik analisis bawang Bombay merupakan suatu cara untuk menganalisis perbedaan
pandangan tentang konflik dari pihak-pihak yang berkonflik. Tujuannya adalah: untuk bergerak
berdasarkan posisi publik masing-masing pihak dan memahami berbagai kepentingan serta
kebutuhan masing-masing pihak; juga untuk mencari titik kesamaan di antara kelompok-kelompok,
sehingga dapat menjadi dasar bagi pembahasan selanjutnya. Adapun teknik ini digunakan sebagai
bagian dari suatu analisis untuk memahami berbagai dinamika situasi suatu konflik; juga sebagai
persiapan untuk melancarkan dialong di antara kelompok-kelompok dalan suatu konflik; serta sebagai
bagian dari proses mediasi atau negosiasi.26
Dalam analisa tentang konflik ganti rugi semburan lumpur panas di sidoarjo ini, akan di jelaskan
dengan menggunakan teknik analisis bawang bombay. Dimana akan digali informasi tentang
pandangan tentang konflik dari pihak-pihak yang berkonflik dan memahami berbagai kepentingan dan
kebutuhan dari semua pihak yang berkonflik. Namun karena keterbatasan dan singkatnya waktu
penelitian, penulis hanya memfokuskan untuk memahami kepentingan dan kebutuhan dari pihak
korban semburan lumpur saja, tanpa mencari informasi dari pihak Lapindo Brantas.
2.3 Kerangka Teoritis2.3.1 Teori Kebutuhan Manusia
Teori Abraham H. Maslow (Teori Kebutuhan) pada intinya berkisar pada pendapat bahwa
manusia mempunyai lima tingkat atau hierarki kebutuhan, yaitu : (1) kebutuhan fisiologikal
(physiological needs), seperti : rasa lapar, haus, istirahat dan sex; (2) kebutuhan rasa aman (safety
needs), tidak dalam arti fisik semata, akan tetapi juga mental, psikologikal dan intelektual; (3)
kebutuhan akan kasih sayang (love needs); (4) kebutuhan akan harga diri (esteem needs), yang pada
umumnya tercermin dalam berbagai simbol-simbol status; dan (5) aktualisasi diri (self actualization), 25 Rudi.2010. Teori Penyebab Konflik.http://rudilayn.blogspot.com/2010/11/teori-penyebab-konflik.html.19/12/2010, 9:2026 ibid
Pada pengumpulan data ini peneliti akan melakukan indepth interview dengan masyarakat
setempat yang menjadi korban semburan lumpur di sidoarjo yang telah menempati perumahan Reno
Joyo. Pemilihan obyek di dasarkan pada pengalaman dan pengetahuan di bidangnya, sehingga bisa
memberikan gambaran serta informasi yang jelas yang diperlukan dalam penelitian. Wawancara
dengan masyarakat korban semburan lumpur di sidoarjo ini dilakukan pada tanggal 18 Desember
2010, mulai pukul 15:45 sampai selesai dengan mendatangi perumahan Reno Joyo, di desa Kedung
Kampil, Porong. Dimana perumahan ini telah ditempati oleh para korban lumpur panas yang berasal
dari desa Renokenongo, Sidoarjo.
BAB IVHASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Definisi LokasiBatas Wilayah kabupaten Sidoarjo dapat dijelaskan dalam tabel berikut ini:
Arah Timur Selat Madura
Arah Barat Kabupaten Mojokerto
Arah Utara Kota Surabaya dan Kabupaten Gresik
Arah Selatan Kabupaten Pasuruan
Sumber Data: Kabupaten Sidoarjo Dalam Angka 2005/200634
Profil wilayah Kabupaten dapat dijelaskan sebagai berikut:
Nama Resmi : Kabupaten Sidoarjo
Ibukota : Sidoarjo
Provinsi : Jawa Timur
Luas Wilayah : 714.243 Km2 (Luas Wilayah menurut Kecamatan, Tahun 2004)
Jumlah Penduduk
:1.563.015 Jiwa (Sensus Penduduk 2000)
Wilayah Administrasi
:Kecamatan: 18, Desa: 325, Kelurahan: 2835
Dalam penelitian ini, penulis memfokuskan lokasi penelitian pada masyarakat Renokenongo ,
dimana massyarakat tersebut merupakan masyarakat korban lumpur panas di Sidoarjo yang telah
pindah ke perumahan Reno Joyo, Porong. Berikut profil desa renokenongo.
Kelurahan/Desa Desa
Nama Kelurahan/Desa Renokenongo
Kode Wilayah Kelurahan/Desa 35.15.04.2014
Nama Kecamatan Porong
Kabupaten/Kota Kabupaten
Nama Kabupaten/Kota Sidoarjo
Propinsi Jawa TimurSumber: http://www.wilayahindonesia.com/kelurahan/kode-wilayah-desa-renokenongo-kecamatan-porong-kabupaten-sidoarjo-propinsi-jawa-timur
lahan sawah di desa Kedung Kampil, Porong seluas 10 Ha ini dapat dibebaskan menjadi perumahan
baru untuk dimanfaatkan sebagai tempat tinggal masyarakat korban semburan lumpur yang telah
kehilangan asetnya akibat semburan lumpur tersebut. Masyarakat harus mengganti tanah sawah ini
senilai 17 juta per-kavling. Proses pembangunan perumahan ini di kontrak oleh pihak Realested
JATIM. Masyarakat membayar jasa pembanggunan ini dengan dana ganti rugi dari pihak Lapindo
Brantas yang diberikan atau dicicil setiap bulan melalui bank JATIM. Pemprof JATIM juga membantu
pembayaran cicilan bunga bangunan ini sebesar 7%.
