-
1
Parallel Session IA : Fiscal Decentralization 12 Desember 2007,
Jam 13.15-14.45 Wisma Makara, Kampus UI Depok
DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI
DAN
KETIMPANGAN PENDAPATAN ANTARDAERAH DI INDONESIA
Joko Waluyo Fakultas Ekonomi Universitas Pembangunan Nasional
Veteran Yogyakarta
Abstrak
Ruang lingkup penelitian ini adalah studi tentang pertumbuhan
ekonomi dan ketimpangan
pendapatan antar propinsi, dan kawasan sejak diberlakunya
otonomi daerah di Indonesia (tahun 2001 -2005). Tujuan penelitian
ini adalah untuk menganalisis dampak desentralisasi fiskal terhadap
pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan antardaerah. Metode
penelitian yang digunakan adalah model ekonometrika persamaan
simultan dengan menggunakan data panel antar propinsi. Ketimpangan
pendapatan antardaerah didekati dengan menggunakan indeks
tertimbang Williamson. Asumsi utama yang digunakan dalam model
penelitian adalah tidak ada keterkaitan antar daerah (tak ada
migrasi penduduk antardaerah, pergerakan modal dan barang antar
daerah). Teknik estimasi yang digunakan adalah Two Stage Least
Square (TSLS.) Evaluasi terhadap kualitas model dilakukan dengan
menggunakan RMSE, MAE, MAPE, dan TIC. Data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah data atas dasar harga konstan tahun 2003 dan
berupa data level pada tingkat propinsi. Sumber data utama berasal
dari publikasi Biro Pusat Statistik (BPS), Bank Indonesia, dan
Departemen Keuangan.
Hasil yang didapat menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal
berdampak meningkatkan pertumbuhan ekonomi relatif lebih tinggi di
daerah pusat bisnis dan daerah yang kaya sumber daya alam daripada
daerah bukan pusat bisnis dan miskin sumber daya alam. Mekanisme
transfer dana PKPD selama ini (UU No. 33 tahun 2000) lebih
menguntungkan bagi daerah yang kaya sumber daya alam melalui
mekanisme bagi hasil SDA. Alokasi dana bagi hasil SDA untuk
investasi sektor kunci dalam perekonomian akan meningkatkan
pertumbuhan ekonomi daerah. Mekanisme DBHP lebih menguntungkan
daerah kota yang merupakan pusat bisnis dan industri, karena basis
pajak daerahnya lebih tinggi. Sedangkan daerah-daerah yang miskin
SDA dan bukan pusat bisnis dan industri mengandalkan penerimaan
daerahnya dari DAU, dan DAK. Di samping itu desentralisasi fiskal
akan berdampak mengurangi ketimpangan pendapatan antardaerah
terutama antara daerah-daerah di Pulau Jawa dengan Luar Pulau Jawa
dan Antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dengan Kawasan Timur
Indonesia (KTI). Hal ini disebabkan oleh mekanisme equalizing
transfer melalui dana PKPD akan mengurangi pembangunan yang
bersifat jawa sentris. Tidak banyaknya SDA (Minyak, gas, dan
kehutanan) yang terdapat di Pulau Jawa berdampak terhadap
penerimaan dana bagi hasil SDA Pulau Jawa relatif lebih kecil
daripada daerah kaya SDA di luar Pulau Jawa. Walaupun diimbangi
dengan lebih baiknya penerimaan dana bagi hasil pajak dan adanya
DAU, dan DAK.
Kata Kunci : Desentralisasi Fiskal, Otonomi Daerah, Pertumbuhan
Ekonomi, dan
Ketimpangan pendapatan antardaerah. JEL : H77, R11, R12
-
2
Latar Belakang Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal bukan
konsep baru di Indonesia, sudah diatur dalam UU
RI No. 5 tahun 1975 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah.
Dalam prakteknya kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal
selama pemerintahan orde baru belum dapat mengurangi ketimpangan
vertikal dan horisontal, yang ditunjukkan dengan tingginya derajat
sentralisasi fiskal dan besarnya ketimpangan antardaerah dan
wilayah (Uppal dan Suparmoko, 1986; Sjahfrizal, 1997). Praktek
internasional desentralisasi fiskal baru dijalankan pada 1 Januari
2001 berdasarkan UU RI No. 25 tahun 1999 yang disempurnakan dengan
UU RI No. 33 tahun 2000 tentang perimbangan keuangan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Prinsip dasar pelaksanaan
desentralisasi fiskal di Indonesia ialah Money Follows Functions,
yaitu fungsi pokok pelayanan publik didaerahkan, dengan dukungan
pembiayaan pusat melalui penyerahan sumber-sumber penerimaan kepada
daerah.
Berdasarkan pasal 5 UU No. 33 tahun 2000 sumber-sumber
penerimaan daerah adalah pendapatan daerah dan pembiayaan.
Pendapatan daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana
perimbangan dan lain-lain pendapatan. Dana Perimbangan keuangan
Pusat-Daerah (PKPD) merupakan mekanisme transfer pemerintah
pusat-daerah terdiri dari Dana Bagi Hasil Pajak dan Sumber Daya
Alam (DBHP dan SDA), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi
Khusus (DAK). Dana pembiayaan daerah berasal dari Sisa Lebih
Anggaran daerah (SAL), pinjaman daerah, dana cadangan daerah dan
privatisasi kekayaan daerah yang dipisahkan. Besarnya PAD dan
pembiayaan daerah dapat diklasifikasikan sebagai dana non PKPD,
karena berasal dari pengelolaan fiskal daerah. Khusus pinjaman
daerah pemerintah pusat masih khawatir dengan kondisi utang negara,
sehingga belum mengijinkan penerbitan utang daerah.
Idealnya semua pengeluaran pemerintah daerah dapat dicukupi
dengan menggunakan PAD-nya, sehingga daerah menjadi benar-benar
otonom. Selama tahun 2001 2003 peranan PAD terhadap pengeluaran
rutin dan total pengeluaran APBD semakin menurun. Menurunnya
peranan PAD terhadap pengeluaran rutin dan pengeluaran total dalam
APBD mengindikasikan bahwa terjadi peningkatan peranan mekanisme
transfer dari pemerintah pusat melalui dana perimbangan (Mahi,
2005). Tujuan utama pemberian dana perimbangan dalam kerangka
otonomi daerah untuk pemerataan kemampuan fiskal pada tiap daerah
(equalizing transfer) (Ehtisham, 2002). Secara umum dana PKPD
terdiri dari bantuan umum (block grant) dan bantuan khusus
(spesific grant) (Davey, 1998). Penggunaan DAU, DBHP dan DBH SDA
(block grants) diserahkan pada kebijakan masing-masing daerah. Pada
awal penerapannya DAU banyak dimanfaatkan untuk membiayai
pengeluaran rutin terutama untuk belanja pegawai sebagai dampak
pengalihan status pegawai pusat menjadi pegawai pemda (Isdijoso,
dan Wibowo, 2002). Sedangkan penggunaan DAK (spesific grants) telah
ditentukan oleh pemerintah pusat dengan kewajiban daerah penerima
harus menyediakan 10% dana pendamping.
Kebijakan Dana Alokasi Umum (DAU) mempunyai tujuan utama untuk
memperkuat kondisi fiskal daerah dan mengurangi ketimpangan antar
daerah (horizontal imbalance). Melalui kebijakan bagi hasil SDA
diharapkan masyarakat daerah dapat merasakan hasil dari sumber daya
alam yang dimilikinya. Hal ini karena selama pemerintahan orde baru
hasil SDA lebih banyak dinikmati oleh pemerintah pusat (Devas,
1989). Mekanisme bagi hasil SDA dan pajak bertujuan untuk
mengurangi ketimpangan vertikal (vertical imbalance) pusat-daerah.
Walaupun Indonesia terkenal sebagai daerah yang kaya akan SDA
tetapi persebarannya tidak merata di seluruh daerah. Daerah kaya
SDA misalnya Riau, Kalimantan Timur, Aceh, dan Irian Jaya akan
mendapatkan dana bagi hasil yang relatif lebih besar jika
dibandingkan dengan daerah lain yang miskin sumber daya alam. Pada
sisi yang lain Jakarta dan kota besar lainnya akan memperoleh dana
bagi hasil pajak (PBB, BPHTB, dan PPh) yang cukup besar, sebagai
konsekuensi terkonsentrasinya pusat bisnis di kota metropolitan.
