Top Banner
14 | EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014 Abstrak P eneliƟan ini bertujuan untuk menganalisis dampak kebijakan tarif impor beras terhadap kesejahteraan produsen dan konsumen. Data yang digunakan dalam peneliƟan ini adalah data sekunder yang berasal dari berbagai sumber yaitu; Badan Pusat StaƟsƟk (BPS), Bulog, Kementerian Perdagangan, Keuangan dan Pertanian, yang mencakup harga beras domesƟk, harga beras dunia (CIF), konsumsi, produksi, impor, dan tarif impor beras. Data tahun 2010, dijadikan sebagai data dasar dalam analisis. Hasil analisis menunjukkan bahwa liberalisasi perdagangan beras (pembebasan tarif) memberikan surplus ekonomi nasional yang makin besar, hal tersebut berarƟ ekonomi nasional makin efisien. Namun dari segi distribusi, produsen menerima surplus yang semakin kecil daripada konsumen, yang berarƟ aspek pemerataan manfaat dari kebijakan pemerintah Ɵdak terwujud. Oleh karena petani padi pada umumnya miskin, maka keberpihakan pemerintah kepada petani sangat diperlukan untuk mengentaskan mereka dari kemiskinan. Dengan alasan tersebut, dan penyediaan lapangan kerja serta pembangunan perdesaan, maka kebijakan yang bersifat protekƟf sangat diperlukan, baik dengan pengenaan tarif impor beras, pengaturan, pengawasan, dan pembatasan impor beras. Kata Kunci: Tarif Impor Beras, Surplus Produsen dan Konsumen DAMPAK KEBIJAKAN TARIF IMPOR BERAS TERHADAP SURPLUS PRODUSEN DAN KONSUMEN Akhmad Dosen KoperƟs Wil.IX Sulawesi Dipekerjakan pada STIE-YPUP Makassar dan Alumni S3 Ilmu Eknomi Pertanian PPs-IPB (Email: [email protected]) PENDAHULUAN Latar Belakang I ndonesia adalah negara konsumen beras terbesar keƟga di dunia setelah RRC dan India. Di samping faktor besarnya jumlah penduduk, hal ini juga disebabkan oleh kenyataan bahwa 95 persen penduduk Indonesia masih menggantungkan konsumsi utama pangannya pada beras. Tingginya ketergantungan penduduk Indonesia terhadap beras mengakibatkan komodiƟ ini Ɵdak hanya memiliki nilai strategis secara ekonomi tetapi juga secara sosial dan poliƟk (Simbolon, 2005). KomodiƟ beras merupakan bahan pangan utama bagi masyarakat Indonesia sehingga komodiƟ ini menjadi komodiƟ penƟng dalam pembangunan nasional. ArƟ penƟng beras dilihat dari dua sisi yaitu : Pertama, sebagai pangan utama beras harus tersedia dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Kedua, sebagai sumber pendapatan dan lapangan kerja bagi sebagian besar masyarakat Indonesia terutama masyarakat pedesaan. (Sapuan, 2000)
18

DAMPAK KEBIJAKAN TARIF IMPOR BERAS TERHADAP …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/139105... · open dialogue between them will bring a dynamic relationship that

Feb 05, 2018

Download

Documents

doanhanh
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: DAMPAK KEBIJAKAN TARIF IMPOR BERAS TERHADAP …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/139105... · open dialogue between them will bring a dynamic relationship that

14 | EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014

Abstrak

Peneli an ini bertujuan untuk menganalisis dampak kebijakan tarif impor beras terhadap kesejahteraan produsen dan

konsumen. Data yang digunakan dalam peneli an ini adalah data sekunder yang berasal dari berbagai sumber yaitu; Badan Pusat Sta s k (BPS), Bulog, Kementerian Perdagangan, Keuangan dan Pertanian, yang mencakup harga beras domes k, harga beras dunia (CIF), konsumsi, produksi, impor, dan tarif impor beras. Data tahun 2010, dijadikan sebagai data dasar dalam analisis. Hasil analisis menunjukkan bahwa liberalisasi perdagangan beras (pembebasan tarif) memberikan surplus ekonomi nasional yang makin besar, hal tersebut berar ekonomi nasional makin efi sien. Namun dari segi distribusi, produsen menerima surplus yang semakin kecil daripada konsumen, yang berar aspek pemerataan manfaat dari kebijakan pemerintah dak terwujud. Oleh karena petani padi pada umumnya miskin, maka keberpihakan pemerintah kepada petani sangat diperlukan untuk mengentaskan

mereka dari kemiskinan. Dengan alasan tersebut, dan penyediaan lapangan kerja serta pembangunan perdesaan, maka kebijakan yang bersifat protek f sangat diperlukan, baik dengan pengenaan tarif impor beras, pengaturan, pengawasan, dan pembatasan impor beras.

Kata Kunci: Tarif Impor Beras, Surplus Produsen dan Konsumen

DAMPAK KEBIJAKAN TARIF IMPOR BERAS TERHADAP SURPLUS PRODUSEN DAN

KONSUMENAkhmad

Dosen Koper s Wil.IX Sulawesi Dipekerjakan pada STIE-YPUP Makassar dan Alumni S3 Ilmu Eknomi Pertanian PPs-IPB

(Email: [email protected])

PENDAHULUANLatar Belakang

Indonesia adalah negara konsumen beras terbesar ke ga di dunia setelah RRC dan India. Di samping faktor

besarnya jumlah penduduk, hal ini juga disebabkan oleh kenyataan bahwa 95 persen penduduk Indonesia masih menggantungkan konsumsi utama pangannya pada beras. Tingginya ketergantungan penduduk Indonesia terhadap beras mengakibatkan komodi ini dak hanya memiliki nilai strategis secara ekonomi tetapi juga secara sosial dan poli k (Simbolon, 2005).

Komodi beras merupakan bahan pangan utama bagi masyarakat Indonesia sehingga komodi ini menjadi komodi pen ng dalam pembangunan nasional. Ar pen ng beras dilihat dari dua sisi yaitu : Pertama, sebagai pangan utama beras harus tersedia dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Kedua, sebagai sumber pendapatan dan lapangan kerja bagi sebagian besar masyarakat Indonesia terutama masyarakat pedesaan. (Sapuan, 2000)

EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014 | 83

could at the same time incentivise all actors in the value chain. For example: a better fi nal product which is a demand from certain market could affect price incentives for the actors within the value chain. However, farmers should also be equipped with knowledge on better farming practices and pest management.

The conclusions to this research identify that agro industrial clusters have the potential to improve the local economy. However, weaknesses of the industry could outweigh this potential, thus limiting local economic development and hindering sustainability of the industry. Therefore more attention should be given to this matter. Upgrading should be implemented through all steps of cocoa production process, to achieve sustainable cocoa production. In order to implement these ideas, governing and controlling the value chain are the crucial foundations for upgrading of the production process, quality of output, and farmers’ skills to take place.

2. Policy ImplicationAs abovementioned, the research suggests that governing and controlling the value chain is an important step before moving to upgrading strategy. One way to execute the idea is by developing a solid institutional arrangement through collaboration between local government, cocoa farmers’ community, private sector, and university. As has been mentioned earlier, there are actors, both internal and external, who contribute to the development of the cocoa industry in South Sulawesi Province. However, due to the lack of coordination between them, the direction of cocoa development is somehow unclear.

The local government of South Sulawesi Province, supported by district governments, plays an important role in supporting cocoa cluster development. The Department of Estates of South Sulawesi provincial government should optimise its role, in supporting smallholder farmers through giving technical assistance. Farmers’ informal networks and organisations also play a crucial role in sharing information regarding farming practice among farmers. Moreover, farmers’ networks and organisations could be a basis for developing collective activities that encourage farmers to act together in handling cocoa problems, thereby could improve local economy. Therefore strengthening the farmers’ networks and organisations is a necessary step. The private sector, including local processors and exporters, should play a signifi cant role in encouraging smallholder farmers to improve their cocoa beans. The University of Hasanuddin, as one of the biggest universities in South Sulawesi Province, together with the cocoa and coffee research centre in Jember could be involved in developing strategy for cocoa development. These research institutions play a signifi cant part due to their role as centre of knowledge. Partnership among those actors is a basis and an important step in developing local economy. Interaction and open dialogue between them will bring a dynamic relationship that perhaps will help to addressing cocoa issues and developing solution to the problems. This coordination framework should be facilitated by the Department of Estates Crops in South Sulawesi provincial government. Building the partnership between local government, private sector, university and cocoa farmers’ community is one way to mapping needs of this cocoa industry to sustain.

Page 2: DAMPAK KEBIJAKAN TARIF IMPOR BERAS TERHADAP …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/139105... · open dialogue between them will bring a dynamic relationship that

82 | EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014

First, pest Cocoa Pod Borer (CPB) infestation is spreading in the cocoa plantations, as was mentioned before. This condition has lessened farm profi t, thus leading to a decline in smallholder farmers’ interest in the cocoa industry. On the other hand, although the Indonesian government also sets the export quality standard, called the Indonesian National Standard or SNI, it is rarely met. Even though Indonesian cocoa beans are of poor quality, there is still a demand in the world market. The problems in cocoa production in South Sulawesi threaten the sustainability of the cocoa sector industries. If cocoa farmers want to change crops, there are limited crops suited to the local conditions, whilst there are few if any markets that give the same fl exibility as the cocoa market (Neilson, 2007). In order to achieve agricultural sustainability, mutual awareness between internal and external actors within the value chain is needed.

the development of the local economy can be viewed from four aspects: generating employment, establishment of economic institutions, competitive advantage, and knowledge as an economic generator. In terms of generating employment, the South Sulawesi cocoa industry has been the backbone of farmers’ employment. It employs more than 200,000 smallholder farmers. However, the problem that persists is how to sustain farmers’ profi t from the cocoa industry while problems exist such as pest infestation, cocoa price discounts, and aging cocoa trees. Sustaining farmers’ profi t will help farmers to improve their living and economic conditions. In addition, there is no proper incentive for farmers to upgrade and improve cocoa bean quality. On the other hand, institutions of the cocoa value chain also face many issues. Internal and external linkages to support the cocoa industry have not been developed yet. Problems of trust and risk between actors make the cocoa industry vulnerable. Therefore institutional governance is needed to support the South Sulawesi cocoa industry and thus improve local economic

conditions. The South Sulawesi cocoa industry is stagnant in terms of competition because it is mainly relies on an abundant supply of cocoa. Poor quality bean production and lack of incentives to upgrade are the major threats to the South Sulawesi cocoa industry. Although farmers have basic knowledge of cocoa farming, this is not enough, especially when they face pest infestation. Farmers need to improve their knowledge on cocoa farm practices. Therefore, they need support from formal institutions or external actors, especially in terms of training.

CONCLUSION AND POLICY IMPLICATION

1. ConclusionThe application of the industrial cluster concept is different in each case study. The research shows that agro industrial cluster operations employ local and related family labour and they have limited access to formal fi nancial institutions. On the other hand, upgrading is not a pre-requisite to enter the global market since the agro industry is a market-driven industry where the global market has its preferences for certain commodities. Therefore, since the global market still values the abundant production of South Sulawesi cocoa beans and there is no signifi cant price difference between good and bad cocoa beans, farmers are not interested in upgrading their beans. Improving local economic development in this particular industry depends on the actors’ interactions within the value chain. Internal actors’ relationships are found to be based on trust and risk, which cannot guarantee the sustainability of the industry.

The research suggests that two main ideas are involved in sustaining the industry. Firstly, those smallholder farmers who still value the abundance of cocoa beans despite the quality could continue in their conventional way of engaging in the global market. However, they should also be aware that pest infestation is the major threat to the industry. Secondly, smallholder farmers could upgrade their bean quality to target niche markets. This strategy

EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014 | 15

Konsumsi beras masyarakat Indonesia dapat dikatakan nggi karena se ap orang di Indonesia mengkonsumsi beras se ap tahun sebesar 139,5 kg. Konsumsi beras Indonesia lebih besar dua kali lipat dari konsumsi beras dunia pada angka 60 kg per tahun (EOCD; 2013; Chris anto, E., 2013)

Begitu pen ngnya beras, maka negara-negara berkembang terutama Indonesia telah menjadikan swasembada beras sebagai tujuan kebijakan nasional. Dalam sejarah, Indonesia pernah menjadi pelopor dalam revolusi hijau yang mendorong peningkatan produksi pangan terutama padi pada tahun 1960-an. Mulai saat itu ngkat kesejahteraan penduduk meningkat dan penduduk

miskin berkurang secara signifi kan. Tingkat ketahanan pangan pun terus meningkat yang dicirikan dengan terjadinya surplus beras sehingga negara mencapai swasembada pangan pada tahun 1984 (Riyadi, 2002;)

Garis kebijakan perberasan Indonesia adalah mengupayakan pemenuhan kebutuhan beras domes k dari produksi dalam negeri atau swasembada. Dengan garis kebijakan tersebut, kebijakan impor ditempatkan sebagai residual atau menutupi defi sit kebutuhan beras dalam negeri (Irawan, 2001). Oleh karena itu, pen ng untuk diketahui posisi neraca beras nasional. Sebagai komoditas yang strategis, produksi beras domes k yang tersedia untuk dikonsumsi merupakan tolak ukur bagi ketersediaan bahan pangan pokok bagi masyarakat Indonesia.

Untuk memberikan dukungan bagi peningkatan produksi padi dan pendapatan petani, pemerintah telah mengimplementasikan berbagai kebijakan perberasan. Pada periode sebelum krisis (1970-1996), pemerintah telah mengimplementasikan kebijakan harga dasar gabah (HDG), kebijakan subsidi benih, kebijakan subsidi pupuk, kebijakan subsidi kredit usaha tani padi, manajemen stok dan monopoli impor oleh bulog, penyediaan Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) untuk pengadaan gabah oleh Bulog, subsidi untuk Bulog dalam melakukan operasi pasar yaitu pada saat harga beras nggi Bulog harus menjual dengan harga murah, dan

kebijakan tarif impor beras. Pada periode krisis (1997-1999), pemerintah menerapkan kebijakan transisi yaitu menghapus semua kebijakan kecuali kebijakan harga dasar gabah dan melakukan liberalisasi impor beras

dengan mencabut monopoli impor yang dipegang oleh Bulog dan menetapkan tarif bea masuk beras sebesar nol persen. Pada periode pasca krisis (2000-2004), pemerintah kembali menerapkan kebijakan harga dasar pembelian gabah oleh pemerintah (HDPP), dan kebijakan tarif impor beras sejak 7 Januari 2004 sampai dengan saat ini.

Peningkatan jumlah penduduk dan ngkat konsumsi rata-rata per kapita beras mengakibatkan konsumsi beras sering kali melebihi produksi. Sampai saat ini swasembada beras masih tetap diupayakan dan menjadi salah satu prioritas kebijakan pemerintah meskipun konsepsi swasembada telah berubah dengan membuka kemungkinan impor sampai batas tertentu yaitu terutama pada saat kekeringan, dan melakukan ekspor pada saat surplus.

Adanya kecenderungan melakukan impor beras pada saat konsumsi beras lebih besar dibanding produksi, perlu mendapat perha an dari pemerintah agar supply beras dalam negeri dak meningkat yang akan berakibat pada penurunan harga beras yang dapat menurunkan pendapatan petani. Oleh karena itu pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan tarif impor beras untuk melindungi produsen beras dalam hal ini petani.

Murahnya harga beras akan menguntungkan konsumen akan tetapi sebaliknya produsen (petani) akan dirugikan. Oleh karena itu pemerintah telah mengeluarkan kebijakan bea masuk impor beras untuk melindungi produsen (petani) dari gejolak pasar dunia. Tarif bea masuk berdasarkan atas Peraturan Menteri Keuangan No. 180/PMK.011/2007 sebesar Rp 450per kg.

Ketersediaan beras sangat pen ng bagi penduduk Indonesia, karena beras merupakan makanan pokok penduduk Indonesia. Dikalangan masyarakat ada is lah yang berkembang bahwa belum makan kalau belum makan nasi (beras), hal ini membuk kan betapa pen ngnya beras bagi penduduk Indonesia. Dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk akan meningkatkan permintaan terhadap beras. Permasalahan mbul dengan terjadinya peningkatan jumlah penduduk Indonesia yang dak diiku dengan peningkatan produksi beras di Indonesia.

