Dampak ACFTA Bagi Perekonomian Indonesia Serta Hubunganya Dengan Investasi Disusun Oleh: Ardo Septian (110200190) Agista Kartika Sari (110200188) Bella Ajeng Rinesti Tanjung (110200192)
Dampak ACFTA Bagi Perekonomian Indonesia Serta Hubunganya Dengan
Investasi
Disusun Oleh:
Ardo Septian (110200190)
Agista Kartika Sari (110200188)
Bella Ajeng Rinesti Tanjung (110200192)
Akuntansi F
Institut Manajemen Telkom
2010
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Investasi (Penanaman Modal) merupakan salah satu kegiatan yang penting dalam roda
perekonomian di Indonesia , baik yang dilakukan oleh investor dalam negeri maupun luar negeri . Untuk
itu perlu dibangun iklim investasi yang baik agar dapat menarik minat investor untuk menanamkan
modalnya di perusahaan-perusahaan dalam negeri. Dengan begitu, perusahaan-perusahaan dapat
menciptakan inovasi dan meningkatkan daya saing, yang nantinya akan berdampak pada meningkatnya
pertumbuhan Ekonomi di Indonesia.
Namun untuk menciptakan daya tarik investasi bagi investor tidaklah semudah membalikkan
telapak tangan, karena dihadapkan pada masalah-masalah perekonomian yang tiada batasnya. Selain itu
kini pemerintah telah menyetujui dan menerapkan perdagangan bebas antara negara-negara ASEAN
dan China(ACFTA) yang akan berdampak pada meningkatnya gempuran produk-produk China ke dalam
negeri, sehingga menurunya industri lokal yang tidak mampu bersaing dengan produk China, dan
menyebabkan berkurangnya minat investor dalam investasi.
Untuk itulah dalam makalah ini kami mengangkat permasalahan mengenai Dampak Kebijakan
Perdagangan bebas antara Negara-negara ASEAN dan China (ACFTA) terhadap menurunya industri lokal
yang menyebabkan turunnya pula tingkat investasi.
Permasalahan
Apa itu ACFTA(ASEAN CHINA FREE TRADE AREA) ?
Apa Dampak ACFTA bagi perekonomian serta hubunganya dengan investasi ?
BAB II
PEMBAHASAN
Analisis Permasalahan
Sebagai salah satu Negara ASEAN, Indonesia mau tidak mau harus mengikut sertakan diri dalam
kesepakatan perjanjian yang dilakukan oleh Negara-negara anggota ASEAN. Kesepakatan atau
perjanjian perdagangangan antara negara-negara ASEAN Cina yang disebut ACFTA ( Asean China Free
Trade Area ). Perjanjian yang menyangkut perdagangan bebas ini identik dengan hubungan kerjasama
dagang antar negara anggota ASEAN dengan Negara China. Dalam implementasinya, perdagangan bebas
harus memperhatikan beberapa aspek yang dapat mempengaruhi prinsip perdagangan yaitu seperti
prinsip sentral dari keuntungan komparatif (Comparatif Advantege). Selain itu juga, kita harus
memperhatikan pro dan kontra dibidang tarif dan kuota, serta melihat bagaimana jenis mata uang
(valuta asing) yang diperdagangkan berdasarkan kurs tukar valuta asing. ASEAN China Free Trade Area
(ACFTA) yaitu dimana tidak adanya hambatan tarif (bea masuk 0-5 %) maupun hambatan non-tarif bagi
negara-negara ASEAN dan juga China .
Tujuan dari ACFTA sendiri itu adalah memperkuat dan meningkatkan kerja sama antar negara
terkait, yaitu meliberisasikan perdagangan barang dan jasa melalui pengurangan atau penghapusan
tarif. Kesepakatan perjanjian itu mencakup dalam tiga bidang yang strategis yaitu: perdagangan barang-
barang, jasa, dan juga investasi
Perjanjian ACFTA adalah kerja sama dalam bidang ekonomi, Economic Co-opertaion between
Asean and people’s Republic of China, yaitu kerjasama antara seluruh anggota daripada ASEAN dengan
Negara Cina yang diberlakukan pada tanggal 1 Januari 2010 lalu.