Phenomena seperti ini akan berdampak terhadap meningkatnya
ketimpangan fiskal antar daerah, yang pada akhirnya melalui
kebijakan ekspansi pengeluaran pemerintah daerah dapat meningkatkan
ketimpangan pendapatan antardaerah dan wilayah.
-
3
Dana Alokasi Khusus (DAK) bertujuan untuk membantu mendanai
kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan
prioritas nasional. Di samping itu tujuan pemberian DAK adalah
untuk mengurangi inter-jurisdictional spillovers, dan meningkatkan
penyediaan barang publik di daerah (Mahi, 2002 (c)). Dalam
perspektif peningkatan pemerataan pendapatan maka peranan DAK
sangat penting untuk mempercepat konvergensi antar daerah, karena
dana diberikan sesuai dengan prioritas nasional, misalnya DAK untuk
bantuan keluarga miskin. Dalam jangka panjang dana dekonsentrasi
dan dana tugas pembantuan yang merupakan bagian dari anggaran
kementerian negara/lembaga yang digunakan untuk melaksanakan urusan
yang menurut peraturan perundang-undangan menjadi urusan daerah
akan dialihkan menjadi DAK (Pasal 107 UU No. 33 tahun 2000).
Meningkatnya penerimaan daerah melalui pemberian dana PKPD dan
pengumpulan dana non PKPD pada satu sisi akan meningkatkan
pertumbuhan ekonomi, tetapi pada sisi yang lain dapat memperburuk
ketimpangan antardaerah. Peningkatan penerimaan daerah akan
memberikan keleluasaan untuk mendesain kebijakan yang dapat
memberikan stimulus pada pertumbuhan ekonomi. Alokasi anggaran
daerah untuk investasi akan meningkatkan kapital stok daerah dan
memperluas kesempatan kerja, sehingga akan meningkatkan kapasitas
ekonomi daerah yang pada akhirnya akan meningkatkan pertumbuhan
ekonomi. Peningkatan pertumbuhan ekonomi berdampak terhadap
konsumsi dan tabungan (investasi) masyarakat sehingga akan
memperbesar basis pajak daerah. Dampak selanjutnya yaitu terjadi
peningkatan penerimaan pajak dan retribusi daerah, sehingga
penerimaan daerah akan meningkat. Pada sisi yang lain kondisi
endowment factors setiap daerah yang berbeda berdampak terhadap
akselerasi pertumbuhan ekonomi daerah, dan berpotensi memperparah
ketimpangan antardaerah dan wilayah. Terjadinya migrasi tenaga
kerja dan pergerakan modal ke daerah core, serta tidak berjalannya
mekanisme trickle down effect akan berdampak meningkatkan
ketimpangan antardaerah (Myrdal, 1957, dan Hirchman, 1958).
Hubungan antara pertumbuhan ekonomi, ketimpangan pendapatan,
investasi, konsumsi, dan mekanisme transfer dana PKPD dan non PKPD
terjadi dalam hubungan simultan (Dartanto, dan Brodjonegoro, 2005).
Permasalahan ini merupakan topik utama yang akan di bahas dalam
penelitian ini.
Keberhasilan pencapaian tujuan otonomi daerah dan desentralisasi
fiskal untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mengurangi
ketimpangan antardaerah sangat dipengaruhi oleh kondisi ekonomi
makro daerah. Mengingat pentingnya pertumbuhan ekonomi daerah dan
permasalahan ketimpangan antardaerah maka penyusun mengajukan judul
penelitian sebagai berikut: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap
Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Pendapatan Antardaerah di
Indonesia Tahun 2000 2005. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka pertanyaan yang menarik
untuk diajukan dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimanakah dampak
desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di
Indonesia
selama tahun 2000 2005 ? 2. Bagaimanakah dampak desentralisasi
fiskal terhadap ketimpangan pendapatan antardaerah di
Indonesia selama tahun 2000 - 2005 ? Tinjauan Pustaka
Desentralisasi fiskal adalah suatu proses distribusi anggaran
dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan
yang lebih rendah untuk mendukung fungsi atau tugas pemerintahan
yang dilimpahkan. Desentralisasi fiskal merupakan konsekuensi logis
dari diterapkan kebijakan otonomi daerah. Prinsip dasar yang harus
diperhatikan adalah money follow functions, artinya penyerahan atau
pelimpahan wewenang pemerintah membawa konsekuensi anggaran yang
diperlukan untuk
-
4
melaksanakan kewenangan tersebut. Perimbangan keuangan dilakukan
melalui mekanisme dana perimbangan, yaitu pembagian penerimaan
antar tingkatan pemerintahan guna menjalankan fungsi-fungsi
pemerintahan dalam kerangka desentralisasi. Masalah keseimbangan
anggaran menjadi masalah serius karena banyak pemerintah pusat
tidak mengijinkan pemerintah daerah untuk melakukan utang kepada
publik.
Dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal dapat menggunakan
pendekatan expenditure assignment dan revenue assigment. Pendekatan
expenditure assigment menyatakan bahwa terjadi perubahan tanggung
jawab pelayanan publik dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah,
sehingga peran local public goods meningkat. Kebijakan ini dapat
dilakukan melalui dua tahap: Pertama; Menentukan secara umum
batasan urusan pemerintah pusat dan daerah. Kedua; Membagi secara
tegas urusan pemerintah pusat dan pemerintah daerah secara spesifik
untuk urusan yang bersifat grey area. Pendekatan ini mensyaratkan
penentuan Standar Pelayanan Minimum (SPM) setiap urusan yang
dilimpahkan ke pemerintah daerah sudah terindentifikasi, sehingga
besarnya standar pengeluaran minimum (Standard Spending Assesement
= SSA) untuk setiap penyediaan barang publik yang didaerahkan dapat
diketahui.
Ciri utama pendekatan revenue assigment yaitu memberikan
peningkatan kemampuan keuangan, melalui alih sumber pembiayaan
pusat kepada daerah, dalam rangka membiayai fungsi yang
didesentralisasikan (Mahi, 2002 (c); Lewis, 2001 dan 2003, LPEM
FE-UI, 2001). Penentuan sumber-sumber pembiayaan ke daerah dapat
dilakukan dengan berpegangan pada tax assigment. Lima prinsip utama
dalam menjalankan tax assigment dapat diuraikan sebagai berikut:
Satu; Progressive redistributive taxes should be centralize, pajak
untuk kepentingan redistribusi pendapatan menjadi tanggung jawab
pemerintah pusat Dua: Taxes suitable for economic stabilization
should be centralized, pajak untuk kepentingan stabilisasi
perekonomian sebaiknya dipungut oleh pemerintah pusat. Tiga;
Unequal tax bases among jurisdictions should be centralized.
Misalnya pembebanan pajak terhadap deposit sumber daya alam menjadi
tanggungjawab pemerintah pusat untuk menghindari geographical
inequities dan menjaga allocative distortions. Empat;Taxes on
mobile factors of production should be centralized. Objek pajak
yang relatif tidak bergerak akan menjadi tanggungjawab pemerintah
daerah. Artinya bahwa pemerintah pada level yang lebih rendah akan
menghindari objek pajak yang mudah berpindah, karena pajak tersebut
dapat mendistrosi aktivitas perekonomian. Lima; Residence-based
taxes, such as excise, should be levied by local authorities. Hal
ini dimungkinkan karena tidak ada potensi perpindahan antar daerah
(musgrave, 1983, Mahi, 2002 (c), dan 2005).
Tinjauan Penelitian Terdahulu
Gunar Myrdal (1957) mengemukakan bahwa besarnya backwash effect
yang lebih besar daripada spread effect akan menyebabkan
ketimpangan antardaerah. Backwash effect disebabkan oleh adanya
migrasi tenaga kerja dan modal dari daerah miskin ke daerah kaya.
Sedangkan spread effect disebabkan oleh meningkatnya market share
dari produk pertanian dan akan merangsang ke arah kemajuan teknik.
Pendapat Myrdal didukung oleh Hirchman (1968) bahwa terjadinya
trickle down effect dari daerah core ke daerah peryphery yang lebih
kecil daripada polarization effect akan menyebabkan semakin
tingginya ketimpangan pendapatan antaradaerah.