4.2 Deskripsi RespondenDari hasil wawancara dengan salah satu mantan penduduk desa renokenongo yang sekarang tinggal
di perumahan renojoyo, porong, diketahui bahwa masyarakat yang tinggal di perumahan Renojoyo ini
adalah mantan masyarakat Renokenongo. Setelah terjadi semburan lumpur, penduduk desa
Renokenongo secara bertahap mengungsi di pasar baru Porong. Selama kurang lebih 3 tahun
mereka berada di sana. Dan sekarang masyarakat ini telah menempati perumahan tersebut.
Karena ada semburan lumpur sejak 4 tahun lalu, masyarakat desa Renokenongo kehilangan aset-
aset yang mereka miliki, khususnya lahan, bangunan, serta pekerjaan. Selama tinggal di pasar baru
porong, masyarakat membentuk suatu komunitas sendiri untuk mengajukan ganti rugi pada pihak
Lapindo Brantas. Masyarakat menganggap Lapindo Brantaslah yang menyebabkan bencana ini
terjadi. Komunitas ini tercakup dalam sebuah paguyuban rakyat Renokenongo. Sebenarnya masih
banyak paguyuban lain yang serupa dengan tujuan paguyuban ini, tetapi paguyuban Renokenongo
ini merupakan salah satu paguyuban yang aktif dalam mengajukan tuntutan mereka.
Paguyuban ini seolah menjadi wakil dari aspirasi tuntutan-tuntutan masyarakat korban semburan
lumpur, khususnya yang berasal dari desa Renokenongo. Paguyuban ini terdiri atas beberapa
kelompok yang tersebar berdasarkan RT/RW di desa itu. Setiap ada informasi terbaru mengenai
kasus semburan lumpur ini, informasi-informasi tersebut akan di distribusikan melalui setiap
perwakilan kelompok ini. Setiap minggunya diadakan pertemuan rutin untuk membahas masalah
terbaru seputar semburan lumpur ini. Apabila ada kasus yang dianggap mendesak, maka intensitas
pertemuan digiatkan, 2 minggu sekali tiap minggu.
Atas semua peristiwa yang terjadi, masyarakat korban semburan lumpur melayangkan beberapa
tuntutan, diantaranya:
a. Tuntutan atas ganti rugi materiil,
Dalam hal ini masyarakat menuntut kepada pihak Lapindo Brantas untuk mengganti rugi
semua aset yang telah hilang sebesar 100%. Selain itu, masyarakat juga menuntut disiapkannya
lahan 30 Ha sebagai ganti rugi hilangnya pemukiman mereka. Tuntutan ini masih belum terealisasi
sampai sekarang. Banyak warga yang mengeluhkan pihak lapindo kurang serius menanggapi
tuntutan warga. Pemerintah juga dinilai warga lebih memilih untuk memihak Lapindo Brantas. Hal ini
terbukti telah dikeluarkannya Peraturan Presiden pasal 14 tahun 2007 mewajibkan pihak Lapindo
membayar aset warga dengan skema 20-80 persen. Sebelumnya warga menolak Perpres tersebut
karena masyarakat menganggap bahwa dengan pembayaran seperti itu, dana ganti rugi itu tidak
dapat dimanfaatkan oleh warga dengan maksimal untuk mencari lahan bangunan baru, dan
dikhawatirkan pembayaran ini akan berlangsung alot. Namun, masyarakat tidak mempunyai pilihan
lain, dadn akhirnya menerima perpres tersebut dengan terpaksa.
Kekhawatiran warga terbukti, bahwa pelunasan 80 persen seharusnya sudah dibereskan
Lapindo pada 2008, namun Lapindo gagal melunasi dengan alasan kesulitan keuangan dan akhirnya
berhasil memaksa warga agar menerima skema cicilan. Masyarakat semakin kecewa dengan kondisi
demikian. Perlu untuk diketahui bahwa harga tanah dihargai oleh pihak Lpindo sebesar 1 juta/m2,
untuk membayar ganti rugi tanah tersebut dicicil 5 juta/bulan. Harga bangunan dihargai sebesar 1,5
juta/m2, untuk membayar ganti rugi bangunan pihak Lapindo membayar cicilan sebesar 15 juta/
bulan, dan harga tanah sawah dihargai 120 ribu/m2, pihak lapindo membayar cicilan sebesar 5 juta/
bulan. Belum lagi muncul masalah lain tentang bukti kepemilikan lahan dan bangunan masyarakat.
Ada yang mengeluhkan sulitnya pencairan ganti rugi karena terhalang oleh administrasi yang
mempertanyakan sertifikat tanah dan bangunan. Padahal banyak juga masyarakat yang belum
punya sertifikat kepemilikan lahan dan bangunan yang diakui mereka, sehingga mereka sulit untuk
mendapat ganti rugi.
b. Tuntutan atas ganti rugi non-materiil
Dimana msyarakat yang menjadi korban semburan lumpur panas ini mengalami kerugian
dalam aspek materiil. Mereka kehilangan pekerjaan mereka yang menjadi sumber penghidupan
sehari-hari, tempat tinggal pun mereka tidak punya, dan kehidupan sosial mereka mengalami
perubahan. Banyak dari masyarakat korban lumpur yang terpisah dari tetangga yang telah akrab
dengan mereka. Tetapi semenjak adanya lumpur, banyak yang pindah ke tempat lain dan
membangunkehidupan sosial baru dan beradaptasi kembali dengan lingkungan yang asing bagi
mereka. Hal itu dirasa sangat menyulitkan kehidupan masyarakat korban semburan lumpur di
sidoarjo saat ini. Memang tuntutan ganti rugi materiil ini sangat sulut untuk dipenuhi, namun
masyarakat merasa perlu untuk menuntutnya karena kerugian yang mereka alami cukup berat.
Seperti yang terjadi di perumahan Renojoyo ini, meskipun para korban telah mendapat rumah baru,
namun banyak dari mereka yang belum bisa mendapat pekerjaan baru semenjak adanya semburan
lumpur ini. Kegiatan sosial penduduk juga renggang, seperti jarang datang di perkumpulan-
perkumpulan warga, layaknya yang dilakukan ketika masih tinggal di desa mereka dulu. Semuanya
telah berubah, dan masyarakat nampaknya butuh waktu yang lama untuk beradaptasi dengan
lingkungan baru mereka. Banyak masyarakat yang kini hanya menggantungkan hidupnya pada ganti
rugi dari Lapindo Brantas.
