Top Banner
Dampak Pemboran Airtanah Heru Hendrayana ( E-mail : [email protected]) -------------- 2005 Peningkatan eksploitasi airtanah yang sangat pesat di berbagai sektor di Indonesia telah menuntut perlunya persiapan berupa langkah-langkah nyata untuk menanganinya, khususnya memperkecil dampak negatif yang ditimbulkannya. Airtanah sebagai salah satu sumberdaya air saat ini telah menjadi permasalahan nasional. Airtanah yang merupakan sumberdaya alam terbarukan ( renewal natural resources ) saat ini telah memainkan peran penting di dalam penyediaan pasokan kebutuhan air bagi berbagai keperluan, sehingga menyebabkan terjadinya pergeseran nilai terhadap airtanah itu sendiri. Airtanah pada masa lalu merupakan barang bebas ( free goods ) yang dapat dipakai secara bebas tanpa batas dan belum memerlukan pengawasan pemanfaatan, tetapi pada era pembangunan saat ini yang disertai dengan peningkatan kebutuhan airtanah yang sangat pesat telah merubah nilai airtanah menjadi barang ekonomis ( economic goods ), artinya airtanah diperdagangkan seperti komoditi yang lain, bahkan di beberapa tempat airtanah mempunyai peran yang cukup strategis. Mengingat peran airtanah semakin penting, maka pemanfaatan airtanah harus didasarkan pada keseimbangan dan kelestarian airtanah itu sendiri, dengan istilah lain pemanfaatan airtanah harus berwawasan lingkungan. Untuk menjamin pemanfaatan airtanah yang berwawasan lingkungan dan pelestariannya, maka perlu dilakukan pengelolaan airtanah. Pengelolaan airtanah dalam arti luas adalah segala upaya yang mencakup inventarisasi, pengaturan pemanfaatan, perijinan, pengendalian serta pengawasan dalam rangka konservasi airtanah. Pengelolaan airtanah pada hakekatnya melibatkan banyak pihak dan harus dilakukan secara bijaksana dengan mendasarkan aspek hukum dan aspek teknis. Pengelolaan airtanah harus didasarkan pada konsep pengelolaan cekungan airtanah ( Groundwater Basin Management ). Secara umum pengelolaan airtanah yang berwawasan lingkungan mencakup kegiatan untuk pelaksanaan konservasi airtanah dan pemantauan keseimbangan pemanfaatan airtanah. Perlindungan Pendahuluan
18

Dampak Pemanfaatan Airtanah Berlebih (2005) (Heru Hendrayana)

Feb 24, 2023

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Dampak Pemanfaatan Airtanah Berlebih (2005) (Heru Hendrayana)

Dampak Pemboran Airtanah – Heru Hendrayana ( E-mail : [email protected]) -------------- 2005

Peningkatan eksploitasi airtanah yang sangat pesat di berbagai sektor di

Indonesia telah menuntut perlunya persiapan berupa langkah-langkah nyata

untuk menanganinya, khususnya memperkecil dampak negatif yang

ditimbulkannya. Airtanah sebagai salah satu sumberdaya air saat ini telah

menjadi permasalahan nasional. Airtanah yang merupakan sumberdaya alam

terbarukan ( renewal natural resources ) saat ini telah memainkan peran penting

di dalam penyediaan pasokan kebutuhan air bagi berbagai keperluan,

sehingga menyebabkan terjadinya pergeseran nilai terhadap airtanah itu

sendiri. Airtanah pada masa lalu merupakan barang bebas ( free goods ) yang

dapat dipakai secara bebas tanpa batas dan belum memerlukan pengawasan

pemanfaatan, tetapi pada era pembangunan saat ini yang disertai dengan

peningkatan kebutuhan airtanah yang sangat pesat telah merubah nilai

airtanah menjadi barang ekonomis ( economic goods ), artinya airtanah

diperdagangkan seperti komoditi yang lain, bahkan di beberapa tempat

airtanah mempunyai peran yang cukup strategis. Mengingat peran airtanah

semakin penting, maka pemanfaatan airtanah harus didasarkan pada

keseimbangan dan kelestarian airtanah itu sendiri, dengan istilah lain

pemanfaatan airtanah harus berwawasan lingkungan. Untuk menjamin

pemanfaatan airtanah yang berwawasan lingkungan dan pelestariannya,

maka perlu dilakukan pengelolaan airtanah.

Pengelolaan airtanah dalam arti luas adalah segala upaya yang

mencakup inventarisasi, pengaturan pemanfaatan, perijinan, pengendalian

serta pengawasan dalam rangka konservasi airtanah. Pengelolaan airtanah

pada hakekatnya melibatkan banyak pihak dan harus dilakukan secara

bijaksana dengan mendasarkan aspek hukum dan aspek teknis. Pengelolaan

airtanah harus didasarkan pada konsep pengelolaan cekungan airtanah (

Groundwater Basin Management ). Secara umum pengelolaan airtanah yang

berwawasan lingkungan mencakup kegiatan untuk pelaksanaan konservasi

airtanah dan pemantauan keseimbangan pemanfaatan airtanah. Perlindungan

Pendahuluan

Page 2: Dampak Pemanfaatan Airtanah Berlebih (2005) (Heru Hendrayana)

Dampak Pemboran Airtanah – Heru Hendrayana ( E-mail : [email protected]) -------------- 2005

sumber air baku merupakan bagian dari strategi pelaksanaan pengelolaan

airtanah berwawasan lingkungan perlu dilakukan secara benar dengan

meningkatkan koordinasi berbagai tingkatan instansi, serta dengan

meningkatkan pemanfaatan data dan informasi airtanah secara terpadu.