Penelitian L. Jay Helms (1985) dengan menggunakan data panel
lintas negara menunjukkan bahwa kenaikan pajak pusat dan pajak
daerah berdampak memperlambat pertumbuhan ekonomi daerah, jika
penerimaan pajak digunakan sebagai dana perimbangan pusat-daerah.
Hasil penelitian ini juga mengindikasikan bahwa pemanfaatan dana
perimbangan untuk penyediaan barang publik akan berdampak terhadap
kualitas barang publik lokal. Kesimpulan yang didapat menunjukkan
bahwa pemberian insentif dana perimbangan berdasarkan pengeluaran
lebih baik daripada berdasarkan penerimaan pajak. Penelitian
Jutting et all (2004) dengan menggunakan data lintas negara
menunjukkan bahwa hubungan antara desentalisasi fiskal dengan
pemberantasan kemiskinan bersifat umbigous. Pada beberapa negara
miskin kualitas institusi dan adanya konflik politik
menyebabkan
-
5
kebijakan pemberantasan kemiskinan tidak mencapai sasaran.
Dampak kemiskinan terhadap desentralisasi tergantung oleh kualitas
infrastruktur sebuah negara, hal ini berdampak terhadap kapasitas
dan kemampuan pengambil kebijakan untuk mencurahkan perhatian
terhadap pemberantasan kemiskinan.
Penelitian tentang ketimpangan wilayah di Indonesia diawali oleh
Hendra Esmara (1975), Islam dan Khan (1986), dan Nasjid Majidi
(1997). Dengan menggunakan data PDRB riil dikemukakan bahwa selama
periode 1968-1997 indeks ketimpangan pendapatan antardaerah semakin
meningkat. DKI Jakarta, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat,
Kalimantan Tengah, Bali, dan Riau merupakan propinsi yang paling
makmur, sedangkan propinsi terparah yaitu: Nusa Tenggara Timur dan
Barat, bengkulu dan Jambi. Secara umum propinsi-propinsi di daerah
timur Indonesia menempati posisi rendah. Penelitian Sjafrizal
(1997) dan Welly dan Waluyo (2000) dengan menggunakan data PDRB
tanpa migas antara tahun 1983 1997 menunjukkan indeks ketimpangan
bergerak dari 0,49 0,54. Indeks ketimpangan Indonesia jika
dibandingkan dengan kelompok negara maju (0,49 - 0,54) dan
berpendapatan menengah (0,46) akan berada di atas rata-rata.
Penelitian Firdausy et all (2002) menunjukkan bahwa
sumber-sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat banya termasuk
modal, tenaga kerja, dan peranan dari institusi dalam proses
pembangunan ekonomi. Penelitian Yose Rizal Damuri dan Ari A Perdana
(2003) Dengan menggunakan model keseimbangan umum terapan WAYANG
menunjukkan bahwa ekspansi fiskal akan berdampak terhadap
pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan. Dampak yang terasa sangat besar
terhadap penyediaan kesehatan di sektor masyarakat miskin di
perkotaan dan masyarakat bukan akan angkatan kerja di desa. Achsani
(2003) menunjukkan ketimpangan ekonomi antar wilayah yang sangat
tajam. Jawa-Bali yang hanya mencakup 7,2% wilayah Indonesia,
ternyata dihuni oleh 64% penduduk dan menyumbang sekitar 60% ke
dalam PDB Indonesia. Sebaliknya, Papua misalnya, mencakup luasan
sebesar 22% wilayah Indonesia, tetapi hanya dihuni oleh 0,8%
penduduk dan menyumbang sekitar 2,1 persen PDB Indonesia. Terjadi
ketimpangan ekonomi antar sektor yang juga luar biasa besar. Data
BPS tahun 1998 menunjukkan bahwa sektor pertanian hanya memiliki
kontribusi sebesar 19% dari total PDB, akan tetapi masih menyerap
sekitar 45% tenaga kerja. Sektor lainnya, Industri misalnya, yang
menyumbang hampir 25% PDB, hanya mampu menyerap 11% tenaga
kerja.
Dari sisi otoritas moneter, terjadinya mekanisme transfer
keuangan pusat-daerah berpotensi menimbulkan permasalahan dalam
operasi pengendalian moneter. Terjadinya desentralisasi fiskal
berpotensi menimbulkan resiko perubahan perilaku pengendalian
fiskal di daerah-daerah. Jika pemerintah daerah mengalokasikan
dananya untuk memperkuat fondasi perekonomian daerah maka akan
berdampak positip terhadap pertumbuhan ekonomi. Tetapi jika dana
transfer tersebut dialokasikan untuk kegiatan-kegiatan yang tidak
produktif, spekulatif dan konsumtif yang dapat menimbulkan iddle
money maka akan berdampak terhadap pengendalian moneter (terutama
tentang jumlah uang beredar) (Ismal; 2002). Hasil ini mendukung
temuan sebelumnya di China bahwa desentralisasi ekonomi akan
meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tetapi bersifat inflationary
(Brandt dan Zhu, 2000).
Penelitian Takahiro Akita (2003) menggunakan data PDB per-kapita
China dan Indonesia dengan teknik two stage nested Theil inequality
decomposition. Menghasilkan kesimpulan sebagai berikut: Satu; Dalam
pandangan efisiensi, ketimpangan pendapatan antardaerah disebabkan
oleh ketidakmerataan distribusi sumber daya alam dan rendahnya
kualitas transportasi dibeberapa daerah. Dua; Di China 60% wilayah
dalam propinsi menunjukkan ketimpangan pendapatan yang tinggi,
sedangkan di Indonesia setengahnya mengalami ketimpangan.
Penelitian Brodjonegoro (2001), LPEM FE UI (2001), dan Dartanto
dan Brodjonegoro (2004) dengan menggunakan model ekonometrika
persamaan simultan menunjukkan bahwa secara umum kebijakan
desentralisasi fiskal di Indonesia belum mampu mengurangi
ketimpangan antardaerah. Pada sisi yang lain kebijakan
desentralisasi fiskal berdampak mengurangi ketimpangan antara
Kawasan Timur (KTI) dan Kawasan Barat Indonesia (KBI). Hal ini
ditunjukkan dengan pertumbuhan ekonomi KTI
-
6
yang tinggi dan berada di atas rata-rata nasional. Sedangkan
pulau Jawa dan Bali merupakan daerah yang pertumbuhan ekonominya
paling rendah.
Penelitian Mahroji, (2005) menunjukkan bahwa masih terjadinya
ketimpangan vertikal antara pemerintah pusat, pemerintah daerah
propinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota di Indonesia pada
tahun 2001, yang disebabkan adanya kelebihan dana penerimaan di
pemerintah pusat. Penelitian ini juga menyarankan bahwa bagi hasil
PPh sebaiknya diganti dengan bagi hasil PPN ditambah kelebihan
potensi penerimaan pemerintah pusat berdasarkan konsumsi masyarakat
daerah. Kesimpulan berdasarkan hasil simulasi yang menunjukkan
bahwa mekanisme bagi hasil PPh menghasilkan indeks Williamson dan
koefisien variasi yang paling kecil. Model Penelitian
Rumusan masalah akan didekati dengan menspesifikasikan dua model
yaitu model ekonometrik simultan dan model deterministik. Metode
dasar yang digunakan untuk menjawab rumusan masalah pertama dengan
menspesifikasikan model sederhana ekonomi makro daerah (Small
Regional Macroeconomics Model) (Model I). Model yang dikembangkan
bersifat model perekonomian tertutup, karena tidak adanya aliran
barang/jasa, modal, dan tenaga kerja baik dengan perekonomian luar
negeri maupun antar daerah (Model II). Rumusan masalah kedua akan
didekati dengan menggunakan persamaan deterministik Weigthed
Coefficient Variation (CVw) yang mencerminkan derajat ketimpangan
antar propinsi di Indonesia. Tujuan model I untuk menerangkan
dampak desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi dan
melakukan estimasi variabel endogen pada model II (PDRBCAP).
Hubungan antar variabel di dalam model dapat di lihat pada gambar
1.