Page 3: DAMPAK KEBIJAKAN TARIF IMPOR BERAS TERHADAP …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/139105... · open dialogue between them will bring a dynamic relationship that

16 | EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014

Tabel 1. menunjukkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir produksi beras mengalami peningkatan, hal disebabkan antara lain karena ngkat produk vitas lahan akibat menggunakan teknologi produksi yang semakin membaik. Akan tetapi peningkatan produksi beras tersebut, belum dapat memenuhi kebutuhan akan konsumsi beras masyarakat yang juga semakin meningkat disebabkan karena pertambahan jumlah penduduk. Oleh karena itu impor beras diperlukan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri.

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka maka peneli an ini bertujuan untuk menganalisis dampak kebijakan tarif impor beras terhadap kesejahteraan produsen (petani), konsumen, pemerintah dan perekonomian secara keseluruhan.

TINJAUAN PUSTAKAKebijakan Perberasan Indonesia

Terpenuhinya pangan yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutu, aman, merata, dan terjangkau oleh seluruh rumah tangga merupakan sasaran utama dalam pembangunan ekonomi se ap negara di dunia, apakah itu negara produsen dan net ekspor r maupun pengimpor pangan. Bagi negara industri yang miskin sumber daya pertanian seper Singapura, sasaran tersebut dapat dipenuhi dengan meningkatkan daya beli rakyat dan kemampuan ekonomi negaranya. Bagi sebagian besar negara berkembang, pemenuhan kebutuhan pangan itu

terutama mengandalkan kemampuan produksi domes k (Amrullah, S. 2005).

Bagi Indonesia, rumusan di atas merupakan defi nisi ketahanan pangan yang diformulasikan dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Untuk implementasinya, GBHN 1999-2004 mengarahkan agar ketahanan pangan ini dicapai dengan memanfaatkan sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal; serta memperha kan kesejahteraan para produsennya, yang

pada umumnya adalah para petani, peternak dan nelayan kecil.

Dalam rangka meningkatkan pendapatan petani dan pengembangan ekonomi pedesaan, pemerintah telah menetapkan kebijakan perberasan melalui Inpres Nomor 9 tahun 2002. Inpres tersebut sebenarnya merupakan penyempurnaan dari Inpres Nomor 9 tahun 2001, yang mengatur tentang kebijakan perberasan secara komprehensif. Perubahan pada Inpres Nomor 9 Tahun 2002 dan terakhir adalah Inpres No.13/2005 yang berlaku 1 Januari 2006.

Salah satu ketentuan yang diatur di sana adalah penetapan impor dan ekspor beras dalam kerangka menjaga kepen ngan petani dan konsumen; serta impor manakala ketersediaan beras dalam negeri dak mencukupi. Ketentuan ini bermakna bahwa, perlindungan terhadap petani diutamakan. Rasionalnya adalah karena harga beras murah di pasar dunia dak merefl eksikan

Tabel 1. Data Produksi, Konsumsi, dan Impor Beras Indonesia Tahun 2001 sampai 2010

Tahun Produksi Beras Indonesia Konsumsi Beras Indonesia Impor Beras Indonesia

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

2010

30.283.326

30.586.159

30.892.021

31.200.941

31.669.630

34.306.610

35.940.591

36.061.545

36.702.237

37.854.537

32.771.264

33.073.152

33.372.463

33.669.384

34.297.000

35.438.000

36.350.000

37.100.000

38.000.000

38.550.000

649.488

1.811.988

1.437.472

246.256

189.617

438.108

1.300.000

289.000

250.473

687.581Sumber : BPS, 2002-2012

EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014 | 81

This research observes that internal linkages are facing a problematic situation. Trust and risk is the basic foundation of the operating linkages. On the one hand, it supports the development of the cocoa industry, such as through the farmers’ network, which develops knowledge sharing among farmers. In addition, exporters’ pre-fi nancing schemes are is also helpful to a certain extent, although they involve greater risk for the exporters. On the other hand, negative practices from particular actors within the value chain are lessening value addition of cocoa beans. The relationship between local processors and intermediaries is at risk because of those negative practices. Moreover, they hamper the cocoa improvement and upgrading processes. Therefore, most of the farmers still value their link with local buyers they can trust, even though they have so many selling options. The relationship between tengkulak and farmers is helping farmers to a certain extent, but it also brings negative effects since it limits the opportunities for farmers to sell their cocoa beans to other buyers. Furthermore, the system of repayment of farmers’ loans from tengkulak is done by farmers selling cocoa beans to them according to the price settled by tengkulak. This practice could also decrease farmers’ profi t in their business, thus hampering their interest in the cocoa business. In order to increase cooperation among farmers, groups or associations are formed. However, farmer’ groups are apparently facing diffi culties in registering associations or enterprises other than cooperatives due to an Indonesian law which limits the options for farmer groups or enterprises to register their businesses legally. The term cooperative gives a negative impression due to their cultural operation which gives bad signals to farmers and is also not suitable for a business operation.

External linkage is defi ned as relations between enterprises within the cluster and outside or external to the cluster. Some external actors in the cocoa value chain make a signifi cant contribution to the cocoa business, while others do not. There is an overall lack of coordination and cooperation among stakeholders, internally and externally.

For example, the government, private sector and associations which support cocoa sector all give out different messages regarding development of the cocoa sector. This condition leads to the inconsistency of thinking on best practice. In addition, the dissemination of research in cocoa development is limited. Given the fact that smallholder farmers often rely on tengkulak for their fi nancing source, formal credit institutions are unable to compete with the informal credit market, especially in rural economies (Braverman and Stiglitz, 1993).

In order to upgrade the cocoa industry in South Sulawesi, this research also suggests that governance of internal linkages is needed. Good relationships between actors should be maintained through good practices and proper incentives given to each actor. Each actor should know their role in the value chain. This also needs support from external actors such as the Provincial Government. In addition, the tengkulak’s role could be replaced by developing a reliable formal institution to handle farmers’ fi nancing issues. Neilson (2007) stated that understanding tengkulak services helps to identify effective farmer organisations which could improve effi ciency of the business at farm level.

4. The local economic development in the industrial cluster also depends on support from institutions in the value chain.Syahruddin’s study (2013, p.114) argued that “Indonesia’s agricultural supply chains are linked to its economic development”. However, he suggested that adopting sustainable practices could affect the performance of supply chains. Trust, information sharing and long term relationship are keys to the implementation of sustainable practices in agriculture. Challenges to sustaining the agricultural sector are strengthening viability and competitiveness of agricultural sector, improving living and economic conditions of rural farmers, and promoting good practices as part of environmental awareness (Syahruddin and Kalchschmidt, 2012b). Productivity of cocoa farms in Sulawesi is threatened by several factors.

Page 4: DAMPAK KEBIJAKAN TARIF IMPOR BERAS TERHADAP …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/139105... · open dialogue between them will bring a dynamic relationship that

80 | EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014

cost production, derived from low cost labour, combined with suitable soil for cocoa plantation and effi cient production methods gives Sulawesi cocoa production a competitive advantage in the world markets.

2. Entering the global market motivates fi rms to upgrade, thus increasing competitive advantage and income.In terms of hypothesis 2, the South Sulawesi cocoa cluster industry presents a different reality. Entering the global market does not necessarily motivate fi rms to upgrade. Because of its high production, the Sulawesi cocoa industry has been engaged with the global market since the early1980s. The competitive edge of Sulawesi cocoa beans in the global market is mainly volume based. The major threat to the competitiveness of the cocoa industry in Indonesia relates to its need to improve and upgrade local cocoa productivity and the quality of the cocoa beans. This is really obvious if we look at the case of Ghana and Ivory Coast cocoa beans, which command a global premium price because they have both fat and fl avour, while the high fat content Indonesian cocoa beans, in contrast, are traded in at a discounted rate on the New York standard terminal price.Fermentation of cocoa beans, as one of way to upgrade, could boost their inherent fl avour and thus increase the value added of the cocoa beans (Latuhihin et al., 2007), but most of the smallholder farmers in Sulawesi have not done this (Panliburton and Meyer, 2004). Limited production of fermented cocoa beans lessens value added opportunities for farmers because there is only limited demand for fermented beans from local processors.

There are several reasons why farmers do not want to shift, expand, or upgrade their businesses into fermented cocoa. Firstly, there is insuffi cient commercial incentive for the upgrading of production practice. Besides that, there is no signifi cant price difference between unfermented and fermented cocoa beans in Sulawesi. Secondly, the international demand for Indonesian cocoa beans does not give incentives for farmers to

improve the quality of their beans. Although the quality does not meet the international standard and indeed tends to be poor, global buyers still buy Indonesia cocoa beans, although at a discount price. Thirdly, there is a limited market for intermediary products such as cocoa powder because of the poor quality of local beans and the burden of Value Added Tax (VAT).

In sum, from the explanation above, it is clear that entering the global market, although seen as an opportunity to expand their markets, has not necessarily motivated fi rms to upgrade. In this case, upgrading the quality of cocoa beans in South Sulawesi will depend on the demand from the global market. If the demand of global market for fermented or good quality cocoa is coupled with suffi cient incentives for farmers to upgrade the quality of their cocoa beans, this perhaps will boost upgrading of the South Sulawesi cocoa industry and provide added value to the industry. However, as mentioned by Panliburton and Lusby (2006), cocoa bean prices alone are not suffi cient incentive to boost the upgrading process. The upgrading process also requires improvement of the capacity of farmers to implement better farming practices.

3. The development of internal and external linkages is necessary in the upgrading processInternal linkage was defi ned as links developed among enterprises within the cluster (Tambunan, 2005). In this case, internal linkages develop between actors within the value chain. The South Sulawesi cocoa industry faces problem such as lack of integrated coordination and cooperation between actors such as cocoa producers and cocoa manufacturers within value chain. Cocoa manufacturers often rely on inputs from smallholder farmers who do not possess sophisticated farming skills. Neilson (2007, p.245) stated that the “cocoa crop does not have long-established institutional structures and deeply entrenched business interest, and it has been affected by a history of government intervention, marketing controls or excessive taxation”.

EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014 | 17

ngkat efi siensi, namun telah terdistorsi oleh berbagai bantuan dan subsidi. Hasil peneli an Husein Sawit dan Rusastra (2005) memperlihatkan bahwa hampir 80% pendapatan petani padi di negara kaya kelompok OECD misalnya, berasal dari bantuan pemerintah. Oleh karena itu, adalah dak adil buat petani padi/beras, yang sebagian besar petani dengan lahan yang sempit untuk bersaing dalam dunia perdagangan yang amat dak adil itu.

Perlindungan dari serbuan impor, dak terkecuali beras dapat ditempuh dengan dua cara yaitu hambatan tarif (tariff Barrier; TB) dan hambatan bukan tarif (non tariff Barrier; NTB). Instrumen yang paling primi f dalam NTB adalah pelarangan impor atau pelarangan ekspor. Namun, ada juga yang menempuh kebijakan monopoli dan penetapan kuota impor untuk mengelola impor/ekspor suatu produk.

Hambatan tarif dianggap paling transparan, sehingga semua hambatan non tarif wajib dihapus dan dikonversikan ke dalam hambatan tarif sesuai dengan ketentuan perdagangan mul lateral World Trade Organiza on (WTO). Indonesia telah meno fi kasikan tarif beras di WTO sebesar 180% dan diturunkan menjadi 160% untuk 2004, membuka pasar minimum (minimum market access) sebesar 70 ribu ton/tahun dengan ngkat tarif dalam kuota (in-quota tariff ) 90%.

Mulai Januari 2000, pemerintah menetapkan tarif spesifi k sebesar Rp 430/kg atau setara dengan 30% ad valorem. Impor dikontrol ketat, misalnya harus melalui jalur merah guna mencegah penyelundupan, dan terakhir adalah tarif bea masuk berdasarkan atas Peraturan Menteri Keuangan No. 93/PMK.011/2007 sebesar Rp 450 per kg.

Konsep Surplus Produsen dan Surplus Konsumen

Kebijakan harga dasar (fl oor price) dilakukan untuk melindungi produsen pada saat panen raya dan kebijakan harga ter nggi (ceiling price) dilakukan untuk melindungi konsumen pada saat paceklik. Sementara itu dalam hal perdagangan dunia, pemerintah dapat

melindungi produsen maupun konsumen domes k berupa kebijakan tarif, kuota dan monopoli impor untuk kasus negara pengimpor dalam upaya melindungi atau subsidi ekspor untuk Negara pengekspor. Kebijakan ini umumnya berdampak terhadap konsumen, produsen dan pemerintah. Dampak yang di mbulkan dapat diketahui dengan menggunakan pendekatan teori ekonomi kesejahteraan (welfare economics), yaitu dengan konsep pengukuran surplus konsumen (consumer surplus) dan surplus produsen (producer’s surplus).

Surplus konsumen didefi nisikan sebagai perbedaan antara jumlah maksimum yang ingin dibayar oleh konsumen terhadap jumlah tertentu dari produksi. Sedangkan surplus produsen adalah perbedaan antara jumlah uang yang benar-benar diterima produsen dengan jumlah uang minimum yang diinginkan oleh produsen tersebut (Tweeten, L. 1989; Pindiyck, R.S., dan D.L. Rubinfeld. 2007).

Terdapat ga dasar postulat yang pen ng dalam penggunaan surplus konsumen dan surplus produsen untuk mengukur kesejahteraan yaitu: pertama permintaan merupakan refl eksi dari keinginan untuk membayar, kedua penawaran merupakan refl eksi dari biaya marginal (marginal cost), dan ke ga perubahan pada pendapatan individu bersifat penambahan (addi ve) (Krugman, P.R., and M. Obs eld. 2002; Pindiyck, R.S., dan D.L. Rubinfeld. 2007 ).

Dampak Kebijakan Tarif Impor Beras

Menurut Nopirin (1990), kebijakan tarif maupun non-tarif mempunyai dampak pada perubahan surplus konsumen dan surplus produsen. Pemberlakuan tarif impor akan menguntungkan produsen domes k karena dengan adanya tarif impor maka harga impor komodi sejenis cenderung lebih mahal dengan harga domes k. Pemberlakuan tarif impor akan menyebabkan kenaikan harga produk di negara impor r, penurunan konsumsi, peningkatan produksi, penurunan volume impor dan adanya penerimaan pemerintah yang berasal dari tarif impor tersebut. Gambar 2. menunjukkan dampak kebijakan tarif impor terhadap surplus konsumen dan surplus produsen.

Page 5: DAMPAK KEBIJAKAN TARIF IMPOR BERAS TERHADAP …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/139105... · open dialogue between them will bring a dynamic relationship that

18 | EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014

Q

D

S

Pd

Pt

Pw

a

Q1 Q2 Q0 Q3 Q4

b c d e f g h i

j

P

Sumber: Ellis, 1992.

Gambar 2. Dampak Kebijakan Tarif impor terhadap Surplus Produsen dan Konsumen

Ti k keseimbangan pada pasar domes k adalah Pd dan Qo. Pada kondisi sebelum tarif ditetapkan, surplus konsumen sebesar a,b,c.d.e,f,g,h, dan i, sementara surplus produsen j. Di mana Pw, merupakan harga beras dunia. Sedangkan setelah diberlakukannya tarif impor sebesar t, maka surplus konsumen berkurang menjadi a,b,c,d, sementara surplus produsen meningkat menjadi j dan e. Pemerintah melakukan impor sebesar Q3-Q2 untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri. Besarnya tarif impor adalah Pt-Pw sehingga memberikan penerimaan pemerintah sebesar g dan h. Namun perekonomian secara keseluruhan mengalami kerugian sosial (dead weight loss) sebesar f dan i.

Husain Sawit (2007) mengatakan pada saat Indonesia menerapkan ngkat tarif moderat terhadap beras, ternyata kurang efek f, dan penyelundupan bertambah. Pada periode 2000-2003 misalnya, ditaksir dak kurang dari 50 persen beras yang masuk ke Indonesia

melalui berbagai pelabuhan, terbanyak melalui Selat Malaka adalah illegal (Tabor, 2002). Akibatnya adalah pola pergerakan harga gabah yang musiman menjadi porak poranda. Karena kekurangan beras di kantong-kantong konsumen sebagian besar diisi oleh beras impor. Harga gabah ngkat produsen di musim panen raya dalam beberapa tahun malah lebih nggi dari musim paceklik atau musim panen padi gadu. Akibatnya perdagangan antar pulau dan antar wilayah dak bergairah, beras

dari sentra produsen terhambat mengalir ke wilayah konsumen, terutama ke perkotaan, (Ir anta, 2004).

