TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pembangunan Ekonomi Secara filosofis proses pembangunan dapat diartikan sebagai upaya yang sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik (Rustiadi et al,. 2005). Selanjutnya Todaro (2000) pembangunan paling tidak harus memenuhi tiga komponen dasar yang dijadikan sebagai basis konseptual dan pedoman praktis dalam memahaminya. Komponen yang paling hakiki tersebut yaitu kecukupan makanan (sustenance), memenuhi kebutuhan pokok, meningkatkan rasa harga diri atau jati diri (self-esteem), serta kebebasan (freedom) untuk memilih. Todaro (1998), juga mendefinisikan pembangunan merupakan proses multidimensional yang melibatkan perubahan- perubahan besar dari struktur sosial sikap mental yang sudah terbiasa dan lembaga-lembaga nasional sebagai akselerator pertumbuhan ekonomi, pengurangan ketimpangan, dan kemiskinan absolut. Sedangkan dari sudut pandang yang lebih sempit, Glasson (1977) mendefinisikan pembangunan wilayah yaitu kemampuan wilayah yang bersangkutan untuk menghasilkan barang dan jasa yang dibutuhkan. Sehubungan dengan itu, Anwar dan Rustiadi (2000) mengemukakan tujuan pembangunan wilayah secara umum, yakni (1) pertumbuhan ekonomi (growth), (2) pemerataan (equity), (3) dan keberlanjutan (sustainability). Selanjutnya Anwar dan Rustiadi juga mengemukakan bahwa pembangunan berbasis pengembangan wilayah dan lokal memandang penting keterpaduan antar sektoral, antar spatial (keruangan), serta antar pelaku pembangunan di dalam dan antar daerah, sehingga program- program pembangunan sektoral dilaksanakan dalam kerangka pembangunan wilayah. Teori pembangunan ekonomi, pasca-perang dunia kedua, awalnya di dominasi oleh pemikiran neoklasik dimana akumulasi kapital merupakan engine pertumbuhan ekonomi suatu negara atau wilayah. Salah satu model yang sering digunakan sebagai rujukannya adalah model Harrod-Domar. Pada tahun 1940-
44
Embed
Dampak pengembangan perkebunan kelapa rakyat terhadap ...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
13
TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Pembangunan Ekonomi
Secara filosofis proses pembangunan dapat diartikan sebagai upaya yang
sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat
menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga
yang paling humanistik (Rustiadi et al,. 2005). Selanjutnya Todaro (2000)
pembangunan paling tidak harus memenuhi tiga komponen dasar yang dijadikan
sebagai basis konseptual dan pedoman praktis dalam memahaminya. Komponen
yang paling hakiki tersebut yaitu kecukupan makanan (sustenance), memenuhi
kebutuhan pokok, meningkatkan rasa harga diri atau jati diri (self-esteem), serta
kebebasan (freedom) untuk memilih. Todaro (1998), juga mendefinisikan
pembangunan merupakan proses multidimensional yang melibatkan perubahan-
perubahan besar dari struktur sosial sikap mental yang sudah terbiasa dan
lembaga-lembaga nasional sebagai akselerator pertumbuhan ekonomi,
pengurangan ketimpangan, dan kemiskinan absolut.
Sedangkan dari sudut pandang yang lebih sempit, Glasson (1977)
mendefinisikan pembangunan wilayah yaitu kemampuan wilayah yang
bersangkutan untuk menghasilkan barang dan jasa yang dibutuhkan. Sehubungan
dengan itu, Anwar dan Rustiadi (2000) mengemukakan tujuan pembangunan
wilayah secara umum, yakni (1) pertumbuhan ekonomi (growth), (2) pemerataan
(equity), (3) dan keberlanjutan (sustainability). Selanjutnya Anwar dan Rustiadi
juga mengemukakan bahwa pembangunan berbasis pengembangan wilayah dan
lokal memandang penting keterpaduan antar sektoral, antar spatial (keruangan),
serta antar pelaku pembangunan di dalam dan antar daerah, sehingga program-
program pembangunan sektoral dilaksanakan dalam kerangka pembangunan
wilayah.