Pada saat ini pengelolaan airtanah dan kegiatan konservasi airtanah

telah banyak dilakukan oleh berbagai pihak, baik Instansi Pemerintah maupun

Swasta. Tetapi pada kenyataannya hasil pengelolaan maupun konservasi

airtanah belum dapat mencapai sasaran dan masih relatif jauh dari titik optimal.

Memperkecil dampak negatif akibat pemanfaatan/pengeboran airtanah,

merupakan salah satu upaya nyata yang harus dilaksanakan dalam rangka

pengelolaan airtanah secara terpadu.

- Sumberdaya airtanah mempunyai peran cukup penting sbg. pasokan air untuk

berbagai sektor pembangunan, a.l. :

- Air minum perkotaan / pedesaan

- Air Industri

- Air Irigasi, dll.

- Data pemanfaatan airtanah

- Air minum perkotaan / pedesaan - 70 %

- Industri 90 %

- Airtanah yang sebelumnya dianggap sebagai barang bebas yang dapat

dimanfaatkan tanpa batas telah berubah menjadi barang komoditi

ekonomis, bahkan sudah dapat digolongkan sebagai barang strategis.

Pengembangan dan Pemanfaatan Airtanah

Page 3: Dampak Pemanfaatan Airtanah Berlebih (2005) (Heru Hendrayana)

Dampak Pemboran Airtanah – Heru Hendrayana ( E-mail : [email protected]) -------------- 2005

Keunggulan sumberdaya airtanah

- Secara Hygienis lebih sehat karena telah mengalami proses filtrasi

secara alamiah.

- Cadangan relatif tetap sepanjang tahun.

- Mutu relatif tetap.

- Apabila airtanah tersedia, dapat diperoleh di tempat tsb. tanpa

peralatan mahal.

Kekurangan sumberdaya airtanah

- Terdapat di bawah permukaan tanah, untuk pemanfaatannya harus

dilakukan dengan membuat sumur gali / bor.

- Keterdapatan tidak merata pada setiap tempat.

- Cadangannya terbatas, untuk keperluan air minum perkotaan atau air

irigasi / industri yang cukup besar, mungkin cadangan tidak mencukupi.

- Air minum Pedesaan

- 80 % penduduk Indonesia tinggal di desa

- Diperkirakan baru ± 35 % dari penduduk pedesaan mendapat air bersih

dan sehat.

- Pemanfaatan airtanah u. pedesaan ± 70 %

- Air minum dan Industri Perkotaan

Karena tingkat dan taraf kehidupan masyarakat yang lebih tinggi

kebutuhan air lebih tinggi dibanding dengan daerah pedesaan.

- Daerah Kota kebutuhan air : 200 liter/orang/hari, beberapa kota besar

telah mencapai 400 liter/orang/hari

- Daerah Pedesaan kebutuhan air : 60 liter/orang/hari

Daerah-daerah perkotaan besar seperti, Medan, Jakarta, Bandung,

Semarang, Surabaya, Ujung Pandang kebutuhan air masih mengandalkan

pasokan dari airtanah.

- Air Irigasi

Page 4: Dampak Pemanfaatan Airtanah Berlebih (2005) (Heru Hendrayana)

Dampak Pemboran Airtanah – Heru Hendrayana ( E-mail : [email protected]) -------------- 2005

Dalam upaya swasembada pangan, pemerintah sejak awal 1970 melalui

P2AT, melaksanakan kegiatan penyelidikan dan eksplorasi airtanah di

berbagai daerah di propinsi Jawa Timur.

Hingga akhir 1990, pengembangan airtanah untuk irigasi di Jawa Timur

tercapai 24.400 ha;

Pengembangan airtanah untuk irigasi dikembangkan di Jawa Tengah, DIY,

Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi

Tengah, Jawa Barat, Aceh, Lampung, Sulawesi Utara.

Pada kenyataannya pemanfaatan air untuk memenuhi kebutuhan sektor

industri dan jasa masih mengandalkan airtanah secara berlebih menimbulkan

dampak negatif terhadap sumberdaya airtanah maupun lingkungan, antara

lain :

- Penurunan muka airtanah

- Intrusi air laut

- Amblesan tanah

Penurunan Muka Airtanah

Pemanfaatan airtanah yang terus meningkat menyebabkan penurunan

muka airtanah. Hasil rekaman muka airtanah pada sumur-sumur pantau

didaerah pengambilan airtanah intensif seperti: Cekungan Jakarta,

Bandung, Semarang, Pasuruan, Mojokerto menunjukkan kecenderungan

muka airtanahnya yang terus menurun. Demikian juga di daerah DIY.

Intrusi Air Laut

Apabila keseimbangan hidrostatik antara airtanah tawar dan airtanah asin di

daerah pantai terganggu, maka terjadi pergerakan airtanah asin/air dari

laut ke arah darat.