DATA DAN METODE ANALISIS

Data yang digunakan peneli an ini adalah data tahun 2010 berasal dari berbagai sumber di antaranya adalah Badan Pusat Sta s k (BPS) Bulog dan Kementerian keuangan, perdagangan, dan pertanian, berupa harga beras dunia (CIF), konsumsi beras, produksi beras, jumlah impor beras, dan tarif impor beras. Data tahun 2010 akan dijadikan sebagai data dasar dalam analisis. Selain itu dalam melakukan analisis terhadap dampak kebijakan tarif impor beras, penulis menggunakan angka elas sitas permintaan dan penawaran beras dari peneli an terdahulu yaitu Hadi dan Wiryanto (2005).

Analisis dampak kebijakan tarif impor beras dilakukan dengan menghitung distribusi manfaat (gains) dan kerugian (losses) yang diperoleh produsen, konsumen, pemerintah dan masyarakat secara keseluruhan. Adapun teknik perhitungan yang digunakan untuk menganalisis dampak kebijakan tarif impor beras terhadap produsen, konsumen, pemerintah dan masyarakat secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 2.

Asumsi-asumsi yang digunakan dalam pengukuran pada Tabel 3 diantaranya sebagai berikut :1. Harga CIF beras adalah harga dunia (Rupiah per kg)

ditambah dengan biaya transportasi dan asuransi sebesar 7,5%

2. Angka elas sitas permintaan dan penawaran beras didasarkan pada hasil peneli an Hadi dan Budi (2005) masing-masing sebesar -0.14589 dan 0.15607

3. Tarif bea masuk berdasarkan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor. 93/PMK.011/2007 sebesar Rp 450 per kg.

4. Efek kesejahteraan bersih menunjukkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan selain diukur seper pada Tabel 4, juga dapat diukur dengan menjumlahkan perubahan surplus konsumen (SK), perubahan surplus produsen (SP) dan penerimaan pemerintah (PP) atau dituliskan sebagai berikut : SK + SP + PP.

EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014 | 79

beans from traders, who deliver them to their warehouse. There, they are sorted and graded to check the quality. The sorted cocoa beans are then sold on to buyers, who are primarily from the US, Malaysia, Singapore, and Brazil.

Besides the internal actors who engage with the process, there are several external actors contribute to the cocoa industry in South Sulawesi and its value chain. The Research or Extension Centre, funded by the Government of Indonesia and located in Jember, East Java, provides limited research in the cocoa sector. On the other hand, the Indonesian Cocoa Association (ASKINDO) is involved in extension work and best practice training, whilst the Indonesian Cocoa Farmers Association (APKAI) and the Indonesian Farmers Association (HKTI) play an important role as farmers’ representatives.

ANALYSIS

1. Agro-industrial clusters mainly operate in local conditions of low levels of capital accumulation and precarious employment.Agriculture is an important sector in South Sulawesi due to its position as a national food basket (Tenriawaru and Arsyad, 2013). Arsyad and Kawamura (2009) add that agricultural economics is still important in reducing poverty. As previously mentioned, smallholder farmers dominate the industry and most of them cultivate cocoa farms of less than 2 Ha. In addition, the local farmers also employ their family members to help them on the cocoa farms. Syahruddin and Kalchschmidt (2012a) emphasised that low cost labour and the use of family related labour in the industry are consequences of globalisation. Ensuring survival of the industry by minimising the cost is a way to maintain business competitiveness in a globalised industry. Neilson (2007) explained the Bugis people themselves are an important element as they build informal organisations and social networks within Bugis society, which enables the dissemination of knowledge regarding cocoa farming.

On the other hand, smallholder farmers face diffi culties in obtaining adequate capital and purchasing the inputs needed for cocoa production. Farmers have limited access to credit or fi nancial institutions for obtaining loans. Moreover, they also lack access to approved collateral for loans from fi nancial institutions. In this case, land certifi cation is the only collateral accepted for their businesses. However, because of the expense of land certifi cation, it is beyond the reach of many of them. In addition, transaction processes along the supply chain from farmers up to processors or exporters are conducted on a cash and carry basis. Therefore, in order to remain competitive, the transaction process needs an adequate input of working capital. However, because of the diffi culties in obtaining suffi cient capital from formal fi nancial institutions, pioneer farmers often start their business by accessing informal credit, engaging in land pawning and sharecropping (Panliburton and Meyer, 2004). Pioneer farmers also rely on local traders to provide services such as knowledge, material, and capital (Neilson, 2007). As well as the smallholder farmers, actors such as processors, exporters and traders have to rely on their own fi nancial resources due to limited access to capital loans (Panliburton and Meyer, 2004). In addition, farmers face diffi culties in obtaining commercially improved planting materials. Such materials are only available for agricultural research in Jember, East Java Province, while the Estate Department of the provincial government has limited capacity to distribute them to South Sulawesi (Panliburton and Meyer, 2004).

In sum, agricultural clusters such as the South Sulawesi cocoa cluster run their business on low levels of capital. Nevertheless, these smallholder farmers in South Sulawesi still manage to maintain high volume production of cocoa beans. Cocoa production in Sulawesi is effective mainly because the smallholder farmers, who are mainly Bugis people, are able to use their knowledge and credit network, and also family related labour. Farmers gain agricultural knowledge particularly on cocoa farming, through informal social networks. Low

Page 6: DAMPAK KEBIJAKAN TARIF IMPOR BERAS TERHADAP …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/139105... · open dialogue between them will bring a dynamic relationship that

78 | EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014

the supply chain. As was mentioned before, this industry employs more than 200,000 smallholder farmers in South Sulawesi in the production of unfermented cocoa beans. Most of the smallholder farmers sell cocoa to other local farmers or local traders and prefer to conduct independent transactions with private collectors and traders.

The next process is to collect or bulk the cocoa beans. The supply chain actors involved in this process are local collectors and local traders. Local collectors who are also referred to as tengkulak, usually are farmers or rural entrepreneurs who operate using motorbikes or trucks in purchasing small scale cocoa beans from farmers. The study conducted by McLeod (1978) in Sulawesi found that the price varies between farmers in a particular area. There is a correlation between the price offered to farmers and dependency on tengkulak. Local traders purchase cocoa beans from local collectors or sometimes directly from farmers. These local traders are engaged in a variety of

businesses, such as retail shops or vehicle rental (Akiyama and Nishio, 1996). The local traders then sell on the cocoa beans to local exporters. Competition within this collecting and bulking process is fi erce because licences and permits are not needed in running this business. According to Syahruddin and Kalchschmidt (2012a, p.5) “local traders act as a marketing point where cocoa beans are marketed to exporters, then sold to the overseas buyer, local, and MNC processor, or beans are processed for domestic consumption”.

The next process is cocoa processing, whereby dried cocoa beans are turned into processed products such as: cocoa liquor, cake, powder, and butter. Local processors, who often have strict quality standards, are involved in local processing or grinding. The largest cocoa processor is PT. Effam, besides that there is the Ceres group. There are fi ve well-known multinational exporters in Sulawesi: Cargill, Olam, EDF and Man, and ADM and Continaf. They purchase unfermented cocoa

Figure 3. Value Chain of Cocoa Production

EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014 | 19

Tabel 2. Pengukuran Dampak Kebijakan Peningkatan Tarif Impor Beras

Variabel Notasi dan Formula

Harga CIF (Rp/kg) P

Tarif impor (Rp/kg) T

Harga beras (Rp/kg) P’

Konsumsi beras (Ribu ton) Qc

Produksi beras (Ribu ton) Qp

Impor beras (Ribu ton) Qc - Qp

Elas sitas permintaan Ed

Elas sitas penawaran Es

Peningkatan harga beras dengan tarif baru (Rp/kg)

P’ - P

Penambahan produksi (Ribu ton) ∆ Qp = Es Qp (P’ - P)/P

Kehilangan konsumsi (Ribu ton) ∆ Qc = Ed Qc(P’ - P)/P

Produksi setelah tarif impor (Ribu ton)

Qp’ = Qp + ∆ QP

Konsumsi setelah tarif impor (Ribu ton)

Qc’ = Qc + ∆ Qc

Impor setelah tarif impor (Ribu ton)

Qc’- Qp’

Perubahan surplus konsumen (Rp)

Qc (P’ - P) - 0.5 (P’ - P) (Qc’ - Qc)

Perubahan surplus produsen (Rp Qp(P’ - P) + 0.5 (P’ - P) ( Qp’- Qp)

Penerimaan pemerintah dari tarif (Rp)

T (Qc’ – Qp’)

Efek kesejahteraan bersih (Rp) 0.5(P’- P)(Qp’-Qp)+ 0.5 (P’ - P)(Qc-Qc’)

Sumber : Tweeten, L. (1989)

Skenario Kebijakan Tarif Impor BerasTulisan ini menganalisis dampak kebijakan tarif impor beras dengan menggunakan dua skenario kebijakan sebagai berikut:1. Skenario 1 dengan tarif impor beras diturunkan

dari Rp. 450 per kg menjadi Rp. 200 per kg.2. Skenario 2 dengan peningkatan tarif impor beras

dari Rp. 450 per kg menjadi Rp. 700 per kg.

HASIL DAN PEMBAHASANAnalisis Kebijakan Tarif Impor Beras

Terdapat beberapa instrumen kebijakan yang dapat digunakan pemerintah dalam mengatasi permasalahan impor. Salah satu kebijakan perdagangan tersebut di antaranya adalah tarif. Ada beberapa tujuan yang dapat dicapai dengan dikeluarkannya kebijakan tarif di antaranya adalah sebagai sumber penerimaan pemerintah dan untuk melindungi sektor-sektor tertentu dalam negeri (Krugman and Obs eld, 2000).

Dalam kebijakan perdagangan, tarif pada dasarnya adalah sejenis pajak yang sifatnya diskrimina f yang dikenakan hanya pada barang yang memasuki daerah pabean tertentu (custom area). Pada umumnya tarif dikenakan terhadap barang-barang yang diimpor dan jarang digunakan untuk barang ekspor karena akan menghambat ekspor.

Kebijakan tarif impor yang dikeluarkan oleh pemerintah akan berdampak pada kesejahteraan produsen, konsumen, penerimaan pemerintah, dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Pada bagian ini akan dianalisis dampak kebijakan peningkatan tarif impor beras terhadap surplus; produsen, konsumen, penerimaan pemerintah, dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan, dengan dua skenario kebijakan yaitu (skenario 1) dengan menurunkan tarif impor beras dari Rp. 450 menjadi Rp 200 per kg, (skenario 2) dengan menaikkan tarif impor beras dari Rp 450 per kg menjadi Rp 700 per kg. Data yang digunakan dalam analisis ini adalah data beras tahun 2010.

Dampak kebijakan tarif impor beras dapat dilihat pada Tabel 3.

Page 7: DAMPAK KEBIJAKAN TARIF IMPOR BERAS TERHADAP …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/139105... · open dialogue between them will bring a dynamic relationship that

20 | EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014

Dampak Kebijakan Tarif Impor Beras terhadap Kesejahteraan Produsen

Secara teori s, penurunan tarif impor beras akan menurunkan harga eceran beras di pasar domes k, dan sebaliknya meningkatkan tarif impor akan menaikkan harga eceran beras di pasar domes k . Penurunan dan peningkatan harga eceran beras di pasar domes k selanjutnya akan berdampak pada harga jual gabah di ngkat petani. Pada tahun 2010 produksi beras dalam

negeri sebesar 37.854.537 ton sementara konsumsi beras dalam negeri sebesar 38.550.000 ton. Untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat atau kebutuhan nasional akan beras, maka pemerintah melakukan impor beras sebesar 695.463 ton. Adanya kebijakan impor beras tersebut, maka untuk melindungi produsen dalam negeri (petani), memaksa pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan tarif impor beras. Tarif impor beras yang ditetapkan berdaskan Peraturan Menteri Keuangan No. 93/PMK.011/2007 yaitu sebesar Rp 450 per kg.

Apabila elas sitas penawaran beras sebesar 0,15607 maka skenario kebijakan penurunan tarif impor beras dari Rp. 450 menjadi Rp 200 per kg (skenario 1) mengakibatkan produksi beras domes k turun menjadi sebesar 37.700.303 ton atau turun sebesar 0,41 persen. Akibat turunnya tarif impor beras juga akan berpengaruh terhadap surplus produsen. Kebijakan tarif impor sebesar Rp 200 per kg menyebabkan surplus produsen turun sebesar Rp 5.832.455.874 .000,-.

Sebaliknya apabila pemerintah menaikkan tarif impor beras dari Rp 450 per kg menjadi Rp. 700 per kg (skenario 2), maka akan menyebabkan produksi beras domes k naik dari 37.854.537 ton menjadi 37.977.204 ton atau naik sebesar 0,32 persen. Dengan tarif impor beras ini, juga menaikkan surplus produsen menjadi Rp. 7.416.723.429.000,-.

Tabel 3. Analisis Dampak Kebijakan Peningkatan Tarif Impor BerasVariabel Dasar Skenario 1 Skenario 2

Harga CIF (Rp/kg) 5.512 5.512 5.512

Tarif Impor Beras (Rp/kg) 450 200 700

Harga Beras di ngkat Produsen (Rp/kg) 5.708 5.458 5.958

Produksi beras (000 kg) 37.854.537 37.854.537 37.854.537

Konsumsi Beras (000 kg) 38.550.000 38.550.000 38.550.000

Impor beras (000 kg) 695.463 695.463 695.463

Elas sitas permintaan (Ed) -0,14589 -0,14589 -0,14589

Elas sitas penawaran (Es) 0,15607 0,15607 0,15607

Peningkatan harga beras dengan tarif baru (Rp/kg) 0 -154 195,6

Penambahan produksi ( 000 kg) 0 -154.234 122.667

Produksi beras setelah tarif (000 kg) 37.854.537 37.700.303 37.977.204

Perubahan konsumsi (000 kg) 0 137.543 -104.659

Konsumsi beras setelah tarif (000 kg) 38.550.000 38.687.543 38.445.341

Impor beras setelah tarif (000 kg) 695.463 833.006 468.137

Perubahan surplus produsen (Rp.000) - -5.832.455.874 7.416.723.429

Perubahan surplus konsumen (Rp.000) - 6.124.775.452 -7.530.529.370

Penerimaan pemerintah dari tarif (Rp.000) 312.958.350 166.601.200 327.696.208

Efek kesejahteraan bersih (Rp.000) 312.958.350 458.920.778 213.890.267

Keterangan :1. Skenario 1: Kebijakan menurunkan tarif impor beras dari Rp. 450 per kg menjadi Rp 200 per kg2. Skenario 2: Kebijakan menaikkan tarif impor beras dari Rp. 450 per kg menjadi Rp 700 per kg

EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014 | 77

beans to United States, Malaysia, and Singapore. The rest, around 242,085 MT, was processed locally as cocoa liquor, cake, butter, and powder.

The cocoa sector plays an important role in South Sulawesi Province. Presidential Decree No. 28/2008 of the Government of Indonesia through stated that the cocoa cluster industry is the primary industry for development in in South Sulawesi (Kementerian Perindustrian, 2009). The government has set a target of 340 thousand tons for cocoa production in 2013 (Kementerian Pertanian, 2009). This target is supported by South Sulawesi Provincial Government through cocoa plant revitalisation and cocoa industrial clustering, focused on the districts of North Luwu, Palopo, Soppeng, Bulukumba, and Pinrang (Tenriawaru and Arsyad, 2013).

Figure 2. Cocoa Estates in South Sulawesi Province 2005-2009

Cocoa has become the main source of income for smallholder farmers and their families. In Sulawesi, cocoa estates employ about 262,541 smallholder farmers. They mainly work on cocoa plots of less

than 2 Ha and grow over 85 per cent of Sulawesi’s cocoa beans (Panliburton and Lusby, 2006).

Sulawesi’s cocoa industry has several major competitive advantages. First, there is an abundance of suitable land for cocoa farm, coupled with its local people, the Bugis people, who gained the necessary skills to plant and grow cocoa through their experience of working on Malaysian cocoa plantations. Therefore it is allowing for a high volume of cocoa production. Therefore, mono crop cocoa production has been extended, especially on Sulawesi Island (Panliburton and Meyer, 2004). Second, the effi cient infrastructure allows easy transportation of cocoa easier from and to buyers. Many areas are well served by roads and ports built by both provincial and national government (Akiyama and Nishio, 1996), which reduces the cost of transportation from production area to ports of export. Third, there is an open trading or marketing system (Panliburton and Lusby, 2006). Akiyama and Nishio (1996) concluded that smallholder farmers gain benefi t from the competitive marketing system. Fourth, production costs are low. Akiyama and Nishio (1996) stated that the rapid expansion of the cocoa industry was due to the smallholder farmers as the engine of growth and the fact that the farmers enjoy a high return from cocoa production.

