x DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ................................................................................ i HALAMAN PERSYARATAN GELAR SARJANA HUKUM .............. ii HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................... iii PENGESAHAN PANITIA PENGUJI ..................................................... iv SURAT PERNYATAAN KEASLIAN .................................................... v KATA PENGANTAR ............................................................................. vi DAFTAR ISI ............................................................................................. x DAFTAR TABEL .................................................................................... xiii ABSTRAK ............................................................................................... xiv ABSTRACT ................................................................................................ xv BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ..................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah ............................................................... 4 1.3 Ruang Lingkup Masalah ..................................................... 5 1.4 Orisinalitas Penelitian ......................................................... 5 1.5 Tujuan Penelitian ................................................................ 7 a. Tujuan umum ............................................................... 7 b. Tujuan khusus ............................................................... 7 1.6 Manfaat Penelitian .............................................................. 7 a. Manfaat teoritis ............................................................ 7 b. Manfaat praktis ............................................................ 8 1.7 Landasan Teoritis ................................................................ 8
40
Embed
DAFTAR ISI - sinta.unud.ac.id · liar di desa pakraman tersebut dan menjadikan awig-awig Desa Pakraman Kayubihi sebagai alat kontrol sosial. Kata Kunci : Awig-awig , Sosial Kontrol,
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................ i
HALAMAN PERSYARATAN GELAR SARJANA HUKUM .............. ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................... iii
PENGESAHAN PANITIA PENGUJI ..................................................... iv
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN .................................................... v
KATA PENGANTAR ............................................................................. vi
DAFTAR ISI ............................................................................................. x
DAFTAR TABEL .................................................................................... xiii
ABSTRAK ............................................................................................... xiv
ABSTRACT ................................................................................................ xv
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah ..................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................... 4
1.3 Ruang Lingkup Masalah ..................................................... 5
Tabel 2.1 Jumlah Penduduk ..................................................................... 38
Tabel 2.2 Tingkat Pendidikan .................................................................. 39
Tabel 3.1 Satwa Burung Yang Dilindungi ................................................ 52
xiv
ABSTRAK
Maraknya aksi perburuan liar di Desa Pakraman Kayubihi menyebabkan
masyarakat resah akan tidak seimbangnya ekosistem dan tidak terlaksananya
konsep Tri Hita Karana. Maka dari itu masyarakat di Desa Pakraman Kayubihi
membuat aturan mengenai larangan berburu burung di desa pakraman tersebut
yang di muat dalam awig-awig. Hal ini dilakukan dalam upaya berperan serta
untuk konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang dilandasi juga
dengan konsep Tri Hita Karana. Permasalahan dalam skripsi ini adalah apa latar
belakang dan bagaiamana pengaturan tentang larangan berburu burung dalam
awig-awig maupun perarem di Desa Pakraman Kayubihi. Penelitian ini dilakukan
untuk mengetahui latar belakang serta menganalisis awig-awig maupun perarem
mengenai larangan berburu burung di Desa Pakraman Kayubihi.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum
empiris. Metode penelitian hukum empiris adalah suatu metode penelitian hukum
yang berfungsi untuk melihat hukum dalam arti nyata dan meneliti bagaimana
bekerjanya hukum di lingkungan masyarakat. Metode pendekatan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode pendekatan fakta (The Fact Approach).
Pengaturan mengenai larangan berburu burung di Desa Pakraman
Kayubihi di muat dalam awig-awig Desa Pakraman Kayubihi yang berbunyi
“Krama desa adat tur krama tios tan kadadosang maboros paksi ring
wewidangan Desa Adat Kayubihi”.Terjemahan bebasnya ke dalam Bahasa
Indonesia berbunyi “warga desa adat dan warga diluar desa adat di larang berburu
burung di wilayah Desa Pakraman Kayubihi.” Mengenai sanksi bagi yang
melanggar ketentuan tersebut akan dijatuhkan denda yang merujuk dari perarem
Desa Pakraman Kayubihi sebesar Rp. 1000,- dikalikan seluruh jumlah kepala
keluarga (KK) yang ada di desa pakraman tersebut serta meminta maaf di hadapan
seluruh warga Desa Pakraman Kayubihi pada saat paruman. Dengan adanya
sosialisasi yang berkelanjutan maka awig-awig mengenai larangan berburu di
Desa Pakraman Kayubihi efektif dalam menanggulangi maraknya aksi perburuan
liar di desa pakraman tersebut dan menjadikan awig-awig Desa Pakraman
Kayubihi sebagai alat kontrol sosial.
Kata Kunci : Awig-awig, Sosial Kontrol, Larangan Berburu, Desa Pakraman.
xv
ABSTRACT
The rampant poaching in Pakraman Kayubihi cause distress to the people
would unbalance the ecosystem and not the implementation of the concept of Tri
Hita Karana. therefore society in Pakraman Kayubihi make rules regarding the
ban on bird hunting in Pakraman such that the fit in awig-awig. This is done in an
effort to participate for the conservation of natural resources and ecosystems that
are also based on the concept of Tri Hita Karana. The problem in this thesis is
what and how your background setting of a ban on hunting of birds in awig-awig
and perarem in Pakraman Kayubihi. This study was conducted to determine the
background and analyzes awig-awig and perarem regarding a ban on hunting of
birds in Pakraman Kayubihi.
The method used is the method of empirical legal research. Empirical
legal research method is a method of legal research function to see the law in the
real sense and examine how the workings of law in society. The method used in
this research is the method of approach to the facts (The Fact Approach).
The regulation on the prohibition of hunting of birds in villages Kayubihi
load in awig awig Pakraman Kayubihi which reads " Krama desa adat tur krama
tios tan kadadosang maboros paksi ring wewidangan Desa Adat Kayubihi". Free
translation into english reads "indigenous villagers and residents outside the
village in expensive custom bird hunting in the area Pakraman Kayubihi." On
penalties for violating these provisions will be imposed a fine of reference Rarem
Pakraman Kayubihi Rp. 1000 - multiplied by the total number of households
(families) in the Pakraman and apologized in front of all citizens Pakraman
Kayubihi at paruman. With the introduction of the sustainable awig-awig ban on
hunting in Pakraman Kayubihi effective in tackling the rampant poaching in
Pakraman and makes awig awig Pakraman Kayubihi as a means of social
control.