Pihak paguyuban masyarakat Renokenongo selaku perwakilan dari masyarakat renokenongo
ini merasa perlu untuk menyatukan warga untuk menyamakan suara agar tuntutan mereka tercapai.
Berbagai macam aksi telah mereka lakukan. Dari aksi mogok makan, ketika mereka masih mendiami
pasar baru porong. Aksi mogok makan ketika itu dilakukan karena masyarakat menerima konsumsi
yang ada belatungnya dari pihak Lapindo Brantas. Aksi-aksi yang mereka lakukan ini tidak jarang
dimata-matai oleh intelegent-intelegent yang diduga dari berasal dari pihak lapindo dan pemerintah.
Pasalnya, pihak pemerintah dan pihak Lapindo tidak menginginkan adanya demo besar yang
menyebabkan kerusuhan. Aksi masyarakat selalu dihalang-halangi oleh mereka.
4.3 PembahasanDalam penelitian yang berjudul “Kepentingan Masyarakat Dibalik Tuntutan Ganti Rugi Atas
Semburan Lumpur Di Sidoarjo” ini, dijelaskan bahwa masyarakat sidoarjo yang menjadi korban
semburan lumpur telah mengalami kerugian, baik kerugian materiil maupun nion materiil. Mereka
telah kehilangan aset-aset yang dulu dimiliki, seperti lahan, bangunan, pekerjaan, dan hubungan
sosial yang dulu sangat erat di desanya sebelum terjadi semburan lumpur.
Sebagai manusia, masyarakat korban lumpur ini mempunyai berbagai kebutuhan hidup yang harus dipenuhi. Seperti yang dijelaskan dalam teori Moslow tentang hirarki kebutuhan manusia, dimana manusia memiliki kebutuhan-kebutuhan hidup, antara lain kebutuhan fisiologis, seperti : rasa lapar, haus, istirahat dan sex; kebutuhan rasa aman (safety needs), tidak dalam arti fisik semata, akan tetapi juga mental, psikologikal dan intelektual; kebutuhan akan kasih sayang (love needs); kebutuhan akan harga diri (esteem needs), yang pada umumnya tercermin dalam berbagai simbol-simbol status; dan aktualisasi diri (self actualization), dalam arti tersedianya kesempatan bagi seseorang untuk mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya sehingga berubah menjadi kemampuan nyata. Masyarakat korban lumpur sebelum ada semburan lumpur ini menjalani hidupnya pada wilayah mereka dan memenuhi segala kebutuhan mereka tersebut dengan berbagai usaha yang telah mereka jalani selama tinggal di desa mereka sendiri. Untuk memenuhi kebutuhan fisiologis berupa pemenuhan kebutuhan ekonomi misalnya, masyarakat bekerja sesuai dengan profesinya masing-masing, ada yang menjadi guru, membuka usaha rumahan/ home industri, menjadi buruh pabrik, petani, dll.
Semenjak semburan lumpur ini terjadi, masyarakat setempat menjadi kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Banyak masyarakat yang kehilangan pekerjaan, rumah dan lahan tenggelam oleh lumpur, dan mereka menjadi hidup dalam ancaman bahaya lumpur, dimana kesehatan mereka terancam dan keselamatan masyarakat setempatpun terancam oleh jebolnya tanggul yang tidak bisa diprediksi. Semua ketidaknyamanan dialami masyarakat.
Inilah yang menjadi dasar dari munculnya ketegangan antara masyarakat dengan pihak
Lapindo Brantas yang dianggap telah menciptakan bencana semburan lumpur di sidoarjo.
Masyarakat merasa perlu melakukan tuntutan ganti rugi kepada PT. Minarak Lapindo Brantas karena
mereka telah kehilangan semua aset kehidupan mereka semenjak terjadi semburan lumpur. Sesuai
dengan pendapat yang dikemukakan oleh Moegni Djojodirdjo bahwa salah satu syarat penuntutan
ganti rugi adalah adanya perbuatan yang mengandung kesalahan dan memunculkan kerugian
terhadap pihak lain, maka masyarakat korban semburan lumpur berhak untuk melayangkan gugatan
ganti rugi tersebut.
Teori hubungan sosial menjelaskan bahwa dalam sebuah kehidupan sosial, adanya
ketegangan social sudah barang tentu terjadi karena perbedaan dan pertentangan kepentingan,
prinsip dan kehendak yang ada. Dalam hal ini, pihak masyarakat korban semburan lumpur
mempunyai perbedaan kepentingan dan perbedaan kehendak dengan pihak lapindo. Masyarakat
korban semburan lumpur mempunyai kepentingan dan menghendaki agar pihak Lapindo segera
melunasi ganti rugi atas segala kerugian yang telah ditanggung masyarakat akibat adanya semburan
lumpur ini. Sedangkan pihak lapindo sendiri tidak ingin dirugikan oleh adanya peristiwa ini, pihak
lapindo berkepentingan untuk mencari keuntungan dari usaha yang mereka telah kembangkan dan
tidak mau menanggung rugi.
Perbedaan kepentingan inilah yang melatar belakangi terjadinya konflik antara masyarakat
korban lumpur dengan pihak PT.Minarak Lapindo Brantas. Dalam analisis konflik bawang bombay,
kepentingan-kepentingan dari kedua belah piihak perlu untuk dipahami guna mencari titik temu dari
adanya konflik ini. Penelitian ini hanya terbatas pada pemahaman kepentingan masyarakat korban
lumpur yang telah pindah ke perumahan Renojoyo saja, karena penelitian ini terbentur waktu yang
sangat singkat dan keterbatasan penulis.