-
7
Gambar 1 Hubungan Antar Variabel di Dalam Model
Weigthed Coefficient Variation
CVw = =
n
i
ii P
PYYY 1
2
.1
PDRB
DPDRB
PDRBCAP
PDRB_1
TX_1
L
K I
AD G
CONS
IR
DE_1
TX POP
PAD PROFT PROFT_1
NPKPD LLPS
OTHS
RET
RET_1
DAK
DBSDA
DAU
PPH
PBB DBHP TR
SAL
DE
RE
DE_1
RE_1
CONS_1
PKPD SURPLUS/DEFISIT
= Variabel Endogen; ----- = Hub. Stokastik = Variabel Eksogen;
___ = Hub. Deterministik
Keterangan :
-
8
Model Ekonometrika Persamaan Simultan (Model I) Model
ekonometrika persamaan simultan yang digunakan diadopsi dari model
yang telah
dikembangkan oleh Weyerstrass (2000), LPEM FE UI (2001),
Brodjonegoro (2001), dan Brodjonegoro (2003). Model terdiri dari 2
blok yaitu blok makroekonomi, dan blok fiskal. Model yang
dispesifikasikan akan digunakan untuk kepentingan simulasi
kebijakan, sebagai variabel target ditentukan sebagai berikut: Dana
Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Bagi Hasil
Pajak (DBHP), dan Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam (DBHSDA),
sehingga dispesifikasikan sebagai variabel eksogen. Sedangkan
sebagai variabel targetnya adalah Pertumbuhan Ekonomi Daerah
(DPDRB) dan PDRB perkapita setiap propinsi di Indonesia (PDRBCAP).
Secara lengkap model dapat diuraikan sebagai berikut:
Blok Makroekonomi
Tujuan blok makroekonomi untuk mengetahui pembentukan PDRB
(Produk Domestik Regional Bruto) dan permintaan agregat. Blok
Makroekonomi dapat dituliskan sebagai berikut:
Produksi/Output
PDRB = (K, L) (4.1) K = I (4.2) L = (POP) (4.3) PDRBCAP=
PDRB/POP (4,4) DPDRBt = ((PDRBt PDRBt-1)/PDRBt-1))*100 (4.5)
Di mana PDRB adalah PDRB yang terjadi, sedangkan K adalah
kapital stok daerah yang
diproksi dengan investasi daerah. Hal ini karena tidak mudah
untuk melakukan assesment terhadap kapital stok daerah. Tenaga
kerja (L) merupakan fungsi dari jumlah penduduk (POP). Variabel
PDRBCAP merupakan variabel dalam model II yang diendogenkan
sehingga akan dapat diketahui dampak simulasi kebijakan terhadap
ketimpangan pendapatan. DPDRB adalah pertumbuhan ekonomi pada tahun
t. Permintaan Agregat dispesifikasikan mengikuti permintaan agregat
standar Keynesian sebagai berikut:
AD = CONS + I + G (4.6)
Di mana AD adalah Permintaan Agregat, CONS adalah konsumsi, dan
I adalah investasi, dan G adalah Pengeluaran pemerintah. Variabel
ekspor dan impor daerah tidak dimasukkan persamaan identitas
agregat demand. Hal ini karena tidak adanya neraca pembayaran
daerah. Konsumsi Konsumsi (CONS) merupakan fungsi dari pendapatan
perkapita (PDRBCAP), Jumlah penduduk (POP) dan konsumsi pada tahun
sebelumnya (CONS_1). Di Masukkannya jumlah penduduk karena adanya
mobilitas penduduk antar daerah. Semua variabel diharapkan
berpengaruh secara positip. Fungsi konsumsi daerah dapat dituliskan
sebagai berikut:
CONS = (PDRBCAP, POP, CONS_1) (4.7)
-
9
Pengeluaran Pemerintah
G = (RE) (4.8)
Pengeluaran pemerintah (G) merupakan fungsi dari pengeluaran
rutin (RE). Persamaan ini bertujuan untuk melakukan penyesuaian
terhadap perbedaan pengeluaran pemerintah versi PDRB dan APBD.
Investasi
I = (PDRBCAP, IR, DE, DE_1) (4.9)
Investasi (I) merupakan penjumlahan antara investasi pemerintah
dengan investasi swasta. Investasi Swasta merupakan fungsi dari
pendapatan perkapita (PDRBCAP), Suku bunga riil (IR). PDRBCAP
berpengaruh secara positip sedangkan suku bunga riil berpengaruh
negatip. Sedangkan investasi pemerintah dipengaruhi oleh
pengeluaran pembangunan (DE) dan pengeluaran pembangunan tahun
sebelumnya (DE_1). Kedua variabel tersebut akan berpengaruh secara
positip. Keseimbangan makroekonomi dapat dituliskan sebagai
berikut:
PDRB = AD (4.10) 1. Blok Fiskal Daerah Tujuan utama blok fiskal
daerah untuk mengetahui besarnya celah fiskal daerah dan upaya
optimalisasi fiskal daerah. Blok Fiskal dapat dituliskan sebagai
berikut: Surplus/Defisit
SURPLUS=TR-TEXP (4.11) Surplus atau defisit APBD merupakan
pengurangan antara Total Penerimaan Daerah (TR) dengan Total
Pengeluaran Daerah (TEXP). Total Penerimaan Daerah
TR = PKPD + NPKPD + SAL (4.12) PKPD = DAU + DBHP + DBHSDA + DAK
(4.13) DBHP = PBB + PPH (4.14) NPKPD = PAD + LLPS (4.15)
Total Penerimaan Daerah (TR) merupakan penjumlahan dari dana
Perimbangan Keuangan Pusat Daerah (PKPD), non PKPD (NPKPD), dan
sisa lebih anggaran tahun lalu (SAL). Dana PKPD merupakan
penjumlahan dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Bagi Hasil Pajak
(DBHP), Dana Bagi Hasil Bukan Pajak Sumber Daya Alam (DBHSDA), dan
Dana Alokasi Khusus (DAK). DBHP merupakan penjumlahan dari Pajak
Bumi dan Bangunan (PBB) termasuk juga Bea Perolehan Hak Atas Tanah
dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Bumi dan Bangunan (Pph). Sedangkan
dana non
-
10
PKPD terdiri dari dana alokasi khusus (DAK), Pendapatan Asli
Daerah (PAD) dan Lain-Lain Pendapatan Yang Syah (LLPS). Pendapatan
Asli Daerah PAD=TX + RET + PROFT + OTHS (4.16) Pendapatan Asli
Daerah (PAD) merupakan penjumlahan dari penerimaan pajak daerah
(TX) , Retribusi daerah (RET), Keuntungan BUMD, dan penerimaan lain
yang syah. Pajak Daerah TX =(CONS, TX_1) (4.17) Pajak daerah (TX)
merupakan fungsi dari konsumsi (CONS) dan target penerimaan pajak
tahun ini yang diproksi dengan (TX_1). Kedua variabel tersebut
berpengaruh positip dan signifikan terhadap perubahan pajak daerah.
Retribusi Daerah
RET=(PDRBCAP, POP, RET_1) (4.18) Secara teoritis retribusi
merupakan pembayaran terhadap jasa yang telah diberikan oleh
pemerintah. Sehingga jumlah penduduk (POP), pendapatan perkapita
(PDRBCAP) merupakan faktor penting, dan target penerimaan retribusi
tahun ini (RET_1) Laba Perusahaan Daerah PROFT=(CONS, PROFT_1)
(4.19) Laba BUMD (PROFT) dipengaruhi secara positip dan signifikan
oleh konsumsi dan keuntungan tahun lalu. Hal ini karena
kharakteristik dari BUMD banyak didominasi oleh PDAM. Penerimaan
Daerah Lainnya OTHS=(POP, PAD, TEXP) (4.20) Penerimaan daerah
lainnya dipengaruhi secara positip dan signifikan oleh jumlah
penduduk (POP), Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan Total Pengeluaran
Daerah (TEXP). Total Pengeluaran Daerah
TEXP=DE+RE (4.21)
-
11
Total pengeluaran daerah merupakan penjumlahan antara
Pengeluaran Pembangunan (DE) dan Pengeluaran Rutin (RE).