However, there has been limited government policy intervention in Indonesia’s cocoa value chains, unlike with other export commodities in Indonesia. Cocoa production was not affected by price controls. However, the government of Indonesia has become increasingly concerned about cocoa development and it is included in the National Medium Term Development Planning 2010-2014, which supports cocoa plantations in South Sulawesi as the main cocoa cluster in Indonesia. In practice, several actors are operating along the South Sulawesi Cocoa Value Chain (Figure 3.4).

The process of cocoa production begins when the smallholder farmers harvest the cocoa. In this case, smallholder farmers are important actors in

Page 8: DAMPAK KEBIJAKAN TARIF IMPOR BERAS TERHADAP …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/139105... · open dialogue between them will bring a dynamic relationship that

76 | EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014

(Felzensztein et al., 2010; Giuliani et al., 2005). Hence, not only local governance is needed, but also the extension of linkages to global buyers. This argument is supported by evidence from Weijland (1994) showing that Indonesian clusters which were well connected to the global market achieved higher average incomes than those that were not connected. Based on the literature, this study proposes the third hypothesis: the development of Internal and external linkages is necessary in the upgrading process.

The concept of LED is derived from development theories that relied heavily on the idea that economic growth can trickle down to improve the conditions of the poor. However, the LED concept adopts a view of endogenous development whereby local initiative provides employment and stimulates economic activity. Blakely (1989) emphasises that LED is a process that involves key actors in development (government and community groups) to manage local resources and create partnerships between those actors in generating jobs and stimulating economic activities. The main goal behind the LED concept is to provide job opportunities for local people (Blakely, 1989). From neo-classical perspectives, the incentives of lower wage rates and cheaper costs are suffi cient to create employment.

The LED concept does align with the concept of cluster upgrading, as some researchers focus on improvement of the capacity of existing employees to produce better products, transfer of knowledge, and identifi cation of new markets (Blakely, 1989). According to neo-classical theory, government bureaucracy and a less than conducive business climate can hinder economic development. Therefore, linking back to the concept of cluster upgrading, local government also plays an important role in creating the right business climate in the industrial cluster, for example, by giving fi nancial support or offering training for industry. In regard to employment, the enterprise zone is considered as an example of an attempt to stimulate job creation for a specifi c population (Blakely, 1989). Based on the literature, this study proposes the fourth hypothesis: the local economic development in the industrial cluster also depends on support from institutions in the value chain.

FINDINGS AND ANALYSIS FROM CASE STUDY

1. Overview Cocoa Cluster in South SulawesiCocoa is an important sector in Indonesia, in particular because it generates foreign exchange and employment. In addition, it has strong linkages between upstream, intermediate, and downstream industry. There are three levels of the cocoa industry in Indonesia: fi rst, upstream industry produces cocoa beans and liquor. Second, intermediate industry produces cocoa cake, cocoa liquor, cocoa powder, cocoa butter, and cake and fat. The last level is downstream industry, which produces chocolate based food (Kementerian Perindustrian, 2009). In terms of cocoa production, Indonesia has a strong position in the global market. In 2009, Indonesia was the second largest cocoa producer in the world, producing 809,583 Metric Tons, and accounting for 19 per cent of global production (FAOSTAT, 2013; BPS, 2013).

Indonesian cocoa estates have been classifi ed into three groups: fi rst, smallholder estates which cover around 887,735 Ha; secondly, government-owned estates, which cover roughly 49,976 Ha; and thirdly, private estates, which approximately cover 54,737 Ha (Kementerian Perindustrian, 2009). More than 80 per cent of the cocoa estates belong to smallholder farmers. Data from Kementerian Perindustrian (2009) show that in 2008 Indonesia exported approximately 334,915 MT of cocoa

EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014 | 21

Berdasarkan uraian tersebut, maka jelaslah bahwa apabila dilihat dari sisi produsen saja, maka semakin nggi tarif impor yang diterapkan oleh pemerintah akan

menyebabkan ngginya harga beras di dalam negeri, yang berdampak terhadap naiknya harga beras di ngkat petani, sehingga memacu produsen/petani untuk meningkatkan produksi beras dalam negeri, sehingga mengakibatkan kesejahteraan produsen/petani meningkat.

Dampak Kebijakan Tarif Impor Beras terhadap Kesejahteraan Konsumen

Kebijakan tarif impor beras selain berdampak pada produsen juga berdampak pada konsumen. Apabila kebijakan tarif impor beras diturunkan dari Rp. 450 menjadi Rp 200 per kg (skenario 1) dengan elas sitas permintaan beras sebesar -0.14589 akan mengakibatkan konsumsi beras mengalami peningkatan dari 38.550.000 ton menjadi 38.687.543 ton, naik sebesar 137.543 ton atau sebesar 0,36 persen.

Selain itu, kebijakan penurunan tarif impor beras dari Rp. 450 menjadi Rp 200 per kg akan menyebabkan naiknya kesejahteraan konsumen. Hal tersebut ditunjukkan oleh meningkatnya surplus konsumen sebesar Rp. 6.124.775. 452.000,-. Peningkatan konsumsi beras dan kesejahteraan konsumen disebabkan karena, dengan turunnya tarif impor beras menyebabkan harga beras dalam negeri akan lebih murah, sehingga konsumen dalam negeri akan menerima harga yang lebih rendah dari harga sebelumnya. Sebaliknya apabila pemerintah menaikkan tarif impor beras dari Rp 450 per kg menjadi Rp. 700 per kg, dengan elas sitas permintaan beras sebesar -0.14589 akan mengakibatkan konsumsi beras dalam negeri mengalami penurunan dari 38.550.000 ton menjadi 38.445.341 ton, turun sebesar 254.659 ton atau 0,27 persen.

Selain itu kebijakan menaikkan tarif impor beras dari Rp 450 menjadi Rp. 700 per kg akan menyebabkan turunnya kesejahteraan konsumen. Hal ini ditunjukkan oleh penurunan surplus konsumen sebesar Rp. 7.530.529.370.000,-. Penurunan konsumsi beras dan kesejahteraan konsumen terjadi karena adanya kenaikan tarif impor beras, menyebabkan konsumen dalam negeri

akan menerima harga yang lebih nggi dari sebelumnya.

Uraian di atas menunjukkan bahwa, apabila kita melihat dari sisi konsumen saja, maka semakin nggi tarif impor yang dikenakan terhadap komoditas beras, akan menyebabkan ngginya harga beras di dalam negeri, sehingga memaksa konsumen untuk mengurangi konsumsinya, yang tentunya mengakibatkan permintaan beras dalam negeri berkurang, karenanya kesejahteraan konsumen turun.

Dampak Kebijakan Tarif Impor Beras terhadap Penerimaan Pemerintah

Salah satu sumber penerimaan pemerintah antara lain berasal dari tarif impor. Pada kajian dengan penerapan tarif impor beras sebesar Rp 450 per kg pada ini tahun 2010. Pemerintah mengimpor beras sebesar 695.463 ton, maka tentunya menambah penerimaan pemerintah sebesar Rp. 312.958.350.000, pada tahun 2010,

Sementara itu, apabila pemerintah menurunkan tarif impor beras dari Rp. 450 per kg menjadi Rp. 200 per kg (skenario 1), maka penerimaan pemerintah dari tarif impor beras turun dari Rp. 312.958.350.000,- menjadi Rp. 166.601.200.000,- atau sebesar 46,76 persen. Penurunan penerimaan pemerintah ini disebabkan karena turunnya tarif impor beras dari Rp.450 per kg menjadi Rp. 200 per kilo gram, meskipun volume impor beras meningkat dari 695.463 ton menjadi 833.006 ton.

Sebaliknya apabila pemerintah menaikkan tarif impor beras dari Rp. 450 per kg menjadi Rp. 700 per kg (skenario 2), maka penerimaan pemerintah naik dari Rp.312.958.350.000,- menjadi Rp. 327.696.208.000,-. Kenaikan penerimaan pemerintah ini disebabkan karena nggi tarif impor beras yang ditetapkan, walaupun impor

dan konsumsi beras dalam negeri menurun sebesar 104.659 ton yang disebabkan karena naiknya harga beras dalam negeri.

Uraian di atas menunjukkan bahwa apabila tujuan pemerintah mengenakan tarif impor beras untuk menambah penerimaan negara, maka pemerintah selayaknya lebih berha -ha , dan memperhitungkan

Page 9: DAMPAK KEBIJAKAN TARIF IMPOR BERAS TERHADAP …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/139105... · open dialogue between them will bring a dynamic relationship that

22 | EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014

dengan baik khususnya dampak tarif terhadap permintaan dan penawaran beras di dalam negeri. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa apabila pemerintah menaikkan tarif impor beras, maka penerimaan pemerintah dari tarif impor beras akan meningkat, disebabkan naiknya tarif impor namun karena permintaan dalam negeri berkurang sebagai akibat kenaikan harga di dalam negeri yang memaksa konsumen untuk mengurangi konsumsinya dan produksi beras dalam negeri meningkat, sehingga kenaikan penerimaan pemerintah atas kenaikan tarif tersebut rela f sangat kecil. Sebaliknya apabila pemerintah menurunkan tarif impor beras, maka penerimaan pemerintah menurun, disebabkan besarnya penurunan tarif impor dak sebanding dengan peningkatan permintaan beras dan penurunan volume produksi dalam negeri. Dengan demikian peningkatan tarif impor dak menjamin penerimaan pemerintah meningkat, dan sebaliknya penurunan tarif juga dak menjamin turunnya penerimaan pemerintah dari tarif impor beras.

Dampak Kebijakan Tarif Impor terhadap Kesejahteraan Masyarakat

Dampak kebijakan pemerintah dapat diukur dari kesejahteraan masyarakat atau perekonomian secara keseluruhan (Total Net Walfare Eff ect). Ukuran ini sudah memperhitungkan perubahan-perubahan yang terjadi pada surplus produsen, surplus konsumen dan penerimaan pemerintah.

Berdasarkan uraian sebelumnya bahwa penerapan kebijakan penurunan tarif impor beras dari Rp. 450 per kg menjadi Rp 200 per kg memberikan pengaruh nega f terhadap peningkatan produksi yang akan berdampak pada penurunan surplus produsen sebesar Rp. 5.832.455.874.000,-. Akan tetapi kebijakan tersebut memberikan dampak posi f terhadap surplus konsumen sebesar Rp. 6.124.775.452.000,-, dan penerimaan pemerintah turun dari Rp. 312.958.350.000,- menjadi Rp. 166.601.200.000,- atau turun 46,77 persen. Dengan demikian penerapan kebijakan penurunan tarif impor beras sebesar Rp 200 per kg (skenari 1) dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan dari Rp. 312.958.350.000,- menjadi Rp. 458.920.778.000,-.

Sementara apabila pemerintah menaikkan tarif impor beras dari Rp. 450 per kg menjadi Rp 700 per kg akan memberi dampak posi f terhadap peningkatan produksi yang disebabkan karena naiknya harga beras dalam negeri, yang berdampak pada peningkatan surplus produsen sebesar Rp. 7.416.723.429 .000,-. Akan tetapi kebijakan tersebut memberikan pengaruh nega f terhadap surplus konsumen sebesar Rp. 7.530.529.370.000,- dan penerimaan pemerintah juga mengalami kenaikan dari Rp. 312.958.350.000. menjadi Rp. 327.696.208.000,-. Jadi penerapan kebijakan tarif impor beras sebesar Rp 700 per kg dapat menurunkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan dari Rp. 312.958.350.000,- menjadi Rp. 213.890.267.000,-.

Hasil kajian di atas, sejalan temuan Hadi dan Wiryono (2005) yang mengkaji dampak kebijakan proteksi terhadap ekonomi beras di Indonesia menemukan bahwa sistem perdagangan yang makin liberal memberikan surplus ekonomi nasional yang makin besar, hal tersebut berar ekonomi nasional makin efi sien. Namun dari segi distribusi, produsen menerima surplus yang jauh lebih kecil daripada konsumen, yang berar aspek pemerataan manfaat dari kebijakan pemerintah dak terwujud. Mengingat bahwa petani padi pada umumnya miskin, maka keberpihakan pemerintah kepada petani sangat diperlukan untuk mengentaskan mereka dari kemiskinan. Dengan alasan ini dan alasan lain seper penyediaan lapangan kerja dan pembangunan perdesaan, maka kebijakan yang bersifat protek f masih tetap diperlukan, baik dengan pengenaan tarif impor beras, maupun pengaturan, pengawasan dan pembatasan impor beras.

Sementara temuan Rachman dkk (2008) yang mengkaji tentang dampak liberalisasi perdagangan terhadap kinerja ketahanan pangan nasional yang mengatakan bahwa peningkatan tarif impor beras yang disertai dengan nilai tukar yang terdepresiasi rela f nggi, akan menyebabkan harga beras di ngkat pedagang besar dan produsen meningkat, selanjutnya jumlah penawaran meningkat dan dampaknya terhadap kesejahteraan produsen bertambah. Liberalisasi perdagangan (tarif impor dihapuskan) disertai dengan penurunan harga beras dunia akan menyebabkan harga beras di ngkat pedagang besar dan produsen menurun. Akibatnya jumlah penawaran menurun dan dampaknya terhadap

EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014 | 75

to improve agribusiness clusters (Nogales, 2010). Secondly, agro-industrial clusters could endanger the natural environment; for example, tannery wastewater has polluted Lake Nakuru in Kenya, harming fl amingos that live there (Reardon and Barrett, 2000). Thirdly, property rights also infl uence agro industrialisation in developing countries. In the case in Peru, agro-industrial fi rms were unable to own land but engaged in share tenancy-type contracts with local farmers (Reardon and Barrett, 2000). Fourthly, agro industry mainly relies on cheap labour to compete in global markets; for example, in the case of the tomato agro industry in Mexico, Barron and Rello (2000) found that many poor households were engaged in this industry. Based on the literature fi ndings discussed above, this research presents the fi rst hypothesis: Agro-industrial clusters mainly operate in local conditions of low levels of capital accumulation and precarious employment.

Oliveira (2008) argued that industrial clusters cannot sustain in the long term because they generate low skills and low waged work in poor working conditions. Humphrey and Schmitz (2000) emphasised that industrial clusters should upgrade their industrial management from process to markets by continuously innovating. The question that might arise is that of when fi rms should decide to upgrade their product. Burger et al. (1999) argue that the decision of fi rms to upgrade depends on the type of market targeted, whether it is an urban or international market: fi rms which prefer to operate in low cost production and enter the local or urban market and those fi rms which want to enter niche or international markets. Support from local institutions and substantial investment by local producers are urgently needed (Humphrey and Schmitz, 2000). Some of the literature on industrial clusters has raised the possibility of fostering competitiveness through local governance. In contrast, value chain literature emphasises that the global buyer will govern the chain, especially in an export-oriented cluster (Humphrey and Schmitz, 2000). In the agroindustry sector, environmental pressures and challenges, as was mentioned before, could be reduced by adopting better production technologies or fostering the consumer’s preference for environmentally friendly products (Reardon and Barrett, 2000).

Conversely, upgrading can also have a negative impact; for example, it may lead to unemployment because industries use high technology in place of human labour. On the other hand, competition in the global market is increasing the usage of informal labour. Giuliani et al. (2005) argued that clusters cannot be competitive if they do not have links to external economies and upgrading may be limited to some parts of the value chain. Based on the literature, this study proposes the second hypothesis: entering the global market motivates fi rms to upgrade, thus increasing competitive advantage and income.

According to Porter (2000), local competition and supplier networks are vital in achieving competitive advantage through industrial upgrading. Humphrey and Schmitz (2000) point out that fi rms which increase cooperation achieve better industrial performance. Therefore, governing the linkages within the value chain is important for fi rms’ upgrading. However, the debate is over the desirable degree of competition and cooperation.