Korban lumpur yang telah terelokasi ke perumahan Renojoyo, desa Kedung Kampil, Porong
mempunyai kepentingan untuk tetap melakukan tuntutan atas ganti rugi yang harus dibayar oleh
pihak lapindo. Tuntutan ini dilatar belakangi oleh rasa tidak puas mereka terhadap apa yang telah
diberikan oleh pihak lapindo. Ganti rugi yang diberikan pihak lapindo dirasa tidak sesuai dengan apa
yang seharusnya mereka dapat. Proses pemberian ganti rugi dengan mengacu pada Peraturan
Pemerintah pasal 14 tahun 2007 dimana pembayaran ganti rugi dilakukan secara 20% lalu 80%
dianggap tidak pro rakyat. Peraturan tersebut membuat dana ganti rugi yang telah cair tidak bisa
dimanfaatkan secara maksimal untuk membeli lahan atau bangunan, yang ada dana tersebut akan
digunakan untuk kebutuhan hidup yang lain. Selain itu, pembayaran sisa ganti rugi yang 80% tidak
dibayarkan sesuai dengan perjanjian. Pembayaran tersebut dilakukan dengan dicicil. Masyarakat
semakin kesal dengan semua ini. Masyarakat yang tidak bisa mengolah keuangan dengan baik, akan
merasa kesulitan untuk mengatur keuangan mereka. Yang ada uang tersebut habis digunakan untuk
hal lain dan mereka tidak bisa membeli rumah sebagai pengganti tempat tinggal yang telah hanyut.
Mereka juga tidak bisa mendapatkan pekerjaan baru karena tidak bisa mengalokasikan dana ganti
rugi tersebut untuk modal.
Masalah dalam masyarakat semakin menumpuk. Semua itu menjadikan kehidupan sosial
dalam masyarakat berubah. Tingkat perceraian di wilayah sekitar korban semmburan lumpur
meningkat dan masyarakat setempatpun menjadi terpencar karena pindah dan mengamankan diri ke
daerah lain. Proses adaptasipun dijalani dengan tidak mudah. Hal inilah yang menjadikan masyarakat
terus menuntut ganti rugi kepada pihak lapindo. Mereka seakan tidak pernah puas dengan semua
yang telah diberikan,karena bagaimanapun juga kehidupan sosial mereka tidak bisa dikembalikan
seperti semula seperti sebelum adanya semburan lumpur.
Untuk melancarkan tuntutan ganti rugi ini, terbentuklah kelompok kepentingan yang
beranggotakan individu-individu dari masyarakat setempat. Kelompok kepentingan ini berbentuk
paguyuban dengan tujuan untuk mempermudah pengkoordinasian segala kepentingan masyarakat
setempat. Kelompok paguyuban ini terbentuk ketika mereka berada di tempat pengungsian pasar
baru porong. Dengan merasa senasib sepenanggungan, mereka berusaha mengumpulkan kekuatan
dan membangun strategi untuk menyatakan kepentingan-kepentingan mereka kepada pihak Lapindo.
Rapat anggota mereka lakukan tiap minggu dan tidak jarang mereka melakukan gerakan-gerakan
seperti demonstrasi dan mogok makan agar kepentingan mereka dipenuhi oleh pihak lapindo.
Kelompok paguyuban ini termasuk dalam kelompok Assosiasional, dimana kelompok yang terbentuk
dari masyarakat dengan fungsi untuk mengartikulasi kepentingan anggotanya kepada pemerintah
atau perusahaan pemilik modal, dalam hal ini adalah PT. Minarak Lapindo Brantas.
Kelompok paguyuban masyarakat ini juga melayangkan tuntutan kepada pemerintah. mulai
dari pemerintah daerah sampai pemerintah pusat sudah pernah mereka datangi. Tuntutan mereka
yaitu agar pemerintah lebih serius untuk memfasilitasi pengurusan kasus semburan Lumpur ini.
Selama ini masyarakat mempunyai dugaan bahwa pemerintah pusat lebih berpihak pada Lapindo
karena pemilik lapindo, Aburizal Bakri, adalah pemilik modal usaha terbesar di indonesia. Masyarakat
korban semburan lumpur ini kemudian merasakan ketidak adilan. Mereka tetap menuntut dan
melakukan aksi-aksi protes. Aktor yang dianggap bisa membantu mereka untuk mendapatkan ganti
rugi malah terindikasi lebih memihak pihak korporat tersebut. Kekecewaan semakin dirasakan warga.
Untuk mendapatkan perumahan Renojoyo ini, awalnya masyarakat berusaha secara mandiri.
Masyarakat melalui perwakilan masing-masing setiap desa berusaha mencari dana sendiri untuk
dapat memperoleh tempat tinggal baru. Hal ini juga merupakan bentuk perlawanan kepada pihak
Lapindo, dimana masyarakat menolak tawaran relokasi oleh PT. Lapindo ke perumahan Kauripan
Nirwana Philip (Perum KNP). Masyarakat setempat menganggap bahwa bila mereka direlokasi ke
sebuah perumahan, maka bentuk hubungan sosial mereka akan berubah. Mereka khawatir jika
hubungan sosial mereka akan individualis, sepi, dan tanggungan hidup di perumahan di ketahui
warga sangat mahal. Masyarakat setempat juga menyangka bahwa rencana relokasi ini bukan tidak
mempunyai maksud, dimana masyarakat menduga pihak lapindo dengan pihak perumahan sudah
kong kalikong untuk mendapatkan keuntungan dari kepindahan masyarakat ini. Masyarakat tetap
menginginkan ganti rugi berupa pencairan dana untuk kemudian dana itu dimanfaatka oleh warga
guna mencari lahan dan bangunan sendiri. Sementara itu, para perwakilan masyarakat ini berusaha
mengumpulkan dana dari bantuan beberapa LSM daerah terkait dan maminta izin kepada gubernur
jatim untuk rencana pembebasan lahan di desa Kedungkampil ini. Tanah sawah seluas 10 Ha-pun
kemudia berhasil dibebaskan tanpa bantuan dana dari PT. Lapindo. Baru setelah mendapatkan tanah
ini, masyarakat mencicil sisa pembayaran lahan dan bangunan dengan dana hasil pencairan dana
ganti rugi dari pihak Lapindo setiap bulannya.