Pengeluaran Pembangunan
DE=(TR, DE_1) (4.22) Pengeluaran pembangunan merupakan fungsi
dari total penerimaan daerah (TR) dan pengeluaran pemerintah daerah
tahun sebelumnya. Hal ini berdasarkan fakta bahwa pemerintah daerah
akan menaikkan pengeluaran pembangunannya apabila total penerimaan
akan meningkat. Sedangkan pengeluaran pemerintah tahun sebelumnya
merupakan dasar penentuan pengeluaran pembangunan tahun
selanjutnya. Pengeluaran Rutin RE=(POP, RE_1) (4.23) Pengeluaran
rutin (RE) banyak berkaitan dengan birokarasi pemerintahan daerah,
sehingga jika jumlah penduduk semakin bertambah maka akan berdampak
membutuhkan pelayanan publik yang semakin meningkat pula. Sedangkan
pengeluaran rutin tahun sebelumnya (RE_1) merupakan dasar untuk
menyusun anggaran tahun berikutnya. Model Deterministik Weigthed
Coefficient Variation (CVw) (Model II)
Weigthed Coefficient Variation (CVw) merupakan indeks variasi
pendapatan antar daerah dalam suatu wilayah (Williamson, 1965).
Keunggulan koefisien variasi adalah mudah dan praktis untuk melihat
disparitas antar daerah. Koefisien yang diperoleh dikenal sebagai
koefisien variasi Williamson. Rumus Weigthed Coefficient Variation
(CVw) dapat dituliskan sebagai berikut:
CVw = =
n
i
ii P
PYYY 1
2
.1 (4.24)
Keterangan: CVw = Koefisien Variasi Williamson. P = Jumlah
penduduk secara nasional. Pi = Penduduk pada daerah ke-i . Yi =
Pendapatan per-kapita daerah ke-i. Y = pendapatan per-kapita
nasional. n = Banyaknya daerah.
Nilai koefisien variasi ketidakmerataan yang diperoleh dengan
menggunakan rumus di atas
terletak antara 0 dan 1, jika mendekati 0, maka ketidakmerataan
pembagian pendapatan antar daerah relatif kecil, apabila mendekati
1, berarti ketidakmerataan antar daerah relatif besar. Indeks
-
12
Weigthed Coefficient Variation (CVw) perlu dicari besarnya
variansinya dan standar deviasinya untuk melihat keakuratan indeks
yang dihasilkan. Rumus variansi dapat dituliskan sebagai
berikut:
( )N
YYn
ii
=
= 12
2 (4.25)
Sedangkan rumus standar deviasinya sebagai berikut:
( )N
YYn
ii
=
= 12
(4.26)
Hubungan antara model I dengan model II yaitu terlihat pada
variabel Yi (pendapatan perkapita
daerah i (propinsi)) yang dinyatakan sebagai variabel endogen
(PDRBCAP) pada model II. Dengan Asumsi variabel lain pada model II
adalah eksogen dan konstan maka perubahan williamson indeks dapat
diketahui. Data dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data atas dasar
harga konstan tahun 2003 dan berupa data level pada tingkat
propinsi. Sumber data utama berasal dari publikasi Biro Pusat
Statistik (BPS), Bank Indonesia, dan Departemen Keuangan. Data
bersifat data panel (pooled data) terdiri dari 33 propinsi dan
dalam waktu 5 tahun (2001 2005). Kelebihan dari penggunaan data
panel adalah: 1) Estimasi data panel dapat mempertimbangkan
heterogenitas dengan memperkenalkan variabel-variabel individu
spesifik. 2) Data panel dapat memberikan data yang lebih
informatif, lebih bervariabilitas, kurang kolinearitas antar
variabel, derajat bebas yang lebih besar, dan lebih efisien. 3)
Data panel lebih sesuai untuk mempelajari dinamika perubahan. 4)
Data panel dapat secara lebih baik mendeteksi dan mengukur efek
yang tidak dapat diamati dalam data cross section dan time series.
6) Data panel dapat digunakan untuk mempelajari model-model
perilaku yang kompleks. 7) Data panel dapat meminimalisir bias yang
mungkin ditimbulkan oleh agregasi data individu (Gujarati (2003),
Aulia (2003)).
Teknik Estimasi dan Kalibrasi Model
Model ekonomi makro yang telah dispesifikasikan akan diestimasi
dengan menggunakan Two Stage Least Square (TSLS), karena data yang
digunakan bersifat data panel. Langkah selanjutnya akan dilakukan
evaluasi terhadap kualitas model untuk melakukan peramalan dengan
menggunakan indikator; 1) root of mean square error (RMSE), 2) mean
absolute error (MAE), 3) mean absolute percent error (MAPE), 4)
Theil Inequality Coefficient (TIC). Indikator RMSE, MAE, dan MAPE
merupakan ukuran deviasi antara nilai simulasi dengan nilai aktual.
Makin kecil deviasi (yang ditunjukan dengan makin kecilnya nilai
indikator), maka akan semakin dekat (berimpit) antara nilai aktual
dengan nilai simulasi. Indikator TIC terletak diantara nilai nol
sampai dengan satu, jika mendekati nol menunjukan ketepatan
prediksi dan sebaliknya jika mendekati satu maka nilai simulasi
akan jauh dari nilai aktual (Gujarati, 2003).
Simulasi yang dilakukan bersifat ex post simulation untuk
mengetahui dampak desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan
ekonomi dan ketimpangan pendapatan. Simulasi ex post mencakup waktu
antara tahun 2000 2005. Dengan membandingkan perubahan yang terjadi
pada variabel-
-
13
variabel kebijakan ini terhadap base line, impact multiplier
kemudian akan diketahui. Variabel kebijakan yang digunakan untuk
melakukan simulasi yaitu: PBB, BPHTB, PPh, BHSDA, dan DAU.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian
Secara umum hasil estimasi parameter model makro ekonometrik
simultan untuk melihat dampak desentralisasi fiskal terhadap
pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan antardaerah masuk
akal sesuai dengan teori ilmu ekonomi (hasil estimasi dapat dilihat
pada tabel 1). Hal ini dapat dilihat dari tanda dan nilai parameter
yang sesuai dengan teori. Berdasarkan uji signifikansi t dan F,
maka seluruh persamaan sebagian besar signifikan pada secara
statistik pada taraf pengujian 5%, sedangkan hanya satu variabel
yang siginifikan pada level 10%. Nilai koefisien determinasi (R2)
nilainya cukup tinggi diatas 80%, kecuali 4 (empat) persamaan
yaitu: persamaan pengeluaran pemerintah (G), investasi (I),
penerimaan pajak (TAX) dan keuntungan perusahaan daerah (PROFT).
Hal ini menunjukkan seluruh persamaan dalam model yang dianalisis
dapat menjelaskan semua perubahan variabel endogen.
Model yang dianalisis tidak terdapat penyimpangan asumsi klasik.
Hal ini ditunjukkan oleh nilai Durbin Watson (DW) yang mendekati 2,
kecuali persamaan investasi (1,413), pajak daerah (1,585),
retribusi (1,366) dan pengeluaran pembangunan (1,5935).
Permasalahan heteroskedastisitas telah diantisipasi dengan
menggunakan Weigthed Two Stage Least Square.