Dampak ACFTA Serta Hubungannya dengan Investasi
Dilihat dari perekonomian dan stabilitasnya, tahun 2010 sebenarnya sangat menjanjikan untuk
iklim investasi yang baik di Indonesia, namun karena adanya ACFTA dikhawatirkan hal tersebut akan
mengalami kesulitan. Para pelaku usaha diperkirakan akan mereposisi usahanya (jenis/skala/cakupan
usahanya). Pemberlakuan ACFTA juga diperkirakan akan berdampak pada industri domestik mengingat
rata-rata harga produk China jauh lebih murah bila dibandingkan produk dalam negeri. Walaupun bila
dibandingkan dengan kualitas, kualitas produk dalam negeri tidak kalah bersaing. Industri yang
terancam adalah tekstil, makanan dan minuman, elektronik dan peralatan listrik.
Kekhawatiran tersebut memang cukup beralasan. Data statistik Kementerian Perdagangan RI,
misalnya menunjukkan, walaupun jumlah total perdagangan RI dan China meningkat cukup drastis dari
8,7 miliar dollar AS pada 2004 menjadi 26,8 miliar dollar AS pada 2008, Indonesia yang biasanya
mencatat surplus dalam perdagangan dengan China, belakangan ini mulai menunjukkan defisit. Tahun
2008, Indonesia mencatat defisit sebesar 3,6 miliar AS.
Serbuan produk – produk China dapat mengakibatkan kehancuran pada produk yang homogen
dengan produksi dalam negeri. Padahal sebelum tahun 2009 saja Indonesia telah mengalami proses
deindustrialisasi (penurunan industri). Berdasarkan data Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia,
peran industri pengolahan mengalami penurunan dari 28,1% pada 2004 menjadi 27,9% pada 2008.
Diproyeksikan 5 tahun ke depan penanaman modal di sektor industri pengolahan mengalami penurunan
US$ 5 miliar yang sebagian besar dipicu oleh penutupan sentra-sentra usaha strategis IKM (industri kecil
menegah). Jumlah IKM yang terdaftar pada Kementrian Perindustrian tahun 2008 mencapai 16.806
dengan skala modal Rp 1 miliar hingga Rp 5 miliar. Dari jumlah tersebut, 85% di antaranya akan
mengalami kesulitan dalam menghadapi persaingan dengan produk dari Cina (Bisnis Indonesia,
9/1/2010).
Sebagai pusat industri di dunia, pemerintah China memilih untuk memprioritaskan penyediaan
listrik murah. Listrik merupakan faktor penting untuk menciptakan daya saing dan menarik investasi.
Karena itu dalam penyediaan listrik, China memilih memanfaatkan batu bara yang melimpah. Sedangkan
di Indonesia, rendahnya daya tarik industri manufaktur, antara lain akibat kegagalan PLN menjaga
pasokan listrik dan tingkat harga. Tingginya biaya produksi terjadi karena PLN tidak mendapat dukungan
pasokan energi murah baik batu bara maupuan gas dari pemerintah. Padahal Indonesia memiliki
kekayaan energi alam yang tidak kalah jika dibandingkan dengan China. Tetapi Indonesia lebih memilih
menjadikan batu bara dan gas sebagai komoditas ekspor, bukan modal untuk membangun Industri.
Demikian juga pada pengolahan timah, China tidak menjadikan komoditas ekspor yang didasarkan pada
visi dan strategi China untuk membangun struktur industri elektronik yang deep dan kompetitif.
Sedangkan Indonesia dibiarkan untuk diolah negara lain.
Bila terus dibiarkan seperti ini, dikhawatirkan nantinya produk-produk dalam negeri akan
“mati”, yang menyebabkan pada menurunya tingkat investasi serta terjadinya reposisi usaha. pasar
dalam negeri yang diserbu produk asing dengan kualitas dan harga yang sangat bersaing akan
mendorong pengusaha dalam negeri berpindah usaha dari produsen di berbagai sektor ekonomi
menjadi importir atau pedagang saja. Sebagai contoh, harga tekstil dan produk tekstik (TPT) Cina lebih
murah antara 15% hingga 25%. Menurut Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ade
Sudrajat Usman, selisih 5% saja sudah membuat industri lokal kelabakan, apalagi perbedaannya besar
(Bisnis Indonesia, 9/1/2010). Hal yang sangat memungkinkan bagi pengusaha lokal untuk bertahan
hidup adalah bersikap pragmatis, yakni dengan banting setir dari produsen tekstil menjadi importir
tekstil Cina atau setidaknya pedagang tekstil. jika di dalam negeri saja kalah bersaing, bagaimana
mungkin produk-produk Indonesia memiliki kemampuan hebat bersaing di pasar ASEAN dan Cina? Data
menunjukkan bahwa tren pertumbuhan ekspor non-migas Indonesia ke Cina sejak 2004 hingga 2008
hanya 24,95%, sedangkan tren pertumbuhan ekspor Cina ke Indonesia mencapai 35,09%. Bagaimana
mungkin cita-cita baik dari ACFTA yang salah satunya untuk menaikkan tingkat investasi bila melihat
pada kenyataanya dengan adanya ACFTA malah membuat produksi dalam negeri seakan mati tak
berdaya.