BAB VPENUTUP
5.1 KesimpulanSituasi konflik (conflict situation) merupakan situasi ketika terdapat dua pihak atau lebih
merasa menguasai tujuan,dimana tujuan-tujuan mereka tersebut saling bertentangan. Tujuan-tujuan tersebut mengandung kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan antar masing-masing pihak. Dalam kasus konflik antara masyarakat korban lumpur dan PT. Minarak Lapindo Brantas di Sidoarjo ini nampak bahwa ada kepentingan masing-masing pihak yanng saling bertentangan.
Masyarakat melakukan tuntutan ganti rugi karena mereka mempunyai kepentingan untuk mendapatkan hak mereka atas hilangnya aset-aset hidup mereka karena terendam lumpur. Kepentingan mereka juga berupa kebutuhan untuk bertahan hidup, dimana semenjak ada semburan lumpur ini masyarakat setempat kesulitan untuk mencukupi segala kebutuhan hidup mereka, baik kebutuhan ekonomi maupun sosial mereka terganggu. Masyarakat setempat merasa berhak mendapatkan ganti rugi secara penuh dari pihak lapindo, karena pihak Lapindo telah dinilai menyebabkan kerugian dan masalah dalam kehidupan masyarakat sekitar.
Tuntutan ganti rugi yang tak kunjung dipenuhi oleh pihak lapindo membawa kekecewaan di pihak warga dan konflikpun tetap berlangsung selama masyarakat merasakan ketidak puasan atas tindakan pihak Lapindo ini. Tuntutan warga terbagi dalam 2 macam, yaitu: tuntutan ganti rugi materiil, yang berupa tuntutan ganti rugi 100% atas hilangnya aset-aset masyarakat karena adanya semburan lumpur dan penyediaan lahan 30 Ha untuk mengganti wilayah desa warga desa yang terendam lumpur Selanjutnya ada tuntutan ganti rugi imateriil, dimana warga menuntut ganti rugi atas terganggunya sistem kehidupan mereka, misalnya kehilangan pekerjaan, terganggunya kondisi mental dan kesehatan mereka, dll.
Semua tuntutan tersebut dilayangkan ke pihak Lapindo oleh masyarakat korban lumpur melalui kelompok kepentingan yang ada dalam masyarakat. Kelompok ini terbentuk dari perwakilan setiap desa/ RT korban semburan lumpur dan berbentuk paguyuban masyarakat. Setiap minggunya kelompok ini mendiskusikan masalah-masalah yang berkaitan dengan masalah semburan lumpur ini, dan paguyuban ini kemudian menyusun strategi untuk menyampaikan kepentingan-kepentingan mereka kepada pihak terkait. Selain menuntut ganti rugi ke pihak lapindo, para masyarakat korban lumpur ini juga menuntut kepada pemerintah sebagai kepala negara untuk memfasilitasi mereka dalam usaha mendapatkan dana ganti rugi. Berbagai macam aksi menuntut ganti rugi telah dilakukan oleh masyarakat korban lumpur ini, mulai dari mogok makan, memblokir jalan, dan aksi demo digedung-gedung pemerintahan. Aksi-aksi ini di koordinir oleh paguyuban-paguyuban masyarakat tersebut.
Keluhan masyarakat lapindo adalah lambatnya proses pembayaran ganti rugi. Pihak lapindo melakukan proses ganti rugi ini dengan cara pembayaran 20% lalu 80%. Dan pembayaran yang 80% ini dibayar dengan cicilan perbulan. Cara ini dianggap masyarakat merugikan, pasalnya kepentingan masyarakat untuk mendapatkan lahan dan bangunan baru tidak bisa terlaksana bila mereka mendapatkan ganti rugi dengan cara cicilan. Dana pribadi yang mereka punya tidak cukup untuk membeli semua aset yang terendam lumpur, jadi mereka sangat tergantung dari ganti rugi tersebut. Masyarakat juga mengalami kekecewaan terhadap pemerintah yang mengeluarkan Perpres pasal 14 tahun 2007 tentang pembayaran ganti rugi 20% lalu 80% tersebut. Pasalnya terlihat bahwa pemerintah lebih memihak pihak lapindo dari pada masyarakat korban lumpur.
Dari ketidak puasan masyarakat setempat inilah yang kemudian menyebabkan ketegangan konflik masih tetap terjadi hingga sekarang. Masyarakat korban lumpur berkepentingan untuk mendapatkan kehidupan dengan kondisi yang sama dengan sebelum terjadinya semburan lumpur tersebut. Pihak lapindo dituntut untuk mengganti rugi semua itu dan pemerintah juga dituntut masyarakat untuk memihak mereka dalam proses tuntutan ganti rugi ini.5.2 Saran
Masyarakat harus selalu mengkomunikasikan segala kepentingan-kepentingan mereka dalam suatu pertemuan antar warga dan dengan pertemuan ini, diharapkan menemukan solusi terbaik untuk mengambil langkah pengajuan tuntutan.
Membentuk kelompok atau organisasi yang bisa memfasilitasi dan mengkoordinasi masyarakat untuk bertidak mengajukan tuntutan secara kompak tanpa harus timbul kericuhan
Pemerintah sebagai kepala negara hendaknya bisa memprioritaskan masalah ini mengingat masalah ini telah berlangsung lebih dari 4 tahun. Paling tidak tuntutan masyarakat korban harus lumpur dicarikan solusi terbaik agar rasa kekecewaan warga teratasi dan masyarakat korban lumpur dapat hidup secara normal kembali.