Intrusi air laut teramati di daerah pantai Jakarta, Semarang, Denpasar,

Medan.

Dampak Pemboran Airtanah

Page 5: Dampak Pemanfaatan Airtanah Berlebih (2005) (Heru Hendrayana)

Dampak Pemboran Airtanah – Heru Hendrayana ( E-mail : [email protected]) -------------- 2005

Amblesan Tanah

Permasalahan amblesan tanah timbul akibat pengambilan airtanah yang

berlebihan dari lapisan akuifer, khususnya akuifer tertekan.

Amblesan tanah tidak dapat dilihat seketika, namun dalam kurun waktu

yang lama dan terjadi pada daerah yang luas, sehingga dapat

mengakibatkan dampak negatif yang lain, antara lain :

- Banjir dan masuknya air laut ke arah darat pada saat pasang naik,

sehingga menggenangi perumahan, jalan, atau bangunan lain yang

lebih rendah.

- Menyusutnya ruang lintas pada kolong jembatan, sehingga mengganggu

lalu lintas. Secara regional amblesan tanah mengakibatkan pondasi

jembatan menurun dan mempersempit kolong jembatan. Berkurangnya

kapasitas penyimpanan gudang dan terganggunya pelaksanaan arus

bongkar/muat barang.

- Rusaknya bangunan fisik seperti pondasi jembatan/bangunan gedung

tinggi, sumur bor, dan retaknya pipa saluran air limbah dan jaringan yang

lain.

Sebagai contoh kasus dari dampak negatif akibat pemboran airtanah

secara berlebihan, antara lain :

1. Penurunan Muka Airtanah

Pemanfaatan airtanah yang terus meningkat menyebabkan penurunan

muka airtanah. Hasil rekaman muka airtanah pada sumur-sumur pantau di

daerah pengambilan airtanah intensif, antara lain terjadi di daerah :

Contoh Kasus : Dampak Pemboran Airtanah

Page 6: Dampak Pemanfaatan Airtanah Berlebih (2005) (Heru Hendrayana)

Dampak Pemboran Airtanah – Heru Hendrayana ( E-mail : [email protected]) -------------- 2005

1.1. Cekungan Jakarta

Pengambilan airtanah, khususnya airtanah dalam (deep groundwater)

dari sumur bor yang terdaftar menunjukkan kecenderungan yang terus

meningkat :

1985 dengan jumlah pengambilan airtanah sekitar 30 juta m3/tahun,

1991 meningkat menjadi 31 juta m3/tahun dari sejumlah 2640 sumur,

1993 pengambilannya tercatat 32,6 juta m3/tahun dari sekitar 2800 sumur,

1994, pengambilan airtanah telah mencapai 33,8 juta m3.

Jumlah pengambilan airtanah yang sebenarnya relatif jauh lebih besar

dari angka-angka tersebut di atas, karena masih banyaknya sumur-sumur

produksi yang belum terdaftar. Berdasarkan hasil kalibrasi pada 1985, jumlah

pengambilan airtanah pada 1994 diperkirakan telah mencapai sekitar 53 juta

m3.

Muka airtanah pada sistem akuifer tidak tertekan (kedalaman 0 - 40 m)

- Muka airtanah pada sistem akuifer ini menunjukkan pola fluktuasi dengan

kecenderungan turun selama periode pemantauan. Di wilayah DKI

Jakarta, kecepatan penurunan pada pemantauan >2 tahun (periode

panjang) antara 0,12 m/tahun (Tongkol) dan 0,46 m/tahun (Kuningan),

sedangkan di luar wilayah DKI Jakarta terhitung 0,07 m/tahun (Cibinong).

Pada periode 1994, kecepatan penurunannya antara 0,06 m/tahun

(Cibinong) dan 4,44 m/tahun (Cilandak).

- Pola perubahan muka airtanah pada sistem akuifer tidak tertekan

dipengaruhi oleh pola curah hujan di daerah sekitarnya. Pada saat

berlangsungnya musim penghujan, muka airtanah umumnya cenderung

naik karena proses pengisian kembali, sementara penurunan muka

airtanah secara alamiah (natural groundwater depletion) terjadi pada

saat musim kemarau. Di beberapa lokasi seperti di Monas, Senayan,

pasar Rebo dan Cilandak, perubahan muka airtanah sangat terkait

dengan pola pemompaan di sekitar lokasi pemantauan.

Page 7: Dampak Pemanfaatan Airtanah Berlebih (2005) (Heru Hendrayana)

Dampak Pemboran Airtanah – Heru Hendrayana ( E-mail : [email protected]) -------------- 2005

Muka Airtanah pada Sistem Akuifer Tertekan Atas (40 – 100 m)

Rekaman muka airtanah pada periode >2 tahun menunjukkan gejala

penurunan pada semua lokasi pemantauan, sedangkan pada periode

terakhir (Januari-Desember 1994) kenaikan muka airtanah hanya terjadi

di Cakung (0,12 m/tahun). Di wilayah DKI Jakarta, kecepatan penurunan

muka airtanah selama kurun waktu >2 tahun terhitung antara 0,08

m/tahun (Cakung) dan 1,71 m/tahun (Joglo), sedangkan di luar wilayah

DKI kecepatannya antara 0,74 m/tahun (Cipondoh) dan 1,81 m/tahun

(Porisgaga). Selama periode 1994, kecepatan penurunan muka airtanah

terhitung antara 0,12 m/tahun (kompleks PT Yamaha Motor) dan 5,76

m/tahun (kompleks National Gobel).