According to Felzensztein et al. (2010), fi rms are willing to cooperate if the potential partner has corresponding goals and similar values. Then the question is how this cooperation between institutions is built. This relates to mutual trust among fi rms, reducing the cost of coordination, and minimising risk of hazardous behaviour. Thus, it will shape a fi rm’s behaviour and performance. In addition, Maskell (2001) considers that social processes embedded in local communities could be the best facilitator for strengthening inter-fi rm collaboration. He also states that clustering is more attractive to some industries where there is interdependence between economic activities and local institutions. In addition, close proximity improves communication between actors and helps to develop inter-fi rm ties, whilst also facilitating the sharing of ideas and knowledge between fi rms (Felzensztein et al., 2010).

On the other hand, recent developments in production systems and fi nancial markets, accelerated by globalisation, suggest that global buyers who could foster the upgrading process should get more attention

Page 10: DAMPAK KEBIJAKAN TARIF IMPOR BERAS TERHADAP …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/139105... · open dialogue between them will bring a dynamic relationship that

74 | EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014

research explores challenges in the value chain, as part of identifying potential for the cluster to upgrade and to sustain. Fourthly, the study considers the research’s policy implications.

The research consists of fi ve chapters. The introduction presents an overview of the dissertation. Chapter two conducts a literature review, which leads to construction of hypotheses and the conceptual framework of the research. The next chapter provides an overview of cocoa cluster industry in Indonesia. It explains the position of Indonesia among world cocoa producers. In addition, it explains the contribution and signifi cance of the South Sulawesi cocoa cluster industry within Indonesia, followed by identifi cation of processes and actors involved in the cocoa value chain. Then, it presents the fi ndings and analysis, drawing out the possibilities and challenges facing actors in the cocoa industry, and on that basis discusses the research questions in relation to the hypotheses. Finally, the conclusion and policy implications of the research are presented.

LITERATURE REVIEW

Industrial cluster terminology was popularised by Michael Porter (2000, p.15), who outlines “Clusters are geographic concentrations of interconnected companies, specialized suppliers, service providers, fi rms in related industries, and associated institutions (e.g., universities, standards agencies, trade associations) in a particular fi eld that compete but also cooperate”. The situation differs across industries; for example, in natural resources industries, the location of resources leads companies to co-locate. Industrial clustering is a good starting strategy for an infant industry in overcoming growth constraints in the early phases and can help the infant industry to enter a competitive market. In addition, industrial clustering can enable information sharing among enterprises regarding technological usage, marketing, and innovation (UNIDO, 2009). Besides that, the close proximity between fi rms also enables them to monitor and learn from their neighbours’ achievements. Two essential elements in cluster creation are competitiveness and innovation, especially

for fi rms such as electronics, information technology (IT), and oil and gas companies that emphasise innovation as one of their core values (Nogales, 2010). Competitiveness depends on how well fi rms organise production; procurement and distribution; technology and workforce relations (Conti and Giaccaria, 2001). The industrial cluster ’s aim is to accelerate growth of an industry through competitiveness, thus enhancing economic development by means of applying innovation (Schmitz and Nadvi, 1999; Oliveira, 2008). Industrial clustering is also benefi cial for small fi rms, because it generates employment, which is of particular benefi t to the poor (Oliveira, 2008).

Nogales (2010) argues that in developing countries, poverty is mainly widespread in the agricultural sectors. Little research attention has been given to clustering in developing countries, especially in relation to agribusiness/agro-industrial clusters. However, agro-based clusters are now being seen as a means of promoting development, which renders research in this fi eld necessary. It has been argued that cluster policy is essential for agribusiness development (Nogales, 2010). In addition, Nogales (2010) emphasises that cluster policy could enable small farmers to engage in higher value added and more market oriented production, thereby increasing productivity.

Agribusiness/agro-industrial clusters are usually dominated by small fi rms and are informally organised. Most fi rms have weak linkage among actors in the value chains and tend to specialise in lower value products. However, at present, such fi rms increasingly enter higher-value markets (Nogales, 2010). Viewed from a different perspective, clusters need not be homogenous; for example, palm sugar processing in Indonesia is based on clusters of small fi rms (Burger et al., 1999). There are several issues that commonly arise in the development of an agro-industrial cluster. Firstly, there are diffi culties in cluster promotion; therefore support is required from local and external institutions. Actors in agricultural value chains are demonstrably more successful when they build good collaboration with supporting institutions and other actors in value chains. Hence, strengthening the vertical and horizontal linkages as well as supporting local fi rms is the way

EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014 | 23

kesejahteraan produsen berkurang. Besarnya perubahan penerimaan pemerintah dak hanya ditentukan oleh perubahan tarif, tetapi juga oleh faktor lain, seper elas sitas transmisi harga dan elas sitas permintaan dan penawaran.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukakan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

Kebijakan tarif impor, apabila hanya dilihat dari sisi produsen, menunjukkan bahwa semakin nggi tarif impor yang diterapkan oleh pemerintah akan menyebabkan ngginya harga beras di dalam negeri, yang berdampak

terhadap naiknya harga gabah di ngkat petani, sehingga memacu produsen/petani untuk meningkatkan produksi beras dalam negeri, sehingga kesejahteraan produsen/petani meningkat.

Kebijakan tarif impor beras, jika hanya dilihat dari sisi konsumen saja, maka semakin nggi tarif impor yang dikenakan terhadap komoditas beras, akan menyebabkan ngginya harga beras di dalam negeri, sehingga memaksa

konsumen untuk mengurangi konsumsinya, yang tentunya mengakibatkan permintaan beras dalam negeri berkurang, dan kesejahteraan konsumen akan menurun.

Kebijakan pemerintah menaikkan tarif impor beras, dak menjamin penerimaan pemerintah dari tarif impor

akan meningkat, dan sebaliknya penurunan tarif impor juga dak menjamin turunnya penerimaan pemerintah atas tarif impor beras. Besarnya perubahan penerimaan pemerintah dak hanya ditentukan oleh perubahan tarif, tetapi juga oleh faktor lain, seper elas sitas transmisi harga, serta elas sitas permintaan dan penawaran.

Liberalisasi perdagangan beras (pembebasan tarif) memberikan surplus ekonomi nasional yang makin besar, hal tersebut berar ekonomi nasional makin efi sien. Namun dari segi distribusi, produsen menerima surplus yang makin jauh lebih kecil daripada konsumen, yang berar aspek pemerataan manfaat dari kebijakan pemerintah dak terwujud. Oleh karena petani padi pada

umumnya miskin, maka keberpihakan pemerintah kepada petani sangat diperlukan untuk mengentaskan mereka dari kemiskinan. Dengan alasan ini dan penyediaan lapangan kerja serta pembangunan perdesaan, maka kebijakan yang bersifat protek f masih tetap diperlukan, baik dengan pengenaan tarif impor beras, maupun pengaturan, pengawasan dan pembatasan impor beras.

Rekomendasi

Penerapan kebijakan tarif impor beras untuk melindungi produsen/petani di dalam negeri dan sekaligus meningkatkan produksi beras dalam negeri perlu dipertahankan, namun perlu diiku dengan kebijakan lain yang dapat meringankan beban konsumen, terutama konsumen dari kalangan rumah tangga miskin.

Untuk tetap mempertahankan kesejahteraan rakyat (konsumen) yang telah dirugikan akibat diterapkannya kebijakan impor maka sebaiknya pemerintah memberikan kompensasi kerugian kepada konsumen seper operasi pasar dan beras miskin (raskin).

Memperha kan ngkat tarif impor beras, yang dipikul konsumen beras, kiranya bijaksana bila pemerintah pada tahun-tahun yang akan datang dak menaikkan tarif impor beras lebih dari 15 persen atas harga border untuk memproteksi petani karena kenaikan tarif dihawa rkan akan menimbulkan disparitas harga beras dalam negeri dan harga beras internasional yang dapat memacu maraknya penyelundupan beras.

Page 11: DAMPAK KEBIJAKAN TARIF IMPOR BERAS TERHADAP …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/139105... · open dialogue between them will bring a dynamic relationship that

24 | EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014

DAFTAR PUSTAKAAmrullah, S. 2005. Beras Dalam Dinamika Ekonomi Poli k. Majalah Pangan, 14 (44): 48 – 60.Chris anto, E., 2013. Faktor Yang Memengaruhi Volume Impor Beras Di Indonesia. Jurnal JIBEKA Volume 7 No 2

Agustus 2013: 38 – 43.Ellis, F. 1992. Agricultural Policies in Developing Countries. Cambridge University Press, New York.EOCD. Kebijakan-kebijakan dalam bidang Pertanian: Pemantauan dan Evaluasi 2013 Negara-negara OECD dan

Negara-negara Berkembang. www. oecd.org/publishing/corrigendaHadi, P.U. dan B. Wiryono. 2005. Dampak Kebijakan Proteksi Terhadap Ekonomi Beras di Indonesia. Hasil

Peneli an. Pusat Peneli an Sosial Ekonomi Pertanian. BogorIrawan, P.B. 2001. Dimensi Kemiskinan dan Kewaspadaan Pangan. Majalah Pangan. 10 (37): 30 – 36.Irianta, B. (2004) Analisis dampak kebijakan tarif impor beras terhadap daya saing dan profi tabilitas usahatani

padi sawah di Propinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan periode 2002-2003. h p://www.digilib.ui.ac.id/opac/ themes/libri2/detail.jsp?id=90381&lokasi=lokal.

Krugman, P.R., and M. Obs eld. 2002. Interna onal Economics, Theory and Policy. Addi on Westey Publishing Company, USA.

Mursyid, A. M., Sutomo, dan A. Syaefullah. 1992. Meredam Gejolak Harga. Media Komunikasi dan Informasi Pangan, Jakarta, 3 (12): 43–54

Nopirin, 1990. Ekonomi Internasional. Edisi Ke ga. Balai Penerbit Fakultas Ekonomi universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Pindiyck, R.S., dan D.L. Rubinfeld. 2007. Microeconomic. Edisi Keenam. Indeks, Jakarta.Pranolo. T. 2002. LoI - IMF dan Implikasinya Terhadap Peranan Bulog. Dalam Bulog: Pergulatan Dalam Pemantapan

Peranan dan Penyesuaian Kelembagaan. Kumpulan Naskah Dalam Rangka Menyambut 35 Tahun Bulog. Editor: M. H. Sawit, T. Pranolo, A. Saifullah, B. Djanuardi, dan Sapuan. Ins tut Pertanian Bogor-Press. Bogor.

Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. 2013. Bule n Analisis Perkembangan Harga Komodi Pertanian. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, Sekretariat Jenderal Kementrian Pertanian. www.pusda n.deptan.go.id

Rachman,H.P.S., S.H. Suhar ni, dan G. S. Hardono. 2008. Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Kenerja Ketahanan Pangan Nasional. Pusat Peneli an Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor

Riyadi, D. M. M. 2002. Permasalahan dan Agenda Pengembangan Ketahanan Pangan. Prosiding Seminar: Tekanan Penduduk, Degradasi Lingkungan dan Ketahanan Pangan. Pusat Studi Pembangunan dan Proyek Koordinasi Kelembagaan Ketahanan Pangan, Bogor.

Saefullah, A. 1991. Government Interven on and Rice Price Stabiliza on in Indonesia. Indonesian Food Journal, Jakarta, 2(3): 80 – 102.

Sapuan. 2000. Perjalanan Bulog 35 Tahun: Refl eksi Terhadap PelaksanaanTugas Pokoknya. Dalam Bulog: Pergulatan Dalam Pemantapan Peranan dan Penyesuaian Kelembagaan. Kumpulan Naskah Dalam Rangka Menyambut 35 Tahun Bulog. Editor; M. H. Sawit. T. Pranolo, A. Saifullah, B. Djanuardi,. Ins tut Pertanian Bogor, Bogor.

Sawit, M.H. 2006. Indonesia dalam Tatanan Perubahan Perdagangan Beras Dunia. h p//www.bulog.co.id./htm. [17 Jun 2008].

Melindungi Industri Padi/Beras: Menerapkan Tarif Kuota dan Menerapkan. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.

Sawit, M H., dan I.W. Rusastra (2005), “Globalisasi dan Ketahanan Pangan di Indonesia”, bagian laporan peneli an Road Map Memperkuat Ketahanan Pangan, PEM UI, Jakarta

Simbolon, J.S.C. 2005. Analisis Integrasi Pasar Beras Domes k dengan Pasar Beras Dunia. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian, Ins tut Pertanian Bogor. Bogor.

Tabor, S.R. 2002. “State Trading Enterprises and Tarif Quota’s: Issues and Debates”, EMSI Netherland (mimeo).Tweeten, L.1989. Agricultural Policy Analysis Tools for Economic Development. Westview Press. New York.

EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014 | 73

for goods produced in developing countries, by low-income producers and workers, is also a crucial route out of poverty. Poverty and inequality remain challenges to development. One approach to improving the condition of less developed regions is to exploit the potential of the local economy, which could increase competitiveness generate employment and thereby lead to sustainability.

In Indonesia, agriculture contributes around 15 per cent to GDP and generates 43 per cent of total employment (BPS, 2013). Indonesia has three main export

commodities: oil palm, rubber and cacao. Indonesia is the second largest producer of cocoa in the world after Ivory Coast. The province of South Sulawesi is the major contributor to cocoa production in Indonesia. Also, Presidential Decree No. 28/2008 stated that cocoa cluster industry is the primary industry for development in South Sulawesi (Kementerian Perindustrian, 2009).

Cocoa production in Sulawesi Island, which is mostly based on raw cocoa beans, is a source of income for smallholder farmers. It could generate employment and contribute high value added if it could be processed into other cocoa products. Nevertheless, only 10 per cent of Sulawesi cocoa beans are processed locally. Sulawesi cocoa is traded as unprocessed and unfermented raw beans in the global market. The competitiveness of cocoa production in Indonesia is endangered by poor quality of cocoa production. Consequently, the current cocoa cluster industry is not achieving optimum benefi ts for smallholder farmers.

Based on the aforementioned explanation, this research seeks to explore the idea of agroindustry as a potential means to help develop the local economy in Indonesia. There are two main questions that emanate from the cluster concept in connection with agro-industrial clusters. Firstly, the research questions whether upgrading is the priority for the agro-industrial cluster in entering the global market. Involvement in the global market offers wide opportunity for the industry to develop and increases competitive advantages. This research also analyses and discusses the potential to upgrade in order to become involved in the global market. Secondly, the research analyses the importance for smallholder farmers of upgrading their capacity and strengthening internal and external linkages within the value chain as strategies to improve the local economy. The researcch also highlights challenges to the cocoa value chain that hinder development of the industry.

The method of the research is emphasising on a critical review of cocoa value chain actors, using value chain approach. The steps involved in this research are: fi rstly, desk study is conducted to gather data and information. It is supported by quantitative and qualitative data gathered from books, papers, articles, and information from related ministries in Indonesia, relevant to the focus of the research. Secondly, the research generates the hypotheses from the desk study. Thirdly, the research then, using the case study, analyses the hypotheses through value chain approach. Value chain assessment is limited to the relations between fi rms and actors within the value chain, which is also widely known as supply chain approach. The

Page 12: DAMPAK KEBIJAKAN TARIF IMPOR BERAS TERHADAP …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/139105... · open dialogue between them will bring a dynamic relationship that

72 | EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014

Abstract

The interest of clustering has been rising among policy makers. It is believed that industrial cluster

has potential to generate employment as means for poverty reduction strategy, decrease cost of production, access inputs of production easily, disseminate new knowledge quicker, and also attract more supplier and customers. Besides that, cluster fi rms are more resilient than large fi rms in periods of economic fl uctuation. Schmitz and Nadvi (1994) emphasize that industrial cluster would be more relevant in the early stage of industry and is also important in developing countries context. However, industrial clusters are often facing challenges such as global competitiveness, labour exploitation and environmental problems.

The application of the industrial cluster concept is different in each case study. The research shows that agro industrial cluster operations employ local and related family labour and they have limited access to formal fi nancial institutions. On the other hand, upgrading is not a pre-requisite to enter the global market since the agro industry is a market-driven industry where the global market has its preferences for certain commodities. Improving local economic development in this particular industry depends on the actors’ interactions within the value chain. Sustainability and competitiveness for development of the local economy depend on the motivation of farmers to develop the industry. In conclusion, agro industrial clusters have the potential to improve the local economy. However, weaknesses of the industry could outweigh this potential, thus limiting local economic development and hindering sustainability of the industry.

THE POTENTIAL OF AGRO INDUSTRIAL CLUSTER AS A MEANS TO DEVELOP

THE LOCAL ECONOMY IN INDONESIA(Case Study: Cocoa Industry Clusters

in South Sulawesi Province)Ika Retna Wulandary, ST., M.Sc.