Keywords : Awig awig, Control Social, Non-Hunting, Pakraman
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Sumber daya alam hayati adalah unsur-unsur hayati di alam yang terdiri
dari sumber daya alam nabati (tumbuhan) dan sumber daya alam hewani (satwa)
yang bersama dengan unsur non hayati di sekitarnya secara keseluruhan
membentuk ekosistem. Sumber daya alam hayati yang meliputi flora dan fauna
mempunyai manfaat sebagai unsur pembentuk lingkungan hidup. Sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya perlu dikelola dan dimanfaatkan secara lestari,
selaras dan seimbang mengingat sifatnya yang tidak dapat diganti dan memiliki
kedudukan serta berperan penting bagi kehidupan manusia, sedangkan ekosistem
itu adalah tatanan kesatuan secara utuh menyeluruh antara segenap unsur
lingkungan hidup yang saling mempengaruhi1.
Keseimbangan ekosistem, adalah suatu hal yang sangat sulit dihadapi
seiring dengan kemajuan pola hidup masyarakat pada saat ini, punahnya satwa-
satwa liar yang dilindungi adalah suatu dampak dari tidak seimbangnya ekosistem
yang dikarenakan oleh manusia itu sendiri. Konservasi sumber daya alam hayati
adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatanya dilakukan
bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaanya dengan tetap memelihara
dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Konservasi sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya bertujuan untuk mengusahakan terwujudnya
1Leden Marpaung, 1995, Tindak Pidana Terhadap Hutan, Hasil Hutan, dan Satwa,
Erlangga, Jakarta, h. 3.
2
kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya, sehingga
dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu
kehidupan manusia karena hal tersebut merupakan tanggung jawab bersama.
Pemerintah dalam hal melestarikan sumber daya alam hayati juga sudah
berusaha mewujudkan daerah konservasi-konservasi, salah satunya adalah Taman
Nasional Bali Barat yang bertujuan untuk melindungi satwa-satwa yang hampir
punah contohnya jalak Bali yang sampai saat ini jumlahnya sudah sangat sedikit
serta terus berkurang, dan salah satu penyebab utamanya adalah perburuan liar.
Mudahnya untuk mendapatkan sarana dan prasarana adalah salah satu faktor
penyebab masyarakat gemar melakukan aktivitas berburu untuk dimakan
dagingya, rekreasi atau diperjual belikan.
Senapan angin adalah satu sarana untuk berburu yang sangat mudah
didapat, sehingga menembak burung atau aktivitas perburuan burung tidaklah
sesuatu yang susah untuk dilakukan oleh masyarakat khususnya di Bali. Hal ini
juga menjadi suatu hal yang tidak boleh dipandang sebelah mata, mengingat
maraknya perburuan liar membuat ekosistem menjadi rusak seperti halnya yang
terjadi di Desa Pakraman Kayubihi.
Maraknya perburuan liar di Desa Pakraman Kayubihi membuat
masyarakat di desa pakraman tersebut mulai resah akan tidak seimbangnya
ekosistem dan tidak terlaksananya konsep Tri Hita Karana yang menyebabkan
terganggunya keseimbangan kosmis. Hal ini menjadi perhatian yang serius oleh
masyarakat di desa pakraman tersebut. Tentunya hal ini memerlukan sebuah
tindakan serta aturan yang berfungsi sebagai alat pengatur masyarakat (social
3
control) demi menanggulangi maraknya perburuan liar di Desa Pakraman
Kayubihi.
Masyarakat adat di Bali mengenal adanya konsep keseimbangan yang
disebut dengan Tri Hita Karana. Kesejahteraan umat manusia di dunia ini hanya
akan dapat dicapai apabila terjadi keharmonisan hubungan antara unsur-unsur Tri
Hita Karana tersebut, yaitu:
a. Keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan Yang Maha
Esa;
b. Keharmonisan hubungan antara manusia dengan alam semesta;
c. Keharmonisan hubungan antara manusia dengan sesamanya.2
Dalam upaya berperan serta untuk konservasi sumber daya alam hayati
dan ekosistemnya yang dilandasi juga dengan konsep Tri Hita Karana, Desa
Pakraman Kayubihi menerapkan larangan berburu burung di wilayah desa
pakraman tersebut. Lokasi yang biasanya di jadikan tempat berburu burung di
Desa Pakraman Kayubihi dipasangi himbauan serta baliho dilarang berburu.
Selain memasang baliho larangan berburu, beberapa prajuru banjar juga banyak
mengingatkan kepada warga maupun pemburu.3 Hal ini dimaksudkan agar satwa
khususnya burung yang berada di wilayah Desa Pakraman Kayubihi dapat terjaga
serta terlestarikan keberadaanya.
Mengenai pengaturan tentang larangan berburu burung di Desa Pakraman
Kayubihi sudah tertulis dalam bentuk awig-awig Desa Pakraman. Secara umum
2 Wayan Windia dan I Ketut Sudantra, 2006, Pengantar Hukum Adat Bali, Lembaga
Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, Bali, h.45 3…, 2015, “Dusun di Kayubihi Terapkan Larangan Berburu”, Denpost, URL : http://
denpostnews. com /2015/10/19/dusun-di-kayubihi-terapkan-larangan-berburu/ diakses tanggal 20
maret 2016
4
yang dimaksud dengan awig-awig adalah patokan tingkah laku, baik tertulis
maupun tidak tertulis yang dibuat oleh masyarakat yang bersangkutan,
berdasarkan rasa keadilan dan kepatutan yang hidup dalam masyarakat, dalam
hubungan antara krama (anggota desa pakraman) dengan Tuhan, antara sesama
krama, maupun antara krama dengan lingkunganya.4 Apabila didalam
pelaksanaanya ada yang melanggar ketentuan awig-awig tersebut maka Desa
Pakraman Kayubihi akan menjatuhkan sanksi bagi pelanggar dan dikenai denda
yang merujuk dari perarem Desa Pakraman Kayubihi.