Teori pembangunan ekonomi, pasca-perang dunia kedua, awalnya di
dominasi oleh pemikiran neoklasik dimana akumulasi kapital merupakan engine
pertumbuhan ekonomi suatu negara atau wilayah. Salah satu model yang sering
digunakan sebagai rujukannya adalah model Harrod-Domar. Pada tahun 1940-
14
an, Harrod (1948) dan Domar (1946) secara terpisah membangun suatu model
makro dinamis melalui pengembangan teori Keynes. Dimana pada tahun 1950-an
dan 1960-an, model ini diaplikasikan untuk perencanaan ekonomi di negara
berkembang. Teori ini memang berhasil membangun ekonomi Jerman dan Israel,
tetapi useless untuk diterapkan di negara berkembang karena faktanya investasi
saja tidak cukup.
Secara implisit teori ini mengasumsikan adanya sikap-sikap yang sama
antara negara berkembang dengan negara maju. Akan tetapi asumsi ini tidak
sesuai dengan kenyataan yang ada di negara-negara berkembang. Di negara
berkembang, Indonesia misalnya, sangat kekurangan faktor-faktor komplementer
yang paling penting seperti halnya kecakapan manajerial, tenaga kerja yang
terlatih, kemampuan perencanaan dan pengelolaan berbagai proyek pembangunan,
kelembagaan dan faktor budaya yang kondusif bagi pembangunan (Todaro, 2000).
Dalam perspektif demikian, oleh Hayami (2001) model Harrod-Domar
yang diterapkan di negara berkembang berakhir pada jebakan keseimbangan
ekonomi yang rendah (low equilibrium trap). Oleh karena itu model ini juga
disebut sebagai model of low equilibrium trap. Dimana untuk melepaskan diri dari
perangkap keseimbangan rendah menuju ekonomi berkelanjutan, perlu melalui
mobilisasi tingkat tabungan yang tinggi, dimana tidak ada tabungan yang
dihasilkan jika dibiarkan tergantung pada mekanisme pasar. Lompatan yang luar
biasa dalam memobilisasikan tabungan dan investasi adalah “critical minimum
effort” bagi ekonomi berpendapatan rendah. Model ini berimplikasi bahwa jika
impor modal skala besar seperti yang dialami selama masa kolonial dipandang
tidak berharga bagi ekonomi berkembang yang baru merdeka, maka tidak ada
alternatif pembangunan lainnya kecuali memaksa masyarakatnya mengencangkan
ikat pinggangnya (Hayami, 2001).
Dalam perkembangan selanjutnya, teori pembangunan ekonomi diwarnai
oleh model yang dikembangkan oleh Solow (1956) dan Swan (1956). Dengan
menggunakan fungsi produksi neoklasik, Solow (1956) dan Swan (1956) dalam
Hayami (2001) mengembangkan sudut pandang yang sangat berbeda dari model
Harrod-Domar dalam kaitannya dengan akumulasi modal dan pertumbuhan
15
ekonomi. Perbedaannya terletak pada asumsi fungsi produksi yang digunakan.
Pada model Harrod-Domar diasumsikan bahwa rasio kapital dan output bersifat
tetap. Asumsi ini berimplikasi bahwa fungsi produksi agregat memiliki bentuk
Y=AK, dimana A=1/c dan bersifat konstan; dan c=K/Y. Sementara Solow-Swan
model menggunakan bentuk fungsi produksi Neoclassical yakni Y= f (L,K;T);
dimana Y adalah output dan L adalah Tenaga Kerja yang berada dalam tingkat
teknologi T.
Kontribusi penting dari model Solow-Swan yaitu terlihat dari
kemampuannya dalam menjelaskan peranan perubahan teknologi dalam
pertumbuhan ekonomi. Menurut Solow-Swan model pertumbuhan pendapatan per
kapita tidak bisa berkelanjutan tanpa disertai kemajuan teknologi. Namun
demikian model ini masih sangat terbatas, karena mengasumsikan teknologi
sebagai faktor eksogen. Determinan kemajuan teknologi belum bisa dijelaskan
oleh model Solow-Swan.
Oleh karena itu keterbatasan model Solow-Swan tersebut dilengkapi oleh
endogenous growth model yang dipelopori oleh Romer (1986) dan Lucas (1988).