INTRODUCTION

Policy makers have turned their attention to industrial clusters as an economic policy tool for increasing

industrial growth and competitiveness, and also economic development. Industrial clusters could also help poverty reduction because they generate jobs and income for the poor. Improving access to markets

EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014 | 25

ABSTRAK

Keberlanjutan pertanian dalam rangka menghasilkan pangan akan banyak dipengaruhi oleh SDM pertanian. SDM pertanian dalam hal ini adalah petani petani akan menggerakkan sejauh apa produk vitas pertanian dalam

meneghasilkan pangan. Secara faktual Indonesia banyak membutuhkan suplai dari Negara lain untuk memenuhi kecukupan pangan. Apabila kondisi tersebut berlanjut maka keinginan untuk mencapai kedaulatan pangan tentu jauh dari harapan. Kesenjangan-kesenjangan tersebut memberikan arah dan tujuan dari kajian yaitu: (a) menguraikan kondisi tantangan global terhadap ketersediaan pangan dan dinamikanya, (b) menguraikan karakteris k SDM pertanian saat ini, dan (c) menganalisis implikasi karakteris k SDM terhadap Kedaulatan pangan. Metode kajian menggunakan studi pustaka dengan pemaknaan terhadap data sekunder. Hasil analisis menunjukkan bahwa: (i) kompleksitas tantangan global memberikan indikasi Indonesia perlu meningkatkan ketersediaan pangan, (ii), karakteris k SDM pertaniaan saat ini memiliki kualifi kasi daya saing yang rendah dan (iii) diperlukan upaya sistema s dalam memfasilitasi regenarasi SDM pertanian dalam menyongsong era persaingan pasar bebas.

Kata Kunci: Regenerasi, SDM Pertanian, dan Kedaulatan Pangan

PENDAHULUAN

Pertanian adalah salah satu sektor vital dalam kehidupan bangsa Indonesia. Pertanin juga memiliki

peran strategis bagi kehidupan bangsa. Kondisi yang vital dan dan strategis ini secara keseluruhan dak dapat digan kan oleh sector lainnya.

Pertanian adalah penyedia pangan bagi penduduk Indonesia. Pertanian adalah pabrik alami yang menghasilkan produk-produk pangan yang amat dibutuhkan oleh seluruh bangsa Indonesia. Sebagai penyedia pangan, maka pertanian memiliki peran yang tak tergan ka oleh sector lainnya.

URGENSI REGENERASI SDM PERTANIAN DALAM UPAYA MENCAPAI KEDAULATAN PANGAN

MuksinBustang A.M.

Politeknik Negeri JemberBadan Perencanaan Pembangunan Nasional

Pertanian juga merupakan penyedia mayoritas dari bahan baku industri kecil dan menengah. Sekitar 87% bahan baku dari industry kecil dan menengah adalah berbasis dari proses pertanian. Pertanian dengan demikian memberikan potensi bagi dinamika perekonomian bangsa.

Relevan dengan kondisi tersebut sebagaimana dinyatakan oleh Kementerian Pertanian (2014) bahwa pertanian memberikan sumbangan sekitar 14,72% terhadap PDB. Proses dan dinamika pertanian juga mampu menghasilkan US $ 43,37 M devisa Negara. Kondisi ini memberikan gambaran bahwa sector pertanian memiliki peran signifi kan dalam perekonomian nasional.

Page 13: DAMPAK KEBIJAKAN TARIF IMPOR BERAS TERHADAP …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/139105... · open dialogue between them will bring a dynamic relationship that

26 | EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014

Apabila dilihat dari perspek f kepen ngannya pada jumlah tenaga kerja, maka pertanian menyerap sekiar 33,32% total tenaga kerja. Kondisi lainnya adalah bahwa pada rumah tangga pedesaan bergantung sekitar 70% dari sector pertanian sebagai sumber utama pendapatan. Dalam konteks ketenagakerjaan, maka pertanian memiliki peran vital dalam menutup lubang pengangguran terbuka yang semakin besar. Kondisi tersebut memberikan klarifi kasi bahwa pertanian menjadi factor penutup bagi potensi pengangguran yang besar. Terdapat fakta bahwa pertanian adalah suatu keniscayaan bagi keberlanjutan kehidupan manusia, dalam konteks penyediaan pangan (Luckey, et al: 2013)

Sisi lain dari pertanian adalah sektor ini memiliki peran yang dak ringan dari upaya mencegah atau menyelesaikan masalah lingkungan. Sebagai “organisasi” yang bersandar dari proses alamiah, maka pertanian memiliki peran dalam upaya penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 8 juta ton (Kementerian pertanian, 2014). Peran terhadap upaya menjaga kelestarian amat vital di tengah semakin meningkatnya persoalan-persoalan lingkungan dewasa ini.

Peran strategis pertanian memberikan sinyal bahwa peran-peran pen ng tersebut dak dapat digan kan oleh sector lainnya. Ketetapan peran-peran strategis tersebut, tentu dapat diupayakan apabila kondisi atau factor-faktor penyokong tersebut antara lain adalah SDM pertanian sebagai kelompok pengelola dari “organisasi” pertanian.

Peran strategis juga secara linear akan berdampak terhadap kemampuan menerjemahkan tantangan-tantangan dari luar. Tantangan dari luar dalam hal ini adalah lingkungan global yang memberikan potensi untuk memperbesar peran pertanian dalam mensejahterakan bangsa ataukah sebaliknya. Ar nya peran pertanian yang lemah tentu akan memberikan dampak yang kurang menguntungkan pada kondisi ketersediaan pangan bangsa dan juga implikasi ketergantungan terhadap Negara lainnya.

Isu-isu terkait pangan pada masa depan akan menjadi isu pen ng dan masuk dalam ranah atau kawasan yang berpotensi menjadi sumber konfl ik.

Kondisi ini didasarkan pada fakta bahwa ketersediaan pangan dan jumlah kebutuhan terhadap pangan daklah sebanding. Dalam konteks ketersediaan pangan aspek-aspek terhadap kemampuan produksi dianggap lemah, sedangkan kebutuhan pasokan atau permintaan dari waktu ke waktu terus meningkat.

Beberapa kondisi yang kurang menguntungkan memberikan kontribusi signifi kan dalam konteks kemampuan produksi pertanian. Semakin mengecilnya lahan pertanian, konversi lahan pertanian yang terus berlanjut, kerusakan lingkungan, dan mutu kelembagaan petani yang dinilai rendah adalah kondisi-kondisi yang kurang menguntungkan tersebut. Bila terus berlanjut kondisi ini tentu berdampak nega ve terhadap kemampuan produksi dalam negeri sekaligus menurunnya daya saing.

Daya saing yang lemah tentu akan merugikan Indonesia mengingat pasar terpadu ASEAN sudah di depan mata. Sebagaiman kita kitehui bahwa implementasi The ASEAN Economic Community (AEC) akan berlaku pada tahun 2015. Integrasi pasar dan pintu masuk pasar global yang dak dian sipasi, tentu akan sangat merugikan bangsa Indonesia.

Salah satu faktor pen ng bagi upaya melakukan proses produksi yang tepat, adalah dengan menyiapkan SDM yang memenuhi standar kebutuhan sector pertanian. SDM yang tepat yang dibutuhkan adalah sesuai dengan kebutuhan dalam rangka memenuhi upaya-upaya yan dapat dilakukan dalam memenuhi ekspektasi daya saing yang tepat. Dalam konteks ini para pelaku atau SDM yang tepat sangat diharapkan dapat melaksanakan kegiatan pertanian yang sesuai.

SDM pertanian yang tangguh, akan memberikan peran yang sesuai dengan kondisi persaiangan saat ini. SDM yang memliki kompetensi tentu memberikan kontribusi pada kemajuan usaha tani. Kesiapan, kualifi kasi dan kompetensi yang memadai sebagai SDM usahatani akan berontribusi dalam produk vitas, daya adaptasi dan keberlanjutan usahatani. Apabila kondisi atau situasi peran SDM pertanian dapat diselenggarakan, maka berdampak pada signifi kan dalam memfasilitasi upaya mewujudkan kedaulatan pangan.

EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014 | 71

REFERENCESA bdallah, S., & Mahony, S. (2012). Stock-taking of Subjective Well-Being Retrieved from http://www.

eframeproject.eu/fi leadmin/Deliverables/Deliverable2.1.pdf

B ertrand, M., & Mullainathan, S. (2001). Do People Mean What They Say? Implications for Subjective Survey Data. American Economic Review, 91(2), 67-72.

C oordinating Ministry for People’s Welfare of Indonesia. (2012). Indeks Kesejahteraan Rakyat (IKraR). Jakarta: Coordinating Ministry for People’s Welfare of Indonesia.

D olan, P., Layard, R., & Metcalfe, R. (2011). Measuring Subjective Wellbeing for Public Policy Retrieved from http://eprints.lse.ac.uk/35420/1/measuring-subjective-wellbeing-for-public-policy.pdf

D olan, P., & Metcalfe, R. (2012). Measuring Subjective Wellbeing: Recommendations on Measures for Use by National Governments. Journal of Social Policy, 41(02), 409-427.

E sti, D. R. S. (2013). Subjective Well-being Measurement for Public Policy in Indonesia. Master, University of Groningen, Groningen.

E sti, D. R. S., Woltjer, J., & Hasanov, M. (2013). Evaluation in Integrated Land-Use Management: Towards an Area-Oriented and Place-Based Evaluation for Infrastructure and Spatial Projects. [Workshop Report]. Town Planning Review, 84(5), 671-677. doi: 10.3828/tpr.2013.34

F ujiwara, D., & Campbell, R. (2011). Valuation Techniques for Social Cost-Benefi t Analysis: Stated Preference, Revealed Preference and Subjective Well-being Approaches. A Discussion of the Current Issues. London: HM Treasury and DWP.

G raham, C. (2010). The Challenges of Incorporating Empowerment into the HDI: Some Lessons from Happiness Economics and Quality of Life Research. Paper presented at the Human Development Research Paper 2010/13.

H elliwell, J., Layard, R., & Sachs, J. (2013). World Happiness Report 2013. New York: UN Sustainable Development Solutions Network.

H icks, S., Tinkler, L., & Allin, P. (2013). Measuring Subjective Well-being and its Potential Role in Policy: Perspective from the UK Offi ce for National Statisticcs. Social Indicators Research, 114(1), 73-86.

K hakee, A. (2002). Assessing Institutional Capital Building in a Local Agenda 21 Process in Go¨teborg. Planning Theory & Practice, 3(1), 53-68.

M cGillivray, M. (2007). Human Well-being: Issues, Concepts and Measures. Houndmills, New Hampshire, USA: Palgrave Macmillan.

O ECD. (2013). OECD Guidelines on Measuring Subjective Well-being Retrieved from http://dx.doi.org/10.1787/9789264191655-en

O NS. (2010). Measuring Subjective Wellbeing in the UK S. Waldron (Ed.) Retrieved from http://www.ons.gov.uk/ons/guide-method/user-guidance/well-being/publications/measuring-subjective-well-being-in-the-uk.pdf

O NS. (2011). Initial investigation into Subjective Wellbeing from the Opinions Survey Retrieved from http://www.ons.gov.uk/ons/dcp171776_244488.pdf

S tiglitz, J. E., Sen, A., & Fitoussi, J.-P. (2010). Mismeasuring Our Lives: Why GDP Doesn’t Add Up. New York: New Press.

T hompson, S., & Marks, N. (2008). Measuring well-being in policy: issues and applications Retrieved from http://dnwssx4l7gl7s.cloudfront.net/nefoundation/default/page/-/fi les/Measuring_well-being_in_policy.pdf

Page 14: DAMPAK KEBIJAKAN TARIF IMPOR BERAS TERHADAP …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/139105... · open dialogue between them will bring a dynamic relationship that

70 | EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 20147070707070707707070707070707070707070707070707070707070707070707077070707070707770707077077707070707070707070770707070770707077707077070707007707070700707070070700707077070707000770770770707007770077777777707777000000770070 EEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEDIDDIDDDDIDIDIDIDIDIDIDDDDDDIDDDIDIDIDIDIDIIDIDIDIDDIIIIDDIDDIDDDDIDDDIDDDIDDDDDIIDIDDDDDIDDIDDDDDIIDIIDDIIIDD SISISISISISISISISSISSSSISSISSISSISISISSSSISSSSSSSSISISISSSIIIISISSSISISSSISIS 00000000000000000000000000000000000000000000000000000000001 11111111111111111111 1111111111111111111 11111111111111111111111111111111 •••••••••••••••••••••••••••••••••••• TATATATATATATATATATATATATATATATATATATAAATATATATTATATATATTTATTATATTTTAAAATTATAAT HUHUHUHUHUHUHUHUHUHHUHUHUHUHUHUHHUHUHHHHHUHUHHHHHHUHUHHHHHHUHHHHHUH NNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNN XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX ••••••••••••••••• MMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMEIEIEIEIEIEIEIEEIEIEIEIEIEEIIEIEIEIEEEEIEIIIEEEE 222222222222222222222222222222201010101010101010101010100101001010100100010144444444444444444444444444444

Specifi cally to enhance the institutional capital level for informing policy design, the involvement of technical ministries in Indonesia is required. As practiced in the UK, various UK government departments even included targets in their Public Service Agreements (PSA) that could benefi t from subjective well-being data. Therefore, the statistical offi ce is informed by emerging policy requirements and policy makers are informed or aware of the subjective well-being data. In addition, specifi cally for policy appraisal context, some customized subjective well-being measurements by related departments or ministries or research centres or any other concerned stakeholders are needed while keeping within the overall agreed framework, which absolutely depends on the scope of the appraised policy.

Some further steps recommendation for Indonesian context are as follows:o SPTK 2013 results is published by the Central

Statistics Agency and shared to the concerned stakeholders, especially BAPPENAS, the Coordinating Ministry of People’s Welfare, and other technical ministries in Indonesia

o Together with BAPPENAS and the Coordinating Ministry of People’s Welfare, the Central Statistics Agency establish an advisory forum and technical group

o The advisory forum invite academics and research centers such as SEMERU and Lembaga Demografi UI to join and discuss subjective well-being measurements framework in Indonesia

o The advisory forum publish subjective well-being measurements framework in Indonesia and guidance for using subjective well-being measurement

o The advisory forum with wider stakeholders, key user stakeholders such as technical ministries or departments in Indonesia, discuss further the potential use of subjective well-being measurement and “need assessment” of this measurement from the key user stakeholders

o The technical group conduct public consultations as practiced in the IKraR development to diffuse and develop the knowledge on subjective well-being measurement in Indonesia

o The advisory forum discuss the improvement of subjective well-being indicators for the next survey.

70 | EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014 EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014 | 27

Berdasarkan latar belakang tersebut maka menilai kembali bagaimana SDM pertanian dan peran yang dapat dimainkan adalah upaya vital yang sangat secara potensial dan actual akan memberikan jawaban terhadap persoalan-persolan pertanian, produksi, maupun daya saing serta kedaulatan pangan. Kedaulantan pangan telah menjadi suatu tahapan sangat vital dalam keberlanjutan kehidupan berbangsa dan bernegara. Berfokus pada pemikiran tersebut maka tujuan dari penulisan ar kel ini adalah: (a) menguraikan kondisi tantangan global terhadap ketersediaan pangan dan dinamikanya, (b) menguraikan karakteris k SDM pertanian saat ini, dan (c) menganalisis implikasi karakteris k SDM terhadap Kedaulatan pangan.

METODE PENELITIAN

Metode pengkajian terhadap relevansi regenerasi SDM untuk pencapaian kedaulatan pangan menggunakan penelusuran pustaka (studi pustaka) khususnya yang terkait dengan SDM pertanian terkini. Penelusuran sumber pustaka memanfaatkan hasil peneli an terdahulu baik dari publikasi on line maupun referensi dalam bentuk buku, berkala maupun sumber ilmiah lainnya. Kajian terhadap hasil peneli an diharapkan dapat memberikan informasi terkini yang relevan dengan kondidi SDM petani.

Untuk menghasilkan analisis yang relevan, maka pengamatan terhadap data utama dilakukan terhadap hasil data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Sta s (BPS) dan data bersumber dari peneli an lainnya atau peneli an terdahulu. Peneli an terdahulu yang dimaksud adalah peneli an yang dilakukan oleh peneli maupun karya peneli lainnya. Peneli berupaya unutk melakukan proses pembandingan terhadap data dari hasil penelusuran pustaka, dan melakukan analisi untuk keperluan menjawab pertanyaan peneli an.