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan oleh peneliti, maka peneliti
membuat skripsi yang berjudul “Peranan Awig-Awig Sebagai Sosial Kontrol
Masyarakat Terkait Larangan Berburu Burung di Desa Pakraman Kayubihi, Kec.
Bangli, Kab. Bangli”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan urutan latar belakang masalah diatas maka dapat dirumuskan
masalah sebagai berikut:
1. Apa latar belakang tentang larangan berburu burung oleh Desa Pakraman
Kayubihi ?
2. Bagaimana penegakan tentang larangan berburu burung dalam awig-awig
maupun perarem di Desa Pakraman Kayubihi ?
4 AA Gede Oka Parwata, 2010, “Memahami Awig-awig Desa Pakraman” dalam Wicara
lan Pamidanda, Editor: I Ketut Sudantra dan AA Gede Oka Parwata, Udayana University Press,
Denpasar, (selanjutnya disingkat AA Gede Oka Parwata I), h.54.
5
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Dalam penulisan skripsi ini peneliti akan membatasi ruang lingkup yang
akan di bahas, maksud dan tujuan dari pembatasan ini adalah untuk memfokuskan
pembahasan sehingga kesimpulan yang ditarik sesuai dengan permasalahan.
Sebagaimana tertulis pada sub pokok permasalahan, permasalahan pertama
meliputi apa latar belakang pengaturan tentang larangan berburu burung di Desa
Pakraman Kayubihi. Adapun permasalahan kedua membahas tentang pengaturan
larangan berburu dalam awig-awig maupun perarem di Desa Pakraman Kayubihi.
Untuk melengkapi pembahasan, maka peneliti pun berinisiatif
menguraikan tentang sanksi-sanksi adat yang akan di terapkan, pola
pelaksanaannya, dan peranan masyarakat adat di Desa Pakraman Kayubihi, dalam
mendukung adanya awig-awig mengenai larangan berburu di desa tersebut.
Berdasarkan pembatasan ruang lingkup masalah yang telah diuraikan, maka
permasalahan yang tengah dikaji menjadi tidak sulit untuk dianalisis.
1.4 Orisinalitas Penelitian
Dengan ini peneliti menyatakan bahwa penulisan skripsi ini merupakan
hasil buah karya asli dari peneliti, merupakan suatu buah pemikiran peneliti yang
dikembangkan sendiri oleh peneliti. Sepanjang pengetahuan peneliti dan setelah
melakukan pengecekan atau pemeriksaan (baik dalam ruangan gudang skripsi
fakultas hukum universitas udayana dan di internet) tidak ditemukan adanya suatu
karya ilmiah atau skripsi yang membahas permasalah yang sama dengan skripsi
6
penulis. Adapun karya ilmiah yang memiliki objek yang sejenis yang ditemui
oleh peneliti yakni :
Tabel 1.1. Orisinalitas Penelitian
No Nama Judul Rumusan masalah
1 Inka Ayu
Ariati
Universitas
Airlangga
Pemidanaan
terhadap pelaku
tindak pidana
terkait satwa
lindung
1. Perbuatan-perbuatan apa yang
merupakan kualifikasi tindak
pidana terkait satwa yang
dilindungi?
2. Bagaimanakah
pertanggungjawaban pidana
terkait satwa yang dilindungi ?
2 Ricky
Haryanto
Nugroho
Universitas
Komputer
Indonesia
Penegakan
Hukum atas
perburuan liar
jalak Bali di
Taman Nasional
Bali Barat
ditinjau dari
Undang-Undang
Nomor 5 Tahun
1990 Tentang
Konservasi
Sumber Daya
Alam dan
Ekosistemnya
Juncto Peraturan
Pemerintah
Nomor 13 Tahun
1994 Tentang
Perburuan Satwa
Buru
1. Bagaimana efektifitas
Undang-undang Nomor 5
Tahun 1990 Tentang
Konservasi Sumber Daya
Alam dan Ekosistemnya
Juncto Peraturan Pemerintah
Nomor 13 Tahun 1994
Tentang Perburuan Satwa
Buru dalam mencegah dan
menanggulangi perburuan
jalak Bali di TNBB ?
2. Bagaimana peranan Hukum
adat Masyarakat Bali dalam
mencegah dan menanggulangi
perburuan jalak Bali di TNBB
?
7
1.5 Tujuan Penelitian
a. Tujuan Umum
1. Melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya pada bidang
penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa.
2. Melatih mahasiwa dalam usaha menyatakan pikiran ilmiah secara tertulis.
3. Mengetahui dan mendalami ilmu hukum yang berkaitan dengan masalah
yang akan dibahas yang tengah berkembang di dalam kehidupan
masyarakat.
4. Mengembangkan diri pribadi mahasiswa kedalam kehidupan masyarakat.
5. Memenuhi persyaratan sebagai sarjana hukum.
b. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui latar belakang larangan berburu burung oleh Desa
Pakraman Kayubihi .
2. Untuk mengetahui penegakan awig-awig maupun perarem mengenai
larangan berburu burung di Desa Pakraman Kayubihi Kec. Bangli, Kab.
Bangli.
1.6 Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Menambah literatur dibidang perlindungan satwa yang dalam
perkembangannya tidak hanya diatur oleh hukum dalam arti tertulis,
melainkan hukum tidak tertulis juga mengakomodir persoalan tersebut.
8
b. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan penelitian dalam
rangka meningkatkan kualitas pelestarian sumber daya alam dan ekosistemnya
khusunya bagi pemerintah, serta memberikan pengetahuan bagi mahasiswa
dan masyarakat mengenai aktivitas berburu dan pelestarian sumber daya alam
dan ekosistemnya.
1.7 Landasan Teoritis
Landasan teoritis yang nantinya digunakan dalam penelitian hukum
merupakan sebuah pijakan dasar yang kuat dalam membedah permasalahan-
permasalahan hukum terkait.