Faktor utama yang mempengaruhi pola perubahan muka airtanah pada

sistem akuifer tertekan bagian atas adalah jumlah pengambilan airtanah

(Qabs), disamping pola curah hujan di daerah sekitar. Di Senayan, Duren

Sawit, Jagakarsa, pasar Minggu, Joglo, Cilodong dan Pondok Cina, pola

curah hujan merupakan faktor pengaruh yang lebih dominan.

Muka Airtanah pada Sistem Akuifer Tertekan Tengah (100 – 140m)

Pada sistem akuifer ini, gejala kenaikan muka airtanah selama periode >2

hanya terjadi di Tongkol (0,43 m/tahun), sedangkan pada 1994 terjadi di

kompleks PAM Darmawangsa (0,24 m/tahun). Diwilayah DKI Jakarta,

kecepatan penurunan muka airtanah selama periode >2 tahun terhitung

antara 0,22 m/bulan (Sunter) dan 2,47 m/bulan (kompleks Jakarta Land),

sementara di luar wilayah DKI Jakarta mencapai 0,81 m/bulan (Teluk

Pucung). Selama periode 1994, gejala penurunan muka airtanah di

wilayah DKI Jakarta terhitung dengan kecepatan antara 0,72 m/tahun

(Walang Baru dan kompleks Hotel Borobudur) dan 3,96 m/tahun

(Senayan), sedangkan di luar wilayah DKI Jakarta mencapai 1,20

m/tahun di Teluk Pucung.

Perubahan muka airtanah yang didominasi oleh gejala penurunan,

berkaitan dengan pola Qabs di daerahs sekitarnya, yaitu pada periode

Page 8: Dampak Pemanfaatan Airtanah Berlebih (2005) (Heru Hendrayana)

Dampak Pemboran Airtanah – Heru Hendrayana ( E-mail : [email protected]) -------------- 2005

Januari 1993 – November 1994 umumnya sesuai dengan pola Qabs di

wilayah DKI Jakarta. Meskipun di beberapa lokasi pemantauan

menunjukkan pola muka airtanah yang sesuai dengan pola curah hujan,

terutama gejala penurunan muka airtanah yang terjadi pada saat musim

kemarau, namun karena kedudukan lapisan akuifer tertekan tengah

cukup dalam, maka diduga tidak ada pengaruh yang berarti dari curah

hujan, kecuali terjadi kebocoran pada konstruksi sumur.

Muka Airtanah pada Sistem Akuifer Tertekan Bawah (140 – 250m )

Pola muka airtanah pada periode panjang (>2 tahun) menunjukkan

gejala penurunan pada semua lokasi pemantauan, sedangkan pada

1994 kenaikan muka airtanah terjadi di kompleks DPRD Kebon Sirih (4,20

m/tahun) dan Cengkareng-Pedongkelan (0,24 m/tahun). Kecepatan

penurunan muka airtanah pada periode >2 tahun antara 0,19 m/bulan

(Sunter) dan 2,25 m/bulan (Porisgaga), sementara selama periode 1994

kecepatan penurunan antara 0,24 m/tahun (Tongkol) dan 4,70 m/tahun

(kompleks PT BASF).

Pola perubahan muka airtanah pada sistem akuifer tertekan bawah

berhubungan erat dengan pola Qabs di daerah sekitarnya, di mana pola

perubahan pada periode Januari 1993 – November 1994 umumnya

sesuai dengan pola Qabs di wilayah DKI Jakarta.

Didaerah Jakarta Utara pemanfaatan airtanah sudah tidak

memungkinkan untuk dikembangkan lebih lanjut, terutama untuk proses

industri (Zone IV pada Peta Konservasi Airtanah Jakarta 1993/1994). Pola

perubahan airtanah pada sistem akuifer tertekan (dalam) pada periode

1994 masih didominasi oleh kecenderungan penurunan. Gejala yang

mengarah pada pemulihan kedudukan muka airtanah, ditunjukkan oleh

kecenderungan kenaikan, terjadi di Cakung (sistem akuifer tertekan atas),

kompleks DPRD Kebon Sirih dan Cengkareng Pedongkelan (akuifer

tertekan bawah). Tetapi hasil pemantauan periode panjang (>2 tahun)

masih menunjukkan gejala penurunan di semua lokasi pemantauan

Page 9: Dampak Pemanfaatan Airtanah Berlebih (2005) (Heru Hendrayana)

Dampak Pemboran Airtanah – Heru Hendrayana ( E-mail : [email protected]) -------------- 2005

termasuk di tiga lokasi pemantaun. Kondisi tersebut merupakan bukti

upaya pengawasan/kontrol terhadap jumlah pengambilan airtanah di

daerah tutupan tersebut (Zone IV) masih belum menunjukkan hasil seperti

yang diharapkan.