Selanjutnya dari hasil komparasi dan analisis data tersebut tersebut peneli melakukan review terhadap kajian-kajian yang memiliki substansi dan ruang lingkup masalah yang relevan. Berdasarkan review tersebut peneli melakukan sintesa untuk memberikan pemahaman dan pemaknaan atas informasi yang

diperoleh. Berdasarkan keseluruhan ak vitas tersebut peneli melakukan sintesa untuk melakukan pemaknaan dan menyusun implikasi maupun penarikan kesimpulan dari kajian tersebut. Sintesa memberikan gambaran terhadap informasi faktual di lapngan khususnya dalam kehidupan dan dinamika SDM pertanian.

HASIL DAN PEMBAHAANTantangan Produksi Pertanian

Kedaulatan pangan berhubungan erat dengan produk vitas pertanian. Produk fi tas pertanian memberi gambaran tentang kinerja pertanian dalam penyelenggaraan usahatani. Kinerja usahatani adalah hasil yang dicapai dalam bentuk ouput proses produksi. Produk vitas pertanian berhubungan erat secara langsung dengan dengan faktor-faktor sumberdaya. Faktor-faktor sumberdaya adalah sumberdaya alam termasuk lahan, air, iklim, sumberdaya sarana produksi dan sumberdaya manusia sebagai pelaku usahatani. Faktor-faktor sumberdaya tersebut saling berinteraksi dalam menentukan dinamika produk vitas pertanian (Muksin, 2014).

Salah satu ukuran produk vitas pertanian dapat dikaitkan dengan kondisi ketersediaan pangan nasional dan dinamika untuk memenuhi kebutuhan pangan tersebut. Kebutuhan dari pangan nasional cukuop besar dapat diama dari nilai rupiah yang dibelanjakan dari APBN untuk kebutuhan pangan tersebut. Sebagaimana hasil kajian beberapa peneli an bahwa pada tahun 2009 sekitar 5 persen dari APBN atau sekitar 50 triliun digelontorkan untuk menyediakan atau membeli enam komoditas pangan, yaitu kedelai, gandum, daging, sapi, susu dan gula, termasuk garam. Kondisi ini menunjukkan betapa besarnya ketergantungan pangan kita kepada negara lain.

Bersamaan dengan hal tersebut di banyak belahan dunia yang lain kondisi kekurangan ketersediaan pangan juga terjadi. Selain persoalan iklim yang dak menentu sebagai akibat kehidupan modern yang “ dak terkendali” dan dak ramah terhadap lingkungan, maka pesoalan pertumbuhan jumlah penduduk yang terus meningkat menjadi penyebab utama akan ketersediaan pangan yang

Page 15: DAMPAK KEBIJAKAN TARIF IMPOR BERAS TERHADAP …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/139105... · open dialogue between them will bring a dynamic relationship that

28 | EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014

terus menuruan. Data beberapa peneli an menyebutkan bahwa secara ideal angka pasokan pangan atas kebutuhan jumlah penduduk, saat ini dinilai berada pada angka ketersediaan 30-40persen dari jumlah keseluruhan. Kondisi tersebut secara factual tentu mempriha nkan dan banyak memunculkan banyak kekhawa ran.

Semakin meningkatnya permintaan pangan, sementara pasokan terhadap pangan dak sebanding mengakibatkan terjadinya kecenderungan peningkatan harga terhadap pangan. Kecenderungan harga pangan tersebut misalnya terjadi pada gandum, padi, dan jagung serta beberapa komodi lainnya khususnya komodi yang dapat digunakan sebagai bahan pangan dan bahan baku energi. Kelangkaan pangan selain factor-faktor tersebut, juga dipicu oleh “alih fungsi” beberapa komodi pertanian yang pada awalnya dimanfaatkan untuk bahan baku pangan, pada saat ini juga diupayakan sebagai bahan baku untuk menghasilkan energy.

Beberapa materi dan tanaman, seper kelapa sawit, jagung, ubi kayu, tebu, tanaman jarak, kemiri sunan dan kotoran ternak dapat diolah menjadi sumber energi. Permintaan energi fi nal masa mendatang akan naik hampir ga kali lipat tahun 2030, dan BBM masih mendominasi dengan porsi sebesar 31,1 persen. “Perebutan” peruntukan bahan baku tersebut berimbas terhadap ketersediaan pangan (Kementan, 2014).

Indonesia sampai saat ini adalah Negara pengimpor bahan pangan seper gandum, beras, dan kedelai dan beberapa komoditas lainnya. Jumlah impor tersebut memiliki konsekuensi ketergantungan Indonesia terhadap beberapa Negara untuk memenuhi kebtuhan pangan. Semakin besar jumlah kebutuhan pangan, semakin besar ketergantungan Indonesia terhadap Negara-negara penyedia pangan. Bila kondisi tersebut berlanjut maka krisis pangan akan benar-benar terjadi. Kecenderungan semakin meningkatnya impor beberapa komoditas oleh Indonesia, dinilai sebagai kondisi yang membahayakan. Indonesia dinilai sudah masuk dalam jebakan pangan (food trap) (Wibowo, 2014).

Terdapat penilaian yang dikemukakan oleh ahli sosiopoli k bahwa dinamika ketersediaan pangan bagi penyuplai dan bagi Negara-negara yang membutuhkan

dapat dijadika sebagai alat tukar. Negara-negra yang memiliki kecukupan atas pangan sangat mungkin akan dapat “mendikte” atau bahkan mengontrol terhadap Negara-negara yang membutuhkan pangan. Dalam konteks ini maka interaksi dalam perdagangan pangan dapat menjadi alat tukar poli k atas suatu kepen ngan tertentu dari suatu Negara.

Produksi pangan berasal dari proses produksi pertanian. Sementara produksi dan perdagangan yang terkait langsung dengan sarana produksi hanya dikuasai atau dikontrol oleh hanya lima Mul na onal Corpora on (MNC), sehingga petani hanya memiliki peran kecil dalam kontribusi terhadap perdagangan. Dengan demikian krisis pangan dan ancaman terhadap ketersediaan pangan disejajarkan dengan konsepsi ancaman tradisional dan non tradisional pada keamanan nasional. Krisis terhadap keberlanjutan pertanian adalah konsekuensi logis dari kondisi saat ini. Sebagaimana tela diuraikan bahwa produk vitas pertanian terus mengalami penurunan. Produk vitas yang menurun memberikan ancaman serius terhadap kedaulatan pangan. Bahkan ancaman terhadap krisis pangan dimasukkan sebagai ancaman serius terhadap ketahanan dan kemanan Negara (Bappenas, 2009).

Karakteris k Petani

Sebagaimana data Badan Pusat Sta s k (BPS) bahwa hampir 67 persen angkatan kerja menggantungkan hidupnya di sektor pertanian. Kondisi ini memberikan gambaran bahwa peran pertanian cukup ngggi. Sektor pertanian dengan demikian masih menjadi salah satu media dalam menutupi potensi pengangguran terbuka.

Apabila dilihat dari penguasaan lahan pertanian, petani memiliki lahan pertanian yang semakin menurun dari tahun ke tahun. Sebagaimana ditunjukkan dalam hasil sensus pertanian tahun 1993 menunjukkan penguasaan lahan oleh keluarga petani adalah sekitar 0,48 ha. Selanjutnya pada hasil sensus pertanian tahun 2003 penguasaan lahan pertanian oleh petani sekitar 0,3 ha per keluarga, sementara hasil sensus pertahian tahun 2013 menunjukkan penguasaan lahan yang dikelola keluarga petani sekitar 0,2 ha. Kondisi tersebut menunjukkan

EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014 | 69

CONCLUSION

From this article, we can identifi ed several signifi cant institutional arrangement elements of subjective well-being measurements, the type of measurements and the potential roles of subjective well-being measurement, and institutional capital evaluation related to subjective well-being measurement in Indonesia. In Indonesia, the subjective well-being measurement limited to one actor, intra-organizational network, and no platforms established until recently. The type of subjective well-being measurement used are the evaluative and eudaimonic approach. For the institutional capital evaluation, as can be seen in Figure 10 and Figure 11, illustrated that subjective well-being measurement in Indonesia both for monitoring progress and informing policy design contexts are categorically in the initial stage. Therefore, thorough effort must be applied to enhance the institutional capital in order to support the utilization of subjective well-being measurement for public policy.

RECOMMENDATION

A relevant and suitable institutional arrangement must be designed with taking into account the institutional capital and policy context for those countries that are initializing the national subjective well-being measurement or are in the start-up phase like Indonesia. Considering that potential roles of subjective well-being measurement can only be applied and carried out effectively and effi ciently if supported by a high level of institutional capital, enhancement of institutional capital level is required. International experiences consist of various good practices or institutional arrangement elements that can help to enhance the level of institutional capital. This is mostly for the case of the UK where they already have the platform (national debate) and the inter-organizational network (advisory forum and technical group). Establishment of an offi cial platform such as national debate and inter-organizational networks such as advisory forum and technical group are expectedly increase the level of institutional capital. For the intellectual capital component, the national debate, advisory forum, and technical advisory group

can act as knowledge resources which could be used to diffuse the knowledge and values to increase the degree of understanding of concerned stakeholders. The three elements would defi nitely improve the social and political capital component as well through higher stakeholder involvement, density of networks, access to networks, selection & identifi cation of issues, and consensus-building practices. In addition, role of key agents would be further facilitated through the existence of advisory forum and technical group.

In Indonesia, the institutional capital level for monitoring progress and informing policy design context can be improved by the establishment of the advisory forum and technical group. Keeping in mind the existing fi nancial and other capital, national debate is not considered feasible in Indonesia. The concerned stakeholders in subjective well-being measurement for monitoring progress and informing policy design, are relatively similar with stakeholders in the development of IKraR due to the same policy contexts. BAPPENAS and the Coordinating Ministry of People’s Welfare can be considered to be the most appropriate to be partners of BPS in developing the subjective well-being measurement. This is according to the status, duties, and functions of these two ministries. They should join BPS as the “advisory forum” and “technical group”. Furthermore, they should also play the role as the coordinator as practiced by Cabinet Offi ce in the UK. In the UK, Cabinet Offi ce coordinate across departments for ensuring that subjective well-being data are used effectively. The key role as data collector, BPS certainly is the right organization to play the role. Academic institutions should also play a key role to explore the knowledge and afterward can conduct related and constructive small research about this topic to be input for developing the instrument and so forth. Together with local NGOs, they can also be the stakeholder to diffuse the knowledge and values on subjective well-being to civil society. In Indonesia, there are also some signifi cant research centres such as LIPI, SEMERU, and other institution that could also conduct some research on this concept so that its measurement and the measurement results can be more applicable in Indonesia and contribute signifi cantly in improving the well-being of the people of Indonesia.

Page 16: DAMPAK KEBIJAKAN TARIF IMPOR BERAS TERHADAP …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/139105... · open dialogue between them will bring a dynamic relationship that

68 | EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014

In Indonesia, national subjective well-being is began to be measured since April 2013 through SPTK 2013. Statistics generated from SPTK 2013 were indicators of life satisfaction and happiness that planned to be analyzed based on demographic characteristics of the population, education, health, economic, housing and others. The type of measurements used are evaluative approach (life satisfaction, overall happiness, and domain satisfaction) and also eudaimonic approach (psychological/ fl ourishing, capabilities, and ‘having, loving being’ approach).

To what extent the existing and potential institutional capital supports the utilization of subjective well-being measurement to be a substantial input for public policy in Indonesia?

Literature review and document analysis argued that potential roles of subjective well-being measurement can only be applied and carried out effectively and effi ciently if supported by a high level of institutional capital. There are three types of institutional capital, which are intellectual capital, social capital and political capital (Khakee, 2002). Intellectual capital can be recognized by knowing the range of knowledge resources, degree of understanding, use and diffusion of knowledge and values, and openness to accept and learn new things. To recognize and assess social capital, there are three criteria, which are the extent of stakeholder involvement, density of network linkages, and access to networks. Meanwhile, political capital is achieved from the commitment and willingness of different parties associated with the action for thinking policy and mobilizing resources, and the agenda formation which can be assessed from the selection and identifi cation of issues, consensus-building practices, and role of key agents. However, as can be seen in Figure 1 and Figure 2, the institutional capital evaluation results illustrated that subjective well-being measurement in Indonesia both for monitoring progress and informing policy design contexts are categorically in the initial stage.

Figure-1. Institutional Capital Evaluation Results for “Monitoring Progress” Policy Context

Source: Analysis, 2013

Figure-2. Institutional Capital Evaluation Results for “Informing Policy Design” Policy Context

Source: Analysis, 2013

EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014 | 29

terjadi penurunan ditandai dengan menyempitnya lahan pertanian. Kepemilikan lahan oleh petani semakin rendah secara signifi kan.

Beberapa masalah lain yang terkait dengan sumberdaya alam dan lingkungan adalah masalah lain iklim yang dak menentu, rusak atau adanya jaringan irigasi sebagai akibat langsung dari adanya konversi lahan, kecenderungan rusaknya lahan pertanian sebagai akibat laju peningkatan pelaksanaan intensifi kasi pertanian, indikasi meningkatnya serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) sebagai akibat ke dakseimbangan ekologis (muksin, 2002), meningkatnya persaingan produk pertanian khususnya tanaman pangan dan hor kultura yang berasal dari luar negeri, dan produk vitas Sumberdaya Manusia (Wibowo, 2014). Faktor sumberdaya manusia bahkan dianggap yang paling menonjol apabila dilihat dari karakteris k petani dan potensi persaingan yang akan dihadapi oleh bangsa Indonesia.

Secara sta s k karakteris k petani Indonesia kurang menggembirakan. Masih berdasarkan hasil sensus tahun 2003 jumlah petani gurem (keluarga petani yang menguasai lahan kurang dari 0,5 ha) sekitar 31,17 juta. Jumlah tersebut menurun bila dibandingkan hasil sensus tahun 2013 sebesar 26,13 juta. Kondisi tersebut menunukkan terjadi penyusutan sebasar 5,04 juta petani guem yang umumnya adalah petani tanaman pangan atau hampir berjumlah 75 persen.

Kehilangan atau adanya jumlah petani sebanyak 5 juta orang adalah jumlah yang signifi kan apabila dikornversi sebagai sumberdaya yang menghasilkan output pangan. Semakin menurunnya jumlah petani tentu berkorelasi langsung dengan jumlah output pangan yang dihasilkan, dengan sumsi bahwa petani yang hilang tersebut adalah sebagian besar adalah petani tanaman pangan.

Berdasarkan peneli an hilangnya 5,04 juta petani tersebut diindikasikan sebagai meningkatnya jumlah petani yang kehilangan lahan. Ar nya petani gurem melepaskan kepemilikan lahan kepada orang lain. Petani gurem tersebut dimungkinkan berpindah profesi sebagai tenaga kasar dan buruh tani sebagai pekerja informal. Selain itu regenerasi petani berjalan sangat lambat.

Ar nya petani baru yang masuk menjadi petani jumlahnya sangat dak signifi kan dibanding dengan yang keluar dari profesi sebagai petani.

Selain jumlah secara kuan tas, faktor umur petani juga kurang menggembirakan. Apabila dilihat dari umur produk f, saat ini mayoritas petani adalah kelompok menjeleng usia senja yang masih bekerja. Berdasarkan SP 2013 sebagian besar petani berumur diatas 45 tahun atau 50-an tahun. Kategori umur tersebut mengindikasikan fase memasuki masa pensiun dalam pelaksanaan pekerjannya. Apabila dianggap umur produk f sampai 55 tahun, maka kelompok petani yang ada saat ini adalah kelompok yang hanya menyisakan beberapa tahun saja untuk pensiuan. Ar nya pada tahap ini, petani kurang memiliki kemampuan secara fi sik untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan usaha tani.

Pada aspek ngkat pendidikan, mayoritas petani juga memperiha nkan. Para generasi tua petani berpendidikan Sekolah dasar (SD). Petani yang berpendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) sederajat jumlahnya cukup kecil yaitu sekitar 5 persen. Tingkat pendidikan formal memiliki pengaruh langsung dalam kemampuan berpikir dan ketanggapan merespon dinamikan lingkungan usahatani dan penguasaan teknologi. Penguasaan teknologi petani digolongkan hanya mengaplikasikan teknologi tradisional. Selain itu kemampuan petani dalam menerjemahkan tantangan dinamika lingkungan saat ini juga belum memenuhi harapan yang diinginkan (Muksin, 2007).