1. Teori Semi-Autonomous Social Field
Teori ini diperkenalkan oleh Sally Falk Moore ini menjelaskan
kapasitas kelompok-kelompok sosial (social field) dalam menciptakan
mekanisme-mekanisme pengaturan sendiri (self-regulation) dengan disertai
kekuatan-kekuatan pemaksa. Merupakan suatu fakta bahwa bidang yang kecil
dan untuk sebagian otonom itu dapat menghasilkan aturan-aturan dan adat-
kebiasaan serta simbol-simbol yang berasal dari dalam, tapi di lain pihak
bidang itu juga rentan terhadap aturan-aturan dan keputusan-keputusan dan
kekuatan-kekuatan lain yang berasal dari dunia luar yang mengelilinginya.
Bidang sosial yang semi-otonom ini memiliki kapasitas untuk membuat
aturan-aturan, dan sarana untuk menyebabkan atau memaksa seseorang
tunduk pada aturanya; tapi sekaligus juga berada dalam suatu kerangka acuan
9
sosial yang lebih luas yang dapat, dan memang kenyataanya mempengaruhi
dan menguasainya, kadang-kadang karena dorongan dari dalam, kadang-
kadang atas kehendaknya sendiri.5
Di dalam kehidupan masyarakat di Bali, istilah desa memiliki dualisme
pengertian. Pengertian pertama merujuk kepada desa dinas, yaitu desa yang
menyelenggarakan birokrasi dari pemerintahan. Desa dinas dalam konteks ini
pada dasarnya dapat dikatakan perpanjangan tangan atau pengemban tugas
dari negara untuk mengatur kehidupan masyarakat di pedesaan. Dalam hal ini
desa dinas merupakan lembaga negara terbawah dibawahi oleh camat.
Desa pakraman (desa adat) adalah suatu lembaga tradisonal. Sebagai
suatu lembaga desa pakraman mempunyai dua arti diantaranya sebagai wadah
dan sebagai pranata (institute dan institutions). Dalam hal ini pranata
mengatur hubungan antara warga masyarakat disekitar kepentingan-
kepentingan tertentu. Lembaga selalu dalam keadaan bergerak. Dengan
demikian pengertian desa pakraman (desa adat) sebagai lembaga dan kesatuan
sosial yang mencangkup dua hal yaitu desa adat sendiri sebagai wadah adat
istiadat dan hukum adatnya sebagai isi dari wadah tersebut.6
Desa pakraman sebagai sebuah kelompok yang semi otonom memiliki
kewenangan untuk membuat aturanya sendiri. Aturan ini disesuaikan dengan
adat dan kebiasaan yang berlaku di lingkungan masyarakatnya. Segala sesuatu
5 Sally Falk Moore, 2001, “Hukum dan Perubahan Sosial: Bidang Sosial Semi-Otonom
Sebagai Suatu Topik Studi Yang Tepat”, Terjemahan Sulistyowati Irianto, dalam Antropologi
Hukum Sebuah Bunga Rampai, Editor : T.O. Ihromi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, h. 150. 6 A.A Gede Oka Parwata et. al., 2006, “Pola Hubungan Antara Desa Dinas Dengan Desa
Adat Dalam Penanganan Penduduk Pendatang Di Kecamatan Ubud-Kabupaten Gianyar”, Laporan
Penelitian, Kerjasama Lembaga Penelitian Universitas Udayana Dengan Bappeda Kabupaten
Gianyar, (selanjutnya disingkat AA Gede Oka Parwata II). h. 35.
10
yang berhubungan dengan kebutuhan desanya terutama dalam usaha untuk
menegakkan adat, kewajiban warga desa terhadap wilayah pemukimannya,
terhadap sesama warga desa dan terhadap agamanya serta larangan-larangan
dan keharusan-keharusan yang harus dipatuhi oleh warga desa, semuanya itu
ditentukan oleh warga desa itu sendiri dalam bentuk aturan-aturan yang tidak
tertulis maupun tertulis dan dinamakan dresta, sima, awig-awig, lokacara,
catur dresta dan sebagainya.7 Istilah yang paling sering digunakan atau yang
paling dikenal untuk menyebutkan aturan adat yang dimiliki oleh kelompok-
kelompok masyarakat adat di Bali ini adalah awig-awig. Awig-awig dibuat
warga desa pakraman atau banjar adat, atas dasar musyawarah mufakat.8
Berkaitan dengan konsep pluralisme/kemajemukan hukum dari Sally
Falk Moore maka upaya desa pakraman dalam melestarikan satwa dan
menjaga lingkunganya demi kesejahteraan kehidupan warganya merupakan
wujud nyata dari semi-autonomous social field (bidang sosial semi otonom).
Karakteristik lapangan sosial semi otonom adalah kemampuan untuk
menciptakan aturan-aturan yang berlaku dalam lingkungannya sendiri,
mendorong bahkan memaksa warganya agar mentaati aturan tersebut.9
Meskipun masyarakat adat ini sudah memiliki awig-awig sebagai
sarana untuk menuntun mereka mencapai keharmonisan, ternyata itu hanya
berlaku dalam kelompoknya saja. Karena itu, ketika terjadi konflik antar
warga ataupun bersinggungan dengan kelompok lain perlu adanya payung
7 I Wayan Surpha, 2004, Eksistensi Desa Adat dan Desa Dinas di Bali, Pustaka Bali
Post, Denpasar, h. 8. 8 Wayan P Windia, 2004, Danda Pacamil: Catatan Populer Istilah Hukum Adat Bali,
Upada Sastra, Denpasar, h. 3. 9 Sally Falk Moore, op.cit, h. 152.
11
hukum yang disepakati bersama, sebagai masyarakat Negara Kesatuan
Republik Indonesia tentunya mereka wajib tunduk dengan hukum yang lebih
besar yang berada di atasnya yakni hukum positif Indonesia.
Kewenangan desa pakraman ini memiliki persyaratan seperti yang
diatur dalam Pasal 18 B ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
Tahun 1945. “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup
dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang”.