Pada model pertumbuhan endogenus, berusaha untuk menjelaskan mekanisme
bagaimana pengetahuan baru tercipta melalui aktivitas ekonomi, sehingga
meningkatkan skala ekonomi. Asumsi dasar yang digunakan adalah bahwa
pengetahuan baru untuk memperbaiki ekonomi produksi terakumulasi sedikit
demi sedikit melalui upaya-upaya individual perusahaan untuk mendesain dan
mengkonstruksi mesin dan pabrik lebih efisien dalam aktivitas investasinya dan
pengetahuan sebagai barang publik. Sehingga dalam jangka panjang, keseluruhan
desain yang ditemukan oleh semua perusahaan dalam suatu ekonomi akan
menjadi stok pengetahuan yang dapat digunakan oleh perusahaan lainnya. Dan
pada gilirannya, efisiensi produktif dari suatu perusahaan akan meningkat secara
paralel dengan peningkatan pada total modal dan pengetahuan dalam ekonomi.
Dari model pertumbuhan endogen tersebut maka dapat diambil intinya yaitu
akumulasi kapital dalam bentuk tangible (berwujud, yakni kapital fisik) dan
kapital dalam bentuk intangible (yakni pengetahuan dan ide-ide baru) serta
bersama-sama dengan teknologi merupakan faktor penting sebagai determinan
16
pertumbuhan ekonomi (Hayami, 2001). Selanjutnya Hayami (2001) menjelaskan
bahwa dalam konteks pembangunan sistem sosial perlu memperhatikan
keterkaitan institutions (Rule), budaya (culture) faktor produksi dan teknologi.
Dengan lain perkataan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi perlu dukungan
keterkaitan komponen tesebut.
Kemudian pada teori pembangunan ekonomi wilayah, dalam
perkembangannya mencoba memasukkan faktor institusi/kelembagaan sebagai
determinan pembangunan ekonomi wilayah yang dikenal dengan teori Growth
Machine Theory (GMT) dan The New Institutional Economics (NIE) Theory. Pada
dua teori ini terlihat sudah memperhatikan peranan politik dan political institution
dalam pembangunan ekonomi. Karena pemikiran local politicians dan perencana
lokal akan secara langsung mempengaruhi tingkat pertumbuhan dan penentuan
kebijakan pembangunan. Keterlibatan politik seperti langsung dalam penentuan
kebijakan, peraturan-peraturan, pajak, penyediaan infrastruktur publik. Oleh
karena itu dimensi politik dijadikan sebagai komponen penting yang perlu
diperhatikan.
The New Institutional Economics (NIE) berusaha memasukkan faktor
kelembagaan (institusi) dan perubahan institusi dalam teori pembangunan
ekonomi. Proposisi yang dikembangkan oleh NIE adalah bahwa perkembangan
perekonomian suatu wilayah dapat didekati melalui perubahan kelembagaan
(institutional change) dan penataan kelembagaan sebagai infrastruktur
pengembangan wilayah. Pendekatan ini adalah turunan (derivat) dari mazhab
institusionalisme yang mengembangkan keyakinan bahwa kelembagaan menjadi
kata-kunci penting suatu perubahan sosio-ekonomi regional. Gagasan ini
dikembangkan dari ide dasar Coase (1937) yang mengajukan proposisi bahwa
kelembagaan memastikan bekerjanya sistem organisasi lebih kokoh sekaligus
menghindarkan beban biaya tinggi yang diperlukan untuk memonitor
ketidakpastian dalam proses-proses transaksi yang harus ditanggung oleh para
pihak yang berinteraksi.
North (1990) mengukuhkan proposisi Coase dengan menyodorkan satu teori
institutional adaptation and change yang berbasiskan pada asumsi-kerja bahwa
17
kelembagaan politik dan ekonomi memang menjadi kebutuhan untuk disesuaikan
dan dikembangkan guna menekan transaction cost dilemma yang selalu hadir
pada suatu sistem sosial-ekonomi yang berkembang semakin kompleks sebagai
akibat pertukaran-pertukaran ekonomi yang bekerja di bawah kelembagaan
kapitalistik. Dalam pandangan North (1990) perkembangan perekonomian dan
pertukaran (transaksi ekonomi) di suatu wilayah yang terus meningkat perlu di
imbangi dengan pengembangan sistem tata-pengaturan kelembagaan yang
kompatibel, jika tidak, maka akan muncul informal forms of governance yang
hadir untuk memfasilitasi kebutuhan dan pemanfaatan kesempatan untuk short-
term profits.