DAFTAR PUSTAKA
Suara Merdeka.4 Tahun Lumpur Lapindo Rusak Lingkungan Sidoarjo.diakses tgl 15/12/2010.21:03(http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2010/05/28/55641/4-Tahun-Lumpur-Lapindo-Rusak-Lingkungan-Sidoarjo)
Azhar. Lumpur Sidoarjo dalam Perspektif Sosiologi Hukum. diakses tgl 15/12/2010, 21:49 (http://io.ppijepang.org/cetak.php?id=297)
Metrotvnews. Kerugian Luapan Lumpur Lapindo Sangat Besar. Diakses tgl 15/12/2010, 21:54(http://metrotvnews.com/index.php/metromain/newsvideo/2010/05/31/106282/Kerugian-Luapan-Lumpur-Lapindo-Sangat-Besar)
http://jurnal-sdm.blogspot.com/2010/04/manajemen-konflik-definisi-ciri-sumber.html, diakses tanggal 15/12/2010, 22:24
http://jurnal-sdm.blogspot.com/2010/04/manajemen-konflik-definisi-ciri-sumber.html, diakses tanggal 15/12/2010, 22:24
Teori Konflik diakses pada 15/12/2010. 23:07(http://www.docstoc.com/docs/31341391/Teori-Konflik)
N.A. (2006). Bakrie name at stake. Jakarta Post (http://www.thejakartapost.com), 15/12/2010, 21:40 (http://digilib.ubaya.ac.id/skripsi/hukum/PE_1428_2880272/PE_1428_Bab%20II.pdf),15/12/2010, 21:49
Zulfa Ely Agus Tiana Wati. Ganti Untung Dibayar Sesudah Data Disepakati (https://hotmudflow.wordpress.com/2006/12/04/ganti-untung-dibayar-sesudah-data-disepakati/),18/12/2010, 20:12
Pada tanggal 17 desember penulis berusaha mencari informasi tentang situasi konflik yang terjadi pada masyarakat korban semburan lumpur di Sidoarjo. Penulis awalnya menjumpai seorang teman yang dalam hal ini tidak ingin disebutkan namanya. Dia adalah salah satu penduduk desa Siring, Sidoarjo. Pada pukul 08.30 penulis meminta dia untuk bercerita soal situasi konflik yang terjadi antara masyarakat korban semburan lumpur dengan PT.Minarak Lapindo Brantas. Penulis : Gimana sih ceritanya konflik lapindo itu?Teman Penulis : yang di tanya ini konflik apa dulu....hhaaaa, disana itu konfliknya macem-macem.
Ada konflik keluarga, ada konflik psikologis, ada konflik antar tetangga... banyak pokoknya... hhaaa
Penulis : yang aku tanya ya jelaas konflik antar masyarakat dengan lapindo lah.... itu loh... soal ganti rugi yang diajuin warga...
Teman Penulis : ooo, itu. Itu juga rumit. Masyarakat disana itu ada yang sudah direlokasi ke perumahan baru, tapi ada juga yang belum direlokasi. Alasannya lapindo belum merelokasi ya salah satunya karena mereka tidak masuk area terdampak gitu.
Penulis : terus masyarakat yang direlokasi itu apa ya gak nuntut apa-apa lagi sama lapindo?Teman Penulis : Lha ya itu yang ku herankan. Mereka tu seolah-olah manja gitu loh... dulu aja pas
belum ada semburan lumpur, rumah mereka biasa-biasa aja. Sekarang sudah dapat rumah bagus malah masih nuntut aja... padahal kehidupannya aku ya lumayan tau, gak seenak sekarang loh dulu itu... mereka masih nuntut ini tu... sampai sekarang
Penulis : Hmmma, gitu ya. Mungkin karena faktor manusia yang gak pernah puas kali ya.... heheeee. Terus-terus...?
Teman Penulis : masalah lain iku ya misale masalah keluarga... banyak juga loh yang cerai, satu keluarga bertengkar, gara-gara pembagian warisan. Dapet ganti rugi kan di bagi-bagi tu... ada yang gak merasa puas dengan pembagian itu, trus bertengkar... banyak juga yang jadi gila perkara masalah itu juga. Sampai-sampai ada orang tua yang gila akibat dia gak mau pindah dari rumahnya yang padahal sudah terendam lumpur. Ya emang seh..orang tua kan pemikirannya jaman dulu kali ya... dia menganggap hidup matinya ya harus di rumah itu...
Penulis : iya sih... oia, kalau aku ke sidoarjo... enaknya aku ke daerah mana nih.., korban lumpur yang direlokasi itu tinggalnya di daerah mana sih? Aku mau nyamperin ke sana...
Teman Penulis : Kamu mau ke sidoarjo tah... mmmh... mending kamu ke perumahan Renojoyo, Kedungkampil aja. Temuin yang namanya pak Pitanto sama mbak kami. Mereka itu wakil masyarakat yang mengurusi proses relokasi masyarakat gitu... mbak kami sekarang memang sudah gak aktif di organisasinya, tapi kalau ditanyai soal gini nie dia nyambung banget kayak’nya. Pak pitanto masi aktiv sampai sekarang di organisasinya...
Penulis : tapi masalahku sekarang...aku gak punya surat penelitian ...apa mereka mau ya, aku wawancarai...kenal aja nggak....
Teman Penulis : gak pa pa... mereka baik-baik kok orangnya. Kalau ke mbak kami, bilang kalau kamu teman aku... heheee, sebut nama ku 3x!!! hhaaaa
Penulis : gt ya... hhaaaaa,, ok deh. Tapi aku buatin peta arah kerumahnya dulu dong... Teman Penulis : Beres....