1.2. Cekungan Bandung

Gambaran umum mengenai kedudukan muka airtanah dan

perubahannya didaerah padat industri selama periode 1993-1994 di akuifer

tengah pada kedalaman 35 – 150 m.bmt diuraikan berikut ini :

Daerah : Batujajar, Giriasih, Cangkorah dan Gadobangkong, muka

airtanah statis (MAS)nya : 12,90 – 58,93 m di bawah muka tanah setempat

(bmt) dengan penurunan 1,79 – 3.02 m/tahun

Daerah : Leuwigajah, Cimindi, Utama, Cibaligo, MASnya : 45,26 – 81,00 m

bmt, dengan penurunan : 2,47 – 9,48 m/tahun.

Daerah : Cijerah, Cibuntu, Garuda, Maleber, Arjuna, Husen dan Pasirkaliki,

MASnya : 36,73 – 54,17 m.bmt dengan penurunan : 1,18 –5,72 m/tahun.

Daerah : Buahbatu, Kiaracondong, Kebonwaru, MASnya : 15,24 – 37,13

m.bmt dengan penurunan : 1,03 – 2,19 m/tahun. AWLR di kantor Dipenda

Jl. Soekarno Hatta menunjukkan penurunan 1,85 m/tahun.

Daerah : Moh.Toha, Dayeuhkolot, MASnya : 21,89 –73,63 m/tahun,

dengan penurunan : 2,71–11,50 m/tahun. AWLR di Jl. Moh. Toha

menunjukkan penurunan 2,71 m/tahun.

Daerah : Cicaheum, Ujungberung, Gedebage, Cipadung dan Cibiru

MASnya 16,38-59,50 m.bmt, dengan penurunan 0,23 – 2,72 m/tahun.

AWLR di PT Grandtex dan PT BTN masing-masing menunjukkan penuruna

0,72 dan 0,23 m/tahun.

Daerah : Cikeruh, Rancaekek, Cimanggung, Cikancung MASnya 7,25-

33,41 m.bmt, dengan penurunan : 0,47 – 6,00 m/tahun. AWLR di PT

Kewalram dan Bojongsalam masing-masing menunjukkan penurunan 4,60

m dan 0,61 m/tahun.

Daerah : Majalaya, MASnya 27,80-32,30 m.bmt, dengan penurunan : 0,58

– 1,50 m/tahun

Page 10: Dampak Pemanfaatan Airtanah Berlebih (2005) (Heru Hendrayana)

Dampak Pemboran Airtanah – Heru Hendrayana ( E-mail : [email protected]) -------------- 2005

Daerah : Ciparay, Banjaran, Pameungpeuk, MASnya : 10,25 –19,18 m.bmt,

penurunan mencapai 2,61 m/tahun.

Daerah : Katapang, soreang, MASnya : 2,66 – 31,50m.bmt, penurunan :

0,34 – 1,95 m/tahun. AWLR di lokasi Bojongkunci dan Cipadung masing-

masing menunjukkan penurunan 0,34 dan 0,43 m/tahun.

Daerah dengan kedudukan MAS paling dalam didaerah tersebut diatas,

pada periode Agustus 1994 membentuk kerucut penurunan (cone of

depression) muka airtanah utama di daerah Cimahi Selatan,

Kiaracondong, Dayeuhkolot dan Majalaya.

1.3. Cekungan Semarang

Perubahan kedudukan muka airtanah di cekungan Semarang periode

1993-1994 diuraikan berikut ioni :

Daerah Semarang Utara meliputi Pusat Kota, pemukiman Tanah Mas dan

daerah industri Kaligawe, MASnya antara 14,19 – 28,91m. bmt, dengan

penurunan antara 0,6-1,9 m/tahun.

Daerah Semarang Selatan meliputi daerah Candi, Banyumanik MASnya

antara 20,24 - 48,24 m.bmt dengan penurunan antara 0,37- 0,70 m/tahun.

Daerah Kendal meliputi Kec. Kaliwungu, kota Kendal MAS nya antara +1,0

hingga 21,16 m.bmt dengan penurunan antara 0,20 – 0,55 m/tahun.

Daerah Demak meliputi Kota demak dan Mranggen MASnya antara

+0,50 hingga 25,40 m.bmt dengan penurunan antara 0,15 –0,45 m/tahun.

1.4. Cekungan Pasuruan – Mojokerto

Perbandingan hasil pengamatan muka airtanah di cekungan ini selama

1992 hingga 1993 secara umum menunjukkan terjadinya perubahan, yaitu :

MAS di daerah Mojokerto, yakni di Mojosari turun 2 m/tahun, di

Mananggul naik 0,3 m/tahun, di Ngoro naik 0,3 m/tahun dan di Sidorejo

turun 0,1 m/tahun.

Untuk daerah Pasuruan : di Bangil naik 0,3 m/tahun, di Gempol turun 1

m/tahun dan di Pandaan naik 0m1 m/tahun.

Page 11: Dampak Pemanfaatan Airtanah Berlebih (2005) (Heru Hendrayana)

Dampak Pemboran Airtanah – Heru Hendrayana ( E-mail : [email protected]) -------------- 2005

2. Intrusi Air Laut

Apabila keseimbangan hidrostatik antara airtanah tawar dan airtanah

asin di daerah pantai terganggu, maka akan terjadi pergerakan airtanah

asin/air laut ke arah darat dan terjadilah intrusi air laut.