Sementara Menurut GMT pertumbuhan ekonomi suatu kawasan (negara,
daerah) dapat terbentuk sebagai akibat langsung dari aktivitas tata pengaturan
administrasi-politik yang secara operasional mampu men-generate keputusan-
keputusan dan aturan-aturan yang decisive bagi berkembangnya aktivitas ekonomi
kawasan tersebut. Artinya, “kekuatan pengaturan politik lokal” dapat berfungsi
sebagai mesin penggerak perkembangan wilayah lokal.
Dalam melihat pertumbuhan regional pada dasarnya menggunakan konsep-
konsep pertumbuhan ekonomi secara agregat. Hanya saja pada pertumbuhan
regional titik penekanan analisisnya lebih diletakkan pada akumulasi faktor
produksi. Akumulasi faktor produksi tenaga kerja dan modal dalam suatu daerah
dari satu tahun ke tahun berikutnya. Selain itu bila dikaitkan dengan Sistem
Neraca Sosial Ekonomi (SNSE), maka dapat dilihat pertumbuhan neraca sektor
produksi, dan neraca rumah tangga. Dalam sistem dinamik, tingkat pertumbuhan
suatu daerah dapat ditemukan lebih tinggi/lebih rendah dari pada tingkat normal
yang dicapai oleh perekonomian nasional. Dalam kaitannya dengan pertumbuhan
regional maka pada sistem neraca sosial ekonomi dapat dijadikan instrumen untuk
melihat pertumbuhan akumulasi dari faktor produksi, sektor produksi dan rumah
tangga di daerah.
Mengacu pada Model Harrod-Domar yang menjelaskan pentingnya peranan
investasi di dalam proses pertumbuhan ekonomi, khususnya mengenai dampak
ganda yang dimiliki investasi, seperti (1) investasi dapat menciptakan pendapatan,
18
dan (2) investasi membesarkan kapasitas produksi perekonomian dengan cara
meningkatkan stok modal. Yang pertama disebut sebagai dampak permintaan, dan
kedua disebut sebagai dampak penawaran investasi (Kasliwal, 1995).
Arsyad (1999) menjelaskan yang dimaksud dengan pertumbuhan ekonomi
daerah adalah apabila terjadi peningkatan pendapatan masyarakat di suatu
wilayah, yaitu kenaikan seluruh nilai tambah (added value) yang terjadi di
wilayah tertentu. Pertambahan pendapatan tersebut di ukur dalam nilai rill atau di
nyatakan dalam harga konstan. Djojohadikusuma (1994) menjelaskan
pertumbuhan ekonomi pada dasarnya terkait dengan proses peningkatan produksi
barang dan jasa dalam satu daerah. Pertumbuhan menyangkut perkembangan
berdemensi tunggal dan di ukur dengan meningkatnya hasil produksi (output) dan
pendapatan. Identifikasi pertumbuhan menurut Kuznet dalam Djojohadikusumo,
(1985) memiliki beberapa ciri, yaitu (1) laju pertumbuhan pendapatan perkapita
dalam arti nyata (2) distribusi angkatan kerja menurut sektor kegiatan produksi
yang menjadi sumber nafkah, dan (3) pola persebaran penduduk.
Selanjutnya Sukirno (1985) melihat ada beberapa faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu wilayah, yaitu (1) tanah dan
kekayaan alam (2) jumlah dan kualitas penduduk dan tenaga kerja (3) barang
modal dan tingkat teknologi, (4) sistem sosial dan sikap masyarakat (5) luas pasar
sebagai sumber pertumbuhan. Sedangkan menurut Todaro (2000) komponen-
komponen pertumbuhan ekonomi yang penting dalam masyarakat, yaitu : (1)
akumulasi modal termasuk semua investasi baru dalam bentuk tanah, peralatan
fisik dan sumber daya alam (2) perkembangan penduduk, khususnya yang
menyangkut pertumbuhan angkatan kerja, dan (3) kemajuan teknologi.
Pembangunan yang dilaksanakan disuatu daerah pada dasarnya ditujukan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah (region) tersebut tanpa
melupakan tujuan pembangunan nasional. Kegagalan dalam melaksanakan
kegiatan pembangunan akan terlihat apabila laju pertumbuhan ekonomi
meningkat, namun tingkat pendapatan masyarakat masih rendah. Implikasinya
bahwa kegiatan pembangunan belum mampu menciptakan spread effect maupun
trickling down effect yang memihak kepada masyarakat.