Dengan meminjam istilah yang digunakan oleh Sally Falk Moore, desa
pakraman sesungguhnya hanyalah kelompok sosial yang semi-otonom (semi-
autonomous social fields) karena dalam pelaksanaan otonominya itu desa
pakraman tetap harus tunduk kepada kekuasaan negara. Pengakuan bersyarat
terhadap desa pakaman sekaligus mempunyai makna bahwa otonomi desa
pakraman bukanlah otonomi mutlak tanpa batas. Melalui konstitusi, Negara
telah memberikan syarat-syarat bagi otonomi desa pakraman. Otonomi desa
pakraman diakui oleh Negara apabila di dalam kenyataan kekuasaan-
kekuasaan yang menjadi isi dari otonomi desa pakraman tersebut memang
benar-benar masih hidup. Pelaksanaannya pun tidak boleh sembarangan,
melainkan harus disesuaikan dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu, kekuasaan-kekuasaan
yang menjadi isi otonomi desa pakraman tersebut pengaturannya dilakukan
dalam undang-undang. Penegasan ini penting agar tidak menimbulkan salah
12
pengertian dan menganggap desa pakraman sebagai “republik kecil” yang
dapat berbuat apa saja tanpa perduli kepada keberadaan kekuasaan negara,
sebab bagaimanapun juga tidaklah boleh ada negara dalam negara.10
2. Teori Beslissingenleer (teori keputusan)
Ter Haar membuat dua perumusan, yang menunjukan perubahan
pendapatnya tentang apa yang dinamakan hukum adat itu, ialah :
a. dalam pidato dies tahun 1930, dengan judul : “ Peradilan Landraad
berdasarkan hukum tak tertulis”.
b. dalam orasinya tahun 1937, yang berobyek : “ Hukum Adat Hindia-
Belanda di dalam ilmu, praktek dan pengajaran”.
a. “Hukum Adat lahir dan dipelihara oleh keputusan-keputusan;
keputusan warga masyarakat hukum, terutama keputusan berwibawa
dari kepala-kepala rakyat yang membantu pelaksanaan perbuatan-
perbuatan hukum; atau – dalam hal pertentangan kepentingan
keputusan para hakim yang bertugas mengadili sengketa, sepanjang
keputusan-keputusan itu – karena kesewenangan atau kurang
pengertian tidak bertentangan dengan keyakinan hukum rakyat,
melainkan senafas seirama dengan kesadaran tersebut,
diterima/diakui atau setidak-tidaknya di toleransikan olehnya”.
b. “Hukum Adat itu dengan mengabaikan bagian-bagian nya yang
tertulis yang terdiri dari peraturan-peraturan desa, surat-surat
10 I Ketut Sudantra, 2010, “Peranan Desa Pakraman dalam Penyelesaian Perkara di Luar
Pengadilan” dalam Wicara lan Pamidanda, Editor: I Ketut Sudantra dan AA Gede Oka Parwata,
Udayana University Press, Denpasar, h.37.
13
perintah Raja adalah keseluruhan peraturan yang menjelma dalam
keputusan-keputusan para fungisionaris hukum (dalam arti luas)
yang mempunyai wibawa (Macht, Authority) serta pengaruh dan
yang dalam pelaksanaanya berlaku serta-merta (spontan) dan
dipatuhi dengan sepenuh hati”. (Fungisionaris di sini terbatas pada
dua kekuasaan yaitu: Eksekutif dan Yudikatif). Dengan demikian
hukum adat yang berlaku itu hanya dapat diketahui dan diperoleh
dalam bentuk keputusan-keputusan para fungisionaris hukum itu;
bukan saja hakim tetapi juga kepala adat, rapat desa, wali tanah,
petugas-petugas di lapangan agama, petugas-petugas desa lainya.
Keputusan itu tidak saja mengenai suatu sengketa resmi, tetapi juga
diluar itu berdasarkan kerukunan (musyawarah). Keputusan-
keputusan itu diambil berdasarkan nilai-nilai yang hidup sesuai
dengan alam rokhani dan hidup kemasyarakatan anggota-anggota
persekutuan itu.11
Dari keterangan dia atas terlihat bahwa pandangan Ter Haar yang
mendalam yang penuh perhatian dan pengertian, terbukti dari kata-katanya
bahwa setiap hakim wajib mengambil keputusan menurut hukum adat, wajib
menyadari tentang sistim/stelsel hukum adat, kenyataan sosial serta tuntutan
keadilan dan kemanusiaan untuk dapat melakukan tugasnya dengan baik dan
benar. Jadi, Ter Haar tidak melupakan hukum yang hidup dalam kenyataan
hidup sehari-hari dari masyarakat hukum adat Indonesia. Suatu kenyataan
11 Iman Sudiyat, 1985, Asas-Asas Hukum Adat Bekal Pengantar, Liberty, Yogyakarta.
h. 7.
14
hidup yang dilandasi oleh alam fikiran yang khas, yaitu pandangan hidup atau
pandangan dunia manusia Indonesia tentang diri dan lingkunganya.12
Seperti yang dikatakan oleh Ter Haar, Hukum adat adalah keseluruhan
peraturan yang menjelma dalam putusan-putusan para pejabat hukum, yang
mempunyai wibawa dan pengaruh, serta dalam pelaksanaanya berlaku serta
merta dan dipatuhi sepenuh hati oleh masyarakatnya. Pendapat Ter Haar ini
dikenal dengan teori keputusan (teori Beslissingenleer) artinya bahwa untuk
melihat suatu adat-istiadat sudah merupakan hukum adat, maka perlu melihat
sikap penguasa masyarakat terhadap si pelanggaran adat-istiadat. Apabila
penguasa menjatuhkan putusan hukum terhadap si pelanggar maka adat
istiadat itu sudah merupakan hukum adat.13
3. Teori Hukum Sebagai Sosial Kontrol Masyarakat
Setiap masyarakat, selama hidupnya pasti pernah mengalami
perubahan-perubahan. Ada perubahan-perubahan yang tidak menarik
perhatian orang , ada yang pengaruhnya luas, ada yang terjadi dengan
lambat,ada yang berjalan dengan sangat cepat, ada pula yang direncanakan,
dan seterusnya. Bagi seseorang yang sempat melakukan penelitian terhadap
susunan dan kehidupan suatu masyarakat pada suatu waktu dan
membandingkanya dengan susunan serta kehidupan masyarakat tersebut pada
waktu yang lampau, akan tampak perubahan perubahan yang terjadi di
dalamnya. Orang sering mengatakan, bahwa kehidupan di pedesaan Indonesia
12 Dominikus Rato, 2009, Pengantar Hukum Adat, LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, h.
17. 13 Soerjono Soekanto, 1978, Pokok-pokok Hukum Adat, Alumni, Bandung, (selanjutnya
disingkat Soerjono Soekanto I), h. 17.