Terminologi intrusi pada hakekatnya digunakan hanya setelah ada aksi,

yaitu pengambilan airtanah yang mengganggu keseimbangan hidrostatik.

Adanya intrusi air laut ini merupakan permasalahan pada pemanfaatan

airtanah di daerah pantai, karena berakibat langsung pada mutu airtanah.

Airtanah yang sebelumnya layak digunakan untuk air minum, karena

adanya intrusi air laut, maka terjadi degradasi mutu, sehingga tidak layak lagi

digunakan untuk air minum.

Intrusi air laut teramati didaerah pantai Jakarta, Semarang, Denpasar,

Medan dan daerah-daerah pantai lainnya yang pemanfaatan airnya telah

demikian intensif.

2.1. Cekungan Jakarta

Batas sebaran zona airtanah payau/asin pada setiap sistem akuifer (Juni-

Agustus 1993) berikut perubahannnya selama 2 tahun terakhir, yakni antara

periode 1991 –1993 adalah sebagai berikut :

Zona Airtanah Payau/Asin pada Sistem Akuifer tidak tertekan (< 40 m)

Batas antara airtanah payau/asin dengan airtanah tawar pada sistem

akuifer ini kurang lebih melewati daerah Pakuaji – Salembaran –

Cengkareng – Grogol – Pulogadung – Tambun Rawarengas – selatan

Babelan. Sebaran zone ini secara umum relatif meluas ke arah timur.

Pada periode Juni-Agustus 1993, jarak batas zona airtanah payau/asin

dengan airtanah tawar di beberapa lokasi adalah :

Daerah Cengkareng – Pedongkelan – Grogol – Gambir antara 5,0 – 6,0

km

Daerah Pulogadung – Cakung – Tambun Rawarengas antara 8,0 – 11,5

km

Page 12: Dampak Pemanfaatan Airtanah Berlebih (2005) (Heru Hendrayana)

Dampak Pemboran Airtanah – Heru Hendrayana ( E-mail : [email protected]) -------------- 2005

Dibandingkan dengan periode sebelumnya (1991-1993), sebaran zone ini

mempunyai pola yang relatif sama, namun di beberapa tempat menunjukkan

pergeseran sebagai berikut :

Di daerah Pulogadung, Cakung dan Tambun Rawarengas batas zona

pada periode 1993 bergeser ke arah darat antara 0,5 – 1,5 km, dengan

pergeseran terbesar terjadi di Pulogadung.

Di sekitar Babelan, pergeseran ke arah darat mencapai sekitar 3,0 km.

Di tempat lain, khususnya di bagian barat daerah pantai, batas zona

relatif tidak berubah dibandingkan pada periode 1992.

Zona Airtanah Payau/Asin pada Sistem Akuifer tertekan atas (40 -140 m)

Batas zona airtanah payau/asin dengan airtanah tawar melewati

daerah : selatan Pekayon- selatan Bandara Soekarno Hatta- selatan

Cengkareng Pedongkelan – Gambir – Kelapagading- Bojongkaratan.

Jarak garis batas ini, dari garis pantai, adalah :

Daerah antara Pekayon – Bandara Soekarno Hatta antara 5,0 – 13

km

Cengkareng Pedongkelan - Grogol- Kelapagading antara 8,0 – 10

km

Di bagian timur di sekitar Bojongkaratan antara 3,0 – 6,0 km.

Selama dua tahun terakhir, yakni antara 1991 hingga 1993 garis batas ini

menunjukkan pergeseran ke arah darat. Dibandingkan dengan hasil

survei pada Juni-Agustus 1993, pergeseran yang mencolok terjadi

dibagian barat dataran pantai, yaitu antara daerah Pekayon sampai

Cengkareng (Bandara Soekarno Hatta). Namun hal ini disebabkan

perluasan daerah studi pada periode 1993 dan penambahan perolehan

data. Adapun pergeseran batas zona yang disebabkan oleh perubahan

salinitas airtanah adalah :

Daerah antara Cengkareng Pedongkelan dan grogol terjadi

pergeseran ke arah darat antara 0,25 – 1,5 km.

Page 13: Dampak Pemanfaatan Airtanah Berlebih (2005) (Heru Hendrayana)

Dampak Pemboran Airtanah – Heru Hendrayana ( E-mail : [email protected]) -------------- 2005

Daerah antara Kelapagading – Bojongkaratan bergeser 0,75 – 6,0 km

ke arah darat

Zona Airtanah Payau/Asin pada Sistem Akuifer tertekan bawah (>140 m)

Sebaran zona ini hanya terbatas di dataran pantai antara Kapuk, Jakarta

Kota, dan Cilincing. Sebaran di bagian barat, yakni antara Kapuk dan

Jakarta Kota relatif lebih luas dibandingkan di bagian timur. Jarak batas

zona airtanah payau/asin dengan airtanah tawar, didaerah Kapuk –

Jakarta Kota mencapai 5,75 km, sementara didaerah Walang- Cilincing

sekitar 2,5 km.