Selain faktor tersebut, factor mo vasi para petani umumnya rendah. Indikasi dari hal tersebut adalah adanya alasan bertani. Sebagian besar alasan menjalankan usaha karena dak memiliki kemampuan lain. Para petani menganggap sebenarnya usahatani dinilai dak menguntungkan secara signifi kan (Muksin, 2007). Apabila dijumpai petani yang saat ini mengusahakan lahannya, umumnya karena dak ada yang melanjutkan pekerjaan sebagai petani. Selain itu persepsi yang nega v terhadap pertanian dikaitkan dengan belum op malnya peran penyuluhan dan kebijakan pemerintah dalam memfasilitasi peran pemuda dalam pertanian (Muksin, 2007). Sementara penyuluhan semakin kehilangan perannya karena lemahnya anggapan ngkat kepen ngannya, lemahnya dukungan poli k terhadap

Page 17: DAMPAK KEBIJAKAN TARIF IMPOR BERAS TERHADAP …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/139105... · open dialogue between them will bring a dynamic relationship that

30 | EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014

penyelenggaran penyuluhan, dan kesulitan menghitung secara kuan ta f kontribusi atau keuntungan secara ekonomis atas penyelenggaraan (Milburn et al., 2010).

Petani adalah manajer dari usahataninya. Petani adalah SDM yang dengan segala keterbatasan atau kelebihannya akan melaksanakan usaha tani. Petani sebagai pengelola adalah Sumber Daya Manusia (SDM) yang menyelenggarakan proses usaha. SDM dalam usahatani akan menentukan bagaimana produk vitas usahatani melalui kemampuan menjalankan usaha dan proses pengambilan keputusan. Kemampuan yang dimaksud adalah bagaimana petani melaksanakan teknis budidaya, pemanenan, pengelolaan pasca panen, dan pemasaran, serta kemampuan merespon dinamika lingkungan yang terkait dengan usahatani. Kemampuan merespon adalah kemampuan petani dalam menerjemahkan kebutuhan dalam menjalankan usahataninya, menyikapi dan menerjemahkan tantangan-tantangan termasuk ancaman-ancaman terhadap usaha taninya. Kemampuan petani akan mengarahkan petani dalam menjalankan usahataninya secara efi sien dan efek f dalam mencapai tujuan.

Secara faktual ngkat kemampuan kemampuan petani yang menopang produk vitas usahatani masih dinilai rendah. Indikator lemahnya kemampuan petani antara lain jumlah petani yang semakin berkurang. Indikator lainnya adalah melemahnya kemampuan fi sik dan non fi sik yang terkait langsung dengan umur petani, dan melemahnya mo vasi petani dalam menjalankan usaha tani (Muksin, 2014).

Kesimpulan dan Implikasi

Kemampuan menghasilkan produk pertanian dipengaruhi oleh luas lahan, mutu lahan, dinamika lingkungan dan iklim, input teknologi dan jumlah maupun mutu dari SDM petani. Apabila lahan dan dinamika iklim adalah sesuatu yang memerlukan kebijakan eksternal dan kolabora f seluruh pelaku pertanian di dunia, maka SDM petani dalam konteks ini akan lebih banyak bertumpu pada kemampuan petani dan kebjujakan internal dari Negara masing-masing. Ke dakmampuan SDM petani atau rendahnya SDM petani dari suatu Negara, dak akan

lantas merugikan Negara bersangkutan, akan tetapi lebih banyak kepada Negara tersebut.

Berdasarkan uraian sebelumnya bahwa produk vitas SDM petani yang menurun berkaitan dengan jumlahnya, umur, kemampuan, dan mo vasi melaksanakan usaha. Kondisi produk vitas petani yang menurun, mengindikasikan adanya kebutuhan regenerasi dari pelaku usahatani. Apabila kondisi rendahnya SDM tak tergan kan, maka krisis pangan dan kedaulatan bangsa ini tentu dipertaruhkan.

Regenerasi akan diharapkan memebrikan “energi’ baru baik yang bersifat fi sik maupun non fi sik. Bersifat fi sik terkait dengan kebutuhan umur produk f yang secara jasmaniah mampu menopang kerja-kerja fi sik dalam usahatani. Bersifat non fi sik terkait dengan kemampuan belajar untuk selanjutnya melakukan adopsi inovasi dalam menjalankan usaha tani. Kemampuan belajar terus-menerus dan penguasaan terhadap teknologi khususnya dalam pemanfaatan teknologi informasi akan berdampak posi f bagai peningkatan daya saing petani.

Regenerasi adalah pergan an SDM baik dalam makna sebagai pelaku pertanian maupun sebagai pergan an paradigma berpikir tentang pertanian. Regenerasi adalah pergan an pelaku usahatani yang memiliki kemampuan memadai dalam menjalankan usahatani untuk merespon dinamika lingkungan. Pergan an dan keberlanjutan generasi dalam melanjutkan usahatani, bermakna melanjutkan kon nyuitas proses produksi pertanian dan menjaga kesinambungan ketersediaan pangan, serta keberlanjutan pertanian dalam jangka panjang. Dengan potensi yang besar pada SDM pemuda, maka adanya permasalahan usahatani di Indonesia amat mungkin diatasi.

Pergan an paradigma berpikir adalah konsekuensi logis yang diharapkan terbentuk bagi penggan pelaku dalam usahatani dalam memandang usahatani. Pergan an paradigma dalam hal ini termasuk cara memandang usahatani, pemanfaatan teknologi, pemasaran hasil pertanian, amupun pengorganisasian usahatani. Perubahan paradigma diharapkan dapat memberikan kekuatan baru bagi bangsa ini untuk menciptakan dan menguatkan daya saing pertanian di kancah internasional.

EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014 | 67

societal progress measurement is proved to be needed in every country, including in Indonesia, in order to support their citizens to achieve a prosperous life. In informing policy design, the drivers of community’s well-being can be clearly understood by using subjective well-being measurement (Hicks, Tinkler, & Allin, 2013). It is signifi cantly required especially in the populations which highly affected by domains of policy which have a non-market consequence. Local government can formulate policies according to the needs of the people of their specifi c region if the sample of subjective well-being measurement is able to provide data on a local level as it is large enough. In policy appraisal, the role of subjective well-being is substantial in making decisions on which government spending would bring highest increase in the subjective well-being in respect to their cost (Fujiwara & Campbell, 2011).

What are the institutional arrangements of subjective well-being measurements in the UK and in Indonesia?

Some signifi cant institutional arrangement elements can be seen in Table-1.

Table-1. Institutional Arrangement Elements of Subjective Well-being Measurements in the UK and in Indonesia

Elements the UK Indonesia

Actors Multi actors Single actor

Role of key agents Clear, multi agents

Clear but limited to one agent

PlatformsNational Debate (online and offl ine platforms) None

Networks

Intra-organizational and inter-organizational (Advisory Forum, Technical Group, the Social Impact Task Force) Intra-organizational

Regulations

Terms of Reference: National Debate, Advisory Forum, & Technical Group None

Type of measurements

Evaluative, experience, and eudaimonic

Evaluative and eudaimonic

Source: Analysis, 2013

As pointed out by Esti, Woltjer, and Hasanov (2013), attention to institutional arrangement/design is required, especially in evaluation activities. However, it was observed that Indonesia has yet not been able

to incorporate several good practices or institutional arrangement elements that are already present in the UK. These elements are stated in Table 1 and include the inter-organizational networks (advisory forum and technical group), key agents and their specifi c roles (ONS and Cabinet Offi ce); platform (national debate) and regulations that control the actors’ role and are highly correlated with actors involvement. The key areas which matter the most to the people can be identifi es with the help of the national debate. It is also able to make sure that measurements being used by the statistical offi ce are relevant to the wider public rather than just being limited to the government. The advisory forum and technical group consist of policy makers, business leaders, and a range of experts including from the OECD, Eurostat, other government departments, think tanks, academics, and related market research experts. They are required to choose, identify and analyze the subjective well-being measurement related issues along with presenting the statistical offi ce with recommendations to enhance the situation (ONS, 2010). In addition, there is also the Social Impacts Task Force which comprises of analysts from across government and has been sharing subjective well-being analysis results and approaches mainly in the policy appraisal context (Fujiwara & Campbell, 2011).

All of the three types of subjective well-being approach already being applied in the UK through several surveys. However, most of them are vulnerable to small sample sizes and it is not clear which have committed to continue asking subjective well-being questions in the future. Recognizing this limitations of existing data on subjective well-being in the UK and in response to Stiglitz recommendation, since 2011 the ONS made an approach to refl ect different aspects of subjective well-being through the IHS and complemented by the OPN as part of the Measuring National Well-being Program. There are four overall monitoring questions that were included in the IHS which using all of the three approach (evaluative, experience, and eudaimonic approach). The overall monitoring questions were asked each month in the OPN as well. In addition, some additional questions drawing from the evaluative or experience or eudaimonic approach were asked in OPN monthly survey (ONS, 2011).

Page 18: DAMPAK KEBIJAKAN TARIF IMPOR BERAS TERHADAP …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/139105... · open dialogue between them will bring a dynamic relationship that

66 | EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014

(2012) who offered a concept of well-being based on pleasure and pain; it also provided the background of utilitarianism. In general, subjective well-being measurement is carried out by simply asking people about their well-being. As such, it bends more toward democratic aspect of preference satisfaction, as it lets people choose the level of well-being in their lives, without anyone else deciding for them (Graham, 2010).

Encyclopedia of Quality of Life Research described the subjective well-being as “The personal perception and experience of positive and negative emotional responses and global and specifi c cognitive evaluations of satisfaction with life. Simply, subjective well-being is the individual evaluation of quality of life (QOL)” (Abdallah & Mahony, 2012). Similarly, the OECD Guidelines explain subjective well-being as “all of the various evaluations, positive and negative, that people make of their lives and the affective reactions of people to their experiences” (OECD, 2013). McGillivray (2007), likewise, informs that “subjective well-being involves a multidimensional evaluation of life, including cognitive judgments of life satisfaction and affective evaluations of emotions and moods.” Put simply, subjective well-being can be taken as the way people comprehend their lives to be going (Abdallah & Mahony, 2012).

Undoubtedly, the importance of the need to measure subjective well-being cannot be denied. Subjective well-being actually has a wide infl uence across a broad range of behavioural traits and life outcomes, as indicated by existing scientifi c evidence. The most preeminent fact is that it is extremely signifi cant that the economic measurements of societal progress are balanced with measurements of subjective well-being. The reason behind this is to ensure that economic prosperity leads to huge improvements across various domains of life, and not just a wider economic capability. A call to ‘shift emphasis from measuring economic production to measuring people’s well-being’ was a central message of the Stiglitz Commission report (Stiglitz et al., 2010). Actually, the government can determine if the overall net progress is positive regarding the improvement of human well-being through the assessment of subjective well-being along with economic variables (Helliwell et al., 2013).

How can subjective well-being measurement be a substantial input for public policy?

Findings from literature review confi rmed that there are three major approaches, evaluative approach, hedonic/experience approach, and eudaimonic approach which facilitate subjective well-being measurement as a useful input for public policy. There are three policy contexts also present in this regard which are monitoring progress, informing policy design, and policy appraisal (Dolan, Layard, & Metcalfe, 2011). Evaluative approach asks individuals to step back and refl ect on their life and make a cognitive assessment of how their life is going overall, or on certain aspects of their life. Four major types of evaluative approaches that focus on subjective well-being in present-day practices are life satisfaction & satisfaction scales, ladder of life approach, overall happiness, and domain satisfaction. Hedonic/experience approach seeks to measure people’s positive and negative experiences over a short timeframe to capture people’s well-being on a day-to-day basis through two major approach, which are “experience sampling and day reconstruction” and affect measurements. Eudaimonic approach draws on self-determination theory and tends to measure such things as people’s sense of meaning and purpose in life, connections with family and friends, a sense of control and whether they feel part of something bigger than themselves. Three main types of this approach are psychological/fl ourishing, capabilities approach, and having, loving, being approach (Abdallah & Mahony, 2012).

Interview, questionnaire, and document analysis confi rmed as well that subjective well-being measurement has potential roles for each policy context used in the framework of the research. In monitoring progress context, the role of subjective well-being measurement is to complement rather than to replace existing objective measurement of well-being. Subjective well-being measurement should be done, published, and placed alongside objective well-being measurement in order to provide fuller picture of progress in a country. Some policy-makers asserted that cross-regional comparisons using subjective well-being measurement will be important when they are related to evaluation of regional development in Indonesia. A comprehensive

EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014 | 31

Regenerasi menjadi kebutuhan untuk memfasilitasi produk vitas SDM pelaku usahatani. SDM usahatani yang dak memiliki daya saing atau kompetensi dalam mengupayakan usahatani dan agribisnis pada hakekatnya adalah ancaman seja terhadap kedaulatan pangan. Perlu upaya serius dalam menata dan membuat roadmaph regenerasi SDM petani dan kemampuan memproduksi pangan. Kedaulatan pangan menjadi terminology fi nal untuk memberdayakan Indonesia sebagai bangsa. Kondisi tersebut memberikan alasan logis keperluan regenerasi pertanian. Regenerasi pelaku usaha tani adalah keberlanjutan usahatani untuk menyediakan pangan bagi bangsa. Bangsa yang dak dapat menyediakan pangan, adalah bangsa yang lemah. Regenerasi menjadi kewajiban bersama untuk merespon kondisi kebutuhan pangan dalam negeri, dan merespon persaingan di lingkungan global.

Mewujudkan upaya regenerasi yang tepat, menjadi keharusan semua pihak. Pihak-pihak dimaksud adalah pemerintah, swasta, maupun masyarakat. Ke ga komponen bangsa ini seharusnya melakukan upaya sistema s untuk memfasilitasi terintegrasinya rencana, implementasi, dan evaluasi dalam memberdayakan SDM pertanian khususnya pola regenerasi yang dikembangkan. Kebutuhan mendesak terhadap regenerasi, kebutuhan terhadap peningkatan kompetensi petani berikutnya seharusnya sudah menjadi salahsatu blueprint yang diketahui oleh semua pihak atau komponen bangsa.

DAFTAR PUSTAKABappenas, 2009. Grand Strategi Keamanan Nasional. Bppenas, Jakarta.

BPS. 2003a. Sta s k Pemuda Indonesia 2003. BPS, Jakarta

____. 2003b. Sensus Pertanian 2003 Angka Nasional hasil Penda aran Rumah Tangga (Angka Sementara). BPS, Jakarta.

____. 2003c. Sensus Pertanian 2003 Hasil Penda aran Rumah Tangga Propinsi Jawa Timur. BPS, Jakarta.

Luckey, AN., TP. Murphrey, RL. Cummins. 2013. Assessing Youth Percep ons and Knowledge of Agriculture: The Impact of Par cipa ng in an AgVenture Program. Journal of Exten on (JoE). Volume 51, Number 3: 2. Diakses pada 2 Maret 2014) dari www.joe.org

Milburn, LS., SJ. Mulley, and C. Kline, 2010. The End of the Beginning and the Beginning of the End: The Decline of Public Agricultural Extension in Ontario. Journal of Exten on (JoE). Volume 48, Number 6: 5-6. (Diakses pada 2 Maret 2014) dari www.joe.org

Muksin. 2007. Kompetensi Pemuda Tani yang Perlu dikembangkan di Jawa Timur. IPB, Bogor, Hal 154-161.

.2014. Implikasi Minat Dan Kompetensi Agribisnis Pemuda Pedesaan Terhadap Kedaulatan Pangan. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional UNS, 24 April 2014.

Rosset P., 2011. Food Sovereignty and Alterna ve Paradigms to Confront Land Grabbing and the Food and Climate Crises. Development. Volume 54, Number 1: 21-30. (Diakses pada 7 Maret 2014) dari www.search.proquest.com

Suswono. 2014. Kebijakan Pembangunan Pertanian Untuk Mewujudkan Kedaulatan Pangan dan Energi dalam Menyongsong Era Asia. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional UNS, 24 April 2014

Wibowo, R., 2014. Masalah Tantangan Indonesia dalam Meningkatkan Ketahanan Pangan. Seminar Nasional Ketahanan Pangan (15 Maret 2014). Polije, Jember, Hal 5-6.