BAB III
KESIMPULAN dan SARAN
Kesimpulan
Perjanjian ACFTA adalah kerja sama dalam bidang ekonomi, Economic Co-opertaion between Asean
and people’s Republic of China, yaitu kerjasama antara seluruh anggota daripada ASEAN dengan
Negara Cina yang diberlakukan pada tanggal 1 Januari 2010 lalu Tujuan dari ACFTA sendiri itu adalah
memperkuat dan meningkatkan kerja sama antar negara terkait, yaitu meliberisasikan perdagangan
barang dan jasa melalui pengurangan atau penghapusan tarif. Kesepakatan perjanjian itu mencakup
dalam tiga bidang yang strategis yaitu: perdagangan barang-barang, jasa, dan juga investasi.
Beberapa dampak ACFTA yang meliputi ; Reposisi para pelaku usaha, Harga Industri domestik
kalah saing dengan harga barang China, Konsumen dalam negeri lebih memilih produk China
daripada produk dalam negeri ,Investasi beberapa sektor produksi dalam negeri mengalami
penurunan akibat menurunnya kapasitas produksi.
Saran
1. Melakukan negosiasi ulang atas perjanjian ACFTA yang telah disepakati pada tanggal 1 Januari 2010.
Karena pada kenyataannya perjanjian tersebut dianggap kurang menguntungkan bagi perdagangan
di Indonesia seperti yang dijaelaskan pada analisis permasalahan di atas.
2. Perbaikan infrastruktur dengan menyiapkan infrastruktur yang mendukung sektor industri
manufaktur dan sektor industri lainnya. Terutama masalah ketersediaan infrasturktur listrik yang
dapat mencukupi bagi sektor industri untuk melakukan produksi masal. Dan juga berhubungan
dengan kebijakan pemerintah mengenai tarif dasar listrik.
3. Memberikan perlindungan kepada industri yang mengalami dampak langsung dari perjanjian ACFTA.
Seperti industri makanan,minuman,tekstil. Dengan memberikan bantuan yang dapat berupa isentif
pajak bagi produk berorientasi ekspor. Dengan insentif pajak dari barang-barang modal dan bahan
baku yang digunakan untuk meningkatkan mutu dan kapasitas produksi. Dengan demikian
diharapkan sektor usaha Indonesia akan tetap dapat bersaing ketat dengan China yang berdampak
pada peningkatan investasi.
DAFTAR PUSTAKA
www.duniainvestasi.com
www.blog Birokrat Kebijakan Investasi Dlm Hal Pembangunan Ekonomi.htm
www.depdagri.go.id
http://bisnis.vivanews.com
ditjenkpi.kemendag.go.id
http://www.walhi.or.id/component/content/article/132-kegiatan/644-acfta?lang=in
http://blogs.unpad.ac.id/yogix/2010/02/22/apa-itu-acfta/
http://kaumbiasa.com/dampak-acfta-pada-lingkungan-hidup.php
http://radarbanten.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=52586
http://www.pusdima-fis.co.cc/2010/03/dampak-positif-dan-negatif-acfta.html
LAMPIRAN
Tren terbaru dari FTA menunjukkan bahwa banyak negara-negara di dunia telah terlibat di berbagai perjanjian dagang, baik perjanjian dagang bilateral maupun regional.
Data di atas juga menunjukkan bahwa hingga saat ini FTA di dunia berjumlah 221, naik sebanyak 152 perjanjian dari tahun 2002, yang hanya berjumlah 69 perjanjian
Grafik pangsa pasar ekspor Indonesia ke ASEAN
Grafik pangsa pasar ekspor Indonesia ke China
Produk manufaktur seperti: kayu, tekstil, dan mesin/alat-alat elektronik mengalami penurunan pangsa pasar. Hal ini disebabkan karena produk-produk ini tidak dapat bersaing dengan produk-produk lokal
Cina atau negara ASEAN lainnya.