Pergeseran batas zona airtanah payau/asin ke arah darat di dataran

antara Kapuk dan Jakarta Kota, pada periode antara 1991-1993

mencapai sekitar 0,50 km. Namun antara periode 1992-1993, sebarannya

cukup meluas mulai dari Tamansari sampai daerah Cilincing.

2.2 Cekungan Semarang

Daerah Semarang bagian utara penyusupan air asin semakin meningkat

sejak beberapa tahun terakhir, terutama pada daerah pemukiman pusat

perkotaan, dan di beberpa wilayah industri di bagian utara, miksalnya daerah

sekitar Muara Kali Garang, Tanah Mas, Pengapon, Simpang Lima. Data

penyusupan air asin tersebut diatas adalah berdasarkan hasil pemantauan dari

beberapa sumur gali penduduk yang tersebar, maupun dari kualitas sumur bor

di beberapa tempat. Didaerah Semarang penyusupan air asin ini diperkirakan

sudah mencapai sejauh 2 km ke arah selatan garis pantai.

Daerah Kendal penyusupan air asin, dideteksi di utara Kaliwungu,

Murorejo, Kumpulrejo sampai sekitar Sukolilan. Sumurbor yang dikelola oleh

PDAM Kendal yakni di Kamp. Pegandon airtanahnya sudah dipengaruhi oleh

penyusupan air asin, yang diperkirakan berasal dari aliran air sungai K. Bodri,

akibat kurang sempurnanya sistem konstruksi sumurbor. Nilai (DHL) air sumurbor

tersebut melebihi 2000 umhos/cm, dengan jarak lokasi sumurbor dari garis

pantai kurang lebih 5 km.

Page 14: Dampak Pemanfaatan Airtanah Berlebih (2005) (Heru Hendrayana)

Dampak Pemboran Airtanah – Heru Hendrayana ( E-mail : [email protected]) -------------- 2005

3. Amblesan Tanah

Permasalahan amblesan tanah (land subsidence) dapat akibat

pengambilan airtanah yang berlebihan dari lapisan akuifer yang tertekan

(confined aquifers). Akibat pengambilan yang berlebihan (over pumpage),

maka airtanah yang tersimpan dalam pori-pori lapisan penutup akuifer

(confined layer) akan terperas keluar dan mengakibatkan penyusutan lapisan

penutup tersebut. Refleksinya adalah penurunan permukaan tanah.

Penurunan tanah tercatat di Jakarta berdasarkan pengamatan tahun

1972 s/d 1991, total penurunan yang terdalam mencapai 99,7 cm di daerah

Rawa Buaya, dengan kecepatan penurunan tertinggi tercatat 34 cm/tahun di

Penjaringan, Jakarta Utara.

Amblesan tanah terjadi juga didaerah pantai utara Semarang dengan

indikasi telah mulai tampak antara lain :

Fondasi sumurbor pantau di kompleks Sekolah STM Perkapalan dekat

Muara kali Garang, Tambak Ikan seolah-olah terangkat kurang lebih 20

cm (Juli1994), namun pada kenyataan permukaan tanah di sekitarnya

yang mengalami penurunan.

Terjadinya retakan-retakan pada lantai bangunan Sekolah Pelayaran

Singosari, hampir pada semua bangunan di kompleks tersebut.

Terjadinya genangan air laut di daerah pantai, dan banjir di bagian

Muara Kali Karang yang sebelumnya belum pernah terjadi.

Amblesan tanah tidak dapat dilihat seketika, tetapi teramati dalam kurun

waktu yang lama dan berakibat pada daerah yang luas. Meskipun penyebab

penurunan tersebut masih memerlukan penelitian dan pemantaun rinci, namun

bila mengacu fenomena serupa beberapa kota dunia seperti Bangkok,

Venesia, Tokyo maupun Meksiko dapat diyakini, bahwa penurunan tersebut

adalah bukti amblesan tanah yang disebabkan oleh pengambilan airtanah

yang berlebihan.

Page 15: Dampak Pemanfaatan Airtanah Berlebih (2005) (Heru Hendrayana)

Dampak Pemboran Airtanah – Heru Hendrayana ( E-mail : [email protected]) -------------- 2005

Mengingat sebaran airtanah tidak dibatasi oleh batas-batas administratif

suatu daerah, maka pengelolaan airtanah berdasarkan aspek teknis seharusnya

mengacu pada suatu cekungan airtanah, yakni suatu wilayah yang ditentukan

oleh batasan-batasan hidrogeologi, di mana semua event hidrolika (pengisian,

pengambilan dan pengaliran airtanah) berlangsung.

Batasan-batasan teknis hidrogeologi ini menyangkut geometri dan

parameter akuifer, jumlah dan mutu airtanah, pengaliran dan keterdapatan

airtanah. Batasan-batasan tersebut menentukan berapa jumlah airtanah yang

dapat dimanfaatkan dan bagaimana upaya konservasi airtanah harus

dilakukan.

Beberapa tindakan upaya pengendalian dampak negatif akibat

pemompaan airtanah secara berlebihan, antara lain :

1. Penentuan Lokasi Pemompaan.

Mengingat keterdapatan lapisan pembawa airtanah tidak merata, maka

penentuan lokasi pengambilan airtanah sangat menentukan, agar sumberdaya

airtanah dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin.