Setelah mendapatkan peta lokasi penelitian, pukul 18:30 penulis menyusun instrumen pertanyaan untuk narasumber. Dan menyiapkan segala keperluan penelitian. Tanggal 18 Desember 2010, pukul 6:00 penulis pulang ke pasuruan untuk kemudian menunggu adik pulang sekolah dan memintanya mengantarkan ke Lokasi penelitian di Porong, Sidoarjo. Pukul 15:00 penulis berangkat ke lokasi penelitian dengan mengendarai sepeda motor. Saat menuju ke tempat penelitian, penulis mendapatkan kendala karena motor yang dipakai tidak dipasang kaca sepion dan ban motor kecil, jadi ketika akan melintasi jalan besar yang dijaga polisi, penulis memutuskan untuk lewat jalan belakang dengan menerobos jalan TOL yang telah ditutup. Jalan-jalan desa yang penulis lewati sangat rusak dan berbatu, jadi agak sulit melintasi kondisi jalan yang demikian. Ketika sampai di kelurahan mindi, Porong, penulis mendapati rumah-rumah warga yang rusak parah, ada yang sampai roboh dan rata dengan tanah, ada pula yang sengaja dibongkar. Nampaknya rusaknya rumah-rumah
tersebut karena pengaruh semburan lumpur panas.Setelah itu, sampailah di jalan besar Porong yang sangat macet dan penuh dengan truk-truk besar. Kekhawatiran tetap ada karena selain kondisi motor yang terancam terkena tilang polisi, penulis juga masih belum paham lokasi penelitian. Setelah tanya-tanya kepada tukang becak dan penduduk setempat, penulis akhirnya menemukan perumahan perumahan Renojoyo, desa Kedungkampil, Porong yang menjadi lokasi penelitian penulis. Rumah pertama yang penulis datangi adalah rumah Pak Pitanto, mantan warga desa Reno kenongo, korban semburan lumpur yang telah tinggal di perumahan ini.Penulis : permisi buk... pak pitantonya ada?(bertanya kepada ibu-ibu yang sedang menjaga
toko klontongnya)Ibu 1 : pak pitanto... ooo, rumahnya yang depan itu mbakPenulis : oh... rumahnya yang depan ini ya buk, maav buk, mari... (menuju rumah yang
berada di rumah toko tersebut. Kebetulan ada ibu-ibu yang baru membuka pintu dan penulis mendatanginya). Permisi bu.. pak pitantonya ada?
Ibu 2 : itu mbak.. yang pekeg sarung itu loh orangnya...Penulis : oh iya buk, makasih...(sambil berlalu menuju pak pitanto yang sedang sibuk
membantu tukang mengerjakan perbaikan pagar rumahnya)Penulis : Permisi pak pitanto... saya dede, mahasiswa Sosiologi Brawijaya, mau wawancara
sebentar soal lumpur lapindo bisa?Pak pitanto : ooo, bisa-bisa mbak. Silahkan masuk dulu. Tunggu sebentar ya...Penulis : iyah pak.. (sambil masuk di teras rumahnya)Pak pitanto : gimana mbak?Penulis : iya pak, ini saya mau tanya-tanya soal semburan lumpur.... apa masyarakat sini itu
korban lumpur semua pak?Pak pitanto : iya betul mbak, mayoritas masyarakat sini itu dulu korban lumpur dari desa
Renokenongo.Penulis : lalu bagaimana ceritanya hingga bisa tinggal di perumahan ini pak? Apa dananya
berasal dari pihak lapindo?Pak pitanto : Oooh, dananya bukan dari lapindo awalnya mbak. Dana ini masyarakat peroleh
secara mandiri. Jadi di sini itu ada paguyuban masyarakat yang mengkordinator masyarakat. Saya ini ketua paguyuban masyarakat reno kenongo. Banyak paguyuban masyarakat korban lumpur ini mbak, tapi salah satunya yang paling aktif adalah paguyuban masyarakat renokenongo ini. Nah,waktu itu masyarakat tidak langsung tinggal di sini. Masyarakat ini dulu mengungsi di pasar baru porong, setelah tinggal di sana kurang lebih 3,5 tahun, paguyuban ini memutuskan untuk mencari dana secara mandiri tanpa menunggu ganti rugi dari Lapindo. Dana ini diperoleh dari bantuan LSM-LSM mbak.
Penulis : jadi bukan dari lapindo ya pak?Pak Pitanto : Bukan mbak. Awalnya kan disini itu tanah sawah, lalu kami meminta izin kepada
Gubernur Jatim untuk membebaskan lahan sawah ini seluas 10 Ha. Lalu dengan dana yang ada perlahan kami membangun tanah ini. Untuk melunasi cicilan pembayaran tanah dan bangunan ini, masyarakat baru mempergunakan dana ganti rugi yang diberikan lapindo secara mencicil lewat bank jatim setiap bulannya mbak. Lapindo itu menghargai lahan warga sebesar i juta/m2, dengan pembayaran cicilan 5 juta /bulan, untuk ganti rugi bangunan lapindo mengharhai 1,5 juta/m2, dengan cicilan sebesar 15 juta /bulan, dan untuk lahan sawah dihargai 120 ribu/m2 dengan cicilan 5 juta /bulan. Dari pemprof kami menerima bantuan dana cicilan bunga pembayaran pembangunan bangunan sebesar 7%.
Penulis : lalu apa sih pak yang menjadi tuntutan masyarakat sekarang? Bukannya ganti rugi masih diproses oleh lapindo?
Pak Pitanto : masyarakat kan awalnya menuntut ganti rugi secara materiil dan immateriil mbak. Kalau tuntutan warga yang materiil itu berupa tuntutan penggantian aset-aset sebesar 100% dan penyiapan lahan seluas 30 Ha. Tetapi sampai sekarang sulit terealisasi. Warga ini semakin kecewa mbak, kepada Lapindo dan juga pemerintah. soalnya pemerintah ini pada tahun 2007 mengeluarkan perpres pasal 14 yang berbunyi penggantian ganti rugi dibayarkan bertahap dengan awal pembayaran 20% lalu 80%.
Penulis : kenapa warga kecewa atas keputusan pemerintah ini pak?Pak pitanto : lha iya, dana itu gak diberikan secara sekaligus seperti yang diharapkan warga.