15
adalah statis, tidak maju, dan juga tidak mengalami perubahan-perubahan.
Pernyataan demikian itu biasanya didasarkan atas pandangan sepintas lalu
tidak diteliti, oleh karena tidak ada suatu masyarakat yang berhenti sama skali
dalam perkembangan serta kehidupanya sepanjang masa. Di dalam proses
perubahan tersebut, biasanya ada suatu kekuatan yang menjadi pelopor
perubahan atau agent of change. Kita mengenal beberapa kelompok sosial
sebagai agent of change, misalnya pemerintah, sekolah-sekolah, organisasi-
organisasi politik, para cendekiawan, petani dan sebagainya.14
Agent of change atau pelopor perubahan adalah seseorang atau
kelompok orang yang mendapatkan kepercayaan dari masyarakat sebagai
pemimpin satu atau lebih lembaga-lembaga kemasyarakatan. Pelopor
perubahan memimpin masyarakat dalam mengubah sistem sosial dan di
dalam melaksanakan hal itu langsung tersangkut dalam tekanan-tekanan
untuk mengadakan perubahan, bahkan mungkin menyebabkan perubahan-
perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan lainya. Suatu perubahan
sosial yang dikehendaki atau direncanakan, selalu berada di bawah
pengendalian serta pengawasan pelopor perubahan tersebut. Cara- cara untuk
mempengaruhi masyarakat dengan sistem yang teratur dan direncanakan
terlebih dahulu, dinamakan social enggineering atau social planning.15
Untuk terciptanya kehidupan masyarakat yang tertib, maka perlu
adanya pengenalan nilai-nilai serta norma sosial agar anggota masyarakat
dapat mengenal dan memahami tatanan nilai serta norma sosial tersebut.
14 Soerjono Soekanto, 2006, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, RajaGrafindo, Jakarta,
(selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto II) , h. 19. 15 Ibid, h. 122.
16
Proses pengenalan tatanan nilai-nilai serta norma sosial berlangsung selama
masyarakat masih ada, hal ini disebabkan oleh keinginan masyarakat agar
kelangsungan hidupnya dapatbertahan, sebab tanpa ketertiban sosial maka
kehidupan sosial tidak akan bertahan lama. Tertib sosial tidak terwujud
dengan sendirinya, akan tetapi tertib sosial selalu diusahakan melalui :
1. Melakukan transfer nilai-nilai dan norma sosial melalui proses sosialisasi
kepada masing-masing individu warga masyarakat, sebab melalui proses
sosialisasi ini nilai-nilai dan norma sosial dapat ditanamkan ke dalam
keyakinan tiap-tiap individu warga masyarakat;
2. Melakukan kontrol sosial, yaitu sarana-sarana pemaksa (sanksi) yang
dilaksanakan dengan menggunakan kekuatan fisik atau psikis jika proses
sosialisasi yang dilaksanakan tidak menghasilkan dampak ketertiban
sebagaimana yang diharapkan dalam kehidupan masyarakat.16
Pengendalian sosial terutama bertujuan untuk mencapai keserasian
antara stabilitas dengan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Atau, suatu
sistem pengendalian sosial bertujuan untuk mencapai keadaan damai melalui
keserasian antara kepastian dengan keadilan/kesebandingan.17 Kehidupan
masyarakat adat khususnya di Bali dipengaruhi oleh budaya yang sangat
berkaitan erat dengan nilai-nilai yang bersifat religius. Hukum adat yang
hidup dan diakui dalam kenyataan masyarakat banyak berbaur dengan nilai-
nilai keagamaan. Hukum adat Bali yang dilandasi oleh ajaran agama Hindu,
16 Elly M. Setiadi & Usman Kolip, 2011, Sosiologi : Pemahaman Fakta dan Gejala
Permasalahan Sosial (Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya), Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, h. 153. 17 Soerjono Soekanto, 2010, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Pers, Jakarta,
selalu mengusahakan keseimbangan hidup antara Tuhan, manusia serta alam
yang dikonsepsikan dalam ajaran agama hindu yang di kenal dengan ajaran
Tri Hita Karana. Oleh karena itu, setiap perbuatan yang dianggap
mengganggu keseimbangan tersebut adalah merupakan pelanggaran hukum
adat dan prajuru desa adat wajib mengambil tindakan-tindakan untuk
memulihkan keseimbangan tersebut melalui penerapan hukum adat.