Disamping itu, pengaruh pengambilan airtanah melalui sumur-sumur

yang berdekatan akan mengakibatkan penurunan muka airtanah yang lebih

dalam, maka penentuan lokasi dan jarak antar sumur, akan dapat mencegah

pengaruh di atas.

2. Pengaturan Kedalaman Penyadapan

Suatu daerah sering mempunyai akuifer berlapis banyak (multi layer

aquifer). Kondisi yang demikian sangat memungkinkan untuk dilakukan

pengaturan kedalaman penyadapan pada lapisan akuifer tertentu.

Dengan pengaturan kedalaman penyadapan akan dapat dihindari

terjadinya eksploitasi airtanah yang terkonsentrasi hanya pada satu lapisan

Upaya Pengendalian dari Aspek Teknis

Page 16: Dampak Pemanfaatan Airtanah Berlebih (2005) (Heru Hendrayana)

Dampak Pemboran Airtanah – Heru Hendrayana ( E-mail : [email protected]) -------------- 2005

akuifer tertentu, yang dampaknya tentu berbeda dengan penyadapan yang

dilakukan pada beberapa lapisan akuifer.

Peruntukan airtanah untuk berbagai keperluan, diatur dengan

mengambil airtanah dari berbagai kedalaman yang berbeda. Namun pada

dasarnya pengaturan kedalaman penyadapan airtanah tetap mengacu pada

prioritas peruntukan airtanah, di mana air minum merupakan prioritas utama di

atas segala-galanya.

3. Pembatasan Debit Pemompaan

Pembatasan besarnya airtanah yang disadap ini, bertujuan agar

penurunan muka airtanah dapat dibatasi pada kedudukan yang aman.

Pengertian aman mempunyai arti dapat mencegah terjadinya intrusi air laut

pada pengambilan airtanah di daerah pantai, maupun kemungkinan terjadinya

amblesan, serta untuk menyesuaikan dengan cadangan airtanah yang

tersedia. Namun konsekuensi dari pembatasan ini adalah, harus dapat

disediakan sumber-sumber pasokan air yang lain, misalnya dari air permukaan.

Kondisi hidrogeologi suatu daerah sangat menentukan besar cadangan

dan kualitas airtanah, sehingga berapa batas yang aman jumlah debit

pengambilan airtanah, sangat berbeda dari suatu daerah ke daerah yang lain.

Tetapi secara kualitatif dapat ditentukan, bahwa jumlah pengambilan airtanah

hendaknya tidak melebihi jumlah imbuhan airtanah.

4. Penambahan Imbuhan

Berdasarkan pada daur hidrologi, sumber utama airtanah adalah berasal

dari air hujan. Indonesia yang beriklim tropis basah, umumnya mempunyai curah

hujan yang relatif tinggi, lebih dari 1000 mm/tahun, dengan hari hujan yang

relatif panjang. Kondisi ini sangat menguntungkan dalam imbuhan airtanah

secara alami, di mana pada saat musim hujan terjadi pengisian dan

penggantian dari defisit airtanah yang terjadi pada musim kemarau. Dengan

demikian akuifer akan mendapat penambahan cadangan airtanah.

Permasalahannya adalah di daerah-daerah yang telah berkembang,

terutama di kota-kota besar, peristiwa pengisian kembali airtanah pada musim

Page 17: Dampak Pemanfaatan Airtanah Berlebih (2005) (Heru Hendrayana)

Dampak Pemboran Airtanah – Heru Hendrayana ( E-mail : [email protected]) -------------- 2005

hujan terhambat karena adanya perubahan lingkungan. Daerah-daerah yang

sebetulnya merupakan daerah imbuh airtanah telah berubah fungsi, sehingga

hanya sebagian kecil air hujan yang meresap dan mengimbuh airtanah. Pada

daerah yang demikian, perlu upaya penampungan air hujan untuk dimasukkan

ke dalam sumur-sumur resapan.

5. Penentuan Kawasan Lindung

Kawasan lindung airtanah mengarah kepada penataan ruang suatu

daerah dengan maksud untuk melindungi jumlah dan mutu sumberdaya

airtanah. Oleh sebab itu, untuk menentukan kawasan lindung airtanah,

disamping kondisi hidrogeologi, maka penggunaan lahan dan keberadaan

infrastruktur harus dipertimbangkan.

Penentuan kawasan lindung ini merupakan suatu hal yang tidak mudah

untuk dilaksanakan, karena sering terjadi pertentangan kepentingan. Misalnya,

di daerah imbuh airtanah, sering terjadi tuntutan pembangunan sebagai

daerah pemukiman, industri, buangan sampah, dan penggunaan lahan yang

lain yang berdampak negatif terhadap jumlah maupun mutu airtanah. Oleh

sebab itu banyak kendala untuk memberlakukan secara efisien upaya

perlindungan airtanah. Meskipun demikian usaha-usaha perlindungan airtanah

dapat ditetapkan dari sudut pandang hidrogeologi dan geologi lingkungan.

Page 18: Dampak Pemanfaatan Airtanah Berlebih (2005) (Heru Hendrayana)

Dampak Pemboran Airtanah – Heru Hendrayana ( E-mail : [email protected]) -------------- 2005

L A M P I R A N