Tabel 1 Hasil Estimasi Two Stage Least Square (TSLS)
Variabel Eksogen
Variabel Endogen PDRB L CONS I G TAX R PROFT OTHS DE RE C 107,72
40.612 (1,9915) (7.933) K 0,3543 (59,386) L 2,097 (37,678) POP
0,3722 0,101 0,00088 0,0002 0,00427 (232,54) (8,945) (6,1445)
(9,9081) (6,3849) PDRBcap 29,206 29.864 (3,517) (4.043) PDRB
0,00047 (5,0605) CONS 0,0055 0,0003
-
14
(9,834) (16,732) CONS_1 0,5939 (34,801) I_1 0,5151 (29,08) IR_1
-5.441 (-3,941) TAX_1 0,5452 (31,222) R_1 0,3541 (13,417) PROFT_1
0,3742 (20,278) PAD 0,0226 (22,762) TEXP 0,0058 (11,556) TR 0,3018
(54,535) DE 0,5902 (1,63)* RE 1,7697 (51,545) RE_1 0,7929 (53,47)
DE_1 0,0877 (7,2239)
Evalu
asi F 826,64 48243 4440,7 782 2651,3 3897,5 1468,95 2788,9
6423,4 15668 22772
Adj R2 0,9458 0,9807 0,9036 0,7099 0,7439 0,8066 0,756 0,7528
0,9329 0,9435 0,96 DW 1,9627 18.742 1,413 2,033 2,033 1,585 1,3662
1,9032 1,9798 1,5935 1,6874 Theil 0,1125 0,0659 0,1538 0,2559
0,2559 0,2562 0,2629 0,3369 0,1861 0,0948 0,1487
Keterangan: - Semua variabel signifkan pada = 5%, kecuali yang
bertanda * siginifikan pada = 10%
Secara umum model cukup valid untuk digunakan dalam proyeksi dan
simulasi ke depan. Hal ini dibuktikan dari nilai uji sensitivitas
terutama Theil Inequality Coefficient dari setiap persamaan tingkah
laku. Sebagian besar nilai Theil yang didapat terletak antara 0 -
0,2. Terdapat 2 (dua) persamaan yang nilai Theilsnya kurang dari
0,1 yaitu persamaan tenaga kerja (L) dan persamaan pengeluaran
pembangunan (DE). Ada 4 persamaan yang nilai Theilsnya terletak
antara 0,2 0,3 yaitu persamaan investasi (I), pengeluaran
pemerintah (G), penerimaan pajak (TAX) dan retribusi (R), sedangkan
satu persamaan mempunyai nilai Theils lebih dari 0,3 yaitu
persamaan keuntungan perusahaan daerah (PROFT). Walaupun begitu
model yang dispesifikasikan sudah cukup valid untuk digunakan dalam
peramalan, karena sangat sensitif terhadap perubahan yang terjadi
pada variabel eksogen. Pembahasan
-
15
Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah
Kebijakan desentralisasi fiskal dan otonomi daerah di Indonesia
bertujuan untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi daerah. Sebelum diberlakukannya otonomi
daerah, semua pembiayaan dan penentuan suatu kebijakan atas dana
yang ada didaerah ditentukan oleh pemerintah pusat. Diberlakukanya
otonomi daerah, desentralisasi fiskal, dan pemberian kewenangan
yang lebih luas diharapkan daerah mampu mengoptimalkan
potensi-potensi ekonomi yang ada, sehingga diharapkan dapat
memberikan efek positip terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Untuk
melihat dampak desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi
daerah dapat didekati dengan melihat rata-rata pertumbuhan
pendapatan per-kapita untuk masing-masing daerah (lihat tabel
2).
Tabel 2 Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan
Ekonomi
No Simulasi Rata-
Rata (%)
Standar Deviasi
(%)
Koefisien Variasi
(%)
Growth Tertinggi
(%)
Daerah Tertinggi
Growth Terendah
(%)
Daerah Terendah
1. PBB BPHTB -0,215
0,095 -44,335 -0,033 DKI -0,406 Maluku
2. PPh -0,23 0,099 -43,118 -0,016 DKI -0,426 Maluku 3. BHSDA
-
0,175 0,179 -102,036 0,441 Kaltim -0,414 Maluku
4. DAU 0,316 0,181 57,213 0,741 NTT -0,048 DKI 5. PBB BPHTB
& PPh -
0,207 0,1 -48 0,017 DKI -0,404 Maluku
6. PPh & BHSDA
-0,267
0,181 -108,832 0,455 Kaltim -0,412 Maluku
7. PPh & DAU 0,324 0,177 54,552 0,744 NTT 0,002 DKI 8. BHSDA
&
DAU 0,38 0,192 50,479 0,745 NTT -0,045 DKI
9. PBB BPHTB PPh & BHSDA
-0,143
0,184 -128,391 0,487 Kaltim -0,390 Maluku
10. PBB BPHTB & PPh & BHSDA & DAU
0,411 0,192 46,692 0,817 Irja 0,039 DKI
Kebijakan bagi hasil pajak (PBB, BPHTB,PPh) dan bagi hasil
Sumber Daya Alam (BHSDA)
secara nasional tidak memberikan hasil yang positip terhadap
pertumbuhan ekonomi. Transfer BHSDA, PPh, PBB BPHTB memberikan
kontribusi yang positip terhadap pertumbuhan ekonomi. Transfer
BHSDA, PPh, PBB BPHTB memberikan pertumbuhan -0,175% - 0,230% dan
-0,215% (Transfer SDO Inpress digantikan oleh ketiga mekanisme
transfer diatas). Transfer PPh dan PBB BPHTB hanya menguntungkan
DKI Jakarta walaupun pertumbuhannya negatip. DKI adalah daerah yang
memperoleh bagi hasil PBB BPHTB dan PPh terbesar baik secara
absolut maupun secara realtif terhadap PDRB-nya. DKI memperoleh
BPHTB sebesar 976,32 milliar rupiah dan 0,472 dari
-
16
PDRB. Sedangkan bagi hasil PPh sebesar 1.446,96 milliar atau
0,699% dari total PDRB-nya. Pertumbuhan ekonomi yang negatip
disebabkan tidak ada satupun daerah memperoleh bagi hasil dari
pajak mamupun sumber daya alam yang besarnya sama dengan SDO
Inpres.
Transfer BHSDA memberikan pertumbuhan positip pada Kaltim 0,441%
dan Riau 0,324%. Kaltim memperoleh bagi hasil SDA 9 kali dari SDO
Inpres dan Riau 8 kali dari SDO Inpres. Sedangkan Aceh sebagai
daearh penerima BHSDA terbesar ketiga memiliki pertumbuhan ekonomi
-0,025%. Sedangkan Irian Jaya tidak begitu terpengaruh dengan
adanya transfer ini. Transfer BHSDA mengakibatkan variasi
pertumbuhan antar daerah sangat tinggi yaitu -102,036% hampir 2,5
kali dari variasi pertumbuhan yang diakibatkan oleh PBB BPHTBdan
PPh. Kondisi ini disebabkan daerah-daerah yang memiliki kemampuan
fiskal yang besar mampu melakukan investasi sarana dan prasaran
sehingga mampu menggerakkan pertumbuhan ekonomi daerah.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa dana bagi hasil pajak
dan sumber daya alam tidak efektif dalam meningkatkan pertumbuhan
ekonomi. Kebijakan ini hanya menguntungkan sebagian kecil daerah di
Indonesia seperti Kaltim, Riau, Aceh. Kebijakan ini juga
mengakibatkan ketimpangan pertumbuhan ekonomi antardaerah yang
tinggi. Implementasi dari kebijakan BHSDA lebih didasari landasan
politik dibandingkan landasan ekonomis. Kebijakan ini diambil oleh
pemerintah pusat untuk meredam gejolak politik didaerah untuk
melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa Aceh dan Irian Jaya tidak sensitif
terhadap BHSDA tetapi lebih sensitif terhadap DAU, sehingga
pemberian bagi hasil SDA yang lebih besar bagi daerah ini tidak
menyelesaikan masalah yang mendasar. Pemerintah pusat sebaiknya
memberikan DAU yang lebih besar kepada kedua daerah tersebut.
Dana alokasi umum memiliki peran yang sangat besar dalam
mendorong pertumbuhan ekonomi daerah sekaligus sebagai pemerata
pertumbuhan ekonomi antar daerah. Kondisi tersebut mengindikasikan
adannya ketergantungan yang sangat besar pada pemerintah pusat.
Dalam kerangka otonomi daerah, kemandirian daerah belum terlihat
dan ada kecenderungan sistem sentralistik masih berlangsung.
Pemerintah pusat perlu membuat terobosan baru dalam kebijakan agar
kemandirian daerah dapat terwujud. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa daerah Jawa dan Bali memiliki pertumbuhan ekonomi yang lebih
rendah dibandingkan daerah di luar Jawa dan Bali. Hal ini
menunjukkan telah terjadi transfer pertumbuhan dari Jawa ke Luar
Jawa, sehingga pada akhirnya daerah-daerah di luar Jawa dan Bali
mampu mengejar ketertinggalannya terhadap wilayah Jawa dan Bali.
Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Ketimpangan Pendapatan
Antardaerah
Indikator yang digunakan untuk melihat kesenjangan antardaerah
adalah dengan melihat koefisien variasi (Coeficient of Variance)
PDRB Per-kapita (Rp Juta/Orang) antardaerah. Pada kondisi sebelum
adanya desentralisasi fiskal sudah terjadi disparitas pendapatn
yang sangat besar antara Jawa dan Luar Jawa, antara wilayah barat
dengan timur Indonesia. Permasalahan ini merupakan masalah yang
sistematik, sehingg dapat memicu munculnya disintegrasi bangsa.
Disparitas antar daerah ditunjukkan oleh koefisien variasi sebesar
59,790% (lihat tabel 3).