Dengan adanya norma-norma tersebut, di dalam setiap masyarakat
diselenggarakan pengendalian sosial atau social control. Apabila perilaku
masyarakat diatur oleh hukum tertulis atau perundang-undangan (yakni
keputusan-keputusan penguasa yang bersifat resmi dan tertulis, serta
mengikat umum), maka diselenggarakan pengendalian sosial formal (formal
social control). Artinya, norma-norma hukum tertulis tersebut berasal dari
pihak-pihak yang mempunyai kekuasaan dan wewenang formal. Akan tetapi,
tidak jarang pengendalian sosial diselenggarakan dengan norma-norma lain
(yang bukan hukum tertulis) atau upaya-upaya lain seperti, pendidikan,
agama, desas-desus, dan seterusnya. Di dalam hal ini ada pengendalian sosial
informal (informal social control).18
4. Konsep Budaya Hukum
Selanjutnya kultur hukum merupakan yaitu opini-opini, kepercayaan-
kepercayaan (keyakinan-keyakinan), kebiasaan-kebiasaan, cara berfikir, dan
18 Ibid, h. 182.
18
cara bertindak, baik dari para penegak hukum maupun dari warga masyarakat,
tentang hukum dan berbagai fenomena yang berkaitan dengan hukum.19
Teori Lawrence M Friedman yang ketiga yakni budaya hukum
menganggap bahwa sikap manusia terhadap hukum lahir melaui sistem
kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya yang berkembang menjadi
satu didalamnya. Kultur hukum menjadi suasana pemikiran sosial dan
kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari,
atau disalahgunakan.20 Kebiasaan hukum menjadi hal yang prioritas dalam
masyarakat. sebab kebiasaan-kebiasaan yang hidup di masyarakat pada
akhirnya membentuk sebuah norma yang membatasi suatu kelompok
masyarakat tentang boleh tidaknya dilakukan sebuah perbuatan tersebut. Pada
akhirnya hukum juga harus dimaknai sebagai norma yang hidup di masyarakat
dan menjadi bagian tidak terpisahkan dari masyarakat itu sendiri. Budaya
Hukum dari Lawrence M Friedman yaitu:21
a. Budaya hukum itu mengacu pada bagian-bagian kebudayaan secara umum
(kebiasaan pendapat, bertindak dan berpikir) yang dalam cara tertentu
dapat menggerakkan kekuataan sosial mendekat atau menjauh dari hukum.
b. Budaya hukum adalah sikap-sikap, nilai-nilai dan pendapat masyarakat
dalam berurusan dengan hukum dan sistem hukum, budaya hukum adalah
sumber hukumnya.
19 Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(JudicialPrudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Kencana Prenada
Media Group, Jakarta, h. 204. 20 Lawrance M friedman, 2009, Sistem Hukum, terjemahan M. Khosim, Nusa Media,
Ujungberung, Bandung, h.34. 21 Derita Prapti Rahayu, 2014, Budaya Hukum Pancasila, Thafamedia, Yogyakarta, h.
50.
19
c. Budaya adalah jejaring nilai-nilai dan sikap yang berkaitan dengan hukum,
yang menentukan kapan mengapa dan bagaimana masyarakat mematuhi
atau menolak hukum menentukan struktur hukum apa yang digunakan dan
apa alasannya dan peraturan hukum apa yang dipilih untuk diterapkan dan
dikesampingkan serta apa alasannya.
Budaya hukum dalam pembahasan bagian ini digunakan untuk
menunjukkan tradisi hukum yang digunakan untuk mengatur kehidupan suatu
masyarakat hukum. Dalam masyarakat hukum yang sederhana, kehidupan
masyarakat terikat ketat oleh solidaritas mekanis, persamaan kepentingan dan
kesadaran, sehingga masyarakat lebih meyerupai suatu keluarga besar, maka
hukum cenderung berbentuk tidak tertulis.22
Menurut Soekanto, budaya hukum merupakan budaya nonmaterial
atau spiritual. Adapun inti budaya hukum sebagai budaya nonmaterial atau
spiritual adalah nilai-nilai yang merupakan konsepsi abstrak mengenai apa
yang baik (sehingga harus dianut) dan apa yang buruk (sehingga harus
dihindari). Nilai-nilai tersebut merupakan dasar dari etika (mengenai apa yang
baik dan buruk), norma atau kaidah (yang berisikan suruhan, larangan atau
kebolehan) dan pola prilaku manusia.23 Menurut Darmodiharjo dan Shidarta,
Budaya hukum sebenarnya identik dengan pengertian kesadaran hukum,
Penilaian masyarakat yang timbul secara spontan merupakan perasaan hukum,
22 Lili Rasjidi dan I.B Wyasa Putra, 2003, Hukum Sebagai Suatu Sistem, CV. Mandar
Maju, Bandung, h. 156. 23 M. Syamsudin, 2012, Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum
Progresif, Jakarta, h. 31.
20
sedangkan kesadaran hukum adalah abstraksi mengenai perasaan hukum dari
suatu objek hukum.24
Menurut Salman Soemodiningrat bahwa “Suatu aturan hukum hanya
akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat”.25
Walaupun hukum yang dibuat itu memenuhi persyaratan yang ditentukan
secara filosofis dan yuridis, tetapi kalau kesadaran hukum masyarakat tidak
mempunyai respon yang baik untuk mentaati dan mematuhi peraturan hukum
tidak ada, maka peraturan hukum yang dibuat itu tidak akan efektif
berlakunya.26 Efektivitas suatu aturan hukum, selain berisikan norma-norma
yang hidup dalam masyarakat juga mempunyai hubungan yang sangat erat
dengan kesadaran hukum masyarakat. Tujuan dari hukum adalah tercapainya
keadilan, ketertiban dan kepastian. “selain kepastian hukum juga diharapkan
suatu kesadaran hukum, karena kesadaran hukum terkait dengan ketaatan
terhadap hukum”.27
Derajat tinggi rendahnya kepatuhan hukum terhadap hukum positif
tertulis ditentukan oleh tingkat kesadaran hukum yang didasarkan pada faktor-
faktor sebagai berikut :
a. Pengetahuan tentang peraturan,
b. Pemahaman hukum,
c. Sikap hukum, dan
24 Ibid, h. 32. 25 H. R. Otje Salman Soemodiningrat dan Anthon F. Susanto, 2008, Teori Hukum
(Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka Kembali), PT. Refika Aditama, Bandung, h. 72. 26 Abdul Manan, 2005, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Kencana Prenada Media,
Jakarta, h. 97. 27 H. R. Otje Salman Soemodiningrat dan Anthon F. Susanto, op.cit, h. 52.
21
d. Pola perilaku hukum.28
Sikap hukum adalah suatu kecenderungan untuk menerima hukum
karena adanya penghargaan terhadap hukum sebagai sesuatu yang bermanfaat
atau menguntungkan jika hukum itu ditaati. Sedangkan pola perilaku hukum
merupakan hal yang utama dalam kesadaran hukum, karena disini dapat
dilihat apakah suatu peraturan berlaku atau tidak dalam masyarakat.29
Setelah peraturan adat disahkan dalam hal ini adalah penetapan Awig-
awig, maka masyarakat dianggap mengetahui isi dari norma yang ada dalam
Awig-awig tersebut, baik perilaku yang dilarang maupun perilaku yang
diperbolehkan dalam bidang parahyangan, pawongan dan palemahan,
sehingga pengetahuan terhadap norma yang diatur dalam Awig-awig
merupakan unsur penting dalam awal proses kesadaran hukum itu sendiri.