19
Menurut Anwar (1992), kegiatan pembangunan seringkali bersifat
eksploitasi dengan menggunakan teknologi yang padat modal dan kurang
memanfaatkan tenaga kerja setempat, sehingga manfaatnya bocor keluar wilayah.
Lebih lanjut dikatakan, multiplier yang ditimbulkan kurang dapat ditangkap
secara lokal dan regional, sehingga penduduk setempat seolah-olah (as if) menjadi
penonton. Hal tersebut dapat terjadi karena adanya disparitas terhadap
pembangunan atau tingkat pertumbuhan suatu wilayah, sehingga kemampuan
wilayah dalam mengelola barang dan jasa, baik dalam bentuk barang jadi maupun
setengah jadi akan berbeda.
Tingkat kebocoran suatu wilayah dapat ditandai dengan tingginya
keterkaitan kebelakang (backward linkage) sedang keterkaitan kedepannya
(forward linkage) cenderung rendah dan juga berkaitan dengan rendahnya dampak
pengganda (multiplier effect), karena nilai tambah (value added) yang semestinya
dapat ditangkap wilayah tersebut justru manfaatnya diambil wilayah lain. Menurut
Anwar (1995) beberapa hal yang dapat mengakibatkan tingginya tingkat
kebocoran wilayah antara lain :
(1). Sifat Komoditas
Komoditas yang bersifat eksploitasi umumnya yang natural resources
mempunyai kecenderungan mengalami kebocoran wilayah yang tinggi apabila
dalam sistem produksinya membutuhkan persyaratan-persyaratan tertentu, baik
kualitas sumberdaya manusia, teknologi yang dipakai, kedekatan dengan pasar
maupun persyaratan lainnya yang mengakibatkan aktifitas ekonomi suatu
komoditas yang berasal dari suatu wilayah dilaksanakan di wilayah lain, sehingga
nilai tambahnya sebagian besar ditangkap wilayah lain.
(2). Sifat Kelembagaan
Salah satu sifat kelembagaan yang utama adalah menyangkut kepemilikan
(owners), karena berkaitan dengan tingkat kebocoran wilayah yang terjadi. Faktor
pemilikan lahan juga berpengaruh terhadap persyaratan dalam penerimaan tenaga
kerja walaupun hal ini tidak secara nyata, namun sering terlihat bahwa pemilik
yang berasal dari luar daerah misalnya warga negara Indonesia atau warga negara
asing dalam mengambil keputusan atau kebijaksanaan terlihat berbeda jika
20
dibandingkan dengan yang berasal daerah setempat. Pada umumnya yang berasal
dari luar daerah lebih mementingkan profit sedangkan yang berasal dari daerah
setempat selain profit, juga memperhatikan sosial budaya dan lingkungan.
Selain itu tingkat kebocoran suatu wilayah dapat dilihat dari komposisi
impornya, baik impor sebagai input antara maupun sebagai input dari komponen
permintaan akhir. Biasanya untuk mengukur tingkat kebocoran wilayah digunakan
rasio input antara yang berasal dari impor dengan total input.
Konsep pembangunan berkelanjutan sudah mulai diadopsi dalam
pelaksanaan pembangunan ekonomi dimana tujuan sosial, ekonomi dan ekologi
dipertimbangkan dalam kerangka pembangunan. Menurut Laporan Komisi
Lingkungan dan Pembangunan (The Burdtland Comission) yang berjudul Our
Common Future dalam Gonarsyah, (2005) pembangunan berkelanjutan artinya
memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengorbankan kebutuhan generasi
yang akan datang. Lebih jauh Serageldin (1996) menguraikan tujuan-tujuan
pembangunan berkelanjutan dalam tiga tujuan pokok yang saling berkaitan, yakni
: (1) tujuan ekonomi, yaitu pertumbuhan berkelanjutan dan efisiensi kapital, (2)
tujuan sosial, yaitu pengentasan kemiskinan dan pemerataan, serta (3) tujuan
ekosistem, yaitu pengelolaan sumberdaya yang menjamin keberlanjutan.