Tabel 3 Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kesenjangan
Pendapatan Antardaerah
No Simulasi Rata-
Rata (Juta
Orang)
Standar Deviasi
Koefisien Variasi
PDRB CAP
Tertinggi
Daerah Tertinggi
PDRB CAP
Terendah
Daerah Terendah
1. SDO, INPRES
1,813 1,084 59,79 5,372 DKI 1,029 Maluku
-
17
2. PBB BPHTB
1,81 1,084 59,9 5,371 DKI 1,025 Maluku
3. PPh 1,809 1,084 59,907 5,372 DKI 1,025 Maluku 4. BHSDA 1,811
1,087 60,038 5,369 DKI 1,025 Maluku 5. DAU 1,818 1,084 59.626 5,37
DKI 1,033 Maluku 6. PBB
BPHTB & PPh
1,811 1,084 59,914 5,373 DKI 1,025 Maluku
7. PPh & BHSDA
1,811 1,088 60,052 5,372 DKI 1,025 Maluku
8. PPh & DAU
1,818 1,084 59,641 5,373 DKI 1,033 Maluku
9. BHSDA & DAU
1,82 1,088 59,771 5,37 DKI 1,033 Maluku
10. PBB BPHTB & PPh & BHSDA
1,812 1,088 60,059 5,374 DKI 1,025 Maluku
11. PBB BPHTB & PPh & BHSDA & DAU
1,821 1,089 59,793 5,375 DKI 1,034 Maluku
Kebijakan dana perimbangan yang berasal dari dana bagi hasil
yaitu (PBB BPHTB, PPh, BHSDA)
memperburuk kesenjangan antardaerah. Hal ini ditunjukkan dengan
semakin meningkatnya koefisien variasi dari 59,790% menjadi 60,038%
untuk BHSDA, 59,907% untuk PPh dan 59,900% untuk PBB BPHTB. BHSDA
memiliki pengaruh paling besar terhadap kesenjangan antardaerah
dibandingkan dengan bagi hasil PPh dan PBB BPHTB. Hal ini
dikarenakan oleh persebaran SDA yang tidak merata, ada 3 propinsi
yaitu Aceh, Riau, dan Kaltim memperoleh BHSDA sebesar masing-masing
3,070%, 5,560% dan 5,193% dari total PDRB. Sedangkan daerah seperti
Sumatera Selatan memperoleh 1,331%, Kalteng 1,261% dan Maluku Utara
memperoleh 1,212. Daerah yang lain umumnya memperoleh bagian kurang
dari 1% dari total PDRB-nya. Daerah yang paling kecil menerima
BHSDA adalah Banten yaitu 0,008%.
Bagi hasil PPh menempati urutan kedua sebagai salah satu
penyebab disparitas antar daerah. Distribusi PPh tidak merata di
seluruh Indonesia hanya daerah yang besar tingkat industri dan
kegiatan jasanya yang memperoleh bagian yang besar, seperi Jakarta.
Jakarta memperoleh dana bagi hasil lebih dari 1 triliun atau
sekitar 0,699% dari total PDRB. Daerah lainnya memperoleh dana yang
kurang dari 0,5% dari total PDRB-nya. Daerah yang tinggi tingkat
industri dan jasanya cenderung memiliki bagi hasil PPh yang besar.
Daerah seperti Riau, DKI, Kaltim, Irja memperoleh bagi hasil PPh
yang relatif lebih besar dibandingkan daerah lainnya. Bagi hasil
dari PBB BPHTB menempati urutan terakhir penyebab terjadinya
kesenjangan pendapatan antardaerah, karena nilai bagi hasil setiap
daerah relatif merata. Transfer DAU mampu mengurangi kesenjangan
antardaerah ditunjukkan dengan nilai koefisien variasi berada
dibawah nilai pada simulasi historis yaitu 59,626%. Selain DAU
berfungsi sebagai fiscal equalizing transfer juga berperan sebagai
income equalization. Jika DAU hanya sebagai satu-satunya transfer
maka jelas terlihat
-
18
DAU mampu mengurangi kesenjangan pendapatan antardaerah walaupun
penurunan nilai koefisien variasinya tidak begitu siginifikan.
Permasalahan kesenjangan dakam satu wilayah tidak kala
pentingnya dengan ketimpangan Jawa-Luar Jawa dan antara Kawasan
Barat dengan Kawasan Timur Indonesia. Permasalahn ketimpangan dalam
satu wilayah perlu menjadi perhatian serius bagi pemerintah pusat,
karena memberikan dampak buruk terhadap kondisi sosial ekonomi.
Daerah-daerah yang memiliki PDRB Per-kapita tinggi seperti DKI,
Riau, dan Kaltim akan mendorong masayarakat di sekitar daerah ini
untuk bermigrasi menuju daerah yang berpendapatan tinggi. Arus
migrasi yang cukup besar selain akan memberikan masalah tersendiri
bagi daerah tujuan seperti penyediaan barang publik, masalah
kriminalitas juga memberikan masalah bagi daerah yang ditinggalkan
karena akan kehilangan tenaga kerja potensial.
Penutup Kesimpulan
Berdasarkan data yang tersedia dan dengan menggunakan model yang
telah dispesifikasikan menunjukkan, bahwa dampak desentralisasi
fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi melalui berbagai mekanisme
transmisi, yaitu: 1) Melalui mekanisme pemberian dana bagi hasil
pajak (DBHP), dan bagi hasil sumber daya alam (DBHSDA), 2) Melalui
mekasnisme pemberian Dana Alokasi Umum (DAU). Dari kedua mekanisme
transmisi tersebut dapat disimpulkan, bahwa: 1) Dana bagi hasil PBB
BPHTB dan PPh menghasilkan rata-rata pertumbuhan ekonomi yang
negatip. Hanya daerah-daerah pusat industri dan jasa yang
diuntungkan dengan kebijakan ini.Dana bagi hasil SDA (DBSDA)
menghasilkan rata-rata pertumbuhan ekonomi yang negatip. Hanya
daerah kaya SDA (Riau, dan Kaltim) yang paling menikmati
pertumbuhan ekonomi positip. Di samping itu kebijakan bagi hasil
SDA memperburuk kesenjangan pendapatan antardaerah.
2) Dana Alokasi Umum (DAU) berfungsi sebagai pemerata fiskal
daerah juga merupakan faktor yang paling dominan dalam mendorong
pertumbuhan ekonomi daerah. Kebijakan DAU sangat efektif dalam
mengurangi kesenjangan pendapatan antardaerah.
Dampak desentralisasi fiskal terhadap kesenjangan pendapatan
antardaerah lebih terasa di Kawasan Timur Indonesia (KTI)
dibandingkan dengan Kawasan Barat Indonesia (KBI). Hal ini
ditunjukkan dengan dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi di
KTI dan berada diatas rata-rata nasional. Pulau Jawa dan Bali
merupakan daerah yang paling rendah pertumbuhan ekonominya dengan
adanya kebijakan desentralisasi fiskal. Kesimpulan secara umum
menunjukkan bahwa kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia
belum mampu mengurangi kesenjangan pendapatan antardaerah.
Saran
Kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia merupakan sebuah
proyek besar dengan permasalahn yang sangat komplek dan memiliki
resiko yang sangat besar. Jika disentralisasi fiskal ini mampu di
manage dengan baik maka dapat dijadikan contoh didunia
internasional, tetapi jika gagal maka akan menyebabkan disintegrasi
bangsa. Pemerintah perlu terus melakukan kajian yang intensif
terhadap instrumen transfer, karena terbukti bahwa dana bagi hasil
pajak dan SDA belum memberikan hasil yang optimal dalam
meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mengurangi kesenjangan
antardaerah. Daftar Pustaka Achsani, Noer Azam, 2003. Sekilas
Ekonomi Indonesia Sukses Masa Lalu, Problema Masa Kini
dan Tantangan Masa Depan. Diskusi Dwi Bulanan ISTECS Eropa, 5
Juli 2003 di Frankfurt.
-
19
Akita, Takahiro, 2003. Decomposing Regional Income Inequality in
China and Indonesia Using Two-Stage Nested Theil Decomposition
Method. The Annal of Regional Science No. 37, P. 55- 77.