Pemahaman hukum berkaitan dengan pengertian dari adanya norma dalam
Awig-awig tersebut, baik dari segi tujuan yang ingin dicapai maupun
manfaatnya bagi yang diaturnya.
5. Konsep Tri Hita Karana
Masyarakat Bali mengenal adanya konsep Tri Hita Karana yang
menjadi pedoman hidup, Tri Hita Karana berasal dari kata “Tri” yang berarti
tiga, “Hita” yang berarti kebahagiaan dan “Karana” yang berarti penyebab.
Dengan demikian Tri Hita Karana berarti “tiga penyebab terciptanya
28 Soerjono Soekanto, 1982, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, Rajawali Pres,
Jakarta, (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto IV), h. 272. 29 Muslan Abdurrahman, 2009, Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum, UMM Press,
Malang, h. 36.
22
kebahagiaan”.30 Dalam konsep ini, sesuai hakekatnya ajaran Tri Hita Karana
bertujuan untuk menciptakan suatu keharmonisan di dalam kehidupan
memiliki tiga unsur sebagai berikut :
a. Hubungan harmonis manusia dengan tuhan yang dalam hal ini diartikan
dengan istilah Parahyangan yang wujud nyatanya dapat diperlihatkan
dengan istilah bhakti.
b. Hubungan harmonis manusia dengan sesama manusia yang dalam hal ini
di artikan dengan istilah Pawongan yang wujud nyatanya dapat
diperlihatkan dengan asah, asih, dan asuh menyama braya.
c. Hubungan harmonis manusia dengan lingkungan yang dalam hal ini
diartikan dengan Palemahan yang wujud nyatanya dapat diperlihatkan
dengan istilah rungu.31
Setiap hubungan memiliki pedoman hidup menghargai sesama aspek
di sekelilingnya. Prinsip pelaksanaanya harus seimbang, selaras antara satu
dengan yang lainya. Apabila keseimbangan tercapai, manusia akan hidup
menghindari segala tindakan buruk. Hidupnya akan tertib, aman dan damai
(trepti, sukerta, sekala niskala). Konsep Tri Hita Karana apabila dikaitkan
dengan desa pakraman perwujudanya akan dapat dilihat dari unsur-unsur
pembentuk desa pakraman tersebut yang terdiri dari :
- Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan
Jenis Tumbuhan dan Satwa
- Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 18 Tahun 2010 tentang Surat
Izin Berburu dan Tata Cara Permohonan Surat Izin Berburu
- Peraturan Menteri kehutanan Nomor 69 Tahun 2014 tentang
Penetapan Musim Berburu Satwa Buru.
- Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman
b) Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang
bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum
meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum,
dan komentar-komentar atas putusan hukum. Dalam penelitian ini
bahan hukum sekunder yang terutama adalah buku teks karena buku
teks berisi mengenai prinsip-prinsip dasar ilmu hukum dan perundang-
undangan klasik para sarjana yang mempunyai kualifikasi tinggi.
e. Teknik Pengumpulan Data
Dalam tehnik pengumpulan data, pengambilan data primer yaitu data
yang langsung dikumpulkan oleh peneliti (atau petugas-petugasnya ) dari
sumber pertamanya. Disamping data primer terdapat data sekunder yang
seringkali diperlukan oleh peneliti. Data sekunder itu biasanya tersusun dalam
bentuk dokumen-dokumen, misalnya data mengenai keadaan demografis suatu
daerah, data mengenai produktivitas suatu perguruan tinggi, data mengenai
33
persediaan pangan di suatu daerah, dan sebagainya.43 Sesuai dengan jenis data
yang dicari, maka teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara :
1. Data lapangan diperoleh dengan cara wawancara langsung dengan
informan tentang hal-hal yang berkaitan dengan masalah yang dibahas,
seperti wawancara baik dengan tokoh-tokoh masyarakat maupun prajuru
adat. Wawancara dilakukan dengan pedoman wawancara yang disusun
sedemikian rupa bertujuan untuk memperoleh jawaban-jawaban yang
relevan dengan permasalahan yang diteliti (terstruktur). Wawancara
merupakan salah satu teknik yang sering digunakan untuk memperoleh
keterangan secara lisan guna mencapai tujuan tertentu, dan tujuan ini dapat
bermacam-macam, antara lain untuk diagnose dan treatment seperti yang
biasa dilakukan oleh dokter, atau untuk keperluan mendapat berita seperti
yang dilakukan wartawan dan untuk melakukan penelitian dan lain-lain.44
Isi/materi wawancara pada dasarnya sudah tersurat dalam pedoman
wawancara (interview guide) yang dibawa oleh pewawancara.45
2. Study dokumentasi yaitu dengan meneliti bahan-bahan pustaka yang
berkaitan dengan topik masalah yang dibahas ini seperti buku-buku,
laporan penelitian, awig-awig maupun perarem Desa Pakraman Kayubihi.
f. Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Teknik pengolahan dan analisa data dalam skripsi ini dilakukan
dengan cara analisis kualitatif, maka keseluruhan data yang terkumpul baik
43 Sumadi Suryabrata, 2004, Metodologi Penelitian, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, h.
39. 44 Burhan Ashshofa, 2007, Metode penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 95. 45 Bambang Waluyo, 2008, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta,
hal. 62.
34
dari data primer maupun data sekunder, akan diolah dan di analisis dengan
cara menyusun data secara sistematis, digolongkan dalam pola dan tema,
diklasifikasikan, dihubungkan antara satu data dengan data yang lainya,
dilakukan inteprestasi untuk mengetahui makna dalam situasi sosial, dan
dilakukan penafsiran dari perspektif peneliti setelah memahami keseluruhan