Uraian yang dikemukakan terdahulu menunjukkan bahwa tujuan ganda
efisiensi dan keberlanjutan dapat dicapai dengan memperlakukan keberlanjutan
sebagai kendala. Artinya, masyarakat yang berpegang pada kedua tujuan tersebut
akan membatasi diri untuk hanya mempertimbangkan jalur-jalur efisiensi yang
juga berkelanjutan (sustainable). Sejauhmana kendala keberlanjutan mengikat
(binding) atau tidak tergantung sekali kepada kemajuan sosial dan peningkatan
(augmenting) sumberdaya. Lepas dari polemik antara kubu optimis dan kubu
pesimis mengenai keberlanjutan ekonomi, yang penting bagi kita adalah
mempertimbangkan kebijakan yang dapat meningkatkan kemungkinan
tercapainya jalur yang efisien dan keberlanjutan (Gonarsyah, 2005).
Pada Gambar 3 terlihat bahwa untuk menuju pembangunan wilayah yang
berkelanjutan maka diperlukan adanya saling keterkaitan yang bersinergi antar
aspek politik, ekonomi dan manajemen, kelembagaan (sosial dan budaya), tata
21
ruang serta lingkungan. Dengan lain perkataan bahwa untuk mencapai
pembangunan wilayah yang berkelanjutan maka sejak dini diperlukan pemahaman
masyarakat dan pemerintah daerah, serta semua komponen pembangunan bahwa
antar aspek seperti Gambar 3. memiliki peran yang tidak dapat diabaikan satu
sama lain begitu saja.
Gambar 3. Perspektif Pembangunan Wilayah Berkelanjutan
Pendekatan makro yang hingga saat ini dipandang relevan untuk menelaah
dampak atau keterkaitan antara sektor perekonomian wilayah adalah analisis
Input-Output yang sekaligus merupakan pengembangan teori ”Keseimbangan
umum Walras” (Daryanto dan Hafizrianda, 2010). Dalam table I-O tersebut
keadaan perekonomian wilayah diasumsikan berada dalam keseimbangan dalam
artian jumlah penawaran komoditas sama dengan jumlah permintaan.
Keterkaitan antar Sektor dan Multiplier terhadap Ekonomi Wilayah
Aspel Lingkungan Aspek Ekonomi & Manajemen
Aspek Politik
Aspek Tata Ruang
Aspek kelembagaan (Sosial budaya)
22
Alat analisis Input-Output (model I-O) pada hakekatnya dikembangkan
untuk menganalisis dan mengukur hubungan-hubungan antar berbagai sektor
produksi dan konsumsi dalam perekonomian regional. Ketergantungan antara
sektor-sektor dalam sistem tertentu dijabarkan melalui seperangkat persamaan-
persamaan linier, serta karakteristik struktural direfleksikan oleh besaran koefisien
persamaan yang bersangkutan.
Hasil analisa Input-Output menunjukan sektor-sektor kunci (key sector)
dalam perekonomian regional yang menjadi pertimbangan utama untuk
dikembangkan yang pada akhirnya menentukan tingkat pertumbuhan atau
pembangunan ekonomi yang biasa diukur dengan nilai produk dosmestik
Regional Bruto (PDRB) atau Gross Dosmestic Product (GDP) yang merupakan
nilai pasar yang berlaku dari seluruh barang dan jasa yang dihasilkan suatu
wilayah dalam satu tahun. Penggunaan nilai PDRB ini penting dan sering
digunakan mengingat sebagian besar PDRB yang diperoleh dari data wilayahnya.
Dalam konteks nasional istilah yang digunakan pada akhirnya akan menjadi
pendapatan wilayah dan untuk hal tersebut adalah Gross National Product (GNP).
Jadi PDRB mencerminkan pertumbuhan ekonomi (Rustiadi et al., 2005).
Dengan demikian analisis Input-Output menitik beratkan analisis dan kajian
tentang pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi erat kaitannya dengan
pembangunan sosial. Pembangunan sosial dapat mendorong pembangunan
ekonomi terutama pembangunan sosial yang berkaitan dengan mekanisme
pelaksanaan sosial (Social Enforcement) melalui norma-norma sosial yang akan
menciptakan keadaan ekonomi yang lebih efisien dari pada mekanisme
pelaksanaan hukum yang eksplisit (Explicit Legal Enterforcement) (Anwar,
2005).
Dalam analisis Input-Output dikaji tentang pendapatan, tenaga kerja kondisi
riil pembangunan ekonomi, dan dampaknya terhadap kesempatan kerja. Dengan
demikian analisis Input-Output yang menitikberatkan kajian kinerja pembangunan
ekonomi berkaitan erat dengan pembangunan sosial karena pembangunan
ekonomi atau lebih tepat pertumbuhan ekonomi merupakan persyaratan bagi
terciptanya pembangunan manusia, karena dengan pembangunan ekonomi
23
terjamin peningkatan pendapatan melalui penciptaan kesempatan kerja (Rustiadi
et al. 2005).