Aulia F, Telisa, 2003. Tinjauan Terhadap Metode Ekonometrika
Lanjutan. Jurnal Ekonomi dan
Pembangunan Indonesia, Vol. 4. Brandt, Loren dan Zhu, Ziadong.
Redistribution in a Decentralized Economy: Growth and Inflation
in China Under Reform. The Journal of Political Economy Vol. 108
issue 2, April 2000. Brodjonegoro, Bambang P.S, 2001. The impact of
Fiscal Decentralization Process to The
Indonesian Regional Economies: A Simultaneous Econometrics
Approach. Vanersborg, Sweden: Udavella Symposium 2001: Regional
Economies in Transitions, June 14-16.
Dartanto,Teguh dan Bambang PS Brodjonegoro, 2003.Dampak
Desentralisasi Fiskal di Indonesia
Terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Disparitas Daerah: Analisa
Model Ekonomi Makro Simultan. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Indonesia, Vol. 4,No. 1 Juli.
Davey, K.J, 1988. Pembiayaan Pemerintah Daerah : Praktek-Praktek
Internasional dan
Relevansinya Bagi Dunia Ketiga. Jakarta: UI-Press. Devas, Nick
et all, 1989. Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia. Jakarta:
UI-Press. . Ehtisham, Ahmad; Ma, Jun; Searle, Bob; Piperno,
Stefano, 2002. Intergovernmental Grant System:
Application of a General Framework to Indonesia. IMF Working
Paper No. WP/02/128, International Monetary Fund, Washington
DC.
Firdausy, Carunia Mulya, Haryo Aswicahyono dan Lepi Tarmidi,
2002. Sources Of Indonesian
Economic Growth. Indonesian Country Studies, Worldbank Jakarta
Office. Gujarati, Damodar N, 2003. Basic Econometrics 4th ed.
McGraw-Hill International Editions. Helms, Jay L, 1985.The Effect
of State and Local Taxes on Economic Growth: A Time Series
Cross Section Approach. Dalam Wallace E Oates (Ed) The Economics
of Fiscal Federalism and Local Finance. Edward Elgar, Centelham,
United Kingdom.
Hirchman, Albert, 1968. The Strategy of Economic Development.
Yale University Press,
Connecticut. Isard, Walter (editor), 1998. Method of
Interregional and Regional Analysis. England: Ashgate. Isdijoso;
Brahmantio dan Tri Wibowo, 2002. Analisis Kebijakan Fiskal Pada Era
Otonomi
Daerah:Studi Kasus: Sektor Pendidikan di Kota Surakarta. Kajian
Ekonomi Dan Keuangan, Vol. 6, No. 1. Maret.
Islam, Yanatul dan Khan, Habibullah, 1986. Spatial Patterns of
Inequality and Poverty in
Indonesia. Bulletin of Indonesia Economics Studies, Vol. XXII
No. 2, Agustus. Ismal, Rifki, Septermber, 2002. Penelitian Tentang
Apakah Penerapan Otonomi Daerah Khususnya
Alokasi Dana Perimbangan Keuangan Pusat Dan Daerah (PKPD) Dan
Non-PKPD Selama
-
20
Tahun 2001 Telah Memberikan Dampak Kepada Pengendalian Moneter ?
Buletin Ekonomi dan Moneter Vol. 5 No. 2.
Ismal, Rifki. Penelitian Tentang Apakah Penerapan Otonomi Daerah
Khususnya Alokasi Dana
Perimbangan Keuangan Pusat Dan Daerah (PKPD) Dan Non-PKPD Selama
Tahun 2001 Telah Memberikan Dampak Kepada Pengendalian Moneter ?
Buletin Ekonomi dan Moneter Vol. 5 No. 2, Septermber, 2002.
Jtting, Johannes, Cline Kauffmann, Ida Mc Donnell,Holger
Osterrieder, Nicolas Pinaud and Lucia
Wegner, 2004 Decentralisation and Poverty In Developing
Countries: Exploring The Impact. OECD Development Centre Working
Paper No. 236
Kaho, Josef Riwu, 1988. Prospek Otonomi daerah di Negara
Republik Indonesia. PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta Lewis, Blane D, 2001. Dana Alokasi
Umum: Description, Empirical Analysis, and
Recommendations for Revision. Paper Prepared for the Indonesian
Regional Science Association Conference (IRSA) 20-21 March 2001,
Jakarta, Indonesia
Lewis, Blane D, 2003. Some Empirical Evidence on New Regional
Taxes and Charges in
Indonesia. the United States Agency for International
Development (USAID). LPEM FE-UI, 2001. Dampak Penerimaan Dana
Perimbangan dari Bagi Hasil Sumber Daya Alam
(SDA) dan Dana Alokasi Umum (DAU) Bagi Perekonomian Daerah.
Laporan hasil penelitian. Mahi, Raksaka, 2001. Problem on the
Design and Implementation of Fiscal Decentralization
Policy. Makalah pada th 3td IRSA International Conference,
Jakarta, March. Mahi, Raksaka, 2002 (a). Otonomi Daerah Dan
Desentralisasi Fiskal. Media Indonesia edisi
Kamis, 03 Januari. Mahi, Raksaka, 2002 (b). Dana Perimbangan
Pendukung Otonomi daerah dan Desentralisasi
Fiskal. Media Indonesia edisi senin dan selasa, 18 dan 19
Februari. Mahi, Raksaka, 2002 (c). Desentralisasi Fiskal dan
Otonomi Daerah. Makalah disampaikan dalam
Kursus Reguler Angkatan XXXV, LEMHANAS, Jakarta, 25 Agustus
2002. Mahi, Raksaka, 2005. Peran Pendapatan Asli Daerah di Era
Otonomi Daerah. Jurnal Ekonomi dan
Pembangunan Indonesia, Vol. 6, No. 1 Juli. Mahi, Raksaka;
Panggabean, Adrian, Brodjonegoro, Bambang dan Panggabean, Martin
(eds),
2000. Konsep dan Distribusi Dana Alokasi Umum (DAU). Jakarta: FE
UI. Mahroji, Dwi, 2005. Pengaruh Bagi Hasil Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) Antara Pusat dan Daerah
Terhadap Kondisi Keuangan Pusat dan Kabupaten/Kota di Indonesia.
Tesis Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi,
Universitas Indoensia, Depok.
Musgrave, Richard A, 1983. Who Should Tax, Where, and What ?
Dalam Wallace E Oates (Ed)
The Economics of Fiscal Federalism and Local Finance. Edward
Elgar, Centelham, United Kingdom.
-
21
Nasjid, Majidi, 1997. Anggaran Pembangunan dan ketimpangan
Pembangunan Antarwilayah.
Prisma, 3 Maret. Oates, Wallace E, 1994. Federalism and
Government Finance. Dalam Wallace E Oates (Ed) The
Economics of Fiscal Federalism and Local Finance. Edward Elgar,
Centelham, United Kingdom.
Pyndick, Robert S, dan Daniel L Rubinfeld, 1998. Econometric
Models and Economic Forecasts 4th
Edition.. Singapore: McGraw-Hill Book Co. Sekretariat Negara RI,
2000.Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2000 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Jakarta, Indonesia.
Sekretariat Negara RI, 2000.Undang-Undang Republik Indonesia No. 33
Tahun 2000 tentang
Pemerintahan Daerah. Jakarta, Indonesia. Sekretariat Negara RI,
2000.Undang-Undang Republik Indonesia No. 34 Tahun 2000 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dengan Pemerintahan
Daerah. Jakarta, Indonesia.
Sjafrizal, 1997.Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Regional
Wilayah Indonesia Bagian
Barat. Prisma, 3 Maret. Uppal dan Suparmoko 1986. Inter
Government Finance in Indonesia. Ekonomi Keuangan
Indonesia, Vol.XXXIV, Jakarta. Welly, Didit dan Waluyo, Joko,
2000. Profil Ketimpangan Pendapatan Regional Antardaerah dan
Wilayah di Indonesia. Jurnal KOMPAK, STIE YO Yogyakarta, Juli.
Weyerstrass, Klaus, 2000. Modelling Regional Economies: An
Econometric Model for Carinthia.
Institute for Advanced Studies (IHS) Carinthia Working Paper,
Klagenfurt, Austria. Williamson, JG, 1965.Regional Inequality and
the Process of National Development: A Description
of the Patterns. In Needleman (ed), Regional Analysis, Penguin
Moderna Economics, Middlesex England