Pada pembayaran yang 80% inipun pihak lapindo membayar secara cicilan. Itu kan merugikan warga. Dana ganti rugi yang cairnya sedikit-sedikit menjadikan
masyarakat tidak bisa memanfaatkannya dengan maksimal. Soal ganti rugi tanah dan bangunan juga banyak masalah. Warga yang tidak mempunyai sertifikat rumah kesulitan untuk mendapat ganti rugi. Ada juga kasus pengurangan luas lahan yang dimiliki warga. Seperti yang saya alami ini, saya kan punya lahan sawah seluas 220 m2 tiba-tiba tercatat hanya seluas 89 m2. Entah siapa yang menggantinya, saya juga tidak tahu. Dan sampai sekarang saya masih belum dapat ganti rugi tanah sawah tersebut.
Penulis : lalu tindakan apa yang dilakukan warga selanjutnya pak?Pak pitanto : ya masyarakat terus melakukan tuntutan kepada lapindo mbak, melalui paguyuban
masyarakat ini kami berkordinasi untuk menyampaikan tuntutan kami. Sampai pernah kami mendatangi pemerintah di jakarta sana untuk mendesak pemerintah agar bersikap tegas kepada Lapindo
Penulis : Oh iya pak, bagaimana sih caranya paguyuban ini mengkordinasi masyarakat setempat untuk mengajukan tuntutannya?
Pak pitanto : Kami punya anggota yang tersebar di tiap-tiap desa dan RT mbak. Ibaratnya dalam setiap kelompok masyarakat ada ketua blok dan bertugas untuk menyebarkan informasi kepada masyarakat. Jadi setiap ada informasi terkait dengan masalah ini, kami langsung mendiskusikannya. Biasanya pertemuan kami adakan seminggu sekali, kalau ada kejadian yang mendesak kami melakukan 0pertemuan i minggu 2 kali atau lebih.
Penulis : aksi protes apa sih pak yang pernah dilakukan oleh warga korban lapindo ini?Pak pitanto : kami itu sering melakukan aksi-aksi penuntutan ganti rugi ini. Mulai dari mogok
makan yang pernah kami lakukan saat tinggal di pasar baru prong. Waktu itu karena konsumsi nasi yang diberikan oleh Lapindo ada belatungnya. Paguyuban kami sampai-sampai kebingungan untuk untuk mencari dana kurang lebih 60 juta untuk membeli sembako untuk masyarakat agar masyarakat bisa memasak sendiri tanpa bergantung pada lapindo. Demo menutup jalan dan demo ke gedung-gedung pemerintahan sampai jakarta sana sudah pernah kami jalani.
Penulis : setelah melakukan demo-demo tersebut, adakah tanggapan dari pihak lapindo atau pemerintah pak?
Pak pitanto : jarang ditanggapi mbak.... yang ada ketika kita melakukan diskusi-diskusi saat ada di pasar baru porong itu, kami merasa di awasi oleh intelegent-intelegent, entah itu dari pemerintah atau dari lapindo yang menginginkan kita untuk tidak berdemo.
Penulis : mmmh, setelah tinggal disini, gimana kehidupan masyarakat sekarang pak? Apakah ada perbedaan?
Pak pitanto : jelas ada perbedaannya mbak. Dulu masyarakat desa renokenongo itu setiap ada pertemuan warga selalu giat datang, tapi sekarang malah jarang. Mungkin karena masalah-masalah yang mereka hadapi hingga membuat mereka tidak memikirkan hal ini lagi atau gimana. Terus banyak yang menganggur dan mengandalkan uang ganti rugi saja. Yang dulunya petani sudah tidak bisa ke sawahnya lagi. Inilah juga yang menjadi tuntutan masyarakat korban lapindo. Mereka mengajukan tuntutan ganti rugi immateriil karena mereka mengalami kerugian yang menyusahkan kehidupannya saat ini. Dan jelas, tuntutan ini memang sulit untuk dikabulkan.
Penulis : waduuh, masalahnya banyak sekali dan rumit ya pak.... heheeePak pitanto : iya seperti itulah mbak...Penulis : Mmmh, bapak saya berterima kasih sekali atas info yang sudah diberikan dan
maaf juga mengganggu waktu bapak.. hhehhee saya mau minta izin pulang dulu pak...(sambil bersalaman)
Pak pitanto : oooh iyah mbak...gak pa pa kog.. sama-samaPenulis : mari pak... assalamualaikum....Pak pitanto : wa alaikum salam...
Penulispun kemudian bergegas untuk mencari rumah narasumber ke dua yang bernama Lilik Kaminah. Penulis bertanya kepada salah satu ibu-ibu setempat, dan anaknya mau mengantarkan penulis ke rumah narasumber ini. Sesampainya di rumah tersebut, ternyata bu Lilik kaminah sedang tidak ada di rumah. Pukul 16:47 penulis putuskan untuk pulang. Dan di perjalanan, penulis mencoba mengambil gambar kondisi daerah sekitar semburan lumpur. Jalanan sangat macet dan cuaca sangat mendung ketika itu. Tepat pukul 17:40 penulis sampai di rumahnya.
Lampiran 2
DOKUMENTASI
Gambar 1. Observasi sekitar tanggul semburan lumpur di sidoarjo
Gambar 2. Proses penanganan semburan lumpur panas di Sidoarjo
Gambar 3. Kondisi ruko dan kepadatan jalan di wilayah dekat tanggul semburan lumpur Sidoarjo
Gambar 4. Kondisi pemukiman warga di kelurahan Mindi, Porong sekitar semburan lumpur yang belum direlokasi
Gambar 5. Kondisi perumahan Renojoyo, tempat tionggal baru masyarakat Renokenongo yang telah direlokasi akibat adanya semburan lumpur
Gambar 6. Proses wawancara dengan salah satu masyarakat korban semburan lumpur dari desa Renokenongo yang juga selaku ketua paguyuban masyarakat Renokenongo