Tabel I-O merupakan gambaran perekonomian suatu wilayah pada tahun
tertentu secara makro dan menyeluruh (comprehensive) sehingga dapat digunakan
sebagai alat analisis dan dasar perencanaan ekonomi yang praktis dan bersifat
kuantitatif. Salah satu keunggulan tabel tersebut adalah dapat menjadi dasar untuk
perencanaan pembangunan, baik partial, struktural, maupun global, karena untuk
setiap kebijakan yang akan diambil, dapat pula diperhitungkan segala macam
kemungkinan akibat/dampak yang akan terjadi, baik terhadap objek pembangunan
itu sendiri maupun yang lain-lainnya. Dengan demikian sasaran pembangunan
akan dapat dicapai relatif lebih tepat. Pandangan tersebut bertolak dari kenyataan
bahwa tabel I-O merupakan suatu analisa matriks yang menunjukkan hubungan
transaksi barang dan jasa yang terjadi di suatu wilayah, pada suatu periode
tertentu, dan juga menunjukkan keterkaitan suatu sektor dengan sektor ekonomi
lainnya. Tabel tersebut sangat menonjolkan hubungan dan keterkaitan antar sektor
produksi, antara input dan output, antara domestik dan impor. Demikian juga
hubungan antara permintaan akhir.
Tabel I-O yang menunjukkan dampak akibat bertambahnya satu unit
permintaan akhir terhadap seluruh sektor disebut derajat kepekaan atau
keterkaitan ke hilir atau keterkaitan kedepan (forward linkage). Sedang dampak
yang diakibatkan satu unit permintaan masing-masing sektor terhadap output
seluruh sektor disebut daya penyebaran atau keterkaitan kebelakang (backward
linkage) hubungan ke bahan hulu. Apabila derajat kepekaan dan daya penyebaran
ini dihitung indeksnya masing-masing, akan diperoleh forward linkage effect ratio
dan backward linkage effect ratio. Indeks tersebut dapat dipakai untuk mengetahui
sektor-sektor mana yang merupakan sektor kunci (key sector) dimana dalam
perencanaan pembangunan ekonomi tentunya akan mendapat prioritas untuk
dikembangkan.
Keterkaitan perlu diperhatikan, karena setiap kasus dalam proses
pembangunan saling mempengaruhi sehingga tingkat pertumbuhan suatu sektor
ekonomi juga dipengaruhi sektor-sektor lain baik secara langsung maupun tidak
24
langsung. Disamping keterkaitan intersektor dalam proses pembangunan perlu
memperhatikan bentuk-bentuk keterkaitan lainnya antara lain keterkaitan spasial,
keterkaitan lokasi dan produksi sebagaimana dikemukakan Williams dan Nilson
(1980), Batten dan Roy 1982) dalam Rustiadi et al., (2005). Konsep dasar
keterkaitan lokasi dan produksi (Location-Production Interaction/LPI)
mempertimbangkan tiga fenomena dalam suatu formulasi yang simultan, yakni :
1. Lokasi stock kapital fisik
2. Aktifitas produksi yang terjadi pada stock tersebut
3. Aliran-aliran berbagai aktifitas.
Interaksi lokasi produksi tersebut di definisikan sebagai distribusi peluang
(rs
ijkP ) dimana r adalah wilayah asal, i, aktifitas yang respon terhadap faktor-
faktor produksi/resproduksi (k) yang difasilitasi j dan s adalah wilayah tujuan.
Sebagai contoh kita dapat menghubungkan teori lokasi perdagangan Ohlins
(1993) dengan model interaksi produksi dari Input-Output Wilson (1970) dalam
Rustiadi et al., (2005).
Keterkaitan (linkage) yang juga berperan dalam proses pembangunan
ekonomi adalah interaksi antar wilayah (interaksi spasial). Interaksi spasial
merupakan suatu proses yang terjadi disuatu wilayah karena aktifitas yang
dilakukan manusia di dalam/antar wilayah. Aktifitas-aktifitas yang dimaksudkan
antara lain mobilitas kerja, migrasi arus informasi dan arus komoditas. Analisis